digilib.uns.ac.id... · i sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan terkait...
TRANSCRIPT
i
SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN
DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Kebijakan Publik
Disusun Oleh:
LIES SETYAWATI
NIM : S311010104
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN
DI KAWASAN HUTAN PADA ERA OTONOMI DAERAH
DISUSUN OLEH :
LIES SETYAWATI
NIM : S311010104
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Pembimbing I Prof. Dr. Hartiwingsih S.H., M.Hum ..................... ..................
NIP. 19570203 198503 2 00
2. Pembimbing II Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum ..................... ..................
NIP. 19641201 200501 1 001
Mengetahui :
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.
NIP. 19630209 198803 1 003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : LIES SETYAWATI
NIM : S. 311010104
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Sinkronisasi
dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan
Hutan Pada Era Otonomi Daerah”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan
karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk membuktikan keaslian tesis, saya
memperbolehkan tesis ini diupload dalam website Program Paska Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan,
LIES SETYAWATI
323
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis yang berjudul “Sinkronisasi dan
Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Kegiatan Pertambangan di
Kawasan Hutan pada Era Otonomi Daerah” ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister program
studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tesis ini membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan
terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah serta upaya-
upaya yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan
tersebut.
Kemudian penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan, dorongan, baik bersifat materil maupun spiritual.
Ucapan terima kasih yang tulus dan dengan kerendahan hati penulis haturkan kepada
yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk kuliah pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana dan juga sebagai
dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.H.selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
izin dalam penelitian tesis dan juga sebagai tim penguji yang telah banyak
memberikan masukan saran untuk penyempurnaan tesis ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
5. Bapak Burhanuddin Harahap, S.H., M.H., M.Si., Ph.D. sebagai Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan kemudahan penulis dalam memberi izin penelitian
6. Bapak Dr. Hari Purwadi SH.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagai
Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan pencerahan
dan masukan demi selesainya penulisan tesis ini.
7. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS., selaku tim penguji yang telah memberikan
banyak masukan terhadap penulisan tesis ini.
8. Bapak, ibu dan rekan-rekan di Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan,
Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, khususnya Bapak Eko Novi, S.Sos., M.Si,
Kepala Seksi Perambahan dan Kebakaran Hutan Wilayah II, yang telah membantu
penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait kegiatan pertambangan illegal
di kawasan hutan.
9. Bapak Dr. Budi Riyanto, SH, Ahli Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Utama pada Kementerian Kehutanan, yang telah banyak memberikan inspirasi,
pencerahan, bimbingan dan petunjuk dalam penyelesaian tesis ini.
10. Bapak Krisna Rya., S.H.,M.H, Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian
Kehutanan.
11. Bapak Supardi, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara,
Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kehutanan.
12. Bapak Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum, Kasubag Bantuan Hukum II, dan Mas
Yudi Ariyanto, SH., MT, Kasubag Bantuan Hukum I, yang telah memberikan
motivasi, ide dan masukan dalam penulisan tesis ini.
13. Rekan-rekan Biro Hukum dan Organisasi, khususnya rekan-rekan staf di Bagian
Bantuan Hukum dan Penanganan Perkara.
14. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
banyak membantu selama perkuliahan.
15. Kawan-kawan mahasiswa-i Program Studi Ilmu Hukum yang tak dapat penulis
sebut satu per satu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
16. Mama dan Almarhum Bapak tercinta buat limpahan kasih sayang, perhatian dan
kerja keras kalian yang membuat penulis dapat menempuh pendidikan sampai
program pascasarjana.
17. Oo terima kasih atas support dan kebersamaannya dalam mendengarkan keluh
kesah selama penulisan tesis ini.
18. Sahabatku Nana terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan yang menghibur
disela-sela penulisan tesis ini.
19. Adik-adikku Dudi dan Desi, serta ponakanku tercinta Muhamad Raihan, terima
kasih support dan kebersamaannya.
20. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal baik semua pihak mendapat balasan kebaikan yang berlipat dari
Alloh SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Amin.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................................. iii
PERNYATAAN .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................................. xi
ABSTRAK............................................................................................................................. xii
ABSTRACT........................................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................................... 19
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 19
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 19
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kebijakan Publik...................................................................................... 21
B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik .................................................................. 24
C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan ................................... 29
1. Pengertian Perundang-Undangan......................................................................... 29
2. Norma Hukum Negara Republik Indonesi .......................................................... 32
3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan.... 40
D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam.............................................. 44
E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah ..................................................... 49
1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ....................................................... 49
2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........................................................ 58
F. Tinjauan Umum Tentang Perizinan ........................................................................... 66
1. Pengertian perizinan............................................................................................. 66
2. Tujuan Perizinan .................................................................................................. 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
3. Unsur Perizinan.................................................................................................... 69
4. Bentuk dan Isi Izin ............................................................................................... 71
5. Syarat Sah Perizinan ............................................................................................ 73
G. Kerangka Berpikir...................................................................................................... 74
1. Bagan ................................................................................................................... 74
2. Penjelasan Bagan ................................................................................................. 74
H. Penelitian Yang Relevan………………………………………………………….... 77
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian........................................................................................................... 78
B. Sifat Penelitian ........................................................................................................... 79
C. Pendekatan Penelitian ................................................................................................ 79
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................................................... 81
E. Teknik Pengumpulan Data......................................................................................... 83
F. Teknik Analisis Data.................................................................................................. 83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................................................... 85
1. Peraturan Perundang – Undangan Sektor Pertambangan Terkait
Pertambangan Di Kawasan Hutan ....................................................................... 85
2. Peraturan Perundang-Undangan Sektor Kehutanan Terkait Pertambangan Di
Kawasan Hutan .................................................................................................... 87
3. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi Daerah Di
Sektor Pertambangan dan Kehutanan ................................................................. 89
B. Pembahasan
1. Sinkronisasi dan Sinergi Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur
Kegiatan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah ...... 100
2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Pertambangan Di Kawasan Hutan ...................................................................... 128
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................................... 134
B. Implikasi..................................................................................................................... 136
C. Saran........................................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 137
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, serta Kabupaten dan/atau Kota Dalam Menerbitkan
IUP.
2. Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi Pasal 38 ayat (3) jo Pasal
50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
3. Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38 ayat 3 dan Pasal 66 UU
Kehutanan
4. Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU Otonomi Daerah terkait
Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK
Lies Setyawati, S. 311010104. 2012. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi Daerah
Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengsinkronkan dan mengsinergiskan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (doctrinal) dengan menggunakan konsep hukum yang kedua yaitu hukum sebagai norma-norma positif_di dalam sistem perundang-undangan nasional. Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik simpulan Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron namun belum sinergis, karena peraturan-peraturan tersebut masih bersifat sektoral sehingga implementasinya belum terpadu satu dengan yang lainnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengsinergiskan peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan cara memadukan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan pertambangan agar lintas sektoral dan terpadu satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penulis menyarankan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral, PP Minerba perlu mensyaratkan perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya aturan yang mengatur IUP di dalam kawasan hutan wajib mencantumkan klausul, untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.
Kata Kunci: Sinkronisasi, Pertambangan, Kehutanan dan Otonomi Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRACT
Lies Setyawati, S.311010104. 2012. Synchronization and Synergy of RegulationsConcerned with The Mining Activity in Forest Area on The Era of Regional Autonomy.
Thesis: Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta.
This research aims to determine the synchronization and synergy of the regulations that regulate mining activities in forest areas in the era of regional autonomy and to identify the efforts can be done to synchronize and synergy that regulations.
The type of the research is normative legal research (doctrinal) by using second law concept namely law as positive norm in the national legislation system. This research includes the type of research that is prescriptive normative law and applied by using statue and concept approachment. Types of data used are secondary data, consisting of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data collection techniques used through library research and data collection through electronic media relating to the matter under research. Data analysis technique applied in this research is deductive logic, that conclude from a general case to the individual case involving by formulating the facts, seeking its causal relationships, and develop reasoning based on the cases.
Based on research results and discussion, it can be concluded that the laws and regulations of mining activities in forest areas in the era of regional autonomy has been synchronized, but not synergistic, because the regulations are still a sectoral so that its implementation has not been integrated among other. There for it’s necessary to do efforts to synergy such regulations by integrating vision and mission of mining and forestry sector as well as the improvement of regulations of mining and forestry sector in order to be cross sectoral and integrated among others.
Based on the abovementioned data, the author suggest legislation that regulates mining activities in forest areas in the era of regional autonomy should be cross-sectoral. Furthermore PP Minerba needs to require the need for coordination with the ministry of forestry in the issuance of the IUP that located in forest areas. Additionally the need of the rule to regulate IUP set in the forest area must include a clause, for mining activities in forest areas can only be started after the license to use the forest area from forestry minister.
Keyword: synchronization, mining, forestry and regional autonomy
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak
ternilai harganya yang wajib disyukuri. Hutan sebagai modal pembangunan
nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara
seimbang dan dinamis. Bahkan dunia internasional pun mengakui keberadaan
sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting terwujudnya
keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi melalui fungsinya
untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun yang menjadi
penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin menipisnya lapisan
ozon.1
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, yaitu fungsi hidrologi
hutan yang bersifat lokal dan regional, fungsi pengaturan iklim, khususnya
pemanasan global serta sebagai sumber daya hayati bersifat global. Kerusakan
hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling
penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan hutan
merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di dalam
ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi kerusakan,
maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem di dalam hutan tersebut.
Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan dampak
ikutan terhadap seluruh sistem yang ada dalam hutan tersebut.
Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan
misalnya terjadi pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran musim,
1 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal. 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari menurunnya
jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin
renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain
kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan
harmonis antara manusia dengan hutan dan segala problematikanya. Hubungan
harmonis ini mulai retak, pada saat terjadi eksploitasi sumber daya hutan.
Eksploitasi hutan di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Belanda
sampai era reformasi saat ini. Eksploitasi hutan Indonesia secara berlebih yang
telah dilakukan sejak zaman kolonial menyebabkan rusaknya kawasan hutan di
Indonesia.
Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, penebangan hutan (deforestasi)
terjadi atas kebijakan perdagangan Vereeigde Oost Indische Compagnie (VOC)
yang mengizinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan
pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung kebijakan izin pembukaan lahan untuk
kepentingan pertanian agar memperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui
sistem tanam paksa cultuurstesel). Sistem ini memaksa perubahan fungsi hutan
menjadi kebun kopi, tebu, vanila dan karet.2
Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945, kegiatan penebangan hutan
terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh
penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan
tahunan. Tindakan ini bertujuan untuk membiayai perang. Setelah melakukan
penebangan, lahan disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman
pangan. Khusus di Pulau Jawa-semasa Jepang berkuasa-kurang lebih 4.428
hektar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian.3 Setelah Indonesia merdeka,
eksploitasi hutan di Indonesia terus berlanjut. Sejak awal dekade 1970-an,
sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam
2 Praminto Moehaya, Mengintip Sejarah Deforestasi di Indonesia, www.burung.org/download.php?id=569 , diakses pada tanggal 18 Mei 2011
3 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas,
pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak
pembangunan daerah.4
Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek
ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan
pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber
daya hutan semakin meningkat. Dengan terjadinya tekanan terhadap hutan
tersebut, perusakan hutan yang terjadi di Indonesia memiliki hubungan yang
signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebab sumber daya hutan merupakan
pemasok devisa Negara terbesar setelah migas (minyak dan gas bumi).5
Dalam perkembangannya pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli
segelintir orang yang mendapat hak pengusahaan hutan. Masyarakat sekitar
hutan yang hidup bertahun-tahun hidup dalam hubungan harmonis dengan
hutan di sekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya hutan, baik
langsung maupun tidak langsung. Anne M. Larson dan Jesse C. Ribot
mengemukakan, The world bank estimates that 1.6 billion people depend on
forests for livehood. Unfortunately, communities living in and near forest suffer
from outsiders commercial exploitation of forest resources, and it is clear from
commodity chain and forest-village studies that vast profits are extracted
through many commercial forest activities, yet little of these profit remain in
local hand. (Bank dunia memperkirakan 1,6 milyar orang menggantungkan
hidupnya pada sumber daya hutan. Sayangnya masyarakat yang hidup di sekitar
hutan justru dirugikan dengan adanya kegiatan eksploitasi hutan untuk
kepentingan komersial yang dilakukan oleh pihak luar, dari hasil studi rantai
komoditas dan hutan desa, banyak keuntungan diambil dari hasil perdagangan
komoditas hutan namun hanya sedikit keuntungan yang dapat dinikmati
4 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
Cet. 1, 2010): hal. 1 5 Ibid, hal. 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
masyarakat sekitar hutan)6. Tersingkirkannya masyarakat sekitar hutan, memicu
masyarakat sekitar hutan melakukan berbagai usaha illegal terhadap hutan,
seperti perambahan dan pencurian kayu yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan hutan yang lebih parah lagi
Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi
ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi di
wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat
mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan
untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan.7
Kehancuran hutan menunjukan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan
terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya
penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan ini terjadi secara
nyata di Indonesia.8
Dampak terhadap kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari
Departemen kehutanan tahun 2003-2006 menyebutkan bahwa luas hutan
Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar
dengan laju degradasi 2,1 juta hektar pertahun. Sejumlah laporan menyebutkan
antara 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau
sama dengan luas enam kali lapangan sepak bola setiap menitnya 9.
Sebuah badan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) melansir
sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat
6 Anne M. Larson and Jesse C. Ribot, “The Poverty of Forestry policy: Double Standar On
An Uneven Playing Field” , Journal of Suistainability Science, Vol. 2, No. 2, P-27 Fitryani Yuliawati, Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia,,
http://www.subhanagung.net/2011/03/eksploitasi-ekonomi-politik.html. , diakses pada tanggal 4Mei 2011
8 Ibid.9 ICEL 2003 . Penegakan Hukum Illegal Logging permasalahannya dan solusinya
http://www.icel.or.id/penegakan-hukum-illegal-logging-permasalahan-dan-solusinya/ , diakses pada tanggal 8 Mei 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87
juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap
hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United
Nation Environment Program (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007
mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke
belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan
nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50%
hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar
25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.10
Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius
bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat. Kerusakan
hutan yang terjadi selama ini berkaitan erat dengan kebijakan pengelolaan hutan
yang diterapkan pemerintah. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan
hutan tidak berada di ruang hampa sehingga kita dapat merekayasa secara
tunggal namun ia mengakar dan ditopang oleh sistem politik sebagai
dinamisator masyarakat11. Pengelolaan hutan Indonesia banyak dipengaruhi
oleh perubahan dinamis dalam kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian
negara. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan dan lahan selama zaman
kolonial sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di kemudian hari dalam
menetapkan kerangka peraturan dan kebijakan hutan nasional.
Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung
jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu
penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari,
10 Fitryani Yuliawati, op. cit.11 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat (Yogyakarta: Center for Critical Social
Studies (CCSS), Cet. Pertama, 2003): hal. vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan
dilandasi akhlak mulia dan bertangung-gugat. Berikut tiga aspek penting dalam
rangka pemanfaatan hutan, yaitu:12
a. Asas Kesejahteraan Sosial, ialah asas keutamaan yang menitikberatkan
perhatian kepada realitas kesejahteraan di sektor kehidupan masyarakat
bawah. Dalam pengelolaan hutan, penduduk asli dan anggota masyarakat
yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan, memiliki peranan penting
untuk melestarikan hutan.
b. Asas Keuntungan Ekonomi, atau disebut juga asas profitibilitas yakni,
suatu prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi pada perolehan laba
dalam rangka peningkatan pendapatan dan kemajuan usaha.
c. Asas Kelestarian Lingkungan, atau disebut prinsip ekologi yaitu, suatu
prinsip pengelolaan hutan yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan
hutan secara lestari dengan sistim silvikultur.
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan, tetapi
negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur
dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan
hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya negara (pemerintah) berwenang
untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain yang terpaksa harus
menggunakan kawasan hutan. Untuk itu setiap kegiatan pemanfaatan atau
penggunaan kawasan hutan diberikan secara selektif dan terencana dalam satu
perizinan oleh Menteri.
Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan
yang bersifat penting dan strategis, maka perlu adanya ketentuan yang dapat
12 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan: Kaidah-Kaidah Pengelolaan Hutan (Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa, Cet.1, 1995): hal. 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Atas dasar hal tersebut maka
dalam ketentuan Pasal 38 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) diatur penggunaan
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan
melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan, karena dengan mekanisme
tersebut Pemerintah masih mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan
mengendalikan penggunaan kawasan hutan tersebut. Sebagai tindak lanjut atas
ketentuan tersebut, maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan.
Adapun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat
diberikan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan secara tegas telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, yaitu:
a. Religi;
b. Pertambangan;
c. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi
baru dan terbarukan;
d. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun
relay televisi;
e. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi
umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air,
dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h. Fasilitas umum;
i. Industri terkait kehutanan;
j. Pertahanan dan keamanan;
k. Prasarana penunjang keselamatan umum; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
l. Penampungan sementara korban bencana alam.
