prosidingbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/dokumen/publikasi... · dalam bentuk prosiding...
TRANSCRIPT
PROSIDING
SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
MENDUKUNG EMPAT SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN
DI PROVINSI BENGKULU
Bengkulu, 15 Desember 2012
Kementerian Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Bekerjasama dengan
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
2012
PROSIDING
SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
MENDUKUNG EMPAT SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN
DI PROVINSI BENGKULU
Bengkulu, 15 Desember 2012
TIM PENYUNTING:
Dedi Sugandi
Dwinardi Apriyanto
Ruswendi
Sri Suryani M. Rambe
Umi Pudji Astuti
Eddy Makruf
Ahmad Damiri
Wahyu Wibawa
Diterbitkan oleh: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp.: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568) E-mail: bptp_ [email protected] Website: http://www.bengkulu.litbang.deptan.go.id
ISBN: 978-602-9064-06-3
Hak cipta ada pada penulis, tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau keseluruhan isi
prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis.
iii Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KATA PENGANTAR
Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Empat Sukses
Kementerian Pertanian di Provinsi Bengkulu merupakan salah satu bagian dari rangkaian
kegiatan Expose dan Seminar Inovasi Teknologi (Exitek) Pertanian Spesifik Lokasi, kerjasama
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dengan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
(UNIB), diselenggarakan pada Tanggal 15 Desember 2012.
Tujuan penyelenggaraan seminar adalah untuk menyebar luaskan inovasi hasil
penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian spesifik lokasi kepada seluruh
pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di Provinsi Bengkulu, serta publikasi ilmiah
dalam bentuk prosiding makalah yang disajikan pada saat seminar.
Peran teknologi dalam pembangunan pertanian telah ikut mempercepat kemajuan
bangsa, menjamin ketersediaan pangan, peningkatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Badan
Litbang Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) telah menunjukan
perannya dalam penciptaan inovasi dan pengembangan teknologi berupa varietas unggul,
pengelolaan tanaman terpadu, teknologi pengolahan hasil, pengembangan model kelembagaan
serta saran kebijakan untuk pencapaian peningkatan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing
produk pertanian dalam peningkatan kesejahteraan petani.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan akan semakin
beragam dan komplek, untuk itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dituntut untuk
mampu melaksanakan seluruh program kerjanya untuk mendukung empat sukses Kementerian
Pertanian dengan melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi dengan Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, BUMN/Swasta, dan Petani pengguna. Untuk itu, melalui peneyelenggaraan
seminar inovasi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk penyebarluasan hasil-hasil
penelitian, pengkajian, pengembangan dan penerapan (litkajibangrap) BPTP Bengkulu, maupun
lembaga-lembaga penelitian lainnya yang ikut serta dalam kegiatan ini.
Apresiasi dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi menyumbangkan pikiran, tenaga, dan waktunya selama penyelenggaraan seminar
maupun dalam proses peneyelesaian prosiding ini.
Bengkulu, Desember 2012
Kepala Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bengkulu,
Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP
iv Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
v Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
LAPORAN KEPALA BPTP
PADA ACARA PEMBUKAAN KEGIATAN EKSPOSE DAN SEMINAR
INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN TAHUN 2012
Bengkulu, 14 - 15 Desember 2012
Yth. Bapak Gubernur Provinsi Bengkulu/Bapak Sekretaris Provinsi Bengkulu
Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian
Bapak Walikota Bengkulu
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu
Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu
Kepala Dinas/instansi lingkup pertanian Provinsi Bengkulu
Kepala Dinas/instansi lingkup pertanian Kabupaten/Kota
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Dekan Fakultas Universitas
Muhammadiyah Bengkulu, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hazairin Bengkulu,
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dehasen Bengkulu
Kepala Stasiun Karantina Kementerian Pertanian Provinsi Bengkulu
Direktur Divisi regional Bulog Provinsi Bengkulu
Para petani serta para undangan dan hadirin yang berbahagia.
Assalammu’alaikum wr.wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Pertama-tama marilah kita panjatkan Puji syukur ke Zat Illahi Robbi Tuhan yang Maha Kuasa,
bahwa atas perkenannya pada hari ini kita dapat berkumpul disini, dalam rangka Ekspose dan
Seminar Inovasi Teknologi Pertanian spesifik lokasi Tahun 2012.
Bapak Gubernur, Bapak Kepala Badan, Bapak-Ibu yang berbahagia
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bengkulu sebagai unit pelaksana teknis
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia
memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melaksanakan penelitian, pengkajian, pengembangan, dan
penerapan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi yang mencakup kegiatan pada bidang
pertanian tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Peternakan memandang perlu untuk
menyampaikan hasil-hasil kegiatan tersebut kepada seluruh pemangku kebijakan pertanian di
Provinsi Bengkulu dalam bentuk Ekspose dan Seminar Inovasi Teknologi Pertanian yang kami
beri judul (Exsitek Pertanian) Spesifik Lokasi Tahun 2012.
Bapak Gubernur Provinsi Bengkulu, Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian, Bapak-Ibu
yang berbahagia
Pelaksanaan Ekspose dan Seminar Inovasi Teknologi Pertanian kali ini BPTP Bengkulu
melakukan kerjasama dengan Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi
Bengkulu, serta Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Adapun tujuan Ekspose dan Seminar kali ini adalah: 1) Menyebarluaskan Inovasi Hasil
Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian spesifik lokasi di Provinsi Bengkulu Kepada
seluruh pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di Propinsi Bengkulu; 2)
Mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan kegiatan pengkajian dan diseminasi di masa
mendatang; 3) Menumbuhkan kembali minat pelajar di Provinsi Bengkulu untuk kembali
mencintai profesi di bidang pertanian.
Bapak Gubernur, Bapak Kepala Badan
Jumlah peserta yang hadir pada acara ini sebanyak 250 orang yang berasal dari Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Bengkulu, Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, Dinas Peternakan dan Keswan Provinsi Bengkulu,
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik
vi Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Daerah Provinsi Bengkulu, Bakorluh Provinsi Bengkulu, Universitas se-Provinsi Bengkulu,
Badan Ketahanan Pangan kabupaten/kota, Bapeluh kab/kota, Bank Indonesia, Badan
Pemberdayaan Perempuan, Instansi Vertikal Kementerian Pertanian dan Transmigrasi, Pelajar
dan Mahasiswa, LPM Kota Bengkulu, petani/kelompok tani kooperator kegiatan pengkajian dan
diseminasi BPTP Bengkulu.
Bapak Gubernur, Bapak Kepala Badan, hadirin yang berbahagia
Kegiatan Ekspose dan Seminar ini dilaksanakan selama dua hari yaitu, hari pertama kegiatan
Ekspose meliputi kunjungan lapang, pameran, gelar teknologi, dan temu mitra. Pada hari kedua
kegiatan Seminar Hasil Inovasi Teknologi Pertanian tahun 2012 yang diikuti oleh peserta berasal
dari Dinas/Instansi Lingkup Pertanian Provinsi Bengklulu, BPTP Bengkulu, 9 BPTP dari Provinsi
di Luar Provinsi Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi
Bengkulu, Balai Pengkajian Transmigrasi Provinsi Bengkulu dan Universitas-universitas yang
ada di Provinsi Bengkulu.
Pada acara ini BPTP Bengkulu juga akan memberikan apresiasi kepada 2 kelompok M-KRPL
yang berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan model tersebut dengan sangat baik yaitu
kelompok wanita tani Mawar, Desa Tebing Kaning, Kabupaten Bengkulu Utara dan kelompok
wanita tani Anggrek Putih, Desa Harapan Makmur Kabupaten Bengkulu Tengah. Untuk itu, pada
saatnya nanti kami mohon Bapak Gubernur dan Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian berkenan
menyampaikan hadiah kepada kedua kelompok tersebut.
Bapak Gubernur, Bapak Kepala Badan, Bapak Ibu yang saya hormati
Sebelum kami mengakhiri laporan ini, kami selaku Penyelenggara Ekspose dan Seminar tidak
lupa mohon maaf, apabila dalam persiapan dan penyelenggaraan acara ini terdapat hal-hal yang
kurang berkenan. Pada kesempatan ini pula kami mohon dengan hormat kesediaan Bapak
Gubernur berkenan memberikan arahan sekaligus membuka secara resmi acara Ekspose dan
Seminar Inovasi Teknologi Pertanian spesifik Bengkulu tahun 2012.
Demikian laporan kami, atas perhatian Bapak/Ibu sekalian kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Bengkulu, 14 Desember 2012
Kepala BPTP Bengkulu,
Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP
vii Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PADA ACARA PEMBUKAAN KEGIATAN EKSPOSE DAN SEMINAR INOVASI
TEKNOLOGI PERTANIAN MENDUKUNG EMPAT SUKSES
KEMENTERIAN PERTANIAN
Bengkulu, 14 - 15 Desember 2012
Bismilllahirahmanirahim
Assalamu alaikum wr. wb
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Yang terhormat Bapak Gubernur Provinsi Bengkulu
Yang kami hormati:
- Kepala Dinas/Badan/Balai Lingkup Pertanian Provinsi dan Kabupaten Kota
- Dekan Fakultas Pertanian Universitas di Bengkulu
- Pimpinan BUMN dan perusahaan swasta
- Bapak/Ibu Kontak tani
- Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
- Hadirin peserta ekspose dan seminar inovasi teknologi yang berbahagia.
Alhamdulillahi rabbil alamiin. Segala puji marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas
nikmat-Nya jualah sehingga kita dapat hadir dalam kegiatan Ekspose dan Seminar Inovasi
Teknologi Pertanian di Bengkulu ini.
Kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Gubernur Provinsi Bengkulu
beserta seluruh peserta yang telah hadir dalam kegiatan ini. Kehadiran Bapak Gubernur dan
hadirin sekalian memiliki arti penting dalam meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi program
pembangunan pertanian ke depan, khususnya yang terkait dengan percepatan penerapan inovasi
pertanian untuk mendukung 4 sukses Kementerian Pertanian dalam mewujudkan pembangunan
pertanian di Provinsi Bengkulu. Selanjutnya teristimewa kepada petani dan petani kooperator
yang hadir di sini, kami mengharapkan adanya peran aktif selama kegiatan ini, karena Bapak/Ibu
sangat berkepentingan dengan penerapan inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usahatani.
Bapak Gubernur dan hadirin yang berbahagia
Peranan teknologi telah mengubah masyarakat dari masyarakat agraria menuju masyarakat
industrial. Kita sadari sepenuhnya bahwa teknologi pertanian telah ikut mempercepat kemajuan
bangsa, menjamin ketersediaan pangan, peningkatan ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Badan
Litbang Pertanian telah menunjukkan perannya dalam inovasi dan pengembangan teknologi
berupa varietas unggul, pengelolaan tanaman terpadu, teknologi alat dan mesin pertanian dan
pascapanen, pengembangan model kelembagaan serta saran kebijakan untuk pencapaian
swasembada beras dan jagung, peningkatan produktivitas, nilai tambah dan daya saing produk
pertanian untuk peningkatan kesejahteraan petani.
Hadirin yang kami hormati
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan semakin beragam dan
kompleks. Keterbatasan sumberdaya lahan dan air, ketidakpastian iklim, kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang dinamis, rendahnya diseminasi inovasi teknologi, keterbatasan akses
permodalan petani, globalisasi dan liberalisasi pasar, dan pesatnya kemajuan teknologi dan
infrormasi pertanian global menyebabkan kita semua, khususnya seluruh jajaran Badan Litbang
Pertanian harus berusaha meningkatkan nilai tambah ekonomi yang tinggi (impact recognition)
bagi produk pertanian melalui berbagai kegiatan litkajibangrap disamping nilai ilmiah tinggi
(scientific recognition). Termasuk diantaranya kegiatan litkajibangrap yang dilaksanakan di
viii Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BPTP Bengkulu sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Pertanian yang berada di
Bengkulu.
BPTP dituntut harus mampu melaksanakan dengan baik seluruh program kerjanya untuk
mendukung 4 sukses Kementerian Pertanian yaitu pencapaian swasembada dan swasembada
berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan
ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani. Disamping itu BPTP juga harus berkontribusi
mendukung pembangunan pertanian di daerah dengan melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan
sinergi dengan Pemda, Perguruan Tinggi, BUMN/swasta, dan petani pengguna.
Bapak Gubernur dan Hadirin yang kami hormati
Kami yakin sepenuhnya bahwa perhatian Pemda di Bengkulu dalam pembangunan sektor
pertanian masih tinggi dan menjadi prioritas utama karena sektor ini menjadi penyedia lapangan
kerja bagi 63,27% angkatan kerja di Bengkulu dan berkontribusi sebesar 39% terhadap PDRB
Provinsi Bengkulu.
Dengan melihat kondisi yang ada, maka BPTP Bengkulu perlu terus berupaya untuk mendukung
pembangunan pertanian sesuai dengan tugas pokoknya yaitu merakit dan mendesiminasikan
informasi teknologi spesifik lokasi kepada pengguna untuk peningkatan produksi, produktivitas,
dan efisiensi usaha pertanian.
Hadirin yang berbahagia
Berbagai hasil telah dicapai oleh BPTP Bengkulu melalui kegiatan litkajibangrap di lahan petani
diantaranya yaitu peningkatan produktivitas padi sawah melalui kegiatan Pendampingan SL-PTT,
UPBS, dan diseminasi teknologi dari 4 ton menjadi 6,5 ton GKG/ha.
Untuk mengantisipasi ketidakpastian iklim dewasa ini, BPTP Bengkulu juga telah
mensosialisasikan kalender tanam terpadu sampai ke tingkat Balai Penyuluhan Pertanian di
Kecamatan. Percepatan penggunaan varietas unggul baru padi sawah, padi rawa, dan padi gogo
terus didorong untuk peningkatan produktivitas dan antisipasi kondisi lingkungan. Saat ini
diperkirakan sekitar 30% dari luas tanam padi di Bengkulu telah menggunakan varietas-varietas
unggul baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Diseminasi varietas melalui kerjasama
dengan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota, BUMN/Swasta, dan penangkar akan terus
dilakukan untuk mendukung swasembada padi berkelanjutan.
Pemanfaatan pekarangan melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari disambut baik oleh
berbagai pihak. Hal ini terbukti bahwa dengan inisiasi di 22 titik pada 10 kabupaten/kota di tahun
2011, saat ini model pemanfaatan pekarangan telah berkembang di 341 titik di seluruh provinsi.
Perkembangan yang signifikasi tentu saja tidak terlepas dari peran Badan Ketahanan Pangan
Provinsi dan Kabupaten/Kota serta antusiasme petani dalam memanfaatkan pekarangan sebagai
sumber pendapatan dan efisiensi biaya rumah tangga.
Perbaikan budidaya tanaman kentang merah di Rejang Lebong dan jeruk gerga di Lebong telah
mulai dirasakan manfaatnya oleh petani. Demikian juga perbaikan teknologi budidaya dan
pengendalian hama tanaman kakao telah dapat meningkatkan produksi biji kering sampai 50%.
Integrasi tanaman kelapa sawit dengan ternak sapi terbukti dapat menekan biaya input usahatani
berupa pupuk, pakan, dan tenaga kerja serta meningkatkan hasil tanaman dan ternak. Perbaikan
ransum pakan sapi potong dan sapi perah dengan memanfaatkan limbah di sekitar lokasi peternak
ternyata telah berhasil meningkatkan berat badan harian sapi potong dan produksi susu sapi
perah.
Namun kami sadari bahwa peran BPTP Bengkulu mungkin saja dirasakan belum optimal, karena
harapan pengguna teknologi sangat tinggi, sedangkan disisi lain penerapan berbagai inovasi yang
dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian di lahan petani tentu saja tidaklah mudah dilaksanakan.
Berbagai faktor penghambat menyebabkan kurangnya adopsi inovasi teknologi. Salah satunya
adalah tidak sampainya informasi kepada pengguna.
ix Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Oleh karena itu kami menyambut baik kegiatan ekspose dan seminar yang dilaksanakan pada saat
ini sebagai momentum yang tepat untuk lebih menyebarluaskan hasil-hasil litkajibangrap BPTP
Bengkulu maupun lembaga-lembaga penelitian lainnya yang ada di daerah seperti Balitbang
Provinsi dan Perguruan Tinggi kepada pengguna.
Hadirin yang kami hormati
Kepada Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, BUMN/swasta kami ucapkan terima kasih atas
jalinan kerjasamanya dengan BPTP Bengkulu selama ini. Kami berharap pimpinan dan karyawan
BPTP Bengkulu dapat meningkatkan kerjasama yang baik dengan seluruh stakeholder dalam
fasilitasi inovasi pertanian di Bengkulu. Tanpa adanya sinkronisasi, koordinasi dan sinergi yang
baik antara semua pihak terkait, kami yakin bahwa inovasi pertanian tidak akan optimal
manfaatnya bagi pengguna.
Bapak Gubernur yang kami hormati
Kami berharap kiranya Bapak pada saatnya nanti berkenan membuka Ekspose dan Seminar
Inovasi Teknologi Pertanian ini secara resmi. Semoga Allah SWT meridhoi upaya kita yang baik
ini.
Demikian sambutan kami.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Bengkulu, 14 Desember 2012
Kepala Badan Litbang Pertanian
Dr. HARYONO
x Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
xi Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
RUMUSAN HASIL
SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN
MENDUKUNG EMPAT SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN
Bengkulu, 14 - 15 Desember 2012
Rumusan hasil Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi mendukung Empat
Sukses Program Strategis Kementerian Pertanian di Provinsi Bengkulu yang diselenggarakan
pada Tanggal 15 Desember 2012 di auditorium BPTP Bengkulu, sebagai berikut:
1. Seminar merupakan bagian dari kegiatan Ex-Sitek Pertanian 2012 (14 -15 Desember 2012)
merupakan hasil kerjasama antara BPTP Bengkulu dengan Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu serta Badan Litbang dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu.
2. Tujuan dari Seminar Inovasi Teknologi adalah:
- Menyebarkan inovasi teknologi kepada stakeholders dan pengguna
- Mendapatkan umpan balik bagi penyempurnaan kegiatan litkajibangrap
- Sharing informasi lintas institusi/sektoral
3. Seminar diikuti oleh 130 orang peserta yang berasal dari perguruan tinggi, stakeholders
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, Balitbu Solok, BBP2TP Bogor,
11 BPTP (Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Babel, DKI Jakarta, Kalsel, Sultra, Sulsel dan
Bali) serta Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi Ketransmigrasian (BP2TPK)
Provinsi Bengkulu.
4. Keynote Speech pada seminar ini adalah Kepala Badan Litbang Pertanian (disampaikan oleh
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian) dengan 2 makalah
utama yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan Wakil
Ketua Komda Sumber Daya Genetik Provinsi Bengkulu dan 51 makalah penunjang.
5. Inti dari Keynote Speech yang berjudul Peranan Badan Litbang Pertanian dalam mendukung
pencapaian inovasi teknologi adalah:
a. Sistem inovasi teknologi pertanian untuk stakeholders dan beneficiaries dalam mendukung
4 target sukses Kementerian Pertanian.
b. Proses litkajibangrap teknologi pertanian.
c. Sistem modeling dalam pencapaian program strategis.
d. Peran penting UPBS dalam penyediaan benih sumber.
e. Perkembangan MKRPL di Bengkulu dan provinsi lainnya.
6. Makalah Utama
a. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Pertanian di Provinsi Bengkulu
menyimpulkan;
- Banyak permasalahan dalam pembangunan di bidang pertanian di Provinsi Bengkulu
secara bertahap permasalahan diatasi melalui berbagai dukungan kebijakan daerah.
- Alih fungsi lahan sudah menjadi isu penting di Provinsi Bengkulu dan akan diupayakan
untuk ditekan melalui regulasi harga dan pembangunan infra struktur yang mendukung
perekonomian masyarakat.
b. Peranan Perguruan Tinggi dalam Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian di
Provinsi Bengkulu menyimpulkan;
- Perguruan tinggi harus dapat mengatasi isu penting sekaligus menjadi tantangan institusi
pendidikan tinggi.
- Diharapkan ada perbaikan kurikulum karena ada anggapan sekarang program studi
banyak digabung dan tidak fokus.
xii Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
- Ada saran agar kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dapat dimanfaatkan dalam
mendukung program strategis daerah maupun nasional untuk meningkatkan kompetensi
lulusannya.
c. Implementasi Sumberdaya Genetik di Provinsi Bengkulu menyimpulkan;
- Implementasi SDG di Provinsi Bengkulu merencanakan akan melakukan survei dan
inventarisasi SDG, pengelolaan dan perbaikan SDG spesifik wilayah, dan kegiatan
sosial kepada petani.
- Ada saran agar SDG tidak hanya fokus pada tanaman tetapi juga dilengkapi dengan
SDG ternak.
- Sudah banyak sumberdaya genetik di Bengkulu yang punah, maka peran SDG sangat
penting untuk kesejahteraan di masa mendatang.
7. Makalalah penunjang seluruhnya berjumlah 56, terdiri dari 16 makalah yang dipresentasikan
dalam bentuk oral dan 40 makalah dalam bentuk poster.
8. Tindak lanjut dari kegiatan seminar ini adalah penerbitan prosiding dan kegiatan Ex-Sitek
pertanian akan dijadikan agenda rutin/tahunan BPTP Bengkulu.
Bengkulu, 15 Desember 2012
Tim Perumus
xiii Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... iii
LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ...................................................................................... v
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ............ vii
RUMUSAN HASIL SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN ........................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ xiii
KEYNOTE SPEECH
Dukungan Inovasi Teknologi dalam Pencapaian Target Sekses Pembangunan Pertanian di
Provinsi Bengkulu
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian .............................................................. 1
MAKALAH UTAMA
1. Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi Pertanian dalam Mensukseskan Program
Pembangunan Pertanian
Dwinardi Apriyanto (Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu) ....................................... 9
2. Implementasi Sumber Daya Genetik (SDG) di Provinsi Bengkulu
Alnopri (Wakil ketua KOMDA SDG Provinsi Bengkulu) ............................................................... 17
MAKALAH PENUNJANG
Tanaman Pangan
1. Keragaan Varietas Padi Rawa Adaptif pada Lahan Rawa Lebak di Provinsi Bengkulu
Nurmegawati dan Wahyu Wibawa ................................................................................................. 23
2. Pemupukan Spesifik Lokasi Padi Sawah dan Kaitannya dengan Penerapan Katam Terpadu di
Sumatera Barat
Azwir dan Winardi ......................................................................................................................... 28
3. Perlakuan Nitrogen dan Silikat pada Persemaian untuk Percepatan Pemulihan Pasca Terendam
dan Peningkatan Produksi Padi
Danner Sagala, Ikhsan Hasibuan dan Prihanani .......................................................................... 36
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Sawah di Kabupaten Seluma (Studi Kasus:
Produktivitas Padi Sawah di Desa Bukit Peninjauan II Kecamatan Sukaraja
Eddy Makruf, Yulie Oktavia dan Wawan Eka Putra ...................................................................... 44
5. Keragaan Tanaman Padi berdasarkan Posisi Tanaman terhadap Komponen Hasil pada Sistem
Tanam Legowo 4:1
Yartiwi, Ahmad Damiri dan Wawan Eka Putra ............................................................................. 53
6. Kajian Keragaan Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Kecamatan Bantimurung Kabupaten
Maros Sulawesi Selatan
Maintang, Asriyanti Ilyas, Edi Tando, Yahumri ............................................................................. 58
7. Status Hara Tanah Sawah di Kabupaten Kepahiang berdasarkan Hasil Analisis Perangkat Uji
Tanah Sawah (PUTS)
Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Irma Calista Siagian ............................................................ 63
8. Kajian Perbaikan Usaha Tani Lahan Lebak Dangkal di SP1 Desa Buntut Bali Kecamatan
Pulau Malan Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah
M. A. Firmansyah, Suparman, W.A. Nugroho, Harmini dan Umi Pudji Astuti .............................. 71
9. Potensi Pengembangan Lahan Sub Optimal dengan Varietas Padi Rawa
Wahyu Wibawa dan Nurmegawati ................................................................................................. 76
10. Adaptasi Varietas Unggul Baru pada Lahan Rawa Pasang Surut di Provinsi Bengkulu
Nurmegawati dan Wahyu Wibawa ................................................................................................. 82
11. Keragaan Galur Harapan Padi Sawah Irigasi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Nurhayati, Rizqi Sari Anggraini, dan Tri Wahyuni ........................................................................ 87
12. Keragaan Pertumbuhan dan Komponen Hasil Empat Varietas Unggul Baru Padi Inpara di
Bengkulu
Yartiwi, Yahumri dan Andi Ishak ................................................................................................... 93
13. Peluang Peningkatan Produksi Padi di Kabupaten Seluma (Studi Kasus: Lahan Sawah
Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan)
Ahmad Damiri dan Yartiwi ............................................................................................................ 98
xiv Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
14. Aplikasi berbagai macam Pupuk Pelengkap Cair (PPC) Organik terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Jagung Hibrida
Rathi Frima Zona, Rachmiwati Yusuf dan Taupik Rahman .......................................................... 104
15. Uji Ketahanan Galur-Galur Padi terhadap Penyakit Tungro di Daerah Endemik
Mansur, Syahrir Pakki, Edi Tando dan Yulie Oktavia ................................................................... 108
16. Peluang Pemanfaatan Ubi Jalar sebagai Pangan Fungsional dan Mendukung Diversifikasi
Pangan
Shannora Yuliasari dan Hamdan ................................................................................................... 113
Hortikultura
1. Peran Pupuk Organik Granul dan Cair berbahan baku Limbah Pasar terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Sayuran Daun
Yudi Sastro, Indarti P. Lestari dan Suwandi .................................................................................. 121
2. Peningkatan Produktivitas dan Penampilan Buah Jeruk Gerga (RGL) di Kabupaten Lebong
Provinsi Bengkulu
Sri Suryani M. Rambe, Irma Calista dan Kusmea Dinata ............................................................. 128
3. Pertumbuhan dan Produksi Kentang Merah pada Lahan Dataran Tinggi Kabupaten Rejang
Lebong Bengkulu
Ahmad Damiri, Dedi Sugandi dan Eddy Makruf............................................................................ 133
4. Pengaruh berbagai Panjang Stek terhadap Pertumbuhan Bibit Buah Naga (Hylocereus
polyryzus)
Andre Sparta, Mega Andini dan Taupik Rahman ........................................................................... 141
5. Efektivitas Ekstrak Piper retrofractum dan Tephrosia vogelii dan Campurannya terhadap
Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella serta Keamanan Ekstrak tersebut terhadap
Diadegma semiclausum
Agustin Zarkani, Djoko Prijono, Pudjianto.................................................................................... 148
6. Identifikasi dan Status Serangan OPT Utama Pada Pertanaman Jeruk RGL di Kabupaten
Lebong
Kusmea Dinata dan Sri Suryani M. Rambe .................................................................................... 156
Peternakan dan Perkebunan
1. Model Formulasi Pakan Sapi Potong untuk Mendukung Program PSDSK
Agung Prabowo .............................................................................................................................. 165
2. Hubungan Konsumsi Pakan dengan Potensi Limbah pada Sapi Bali untuk Pupuk Organik
Padat dan Cair
I Nyoman Adijaya dan I M. R. Yasa ............................................................................................... 169
3. Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Keberlanjutan Ketersediaan Pakan Sapi Bali di Bali
I Made Rai Yasa dan I. N. Adijaya ................................................................................................. 175
4. Efek beberapa Metoda Pengolahan Limbah Daun Kelapa Sawit terhadap Kandungan Gizi dan
Kecernaan Secara In-Vitro
Nurhaita dan Ruswendi .................................................................................................................. 185
5. Pengaruh pemberian Bahan Pakan Lokal berbasis Kulit Kopi terhadap Produksi Susu Sapi
Perah di Kabupaten Rejang Lebong
Erpan Ramon, Zul Efendi dan Siswani Dwi Daliani ...................................................................... 190
6. Pengaruh perubahan Komposisi Bahan Pakan terhadap Berat Hidup Ayam Broiler
Siswani Dwi Daliani dan Erpan Ramon......................................................................................... 194
7. Pengaruh perbandingan Jantan-Betina terhadap Fertilitas dan Daya Tetas Telur Itik di
Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan
Suryana, Sholih, N.H., H. Kurniawan, Suprijono dan Retna Qomariah ........................................ 199
8. Penerapan Teknologi Usahatani Kakao di Desa Surobali Kabupaten Kepahyang
Herlena Bidi Astuti, Afrizon dan Linda Harta ............................................................................... 208
9. Permasalahan dan Solusi Pengendalian Hama PBK pada Perkebunan Kakao Rakyat di Desa
Suro Bali Kabupaten Kepahiang
Kusmea Dinata, Afrizon, Siti Rosmanah dan Herlena Bidi Astuti ................................................. 214
10. Kajian Teknologi Fermentasi Limbah Ikan sebagai Pupuk Organik
Indarti P. Lestari, Yudi Sastro, dan Ana F. C. Irawati.................................................................. 219
xv Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Sosial Ekonomi
1. Potensi Daerah Kecamatan Selupu Rejang dalam Pengembangan Sapi Perah sebagai Penghasil
Susu
Ruswendi, Dedi Sugandi dan Jhon Firison .................................................................................... 227
2. Studi Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pekarangan melalui Penerapan Model Kawasan Rumah
Pangan Lestari (M-KRPL) di Kota Bengkulu
Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita ...................................................................................... 233
3. Studi Kelembagaan Kredit Usaha Pertanian
Rudi Hartono .................................................................................................................................. 238
4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Partisipasi Wanita Tani dalam Pemanfaatan Pekarangan
Dedi Sugandi, Tri Wahyuni dan Umi Pudji Astuti ......................................................................... 246
5. Analisis Efisiensi Faktor Produksi pada Usahatani Padi Sawah di Bengkulu
Hamdan .......................................................................................................................................... 252
6. Pengaruh perbaikan Penerapan Teknologi Budidaya Padi terhadap Pendapatan Petani di
Kelurahan Taba Penanjung Kabupaten Bengkulu Tengah
Andi Ishak, Bunaiyah Honorita dan Yesmawati ............................................................................. 260
7. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Sikap Anggota Kelompok Afinitas terhadap Program
Aksi Desa Mandiri Pangan di Pekon Rantau Tijang Kecamatan Pardasuka Kabupaten
Tanggamus Provinsi Lampung
Akhmad Ansyor, Zikril Hidayat dan Nia Kaniasari ....................................................................... 265
8. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten
Seluma
Zul Efendi, Wahyuni Amelia Wulandari dan Alfayanti .................................................................. 271
9. Karakteristik Petani dan Pendapatan Usahatani Kakao di Desa Surobali Kabupaten Kepahiang
Afrizon dan Herlena Bidi Astuti ..................................................................................................... 277
10. Minat Petani terhadap Komponen PTT Padi Sawah
Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Alfayanti ............................................................................... 281
11. Persepsi Petani dan Stakeholder terhadap Pengembangan Jeruk RGL di Kabupaten Lebong
Bunaiyah Honorita dan Sri Suryani M. Rambe .............................................................................. 289
12. Persepsi Petani terhadap Peranan Penyuluhan dalam Usahatani Padi Sawah
Sri Bananiek, Agussalim dan Andi Ishak........................................................................................ 295
13. Pemberdayaan Lahan Kering Suboptimal Kawasan Danau Singkarak Sumatera Barat
Winardi dan Azwir ......................................................................................................................... 301
14. Kajian Alih Fungsi Lahan Tanaman Pangan menjadi Tanaman Perkebunan di Kawasan
Transmigrasi
Darman Hary ................................................................................................................................. 310
Pascapanen
1. Sifat Organoleptik dan Kandungan Nutrisi Es Krim Ubi Jalar Varietas Lokal Bengkulu
Wilda Mikasari dan Lina Ivanti ..................................................................................................... 323
2. Preferensi Konsumen terhadap Ulir Ubi Jalar Ungu pada berbagai Umur Panen di Provinsi
Bengkulu
Wilda Mikasari and Taufik Hidayat ............................................................................................... 331
3. Efektifitas Penggunaan Kemasan dalam Distribusi Jeruk Siam (Citrus nobilis)
Edi Tando, Mansurdan Taufik Hidayat .......................................................................................... 337
4. Persepsi Petani terhadap Pemanfaatan Alat Mesin Pertanian Vaccum Frying dalam Pengolahan
Hasil Pertanian
Wilda Mikasari dan Alfayanti ........................................................................................................ 341
5. Kajian pengaruh Pengemasan terhadap Umur Simpan Benih Padi
Vivi Aryati dan Irma Calista Siagian ............................................................................................. 347
PARTISIPAN SEMINAR ..................................................................................................................... 355
INDEKS PENULIS ............................................................................................................................... 356
1 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI
DALAM PENCAPAIAN TARGET SEKSES
PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI BENGKULU
(Keynote Speech)
Haryono1) dan Kasdi Subagyono2) 1)Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2)Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
PENDAHULUAN
Kementerian Pertanian telah menetapkan sistem pertanian industrial unggul
berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah,
ekspor dan kesejahteraan petani sebagai visi pembangunan pertanian. Visi ini berkaitan erat
dengan target produksi dalam pencapaian swasembada pangan dan swasembada berkelanjutan
untuk komoditas padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi; diversifikasi pangan; peningkatan
nilai tambah, daya saing dan ekspor; serta peningkatan kesejahteraan petani.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan semakin beragam
dan komplek seiring dengan perubahan dan perkembangan lingkungan internal dan eksternal.
Pembangunan sektor pertanian dipastikan akan menghadapi berbagai tantangan terkait dengan:
makin terbatasnya sumberdaya lahan, air dan energi; perubahan iklim global; perkembangan
dinamis sosial budaya masyarakat; meningkatnya jumlah penduduk; tekanan globalisasi dan
liberalisasi pasar; pesatnya kemajuan teknologi dan informasi; status dan luas kepemilikan lahan;
kelembagaan serta terbatasnya akses permodalan; dan dinamika politik dalam dan luar negeri.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, Badan Litbang Pertanian telah, sedang dan akan
terus berinisiasi melakukan langkah-langkah visioner melalui penciptaan teknologi yang memiliki
nilai tambah ekonomi yang tinggi (impact recognition) dan nilai ilmiah tinggi (scientific
recognition). Strategi untuk menghadapi tantangan pembangunan pertanian dilakukan melalui
tujuh gema revitalisasi yang meliputi: (1) Revitalisasi lahan (2) Revitalisasi perbenihan dan
perbibitan (3) Revitalisasi infrastruktur dan sarana (4) Revitalisasi sumber daya manusia (5)
Revitalisasi pembiayaan petani (6) Revitalisasi kelembagaan petani serta (7) Revitalisasi
teknologi dan industri hilir.
Inovasi teknologi harus bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas produksi dan
produktivitas sehingga dapat memacu pertumbuhan produksi dan peningkatan daya saing. Inovasi
memegang peranan penting dalam mewujudkan empat target sukses Kementerian Pertanian yang
meliputi: (1) Pencapaian dan swasembada berkelanjutan (2) Peningkatan diversifikasi pangan (3)
Peningkatan nilai tambah daya saing dan ekspor (4) Peningkatan kesejahteraan petani.
Kementerian Pertanian telah mengembangkan suatu konsep pemanfaatan pekarangan
yang disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Rumah Pangan Lestari adalah rumah
yang pekarangannya dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan
mengacu empat prinsip: (1) Ketahanan dan kemandirian pangan (2) Diversifikasi pangan berbasis
sumber pangan lokal (3) Konservasi sumber daya genetik dan (4) Upaya lestari melalui kebun
bibit desa menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani/masyarakat.
TARGET PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN
Pembangunan pertanian saat sekarang dan yang akan datang dihadapkan pada
perubahan lingkungan strategis baru, terutama berkaitan dengan masalah pangan, energi, dan
perubahan lingkungan. Dalam rangka memperkuat ketersediaan pangan, Kementerian Pertanian
telah mencanangkan target swasembada lima komoditas pangan pokok. Padi, jagung, kedelai,
gula, dan daging sapi merupakan komoditas utama yang menjadi target untuk swasembada dan
swasembada berkelanjutan.
Target produksi untuk komoditas padi, jagung, kedelai, gula dan daging pada tahun
2014 berturut-turut adalah: 76,57 juta ton; 29 juta ton; 2,7 juta ton; 3,1 juta ton dan 0,51 juta ton.
Di antara lima komoditas pangan tersebut, beras tetap menempati posisi yang strategis, bila
2 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dilihat dari pencapaian indeks swasembada (% produksi/kebutuhan), diketahui bahwa komoditas
kedelai mempunyai indeks yang terendah (34,71%); dibandingkan dengan komoditas beras
(116,74%); jagung (117,69%); daging sapi (82,49%); dan gula (93,33%).
Target swasembada dan swasembada berkelanjutan akan lebih cepat dicapai dengan
dukungan dari diversifikasi konsumsi pangan. Kebutuhan beras yang tinggi dari tahun ke tahun
perlu diimbangi dengan penurunan konsumsi beras minimal 1,5% per kapita/tahun. Di samping
itu juga meningkatkan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal yang mampu
meningkatkan pola pangan harapan (PPH) 77,3 pada tahun 2011 menjadi lebih dari 93,3 pada
tahun 2014.
Target peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor diperlukan dalam rangka
memacu terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal. Oleh
karena itu pada tahun 2014 ditargetkan hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan produk olahan
yang diperdagangkan dari 20% pada tahun 2010 menjadi 50% pada tahun 2014; (2)
Pengembangan tepung-tepungan untuk mensubsidi 20% gandum/terigu impor pada tahun 2014;
dan (3) Meningkatnya surplus neraca perdagangan US$ 24,3 milyar pada tahun 2010 menjadi
US$ 54,5 milyar pada tahun 2014. Sasaran akhir dari semua upaya adalah peningkatan
kesejahteraan petani dan pencapaian targetnya adalah peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) 105
– 110 di tahun 2014.
PERMASALAHAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Pembangunan pertanian ke depan, terutama dalam upaya peningkatan produksi dan
pencapaian swasembada pangan berkelanjutan, dihadapkan pada empat tantangan utama secara
biofisik yaitu: (1) Kerusakan dan degradasi sumber daya lahan dan air dengan isue soil
sickness/fatique, penurunan kesuburan/produktivitas lahan, dan pencemaran; (2) Peningkatan
variabilitas dan terjadinya perubahan iklim; (3) Penciutan dan alih fungsi (konversi) lahan
pertanian subur; dan (4) Fragmentasi lahan pertanian.
Pertanian dan perubahan iklim mempunyai keterkaitan yang sangat unik dan menarik.
Di satu sisi, pertanian memegang peranan yang sangat strategis dalam hal ketahanan pangan,
kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sumber mata pencaharian jutaan petani dengan berbagai
keterbatasan. Secara langsung, perubahan iklim berdampak terhadap : (1) Terjadinya degradasi
dan penciutan sumberdaya pertanian, terutama lahan dan air akibat banjir dan kekeringan, atau
akibat genangan dan instrusi air laut; (2) Penurunan kapasitas infrastruktur pertanian, terutama
irigasi; (3) Penurunan produktivitas dan produksi pangan akibat peningkatan suhu udara, banjir
dan kekeringan, intensitas serangan hama penyakit tanaman; (4) Aspek sosial, ekonomi dan
kemiskinan. Selain itu tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya paling rentan terhadap
perubahan iklim.
Strategi yang dilakukan dalam menghadapi perubahan lingkungan internal dan eksternal
adalah melalui tujuh gema revitalisasi pertanian. Permasalahan yang memicu pelaksanaan
revitalisasi diantaranya adalah:
1. Lahan
a. Terjadinya konversi lahan
b. Kepemilikan lahan yang sempit
c. Sulitnya akses petani ke lahan terlantar/hutan.
2. Perbenihan dan perbibitan
a. Lemahnya sistem produksi dan distribusi benih
b. Hambatan pengembangan benih transgenik
3. Infrastruktur dan sarana
a. Tingginya kerusakan jaringan irigasi
b. Tingginya biaya produksi dan transportasi
4. Sumber daya manusia (SDM)
a. Terbatasnya jumlah SDM
b. Masih rendahnya kualitas SDM
3 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
5. Pembiayaan petani
a. Sulitnya petani mendapatkan pinjaman
b. Banyaknya petani gurem/kecil
c. Tunggakan KUT yang belum dipulihkan
6. Kelembagaan Petani
a. Lemahnya kelembagaan petani
b. Kapasitas kelembagaan yang beragam
7. Teknologi dan industri hilir
a. Masih menggunakan alat/teknologi tradisional
b. Industri yang belum berkembang
DUKUNGAN INOVASI UNTUK PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS DAN PRODUKSI
Inovasi teknologi harus bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas produksi dan
produktivitas sehingga dapat memacu pertumbuhan produksi dan peningkatan daya saing. Inovasi
teknologi juga diperlukan dalam pengembangan produk (product development) dalam rangka
peningkatan nilai tambah, diversifikasi produk, dan transformasi produk sesuai dengan preferensi
konsumen.
Perubahan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal harus dijawab dengan
meningkatkan prioritas dan kualitas hasil penelitian dan pengembangan yang berorientasi pasar
baik domestik maupun internasional dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu Badan Litbang
Pertanian akan meningkatkan kerja sama/networking baik dengan pemerintah daerah, lembaga
penelitian maupun pelaku usaha. Dengan sumberdaya yang terbatas dan tatanan pasar yang
sangat kompetitif, penerapan inovasi teknologi merupakan faktor kunci dalam pengembangan
pertanian unggul berkelanjutan. Inovasi teknologi harus bermanfaat dalam meningkatkan
kapasitas produksi dan produkstivitas sehingga dapat memacu pertumbuhan produksi dan
peningkatan daya saing.
Dalam mendukung 4 target sukses Kementerian Pertanian, Badan Litbang telah
membuktikan perannya secara signifikan melalui berbagai inovasi dan pengembangan teknologi
yang berupa varietas unggul (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan bibit unggul ternak),
pengelolaan tanaman terpadu, pengendalian OPT, teknologi alat dan mesin pertanian (alsintan),
pasca panen, pengolahan hasil, pengembangan model kelembagaan serta saran kebijakan.
Inovasi teknologi VUB berdaya saing merupakan salah satu pendorong penting dalam
peningkatan produksi dan produktivitas, khususnya untuk tanaman padi. Hingga tahun 2010,
kurang lebih 90% lahan sawah sudah ditanami dengan VUB padi yang dihasilkan oleh Badan
Litbang Pertanian. Tidak terlepas dari VUB yang telah direlease oleh Badan Litbang Pertanian,
pada tahun 2011 telah diterapkan PTT padi pada lahan seluas 2.778.980 ha. Berbagai VUB padi
berdaya saing telah dihasilkan sebagai upaya dalam menghadapi berbagai cekaman biotik
maupun abiotik. Karakteristik dari VUB padi berdaya saing diantaranya adalah: produksi tinggi
(Ciherang, Gilirang, Mekongga, Cimelati, Cigeulis, Cibogo); toleran kekeringan (Dodokan,
Silugonggo, Situ bagendit, Situ Patenggang, Limboto, Inpago 5, Inpari 1, 10, 11, 12 dan 13);
berumur sangat genjah (Inpari 11, 12, dan 13); toleran rendaman (Inpara 3, 4 dan 5, Ciherang –
sub 1) serta toleran salinitas (Margasari, dendang, Lambur, Lalan, Indragiri, Air Tenggulang dan
Banyuasin).
Inovasi untuk menghadapi perubahan iklim juga telah tersedia melalui tindakan adaptasi
dan mitigasi. Tindakan adaptasi dilakukan melalui: (1) penanaman VUB yang tahan terhadap
cekaman iklim yang ekstrem (rendaman maupun kekeringan); (2) pemanfaatan Kalender Tanam
(Katam) terpadu; (3) Teknologi pemupukan; dan (4) Teknologi pengendalian OPT. Tindakan
mitigasi dilakukan melalui kegiatan penanaman varietas rendah emisi dan teknologi irigasi
berselang (intermittent irrigation). Pemanfaatan sistem informasi (SI) Katam terpadu merupakan
salah satu upaya untuk peningkatan produksi pertanian, dimana SI Katam terpadu telah memuat
berbagai informasi tentang waktu tanam, varietas, pola tanam dan rekomendasi pemupukan
spesifik lokasi hingga tingkat kecamatan.
4 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Badan Litbang Pertanian juga telah mengembangkan Sistem Modeling untuk
menganalis/mengkaji isu-isu baru yang selanjutnya disintesis dalam bentuk masukan dan saran
kebijakan dalam pencapaian target strategis Kementerian Pertanian. Hasil modeling yang telah
dilakukan diantaranya adalah upaya pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014;
swasembada gula tahun 2014; swasembada daging sapi/kerbau tahun 2014; dan swasembada
jagung tahun 2014. Inovasi teknologi maupun kelembagaan harus dapat diadopsi secara masif,
tidak terkecuali di Provinsi Bengkulu, untuk itu BPTP dituntut untuk mampu melaksanakan
seluruh program kerjanya dengan baik untuk mendukung 4 sukses Kementerian Pertanian.
Disamping itu BPTP juga harus berkontribusi mendukung pembangunan pertanian di daerah
dengan melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dengan Pemda, Perguruan Tinggi,
BUMN/swasta dan petani pengguna.
BPTP Bengkulu sebagai bagian dari Badan Litbang Pertanian sudah berkolaborasi
secara aktif dan bersinergi dengan pihak internal Badan Litbang Pertanian, Pemprov, Pemkab,
Universitas maupun swasta lingkup Provinsi Bengkulu untuk menghasilkan berbagai inovasi
teknologi terapan pada subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan dan
bahkan pengolahan hasil untuk komoditas unggulan nasional dan daerah. Inovasi teknologi yang
telah di hasilkan oleh BPTP Bengkulu diantaranya adalah:
1. Peningkatan produktivitas, kualitas dan prospek pemasaran kentang merah spesifik lokasi
Kabupaten Rejang Lebong
2. Perbaikan kualitas dan produktivitas jeruk Gerga spesifik lokasi Kabupaten Lebong
3. Peningkatan produktivitas dan kualitas biji kakao melalui inovasi teknologi budidaya, pasca
panen dan pengendalian penggerek buah spesifik lokasi di Kabupaten Kepahiang
4. Peningkatan produktivitas, efisiensi input dan pendapatan petani melalui integrasi kelapa sawit
dengan sapi di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Utara
5. Peningkatan BBH 0,8 kg dengan pakan spesifik lokasi (sagu rumbia)
6. Peningkatan produksi susu dari 8 liter/hari menjadi 15 liter/hari di Kabupaten Rejang Lebong.
7. Peningkatan pendapatan petani melalui pengolahan aneka produk buah dan sayuran
DUKUNGAN M-KRPL UNTUK KETAHANAN PANGAN
DAN KEMANDIRIAN PANGAN
Lahan pekarangan merupakan salah satu sumber potensial penyedia bahan pangan yang
bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi jika ditata dan dikelola dengan baik. Selain dapat
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri, pemanfaatan pekarangan juga berpeluang
meningkatkan penghasilan rumah tangga jika dirancang dan direncanakan dengan baik. Lahan
pekarangan dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan, hortikultura, tanaman obat-obatan, ternak
dan ikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan sekaligus
berpeluang dalam peningkatan penghasilan rumah tangga. Pemanfaatan pekarangan ini juga
dirancang untuk meningkatkan konsumsi aneka ragam sumber pangan lokal dengan prinsip gizi
seimbang yang berdampak pada penurunan konsumsi beras.
Kementerian Pertanian telah mengembangkan suatu konsep pemanfaatan pekarangan
yang disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Prinsip dari M-KRPL adalah: (1)
Ketahanan dan kemandirian pangan rumah tangga. (2) Diversifikasi pangan berbasis sumber daya
lokal (3) Konservasi sumber daya genetik tanaman pangan untuk masa depan; (4) Peningkatan
kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat. Rumah Pangan Lestari adalah rumah yang
pekarangannya dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. KRPL
bertujuan untuk:
1. Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi
pemanfaatan pekarangan secara lestari.
2. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan di
perkotaan maupun diperdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman
obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, serta diversifikasi pangan.
3. Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan
dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan.
5 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
4. Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara
mandiri.
Program M-KRPL dimulai pada tahun 2011 yang diawali dengan pembentukan 44 unit
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan M-KRPL sangat pesat, sehingga pada
tahun 2012 jumlahnya sudah mencapai 423 unit yang terdiri atas 17.000 RPL. Di Provinsi
Bengkulu M-KRPL juga telah dilaksanakan di 7 Kabupaten/Kota yaitu Kota Bengkulu,
Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur, Bengkulu Tengah dan Mukomuko.
KRPL telah banyak direplikasi oleh Pemda dan stakeholders lainnya.
MAKALAH UTAMA
9 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERAN DAN TANTANGAN PERGURUAN TINGGI PERTANIAN
DALAM MENSUKSESKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Dwinardi Apriyanto
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
ABSTRAK
Pembangunan pertanian dengan sistem pertanian konvensional seperti yang diterapkan pada masa revolusi
hijau tidak berkelanjutan dan meninbulkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan. Upaya meningkatkan
kemandirian dan ketahanan pangan hanya bisa ditempuh dengan mengimplementasikan konsepsi pembangunan
pertanian berkelanjutan yang menekankan pada pemanfaatan sumber daya lokal serta dengan menggalakkan
penganekaragaman pangan. Sistem pertanian berkelanjutan diharapkan mampu mempertahankan produktifitas tanpa
menimbulkan dampak lingkungan yang berlebihan. Dalam melaksanakan pembangunan pertanian sejak awal
pemerintah telah melibatkan perguruan tinggi pertanian. Perkembangan pendidikan tinggi pertanian dengan demikian
juga menyesuaikan dengan paradikma pembangunan pertanian. Munculnya berbagai isu penting akibat dari praktek
pertanian berupa kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam, erosi kenekaragaman hayati, perubahan iklim global,
kemiskinan dan ketidak berdayaan petani merupakan tantangan yang harus bisa dipecahkan oleh pendidikan tinggi
pertanian. Untuk itu perguruan tinggi pertanian harus secara teratur menyesuaikan kurikulumnya untuk menghasilkan
lulusan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan pembangunan pertanian berkelanjutan. Peran
perguruan tinggi pertanian juga diwujudkan melalui penelitian untuk mendapatkan inovasi teknologi yang ramah
lingkungan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Perkembangan pertanian, baik dalam proses produksi maupun dampak yang
ditimbulkannya, baik dalam skala lokal, nasional maupun global, menghadirkan tantangan terus
menerus kepada Perguruan Tinggi Pertanian. Berbagai isu penting atau perubahan dan
kecenderungan yang terjadi, misalnya swasembada pangan, kerusakan lingkungan, perubahan
iklim global, dan kemiskinan menjadi permasalahan yang harus dikaji dan dipecahkan oleh
Perguruan Tinggi Pertanian. Masalah pangan sudah muncul sejak Indonesia baru saja merdeka,
bahkan juga pada masa penjajahan, akan tetapi kesadaran untuk memecahkan permasalahan itu
secara terstruktur dan terencana dimulai pada masa revolusi hijau.
Ketika revolusi hijau pada puncak derapnya, semua perhatian terfokus pada
peningkatan produksi padi dalam rangka swasembada beras. Pertama kali dalam sejarah budidaya
padi Indonesia berhasil, merasakan “impian jadi kenyataan”, pada tahun 1984 ketika produksi
padi nasional mencapai target swasembada. Sayangnya apa yang dicapai tersebut tidak
berkelanjutan karena berbagai persoalan, termasuk dianataranya serangan hama, kekeringan,
banjir dan sebab lain.
Budidaya tanaman pangan pada masa revolusi hijau dilakukan dengan sistem pertanian
konvensional yang terfokus pada komoditi padi, dengan input varietas berdaya hasil tinggi, pupuk
anorganik dan pestisida kimia (sintetik). Sistem pertanian konvensional itu menjebak petani pada
penggunaan input dari luar yang selain boros energi juga tidak ramah lingkungan. Melalui
revolusi hijau kita juga telah terjebak ke dalam ketergantungan yang sulit untuk dientaskan, yaitu
ketergantungan pada beras (padi) sebagai makanan pokok yang produktifitasnya sudah sulit
didongkrak lagi. Sumber karbohidrat lain (jagung, sagu, ubi-ubian) yang sebelumnya menjadi
makanan pokok sebagian penduduk di beberapa wilayah Indonesia ditinggalkan masyarakat.
Meskipun sudah berjasa mampu mengatasi kebutuhan pangan pada masanya, revolusi hijau tidak
dapat dilanjutkan karena secara ekologi, ekonomi dan sosial tidak bisa dipertangungjawabkan,
sebaliknya meperlihatkan dengan jelas dampak samping yang merugikan dalam bentuk kerusakan
lingkungan dan penurunan produktifitas sistem pertanian.
Kegagalan revolusi hijau mempertahankan produktivitas padi di Indonesia tidak
berbeda dengan yang terjadi negara-negara maju dengan pola pertanian industri. Kegagalan itu
dengan tepat diungkapkan oleh para pakar lingkungan sebagai akibat dari terlalu meninitik
beratkan pada peningkatan produksi dan keuntungan ekonomi, dan dilanggarnya proses-proses
ekologi yang semestinya berjalan harmonis dan sendi-sendi sosial yang seharusnya terpelihara
dalam pengelolaan ekosistem pertanian. Dalam pengantar sebuah buku buku yang dikarang oleh
10 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
James E. Horne and Maura McDermott yang berjudul The Next Green Revolution: Essential
Steps to a Healthy, Sustainable Agriculture John E. Ikerd (2001) menguraikan: “A farm that fails
to protect and conserve the resources that support its productivity eventually loses its ability to
produce and, therefore, cannot remain profitable. A farm that fails to support the community and
society for and in which it exists fails in its fundamental purpose and thus will fail economically.
However, it should be pointed out that farms cannot be ecologically sound or socially responsible
unless they are also economically viable—all three facets are necessary and none alone is
sufficient. But the bottom line is that economists and farmers alike must come to realize that the
long-run economic viability of any farm rests upon its ecological and social foundation”.
Ungkapan tersebut juga berlaku di Indonesia, pertanian pangan harus ramah
lingkungan, tidak merusak sendi-sendi sosial masyarakat petani, dan memberikan keuntungan
bagi petani bila tidak ingin mengalami hal yang sama. Kegagalan sistem pertanian konvensional
pada gilirannya akan mengacaukan upaya swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Kondisi kecukupan pangan sebenarnya sudah dicita-citakan sejak lama, ketika Presiden
Pertama RI, Sukarno, berpidato pada upacara peletakan batu pertama pembangunan gedung
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (sekarang Kampus Baranangsiang, IPB), pada
tahun 1952 (Sukarno, 2012*). Isi pidato Presiden Sukarno, “masalah pangan adalah hidup atau
matinya bangsa Indonesia”, bahkan menggambarkan cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu
kedaulatan (kemandirian) pangan, sebuah pandangan yang semakin kita rasakan kebenarannya
sekarang. Pemimpin negara pada waktu itu jelas menyadari dan merasakan bahwa kekurangan
pangan akan menyebabkan negara tidak aman dan bisa jadi tidak berdaulat atau tergantung pada
negara lain. Pendirian Fakultas Pertanian yang pertama di Indonesia itu menunjukkan bahwa
pembangunan pertanian membutuhkan sumberdaya manusia yang kompeten dalam bidang
pertanian. Dalam pidatonya Presiden Sukarno menyebutkan bahwa kemajuan sektor pertanian
menjadi tanggung jawab pemuda yang akan menimba ilmu di perguruan tinggi pertanian. Jadi
jelas bahwa pembangunan pertanian membutuhkan peran nyata dari perguruan tinggi pertanian,
paling tidak dalam upaya menghasilkan suberdaya manusia yang dibutuhkan.
Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam mendukung Pembangunan Pertanian
Dimanapun di dunia ini peran perguruan tinggi pertanian dalam pembangunan pertanian
sangat sentral. Pembangunan pertanian di Indonesia diawali dengan pembangunan perguruan
tinggi pertanian, yaitu didirikannya Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tahun
1952. Perguruan tinggi pertanian didirikan dengan tujuan untuk menghasilkan sumberdaya
manusia (SDM) yang kompeten pada bidang pertanian. Peran perguruan tinggi pertanian sebagai
penghasil SDM pertanian berjalan sinkron dengan arah pembangunan pertanian, walaupun
dengan berbagai argumen banyak diperdebatkan bahwa lulusan perguruan tinggi pertanian tidak
siap pakai.
Keterlibatan Fakultas Pertanian (dipelopori IPB dan UGM) secara nyata sudah dimulai
sejak program swasembata pangan (beras) nasional dengan berbagai programnya (BIMAS,
INMAS, INSUS, Supra Insus) dikampanyekan pemerintah. Keterlibatan Fakultas Pertanian
meliputi aspek penelitian dalam rangka inovasi teknologi maupun dalam kegiatan deseminasi
teknologi (penyuluhan). Dalam pelaksanaan program nasional pada masa itu Departemen
Pertanian pada level nasional melibatkan kedua Perguruan Tinggi tersebut di atas, kemudian
disusul perguruan tinggi pertnaian lain, termasuk Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu baik
langsung maupun tidak langsung terlibat pada level daerah. Demikian juga, ketika program
perluasan lahan pertanian melalui program transmigrasi gencar dilakukan, perguruan tinggi
pertanian terlibat pada semua level, mulai dari perencanaan, evaluasi lahan sampai pada
pendampingan ketika transmigran ditempatkan. Melaui intensifikasi dan ekstensifikasi tersebut
program swasembada beras nasional pernah mengalami keberhasilan dan kegagalan. Dengan
demikian perguruan tinggi pertanian juga ikut andil dalam kesuksesan dan kegagalan program
tersebut.
Perubahan arah pembangunan pertanian menuju pertanian berkelanjutan yang gencar
dikampanyekan saat ini juga banyak mendapat masukan dari akadeisi Fakultas Pertanian yang
sebagian didasarkan pada hasil-hasil penelitian/kajian. Penelitian yang dilakukan di perguruan
11 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tinggi pertanian saat ini juga banyak diarahkan untuk inovasi teknologi yang ramah lingkungan
dan pengembangan varietas tanaman yang mampu beradaptasi terhadap kondisi cekaman
lingkungan, baik biotik maupun abiotik.
Meskipun masih ada sebagian kelompok masyarakat, terutama dari kalangan industri
pertanian yang mempertahankan pendapat bahwa pertanian konvensional yang akan mampu
mencukupi kebutuhan manusia yang semakin meningkat, kecenderungan yang bisa diamati
adalah, semakin banyak yang menyadari pentingnya pemahaman ekologi dalam proses produksi.
Kesadaran baru itu melahirkan kelompok masyarakat pro pertanian berkelanjutan yang dilandasi
pemahaman bahwa ekosistem pertanian tidak jauh berbeda dengan ekosistem alami dalam
kaitannya dengan komponen dan proses ekologi (perubahan energi dan pertukaran materi).
Pertanian berkelanjutan wujudnya bisa berupa praktek pengelolaan hama terpadu, pengelolaan
tanaman terpadu, sampai dengan pertanian organik, sistem pertanian dengan input eksternal
rendah (low external input agriculture, LEISA), dan pertanian biodinamik (pertanian zero waste).
Praktek pertanian berkelanjutan merupakan respon masyarakat akademik dan kelompok-
kelompok pemerhati lingkungan terhadap kerusakan lingkungan dan sumber daya alam (hayati)
sebagai dampak negatif dari sistem pertanian konvensional yang banyak tergantung pada
penggunaan input berenergi tinggi dari luar berupa pupuk dan pestisida kimia, serta penggunaan
mekanisasi pertanian.
Arah Pembangunan Pendidikan Tinggi Pertanian Menghadapi Tantangan Ke Depan
Tugas pendidikan tinggi pertanian adalah menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi:
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Karena karir dosen ditentukan lebih
banyak dari kinerja aspek pendidikan (proses belajar-mengajar) dan penelitian, maka dua dharma
tersebut menjadi porsi yang lebih banyak dikerjakan dosen. Dharma pendidikan, termasuk
membimbing mahasiswa penelitian, merupakan tugas dosen untuk menghasilkan lulusan. Dharma
penelitian merupakan tanggung jawab dosen untuk ikut melakukan mengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dharma pengabdian kepada masyarakat adalah tanggung
jawab dosen untuk ikut melakukan deseminasi iptek kepada masyarakat. Dharma penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat sebagai media belajar juga dilakukan oleh mahasiswa sebagai
kelengkapan dari beban kredit semester yang harus dipenuhi, yaitu dalam bentuk penyusunan
skripsi dan kuliah kerja nyata (KKN). Walaupun ada wacana mahasiswa S1 pertanian (termasuk
di FP UniB) bisa memilih program dengan atau tanpa skripsi, sampai saat ini belum ada rencana
untuk mengimplementasikannya. Pelaksanaan ketiga dharma tersebut seharusnya serasi dengan
program pembangunan pertanian.
Gambaran suram dari sistem pertanian konvensional ditambah dengan perubahan iklim
global (misalnya peningkatan suhu, pola cuaca yang kacau), terkurasnya sumber daya alam, erosi
sumber daya hayati dan plasma nutfah, krisis energi, kemiskinan, dan kekurang berdayaan petani
merupakan tantangan yang harus direspon pendidikan tinggi pertanian. Permasalahan pertanian
yang semakin kompleks memerlukan jalan pemecahan melalui penelitian lintas disiplin ilmu dan
proses belajar mengajar yang kontekstual pada perguruan tinggi pertanian. Menghadapi situasi
seperti ini, penelitian yang terlalu monodisiplin hanya relevan untuk mengembangan keilmuan,
atau paling tidak belum bisa digunakan untuk memecahan permaslahan yang kompleks.
Konsekuensinya kurikulum Fakultas Pertanian juga harus terus-menerus diperbaharui sesuai
dengan perkembangan dunia pertanian.
Pada 2-3 dekade terakhir advokasi lingkungan hidup yang semakin gencar dilakukan
oleh banyak akademisi perguruan tinggi, berbagai organisasi kemasyarakatan dan perorangan
pemerhati lingkunagan mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan meningkatkan
kesadaran untuk melakukan pembenahan. Dewasa ini konsep pembangunan berkelanjutan yang
tidak merusak menjadi tren yang dibahas pada berbagai forum diskusi ilmiah dan pustaka yang
dijadikan acuan pembelajaran di perguruan tinggi pertanian dan pada skala tertentu dipraktekkan
oleh berbagai kelompok tani binaan.
Dengan visi terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis
sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan
kesejahteraan petani, Kementerian Pertanian RI dengan Renstra 2010-2014 sebagai panduan
12 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kerja, mencanangkan program kemandirian pangan melalui peningkatan produksi 5 komoditi
pangan utama, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi yang akan diupayakan mencapai
swasembada, dan peningkatan produksi 34 komoditi unggulan lain (Kementerian Pertanian
2009). Dari misi dan tujuan tergambar dengan jelas bahwa pembangunan pertanian yang
dilakukan adalah pembangunan pertanian berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan
mengandalkan sumber daya lokal yang mampu menjamin ketahanan dan kemandirian pangan,
serta mensejahtarakan petani. Dengan demikian, pola pembangunan pertanian yang dilaksanakan
sejalan dengan pembangunan berkelanjutan untuk mempertahankan produktifitas dan mengurangi
kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Yang masih dirasakan
mengganjal adalah istilah pertanian industrial dari visi dan misi Kementerian Pertanian yang
belum jelas digambarkan dalam program pembangunan pertanian. Pertanian industrial di negara-
negara maju dijalankan sebagaimana industri, dalam skala lahan yang luas, menggunakan
mekanisasi pertanian, dan dengan sistem pertanian konvensional. Sistem pertanian industrial di
negara-negara maju, dituduh menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan secara luas. Bila yang
akan dijalakan di Indonesia juga seperti itu maka harus dikaji secara teliti terlebih dulu, termasuk
dampaknya terhadap kedaulatan mayoritas petani dengan penguasaan lahan yang rata-rata sempit.
Tujuan pembangunan pertanian Indonesia untuk meningkatkan kemandirian
(kedaulatan) pangan harus ditempuh tidak saja dengan meningkatkan produksi dan pruduktifitas,
akan tetapi juga memperbaiki lingkungan atau paling tidak tidak menambah kerusakan
lingkungan baik di dalam agroekosistem maupun di luarnya. Terobosan peningkatan produksi
pangan dari sumber beras rasanya tidak akan pernah terjadi sespektakuler ketika revolusi hijau
mencapai puncak kesuksesannya, meskipun masih dimungkinkan dengan teknologi rekayasa
genetika pertanian yang sangat menjanjikan. Altiery (2005), seorang penganjur pertanian
berkelanjutan yang sangat konsisten dan menetang penggunaan tanaman hasil rekayasa genetika
berpendapat bahwa sehebat apapun teknologi yang diaplikasikan tidak akan pernah menyamai
keberhasilan dari masa lalu.
Pro dan kontra terhadap teknologi rekayasa genetika dalam pertanian sudah
berkembang sejak awal dikampanyekan oleh perusahaan industri benih pertanian, tidak tahu
kapan terselesaikan. Teknologi rekayasa genetika menawarkan berbagai keuntungan berupa
produktifitas yang tinggi, perbaikan nilai nutrisi pangan, dan ketahanan terhadap cekaman biotik
dan abiotik. Sebaliknya, teknologi ini dituding akan menimbulkan dampak negatif yang
merugikan, seperti terjadinya gangguan kesehatan, kerusakan keanekaragaman hayati, adaptasi
hama dan penyakit tanaman, dan ketergantungan petani pada perusahaan benih multinasional
(hilangnya kedaulatan petani). Oleh sebab itu pemanfaatan teknologi rekayasa genetika, terutama
untuk tanaman pangan, harus hati-hati dan dilakukan setelah melalui kajian yang komperehensif.
Pemerintah juga harus membuat regulasi agar tidak mematikan benih lokal jenis-jenis tanaman
pangan.
Bagi Indonesia, upaya untuk mencukupi kebutuhan pangan yang semakin meningkat
lebih realistis bila dibarengi dengan penganekaragaman pangan untuk menurunkan konsumsi
beras. Mengubah pola konsumsi masyarakat yang sudah terlalu lama terbiasa dengan beras
tidaklah sederhana, akan tetapi bukan tidak mungkin. Menurut (Kusharto dan Hardiansyah,
2012), beras memang mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ubi-ubian, yaitu
kandungan protein, vitamin, dan mineral yang lebih tinggi. Untuk menjaga keseimbangan nilai
gizi masyarakat yang bisa diukur dengan pola pangan harapan (PPH), harus diimbangi dengan
tambahan konsumsi makanan berprotein, bervitamin dan bermineral dari sumber makanan yang
lain, misalnya daging/ikan, sayur dan buah, pilihan yang akan berat diakdopsi oleh masyarakat
berpenghasilan rendah, tetapi tidak menjadi masalah bagi masyarakat menengah ke atas. Agar
lebih mudah dmasyarakatkan, sumber-sumber karbohidrat non beras perlu diolah menjadi bahan
yang lebih menarik. Pada rantai sistem pengolahan ini perguruan tinggi pertanian (teknologi
pangan) bisa berperan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk menciptakan
teknologi pangan dan pakan berbasis bahan lokal yang murah dan memenuhi standar keamanan
yang bisa dimanfaatkan oleh unit-unit pengolahan skala usaha kecil menegah (UKM) untuk
melayani kebutuhan domestik dan eksport.
Sejalan dengan pembangunan pertanian berkelanjutan, pengembangan kurikulum
pendidikan tinggi pertanian, tidak terkecuali pada Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu juga
13 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dalam mewujudkan sistem pertanian yang
ramah lingkungan berbasis sumber daya lokal. Kurikulum yang dibangun pada perguruan tinggi
pertanian saat ini sudah merespon berbagai isu penting seperti kerusakan lingkungan, krisis
energi, erosi keanekaragaman hayati, perubahan iklim global dan pembangunan berkelanjutan.
Arah pembangunan pendidikan tinggi adalah pendidikan sepanjang hayat. Pada saat ini
pendidikan tinggi pertanian menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Berdasarkan
KBK, proses, luaran dan hasil ikutan (outcome) menjadi sangat penting. Proses pembelajaran,
penelitian, dan pengelolaan menjadi vital. KBK dikembangkan karena tuntutan yang
menghendaki kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Kurikulum KBK yang
menitik beratkan pada kompetensi lulusan mengarahkan lulusan harus cerdas ilmu dan dapat
menerapkan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat, sekaligus mampu memenuhi persayaratan
khusus dunia kerja yang membutuhkan softskills. Oleh karena itu pola pembelajaran diarahkan
untuk membekali sekaligus hard skills dan soft skills.
Implementasi KBK bervarisi tingkat kedalamannya antar perguruan tinggi pertanian di
Indonesia, sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia (staf akademik dan tenaga
kependidikan), ketersediaan sarana dan prasarana di dalam kampus maupun di lingkungannya,
serta kualitas menejemen; akan tetapi seharusnya semua mengarah ke proses belajar mengajar
(PBM) yang bergeser dari sebelumnya teacher centered learning menjadi student centered
learning dan dari sebelumnya lebih mementingkan isi, menjadi lebih mementingkan kemampuan
yang harus dimiliki lulusan. Fungsi dosen bergeser dari sebelumnya memberikan materi ajar,
menjadi lebih ke fasilitator.
Perkembangan terbaru yang teejadi pada hampir semua Falkultas Pertanian di Indonesia
adalah dileburnya Program Studi Agronomi, Ilmu Tanah, dan Ilmu Hama Penyakit Tanaman
(Proteksi Tanaman) menjadi satu program studi saja, yaitu Program Studi
Agroekoteknologi/Agroekologi dan Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian dan Program Studi
Agribisnis menjadi Program Studi Agribisnis saja. Perubahan itu terjadi setelah melalui
pembahasan yang cukup melelahkan dalam beberapa kali pertemuan Forum Komunikasi
Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI). Penggabungan program studi tersebut
didasarkan pada pendapat bahwa sinyal pasar kerja menghendaki lulusan pendidikan tinggi
pertanian dengan kompetensi gneralis, sedangkan kurikulum program studi lama menghasilkan
kompetensi khusus (spesialis). Penggabungan program studi pada Fakultas Pertanian juga
dilakukan sebagai respon terhadap penurunan minat lulusan SMA memasuki Fakultas Pertanian.
Hasil yang menggemberikan terlihat dengan meningkatnya jumlah mahasiswa baru pada Fakultas
Pertanian di banyak universitas, meskipun persentase peningkatannya sangat bervariasi. Apakah
penggabungan program studi teesebut akan mampu memenuhi permintaan pasar yang
menghendaki kompetensi yang luas, masih harus ditunggu.
Peran Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dalam Pembangunan Pertanian di Propinsi
Bengkulu
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu termasuk salah satu yang unik karena
membawahi berbagai program studi yang tidak serumpun (sehingga mirip institut). FP UniB
membawahi 6 program studi S-1: Agroekoteknologi, Agribisnis, Peternakan, Kehutanan,
Teknologi Pertanian, dan Kelautan. Program studi lama yang sudah tergabung ke dalam PS
Agroekoteknologi masih tidak menerima mahasiswa baru sejak tahun 2008. Pemberlakuan
kurikulum pada dua program studi baru hasil merger tersebut sudah berjalan 5 tahun dan sudah
mulai menghasilkan lulusan. PS Kelautan merupakan PS baru yang untuk sementara bernaung di
bawah Jurusan Peternakan. Kondisi sekarang sangat dinamis. Mayoritas program studi yang
lama, terutama Ilmu Tanah dan Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan/tanaman (Proteksi Tanaman)
dari berbagai Fakultas Pertanian melalui organisasi profesi keilmuan (HITI, PFI, dan PEI)
menghendaki untuk menerima mahasiwa lagi, dan bahkan beberapa sudah melakukan. Alasan
utama untuk menerima mahasiwa lagi terutama adalah pembinaan keilmuan yang dirasakan akan
melemah untuk bidang ilmu bersangkutan bila program studinya ditutup. Dikawatirkan lulusan
PS Agroekoteknologi akan kesulitan melanjutkan pendidikan ke S-2 dan S-3 bidang ilmu tanah
dan ilmu hama penyakit tanaman, sehingga akan lebih memilih bidang ilmu yang lain. Bila hal itu
14 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
terjadi, Indonesia suatu saat akan mengalami kelangkaan pakar Ilmu Tanah dan Ilmu Hama
Penyakit Tumbuhan (Entomologi dan Fitopatologi). Alasan yang lain adalah masih ada lapangan
kerja yang masih sangat membutuhkan lulusan perguruan tinggi dengan kompetensi spesifik
seperti llmu Tanah dan Proteksi Tanaman.
Dengan beranekaragamnya bidang ilmu di bawah Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu saat ini justru memberikan kesempatan yang luas untuk ikut andil dan berperan dalam
pembangunan daerah. Staf akademik dan mahasiswa Fakultas Pertanian terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui kerjasama dengan Pemda kabupaten/kota dan Propinsi
atau melalui permintaan tenaga ahli dan nara sumber pada berbagai kegiatan pembangunan
pertanian dalam arti luas (bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan, pengolahan hasil pertanian dan kehutanan).
Untuk menjawab tantangan ke depan yang semakin kompleks, Program Studi
Agroekoteknologi mengembangkan kurikulum untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
berbagai kompetensi untuk menjawab kebutuhan pasar kerja atau menciptakan lapangan kerja
(berwirausaha). Secara rinci PS Agroekoteknologi merumuskan kompetensi lulusan ke dalam
kompetensi utama, kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya (PS Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, 2012).
Kompetensi utama dipilah menjadi 5 profil lulusan sebagai berikut:
1. Sebagai pelaku dibidang pertanian: mampu menerapkan IPTEKS dibidang budidaya
tanaman berdasarkan prinsip pertanian tropika berkelanjutan, baik secara modern maupun
yang mengangkat kearifan lokal.
2. Sebagai manager: mampu merencanakan dan merancang sistem produksi tanaman tropika
berkelanjutan secara efektif dan produktif.
3. Sebagai pengusaha: mampu berinovasi dalam menerapkan IPTEKS dibidang budidaya
pertanian tropika berkelanjutan ke dalam praktek bisnis.
4. Sebagai peneliti: mampu mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan masalah secara
tepat mengenai sistem budidaya pertanian tropika berkelanjutan.
5. Sebagai pendidik (fasilitator, motivator dan mediator): mampu berfikir analitis dan
sistematis dengan memperhitungkan dampak penyelesaian masalah terhadap lingkungan dan
kehidupan bermasyarakat.
Kompetensi pendukung dipilah menjadi 5 profil lulusan sebagai berikut:
1. Sebagai pelaku dibidang pertanian: berani memulai, melaksanakan dan mengembangkan
usaha inovatif bidang produksi tanaman pertanian tropika berkelanjutan
2. Sebagai manager: mampu melaksanakan perencanaan sistem produksi tanaman secara tepat,
efisien dan produktif sesuai dengan kaidah pertanian berkelanjutan
3. Sebagai pengusaha: mampu menjalin kerjasama (bernegosiasi dan berkomunikasi) secara
efektif dan produktif
4. Sebagai peneliti: mampu merancang dan melaksanakan penelitian serta menginterpretasikan
data secara cermat dan akurat
5. Sebagai pendidik (fasilitator, motivator dan mediator): mampu sebagai fasilitator, motivator
dan mediator secara efektif dan produktif
Kompetensi lainnya lulusan Program Studi Agroekoteknologi juga dikelompokkan ke dalam 5
profil profesi lulusan yakni:
1. Sebagai pelaku dibidang pertanian: mampu mensinergikan potensi sumberdaya yang ada
untuk kegiatan produksi yang produktif, inovatif dan berkelanjutan
2. Sebagai manager: mampu mengaktualisasikan potensi diri untuk bekerjasama dalam tim
yang multidisiplin ilmu dan karakter
3. Sebagai pengusaha: mampu menerapkan etika bisnis pertanian yang berwawasan lingkungan
4. Sebagai peneliti: mampu merekomendasikan penyelesaian masalah secara tepat dalam
sistem budidaya pertanian tropika berkelanjutan
5. Sebagai pendidik (fasilitator, motivator dan mediator): mampu dan mau belajar sepanjang
hayat
15 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Peran Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu juga diwujudkan melalui kegiatan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian dosen Fakultas Pertanian sebagian besar
didanai APBN, baik melalui Dipa UniB maupun langsung dari Direkturat Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) dan Badan Litbang Pertanian. Penelitian kerjasama juga dilakukan dengan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI dan Badan Tenaga Aton Nasional (BATAN).
Penelitian-penelitian selama tiga tahun terakhir dikelompokkan berdasarkan bidang ilmu
mengalami penurunan yang cukup signifikan (Gambar 1), terutama sebagai akibat dari
berkurangnya alokasi dana penelitian dari Pemerintah Pusat (APBN), pada tiga tahun terakhir.
Kegiatan penelitian kerjasama kedepan masih perlu ditingkatkan dengan memperbanyak
networking dengan berbagai instasi daerah dan pusat, dan luar negeri.
Penelitian yang dibiayai dari sumber dana universitas dan fakultas masih sedikit dan
hanya diperuntukkan bagi dosen muda (peneliti pemula). Topik penelitian penelitian selalu
mengarah pada pertanian berkelanjutan, konservasi, pemanfaatan sumberdaya lokal , dan
pemuliaan tanaman. Beberapa penelitian sudah menghasilkan teknologi yang bisa diaplikasikan.
Beberapa penelitian pemuliaan tanaman sudah menghasilkan galur harapan untuk tanaman
jagung, kedelai dan cabe keriting yang sudah mendapatkan sertifikat varietas dari Kementerian
Pertanian. Khusus untuk jagung, saat sekarang sudah dalam proses pelepasan varietas/hibrida.
Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan dosen dengan dana dari sumber dari
DIKTI dan institusi sendiri sebagian besar merupakan upaya deseminasi hasil penelitian/kajian
atau pengembangan. Sekedar memberikan gambaran, dapat disebut beberapa contoh berkaitan
dengan pertanian organik, pembuatan pupuk organik, budidaya jamur, pengembangan benih
jagung, konservasi lahan dll.
0
5
10
15
20
25
2009 2010 2011 2012
Jum
la jud
ul
Tahun
Agronomi
IHPT
I Tanah
Peternakan
TIP
Kehutanan
Sosek/Agribisnis
Gambar 1. Jumlah judul penelitian Fakultas Pertanian, tidak termasuk sumber dana
Universitas, Fakultas dan kerjasama dengan pihak lain.
SIMPULAN
Perguruan tinggi pertanian berperan telah aktif mendukung pembangunan pertanian
sejak awal ketika masih mengandalkan sistem pertanian konvensional sampai sekarang yang
mengarah pada sistem pertanikan berkelanjutan. Peran itu diwujudkan melalui fungsi tridharma
perguruan tinggi yang secara konsisten prakteknya selalu menyesuaikan diri dengan
perkembangan pembangunan dan kecenderungan yang terjadi akibat pembangunan pertanian.
Isu-isu kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam serta menurunnya produktifitas pertanian
telah direspon perguruan tinggi pertanian dan dijadikan masukan untuk pengembangan kurikulum
dan program penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Altieri, M. 2005. The myth of coexistence: Why transgenic crops are not compatible with
agroecologically based systems of production. Bulletin of Science, Technology, & Society,
25, 361–371.
16 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Ikerd, J.E. 2009. Foreword. pp: ix-xvi. In: J.E. Horne and M. McDermott, The Next Green
Revolution: Essential Steps to a Healthy, Sustainable Agriculture. The Haworth Press, Inc.
NY.
Kementerian Pertanian 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
Kosharto, C.M. and Hardiansyah. 2012. Ketahanan dan kemandirian pangan. Hal: 46-73. Dalam:
R. Poerwanto, I.Z. Siregar, dan A. Suryani (eds.). Merevolusi Revolusi Hijau: Pemikiran
Guru Besar IPB (Buku III). IPB Perss.
Norgaard, R. B. and Baer, P. 2005. Collectively seeing complex systems: the nature of the
problem. Bioscience, 55, 953–960.
PS Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, 2012. Borang Akreditasi PS
Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Sukarno, 2012. Soal hidup atau mati. Pidato Presiden Republik Indonesia Pertama Sukarno pada
pelatakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas indonesia pada tanggal 27
April 1952. Hal: 1-18 dalam A. Fariyanti, A. Rifin, S. Jahroh, dan B Krisnamurti. (eds.)
Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau mati 60 Tahun Kemudian: Refleksi Pidato Bung Karno
pada Peletakan Batu Pertama Kampus IPB Baranangsiang. Departeman Agribisnis FEM-
IPB.
17 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
IMPLEMENTASI SUMBER DAYA GENETIK
(SDG) DI PROVINSI BENGKULU
Alnopri
Wakil ketua KOMDA SDG Provinsi Bengkulu
Guru Besar Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Unib
PENDAHULUAN
Peranan sumberdaya genetik (SDG) merupakan landasan hayati yang langsung atau
tidak langsung menopang kesejahteraan setiap manusia di muka bumi ini, mencakup
keanekaragaman bahan genetik yang terdapat dalam tanaman varietas tradisional maupun varietas
unggul yang ditanam petani serta kerabat liar tanaman budidaya dan spesies tanaman liar yang
dapat digunakan untuk pangan, pakan, serat, pakaian, bangunan, energi dan sebagainya. SDG
tersebut merupakan tetua yang dapat digunakan untuk merakit varietas unggul baru
melalui kegiatan pemuliaan tanaman atau melalu i pemanfaatan bioteknologi yang
langsung digunakan oleh petani atau pemulia, merupakan simpanan adaptabilitas genetik yang
dapat digunakan untuk menanggulangi perubahan iklim dan lingkungan yang berbahaya serta
perubahan ekonomi. Dengan demikian pelestarian dan pemanfaatan SDG secara berkelanjutan
sebagai perlindungan terhadap perubahan yang tidak diharapkan di masa depan perlu dilakukan. Saat
ini tingkat pertambahan penduduk 3,7% per tahun, bisa diperkirakan berapa jumlah penduduk
Indonesia 50 tahun mendatang. Untuk itu diperlukan perbaikan varietas yang terpercaya dan
dapat meningkatkan hasil secara berkelanjutan guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk
yang terus bertambah. Pelestarian dan pemanfaatan SDG secara berkelanjutan merupakan kunci
perbaikan dalam menghadapi perubahan iklim, untuk meningkatkan produktivitas dan
keberlanjutan pertanian, yang pada gilirannya akan mendukung pembangunan nasional,
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.
Menyadari akan pentingnya SDG, maka komponen dari sistem pelestarian dan pemanfaatan
yang harus direncanakan dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan tetap mengacu pada Rancang
Tindak Global seperti dibahas dalam lokakarya pada tanggal 30 November 2011 di Medan.
PENGERTIAN SUMBER DAYA GENETIK (SDG)
• SDG merupakan landasan hayati yang langsung atau tidak langsung menopang kesejahteraan
manusia di muka bumi
• SDG mencakup keanekaragaman bahan genetik hewan dan tanaman yang terdapat dalam
varietas tradisional maupun varietas unggul yang ditanam petani serta kerabat liar tanaman
/hewan budidaya dan spesies tanaman/hewan liar yang dapat digunakan sebagai pangan,
pakan, serat, pakaian, bangunan, energi dan pemenuhan estetika
• SDG merupakan tetua yang digunakan untuk merakit varietas unggul atau klon baru melalui
kegiatan pemuliaan tanaman/hewan /pohon atau bioteknologi
• SDG yang langsung digunakan oleh petani dan pemulia merupakan simpanan adaptabilitas
genetik yang dapat digunakan untuk menanggulangi perubahan iklim dan lingkungan yang
berbahaya serta perubahan ekonomi
• Pelaku kegiatan SDG berhimpun dalam Komisi Nasional Sumber Daya Genetik (KOMNAS
SDG) dan pada tingkat provinsi berhimpun dalam Komisi Daerah Sumber daya genetic
(KOMDA SDG).
SDG PROVINSI BENGKULU
• Provinsi Bengkulu terletak di sebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayah
mencapai lebih kurang 1.978.870 hektar, memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat
sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer.
18 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
• Provinsi Bengkulu berdasarkan topografi terdiri dari tiga jalur, yaitu: Jalur pertama, terletak
pada ketinggian 0-100 meter di atas permukaan laut (dpl.) dan diklasifikasikan sebagai daerah
low land. Jalur kedua, terletak pada ketinggian 100-1000 meter dpl. Daerah ini merupakan
lereng Pegunungan Bukit Barisan dan terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range. Jalur ketiga,
terletak pada ketinggian lebih dari 1000 meter dpl. Daerah tersebut umumnya merupakan
daerah kegiatan vulkanis dan tektonis.
• Hutan tropis Provinsi Bengkulu memiliki sumber kekayaan flora dan fauna cukup bnyak dan
unik. Kekayaan flora antara lain bunga Raflesia Arnoldi, bunga anggrek vanda, bunga
bangkai, dan kayu merbau. Kekayaan fauna meliputi harimau sumatera, siamang, tapir, kerbau
liar, rusa, serta penangkaran gajah sumatera.
• Fenomena Lingkungan dan Sumber daya Hayati provinsi Bengkulu tersebut memberikan
indikasi bahwa provinsi Bengkulu kaya akan sumber daya genetic.
• Pemanfaatan SDG adalah pada aktivitas pemuliaan (didominasi oleh pemulia tanaman).
Pemulia yang bergelut dengan SDG terdapat pada universitas, BPTP dan instansi terkait.
• Pemanfaatan sumber daya genetic hewani dan tanaman belum dilaksanakan secara maksimal.
Akan tetapi SDG tersebut sudah banyak yang punah. Contoh pada tanaman padi dan manggis
serta fenomena SDG pulau Enggano yang perlu dilestarikaan.
• Perlu aktivitas pelestarian SDG Provinsi Bengkulu
PELESTARIAN IN SITU SDG
• Survei dan inventarisasi SDG. Kegiatan dilaksanakan untuk mendata SDG yang ada dan
mencatat jenis, lokasi dan manajemen pelestarian untuk mencegah kepunahan.
• Pengelolaan dan Perbaikan SDG spesifik wilayah. Provinsi Bengkulu mempunyai SDG yang
mempunyai keunikan lokal yang tidak dimiliki oleh daerah lain, seperti pisang curup, mangga
Bengkulu, kopi robusta dan diarahkan untuk mendapatkan HaKI dalam bentuk Indikasi
Geografi.
• Membantu petani terhadap bencana alam. Daerah Bengkulu merupakan daerah rawan bencana
terutama gempa bumi dan banjir. SDG yang langsung dimanfaatkan oleh petani harus
dilestarikan dengan baik.
• Mempromosikan pelestarian in situ SDG dan kerabat liarnya. Kegiatan sosialisasi tentang
pentingnya SDG dilakukan sehingga pelestarian SDG dan kerabat liarnya akan tidak
terganggu.
PELESTARIAN EX SITU SDG
1. Melestarikan koleksi ex situ. Koleksi SDG secara ex situ dilaksanakan dalam bentuk Bank
gen benih , Penyimpanan In vitro, Bank gen lapang, dan Kebun raya
2. Meregenerasikan aksesi ex situ yang terancam
IMPLEMENTASI SDG DI PROVINSI BENGKULU
Aktivitas Peneliti SDG Provinsi Bengkulu
1. Tanaman Pangan
Inventarisasi dan karakteristik padi lokal di provinsi Bengkulu (Alnopri, dkk. 1996).
Kegiatan dilakukan untuk inventarisasi dan karakterisasi padi local provinsi Bengkulu yng
dilakukan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas skripisi. Hasilnya diketemukan 23 jenis
padi local dengan karakteristik unggul, yakni aroma harum (Krawang Buih). Manajamen
koleksi dalam bentuk bank gen benih kurang baik, sehingga SDG padi-padi tersebut hilang.
19 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
2. Tanaman Hortikultura
a. Inventarisasi dan Karakteristik Manggis Bengkulu (Alnopri, dkk. 2003). Kegiatan
dilakukan pada daerah sentra manggis Provinsi Bengkulu. Hasilnya menunjukkan suatu
fenomena menarik, yakni diketemukan manggis bercirikan spesifik Bengkulu. Manggis
tersebut mempunyai keunikan, yakni dalam satu tangkai terdapat 4 buah manggis.
Pelestarian dilaksanakan secara in situ di pekarangan rumah penduduk, akan tetapi pohon
manggis tersbut punah seiring dengan perluasan rumah pemilik pohon.
b. Fenomena Pisang Curup (Muktasar, 2005). Pisang Curup merupakan jenis pisang ambon
mempunyai keunikan spesifik wilayah, yakni mempunyai penampilan bersegi tidak bulat,
rasa manis dan kering. Apabila ditanam pada daerah di luar Curup akan berubah menjadi
agak asam dan basah.
c. Inventarisasi dan karakteristik angrek lokal Bengkulu (Dwi Wahyuni Ganefianti, 2010).
Koleksi angrek lokal Bengkulu dilakukan dalam bentuk ex situ, yakni pada rumah kawat
Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Unib.
3. Tanaman Perkebunan
Delapan aksesi kopi robusta kabupaten Kepahiang (Ris Irianto, 2012). Kabupaten
Kepahiang merupakan produsen utama kopi Robusta di Provinsi Bengkulu. Upaya
peningkatan produksi dilakukan dengan teknologi grafting atau sambung (pekebun
menggunakan istilah stek). Fenomena menarik adalah kopi sambung (grafting) dapat
berproduksi sepanjang tahun, padahal tanaman kopi robusta merupakan tanaman tahunan
(perennial crop). Saat ini sedang dilakukan karaterisasi kopi-kopi robusta Kepahiang.
Komisi Daerah SDG Bengkulu
KOMDA SDG Provinsi Bengkulu terbentuk berkat inisiasi Balai Pengkajian teknologi
Pertanian (BPTP) Bengkulu, yang dilaksanakan pada tanggal 21 Desember 2010 di Hotel Raffles
City Bengkulu. Hasil pertemuan tersebut adalah membentuk Komisariat Daerah (KOMDA) SDG
Bengkulu dan terpilih 7 orang Formatur dengan tugas menyusun struktur organisasi KOMDA
SDG Bengkulu.
Pada hari Selasa tanggal 28 Desember 2010, tim formatur rapat di Ruang pertemuan
BPTP Bengkulu dan berhasil menyusun kepengurusan KOMDA SDG Bengkulu. Kepengurusan
SDG Bengkulu diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor
W.21.XXVII. tahun 2011 tentang Pembentukan Komisi Daerah Sumber Daya Genetik Provinsi
Bengkulu, tanggal 19 Januari 2011. KOMDA SDG Bengkulu dikukuhkan oleh KOMNAS SDG
pada hari Rabu tanggal 30 November 2011 di kota Bogor.
KOMDA SDG Bengkulu secara eks officio diketuai oleh Kepala Badan Lingkungan
Hidup Provinsi Bengkulu, dengan sekretaris Kepala BPTP Bengkulu. Sampai dengan saat ini
kesekretariatan Komda SDG Bengkulu belum ada, sehingga aktivitas dilaksanakan di kantor
BPTP. Aktivitas KOMDA SDG Bengkulu belum berjalan secara optimal.
KOMNAS SDG sangat menaruh perhatian terhadap Komda SDG Bengkulu, salah satu
perhatian tersebut adalah menunjuk KOMDA SDG Bengkulu sebagai pembicara utama pada
Seminar dan Kongres Nasional KOMNAS SDG, Kamis 13 Desember 2012 di Medan.
PENUTUP
1. Sumber daya genetik (SDG) provinsi Bengkulu perlu dimanfaatkan secara optimal, terutama
berkaitan dengan SDG Hewan.
2. SDG provinsi Bengkulu yang mempunyai keunikan lokal dan spesifik wilayah perlu dikaji
secara lengkap dan digiring untuk memperoleh HakI dalam bentuk Indikasi Geografi
3. Pelestarian SDG lokal dan spesifik provinsi Bengkulu segera dilakukan dengan baik dengan
cara koleksi in situ dan ex situ.
4. Penguatan KOMDA SDG Bengkulu perlu dilakukan baik dalam bentuk manajemen maupun
pendanaan.
TANAMAN PANGAN
23 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KERAGAAN VARIETAS PADI RAWA ADAPTIF
PADA LAHAN RAWA LEBAK DI PROVINSI BENGKULU
Nurmegawati dan Wahyu Wibawa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Lahan rawa lebak di Provinsi Bengkulu memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung
swasembada beras, namun mempunyai kendala dan hambatan yang harus diatasi. Salah satunya diperlukan paket
teknologi dan varietas padi yang adaptif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan varietas padi rawa yang
adaptif pada lahan rawa lebak, yang dilaksanakan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa Dusun Baru
Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan petak terbagi dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan pemberian fungsida dan zpt yang terdiri atas
yaitu: 1) tanpa pemberian fungisida dan zpt dan 2) pemberian fungsida dan zpt sesuai dengan dosis. Anak petak adalah
5 varietas padi yang terdiri dari atas 4 VUB padi rawa ( Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas) serta 1 varietas
pembanding (Cigeulis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi tanaman varietas Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan,
Kapuas dan Cigeulis berturut-turut adalah 79,60 cm, 77,28 cm, 75,37 cm, 85,32 cm dan 75,17 cm, berbeda tidak nyata
pada inpara, banyuasin, sei lalan dan cigelis tetapi berbeda nyata terhadap varietas Kapuas. Umur tanaman berbunga
varietas Inpara 2 61,67 hari, varietas Banyuasin 67,50 hari, varietas Sei lalan 63,33 hari, varietas Kapuas 53,33 hari
dan varietas Cigelis 60,83 hari. Umur panen varietas Inpara 2 88,00 hari, varietas Banyuasin 90,00 hari, varietas Sei
lalan 91,50 hari, varietas Kapuas 88,83 hari dan varietas Cigeulis 89,33 hari. Hasil gabah kelima varietas tersebut
berturut-turut adalah 2,82 t/ha GKP, 2,76 t/ha GKP, 2,32 t/ha GKP, 1,98 t/ha GKP dan 1,54 t/ha GKP. Pemberian
fungsida dan zpt tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga, umur panen dan hasil
gabahnya.
Kata kunci: varietas, padi rawa, adaptif, rawa lebak, Bengkulu
PENDAHULUAN
Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan sistem
perairan (Subagyo, 1997) yang merupakan lahan sub optimal yang sangat potensi dalam
mendukung kelestarian swasembada beras. Luas lahan rawa di Provinsi Bengkulu cukup luas
(12.411 ha) yang terdiri dari rawa lebak mencapai 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar
802 ha, yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah
(BPS Provinsi Bengkulu, 2010)
Jika dilihat dari luasannya maka lahan rawa lebak di Provinsi Bengkulu memiliki
potensi yang sangat besar dalam mendukung swasembada beras khususnya untuk provinsi ini.
Namun rawa lebak mempunyai kendala dan hambatan yang harus diatasi. Umumnya lahan ini
mempunyai rejim air yang fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan
lahan rawa lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan
perikanan dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang
sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal.
Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan lebak adalah tanah mineral dan
gambut.Kedua jenis tanah tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Pada lokasi penelitian
termasuk lahan rawa lebak bergambut. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah
gambut, yaitu tanah yang terbentuk dari bahan organik atau sisa-sisa pepohonan, yang dapat
berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 12-18% atau bahan tidak
jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 20%. Berdasarkan ketebalannya, lahan
gambut yang dijumpai di lahan lebak bisa berupa lahan bergambut, gambut dangkal, gambut
sedang, dan gambut dalam. Lahan gambut biasanya memiliki tingkat kemasaman yang tinggi
karena adanya asam-asam organik, mengandung zat beracun H2S, ketersediaan unsur hara makro
dan mikro terutama P, K, Zn, Cu dan Bo yang rendah, serta daya sangga tanah yang rendah.
Lahan gambut dengan karakteristik tanah yang demikian memerlukan teknologi pengelolaan dan
pemilihan jenis tanaman atau varietas tertentu agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan
memberikan hasil yang memadai.
24 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Karena keterbatasan pengetahuan petani akan varietas yang cocok ditanam di lahan
rawa, menyebabkan petani menggunakan varietas-varietas lokal bahkan ada yang menggunakan
varietas yang diperuntukan untuk lahan sawah irigasi seperti Cigeulis. Oleh karena itu dalam
pengelolaan lahan rawa diperlukan paket teknologi dan varietas padi yang adaptif pada lahan
rawa lebak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat keragaan varietas padi rawa yang
adaptif pada lahan rawa lebak.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa Dusun Baru
Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan
pemberian fungisida yang terdiri atas yaitu: 1) tanpa pemberian fungisida dan 2) pemberian
fungisida sesuai dengan dosis. Anak petak adalah 5 varietas padi yang terdiri dari atas 4 VUB
padi rawa ( Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas) serta 1 varietas pembanding (Cigeulis).
Dalam setiap unit penelitian terdiri dari 30 plot.
Penyemaian dilakukan di lahan petani pada tanggal 19 Mei 2012 untuk 5 varietas
masing-masing seberat 2 kg. Sebelum benih disemai dilakukan perlakuan benih dengan memberi
karbofuran sebanyak 1 kg. Pengolahan lahan dilakukan secara manual yaitu dengan cara
penebasan gulma dan pencangkulan tanah, selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan herbisida
untuk membunuh biji-biji gulma yang tersisa. Penanaman padi dilakukan dengan sistem tanam
legowo 2 : 1, dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm. Umur bibit yang digunakan yaitu 20
hari setelah semai (hss) dengan jumlah bibit per lubang sebanyak 3 batang.
Pemberian pupuk dengan dosis 200 kg urea/ha, 100 kg SP-36 kg/ha, 100 kg KCl/ha.
Perhitungan pemberian pupuk disesuaikan dengan luas dari masing-masing plot. Jumlah pupuk
yang diberikan tiap plot diperoleh dari luas plot dibagi luas lahan satu ha dikali dosis pupuk per
ha. Pemberian pupuk urea rencananya dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada umur tanaman 7 hst,
21 hst dan 45 hst sedangkan pemupukan SP-36 dan KCl diberikan pada pemupukan pertama saja.
Fungisida yang digunakan mengandung bahan aktif difenokonazol, dosis pemberian fungisida
200-400 ml/ha yang dilakukan pada saat padi bunting (45 hst).
Pengajiran tanaman dilakukan pada setiap plot dimana pada masing-masing plot diberi
ajir untuk 5 sampel tanaman, untuk pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan. Untuk
pelaksanaan budidaya/pemeliharaan padi mengacu pada PTT padi rawa (Badan Litbang
Pertanian, 2007). Keragaan tanaman dievaluasi berdasarkan peubah-peubah: Tinggi tanaman,
Umur tanaman berbunga 50 % (hari), Umur tanaman panen (hari) dan hasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Tanah
Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian rawa lebak termasuk
lempung; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi; kandungan
N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah; kandungan
Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd tergolong tinggi; Na-dd tergolong rendah; Al3+
tergolong
sangat rendah; dan KTK tergolong rendah; sedangkan kandungan Fe tergolong tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis contoh tanah rawa lebak yang dilaksanakan MK 2012.
No Sifat Kimia dan Fisika Nilai
1
2
3
4
5
6
7
Tekstur
pH (H2O)
C-organik (%)
N-total (%)
P-Bray.I (ppm)
K-dd (me/100g)
Ca-dd (me/100g)
lempung
4,78
6,91
0,32
8,04
0,02
0,20
25 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
8
9
10
11
12
13
Mg-dd (me/100g)
Na-dd (me/100g)
KTK (me/100g)
Al (me/100g)
Fe (%)
KA (%)
4,95
0,10
0,10
0,09
0,85
4,00
Keterangan: Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu 2012.
Pada lahan pengkajian ini termasuk lahan rawa lebak bergambut dengan kandungan C-
orgnik tergolong sangat tinggi dan kandungan N tergolong sedang sehingga C/N masih sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukannya masih sangat rendah. Kandungan Fe
tergolong sangat tinggi akan mempengaruhi tingkat keasaman tanah. Kandungan basa-basa
tergolong rendah akan mempengaruhi serapan Fe. Menurut Tan (2007) tingginya kadar Fe salah
satu penyebab terjadinya kemasaman tanah. Basa-basa tukar (Ca, Mg, Na dan K) yang berfungsi
untuk menetralisir keasaman tanah ketersediaannya pada tanah yang digunakan sangat rendah
akibatnya Fe dan Mn akan mudah terserap oleh tanaman dan pada kosentrasi tertentu berpotensi
terjadi keracunan. Menurut Yoshida (1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah
adalah 300 ppm. Besi yang berlebihan dapat membentuk lapisan oksida ferri pada permukaan
akar, sehingga akan memperlambat penyerapan hara lainnya oleh tanaman. Dalam jangka
panjang, kalau lahan tidak dikelola dengan baik akan selalu berpotensi menjadi lahan yang
masam dan miskin terhadap unsur hara tertentu.
Komponen Hasil dan Hasil
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan varietas menunjukkan berbeda
nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50 %, umur tanaman panen dan hasil
(Tabel 2). Tinggi tanaman varietas Kapuas menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding
keempat varietas lainnya. Tinggi tanaman varietas kapuas hanya 85,33 cm merupakan yang
tertinggi dibanding varietas lainnya. Tinggi tanaman varietas Cigeulis sebagai kontrol hampir
sama dengan varietas Sei lalan. Jika dilihat dari deskripsinya maka tinggi tanaman kelima
varietas tersebut lebih rendah dibanding pada deskripsinya. Hal ini diduga karena kondisi kering
yang dialami pertanaman. Dari Deskripsi varietas (Suprihatno,. Dkk, 2010) menyatakan bahwa
tinggi tanaman. Inpara 2 103 cm, tinggi tanaman Banyuasin berkisar 98 - 105 cm dan tinggi
tanaman Cigeulis berkisar 100 - 110 cm. Badan Litbang Pertanian (2007) menyatakan bahwa
tinggi tanaman varietas Kapuas dan Sei lalan adalah 100 cm.
Tabel 2. Pengaruh tunggal varietas dan pemberian fungsida dan zpt terhadap tinggi tanaman,
umur tanaman berbunga 50%, umur tanaman panen dan hasil.
Perlakuan
Peubah yang diamati
Tinggi
tanaman
(cm)
Umur tanaman
berbunga 50 %
(hr)
Umur
tanaman
panen (hari)
Hasil
(t/ha)
GKP
Inpara 2 79,60 b 61,67 b 88,00 c 2,82 a
Banyuasin 77,28 b 67,50 a 90,00 b 2,76 a
Sei lalan 75,37 b 63.33 ab 91,50 a 2,32 ab
Kapuas 85,33 a 53,33 c 88.83 c 1,98 ab
Cigelis 75,17 b 60,83 b 89,33 b 1,54 b
Pemakaian fungisida dan zpt
Tanpa pemberian fungisida dan zpt 77,63 p 60,67 p 89,20 p 2,24 p
Diberi fungisida dan zpt 79,47 p 62,00 p 89,89 p 2,33 p
Keterangan : Angka-angka diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Umur tanaman berbunga 50 % berbeda nyata pada masing-masing perlakuan varietas,
umur tanaman berbunga 50 % berkisar pada 53,33 - 66,67 hari. Umur tanaman panen berbeda
nyata terhadap perlakuan varietas. Varietas Inpara 2 dan Kapuas memiliki umur tanaman panen
26 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
yang sama yaitu 88 hari, Banyuasin 90 hari, Sei lalan 91,50 hari dan cigeulis 89,33 hari. Jika
dilihat dari deskripsinya (umur tanaman. Inpara 2 yaitu 128 hari, Banyuasin berkisar 118 – 122
hari dan umur tanaman Cigeulis berkisar 115 - 125 hari (Suprihatno et all., 2010). Badan Litbang
Pertanian (2007) menyatakan bahwa umur tanaman varietas Kapuas dan Sei lalan adalah 125
hari, dan kelima varietas tersebut memilki umur panen yang lebih cepat. Hal ini diduga karena
faktor kekeringan yang membuat tanaman lebih cepat proses pemasakannya, menurut
Goldsworthy and Fisher (1996) waktu antara penyebaran benih dan pemasakan dapat
diperpendek atau diperpanjang tergantung pada intensitas dan waktu terjadinya kekurangan air.
Seperti halnya tanaman kacang tunggak berbunga dan masak lebih awal di bawah tingkat
kekurangan air sedang, tetapi kekurangan air yang berat menunda aktivitas reproduktif.
Hasil tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara varietas: Inpara 2;
Banyuasin; Sei lalan dan Kapuas, akan tetapi hasil tanaman varietas Inpara 2 dan Banyuasin
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Cigeulis. Sementara antara varietas Sei lalan dan
Kapuas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Cigeulis (Tabel 2). Hasil gabah
tertinggi pada Inpara 2 diikuti oleh Varietas Banyuasin, Sei lalan dan Kapuas masing-masing
dengan hasil sebagai berikut 2,82 t/ha GKP, 2,76 t/ha GKP, 2, 32 t/ha GKP dan 1,98 t/ha GKP.
Sedangkan varietas Cigelis sebagai kontrol hasilnya 1,54 t/ha. Hasil gabah varietas cigelis
merupakan hasil yang terendah dibanding varietas lainnya, hal ini karena varietas cigelis memang
dianjurkan untuk ditanam pada sawah irigasi.
Rendahnya hasil gabah yang diperoleh pada masing-masing varietas diduga karena
tanaman mengalami kekeringan sehingga pemberian pupuk kurang optimum, khusus pemberian
pupuk urea hanya 2/3 dosis karena pemberian hanya dilakukan pada umur tanaman 7 hari setelah
tanam. Nyakpa, dkk (1988) menyatakan bahwa peningkatan suplai air ke dalam tanah
menghasilkan serapan hara cenderung meningkat oleh tanaman. Jika penyedian air cukup dalam
tanah, maka pupuk yang diberikan terpakai secara optimal. Hakim dkk (1987) menambahkan
bahwa daya tahan terhadap kekeringan suatu tanaman akan mempengaruhi hasil.
Gambar 1. Hasil rata-rata padi rawa pada lahan rawa lebak (t/ha) GKP
Perlakuan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh tidak
nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50%, umur tanaman panen dan hasil
gabah (Tabel 2). Tinggi tanaman antara tanpa pemberian dan dengan pemberian fungisida dan zat
pengatur tumbuh secara statistik tidak berbeda nyata tetapi secara angka-angka maka relatif
berbeda. Tinggi tanaman dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh lebih tinggi
daripada tanpa pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Perlakuan pemberian fungisida dan
zat pengatur tumbuh juga tidak berbeda nyata terhadap umur tanaman berbunga 50 %, dengan
pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh umur tanaman berbunga lebih lambat dari tanpa
pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh. Umur tanaman panen relatif sama pada tanpa
maupun dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh.
27 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Demikian juga perlakuan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh tidak berbeda
nyata terhadap hasil gabah. Hasil yang diperoleh tidak ada pengaruhnya terhadap pemberian
fungisida dan zat pengatur tumbuh. Berbeda tidak nyatanya antara perlakuan tidak diberinya
fungisida dan zat pengatur tumbuh dan dengan pemberian fungisida dan zat pengatur tumbuh, hal
ini diduga karena belum optimum pemberian yang mengandungi fungsida dan bahan aktif
difenokonazol. Hal ini didukung oleh Krisnamorthy (1989) konsentrasi bahan aktif 2,4 D yang
optimum dapat mendorong pertumbuhan tanaman, tetapi memiliki respon yang berbeda-beda
pada masing-masing varietas.
KESIMPULAN
1. Tinggi tanaman varietas Inpara 2, Banyuasin, Sei lalan, Kapuas dan Cigeulis berturut-turut
adalah 79,60 cm, 77,28 cm, 75,37 cm, 85,32 cm dan 75,17 cm, berbeda tidak nyata pada
inpara, banyuasin, sei lalan dan cigelis tetapi berbeda nyata terhadap varietas Kapuas.
2. Umur tanaman berbunga varietas Inpara 2 61,67 hari, varietas Banyuasin 67,50 hari, varietas
Sei lalan 63,33 hari, varietas Kapuas 53,33 hari dan varietas Cigelis 60,83 hari.
3. Umur panen varietas Inpara 2 88,00 hari, varietas Banyuasin 90,00 hari; varietas Sei lalan
91,50 hari; varietas Kapuas 88,83 hari dan varietas Cigeulis 89,33 hari.
4. Hasil gabah kelima varietas tersebut berturut-turut adalah 2,82 t/ha GKP; 2,76 t/ha GKP; 2,32
t/ha GKP; 1,98 t/ha GKP dan 1,54 t/ha GKP.
5. Pemberian fungsida dan zpt tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman
berbunga, umur panen dan hasil gabahnya
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Lebak.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 42 p.
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Bappeda dan Badan Pusat
Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu 402 p.
Goldsworthy.P.R and Fisher, N.M .1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey.
1986. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung
Krishnamorthy, H.N. 1989. Plant Growth Substance. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company
United. New Delhi.
Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong, N. Hakim.
1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Subagyo H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa Untuk Pertanian. Prosd.
Simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta 25- 27 Juni 1996
Tan, K. H. 2007. Tanah Tanah Daerah Bermusim dan Tropis Basah Dari Indonesia.
Pembentukan Sifat-Sifat dan Pengolahan. Dept of Crops and Soil Science. University of
Georgia, Athens, GA, USA.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institut.
Philipinnes. ;269p.
28 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PEMUPUKAN SPESIFIK LOKASI PADI SAWAH
DAN KAITANNYA DENGAN PENERAPAN KATAM TERPADU
DI SUMATERA BARAT
Azwir dan Winardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
Jalan Raya Padang-Solok KM 40; Kotak Pos 34 Padang 25001
Telp (0755) 31122; Fax. (0751) 31138; E-mail: [email protected];
ABSTRAK
Pengelolaan hara spesifik lokasi atau pemupukan berimbang merupakan alternatif dalam mempertahankan
atau meningkatkan produksi beras. Manfaat dan dampak penerapan pupuk spesifik lokasi, yaitu tepat takaran, tepat
waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai, maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani
meningkat. Pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi padi lestari. Terdapat
berbagai metode penetapan pupuk spesifik lokasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain lokasi, bentuk atau
jenis pupuk dan fase pertumbuhan tanaman. Pengkajian di Sumatera Barat merekomendasikan penetapan kebutuhan
pupuk diprioritaskan melalui metode sebagai berikut: 1). Penggunaan uji tanah (PUTS) untuk pupuk N, P dan K; 2).
Penggunaan BWD khusus untuk pemupukan N susulan; 3). Peta status hara untuk pupuk P dan K; 4). Percobaan
pemupukan lapangan; dan 5). Analisis tanah. Namun pengkajian tersebut belum melibatkan penetapan pupuk
berdasarkan Permentan 40/2007. Pertimbangan yang diambil dalam membuat prioritas tersebut, antara lain: kemudahan
dalam pelaksanaan, penghematan biaya, sarana/fasilitas yang tersedia dan tingkat ketelitian yang diharapkan. Dalam
mencapai swasembada pangan ditemukan berbagai kendala baik dari aspek teknis maupun aspek sosial ekonomi, salah
satunya perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global. Salah satu antisipasi untuk perubahan iklim tersebut Badan
Litbang Pertanian telah menyusun Kalender tanam (Katam) untuk tanaman pangan, khususnya padi sawah. Dalam
perkembangan terakhir (2011) Katam disusun disamping sebagai acuan untuk waktu dan pola tanam juga dipadukan
dengan berbagai informasi, yaitu rekomendasi dan kebutuhan pupuk, varietas, jumlah benih, informasi wilayah rawan
banjir atau kekeringan dan potensi serangan OPT. Rekomendasi pemupukan yang dihasilkan oleh Katam Terpadu
untuk tingkat kecamatan disarankan untuk selalu di diuji silang (cross check) dengan metode lain yang sudah tersedia
di lapangan.
Kata Kunci: pemupukan, spesifik lokasi, padi sawah, katam, Sumatera Barat
PENDAHLUAN
Indonesia dengan jumlah penduduk relatif besar dan kondisi alam (terutama iklim)
yang sulit diprediksi, masalah ketahanan pangan merupakan masalah strategis. Dengan demikian
membangun ketahanan pangan secara nasional, daerah dan masyarakat mutlak diperlukan. Untuk
itu pemerintah selama kurun waktu 2010-2014 telah menetapkan ketahanan pangan berdasarkan 5
komoditas strategis, yaitu padi berkelanjutan, jagung berkelanjutan, kedelai tahun 2014, gula
tahun 2014 dan daging sapi tahun 2014. Khusus untuk beras pemerintah menargetkan surplus 10
juta ton pada tahun 2014. (Panggabean, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rentan terhadap perubahan iklim
global, sebagi efek fenomina gas rumah kaca karena emisi karbon dioksida (CO2) dari bahan
bakar fosil, deforestasi, dan lain-lain. Perubahan iklim berdampak langsung kepada sektor
pertanian melaui degradasi sumberdaya lahan dan rusaknya sistem produksi. Rusaknya sistem
produksi karena terjadinya penciutan areal tanam, gagal panen, produktivitas, mutu dan efisiensi
berkurang. Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dapat dilakukan beberapa usaha antara
lain: (a) penerapan inovasi teknologi mitigasi dan adaptasi, (b) pengembangan sistem usahatani
adaptif, (c) optimalisasi lahan suboptimal dan (d) pengembangan ristek kedepan (Las dan
Surmaini, 2010). Salah satu usaha yang dilakukan Badan Litbang Pertanian adalah menyusun
Kalender Tanam (Katam).
Kalender tanam adalah peta yang menggambarkan potensi pola dan waktu tanam yang
disusun berdasarkan potensi dan dinamika sumberdaya iklim dan ketersediaan air. Peta tersebut
disusun untuk memberikan informasi spasial dan tabular (sampai tingkat kecamatan) pola tanam
tanaman pangan pada lahan sawah berdasarkan variabilitas dan perubahan iklim. Dari tahun
2007-2010 telah dikembangkan Katam Semi Dinamik Skala 1:250.000 dengan 3 alternatif pola
tanam (3 skenario perubahan iklim), awal musim tanam dan pola tahunan (3 musim secara padu),
berdasarkan curah hujan dan potensi ketersediaan air. Dari tahun 2010-2011 telah dikembangkam
29 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Katam Dinamik Skala 1:250.000 yang merupakan pengembangan Katam Semi Dinamik, skenario
berdasarkan prediksi iklim, awal musim tanam (MH, MK1 dan MK2 secara terpisah).
Selanjutnya pada tahun 2011 telah dipublikasikan Katam Terpadu Skala 1:250.000 yang
merupakan pengembangan Katam Dinamik, skenario berdasarkan prediksi iklim (musim tanam
terdekat), output setiap musim disebarkan melalui Web/Situs, dipadu dengan rekomendasi
pemupukan dan kebutuhan pupuk, varietas yang sesuai/potensial, kebutuhan benih, informasi
wilayah rawan banjir atau kekeringan dan informasi rawan serangan OPT (Las, 2011).
Pemupukan atau pengelolaan hara spesifik lokasi atau penerapan pupuk berimbang
adalah upaya menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman agar tanaman tumbuh optimal.
Langkah-langkah dalam pendekatan pemupukan spesifik lokasi adalah dengan (a) menetapkan
tingkat hasil di suatu lokasi dan musim, bergantung pada iklim, varietas padi, dan pengelolaan
tanaman, (b) memanfaatkan hara tanaman yang berasal dari sumber alami seperti dari dalam
tanah, perombakan bahan organik, residu tanaman, pupuk kandang, dan air irigasi, dan (c)
menggunakan pupuk kimia untuk mengisi kekurangan antara jumlah hara yang diperlukan
tanaman sesuai tingkat hasil dengan hara yang secara alami tersedia. Manfaat dan dampak
penerapan pupuk spesifik lokasi, yaitu tepat takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang
diperlukan sesuai, maka pemupukan akan lebih efisien, hasil tinggi, dan pendapatan petani
meningkat. Pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah tetap terjaga, dan produksi
padi lestari. Selain itu dapat mengurangi pemborosan 15 – 20% (Kartaatmadja et al., 2009).
Ada berbagai metode penetapan pemupukan spesifik lokasi untuk padi sawah dimana
antara satu sama lainnya saling mempunyai kelebihan atau kekurangan. Metode penetapan pupuk
yang efektif dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis atau unsur pupuk,
kondisi/kesuburan tanah, varietas padi yang digunakan, fase pertumbuhan dan kebiasaan petani
menggunakan pupuk. Katam Terpadu sebagai wahana informasi bagi stake holder
(pejabat/petugas pertanian atau petani) yang bisa dipantau secara luas melalui Web/Situs telah
mencoba merekomendasikan pemupukan dan jumlah kebutuhan pupuk per kecamatan.
Rekomendasi dan kebutuhan pupuk tersebut sudah barang tentu melalui salah satu atau
kombinasi metode penetapan pupuk.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas makalah ini mencoba menelaah aspek-aspek
pemupukan spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah dan kaitannya dengan penerapan Katam
Terpadu.
Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi
Terdapat 17 unsur hara esensial untuk tanaman padi yakni C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, S,
Fe, Mn, Zn, Cu, Mo, B, Cl dan Si. Tiga unsur yang disebut pertama (C, H, O) diperoleh tanaman
dari udara atau air, sedangkan unsur yang lain diserap tanaman langsung dari dalam tanah yang
berasal dari bahan mineral tanah. Kecuali C, H dan O unsur esensial dikelompokan menjadi tiga,
yaitu unsur hara primer (N, P dan K), unsur hara sekunder (Ca, Mg dan S) dan unsur hara mikro
(Fe, Mn, Zn, Cu, Mo, B, Si dan Cl) (Cosico, 1992).
Fungsi unsur hara esensial di dalam tanaman padi, diantaranya adalah sebagai berikut:
N (bagian khlorofil, meningkatkan pertumbuhan daun dan gabah); P (meningkatkan pertumbuhan
akar dan mutu gabah); K (meningkatkan pertumbuhan anakan, ukuran gabah dan ketahanan
terhadap penyakit); Ca (memperkuat dinding sel); Mg (bagian khlorofil dan berbagai enzim); S
(bagian asam amino dan aktivator enzim); Fe (bagian khlorofil); Mn (salah satu faktor dalam
fotosintesis dan aktivator enzim); Zn (aktivator enzim); B (katalis dalam tanaman); Mo (terlibat
dalam reduksi nitrat menjadi nitrit; Cu (regulator enzim); Cl (terlibat dalam fotosintesis); dan Si
(mempercepat pertumbuhan akar dan pembentukan malai; membentuk lapisan untuk mencegah
serangan jamur dan serangga) (Cosico, 1992).
Pemupukan padi sawah di Sumatera Barat bervariasi dari suatu ke temapat lainnya. Hal
tersebut disebabkan bervariasinya agroekosistem yang ditempati oleh areal persawahan. Areal
sawah tersebar mulai dari dataran rendah atau pesisir pantai hingga dataran tinggi dengan
ketinggian tempat sekitar 1.200 m dari permukaan laut (dpl) (Anonymous, 2005b). Sawah di
Sumatera Barat umumnya menempati jenis tanah Alluvial, Andosol dan Podzolik Merah Kuning.
Reaksi tanah sawah biasanya masam, kandungan N-total berkisar dari rendah sampai sedang,
30 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kandungan C-organik dan C/N berkisar dari rendah sampai tinggi, sedangkan P-tersedia berkisar
dari rendah sampai sangat tinggi. Kation-kation dapat dipertukarkan, seperti Ca, Mg dan K
berkisar dari sangat rendah sampai sedang. Unsur hara mikro biasanya berkisar dari rendah
sampai sedang, kecuali Fe sampai sangat tinggi.
Burbey dan Taher (1983) telah melakukan survey status hara lahan sawah di beberapa
tempat di Sumatera Barat. Beberapa hasil temuan mereka adalah sebagai berikut: 1). Lahan
sawah di Sukarami (Kabupaten Solok) dengan jenis tanah Andosol dibutuhkan pupuk N dan P;
2). Lahan sawah di Sarilamak (Kabupten Limapuluh Kota) dengan jenis tanah PMK kekurangan
N dan K; dan 3). Lahan sawah di Indrapura (Kabupaten Pesisir Selatan) dengan jenis tanah
Aluvial atau di Mapattunggul (Kabupaten Pasaman) dengan jenis tanah Latosol sedikit
kekurangan N dan S.
METODE PENETAPAN KEBUTUHAN PUPUK
Winardi (2008) telah mencoba mengkaji berbagai metode penetapan kebutuhan pupuk
untuk padi sawah dengan kasus di Sumatera Barat, yaitu seperti di bawah ini:
Analisis Tanah
Penetapan kebutuhan pupuk dengan cara analisis tanah mempunyai arti yang penting
karena memungkinkan diperolehnya informasi yang lebih banyak mengenai sifat-sifat tanah, baik
fisika, kimia maupun biologi tanah. Parameter yang umum dianalisis untuk program pemupukan
antara lain pH, kandungan bahan organik tanah, unsur-unsur hara makro (N, P, K), unsur-unsur
mikro dan tekstur tanah (Anonymous, 2005a).
Di Sumatera Barat laboratorium tanah dan tanaman sebagai dasar penetapan
rekomendasi pemupukan masih belum memadai. Dari tiga laboratorium tanah dan tanaman yang
ada (BPTP Sumbar; BALITBUTROPIKA; Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Andalas) hanya instansi yang disebut terakhir yang laboratoriumnya sudah terakreditasi
(Komunikasi pribadi dengan BPTP Sumatera Barat, BALITBUTROPIKA dan Fakultas
Pertanian, Universitas Andalas).
Uji Tanah
Teknologi uji tanah adalah suatu kegiatan analisis kimia di laboratorium yang
sederhana, cepat, murah, tepat dan dapat diulang (reproduceable) untuk menduga ketersediaan
hara tertentu dalam tanah dengan tujuan akhir memberikan rekomendasi pemupukan spesifik
lokasi yang efisien.
Di Indonesia teknologi uji tanah dapat dilakukan dengan menggunakan alat Perangkat
Uji Tanah Sawah (PUTS) yang dikenal juga dengan istilah ‖Paddy Soil Test Kit”. Alat ini
digunakan untuk penetapan rekomendasi pemupukan N, P dan K spesifik lokasi. PUTS
dilengkapi dengan pengekstrak untuk mengukur pH dan kandungan hara N, P dan K tanah di
lapangan. Di Indoensia, uji tanah ini diperkenalkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
sekarang: Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (Anonymous, 2005a).
Di Sumatera Barat alat uji tanah (PUTS) hanya dimiliki oleh BPTP Sumatera Barat.
Alat tersebut baru digunakan pada tingkat penelitian dan pengkajian. Berdasarkan kajian yang
dilakukan, satu unit PUTS dapat digunakan untuk menganalisis 50 sampel tanah. Dengan harga
per unit alat Rp.750.000,- berarti biaya penetapan kebutuhan pupuk Rp.15.000,- per sampel
tanah.
Bagan Warna Daun (BWD)
Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) merupakan cara sederhana untuk menentukan
takaran pupuk N yang tepat. Dasar kerja alat ini menduga kecukupan pasokan nitrogen dalam
jaringan tanaman dengan memperhatikan tingkat kehijauan warna daun. Alat ini sama sekali tidak
berhubungan dengan pendugaan ketersediaan nitrogen di dalam tanah. Menurut informasi Balai
31 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Penelitian Tanaman Padi (Komunikasi pribadi), BWD yang merupakan produk dari IRRI tersebut
bisa dipesan di Balai Penelitian Tanaman Padi tersebut dengan harga Rp.10.000,- per unit.
Hasil pengkajian yang dilakukan pada lahan sawah irigasi Lubuk Basung, Kabupaten
Agam menununjukan bahwa Pemberian N secara BWD dengan takaran 155,5 kg Urea/ha
memberikan efisiensi pemupukan tertinggi dibanding cara petani (225 kg Urea/ha) atau pupuk
rekomendasi umum (200 kg Urea/ha) untuk varietas IR 42 (Abdullah et al (2000). Hasil
pengkajian lain menunjukan bahwa penggunaan BWD bisa menghemat pemakaian Urea 45-90
kg/ha (Buharman et al, 2004).
Peta Status Hara
Berdasarkan Peta Status P dan K sawah skala 1:50.000 telah dilakukan kalibrasi
kebutuhan pupuk P dan K untuk sawah berstatus P rendah dan K rendah di Kota Pariaman selama
musim tanam 2004/2005. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk sawah berstatus P rendah
direkomendasikan pupuk P dengan dosis 100-125 kg SP-36/ha. Sedangkan untuk sawah berstatus
K rendah diperlukan pemupukan K sebanyak 100-125 kg KCl/ha (Burbey, 2007a).
Penelitian pemakaian pupuk P dan K pada sawah dengan status P sedang dan tinggi
serta status K sedang dan tinggi juga telah dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota
Pariaman tahun 2007. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk lahan sawah dengan status P
sedang dan tinggi dibutuhkan pupuk fosfat masing-masing 75 dan 50 kg SP-36/ha. Selanjutnya
untuk lahan sawah dengan status K sedang dan tinggi, secara berturut-turut dibutuhkan 75 dan 50
kg KCl/ha (Burbey, 2007b).
Terlihat disini bahwa peta status hara bermanfaat dalam menentukan rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi. Oleh sebab itu peta status hara P dan K yang sudah ada baik skala
1:50.000 maupun skala 1:250.000 bisa digunakan sebagai arahan pemupukan P dan K spesifik
lokasi untuk padi sawah di Sumatera Barat.
Percobaan Pemupukan Lapangan
Percobaan pemupukan lapangan merupakan kegiatan aspek pemupukan untuk melihat
pengaruh lokasi, musim, kultivar dan tingkat pengelolaan yang diterapkan. Percobaan pemupukan
lapangan bisa terdiri dari program jangka pendek (short term) yakni untuk beberapa musim atau
jangka panjang (long term) yang memerlukan waktu beberapa tahun. Apabila percobaan lapangan
dilaksanakan dan dikelola dengan baik maka hasilnya bisa dihandalkan untuk penetapkan
rekomendasi pemupukan (Anonymous, 1988).
Percobaan pemupukan untuk padi sawah di Sumatera Barat selama ini banyak
dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat yang semula merupakan
bagian dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Untuk percobaan pemupukan lapangan
dibutuhkan perencanaan khusus, tenaga pelaksana yang mampu untuk itu dan pembiayaan relatif
mahal. Dibutuhkan dana sekitar Rp. 20.000.000,- untuk satu unit percobaan pemupukan
lapangan.
Selain metode yang disebut di atas terdapat pula penetapan pupuk berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No. 40 Tahun 2007 (Permentan 40/2007). Peraturan Menteri Pertanian No.
40/2007 mengatur jumlah dan jenis pupuk untuk pertanaman padi hampir diseluruh kecamatan di
Indonesia yakni pupuk tunggal (N, P dan K). Penetapan pupuk N pada dasarnya ditetapkan
berdasarkan produktivitas padi yakni rendah (< 5 t/ha), sedang (5-6 t/ha) dan tinggi (> 6 t/ha).
Sedangkan kebutuhan pupuk P dan K berdasarkan peta status hara P dan K (skala 1:250.000 atau
1:50.000). Rekomendasi pemupukan tersebut juga melibatkan pengelolaan bahan organik
(Anonymous, 2007). Contoh kebutuhan pupuk tanaman padi sawah untuk Kabupaten Limapuluh
Kota, ProVinsi Sumatera Barat ( Tabel 1).
32 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Acuan rekomendasi pupuk padi sawah di berbagai kecamatan, Kabupaten Limapuluh
Kota, Provinsi Sumatera Barat berdasarkan permentan 40/2007.
No
Kecamatan Acuan Rekomendasi Pupuk (kg/ha)
Tanpa bahan organik 5 ton jerami/ha 2 ton pupuk kandang/ha
Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl Urea SP-36 KCl
1 Paya Kumbuh 250 75 50 230 75 0 225 25 30
2 Luhak 250 75* 50 230 75* 0 225 25* 30
3 Harau 250 100* 50 230 100* 0 225 50* 30
4 Guguk 250 100* 50 230 100* 0 225 50* 30
5 Suliki Gunung Mas 250 100 50 230 100 0 225 50 30
6 Gunung Mas 250 100 50 230 100 0 225 50 30
7 Kapur Sembilan - - - - - - - - -
8 Pangkalan Karo Baru 250 100 50 230 100 0 225 50 30
9 Akabiluru 250 75 50 230 75 0 225 25 30
10 Lareh Sago Halaban 250 75* 50 230 75* 0 225 25* 30
11 Situjuh Limo Nagari 250 75* 50 230 75* 0 225 25* 30
12 Mungka 250 100* 50 230 100* 0 225 50* 30
13 Bukit Barisan 250 100 50 230 100 0 225 50 30
INFORMASI PUPUK DALAM KATAM TERPADU
Dari tahun 2007-2010 telah dikembangkan Katam Semi Dinamik Skala 1:250.000
dengan 3 alternatif pola tanam (3 skenario perubahan iklim), awal musim tanam dan pola tahunan
(3 musim secara padu), berdasarkan curah hujan dan potensi ketersediaan air. Dari tahun 2010-
2011 telah dikembangkan Katam Dinamik Skala 1:250.000 yang merupakan pengembangan
Katam Semi Dinamik, skenario berdasarkan prediksi iklim, awal musim tanam (MH, MK1 dan
MK2) secara terpisah (Las, 2011).
Katam Terpadu Skala 1:250.000 yang dipublikasikan pada tahun 2011 merupakan
pengembangan Katam Dinamik, skenario berdasarkan prediksi iklim (musim tanam terdekat),
output setiap musim disebarkan melalui Web/Situs, dipadu dengan rekomendasi dan kebutuhan
pupuk, varietas sesuai/potensial, kebutuhan benih serta informasi wilayah rawan banjir atau
kekeringaan dan rawan OPT (Anonymous, 2011).
Informasi pemupukan yang bisa diakses dari Katam Terpadu adalah rekomendasi
pemupukan dan kebutuhan pupuk untuk setiap kecamatan. Rekomendasi pupuk dibuat
berdasarkan Peta status hara P dan K dan Permentan 40/2007. Untuk itu Tim Katam melakukan
perbaikan terhadap Peta Status P dan K yang sudah ada serta menyusunnya untuk wilayah yang
belum mempunyai peta tersebut, yaitu untuk 15 provinsi di luar Jawa. Keluaran yang diperoleh
adalah Peta status hara P dan K skala 1:250.000. Sedangkan Permentan 40/2007 direvisi, yaitu
merubah rekomendasi pupuk tunggal menjadi pupuk majemuk NPK 20-10-10 (NPK Pelangi),
NPK 15-15-15 (NPK Phonska) dan NPK 30-6-8 (NPK Kujang). Kemudian penggunaan pupuk
majemuk disusul dengan pemberian Urea dan dikombinasikan dengan pupuk organik.
Sedangkan total kebutuhan pupuk setiap kecamatan adalah dengan perbanyakan antara dosis rata-
rata per ha dengan luas areal sawah. Contoh rekomendasi pemupukan di Kabupaten Indramayu
dapat dilihat pada Tabel 2.
33 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Rekomendasi pemupukan NPK Phonska (15-15-15) Kabupaten Indramayu berdasarkan
rekomendasi Katam Terpadu.
No
Kecamatan
Acuan Rekomendasi Pupuk NPK 15-15-15 (kg/ha)
Tanpa bahan organik 2 t/ha kompos jerami 2 t/ha pupuk kandang
NPK Urea NPK Urea NPK Urea
1. Haurgelis 300 200 150 250 300 200
2. Gabuswetan 300 200 150 250 300 200
3. Cikedung 225 225 150 250 150 250
4. Leles 225 225 150 250 150 250
5. Kertasemaya 225 225 150 250 150 250
6. Karangampel 225 225 150 250 150 250
7. Jatinyuat 225 225 150 250 150 250
8. Sliyeg 225 225 150 250 150 250
9. Indramayu 225 225 150 250 150 250
10. Lohbener 225 225 150 250 150 250
11. Sindang 225 225 150 250 150 250
12. Kandanghaur 225 225 150 250 150 250
13. Anjatan 225 225 150 250 150 250
14. Bongas 225 225 150 250 150 250
15. Widasari 225 225 150 250 150 250
16. Krangkeng 225 225 150 250 150 250
17. Kedokan 225 225 150 250 150 250
18. Cantigi 225 225 150 250 150 250
19. Arahan 225 225 150 250 150 250
20. Sukra 225 225 150 250 150 250
Umumnya penetapan kebutuhan pupuk P dan K dewasa ini termasuk untuk kebutuhan
Katam Terpadu adalah berdasarkan peta status hara berskala 1:250.000 sesuai ketersediaan peta
yang ada. Demikian juga penetapan pupuk tunggal N, P, K melalui Permentan 40/2007 untuk
tingkat kecamatan juga berdasarkan peta berskala 1:250.000. Rekomendasi pupuk tunggal inilah
yang kemudian direvisi menjadi pupuk majemuk untuk kebutuhan Katam Terpadu. Dengan
menggunakan skala 1:250.000, kedua penetapan diperkirakan belum memadai untuk memenuhi
kaedah penetapan pemupukan spesifik lokasi. Hal tersebut disebabkan skala peta yang digunakan
belum bersifat operasional. Dilain pihak sudah tersedia pula metode lain penetapan pupuk
spesifik lokasi seperti diuraikan sebelumnya.
Dengan demikian dalam penerapan Katam Terpadu rekomendasi pupuk yang
dikeluarkan perlu dikoreksi dengan metode lain yang lebih sesuai atau memungkinkan. Untuk
menentukan metode yang sesuai atau memungkinkan dapat dilakukan melalui pengkajian yang
dilakukan oleh Winardi (2008). Dalam pengkajian yang dilakukan untuk kasus Sumatera Barat,
prioritas penetapan rekomendasi pupuk adalah sebagai berikut: 1) Penggunaan uji tanah (PUTS)
untuk pupuk N, P dan K; 2) Penggunaan BWD khusus untuk pemupukan N susulan; 3) Peta
status hara untuk pupuk P dan K; 4) Percobaan pemupukan lapangan; dan 5) Analisis tanah.
Namun pengkajian tersebut tidak melibatkan penetapan pupuk berdasarkan Permentan 40/2007.
Pertimbangan yang diambil dalam membuat prioritas tersebut, antara lain: kemudahan dalam
pelaksanaan, penghematan biaya, sarana/fasilitas yang tersedia dan tingkat ketelitian yang
diharapkan.
Meskipun untuk rekomendasi pemupukan informasi yang diberikan Katam Terpadu
perlu dikoreksi untuk setiap lokasi namun informasi jumlah kebutuhan pupuk diharapkan bisa
digunakan sebagai panduan umum jumlah kebutuhan pupuk per kecamatan.
34 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pemupukan spesifik lokasi merupakan hal yang penting dilakukan untuk pertanaman padi
sawah sebagai akibat bervariasinya agroekosistem, varietas padi dan pengelolaan pemupukan.
2. Terdapat berbagai metode penetapan pupuk spesifik lokasi yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain; lokasi, bentuk atau jenis pupuk dan fase pertumbuhan tanaman.
3. Di Sumatera Barat penetapan kebutuhan pupuk diprioritaskan melalui metode sebagai berikut:
1) Uji tanah dengan PUTS untuk pupuk N, P dan K; 2) Penggunaan BWD khusus untuk
pemupukan N susulan; 3) Peta status hara untuk pupuk P dan K; 4) Percobaan pemupukan
lapangan; dan 5) Analisis tanah. Namun pengkajian tersebut tidak melibatkan penetapan
pupuk berdasarkan Permentan 40/2007. Pertimbangan yang diambil dalam membuat prioritas
tersebut, antara lain; kemudahan dalam pelaksanaan, penghematan biaya, sarana/fasilitas yang
tersedia dan tingkat ketelitian yang diharapkan.
4. Untuk mengantisipasi perubahan iklim Badan Litbang Pertanian telah menyusun Katam
sebagai acuan waktu dan pola tanam tanaman pangan (padi dan palawija). Katam Terpadu
merupakan versi Katam yang dipadukan dengan berbagai informasi, termasuk rekomendasi
dan kebutuhan pupuk tingkat kecamatan.
5. Rekomendasi pemupukan yang dihasilkan oleh Katam Terpadu untuk tingkat kecamatan
disarankan untuk selalu di diuji silang (cross check) dengan metode lain di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., Azwir dan Ardimar. 2000. Efisiensi pemupukan nitrogen berdasarkan Bagan
Warna Daun (BWD) pada lahan sawah irigasi Lubuk Basung. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Padang, 21-22 November 2000.
IRRI. 1988. Soil fertility. International Rice Research Institut. Los Banos, Philippines.
Puslitbangnak. 2005a. Satu abad kiprah lembaga penelitian tanah Indonesia 1905-2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Bappeda Prov. Sumbar. Sumatera Barat Dalam Angka. Bappeda Provinsi Sumatera Barat.
Padang.
Departemen Pertanaian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/03/2007 tentang
penyempurnaan rekomendasi pemupukan N, P dan K pada padi sawah spesifilokasi.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Buharman B., N. Hosen dan Imran. 2004. Overview Rekomendasi Paket Teknologi Pertanian
BPTP Sumatera Barat 1998-2003. Prosd. Seminar Nasional Kontribusi Hasil-hasil
Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi Mendukung Pembangunan Pertanian Sumatera
Barat. Sukarami, 26-27 Januari 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor. ;70-91
Burbey. 2007a. Tanggap Padi Sawah Terhadap Pemupukan Kalium Pada Status Kalium Tanah
Rendah. Jurnal Ilmiah Tambua VI(1). Universitas Mahaputra Muhammad Yamin. Solok.
;79-83.
Burbey. 2007b. Tanggap Padi Sawah Terhadap Pemupukan Kalium Pada Status Kalium Tanah
Sedang dan Tinggi. Jurnal Ilmiah Tambua VI(2). Universitas Mahaputra Muhammad
Yamin. Solok. ;141-148.
Burbey dan A. Taher. 1983. Status hara lahan sawah pada beberapa jenis tanah di Sumatera
Barat. Pemberitaan Penelitian Sukarami. Balitan Sukatami. Solok. 2:9-14.
Cosico, W. C. 1992. Mineral nutrition of the rice plant. Department of Soil Science, University
Philippines at Los Banos.
Kartaatmadja, S., E. Suhartatik, I.G. Ismail, E. Jamal, Sunihardi, A. Kasno, A. Subaedi dan R.
Buresh. 2009. Piranti Lunak Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Las I. 2011. Perubahan Iklim Dan Pengantar Umum Penyusunan Atlas Katam Terpadu. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
35 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Lal, I., dan E. Surmaini. 2010. Variabilitas dan Perubahan Iklim Dalam Sistem Produksi Padi
Nasional: Dampak dan Tantangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hasil
Hasil Penelitian Padi. Sukamandi, 24 Oktober 2010.
Panggabean, G. 2011. Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan
Nasional. Sinar Tani, Edisi 19-25 Joktober 2011 No. 3427 Tahun XLII.
Winardi. 2008. Status Pemupukan Padi Sawah Pada Lahan Irigasi Di Sumatera Barat. Prosd.
Seminar Nasional dan Dialog Sumberdaya lahan Peranian. Buku II (Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Lahan) di Bogor, 18-20 November 2008. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. ;383-399.
36 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERLAKUAN NITROGEN DAN SILIKAT PADA PERSEMAIAN
UNTUK PERCEPATAN PEMULIHAN PASCA TERENDAM
DAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Danner Sagala1*, Ikhsan Hasibuan1dan Prihanani1
1Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH
*Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Perubahan iklim global telah mengubah pola penyebaran musim kemarau dan musim hujan di Indonesia.
Fenomena ini menyebabkan seringnya terjadi kemarau berkepanjangan dan hujan yang berkepanjangan. Persoalan ini
sangat berdampak pada upaya untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian nitrogen dan silikat dalam meningkatkan vigoritas bibit untuk percepatan pemulihan
pasca terendam dan peningkatan produktifitas padi. Penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi. Percobaan
terdiri atas dua faktor perlakuan dan tiga ulangan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari tiga tanaman (ember)
sehingga jumlah seluruh unit perlakuan adalah 108 tanaman. Petak utama adalah pemberian nitrogen yaitu 1800, 2300,
dan 2800 ppm. Sedangkan petak bagian adalah pemberian silikat yaitu 0, 5, 10, dan 15 gram per tanaman. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan yang memberi pengaruh terbaik dan konsisten adalah 15 g Si/tanaman.
Kata kunci: padi, silikat, nitrogen, iklim global dan banjir
PENDAHULUAN
Perubahan iklim global merupakan fenomena yang sangat berdampak terhadap sektor
pertanian. Perubahan iklim global telah mengubah pola penyebaran musim kemarau dan musim
hujan di Indonesia. Perubahan iklim ini juga menyebabkan hujan yang berlebihan hingga terjadi
banjir pada lahan pertanian.
Menurut Sarkar, et al., (2003), banjir atau rendaman mempengaruhi 30 juta ha lahan
sawah tadah hujan di Asia selatan dan Asia Tenggara. Data Depkominfo (2008) menunjukkan
bahwa luas areal tanaman padi di Indonesia yang terkena banjir pada musim hujan tahun 2007
hingga bulan Januari 2008 di wilayah sentra produksi mencapai 157.651 ha, sedang yang terkena
puso mencapai 59.211 ha.
Budidaya tanaman padi di lahan rawa atau lahan sawah tadah hujan dipengaruhi oleh
kondisi air yang masih relatif tinggi pada saat pemindahan bibit. Kebanyakan petani di Indonesia,
khususnya petani sawah tadah hujan, menanam padi pada awal musim hujan karena suplai air
untuk sawah tadah hujan sangat tergantung pada air hujan. Oleh karena itu bibit padi yang masih
muda sering terendam.
Tanaman yang terendam dapat mengalami penurunan pertumbuhan, jumlah anakan dan
berat kering. Kawano et al. (2002) menyebutkan bahwa genangan menyebabkan kerusakan
mekanis pada daun, berkurangnya cahaya, terbatasnya difusi gas, keluarnya larutan dari jaringan
tanaman, peningkatan kerentanan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Toleransi tanaman padi terhadap kondisi terendam dapat ditingkatkan dengan vigor
awal yang tinggi sebelum terjadinya genangan. Melalui metode tersebut, tanaman akan
mengalami kerusakan yang lebih kecil selama terjadinya genangan. Beberapa metode yang
mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan metode budidaya yang tepat, penggunaan benih
atau bibit yang sehat dan pemupukan yang sesuai.
Jackson dan Ram (2003) menyatakan bahwa genangan mempengaruhi kandungan
protein dalam tanaman padi. Oleh karena itu, ketersediaan nitrogen akan mempengaruhi respon
tanaman padi terhadap genangan. Menurut Suwignyo (2005), untuk mendapatkan bibit yang kuat,
bibit padi digenangi dengan larutan nitrogen 2.300 ppm selama 24 jam sebelum bibit
dipindahkan.
Silikat merupakan salah satu unsur hara makro yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Menurut Taiz dan Zeiger (2003), salah satu dari manfaat Si yang dapat
mendorong pertumbuhan tanaman adalah meningkatkan kekuatan dan ketegakan daun sehingga
daun tidak saling menaungi. Tanaman yang kekurangan Si sangat rentan mengalami kerebahan
(lodging). Prakash et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian abu sekam padi yang berwarna
37 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
hitam hingga abu-abu sebagai sumber silikat sebanyak 0,5 - 1,0 kg m2 ke dalam persemaian akan
menghasilkan bibit padi yang sehat dan kuat. Selanjutnya penelitian Singh et al. (2007)
menunjukkan bahwa perlakuan pembawa silikat secara nyata dapat meningkatkan berat 1000
gram padi.
Uraian bahwa nitrogen dan silikat dapat menambah kekuatan dan ketegakan daun padi
serta dapat meningkatkan bobot biji merupakan peluang untuk meningkatkan toleransi tanaman
padi terhadap genangan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengaruh nitrogen dan silikat
dalam upaya meningkatkan toleransi tanaman padi pada genangan sehingga dapat mempercepat
pemulihan pasca terendam.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan dan Laboratorium Fakultas Pertanian
Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH. Penelitan akan dilaksanakan pada bulan Juli hingga
Nopember 2011. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Cigeulis, pupuk Urea, pupuk
TSP, pupuk KCl, Silikat, insektisida, ember plastik untuk tempat percobaan dan lain-lain.
Sedangkan alat yang digunakan antara lain cangkul, sprayer, meteran, timbangan, oven dan lain-
lain.
Penelitian disusun dalam rancangan petak terbagi. Percobaan terdiri atas dua faktor
perlakuan dan tiga ulangan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari tiga tanaman (ember)
sehingga jumlah seluruh unit perlakuan adalah 108 tanaman. Petak utama adalah pemberian
nitrogen yaitu 1800 ppm (N1), 2300 ppm (N2), 2800 ppm (N3). Sedangkan petak bagian adalah
pemberian silikat yaitu 0 gram (S0), 5 gram (S1), 10 gram (S2), 15 gram (S3) per tanaman. Data
yang diperoleh dianalisa sidik ragamnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan diuji lanjut
dengan menggunakan Uji Jarak Ganda Duncan (DMRT) untuk mengetahui perlakuan terbaik.
Alat yang digunakan dalam menganalisis data adalah program SAS versi 9.0 (Mattjik &
Sumertajaya, 2002).
Benih padi disemaikan dan ditumbuhkan selama 21 hari. Sebelum disebar, benih
direndam 24 jam dan diperam selama 48 jam. Perlakuan pemberian nitrogen dan silikat diberikan
pada saat persemaian (Prakash et al., 2007) dan sebelum perlakuan genangan. Perlakuan nitrogen
dilakukan 2 kali dengan penggenangan. Setengah dosis diberikan pada umur 2 minggu setelah
benih disebar. Setengah sisanya diberikan 15 jam sebelum bibit dipindahkan ke dalam ember
(Suwignyo, 2005). Silikat diberikan satu kali secara langsung kedalam media semai. Bibit yang
telah diberi perlakuan kemudian dipindahkan ke dalam ember plastik yang telah diisi tanah dan
pupuk N, P, dan K. Setelah satu minggu, bibit yang berada dalam ember plastik dilakukan
penggenangan hingga seluruh tanaman terendam selama lima hari. Pengamatan dilakukan sesaat
sebelum perendaman, sesaat sesudah perendaman dan setiap hari selama satu minggu setelah
perendaman. Peubah yang diamati pada setiap pengamatan adalah tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah anakan, kandungan klorofil daun, jumlah anakan produktif, Jumlah biji per malai,
gabah/rumpun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan
Perlakuan nitrogen berpengaruh tidak nyata pada semua peubah yang diukur sesaat
sebelum perendaman. Perlakuan nitrogen cenderung memberikan hasil yang tidak konsisten
menurut peningkatan dosis nitrogen. Tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan N2 dan
terendah pada perlakuan N3. Jumlah daun terbanyak diperoleh pada N3 dan terendah pada N2.
Jumlah anakan dan kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan N3 (Tabel 1).
38 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Hasil pengukuran sesaat sebelum perlakuan rendaman.
Perlakuan S0 S1 S2 S3 Rerata
ns
Tinggi tanaman (cm)
N1 26,06 28,78 27,89 27,94 27,67
N2 28,06 27,17 26,83 29,22 27,82
N3 25,00 25,72 27,28 27,33 26,33
Rerata* 26,37b 27,22ab 27,33ab 28,17a
Jumlah daun (helai)
N1 13,44 19,67 20,00 26,00 19,78
N2 13,33 15,67 21,22 24,44 18,67
N3 16,44 20,78 22,22 22,44 20,47
Rerata* 14,41c 18,70b 21,15ab 24,30a
Jumlah anakan (btg)
N1 6,33 8,00 8,44 10,89 8,42
N2 6,33 7,33 9,11 11,00 8,44
N3 8,11 8,56 9,11 9,44 8,81
Rerata* 6,93c 7,96bc 8,89b 10,44a
Klorofil (g/cm2)
N1 32,66 32,03 31,87 33,41 32,49
N2 31,89 30.13 31,78 35,19 32,25
N3 31,80 32,39 34,51 33,77 33,12
Rerata* 32,11b 31,52b 32,72ab 34,12a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Ns : berpengaruh tidak nyata • : berpengaruh nyata pada taraf 5%
Begitu juga dengan perlakuan silikat berpengaruh nyata pada semua peubah yang
diamati sesaat sebelum perendaman. Perlakuan Silikat menunjukkan hasil yang meningkat
menurut peningkatan dosis yang diberikan. Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan dan
kandungan klorofil terendah terdapat pada perlakuan S0 dan tertinggi pada perlakuan S3 seperti
terlihat pada Tabel 1.
Pengamatan sesaat sesudah perendaman menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh
nyata baik pada perlakuan nitrogen maupun silikat pada semua peubah. Pengamatan sesaat
sesudah perendaman menunjukkan bahwa perlakuan S3 cenderung memberi hasil tertinggi pada
semua peubah (Tabel 2).
Perlakuan nitrogen berpengaruh tidak nyata pada semua peubah yang diukur pada 1
minggu setelah perendaman. (Tabel 3), sementara Perlakuan silikat berpengaruh nyata pada
semua peubah yang diamati kecuali klorofil. Perlakuan Silikat menunjukkan hasil yang
meningkat menurut peningkatan dosis yang diberikan. Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
anakan dan kandungan klorofil terendah terdapat pada perlakuan S0 dan tertinggi pada perlakuan
S3.
Perlakuan nitrogen berpengaruh tidak nyata pada semua peubah yang diukur pada 2
minggu setelah perendaman (Tabel 4). Sementara Perlakuan silikat berpengaruh nyata pada
peubah jumlah anakan dan jumlah daun. Perlakuan Silikat menunjukkan hasil yang meningkat
menurut peningkatan dosis yang diberikan. Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan dan
kandungan klorofil tertinggi pada perlakuan S3.
39 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Hasil pengukuran sesaat setelah perlakuan perendaman.
Perlakuan S0 S1 S2 S3
Reratans
Tinggi tanaman (cm)
N1 39,78 40,67 38,17 42,06 40,17
N2 40,83 32,50 36,83 38,97 37,28
N3 38,78 39,22 36,67 43,00 39,42
Reratans 39,80 37,46 37,22 41,34
Jumlah daun (helai)
N1 10,67 16,00 13,78 17,67 14,53
N2 13,50 11,67 13,33 24,67 15,79
N3 9,78 15,33 13,22 18,22 14,14
Reratans 11,31 14,33 13,44 20,19
Jumlah anakan (btg)
N1 4,22 6,44 6,11 6,56 5,83
N2 5,61 4,78 5,39 8,17 5,99
N3 4,33 5,67 6,56 6,06 5,65
Reratans 4,72 5,63 6,02 6,93
Klorofil (g/cm2)
N1 33,80 34,70 33,74 34,40 34,16
N2 32,42 32,06 33,26 33,81 32,89
N3 33,56 34,32 34,92 34,44 34,31
Reratans 33,26 33,69 33,98 34,22
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Ns : berpengaruh tidak nyata • : berpengaruh nyata pada taraf 5%
Tabel 3. Hasil pengukuran pada 1 minggu setelah perlakuan perendaman.
Perlakuan S0 S1 S2 S3 Rerata
ns
Tinggi tanaman (cm)
N1 41,33 40,94 42,67 43,94 42,22
N2 40,83 37,39 37,06 44,06 39,83
N3 38,33 39,11 38,67 41,22 39,33
Rerata* 40,17b 39,15b 39,46b 43,07a
Jumlah daun (helai)
N1 21,44 31,00 31,44 41,44 31,33
N2 26,78 19,33 23,72 46,94 29,19
N3 18,78 31,89 22,00 37,11 27,44
Rerata* 22,33b 27,41b 25,72b 41,83a
Jumlah anakan (btg)
N1 10,00 15,22 14,44 17,72 14,35
N2 13,06 9,00 12,28 20,50 13,71
N3 9,67 13,67 11,56 17,56 13,11
Rerata* 10,91b 12,63b 12,76b 18,59a
Klorofil (g/cm2)
N1 39,21 39,40 40,52 40,64 39,94
N2 38,40 39,51 37,52 41,02 39,11
N3 39,13 38,16 39,30 41,04 39,41
Reratans 38,91 39,02 39,11 40,90
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Ns : berpengaruh tidak nyata • : berpengaruh nyata pada taraf 5%
40 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Pengukuran pada 2 minggu setelah perlakuan perendaman.
Perlakuan S0 S1 S2 S3 Rerata
ns
Tinggi tanaman (cm)
N1 45,56 48,33 48,33 49,17 47,85
N2 46,72 42,83 42,78 51,53 45,97
N3 44,61 46,72 44,00 48,11 45,86
Reratans 45,63 45,96 45,04 49,60
Jumlah daun (helai)
N1 37,11 83,11 47,11 88,28 63,90
N2 53,17 40,33 40,11 87,44 55,26
N3 34,22 59,94 53,28 78,67 56,53
Rerata* 41,50b 61,13b 46,83b 84,80a
Jumlah anakan (btg)
N1 16,44 30,89 20,89 35,67 25,97
N2 21,94 18,44 18,28 35,17 23,46
N3 15,00 25,44 23,50 28,89 23,21
Rerata* 17,80b 24,93b 20,89b 33,24a
Klorofil (g/cm2)
N1 40,74 41,49 41,24 40,79 41,07
N2 40,66 39,50 40,02 41,38 40,39
N3 41,09 40,25 40,06 40,62 40,51
Reratans 40,83 40,41 40,44 40,93
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Ns : berpengaruh tidak nyata • : berpengaruh nyata pada taraf 5%
Pengukuran pada semua peubah pada tanaman kontrol menunjukkan bahwa tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah daun dan kadar klorofil yang jauh lebih rendah dibandingkan
data hasil pengamatan dengan perlakuan nitrogen dan silikat (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil pengamatan pada tanaman kontrol.
Peubah Hasil pengukuran
Tinggi tanaman (cm) 37,50
Jumlah anakan (batang) 8,25
Jumlah daun (helai) 19,25
Kadar klorofil (g/cm2) 35,20
Produksi
Jumlah biji per malai dan gabah per rumpun dipengaruhi secara nyat oleh perlakuan
silikat, namun jumlah biji per malai tidak dipengaruhi oleh silikat. Perlakuan nitrogen tidak
memberi pengaruh yang nyata pada semua perlakuan. Perlakuan silikat yang memberikan hasil
terbaik pada semua peubah produksi dihasilkan pada perlakuan S2. (Tabel 6).
41 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 6. Produksi padi pada perlakuan nitrogen dan silikat pada persemaian.
Perlakuan S0 S1 S2 S3 Rerata
ns
Jumlah anakan produktif (btg)
N1 51,44 55,78 51,78 51,33 52,58
N2 58,89 51,11 64,00 46,39 55,10
N3 56,56 47,78 56,00 51,11 52,86
Rerata* 55,63a 51,56b 57,26a 49,61b
Jumlah biji per malai (buah)
N1 51,44 55,78 51,78 51,33 52,58
N2 58,89 51,11 64,00 46,39 55,10
N3 56,56 47,78 56,00 51,11 52,86
Reratans 55,63a 51,56b 57,26a 49,61b
Gabah per rumpun ((grm)
N1 105,27 124,30 106,10 111,85 111,88
N2 128,01 110,89 165,61 87,39 122,98
N3 127,83 96,93 133,44 114,86 118,27
Rerata* 120,37ab 110,71b 135,05a 104,70b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Ns : berpengaruh tidak nyata • : berpengaruh nyata pada taraf 5%
Pembahasan
Semua taraf perlakuan nitrogen dan silikat memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan nitrogen dan silikat. Tanaman yang
tidak diberi perlakuan nitrogen dan silikat hanya mencapai tinggi 37.5 cm, 8 anakan, 19 daun, dan
35 mg/cm klorofil pada 2 minggu setelah perendaman (Tabel 5), sementara tanaman yang diberi
perlakuan nitrogen dan silikat mencapai tinggi 50 cm, 33 anakan dan 84 daun (Tabel 4).
Suwignyo (2005) menyatakan bahwa supaya tanaman dapat lebih toleran dengan rendaman,
vigoritas bibit saat dipersemaian perlu diperhatikan.
Pemberian silikat cenderung memberi hasil yang lebih baik sesuai peningkatan taraf
perlakuan silikat. Pemberian silikat hingga 15 g/tanaman masih memberikan kecenderungan
peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah anakan. Silikat merupakan salah satu unsur
hara penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Taiz dan Zeiger (2003),
salah satu dari manfaat Si yang dapat mendorong pertumbuhan tanaman adalah meningkatkan
kekuatan dan ketegakan daun sehingga daun tidak saling menaungi. Tanaman yang kekurangan
Si sangat rentan mengalami kerebahan (lodging).
Meskipun silikat bukan merupakan unsur yang sangat esensial untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, dengan adanya unsur ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan
meningkatkan hasil padi (Takahashi, 1995). Kehabisan Si-tersedia (bagi tanaman) dalam tanah
dapat mengakibatkan atau stagnasi hasil (Savant et al., 1997). Suplai Si yang cukup pada
pertanaman padi dapat menurunkan serangan penyakit dan menghambat keracunan unsur besi,
aluminium, dan mangan. Juga meningkatkan ketersediaan dan pemanfaatan posfor oleh tanaman.
Pada kondisi di lapangan, khususnya pada pertanaman sereal dengan jarak tanam yang
padat, Si dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman secara tidak langsung. Salah satu
dari manfaat Si yang dapat mendorong pertumbuhan tanaman adalah meningkatkan kekuatan dan
ketegakan daun sehingga daun tidak saling menaungi (Taiz dan Zeiger, 2003). Prakash et al.,
(2007) menyatakan bahwa pemberian abu sekam padi yang berwarna hitam hingga abu-abu
sebagai sumber silikat sebanyak 0,5-1,0 kg m2 ke dalam persemaian akan menghasilkan bibit padi
yang sehat dan kuat. Selanjutnya penelitian Singh et al., (2007) menunjukkan bahwa perlakuan
pembawa silikat secara nyata dapat meningkatkan berat 1000 gram padi.
Pemberian nitrogen dan silikat pada persemaian dimaksudkan untuk meningkatkan
vigoritas bibit padi. Toleransi tanaman padi terhadap kondisi terendam dapat ditingkatkan dengan
vigor awal yang tinggi sebelum terjadinya genangan. Melalui metode ini, tanaman akan
mengalami kerusakan yang lebih kecil selama terjadinya genangan.
42 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pengaruh negatif rendaman terhadap tanaman terjadi akibat kerusakan mekanis pada
daun, berkurangnya cahaya, terbatasnya difusi gas, peningkatan kepekaan tanaman terhadap
hama dan penyakit. Pada saat tanaman terendam air, suplai oksigen dan karbondioksida menjadi
berkurang sehingga mengganggu proses fotosisntesis dan respirasi. Bila tanaman terendam lebih
dari 4 hari, lama kelamaan akan mati (Kawano et al., 2002; Litbang Deptan, 2007). Ram et al.,
(2002) menyimpulkan tiga perubahan lingkungan yang drastis pada saat banjir terjadi yang dapat
mengakibatkan kerusakan secara fisiologis pada tanaman, yaitu berkurangnya oksigen yang
membatasi respirasi, terhambatnya CO2 untuk masuk ke dalam tanaman yang mengganggu proses
fotosintesis dan stres pasca terendam pada saat air sudah berkurang.
Menurut Sarkar et al., (2006), toleransi rendaman merupakan adaptasi tanaman dalam
merespon proses anaoerob yang memampukan sel untuk mengatur atau memelihara keutuhannya
sehingga tanaman mampu bertahan hidup dalam kondisi hipoksia tanpa kerusakan yang berarti.
Sebuah evaluasi terhadap padi yang toleran dan tidak toleran menunjukkan bahwa bibit padi yang
toleran memiliki 30-50% cadangan karbohidrat non struktural dibandingkan kultivar rentan.
Karbohidrat ini dimanfaatkan selama terendam untuk mensuplai energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan mengatur metabolisme. Oleh karena itu, perlu peningkatan vigoritas bibit padi
sebelum mengalami genangan sehingga terjadi regenerasi yang cepat setelah terendam.
Hal ini merupakan suatu sifat yang diinginkan pada kondisi rendaman yang berulang-
ulang atau lama, karena dapat menjamin pemulihan yang cepat dan produksi biomas yang cukup
untuk produktifitas yang optimum.hal ini diperlihatkan dalam hasil penelitian ini dimana hasil
tertinggi untuk peubah produksi diperoleh pada perlakuan 10 g/tanaman silikat.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Perlakuan nitrogen dan silikat pada persemaian dapat meningkatkan vigoritas bibit padi dan
mempercepat pemulihan pasca perendaman
2. Silikat yang terbaik adalah 10 dan 15 g/tanaman.
S a r a n
Perlu dilakukan penelitian mengenai beberapa sumber silikat dan waktu pemberian yang
terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Depkominfo. 2008. Kebutuhan Pangan Nasional. www.indonesia.go.id didownload pada 12
Oktober 2008.
Jackson, M.B., Ram P.C. 2003. Physiological and Molecular Basis of Susceptibility and
Tolerance of Rice Plants to Complete Submergence. Annals of Botany. 91(2):227-241.
Kawano, N., E. Ella, O. Ito, Y. Yamauchi, K. Tanaka. 2002. Metabolic Changes in Rice
Seedlings with Different Submergence Tolerance after desubmergence.. 47: 195-203.
Environmental and Experimental Botany
Litbang Deptan. 2007. IRRI Temukan Varietas Padi Tahan Banjir.
http://www.litbang.deptan.go.id didownload pada tanggal 6 Oktober 2008.
Mattjik, A.A., dan I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor. IPB Press.
Prakash, N.B., H. Nagaraj, K.T. Guruswamy, B.N. Viswanatha, C. Narayanaswamy, N.A.J.
Gowda, N. Vasuki, and R. Siddaramappa. 2007. Rice Hull Ash as a Source of Silicon and
Phosphatic Fertilizers: Effect on Growth and Yield of Rice in Coastal Karnataka, India.
IRRI. www.irrn.org. diakses 15 Juli 2007.
Ram, P.C., B.B.Singh, A.K.Singh, P. Ram, P.N.Singh, H.P.Singh, I.Boamfa, F.Harrens,
E.santosa, M.B.Jackson, T.L.Setter, J.Reuss, L.J.Wade, V.P.Singh, R.K.Singh. 2002.
43 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Submergence Tolerance in Rainfed Lowland Rice: Physiologycal Basic and Prospects for
Cultivar Improvement through Marker-aided Breeding. Field Crops Research. 76: 131-152.
Sarkar, R.K., J.N. Reddy, B.C.Marndi, and S.S.C. Patnaik. 2003. New Rice Cultivars Tolerant of
Complete submergence. IRRN.
Sarkar, R.K., J.N. Reddy, S.G. Sharma and A.M. Ismail. 2006. Physiological Basis of
Submergence Tolerant in Rice and Implications on Crop Development. Current Science.
91: 899 – 906.
Savant, N.K., Datnoff L.E. Snyder G.H. 1997. Depletion of Plant Available Silicon In Soil: A
Possible Cause of Declining Rice Yields. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 28:1245-1252.
Singh, K., R. Singh, K.K. Singh, and Y. Singh. 2007. Effect of Silicon Carries and Time of
Application on Rice Productivity in a Rice-wheat Cropping Sequence. IRRI. www.irrn.org.
diakses 15 Juli 2007.
Suwignyo, R.A. 2005. Pemercepatan Pertumbuhan Kembali Bibit Padi Pasca Terendam Setelah
Mendapat Perlakuan ”Plant Phytoregulator‖ dan Nitrogen. Jurnal Tanaman Tropika
8(2):45-52.
Taiz, L., E. Zeiger. 2003. Plant Physiology. Edisi ketiga. Sinauer Associates
Takasashi, E. 1995. Uptake Mode and Physiological Functions of Silica. Sci. Rice Plant 2:58-71
HASIL DISKUSI
Tanya : Nitrogen tidak berpengaruh, berarti di kesimpulan dibuat silikat yang
berpengaruh?Apakah ada interaksi antara nitrogen dan silikat?Ada hal tidak berkaitan
antara nitrogen dan silikat karena kebanyakkan N dan Si akan berpengaruh terhadap
tanaman
Jawab : Tidak ada interaksi, faktor tunggal. N tidak berpengaruh nyata, ada persoalan fisiologis
pada saat terendam terutama protein. Silikat berfungsi untuk menambah ketegakan
daun.
44 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI PADI SAWAH DI KABUPATEN SELUMA
Studi Kasus: Produktivitas Padi Sawah di Desa Bukit
Peninjauan II Kecamatan Sukaraja
Eddy Makruf, Yulie Oktavia dan Wawan Eka Putra
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Sektor pertanian di Propinsi Bengkulu masih menjadi tulang punggung perekonomian daerah, oleh karena
itu sektor pertanian akan mendapat perhatian besar dan merupakan kegiatan utama dalam pembangunan perekonomian
Bengkulu. Produktivitas padi sangat ditentukan oleh penggunaan faktor-faktor produksi seperti pupuk, tenaga kerja,
benih, dan pestisida. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor produksi padi sawah di Desa Bukit
Peninjauan II, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 30 orang petani
padi pada bulan Oktober sampai dengan November 2011. Data dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui
hubungan antara produksi dan 7 variabel faktor produksi yaitu luas lahan penggunaan pupuk urea, SP-36, NPK
Phonska, tenaga kerja, benih, dan pestisida digunakan analisis regresi linier berganda. Dari hasil penelitian disimpulkan
bahwa faktor-faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata terhadap produksi padi sawah. secara
individual variabel jumlah pupuk SP-36 (X3) berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas padi sawah, variabel
jumlah pupuk Urea (X2) berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah, sedangkan variabel luas lahan (X1),
jumlah pupuk KCl (X4), jumlah tenaga keja (X5), jumlah benih (X6) dan jumlah pestisida (X7) berpengaruh tidak
nyata terhadap produktivitas padi sawah.
Kata kunci : padi sawah, faktor produksi, Kabupaten Seluma
PENDAHULUAN
Salah satu komoditas strategis sektor pertanian adalah padi, sebagai komoditas
terpenting di dalam pembangunan pertanian maka berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan
produksi padi. Tanaman padi mempunyai potensi dan peluang yang sangat besar untuk
dikembangkan di Kabupaten Seluma. Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra produksi
padi di Provinsi Bengkulu dengan luas panen 15% dari total propinsi.
Produktivitas padi di Propinsi Bengkulu masih tergolong rendah. Pada tahun 2010
Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa luas panen padi di Propinsi Bengkulu adalah 133.629 ha
dengan produksi 516.869 ton, sehingga produktivitasnya hanya 3,87 t/ha. Produktivitas ini masih
di bawah produktivitas nasional yang mencapai 4,999 t/ha (BPS Bengkulu, 2011).
Besar kecilnya produksi padi sawah tergantung pada faktor-faktor produksi yang
digunakan, antara lain luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih dan pestisida. Oleh karena itu,
pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produktivitas padi di Bengkulu menjadi menarik untuk
dikaji. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor produksi yang
meliputi luas lahan, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, tenaga kerja, jenis benih, dan
pestisida terhadap produktivitas tanaman padi di Desa Bukit Peninjauan II, Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Seluma.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di Desa Bukit Peninjauan II Kecamatan Sukaraja Kabupaten
Seluma pada bulan Oktober sampai dengan November 2011 dengan metode survei. Penentuan
lokasi di Desa Bukit Peninjauan II dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu
Desa penghasil padi di Kecamatan Sukaraja.
Responden ditentukan secara acak sebanyak 30 orang petani. Data yang dikumpulkan
meliputi produktivitas padi dan 7 faktor produksi yang mempengaruhinya yaitu luas lahan (X1),
penggunaan pupuk urea (X2), pupuk SP-36 (X3), pupuk KCl (X4), tenaga kerja (X5), jumlah benih
(X6), dan pestisida (X7). Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan regresi linier
berganda. Untuk mengetahui pengaruh keseluruhan faktor produksi terhadap produktivitas padi
45 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
digunakan uji F, sedangkan uji t dipakai untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor
produksi terhadap produktivitas. Data diolah dengan menggunakan software SPSS versi 17.
Persamaan regresinya adalah:
Y = a0 + b1X1 + ………… + b5X5 + b6X6 + b7X7 + U Dimana :
Y = Produksi (kg/GKP)
a0 = Intersep
X1 = Luas Lahan
X2 = Jumlah Pupuk Urea (kg)
X3 = Jumlah Pupuk SP-36 (kg)
X4 = Jumlah Pupuk KCL (kg)
X5 = Jumlah Tenaga Kerja (Hari Kerja Setara Pria - HKSP)
X6 = Jumlah Benih (kg)
X7 = Jumlah Pestisida (ml).
bi = Koefisien regresi
U = Kesalahan pengganggu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Penelitian
Data deskripsi lokasi penelitian bersumber dari Profil Desa Bukit Peninjauan II Tahun
2011 Desa Bukit Peninjauan II merupakan wilayah administrasi Kecamatan Sukaraja Kabupaten
Seluma, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sidosari dan Desa Niur, sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Kayu Arang dan Desa Padang Pelawi, sebelah Barat berbatasan dengan
Desa Sarimulyo dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kayu Arang.
Penggunaan lahan di Desa Bukit Peninjauan II untuk lahan persawahan seluas 172
hektar (11%), umumnya lahan sawah di Desa Bukit Peninjauan II didukung oleh irigasi yang
memadai berasal dari Sungai Siabun dan memungkinkan petani dapat menanam padi 2-3 kali
setahun.
Jumlah penduduk Desa Bukit Peninjauan II pada tahun 2011 adalah 1.965 Jiwa dengan
439 Kepala Keluarga (KK). Penduduk berjenis kelamin laki-laki berjumlah 940 jiwa sedangkan
perempuan 1.025 jiwa (sex ratio 0,92%). Dari sini diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki
lebih sedikit atau 0,92 kali dari jumlah penduduk perempuan atau dapat dikatakan bahwa jumlah
komposisi penduduk relatif berimbang. penduduk berusia 15-54 tahun sebanyak 1.386 jiwa atau
70,53% dari jumlah penduduk Desa Bukit Peninjauan II. Berdasarkan hal tersebut diketahui
bahwa jumlah penduduk usia produktif di Desa Bukit Peninjauan II cukup tinggi. Menurut
Yuzzsar (2008), umur seseorang sangat menentukan keberhasilan suatu usaha. Umur produktif
(16-55 tahun) akan relatif lebih baik produktifitasnya dibandingkan dengan umur lanjut (diatas 55
tahun). Sedangkan Jumlah petani di Desa Bukit Peninjauan II mencapai 465 orang (53,57%) dari
total jumlah penduduk.
Kondisi irigasi teknis untuk usahatani padi di Desa Bukit Peninjauan II cukup baik yang
airnya bersumber dari Sungai Siabun. Kelembagaan pendukung usahatani juga cukup memadai.
Desa Bukit Peninjauan II memiiki 2 buah koprasi, 8 buah industri kerajinan, 6 buah industri alat
rumah tangga, 1 buah industri bahan bangunan, 3 buah usaha peternakan, 1 buah kios saprodi, 3
buah penggilingan padi dan 2 buah kelompok simpan pinjam, namun tidak memiliki pedagang
pengumpul beras. Karena letaknya di pinggiran perkotaan maka meskipun jumlah kios saprodi
relatif terbatas disamping juga tidak memiliki pedangan pengumpul beras, namun petani tidak
mengalami kesulitan dalam penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil panen.
Keragaan Usahatani Padi Sawah
1. Lahan
Lahan pertanian adalah tanah yang disiapkan untuk diusahakan sebagai usahatani,
misalnya lahan sawah, tegalan dan perkarangan. Ukuran lahan pertanian dinyatakan dalam
hektar, akan tetapi petani di pedesaan sering menggunakan istilah petak atau depa.
46 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Rata-rata luas lahan sawah responden adalah 0,93 ha. Ditinjau dari kepemilikan
lahan sebanyak 28 orang responden (93,33%) merupakan petani pemilik lahan, sedangkan
sisanya 2 orang (6,67%) merupakan petani penggarap/sewa dengan sistem bagi hasil. Tabel 1
menyajikan luas lahan sawah dan status kepemilikan responden.
Tabel 1. Luas lahan sawah dan status kepemilikan.
No. Luas dan Kepemilikan Lahan Jumlah
Orang Persentase (%)
1. Luas lahan (ha)
- 0,50 – 0,80
- 0,81 – 1,00
- 1,01 – 2,00
6
23
1
20,00
76,67
3,33
2. Kepemilikan lahan
- Milik sendiri
- Garap
28
2
93,33
6,67
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa umumnya luas lahan sawah yang diusahakan responden
relatif luas yaitu antara 0,81 – 1 ha. Kepemilikan lahan sebagian besar (93,33%) merupakan
milik sendiri, sedangkan 6,67% adalah garapan dengan sistem bagi hasil terhadap hasil bersih
produksi gabah kering panen setelah dikurangi biaya perontokan gabah. Terdapat 2 pola bagi
hasil yang diterapkan di lokasi penelitian yaitu bagi 2 atau bagi 3. Bagi 2 berarti bahwa
pemilik lahan dan penggarap masing-masing mendapatkan 50% hasil bersih produksi gabah
kering panen. Dalam pola ini, pemilik lahan menanggung biaya pengolahan lahan. Bagi 3
berarti bahwa pemilik lahan menerima 1/3 bagian hasil bersih produksi gabah kering panen,
sedangkan penggarap mendapatkan 2/3 bagian. Seluruh biaya produksi pada pola ini
ditanggung oleh penggarap.
2. Penggunaan pupuk
Pupuk yang digunakan oleh responden merupakan pupuk tunggal terdiri atas Urea
(46% N), SP-36 (36% P2O5) Kedua pupuk tersebut merupakan pupuk bersubsidi dan pupuk
KCL (60% K2O) merupakan pupuk non subsidi. Rata-rata penggunaan pupuk petani per
hektar adalah Urea 198,21 kg, SP-36 96,43 kg, KCl 32,14 kg. Penggunaan jenis pupuk oleh
petani responden disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan penggunaan dosis pupuk petani dan pupuk rekomendasi.
No Dosis per ha Kandungan (kg)
N P2O5 K2O
1. Petani
- Urea (198,21 kg)
- SP-36 (96,43 kg)
- KCL (32,14 kg)
91,18 34,71 19,28
2. Rekomendasi (Permentan NO. 40/2007)
- Urea (250 kg)
- SP-36 (75 kg)
- KCL (50 kg)
115,00 27,00 30,00
3. Selisih kandungan - 23,82 + 7,71 - 10,72 Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Umumnya responden melakukan pemupukan hanya dua kali dalam satu musim
tanam. Sebaiknya pemupukan dasar dilakukan pada umur tanaman 7 - 14 HST, pemupukan
susulan I umur 21 - 30 HST dan pemupukan susulan II pada umur 35 - 45 HST.
Pupuk memegang peranan penting dalam keberhasilan usahatani padi sawah.
Pemupukkan yang tidak berimbangseperti yang dilakukan petani sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut BPTP Bengkulu (2009), pupuk N diperlukan
47 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
untuk pertumbuhan tanaman sepanjang musim, pupuk P diperlukan pada stadia awal
pertumbuhan yaitu meningkatkan perkembangan akar, pembentukan anakan, dan
mempercepat tanaman berbungan. Sedangkan pupuk K diperlukan untuk memperkuat dinding
sel tanaman, memperluas kanopi daun untuk proses fotosintesis, serta meningkatkan jumlah
gabah per malai dan persentase gabah bernas. Ketiga pupuk ini merupakan jenis pupuk makro.
Kekurangan dosis pupuk N yang sumber utamanya berasal dari pupuk Urea dapat menurunkan
produksi tanaman padi. Menurut Gani dan Sembiring (2007), Nitrogen adalah unsur hara
paling penting bagi tanaman dan respon tanaman padi terhadap N biasanya lebih tinggi
dibandingkan P dan K, karena kekurangan N dan P dapat mengurangi jumlah anakan tanaman
padi.
3. Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani
padi sawah, oleh karena tenaga kerja yang bekerja di sawah terdiri atas pria dan wanita. Maka
dibuat standar jumlah tenaga kerja menjadi Hari Kerja Setara Pria (HKSP) dimana 1 HKSP
meliputi 8 jam kerja dengan upah kerja Rp. 50.000/HKSP. Tenaga kerja dalam usahatani padi
berasal dari dalam dan luar keluarga tani, di Desa Bukit Peninjauan II deskripsi penggunaan
tenaga kerja dalam usahatani padi sawah seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Deskripsi penggunaan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin dalam usahatani padi
sawah per hektar.
No Uraian Pekerjaan Jumlah Tenaga Kerja (dalam HKSP)
Pria Wanita Jumlah %
1. Pengolahan lahan 16,00 - 16,00 11,91
2. Penanaman 9,11 22,43 31,54 23,48
3. Penyiangan dan penyulaman 8,75 5,11 13,86 10,32
4. Pemupukan 5,39 - 5,39 4,01
5. Penyemprotan PHT 9,36 - 9,36 6,97
6. Pengairan 4,32 - 4,32 3,22
7.
8.
Panen (diluar bawon)
Pengangkutan hasil
12,79
10,57
30,50
-
43,29
10,57
32,23
7,87
Jumlah 65,07 42,68 134,33 100,00
Keterangan : Analisis data primer Tahun 2012.
HKSP : Hari Kerja Setara Pria
Dari tabel 3 terlihat bahwa dalam usahatani padi curahan tenaga kerja untuk
kegiatan pemanenan yaitu 43,29 HKSP (32,23%) dan penanaman yaitu 31,54 HKSP (23,48%)
adalah dominan. Kedua kegiatan tersebut menyumbang 74,83 HKSP (55,71%) dari total
curahan tenaga kerja dalam usahatani padi.
4. Penggunaan benih
Benih padi yang digunakan petani di Desa Bukit Peninjauan II pada umumnya
berlabel mencapi 80% dan tidak berlabel 20%, sebagian besar sudah menggunakan varietas
Ciherang dan rata-rata penggunaan benih sebanyak 31,07 kg/ha. (Tabel 4).
48 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Penggunaan benih padi petani di Desa Riak Siabun II Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma.
No. Penggunaan Benih Padi Jumlah
Orang %
1. Varietas selain IR yang pernah ditanam
30
100 Ciherang
2. Jenis benih
Berlabel
Tidak berlabel
24 80
6 20
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Banyaknya petani yang menggunkan benih berlabel disebabkan oleh adanya
bantuan pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Seluma. Hal ini
didukung oleh hasil survei bahwa hanya terdapat 5 orang petani yang membeli benih berlabel
untuk kebutuhan usahatani mereka.
Tabel 5. Sistem tanam responden dalam berusahatani padi.
No. Sistem tanam Jumlah Pengguna
Orang Persentase (%)
1. Tegel 27 90,00
2. Jalur 2 6,67
3. Tidak beraturan 1 3,33
Jumlah 20 100,00
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Tabel 5 memperlihatkan hasil kajian sistem tanam yang digunakan petani di lokasi
pengkajian umumnya sistem tegel (90%). Sistem tanam merupakan salah satu komponen
teknologi yang mempengaruhi indeks pertanaman, maka dianjurkan untuk menerapkan sistem
tanam legowo (4:1 atau 2:1). Dimana pada sistem legowo jumlah tanaman perhektar lebih
banyak dbandingkan sistem tegel, jumlah benih yang digunakan juga lebih banyak
dibandingkan sistem tegel. Pada sistem tegel dengan jarak tanam 20x20 cm dalam 1 ha
terdapat 250.000 tanaman, sedangkan pada sistem tanam legowo 4:1 dengan jarak tanam
20x20 cm dan jarak sisipan antar legowo 10 cm terdapat 300.000 tanaman/ha (Daliani dan
Taufik, 2011).
5. Penggunaan pestisida
Petani padi di Desa Bukit Peninjauan II menggunakan pestisida yang terdiri atas
insektisida, herbisida, fungisida dan moluskasida selama siklus pertanaman padi. Penggunaan
pestisida disesuaikan dengan kebutuhan dan intensitas serangan hama penyakit pada
pertanaman padi, seperti tergambar pada Tabel 6.
Tabel 6. Keragaan penggunaan pestisida petani padi sawah di Desa Bukit Peninjauan II
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma.
No Jenis pestisida Jumlah (ml/)
1. Insektisida 200,00
2. Herbisida 1.151,79
3. Fungisida 22,86
4. Moluksisida 7,14
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Dari Tabel 6 diketahui bahwa, Herbisida paling banyak digunakan yaitu sebanyak
1.151,79 ml, kemudian disusul oleh Insektisida sebanyak 200 ml, Fungisida sebanyak 22,86
ml dan Moluksisida sebanyak 7,14 ml. Herbisida dan insektisida juga cukup banyak dipakai
49 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
untuk membasmi gulma dan mengendalikan serangga hama yang cukup banyak jenisnya di
sawah seperti belalang, ulat, wereng dan kepinding tanah. dan moluskasida relatif sedikit
digunakan sesuai dengan kebutuhan.
6. Analisa usahatani padi sawah
Hasil kajian menggambarkan nilai tingkat keuntungan dan kelayakan usahatani padi
sawah di Desa Bukit Peninjauan II menggunakan nilai R/C dan B/C, dimana terlihat bahwa
hasil perhitungan R/C usahatani padi senilai 1,67 dan B/C 0,67 (Tabel 7). Menurut Suwasono
(2004), R/C merupakan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya, R/C = 1 artinya
suatu usaha impas, R/C > 1 berarti usaha tani memperoleh keuntungan, sedangkan R/C < 1
berarti usaha mengalami kerugian. Selanjutnya dikatakan bahwa B/C > 1 berarti usaha layak
untuk dijalankan. Dari hasil perhitungan tersebut artinya bahwa usahatani padi sawah
memperoleh keuntungan dan tidak rugi, tapi kurang layak untuk dilaksanakan.
Tabel 7. Analisis usahatani padi sawah per hektar di Desa Bukit Peninjauan II Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Seluma.
No Uraian Satuan Harga Satuan
(Rp)
Jumlah
Harga (Rp)
A. Saprodi
a. Benih (kg) 31,07 6.700 208.169
b. Pupuk (kg)
- Urea
- SP-36
- KCl
198,21
96,43
32,14
1.800
2.300
6.250
356.778
221.789
200.875
c. Pestisida (ml)
- Insektisida
- Herbisida
- Fungisida
- Moluksisida
200
1.151,79
22,86
7,14
151
57
500
230
30.200
65.652
11.430
1.642
d. Tenaga Kerja (HKSP)
- Pengolahan lahan
- Penanaman
- Penyiangan dan penyulaman
- Pemupukan
- Penyemprotan PHT
- Pengairan
- Panen (diluar bawon)
- Pengakutan hasil
16,00
31,54
13,86
5,39
9,36
4,32
43,29
10,57
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
800.000
1.577.000
693.000
269.500
468.000
216.000
2.164.500
528.500
Jumlah biaya produksi 7.813.035
B Hasil GKP (kg) 3.739 3.500 13.086.500
C Keuntungan (B-A) 5.481.634
D R/C (Hasil / Biaya Produksi) 1,67
E B/C (Keuntungan / Biaya Produksi) 0,67
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Produktivitas Padi Sawah
Tujuan usahatani padi sawah adalah untuk mendapatkan produktivitas yang optimal,
sehingga akan diperoleh produktivitas yang tinggi. Agar tujuan itu tercapai maka penggunaan
input produksi yang tepat menjadi sangat penting, dengan memperhatikan efisiensi usahatani.
Deskripsi penggunaan faktor-faktor tersebut disajikan pada Tabel 8.
50 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 8. Deskripsi penggunaan faktor-faktor produksi dan produktivitas padi sawah di Desa
Bukit Peninjauan II.
No Faktor-Faktor Produksi Deskripsi Penggunaan
1. Luas lahan 0,93 ha
2. Pupuk Urea 214,29 kg
3. Pupuk SP-36 107,14 kg
4. Pupuk KCl 42,86 kg
5. Tenaga kerja 134,33 HKSP
6. Benih 31,07 kg
7. Pestisida 1.381,79 ml
8. Produksi (GKP) 3,7 ton
Sumber : Analisis data primer Tahun 2012.
Terlihat pada Tabel 8., bahwa produktivitas padi sawah di Desa Bukit Peninjauan II
hanya mencapai 3,7 ton/ha GKP. Produktivitas tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-
rata Propinsi Bengkulu yang mencapai 3,9 ton/ha. Hasil pengolahan data faktor-faktor produksi
yang mempengaruhi produktivitas padi sawah dengan menggunakan analisis regresi linier
berganda disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah di Desa Bukit
Peninjauan II.
No. Variabel Koofisien Regresi t-hitung
1. Konstanta 162,687 0,308
2. Luas lahan 236,890 0,264 ns
3. Jumlah Pupuk Urea Kg 13,271 2,511 *
4. Jumlah Pupuk SP-36 Kg 11,391 2,801 **
5. Jumlah Pupuk KCl Kg 3,913 1,098
6. Jumlah Tenaga Kerja HKSP -5,823 -1,464 ns
7. Jumlah Benih Kg 5,802 0,543 ns
8. Jumlah Pestisida Ml 0,055 0,461 ns
9. R 0,922
10. R2
0,849
11. F-hitung 17,735
Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 99% ns = tidak berbeda nyata
t-tabel (0,01) = 2,75000
t-tabel (0,05) = 2,04227
F-tabel (0,01) = 3,71
F-tabel (0,05) = 2,52
Dari Tabel 8 diketahu bahwa koofisien korelasi (R) sebesar 0,849 menunjukkan
korelasi/hubungan antara produktivitas padi sawah dengan 7 variabel faktor-faktor produksi
adalah kuat. Menurut Santoso (2010), korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas
disebut kuat apabila nilai R di atas 0,5. Persamaan regresi dari hasil analisis data dapat dituliskan
sebagai berikut:
Y = 162,687+236,890 X1+13,271 X2+11,391 X3+3,913 X4-5,823 X5+5,802 X6+0,055 X7
Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,849. Hal ini berarti bahwa 7
faktor produksi mampu menjelaskan 84,9% keragaman dari produkstivitas usahatani padi sawah,
sedangkan sisanya 15,1% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam
model penelitian. Hasil uji F menunjukkan bahwa F-hitung 18,212 > F-tabel 3,71 pada tingkat
kepercayaan 99%, yang berati secara keseluruhan faktor-faktor produksi yaitu luas lahan, pupuk
Urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, tenaga kerja, benih, dan pestisida berpengaruh terhadap
produktivitas padi sawah di Desa Bukit Peninjauan II. Selanjutnya dilakukan uji t untuk
51 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
mengetahui faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produktivitas padi sawah, yang
diuraikan di bawah ini.
1. Luas lahan (X1)
Dari hasil uji t ternyata penggunaan luas lahan berpengaruh tidak nyata terhadap
produktivitas padi sawah dengan t hitung (0,264) < t tabel (2,04227) pada selang kepercayaan
95%. Koefisien regresi sebesar 236,890 menjelaskan bahwa kontribusi penggunaan luas lahan
menunjukkan arah positif.
2. Pupuk Urea (X2)
Pada variabel penggunaan pupuk Urea, hasil uji t berpengaruh nyata terhadap
produktivitas padi sawah, pada tingkat kepercayaan 95% dengan t hitung (2,511) > t tabel
(2,04227). Nilai koefisien regresinya 13,271, menunjukkan konstribusi ke arah positif. Berarti
bahwa penambahan satu satuan pupuk urea sampai batas tertentu akan menaikan produktivitas
padi sawah sebesar 13,271 satuan dengan asumsi bahwa faktor produksi lain dianggap tetap.
3. Pupuk SP-36 (X3)
Variabel pupuk SP-36 berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas padi sawah
sampai pada taraf kepercayaan 99% dimana t hitung (2,801) > t tabel (2,75000). Nilai
koefisien regresinya 11,391, yang menunjukan kecenderungan bila pupuk SP-36 ditambah
satu unit sampai batas tertentu maka dapat meningkatkan produktivitas padi sawah sebesar
11,391 satuan dengan asumsi faktor lain dianggap tetap.
4. Pupuk KCl (X4)
Variabel pupuk KCL berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi sawah sampai
pada taraf kepercayaan 95% dimana t hitung (1,098) < t tabel (2,04227). Nilai koefisien
regresinya 3,913, yang menunjukan kecenderungan bila pupuk KCL ditambah satu unit
sampai batas tertentu maka dapat meningkatkan produktivitas padi sawah sebesar 3,913 satuan
dengan asumsi faktor lain dianggap tetap.
5. Tenaga kerja (X5)
Variabel tenaga kerja menunjukan pengaruh tidak nyata terhadap produktivitas padi
sawah pada tingkat kepercayaan 95% dengan t hitung (-1,464) < t tabel (2,04227), dengan
nilai koefisien regresinya 5,823, menunjukan bahwa konstribusi penggunaan tenaga kerja
menunjukan arah negatif. Penggunaan tenaga kerja banyak mengunakan sistem kekeluargaan
yang ikut membantu dalam usahatani.
6. Benih (X6)
Pada variabel penggunaan benih, hasil uji t berpengaruh tidak nyata terhadap
produktivitas padi sawah, pada tingkat kepercayaan 95% dengan t hitung (0,543) > t tabel
(2,04227). Nilai koefisien regresinya 5,802, menunjukkan konstribusi ke arah positif. Berarti
bahwa penambahan satu satuan pupuk urea sampai batas tertentu akan menaikan produktivitas
padi sawah sebesar 5,802 satuan dengan asumsi bahwa faktor produksi lain dianggap tetap.
7. Pestisida (X7)
Pada variabel penggunaan pestisida, hasil uji t berpengaruh tidak nyata terhadap
produktivitas padi sawah pada tingkat kepercayaan 95% dengan t hitung (0,461) < t tabel
(2,04227). Dengan nilai koefisien regresinya 0,055 yang menunjukan bahwa kontribusi
penggunaan pestisida menunjukan arah positif. Penggunaan pestisida tidak berpengaruh nyata
terhadap produktivitas padi karena pestisida digunakan disesuaikan dengan serangan hama
dan penyakit.
52 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KESIMPULAN
1. Secara bersama-sama luas lahan (X1), jumlah pupuk Urea (X2), jumlah Pupuk SP-36 (X3),
jumlah Pupuk KCL (X4), jumlah tenaga kerja (X5), jumlah benih (X6) dan jumlah pestisida
(X7) berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas padi sawah;
2. Secara individual variabel jumlah Pupuk SP-36 (X3) berpengaruh sangat nyata terhadap
produktivitas padi sawah, variabel jumlah pupuk Urea (X2) berpengaruh nyata terhadap
produktivitas padi sawah, sedangkan variabel luas lahan (X1), jumlah pupuk KCl (X4),
jumlah tenaga keja (X5), jumlah benih (X6) dan jumlah pestisida (X7) berpengaruh tidak
nyata terhadap produktivitas padi sawah.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Bengkulu. 2011. Tabel Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Padi Seluruh
Provinsi. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Bengkulu.
BPTP Bengkulu. 2009. Panduan Teknologi Mendukung Program SLPTT Padi. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
Daliani, S. D. dan Taufik. H. 2011. Persepsi dan Minat Petani Terhadap Padi Varietas Unggul
Baru Inpari melalui Kegiatan Gelar Teknologi. Kumpulan Makalah Penelitian, Pengkajian,
Pengembangan dan Penerapan Inovasi Teknologi. BPTP Bengkulu, Bengkulu.
Gani dan H Sembiring. 2007. Respon padi Varietas Ciherang dan Mendawah Terhadap N, P
dan K ditanah dari Desa Lhoknga. http://www.dpi.nsw.gov.au/data/
assets/pdf_file/0018/202770/Respon-Ciherang-dan-Mendawak-terhadap-N,-P-dan K-di-
tanah-Tanjung,-Lhoknga.pdf.html (download, 06 Juni 2011).
Santoso, S. 2010. Statistik Parametrik Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Penerbit PT. Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Suwasono, S. 2004. Analisa Finansial Pembuatan Sirup Mengkudu (Morinda citrifolia L),
Tinjauan dari Jenis Gula yang diugunakan. Jurnal Agritek Volume 12 Nomor 1, Januari
2004. Universitas Tribuana Tunggadewi. Malang.
Yuzzsar, 2008. Kependudukan dan Kehidupan Keluarga http://yuzzsar.wordpress.com/ materi-
viii/.
53 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KERAGAAN TANAMAN PADI BERDASARKAN POSISI TANAMAN
TERHADAP KOMPONEN HASIL PADA SISTEM TANAM LEGOWO 4:1
Yartiwi, Ahmad Damiri dan Wawan Eka Putra
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Dalam sistem tanam legowo 4:1 terdapat 3 macam posisi tanaman yaitu tanaman pinggir, tanaman sisipan
dan tanaman tengah. Selama ini dalam penerapan sistem tanam legowo petani ragu terhadap tanaman sisipan sehingga
mengurangi populasi tanaman yang secara langsung akan menurunkan produksi. Oleh karena itu perlu adanya
pengujian untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan dan hasil dari tanaman sisipan, tanaman pinggir dan tanaman
tengah. Tujuan pengkajian ini adalah untuk membandingkan hasil pada tanaman padi sawah varietas Inpari 10 dengan
posisi tanaman berbeda-beda dalam petakan sawah yang menggunakan sistem tanam legowo 4:1. Pengkajian ini
dilakukan pada lokasi kegiatan dan pengkajian Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI)
di Kelurahan Rimbo Kedui, Desa Tanjungan dan Desa Padang Genting, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten
Seluma pada musim gadu (bulan April-Juli 2012). Pengkajian menggunakan RAK dengan perlakuan posisi tanaman:
tanaman tengah, tanaman pinggir dan tanaman sisipan yang masing-masing diulang 30 kali sehingga diperoleh 90
tanaman. Parameter yang diukur adalah komponen hasil terdiri dari tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa, berat 1000 butir dan hasil per hektar. Data dianalisis menggunakan
Analisis Sidik Ragam dan di uji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan terhadap posisi
tanaman yang berbeda-beda. Hasil Pengkajian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar
perlakuan terhadap semua parameter kecuali pada parameter jumlah gabah bernas/malai yang menunjukkan perbedaan
yang nyata antar perlakuan tanaman pinggir, tanaman sisipan dan tanaman tengah yaitu rata-rata jumlah gabah bernas
82.54 butir/malai, 73.76 butir/malai dan 70.10 butir/malai.
Kata Kunci : padi, posisi tanaman, legowo 4:1
PENDAHULUAN
Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan dan
berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Padi juga memberikan kontribusi besar
terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional (Damardjati, 2006). BPS Provinsi Bengkulu
(2011) melaporkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata produktivitas padi sawah di Bengkulu
menurun dibandingkan tahun 2010 sebesar 0,07 ton dari 4,036 ton menjadi 3,966 ton GKG/ha.
Untuk proporsi luas panen tersebut sentra tanaman padi di Provinsi Bengkulu yaitu Kabupaten
Bengkulu Utara dan Kabupaten Seluma masing-masing 16,26 % dan 14,83 %. Sedangkan
berdasarkan Profil Kecamatan Kabupaten Seluma mempunyai luas sawah 2.697 ha yang
merupakan daerah sentra padi, sehingga sangat berpotensi menjadi penyumbang beras yang besar
di Provinsi Bengkulu.
Pembangunan pertanian memerlukan dukungan inovasi teknologi yang memadai dan
berkesinambungan. Inovasi teknologi baru akan bermanfaat apabila dapat menjangkau dan
diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan/pengguna. Inovasi teknologi berperan dalam
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan
rumah tangga petani. Inovasi yang ditawarkan kepada petani harus memenuhi persyaratan teknis,
ekonomis, sosial budaya dan lingkungan. Secara teknis inovasi harus dapat atau diupayakan dapat
dibuat, dioperasikan, dimodifikasi dan digandakan sesuai dengan kemampuan setempat (Deptan,
2008). Namun demikian, secara nasional, sistem adopsi/alih teknologi pertanian dinilai masih
lemah.
Salah satu teknologi yang perlu di inovasikan adalah sistem tanam legowo, dimana
sistem tanam legowo merupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman
yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya berada pada barisan
yang kosong, selanjutnya dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Pada
pengkajian ini sistem tanam yang digunakan adalah legowo 4:1 (BB-Padi, 2009). Sistem tanam
legowo 4 : 1 adalah cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan tanaman yang setiap
empat baris tanaman diselingi oleh 1 baris kosong, dimana jarak tanam pada barisan pinggir ½
54 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kali jarak tanaman pada baris tengah. Berdasarkan hasil penelitian, rekayasa teknik tanam padi
dengan cara tanam jajar legowo 4:1 terbukti dapat meningkatkan produksi padi sebesar 12-22%.
Pada sistem tanam legowo 4:1 terdapat 3 macam posisi tanaman yaitu disebut tanaman
pinggir, tanaman sisipan dan tanaman tengah.Tanaman tengah adalah tanaman yang terletak
ditengah-tengah barisan tanaman (ada 2 baris tanaman) yang diapit oleh tanaman pinggir.
Tanaman pinggir adalah tanaman yang posisi tanamannya berada dipinggir dan berjajar 4,
tanaman pinggir diapit oleh tanaman tengah dan barisan kosong (lorong). Sedangkan tanaman
sisipan adalah tanaman yang posisinya sebaris dengan tanaman pinggir yang merupakan pindahan
dari tanaman yang dikosongkan (Sutardjo, 2012).
Khususnya terhadap tanaman sisipan selama ini masih banyak petani yang belum
menerima, karena dianggap terlalu rapat sehingga memberikan hasil yang sedikit karenanya perlu
adanya pengujian lanjutan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman sisipan terhadap tanaman
pinggir dan tanaman tengah. Permasalahan lain yang selama ini sering dijumpai adalah hasil-hasil
penelitian dan pengkajian yang dihasilkan oleh lembaga penelitian belum sepenuhnya diadopsi
oleh petani dan pengguna, hal ini disebabkan minimnya strategi mengkomunikasikan hasil
penelitian dan pengkajian kepada pengguna, sehingga jaringan informasi dari sumber teknologi
kepada pengguna teknologi di daerah terputus. Selain permasalahan tersebut petani juga ingin
mengetahui produktivitas dari tanaman padi pada berbagai posisi tanaman, untuk itu perlu adanya
pengkajian dengan membandingkan hasil tanaman padi sawah varietas Inpari 10 pada posisi
tanaman berbeda-beda dalam petakan sawah dengan sistem tanam legowo 4 :1.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilakukan pada lokasi Pengkajian Model Pengembangan Pertanian
Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) di Kelurahan Rimbo Kedui, Desa Tanjungan dan Desa
Padang Genting, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu pada musim
gadu (bulan April-Juli 2012).
Pengkajian dilaksanakan secara partisipatif terhadap 10 kelompok tani pada lahan
seluas 3 ha. Pengkajian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
faktor tunggal yaitu Posisi Tanaman (P): Tanaman Tengah (P1) yaitu tanaman yang terletak
ditengah-tengah barisan tanaman yang diapit tanaman pinggir, Tanaman Pinggir (P2) yaitu
tanaman yang posisinya dipinggir dan diapit oleh tanaman tengah dan barisan kosong (lorong)
dan Tanaman Sisipan (P3) yaitu tanaman yang sebaris dengan tanaman pinggir yang merupakan
pindahan dari tanaman yang dikosongkan. Masing-masing tanaman diulang 30 kali sehingga
diperoleh 90 tanaman.
Teknologi yang diterapkan adalah sebagian dari komponen teknologi PTT, Komponen
teknologi yang diterapkan yaitu varietas padi yang ditanam yaitu Inpari 10, benih yang digunakan
dengan kelas benih sebar (label biru), jumlah benih 20-25 kg/ha dengan petak persemaian 1/20
luas penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda (<21 hss) dengan sistem tanam
legowo 4:1 menggunakan caplak roda dan pupuk NPK Phonska 250 kg/ha dan urea 200 kg/ha
dengan waktu pemberian 3 kali yaitu pemupukan I =7-14 HST, II = 21 – 25 HST dan III = 35-40
HST. Sedangkan komponen teknologi PTT yang belum digunakan adalah penggunaan kompos,
pengendalian gulma menggunakan gasrok, dan sistem pengairan yang berselang.
Parameter yang diukur adalah : a) komponen pertumbuhan yaitu tinggi tanaman dan
jumlah anakan, b) komponen hasil yaitu jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah
bernas, jumlah gabah hampa, berat 1000 butir, dan c) hasil per hektar yang dihitung
menggunakan petak ubinan 5 x 2 m. Data dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam
(ANOVA) dan di uji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan terhadap
posisi tanaman yang berbeda-beda.
55 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah Pengkajian
Kecamatan Seluma Selatan mempunyai lahan sawah seluas 2.697 ha, yang terdiri dari
lahan sawah irigasi teknis dan lahan sawah irigasi ½ teknis. Curah hujan rata-rata di Kecamatan
Seluma Selatan adalah 4,2 mm/bulan dengan 5 bulan hujan. Suhu harian antara 20-30 oC dengan
ketinggian tempat sekitar 10 m dpl. Bentangan wilayah cukup datar sehingga sangat cocok
sebagai sentra penanaman padi (Pemerintah Kabupaten Seluma, 2010).
Untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dilokasi pengkajian, telah dilakukan
analisis tanah di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu. Berdasarkan hasil analisis tanah yang
dilakukan, telah direkomendasikan dosis pupuk untuk penanaman padi (Tabel 1).
Tabel 1. Rekomendasi pemupukan spesifik lokasi dan paket pupuk yang di konversi pada lokasi
pengkajian.
Hasil analisis Paket pupuk (kg/ha) Paket pupuk di konversi (kg/ha)
N Rendah Urea 300 Urea 200
P Rendah SP-36 100 Phonska 250
K Sangat Tinggi KCL 50 - -
Sumber : Data primer.
Keragaan Vegetatif dan Generatif Tanaman
Dari hasil pengkajian bahwa data komponen hasil masing-masing perlakuan untuk
ketiga posisi tanaman yang berbeda-beda yaitu tanaman tengah, tanaman pinggir dan tanaman
sisipan (Tabel 2).
Tabel 2. Data komponen hasil tinggi tanaman, panjang malai, jumlah anakan, gabah hampa,
gabah bernas, berat 1000 butir dan hasil per hektar.
Perlakuan
Tinggi
tanaman
(cm)
Panjang
malai (cm)
Jumlah
anakan
(btg)
Gabah
bernas
(butir)
Gabah
hampa
(butir)
Berat 1000
butir (grm)
Hasil
(t/ha)
GKG
Tanaman Tengah (P1) 97,94a 21,85
a 12,97
a 70,10
b 14,82
a 29,61
a
5,60 Tanaman Pinggir (P2) 97,23 a 22,21
a 14,12
a 82,54
a 11,66
a 30,58
a
Tanaman Sisipan (P3) 98,37 a 22,06
a 11,90
a 73,76
ab 12,16
a 30,41
a
Keterangan : Angka-angka dalam kolom sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji DMRT.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan pada
semua parameter yang diamati kecuali pada parameter jumlah gabah bernas/malai yang
menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Pada parameter jumlah gabah bernas terlihat
bahwa, tanaman pinggir (P2) menunjukkan bahwa jumlah gabah bernas/malai yang lebih tinggi
yaitu 82.54 butir/malai dan berbeda nyata dibandingkan tanaman tengah (P1) yang hanya 70.10
butir/malai dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tanaman sisipan (P3) yang
mencapai 73.76 butir/malai. Gabah bernas yang lebih tinggi pada tanaman pinggir (P2) terjadi
karena proses pengisian gabah yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman tengah (P1),
hal ini diduga karena tanaman pinggir (P2) tidak begitu ketat mengalami persaingan
dibandingkan tanaman tengah (P1) terhadap penyerapan unsur hara dan sinar matahari. Menurut
BPTP Banten (2010), tanaman yang berada dipinggir barisan akan mendapatkan sinar matahari
yang lebih banyak sehingga proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi sehingga
menghasilkan gabah yang lebih bernas. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Endrizal dan
Jumakir (2007), bahwa penerapan sistem tanam legowo dapat meningkatkan produktivitas padi
dan pendapatan petani.
56 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Perbandingan Hasil Pengkajian dengan Deskripsi Varietas
Hasil analisis memperlihatkan adanya perbandingan antara hasil pengkajian dengan
deskripsi varietas padi Inpari 10 yang diintroduksi, dimana terdapat perbedaan antara tinggi
tanaman, jumlah anakan, berat 1000 butir dan hasil perhektarnya (Tabel 3). Tinggi tanaman dan
jumlah anakan hasil pengkajian lebih rendah, tetapi untuk berat 1000 butir lebih tinggi. Selain itu
juga untuk rata-rata hasil produktivitas bahwa hasil pengkajian yaitu 5,60 t/ha GKG lebih baik
dari produksi rata-rata pada deskripsi yang hanya 5.08 t/ha GKG. Berdasarkan hasil produktivitas
tersebut masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas karena potensi hasil bisa mencapai
7.0 t/ha GKG.
Tabel 3. Perbandingan hasil pengkajian dengan deskripsi varietas yang di introduksi oleh Balai
Besar Penelitian Padi Sukamandi.
Uraian
Tinggi
tanaman
(cm)
Jumlah
anakan (btg)
Berat
1000 butir
(g)
Rata-rata
hasil (t/ha)
GKG
Potensi hasil
(t/ha) GKG
Pengkajian* 97,23 -98,37 11,90-14,12 29,61-30,58 5,60 -
Deskripsi** 100-120 17-25 27,70 5,08 7,00
Keterangan: * Data primer diolah
**Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al., 2011.
Tinggi dan rendahnya produktivitas tergantung dengan teknologi yang diterapkan dan
kesesuaian iklim di lahan setempat. Semakin baik teknologi yang diterapkan dengan kondisi
iklim yang mendukung, produktivitas yang dicapai akan lebih baik. Menurut Sutardjo (2012),
salah satu faktor untuk meningkatkan produktivitas dengan diterapkannya cara tanam sistem jajar
legowo 4:1 yang menambah barisan tanaman untuk mengalami efek tanaman pinggir, sinar
matahari dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses fotosintesis. Pada lahan yang lebih
terbuka dengan adanya lorong pada baris tanaman, serangan hama, khususnya tikus, dapat
ditekan karena tikus tidak suka tinggal di dalamnya dan dengan terciptanya kelembaban lebih
rendah, perkembangan penyakit dapat juga ditekan. Tidak hanya itu, pemupukan dan
pengendalian organisme pengganggu tanaman menjadi lebih mudah dilakukan di dalam lorong-
lorong.
Terdapatnya tanaman tengah (P1), tanaman pinggir (P2) dan tanaman sisipan (P3) pada
pertanaman ini, hal ini sesuai dengan prinsip dan manfaat dari sistem tanam jajar legowo yaitu
meningkatkan populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Selain itu sistem tanam tersebut juga
memanipulasi lokasi tanaman sehingga seolah-olah tanaman padi dibuat menjadi taping (tanaman
pinggir) lebih banyak. Seperti kita ketahui tanaman padi yang berada dipinggir akan
menghasilkan produksi lebih tinggi dan kualitas gabah yang lebih baik, hal ini disebabkan karena
tanaman pinggir akan mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak sehingga tanaman pinggir
dapat berfotosintesa lebih baik karena sistem tanam jajar legowo terdapat ruang terbuka seluas
25-50%. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ridwan (2000) bahwa tanaman pinggir
lorong umumnya cendrung menghasilkan gabah bernas lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
tanam tegel.
Hasil penelitian Mujisihono dan Santosa (2001), menunjukkan bahwa persaingan antar
tanaman yang sama jenis kompetisi inter spesies lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan
persaingan pada jenis tanaman yang berbeda (kompetisi antar spesies). Pada kompetesi tanaman
yang sama jenis akan mempunyai jenis kebutuhan intensitas cahaya matahari, unsur hara, air dan
tempat tumbuh mempunyai kebutuhan yang sama karena umur serta perakaran tanaman yang
sama.
Menurut Jatmiko et. al. (2002) Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan,
varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur
tanaman saat gulma mulai bersaing. Selain persaingan antar tanaman persaingan tanaman juga
terjadi dengan gulma untuk mempertahankan siklus hidupnya. Gulma berinteraksi dengan
tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas,
57 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
seperti cahaya, hara, dan air yang di tingkat petani dapat menyebabkan kehilangan hasil padi
mencapai 10-15%.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil analisis statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan
kecuali pada perlakuan jumlah gabah bernas per malai. Jumlah gabah bernas per malai pada
tanaman pinggir (P2) sebanyak 82,54 butir, berbeda nyata dengan tanaman tengah (P1) yang
70,10 butir, namun tidak berbeda nyata dengan tanaman sisipan (P3) yang 73,76 butir.
2. Produktivitas hasil pengkajian menunjukkan hasil yang lebih tinggi (5,60 t/ha GKG)
dibandingkan dengan produksi rata-rata deskripsi varietas padi (5,08 t/ha GKG). Produktivitas
hasil pengkajian masih lebih rendah dibandingkan potensi hasil (7,0 t/ha GKG) hal ini
menunjukkan masih ada peluang untuk meningkatkan produktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
BB Padi. 2009. Tanam Jajar Legowo. http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index .php/
in/berita/info-aktual/491. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi (25 september
2012).
BPS. 2011. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi. http:
//www.bps.go.id/tnmn_pgn. php? adodb_next_page=2&eng =0&pgn=1 & prov = 99 &
thn1=2010 &thn2=2011&luas=1&produktivitas=1& produksi=1. Badan Pusat Statistik RI.
Jakarta. (7 juni 2012).
BPTP Banten. 2010. Tanam Jajar Legowo di Lahan Sawah. http
banten.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com content& view article & id=17 1 :
tanaman – jajar -legowo—di-lahan-sawah&catid= : leaflet&itemid. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Banten. Tangerang. [6 april 2010].
Damardjati, J. 2006. Learning from Indonesian Experiences in Achieve Rice Self Sufficientcy. In
Rice Industry, Culture, and Environment. ICCR, ICFORD, IAARD. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Umum Prima Tani. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Endrizal dan Jumakir. 2007. Keragaan Beberapa Vaietas Padi Unggul Baru dan Kelayakan
Usahatani Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Propinsi Jambi. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Pertanian. Vol. 7 (3). Badan Libang Pertanian. Jakarta. ;199-206.
Jatmiko, S.Y., Harsanti S., Sarwoto dan A.N. Ardiwinata. 2002. Apakah Herbisida Yang
Digunakan Cukup Aman? ;337-348. Dalam Noeriwan B. Soerjandono. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 10 (1), 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
;8
Mujisihono, R. dan T. Santosa. 2001. Sistem Budidaya Teknologi Tanam Benih Langsung
(TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO). Makalah Seminar Perekayasaan Sistem
Produksi Komoditas Padi dan Palawija. Diperta Prop. DIY. Yogyakarta.
Pemkab Seluma. 2010. Daftar Isian Profil Desa/Kelurahan Tingkat Desa. Desa Rimbo Kedui.
Kecamatan Seluma Selatan. Kabupaten Seluma. Pemerintah Kabupaten Seluma. Seluma.
Ridwan. 2000. Pengaruh Populasi Tanaman dan Pemupukan P pada Padi Sawah dengan Sistem
Tanam Legowo. Prosd. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Buku
I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. Dewi Indrasari., I Putu
Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Sukamandi. ;118
Sutardjo, W. 2012. Tanam Padi Sistem Jajar Legowo. http://sekarmadjapahit.
wordpress.com/2012/01/30/tanam-padi-sistem-jajar-legowo/ (27 September 2012)
58 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KAJIAN KERAGAAN VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI
DI KECAMATAN BANTIMURUNG KABUPATEN MAROS
SULAWESI SELATAN
1Maintang, 1Asriyanti Ilyas 2Edi Tando, 3Yahumri 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara 3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Teknologi budidaya dan penggunaan Varietas Unggul Baru merupakan salah satu komponen utama dalam
meningkatkan produktivitas padi. Kajian bertujuan untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan produktivitas
beberapa varietas unggul baru padi. Pengkajian dilaksanakan di lokasi Laboratorium Lapangan (LL) di area sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi sawah irigasi di Kelurahan Kala’birang Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada Musim kering (MK) tahun 2010. Metode yang digunakan
adalah demplot di lokasi LL (Laboratorium Lapang) pada lahan seluas 0,25 ha. Kelompok perlakukan adalah varietas
unggul baru Inpari 3, Inpari 4 dan Ciherang. Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dan sebagai
kelompok perlakuan adalah 3 VUB tersebut dan melibatkan 5 petani kooperatif sebagai ulangan. Data dianalisis sidik
ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah menggunakan DMRT pada taraf 5 %. Hasil kajian menunjukkan Varietas
unggul baru Inpari 3 memberikan keragaan pertumbuhan dan hasil yang tidak berbeda dengan varietas Inpari 4 tetapi
berbeda nyata dengan Ciherang. Varietas yang paling sesuai dan berdaya hasil tinggi di lokasi pengkajian adalah
varietas Inpari 3 dan Inpari 4 dengan produktivitas 7,08 t.ha-1 GKP dan 6,94 t.ha-1 GKP dan berbeda nyata dengan
varietas Ciherang 4.91 t.ha-1 GKP.
Kata kunci : inpari 3 dan 4, varietas unggul baru (VUB), Bantimurung
PENDAHULUAN
Teknologi budidaya dan penggunaan varietas unggul padi merupakan salah satu
komponen utama teknologi yang berperan sangat dominan dalam meningkatkan produktivitas
dan produksi beras. Peran peningkatan produktivitas (teknologi) dalam peningkatan produksi padi
mencapai 56,10%, perluasan areal 26,30% dan 17,60% oleh interaksi keduanya. Sementara itu
peran varietas unggul bersama pupuk dan air dalam peningkatan produktivitas mencapai 75%
(Susanto dan Daradjat, 2003). Inovasi teknologi untuk kedua aspek ini terus diperbaiki, baik yang
menggunakan label System of Rice Intensification (SRI) maupun Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT).
PTT merupakan suatu strategi untuk mengantisipasi penurunan pertumbuhan produksi
padi dengan memperbaiki pendekatan program Insus dan Supra Insus yang popular pada era orde
baru. Pendekatan tersebut mengakomodasi prinsip sinergisme dalam penyusunan komponen
paket teknologi dengan memperhatikan konteks sosial ekonomi masyarakat tani dan ekosistem.
Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian telah banyak menghasilkan varietas
unggul baru (VUB) yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit utama padi
misalnya Inpari 1, Inpari 3, Inpari 6, Inpari 4 dan Ciherang. Potensi hasil ke lima VUB tersebut
berturut-turut adalah 10 t/ha, 7,52 t/ha, 7,5 t/ha,8,80 t/ha dan 8,5 t/ha (Suprihatno et all., 2009).
Hasil Penelitian di Sukamandi (MK 2002-MH 2002/2003) menunjukkan beberapa varietas seperti
VUTB Fatmawati, Gilirang, Ciherang memberi hasil antara 13-24 % lebih tinggi daripada IR64,
sedangkan pada petak demontrasi pada musim tanam 2003 di lahan petani di Takalar Sulawesi
Selatan, melalui pendekatan PTT, VUB tersebut memberi hasil antara 8-31 % lebih tinggi
dibanding ciliwung yang popular di kalangan petani setempat (Las et al., 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan produktivitas
beberapa varietas unggul baru yang ditanam pada demplot dilokasi SL-PTT padi di Kelurahan
Kala’birang Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
59 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan di lokasi LL di area sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) padi sawah irigasi di Kelurahan Kala’birang Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada musim kering April tahun 2010.
Pengkajian disusun dengan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
melibatkan 5 petani kooperatif sebagai ulangan. Kelompok perlakukan adalah varietas unggul
baru Inpari 3, Inpari 4 dan Ciherang. Luas petak masing-masing varietas adalah 50 m x 16,6 m
(830 m2). Bibit ditanam pada umur 18-20 hari setelah sebar dengan jumlah bibit 1-3 batang per
lubang. Sistem tanam Jajar Legowo 2:1 dengan jarak tanam( (20 x10) x 40) cm.
Lahan diolah dengan sempurna yaitu dibajak dengan traktor satu kali, kemudian digaru
dan diratakan. Dosis pupuk urea ditentukan berdasarkan bagan warna daun ( BWD) sedangkan
dosis untuk pupuk P dan K berdasarkan Perangkat uji tanah sawah (PUTS). Pemupukan pertama
dengan 100 Kg Urea, 100 kg SP-36 dan 200 kg Ponska / ha pada umur 10 hari setelah tanam
(HST). Pemupukan ke dua dengan 50 Kg Urea pada umur 23-28 HST dan pemupukan ketiga
dengan 50 kg Urea/ha pada umur 38-42 HST. Pengendalian organisme penganggu tanaman
(OPT) dilakukan dengan cara pengamatan OPT dan pengendalian secara fisik dan mekanis.
Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan terhadap tinggi tanaman dan jumlah
anakan produktif dilakukan pada akhir fase vegetatif tanaman. Pengamatan terhadap komponen
produksi yang terdiri dari Jumlah malai tiap rumpun, bobot gabah 1.000 butir dilakukan pada saat
panen. Produksi gabah kering panen (GKP) diperoleh dari hasil ubinan seluas 6,25 M2. Data
dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah menggunakan DMRT pada taraf 5
%(Gomez dan gomez, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan pertumbuhan tinggi tanaman ketiga VUB berdasarkan hasil analisis statistik
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tinggi Tanaman berkisar antara 107,60 – 100,88 cm
dan jumlah anakan produktif 14,50 – 16,26 (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan beberapa varietas unggul baru terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan
di Kelurahan Kala’birang Kabupaten Maros pada Tahun 2010.
No Varietas Tinggi Tanaman (cm) ∑ Anakan Produktif (btg)
1 Inpari 3 107,60 16,26
2 Inpari 4 105,78 14,76
3 Ciherang 100,88 14,50
Tinggi Tanaman
Varietas Inpari 3 memiliki tinggi tanaman terbesar dan terendah pada Ciherang.
Perbedaan yang tidak nyata menunjukkan bahwa ketiga varietas memiliki respon yang sama
dalam hal penyerapan unsur hara, cahaya dan faktor tumbuh lainnya yang digunakan untuk
pertumbuhan tinggi tanaman. Seluruh komponen teknologi dalam PTT dipadukan untuk dapat
memberikan ruang tumbuh optimal bagi tanaman serta memaksimalkan kemampuan tanaman
untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada tanah dan lingkungan untuk mendukung
pertumbuhan sesuai dengan potensi genetiknya. Perakitan varietas unggul diarahkan pada varietas
yang memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang sedang (90 -115 cm) serta karakter batang yang
kokoh sehingga tidak mudah rebah (Arafah, 2006). Hasil penelitian Prajitno et al., (2005)
menunjukan bahwa penampilan padi makin tinggi tidak diikuti makin tingginya hasil yang
dicapai, bahkan sebaliknya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi -0,147 yang artinya ada
gejala makin rendah hasil suatu genotipe padi apabila tinggi tanamannya makin tinggi. Tanaman
padi yang pendek biasanya tahan rebah sehingga akan mengurangi kegagalan panen. Oleh karena
itu, batang yang kokoh dan pendek merupakan sifat yang dibutuhkan untuk meningkatkan potensi
hasil.
60 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Terkait dengan preferensi petani terhadap karakter tinggi tanaman, umumnya petani
memilih ukuran tinggi tanaman sekitar 100 cm dengan alasan untuk memudahkan dalam
merontok atau dengan menggunakan alat mesin treser (Djatiharti dan Rusnandar, 2008). Ketiga
VUB yang diuji memperlihatkan pertumbuhan tinggi tanaman yang tergolong sedang, sehingga
sesuai dengan preferensi petani dan diharapkan pertumbuhan tinggi tanaman tersebut mampu
mendukung pencapaian potensi hasil yang maksimal.
Jumlah Anakan Produktif
Anakan produktif dimaksudkan sebagai anakan yang produktif menghasilkan malai
sebagai tempat kedudukan biji/ bulir padi. Varietas unggul baru (VUB) biasanya mempunyai 20-
25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan jumlah gabah per
malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak
sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih
tinggi dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya. Berdasarkan Tabel 1. Hasil analisis anakan
produktif menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara inpari 3, inpari 4 dan ciherang (16,26;
14,76 dan 14,50 btg/rumpun), dimana anakan produktif terbanyak dimiliki oleh varietas Inpari 3
yaitu 16,26 btg/rumpun, sedangkan anakan produktif terendah dimiliki oleh varietas Ciherang
14,50 btg/rumpun. Jumlah anakan adalah salah satu karakter penting dalam suatu varietas unggul,
hal ini terkait dengan jumlah malai yang bisa dihasilkan. Jumlah malai merupakan salah satu
karakter tanaman yang dapat menentukan produktivitas tanaman, sama halnya dengan hasil
penelitian Ahmad dan Pratama (2008) menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata
terhadap hasil tanaman.
Penelitian lain yang dilakukan pada varietas hibrida super memperlihatkan bahwa
tingginya hasil yang dicapai pada varietas hibrida super dikontribusi oleh adanya perbaikan pada
malai. Perbaikan yang dimaksud dalam hal jumlah malai, jumlah bulir per malai serta ukuran dan
panjang malai, dimana malai pada varietas hibrida super memiliki 9,62 % jumlah bulir lebih
banyak dibanding dengan varietas hibrida biasa (Huang Ming et al, 2011). Hal ini berarti jika
ingin meningkatkan potensi hasil dapat dilakukan dengan cara memperbaiki karakter malai
(jumlah, panjang dan jumlah bulir per malai). Jumlah anakan 10 dengan 200 gabah/malai akan
mempunyai hasil yang lebih banyak dibanding dengan anakan 15 dengan 100 butir gabah/malai
(Prajitno et all., 2005).
Bobot Gabah Per 1000 Butir
Bobot 1000 biji berkisar antara 12,58-14,60 dan menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata antara ketiga VUB (Tabel 2).
Tabel 2. Keragaan komponen produksi dan hasil beberapa varietas unggul baru di Kelurahan
Kala’birang Kabupaten Maros pada Tahun 2010.
No Varietas Bobot gabah 1000 butir (grm) Produksi GKP (ton/ha)
1. Inpari 3 14,60 7,08 a
2. Inpari 4 13,32 6,94 a
3. Ciherang 12,58 4,91 b
Keterangan : Angka-angka pada satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata 5 %
menurut uji Duncan.
Bobot 1000 biji juga merupakan salah satu faktor komponen yang menentukngsung
terhadap hasil padi dan juga mempunyai korelasi positif. Terjadinya korelasi positif sebagai
akibat gen-gen pengendali antara karakter yang berkorelasi sama-sama meningkat. Keadaan
demikian juga dikemukakan oleh Suhartini dkk, 1999 yang mengemukakan bahwa bobot 1000
biji mempunyai hubungan yang erat dengan hasil sehingga merupakan faktor penduga yang
efektif terhadap hasil. Hasil penelitian lain terlihat bahwa makin tinggi berat 1000 butir gabah
tidak selalu diikuti dengan hasil tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi antara bobot
1000 butir gabah dengan hasil sebesar -0,120.
61 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Persentasi gabah isi sangat menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi.
Hasil fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun, dan translokasinya serta akumulasinya
dalam gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah. Karena itu, daun yang tegak, tebal,
sempit dan hijau tua, serta tidak lekas luruh (tua) sangat dibutuhkan untuk pengisian gabah secara
maksimum. Daun yang tegak dan sempit merupakan daun yang dapat menerima sinar matahari
dari pagi sampai sore atau efisien dalam penangkapan sinar untuk proses fotosintesa. Sedang
daun yang tebal dan hijau tua menandakan mempunyai banyak klorofil sehingga banyak
menghasilkan fotosintat; dan daun yang tidak cepat luruh fotosintat akan dihasilkan sampai
menjelang panen. Daun bendera dan satu dibawah daun bendera merupakan daun yang aktif
dalam fotosintesa selama proses pengisian gabah. Enam puluh persen fotosintat (karbohidrat
dalam gabah dihasilkan dari kedua daun tersebut). Karena itu, bila daun tersebut tidak cepat
luruh akan meningkatkan proses pengisian gabah, sehingga hasil bisa maksimal. Cabang primer
malai biasanya menghasilkan butir gabah besar.
Hasil Gabah Kering Panen (GKP)
Pada Tabel 2. Terlihat hasil gabah kering panen (GKP) berkisar antara 4,91-7,08 ton/ha,
yang tertinggi dimiliki oleh varietas Inpari 3 (7,08 ton/ha), disusul oleh varietas Inpari 4 yaitu
6,94 ton/ha dan berbeda nyata dengan varietas Ciherang dengan hasil 4.91 ton/ha. Berdasarkan
deskripsi varietas, Inpari 3 merupakan varietas unggul baru yang dilepas dengan potensi hasil
7,52 ton/ha GKG sedangkan varietas Inpari 4 dengan potensi hasil 8,80 ton/ha dan Ciherang
dengan potensi hasil 8,5 ton/ha. Hasil gabah kering panen yang diperoleh menunjukkan bahwa
kedua VUB (Inpari 3 dan Inpari 4) mendekati perolehan hasil sesuai dengan potensi genetiknya.
Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu jumlah malai
persatuan luas, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan berat 1000 butir gabah. Sifat-
sifat dari VUB adalah: tinggi pendek-sedang (100-130 cm); umur sedang genjah-sedang (110-
135 hari); anakan banyak (>18 batang); malai sedang (100-150 gabah/malai); daun pendek,
mendatar-tegak, hijau sampai hijau-tua; responsif terhadap pemupukan nitrogen. Introduksi VUB
diharapkan mampu meningkatkan produksi 2-3 x lebih tinggi dibandingkan varietas yang ditanam
sebelumnya. Hasil kajian Sirappa et all., (2007), membuktikan bahwa intorduksi varietas unggul
baru yang didukung teknologi lainnya mampu memberikan hasil 21-54% lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pencapaian hasil suatu varietas harus didukung oleh teknologi dan
lingkungan tumbuh yang optimal. Dalam pelaksanaan PTT rakitan teknologi yang diterapkan
adalah perpaduan antara teknologi PTT dengan teknologi petani sehingga varietas yang
memberikan keragaan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik akan dianggap sebagai varietas
yang dapat diintroduksikan sebagai varietas unggul baru yang mampu beradaptasi dengan baik
pada daerah tersebut. Potensi hasilnya dapat ditingkatkan lagi dengan penerapan teknologi
budidaya, dukungan infrastruktur yang memadai, pengelolaan air, tanah dan tanaman yang tepat
dan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Varietas unggul baru Inpari 3 memberikan keragaan pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Inpari 4 dan Ciherang.
2. Varietas yang paling sesuai dan berdaya hasil tinggi di lokasi pengkajian adalah varietas Inpari
3 dengan potensi hasil 7,08 tha-1
GKP, kemudian diikuti varietas Inpari 4 dengan 6,94 t.ha-1
GKP dan hasil terendah varietas Ciherang 4.91 t.ha-1
GKP.
Saran
1. Disarankan kepada petani di lokasi pengkajian untuk terus mengembangkan VUB Inpari 3 dan
Inpari 4.
62 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Arafah. 2006. Kajian Usahatani Padi dengan Metode Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada
berbagai Varietas Unggul Baru di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Prosd. Seminar
Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Spesifik Lokasi. Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi
Teknologi Pertanian Mendukung Revitalisasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Selatan Makasar.
BPS Sulawesi Selatan, 2009. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Selatan. Makasar.
Djatiharti dan Ruskandar. 2008. Adopsi Varietas Unggul dan Preferensi Sifat-Sifat Agronomis
Tanaman Padi Sawah di Tingkat Petani Kab.Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan
Komering Ilir. Prosd. Seminar Nasional Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi (hal;1333-1338).
Gomez K.A. dan Gomez A.A. 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi
Kedua. Penerbit UI Press. Jakarta.
Huang Min, Zoo Ying Bin, Jiang Peng, Xia Bing, M.D. Ibrahim dan Ao He-Jun. 2011.
Relationship between Grain Yield Components in Super Hybrid Rice. Agricultural
Sciences in China. Beijing. 10(10):1537-1544.
Kasryono, F dan Effendi, P. 2004. Reposisi Padi dan Beras dalam Perekonomian Nasional.
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Las Irsal, B. Suprihatno, A.A. Daradjat, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. 2004. Inovasi
Teknologi Varietas Unggul Padi.Perkembangan, Arah, dan Strategi ke depan. Ekonomi
Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi Antara Komponen Hasil dan Hasil Galur Harapan
Padi Sawah Tahan Tungro. Prosd. Seminar Nasional Padi; Inovasi teknologi padi
mengantisipasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan (1):165-171. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Prajitno A.l. K.S., R. Mudjisihono dan B. Abdullah. 2005. Keragaan Beberapa Genotipe Padi
Menuju Perbaikan Mutu Beras. http://ntb.litbang.deptan.go, diakses Tanggal, 31 Mei 2012.
Sirappa M.P., A.J. Rieuwpassa dan E.D. Waas. 2007. Kajian Pemberian Pupuk NPK pada
Beberapa Varietas Unggul Padi Sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 10 (1). Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 48 -56.
Suhartini, S., Aan A. Daradjat, Warsono, Sudarno dan W.S. Ardjasa. 1999. Analisis Korelasi dan
Koefisien Lintasan Komponen Hasil Terhadap Hasil Padi Sawah Pada Lahan Keracunan
Fe. Buletin Penelitian Pertanian. Badan Litbang Pettanian. Jakarta. 18(2);1-6.
Suprihatno, B., A.A. Darajat, Satoto, Baehaki, N., Suprihatno, Agus Setyono, S. Dewi Indrasaru,
Moh.Yamin S., dan H. Sembiring, 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi.
Susanto, U dan A.A. Daradjat. 2003. Perkembangan Pemuliaan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan.Vol 22 (3). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
63 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
STATUS HARA TANAH SAWAH DI KABUPATEN KEPAHIANG
BERDASARKAN HASIL ANALISIS
PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS)
Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Irma Calista Siagian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
ABSTRAK
Pengujian status unsur hara N, P, K dan pH tanah sawah telah dilakukan pada beberapa sentra penghasil
padi di Kabupaten Kepahiang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah atau PUTS
terhadap 42 sampel tanah yang diambil dari 34 desa. Pengujian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012. Hasil pengujian
berupa rekomendasi status unsur hara dan rekomendasi pemupukan. berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan
PUTS, sebanyak 57,14% desa dengan kandungan N sangat tinggi sehingga perlu dipupuk 200 kg Urea/ha. Sebanyak
59,52% desa dengan kandungan P tinggi sehingga perlu dipupuk 50 kg SP-36/ha. Sedangkan sebanyak 38,10% desa
dengan K sedang sehingga perlu dipupuk 50 kg KCl/ha atau dengan menggunakan jerami sebanyak 5 ton/ha. Derajat
kemasaman atau pH secara umum adalah agak masam yaitu berada pada kisaran pH 5-6 sehingga rekomendasi
pemupukan N adalah dalam bentuk Urea dengan sistem drainase konvensional.
Kata kunci : status hara, sawah, PUTS, analisis tanah
PENDAHULUAN
Provinsi Bengkulu memiliki areal persawahan seluas 95.356 ha yang tersebar pada 10
Kabupaten Kota dan seluas 5.036 ha atau sekitar 5,20% berada di Kabupaten Kepahiang.
Produksi total padi Provinsi Bengkulu pada tahun 2010 sebanyak 516.868 ton dengan luas panen
133.629 ha (BPS, 2011). Produktivitas rata-rata di Provinsi Bengkulu masih rendah yaitu 4
ton/ha, masih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas nasional sebesar 5,03 ton/ha (Ditjen
Tanaman Pangan, 2011). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi di Provinsi Bengkulu
adalah pemupukan belum dilakukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status unsur hara tanah.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui status unsur hara di
dalam tanah. Salah satu cara yang praktis, efisien, dan dapat dilakukan di lapangan baik oleh
petani maupun petugas penyuluh lapangan (PPL) adalah dengan menggunakan perangkat uji
tanah sawah (PUTS). PUTS merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan
status hara N, P, K dan pH di dalam tanah (Departemen Pertanian, 2007). Penggunaan PUTS
dapat dilakukan untuk menentukan status hara tanah sawah dan rekomendasi pupuk sesuai
dengan kebutuhan tanaman (Setiyorini et all., 2007).
Rekomendasi pemupukan merupakan suatu rancangan yang terdiri dari jenis dan
takaran pupuk untuk tanaman pada suatu areal tertentu. Menurut Abdulrachman, et al., (2008),
rekomendasi pemupukan bermanfaat dalam pemberian pupuk yang tepat baik dosis, waktu
maupun jenis pupuk sehingga pemupukan akan lebih efisien serta produksi dan pendapatan
petanipun meningkat. Selain itu, rekomendasi pemupukan juga bertujuan untuk mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan, menjaga kesuburan tanah dan produksi padi berkelanjutan
serta dapat mengurangi biaya pembelian pupuk.
Pemupukan yang efektif meliputi persyaratan kuantitatif dan kualitatif. Persyaratan
kuantitatif merupakan dosis pemupukan sedangkan persyaratan kualitatif meliputi unsur hara
yang diberikan, waktu pemupukan dan penempatan pupuk, unsur hara yang berada pada waktu
dan tempat serta unsur hara yang diserap dan digunakan oleh tanaman (Indranada, 1986).
Pemupukan yang dilakukan berdasarkan kebutuhan hara tanah dan kebutuhan tanaman
akan meningkatkan produktivitas padi. Sehingga perlu dilakukan pengujian status hara tanah
sawah pada sentra penghasil padi di Kabupaten Kepahiang. Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui status hara N, P, K dan pH serta rekomendasi pemupukan yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman.
64 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2012 di Kabupaten Kepahiang untuk
menguji status hara tanah mengunakan perangkat uji tanah sawah (PUTS), tanah yang diuji
sebanyak 42 sampel dari 32 desa (Tabel 1.) yang diambil secara acak pada tujuh kecamatan
(Merigi, Ujan Mas, Kepahiang, Kabawetan, Tebat Karai, Muara Kemumu dan Seberang Musi).
Tabel 1. Data jumlah sampel tanah beberapa sentra padi di Kabupaten Kepahiang.
No Kecamatan Desa Jumlah sampel tanah
1. Merigi Kel Durian Depun 2
Pulo Geto Baru 1
Simpang Kota Beringin 1
Bukit Barisan 1
2. Ujan Mas Daspetah 2 dan 1
Bumisari 1
3. Kabawetan Kelurahan Tangsi Baru 1
4. Muara Kemumu Batu Kalung 1
Batu Bandung 1
5. Kepahiang Kampung Bogor 1
Imigrasi permu 1
Sukamerindu 1
Karang Endah 1
Pelangkian 1
6. Tebat Karai Tebing Penyamun 1
Kelurahan Tebat Karai 1
Sinar Gunung 1
Tapak Gedung 1
Karang Tengah 1
Tertik 1
Taba Sating 1
Taba Saling 1
Peraduan Binjai 1
Penanjung Panjang 3
Taba Air Pauh 3
7. Seberang Musi Benuang Galing 2
Cirebon Baru 2
Tebat Laut 1
Talang Gelompok 2
Taba Padang 2
Air Pesi 1
Temdak 1
Kandang 1
Jumlah 42
Metoda pengambilan sampel dilakukan menggunakan bor atau cangkul pada kedalaman
20 cm dari permukaan tanah dengan kriteria untuk satu hamparan seluas 3-5 ha lahan homogen
(kurang lebih seragam) mewakili satu contoh tanah komposit (terdiri dari campuran 5-8 contoh
tannah tunggal). Selanjutnya setiap sampel tanah diuji menggunakan PUTS terhadap unsur hara
N, P, K dan pH sehingga didapat status hara tanah dan rekomendasi pemupukan untuk lahan
sawah di Kabu[aten Kepahiang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum, jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Kepahiang adalah andosol
(15,08%), secara garis besar tanah andosol mempunyai sifat fisik dan kimia cukup baik, sehingga
dengan demikian produktifitas tanahnya sedang-tinggi. Tanah ini banyak digunakan untuk
65 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tanaman hortikultura atau sayuran, bunga-bungaan, perkebunan dan kehutanan. Secara umum,
tanah andosol berwarna kehitaman dengan bentuk tanah liat dan tanah lempung yang teksturnya
kasar. Zat yang terkandung di dalamnya sebagian besar adalah abu vulkanik dari letusan gunung
(Faiz, 2009). Sedangkan sisanya adalah alluvial, rogosol, latosol, podsolik merah kuning,
komplek podsolik merah kuning litosol dan latosol dan komplek padsolik coklat padsol dan
latosol. Tekstur tanah di Kabupaten Kepahiang secara umum adalah sedang (53,54%), halus
(34,03%) dan kasar(12,43%) dari total luas wilayah (BPS Kepahiang, 2011).
Berdasarkan hasil analisis PUTS yang dilakukan terhadap 42 sampel tanah di
Kabupaten Kepahiang (Tabel 2), dimana status unsur hara N secara umum didominasi sangat
tinggi 57,14% (24 sampel); status unsur hara P secara umum didominasi tinggi 59,52% (25
sampel); sedangkan status unsur hara K secara umum didominasi sedang 38,10% (16 sampel)
dengan pH secara keseluruhan pada kondis agak masam.
Untuk melakukan pemupukan pada beberapa sentra padi di Kabupaten Kepahiang
dengan berpedoman pada kondisi hasil analisis status unsur N adalah rendah (42,86%) dan sangat
tinggi (57,14%) sehingga dosis pemupukan berbeda. Begitu juga status unsur P dan K berkisar
antara rendah sampai tinggi, dimana kondisi hasil analisis status unsur P (status rendah 19,05%;
status sedang 21,42% dan status tinggi 59,52%) dan hasil analisis status unsur K (status rendah
35,71%; sedang 38,10% dan tinggi 26,19%) yang secara keseluruhan tergambar pada Gambar 1.
Gambar 1. Status unsur hara beberapa sentra padi di Kabupaten Kepahiang.
Tabel 2. Hasil pengujian tanah sawah di Kabupaten Kepahiang.
No Kecamatan Desa/Kelurahan Hasil analisis
N P K pH
1 Merigi Durian Depun 1 Rendah Tinggi Rendah Agak Masam
2
Durian Depun 2 Sangat tinggi Tinggi Sedang Agak Masam
3
Pulo Geto Baru Rendah Tinggi Rendah Agak Masam
4
Simp. Kota Beringin Sangat tinggi Tinggi Sedang Agak masam
5
Bukit Barisan Rendah Tinggi Rendah Agak masam
6 Ujan Mas Daspetah 2 Sangat tinggi Sedang Rendah Agak masam
7
Bumisari Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
8 Kabawetan Kel. Tangsi Baru Sangat tinggi Rendah Sedang Agak masam
9 Muara Kemumu Batu Kalung Rendah Sedang Tinggi Agak masam
10
Batu Bandung Sangat tinggi Rendah Rendah Agak masam
11 Kepahiang Kampung Bogor Sangat tinggi Tinggi Tinggi Agak masam
12
Imigrasi permu Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
13
Sukamerindu Rendah Rendah Sedang Agak masam
14
Karang Endah Rendah Tinggi Rendah Agak masam
15
Pelangkian Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
16 Tebat Karai Tb. Penyamun Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
17
Kel. Tebat Karai Rendah Rendah Sedang Agak masam
66 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
18
Sinar Gunung Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
18
Tapak Gedung Rendah Tinggi Rendah Agak masam
20
Karang Tengah Rendah Tinggi Rendah Agak masam
21
Tertik Sangat tinggi Tinggi Tinggi Agak masam
22
Taba Sating Sangat tinggi Tinggi Rendah Agak masam
23
Taba Saling Rendah Tinggi Sedang Agak masam
24
Peraduan Binjai Sangat tinggi Sedang Sedang Agak masam
25
P. Panjang 1 Rendah Rendah Tinggi Agak masam
26
P. Panjang 2 Sangat tinggi Rendah Tinggi Agak masam
27
P. Panjang 3 Sangat tinggi Sedang Tinggi Agak masam
28
Taba Air Pauh 1 Rendah Tinggi Sedang Agak masam
29
Taba Air Pauh 2 Sangat tinggi Sedang Sedang Agak masam
30
Taba Air Pauh 3 Rendah Tinggi Sedang Agak masam
31 Seberang Musi Benuang Galing 1 Sangat tinggi Rendah Sedang Agak masam
32
Benuang Galing 2 Sangat tinggi Sedang Tinggi Agak masam
33
Cirebon Baru 1 Rendah Tinggi Sedang Agak masam
34
Cirebon Baru 2 Sangat tinggi Tinggi Tinggi Agak masam
35
Tebat Laut Sangat tinggi Rendah Sedang Agak masam
36
Talang Gelompok 1 Rendah Tinggi Rendah Agak masam
37
Talang Gelompok 2 Sangat tinggi Sedang Sedang Agak masam
38
Taba Padang 1 Rendah Tinggi Sedang Agak masam
39
Taba Padang 2 Rendah Sedang Tinggi Agak masam
40
Air Pesi Sangat tinggi Tinggi Sedang Agak masam
41
Temdak Sangat tinggi Tinggi Tinggi Agak masam
42
Kandang Rendah Tinggi Tinggi Agak masam
Analisis tanah yang dilakukan umumnya terbatas pada unsur hara makro saja,
sedangkan unsur hara mikro kurang diperhatikan. Perkiraan mengenai unsur hara mikro hanya
diduga berdasarkan jenis tanahnya saja. Usaha pertanian yang mengharapkan produksi tinggi dan
sangat tinggi memerlukan pemupukan hara mikro yang dapat dilakukan lewat tanah ataupun
lewat daun.
Secara garis besar unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur
hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan terdapat dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan
unsur hara mikro. Menurut Rosmarkum dan Yuwono (2002), unsur hara makro esensial utama
terdiri dari N, P, dan K, sedangkan unsur hara makro esensial kedua terdiri dari Ca, Mg, dan
unsur hara menaikkan produksi Na sedangkan unsur hara Si tidak menaikkan produksi.
Status Hara Nitrogen (N)
Unsur hara N bagi tanaman berperan di dalam pembentukan sel, jaringan dan organ
tanaman. Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk ion NO3- atau NH4
+. Kebutuhan unsur hara
N di dalam tanaman dibutuhkan dalam jumlah yang besar, terutama pada saat pertumbuhan
vegetatif, karena unsur N berfungsi sebagai bahan sintesis klorofil, protein dan asam amino.
Bersamaan dengan unsur fosfor (P), nitrogen digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan.
Status tanah di Kabupaten Kepahiang secara umum adalah berpasir dengan liat <20%
dan berdasarkan hasil analisis tanah sawah dengan menggunakan PUTS yang dilakukan terhadap
42 sampel tanah pada 34 desa, menunjukkan bahwa status hara N rata-rata adalah sangat tinggi
(57,14%), sedangkan sisanya adalah berada pada status rendah (42,86%). Tidak terdapat sampel
tanah yang berada pada status hara N sedang dan tinggi. Sehingga didapat rekomendasi
pemupukan berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan PUTS pada tanah untuk status N
rendah adalah dengan 250 kg Urea/ha, sedangkan pada status N sangat tinggi pemberian Urea
hanya 200 kg/ha (Tabel3.). Status unsur N pada tanah sawah yang sangat tinggi di Kabupaten
Kepahiang disebabkan tingginya intensitas pemupukan yang dilakukan oleh petani, sehingga
apabila pemupukan N masih dilakukan dalam dosis tinggi maka akan memberikan pengaruh yang
buruk pada tanaman padi. Tanaman yang kelebihan unsur N akan menyebabkan daun terlalu
67 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
hijau, dan rimbun yang akan menyebabkan proses pembungaan menjadi lama. Disamping itu,
tanaman yang kelebihan unsur N akan rentan terhadap serangan penyakit dan mudah roboh yang
akan mengakibatkan produksi menurun (Yuhendra, 2011).
Tabel 3. Status hara N dan rekomendasi pemupukan N di Kabupaten Kepahiang.
Status hara N Sampel Rekomendasi Urea untuk Tanah (kg/ha)
banyaknya % Berpasir (<20% liat) Berliat (20-40%)
Rendah 18 42,86 300 250
Sedang 0 0,00 - -
Tinggi 0 0,00 - -
Sangat Tinggi 24 57,14 200 200
Jumlah 42 100,00
Sumber utama N di dalam tanah berasal dari bahan organik, hasil pengikatan N dari
udara oleh mikroba, pupuk dan air hujan (Setyorini, Widowati dan Kasno, 2007). Kadar N di
dalam tanah tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut (Rosmarkum dan
Yuwono, 2002). Sumber N utama adalah berasal dari Urea, akan tetapi tanaman hanya dapat
menyerap 30% N yang berasal dari pemupukan (Siregar dan Marzuki, 2011). Sehingga efisiensi
pemupukan melalui pemupukan tepat waktu yaitu pemupukan yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman dapat dilakukan. Selain melalui pemupukan secara efisien, penggunaan
varietas unggul yang tanggap terhadap pemberian N serta memperbaiki teknik budidaya, yang
terdiri dari pengaturan populasi tanaman, pengairan yang tepat, serta pemberian N yang tepat baik
dosis maupun cara dan waktu pemberian.
Penambahan unsur N ke dalam tanah dapat dilakukan dengan menggunakan Urea, ZA,
DAP, pupuk majemuk maupun dengan menggunakan pupuk kompos. Rekomendasi pemupukan
untuk status hara N rendah pada tanah berpasir dengan liat < 20% adalah 300 kg Urea/ha.
Sedangkan pada status hara N sangat tinggi, rekomendasi pemupukan pada tanah berpasir dengan
liat < 20% tanah berliat adalah 200 kg Urea/ha (Setyorini, Widowati dan Kasno, 2007).
Pemupukan yang dilakukan tanpa memperhatikan status hara tanah dan kebutuhan tanaman akan
menyebabkan terjadinya kelebihan unsur hara. Untuk pertumbuhan yang optimum selama fase
vegetatif, pemupukan N harus diimbangi dengan pemupukan unsur lain.
Kekurangan unsur N pada tanaman padi akan menunjukkan gejala pertumbuhan kerdil
dan menguning, daun lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran daun sehat. Gejala kekurangan
N pada tanaman muda menunjukkan gejala seluruh tanaman menguning, sedangkan gejala pada
tanaman tua menunjukkan daun bagian bawah berwarna hijau kekuning-kuningan hingga kuning.
Selain itu, anakan yang dihasilkan oleh tanaman yang kekurangan N berkurang dan terlambat
berbunga akan tetapi proses pemasakan bulir cepat sehingga gabah kurang bernas serta gabah dari
malai yang dihasilkan juga berkurang (Syam et al., 2007). Pemupukan N juga akan menaikkan
produksi tanaman, kadar protein, dan kadar selulosa, tetapi sering menurunkan kadar sukrosa,
polifruktosa dan pati. Menurut Siregar dan Marzuki (2011), unsur N juga berpengaruh terhadap
susunan kimia tanaman. Pemberian N jika diberikan di bawah optimal, maka asimilasi ammonia
akan menaikkan kadar protein dan pertumbuhan daun (dinyatakan dengan indeks luas daun).
Menurut Marscher (1986) dalam Siregar dan Marzuki (2011), pemupukan N pada tanaman padi
akan menyebabkan panjang, lebar dan luas daun bertambah, akan tetapi ketebalan daun menjadi
berkurang.
Status Hara P
Unsur hara fosfor (P), merupakan salah satu unsur penting bagi tanaman yang berperan
untuk menyusun enzim, protein, ATP, RNA dan DNA. ATP penting untuk proses transfer energi,
sedangkan RNA dan DNA menentukan sifat genetik tanaman. Selain itu, unsur P juga
mempunyai peran untuk pertumbuhan benih, akar, bunga dan buah. Bersamaan dengan kalium,
unsur P digunakan oleh tanaman untuk merangsang pembungaan. Sehingga kebutuhan P akan
meningkat tinggi pada saat tanaman akan berbunga (Yuhendra, 2011). Tanah andosol dapat
68 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
menyemat P sekitar 500kg/ha. Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan
nitrogen dan kalium, tapi fosfor dianggap kunci kehidupan.
Berdasarkan hasil analisis status tanah sawah pada beberapa desa sentra padi di
Kabupaten Kepahiang, status hara P secara umum adalah tinggi (59,52%), sedangkan sisanya
adalah sedang 21,42% dan rendah 19,05%. Dominasi status unsur P tinggi dan sedang pada lahan
sawah di Kabupaten Kepahiang karena pemupukan yang dilakukan secara intensif. Menurut
Barus dan Andarias (2007), pemupukan yang dilakukan secara intensif pada lahan sawah irigasi
teknis dengan intensitas tanam dua atau tiga kali setahun akan menyebabkan dominasi status P
tinggi hal ini dikarenakan tidak semua pupuk P yang diberikan dapat seluruhnya diserap oleh
tanaman. Berdasarkan kondisi hasil pengujian PUTS, maka rekomendasi pemupukan yang
diberikan antara tanah dengan P rendah, sedang dan tinggi berbeda. Sehingga didapat
rekomendasi pemupukan berdasarkan hasil analisis menggunakan PUTS di Kabupaten Kepahiang
pada tanah untuk status hara P tinggi adalah 50 kg SP-36/ha, status hara P sedang rekomendasi
pemupukan adalah 75 kg SP-36/ha dan status hara P rendah adalah 100 kg SP-36/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Status hara dan rekomendasi pemupukan P di Kabupaten Kepahiang.
Status hara Jumlah Persentase (%) Rekomendasi Pemupukan
Rendah 8 19,05 100 kg SP-36/ha
Sedang 9 21,42 75 kg SP-36/ha
Tinggi 25 59,52 50 kg SP-36/ha
Jumlah 42 100,00
Secara umum, unsur P telah di identifikasi sebagai unsur hara yang penting bagi
kesehatan akar tanaman dan menambah ketahanan tanaman terhadap keracunan besi. Selain itu,
kekurangan unsur hara P pada tanaman padi akan menyebabkan pertumbuhan akar tanaman
lambat, tanaman kerdil, daun berwarna hijau gelap dan tegak, lama kelamaan daun berwarna
keungu-unguan. Selain itu, jumlah anakan sedikit, waktu pembungaan terlambat sehingga tidak
rata, umur tanaman atau panen lebih panjang dan gabah yang terbentuk berkurang (Syam et al.,
2007). Selain berpengaruh terhadap tanaman, kelebihan unsur P akan menyebabkan penyerapan
unsur lain terutama unsur mikro seperti besi (fe), tembaga (Cu), dan seng (Zn) terganggu. Namun
gejalanya tidak terlihat secara fisik pada tanaman (Yuhendra, 2011).
Status Hara K
Unsur K bagi tanaman mempunyai peranan sebagai pengatur proses fisiologi tanaman
seperti fotosintesis, akumulasi, translokasi, transportasi karbohidrat, membuka menutupnya
stomata, atau mengatur distribusi air di dalam jaringan. Kekurangan unsur K akan menyebabkan
daun seperti terbakar dan akhirnya gugur (Yuhendra, 2011). Selain itu, kekurangan unsur K
menyebabkan kadar karbohidrat berkurang serta menyebabkan lemahnya batang tanaman
sehingga tanaman mudah roboh.
Status unsur hara K pada beberapa desa sentra padi di Kabupaten Kepahiang secara
rata-rata adalah sedang dengan persentase 38,10%, sedangkan sisanya sebanyak 35,71% berada
pada status rendah dan 26,19% pada status tinggi. Status K yang berada pada kondisi sedang dan
rendah, salah satunya disebabkan karena pemupukan K tidak selalu dilakukan oleh petani dan
kalaupun ada diberikan dalam jumlah sedikit dan tidak seimbang dengan jumlah N dan P. Selain
itu, pengembalian jerami pada setiap musim panen berakhir umumnya dibakar (untuk
mempercepat proses pengolahan tanah) dan tidak dikembalikan ke sawah yang secara otomatis
mengakibatkan unsur K yang terbawa oleh tanaman tidak kembali ketanah. Menurut Ma dan
Takahashi (1991) dalam Husnain (2010), jerami padi mengandung mengandung SiO2 antara 1,7
hingga 9,3% sementara itu Tanaka (1978) dalam Husnain (2010) melaporkan bahwa kandungan
K dalam jerami padi bervariasi antara 1 hingga 3%.
69 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 5. Status hara k dan rekomendasi pemupukan K di Kabupaten Kepahiang.
Status hara Jumlah Persentase (%) Rekomendasi Pemupukan
Rendah 15 35,71 a. 100 kg KCl/ha atau
b. 50 kg KCl/ha + 5 ton jerami/ha
Sedang 16 38,10 a. 50 kg KCl/ha atau
b. 5 ton jerami/ha Tinggi 11 26,19
Jumlah 42 100,00
Menurut Setyorini, Widowati dan Kasno (2007), rekomendasi pemupukan pada status
unsur hara K rendah adalah dengan penambahan pupuk KCl 100 kg/ha atau 50 kg KCl/ha
ditambah dengan 5 ton jerami/ha. Sedangkan pada status K sedang dan tinggi penambahan K
melalui pemberian pupuk KCl adalah sebanyak 50 kg/ha atau dengan penambahan dengan
menggunakan 5 ton jerami/ha. Status unsur K pada tanah sawah di Kabupaten yang berada antara
rendah, sedang dan tinggi.
Status pH
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan PUTS, status ph tanah sawah di
Kabupaten Kepahiang secara umum adalah agak masam (100%). Berdasarkan bagan warna hasil
pengujian dengan PUTS terhadap pH, status tanah agak masam berada pada kisaran 5-6.
Rekomendasi pemupukan berdasarkan status pH adalah sistem drainase konvensional dan pupuk
N dalam bentuk Urea (Tabel 6). Pada pH tanah kurang dari 6 maka ketersediaan unsur P, K,S,
Ca, Mg dan Mo menurun dengan cepat dan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisikan
N organik menjadi terhambat.
Tabel 6. Status pH dan rekomendasi pemupukan berdasarkan pH tanah.
Status pH Jumlah Persentase (%) Rekomendasi
Sangat masam (pH < 4) - - Sistem drainase terputus
Kapur 1-2 ton/ha
Pupuk N dalam bentuk Urea Masam (pH 4-5) - -
Agak masam (pH 5-6) 42 100 Sistem drainase konvensional
Pupuk N dalam bentuk Urea Netral (pH 6-7) - -
Agak basa (7-8) - - Sistem drainase konvensional
Pupuk N dalam bentuk ZA. Alkalin (pH >8) - -
Jumlah 42 100
pH tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, yaitu menentukan mudah
tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman (Anonymous, 2011). Pada umumnya unsur hara
akan mudah diserap tanaman pada pH 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara
akan mudah larut dalam air dan derajat pH dalam tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-
unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada kondisi tanah masam, akan banyak ditemukan
unsur alumunium (Al) yang selain meracuni tanaman juga mengikat phosphor sehingga tidak bisa
diserap tanaman, selain itu pada tanah masam juga terlalu banyak unsur mikro yang bisa
meracuni tanaman. Sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur Na (Natrium) dan Mo
(Molibdenum), dan kondisi pH tanah juga menentukan perkembangan mikroorganisme dalam
tanah. Pada pH 5,5 – 7 jamur dan bakteri pengurai bahan organik akan tumbuh dengan baik.
Demikian juga mikroorganisme yang menguntungkan bagi akar tanaman juga akan berkembang
dengan baik.
70 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KESIMPULAN
1. Secara umum status N, P, K dan pH tanah sawah di Kabupaten Kepahiang bervariasi, yaitu N
sangat tinggi (57,14%), status P tinggi (59,52%), status K sedang (38,10%) serta status pH
secara umum (100%) adalah agak masam.
2. Rekomendasi pemupukan untuk status N sangat tinggi 200 kg Urea/ha, P tinggi 50 kg SP-
36/ha, K sedang 50 kg KCl/ha atau 5 ton jerami/ha serta pH agak masam sistem drainase
konvensional dan pemberian pupuk N dalam bentuk Urea.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahman, S., E. Suhartatik, A. Kasno dan D. Setyorini. 2008. Modul Pemupukan Padi
Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Anonymous. 2011. Mengatasi Tanah Masam dan Basa. http://www.gerbangpertanian. com/
2011/11/mengatasi-tanah-masam-dan-basa.html. (08 Oktober] 2012.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik
Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Barus, J. dan Andarias. 2007. Status Hara Fosfor dan Kalium Lahan Sawah Kabupaten Lampung
Tengah. Jurnal Tanah dan Lingkungan, Volume 9 N0. 1 April 2007 : 16-19.
http://www.journal.ipb.ac.id/index.php/jtanah/article/view/2385/1391 [17 September] 2012.
Departemen Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah; Pedoman Bagi
Penyuluh Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Dirjen Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Umum SL-PTT Tahun 2011. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. http://www.
litbang.deptan.go.id›Download›Panduan [18 Juli] 2011.
Faiz, M. B. 2009. Tanah Tropika Agroekoteknologi Lahan Kering. Badan Penerbitan Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Husnain. 2010. Kehilangan Unsur Hara Akibat Pembakaran Jerami Padi dan Potensi
Pencemaran Lingkungan. Prosd. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor,
30 November-1 Desember 2010. BBSDLP. Bogor. http://www.balittanah.
litbang.deptan.go.id/index.php?option...id (18 Sept 2012).
Indranada, H.K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Penerbit PT. Bina Aksara. Jakarta.
Rosmarkum, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Setyorini, D., L. R. Widowati dan A. Kasno. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah
(Paddy soil test kit). BBSDLP. Bogor. http://www.putsputk. net.//pdffille/manual_puts.pdf.
(diakses, 20 September 2012).
Siregar A. dan I. Marzuki. 2011. Efisiensi Pemupukan Urea Terhadap Serapan N dan
Peningkatan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L.) Jurnal Budidaya Pertanian 7: 107-112.
http://www.paparisa.unpatti.ac.id/paperrepo/ppr_iteminfo_Ink.php? id=40 (17 September
2012).
Syam, M., Suparyono, Hermanto, dan D. Wuryani, S. 2007. Masalah Hama, Penyakit, Hara
Pada Padi. Kerjasama Puslibang Tanaman Pangan, BPTP Sumut, BPTP Riau, BPTP
Lampung, BPTP DKI, BPTP DIY, BPTP Sultra, BPTP Kalsel dan IRRI.
http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/31/. (28 Juli 2011).
71 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KAJIAN PERBAIKAN USAHA TANI LAHAN LEBAK DANGKAL DI SP1 DESA
BUNTUT BALI KECAMATAN PULAU MALAN
KABUPATEN KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
M. A. Firmansyah1, Suparman1, W.A. Nugroho1, Harmini1 dan Umi Pudji Astuti2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah
2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Lahan lebak merupakan lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian jika dilakukan pembangunan
jaringan tata air yang efektif. Kajian ini bertujuan untuk memperbaiki teknologi usahatani lahan lebak dangkal di
Kabupaten Katingan diperlukan karena masih dilakukan secara tradisional, yaitu tanpa aplikasi pemupukan, kendala
pengembangan karet karena genangan air, dan belum termanfaatkannya limbah jerami padi untuk pakan ternak. Kajian
dilakukan selama 3 (tiga tahun) 2009 – 2011 di SP1 Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan.
Kajian dilakukan dengan memperkenalkan pemupukan padi, dan memperkenalkan teknologi tukungan untuk
pengembangan tanaman karet di lahan lebak dangkal dengan karet unggul PB260 dan IRR39, serta pemanfaatan limbah
jerami untuk pakan ternak. Hasil menunjukkan bahwa pemupukan 200 kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36, dan 50 kg/ha KCl
mampu menghasilkan antara 2,5 – 3,7 t/ha GKP, sedangkan tanpa pupuk antara 1,9 – 2,9 t/ha GKP. Pemberian pupuk
organik limbah sapi 9 t/ha menghasilkan sebesar 5,20 t/ha GKG, diikuti 12 t/ha pupuk organik dengan produksi 4,51
t/ha GKG, dan terendah tanpa pemberian pupuk organik menghasilkan 3,06 t/ha GKG. Kajian penggunaan Pupuk
Gambut (Pugam) menunjukkan bahwa perlakuan Pugam T mencapai produksi sebanyak 3,84 t/ha GKG. Teknologi
penanaman karet klon unggul PB 260 dan IRR 39 mampu hidup jika dibuatkan tukungan saat tanam, sedangkan jika
tidak menggunakan tukungan bibit karet tertekan dan mati karena genangan air. Pemberian silase meningkatkan
pertambahan bobot badan sapi pada bulan pertama perlakuan mencapai 8,11 kg/bulan dibandingkan tanpa pemberian
silase yang hanya 3,3 kg, sedangkan pada bulan ketiga perlakuan tercapai penambahan bobot badan sapi mencapai
14,39 kg dibandingkan 3,69 kg.
Kata Kunci: lahan lebak, oryza sativa, hevea brasiliensis, silase, pertambahan bobot badan sapi
PENDAHULUAN
Lahan lebak merupakan lahan cekungan yang memiliki kendala kelebihan air di waktu
musim hujan dan kering disaat musim kemarau dan tidak dipengaruhi oleh gerakan air pasang
surut. Kondisi lahan yang marginal tersebut dikarenakan ketersediaan air yang tidak dapat
dikelola dengan baik. Lahan lebak merupakan lahan potensi tinggi untuk pengembangan padi,
dan juga sumber pakan untuk ternak saat terjadi musim banjir. Namun demikian kondisi
masyarakat asli Kalimantan Tengah masih terbatas pemanfaatan lahan lebak untuk penanaman
padi sekali setahun dan juga keinginan untuk perluasan mengembangkan tanaman karet di lahan
lebak karena sebagai mata pencaharian utama.
Lahan lebak merupakan lahan rawa yang perkembangannya tertinggal dibandingkan
dengan lahan rawa pasang surut (Noor, 1996). Lahan lebak di Kalimantan Tengah mencapai
luasan 324.920 hektar, sedangkan potensi luasan sawah lebak di Kabupaten Katingan sebesar
61.251 hektar (Nugroho dan Budiman, 2006). Umumnya lahan lebak selain dimanfaatkan untuk
tanaman padi, juga dimanfaatkan untuk hortikultura, palawija maupun kenaf (Anwar dan
Widjaja-Adhi, 1997), namun demikian belum banyak yang mengembangkan untuk tanaman
tahunan yang akan mengalami genangan dengan waktu yang cukup lama seperti tanaman karet.
Tujuan pengkajian ini adalah melakukan integrasi pemanfaatan lahan lebak dangkal di
Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah untuk usahatani
padi, karet dan sapi secara terintegrasi, dengan cara pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan
ternak.
BAHAN DAN METODA
Lokasi pengkajian dilakukan di lahan lebak dangkal di SP1 Desa Buntut Bali
Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah. Pelaksanaan
pengkajian dilakukan mulai MT Okmar 2009 hingga MT Okmar 2011. Terdapat tiga komoditas
yang diintegrasikan, antara lain: 1) Rakitan Paket Teknologi Budidaya padi menggunakan
72 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
pemupukan anorganik dan pengkajian pemupukan organik limbah sapi di lahan lebak mineral,
serta pengkajian penggunaan Pugam di lahan lebak gambut, 2) Teknologi pengembangan
tanaman karet unggul di lahan lebak mineral menggunakan berbagai dimensi tukungan, dan 3)
Pemanfaatan jerami padi sebagai silase untuk pakan sapi.
Rakitan paket teknologi budidaya padi lahan lebak menggunakan pemupukan
anorganik, dilakukan pada MT Okmar 2009, perlakuan yang digunakan adalah paket pemupukan
200 kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36, dan 50 kg/ha KCl; dan tanpa pemupukan (pola petani). Varitas
padi yang digunakan adalah varietas lokal. Luas setiap petak percobaan 0,5 ha yang dilakukan
oleh tiga petani kooperator. Pengamatan meliputi jumlah anakan dan produksi.
Rakitan paket teknologi budidaya padi lahan lebak mineral menggunakan pemupukan
organik limbah sapi. Pupuk organik yang dikaji adalah dosis pupuk kandang sapi, antara lain: 0
t/ha (P0), 3 t/ha (P1), 6 t/ha (P2), 9 t/ha (P3), dan 12 t/ha (P4). Pengkajian ini dilakukan di lahan
lebak sela tukungan karet, setiap petak percobaan memiliki ukuran 15x20 m dan diulang
sebanyak tiga kali. Pemupukan anorganik yang digunakan dengan dosis 200 kg/ha urea, 150
kg/ha SP-36 dan 50 kg/ha KCl. Varietas yang digunakan adalah varietas lokal Embang Parukat
dengan usia panen 5 bulan.
Pengkajian penggunaan Pugam di laksanakan di MT Okmar 2011 yang terletak di lahan
lebak gambut dalam. Perlakuan adalah pemberian Pugam A dan Pugam T, masing-masing
sebanyaks 400 kg/ha, sedangkan kontrol tanpa pemberian Pugam. Luas tiap demplot perlakuan
baik Pugam A, Pugam T dan Kontrol adalah 25 x 100 m. Dolomit diberikan sebanyak 400 kg/ha,
pupuk anorganik Urea sebanyak 150 kg/ha dan pupuk NPK Ponskha sebanyak 150 kg/ha. Varitas
padi yang digunakan adalah Inpara-5. Pengamatan yang dilakukan adalah jumlah malai dan
produksi gabah kering giling.
Teknologi pengembangan tanaman karet unggul di lahan lebak mineral menggunakan
berbagai dimensi tukungan, yang dibedakan berdasarkan kedalaman genangan air saat musim
hujan. Dimensi panjang dan lebar tukungan berukuran masing-masing 1 m, namun tinggi
tukungan dibedakan berdasarkan 50%, 100%, dan 150% dari kedalaman genangan air rata-rata
sebesar 50 cm. Parameter yang diamati adalah lingkar batang maupun tinggi tanaman, serta
tanaman yang dapat bertahan pada kondisi tersebut.
Pengkajian pemanfaatan limbah jerami padi untuk pakan ternak diintroduksikan dengan
pembuatan silase. Silase yang digunakan berasal dari bahan limbah jerami padi hasil panen
demplot Inpara 5 pada perlakuan Pugam A, Pugam T, dan Kontrol yang telah dicacah, gula
merah, dedak, air dan EM-4 peternakan. Peralatan yang digunakan adalah 1 unit APO, kantong
plastik hitam besar, terpal, meteran. Sebelum perlakuan diaplikasikan setiap sapi diberikan feed
supplement mineral sebagai mineral tambahan. Setiap bulan para petani akan mengukur lingkar
dada, panjang badan dan tinggi badan. Silase diberikan sebanyak 35% dari bobot badan sapi, dan
silase diberikan setiap hari. Sebelum diberikan pada ternak terlebih dahulu silase di angin –
anginkan. Parameter pengukuran dilakukan pada pertambahan berat badan sapi antara yang
diberi silase dan tidak diberi silase.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengkajian Pemupukan Anorganik Tanaman Padi Lahan Lebak di Sela Karet
Penanaman padi di lahan lebak dangkal lokasi penelitian masih dilakukan satu kali
dalam satu tahun. Hal tersebut utamanya disebabkan karena belum sempurnanya pengelolaan tata
air, sehingga kebanjiran saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Menurut Ar-Riza
dan Rina (2004) untuk meningkatkan produktivitas lahan lebak dangkal dengan penerapan pola
tanam padi dua kali setahun diperlukan pembangunan jaringan tata air yang efektif.
Pemberian pupuk anorganik untuk mengenalkan kepada petani bahwa budidaya padi
lebak memerlukan tambahan unsur hara. Hasil menunjukkan bahwa pemberian pupuk
memberikan pengaruh positif pada parameter pertumbuhan dan produksi. Padi yang dipupuk
menunjukkan jumlah anakan yang lebih banyak yaitu 16 – 24 anakan produktif, dibandingkan
tanpa pemberian pupuk yaitu 14 – 16 anakan produktif. Pada parameter produksi, bahwa
73 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
pemupukan mampu menghasilkan GKP (Gabah Kering Panen) antara 2,5 – 3,7 t/ha, sedangkan
tanpa pupuk antara 1,9 – 2,9 t/ha.
Analisis finansial menunjukkan bahwa pemberian pemupukan masih menguntungkan
dibandingkan tanpa pemupukan, pada perlakuan pemupukan dengan rata-rata produksi padi 683
kg GKG/0,25 ha dengan harga gabah Rp. 2.500,-/kg menghasilkan penerimaan sebesar Rp.
1.707.000,- dan tanpa pemupukan mendapatkan produksi 533 kg GKG/0,25 ha mendapatkan
penerimaan Rp. 1.332.500.-. yang berarti memberikan tambahan keuntungan sebesar Rp.
377.000,-/0,25 ha tanaman padi.
Pengkajian Pemupukan Organik Limbah Sapi di Lahan Lebak Sela Karet
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik limbah sapi 9 t/ha
menghasilkan sebesar 5,20 t GKG, diikuti 12 t/ha pupuk organik dengan produksi 4,51 t/ha dan
terendah tanpa pemberian pupuk organik menghasilkan 3,06 t/ha GKG (Gambar 1). Menurut
Raihan et all., (2003) pengaruh bahan oganik termasuk pupuk kandang sapi menjadikan tanah
gembur, memperbaiki aerasi tanah dan mampu meningkatkan produksi tanaman secara
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, karena pupuk organik lebih lama mengendap
didalam tanah dibandingkan pupuk kimia.
Gambar 1. Peningkatan produksi padi hasil pemberian pupuk organik limbah sapi
pada lahan lebak disela karet.
Pengkajian Aplikasi Pupuk Gambut di Lahan Lebak Gambut
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa jumlah malai tertinggi ada pada perlakuan pupuk
gambut (Pugam) A sebesar 1.434 helai/6,25 m2. Sedangkan GKG tertinggi pada perlakuan
Pugam T sebanyak 3,84 t/ha GKG (Gambar 2). Kondisi rendahnya perlakuan Pugam A
meskipun memiliki jumlah malai lebih besar dari perlakuan lainnya terutama Pugam T, ternyata
malai pugam T lebih berat dan bernas dibandingkan perlakuan Pugam A yang banyak hampa.
Hal ini menunjukkan bahwa Pugam T yang bersifat lebih cepat bereaksi mampu memperbaiki
tanah gambut dibandingkan Pugam A yang lambat bereaksi.
Gambar 2. Peningkatan produksi perlakuan pupuk gambut padi Inpara
5 di lahan lebak gambut
74 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pengkajian Pengembangan Karet di Lahan Lebak (Inovasi Teknologi Tukungan)
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa menanam karet klon unggul PB 260 dan IRR 39
mampu hidup di lahan lebak dangkal jika dibuatkan tukungan saat tanam, sedangkan jika tidak
menggunakan tukungan kebanyakan bibit karet tertekan dan mati (Tabel 1). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ternyata pembuatan tukungan 50% dari ketinggian genangan air sudah
cukup untuk mempertahankan pertumbuhan bibit karet PB260, sedangkan untuk IRR39 yang
terbaik jika tinggi tukungan 100% dari genangan di lahan lebak dangkal.
Tabel 1. Keragaan agronomis karet di rawa lebak kabupaten katingan dengan inovasi teknologi
tukungan (16 BST).
Tinggi tukungan
(% dari genangan)
Diameter batang (mm) Tinggi tanaman (cm)
IRR-39 PB-260 IRR-39 PB-260
0
50
100
150
0,00
3,07
3,35
3,20
0,00
2,98
2,36
3,58
0
260
298
224
0
290
220
226
Keterangan: BST = Bulan Setelah Tanam; 0 = bibit karet mati.
Pengkajian Pemanfaatan Silase Limbah Jerami untuk Pakan Sapi
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pemberian silase jerami dapat meningkatkan
rata-rata berat sapi dibandingkan tanpa pemberian silase (Gambar 3). Pada ternak sapi tanpa
diberi silase jerami terjadi penurunan pertambahan berat badan sapi pada bulan ketiga, hal ini
kemungkinan dipengaruhi oleh ketersediaan pakan pada musim kemarau serta daya cerna sapi
yang berkurang. Kondisi ini terjadi dikarenakan hilangnya energi, mineral dan protein yang
terkandung dalam hijauan atau rerumputan akibat kekurangan air untuk bertumbuh. Sehingga
dapat berakibat pada terhambatnya pertumbuhan sapi yang sudah dewasa yang dapt
menyebabkan berat badannya menurun atau kurus (Sampurna, 2009).
Gambar 3. Pemberian silase meningkatkan pertambahan bobot badan sapi
dibandingkan tanpa pemberian silase.
KESIMPULAN
1. Pemberian pupuk anorganik 200 kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36, dan 50 kg/ha KCl pada padi
lokal meningkatkan produksi. Pada parameter produksi, bahwa pemupukan mampu
menghasilkan GKP (Gabah Kering Panen) antara 2,5 – 3,7 t/ha, sedangkan tanpa pupuk antara
1,9 – 2,9 t/ha.
2. Dosis kotoran sapi yang memberikan hasil produksi tertinggi dengan rata-rata 5 t/ha GKG
adalah penambahan kotoran sapi 9 t/ha.
3. Perlakuan Pugam T lebih tinggi dibandingkan Pugam A, masing-masing 3,84 t/ha, 2,56
sedangkan kontrol 3,44 t/ha GKG
75 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
4. Pembuatan tukungan 50% dari ketinggian genangan air sudah cukup untuk mempertahankan
pertumbuhan bibit karet PB260, sedangkan untuk IRR39 yang terbaik jika tinggi tukungan
100% dari genangan air di lahan lebak dangkal.
5. Pemberian silase meningkatkan pertambahan bobot badan sapi pada bulan pertama perlakuan
pemberian silase mencapai 8,11 kg dibandingkan tanpa pemberian silase yang hanya 3,3 kg,
sedangkan pada perlakuan pemberian silase bulan ketiga mencapai 14,39 kg dibandingkan
3,69 kg.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, E.A. dan I.P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Tampilan Potensi Usahatani Di Lahan Lebak.
Prosd. Simposium Nasional dan Konggres VI Peragi. Jakarta 25-27 Juni 1996.
Perhimpunan Agronomi Indonesia Nasional. Jakarta. ;35-49.
Ar-Riza, I. dan Y. Rina. 2004. Optimasi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak Untuk Meningkatkan
Produksi Padi. Prosd. Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim.
Bogor 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Bogor. ;257-272.
Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penerbi PT. Penebar Swadaya. Jakarta. ;213
Nugroho, K. dan C. Budiman. 2006. Arahan Tata Ruang Pertanian. 1.3. Provinsi Kalimantan
Tengah. Edisi Pertama. BBP2SDLP. Bogor.
Sampurna, I. 2009. Pakan Sapi Bali. Universitas Udayana. Denpasar.
Raihan, S., N. Fauziati dan Y. Raihana. 2003. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Sifat Fisik
dan Kimia Tanah Serta Hasil Jagung Di Lahan Lebak. Prosd. Seminar Nasional
Sumberdaya Lahan. Buku II. Cisarua, 6-7 Agustus 2002. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. ;189-204
76 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
POTENSI PENGEMBANGAN LAHAN SUB OPTIMAL
DENGAN VARIETAS PADI RAWA
Wahyu Wibawa dan Nurmegawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Lahan rawa merupakan lahan sub optimal yang sangat berpotensi dalam mendukung kelestarian
swasembada beras. Namun budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena mempunyai
beberapa permasalahan diantaranya: tinggi dan lama genangan air sulit diduga, kesuburan tanah rendah dan
penggunaan varietas lokal Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pertumbuhan dan hasil beberapa
varietas padi rawa sebagai bahan rekomendasi. Penelitian dilakukan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa
Dusun Baru Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan dosis pupuk yang terdiri atas dua level,
yaitu: 1) urea 100 kg/ha , SP-36 50 kg/ha dan KCl 50 kg dan 2) urea 200 kg/ha , SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg.
Anak petak adalah 5 varietas padi yang merupakan VUB padi rawa yaitu Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Indragiri dan
Banyuasin, yang terdiri dari 30 plot. Ukuran plot adalah 5 x 5 m = 25 m2 dengan jarak antar plot 60 cm. Hasil
pengkajian memperlihatkan bahwa varietas inpara 1 mempunyai tinggi tanaman tertinggi yaitu 81,33 cm, umur
tanaman berbunga 50 % berkisar 62,50 – 65,81 cm, jumlah anakan produktifnya hanya berkisar 6,95 – 9,04 batang,
dengan hasil berkisar 1,95 t/ha – 2,58 t/ha GKP. Hasil gabah terhadap varietas tidak berbeda nyata, sehingga varietas
Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Indragiri dan Banyuasin dapat direkomendasikan Dosis pemupukan tidak berbeda nyata
terhadap komponen hasil dan hasil gabah.
Kata kunci : varietas, dosis pemupukan, padi, rawa lebak
PENDAHULUAN
Permasalahan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini salah satunya adalah terjadinya
konversi lahan pertanian yang menyebabkan luas lahan perkapita menjadi kecil, sehingga perlu
diupayakan cara yang paling efektif dan efeisien untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat
seiring dengan kenaikan jumlah penduduk yang terus merangkak naik. Salah satu solusinya
dengan mengoptimalkan lahan sub optimal yang ada seperti lahan rawa. Lahan ini yang sangat
berpotensi dalam mendukung kelestarian swasembada beras.
Menurut Subagyo (1997) lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan
antara daratan dan sistem perairan. Zona-zona wilayah rawa dibagi dalam 3 zona yaitu wilayah
pasang surut air asin, rawa pasang surut air tawar dan rawa lebak). Dirjen Tanaman Pangan
(1992) dan Widjaja-Adhi et al., (1992) menggolongkan rawa lebak menjadi 3 golongan, yaitu
lebak pematang/dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Lebak pematang mempunyai
permukaan lebih tinggi dan umumnya terletak di pinggir sungai. Pada musim hujan lahan tersebut
digenangi air kurang dari 50 cm, dengan masa genangan kurang dari 3 bulan. Lebak tengahan
mempunyai permukaan lebih rendah, terletak agak jauh dari sungai. Pada musim hujan hujan
lahan ini 400 digenangi air hingga 50-100 cm, dengan waktu genangan 3-6 bulan. Sedangkan
Lebak dalam mempunyai permukaan lebih dalam dan jauh dari sungai, digenangi air dengan
kedalaman lebih dari 100 cm dengan masa genangan lebih dari 6 bulan.
Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan seluas 13,3 juta ha yang terdiri dari 4,2
juta ha rawa lebak dangkal; 6,07 juta ha lahan rawa lebak tengahan dan 3,0 juta ha rawa lebak
dalam. Umumnya lahan tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Widjaya
et al., 1992). Berdasarkan data BPS Provinsi Bengkulu (2010), luas lahan rawa lebak di Provinsi
Bengkulu diperkirakan 11.609 ha yang mencakup Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu
Utara dan Bengkulu Tengah. Lahan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan khususnya
untuk tanaman padi dan diharapkan mampu menjadi penyumbang produksi beras yang cukup
signifikan. Namun budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena
mempunyai beberapa permasalahn diantaranya: tinggi dan lama genangan air sulit diduga,
kesuburan tanah rendah dan penggunaan varietas lokal. Tanah pada lahan rawa bersifat masam,
miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang tinggi. Keracunan besi dan
ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama yang menyebabkan
77 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
produktivitas padi rendah (1-2 t/ha) atau bahkan tidak menghasilkan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut diatas maka diperlukan varietas yang toleran terhadap cekaman genangan,
kekeringan serta hama penyakit.
Pada saat ini sudah ada varietas unggul baru padi pasang surut yang toleran fe/pirit,
toleran keasaman tinggi, tahan rendaman, potensi hasil tinggi dan lebih tahan hama penyakit
diantaranya banyuasin, Batanghari, Kapuas, Indragiri, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4,
Inpara 5 dan Inpara 6, dimana masing-masing varietas mempunyai kelebihan masing-masing
(Balai Besar Penelitian Tanaman padi, 2010). Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut di atas
maka diperlukan paket teknologi dan varietas yang tahan kekeringan dan potens hasil yang tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pertumbuhan dan hasil beberapa
varietas padi rawa sebagai bahan rekomendasi.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada musim kemarau di lahan milik petani di Desa Dusun Baru
Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Pada Petak utama merupakan
perlakuan dosis pupuk yang terdiri atas dua level, yaitu : 1) urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan
KCl 50 kg dan 2) urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg. Anak petakan merupakan
varietas padi dengan 5 VUB padi rawa yaitu Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Indragiri dan
Banyuasin, yang terdiri dari 30 plot. Ukuran plot adalah 5 x 5 m = 25 m2 dengan jarak antar plot
60 cm.
Penyemaian dilakukan di lahan petani pada tanggal 19 Mei 2012 untuk 8 varietas
masing-masing seberat 2 kg. Sebelum benih disemai dilakukan perlakuan benih dengan memberi
karbofuran sebanyak 1 kg. Pengolahan lahan dilakukan secara manual yaitu dengan cara
penebasan gulma dan pencangkulan tanah, selanjutnya dilakukan penyemprotan dengan herbisida
untuk membunuh biji-biji gulma yang tersisa. Penanaman padi dilakukan dengan sistem legowo 2
: 1, dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm. Umur bibit yang digunakan yaitu 20 hss dengan
jumlah bibit per lubang sebanyak 3 batang pada 8 varietas dengan 48 plot.
Pemberian pupuk dilakukan sesuai dengan dosis, pada pengkajian ini dilakukan pada 2
level pupuk yaitu, level: 1) 100 kg urea/ha, 50 kg SP-36/ha, 50 kg KCl/ha dan 2) 200 kg urea/ha,
100 kg SP-36 kg/ha, 100 kg KCl/ha. Pada level pertama diberikan setengah dosis anjuran
sedangkan level keduanya diberikan pupuk dengan dosis penuh. Perhitungan pemberian pupuk
disesuaikan dengan luas dari masing-masing plot. Jumlah pupuk yang diberikan tiap plot
diperoleh dari luas plot dikalikan dosis pupuk per m2. Pemberian pupuk urea rencananya
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada umur tanaman 7 hst, 21 hst dan 45 hst sedangkan
pemupukan SP-36 dan KCl diberikan pada pemupukan pertama saja, karena pertanaman
mengalami kekeringan maka pemupukan hanya dilakukan pada umur tanaman 7 hst dan 21 hst
sehingga dosis pupuk urea 2/3 dari dosis semula.
Pengajiran tanaman dilakukan pada setiap plot dimana pada masing-masing plot diberi
ajir untuk 5 sampel tanaman. Pengajiran ini dilakukan pada tanaman sampel untuk pengukuran
tinggi tanaman dan jumlah anakan. Untuk pelaksanaan budidaya padi mengacu pada PTT padi
rawa (Departemen Pertanian, 2008). Komponen teknologi yang diterapkan dalam percobaan
disajikan pada Tabel 1. Peubah yang diamati meliputi : tinggi tanaman saat panen, umur
berbunga (50% keluar malai), umur tanaman saat panen, berat kering jerami, anakan produktif,
bobot 1000 butir dan hasil.
78 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Komponen teknologi budidaya padi rawa pada perlakuan petak utama.
No. Komponen teknologi Petak utama
Level I Level II
1.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Varietas Unggul
Pengolahan tanah
Sistem tanam
Jarak tanam (cm)
Umur bibit (hss)
Jumlah bibit per rumpun (btg)
Pemupukan (kg/ha)
- Urea
- SP-36
- KCl
Cara Pemupukan
Penyiangan
Pengendalian hama penyakit
Sistem panen
5 varietas
TOT-MT
Legowo 2 : 1
20x20
20
3
100
50
50
Tebar (3 kali)
2 kali
PHT
Sabit
5 varietas
TOT-MT
Legowo 2 : 1
20x20
20
3
200
100
100
Tebar (3 kali)
2 kali
PHT
Sabit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan varietas menunjukkan
berbeda nyata terhadap tinggi tanaman tetapi tidak berbeda nyata terhadap jumlah anakan
produktif (Tabel 2.), namun berbeda nyata terhadap umur tanaman berbunga 50% tetapi tidak
berbeda nyata terhadap berat kering jerami, berat 1000 butir gabah dan hasil (Tabel 3). Varietas
inpara 1 memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain. Varietas
Banyuasin memilki berat kering jerami yang lebih tinggi dibanding varietas lain meskipun
perbedaannya tidak begitu mencolok. Jika dilihat dari hasil kelima varietas ini tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Tinggi tanaman pada masing-masing varietas kurang dari 100 cm,
tinggi tanamannya berkisar 75 – 81 cm, tanaman berbunga 50 % berkisar pada umur 62 – 65 hari,
berat kering jeraminya 13 – 18 gr, anakan produktifnya berkisar 6 – 9 batang yang tergolong
kurang sedangkan berat 1000 butir pada kelima varietas tersebut berkisar 25 – 26 gram. Varietas
Inpara 1 memiliki hasil yang tertinggi yaitu 2,58 t/ha sedangkan hasil yang terendah pada varietas
Inpara 3 yaitu 1,95 ton/ha (Gambar1). Jika dilihat dari deskripsi padi (Suprihatno et al., 2011)
kelima varietas tersebut, maka hasil yang diperoleh masih dibawah rata-rata hasil yang pernah
diperoleh dan kondisi ini juga didukung oleh jumlah anakan produktif yang rata-ratanya kurang
dari 10 batang.
Tabel 2. Pengaruh tunggal varietas dan dosis pemupukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif.
Perlakuan Peubah yang diamati
Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah anakan
produktif (btg)
Varietas Inpara 1 81,33 a 7,74 a
Varietas Inpara 2 75,67 b 9,04 a
Varietas Inpara 3 75,50 b 6,95 a
Varietas Indragiri 77,17 b 8,13 a
Varietas Banyuasin 76,50 b 8,30 a
Dosis Pemupukan;
urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan KCl 50 kg 75,00 p 7,56 p
urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg 79,47 p 8,50 p
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.
Perbedaan yang terjadi pada kelima varietas tersebut karena dipengaruhi oleh faktor
dalam maupun faktor luar dari tanaman itu sendiri. Faktor dalam dari tanaman itu adalah genetika
79 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dari tanaman tersebut yang terekspresikan melalui pertumbuhan sehingga diperoleh hasil,
sedangkan faktor luarnya adalah faktor biotik maupun abiotik yang meliputi unsur – unsur yang
menjadi pengaruh pada kualitas dan kuantitas produksi alam, antara lain iklim, curah hujan,
kelembaban, intensitas cahaya, kesuburan tanah, serta ada tidaknya hama dan penyakit.
Dikemukakan oleh De Datta (1981) dalam Firdaus et al., (2001) bahwa lama fase pertumbuhan
vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur tanaman yang disebabkan oleh faktor genetik dari
suatu tanaman. Nyakpa et al., (1988) menambahkan bahwa potensi hasil tinggi serta sifat-sifat
lainnya (mutu, ketahanan terhadap hama penyakit dan kekeringan) berhubungan erat dengan
susunan genetika tanaman.
Tabel 3. Pengaruh tunggal varietas dan dosis pemupukan terhadap umur tanaman berbunga 50%,
berat kering jerami, berat 1000 butir gabah dan hasil.
Perlakuan
Peubah yang diamati
Umur tanaman
berbunga 50 %
(hari)
Berat kering
jerami
(grm)
Berat 1000
butir gabah
(grm)
Hasil
(ton/ha)
Varietas Inpara 1 65,83 a 17,21 a 25,17 a 2,58 a
Varietas Inpara 2 62,50 b 13,71 a 25,83 a 2,56 a
Varietas Inpara 3 62,50 b 17,22 a 25,42 a 1,95 a
Varietas Indragiri 64,17ab 18,56 a 25,25 a 2.42 a
Varietas Banyuasin 64,17ab 19,39 a 26,17 a 2,06 a
Dosis Pemupukan;
urea 100 kg/ha,SP-36 50 kg/ha
dan KCl 50 kg
63,00 p 14,42 p 25,67 p 2,09 p
urea 200 kg/ha, SP-36 100
kg/ha dan KCl 100 kg
64,67 p 19,62 p 25,47 p 2,47 p
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.
Rendahnya hasil yang didapat diduga karena tanaman kekurangan air dan pemberian
pupuk urea yang dilakukan 2 kali hal ini karena tanaman mengalami kekeringan. Kekeringan
berkaitan juga dengan ketersediaan air terutama dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Air
bagi tanaman berperan sebagai unsur hara, pelarut unsur hara dan penyusun sel tanaman.
Ketersediaan air yang rendah secara mendasar menurunkan pertumbuhan, perkembangan dan
produksi tanaman. Foth (1998) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan tanaman adalah pada
atau mendekati maksimum pada kapasitas lapang yang merupakan suatu kondisi dimana air
dalam ruang pori makro tidak ada lagi, tetapi masih terdapat dalam pori mikro. Hakim et al.,
(1987) menyatakan bahwa daya tahan terhadap kekeringan suatu tanaman akan mempengaruhi
hasil.
Pada Tabel 2 terlihat diantara perlakuan dosis pemupukan terhadap tinggi tanaman
dengan pemberian urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha menunjukan lebih tinggi
dibandingkan dengan pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Sebaliknya
terhadap umur tanaman berbunga 50% pada perlakuan urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan KCl
50 kg/ha tanaman berbunga 50 % lebih cepat dibanding dengan pemberian dosis urea 200 kg/ha,
SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pada pemberian pupuk dengan dosis urea 200 kg/ha, SP-36
100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha berat jeraminya dibanding pada pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36
50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha lebih berat. Jumlah anakan produktif pada pemberian pupuk dengan
dosis urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha lebih banyak dibanding dengan
pemberian dosis urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Berat 1000 butir gabah dan
hasil yang diperoleh relatif sama antara pemberian pupuk pada dosis urea 100 kg/ha, SP-36 50
kg/ha dan KCl 50 kg/ha dan urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha.
80 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 1. Hasil rata-rata padi rawa pada lahan rawa lebak.
Tidak berbeda nyatanya antara dosis pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 50 kg/ha dan
KCl 50 kg/ha dan urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha, hal ini diduga dari faktor
kekeringan yang melanda pertanaman sehingga pemupukan tidak optimal. Kondisi kekeringan
mempengaruhi serapan hara yang dilakukan oleh tanaman karena salah satu fungsi dari air yaitu
pelarut unsur hara, dimana pada prinsipnya dengan penambahan unsur hara maka hasil yang
didapat akan meningkat. Fitter and Hay (1998) menyatakan bahwa pemupukan akan
meningkatkan pertumbuhan maupun komposisi atau kedua-keduanya kecuali untuk tanah-tanah
yang beracun dan tanah-tanah kering. Nyakpa et al., (1988) menambahkan peningkatan suplai air
ke dalam tanah menghasilkan serapan hara cenderung meningkat oleh tanaman. Jika penyedian
air cukup dalam tanah, maka pupuk yang diberikan terpakai secara optimal.
KESIMPULAN
1. Varietas inpara 1 mempunyai tinggi tanaman tertinggi yaitu 81,33 cm; umur tanaman
berbunga 50 % berkisar 62,50 – 65,81 cm; jumlah anakan produktifnya hanya berkisar 6,95 –
9,04 batang dan hasil berkisar 1,95 t/ha – 2,58 t/ha GKP.
2. Hasil gabah terhadap varietas tidak berbeda nyata, sehingga varietas; Inpara 1, 2 dan 3 serta
Indragiri dan Banyuasin dapat direkomendasikan.
3. Dosis pemupukan tidak berbeda nyata terhadap komponen hasil maupun hasil gabah.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Inovasi Varietas Unggul Padi Rawa Dalam Bank
Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Litbang Pertanian Jakarta.
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Bappeda dan BPS Provinsi
Bengkulu. Bengkulu 402 p.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Umum: Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi,
Jagung, dan Kedelai melalui pelaksanaan SL-PTT. Dirjen Tanaman Pangan. Departemen
Petranian. Jakarta. ;72 p.
Dirjen Tanaman Pangan. 1992. Program dan Langkah-Langkah Operasional Pembangunan
Pertanian di Lahan Rawa. Prosd. Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. pp. 39-52.
Firdaus, Yardha dan Adri. 2001. Keragaman Galur-Galur Harapan Padi Sawah. Jurnal
Agronomi Universitas Jambi, Vol. 5no. 2. Universitas Jambi. Jambi.
81 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Fitter A.H. Hay R.K.M. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Penerbit Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Purbayanti , Lukiwati dan
Trimulatsi. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hakim, N. M.Y.Nyakpa, A.M.Lubis, S.G.Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung
Nyakpa, M.Y. A.M.Lubis, M.A. Pulung, A.G.Amrah, A.Munawar, G.B.Hong, N.Hakim. 1988.
Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Sembiring, H., Wardana, I.P., dan Setiobudi, D. 2011. Pengelolaan Pupuk Nitrogen, Hara Mikro
dan Sistem Tanam Pada Padi Tipe Baru. Prosd. Seminar Nasional Tanaman Pangan. Pusat
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor
Subagyo H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa Untuk Pertanian. Prosd.
Simposium Nasional dan Konggres PERAGI. Jakarta 25- 27 Juni 1996. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Suparwoto1, Waluyo. I dan Jumakir. Pengaruh Varietas dan Metode Pemupukan Terhadap Hasil
Padi di Rawa Lebak. Jurnal Agronomi;8(1): 21-25
Suprihatno B., A. Darajat, Satoto dan Suwarno. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Penelitian Padi. Sukamandi. 118 p
Widjaja Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D. Ardi S., dan A. S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan
Rawa: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Prosd. Pengembangan Terpadu Pertanian
Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. ;pp.19-38
82 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU
PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU
Nurmegawati dan Wahyu Wibawa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut di Provinsi Bengkulu masih sangat terbatas akibat keterbatasan
teknologi dan varietas yang digunakan. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas maka diperlukan paket teknologi dan
varietas yang tahan terhadap resapan atau cekaman air laut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adaptasi beberapa
varietas padi rawa yang toleran terhadap cekaman air laut. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau tahun 2012
yang dilakukan pada lahan rawa pantai yang sering mendapat resapan atau rendaman air laut di Kelurahan Rawa
Makmur Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok tiga
ulangan dengan perlakuan 8 varietas padi sawah terdiri atas 7 varietas padi rawa dan 1 varietas padi sawah irigasi
(sebagai pembanding). Ketujuh varietas padi rawa yang digunakan adalah; Inpara 1, Inpara-2, Inpara-3, Inpara-4,
Inpara-5, Indragiri dan Banyuasin sedangkan varietas padi sawah irigasi yang digunakan adalah Cigeulis. Pada
penelitian tercatat beberapa kali mendapat resapan air laut terutama pada fase vegetatif dan pada fase generatif satu kali
mendapatkan curah hujan. Kondisi kekeringan menjadi kendala pertumbuhan tanaman karena pemupukan khususnya
pemberian pupuk urea yang rencananya dilakukan 3 kali hanya dapat dilakukan 1 kali. Varietas Inpara 3 dan
Banyuasin beradaptasi baik pada lahan rawa pasang surut yang terkendala cekaman air laut dan dalam kondisi
kekeringan dengan produktivitasnya 3,45 t/ha dan 3,15 t/ha. Sehingga kedua varietas tersebut dapat direkomendasikan
untuk ditanam oleh petani pada lahan-lahan yang terkendala resapan air laut
Kata kunci: adaptasi, VUB, padi rawa, cekaman air laut, produksi tinggi
PENDAHULUAN
Padi merupakan tanaman bahan pangan terpenting di dunia, terutama bagi penduduk di
negara-negara Asia, khususnya penduduk Indonesia. Kebutuhannya selalu meningkat seiring
dengan pertambahan penduduknya. Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan produksi padi
nasional, akan tetapi banyak menghadapi tantangan, seperti cekaman unsur hara, iklim yang tidak
menentu, gulma dan serangan hama penyakit yang membuat beberapa daerah di tanah air
mengalami kegagalan panen, ditambah lagi dengan semakin sempitnya lahan-lahan yang
produktif untuk sawah akibat adanya alih fungsi lahan baik ke sektor pertanian komonitas selain
padi maupun ke sektor non pertanian seperti perluasan areal perkebunan. Sehingga pemerintah
berupaya untuk memanfaatkan lahan-lahan sub optimal, salah satu jenis lahan yang dapat
dimanfaatkan adalah lahan rawa pasang surut.
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah yang
berhubungan langsung dengan laut lepas yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Subagyo,
2006). Berdasarkan tipologinya lahan rawa pasang surut dapat dibedakan ke dalam empat tipe:
(1) lahan potensial yaitu lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan berracun) pada
kedalaman > 50 cm di atas permukaan tanah, (2) lahan sulfat masam yaitu lahan yang
mempunyai lapisan pirit pada kedalaman 0 – 50 cm di atas permukaan tanah, (3) lahan gambut
yaitu lahan yang mengandung lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi, (4)
lahan salin yaitu lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga mengandung garam dengan
konsentrasi yang tinggi, terutama pada musim kemarau (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan 24,7 juta ha yang sebagian besar
terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Dari total luas lahan pasang surut tersebut, 9,53
juta ha diantaranya berpotensi dikembangkan untuk pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Di Provinsi Bengkulu luas lahan rawa masih cukup luas diperkirakan 12.411 ha, yang terdiri dari
rawa lebak sekitar 11.609 ha dan rawa pasang surutnya sekitar 802 ha, yang mencakup
Kabupaten Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah (BPS Provinsi Bengkulu,
2010).
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk usaha tani padi membutuhkan ketersediaan
varietas unggul yang mampu beradaptasi dengan baik pada lahan tersebut. Pengembangan budi
daya padi juga menghadapi hambatan berupa perubahan iklim global. Perubahan iklim global
83 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
mengakibatkan adanya pergeseran musim serta terjadinya iklim yang ekstrim, seperti terjadi
kekeringan dan kebanjiran. Untuk itu diperlukan varietas padi yang toleran terhadap kondisi iklim
yang ekstrim tersebut. Inovasi teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) untuk antisipasi perubahan
iklim antara lain Inpara 1 sampai dengan Inpara 5 (BB Padi, 2010).
Salah satu lahan rawa pasang surut yang sering mendapat resapan air laut yaitu di
Kelurahan Rawa Makmur, Kota Bengkulu. Pemanfaatan lahan tersebut masih sangat terbatas
akibat keterbatasan teknologi dan varietas yang digunakan. Pada umumnya varietas yang
digunakan adalah varietas padi khusus untuk lahan sawah seperti Ciherang dan Mekongga.