Reformasi tahun 1998 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi
yang lebih luas di Indonesia. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan
kebijakan desentralisasi di Indonesia kearah yang nyata. Reformasi memberi
hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi
daerah yang sesungguhnya.13
Pasal 18 dan 18A, B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengamanatkan pelaksanaan
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Hal tersebut diejawantahkan
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut
UU Pemerintahan Daerah).
Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional
pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B, UUD 1945.
Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor pemerintahan daerah
yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut tampak dari prinsip-prinsip dan
ketentuan sebagai berikut:
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).
5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).
13 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. 1, 2007): hal. 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
(Pasal 18 ayat 3).
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras dan adil
(Pasal 18 A ayat 2).14
Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi otonomi telah terpenuhi.
Sendi-sendi otonomi yang dimaksud adalah :
1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)
2. Pembagian pendapatan (distribution of income)
3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).15
Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah daerah
(daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta suksesnya pembangunan di daerah, perlu didukung
oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi Negara.
2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.
3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga menyangkut
birokrasi pemerintahan.
4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.16
Dengan adanya pemberian keleluasaan kepada daerah, maka daerah
harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat menjadi
lebih baik, mau mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun
antara sesama daerah, sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
14 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangan, dan problematikanya),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005): hal. 20.15 Ibid, hal. 83 16 Subadi, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2010): hal. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Pembagian urusan menjadi isu yang sangat penting dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah karena pembagian urusan merupakan
jantungnya desentralisasi dan nafasnya otonomi daerah.17 Dalam UU
Pemerintahan Daerah pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan
daerah diatur dalam pasal 10 :
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa pengelolaan
sumber daya hutan dan bahan galian tambang, tidak termasuk dalam urusan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah
didesentralisasikan
Di beberapa Negara Asia termasuk Indonesia, kebijakan nasional
mereka memberi peluang pengurusan hutan oleh pemerintah lokal (daerah).
17 Agus Dwiyanto,” Revisi UU 32/2004:Latar Belakang Dan Arah Perubahannya”, dalam Agus Pramusinto dan Erwana Agus Purwanto (eds.), Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi daerah Di Indonesia (Yogyakarta: Gava Media, Cet.1, 2009): hal. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Rowena Soriaga and Sango Mahanty mengemukakan, given these limitations
with highly centralized modes of forest governance, several countries in the
region are transferring some planning and implementations decisions to state
or local governments, especially to smaller-scala forest areas. The Philippines’
Local Government Code 1991, Thailand’ Tambon Administrative Act 1994,
Indonesia’ Regional Autonomy Law 1999, and Cambodia’ Commune Law 2001
are some of the national policies that provides opening for nurturing local
forest governance. (untuk membatasi mode pengelolaan hutan yang sentralisitk
(terpusat), beberapa Negara di Asia mengalihkan perencanaan dan pengambilan
keputusan kepada pemerintah lokal (daerah), terutama yang berkenaan dengan
pengelolaan hutan daerah skala kecil. UU Pemerintah Daerah Filipina Tahun
1991, UU Tambon Administratif Thailand Tahun 1994, UU Otonomi Daerah
Indonesia Tahun 1999 dan UU Komune Kamboja Tahun 2001 membuka
peluang untuk pengelolaan hutan oleh pemerintah lokal (daerah))18.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
pemerintah daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat
operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau
makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.19
UU Kehutanan mengakomodasi desentralisasi kewenangan dalam
pengelolaan hutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 66 UU Kehutanan yang
menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
18 Rowena Soriaga and Sango Mahanty, “Strengthening Local Forest Governance: Lessons on
The Policy-Practice Linkage From Two Programs To Support Community Forestry in Asia”.International Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(2):96-122, ISSN 1979-2611, www.ijsf.org , diakses tanggal 17 Oktober 2011
19 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan
dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Desentralisasi sektor kehutanan merupakan upaya pelimpahan wewenang dan
urusan dari pemerintah pusat kepada kepala daerah provinsi dan kabupaten.
Menurut Fisher20, pengamatannya di berbagai daerah secara jelas menunjukan
bahwa sangat sulit mengimplementasikan suatu kebijakan kehutanan yang di
desain oleh pusat di daerah. Oleh karena itu, perlu ada penyerahan sebagian
kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan maupun
merumuskan sasaran. Dengan mendekatnya proses pengambilan kebijakan
dengan sumberdaya dan masyarakat serta stakeholder lainnya yang secara
langsung mendapatkan dampaknya, diharapkan bisa lebih mewujudkan
pengelolaan hutan lestari, adil dan demokratis serta membantu mengeluarkan
masyarakat setempat dari jerat kemiskinan.