Sehingga petani sering mengalami gagal panen bahkan gagal tanam akibat adanya
resapan/rendapan air laut. Akibat varietas yang digunakan tidak tahan air laut ditambah lagi tidak
adanya hujan yang datang untuk menetralisirnya. Petani mengalami kerugian dengan biaya yang
dikeluarkannya. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas maka diperlukan paket teknologi dan
varietas yang tahan terhadap resapan atau cekaman air laut. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk melihat adaptasi beberapa varietas padi rawa yang toleran terhadap cekaman air laut.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilakukan pada lahan rawa pasang surut yang sering mendapat resapan
atau rendaman air laut di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Muara Bangkahulu Kota
Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 8
perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuannya meliputi 8 varietas yang terdiri atas 7 VUB padi rawa
(Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Indragiri, Banyu Asin) serta 1 varietas
pembanding (Cigeulis). Pada penelitian ini terdapat 24 plot. Ukuran plot adalah 5 x 5 m = 25 m2
dengan jarak antar plot 60 cm.
Penyemaian dilakukan di lahan petani pada tanggal 19 Mei 2012 untuk 8 varietas
masing-masing seberat 2 kg. Sebelum benih disemai dilakukan perlakuan benih dengan memberi
karbofuran sebanyak 1 kg. Pengolahan lahan dilakukan dengan membajak pakai traktor.
Penanaman padi dilakukan dengan system legowo 2 : 1, dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40
cm. Umur bibit yang digunakan yaitu 20 hss dengan jumlah bibit per lubang sebanyak 3 batang.
Pemberian pupuk pada awalnya direncanakan dengan dosis, 100 kg urea/ha, 50 kg SP-
36/ha, 50 kg KCl/ha, karena pertanaman mengalami kekeringan maka pemberian pupuk hanya
dilakukan 1 kali pada umur tanaman 7 hst. Pada saat lahan masih mengandung air pupuk urea
diberikan dengan dosis 33,33 kg/ha sedangkan pemberian pupuk SP-36 dan KCl masing-masing
dengan dosis 50 kg/ha. Perhitungan pemberian pupuk disesuaikan dengan luas dari masing-
masing plot. Jumlah pupuk yang diberikan tiap plot dihitung dari luas lahan 1 ha dikali dosis per
hektar. Peubah yang diamati meliputi: tinggi tanaman saat panen, umur berbunga (50% keluar
malai), umur tanaman saat panen dan hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisa Tanah
Secara umum kelas tekstur tanah pada daerah pengkajian rawa pasang surut termasuk
lempung liat berdebu; pH H2O tergolong masam; Kandungan C-organik tergolong sangat tinggi;
kandungan N tergolong sedang; kandungan P tergolong sedang, K-dd tergolong sangat rendah;
kandungan Ca tergolong sangat rendah; Mg-dd tergolong sangat tinggi; Na-dd tergolong sedang;
Al3+
tergolong sangat rendah; dan KTK tergolong tinggi; sedangkan kandungan Fe tergolong
tinggi (Tabel 1). Pada lahan pengkajian ini sering terendam air laut yang dapat diketahui dari
kandungan Na yang tergolong sedang ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi.
84 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Hasil analisis contoh tanah rawa pasang surut yang dilaksanakan MK 2012.
No Sifat Kimia dan Fisika Nilai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Tekstur
pH (H2O)
C-organik (%)
N-total (%)
P-Bray.I (ppm)
K-dd (me/100g)
Ca-dd (me/100g)
Mg-dd (me/100g)
Na-dd (me/100g)
KTK (me/100g)
Al (me/100g)
Fe (%)
KA (%)
Lempung liat berdebu
4,88
7,32
0,35
8,04
0,04
1,88
1,43
0,52
25,97
0,10
2,20
12,00
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah BPTP Bengkulu 2012.
Komponen Hasil dan Hasil
Selama fase pertumbuhan vegetatif di lokasi penelitian tidak pernah mendapat curah
hujan melainkan ada 3 kali mendapat resapan air laut atau rendaman air laut, sehingga
mengakibatkan beberapa tanaman mengalami kematian dan mengakibatkan pertumbuhan anakan
terhambat. Secara umum pertumbuhan tinggi tanaman ketujuh varietas padi rawa relatif sama
dengan Cigeulis. Dilihat dari analisa tanah terhadap unsur hara Na, maka terlihat bahwa
kandungan Na tergolong sedang, namun kandungan Fe tergolong sangat tinggi yaitu 2,20 % atau
22.000 ppm, hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Sipayung (2006) pada
tanah salin umumnya terjadi stres garam yang dapat mengakibatkan kematian tanaman. Menurut
Fallah (2006) stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi dari
mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman. Sedangkan menurut Menurut Yoshida
(1981) batas kritis keracunan Fe pada tanaman padi sawah adalah 300 ppm.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan antar varietas
menunjukkan berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50% dan hasil
tetapi tidak berbeda nyata terhadap umur panen (Tabel 2). Kedelapan varietas tersebut memiliki
tinggi tanaman kurang dari 100 cm, varietas Indragiri memiliki tinggi tanaman yang tertinggi
yaitu 85,00 cm sedangkan yang terrendah varietas Inpara 5 dengan tinggi tanaman 57,67 cm.
Varietas Indragiri dan Inpara 1 memiliki waktu berbunga 50% lebih lama atau lebih panjang
dibanding varietas lain. Berdasakan umur panen, tanaman dapat dipanen dibagi 2 kelompok yaitu
yang kurang dari 100 hari yaitu varietas Inpara 5, Indra giri dan Banyuasin sedangkan umur
tanaman yang lebih dari 100 hari yaitu varietas Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4 dan cigelis.
Tabel 2. Komponen hasil dan hasil beberapa varietas padi di lahan rawa pantai.
Perlakuan Tinggi tanaman
(cm)
Umur tanaman
berbunga 50 % (hr)
Umur panen
(hr)
Hasil
(t/ha) GKP
Varietas Inpara 1 73,00 b 81,67 ab 102 a 1,06 b
Varietas Inpara 2 72,67 b 73,33 bc 102 a 2,64 ab
Varietas Inpara 3 72,00 b 51,00 e 105 a 3,45 a
Varietas Inpara 4 64,33 bc 65,00 d 105 a 2,15 ab
Varietas Inpara 5 57,67 c 75,33 bc 99 a 2,18 ab
Varietas Indragiri 85,00 a 82,00 a 99 a 2,71 ab
Varietas Banyu asin 68,00 b 71,67 cd 99 a 3,15 ab
Varietas Cigelis 71,67 b 76,00 bc 102 a 2,26 ab
Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
85 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Dari kedelapan varietas yang diuji 2 varietas yang memiliki hasil yang tertinggi yaitu
varietas Inpara 3 dan Banyuasin masing-masing dengan produktivitasnya 3,45 t/ha dan 3,15 t/ha
GKP. Varietas Inpara 1 memiliki hasil terrendah dengan produktivitas 1,06 t/ha GKP sedang
varietas cigelis sebagai kontrol masih mampu bersaing dengan varietas yang lain dengan hasilnya
2,26 t/ha GKP (Gambar 1).
Gambar 1. Hasil rata-rata padi rawa pada lahan rawa pasang surut (t/ha) GKP.
Bervariasinya tinggi tanaman, umur tanaman berbunga 50 %, umur tanaman dan hasil
antar varietas diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi masing-masing varietas terhadap
resapan air laut terutama pada awal pertumbuhan vegetatifnya. Perbedaan yang terjadi pada
kedelapan varietas tersebut karena dipengaruhi oleh faktor dalam maupun faktor luar dari
tanaman itu sendiri. Faktor dalam dari tanaman itu adalah genetika dari tanaman tersebut yang
terekspresikan melalui pertumbuhan sehingga diperoleh hasil, sedangkan faktor luarnya adalah
faktor biotik maupun abiotik yang meliputi unsur – unsur yang menjadi pengaruh pada kualitas
dan kuantitas produksi alam, antara lain iklim, curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya,
kesuburan tanah, serta ada tidaknya hama dan penyakit. Dikemukakan oleh De Datta (1981)
dalam Firdaus et al., (2001) bahwa lama fase pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab
perbedaan umur tanaman yang disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman.
Pengaruh cekaman air laut dan tidak ada hujan untuk menetralisir garam-garam dari air
laut mempengaruhi hasil yang diperoleh selain itu Kondisi kekeringan menjadi kendala
pertumbuhan tanaman karena pemupukan yang dilakukan tidak optimal. Untuk pemberian pupuk
urea yang semula akan dilakukan 3 kali karena faktor kekeringan hanya dilakukan 1 kali yaitu
pada umur 7 hst. Menurut Hakim et al., (1987) menyatakan bahwa daya tahan terhadap
kekeringan suatu tanaman akan mempengaruhi hasil.
KESIMPULAN
Varietas Inpara 3 dan Banyuasin beradaptasi baik pada lahan rawa pantai yang
terkendala cekaman air laut dan dalam kondisi kekeringan dengan produktivitasnya 3,45 t/ha dan
3,15 t/ha GKP sehingga kedua varietas tersebut dapat direkomendasikan untuk ditanam oleh
petani pada lahan-lahan yang terkendala resapan air laut.
86 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Lebak.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. ;42 p.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Pasang
Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 42 p.
BB Padi. 2010. Inovasi Varietas Unggul Padi Rawa Dalam Bank Pengetahuan Tanaman Pangan
Indonesia. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Bappeda dan Badan Pusat
Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu 402 p.
Firdaus, Yardha dan Adri. 2001. Keragaman Galur-Galur Harapan Padi Sawah. Jurnal
Agronomi Universitas Jambi, Vol. 5no. 2. Universitas Jambi. Jambi.
Fallah Affan Fajar. 2006. Perspektif Pertanian Dalam Lingkungan yang Terkontrol. http://io.ppi
jepang.org. (Diakses, 3 Desember 2012).
Hakim, N. M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong dan H.H. Bailey.
1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Sipayung Rosita. 2006. Cekaman Garam. http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf.
(Diakses, 3 Desember 2012).
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crops science. International Rice Research Institut.
Philipinnes. ;269p
87 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KERAGAAN GALUR HARAPAN PADI SAWAH IRIGASI
DI KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU
Nurhayati1), Rizqi Sari Anggraini1), dan Tri Wahyuni2) 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Email : [email protected]
ABSTRAK
Potensi pengembangan padi sawah di Provinsi Riau masih sangat prospektif karena tersedianya lahan
seperti lahan sawah irigasi (agroekosistem lahan sawah intensif) seluas 276.533 ha, lahan sawah tadah hujan
(agroekosistem lahan sawah semi intensif) seluas 7.859.364 ha, dan juga lahan pasang surut (agroekosistem lahan
sawah pasang surut) seluas 900.000 ha. Namun demikian sampai saat ini produktivitas padi di Provinsi Riau masih
rendah yaitu sekitar 34 kw/ha/MT yang mengharuskan impor beras dari provinsi tetangga untuk memenuhi kebutuhan
domestiknya. Guna meningkatkan produksi padi, pemerintah Provinsi Riau mencanangkan program OPRM (Operasi
Pangan Riau Makmur) dengan harapan swasembada pangan tahun 2013. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian uji
multilokasi galur harapan padi sawah irigasi untuk melihat galur yang cocok untuk dikembangkan di Provinsi Riau.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan jumlah perlakuan terdiri dari 12 galur dengan
2 varietas pembanding (14 perlakuan) dengan 4 ulangan. Parameter pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah
anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah gabah, dan bobot 1000 butir. Data yang telah dikumpulkan
dianalisis secara statistik, untuk menguji pengaruh perlakuan dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata menggunakan
uji jarak berganda menurut Duncan (DMRT). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
Galur Harapan Padi Sawah Irigasi Tipologi Lahan Sawah yang lebih sesuai dibudidayakan di Desa Sei Geringging
Kabupaten Kampar berdasarkan produksi gabah kering giling/ha 2 (dua) tertinggi adalah berturut-turut adalah varietas
conde (6,50 ton/ha) dan galur No 11 yaitu BP9728-3B-1 (6,30 ton/ha).
Kata Kunci: keragaan, galur harapan, padi sawah irigasi
PENDAHULUAN
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat/laju
pertumbuhan penduduk sekitar 5%/tahun yang disebabkan oleh tingginya migrasi penduduk
khususnya dari Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan daerah lainnya. Dengan laju
pertumbuhan penduduk seperti tersebut di atas, menuntut harus tersedianya pangan khususnya
beras untuk kebutuhan lokal yang sampai saat ini sekitar 50% kebutuhan beras untuk penduduk
Provinsi Riau masih didatangkan dari luar Provinsi. Di sisi lain, luas lahan pertanian maupun
tingkat produktivitas lahan sawah di Provinsi Riau masih tergolong rendah yaitu sekitar 3,3 t/ha
dengan luas baku sawah irigasi sekitar 276.533 ha lebih kecil bila dibandingkan dengan luas
lahan sawah tadah hujan (7.859.364 ha) maupun lahan rawa pasang surut sekitar 900.000 ha
yang tersebar di Kabupaten Indragiri Hilir, Siak, dan Rokan Hilir (BPS, 2009). Selain dari pada
itu, rendahnya intensitas pertanaman padi di Provinsi Riau yang hingga saat ini masih pada rata-
rata indek pertanaman (IP) 100 (1 x bertanam dalam setahun) merupakan salah satu penyebab
rendahnya produksi beras di daerah ini. Sehingga sejak tahun 2007, Pemerintah Provinsi Riau
telah mencanangkan satu program besar untuk mendukung program ketahanan pangan khususnya
ketersediaan beras dalam rangka swasembada beras tahun 2013 di Provinsi Riau yang disebut
dengan Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM).
Oleh sebab itu salah satu usaha untuk menunjang keberhasilan usahatani adalah dengan
menyediakan varietas padi yang mampu beradaptasi baik terhadap lingkungan sehingga dapat
berproduksi tinggi dengan kualitas gabah yang baik. Galur harapan/varietas yang sesuai di lahan
irigasi sangat penting dalam mendukung pergiliran varietas dan peningkatan intensitas tanam.
Meningkatkan indeks pertanaman padi di lahan marginal seperti lahan pasang surut ini
merupakan salah satu upaya melestarikan swasembada beras yang cukup penting.
Salah satu upaya peningkatan produksi padi sawah irigasi dapat dilakukan dengan
menggunakan varietas unggul. Masih terbatasnya informasi varietas unggul baru padi sawah
irigasi spesifik lokasi yang adaptif di Provinsi Riau ini juga menjadi salah satu kendala dalam
peningkatan produksi padi yang akhirnya akan bermuara kepada sumbangan produksi beras
dalam skala nasional. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung program peningkatan produksi
88 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
beras nasional (P2BN) dan juga OPRM khususnya di Provinsi Riau dan atas dasar kondisi di atas,
maka perlu dilakukan pengkajian ataupun uji multilokasi maupun adaptasi berbagai varietas
unggul baru padi sawah irigasi yang adaptif dan spesifik lokasi.
Dengan adanya program - program yang dicanangkan Pemerintah Daerah seperti
Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM), dan K2I akan dikembangkan pertanaman padi melalui
penambahan luas baku sawah sekitar 100.000 ha melalui pencetakan sawah baru sekitar 68% dan
rehabilitasi lahan sawah tidur sekitar 32% dari total 100.000 ha tersebut di atas. Di samping itu
akan dilaksanakan pula peningkatan Indeks Pertanaman yakni dari IP 100 menjadi IP 200
sebanyak 50.000 ha di sembilan Kabupaten di Riau, berturut-turut yaitu: Kabupaten Rokan Hulu
dan Indragiri Hilir 11.000 ha, Rokan Hulu 6.000 ha, Bengkalis, Pelalawan, Kuansing, Kampar
dan Siak 4.000 ha, sedangkan Kabupaten Indragiri Hulu akan memperluas lahan intensifikasi
sebanyak 2.000 ha.
Penanaman secara masive ini tentu membutuhkan benih - benih yang cocok dengan
kondisi agroekosistem di daerah, agar hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.
Oleh karena itu di Provinsi Riau, sangat relevan untuk dikembangkan kajian-kajian ilmiah yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan produksi padi maupun beras di Provinsi Riau, sehingga
di masa datang khususnya di tahun 2013 paling tidak diharapkan Riau akan mampu memenuhi
kebutuhan berasnya sendiri walaupun kemungkinan belum bisa menyumbangkan secara besar
kepada produksi padi secara nasional. Oleh sebab itulah, kegiatan pengkajian Galur Harapan Padi
Sawah Irigasi di Provinsi Riau sangat dibutuhkan saat ini di Provinsi Riau. Penelitian ini
bertujuan untuk menyediakan varietas padi yang mampu beradaptasi baik terhadap lingkungan
sehingga dapat berproduksi tinggi dengan kualitas gabah yang baik.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Sei Geringging Kecamatan Lipat Kain Kabupaten
Kampar Provinsi Riau dari bulan Juli - November 2009. Kegiatan ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok dengan jumlah perlakuan terdiri dari 12 galur dengan 2 varietas pembanding (14
perlakuan) dengan 4 ulangan. Ukuran plot pengkajian adalah 4 m x 5 m. Komponen teknologi
yang akan digunakan adalah pemupukan spesifik lokasi (N sesuai BWD, P dan K sesuai analisis
tanah), aplikasi bahan organik sekitar 2 t/ha, penanganan panen dan pasca panen yang tepat.
Dosis pupuk yang akan diberikan adalah 300 Kg urea, 150 kg SP 36, dan 100 kg KCl per ha.
Pupuk urea diberikan 3 kali, yaitu 7, 30, dan 45 hst. Semua pupuk P dan K diberikan 7 hst.
Parameter pengamatan yang akan dikumpulkan adalah data vegetatif dan generatif.
Data vegetatif terdiri dari tinggi tanaman, jumlah anakan, umur tanaman berbunga dan umur
panen. Data Generatif terdiri dari hasil gabah kering per plot, jumlah gabah per malai, bobot 1000
butir gabah isi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara statistik, untuk menguji pengaruh
perlakuan dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata menggunakan uji jarak berganda menurut
Duncan (DMRT) (Steel dan Torrie, 1980) dan Gomez dan Gomez (1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga yang
dilakukan dan uji DNMRT diperoleh hasil seperti ditampilkan pada Tabel 1 di bawah ini:
89 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Rataan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur berbunga 50%.
Galur/Varietas Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah anakan
produktif (batang)
Umur berbunga
50% (hss)
1. BP2450-15-1 81,1 def
14 abc
88 ab
2. BP2842E-14-2 81,2 def
13 abcd
87 abc
3. BP2856-2E-14-1 80,5 def
14 ab
83 ef
4. BP3350-3E-KN-22-2 2*B 81,3 cdef
13 abcde
84 def
5. BP3412-2C-12-1 78,3 f
13 abcde
88 a
6. BP3778E-16-3-2-1*B 86,1 ab
10 e
86 abcd
7. BP3782C-13-2 78,7 ef
10 cde
86 abcde
8. BP4108-2D-39-2-2-2 87,3 a
14 ab
86 abcd
9. BP4110-1D-28-3 85,8 abc
15 a
82 f
10. BP4124-1F-3-2 82,7 bcdef
12 bcde
85 cdef
11. BP9728-3B-1 84,9 abcd
14 ab
85 bcde
12. BP9736-8B-1 87,2 ab
11 de
86 abcde
13. Conde 84,5 abcd
14 ab
87 ab
14. Ciherang 83,0 abcde
13 abcde 86 abcde
Keterangan: Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata tinggi tanaman tertinggi
adalah pada galur 8. BP4108-2D-39-2-2-2 yaitu 87,3 cm. Tinggi tanaman galur 8 lebih tinggi
dibandingkan varietas pembanding yaitu Conde dan Ciherang, dengan rataan berturut-turut 84,5
cm dan 83 cm. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh sifat genetik dari induk yang
disilangkan untuk mendapatkan galur 8. Selain itu, pengaruh fisiologis tumbuhan, terutama
berkaitan dengan proses distribusi fotosintat pada galur 8 lebih baik bila dibandingkan varietas
pembanding sehingga ini berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya pengaruh sifat genetik dari induk yang disilangkan untuk mendapatkan
galur H. Pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suseno (1981), bahwa faktor lingkungan yang kurang
optimal dan faktor genetik yang berasal dari varietas yang tidak unggul akan mempengaruhi
tinggi tanaman. Selanjutnya Gardner et al. (1991) menyatakan faktor eksternal (iklim,
edafik/tanah dan biologis) dan faktor internal (laju fotosintesis, respirasi, pembagian hasil
asimilasi dan N, kapasitas untuk menyimpan cadangan makanan, aktivitas enzim dan pengaruh
langsung genetik) akan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman. Selanjutnya Salisbury
dan Ross (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan tinggi bibit disebabkan oleh pembelahan dan
perkembangan sel pada meristem apikal dan sangat dipengaruhi oleh suplai hara dari media
tumbuh. Tersedianya unsur hara dalam jumlah yang memadai akan meningkatkan laju
metabolisme dan proses fisiologi lainnya pada bibit yang akhirnya akan meningkatkan laju
pertumbuhan bibit.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa hasil analisis sidik ragam berpengaruh tidak nyata pada uji
DNMRT taraf 5%. Rata-rata jumlah anakan produktif dihasilkan oleh galur 9. BP4110-1D-28-3
yaitu 15 batang. Jumlah anakan galur 9 lebih banyak bila dibandingkan dengan varietas
pembanding sebanyak 14 batang dan 13 batang. Ini kemungkinan dipengaruhi secara genetik oleh
asal dari induk persilangan yang menghasilkan galur 9. Selain itu, jumlah anakan ini juga
dipengaruhi oleh proses fotosintesis yang berlangsung didalam tanaman tersebut.
Selain itu faktor pemupukan juga menjadi salah satu penentu banyak atau sedikitnya
jumlah anakan. Pupuk yang mempunyai peranan dalam penentuan jumlah anakan adalah pupuk
N. N mempunyai fungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (Hardjowigeno,
2003) termasuk jumlah anakan yang dihasilkan.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata umur berbunga tercepat adalah pada
galur 9 (BP4110-1D-28-3) yaitu 82 HSS. Galur 9 memiliki umur berbunga 50% lebih cepat bila
dibandingkan dengan varietas pembanding. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh proses
fotosintesis yang berlangsung didalam tumbuhan dan juga distribusi fotosintat di dalam tumbuhan
90 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tersebut. Selain itu, faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari dan juga air menjadi
faktor penentu cepat atau lambatnya proses pembungaan pada tanaman.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap proses pembungaan adalah ketersediaan
unsur P. Doberman dan Fairhust (2000) menyatakan bahwa unsur P bersifat mobil didalam
tanaman dan akan merangsang perkembangan akar dan awal pembungaan. Dengan ketersediaan
unsur P yang cukup di dalam tanaman maka akan mempercepat terjadinya proses pembungaan
pada tanaman.
Menurut Hardjowigeno (2003) P mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan
bunga, buah dan biji. Terpenuhinya unsur P dalam tananaman yang dapat diketahui dengan cepat
atau lambatnya terjadinya proses pembungaan pada tanaman. Semakin tercukupi unsur P maka
akan semakin cepat terjadinya proses pembungaan. Namun, kemampuan tanaman dalam
menyerap unsur P juga dipengaruhi oleh pH tanah. Semakin masam pH tanah maka akan semakin
sedikit P yang mampu diserap oleh tanaman karena pada pH tanah yang masam unsur P difiksasi
oleh aluminium (Al), sehingga P menjadi tidak tersedia. Selain itu, ketersediaan unsur P didalam
tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tanah, namun juga kemampuan
tanaman menyerap unsur tersebut melalui akar. Dimana ini berkaitan dengan ketersediaan unsur
K dalam perkembangan akar tanaman. Unsur K banyak tersedia namun hanya sedikit yang
mampu digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air
Bila dilihat dari umur, terlihat bahwa rata-rata umur panen 80 % tercepat dihasilkan
oleh galur: 1) BP2450-15-1; 2) BP2842E-14-2; 3) BP2856-2E-14-1; 4) BP3350-3E-KN-22-2-
2*B; 5) BP3412-2C-12-1; 6) BP3778E-16-3-2-1*B; 7) BP3782C-13-2; 8) BP4108-2D-39-2-2-2;
9) BP4110-1D-28-3; 10) BP4124-1F-3-2; 11) BP9728-3B-1; 12) BP9736-8B-1; 13) conde dan
14) ciherang masing-masing pada umur 99 hss (Tabel 2.). Umur berbunga 80% pada galur-galur
tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan varietas pembanding, hal ini kemungkinan juga
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal tanaman. Faktor internal yang paling mempengaruhi
adalah asal induk persilangan sedangkan faktor eksternalnya antara lain adalah cahaya matahari
dan air, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi terjadinya proses fotosintesis di dalam
tanaman. Umur panen juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur P di dalam tanaman. Menurut
Hardjowigeno (2003) unsur P dapat mempercepat proses pematangan tanaman, sehingga
kemampuan tanaman dalam menyerap unsur P juga mempengaruhi cepat atau lambatnya tanaman
dapat dipanen.
Tabel 2. Rataan umur panen 80 %, jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir.
Galur/Varietas Umur panen 80
% (hss)
Jumlah Gabah Per
Malai (butir)
Bobot 1000 butir
(gram)
1. BP2450-15-1 99 b
86 c
29,2 abc
2. BP2842E-14-2 99 b
85 c
28,5 abcde
3. BP2856-2E-14-1 99 b
83 c
26,8 def
4. BP3350-3E-KN-22-2-2*B 99 b
91 bc
27,8 bcdef
5. BP3412-2C-12-1 99 b
87 c
28,9 abcd
6. BP3778E-16-3-2-1*B 99 b
121 a
27,2 cdef
7. BP3782C-13-2 99 b
87 c
25,9 f
8. BP4108-2D-39-2-2-2 99 b
105 abc
27,2 cdef
9. BP4110-1D-28-3 99 b
93 bc
26,2 ef
10. BP4124-1F-3-2 101 a
95 abc
25,9 f
11. BP9728-3B-1 99 b
99 abc
30,3 a
12. BP9736-8B-1 101 a
115 ab
27,8 bcdef
13. Conde 99 b
104 cbc
29,9 ab
14. Ciherang 99 b
87 c
27,5 cdef
Keterangan: Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT pada taraf 5 %.
Sedangkan untuk rata-rata jumlah gabah terbanyak adalah pada galur 6. BP3778E-16-3-
2-1*B (121 butir). Jumlah gabah ini kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah anakan produktif
yang dihasilkan oleh tanaman dan kaitannya dengan distribusi fotosintat hasil fotosintesis serta
juga kondisi lingkungan ketika pengisian butir.
91 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Rata-rata bobot 1000 gram terbesar adalah galur 11. BP9728-3B-1 yaitu 30,3 gram.
Bobot 1000 butir galur 11 lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas pembanding yang
berdasarkan deskripsinya memiliki bobot 1000 butir sebesar 28 gram. Ini kemungkinan
disebabkan terkait dengan faktor internal dan eksternal yang berakitan dengan jumlah anakan
pada tanaman. Faktor internal yang paling berpengaruh adalah induk asal persilangan tanaman
yang membentuk galur 11, berkemungkinan induk persilangan yang menghasilkan galur 11
memiliki bobot 1000 butir yang cukup besar, sehingga keturunan hasil persilangan pun
mempunyai potensi untuk memiliki bobot 1000 butir yang besar.
Bila dilihat dari hasil gabah, hasil pengkajian memperlihatkan rata-rata hasil gabah
kering per plot terbesar adalah pada varietas Conde yaitu 6,50 ton/ha. Hasil gabah dipengaruhi
oleh jumlah anakan yang terdapat pada tanaman. Sesuai dengan pernyataan Peng et al., (1994)
dan Lakitan (1993) melaporkan bahwa kemampuan membentuk anakan produktif merupakan hal
penting dalam penentuan perolehan hasil gabah kemudian yang juga hal ini sangat erat kaitannya
terhadap jumlah gabah per malai per unit area. Karena adanya keterlambatan jadwal tanam
mengakibatkan ada beberapa hama yang menyerang tanaman padi seperti; tikus, burung dan
walang sangit yang menyebabkan areal pertanaman padi menjadi terlambat panen sehingga
mempengaruhi hasil gabah pada pertanaman padi akibat serangan hama. Hama pada tanaman
padi dapat menurunkan produksi padi, tidak hanya itu, serangan hama juga dapat membuat
penampilan padi menjadi tidak bagus.
Sedangkan rata-rata panjang malai terpanjang adalah galur 8) BP4108-2D-39-2-2-2G
(26,8 cm). Panjang malai ini dipengaruhi oleh proses fotosintesis yang berlangsung di dalam
tanaman terutama berkaitan dengan proses distribusi fotosintat. Panjang malai termasuk
pertumbuhan vegetatif tanaman, pertumbuhan vegetatif ini tidak hanya dipengaruhi oleh
distribusi hasil fotosintat tetapi juga oleh ketersediaan unsur hara N yang berperanan dalam
meningkatkan pertumbuhan vegatif tanaman. Semakin banyak unsur hara yang mampu diserap
maka akan semakin baik pertumbuhan tanaman, karena jumlah unsur hara yang dibutuhkan
tanaman untuk meningkatkan pertumbuhannya mampu tersedia dalam tanaman.
Tabel 3. Hasil gabah kering, panjang malai dan jumlah rumpun yang dipanen.
Galur/Varietas Hasil gabah kering
(ton/ha)
Panjang malai
(cm)
Jumlah rumpun yg
dipanen (btg)
1. BP2450-15-1 5,27 b 21,9 a 336 a
2. BP2842E-14-2 4,72 bc 23,5 a 335 a
3. BP2856-2E-14-1 4,67 c 21,8 a 335 a
4. BP3350-3E-KN-22-2-2*B 4,90 b 23,8 a 330 a
5. BP3412-2C-12-1 4,90 b 25,1 a 301 a
6. BP3778E-16-3-2-1*B 4,94 b 23,4 a 327 a
7. BP3782C-13-2 3,38 d 21,6 a 323 a
8. BP4108-2D-39-2-2-2 5,99 b 26,8 a 335 a
9. BP4110-1D-28-3 5,48 b 23,2 a 330 a
10. BP4124-1F-3-2 4,43 bc 23,1 a 332 a
11. BP9728-3B-1 6,30 a 22,0 a 330 a
12. BP9736-8B-1 5,27 b 23,6 a 335 a
13. Conde 6,50 a 24,7 a 330 a
14. Ciherang 4,67 bc 22,2 a 337 a
Keterangan: Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT pada taraf 5 %.
Pada Tabel 3 juga terlihat, bahwa rata-rata jumlah rumpun yang dipanen terbanyak
adalah varietas Ciherang (337 batang). Jumlah rumpun yang terbentuk juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal, diantaranya adalah faktor internal induk asal persilangan dan faktor
eksternal meliputi kondisi tanah dan juga iklim.
92 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Galur Harapan
Padi Sawah Irigasi Tipologi Lahan Sawah yang lebih sesuai dibudidayakan di Desa Sei
Geringging Kabupaten Kampar berdasarkan produksi gabah kering giling/ha 2 (dua) tertinggi
adalah berturut-turut adalah varietas conde (6,50 ton/ha) dan galur No 11 yaitu BP9728-3B-1
(6,30 ton/ha).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Provinsi Riau Dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat
Statistik Provinsi Riau. Pekanbaru.
Dobermann, A. and Fairhurst, T.H. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management.
Potash and Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and
International Rice Research Institute. ;191p
Gardner, F.P., Pearce, R.B dan Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. alih Bahasa
oleh Susilo, H dari Physiologi of Crop Plants. 1985. UI Press. Jakarta.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1983. Statistical Procedures For Agricultural Research.
International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. ;680
Hardjowigeno, S. 2003. Soil Science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. ;286
Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. ;201
Peng, S., Kush G.S., and Cassman K.G. 1994. Evolution of the new plant ideotype for increased
yield potential. In Cassman K. G. Breaking the yield barrier. International Rice Research
Institute. Manila. Philippines. ;5-20p
Salisbury, F.B dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Penerbit Institut Teknologi
Bandung. Bandung. ;343
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical
Approach. McGraw-Hill Book Company. New York. ;633
Suseno, H. 1981. Fisiologi Tumbuhan Metabolisme Dasar dan Beberapa Aspeknya.
Departemen Botani., Fakultas Pertanian., Institut Pertanian Bogor. Bogor. ;277
93 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN KOMPONEN HASIL
EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI INPARA DI BENGKULU
Yartiwi, Yahumri dan Andi Ishak
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu
ABSTRAK
Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan usahatani padi. Tersedianya varietas unggul yang dipilih sesuai dengan kondisi wilayah dan keinginan
pasar. sebelum uji adaptasi dilapangan sebaiknya telah dilakukan pegujian ditingkat laboratorium atau rumah kaca.
Penelitian bertujuan untuk membandingkan keragaan pertumbuhan dan komponen hasil keempat varietas; Inpara 1, 2, 4
dan 5. Penelitian telah dilakukan di Rumah Kaca pada bulan Desember 2011 sampai dengan April 2012. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan varietas padi; Inpara 1, 2, 4 dan I 5 yang masing-
masing diulang 5 kali. Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dan apabila terdapat berpedaan yang nyata,
dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
statistik parameter panjang malai, jumlah gabah bernas/malai tidak menunjukkan beda nyata antar perlakuan. Varietas
Inpara 5 memiliki panjang malai dan gabah bernas tertinggi (22,54 cm dan 91,80 butir/malai), sedangkan untuk jumlah
gabah hampa varietas; Inpara 5 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan Inpara 4, 2 dan Inpara 1 (7,87 butir/malai
berbanding 26.50; 29.34 dan 32.50 butir/malai). Untuk berat 1000 butir varietas Inpara 2 dan 4 yang menunjukkan
beda nyata dengan varietas Inpara 1 dan 5 (24.80 g dan 21.93 g dengan 20.30 g dan 17.07 g). Sedangkan hasil/pot
hanya Inpara 4 yang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan Inpara 5, 2 dan 1 (40.15 g banding 35.92 g;
35.67 g dan 22.35 g).
Kata Kunci : pertumbuhan, komponen hasil, padi rawa, VUB, rumah kaca
PENDAHULUAN
Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani padi. Tersedianya varietas unggul yang dapat
dipilih sesuai dengan kondisi wilayah dan keinginan pasar. Potensi pengembangan lahan rawa
untuk komoditas padi masih terbuka tetapi saat ini petani padi rawa di Bengkulu masih
menggunakan teknologi sederhana dengan varietas padi sawah seperti Ciherang, Ciliwung dan IR
64 serta padi lokal yang berumur dalam (5-6 bulan).
Inbrida Padi Rawa (Inpara) adalah varietas-varietas unggul padi yang baik
dibudidayakan pada kondisi lahan rawa, tahan terhadap rendaman, serta daya adaptasi pada
kondisi lahan masam. Beberapa varietas padi rawa telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian
diantaranya adalah Banyu Asin, Dendang, Mendawak, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4,
Inpara 5 dan Inpara 6. Dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu,
produktivitas padi di lahan rawa dapat mencapai 4-6 t/ha (Suprihatno et al., 2011).
Menurut data BPS (2011) luas lahan rawa pasang surut di Provinsi Bengkulu 491 ha
dan rawa lebak seluas 8.015 ha. Dengan luasan tersebut padi rawa dapat menyumbangkan
produksi padi terhadap produksi padi di Bengkulu. Rata-rata produktivitas padi rawa di Bengkulu
masih sangat rendah karena varietas yang digunakan masih varietas lokal dan varietas padi
sawah.
Budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena pada
umumnya lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi (Fe) yang tinggi.
Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama.
Keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah (1-2 t/ha) atau
bahkan tidak menghasilkan. Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya
adalah penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan keseimbangan
unsur hara.
Disadari bahwa adopsi varietas unggul baru padi rawa di tingkat petani tidaklah mudah.
Diperlukan informasi tentang kesesuaian varietas dengan kondisi spesifik lokasi. Sebelum uji
adaptasi dilapangan, sebaiknya telah dilakukan pegujian ditingkat laboratorium atau rumah kaca,
94 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
sehingga dalam proses diseminasi yang lebih luas, varietas yang dipilih telah diyakini akan
beradaptasi dengan baik dilapangan.
BPTP Bengkulu yang memiliki mandat mendiseminasikan inovasi teknologi khususnya
berasal dari Badan Litbang Pertanian perlu memiliki informasi tentang keragaan pertumbuhan
dan hasil varietas unggul baru padi rawa dilapngan. Untuk itu telah dilakukan pengujian adaptasi
4 varietas unggul baru padi rawa yaitu Inpara 1, 2, 4 dan Inpara 5 di rumah kaca BPTP Bengkulu
yang bertujuan untuk membandingkan keragaan pertumbuhan dan komponen hasil keempat
varietas Inpara 1, 2, 4 dan Inpara 5.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca BPTP Bengkulu di bulan Desember 2011 sampai
dengan April 2012. Alat dan bahan yang digunakan adalah pot plastik, tanah rawa, benih padi
Inpara 1, 2, 4 dan Inpara 5, pupuk urea, sp-36 dan KCl. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan varietas unggul baru padi Inpara 1, 2, 4 dan
Inpara 5 yang masing-masing diulang 5 kali sehingga diperoleh 20 tanaman. Dosis pupuk yang
digunakan pada seluruh perlakuan sama sesuai dengan hasil analisis tanah.
Adapun tahapan penelitian adalah: (1) persiapan media, tempat media yang digunakan
adalah pot yang tidak berlubang dan jika berlubang beri isolasi untuk memudahkan dalam
pengaturan air, (2) media penanaman (tanah) yang diambil di lahan rawa dan dikering anginkan
selama 1 minggu kemudian ditimbang berat tanah lalu masukkan tanah ke dalam pot yang telah
disiapkan setinggi 20 cm dengan kapasitas lapang 2 liter, (3) penanaman, benih ditanam secara
langsung 1 benih per pot, (4) pemupukan, sebelum melakukan pemupukan, unsur hara yang ada
didalam media diukur dengan menggunakan PUTR, yaitu N sedang (urea 200 kg/ha), P2O5
sedang (SP-36 100 kg/ha) dan K2O tinggi (KCl 50 kg/ha), (5) pemeliharaan yaitu pemberian
air/penyiraman dilakukan 1 minggu sekali, dan (6) panen.
Data yang dikumpulkan meliputi data pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman dan
jumlah anakan, serta data komponen hasil berupa jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa,
panjang malai, berat 1000 butir dan hasil per pot. Keragaan pertumbuhan diukur setiap minggu
sampai tanaman berumur 9 minggu setelah tanam (MST) dan saat panen, sedangkan komponen
hasil diamati saat panen.
Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, dan apabila terdapat berpedaan yang
nyata, dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Keragaan
pertumbuhan dan komponen hasil dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan hasil
penelitian dengan deskripsi varietas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Vegetatif
1. Tinggi tanaman
Pertumbuhan vegetatif tanaman yang diambil adalah tinggi tanaman dan jumlah
anakan, pengukuran dilakukan mulai 1 minggu setelah tanam (MST) sampai dengan
terbentuknya bunga. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman setelah diuji secara
statistik pada minggu ke-1, ke-2, ke-5, ke-6, ke-8 dan ke-9 memperlihatkan tinggi tanaman
antar varietas berbeda nyata, sedangkan pada minggu ke-3, ke-4 dan ke-7 memperlihatkan
tinggi tanaman tidak menunjukkan perbedaan antar varietas (Tabel 1). Adapun varietas yang
paling tinggi dari keempat varietas tersebut adalah Inpara 2 (104,70 cm) sedangkan paling
rendah varietas Inpara 4 (88,90 cm).
95 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman padi pada 1 sampai dengan 9 minggu setelah tanam.
Varietas Jumlah anakan minggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Inpara 1 15,44ab
27,58ab
38,80a 49,86
a 55,40
ab 64,80
b 80,30
a 86,00
b 90,40
b
Inpara 2 18,74a 30,56
a 39,40
a 50,74
a 60,40
a 76,00
a 84,80
a 100,20
a 104,70
a
Inpara 4 12,76a 25,62
b 35,20
a 46,68
a 51,00
b 64,80
b 75,80
a 84,20
b 88,90
b
Inpara 5 17,50a 30,30
a 40,50
a 51,30
a 55,40
ab 69,40
b 81,30
a 91,00
b 95,40
ab
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT.
2. Jumlah anakan
Hasil pengamatan menunjukan bahwa jumlah anakan pada varietas Inpara 2 pada
minggu ke-4 (16,80) memperlihatkan perbedaan yang nyata, sedangkan pada varietas lain
tidak memperlihatkan perbedaan nyata hingga pengamatan minggu ke-9 (Tabel 2). Dari
keempat varietas tersebut jumlah anakan yang tertinggi adalah varitas Inpara 1 yaitu rata-rata
35,20 anakan sedangkan yang terendah adalah varetas Inpara 2 yaitu rata-rata anakan 30,40
anakan.
Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan pada 1 sampai dengan 9 minggu setelah tanam.
Varietas Jumlah anakan minggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Inpara 1 7,40a 11,60
a 16,40
a 23,20
a 28,40
a 34,40
a 35,20
a 35,20
a 35,20
a
Inpara 2 4,60a 8,20
a 10,80
ab 16,80
b 23,20
a 28,00
a 30,40
a 30,40
a 30,40
a
Inpara 4 6,00a 9,80
a 13,80
a 26,00
a 26,00
a 30,60
a 32,00
a 32,00
a 32,00
a
Inpara 5 7,20a 11,00
a 8,60
a 21,60
ab 29,00
a 32,00
a 34,80
a 34,80
a 34,80
a
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Terjadinya perbedaan tinggi tanaman dan jumlah anakan pada masing-masing
varietas tersebut diduga karena adanya pengaruh dari dalam maupun luar tanaman itu sendiri,
seperti halnya faktor; genetik, suhu, kondisi air, kejernihan air, intensitas cahaya dan
kandungan nitrogen dalam tanah itu sendiri. Menurut De Datta (1981) dalam Firdaus et.al.,
(2001) bahwa lama fase pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur
tanaman yang disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman. Sedangkan menurut Gani
dan Sembiring (2007) unsur nitrogen (N) adalah unsur hara paling penting bagi tanaman dan
respon tanaman padi terhadap N biasanya lebih tinggi dibandingkan P dan K, karena
kekurangan N dan P dapat mengurangi jumlah anakan tanaman padi. Sedangkan kondisi air
yang jernih mepengaruhi intensitas cahaya dapat langsung masuk ke dalam air dan dapat
diterima oleh tanaman (Supartopo et al., 2007). Selain itu menurut Rachim et al., (2000) untuk
pertumbuhan tanaman padi, selain memerlukan unsur makro yang cukup dan berimbang juga
memerlukan unsur mikro.
Komponen Hasil
Pada parameter komponen hasil ini selain ke produksi juga diamati tinggi tanaman
jumlah anakan produktif, dimana tinggi tanaman dari keempat varietas yaitu Inpara 1, 2, 4 dan 5
tidak menunjukkan berbeda nyata (Tabel 3). Varietas Inpara 1 mempunyai rata-rata tinggi
tanaman yaitu 111,80 cm sedangkan yang paling rendah adalah varietas Inpara 4 dengan rata-rata
tinggi tanaman 98,80 cm.
96 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman padi pengkajian.
Varietas Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan (btg)
Inpara 1 115,80 a 20,60
ab
Inpara 2 103,00 a 19,80
b
Inpara 4 98,80 a 22,80
ab
Inpara 5 103.,60 a 26,80
a
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Bila dilihat keragaan pertumbuhan tanaman padi hasil kajian, terlihat adanya selisih
dengan yang di deskripsi varietas antar perlakuanyang cukup beragam. Dimana pada perlakuan
varietas Inpara 1, 4 dan 5 untuk tinggi tanaman dan jumlah anakan hasil penelitian lebih tinggi
dari deskrpsi, sedangkan Inpara 2 tinggi tanaman sama dengan yang di deskripsi tetapi jumlah
anakan hasil penelitian lebih tinggi dari yang ada di deskripsi varietas.
Tabel 4. Keragaan pertumbuhan tanaman untuk tinggi tanaman dan jumlah anakan hasil kajian
dibandingkan dengan deskripsi varietas antar perlakuan.
Varietas
Keragaan Pertumbuhan
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah anakan produktif
Hasil penelitian
(cm)*
Deskripsi
(cm)**
Selisih
(cm)
Hasil penelitian
(cm)*
Deskripsi
(cm)**
Selisih
(cm)
Inpara 1 115,80 111,00 4,80 20,60 18,00 2,60
Inpara 2 103,00 103,00 0,00 19,80 16,00 3,80
Inpara 4 98,80 94,00 4,80 22,80 18,00 4,80
Inpara 5 103,60 92,00 11,60 26,80 18,00 8,80
Keterangan : * Data primer diolah
** Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al., 2011.
Untuk tinggi tanaman dari keempat varietas tersebut hanya varietas Inpara 2 yang sama
dengan deskripsi padi yang dirilis Balai Besar Penelitian Padi yaitu + 103 cm, sedangkan jumlah
anakan diatas deskripsi padi semua (Suprihatno, et, al., 2011). Tingginya batang tanaman ini
diperkirakan bahwa kondisi tanah yang digunakan sebagai media tanaman yang digunakan sangat
adaptif dengan tanaman tersebut, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Supartopo et, al.
(2007) bahwa dengan tanaman terendam akan terjadi penambahan tinggi tanaman hal ini
menunjukkan adanya aktivitas fisiologis pada tanaman meskipun dalam kondisi terendam.
Untuk komponen hasil dari semua parameter panjang malai, jumlah gabah bernas per
malai tidak menunjukkan beda nyata antar perlakuan, sedangkan jumlah gabah hampa pada
perlakuan Inpara 5 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan yang lain. Pada
parameter berat 1000 butir dimana perlakuan Inpara 2 dan Inpara 4 menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan perlakuan Inpara 1 dan Inpara 5, setelah di uji secara statistik. Untuk berat 1000
butir yang tertinggi adalah varietas Inpara 1 yaitu 24,80 g ini menunjukkan lebih berat diatas
deskripsi yang dirilis Balai Besar Penelitian Padi yaitu + 23,25 g. Sedangkan varietas Inpara 5, 2
dan Inpara 4 sudah mendekati yang dideskripsi yaitu 21,93 g; 20,30 g dan 17,07 g (87,72 %;
87,54 % dan 79,11 %) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data komponen hasil (panjang malai, gabah hampa, gabah bernas berat 1000 butir dan
hasil/pot padi varietas inpara 1, 2, 4 dan 5.
Varietas Panjang
Malai (cm)
Gabah Hampa
(butir)
Gabah Bernas
(butir)
Berat 1000
Butir (g)
Hasil/Pot
(g)
Inpara 1 19,93 b 32,50
a 70,16
a 24,80
a 35,67
ab
Inpara 2 20,06 ab
29,34 a 73,12
a 20,30
bc 35,92
ab
Inpara 4 20,22 ab
26,50 a 68,60
a 17,07
c 22,35
b
Inpara 5 22,54 a 7,87
b 91,80
a 21,93
ab 40,15
a
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5% uji DMRT.
97 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pada tiap perlakuan untuk hasil per pot dari perlakuan tersebut hanya Inpara 4 yang
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, untuk hasil tertinggi yaitu perlakuan Inpara 5 yaitu;
40,15 g/pot sedangkan Inpara 1, 2 dan 4 yaitu: 35,67 g/pot; 35,92 g/pot dan 22,35 g/pot.
Salah satu komponen hasil yang ikut menentukan hasil adalah jumlah malai/rumpun.
Tidak seluruh jumlah anakan behasil membentuk malai yang memiliki gabah bernas, banyak hal
yang mempengaruhi diantaranya sifat genetik dan lingkungan tumbuh seperti kecukupan hara,
hama, penyakit serta cekaman lingkungan (Tanaka et al., 1975 dalam Ar-Riza, 2010). Pada
penelitian yang dilakukan salah satu permasalahan yang ditemui adalah ada salah satu perlakuan
yaitu perlakuan Inpara 4 terjadi serangan hama burung dan kesalahan dari teknis saat perawatan
yang menyebabkan gabah banyak rontok dilapangan dan hampa.
Menurut Makarim dan Las (2005), bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal dari
penggunaan varietas unggul baru diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil
dan keunggulannya dapat terwujudkan.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada akhir
pertumbuhan vegetatif dari keempat varietas yang diuji adalah varietas Inpara 1 yaitu rata-rata
115,80 cm dan jumlah anakan produktif tertinggi adalah varietas Inpara 5 yaitu rata-rata 26,80
batang/rumpun. Tinggi tanaman yang terendah pada varietas Inpara 4 yaitu 98,80 cm sedangkan
jumlah anakan terendah pada Inpara 2 yaitu 19,80 batang per rumpun.
Untuk komponen hasil yang terbaik dari 4 perlakuan yaitu perlakuan varietas Inpara 5
yang dilihat dari panjang malai, jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa dan hasil per pot,
Rerata masing-masing 22,54 cm; 91,80 butir/malai; 7,87 butir/malai dan 40,15 g/pot.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Riza, I. 2010. Peningkatan Produksi Padi Rintak Di Rawa Lebak Melalui Peningkatan
Populasi Tanaman dan Pemupukan. Prosd. Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2010.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Buku 2;951-960.
BPS. 2011. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi.
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?. Badan Pusat Statistik RI. Jakarta. (di unduh 7 juni
2012).
BPS Provinsi Bengkulu. 2011. Berita Resmi Statistik Nomor 43/11/17/th.V, 1 November 2011.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Firdaus, Yardha dan Adri. 2001. Keragaman Galur-Galur Harapan Padi Sawah. Jurnal
Agronomi Universitas Jambi. Jambi Vol. 5(2).
Gani dan H. Sembiring. 2007. Respon Padi Varietas Ciherang dan Mendawah Terhadap N, P dan
K Ditanah dari Desa Lhoknga. http://www.dpi. Nsw
.gov.au/data/assets/pdf_file/0018/202770/ Respon-Ciherang -dan -Mendawak -terhadap -N,
-P –dan K -di-tanah – Tanjung ,-Lhoknga. pdf. html di [Diunduh 07 Juni 2012].
Humaedah Ume. 2009. Varietas-Varietas Baru Tanaman Padi. Tabloid Sinar Tani. Jakarta.
Makarim, A.K dan I. Las. 2005. Trobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui
Model Pengembangan Tanaman Dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Balitbangtan. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta. (115-12).
Rachim, A., A. A. N. Supadma dan Engkus. 2000. Uji Adaptasi Penggunaan Pupuk Alternatif
Pada Lahan Sawah di Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Supartopo, R., Hermanasari., A. Hairmansis dan B. Kustianto. 2007. Uji Rendaman Galur
Harapan Padi Rawa Lebak. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi. (705-711).
Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. Dewi Indrasari., I Putu
Wardana dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Sukamandi.; 118.
98 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI
DI KABUPATEN SELUMA Studi Kasus: Lahan Sawah Kelurahan Rimbo Kedui
Kecamatan Seluma Selatan
Ahmad Damiri dan Yartiwi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
ABSTRAK
Guna meningkatkan produktivitas tanaman padi sawah di Kelurahan Rimbo Kedui, BPTP Bengkulu
melalui kegiatan M-P3MI melakukan diseminasi inovasi teknologi padi sawah dengan wujud SDMC. Pengkajian
bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktiviitas padi sawah melalui penerapan inovasi teknologi pertanian
pendekatan PTT. Metode pengkajian dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan produktivitas yang dilakukan
melalui penerapan inovasi teknologi pendekatan SL-PTT dengan produktivitas melalui penerapan teknologi eksisting.
Pengkajian dilakukan pada bulan April sampai Agustus 2012 di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan
Kabupaten Seluma. Penerapan inovasi teknologi pendekatan PTT menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan produktivitas yang dilakukan petani dengan penerapan teknologi eksisting. Produktivitas padi dengan
penerapan inovasi teknologi pendekatan PTT mencapai 6,51 t/ha gabah kering panen (GKP), lebih tinggi bila
dibandingkan dengan produktivitas padi dengan penerapan teknologi eksisting yang 3,50 t/ha gabah kering panen.
Produktivitas yang 6,51 t/ha GKP setara dengan 5,60 t/ha GKG lebih tinggi dibandingkan dengan produksi rata-rata
Kabupaten Seluma menurut data statistik pada Kabupaten Seluma Dalam Angka, 2010 yang hanya 4,01 t/ha GKG.
Kata Kunci : padi sawah, SDMC, peningkatan produktivitas
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang strategis dan menjadi prioritas dalam
menunjang program pertanian, dimana sampai saat ini usahatani padi di Indonesia termasuk
Provinsi Bengkulu masih menjadi tulang punggung perekonomian perdesaan. Terjadinya
penciutan lahan sawah akibat konversi lahan untuk kepentingan non-pertanian maupun usahatani
lain selain padi sawah dan pengelolaan sawah yang kurang tepat karena keterbatasan pengetahuan
petani serta perkembanngan inovasi teknologi yang belum terikuti dengan baik oleh petani,
menyebabkan produktivitas padi sawah cenderung melandai, bahkan mungkin menurun. Belum
stabilnya laju pertumbuhan produksi padi, apabila ditelaah lebih lanjut ternyata disebabkan oleh
masih tergantungnya sumber pertumbuhan produksi yang berasal dari peningkatan produktivitas
(Departemen Pertanian. 2005).
Kelurahan Rimbo Kedui pada tahun 2010, memiliki peruntukan lahan tertinggi untuk
lahan sawah yaitu 505,00 ha dibandingkan peruntukan lainnya yang 330,64 ha dari luas lahan
keseluruhan sebesar 835,64 ha (BPS Seluma, 2011), sehingga Kelurahan Rimbo Kedui menjadi
salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Seluma. Kondisi air yang hampir selalu tersedia
sepanjang musim untuk penaman padi serta luas lahan sawah sebesar 505,00 ha (60,31%) dari
luas lahan Kelurahan Rimbo Kedui menjadi salah satu tumpuan sumber pangan Kabupaten
Seluma. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi Kabupaten Seluma saat ini, selain
pengurangan luas lahan sawah karena alih fungsi lahan, produktivitas yang dicapai masih relatif
rendah akibat dari kurang/lambatnya adopsi inovasi teknologi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya terobosan upaya peningkatan
produktivitas tanaman padi dengan memanfaatkan lahan sawah yang masih tersedia melalui
penekanan penerapan inovasi teknologi pendekatan PTT. Dalam penerapan inovasi teknologi
pendekatan PTT, tidak hanya dilakukan menggunakan varietas hasil tinggi saja, tetapi harus
diikuti dengan teknik budidaya yang benar sesuai dengan anjuran penerapan teknologi.
Dalam rangka mengatasi hambatan kurang lancarnya adopsi teknologi hasil pengkajian
pada tingkat pengguna, diperlukan strategi komunikasi yang tepat untuk mengatasinya. Salah satu
strategi yang ditempuh adalah melalui kegiatan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan
Melalui Inovasi (M-P3MI). Bila hambatan yang selama ini dapat diatasi, berarti adopsi teknologi
hasil pengkajian dapat cepat diterapkan pada tingkat pengguna, sehingga dapat mempercepat
99 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
peningkatan produksi, pendapatan, serta kesejahteraan petani dan pelaku agribisnis lainnya yang
terlibat.
Kegiatan Model Pengembangann Pertanian Melalui Perdesaan (M-P3MI) merupakan
diseminasi inovasi teknologi padi sawah, telah dimulai sejak tahun 2011 yang lalu guna
meningkatkan pendapatan petani. Setelah dilakukan diseminasi teknologi melalui berbagai media
atau Spectrum Diseminasi multi Channel (SDMC) seperti petak percontohan, pertemuan, media
cetak, dan media elektronik, penyebaran inovasi teknologi menjadi tersebar cepat pada berbagai
lapisan masyarakat khususnya anggota kelompok tani yang kelompoknya menjadi petani
kooperator petak percontohan kegiatan M-P3MI. Diseminasi melalui kegiatan SDMC sangat
cepat berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan penguasaan teknologi khususnya budidaya
padi sawah.
Kegiatan M-P3MI yang berada di Kabupaten Seluma, merupakan bentuk konkrit
dukungan Badan Litbang Pertanian Melalui BPTP Bengkulu yang dilakukan dalam rangka
mendukung kebijakan Kabupaten Seluma terkait usaha peningkatkan kesejahteraan petani
melalui peningkatan produksi padi sawah. Oleh karena itu, pengkajian dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui peningkatan produktiviitas padi sawah melalui penerapan inovasi teknologi
pertanian pendekatan PTT.
BAHAN DAN METODA
Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan September 2012 di Desa Rimbo
Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma melalui diseminasi kegiatan SDMC
seperti: a) Pameran/Peragaan melalui petak percontohan penerapan teknologi pendekatan 10
komponen PTT (Tabel 1.); b) forum Pertemuan berupa pertemuan petani; c) media cetak berupa
petunjuk pelaksanaan petak percontohan; d) media elektronik sebagai media penjelasan teknis
(Kementerian Pertanian, 2011).
Tabel 1. Komponen teknologi yang di terapkan selama pengkajian.
No Komponen teknologi pendekatan PTT
1 Varietas unggul baru : Inpari 10
2 Benih bermutu dan berlabel : Varietas baru
3 Dosis dan waktu pemberian pupuk : Urea 200 kg, NPK Phonska 250 kg/ha (3kali)
4 Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT : Kombinasi secara mekanis dg pestisida
5 Pengaturan populasi optimum /Jarak tanam : Legowo 4:1 / [(20 x 10) x 40 cm]
Menggunakan alat pembuatan pola garis tanam Caplak Roda
6 pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam : Pengolahan tanah sempurna
7 penanaman bibit muda (<21 hari) : Paling lambat umur 21 hari sudah ditanam
8 tanam 1-3 batang per rumpun : Tanam 2 – 3 batang per rumpun
9 Panen tepat waktu : Berdasarkan umur varietas atau 90% gabah
telah menguning
10 perontokan gabah sesegera mungkin : Perontokan di lapangan setelah panen
Metode pengkajian dilakukan dengan cara deskriptif yaitu membandingkan
produktivitas yang dicapai setelah dilaksanakan diseminasi melalui kegiatan SDMC dengan
produktivitas petani yang menerapkan teknologi eksisting. Produktivitas yang dicapai berasal dari
petak percontohan pada kegiatan SDMC yang menerapkan inovasi teknologi pendekatan PTT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diseminasi Melalui Kegiatan SDMC
Diseminasi melalui kegiatan SDMC dilakukan melalui 4 wujud kegiatan yaitu : a)
Pameran/Peragaan melalui petak percontohan penerapan teknologi; b) Forum pertemuan berupa
pertemuan petani, c) Media cetak berupa petunjuk pelaksanaan pengkajian pada petak
100 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
percontohan; d) Media elektronik sebagai media penjelasan teknis dan e) teknologi petani
(Eksisting)
a. Pameran/Peragaan Melalui Petak Percontohan
Petak percontohan dilaksanakan di agroekosistem lahan sawah dataran rendah iklim
basah pada lahan petani dengan melibatkan petani secara partisipatif sehingga apa yang
dilakukan diketahui secara jelas oleh petani pelaksana kegiatan. Penetapan satu petak
percontohan untuk setiap kelompok dimaksudkan agar petak percontohan pada setiap
kelompok dapat berfungsi sebagai kelas belajar bagi anggota kelompok masing-masing.
Inovasi teknologi yang diterapkan pada petak percontohan ini yaitu teknologi pendekatan
PTT.
b. Forum Pertemuan Berupa Temu Lapang Pelaksanaan Kegiatan
Agar anggota kelompok tani lebih memahami inovasi teknologi yang diterapkan,
dilakukan pertemuan berulang-ulang pada berbagai tahapan pertumbuhan tanaman seperti: (1)
temu lapang persiapan pelaksanaan penyemaian benih, (2) temu lapang setelah pemupukan ke
dua pada saat tanaman berumur 25 hst, (3) temu lapang setelah pemupukan ke tiga pada saat
tanaman berumur 45 hst, (4) temu lapang panen pada saat dilaksanakan panen.
Pada setiap pertemuan dijelaskan semua komponen teknologi yang diterapkan pada
petak percontohan mulai dari persemaian, pembuatan pola garis tanam menggunakan Caplak
Roda, penanaman 2 – 3 tanaman per rumpun dengan sistem tanam legowo 4:1, pemupukan
tiga kali dalam satu musim tanam, dan panen dengan menghitung produktivitas berdasarkan
data ubinan yang dikonversi ke dalam hektar. Peserta pertemuan terdiri dari 10 orang petani
pelaksana petak percontohan ditambah dengan masing-masing 3 orang dari setiap kelompok
sehingga peserta dari anggota kelompok tani sebanyak 40 orang. Pada setiap pertemuan, 3
orang dari setiap kelompok selalu diganti. Mengganti 3 orang peserta dengan anggota
kelompok lainnya dimaksudkan agar inovasi teknologi yang diterapkan cepat tersebar pada
sebagian besar anggota kelompok tani. Dengan demikian akan terjadi penyebaran informasi
secara luas pada anggota kelompok tani. Sedangkan ketua kelompok tani diundang terus
menerus setiap pertemuan dimaksudkan agar pada setiap kelompok tani terdapat anggota
kelompok yang betul-betul menguasai inovasi teknologi budidaya padi secara utuh.
Setelah semua petak percontohan selesai panen dan data produktivitas sudah
diketahui semua, dilakukan pertemuan per kelompok. Pada pertemuan ini semua anggota
kelompok diundang dan dilakukan tes penguasaan inovasi teknologi yang sudah diterapkan
melalui quisioner. Setelah semua quisioner terisi, lalu dikumpulkan dan dievaluasi apakah
semua komponen teknologi yang diterapkan sudah dilakukan petani. Biasanya tidak semua
anggota kelompok tani sudah menerapkan inovasi teknologi yang dianjurkan. Selanjutnya
dilakukan penjelasan kembali komponen teknologi yang digunakan secara detail dan
dilakukan diskusi. Pada setiap akhir pertemuan kelompok dilakukan tes minat menerapkan
inovasi teknologi melalui quisioner kembali.
c. Media Cetak
Media cetak yang digunakan tidak berupa leaflet, tetapi petunjuk teknis pengelolaan
tanaman yang memuat petunjuk pemeliharaan tanaman. Pada tahap pemeliharaan tanaman
inilah biasanya kesalahan yang dilakukan petani yang menyebabkan produktivitas lahan
menjadi rendah dan tidak efisien. Petunjuk yang disusun terdiri dari petunjuk untuk lahan per
hektar dan lahan berdasarkan luas lahan masing-masing petak percontohan milik petani.
Dengan demikian petunjuk yang diberikan bersifat aplikatif.
d. Media Elektronik
Media elektronik digunakan pada saat penjelasan tentang inovasi teknologi yang
akan diterapkan. Melalui media elektronik, penjelasan-penjelasan lebih mudah ditangkap
101 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
peserta (anggota kelompok tani). Bila memungkinkan, media elektronik yang digunakan
berupa video penerapan inovasi teknologi.
e. Teknologi Eksisting
Teknologi eksisting yang diterapkan petani sangat mempengaruhi produktivitas
yang dicapai. Dalam penerapan teknologi penanaman padi, sebagian besar petani
mendapatkan informasi teknologi berasal dari sesama anggota kelompok tani. Dari hasil
wawancara dengan petani kooperator diketahui bahwa kebiasaan petani dalam melakukan
usahataninya, teknologi yang diterapkan yaitu: (1) sistem tanam tegel, (2) varietas IR 64 atau
Ciherang yang telah ditanam berulang-ulang, (3) jumlah benih 100 – 150 kg/ha, (4)
pemupukan tidak berimbang dan pemberian pupuk 1 – 2 kali dalam satu musim tanam.
Tabel 2. Rata-rata dosis pupuk dan produktivitas tanaman padi petani (eksisting) per hektar di
Kabupaten Seluma.
No Uraian Penggunaan pupuk/ha (kg) Produktivitas
(t/ha) GKP N P K
1. Petani 1 214,00 102,00 30,00 3,800
2. Petani 2 217,86 121,38 35,70 4,760
3. Petani 3 107,00 69,00 15,00 3,375
4. Petani 4 142,31 115,71 19,95 1,915
5. Petani 5 173,13 19,95 19,95 3,660
6. Petani 6 107,00 51,00 15,00 3,500
Jumlah 961,30 479,04 135,60 21,01
Rata-rata 160,22 79,84 22,60 3,50
Sumber : Data primer, diolah.
Pada Tabel 2. Gambaran umum petani melakukan pemupukan dalam usahatani padi
di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan, rata-rata penggunaan pupuk per
hektar umumnya menggunakan; pupuk Urea, SP-36, dan NPK Phonska saja. Pupuk KCl
jarang sekali digunakan dengan alasan pupuk mahal dan sering tidak ada di pasaran, sehingga
untuk mengganti pupuk KCl biasanya petani beranggapan telah terpenuhi dari pupuk NPK
Phonska. Hal ini sebenarnya dikarenakan petani banyak yang tidak mengetahui kebutuhan
tanaman akan hara serta juga ketidaktahuan petani cara menghitung kebutuhan pupuk, maka
pemberian pupuk dikira-kira saja. Oleh karena itu setiap petani berbeda-beda dalam
penggunaan dosis pupuk.
f. Rekomendasi Pemupukan
Berdasarkan analisis tanah menggunakan perangkat uji tanah sawah (PUTS) yang
dilakukan di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma,
kandungan N rendah, P rendah, dan K sedang. Menurut Setyorini et al., (2006), pada status N
rendah, P rendah, dan K sedang, maka rekomendasi pemupukannya yaitu: Urea 250 – 350 kg,
SP-36 100 – 125 kg, dan KCl 50 – 75 kg. Kandungan hara dari masing-masing pupuk tersebut
yaitu : N = 112,50 – 157,50 kg, P2O5 = 36,00 – 45,00 kg, dan K2O = 30 – 45 kg/ha.
Penggunaan pupuk tunggal seringkali sulit dilakukan karena pupuk tunggal KCl
sering tidak dijumpai di lapangan. Untuk itu perlu diatasi dengan penggunaan pupuk majemuk
NPK Phonska. Berdasarkan perhitungan kandungan hara yang terdapat pada masing-masing
pupuk, maka penggunaan pupuk yang mudah digunakan petani tetapi telah memenuhi
kecukupan hara, dosis pupuk yang digunakan yaitu Urea 200 kg dan NPK Phonska 250 kg/ha
dengan kandungan hara sebagai berikut: N = 127,50 kg, P2O5 = 37,5, dan K2O =37,5 kg.
g. Produktivitas Per Hektar
Produktivitas per hektar dihitung dari konversi hasil ubinan rata-rata setiap petak
percontohan dan dikonversi ke hektar. Pada kegiatan ini ukuran ubinan yang digunakkan yaitu
102 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
5 x 2 m. Ukuran 5 meter diambil pada 5 jajar legowo dan 2 meter diambil dalam barisan
tanaman. Hasil yang diperoleh dikonversi ke hektar dengan mengalikan hasil ubinan dengan
1.000 petak.
Tabel 3. Data petak percontohan 10 kelompok tani, hasil per hektar, dan hasil rata-rata per
hektar.
No Luas petak
percontohan
Jumlah angota
dan luas lahan
Nama
kelompok Desa
Hasil panen
(t/ha) GKP
1. 2475 m2 27 ha/25 org Harapan maju Rimbo Kedui 5,10
2. 2566 m2 22 ha/23 org Tunas harapan II Rimbo Kedui 7,50
3. 2500 m2 25 ha/42 org Panca Usaha Rimbo Kedui 6,35
4. 3984 m2 20 ha/25 org Tanjung Mas Tanjung Seru 6,20
5. 2418 m2 20,5 ha/27 org Renah Penanding Padang Genting 6,40
6. 2566 m2 25 ha/22 org Tunas Harapan Rimbo Kedui 5,93
7. 2751 m2 30 ha/37 org Mulya Tani Rimbo Kedui 5,75
8. 2500 m2 16 ha/18 org Rimbo Damar Rimbo Kedui 7,37
9. 2537 m2 25 ha/24 org Margo Suko I Rimbo Kedui 8,40
10. 3489 m2 15 ha/31 org Kerinjing Baru Tanjungan 6,10
Jumlah 65,10
Rata-rata 6,51
Catatan : 6,51 t/ha GKP = 5,60 t/ha GKG
Berdasarkan Tabel 3. Produktivitas rata-rata yang diperoleh sebesar 6,51 t/ha GKP,
lebih tinggi dari produktivitas rata-rata Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan
Kabupaten Kabupaten Seluma yang 3,50 t/ha GKP. Produktivitas yang rendah pada petani
Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma, selain disebabkan
waktu pemupukan yang tidak tepat, juga dosis pupuk yang diberikan tidak berimbang (Tabel
2). Menurut Adiningsih et al., (1989) Dalam Sukristiyonubowo et al., (2011), penggunan
pupuk N dan P yang berlebihan akan mempercepat pengurasan unsur-unsur hara lain seperti
K, S, Mg, Zn, dan Cu, sehingga akan menngganggu keseimbangan hara, menurunkan
produktivitas dan kualitas lingkungan.
Terhadap peluang peningkatan produksi Kabupaten Seluma, Produktivitas hasil
pengkajian melalui petak percontohan yang 6,51 t/ha GKP atau setara dengan 5,60 t/ha GKG,
terjadi peningkatan 1,59 t/ha GKG dibandingkan dengan produktivitas Kabupaten Seluma
Dalam Angka 2010 yang hanya 4,01 t/ha GKG. Hasil ini sejalan dengan pengkajian yang di
lakukan Hastini et al., (2011); penerapan PTT padi sawah yang dilakukan di Desa Wanasari
Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta mampu meningkatkan produktivitas sebesar
54,02% selama beberapa musim tanam. Selain itu penerapan PTT memberikan efisiensi
penggunaan pupuk anorganik Urea 10%, SP-36 dan KCl 33,33%, pestisida 75%, serta benih
mencapai 20%. Melalui PTT padi sawah, terdapat kenaikan B/C dari 0,78 menjadi 1,21 yang
berarti terdapat kenaikan pendapatan petani.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Produktivitas padi dengan penerapan inovasi teknologi pendekatan PTT mencapai 6,51 t/ha
gabah kering panen (GKP), lebih tinggi bila dibandingkan dengan produktivitas padi dengan
penerapan teknologi eksisting yang 3,50 t/ha gabah kering panen.
2. Terhadap produktivitas Kabupaten Seluma yang 4,01 t/ha GKG, terjadi peningkatan 1,59 t/ha
GKG. Kondisi ini berpeluang untuk meningkatkan produktivitas Kabupaten Seluma.
Saran
1. Mengingat luasa lahan sawah yang semakin sempit karena terjadinya alih fungsi lahan, maka
disarankan agar lahan sawah yang tersisa dapat dimanfaatkan seefisien mungkin.
103 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
2. Penerapan inovasi teknologi pendekatan PTT pada petak percontohan terbukti mampu
meningkatkan produktivitas padi sawah. Untuk itu agar anggota kelompok tani dapat
memanfaatkan inovasi teknologi pendekatan PTT setiap melakukan usahatani padi sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005 – 2010. Lima
komodita: 1. Beras: Swasembada Berkelanjutan, 2. Jagung : Swasembada 2007, 3.
Kedelai: Swasembada 2015 (2010 = 65%), 4. Gula : Swasembada 2009, 5. Daging Sapi:
Swasembada 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Hastini, T., K. Permadi, dan S. Putra. 2011. Dampak Penerapan PTT Padi Sawah Terhadap
Peningkatan Produktivitas, Efisiensi, dan Pendapatan Petani Pada Program Prima Tani
Kabupaten Purwakarta. Prosd. Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010.
―Variabilitas dan Perubahan Iklim: Pengaruhnya Terhadap Kemandirian Pangan Nasional‖.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
BPS Seluma. 2011. Kabupaten Seluma Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Seluma. Seluma
Kementerian Pertanian (2011). Pedoman Umum Model Pengembangan Pertanian Perdesaaan
Melalui Inovasi (M-P3MI). Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Setyorini, D., L. R. Widowati, dan A. Kasno. 2006. Petunjuk Penggunaan Perangkat Uji Tanah
Sawah Versi 1.1. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Sukristiyonubowo, S. Anda, Suwandi dan I. Adamy S. 2011. Pengaruh Dosis dan Waktu
Pemupukan Terhadap Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Padi Varietas Ciliwung
Yang Di Tanam Pada Sawah Bukaan Baru. Prosd. Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. ―Variabilitas dan Perubahan Iklim: Pengaruhnya Terhadap Kemandirian
Pangan Nasional‖. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
104 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
APLIKASI BERBAGAI MACAM
PUPUK PELENGKAP CAIR (PPC) ORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG HIBRIDA
Rathi Frima Zona1, Rachmiwati Yusuf 1 dan Taupik Rahman2 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Email : [email protected]
ABSTRAK
Jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat kedua setelah padi. Produksi jagung di Provinsi Riau
pada tahun 2010 adalah sebesar 41.862 ton, yang tersebar di 12 kabupaten/kota. Sementara Kementerian Pertanian
menargetkan produksi jagung Indonesia adalah sebesar 18,02 juta ton. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memenuhi target tersebut adalah dengan meningkatkan produktivitas tanaman jagung melalui pemupukan. Pemupukan
yang diberikan tidak hanya terbatas pada pemberian pupuk an organik yang merupakan hara makro bagi tanaman tetapi
juga pemberian Pupuk Pelengkap Cair (PPC) sebagai pelengkap untuk memberikan unsur hara mikro dan juga zat
perangsang tumbuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi jagung hibrida
terbaik dengan pemberian berbagai macam pupuk pelengkap cair. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Juli 2010
di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan
dan 6 ulangan. Perlakuannya adalah : 1). Tanpa PPC Organik, 2). Tiens Golden Harvest dengan dosis 5 ml/1 liter air,
3). Biomaxx dengan dosis 4 ml/ 1 liter air dan 4). Ajib dengan dosis 0,5 ml/1 liter air. Parameter pengamatan yang
akan diamati adalah keragaan vegetatif berupa tinggi tanaman, dan keragaan generatif yang meliputi berat 4 tongkol,
berat 4 tongkol dipipil, berat 100 biji dan produksi. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan SAS program.
Berdasarkan hasil analisis statistika diperoleh hasil yang berbeda tidak nyata pada berbagai macam pemberian PPC
untuk semua parameter. Pada parameter tinggi tanaman diperoleh tinggi tanaman tertinggi pada pemberian PPC
Biomaxx (176,96 cm), berat 4 tongkol, berat 4 tongkol dipipil, berat 100 biji. Produksi tertinggi diperoleh pada
pemberian PPC Ajib yaitu 4,24 ton/ha.
Kata kunci: jagung hibrida, pupuk pelengkap cair, produksi, pemupukan
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas utama yang memiliki arti strategis bagi perekonomian
Indonesia. Untuk itu sejak tahun 1999 telah diprogramkam gerakan mandiri padi, kedelai dan
jagung (Gema Palagung 2001). Produktivitas jagung di Indonesia masih rendah, baru mencapai
3,47 t/ha pada tahun 2006, namun cendrung meningkat dengan laju 3,38 % per tahun. Meskipun
demikian, produksi jagung nasional belum mampu mengimbangi permintaan yang sebahagian
dipacu oleh pengembangan industri pakan dan pangan. Karena itu impor terpaksa dilakukan
dengan import yang cukup besar dimulai tahun 1994 dan 1995 yang mencapai rata-rata melebihi
1 juta ton.Masih rendahnya produktivitas menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi
jagung masih belum optimal. Peningkatan produksi jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh
perbaikan produktivitas dari pada peningkatan luas panen (Ditjen Tanaman Pangan, 2006)
sedangkan produktivitas jagung Provinsi Riau baru mencapai angka 2 - 3 t/ha.
Jagung mempunyai posisi penting dalam perekonomian nasional karena merupakan
sumber karbohidrat dan bahan baku industri pakan dan pangsan. Disamping bijinya, biomas
hijauan jagung diperlukan dalam pengembangan ternak sapi. Kebutuhan jagung dalam negeri
untuk sudah mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2005 dan diprediksi menjadi 6,6 juta ton pada
tahun 2010 (Ditjen Tanam Pangan 2006). Peluang ekspor semakin terbuka mengingat negara
penghasil jagung seperti Amerika, Argentina dan Cina mulai membatasi volume ekspornya
karena kebutuhan jagung mereka meningkat.
Upaya peningkatan produksi jagung, baik melalui intensifikasi maupun ekstenfikasi,
selalu diiringi dengan penggunaan pupuk. Pada prinsipnya pupuk dilakukan secara berimbang.
Pemupukan berimbang adalah pengelolaan hara spesifik lokasi dengan mempertimbangkan
kemampuan tanah menyediakan hara secara alami dan pemulihan hara yang sebelumnya
dimanfaatkan oleh padi sawah irigasi (Doberman and Fairhust, 2000, Witt and Dobermann,
2002). Konsep serupa juga digunakan untuk rekomendasi pemupukan yang baru pada tanaman
jagung di Nebraska Amerika Serikat, dengan penekanan khusus pada pemahaman potensi hasil
dan senjang hasil sebagai dasar perbaikan rekomendasi pengelolaan hara yang bersifat spesifik
105 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
lokasi (Wit and Dobermann, 2002). Pengelolaan hara spesifik lokasi berupaya menyediakan hara
bagi tanaman secara tepat, baik jumlah, jenis maupun waktu pemberiannya, dengan
mempertimbangkan kebutuhan tanaman, dan kapasitas lahan dalam menyediakan hara bagi
tanaman (Makarim et al, 2003). Selain penggunaan pupuk makro, penggunaan pupuk mikro yang
berasal dari Pupuk Pelengkap Cair (PPC) disinyalir juga mampu memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman jagung, hal ini disebabkan karena pupuk cair lebih cepat
diserap oleh tanaman.
Guna memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, upaya peningkatan produksi jagung
perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Hasil dari upaya ini diharapkan tidak hanya
meningkatkan hasil, tetapi dapat pula meningkatkan pendapat petani dan terwujudnya
swasembada jagung.
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pertumbuhan dan produksi
jagung hibrida terbaik dengan pemberian berbagai macam pupuk pelengkap cair.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2010 di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau. Alat yang digunakan antara lain cangkul, ember, label, solo dan alat
tulis. Bahan yang diperlukan benih jagung hibrida, PPC Tiens Golden Harvest (5 ml/liter air),
PPC Biomaxx (4 ml/liter air) dan PPC Ajib (0,5 ml/liter air), pupuk kandang, pupuk Urea, SP-36
dan KCl, pestisida.
Tahapan pelaksanaan meliputi: 1) Persiapan lahan dan pemberian pupuk kandang, 2)
Penanaman. 3) Aplikasi PPC organic I, II dan III. 4) Pemeliharaan dan Pengamatan, 5) Panen.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan 6 Ulangan. Adapun perlakuan pada penelitian ini adalah P0: Tanpa PPC Organik,
P1: Tiens Golden Harvest dengan dosis 5 ml/liter air, P2: Biomaxx dengan dosis 4 ml/liter air dan
P3: Ajib dengan dosis 0,5 ml/liter air. Petakan dibuat dengan ukuran 1 x 1 m dengan jarak tanam
20 x 70 cm. Pemberian PPC diberikan dengan 3 aplikasi yaitu pada umur 15 HST, 25 HST dan
35 HST.
Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, berat 4 tongkol, berat 4 tongkol dipipil,
berat 100 biji.
Data dianalisis dengan menggunakan program SAS. ANACOVA digunakan untuk
menganalisis perbedaan sifat tanah yang diperoleh dari hasil aplikasi perlakuan pada pengkajian
ini. ANOVA digunakan untuk menganalisis perbedaan pengaruh perlakuan untuk peubah hasil
dan komponen hasil tanaman (Gomez dan Gomez, 1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Vegetatif Tanaman
Tinggi tanaman (cm)
Pemberian berbagai macam PPC organik terhadap pertumbuhan jagung hibrida
menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata setelah dianalisis dengan DNMRT pada taraf 5
% dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman jagung hibrida pada berbagai macam PPC.
Perlakuan Tinggi tanaman (cm)
Tanpa PPC Organik 169,21a
Tiens Golden Harvest 169,54a
Biomaxx 176,96a
Ajib 176,21a
Keterangan: Angka-angka pada kolom diatas berbeda tidak nyata menurut DNMRT pada taraf 5 %.
106 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Dari Tabel 1 terlihat bahwa pemberian berbagai macam PPC memberikan pengaruh
yang relatif sama. Artinya, tanpa dan dengan pemberian berbagai macam PPC yang mengandung
zat perangsang tumbuh, tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman
jagung hibrida. Akan tetapi, pemberian PPC Biomaxx memberikan hasil pertumbuhan tinggi
tanaman tertinggi bila dibandingkan dengan PPC lainnya yaitu 176,96 cm. Hal ini disebabkan
karena PPC yang digunakan adalah pupuk organik ramah lingkungan yang diolah dengan metode
khusus dari beraneka ragam tumbuh-tumbuhan, sehingga menghasilkan zat-zat penting yang yang
sangat dibutuhkan sebagai perangsang untuk mempercepat pertumbuhan akar, batang, daun,
bunga dan buah pada tanaman, yang mengandung giberelin untuk merangsang bunga, auksin
untuk merangsang akar, sitokinin untuk merangsang tunas dan daun, unsur hara mikro yang
sesuai dengan asam amino yang dibutuhkan oleh tanaman. Keadaan ini menjelaskan bahwa
banyaknya unsur hara yang tersedia bagi tanaman lebih lanjut mempengaruhi pertumbuhan tinggi
tanaman walaupun pengaruhnya belum terlihat secara nyata untuk tiap dosis pemupukan yang
digunakan. Apabila selama pertumbuhan tanaman lingkungan tanah sebagai media tumbuh
berada dalam keadaan yang menguntungkan maka tanaman akan dapat mengadakan proses
fotosintesis dengan optimal dan berpengaruh pada tanaman secara keseluruhan termasuk tinggi
tanaman. Sebab macam dan jumlah unsur hara serta air yang dapat diserap tanaman sangat
tergantung pada kesempatan tanaman tersebut untuk mendapatkannya dari tanah (Sitompul dan
Guritno, 1995).
Keragaan Generatif Tanaman
Pemberian berbagai macam pupuk pelengkap cair (PPC) belum memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pertumbuhan generatif tanaman jagung Hibrida. Hasil pengamatan terhadap
berat 4 jagung tongkol, berat 4 tongkol jagung dipipil, berat 100 biji kering dan produksi jagung
hibrida menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata setelah dianalisis dengan DNMRT pada
taraf 5 % dan data pengamatan tertinggi diperoleh pada pemberian PPC Ajib (secara berurutan
543,08 gram; 423,10 gram; 30,52 gram dan 4,24 ton/ha).
Walaupun hasil analisis statistik menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, akan
tetapi pada dasarnya tetap ada perbedaan hasil yang diperoleh dengan pemberian berbagai macam
pupuk pelengkap cair organik ini. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sutejo dan
Kartasapoetra (1995) menyatakan bahwa kebutuhan unsur hara tanaman selama pertumbuhan dan
perkembangannya adalah tidak sama, membutuhkan waktu yang berbeda dan tidak sama
banyaknya. Sehingga dalam hal pemupukan, sebaiknya diberikan pada waktu/saat tanaman
memerlukan unsur hara secara intensif agar pertumbuhan dan perkembangannnya berlangsung
dengan baik.
Tabel 2. Rata-rata berat 4 tongkol jagung, berat 4 tongkol dipipil, berat 100 biji kering dan
produksi jagung hibrida pada berbagai macam PPC.
Perlakuan Berat 4 tongkol
jagung (gram)
Berat 4 tongkol
dipipil (gram)
Berat 100 biji
kering (gram)
Produksi pipilan
(ton/ha)
Tanpa PPC Organik 512,98a
396,58a
29,22a
3,96a
Tiens Golden Harvest 525,73a
406,30a
30,40a
4,08a
Biomaxx 515,98a
399,30a
29,23a
3,92a
Ajib 543,08a
423,10a
30,52a
4,24a
Keterangan: Angka-angka pada kolom diatas berbeda tidak nyata menurut DNMRT pada taraf 5 %.
Dengan kondisi tersebut, proses fisiologis (fotosintesis) tanaman akan lebih meningkat,
demikian juga dengan lebih tingginya tanaman, intensitas cahaya matahari yang diserap daun
tanaman menjadi lebih baik. Semakin baiknya proses fisiologis (fotosintesis) tanaman,
menyebabkan meningkatnya bahan kering yang dihasilkan tanaman dan secara langsung
berhubungan dengan bahan kering yang dapat ditranslokasikan ke biji (Aribawa et al., 2006).
Menurut Saefudin Sarief (1985) semakin besar dan semakin lama umur tanaman maka kebutuhan
unsur hara akan semakin meningkat pula. Dengan penambahan pupuk yang sesuai dengan
107 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kebutuhan tanaman akan menyebabkan tanaman tumbuh dengan baik dan diikuti dengan
peningkatan jumlah daun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemberian berbagai macam PPC (Pupuk Pelengkap Cair) organik (Tiens Golden
Harvest, Biomaxx, dan Ajib) pada jagung hibrida belum memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pertumbuhan dan produksi jagung hibrida. Untuk masa yang akan datang diharapkan
dapat dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan pupuk pelengkap cair misalnya dosis dan
waktu penyemprotan.
DAFTAR PUSTAKA
Aribawa, I. B., I.K. Kariada, dan M. Nazam. 2006. Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung di
Lahan Sawah. Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Program Peningkatan Produksi Jagung Nasional. Prosd. Seminar
Nasional dan Ekspose Inovasi Teknologi. Makasar-Pangkep, 15-16 September 2006.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.
Doberman, A. and Fairhurts. 2000. Rice Nutrients Disorders and Nutrients Management.
International Riice Research Institute (IRRI). Los Banos. ;92.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research.
International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. ;680.
Makarim, A.K., K.D. Widiarta, S. Hendarsih dan S. Abdurahman. 2003. Panduan Teknis
Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Mink,S.D., P.A Doros and D.H Pery. 1987. Corn Production System. In Timmer (Eds). The Corn
Economy of Indonesia. ;62-87.
Saefudin Sarief. 1985. Ilmu Tanah Pertanian (II). Fakultas Pertanian. Universita Padjadjaran.
Bandung.
Sitompul dan Bambang Guritno. 1995. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Presindo. Jakarta. ;95.
Sutejo, M.M dan A.G. Kartasapoetra. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
Witt, C. and Doberman. 2002. A Site-Specific Nutrient Management Approach for Irrigated Low
Land Rice in Asia. Better Corp. Int 16. ;20-24.
108 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
UJI KETAHANAN GALUR-GALUR PADI TERHADAP
PENYAKIT TUNGRO DI DAERAH ENDEMIK
Mansur1, Syahrir Pakki2, Edi Tando3 dan 4Yulie Oktavia
1Loka Penelitian Penyakit Tungro
2Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan
3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
4Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Penyakit tungro pada tanaman padi disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh wereng hijau Nephotetix
virescens. Penelitian uji ketahanan galur padi terhadap penyakit tungro di daerah endemik ditujukan untuk
mengevaluasi ketahanan galur-galur generasi lanjut di daerah endemik tungro. Penelitian dilaksanakan di Polewali
Mandar Sulawesi Barat mulai bulan Februari sampai dengan Mei 2011, menggunakan augmented design, dengan 80
galur harapan tahan tungro. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tercatat 2 galur tahan trerhadap penyakit tungro,
yaitu: BP4124-1F-4-2-3*B-2 dan BP7956-1f-2-2-2*B yang memiliki ketahanan lebih tinggi dengan potensi hasil gabah
kering panen 4500-6000 kg/ha. Galur-galur tersebut selanjutnya direkomendasikan untuk uji multilokasi.
Kata Kunci : penyakit tungro; wereng hijau; galur-galur padi
PENDAHULUAN
Penyakit tungro adalah salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) utama pada
tanaman padi. Penyakit ini akan selalu menjadi kendala dalam upaya peningkatan stabilitas
produksi padi Nasional bahkan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan yang
berkelanjutan (Widiarta et al,. 2004). Produksi optimal suatu varietas padi tidak akan tercapai jika
terserang virus tungro, bahkan jika serangan terjadi sejak di pesemaian maka tidak akan diperoleh
hasil (Hasanuddin, 2002).
Dilaporkan bahwa penyakit tungro awalnya hanya terdapat di beberapa wilayah sentra
produksi padi di Indonesia, namun hingga saat ini telah menyebar di 27 provinsi di Indonesia,
sehingga menyebabkan kerugian milyaran per tahun. Kasus ledakan serangan secara spot di suatu
daerah endemik dapat mencapai puluhan ribu hektar. Manokwari Papua adalah salahsatu daerah
endemik tungro di Indonesia, dilaporkan tahun 2008 tungro menginfeksi pertanaman padi sekitar
15.000 ha sedangkan di Bantaeng Sulawesi Selatan, sekitar 800 ha padi sawah (Pakki et al.,
2010). Tahun 2009 di Sulawesi Barat penyakit tungro menginfeksi padi sawah sekitar 1000 ha
(Fajar, 2009). Selanjutnya pada tahun 2011 serangan tungro di Indonesia mencapai 13.868 ha
dan Puso 333 ha dengan luas serangan tertinggi terjadi pada propinsi Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Barat masing-masing 2,763 ha dan 2.328 ha (Budianto et al., 2011). Ledakan serangan
tungro terjadi secara sporadis. Oleh karena itu, sangat diperlukan usaha pengendalian terpadu
khususnya di daerah endemik tungro dan seluruh sentra produksi padi nasional pada umumnya.
Usaha pengendalian tungro telah dilakukan berbagai cara, diantaranya dengan
penanaman varietas tahan, waktu tanam tepat, tanam serempak, pergiliran varietas, manipulasi
faktor lingkungan dan penggunaan insektisida pada kondisi tertentu (Muis et al., 1990).
Pengendalian terpadu dengan mengintegrasikan berbagai komponen pengendalian dalam satu
paket teknologi pengendalian tungro diharapkan dapat mengurangi sebaran penyakit tungro di
Indonesia (Hasanuddin et al,. 2001).
Banyaknya varietas padi yang beredar di petani yang tidak memiliki gen ketahanan,
berpotensi menjadi penyebab meledaknya tungro. Oleh karena itu upaya perakitan/penemuan
varietas unggul baru yang tahan terhadap tungro perlu dilakukan. Penelitian uji ketahanan galur-
galur padi terhadap penyakit tungro di daerah endemik bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan
galur-galur padi terhadap penyakit tungro di daerah endemik.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di Polewali Mandar Sulawesi Barat mulai bulan Februari
sampai dengan Mei 2011. Bahan penelitian terdiri atas 80 galur harapan tahan tungro hasil
109 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
skrining (Pakki et al., 2011). Rancangan percobaan dalam penelitian ini digunakan augmented
design. Setiap galur ditanam dalam plot 1 x 5 m, dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Varietas IR 64
ditanam sebagai pembanding peka terhadap tungro dan Inpari 9 Elo sebagai pembanding tahan
terhadap tungro dalam setiap 20 galur uji yang merupakan tanaman utama. Tanaman dipupuk
dengan phonska dan urea. Pemupukan I dilakukan pada saat tanaman berumur 10 hst dengan
perincian ponska 300 kg/ha ditambah 100 kg urea, pemupukan II dilakukan setelah tanaman
berumur 40 hst dengan menggunaan urea 100 kg/ha dengan parameter pengamatan penelitian di
lapangan meliputi;
a) Kerapatan populasi wereng hijau dengan 10 kali ayunan ganda pada 20 dan 30 hari setelah
tanam (Pakki et al., 2011)
b) Intensitas penyakit tungro (%) dinilai dengan skor sesuai dengan Standard Evaluation System
for Rice (IRRI, 1996) sebagai berikut :
Skor 1 = 0% tidak ada genjala serangan
3 = 1-10% terserang, kerdil dan belum menguning
5 = 11-30% terserang, kerdil dan agak menguning
7 = 31-50% terserang, kerdil dan menguning
9 = > 50% terserang, kerdil dan oranye
Berdasarkan skala keparahan gejala penyakit tersebut kemudian dihitung indeks
penyakit tungro dengan rumus sebagai berikut :
Di = n(1) + n(3) + n(5) + n(7) + n(9)
tn
dimana, Di = Indeks penyakit tungro
n = jumlah tanaman yang terserang tungro dengan skala tertentu
tn = total rumpun yang diskor
Sedangkan rentang indeks penyakit tungro (Di) menurut Standard Evaluation System for Rice
(IRRI, 1996), adalah; tahan (R = 0-3), moderat (M = 4-6), dan peka (S = 7-9).
c) Hasil gabah kering panen (kg/ha)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap populasi dan intensitas penyakit tungro disajikan pada
Gambar 1. Populasi serangga vektor (N. virescens) menyebar pada setiap galur uji yang berkisar
dari 1 sampai 8 ekor. Namun demikian intensitas serangan penyakit tungro fluktuatif. Kondisi
tersebut memberi gambaran bahwa keberadaan serangga vektor di lapang tidak selalu diikuti oleh
intensitas penyakit tungro yang tinggi, yang disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua N.
virescens bersifat transmiter atau penular aktif. Namun demikian intensitas serangan tungro selain
dipengaruhi oleh keberadaan serangga vektornya, juga sangat dipengaruhi dengan ketersediaan
sumber inokulum, inang dan faktor lingkungan lainnya. Adanya kemampuan wereng hijau (N.
virscens) dalam menularkan virus tungro menunjukan perbedaan efisiensinya dan merupakan
faktor penentu tingkat kerusakan padi oleh penyakit tungro (Hikmawati, 2003). Menurut
Hasanuddin (2009) virulensi tungro dan tekanan seleksi koloni wereng hijau merupakan
kompleksitas penyebab terjadinya epidemi tungro. Perbedaan geografis dan intensitas interaksi
virus tungro dengan tanaman menyebabkan variasi virulensi dan strain virus baru. Disamping itu
juga terlihat bahwa tidak satu galur pun yang memiliki ketahanan sama dengan pembanding tahan
Inpari 9 Elo yakni dengan intensitas 0 %. Sebaliknya 4 galur yakni BF, BM, BN, dan BO justru
lebih rentan dibanding IR 64 pembanding rentan dengan intensitas serangan penyakit tungro 84,4
%.
110 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 1. Populasi vektor (N. virescens) dan Intensitas Serangan (%) umur 30 hst.
Keterangan : Kode Galur Kode Galur
A= BP4200-2F-4-3-3*B-1 AL= BP7956-1f-2-2-2*B
C= BP4200-2F-4-3-3*B-3 AO= BP5094-4f-11-1-4*B
D= BP4124-1F-4-2-3*B-1 AZ= BP5170f-Kn-3-1-4*B
E= BP4124-1F-4-2-3*B-2 BV= BP8188-2f-5-2-2*B
G= BP2870-4E-Kn-22-2-1-6*B-1 CA= BP7988-1f-9-2-1*B
J = BP4198-7F-1-2-2*B WCK3-1 CB= BP9012-2e-Kn-6-2-2*B
AA= BP9000-3e-Kn-16-2-2*B L= BP4260f-Kn-11-2-2-3*B-2
N = BP5156f-Kn-6-2-2*B-1 BF= BP7010-3f-7-1-1*B
BN = BP3350-3e-Kn-5-2-7*B BO= BP8216-1f-10-1-2*B
AC = BP4900-3f-8-3-5*B BM= BP4738-5f-Kn-10-1-5*B
W = BP4602-2f-3-3-2*B-4-1 AF= BP7628-3f-3-3-2*B
INPARI 9 (Pembanding Tahan) IR64 (Pembanding Peka)
Sumber : Analisis data primer, 2011.
Perkembangan penyakit tungro yang lebih lambat pada galur tertentu dibanding galur
lain, oleh karena adanya kemampuan yang dimiliki tanaman dalam mencegah proses infeksi atau
membatasi kolonisasi patogen virus. Bilamana inang mampu membatasi proses infeksi dan virus
tungro berkembang, maka ketahanannya akan ditunjukan dengan tidak timbulnya gejala.
Sebaliknya bila inang tidak mampu membatasi proses infeksi maka tanaman akan menjadi kerdil
dan terjadinya perubahan warna daun (Hasanuddin, 2009).
Penemuan galur-galur uji yang tahan tungro dari wilayah endemik dengan cekaman
yang tinggi, memberi harapan ditemukannya calon varietas yang mempunyai durasi ketahanan
yang tinggi dan adaptif pada beberapa lokasi. Varietas unggul yang memiliki ketahanan stabil
terhadap tungro dapat mencegah terjadinya serangan tungro secara meluas. Adanya penggunaan
varietas tahan tungro merupakan cara yang paling efektif dalam upaya pengendalian penyakit
tungro. Peningkatan penggunaan varietas tahan dalam suatu hamparan sangat berpengaruh nyata
terhadap pengurangan intensitas tungro di lapang.
Dari 80 galur uji perlakuan pada fase vegetatif, ditemukan 2 galur tahan, 10 galur
moderat dan 78 galur peka, dibandingkan dengan pembanding peka terinfeksi 84%, sedangkan
Inpari 9 Elo sebagai pembanding tahan memperlihatkan karakter ketahanan yang sangat baik
dengan intensitas serangan tungro 0 % (Tabel 1). Ketahanan varietas padi terhadap tungro
merupakan kompleksitas ketahanan terhadap wereng hijau dan virus tungro, ketahanan tersebut
dikendalikan oleh beberapa gen yang independen (Hasanuddin, 2009). Galur-galur tersebut
mempunyai sifat genetik yang dominan resisten terhadap tungro sehingga dapat dijadikan
sebagai calon varietas unggul padi tahan tungro.
111 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Ketahanan galur uji terhadap penyakit tungro
No Galur Uji dan Pembanding Indeks Penyakit Kriteria
Tungro Ketahanan
1. BP4200-2F-4-3-3*B-1 5 M
2. BP4200-2F-4-3-3*B-3 5 M
3. BP4124-1F-4-2-3*B-1 5 M
4. BP4124-1F-4-2-3*B-2 3 T
5. BP2870-4E-Kn-22-2-1-6*B-1 5 M
6. BP4198-7F-1-2-2*B WCK3-1 5 M
7. BP7956-1f-2-2-2*B 3 T
8. BP5094-4f-11-1-4*B 5 M
9. BP7528-2f-6-2-1*B 5 M
10. BP8188-2f-5-2-2*B 5 M
11. BP7988-1f-9-2-1*B 5 M
12. BP9012-2e-Kn-6-2-2*B 5 M
13. Inpari 9 Elo (pembanding tahan) 1 T
14. IR64 (pembanding Peka) 9 S
Keterangan: M = Moderat T = Tahan S = Peka
Analisis data primer, 2011.
Gejala penyakit tungro yang umum ditemukan di Polman adalah tanaman kerdil,
mengalami klorosis sampai daun berubah warna kekuningan, yang paling parah tanaman tidak
menghasilkan gabah bernas. Tinggi rendahnya tingkat serangan sangat bergantung pada
kerentanan varietas yang ditanam. Infeksi virus tungro dapat menyebabkan penurunan klorofil
dan hormon, penurunan laju fotosintesis dan peningkatan laju respirasi. Secara morfologi
tanaman menjadi kerdil, kekuningan, jumlah anakan berkurang dan kehampaan malai tinggi
(Ling, 1975). Infeksi virus tungro akan mengakibatkan penurunan jumlah malai per rumpun,
pemendekan malai, jumlah gabah per malai, akan menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi
(Chowndhury dan Mukhopadhyay, 1975).
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa terdapat beberapa galur uji yang mempunyai
potensi hasil 4500- 6000 kg/ha hasil gabah kering panen dengan kandungan kadar air 17-19 %
serta memperlihatkan tingkat ketahanan terhadap tungro (Gambar 2). Hasil tersebut mendekati
dan sama dengan pembanding tahan Inpari 9 dan jauh lebih tinggi dibanding IR 64. Galur-galur
tersebut adalah A, C, D, E, G, J, AL, AO, AZ, BV, CA, dan CB. Penampilan respon tanaman
tersebut mempunyai intensitas serangan tungro yang rendah sehingga dapat dilanjutkan untuk uji
multi lokasi dengan harapan dapat menjadi calon varietas unggul padi tahan tungro.
Gambar 2. Gabah Kering Panen Galur-Galur Tahan Tungro.
112 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan ketahanan terhadap penyakit tungro,
dimana galur-galur yang terinfeksi berat penyakit tungro dikategorikan sebagai galur yang tidak
berpotensi untuk dikembangkan pada wilayah endemik tungro, sebaliknya galur uji yang
memperlihatkan ketahanan yang baik dan memiliki potensi hasil yang tinggi direkomendasikan
untuk ditanam.
KESIMPULAN
Pengujian ketahanan 80 galur diperoleh 2 galur yang memperlihatkan reaksi ketahanan
yang tinggi terhadap penyakit tungro di daerah endemik, dengan potensi hasil gabah kering panen
berkisar antara 4700 dan 6000 kg/ha. Kedua galur tersebut yaitu BP4124-1F-4-2-3*B-2 dan
BP7956-1f-2-2-2*B direkomendasikan untuk uji multilokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, E. M. Nurhidayat, Suparni dan S. Haryati. 2011. Perlindungan Tanaman untuk
Menekan Kehilangan Hasil Padi. Dalam: Hermato, A. Muis, dan S. Pakki (Ed.). Inovasi
Teknologi Pengendalian Penyakit Tungro dan Hama utama Padi Menuju Swasembada
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. p.1-9.
Chowndhury, A.K. and A.N. Mukhopadhyay. 1975. Effect of Virus on Yield Components.
International Rice Commision. News Letter, 42(2):74-75.
Hasanuddin, A. 2009. Status Tungro di Indonesia Penelitian dan Stategi Pengelolaan ke Depan.
Makalah dalam Orasi Purnabakti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Hasanuddin, A. 2002. Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu : Strategi dan Implementasi. Orasi
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Hasanuddin, A. I.N. Widiarta dan M. Muhsin. 2001. Penelitian Teknik Eliminasi Sumber
Inokulum RTSV: Suatu Strategi Pengendalian Tungro. Laporan Riset Unggulan Terpadu
IV. Kantor Menristek dan DRN. Jakarta.
Hikmawati, M.K. 2003. Studi Komposisi Spesies Wereng Hijau Genus Nephotettix spp.
(Hemiptera:Cicadellidae) di Wilayah dan di Luar Wilayah Endemi Penyakit Tungro.
Laporan Penelitiaan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Solo.
Ling, K.C. 1975. Experimental Epidemiology of Rice Tungro Disease: Effect of Virus Source on
Disease Incidence. Philipp. Phytopathol. 11:46-57.
Muis, A. M. Yasin Said dan A. Hasanuddin. 1990. Epidemiologi Penyakit Tungro, Pergiliran
Varietas dan Waktu Tanam Padi. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Pangan
Sulawesi selatan. Maros. ;(1):47-52.
Pakki, S. A. Bastian. A. Jabbar dan F. T. Ladja. 2010.a Padi Pengembangan Teknik Peringatan
Dini di Pesemaian dan Tanaman Umur Muda (30 hst) serta Pengendalian Tungro untuk
Menekan Kehilangan Hasil < 10 %. Laporan Hasil Penelitian, Loka Penelitian Penyakit
Tungro. Sidrap: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Fajar. 2009. Serangan Penyakit Tungro di Sulawesi Barat. Harian Fajar (Juli 2009). Sulawesi
Barat. Palu.
Widiarta, I.N. Burhanuddin, A. A. Daradjat dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan Program
Penelitian Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro. Prosd. Seminar Nasional Status
Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar:
Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
113 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PELUANG PEMANFAATAN UBI JALAR
SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN MENDUKUNG
DIVERSIFIKASI PANGAN
Shannora Yuliasari dan Hamdan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
ABSTRAK
Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah kembali pada alam menyebabkan timbulnya kesadaran
masyarakat untuk menjaga kesehatan tubuhnya dengan penggunaan produk pangan fungsional. Bahan pangan yang saat
ini banyak diminati konsumen tidak hanya memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang
menarik, tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Perubahan pola pikir masyarakat ini menjadi
momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan. Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung
dalam ubi jalar, serta produksi ubi jalar yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi
pangan fungsional seiring mendukung program diversifikasi pangan. Akan tetapi jika proses pengolahan dilakukan
tanpa pengendalian dan perlindungan, zat gizi dan komponen bioaktif di dalam ubi jalar menjadi hilang percuma.
Makalah ini bertujuan untuk memaparkan beberapa hasil penelitian mengenai kandungan gizi ubi jalar, dan pengaruh
beberapa teknologi pengolahan terhadap kandungan gizi ubi jalar.
Kata kunci : ubi jalar, pangan fungsional, diversikasi, komponen bioaktif.
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan sehat
maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga mulai bergeser. Bahan pangan yang saat ini
banyak diminati konsumen tidak hanya memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan
cita rasa yang menarik, tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Perubahan
pola pikir masyarakat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan
pada menu harian. Pangan yang beragam menjadi penting mengingat tidak ada satu jenis pangan
yang dapat menyediakan gizi yang lengkap bagi seseorang. Konsumsi pangan yang beragam
meningkatkan kelengkapan asupan zat gizi karena kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan
dilengkapi dari pangan lainnya (Khomsan 2006).
Aneka umbi seperti ubi jalar memiliki potensi yang baik untuk diolah dan
dikembangkan menjadi anekaragam produk olahan. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan
salah satu komoditas tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia.
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat non beras tertinggi keempat setelah padi, jagung, dan
ubi kayu serta mampu meningkatkan ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan di
masyarakat. Sebagai sumber pangan, tanaman ini mengandung energi, β-karoten, vitamin C,
niacin, riboflavin, thiamin, dan mineral. Oleh karena itu, komoditas ini memiliki peran penting,
baik dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri pangan maupun pakan ternak, serta
bahan baku untuk pangan fungsional (Ambarsari 2009). Dari aspek budidaya, komoditas ubi jalar
memiliki beberapa kelebihan, antara lain (1) tanaman ubi jalar berumur pendek, jangka waktu
penanaman sampai panen membutuhkan waktu sekitar 4-5 bulan, (2) jumlah produksi per hektar
relatif tinggi (15-30 ton/ha), (3) tanaman ubi jalar tidak mengenal musim, dapat ditanam pada
musim kemarau atau hujan, (4) biaya produksi relatif rendah, serta (5) tingkat resiko kegagalan
panen relatif kecil. Dengan pergiliran tanaman dan waktu tanam yang terencana, waktu panen ubi
jalar dapat diatur sesuai kebutuhan sehingga kontinuitas komoditas ini dapat terjaga (Heriyanto et
al., 2001).
Di Indonesia, 89% produksi ubi jalar digunakan sebagai bahan pangan dengan tingkat
konsumsi 7,9 kg/kapita/tahun, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk bahan baku industri,
terutama saus, dan pakan ternak (Balitkabi 2008). Namun, pengembangan ubi jalar di Indonesia
masih bersifat fluktuatif, sebagaiman tercermin dari data luas panen dan produksi ubi jalar yang
naik turun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan luas panen ubi jalar di Indonesia pada tahun
2008-2012 berturut-turut adalah 174.600; 183.900; 181.100; 178.100; dan 179.300, dengan
produksi masing-masing 1.881.800; 2.057.900; 2.051.000; 2.196.000; dan 2.297.800 ton (BPS,
2012). Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil ubi jalar walaupun bukan
114 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
merupakan daerah sentra ubi jalar. Luas panen dan produksi ubi jalar di Provinsi Bengkulu pada
tahun 2008 sebesar 3.217 ha dan 30.682 ton, pada tahun 2009 menurun menjadi 2.197 ha dan
20.930, meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi 2.900 ha dan 27.840 ton, kemudian menurun
lagi pada tahun 2011 menjadi 2.734 ha dan 26.445 ton, dan pada tahun 2012 luas panen
meningkat lagi menjadi 3.203 ha dengan produksi 30.980 ha (BPS Provinsi Bengkulu, 2012).
Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar, serta produksi ubi jalar
yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan fungsional
seiring mendukung program diversifikasi pangan. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan
beberapa hasil penelitian mengenai kandungan gizi ubi jalar, dan pengaruh beberapa teknologi
pengolahan terhadap kandungan gizi ubi jalar.
Konsep Pangan Fungsional
Adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah kembali pada alam
menyebabkan timbulnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan tubuhnya dengan
penggunaan produk pangan fungsional. Konsep pangan fungsional ini menjadi popular di banyak
negara dunia khususnya beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa
termasuk sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan konsep pangan fungsional
menawarkan konsumen untuk menata kesehatan tubuhnya sendiri merupakan daya tarik yang
sangat diminati. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih
komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu,
terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM-RI, 2005).
Pangan fungsional bukan berupa obat atau suplemen makanan sehingga bukan
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami. Pangan fungsional dapat
dikonsumsi bebas seperti makanan dan minuman pada umumnya, tanpa adanya batasan dosis
tertentu. Tidak seperti obat yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit, pangan fungsional
lebih ditujukan untuk penurunan risiko, perlambatan atau pencegahan penyakit tertentu. Yang
paling utama adalah mencegah penyakit degeneratif dan meningkatkan daya tahan tubuh
khususnya pada proses pemulihan pasca sakit. Pangan fungsional bisa mengandung serat
makanan, asam lemak, vitamin atau mineral tertentu, produk pangan yang ditambahkan dengan
komponen bioaktif seperti komponen fitokimia atau komponen antioksidan lainnya atau
mengandung probiotik. Dilihat dari ada tidaknya proses pengolahan, maka pangan fungsional
bisa dalam bentuk segar atau dalam bentuk pangan olahan. Pada pangan olahan, karakteristik
sebagai pangan fngsional bisa muncul karena adanya komponen aktif di dalam bahan baku,
terbentuknya komponen aktif karena proses pengolahan dan atau adanya penambahan komponen
aktif ke dalam produk (Syamsir 2012).
Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah berkembang pesat, salah
satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak orang untuk meningkatkan kesehatan dengan
cara yang alami. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai efek samping yang merugikan dari
konsumsi obat-obatan kimiawi yang telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan untuk
menggunakan bahan-bahan dari alam untuk meningkatkan kesehatan. Banyak komponen bioaktif
pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif terhadap kesehatan. oleh karena itu penggunaan
pangan yang diketahui mengandung senyawa bioaktif merupakan hal yang sangat bermanfaat.
Pangan yang kita konsumsi sehari-hari pada kenyataannya mengandung ribuan senyawa bioaktif,
banyak diantaranya yang memiliki cukup potensi untuk meningkatkan kesehatan.
Kekurangan zat gizi dan peningkatan pemaparan senyawa xenobiotik dari makanan atau
lingkungan yang terpolusi mengakibatkan manusia rentan terhadap penderitaan akibat stress
oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan penyakit degeneratif, seperti kanker dan
aterosklerosis serta terganggunya sistem imun tubuh (Zakaria, 1996). Stres oksidatif juga akan
dapat merusak protein, lemak dan DNA yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti
sakit hati dan kanker. Pada kondisi stress oksidatif aktivitas molekul radikal bebas atau spesies
oksigeneaktif (SOR) dapat menyebabkan kerusakan seluler atau genetis. Jika radikal tidak
diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk lipoprotein berdensitas
rendah (LDL). Kadar radikal bebas di dalam tubuh dapat meningkat melalui beberapa proses,
antara lain aktivitas fisik yang meningkat sehingga metabolisme juga meningkat, sinar ultraviolet
115 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dari matahari, radiasi, dan toksin. Padahal kehidupan dengan aktivitas fisik berat dan pengaruh
lingkungan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas sulit dihindari. Antioksidan diketahui
dapat mencegah dan menangkal terbentuknya radikal bebas (Jawi et al. 2008).
Kandungan Gizi Ubi Jalar
Komoditas ini mengandung air 59-69%, abu 0,68-1.69%(bk), protein 3,71-6,74%(bk),
lemak 0,26-1,42%(bk) dan karbohidrat 91,42-93,45%(bk). Komposisi tersebut menunjukkan
bahwa ubi jalar merupakan sumber karbohidrat atau energi yang sangat potensial dikembangkan
untuk penganekaragaman konsumsi pangan. Menurut Suprapti, L. (2003), ubi jalar memiliki rasa
manis yang khas. Rasa manis akan muncul jika ubi jalar disimpan selama beberapa hari sebelum
diolah. Rasa manis muncul karena terjadi perubahan karbohidrat menjadi glukosa selama
penyimpanan. Perubahan tersebut ada yang terjadi sebesar 10% dari total karbohidrat dan ada
pula yang mencapai 25%.
Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan
mineral. Diharapkan dengan mengonsumsi ubi jalar sebagai makanan tambahan dapat
meningkatkan asupan vitamin A dan C yang pada beras sangat rendah kadarnya. Ubi jalar
mengandung vitamin A dalam bentuk pro-vitamin A sampai mencapai 7000 IU/100g. Mineral Ca
pada ubi jalar cukup tinggi yakni sekitar 30 mg/100g bahan (Astawan dan Widowati 2005).
Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengadung zat
anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0,26 – 43,6 IU/100g ubi jalar segar. Tripsin
inhibitor tersebut akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut
terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun demikian,
aktivitas tripsin inhibitor tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni dengan
cara pengukusan, perebusan dan pemasakan.
Namun terdapat juga senyawa lain yang tidak menguntungkan pada ubi jalar adalah
senyawa-senyawa penyebab flatulensi. Flatulens disebabkan oleh beberapa
jenis gula oligosakarida seperti stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Komponen gas yang dominan
yang keluar adalah gas karbondioksida dan gas hidrogen sulfida. Dalam jumlah kecil juga
dihasilkan gas metana, nitrogen dan oksigen. Oligosakarida penyebab flatulens ini tidak dapat
dicerna oleh bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase, tetapi dapat difermentasi oleh
bakteri pada usus besar (kolon). Oligosakarida menjadi sumber subrat yang baik bagi
pertumbuhan bakteri baik (bakteri asam laktat) dalam kolon.
Ubi jalar, khususnya ubi jalar ungu mempunyai kandungan antosianin tinggi. Suprapta
(2004) melaporkan ubi jalar ungu mengandung antosianin yang cukup tinggi, yaitu 110-210
mg/100g. Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas,
sehingga berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kanker, dan penyakit degenerative seperti
arteriosklerosis. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan
antikarsinogenik terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan produk
olahannya, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan menurunkan kadar gula darah
(antihiperglisemik) (Jusuf et al., 2008).
Pengaruh Beberapa Teknologi Pengolahan terhadap Kandungan Gizi Ubi Jalar
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk
setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan
komoditas ini pada masa-masa berikutnya. Beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa tepung ubi jalar yang dihasilkan memiliki kadar protein rata-rata mencapai 3.18% (dengan
kisaran antara 2,11-4,46%) (Ambarsari et al., 2009). Selain jenis/varietas ubi jalar itu sendiri,
kandungan protein pada tepung ubi jalar juga dipengaruhi oleh proses pengupasan pada saat
produksi. Menurut Woolfe (1992), kandungan protein tertinggi pada ubi jalar terletak pada
lapisan terluar daging umbi, yang berdekatan dengan kulit luar. Adanya proses pengupasan yang
berlebihan menyebabkan bagian daging ubi jalar yang kaya protein menjadi ikut terbuang.
Kandungan karbohidrat rata-rata pada tepung yang dihasilkan dari beberapa jenis ubi
jalar di Indonesia adalah 83.8% % (Ambarsari et al. 2009). Menurut Winarno (2002), kadar
karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan,
116 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
baik rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya. Andarwulan (2008) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan daya cerna pati (karbohidrat) yaitu
penggunaan suhu yang terlampau tinggi pada saat proses pengolahan, interaksi antara pati dengan
komponen non pati, dan jumlah pati tahan cerna (resistant starch) yang terdapat dalam pati.
Komponen bioaktif ubi jalar yang sangat rentan terhadap kondisi lingkungan adalah beta
karoten. Beta karoten yang sensitif terutama terhadap oksigen dan cahaya. Adanya ikatan rangkap
pada struktur kimia beta karoten, menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi
oksidasi ketika terkena panas, udara (O2), cahaya, dan logam selama proses produksi maupun
aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses pengolahan tepung ini
akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie
kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan
perlindungan, sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi
menjadi hilang percuma. Hasil penelitian Erawati (2006) menyatakan titik-titik kendali selama
proses produksi berdasarkan faktor-faktor penyebab kerusakan struktur trans beta karoten adalah
pada tahap blanching, pengeringan dan penepungan. Pengaruh proses blanching menyebabkan
penurunan kadar trans beta karoten sebesar 20,47% untuk tepung ubi jalar klon BB dan 15,03%
untuk tepung ubi jalar varietas sewu. Pengaruh pengeringan dengan suhu yang sama (500 oC)
terhadap kadar beta karoten diperkirakan mengalami kehilangan kadar beta karoten berdasarkan
nilai C kromamater sebesar 38,38% dari bahan mentahnya jika pengeringan dilakukan selama
selama 4 jam, dan sebesar 40,5% jika pengeringan dilakukan selama 24 jam. Dengan
pengendalian proses produksi diperoleh tepung ubi jalar oranye dengan kadar trans beta karoten
pada kisaran 103,94 hingga 207,39 ppm lebih besar daripada kadar trans beta karoten pada
tepung ubi jalar kuning yang dijual di pasaran yaitu sebesar 0,78 ppm.
Jing et al (2010) juga telah melakukan peneltian pengaruh proses pengeringan terhadap
komponen bioaktif ubi jalar. Perlakuan proses pengeringan yang diberikan meliputi pengeringan
konvensional (oven), microwave, dan pengeringan beku vakum (vacuum-freeze dried).
Pengeringan dengan oven konvensional dan microwave menurunkan kandungan beta karoten ubi
jalar menjadi 28,5 mg/100g (bk), sedangkan pengeringan beku vakum dapat mempertahankan
kadar beta karoten ubi jalar relatif hampir sama dengan kadar karoten pada ubi jalar segar, yaitu
39,1 mg/100g (bk). Proses pengeringan juga menyebabkan penurunan asam askorbat dalam ubi
jalar sebesar 16,4-41,8%. Pengeringan dengan microwave menghasilkan penurunan kadar asam
askorbat yang paling rendah (22,75 mg/100g, bk). Hal ini disebabkan karena suhu yang
digunakan pada proses pengeringan dengan microwave adalah 95-105 oC, sedangkan pada
pengeringan konvensional hanya 65 oC dan pengeringan beku -20
oC. Kadar senyawa fenolik
pada ubi jalar yang dikeringkan dengan microwave justru paling tinggi dibandingkan dengan ubi
jalar yang dikeringkan dengan metode lain. Tingginya kandungan senyawa fenolik ini dapat
dihubungkan dengan pelepasan senyawa fenolik yang terikat dalam struktur sel ubi jalar selama
perlakuan pemanasan.
Selain kandungan gizi yang cukup lengkap, ubi jalar juga mengandung zat antigizi yaitu
antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa. Antitripsin dan antikimotripsin mampu menghambat
aktivitas proteolitik enzim tripsin dan kimotripsin (Djuanda 2003). Namun kerja zat antigizi ini
tidak akan aktif setelah bahan menjadi matang akibat pengolahan/pemanasan.
KESIMPULAN
Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar, serta produksi
ubi jalar yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan
fungsional seiring mendukung program diversifikasi pangan. Akan tetapi jika proses pengolahan
dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, zat gizi dan komponen bioaktif di dalam ubi
jalar menjadi hilang percuma. Adanya proses pengupasan yang berlebihan menyebabkan bagian
daging ubi jalar yang kaya protein menjadi ikut terbuang. Komponen bioaktif ubi jalar yang
sangat rentan terhadap kondisi lingkungan adalah beta karoten.
117 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Ambarsari, I., Sarjana dan Choliq A. 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu
Tepung Ubi Jalar. Jurnal Standarisasi Vol 11 (3), 212-219.
Andarwulan, N. 2008. Nilai Kalori Pangan Sumber Karbohidrat. Food Review Indonesia.
http://www.foodreview.biz/preview.php?view&id=55622
BPOM-RI. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia. Jakarta.
BPS. 2012. Statistik Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
BPS Provinsi Bengkulu. 2012. Bengkulu Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar Berdasarkan Kajian Preferensi
Konsumen [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian., IPB . Bogor.
Erawati, C.M. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar
[Tesis}. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Erliana Ginting, Sri Satya Antarlina, Joko Susilo Utomo dan Ratnaningsi. 2006. Teknologi
Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Diversifikasi Pangan dan Pengembangan Agroindustri.
Buletin Palawija No. 11. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Jawi I.M., Suprapta, DN, Subawa AAN. 2008. Ubi Jalar Ungu Menurunkan Kadar MDA Dalam
Darah dan Hati Mencit Setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner Vol 9 (2).
Puslitbangnak. Bogor. Hal; 65-72.
Jing, Y., Jin-Feng, C., Yu-Ying, Z., Lin-Chun, M. 2010. Effects of Drying Processes on the
Antioxidant Properties in Sweet Potatoes. Agricultural Sciences in China 9(10): 1522-
1529.
Jusuf M, Rahayuningsih A, Ginting E. 2008. Ubi jalar ungu. Balai Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia
Vol 30. No. 4 13-14.
Khomsan A. 2006. Beras dan Diversifikasi Pangan. Kompas. http://kompas.com/kompas-
cetak/0612/21/opini/3190395.htm, 21 Desember 2006 [diakses 5 Desember 2012]
Suprapta DN, Antara M, Arya N, Sudana M, Duniaji AS, Sudarma M. 2004. Kajian aspek
pembibitan, budidaya, dan pemanfaatan umbi-umbian sebagai sumber pangan alternatif.
Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama BAPEDA Propinsi Bali dengan Fakultas Pertanian
Universitas Udayana.
Suprapti, L. 2003. Tepung Ubi Jalar : Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius.Yogyakarta.
Syamsir E. 2012. Pangan fungsional dari pangan tradisional.
http://ilmupangan.blogspot.com/2012/02/pangan-fungsional-dari-pangan.html
Winarino, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet Potato: An Untapped Food Resource. Cambridge University Press,
Australia.
HORTIKULTURA
121 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERAN PUPUK ORGANIK GRANUL DAN CAIR
BERBAHAN BAKU LIMBAH PASAR
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL SAYURAN DAUN
Yudi Sastro, Indarti P. Lestari dan Suwandi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pengkajian ini bertujuan untuk mempelajari peran pupuk organik granul (POG) dan pupuk organik cair
(POC) berbahan baku limbah organik pasar pada pertumbuhan dan hasil sawi, selada, bayam, dan kangkung. Kegiatan
dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta dan lahan petani di wilayah
Jagakarsa, Jakarta Selatan, mulai April hingga September 2010. Pengujian pupuk melibatkan enam petani sebagai
pelaksana atau kooperator. Perlakuan yang diuji, meliputi 1) pupuk organik granul 5 ton.ha-1 + pupuk NPK 15:15:15
setengah takaran rekomendasi, 2) pupuk organik cair + pupuk NPK 15:15:15 setengah takaran rekomendasi, 3) pupuk
NPK 15:15:15 takaran rekomendasi, dan 4) pupuk dan pemupukan teknologi petani (NPK 15:15:15 setengah takaran
rekomendasi + pupuk kandang ayam 10 ton.ha-1). Perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL), masing-masing petani kooperator sebagai blok ulangan. Peubah pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah
daun, dan berat hasil panen. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa (1) POG dan POC mampu mengurangi takaran
pemberian pupuk NPK pada sawi, selada, bayam, dan kangkung berkisar 25-50% dari takaran rekomendasi, (2) POG
dan POC mampu menggantikan 100% pupuk kandang ayam pada budidaya bayam dan kangkung dan berpotensi untuk
digunakan dalam budidaya selada dan sawi, dan (3) Peran POG lebih baik dibandingkan POC dalam mendukung
pertumbuhan dan hasil sawi, selada, bayam, dan kangkung.
Kata kunci : pupuk organik, limbah pasar, sayuran
PENDAHULUAN
Limbah organik di perkotaan, diantaranya limbah pasar, berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pupuk organik. Losada et al. (2001) melaporkan bahwa kandungan nutrien yang
terdapat dalam limbah organik di perkotaan mencapai 100 kilogram per ton berat kering limbah.
Kandungan unsur hara makro, meliputi N, P, K, Ca, Mg, dan S, masing-masing berkisar 101-
3.771 mg.kg-1
, sedangkan unsur hara mikro Fe, Mn, Cu, dan Zn berkisar 0,2-0,62 mg.kg-1
(Sastro
et al., 2007).
Penelitian penggunaan limbah organik pasar sebagai pupuk kompos telah dilaporkan
banyak peneliti, diantaranya Cooperband (2002); von Berchem (2005); dan Chen et al. (2007).
Namun demikian, tingkat pemanfaatan limbah tersebut sebagai bahan pupuk organik, khususnya
di Indonesia, masih sangat rendah. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, diantaranya adalah
tingginya kadar air bahan sehingga menyebabkan sulitnya dalam penanganan limbah, serta
rendahnya kualitas kompos yang dihasilkan, baik dari segi kandungan hara maupun penampilan
(Zhao et al., 2012; Smidt et al., 2011; Sastro et al., 2009).
Permasalahan di atas kemungkinan dapat diatasi dengan cara memperbaiki sistem
pengomposan menggunakan sistem pengomposan dipercepat atau melalui proses fermentasi
langsung secara anaerobik menghasilkan pupuk organik cair. Penjaminan kualitas pupuk dapat
dilakukan melalui proses pengkayaan (enrichment), diantaranya menggunakan batuan fosfat,
zeolit, arang sekam, dan inokulum mikroba. Sementara itu, peningkatan penampilan dan nilai
estetika pupuk kompos (padat) dapat dilakukan melalui proses granulasi dan pemeletan.
Namun demikian, hipotesis di atas masih perlu diuji kebenarannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari peran pupuk organik granul dan cair berbahan baku limbah organik
pasar yang telah diperkaya bahan organik, bahan mineral, serta inokulum mikroba dalam
mendukung pertumbuhan serta hasil sawi, selada, bayam, dan kangkung.
122 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Tempat
Pelaksanaan pegkajian, meliputi persiapan dan analisis bahan hingga pengujian pupuk
dilakukan mulai dari April hingga September 2010. Persiapan dan analisis bahan dilakukan di
Laboratorium Terpadu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, sedangkan pengujian
pupuk pada tanaman dilaksanakan di lahan petani di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Bahan dan Alat
Bahan pengkajian yang digunakan meliputi limbah sayuran yang diambil dari Pasar
Minggu, Jakarta Selatan; pupuk organik granul, pupuk organik cair; kultur Azotobacter vinelandii
(106 sel.ml
-1), Lactobacillus sp. (10
6 sel.ml
-1), Aspergillus niger (10
5 cfu); batuan fosfat Ciamis
(P-air : 1,2%; P-sitrat 2%: 4,6%, P-HCl 17,2%); benih sawi caisim (Tosakan, Panah Merah),
selada (Grand Rapid, Panah Merah), bayam (Maestro, Panah Merah), dan kangkung (Bangkok
LP-1, Panah Merah). Alat-alat penelitian, meliputi shaker, autoclave, laminar air flow,
erlenmeyer, dan drum plastik volume 120 liter.
Pembuatan Pupuk Organik Granul
Kompos yang telah ditepungkan diperkaya zeolit, arang sekam, dan kapur, masing-
masing sebanyak 5% (b/b). Selanjutnya dilakukan pengkayaan, yakni menggunakan kultur
campuran Azotobacter vinelandii (106 sel.ml
-1), Lactobacillus sp. (10
6 sel.ml
-1), Aspergillus niger
(105 cfu.ml
-1). Pengkayaan kultur mikroba dilakukan dengan cara menyemprotkan sebanyak 100
ml kultur mikroba tersebut per kilogram kompos. Selanjutnya campuran bahan digranulasi
menggunakan mesin granulator membentuk pupuk granul dengan diameter rata-rata 3 mm.
Pengeringan granul dilakukan di dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam.
Pembuatan Pupuk Organik Cair
Limbah organik pasar (sayur 70% (b/b), buah 20% (b/b), bumbu dan lain-lain 10%
(b/b), dicacah menggunakan mesin pencacah, selanjutnya diperas dan diambil sari patinya.
Saripati diencerkan dengan air (50:50, v/v) dan diperkaya dengan dedak padi dan batuan fosfat,
masing-masing sebanyak 10 g.l-1
campuran bahan. Campuran bahan selanjutnya diinokulasi
dengan Lactobacillus sp. dan difementasi secara anaerobik selama 21 hari. Pupuk organik cair
hasil fermentasi selanjutnya diperkaya menggunakan kultur campuran Azotobacter vinelandii
(106 sel.ml
-1), Lactobacillus sp. (10
6 sel.ml
-1), Aspergillus niger (10
5 cfu.ml
-1) sebanyak 100 ml
per liter pupuk.
Pengujian Pupuk
Pelaksanaan pengujian pupuk dilakukan dengan melibatkan enam petani sebagai
pelaksana atau kooperator. Perlakuan yang diuji, meliputi 1) pupuk organik granul 5 ton.ha-1
+
pupuk NPK 15:15:15 setengah takaran rekomendasi, 2) pupuk organik cair + pupuk NPK
15:15:15 setengah takaran rekomendasi, 3) pupuk NPK 15:15:15 takaran rekomendasi, dan 4)
pupuk dan pemupukan teknologi petani (NPK 15:15:15 takaran rekomendasi + pupuk kandang
ayam 10 ton.ha-1
.
Masing-masing perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL), masing-masing petani kooperator sebagai blok ulangan. Pemberian pupuk organik
granul dilakukan pada saat akan tanam dengan cara menebarkan secara merata pada bedengan.
Sebanyak setengah takaran NPK diaplikasikan pada saat tanam dan sisanya diaplikasikan pada 14
hari setelah tanam melalui penebaran pada larikan sejajar baris tanam. Pupuk organik cair
diaplikasikan setiap tiga hari dengan cara melarutkan 10 ml pupuk dalam 1 liter air dengan
takaran aplikasi satu liter larutan pupuk per meter persegi pertanaman. Penyiraman yang
dilakukan setiap pagi dan sore hari, sedangkan pengendalian hama dilakukan pada saat serangan
hama melewati ambang ekonomis.
123 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Peubah pengamatan meliputi peubah tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat panen.
Masing-masing peubah pengamatan diukur saat panen pada petak sampling berukuran 100 x 100
cm sebanyak tiga petak sampling per perlakuan. Berat panen ditimbang sesaat setelah panen.
Data hasil pengamatan diuji menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji DMRT 5%
(Gomez dan Gomez, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tanah dan Pupuk
Karakteristik tanah yang digunakan dalam percobaan, meliputi pH H2O: 5,9; C-organik:
1,47%, N-total: 2,5%; P-tersedia: 93 mg.100g-1
P2O5; K: 9,0 mg.100g-1
K2O; KTK: 25,3
me.100g-1
; fraksi pasir: 2%, debu 23%, dan liat 75%. Berdasarkan data tersebut disimpulkan
bahwa lahan yang digunakan secara umum memiliki tingkat keseburan sedang serta cukup baik
digunakan sebagai lahan pertanaman sayuran, seperti sawi, selada, bayam, dan kangkung.
Aplikasi pupuk organik dan pupuk kimia secara berimbang diduga akan dapat meningkatkan
daya lahan dalam mendukung pertumbuhan dan hasil komoditas yang diuji.
Kandungan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) pada pupuk organik granul lebih tinggi
dibandingkan pupuk organik cair. Namun demikian, kandungan unsur hara mikro secara umum
hampir sama, kecuali unsur Cu. Selain kandungan hara yang lebih rendah, pH pupuk organik cair
tergolong sangat rendah, namun pada kisaran yang dipersyaratkan untuk pupuk organik cair.
Secara keseluruhan, pupuk organik granul dan pupuk organik cair yang digunakan dalam
pengkajian ini memenuhi syarat standar yang berlaku.
Tabel 1. Karakteristik kimia pupuk organik granul dan pupuk organik cair yang digunakan
dalam penelitian.
Perlakuan Parameter pengukuran
pH C C/N N-Tot P2O5 K2O CaO MgO S Na Cl Fe Mn Cu Zn B Al
POC 3,5 5,8 - 0,1 0,1 0,5 0,2 0,08 0,2 - - 76 5 3 8 2 -
POG 7,6 16,2 10 1,7 0,6 1,2 6,3 0,66 0,5 0,3 12777 1041 5 218 105 6027
Keterangan: POC = pupuk organik cair dan POG = pupuk organik granul.
Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Tinggi sawi, selada dan kangkung pada perlakuan pupuk organik granul (POG) dan
pupuk organik cair (POC) lebih rendah dibandingkan pupuk kandang ayam (teknologi petani).
Namun sebaliknya pada bayam, tinggi tanaman pada perlakuan POG dan POC nyata lebih tinggi
dibandingkan pupuk kandang ayam (Pukan). Hal serupa apabila dibandingkan dengan perlakuan
pemupukan NPK takaran rekomendasi tanpa pupuk organik (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh pupuk organik granul dan cair berbahan baku limbah pasar terhadap tinggi
sawi, selada, bayam, dan kangkung.
Perlakuan Rerata tinggi tanaman (cm)
Sawi Selada Bayam Kangkung
Pukan + NPK ½ Takaran
Rekomendasi (Teknologi Petani)
30,75c 25,04
b 25,98
a 41,28
b
POG + NPK ½ Takaran
Rekomendasi
28,69b 19,93
a 35,41
b 36,52
a
POC + NPK ½ Takaran
Rekomendasi
24,08a 17,47
a 36,84
b 37,00
ab
NPK Takaran Rekomendasi 29,42b 20,20
a 29,70
a 40,22
b
Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%, Pukan
(pupuk kandang ayam), POG: (pupuk organik granul), POC ( pupuk organik cair).
Sementara itu, jumlah daun tanaman pada perlakuan POG dan POC setiap perlakuan
pupuk organik tidak beda nyata dengan Pukan maupun NPK takaran rekomendasi. Tingkat
124 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
peran POG dan POC terhadap peubah pertumbuhan sawi, selada, bayam dan kangkung secara
umum sebanding (Tabel 2 dan 3).
Tabel 3. Pengaruh pupuk organik granul dan cair berbahan baku limbah pasar terhadap jumlah
daun sawi, selada, bayam, dan kangkung.
Perlakuan Rerata jumlah daun
Sawi Selada Bayam Kangkung
Pukan + NPK ½ Takaran Rekomendasi
(Teknologi Petani)
9.91a 19.75
b 10.27a 8.87a
POG + NPK ½ Takaran Rekomendasi 9.71a 12.16
a 10.55a 9.07a
POC + NPK ½ Takaran Rekomendasi 8.96a 10.81
a 10.29a 8.90a
NPK Takaran Rekomendasi 10.20a 12.59
a 10.64a 8.93a
Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%, Pukan (pupuk
kandang ayam), POG: (pupuk organik granul), POC ( pupuk organik cair).
Berat panen sawi dan selada pada perlakuan POG dan POC nyata lebih rendah
dibandingkan Pukan, namun berat panen bayam dan kangkung pada perlakuan POG dan POC
lebih tiinggi dibandingkan teknologi petani tersebut. Berat panen sawi dan selada setara NPK
rekomendasi, sedangkan hasil bayam dan kangkung pada perlakuan POG dan POC nyata lebih
tinggi dibandingkan Pukan. Respon POC secara umum lebih rendah dibandingkan POG (Tabel
4).
Berdasarkan hasil yang dipaparkan di atas, dapat diungkapkan empat fakta penting.
Pertama, terdapat variasi pengaruh pupuk organik granul (POG) dan cair (POC) berbahan baku
limbah organik pasar pada keempat jenis tanaman uji. Kedua, efektivitas POG dan POC pada
selada dan sawi lebih rendah dibandingkan pupuk kandang ayam (Pukan), namun pada bayam
dan kangkung efektivitas POG dan POC lebih baik dibandingkan Pukan. Ketiga, efektivitas POG
pada sawi selada, bayam, dan kangkung lebih baik dibandingkan POC. Keempat, berdasarkan
berat panen, POG mampu menggantikan 50% NPK pada sawi, selada dan kangkung dan 25%
pada bayam, sedangkan POC mampu menggantikan 50% NPK pada selada dan kangkung dan
sekitar 25% untuk sawi dan bayam.
Tabel 4. Pengaruh pupuk organik granul dan cair berbahan baku limbah pasar terhadap berat
hasil panen sawi, selada, bayam dan kangkung.
Perlakuan Rerata berat panen (gram.m
2)
Sawi Selada Bayam Kangkung
Pukan + NPK ½ Takaran Rekomendasi
(Teknologi Petani)
6796.07c 3777.07
d 4378.80
c 1535.93
b
POG + NPK ½ Takaran Rekomendasi 5985.93b 2916.27
c 5178.10
b 1929.77
c
POC + NPK ½ Takaran Rekomendasi 4499.13a 2661.87
bc 4885.20
b 1736.41
c
NPK Takaran Rekomendasi 5883.73b 2476.27
b 6459.60
a 1639.91
b
Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%, Pukan (pupuk
kandang ayam), POG: (pupuk organik granul), POC ( pupuk organik cair).
Pupuk organik granul dan cair mampu menggantikan peran pupuk kandang ayam pada
bayam dan kangkung dan memiliki potensi cukup tinggi pada sawi dan selada (Tabel 5).
Variasi pengaruh POG dan POC pada keempat jenis tanaman uji kemungkinan lebih
disebabkan oleh perbedaan karakteristik fisiologis tanaman. Perbedaan karakteristik fisiologis
tanaman akan menyebabkan perbedaan respon tanaman terhadap jenis sumber hara (Murray dan
Anderson, 2011; Hasan dan Solaiman, 2012; Akintoye dan Olanlyan, 2012; Makinde et al.,
2011), jenis kation dan anion yang tersedia dalam larutan tanah, serta status masing-masing jenis
hara pada larutan tanah (Altintas dan Acikgoz, 2012; Sarwar et al., 2008; Rosen dan Eliason,
2005).
125 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 5. Persentase berat panen pada masing-masing perlakuan pemupukan dibandingkan
perlakuan pupuk NPK.
Perlakuan Persentase berat panen dibandingkan perlakuan NPK dan
pupuk kandang ayam
Sawi Selada Bayam Kangkung
dibandingkan NPK
POG + NPK ½ Takaran Rekomendasi 101,7 117,8 80,2 117,7
POC + NPK ½ Takaran Rekomendasi 76,5 107,5 75,6 105,9
dibandingkan pupuk kandang ayam
POG + NPK ½ Takaran Rekomendasi 88,1 77,2 118,3 125,6
POC + NPK ½ Takaran Rekomendasi 66,2 70,5 111,6 113,1
Keterangan: Angka-angka diikuti huruf yang sama sekolom tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%, POG
(pupuk organik granul), dan POC ( pupuk organik cair).
Sementara itu, perbedaan efektivitas POG dan POC disebabkan oleh perbedaan jumlah
nutrien yang dipasok pada masing-masing pupuk. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan hara
makro dan mikro yang terkandung dalam POG lebih tinggi dibandingkan POC. Status hara
tersebut secara langsung akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan serapan hara oleh tanaman
(Jamala et al., 2011; Olaniyi et al., 2009; Reid, 2002) dan secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap aktivitas mikroba fungsional yang berperan dalam meregulasi ketersediaan
hara dalam tanah (Ramirez et al., 2012; Ogbonna et al., 2012; Srivastava, 2010, Araujo et al.,
2009). Hal Demikian akan berimplikasi pada peningkatan efisiensi pemupukan NPK
sebagaimana diuraikan pada fakta keempat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pupuk organik granul (POG) berbahan baku limbah organik pasar mampu mengurangi takaran
pemupukan NPK hingga 50% pada sawi, selada, dan kangkung dan berkisar 25% pada bayam.
Sementara itu, pupuk organik cair (POC) mampu mengurangi takaran pemberian NPK
sebanyak 50% pada selada dan kangkung dan 25% pada sawi dan bayam.
2. Pupuk organik granul dan cair mampu menggantikan pupuk kandang ayam pada budidaya
bayam dan kangkung dan berpotensi tinggi untuk digunakan dalam budidaya selada dan sawi.
Perlakuan pengkayaan yang lebih disesuaikan dengan karakteristik tanaman diduga akan dapat
meningkatkan efektivitas POG dan POC, khususnya pada bayam dan kangkung.
3. Peran POG lebih baik dibandingkan POC dalam mendukung pertumbuhan dan hasil sawi,
selada, bayam, dan kangkung. Peran POC tersebut dapat ditingkatkan melalui perbaikan
pengkayaan atau melalui peningkatan takaran dan intensitas aplikasi.
Saran
• Pupuk organik granul dan cair berbahan baku limbah organik pasar berpotensi untuk
dikembangkan sebagai pupuk organik yang memiliki efektivitas yang sebanding dengan
pupuk organik yang telah umum digunakan petani, khususnya pupuk kandang ayam. Namun
demikian, nilai keharaan, penampilan, dan efektivitas pupuk tersebut masih perlu ditingkatkan
lebih baik lagi.
126 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Akintoye, H.A. and A.B. Olaniyan. 2012. Yield of sweet corn in response to fertilizer sources.
Glo. Adv. Res. J. Agric. Sci. 1(5): 110-116.
Altintas, S. and F. E. Acikgoz. 2012. The effects of mineral and liquid organic fertilizers on some
nutritional characteristics of bell pepper. African Journal of Biotechnology 11 (24): 6470-
6475.
Araújo, A.S.F., L. F.C. Leite, V. B. Santos, and R.F.V. Carneiro. 2009. Soil Microbial Activity
in Conventional and Organic Agricultural Systems. Sustainability 1: 268-276.
Cooperband, L. 2002. The art and science of composting „resource for farmers and compost
producers”http://www.cias.wisc.edu/pdf/artofcompost.pdf. 24 September.
Chen, J., J. Wu, and W. Huang. 2007. Effect of compost on the availability of nitrogen and
phosphorus in strongly acidic soils. http://www. Agnet.org/library/list/subcat/E.htm. 1
Januari.
Ekelund, L., and K. Nystrom. 2007. Composting of Municipal Waste in South Africa. Upsala
Universitet. ISSN: 1650-8319, UPTEC STS06 012.
Hasan, M. R. and A.H.M. Solaiman. 2012. Efficacy of organic and organic fertilizer on the
growth of Brassica oleracea L. (Cabbage). Intl J Agri Crop Sci. Vol., 4 (3):128-138.
Jamala, G.Y., P. G. Boni, P. Abraham, and and A. M. Musa. 2011. Soil status and yield
response of different varieties of okra (Abelmoschus esculentus (L.) Moench) grown at
Mubi floodplain, North Eastern, Nigeria. J.of Agric. Bio. and Sust. Development Vol. 3(7),
pp. 120 -125.
Losada, H., R. Bennett, J. Vieyra, R. Soriano, J. Cortes and S. Billing. 2001. Recycling of
Organic Wastes in East of Mexico City by Agriculture and Livestock Production System.
http://www.ias.inu.edu/proceedings/icibs/icmfa/losada.
Murray, R. and R. G. Anderson. 2012. Organic Fertilizers and Composts For Vegetable
Transplant Production. Floriculture Research Report 17-04. University of Kentucky.
Ogbonna, D.N., N. O. Isirimah, and E. Princewill3. 2012. Effect of organic waste compost and
microbial activity on the growth of maize in the utisoils in Port Harcourt, Nigeria. African
Journal of Biotechnology Vol. 11(62):12546-12554.
Olaniyi, J.O, E. M. Ogunbiyi and D. D. Alagbe. 2009. Effects of organo-mineral fertilizers on
growth, yield and mineral nutrients uptake in cucumber. Journal of Animal & Plant
Sciences, 2009. Vol. 5( 1): 437 – 442.
Ramirez, K.S., J. M. Craine, and N. Fierer. 2012. Consistent effects of nitrogen amendments on
soil microbial communities and processes across biomes. Global Change Biology, doi:
10.1111/j.1365-2486.2012.02639.x.
Reid, J. B. 2002. Yield response to nutrient supply across a wide range of conditions. “Model
derivation” Field Crops Research 77 : 161–171
Sarwar, G., H. Schmeisky, N. Hussain, S. Muhammad, M. Ibrahim, and E. Safdar. 2008.
Improvement of soil physical and chemical properties with compost application in rice-
wheat cropping system. Pak. J. Bot., 40(1): 275-282.
Sastro, Y., S. Amina, dan Syafrudin. 2006. Peran drainase dan inokulasi mikroba terhadap laju
pengomposan dan kualitas kompos sampah sayuran. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tengah. Palu.
Smidt, E. J. Tintner, K. Bohm, and E. Binner. 2011. Transformation of biogenic waste materials
through anaerobic digestion and subsequent composting of residues-a case study. Dynamic
Soils-Dynamic Plant 5 (2):63-69.
Srivastava, P. K.. 2009. Microbial activity and nutrient status ino oak and pine oriented Forest
Soil of Mid Altitude Central Himalaya. Geneconserve vol. 9: 1-11
Von Bercham, S., Fernandez, and P. Harjati. Prospek sampah. Jurnal Dinamika Periurban vol
II. November 2005.
Zhao, S., X. Liu, and L. Duo. 2012. Physical and chemical characterization of municipal solid
waste compost in different particle size fractions. Pol. J. Environ. Stud 21 (2): 509-511.
127 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DISKUSI
Tanya : Pupuk Organik Granul memiliki N rendah, kenapa? Apakah tidak ada cara untuk
meningkatkan kandungan N?
Jawab : Kandungan N rendah karena komposnya tinggi. Makanya diberi acetobacter,
aspergillus dan lactobacillus sebagai dekomposer untuk percepat penyerapan N
Tanya : POG dan cair menggunakan dekomposer apa?
Jawab : Acetobacter,aspergillus dan lactobacillus
Tanya : Biaya produksi sangat tinggi untuk POG, bagaimana?
Jawab : Biaya produksi POG memang tinggi jika produksi dalam skala kecil mencapai Rp
2300/kg tetapi bila diproduksi dalam skala besar hanya sebesar 400/kg
128 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PENAMPILAN BUAH
JERUK GERGA (RGL) DI KABUPATEN LEBONG PROVINSI BENGKULU
Sri Suryani M. Rambe, Irma Calista dan Kusmea Dinata
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Jeruk Gerga Lebong (RGL) merupakan komoditas unggulan Kabupaten Lebong karena mempunyai
keunggulan kompetitif yaitu berbuah sepanjang tahun. Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan jeruk
RGL adalah produktivitas dan penampilan buah jeruk RGL belum optimal dan belum adanya rekomendasi pupuk jeruk
RGL yang spesifik lokasi. Pengkajian pemupukan jeruk RGL bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan
penampilan buah jeruk. Pengkajian dilaksanakan pada tahun 2012 di Kelurahan Rimbo Pengadang, Kecamatan Rimbo
Pengadang, Kabupaten Lebong. Pengkajian ini menggunakan RAK faktorial 2 faktor dengan faktor ke-1 adalah
pemangkasan yang terdiri dari 2 perlakuan pangkas yaitu (1) pemangkasan rekomendasi (2 kali/bulan) dan (2)
pemangkasan cara petani (2 kali setahun). Faktor ke-2 adalah pemupukan yang terdiri dari 3 perlakuan pupuk yaitu: (1)
berdasarkan hasil panen terangkut; (2) berdasarkan analisis tanah dan tanaman dan (3) berdasarkan teknologi petani
(kontrol). Pemupukan pada masing-masing perlakuan dilakukan setiap 3 bulan. Pengamatan yang dilakukan meliputi
keragaan vegetatif dan generatif tanaman. Hasil pengkajian selama 3 kali pemupukan memperlihatkan bahwa perlakuan
pemupukan berdasarkan analisis tanah dan tanaman (dolomit 450 gr/m2 luas tajuk pohon/th + kompos 40 kg/pohon/th
+ 60 gr Urea dan 300 gr NPK/pohon/3 bulan) menghasilkan jumlah buah tertinggi yaitu 133 buah/pohon dan berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya. Tidak ada interaksi antara pemupukan dengan pemangkasan. Perlakuan pemangkasan
rekomendasi dan cara petani tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap produksi buah, tapi berpengaruh terhadap
penampilan buah (warna lebih cerah).
Kata kunci: jeruk Gerga, pemupukan spesifik lokasi, pemangkasan tanaman
PENDAHULUAN
Semakin tingginya angka buah jeruk impor yang masuk ke Indonesia telah
menimbulkan kekhawatiran akan merosot kembali agribisnis jeruk nasional yang baru bangkit
dari keterpurukannya selama ini (Badan litbang, 2005). Untuk itu di rasakan perlu untuk
mempromosikan buah jeruk tropika yang tumbuh dengan baik pada iklim Indonesia diantaranya
jeruk keprok. Jenis jeruk ini memiliki banyak sekali variasi dengan penampilan dan rasa yang
tidak kalah dengan jeruk impor. Namun tingkat produksi jenis jeruk ini masih rendah karena
terkendala banyak faktor di antaranya rendahnya luas lahan produksi, jenis dan nama yang
beragam dan teknologi budidaya yang belum sesuai. Dengan demikian dalam upaya
pengembangan jenis jeruk ini perlu dilakukan pengenalan karakter dan keragaman jenis serta
penerapan teknologi budidaya yang tepat (Martasari dan Supriyanto, 2006). Salah satu jenis jeruk
keprok yang dikembangkan di Provinsi Bengkulu adalah jeruk Gerga Lebong yang sekarang
terdaftar dengan nama jeruk varietas RGL. Jeruk tersebut merupakan komoditas unggulan
Kabupaten Lebong, karena mempunyai keunggulan kompetitif yaitu berbuah sepanjang tahun
(Suwantoro, 2010). Tanaman jeruk umumnya dapat berbuah setelah berumur 3 tahun dan buah
paling banyak pada tanaman yang berumur lebih dari 5 tahun (Purnomosidhi et al., 2007).
Menurut pengalaman petani, jeruk RGL sudah mulai berbuah pada umur 2 tahun.
Kecamatan Rimbo Pengadang, KabupatenLebong, mempunyai topografi bergelombang
sampai berbukit dengan ketinggian 500-900 m dpl (BPS, 2010). Luas wilayah Kelurahan Rimbo
Pengadang 7300 ha. Luas pertanaman jeruk RGL yang ada saat ini seluas 100 ha jeruk RGL dan
direncanakan 200 ha lagi pada tahun 2013. Ketinggian lokasi pengkajian sekitar 835 dpl.
Keadaan iklim rata-rata harian pada siang hari antara 28-32 oC dan pada malam hari 22-25
oC.
Tipe iklim berdasarkan Schmidt dan Ferguson mempunyai tipe iklim B dengan curah hujan 2500-
4500 mm/tahun.
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan jeruk RGL ini adalah masih sangat
terbatasnya dokumentasi informasi dan komponen teknologi hasil penelitian tentang jeruk RGL
yang dapat dirakit menjadi teknologi budidaya spesifik lokasi, terutama rekomendasi pupuk
jeruk RGL yang spesifik lokasi. Hal tersebut menyebabkan produktivitas dan penampilan buah
jeruk RGL belum optimal.
129 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan mutu buah jeruk
antara lain melalui pemupukan. Estimasi jumlah hara yang terangkut bersama panen dalam 10 ton
buah jeruk adalah 29 kg N, P2O5 4 kg, K2O 63 kg, dan Ca 26 kg per hektar. Selain pemupukan,
pemangkasan juga dapat merangsang pembungaan.
Tujuan pengkajian ini adalah untuk memperoleh teknologi pemupukan yang spesifik
lokasi dan teknologi pemangkasan sehingga produktivitas yang optimal dan penampilan buah
yang baik dapat diperoleh dalam rangka mendukung program pengembangan kawasan
hortikultura khususnya jeruk RGL di Lebong.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilakukan pada pertanaman jeruk RGL di Kelurahan Rimbo Pengadang,
Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Pengkajian jeruk RGL
dilaksanakan mulai Maret s/d Desember 2012. Kegiatan pengkajian dilaksanakan di lahan kering
dataran tinggi 830 m dpl. Luas pertanaman jeruk di lokasi pengkajian adalah 1,5 ha. Jarak tanam
yang digunakan 4 x 6,5 m yang ditanam secara zigzag. Tanaman yang digunakan adalah tanaman
yang sudah berbuah (pada awal pengkajian tanaman berumur sekitar 2 tahun).
Rancangan yang digunakan adalah RAK 2 faktor. Faktor ke-1 adalah perlakuan
pemangkasan yaitu; 1) pangkas sesuai rekomendasi dan 2) pangkas cara petani (kontrol). Faktor
ke-2 adalah perlakuan pupuk, yaitu; 1) berdasarkan hasil panen yang terangkut dan 2)
berdasarkan analisis tanah/jaringan tanaman serta 3) berdasarkan perlakuan petani (kontrol).
Dengan demikian didapatkan 6 kombinasi perlakuan. Ulangan dilakukan sebanyak 4 kali. Semua
perlakuan diberi pupuk setiap 3 (tiga) bulan sekali. Adapun Kombinasi perlakuan dalam kajian
pemangkasan dan pemupukan yaitu:
P1D1: pangkas rekomendasi+ pupuk berdasarkan hasil panen
P1D2: pangkas rekomendasi+ pupuk berdasarkan analisis tanah/tanaman
P1D3: pangkas rekomendasi + pupuk cara petani
P2D1: pangkas cara petani+ pupuk berdasarkan hasil panen
P2D2: pangkas cara petani + pupuk berdasarkan analisis tanah/tanaman
P2D3: pangkas cara petani + pupuk cara petani (kontrol)
Pemangkasan rekomendasi (Loka Penelitian Jeruk, 2003) yang dilakukan adalah
pemangkasan cabang/ranting/tunas yang tidak produktif dan buah yang tidak tumbuh
sempurna/kecil yang dilakukan secara rutin (setiap 2 minggu). Pemangkasan cara petani adalah
pemangkasan yang dilakukan jika ada cabang/ranting yang patah dan jarang dilakukan (2 kali
setahun).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura menggunakan metode penentuan dosis
pupuk berdasarkan jumlah buah yang dipanen tahun sebelumnya, yaitu 3 % dari total bobot buah
tiap pohon dalam bentuk NPK (3:1:2) bersama pupuk kandang. Metode penentuan pupuk
berdasarkan hasil analisis tanah dan tanaman bertolak pada suatu kaidah bahwa pemupukan
dilakukan jika jumlah unsur hara di dalam tanah lebih rendah dari pada yang dibutuhkan tanaman
dan tanaman itu sendiri sebagai pengekstrak unsur hara dari tanah, sehingga untuk mengetahui
kebutuhannya perlu menganalisis jumlah unsur hara yang di ekstrak atau diserap tanaman
tersebut dan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah (Sutopo, 2010). Teknologi
pemupukan eksisting (yang dilakukan petani) adalah pemberian 1 kg campuran pupuk Urea dan
NPK dengan perbandingan 1:5 dan pemberian 2 kg pupuk kandang per tanaman untuk sekali
pemupukan yang diberikan setiap 3 bulan.
Setelah dilakukan analisis tanah awal (unsur makro) dan analisis tanaman maka
dilakukan aplikasi pengapuran dan pemberian kompos. Aplikasi dolomit dan kompos diberikan
pada tanaman jeruk RGL dengan perlakuan pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah/tanaman
dan berdasarkan hasil panen. Dua minggu setelah itu di ambil lagi sampel tanahnya dan dianalisis
(panduan dari Balitjestro). Penentuan dosis pupuk untuk perlakuan pemupukan berdasarkan
panen yang terangkut adalah 250 gr Urea dan 300 gr NPK/tanaman/3 bulan (325 kg Urea dan 390
kg NPK/ha/tahun). Dosis pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah/tanaman adalah 60 gr Urea
130 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dan 300 gr NPK/tanaman/3 bulan (78 kg Urea dan 390 kg NPK/ha/tahun). Populasi tanaman 325
batang/ha.
Aplikasi pengapuran tidak dilakukan pada perlakuan pupuk cara petani. Dosis pupuk
petani yaitu 167 gr Urea dan 833 gr NPK/tanaman/3 bulan (217 kg Urea dan 1.083 kg
NPK/ha/tahun.
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder.
Parameter yang di ukur meliputi komponen vegetatif tanaman (tinggi tanaman dan diameter
tajuk) dan komponen generatif tanaman (jumlah bunga yang menjadi fruitset dan jumlah buah).
Pengendalian hama penyakit utama yang mempengaruhi pembungaan/pembuahan dilakukan
sesuai kebutuhan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan uji LSD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Hara Tanah
Hasil analisis tanah di lokasi pengkajian menunjukkan bahwa kandungan unsur
Nitrogen (N) relatif rendah, Fosfor (P) rendah dan Kalium (K) sedang (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis tanah sebelum dan setelah pemberian kapur dan kompos pada lahan
pengkajian jeruk RGL di Desa Rimbo Pengadang.
No
Unsur Hara Hasil analisis tanah lahan jeruk RGL
sebelum pemberian kapur
dan kompos
setelah pemberian kapur
dan kompos
1 pH 3,92 4,88
2. Tersedia (ppm)
N 0,09 0,73
P 9,87 16,26
K-dd (K-dapat digunakan) 0,20 0,26
3. Total (mg 100g -1
)
P 16,27 8,98
K 6,38 7,77
Keterangan: Hasil analisa Laboratorim Tanah BPTP Bengkulu.
Pada Tabel 1, tergambar hasil analisis daun jeruk memperlihatkan kecukupan hara
tanaman jeruk untuk unsur N sedang dan untuk unsur P maupun K rendah. Hasil analisis tanah
setelah pemberian kapur/dolomit dan kompos terlihat adanya peningkatan kandungan unsur hara
tersedia untuk unsur N, P dan K namun terjadi penurunan pada P total. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa unsur P yang terikat dapat dilepaskan menjadi P tersedia dengan
pemberian amelioran, yang disebabkan tingginya daya serap unsur P oleh tanah di Kelurahan
Rimbo Pengadang.
Pengaruh Pemupukan Terhadap Pembungaan dan Pembuahan Jeruk RGL
Hasil pengkajian pemupukan terhadap pembungaan tanaman jeruk RGL setelah
pemangkasan dan pemupukan pertama (pada bulan Juni 2012) memperlihatkan keragaman dari
keenam kombinasi perlakuan. Rata-rata jumlah kuncup bunga berkisar 0,0 - 4,0; bunga mekar 0,0
- 2,75; fruitset 0,25 - 12,25 dan pentil 20,25 – 109 (Tabel 2). Perlakuan dosis pupuk berdasarkan
analisis tanah dan tanaman menghasilkan jumlah fruitset yang tertinggi yaitu 12,25 tetapi tidak
berbeda nyata dengan jumlah fruitset pada perlakuan petani (11,3) tetapi berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Sedangkan jumlah 109 pentil buah pada perlakuan berdasarkan analisis
tanah/tanaman berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada masa pengkajian khususnya setelah
pemupukan pertama, curah hujan hanya sedikit sehingga kurang mendukung terjadinya
pembungaan dan juga banyak bunga yang gugur, sedangkan setelah pemupukan kedua, curah
hujan tinggi yang juga menyebabkan sebagian bunga gugur.
131 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2 . Perkembangan stadia pembungaan dan pembuahan pada pertanaman jeruk RGL setelah
pemangkasan dan pemupukan pertama.
Perlakuan Stadia pembungaan dan pembuahan
Kuncup Bunga mekar Fruit set Pentil
P1D1= Pangkas rekomendasi dan aplikasi
250 gr Urea+300 gr NPK
0,0a 0,0a 2,5c 20,5c
P1D2= Pangkas rekomendasi dan aplikasi 60
gr Urea+300 gr NPK
1,8a 0,3a 0,3c 20,3c
P1D3= Pangkas rekomendasi dan pupuk 167
gr Urea+833 gr NPK
0,5a 0,3a 1,5c 35,3bc
P2D1= Pangkas cara petani dan aplikasi 250
gr Urea dan 300 gr NPK
5,0b 1,5a 6,3b 27,3c
P2D2= Pangkas cara petani dan aplikasi 60 gr
Urea dan 300 gr NPK
0,3c 0,0a 12,3a 109a
P2D3= Pangkas cara petani dan pupuk 167 gr
Urea+833 gr NPK
4,0b 2,8a 11,3a 63,3b
Setelah aplikasi pemupukan ketiga maka perbedaan dalam stadia pembungaan dan
pembuahan pada masing-masing perlakuan semakin bervariasi (Tabel 3). Perlakuan dosis pupuk
berdasarkan hasil panen terangkut menghasilkan jumlah buah paling sedikit yaitu 34 dan 69. Hal
ini diduga disebabkan karena umur tanaman masih muda (2-3 tahun) sehingga belum dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menentukan dosis pupuk yang tepat. Hasil kajian ini
memperlihatkan bahwa penggunaan dosis pupuk berdasarkan hasil panen yang terangkut hanya
bisa dipakai pada tanaman yang sudah sering berbuah, bukan untuk tanamann yang baru sekali
atau dua kali berbuah. Sdangkan hasil penelitian Sutopo et all., (2006) menunjukkan bahwa dosis
pupuk N, P dan K yang direkomendasikan berdasarkan hasil panen untuk tanaman pamelo
Nambangan di Entisol Sukomoro, Kabupaten Magetan adalah 150% dari total NPK yang
terangkut buah atau setara dengan 2,775% (2 N, 1 P2O5 dan 4 K2O) dari bobot buah yang
dipanen per tahun.
Perlakuan dosis pupuk berdasarkan hasil analisis tanah dan tanaman menghasilkan
jumlah buah rata-rata yang terbanyak yaitu 133 buah yang berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya. Pada hasil kajian selama 3 kali pemupukan terjadi kecenderungan peningkatan jumlah
buah yang lebih tinggi pada perlakuan dengan dosis pupuk berdasarkan hasil analisis
tanah/tanaman. Sebagai perbandingan jumlah jeruk keprok Selayar di Sulawesi baru mencapai 26
buah dengan penerapan teknologi budidaya (Asaad dan Warda, 2006).
Tabel 3. Stadia pembuahan jeruk RGL pada bulan Desember 2012.
Perlakuan Stadia pembungaan dan pembuahan
Buah kecil Buah sedang Buah besar Jumlah Buah
P1D1= Pangkas rekomendasi dan aplikasi
250 gr Urea+300 gr NPK
1,3 29,5 3,0 33,8c
P1D2= Pangkas rekomendasi dan aplikasi 60
gr Urea+300 gr NPK
78,8 10,0 6,0 94,8ab
P1D3= Pangkas rekomendasi dan pupuk 167
gr Urea+833 gr NPK
12,5 71,3 8,3 92,0bc
P2D1= Pangkas cara petani dan aplikasi 250
gr Urea dan 300 gr NPK
32,0 34,3 2,8 69,0c
P2D2= Pangkas cara petani dan aplikasi 60 gr
Urea dan 300 gr NPK
44,3 88,5 0,3 133,0a
P2D3= Pangkas cara petani dan pupuk 167
gr Urea+833 gr NPK
19,0 49,0 6,5 74,5c
Pada bulan Desember 2012 terlihat sebagian daun pertanaman jeruk Gerga berwarna
kekuningan di bagian pinggir dan hijau di sekitar tulang daun yang diduga merupakan gejala
132 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
defisiensi unsur hara mikro. Bagian tanaman tersebut sedang dianalisis di Laboratorium Balai
Penelitian Tanah Bogor. Jika memang hal tersebut adalah gejala defisiensi, maka perlu dilakukan
pemberian pupuk mikro.
Pengaruh Pemangkasan Pada Produktivitas dan Kualitas Buah
Sejak awal tanam hingga berumur 2 tahun, pertanaman jeruk RGL dilokasi pengkajian
belum pernah dilakukan pemangkasan pembentukan. Pemangkasan yang dilakukan hingga umur
2 tahun hanya jika ada tanaman yang patah atau ranting/cabang rusak (umumnya 2 kali dalam
setahun). Dalam pengkajian ini dilakukan pemangkasan yang intensif (setiap 2 minggu) yang
dibandingkan dengan yang biasa dilakukan petani. Jumlah buah pada pertanaman jeruk RGL
dengan perlakuan pemangkasan yang intensif ternyata tidak berbeda nyata dengan cara petani.
Hal ini terjadi karena tidak adanya pemangkasan bentuk pada tahun pertama sehingga
perkembangan tajuk daun kurang sempurna.
Dari hasil analisis statistik, tidak ada interaksi antara faktor ke-1 yaitu 2 perlakuan
pemangkasan tanaman jeruk RGL dan faktor ke-2 yaitu 3 perlakuan dosis pupuk. Dengan aplikasi
dua perlakuan pemangkasan terlihat bahwa ternyata ada pengaruh pemangkasan terutama karena
kelebatan daun mempengaruhi warna buah terutama yang berada didalam atau dibawah
kerimbunan daun yang menyebabkan penampilan warna buah menjadi beragam. Buah yang
pucat (penampilan kurang menarik) banyak terjadi pada pertanaman dengan pangkasan cara
petani dimana sebagian buah ternaungi dan sedikit memperoleh sinar matahari karena
pertumbuhannya kurang teratur.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Aplikasi dolomit (kapur) 450 gr/m2 luas tajuk, kompos 40 kg/tanaman/th, 60 gr Urea dan 300
gr NPK/tanaman yang diberikan setiap 3 bulan (78 kg Urea dan 390 kg NPK/ha/tahun)
menghasilkan jumlah buah jeruk Gerga (RGL) terbanyak yaitu 133 buah/tanaman (26,7 kg)
dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
2. Pengaruh pemangkasan yang intensif tidak meningkatkan jumlah buah jeruk, tetapi mampu
memperbaiki penampilan buah jeruk RGL khususnya warnanya (Oranye cerah).
DAFTAR PUSTAKA
Asaad, M dan Warda. 2006. Kajian Penerapan Teknologi Budidaya Pada Jeruk Keprok Selayar. Prosd.
Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia. Batu, 28-29 Juli 2005. Balai Penelitian Tanaman Jeruk
dan Buah Subtropika. Batu. ;199-211.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
BPS Kab. Lebong. 2010. Lebong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebong. Tubei.
Loka Penelitian Jeruk dan Hortikultura Subtropik. 2003. Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat, Strategi
Pengendalian Penyakit CVPD. Puslitbang Hortikultura. Bogor.
Martasari, C dan Supriyanto, A. 2006. Jeruk Keprok Tropika Indonesia: Keragaman Kultivar dan
Karakter, Sentra Produksi dan Teknologi Inovasinya. Prosd. Seminar Nasional Jeruk Tropika
Indonesia. Batu, 28-29 Juli 2005. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Batu. ;36-
53.
Puslitbang Hortikultura. 2003. Pedoman Umum Penelitian dan Pengkajian Penerapan Perbaikan
Pengelolaan Tanaman (PTT) jeruk: Puslitbang Hortikultura. Bogor. ;11 hal.
Purnomosidhi, P., Suparman, Roshetko dan Mulawarman. 2007. Perbanyakan dan Budidaya Tanaman
Buah-Buahan: Durian, Mangga, Jeruk, Melinjo dan Sawo. Pedoman Lapang, Edisi Kedua. World
groforestry Centre (ICRAF) dan Winrock International. Bogor, Indonesia:42p.
Sutopo, Supriyanto, A dan Suhariyono. 2006. Penentuan Dosis Pupuk N.P.K Berdasarkan Hasil Panen
Pada Tanaman Pamelo. Prosd. Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia Batu, 28 -29 Juli 2005.
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Batu. ;243-251.
Sutopo. 2010. Teknologi budidaya jeruk sehat. http:// ( 9 April 2011).
Suwantoro, B. 2010. Mengenal Jeruk Rimau Gerga Lebong Lebih Dekat. Balai Benih Hortikultura Rimbo
Pengadang. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lebong.
133 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KENTANG MERAH PADA LAHAN
DATARAN TINGGI KABUPATEN REJANG LEBONG BENGKULU
Ahmad Damiri, Dedi Sugandi dan Eddy Makruf
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Kentang Merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang dari waktu ke waktu semakin banyak
diusahakan oleh petani Kabupaten Rejang Lebong, namun produktivitas yang dihasilkan masih rendah karena
penerapan teknologi budidaya yang belum baik. Pengkajian bertujuan untuk : a) membandingkan paket dosis pupuk
terhadap pertumbuhan, komponen produksi dan produksi Kentang Merah, b) membandingkan pengaruh jarak tanam
terhadap pertumbuhan, komponen produksi dan produksi Kentang Merah. Metode pengkajian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan yang diuji lanjut dengan LSD. Perlakuan terdiri dari kombinasi
antara paket pupuk dan jarak tanam dalam bedengan. Paket pupuk terdiri dari : a) paket yang dicoba petani yaitu
pupuk NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dan b) paket dosis pupuk anjuran Kentang Granola secara umum
yaitu pupuk NPK Phonska 1.000 kg/ha). Sedangkan jarak tanam dalam bedengan terdiri dari : a) 30 cm, b) 35 cm, dan
c) 40 cm). Pengkajian dilakukan pada bulan Mei sampai bulan Agustus 2012. Paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam
bedengan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman Kentang Merah umur 6 mst, tetapi tidak berpengaruh
terhadap tinggi tanaman umur 9 mst. Kombinasi paket pupuk NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dengan
jarak tanam dalam bedengan 30 cm menunjukkan tinggi tanaman tertinggi (75,800 cm) dan berbeda dengan kombinasi
lainnya pada tinggi tanaman umur 6 mst. Kombinasi paket pupuk NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dengan
jarak tanam dalam bedengan 35 cm menunjukkan berat umbi pertanaman tertinggi (1,1989 kg). Kombinasi paket pupuk
NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dengan jarak tanam dalam bedengan 35 cm yang 22,500 ton, tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kombinasi paket pupuk NPK Phonska 1.000 kg/ha dengan jarak tanam
dalam bedengan 35 cm yang 19,750 ton dan paket pupuk NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dengan jarak
tanam dalam bedengan 40 cm yang 18,000 ton.
Kata Kunci : kentang merah, dosis pupuk, jarak tanam, produksi
PENDAHULUAN
Kentang adalah salah satu jenis tanaman hortikultura yang dikonsumsi umbinya dan
dikalangan masyarakat dikenal sebagai sayuran umbi. Kentang banyak mengandung zat
karbohidrat, protein, mineral dan vitamin yang cukup baik, sedikit lemak dan tidak mengandung
kolesterol, sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Tingginya kandungan karbohidrat
menyebabkan kentang dikenal sebagai bahan pangan yang dapat mensubstitusi bahan pangan lain
berasal dari beras, jagung (Departemen Pertanian, 2009).
Menurut Adiyoga et al., (2004), beberapa penelitian di negara berkembang
mengindikasikan adanya hubungan positif antara pendapatan dan konsumsi kentang. Pada tingkat
pendapatan per kapita yang relatif rendah, konsumsi kentang ternyata masih jauh dari titik
saturasi. Dengan demikian, sejalan dengan peningkatan pendapatan, konsumsi kentang di negara-
negara berkembang juga akan semakin meningkat. Disamping pendapatan per kapita,
pertumbuhan konsumsi kentang per kapita juga dipengaruhi oleh harga relatif dan ketersediaan
bahan substitusi. Tingkat pertumbuhan ini juga merupakan fungsi dari selera, preferensi serta
berbagai faktor demografis dan kultural. Di negara maju, kentang secara tipikal dianggap sebagai
komoditas murah yang merupakan bahan baku pati/tepung, sedangkan di negara berkembang
cenderung dikategorikan sebagai sayuran mahal dan terkadang mewah. Sejalan dengan
membaiknya perekonomian di Asia serta meningkatnya pendapatan pada beberapa dekade
terakhir, konsumen semakin terdorong untuk melakukan diversifikasi pangan dan peningkatan
konsumsi kentang termasuk di dalam upaya tersebut.
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil kentang sumatera, dimana
produksi kentang Bengkulu banyak dijual ke provinsi tetangga selain dijual di dalam Provinsi
Bengkulu sendiri, hal ini karena Provinsi Bengkulu memiliki dataran tinggi yang cocok untuk
pengembangan kentang yaitu di Kabupaten Rejang Lebong. Rejang Lebong terletak di punggung
pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian antara 600 sampai lebih dari 1.000 meter di atas
permukaan air laut, sebagai daerah penghasil sayuran. berbagai sayuran yang dihasilkan
diantaranya adalah cabe, wortel, terung, timun, kacang panjang, buncis selain kentang itu sendiri.
134 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kabupaten Rejang Lebong mempunyai karakteristik wilayah dan agroekosistem yang
sesuai, namun untuk pengembangannya, masih mempunyai keterbatasan teknologi produksi.
Tingkat produktivitas kentang baru 13,65 ton/ha masih jauh dibawah produktivitas nasional
(16,09 ton/ha), tingkat produktivitas di sentra produksi di pulau Jawa sebesar 17,81 ton/ha
ataupun rekomendasi teknologi yang bisa diatas 30 ton/ha. Dengan demikian dalam penerapan
budidaya di daerah ini masih belum begitu baik, sementara potensi pegembangan produksi
melalui perluasan areal maupun peningkatan produktivitas masih sangat memungkinkan di
daerah ini (Bahar, 2009).
Sebagai daerah penghasil kentang, saat ini banyak petani yang menanam Kentang
Merah selain Granola. Selama ini pemasaran kentang merah mengalami kesulitan karena banyak
masyarakat yang belum mengenal Kentang Merah bahkan masih banyak yang menganggap
kentang merah sebagai ubi rambat. Sejalan dengan perkembangan waktu, semakin banyak
masyarakat yang sudah mengenal kentang merah dan pemasarannya sudah tidak mengalami
permasalahan lagi, bahkan harganya dipasaran lebih mahal dibandingkan dengan kentang lain
yang lebih dahulu dikenal masyarakat. Saat ini sebagian petani mencoba menanam Kentang
Merah, sehingga dari waktu kewaktu petani yang menanam Kentang Merah semakin banyak.
Oleh karena itu, pengkajian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan
produksi Kentang Merah melalui penerapan paket dosis pemupukan dan jarak tanam dalam
barisan.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan di agroekosistem lahan kering dataran tinggi iklim basah pada
bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012 di Desa Talang Lahat, Kecamatan Sindang Kelingi,
Kabupaten Rejang Lebong menggunakan lahan petani dan melibatkan petani secara partisipatif,
sehingga apa yang dilakukan diketahui secara jelas oleh petani pelaksana kegiatan.
Paket dosis pupuk yang digunakan terdiri dari : a) paket dosis pupuk yang dicoba petani
(1.400 kg NPK Phonska dan 400 kg SP-36/ha) dan b) dosis pemupukan anjuran Kentang Granola
secara umum (NPK Phonska sebanyak 1.000 kg/ha). Sedangkan jarak tanam dalam bedengan
masing-masing : a) 30 cm dengan luas lahan 18 x 45 cm = 810 m2, b) 35 cm dengan luas lahan 21
x 45 m = 945 m2, dan c) 40 cm dengan luas lahan 24 x 45 m = 1.080 m
2. Ukuran bedengan; lebar
60 cm, jarak antar bedengan 40 cm dan setiap perlakuan dalam bedengan ditanam sebanyak 30
bibit dengan sistem tanam 1 baris. Untuk itu ukuran bedengan digunakan berbeda-beda
panjangnya, tergantung jarak tanam yang digunakan.
Selanjutnya data ditabulasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang,
terdiri 6 kombinasi perlakuan yaitu 2 paket dosis pupuk dan 3 jarak tanam dalam bedengan yang
ulangan sebanyak 4 kali dan di uji lanjut menggunakan LSD bila menunjukan perbedaan yang
nyata antar perlakuan. Data yang diamati terdiri dari komponen pertumbuhan tanaman (tinggi
tanaman), komponen hasil (hasil per tanaman dan rata-rata bobot umbi berdasarkan ukurannya),
dan hasil per hektar yang hitung dari konversi hasil ubinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Lokasi pengkajian berada di Desa Talang Lahat, yang terletak lebih kurang 3 km dari
ibu kota Kecamatan yaitu Sindang Kelingi dan lebih kurang 25 km dari ibu kota Kabupaten yaitu
Curup. Luas wilayah Desa Talang lahat sekitar 340 ha dengan luas lahan tegalan 285 ha
(83,82%), luas lahan perkebunan 30 ha (8,82%), dan pemukiman, pekarangan dan lain-lain seluas
25 ha (7,36%) dengan komoditas hortikultura yang diusahakan yaitu : cabai, kubis, sawi, kol
bunga, tomat, daun bawang, wortel, kentang, terong, dan buncis.
Karakteristik tanah di Desa Talang Lahat dengan tofografi datar, bergelombang, hingga
berbukit dengan tingkat kemiringan antara 8 – 60%. Tingkat kemasaman tanah antara 5,5 – 6,5
dengan ketinggian tempat antara 750 sampai lebih dari 1.000 m dpl. Jenis tanah didominasi oleh
135 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
jenis andosol dengan drainase baik dan lapisan olah (top soil) 42 cm dan curah hujan rata-rata
2.850 mm per tahun dengan penyebaran hampir merata sepanjang tahun yang terdiri dari 9 bulan
basah dan 3 bulan kering (Rohadin. 2011).
Tinggi Tanaman
Paket dosis pupuk berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 6 minggu setelah
tanam (mst), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 9 mst. Paket dosis
pupuk yang dicoba petani (P1) menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan
berbeda nyata dibandingkan tinggi tanaman dengan dosis pupuk anjuran secara umum kentang
Granola (P2) pada umur 6 mst, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi
tanaman umur 9 mst. Namun tanaman umur 9 mst, daun sudah kelihatan mulai layu pada bagian
atas (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman umur 6 dan 9 minggu setelah tanam, paket dosis pupuk dan
jarak tanam dalam bedengan.
Perlakuan
Rata-rata tinggi
tanaman umur 6 mst
(cm)
Rata-rata tinggi
tanaman umur 9 mst
(cm)
Paket dosis pupuk
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 69,100 a 72,133 a
P2. NPK Phonska 1.000 kg 64,167 b 69,433 a
Jarak tanam dalam bedengan
JT 1. 30 cm 70,350 p 72,700 p
JT 2. 35 cm 67,000 q 70,050 p
JT 3. 40 cm 62,550 r 69,600 p
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji 0,05.
Pada Tabel 1 terlihat paket dosis pupuk yang dicoba petani menunjukkan pertumbuhan
tinggi tanaman yang lebih tinggi pada tanaman umur 6 mst, diduga karena selain dosis pupuk
NPK Phonska yang lebih tinggi, juga karena adanya pupuk SP-36. Menurut Hakim et al., (1986),
fosfor berperan aktif dalam mentransfer energi di dalam sel dan juga berperan pada
perkembangan akar. Gejala yang umum bila kekurangan fosfor adalah terhambatnya
pertumbuhan, tanaman kerdil serta perakaran miskin dan produksi merosot. Akar berfungsi untuk
mendukung tanaman secara kukuh dan melayani tanaman dengan pengambilan air dan hara
(Fisher dan Dunham, 1992).
Begitu juga jarak tanam dalam bedengan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
umur 6 mst, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 9 mst. Pada jarak
tanam 30 cm dalam bedengan menunjukkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan berbeda nyata
terhadap tinggi tanaman dengan jarak tanam dalam bedengan 35 maupun 40 cm pada umur 6 mst,
namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman umur 9 mst. Hal ini
diduga karena selain karena dosis pupuk, juga pengaruh persaingan terhadap sinar matahari yang
merupakan sumber energi bagi tumbuhan untuk fotosintesis. Selain itu pada tanaman yang rapat,
akan memberikan tanggapan dalam memacu tinggi tanaman untuk mendapatkan sinar matahari
yang dibutuhkan. Menurut Sitompul dan Bambang (1991), tanaman yang tumbuh pada
lingkungan yang berbeda akan selalu dihadapkan pada keadaan yang berbeda, karena perubahan
pada satu unsur lingkungan sering disertai dengan perubahan satu atau lebih unsur lain.
Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan berpengaruh terhadap
rata-rata tinggi tanaman umur 6 mst. Kombinasi paket dosis pupuk P1 dan JT1 menunjukkan rata-
rata tinggi tanaman tertinggi dan berbeda nyata dengan kombinasi lainnya seperti terlihat pada
Tabel 2.
136 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan terhadap rata-rata
tinggi tanaman umur 6 mst.
Paket dosis pupuk
Tinggi tanaman 6 mst pada masing-masing
jarak tanam dalam bedengan (cm)
30 cm (JT1) 35 cm (JT2) 40 cm (JT3)
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 75,800 a 66,600 b 64,900 b
P2. NPK Phonska 1.000 kg 64,900 b 67,400 b 60,200 c
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji 0,05.
Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan berpengaruh terhadap
rata-rata tinggi tanaman umur 9 mst. Dimana kombinasi paket dosis pupuk P2 dengan JT2, tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kombinasi P 1 dengan JT1 dan P1 dengan JT3
namun menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kombinasi P1 dengan JT2, P2 dengan JT1
dan P2 dengan JT3 seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan terhadap rata-rata
tinggi tanaman umur 9 mst.
Paket dosis pupuk
Tinggi tanaman 9 mst pada masing-masing
jarak tanam dalam bedengan (cm)
30 cm (JT1) 35 cm (JT2) 40 cm (JT3)
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 74,900 ab 69,700 bcd 71,800 abc
P2. NPK Phonska 1.000 kg 65,200 d 75,700 a 67,400 cd
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji 0,05.
Pada tanaman umur 9 mst, daun tanaman sudah mulai layu pada bagian atas.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, umur 9 mst tanaman sudah mulai layu dan berangsur-
angsur mati. Hal ini menyebabkan tinggi tanaman tidak terlihat jelas apakah pengaruh paket
pupuk atau jarak tanam atau kombinasinya.
Berat Umbi Per Tanaman
Rata-rata berat umbi per tanaman dihitung dari rata-rata 10 tanaman yang diambil
secara acak. Paket dosis pupuk berpengaruh nyata terhadap rata-rata berat umbi per tanaman (kg).
Berdasarkan Tabel 4, paket dosis pupuk yang dicoba petani (P1) menunjukkan rata-rata berat
umbi per tanaman yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan rata-rata berat umbi per
tanaman dengan dosis pupuk anjuran secara umum Kentang Granola (P2). Berdasarkan
pengkajian yang pernah dilakukan sebelumnya, bahwa tanaman Kentang Merah lebih besar
pertumbuhan batangnya dibandingkan dengan Kentang Granola. Dengan demikian paket dosis
pupuk yang diberikan berdasarkan dosis umum Kentang Granola diduga masih kurang bagi
kebutuhan tanaman Kentang Merah.
Jarak tanam dalam bedengan berpengaruh nyata terhadap rata-rata berat umbi per
tanaman (kg). Dimana jarak tanam 35 cm dalam bedengan menunjukkan rata-rata berat umbi per
tanaman yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan rata-rata berat umbi per tanaman dengan
jarak tanam dalam bedengan 30 maupun 40 cm (Tabel 4).
137 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Rata-rata berat umbi per tanaman dengan perlakuan pupuk dan jarak tanam dalam
bedengan.
Perlakuan Berat umbi per tanaman (kg)
Paket dosis pupuk
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 0,8469 a
P2. NPK Phonska 1.000 kg 0,5585 b
Jarak tanam dalam bedengan
JT 1. 30 cm 0,3501 r
JT 2. 35 cm 1,0247 p
JT 3. 40 cm 0,7334 q
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji 0,05.
Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan berpengaruh terhadap
rata-rata berat umbi per tanaman (kg). Kombinasi paket dosis pupuk P1 dengan jarak tanam JT2,
menunjukkan rata-rata berat umbi tertinggi dan beda nyata terhadap semua kombinasi lainnya
seperti terlihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan terhadap rata-rata
berat umbi per tanaman.
Paket dosis pupuk
Rata rata berat umbi pada masing-masing jarak
tanam dalam bedengan (cm)
30 cm (JT1) 35 cm (JT2) 40 cm (JT3)
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 0,4996 d 1,1989 a 0,8423 bc
P2. NPK Phonska 1.000 kg 0,2005 e 0,8504 b 0,6245 cd
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom maupun lajur berbeda nyata pada uji 0.05.
Menurut Badan Litbang Pertanian (1989), pada hasil panen kentang selalu di dapat
umbi yang bervariasi besarnya mulai dari yang berukuran kurang dari 20 gram sampai yang lebih
dari 150 gram. Apabila dikelompokkan berdasarkan besarnya maka persentase tiap kelompok
selalu berbeda setiap pertanaman dan varietas, tergantung pada kesuburan, macam bibit yang
ditanam (mutu dan besar), iklim dan faktor lainnya. Grading umbi secara keseluruhan (sesuai
dengan sistem petani Pengalengan dan Wonosobo) seperti Tabel 6.
Tabel 6. Kelas umbi berdasarkan ukuran umbi hasil panen sesuai dengan sistem petani
Pengalengan dan Wonosobo.
Kelas umbi Ukuran berat umbi (gram)
Umbi konsumsi 80
Umbi klas A (bibit besar) 60 – 80
Umbi klas B (bibit sedang) 45 – 60
Umbi klas C (bibit) 30 – 45
Umbi Ares (bibit kecil dan kriil) < 30
Bila dilihat umbi yang dihasilkan, terlihat bahwa kombinasi antara P1 maupun P2
terhadap JT2 dan JT3 menunjukkan jumlah umbi berukuran besar >50% yang merupakan umbi
konsumsi. Sedangkan kombinasi P1 maupun P2 terhadap JT1 menunjukkan <50% umbi
berukuran besar (Tabel 7). Menurut Adiyoga et al., (2004), volume lingkungan tumbuh yang
lebih besar akan menghasilkan jumlah umbi lebih sedikit, akan tetapi dengan ukuran umbi lebih
besar dan begitu juga sebaliknya volume lingkungan tumbuh yang kecil, akan menghasilkan
jumlah umbi lebih banyak namun dengan ukuran umbi lebih kecil.
138 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 7. Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan terhadap persentase
ukuran umbi yang dihasilkan.
Paket dosis pupuk Ukuran umbi
Jumlah umbi pada masing-masing jarak
tanam dalam bedengan (%)
30 cm (JT1) 35 cm (JT2) 40 cm (JT3)
P1. (NPK Phonska 1.400 kg dan SP-
36 400 kg)
<30 g 25,6757 12,9496 17,8571
30 – 45 g 13,5135 10,7914 16,0714
45 – 60 g 17,5676 17,9856 7,1429
60 – 80 g 13,5135 10,7914 11,6071
> 80 g 29,7297 47,4820 47,3214
P2. (NPK Phonska 1.000 kg) <30 g 37,5000 7,0313 17,7778
30 – 45 g 25,0000 11,7188 13,3333
45 – 60 g 12,5000 23,4375 10,0000
60 – 80 g 20,8333 20,3125 21,1111
> 80 g 4,1667 37,5000 35,5556
Bila digunakan untuk bibit, kebiasaan petani setempat menggunakan hasil pertanaman
yang berukuran umbi klas C (berat 30 – 45 grm) dan yang berukuran lebih besar dijual kepada
pedagang pengumpul. Sedangkan yang berukuran umbi ares (bibit kecil dan kriil) dikonsumsi
keluarga petani.
Hasil Per Hektar
Hasil per hektar dihitung berdasarkan konversi petak ubinan, dimana ukuran ubinan
untuk jarak tanam dalam bedengan 30 cm menggunakan ukuran 1,8 x 5,0 m; untuk jarak tanam
dalam bedengan 35 cm menggunakan ukuran 2,1 x 5,0 m; dan untuk jarak tanam dalam bedengan
40 cm digunakan ukuran 2,4 x 5,0 m.
Paket dosis pupuk yang dicoba petani (P1) menunjukkan hasil per hektar yang tidak
berbeda nyata dibandingkan hasil per hektar dengan dosis pupuk anjuran secara umum kentang
Granola (P2). Sedangkan jarak tanam 35 cm dalam bedengan (JT2) menunjukkan rata-rata hasil
per hektar yang lebih tinggi dan berbeda nyata terhadap rata-rata hasil per hektar dengan jarak
tanam dalam bedengan 30 maupun 40 cm (Tabel 8).
Tabel 8. Rata-rata hasil per hektar (ton), paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan.
Perlakuan Hasil per hektar (ton)
Paket dosis pupuk
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 17,417 a
P2. NPK Phonska 1.000 kg 14,164 a
Jarak tanam dalam bedengan
JT 1. 30 cm 11,000 r
JT 2. 35 cm 21,000 p
JT 3. 40 cm 15,375 q
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji 0,05.
Kombinasi paket dosis pupuk P1 dengan JT2 (22,50 t/ha) menunjukkan rata-rata berat
umbi tertinggi dan berbeda nyata terhadap kombinasi P1 dengan JT1(12,00 t/ha), P2 dengan
JT1(10,00 t/ha) dan P2 dengan JT3 yang 12,75 t/ha ( Tabel 9 ).
139 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 9. Kombinasi paket dosis pupuk dan jarak tanam dalam bedengan terhadap rata-rata hasil
umbi per ha (ton).
Dosis pemupukan
Rata-rata hasil umbi masing-masing jarak
tanam dalam bedengan (ton/ha)
30 cm (JT 1) 35 cm (JT 2) 40 cm (JT 3)
P1. NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg 12,00 c 22,50 a 18,00 ab
P2. NPK Phonska 1.000 kg 10,00 c 19,75 a 12,75 bc
Keterangan: Angka-angka diikuti oleh huruf berbeda pada kolom maupun lajur berbeda nyata pada uji 0.05.
Serangan Hama dan Penyakit
Pada awal pertumbuhan tanaman sampai berumur 6 minggu setelah tanam, tanaman
terlihat sehat dan tumbuh bagus. Tidak terlihat serangan hama dan penyakit karena sudah
kebiasaan petani selalu menyemprot pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit. Pada sore,
malam dan pagi hari, udara sering berkabut yang menyebabkan petani selalu menyemprot
tanamannya dengan fungisida untuk menghindari serangan jamur. Berdasarkan pengalaman
petani, bila ada kabut dan petani tidak segera melakukan penyemprotan tanaman dengan
fungisida, tanaman akan layu. Oleh karena itu penggunaan fungisida di wilayah ini sangat tinggi.
Penyemprotan fungisida dilakukan secara intensif mencapai 2-3 hari sekali dengan dosis yang
lebih tinggi dari dosis anjuran.
Pada umur 7 - 9 mst, daun tanaman sudah mulai banyak yang layu karena siklus hidup
menuju kematian, juga adanya serangan penyakit. Lebih kurang 10% umbi tanaman yang
dibongkar terlihat berlendir yang disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan informasi dari petani
kooperator, lahan yang digunakan untuk penanaman kentang sebelumnnya ditanam cabai dan
tanaman cabai banyak yang mati muda, diduga terserang bakteri.
KESIMPULAN
1. Kombinasi paket dosis pupuk NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha dengan jarak
tanam dalam bedengan 30 cm menunjukkan rata-rata tinggi tanaman tertinggi (75,80 cm) pada
tanaman umur 6 mst dan berbeda nyata dengan kombinasi lainnya.
2. Kombinasi paket dosis pupuk( NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha) dengan jarak
tanam dalam bedengan 35 cm, menunjukkan rata-rata berat umbi per tanaman tertinggi
(1,1989 cm) dan beda nyata terhadap semua kombinasi lainnya.
3. Kombinasi antara paket dosis pupuk (NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha) maupun
(NPK Phonska 1.000 kg/ha) dengan jarak tanam dalam bedengan 35 cm dan 40 cm
menunjukkan lebih dari 50% umbi berukuran besar (60 - 80 gram) dan bahkan berukuran
umbi konsumsi (>80 gram). Sedangkan kombinasi paket dosis pupuk (NPK Phonska 1.400 kg
dan SP-36 400 kg/ha) maupun (NPK Phonska 1.000 kg/ha) dengan jarak tanam dalam
bedengan 30 cm menunjukkan kurang dari 50% umbi berukuran besar.
4. Kombinasi paket dosis pupuk (NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha) dengan jarak
tanam dalam bedengan 35 cm yang produktivitasnya 22,50 ton, tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata terhadap kombinasi paket dosis pupuk (NPK Phonska 1.000 kg/ha) dengan jarak
tanam dalam bedengan 35 cm yang produktivitasnya 19,75 t/ha dan kombinasi paket dosis
pupuk (NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha) dengan jarak tanam dalam bedengan 40
cm yang produktivitasnya 18,00 t/ha. Kombinasi ini berbeda nyata dengan kombinasi paket
dosis pupuk (NPK Phonska 1.000 kg/ha) dengan jarak tanam dalam bedengan 40 cm yang
produktivitasnya 12,75 t/ha; paket dosis pupuk (NPK Phonska 1.000 kg/ha) dengan dengan
jarak tanam dalam bedengan 30 cm yang produktivitasnya 12,00 t/ha; dan paket dosis pupuk
(NPK Phonska 1.400 kg dan SP-36 400 kg/ha) dengan jarak tanam dalam bedengan 30 cm
yang produktivitasnya 10,00 t/ha.
140 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W., S. Rachman, T. Agoes, S. Budi. J, K. U. Bagus, R. Rini dan M. Darkam. 2004.
Profil Komoditas Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 1989. Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Bdg.
Bahar, Y.H. 2009. Panen Perdana Kentang Granola. http://ditsayur.hortikultura.
deptan.go.id/index.php?itemid=39&id=43&option=com (03 Nov 09).
Departemen Pertanian. 2009. Prosd. Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 - 21
Agustus 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Fisher, N.M. dan R.J. Dunham. 1992. Morfologi Akar dan Pengambilan Zat Hara. Institute For
Agricultural Research, Ahmadu Bello University, PMB 1044, Zaria, Nigeria. Fisiologi
Tanaman Budidaya Tropik. Fakultas Pertanian; Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Hakim, N., N. Yusuf, A.M. Lubis, G.N. Sutopo, S. Rusdi, M. Amin. D, Go. B.H dan H.H. Bailey.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Rohadin. 2011. Data Potensi Wilayah dan Rencana Kerja Penyuluh Pertanian (RKPP) Tahun
2011. Desa Binaan Talang Lahat. BPP Mojorejo. Kab. Rejang Lebong.
Sitompul, S.M dan G. Bambang. 1991. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Gajah Mada University Press.
141 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENGARUH BERBAGAI PANJANG STEK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT
BUAH NAGA (Hylocereus polyryzus)
Andre Sparta1, Mega Andini1 dan Taupik Rahman2 1Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Email : [email protected]
ABSTRAK
Buah naga (Hylocereus polyryzus) atau dragon fruits merupakan salah satu komoditi yang cukup diminati
di Indonesia. Indonesia yang memiliki potensi wilayah lahan pertanian yang luas dan subur mempunyai kemungkinan
yang besar untuk mengembangkan tanaman ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui panjang stek yang terbaik
untuk pertumbuhan bibit buah naga. Penelitian ini dilaksankan di Kebun Percobaan Balitbu Tropika-Aripan Nagari
Tampuniak Kecamtan X Koto Singkarak Kabupaten Sumatera Barat dengan ketinggian ± 475 m dpl, dari bulan
Februari 2012 hingga April 2012. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan 7 perlakuan yakni panjang stek yang terdiri dari A = 10 cm, B = 12,5 cm, C = 15 cm, D = 17,5 cm,
E = 20 cm, F = 22,5 cm, dan G = 25 cm dan 3 ulangan sehingga terdapat total 21 plot percobaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu muncul tunas berbeda nyata pada panjang stek 10 cm (51 hari) dengan panjang stek 15 – 25
cm (37,63 hari ; 37,18 hari; 34,80 hari; 34,27 hari; 34,20 hari). Jumlah tunas yang tumbuh berbeda nyata pada panjang
stek 22,5 cm yaitu (2,93 tunas) dengan panjang stek 10 cm (0,93 tunas). Panjang tunas buah naga pada panjang stek
12,5 cm – 25 cm (19,45 cm; 20,58 cm; 18,83 cm; 23,99 cm; 23,03cm ; 25,13 cm) berbeda nyata dengan panjang stek
buah naga panjang 10 cm (8,6 cm). Pajang Akar stek buah naga pada panjang stek 20 cm – 25 cm (22,51 cm; 23,70 cm;
22,87 cm) berbeda nyata dengan panjang stek 10 cm (14,13 cm). Sedangkan persentase stek tumbuh dan persentase
stek bertunas pada stek buah naga tidak dipengaruhi oleh panjang stek.
Kata Kunci: Buah naga, bibit, panjang stek, dan pertumbuhan.
PENDAHULUAN
Buah naga (Hylocereus sp.) atau Dragon Fruits merupakan salah satu komoditi yang
cukup diminati di Indonesia karena, bentuknya unik dan menarik serta rasanya yang enak. Buah
naga juga berkhasiat untuk berbagai penyakit dan bermanfaat sebagai bahan baku di bidang
industri pengolahan makanan, minuman, kosmetik serta produk kesehatan (Flora Fauna, 2008).
Tanaman yang termasuk dalam keluarga kaktus ini berasal dari Amerika Tengah,
kemudian berkembang di Vietnam, Thailand, Cina Selatan, Malaysia, Indonesia, Australia dan
Taiwan. Orang China kuno menganggap buah itu membawa berkah. Dari kebiasaan inilah buah
itu di kalangan orang Vietnam yang menganut budaya China, dikenal sebagai buah Thang Loy
(buah naga). Thang Loy-nya orang Vietnam ini, oleh orang Eropa dan Negara lain yang
berbahasa Inggris dikenal sebagai Dragon Fruit (Triatminingsih, 2009).
Kebutuhan akan buah naga ini dibeberapa negara cukup besar. Namun, kebutuhan yang
besar tersebut belum mampu terpenuhi oleh negara-negara penghasilnya. Indonesia yang
memiliki potensi wilayah lahan pertanian yang luas dan subur mempunyai kemungkinan yang
besar untuk mengembangkan tanaman ini.
Morfologi tanaman buah naga terdiri dari akar, batang, duri, bunga dan buah. Akar
buah naga hanyalah akar serabut yang berkembang dalam tanah dan akar gantung pada batang
atas. Akar tumbuh di sepanjang batang pada bagian punggung sirip di sudut batang. Pada bagian
duri, akan tumbuh bunga yang bentuknya mirip bunga Wijayakusuma. Bunga yang tidak rontok
berkembang menjadi buah. Buah naga bentuknya bulat agak lonjong seukuran dengan buah
alpukat. Kulit buahnya berwarna merah menyala untuk jenis buah naga putih dan merah,
berwarna merah gelap untuk buah naga hitam, dan berwarna kuning untuk buah naga kuning. Di
sekujur kulit dipenuhi dengan jumbai-jumbai yang dianalogikan dengan sisik naga. Oleh sebab
itu, buah ini disebut buah naga (Wikipedia, 2011).
Tanaman buah naga dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah dan sedikit tahan
kekeringan. Tanaman buah naga menghendaki tanah yang subur dan berstruktur gembur,
memerlukan air yang cukup untuk mendapatkan hasil yang berkualitas, menyukai tanah yang
berdrainase baik dengan PH 6,3 – 6,8 dan kaya akan kandungan bahan organik. Tanaman ini
membutuhkan sinar matahari penuh dan curah hujan tidak lebih dari 2500 mm/tahun. Tanaman
142 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
buah naga dapat dikembangkan di dataran rendah sampai dataran menengah dengan ketinggian
sampai 700 m dpl (diatas permukaan laut) (Triatminingsih, 2009).
Tanaman buah naga dapat diperbanyak dengan menggunakan biji maupun stek. Petani
umumnya lebih memilih memperbanyak dengan stek karena menghasilkan bibit dalam waktu
yang lebih singkat dibandingkan dengan biji. Penyetekan merupakan cara pembiakan tanaman
dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif yang dipisahkan dari induknya, yang apabila
ditanam pada kondisi menguntungkan akan berkembang menjadi tanaman sempurna dengan sifat
yang sama dengan pohon induk (Febriana, 2009).
Tanaman buah naga dapat diperbanyak dengan menggunakan biji maupun stek. Petani
umumnya lebih memilih memperbanyak dengan stek karena menghasilkan bibit dalam waktu
yang lebih singkat dibandingkan dengan biji. Penyetekan merupakan cara pembiakan tanaman
dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif yang dipisahkan dari induknya, yang apabila
ditanam pada kondisi menguntungkan akan berkembang menjadi tanaman sempurna dengan sifat
yang sama dengan pohon induk (Septian, 2009).
Pemilihan bibit merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam
keberhasilan budidaya tanaman buah naga. Dalam pemilihan bibit, selain memilih jenis atau
varietas tertentu juga memilih kualitas bibit itu sendiri. Bibit yang baik mempunyai pengaruh dan
manfaat yang sangat besar pada proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta proses
pembuahannya (Triatminingsih, 2009).
Bibit buah naga menggunakan stek dengan panjang 25 - 30 cm yang ditanam dalam
polybag dengan media tanam berupa campuran tanah, pasir dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1 : 1 : 1 (Admin, 2007). Perkembangan akar dan tunas stek dipengaruhi oleh
kondisi bahan stek terutama persediaan karbohidrat dan nitrogen (Febriana, 2009).
Karena belum adanya rekomendasi panjang stek terbaik yang digunakan, maka penulis
melakukan percobaan dengan judul ”Pengaruh berbagai panjang stek terhadap pertumbuhan bibit
buah naga (Hylocereus polyryzus.)“. Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui panjang stek
yang terbaik untuk pertumbuhan bibit buah naga (Hylocereus polyryzus.).
BAHAN DAN METODA
Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balitbu Tropika-Aripan Nagari
Tampuniak Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok Sumatera Barat dengan ketinggian ±
415 m dpl. Percobaan ini dimulai pada bulan Februari - April 2012. Rancangan yang digunakan
dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan 3
kelompok sehingga seluruh satuan percobaan terdiri dari 21 plot. Masing-masing plot percobaan
terdiri dari 5 tanaman sampel. Perlakuan adalah beberapa panjang stek yang terdiri dari : A = 10
cm, B = 12,5 cm, C = 15 cm, D = 17,5 cm, E = 20 cm, F = 22,5 cm, dan G = 25 cm. Penempatan
masing-masing perlakuan dilakukan secara acak keseluruhan. Data pengamatan dianalisis secara
statistika dengan uji F dan jika hasil F hitung lebih besar dari pada nilai F table 5%, dilanjutkan
dengan Turkey’s stundentized range (uji Turkey) pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan percoban meliputi: pengisian polybag, pengambilan stek, penanaman,
pemasangan label, pemupukan, dan pemeliharaan (penyiangan, pengairan dan pengendalian hama
dan penyakit). Polybag diisi dengan media tanam yang terdiri dari campuran pasir, tanah dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Stek diambil dari pohon induk dan dipotong
sesuai perlakuan (10 cm, 12,5 cm, 15 cm, 17,5 cm, 20 cm, 22,5 cm dan 25 cm). potongan stek
kemudian ditanam ke dalam polybag dan diberi label. Pupuk NPK diberikan pada saat umur
tanaman 4 minggu dan 8 minggu dengan dosis 1-2 gr/tanaman. Selanjutnya dilakukan
pemeliharaan berupa penyiraman dan penyiangan.
Pengamatan meliputi : persentase stek tumbuh (%), waktu muncul tunas (hari),
persentase stek bertunas (%), jumlah tunas (buah), panjang tunas (cm), panjang akar (cm).
Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 10 minggu kecuali pengamatan waktu muncul
tunas yang dilakukan setiap hari.
143 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Stek Tumbuh
Persentase stek tumbuh dihitung pada bibit umur 10 minggu setelah tanam dengan
tujuan melihat kemampuan tumbuh stek berdasarkan panjang stek yang digunakan. Dari Tabel 1
terlihat pada seluruh panjang stek yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada akhir pengamatan, persentase stek tumbuh berkisar antara 80% - 100%.
Pertumbuhan dari stek sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan makanan dari stek
yang digunakan. Pemakaian panjang stek buah naga mulai dari 10 cm sampai dengan 25 cm
ternyata mampu mendukung pertumbuhan dari bibit buah naga. Ketersediaan bahan makanan
berupa karbohidrat dan nitrogen yang terkandung dalam bahan stek yang digunakan cukup untuk
menumbuhkan bibit buah naga.
Tabel 1. Persentase stek tumbuh buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Persentase stek tumbuh (%)
1. A 80,00 a
2. B 100,00 a
3. C 86,67 a
4. D 100,00 a
5. E 93,33 a
6. F 100,00 a
7. G 100,00 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Pada akhir penelitian terlihat kondisi pertumbuhan stek cukup baik, hal ini diduga
kondisi persedian fotosintat pada sel (karbohidrat) masih optimum untuk pertumbuhan stek
namun ada sebagian kecil stek yang mengalami kematian atau mengering dikarenakan gagalnya
stek dalam tahap inisiasi perakaran (Febriana, 2009) ditambahakan oleh Hartmann dan Kester
(1978) bahwa bahan stek yang mengandung karbohidrat tinggi dan nitrogen cukup akan
membentuk akar dan tunas.
Menurut Harjadi (1989) terdapat beberapa faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan
stek, yaitu asal stek (posisi stek pada tanaman induk), panjang stek, dan lingkungan (media
pengakaran, suhu, dan kelembaban, cahaya) . Selain ketersediaan bahan makanan yang cukup
untuk pertumbuhan stek, diduga keadaan lingkungan (media pengakaran, suhu dan kelembaban
cahaya) dan pemilihan bahan stek yang baik juga merupakan salah satu faktor keberhasilan
tumbuhnya stek.
Waktu Muncul Tunas
Tunas terbentuk akibat adanya proses morfogenesis menyangkut interaksi pertumbuhan
dan diferensiasi oleh beberapa sel yang memacu terbentuknya organ. Pembentukan tunas
sangatlah penting sebagai tahap awal pembentukan primordia daun dimana daun merupakan
organ tanaman yang memiliki jumlah klorofil terbesar yang berfungsi sebagai tempat terjadinya
proses fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat sebagai sumber makanan (Febriana, 2009).
Menurut Hartmann et al. (2002), terbentuknya akar dapat lebih dahulu kemudian tunas atau
sebaliknya. Jika tunas yang terbentuk lebih dahulu, kondisi ini menggambarkan bahwa
pembentukan akar memerlukan suatu senyawa tumbuh yang mendukung untuk terjadinya
pembentukan primordia akar.
Pengamatan waktu muncul tunas dilakukan setiap hari untuk mengetahui kecepatan
pertumbuhan tunas pada beberapa panjang stek yang digunakan. Waktu muncul tunas yang
disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan adanya pengaruh dari panjang stek yang digunakan. Pada
akhir pengamatan, tunas muncul paling cepat pada panjang stek 25 cm yaitu pada kisaran 34,20
hari dan tunas muncul paling lambat pada panjang stek 10 cm yaitu pada kisaran 51 hari setelah
tanam.
144 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pada awal pengamatan tunas muncul pertama kali pada panjang stek 15 cm, tetapi
munculnya tunas antara masing-masing sampel tidak seragam sehingga ketika diuji secara
statistika didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata antara panjang stek 15 cm – 25 cm. Waktu
muncul tunas paling lambat terdapat pada panjang stek 10 cm. Hal ini mungkin disebabkan
karena sedikitnya cadangan makanan yang terdapat pada panjang stek 10 cm sehingga kurang
dapat memacu pertumbuhan tunas. Cadangan makanan digunakan untuk memacu pertumbuhan
dari tunas (Hartmaan dan Kester, 1975).
Tabel 2. Waktu muncul tunas pada stek buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Waktu muncul tunas (hari)
1. A 51,00 a
2. B 38,53 ab
3. C 37,63 b
4. D 37,18 b
5. E 34,80 b
6. F 34,27 b
7. G 34,20 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Persentase Stek Bertunas
Persentase stek bertunas dihitung pada bibit umur 10 minggu setelah tanam. Dari Tabel 3
terlihat pada seluruh panjang stek yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada akhir pengamatan, persentase stek tumbuh berkisar 66,67% - 100%.
Tabel 3. Persentase stek bertunas buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Persentase stek bertunas (%)
1. A 66,67 a
2. B 73,3 a
3. C 93,33 a
4. D 93,33 a
5. E 100,00 a
6. F 100,00 a
7. G 100,00 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Persentase stek bertunas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua panjang
stek. Panjang stek berpengaruh terhadap pembentukan akar dan tunas. Semakin panjang stek
semakin banyak kandungan karbohidrat, sehingga semakin banyak terbentuknya tunas dan akar
(Hartman et all., 1983). Diduga kandungan karbohidrat yang terdapat dalam bahan stek yang
digunakan mulai dari 10 cm – 25 cm mampu mendukung pertumbuhan tunas pada stek. Selain
ketersediaan karbohidrat, ada faktor lain yang juga mendukung pertumbuhan tunas. Menurut
Prastowo et al, (2006) bahwa pertumbuhan tunas pada stek dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan seperti bahan stek yang digunakan, lingkungan tumbuh dan perlakuan yang
diberikan terhadap bahan stek.
Manifestasi dari pertumbuhan dan perkembangan akar maupun tunas (tajuk) adalah
pada besar kecilnya persentase stek yang berhasil menjadi bibit dan kualitas bibit itu serta daya
adaptasinya setelah pindah tanam di lapang (Santoso et all., 2008).
Jumlah Tunas
Pengamatan jumlah tunas yang tumbuh dilakukan pada bibit berumur 10 minggu
setelah tanam untuk mengetahui pengaruh dari panjang stek terhadap jumlah tunas yang tumbuh.
Jumlah tunas yang tumbuh disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan adanya pengaruh dari panjang
stek yang digunakan.
145 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Jumlah tunas pada stek buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Panjang tunas (cm)
1. A 8,66 b 2. B 19,45 a 3. C 20,58 a 4. D 18,83 a 5. E 23,99 a 6. F 23,03 a
7. G 25,13 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Pada akhir pengamatan, jumlah tunas berkisar antara 0,93 - 2,47 buah. Panjang stek
17,5 cm - 25 cm 22,5 cm dan 25 cm memperlihatkan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan panjang stek 10 cm. Semakin panjang stek yang digunakan maka jumlah titik
tunas/ buku yang dimiliki yang dimiliki stek semakin banyak untuk pertumbuhan tunasnya. Stek
dengan panjang 10 cm merupakan stek yang memiliki panjang terendah daripada perlakuan lain
yang digunakan sehingga memiliki titik tunas/ buku tersedia lebih sedikit untuk pertumbuhan
tunasnya. Hasil penelitian Setiyawan (2000) menyatakan bahwa perlakuan stek 3 buku
memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada stek bambu apel hijau. Dan pada
penelitian Belehu et all., (2004) pada stek ubi jalar didapatkan bahwa stek ubi jalar 3 buku
menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dari 1 stek buku.
Panjang Tunas
Pengamatan panjang tunas dilakukan pada bibit berumur 10 minggu setelah tanam
untuk mengetahui pertumbuhan tunas terbaik pada beberapa panjang stek yang digunakan.
Panjang tunas yang disajikan pada Tabel 5 memperlihatkan adanya pengaruh dari panjang stek
yang digunakan. Pada akhir pengamatan, panjang tunas berkisar antara 8,66 cm – 25,13 cm.
Panjang stek 10 cm memperlihatkan pertumbuhan tunas yang kurang baik dibandingkan dengan
panjang stek lainnya.
Tabel 5. Panjang tunas pada stek buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Jumlah tunas (buah)
1. A 0,93 c
2. B 1,27 bc
3. C 1,33 bc
4. D 1,73 abc
5. E 1,93 abc
6. F 2,93 a
7. G 2,47 ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Tunas terbentuk karena adanya proses morfogenesis yang menyangkut interaksi
pertumbuhan dan diferensiasi oleh beberapa sel yang memacu terbentuknya organ. Pertumbuhan
tunas pada stek dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan seperti bahan stek yang
digunakan, lingkungan tumbuh dan perlakuan yang diberikan terhadap bahan stek (Prastowo et
al., 2006).
Panjang stek yang baik untuk masing- masing jenis tanaman berbeda satu dengan yang
lainnya (Hartmann et al., 2002). Panjang bahan stek terkait dengan tersedianya bahan cadangan
makanan. Semakin panjang stek semakin besar kesediaan bahan makanannya, begitu juga
sebaliknya. Potensi cadangan makanan yang dimiliki masing-masing stek akan menentukan
pertumbuhan dan perkembangan bibit.
146 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Dalam penelitian ini panjang stek memegang peranan dalam pertumbuhan tunas bibit
buah naga. Semakin panjang stek yang digunakan semakin banyak cadangan makanan yang
disimpannya. Cadangan makanan ini digunakan untuk memacu pertumbuhan dari tunas
(Hartmaan dan Kester, 1978).
Panjang Akar
Panjang akar dihitung pada bibit umur 10 minggu setelah tanam. Panjang akar yang
disajikan pada Tabel 6., memperlihatkan adanya pengaruh panjang stek yang digunakan. Pada
akhir pengamatan, panjang akar berkisar antara 14,13 cm – 23,70 cm. Stek buah naga dengan
panjang 20cm, 22,5 cm dan 25 cm memperlihatkan pertumbuhan panjang akar yang lebih baik
daripada pada panjang stek 10 cm.
Tumbuhnya akar merupakan salah satu indikasi dari keberhasilan stek yang dilakukan
karena akar memegang peranan penting bagi tanaman. Fungsi dari akar yaitu menyerap air dan
mineral terlarut, transportasi unsur hara, pengokoh batang dan penyimpan cadangan makanan.
Semakin panjang akar yang terbentuk semakin memudahkan tanaman dalam menjalankan
fungsinya, salah satunya dalam penyerapan unsur hara.
Tabel 6. Panjang akar pada stek buah naga pada tujuh perlakuan panjang stek.
No. Perlakuan Panjang akar (cm)
1. A 14,13 b
2. B 17,30 ab
3. C 19,57 ab
4. D 16,40 ab
5. E 22,51 a
6. F 23,70 a
7. G 22,87 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Turkey.
Proses pembentukan akar pada tanaman dari hasil perbanyakan secara stek berbeda
dengan yang berasal dari penyemaian benih. Akar pada stek terbentuk secara adventif dari
kambium dan bagian node (buku). Akar pada stek terbentuk karena pelukaan, dan akar terbentuk
dari jaringan parenchym (Moko, 2004).
Keberhasilan stek dicirikan oleh didapatnya bibit yang memiliki perakaran dan
pertumbuhan yang baik dalam jumlah yang banyak pada satuan waktu tertentu (Pranoto, 1986).
Fungsi dari akar yaitu menyerap air dan mineral terlarut, transportasi unsur hara, pengokoh
batang dan penyimpan cadangan makanan. Semakin panjang akar yang terbentuk semakin
memudahkan tanaman dalam menjalankan fungsinya, salah satunya dalam penyerapan unsur
hara.
Pertumbuhan dan perkembangan akar dipengaruhi oleh kandungan bahan stek yang
digunakan terutama persediaan dari karbohidrat dan nitrogen. Menurut Hartmaan dan Kester
(1978), stek yang mengandung karbohidrat yang tinggi dan nitrogen yang cukup akan
membentuk akar dan tunas. Semakin panjang stek yang digunakan maka pertumbuhan panjang
akarnya semakin baik karena lebih banyak cadangan makanan yang digunakan untuk mendukung
pertumbuhan akarnya.
Ditambahkan oleh Magingo et all., (2001), bahwa pertumbuhan akar pada stek batang
dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat dan panjang stek. Semakin panjang stek yang
digunakan maka pertumbuhan panjang akarnya semakin baik karena lebih banyak cadangan
makanan yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan akarnya.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu muncul tunas, jumlah tunas, panjang tunas,
dan panjang akar pada stek buah naga dipengaruhi secara nyata oleh panjang stek. Sedangkan
147 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
persentase stek tumbuh dan persentase stek bertunas pada stek buah naga tidak dipengaruhi oleh
panjang stek. Pertumbuhan stek yang terbaik dapat terlihat pada panjang stek di atas 20 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2007. Budidaya Buah Naga. www.kphjember.com. (26 Desember 201).
Belehu, T and P.S. Hammes. 2004. Effect of Temperature, Soil Moisture Content and Type of
Cutting on Establishment of Sweet Potato Cuttings. African Journal Plant Soil 21(2): p. 85-
89.
Febriana, S. 2009. Pengaruh Konsentrasi ZPT dan Panjang Stek terhadap Pembentukan Akar
dan Tunas pada Stek Apokad (Persea americana Mill). Skripsi; Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Flora Fauna. 2008. Budidaya Buah Naga. http://infokebun.wordpress.com. (26 Desember 2011).
Harjadi, S. S. 1989. Dasar Dasar Hortikultura. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. ;506.
Hartmann, H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation. Principles and Practice. Prentice Hall
of India. New Delhi : p. 702.
Hartmann, H.T and D.E. Kester. 1983. Plant Propagation-Principle and Practices . Prentice Hall
International Inc. New York : p. 238.
Hartmann, H. T. and D. E. Kester Hartmann, H. T. and D. E. Kester., F.T. Davies, Jr,
R.L.Geneve. 2002. Plant Propagation: Principles and Practices. 7th edition. Prentice Hall
Inc: p. 770.
Leakey, R.R.B. 1999. Nauclea diderrichii: rooting of stem cuttings, clonal variation in shoot
dominance, and branch plagiotropism. Trees 4: p. 164-169.
Magingo, F.S.S. and J.Dick, J.M.C.P. 2001. Propagation of Two Miombo Woodland Trees by
Leafy Stem Cuttings Obtained from Seedlings. Agroforestry Systems 51: p. 49–55.
Moko, H. 2004. Teknik Perbanyakan Tanaman Hutan Secara Vegetative. Informasi Teknis 2(1):
hal. 1-20.
Pranoto, C. 1986. Pengaruh Pemberiaan IBA dan Campuran IBA-NAA Terhadap Keberhasilan
Stek Cemara Kipas (Thuja orientalis L.). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Prastowo, N.H., J.M. Roshetko dan G.E.S. Manurung. 2006. Tehnik Pembibitan dan
Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Winrock
International. Bogor.
Santoso, B.B, Hasnam, Hariyadi, S. Slamet dan S.P. Bambang. 2008. Perbanyakan Vegetatif
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Stek Batang: Pengaruh Panjang dan
Diameter Stek. Buletin Agronomi. (36) (3) ;255-262.
Setiyawan, A. 2000. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Ayam pada Transplanting Setek
Cabang 1 Buku dan 2 Buku Bambu Ampel Hijau. Skripsi; Departemen Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. ;48.
Triatminingsih, R. 2009. Teknologi Budidaya dan Prospek Pengembangan Buah Naga
(Hylocereus sp.). Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Padang.
Wikipedia. 2011. Buah Naga. http://id.wikipedia.org. (26 Desember 2011).
148 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
EFEKTIVITAS EKSTRAK Piper retrofractum dan Tephrosia vogelii
dan CAMPURANNYA TERHADAP Crocidolomia pavonana dan
Plutella xylostella SERTA KEAMANAN EKSTRAK TERSEBUT
TERHADAP Diadegma semiclausum
Agustin Zarkani1), Djoko Prijono2), Pudjianto2)
1) Departemen Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian UNIB 2) Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB
ABSTRAK
Fraksi aktif dari ekstrak etil asetat buah Piper retrofractum (Pr) dan ekstrak heksana daun Tephrosia
vogelii (Tv) serta campurannya telah dievaluasi aktivitas mortalitasnya terhadap larva instar kedua Crocidolomia
pavonana and Plutella xylostella dan juga keamanan ekstrak-ekstrak tersebut terhadap parasitoid Diadegma
semiclausum. Fraksi (fr) 2 Pr dari hasil kromatografi vakum cair (KVC) dan fr 2-4 Tv dari Kromatografi Kolom (KK)
memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap C. pavonana dan P. xylostella. Campuran dari fr 2 Pr KVC dan fr 2-
4 Tv KK pada perbandingan konsentrasi secara berurutan 8:5 dan 5:1 bersifat antagonistik terhadap C. pavonana dan P.
xylostella. Campuran dari fr 6 Pr KVC dan fr 2-4 Tv KK memiliki sifat kerja sinergis lemah terhadap C. pavonana.
Pada uji konsentrasi yang sama, perlakuan dengan fr 2-4 Tv KK dan campurannya dengan fr. 2 Pr KVC menyebabkan
kematian lebih rendah parasitoid D. semiclausum dibandingkan dengan larva P. xylostella dan ini menunjukkan adanya
selektivitas ekstrak aktif terhadap parasitoid. Ini berbeda dengan uji menggunakan organofosfat profenofos sebagai
kontrol positif yang diketahui lebih membunuh D. semiclausum dibandingkan dengan P. xylostella. Hasil uji
semilapangan, fr 2-4 Tv KK memiliki kemampuan yang setara dengan profenofos dan bioinsektisida Bacillus
thuringiensis dalam menurunkan populasi larva C. pavonana pada tanaman brokoli. Dengan demikian, ekstrak T.
vogelii (pada fraksi tertentu) dan campurannya dengan esktrak P. retrofractum memiliki potensi sebagai insektisida
alternatif untuk mengendalikan serangga hama tanaman Brassica.
Katakunci: insektisida nabati, insektisida kerja bersama, serangga hama tanaman brassica, parasitoid.
PENDAHULUAN
Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) dan Plutella xylostella (L.)
(Lepidoptera: Yponomeutidae) merupakan serangga hama utama pada tanaman kubis
(Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Hama ini diketahui juga menyerang tanaman famili
Brassicaceae lainnya seperti brokoli, petsai, dan lobak di dataran tinggi maupun dataran rendah
(Kalshoven 1981). Serangan secara bersamaan kedua jenis hama ini dapat menyebabkan
kerusakan berat hingga gagal panen jika tidak dilakukan pengendalian secara tepat.
Secara umum pengendalian serangga-serangga hama tanaman kubis masih
mengandalkan insektisida sintetik (Rauf et all., 2005). Namun, munculnya dampak negatif seperti
resistensi dan resurjensi hama, ledakan populasi hama sekunder serta munculnya berbagai kasus
keracunan terhadap hewan ternak dan manusia akibat penggunaan bahan kimia pestisida telah
mendorong para peneliti untuk mengembangkan teknik lain yang lebih ramah lingkungan seperti
insektisida nabati (Perry et all., 1998; Kaufman et al. 2006).
Di antara jenis-jenis tanaman yang berpotensi sebagai sumber insektisida nabati ialah
Piper retrofractum (Miyakado et al. 1989; Scott et al. 2008) dan Tephrosia vogelii (Koona &
Dorn 2005). Senyawa piperamida yang mengandung gugus metilendioksifenil pada tanaman P.
retrofractum diketahui memiliki efek sinergis yang akan menggantikan posisi insektisida sebagai
substrat pada enzim polysubstrate mono-oxygenase (PSMO), sehingga berpotensi sebagai bahan
campuran insektisida lainnya (Scott et all,. 2008). Selain itu, Prijono (1999) menyatakan bahwa
insektisida nabati dan campurannya dapat mencegah timbulnya resistensi hama bila digunakan
dalam bentuk ekstrak kasar, dan komponen ekstrak yang dicampur nantinya mungkin dapat
bersifat sinergis, dan dapat dipadukan dengan teknik pengendalian hama lainnya.
Penggunaan campuran dua jenis insektisida atau lebih dapat bersifat aditif, sinergistik,
dan atau antagonistik sehingga mempengaruhi tingkat efisiensi penggunaan insektisda (All et all.,
1997). Untuk itu, evaluasi potensi P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya sebagai
insektisida nabati perlu dilakukan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan
pemanfaatannya dalam pengendalian hama C. pavonana dan P. xylostella. Aspek keamanan
149 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
insektisida nabati tersebut terhadap musuh alami Diadegma semiclausum juga perlu dievaluasi
sebagai salah satu landasan penerapannya dalam pengendalian hama terpadu.
Penelitian ini bertujuan menguji (1) efek racun perut komponen ekstrak buah P.
retrofractum (Pr) dan daun T. vogelii (Tv) serta campurannya terhadap larva C. pavonana; (2)
efek racun perut fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya terhadap larva P. xylostella; (3)
keamanan fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya terhadap imago parasitoid D. semiclausum;
dan (4) keefektifan fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya terhadap larva C. pavonana pada
tanaman brokoli dalam polybag di lapangan.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sejak bulan Maret hingga Juni 2008. Bahan tumbuhan
yang digunakan sebagai sumber ekstrak ialah buah P. retrofractum, yang dibeli dari kios obat
tradisional di Kota Bogor dan daun T. vogelii yang diperoleh dari Lembaga Pertanian Sehat,
Dompet Dhuafa Republika di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Sebagai pembanding
positif digunakan insektisida yang mengandung bahan aktif Bacillus thuringiensis (Turex WP,
delta-endotoksin B. thuringiensis var. aizawai strain GC-91 3,8%, 25.000 IU/mg) dan profenofos
(Curacron 500 EC, kadar bahan aktif 499,53 g/l), yang masing-masing diperoleh dari PT.
Tanindo Subur Prima dan PT. Syngenta Indonesia, Jakarta.
Ekstraksi dan Fraksinasi Piper retrofractum dan Tephrosia vogelii
Simplisia bahan uji yang telah dikering anginkan dan selanjutnya dihaluskan dengan
blender serta diayak dengan pengayak bermata 0,5 mm. Serbuk buah P. retrofractum sebanyak
150 g diekstrak dengan perkolasi menggunakan etil asetat sedangkan ekstrak T. vogelii diperoleh
dengan maserasi 300 g serbuk daun dengan heksana.
Ekstrak P. retrofractum (Pr) dan T. vogelii (Tv) difraksinasi dengan kromatografi
vakum cair (KVC) dengan penjerap Silica Gel 60 F254 (40-63 µm) seperti metode yang dilakukan
oleh Coll & Bowden (1986). Pelarut yang digunakan yaitu diklorometan dan etil asetat dengan
perbandingan berturut-turut 1:0, 9:1, dan 0:1. Fraksi aktif KVC Pr dipisahkan dengan
kromatografi kolom (KK) menggunakan eluen CH2Cl2:EtOAc 9:1, EtOAc, dan MeOH.
Metode Pengujian
Uji Toksisitas terhadap Larva C. pavonana dan P. xylostella
Metode residu pada daun. Ekstrak Pr, fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya diuji
terhadap larva C. pavonana pada lima taraf konsentrasi yang diharapkan dapat menyebabkan
kematian serangga uji antara >0% dan <100% (berdasarkan uji pendahuluan). Ekstrak atau
fraksinya dilarutkan dalam campuran metanol, aseton, dan Tween 80 (5:5:2) kemudian
diencerkan dengan akuades hingga volume yang diinginkan (konsentrasi akhir 1,2%) [larutan
kontrol: air yang mengandung pelarut dan pengemulsi tersebut]. Larva instar II C. pavonana
diberi makan daun brokoli perlakuan atau kontrol selama 48 jam, kemudian diberi makan daun
tanpa perlakuan selama 24 jam berikutnya. Fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya juga diuji
terhadap larva P. xylostella dengan metode yang sama. Setiap perlakuan dan kontrol digunakan
75 larva C. pavonana atau 40 larva P. xylostella. Jumlah larva yang mati dicatat setiap hari
hingga hari ke-3. Data kematian serangga uji diolah dengan analisis probit (Finney1971)
menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).
Campuran ekstrak yang komponennya berasal dari jenis tumbuhan yang berbeda, sifat
aktivitas campuran dianalisis berdasarkan model kerja bersama berbeda dengan menghitung
indeks kombinasi (IK) pada taraf LC50 dan LC95 seperti yang dijelaskan oleh Chou & Talalay
(1984). Kategori sifat interaksi campuran diadaptasi dari Kosman & Cohen (1996) dan Gisi
(1996) berdasarkan kebalikan nilai nisbah ko-toksisitas, yaitu (1) bila IK < 0,5, sinergistik kuat;
(2) bila IK 0,5–0,77, sinergistik lemah; bila IK >0,77–1,43, aditif; dan (4) bila IK > 1,43, bersifat
antagonistik.
150 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Uji Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap
Imago Parasitoid D. semiclausum
Fraksi aktif Pr dan Tv serta campurannya diuji terhadap imago parasitoid D.
semiclausum dengan metode kontak pada permukaan daun. Konsentrasi yang diuji ialah ialah 1 x
LC95 dan 2 x LC95 tertinggi berdasarkan hasil pengujian terhadap larva C. pavonana dan P.
xylostella. Penyiapan bahan uji dilakukan seperti pada uji toksisitas dengan metode residu pada
daun dan sebagai pembanding digunakan insektisida sintetik profenofos (Curacron 500 EC).
Satu lembar daun brokoli yang bertangkai dipotong helaian daunnya sehingga
menyisakan helaian daun berukuran 5 cm x 5 cm. Daun brokoli berukuran 5 cm x 5 cm
selanjutnya dicelupkan dalam suspensi bahan uji hingga membasahi permukaan secara merata,
kemudian tangkai setiap helaian daun uji dimasukkan dalam pot kecil berisi air dan diletakkan di
dalam kurungan plastik (tinggi 4,5 cm dan diameter 3,5 cm). Masing-masing 10 ekor imago
betina dan jantan parasitoid D. semiclausum yang berumur 3-4 hari dimasukkan ke dalam setiap
kurungan plastik pengujian dan diberi pakan madu 10% yang diserapkan pada kapas. Imago
parasitoid dibiarkan kontak dengan residu bahan uji pada daun brokoli selama 72 jam. Jumlah
serangga uji yang mati selanjutnya dicatat mulai sejak hari pertama sampai hari ketiga.
Uji Semilapangan Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap
Larva C. pavonana
Tanaman brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) cv. Winter Harvest -yang
diperoleh dari petani organik Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor - yang
berumur 1 bulan dipindahkan ke dalam polybag 5 L dan dipelihara hingga memiliki 5-6 helai
daun. Selanjutnya tanaman brokoli tersebut diletakkan di lahan percobaan Cikabayan, IPB.
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan (1) fraksi 2 KVC
P. retrofractum 0,138%, (2) fraksi 2-4 KK T. vogelii 0,135%, (3) campuran dua fraksi tersebut
(8:5) 0,186%, (4) formulasi Bacillus thuringiensis (Turex WP) 0,0552%, (5) formulasi profenofos
(Curacron 500 EC) 0,0900%, dan (6) kontrol. Konsentrasi yang diuji setara dengan 3 x LC95
terhadap larva instar II C. pavonana pada pengujian dengan metode residu pada daun di
laboratorium. Tiap unit perlakuan terdiri atas dua tanaman brokoli dengan empat ulangan.
Sediaan bahan uji disemprotkan pada tanaman brokoli dengan menggunakan hand
sprayer pada permukaan atas dan bawah daun hingga merata. Pada salah satu tanaman brokoli
diinfestasikan 15 larva instar II C. pavonana segera setelah cairan semprot mengering dan 7 hari
kemudian dilakukan infestasi ulang dengan jumlah larva uji yang sama pada tanaman brokoli
kedua. Jumlah larva yang masih hidup dicatat pada 3, 4, dan 7 hari setelah infestasi pertama dan
kedua. Data diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan
pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Toksisitas Fraksi Aktif Ekstrak Buah P. retrofractum dan Daun T. vogelii serta
Campurannya terhadap Larva C. pavonana
Metode residu pada daun. Hasil pengujian ekstrak etil asetat, fr 2 dan fr 6 KVC Pr,
serta fr 2-4 KK Tv menunjukkan adanya aktivitas insektisida yang kuat terhadap mortalitas larva
instar II C. pavonana. Kematian larva terbesar terjadi pada 24 dan 48 JAP (jam sejak awal
perlakuan), sedangkan pada 72 JAP tingkat kematian larva umumnya hanya sedikit mengalami
kenaikan (Tabel 1). Hal ini disebabkan pada 48 JAP daun perlakuan sudah diganti dengan daun
tanpa perlakuan sehingga mengurangi kontaminasi bahan aktif terhadap tubuh serangga uji.
151 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Penduga parameter toksisitas ekstrak/fraksi buah P. retrofractum dan T. vogelii serta
campurannya terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun.
Waktu pengamatan
(JAP)a) a ± GB
b) b ± GB
b)
LC50 (SK 95%)
(%)b)
LC95 (SK 95%)
(%)
Fr 2 KVC Pr
24 8,00 ± 1,22 5,76 ± 0,81 0,041 (0,036-0,060) 0,078 (0,055-0,253)
48 5,36 ± 0,60 3,24 ± 0,36 0,022 (0,017-0,028) 0,071 (0,048-0,209)
72 6,67 ± 0,63 3,76 ± 0,37 0,017 (0,013-0,020) 0,046 (0,036- 0,075)
Fr 6 KVC Pr
24 0,23 ± 0,19 2,41 ± 0,40 0,136 (0,094-0,526) 0,655 (0,260-0,460)
48 4,56 ± 0,49 3.96 ± 0,41 0,071 (0,057-0,093) 0,184 (0,057-0,497)
72 4,86 ± 0,49 4,09 ± 0,40 0,065 (0,054-0,081) 0,164 (0,118-0,350)
Ekstrak EtOAc Pr
48 7,85 ± 0,90 8,43 ± 0,94 0,117 (0,110-0,127) 0,184 (0,161-0,231)
72 5,84 ± 0,60 5,92 ± 0,59 0,103(0,092-0,118) 0,195 (0,158-0,302)
Fr 2-4 Tv
48 4,31 ± 0,57 2,35 ± 0,31 0,015 (0,011-0,020) 0,074 (0,042-0,337)
72 5,17 ± 0,57 2,62 ± 0,30 0,011 (0,009-0,013) 0,045 (0,032-0,092)
Fr 2 + fr 6 KVC Pr (2:5)
72 6,33 ± 0,94 6,88 ± 0,93 0,096 (0,085-0,107) 0,120 (0,108-0,151)
Fr2 KVC Pr + fr 2-4 Tv (8:5)
48 9,66 ± 1,17 6,24 ± 0,73 0,028 0,052
72 6,75 ± 0,78 4,24 ± 0,47 0,025 (0,022-0,029) 0,062 (0,048-0,096)
Fr6 KVC Pr + fr 2-4 Tv (4:1)
48 5,37 ± 0,57 3,96 ± 0,41 0,044 (0,036-0,058) 0,115 (0,078-0,311)
72 6,72 ± 0,56 4,40 ± 0,39 0,030 (0,024-0,035) 0,070 (0,055-0,111)
Profenofosc)
48 7,87 ± 0,67 4,20 ± 0,35 0,013 (0,011-0,016) 0,033 (0,025-0,023)
72 7,90 ± 0,67 4,18 ± 0,35 0,013 (0,010-0,015) 0,032 (0,024-0,054) a) Kode singkatan bahan uji sudah dijelaskan di dalam teks. b) a dan b masing-masing intersep dan kemiringan regresi probit; GB= galat baku; SK= selang kepercayaan c) Konsentrasi dalam % formulasi (v/v)
Pada Tabel 1. Tergambar bahwa LC50 dan LC95 semua bahan uji pada 72 JAP tidak
berbeda nyata dengan LC50 dan LC95 pada 48 JAP (SK 95% tumpang tindih) kecuali LC50
campuran fr 6 Pr dan fr 2-4 KK Tv. Berdasarkan LC50 pada 72 JAP, urutan toksisitas bahan uji
ialah profenofos = fr 2-4 KK Tv ≥ fr 2 KVC Pr ≥ campuran fr 2 KVC Pr + fr 2-4 KK Tv =
campuran fr 6 KVC Pr + fr 2-4 KK Tv > fr 6 KVC Pr > campuran fr 2 + fr 6 KVC Pr = ekstrak
kasar Pr, sedangkan urutan toksisitas berdasarkan LC95 pada 72 JAP ialah profenofos = fr 2-4 KK
Tv= fr 2 KVC Pr = campuran fr 2 KVC Pr + fr 2-4 KK Tv = campuran fr 6 KVC Pr + fr 2-4 KK
Tv ≥ campuran fr 2 + fr 6 KVC Pr ≥ fr 6 KVC Pr = ekstrak kasar Pr (Tabel 1).
Fraksi 2 KVC Pr memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana
dengan LC95 pada 72 JAP hanya sekitar 0,046% (batas atas SK 95% dari LC95 tidak melebihi
0,1%). Sementara itu, ekstrak etil asetat Pr dapat dikatakan memiliki aktivitas insektisida yang
baik karena LC95 pada 72 JAP kurang dari 0,2%. Prijono (1999) menyatakan bahwa fraksi dari
ekstrak tumbuhan pada konsentrasi > 0,1% dan ekstrak kasar tumbuhan > 0,5% kurang efisien
digunakan di lapangan karena dalam penyiapannya akan dibutuhkan sumber bahan tumbuhan
yang cukup banyak.
Campuran fr 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv bersifat antagonis pada LC50 48 JAP, LC50
dan LC95 72 JAP, serta bersifat aditif pada LC95 48 JAP, sedangkan campuran fr 6 KVC Pr dan fr
2-4 KK Tv bersifat aditif sampai sinergistik lemah (Tabel 2). Komponen fraksi Pr yang
mengandung gugus metilendioksifenil dapat menghambat kerja enzim pengoksidasi PSMO
sehingga menimbulkan sinergisme, tetapi setelah beberapa lama komponen tersebut justru dapat
menginduksi kerja enzim PSMO sehingga mengakibatkan antagonisme (Scott et all,. 2008).
152 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2 Toksisitas campuran fraksi aktif ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii
terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun.
Campuran
fraksi ujia)
Waktu
pengamatan
(JAP)
Nisbah ko-toksisitas atau
indeks kombinasib)
Sifat interaksi
LC50 LC95 LC50 LC95
Pr2 + Pr6 (2:5) 72 0,375 0,789 Antagonis Aditif
Pr2 + Tv2-4 (8:5)
48 2,063 0,843 Antagonis Aditif
72 2,570 1,799 Antagonis Antagonis
Pr6 + Tv2-4 (4:1)
48 1,373 0,966 Aditif Aditif
72 1,116 0,759 Aditif Sinergistik lemah
a) Pr2 dan Pr6 masing-masing fr 2 dan fr 6 KVC Pr; Tv2-4 = fr 2-4 KK Tv. b) Nisbah ko-toksisitas untuk campuran pertama, yang lainnya menggunakan indeks kombinasi
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap
Larva P. xylostella
Tidak terjadi peningkatan kematian larva uji yang nyata antara 48 JAP dan 72 JAP. Ini
ditunjukkan pada nilai LC50 dan LC95 pada 48 JAP dan 72 JAP yang tidak berbeda nyata (Tabel
3). Fraksi 2 KVC Pr dan campurannya dengan fr 2-4 KK Tv juga memiliki aktivitas yang baik
terhadap larva P. xylostella dengan LC95 masing-masing sekitar 0,1%. Kedua jenis bahan nabati
tersebut dapat menjadi alternatif pengganti insektisda sintetik seperti profenofos yang sudah tidak
efektif lagi terhadap larva P. xylostella (LC95 7,3% [Tabel 3], yang setara dengan > 24 kali
konsentrasi anjuran formulasi). Campuran fr 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv (5:1) bersifat antagonis
pada taraf LC50 48 dan 72 JAP (IK 2,14 dan 2,64) serta pada LC95 72 JAP (IK 1,79) sedangkan
pada LC95 48 JAP bersifat aditif (IK 1,24).
Tabel 3 Penduga parameter toksisitas fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta
campurannya terhadap larva instar II P. xylostella dengan metode residu pada daun.
Waktu Pengamatan
(JAP)a) a ± GB b ± GB
LC50 (SK 95%)
(%)
LC95 (SK 95%)
(%)
Pr2
48 5,41 ± 0,71 3,94±0,52 0,042 (0,037-0,047) 0,111 (0,090-0,155)
72 5,69 ± 0,72 4,11±0,53 0,041 (0,036-0,047) 0,104 (0,084-0,147)
Tv2-4
48 0,70 ± 0,33 1,89±0,40 0,008 (0,006-0,010) 0,061 (0,031-0,253)
72 5,13 ± 0,88 2,31±0,41 0,006 (0,005-0,007) 0,031 (0,021-0,068)
Pr2+Tv2-4 (5:1)
48 5,47 ± 0,85 3,84±0,58 0,038 (0,033-0,043) 0,101 (0,077-0,163)
72 5,47 ± 0,85 3,84±0,58 0,038 (0,033-0,043) 0,101 (0,077-0,163)
Profenofos
48 -3,77 ± 0,72 5,61±0,96 4,692 (4,001-5,17) 9,225 (7,840-12,98)
72 -4,73 ± 0,83 7,40±1,14 4,359 (3,890-4,70) 7,271 (6,600- 8,55)
a) Kode singkatan bahan uji seperti catatan kaki tabel 2.
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Imago
Parasitoid D. semiclausum
Fraksi 2-4 KK Tv pada konsentrasi hingga 0,090% atau 3 kali LC95 terhadap larva inang
C. pavonana atau 2 kali LC95 terhadap larva inang P. xylostella hanya mengakibatkan kematian
imago betina D. semiclausum sekitar 13% (Tabel 4) sehingga fraksi ini cukup prospektif untuk
dikembangkan sebagai bahan insektisida alternatif. Fraksi 2 KVC Pr pada konsentrasi 0,104%
dan 0,208% (1 dan 2 kali LC95 terhadap larva inang P. xylostella) mengakibatkan kematian imago
jantan dan betina parasitoid D. semiclausum yang lebih tinggi dibandingkan dengan fr 2-4 KK Tv
dan campurannya. Meskipun demikian, fraksi 2 KVC Pr dan campurannya masih berpotensi
153 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
untuk digunakan sebagai alternatif pengendalian dibandingkan dengan insektisida sintetik
profenofos yang pada konsentrasi 2% (jauh lebih kecil daripada LC95 terhadap P. xyostella) sudah
dapat mengakibatkan kematian imago jantan dan betina D. semiclausum sampai 100% (Tabel 4).
Tabel 4. Mortalitas imago parasitoid D. semiclausum yang diberi perlakuan fraksi aktif P.
retrofractum dan T. vogelii serta campurannya dengan metode kontak daun.
Bahan ujia)
Konsentrasi
(%)
Mortalitas (%) imago pada waktu pengamatan (JAP)
Jantan Betina
24 48 72 24 48 72
Pr2 0,208 26,7 60,0 93,3 16,7 30,0 70,0
0,104 6,7 30,0 73,3 3,3 10,0 50,0
Tv2-4 0,090 13,3 26,7 80,0 10,0 13,33 13,3
0,045 3,3 10,0 33,3 0,0 3,33 6,7
Pr2+Tv2-4 (5:1) 0,202 13,3 33,3 60,0 6,7 20,0 40,0
0,101 0,0 3,3 30,0 0,0 0,0 20,0
Profenofos 2,000 43,3 96,7 100,0 63,3 100,0 100,0
5,000 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Kontrol 0,0 0,0 3,3 0,0 0,0 0,0
a) Kode singkatan bahan uji seperti catatan kaki tabel 2.
Uji Semilapangan terhadap C. pavonana
Perlakuan fr 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv serta campurannya pada konsentrasi 3 x LC95
mengakibatkan penurunan populasi larva C. pavonana yang nyata dibandingkan dengan
kontrol (Tabel 5). Penurunan jumlah larva secara drastis ditemui pada hari ke-7 karena larva C.
pavonana sudah berkepompong di dalam tanah sehingga sudah tidak dijumpai lagi pada tanaman.
Tabel 5. Pengaruh fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap sintasan
larva C. pavonana pada tanaman brokoli dalam pot di lapangan.
Perlakuana)
Kon-
sentrasi
(%)
Populasi larva (ekor/tanaman) pada pengamatan hari ke-nb)
Infestasi I Infestasi II
3 4 7 3 4 7
Pr2 0,138 3,50a 3,50a 0,00a 6,75a 6,75a 0,25a
Tv2-4 0,135 0,75b 0,75b 0,25a 6,25a 6,25a 0,25a
Pr2+Tv2-4 (8:5) 0,186 1,00b 1,00b 0,00a 7,25a 7,25a 0,25a
Profenofosc)
0,090 0,00b 0,00b 0,00a 4,25a 4,25a 0,25a
Bt c)
0,055 0,00b 0,00b 0,00a 4,25a 4,25a 0,25a
Kontrol - 10,00c 10,00c 0,25a 6,75a 6,75a 0,25a
a) Kode singkatan bahan uji seperti catatan kaki Tabel 2. b) Jumlah awal larva 15 ekor/tanaman. Rataan selajur yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji selang berganda Duncan (α = 0,05). c) Konsentrasi dalam % formulasi (w/v untuk Bt dan v/v untuk profenofos).
Pengamatan hari ke-3 setelah infestasi awal, penurunan jumlah larva C. pavonana
tertinggi di antara sesama bahan nabati terjadi pada perlakuan fr 2-4 KK Tv (95%), yang diikuti
perlakuan campuran fraksi Pr dan Tv (93,3%), dan fr 2 KVC Pr (76,7%). Pada tanaman kontrol
terjadi penurunan jumlah larva C. pavonana sebesar 33,3% yang mungkin diakibatkan karena
adanya faktor musuh alami dan/atau tercuci air hujan. Pada tanaman yang diberi perlakuan
dengan insektisida sintetik profenofos dan bioinsektiasa B. thuringiensis, larva C. pavonana
sudah tidak dapat ditemukan lagi pada hari ke-3 sejak infestasi pertama. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa profenofos dan B. thuringiensis memiliki aktivitas yang kuat terhadap larva
C. pavonana. Jumlah larva C. pavonana yang tersisa pada perlakuan dengan fr 2-4 KK Tv dan
campurannya dengan fr 2 KVC Pr tidak berbeda nyata dengan perlakuan profenofos dan B.
thuringiensis sehingga tanaman dan campurannya tersebut layak dikembangkan sebagai
insektisida nabati.
154 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pada perlakuan hari ke-4 setelah infestasi pertama, semua bahan uji tidak
mengakibatkan penambahan jumlah larva yang mati per tanaman. Ini menunjukkan bahwa residu
bahan uji sudah mengalami penurunan keaktifan baik karena penguraian oleh pencucian air
hujan, cahaya matahari, atau karena larva uji sudah cukup besar dan toleran. Penurunan aktivitas
residu bahan uji juga ditunjukkan pada tanaman kedua yang diinfestasi dengan larva C. pavonana
7 hari setelah infestasi pertama dan jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali tidak
berbeda nyata dengan kontrol.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemisahan dengan kromatografi vakum cair (KVC) ekstrak etil asetat buah P.
retrofractum (Pr) dan kromatografi kolom (KK) ekstrak daun T. vogelii (Tv) menghasilkan
masing-masing fraksi (fr) 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv sebagai fraksi yang aktif terhadap larva C.
pavonana dan P. xylostella.
Fraksi 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap
larva C. pavonana dengan efek racun perut yang kuat. Campuran fr 2 KVC Pr dan fr 2-4 KK Tv
8:5 dan 5:1 masing-masing bersifat antagonistik terhadap larva C. pavonana. Sedangkan
campuran dari fr 6 Pr KVC dan fr 2-4 Tv KK memiliki sifat kerja sinergis lemah terhadap C.
pavonana. Fraksi 2 KVC Pr pada 1 x LC95 terhadap larva P. xylostella mengakibatkan kematian
yang cukup tinggi (≥ 50%) pada imago jantan dan betina D. semiclausum sedangkan fr 2-4 KK
Tv pada 2 x LC95 terhadap larva C. pavonana relatif aman bagi imago betina parasitoid D.
semiclausum. Pada uji semilapangan, kemampuan fr 2-4 KK Tv dalam membunuh larva C.
pavonana tidak berbeda nyata dengan insektisida sintetik profenofos dan bioinsektisda Bt
sehingga fraksi tersebut layak dikembangkan lebih lanjut.
Pengujian dalam skala lapangan yang lebih luas masih perlu dilakukan untuk
mengevaluasi lebih lanjut keefektifan sediaan campuran P. retrofractum dan T. vogelii sebagai
insektisida alternatif.
DAFTAR PUSTAKA
All JN, Ali M, Hornyak EP, Weaver JB. 1997. Joint action of two pyrethroids with methyl-
parathion, methomyl, and chlorpyrifos on Heliothis zea and H. virescens in the laboratory
and in cotton and sweetcorn. J Econ Entomol 70: 813-817.
Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the combined
effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Adv Enzyme Regl 22: 27-55.
Coll JC, Bowden BF. 1986. The application of vacuum liquid chromatography to the separation
of terpene mixtures. J Nat Prod 49: 934-936.
Finney DJ. 1971. Probit Analysis. Ed ke-3. Cambridge (UK): The University Press.
Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology 86: 1273-1279.
Kalshoven VDL. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta:
Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in
Indonesië.
Kaufman P.B., Kirakosyan A., McKenzie, Dayanan and P. Hoyt J.E., Li C. 2006. The uses of
plant natural products by human and risks associated with their uses. Di dalam: Cseke LJ,
Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural
Products from Plants. Boca Raton: CRC Press. hlm 441-474.
Koona P, Dorn S. 2005. Extracts from Tephrosia vogelii for the protection of stored legume
seeds against damage by three bruchid species. Ann Appl Biol 147: 43–48.
Kosman E, Cohen Y. 1996. Procedures for calculating and differentiating synergism and
antagonism in action of fungicide mixtures. Phytopathology 86: 1255-1264.
LeOra Software. 1987. POLO-PC User‟s Guide. Petaluma (CA): LeOra Software.
Miyakado M, Nakayama I, Ohno N. 1989. Insecticidal unsaturated isobutylamides. Di Dalam:
Arnason JT, Philogene BJR, Morand P, editor. Insecticides of Plant Origin. Washinton
DC: ACS. hlm 173-187.
155 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Perry A.S., Yamamoto I., Ishaaya I., and Perry R.Y. 1998. Insecticides in Agriculture and
Environment: Retrospects and Prospects. Berlin: Springer.
Prijono D. 1999. Prospek Dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami Dalam PHT. Di dalam:
Nugroho BW, Dadang, Priyono D, editor. Bahan Pelatihan Pengembangan dan
Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian PHT. hlm
1-7.
Rauf A., Prijono D., Dadang, Winasa I.W., and Russell D.A. 2005. Survey of pesticide use by
cabbage farmers in West Java, Indonesia [report]. Cooperation between Department of
Plant Pests and Diseases IPB (Indonesia) and Centre for Environmental Stress and
Adaptation Research, LaTrobe University (Australia).
Sastrosiswojo, B dan Setiawati, W. 1993. Hama-Hama Tanaman Kubis Dan Cara Pengenda-
Liannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Kubis. Bandung: Balitbang
Pertanian dan Balai Penelitian Hortikultura. hlm 39-50.
Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2008. A review of Piper spp. (Piperaceae)
phytochemistry, insecticidal activity and mode of action. Phytochem Rev 7: 65-75.
156 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
IDENTIFIKASI DAN STATUS SERANGAN OPT UTAMA PADA
PERTANAMAN JERUK RGL DI KABUPATEN LEBONG
Kusmea Dinata dan Sri Suryani M. Rambe
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang mengembangkan komoditas jeruk adalah kabupaten
Lebong, jenis yang dikembangkan yaitu jeruk RGL. Penanganan OPT sebagai faktor pembatas dalam meningkatkan
produksi dan mutu buah jeruk perlu dilakukan secara serius mengingat akan tuntutan pasar internasional. Dibutuhkan
persyaratan mutu termasuk daftar OPT serta penanganannya dengan residu pestisida minimum. Kajian ini untuk
mendapatkan informasi tentang jenis dan status serangan beberapa OPT utama pada tanaman jeruk RGL. Kajian
dilaksanakan dari bulan Juni s/d Oktober 2012, pada pertanaman jeruk RGL umur 2 tahun dengan luas sekitar 1,5 ha.
Data diambil dengan melakukan pengamatan pada tanaman sampel dari 4 blok, sehingga ada 24 pohon sampel yang
akan diamati setiap satu bulan sekali. Variabel pengamatan meliputi jenis OPT utama dan intensitas serangannya. Dari
hasil pengamatan di lapangan ditemukan beberapa OPT utama yang menyerang tanaman jeruk RGL, yaitu hama tungau
merah, ulat peliang daun, penggerek buah dan lalat buah. Intensitas serangan dari keempat OPT tersebut dengan
kisaran intensitas serangan hama tungau merah (4,16-28,33%) katagori ringan sampai sedang, hama peliang daun
(9,16-26,67%) katagori ringan sampai sedang, penggerek buah (5,6-12,18%) katagori ringan dan hama lalat buah (0-
5,5%) katagori ringan.
Kata kunci : Identifikasi OPT, Jeruk RGL, status serangan OPT
PENDAHULUAN
Salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang mengembangkan komoditas jeruk
adalah kabupaten Lebong, jenis yang dikembangkan yaitu jeruk RGL. Jeruk RGL ini sekarang
menjadi komoditas unggulan Kabupaten Lebong karena mempunyai keunggulan kompetitif, yaitu
buahnya berwarna kuning-orange, berbuah sepanjang tahun, ukuran buah besar 200-350 gram,
kadar sari buah tinggi dan mempunyai potensi pasar yang baik. Jeruk RGL berbuah sepanjang
masa, satu pohon ada 4-6 generasi, dalam satu pohon ada bunga, buah muda sampai buah siap
panen (Suwantoro, 2010).
Penanganan OPT sebagai faktor pembatas dalam meningkatkan produksi dan mutu buah jeruk
perlu dilakukan secara serius sesuai tuntutan pasar internasional. Dibutuhkan persyaratan mutu
termasuk daftar OPT serta penanganannya dengan residu pestisida minimum. Penelitian yang
dilakukan Nurariaty dan Najamudin (2008) di desa Punrangan dan desa Padanglampe pada
tanaman yang belum berproduksi ditemukan beberapa OPT yang menyerang tanaman jeruk
sepertia hama kutu dompolan (Planococcus citri (Risso), ulat pengorok daun (Phylocnistis
citrella), belalang (Valanga sp.), kumbang pemakan daun ulat penggerek buah (Prays endocarpa
Meyr.), lalat buah (Bactrocera sp.), serta hama rayap pada tanaman yang sudah berproduksi.
Produk buah Indonesia sampai saat ini belum bisa masuk ke pasar Eropa karena belum memenuhi
persyaratan di negara tujuan ekspor. Pada era perdagangan bebas ini, orientasi utama adalah
peningkatan daya saing global termasuk penyelamatan produksi pertanian dari serangan OPT
sebagai persyaratan untuk perlindungan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
Oleh karena itu, penggunaan pestisida di pertanaman jeruk perlu dikurangi dan sebagai alternatif
pengendalian yang aman terhadap lingkungan.
Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap
seranggan OPT. Salah satu pendorong meningkatnya serangan OPT adalah tersedianya makanan
terus menerus sepanjang waktu dan di setiap tempat. Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan
maka tindakan mengurangi serangan OPT melalui pemanfaatan musuh alami serangga dan
meningkatkan keanekaragaman tanaman seperti penerapan tumpang sari, rotasi tanaman dan
penanaman lahan-lahan terbuka sangat perlu dilakukan karena meningkatkan stabilitas ekosistem
serta mengurangi resiko gangguan OPT (Altieri & Nicholls,1999). Mekanisme-mekanisme alami
seperti predatisme, parasitisme, patogenisitas, persaingan intraspesies dan interspesies, suksesi,
produktivitas, stabilitas dan keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk mencapai
157 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
pertanian berkelanjutan. Umumnya semakin intensif tanaman tersebut dimodifikasi maka akan
semakin intensif pula hama yang menyerangnya (Swift et al.l, 1996).
Konsekuensi dari pengurangan keanekaragaman hayati akan lebih jelas terlihat pada
pengelolaan OPT pertanian. Adanya perluasan monokultur tanaman yang mengorbankan vegetasi
alami sehingga mengurangi keragaman habitat lokal, akhirnya menimbulkan ketidakstabilan
agroekosistem dan meningkatnya serangan OPT. Adapun tujuan dari kajian ini adalah untuk
mendapatkan informasi tentang jenis OPT utama dan status serangannya pada pertanaman jeruk
RGL di kabupaten Lebong.
BAHAN DAN METODA
Pelaksanaan pengkajian dilakukan dari bulan Juni s/d Oktober 2012, pada pertanaman
jeruk RGL umur 2 tahun dengan luas sekitar 1,5 ha di Kelurahan Rimbo Pengadang Kabupaten
Lebong. Data diambil dengan melakukan pengamatan pada tanaman sampel dari 4 blok diambil
6 tanaman sampel, sehingga ada 24 pohon sampel. Variabel pengamatan meliputi jenis OPT
utama dan intensitas serangannya. Setiap jenis OPT yang ditemukan pada tanaman jeruk RGL
diidentifikasi dengan cara melihat tanda dan gejala serangan berupa kerusakan pada bagian
tanaman. Kemudian intensitas serangan diamati setiap satu bulan sekali dan dihitung, kemudian
data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif. Intensitas serangan OPT dihitung dengan
menggunakan rumus intensitas serangan mutlak dan tidak mutlak (Ditlintan, 2008).
1. Intensitas serangan mutlak (untuk hama lalat buah dan penggerek buah)
I = n
x 100% N
Keterangan: I = Intensitas serangan
n = bagian tanaman yang rusak
N = Jumlah seluruh tanaman/bagian tanaman yang diamati
2. Intensitas serangan tidak mutlak (untuk hama kutu, tungau, peliang daun)
I = ∑ (ni x vi)
x 100% N x Z
Keterangan: I = Intensitas serangan
ni = Jumlah sampel pada katagori kerusakan
vi = Skor pada sampel
N = Jumlah total sampel
Z = Skor tertinggi dari katagori serangan
Tabel 1. Katagori intensitas serangan OPT.
Kisaran intensitas serangan OPT Katagori
<25%
25 - <50%
50 - 75%
>75%
Intensiatas ringan
Intensitas sedang
Intensitas berat
Sangat Berat
Sumber: Direktorat perlindungan tanaman pangan 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Wilayah
Berdasarkan topografinya daerah Kecamatan Rimbo Pengadang memiliki topografi
bergelombang dengan kemiringan 1-75%, ketinggian tempat pengkajian sekitar 835 s/d 960 dpl,
dengan luas wilayah secara keseluruhan 38.041,1 ha. Keadaan suhu rata-rata harian pada siang
158 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
hari antara 28-32 oC dan pada malam hari 22-25
oC. tipe iklim berdasarkan Schmindt dan
ferguson mempunyai tipe iklim B dengan curah hujan rerata 2500-4500 mm/tahun, PH tanah
antara 5,5 – 7,5 (Tabel 2).
Tabel 2. Data jumlah curah hujan dan hari hujan dari bulan Januari-Oktober 2012.
No Bulan Jumlah curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (hari)
1 Januari 89 15
2 Februari 284 20
3 Maret 159 13
4 April 407 26
5 Mei 270 15
6 Juni 131 10
7 Juli 136 15
8 Agustus 30,5 6
9 September 84,5 7
10 Oktober 161,5 9
Sumber: BPPK Air Dingin Kecamatan Rimbo Pengadang (2012).
Dari data curah hujan pada tabel 2, memperlihatkan curah hujan cukup tinggi mulai
terjadi pada bulan Februari - Juli, kemudian turun pada bulan Agustus dan September. Faktor
curah hujan yang berfluktuatif ini dapat mempengaruhi perkembangan beberapa OPT pada
tanaman jeruk.
Identifikasi OPT Jeruk
Dari hasil pengamatan pada pertanaman jeruk RGL ditemukan beberapa OPT yang
menyerang, diantaranya; hama ulat peliang daun, tungau merah, penggerek buah dan lalat buah.
Hal ini diketahui dengan ditemukannya gejala daun-daun muda yang terserang tampak berkerut,
menggulung, keriting serta terlihat bekas gerekan berupa jalur-jalur yang terlihat pada permukaan
daunyang mengindikasikan adanya serangan ulat peliang daun. Kemudian terdapat gejala
serangan hama tungau merah berupa gejala pada daun yaitu warna daun berubah menjadi hijau
pucat, agak kaku, dan apabila serangan berat daun dapat menguning yang dimulai dari tulang
daun kemudian gugur. Selanjutnya terdapat serangan ulat penggerek buah jeruk dengan gejala
serangannya berupa lubang bekas gerekan biasanya pada bagian bawah dan apabila serangan
parah buah akan busuk dan gugur lebih dini, apabila buah dibelah terdapat ulat berwarna kuning
kemerahan panjang sekitar 2 mm. Terdapat juga gejala serangan hama lalat buah dengan gejala
pada buah menjelang masak yaitu adanya noda/titik pada kulit buah akibat tusukan ovipositor
dari serangga betina, selanjutnya noda tersebut meluas berkembang menjadi bercak berwarna
coklat menyebabkan buah busuk dan gugur sebelum matang sempurna.
Hama peliang daun diidentifikasi dari ordo Lepidoptera, family Gracillaridae, species
Phylocnistis citrella (Kalshoven, 1981). Hama ini meletakkan telur secara terpencar di atas
permukaan bawah daun, tangkai atau bagian tanaman lain yang masih muda. Telur menetas
setelah 4 hari dan larvanya masuk ke dalam epidermis, kemudian memakan jaringan tanaman
yang masih muda. Siklus hidup dari telur sampai menjadi ngengat berlangsung 16-18 hari.
Ngengat aktif pada malam hari, sedangkan pada siang hari biasanya hinggap di sekitar tanaman
atau di atas permukaan tanah (Kalshoven, 1981).
Hama tungau merah menyerang dengan cara menghisab klorofil daun, sehingga daun
tampak bintik-bintik kelabu dan keperakan. Serangan lebih parah di musim kering dimana
kelembaban dalam tanaman menurun. Pada kondisi demikian kombinasi dari efek serangan
tungau, iklim dan faktor fisiologis dapat mengakibatkan gugurnya buah dan daun (Wuryantini
dan Endarto, 2003). Buah yang masih hijau lebih disenangi dari pada yang tua, namun gejala
serangan lebih jelas pada buah yang tua dan bersifat permanen.
Tungau merah yang telurnya berwarna merah tua dan berbentuk bulat adalah fase yang
muda untuk membedakan dari tungau jenis lainya. Telur sebagian besar diletakkan di bagian atas
permukaan daun sepanjang tulang daun. Imago betina dari dari tungau ini berbentuk oval
159 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
berwarna merah tua dan mempunyai bulu-bulu yang panjang. Tungau jantan memiliki ukuran
tubuh lebih kecil, lebih runcing dan mempunyai kaki yang lebih panjang dan gerakanya lebih
aktif. Hama ini digolongkan dalam ordo Acarina, famili Tetranycidae, spesies Panonychus citri
(Kalshoven, 1981). Satu betina dapat meletakkan telur 17-37 butir telur yang berlangsung 11-14
hari. Perkembangan dari telur sampai dewasa berlangsung 12 hari. Lama hidup tungau dewasa
berlangsung 23 hari (Kalshoven, 1981; Balitjestro, 2011).
Hama Penggerek buah menyerang mulai dari umur buah 2-5 bulan terutama jeruk yang
di tanam di dataran tinggi. Stadium hidup yang berperan sebagai hama adalah fase ulat (larva).
Hama ini diidentifikasi dari jenis Citripestis sagittiferella, family Pyralidae, ordo Lepidoptera
(Kalshoven, 1981).
Ngengat betina meletakkan telur secara berkelompok pada separuh bagian bawah kulit
buah. Telur menetas dalam waktu 5-7 hari, kemudian menetas menjadi ulat. Ulat menggerek buah
dan memakan daging buah fase ini berlangsung antara 13-21 hari. Dengan perantara benang
sutra, ulat turun dan masuk ke tanah siap untuk menjadi kepompong selama 10-11 hari, setelah
itu menjadi ngengat dewasa. Siklus hidup dari telur sampai menjadi ngengat dewasa berlangsung
29-39 hari (Kalshoven, 1981; Balitjestro, 2011).
Siklus hidup hama lalat buah dimulai dari lalat buah betina menusukkan ovipositor pada
kulit buah dan meletakkan telur sekitar 15 butir. Kemudian telur berkembang menjadi ulat
(belatung) yang memakan daging buah sambil mengeluarkan enzim pencerna yang berfungsi
melunakkan daging buah agar mudah dihisap dan dicernah oleh ulat, fase ini berlangsung selama
6-9 hari. Bersamaan dengan masaknya buah dan buah telah jatuh ke tanah larva lalat buah siap
untuk menjadi kepompong, yaitu dengan cara larva masuk ke dalam tanah. Siklus hidup lalat
buah dari telur hingga menjadi lalat dewasa berlangsung 16-24 hari (Kalshoven, 1981).
Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan jenis lalat buah yang menyerang pada pertanaman
jeruk RGL yaitu dari jenis Bactrocera carambola dan B. papayae, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakuakan Raharjo et al (2009); Balitjestro (2011), bahwa kebanyakan jenis lalat
buah yang menyerang dari jenis tersebut.
Status Serangan OPT Jeruk
Hasil pengamatan terhadap serangan OPT jeruk yang telah diidentifikasi,
memperlihatkan status serangan berbeda-beda katagorinya (Tabel 3). Diman terlihat kisaran
katagori serangan: hama peliang daun (ringan-sedang) dengan intensitas 9,16% - 26,67%; hama
tungau merah (ringan-sedang) dengan intensitas 4,16% - 28,33%; hama penggerek buah (ringan)
dengan intensitas 5,6% - 12,18%; dan hama lalat buah (ringan) dengan intensitas 0% - 5,5%
(Tabel 3).
Tabel 3. Data kisaran intensitas serangan dan katagori serangan OPT pada pertanaman jeruk
RGL umur 2 tahun pada bulan Juni-Oktober 2012.
No Jenis OPT Kisaran intensitas serangan (%) Katagori serangan
1. Hama Peliang daun 9,16 - 26,67 ringan - sedang
2. Hama Tungau merah 4,16 - 28,33 ringan - sedang
3. Hama penggerek buah 5,60 - 12,18 ringan
4. Hama lalat buah 0,00 - 05,50 ringan
Tinggi rendahnya serangan OPT sangat tergantung dengan faktor biotik dan abiotiknya.
Faktor biotik seperti faktor makanan, kompetisi, dan musuh alami dari OPT tersebut.
Perkembangan musuh alami di lapangan masih kalah cepat dibandingkan perkembangan tungau
sehingga populasi tetap lebih tinggi (Wuryantini dan Endarto, 2003). Sedangkan faktor abiotik
berhubungan dengan faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan curah hujan. Faktor-faktor
tersebut yang akan mengatur populasi OPT di lapangan. Namun faktor manusia juga sebagai
penentu dalam perubahan ekosistem pada pertanaman, seperti pemilihan tanaman monokultur
yang akan berdampak pada berkurangnya keragaman hayati, serta penggunaan sarana produksi
pertanian berupa pestisida yang tidak bijaksana akan berdampak merusak lingkungan. Hal inilah
160 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
yang dapat memicu terjadinya fluktuasi serangan OPT di lapangan. Fluktuasi intensitas serangan
OPT dapat dilihat pada grafik 1.
Grafik 1. Fluktuasi intensitas serangan beberapa OPT utama jeruk (Juli - Oktober 2012).
Grafik 1, memperlihatkan intensitas serangan hama peliang daun; hama tungau dan
hama penggerek buah, tinggi pada saat bulan Agustus dan cendrung menurun sampai bulan
Oktober. Hal ini diduga, karena pada bulan Agustus termasuk dalam keadaan bulan kering
(kemarau). Hama tungau merah perkembangannya lebih tinggi pada saat bulan kering karena
siklus hidupnya lebih cepat dibandingkan musim hujan dan populasinya menurun dengan
intensitas curah hujan yang tinggi. Serangan hama tungau merah pada saat bulan kering akan
memperparah keadaan tanaman karena cairan tanaman dihisap hama tungau yang dapat
mengakibatkan daun menguning dan gugurnya buah muda (Wuryantini dan Endarto, 2003).
Sedangkan hama peliang daun mengakibatkan pucuk daun terpuntir dan keriting yang akan
menghambat pembungaan.Sedangkan serangan hama pengerek buah fluktuasinya tidak terlalu
tinggi, masih pada tahap serangan ringan. Tinggi rendahnya serangan hama ini sangat tergantung
dengan ada tidaknya buah yang ada dilapangan sebagai inang tempat berkembang biak serta
jumlah populasinya. Serangan hama lalat buah sangat tergantung dengan ada tidaknya buah yang
menjelang matang, karena hama ini menyerang mulai pada periode tesebut. Jadi serangan bisa
saja tidak ada apabila masih pada kondisi sebagian besar buah masih muda, mengingat umur
tanaman lokasi pengkajian baru berumur 2 tahun kontiyuitas buahnya belum stabil.
KESIMPULAN
1. Hasil pengkajian menggambarkan adanya beberapa OPT utama yang menyerang tanaman
jeruk RGL, yaitu: hama tungau merah; ulat peliang daun; penggerek buah dan lalat buah.
2. Status serangan hama peliang daun memperlihatkan katagori (ringan - sedang) dengan
intesitas serangan 9,16% - 26,67%;, hama tungau merah katagori (ringan - sedang) dengan
intesitas serangan 4,16% - 28,33%; hama penggerek buah katagori (ringan) dengan intesitas
serangan 5,6% - 12,18%; dan hama lalat buah katagori (ringan) dengan intesitas serangan 0%-
5,5%.
DAFTAR PUSTAKA
Altieri, M.A. & C.I. Nicholls. 1999. Biodiversity, Ecosystem Function, and Insect Pest
Management in Agricultural System. Dalam Biodiversity in Agroecosystems, Eds. W.W.
Collins & C.O. Qualset. Lwis Publ. New York. pp.69-84.
BPPK Air Dingin. 2012. Programa Penyuluhan Pertanian Tahun 2012. Balai Penyuluhan
Pertanian Kecamatan Rimbo Pengadang. Kabupaten Lebong.
161 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Ditlintan. 2008. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Direktur
Perlindungan Tanaman. Direkrorat Jendaral Tanaman Pangan. Jakarta.
Dwiastuti. M. E., A. Triwiratno., O. Endarto., S. Wuryatini dan Yunimar. 2011. Petunjuk Teknis
Pengenalan dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk. Balai Penelitian Jeruk
dan Tanaman Subtropika. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ictiar Baru Van Houve. Jakarta.
Nurariaty, A dan Najamuddin. 2008. Inventarisasi Keberadaan Hama Dan Predatornya Pada
Pertanaman Jeruk Besar (Citrus grandis L.) di Kabupaten Pangkep. Prosd. Seminar Ilmiah
dan Pertemuan Tahunan PEI PFI Komda Sulsel (5 November 2008). Komisaris Daearah
PEI PFI Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar.
Raharjho, B. T., Toto. H, dan Widodo. B.U. 2009. Penyebaran Jenis Lalat Buah (Diptera :
Terhritidae) dan Parasitoidnya Di Kabupaten Magetan. Agritek Vol. 17 No.2. Maret 2009.
205-213 Hal.
Swift, M.S., J. Vandermer, P.S. Ramakrishnan, J.M. Anderson, C.K. Ong & B.A. Hawkins. 1996.
Biodiversity and agroecosystem function, dalam Functional Roles of Biodiversity: A
Global Perspective. Ed. H.A. Mooney. John Wiley & Sons, New York. pp.261-298.
Suwantoro, B. 2010. Mengenal Jeruk Rimau Gerga Lebong Lebih Dekat. Balai Benih
Hortikultura Rimbo Pengadang. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Lebong. Tubei.
Wuryantini, S. dan Endarto, O. 2003. Pengendalian Tungau Penyebab Utama Burik Pada Buah
Jeruk. Sirkular Inovasi Teknologi Jeruk. Volume: 07, Juli 2003. Loka Penelitian Jeruk.
Malang.
PETERNAKAN DAN PERKEBUNAN
165 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
MODEL FORMULASI PAKAN SAPI POTONG
UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PSDSK
Agung Prabowo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Telp. 0711-410155, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pakan merupakan faktor utama dalam usaha sapi potong secara intensif. Kurang lebih 70% dari biaya
produksi adalah untuk pakan sehingga pakan seimbang yang efisien, murah dan memenuhi kebutuhan ternak sangat
dibutuhkan. Untuk mempermudah dan mempercepat proses formulasi pakan seimbang yang efisien, murah dan
memenuhi kebutuhan ternak diperlukan suatu aplikasi software. Tulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan model
formulasi pakan dan memberikan informasi pakan seimbang yang efisien, murah dan memenuhi kebutuhan ternak.
Pakan yang diformulasikan dengan menggunakan model formulasi pakan dan lebih efisien dan seimbang. Model
formulasi pakan ini dapat digunakan sebagai penunjang kegiatan PSDSK.
Kata kunci: model, formulasi pakan, sapi potong
PENDAHULUAN
Pakan merupakan campuran dari dua atau lebih bahan pakan. Pakan sapi pada
umumnya terdiri dari pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan dapat berupa rumput dan
legum, sedangkan pakan konsentrat merupakan campuran dari dedak, biji-bijian, bungkil dan
tepung ikan.
Pakan yang baik adalah pakan seimbang, yaitu pakan yang mengandung nutrien yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan (Chuzaemi, 2002).
Pakan seimbang yang sesuai dengan kebutuhan ternak diharapkan dapat mengoptimalkan
produktivitas ternak.
Untuk memformulasi pakan seimbang yang efisien, murah dan dapat memenuhi
kebutuhan ternak diperlukan: 1). tabel kebutuhan nutrien, 2). tabel komposisi/kandungan nutrien
bahan pakan dan 3). tabel harga bahan pakan. Agar proses formulasi pakan berjalan dengan
mudah dan cepat, maka diperlukan suatu aplikasi formulasi pakan. Oleh karena itu pada
kesempatan ini akan diperkenal suatu model formulasi pakan dengan menggunakan microsoft
excel. Model ini dirancang untuk mempermudah proses formulasi pakan sehingga proses
formulasi pakan dapat dijalankan oleh semua orang yang dapat mengoperasikan microsoft excel
dengan kata lain semua orang yang dapat menjalankan microsoft excel dapat memformulasi
pakan seimbang yang efisien, murah dan dapat memenuhi kebutuhan ternak dengan mudah dan
cepat. Untuk mempermudah proses formulasi pakan, aplikasi ini dilengkapi dengan petunjuk,
grafik perbandingan kebutuhan nutrien dan grafik perbandingan harga dalam satu tayangan.
Aplikasi ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna dalam proses formulasi
pakan dan dapat disebarluaskan kepada petugas lapang, peternak dan stakeholder yang lainnya.
BAHAN DAN METODA
Model Formulasi Pakan
Model formulasi pakan yang digunakan adalah model formulasi pakan seimbang yang
efisien dan murah. Model ini disusun berdasarkan kebutuhan nutrien, bobot badan (BB) dan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) ternak. Ada enam nutrien yang digunakan sebagai dasar
formulasi pakan, yaitu: bahan kering (BK), energi metabolisme (ME), total digestible nutrien
(TDN), protein kasar (PK), kalsium (Ca) dan fosfor (P). Pakan yang diformulasikan harus
memenuhi kebutuhan minimal nutrien tersebut di atas dan nilainya tidak jauh di atas kebutuhan
minimal sehingga sisa nutrien (yang tidak termanfaatkan oleh ternak) yang keluar dalam bentuk
feses dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam model ini tersedia tabel komposisi bahan pakan,
tabel kebutuhan nutrien dan tabel harga bahan pakan. Tabel komposisi dan harga dapat diedit.
Alur proses formulasi pakan dengan model ini adalah sebagai berikut:
166 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Analisis Data
Data hasil simulasi formulasi pakan dianalisis dengan analisis sidik ragam dengan
menggunakan rancangan acak lengkap pola searah (Gaspersz, 1991) dan dilanjutkan dengan uji
beda nyata dengan taraf kepercayaan 5% (Gomez dan Gomez, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Kering (BK)
Hasil simulasi formulasi pakan disajikan dalam Tabel 1. Selisih BK menunjukkan beda
nyata antara P1 dan P2 dengan P3. P1 dan P2 lebih rendah dibanding P3, sedangkan P2 lebih
rendah dibanding P1. Hasil ini menunjukkan bahwa P1 lebih baik dibanding P2 dan P3,
sedangkan P3 lebih baik dibanding P2. Semakin kecil selisih nilai BK, semakin baik formulasi
pakan yang dihasilkan. Nilai negatif menunjukkan bahwa nilai BK P2 masih di bawah kebutuhan
minimal.
Tabel 1. Selisih zat gizi pakan terhadap kebutuhan untuk sapi potong dengan bobot badan 300 kg
dan pertambahan bobot badan harian 0,25 kg.
Parameter P1 (PS) P2 (10% H) P3 (10% H + 1% K)
BK (kg) 0,84a -0,28
a 2,32
b
ME (Mcal/kg) 2,24a 40,84
b 49,04
c
TDN (kg) 0,74a 11,32
b 13,42
c
PK (g) 16,32a 1.845,20
b 2.220,20
c
Ca (g) 4,28a 158,00
b 159,80
b
P (g) 6,32a 72,20
b 118,70
c
ME, TDN, PK dan P
Selisih ME, TDN, PK dan P menunjukkan beda nyata antara P1, P2 dan P3. P1 lebih
rendah dibanding P2 dan P3, sedangkan P2 lebih rendah dibanding P3. Hasil ini menunjukkan
bahwa P1 lebih baik dibanding P2 dan P3, sedangkan P2 lebih baik dibanding P3. Semakin kecil
selisih nilai ME, semakin baik formulasi pakan yang dihasilkan.
Kalsium (Ca)
Selisih Ca menunjukkan beda nyata antara P1 dengan P2 dan P3. P1 lebih rendah
dibanding P2 dan P3. Hasil ini menunjukkan bahwa P1 lebih baik dibanding P2 dan P3. Semakin
kecil selisih nilai Ca, semakin baik formulasi pakan yang dihasilkan.
Memilih bahan pakan yang murah, mudah didapat dan cukup tersedia
Menentukan jumlah/banyaknya bahan pakan dengan melihat petunjuk, grafik perbandingan nutrien dan grafik harga
Pakan seimbang yang efisien, murah dan memenuhi kebutuhan ternak
167 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kandungan Nutrien Pakan P1
Kecukupan nutrien pakan P1 disajikan dalam Gambar 1. Kandungan nutrien P1
menunjukkan di antara kandungan minimal dan maksimal nutrien yang dibutuhkan sapi potong.
Hasil ini menunjukkan bahwa formulasi pakan untuk P1 telah memenuhi pakan seimbang
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
BK ME TDN PK Ca P
Zat Gizi Pakan
PS
K. Min
K. Maks
Gambar 1. Perbandingan zat gizi pakan P1 (PS) dengan kebutuhan minimal zat gizi pakan
untuk sapi potong dengan bobot badan 300 kg dan pertambahan bobot badan
harian 0,25 kg.
Kandungan Nutrien Pakan P2
Kecukupan nutrien pakan P2 disajikan dalam Gambar 2. Kandungan nutrien P2
menunjukkan di atas kandungan maksimal yang dibutuhkan sapi potong dengan BB 300 kg dan
PBBH 0,25 kg untuk nutrien ME, TDN, PK, Ca dan P, sedangkan BK di bawah kebutuhan
minimal (Gambar 2). Hasil ini menunjukkan bahwa P2 tidak memenuhi pakan seimbang.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
BK ME TDN PK Ca P
Zat Gizi Pakan
10% H
K. Min
K. Maks
Gambar 2. Perbandingan zat gizi pakan P2 (10% H) dengan kebutuhan minimal zat
gizi pakan untuk sapi potong dengan bobot badan 300 kg dan pertambahan
bobot badan harian 0,25 kg.
168 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kandungan Nutrien Pakan P3
Kecukupan nutrien pakan P3 disajikan dalam Gambar 3. Kandungan nutrien P3
menunjukkan di atas kandungan maksimal yang dibutuhkan sapi potong dengan BB 300 kg dan
PBBH 0,25 kg. Hasil ini menunjukkan bahwa P3 tidak memenuhi pakan seimbang.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
BK ME TDN PK Ca P
Zat Gizi Pakan
10% H+1% K
K. Min
K. Maks
Gambar 3. Perbandingan zat gizi pakan P3 (10% H + 1% K) dengan kebutuhan minimal zat
gizi pakan untuk sapi potong dengan bobot badan 300 kg dan pertambahan bobot
badan harian 0,25 kg.
KESIMPULAN
Pakan yang diformulasikan dengan menggunakan model formulasi pakan dapat lebih efisien dan
seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Chuzaemi. S. 2002. Arah dan Sasaran Penelitian Nutrien Sapi Potong Di Indonesia. Workshop
Sapi Potong. Lolit Sapi Potong Grati. Pasuruan.
Gaspersz, V. 1991. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Penerbit Tarsito. Bandung.
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. nd ed. A
Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons, Inc., New York.
HASIL DISKUSI
Tanya : Bagaimana penyusunan formula pakan apabila tidak tersedia bisa digantikan dengan
yang lainnya
Jawab : Yang menjadi kendala didaerah lain apabila bahan pakannya tidak ada bisa digantikan
dengan bahan baku yang lain dengan catatan kandungan nutrisinya cukup mendekati
Tanya : Tidak disebutkan pakan yang dibuat untuk jenis sapi karena antara sapi PO dengan
yang lain kebutuhannya tidak sama. Apakah langsung secara otomatis?
Jawab : Data yang kami miliki adalah jenis sapi yang sudah diuji di luar negeri. Program/model
formulasi pakan yang kami miliki belum terlalu sempurna
Tanya : Formula pakan yang disusun sudah apa belum diujikan secara langsung ditingkat
pengguna atau diuji secara kimia dengan analisa proksimat
Jawab : Tergantung peternaknya sendiri mau memakai formula yang buat. Adapun data- data
pakan yang digunakan berasal dari beberapa peneliti
169 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HUBUNGAN KONSUMSI PAKAN DENGAN POTENSI LIMBAH PADA SAPI
BALI UNTUK PUPUK ORGANIK PADAT DAN CAIR
I Nyoman Adijaya dan I M. R. Yasa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pada pengembangan sistem pertanian terintegrasi (Simantri) oleh Pemda Bali pengelolaan limbah ternak
sapi merupakan salah satu inovasi yang diperkenalkan. Hal ini disebabkan karena selama ini limbah yang merupakan
hasil ikutan pada usaha ternak sapi masih banyak yang belum terkelola dengan baik. Limbah ternak sapi jika dikelola
secara baik dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Identifikasi dilakukan di kandang koloni Kelompok
Ternak Munduk Lingker Nadi, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali dari bulan Pebruari-Juli 2012.
Pengukuran potensi limbah dilakukan pada 16 ekor induk sapi dengan berat antara 225 kg-250 kg. Hasil analisis
menunjukkan jumlah limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsumsi pakan dan kualitas pakan yang
diberikan. Rata-rata limbah padat segar dan urin yang dihasilkan selama periode Pebruari-Juli 2012 yaitu 14,87 kg dan
5,94 liter dari rata-rata konsumsi pakan dan air minum 17,91 kg dan 7,39 liter per hari. Rasio konsumsi pakan yang
diberikan rata-rata 7,96%-7,16%, hasil limbah padat segar 5,95%-6,61%, urin 2,38%-2,64% dan rata-rata hasil kompos
kadar air 20% sebesar 1,09%-1,21% dibandingkan bobot induk sapi. Potensi ekonomis limbah yang dihasilkan seekor
induk sapi Bali yaitu sebesar Rp 4.335 dengan pendapatan dari kompos sebesar Rp 1.365 dan bio urin Rp 2.970 per
hari.
Kata kunci: konsumsi pakan, potensi limbah, pupuk organik
PENDAHULUAN
Ternak sapi merupakan ternak yang dominan dikembangkan pada program
pengembangan pertanian terintegrasi (Simantri) oleh Pemda Bali. Pengembangan pertanian
terintegrasi dalam bentuk unit percontohan kandang koloni dilengkapi dengan instalasi
pengolahan limbah ternak sapi baik padat maupun cair. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Bali (2011) melaporkan sampai tahun 2012 telah dikembangkan 300 Simantri di seluruh
Kabupaten/Kota di Bali dan sampai tahun 2013 Simantri ditargetkan dapat dikembangkan di 500
lokasi.
Pendekatan kegiatan Simantri adalah adanya sistem usahatani dengan sistem zero
waste, dengan harapan terjadinya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal dan
mengurangi ketergantungan akan input luar. Kariasa (2005) menyatakan ciri utama dari sistem
integrasi tanaman-ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling mengntungkan
antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran ternaknya sebagai pupuk organik untuk
memupuk tanamannya kemudian memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan ternak.
Pengelolaan limbah ternak sapi secara optimal merupakan salah satu inovasi yang
dikenalkan untuk meningkatkan kemandirian petani akan pupuk (fertilizer). Diwyanto (2008)
menyatakan banyak kasus pada usaha ternak sapi mengalami kerugian karena tergantung pada
input luar sehingga upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lokal termasuk pengelolaan limbahnya. Lebih lanjut Diwyanto dan Priyanti (2009)
menyatakan untuk meningkatkan pendapatan peternak upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengelola hasil ikutan (limbah) ternak menjadi pupuk organik padat dan cair serta menjadi
biogas, sedangkan Kusnadi (2008) menyatakan kebijakan yang perlu diterapkan untuk
peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya lokal dalam pengembangan sistem integrasi
tanaman ternak (SITT) yaitu pengelolaan limbah menjadi kompos/pupuk organik dan biogas.
Produksi limbah/kotoran ternak yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh konsumsi
pakan. Kaharudin dan Mayang (2010) menyatakan ternak sapi penggemukan dengan
pertambahan bobot 1,0 kg mampu menghasilkan 25 kg kotoran/ekor/hari dan sangat dipengaruhi
oleh jumlah pakan yang diberikan.Kajian tentang potensi limbah yang dihasilkan oleh ternak sapi
Bali masih sangat jarang dilakukan. Sehingga kajian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran akan potensi limbah yang dihasilkan ternak sapi dikaitkan dengan konsumsi pakan.
170 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di kandang koloni Simantri Kelompok Munduk Lingker Nadi
Desa Sumberkima dari bulan Februari - Juli 2012. Pengukuran dilakukan pada 4 kandang
permanen yang berisi masing-masing 4 ekor sapi induk dengan berat berkisar 225 - 250 kg.
Pengamatan terhadap konsumsi pakan dilakukan dengan penimbangan jumlah pakan yang
diberikan pada sapi dan mengurangi dengan sisa pakan selama 24 jam. Pengukuran limbah padat
segar dan cair yang dihasilkan dilakukan dengan melakukan penimbangan dan pengukuran
volume limbah cair/urin yang dihasilkan selama 24 jam. Pengukuran serupa juga dilakukan
terhadap konsumsi air minum. Pengukuran dilakukan setiap 1 minggu sekali.
Data yang dikumpulkan dianalisis deskriptif untuk mengetahui trend dan rata-rata dari
variabel yang diamati. Untuk menentukan kadar air kotoran padat segar, diambil sampel limbah
padat masing-masing 200 g sebanyak 5 sampel dan dioven untuk mendapatkan berat kering
ovennya. Selanjutnya Kadar air (K.a.) limbah padat segar dihitung dengan formula:
k.a. limbah padat segar (%) = (BB – BKO) limbah
x 100% BB limbah
Keterangan: BB = Berat basah
BKO = Berat kering oven
Penghitungan berat kompos kadar air (k.a) 20% dilakukan dengan menggunakan formula
Berat kompos k.a. 20% = (100 – k.a. limbah padat segar) %
x BB limah segar (100 – 20)%
Untuk menghitung rasio konsumsi pakan/ekor/hari dilakukan dengan formula dibawah.
Perhitungan serupa juga dilakukan terhadap hasil limbah padat segar, hasil limbah cair/urin dan
hasil kompos kadar air 20%.
Rasio konsumsi pakan (%) = Konsumsi pakan (kg)
x 100% Bobot sapi (kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Konsumsi Pakan dengan Limbah yang Dihasilkan
Musim sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pakan yang diberikan petani pada
ternak sapinya. Menurunya curah hujan (Lampiran ), diikuti oleh penurunan ketersediaan pakan
ternak (HMT) di lokasi kajian. Penurunan ketersediaan pakan mempengaruhi jumlah pakan yang
diberikan petani pada ternak sapinya. Dari periode Pebruari sampai bulan Juli terjadi penurunan
konsumsi pakan ternak sapi dari rata-rata 19,73 kg/ekor/hari menjadi 13,46 kg/ekor/hari atau
menurun 31,78%.
Konsumsi pakan memiliki hubungan linier dengan hasil kotoran padat dan cair (urin)
yang dihasilkan, sedangkan penurunan curah hujan diikuti oleh peningkatan konsumsi air minum
ternak sapi. Selama enam bulan pengamatan (Pebruari-Juli) rata-rata konsumsi pakan sebesar
17,91 kg, konsumsi air minum 7,39 liter, kotoran padat 14,87 kg dan urin yang dihasilkan sebesar
5,94 literper hari (Tabel 1). Perkembangan konsumsi pakan, air minum, kotoran padat dan urin
yang dihasilkan seperti Gambar 1.
171 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan, air minum, limbah padat dan cair yang dihasilkan per ekor
induk sapi Bali di Desa Sumberkima periode Februari-Juli 2012.
Uraian Bulan
Jumlah Rerata Februari Maret April Mei Juni Juli
Konsumsi pakan (kg) 19,73 19,49 19,35 18,86 16,56 13,46 107,45 17,91
Air minum (liter) 6,77 6,95 7,25 7,52 7,86 8,00 44,35 7,39
Kotoran padat (kg) 16,28 16,05 15,93 15,74 13,69 11,57 89,25 14,87
Urin (liter) 6,75 6,67 6,60 6,13 5,00 4,52 35,66 5,94
Rasio kotoran padat segar
dan konsumsi pakan (%)
82,51 82,35 82,33 83,46 82,67 85,96 499,27 83,03
Hubungan antara konsumsi pakan berbading lurus dengan kotoran padat dan urin yang
dihasilkan dan berbanding terbalik dengan konsumsi air minum ternak (Gambar 1). Ketersediaan
HMT secara drastis menurun mulai bulan Juni yang ditandai dengan penurunan pemberian pakan
pada ternak sapi. Penurunan konsumsi pakan dipengaruhi oleh penurunan ketersediaan hijauan
pakan ternak akibat pengaruh musim/curah hujan. Dengan menurunnya curah hujan (Lampiran
1), menyebabkan menurunnya ketersediaan hijauan pakan ternak sehingga berpengaruh terhadap
jumlah pakan yang diberikan.Yasa et all., (2005) menyatakan selain ketersediaan HMT menurun
pada musim kemarau, jenis pakan yang diberikan pada ternak sapi juga lebih mengandalkan
pakan kering seperti jerami padi, jagung dan rumput kering.
Konsumsi air minum ternak sapi meningkat dengan semakin menurunnya curah hujan.
Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan suhu lingkungan serta menurunnya kadar air pakan yang
diberikan. Penurunan curah hujan yang berpengaruh terhadap peningkatan suhu lingkungan akan
meningkatkan respirasi sehingga menyebabkan peningkatan kemampuan ternak sapi dalam
mengkonsumsi air minum. Akan tetapi peningkatan konsumsi air minum tidak diikuti
peningkatan produksi urin. Produksi urin selain dipengaruhi oleh konsumsi air minum juga
dipengaruhi oleh kadar air pakan yang diberikan. Parwati et all., (2008) mendapatkan produksi
urin seekor sapi Bali di dataran tinggi dapat mencapai 19 liter per hari. Hal ini diduga disebabkan
oleh tingginya kadar air pakan yang diberikan.
Gambar 1. Perkembangan konsumsi pakan,air minum, limbah padat dan cair yang
dihasilkan per ekor induk sapi Bali di Desa Sumberkima periode Pebruari-
Juli 2012.
172 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Potensi Pupuk Organik Padat dan Cair
Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan rata-rata kadar air limbah padat segar
yang dihasilkan induk sapi di daerah ini yaitu 85,30% dengan rasio konsumsi pakan yang
diberikan selama periode Februari-Juli 2012 yaitu 7,96%-7,16% dibandingkan bobot induk sapi.
Hasil perhitungan juga menunjukkan rata-rata 83,03% dari pakan yang diberikan akan menjadi
limbah padat.
Rasio limbah padat segar yang dihasilkan juga meningkat dengan menurunnya
konsumsi pakan. Perhitungan yang dilakukan pada bulan Juli menunjukkan rasio limbah segar
yang dihasilkan sebesar 85,96% dari konsumsi pakan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
kualitas pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan pada bulan-bulan kering umumnya berupa
pakan kering dengan kandungan serat yang tinggi seperti jerami jagung, jerami padi dan rumput
kering. Hasil ini sesuai dengan hasil PRA yang dilaksanakan di Desa Musi dan Sanggalangit
yang mendapatkan bahwa pada musim-musim kering pakan yang diberikan pada ternak sapi di
daearah ini banyak berupa pakan kering seperti jerami dan rumput kering yang memiliki
kandungan serat yang tinggi (Yasa et all., 2005; Adijaya et all., 2008).
Tabel 2. Potensikompos k.a. 20% yang dihasilkan dari limbah padat segar dan urin yang
dihasilkan seekor induk sapi Bali di Desa Sumberkima, tahun 2012.
Uraian Rata-rata
ekor/hari ekor/bulan ekor/tahun
Limbah padat segar (kg) 14,87 446,10 5.353,20
Kompos k.a. 20% (kg) 2,73 81,97 963,65
Urin (liter) 5,94 178,20 2.138,40
Perhitungan potensi pupuk kompos kadar air 20% yang dihasilkan yaitu sebesar 2.732
g/ekor/hari, setara dengan 81,97 kg/ekor/bulan atau 963,65 kg/ekor/tahun (Tabel 2). Hasil
perhitungan selama enam bulan pengamatan menunjukkan rasio limbah padat segar, urin dan
kompos kadar air 20% yang dihasilkan seekor induk sapi Bali yaitu masing-masing 5,95% -
6,61%, 1,09%-1,21% dan 2,38%-2,62% dari beratnya. Hasil yang diperoleh lebih tinggi
dibandingkan pernyataan Kaharudin dan Mayang (2010) yang menyatakan seekor sapi
penggemukan dengan peningkatan bobot 0,5 kg/hari dapat menghasilkan kotoran sebesar 12,5 kg.
Potensi limbah cair/urin yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh penurunan konsumsi
pakan walaupun konsumsi air minum mengalami peningkatan akibat penurunan curah hujan dan
peningkatan suhu harian (Tabel 1). Sampai bulan Mei potensi urin yang dihasilkan seekor induk
sapi masih diatas 6 liter/ekor/hari sedangkan pada bulan Juni dan Juli potensi urin mengalami
penurunan menjadi dibawah 5 liter/ekor/hari. Rata-rata selama enam bulan pengamatan seekor
induk sapi mampu menghasilkan rata-rata 5,94 liter/hari, setara dengan 178,20 liter/bulan dan
2.138,40 liter/tahun (Tabel 2).
Potensi Ekonomis Limbah
Dengan asumsi data selama enam bulan pengamatan mampu mewakili kondisi dalam
satu tahun maka seekor induk sapi Bali memiliki potensi memberikan tambahan pendapatan dari
limbah sebesar Rp 4.335 dengan kontribusi Rp 1.365 dari kompos dan Rp 2.970 dari bio urin.
Potensi per bulan dan per tahun dapat dihitung dengan mengalikan pendapatan per hari (Tabel 3).
Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanto (2009) yang menyatakan dengan penerapan sistem
integrasi tanaman-ternak bebas limbah akan diperoleh beberapa keuntungan seperti peningkatan
dari perluasan sumber pendapatan dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Hasil penghitungan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada
penelitian Rohaeni et al., (2005) yang mendapatkan dalam sebulan seekor sapi mampu
menghasilkan pendapatan dari pupuk kandang sebesar Rp 15.000 atau setara dengan Rp 500 per
hari. Hal ini disebabkan karena limbah belum diolah sehingga nilai jualnya menjadi lebih rendah.
173 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Potensi pendapatan dari kompos k.a. 20% dan urin yang dihasilkan seekor induk sapi
Bali di Desa Sumberkima, tahun 2012.
Uraian Rata-rata
ekor/hari ekor/bulan ekor/tahun
Kompos ka. 20% (Rp) 1.365 40.985 481.825
Bio Urin (Rp) 2.970 89.100 1.069.200
Jumlah (Rp) 4.335 130.085 1.551.025
Keterangan: harga kompos per kg dan urin per liter masing-masing Rp 500,-
KESIMPULAN
1. Jumlah konsumsi pakan ternak sapi berkorelasi positif dengan jumlah limbah yang dihasilkan.
2. Rata-rata limbah padat segar dan urin yang dihasilkan seekor induk sapi dengan berat 225 kg -
250 kg adalah 14,87 kg dan 5,94 liter per hari.
3. Rasio limbah padat segar, urin dan kompos kadar air 20% yang dihasilkan per hari dengan
berat sapi yaitu masing-masing 5,95% – 6,61%, 2,38%-2,62% dan 1,09%-1,21%.
4. Potensi pendapatan dari limbah seekor induk sapi Bali yaitu sebesar Rp 4.335 dengan
pendapatan dari kompos sebesar Rp 1.365 dan bio urin Rp 2.970 per hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, N., I G.A.K. Sudaratmaja, K. Mahaputra, W. Trisnawati, Suharyanto, S. Guntoro, J.
Rinaldi, D.A.A. Elizabeth, P.Y. Priningsih dan A. Rachim. 2008. Prima Tani LKDRIK
Desa Sanggalangit. (Laporan Akhir). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Denpasar.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. 2011. Evaluasi Kegiatan Sistem Pertanian
Terintegrasi (Simantri) Tahun 2009 dan Pelaksanaan Kegiatan Tahun 2010. Makalah
disampaikan pada Evaluasi Kegiatan Simantri, tanggal 20 Maret 2011. Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. Denpasar.
Diwyanto, K. 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dan Inovasi Teknologi dalam Mendukung
Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. ;1(3). 173-188.
Diwyanto, K. dan A. Priyanti. 2009. Pengembangan Industri Peternakan Berbasis Sumberdaya
Lokal. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta. ;2(3): 208-228.
Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. ;2(3):163-176.
Kaharudin dan Mayang, F.S. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Umum Limbah Ternak Untuk
Kompos dan Biogas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Mataram.
Kariasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan
Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian
3(1) 2005: 68-80.
Kusnadi, U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak untuk
Menunjang Swasembada Daging Sapi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. ;1(3): 189-205.