Kebijakan otonomi diharapkan dapat meningkatkan peran serta
masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada masyarakat setempat dalam memperoleh akses dan
manfaat sumber daya hutan. Terkait peningkatan partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumber daya hutan ini, FAO menyatakan:21
The modern concept of multi-stakeholder forest management has
20 Dodik Ridhon Nurruchmat, Strategi Pengelolaan Hutan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet.1, 2005): hal. 39 21 Mangala de Zoysa dan Makoto Inoue, “Forest Governance and Community Based Forest
Management In Sri Lanka : Past, Present and Future Perpectives”, Internationa Journal of Social Forestry (IJSF), 2008, 1(1):27-49. ISSN 1979-2611 , www.ijsf.org, diakses tanggal 17 Oktober 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
become a trend to incorporate all the various stakeholders making decisions about forest management and use. Community forestry is in example on a continuum of participation and involvement in resources management where local communities are involved in forestry activities from the growing of trees to the processing of forest product, and generating income trough small forest based industries.(Konsep pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak telah menjadi model pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Contoh keterlibatan masyarat kehutanan dalam rangkaian partisipasi dan keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya alam, adalah dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mulai dari penanaman pohon sampai dengan mengelola hasil hutan, dan mendapatkan pendapatan dari hasil industri hutan skala kecil).22
Dalam perjalanan, kebijakan kehutanan di era otonomi daerah belum
menunjukan hasil yang memuaskan. Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
hutan lebih mengedepankan eksploitasi hutan untuk meningkatkan pendapatan
daerah mereka bukan untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,
sehingga tingkat kerusakan hutan di era otonomi dearah meningkat secara
signifikan. Luke Lazarus Arnold menyatakan:
As happened in Bolivia following decentralisation there, regional government throughout Indonesia have seen logging as a key to establishing independent revenue stream. Before the Otda laws even came into effect, many district/municipal governments proceeded to issue great number of small-scale commercial timber licences. Most of these carried no obligation to engage in reforestation activities, or to refrain from clear felling or logging in catchmen areas. As some district had no even established a regulatory agency, they clearly had no intention of ensuring that the holder of these licences logged strictly according to the terms of the licences anyway. (Sama seperti pelaksanaan desentralisasi di Bolivia, pemerintah daerah di Indonesia juga menempatkan hasil penebangan kayu untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Bahkan sebelum otonomi daerah berlangsung, banyak pemerintah daerah yang telah memproses untuk menerbitkan izin-izin pengusahaan hutan/pemungutan kayu skala kecil. Kebanyakan dari izin-izin tersebut diterbitkan tanpa kewajiban untuk melakukan penanaman kembali atau memperbaiki kondisi lahan di areal
22 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
penebangangan yang diberikan izin tersebut. Bahkan para pemerintah daerah tidak membentuk dewan pengawas untuk mengawasi apakah para pemegang izin hak pengusahaan hutan/pemungutan kayu tersebut benar-benar melakukan kegiatan penebangan hanya pada areal yang telah diberikan izin)23.
Selain kaya akan sumber daya hutan, Indonesia juga kaya akan sumber
daya mineral. Letak Indonesia yang berada pada posisi tumbukan dua buah
lempeng besar, yaitu lempeng Pasifik di Utara dan Lempeng Australia di
Selatan mendukung kondisi pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau
bahan galian berharga, seperti mineral logam dan lain-lain. Seperti hal nya
dengan hutan, bahan galian tambang, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
juga dikuasasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Pengaturan pengelolaan bahan galian atau sektor pertambangan di
Indonesia, sama halnya dengan landasan hukum sektor lain pada umumnya,
yaitu dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga, sampai dengan
pemerintahan Orde Lama, secara konkret pengaturan pengelolaan bahan galian
atau sektor pertambangan masih mempergunakan hukum produk Hindia
Belanda yang langsung diadopsi menjadi hukum pertambangan Indonesia.
Terjadinya peralihan kekuasaan dari pemerintahan orde lama ke
pemerintahan orde baru, telah mendorong semangat baru untuk melahirkan
peraturan perundang-undangan sektor pertambangan sejalan dengan munculnya
semangat pembaruan dan pembangunan nasional yang direncanakan
pemerintahan orde baru. Maka, untuk mendukung program pembangunan
nasional tersebut, diperlukan pembiayaan yang besar, salah satunya dengan cara
menggali potensi sumber pendapatan Negara dari kekayaan alam Indonesia.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka lahirlah Undang-undang No.
23 Luke Lazarus Arnold, “Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do
with It?“, Law, Environment and Development Journal (2008), p. 75, http//www.lead-journal.org/content/08075.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
11 Tahun 1967 tentang Ketenntuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui
undang-undang tersebut, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk
melakukan pengelolaan bahan galian dengan membuka peluang bagi investor
asing untuk melakukan investasi pengelolaan bahan galian yang diminatinya.
Undang-undang No. 11 Tahun 1967, telah berhasil menarik investasi dalam
pertambangan, namun bentuk-bentuk izin pengusahaan bahan galian
berdasarkan undang-undang ini masih terpusat (berada di tangan menteri).
Terpusatnya kewenangan dan pengurusan legalitas pengusahaan bahan galian
pada tangan menteri, menimbulkan disharmonisasi pengelolaan bahan galian
antara pemerintah dan masyarakat di daerah yang kaya akan bahan galian.
Sejalan dengan bergulirnya reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah,
peraturan perundang-undangan sektor pertambangan juga mengalami
perubahan. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan diganti dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). UU Minerba
telah mengakomodir kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian, karena
sesuai dengan ketentuan UU Pemerintahan daerah, sektor pertambangan
termasuk urusan pemerintahan yang kewenangannya diserahkan kepada daerah.
Kewenangan daerah dalam mengelola bahan galian tercermin dari ketentuan
yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam mengeluarkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Dalam pengaturan pengelolaan bahan tambang, peraturan sektor
pertambangan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sektor-
sektor lainnya, hal ini berhubungan dengan lokasi dimana bahan galian
tambang itu berada, karena hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha
Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak meliputi hak atas tanah dipermukaan
bumi (Pasal 134 ayat (1) UU Minerba). Oleh karena itu peraturan sektor
pertambangan tidak dapat terlepas dari peraturan sektor pertanahan. Dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari instansi terkait
(Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134
ayat (2) dan (3) UU Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada
dalam kawasan hutan. Oleh karena itu untuk kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan perlu adanya harmonisasi antara peraturan sektor pertambangan
dengan sektor kehutanan.
Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan potensial menimbulkan
konflik kewenangan antar instansi terkait. Sektor kehutanan dan pertambangan
potensial mendatangkan dan menjadi sumber pendapatan, sehingga
mengundang berbagai sektor yang terkait, baik pusat maupun daerah untuk
masuk dan berebut dengan mendasarkan diri pada klaim kewenangan masing-
masing. Konstantasi seperti ini, potensial pula meletupkan perselisihan
(wewenang) antara pusat dan daerah dan juga antar sektor yang terkait dengan
sektor kehutanan.24 Disamping itu, ketidakjelasan definisi kewenangan
administrasi dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah pusat dan
daerah juga masih menghambat efektivitas pelaksanaan pembangunan hutan di
daerah. Ketidaksepahaman pemerintah pusat dan daerah di antaranya dalam hal
kewenangan pemberian izin-izin pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Termasuk dalam hal kebijakan pemberian izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan.