Parwati, I.A., I.N. Suyasa, I.W. Sunanjaya, L.G. Budiari dan N. Sriyani. 2008. Prima Tani
LKDTIB di Kabupaten Bangli. (Laporan Akhir). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali. Denpasar.
174 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Rohaeni, E.S., A.Subhan, N. Amali, Sumanto dan A. Darmawan. 2005. Kontribusi Pendapatan
Pemeliharaan Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi Jagung dan Ternak Sapi di Lahan
Kering. Balai Pengkajian Teknologi Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
Yasa, I.M.R., I G.A.K. Sudaratmaja, I. N. Adijaya,K. Mahaputra, W. Trisnawati, Suharyanto, S.
Guntoro, J. Rinaldi, D.A.A. Elizabeth dan P.Y. Priningsih 2005. Participatory Rural
Appraisal Prima Tani LKDRIK Desa Sanggalangit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali. Denpasar.
Lampiran 1. Curah hujan di Kecamatan Gerokgak Januari-Juli Tahun 2012.
B u l a n Curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (hari)
Januari 176,5 9
Februari 171,0 8
Maret 188,5 10
April 64,0 5
Mei 44,5 4
Juni 4,0 1
Juli - -
Sumber: Stasiun Cuaca Balai Benih Pembantu Palawija Desa Patas, Kecataman Gerokgak, Buleleng.
HASIL DISKUSI
Tanya : Berapa waktu yang dibutuhkan untuk melihat dampak pakan terhadap kandungan
kotoran ternak.
Jawab : Daya tunas adalah fertilitas. Contohnya pada telur itik untuk meningkatkan daya tunas
dapat dilakukan dengan mempercepat perbandingan jantan dan betina. Waktu yang
dibutuhkan untuk melihat dampak pakan terhadap kandungan kotoran ternak dapat
dilihat melalui kondisi elastisitas yang ada di petani di wilayah binaan BPTP Bali ada
300 unit yang terdiri dari kandang kolam, rumah pakan, dan rumah kompos. Komposisi
pakan di ukur melalui limbah padat dan cairnya kemudian dibandingkandibandingkan.
Setelah 6 bulan berbanding lurus masih banyak konsumsi pakan yang dibutuhkan,
makin banyak limbahnya. 83-86 % pakan yang diberikan menjadi limbah.
175 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN KETERSEDIAAN
PAKAN SAPI BALI DI BALI
I Made Rai Yasa dan I N Adijaya
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Keberlanjutan pengembangan ternak pada suatu wilayah ditentukan oleh ketersediaan pakan, yang terkait
dengan tata guna lahan. Pada saat ini sektor pertanian di Bali terkendala oleh beberapa factor antara lain tingginya alih
fungsi lahan.Terkait dengan permasalahan tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak alih fungsi lahan
terhadap keberlanjutan ketersediaan pakan sapi Bali di Bali. Karena permasalahan pakan merupakan permasalahan
kompleks dan dinamis, maka model disusun dengan pendekatan sistem dinamik. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juli sampai Nopember 2011, menggunakan software Powersim Constructor versi 2.5d. Hasil penelitian menunjukkan,
apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan, luas sawah berpotensi menyusut dari 80.997 ha menjadi 63.641 ha pada
tahun 2034, hutan menyusut dari 123.120 ha menjadi 120.077, perkebunan dari 122.780 menjadi 102.049 ha, namun
luas lahan kering meningkat dari 197.006 ha menjadi 240.970 ha dan lahan lainnya meningkat dari 39.763 ha menjadi
45.880 ha. Sebagai dampaknya persentase kecukupan pakan sapi di Bali sampai tahun 2034 akan menurun dari 108%
(tahun 2009) menjadi 77%, dan kecukupan pakan 100% (produksi sama dengan konsumsi) terjadi pada tahun 2014,
yakni pada saat populasi sapi mencapai 777.859 ekor (betina muda 94.042 ekor, godel betina 105.316 ekor, godel
jantan 113.439 ekor, induk 242.366 ekor, jagiran 103.300 ekor dan jantan muda 119.397 ekor).Melalui optimalisasi
pemanfatan limbah Apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan, persentase kecukupan pakan sapi di Bali pada tahun
2034 akan menjadi 77%.Untuk menutupi kekurangan pakan tersebut, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan
pemanfaatan limbah kakao hingga 80%, limbah kopi hingga 60%, dan jerami padi hingga 60% dari potensi yang
tersedia.
Kata kunci: alih fungsi lahan, ketersediaan pakan, sapi Bali, sistem dinamik
PENDAHULUAN
Bali merupakan salah satu pemasok sapi potong untuk pasar Jakarta. Berdasarkan
Peraturan Gubernur Bali No. 41 tahun 2006, yang diberlakukan sampai tahun 2008, jumlah sapi
Bali yang diizinkan untuk diantarpulaukan sebanyak 75.000 ekor/tahun. Selanjutnya mulai tahun
2009, dengan alasan keseimbangan populasi, izin pengeluaran sapi Bali diturunkan menjadi
55.000 ekor (Bisnis bali.com 2009), padahal menurut Gubernur Bali Made Mangku Pastika,
permintaan sapi Bali untuk pasar Jakarta rata-rata 200.000 ekor per tahun (Kompas.com 2009).
Pada saat ini usaha peningkatkan populasi sapi di Bali, terkendala oleh beberapa factor
antara lain tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Lahan pertanian khususnya
sawah, dari tahun 1995 hingga 2008 menyusut rata-rata 0,7 % atau seluas 639 Ha (BPS Bali
1995; BPS Bali 2009) untuk sector industry khususnya pariwisata, pemukiman dan jasa (Tisna,
2002). Selain sawah, luas hutan, perkebunan dan lahan kering juga mengalami perubahan.
Menurut Yusdja dan Ilham (2006), program pengembangan ternak pada suatu wilayah,
keberlanjutannya ditentukan oleh ketersediaan pakan. Di sisi lain, produksi pakan ditentukan
antara lain oleh tata guna lahan luas tanam, baik itu tanaman pangan maupun perkebunan. Pada
saat ini usaha peningkatkan populasi sapi di Bali, terkendala oleh beberapa factor antara lain
tingginya alih fungsi lahan, baik dari pertanian ke non pertanian maupun keperuntukan lainnya.
Karena permasalahan kecukupan pakan merupakan permasalahan yang kompleks dan dinamis,
yakni untuk produksi terkait dengan perubahan tataguna lahandan jenis tanaman serta kebutuhan
pakan terkait dengan populasi ternak, maka model disusun dengan pendekatan sistem dinamis.
Melalui metode ini diharapkan dapat dibangun model penyediaan pakan yang berkelanjutan
sejalan dengan Heitschmidt et al. (1996), bahwa usaha peternakan akan dapat berkelanjutan
apabila dikembangkan dengan berwawasan ekologis.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di Bali dari bulan Juli sampai Nopember 2011. Metoda yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem, dengan Software untuk melakukan
simulasi model adalah Powersim Constructor versi 2.5d. Parameter yang dianalisis adalah
176 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
parameter produksi dan kebutuhan pakan aktual sebagai dasar untuk menyusun skenario
kebijakan. Untuk mempermudah penyusunan model, model dibagi ke dalam dua sub model, yaitu
sub model produksi dan sub model kebutuhan pakan. Sub model produksi pakan disusun untuk
menganalisis komponen-komponen yang terkait dengan sub sistem produksi pakan, demikian
juga untuk sub model konsumsi.Simulasi data untuk model ini disusun dengan jangka waktu 25
tahun (jangka panjang).
Tingkat validitas model, baikterhadap sub model produksi maupun konsumsi pakan,
dianalisis dengan metode Mean Absolut Percentage Error (MAPE) sesuai dengan Hauke et al.
(2001). Data-data yang divalidasi adalah data populasi ternak, tataguna lahan, data luas tanam
komoditas pertanian dan perkebunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis sistem, teridentifikasi model usahatani ternak sapi di Bali
adalah model integrasi antara tanaman dengan ternak. Sub model produksi pakan terkait dengan
tata guna lahan dan luas tanam, sedangkan untuk sub model kebutuhan pakan terkait dengan
dinamika populasi sapi Bali (induk, godel, jagiran, jantan muda dan betina muda) yang bersifat
dinamis (Gambar 1).
Populasi
sapi Bali
Populasiinduk
Populasi pedet
(godel) jantan &
betina
Populasijantan
dewasa(jagiran)
Populasibetina &
jantan muda
++
Luas Bali
Hutan
Luas lahan budidayapertanian
-
+
+
Lahan sawah
Lahan
perkebunan
Tanah kering
Tanaman
perkebunan
Tanaman
pangan
Lahan peruntukan lainnya
Tanaman
kakao, kopi,
mete Tanaman padi,jagung, kacangtanah, kacanghijau, ubi kayu
Tanaman
hortikultura
Pakan limbah Pakan bukan limbah++
++++
Kebutuhanpakan
Neraca k ecukupanpakan
Produks i pakan
+
+
+
Gambar 1. Diagram causal loop model produksi dan kebutuhan pakan sapi Bali di Bali.
Sub Model Dinamika Tata Guna Lahan dan Produksi Pakan
Sub model ini disusun untuk menganalisis dampak perubahan tataguna lahan terhadap
dinamika produksi pakan dalam jangka panjang di Bali. Data-data dan asumsi yang digunakan
adalah:
a. Data tataguna lahan dan luas tanam(tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan) dari tahun
2005 sampai 2009, mengacu pada Bali Dalam Angka 2010 (BPS Bali 2010).
b. Data produksi pakan seperti:
177 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
a) Jerami jagung menggunakan data primer, yakni 4,67 ton/hadan 6,75 ton/ ha; dengan
kandungan bahan kering (BK) mengacu pada Hartadi et all., (1997), yakni
86%.Pemanfaatan jerami jagung pada saat ini sekitar 80%.
b) Jerami padi varietas Ciherang yakni 17,92 ton/hadengan BK 40% (Hartadiet al. 1997),
namunbaru termanfaatkan sekitar 50% dari potensi yang ada.
c) Jerami kacang hijau, mengacu pada Purnomo et all,. (1992) dalam Santoso et al.(2004),
yakni 0,90 ton/ha.
d) Jerami kacang tanah mengacu pada Yasa dan Adijaya (2004), yakni 4,61 ton/ha BK.
e) Jerami singkong, mengacu padaMuller (1974) dalam Sariubang et all., (2000) yakni 0,9-
1,0 ton/ha BK.
f) Limbah mete mengacu pada Guntoro et all., (2002), yakni 19,19 ton/ha dengan BK
17,5%.
g) Potensi limbah kopi adalah 42% dari produksi kopi kering/ha (Guntoroet all., 2004).
Produksi kopi di Bali rata-rata 557kg/ha/tahun (Disbun Bali, 2010), dengan demikian
potensi limbahnya mencapai 450 kg/ha/tahun; namun pemanfaatannya hanya sekitar 0,1%.
Untuk scenario peningkatan produksi pakan, pemanfaatan pakan dari limbah kopi
ditargetkan mencapai 50% tahun 2015.
h) Untuk kakao, Suharyanto, et all., (2006) melaporkan bahwa tanaman kakao produktif rata-
rata menghasilkan jumlah buah sebanyak 22 buah dengan bobot rata-rata 517,1
gram/buahatau11,38 kg/pohon/tahun. Menurut Guntoro et all., (2008), buah kakao terdiri
dari cangkang rata-rata 72,9% dari berat total buah kakao basah. Melalui proses
pengeringan diperoleh bahan kering rata-rata 34%. Dengan produksi limbah basah 8,3
kg/pohon/tahun diperoleh sekitar 2,8 kg tepung limbah kakao kering/tahun. Potensi tersebut
baru termanfaatkan sebanyak 10% oleh petani di lapangan dalam bentuk segar. Pada
Skenario peningkatan produksi pakan, pemanfaatannya dinaikkan menjadi 80% pada tahun
2015.
i) Potensi hijauan per tahun dari masing-masing lahan seperti: 1) sawah yakni dengan
perhitungan 5% dari luas lahan dikalikan dengan 3,75 ton, 2) hutan yakni 5% dari luas
lahan dikalikan dengan 3,75 ton, 3)tanah kering yakni 5% dari luas lahan dikalikan dengan
3,75 ton, 4) perkebunan yakni 5% dari luas lahan dikalikan dengan 3,75 ton ), dan 5)
lahanlainnya 1% dikalikan 3,75 ton/tahun, mengacu pada Atmaja (2006). Rumput lapangan
mengacu pada Bamualim (2010), berkisar3-6 ton/ha (daerah semi arid).
j) Data luas dan potensi produksi pakan dari rumput yang dibudidayakan, mengacu pada
laporan Dinas Peternakan Provinsi Bali (2010) dengan potensi produksi 20 ton bahan
kering/ha/tahun (Atmaja, 2006).
Dinamika Tataguna Lahan
Hasil analisis menunjukkan, sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan pada
berbagai sektor, perubahan tataguna lahan sepertinya tidak dapat dihindarkan. Luas hutan, luas
lahan perkebunan dan sawah berpotensi terus menyusut menjadi tanah kering (tegalan, lahan
tadah hujan, permukiman lahan yang belum dimanfaatkan) dan lahan lainnya (jalan, sarana
penunjang umum dan lain-lain) seperti terlihat pada Gambar 2. Luas lahan kering berpotensi
meningkat dari 197.006 ha (tahun 2009) menjadi 240.970 hektar (tahun 2034) demikian juga
untuk lahan lainnya meningkat dari 39.763hektar menjadi 45.880 hektar; sedangkan pada periode
yang sama hutan menyusut dari 122.780 hektar menjadi 120.077 hektar, perkebunan menyusut
dari 123.120 menjadi 102.049 hektar dan luas sawah dari 80.997 hektar menjadi 63.641 hektar.
178 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 2 Dinamika tataguna lahan di Provinsi Bali2009-2034.
Potensi Produksi Pakan Hijauan
Sebagai dampak dari perubahan tata guna lahan (Gambar 2), potensi produksi pakan
hijauan diBali secara keseluruhan sedikit meningkat yaitu dari 61.451 ton/tahun menjadi 61.654
ton/tahun. Potensi peningkatan pakan terjadi karena meningkatnya luas lahan kering dan dari
lahan lainnya; sedangkan potensi penurunan produksi pakan hijauan berasal dari hutan, sawah
dan lahan perkebunan (Gambar 3).
179 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 3 Potensi produksi pakanhijauan di Provinsi Bali 2009-2034.
Potensi Produksi Pakan Dari Limbah Tanaman Pangan dan Perkebunan
Salah satu alternatif untuk penyediaan pakan yang murah dan kompetitif adalah melalui
pemanfaatan limbah, seperti limbah pertanian (Mastika 1991). Pemanfaatan limbah untuk pakan
tidak terlalu bermasalah bagi sapi Bali, karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap
lingkungan. Sapi Bali memiliki daya cerna pakan yang baik, yaitu mampu memanfaatkan pakan
yang kurang baik, sehingga memiliki sebutan sebagai hewan perintis karena dapat dikembangkan
di daerah kering yang sebelumnya tidak terdapat sapi (Martojo 1990). Menurut Noorginayuwati
dan Jumberi (1995) dengan mengkombinasikan komoditas tanaman pangan, tanaman tahunan dan
ternak akan menjamin produktivitas, pendapatan dan keberlanjutan usahatani.
Potensi produksi pakan dari limbah tanaman pangan juga dinamis sesuai dengan luas
tanamnya. Potensi peningkatan produksi limbah berasal dari tanaman jagung, padi, kedelai dan
kacang hijau, sedangkan yang berpotensi menurun adalah dari kacang tanah dan ubi jalar
(Gambar 4).
180 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 4 Potensi produksi pakandari limbah pertanian di Provinsi Bali 2009-2034.
Hampir sama dengan limbah pertanian, potensi produksi limbah dari tanaman
perkebunan juga dinamis. Potensi produksi limbah mete dan kakao meningkat, sedangkan limbah
kopi (Robusta dan Arabika) menurun (Gambar 5). Meskipun potensi limbah perkebunan ini
sangat banyak, namun belum dimanfaatkan secara optimal; padahal menurut Guntoro (2008),
fermentasi limbah kakao menggunakan Aspergillus nigerdapat meningkatnya kandungan protein
kasar dari limbah kakao dari 7,17% pada kakao mentah (sebelum difermentasi) menjadi 16,46%
dan menurunkan kandungan serat kasarnya (CF) yaitu dari 22,42% menjadi 14,15%. Demikian
juga untuk limbah kulit kopi, dengan fermentasi menggunaka Aspergillus niger, kandungan
protein kasar dapat ditingkatkan dari dari 5,81 % menjadi 12,43 % serta menurunkan kandungan
serat kasar dari 24,20 % menjadi 17,14 %.
181 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 5. Potensi produksi pakandari limbah perkebunan di Provinsi Bali 2009-2034.
Sub Model Kebutuhan dan Kecukupan Pakan
Sub model ini disusun untuk menganalisis potensi peningkatan maupun penurun
konsumsi pakan sapi di Bali sebagai dampak dari peningkatan maupun penurunan populasi sapi.
Untuk sub sistem ini, data-data dan asumsi yang digunakan adalah :
a. Data populasi sapi Bali tahun 2000-1009 mengacu pada Laporan Cacah Jiwa Ternak di
Provinsi Bali dari tahun 2002-2009, yang membagi sapi Bali ke dalam enam kelompok yaitu:
1) Jagiran (sapi Bali jantan berumur 2,5 tahun keatas dan telah dapat digunakan sebagai
pejantan), dengan bobot badan rata-rata 335 kg (Pastika dan Darmadja 1976 dalam Sumbung
et all., 1978); 2) Jantan muda (sapi Bali jantan berumur antara 1,5-2,5 tahun, belum memiliki
gigi seri permanen); dengan bobot rata-rata 261kg (data primer); 3) Godel jantan (anak sapi
Bali jantan berumur kurang 1,5 tahun; dengan bobot rata-rata 87,60 kg) (Pastika dan
Darmadja 1976 dalam Sumbung et al. 1978); 4) Induk (sapi Bali betina yang telah bunting
atau sudah pernah beranak; dengan bobot rata-rata259 kg) (data primer); 5) Betina muda (sapi
Bali betina berumur 1,5-2,5 tahun, belum memiliki gigi seri permanen dan belum pernah
bunting; dengan bobot badan rata-rata 187 kg) (data primer); dan 6) Godel betina (anak sapi
Bali betina yang berumur kurang dari 1,5 tahun; dengan bobot rata-rata 77,90 kg (Pastika dan
Darmadja 1976 dalam Sumbung et all.,1978).
b. Standar kebutuhan pakan mengacu pada Nutrient Research Council (NRC) (1984), yakni
ternak sapi paling tidak mengkonsumsi 2,5% pakan dalam bentuk bahan kering (BK) dari
bobot badannya.
Hasil analisis menunjukkan, kebutuhan pakan untuk seluruh sapi dari tahun 2009
sampai tahun 2034 berpotensi meningkat dari 1,3 juta ton/tahun menjadi 2,7 juta ton/tahun;
namun produksi pakan hanya meningkat dari 1,4 juta ton/tahun menjadi 2,1 juta ton/tahun.
Kondisi ini menyebabkan kecukupan pakan menurundari 108% menjadi 77% (Gambar 6).
Kecukupan pakan 100% (produksi dan kunsumsi pakan seimbang) terjadi pada tahun 2014. Pada
saat itu populasi sapi sebanyak 777.859 ekor, dengan rincian: betina muda sebanyak 94.042 ekor,
godel betina 105.316 ekor, godel jantan 113.439 ekor, induk sebanyak 242.366 ekor, jagiran
103.300 ekor dan jantan muda sebanyak 119.397 ekor.Untuk menutupi kekurangan pakan
tersebut, dapat diupayakan melalui optimalisasi pemanfaatan limbah perkebunan seperti limbah
kakao hingga mencapai 80%, dan limbah kopi (arabika dan robusta) hingga mencapai 60%,
pemanfaatan jerami padi hingga mencapai 60%. Jika upaya tersebut terlaksana, berpotensi dapat
memenuhi peningkatan kebutuhan pakan sapi sampai tahun 2034 (Gambar 7). Apabila potensi
limbah perkebunan dan pertanian khususnya jerami padi dioptimalkan pemanfaatannya mulai
tahun 2015, maka persentase kecukupan pakan di Bali dalam jangka panjang berpotensi
berkelanjutan, namun harus melalui optimalisasi pola pertanian terintegrasi (optimalisasi
pemanfaatan limbah perkebunan seperti kopi dan kakao.
182 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
a. Dinamika produksi dan kebutuhan pakan b. Dinamika kecukupan pakan (%)
Gambar 6. Potensi produksi dan kecukupan pakan sapi pada kondisi aktual di Bali
tahun 2009-2034.
a. Dinamika produksi dan kebutuhan pakan b. Dinamika kecukupan pakan
Gambar 6. Potensi produksi dan kecukupan pakan sapi melaui optimalisasi pemanfaatan
limbah perkebunan dan tanaman pangan tahun 2009-2034.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan, akan terjadi penyusutan luas sawah dari 80.997
ha (tahun 2009) menjadi 63.641 ha pada tahun 2034, hutan menyusut dari 123.120 ha menjadi
120.077, perkebunan dari 122.780 menjadi 102.049 ha serta terjadi peningkatan lahan kering
dari 197.006 ha menjadi 240.970 dan lahan untuk peruntukan lainnya meningkat dari 39.763
ha menjadi 45.880 ha.
2. Kecukupan pakan 100% (produksi dan kunsumsi pakan seimbang) terjadi pada tahun 2014.
Pada saat itu populasi sapi sebanyak 777.859 ekor, dengan rincian: betina muda sebanyak
94.042 ekor, godel betina 105.316 ekor, godel jantan 113.439 ekor, induk sebanyak 242.366
ekor, jagiran 103.300 ekor dan jantan muda sebanyak 119.397 ekor.
183 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
3. Apabila tidak dilakukan perubahan kebijakan, persentase kecukupan pakan sapi di Bali pada
tahun 2034 akan menjadi 77%, sehingga menjadi kendala dalam upaya peningkatan populasi
sapi di Bali. Untuk dapat menutupi kekurangan pakan tersebut, dapat diupayakan melalui
optimalisasi pemanfaatan limbah perkebunan yakni limbah kakao hingga mencapai 80%, dan
limbah kopi (arabika dan robusta) hingga mencapai 60%, dan pemanfaatan jerami padi hingga
mencapai 60%.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Bali. 1995. Statistik Provinsi Bali (Statistic of Bali Province). Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. Denpasar.
BPS Provinsi Bali. 2009. Statistik Provinsi Bali (Statistic of Bali Province). Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. Denpasar.
Dinas Perkebunan Provinsi Bali. 2010. Luas Areal Dan Produksi Perkebunan Di Bali Tahun
2010. http://www.disbunbali.info/statistik_perkebunan.php. Dinas Perkebunan Provinsi
Bali. Denpasar. (Rabu, 2 Nopember 2011).
Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2002. Laporan Cacah Jiwa Ternak di Provinsi Bali Tahun 2002.
Dinas Peternakan Provinsi Bali. Denpasar.
Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2010. Laporan Cacah Jiwa Ternak di Provinsi Bali Tahun 2010.
DinasPeternakan Provinsi Bali. Denpasar.
NRC. 1984. Nutrient Requerements of Beef Cattle. 6threv.ed. Nutrient Research Council (NRC).
Washington, D.C National Academy Press.
Abdurahman A, B.R. Prawiradiputra, T. Prasetyo, H.M. Toha dan H. Nataatmaja. 1993. Laporan
Akhir UACP-FSR. P3HTA. Badan Penelitian dan Pemgembangan Pertanian. Jakarta.
Arsana D. I G K. 2004. Pengkajian Pembuatan Benih Dasar Jagung dan Kacang Tanah. Prosd.
Semnas Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung Pembangunan
Pertanian. Denpasar, 6 Oktober 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor. ;171-175
Atmaja I K G. 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Dinas Peternakan Provinsi
Bali. Denpasar.
Atman. 2007. Teknologi Budidaya Kacang Hijau (Vignaradiatal.) di Lahan Sawah. Jurnal Ilmiah
Tambua, Vol. VI (1): 89-95
Bisnisbali. com. 2009. Tetap Mengacu Pada Keseimbangan Populasi Soal Penentuan Kuota Sapi
Antar Pulau (Bisnis Bali). http://www.bisnisbali.com/2009/12/19. (Minggu, 10 Januari
2010)
Guntoro S, I M R Yasa dan I A Parwati. 2002. Laporan Hasil Pengkajian Pengolahan Limbah
Perkebunan (kakao dan Kopi) untuk Pakan Ternak dan Pupuk Organik. Balai
PengkajianTeknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Guntoro S. 2008. Membuat Pakan Ternak Dari Limbah Perkebunan. Penerbit Agromedia.
Jakarta.
Hartadi H, S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia.
Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Hauke J E, D E Wicharn and A Y Reitch. 2001. Business Forecasting. Practise – Halln Inc. New
Jersey.
Heitschmidt R K, R E Short and E EGrings. 1996. Ecosystem, sustainability and animal
agriculture. J. Anim. Sci. 74 : 1395-1405.
Kompas.com. 2009. Warga Jakarta Doyan Sapi Bali. http://regional.kompas.com/read/
2009/12/12/17360312/warga.jakarta.doyan.sapi.bali (Minggu, 10 Januari, 2010).
Mastika IM. 1991. Potensi Limbah Pertanian dan Industry Pertanian Serta Pemanfaatannya
Untuk Makanan Ternak. Pidato Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Makanan Ternak
pada Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
184 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Sumbung F.P., J.T. Batosamma, B.R. Ronda dan S. Garantjang. 1978. Performans Reproduksi
Sapi Bali. Prosd. Seminar Ruminansia, Bogor 24-25 Juli 1978. Direktorat Djedral
Peternakan dan Fakultas Peternakan., IPB. Bogor. ;76-78.
Tisna 2002. Pendayagunaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan Wilayah Propinsi Bali.
Makalah Seminar Nasional. ”Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Tanah dan Air yang
Tersedia untuk Keberlanjutan Pembangunan, Khususnya di Sektor Pertanian” Denpasar, 6
April 2002. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Yasa I M R dan I N Adijaya. 2004. Daya Dukung Limbah Jagung dan Kacang Tanah Untuk
Pakan Sapi di Lahan Marginal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
“Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna.
Mataram, 31 Agustus-1 September 2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanaian NTB.
Mataram.
Yusdja Y dan N Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. JAKP 2 (2):
183-203.
Suharyanto, Rubiyo, D.A. Elisabeth, J. Rinaldy danTrisnawati. 2006. LaporanAkhir SUT Kakao.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
HASIL DISKUSI
Tanya : Bagaimana struktur lahannya apakah sudah dibagi?
Jawab : Sebelum kami menyusun model pakan kami melakukan survei, dimana luas Bali 510
km2. Hasil hijauan dihasilkan dari perhitungan Gulma 5%. Penggunaan masih kecil,
target 80%. Limbah kopi banyak tersedia tetapi masih belum banyak digunakan sebagai
pakan alternatif. Feses sapi digunakan untuk tanaman.
185 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
EFEK BEBERAPA METODA PENGOLAHAN LIMBAH DAUN
KELAPA SAWIT TERHADAP KANDUNGAN GIZI DAN
KECERNAAN SECARA IN-VITRO
Nurhaita1) dan Ruswendi2) 1)Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh beberapa metode pengolahan pada daun sawit
terhadap nilai gizi dan kecernaan zat-zat makanan secara in-vitro. Perlakuan pengolahan terdiri dari kontrol (tanpa
perlakuan), steam, amoniasi, silase dan steam amoniasi. Penelitian metoda pengolahan daun sawit menggunakan
rancangan acak lengkap dan uji kecernaan in-vitro menggunakan rancangan acak kelompok. Variabel yang di ukur
adalah 1) kandungan zat makanan (bahan kering, bahan organik, protein kasar ) dan fraksi serat (NDF,ADF, selulosa
dan Hemiselulosa) dan 2) Kecernaan zat-zat makanan dan fraksi serat secara in-vitro. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan pengolahan pada daun sawit secara nyata (P<0.05) dapat meningkatkan kualitas daun sawit. Hal ini
terutama tercermin dari meningkatnya kandungan protein kasar 38.83%-73.19.% dan turunnya kandungan lignin
18.66% – 24.64%. Hal ini menyebabkan meningkatnya kecernaan zat makanan secara in vitro, terutama kecernaan
protein kasar sebesar 68.09% - 126.29% dan kecernaan ADF sebesar 29.14%-96.63% dibanding kontrol. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metoda pengolahan yang terbaik untuk meningkatkan nilai gizi dan kecernaan
daun sawit adalah amoniasi dengan urea.
Kata kunci : daun sawit, metoda pengolahan, kandungan gizi, kecernaan in-vitro
PENDAHULUAN
Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan merupakan solusi alternatif untuk
mengatasi masalah kesulitan pakan hijauan bagi ruminansia. Salah satu limbah perkebunan yang
cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan adalah daun kelapa sawit.
Daun sawit dihasilkan dari pemangkasan/pemotongan pelepah sawit tua pada pemeliharaan dan
pemanenan buah. Pada saat pemanenan buah akan dipotong 2-3 pelepah dengan siklus panen 2
kali sebulan. Satu pelepah sawit beratnya rata-rata 10 kg terdiri dari 30% daun dan 70% pelepah
daun (Nevy Diana, 2004). Menurut Sa’id (1996) tanaman kelapa sawit akan menghasilkan
limbah pelepah sawit sebanyak 10,40 ton bahan kering/ha/tahun. Dengan luas perkebunan sawit
4.116.646 ha diperkirakan produksi limbah pelepah sawit Indonesia pada tahun 2002 adalah
42.813.111,4 ton bahan kering/tahun.
Kandungan gizi daun sawit adalah : bahan kering 54,12%, bahan organik 89,86%,
protein kasar 8,51% dan serat kasar 28,48%, sedangkan kandungan NDF adalah 59,11%, ADF
42,87%, selulosa 24,69%, dan hemiselulosa 16,24%, dan lignin 12,90%. Tingginya kandungan
lignin merupakan kendala dalam pemanfaatanya sebagai pakan ternak yang akan menyebabkan
rendahnya kecernaan pada daun sawit. Winugroho dan Maryati (1999) mendapatkan daya cerna
in-vitro daun kelapa sawit <50%, dan disarankan pemberiannya hanya 15 – 20% dalam ransum.
Untuk penggunaan lebih dari 40% dalam ransum perlu dilakukan upaya pengolahan terlebih.
Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecernaan potensial serat
kasar (Preston dan Leng, 1987). Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan
yang berkualitas rendah, dapat dilakukan melalui proses kimia, fisik dan biologis (Hungate,
1966). Bertitik tolak dari uraian diatas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
beberapa metode pengolahan terhadap kandungan gizi dan kecernaan daun sawit secara in vitro
BAHAN DAN METODA
Materi utama yang digunakan adalah daun kelapa sawit tua, urea untuk amoniasi, dedak
untuk pembuatan silase, cairan rumen sebagai donor mikroba ,dan larutan Mc Dougall’s sebagai
buffer. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah: parang, timbangan O-Hause, tali rafia,
autoclave, kantong plastik, selotip, oven untuk mengeringkan bahan, mesin giling untuk
menggiling bahan sebelum dianalisa, perangkat in-vitro, pH meter digital untuk mengukur pH
cairan rumen, dan seperangkat peralatan laboratorium untuk analisis Proksimat, Van Soest, VFA,
186 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dan NH3-N. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan terdiri dari : A = Kontrol (tanpa perlakuan), B = pengolahan secara fisik (Steam), C =
pengolahan secara kimia (Amoniasi), D = pengolahan secara biologis (Silase), dan E = kombinasi
fisik-kimia (Steam-Amoniasi). Model rancangan yang digunakan menurut Steel and Torrie
(1989) adalah sebagai berikut :
Dimana: Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke- i dan ulangan ke-j
= nilai tengah umum
Pi = pengaruh perlakuan ke i
K = pengaruh kelompok ke j
ij = pengaruh sisa pada perlakuan yang ke i ulangan ke j
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varian (anova)
menurut Steel and Torrie (1989). Perbedaan antar perlakuan akan diuji dengan Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT).
Prosedur Penelitian
1. Pengolahan daun kelapa sawit
Daun kelapa sawit terlebih dahulu dibuang lidinya, lalu dipotong-potong sepanjang +
5 cm. Perlakuan A (kontrol =tanpa olahan). Perlakuan B (steam): timbang daun sawit yang
telah dipotong-potong sebanyak 1 kg, lalu steam dengan autoclave pada tekanan 0.5 kg/cm3,
suhu 1210
C selama 30 menit (Nurhaita, 2006). Perlakuan C = amoniasi dengan 4% N-urea
(Komar, 1984): Timbang 1 kg daun sawit yang telah dipotong-potong, masukkan ke dalam
kantong plastik kapasitas 5 kg yang telah dilapis 2. Larutkan 47 gr urea dalam 80 ml air lalu
siramkan merata ke dalam kantong yang telah berisi daun sawit. Padatkan daun sawit dalam
kantong dan ikat kuat dengan tali rafia, lalu simpan selama 21 hari. Setelah 21 hari kantong
plastik dibuka dan hasil amoniasi dikering anginkan. Perlakuan D (Silase); 1 kg daun sawit
yang telah dipotong-potong lalu tambah dedak halus sebanyak 10%, campur rata. Masukkan
daun sawit tersebut ke dalam kantong plastik kapasitas 5 kg yang telah dilapis 2, lalu padatkan
dan ikat kuat plastik dengan tali rafia, selanjutnya disimpan selama 21 hari. Setelah 21 hari
silase dibuka dan dilakukan penilaian fisik yaitu pH, warna, bau, tekstur,dan jamur.
Perlakuan E (Steam-Amoniasi) merupakan gabungan perlakuan steam dan amoniasi. Daubn
sawit yang telah disteam diamoniasi dengan 4% N-urea lalu diperam salama 21 hari. Semua
produk daun sawit olahan dikeringkan dan digiling untuk selanjutnya dianalisa kandungan
gizinya dan diuji kecernaannya secara in-vitro.
2. Uji kecernaan in-vitro daun kelapa sawit olahan
Sampel daun kelapa sawit olahan yang telah digiling haus dimasukkan ke dalam
tabung erlemenyer, tambahkan larutan buffer Mc Dougall’s (suhu 390C, pH 6.92-7.02) dan
cairan rumen sebagai donor mikroba. Alirkan gas CO2 selama + 30 detik agar kondisi tetap an
aerob, lalu mulut tabung ditutup rapat. Sampel tersebut diinkubasikan pada water shakerbath
selama 2 x 24 jam pada suhu 390 C, setelah fermentasi berakhir tabung erlenmenyer berisi
sampel dimasukkan ke dalam air es. Selanjutnya semua sampel disentrifus dengan kecepatan
1200 rpm selama 15 menit, supernatan diambil untuk selanjutnya diukur pH, NH3-N dan VFA,
sedangkan endapan dikumpulkan dan dikeringkan untuk dianalisis BK; BO; PK; NDF; ADF;
selulosa dan hemiselulosa.
3. Parameter yang diamati :
1) Kandungan BK,BO, PK, dan Fraksi serat (NDF, ADF, selulosa dan Hemiselulosa) daun
sawit hasil olahan. (Analisis proksimat dan analisis Van Soest)
2) Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan fraksi serat (NDF,ADF, Selulosa
dan hemiselulosa) secara in-vitro dengan metode Tilley and Terry (1963).
Yij = + Pi + Kj + ij
187 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Gizi Daun sawit
Hasil analisis kandungan gizi 5 perlakuan pengolahan daun sawit yang diteliti,
memperlihatkan hasil pengolahan secara nyata (P <0.05) mempengaruhi kandungan zat-zat
makanan pada daun sawit (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan zat-zat makanan daun kelapa sawit masing-masing perlakuan pengolahan.
Parameter Kandungan zat makanan daun sawit pada perlakuan (%BK) SE A (kontrol) B (steam) C(amoniasi) D (silase) E (steam-amoniasi)
B. Kering 55,05b
61,37a
41,72c
42,01c
62,40a
0,785
B. Organik 89,01a 85,76
b 86,54
b 86,36
b 86,71
b 0,514
PK 8,8c 12,41
b 14,64
a 11,92
b 14,86
a 0,493
NDF 62,91a 58,47
b 53,51
c 52,94
c 61,79
a 0,699
ADF 44,62b 42,86
c 41,23
d 40,96
d 46,89
a 0,474
Selulosa 24,12a
20,40b
19,72b
20,59b
21,99a
0,677
Hemiselulosa 18,29a
15,61b
12,29c
11,98c 14,90
b 0,475
Lignin 12,97a 10,28
b 9,94
b 9,81
b 10,55
b 0,850
Keterangan: nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Tabel 1. Memperlihatkan kandungan Bahan Kering (BK) daun sawit hasil penelitian
berkisar antara 41,72 - 62,40%. Hasil uji DMRT diketahui bahwa perlakuan steam (B) dan steam-
amoniasi (E) nyata meningkatkan kandungan bahan kering dibanding kontrol (A). Sedangkan
perlakuan amoniasi (C) dan silase (D) secara nyata menurunkan kandungan bahan kering
dibanding kontrol, namun kandungan bahan kering antar perlakuan amoniasi dan silase berbeda
tidak nyata, demikian juga antara perlakuan steam dan steam-amoniasi.
Peningkatan kandungan bahan kering pada pengolahan secara steam dan steam
amoniasi disebabkan oleh hilangnya sebagian kandungan air bahan melalui penguapan. Selama
proses steam akan terjadi perenggangan struktur dinding sel oleh tekanan uap panas, sehingga
dinding sel menjadi lebih longgar, pada saat itu sejumlah air yang mengisi rongga antar dinding
sel tersebut keluar, sehingga kadar air bahan menjadi turun dan mengakibatkan meningkatnya
kandungan bahan kering. Pada penelitian ini terjadi peningkatan kandungan bahan kering daun
sawit sebesar 6,32 – 7,35% dari kontrol. Perlakuan amoniasi dan silase secara nyata menurunkan
kandungan bahan kering sebesar 13%, hal ini terjadi karena terlarutnya sebagian fraksi yang
soluble sebagai akibat dari reaksi kimia pada proses amoniasi dan terjadinya efluent lose pada
metabolisme sel selama proses ensilase.
Kandungan bahan organik pada daun sawit olahan secara nyata menurun dibanding
kontrol, namun tidak berbeda nyata antara perlakuan daun sawit olahan. Hal ini disebabkan
hilangnya sebagian bahan organik selama proses pengolahan.
Kandungan protein kasar daun sawit olahan secara nyata (P<0.05) meningkat 38,93 -
73.19% dibanding kontrol. Pada perlakuan steam terjadi peningkatan kandungan protein sebesar
44,63% karena terjadinya denaturasi protein oleh panas dan meningkatnya kandungan bahan
kering. Sedangkan pada silase peningkatan kandungan protein sebesar 38,93% merupakan
sumbangan dari bakteri asam laktat selama proses ensilase. Peningkatan kandungan protein yang
tertinggi terjadi pada pengolahan secara amoniasi dan steam-amoniasi yaitu: 70,63 – 73,19%. Hal
ini disebabkan adanya penambahan urea yang merupakan sumber N, sesuai dengan pendapat
Leng (1991) bahwa amoniasi dengan urea pada pakan serat selain mampu melonggarkan ikatan
lignoselulosa sehingga lebih mudah dicerna oleh bakteri rumen juga mampu memasok nitrogen
untuk pertumbuhan bakteri tersebut.
Perlakuan steam, amoniasi dan silase secara nyata (P<0.05) dapat menurunkan
kandungan fraksi serat (NDF, ADF, selulosa dan hemiselulosa). Penurunan fraksi serat tersebut
adalah sebesar 1,78 - 15,85%; 3,94 - 8,20%; 8,83 – 18,24% dan 14,65 - 34,50% masing-masing
untuk NDF; ADF; Selulosa dan Hemiselulosa. Hal ini sesuai dengan anjuran Preston dan Leng
(1987) yang mengatakan perlu diadakan perlakuan awal terhadap bahan berserat tinggi untuk
188 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
meningkatkan kecernaan potensial dari serat kasar. Sa’id (1996) menambahkan perlakuan awal
berguna untuk meningkatkan laju hidrolisis bahan lignoselulosa.
Kandungan fraksi serat pada perlakuan steam-amoniasi (E) hampir sama dengan kontrol
(A) dengan kata lain tidak terjadi penurunan fraksi serat. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
steam yang dilanjutkan dengan amoniasi tidak efektif menurunkan fraksi serat. karena pada
pengolahan metoda steam sebagian zat yang mudah larut telah menguap, sehingga yang tinggal
adalah zat-zat yang sukar larut (unsoluble),dan amoniasi tidak bisa menurunkan kandungan fraksi
serat tersebut.
Degradasi Zat Makanan Daun Sawit
Peningkatan kandungan zat makanan daun sawit diikuti pula oleh peningkatan
degaradasi zat makanan, hasil uji in-vitro diperoleh hasil peningkatan degradasi zat-zat makanan
daun sawit seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Peningkatan degradasi zat-zat makanan daun sawit masing-masing perlakuan
pengolahan.
Parameter Peninngkatan degradasi zat makanan daun sawit perlakuan (%) SE A (kontrol) B (steam) C(amoniasi) D (silase) E (steam-amoniasi)
B. Kering 32,516 bc
37,949a 36,783
a 31,862
c 35,646
ab 1,009
B. Organik 39,539 b 42,395
a 43,821
a 38,456
b 41,001
ab 0,934
PK 20,879d 42,003
b 47,248
a 42,699
b 35,095
c 1,160
NDF 31,094b
36,434a
32,639c
33,493b
37,460a
0,441
ADF 18,333c
36,048a
23,675b
25,946b
27,261b
0,862
Selulosa 29,004bc
40,667a
30,188b
26,311c
39,038a
0,912
Hemiselulosa 6,027b
40,290d
51,830c
52,549c
64,554a
1,009
Lignin 32.516 bc
37.949a 36.783
a 31.862
c 35.646
ab 1.009
Keterangan: nilai dengan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Perlakuan pengolahan pada daun sawit secara nyata (P<0.05) mempengaruhi degradasi
zat-zat makanan. Dari uji DMRT diketahui bahwa perlakuan steam nyata (P<0.05) meningkatkan
degradasi bahan kering, bahan organik, protein kasar dan fraksi serat dibandingkan daun sawit
tanpa olahan (kontrol). Peningkatan degradasi zat makanan ini disebabkan terjadinya
perenggangan struktur permukaan dinding sel karena pengaruh tekanan uap panas selama steam,
sehingga mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Doyle et all.,.
(1986) bahwa prinsip kerja tekanan uap terhadap substrat adalah mengembangkan serat atau
ikatan komplek bahan pakan, sehingga mudah dicerna oleh mikroorganisme. Akibat pemecahan
ikatan glikosidik atau ikatan lignoselulosa, permukaan substrat semakin luas sehingga
mempermudah penetrasi enzim mikroba ke dalam substrat. Pengolahan dengan tekanan uap
cukup efektif dalam meningkatkan palatabilitas dan kecernaan bahan makanan (Broderick et all.,
1993).
Perlakuan C (amoniasi) secara nyata (P<0.05) meningkatkan degradasi bahan kering,
bahan organik, protein kasar dan fraksi serat dibandingkan daun sawit tanpa olahan (kontrol=A).
Peningkatan degaradasi protein pada perlakuan amoniasi ini paling tinggi dibandingkan perlakuan
lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Leng (1991) bahwa perlakuan amoniasi dengan urea pada
pakan serat selain mampu melonggarkan ikatan lignoselulosa sehingga lebih mudah dicerna oleh
bakteri rumen juga mampu memasok nitrogen untuk pertumbuhan bakteri tersebut
Degradasi zat makanan pada silase daun sawit (D) juga lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Peningkatan ini terjadi karena adanya perombakan molekul komplek menjadi sederhana
oleh aktifitas bakteri asam laktat selama proses ensilase. Silase merupakan hijauan yang
diawetkan dalam keadaan segar dalam kondisi anaerob. Pada proses ensilase terjadi fermentasi
oleh bakteri asam laktat dan streptococcus laktic yang hidup anaerob pada pH 4. Akibat
bekerjanya bakteri ini dan terjadinya penurunan pH, maka pertumbuhan bakteri lain yang
menyebabkan pembusukan hijauan dalam silo dapat dicegah (Susetyo, 1980).
189 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Perlakuan steam-amoniasi (E) pada penelitian ini nampaknya tidak begitu banyak
meningkatkan degaradasi zat makanan. Terlihat dari degaradasi bahan kering dan bahan organik
yang hampir sama dengan perlakuan A (kontrol), tetapi cukup signifikan meningkatkan
kecernaan protein kasar dan fraksi serat. Hal ini disebabkan pada saat melakukan steam sebagian
zat yang mudah larut (soluble) ikut terlarut/hilang sehingga yang tertinggal hanyalah fraksi
insoluble, dan pada proses amoniasi zat soluble tersebut tidak dapat ditingkatkan lagi. Pada
penelitian ini pengolahan dengan steam-amoniasi terlihat kurang meningkatkan degradasi NDF
dan ADF dibandingkan dengan amoniasi.
KESIMPULAN
1. Pengolahan daun sawit mampu meningkatkan kualitas (kandungan gizi dan kecernaan) daun
sawit dan
2. Metoda pengolahan yang terbaik adalah secara amoniasi.
DAFTAR PUSTAKA
Broderick, G.A., J. H Yang dan R.G Koegel. 1993. Effect of Steam Heating Alfalfa Hay on
utilazion by lactating dairy cows. Journal Dairy Science 76; 165-174
Doyle. P.T., C. Davendra and B. R Pearce. 1986. Rice Straw as Feed for Ruminants. IDP.
Cenberra. P. 54-74.
Hungate, R. E. 1966. The Rumen and It’s Microbes. Departement of Bacteriology and
Agriculture Experiment Station University of California. Davis California Academy Press.
London.
Leng, R. A. 1991 Application of Biotechnology of Nutrition of Animal in Developing Countries.
FAO. Animal Production and Health paper.
Nevy Diana, H. 2004. Perlakuan Silase dan Amoniasi Daun Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku
Pakan Domba. Skripsi Fakultas. Pertanian Univiversitas Sumatera Utara. Medan.
Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System With Available
Recources in The Tropics. Preamble Books. Armidale
Sa’id E. G. 1996. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. Trubus Agriwidya.
Ungaran.
Stell, R. G. and J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia, Jakarta.
Susetyo. 1980. Padang Pengembalaan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tilley, J.M.A. and Terry. 1963. A Two Stage Technique for in-vitro Digestion of Forage Cropes.
J, Brit, Grassland Society. 18 (2):104 – 111
Winugroho, M and Maryati. 1999. Kecernaan Daun Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak
Ruminansia. Laporan APBN 1998/1999. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
HASIL DISKUSI
Tanya : Apakah sudah diaplikasikan pada ternak dan bagaimana respon ternaknya ? Kemudian
dari analisa usaha taninya bagaimana hasilnya ?
Jawab : Belum ada aplikasi keternak secara langsung dan penelitian ini sedang berlanjut pada
ternak domba 100% bisa menggantikan rumput. Belum sampai ke analisis usahatani.
Tanya : Perlu dilakukan penelitian lanjutan karena penggunaan daun kepala sawit bukan karena
kekurangan pakan tetapi untuk memanfaatkan limbah?
Jawab : Pada kondisi tertentu Bengkulu kekurangan pakan hijauan, terutama pada ternak
wilayah sentra pengembngan sapi di Bengkulu.
190 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENGARUH PEMBERIAN BAHAN PAKAN LOKAL
BERBASIS KULIT KOPI TERHADAP PRODUKSI SUSU
SAPI PERAH DI KABUPATEN REJANG LEBONG
Erpan Ramon, Zul Efendi dan Siswani Dwi Daliani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Kebutuhan protein masyarakat terus meningkat, karena itu perlu adanya peningkatan sumber gizi yang
bersumber dari ternak perah yaitu susu, sapi perah mampu mengubah pakan berupa konsentrat dan hijauan menjadi
susu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikabupaten Rejang Lebong kulit kopi hanya dianggap sebagai sampah dan tidak
bermanfaat, maka teknologi pemanfaatan limbah kulit kopi dibutuhkan untuk meramu ransum berkualitas, selain
kebutuhan hidup juga untuk memproduksi susu, perbaikan mutu ransum melalui pencampuran beberapa bahan pakan,
dalam berusaha ternak sapi perah sangat membantu peternak, karena biaya ransum dapat mencapai 70 – 80% dari biaya
produksi. Tujuan pengkajian adalah: Mengetahui pengaruh kulit kopi terhadap produksi susu. Pengkajian dilaksanakan
pada kelompok ternak P4S Harapan Maju Kelurahan Air Duku, Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong.
Pengkajian menggunakan 20 ekor sapi perah induk laktasi, pengkajian dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai Mei 2012
sampai dengan September 2012. yang terdiri dari 4 perlakuan pakan dengan 5 ulangan. Perlakuan 1 (P1) terdiri dari
hijauan 10 % dari BB, konsentrat komersial 0,8 kg/ekor/hari, dedak padi 2 kg/ekor/hari, kulit kopi 0,2 kg/ekor/hari,
mineral 0,1 kg/ekor/hari, ubi kayu 1 kg/ekor/hari. Perlakuan 2 (P2) terdiri dari hijauan 10 % dari BB, konsentrat
komersil 0,4 kg/ekor/hari, dedak padi 2 kg/ekor/hari, kulit kopi 0,6 kg/ekor/hari, mineral 0,1 kg/ekor/hari, ubi kayu 1
kg/ekor/hari. Perlakuan 3 (P3) terdiri dari hijauan 10 % dari BB, dedak padi 2 kg/ekor/hari, kulit kopi 1 kg/ekor/hari,
mineral 0,1 kg/ekor/hari, ubi kayu 1 kg/ekor/hari. Perlakuan (P4 Kontrol) hanya diberikan hijauan saja, yaitu 10 % dari
BB. data primer diperoleh dengan diskusi, penghitungan jumlah produksi susu dan jumlah pakan ternak. hasil
penelitian menunjukan bahwa produksi rata-rata perhari P1= 15 lt, P2= 13 lt, P3= 12 lt dan kontrol= 8 lt Berdasarkan
hasil analisis statistik, pemberian kulit kopi pada pakan ternak sapi perah disetiap perlakuan menunjukan bahwa
perlakuan yang di berikan berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap produksi susu dibandingkan dengan kontrol,
pada tarap 0,05 f hitung > f tabel (2,833 > 0,543), dapat disimpulkan bahwa perlakuan kontrol berbedanyata terhadap
P2, P3 dan sangat berbeda nyata pada perlakuan 1 (P1), berarti bahwa P1dengan pemberian bahan pakan lokal dengan
formula pakan konsentrat komersial, dedak padi, kulit kopi, mineral dan ubi kayu menghasilkan produksi susu terbaik
untuk meningkatkan produksi susu.
Kata kunci : bahan pakan lokal, kulit kopi, produksi susu, sapi perah
PENDAHULUAN
Kebutuhan protein hewani masyarakat dari tahun ketahun terus meningkat pesat sesuai
dengan bertambahnya jumlah penduduk, oleh karena itu perlu adanya peningkatan penyediaan
sumber gizi antara lain, protein hewani asal sapi perah berupa susu, pembangunan subsektor
perternakan khususnya perternakan sapi perah merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan
penyediaan sumber protein susu.
Sapi perah merupakan ternak yang lebih dominan sebagai penghasil susu, dibandingkan
dengan ternak perah lainnya seperti kambing, kerbau, kemampuan untuk mengubah pakan
menjadi susu yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Pemberian pakan merupakan hal yang
penting diperhatikan dalam pemeliharaan sapi perah, kualitas pakan yang diberikan dan
tatalaksana pemberian pakan yang baik, merupakan faktor penunjang untuk produksi susu,
kesehatan maupun reproduksi sapi perah. Cara pemberian pakan yang terprogram akan
memberikan hasil yang baik dan apa bila pemberian pakan salah, malah sebaliknya akan
memberikan efek negatif bagi kesehatan sapi perah.
Untuk peningkatan produktifitas sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong membutuhkan
ransum berkualitas baik, selain untuk kebutuhan hidup juga untuk memproduksi susu, perbaikan
mutu ransum dengan pencampuran beberapa bahan pakan lokal, dalam berusaha ternak sapi
perah, biaya ransum dapat mencapai 70–80% dari biaya produksi (Zein, 1984).
Sapi perah adalah sebagai salah satu hewan memamah biak mempunyai daya cerna
yang efektip terhadap berbagai jenis bahan makanan termasuk makanan berserat kasar tinggi
seperti hijauan, makanan bagi sapi perah berfungsi untuk perawatan tubuh dan kegiatan biologis
yang lain, seperti bernapas, proses pencernaan, gerakan jantung dan menggantikan bagian-bagian
191 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tubuh yang rusak atau aus, untuk memproduksi susu, daging dan pertumbuhan janin di dalam
kandungan.
Agar kebutuhan, perawatan tubuh dan untuk berproduksi dapat terpenuhi, maka bahan makanan
yang disajikan harus mengandung zat-zat nutrisi yang lengkap sesuai dengan kebutuhan ternak,
makan juga sangat erat kaitannya dengan proses pencernaan, cara penyusunan ransum dan
penyajian ransum. (AAK, 1995).
Susu dan produk olahan yang terbuat dari susu adalah merupakan komoditas unggulan
untuk dikembangkan karena salah satu jenis komoditas strategis terutama dalam hal pemenuhan
kebutuhan gizi, kesehatan dan taraf hidup, namun permintaan baik dari segi jumlah maupun
mutu sekaligus penyebarannya belum mampu dipenuhi oleh pengembangan produksi pengolahan
susu, sehingga pemerintah masih harus mengimpor, (Badan Agribisnis Deptan, 1999).
Tujuan utama pengkajian untuk mengetahui pengaruh pemberian bahan pakan lokal
yang berbasis kulit kopi terhadap produksi susu pada ternak sapi perah dan penyusunan pakan
memiliki kandungan zat makanan dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok,
pertumbuhan dan berproduksi melalui limbah bahan pakan kulit kopi, dedak padi, mineral, ubi
kayu yang akan diberikan pada ternak sapi perah serta merekomendasikan komposisi kulit kopi
sebabagai bahan ransum ternak perah di Kabupaten Rejang Lebong.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan pada kelompok Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya
(P4S) Harapan Maju dikelurahan Air Duku Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong
selama 4 bulan yang dimulai dari bulan Mei sampai dengan September 2012. Materi yang di
gunakan dalam pengkajian ini adalah 20 ekor sapi perah laktasi yang dibagi menjadi 4 kelompok
perlakuan pakan dengan 5 ulangan, masing-masing perlakuan (Tabel 1) menggunakan satu ekor
sapi perah yang di beri perlakuan pakan bahan pakan lokal berbasis kulit kopi dengan komposisi
yang berbeda.
Tabel 1. Komposisi peberian pakan hijauan dan pakan lokal berbasis kulit kopi pada masing
masing perlakuan sapi perah.
No Bahan pakan Komposisi pakan perlakuan ( kg /hr/ekor)
I II III IV (Kontrol)
1. Pakan lokal tdd: 4,1 4,1 4,1 -
a. Konsentrat 0,8 0,4 - -
b. Dedak padi 2,0 2,0 2,0 -
c. Kulit Kopi 0,2 0,6 1,0 -
d. Ultra Mineral 0,1 0,1 0,1 -
e. Ubi Kayu 1,0 1,0 1,0 -
2. Hijauan 35,0 35,0 35,0 35,0
Pengambilan data untuk mengetahui pengaruh terhadap peningkatan produksi susu,
dimulai setelah pakan perlakuan diaplikasikan selama satu bulan (pre lim) yang di ambil setiap
hari, untuk mengetahui jumlah produksi perharinya dihitung dari jumlah produksi susu pada
pemerahan pagi hari ditambah hasil pemerahan pada sore hari. Pengkajian ini menggunakan
Analisis Rancangan Acak Kelompok (RAK), bila hasil yang diperoleh berbeda nyata, dilanjutkan
dengan uji bedanyata atau DMRT, keragaan paket teknologi yang diamati dalam pengkajian ini
adalah produksi susu, peningkatan produksi susu disetiap perlakuan dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (perlakuan petani)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengkajian menunjukan bahwa penggunaan bahan pakan lokal berbasis kulit kopi
sebagai bahan pencampuran ransum ternak sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong memberikan
pengaruh terhadap produksi susu terlihat pada masing-masing rata-rata perlakuan (Tabel 2) P1 :
192 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
P2 : P3 dibandingkan dengan P4 (kontrol), 15:13:12 lt/hr dibandingkan dengan 8 lt/hr (kontrol)
dan terlihat peningkatan jumlah produksi susu masing-masing perlakuan P1; P2; dan P3 sebesar
(35; 25 dan 20) lt/hr (Tabel 2). Berdasarkan hasil analisis statistik pada setiap perlakuan yang
diberikan, menunjukan terjadi peningkatan produksi susu berbeda sangat nyata pada perlakuan P1
dibandingkan dengan P4 (Kontrol) yang tidak diberikan tambahan pakan lokal dan berbedanya
bila dibandingkan P2 dan P3 pada tingkat kepercayaan 95 % dimana f hitung > f tabel (2,833 >
0,543)
Tabel 2. Keragaan jumlah, rata-rata dan peningkatan produksi susu sapi perah pada masing-
masing perlakuan pakan berbasis kulit kopi.
Perlakuan Produksi susu masing-masing ulangan (lt/ekr/hr) Peningkatan produksi per
perlakuan (lt/ hr) 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata
P1 16 15 14 15 15 75 15 35
P2 11 13 15 14 12 65 13 25
P3 13 13 13 11 10 60 12 20
P4 9 6 11 6 8 40 8 -
Perlakuan P1 terlihat menunjukan hasil produksi susu tertinggi, hal ini di sebabkan oleh
kandungan zat nutrien pada pakan perlakuan P1 lebih sempurna dibandingkan dengan perlakuan
lain, yaitu kosentrat dengan kandungan protein 11,93 g/100 g perbedaan produksi susu di setiap
perlakuan disebabkan oleh perbedaan protein pakan konsentrat yang terkandung pada pakan
cukup berpariasi yaitu perlakuan P1 = 11,93 g/100 g, P2 = 8,20 g/100 g, P3 = 7,59 g/100 g,
sedangkan kontrol yang hanya diberikan hijauan saja (Tabel 3.)
Tabel 3. Hasil analisis proksimat ransum sapi perah mengunakan bahan pakan lokal berbasis
kulit kopi untuk masing-masing perlakuan.
Perlakuan
Kandungan nutrisi pakan lokal sapi perah berbasis kulit kopi
Air
(g/100g)
Protein
(g/100g)
Lemak
(g/100g)
Energi
(kcal/kg)
SK
(g/100g)
ABU
(g/100 g)
Ca
(g/100 g)
P
(g/100g)
P1 * 11,00 11,93 3,48 3.315 21,88 17,48 2,09 0,53
P2 * 10,10 8,20 2,37 3.163 28,13 20,26 2,12 0,46
P3 * 9,65 7,59 2,97 3.170 32,50 21,49 1,61 0,54
P4
Keterangan: *Hasil analisa proksimat Laboratorium Balitnak Ciawi Bogor.
Hasil pencampuran menunjukan pakan P1, P2, P3 dan kontrol bila dilihat dari rata-rata
peningkatan produksi susu, maka susunan pakan pada P1 lebih sempurna dibandingkan dengan
kandungan nutrisi pada perlakuan yang lain yaitu air = 11,00 g/100g, Protein = 11,93 g/100g,
Lemak = 3,48 g/100g, Energi = 3.315 kcal/kg, Serat Kasar = 21,88 g/100g, Abu = 17,48 g/100g,
Ca = 2,09 g/100g , P = 0,53 g/100g. Hasil penelitian menunjukan peningkatan produksi susu
berpengaruh dengan kandungan protein, energi dan lemak akan tetapi serat kasar (SK) yang
terdapat pada P1 lebih kecil dari perlakuan manapun hanya 21,88 g/100g. Menurut Zein (1984)
pakan yang mengandung serat kasar (SK) rendah pada sapi perah juga ikut mempengaruhi
produksi susu, sedangkan Anggraeni (2012) menyatakan bahwa selain dari faktor genetik,
produksi susu juga dipengaruhi oleh kandungan zat nutrisi pada pakan. Pemberian bahan pakan
lokal sebagai pakan ternak perah dapat diberikan untuk meningkatkan produksi susu, hal ini
terlihat pada perlakuan P1 jauh lebih baik darri P2 dan P3, sesuai dengan pendapat (AAK, 1995)
bahwa kebutuhan protein dapat dicerna untuk pakan sapi perah yang sedang laktasi adalah 11,4.
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan pengkajian ini dapat disimpulkan bahwa susunan pakan
terbaik untuk peningkatan produksi susu pada perternakan sapi perah adalah susunan pakan pada
perlakuan P1 yang mengandung protein 11,93 g/100g pakan yang diberikan yaitu terdiri dari
193 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
hijauan 10 % dari BB, konsentrat komersial 0,8 kg/ekor/hari, dedak padi 2 kg/ekor/hari, kulit kopi
0,2 kg/ekor/hari, mineral 0,1 kg/ekor/hari, ubi kayu 1 kg/ekor/hari.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1995. Petunjuk Praktis Berternak Sapi Perah. Penerbit CV. Kanisius. Yogyakarta.
Adiwinarti R, Fahira U.R dan Lestari, C.M.S. 2011. Pertumbuhan Sapi Jawa yang Diberikan
Pakan Jerami Padi dan Konsentrat dengan Level Protein Berbeda, Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner., Vol. 16 No. 4. Puslibangnak. Bogor. ;260-265
Anggraeni. A. 2012. Perbaikan Genetik Sifat Produksi Susu dan Kualitas Susu Sapi Frishian
Holstein Melalui Seleksi. Wartazoa Bulletin Ilmu Perternakan dan Kesehatan Hewan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta. ;1 - 11
Badan Agribisnis Deptan. 1999. Investasi Agribisnis Komoditas Unggulan Perternakan, Penerbit
CV. Kanisius. Yogyakarta
BPTP Unggaran. 1999. Pakan Sapi Perah Laktasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Unggaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Jakarta.
BPS Provinsi Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Bengkulu.
Syarief, M.Z dan Sumoprastowo, R.M C.D.A. 1985. Ternak Perah Untuk Sekolah Pertanian
Pembangunan . Penerbit CV. Yasaguna. Jakarta.
194 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENGARUH PERUBAHAN KOMPOSISI BAHAN PAKAN
TERHADAP BERAT HIDUP AYAM BROILER
Siswani Dwi Daliani dan Erpan Ramon
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Secara kuantitas, perternakan unggas Indonesia sudah demikian pesatnya, sering terjadi fluktuasi harga
produksi perternakan unggas dipasaran, hal ini melahirkan kondisi statis pada usaha ternak unggas secara intensif,
sudah umum diketahui bahwa biaya pakan dapat mencapai 70 % dari biaya produksi, pengkajian dilaksanakan pada
bulan Maret sampai dengan April 2011 dikandang Unit Alih Teknologi (UAT BPTP) Bengkulu, tujuan pengkajian
yaitu untuk mengetahui pengaruh perubahan komposisi bahan pakan pada level tertentu terhadap berat hidup ayam
broiler, materi pengkajian adalah dengan menggunakan 100 ekor ayam broiler tanpa dipisahkan jenis kelamin.
rancangan pengkajian yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, 5 ulangan dengan sistem
penghitungan SPSS, setiap perlakuan digunakan 4 jenis pakan yang berbeda kandungan komposisi bahannya, yaitu,
Perlakuan I. (Kontrol) diberikan Kosentrat komersil 50%, jagung halus 30%, dedak 20 % dan probiotik 0,3 %.
Perlakuan II diberikan Kosentrat komersil 40%, jagung halus 25%, dedak 35 % dan probiotik 0,3. Perlakuan III
diberikan Kosentrat komersil 40%, jagung halus 40%, dedak 20 % dan probiotik 0,3. Perlakuan IV diberikan Kosentrat
komersil 40%, jagung halus 35%, dedak 25 % dan Probiotik 0,3. Tiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler,
perlakuan dan ulangan disusun atas pengacakan, analisis yang di gunakan adalah analisis keragaman. Pengambilan data
dalam pengkajian setelah ayam broiler memasuki priode finisher, terhitung dari pemeliharaan hari pertama dengan
melakukan penimbangan berat badan perminggu dan dibandingkan pada masing-masing perlakuan, pengambilan
sampel secara acak tiap ulangan, sistem pemeliharaan yang dilaksanakan pada tiap-tiap perlakuan sama, sesuai dengan
petunjuk pemeliharaan budidaya ayam broiler. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan susunan ransum yang
dipergunakan tidak berpengaruhnyata ( f hit < f tab pada tarap 0,05) terhadap bobot badan hidup, hal ini berarti bahwa
pengurangan kosentrat komersil 10%, dari kontrol dapat diaplikasikan, pengkajian menunjukan bahwa P III dengan
bobot badan hidup 1,696 Kg perekor adalah perlakuan yang paling efisien dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
Kata kunci : perubahan, komposisi bahan, jagung, dedak, berat hidup, ayam broiler.
PENDAHULUAN
Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil
persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi terutama dalam
memproduksi daging ayam. Dalam usaha menunjang peningkatan perternakan unggas perlu kita
mengambil langkah pembinaan secara tehnis, penggalakan usaha ternak unggas dan dukungan
usaha disektor informal. Secara kuantitas, usaha perternakan unggas Indonesia sudah demikian
pesatnya. Namun sering terjadi kondisi tidak stabil akibat fluktuasi harga produksi perternakan
unggas, khususnya harga pakan unggas yang semakin mahal dan dilain pihak harga produksi
perternakan unggas tidak sebanding dengan biaya produksi yang di keluarkan untuk pembelian
pakan ternak. Melihat kondisi demikian maka diperlukan wawasan konstruktif, untuk menggali
kreatifitas dan inovatif peternakan atau minat usaha perternakan unggas secara terapan, terutama
dalam pengelolaan pakan tanpa mengabaikan kebutuhan nutrisi dan aspek ekonomis.
Usaha ternak unggas secara intensif ditandai dengan produktivitas yang tinggi (broiler
mencapai berat badan 1,5 kg dalam waktu 32 hari), seiring dengan input produksi yang memadai
untuk menunjang hasil yang tinggi tersebut. Input produksi mencakup bibit, pakan, pencegahan
penyakit dan termasuk manajemen pemeliharaan yang seksama. Dalam menyusun/meracik
ransum ternak unggas umumnya menggunakan beberapa jenis bahan pakan untuk memenuhi
kebutuhan zat nutrisi dan gizinya, yang perlu menjadi perhatian adalah dalah hal kandungan zat
nutrisi yang terkandung pada pakan harus sesuai dengan kebutuhan nutrisi ransum ternak ayam
broiler (Tabel 1).
195 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Kebutuhan zat nutrisi untuk ternak ayam broiler (potong) per ekor.
No Zat Nutrisi Kebutuhan nutrisi ayam broiler pada umur
Starter ( 0 – 4 mg) Finisher (5 mg – potong)
1
2
3
4
5
6
Protein (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Ca (%)
P (%)
ME (kkal/kg)
22 – 23
5,5 – 8,0
2,0 – 5,0
1,0
0,5 – 0,7
2700 -2900
20 – 21
5,5 – 8,5
4,0 – 5,0
1,0
0,4 – 0,5
2500 – 3400
Sumber : (Scott et all., 1976 ).
Untuk dapat mengantisipasi kendala-kendala tersebut, tidak banyak yang dapat
dilakukan oleh peternakan unggas rakyat, selain hanya dapat mengupayakan untuk menghemat
biaya dengan tetap mempertahankan tingkat produksi melalui perubahan komposisi campuran
bahan baku pakan lokal (jagung dan dedak padi) yang dapat meningkatkan produksi dengan tidak
mengabaikan kebutuhan zat nutrisi yang menjadi kebutuhan untuk produksi daging.
Ternak unggas terutama ayam ras pedaging sangat menyukai jagung, karena jagung
selain kandungan nutrusinya sangat dibutuhkan ternak ayam juga memberi keuntungan lain
terhadap penampakan warna pakan yang menjadi kekuning-kuningan (Wawan, 2003). Selain itu
jagung mengandung xanthopfil yang merupakan zat pemberi pigmen warna kuning dibagian kaki
dan kulit pada ayam ras pedaging. Dari tiga jenis jagung yang ada yaitu, jagung kuning, jagung
merah dan jagung putih, umumnya jagung kuning yang biasanya digunakan sebagai bahan baku
pakan ternak. Karena jagung kuning tersebut mempunyai kandungan bahan nutrisi yang relatif
lebih baik, selain itu ketersedian jagung kuning relatif mencukupi. Namun fluktuasi harga
dipasaran menjadi kendala dari bahan baku ini.
Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan jagung kualitas baik.
No. Zat nutrisi Kandungan dalam bahan
1. Energi metabolisme (kkal/kg) 3.320-3.430
2. Protein (%) 9,00
3. Lemak (%) 3,70-4,10
4. Serat kasar (%) 1,90-2,20
5. kalsium(%) 0,03
6. Fosfor (%) 0,29
7. Lisin (%) 0,26-0,27
Sumber : (Wawan, 2003).
Penggunaan dedak padi dalam pakan ternak unggas khususnya ayam ras pedaging harus
dibatasi karena mengandung serat kasar yang relatif tinggi yaitu 7,5 % (Tabel 3) dan kebanyakan
ternak unggas tidak mampu mencerna serat kasar lebih dari 4 %. Pemanfaatan dedak sebagai
bahan pakan ayam juga perlu diperhatikan kualitasnya yang bisa saja mengandung kulit ari beras
dan menir atau pecahan beras. Akan tetapi tidak boleh tercampur dengan kulit padi yang keras
atau pecahan sekam, jika sampai tercampur maka kandungan nutrisinya akan berbeda dan serat
kasarnyapun akan meningkat hingga 25 %.
Tabel 3. Kandungan nutrisi bahan pakan dedak padi kualitas baik.
No. Zat nutrisi Kandungan dalam bahan (%)
1. Kadar air (%) 11,5
2. Protein (%) 13,0
3. Lemak (%) 19,0
4. Serat kasar (%) 7,5
5. Abu (%) 7,0
Sumber : (Wawan, 2003)
196 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pengkajian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan pemberian jagung dan
dedak halus dalam ransum terhadap berat hidup ayam broiler dalam jangka waktu pemeliharaan
30 hari, disamping itu juga dapat memberikan informasi kepada peternak tentang susunan bahan
pakan yang sempurna untuk diaplikasikan ke usaha ternak ayam broiler.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilaksanakan selama 30 hari dikandang ayam pada komplek BPTP
Bengkulu dari bulan Maret - April 2011, bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah : 100
ekor ayam broiler berumur 20 hari tanpa dipisahkan jenis kelaminnya, ransum komersil (BR II
dan BR I), redak, ragung halus, rtarbio, vitachik dan neobro serta Air minum sesuai kebutuhan,
adapun perlakuan pakan berdasarkan perubahan komposisi bahan pakan jagung dan dedak padi
yang di berikan pada aayam broiler umur 20 hr sampai panen (Tabel 4).
Tabel 4. Susunan ransum perlakuan pengkajian yang diberikan pada ayam broiler berdasarkan
perubahan komposisi jagung dan dedak padi.
No Bahan Makanan Komposi Bahan Pakan Perlakuan ( % )
I (Kontrol) II III IV
1 Jagung kuning 30 25 40 35
2 Kosentrat komersil 50 40 40 40
3 Dedak padi 20 35 20 25
4 Probiotik 0,3 0,3 0,3 0,3
Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan 5 ulangan, setiap perlakuan menggunakan 5 ekor ayam broiler. Parameter yang
di ukur adalah pengaruh bahan pakan terhadap berat hidup ayam broiler yang
digambarkan secara sistematis dengan menggunakan persamaan:
Yij = µ + ԏi + ∑ij
Keterangan : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-I
µ = Nilai tengah umum
ԏi = Pengaruh perlakuan ke-I
∑ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
I = Banyaknya perlakuan (I,II,III dan IV)
J = Banyaknya ulangan
Untuk mengetahui pengaruh terhadap parameter yang diukur maka dilakukan uji
statistik dengan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan analisis sidik tragam. Sedangkan
untuk menghitung berat hidup ditentukan dengan menghitung :
1. Berat Hidup perminggu (BH m) = BH minggu ini – BH minggu sebelumnya
2. Berat Hidup perhari (BH h) dapat diperoleh dengan:
BH h = BH m
Lama hari per minggu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengkajian diperoleh perlakuan komposisi jagung dan dedak halus pada pakan
periode finisher disetiap perlakuan yang diberikan tidak berpengaruhnyata terhadap pertambahan
bobot badan hidup berdasarkan penghitungan dengan menggunakan analisis sidik ragam,
berdasarkan data bobot hidup pada permulaan memasuki periode finisher (umur 20 hari) secara
keseluruhan rata-rata perekor 1,797 ons. Sedangkan dari minggu ke I sampai dengan minggu ke II
pada periode ini diperoleh pertambahan bobot badan rata-rata adalah 3,205 ons, sedangkan rata-
197 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
rata minggu ke 3 (21 hari) menjelang perlakuan adalah 11,2325 - 5,002 = 6,2305 ons/ekor. Pakan
diberikan pada priode starter diberikan pakan komersil secara menyeluruh (Bambang, 1987) yaitu
dengan kadungan nutrisi : air =13 %, PK= 21 %, LK= 4 %, SK= 5 %, Abu= 6 %, Ca= 0,9 – 1,2
%, P= 0,7 – 0,9 %, cocidiostat dan Antibiotik= +, Sedangkan air minum diberikan secara
adlibitum periode ini diberikan vitachik.
Pada hari pertama minggu pertama priode finisher pada hari ke 21, rata-rata berat ayam
P1 (kontrol) : P2 : P3 : P4 = (1,088 kg : 1,125 kg : 1,120 kg : 1,160 kg ). Pada mingu kedua
periode finisher hari ke 28 adalah 1,58 : 1,52 : 1,59 : 1,53 terjadi peningkatan rata-rata bobot
badan pada masing-masing perlakuan yaitu (0,49 kg : 0,40 kg : 0,47 kg : 0,37 kg), sedangkan
peningkatan dari hari ke 28 sampai dengan hari ke 30 masing-masing adalah 0,118 kg : 0,140 kg :
0,106 kg : 0,160 kg (Tabel 6).
Tabel 6. Keragaan pertambahan rata-rata berat badan ayam broiler pada periode finisher selama
pengkajian.
No
Perlakuan
Pertambahan Bobot Badan Rata-rata (kg/ekor/mg)
Berat Badan pada hari ke Pertambahan Bobot Badan hari ke
21 28 30 21 – 28 28 - 30
1 P1 (Kontrol) 1,088 1,58 1,698 0,49 0,118
2 P2 1,125 1,52 1,660 0,40 0,140
3 P3 1,120 1,59 1,696 0,47 0,106
4 P4 1,160 1,53 1,690 0,37 0,160
Dari data yang diperoleh jelas bahwa peningkata bobot badan yang cukup pesat adalah
pada perlakuan kontrol P1 (0,49 kg/ekor/mg), sedangkan perlakuan terendah adalah pada P 2
(0,40 kg/ekor/mg). Pada minggu ke2 atau hari ke 28 perlakuan P3 masih mempunyai angka rata-
rata berat hidup tertinggi (1,59 kg/ekor). Berdasarkan hasil analisis perhitungan data diperoleh,
perlakuan pakan yang diberikan tidak berpengaruh nyata (nonsignifikan) dimana F hit < F tabel
(0,238 : 3,15) pad tingkat kepercayaan 95% yang artinya pemberian pakan pada tiap-tiap level
perlakuan dapat diaplikasikan. Aak (1982), dengan meracikan jagung dan dedak padi yang
ditambahkan kepakan konsentrat komersil maka hal ini akan dapat mengefisiensikan konsumsi
pakan komersil yang biayanya relatif mahal, tentu dengan tidak mengurangi bobot badan yang
diproduksi oleh perternakan ayam broiler, P 1 (kontrol) yang diawali dengan bobot badan rata-
rata terendah hari ke 21 (1,088 kg) pada hari ke 30 terlihat sudah mencapai bobot badan yang
hampir sama dengan perlakuan P 2, P 3 dan P 4, yaitu rata-rata 1,698 kg/ekor, disebabkan oleh
kandungan bahan makanan dan zat nutrisi lebih sempurna dilihat komposisi konsentrat komersial
dari P 2; P 3 dan P 4.
Berdasarkan analisis sidikragam perbedaan rata-rata tersebut tidak berpengaruh nyata
(nonsignifikan) terhadap seluruh perlakuan dalam penelitian ini, berarti bahwa perlakuan yang
diberikan akan lebih baik pada perlakuan P 3, sebab data rata-rata hampir sama dengan kontrol
dan bahan pakan yang dipergunakan pada perlakuan ini relatif lebih efisien dan dinilai
harganyapun juga relatip lebih murah dibandingkan dengan perlakuan P1.
KESIMPULAN
Pada sistem pemeliharaan yang sama (homogen) dapat disimpulkan bahwa susunan
pakan pada perlakuan 3 (P3) lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P1), pengembangan
peracikan pakan ayam broiler masih diperlukan penelitian lanjutan sampai perlakuan yang
memberikan berpengaruh nyata untuk memperoleh hasil optimum terhadap pemeliharaan.
Sosialisasi terhadap peternak untuk menginformasikan susunan pakan terbaik adalah P 3 yaitu
dengan komposisi ( Jagung : Konsentrat Komersil : Dedak padi : Mineral = 40 : 40 : 20 : 0,3 )
mengacu pada hasil dan pembahasan maka perlu dilakukan analisis ekonomi perternakan ayam
broiler, pengembangan ayam broiler perlu dibangun, atas dukungan berbagai pihak termasuk
kegiatan penelitian dan penyusunan kebijakan, kerjasama yang baik dan terarah diharapkan dapat
meningkatkan kinerja usaha perternakan ayam broiler sebagai peluang agribisnis dengan tujuan
meningkatkan pendapatan peternak.
198 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Aak. 1982. Pedoman Beternak Ayam Negeri . Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Anggorodi, R. 1997. Ilmu Makanan Ternak Unggas Kemajuan Muktahir. Fakultas Pertanian.
Instistut Pertanian Bogor. Bogor.
Bambang. A.M. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Khanchai A Gomes and Arturo A Gomes. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian;
edisi kedua, Universitas Indonesia Press. Jakarta
Muhammad Daud. 2005. Identifikasi dan Pemanfaatan Bahan Baku Pakan Lokal Untuk
Pengembangan Peternakan Unggas di Nangro Aceh Darussalam Pasca Tsunami, Prosfd.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitbangnak Badan
Litbang Pertanian dan Fakultas Perternakan Universitas Diponogoro. Semarang. ;163 -168
Scott, M.I., M.C Neshein and R.J Young. 1976. Nutrition of The Chikens, 3 Th E.D Scott
Asotiation,it hac New York.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Perternakan. Universitas Gadjahmada.
Yogyakarta.
Summer and Lesson. 1965. The Offcet of dearty energy and Protein on Carcas compotints with
anote on amethot for estimating iliyonis. USA.
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Pengantar perternakan didaerah tropis. UGM Press.
Yogyakarta.
199 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENGARUH PERBANDINGAN JANTAN-BETINA
TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK
DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN
Suryana, Sholih, N.H., H. Kurniawan, Suprijono dan Retna Qomariah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
e-mail [email protected]
ABSTRAK
Salah satu penyebab kegagalan dalam proses penetasan telur itik di kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan adalah rendahnya daya tunas dan daya tetas telur, sehingga anak itik (DOD) yang dihasilhan
jumlahnya sedikit. Di sisi lain, permintaan anak itik sebagai bibit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Upaya
yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan perbandingan itik jantan dan betina (sex
ratio) yang ideal. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mandingin Kecamatan Barabai, Kalimantan Selatan dengan
melibatkan 3 orang kooperator penetas itik. Tiap koopetor melakukan penetasan telur masing-masing sebanyak 3 kali
periode penetasan, dengan perbandingan jantan dan betina 1:5, 1:10 dan 1:28 (pola petani). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa perbadingan jantan-betina (sex ratio) 1:5 memberikan hasil data tunas telur (fertilitas yang lerbih
baik dibanding pola pemeliharaan petani (1:28), namun hasil daya tetas dan mortalitas pada periode I untuk produksi
telur 1 bulan lebih besar jika dibanding periode II dan III dengan umur tetas yang relatif tua.
Kata kunci : daya tunas, daya tetas, sex ratio, itik
PENDAHULUAN
Itik lokal, termasuk itik Alabio berperan tidak saja sebagai sumber pangan yang cepat
menghasilkan (quick yielding) (Solihat et al., 2003), tetapi lebih penting lagi merupakan sumber
pendapatan peternak (Hamdan dan Zuraida, 2007; Hamdan et al., 2010), menciptakan lapangan
pekerjaan dan menambah konsumsi protein hewani bagi peternak dan masyarakat (Jarmani dan
Sinurat, 2004). Saat ini itik unggul yang mulai berkembang di Kalimantan Selatan adalah itik MA
(Mojosari-Alabio) yang merupakan hasil persilangan antara itik Mojosari jantan dan itik Alabio
betina.Itik MA diusahakan utamanya berperan sebagai penghasil telur, baik telur konsumsi
maupun telur tetas. Telur tetas yang berkualitas dapat diperoleh dari induk yang berkualitas baik,
dengan perbandingan jantan dan betina (sex ratio) yang seimbang, sementara untuk mengetahui
telur yang fertil atau bertunas, terlebih dahulu harus dilakukan penetasan. Keberhasilan usaha
penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti: kualitas telur, bobot telur,
indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana, 1994; Wibowo et al. 2005). Fertilitas dan daya tetas
telur itik memegang peranan penting dalam memproduksi bibit anak itik (Wibowo et al., 2005;
Suryana dan Tiro, 2007), sehingga dihasilkan jumlah bibit sesuai yang diharapkan (Suryana,
2011).
Kendala yang sering dihadapi dalam penetasan telur itik, antara lain kematian
embriodan telur yang tidak bertunas atau infertil umumnya tinggi selama proses penetasan
(Baruah et al., 2001; Setioko, 2005). Setioko et al,. (2004) menyatakan bahwa faktor yang dapat
mengakibatkan kematian embrio atau embrio cacat adalah faktor biologis yang menyebabkan
spermatozoa tertinggal dalam oviduct dalam waktu lama dan kapasitas sperma yang rendah
fertilitasnya. Faktor lingkungan antara lain temperatur, kelembaban dan konsentrasi gas yang
terdapat di dalam telur (Kortlang, 1985). Kelembaban berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya
air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko, 1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan
keringnya chario-allantoic untuk kemudian digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi
kematian embrio dan telur membusuk (Baruah et al., 2001).
Penetasan telur itik Alabio yang sekarang banyak dilakukan peternak di Kabupaten
Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Hulu Sungai Tengah (HST), sebagian
besar masih tradisional dengan menggunakan sekam/gabah sebagai sumber panasnya (Nawhan,
1991; Setioko, 1998; Suryana dan Tiro, 2007), dan sumber pemanas listrik (Wasito dan
Rohaeni, 1994), atau kombinasi di antara keduanya, dengan kapasitas bervariasi antara 1000-
2.500 butir/periode penetasan (Suryana dan Tiro, 2007).
Cara penetasan menggunakan sistem sekam atau gabah diakui peternak/penetas
memiliki keunggulan dibanding dengan alat penetasan boks yang terbuat dari kayu atau tripleks.
200 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Cara penetasan tersebut di samping daya tetas yang dihasilkan lebih tinggi, juga kapasitas alat
penetas lebih banyak sehingga dalam periode penetasan tertentu dapat menghasilkan DOD dalam
jumlah besar. Selanjutnya faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan penetasan adalah
kualitas telur di antaranya bobot telur yang banyak dipengaruhi faktor genetik, umur induk,
musim dan pakan (Solihat et al., 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas
yang digunakan sumbernya tidak sama, dan dihasilkan oleh induk yang mempunyai bobot badan
bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al. (1998) bahwa bobot telur yang
dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk. Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor
dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan
temperatur lingkungan (Solihat et al. 2003).
Ditinjau dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur
dapat disebabkan oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam
pakan seperti nicarbacin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat
mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan lebih ringan, sehingga berat embrio juga lebih rendah
(Komarudin et al., 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan
induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono, 1997), jumlah induk yang
dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Selain itu, hubungan temperatur
lingkungan yang semakin meningkat antara lain temperatur atmosfir disinyalir dapat
menyebabkan penurunan fertilitas telur atau sebaliknya (Kortlang, 1985). Menurut Wilson (1997)
daya tetas sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan
nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh telur tetas itik yang berkualitas baik
dengan daya tunas dan daya tetas optimal.
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mandingin Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu
Sungai Tengah (HST). Kegiatan ini merupakan uji teknologi yang dilakukan pada kelompok UP-
FMA “Giat Usaha”, dengan materi yang digunakan adalah itik MA (Mojosari-Alabio) berumur
6 bulan sebanyak 56 ekor. Introduksi teknologi yang dilakukan adalah:
Perbaikan perbandingan jantan – betina (sex ratio)
Perbaikan kandang (panggung)/kandang kelompok
Perbaikan pakan
Rancangan Pengujian dan Parameter yang Diamati
Rancangan yang digunakan dalam uji teknologi dan pakan susunan pakan seperti tertera
pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1.Rancangan perlakuan uji teknologi.
Perlakuan Ulangan Keterangan
A A1 Perbandingan jantan dan betina (1:5)
A2
A3
B B1 Perbandingan jantan dan betina (1:10)
B2
B3
C (Kontrol) Pola petani Perbandingan jantan dan betina (1:28)
201 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Susunan bahan dan kompsisi pakan serta kandungan nutrisi ransum perlakuan.
No. Bahan pakan Persentase (%)
1. Sagu/paya 40,0
2. Dedak halus 20,0
3. Pakan komersial (PAR L) 19,5
4. Ikan kering 15,0
5. Konsentrat 3,0
6. Mineral itik 2,5
Jumlah 100,0
Kandungan nutrien *)
1. Energi metabolis (kkal/kg) 2.800
2. Protein kasar (%) 16,5
3. Serat kasar (%) 5,17
4. Lemak kasar (%) 4,88
5. Kalsium (%) 2,99
6. Phosphor (av.) (%) 0,67
Harga pakan (Rp)/kg 2.180.-
Sumber : BPTP Kalimantan Selatan, 2010.
*) berdasarkan perhitungan
Paramater Diamati
1. Produksi telur harian (%), dihitung dengan mencacat setiap hari produksi telur yang
dihasilkan.
2. Daya tunas telur (%), dihitung berdasarkan rumus :
Jumlah telur menetas x 100%
Jumlah telur bernas
3. Daya tetas (%), dihitung berdasarkan rumus :
Jumlah telur ditetaskan x 100%
Jumlah telur bertunas
4. Bobot tetas (g), diperoleh dari hasil penimbangan anak itik umur sehari (DOD) setelah
bulunya mengering/ekor.
5. Bobot telur (g), diperoleh dengan cara penimbang masing-masing telur
6. Mortalitas (%).
Analisis Data : Selanjunya data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Produksi Telur
Produksi telur merupakan salah satu sifat kuantitatif penting yang bernilai ekonomis
tinggi dari performan unggas petelur. Rata-rata produksi telur itik selama lima bulan
pengamatan, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan produksi telur itik Alabio.
No. Bulan Produksi Telur (%) Bobot telur (g) Indeks telur (%)
1 Oktober 20,50 39,52 74,82
2. November 35,68 41,22 76,21
3. Desember 58,90 50,45 78,52
4. Januari 75,21 52,75 79,21
5. Februari 77,57 53,88 79,55
202 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata produksi telur itik tertinggi diperoleh pada bulan
Februari sebesar 77,57%, sementara terendah pada bulan Oktober 2011 (29,50%). Hal ini dapat
dipahami bahwa peningkatan produksi telur seiring dengan penambahan umur itik dan pemberian
pakan yang memadai. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa
produksi telur itik Alabio di Kasbupaten Hulu Sungai Utara selama lima bulan pengamatan
sebesar 76,48%, tetapi lebih tinggi dari yang dilaporkan Setioko dan Istiana (1999) menyatakan
bahwa produksi telur itik Alabio selama 5 bulan pengamatan mencapai 75,19%. Perbedaan
produksi telur yang dicapai dalam pengamatan ini diduga disebabkan umur pertama bertelur
bervariasi.
Menurut Yuwono et al. (2005), kemungkinan lainnya yang menyebabkan perbedaan
produksi telur adalah jumlah dan kandungan nutrien pakan belum optimal, karena kebutuhan
nutrien selama proses pembentukan telur kurang memadai. Laporan lainnya dikemukakan
Hamdan dan Zuraida (2007); Hamdan et al. (2010), bahwa produksi telur itik Alabio selama 4-6
bulan di Kecamatan Babirik, HSU berkisar antara 66,92-70,00%. Sementara itu Rohaeni (1997)
menyatakan bahwa produksi telur itik Alabio dengan pemberian pakan lokal selama ±6 bulan
sebesar 72,35% dan lebih rendah dari hasil yang dikemukakan Rohaeni dan Setioko (2001),
bahwa rataan produksi telur dengan perlakuan ransum berbeda, berturut-turut sebesar 68,86%;
60,07% dan 48,09%. Prasetyo dan Susanti (1999/2000) melaporkan bahwa produksi telur itik
Alabio yang dipelihara intensif meningkat menjadi 200-250 butir/th, bila dibandingkan dengan
cara tradisional. Solihat et al., (2003) mengemukakan produksi telur dari tiga bangsa itik (Alabio,
Tegal dan Mojosari) yang dipelihara intensif berkisar antara 42,46-63,40%.
Menurut Edianingsih (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan produksi
telur adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan pewarisan sifat dari tetuanya
antara lain dewasa kelamin lebih awal (Hardjosworo et al. 2001), tingginya intensitas peneluran,
persentase peneluran dan clutch (Appleby et al., 2004), sementara lingkungan lebih dominan
pengaruhnya adalah pemberian pakan dan cara pemeliharaan (Solihat et al., 2003; Pingel, 2005),
dan bobot telur (Ketaren et al., 1999).
Selain itu, beberapa karakteristik genetik yang mempengaruhi produksi telur lainnya
adalah masak kelamin, intensitas bertelur yang tinggi, panjang masa bertelur dan lama istirahat
(Solihat et al., 2003). Produksi telur dipengaruhi oleh pakan, genetik dan kecepatan masak
kelamin, kandungan nutrien pakan, imbangan energi dan protein pakan yang berbeda (Solihat et
al., 2003), periode bertelur dan masa rontok bulu (molting) (Purba et al., 2005), stress pada saat
adaptasi masuk kandang baru yang terlalu singkat akan mempengaruhi perbedaan produksi telur
(Solihat et al., 2003).
Rata-rata bobot telur tetas yang digunakan bervariasi. Bobot telur tertinggi sebesar
58,33 g dan terendah 39,52 g Rataan bobot telur itik Alabio yang dihasilkan dari penelitian ini
lebih tinggi dibanding bobot telur itik Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo dan Susanti
(1999/2000) yakni 60,21±5,64. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh faktor
genetik, umur induk, posisi telur dalam clutch, musim dan pakan (Solihat et al., 2003). Perbedaan
ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak sama dan dihasilkan
oleh induk yang mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate
et al., (1998) bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk.
Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat
protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan (Solihat et al., 2003). Ditinjau
dari aspek pakan, Wahju (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan
oleh defisiensi asam linoleat ataupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti
nicarbacin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur
yang dihasilkan rendah sehingga berat embrio juga lebih rendah (Komarudin et al., 2008).
Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%.
Rata-rata indeks telur itik tertinggi (79,55%), sedangkan terendah 74,82%. Indeks telur yang
mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh genetik dan bangsa (Romanov et al., 1995),
juga proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur (Larbier dan Leclercq, 1994). Hasil
pengamatan ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Suryana (2011), bahwa rata-rata index telur
yang diperoleh selama proses penetasan sebasar 78,22%.
Keragaan Hasil Penetasan
203 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Daya tunas atau fertilitas telur adalah perbandingan antara telur yang fertil dengan
jumlah total telur yang ditetaskan. Rata-rata fertilitas telur tertinggi sebesar 97,88 % pada priode
penetasan ke III dan sex ratio (1:10), sementara terendah 50,21% priode penetasan ke I dan sex
ratio (1:28) atau kontrol (Tabel 4). Perbedaan fertilitas ini diduga disebabkan oleh manajemen
pemeliharaan, khususnya pemberian pakan dan perbandingan jantan betina yang kurang tepat.
Fertilitas telur dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan
Istiana dan Setioko (1999), yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten HST
masing-masing sebesar 73,33% dan 77,4%, sementara Rohaeni et al. (2005) melaporkan bahwa
rata-rata fertilitas telur itik Alabio sebesar 88,16%. Demikian pula hasil yang dilaporkan
Brahmantiyo dan Prasetyo (2001), bahwa rata-rata fertilitas pada telur itik Alabio sebesar
79,12%±2,71. Wibowo et al., (2005) melaporkan fertilitas telur itik yang diperoleh selama 27 kali
periode penetasan sebesar 85,3%.
Pendapat lainnya dikemukakan Setioko et al. (1999), bahwa fertilitas telur itik Alabio di
lokasi Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) di Kabupaten HSU
sebesar 95,57%, sedangkan dilaporkan Suryana dan Tiro (2007), hasil fertilitas yang diperoleh
selama 26 periode penetasan telur itik Alabio di Kabupaten HSU sebesar 90,38%. Purba et al.,
(2005) menyatakan bahwa rata-rata fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di
Kabupaten Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86,46-90,49%, sementara Yuwono et al., (2005)
melaporkan bahwa rataan fertilitas telur itik lainnya selama lima periode penetasan sebesar
89,31%. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan
induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono, 1997), jumlah induk yang
dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al., 2003). Selain itu, hubungan
temperatur lingkungan yang semakin meningkat antara lain temperatur atmosfir disinyalir dapat
menyebabkan penurunan fertilitas atau sebaliknya (Kortlang, 1985).
Tabel 4. Keragaan hasil penetasan telur itik Alabio.
Periode
penetasan
Jumlah
telur
(butir)
Kode
Daya
tunas
(%)
Daya
tetas
(%)
Embrio
mati (%)
Mortalitas
(%)
Bobot
tetas (g)
I 50 A 96,68 37,67 63,03 5,0 35,67
50 B 96,35 35,35 14,66 2,0 36.89
50 K 50,21 8,00 92,0 10,0 35.54
II 100 A 96,70 42,55 57,45 1,0 37,22
100 B 96,41 45,76 54,43 0 37,89
100 K 51,33 10,21 89,79 0 38,01
III 150 A 97,12 50,58 41,42 0 41,22
150 B 97,88 52.89 47,11 0 42,10
100 K 50,91 10,33 89,67 0 40,46
Keterangan : A = sex ratio (1 : 5); B = sex ratio (1 : 10); K = Kontrol sex ratio (1;28)
Rata-rata daya tetas tertinggi (52,89%), sedangkan terendah (8,0%). Rendahnya daya
tetas ini diduga disebabkan oleh faktor non teknis, yaitu sarana penetasan yang kurang
mendukung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lasmini et al., (1992), tinggi rendahnya daya tetas
bergantung kepada kualitas telur tetas, sarana penetasan dan keterampilan pelaksana, dan
lamanya penyimpanan telur (Kortlang, 1985). Hasil kajian Setioko (1998) menyebutkan bahwa
penyimpanan telur tetas selama 1-3 hari diperoleh rataan daya tetas lebih tinggi (73,43%),
dibandingkan penyimpanan selama 5-7 hari hanya mencapai 65,03%. Rataan daya tertas telur
yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilaporkan Rohaeni et al., (2005); Suryana dan Tiro (2007), rataan daya tetas telur itik Alabio
masing-masing sebesar 79,49% dan 61,77%, tetapi sebaliknya lebih tinggi dari laporan
Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) sebesar 48,98%±2,16. Menurut Wilson (1997) daya tetas
sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien
untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).
204 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Rata-rata bobot tetas tertinggi diperoleh pada penetasan periode III sebesar (42,10 g),
sementara terendah pada kode K (35,54 g). Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al.,
(1998), bahwa bobot telur tetas mempunyai pengaruh signifikan terhadap bobot tetas yang
dihasilkan. Bobot tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil penelitian
Lasmini et al., (1992) sebesar 42,22 g, tetapi lebih besar bila dibandingkan hasil yang diperoleh
Brahmantiyo dan Prasetyo (2001) yakni 39,85 g±0,66.
Mortalitas DOD yang diperoleh selama penelitian tertinggi (10%) pada periode
penetasan I dan terendah (1,0%) diperoleh pada periode penetasan II, dengan rasio jantan:betina
yang diperoleh hasilnya sama, yakni 1:1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wibowo et al.,
(2005), bahwa DOD normal yang diperoleh dari penetasan selama 27 periode sebanyak 42350
ekor, dengan perincian DOD jantan 21.023 ekor dan betina 20.916 ekor, atau mendekati
perbandingan jantan dan betina adalah 1:1.
Temperatur dan kelembaban merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan
penetasan telur. Rata-rata temperatur tertinggi (38,750C) dan terendah (37,94
0C), sedangkan rata-
rata kelembaban tertinggi (68,87%) dan terendah (66,51%±2,4). Tingginnya temperatur
disebabkan oleh panas dalam alat penetas kurang stabil, sedangkan kelembaban yang
berfluktuatif diduga disebabkan oleh pergantian/penambahan air yang berubah-ubah. Menurut
Setioko (1998) temperatur mesin penetasan yang ideal sekitar 370C, dan kelembaban akhir masa
penetasan dinaikkan menjadi 85%. Kortlang (1985) menyatakan bahwa kelembaban relatif
selama proses penetasan umur telur 1-26 hari sebesar 79%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa perbandingan jantan betina (sex
ratio) itik 1: 5 dan 1:10 memberikan hasil fertilitas atau daya tunas telur yang tidak jauh
berbeda, namun hasil daya tetas dan mortalitas pada periode I untuk produksi telur 1 bulan,
mortalitas DOD nya lebih besar, jika dibanding periode II dan III yang umur telur tetasnya
relatif tua.
Saran
Untuk pemeliharaan selanjutnya, karena yang diperlukan itik betina untuk menghasilkan telur
tetas yang lebih banyak, maka disarankan menggunakan perbandingan jantan-betina (1:10),
yakni 1 ekor jantan dengan 10 ekor betina.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiyati, A. 2008.Si Penghasil Telur dan Daging Yang Handal Dari Kalimantan Selatan;Bibit.
Media Informasi Perbibitan Ternak 2 (1):19-21.
Applegate, T.J, D. Harper andL. Lilburn. 1998. Effects of hen age on egg composition and
embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Science 77:1608-1612.
Baruah, K.K, P.K. Sharma dan N.N, Bora. 2001. Fertility, hatchability and embryonic mortality
in ducks. J. IndianVeteterinary 78:529-530.
Biyatmoko, D. 2005. Petunjuk Teknis dan Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas Peternakan
Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ;9
Biyatmoko, D. 2005a. Kajian Arah Pengembangan Itik Di Masa Depan. Makalah disampaikan
pada Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi
Teknologi Peternakan Tahun 2005; Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Propinsi
Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ;13
BPTP Kalsel. 2010. Pembuatan Pakan Itik. Lembar Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarabaru.
Disnak Provinsi Kalimantan Selatan. 2008. Laporan Tahunan 2008. Dinas Peternakan Provinsi
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
205 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Edianingsih, P. 1991. Performans Produksi dan Pengukuran Keragaman Fenotipik Itik Alabio
Pada Sistem Pemeliharaan Intensif. Tesis: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Hamdan A dan R. Zuraida. 2007. Profil usaha ternak itik Alabio petelur pada lahan rawa lebak
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kasus Desa Sungai Durait Tengah
Kecamatan Babirik). Di dalam: Revitalisasi Kawasan PLG dan Lahan Rawa Lainnya
untuk Membangun Lumbung Pangan Nasional.Prosiding Seminar Nasional Pertanian
Lahan Rawa. Kuala Kapuas, 3-4 Agustus 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan Pemerintah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Palangka Raya. ;127-
134
Hamdan, A, R. Zuraida, dan Khairudin. 2010. Usahatani Itik Alabio Petelur (Studi Kasus Desa
Prima Tani Sungai Durait Tengah Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara
Kalimantan Selatan), Di dalam: Menjadikan Inovasi Badan Litbang Pertanian Tersedia
Secara Cepat, Tepat dan Murah. Prosd. Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi di
Perdesaan. Bogor, 15-16 Oktober 2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. ;256-262
Hardjosworo, P.S et al. 2001. Pengembangan Teknologi Peternakan Unggas Air Di Indonesia.
Prosd. Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. hlm. 22-41.
Istiana.1994. Kematian Embrio Akibat Infeksi Bakteri Pada Telur Tetas Di Penetasan Itik Alabio
dan Perkiraan Kerugian Ekonominya. Jurnal Penyakit Hewan 26 (45). Balai Penelitian
Veteriner. Bogor. ;36-40
Jarmani, S.N dan A.P. Sinurat. 2004. Pengembangan Itik Dalam Upaya Menambah Konsumsi
Protein Hewani dan Pendapatan Masyarakat. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosd. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
hlm.621-627.
Komarudin, Rukmiasih dan P.S. Hardjosworo. 2008. Performa Produksi Itik Berdasarkan
Kelompok Bobot Tetas Kecil, Besar dan Campuran. Di dalam: Inovasi Teknologi
Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Ramah Lingkungan. Prosd. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Pusat
penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. ;604-610
Kortlang, C.F.H.F. 1985. The incubation of duck eggs. Di dalam: Farrel, D.J and Stapleton, P.
(ed). Duck Production Science and World Practice. University of New England. ;167-177
Nawhan, A. 1991. Usaha Peternakan Itik Alabio (Anas platyrhynchosBorneo) di Kalimantan
Selatan. Orasi Ilmiah Disampaikan Pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara;
Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober
1991. Kalimantan Selatan. Banjarmasin. ;18
Pingel, H. 2005. Development of small scale duck farming as a commercial operation. Prosd.
Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. ;317-349
Prasetyo, L.H dan T. Susanti. 1999/2000. Seleksi Awal Bibit Induk Itik Lokal. Laporan Hasil
Penelitian Rekayasa Tekonologi Peternakan. Bagian Proyek ARMP II. Balai Penelitian
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Prasetyo, L.H. 2006. Strategi dan Peluang Pengembangan Pembibitan Ternak Itik. Wartazoa
Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia 16 (3):109-115.
Purba, M dan T. Manurung. 1999. Produktivitas Ternak Itik Petelur Pada Pemeliharaan Intensif.
Prosd. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999.
206 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. ;374-380
Purba M, Hardjosworo PS, Prasetyo LH, Ekastuti DR. 2005. Pola Rontok Bulu Itik Alabio Betina
Dan Mojosari Serta Hubungannya Dengan Kadar Lemak Darah (Trigliserida); Produksi
dan Kualitas Telur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 96-105.
Rohaeni, E.S. dan Tarmudji. 1994. Potensi dan Kendala Dalam Pengembangan Peternakan Itik
Alabio Di Kalimantan Selatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (1): 4-6.
Rohaeni, E.S, dan A.R. Setioko. 2001. Keragaan Produksi Telur Pada Sentra Pengembangan
Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan. Prosd. Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru;Bogor, 6-
7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai
Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Rohaeni, E.S. 1997. Pengaruh Tingkat Pemberian Bahan Pakan Lokal Untuk Itik Alabio Laporan
Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Banjarbaru.
Rohaeni, E.S. 2005. Analisis Kelayakan Usaha Itik Alabio Dengan Sistem Lanting di Kabupaten
Hulu Sungai Tengah. Prosd. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor,
12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor. ;845-850
Rohaeni, E.S, A. Hamdan dan A.R. Setioko. 2005. Usaha Penetasan Itik Alabio Sistem Sekam
Yang Dimodifikasi Di Sentra Pembibitan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Prosd. Seminar
nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13 September 2005.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. ;727-778
Rohaeni, E.S dan Y. Rina. 2006. Peluang dan Potensi Usaha Ternak Itik Di Lahan Lebak.
Prosd. Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu; Banjarbaru, 28-29 Juli 2006. Balai
Penelitian Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. ;387-397
Solihat, S. Suswoyo dan I. Ismoyowati. 2003. Kemampuan Performan Produksi Telur Dari
Berbagai Itik Lokal. Jurnal Peternakan Tropis 3 (1):27-32.
Setioko A.R. 1998. Penetasan Telur Itik Di Indonesia. Wartazoa Bulletin Ilmu Peternakan
Indonesia 7 (2) 40-46.
Setioko, A.R. 2001. Inseminasi Buatan Pada itik. Makalah disampaikan pada Acara Pelatihan
Inseminasi Buatan pada Itik di BPT HMT Pelaihari Kalimantan Selatan. Tambang Ulang,
30-31 Agustus 2001. ;8
Setioko, A.R. 2008. Konservasi Plasma Nutfah Unggas Melalui Kriopreservasi Primordial Germ
Cells (PGCs). Wartazoa Bull Ilmu Peternakan Indonesia 18 (2):68-77.
Setioko, A.R, A.P. Sinurat, B. Setiadi dan A. Lasmini. 1994. Pemberian Pakan Tambahan Untuk
Pemeliharaan Itik Gembala Di Subang Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Peternakan 8 (1):27-
33.
Setioko, A.R dan Istiana. 1999. Pembibitan Itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosd.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. ;382-387
Setioko, A.R, Istiana, D.I. Ismadi dan E.S. Rohaeni. 1999/2000. Pengkajian Teknologi Usahatani
Itik Alabio [Laporan Hasil Pengkajian]. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian. Banjarbaru. ;39
Setioko, AR, Istiana dan E.S. Rohaeni. 2000. Pengkajian Peningkatan Mutu Itik Alabio Melalui
Program Seleksi Pada Pembibitan Skala Pedesaan. Makalah di sampaikan pada Temu
Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Peternakan; Banjarbaru, 15-16 Agustus
2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru. ;13
Setioko, A.R., dan E.S. Rohaeni. 2001. Pemberian Ransum Bahan Pakan Lokal Terhadap
Produktivitas Itik Alabio. Prosd. Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru;
Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor bekerjasama
207 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Setioko, A.R, T. Susanti, L.H. Prasetyo dan Supriyadi. 2004. Produktivitas Itik Alabio dan MA
dalam Sistem Perbibitan Di BPTU Pelaihari. Di dalam; IPTEK Sebagai Motor Penggerak
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan Prosd. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Setioko, A.R, S. Sopiyana, dan T. Sunandar. 2005. Identifikasi Sifat Kuantitatif dan Ukuran
Tubuh Pada Itik Tegal, Itik Cirebon dan Itik Turi. Prosd. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.Bogor. ;786-794
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung Melalui Pembentukan
Galur Induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suryana. 2007. Prospek Dan Peluang Pengembangan Itik Alabio Di Kalimantan Selatan. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (3):109-114.
Suryana dan B.W. Tiro. 2007. Keragaan Penetasan Telur Itik Alabio Dengan Sistem Gabah Di
Kalimantan Selatan. Di dalam; Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Prosd. Seminar Nasional dan
Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua; Jayapura, 5-6 Juli 2007. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. ;269-277
Suryana. 2011. Karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di
Kalimantan Selatan dalam rangka pelestarian dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Srigandono, B dan W. Sarengat. 1990. Ternak itik identitas Jawa Tengah. Prosiding Temu Tugas
Sub Sektor Peternakan. Pengembangan Itik di Jawa Tengah. hlm.10-16.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. GadjahMadaUniversity Press. Yogyakarta.
Srigandono, B. 2000. Beternak Itik Pedaging. Penerbit PT. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Suwindra, I.N. 1998. Uji Tingkat Protein Pakan Terhadap Kinerja Itik Umur 16-40 Minggu Yang
Dipelihara Intensif Pada Kandang Tanpa dan Dengan Kolam. Disertasi. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tanari, M. 2005. Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik Serta Pengembangan Teknologi
Penetasan Ex Situ Burung Maleo (Macrocephalon Maleo Sal. Muller 1846) Sebagai Upaya
Meningkatkan Efektivitas Konservasi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Penerbit Kanisius. Yogjakarta.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press.Yogjakarta.
Wibowo, B., Juarini dan E. Sunarto. 2005. Analisa Ekonomi Usaha Penetasan Telur Itik Di
Sentra Produksi. Di dalam: Merebut Peluang Agribisnis melalui Pengembangan Usaha
Kecil dan Menengah Unggas Air. Prosiding Lokakarya Unggas Air II. Ciawi, 16-17
Nopember 2005. Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. ;261-270
Wilson, H.R.1997. Effects of maternal nutrient on hatchability. J Poult Sci 76:143-146.
208 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI KAKAO
DI DESA SUROBALI KABUPATEN KEPAHYANG
Herlena Bidi Astuti, Afrizon dan Linda Harta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
ABSTRAK
Kakao (Thebroma cacoa) atau cokelat merupakan komoditi perkebunan andalan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian daerah khususnya sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan petani.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat terapan teknologi usahatani kakao di desa Suro Bali Kecamatan Ujan mas
Kabupaten Kepahyang. Pengambila data dilakukan pada bulan Februari-Maret 2012 di dengan cara wawancara
terhadap petani kakao untuk memperoleh informasi dari responden yang dipilih secara acak berjumlah 30 orang dengan
menggunakan kuesioner. Penerapan teknologi yang diamati adalah pemupukan, pemangkasan, pembuatan rorak,
penyemprotan dan fermentasi buah. Untuk menguji tingkat penerapan teknologi usahatani kakao responden
menggunakan statistik K Related Sample test uji Friedman. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat terapan
teknologi usahatani kakao tidak sama, pembuatan rorak paling sedikit diterapkan oleh petani yaitu 5 responden atau
16,67% dan penerapannya tidak sesuai teknologi anjuran anjuran Puslit Tanaman Kopi dan Kakao dan yang paling
banyak diterapkan oleh petani adalah penyemprotan untuk menanggulangi hama dan penyakit yaitu 28 responden atau
93,33 % melakukan penyemprotan dengan cara yang sesuai anjuran.
Kata kunci : penerapan, teknologi, usahatani, dan kakao
PENDAHULUAN
Kakao (Thebroma cacoa) atau cokelat merupakan komoditi perkebunan andalan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian daerah khususnya sebagai penyedia lapangan kerja
dan sumber pendapatan petani. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama kakao
dunia setelah Pantai Gading (38,3%) dan Ghana (20,2 %) dengan persentasi 13,6%. Permintaan
dunia terhadap komoditas kakao semakin meningkat dari tahun ketahun. Hingga tahun 2011
ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi kakao dunia akan mencapai
4,05 juta ton, sementara secara umum faktor yang berpengaruh terhadap usaha tani tanaman
perkebunan kakao terdiri atas dua faktor yaitu faktor fisik dan factor non fisik. Faktor fisik
meliputi kondisi tanah, iklim dan lokasi tumbuh di wilayah pertanian kakao. Sedangkan faktor
non fisik adalah manajemen pengelolaan pertanian yang meliputi modal, tenaga kerja, fasilitas
infrastruktur dan teknologi yang digunakan dalam pengelolaan tanaman kakao serta pemasaran
hasil produksi pertanian di daerah penelitian. Data dari Dinas Perkebunan menyatakan bahwa
sejak tahun 2010 Kabupaten Kepahyang telah melakukan pengembangan perkebunan kakao
seluas 120 ha, selain ditanam secara monokultur kakao juga ditanam pada perkebunan kopi.
Minat masyarakat untuk menanam kakao cukup tinggi, ini terlihat dari Perkembangan tanaman
kakao muda pada tahun 2010 seluas 3.842 hektar dan tanaman sudah menghasilkan seluas 1.177
ha serta tanaman tua seluas 255 hektar. (BPS Kabupatan Kepahyang, 2011)
Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan panen akibat serangan hama dan
penyakit serta kondisi iklim yang tidak mendukung produksi. Resiko kegagalan usaha tani
tersebut dapat ditekan dengan menerapkan teknologi budidaya yang tepat sesuai dengan standar
yang dianjurkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, di antaranya adalah
pemupukan, pemangkasan, pembuatan rorak,serta penyemprotan untuk pengendalian hama dan
penyakit, selain usaha peningkatan hasil produksi dalam budidaya kakao hal yang harus
diperhatikan juga adalah fermentasi sebagai penanganan pasca panen hasil produksi yang bisa
meningkatkan harga jual sehingga keuntungan yang didapatkan petani bisa lebih tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat terapan teknologi usahatani kakao di desa
suro bali kecamatan ujan mas kabupaten kepahyang.
BAHAN DAN METODA
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu di desa Surobali
Kabupaten Kepahiang dengan pertimbangan daerah ini merupakan sentra budidaya kakao dengan
209 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
diversivikasi lahan tanaman kakao dan kopi. Jumlah sampel yang di ambil sebanyak tiga puluh
(30) orang petani dengan metode simple random sampling. Data di ambil pada bulan februari-
maret 2012 di desa Suro Bali Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahyang Provinsi Bengkulu.
Daerah penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan desa surobali merupakan sentra tanaman
perkebunan kakao dan kopi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap
petani untuk memperoleh informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Terapan
teknologi usahatani yang diamati adalah keragaan petani dalam melaksanakan kegiatan usahatani.
antara lain:
1. Karakteristik petani responden meliputi; umur, pendidikan, kepemilikan lahan, tanggungan
keluarga dan keanggotaan dalam kelompok tani.
2. Terapan teknologi usaha tani meliputi;
Teknologi budidaya (pemupukan, pemangkasan, pembuatan rorak dan penyemprotan untuk
pengendalian hama penyakit).
Penanganan pasca panen berupa fermentasi
Setiap jawaban responden dalam penerapan teknologi dilakukan pengelompokan, sbb;
(1) Diterapkan sesuai dengan anjuran Puslitbang Kopi-kakao
(2) Diterapkan tapi tidak sesuai anjuran Puslitbang Kopi-Kakao
(3) Tidak diterapkan.
Sedangkan untuk menguji tingkat penerapan teknologi usahatani kakao responden dilakukan
dengan uji statistik K Related Sample test uji Friedman (Sugiyono, 2011).
X2 =
Keterangan : X = Chi kuadrat
N = Banyak baris dalam tabel
K = Banyak kolom
Rj = jumlah ranking dalam kolom
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Petani Responden
a. Identitas responden
Hasil kajian keragaan identitas responden menggambarkan petani kakao di Desa Surobali
kebanyakan berusia antara 26-56 tahun (66,67 %) atau rata-rata berumur 43,73 tahun
dengan tanggungan keluarga 3-5 orang (70,00%) atau rata-rata 3 orang dan tingkat
pendidikan tergolong rendah ≤ 9 Tahun (76,67%) atau rata-rata 8,13 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan identitas responden petani kakao di Desa Surobali Kabupaten
Kepahiang.
No Uraian Jumlah (orang) Persentase (%) Rata-rata
1. Umur (tahun) 43,73
≤ 25 1 3,33
26 - 56 20 66,67
≥ 57 9 9,00
2. Tanggungan keluarga (org) 3,00
≤ 2 9 30,00
3 - 5 21 70,00
≥ 6 0 0,00
3. Pendidikan (tahun) 8,13
≤ 9 23 76,67
10 - 16 7 23,33
≥ 16 0 0,00
210 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pada Tabel 1, telihat bahwa petani kakao dilokasi pengkajian umunya tergolong usia
produktif (43,73 tahun) yang didukung 3 orang anggota keluarga yang dapat menjadi
tenaga kerja utama dalam upaya peningkatan usahatani, pada usia produktif kegiatan
usahatani dapat dikerjakan secara optimal dengan curahan tenaga kerja fisik yang tersedia
(Nuryanti dan sahara, 2008). Namun dilihat tingkat pendidikan petani kakao masih rendah,
rata-rata petani tidak sampai menyelesaikan wajib belajar yang ditetapakan pemerintah
minimal 9 tahun. Menurut Soekartawi (1988) makin muda petani biasanya mempunyai
semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha
untuk lebih cepat ingin melakukan berbagai hal termasuk inovasi teknologi walaupun
sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi dan begitu pula
pendidikan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam
melaksanakan adopsi teknologi dan sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak
sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.
b. Kepemilikan lahan
Umumnya petani responden memiliki luasan lahan usahatani 0,25 – 2 ha sebanyak 28
orang (93,34%) dengan diversifikasi lahan usahatani kombinasi tanaman (kakao-kopi;
kopi monokultur; tanaman semusim dan sawah) serta masing-masing 1 (satu) orang
memiliki luasan lahan usahatani ≤ 0,25 ha (3,33%) dengan diversifikasi usahatani tanaman
kopi-kakao dan ≥ 2 ha (3,33%) dengan diversifikasi usahatani kombinasi tanaman kopi-
kakao dan sawah (Tabel 2.). Namun bila dilihat dari rata-rata luasan lahan yang dimiliki,
rata-rata petani di desa Suro Bali memiliki lahan usahatani perkebunan/tegalan 1,125 ha
serta sawah 0,31 ha.
Tabel 2. Luasan lahan dan jenis usahatani petani di Desa Suro Bali Kabupaten
Kepahyang.
No Luas lahan
(ha)
Pemilikan dan diversifikasi lahan usahatani
Petani pemilik Kombinasi diversivikasi tanaman
orang % Kakao-kopi Kopi Tanaman semusim Sawah
1 ≤ 0,25 1 3,33 - - -
2 0,25–2 28 93,34
3 ≥ 2 1 3,33 - -
Jumlah 30 100,00
Lahan yang dikelola oleh petani merupakan lahan milik sendiri, sehingga memungkinkan
petani untuk meningkatkan usahatani dan tambahan penghasilan dari berbagai jenis
(diversifikasi) usahatani serta penerapan inovasi teknologi pengembangan kakao.
2. Penerapan Teknologi
Setelah dilakukan uji statistik K Related Sample test uji Friedman di dapatkan hasil,
bahwa teknologi yang sudah diterapkan petani sesuai anjuran (1) adalah: Penyemprotan
hama/penyakit dan Pemangkasan (93,34 dan 50,00)%, diterapkan tidak sesuai anjuran (2)
adalah: Pemangkasan; Pemupukan; Fermentasi buah dan Rorak (50,00; 36,67; 30,00)% serta
tidak diterapkan (3) adalah:Penyemprotan; Pemupukan; Fermentasi dan Rorak (6,66; 63,33;
70,00 dan 83,33)%. (Tabel 3).
211 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Keragaan tingkat penerapan teknologi usahatani kakao sesuai anjuran di Desa Suro
Bali Kabupaten Kepahyang.
No Inovasi teknologi
anjuran
Tingkat penerapan teknologi usahatani oleh petani kakao
Sesuai anjuran (1) Tidak sesuai anjuran (2) Tidak diterapkan (3)
orang % orang % orang %
1 Penyemprotan 28 93,34 0 0 2 6,66
2 Pemangkasan 15 50,00 15 50,00 0 0,00
3 Pemupukan 0 0,00 11 36,67 19 63,33
4 Fermentasi 0 0,00 9 30,00 21 70,00
5 Rorak 0 0,00 5 16,67 25 83,33
a. Penyemprotan hama penyakit
Hasil analisis mempelihatkan tingkat penerapan teknologi penyemprotan hama penyakit
oleh petani kakao di desa Suro Bali sudah sesuai anjuran (93,345%) yaitu dengan
penyemprotan petani melakukan penyemprotan kimia (pestisida atau fungisida) untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit kakao sesuai anjuran (tepat dosis dan waktu
penyemprotan ketika sudah ada serangan). Tingkat terapan petani terhadap penyemprotan
hama dan penyakit cukup tinggi karena pengaruh dari hama dan penyakit langsung bisa
dilihat oleh petani berupa buah yang tidak tumbuh optimal dan berakibat pada penurunan
hasil panen. Disamping itu dalam pengendalian hama dan penyakit petani juga juga
melakukan dengan cara mekanis disamping pengendalian cara kimia, yaitu membuang
bagian yang terkena penyakit dengan harapan mengurangi penyebaran pada tanaman sehat
lainnya.
Hama utama yang menyerang tanaman adalah pengerek buah kakao (conopomorpha
cramerella Snell) yang biasa disebut PBK, serangan PBK dapat menyebabkan kemerosotan
produksi hingga 60-80 % (Siregar et al., 2004). Serangan PBK dapat membuat biji gagal
berkembang dan jika dibelah daging buah tampak hitam, keriput, ringan dan saling melekat
satu dan lainnya. Sedangkan penyakit utama yang menyerang adalah busuk buah akibat
serangan jamur Phytophthora palmivora yang bisa menyebar melalui percikan air hujan,
hubungan langsung buah sakit dan buah sehatataupun melalui perantara binatang.
b. Pemangkasan
Pada daerah penelitian umumnya petani sudah melakukan pemangkasan, tetapi hanya 50%
yang melakukan pemangksan sesuai dengan anjuran (cara dan frekuensi pemangkasan)
dalam satu tahun dan 50% belum sesuai anjuran. Prinsip dasar pemangkasan kakao adalah
memangkas secara ringan tapi sering. Berat dan ringan pemangkasan tergantung pada
ukuran ranting yang dipotong. Pemangkasan produksi harus dilakukan dua kali dalam
setahun yaitu pada awal musim kemarau - awal musim hujan dan pada akhir musim
kemarau. Puslit kopi dan kakao (2004) menjelaskan bahwa Pemangkasan kakao merupakan
salah satu upaya agar laju fotosintesis berlangsung optimal. Dimana tujuan pemangkasan
antara laian adalah untuk: 1) Memperoleh kerangka dasar (frame) percabangan tanaman
kakao yang baik, 2) Mengatur penyebaran cabang dan daun-daun produktif di tajuk secara
merata, 3) Membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki seperti tunas air atau cabang
sakit dan patah, 4) Memacu tanaman membentuk daun baru yang potensial untuk sumber
asimilat, 5) Menekan risiko terjadinya serangan hama penyakit dan 6). Meningkatkan
kemampuan tanaman menghasilkan buah.
c. Pemupukan
Kendala utama yang menyebabkan rendahnya produksi disebabkan belum seluruhnya
masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana cara menanam kakao
yang baik dan benar. Hasil penelitian menunjukan petani belum melakukan pemupukan
tanaman kakao sesuai anjuran, yang melakukan pemupukan baru 36,67% (belum sesuai
anjuran) dan sebagian besar atau 63,33% bahkan belum melakukan pemupukan. Salah satu
faktor produksi yang sangat menentukan peningkatan produktivitas adalah pemupukan.
212 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
(Maryeni et al., 2009). Kebutuhan pupuk tanaman kakao sesuai anjuran rekomendasi untuk
tanaman yang telah menghasilkan membutuhkan urea 220 gr/phn/th; TSP 180 gr/phn/th;
dan KCL 170 gr/pnh/th. Tidak tepatnya jenis dan dosis pupuk yang digunakan akan
menyebabkab tidak optimalnya hasil produksi, sebab pemupukan sangat penting untuk
memenuhi unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Tanaman kako sebelum mulai
berbuah memerlukan sekitar 200 kg N; 25 kg P; 300 kg K dan 140 kg Ca /ha yang
berfungsi untuk membentuk kerangka dan kanopi kakao, selanjutnya setelah tanaman
menghasilkan kebutuhan pupuk akan meningkat dan perlu diberikan dua kali dalam
setahun (Puslit Koka, 2004) dan dosis harus dinaikkan setelah tanaman mulai
menghasilkan (Njiyati, 2001).
d. Fermentasi
Fermentasi buah bertujuan untuk menghancurkan pulp dan menimbulkan aroma serta
memperbaiki warna biji kakao serta memiliki tampilan dan aroma yang lebih baik,
sehingga harga diperoleh menjadi lebih tinggi. Petani dilokasi penelitian sebagian besar
(70%) belum melakukaqn fermentasi pada biji buah kakao yang diprosuksi dan baru 30 %
petani yang telah melakukan fermentasi biji buah kakao. Hal ini disebabkan belum
pahamnya petani pentingya fermentasi biji buah kakao, disamping itu juga proses
fermentasi yang membutuhkan waktu tambahan sampai tujuh hari juga mendorong petani
banyak yang tidak menerapkan teknologi fermentasi ini karena petani tidak ingin
menunggu lama untuk segera menjual hasil panennya. Pada hal konsumen, terutama
industri makanan dan minuman coklat lebih menyukai biji kakao yang sudah di fermentasi,
karena mempunyai cita rasa dan aroma khas coklat yang menonjol serta rasa asam yang
minimal. Setelah difermentasi biji kakao harus segera dikeringkan untuk mengurangi kadar
air dari biji kakao. Bila pengeringan belum sempurna berpotensi bagi biji kakao akan di
tumbuhi jamur/kapang yang merupakan mikrobiologis yang tidak disukai oleh industri
karena bisa merusak cita rasa dan aroma khas cokelat serta juga berpotensi memproduksi
senyawa racun/toksik yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Mulato, 2010).
e. Rorak
Sebagian besar pemanfaatan rorak untuk membuat pupuk kompos belum dilakuan petani
kakao di daearah penelian (83,33%), padahal pembuastan rorak ini cukup penting dan
merupakan salah satu praktek baku kebun yang betujuan untuk mengelola lahan, bahan
organik serta tindakan konservasi tanah dan air di lahan perkebunan kakao. Pada lahan
miring pembuatan rorak juga bisa mengurangi resiko erosi karena dapat mengurangi aliran
permukaan yang menyebabkan erosi. Elna, et al. (2010) menjelaskan bahwa rorak
merupakan lubang yang dengan sengaja dibuat untuk membenamkan/mengubur bahan
organik dari tanaman seperti serasa dan kulit buah hasil panen yang ukurannya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tingkat penerapan teknologi usaha tani kakao oleh petani tidak sama, dimana:
1. Teknologi yang paling banyak diterapkan adalah penyemprotan kimia untuk menanggulangi
hama/penyakit dan teknologi pemangkasan kakao sesuai anjuran.
2. Teknologi pemupukan dan fermentasi biji buah kakao umumnya juga sudah diterapkan,
namun belum sesia anjuran.
3. Penerapan teknologi rorak belum diterapkan dan belum dipahami oleh petani kakao.
Saran
Perlu ditingkatkan pengetahuan petani melalui pelatihan tentang cara budidaya kakao yang baik
dan mengoptimalkan peran pendampingan terhadap petani dalam menjalankan dan
penegembangan usahatani kakao.
213 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Anonym, 2008. Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Kakao. www.smecda.com/
files/budidaya/pengembangandanpengolahan_kakao.pdf.
BPS Kabupaten Kepahiang. 2011. Kabupaten Kepahiang Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kepahiang. Kepahiang.
Elma Karmawati et el., 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Maryeni, R. et al., 20... Teknologi Pemanfaatan Limbah Buh Kakao Sebagai Pupuk Organik
Ramah Lingkungan di Nagari Kamang Hilir Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam.
www. Respository.unand.ac.id/3286/1/reni-maryeni.pdf Universitas Andalas. Padang.
Mulato, S. et al., 20... Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia. Jember.
Nuryanti dan Sahara. 2008. Analisa Karakteristik Petani dan Pendapatan Usahatani Kakao di
Sulawesi Tenggara. SOCA volume 8 nomor 3 tahun 2008.
Puslit Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Penerbit Agromedia Pustaka
Jawa Barat. Bandung
Soekartawi.1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press). Jakarta.
Soekartawi. et al.,. 1993. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian, Teori
dan Apliukasinya. Penerbit. Rajawali Press. Jakarta
Sinungan. 1992. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung
.
.
214 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGENDALIAN HAMA PBK
PADA PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI DESA SURO BALI KABUPATEN KEPAHIANG
Kusmea Dinata, Afrizon, Siti Rosmanah dan Herlena Bidi Astuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditi utama di Kabupaten Kepahiang. Usaha pengembangan
kakao tentunya memiliki kendala dalam meningkatkan produktivitasnya, salah satunya yaitu adanya serangan
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). OPT utama yang paling sering menyerang dan merugikan pada pertanaman
kakao yaitu hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi permasalahan hama
PBK serta memberikan solusi pengendaliannya. Penelitian ini dilakukan pada salah satu sentra perkebunan kakao
rakyat di Desa Suro Bali Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang dari bulan April s/d Juni 2012. Metode yang
dilakukan yaitu survei dengan substansi aspek hama PBK dan aspek budidayanya. Survei dilakukan dengan cara
pengamatan langsung di lapangan, dan wawancara dengan petani untuk mendapatkan informasi pendukung melalui
kuesioner. Dari hasil identifikasi status serangan hama PBK di desa Suro Bali dikatagorikan berat dengan persentase
buah terserang rerata 98,66% dengan intensitas serangan 55,7%, maka perlu dilakukan usaha pengendalian hama secara
terpadu. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan cara budidaya tanaman sehat yaitu meliputi pemupukan
berimbang, pemangkasan tanaman dan tanaman pelindung secara teratur, dan pengaturan populasi tanaman
pendamping, pengendalian cara mekanik dapat dilakukan dengan penyarungan buah, pengendalian secara hayati
dengan memanfaatkan semut hitam dan jamur Beauveria bassiana.
Keyword : permasalahan, hama PBK, pengendalian, kakao rakyat
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditi utama di Kabupaten Kepahiang.
Komoditi ini termasuk penting dalam perdagangan internasional, biji kakao sebagai produk utama
dari tanaman kakao yang pada giliranya diolah menjadi produk makanan, minuman dan kosmetik.
Produk lain yang belum banyak digunakan yaitu kulit buah. Kulit buah ini berpotensi sebagai
pakan ternak, bahan mulsa dan bahan pembuat pupuk organik.
Di kabupaten Kepahiang pengembangan kakao dimulai pada tahun 2006 dengan
menanam jenis klon kakao hibrida F1 yaitu; ICS 01, ICS 06, ICS 12 dan pada tahun 2007
menanam jenis Klon Somatik Embriogenesis yaitu; ICCRI 03, ICCRI 04, SCAVINA 6,
SULAWESI 01, SULAWESI 02. Hingga saat ini luas areal tanaman kakao di kabupaten
kepahiang tanaman belum menghasilkan seluas 1565,3 ha dan yang sudah menghasilkan seluas
1622,2 ha (BPS, 2010).
Dalam usaha pengembangan kakao tentunya memiliki kendala dalam meningkatkan
produktivitasnya, salah satunya yaitu adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT).
OPT yang paling sering menyerang pada pertanaman kakao yaitu hama Penggerek Buah Kakao
(PBK), hama penghisab buah Helopeltis sp, penyakit busuk buah Phytopthora sp (Haryadi et al.,
2009). Hama PBK merupakan hama utama dari tanaman kakao, dimana kerugian akibat serangan
ini dapat mengakibatkan turunnya kuantitas dan kualitas biji kakao. Buah kakao yang diserang
oleh hama ini bobot bijinya berkurang serta kualitas biji menurun dan tidak dapat difermentasi
karena biji lengket serta kematangan buah yang tidak sempurna. Sementara pasar dunia menuntut
standar biji kakao untuk ekspor adalah biji yang telah difermentasi, hal inilah yang menjadi
kendala pada saat ini.
Usaha pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pengendalian hama secara
terpadu, pengendalian ditujukan pada perbaikan budidaya tanaman sehat, pengendalian secara
mekanik, secara hayati, serta penggunaan insektisida secara tepat, bijaksana dan merupakan
alternatif terakhir. Pengendalian juga lebih dititik beratkan pada pengelolaan agroekosistem dari
perkebunan kakao tersebut. Namun dalam usaha pengendalian tersebut perlu adanya monitoring
terhadap serangan hama PBK yang diamati secara berkala agar dapat dilakukan usaha
pengendalian yang efektif dan efisien. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi
permasalahan hama PBK serta memberikan solusi pengendaliannya.
215 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilakukan pada salah satu sentra perkebunan rakyat di Desa Suro Bali
Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang dari bulan April s/d Juni 2012. Metode yang
gunakan yaitu survei dengan substansi aspek hama PBK dan aspek budidayanya. Pengamatan
dilakukan dengan cara langsung di lapangan dan juga melakukan wawancara dengan petani
melalui kuesioner untuk mendapatkan informasi pendukung. Untuk mengamati perkembangan
hama PBK pada tanaman kakao dilakukan pengamatan dengan menentukan beberapa tanaman
sampel pada 5 blok diambil sebanyak 10 pohon sampel, sehingga ada 50 tanaman sampel.
Pengamatan dilakukan dengan cara memanen sampel buah kakao, kemudian dihitung persentase
buah terserang dan intensitas serangannya, data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis
secara statistik deskriptif. Persentase buah terserang dan intensitas serangan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
1. Persentase buah terserang
I = n
x 100% N
Keterangan: I = Intensitas serangan
n = Jumlah buah terserang
N = Jumlah buah yang diamati
2. Intensitas serangan
I = ∑ (ni x vi)
x 100% N x Z
Keterangan: I = Intensitas serangan
ni = Jumlah sampel pada katagori kerusakan
vi = Skor pada sampel
N = Jumlah total sampel
Z = Skor tertinggi dari katagori serangan
Tabel 1. Katagori intensitas serangan OPT.
Kisaran intensitas serangan OPT Katagori
<25%
25 - <50%
50 - 75%
>75%
Intensiatas ringan
Intensitas sedang
Intensitas berat
Sangat Berat
Sumber: Direktorat perlindungan tanaman pangan 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaaan Wilayah
Desa Suro Bali berada pada wilayah Kecamatan Ujan Mas merupakan desa dengan
penduduk mayoritas berasal dari Bali. Desa Suro Bali mempunyai wilayah dengan luas 185 ha,
sawah tadah hujan 20 ha, perkebunan 150,25 ha, dan peruntukan lain-lain 14,75 ha. Wilayah
Desa Suro Bali berada pada ketinggian 600-800 m dpl dengan suhu diantara 28-320C, curah hujan
rata-rata 3.400 mm/tahun. Jenis tanah sebagian besar wilayah Desa Suro Bali adalah Andosol
dengan tekstur remah warna coklat kehitaman. Derajat kemasaman tanah atau pH berada antara
5,5-6,5.
Sebagian besar pekerjaan penduduk di Desa Suro Bali adalah sebagai petani dengan
komoditas utama tanaman perkebunan kopi dan kakao. Padi sawah hanya diusahakan oleh
sebagian kecil penduduk. Selain itu, sayuran juga menjadi salah satu komoditas yang banyak
dibudidayakan yaitu cabe, kacang panjang, tomat dan terung.
216 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Keadaan Budidaya Perkebunan Kakao
Berdasarkan hasil survei, bibit yang ditanam oleh petani di Desa Suro Bali merupakan
bibit yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Kepahiang berupa bibit hibrida F1 yang terdiri
dari 3 klon yaitu ICS 01, ICS 06, dan ICS 12. Budidaya tanaman kakao diusahakan dengan
diversifikasi kopi dan kakao. Jarak tanam antar tanaman kakao 3 m x 3 m, dan diantara tanaman
kakao ditanam dengan tanaman kopi sebagai tanaman pendamping.
Pemeliharaan tanaman kakao yang dilakukan oleh petani di Desa Suro Bali belum
optimal. Pemangkasan secara rutin baru dilaksanakan oleh 46% petani itu pun belum sempurna
dalam pelaksanaanya. sedangkan sisanya belum melakukan pemangkasan secara rutin.
Pemupukan tanaman kakao secara optimal belum dilakukan oleh petani dengan baik, sebanyak
60% petani tidak melakukan pemupukan. Pengendalian gulma rata-rata dilakukan oleh petani
dengan menggunakan kimia dan mekanis. Hama penyakit yang banyak menyerang areal tanaman
kakao petani di Desa Suro Bali adalah hama PBK, hama penghisab Helopeltis, busuk buah
Phytopthora dan hama bajing. Pengendalian hama penyakit tersebut dilakukan hanya dengan cara
kimia.
Penanganan panen dan pasca panen belum dilakukan secara optimal oleh petani di Desa
Suro Bali. Panen biasanya dilakukan dengan periode yang tidak menentu dengan alat yang
digunakan parang. Fermentasi yang dilakukan setelah buah dipecah dengan tujuan untuk
menghancurkan pulp dan meningkatkan aroma serta memperbaiki warna, baru dilaksanakan oleh
30% petani sedangkan sisanya belum melakukan proses fermentasi.
Status Serangan Hama PBK
Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh data persentase buah terserang dapat
mencapai 100%, dengan intensitas serangan berkisar antara 47,14% - 60,61%. Tingginya buah
yang terserang menggambarkan bahwa populasi di perkebunan kakao cukup tinggi, karena
peletakan telur oleh ngengat dewasa hampir pada seluruh buah. Hal ini sejalan dengan intensitas
serangannya yang juga tinggi yaitu dengan rerata 52,7% pada katagori serangan berat (Tabel 2).
Beratnya serangan hama PBK pada perkebunan kakao di desa Suro Bali lebih disebabkan oleh
pengelolaan kebun yang belum baik, seperti pemangkasan yang belum sempurna, pemupukan
yang belum banyak dilakukan oleh petani, pengaturan populasi tanaman pendamping berupa kopi
dan tanaman pelindung yang terlalu rapat, serta sanitasi terhadap kulit buah kakao terserang yang
sudah dikupas tidak dikubur oleh petani. Kondisi tersebut akan sangat mendukung perkembangan
hama PBK karena kelembaban kebun menjadi tinggi dan siklus perkembangan hama tidak
terputus.
Tabel 2. Data pengamatan persentase buah terserang dan intensitas serangan hama PBK setiap
dua minggu sekali dari bulan Mei-Juni 2012.
Pengamatan ke Buah terserang (%) Intensitas serangan (%) Katagori serangan
1 100,00 50,35 Berat
2 100,00 60,61 Berat
3 96,00 47,14 Sedang
Rerata 98,66 52,70 Berat
Hama Penggerek buah kakao berkembang biak dengan cara bertelur, hama ini biasanya
meletakkan telur setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao yang berlekuk (Depparaba
2002; Laode 2004; Tjatjo et al. 2008). Setelah telur menetas, larva segera membuat lubang ke
dalam buah agar terhindar dari pemangsa (predator). Larva yang masuk ke dalam buah akan
tinggal selama 12-14 hari dan menggerek jaringan lunak seperti pulp, plasenta, dan saluran
makanan yang menuju biji, sehingga bila kulit buah dibuka akan tampak lubang berwarna merah
muda yang berliku-liku di dalam buah (Kalshoven, 1981). Jaringan buah yang telah rusak
menimbulkan perubahan fisiologis pada kulit buah, yaitu kulit buah tampak hijau berbelang
merah atau jingga (Wardojo, 1994).
Penggerek buah kakao umumnya menyerang buah yang masih muda dengan panjang
sekitar 8 cm. stadium yang menimbulkan kerusakan adalah stadium larva, yang memakan daging
217 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
buah dan saluran makan yang menuju ke biji, akan tetapi tidak menyerang biji. Gejala serangan
baru tampak dari luar saat buah masak berupa kulit buah berwarna pudar dan timbul belang
berwarna jingga serta jika dikocok tidak berbunyi. Kebiasaan hama PBK yang berada dalam
plasenta buah menyebabkan pengendalian hama menjadi lebih sulit karena di samping sulit
mengidentifikasi adanya gejala kerusakan buah sejak dini, juga larva akan selalu terlindung dari
cara pengendalian apapun yang dilakukan.
Serangan hama PBK pada buah kakao akan menyebabkan biji gagal berkembang, biji
saling melekat, serta bentuknya kecil dan keriput. Hal ini menjadi permasalahan dalam
pengelolaan pasca panen serta menurunkan kualitas dan kuantitas biji kakao yang dihasilkan. Biji
kakao yang lengket membuat proses pemecahan buah menjadi lebih susah dan lambat
dibandingkan dengan buah yang tidak terserang PBK. Biji yang terserang tidak dapat
difermentasi karena biasanya buah yang terserang selain rusak, kematangan buah juga tidak
sempuna dan apabila tetap difermentasi biji akan busuk karena adanya infeksi sekunder pada biji.
Solusi Pengendalian Hama PBK
Dari hasil identifikasi permasalah hama PBK di Desa Suro Bali maka perlu dilakukan
usaha pengendalian secara terpadu. Pengendalian ini berhubungan dengan beberapa aspek teknik-
teknik pengendalian diantaranya yaitu budidaya tanaman sehat, secara mekanik, pemanfaatan
agens hayati dan penggunaan pestisida secara bijaksana.
a. Pengendalian dengan cara budidaya tanaman sehat
Pengendalian dengan cara budidaya tanaman sehat terdiri dari:
1. Pemupukan secara teratur, tepat waktu dan dosis sehingga tanaman dapat tumbuh sehat
dan tahan terhadap serangan OPT. karena dari hasil identifikasi di lapang petani belum
melakukan pemupukan secara teratur dan tepat bahkan ada yang belum melakukan
pemupukan sama sekali. Dosis rekomendasi pemupukan umum untuk tanaman kakao
menghasilkan berdasarkan kebutuhan hara yaitu pupuk N 100 g/pohon/tahun, P2O5 80
g/pohon/tahun, K2O 100 g/pohon/tahun dan MgO 30 g/pohon/tahun. Pemupukan biasanya
dilakukan dua kali yaitu pada awal musim hujan dan akhir musim hujan (Puslitkoka,
2004)
2. Memperbaiki pola tananam, sebaiknya perlu dilakukan penjarangan (dikurangi) tanaman
pendamping berupa tanaman kopi yang ditanam disela-sela tanaman kakao. Hal ini
bertujuan mengurangi kelembaban dengan masuknya cahaya matahari. Disamping itu juga
akan mengurangi persaingan hara dengan pengaturan jarak tanam yang tidak terlalu rapat.
Cahaya yang diteruskan sebaiknya 60-75% dari intensitas matahari penuh (Puslitkoka,
2004).
3. Melakukan pemangkasan secara teratur terhadap tanaman kakao dan tanaman pelindung
akan membuat kondisi kelembaban pertanaman kakao menjadi tidak terlalu tinggi karena
masuknya cahaya matahari. Kondisi ini kurang disukai dan menghambat perkembangan
hama PBK. Selain dapat mengendaliakan serangan OPT pemangkasan juga bertujuan agar
tajuk tanaman tidak terlalu tinggi sehingga mudah dalam melakukan penyeprotan dan
pemanenan.
4. Sanitasi kebun, yaitu tetap menjaga kebersihan kebun terutama terhadap sisa kulit buah
yang terserang hama PBK harus dikubur untuk memutuskan siklus hidup hama tersebut.
b. Pemanfaatan agens hayati
Pengendalian dengan memanfaatakan agens pengendali hayati seperti pemanfaatan
semut hitam untuk pengendalian hama PBK. Mekanisme pengendaliannya yaitu dengan cara
semut hitam menghalangi peletakan telur hama PBK. Pemanfaatan semut hitam ini yaitu
dengan cara membuat sarang pada pohon kakao yang terbuat dari daun kakao atau daun
kelapa kering, kemudian diberi gula batu untuk memancing keberadaan semut tersebut.
Penggunaan agens hayati jamur Beauveria bassiana. Penyemprotan dengan jamur
Beauveria bassiana pada buah kakao muda dan cabang horizontal mampu menekan serangan
hama PBK 54-60,5% (Junianto dan Sulistyowati, 2000).
218 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
c. Pengendalian Secara Mekanik
Pengendalian secara mekanik dengan melakukan penyarungan terhadap buah kakao.
Pengendalian dengan cara ini dapat menghalangi aktifitas hama PBK untuk meletakkan telur
pada kulit buah. Penyarungan dilakukan pada buah muda dengan ukuran buah antara 8-10
cm, menggunakan plastik ukuran 30 x 15 cm. pengendalian hama PBK dengan menggunakan
penyarungan buah dapat mengurangi serangan hingga 0% (Morsamdono dan Wardojo, 1984.;
Mustafa, 2005).
KESIMPULAN
1. Hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan informasi permasalahan hama PBK di Desa
Suro Bali dimana status serangan dikatagorikan berat dengan persentase buah terserang rerata
98,66% dengan intensitas serangan 55,7%.
2. Pengendalian OPT pada buah kakao dapat dilakukan dengan cara budidaya tanaman sehat
(meliputi pemupukan berimbang, pemangkasan tanaman dan tanaman pelindung secara
teratur, dan pengaturan populasi tanaman pendamping).
3. Pengendalian cara mekanik yaitu dengan penyarungan buah, serta pengendalian secara hayati
dapat dengan memanfaatkan semut hitam dan jamur Beauveria bassiana.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Bengkulu. 2010. Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Bengkulu.
Ditlintan. 2008. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan.
Direkrorat Jendaral Tanaman Pangan. Jakarta.
Depparaba, F. 2002. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) dan
Penanggulangannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(2): 69−74.
Hariyadi, Sehabudin, U dan Winasa, I.W. 2009. Identifikasi Permasalahan dan Solusi
Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi
Selatan. Prosd. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor. ;75-88
Junianto, Y.D. dan E. Sulistyowati. 2000. Produksi dan Aplikasi Agens Pengendali Hama
Tanaman Utama Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ictiar Baru Van Houve. Jakarta.
Laode, A. 2004. Seleksi dan Karakterisasi Morfologi Tanaman Kakao Harapan Tahan
Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.). Jurnal Sains & Teknologi (3):
109−122.
Musamdono dan S. Wardojo. 1984. Kemajuan Dalam Percobaan Perlindungan Buah Coklat
Dengan Katong Plastik Dan Serangan Acrocercops cramerella SN. Menara Perkebunan.
52(4):93-96.
Mustafa. B. 2005. Kajian Penyarungan Buah Muda Kakao Sebagai Suatu Metode Pengendalian
Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera :
Gracilariidae). Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan FPI XVI Komda
Sulawesi Selatan. Makasar. ;23-35
Puslitkoka. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan kakao
Indonesia. Jember.
Tjatjo, A.A., Baharuddin dan A. Laode. 2008. Keragaman Morfologi Buah Kakao Harapan
Tahan Hama Penggerek Buah Kakao Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Jurnal
Agrisistem 4(1): 37−43.
Wardojo, S. 1994. Strategi Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia.
Disampaikan pada; Gelar Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian PBK di
Kabupaten Polmas, Sulawesi Barat, 3−4 Oktober 1994. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Barat. Mauju. ;5
219 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KAJIAN TEKNOLOGI FERMENTASI LIMBAH IKAN
SEBAGAI PUPUK ORGANIK
Indarti P. Lestari, Yudi Sastro, dan Ana F. C. Irawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
pujipujo @yahoo.com
ABSTRAK
Salah satu sumber pupuk organik yang potensial untuk dikembangkan adalah limbah ikan. Namun
demikian, teknologi produksi limbah ikan menjadi pupuk organik belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peran cara fermentasi, perlakuan pengkayaan, dan jumlah sumber karbon terhadap kualitas pupuk organik
dari limbah ikan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
dimulai dari Maret hingga Juli 2011. Perlakuan yang diujikan meliputi cara fermentasi (aerob dan anaerob), perlakuan
pengkayaan (tanpa, pengkayaan mikroba+metabolit, dan pengkayaan mineral). Percobaan diatur menggunakan
Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 5 ulangan. Peubah yang diamati adalah (1) karakteristik fisik meliputi
warna, (2) karakteristik kimia meliputi pH, C, N, P, K, Ca, Mg, S, Zn, Fe, Mn, Cu, dan bau dan (3) karakteristik
biologi (cemaran biologi).. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara fermentasi dan perlakuan pengkayaan tidak
nyata berpengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia, dan biologi hasil fermentasi limbah ikan. Sementara itu, jumlah
sumber karbon berpengaruh terhadap karakteristik hasil fermentasi. Terdapat kecenderungan penurunan nilai pH,
penurunan kandungan N-NH4, P2O5, K2O, Ca, Mg, Zn, dan Fe, dan C sejalan peningkatan jumlah sumber karbon,
namun terdapat peningkatan bau khas fermentasi sejalan peningkatan sumber karbon.
Kata kunci: limbah ikan, fermentasi, karbon, pupuk organik, pengkayaan
PENDAHULUAN
Pemanfaatan ikan sebagai bahan pupuk organik sudah lama di lakukan. Hingga saat ini
telah banyak beredar berbagai jenis pupuk organik berbahan baku ikan, baik sebagai pupuk padat
atau pupuk cair (Davis et al., 2004). Pupuk padat berbahan baku ikan umumnya dibuat dalam
bentuk tepung, granular, atau pelet, sedangkan dalam bentuk cair berupa emulsi konsentrasi
tinggi (Davis et al., 2004). Pupuk berbahan baku ikan kaya akan unsur makro dan mikro. Pupuk
tersebut dilaporkan nyata meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis sayuran dengan tingkat
penambahan hasil mencapai 60% dari perlakuan kontrol (Glogoza, 2007).
Selain sebagai sumber hara, pupuk berbahan baku ikan dilaporkan nyata menurunkan
serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani and Fusarium spp., pada okra
dan kacang panjang (Abasi et al., 2003; Irshad et al., 2006) serta dapat menginduksi
Actynomicetes spp. dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon tumbuh
disekitar perakaran tanaman (El-Tarabily et al., 2003). Namun demikian, pupuk ikan yang telah
dikembangkan saat ini umumnya berasal dari ikan berkualitas baik sehingga bersaing dengan
kebutuhan pangan masyarakat. Di sisi yang lain, limbah ikan tersedia dalam jumlah yang cukup
besar dan belum termanfaatkan. Limbah tersebut umumnya terkumpul di tempat-tempat
penampungan ikan serta pasar-pasar tradisional. Komposisi limbah tersebut umumnya berupa
ikan yang telah rusak, isi perut, sirip, kepala, dan sisik. Apabila dimanfaatkan, maka limbah ikan
tersebut berpotensi untuk dijadikan pupuk ikan yang berkualitas baik setara dengan pupuk ikan
yang telah ada di pasaran.
Guna mendukung pemanfaatan limbah ikan tersebut, maka penelitian yang terkait
dengan pemanfaatannya sebagai bahan pupuk masih sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui peran cara fermentasi, perlakuan pengkayaan, dan jumlah sumber karbon
terhadap kualitas pupuk organik hasil fermentasi limbah ikan.
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jakarta. Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret hingga Juli 2011. Sementara itu,
220 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
analisis bahan dan pupuk hasil pengujian fermentasi dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan meliputi fermentor; timbangan digital merk CHQ DJ3001F;
beaker glass; dan erlenmeyer. Bahan yang digunakan meliputi syrup Marjan Merah; limbah
padat ikan terdiri atas isi perut 60% (b/b), kepala 20% (b/b), ikan rusak 10% (b/b), dan sirip 10%
(b/b); Inokulum Lactobacillus spp. dengan kerapatan 2 x 10 8 sel.ml-1
; Inokulum Aspergillus
niger sp.; dan batuan fosfat Ciamis lolos saring 100 mess.
Metode Analisis
Percobaan diatur menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial 2x2x4
dengan lima ulangan. Perlakuan yang diujikan meliputi metode fermentasi (F), pengkayaan (R)
dan tingkat penambahan karbon (X). Jumlah total perlakuan adalah sebanyak 16 kombinasi
perlakuan. Rincian masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut :
1) Teknologi fermentasi, meliputi fermentasi aerob (P1), dan fermentasi anaerob (P2).
2) Perlakuan pengkayaan, meliputi tanpa pengkayaan (R0) pengkayaan menggunakan mikroba
dan metabolitnya (R1), pengkayaan menggunakan bahan mineral batuan fosfat (R2), serta
3) Perlakuan jumlah karbon 0 % (X1), 10% (X2), 30% (X3), dan 50% (X4).
Peubah yang diamati adalah pH; kandungan C, N, P, K, Ca, Mg, S, Zn, Fe, Mn, dan Cu;
warna, bau, dan cemaran biologi. Perbedaan antar perlakuan pada peubah pengamatan
kandungan hara dan pH hasil fermentasi dianalisis menggunakan Analisis Varian dan dilanjutkan
dengan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Sementara itu, peubah warna, bau,
dan cemaran biologi disajikan dalam bentuk nilai kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis varian, tidak terdapat interaksi yang nyata di antara tiga
perlakuan yang diujikan. Oleh sebab itu, pembahasan hasil penelitian lebih diarahkan pada
kombinasi perlakuan yang menonjol pengaruhnya terhadap peubah pengamatan (Tabel 1).
Pembahasan tersebut lebih diarahkan pada kecenderungan-kecenderungan masing-masing
perlakuan sehingga lebih sederhana untuk difahami.
Nilai pH pada sistem fermentasi aerob dan anaerob menurun seiring bertambahnya
jumlah karbon, sedangkan C-Organik pada fermentasi aerob dan anaerob meningkat dengan
peningkatan sumber karbon di atas 10%. Sementara itu, N-organik pada kedua sistem fermentasi
tersebut tidak memiliki kecenderungan tertentu sejalan dengan peningkatan sumber karbon.
Jumlah N-NH4 pada fermentasi aerob dan anaerob cenderung berkurang sejalan peningkatan
jumlah sumber karbon, sedangkan N-NO3 pada fermentasi eaerob secara umum tidak terdeteksi.
Pada fermentasi anaerob jumlah N-NO3 terdeteksi namun dalam jumlah yang sangat
kecil. Namun demikian, jumlah N-Total pada sistem fermentasi aerob dan anaerob meningkat
hingga karbon 10%, selanjutnya cenderung menurun sejalan peningkatan jumlah sumber karbon.
Sementara itu, jumlah P2O5, K2O, Ca, Mg, Zn, dan Fe pada sistem fermentasi aerob maupun
anaerob cenderung menurun sejalan peningkatan jumlah sumber karbon (Tabel 1).
221 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Pengaruh metode fermentasi dan jumlah sumber karbon terhadap karakteristik kimia
pupuk limbah ikan.
Parameter : Perlakuan
AnC0 AnC10 AnC30 AnC50 AC0 AC10 AC30 AC50
pH 6.4 b 4.5 a 4.0 a 4.0 a 6.4 b 4.1 a 4.1 a 4.2 a
C-organik (%) 8.03 a 7.4 a 14.5 b 22.9 c 9.32 a 8.87 a 10.9 b 22.6 c
N-Organik (%) 0.01 a 0.24 b 0.24 b 0.17 b 0.20 b 0.41 c 0.45 c 0.38 c
N-NH4 (%) 0.45 b 0.35 b 0.15 a 0.11 a 0.22 a 0.14 a 0.05 a 0.08 a
N-NO3 (%) 0.12 b 0.04 a 0.09 a 0.09 a 0.01 a 0.01 a 0.01 a 0.01 a
N-Total (%) 0.58 a 0.63 a 0.48 a 0.36 a 0.43 0.56 a 0.54 a 0.46 a
P2O5 (%) 0.19 b 0.21 b 0.14 a 0.09 a 0.20 b 0.18 b 0.16 b 0.10 a
K2O (%) 0.09 b 0.09 b 0.06 b 0.04 a 0.10 b 0.04 a 0.08 b 0.04 a
Ca (ppm) 0.07 b 0.07 b 0.05 b 0.03 a 0.07 b 0.07 b 0.06 b 0.03 a
Mg (ppm) 0.03 a 0.03 a 0.02 a 0.02 a 0.03 a 0.03 a 0.03 a 0.01 a
S (ppm) 0.01 a 0.04 a 0.03 a 0.01 a 0.04 a 0.04 a 0.03 a 0.01 a
Zn (ppm) 0.01 a 0.04 a 0.03 a 0.01 a 0.04 a 0.04 a 0.03 a 0.01 a
Fe 199 b 356 c 161 b 79 a 177 b 152 b 111 a 78 a
Mn (ppm) 79 c 62 c 30 b 19 b 91 c 66 c 3.4 a 20 b
Cu (ppm) 0.4 ttd ttd 0.5 2.4 1.6 2.1 0.9
Keterangan : An= anaerobik; A= aerobik; C 0%= tanpa sumber karbon; C 10%= sumber karbon 10% (v/v);
C 30%= sumber karbon 30% (v/v); C 50%= sumber karbon 50% (v/v), ttd= tidak terdeteksi
Penurunan nilai pH pada proses fermentasi sejalan dengan peningkatan jumlah karbon
disebabkan oleh peningkatan aktivitas produksi asam-asam organik sebagai metabolit primer
ataupun sekunder mikroba yang terlibat dalam fermentasi. Beberapa peneliti, diantaranya Ali et
al. (2002), Prado et al. (2005), Sastro et al. (2006), Karthikeyan dan Sivakumar (2010), dan
Bensmira dan Jiang (2011) melaporkan bahwa terdapat peningkatan produksi asam organik,
diantaranya asam sitrat, laktat, dan malat dalam fermentasi yang disertai sumber karbon.
Sementara itu, penurunan kandungan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Zn, dan Fe sejalan
dengan peningkatan sumber karbon diduga disebabkan oleh aktivitas mikroba pendekomposisi
yang terlibat dalam sistem fermentasi. Peningkatan aktivitas mikroba yang terlibat dalam sistem
fermentasi akan meningkatkan kebutuhan nutrien, sebagaimana dilaporkan oleh Oliver et al.
(1997), Rees dan Stewart (1997), Nabais et al. (1998) dan Anastassiadis (2007) . Sementara itu,
penurunan jumlah unsur N, disamping factor penggunaan oleh mikroba, juga disebabkan adanya
perubahan bentuk unsur ke dalam fraksi gas sehingga keluar dari dalam system fermentasi.
Metode fermentasi tidak berpengaruh terhadap karakteristik warna, bau, dan cemaran
berupa ulat atau belatung. Demikian juga dengan perlakuan pengkayaan. Peubah fisik dan
biologi pupuk hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh jumlah penambahan sumber karbon. Pada
perlakuan tanpa sumber karbon dan penambahan sumber karbon 10% hasil fermentasi berbau
busuk dan terdapat cemaran ulat. Pada penambahan sumber karbon 30 dan 50% hasil fermentasi
berbau khas fermentasi, berwarna coklat tua dan tidak terdapat cemaran ulat. Terdapat
peningkatan bau khas fermentasi sejalan peningkatan sumber karbon (Tabel 2).
Peran sumber karbon, terkait dengan bau khas fermentasi serta tidak munculnya
cemaran biologi (ulat) disebabkan oleh cukupnya jumlah karbon sederhana dalam memenuhi
kebutukan inokulum mikroba, khususnya Lactobacillus spp. untuk berkembang biak dengan
cepat. Perkembangan cepat tersebut akan berpengaruh terhadap akuisisi karbon, pelepasan
metabolit primer dan sekunder sehingga akan menekan pertumbuhan mikroba lain yang berperan
dalam dekomposisi. Pelepasan metabolit primer berupa alkohol akan berpengaruh terhadap
kekuatan bau hasil fermentasi (khas fermentasi). Sementara itu, pelepasan asam organik akan
menyebabkan substrat mengalami penurunan pH dengan cepat sehingga menghalangi
pertumbuhan dan perkembangan cemaran biologis di dalam substrat.
222 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Pengaruh fermentasi, pengkayaan, dan jumlah sumber karbon terhadap karakteristik
fisik dan biologi pupuk limbah ikan.
Sistem Pengkayaan Gula (%) Bau Warna Ulat
Anaerobik Tanpa 0 bau coklat ada
Anaerobik Tanpa 10 bau coklat ada
Anaerobik Tanpa 30 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Anaerobik Tanpa 50 Khas fermentasi (+++) coklat tua tidak ada
Anaerobik Mikroba+Metabolit 0 bau coklat ada
Anaerobik Mikroba+Metabolit 10 bau coklat ada
Anaerobik Mikroba+Metabolit 30 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Anaerobik Mikroba+Metabolit 50 Khas fermentasi (+++) coklat tua tidak ada
Anaerobik Mineral 0 bau coklat ada
Anaerobik Mineral 10 bau coklat ada
Anaerobik Mineral 30 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Anaerobik Mineral 50 Khas fermentasi (+++) coklat tua tidak ada
Aerobik Tanpa 0 bau coklat ada
Aerobik Tanpa 10 Agak bau coklat tidak ada
Aerobik Tanpa 30 Khas fermentasi (+) coklat tua tidak ada
Aerobik Tanpa 50 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Aerobik Mikroba+Metabolit 0 bau coklat ada
Aerobik Mikroba+Metabolit 10 Agak bau coklat tidak ada
Aerobik Mikroba+Metabolit 30 Khas fermentasi (+) coklat tua tidak ada
Aerobik Mikroba+Metabolit 50 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Aerobik Mineral 0 bau coklat ada
Aerobik Mineral 10 Agak bau coklat tidak ada
Aerobik Mineral 30 Khas fermentasi (+) coklat tua tidak ada
Aerobik Mineral 50 Khas fermentasi (++) coklat tua tidak ada
Keterangan. +++ (sangat kuat), ++ (kuat), + (lemah).
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Cara fermentasi dan perlakuan pengkayaan tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas pupuk
organik berbahan baku limbah ikan.
2. Kualitas pupuk organik tersebut nyata dipengaruhi oleh jumlah sumber karbon. Jumlah
karbon ideal untuk digunakan dalam proses fermentasi limbah ikan menjadi pupuk organik
adalah 30% (v/v).
3. Pupuk hasil fermentasi limbah ikan tersebut di atas memiliki karakteristik kimia yang hampir
sama dengan pupuk sejenis yang ada di pasaran.
4. Perlu pengujian lebih mendalam, khususnya terkait dengan respon tanaman terhadap pupuk
organik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi, P. A., D. A. Cuppels, and G. Lazarovits. 2003. Effect of foliar applications of neem oil
and fish emulsion on bacterial spot and yield of tomatoes and peppers. Canadian J. of Plant
Pathology 25: 41–48.
Ali, S., Ikram-ul-Haq, M.A. Qadeer and J. Iqbal, 2002. Production of citric acid by Aspergillus
niger using cane molasses in a stirred fermentor. Elect. J. Biotechnol 5: 114-125.
Anastassiadis, S. 2007. L-Lysine Fermentation. Recent Patents on Biotechnology 1:11-24.
Bonsmira, M. and B. Jiang. 2011. Organic acids formation during the production of a novel
peanut-milk kefir beverage. British Journal of Dairy Science 2 (1):18-22.
Davis, J. G., M. A. P. Brown, C. Evans, and J. Mansfield. 2004. The Integration of Foliar
Applied Seaweed And Fish Products Into The Fertility Management of Organically Grown
223 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Sweet Pepper. Organic Farming Research Foundation Project Report. North Carolina State
University.
El-Tarabily, K. A., A. H. Nassar, E.S. Giles, J. Hardy, and K. Sivasithamparam. 2004. Fish
emulsion as a food base for rhizobacteria promoting growth of radish (Raphanus sativus L.
var. sativus) in a sandy soil. Plant and Soil 252 (2):397-411.
Glogoza, P. 2007. Effect of foliar applied compost tea and fish emulsion on organically grown
soybean. U of MN extension service. Januari 2007.
Irshad, L., S. Dawar, And M. J. Zaki. 2006. Effect of different dosages of nursery fertilizers in
the control of root rot of okra and mung bean. Pakistan Journal of Botany 38 (1): 217-223.
Karthikeyan A, Sivakumar N. Citric acid production by Koji fermentation using banana peel as a
novel substrate. Bioresource Technology, 2010;101(14):5552-5556.
Nabais, R. C., I. Sa’Correia, C. A. Viegas, and J. M. Novais. 1998. Influence of calcium ion on
ethanol tolerance of Saccharomyces bayanus and alcoholic fermentation by Yeasts. Applied
and Environmental Microbiology 54:2439-2446.
Oliver, A. L., F. A. Roddick, and B. N. Anderson. 1997. Cleaner production of
phenylacetylcarbinol by yeast through productivity improvements and waste minimization.
Pure and Appl. Chem. 69:2371-2385.
Prado, F. C., L. P. S. Vandenberghe, A. L. Woiciechowski, J. A. Rodrigues-Leon, and C. R.
Soccol. 2005. Citric acid production by solid state fermentation on a semi-piloy scale using
different percentage treated cassava bagasse. Brazilian Journal of Chemical Enginering 22
(4):547-555.
Rees, E. M. R., and G. G. Stewart. 1997. The effects of increased magnesium and calcium
concentrations on yeast fermentation performance in high gravity worts. J. Int. Brew
103:287-291.
Sastro Y., D. Widianto, dan J. Shiediq. Sekresi Asam-Asam Organik Oleh aspergillus niger YD
17 yang Ditumbuhkan Dengan Batuan Fosfat. Jurnal Biota XI (3):1
SOSEK PERTANIAN
227 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
POTENSI DAERAH KECAMATAN SELUPU REJANG
DALAM PENGEMBANGAN SAPI PERAH
SEBAGAI PENGHASIL SUSU
Ruswendi, Dedi Sugandi dan Jhon Firison
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Kajian potensi daerah kecamatan Selupu Rejang dalam pengembangan sapi perah sebagai penghasil susu,
bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis potensi dan peluang daerah sentra pengembangan sapi perah dalam
menghasilkan susu bagi kecukupan akan konsumsi susu di Bengkulu. Pengkajian ini termasuk dalam kajian analisis
potensi menggunakan metode dasar deskriptif analisis, yaitu survei dan desk study. Pengamatan potensi dan peluang
pengembangan sapi perah bersumber dari data skunder dan data primer hasil survei pengisian kuesioner melalui
metoda wawancara langsung dan diskusi terfokus terhadap 30 orang peternak sapi perah sebagai responden yang
dipilih secara purposive dengan kriteria sudah memiliki pengalaman usaha minimal 2 tahun dan memiliki sapi perah
laktasi. Data terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif menggunakan persentasi tabel, untuk mendapatkan
gambaran potensi peluang pengembangan sapi perah. Hasil studi menggambarkan bahwa kecamatan Selupu Rejang
secara umum wilayahnya mempunyai topografi 85% memiliki kondisi berbukit dan bergelombang dengan ketinggian
840 – 1.400 m dpl, suhu rata-rata mencapi 260C, luas wilayah secara keseluruhan ± 15.792 ha dan didominasi lahan
tegalan ± 7.532,5 ha. Karakteristik peternak sapi perah memilik usia produktif dengan rerata umur 42 tahun, pendidikan
9 tahun, pengalaman usahaternak 6 tahun dan penguasaan sapi perah laktasi 2-3 ekor dan lahan usaha 1,43 ha yang
diperuntukan untuk lahan; sawah 0,087 ha, tegalan 0,607 ha, perkebunan 0,183 ha serta 0,553 ha merupakan kebun
rumput unggul untuk pengembangan kebutuhan hijauan pakan ternak sapi perah. Keragaan usahaternak sapi perah
menggambarkan perkembangan populasi mencapai 2,33 ekor, kondisi reproduksi 1,66 (S/C) dengan penguasaan
inovasi tatalaksana dan luas perkandangan, pola pemeliharaan, dan penanganan kesehatan sudah memenuhi kriteria
teknologi anjuran. Namun produksi susu masih rendah 4 – 5 liter/ekor/hari jauh dibawah standar kelayakan, hal ini
dipicu pola pemberian pakan dengan biaya minimal serta sebagian sapi laktasi tidak diperah terkendala dalam
pemasaran susu. Pada hal dengan kondisi wilayah maupun potensi ketersediaan sumber pakan hijauan dan bahan pakan
yang berlimpah memberikan potensi peningkatan produksi susu mencapai standar optimal yang layak.
Kata kunci : potensi, daerah, sentra pengembangan, sapi perah, susu
PENDAHULUAN
Permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Kesadaran masyarakat akan konsumsi susu untuk meningkatkan gizi menjadi salah satu faktor
meningkatnya permintaan susu. Namun produksi susu dari peternak belum dapat mencukupi
kebutuhan konsumsi masyarakat dengan kondisi populasi pemeliharaan 2-3 ekor. Untuk
memenuhi permintaan susu, maka pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu
alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat termasuk Provinsi Bengkulu merupakan
wilayah yang mempunyai potensi dan cocok untuk pengembangan sapi perah diluar pulau jawa.
Sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan untuk melakukan
pengembangan usaha sapi perah di luar Pulau Jawa serta untuk memenuhi kebutuhan susu di
Provinsi Bengkulu, maka pada tahun 2002 usaha peternakan sapi perah telah dikembangkan di
Kabupaten Rejang Lebong dan merupakan sentra pengembangan sapi perah di Provinsi Bengkulu
dengan populasi mencapai 254 ekor (BPS Provinsi Bengkulu, 2011).
Dukungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong pengembangan sapi perah perlu
disiapkan, terutama untuk kandang dan lahan penanaman hijaun makanan ternak. Untuk itu
Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong telah menyiapkan lahan seluas 15.792 hektar di
Kecamatan Selupu Rejang sebagai pusat pengembangan sapi perah (Suherman, 2012), termasuk
bimbingan dalam budidaya sapi perah dan peningkatan pengawasan kesehatan ternak. Selain itu,
juga perlu adanya dukungan dalam pengolahan hasil dan pemasaran susu sapi perah sebagai salah
satu komoditas unggulan yang dapat memenuhi kebutuhan protein hewani asal susu.
Upaya pengembangan sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong ini juga sangat didukung
oleh ketersediaan bahan pakan berlimpah serta sumberdaya petani setempat yang sebagian besar
sudah memahami tehnik pemeliharaannya, seperti halnya Kecamatan Selupu Rejang. Namun
produksi susu yang dihasilkan sapi perah masyarakat masih rendah dan belum optimal yang
hanya 6 - 8 liter/ekor/hari jauh dari rata-rata produktivitas induk sapi laktasi di pulau jawa sudah
228 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
mencapai 12-15 liter/ekor/hari. Menurut Talib et al., (2001) persentase terbesar kapasitas
produksi susu sapi perah dalam negeri hanya menghasilkan susu sekitar 10 liter/ekor/hari dan
umumnya pada peternakan rakyat masih jauh dibawahnya.
Rendahnya produksi susu sapi perah juga akibat kurang terpenuhinya kebutuhan dan
penyediaan pakan, pada hal disekitar lokasi usaha potensi limbah pertanian sebagai bahan baku
pakan lokal belum termanfaatkan secara optimal dan masih terbuang atau dibakar dilahan
usahatani. Untuk itu dilakukan suatu kajian yang bertujuan untuk mengetahui potensi daerah
Kecamatan Selupu Rejang dalam pengembangan ternak sapi perah sebagai penghasil susu dan
terpenuhinya kebutuhan pakan yang dapat memacu peningkatan produksi susu sapi yang dapat
mendukung kecukupan nutrisi pangan asal protein hewani.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilakukan diderah sentra pengembangan ternak sapi perah di Kecamatan
Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong untuk tahun 2012 yang termasuk dalam kajian analisis
studi potensi menggunakan metode dasar deskriptif analisis, yaitu survei dan desk study.
Pengamatan potensi dan peluang pengembangan sapi perah bersumber dari data skunder
(diperoleh dari dinas dan instansi terkait) dan data primer (diperoleh dari hasil survei pengisian
kuesioner yang sudah ditetapkan), dilakukan melalui wawancara langsung, FGD dan pertemuan
terhadap peternak sapi perah sebagai responden sebanyak 30 orang dan pihak terkait lainnya yang
dipilih secara purposive berdasarkan sebaran peternak dengan kriteria sudah memiliki
pengalaman usaha minimal 2 tahun dan memiliki sapi perah laktasi. Hasil akhir dari data
terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Wilayah
Kecamatan Selupu Rejang merupakan salah satu kecamatan berada dalam wilayah
Kabupaten Rejang Lebong yang dijadikan sebagai sentra pengembangan ternak sapi perah di
Provinsi Bengkulu. Secara umum topografi wilayahnya hampir 85 % memiliki kondisi berbukit
dan bergelombang dengan ketinggian 840 – 1.400 m dpl, suhu rata-rata mencapi 260C dan jumlah
hari hujan terbanyak 22 hari setiap dengan curah hujan rata-rata berkisar 264 mm dalam sebulan.
Jarak tempuh Kecamatan ke Ibu kota Kabupaten 11 km dan ke Ibukota Provinsi 96 km. Secara
administratif, letak Kecamatan Selupu Rejang berbatasan langsung sebelah Utara dengan
Kabupaten Musi Rawas, sebelah Selatan dengan Kecamatan Bermani Ulu dan Sindang Kelingi,
sebelah Barat dengan Kecamatan Curup dan sebelah Timur dengan Kecamatan Padang Ulak
Tanding dan Sindang Kelingi. Luas wilayah Kecamatan Selupu Rejang secara keseluruhan ±
15.792 ha, digunakan untuk lahan sawah seluas ± 587,5 ha. lahan tegalan ± 7.532,5 ha., lahan
Perkebunan ± 300 ha dan sisanya merupakan hutan lindung. Sebagian besar petani di Kecamatan
Selupu Rejang merupakan petani dengan usahatani budidaya tanaman sayuran disamping
tanaman pangan padi/palawija dan ternak sapi termasuk uasahaternak sapi perah.
Karakteristik Peternak Sapi Perah
Keragaman karakteristik peternak sapi perah di lokasi pengkajian relatif beragam,
seirama dengan dengan profil responden yang dicirikan Tabel 1.
229 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Karakteristik peternak sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang sebagai daerah sentra
pengembangan sapi perah di Provinsi Bengkulu.
No. Peubah Keragaman Rerata
1. Umur (tahun) 23 - 61 42
2. Pendidikan (tingkat) 6 -12 9
3. Tanggungan keluarga (orang) 2 - 6 4
4. Anggota keluarga terlibat berusahatani (orang) 1 - 3 2
5. Pengalaman usaha sapi perah (tahun) 3 - 10 6
6. Penguasaan/pemilikan sapi perah (ekor) 1 - 6 2 - 3
7. Penguasaan/pemilikan lahan usahatani (ha) 0,5 – 3,5 1,43
Sumber : Data terolah.
Tabel 1. secara umum menggambarkan peternak sapi perah responden tergolong dalam
usia produktif dengan rerata umur 42 tahun dan dapat diandalkan mengembangkan usaha dengan
baik, karena rataan umur tersebut masih dibawah rataan umur tenaga kerja yang mendominasi
sektor pertanian umumnya mencapai lebih dari 50 tahun (Suharyanto, 2001). Usia produktif ini
mempunyai peluang untuk dapat meningkatkan pengembangan usahatani dengan baik, karena
didukung latar belakang pendidikan formal mencapai rata-rata 9 tahun atau identik tamat sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) dengan usia pendidikan 9 tahun.
Jumlah tanggungan keluarga peternak sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang berkisar
2 – 6 orang, dimana dominan memiliki tanggungan keluarga 4 orang. Umumnya peternak
mengandalkan tenaga kerja keluarga menjalankan usahaternaknya, umumnya yang teribat 1 – 3
orang dan yang dominan anggota keluarga terlibat berusahatani 2 orang pada keragaman usia
kerja >15 tahun dan pengalaman dalam memelihara sapi perah rata-rata 6 tahun atau diatas 3
tahun, namun penguasaan atau jumlah ternak sapi perah dipelihara hanya 2-3 ekor masih jauh
dari kemampuan pelihara setiap rumah tangga peternak yang paling tidak 5-6 ekor sapi perah.
Menurut Priyanti et al., (2009) bahwa usaha ternak sapi perah yang optimal akan dicapai apabila
setiap keluarga memiliki sapi induk antara 5–6 ekor. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan
produktivitas usaha perlu peningkatan skala usaha, sehingga dapat lebih memotivasi peternak
dalam memelihara ternak sapi perah ini tidak lagi hanya dianggap sebagai usaha sampingan
namun sudah harus beralih menjadi usaha pokok sebagai penopang peningkatan pendapatan
utama keluarga.
Penguasaan lahan usahatani rata-rata hanya 1,43 ha dengan perincian kepemilikan tanah
sawah rata-rata 0,087 ha, tanah tegalan 0,607 ha dan tanah perkebunan 0,183 ha serta kebun
rumput 0,553 ha/KK peternak. Sebagaimana usahatani di lahan kering dataran tinggi, pola tanam
yang diterapkan umumnya tumpangsari dari berbagai jenis sayuran, seperti Wortel, kubis, cabai,
tomat, buncis dan kol bunga serta tanaman pangan dan palawija yang diusahakan adalah jagung,
padi dan ubi kayu.
Keragaan Usahaternak Sapi Perah
Hasil kajian berupa data terkumpul menunjukan bahwa keragaan usahaternak sapi perah
di Kecamatan Selupu Rejang, memperlhatkan populasi induk produktif yang dipelihara setiap
peternak sercara umum hanya 2,33 ekor dengan kodisi reproduksi (S/C) 1,66 dan produksi susu
hanya mencapai 4 – 5 liter/ekor/hari (Tabel 2). Secara umum kondisi ini cendrung lamban
perkembangannya, karena populasi awal sapi perah berupa bantuan pemerintah 3 ekor induk siap
produksi. Menurut Kusnadi dan Juarini (2007) peningkatan populasi sapi perah yang lamban
menyebabkan pengembangan usahaternak sapi perah akan lamban dan juga berakibat kepada
rendahnya peningkatan produksi susu
Sedangkan dari manajemen pemeliharaan memperlihatkan keragaan dan tatalaksana
perkandangan yang dimilki peternak cukup baik sesuai teknologi anjuran dengan kapasitas
mencapai 10 ekor, sehingga sangat memungkin penambahan populasi ternak yang dipelihara
sesuai keinginan peternak yang sanggup memelihara minimal 6 - 7 ekor/petrnak. Taryoto (1993)
menekankan pentingnya memperhatikan manajemen pemeliharaan dalam rangka meningkatkan
230 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
produksi susu, dimana manajemen usaha antara lain meliputi kegiatan pemberian pakan,
kesehatan ternak, tatalaksana kandang, pengaturan IB dan kegiatan perawatan lainnya.
Tabel 2. Keragaan usahaternak sapi perah pada sentra pengembangan Kecamatan Selupu
Rejang Kabupaten Rejang Lebong.
No. Peubah Keragaman Keragaan
1. Perkembangan populasi induk laktasi (ekor) 1 - 5 2,33
2. Kondisi reproduksi (IB per kelahiran atau S/C) 1 - 3 1,66
3. Perkandangan (orang)
- Luas kandang (m2) 16 - 86 30 - 35
- Jarak kandang dari rumah (m) 10 - 500 20 - 50
- Kapasitas kandang (ekor) 5 - 20 10
- Kemiringan lantai kandang (-0) 2 - 5 3,33
- Jarak kandang kesumber air (m) 2 - 20 10
4. Pola pemeliharaan 1 - 3 2
- Mandikan sapi (kali) 1 - 2 1
- Tenaga kerja mandikan sapi (orang) 1 - 2 1
- Waktu mandikan sapi (jam) 1 - 2 1
- Pemerahan susu (kali) 1 - 2 1
- Bersihkan kandang (kali) 1 - 2 1
- Waktu pemberian pakan hijauan (kali) 1-2 2
- Jumlah pemberian pakan hijauan (kg) 30 -50 40
- Tenaga kerja cari hijauan (orang) 1 - 2 1
- Waktu cari pakan hijauan (jam) 1 - 2 2
- Pemberian air minum (kali) 2 2
- Kemampuan memelihara sapi laktasi (ekor) 4 - 10 6 - 7
5. Produksi susu (liter/ekor/hari)) 3 - 10 4 - 5
6. Pemberian obat cacing (kali) 1 - 3 2
7. Jarak pemasaran hasil susu (km) 0,2 - 6 1-3
Sumber : Data terolah.
Bila dilihat dari pola pemeliharaan umumnya peternak sudah memahami cara
pemeliharaan yang baik, namun saat sekarang banyak yang melakukan dengan seaadanya seperti
halnya memandikan sapi, memerah susu dan membersihkan kandang yang semestinya dilakukan
2 kali/hari hanya dilakukan 1 kali/hari. Hal ini memicu hasil perahan menjadi rendah, terimbas
tidak adanya jaminan pemasaran susu dihasilkan peternak walaupun jarak dari lokasi ketempat
pemasaran susu dapat dijangkau dengan mudah (1 - 3 km) dengan kondisi transportasi sangat
lancar.
Begitu juga pola, waktu dan jumlah pemberian pakan serta pemeliharaan kesehatan,
para peternak sapi perah sudah melakukan menurut semestinya walaupun tanpa pemberian pakan
tambahan yang sangat dibutuhkan sapi perah untuk berproduksi. Tidak diberikannya pakan
tambahan ini bukannya peternak tidak memahami pentingnya pakan tambahan ini bagi ternak
sapi perah, akan tetapi biaya yang dibutuhkan tidak mencukupi dari hasil susu yang sulit dalam
pemasaran yang secara otomatis sangat berpengaruh terhadap produksi susu yang rendah hanya 2
-5 liter/ekor/hari. Produksi susu yang rendah dipegaruhi oleh jumlah sapi laktasi dan pakan yang
diberikan, jika pakan diberikan kualitasnya rendah maka kualitas susu juga rendah, harga susu
juga rendah secara tidak langsung penerimaan peternakpun juga akan rendah, begitu pula
sebaliknya. Budiarsana dan Juarini (2008) menyatakan bahwa tingkat produktivitas ternak akan
menentukan jumlah penerimaan usahaternak.
Potensi Daerah Penghasil Susu Sapi
Berdasarkan keragaan usahaternak sapi perah dan kondisi wilayah Kecamatan Selupu
Rejang yang berada pada ketinggian 840 – 1.400 m dpl dengan suhu rata-rata mencapi 260C
dengan luas wilayah secara keseluruhan mencapai ± 15.792 ha dan sebagian besar masyarakat
merupakan petani dengan usahatani budidaya tanaman sayuran disamping tanaman pangan
231 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
padi/palawija serta kopi maupun ternak sapi termasuk uashaternak sapi perah yang sangat
berpotensi untuk dikembangkan dan dapat menghasilkan susu yang sangat dibutuhkan
masyarakat untuk memperbaki dan memenuhi keculupan akan gizi. Dimana Menurut Tati Setiati
(2008) susu sapi sebagai sumber protein herwani memeiliki nilai nutrisi yang sesifik dan sangat
diperlukan bagi manusia, terutama bagi generasi dalam usia pertumbuhan, disamping itu
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah antara lain adalah musim,
indeks suhu, kelembaban, ketersediaan pakan dan air.
Bila dilhat dari sisi ketersediaan pakan, sepanjang tahun hampir tidak ada kesulitan
pengadaan pakan karena daya dukung lahan kecamatan Selupu Rejang dapat menghasilkan
sumber pakan berupa hijauan jerami (baik padi, jagung maupun kacang-kacangan) serta sayuran
dan limbahnya yang tidak dikonsumsi manusia, kulit kopi dari hasil limbah tanaman kopi dan
disamping itu juga ketersediaan rumput lapang cukup besar. Menurut Tati Setiati (2008)
optimalisasi pemanfaatan hasil ikutan tanaman atau agroindustri akan dapat meningkatkan daya
dukung wilayah terhadap peningkatan populasi sapi perah.
Begitu juga bila dlihat dari karakteristik peternak, umumnya peternak sapi perah di
Kecamatan Selupu Rejang memiliki pengalaman beternak diatas 3 tahun serta dukungan
ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga juga berperan mendorong potensi pengembangan sapi
perah dalam menghasikan susu. Menurut Lestariningsih dan Basuki (2008) bahwa pengalaman
kerja dibidang peternak sapi perah secara langsung berpengaruh terhadap keterampilan dalam
menangani usahaternak, termasuk dalam menangani kegiatan yang berhubungan dengan
pemeliharaan maupun produksi ternak berupa pemerahan serta penanganan hasil produksi. Pada
umumnya semakin lama seseorang bekerja pada suatu jenis pekerjaan, akan semakin pandai
mengalokasikan waktu kerjanya seefisien mungkin.
KESIMPULAN
Usaha ternak sapi perah di Kecamatan Selupu Rejang memiliki potensi dan peluang
untuk dikembangkan, karena adanya dukungan potensi wilayah dan sumberdaya yang dimiliki
masyarakat. Antara lain berupa dukungan kondisi wilayah dengan agroklimat dan ketersediaan
lahan yang cukup luas, keragaan karakteristik dan pengalaman usaha peternak serta keterampilan
tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam usaha, sumberdaya pertanian sebagai sumber bahan
penyusun pakan tambahan berupa konsentrat serta hijauan pakan baik itu berupa rumput lapang
maupun rumput unggul berkualitas yang sangat dibutuhkan ternak sapi perah untuk dapat
berproduksi dan menghasikan susu sampai mencapai 10 – 12 liter/ekor/hari.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka 2010. Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Budiarsana, I.G.M. dan E. Juarini. 2008. Analisis Biaya Produksi Pada Usaha Sapi Perah
Rakyat: Studi Kasus di Daerah Bogor dan Sukabumi. Ekuitas. Vol 12 (2): 503-506.
Kusnadi, U dan E. Juarini, 2007. Optimalisasi Pendapatan Pemeliharaan Sapi Perah Dalam
Upaya Peningkatan Produksi susu Nasional. WARTAZOA. Vol. 17, no.1 Tahun 2007.
Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Jakarta.
Lestariningsih, M. dan Basuki, E. Y. 2008. Peran Serta Wanita Peternak Sapi Perah dalam
Meningkatkan Taraf Hidup Keluarga. Ekuitas. Vol 12 (1): 117-137.
Priyanti, ,A., S. Nurtini dan A. Firman, 2009. Analisis ekonomi dan aspek sosial usaha sapi
perah. Profil usaha peternakan sapi perah di Indonesia. (penyunting: K.,A., Santosa, K.
Diwiyanto dan T. Toharmat). Puslitbangnak.
Suharyanto, Destialisma dan I. A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi
Teknologi Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bali. Denpasar.
232 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Suherman, 2012. http://www.pelita.or.id/baca.phpid=63823 diakses pada tanggal 4 Janiuari 2012
jam 16.10. Bengkulu.
Talib, C., A. Anggraeni, K. Diwyanto dan E. Kurniatin. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produktivitas Sapi Perah Dibawah Manajemen Perusahaan Komersial Gakuryoko. Jurnal
Ilmiah Pertanian. Vol; VII:1; 81-87. Persatuan Alumni Studi Jepang. Bogor.
Taryoto, A. 1993 . Analisis Perbandingan Kelembagaan Pada Usahatani Sapi Perah di Jawa
Barat dan Jawa Timur. PSAE-Balitbang Pertanian. Bogor.
Tati Setiati. 2008. Revitalisasi Agribisnis Sapi Perah yang Berdaya Saing dan Ramah
Lingkungan. Prosd. Prospek Industri sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Pusat
Peneltian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Keuangan dan Perbangan Indonesia. Bogor.
HASIL DISKUSI
Tanya : Produksi susu yang dihasilkan rendah, kontradiktif dengan potensi dan peluang daerah
Selupu Rejang sebagai penghasil susu ?
Sulit pemasaran susu yang dihasikan juga merupakan kontradiktif dengan potensi dan
peluang daerah Selupu Rejang sebagai penghasil susu ?
Apa saja kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah oleh peternak
Jawab : Dengan data dan gambaran hasil pengkajian yang menyimpulkan potensi daerah
Kecamatan Selupu rejang sebagai pengembangan sapi perah penghasil susu, maka
data produksi dan pemasaran yang dikatakan kotrakdiktif dapat dijadikan sebagai
acuan oleh pemerintah daerah dalam pengembangan sapi perah melalui dukungan
sarana penunjang produksi (pakan dan permodalan) serta pemasaran susu serta produk
olahannya (mobil dan cool unit) disamping dukungan dana program minum susu bagi
anak sekolah). Sekaligus dapat mengatasi kendala yang selama ini bagi peternak sapi
perah sulit dalam pemasaran susu sebagai pemicu produksi susu rendah, akibat
kekurangan biaya pakan yang tidak terdukung dari pemasaran hasil susu. Apabila
pakan yang diberikan cukup, maka peternak yakin produksi susunya bisa mencapai 12
liter/ekor/hari apabila susu yang dihasilkan habis diserap pasar atau konsumen.
233 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
STUDI EKONOMI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN
MELALUI PENERAPAN MODEL KAWASAN
RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL)
DI KOTA BENGKULU
Umi Pudji Astuti dan Bunaiyah Honorita
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Email : [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) dikemas dengan prinsip pemanfaatan lahan pekarangan
yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan keluarga. Kota Bengkulu memiliki lahan pertanian yang dapat digunakan untuk memproduksi berbagai
komoditas pertanian, khususnya sayuran yang dikembangkan di dataran rendah dan tidak memerlukan lahan yang luas.
Untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan lahan pekarangan di Kota Bengkulu, telah dilakukan kajian pada bulan
Agustus dan Oktober 2012 dengan menggunakan metode survey terhadap 30 pemanfaat lahan pekarangan di Kota
Bengkulu. Data yang dikumpulkan antara lain data konsumsi rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan
persepsi/minat masyarakat terhadap komoditas yang diusahakan. Data yang diperoleh dianalisis secara tabulasi dan
diuraikan secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa rumah pangan lestari mampu menghemat pengeluaran
rumah tangga sebesar Rp. 297.136/bulan; menambah pendapatan keluarga rata-rata Rp. 106.447/bulan; meningkatnya
minat masyarakat mengusahakan lahan pekarangan dalam kawasan rumah pangan lestari sebesar 60% karena alasan
memenuhi kebutuhan keluarga, 37% karena alasan meningkatkan pendapatan keluarga, serta 7% alasan karena
keindahan lingkungan.
Kata kunci : pemanfaatan, pekarangan, nilai tambah, rumah tangga, pendapatan
PENDAHULUAN
Pembangunan ketahanan pangan mempunyai ciri cakupan luas, adanya keterlibatan
lintas sektor, multidisiplin serta penekanan pada basis sumberdaya lokal. Terdapat dua indikator
berhasilnya pembangunan ketahanan pangan, yaitu (1) pada tataran makro, setiap saat tersedia
pangan yang cukup (jumlah, mutu, keamanan, keragaman merata dan terjangkau); (2) pada
tataran mikro, setiap rumah tangga setiap saat mampu mengkonsumsi pangan yang cukup, aman,
bergizi dan sesuai pilihannya, untuk menjalani hidup sehat dan produktif. Ketersediaan pangan
dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hal
ini menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional dari waktu ke waktu (Badan Litbang
Pertanian, 2012). Menurut Afrinis, N (2009), pemanfaatan pekarangan dapat mendukung
penyediaan anekaragam pangan di tingkat rumah tangga, sehingga terwujud pola konsumsi
pangan keluarga yang beragam, bergizi seimbang, dan aman.
Lahan pekarangan merupakan salah satu sumber potensial penyedia bahan pangan yang
bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi, bila ditata dan dikelola dengan baik. Selain dapat
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi dari keluarga sendiri, juga berpeluang meningkatkan
penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik. Pemanfaatan
pekarangan tersebut juga dirancang untuk meningkatkan konsumsi aneka ragam sumber pangan
lokal dengan prinsip gizi seimbang (Badan Litbang Pertanian, 2012). Ketahanan dan kemandirian
pangan secara nasional dapat tercapai jika dimulai dari rumah tangga. Pemanfaatan lahan
pekarangan secara terpadu merupakan salah satu inovasi teknologi yang dapat digunakan untuk
mewujudkan ketahanan pangan khususnya yang dimulai dari rumah tangga. Sejalan dengan hal
tersebut, Kementerian Pertanian telah mengembangkan suatu konsep pemanfaatan pekarangan
dengan sebutan “Kawasan Rumah Pangan Lestari” yang merupakan rumah yang pekarangannya
dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Komoditas yang
dikembangkan dalam pemanfaatan lahan pekarangan disesuaikan dengan kebutuhan pangan dan
gizi keluarga, berbasis sumber pangan lokal, dan bernilai ekonomi.
Kota Bengkulu merupakan pusat konsumen berbagai produk pertanian yang berasal dari
dalam maupun luar Provinsi Bengkulu. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar bila harga
jual berbagai produk pertanian lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga di sentra produksinya.
Hal ini disebabkan karena hasil dari sentra produksi harus diangkut dengan alat transportasi yang
234 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
memerlukan biaya. Di lain pihak, Kota Bengkulu masih memiliki lahan pertanian yang dapat
digunakan untuk memproduksi berbagai komoditas pertanian, khususnya sayuran yang
dikembangkan di dataran rendah dan tidak memerlukan lahan yang luas. M-KRPL di Kota
Bengkulu telah dilaksanakan mulai dari tahun 2011 dengan basis tanaman sayuran. Penerapan
M-KRPL tersebut mengacu pada tujuan untuk 1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga
dan masyarakat serta meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan
lahan pekarangan di perkotaan dan perdesaan, 2) mengembangkan sumber benih/bibit untuk
menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal
untuk masa depan, 3) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga, dan 4) mereplikasi
model KRPL perdesaan dan perkotaan di 5 kabupaten baru. Sejalan dengan tujuan tersebut,
dilakukan pengkajian untuk mengetahui sejauh mana implementasi pemanfaatan lahan
pekarangan terpadu yang dilaksanakan di Kota Bengkulu, meliputi 1) penghematan biaya
konsumsi rumah tangga, 2) peningkatan pendapatan rumah tangga, dan 3) minat masyarakat
terhadap komoditas yang diusahakan.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilaksanakan di Kota Bengkulu. Pengambilan data dilaksanakan pada
bulan Agustus - Oktober 2012. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut merupakan lokasi penerapan M-KRPL di Provinsi
Bengkulu. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode survei dengan penarikan
sampel sebagai responden sebanyak 30 orang ibu rumah tangga, dipilih menggunakan metode
simple random sampling. Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi penghematan biaya konsumsi rumah tangga, peningkatan pendapatan rumah
tangga, serta minat masyarakat terhadap komoditas yang diusahakan. Data sekunder diambil dari
BPS Provinsi Bengkulu (2011). Data yang diperoleh ditabulasi, dilanjutkan dengan pengolahan
secara matematis dan diuraikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kota Bengkulu
Kota Bengkulu memiliki luas wilayah 151,7 km2. Pada tahun 2009, tercatat delapan
jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan di Kota Bengkulu, meliputi lombok, ketimun, terung,
kacang panjang, kangkung, bayam, melinjo, dan tomat. Untuk jenis tanaman sayuran, kangkung
merupakan produk sayuran dengan produksi tertinggi yaitu 22.229 ton, diikuti oleh bayam 10.830
ton. Curah hujan terbanyak di Kota Bengkulu terjadi pada bulan Oktober (555 mm), Maret (396
mm) dan Februari (388 mm). Sedangkan jumlah hari hujan tertinggi yaitu selama 27 hari terjadi
pada bulan Maret dan Oktober. Rata-rata hari hujan di Kota Bengkulu pada tahun 2010 sebanyak
23 hari hujan. Suhu udara minimum 23,1 0C dan suhu maksimum mencapai 30,3
0C. Kelembaban
udara antara 81-87% dan kecepatan angin 7-14 knot. Keadaan tersebut cocok untuk
pengembangan usaha pertanian. Jumlah kecamatan dan kelurahan terdiri dari 9 kecamatan dan 67
kelurahan dengan jumlah penduduk 308.544 jiwa, 78.262 rumah tangga (tahun 2010). Penduduk
berumur 15 tahun ke atas sebagian besar bekerja di sektor perdagangan dan buruh/karyawan,
serta sebagian kecil di sektor pertanian.
Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diperoleh meliputi umur, tingkat pendidikan, dan luas
lahan pekarangan rumah tangga petani (Tabel 1). Rata-rata umur petani contoh adalah 41,9 tahun
dan tergolong usia produktif. Pengelompokkan petani contoh berdasarkan umur, yang terbanyak
adalah kelompok umur antara 35-44 tahun yaitu sebanyak 13 orang atau 43,34%. Kemudian
kelompok umur 25-35 tahun dan 45-54 tahun masing-masing sebanyak 7 orang atau 23,33% dan
kelompok umur > 54 tahun berjumlah 3 orang atau 1,00%. Tingkat pendidikan petani contoh
dibagi menjadi lima kelompok yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
235 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Sekolah Menengah Atas (SMA), Diploma, dan Sarjana dengan persentase masing-masing sebesar
26,67%; 16,67%; 40,00%; 3,33% dan 13,33%. Luas rata-rata lahan pekarangan petani contoh
adalah 83,73 m2.
Tabel 1. Karakteristik petani pelaksana M-KRPL di Kota Bengkulu Tahun 2012.
No. Karakteristik Petani Kelompok Petani %
1. Umur 25 – 34 th
35 – 44 th
45 – 54 th
> 54 th
7
13
7
3
23,33
43,34
23,33
1,00
Jumlah 30 100,00
2. Pendidikan SD
SMP
SMA
Diploma
S1
8
5
12
1
4
26,67
16,67
40,00
3,33
13,33
Jumlah 30 100,00
3. Luas Lahan ≤ 50 m2
> 50-100 m2
> 100-150 m2
> 150-200 m2
> 200-250 m2
> 200-250 m2
15
5
7
0
2
1
50,00
16,67
23,33
0,00
6,67
3,33
Jumlah 30 100,00
Sumber : Tabulasi data primer.
Bila dilihat dari usia nan tingkat pendidikan, menunjukkan bahwa petani pelaksana M-
KRPL termasuk dalam usia produktif dengan tingkat pendidikan >50% sudah mencapai
pendidikan menengah keatas (SMA, D3 dan S1). Kondisi ini turut mempengaruhi pola
pengambilan keputusan serta cara berusahatani yang dilakukan petani, demikian juga dalam hal
menerima dan menerapkan inovasi baru termasuk dalam kelompok responsif.
Pendapatan Rumah Tangga Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Kota Bengkulu telah
dilaksanakan mulai dari tahun 2011 dengan basis tanaman sayuran. Salah satu tujuan dari
implementasi M-KRPL di Kota Bengkulu adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Hasil pengkajian memperlihatkan bahwa rumah pangan lestari mampu
menghemat pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 297.136,-/bulan dan menambah pendapatan
keluarga, rata-rata sebesar Rp. 1.277.363,-/tahun atau sebesar Rp. 106.447,-/bulan (Tabel 2).
236 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Penghematan biaya pengeluaran dan penambahan pendapatan rumah tangga melalui
pemanfaat lahan pekarangan terpadu.
No. Komoditas Penghematan per bulan (Rp.) Pendapatan per Tahun (Rp/)
1. Sawi 20.443,- 2.320.000,-
2. Kol Bunga 25.693,- 915.000,-
3. Cabai 98.081,- 2.025.000,-
4. Terung 37.116,- 2.280.000,-
5. Daun Bawang 13.843,- 105.500,-
6. Tomat 37.570,- 1.688.000,-
7. Kangkung 35.820,- 3.910.000,-
8. Kacang Panjang 9.290,- 140.000,-
9. Timun 4.770,- 440.000,-
10. Pare 5.440,- 40.000,-
11. Seledri 3.140,- 187.500,-
12. Oyong 2.100,- 0,-
13. Kucai 4.000,- 0,-
Jumlah 297.136,- 14.051.000,-
Rata-rata 9.905,- 1.277.363,-
Sumber : Data primer, diolah.
Dari Tabel 2, diketahui bahwa terdapat tiga belas jenis tanaman yang dibudidayakan
oleh rumah tangga dan memberikan kontribusi dalam penghematan biaya konsumsi sayuran
rumah tangga. Dari ketiga belas jenis tanaman tersebut, cabai, tomat, dan terung merupakan
komoditas yang memberikan kontribusi terbesar dalam penghematan biaya konsumsi sayuran
rumah tangga, yaitu masing-masing sebesar Rp. 98.081,-; Rp. 37.570,-; dan Rp. 37.116,-; Jika
dilihat dari aspek peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan lahan pekarangan dengan basis
tanaman sayuran, komoditas kangkung dan sawi juga memberikan kontribusi paling besar dalam
peningkatan pendapatan rumah tangga, yaitu masing-masing sebesar Rp. 3.910.000,-/tahun,- dan
Rp. 2.320.000,-/tahun,-. Hal ini dikarenakan kedua komoditas mempunyai serapan pasar yang
tinggi (BPTP Bengkulu, 2012). Menurut Rahardi, et al. (2004), pemilihan jenis sayuran yang
akan diusahakan merupakan tindakan utama yang harus dilakukan agar dapat menyiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan proses produksi. Jenis sayuran yang dipilih untuk diusahakan
adalah sayuran yang memiliki nilai ekonomi atau mempunyai prospek (peluang) cukup besar
dalam pemasarannya dan mudah dibudidayakan. Sayuran jenis tersebut biasanya mempunyai
banyak peminat atau mempunyai harga yang relatif tinggi dan menguntungkan.
Melalui pemanfaatan pekarangan dengan perencanaan serta penataan yang baik, selain
dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga juga dapat meningkatkan pendapatan
keluarga yang pada akhirnya dapat mendorong tercapainya ketahanan dan kemandirian pangan
serta kesejahteraan keluarga.
Minat Masyarakat dalam Memanfaatkan Lahan Pekarangan
Pemanfaatan pekarangan pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi keluarga sehingga dapat mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan rumah tangga.
Setelah kebutuhan pangan dan gizi keluarga terpenuhi, pemanfaatan pekarangan juga ditujukan
untuk peningkatan pendapatan keluarga. Hal tersebut terlihat dari hasil pengkajian terhadap
faktor yang mendorong minat masyarakat dalam mengusahakan lahan pekarangan dalam kawasan
rumah pangan lestari di Kota Bengkulu. Hasil pengkajian memperlihatkan bahwa meningkatnya
minat masyarakat mengusahakan lahan pekarangan sebesar 60% adalah karena alasan memenuhi
kebutuhan keluarga, 37% karena alasan meningkatkan pendapatan keluarga, serta 7% alasan
karena keindahan lingkungan. Menurut Assael (1998), minat individu sangat dipengaruhi oleh
sikap individu. Sikap disusun oleh tiga komponen, yaitu komponen kognitif yang berkaitan
dengan proses pembelajaran atau proses berpikir individu tersebut, komponen afektif yang
berkaitan dengan perasaan individu, merepresentasikan evaluasi keseluruhan individu terhadap
suatu obyek, bisa positif atau negatif, serta komponen kognatif yang berkaitan dengan perilaku,
237 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
merepresentasikan niat (intention) individu untuk berperilaku. Pada saat individu melakukan
evaluasi terhadap lebih dari satu obyek, maka hasil evaluasi akan mendorong minat individu
untuk berperilaku.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pemanfaatan lahan pekarangan melalui penerapan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari
(M-KRPL) basis tanaman sayuran, selain dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi keluarga juga dapat mengurangi biaya pengeluaran konsumsi sayuran dan meningkatkan
pendapatan rumah tangga.
2. Rumah pangan lestari mampu menghemat pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 297.136,-
/bulan dan menambah pendapatan keluarga rata-rata sebesar Rp. 1.277.363,-/tahun.
3. Budidaya sayuran di lahan pekarang melalui pendampingan inovasi teknologi mempunyai
potensi dalam mendukung pembangunan dan pengembangan pertanian perkotaan di
Bengkulu.
4. M-KRPL telah dapat mendorong minat masyarakat untuk mengelola lahan pekarangannya
dengan alasan, dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan meningkatkan pendapatan keluarga
sekaligus juga menjaga keindahan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrinis Nur. 2009. Pengaruh Program Home Gardening dan Penyuluhan Gizi terhadap
Pemanfaatan Pekarangan dan Konsumsi Pangan Balita. Tesis Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor. ;155
Assael, H. 1998. Consumer Behavior and Marketing Action. 6th ed. Cincinnati, OH: South-
Western College Publishing.
Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta.
BPTP Bengkulu. 2012. Desain Program Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Berbasis
Pertanian Perkotaan di Kota Bengkulu;(tidak dipublikasikan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian. Bengkulu.
BPS Provinsi Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat
Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Rahardi F., Palungkun, R dan Budiarti A. 2004. Agribisnis Tanaman Sayuran. Penerbit PT.
Penebar Swadaya. Jakarta.
238 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
STUDI KELEMBAGAAN KREDIT USAHA PERTANIAN
Rudi Hartono
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Kegagalan kredit untuk pertanian selama ini umumnya disebabkan kerena skim yang ada selama ini tidak
menyentuh “petani pelaku”, kurangnya penyiapan “petani pelaku” sebagai target group, banyaknya kebocoran kredit
dan mekanisme kredit yang tidak tepat, sehingga diperlukan model kelembagaan kredit untuk pembiayaan dan
pengembangan usaha tani perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akses, biaya transaksi, mekanisme
delivery pelaku usaha pertanian terhadap sumber-sumber pembiayaan dan merumuskan model kelembagaan
pembiayaan untuk mendukung usaha pertanian. Penelitian dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2011 mengunakan
metode survei. Responden yang diambil sebanyak 50 orang dari lembaga pembiayaan dan pemanfaat pembiayaan yang
ada di perdesaan. Data yang diperoleh dianalisis kelembagaan, biaya transaksi dan deskriptif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa akses petani pada sumber pembiayaan relatif rendah, persentase biaya transaksi kredit terhadap
jumlah pinjaman relatif kecil, model lembaga perbankan konvensional tidak kompatibel dengan kemampuan
sumberdaya yang dimiliki pelaku usaha pertanian, dan introduksi modified-convensional financial services model
merupakan pilihan alternative logis dan reasonable bagi pelaku usaha pertanian.
Kata Kunci : kelembagaan, kredit, pertanian, akses, petani
PENDAHULUAN
Salah satu persoalan yang paling rumit di wilayah perdesaan adalah penyediaan modal.
Keterbatasan modal menyebabkan kegiatan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya
tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Dari
situasi seperti ini para perumus kebijakan pembangunan perdesaan akhirnya meluncurkan
berbagai kebijakan progam kredit mikro sebagai instrumen pengembangan kelembagaan sektor
finansial di perdesaan.
Perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian tidak pernah lepas dari masalah ini,
(Soentoro et al., 1992) mencatat bahwa selama beberapa dekade terakhir pemerintah telah
mengucurkan anggaran program bantuan kredit atau modal untuk sektor pertanian, baik yang
bersumber dari APBN seperti Kredit Bimas, Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit Ketahanan Pangan
(KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Program Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), maupun dana yang berasal dari
kerjasama internasional seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K).
Belajar dari pengalaman kredit program/bantuan modal dari pemerintah, ternyata bahwa
sebagian besar program tidak dapat berkelanjutan pelaksanaannya di tingkat lapang. Setelah
program selesai, petani tidak lantas menjadi mandiri dan sejahtera. Salah satu penyebabnya
adalah karena dana bantuan program pemerintah tidak dapat dikelola dengan baik oleh petani.
Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal maupun non formal
telah diaplikasikan pada masyarakat, tetapi dalam pelaksanaan pembiayaan tersebut masih
menghadapi beberapa kendala dan hambatan, tidak hanya di pihak penyedia dana tapi juga pihak
penerima dana. Kegagalan kredit untuk pertanian selama ini umumnya disebabkan kerena skim
yang ada selama ini tidak menyentuh “petani pelaku”, kurangnya penyiapan “petani pelaku”
sebagai target group, banyaknya kebocoran kredit dan mekanisme kredit yang tidak tepat.
Disisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah banyak mengintroduksi berbagai
skim pembiayaan untuk sektor pertanian, namun efektivitas dan keberlanjutannya serta
peranannya dalam mendorong pengembangan pertanian masih jauh dari yang diharapkan. Pada
kenyataannya, sebagian pelaku usaha pertanian masih memiliki tingkat aksesibilitas yang rendah
terhadap sumber-sumber permodalan. Hal ini terkait dengan berbagai faktor diantaranya karena
kegiatan usaha yang tidak “bankable”, masih kakunya aturan kelembagaan kredit, terbatasnya
SDM petani, terbatasnya agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat menajdi avalis.
239 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Dengan pemahaman kritis terhadap akses pelaku usaha pertanian, makanisme
penyaluran, biaya transaksi, kekuatan dan kelemahan skim-skim pembiayaan yang diakses petani
diharapkan dapat didapatkan rumusan skim pembiayaan yang sesuai dan relevan dalam upaya
untuk memperoleh model kelembagaan kredit untuk pembiayaan dan pengembangan usaha tani
perdesaan.
BAHAN DAN METODA
Pengumpulan data dan informasi di lapangan pada penelitian ini menggunakan metode
survey, yang dilaksanakan di Yogyakarta. Jumlah responden yang menjadi sampel adalah
sebanyak 40 orang yang terdiri dari 40 petani petani 10 pedagang sebagai pemanfaat kredit dan
lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun non perbankan. Data yang dikumpulkan terdiri
dari data primer dan sekunder. Aspek kelembagaan yang akan dibahas meliputi: Pemanfaatan
kredit, kekuatan dan kelemahan skim kredit, persepsi terhadap skim kredit, prilaku menabung,
akses kredit, biaya transaksi, dan mekanisme delivery. Metode analisis deskriptif analitik dengan
menampilkan tabulasi tunggal dan silang terhadap setiap persoalan yang dianalisis. Aspek-aspek
yang terkait dengan masalah mekanisme delivery suatu skim pembiayaan dianalisis dengan
analisis kelembagaan.
Analisis biaya transaksi dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi serta
menganalisis tentang persentase besarnya biaya transaksi terhadap nilai kredit yang dipinjam oleh
petani dimasing-masing lokasi penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemanfaatan Kredit
Pada pembiayaan pertanian di sub sektor tanaman pangan, terutama pada usaha tani
padi, modal usaha yang digunakan pada umumnya mendapatkannya dengan berbagai cara, baik
berhubungan dengan lembaga pembiayaan formal maupun non-formal ataupun dengan mengikuti
program yang diselenggarakan pemerintah. Untuk sumber non-formal, petani mencari sendiri ke
sumber-sumber pembiayaan yang mau memberikan pinjaman kepadanya, misalnya
famili/tetangga dengan system gaduhan atau maro bati, dimana nilai tambah dari modal awal
dibagi dua antara pemilik modal dan petani sedang modal awal kembali kepemilik modal.
Rata-rata jarak yang harus ditempuh untuk mendapatkan modal usaha dari tempat
tinggal sampai sumber pembiayaan sejauh 6,34 km dan jarak yang terjauh ditempuh oleh petani
dari propinsi sejauh 20,65 km. Ongkos yang harus dikeluarkan oleh petani untuk mendapatkan
modal usaha disamping jarak tempat tinggal dengan sumber modal juga lamanya proses
pencairan. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke lembaga tersebut. Untuk
mengurus kelembaga pembiayaan, petani harus mengunjungi ke lembaga tersebut rata-rata
sebanyak 2,79 kali dengan lama pencairan selama 41,22 hari. Proses ini dirasakan petani terlalu
lama. Secara umum petani berharap bahwa proses pencairan dana dapat lebih cepat, sekitar 15
hari.
T a b e l 1 . Ja r a k , f r e ku e n s i k u n j u n ga n , l a ma n ya d a n p r o s e s p e n c a i r a n ya n g
d i i n g i n k a n p a d a l e mb a ga p e mb i a y a a n d i Y o g y a ka r t a .
No Lembaga
Pembiayaan
Jarak
(km)
Jml kunjungan
(kali) Waktu proses pencairan (hari)
Lamanya yg diharapkan
1. Non Program 4,67 2 11,67 9
a. Formal 4,67 2 16,33 13
b. Non Formal 2 2 7 5
2. Program 5,69 1,75 86,25 21,89
Sumber : Data primer. 2 0 1 1 .
240 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kekuatan dan Kelemahan Skim Kredit
Petani responden di lokasi peneli t ian telah me manfaatkan berbagai skim
kredit yang ada. Skim kredit yang dimanfaatkan oleh responden dapat berupa
kredit program ataupun kredit non program. Bentuk skim kredit program yang
dimaksud di sini adalah PUAP. Sedangkan untuk sumber kredit non program,
responden dapat memanfaatkan lembaga pembiayaan formal ataupun non
formal. Untuk lembaga pembiayaan formal, pet ani responden ada yang
mernanfaatkan lembaga bank yang ada di sekitar lokasi , baik berupa bank
pemerintah (BRI Unit), Bank Perkreditan Rakyat ataupun Koperasi. Untuk lembaga
pembiayaan non formal, responden ada yang memanfaatkan sistem yang ada di masyarakat,
seperti sistem gaduh atau bagi hasil. Disamping itu, masih ada lagi sumber kredit yang disediakan
pemerintah untuk pengembangan padi dan peningkatan pendapatan petani di beberapa lokasi di
Indonesia, termasuk di lokasi penelitian.
Kredit program memiliki beberapa keunggulan, yang diantaranya adalah: 1) bunga sangat
rendah/ringan; 2) jangka waktu pinjaman selama 3 tahun; 3) pengembalian pinjaman beserta
bunga dilakukan dengan diangsur setiap 4 bulan (satu periode panen). Sedangkan kelemahannya
atau kekurangannya diantaranya adalah: 1) petani harus berkelompok; 2) ketersediaan dana
terbatas, 3) dana yang tersedia terbatas sehingga timbul kecemburaan bagi masyarakat yang
tidak/belum memperoleh kredit semacam; 4) merusak tatanan yang ada dan yang sudah berjalan
di lokasi, seperti sistem gaduhan; 5) kurang mendidik petani untuk akses ke perbankan, karena
subsidi bunga terlalu besar. Sumber kredit lainnya yang juga diakses oleh petani di lokasi
penelitian , adalah lembaga pembiayaan formal, seperti Bank Rakyat Indonesia Unit, Bank
Perkreditan Rakyat dan koperasi.
Kekuatan atau keunggulan dari lembaga pembiayaan formal ini antara lain: 1)
pengajuan kredit dapat dilakukan setiap saat dan sifatnya perorangan; 2) memperoleh jaminan
asuransi; 3) memperoleh Insentif Pembayaran Tepat Waktu (IPTW). Sedangkan kelemahan dari
skim kredit ini antara lain: 1) harus ada jaminan berupa sertifikat tanah atau BPKB; 2) harus
membayar biaya administrasi
Persepsi terhadap Skim Pembiayaan
Dari berbagai sumber pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan berbagai skim kredit
yang diperuntukkan bagi sub sektor tanaman pangan terutama padi dengan berbagai bentuk,
jumlah, ketepatan waktu dan tingkat bunga yang berbeda. Bagi petani yang banyak memiliki
keterbatasan, baik dari segi pendidikan maupun pengetahuan akan mengalami kesulitan dalam
menghadapi berbagai skim yang ditawarkan tersebut. Tingkat pengetahuan petani terhadap
lembaga pembiayaan masih rendah, hanya 19,1 % petani yang tahu dan mengerti tentang
keberadaan lembaga pembiayaan di daerahnya. Hal ini berarti bahwa mereka tahu tentang hak
dan kewajibannya dari skim yang mereka akses, sedang yang lain menyatakan tidak tahu (61.96
%) atau menyatakan tahu tapi tidak mengerti (18,9 %), atau dengan kata lain mereka hanya
mengikuti rekan-rekannya yang mereka pandang lebih tinggi pengetahuannya.
Dalam hal tingkat suku bunga pinjaman, 55,7 % petani mengatakan bahwa tingkat
bunga yang berlaku adalah rendah. Terdapat 35,7 % petani yang mengatakan bahwa bunga
pinjaman adalah tinggi. Tidak ada satu pun petani yang mengatakan bahwa bunga yang
diperlakukan adalah sangat tinggi. Bila dilihat lebih jauh tampak bahwa terhadap bunga kredit
program sebagian besar pernah menyatakan rendah.
Aspirasi Skim Pembiayaan
Dari keberadaan petani yang serba terbatas tersebut tentunya mereka mempunyai
harapan-harapan capaian yang dapat mengangkat keadaan dirinya kearah yang lebih baik. Bentuk
kredit yang diharapkan petani terhadap lembaga pembiayaan, sebagian besar menyatakan dalam
bentuk uang (60 %) dan hanya sebagian yang menyatakan dalam bentuk natura (31 %) dan
kombinasi (9 %). Alasan mereka dalam bentuk uang, karena penggunaannya dapat lebih leluasa
dalam arti dapat lebih leluasa memilih dan membeli saprodi. Hal ini lebih banyak dinyatakan oleh
241 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
peminjam kredit non program dan petani yang meminjam di lembaga formal. Alasan bagi mereka
mengharapkan dalam bentuk natura karena sering kesulitan mendapatkan saprodi saat musim
tanam telah tiba.
Sementara itu dikatakan bahwa periode kredit yang diharapkan petani secara umum
adalah musiman (35 %), sedang alasan yang mereka kemukakan adalah sesuai dengan siklus
panen untuk menghasilkan dalam satu musim. Sedang cara penyaluran kredit yang diharapkan
adalah melalui kelompok tani (59 %), khususnya pada petani yang berhubungan dengan kredit
program maupun pada lembaga pembiayaan non formal. Alasan mereka pada umumnya adalah
apabila melalui kelompok tani dapat memberikan kepastian bahwa kredit tersebut dapat
disalurkan. Selain itu, bagi petani yang kurang mampu berurusan dengan lembaga pembiayaan
akan lebih terbantu.
Sedang bagi petani non-program dan petani yang berperan serta di lembaga formal
mengatakan bahwa lebih enak bila mereka dapat langsung ke bank (52 %) tanpa perantara dan
mereka dapat lebih mengetahui bila langsung berhubungan dengan lembaga pembiayaan (bank)
dengan alasan dapat lebih mendapatkan kepastian.
Bentuk pengembalian kredit yang diharapkan petani terhadap lembaga pembiayaan.
dimana petani sebagian besar mempunyai harapan bahwa bentuk pengembalian pinjaman lebih
senang dapat berupa uang tunai (76 %) baik yang mengikuti kredit program maupun non
program. Alasan yang mereka kemukakan bahwa kualitasnya dapat terjamin (36 %) dan
penggunaannya dapat lebih leluasa. Artinya bahwa dengan uang tunai mereka dapat mengetahui
berapa besar nilai yang harus dikembalikan. Lain halnya bila pengembaliannya dalam bentuk
natura, maka akan sulit untuk menilai berapa besar natura yang dikembalikan tersebut Sedang
waktu pengembalian pinjaman, 75% petani berharap pengembalian pinjaman dilakukan setelah
panen satu musim tanam. Di sisi lain agunan k r e d i t y a n g d i p e r gu n a ka n , b a g i p e t a n i
t i d a k menjadikan masalah yang t e r p e n t i n g a d a l a h a g u n a n a p a ya n g d i mi l i k i
d a p a t d i p e r g u n a ka n u n t u k me me n u h i ke t e n t u a n ( j ami n a n ) y a n g
d i p e r s y a r a t ka n o l e h l e mb a g a p e mb i a y a a n .
Perilaku Menabung
Kegiatan menabung di kalangan masyarakat khususnya pada daerah di pedesaan belum
menjadi salah satu budaya yang menguntungkan bagi pelakunya. Keinginan untuk menabung,
sebenarnya sudah banyak disadari bahwa menabung sangat membantu didalam kehidupannya.
Namun karena dihadapkan oleh berbagai keterbatasan yang ada, kegiatan menabung tidak
dilakukan, seperti lembaga keuangan sebagai penghimpun dana masyarakat jauh dari tempat
tinggalnya. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa dari seluruh responden yang ada, 74,4
% melakukan kegiatan menabung di lembaga keuangan formal seperti bank ataupun koperasi.
Bentuk tabungan yang mereka lakukan berupa uang tunai, tidak ada yang berupaa surat berharga.
Kegiatan menabung ini rata-rata sudah mereka lakukan sejak 10 hingga 16 tahun yang lalu, tetapi
ada juga yang melakukan menabung baru mereka lakukan beberapa tahun yang lalu.
Hasil tabulasi data tentang tujuan menabung menunjukkan bahwa 47,6% petani
melakukan untuk dana pengamanan bila usahanya gagal, 28.% bila usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, dan 24% untuk biaya sekolah anaknya. Walaupun kegiatan menabung ini
disadari mantaatnya oleh petani, namun ada sebagain petani yang belum melakukan kegiatan ini.
Alasan utama yang mereka kemukakan karena tidak memilikinya dana lebih untuk ditabung (61
%). Alasan lain juga karena lembaga keuangan yang ada, tempatnya jauh dari rumahnya,
sehingga untuk menabung dengan jumlah uang yang terbatas tidak sebanding dengan waktu dan
biaya yang mereka keluarkan.
Akses Kredit dan Biaya Transaksi
Tingkat akses petani pada sumber pembiayaan dapat dilihat dari berbagai indikator.
Frekuensi dan besaran pinjam dalam periode waktu tertentu adalah dua faktor yang dapat
digunakan sebagai indikator akses terhadap sumber pembiayaan. Dilihat dari frekuensi pinjaman
selama kurun waktu 5 tahun (2006-2010), frekuensi transaksi pinjaman yang dilakukan oleh
pedagang padi sebanyak 5,0 kali. Hal ini memang wajar terjadi, karena frekuensi peminjaman
242 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tergantung dari kesepakatan pengembalian, bila peminjam menginginkan pengembalian 12 bulan,
maka peminjaman berikutnya baru dapat dilakukan setelah pinjaman yang lama lunas. Hal lain
yang mempengaruhi frekuensi peminjaman adalah ketersediaan dana kas yang ada dan jumlah
anggota kelompok yang mengajukan pinjaman.
Bagaimanapun juga usaha pada sektor pembiayaan pertanian adalah usaha penuh resiko
tinggi. Terdapat ketidakpastian tentang selesainya sebuah transaksi kredit karena h a l itu
menyangkut kapasitas dan kesediaan membayar kembali pinjaman dan pengguna kredit. Selain
aspek-aspek yang sifatnya fisik administratif, unsur kepercayaan (trust) adalah sangat dominan
dalam menentukan apakah seseorang dapat akses pada sumber pembiayaan tertentu, track record,
dengan demikian menjadi faktor penentu. Dalam kaitan dengan faktor-faktor tersebut biaya
transaksi dapat tinggi atau justru menjadi rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
persentase biaya transaksi kredit terhadap jumlah kredit yang diambil petani relatif kecil,
persentase biaya transaksi berkisar antara 0.06% hingga 0,55%.
Rendahnya persentase biaya transaksi kredit ini berbeda dengan anggapan yang selama
ini ada, yaitu bahwa biaya transaksi kredit (selain bunga kredit) adalah sangat tinggi. Data dari
penelitian ini menunjukkan bahwa biaya transaksi kredit terhadap nilai pinjamanyang dikeluarkan
oleh petani relatif kecil.
Mekanisme Delivery
Secara umum dapat dikemukan bahwa aspek seleksi, yang diproksi dengan persyaratan
aplikasi pinjaman, sangat ketat terutama pada sumber pembiayaan perbankan, baik skim program
maupun skim umum. Hal ini dapat dilihat dari jumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon
peminjam manakala akan mengajukan pinjaman pada sumber pembiayaan tersebut. Sementara itu
untuk sumber pembiayaan non-perbankan, seperti koperasi, tampak bahwa jumlah persyaratan
tersebut relatif lebih sedikit dan dengan kualitas persyaratan yang lebih rendah. Kualitas
persyaratan tersebut terkait dengan kemampuan petani untuk menyediakannya, misalnya agunan
berapa sertifikat tanah dan atau bangunan bersertifikat.
Lebih dari 40% petani menyatakan bahwa alasan utama mereka akses pada sumber
pembiayaan non formal adalah karena alasan prosedur yang mudah. Faktor bunga pinjaman
menjadi peringkat kedua. Sekali lagi hal ini diduga terkait dengan aspek kemampuan SDM dan
orientasi petani yang relatif ingin lebih praktis, sehingga bunga pinjaman terkadang tidak begitu
dipertimbangkan sebelum mereka akses pada sumber pembiayaan
Aspek lain dalam mekanisme delivery adalah insentif dan sanksi. Secara umum dapat
dikemukakan bahwa semakin banyak insentif juga diikuti oleh semakin banyak sanksi. Bahkan
pada sumber pembiayaan perbankan jenis sanksi tampak lebih banyak dari insentif yang
diberikan. Sumber pembiayaan bcrbentuk perbankan, koperasi, skim kredit program, dan juga
sumber pembiayaan non-formal (pedagang) secara efektif memberikan sanksi yang tegas, yaitu
tidak diberikan pinjaman lagi manakala pengguna menunggak kredit. Sanksi ini memang umum
diberlakukan untuk pengguna kredit. Kompatibilitas skim pembiayaan perbankan konvensional
dengan sumberdaya yang dimiliki petani dan pelaku usaha pertanian lainnya sangat rendah. Oleh
karena itu perlu diupayakan untuk merancang skim lain yang sesuai dengan kemampuan
sumberdaya manusia pertanian secara umum.
P e r s p e k t i f K e l e m b a g a a n P e m b i a y a a n P e r t a n i a n
B e r t i t i k t o l a k d a r i k o n d i s i o b y e k t i f a ks e s p e t a n i d a n p e d a g a n g
p a d a s u mb e r p e mb i a y a a n , me k a n i s me delivery kekuatan d a n k e l e ma h a n s u mb e r
p e mb i a ya a n s e r t a a s p i r a s i p e t a n i . M a k a s k i m p e mb i a y a a n p e r t a n i a n
k e d e p a n , s e y o g y a n y a me n g a r a h p a d a s i s t e m p e mb i a ya a n n o n -p e r b a n ka n .
P r a k t e k p e r b a n ka n k o n ve n s i o n a l y a n g me n g a n d a l ka n p a d a h u b u n ga n
b i s n i s mu r n i s e ma t a d e n ga n p e r s y a r a t a n y a n g s a n g a t rigid, t a mp a kn ya
s a n ga t s u l i t d i k e mb a n g k a n d a n t i d a k k o mp a t i b e l u n t u k d a p a t d i a k s e s o l e h
s e b a g i a n b e s a r p e t a n i y a n g u mu mn y a k e s u l i t a n u n t u k me me n u h i
p e r s ya r a t a n d a n p r o s e d u r p e r b a n ka n t e r s e b u t . D a l a m k o n d i s i d e mi k i a n ,
k e l e mb a g a a n k o p e r a s i d a n l e mb a ga k e u a n g a n mi k r o ( L K M ) l a i n n ya d a p a t
243 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
d i p e r t i mb a n g k a n s e b a ga i p i l i h a n ke l e mb a g a a n p e mb i a ya a n b a g i u s a h a
p e r t a n i a n .
Pengembangan kelembagaan pembiayaan pertanian berlandaskan pada, kemampuan
sumberdaya lokal, seperti koperasi dan LKM lainnya, tidak bekerja pada ruang hampa. Oleh
karena itu diperlukan kerangka kebijakan nasional dan kondusif dari pemerintah (pusat dan
daerah) dan otoritas moneter untuk memberikan priontas bagi sektor pertanian secara umum,
khususnya dalam akses pada sumber pembiayaan. Sektor pertanian adalah sektor yang para
pelakunya tergolong pada usaha mikro dan kecil. Karena itu adalah sangat realistis dan relevan
bilamana dana tersebut sebagian juga dialokasikan pada sektor pertanian, utamanya pada
usahatani rakyat berskala kecil yang merupakan bagian terbesar dari pelaku usaha pertanian di
pedesaan.
Pengembangan kelembagaan pembiayaan bagi sektor pertanian secara umum dapat
ditempuh melalui integrasi sektor pembiayaan perbankan dengan kelembagaan non-perbankan
skala mikro melalui aliansi strategis dengan cara membentuk pooling juralbagi lembaga
pembiayaan non-perbankan tersebut, misalnya koperasi dan LKM lainnya. Hal ini ditempuh
untuk mensinergikan kekuatan dan sekaligus kelemahan dari kedua bentuk lembaga pembiayaan
tersebut.
Model pembiayaan bagi pelaku usaha pertanian ditempuh dengan introduksi modified
conventional financial model yang model pembiayaan yang dibangun tidak semata hanya
memberikan sentuhan layanan pembiayaan tetapi juga layanan teknologi dan informasi pasar.
Perlibatan unsur-unsur dinas terkait, lembaga perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat,
lembaga penelitian daerah a d a l a h d a l a m r a n g k a me n i n g k a t ka n f u n gs i p e mb i n a a n
y a n g t e r i n t e g r a s i d e n ga n p e l a ya n a n f i n a n s i a l , l e b i h d i d a s a r k a n p a d a
k e p e n t i n ga n p e mb i n a a n t a n p a c a mp u r t a n ga n y a n g b e r l e b i h a n t e r h a d a p
b i s n i s p e mb i a y a a n a n t a r a L K M d e n g a n p e l a k u u s a h a p e r t a n i a n . H a s i l -
h a s i l ka j i a n d i b e r b a ga i t e mp a t j u g a me n u n j u k ka n b a h wa b e t a p a p u n
k e c i l n y a p e r a n a n l e mb a g a t e r ka i t t e r s e b u t , n a mu n k e h a d i r a n l e mb a ga i n i
ma s i h t e t a p d i p e r l u ka n .
P a d a d a s a my a mo d e l i n i a d a l a h mo d e l k o n v e n s i o n a l . Ha n ya s a j a
p e l a ya n a n k o p e r a s i d a n L K M s e c a r a u mu m d a l a m mo d e l i n i d i p e r l u a s
d e n ga n c a r a me mb u k a o u t l e t p a d a t i n g k a t y a n g l e b i h b a wa h . Ou t l e t ya n g
d i ma k d k a n d i s i n i t i d a k h a r u s b e r u p a s u a t u l e mb a g a d e n g a n o r ga n i s a s i
y a n g l e n g ka p , n a mu n d a p a t s a j a b e r u p a i n d i v i d u y a n g b e r t i n d a k s e l a ku
k e p a n j a n ga n d a r i L K M t e r s e b u t .
U n t u k p e l a k u u s a h a p e r t a n i a n ( p e t a n i ma u p u n p e d a g a n g) y a n g
t e l a h ma mp u a ks e s l a n gs u n g p a d a L K M , ma ka d a p a t l a n g s u n g
b e r h u b u n g a n d e n g a n L K M . S e d a n g k a n b a g i me r e k a ya n g b e l u m ma mp u
a k s e s l a n gs u n g , p e d a g a n g . p e t a n i a t a u ke l o mp o k t a n i d a p a t me mp e r o l e h
l a y a n a n d a n o u t l e t L K M y a n g b e r a d a d e k a t d e n ga n l okasi petani yang
bersangkutan. Outlet LKM adalah sebagai unit layanan LKM yang terkecil. Dengan outlet
tersebut keterjangkauan petani oleh koperasi LKM menjadi semakin besar. Unit layanan ini
bertindak selaku principal agent dan dapat memberikan pertimbangan untuk "kelulusan" kredit
pelaku usaha pertanian secara umum.
Dalam model ini, apabila petani/pedagang atau pelaku usaha pertanian lainnya
memerlukan modal, maka dapat langsung mengajukan pinjaman kepada lembaga pembiayaan
yang yang bersangkutan. Beberapa keuntungan model unit tersebut adalah : (1) biaya transaksi
pelayanan lebih murah, (2) hubungan antara unit layanan LKM dengan pelaku usaha pertanian
menjadi dekat, baik secara fisik maupun secara sosial, (3) seleksi terhadap calon peminjam
(pelaku usaha pertanian) dan kontrol terhadap penggunaan kredit menjadi semakin mudah
dilakukan.
Model yang disarankan tersebut tetap dalam kerangka membangun sistem finansial
yang sehat dan memperhatikan aspek kehati-hatian. Hanya saja model ini memiliki suatu
mekanisme seleksi yang khusus dan dengan delivery yang khusus pula (special delivery system).
Pertimbangan utama untuk akses pada model ideal ini kelayakan usaha (capacity to repay).
Sedangkan agunan dalam bentuk fisik hanya merupakan agunan tambahan.
244 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
B e r t i t i k t o l a k d a r i k o n d i s i t e r s e b u t , mo d e l t e r mo d i f i k a s i y a n g
d a p a t d i l a ku k a n a d a l a h s i n e r g i a n t a r a s u mb e r d a n a p e r b a n k a n , B UM N,
B UM D, Ba n t u a n L a n g s u n g M a s y a r a ka t d a n a AP B N d a n AP B D ( P U A P -
A P B N d a n AP B D) me l a l u i pooling fund ya n g i n d e p e n d e n . De n g a n d e mi k i a n
a k a n t e r d a p a t " s a t u p i n t u k e b i j a ka n " u n t u k p e mb i a ya a n p e l a ku u s a h a
p e r t a n i a n ( p e t a n i / p e t e r n a k / p e k e b u n / p e d a g a n g) .
K e u n g g u l a n mo d e l i n i a d a l a h : p e r t a ma , b a h w a d a l a m b a t a s -b a t a s
t e r t e n t u L K M t i d a k h a r u s b e r h u b u n ga n l a n g s u n g d e n g a n p e l a k u u s a h a
p e r t a n i a n , y a n g t e n t u s a j a h a l i n i a k a n me n gu r a n g i b i a ya t r a n s a ks i .
K e d u a , u n i t l a ya n a n L K M l e b i h me n g e t a h u i s e c a r a t e p a t t e n t a n g k a r a k t e r
p e l a ku u s a h a p e r t a n i a n y a n g a ka n me n j a d i c a l o n n a s a b a h n y a . De n ga n
d e mi k i a n k e mu n g k i n a n t e r j a d i n ya s a l a h s a s a r a n k r e d i t me n j a d i l e b i h
k e c i l . K e u n g g u l a n k e t i g a a d a l a h b a h wa k o n t r o l t e r h a d a p u s a h a l e b i h
mu d a h d i l a k u k a n . De n ga n d e mi k i a n mo d e l i n i d a p a t me n g u r a n g i b e b e r a p a
k e l e ma h a n p e l a ya n a n p e mb i a ya a n k e p a d a p e l a ku u s a h a p e r t a n i a n ya n g
s e l a ma i n i d i r a s a ka n .
KESIMPULAN
1. Akses petani pada sumber pembiayaan relatif rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya
frekuensi pinjam selama periode tahun 2006-2010 dan besaran nilai pinjam yang relatif kecil.
Persentase biaya transaksi kredit terhadap jumlah pinjaman relatif kecil.
2 . Dilihat dari aspek mekanisme delivery, praktek-praktek lembaga perbankan konvensional
kurang kompatibel dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki petani.
3. Kompabilitas skim pembiayaan berbankan konvensional dengan sumber daya yang dimiliki
petani dan pelaku usaha pertanian lainnya sangat rendah. Oleh karena itu perlu diupayakan
model/skim lain yang sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia pertanian secara
umum.
4. Sumber pembiayaan non-perbankan, seperti koperasi dan LKMA, memiliki banyak kekuatan,
yang utamanya terletak pada kesederhanaan prosedur, sehingga dapat dipertimbangkan
sebagai pilihan kelembagaan bagi usaha pertanian.
5. Pengembangan kelembagaan pembiayaan bagi sektor pertanian dapat ditempuh melalui
integrasi sektor pembiayaan perbankan dengan kelembagaan non-perbankan skala mikro
melalui aliansi strategis dengan cara membentuk pooling fund bagi lembaga pembiayaan non-
perbankan tersebut, yaitu koperasi dan LKM lainnya.
6. Untuk menjembatani kemampuan sumberdaya manusia pelaku usaha pertanian yang
mungkin masih terbatas, dan sekaligus memecahkan persualan biaya transaksi yang tinggi
bagi LKM dan koperasi, maka pembukaan outlet LKM/Koperasi yang berlokasi dekat dengan
peiaku usaha pertanian adalah pilihan strategis dan ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Proyek Pengembangan
Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Pusat. Ditjen Bina Produksi
Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Anwar, A 1995. Memahami Persoalan Pasar Keuangan (Financial Market) di Wilayah
Pedesaan. Dalam Agricultural Planning Vol (1). Kerjasama Indonesia Australia Eastern
Universities Project dengan Universitas Mataram, Lombok.
Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No. 1, Maret 2009 : 21-42. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Kuntjoro. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembayaran Kembali Kredit Bimas Padi
(Studi Kasus di Kabupaten Subang Jawa Barat). Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
245 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mayrowani, H., Hendiarto, S.K. Dermoredjo, Wahida, B. Prasetyo dan D.K.S. Swastika. 1998.
Kajian Ketersediaan dan Pemanfaatan Skim Kredit untuk Menunjang Agribisnis di
Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Nurmanaf, R. Hastuti, E.L., Ashari, FriyatnoS. Dan Budi W. 2006. Analisis Sistem Pembiayaan
Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Soentoro, et al., 1992. Sejarah Perkreditan Petanian Sub Sektor Tanaman Pangan. Monograph
Scries no. 3,1992. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Soyibo. 1997. The Informal Financial Sector in Nigeria : Characteristic and Relationship with the
Formal Sector. Development Policy Review, Vol 15.
Sudaryanto, T. dan Mat Syukur. 2000. Pengembangan Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung
Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Mimeo. Pusat PeneJitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Syukur, M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah
Tangga Miskin. Disertasi; Tidak Dipublikasikan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Syukur, M. 1993. Karya Usaha Mandiri : An Action Research on Rural Credit to Poverty
Alleviation in Indonesia in Getubig, I.P., M.Y. Johari and A.M.K. Thas (eds). Overcoming
Poverty Through Credit : The Asian Experience in Replicating The Grameen Approach.
Asian and Pacific Development Center, Kuala Lumpur
Syukur, M., et. al., 2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis
dan Agroindustri di Pedesaan. Laporan Hasil Penehtian. Pusat Penehtian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Yustika, Ahmad Erani. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
246 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI
WANITA TANI DALAM PEMANFAATAN PEKARANGAN
Dedi Sugandi, Tri Wahyuni dan Umi Pudji Astuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu alternatif
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sayuran sekaligus untuk mewujudkan kemandirian pangan rumah tangga.
Pada penerapannya, partisipasi masyarakat menjadi unsur terpenting dalam pelaksanaan konsep RPL (Rumah Pangan
Lestari). Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi wanita tani di
Desa Tebing Kaning dalam pemanfaatan lahan pekarangan dalam kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-
KRPL). Pengkajian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November 2012 pada Kelompok Pemanfaatan
Pekarangan Desa Tebing Kaning, Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara. Pemilihan lokasi dilakukan
secara sengaja (purposive). Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode survei dengan penarikan
petani contoh sebagai responden sebanyak 30 orang, dipilih menggunakan metode simple random sampling. Data yang
diambil terdiri dari data primer, meliputi karakteristik petani serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi wanita
tani dalam pemanfaatan pekarangan dan data sekunder diambil dari data Desa Tebing Kaning serta Badan Ketahanan
Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bengkulu Utara. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik
deskriptif dan interval kelas. Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
wanita tani di Desa Tebing Kaning dalam pemanfaatan lahan pekarangan diantaranya mendapat nilai tinggi (0,5 – 1,0)
yaitu minat/hobi, menghemat pengeluaran belanja, mudah dalam budidaya, meningkatkan hubungan sosial dengan
tetangga, memenuhi kebutuhan akan sayuran, memperindah halaman, dan menambah pengetahuan budidaya sayuran
dan wanita tani di Desa Tebing Kaning masih membutuhkan bimbingan penyuluh dan pendampingan teknologi dari
peneliti BPTP Bengkulu.
Kata kunci: partisipasi, pemanfaatan, pekarangan, wanita tani
PENDAHULUAN
Pertanian merupakan sektor yang penting karena memiliki peran yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bengkulu Utara. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya
kontribusi sektor pertanian terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Bengkulu Utara yaitu sebesar 38,13% pada tahun 2010 terutama dari sektor tanaman
pangan (BPS, 2011).
Sayuran merupakan salah satu sub sektor penunjang dalam peningkatan PDRB.
Tanaman sayur-sayuran yang diusahakan di Kabupaten Bengkulu Utara diantaranya adalah
kacang panjang, cabe, terung, buncis, dan lain-lain yang penanamannya dilakukan dengan sistem
tumpang sari di lahan sawah dengan produksi yang berfluktuasi. Kebutuhan akan sayuran
masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara yang melebihi produksi menyebabkan pasokan sayuran
dari luar kabupaten menjadi sangat penting bagi masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara.
Kebutuhan akan sayuran yang belum mencukupi dikarenakan lahan yang terbatas
menjadi peluang bagi pemanfaatan lahan pekarangan yang belum termanfaatkan dengan
maksimal. Lahan pekarangan memiliki fungsi multi guna, karena lahan yang relatif sempit bisa
menghasilkan bahan pangan nabati dan bahan pangan hewani yang berasal dari unggas.
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pengembangan pangan rumah tangga merupakan salah satu
alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sayuran sekaligus untuk mewujudkan
kemandirian pangan rumah tangga (Astuti, 2012).
Kementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui
konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). RPL adalah rumah penduduk yang mengusahakan
pekarangan secara intensif untuk dimanfaatkan dengan berbagai sumberdaya lokal secara
bijaksana yang menjamin kesinambungan penyediaan bahan pangan rumah tangga yang
berkualitas dan beragam (Badan Litbang, 2012).
Dampak yang diharapkan dari pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
antara lain: 1) Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui
optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari, 2) Meningkatnya kemampuan keluarga dan
masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya
247 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tanaman pangan, buah, sayuran, dan tanaman obat keluarga (toga), ternak dan ikan, serta
pengolahan hasil dan limbah rumah tangga menjadi kompos, 3) Terjaganya kelestarian dan
keberagaman sumber pangan lokal, dan 4) Berkembangnya usaha ekonomi produktif keluarga
untuk menopang kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan lestari dan sehat (Badan
Litbang, 2012).
Pada penerapannya, partisipasi masyarakat menjadi unsur terpenting dalam pelaksanaan
RPL. Menurut PTO PNPM PPK (2007) dalam Azis Turindra (2009), pengertian prinsip
partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan
dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materiil. Oleh karena itu,
diperlukan pengkajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi wanita tani dalam
pemanfaatan pekarangan.
Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
partisipasi wanita tani di Desa Tebing Kaning dalam pemanfaatan lahan pekarangan dan
mendeskripsikan karakteristik wanita tani dalam kegiatan M-KRPL di Desa Tebing Kaning.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November 2012 pada
Kelompok Pemanfaatan Pekarangan Desa Tebing Kaning, Kecamatan Arga Makmur Kabupaten
Bengkulu Utara. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
bahwa Desa Tebing Kaning merupakan salah satu daerah yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan
M-KRPL BPTP Bengkulu. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode survei
dengan penarikan petani contoh sebagai responden sebanyak 30 orang, dipilih menggunakan
metode simple random sampling. Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi karakteristik petani serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
wanita tani dalam pemanfaatan pekarangan. Data sekunder diambil dari data Desa Tebing Kaning
dan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan Kabupaten Bengkulu Utara.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas.
Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha (2007), penentuan interval kelas untuk masing-
masing indikator adalah :
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval
NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas
NSR : Nilai Skor Terendah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Keseluruhan responden pengkajian sengaja dipilih hanya wanita, karena pada
pelaksanaan di lapangan peran wanita lebih dominan daripada laki-laki yang mencapai (75%)
dalam hal pemanfaatan pekarangan sebagai lahan penanaman sayuran Dilihat dari umur sebagian
besar responden berumur 26-35 tahun (40,00%) dan 36-45 tahun (36,67%). Namun dila dilihat
dari usia produktif keseluruhan responden tersebut (100%) masuk kedalam umur produktif (15-
55) Tahun (Tabel 1) dan menurut Kusumosuwidho (1981) dalam Qoriah Saleha, et al. (2012),
kelompok umur produktif mulai umur 15-64 tahun. Sehingga kondisi ini sangat mendukung
pencapaian keberhasilan RPL di Desa Tebing Kaning.
248 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Karakteristik wanita tani dalam pemanfaatan pekarangan di desa Tebing Kaning
Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara.
No Karakteristik Kelompok Jumlah
(orang) Persentase (%) Rata-rata
1. Umur (Tahun) 16 – 25 2 6,67 36,70
26 – 35 12 40,00
36 – 45 11 36,67
46 – 55 5 16,66
2. Pendidikan (Tahuan) SD 11 36,67 9,17
SMP 9 30,00
SMA 8 26,67
DIPLOMA 1 3,33
SARJANA 1 3,33
3. Jumlah anggota rumah
tangga (orang) 1 – 2 9 30 2,67
3 – 4 21 70
Sumber: Data primer terolah.
Berdasarkan data pada Tabel 1, tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, sebagian
besar responden (36,67%) berpendidikan sangat rendah (SD), sebagian lagi (30%) berpendidikan
rendah (SMP), diikuti sebagian (26,67%) berpendidikan sedang, dan 6,33% berpendidikan tinggi
(masing-masing 3,33% Diploma dan 3,33% Sarjana). Menurut Suyastiri (2008), semakin tinggi
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang, umumnya semakin tinggi pula
tingkat kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta
selektif dalam kaitannya tentang ketahanan pangan. Dikarenakan pendidikan wanita tani di Desa
Tebing kaning rata-rata 9 tahun (SMP) yang termasuk kedalam tingkat pendidikan rendah, maka
bimbingan penyuluh dan pendampingan teknis dari BPTP Bengkulu masih sangat diperlukan
untuk keberhasilan pelaksanaan kegiatan M-KRPL di Desa Tebing Kaning.
Jumlah anggota keluarga rumah tangga responden relatif sedikit dengan jumlah rata-rata
2,67 orang. Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan. Semakin
banyak jumlah anggota rumah tangga maka kebutuhan pangan yang dikonsumsi akan semakin
bervariasi karena masing-masing anggota rumah tangga mempunyai selera yang belum tentu
sama (Suyastiri, 2008).
Faktor Pendorong Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Hasil analisis memperlihatkan bahwa faktor pendorong yang mempengaruhi partisipasi
wanita tani dalam pemanfaatan pekarangan sangat tinggi, semata-mata karena kesadaran dan
bukan karena adanya program pemerintah atau harga jual produk tinggi. Hal ini dapat dilihat
hampir semua faktor pendorong memiliki skor tinggi (0,50-1,00) seperti: minat/hobi; menghemat
pengeluaran belanja, adanya program pemerintah, mudah dalam budidayanya, meningkatkan
hubungan sosial dengan tetangga, memenuhi kebutuhan akan sayuran, memperindah halaman,
dan menambah pengetahuan budidaya sayuran kecuali faktor harga jual tnggi dan adanya
program pemerintah msing-msing dengan nilai 0,40 dan 0,00 dengan nilai rendah (Tabel 2).
249 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 2. Faktor Pendorong wanita tani dalam pemanfaatan pekarangan di desa Tebing Kaning
Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara.
No Faktor Pendorong Skor
1. Minat/Hobi 0,97
2. Harga jual tinggi 0,40
3. Menghemat pengeluaran belanja 1,00
4. Adanya program pemerintah 0,00
5. Mudah dalam budidayanya 1,00
6. Meningkatkan hubungan sosial dengan tetangga 1,00
7. Memenuhi kebutuhan akan sayuran 1,00
8. Memperindah halaman 1,00
9. Menambah pengetahuan budidaya sayuran 1,00
Sumber : Data primer terolah
Keterangan : Rendah (0,00 – 0,50) ; Tinggi ( 0,50 – 1,00)
Hobi dapat dikatakan sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan batiniah untuk melepaskan
diri dari kejenuhan dan kelelahan karena rutinitas harian. Karena sifatnya itulah, yang berlaku
dalam soal hobi adalah kesenangan yang tak terhingga. Karena hobi, responden bekerja dengan
senang hati. Yang pasti ada kesungguhan baik dalam memulai usaha hingga mengembangkannya
dan melakukan sesuatu dengan landasan cinta, bukan keterpaksaan agar kita bekerja untuk hasil
yang terbaik dan penuh keikhlasan (Mike Rini, 2012). Dalam hal ini responden banyak memilih
memanfaatkan lahan pekarangan karena hobi dengan skor tinggi (0,97).
Harga jual tinggi memperoleh skor rendah dengan nilai 0,40. Ternyata harga jual tinggi
tidak menjadi faktor pendorong yang kuat, terutama jika pada pemeliharaan budidayanya cukup
rumit. Terlihat pada alasan pemilihan sayuran yang dibudidayakan, rata-rata responden memilih
sayuran dengan tingkat pemeliharaan yang rendah.
Faktor pendorong menghemat pengeluaran belanja mendapat skor tinggi (1,00).
Menurut Siti Rochaeni dan Erna M. Lokollo (2005), pengeluaran rumah tangga petani yang
paling besar adalah pengeluaran untuk konsumsi karena konsumsi merupakan salah satu
kebutuhan primer rumah tangga. Sehingga sangatlah wajar jika menghemat pengeluaran belanja
menjadi salah satu faktor pendorong dalam pemanfaatan lahan pekarangan.
Adanya program pemerintah seharusnya tidak menjadi pendorong utama dalam
pemanfaatan lahan pekarangan. Dikhawatirkan bahwa jika program pemerintah telah terhenti,
maka responden yang menjadikan program pemerintah sebagai pendorong tidak akan
melanjutkan pemanfaatan lahan pekarangan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang rendah
(0,00), bahwa seluruh responden (pada awalnya) memanfaatkan lahan pekarangan karena adanya
program dari pemerintah.
Buah Tropis (2011), menyatakan bahwa yang pertama kali dipikirkan seseorang saat
hendak memulai untuk memilih jenis/varietas tanaman buah/sayuran adalah dengan memikirkan
jenis/varietas tanaman buah/sayuran yang paling gampang berbuah/memberikan hasil terlebih
dahulu. Jenis/varietas tanaman buah yang paling mudah berbuah, mudah pemeliharaan, dan
sedikit hama dan penyakit yang mengganggu saat dibudidayakan (baik ditanam di lahan, maupun
ditanam di dalam pot). Budidaya yang mudah menjadi pilihan utama dengan skor tinggi oleh
responden dengan nilai 1,00.
Sebagai makhluk Tuhan, manusia tidak dapat hidup sendiri, walaupun secara fisik dapat
hidup tanpa adanya orang lain, tetapi secara psikologis tidaklah mungkin. Bahkan dapat
dikatakan bahwa hubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan pokok. Hal ini sesuai
dengan pendapat para ahli bahwa manusia merupakan makhluk individual sekaligus sebagai
makhluk sosial. Hubungan sosial ini sangat penting peranannya. Dalam hubungan sosial akan
terdapat rasa aman atau tidak aman. Rasa aman inilah yang menjadi dambaan seseorang dalam
hubungan sosial karena rasa aman inilah yang dapat menjadikan orang merasa bahagia. Rasa
aman ini akan didapat seseorang bila hubungan sosialnya memuaskan (Tri Ratna Murti, 2007).
250 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Meningkatkan hubungan sosial dengan tetangga dalam faktor pendorong responden
memanfaatkan lahan pekarangan mendapat skor tinggi dengan nilai 1,00.
Menurut Aswatini, dkk (2008), analisis tentang pola konsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa secara rata-rata, konsumsi sayur-
sayuran dan buah-buahan di masyarakat Indonesia sampai tahun 2007 masih berada di bawah
anjuran PPH, sebesar 120 kkal/kapita/hari, berdasarkan kebutuhan energi sebesar 2000
kkal/kapita/hari. Salah satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan energi sesuai anjuran PPH
karena faktor ekonomi. Dengan memanfaatkan lahan pekarangan sebagai sumber bahan sayur-
sayuran dan buah-buahan, kebutuhan akan sayur-sayuran dan buah-buahan dapat terpenuhi tanpa
harus menambah pengeluaran. Kebutuhan akan sayuran sebagai faktor pendorong responden
mendapat skor tinggi dengan nilai 1,00.
Aspek pemanfaatan lahan pekarangan akan memberikan tiga keuntungan, yaitu estetika,
ekonomi dan aspek hidup sehat, yang akan membantu penghuni dan keluarganya memiliki
kehidupan hijau dan sehat. Berkebun di halaman rumah memberikan responden banyak
kreativitas dan alternatif. Penataan lahan pekarangan yang memperhatikan estetika, akan
membuat halaman rumah menjadi lebih indah. Memperindah halaman sebagai faktor pendorong
pemanfaatan lahan pekarangan mendapat skor tinggi dengan nilai 1,00.
Menambah pengetahuan budidaya sayuran mendapat skor tinggi dengan nilai 1,00
menunjukkan bahwa responden tertarik untuk memanfaatkan lahan pekarangan dikarenakan
bertambahnya pengetahuan mereka. Pada pelaksanaan kegiatan M-KRPL, responden mendapat
pelatihan budidaya mulai dari pembuatan kompos, penyiapan media tanam, penyemaian,
penanaman, pengendalian orgasnisme pengganggu tanaman (OPT), dan penanganan hasil.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi wanita tani di Desa Tebing Kaning dalam pemanfaatan
lahan pekarangan adalah minat/hobi, menghemat pengeluaran belanja, mudah dalam
budidaya, meningkatkan hubungan sosial dengan tetangga, memenuhi kebutuhan akan
sayuran, memperindah halaman, dan menambah pengetahuan budidaya sayuran.
2. Wanita tani di Desa Tebing Kaning membutuhkan bimbingan penyuluh dan pendampingan
teknologi BPTP Bengkulu.
S a r a n
Fokus lanjutan yang perlu dilakukan untuk memperkuat hasil kajian ini adalah, menganalisis
bagaimana pengelolaan organisasi, pengolahan dan pemasaran yang baik dapat membantu wanita
tani dalam pemanfaatan lahan pekarangan.
DAFTAR PUSTAKA
Aswatini, Mita Noveria dan Fitranita. 2008. Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat dalam
Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang. Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. III No. 2
(Online). isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/320897119.pdf [28 Nopember 2012].
Azis Turindra. 2009. Pengertian Partisipasi. http://turindraatp.blogspot.com/2009/ 06/pengertian-
partisipasi.html [28 Nopember 2012].
Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
BPS Kab. Bengkulu Utara. 2011. Bengkulu Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bengkulu Utara. Arga Makmur.
Buah Tropis. 2011. Memilih Jenis/Varietas Tanaman Buah. http://buahtropis.wordpress.
com/2011/02/08/memilih-jenisvarietas-tanaman-buah/ [27 Nopember 2012].
251 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mike Rini. 2012. Hobi yang Menghasilkan Uang. http://topselindo.ucoz.com/index/
hobby_menghasilkan_uang/0-14 [27 Nopember 2012].
Qoriah Saleha, Hartoyo dan Dwi Hastuti. 2012. Manajemen Sumberdaya Keluarga: Suatu
Analisis Gender dalam Kehidupan Keluarga Nelayan di Pesisir Bontang Kuala,
Kalimantan Timur (Online). http://202.124.205.111/index.php/jikk/article/ view/5150/3526
[27 Nopember 2012].
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang
OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya. Palembang.
Siti Rochaeni dan Erna M. Lokollo. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Ekonomi Rumah Tangga Petani di Kelurahan Setugede Kota Bogor. Jurnal Agro Ekonomi
Volume 23 No 2: 133 – 158.
Suyastiri, N.M. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Perdesaan di Kecamatan Semin
Kabupaten Gunung Kidul. Ekonomi Pembangunan 13 (1):51-60.
Tri Ratna Murti. 2007. Meningkatkan Hubungan Sosial Bagi Manusia. http://tiang-
awan.tripod.com/art2-hubsos.htm [27 Nopember 2012].
Umi Pudji Astuti, 2012. Petunjuk Teknis: Pemanfaatan Lahan Pekarangan di Provinsi Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
252 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
ANALISIS EFISIENSI FAKTOR PRODUKSI
PADA USAHATANI PADI SAWAH DI BENGKULU
Hamdan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Berbagai permasalahan yang dihadapi subsektor tanaman pangan menyebabkan terjadinya penurunan
produksi padi di Bengkulu. Kondisi iklim global, degradasi lahan, akses terhadap input usahatani yang semakin sulit
menyebabkan turunnya motivasi pahlawan pangan dalam mengelola usahataninya. Lebih lanjut, pelandaian produksi
yang terus terjadi menyebabkan perubahan orientasi usahatani utama, misalnya dari tanaman pangan ke tanaman
perkebunan. Kondisi ini dipengaruhi oleh pengelolaan usahatani dan alokasi sumberdaya yang belum efektif dan
ekonomis. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui alokasi sumberdaya dalam usahatani padi dan
pengaruhnya terhadap tingkat produksi. Selain itu juga perlu diperoleh alokasi ekonomis dari penggunaan sumberdaya
tersebut. Penelitian ini dilakukan di 3 kabupaten yaitu Seluma, Bengkulu Selatan, dan Bengkulu Utara. Analisis data
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang diestimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan fungsi
keuntungan yang diturunkan dari fungsi produksi tersebut. Hasil analisis regresi menunjukkan pengaruh penggunaan
benih, pupuk urea, dan pupuk NPK yang signifikan terhadap produksi padi. Secara ekonomi penggunaan input benih,
pupuk urea, dan pupuk NPK belum optimal. Penambahan penggunaan masing-masing input masih memungkinkan
untuk meningkatkan produksi padi sawah.
Kata kunci: faktor produksi, efisiensi, padi, sawah, usahatani
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan pengerak utama pembangunan di wilayah Provinsi
Bengkulu. Share Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian atas dasar harga berlaku
dalam 10 tahun terakhir mencapai 33%, tahun 2002 sebesar Rp 2,02 triliun dan tahun 2011 naik
menjadi Rp 5,95 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39% per tahun. Subsektor
tanaman pangan merupakan penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp 3,71 triliun
(62,38%) dikuti subsektor sebesar Rp 1,58 triliun (26,60%), dan subsektor peternakan sebesar Rp
0,65 triliun (11,02%) (BPS 2011).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Agustus 2011 yang dimuat
dalam publikasi Bengkulu Dalam Angka 2012 oleh BPS Provinsi Bengkulu, mayoritas penduduk
Bengkulu berusia 15 tahun keatas bekerja di sektor pertanian (52.24%), kemudian di sektor
Perdagangan(18.43%), Jasa-jasa lainnya (15.34%), Konstruksi (4.99%), Angkutan dan
komunikasi (3%), Industri(2.9%), Bank dan Lembaga (1.69%), Pertambangan (1.09%) dan paling
sedikit di sektor listrik danair minum (0.32%). Penduduk Provinsi Bengkulu pada tahun 2011
berjumlah 1.742.080 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.67%.
Salah satu komoditas pertanian yang diharapkan dapat bergerak positif dalam hal
peningkatan produksi dan pendapatannya adalah padi. Kerberlanjutan produksi padi sangat
penting untuk dijaga mengingat perannya sebagai bahan pangan pokok, juga merupakan
komoditas strategis dalam menjaga ketahanan pangan. Peningkatan produksi padi hanya dapat
dilakukan dengan pengelolaan usahatani yang baik dengan dukungan teknologi serta jaminan
ketersediaan sarana produksi pertanian seperti benih/bibit unggul, pupuk dan obat-obatan.
Upaya untuk meningkatkan produksi pertanian (padi) telah banyak dilakukan baik oleh
pemerintah melalui lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan
tinggi. Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa masih terjadi perbedaan yang
tinggi antara potensial produksi padi berbeda dengan hasil yang diperoleh petani. Perbedaan hasil
umumnya disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi yaitu
kondisi keterbatasan petani untuk menggunakan inovasi teknologi budidaya, seperti pengetahuan,
akses terhadap sumber modal, pemasaran, prasarana transportasi, irigasi. Sedangkan faktor teknis
ketersediaan air irigasi, kondisi kesuburan lahan, hama dan penyakit tanaman. Faktor-faktor ini
akan menjadi pertimbangan bagi petani dalam mengalokasikan input seperti bibit, pupuk, tenaga
kerja, dan obat-obatan.
253 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Hasil penelitian yang dilakukan Notarianto (2011); Effendy (2010); Brits (2008) dalam
Effendy (2010); Moses & Adebayo (2007); menyebutkan variabel yang pengaruh secara
signiifikan terhadap produksi padi adalah luas lahan, jumlah benih, pupuk, tenaga kerja terhadap
produksi padi sawah. Mahananto, et.al (2009), penggunaan pestisida, jarak lahan garapan dengan
rumah petani, dan sistem irigasi. Sedangkan Basorun & Fasakin (2012), menyebutkan status
pernikahan petani padi, luas lahan ditanami, ketersediaan pasar padi, jumlah buruh yang terlibat
dalam produksi dan penggunaan agro-kimia.
Usahatani padi sawah tidak hanya sebagai penghasil bahan makanan tetapi juga
mempunyai nilai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan dari kegiatan
usahatani antara lain penyedia lapangan kerja dan penyangga ketahanan pangan (Irawan at al.
2006). Oleh karenanya perlu pengelolaan yang tepat dengan menggunakan faktor produksi secara
efisien guna meningkatkan produksi dan menjaga keberlanjutan produksi. Penggunaan faktor
produksi yang tidak efisien dalam usahatani padi sawah akan mengakibatkan rendahnya produksi
dan tingginya biaya, dan pada akhirnya mengurangi pendapatan petani. Bagi petani kegiatan
usahatani yang dilakukan tidak hanya meningkatkan produksi tetapi bagaimana menaikkan
pendapatan melalui pemanfaatan penggunaan faktor produksi.
Pengelolaan input produksi harus mempertimbangkan prinsip optimalisasi guna
pencapaian produksi yang tinggi dengan alokasi input yang efisien dan efektif. Menurut
Soekartawi (2001), efisien ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis,
efisiensi alokatif (efisiensi harga), dan efisiensi ekonomi. Petani sebagai entrepreneur akan
bertindak secara rasional dan logis dalam pengelolaan usahataninya. Sumberdaya yang terbatas
akan dimanfaatkan oleh petani secara efisien guna memperoleh keuntungan yang maksimum.
Akan tetapi karena keterbatasan ekonomi, pengetahuan usahatani maka tingkat penggunaan
sumberdaya secara optimal belum tercapai. Oleh sebab itu dalam penelitian ini selain akan diteliti
tentang pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah juga akan diteliti tingkat
efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi padi sawah Provinsi Bengkulu, yaitu di
Kabupaten Bengkulu Utara (Kecamatan Argamakmur, Kerkap dan Padang Jaya), Bengkulu
Selatan (Kecamatan Kedurang dan Seginim), dan Seluma (Kecamatan Seluma Selatan). Lokasi
penelitian ditentukan secara sengaja (purposive), yaitu daerah persawahan dengan irigasi yang
mengalami konversi lahan menjadi perkebunan. Pengumpulan data dilakukan dua tahap, yaitu
bulan April 2011 sampai dengan Juli 2011 untuk Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Bengkulu
Selatan dan Bengkulu Utara bulan Mei 2012 sampai dengan Juni 2012 yang melibatkan 67
responden. Data yang dikumpulkan adalah keragaan usahatani padi sawah pada periode tanam
musim hujan (MH) dan keragaan responden melalui wawancara dengan panduan kuesioner.
Analisis Data
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah menggunakan
pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas. Agar fungsi produksi di atas dapat ditaksir, maka
persamaan tersebut perlu ditransformasikan ke dalam bentuk linier sehingga menjadi:
LnY = β0 + β1LnX1 + β2LnX2 + β3LnX3 + … + β5LnX5 + ε ………………… 1
Di mana: Y = Produksi padi (kg)
X1 = Penggunaan bibit (kg)
X2 = Penggunaan pupuk Urea (kg)
X3 = Penggunaan pupuk NPK (kg)
X4 = Dummy variabel Penggunaan pupuk SP-36 (1= menggunakan; 0=tidak)
X5 = Dummy variabel (1= ada kendala; 0= tidak ada)
β0 = Intersep
β1… β5 = Koefisien regresi
ε = Error, faktor lain yang berpengaruh dan tidak tertampung dalam model
254 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pengujian Model
Pengujian ini dimaksudkan untuk memperoleh kepastian tentang konsistensi model
estimasi yang dibentuk berdasarkan teori ekonomi yang mendasarinya. Pengujian dilakukan
terhadap nilai R2
untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh variansi dari variabel tak bebas
dapat dijelaskan oleh variansi dari variabel bebas. F-hitung untuk melihat pengaruh variabel
bebas yang digunakan secara keseluruhan terhadap model yang dihasilkan dan uji dan t-hitung
untuk untuk mengetahui koefisien (peubah bebas X) yang berpengaruh nyata terhadap Y.
Uji Asumsi Klasik
Model regresi linier berganda (multiple regression) dapat disebut model yang baik jika
memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai apabila model
yang dihasilkan memenuhi Asumsi Klasik, yaitu uji normalitas, uji multikoliniertas, uji
autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas (Juanda 2009).
Analisi efisiensi faktor produksi
Alokasi yang efisien dari input produksi dapat tercapai pada kondisi value marginal
product (NPMXi) sama dengan harga dari inputnya (pi). Nilai Produk Marginal dapat dihitung
dengan mengalikan marginal physical product (MPP) dengan harga satu-satuan unit produksi
yang dihasilkan (Py), dengan formula sebagai berikut:
…………………………………… 3
Dimana: MPPXi = Marginal Physical Product dari Xi
= Geometrik mean dari output
= Geometrik mean dari input Xi
βi = Koefisien regresi masing-masing faktor produksi (Xi)
Indeks Efisiensi Faktor Produksi
Efisiensi penggunaan faktor produksi (efficiency index) ditentukan dengan cara
membandingkan Nilai Produksi Marginal (VMP) faktor produksi dengan harga faktor produksi
yang ditimbulkan, dengan faomula sebagai berikut:
Alokasi penggunaan faktor produksi tidak efisien dapat terjadi karena dua kemungkinan
yaitu: (1) alokasi masukan faktor produksi masih terlampau rendah atau (2) alokasi masukan
faktor produksi sudah terlampau tinggi. Menurut Soekartawi (2003) bahwa dalam kenyataan
NPMxi tidak selalu sama dengan Pxi, yang sering terjadi adalah (NPMxi/Pxi)>1, artinya
penggunaan input X belum efisien, untuk mencapai efisiensi maka input X perlu ditambah.
(NPMxi/Pxi)<1, artinya penggunaan input X tidak efisien, untuk menjadi efisien maka
penggunaan input X perlu dikurangi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani
Umur rata-rata responden tergolong pada kelompok usia produktif, yaitu rata-rata
sekitar 48,37 tahun, secara fisik cukup potensial untuk mendukung aktivitas kegiatan usahatani
padi yang membutuhkan curahan tenaga yang banyak. Jumlah anggota keluarga rata-rata 2,78
255 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
jiwa (3 orang/KK), artinya pengelolaan usahatani umumnya hanya dilakukan oleh kepala
keluarga dan 1 orang anggota keluarga (Tabel 1).
Tabel 1 Keragaan karakteristik petani responden padai sawah di Provinsi Bengkulu.
Variabel Kisaran Rata-rata
Umur KK (tahun)
Pendidikan KK (tahun)
Tanggungan (jiwa)
Pengalaman usahatani padi (tahun)
Luas kepemilikan sawah (hektar)
27 - 83
0 -16
1 - 6
1 - 50
0,14 – 4,00
48,37
8,30
2,78
19,57
0,70
Sumber : data primer (diolah), 2011.
Pengalaman rata-rata usahatani padi sekitar 19,57 tahun, artinya petani sudah sangat
memahami seluk beluk usahatani padi sehingga dapat mengelolanya secara efektif dan efisien.
Tingkat pendidikan bervariasi dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan lama
pendidikan rata-rata 8,30 tahun (tidak menamatkan SMP). Tingkat pendidikan responden
tergolong rendah, faktor ini akan berpengaruh pada kemampuan adopsi teknologi dan
kemampuan berinovasi serta manajerial petani dalam berusahatani padi.
Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani
Analisis usahatani diperlukan untuk mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan
sumberdaya yang ada (benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan input lainnya) secara efektif dan
efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan pada waktu tertentu. Secara umum analisis
usahatani dapat dilakukan secara finansial dan ekonomi. Secara finansial harga-harga yang
menjadi patokan/ acuan adalah harga riil atau harga pasar (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata penggunaan input, biaya dan penerimaan usahatani padi per hektar di Provinsi
Bengkulu.
Variabel Jumlah Nilai (Rp) Alokasi biaya (%)
Output (kg) 4.062 12.250.528,-
1. Benih (kg)
2. Pupuk
- Urea (kg)
- SP-36 (kg)
- NPK (kg)
- Pupuk kandang (kg)
3. Pestisida
- Herbisida (liter)
- Insektisida (mililiter)
- Fungisida (mililiter)
4. Tenaga kerja (HOK)
- Tenaga kerja keluarga
- Tenaga kerja luar keluarga
- Tenaga borongan (olah tanah, tanam,
panen)
5. Transportasi
6. Irigasi
47,84
250,79
85,36
147,40
286,48
0,95
395,85
54,34
29,29
21,10
-
-
-
191.523,-
489.596,-
209.698,-
392.515,-
60.274,-
49.819,-
136.868,-
26.659,-
885.472,-
630.187,-
2.673.270,-
321.572,-
321.027,-
3,00
18,03
3,34
65,67
5,03
5,03
Total 6.388.480,- 100,00
Pendapatan 5.862.048,-
Sumber: Data primer (diolah), 2011.
Pada Tabel 2.tergambar rata-rata produksi padi sebanyak 4,062 kg/ha dengan
penerimaan sebesar Rp 12.250.528,-/ha/musim. Alokasi biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja
sebesar Rp 4.188.929,-/ha atau 65,67 persen dan biaya untuk pembelian pupuk sebesar Rp
256 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
1.152.083,-/ha/musim atau 18,03% dari total biaya produksi. Tingginya biaya tenaga kerja ini
berasal dari sistem panen yang dilakukan petani, biaya panen dibayarkan dalam bentuk natura
dengan perhitungan 1:7 atau 1:8. Artinya setiap 7 karung gabah bersih yang telah dikerjakan
maka upahnya dibayarkan sebanyak 1 karung dengan berat per karung berkisar antara 45-50 kg
GKP.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi
Hasil analisis terhadap penggunaan faktor produksi (input) dan pengaruhnya terhadap
produksi padi sawah menggunakan software SPSS 17 disajikan pada Tabel 3. Dimana
berdasarkan output SPSS, maka secara matematis dapat ditulis model regresi antara variabel
produksi dengan variabel yang mempengaruhinya dalam persamaan berikut:
LnY= 3,323 + 0,459LnX1 + 0,396LnX2 - 0,019LnX3 + 0,211LnX4 - 0,090LnX5
Model yang dihasilkan cukup baik, uji normalitas dengan melihat rasio Skewness dan
Kurtosis diperoleh nilai – 0,56 dan – 0,66. Nilai ini berada diantara -2,00 dan 2,00 maka dapat
disimpulkan distribusi data adalah normal (Santoso, 2000). Selanjutnya untuk uji autokorelasi
menggunakan uji Durbin-Watson (DW-Test), diperoleh nilainya 2,020 (nilai dU= 1,768, dan dL=
1,449 dengan derajat kepercayaan 5% dan 67 observasi serta 5 variabel penjelas). Nilai DW-Test
berada diantara dU sampai 4-dU, maka koefisien autokorelasi sama dengan nol (tidak ada
autokorelasi).
Tabel 3 Hasil analisis regresi faktor produksi pada usahatani padi sawah di Provinsi Bengkulu.
Variabel β t sig VIF
(Constant)
Penggunaan benih (X1)
Penggunaan pupuk urea (X2)
Penggunaan pupuk SP-36 (X3)
Penggunaan pupuk NPK (X4)
Masalah Irigasi (X5)
R Square
F-hitung
Durbin-Watson
3,323
0,459
0,396
-0,019
0,211
-0,090
0,758
38,110
2,020
9,842
5,274
4,868
-0,256
2,918
-1,227
0,000
0,000*)
0,000*)
0,799
0,005*)
0,225
1.,478
1,707
1,101
1,664
1,042
Keterangan: *) Signifikan pada α = 0,01
Sumber : Data primer (diolah), 2011
Berdasarkan output SPSS pada Tabel di atas, maka secara matematis dapat ditulis
model regresi antara variabel produksi dengan variabel yang mempengaruhinya dalam
persamaan berikut:
Uji Multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi yang kuat di
antara variabel-variabel independen yang diikutsertakan dalam pembentukan model. Untuk
mendeteksi apakah model regresi linier mengalami Multikolinearitas dapat diperiksa
menggunakan Variance Inflation Factor (VIF) untuk masing-masing veriabel independen, yaitu
jika suatu variabel independen mempunyai nilai VIF > 10 berarti telah terjadi multikolinearitas.
Hasil analisis diperoleh nilai VIF bi bawah 10, berarti tidak terdapat multikolinieritas dalam
model. Untuk uji Heteroskedatisitas dilakukan dengan Uji Glejser, hasil penggujian dengan
program SPSS diperoleh nilai variabel penjelas yang tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap residual sehingga dapat disimpulkan model bebas dari masalah Heteroskedastisitas.
Nilai koefisien determinasi (R2) diperoleh sebesar 0,758, artinya 75,80% keragaman
produksi padi sawah dapat dijelaskan variabel Penggunaan benih (X1), Penggunaan pupuk urea
(X2), Penggunaan pupuk SP-36 (X3), Penggunaan pupuk NPK (X4), dan Masalah Irigasi(X5),
sedangkan sisanya 24,20% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Nilai Fhitung diperoleh 38,11 dan nilai signifikan 0,000, artinya bahwa variabel-variabel
yang diduga secara keseluruhan berpengaruh terhadap produksi padi. Secara parsial variabel yang
berpengaruh secara significant adalah penggunaan benih (X1), penggunaan pupuk urea (X2), dan
257 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
penggunaan pupuk NPK (X4). Sedangkan penggunaan pupuk SP-36 dan kendala irigasi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi.
Penggunaan benih yang tepat secara kuantitas dan kualitasnya berpengaruh sangat besar
dalam keberhasilan usahatani. Faktor produksi benih berpengaruh signifikan terhadap produksi
secara positif, artinya setiap penambahan satu satuan input mampu menaikkan produksi sebesar
45,90% dengan kondisi faktor lain tetap. Rata-rata penggunaan benih petani sebanyak 47,84
kg/ha, jumlah ini jauh lebih tinggi dari yang direkomendasi sebanyak 30 - 35 kg/ha untuk cara
pindah dan jajar legowo 35 - 40 kg/ha. Tingginya penggunaan benih disebabkan benih yang
digunakan umumnya hasil penangkaran sendiri dan dalam proses penyemaian belum dilakukan
sesuai anjuran terutama luas lahan semaian.
Penggunaan pupuk urea ditingkat petani sebanyak 250,79 kg/ha, jumlah ini lebih
banyak dibandingkan rekomendasi yaitu 228 kg/ha untuk Bengkulu Selatan, 192 kg/ha untuk
Seluma dan 150 kg/ha untuk Bengkulu Utara (BPTP 2010). Secara statistik penambahan input
pupuk urea masih memungkinkan dengan nilai elatisitas sebesar 0,396, artinya penambahan 1
satuan input pupuk urea akan menaikan produksi sebesar 39,60%.
Penggunaan rata-rata pupuk NPK sebanyak 147,40 kg/ha, lebih rendah dibandingkan
rekomendasi yaitu 174 kg/ha untuk Bengkulu Selatan, 186 kg/ha untuk Seluma dan 150 kg/ha
untuk Bengkulu Utara (BPTP 2010). Penambahan input pupuk NPK masih memungkinkan
dengan nilai elatisitas sebesar 0,211, artinya penambahan 1 satuan input pupuk NPK akan
menaikan produksi sebesar 21,10,60%.
Penggunaan pupuk oleh petani belum sesuai anjuran, hal ini disebabkan rendahnya
pengetahuan petani tentang pupuk dan waktu pengaplikasian yang tidak tepat. Selain itu faktor
ketersediaan ditingkat petani dan harga pupuk juga ikut mempengaruhi jumlah pupuk yang
digunakan.
Efisiensi Faktor Produksi
Pengukuran tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan nilai koefisien regresi dari masing-masing varabel bebas (input produksi), rata-rata
penggunaan input dan rata-rata harga input dan produksi (Tabel 4). Tingkat efisiensi penggunaan
input sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik lahan, pola dan kebiasaan usahatani.
Penggunaan faktor produksi benih sebanyak 47,84 kg/ha, memiliki efficiency index
yang lebih besar dari 1, artinya alokasi benih dalam jumlah tersebut belum efisien. Disarankan
penambahan penggunaan input benih, terutama dari sisi kualitas benih dan cara penyemaian
karena sebagian besar petani menggunakan benih hasil produksi sendiri tanpa proses seleksi yang
baik. Anjuran penggunaan benih sebanyak 20-25 kg dengan luas pembibitan 400 meter persegi
(Badan Litbang, 2007).
Tabel 4 Hasil analisis efisiensi penggunaan faktor produksi padi sawah di Provinsi Bengkulu.
Variabel koef MPP NPM Indek efisien
Penggunaan benih
Penggunaan pupuk urea
Penggunaan pupuk NPK
0,46
0,40
0,21
35,65
6,07
5,92
112.122,40
19.073,09
18.614,45
26,59
9,62
6,98
Sumber: data primer (diolah), 2011.
Faktor produksi pupuk urea dan pupuk NPK memiliki nilai indek efisiensi lebih besar
dari 1, berarti penggunaan kedua faktor produksi pupuk ini masih dapat ditingkatkan
pengggunaannya dengan waktu pemupukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tahap
pertumbuhan tanaman untuk memperoleh produksi yang optimum. Menurut Pirngadi dan
Abdulrachman (2005) penggunaan NPK 15-15-15 dengan dosis 300 kg/ha mampu menghasilkan
6,25 ton GKG. Pupuk diberikan diberikan tiga kali, yaitu pada umur 7 hari setelah tanam (HST),
21 HST dan saat primordial bunga.
258 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Hal sebaliknya diungkapkan oleh Dewi et.al (2012), penggunaan benih, pupuk urea,
pupuk NPK, pestisida, dan tenaga kerja dalam usahatani padi di Subak Pacung Babakan sudah
tidak efisien, artinya penggunaan input harus dikurangi untuk mencapai efisiensi usahatani.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Teknologi budidaya pada usahatani padi sawah didaerah penelitan telah diadopsi oleh petani,
namun belum dilaksanakan sesuai rekomendasi sehingga produktivitas usahatani masih
rendah, yaitu 4,062 kg/ha/musim. Sedangkan biaya usahatani yang dibutuhkan cukup tinggi
sehingga keuntungan yang diperoleh juga relatif rendah sebesar Rp 5,862,048/ha/musim.
2. Hasil analisis regresi diperoleh pengaruh faktor penggunaan benih, penggunaan pupuk urea,
dan penggunaan pupuk NPK yang signifikat pada α=0,01 terhadap produksi padi. Sedangkan
faktor penggunaan pupuk SP-36 dan masalah ketersediaan air irigasi tidak berpengaruh
terhadap produksi padi. Secara teknis penggunaan faktor-faktor produksi belum efisien,
sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan produksi melalui penambahan faktor
produksi tersebut.
3. Dalam upaya mempertahankan ketersediaan pangan dan keberlanjutan usahatani padi guna
meningkatkan pendapatan petani, maka disarankan peningkatan sosialisasi rekomendasi
teknologi budidaya yang telah dihasilkan dengan melibatkan penyuluh pertanian. Penekanan
dari sosialisasi ini adalah alokasi penggunaan input, seperti benih unggul, penggunaan pupuk
sesuai kebutuhan tanaman, serta penggunaan pestisida secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Basorun JO, Fasakin JO. 2012. Factors influencing rice production in Igbemo-Ekiti Region of
Nigeria. Journal of Agriculture, Food and Environmental Sciences ISSN 1934-7235
Volume 5, Issue 1.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
BPTP Bengkulu. 2010. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi di Provinsi
Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi.
Pedoman bagi Penyuluh Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Dewi IGAC, Suamba IK dan Ambarawati IGAA. 2012. Analisis Efisiensi Usahatani Padi
Sawah. Studi kasus di Subak Pacung Babakan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. E-
journal Agribisnis dan Agrowisata vol. 1, no. 1.
Effendy 2010. Efisiensi Faktor Produksi dan Pendapatan Padi Sawah di Desa Masani
Kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso. Jurnal Agroland 17 (3) :233 – 240.
Irawan, Sanim B., Siregar H. dan Kurnia U. 2006. Evaluasi Ekonomi Lahan Pertanian:
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia vol. 11 no. 3 hal 32-41.
Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.
Mahananto, Sutrisno S dan Ananda C.F. 2009. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Produksi
Padi Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Wacana Vol. 12 No.1.
Moses J, Adebayo EF. 2007. Efficiency of factors determining rainfed rice production in Ganye
Local Government Area, Adamawa State. Jurnal Of Sustainable Development in
Agriculture & Environment Vol. 3.
Notarianto D. 2011. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani
Padi Organik dan Padi Anorganik (studi kasus: Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen).
[skripsi] Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang
Pirngadi K dan Abdulrachman S. 2005. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK (15-15-15) Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Jurnal Agrivigor 4 (3) hal 188-197.
259 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Soekartawi. 2001. Ilmu Usahatani. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Santoso S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
260 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PENGARUH PERBAIKAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI
TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI KELURAHAN
TABA PENANJUNG KABUPATEN BENGKULU TENGAH
Andi Ishak, Bunaiyah Honorita, dan Yesmawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Penerapan teknologi yang masih sederhana di tingkat petani, berakibat pada rendahnya produktivitas dan
pendapatan petani. Perbaikan teknologi dan sistem budidaya padi sawah diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui
penerapan teknologi yang spesifik lokasi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT)
Padi sawah. Suatu kajian tentang pengaruh perbaikan penerapan teknologi terhadap pendapatan petani telah dilakukan
di Kelurahan Taba Penanjung, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah pada MT. II (Juni-
September) tahun 2012. Pengkajian bertujuan untuk : 1) mengetahui keragaan budidaya padi eksisting di tingkat petani
dan 2) pengaruh penerapan komponen teknologi PTT padi sawah terhadap pendapatan petani. Pengkajian dilakukan di
lahan 7 petani kooperator seluas 5 ha di Kelurahan Taba Penanjung. Data yang dikumpulkan meliputi keragaan
teknologi eksisting serta biaya input dan output usahatani padi. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan
matematis. Dari hasil kajian diketahui bahwa penerapan teknologi dalah usahatani padi petani kooperator masih
tergolong sederhana. Usahatani padi sawah melalui penerapan teknologi PTT menghasilkan produksi dan pendapatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani eksisting yang diterapkan oleh petani. Pendapatan petani meningkat
137,29% dari sebelum penerapan teknologi. Produksi padi sawah yang sebelumnya sebesar 2.379 kg GKP meningkat
menjadi 5.643 kg GKP. Dilihat dari aspek R/C ratio dan B/C ratio, usahatani padi sawah dengan penerapan komponen
teknologi PTT yang direkomendasikan lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknologi budidaya eksisting di
tingkat petani, dengan masing-masing nilai R/C ratio dan B/C ratio pada teknologi eksisting adalah 2,28 dan 1,28
menjadi 3,29 dan 4,29 pada saat penggunaan komponen teknologi PTT padi sawah.
Kata kunci : penerapan, teknologi, pendapatan, dan PTT padi sawah
PENDAHULUAN
Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan dan
berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan secara nasional. Padi memberikan
kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional (Wibawa, 2008). Kabupaten
Bengkulu Tengah merupakan salah satu sentral penghasil beras di Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu tahun 2010, tingkat
produktivitas padi di Kabupaten Bengkulu Tengah yaitu 3,68 ton/ha, lebih rendah dibandingkan
dengan produktivitas di tingkat provinsi, yaitu 3,87 ton/ha. Produktivitas tersebut masih dapat
ditingkatkan, salah satunya adalah dengan melakukan perluasan areal tanam dan peningkatan
adopsi atau penggunaan teknologi pertanian.
Salah satu cara untuk mengurangi senjang hasil adalah dengan menerapkan teknologi
yang spesifik lokasi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang merupakan
suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan
petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani yang meliputi:
varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik melalui
pengembalian jerami atau pupuk kandang ke sawah dalam bentuk kompos, pengaturan populasi
tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah,
pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (pengendalian
hama terpadu), pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit muda (<21
hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan
dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Badan Litbang
Pertanian, 2010).
Sebagai upaya percepatan transfer teknologi pertanian ke petani, diseminasi perlu
dilakukan. Strategi diseminasi yang diterapkan BPTP Bengkulu mengikuti prinsip Spectrum
Diseminasi Multi Channel (SDMC) yang diformulasikan oleh Badan Litbang Pertanian,
Kementerian Pertanian. Strategi ini dimaksudkan agar teknologi dapat tersebar kepada pengguna
secara luas dalam waktu relatif cepat dengan memanfaatkan jalur komunikasi (aktor dan media)
261 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
secara optimal baik secara formal maupun informal. Prosesnya melalui generating agent
(penghasil teknologi), delivery agent (penyalur teknologi), dan akhirnya kepada receiving agent
(pengguna teknologi) (Badan Litbang Pertanian, 2011). Mengacu pada prinsip SDMC, maka
upaya diseminasi yang dilakukan BPTP Bengkulu sebagai UPT Badan Litbang Pertanian
dilakukan dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi diantaranya adalah melalui
demonstrasi teknologi dan pertemuan.
Penerapan teknologi yang masih rendah di tingkat petani, berakibat pada rendahnya
produktivitas dan pendapatan petani. Perbaikan teknologi dan sistem budidaya diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena
itu, kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbaikan penerapan teknologi terhadap
pendapatan petani.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan melalui demplot dan sosialisasi teknologi di Kelurahan Taba
Penanjung, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah. Demonstrasi plot
(demplot) dilakukan pada MT. II tahun 2012 yaitu dari bulan Juni s/d September 2012 pada lahan
sawah irigasi seluas 5,0 ha melibatkan 7 orang petani kooperator. Kegiatan dimulai dengan Focus
Group Discussion (FGD) untuk merumuskan perbaikan teknologi budidaya padi dalam kegiatan
demplot. Komponen PTT yang diterapkan antara lain 1) Varietas Unggul Baru (VUB), meliputi
Inpari 14, Inpari 15, dan Inpari 20; 2) sistem tanam legowo 4:1; 3) bibit muda (umur <21 HSS);
4) jumlah tanaman 2-3 batang per lubang tanam; 5) dosis pupuk yang diintroduksikan adalah
dosis rekomendasi spesifik lokasi berdasarkan hasil analisis tanah dengan Perangkat Uji Tanah
Sawah (PUTS) yaitu 222 kg urea/ha + 50 kg KCl/ha + 240 kg phonska/ha. Data yang
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi keragaan teknologi
budidaya eksisting, data input dan output, serta data analisis usahatani. Data sekunder diambil
dari data BPS dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bengkulu Tengah.
Data dianalisis secara deskriptif dan matematis untuk mengetahui peningkatan produktivitas dan
pendapatan petani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Padi Sawah Eksisting
Penerapan teknologi dalam usahatani padi petani kooperator masih tergolong sederhana.
Hal ini terlihat pada penggunaan benih, umur persemaian, sistem tanam, dan dosis pemupukan.
Rata-rata petani masih menggunakan benih tidak berlabel yang disisihkan dari hasil panen sendiri
ataupun dengan cara menukar benih dengan petani tetangga. Umur persemaian antara 25-30 hari,
dengan jumlah bibit 5-7 tanaman per lubang tanam. Umumnya petani menanam padi dengan
jarak tanam tidak beraturan, terkait dengan upah tenaga kerja tanam yang dibayar secara
borongan. Jarak tanam belum teratur, sebagian petani telah menggunakan sistem tegel atau lorong
dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Di sisi pematang belum dibuat caren untuk pengendalian keong
emas, sehingga petani masih ragu untuk menanam bibit 2-3 batang per lubang tanam, disamping
masih menggunakan bibit tua. Hal ini menyebabkan pemborosan benih, 1 hektar pertanaman
membutuhkan 36 kg benih padi. Petani melakukan pemupukan 1 kali selama musim tanam
dengan dosis pupuk yang rendah (100 kg Urea + 50 kg SP-36 per hektar), masih jauh di bawah
rekomendasi berdasarkan hasil uji tanah dengan Perangkat Uji Tanah Sawah yaitu 250 kg Urea +
250 kg NPK Phonska + 50 kg KCl per hektar. Teknologi budidaya padi eksisting secara rinci
tersaji pada Tabel 1.
262 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Teknologi Budidaya Padi Eksisting di Kelurahan Taba Penanjung Kabupaten Bengkulu
Tengah Tahun 2012.
No. Sistem Budidaya Uraian
1. Benih yang digunakan Turunan
2. Varietas yang sering ditanam Ciherang dan Batubara (Varietas lokal)
3. Pola tanam dalam satu tahun IP 200
4. Sistem tanam Tidak beraturan
5. Pemupukan 1 kali (dosis : 100 kg urea dan 50 kg SP-36)
6. Penyiangan Satu kali
Sumber : Tabulasi data primer tahun 2012.
Keuntungan rata-rata petani dari usahatani sawah sebesar Rp. 4.558.123 dengan standar
deviasi +/- Rp. 3.464.050 sehingga kisaran keuntungan petani dari usahatani padi adalah antara
Rp. 1.094.073 s/d Rp. 8.022.173 per hektar per musim tanam. Dari hasil analisis, usahatani padi
sawah dengan sistem budidaya yang diterapkan oleh petani selama ini telah layak diusahakan
dengan nilai B/C > 1 (Tabel 2). Namun, produktivitas yang dihasilkan masih lebih rendah
dibandingkan dengan proktivitas rata-rata di Kabupaten Bengkulu Tengah (3.420 kg/ha).
Sehingga perlu diupayakan peningkatan produktivitas melalui pendekatan penerapan teknologi
Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) padi sawah, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Pengaruh Perbaikan Penerapan Teknologi Terhadap Pendapatan Petani
Komponen teknologi yang diterapkan pada demplot mengacu pada komponen teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Komponen PTT yang diterapkan antara lain
meliputi 1) Varietas Unggul Baru (VUB), meliputi Inpari 14, Inpari 15, dan Inpari 20; 2) sistem
tanam jajar legowo 4:1; 3) bibit muda (umur <21 HSS); 4) jumlah tanaman 2-3 batang per lubang
tanam; 5) dosis pupuk yang diintroduksikan adalah dosis rekomendasi spesifik lokasi berdasarkan
hasil analisis tanah dengan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) yaitu 222 kg urea/ha + 50 kg
KCl/ha + 240 kg phonska/ha. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa melalui pendekatan PTT
padi sawah ternyata mampu meningkatkan produktivitas hasil panen gabah kering panen (GKP)
dan pendapatan petani. Analisis usahatani eksisting dan penerapan teknologi tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis usahatani eksisting dan usahatani dengan penerapan teknologi PTT padi sawah
di Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2012.
No U r a i a n Biaya rata-rata usahatani
Eksisting Pendekatan PTT
A Pengeluaran (Rp)
1 Benih (jumlah 1) 203.167,- 71.429
2 Tenaga kerja
- Semai 50.000,- 70.714
- Biaya traktor 625.000,- 625.000
- Penanaman 740.476,- 926.607
- Penyiangan 106.250,- 82.917
- Penyemprotan 127.381,- 103.571
- Pemupukan 50.000,- 96.429
- Pemanenan 657.095,- 657.095
- Pengangkutan 352.619,- 480.214
- Penjemuran 119.167,- 119.167
Jumlah tenaga kerja (2) 2.827.988,- 3.161.714
3 Pupuk
- Urea
- SP-36
- NPK Phonska
- Pupuk cair
- KCl
221.429,-
148.214,-
11.905,-
22.000,-
0,-
500.000
-
268.000
-
464.300
263 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Jumlah pupuk (3) 403.548,- 1.232.300
4 Pestisida
- Insektisida 48.095,- 0
- Herbisida 56.286,- 49.857
- Fungisida 0,- 17.143
- Moluksisida 3.810,- 3.810
- Rodentisida 31.429,- 0
Jumlah pestisida (4) 139.619,- 70.810
Jumlah pengeluaran total (A) 3.531.934,- 4.464.824,-
B Panen (kg GKP) 2.379 5.643
C Harga jual (Rp. 3.400/kg) 8.090.057,- 19.186.200,-
D Keuntungan (C- A) (Rp.) 4.558.123,- 14.721.376,-
E R/C ratio 2,28 4,29
F B/C ratio 1,28 3,29
Sumber : Data primer terolah.
Usahatani padi sawah melalui penerapan teknologi PTT menghasilkan produktivitas
dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani eksisting dengan sistem
budidaya yang diterapkan oleh petani. Penerapan Varietas Unggul Baru (VUB), sistem tanam
jajar legowo 4:1, bibit muda (umur <21 HSS), jumlah tanaman 2-3 batang per lubang tanam, serta
dosis pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah berpengaruh positif terhadap
produktivitas dan pendapatan petani, yang meningkat 137,29% dari sebelum penerapan teknologi.
Meskipun dari aspek biaya terjadi peningkatan dikarenakan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
penanaman lebih banyak (karena petani belum terbiasa menanam dengan sistem tanam jajar
legowo, sehingga memerlukan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan penanaman) dan biaya
untuk pembelian pupuk meningkat dikarenakan aplikasi dosis rekomendasi, namun produksi dan
pendapatan petani jauh lebih meningkat. Namun, teknologi PTT padi di spesifik lokasi
pengkajian berdampak pada efisiensi dalam pengguanaan benih dan tenaga kerja dengan jenis
pekerjaan penyiangan dan penyemprotan. Hasil pengkajian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(2006) juga menunjukkan bahwa teknologi pendekatan model PTT padi dapat meningkatkan hasil
antara 15-20% bila dibandingkan dengan non-PTT.
Menurut Kaniawati (2012), varietas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
hasil tanaman. Pada dasarnya hasil gabah ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu faktor tanah,
tanaman, dan lingkungan (iklim). Faktor lingkungan (iklim) merupakan faktor yang tidak dapat
diubah oleh manusia seperti radiasi matahari, curah hujan, suhu udara, dan lain-lain, sementara
itu faktor tanah dan tanaman dapat dimodifikasi agar cocok untuk pertumbuhan dan hasil
tanaman. VUB padi sawah yang digunakan pada pengkajian adalah varietas Inpari 14, Inpari 15,
dan Inpari 20. Ketiga varietas ini adaptif dengan iklim di Kabupaten Bengkulu Tengah serta
tahan terhadap hama penyakit. Disamping itu, penggunaan sistem tanam jajar legowo mampu
meningkatkan produksi padi sawah yaitu dengan jalan menata populasi tanaman menjadi lebih
tinggi. Jika sistem tanam biasa yang dilakukan petani 20 x 20 cm atau 25 x 25 cm, populasi
tanaman per ha hanya 200.000-250.000. sedangkan dengan sistem tanam jajar legowo 4:1
populasi tanaman mencapai 300.000 rumpun per ha. Pemupukan berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah merupakan salah satu faktor penting penentu produktivitas yang
juga merupakan bagian dari komponen dasar yang seharusnya diterapkan oleh petani. Beberapa
hal yang menyebabkan petani belum bisa melaksanakannya adalah terbatasnya ketersediaan
pupuk dan kendala ekonomi. Selain itu disebabkan oleh rendahnya pengetahuan petani dan
terbatasnya ketersediaan informasi mengenai teknologi pemupukan spesifik lokasi. Penggunaan
bibit muda umur < 21 hari setelah tanam memberikan keuntungan, antara lain adalah tanaman
tidak stres akibat pencabutan bibit di persemaian, pengangkutan dan penanaman kembali di
sawah dibandingkan dengan bibit yang lebih tua. Penanaman bibit 1 – 3 batang per lubang tanam
bermanfaat untuk efisiensi bibit, mengurangi persaingan antar tanaman dalam menyerap unsur
hara yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan mengurangi persaingan dalam perkembangan akar,
memudahkan penyulaman jika ada tanaman yang rusak atau mati dalam pertumbuhan awal, serta
pertumbuhan vegetatif akan lebih baik dengan jumlah anakan yang lebih banyak (Badan Litbang
Pertanian, 2010).
264 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Dilihat dari aspek R/C ratio dan B/C ratio, usahatani padi sawah dengan penerapan
komponen teknologi PTT yang direkomendasikan lebih menguntungkan dibandingkan dengan
teknologi budidaya eksisting di tingkat petani, dengan masing-masing nilai R/C ratio dan B/C
ratio pada teknologi eksisting adalah 2,28 dan 1,28 menjadi 4,29 dan 3,29 pada saat penggunaan
komponen teknologi PTT padi sawah. Senada dengan hasil analisis, hasil pengkajian yang
dilakukan oleh Pramono, dkk (2005) serta Krismawati, A (2010) juga menunjukkan bahwa
penerapan komponen teknologi PTT padi sawah mampu meningkatkan produktivitas dan
pendapatan petani.
KESIMPULAN
Penerapan teknologi dalam usahatani padi petani kooperator masih tergolong sederhana
sehingga perlu adanya perbaikan teknologi budidaya padi di tingkat petani melalui pendekatan
PTT. Melalui penerapan komponen teknologi PTT, usahatani padi sawah di tingkat petani
menghasilkan produksi dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani
eksisting. Pendapatan petani meningkat 137,29% dari sebelum penerapan komponen teknologi
PTT.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Spectrum Diseminasi Multi Channel. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka. Bengkulu. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Kaniawati, et al. 2012. Keragaan Usahatani Padi Sawah Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) (Kasus pada Kelompok Tani Cigaru Desa Papayan Kecamatan Jatiwaras
Kabupaten Tasikmalaya) (online). http://www.google.co.id/#hl =id&tbo= d&sclient= psy-
ab&q=keragaan+ usahatani+ padi+sawah+ sistem+ pengelolaan +tanaman +terpadu+
%28PTT %29&oq= keragaan+usahatani +padi+sawah+sistem+pengelolaan+tanaman
+terpadu+%28PTT%29&gs_l=hp.3...18793.46485.0.50978.83.77.6.0.0.1.1021.21682.0j2j5
6j8j9j1j0j1.77.0...0.0...1c.1.2.hp.xZjOgoQHkXE&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&bv
m=bv.41934586,d.bmk&fp=a44487d69bcab9c&biw=1366&bih=655. (Diakses 1 Oktober
2012). Bengkulu.
Krismawati, A dan Angraeni, H. 2010. Kajian Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Padi Sawah di Kabupaten Madiun (online).
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal+peningkatan+produktivitas+padi+melal
ui+PTT&source=web&cd=8&cad=rja&ved=0CEcQFjAH&url=http%3A%2F%2Fpaparisa.
unpatti.ac.id%2Fpaperrepo%2Fppr_iteminfo_lnk.php%3Fid%3D36&ei=0hdpUNj4JIfLrQe
ws4CQBQ&usg=AFQjCNGAwFFYVgt9kq7MkQzmSdhIOzuKKA. (Diakses 1 Oktober
2012). Bengkulu.