Pada era otonomi daerah ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan
yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk
kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, jika dikaitkan
dengan Pasal 18, dan 18A UUD 1945 yang menjadi dasar otonomi seluas-
luasnya bagi daerah dalam implementasinya di lapangan menimbulkan konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
24 I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: PT.
Alumni, Cet. 1, 2009): hal. 88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara (untuk selanjutnya disebut sebagai UU Minerba)
pemerintah daerah berwenang memgeluarkan izin usaha pertambangan, namun
apabila lokasi pertambangan berada dalam kawasan hutan, berdasarkan
ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38 ayat (3) UU
kehutanan pemegang izin usaha pertambangan tetap harus mempunyai izin
pinjam pakai dari menteri kehutanan. Hal ini menimbulkan konflik kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan berpegang pada ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU
Kehutanan yang mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan
untuk kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan. Adapun
pemerintah daerah dalam hal pemberian izin pertambangan pada kawasan hutan
berpegang pada Undang-unndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) yang merupakan
pengejawantahan Pasal 18 dan 18A UUD 1945, yang mensyarakatkan
desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, termasuk desentralisasi dalam sektor kehutanan yang lebih lanjut
ditafsirkan pemerintah daerah termasuk dalam desentralisasi kewenangan
pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di
dalam kawasan hutan.
Konflik kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
mengakibatkan tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
dalam hal pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan. Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (selanjutnya disebut Ditjen PHKA) Kementerian
Kehutanan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang lokasinya
berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-perusahaan tambang
pemegang izin usaha pertambangan yang areal kerjanya berada dalam kawasan
hutan. Hal ini menyebabkan makin maraknya perusahaan tambang yang
beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam pakai penggunaan
kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Berdasarkan data Ditjen PHKA
Kementerian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 di wilayah Kalimantan saja
terdapat sedikitnya 1.236 (seribu dua ratus tiga puluh enam) perusahaan
tambang yang beroperasi dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dari
Menteri Kehutanan, dengan luas total kawasan hutan yang dijadikan areal kerja
adalah seluas 6.946.301,95 (enam juta Sembilan ratus empat puluh enam ribu
tiga ratus satu koma sembilan puluh lima) hektar.
Dengan tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan para
perusahaan tambang tersebut mangkir dari kewajiban membayar PSDH DR dan
PNBP dan dapat mangkir dari kewajiban melakukan reklamasi di areal kerja
mereka. Dapat dibayangkan kerugian Negara dan kerusakan hutan akibat
kegiatan pertambangan illegal tersebut.
Guna mencegah kerugian Negara dan kerusakan hutan yang lebih parah
lagi maka konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan perlu
dibenahi. Untuk itu perlu dikaji sinkronisasi dan sinergitas peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan
hutan pada era otonomi daerah, khususnya eksistensi peraturan perundang-
undangan yang mengatur kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan
izin penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan pada era otonomi daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut penulis tertarik untuk menulis tesis yang berjudul:
“SINKRONISASI DAN SINERGITAS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN
PADA ERA OTONOMI DAERAH”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang masalah di
atas selanjutnya dirumuskan masalah yaitu:
1. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron
dan sinergis satu dengan yang lainnya?
2. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyinergiskan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan pada era otonomi daerah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian hukum ini adalah:
1. Untuk mengetahui sinkronisasi dan sinergitas peraturan perundang-
undangan yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
pada era otonomi daerah
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
menyinergiskan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah
D. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat
khususnya Kementerian Kehutanan yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Sebagai bahan masukan atau referensi dalam rangka sumbangan pemikiran
bagi ilmu hukum dalam kajian hukum dan kebijakan publik mengenai
penyelesaian sengketa hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Manfaat Praktis :
Sebagai masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara
khusus bagi Kementerian Kehutanan dalam menyelesaikan konflik
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait kebijakan
pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing definisi
tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena
masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara
di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya
akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut di definisikan.25
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert
eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai “ hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya.26 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung
pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.27 Sedangkan Carl J Frederick,
mendefinisikan kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya
mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan.28
25 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, ( Yogyakarta: Media Pressindo, Cet.
III, 2005): hal.1526 Ibid27 Ibid.28 Solichin Abdul Wahab, Analisa Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Kedua, 2001): hal.. 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Amara Raksa Raya mengemukakan:29
“Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu:1. Indentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik atau strategi.”
Menurut Thomas R Dye dalam Budi Winarno, “kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.30 Senada
dengan pendapat Dye, Edwards III dan Sharkasky mengemukakan kebijakan
negara adalah “...is what goverment say and do, or not to do. It is the goals
purpose of goverment programs” (...adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau
tujuan program pemerintah).31
Pengertian Kebijakan menurut Kartasasmita, merupakan upaya untuk
memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakukan)
oleh pemerintah mengenai suatu masalah (2) apa yang menyebabkan atau yang
mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dari kebijakan negara tersebut.32
Menurut Amir Santoso:33
“kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori: Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi dalam dua
29 Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara,
2000):hal. 17-18.30 Budi Winarno, op. cit., hal. 15. 31 Irfan Islamy, op. cit., hal. 1832 Joko Widodo, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi
Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Insan Cendekia, 2001): hal.18933 Amir Santoso, “Analisis Kebijaksanaan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3,
(Jakarta: Gramedia, 1993): hal..4-5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah ”serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian Keputusan dan tindakan”.