Pramono Joko, et al. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Pendekatan
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (online). http://agrise.ub.ac.id /
vol_x_3_2010_7.html. (Diakses 1 Oktober 2012). Bengkulu.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Wahyu, Wibawa. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Padi dan Jagung di
Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Balai pengkajian Teknolog Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
265 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SIKAP ANGGOTA
KELOMPOK AFINITAS TERHADAP PROGRAM
AKSI DESA MANDIRI PANGAN DI PEKON RANTAU TIJANG
KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN TANGGAMUS
PROVINSI LAMPUNG
Akhmad Ansyor, Zikril Hidayat dan Nia Kaniasari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : sikap anggota kelompok afinitas terhadap Program Aksi Desa
Mandiri Pangan di Pekon Rantau Tijang Kecamatan Pardasuka Kabupaten Tanggamus; dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan sikap anggota kelompok afinitas terhadap tahap-tahap Program Aksi Desa Mandiri Pangan di
Pekon Rantau Tijang Kecamatan Pardasuka Kabupaten Tanggamus. Penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja
(purposive) yaitu di Pekon Rantau Tijang Kecamatan Pardasuka Kabupaten Tanggamus, karena Pekon Rantau Tijang
merupakan salah satu desa yang termasuk dalam kategori desa mandiri pangan di Provinsi Lampung menurut Badan
Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan Uji Korelasi Rank
Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sikap anggota kelompok afinitas berdasarkan komponen sikap
terhadap tahap-tahap Program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah baik; dan (2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan
sikap anggota kelompok afinitas berasal dari dalam diri anggota kelompok afinitas (faktor internal) dan berasal dari
luar diri anggota kelompok afinitas/lingkungan (faktor eksternal). Faktor yang berasal dari dalam diri anggota
kelompok afinitas (faktor internal) yaitu umur, tingkat pendidikan, kemampuan menerima pesan/informasi, dan
keberanian mengambil resiko. Faktor yang berasal dari luar anggota kelompok afinitas adalah lamanya berusaha
produktif dan informasi yang didapat tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Responden yang menjadi objek
penelitian di Pekon Rantau Tijang berjumlah 70 orang. Seluruh responden adalah anggota kelompok afinitas yang
mempunyai usaha produktif di bidang on farm, off farm, dan non farm. Kegiatan yang dilakukan responden yaitu
usaha tani cabe, ternak kambing, dan distribusi pupuk. Usaha tani cabe dilakukan oleh kelompok Harapan Mekar,
ternak kambing dilakukan oleh kelompok Bina Usaha, serta kegiatan distribusi pupuk dilakukan oleh kelompok Ngudi
Makmur.
Kata Kunci : Kelompok Afinitas, sikap, program aksi
PENDAHULUAN
Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan yang terjadi saat ini, pemerintah aktif
melaksanakan pembangunan pertanian, mengingat bahwa Indonesia adalah negara agraris yang
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Untuk itu, yang menjadi fokus pemerintah
dari pembangunan pertanian saat ini diarahkan pada upaya untuk pengentasan kemiskinan dan
kerawanan pangan. Sudah banyak program pemerintah yang telah dilaksanakan untuk
pengentasan kemiskinan, akan tetapi kemiskinan di Indonesia masih menjadi salah satu masalah
fundamental yang perlu konsentrasi yang lebih untuk menanggulanginya. Meskipun banyak
program yang dilakukan, namun jika kita melihat kenyataan yang ada, terdapat penduduk di
Indonesia yang tergolong miskin. Kenyataan ini menunjukkan bahwa program-program yang
telah dilakukan oleh pemerintah belum maksimal guna menurunkan tingkat kemiskinan di
Indonesia.
Tahun 2007, tingkat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) mencapai
108.984 jiwa di luar fakir miskin dan 785.041 fakir miskin. Sementara itu, Pemerintah Provinsi
Lampung bersama Pemerintah Kota/Kabupaten baru berhasil menangani 51.342 PMKS atau
47,15 persen dari total jumlah yang ada. Penyebab utama peningkatan kemiskinan antara lain
ketidaksiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi perkembangan zaman, pengaruh
globalisasi dan berbagai gejolak sosial ekonomi, politik, dan pergeseran nilai budaya. Selain itu,
perencanaan pembangunan masih bersifat konvensional, pengaruh instabilitas politik, serta
minimnya pemberdayaan koperasi dalam pengentasan kemiskinan (Badan Pusat Statistik Provinsi
Lampung, 2009).
Berdasarkan Rumusan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian tahun 2005
(Badan Ketahan Pangan Daerah, 2009), dalam tahun 2005-2009, pertumbuhan sektor pertanian
(diluar perikanan dan kehutanan) diharapkan mencapai rata-rata 3,29 % per tahun. Untuk
tahun 2005 dan 2006 ditargetkan tumbuh 2,97% dan 3,17%. Sasaran penyerapan tenaga kerja
266 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
tahun 2005 adalah 41,3 juta orang, dan tahun 2006 naik menjadi 41,9 juta orang. Jumlah
penduduk miskin diperdesaan ditargetkan turun dari 18,9% tahun 2005 menjadi 17,9% tahun
2006, dan tahun 2009 ditargetkan turun menjadi 15% dari total penduduk. Untuk mengurangi
kemiskinan, maka pemerintah melakukan Kegiatan Pembangunan Pertanian. Kegiatan
Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui Tiga Program, yaitu: (1)
Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis dan (3)
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Operasionalisasi Program Peningkatan Ketahanan
Pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan; menjaga ketersediaan pangan yang
cukup, aman, dan halal di setiap daerah setiap saat; dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan
pangan. Operasionalisasi Program Pengembangan Agribisnis dilakukan melalui pengembangan
sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi Program Peningkatan
Kesejahteraan Petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan
usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Rumusan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Pertanian, 2005 dalam Badan Ketahan Pangan Daerah 2009)).
Salah satu upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan kerawanan pangan
yaitu dengan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Proksi DEMAPAN). Dengan program
tersebut diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan
pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif serta berkelanjutan.
Program Aksi Desa Mandiri Pangan merupakan program bantuan dana yang diperuntukkan bagi
kelompok afinitas yang melaksanakan kegiatan berupa on farm, off farm, dan non farm.
Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (2008 dalam Badan
Ketahanan Pangan Daerah, 2008), Program Aksi Desa Mandiri Pangan meliputi empat tahapan
pelaksanaan, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap penumbuhan, (3) tahap pengembangan, dan (4)
tahap kemandirian.
Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (2009, dalam
Badan Ketahanan Pangan Daerah, 2009) kelompok afinitas merupakan suatu kelompok yang
terdiri dari anggota yang memiliki kecendrungan mengalami kerawanan pangan dan yang
melakukan usaha produktif di bidang on farm, off farm, dan non farm. Usaha yang termasuk
kedalam kegiatan on farm antara lain bertani, berternak, berkebun, dan lain-lain. Yang termasuk
ke dalam kegiatan off farm adalah kegiatan diversifikasi vertikal yaitu pengolahan produk
pertanian menjadi produk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi misalnya
pembuatan tempe, pembuatan tahu, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan yang tergolong non
farm yaitu usaha perkreditan, koperasi, dan lain-lain. Anggota kelompok afinitas adalah
orang/individu yang tergolong miskin dan rawan pangan serta masuk ke dalam data dasar (data
base) Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober tahun 2010 di Pekon Rantau Tijang
Kecamatan Pardasuka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Penelitian ini dilakukan dengan
metode survei di lapangan (Masri Singarimbun, 1989). Data yang dihasilkan terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer diambil melalui metode wawancara dengan responden
dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Data yang dikumpulkan mencakup faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi : Umur, Tingkat Pendidikan, Kemampuan
Menerima Pesan/Informasi, Keberanian Mengambil Resiko. Factor eksternal meliputi : Lamanya
Berusaha/Kegiatan Produktif, Informasi Mengenai Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Data
selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif.
267 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden
Umur
Komposisi umur responden di Pekon Rantau Tijang bervariasi dari umur 20 sampai 62
tahun. Komposisi umur tersebut masih merupakan kelompok umur produktif yang diharapkan
mempunyai sikap yang baik terhadap Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Komposisi umur
responden di Pekon Rantau Tijang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi umur responden di Pekon Rantau Tijang Tahun 2010.
Klasifikasi umur Selang (tahun) Responden (jiwa) Persentase (%)
Muda 20 – 34 34 48,57
Setengah baya 35 – 49 22 31,43
Tua 50 – 62 14 20,00
Jumlah 70 100,00
Rata-rata 37 (Setengah baya)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada sebaran umur 35 –
49 tahun. Dari sebaran tersebut dapat diketahui bahwa responden termasuk pada klasifikasi
setengah baya dan tergolong kedalam usia produktif. Secara teoritis, semakin muda usia
seseorang maka seseorang tersebut akan semakin produktif karena taraf kematangan sebagai
orang dewasa mulai terpenuhi baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Menurut Rukminto (1994), usia produktif yaitu klasifikasi usia mulai dari 26 tahun
hingga 55 tahun yang dicirikan dengan (1) seseorang tersebut dapat mengembangkan kemampuan
untuk mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara secara lebih dewasa, (2) dapat
memantapkan dan memelihara standar kehidupan ekonomi (personal maupun keluarga), (3) dapat
mengembangkan kegiatan rekreasional yang biasa dilakukan oleh orang dewasa, dan (4) dapat
menyesuaikan diri serta dapat menerima perubahan fisik yang terjadi apabila telah mencapai usia
setengah baya dan usia tua. Pengklasifikasian usia produktif erat kaitannya dengan karakteristik
sosial seseorang yang selanjutnya dapat mempengaruhi pola sikap dan pola berperilaku
perempuan tani dalam melakukan kegiatan usahatani.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang dijalani oleh responden.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan responden di Pekon Rantau tijang berkisar antara
3 tahun sampai dengan 15 tahun. Secara rinci tingkat pendidikan responden tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat pendidikan responden di Pekon Rantau Tijang Tahun 2010.
Klasifikasi Selang (tahun) Responden (jiwa) Persentase (%)
Rendah 02 – 06 53 75,71
Sedang 07 – 11 9 12,86
Tinggi 12 – 15 8 11,43
Jumlah 70 100,00
Rata-rata 6 (Rendah)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 2 menunjukkan bahwa Tingkat pendidikan responden di Pekon Rantau Tijang
umumnya sudah cukup baik, yaitu rata-rata sudah mencapai 6 tahun atau sederajat dengan
sekolah dasar (SD). Keadaan ini menunjukkan, meskipun tingkat pendidikan responden tidak
tinggi tetapi mereka telah mengenal baca dan tulis sehingga dapat menunjang dalam menerima
informasi dan memperlancar komunikasi antara anggota kelompok dengan penyuluh pertanian
lapangan (PPL). Kendala yang dialami oleh responden dalam mencapai tingkat pendidikan yang
lebih tinggi adalah tingkat pendapatan serta sarana pendidikan yang masih kurang.
268 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kemampuan menerima pesan atau informasi
Kemampuan menerima pesan atau informasi dapat diartikan sebagai kemampuan dari
responden untuk dapat menerima hingga melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada di dalam
Program Aksi desa Mandiri Pangan. Secara rinci kemampuan responden dalam menerima pesan
atau informasi tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Kemampuan responden dalam menerima pesan atau informasi di Pekon Rantau Tijang
Tahun 2010.
Klasifikasi Selang (skor) Responden (jiwa) Persentase (%)
Buruk 0 – 33,33 0 0,00
Sedang 33,34 – 66,66 0 0,00
Baik 66,67 – 100 70 100,00
Jumlah 70 100,00
Rata-rata 78,80 (Baik)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kemampuan responden dalam menerima pesan atau
informasi termasuk ke dalam klasifikasi baik, dengan jumlah responden sebanyak 70 jiwa yang
berarti bahwa responden telah mampu untuk menerima pesan atau informasi yang diberikan
kepadanya dan ia telah menguasai pesan atau informasi tersebut untuk dapat disampaikan kepada
orang lain. Secara teoritis, jika semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin
tinggi pula kemampuan seseorang itu dalam menerima pesan atau informasi.
Keberanian mengambil resiko
Keberanian mengambil resiko adalah kesanggupan dan keberanian responden dalam
menerima pesan atau menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Secara rinci keberanian
responden untuk mengambil resiko tertera pada tabel 4.
Tabel 4. Keberian responden untuk mengambil resiko di Pekon Rantau Tijang Tahun 2010.
Klasifikasi Selang (skor) Responden (jiwa) Persentase (%)
Tidak Berani 0,00 – 33,33 0 0,00
Kurang Berani 33,34 – 66,66 0 0,00
Berani 66,67 – 100,0 70 100,00
Jumlah 70 100,00
Rata-rata 77,41 (Berani)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden termasuk ke dalam klasifikasi berani dalam
upaya pengambilan resiko, artinya semua responden mempunyai keberanian dalam pengambilan
resiko. Semakin berani responden mengambil resiko maka akan semakin baik sikap responden
dalam Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Keberanian mengambil resiko dapat terlihat pada
saat responden melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada di dalam Program Aksi desa Mandiri
Pangan ini.
Lamanya berusaha/kegiatan produktif
Lamanya berusahatani atau pengalaman berusahatani adalah jumlah tahun responden
yang bekerja sampai dengan dilakukannya penelitian. Lamanya berusahatani responden dapat
mengindikasikan seberapa besar anggota kelompok dapat memberikan sumbangan pengetahuan
dan keterampilan pada kelompok afinitas. Lamanya berusaha/kegiatan produktif secara rinci
tertera pada Tabel 5.
269 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 5. Lamanya responden berusaha/kegiatan produktif responden di Pekon Rantau Tijang
Tahun 2010.
Klasifikasi Lamanya berusaha (thn) Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Rendah 01 – 12 48 68,57
Sedang 13 – 24 17 24,29
Tinggi 25 – 33 5 7,14
Jumlah 70 100,00
Jumlah rata-rata 10 tahun (rendah)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar lamanya responden berusaha/kegiatan
produktif berada pada klasifikasi rendah (1 – 12 tahun) sebanyak 48 responden (68,57%), dengan
rata rata pengalaman usahatani yaitu 10 tahun (rendah). Secara teoritis, semakin tinggi
pengalaman berusaha/kegiatan produktif responden maka semakin baik sikap responden dalam
Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Pada kenyataan di lapang responden menempati klasifikasi
rendah yang berarti pengalaman yang diperoleh dalam berusahatani adalah rendah/sedikit. Alasan
yang dapat dikemukakan adalah sebagian besar responden adalah penduduk pendatang yang
berasal dari wilayah lain yang mobilisasi ke wilayah tersebut, sehingga waktu yang diusahakan
responden untuk berusaha/kegiatan produktif masih sedikit. Selain itu, masyarakat yang sudah
berpengalaman dalam berusaha/kegiatan produktif di Pekon Rantau Tijang tidak termasuk
responden (anggota kelompok afinitas).
Informasi Mengenai Program Aksi Desa Mandiri Pangan
Seberapa banyak informasi yang diperoleh responden tentang Program Aksi Desa
Mandiri Pangan adalah semua informasi yang ada hubungannya dengan Program Aksi Desa
Mandiri Pangan. Secara rinci seberapa banyak informasi yang diperoleh responden tentang
Program Aksi Desa Mandiri Pangan tertera pada tabel 6.
Tabel 6. Banyaknya informasi responden tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Pekon
Rantau Tijang Tahun 2010.
Klasifikasi Selang (skor) Responden (jiwa) Persentase (%)
Sedikit 0,00 – 33,33 0 0,00
Sedang 33,34 – 66,66 0 0,00
Banyak 66,67 – 100,0 70 100,00
Jumlah 70 100,00
Rata-rata 77,70 (Banyak)
Sumber : Data terolah 2010.
Tabel 6 menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh responden tentang Program Aksi
Desa Mandiri Pangan termasuk ke dalam klasifikasi Banyak. Banyaknya informasi yang
diperoleh responden karena Pekon Rantau Tijang adalah salah satu lokasi Program Aksi Desa
Mandiri Pangan yang telah berhasil dalam pemberdayaan kelompok serta proses berputarnya
modal, sehingga banyak instansi pemerintah ataupun swasta yang berkunjung ke Pekon Rantau
Tijang. Semakin banyak instansi pemerintah ataupun swasta yang berkunjung maka informasi
yang diperoleh responden tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan semakin banyak pula.
Selain itu, dengan berhasilnya Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Pekon Rantau Tijang
semakin bertambah pula program pemerintah atupun swasta yang diberikan untuk Pekon Rantau
Tijang, misalnya PNPM Mandiri dan Program Lumbung Padi.
Hubungan Antara Sikap Terhadap Program Aksi desa Mandiri Pangan
Variabel bebas (variabel X) pada penelitian ini yaitu umur responden, tingkat
pendidikan responden, kemampuan responden menerima pesan/informasi, keberanian responden
mengambil resiko, lamanya responden berusaha produktif, dan informasi yang didapat oleh
270 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
responden tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Variabel terikat (variabel Y) yaitu sikap
anggota kelompok afinitas terhadap tahap-tahap Program Aksi Desa Mandiri Panga yang terinci
pada Tabel 7. Hasil persamaan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan
sikap anggota afinitas tidak semua berhubungan nyata dengan sikap anggota kelompok afinitas
terhadap Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Pada variabel X1 (umur) dan X5 (lama berusaha
produktif) tidak terdapat hubungan nyata terhadap sikap anggota kelompok afinitas pada taraf
nyata 5% dan 1% atau selang kepercayaan 95% dan 99%, pada variabel X2 (tingkat pendidikan)
terdapat hubungan nyata terhadap sikap anggota kelompok afinitas pada taraf nyata 5% atau
selang kepercayaan 95%, sedangakan variabel X3 (kemampuan menerima pesan), X4 (lama
berusaha produktif) dan X6 (Informasi tentang DMP) berhubungan nyata terhadap sikap anggota
kelompok afinitas pada taraf nyata 1% atau selang kepercayaan 99%.
Tabel 7. Hubungan antara variabel X dan variabel Y Program Aksi Desa Mandiri Pangan di
Pekon Rantau Tijang Tahun 2010.
No. Variabel X Variabel Y rs thitung ttabel
0.05 0.01
1 Umur Sikap anggota
Kelompok afinitas
terhadap tahap-tahap
Program Aksi Desa
Mandiri Pangan
0,111 0,92tn 1,97 2,65
2 Tingkat pendidikan 0,287 2,47* 1,97 2,65
3 Kemampuan menerima pesan 0,928 20,54** 1,97 2,65
4 Keberanian mengambil resiko 0,725 8,68** 1,97 2,65
5 Lama berusaha produktif 0,077 0,64tn 1,97 2,65
6 Informasi tentang DMP 0,900 17,03** 1,97 2,65
Keterangan: * = nyata pada 5 %
** = sangat nyata pada 1 %
tn = tidak nyata
Berdasarkan teori Mar’at (1981) bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap
berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Setelah melakukan penelian ternyata teori mar’at
(1981) tidak semua berhubungan nyata dengan sikap, karena terdapat variabel dari faktor internal
yang tidak berhubungan nyata terhadap sikap anggota kelompok afinitas, walaupun semua faktor
eksternal berhubungan nyata terhadap sikap anggota kelompok afinitas dengan taraf nyata 5%
dan 1%.
KESIMPULAN
1. Sikap anggota kelompok afinitas berdasarkan komponen sikap terhadap tahap-tahap Program
Aksi Desa Mandiri Pangan adalah baik.
2. Faktor internal yang berhubungan dengan sikap anggota kelompok afinitas adalah umur,
tingkat pendidikan, kemampuan menerima pesan/informasi dan keberanian mengambil resiko.
Sedangkan faktor eksternal adalah lamanya berusaha produktif dan informasi yang didapat
tentang Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
DAFTAR PUSTAKA
BKP Prov. Lampung. 2009. Proyek Pelaksanaan Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Badan
Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Lampung. Bandar Lampung
BPS Prov. Lampung. 2009. Provinsi Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi
Lampung. Bandar Lampung.
Mar’at, 1981. Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurannya. Penerbit PT. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Rukminto. 1994. Karakteristik Petani Indonesia. Penerbit PT Dharma Putra. Jakarta
Siegel, S. 1994. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Penerbit PT. Gramedia.
Jakarta.
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. Penerbit LP3ES. Jakarta.
271 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI KELAPA SAWIT RAKYAT DI KABUPATEN SELUMA
Zul Efendi, Wahyuni Amelia Wulandari dan Alfayanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang potensial yang banyak dibudidayakan di Kabupaten
Seluma. Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, kelapa sawit membutuhkan pemanfaatan faktor-faktor
produksi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa
sawit rakyat di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Air Periukan dan
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma pada bulan Mei 2012. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja
dengan responden berjumlah 76 orang. Responden yang dipilih merupakan petani kelapa sawit yang telah
menghasilkan (umur tanaman diatas 3 tahun). Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi egroekosistem yaitu perkebunan
kelapa sawit rakyat di lahan kering dan perkebunan kelapa sawit rakyat dilahan gambut. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode survei berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui informasi yang dihimpun
dari responden menggunakan daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur (kuesioner) meliputi identitas
responden, kelembagaan, kepemilikan lahan dan ternak, aksebilitas wilayah serta faktor produksi kelapa sawit.
Sedangkan data skunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Instansi terkait. Data yang diperoleh di analisis
dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas yang diolah dengan teknik analisis OLS (Ordinary Least
Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit di Kabupaten Seluma
adalah umur tanaman berpengaruh nyata positif sebesar 56,10%, curahan tenaga kerja berpengaruh nyata positif
sebesar 46,30%, frekuensi pemupukan berpengaruh nyata positif sebesar 7,70% serta variabel dummy jenis lahan .
Kata Kunci : faktor produksi, mempengaruhi, kelapa sawit
PENDAHULUAN
Dalam usaha pertanian, produksi diperoleh melalui suatu proses yang cukup panjang
dan penuh resiko. Panjangnya waktu yang dibutuhkan tidaklah sama, tergatung pada jenis
komoditas yang diusahakan. Tidak hanya waktu, kecukupan faktor produksi pun turut sebagai
penentu pencapaian produksi. Menurut Sasongko (2010) keberhasilan budidaya suatu jenis
komoditas tergantung pada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologi/lingkungan tempat
tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh
petani/pengusaha tani. Menurut Daniel (2002) proses produksi baru bisa berjalan bila persyaratan
yang dibutuhkan dapat dipenuhi, persyaratan ini lebih dikenal dengan faktor produksi. Faktor
produksi terdiri dari empat komponen yaitu tanah, modal, tenaga kerja dan skill atau manajemen.
Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lainnya.
Kalau salah satu faktor tidak tersedia, maka poses produksi tidak akan berjalan, terutama tiga
faktor tersebut diatas (Asnil dkk, 2010). Faktor-faktor produksi tersebut merupakan sesuatu yang
mutlak harus tersedia yang akan lebih sempurna kalau syarat kecukupan pun dapat terpenuhi.
Kegiatan produksi merupakan kegiatan dalam lingkup yang agak sempit karena hanya
membahas aspek mikro. Sehingga dalam mempelajari aspek ini, hubungan input produksi dan
output produksi mendapatkan perhatian utama. Peranan input bukan hanya saja dapat dilihat dari
segi macamnya atau tersedianya dalam waktu yang tepat, tetapi juga dapat ditinjau dari segi
efisiensi penggunaannya.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perkembangannya
cukup pesat dibandingkan dengan komoditas lain terutama terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Untuk seluruh Indonesia, pada tahun 1986 luas pertanaman kelapa sawit hanya sekitar 593.800
ha, semenjak tahun 2001 sampai 2006 perkembangan luas tanaman kelapa sawit cukup pesat
yaitu: 4.713.000 (2001); 5.067.000 ha (2002); 5.239.000 ha (2003) 5.284.000 ha (2004);
5.454.000 ha (2005) dan 6.074.000 ha (2006) (Ditjen Perkebunan, 2007).
Kabupaten Seluma merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Bengkulu yang
memiliki potensi tanaman perkebunan. Usaha perkebunan di Kabupaten Seluma sebagian besar
dilakukan oleh rumah tangga perkebunan rakyat dan sisanya oleh perusahaan pekebunan.
Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah kopi, karet dan kelapa sawit dengan total
luas diperkirakan mencapai 65.802 hektar atau sebesar 94,65% dari total luas lahan perkebunan
272 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
rakyat diKabupaten Seluma. Pada tahun 2010 luas lahan tanaman kelapa sawit mencapai 31.174
hektar atau 44,84%, luas tanaman karet mencapai 26.272 hektar atau 37,79% sedangkan untuk
tanaman kopi mencapai 8.357 hektar atau 12,02% dari total luas lahan perkebunan rakyat.
Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas yang memiliki peranan penting sebagai
penghasil devisa negara terbesar memiliki peranan yang penting sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui faktor-faktor penentu produksi yang mempengaruhinya. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit rakyat di
Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu sehingga diharapkan dapat dibentuk sebuah sistem
perkebunan kelapa sawit rakyat dengan tingkat produksi yang tinggi.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Air Periukan dan Kecamatan Seluma Selatan
Kabupaten Seluma pada bulan Mei 2012. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan
responden berjumlah 76 orang. Responden yang dipilih merupakan petani kelapa sawit yang telah
menghasilkan (umur tanaman diatas 3 tahun). Pengkajian ini dilaksanakan pada dua lokasi
egroekosistem yaitu perkebunan kelapa sawit rakyat di lahan kering dan perkebunan kelapa sawit
rakyat dilahan gambut. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei berupa data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui informasi yang dihimpun dari responden
menggunakan daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur (kuesioner) meliputi identitas
responden, kelembagaan, kepemilikan lahan dan ternak, aksebilitas wilayah serta faktor produksi
kelapa sawit sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Instansi
terkait. Untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit digunakan
analisis kuantitatif melalui pendungaan Ordinary Least Square (OLS). Analisis ini dilakukan
melalui pendekatan fungsi produksi bertipe Cobb-Douglas yaitu suatu fungsi atau persamaan
yang melibatkan dua variabel atau lebih, variabel yang satu disebut variabel independent (Y) dan
yang lain disebut variabel dependent (X) yang secara matematis formulasinya dapat dituliskan
sebagai berikut :
Y = aX1b1
X2b2
X3b3
X4b4
X5b5
X6b6
eD1+u
Agar fungsi produksi Cobb-Duoglas dapat diestimasi dengan metode OLS maka
diubah kedalam bentuk logaritma natural sebagai berikut:
Ln Y = Lna+b1LnX1+b2LnX2+b3LnX3+b4LnX4+b5LnX5+b6LnX6+b7LnD1+u
dimana: Y = produksi kelapa sawit (kg)
X1 = luas lahan (ha)
X2 = jumlah populasi tanaman (pohon)
X3 = Umur tanaman (tahun)
X4 = jumlah pestisida (ml)
X5 = jumlah curahan tenaga kerja (HOK)
X6 = frekuensi pemupukan (kali/tahun)
D1 = dummy jenis lahan (D1= lahan kering, D0= lahan gambut)
a = Intersep
bi = Koefisien
e = Logaritma regresi
u = Kesalahan pengganggu
Untuk mengetahui goodness of fit dari model dilihat dari nilai R2. Model dikatakan baik
apabila nilai R2 mendekati 1. Untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel
terikat secara serentak dilakukan dengan pengu-jian uji F. Selanjutnya untuk mengetahui
pengaruh dari masing-masing variabel bebas secara individu/parsial digunakan uji t.
273 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Petani kelapa sawit di Kabupaten Seluma didominasi oleh petani yang berumur relatif
muda yaitu berusia 20-39 tahun (48,68%) dengan jumlah tanggungan keluarga paling banyak
berkisar 3-5 orang (Tabel 1). Umur merupakan salah satu faktor penunjang dalam keberhasilan
suatu kegiatan usaha karena berkaitan dengan semangat, tenaga, kondisi fisik seseorang serta
tingkat produktifitas kerja dimana umur produktif seseorang berada pada kisaran umur antara 15-
55 tahun (Rosman, 2000).
Petani kelapa sawit di Kabupaten Seluma rata-rata mengenyam pendidikan formal
selama 8,13 tahun dan bila diasumsikan setiap orang menyelesaikan setiap jenjang tepat waktu
maka dapat dikatakan rata-rata petani telah menamatkan Sekolah Dasar (SD) namun belum
menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan tingkat pendidikan ini diasumsikan
dapat menunjang keberhasilan petani dalam mengelola usahataninya apalagi didukung oleh
pengalaman berusahatani kelapa sawit rata-rata selama 8,80 tahun.
Tabel 1. Karakteristik petani kelapa sawit di Kabupaten Seluma tahun 2012.
No Karakteristik Kelompok Jumlah (orang) Persentase (%) Rata-rata
1. Umur (tahun) 20-39
40-59
60-79
37
30
9
48,68
39,47
11,84
41,68
2. Jumlah anggota
rumah tangga (jiwa)
0-2
3-5
6-8
28
44
4
36,84
57,89
5,26
3,96
3. Pendidikan (tahun) 0-5
6-11
12-17
3
55
8
3,94
72,36
23,68
8,13
4. Pengalaman
Usahatani (tahun)
3-7
8-12
13-17
31
39
6
40,80
51,31
7,89
8,80
Sumber: data primer diolah 2012.
Karakteristik Usahatani
Dilihat dari karakteristik usahatani, terlihat luas lahan rata-rata yang diusahakan oleh
petani untuk berusahatani kelapa sawit di Kabupaten Seluma seluas 1,41 ha dengan jumlah
populasi rata-rata berjumlah 178,47 pohon. Bila dikonversikan dalam satuan per hektar, maka
jumlah populasi tanaman kelapa sawit petani di Kabupatn Seluma berjumlah 125,57
pohon/hektar (Tabel 2). Jumlah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah populasi pohon
produktif yang ditanam dengan susunan paling ekonomis yaitu 143 pohon per hektar ( Fauzi,
2002 dalam Wijayanti dan Mudakir, 2013).
Tabel 2. Karakteristik usahatani kelapa sawit di Kabupaten Seluma tahun 2012.
No Karakteristik Kisaran Rata-rata
1 Luas lahan (ha) 0,4 - 5,5 1,41
2 Jumlah populasi (pohon) 40 - 680 178,47
3 Umur tanaman (tahun) 3 - 20 7,92
4 Frekuensi pemupukan (kali/thn) 0,5 - 6 2,73
5 Jumlah penggunaan pupuk (kg/thn) 0 - 36.000 2.651,25
6 Jumlah penggunaan pestisida (ltr/thn) 0 - 60 11,14
7 Curahan tenaga kerja (HOK/thn) 13 - 300 54,68
Sumber : data primer 2012.
Rata-rata umur kelapa sawit yang diusahakan petani adalah 7,92 tahun. Bila
berdasarkan umur tanaman maka kelapa sawit petani berada pada kelompok tanaman muda dan
274 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
apabila dikelompokkan berdasarkan masa berbuah maka termasul kedalam kelompok tanaman
menghasilkan (TM). Pada masa berbuah, kelapa sawit membutuhkan perawatan seperti
pemupukan dan pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT). Dalam satu tahun, rata-rata
petani melakukan pemupukan sebanyak 2,73 kali dengan jumlah pupuk 2.651,25 kg/tthn. Jenis
pupuk yang digunakan antara lain urea, KCL, SP-36, NPK Phonska, kompos dan dolomit.
Kegiatan pemupukan ini dilakukan bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara didalam
tanah terutama agar tanaman dapat menyerapnya sesuai dengan kebutuhan (Mursidah, 2009).
Dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman, petani melakukan kegiatan
penyemprotan gulma dan hama. Jumlah pestisida yang digunakan oleh petani dalam
pemeliharaan kelapa sawitnya sejumlah 11, 14 ltr/ha/thn terdiri dari herbisida dan insektisida.
Jenis herbisida yang banyak digunakan oleh petani dengan merk dagang gramaxone, kleen up,
dan lindomin. Sedangkan jenis insektisida yang banyak digunakan adalah regent. Jenis pupuk dan
pestisida yang digunakan oleh petani adalah pupuk dan pestisida yang tersedia di kios-kios
pertanian di desa mereka.
Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh petani berjumlah 54,68 HOK/tahun. Tenaga
kerja ini digunakan pada kegiatan pemupukan, penyiangan, penyemprotan hama dan penyakit
serta panen dan pengangkutan hasil panen. Penyerapan tenaga kerja terbanyak adalah pada
kegiatan panen dan pengangkutan hasil panen dengan frekuensi panen antara 18 dan 24 kali per
tahun.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit
Hasil analisis regresi model menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2)
diperoleh sebesar 0,641 artinya secara bersama-sama variabel luas lahan, jumlah populasi, umur
tanaman, jumlah pestisida, curahan tenaga kerja,frekuensi pemupukan dan jenis lahan
mempengaruhi produksi kelapa sawit sebesar atau 64,10 % sedangkan sisanya dipengaruhi oleh
faktor lain yang belum dimasukkan dalam model. Nilai F hitung (17,376) (signifikan pada taraf
kepercayaan 99%) menunjukkan bahwa semua variabel yang ada di dalam model analisis secara
bersama-sama berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit (Tabel 3). Dengan demikian model
yang digunakan dalam estimasi fungsi produksi ini dapat dikategorikan telah memadai.
Tabel 3. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit di
Kabupaten Seluma tahun 2012.
Variabel bi t hitung
Konstanta 2,847 2,771
Luas lahan (X1) -0,050 -0,240
Jumlah populasi (X2) 0,293 1,612
Umur tanaman (X3) 0,561 4,855***
Jumlah pestisida (X4) -0,006 -0,232
Curahan tenaga kerja (X5) 0,463 4,701***
Frekuensi pemupukan (X6) 0,077 2,067*
Jenis lahan (D1) 0,024 1,712*
R2 0,641
F hitung 17,376***
Keterangan : ***signifikan pada taraf kepercayaan 99%, *signifikan pada taraf kepercayaan 90%
Sumber : data primer diolah 2012
Secara parsial analisis terhadap variabel bebas yang mempengaruhi produksi
menunjukkan bahwa variabel umur tanaman, curahan tenaga kerja, frekuensi pemupukan dan
jenis lahan berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi kelapa sawit. Sedangkan variabel luas
lahan, jumlah populasi kelapa sawit dan jumlah pestisida tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi kelapa sawit.
Umur tanaman berpengaruh nyata positif terhadap produksi kelapa sawit rakyat di
Kabupaten Seluma. Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung (4,855) > t tabel (2,642) dengan
275 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
koefisien regresi sebesar 0,561 pada taraf kepercayaan 99%. Dengan asumsi variabel yang lain
ceteris paribus maka peningkatan umur tanaman sebesar 1 persen akan meningkatkan total
produksi sebesar 56,10 persen. Umur tanaman kelapa sawit petani rata-rata berumur 7,92 tahun
hal ini berarti kelapa sawit petani mulai memasuki masa produktivitas maksimal karena
produktivitas maksimal kelapa sawit dapat dicapai ketika tanaman berumur 7-11 tahun dengan
produksi optimal dapat dicapai saat rata-rata umur tanaman 15 tahun ( Lubis,1992 dalam
Prihutami, 2011).
Jumlah tenaga kerja juga berpengaruh nyata positif terhadap produksi kelapa sawit pada
taraf kepercayaan 99% dengan nilai t hitung (4,701) > t tabel (2,642). Dengan asumsi variabel
yang lain ceteris paribus maka peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen akan
meningkatkan total produksi sebesar 46,30 persen. Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang
penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi. Tenaga kerja lebih penting dari faktor
produksi lain seperti bibit, tanah dan air, sebab manusialah yang menggerakkan faktor-faktor
tersebut untuk menghasilkan sesuatu jenis barang (Bukit dan Bakir (1998) dalam Mariyah (2004).
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga kerja adalah kegiatan pemeliharaan tanaman
seperti pemupukan. Frekuensi pemupukan juga berpengaruh nyata positif terhadap produksi
kelapa sawit pada taraf kepercayaan 90% dimana nilai t hitung (2,067) > t tabel (1,665). Dengan
asumsi variabel yang lain ceteris paribus maka peningkatan frekuensi pemupukan sebesar 1
persen akan meningkatkan total produksi sebesar 7,70 persen. Kegiatan pemupukan merupakan
salah satu kegiatan perawatan tanaman yang bertujuan untuk mendapatkan target produksi
Tandan Buah Segar (TBS) yang optimal dan mendapatkan kualitas minyak yang baik
(Adiwiganda dan Siahaan, 1994 dalam Prihutami, 2011). Menurut Puslitbangbun (2010)
pemupukan kelapa sawit sebaiknya dilakukan 2-3 kali tergantung pada kondisi lahan, jumlah
pupuk, umur dan kondisi tanaman.
Jenis lahan kering memiliki potensi menghasilkan produksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan gambut dibuktikan dengan hasil analisis dengan taraf kepercayaan
90% menunjukkan bahwa nilai t hitung (1,712) > t tabel (1,665). Kelapa sawit menghendaki
tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa
lapisan padas. Walaupun demikian, kelapa sawit juga dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut
dengan syarat ketebalan gambut tidak lebih dari 1 meter (Sasongko, 2010). Kandungan bahan
organik yang sangat tinggi pada gambut merupakan sumber unsur hara yang sangat potensial
untuk mendukung produksi kelapa sawit (Listyanto, 2000).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Faktor produksi umur tanaman berpengaruh nyata positif sebesar 56,10%, curahan tenaga
kerja berpengaruh nyata positif sebesar 46,30%, frekuensi pemupukan berpengaruh nyata
positif sebesar 7,70% serta variabel dummy jenis lahan.
S a r a n
1. Tanaman kelapa sawit telah melewati masa produktivitas maksimal perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan peremajaan tanaman sehingga penggunaan faktor produksi tenaga kerja dan
pemupukan lebih efisien.
2. Perluasan lahan kelapa sawit disarankan untuk dilakukan di lahan kering karena akan
menghasilkan produksi yang lebih baik bila dibandingkan dengan lahan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Asnil, S., H.B. Tarmizi, dan W.A. Pratomo. 2010. Analisis Produksi Pendapatan dan Alih Fungsi
Lahan di Kabupaten Labuhan Batu. http://jurnalmepaekonomi.blogspot. com. [3 Oktober
2012]
Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penrbit PT. Bumi Aksara. Jakarta
276 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Listyanto. 2000. Budidaya Tanaman Sawit (Elaeis Guineensis Jacg) Di Lahan Gambut.
http://www.biopz.com/index.[ 7 Juni 2012]
Mariyah. 2004. Analisis Kebutuhan Modal dan Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Di PT.REA
Kaltim Plantations. Jurnal EPP 1 (2): 41:50
Mursidah. 2009. Optimalisasi Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit. Jurnal EPP 6 (2): 9-15
Prihutami, N.D. 2011. Analisis Faktor Penentu Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Tanaman
Kelapa Sawit di Sungai Bahaur Estate (SBHE) PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA)
Wilayah VI Metro Cempaga Kota Waringin Timur Kalimantan Tengah. Skripsi
Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor.Bogor. ;115.
Puslitbangbun. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Rosman. 2000.Tingkat Produktfitas Kerja Terhadap Umur Petani di Indonesia. Jurnal Pertanian
No 87 :12-19
Sasongko, P.E. 2010. Studi Kesesuaian Lahan Potensial Untuk Tanaman Kelapa Sawit Di
Kabupaten Blitar. Jurnal Pertanian MAPETA 7 (2): 72 – 134
Wijayanti, R.T dan B. Mudakir. 2013. Analisis Keuntungan dan Skala Usaha Perkebunan Kelapa
Sawit Gerbang Serasan. Diponegoro Journal Of Economics 2 (1): 1-7
277 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KARAKTERISTIK PETANI DAN PENDAPATAN
USAHATANI KAKAO DI DESA SUROBALI
KABUPATEN KEPAHIANG
Afrizon dan Herlena Bidi Astuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Kakao merupakan tanaman perkebunan utama yang diusahakan oleh sebagian besar petani di Desa Surobali
kabupaten Kepahiang, teknik budidaya yang sederhana sudah dapat membuat petani mengandalkan usahatani kakao
sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Data di ambil pada bulan februari-maret 2012 di desa surobali kecamatan
Ujan Mas Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap
petani kakao untuk memperoleh informasi dari responden yang dipilih secara acak berjumlah 30 orang dengan
menggunakan kuesioner. Penelitian bertujuan untuk melihat karakteristik petani dan menghitung pendapatan serta rasio
biaya pendapatan usahatani kakao di desa surobali Kabupaten Kepahiang. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
petani masih mengusahakan perkebunan kakao dengan cara tradisional dan sederhana dengan hasil produksi rata-rata
pertahun 845,6 kg ,total biaya yang dikeluarkan oleh petani rata-rata Rp. 3.765.500 pertahun dan pendapatan petani
sebesar Rp. 7.989.800 pertahun. Nilai rasio B/C sebesar 2,12 yang artinya usahatani kakao layak untuk menjadi
andalan uasahatani perkebunana andalan petani.
Kata kunci : pendapatan. petani, kakao, desa surobali
PENDAHULUAN
Kabupaten Kepahiang merupakan salah satu sentra penghasil kakao di Provinsi
Bengkulu. Secara geografis terletak pada 101055’19” sampai dengan 103
001’29” bujur timur
(BT) dan 02043’07” sampai dengan 03
046’48” Lintang Selatan (LS). Luas wilayah Kabupaten
Kepahiang adalah 66.500 ha yang terdiri dari 8 Kecamatan dan 120 Kelurahan dan Desa.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Kepahiang berada pada ketinggian 500-1.000 meter diatas
permukaan laut (dpl) dengan jenis tanah kompleks podsolik coklat, padsol dan latosol. Jumlah
hari hujan rata-rata pada tahun 2010 adalah 26 hari/bulan dengan jumlah curah hujan 280
mm/bulan. Suhu udara tertinggi di Kabupaten Kepahiang 24,70C dan suhu terendah 20,2
0C,
dengan kelembaban rata-rata 87%/bulan.
Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas andalan yang cukup prospektif di
Propinsi Bengkulu karena didukung oleh kesesuaian agroekosistim dan kondisi sosial masyarakat
petani yang mengusahakannya. Luas areal perkebunan Kakao rakyat di Bengkulu mencapai saat
ini seluas 14.363 ha dengan produksi 1.822,60 ton. Dari luasan tersebut 6.040 ha (42,05 %)
berada di Kabupaten Kepahiang. Pada tahun 2005 Pemerintah daerah Kabupaten Kepahiang
sudah mengembangkan tanaman Kakao sebanyak 4 juta batang untuk petani dengan luas
mencapai 2000 ha. Penanaman kakao sudah lama dibudidayakan petani Kepahiang, namun
penangan usahatani belum dilakukan secara intensif dan sesuai dengan anjuran dari PUSLIT
KOKA sehingga hasil yang didapatkan oleh petani belum maksimal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik dan pendapatan petani
perkebunan kakao.
BAHAN DAN METODA
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu di desa
Surobali Kabupaten Kepahiang dengan pertimbangan daerah ini merupakan sentra perkebunan
kakao dan kopi. Jumlah sampel 30 orang petani kakao yang di ambil dengan metode simple
random sampling. Data di ambil pada bulan februari-maret 2012 di desa Suro Bali Kecamatan
Ujan Mas Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara terhadap petani untuk memperoleh informasi dari responden dengan menggunakan
kuesioner. Data yang di amati meliputi:
1. Identitas responden meliputi :
umur, pendidikan, kepemilikan lahan, dan tanggungan keluarga.
278 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
2. Karakteristik usahatani kakao meliputi :
Kepemilikan lahan garapan, dan produktivitas lahan kakao yang dimiliki oleh responden.
3. Pendapatan usahatani kakao yang meliputi :
Biaya produksi (upah tenaga kerja,pupuk,pestisida,), hasil produksi dan harga jual. Untuk
mengetahui pendapatan usahatani kakao dihitung dengan persamaan:
∏ = TR – TC
TR = Y x PY
Keterangan : ∏ = Pendapatan (Rp/Tahun)
TR = Total penerimaan (Rp/Tahun)
TC = Total Biaya (Rp/Tahun)
Y = produksi (Kg/Tahun)
PY = Harga Produksi
4. Rasio biaya pendapatan yang dianalisis dengan rumus : B/C = ∏ /TC
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Kakao
a. Identitas responden
Rata-rata umur petani responden adalah 43,73 tahun hal ini menunjukkan bahwa
usahatani kakao dilakukan oleh petani pada usia produktif. Pada usia produktif kegiatan
usahatani dapat dikerjakan secara optimal dengan curahan tenaga kerja fisik yang tersedia
(Nuryanti dan sahara, 2008). Menurut Soekartawi (1988) bahwa makin muda petani biasanya
mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka
berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih
belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut, begitu pula pendidikan bahwa
mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi
teknologi dan sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan
adopsi inovasi dengan cepat.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir dan daya nalar seseorang
biasanya seseorang yang mengenyam pendidikan cukup lama akan lebih rasional dalam
bertindak dan menjalankan usahanya. pendidikan petani kakao cukup rendah rata-rata 8 tahun
artinya rata-rata petani tidak sampai menyelesaikan wajib belajar dari pemerintah yaitu
mengenyam pendidikan minimal Sembilan (9) tahun. Jumlah anggota keluarga dominan pada
kisaran 3-5 orang yaitu sebanyak 21 petani atau 70 % dari responden. Banyaknya anggota
keluarga bisa menjadi tambahan tenaga kerja dalam usahatani.
b. Kepemilikan lahan
Petani responden memiliki berbagai jenis lahan untuk berbagai jenis usaha tani.
Semua petani responden (100%) memiliki lahan perkebunan dengan diversifikasi lahan kakao-
kopi yang cukup tinggi (93,3%) petani memiliki luasan lahan antara 0,25 – 2 ha dengan rata-
rata luasan 1,025 ha; petani yang memiliki lahan perkebunan kopi monokultur (36%); petani
yang memiliki lahan tegalan (30%). Sedangkan lahan sawah dengan kepemilikan rata-rata
0,31 ha (26,6%) dimana lahan sawah ini sangat berpengaruh terhadap ketahan pangan dan
ketersediaan beras yang merupakan bahan makanan pokok daerah petani responden.
Lahan yang dikelola oleh petani merupakan lahan milik sendiri. Tingginya
kepemilikan luasan lahan memungkinkan bagi petani untuk mendapatkan tambahan
penghasilan dari berbagai jenis usaha tani sehingga modal untuk membuka luasan lahan
perkebunan kakao sangat mungkin untuk dilakukan seperti menambah populasi tanaman
kakao pada lahan perkebunan kopi karena 36% petani memiliki lahan perkebunan kopi dengan
rata-rata luas lahan 0,41 ha.
279 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Produktivitas Kakao
Rata-rata umur tanaman kakao petani responden diatas 5 tahun atau berada pada umur
produktif. Bibit yang ditanam oleh petani merupakan klon unggul bantuan Pemerintah Kabupaten
Kepahiang, berupa bibit hibrida F1 yang terdiri dari 3 klon yaitu ICS 01, ICS 06, dan ICS 12.
Pemeliharaan tanaman kakao yang dilakukan oleh petani di Desa Suro Bali belum optimal
sehingga produktivitas juga belum optimal. Produktivitas kakao disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rata rata produktivitas kakao petani di desa Suro Bali Tahun 2012 (kg/ha/thn)
No Produktivitas No Produktivitas No Produktivitas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
960
960
216
720
480
960
1.120
800
336
960
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
480
240
1200
384
36
600
720
800
840
1200
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1.440
240
1.440
960
960
480
1.920
720
960
1.920
Jumlah 25.052 ,00 kg/ha/thn
Rata-rata 835,06 kg/ha/thn
Pada Tabel 1, terlihat produktifitas rata rata kakao masih rendah yaitu 835,06 kg/ha/th.
Panen dilakukan dengan interval 10 - 14 hari secara terus menerus setiap tahunnya. Rata-rata
dalam setahun petani melakukan panen selama 8 bulan karena 3 - 4 bulan merupakan bulan
kering dan tanaman menunjukan stagnasi pada proses pembungaan dan pembuahan. Hasil ini
masih jauh lebih rendah dari potensi produksi tanaman kakao. Pada kondisi optimal dengan
kesesuaian lahan dan klon unggul tanaman kakao dapat berproduksi diatas 2 ton/ha/th.
Pendapatan petani kakao
Biaya usahatani terdiri dari biaya tenaga kerja (pemupukan, penyemprotan,
pemangkasan, penyiangan, panen dan pengeringan biji ), biaya pembelian pupuk dan pestisida.
Pendapatan merupakan nilai keuntungan usahatani petani yang diperoleh dari selisih penerimaan
dengan biaya usahatani (Nuryati dan sahara, 2008). Biaya terbanyak yang dikeluarkan oleh petani
adalah biaya tenaga kerja sebesar Rp. 3.149.000,- atau 83,62% dari total biaya yang dikeluarkan
oleh petani (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata biaya produksi pertahun usahatani kakao setelah menghasilkan di desa Suro
Bali Kepahiang.
No uraian Jumlah ( Rp )
1. Biaya tenaga kerja
- Pemangkasa 215.250,-
- Penyiangan 645.750,-
- Penyemprotan 41.000,-
- Pemupukan 38.750,-
- Pemanenan 1.655.000,-
- Pengeringan 553.500,-
Jumlah (1) 3.149.000,-
2. Biaya pestisida 358.300,-
3. Pembelian pupuk 258.300,-
Total biaya (1+2+3) 3.765.500,- (a)
4. Penerimaan ( Produksixharga) 11.755.200,- (b)
5. Pendapatan ( b – a ) 7.989.700,-
280 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Harga yang diterima oleh petani berbeda-beda tergantung dengan kualitas biji yang
dihasilkan. Kisaran harga adalah Rp 12.000-15.000 banyaknya serangan penyakit terutama hama
PBK membuat hasil produksi sangat sedikit dari potensi hasil lebih dari 2 ton perhektar, petani
Surobali hanya menghasilkan rata-rata 845,6 kg/hektar selain serangan hama dan penyakit petani
juga belum menerapkan teknologi yang tepat dalam usahataninya seperti pemupukan yang hanya
dilakukan oleh sebagian kecil petani dan biaya untuk pemupukan cukup rendah yaitu 7,8 % dari
total biaya yang dikeluarkan. Rata-rata pendapatan petani dari usahatani kakao adalah sebesar Rp.
7.989.800 jika di hitung B/C ratio dari usahatani kakao didapatkan nilai 2,12 yang artinya
usahatani kakao di desa Surobali Kepahiang masih menguntungkan karena masih bisa
menjanjikan pendapatan 2,12 kali dari biaya yang dikeluarkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Usahatani kakao masih dilakukan dengan cara sederhana dan tradisional, pendapatan rata-rata
petani Rp. 7.989.716 pertahun dengan B/C 2,12 yang artinya usahatani kakao di desa surobali
secara finansial layak untuk di usahakan.
Saran
Masih diperlukan bimbingan dan penyuluhan kepada petani agar penerapan teknologi budidaya
kakao bisa lebih baik sehingga hasil yang diterima petani bisa optimal.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Prov. Bengkulu. 2009. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Disbun Prov. Bengkulu. 2011. Statistik Perkebunan Provinsi Bengkulu. Dinas Perkebunan
Provinsi Bengkulu.
Puslit Koka. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia. Penerbit; Agro Media Pustaka. Jakarta.
Nuryati S dan Sahara dewi. 2008. Analisis Karakteristik Petani dan Pendapatan Usahatani
Kakao Di Sulawesi Tenggara. SOCA 8 :3 halman 318-322.
Soekartawi.1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian.Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press). Jakarta.
281 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH
Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Alfayanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Penelitian untuk mengetahui minat petani terhadap komponen PTT padi sawah telah dilaksanakan di Desa
Sukamerindu Kecamatan Kepahiang dan Desa Bumisari Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang pada bulan Maret
2012. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan metode survei pada 64 orang responden yang
dipilih secara acak. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer yang diambil melalui wawancara
dengan bantuan kuesioner berupa identitas responden, minat petani terhadap komponen PTT dasar dan minat petani
terhadap komponen PTT pilihan. Untuk melihat kombinasi komponen dasar dan komponen pilihan yang paling banyak
diminati oleh petani dilakukan analisis menggunakan uji statistik Chi Kuadrat satu sampel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komponen PTT dasar yang paling banyak diminati adalah pemupukan berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah (81,25%) dan pengaturan tanaman secara optimum atau legowo (67,19%), sedangkan
komponen PTT pilihan yang paling banyak diminati adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam (89,06%)
serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (57,81%). Sedangkan berdasarkan pengujian statistik dengan Chi
Kuadrat, kombinasi komponen dasar, terdapat 3 kombinasi yang paling banyak diminati yaitu kombinasi label dan
legowo, kombinasi VUB, organik dan legowo serta kombinasi label, organik dan legowo. Sedangkan kombinasi
komponen PTT pilihan yang paling diminati adalah kombinasi tanah dan panen, kombinasi tanah, bibit muda dan
panen serta kombinasi tanah, 1-3 batang dan panen.
Kata kunci : komponen PTT, komponen dasar, komponen pilihan, minat
PENDAHULUAN
Padi merupakan salah satu komoditi strategis dalam pembangunan pertanian di
Indonesia. Kebutuhan bahan pangan berupa beras terus meningkat seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan (Ditjen
Tanaman Pangan, 2011). Sehingga perlu adanya usaha peningkatan produksi beras agar
kebutuhan beras dalam negeri terpenuhi. Produktivitas padi hingga saat ini masih belum optimal
karena menghadapi beberapa kendala yaitu a) masih rendahnya efisiensi pemupukan; b) belum
efektifnya pengendalian hama penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang
dipilih kurang adaptif; d) kahat hara K dan unsur mikro; e) sifat fisik tanah tidak optimal; f)
pengendalian gulma kurang optimal (Pramono, et al., 2005).
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui
pendekatan PTT. Menurut Departemen Pertanian (2007), budidaya padi model PTT pada
prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang (sinergis) guna
meningkatkan efektivitas dan efisiensi usahatani. Kemajuan teknologi seperti perakitan varietas
baru, Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL), peningkatan monitoring hama/penyakit, dan
penggunaan bahan organik yang disertai dengan penerapan beberapa komponen teknologi yang
saling menunjang (penyiangan dengan alat gasrok, pengairan berselang, penggunaan bibit
tunggal, dan cara tanam) di 28 kabupaten selama tahun 2002-2003 meningkatkan hasil panen
rata-rata 19% dan pendapatan petani 15%. Hasil yang diharapkan dari kegiatan PTT adalah (1)
kebutuhan beras nasional dapat terpenuhi, (2) pendapatan petani dapat ditingkatkan, dan (3)
usaha pertanian padi dapat terlanjutkan.
Provinsi Bengkulu memiliki areal sawah seluas 95.356 ha dengan luas panen 133.629
ha dan produksi total 516.868 ton dengan produktivitas berada pada kisaran 4,05 ton/ha (BPS
Provinsi Bengkulu, 2011), jumlah ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas
nasional yang telah mencapai 5,03 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2011). Produktivitas padi di
Kabupaten Kepahiang sebagai salah satu lokasi penghasil masih berada pada kisaran 3,87 ton/ha
(BPS Kabupaten Kepahiang, 2011). Penyebab masih rendahnya produktivitas padi adalah
penggunaan komponen PTT padi sawah belum dilaksanakan secara optimal. Menurut Wibawa
(2011), penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di tingkat
petani masih rendah, penggunaan pupuk yang belum rasioanl dan efisien, penggunaan pupuk
organik yang belum populer dan budidaya spesifik lokasi masih belum diadopsi dan terdifusi
secara baik.
282 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui minat petani terhadap penggunaan komponen PTT. Diharapkan setelah diketahui
minat petani maka proses pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh di lapangan disesuaikan
dengan minat petani. Sehingga proses adopsi akan lebih mudah dilakukan.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada bulan Maret tahun 2012 di Desa Sukamerindu Kecamatan
Kepahiang dan Desa Bumisari Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang. Lokasi penelitian
ditentukan secara sengaja (purposive) karena kedua desa tersebut merupakan salah satu sentra
penghasil padi di Kabupaten Kepahiang.
Pendataan dilakukan secara survei pada 64 orang petani padi sawah yang dipilih secara
acak. Data yang digunakan berupa data primer yang diambil melalui wawancara dengan bantuan
daftar pertanyaan terstruktur (langsung) berupa umur, tingkat pendidikan, lama berusahatani,
luas penguasaan lahan, jumlah tanggungan keluarga serta minat petani terhadap komponen PTT.
Jawaban untuk pemilihan komponen PTT dibagi menjadi dua yaitu komponen dasar dan
komponen pilihan. Baik komponen dasar maupun komponen pilihan diberikan simbol (Tabel 1).
Tabel 1. Komponen dasar maupun komponen pilihan diberikan simbol.
No. Komponen PTT Simbol
A. Komponen Dasar
1. Varietas unggul baru VUB
2. Benih bermutu dan berlabel Label
3. Pemberian bahan organik (pengembalian jerami kesawah/kompos) Organik
4. Pengaturan tanaman secara optimum Legowo
5. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah Pupuk
6. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT OPT
B. Komponen Pilihan 1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam Tanah
2. Penggunaan bibit muda (< 21 hari) Bibit muad
3. Tanam bibit 1-3 batang per rumpun 1-3 batang
4. Pengairan secara efektif dan efisien Pengairan
5. Penyiangan dengan landak atau gasrok Penyiangan
6. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok Panen
Analisis kombinasi komponen dasar dan komponen pilihan yang dipilih dianalisis
dengan menggunakan uji statistik Chi Kuadrat (X2). Chi kuadrat yang digunakan adalah chi
kuadrat satu sampel yang merupakan teknik statistik untuk menguji hipotesis bila dalam populasi
terdiri atas dua atau lebih kelas di mana data berbentuk nominal dan jumlah sampelnya cukup
besar (Sugiyono, 2011).
Dimana : X2 = Chi kuadrat
= Frekuensi yang diobservasi
= Frekuensi yang diharapkan
( ) =
283 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karakteristik respoden yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan, lama berusahatani,
luas penguasaan lahan, status kepemilikan lahan dan jumlah tanggungan keluarga disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi karakteristik responden di Kabupaten Kepahiang.
No Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Rata-rata
A Umur (tahun) 39,42
1. 20 - 40 39 60,94
2. 41 - 60 23 35,94
3. > 60 2 3,13
B Pendidikan (tahun) 8,44
1. 0 - 6 27 42,19
2. 7 - 12 20 31,25
3. > 12 17 26,56
C Lama berusahatani (tahun) 15,05
1. 1 - 15 37 57,81
2. 16 - 30 20 31,25
3. >30 7 10,94
D Penguasaan lahan (ha) 0,76
1. 0,0 - 1,0 57 89,06
2. 1,1 - 2,0 6 9,38
3. >2,0 1 1,56
E Tanggungan keluarga (orang) 3,56
1. 0 - 3 26 40, 36
2. 4 - 6 37 57,81
3. >6 1 1,56
Sumber: data primer diolah 2012.
Rata-rata umur responden adalah 39,42 tahun dengan persentase terbanyak pada umur
20-40 tahun sebanyak 60,94%, kemudian kisaran umur 41-60 tahun sebanyak 35,94% dan
sisanya pada kisaran umur 61-80 sebanyak 3,13% (Tabel 1). Secara umum dapat dilihat bahwa
sebagian besar petani responden tergolong dalam usia produktif. Menurut Saridewi dan Siregar
(2010) usia produktif berada pada kisaran usia 15-64 tahun. Semakin muda usia petani biasanya
mempunyai semangat tinggi untuk mengetahui berbagai hal yang belum diketahui. Sehingga
mereka biasanya berusaha lebih cepat untuk melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya
mereka masih belum berpengalaman terhadap adopsi inovasi tersebut (Soekartawi, 1988).
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar. Sehingga
semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir dan daya penalarannya akan
semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010). Menurut Soekartawi (1988), mereka yang
berpendidikan tinggi relatif cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu juga sebaliknya
mereka yang berpendidikan rendah relatif lebih agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi
dengan cepat. Tingkat pendidikan responden berada pada kriteria pendidikan sedang dimana
penduduk tamat SD ke atas berkisar antara 30-60% (Prabayanti, 2010). Rata-rata tingkat
pendidikan responden adalah 8,44 tahun artinya apabila disesuaikan dengan sistem pendidikan di
Indonesia, pendidikan responden rata-rata belum menamatkan SMP.
Lama berusahatani rata-rata 15,05 tahun dengan kisaran tertinggi pada 1-15 tahun
57,81%, 16-30 tahun 31,25% dan > 30 tahun 10,94%. Menurut Murdy (2010) pengalaman
usahatani merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan usahatani.
Pengalaman yang tinggi di dalam berusahatani suatu komoditi akan memudahkan di dalam
284 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
mengadopsi teknologi baru. Karena secara umum pengalaman berusahatani akan mempengaruhi
keterampilan berusahatani.
Luas penguasaan lahan merupakan keseluruhan luas lahan yang diusahakan oleh petani
responden, baik milik sendiri, sewa maupun gaduh. Menurut Prabayanti (2010), luas penguasaan
lahan akan berpengaruh terhadap adospi inovasi karena luas penguasaan lahan akan
mempengaruhi banyaknya pendapatan yang diterima oleh petani. Luas penguasaan lahan rata-rata
petani di Kabupaten Kepahiang adalah 0,76 ha. Berdasarkan pembagian luas penguasaan lahan,
kriteria penguasaan lahan yang dimiliki oleh petani berada pada golongan sedang.
Jumlah tanggungan keluarga menurut Prabayanti (2010) akan berpengaruh terhadap
perekonomian keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin
meningkat pula kebutuhan keluarga. Hal ini akan menyebabkan biaya hidup semakin besar.
Berdasarkan hasil pada Tabel 1, jumlah tanggungan keluarga responden rata-rata adalah 4-6
orang 57,81%, jumlah tanggungan keluarga 0-3 sebanyak 40,63% sedangkan jumlah tanggungan
keluarga > 6 orang hanya 1,56%.
Minat petani terhadap komponen PTT dasar
Berdasarkan hasil kajian, komponen PTT dasar yang diminati oleh petani adalah
pemupukan spesifik lokasi (81,25%), pengaturan populasi tanaman (67,19%), benih bermutu dan
berlabel (57,81%), varietas unggul baru (39,06%), pemberian bahan organik melalui
pengembalian jerami (39,06%) dan pengendalian OPT dengan PHT (29,69%). Persentase minat
petani terhadap komponen dasar PTT pada Tabel 3.
Minat petani terhadap pemupukan spesifik lokasi merupakan komponen PTT dasar
yang paling banyak diminati. Rekomendasi pemupukan yang ada saat ini merupakan
rekomendasi pemupukan secara umum untuk semua wilayah tanpa memperhatikan kondisii tanah
dan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara. Rekomendasi pemupukan untuk
Kabupaten Kepahiang berdasarkan Permentan nomor 40 tahun 2007 adalah 250 kg Urea, 75 kg
SP-36 dan 50 kg KCl. Walaupun rekomendasi pemupukan telah ada, akan tetapi dosis
pemupukan yang dilakukan oleh petani masih belum sesuai dengan rekomendasi. sehingga
produktivitasnya belum optimal. Selain itu kebiasaan petani yang membakar atau membuang
jerami menjadi salah penyebab semakin menurunnya kesuburan tanah sawah. Kebiasaan petani
untuk membakar atau membuang jerami merupakan hal yang sangat merugikan karena jerami
selain mengandung unsur hara juga merupakan salah satu sumber bahan organik yang sangat
aksesible bagi petani. Sehingga dengan mengembalikan jerami baik secara langsung maupun
melalui proses pengomposan maka akan mengembalikan sebagian unsur hara yang terbawa pada
saat panen (Husnain, 2010).
Tabel 3. Persentase minat petani terhadap komponen dasar PTT.
No. Komponen dasar Jumlah Persen (%)
1. Varietas unggul baru 25 39,06
2. Benih bermutu dan berlabel 37 57,81
3. Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami 25 39,06
4. Pengaturan populasi tanaman 43 67,19
5. Pemupukan spesifik lokasi 52 81,25
6. Pengendalian OPT dengan PHT 19 29,69
Sumber : Data primer diolah tahun 2012.
Sedangkan untuk komponen dasar yang paling sedikit diminati oleh petani adalah
pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT
merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga
pengendalian yang dilakukan agar tidak mengganggu keseimbangan alami dan tidak
menimbulkan kerugian (Departemen Pertanian, 2007). Pengendalian OPT dengan pendekatan
PHT masih belum banyak dilakukan oleh petani. Pengendalian OPT yang dilakukan oleh petani
masih dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi ekologi sehingga menyebabkan terganggunya
keseimbangan alami.
285 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Berdasarkan hasil pemilihan kombinasi komponen PTT dasar diperoleh beberapa
kombinasi dengan kombinasi yang paling banyak diminati adalah kombinasi antara penggunaan
benih berlabel dengan pengaturan populasi tanaman atau sistem jajar legowo (Tabel 4).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan chi square, terdapat 5 kombinasi
komponen PTT dasar yang paling banyak diminati. Kombinasi komponen dasar dengan jumlah
responden terbanyak yaitu 5 orang adalah kombinasi benih berlabel dan bersertifikat dengan
legowo; VUB, penggunaan pupuk organik dengan pengaturan populasi tanaman melalui sistem
legowo; benih bermutu dan berlabel, penggunaan pupuk organik dengan sistem legowo.
Sedangkan kombinasi komponen dasar yang dipilih oleh 4 responden adalah penggunaan benih
berlabel, pengaturan populasi tanaman melalui sistem tanam legowo, dengan pemupukan spesifik
lokasi.
Komponen PTT dasar yang paling banyak diminati adalah pengaturan populasi tanaman
atau yang biasa disebut legowo. Sistem jajar legowo diartikan sebagai cara tanam padi sawah
yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan kosong. Baris tanaman (dua atau lebih)
dan baris kosongnya (setengahnya lebar di kanan dan di kirinya) disebut satu unit legowo. Bila
terdapat dua baris tanam per unit legowo maka disebut legowo 2:1, sementara jika empat baris
tanam per unit legowo disebut legowo 4:1, dan seterusnya. Pemilihan komponen ini oleh petani
karena sistem tanam legowo mempunyai beberapa keuntungan yaitu sirkulasi udara dan
pemanfaatan sinar matahari lebih baik untuk pertanaman, pengendalian gulma dan pemupukan
dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, tanam jajar legowo juga memberikan ruang tumbuh yang
lebih longgar sekaligus populasi yang lebih tinggi (BB padi, 2012).
Tabel 4. Pilihan kombinasi komponen dasar PTT di Kabupaten Kepahiang.
No. Kombinasi Jumlah petani Persentase (%)
1. Benih 1 1,56
2. Legowo 1 1,56
3. VUB dan label 1 1,56
4. VUB dan legowo 1 1,56
5. VUB dan pupuk 1 1,56
6. Label dan legowo 5 7,81
7. Label dan OPT 1 1,56
8. Organik dan dan legowo 1 1,56
9. Pupuk dan OPT 1 1,56
10 Legowo dan OPT 1 1,56
11. VUB, label, dan organik 1 1,56
12. VUB, label dan legowo 1 1,56
13. VUB, organik dan pupuk 5 7,81
14. VUB, organik, dan pupuk 1 1,56
15. VUB, legowo dan pupuk 1 1,56
16. Label, organik dan legowo 5 7,81
17. Label, organik dan pupuk 1 1,56
18. Label, organik, dan OPT 1 1,56
19. Label, legowo, dan pupuk 4 6,25
20. Label, legowo, dan OPT 2 3,13
21. Organik, legowo, dan pupuk 3 4,69
22. Organik, legowo, dan OPT 3 4,69
23. Organik, pupuk, dan OPT 1 1,56
24. VUB, label, organik, dan legowo 3 4,69
25. VUB, label, organik, dan pupuk 1 1,56
26. VUB, label, organik, dan OPT 1 1,56
27. VUB, organik, legowo, dan OPT 4 6,25
28. VUB, legowo, pupuk, dan OPT 1 1,56
29. Label, organik, legowo, dan OPT 2 3,13
30. Label, organik, legowo, dan OPT 3 4,69
31. Organik, legowo, pupuk, dan OPT 2 3,13
32. VUB, label, organik, legowo, dan OPT 3 4,69
33. Label, organik, legowo, pupuk, dan OPT 1 1,56
Jumlah 64 100,00
Sumber : Data primer diolah tahun 2012.
286 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Minat petani terhadap komponen PTT pilihan
Berdasarkan hasil kajian minat petani terhadap komponen PTT pilihan secara berturut-
turut adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam (89,06%), panen tepat waktu dan
gabah segera dirontokkan (57,81%), penggunaan bibit muda (56,25%), tanam bibit 1-3 batang per
rumpun (43,75%), penyiangan dengan landak atau gasrok (21,88%), dan pengairan secara efektif
dan efisien (17,19%). Persentase minat petani terhadap komponen PTT pilihan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase minat petani terhadap komponen PTT pilihan.
No. Komponen dasar Jumlah Persen (%)
1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam 57 89,06
2. Penggunaan bibit muda (< 21 hari) 36 56,25
3. Tanam bibit 1-3 batang per rumpun 28 43,75
4. Pengairan secara afektif dan efisien 11 17,19
5. Penyiangan dengan landak atau gasrok 14 21,88
6. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok 37 57,81
Sumber : Data primer diolah tahun 2012
Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam menjadi komponen pilihan paling
banyak diminati. Selain berfungsi untuk memeprbaiki hara dan mengubah sifat fisik tanah,
pengolahan tanah juga dilakukan untuk mematikan dan membusukkan gulma sehingga menjadi
humus, aerasi tanah menjadi baik, lapisan bawah tanah menjadi jenuh air sehingga dapat
menghemat air. Sekaligus juga untuk memperbaiki pematang sawah serta saluran keluar
masuknya air yang dibutuhkan.
Pengairan secara efektif dan efisien menjadi komponen PTT pilihan yang kurang
diminati oleh petani. Pengairan yang biasanya dilakukan oleh petani adalah penggenangan hingga
5 cm bahkan lebih. Sehingga biasanya areal terus menerus digenangi hingga mencapai fase
bunting. Menurut Juliardi dan Ruskandar (2006), kebutuhan air untuk padi sawah sebanyak 0,74-
1,21 l/detik/ha atau 6,39-10,37 mm/hari/ha. Kebutuhan air terbanyak adalah pada saat penyiapan
lahan sampai tanam dan memasuki fase bunting sampai pengisian bulir padi. Kebutuhan tanaman
padi pada saat pengolahan tanah sampai tanam (30 hari) membutuhkan air 20%, sedangkan pada
fase bunting sampai pengisian bulir (15 hari) membutuhkan air sebanyak 35%. Pengairan secara
efektif dan efisien dapat dilakukan dengan melakukan pengairan berselang (intermittent
irrigation). Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan
tergenang secara bergantian. Departemen Pertanian, (2007) pengairan berselang mempunyai
beberapa keuntungan yaitu: menghemat air irigasi, memberi kesempatan pada akar mendapatkan
udara untuk berkembang lebih dalam, mengurangi timbulnya keracunan besi, mengurangi
penimbunan asam organik, mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat, mengurangi
kerebahan serta mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif.
Hasil kajian memperlhatkan kombinasi komponen PTT pilihan yang paling banyak
diminati adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam dengan komponen panen tepat
waktu dan gabah segera dirontok (Tabel 6).
Tabel 6. Kombinasi minat petani terhadap komponen pilihan PTT.
No. Komponen pilihan Jumlah petani (org) Persentase (%)
1. Tanah 3 4,69
2. Tanah dan bibit muda 3 4,69
3. Tanah, dan 1-3 batang 3 4,69
4. Tanah, dan panen 7 10,94
5. Bibit muda dan 1-3 batang 3 4,69
6. 1-3 batang, dan panen 2 3,13
7. Tanah, bibit muda, dan 1-3 batang 4 6,25
8. Tanah, bibit muda, dan pengairan 5 7,81
9. Tanah, bibit muda dan penyiangan 5 7,81
10. Tanah, bibit muda dan panen 6 9,38
11. Tanah, 1-3 batang, dan panen 6 9,38
287 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
12. Tanah, penyiangan, dan panen 2 3,13
13. Bibit muda, 1-3 batang, dan panen 1 1,56
14. Tanah, bibit muda, 1-3 batang dan penyiangan 1 1,56
15. Tanah, bibit muda, 1-3 batang, dan panen 3 4,69
16. Tanah, bibit muda, penyiangan dan panen 2 3,13
17. Tanah, 1-3 batang, penyiangan dan panen 3 4,69
18. Tanah, 1-3 batang, penyiangan dan panen 2 3,13
19. Bibit muda, pengairan, penyiangan dan panen 1 1,56
20. Tanah, bibit muda, 1-3 batang, pengairan dan panen 1 1,56
21. Tanah, bibit muda, pengairan, penyiangan dan panen 1 1,56
Jumlah 64 100
Sumber : Data primer diolah tahun 2012.
Hasil analisis statistik yang dilakukan dengan menggunakan chi square diperoleh
bahwa komponen pengolahan tanah merupakan komponen yang paling banyak dipilih oleh
petani. Hal ini berdasarkan adanya komponen tersebut pada masing-masing kombinasi. Pemilihan
terhadap komponen tersebut berdasarkan pada kemudahan serta keuntungan pengolahan tanah
yang disesuaikan dengan musim dan pola tanam. Jumlah responden terbanyak adalah 7 orang
dengan memilih kombinasi antara pengolahan tanah dengan panen tepat waktu dan gabah segera
dirontokkan. Jumlah responden sebanyak 6 orang memilih dua kombinasi komponen pilihan PTT
yaitu kombinasi antara tanah, 1-3 batang dengan panen; serta kombinasi antara tanah, bibit muda
dan pengairan. Sedangkan kombinasi komponen pilihan yang dipilih oleh 5 orang yaitu
kombinasi antara tanah, bibit muda dengan pengairan serta tanah, bibit muda dengan penyiangan.
Pengolahan tanah merupakan salah satu komponen dasar yang paling banyak diminati
pada semua kombinasi minat. Hal ini karena petani menyadari bahwa pengolahan tanah
merupakan tahap awal dari budidaya tanaman. Selain sebagai media tumbuh dan berkembangnya
suatu tanaman, tanah juga merupakan sumber hara bagi tanaman. Sehingga pengolahan yang
tidak sesuai dengan musim dan pola tanam akan merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Sedangkan komponen yang paling sedikit diminati pada kombinasi komponen pilihan
adalah penanaman 1-3 batang per rumpun. Komponen ini cukup sedikit dilakukan oleh petani
terutama pada daerah-daerah endemik serangan keong mas. Penggunaan bibit yang banyak
dilakukan oleh petani biasanya 4-5 batang dengan alasan agar anakan banyak. Menurut
Departemen Pertanian (2007), direkomendasikan menanam bibit per rumpun dengan jumlah yang
lebih sedikit. Jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit per rumpun. Lebih banyak jumlah
bibit per rumpun, lebih tinggi kompetisi antar bibit (tanaman) dalam satu rumpun.
KESIMPULAN
1. Komponen PTT dasar yang banyak diminati oleh petani adalah pemupukan berdasarkan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah (81,25%), pengaturan populasi tanaman secara
optimum/legowo (67,19%), dan benih bermutu dan berlabel (57,81%).
2. Komponen PTT pilihan pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam (89,06%), panen tepat
waktu dan gabah segera dirontok (57,81%) dan penggunaan bibit muda atau bibit yang
berumur kurang dari 21 hari (56,25%).
3. Terdapat 3 kombinasi pemilihan komponen dasar yaitu kombinasi pertama antara VUB
dengan benih bermutu dan berlabel; kombinasi kedua antara VUB, pemberian bahan organik
dengan pengaturan populasi tanaman secara optimum/legowo, dan kombinasi ketiga adalah
kombinasi antara benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik dengan pengaturan
populasi tanaman secara optimum/legowo.
4. Kombinasi komponen pilihan terdapat 3 yaitu kombinasi pengolahan tanah dengan panen
tepat waktu dan sesuai musim tanam, kombinasi pengolahan tanah sesuai musim dan pola
tanam, penggunaan bibit muda dengan panen tepat waktu dan gabah segera dirontok serta
kombinasi pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, bibit 1-3 batang per rumpun,
dengan panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
288 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kab. Kepahiang. 2011. Kabupaten Kepahiang Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kepahiang. Kepahiang.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik
Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Departemen Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi
Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Ditjen Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Tahun 2011. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Husnain. 2010. Kehilangan Unsur Hara Akibat Pembakaran Jerami Padi dan Potensi
Pencemaran Lingkungan. Prosd. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor,
30 November-1 Desember 2010. Ballitanah> Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Juliardi, I. dan A. Ruskandar. 2006. Teknik Mengairi Padi Kalau Macak-Macak Cukup, Mengapa
Harus Digenang?. Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 13 September 2006.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/st130906-1.pdf. 28 Juli 2011.
Murdy, S. 2010. Peranan KUPEM Dalam Meningkatkan Produksi Kentang di Kabupaten
Kerinci. http:///online-journal.unja.ac.id/index/ php/jseb/article.download/299 /214. [7
November] 2012.
Prabayanti, H. 2010. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Biopestisida Oleh Petani Di
Kecamatan Mojogedang Kabupaten Karanganyar. Skripsi Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian (PKP) Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pramono, J., S. Basuki dan Widarto. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Agrosain 7 (1): 1-6.
http://pertanian.uns.ac.id/~agronomi/agrosains/Vol%207-1/Upaya%20
Peningkatan%20Produktivitas%20Padi%20Sawah%20Melalui%20Pendekatan%20Pengelo
laan%20Tanaman%20dan%20Sumberdaya%20Terpadu.pdf. [14 November] 2012.
Saridewi, T.R. dan A.N. Siregar. 2010. Hubungan Antara Peran Penyuluh Dan Adopsi Teknologi
Oleh Petani Terhadap Peningkatan Produksi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal
Penyuluhan Pertanian Volume 5 No.1 Mei 2010. http://stpp-bogor.ac.id/userfiles/file/06-
Dewi%20edited.pdf. [7 November] 2012.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.
Wibawa, W. 2011. Laporan Akhir Tahun Pendampingan Program SL-PTT di Provinsi Bengkulu.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
289 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERSEPSI PETANI DAN STAKEHOLDER TERHADAP
PENGEMBANGAN JERUK RGL DI KABUPATEN LEBONG
Bunaiyah Honorita dan Sri Suryani M. Rambe
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Agribisnis jeruk cukup menarik perhatian investor dan petani. Pengembangan jeruk baik dari segi
usahatani maupun luas lahannya menjadi hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah usahatani Jeruk RGL.
Jeruk RGL memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Lebong. Pengkajian dilaksanakan untuk
mengetahui persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL di Kabupaten Lebong. Pengambilan
data dilaksanakan pada bulan Maret 2012 terhadap petani jeruk dan stakeholder di Kabupaten Lebong. Data yang
diambil terdiri dari data primer, meliputi karakteristik responden serta persepsi petani dan stakeholder. Data sekunder
diambil dari data BPS dan Dinas Pertanian Kabupaten Lebong. Kemudian dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan interval kelas dan Uji Statistik Mann Whitney U. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
persepsi antara petani dan stakeholder. Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL berada
pada kriteria baik dengan nilai masing-masing adalah 2,96 dan 3,04. Hal ini memperlihatkan bahwa baik petani
maupun stakeholder di Kabupaten Lebong setuju terhadap pengembangan usahatani Jeruk RGL. Dalam
pengembangan agribisnis Jeruk RGL di Kabupaten Lebong, aspek kekuatan (strengthness) dan kelemahan (weakness)
perlu diperhatikan dan dijadikan dasar pertimbangan. Aspek kekuatan (strengthness) yang menjadi faktor pendorong
pengembangan agribisnis Jeruk RGL adalah bahwa Jeruk RGL memiliki keunggulan kompetitif, pangsa pasar nasional
dan internasional, harga jual tinggi, dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong dan Dirjen Hortikultura,
serta kesesuaian agroklimat. Sedangkan aspek kelemahan (weakness) meliputi terbatasnya modal petani, terbatasnya
ketersediaan benih tanaman Jeruk RGL, serta sangat terbatasnya dokumentasi informasi dan rekomendasi teknologi
budidaya dan pascapanen Jeruk RGL.
Kata kunci : jeruk RGL, persepsi petani dan stakeholder, pengembangan
PENDAHULUAN
Jeruk (Citrus sp.) merupakan salah satu buah unggulan nasional. Komoditas ini
memegang peran strategis dalam peta perdagangan produk pertanian khususnya buah-buahan di
Indonesia. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, agribisnis jeruk cukup menarik perhatian para
investor maupun petani. Menurut Ridwan, H.K, dkk (2008), jeruk merupakan salah satu
komoditas unggulan buah-buahan nasional yang dapat tumbuh dan berproduksi mulai dataran
rendah sampai dataran tinggi pada lahan sawah atau tegalan. Upaya peningkatan produksi jeruk
terutama untuk memenuhi kebutuhan nasional terhambat oleh rendahnya tingkat adopsi yang
dikuasai petani serta luas lahan usahatani jeruk sehingga perlu disusun program penelitian
pengembangan yang lebih berorientasi agribisnis yang berkerakyatan diikuti dengan
pemberdayaan kelembagaan dan kelompok tani.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kontribusi jeruk terhadap nilai produk domestik
bruto (PDB) cenderung meningkat. Pada tahun 2007, PDB Jeruk Siam mencapai Rp. 10.278,96
Milyar dan Pamelo mencapai Rp. 236,17 Milyar (Ditjen Hortikultura, 2008). Tahun 2008
diperkirakan konsumsi jeruk per kapita di Indonesia 2,60 – 3,07 kg/tahun. Dengan jumlah
penduduk di Indonesia saat ini sekitar 220 juta dan seperempat persen diantaranya mengkonsumsi
jeruk, maka diperkirakan kebutuhan jeruk segar di Indonesia pada tahun 2010 berkisar antara 143
- 168 juta ton. Impor buah jeruk saat ini mencapai 209.615 ton (9,8% total produksi nasional dan
34,8% dari total impor buah). Ekspor buah jeruk sebesar 503 ton (0,02% total ekspor buah).
Dengan kondisi produksi yang dicapai hingga saat ini, maka masih terbuka peluang pasar yang
sangat besar untuk memenuhi kebutuhan jeruk segar setiap tahunnya untuk pasar domestik.
Luas Kabupaten Lebong adalah 1.929,24 km2 atau 9,75% terhadap luas wilayah
Bengkulu (BPS Bengkulu, 2010). Tekstur tanah terdiri dari tekstur tanah halus seluas 105.454
ha, tanah sedang 76.837 ha dan tanah kasar 10.633 ha. Sedangkan menurut jenis tanahnya, terdiri
dari jenis tanah Andosol seluas 60.330 ha, Alluvial 703 ha, Rogosol 7.747 ha, Latasol 16.109 ha,
Padsolik Merah Kuning/Latosol Andosol 22.508 ha, Komplek Padsolik Merah Kuning Litosol
Latosol 10.424 ha dan Komplek Padsolik Coklat Padsol Latosol 75.103 ha. Berdasarkan
topografinya, wilayah Kabupaten Lebong yang terletak pada ketinggian 100 – 500 m diatas
290 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
permukaan laut seluas 21.205 ha, ketinggian 500 – 1.000 m seluas 80.384 ha dan pada ketinggian
1.000 m keatas seluas 91.335 ha (BPS Kabupaten Lebong, 2010). Sebagian dari wilayah tersebut
sesuai untuk pengembangan komoditas jeruk. Salah satu jenis jeruk yang dikembangkan di
Provinsi Bengkulu adalah Jeruk RGL. Jeruk RGL kini menjadi komoditas unggulan Kabupaten
Lebong karena mempunyai keunggulan kompetitif, yaitu buahnya berwarna kuning-orange,
berbuah sepanjang tahun, ukuran buah besar 200-350 gram, kadar sari buah tinggi, dan
mempunyai potensi pasar yang baik. Jeruk RGL berbuah sepanjang masa, satu pohon ada 4-6
generasi, dalam satu pohon ada bunga, buah muda sampai buah siap panen (Suwantoro, 2010).
Selain itu, Dirjen Hortikultura mulai tahun 2011 telah menetapkan Jeruk RGL ini sebagai
prioritas nasional untuk dikembangkan dari yang sekarang baru sekitar 6 ha menjadi kawasan
agribisnis hortikultura/jeruk di eks lahan tidur seluas 6.000 ha lima tahun mendatang.
Pengembangan kawasan agribisnis jeruk di Kabupaten Lebong tentunya perlu didukung
oleh peranan pemangku kepentingan (stakeholder) dan petani jeruk. Permasalahannya adalah
sejauh mana persepsi stakeholder dan petani jeruk terhadap pengembangan usahatani Jeruk RGL.
Persepsi tersebut dibutuhkan sebagai langkah awal dalam pengembangan kawasan agribisnis
jeruk di Kabupaten Lebong. Rangkuti (2003), mendefinisikan persepsi individu sebagai proses
dimana individu memilih, mengorganisasikan dan mengartikan stimulus yang diterima melalui
alat inderanya menjadi suatu makna. Persepsi merupakan cara seseorang melihat realitas di luar
dirinya atau di dunia sekelilingnya. Rakhmat (2002) mendefinisikan persepsi sebagai
pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian, maka tujuan pengkajian
adalah mengetahui persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan usahatani Jeruk RGL
di Kabupaten Lebong.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Maret 2012 terhadap petani jeruk dan stakeholder
di Kabupaten Lebong. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode survei.
Responden dipilih menggunakan metode proportionat stratified random sampling, sebanyak 15
orang petani jeruk dan 25 orang stakeholder. Data yang diambil terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer meliputi karakteristik petani contoh serta persepsi petani dan stakeholder
terhadap pengembangan Jeruk RGL. Data sekunder diambil dari data BPS dan Dinas Pertanian
Kabupaten Lebong. Analisis data dilakukan dengan menggunakan interval kelas dan diuraikan
secara deskriptif. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas
untuk masing-masing indikator adalah:
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval
NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas
NSR : Nilai Skor Terendah
Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL dianalisis dengan
menggunakan Uji Statistik Mann Whitney U dengan rumus :
Dimana : U = Nilai Uji Mann Whitney U
N1 = Sampel 1
N2 = Sampel 2
Ri = Ranking ukuran sampel
291 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini terdiri dari petani jeruk dan stakeholder di Kabupaten
Lebong. Rata-rata umur petani adalah 42,5 tahun dan tergolong usia produktif. Kondisi ini akan
mempengaruhi pola pengambilan keputusan serta cara berushatani yang dilakukan.
Pengelompokkan petani berdasarkan umur, yang terbanyak adalah kelompok umur antara 40-60
tahun (60,00%) dan sisanya kelompok umur 20-40 tahun (40,00%) dari jumlah petani contoh.
Sebagian besar petani (53,33%) berpendidikan Sekolah Dasar (SD) serta 26,67% dan 20,00%
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut
Bandolan (2008), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang
diberikan terhadap proses berusahatani. Pengalaman petani dalam berusahatani jeruk tergolong
masih baru, yaitu berkisar antara 1-5 tahun sebesar 86,67%. Sedangkan petani yang memiliki
pengalaman cukup tinggi, berkisar >(5-10) tahun sebesar 13,33% (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik petani contoh di Kabupaten Lebong Tahun 2012.
No. Karakteristik petani contoh Kelompok Persentase (%)
1. Umur (tahun) 20 – 40
40 – 60
40,00
60,00
Jumlah 100,00
2. Pendidikan SD
SMP
SMA
53,33
26,67
20,00
Jumlah 100,00
3. Pengalaman 1 – 5
>(5 – 10)
86,67
13,33
Jumlah 100,00
Sumber : Tabulasi data primer.
Rata-rata umur stakeholder adalah 43 tahun dengan pengelompokkan terbanyak pada
kelompok umur 40-60 tahun ( 80,00%) dan sisanya kelompok umur 20-40 tahun, (20,00%) dari
jumlah stakeholder. Tingkat pendidikan stakeholder terdiri dari S1 dan S2, dengan persentase
masing-masing adalah 92,00% dan 8,00% (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik stakeholder di Kabupaten Lebong Tahun 2012
No. Karakteristik stakeholder Kelompok Persentase (%)
1. Umur 20 – 40
40 – 60
20,00
80,00
Jumlah 100,00
2. Pendidikan S1
S2
92,00
8,00
Jumlah 100,00
Sumber : Tabulasi data primer.
Persepsi Petani dan Stakeholder Terhadap Pengembangan Agribisnis Jeruk RGL di
Kabupaten Lebong
Hasil analisis dengan menggunakan interval kelas memperlihatkan bahwa persepsi
petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL berada pada kriteria baik. Dimana
nilai skor persepsi petani 2,96 dan stakeholder 3,04. Hal ini berarti bahwa baik petani maupun
stakeholder setuju terhadap pengembangan Jeruk RGL (Tabel 3).
292 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL di Kabupaten
Lebong Tahun 2012.
Indikator Skor Persepsi*
Petani Stakeholder
Jeruk RGL cocok dibudidayakan di Kabupaten Lebong 3,38 3,35
Iklim di Kabupaten Lebong sesuai untuk pengembangan jeruk RGL 3,38 3,40
Tanah di Kabupaten Lebong sesuai untuk pengembangan jeruk RGL 3,20 3,35
Program pengembangan jeruk RGL di Kabupaten Lebong 3,20 3,35
Bibit jeruk RGL mudah diperoleh 2,46 2,65
Pemeliharaan jeruk RGL lebih mudah dibanding jenis jeruk lainnya 2,38 1,85
Pemeliharaan jeruk RGL lebih ekonomis dibanding jenis jeruk lainnya 2,40 1,95
Jeruk RGL memiliki keunggulan dibanding jenis jeruk lainnya 3,23 3,55
Jeruk RGL memiliki potensi untuk dikembangkan 3,20 3,55
Jeruk RGL banyak diminati konsumen 3,23 3,55
Pangsa pasar jeruk RGL lebih banyak dibanding dengan jenis jeruk lainnya 2,77 3,45
Jeruk RGL dapat menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Lebong 3,31 3,65
Petani mempunyai cukup modal untuk usahatani jeruk 2,23 1,60
Butuh bantuan modal atau bagi hasil dalam pengembangan jeruk lain 2,92 2,90
Pengembangan jeruk mempunyai peluang untuk dijadikan agrowisata 3,20 3,50
Teknologi budidaya dan pasca panen jeruk RGL tersedia 3,00 2,70
Buah jeruk RGL aman dikonsumsi 2,69 3,45
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan jeruk RGL sudah tersedia 3,10 3,45
Ada komoditas lain yang lebih kompetitif di Kabupaten Lebong 3,00 2,50
Jumlah 56,23 57,75
Rerata 2,96 3,04
Sumber : Data primer terolah
Keterangan : * 1,00-1,75 = sangat tidak setuju; 1,76-2,50 = tidak setuju;
2,51-3,25 = setuju; 3,26-4,00 = sangat setuju.
Dilihat dari masing-masing indikator persepsi petani terhadap pengembangan Jeruk
RGL, sebesar 68,42% dari keseluruhan indikator berada pada kriteria baik (setuju) dan 15,79%
sangat baik (sangat setuju). Sedangkan tiga indikator yang menurut persepsi petani tidak setuju
antara lain adalah bahwa bibit Jeruk RGL mudah diperoleh, pemeliharaan Jeruk RGL lebih
mudah dibandingkan jenis jeruk lainnya, serta petani mempunyai cukup modal untuk
berusahatani jeruk. Dibandingkan dengan persepsi stakeholder terhadap pengembangan Jeruk
RGL, persentase stakeholder yang sangat setuju dari keseluruhan indikator persepsi adalah
63,16%, sedangkan 15,79% dari indikator persepsi, stakeholder setuju. Nilai ini lebih baik
dibandingkan dengan nilai persepsi petani. Namun, sejalan dengan persepsi petani, stakeholder
berpersepsi bahwa pemeliharaan Jeruk RGL tidak lebih mudah dibandingkan jenis jeruk lainnya,
petani tidak mempunyai cukup modal untuk berusahatani jeruk, serta tidak ada komoditas lain
yang lebih kompetitif di Kabupaten Lebong.
Hasil tersebut juga didukung dengan hasil analisis menggunakan uji statistik Mann
Whitney U. Hasil analisis menunjukkan bahwa signifikansi (Asymp Sig) adalah 0,192. Karena
signifikansi > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara petani dan
stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL. Hal ini berarti baik petani maupun stakeholder
di Kabupaten Lebong setuju terhadap pengembangan usahatani Jeruk RGL (Tabel 4).
293 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL di Kabupaten
Lebong Tahun 2012.
Test Statisticsa Persepsi
Mann-Whitney U 143.000
Wilcoxon W 333.000
Z -1.305
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.192
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0.284b
Sumber : Data primer terolah
Keterangan : a.grouping variable: responden
b.not corrected for ties
Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut meliputi tingkat pendidikan,
pengalaman berusahatani jeruk, dan umur responden. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi adalah kepemilikan modal, iklim, dan pangsa pasar. Bulu (2010)
menggambarkan bahwa persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu)
dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri dan lingkungan). Secara psikologis, persepsi
individu sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti teknologi, pengalaman
individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang inovasi, kemampuan berfikir, dan motivasi
untuk belajar. Proses persepsi tidak mengharuskan individu tersebut menggunakan sesuatu
terlebih dahulu. Persepsi adalah cara seseorang melihat realitas di luar dirinya atau di dunia
sekelilingnya.
Persepsi petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk RGL di Kabupaten
Lebong merupakan suatu proses pemberian makna terhadap suatu objek yang dilihat, dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan, dimana tiap individu menyeleksi,
mengorganisasikan, dan menginterpretasikan stimulus ke dalam bentuk yang berharga dan
divisualiasasikan sebagai persepsi. Dalam pengembangan agribisnis Jeruk RGL di Kabupaten
Lebong, aspek kekuatan (strengthness) dan kelemahan (weakness) perlu diperhatikan dan
dijadikan dasar pertimbangan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa aspek kekuatan
(strengthness) yang menjadi faktor pendorong pengembangan agribisnis Jeruk RGL adalah
bahwa Jeruk RGL memiliki keunggulan kompetitif, pangsa pasar nasional dan internasional,
harga jual tinggi, dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong dan Dirjen Hortikultura,
serta kesesuaian agroklimat. Sedangkan aspek kelemahan (weakness) meliputi modal petani yang
masih terbatas, ketersediaan benih tanaman Jeruk RGL masih terbatas, serta dokumentasi
informasi dan rekomendasi teknologi budidaya dan pascapanen Jeruk RGL sangat terbatas.
KESIMPULAN
1. Tidak ada perbedaan persepsi antara petani dan stakeholder terhadap pengembangan Jeruk
RGL di Kabupaten Lebong. Sehingga usahatani Jeruk RGL dapat dikembangkan di
Kabupaten Lebong.
2. Pengembangan Jeruk RGL didukung oleh aspek kekuatan (strengthness) yang meliputi Jeruk
RGL memiliki keunggulan kompetitif, pangsa pasar nasional dan internasional, harga jual
tinggi, dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong dan Dirjen Hortikultura, serta
kesesuaian agroklimat.
3. Yang harus diperhatikan dalam pengembangan Jeruk RGL antara lain adalah terbatasnya
modal petani, terbatasnya ketersediaan bibit tanaman Jeruk RGL, serta sangat terbatasnya
dokumentasi informasi dan rekomendasi teknologi budidaya dan pascapanen Jeruk RGL.
294 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
BPS Prov. Bengkulu. 2010. Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu.
Bengkulu.
BPS Kab. Lebong. 2010. Kabupaten Lebong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lebong. Tubei.
Bandolan, Y, et al. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di
Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa (Online).
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42085966_2089-0036.pdf. (16-10- 2012).
Bulu Yohanes Geli. 2010. Persepsi Petani Terhadap Peran Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(LUEP) dalam Usahatani Padi di Kecamatan Sukaharjo Kabupaten Sukoharjo
(Online).http://h0404055. wordpress.com/2010/04/07/. (30 Mei 2012)
Rangkuti F. 2003. Measuring Consumer Satisfaction: Gaining Customer Relationship Strategy.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rakhmat J. 2002. Psikologi Manusia. Penerbit. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang
OKU Timur. Skripsi S1. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Riduwan dan Alma B. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.
Ridwan, H.K., et al. 2008. Sifat Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun
Jeruk Sehat dalam Pengembangan Agribisnis Jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat. Jurnal Hortikultura 18(4):477-490, 2008. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin /jurnal/
184 08477 490.pdf. (24 November 2012)
Suwantoro, B., 2010. Mengenal Jeruk Rimau Gerga Lebong Lebih Dekat. Balai benih
hortikultura Rimbo Pengadang. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Lebong. Lebong.
295 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERSEPSI PETANI TERHADAP PERANAN PENYULUHAN
DALAM USAHATANI PADI SAWAH
1Sri Bananiek, 1Agussalim dan 2Andi Ishak 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Dalam upaya peningkatan produksi padi sawah, penyuluhan memiliki peranan penting khususnya dalam
penyampaian informasi dan mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi
teknologi. Penelitian bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang peran penyuluhan terhadap adopsi inovasi
teknologi padi sawah. Penelitian menggunakan metode survey. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara
terhadap 40 orang petani padi sawah di dua Kecamatan, yaitu Wawotobi dan Wonggeduku, Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan dari keempat variabel yang diamati yaitu: intensitas
bimbingan/pelayanan penyuluh, kejelasan materi dan ketepatan metode penyuluhan, kemudahan penyuluh dimintai
informasi pertanian dan partisipasi masyarakat diperoleh bahwa tingkat dukungan penyuluhan terhadap usahatani padi
sawah memilki nilai skor 67%, yang berarti termasuk kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan
penyuluhan dalam penyampaian informasi teknologi usahatani padi sawah kepada petani cukup berperan tetapi masih
perlu ditingkatkan lagi agar kegiatan penyuluhan yang dilakukan dapat lebih optimal.
Kata Kunci: persepsi, peranan, penyuluhan dan padi sawah
PENDAHULUAN
Salah satu strategi yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi beras
nasional adalah menemukan atau menciptakan inovasi teknologi maju, kemudian mendorong
peningkatan produktivitas melalui adopsi inovasi teknologi baru. Namun masih terdapat
persoalan penting terkait inovasi teknologi yang dihasilkan, yaitu lemahnya diseminasi teknologi
hasil-hasil penelitian, sehingga sebaik apapun teknologi yang dihasilkan tidak akan berguna
apabila tidak diadopsi atau diterapkan oleh petani. Di sisi lain keputusan petani untuk
mengadopsi atau menolak inovasi teknologi ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor yang
berasal dari dalam diri petani seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, terdapat
faktor dari luar diri petani yang sangat penting dalam proses adopsi inovasi teknologi adalah
faktor dukungan kelembagaan.
Secara khusus kelembagaan yang memiliki peran dan kompeten dalam adopsi teknologi
adalah lembaga penyuluhan pertanian. Penyuluhan mendukung penyampaian informasi dan
mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi teknologi.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani
sehingga mengadopsi teknologi yang dikembangkan sangat tergantung kepada proses pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan yang dilaksanakan oleh penyuluh.
Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan non formal tanpa paksaan untuk
menjadikan seseorang atau sekelompok orang sadar dan yakin bahwa sesuatu yang disuluhkan
akan membawa ke arah perbaikan dari hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan sebelumnya (Agus
Purwoko, 2006). Tujuan penyuluhan pertanian sebagai salah satu sistem komunikasi pada
dasarnya adalah menyampaikan informasi tentang ide-ide (inovasi) baru sedemikian rupa
sehingga komunikan menjadi berubah perilakunya dan kemudian dengan kesadarannya sendiri
bersedia menerapkan atau mempraktekkan ide-ide atau inovasi tersebut di dalam kegiatannya
sehari-hari (Mardikanto dan Sri Sutarni, 1982).
Penyuluhan pertanian juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, yakni harus
mampu : (a) meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan perbaikan mutu layanan
secara terus menerus yang mengacu kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya; (b)
menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis,
manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen,
jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing ; (c) tidak menjadikan petani dan
perusahaan agribisnis lainnya sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan masa
296 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
depannya sendiri ; dan (d) melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem "menu"
(Suparta, 2007) .
Masih terdapat beberapa kendala dan masalah yang dihadapi dalam kegiatan
penyuluhan, diantaranya: tingkat kemampuan penyuluh, kesiapan materi dan kesesuaian materi
(Levis, 1995). Sementara menurut Hermanto (1999), kurang tercapainya sasaran peningkatan
SDM pertanian melalui penyuluhan adalah: (1) metode penyuluhan kurang sesuai dengan kondisi
sosial ekonomi petani dan materi yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan petani.
Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh masalah: (1) interaksi antara penyuluh dan petani
kurang intensif, (2) kurangnya penguasaan materi dari penyuluh dan (3) rendahnya kepekaan
penyuluh terhadap masalah yang dihadapi petani (Tjiptono, 2001).
Kabupaten konawe merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra pertanaman padi
sawah terbesar di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan luas panen sebesar 34.406 ha dan produksi
mencapai 147.827 ton, menjadikan daerah ini sebagai pemasok beras terbesar di Sultra (BPS,
2011). Namun demikian produktivitas yang dicapai masih sekitar 4,2 t/ha. Produktivitas tersebut
masih di bawah rata-rata produktvitas padi nasional yaitu sekitar 5,1 t/ha/mt, dan jauh di bawah
potensi hasil dari penelitian dimana produkivitas padi sawah dapat mencapai 12 t/ha (Balitpa,
2010). Hal ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan padi di Kabupaten Konawe masih
berpeluang untuk ditingkatkan, salah satunya dengan mengoptimalkan peran penyuluhan
pertanian dalam proses penerapan teknologi kepada petani.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui profil penyuluhan dan berapa besar dukungan
penyuluhan pertanian dalam usahatani padi sawah di Kabupaten Konawe.
BAHAN DAN METODA
Penelitian berlangsung pada Bulan Juni 2011 bertempat di Kabupaten Konawe, dengan
mengambil sampel di dua kecamatan yaitu: Wawotobi dan Pondidaha. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara terhadap 40 orang petani responden dengan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah
disiapkan dan disusun sesuai tujuan penelitian. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) dan lembaga atau instansi lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
Pengukuran variabel menggunakan skala Likert, yakni menjabarkan indikator menjadi
beberapa item pertanyaan yang telah disusun dalam bentuk quisioner. Beberapa indikator yang
diamati dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Pelayanan dan intensitas bimbingan penyuluhan kepada petani
2) Kejelasan materi dan ketepatan metode penyuluhan
3) Kemudahan dimintai informasi
4) Kemampuan dan keterampilan penyuluh.
Pembagian kategori tingkat dukungan penyuluhan menggunakan rumus interval klas
dengan rumus sebagai berikut:
Xn - Xi
C =
K Keterangan: C = Interval kelas
Xn = skor maksimum
Xi = skor minimum
K = jumlah kelas
Berdasarkan ketentuan pada rumus, diperoleh hasil perhitungan untuk menentukan
kategori tingkat dukungan/peran penyuluhan dalam adopsi teknologi padi sawah (Tabel 1).
297 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Daftar perhitungan menentukan kategori tingkat dukungan/peran penyuluhan dalam
adopsi teknologi padi sawah.
No Interval Nilai Peran/dukungan Penyuluhan
1 00 – 33 Tidak/kurang mendukung
2 34 – 67 Cukup mendukung
3 68 – 100 Mendukung
Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah Skor
Peran Penyuluhan = x 100 %
Skor Ideal Dimana:
Jumlah Skor = nilai skor yang diperoleh
Skor ideal = nilai skor ideal maksimum
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyuluhan dalam Pembangunan Pertanian
Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan di luar sekolah yang tidak sekedar
memberikan penerangan atau menjelaskan, tetapi biasanya untuk mengubah perilaku sasarannya
agar memiliki pengetahuan yang luas. Disamping itu juga memiliki sifat progressif untuk
melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (inovasi baru) serta terampil melaksanakan
berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi peningkatan produktifitas, pendapatan atau keuntungan,
maupun kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Mardikanto, 1996).
Tujuan penyuluhan pertanian dibedakan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang. Tujuan penyuluhan pertanian jangka pendek yaitu untuk menumbuhkan perubahan-
perubahan yang lebih terarah dalam kegiatan usaha tani petani di pedesaan. Perubahan-perubahan
yang dimaksud adalah dalam bentuk pengetahuan, kecakapan, sikap, dan motif tindakan petani.
Tujuan penyuluhan pertanian jangka panjang yaitu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
tani, atau agar kesejahteraan hidup petani lebih terjamin (Samsudin, 1982).
Dalam penyuluhan, harus terdapat dua pihak yang terlibat dalam aktivitas penyuluhan.
Pihak pertama adalah petani, yaitu penerima pesan penyuluhan yang diharapkan mau mengadopsi
teknologi yang diberikan dalam penyuluhan, sedangkan pihak kedua adalah penyuluh yaitu orang
yang membawa pesan pesan dan informasi teknologi pertanian.
Menurut Kartasapoetra (1991), efektivitas penyuluhan yang diharapkan dapat mencapai
efisiensi dalam mewujudkan perubahan perilaku petani harus dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Penarikan minat
Isi penyuluhan pertanian hendaknya bersifat menarik, yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usahatani dan menarik minat agar dapat dimanfaatkan oleh petani.
2. Mudah dan dapat dipercaya
Apa yang disampaikan dalam penyuluhan pertanian (obyek atau materi) mudah dimengerti,
nyata kegunaannya dan menarik kepercayaan para petani bahwa benar segala yang telah
diperlihatkan, diperdengarkan (diajarkan) dapat dilakukan para petani dan benar-benar dapat
meningkatkan hasil dan kesejahteraannya.
3. Peragaan disertai sarananya
Penyuluhan harus disertai dengan peragaan yang didukung dengan sarana atau alat-alat peraga
yang mudah didapat, murah dan mudah dikerjakan oleh para petani apabila mereka terangsang
mempraktekkannya.
4. Saat dan tempatnya harus tepat
Kegiatan penyuluhan kepada para petani tidak dapat dilakukan sembarang waktu terutama
pada tingkat permulaan, pada tingkat-tingkat sebelum mereka terangsang, timbul
298 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kesadarannya. Para penyuluh harus pandai memperhitungkan kapan mereka itu bersantai atau
ada dirumah, kapan biasanya mereka itu berkumpul dan dimana kebiasaan itu dilakukannya.
Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluhan terhadap Usahatani Padi
Pada dasarnya penyuluh dalam menjalankan aktivitasnya dalam kegiatan penyuluhan
harus mampu memenuhi tiga hal pokok. Menurut Tjiptono (2001), tiga hal pokok tersebut adalah:
(1) meningkatkan frekuensi kunjungan kepada petani, (2) mampu menyampaikan informasi dan
(3) peka dan respons terhadap masalah dan kebutuhan petani.
Hasil analisis terhadap tanggapan petani mengenai peran penyuluhan dalam
mendukung adopsi inovasi teknologi padi sawah menunjukkan, bahwa peran penyuluhan
termasuk dalam kategori mendukung. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Tanggapan Petani terhadap Peran Penyuluhan dalam Adopsi Teknologi Padi Sawah
Kabupaten Konawe 2011.
No Item indikator Skor penilaian (%) Kategori
1. Pelayanan dan intensitas bimbingan
penyuluhan
63,0 Cukup Mendukung
2. Kejelasan materi dan ketepatan metode
penyuluhan
68,0 Cukup Mendukung
3. Kemudahan dimintai informasi 68,0 Mendukung
4. Kemampuan dan keterampilan penyuluh 71,0 Mendukung
Rata-Rata 67,5 Cukup Mendukung
Tabel 2 menunjukkan skor tertinggi terdapat pada indikator kemampuan dan
keterampilan penyuluh dengan skor penilaian 71 %, sementara skor terendah pada indikator
pelayanan dan intensitas bimbingan penyuluhan dengan skor penilaian 63%. Secara keseluruhan
tanggapan petani terhadap dukungan penyuluhan memiliki nilai skor rata-rata 67,5%, yang
berarti peran atau dukungan penyuluhan termasuk dalam kategori cukup mendukung. Hasil
analisis ini telah menunjukkan bahwa peran penyuluhan secara umum cukup mampu memenuhi
peran pokok penyuluh dalam kegiatan penyuluhan.
Profil Dukungan Penyuluhan Dalam Usahatani Padi Sawah
Gambaran kegiatan penyuluhan dari berbagai indikator penilaian secara parsial
dijelaskan sebagai berikut: dari aspek pelayanan dan intensitas bimbingan penyuluh dalam
kegiatan penyuluhan tanggapan petani memperoleh nilai skor 63 % (cukup mendukung). Hal ini
dilihat dari frekuensi penyuluh dalam memberikan bimbingan/penyuluhan terkait inovasi
teknologi padi sawah. Hasil wawancara terhadap petani menunjukkan frekuensi kunjungan
penyuluh kepada petani antara 4-5 kali sebulan. Biasanya penyuluh datang berkunjung bila ada
kegiatan lapangan atau sosialisasi program yang akan diperkenalkan kepada petani. Secara
khusus bila petani mengalami permasalahan dalam pertanaman padinya, seperti adanya serangan
hama penyakit, maka petani memanggil penyuluh untuk datang berkunjung. Namun demikian
petani merasakan masih terbatasnya pendampingan teknologi peningkatan produksi padi,
khususnya mengenai teknologi pemupukan berimbang. Pemupukan berimbang pada prinsipnya
adalah pemberian pupuk berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Hasil wawancara
terhadap petani responden menunjukkan sebagian besar petani responden belum mengadopsi
teknologi pemupukan berimbang sesuai anjuran, terutama pemupukan N susulan dengan
menggunakan BWD. Selain itu, pendampingan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) juga
dirasakan masih kurang. PHT adalah pendekatan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan dengan tidak mengganggu
keseimbangan alami lingkungan. Hasil wawancara menunjukkan petani responden masih terbiasa
mengendalikan OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan penggunaan insektisida secara
berlebihan, tanpa memperhatikan keseimbangan alami lingkungan. Namun untuk beberapa
materi tertentu seperti pemupukan dan pengendalian hama masih dirasakan kurang oleh petani.
299 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Kedepan, penyuluh dapat lebih meningkatkan frekuensi kunjungannya kepada petani sehingga
pendampingan teknologi kepada petani dapat lebih di tingkatkan.
Tepat tidaknya penyuluh dalam menggunakan metode penyuluhan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi suatu teknologi. Penggunaan metode
penyuluhan yang efektif akan mempermudah petani untuk memahami materi penyuluhan yang
diberikan. Dari aspek kejelasan materi dan ketetapan metode penyuluhan, tanggapan petani
menunjukkan nilai skor 68% masuk dalam kategori mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa dari
100% yang diharapkan dari aspek kejelasan dan kesesuaian materi penyuluhan ternyata belum
sepenuhnya tercapai. Masih terdapat 32% tanggapan petani yang menyatakan kurangnya
dukungan penyuluh dari aspek kesesuaian materi dan ketepatan metode penyuluhan. Untuk
materi peningkatan produksi padi, beberapa materi telah disampaikan kepada petani antara lain;
teknologi peningkatan produksi padi, seperti: penggunaan varietas unggul baru, benih bermutu,
umur bibit muda (< 21 hari), sistim tanam, pemupukan berimbang, perlindungan tanaman, dan
panen. Materi-meteri tersebut biasanya diberikan dalam bentuk penyuluhan kelompok. Namun
demikian petani merasakan masih terbatasnya pendampingan teknologi peningkatan produksi
padi, khususnya mengenai teknologi pemupukan berimbang. Pemupukan berimbang pada
prinsipnya adalah pemberian pupuk berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Hasil
wawancara terhadap petani responden menunjukkan sebagian besar petani responden belum
mengadopsi teknologi pemupukan berimbang sesuai anjuran, terutama pemupukan N susulan
dengan menggunakan BWD. Selain itu, pendampingan teknologi pengendalian hama terpadu
(PHT) juga dirasakan masih kurang. PHT adalah pendekatan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan dengan tidak
mengganggu keseimbangan alami lingkungan. Hasil wawancara menunjukkan petani responden
masih terbiasa mengendalikan OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan penggunaan
insektisida secara berlebihan, tanpa memperhatikan keseimbangan alami lingkungan. Dari hasil
wawancara juga terungkap, petani lebih menyenangi penyuluhan dengan matode tatap muka,
selanjutnya dengan menggunakan media cetak buku panduan/petunjuk teknis dan brosur.
Dari aspek kemudahan dimintai informasi tanggapan petani menunjukkan nilai skor
68%, yang berarti masuk dalam kategori mendukung. Masih terdapat 32% petani yang
menyatakan masih kurangnya dukungan petani dalam hal kemudahan dimintai informasi.
Kemudahan dimintai informasi menyangkut aspek komunikasi seorang penyuluh dengan
petaninya. Dalam hal ini kemampuan komunikasi seorang penyuluh dalam menyampaikan
inovasi teknologi padi sawah. Hasil wawancara menunjukkan biasanya petani membutuhkan
informasi – informasi tambahan terkait teknologi padi, khususnya petani yang tergolong maju,
memiliki rasa ingin tahu yang lebih dibanding petani lain.
Dari aspek kemampuan dan keterampilan penyuluh, tanggapan petani menunjukkan
nilai skor 71%. Artinya menurut petani, kemampuan dan keterampilan penyuluh dalam
mendukung usahatani padi dinilai mendukung. Kemampuan dan keterampilan penyuluh terkait
dengan skill dan penguasaan materi teknologi padi sawah, serta kemampuan penyuluh dalam
memotivasi petani agar menerapkan inovasi teknologi padi sawah. Beberapa hal lain yang juga
menentukan keberhasilan kegiatan penyuluhan adalah integritas moral yang baik dari seorang
penyuluh, juga bagaimana sikap (attitude) moral seorang penyuluh dalam melaksanakan kegiatan
penyuluhan, sangat ditentukan oleh kualitas pribadi, kemampuan dan keahlian seorang
penyuluh.
KESIMPULAN
Peran penyuluhan dalam adopsi teknologi PTT padi sawah termasuk dalam kategori sedang
(67%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani cukup merasakan manfaat
kegiatan penyuluhan khususnya dalam penyampaian informasi teknologi padi sawah
Faktor penting yang sangat mementukan keberhasilan kegiatan penyuluhan pertanian dan
perlu mendapat perhatian adalah dalam menentukan model penyuluhan yang sesuai dengan
kebutuhan petani seperti ketepatan metode dan media yang digunakan dengan materi yang
diberikan.
300 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Adams, M.E. 1988. Agricultural Extension in Developing Countries. First Edition. Langman
Singapore Publisher Pte Ltd. Singapore.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Purwoko, Agus. 2006. Pokok-pokok Pengertian Dalam Penyuluhan Pertanian. Hand out DDPP,
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Hermanto, 1999. Identifikasi dan Evaluasi Program. Raker Proyek Penggalangan Kemiskinan.
PSE Bogor. Departemen Pertanian. Jakarta
Kartasapoetra, A.G. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Penerbit CV. Bumi Aksara. Jakarta.
Levis, 1995. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Mardikanto, T dan Sutarni. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek.
Penerbit CV. Hapsara. Surakarta.
Mardikanto, Totok. 1996. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press.
Surakarta
Rifai, M.A. 2000. Reorientasi Penyuluhan Pertanian, Prasayarat Pertanian Kerakyatan. Sinar
Tani, 28 Juni-4 Juli1999 No. 2848 Tahun XXX.
Suparta, N. 2007 . Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik . Program Studi
Sosek dan Agribisnis Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
Samsudin, U. 1982. Dasar Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Penerbit CV. Angkasa
Offset. Bandung.
Tjiptono, 2001. Manajemen Jasa. Penerbit CV. Andi Offset. Jogjakarta.
301 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PEMBERDAYAAN LAHAN KERING SUBOPTIMAL
KAWASAN DANAU SINGKARAK SUMATERA BARAT
Winardi dan Azwir
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
ABSTRAK
Kawasan Danau Singkarak di Sumatera Barat dengan luas wilayah 1.291,25 km2 yang berbatasan langsung
dengan pinggiran Danau Singkarak tercakup ke dalam 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Tananah Datar dan Kabupaten
Solok. Dua wilayah yang termasuk Kabupaten Tanah Datar adalah Kecamatan Batipuh Selatan dan Kecamatan
Rambatan. Sedangkan 5 wilayah yang termasuk Kabupaten Solok adalah Kecamatan Junjung Sirih, Kecamatan X
Koto Singkarak, Kecamatan Kubung, Kecamatan X Koto Diatas dan Kecamatan IX Koto Sungai Lasi. Secara
agroekologi kawasan Danau Singkarak relatif seragam, yaitu curah hujan bervariasi dari rendah (sekitar 500
mm/tahun) hingga sedang (2000 mm/tahun), luasnya penyebaran lahan kering suboptimal (28.741 ha), dan
ditemukannya berbagai komoditas utama, seperti sawo dan kacang tanah Pitala sebagai komoditas spesifik lokasi dari
Kecamatan Batipuh Selatan dan jeruk Kacang sebagai komoditas spesifik lokasi yang mulai langka dari Kecamatan X
Koto Singkarak. Berbagai alternatif pengembangan pertanian lahan kering pada kawasan Danau Singkarak adalah
sebagai berikut: 1). Menerapkan praktek budidaya lorong dan atau pertanian terpadu untuk lahan pekarangan
khususnya sistem integrasi tanaman-ternak (SITT); 2). Melakukan intensifikasi terutama pengadaan bibit bermutu
buah-buahan, perbaikan sistem usahatani dan pasca penen serta melakukan tindakan konservasi untuk lahan
perkebunan; dan 3). Melakukan rehabilitasi dan pelestarian pada lahan kehutanan khususnya menerapkan sistem
wanatani untuk lahan kehutanan.
Kata kunci: Lahan kering suboptimal, Sistem usahatani dan Sumatera Barat.
PENDAHULUAN
Danau Singkarak adalah sebuah danau di Sumatera Barat yang membentang antara dua
kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar. Danau Singkarak tergolong danau
Vulkanik yang didominasi oleh bahan tuff vulkan dengan ketinggian 363,5 meter diatas
permukaan laut (dpl). Luas permukaan air Danau Singkarak mencapai 11.200 hektar dengan
panjang maksimum 20 kilometer dan lebar 6,5 kilometer dan kedalaman 268 meter. Danau ini
merupakan danau terluas ke-2 di Pulau Sumatera (Anonymous, 2012c). Yang dimaksud dengan
kawasan Danau Singkarak adalah wilayah yang terletak di sekitar danau tersebut. Secara
administratif wilayah yang berada di sekitar Danau Singkarak mencakup dua kecamatan di dalam
Kabupaten Tanah Datar yakni Kecamatan Batipuh Selatan dan Kecamatan Rambatan serta lima
kecamatan di dalam Kabupaten Solok, masing-masingnya Kecamatan Junjung Sirih, Kecamatan
X Koto Singkarak, Kecamatan Kubung, Kecamatan X Koto Diatas dan Kecamatan IX Koto
Sungai Lasi.
Dibanding dengan wilayah lainnya di Sumatera Barat, kawasan Danau Singkarak
memiliki kekhususan terutama ditinjau secara agroekologi. Wilayah ini memiliki curah hujan
relatif rendah yang erat kaitannya dengan posisi geografi yakni terletak di sekitar patahan
Semangko. Gugusan Pegunungan Bukit Barisan di sebelah Barat banyak menghalangi jatuhnya
hujan di wilayah ini. Dengan kata lain kawasan Danau Singkarak terletak di dalam zona
bayangan hujan dan topografi kawasan Danau Singkarak adalah bergelombang hingga berbukit
dengan kemiringan di atas 35 persen. Ketinggian tempat antara 500 – 1000 meter dpl. Jenis
tanah umumnya Andosols yang sangat peka terhadap erosi. Menurut Hosen et al. (2004) hanya
32 persen saja kawasan Danau Singkarak yang bisa diusahakan untuk pertanian.
Luas lahan kering suboptimal dikawasan Danau singkarak terus meningkat setiap
tahunnya. Hutan lindungpun semakin berkurang akibat aktifitas perladangan dan kebakaran
hutan. Pada tahun 2002 luas lahan kering suboptimal mencapai 28.741 hektar, yaitu 19.145
hektar di luar kawasan hutan dan 9.596 hektar di dalam kawasan hutan. Luas lahan kering
suboptimal di kawasan Danau Singkarak senilai 20,49 persen dari total lahan kritis di Propinsi
Sumatera Barat (Kusuma et al, 1990).
302 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tempat usaha tani di kawasan Danau Singkarak dapat dibedakan sebagai lahan
pekarangan dan lahan perkebunan. Di lahan pekarangan komoditas pertanian diusahakan dengan
sistem campuran aneka tanaman termasuk ternak besar dan unggas. Dengan demikian lahan
pekarangan bisa ditanami dengan tanaman buah-buahan, perkebunan dan tanaman
pangan/semusim (palawija dan sayuran). Tanaman yang dominan pada lahan pekarangan juga
bervariasi antar nagari sehingga menunjukan potensi yang berbeda antar nagari tersebut.
Tanaman perkebunan yang diusahakan pada lahan pekarangan antara lain kelapa, kemiri, kapuk,
sawo, mangga dan jeruk. Ternak yang dominan adalah sapi potong yang hampir terdapat pada
setiap nagari. Lahan perkebunan yang terletak relatif jauh dari pemukiman biasanya ditanami
dengan kemiri, kopi, kayu manis, kapuk dan lain-lain termasuk buah-buahan dengan pola
usahatani campuran. Lahan kering relatif datar dengan kemiringan < 15 % ditanami dengan cabe
dan bawang merah. Tanaman semusim ini ditanam satu kali setahun yakni pada musim hujan
(Hosen et al., 2004).
Pengelolaan usahatani baik tanaman maupun ternak di wilayah Singkarak dan
sekitarnya masih dilakukan secara tradisional sehingga hasilnya belum optimal. Hal tersebut
disebabkan terbatasnya pengetahuan petani sehingga belum menerapkan teknologi pertanian
sebagaimana mestinya. Hijaun makanan ternak relatif terbatas sehingga sulit ternak untuk
berkembang. Kawasan Barat wilayah tersebut secara sporadis ditumbuhi alang-alang yang
tergolong kritis. Secara teknis sebagian lahan di wilayah Singkarak dan sekitarnya tidak bisa
ditanami karena solum tanah dangkal dan berbatu (Hosen et al., 2004).
Di kawasan Danau Singkarak ditemukan pula berbagai komoditas spesifik lokasi,
seperti sawo di Kecamatan Batipuh Selatan dan Jeruk Kacang di Kecamatan X Koto Singkarak.
Namum jeruk tersebut sudah semakin langka karena adanya serangan penyakit CVPD. Durian di
Kecamatan X Koto Diatas termasuk buah-buahan yang mempunyai kualitas baik namun belum
mendapat sentuhan teknologi. Banyak lagi komoditas yang mulai berkembang di wilayah ini,
antara lain tanaman kakao di Kecamatan Rambatan.
Makalah ini mencoba untuk menelaah alternatif pemberdayaan lahan kering suboptimal
di kawasan Danau Singkarak berdasarkan kondisi agroekologi yang kurang menguntungkan,
potensi wilayah yang ada serta hambatan dan keterbatasan lainnya di wilayah tersebut.
IDENTIFIKASI KAWASAN DANAU SINGKARAK
Menurut Hosen et al. (2004) kawasan Danau Singkarak ditinjau dari Daerah Tangkapan
Hujan (DTA) terdiri dari 40 Nagari yang berada pada 4 kabupaten (Kabupaten Tanah Datar, Kota
Padang Panjang, Kabupaten Solok dan Kota Solok). Nagari adalah tingkat pemerintahan terendah
atau setingkat Desa di Provinsi Sumatera Barat.
Dalam makalah ini kawasan Danau Singkarak dibatasi dengan wilayah yang berbatas
langsung dengan pinggiran Danau Singkarak, yaitu Kabupaten Tanah Datar di bagian Utara dan
Kabupaten Solok di bagian Selatan. Luas wilayah yang termasuk Kabupaten Tanah Datar 267,25
km2 yang meliputi Kecamatan Batipuh Selatan dan Kecamatan Rambatan. Sedangkan luas
wilayah yang termasuk Kabupaten Solok 1.024,00 KM2
meliputi Kecamatan Junjung Sirih,
Kecamatan X Koto Singkarak, Kecamatan Kubung, Kecamatan X Koto Diatas dan Kecamatan IX
Koto Sungai Lasi. Dengan demikian total luas wilayah tersebut mencapai 1.291,25 km2.
Ketinggian tempat di bagian Utara bervariasi antara 500 hingga 850 m dpl. Selanjutnya
ketinggian tempat di bagian Selatan bervariasi antara 329 hingga 753 m dpl. Rincian posisi
geografis, ketinggian tempat dan luas wilayah kawasan Danau Singkarak seperti tercantum pada
Tabel 1.
303 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 1. Posisi geografis, ketinggian tempat dan luas wilayah sekitar Danau Singkarak,
Sumatera Barat
Kabupaten Kecamatan Posisi Geografis Ketinggian Tempat
(m dpl)
Luas Wilayah
(km2)
Tanah Datar1)
Batipuh Selatan
00o29’38” - 00o35’30” LS dan
100o22’36” - 100o31’44” BT
500 – 850
138,10
Rambatan
00o28’16” - 00o38’25” LS dan
100o30’52” - 100o37’20” BT
600 – 700
129,15
S o l o k2)
Junjung Sirih
00o39’23” - 00o44’55” LS dan
100o25’00” - 100o33’43” BT
Sekitar 369
102,50
X Koto
Singkarak 00o36’25” - 00o49’13” LS dan
100o27’05” - 100o38’46” BT
Sekitar 369
295,50
Kubung
00o47’30” - 00o56’36” LS dan 100o31’16” - 100o44’18” BT
Sekitar 388
192,00
X Koto Diatas
00o32’14” - 00o44’55” LS dan
100o25’00” - 100o33’43” BT
Sekitar 753
257,00
IX Koto Sungai
Lasi 00o44’10” - 00o52’33” LS dan
100o41’36” - 100o50’12” BT
Sekitar 329 171,00
Jumlah - - - 1.291,25
1) Anonymous, 2009 2) Anonymous, 2010.
Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000 wilayah
di sekitar Danau Singkarak didominasi oleh Satuan Peta Tanah (SPT) 147 yakni kompleks
Kandiudults dan Dystrudepts. Sedikit arah Timur Laut ditemukan SPT 135 dan sedikit arah Barat
ditemukan SPT 49. SPT 135 merupakan kompleks Hapludands dan Dystrudepts sedangkan SPT
49 merupakan kompleks Dystruedepts dan Eutrudepts (Anonymous, 2000). Sedangkan menurut
Kusuma (1996) jenis tanah di sekitar danau Singkarak dapat digolongkan ke dalam tanah
Regosol, Podsolik Merah Kuning, Podsolik Coklat, kompleks Podsolik Merah Kuning, sedikit
Latosol dan Aluvial. Spesifikasi lahan di sekitar Danau Singkarak berdasarkan Atlas Sumberdaya
Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000 dapat pada Tabel 2.
Curah hujan di kawasan Danau Singkarak bervariasi dari rendah hingga sedang.
Sebagai contoh rata-rata curah hujan tahunan di Kecamatan X Koto Diatas hanya 495 mm,
Kecamatan X Koto Singkarak 948 mm dan Kecamatan IX Koto Sungai Lasi 723 mm pada tahun
2009 (Anonymous, 2009). Menurut Kusuma et al (1996) curah hujan di bagian Utara dan bagian
Barat bervariasi antara 1.500 hingga 3.600 mm dengan hari hujan 132 – 240 hari tiap tahun.
Sedangkan di bagian Selatan dan Timur curah hujan termasuk sedang yaitu antara 1.090 – 2.200
mm dengan hari hujan antara 120 hingga 156 hari tiap tahun.
Tabel 2. Spesifikasi tanah di sekitar Danau Singkarak, Sumatera Barat1)
.
SPT2)
Klasifikasi Tanah
ISSS 1998 Bahan Induk Sub-landform Luas Relief
49 Dystrudepts Eutrudepts Batu gamping Pegunungan karst Bergunung
135 Hapludands Dystrudepts
Volkanik
Dataran volkan
Berombak –
bergelombang
174 Kandiudults Dystrudepts Volkanik Dataran volkan Bergunung
1) Anonymous (2000); 2) SPT = Satuan Peta Tanah.
Menurut Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000 (Anonymous,
2003) wilayah di sekitar Danau Singkarak didominasi oleh pola curah hujan III C yaitu curah
hujan 2.000 hingga 3.000 mm per tahun dengan pola ganda (double wave) Sedangkan di bagian
Utara ditemukan pola curah hujan IV C yaitu curah hujan 3000 hingga 4.000 mm per tahun
304 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dengan pola ganda. Spesifikasi pola curah hujan III C dan IV C untuk selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi pola curah hujan di sekitar Danau Singkarak, Sumatera Barat1)
.
Pola Curah
Hujan
Curah Hujan
(mm/tahun)
Curah Hujan
< 100 mm/bl
Curah Hujan
100-150 mm/bl
Curah Hujan
150-200 mm/bl
Curah Hujan
> 200 mm/bl
III C 2.000 - 3.000 ≤ 4 ≤ 4 ≤ 5 6 – 8
IV C 3.000 – 4.000 ≤ 3 ≤ 4 ≤ 4 7 - 9
1) Anonymous (2003)
Potensi Lahan Kering Suboptimal Pada Kawasan Danau Singkarak
Lahan suboptimal adalah lahan yang dimanfaatkan dan dikelola untuk pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan atau pelestarian lingkungan namun belum
memberikan manfaat optimal. Lahan yang sering juga disebut lahan terlantar atau lahan marjinal
bisa berbentuk lahan rawa pasang surut, kering, kering masam, salin dan di bawah tegakan
(Anonymous, 2012a). Sedangkan lahan kering suboptimal merupakan lahan yang diusahakan
untuk pertanian secara tadah hujan.(dry land). Masalah utama yang ditemukan pada lahan kering
suboptimal adalah tingginya biaya pengolahan tanah dan kekurangan air (Anonymous, 2012b)
Di Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar lahan kering suboptimal
merupakan wilayah dominan untuk usaha pertanian. Secara total terdapat lahan kering suboptimal
3.012 hektar yang tersebar sebagai tegalan, perkebunan dan kebun campuran. Sedangkan di
Kecamatan Rambatan ditemukan pula lahan kering suboptimal seluas 5.008 hektar (Anonymous,
2009). Sebaran penggunaan lahan di kedua kecamatan tersebut untuk selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Batipuh Selatan dan Kecamatan Rambatan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, 2009 (Ha) 1)
.
Kecamatan Pemukiman Sawah Lahan kering Hutan/Semak Danau lainnya Jumlah
Batipuh Selatan
Rambatan
368
1.135
1.106
2.252
3.012
5.008
5.843
1.154
3.340
3.320
46
672
13.810
12.915
Jumlah 1.503 3.358 8.020 6.997 6.660 718 26.752
1) Anonymous, 2009.
Beberapa komoditas pertanian utama ditemukan di Kecamatan Batipuh Selatan, antara
lain jagung, kacang tanah dan bawang merah untuk tanaman semusim, alpukat, rambutan, jeruk,
durian, sawo, pepaya dan pisang untuk buah-buahan, cengkeh, kayu manis, kelapa, kapuk,
kemiri, kopi Robusta dan pala untuk tanaman industri serta sapi dan ayam Buras untuk
peternakan. Di Kecamatan Rambatan ditemukan pula komoditas pertanian serupa kecuali tidak
ditemukan bawang merah, jeruk, kopi dan pala namun dijumpai komoditas lain, seperti jagung,
ubi kayu, cabe merah, kakao dan lada. Jagung merupakan komoditas unggulan untuk Kecamatan
Rambatan (Anonymous, 2009). Sebaran komoditas pertanian di kedua kecamatan tersebut untuk
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sebaran komoditas pertanian di Kecamatan Batipuh Selatan dan Kecamatan Rambatan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, 20091)
.
Komoditas Kecamatan Batipuh Selatan Kecamatan Rambatan Jumlah
Tanaman semusim (ha)
- Jagung 77,00 1.100,00 1.177,00
- Ubi kayu 2,00 210,00 212,00
- Kacang tanah 66,00 75,00 141,00
- Bawang merah 5,00 - 5,00
- Cabe merah 7,00 32,00 39,00
305 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Buah-buahan (ha)
- Alpukat 78,41 37,79 116,20
- Mangga 9,99 22,54 32,53
- Rambutan 14,30 117,45 131,75
- Jeruk 6,08 - 6,08
- Durian 37,24 54,70 91,94
- Sawo 225,78 38,90 264,68
- Pepaya 5,71 3,69 9,40
- Pisang 14,90 5,38 20,28
Tanaman Industri (ha)
- Kakao 2,00 43,00 45,00
- Cengkeh 54,00 56,00 110,00
- Kayu manis 138,00 55,00 193,00
- Kelapa 124,00 537,00 661,00
- Kapuk 24,00 75,00 99,00
- Kemiri 23,00 13,00 36,00
- Kopi Robusta 84,00 - 84,00
- Lada - 45,00 45,00
- Pala 16,00 - 16,00
Peternakan (ekor)
- Sapi 2.309 4.800 7.109
- Ayam Buras 3.850 40.107 43.957
1) Anonymous, 2009.
Kecamatan Junjung Sirih di Kabupaten Solok mempunyai berbagai komoditas pertanian
utama, seperti alpukat, cengkeh, kayu manis, kelapa, kemiri, kopi, enau, sapi dan ayam Buras.
Alpukat merupakan komoditas pertanian yang cukup terkenal dari kecamatan tersebut. Dari
Kecamatan X Koto Singkarak ditemukan beberapa komoditas utama, yaitu jagung, cengkeh, kayu
manis, kelapa, kapuk, kemiri, kopi, pinang, jahe, karet, sapi dan ayam Buras. Jeruk Kacang yang
semula menjadi buah-buahan unggulan dari Kecamatan X Koto Singkarak dewasa ini mulai
langka karena adanya serangan penyakit CVPD. Untuk Kecamatan Kubung beberapa komoditas
utamanya adalah jagung, ubi kayu, kacang tanah, kayu manis, kelapa, kopi, karet, sapi dan ayam
Buras. Di Kecamatan Kubung cukup banyak ditemukan usaha penggilingan kopi tingkat rumah
tangga. Selanjutnya untuk Kecamatan X Koto Diatas memiliki komoditas utama, seperti cengkeh
kayu manis, kelapa, kemiri, kopi, karet, kopi, durian dan ayam Buras. Durian dari wilayah ini
memiliki kualitas buah yang baik namun belum berkembang karena masih minimnya sentuhan
teknologi. Sedangkan di Kecamatan IX Koto Sungai Lasi ditemukan pula komoditas utama,
seperti jagung, ubi kayu, kacang tanah, kayu manis, kemiri, kopi, karet, sapi dan ayam Buras
(Anonymous, 2010). Untuk selanjutnya sebaran komoditas pertanian di berbagai kecamatan
dalam Kabupaten Solok yang berada di kawasan Danau Singkarak dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Sebaran komoditas pertanian di beberapa kecamatan dari Kabupaten Solok pada
kawasan Danau Singkarak, Sumatera Barat, 20101)
.
Komoditas Kec.
Junjung
Sirih
Kec.
X Koto
Singkarak
Kec.
Kubung
Kec
X Koto
Diatas
Kec
IX Koto
Sungai Lasi
Jumlah
Tanaman semusim (ha)
- Jagung - 52,00 51,00 8,00 20,00 131,00
- Ubi kayu - - 13,00 3,00 26,00 42,00
- Kacang tanah - 2,00 10,00 3,00 12,00 27,00
Tanaman Industri (ha)
- Cengkeh 44,00 75,50 33,00 189,00 5,50 347,00
- Kayu manis 208,00 878,00 128,00 326,00 170,50 1.710,50
- Kelapa 240,00 493,00 359,00 426,50 184,00 1.702.50
- Kapuk 16,00 200,00 - 15,80 - 231.80
306 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
- Kemiri 430,00 302,00 37,00 670,00 770,00 2.209,00
- Kopi 595,00 899,50 557,00 264,00 99,50 2.415,00
- Pinang 9,00 25,00 6,00 35,50 2,80 78,30
- Enau - - - 54,00 4,00 58,00
- Jahe 13,99 10,50 - - - 23,50
- Karet - 88,00 284,50 58,00 78,00 508,50
Peternakan (ekor)
- Sapi 793 1.138 1.646 1.263 726 5.566,00
- Ayam Buras 2.153 3.279 7.434 1.985 1.611 16.462,00
1) Anonymous, 2010.
Alternatif Pengembangan Pertanian Lahan Kering Suboptimal
Telah disinggung sebelumnya bahwa lokasi untuk berusahatani pada kawasan Danau
Singkarak terdiri dari lahan pekarangan dan lahan perkebunan. Selain itu terdapat pula kawasan
hutan yang mulai rusak baik karena aktifitas perladangan oleh penduduk maupun peristiwa
kebakaran. Pada kawasan Danau Singkarak ditemukan pula komoditas utama yang cukup
beragam baik termasuk kelompok tanaman muda, buah-buahan, tanaman tua/industri dan
peternakan. Jenis komoditas antar kecamatan atau antar nagari juga berbeda satu sama lainnya.
Juga ditemukan komoditas spesifik, komoditas yang sudah langka atau komoditas yang mulai
berkembang. Hal-hal seperti ini patut dijadikan dasar pertimbangan dalam pengembangan
pertanian pada kawasan Danau Singkarak. Berikut ini akan dijelaskan beberapa alternatif
pengembangan pertanian untuk kawasan yang dimaksud.
Lahan Pekarangan
Pada kawasan ini dapat diterapkan praktek budidaya lorong ataupun pertanian terpadu.
Budidaya lorong (alley cropping) adalah sistem pertanaman kombinasi antara tanaman semusim
dengan tanaman tahunan, dengan penataan tanaman tahunan yang ditanam dalam larikan atau
barisan secara teratur sehingga membentuk lorong-lorong atau ruang antara barisan tanaman
tahunan yang dimanfaatkan untuk tanaman semusim.
Pada lahan miring tanaman pembentuk lorong ditanam pada guludan menurut garis
kontur. Pada guludan tersebut tanaman tahunan dapat pula diganti dengan tanaman pakan ternak
baik berupa rumput (King Grass, Rumput Gajah), atau dari golongan kacang-kacanag (lamtoro,
gamal). Tanaman pakan ternak tersebut di samping memasok pakan ternak juga sebagai
pencegah erosi. Budidaya lorong didasarkan pada prinsip ekonomis, penganekaragaman,
konservasi dan berkelanjutan. (Lukito, 2010). Sudah barang tentu pemilihan komoditas di dalam
budidaya lorong tersebut perlu disesuaikan dengan berbagai pertimbangan, antara lain komoditas
utama/unggulan setiap wilayah atau nagari dan sosial ekonomi masyarakat.
Pertanian terpadu (integrated farming) adalah pertanian yang melibatkan berbagai
makhluk hidup (tanaman, tenak, ikan) dalam jangka waktu dan tempat tetentu dalam proses
produksi sehingga dapat dipanen secara berimbang. Dengan pertanian terpadu diperoleh
berbagai keuntungan, seperti: peningkatan bahan organik dan hara tanaman.
Disamping itu pertanian terpadu akan meningkatkan hasil produksi dan
menekan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai. Selain
hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiliki
beragam sumber penghasilan. Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman.
Salah satu bentuk pertanian terpadu adalah integrasi tanaman-ternak.
Menurut Bamualim (2011) konsep integrasi tanaman ternak menerapkan prinsip-prinsip
pertanian secara terpadu, berkelanjutan, lintas sektoral dan ramah lingkungan. Dalam skala luas,
integrasi tanaman-ternak akan memberikan dampak luas terhadap peningkatan kesejahteraan,
meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah dan membuka lapangan kerja. Selanjutnya
dikatakan bahwa sistem integrasi tanaman-ternak” merupakan salah satu alternatif potensial
dalam upaya mendukung pengembangan komoditas tanaman pangan dan perkebunan di
Sumatera Barat.
307 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pengkajian yang dilakukan oleh Wirdahayati et al (2011) di Kecamatan Rambatan
menunjukan bahwa integrasi sapi-kakao dan padi memberi keuntungan dalam meningkatkan
efisiensi tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan sapi 1,23 kg/ekor/hari. Integrasi tanaman-
ternak tersebut juga memberi keuntungan karena dihasilkannya pupuk kandang atau kompos
sebagai pupuk tanaman. Selain itu pemanfaatan kulit kakao menjamin sanitasi kebun. Dengan
demikian pertanian terpadu, khususnya integrasi tanaman-ternak dapat diterapkan di kawasan
Danau Singkarak terutama di wilayah pertanaman kakao dan jagung dengan pasokan jerami dari
sawah sekitarnya.
Lahan Perkebunan
Pengertian lahan perkebunan dalam tulisan ini adalah lahan yang terletak di luar dan
relatif jauh dari lahan pekarangan/pemukiman masyarakat. Lahan ini umumnya digunakan untuk
mengusahakan tanaman tua/tanaman perkebunan/tanaman industri. Status lahan perkebunan
umumnya merupakan hak ulayat kaum. Komoditas yang sering dijumapai di lapangan adalah
kemiri, kopi, kayu manis, kapuk, karet dan lain-lain termasuk buah-buahan dengan pola usahatani
campuran.
Untuk pengembangan lahan perkebunan dianjurkan untuk mengusahakan tanaman
tua/tanaman perkebunan/tanaman industri yang sesuai dengan lingkungan setempat dan
mempunyai prospek yang menguntungkan bagi masyarakat. Untuk pengembangan lahan
perkebunan maka usaha intensifikasi dan konservasi lahan perlu menjadi perhatian utama. Usaha
intensifikasi dapat dilakukan dengan penyediaan bibit tanaman bermutu, perbaikan sistem
usahatani dan pasca panen. Penanaman tanaman pada lahan perkebunan dilakukan sesuai dengan
kaedah konservasi, antara lain: (1) membuat teras, (2) menanam pada guludan yang dibuat
menurut garis kontur, dan (3) menanam pada teras individu sesuai dengan keadaan lereng.
Hasil penelitian Kusuma et al (1996) di Desa Balimbing, Keamatan Rambatan
menunjukan bahwa penanaman tanaman tua/perkebunan/industri dalam pola budidaya lorong
mampu mengurangi tingkat erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Pola budidaya lorong
yang direkomendasikan adalah penanaman dalam sabuk yang terdiri empat strata. Strata pertama
ditanam Ylang-ylang, melinjo dan kemiri. Selanjutnya arah ke bawah, strata kedua ditanam
dengan kayu manis, strata ketiga ditanam dengan King grass dan strata keempat ditanam dengan
Akar wangi. Sedangkan lorong antar sabuk ditanam dengan tanaman semusim. Disebutkan juga
bahwa pola tersebut disukai masyarakat.
Lahan Kehutanan
Hutan terdiri dari hutan negara seperti hutan lindung dan hutan kemasyarakatan (social
forestry). Hutan kemasyarakatan di dalam tulisan ini dimaksdkan sebagai wilayah hutan di
sekitar pemukiman dan kebun yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk budidaya pertanian
atau memungut hasil hutan. Dengan demikian pengertian tersebut tidak berkaitan dengan
hak/status kepemilikan lahan. Di wilayah ini masyarakat terbiasa melakukan usaha, seperti:
penebangan kayu untuk bangunan, bertanam tanaman tua dan tanaman semusim.
Pada dasarnya hutan kemasyarakatan adalah wilayah non budidaya yang berfungsi
sebagai penyangga ketersediaan air. Oleh sebab itu wilayah ini perlu dilakukan rehabilitasi.
Usaha-usaha tersebut dengan melakukan reboisasi atau penghijauan. Selain rehabilitasi, fungsi
hutan di wilayah ini dapat juga dijaga dengan praktek wanatani (agroforestry). Wanatani adalah
semua pola tata guna lahan yang berkesinambungan atau lestari, yang dapat mempertahankan dan
meningkatkan hasil optimal panen keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pangan,
tahunan, dan tanaman pohon bernilai ekonomi, dengan atau tanpa ternak atau ikan piaraan
(Hendrawan, 2010). Adapun komoditas yang dianjurkan dalam praktek wanatani adalah pohon
yang bersifat serbaguna (multi purpose tree species/MPTS), seperti Alpukat, Kemiri dan Kayu
Manis.
Sedangkan hutan lindung yang menjadi hak dan tanggung jawab negra sepenuhnya
perlu dijaga kelestariannya. Pelestarian itu dengan cara tidak melakukan intervensi atau
melakukan pengrusakan hutan. Untuk itu masayarakat di sekitar hutan perlu diberi pemahaman
mengenai pelestarian hutan.
308 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Lain-lain
Selain melakukan praktek budidaya lorong atau tanaman terpadu pada lahan
pekarangan, intensifikasi dan kenservasi pada lahan perkebunan, melakukan rehabilitasi dan
pelestarian pada lahan kehutanan maka perlu juga dilakukan berbagai hal strategis untuk
pengembangan pertanian pada kawasan danau singkarak. Upaya tersebut antara lain: a).
Melakukan pengembangan komoditas unggulan spesifik dan potensial serta komoditas yang
mulai langka, seperti sawo Sumpur, jeruk Kacang dan kacang tanah Pitala; b). Menyusun peta
pewilayahan komoditas sehingga setiap wilayah atau nagari tidak bersaing dalam menghasilkan
produk pertanian unggulan; dan c). mengembangkan sentra produksi buah-buahan.
Untuk pengembangan kawasan Danau Singkarak perlu kiranya dilakukan kerjasama
antara dua Kabupaten bertetangga yakni Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok serta
dinas/instansi terkait.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Kawasan Danau Singkarak merupakan wilayah yang terletak di sekitar Danau Singkarak
dengan kondisi agroekologi relatif seragam, yaitu curah hujan bervariasi dari rendah hingga
sedang, luasnya sebaran lahan kering suboptimal dan ditemukannya berbagai komoditas
utama (komomoditas potensial, komoditas spesifik lokasi, komoditas mulai langka dan
komoditas sedang berkembang).
Berbagai alternatif pengembangan pertanian di kawasan Danau Singkarak antara lain:
1). Menerapkan praktek budidaya lorong dan atau pertanian terpadu untuk lahan pekarangan
khususnya sistem integrasi tanaman-ternak (SITT
2). Melakukan intensifikasi terutama pengadaan bibit bermutu buah-buahan, perbaikan sistem
usahatani dan pasca penen serta melakukan tindakan konservasi untuk lahan perkebunan;
3). Melakukan rehabilitasi dan pelestarian pada lahan kehutanan khususnya menerapkan
sistem wanatani.
Usaha strategis lain perlu dilakukan, antara lain:
1). Mengembangkan komoditas unggulan spesifik lokasi;
2). Menyusun peta pewilayahan komoditas;
3). Mengembangkan sentra produksi buah-buahan.
S a r a n
Terjalinnya Sinergisitas antara Pemerintahan Kabupaten Tanah Datar dan Pemerintahan
Kabupaten Solok serta lembaga/instansi terkait untuk bekerjasama dalam mengembangkan
pertanian di kawasan Danau Singkarak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Balittanak. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
BPS Kab. Tanah Datar. 2009. Kabupaten Tanah Datar Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Tanah Datar bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.
Batusangkar.
BPS Kab. Tanah Datar. 2010. Kabupaten Solok Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Solok bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Solok. Solok.
BPTP Sumbar. 2012. Proposal Analisis Kebijakan Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di
Wilayah Singkarak dan Sekitarnya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.
Sukarami.
309 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Bamualim, A. 2011. Sistem Integrasi Padi, Jagung dan Kakao Dengan Ternak Sapi Di Sumatera
Barat. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Integrasi Tanaman –Ternak. Padang,
6 Desember 2011. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Sukarami.
Hosen, N., Asyiardi, Buharman B dan Dedy Azwardi. 2004. Keragaan Ekonomi Masyarakat
Pada Kawasan Danau Singkarak. Dalam: Prosd. Seminar Nasional Penerapan Agro
Inovasi Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Sukarami, 10-11 Agustus 2004.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Sukarami. ;797-811.
Kusuma, I., Y. Rubaya dan Ansyarullah. 1996. Penanggulangan Erosi dan Perbaikan Status
Hara Tanah dengan Berbagai Pola Tanam Ylang-Ylang Pada Lahan Kritis Di Sekitar
Danau Singkarak. Dalam: Hasil Penelitian Tahunan 1995/1996. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sukrami. ;104-115.
Lukito. 2009. Pergiliran Tanaman. http://2blog.wordpress.com.2009/07/14/pergiliran-tanaman.
Diunduh 28 Desember 2011.
Wirdahayati, R.B., A.M. Bamualim, Y. Hendri, R.A. Dewi, Agusviwarman dan Supriyadi. 2011.
Laporan Akhir Tahun Pendampingan PSDS/K Melalui Inovasi Teknologi Pakan Lokal Sapi
Potong Berbiaya Murah Memanfaatkan Kulit Kakao Fermentasi. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Sukarami.
HASIL DISKUSI
Tanya : Bagaimana bentuk ril kerjasama kelembagaan yang dapat diterapkan oleh
pemerintah kabupaten?
Jawab : Membina kerjasama dengan instansi lain, bentuk realnya dari SKPD bias
terpecahkan masalahnya
310 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KAJIAN ALIH FUNGSI LAHAN TANAMAN PANGAN
MENJADI TANAMAN PERKEBUNAN
DI KAWASAN TRANSMIGRASI
Darman Hary
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi Ketransmigrasian Bengkulu
Jl. Argamakmur – Muara Aman, Margasakti Kec. Pd jaya kab. Bengkulu Utara
Email : [email protected]
ABSTRAK
Banyak transmigrasi umum pola tanaman pangan beralih fungsi ke pola tanaman perkebunan. Dampak alih
fungsi lahan tidak hanya terbatas pada penurunan produksi saja, melainkan juga terhadap hilangnya manfaat dari
investasi yang telah ditanamkan dibidang prasarana dan sarana penunjang produksi pertanian. Mencermati berbagai
persoalan yang terjadi dalam program penempatan transmigrasi saat ini terutama pada pola usaha tanaman pangan
maka perlu dilakukan kajian tentang alih fungsi lahan terhadap perubahan pola usaha tani di kawasan transmigrasi
propinsi Bengkulu yang ditujukan untuk menggali ”pull and push factor” (faktor penarik dan pendorong) transmigran
melakukan alih fungsi lahan. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi transmigran
mengalih fungsikan lahannya ke pola usaha tani yang lain di kawasan transmigrasi propinsi Bengkulu, mendapatkan
Gambaran tentang perubahan alih fungsi lahan pola tanaman pangan ke pola tanaman perkebunan di kawasan
transmigrasi, dan menyusun strategi pengendalian alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan transmigrasi. Penelitian
dilaksanakan di Desa Rawa Indah kabupaten Seluma, Desa Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara, Desa Arga Indah I
Kabupaten Bengkulu Tengah, dan UPT Pelabi kabupaten Lebong. Penelitian bersifat deskriptif dimana Data primer
dianalisa secara kuantitatif menggunakan analisa regresi. Persentase luas lahan yang dialih fungsikan oleh tiap-tiap
keluarga transmigran pada tahun terakhir di desa-desa eks transmigrasi rata – rata sebesar 98 persen dan di UPT
Pelabi yang masih dibina sebesar 62 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi transmigran mengalih fungsikan
lahannya di desa Rawa indah, desa Padang jaya, desa Arga Indah I, dan UPT Pelabai adalah jumlah anggota
keluarga produktif, lamanya pendidikan formal, bantuan bibit tanaman perkebunan dari pemerintah dan keanggotaan
kelompok tani.
Kata kunci : Alih fungsi lahan, pola usaha tani
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional, transmigrasi dilaksanakan
dengan pendekatan pengembangan kawasan melalui pengembangan sentra-sentra produksi baru
bagi berbagai komoditas pangan. Pengembangan sentra produksi baru diharapkan dapat
memberikan kontribusi peningkatan produksi pangan nasional dan sekaligus sebagai upaya
distribusi pangan ke berbagai wilayah Indonesia.
Penempatan transmigrasi umum pola tanaman pangan di Propinsi Bengkulu sejak
kolonial hingga tahun 2006 berjumlah 93 UPT. Dari 93 UPT pola pangan tersebut, hanya 4
(empat) UPT yang berkembang dengan komoditas utama tanaman pangan, 16 (enam belas) UPT
berkembang dengan komoditas pangan dan perkebunan dan dan 70 (tujuh puluh) UPT
berkembang dengan komoditas tanaman perkebunan seperti sawit, karet dan kopi (Najiati dkk,
2008).
Terjadinya alih fungsi lahan ini disebabkan oleh kondisi fisik kawasan transmigran dan
sosial, budaya dan ekonomi para transmigran itu sendiri. Kondisi fisik kawasan transmigran
antara lain lahan yang diterima pada saat penempatan masih semak belukar atau belum siap,
topogragi atau kemiringan lahan tidak cocok untuk tanaman pangan, dan tanah masam dengan
tingkat kesuburan rendah. Kondisi sosial, budaya dan ekonomi antara lain Jumlah tenaga kerja
produktif dalam keluarga transmigran, kebiasaan bertani atau berusaha di tempat asal sebelum
ikut program transmigrasi, tingkat pendidikan formal, modal usaha yang dimiliki oleh tiap-tiap
keluarga transmigran pada saat awal ikut transmigran.
Mencermati berbagai persoalan yang terjadi dalam program penempatan transmigrasi
saat ini terutama pada pola usaha tanaman pangan maka perlu dilakukan satu kajian tentang alih
fungsi lahan terhadap perubahan pola usaha tani di kawasan transmigrasi propinsi Bengkulu
yang ditujukan untuk menggali ”pull and push factor” (faktor penarik dan pendorong)
transmigran melakukan alih fungsi lahan
311 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tujuan kegiatan kajian alih fungsi Lahan terhadap perubahan pola usaha tani di
kawasan transmigrasi propinsi Bengkulu adalah untuk: 1) Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi transmigran mengalih fungsikan lahannya ke pola usaha tani yang lain di
kawasan transmigrasi propinsi Bengkulu; 2) Mendapatkan Gambaran tentang perubahan alih
fungsi lahan pola tanaman pangan ke pola tanaman perkebunan di kawasan transmigrasi; 3)
Menyusun strategi pengendalian alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan transmigrasi
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode yang dipergunakan adalah
metode survei. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi,
dengan alat pengumpul data utama adalah kuesioner. Kemudian data hasil wawancara yang
terdapat pada kuesioner ditabulasi dan discoring. Selanjutnya akan dianalisa secara kuantitatif
menggunakan analisa regresi (Nawawi, 2003 dalam Usman dan Abdi, 2008).
Metode pemilihan lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di propinsi Bengkulu pada bulan Pebruari sampai dengan Juli
tahun 2012. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja empat kabupaten yaitu tiga desa
eks transmigran dan satu UPT yang masih dibina oleh Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja
Propinsi / Kabupaten di Propinsi Bengkulu. Adapun lokasi penelitian yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Desa Padang Jaya Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara
2. Desa Arga Indah Kecamatan Pagar Jati Kabupaten Bengkulu Tengah
3. Desa Rawa Indah Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma
4. UPT Pelabai Kecamatan Pelabai Kabupaten Lebong
Metode pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka antara
pengumpul data (pencatat data) dengan responden, dimana alat pengumpul data yang digunakan
yaitu kuesioner. Responden merupakan anggota warga desa-desa tempat penelitian dilaksanakan
termasuk transmigran UPT binaan, dimana teknik pengambilan sampel dilakukan secara
systematic sampling. Jumlah sampel setiap lokasi penelitian yaitu 30 Kepala keluarga.
Variebel – variabel yang diduga mempengaruhi responden mengalihfungsikan lahannya
menurut Najiati, S. (2003), Sandy I M., dkk (1991), dan Djamali, A. (2000) adalah pertama,
aspek pendorong ; jumlah tenaga kerja / usia produktif dalam keluarga, kebiasaan bertani
sebelum ikut transmigrasi, lamanya pendidikan formal, kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup
sehari – hari dan kedua, aspek penarik ; kondisi lahan (siap tanam/tidak siap tanam), topografi,
kemudahan memperoleh saprodi, bantuan bibit tanaman perkebunan dari pemerintah,
keanggotaan kelompok tani, lamanya kepemilikan lahan, dan ratio harga tanaman pangan
dibandingkan tanaman perkebunan.
Metode analisa
Data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dianalisis secara
deskriptif kualitatif.dan kuantitatif. Analisis deskriptif akan menjelaskan secara umum kondisi
yang ada di lapangan dilengkapi dengan penyajian tabel-tabel statistik dan dinarasikan.
Selanjutnya dikaji ulang terhadap pengelolaan lahan oleh keluarga transmigran baik itu sesuai
dengan peruntukkannya (tanaman pangan) maupun dialihkan penggarapannya untuk jenis – jenis
komoditas lain selain tanaman pangan.
Persentase lahan yang diolah oleh tiap-tiap keluarga transmigran pada tahun terakhir
dihitung menggunakan rumus:
312 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Luas lahan yang dikelola dan menghasilkan
% Pengelolaan lahan =
Luas lahan yang diperoleh warga
Sedangkan persentase lahan yang diolah dan dialihfungsikan pada tahun terakhir
dihitung dengan rumus :
Luas lahan yang dialihfungsikan ke non pangan
% Luas lahan yang dialih fungsikan =
Luas lahan yang dikelola dan menghasilkan
Analisis aspek-aspek yang mempengaruhi transmigran mengalih fungsikan lahan usahanya
Data variabel dependent di tabulasi dan dianalisis menggunakan model analisis regresi
linear berganda (Abdi dan Usman, 2008) yang dirumuskan sebagai berikut:
Ln Yt = Ln ά + β1 Ln X1t + β2 Ln X2t + β3 Ln X3t + β4 Ln X4t+ β5 Ln
X5t + β6 Ln X6t + β7 Ln X7t + β8 Ln X8t + β9 Ln X9t + β10 Ln
X10t + β11 Ln X11t + μit ..........................................(1)
Keterangan : Y = Lahan yang dialih fungsikan ke non pangan
β = Koefisien regresi atau parameter dugaan
(i = 1,2,3,4,5,6,7)
X1 = Jumlaj tenaga kerja /usia produktif dalam keluarga
X2 = Kebiasaan bertani sebelum ikut program transmigrasi
X3 = Lamanya Pendidikan Formal
X4 = Kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari
X5 = Kondisi lahan (siap / tidak siap tanam)
X6 = Kondisi lahan (kemiringan/topografi)
X7 = Kemudahan memperoleh saprodi
X8 = bantuan bibit tanaman perkebunan
X9 = Keanggotaan kelompok tani
X10 = Lamanya kepemilikan lahan
X11 = Ratio harga tanaman pangan dibandingkan tanaman perkebunan
μi = Variabel pengganggu (galat)
t = Jumlah sample
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independent (Xij) akan digunakan
uji t sebagai berikut:
t hitung = άi (Ramathan, 1990)
√ var (άi)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Exiting Lokasi Penelitian
Berdasarkan observasi yang dilakukan di tiap-tiap lokasi penelitian ternyata sebagian
besar lahan transmigran telah ditanami tanaman perkebunan. Hal ini didukung data sekunder
yang diperoleh dari lokasi penelitian seperti tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Rekapitulasi data lahan usaha I tani tiap-tiap Desa /UPT lokasi penelitian.
No Desa/UPT Luas Lahan
Tan. Pangan (ha)
Luas Lahan
Tan. Perkebunan (ha)
Persentase
(%)
1. Desa Rawa indah 80,00 257,50 76,30
2. Desa Padang Jaya 34,50 340,50 90,80
3. Desa Arga indah I 40,00 72,50 64,40
4. UPT Pelabi 44,00 46,00 51,10
Sumber : Data Sekunder, 2012.
313 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Konversi Lahan Pola Tanaman Pangan Menjadi Pola tanaman Perkebunan
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa dari faktor pendorong (Push Factor) , jumlah tenaga
kerja menjadi menjadi penyebab utama transmigran melakukan alih fungsi lahan di desa-desa
yang sudah tidak lagi dibina (40,0 persen) dan UPT yang masih dibina (36,7 persen). Data yang
diperoleh menunjukkan bahwa rata- rata jumlah tenaga kerja dalam keluarga pada tiga lokasi
desa yang tidak lagi dibina (Desa Rawa Indah, Desa Padang Jaya, dan Desa Arga Indah I) dan
UPT yang masih dibina 3,2. Hal ini cukup beralasan, apabila dikaitkan dengan faktor pendorong
lainnya , seperti kebiasaan bertani sebelum ikut transmigran. Lebih dari 30 persen responden di
lokasi penelitian mengatakan bahwa kebiasaan bertani mereka di tempat asal yaitu tanaman
pangan. Usaha tani tanaman pangan memerlukan jumlah tenaga dan waktu kerja yang lebih besar
serta pengelolaan yang rumit. Menurut Ermin (2007), bahwa jumlah tenaga kerja yang ada dalam
keluarga sangat membantu dalam kegiatan usaha tani baik untuk usaha tani sayuran yang
memerlukan tenaga 1 – 2 orang perhari, untuk tanaman perkebunan (sawit dan lada) 1 – 2 orang
per Ha/hari dan untuk petani yang menanam padi memerlukan tenaga kerja 5 – 10 orang per
Ha/hari. Kenyataan alih fungsi lahan ini semakin didorong oleh kemampuan pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari yang rendah (17,8 persen dan 26,6 persen). Lebih lanjut, hasil ini
akan lebih menarik bila dikaitkan dengan faktor ekonomi (economical factor). Keinginan
responden (kepala keluarga) untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan memenuhi
kebutuhan rumah tangga merupakan pendorong untuk bekerja diluar sektor pertanian (mobilitas
sekeunder) Sebagian besar kepala keluarga bekerja ke luar lokasi transmigrasi / desa-desa
tetangga sebagai upahan dan buruh bangunan dikarenakan susahnya memperoleh pekerjaan di
lokasi transmigrasi.
Dikaji dari faktor penarik (pull factor), di desa- desa yang sudah tidak lagi di bina
ternyata ratio hasil tanaman pangan dibandingkan tanaman perkebunan (27,7 persen) yang
didukung keanggotaan kelompok tani (25,8 persen) dan serangan hama penyakit (24,4 persen)
menjadi penyebab utama transmigran melakukan alih fungsi lahannya. Keadaan ini sejalan
dengan hasil penelitian Umi, dkk (2011) bahwa faktor ekonomi seperti harga jual tanaman
pangan yang rendah khususnya pada saat panen, keuntungan berkebun kelapa sawit, dan harga
sawit lebih stabil / terjamin menjadi penyebab utama (58, 4 persen) terjadinya konversi lahan dari
tanaman pangan ke perkebunan di desa Kungkai baru kecamatan Air Periukan kabupaten Seluma
propinsi Bengkulu. Pendapat ini juga didukung oleh penelitian Kurdianto (2011) yang
menyatakan terjadinya alih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan disebabkan oleh berbagai
hal yaitu pendapatan usaha tani kelapa sawit lebih tinggi dengan resiko lebih rendah, biaya
produksi usaha tani kelapa sawit lebih rendah, dan terbatasnya ketersediaan air. Pendapatan
petani / transmigran sangat ditentukan oleh harga komoditi yang diusahakan. Dari data yang
diperoleh menunjukkan bahwa harga tanaman pangan (padi dan jagung) di lokasi penelitian lebih
rendah dibandingkan harga tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit per satuan luas
yang diusahakan. Persentase ratio harga tanaman pangan dibandingkan tanaman perkebunan <
0,75 yaitu 84 %, sedangkan > 0,75 atau mendekati 1 yaitu 26 %.
Tabel 2. Faktor – Faktor Pendorong (Push Factor) dan Penarik (Pull factor Transmigran
melakukan Alih Fungsi lahan.
No Uraian Persentase (%)
Desa tidak lagi dibina UPT masih dibina
A Faktor Pendorong (Push factor)
1. Jumlah tenaga kerja produktif 40,0 36,7
2. Kebiasaan Bertani sebelum ikut transmigrasi 31,1 30,0
3. Lama pendidikan formal 11,1 6,7
4. Kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup
sehari -hari
17,8 26,6
B Faktor Penarik (Pull Factor)
1. Kondisi Lahan (Siap Tanam/tidak siap tanam 1,1 10,0
2. Kemiringan /Topografi 3,3 3,3
3. Kemudahan memperoleh saprodi 11,1 3,3
4. Bantuan bibit tanaman perkebunan dari 4,4 50,0
314 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
pemerintah
5. Keanggotaan Kelompok tani 25,8 13,3
6. Serangan hama penyakit 24,4 20,0
7. Lamanya kepemilikan lahan 2,2
8. Ratio hasil usaha tani tanaman pangan
dibanding tanaman perkebunan
27,7
Sumber : Data Primer, 2012.
Faktor penarik (pull factor) yang menjadi penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan
di UPT Pelabi yaitu bantuan bibit tanaman perkebunan dari pemerintah (50 %) yang didorong
adanya serangan hama (babi dan tikus) (20%) dan keanggotaan kelompok tani (13,3).
Transmigran yang berasal dari kabupaten Cianjur yang akan ditempatkan di UPT Pelabi pada
awal keberangkatan mendapat bantuan dana untuk pembelian bibit karet sebanyak 200 batang per
KK yang akan ditanam di UPT Pelabi. Selain itu pada tahun ke-dua penempatan, Pemerintah
Daerah Kabupaten Lebong melalui instansi terkait juga memberikan bantuan bibit kopi sebanyak
400 batang per KK. Hasil studi pengembangan corporate farming dan agroestate pada tahun 2001
menyimpulkan bahwa keterbatasan modal merupakan kendala utama dalam pengembangan usaha
di kawasan transmigrasi (Najiati et al., 2001). Pada pola transmigrasi umum, transmigran
memiliki modal yang sangat terbatas yang dibawa dari daerah asalnnya. Bagi transmigran yang
daerah asalnya jauh (pulau jawa), sebagian besar dana tersebut digunakan untuk konsumsi di
perjalanan, sedangkan transmigran yang daerah asalnya relatif dekat (transmigran lokal) bekal
dari daerah asal banyak yang digunakan untuk konsumsi di daerah transmigrasi. Dengan
demikian, praktis hampir seluruh modal awal pengembangan usaha tani di daerah transmigrasi
berasal dari pemerintah (Danarti, 2003). Oleh karena itu modal dari pemerintah sangat
mempengaruhi keberlanjutan usaha tani transmigran. Berdasarkan hasil wawancara dengan
KUPT (Kepala Unit Permukiman Transmigrasi) dan responden ternyata bantuan jenis komoditi
yang diberikan pemerintah baik melalui Pemerintah Daerah Asal maupun Pemerintah Daerah
Tujuan adalah tanaman karet dan kopi.
UPT Pelabi yang berbatasan langsung dengan hutan lindung bukit Resam menyebabkan
tingginya serangan hama babi dan tikus terhadap tanaman pangan (padi, jagungn, dan ubi- ubian).
Salah satu kendala yang dapat menyebabkan kegagalan usaha tani tanaman pangan yaitu
tingginya serangan/gangguan hama penyakit. Sebanyak 11,1 persen resonden menyatakan bahwa
alasan mereka mengalih fungsikan lahannya karena tingginya serangan hama penyakit pada
tanaman pangan dibandingkan dengan tanaman perkebunan.
Pemanfaatan lahan
Dari data yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa luas lahan usaha I yang diterima setiap
Kepala keluarga di tiga desa yaitu desa Rawa Indah, desa Padang Jaya dan desa Arga Indah I
pada saat penempatan (t+1) adalah 0,75 Ha. Sedangkan setiap kepala keluarga di UPT Pelabi
menerima lahan usaha I seluas 0,90 Ha pada tahun ke-2 penempatan. Luas lahan yang diolah dan
sekaligus dialih fungsikan oleh setiap kepala keluarga (KK) berbeda- beda seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi data responden yang mengalih fungsikan lahannya.
No Desa/UPT Luas lahan tanaman
pangan (ha)
Lahan tanaman pangan diolah
dan dialihfungsikan (ha)
Persentase
(%)
1. Desa Rawa indah 22,50 22,00 97,77
2. Desa Padang Jaya 22,50 22,15 98,44
3. Desa Arga indah I 22,50 22,05 98,00
4 UPT Pelabi 27,00 16,60 61,48
Sumber : Data Primer, 2012.
Jenis-jenis komoditi yang diusahakan di tiga desa dan UPT berbeda-beda antara lain
padi gogo, jagung, kelapa sawit, karet, kakao dan kopi. Sistem penanaman yang dilakukan adalah
monokultur dan tumpang sari. Untuk lebih jelasnya jenis-jenis komoditi yang diusahakan dapat
dilihat pada Tabel 4.
315 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 4. Komoditi yang ditanam pada masing-masing lokasi penelitian.
No Desa/UPT Komoditi yang diusahakan Sistem
1. Desa Rawa indah Kelapa sawit, padi gogo & jagung Monokultur & tumpangsari
2. Desa Padang Jaya Kelapa sawit, karet , & padi sawah Monokultur & tumpangsari
3. Desa Arga indah I Kelapa sawit, karet, jagung & padi Monokultur & tumpangsari
4 UPT Pelabi Karet, kakao dan kopi Monokultur
Sumber : Data Primer, 2012
Faktor Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Terhadap Perubahan Pola Usahatani
Spesifikasi dan estimasi model regresi
Tabel 5. Hasil estimasi lahan yang dialih fungsikan di (Desa Rawa Indah; Desa Padang Jaya;
Desa Arga Indah I) dan UPT Pelabi.
No.
Variabel Bebas
Desa (Rawa Indah;Pd Jaya;Arga Indah)
UPT Pelabi
Koefisien Regresi
T hitung Koefisien Regresi
T hitung
1. Intersep 1,0772 18,669 1,8417 2,382 2. Jumlah tenaga kerja produktif - 0,0099 -2,063*** - 0,0393 -1,644* 3. Kebiasaan bertani sebelum ikut tarnsmigrasi - 0,0316 -2,548*** 0,0472 2,984*** 4. Lama pendidikan formal - 0,0004 -0,222 0,0791 3,126*** 5. Kemampuan pemenuhan hidup sehari-hari - 0,0453 -1,457* -0,1148 - 0,510 6. Kondisi lahan (Siap tanam / tidak siap tanam) 0,0206 0,844 - 0,2565 1,032 7. Kondisi lahan (kemiringan / topografi) 0,0156 1,122 - 0,3111 - 1,574* 8. Kemudahan memperoleh saprodi - 0,0096 0,459 0,1078 0,497 9. Bantuan bibit tan. Perkebunan dari pemerintah - - - -
10. Keanggotaan kelompok tani - 0,0522 -3,479*** - 0,1566 - 0,966 11. Serangan / gangguan hama penyakit - - - - 12. Lamanya kepemilikan lahan - 0,0004 0,308 - 0,1734 0,994 13. Ratio harga tanaman (pangan dibanding perkebunan) -0, 0217 0,599 - 2,382
R2 0,878 0,6261 F hitung 18,000 12,0900
Sumber : Hasil analisa data primer, 2012.
Keterangan : * signifikan pada ά = 10 persen
** signifikan pada ά = 5 persen
*** signifikan pada ά = 1 persen
Tabel 6. Hasil estimasi lahan yang dialih fungsikan pada empat lokasi penelitian (Desa Rawa
Indah; Desa Padang Jaya; Desa Arga Indah I dan UPT Pelabi).
N0. Variabel Bebas Koefisien Regresi T hitung
1. Intersep 1,1352 7,240
2. Jumlah tenaga kerja produktif - 0,0136 - 3,453***
3. Kebiasaan bertani sebelum ikut tarnsmigrasi - 0,0128 - 0,340
4. Lama pendidikan formal 0,0794 1,917***
5. Kemampuan pemenuhan hidup sehari-hari - 0,0538 - 0,733
6. Kondisi lahan (Siap tanam / tidak siap tanam - 0,0737 - 1,077
7. Kondisi lahan (kemiringan / topografi) - 0,0317 0,729
8. Kemudahan memperoleh saprodi - 0,0017 0,030
9. Bantuan bibit tan. Perkebunan dari pemerintah - 0,3624 - 2,600***
10. Keanggotaan kelompok tani 0,0531 - 2,347***
11. Serangan / gangguan hama penyakit - -
12. Lamanya kepemilikan lahan 0,0024 0,538 13 Ratio harga tanaman (pangan dibanding perkebunan) 0,0245 - 0,193
R2 0,680
F hitung 9,630
Sumber : Hasil analisa data primer, 2012.
Keterangan : * signifikan pada ά = 10 persen
** signifikan pada ά = 5 persen
*** signifikan pada ά = 1 persen
316 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Interprestasi hasil
Pada Tabel 5. terlihat bahwa hasil uji t memperlihatkan nilai t hitung koefisien regresi
variabel jumlah anggota keluarga produktif lebih besar dari nilai t tabel pada taraf kepercayaan 99
persen. Begitupun di UPT yang masih dibina, nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel pada taraf
kepercayaan 90 persen. Hal ini berarti bahwa jumlah anggota keluarga produktif berpengaruh
sangat nyata terhadap alih fungí lahan di desa-desa ( desa Rawa Indah, desa Padang Jaya, dan
desa Arga Indah I) yang tidak dibina lagi dan berpengaruh nyata di UPT Pelabi. Ini didukung
oleh t hitung koefisien regresi variabel jumlah anggota keluarga produktif gabungan desa – desa
yang tidak lagi dibina dan UPT yang masih dibina lebih besar dari nilai t tabel taraf kepercayaan
99 persen . Kenyataan ini dapat dimengerti karena dari hasil pengamatan di lapangan ternyata
lahan usaha I telah ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kopi.. Jumlah
tenaga kerja dalam keluarga tentunya akan mempengaruhi suatu keluarga untuk memilih jenis
tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan yang akan diusahakan. Menurut Ermin
(2007), bahwa jumlah tenaga kerja yang ada dalam keluarga sangat membantu dalam kegiatan
usaha tani baik untuk usaha tani sayuran yang memerlukan tenaga 1 – 2 orang perhari, untuk
tanaman perkebunan (sawit dan lada) 1 – 2 orang per Ha/hari dan untuk petani yang menanam
padi memerlukan tenaga kerja 5 – 10 orang per Ha/hari Data yang diperoleh menunjukkan
bahwa rata- rata jumlah tenaga kerja pada tiga lokasi desa yang tidak lagi dibina (Desa Rawa
Indah, Desa Padang Jaya, dan Desa Arga Indah I) adalah 2,2 dan UPT yang masih dibina adalah
3,2 . Ini menunjukkankan bahwa berdasarkan pertimbangan jumlah tenaga kerja ternyata
tanaman perkebunan lebih baik untuk diusahakan di empat lokasi penelitian
Uji t terhadap variabel kebiasaan bertani sebelum ikut transmigrasi menunjukkan bahwa
kebiasaan bertani atau berusaha sebelum ikut transmigrasi berpengaruh sangat nyata terhadap
alih fungsi lahan di lokasi penelitian . Begitu juga keputusan seseorang untuk mengambil sikap
dalam menentukan usaha tani yang akan dilakukan dapat dipengaruhi oleh kebiasaan atau
pengalaman kerja sebelumnya. Kebiasaan atau pengalaman sebagai petani tanaman pangan
sebelumnya (70 % responden) di desa-desa yang tidak lagi dibina menunjukkan tanaman
komoditas pangan, yaitu padi, jagung dan kedelai merupakan tanaman yang sangat memerlukan
keahlian penanganan dengan perlakuan dan pemeliharaan (pupuk dan pestisida) yang rumit,
memerlukan modal yang cukup besar serta sangat bergantung dengan cuaca, hama penyakit dan
kesuburan tanah. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap fluktuasi antara keuntungan dan
kerugian yang selalu tidak pasti. Sedangkan tanaman perkebunan seperti sawit, karet, kakao dan
kopi relatif tidak banyak memerlukan perawatan dan tidak beresiko merugi (Warsono, 2007).
Situasi ini mengakibatkan transmigran lebih memilih tanaman perkebunan untuk ditanam di lahan
usahanya. Begitupun di UPT yang masih dibina kebiasaan responden (60 persen) sebagai petani
kebun (karet dan kopi juga mempengaruhi transmigran mengalih fungsikan lahannya untuk
ditanami tanami tanaman perkebunan
Uji t terhadap variabel kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
berpengaruh nyata terhadap perubahan pola usaha tani dari tanaman pangan ke tanaman
perkebunan. Hasil ini ditunjukkan oleh nilai t hitung yang lebih besar dari t table pada taraf
kepercayaan 90 persen. Ini cukup beralasan mengingat penempatan transmighrasi sudah
berlangsung cukup lama 17 – 34 tahun. Uji t terhadap variabel kemiringan lahan / topografi
menunjukkan bahwa kemiringan lahan / topografi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan
pola usaha tani di desa – desa yang tidak lagi dibina tetapi berpengaruh nyata di UPT Pelabi
yang masih di bina. Ini dapat dimengerti karena berdasarkan pengamatan dilapangan ternyata
lahan usaha I di desa-desa yang tidak lagi dibina sebagian besar lahannya memiliki kemiringan
lebih kecil dari 15 % terutama di desa Rawa Indah dan desa Padang Jaya. Namun di UPT Pelabi
terlihat bahwa sebagian besar lahannya memiliki kemiringan diatas 25 %, sehingga faktor
kemiringan ini menjadi salah satu pertimbangan transmigran mengalih fungsikan lahannya.
Menurut Muhammad (2009), apabila karakteristik lahan memiliki kemiringan lebih dari 25 %
(N2) maka lahan tersebut tidak layak /cocok untuk ditanami tanaman pangan tetapi lebih cocok
untuk ditanami tanaman perkebunan.
Uji t terhadap variabel adanya bantuan bibit tanaman perkebunan dari pemerintah
berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan pola usaha tani transmigran Hasil ini ditunjukkan
317 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
oleh nilai t hitung yang lebih besar dari t tabel pada taraf kepercayaan 99 persen pada uji regresi
gabungan desa-desa yang tidak lagi dibina dan UPT yang masih dibina. Bibit tanaman merupakan
salah satu komponen penting dalam proses produksi pertanian. Bibit termasuk bagian penting dari
modal yang harus dimiliki oleh transmigranUji t terhadap variabel kelembagaan keanggotaan
kelompok tani menunjukkan bahwa keanggotaan kelompok tani sangat berpengaruh nyata
terhadap alih fungsi lahan dan bertanda negatif. Hasil ini memberikan informasi bahwa semakin
rendah nilai keanggotaan kelompok tani semakin besar pengaruhnya terhadap perubahan pola
tanam dari tanaman pangan menjadi perkebunan. Rendahnya nilai kelembagaan menunjukkan
bahwa pasifnya atau kurang berfungsinya keanggotaan kelompok tani.
Dampak yang timbul akibat terjadinya alih fungsi lahan di kawasan Transmigrasi
Dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional, transmigrasi dilaksanakan
dengan pendekatan pengembangan kawasan melalui pengembangan sentra-sentra produksi baru
bagi berbagai komoditas pangan. Pengembangan sentra produksi baru diharapkan dapat
memberikan kontribusi peningkatan produksi pangan nasional dan sekaligus sebagai upaya
distribusi pangan ke berbagai wilayah Indonesia (Najiati dkk, 2008). Namun kenyataan yang
terjadi saat ini, kawasan-kawasan transmigrasi yang tercipta menjadi kawasan-kawasan
permukiman baru di daerah malah menjadi konsumen pangan utama terutama beras. Seperti
contohnya data jumlah penduduk pada tabel 5.0 . berdasarkan kebutuhan beras di Provinsi
Bengkulu yaitu 501,49 gram/kapita/hari (Anonim, 2011) maka untuk memenuhi kebutuhan beras
di tiga desa seperti pada tabel 5.0, Pemerintah harus mensuply beras sebanyak + 1.193,19 ton
pertahun dikurangi produksi beras per desa.
Tabel 7. Data jumlah penduduk pada desa eks transmigrasi di lokasi penelitian.
No. Desa Jumlah Penduduk (jiwa)
1. Rawa Indah Kec.Ilir talo kab . Seluma 1489
2. Padang Jaya Kec. Padang Jaya kab bengkulu Utara 4616
3. Arga indah I Kec. Pagar jati kab. Bengkulu Tengah 420
Jumlah 6525
Sumber : Data Sekunder, 2012.
Beberapa dampak yang timbul sebagai akibat telah terjadinya alih fungsi lahan di
kawasan transmigrasi yang teridentifikasi, antara lain:
1. Pemerintah Provinsi Bengkulu harus mensuply kebutuhan pangan terutama beras di
kawasan-kawasan permukiman baru. Apabila hal ini tidak mampu dilakukan tentunya akan
berakibat terjadinya kerawanan pangan.terutama beras.
2. Mubazirnya investasi pemerintah di sektor pertanian seperti jaringan irigasi teknis yang ada di
desa Padang jaya dan sekitarnya, peralatan pertanian seperti hand traktor yang selama ini
banyak disumbangkan oleh Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu.
3. Alih fungsi lahan ke tanaman perkebunan seperti kelapa sawit akan mengganggu
keseimbangan lingkungan seperti mikro organisme tanah dan ketersediaan air tanah.
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN
Berdasarkan beberapa referensi dan interpretasi dari hasil kajian yang dilakukan dalam
rangka melindungi dan mengendalikan terjadinya perubahan fungsi sebagian atau seluruh lahan
di kawasan transmigrasi, maka strategi perlindungan dan pengendalian harus dilakukan secara
menyeluruh berupa:
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi lahan
Alam rangka memperkecil peluang terjadinya konversi lahan, pemerintah dapat
melakukan berbagai kebijakan antara lain :
a. Memberikan insentif kepada pamilik lahan.
318 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
b. Menjamin harga dan menampung hasil produksi tanaman pangan terutama padi, jagung
dan kedelai.
c. Adanya jaminan ganti rugi biaya produksi apabila gagal panen yang disebabkan oleh
kekeringan dan serangan hama penyakit.
d. Mengurangi subsidi beras miskin secara perlahan-lahan
e. Meningkatkan nilai pajak tanah untuk tanaman perkebunan
f. Menaikkan pajak retribusi bagi produk perkebunan seperti getah karet/latek dan tandan
buah segar sawit.
2. Mengendalikan kegiatan konversi lahan
a. Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif dan disintensif terhadap Pemerintah Daerah
yang mengendalikan alih fungsi lahan.
b. Pemerintah daerah tidak memprioritaskan PAD (pendapatan asli daerah) melalui pajak
penggunaan tanah /lahan oleh Perusahaan Perkebunan. Disamping itu Pemerintah Daerah
membatasi izin pembukaan lahan perkebunan dengan memperketat peraturan-peraturan
seperti batas maksimum luasan lahan untuk perkebunan, batas maksimum muatan angkutan
/tonase dan analis dampak lingkungan (andal)
c. Pemerintah Daerah harus menyempurnakan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), diperlukan zonasi yang lebih terperinci terkait dengan pengendalian alih fungsi
lahan (Anonim, 2006).
d. Implementasi instrumen kebijakan-kebijakan tersebut diatas harus disertai oleh penegakan
hukum yang memadai. Advokasi publik harus kuat dan konsisten sehingga tingkat
keyakinan aparat instansi terkait di tataran bawah untuk mengendaliah alih fungsi lahan
tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Transmigran dalam mengalih fungsikan lahannya di desa:
Rawa Indah; Padang Jaya; Arga Indah I serta UPT Pelabai adalah faktor: jumlah anggota
keluarga produktif; lamanya pendidikan formal; bantuan bibit tanaman perkebunan dari
pemerintah; dan keanggotaan kelompok tani.
2. Dalam rangka melindungi dan mengendalikan terjadinya perubahan fungsi sebagian atau
seluruh lahan di kawasan Transmigrasi, maka strategi perlindungan dan pengendalian harus
dilakukan secara menyeluruh dengan memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan dan
mengendalikan kegiatan konversi lahan.
S a r a n
Bertolak dari pengalaman penyelenggaraan Transmigrasi di lokasi penelitian yang telah berubah
pola dari tanaman pangan menjadi pola tanaman perkebunan, maka ada beberapa alternatif yang
dapat dilakukan untuk mengendalikan alih fungsi lahan pada UPT pola tanaman pangan dan UPT
yang telah beralih fungsi ke pola tanaman perkebunan, yaitu:
1. Pemerintah melalui instansi terkait memberikan insentif kepada Transmigran
2. Pemerintah menjamin harga komoditi tanaman pangan terutama padi, jagung dan kedelai serta
membantu pemasaran hasil panen komoditi pangan.
3. Pemerintah daerah segera menyusun dan menetapkan peraturan Daerah untuk menindaklanjuti
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang; Penetapan dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan serta Undang Undang nomor 41 Tahun 2009; tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
319 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan
Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas. Jakarta.
Barchia M.F. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Gajah Mada University Press.
Jogjakarta.
Bisnis Indonesia. 2011. Konversi Lahan Sawah di Bengkulu Memprihatinkan. Bisnis Indonesia
edisi Selasa, 22 Pebruari 2011. Jakarta. ;16
BKP Prov. Bengkulu. 2011. Neraca Bahan Makanan (NBM) Provinsi Bengkulu Tahun 2011.
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Disnaketrans Prov Bengkulu. 2008. Rencana Teknis Unit Permukiman dan Rencana Teknis Jalan
UPT Pelabi Kecamatan Pelabi Kabupaten Lebong. DinasTenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Djamali Abdul. 2000. Manajemen Usaha Tani. Politeknik Pertanian Bogor Negeri Jember,
Jurusan Manajemen Bisnis. Departemen Pendidikan Nasional. Jember.
Pemerintah Desa Arga Indah I. 2010. Profil Desa Arga Indah I. Pemerintah Desa Arga Indah I.,
Kecamatan Pagar Jati., Kabupaten Bengkulu Tengah.
Pemerintah Desa Rawa Indah. 2010. Profil Desa Rawa Indah. Pemerintah Desa Rawa Indah.,
Kecamatan Ilir Talo., Kabupaten Seluma.
Pemerintah Desa Padang Jaya. 2012. Monografi Desa Padang Jaya. Pemerintah Desa Padang
Jaya., Kecamatan Padang Jaya., Kabupaten Bengkulu Utara.
Pusdatin Ketransmigrasian. 2008. Evaluasi Kinerja Pembangunan Transmigrasi Tahun 2007.
Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Jakarta.
Pusdatin Ketransmigrasian. 2008. Arah Kebijakan Transmigrasi dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Ke II (2010 – 2014). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.
Kurdianto, D. 2011. Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Tanaman Kelapa Sawit.
http://uripsantoso.wordpress.com
Najiati Sri. 2003. Peluang Pengembangan Korporasi Usaha Pertanian di Pemukiman
Transmigrasi Pola Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Ketransmigrasian. Edisi I Tahun 2003. ISSN : 0212-3578. Hal : 37 – 54.
Najiati S., Danarti, S. H. Warsono dan L. Damanik. 2008. Transmigrasi dan Ketahanan Pangan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi R.I. Bangkit Daya Insana, jakarta.
Ramanathan Ramu. 1990. Introductory Econometrics wih Applications. Hancourt Brace
Jovanovich. San Diego.
Riduwan dan Akdon. 2009. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Penerbit CV. Alfabeta,
Bandung.
Astuti, U.P., W. Wibawa dan A. Ishak. 2011. Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pangan Menjadi Kelapa Sawit di Bengkulu : Kasus Petani di Desa Kungkai Baru. Prosd.
Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.
Bengkulu.
Usman, R dan Abdi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Teori dan Aplikasi.
Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.
Warsono, S.H. 2007. Pembangunan Transmigrasi, Antara Kontribusi Pangan dan Alih Fungsi
Lahan (Studi kasus di propinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Ketransmigrasian). Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Volume 24 No. 1 Tahun 2007. ISSN : 0216-3578. Hal
13 – 22.
Wijaya E. 2007. Sistem Usaha Tani dan Kontribusi Ternak di Desa Pangkalan Tiga. Jurnal Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ketransmigrasian, Jakarta. Volume 24 No. 2 tahun 2007. ISSN : 0216-3578. Hal : 13 – 24.
PASCAPANEN
323 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
SIFAT ORGANOLEPTIK DAN KANDUNGAN NUTRISI
ES KRIM UBI JALAR VARIETAS LOKAL BENGKULU
Wilda Mikasari dan Lina Ivanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Ubi jalar merupakan bahan pangan yang memiliki keunggulan nutrisi. Namun demikian, pemanfaatan ubi
jalar masih sangat terbatas. Seperti halnya di Propinsi Bengkulu, ubi jalar dijual dalam bentuk segar, padahal ubi jalar
yang segar mudah mengalami kerusakan. Masa simpan ubi jalar dapat diperpanjang dengan membuat produk turunan
yang bersifat awet. Tidak hanya awet, produk yang dikembangkan juga digemari masyarakat. Produk yang digemari
oleh masyarakat yang bisa dibuat dari ubi jalar adalah es krim ubi jalar. Selain memberikan nilai gizi lebih, penggunaan
ubi jalar sebagai bahan es krim diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah ubi jalar. Penelitian ini bertujuan
mengetahui sifat organoleptik dan kandungan nutrisi es krim ubi jalar produksi Bengkulu. Pelaksanaan penelitian pada
bulan November-Desember 2011 di Laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu. Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk. Perbandingan
pasta ubi jalar dengan krim bubuk terdiri atas A (5:2) and B (1:1), C (1:2), D (3:2), dan E (2:1). Kandungan nutrisi es
krim ubi jalar meliputi analisis proksimat, kadar serat kasar, kadar gula, dan kadar vitamin A. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap warna, rasa, tekstur (mouthfeel), dan keseluruhan (overall)
es krim, namun tidak berpengaruh secara nyata terhadap aroma es krim ubi jalar pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) .
Kandungan nutrisi es krim ubi jalar terdiri atas 63.97% air, 3.72% protein, 3.40% lemak, 0.78% abu, 28.11%
karbohidrat, 0.02% serat kasar, 5.12% gula, dan 153.70 µg vitamin A.
Kata kunci : kandungan nutrisi, es krim, ubi jalar, produksi
PENDAHULUAN
Pola konsumsi masayarakat Indonesia saat ini belum seimbang. Konsumsi karbohidrat
sebagian besar berasal dari beras dan tepung terigu untuk memenuhi kebutuhan energi, sedangkan
konsumsi pangan sumber kalori seperti umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, kedelai, dan daging
masih kurang sehingga penduduk Indonesia menghadapi kekurangan mikronutrien diantaranya
zat besi, vitamin A, dan iodine. (Martianto, 2010).
Salah satu umbi-umbian yang merupakan sumber kalori dan mikronutrien adalah ubi
jalar. Mikronutrien yang terkandung dalam ubi jalar antara lain zat besi dan vitamin A. Selain itu,
secara umum ubi jalar (Ipomea batatas. L) mengandung karbohidrat (27.9-32.3%), protein
(1.8%), lemak (0.7%), vitamin A (900-7.700 SI), dan nilai energi (123-136 kalori).
Ubi jalar juga dikenal memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Ubi jalar ungu
memiliki kandungan antosianin yang tinggi dan berfungsi sebagai antioksidan. Ubi jalar merah
mengandung beta karoten sebagai sumber vitamin A, dan serat sebagai sumber prebiotik sehingga
dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida, et al
(2004),
menunjukkan bahwa oligosakarida ubi jalar berpotensi sebagai prebiotik dengan
mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria. Kandungan antosianin yang tinggi
pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan yang diketahui dapat menetralisir radikal bebas
penyebab penuaan dini dan pemicu aneka penyakit degeneratif seperti kanker.
Potensi produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 2.192.242 ton (angka
sementara) (BPS, 2011). Sentra penghasil ubi jalar sebagian besar di Pulau Jawa, Pulau Sumatra,
Maluku dan Papua. Terutama di Pulau Sumatera, salah satu sentra penghasil ubi jalar adalah
Provinsi Bengkulu dengan jumlah produksi pada tahun 2011 adalah 26.445 ton (angka sementara)
(BPS, 2011). Terdapat beberapa jenis ubi jalar yang diproduksi di Provinsi Bengkulu yakni ubi
jalar putih, ubi jalar merah, dan ubi jalar ungu. Jenis ubi jalar yang mudah dijumpai di pasaran
adalah ubi jalar ungu dengan karakteristik bentuk cenderung lonjong, permukaan tidak rata,
daging buah ungu namun tidak pekat.
Ubi Jalar ungu produksi Bengkulu banyak ditanam di daerah Rejang Lebong dan
Kepahiang. Komoditas ini telah menjadi buah tangan bagi wisatawan dan dijajakan di sepanjang
jalan menuju pusat Kota Kepahiang. Ubi jalar asal Kepahiang dan Rejang Lebong ini baru
324 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dipasarkan dalam bentuk segar. Pemasaran dalam bentuk segar terkendala pada produk yang
mudah mengalami kerusakan.
Permasalahan tersebut, dapat diatasi dengan melakukan diversifikasi pengolahan ubi
jalar menjadi berbagai macam produk olahan. Pengolahan ubi jalar menjadi aneka macam produk
olahan berkembang sesuai dengan trend yang ada. Saat ini, trend pemanfaatan ubi jalar bergeser
dari makanan pokok (staple food) ke arah menjadi makanan olahan (processed food) (Zhang et al,
2002). Sudah banyak berkembang penelitian tentang ubi jalar mulai dari pengolahan ubi jalar
menjadi tepung. Tepung ubi jalar kemudian dikembangkan menjadi produk-produk turunan
seperti mie dan roti (Sugiyono, 2011 dan Hardoko 2010). Selain itu, Khasanah (2003),
telah
melakukan penelitian tentang formulasi produk makanan sarapan ubi jalar. Pengolahan ubi jalar
tersebut merupakan upaya untuk melakukan diversifikasi pangan karena ubi jalar dapat
menggantikan tepung terigu dalam proses pembuatan makanan olahan.
Tidak hanya terbatas pada bentuk olahan tersebut, saat ini sudah banyak dilakukan
inovasi pengolahan ubi jalar menjadi produk yang digemari oleh masyarakat, salah satunya es
krim ubi jalar. Penggunaan ubi jalar sebagai bahan pengisi pada produk es krim memiliki
keunggulan lebih karena nutrisi yang terkandung dalam ubi jalar. Kajian yang dilakukan oleh
Djaafar (2008), menunjukkan bahwa penggunaan ubi jalar sebagai bahan pengisi pada pembuatan
es puter, memberikan manfaat lebih karena adanya antosianin yang terkandung dalam ubi jalar.
Pengembangan teknologi pengolahan ubi jalar menjadi berbagai macam produk olahan
juga menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan kelebihan stok pada saat musim
panen raya tiba. Selain itu juga dapat meningkatkan nilai tambah ubi jalar. Penelitian ini
bertujuan menghasilkan formulasi produk es krim ubi jalar khas Bengkulu, mengetahui kesukaan
panelis terhadap sifat organoleptik dan kandungan nutrisi es krim ubi jalar mengingat fungsi dan
manfaat ubi jalar yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Bengkulu dari bulan Oktober - Desember tahun 2011. Bahan baku yang digunakan
adalah ubi jalar ungu varietas lokal Bengkulu dengan ciri khas daging buahnya berwarna putih
keunguan, berbentuk lonjong, dan permukaannya tidak rata.
Tahapan kegiatan meliputi pembuatan es krim ubi jalar, uji organoleptik untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap es krim ubi jalar, dan analisis kandungan nutrisi es
krim ubi jalar. Bahan-bahan yang diperlukan pada pembuatan es krim ubi jalar yakni pasta ubi
jalar, krim bubuk, air es dan susu kental manis. Bahan baku ubi jalar yang digunakan adalah jenis
ubi jalar ungu. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan
perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (Tabel 1) dimana perbandingan pasta ubi jalar
dengan krim bubuk adalah A (5:2), B (1:1), C (1:2), D (3:2), dan E (2:1).
Tabel 1. Formula es krim ubi jalar masing-masing perlakuan.
Bahan A B C D E
Pasta Ubi Jalar (g) 250 50 50 150 100
Krim bubuk (g) 100 50 100 100 50
Proses pembuatan es krim ubi jalar (Gambar 1), diawali dengan pembuatan pasta ubi
jalar. Selanjutnya air es dan susu kental manis dikocok dengan kecepatan rendah. Krim bubuk
lalu dimasukkan ke dalam campuran tersebut, dikocok dengan kecepatan tinggi sampai
mengembang. Pasta ubi jalar dicampurkan ke dalam adonan krim kemudian dituangkan ke dalam
cup dan didinginkan di dalam freezer selama ± 4 jam.
325 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pencucian dan Penirisan
Pengocokan dengan
kecepatan rendah Pengukusan
Pengocokan dengan Pengupasan
kecepatan tinggi
Penghancuran
Pencampuran
Pengemasan
Pendinginan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan es krim ubi jalar.
Uji organoleptik melibatkan 25 orang panelis (sebagai ulangan). Selanjutnya, contoh
disajikan secara acak dan panelis diminta untuk menguji tingkat kesukaan terhadap warna,
aroma, rasa, tekstur (mouthfeel), dan keseluruhan es krim ubi jalar. Pengujian dilakukan satu
persatu atau secara bersamaan dan tanpa melakukan pembandingan antar sampel akan tetapi
merupakan respon spontan terhadap kesukaan es krim. Skor kesukaan panelis meliputi 7 kisaran
skala yakni skala 1 (sangat tidak suka), skala 2 (tidak suka), skala 3 (agak tidak suka), skala 4
(netral), skala 5 (agak suka), skala 6 (suka), dan skala 7 (sangat suka). Analisis kandungan nutrisi
ubi jalar mengacu pada Analysis of Association Of Official Analytical Chemist (AOAC). 9
Data hasil uji organoleptik kemudian dianalisis menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% (P<0.05) lalu dilanjutkan dengan uji beda nyata
(Duncan). Perangkat uji statistik yang digunakan adalah Program SPSS 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Organoleptik
Berdasarkan hasil uji organoleptik, dapat diketahui tingkat kesukaan panelis terhadap
warna, aroma, rasa, tekstur (mouthfeel ), dan keseluruhan es krim ubi jalar.
a. Warna
Winarno, 10
menyatakan bahwa penilaian mutu bahan makanan pada umumnya
sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya,
tetapi sebelum faktor-faktor tersebut dipertimbangkan secara visual, faktor warna kadang-
kadang sangat menentukan. Warna dalam suatu makanan umumnya dipengaruhi oleh bahan
baku. Hasil uji organoleptik terhadap warna produk disajikan pada Gambar 2. Skor kesukaan
panelis terhadap warna es krim ubi jalar yakni berkisar antara 4,60-5,92 (agak suka sampai
suka) untuk 7 skala kisaran kesukaan. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa
perlakuan berpengaruh nyata terhadap warna es krim pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05).
Uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat keragaman antar perlakuan.
Penggunaan krim bubuk dengan perbandingan yang seimbang dengan pasta ubi jalar
menghasilkan produk yang disukai dan dinilai tidak berbeda warnanya oleh panelis yakni es
krim ubi jalar formula B, formula C, dan formula D. Sementara itu, penambahan pasta ubi
dengan perbandingan dua kali lebih banyak dibandingkan krim bubuk yakni es krim formula
Pasta
Ubi Jalar
Air Es
(150 g)
Krim
Bubuk
Es Krim Ubi Jalar
Susu Kental Manis (90 g) Ubi Jalar
326 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
A dan formula E warnanya belum disukai oleh panelis. Hal ini karena warna ungu es krim
kurang pekat, akibat warna ungu bahan baku ubi jalar yang tidak merata sehingga dihasilkan
warna ungu pucat yang kurang menarik.
Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendrayati, dkk 11
yang
melakukan uji organoleptik untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap tiga jenis
es krim yakni es krim ubi jalar ungu, es krim ubi jalar putih, dan es krim ubi jalar oranye.
Hasil penelitian menunjukkan daya terima pada aspek warna yang paling dominan adalah es
krim ubi jalar oranye sebanyak 75%, es krim ubi jalar ungu 58%, dan es krim ubi jalar putih
51%.
Gambar 2. Tingkat kesukaan terhadap warna.
Keterangan : nilai diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak
berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)
A = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (5:2)
B = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:1)
C = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:2)
D = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (3:2)
E = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (2:1)
b. Aroma
Sebagian besar aroma yang terdeteksi pada es krim ubi jalar merupakan aroma ubi
jalar, susu, dan lemak. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap aroma produk (Gambar 3)
berkisar antara 5,08-5,68 (agak suka sampai suka) untuk 7 skala kisaran kesukaan. Perlakuan
pada pembuatan es krim ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap aroma es krim ubi jalar
berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05).
Secara umum, aroma es krim ubi jalar disukai oleh panelis. Hal ini karena, ubi jalar
memiliki aroma yang khas. Penggunaan ubi jalar dua kali lebih banyak dibanding krim bubuk
oleh panelis masih bisa diterima. Namun, hasil yang berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian
yang dilakukan Elisabeth, et al., (2007), bahwa panelis lebih menyukai es krim dengan cita
rasa dan aroma susu yang masih terasa dibandingkan es krim dengan cita rasa dan aroma ubi
jalar yang terlalu menonjol. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata skor penilaian hedonik
panelis untuk es krim dengan perlakuan perbandingan susu skim dan ubi jalar 7,5% : 2,5%
yang tertinggi, yaitu 5,56 (agak suka sampai suka) untuk aroma dan 6,31 ( suka sampai sangat
suka).
Selain aroma ubi jalar, panelis juga menyukai aroma susu yang dihasilkan dari
penggunaan krim bubuk pada pembuatan es krim ubi jalar. Hal ini dapat terlihat dari skor
hedonik yang tinggi terhadap formula es krim ubi jalar dengan penambahan krim bubuk dua
kali lebih banyak dibandingkan pasta ubi jalar.
327 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap aroma.
Keterangan : nilai diikuti oleh huruf yang sama menunjukan nilai tidak berbeda
nyata (uji Duncan α = 5%)
A = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (5:2)
B = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:1)
C = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:2)
D = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (3:2)
E = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (2:1)
c. Rasa
Rasa es krim ubi jalar dipengaruhi oleh pasta ubi jalar, krim, dan susu. Rataan nilai
kesukaan panelis terhadap rasa produk (Gambar 4) berkisar antara 4,24-6,00 (netral sampai
suka) untuk 7 skala kisaran kesukaan. Hasil analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%
(P<0,05), menunjukkan perlakuan pada pembuatan es krim ubi jalar berpengaruh secara nyata
terhadap rasa. Uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat keragaman antar perlakuan.
Semakin banyak penggunaan ubi jalar pada es krim ternyata berpengaruh terhadap
penilaian rasa es krim oleh panelis. Batas penambahan pasta ubi pada es krim yang masih
diterima oleh panelis adalah pada taraf 50%. Lebih dari itu, tingkat kesukaan panelis
berkurang. Hal ini karena panelis kurang menyukai rasa ubi jalar yang menonjol pada es krim,
seperti pada es krim ubi jalar formula A dan E.
Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap rasa.
Keterangan : nilai diikuti oleh huruf yang sama menunjukan nilai tidak
berbedanyata (uji Duncan α = 5%)
A = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (5:2)
B = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:1)
C = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:2)
D = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (3:2)
E = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (2:1)
d. Tekstur (mouthfeel)
Rataan nilai kesukaan panelis terhadap tekstur (mouthfeel) produk (Gambar 5)
berkisar antara 3,76-6,16 (netral sampai suka) untuk 7 skala kisaran kesukaan. Hasil analisis
328 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
ragam menunjukkan perlakuan pada es krim berpengaruh nyata terhadap tekstur es krim ubi
jalar pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05). Uji Duncan menunjukkan terdapat keragaman
antarperlakuan.
Tekstur es krim ubi jalar dipengaruhi oleh pasta ubi jalar dan lemak yang terdapat
pada es krim. Bertambahnya kandungan lemak es krim menyebabkan tekstur es krim menjadi
lebih baik dan semakin tahan terhadap proses pencairan. Penambahan krim bubuk pada es
krim ubi jalar menyebabkan tekstur menjadi lebih lembut, sedangkan penambahan pasta ubi
jalar meyebabkan tekstur es krim ubi jalar menjadi kasar. Hal ini mempengaruhi penilaian
panelis terhadap tekstur es krim ubi jalar ungu.
Berdasarkan penilaian panelis, tekstur es krim ubi jalar yang paling disukai adalah es
krim formula C dengan komposisi krim bubuk dua kali lebih banyak dibandingkan pasta ubi
jalar.
Gambar 5. kesukaan terhadap tekstur (mouthfeel).
Keterangan : nilai diikuti oleh huruf yang sama menunjukan nilai tidak
berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)
A = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (5:2)
B = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:1)
C = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:2)
D = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (3:2)
E = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (2:1)
e. Keseluruhan (overall)
Hasil uji organoleptik terhadap overall produk disajikan pada Gambar 6. Rataan nilai
kesukaan panelis terhadap keseluruhan produk berkisar antara 4,16-6,00 (netral sampai suka)
untuk 7 skala kisaran kesukaan.
Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan pada pembuatan es krim berpengaruh
nyata terhadap es krim ubi jalar secara overall. Uji Duncan menunjukkan terdapat keragaman
antarperlakuan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05).
Gambar 6. Tingkat kesukaan terhadap keseluruhan (overall).
Keterangan : nilai diikuti oleh huruf yang sama menunjukan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)
A = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (5:2)
329 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
B = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:1)
C = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (1:2)
D = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (3:2)
E = perbandingan pasta ubi jalar dengan krim bubuk (2:1)
Kandungan Nutrisi
Ubi jalar ungu dalam 100 gram bahan mengandung 123,00 kal kalori; 0,70% protein;
0,94 % lemak; 27,64 karbohidrat dan 70,46% air. Selain itu, terdapat komponen vitamin, mineral.
Dan serat.Vitamin yang terdapat pada ubi jalar ungu dalam jumlah besar adalah vitamin A
(7.700,00 SI). Ubi jalar ungu juga mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi.
Serat yang terkandung dalam uji jalar ungu yakni sebesar 0,35%. 12
Analisis kandungan nutrisi es
krim ubi jalar meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan
kadar karbohidrat), kadar serat kasar, kadar gula dan analisis kadar vitamin A. Es krim ubi jalar
yang dipilih untuk dianalisis adalah produk B. Perlakuan tersebut dipilih selain karena memiliki
skor kesukaan atribut sensori yang tinggi, juga membutuhkan biaya yang lebih rendah dalam hal
produksi dibandingkan dengan perlakuan lain. Kandungan nutrisi es krim ubi jalar disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan nutrisi es krim ubi jalar terpilih (produk B).
Komponen Jumlah
Air (%) 63,97
Protein (%) 3,72
Serat Kasar (%) 0,02
Lemak (%) 3,40
Abu (%) 0,78
Karbohidrat (%) 28,11
Kadar Gula (%) 5,12
Kadar Vitamin A (µg) 153,70
Es krim ubi jalar terpilih memiliki kandungan nutrisi yaitu kadar lemak (3,40%), kadar
karbohidrat (28,11%), kadar gula (5,12%), dan kadar vitamin A (153,70 µg), kadar air (63,97%)
dan kadar serat kasar (0,02%). Beberapa komponen nutrisi yang mempengaruhi karakter es krim
adalah lemak dan protein susu. Lemak berkontribusi terhadap rasa dan aroma es krim. Protein
susu juga berpengaruh terhadap struktur es krim. Gabungan lemak dan es krim berperan dalam
pencampuran dan peningkatan volume es krim. 13
Kandungan nutrisi seperti kadar lemak dan kadar gula pada es krim ubi jalar terpilih
lebih kecil dibandingkan dengan standar mutu es krim yang dipersyaratkan SNI 01-3713-1995, 14
yakni minimal 8% kandungan lemak dan kandungan gula minimal 12%. Rendahnya kadar lemak
dan kadar gula serta kandungan serat dan vitamin A pada es krim ubi jalar menjadikan produk ini
berpeluang untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sifat organoleptik es krim ubi jalar dengan penambahan pasta ubi jalar berpengaruh nyata
terhadap warna, rasa, tekstur, dan keseluruhan es krim, namun tidak berpengaruh nyata
terhadap aroma es krim. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna es krim ubi jalar (agak
suka-suka), aroma (agak suka-suka), rasa (netral-suka), tekstur (netral-suka), overall (netral-
suka).
Es krim ubi jalar dengan perbandingan pasta ubi jalar dan krim bubuk 1:1 mengandung nutrisi
: kadar lemak (3.40%), kadar karbohidrat (28.11%), kadar gula (5.12%), kadar vitamin A
(153.70 µg), kadar air (63.97%), dan kadar serat kasar (0.02%). Rendahnya kadar lemak dan
kadar gula serta kandungan serat dan vitamin A pada es krim ubi jalar formula tersebut
menjadikan es krim ubi jalar ini berpeluang untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional.
330 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
S a r a n
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui sifat organoleptik dan kandungan
nutrisi es krim dengan varietas ubi jalar yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemists.
Washington D.C. Association of Official Analytical Chemist.
BPS dan Ditjen Tanaman Pangan. 2011. Produksi Ubi Jalar di Indonesia Menurut Provinsi
Tahun 2001-2011. http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/
SERIES%20PRODUKSI%20UBI%20JALAR%202002-2011.pdf. [27 Agustus 2012].
Clarke, C. 2004. Application of Whey Protein Isolate Glycated with Rare Sugars to Ice Cream.
Cambridge : RSC Publishing. Food Sci. Technol. Res., 14 (5) : 457 – 466.
Djaafar, T. F. dan M. Gardjito. 2008. Pemanfaatan Dua Varietas Ubi Jalar Ungu (Ipomea
batatas L.) pada Pembuatan Es Puter dan Karakteristik Es Puter. Buletin Teknologi Pasca
Panen Pertanian. Vol. (1) : 1-8.
Depkes RI. 1995. Buku Komposisi Bahan Pangan Khasanah, U. 2003. Formulasi, Karakterisasi
Fisiko-Kimia dan Organoleptik Produk Makanan Sarapan Ubi Jalar (Sweet Potatoe
Flakes). Skripsi. FATETA. IPB. Bogor.
Hardoko, Liana, H. dan Tagor, M. S. 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.
Poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung Terigu dan Sumber Antioksidan pada Roti
Tawar. J. Teknol. dan Industri Pangan Vol. (21) : 25-32.
Hendrayati, et al. 2012. Daya Terima Es Krim Ubi Jalar pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan
Beringkanaya. Media Gizi Pangan. Edisi 1. Vol (13) : 12-19.
Martianto, D. 2010. Food and Nutrition Security Situation in Indonesia and Its Implication for the
Development of Food, Agriculture and Nutrition. Journal of Developments in Sustainable
Agriculture (5) : 64-81.
Nuraida, L., Palupi, N. S., Anggiarni, A. N. dan Pertiwi W. 2004. Pemanfaatan Ubi Jalar sebagai
Prebiotik dan Formulasi Sinbiotik sebagai Suplemen Pangan. di dalam Nuraida, L., Hana,
Sri, R. D., dan Didah N., F. 2008. Pengujian Prebiotik dan Sinbiotik Produk Olahan Ubi
Jalar Secara In Vivo. J. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol. (19) : 89-96
SNI 01-3713. 1995. Es Krim. Jakarta : BSN
Sugiyono, Edi, S. Elvira, S. dan Hery, S. 2011. Pengembangan Produk Mie Kering dari Tepung
Ubi Jalar (Ipomea batatas) dan Penentuan Umur Simpannya dengan Metode Sorpsi
Isotermis. J. Teknol. dan Industri Pangan. Vol. (22) : 164-170.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Zhang, Z. C.C. Wheatley, H. Corke. 2002. Biochemical Changes During Storage of Sweet
Potatoe Roots Differing in Dry Matter Content. diacu dalam Onggo, T. M. 2006.
Perubahan Komposisi Pati dan Gula Dua Jenis Ubi Jalar “Nirkum” Cilembu Selama
Penyimpanan. Jurnal Bionatura. Vol (8) : 161-170.
331 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP ULIR UBI JALAR UNGU
PADA BERBAGAI UMUR PANEN DI PROVINSI BENGKULU
Wilda Mikasari and Taufik Hidayat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
E-Mail : [email protected]
ABSTRAK
Ubi jalar (Ipomea batatas, L) adalah sejenis tanaman budidaya yang berasal dari Amerika Selatan yang
beriklim tropis. Produksi ubi jalar di provinsi Bengkulu tahun 2009 sebesar 20.930 ton. Mengingat besarnya jumlah
produksi tersebut serta fungsi dan manfaat ubi jalar dan kurang optimalnya pemanfaatan ubi jalar sebagai sumber
pangan, perlu dikembangkan teknologi pengolahan ubi jalar menjadi produk yang digemari masyarakat. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan hasil olahan yang terbaik dan paling digemari konsumen/ masyarakat maka perlu dikaji
variasi umur panen terhadap mutu dan preferensi konsumen terhadap produk ulir-ulir ubi jalar. Pengkajian dilakukan di
Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu dari bulan Mei s.d. Desember tahun
2011. Parameter yang diamati adalah uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk
ulir ubi jalar, dan analisis kimia berupa kadar air, kadar abu, protein, lemak karbohidrat. Rancangan dalam kajian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan umur panen (H-7, H0, dan H+7). Skor kesukaan
panelis meliputi 7 kisaran skala yakni skala 1 (sangat tidak suka), skala 2 (tidak suka), skala 3 (agak tidak suka), skala 4
(netral), skala 5 (agak suka), skala 6 (suka), dan skala 7 (sangat suka). Data yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan statistik non parametrik uji Kruskal-Wallis. Analisis karakter kimia produk mengacu pada metode
AOAC. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa umur panen ubi jalar tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
tingkat kesukaan konsumen terhadap produk olahan ulir ubi jalar. Hal ini diduga karena umur panen dengan rentang
hanya dalam 1 mingu merupakan umur panen yang masih sangat wajar dilakukan pada ubi jalar. Hasil uji kimia
laboratorium terhadap sampel ulir ubi jalar meliputi kandungan kadar air, kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat
masih dalam batas yang sesuai untuk makanan ringan.
Kata kunci : ubi jalar, uji preferensi, konsumen,organoleptik.
PENDAHULUAN
Ubi jalar atau ketela rambat atau sweet potato (Ipomea batatas. L) adalah sejenis
tanaman budidaya yang berasal dari Amerika Selatan yang beriklim tropis. Bagian yang
dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi.
Di Afrika, umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia,
selain dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula ubi jalar
yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daun dan bunganya.
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas lokal yang dikembangkan di Propinsi
Bengkulu. Produksi ubi jalar Provinsi Bengkulu tahun 2009 sebesar 20.930 ton. Kabupaten sentra
produksi ubi jalar adalah Kabupaten Rejang Lebong dengan jumlah produksi sebanyak 8.185 ton
atau 39,10% dari total produksi ubi jalar di Propinsi Bengkulu. Selain Kabupaten Rejang Lebong,
Kabupaten Bengkulu Utara juga merupakan daerah penghasil ubi jalar dengan jumlah produksi
sebesar 3.763 ton atau 17,98% dari total produksi ubi jalar di Propinsi Bengkulu. Jenis ubi jalar
yang dibudidayakan oleh sebagian besar petani adalah ubi jalar varietas lokal yakni ubi jalar putih
keunguan dan ubi jalar kuning.
Ditinjau dari kandungan nutrisi, ubi jalar segar merupakan sumber karbohidrat, vitamin,
antosianin, dan beta karoten. Ubi jalar segar memiliki kandungan gizi karbohidrat 27.9-32.3%,
protein 1.8%, lemak 0.7%, vitamin A 900-7.700 SI, dan nilai energi 123-136 kalori. Ubi jalar
juga dikenal memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena memiliki kandungan
antosianin (ubi jalar ungu), beta karoten (ubi jalar kuning), dan serat sehingga dapat
dikembangkan sebagai pangan fungsional. Kandungan antosianin yang tinggi pada ubi jalar ungu
berfungsi sebagai antioksidan yang diketahui dapat menetralisir radikal bebas penyebab penuaan
dini dan pemicu aneka penyakit degeneratif seperti kanker (Ginting dkk., 2006). Variasi dari
pengolahan ubi jalar ungu ini telah banyak dikembangkan oleh masyarakat antara lain dalam
bentuk tepung, cake ubi, bakpau ubi, keripik ubi, es krim ubi, muffin ubi, stik ubi dan ulir-ulir ubi
jalar.
Mengingat fungsi dan manfaat ubi jalar serta kurang optimalnya pemanfaatan ubi jalar
sebagai sumber pangan, perlu dikembangkan teknologi pengolahan ubi jalar menjadi produk yang
332 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
digemari masyarakat. Salah satu makanan yang cukup digemari masyarakat adalah ulir ubi jalar.
Dengan memakai bahan dasar ubi jalar ungu yang berkualitas dan bergizi tinggi ini dalam
cemilan yang digemari masyarakat dengan campuran tepung terigu, tepung ketan, telur, vanili,
gula halus dan garam melalui beberapa tahap pengolahan seperti pengukusan, pencampuran
adonan, pencetakan ulir dan penggorengan. Adapun pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan
hasil olahan yang terbaik dan paling digemari konsumen/masyarakat.
BAHAN DAN METODA
Pengkajian dilakukan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Bengkulu dari bulan Mei - Desember tahun 2011. Parameter yang diamati
adalah uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk ulir ubi
jalar, dan analisis kimia berupa kadar air, kadar abu, protein, lemak karbohidrat. Rancangan
dalam kajian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan umur panen
(H-7, H0, dan H+7). Bahan baku ubi jalar yang digunakan adalah jenis ubi jalar yang berwarna
keunguan. Tahapan kegiatan meliputi pengambilan bahan baku dari Kabupaten Rejang Lebong
dengan tiga umur panen yang berbeda. Ho merupakan umur panen yang biasa dilakukan oleh
petani yaitu 100 hari. Bahan baku H-7 diambil pertama kemudian disimpan dilab pada suhu
kamar, kemudian 7 hari berikutnya diambil kembali bahan ubi jalar Ho dan disimpan dalam
keadaan yang sama dan 7 hari berikutnya lagi dimbil kembali bahan baku untuk Ho dan langsung
dilakukan pengolahan pembuatan ulir ubi jalar dan besoknya dilakukan uji organoleptik terhadap
produk sampel yang dibuat. Pembuatan produk berupa ulir-ubi jalar dilakukan dengan perlakuan
yang sama dan masing-masing sampel di ulang sebanyak 3 kali.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap produk
yang dihasilkan berdasarkan kriteria warna, rasa, aroma, tekstur/mouthfeel dan penampilan secara
keseluruhan produk dengan menggunakan uji hedonik dengan panelis agak terlatih sebanyak 25
orang karyawan di lingkungan BPTP Bengkulu. Pengujian dilakukan satu persatu atau secara
bersamaan dengan tanpa melakukan pembandingan antar sampel akan tetapi merupakan respon
spontan terhadap kesukaan dari produk yang diuji. Skor kesukaan panelis meliputi 7 kisaran skala
yakni skala 1 (sangat tidak suka), skala 2 (tidak suka), skala 3 (agak tidak suka), skala 4 (netral),
skala 5 (agak suka), skala 6 (suka), dan skala 7 (sangat suka). Contoh uji hedonik disajikan secara
acak dan dalam memberikan penilaian, panelis tidak boleh mengulang-ulang penilaian atau
membanding-bandingkan contoh yang disajikan. Selanjutnya dianalisis menggunakan statistik
non parametrik uji Kruskal-Wallis. Apabila terdapat perbedaan maka dilakukan uji tukey sebagai
uji lanjutannya dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) (Yitnosumarto, 1993).
Analisis karakter kimia produk mengacu pada metode AOAC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pembuatan Ulir Ubi Jalar
Proses pembuatan cemilan ulir ubi jalar (Gambar 1), diawali dengan pembuatan
pasta ubi jalar. Pasta dibuat dengan menggunakan ubi jalar ungu yang sudah dikupas
serta dikukus sebanyak 300 gram yang dicampur dengan telur sebanyak 3 butir dan di
blender sampai menjadi pasta. Selanjutnya bahan-bahan tambahan seperti tepung terigu
sebanyak 100 gram, tepung ketan sebanyak 200 gram, vanili ½ sendok teh, garam
sebanyak ½ sendok teh, gula halus 20 gram dan dicampur dengan pasta ubi jalar sambil
diaduk sampai merata ditambahkan mentegasebanyak 3 sendok makan. Setelah adonan
rata kemudian dicetak berbentuk ulir dengan alat concerto lalu di goreng sampai matang.
333 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Gambar 1. Diagram alir pembuatan cemilan ulir ubi jalar.
Hasil Uji Organoleptik Terhadap Sampel Ulir ubi jalar
Uji kesukaan atau uji hedonik merupakan uji tentang tanggapan secara pribadi panelis
tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk, yang biasa dikemukakan dalam
bentuk tingkat-tingkat kesukaan atau skala hedonik (Soekarto, 1985). Pada penilaian untuk uji
organoleptik ini diperlukan panelis. Panelis yang digunakan pada uji organoleptik ini terdiri dari
25 orang karyawan BPTP Bengkulu yang merupakan panelis agak terlatih, yaitu panelis dimana
anggotanya bukan merupakan hasil seleksi tetapi umumnya terdiri dari individu-individu yang
secara spontan mau bertindak sebagai penguji dan sudah pernah melakukan hal serupa
sebelumnya.
Uji kesukaan ini bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap cemilan ulir
ubi jalar yang dibuat dengan komposisi 300 gram ubi jalar ungu, telur 3 butir, tepung terigu 100
gram, tepung ketan 200 gram, vanili ½ sendok teh, garam ½ sendok teh, gula halus 20 gram dan
mentega 3 sendok makan. Pengujian organoleptik pada penelitian ini digunakan skala hedonik
(sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka, netral, agak suka, suka, sangat suka) pada setiap
sampel cemilan ulir ubi jalar.
Tabel 1. menyajikan hasil analisis organoleptik ulir ubi jalar, dengan mutu organoleptik
yang dinilai adalah warna, aroma, kerenyahan, rasa, dan penampilan produk ulir ubi jalar secara
Ubi Jalar
Pasta Ubi Jalar
Tepung Terigu Tepung
Ketan
Vanili
Cemilan Ulir Ubi jalar
Gula Halus
Garam
Mentega
Pengupasan
Pencucian
Penirisan
Pengukusan
Penghancuran + Telur
Diaduk Hingga Merata
Dicetak dalam bentuk ulir
Digoreng
Pengemasan
Ditiriskan
334 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
keseluruhan. Adapun rekapitulasi data hasil uji organoleptik terhadap sampel ulir ubi jalar dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Preferensi konsumen terhadap sampel ulir ubi jalar dengan tiga perlakuan umur panen
di BPTP Bengkulu tahun 2011.
Perlakuan Sifat Organoleptik
Warna Aroma Rasa Kerenyahan Penampilan Keseluruhan
Panen H-7 4,4 5,4 5,9 4,8 5,0
Panen H 0 4,5 5,3 5,5 4,7 5,1
Panen H+7 4,5 5,5 5,6 4,8 5,0
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2011).
Hasil analisa dengan metode Kruskall-wallis terhadap variabel organoleptik ulir ubi
jalar tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap warna, aroma, rasa, kerenyahan dan
penampilan secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Asymp.Sig. > 0,05 atau Hhitung
yang lebih kecil dari pada Htabel (Hhitung < Htabel).
Tabel 2. Hasil analisis statistik uji organoleptik ulir ubi jalar pada Lab. Pascapanen BPTP
Bengkulu Tahun 2011.
Warna Aroma Rasa Kerenyahan Keseluruhan Total
Chi-Square 0,161 1,625 2.473 0,127 0,164 0,867
Df 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000
Asymp. Sig. 0,923 0,444 0,290 0,939 0,921 0,648
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor
diantaranya citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya, disamping sifat mikrobiologisnya. Tetapi
sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan
kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 2002). Menurut Kartika dkk. (1998), faktor warna
merupakan salah satu atribut kualitas yang paling penting dalam industri pengolahan makanan
dan minuman, karena warna dapat mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen walaupun warna
kurang berhubungan dengan nilai gizi, bau maupun nilai fungsional lainnya.
Menurut Nelson & Trout (1951) dalam Setianawati dkk. (2002), warna suatu produk
biasanya lebih menarik perhatian dibandingkan rasanya karena warna paling cepat dan mudah
dalam memberikan kesan suatu produk. Pada produk ulir ubi jalar dan sejenisnya warna harus
menarik dan menyenangkan konsumen, seragam dan tipikal mewakili citarasa yang ditimbulkan.
Gambar 2. Grafik preferensi konsumen terhadap ulir ubi jalar dengan tiga perlakuan umur panen.
Dari grafik diatas dapat kita lihat bahwa secara umum warna dari produk yang
dihasilkan tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena dalam rentang waktu kurang dan lebih dari
seminggu umur panen ubi jalar masih termasuk dalam rentang umur panen yang wajar. Umur
panen yang digunakan yaki umur panen yang biasa dilakukan oleh petani yakni 100 hari Tetapi
jika dilihat dari grafik untuk bahan ubi jalar yang umur panennya lebih lama yakni H0 dan H+7
lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan umur panen H-7, dengan nilai rata-rata 4,5
335 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Sementara aroma (bau-bauan) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan mutu.
Pengujian terhadap aroma dapat dipakai sebagai kriteria dapat diterima atau tidaknya suatu
produk untuk dipasarkan. Menurut Kartika dkk. (1998) dalam pengujian inderawi, aroma lebih
kompleks dan lebih sulit dinilai dibandingkan dengan rasa. Aroma dapat diamati baik dengan
cara membran, dimana rangsangan akan diterima oleh bagian atas rongga hidung. Selain itu,
dapat juga lewat mulut bagi yang sukar mengamati lewat hidung.
Dari rataan hasil uji organoleptik yang dilakukan, dapat kita lihat bahwa bahan yang
menggunakan ubi jalar dengan umur panen lebih tua yakni H+7 lebih disukai oleh konsumen
walaupun tidak begitu signifikan dengan menggunakan bahan umur panen H0 dan H-7. Hal ini
diduga kerena produk olahan ubi jalar tidak terlalu dipengaruhi oleh umur panen bahan baku
melainkan bahan campuran yang diberikan dalam penelitian ini yang digunakan yaitu panili.
Sama hal nya dengan warna dan aroma, hasil uji organoleptik terhadap rasa juga tidak
memberikan pengaruh yang nyata. Tetapi jika dilihat dari grafik diatas, hasil uji organoleptik
terhadap rasa ulir ubi jalar dengan umur panen H-7 lebih disukai konsumen dibandingkan dengan
umur panen H0 dan H+7 walaupun tidak begitu signifikan. Menurut Soekarto (1985), rasa
merupakan campuran tanggapan cicip, bau dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain
seperti penglihatan, sentuhan, dan pendengaran yang menimbulkan sugesti kejiwaan terhadap
makanan yang menentukan nilai pemuas bagi orang yang memakannya. Menurut Winarno
(2002), rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu,
konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Sementara Padaga dan Manik (2005)
menyatakan rasa sangat mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap ulir ubi jalar, bahkan dapat
dikatakan merupakan faktor penentu utama. Saat ini, rasa ulir ubi jalar di pasaran sudah sangat
beragam sehingga diperlukan kejelian dan kreativitas untuk memadupadankan rasa yang menjadi
kegemaran konsumen. Rasa ulir ubi jalar juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti bahan
pengental yang dapat mengurangi rasa manis gula dan perubahan tekstur yang dapat mengubah
cita rasa ulir ubi jalar.
Untuk tekstur/ kerenyahan produk yang dihasilkan, ulir ubi jalar dengan umur panen H-
7 dan H+7 mendapat penilaian tertinggi dengan skor 4,8 dan tidak berbeda secara signifikan
terhadap ulir dengan bahan ubi jalar yang dipanen pada umur H0 yakni 4,7. Menurut Syarif dan
Anis (1988), tekstur dari bahan hasil pertanian biasanya dihubungkan dengan “kesan mulut” bila
bahan tersebut dikunyah setelah dimasak, yaitu dinyatakan sebagai “mealy” atau rasa tepung,
“gritty” atau “sandy” (rasa berpasir) dan “sticky” (pulen).
Pengaruh bahan baku teradap tingkat kesukaan konsumen adalah penilaian konsumen
terhadap sampel ulir ubi jalar secara umum. Total penerimaan adalah penilaian hedonik panelis
secara umum atau keseluruhan terhadap seluruh parameter organoleptik, yang meliputi warna,
aroma, rasa, dan mouthfeel ulir ubi jalar, yang bertujuan untuk mengetahui secara umum kadar
perbandingan yang paling disukai panelis terhadap sampel ulir ubi jalar.
Menurut Kartika dkk. (1998), dalam penelitian terhadap pangan, sifat pertama kali yang
menentukan diterima atau ditolaknya bahan pangan tersebut oleh pemakai adalah sifat-sifat
inderawi yang dimilikinya. Sementara menurut Soekarto (1985), penerimaan umum adalah
penilaian secara keseluruhan terhadap produk yang berkaitan dengan tingkat kesukaan dan bukan
mengukur penerimaan terhadap sifat sensorik tertentu.
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa secara keseluruhan preferensi konsumen
terhadap ulir ubi jalar dengan umur panen H-7, H0 dan H+7 tidak berbeda dengan skor penilaian
rata-rata 5,0.dan 5,1.
Hasil Uji Kimia Terhadap Sampel Ulir Ubi Jalar
Pada tahap ini dilakukan analisa kimia terhadap kontrol. Adapun analisa kimia yang
diuji meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat. Komposisi hasil uji kimia ulir ubi jalar
dapat dilihat pada Tabel 3.
Dari hasil uji proksimat terhadap sampel ulir ubi jalar dengan uji laboratorium terhadap
kadar protein, lemak dan karbohidrat produk yang dihasilkan terjadi peningkatan kadar protein,
lemak dan karbohidrat yang terkandung tetapi masih berada pada standar mutu yang telah
ditetapkan SII. Peningkatan ini duduga karena penambahan bahan lain seperti tepung, telur dll
336 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Komposisi kimia ulir ubi jalar.
No Zat Kimia Ulir ubi jalar (%)
1. Kadar Air 8,41
2. Kadar Abu 4,08
3. Kadar Protein 9,40
4. Kadar Lemak 2,01
5. Kadar Karbohidrat 70,78
KESIMPULAN
1. Umur panen ubi jalar tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan
konsumen terhadap produk olahan ulir ubi jalar.
2. Hasil uji kimia laboratorium terhadap sampel ulir ubi jalar meliputi kandungan kadar air,
kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat masih dalam batas standar mutu yang telah
ditetapkan SII untuk makanan ringan
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemists.
Association of Official Analytical Chemist, Washington D.C.
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka Tahun 2011. Biro Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H.Fleet and M. Wooton. 1987. Food Science. Australian Vice
Chancelors’committee. Diterjemahkan oleh Purnomo, H dan Adiono. 1985. Ilmu Pangan.
Universitas Indonesia. Jakarta
Djaafar, T. F. dan Gardjito, M. 2008. Pemanfaatan Dua Varietas Ubi Jalar Ungu (Ipomea
batatas L.) pada Pembuatan Es Puter dan Karakteristik Es Puter. Buletin Teknologi Pasca
Panen Pertanian. Vol. 1 : 2008. IPB> Bogor. ;1-8.
Faridah, A., Asmar Y dan Liswarti Y. 2008. Pattiseri JILID 3 SMK. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional 2008. Jakarta
Ginting E., Antarlina S.S., Utomo S.J dan Ratnaningsi. 2006. Teknologi Pascapanen Ubi Jalar
Mendukung Diversifikasi Pangan dan Pengembangan Agroindustri. Buletin Palawija No. 11
Hadiwerdoyo, Harinowo. 2009. Angka Pertumbuhan dan Prospek Bisnis 2009.
http://economyokezone.com/index.php/ReadStory/2009/03/02/279/197453/angka-
pertumbuhan-dan prospek-bisnis-2009 Senin, 2 Maret 2009.
Kartika, B., Adi D.K., Didik P., dan Dyah I. 1998. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil
Pertanian.. UGM. Yogyakarta
Muchtadi, T.R.. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi.
IPB: Bogor.
Muljoharjo, M.1987. Dasar-Dasar Pengolahan Hasil Pertanian. Jilid 1. PAU pangan dan Gizi
UGM: Yogyakata
Syarif, R. dan Anis I. 1988. Pengetahuan Bahan Pangan Untuk Industri Pertanian. Penerbit PT.
Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Penerbit Bhatara Karya Aksara. Yogyakarta
Wibowo, Tinawaty. 1992. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Terhadap Mutu
Velva Fruit Jambu Biji. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta
Yitnosumarto, Suntoyo. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interprestasinya. Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Zar, J.H. 1984. Biostatical Analysis Second Edition. Department of Biologycal Sciences.
Northern Illonois University. Prentice-Hall Internati
337 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN KEMASAN
DALAM DISTRIBUSI JERUK SIAM (Citrus nobilis)
Edi Tando1, Mansur2 dan Taufik Hidayat3
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2Loka Penelitian Penyakit Tungro
3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Di Sulawesi Tenggara, jeruk siam (Citrus Nobilis) merupakan salah satu jenis jeruk yang dibudidayakan
selain jeruk keprok. Namun demikian penanganan pasca panen buah jeruk siam pada saat panen raya belum ditangani
dengan baik, menyebabkan harga yang diperoleh petani sangat rendah. Pengemasan merupakan salah satu bentuk
penanganan pasca panen pada buah-buahan, dilakukan untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-
kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
efisiensi kemasan dalam distribusi buah jeruk siam (Citrus Nobilis). Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember
2010 di Kabupaten Konawe Selatan. Buah jeruk siam di panen pada tingkat kematangan 50 - 75 %, kemudian di kemas
pada kemasan kardus tanpa sekat, kemasan kardus dengan sekat serta kemasan papan/kayu tanpa sekat, selanjutnya di
angkut menggunakan kendaraan roda empat ke Kota Kendari. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan
diinterpretasikan secara deskriftif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kemasan kardus dengan sekat
dapat menekan kerusakan jeruk siam dalam distribusi yaitu 4,37%, kemasan papan/kayu tanpa sekat yaitu 5,68 % dan
kemasan kardus tanpa sekat yaitu 14,84%. Pemilihan kemasan yang digunakan perlu mempertimbangkan efisiensi
biaya.
Kata kunci : Pengemasan, distribusi, jeruk siam
PENDAHULUAN
Di Sulawesi Tenggara, jeruk siam (Citrus Nobilis) merupakan salah satu jenis jeruk
yang dibudidayakan selain jeruk keprok, namun demikian penanganan pasca panen buah jeruk
siem pada saat panen raya belum ditangani dengan baik, menyebabkan harga yang diperoleh
petani sangat rendah (Taufiq, 2011). Melimpahnya hasil panen jeruk siam setiap tahun di tingkat
petani, selain disebabkan penerapan teknologi pra panen dan pasca panen masih sederhana, juga
masih terkendala terbatasnya sarana dan prasarana pendukung, seperti jalan yang rusak saat
musim hujan serta alat transportasi kurang memadai.
Penanganan pasca panen bertujuan agar hasil panen dalam kondisi baik dan sesuai atau
tepat untuk dapat segera dikonsumsi maupun untuk bahan baku pengolahan, penanganan pasca
panen yang baik akan menekan kehilangan (losses) baik dalam kualitas maupun kuantitas
(Mutiarawati, 2007). Pengemasan merupakan salah satu bentuk penanganan pasca panen pada
buah-buahan, dilakukan untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan,
sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Buah yang diangkut dapat di kemas
menggunakan bahan kemasan yang bervariasi seperti kardus, papan/peti kayu, kertas, plastik,
gelas, logam, fiber, bambu, karung goni, tray dari stirofoam dan plastik film dan lain - lain
(Julianti, 2006). Pengemasan buah dengan menggunakan karton atau besek dalam bentuk salak
pipil atau tandan dapat memperpanjang masa simpan buah selama 12 hari (Trisnawaty, 2010)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi penggunaan kemasan dalam
distribusi buah jeruk siam (Citrus Nobilis).
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2010 di Kabupaten Konawe Selatan.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk siam di panen pada tingkat
kematangan 50 - 75 %. Alat - alat yang digunakan meliputi : 2 (dua) kemasan yaitu 1). Kemasan
kardus, terdiri dari 3 (tiga) kardus yang tidak bersekat dan 3 (tiga) kardus yang bersekat dengan
ukuran p x l x t (50 cm, 25,5 cm, 26 cm), 2). Kemasan papan/kayu tanpa sekat 3 (tiga), dengan
ukuran p x l x t (51 cm, 37 cm, 32 cm), alat ukur dan alat tulis menulis. Pada dinding kemasan
kardus yang bersekat dan tidak bersekat serta kemasan papan/kayu tanpa sekat diberi lubang
338 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
ventilasi, sementara pada tiap kemasan terisi buah jeruk siam sesuai kapasitas masing - masing
kemasan. Kemudian di angkut menggunakan kendaraan roda empat ke Kota Kendari sebagai
tujuan.
Parameter yang diamati yaitu 1) Jumlah jeruk siam yang baik dan rusak dalam distribusi
dan 2) Persentase kerusakan jeruk siam dalam distribusi. Data yang diperoleh dalam pengamatan
disajikan dalam bentuk tabel dan diinterpretasikan secara deskriftif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi buah jeruk siam saat distribusi menggunakan kemasan kardus
Kondisi buah jeruk siam saat distribusi menggunakan kemasan kardus, disajikan pada
Tabel 1 memperlihatkan bahwa saat distribusi buah jeruk siam menggunakan kemasan kardus,
jumlah buah jeruk siam yang mengalami kerusakan terbesar terdapat pada kemasan kardus tanpa
sekat yaitu 54 atau 14,84% dari jumlah keseluruhan buah pada 3 (tiga) kemasan kardus tanpa
sekat, sementara jumlah buah jeruk siam yang mengalami kerusakan terkecil terdapat pada
kemasan kardus yang bersekat yaitu 10 atau 4,37% dari jumlah keseluruhan buah pada 3 (tiga)
kemasan kardus dengan sekat.
Banyaknya buah jeruk siam yang mengalami kerusakan pada kemasan kardus tanpa
sekat yaitu 54 atau 14,84%, disebabkan oleh adanya benturan atau gesekan antar buah jeruk siam
dalam kemasan, sebagai akibat dari kondisi jalan yang rusak saat distribusi ke tujuan. Selama
proses distribusi/transportasi buah sangat rentan terhadap kerusakan fisik akibat guncangan,
gesekan, benturan ataupun tekanan akibat beban yang berlebihan (Broto, 2003). Kerusakan fisik
seperti memar dan luka pada buah dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih serius, yaitu
penurunan kualitas buah secara kimiawi maupun mikrobiologis, buah yang mengalami luka fisik,
selain tampilannya menjadi kurang baik, juga akan memicu terjadinya pembusukan (Qanitah,
2011).
Tabel 1. Kondisi Bauh Jeruk Siam Saat Distribusi Menggunakan Kemasan Kardus.
Kemasan ke Kemasan kardus tanpa sekat Kemasan kardus dengan sekat
Buah Baik Buah Rusak Buah Baik BuahRusak
1 107 17 75 1
2 112 21 73 5
3 91 16 71 4
Jumlah 310 54 219 10
Persentase (%) 85,16 14,84 95,63 4,37
Kerusakan buah jeruk siam terkecil nampak pada buah jeruk siam pada kemasan
dengan sekat yaitu 10 atau 4,37%, disebabkan oleh kurangnya benturan atau gesekan antar
buah jeruk dalam kemasan, meskipun kondisi jalan yang rusak saat distribusi ke tujuan. Kemasan
memiliki peran penting, antara lain untuk meningkatkan tampilan produk, membantu mencegah
atau mengurangi kerusakan serta melindungi buah dari cemaran dan gangguan fisik lainnya.
Kemasan juga berfungsi memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan meningkatkan efisiensi
distribusi, namun kemasan yang baik bukan hanya dapat meminimalkan kerusakan dan
mempertahankan mutu buah, tetapi juga dapat menekan biaya transportasi dan distribusi sehingga
mengurangi biaya yang ditanggung produsen (Qanitah, 2011).
Menurut Mutiarawati (2007) bahwa keuntungan dari pengemasan yang baik adalah 1)
Dapat melindungi komoditas dari kerusakan mekanis, pengaruh lingkungan, kotoran dan
kehilangan, 2) Memudahkan penanganan, 3) Meningkatkan pelayanan dalam pemasaran dan 4)
Mengurangi atau menekan biaya transportasi/ tata niaga.
Kondisi buah jeruk siam saat distribusi menggunakan kemasan papan tanpa sekat
Kondisi buah jeruk siam saat distribusi menggunakan kemasan papan/kayu tanpa sekat
disajikan pada Tabel 2 memperlhatkan bahwa dalam distribusi buah jeruk siam menggunakan
339 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
kemasan papan/kayu tanpa sekat, jumlah buah jeruk siam yang mengalami kerusakan yaitu 13
atau 5,68% dari jumlah keseluruhan buah pada 3 (tiga) kemasan papan/kayu tanpa sekat.
Tabel 2. Kondisi Buah Jeruk Siam Saat Distribusi Menggunakan Kemasan Papan/Kayu Tanpa
Sekat.
Kemasan ke Kemasan Papan/Kayu Tanpa Sekat
Buah Baik Buah Rusak
1 75 1
2 72 5
3 68 7
Jumlah 216 13
Persentaser (%) 94,32 5,68
Berdasarkan Tabel 2, Penyebab kerusakan buah jeruk siam pada kemasan papan/kayu
tanpa sekat, disebabkan adanya getaran, gesekan dan benturan-benturan mekanis selama proses
distribusi dari lokasi petani ke Kota Kendari sebagai tujuan. Menurut Winarno (1990) faktor
mekanis yang dapat merusak bahan-bahan hasil pertanian segar dan bahan pangan olahan yaitu
vibrasi (getaran) yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bahan atau kemasan selama dalam
perjalanan atau distribusi dan stress atau tekanan fisik menyebabkan kerusakan yang diakibatkan
adanya gesekan.
Salah satu penyebab kerusakan bahan pangan termasuk buah - buahan yaitu adanya
kerusakan mekanis yang disebabkan adanya benturan-benturan mekanis, kerusakan ini dapat
terjadi pada benturan antar bahan, waktu dipanen dengan alat, selama pengangkutan (tertindih
atau tertekan) maupun terjatuh, sehingga mengalami bentuk atau cacat berupa memar (Susiwi,
2009). Selanjutnya kerusakan hasil pertanian dapat disebabkan oleh adanya (1) kerusakan
fisiologis, yaitu perubahan yang terjadi karena proses fisiologis (hidup) yang terlihat sebagai
perubahan fisiknya (warna, bentuk, ukuran, kelunakan, rasa, aroma, dan peningkatan zat – zat
tertentu, (2) adanya perubahan mekanis (disebabkan benturan, gesekan, tekanan, tusukan, baik
antar hasil pertanian maupun dengan benda lain dan (3) adanya proses biologis (kerusakan yang
terjadi karena proses biologis yang terjadi dalam produk hasil pertanian itu sendiri atau karena
adanya pengaruh dari luar (Winarno, 1981).
Jika dibandingkan dengan persentase kerusakan buah jeruk siam pada kemasan kardus
tanpa sekat yaitu 14,84%, maka jumlah kerusakan buah jeruk siam pada kemasan papan/kayu
tanpa sekat lebih kecil yaitu 5,68%. Hal ini kemungkinan disebabkan penggunaan kemasan
papan/kayu tanpa sekat dapat memberikan perlindungan mekanis yang baik terhadap buah jeruk
siam, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan buah saat didistribusikan ke
tujuan meskipun kondisi jalan yang dilalui rusak. Lebih lanjut Syarief (1989) menyatakan bahwa
papan/kayu digunakan untuk mengemas berbagai macam produk pangan padat dan cair seperti
buah-buahan dan sayuran, kelebihan kemasan kayu adalah memberikan perlindungan mekanis
yang baik terhadap bahan yang di kemas, karakteristik tumpukan yang baik dan mempunyai rasio
kompresi daya tarik terhadap berat yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penggunaan kemasan kardus dengan sekat dapat menekan kerusakan buah jeruk siam saat
distribusi yaitu 3,47 %.
2. Pemilihan kemasan yang digunakan perlu mempertimbangkan efisiensi biaya.
S a r a n
Dalam upaya mempertahankan mutu dan menekan kerusakan produk hasil pertanian (buah-
buhan), maka sebelum dilakukan pengiriman/distribusi ke tujuan perlu memperhatikan jenis
kemasan.
340 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Julianti, E. 2006. Teknologi Pengemasan. Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian. Disampaikan pada Workshop
Pemandu Lapangan 1 (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (SL-PPHP). Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Qanytah dan Indrie Ambarsari, 2011. Efisiensi Penggunaan Kemasan Kardus Distribusi Mangga
Arumanis. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 30 Nomor
1. Balai Besar P2TP Bogor. Bogor.
Taufik, R. 2011. Demonstrasi Teknologi Pasca Panen Jeruk Siam di Lokasi FEATI. Laporan
Akhir Kegiatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara. Kendari.
Trisnawati, W. dan Rubyo. 2010. Pengaruh Penggunaan Kemasan dan Lama Penyimpanan
Terhadap Mutu Buah Salak Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar.
Susiwi, S. 2009. Kerusakan Pangan. Skripsi. Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas Pendidikan
Indonesia. Jakarta.
Syarief, R., S. Santausa dam St. Ismayana, B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
Winarno, F.G. 1981. Fisiology Lepas Panen. Penerbit PT. Sastra Hudaya. Jakarta.
Winarno, F.G. 1990. Migrasi Monomer Plastik Ke Dalam Makanan, dalam S. Fardiaz dan D.
Fardiaz (ed), Risalah Pengemasan dan Transportasi dalam Menunjang Pengembangan
Industry, Distribusi Dalam Negeri dan Ekspor Pangan. Jakarta.
341 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PERSEPSI PETANI TERHADAP PEMANFAATAN
ALAT MESIN PERTANIAN VACCUM FRYING DALAM
PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN
Wilda Mikasari dan Alfayanti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
ABSTRAK
Pengembangan inovasi teknologi alat mesin pertanian merupakan salah satu unsur yang paling strategis
dalam menghadapi berbagai perubahan dan permasalahan yang kian komplek di masa yang akan datang. Dalam
memahami suatu inovasi teknologi baru petani biasanya akan melalui suatu proses persepsi sebelum mengadopsi
inovasi baru tersebut. Perubahan persepsi petani menjadi lebih baik merupakan upaya yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan diseminasi inovasi dan dapat dijadikan indikator adopsi inovasi yang didiseminasikan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying dalam pengolahan hasil pertanian
sebelum dan sesudah dilaksanakannya kegiatan pelatihan pemanfaatan vaccum frying. Data yang diambil terdiri dari
data primer meliputi karakteristik petani dan persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying untuk pengolahan
hasil pertanian. Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying diukur dengan menggunakan skala dengan skor 1
(sangat tidak setuju) sampai skor 5 (sangat setuju) dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval
kelas dengan kriteria sangat buruk (skor 1,00 -1,80); buruk (skor 1,81-2,60); cukup baik (2,61-3,40); baik (skor 3,41-
4,20) dan sangat baik (skor 4,21-5,00) sedangkan pengaruh pelatihan teknis terhadap persepsi petani dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Wilcoxon Matched Pairs Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap
pemanfaatan vaccum frying meningkat dari nilai rata-rata skor 3,27 (kriteria cukup baik) pada saat sebelum mengikuti
pelatihan menjadi 3,68 (kriteria baik) setelah mengikuti pelatihan sedangkan pelatihan teknis berpengaruh signifikan
terhadap persepsi petani ditunjukkan dengan nilai z hitung (-5,35) lebih besar dari nilai z tabel (1,96).
Kata kunci: hasil pertanian, pengolahan, persepsi, teknologi, vaccum frying
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian masa depan dihadapkan pada berbagai tantangan sebagai akibat
adanya pergeseran nilai dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tantangan lainnya adalah
pemenuhan kebutuhan pangan, persaingan dalam pasar global, rendahnya tingkat pengetahuan
dan kesejahteraan masyarakat pedesaan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan
produktivitas angkatan kerja pertanian serta optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumber
daya alam (Adi, 2002). Menghadapi berbagi tantangan tersebut perlu dilakukan perubahan
orientasi dari petani sebagai pelaku dari orientasi hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
menjadi berorientasi pada pasar. Paradigma pembangunan pertanian perlu difokuskan pada
pemberdayaan dan kemandirian petani melalui pembangunan agribisnis yang berdaya saing
sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing daerah (Adi, 2002).
Agro industri bisa menjadi salah satu alternatif dalam mewujudkan pemberdayaan dan
kemandirian petani. Tetapi pada kenyataannya dalam pengembangan agroindustri pertanian
terdapat beberapa kendala. Menurut Budiarto (2009) secara umum permasalahan yang dihadapi
dalam pengembangan agroindustri adalah: (a) sifat produk pertanian yang mudah rusak dan bulky
sehingga diperlukan teknologi pengemasan dan transportasi yang mampu mengatasi masalah
tersebut; (b) sebagian besar produk pertanian bersifat musiman dan sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim sehingga aspek kontinuitas produksi agroindustri menjadi tidak terjamin; (c)
kualitas produk pertanian dan agroindustri yang dihasilkan pada umumnya masih rendah
sehingga mengalami kesulitan dalam persaingan pasar baik didalam negeri maupun di pasar
internasional; dan (d) sebagian besar industri berskala kecil dengan teknologi yang rendah.
Salah satu permasalahan yang timbul akibat sifat karakteristik bahan baku agroindustri
dari pertanian adalah sifat produkny yang mudah rusak. Kelemahan petani dalam teknologi pasca
panen memerlukan inovasi teknologi yang mendukung keberhasilan petani dalam mendukung
keberhasilan usaha pertaniannya. Penerapan alat mesin pertanian atau biasa disingkat alsintan
bisa menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh petani. Salah satu alat mesin pertanian
yang dapat dimanfaatkan untuk pengolahan hasil pertanian yaitu mesin vaccum frying.Vaccum
Frying atau Mesin Penggorengan Vakum merupakan pembuatan makanan kering berbahan dasar
buah-buahan melalui teknologi penggorengan vakum. Alat ini berfungsi untuk menggoreng buah
342 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
dan sayuran, sehingga diperoleh hasil, antara lain, keripik nangka, salak, jamur dan sukun.
Menurut Suhaya (2012) keunggulan alat ini adalah: 1) dapat menjaga warna produk sesuai warna
aslinya dengan suhu rendah, 2) hasil produk menjadi lebih bagus, keripik tidak gosong, tetapi
tetap cerah seperti warna aslinya, 3) kecil kemungkinan terjadi oksidasi pada produk buah olahan
yang dihasilkan, 4) kandungan vitamin dari buah olahan tidak rusak, 5) dengan turunnya titik
didih menjadikan minyak memiliki umur pakai lebih lama hingga 60 kali penggorengan, 6) mesin
penggorengan tidak mudah terkena korosi sebab upa air yang dihasilkan dari peggorengan
dikondensasikan dan disedot keluar lewat pipa kapiler.
Kendala utama yang dimiliki oleh petani dalam menerapkan alsintan pasca panen
adalah kadang memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk membeli alsintan yang bersangkutan
sehingga memberatkan petani untuk mengeluarkan biaya. Penerapan alsintan pascapanen,
disamping membutuhkan investasi yang relatif mahal (ditinjau dari daya beli petani yang masih
rendah), juga memerlukan kemampuan pengelolaan yang memadai agar pihak penjual jasa
alsintan dan petani pengguna mendapatkan keuntungan (nilai tambah) yang wajar (Tastra, 2003).
Namun apabila petani mengetahui keuntungan yang dapat mereka peroleh dengan memanfaatkan
alsintan tersebut maka mereka akan berusaha untuk memperoleh alsintan tersebut. Karena itu
perlu dilakukan penyampaian informasi kepeda petani mengenai manfaat yang akan mereka
peroleh dengan memanfaatkan suatu alsintan. Kegiatan penyampaian informasi tersebut dapat
dilakukan dengan cara melakukan pelatihan teknis dimana petani diajak langsung untuk
mempraktekkan cara mengoperasikan alsintan yang dimaksud. Dengan demikian diharapkan
dapat merubah persepsi petani dalam memanfaatkan alsintan pasca panen sehingga proses adopsi
teknologi dapat terjadi.
Persepsi merupakan pengalaman belajar tentang objek peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Admin dkk,
2012). Persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor situasionalnya dan suatu
inovasi akan diadopsi oleh petani apabila petani mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi
tersebut (Rina dkk, 2008). Sehingga perlu diketahui persepsi petani terhadap pemanfaatan
vaccum frying dalam pengolahan hasil pertanian sebelum dan sesudah dilaksanakannya kegiatan
pelatihan teknis pemanfaatan vaccum frying dan mengetahui apakah ada pengaruh keikutsertaan
tersebut terhadap persepsi mereka.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai November tahun 2012 pada di
Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposive (sengaja) pada anggota kelompok tani penerima bantuan vaccum frying tahun
2012 dengan jumlah responden sebanyak 42 orang.
Pada penelitian ini dilaksanakan kegiatan pelatihan pembuatan keripik buah disertai
penjelasan teknis mengenai tata cara pemanfatan alsintan vaccum frying. Jenis buah yang
digunakan pada pelatihan disesuaikan dengan potensi buah yang dimiliki oleh masing-masing
kabupaten dimana di Kabupaten Rejang Lebong keripik yang dibuat adalah keripik pisang jantan
sedangkan di Kabupaten Bengkulu Utara keripik buah yang digunakan adalah mangga Bengkulu.
Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying dinilai dengan menggunakan daftar
pertanyaan terstruktur (kuesioner) dimana kuesioner yang sama diisi pada saat petani belum
mengikuti pelatihan dan sesudah mengikuti pelatihan.
Data yang diambil terdiri dari data primer meliputi karakteristik petani dan persepsi
petani terhadap pemanfaatan vaccum frying untuk pengolahan hasil pertanian. Persepsi petani
terhadap pemanfaatan vaccum frying diukur dengan menggunakan skala dengan skor 1 (sangat
tidak setuju) sampai skor 5 (sangat setuju) dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif
dan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval
kelas untuk masing-masing indikator adalah:
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
dimana: NR = Nilai Range PI = Panjang Interval NST = Nilai Skor Tertinggi
JIK = Jumlah Kelas Interval NSR = Nilai Skor Terendah
343 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying diukur dengan kriteria sangat
buruk (skor 1,00 -1,80); buruk (skor 1,81-2,60); cukup baik (2,61-3,40); baik (skor 3,41- 4,20)
dan sangat baik (skor 4,21-5,00).
Pengaruh pelatihan teknis terhadap persepsi petani dianalisis dengan menggunakan uji
statistik Wilcoxon Matched Pairs Test yaitu alat uji statistik yang digunakan untuk menguji
hipotesis komparatif (uji beda) bila datanya berskala ordinal (ranking) pada dua sampel
berhubungan. Sebuah sampel dikatakan berhubungan apabila dalam sebuah penelitian, peneliti
hanya menggunakan satu sampel namun diberi perlakuan lebih dari satu kali (Martono, 2010).
Rumus yang digunakan untuk menguji pengaruh pelatihan teknis terhadap persepsi petani adalah
(Sugiyono, 2011):
dimana: T = jumlah jenjang/rangking yang kecil
µT = n (n+1)
4
σT = n(n+1)(2n+1)
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden
Karakteristik petani dalam penelitian ini meliputi umur petani, pendidikan formal,
pengalaman usaha, jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan rumah tangga. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Petani peserta pelatihan rata-rata berumur 40,73 tahun
dengan dominasi petani berumur relatif lebih muda yaitu kelompok umur 37-54 tahun (40,48%)
dan paling sedikit pada usia lanjut yaitu kelompok umur 55-72 tahun (21,43%). Pada umumya
petani memiliki pendidikan yang cukup tinggi yaitu 9,93 tahun dengan dominasi pada kelompok
12-17 tahun (52,30%). Kondisi umur dan pendidikan petani ini cukup baik dalam upaya
menerima inovasi teknologi baru karena walaupun tidak menolak inovasi baru, petani dengan
usia lanjut dan berpendidikan rendah biasanya lebih sulit menerima inovasi teknologi baru dan
cenderung menekuni apa yang biasa dilakukan secara turu temurun (Wirdahayati, 2010).
Tabel 1. Karakteristik petani peserta pelatihan pemanfaatan vaccum frying dalam pengolahan
hasil pertanian tahun 2012.
No Karakteristik Kelompok Jumlah (orang) Persentase (%) Rata-rata
1. Umur (tahun) 19-36
37-54
55-72
16
17
9
38,09
40,48
21,43
40,73
2. Pendidikan formal
(tahun)
0- 5
6-11
12-17
3
17
22
7,14
40,48
52,38
9,93
3. Pengalaman usaha
(tahun)
0-11
12-23
24-35
35
6
1
83,34
14,28
2,38
5,91
4. Jumlah tanggungan
keluarga (jiwa)
0 - 2
3 - 5
6 - 8
5
35
2
11,90
83,34
4,76
3,32
5. Pendapatan rumah
tangga (Rp.000,-
/bulan)
400 - 2.700
2.800 - 5.100
5.200 - 7.500
32
8
2
76,20
19,04
4,76
2.160,700
Sumber: data primer diolah tahun 2012.
Z = T - µT
σT
344 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Keberhasilan seseorang dalam usahataninya tidak hanya ditunjang oleh faktor
pendidikan formal dan non formal saja, tetapi ada faktor lain yang mendukung dalam
keberhasilan tersebut yaitu pengalaman berusaha dalam kegiatan atau pekerjaan yang ia lakukan.
Pengalaman ini akan sangat membantu dalam mengambil keputusan yang akan dilakukan dalam
usahanya. Rata-rata pengalaman usaha responden adalah 5,91 tahun artinya responden cukup
berpengalaman dalam menjalankan kegiatannya.
Rata-rata jumlah anggota keluarga responden sebanyak 3,32 orang dengan pendapatan
rumah tangga rata-rata sebesar Rp 2.160.700,-/bulan. Jumlah tanggungan keluarga ini diambil
dari tanggungan yang dibebankan kepada petani seperti istri, anak, orang tua dan anggota
keluarga lain yang tidak memiliki pendapatan sendiri. Pendapatan responden ini lebih tinggi
dibandingkan dengan upah minimum regional Provinsi Bengkulu tahun 2010 yaitu sebesar Rp
780.000,- per bulan (BPS, 2011).
Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying
Secara umum, sebelum mengikuti pelatihan persepsi petani cukup baik terhadap
pemanfaatan vaccum frying dalam pengolahan hasil pertanian hal ini ditunjukkan oleh skor
persepsi sebesar 3,27 (Tabel 2). Umur yang relatif muda dan tingkat pendidikan petani yang
cukup tinggi dapat menjadi salah satu penyebab cukup baiknya persepsi. Semain muda umur
petani biasanya mempunyai semangat yang tinggi untuk mengetahui berbagai hal yang belum
diketahui (Soekartawi, 1988). Sehingga walaupun belum pernah melihat atau mengoperasikan
vaccum frying, petani telah berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai pemanfaatan
alsintan tersebut dari berbagai sumber informasi misalnya media elektronik.
Tabel 2. Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying dalam pengolahan hasil pertanian
sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan teknis.
No Pernyataan Skor persepsi petani
Sebelum Sesudah
1 Kemudahan memperoleh vaccum frying di pasaran 1,69 1,97
2 Kemampuan membeli vaccum frying dengan modal milik sendiri 2,04 2,47
3 Keyakinan dapat mengoperasikan vaccum frying dengan mudah 3,23 3,61
4 Pemanfaatan vaccum frying akan mengurangi jumlah tenaga kerja 3,88 4,00
5 Pemanfaatan vaccum frying akan memudahkan proses produksi 4,04 4,40
6 Pemanfaatan vaccum frying akan meningkatkan pendapatan usaha saya 3,92 4,59
7 Pmanfaatan vaccum frying menambah hasil produksi perproses produksi 3,97 4,42
8 Hasil olahan dengan menggunakan vaccum frying lebih enak 3,92 4,59
9 Harga jual hasil olahan bahan hasil pertanian dengan proses
penggorengan vaccum frying lebih mahal
3,78 4,21
10 Memasarkan hasil olahan bahan hasil pertanian dengan proses
penggorengan vaccum frying lebih mudah
3,71 3,95
Total 32,78 36,80
Rata-rata 3,27 3,68
Sumber: data primer diolah tahun 2012.
Secara umum setelah mengikuti pelatihan, terjadi peningkatan skor persepsi petani
terhadap pemanfaatan vaccum frying untuk semua item pernyataan sehingga peningkatan skor
persepsi petani dari 3,27 (kriteria cukup baik) menjadi 3,68 (kriteria baik). Secara psikologis,
persepsi individu petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh kemampuan
pemberian makna atau arti teknologi, pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan
tentang inovasi, kemampuan berfikir dan motivasi untuk belajar. Belajar adalah memperoleh serta
memperbaiki kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman
dan praktek (Van den Ban dan Hawkins, 2000). Ketika mengikuti pelatihan teknis, petani
melakukan proses belajar lebih dalam mengenai alsintan vaccum frying. Hal ini akan
menimbulkan proses psikologis, sehingga individu akan menyadari apa yang ia lihat, ia dengar
dan sebagainya.
Setelah adanya perubahan persepsi barulah petani akan memutuskan untuk mengadopsi
atau tidak inovasi teknologi tersebut. Menurut Austin (1981) dalam Budiarto (2009) kriteria
345 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan teknologi diantaranya adalah: (a) kebutuhan
kualitas (quality requirements), sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasar terutama yang
menyangkut kualitas karena preferensi konsumen sangat beragam, (b) kebutuhan pengolahan
(process requirements) karena setiap jenis alat pengolahan memiliki kemampuan tertentu untuk
mengolah suatu bahan baku menjadi berbagai bentuk produk. Semakin tinggi kemampuan suatu
alat untuk menghasilkan berbagai jenis produk, maka akan semakin kompleks jenis teknologinya
dan akan semakin mahal investasinya, (c) penggunaan kapasitas (capacity utilization),
disesuaikan dengan kapasitas yang akan digunakan tergantung dari ketersediaan dan kontinuitas
bahan baku, (d) kapasitas kemampuan manajemen (management capability), suatu pengelolaan
akan berjalan baik pada tahap awal karena besarnya kegiatan masih berada dalam cakupan
pengelolaan yang optimal (optimum management size).
Hasil analisis Wilcoxon Matched Pairs Test menunjukkan persepsi petani sebelum dan
sesudah mengikuti pelatihan terbagi menjadi tiga bagian yaitu lebih rendah sebanyak satu orang,
lebih tinggi sebanyak 37 orang dan sama sebanyak empat orang. Ranking tertinggi berada pada
ranking positif yaitu 37 orang dengan rata-rata 19,96 artinya setelah mengikuti pelatihan ada 37
orang petani yang persepsinya semakin baik terhadap pemanfaatan vaccum frying.
Tabel 3. Hasil Analisis Wilcoxon Matched Pairs Test persepsi petani terhadap pemanfaatan
vaccum frying dalam pengolahan hasil pertanian sebelum dan sesudah mengikuti
pelatihan teknis.
Persepsi Ranking Jumlah Rata-rata ranking Jumlah ranking hasil
Sesudah-sebelum Ranking Negatif 1a 2,50 2,50
Ranking positif 37b 19,96 738,50
Sama 4c
Total 42
Z -5,34
Keterangan: a. sesudah<sebelum b. Sesudah> sebelum c. sesudah=sebelum.
Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan teknis memberikan dampak yang positif terhadap
perubahan persepsi petani. Hal ini didukung oleh hasil uji statistik dimana nilai z hitung lebih
besar dibandingkan dengan nilai z tabel. Bila taraf kesalahan 0,025 (p) dengan nilai z tabel adalah
1,96 dan nilai z hitung (-5,35) artinya nilai z hitung lebih besar dari nilai z tabel (nilai – tidak
diperhitungkan karena merupakan nilai mutlak) sehingga dapat disimpulkan bahwa pelatihan
teknis berpengaruh signifikan terhadap persepsi petani dalam pemanfaatan vaccum frying untuk
pengolahan hasil pertanian.
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Persepsi petani terhadap pemanfaatan vaccum frying meningkat dari nilai rata-rata skor 3,27
(kriteria cukup baik) pada saat sebelum mengikuti pelatihan menjadi 3,68 (kriteria baik)
setelah mengikuti pelatihan
2. Pelatihan teknis berpengaruh signifikan terhadap persepsi petani ditunjukkan dengan hasil uji
statistik dimana nilai z hitung (-5,35) lebih besar dari nilai z tabel (1,96).
S a r a n
Dalam memperkenalkan inovasi teknologi terutama alsintan pasca panen perlu dilakukan
pelatihan teknis terhadap petani sehingga proses adopsi dapat berlangsung lebih cepat
dikarenakan adanya peningkatan persepsi yang lebih baik pada petani terhadap inovasi teknologi
yang diperkenalkan tersebut.
346 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
DAFTAR PUSTAKA
Adi,S.W. 2002. Hubungan Karakteristik Dan Perilak Komunikasi Petani Dengan Persepsinya
Terhadap Inovasi Teknologi Alat Mesin Pertanian: Kasus Inovasi Alat Mesin Pengolah
Ubi Kayu Pada Petani Lahan Perbukitan Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
http://resository.ib.ac.id. [12 November] 2012
Admin., I.A. Wicaksono dan Zulfanita. Persepsi Petani Tebu Terhadap Program Pengendalian
hama Terpadu. Surya Agritama. I (2) : 12-23
BPS Prov. Bengkulu. 2011. Bengkulu Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi
Bengkulu. Bengkulu.
Budiarto. 2009. Pemilihan Teknologi dalam Pengembangan Agro Industri Perdesaan. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Berbasis bahan Baku Lokal
Martono, N. 2010. Statistik Sosial Teori dan Aplikasi Program SPSS. Penerbit CV. Gava Media,
Yogyakarta.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang
OKU Timur. Skripsi Universitas Sriwijaya. Palembang.
Rina,Y., Noorginayuwati dan M. Noor. 2008. Persepsi Petani Tentang Lahan Gambut dan
Pengelolaannya. www.balittra.litbang.deptan.go.id. [20 November] 2012
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung.
Suhaya, D. 2012. Ketika Pasar Tidak Lagi Menyerap. http://dedesuhaya.multiply.com. [5 Juli ]
2012
Tastra, I.K. 2003. Strategi Penerapan Alsintan Pascapanen Tanaman Pangan Di Jawa Timur
dalam Memasuki AFTA 2003. Jurnal Litbang Pertanian.22 (3): 95-102
Van Den Ban dan Howkins. 2000. Penyuluhan Pertanian. Penerbit CV. Kanisius. Yogyakarta
Wirdahayati. 2010. Kajian Kelayakan dan Adopsi Teknologi Sapi Potong Mendukung Program
PSDS Kasus Jawa Timur dan Jawa Barat. Prosd. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
347 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
KAJIAN PENGARUH PENGEMASAN TERHADAP
UMUR SIMPAN BENIH PADI
Vivi Aryati1) dan Irma Calista Siagian2)
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara 2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Paddy productivity can be retained by the usage of standard quality seed. Similarly, the quality of seed can
be maintained by application of proper packaging technology and suitable storage facilities. This assessment aim to
evaluate the influence of hermetic packaging to quality paddy seed in storage. The assessment was carried out at Pasar
Miring Research Station, North Sumatra AIAT. The activity was started from May 2006 until Februari 2007 by using
IRRI Super Bag and polipropilen plastic. This assessment used Ciherang and Mekongga varieties with two factorial
randomize complete block design with three replications. The assessment result showed that after nine months of
storaged, the seed quality of Ciherang and Mekongga varieties had declined as shown by its germination performance.
This assessment output was no longer fulfill paddy seed quality standard according to SNI 01-6233.2-2003.
Key words: Packaging, paddy seed, hermetic, storage
PENDAHULUAN
Produksi padi Sumatera Utara selama periode 2000-2010 rata-rata mengalami
peningkatan 0,19% per tahun. Luas panen, produksi dan rata-rata produksi padi sawah Provinsi
Sumatera Utara pada tahun 2010 berturut-turut 702.308 Ha, 3.422.264 ton dan 48,73 Kw/Ha.
Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Serdang Bedagai dan Langkat merupakan sentra-sentra
produksi padi di Sumatera Utara (BPS Sumut, 2010).
Penyediaan benih padi yang baik dapat mempertahankan produktivitas padi, serta dapat
menjaga kesinambungan usahatani padi. Petani biasanya menggunakan benih padi dari gabah
hasil panen musim sebelumnya (save seed), membeli benih dari balai benih atau petani penangkar
benih padi.
Kesinambungan usahatani padi dapat terjaga apabila kualitas dan kuantitas produksi
tidak menurun bahkan cenderung meningkat. Kondisi ini dapat terwujud jika kualitas benih yang
digunakan juga baik. Faktor yang mempengaruhi baik tidaknya kualitas benih antara lain faktor
genetik dan faktor fisik/lingkungan (IRRI, 2003). Faktor fisik/lingkungan merupakan faktor yang
tidak mudah untuk dikendalikan, karena melibatkan kondisi eksternal dari benih padi. Salah satu
faktor eksternal tersebut adalah kondisi penyimpanan benih padi yang aman. Selama masa
penyimpanan, kadar air benih harus tetap terjaga pada kondisi standar, harus terlindungi dari
hama gudang/serangga, tikus dan burung serta hujan (IRRI, 2006). Oleh karena itu, penyimpanan
dan pengemasan menjadi salah satu faktor penting untuk mempertahankan kualitas benih padi.
Selama ini di tingkat petani umumnya benih disimpan dalam karung ukuran 40-50 kg
yang terbuat dari rami atau plastik anyam. Kadar air (KA) benih dalam kantung tersebut akan
berfluktuasi karena uap dalam udara yang secara bebas bergerak dalam kantung tersebut.
Kombinasi antara suhu tinggi dan kelembaban yang relatif tinggi akan mengarah pada infestasi
serangga dalam kantung meskipun benih dikeringkan dengan cara yang tepat sebelum disimpan.
Kantung-kantung tersebut biasanya ditumpuk di bawah atap atau di lumbung dan mungkin akan
membutuhkan penyemprotan periodik untuk mengendalikan serangga4. Dengan demikian, Benih
padi yang disimpan mengalami penurunan mutu sebanding dengan lama waktu penyimpanan.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi penyimpanan dan pengemasan benih padi yang tepat
sehingga umur simpannya lebih lama.
Penyimpanan/pengemasan hermetik (kedap udara) dapat mempertahankan mutu benih
padi dan mutu beras hasil penggilingan (Nugraha et al. 2005 dan Lubis et al. 2005). Dalam
penyimpanan/ pengemasan hermetik, oksigen yang ada dalam ruang penyimpanan/kemasan
makin lama makin berkurang sehingga aktivitas mikroba aerob maupun serangga dapat
ditekan/dikurangi (Diep Chan Ben, 2006). Saat ini IRRI telah menghasilkan pengemas hermetik
”Super Bag IRRI” yang telah diproduksi dan dipasarkan di Indonesia dengan nama ”Kantong
348 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Semar”. Adapun pengkajian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kemasan hermetik
terhadap mutu benih padi selama penyimpanan
BAHAN DAN METODA
Pengkajian ini dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Pasar Miring – BPTP Sumatera
Utara, Kabupaten Deli Serdang. Kegiatan dimulai dari bulan Mei 2008 sampai Februari 2009.
Bahan utama dalam pengkajian ini adalah benih padi dan plastik pengemas. Benih padi kelas FS
varietas Ciherang dan Mekongga tersedia di Gudang KP Pasar Miring, berasal dari petani
penangkar benih binaan KP Pasar Miring. Pengemas benih padi yang digunakan adalah pengemas
hermetik Super Bag IRRI, dan pengemas plastik biasa (Polipropilen/PP 0,8), serta karung plastik.
Kegiatan diawali dengan penyiapan ruang simpan benih padi, yaitu pembuatan palet
kayu dan pembersihan ruang. Kondisi ruang simpan benih padi harus kering/tidak lembab, udara
bersirkulasi dengan baik, dan bebas dari gangguan burung dan tikus. Ruang simpan dalam
pengkajian ini tidak difumigasi karena ruang tersebut sebelumnya belum pernah digunakan untuk
menyimpan benih padi atau beras sehingga dianggap aman dari hama gudang atau telurnya.
Benih padi yang digunakan dicari informasi atau deskripsinya seperti asal benih, waktu
tanam, cara tanam, hama penyakit yang menyerang sampai pengeringan. Benih padi yang
digunakan harus memenuhi persyaratan mutu benih padi menurut SNI 01-6233.2-200. Deskripsi
asal benih padi disajikan pada Tabel 1. Syarat mutu benih menurut SNI 01-6233.2-2003 (BSN,
2003) dapat dilihat pada Tabel 2 dan karakteristik awal mutu benih padi disajikan pada Tabel 3.
Kemudian dilakukan set up desain penyimpanan dan pengemasan benih.
Tabel 1. Deskripsi asal benih padi varietas Ciherang dan Mekongga Tahun 2008.
No Uraian Keterangan
1. Asal benih padi Benih padi bersertifikat produksi penangkar benih
binaan KP Pasar Miring, kelas FS/benih dasar
2. Asal benih induk Balitpa Sukamandi, kelas BS/benih penjenis
3. Benih ditanam 27 Oktober 2007
4. Hama yang pernah menyerang Lembing (kepinding tanah) saat vegetatif (umur 1 bln)
5. Penyakit yg pernah menyerang -
6. Sertifikasi benih dari UPT BPSB-IV Dinas Pertanian Pemprov. Sumut
7. Spesifikasi persyaratan mutu di lapang Pemeriksaan isolasi jarak min. 3 m
8. Gabah dipanen 11 Februari 2008
9. Jenis pengeringan Penjemuran dengan sinar matahari
Sumber: Data gudang penyimpanan KP. Pasar Miring, BPTP Sumatera Utara.
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu benih padi di laboratorium Tahun 2003.
No Karakteristik Persyaratan (%)
1 Kadar air Maksimum 13,0
2 Benih murni Minimum 99,0
3 Daya kecambah/daya tumbuh Minimum 80,0
4 Kotoran benih Maksimum 1,0
5 Biji benih tanaman lain 0,0
6 Biji gulma 0,0
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2003.
349 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Tabel 3. Karakteristik awal mutu benih padi varietas Ciherang dan Mekongga Tahun 2008.
No Karakteristik (%) Ciherang Mekongga
1 Kadar air 12,1 12,0
2 Benih murni 99,7 99,5
3 Benih varietas lain 0,0 0,0
4 Kotoran benih 0,3 0,5
5 Benih tanaman lain/rerumputan 0,0 0,0
6 Biji warna lain -- --
7 Daya tumbuh 91,0 92,0
8 Biji keras -- --
9 Penyakit -- --
Sumber: Data gudang penyimpanan KP. Pasar Miring, BPTP Sumatera Utara.
Cara pengemasan benih padi adalah sebagai berikut:
Pengemasan dengan Super Bag IRRI (Rickman dan Gummert, 2006):
a. Super Bag dimasukkan dalam karung plastik, Super Bag sebagai liner (dalaman).
b. Benih padi (Ciherang dan Mekongga) sebanyak 25 kg dimasukkan ke dalam Super Bag.
c. Udara dalam Super Bag diusahakan sekecil mungkin sebelum ditutup.
d. Super Bag ditutup, karung goninya juga ditutup.
e. Tiap Super Bag diberi tanggal (label) dan diletakkan di atas palet kayu.
Pengemasan dengan plastik Polipropilen (PP) :
a. Plastik PP dimasukan dalam karung plastik, plastik PP sebagai liner.
b. Benih padi (Ciherang dan Mekongga) sebanyak 25 kg dimasukkan ke dalam plastik PP.
c. Udara dalam plastik pengemas diusahakan sekecil mungkin sebelum ditutup.
d. Plastik PP ditutup, karung goninya juga ditutup.
e. Tiap plastik PP diberi tanggal (label) dan diletakkan di atas palet kayu.
Karung benih padi diletakkan di atas palet kayu, dan dinding ruang simpan dilapisi
dengan styrofoam. Hal ini dilakukan untuk menghindari kontak langsung benih padi dengan
lantai atau dinding ruang.
Pengamatan mutu benih dilakukan setiap tiga bulan sekali. Pengamatan mencakup
kadar air, benih murni, daya berkecambah, kotoran benih, biji tanaman lain, biji gulma, jumlah
serangga yang hidup dan mati. Desain penyimpanan benih padi disajikan pada Gambar 1.
Pengemasan dengan plastik PP Pengemasan dengan super bag IRRI
C C C C C C
M M M M M M
Pengamatan bulan ke - 3 Pengamatan bulan ke - 3
C C C C C C
M M M M M M
Pengamatan bulan ke - 6 Pengamatan bulan ke - 6
C C C C C C
M M M M M M
Pengamatan bulan ke - 9 Pengamatan bulan ke - 9
Gambar 1. Desain penyimpanan benih padi.
Keterangan : = karung berisi 25 kg benih padi
C = Ciherang
M = Mekongga
350 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data hasil pengujian mutu benih padi pada bulan ke nol disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Data hasil pengujian mutu laboratorium benih padi pada bulan ke nol penyimpanan,
tahun 2008.
No Karakteristik (%) Ciherang Mekongga
1 Kadar air 13,8 12,9
2 Benih murni 99,3 98,8
3 Daya berkecambah/ daya tumbuh 91,0 91,0
4 Kotoran benih 0,7 0,7
5 Biji tanaman lain 0,0 0,0
6 Biji gulma 0,0 0,0
7 Jumlah hama/serangga 0,0 0,0
Data mutu benih padi uji beda nyata dengan DMRT pada 3 bulan, 6 bulan dan 9 bulan
penyimpanan berturut-turut disajikan pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 5. Data mutu benih padi pada Tiga bulan penyimpanan Tahun 2008.
Perlakuan Daya Tumbuh*)
Kadar Air*)
Jumlah Hama*)
1. Super Bag IRRI
Ciherang 89,43a 13,87
ab 0,00
a
Mekongga 90,00a 13,07
ab 18,00
a
2. Plastik PP
Ciherang 91,00a 14,03
a 0,00
a
Mekongga 94,67a 12,93
b 20,90
a
Koofisien keragaman (%) 4,35 3,49 169,24
Keterangan : *) Angka selajur yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %
Tabel 6. Data mutu benih padi pada Enam bulan penyimpanan Tahun 2008.
Perlakuan Daya Tumbuh*)
Kadar Air*)
Jumlah Hama*)
1. Super Bag IRRI
Ciherang 89,67a 13,87
ab 0,00
c
Mekongga 51,67b 13,73
ab 57,89
a
2. Plastik PP
Ciherang 83,10a 14,43
a 1,11
c
Mekongga 88,30a 13,13
b 42,43
b
Koofisien keragaman (%) 6,25 2,94 27,55
Keterangan : *) Angka selajur yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %
Tabel 7. Data mutu benih padi pada Sembilan bulan penyimpanan Tahun 2008.
Perlakuan Daya Tumbuh*)
Kadar Air*)
Jumlah Hama*)
1. Super Bag IRRI
Ciherang 72,13a 14,20
a 66,17
b
Mekongga 1,90b 13,73
a 233,57
a
2. Plastik PP
Ciherang 60,43a 13,93
a 142,00
ab
Mekongga 83,67a 13,50
a 155,90
ab
Koofisien keragaman (%) 26,02 3,05 37,68
Keterangan : *) Angka selajur yang diikuti huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5 %
351 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Pembahasan
Benih padi varietas Ciherang dan Mekongga (Tabel 2 dan Tabel 3) yang digunakan
adalah benih dasar (FS) produksi penangkar benih padi binaan KP. Pasar Miring BPTP Sumatera
Utara, telah mendapatkan sertifikasi dari BPSB IV Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara. Benih padi dipanen pada tanggal 11 Februari 2008 dan lulus sertifikasi pada
tanggal 3 April 2008.
Ketika diuji mutunya pada awal Mei 2008 benih padi Ciherang dan Mekongga telah
mengalami peningkatan kadar air, terutama pada Ciherang dari sekitar 12,1% menjadi 13,8%.
Sehingga telah melebihi batas maksimum kadar air untuk benih padi (BSN, 2003). Namun
peningkatan kadar air tidak diikuti dengan penurunan daya tumbuhnya, daya tumbuh benih masih
bertahan pada 91%. Tingginya kadar air merupakan faktor yang paling mempengaruhi
menurunnya kualitas benih selama penyimpanan (Rickman, 2002) (Kawamura et al., 2004). Jika
kadar air dapat dipertahankan serendah mungkin, maka umur simpan benih padi dapat
dipertahankan lebih lama (Rickman, 2002) (Donahaye et al., 2011).
Peningkatan kadar air benih kemungkinan disebabkan oleh banyak dan lebarnya
lubang-lubang pada karung plastik pengemasnya, sehingga uap air yang dibawa udara bebas
masuk ke dalam benih padi. Peningkatan kadar air mungkin juga disebabkan oleh laju respirasi
benih dan serangga (Diep Chan Ben, 2006). Selain itu, kadar air juga dipengaruhi oleh
kelembaban (Thompson, 2002). Peningkatan kadar air benih dapat dikurangi dengan mengemas
benih padi dengan plastik, kemudian dibungkus lagi dengan karung plastik. Pengemas plastik
dapat mengurangi uap air yang masuk ke benih, sedangkan karung plastik melindungi pengemas
plastik dari gesekan dengan benda luar/lain selama pengangkutan. Untuk maksud inilah benih
padi dalam pengkajian ini disimpan menggunakan pengemas plastik, kemudian dibungkus lagi
dengan karung plastik.
Pada Tabel 5 (Data mutu benih pada tiga bulan penyimpanan) terlihat bahwa perlakuan
jenis pengemas terhadap kedua varietas tidak menunjukkan perbedaan baik daya tumbuh, kadar
air maupun jumlah hama/serangga, hanya pada perlakuan dengan menggunakan plastik PP
terdapat perbedaan kadar air pada kedua varietas, dimana kadar air varietas Mekongga lebih
rendah dibandingkan dengan Ciherang. Kondisi ini sesuai dengan kondisi pada pengamatan bulan
ke-nol dimana telah terjadi peningkatan kadar air pada varietas Ciherang sebesar 1,7%. Hama
yang menyerang adalah Sitophillus spp. dan Tribolium spp. Kedua hama tersebut merupakan
hama gudang primer pada gabah padi (menyerang bubuk/tepung beras) (Batta dan Abu Safieh,
2005). Persentase Sitophillus spp lebih tinggi dari Tribolium spp yaitu sebesar 90% dari
keseluruhan hama yang menyerang. Kemungkinan benih padi telah terinvestasi oleh telur hama
selama prosesing atau penyimpanan sementara, dan telur tersebut menetas ketika disimpan,
karena hama tidak dijumpai ketika diuji pada pengamatan bulan ke nol.
Pada Tabel 6 (Data mutu benih pada enam bulan penyimpanan) terlihat bahwa
perlakuan jenis pengemas terhadap kedua varietas memberikan pengaruh/perbedaan pada daya
tumbuh benih, yaitu daya tumbuh benih Ciherang yang dikemas dalam Super Bag IRRI memiliki
nilai yang lebih tinggi dari benih Mekongga. Sedangkan penggunaan plastik PP sebagai kemasan
tidak menunjukkan perbedaan terhadap kedua varietas. Pengamatan terhadap kadar air
menunjukkan hasil yang sama dengan hasil pada penyimpanan 3 bulan, yaitu terdapat perbedaan
pada kedua varietas dengan kemasan plastik PP. Perbedaan yang nyata juga terlihat pada jumlah
hama/serangga yang terdapat varietas Ciherang dan Mekongga dalam kedua bahan pengemas.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa varietas Mekongga lebih rentan terhadap hama gudang,
baik dikemas dalam Super Bag maupun dalam plastik PP.
Pada Tabel 7 (Data mutu benih pada sembilan bulan penyimpanan) terlihat bahwa daya
tumbuh dan jumlah hama/serangga kedua varietas pada pengemas Super Bag IRRI berbeda nyata.
Daya tumbuh varietas Ciherang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Mekongga. Sedangkan
jumlah hama pada varietas Mekongga juga terlihat jauh lebih tinggi. Data ini konsisten dengan
data pada enam bulan penyimpanan. Hal ini mungkin disebabkan oleh permeabilitas Super Bag
yang terlalu rendah terhadap oksigen sehingga benih Mekongga mati karena kekurangan oksigen.
Namun, permeabilitas Super Bag yang rendah terhadap oksigen belum berpengaruh terhadap
varietas Ciherang. Perlakuan dengan pengemas plastik PP terhadap kedua varietas tidak
352 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
memberikan perbedaan pada daya tumbuh benih, kadar air dan jumlah hama. Hanya saja terlihat
pada data bahwa jumlah hama yang menyerang varietas Ciherang juga sudah jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan penyimpanan 6 bulan. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan Super
Bag IRRI memberikan kondisi yang lebih baik bagi benih padi dibandingkan plastik PP.
Namun, setelah sembilan bulan penyimpanan ternyata mutu benih padi varietas
Ciherang dan Mekongga, yang dikemas dengan Super Bag atau plastik PP, sudah menurun,
sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan mutu benih padi menurut SNI 01-6233.2-2003. Super
Bag IRRI belum terlihat pengaruhnya dalam mengurangi peningkatan kadar air, belum terlihat
dalam mempertahankan daya tumbuh benih dan belum terlihat dalam membunuh hama gudang.
Hal ini belum diketahui dengan jelas penyebabnya, bisa disebabkan oleh mutu benih yang
bervariasi terutama pada varietas Mekongga (faktor acak) dan benih varietas Mekongga sensitif
(atau mati) terhadap kadar oksigen sangat rendah.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Penyimpanan benih padi (varietas Ciherang dan Mekongga) dengan kemasan Hermetik Super
Bag atau Plastik PP setelah 9 (sembilan) bulan tidak memenuhi persyaratan mutu benih padi
menurut SNI 01-6233.2-2003.
S a r a n
Perlu dilakukan penelitian kembali mengenai penyimpanan benih padi menggunakan Super
Bag IRRI terutama padi varietas Mekongga.
Benih padi yang dipakai hendaknya bermutu baik (berlabel), diketahui benar riwayatnya dari
asal benih sampai pengeringan untuk memastikan mutunya.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Prov. Sumut. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi
Sumatera Utara. Medan.
IRRI. 2003. Factors Affecting Seed Quality. www.knowledgebank.irri.org., diakses tanggal 12
Desember 2011.
IRRI. 2006. Safe Storage Conditions for Grain. www.knowledgebank.irri.org., diakses tanggal 12
Desember 2011.
IRRI. 2005. Bagaimana Menyimpan Gabah dan Benih secara Lebih Aman.
www.knowledgebank.irri.org., diakses tanggal 12 Desember 2011.
Nugraha S., Sudaryono dan S. Lubis. 2005. Pengaruh Kemasan Terhadap Kandungan Oksigen
(oxygen level) dan Perubahan Kualitas Gabah/Beras. Prosd. Seminar Nasional Teknologi
Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8
September 2005. Balai Besar Pascapanen Pertanian. Bogor.
Lubis S., Sudaryono, S. Nugraha dan R. Rachmat. 2005. Efek Teknologi Penyimpanan Hermetik
Terhadap Mutu Gabah. Prosd. Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen Untuk
Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Diep Chan Ben. 2006. Effect of Hermetic Storage in The Super Bag on Seed Quality and Milled
Rice Quality of Different Varieties in Bac Lieu, Vietnam. Agriculture Engineering.
December 2006.
BSN. 2003. Benih Padi – Benih Dasar. SNI 01-6233.2-2003. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
Rickman, J.F. dan M. Gummert. 2006. Penyimpanan Gabah/Benih Karung Super (Super Bag)
IRRI. Disadur oleh Bawolye J. dan M. Syam. www.knowledgebank. irri.org., diakses
tanggal 13 Desember 2011.
353 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Rickman, J.F. 2002. Grain Quality from Harvest to Market. Proceedings of 9th JIRCAS
International Symposium 2002 – Value Addition to Agricultural Products, pp 94-98.
http://ss.jircas.affrc.go.jp., diakses tanggal 13 Desember 2011.
Kawamura, S., K. Takekura dan K. Itoh. 2004. Rice Quality Preservation during On-Farm
Storage Using Fresh Chilly Air. 2004 International Quality Grains Conference
Proceedings, Indianapolis, July 19-22, Indiana, USA.
Donahaye, E.J., S. Navarro, S. Andales, A.M. Del Mundo, F. Caliboso, G. Sabio, A. Felix, M.
Rindner, A. Azrieli dan R. Dias. 2001. Quality Preservation of Moist Paddy Under
Hermetic Conditions. Proceedings International Conference Controlled Atmosphere and
Fumigation in Stored Products, Fresno, California, 29 October – 3 November 2000,
Executive Printing Services, Clovis, CA, USA.
Thompson, J.F. 2002. Rice Storage. www.kcomfg.com., diakses tanggal 13 Desember 2011.
Batta, Y.A., dan D.I. Abu Safieh. 2005. A Study of Treatment Effect with Metarhizium
anisopliae and Four Types of Dust on Wheat Grain Infestation with Red Flour Beetles
(Tribolium castaneum Herbs, Coleoptera: Tenebrionidae). Journal of The Islamic
University of Gaza (Series of Natural Studies and Engineering) 13(1): 11-22.
355 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
PARTISIPAN SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN
BPTP BENGKULU TAHUN 2012
No Nama Instansi No Nama Instansi
1. Dr.Ir. Kasdi Subgyono BBP2TP Bogor 54. Diah i Balitbang Prov. Bengkulu
2. Dr.Ir. Dedi Sugandi BPTP Bengkulu 55. Widodo,SP BPSBTPN Bengkulu
3. Ir.Eddy waluyo,M.Si BAPEDA 56. Mariana Ernawati BPTP Bengkulu
4. Prof.dwinardi apriyanto UNIB 57. Hotlin Sinurat BP2TPK Bengkulu
5. Prof.Alnofri,M.S UNIB/SDG 58. Ir. Siti Aisyah BP2TPK Bengkulu
6. Dr.Ir.Urip Santoso UNIB 59. Emar pisa Ginting,SP BP2TPK Bengkulu
7. Ir.Diah iriani,M.Si Balitbangda 60. Yusnilawati BP2TPK Bengkulu
8. Bardin, Amd Bakorluh 61. Sumarno BP2TPK Bengkulu
9. Sailan, SP,M.Si BP4K Benteng 62. Mutiara,SP SKP kelas I Bengkulu
10. Dr.Ir.Hj Sunarti. MP Unihaz 63. Heti Marniati,SP SKP Kelas I Bengkulu
11. Herlena Bidi Astuti, SP BPTP Bengkulu 64. Lina Ivanti BPTP Bengkulu
12. Siti Rosmanah, SP BPTP Bengkulu 65. Yahumri BPTP Bengkulu
13. Nurmegawati BPTP Bengkulu 66. Jhon Firison BPTP Bengkulu
14. Mardalena,SP BP4K Lebong 67. Yesmawati BPTP Bengkulu
15. Suharta,SP BP4K lebong 68. KusmeaDinata BPTP Bengkulu
16. Amrullah,SP BP4K Benteng 69. Jumaidi BP2KP MUko-muko
17. Dr. Suryana,MP BPTP Kalimantan selatan 70. Jomadi BP2KP MUko-muko
18. Soemardi BBP2TP Bogor 71. Ir.Herlina M.Si FP UNIVED
19. Elman Falufi,S.Pt Bakorluh 72. Tri Wahyuni,S.Si BPTP Bengkulu
20. I Nyoman Adijaya BPTP Bali 73. Bunaiyah Honorita,SP BPTP Bengkulu
21. I Made Rai Yasa BPTP Bali 74. Irma Calista Siagian BPTP Bengkulu
22. Akhmad Ansyor BPTP Bangka Belitung 75. Zainani BPTP Bengkulu
23. Winardi BPTP Sumatera barat 76. Afrizon BPTP Bengkulu
24. Agung Prabowo BPTP SUMSEL 77. Sudarmansyah BPTP Bengkulu
25. Darman Hary,SP,M.Si BP2TPk 78. Hamdan,SP BPTP Bengkulu
26. Danner Sagala,SP.M.Si FP UNIHAZ 79. Rudi Hartono BPTP Bengkulu
27. Ahmad Damiri BPTP Bengkulu 80. Siswani. DD BPTP Bengkulu
28. Ikhsan Hasibuan,M.Sc FP. UNIHAZ 81. Sri Suryani M. Rambe BPTP Bengkulu
29. Dwi Ranti FP.UNIHAZ 82. Taufik R BPTP Bengkulu
30. Desi Jumiati FP.UNIHAZ 83. Taufik H BPTP Bengkulu
31. Sundari Yenis FP.UNIHAZ 84. Umi Pudji Astuti BPTP Bengkulu
32. Fery Hepi FP.UNIHAZ 85. Wahyu Wibawa BPTP Bengkulu
33. Feri Gunawan FP.UNIHAZ 86. Ruswendi BPTP Bengkulu
34. Maskap,SP BP4K Kepahyang 87. Hendri Suyanto BPTP Bengkulu
35. Yudi Sastro BPTP Jakarta 88. Marzan BPTP Bengkulu
36. Murzek Bakorluh 89. Sri hartati BPTP Bengkulu
37. Edwar Ardianri TVRI Bengkulu 90. Alfayanti BPTP Bengkulu
38. Erwan Iswandi TVRI Bengkulu 91. Basuni Asnawi BPTP Bengkulu
39. Rama Syahelan Disnakwan prov 92. Sanusi BPTP Bengkulu
40. Purbayani Bapeda prov 93. Sri Hartati,s BPTP Bengkulu
41. Supriyanto Disnakwan prov 94. Andi Ishak BPTP Bengkulu
42. Wahuni Amelia BPTP Bengkulu 95. Heryan Iswadi BPTP Bengkulu
43. Hendri Suyanto BPTP Bengkulu 96. Badi Haryanto BPTP Bengkulu
44. Erpan Ramon BPTP Bengkulu 97. Ina Hartati BPTP Bengkulu
45. Taufik Hidayat BPTP Bengkulu 98. Yanhar BPTP Bengkulu
46. Zul Effendi BPTP Bengkulu 99. Yoyo BPTP Bengkulu
47. Wilda Mikasai BPTP Bengkulu 100. Eko.s BPTP Bengkulu
48. Yartiwi BPTP Bengkulu 101. Ujang Hamidi BPTP Bengkulu
49. Nurhidayati BP4K Rejang lebong 102. Nelson BPTP Bengkulu
50. Yenny,S.PKP BP4K Rejang lebong 103. Catur BPTP Bengkulu
51. Yulie Oktavia,SP BPTP Bengkulu 104. Sudarwati BPTP Bengkulu
52. Farida Wahyu BKPPP Kota Bengkulu 105. Robiyanto BPTP Bengkulu
53. Linda Harta,S.Pt BPTP Bengkulu
356 Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
INDEKS PENULIS
Afrizon, 208, 214, 277 Nia Kaniasari, 265
Agung Prabowo, 165 Nurhaita, 185
Agussalim, 295 Nurhayati, 87
Agustin Zarkani, 148 Nurmegawati, 23, 76, 82
Ahmad Damiri, 53, 98, 133 Prihanani, 36
Akhmad Ansyor, 265 Pudjianto, 148
Alfayanti, 271, 281, 341 Rachmiwati Yusuf, 104
Alnopri, 17 Rathi Frima Zona, 104
Ana F. C. Irawati, 219 Retna Qomariah, 199
Andi Ishak, 93, 260, 295 Rizqi Sari Anggraini, 87
Andre Sparta, 141 Rudi Hartono, 238
Asriati Ilyas, 58 Ruswendi, 185, 227
Azwir, 28, 301 Shannora Yuliasari, 113
Bunaiyah Honorita, 233, 260, 289 Sholih, N.H., 199
Darman Hary, 310 Syahrir Pakki 108
Dedi Sugandi, 133, 227, 246 Siswani Dwi Daliani, 190, 194
Danner Sagala, 36 Siti Rosmanah, 63, 214, 281
Djoko Prijono, 148 Sri Bananiek, 295
Dwinardi Apriyanto, 9 Sri Suryani M Rambe, 128, 156, 289
Eddy Makruf, 44, 133 Suparman, 71
Edi Tando, 58, 108, 337 Suprijono, 199
Erpan Ramon, 190, 194 Suryana, 199
H. Kurniawan, 199 Suwandi, 121
Hamdan, 113, 252 Taufik Hidayat, 331, 337
Harmini, 71 Taupik Rahman, 104, 141
Haryono, 1 Tri Wahyuni, 87, 246
Herlena Bidi Astuti, 208, 214, 277 Umi Pudji Astuti, 71, 233, 246
Ikhsan Hasibuan, 36 Vivi Aryati, 347
I Made Rae Yasa, 169, 175 W.A. Nugroho, 71
I Nyoman Adijaya, 169, 175 Wahyu Wibawa, 23, 63, 76, 82, 281
Indarti P. Lestari, 121 , 219 Wahyuni Amelia Wulandari, 271
Irma Calista Siagian, 63, 128, 347 Wawan Eka Putra, 44, 53
Jhon Firison, 227 Wilda Mikasari, 323, 331, 341
Kasdi Subagyono, 1 Winardi, 28, 301
Kusmea Dinata, 128, 156, 214 Yahumri, 58, 93
Lina Ivanti, 323 Yartiwi, 53, 93, 98
Linda Harta, 208 Yesmawati, 260
Maintang, 58 Yudi Sastro, 121, 219
Mansur, 108, 337 Yulie Oktavia, 44, 108
M. A. Firmansyah, 71 Zikril Hidayat, 265
Mega Andini, 141 Zul Efendi, 190, 271