Berkaitan dengan definisi kebijakan publik, Anderson mengatakan
bahwa:34 “public policies are those policies developed by goverment bodies
and officials” (kebijakan negara adalah kebijakan kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Menurut
Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara tersebut adalah:35
1. bahwa kebijakan negara itu mempunyai tujuan.2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat pemerintah.3. bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar
dilakukan oleh pemerintah. Jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4. bahwa kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, dan
5. bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan atau selalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa.
Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan publik yang telah
diuraikan di atas, maka kebijakan publik yang dimaksud dalam tulisan ini
34 Irfan Islamy, op. cit., hal. 19. 35 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
adalah kebijakan kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-
pejabat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka
untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang
diinginkan.
B. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Seperti telah diuraikan di atas “kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kebijakan publik itu
berupa sasaran atau tujuan program pemerintah. Untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah dipilih dan ditentukan tersebut sehingga dapat terwujud di dalam
masyarakat maka diperlukan beberapa sarana. Salah satu bentuk sarana yang
cukup memadai adalah hukum dengan berbagai macam bentuk peraturan
perundang-undangan yang ada. Dengan demikian, “law effectively legitimates
policy”, atau dengan perkataan lain, “proper attention to the use of law in
public policy formulation and implementation requires an awarness of the
condition under which law is effective”.36 Dengan kata lain hukum merupakan
sarana untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Hukum merupakan
serangkaian alat untuk merealisasi kebijaksanaan pemerintah.
Sejalan dengan apa yang telah diuraikan di atas maka pembuatan
kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan
bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Immanuel Kant,
Negara hukum merupakan salah satu tujuan Negara, maksudnya:
Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan adalah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan Negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat
36 Jay A. Sigler dan Benjamin R Beede, The Legal Sources of Public Policy, (California: D.C.
Health and Company, Belmont, 1977): hal.5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan Negara itu sendiri. Baik Negara maupun perorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan yang lain sebagai sesamanya sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Sehingga Negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tidak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa.37
Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan
yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus
didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan
tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan
keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekaligus
memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh
warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum
administrasi adalah “melindungi administrasi Negara itu sendiri”.38 Maksudnya,
kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah akan mendapat perlindungan
hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap
kekuasaan yang dimiliki pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pembatasan itu perlu dilakukan karena sekecil apapun kekuasaan yang
digenggam suatu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam
keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”.39
Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya
bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang
bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya
penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka hukum dapat
37 Didid NazmiYunas, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992): hal.26. 38 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
(Bandung: Alumni, 1992): hal..6 39 Cornelis Lay, “Lembaga Kepresidenan Di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian
Atas Lembaga Kepresidenan RI, (Yogyakarta: Pandega Media dengan BEM UGM, 1997) : hal. 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis
hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan
memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat.
2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi.
3. Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi
melawan kritik.
4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-
sumber daya.40
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum dapat
digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah
hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and
executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for
public policy”.41 Dengan demikian dasar bagi suatu pembuatan kebijakan
publik oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah harus didasarkan
pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini,
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ditentukan jenis dan hieraki
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
40 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994): hal.
76-77. 41 Jay. A. Sigler, Beede and Rutgers, op. cit., hal. 4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan
publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang
baik (general principle of goal of administration), Asas-asas ini meliputi:
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of
equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of
competence);
7. Asas permainan yang layak (principles of fair play);
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition
of arbitrariness);
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised
expectation);
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of
undoing the consequences of an annulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of
protecting the personal way of life);
12. Asas kebijaksanaan (sapientia);
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).42
Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum
pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik
42 Ateng Syafrudin, “Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian
Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), penyusun: Paulus Efendi Lotulung, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994): hal. 38-39.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin
adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya,
kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan” dalam bentuk hukum,
karena sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman
dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas.
Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran
praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan
prinsip saling mengisi. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa
“sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka
produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula
sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum
tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik
tersebut”.43
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat kita lihat dalam
prakteknya, dimana keduanya dalam penerapannya dapat saling melengkapi
sehingga baik hukum maupun kebijakan publik dalam penerapannya dapat
berjalan dengan lebih baik. Hubungan simbiosis mutualisme tersebut dapat
dilihat dari tiga sektor kajian, yakni formulasi, implementasi dan evaluasi.
Dalam perbincangan hubungan hukum dan kebijakan publik dalam
konteks formulasi, sesungguhnya kita akan membahas bagaimana antara
pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik itu dapat saling
memperkuat satu dengan yang lainnya. Pada tingkatan implementasi kita akan
berbicara tentang bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan
publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasil-hasil hukum dan
kebijakan publik di lapangan. Sedangkan pada konteks evaluasi kita akan
banyak membahas tentang bagaimana perbaikan kebijakan publik yang selama
43 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
ini berjalan dapat dievaluasi dengan baik dengan bantuan hukum sebagai
instrument penguat diterapkannya rekomendasi-rekomendasi evaluasi kebijakan
publik yang ada.44
C. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-Undangan
1. Pengertian Perundang-Undangan
Belum ada kesepakatan para ahli mengenai pengertian perundang-
undangan. Ketidaksepakatan para ahli tersebut pada persoalan apakah
perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung
arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.
Menurut Fockema Andrea dalam Maria Farida, istilah “perundang-
undangan” (Legislation, wetgeving, atau Gezetzgebung) mempunyai dua
pengertian yang berbeda, yaitu:
a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses
membentuk peraturan Negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat
daerah.
b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan
hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di
tingkat Daerah.45
Lebih lanjut Maria Farida menyatakan, apabila kita membicarakan
Ilmu Perundang-Undangan, maka kita membahas pula proses
pembentukan/perbuatan membentuk peraturan-peraturan Negara, dan
sekaligus seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari
pembentukan peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat Pusat maupun di
Daerah.46 Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
44 Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik (Surabaya: Averroes Press,
Cet.1, 2002): hal. 39 45 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, Cet. Kelima, 1998): hal.3 46 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 2
adalah:”Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.”
Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan
istilah perundang-undangan berbeda dengan peraturan perundang-
undangan. Perundang-undangan menggambarkan proses dan teknik
penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan
istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan
jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan
Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk
menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk hukum tertulis)
yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh
Pejabat atau Lembaga yang berwenang.47
Jadi kriteria suatu produk hukum disebut sebagai Peraturan
Perundang undangan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. bersifat tertulis
2. mengikat umum
3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.48
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang
dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, sebab
dapat saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya
untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula
aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun karena dikeluarkan
oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja.
Dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945,
47 http://massofa.wordpress.com/2008/04/29/perundang-undangan-di-indonesia/ , diakses
pada tanggal 5 November 201148 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
misalnya dapat disebutkan bentuk perundang-undangan, yang jelas-jelas
memenuhi tiga kriteria di atas adalah “Undang-undang”.49
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, asas-asas
hukum merupakan unsur mutlak yang harus diperhatikan dalam
penyusunannya. Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada
hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan
sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan
hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas
hukumnya. Asas hukum inilah yang memberikan makna etis kepada
peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.50
Suatu sistem hukum memiliki asas yang menjadi ukuran
keberadaan sistem hukum itu sendiri. Menurut Fuller, sistem hukum
haruslah mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan untuk
menciptakan sistem yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem
hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sistem hukum
sama sekali. Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum
diletakannya pada delapan asas yang dinamakannya “principles of
legality”, yaitu:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang
dimaksud disini adalah ia tidak boleh hanya sekedar mengandung
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang
demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk
menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan berlaku surut
berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi
49 Ibid50 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bhakti): hal. 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
waktu yang akan dating.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari.51
2. Norma Hukum Negara Republik Indonesia
Istilah norma, yang berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam
bahasa Arab dan sering disebut dengan pedoman, patokan atau aturan
dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi
seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi,
inti norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.52
Di dalam kehidupan masyarakat, selalu terdapat berbagai macam
norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara
kita berperilaku atau bertindak. Di Negara kita, norma-norma yang masih
sangat dirasakan adalah norma-norma adat, norma-norma agama, norma-
norma moral dan norma-norma hukum Negara. Norma-norma hukum itu
dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga
yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat,
agama dan lainya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
51 Ibid, hal. 5152 Maria Farida, op. cit, hal. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Di dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and
State, Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sistem norma, yaitu sistem
norma yang statik (nomostatic) dan sistem norma yang dinamik
(nomodynamic).53
Statika sistem norma (nomostatic) adalah suatu sistem yang
melihat pada “isi” suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik
menjadi norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari
suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma
umum, dalam arti norma umum itu dirinci menjadi norma-norma yang
khusus dari segi “isi’nya.54
Sistem norma yang dinamik (nomodynamics) adalah suatu sistem
norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara
pembentukan atau penghapusannya. Menurut Hans Kelsen, norma itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis,
dimana norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang labih tinggi berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai
akhirnya ‘regressus’ ini berhenti yang tidak dapat ditelusuri lagi pada suatu
norma tertinggi yang yang disebut norma dasar (Grundnorm). Norma dasar
atau sering disebut Grundnorm, basis norm, atau fundamental norm ini
merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara
presupposed, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.55
Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem
norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk
dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang
53 Ibid, hal. 7 54 Ibid, hal. 8 55 Ibid, hal. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma
tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya.56
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen
mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie),
dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan
fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).57 Norma dasar yang menjadi
gantungan norma-norma dibawahnya tersebut tidak dibentuk melainkan
ditetapkan telebih dahulu oleh masyarakat, sehingga dikatakan suatu norma
dasar pre-supposed.
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh
seorang muridnya yng bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa
suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte
Rechtsantlitz). Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia
bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia
juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya
sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht)
yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila
norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-
norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.58
Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang
56 Ibid, hal. 9 57 Ibid, hal. 2558 Ibid, hal. 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu
selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah
norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang
lebih tinggi. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di
bawahnya sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi
rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya.
Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul
Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan Teori Hans
Kelsen suatu norma hukum dari Negara mana pun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
berdasar, dan bersumber norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu
norma tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi Hans Nawiasky juga
berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,
norma hukum dari suatu Negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans
Nawiasky mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu Negara itu
menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara)
Kelompok II : Staatgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan
pelaksana dan aturan otonom)59 .
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada
59 Ibid, hal. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
dalam tata susunan norma hukum setiap Negara walaupun mempunyai
istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma norma hukum yang
berbeda dalam tiap kelompoknya.
Norma fundamental Negara yang merupakan norma tertinggi
dalam suatu Negara adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma
yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu
oleh masyarakat dalam suatu Negara dan merupakan suatu norma yang
menjadi 60tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya.
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar
suatu Negara (Staatvervassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat
hukum Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum
adanya konstitusi atau undang-undang dasar.61
Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara
(Staatgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum di bawah di bawah
norma fundamental Negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok
Negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan
merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga
masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder.62
Menurut Hans Nawiasky, suatu aturan dasar/pokok Negara dapat
dituangkan dalam suatu dokumen Negara yang disebut Staatvervassung
atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen Negara yang tersebar
yang disebut dengan istilah Staatgrundgesetz. Di dalam setiap aturan dasar
pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan
Negara di puncak pemerintahan, dan selain itu diatur juga hubungan antara
61 Ibid, hal. 28 62Ibid, hal. 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
lembaga-lembaga tinggi/tertinggi Negara serta diatur hubungan antara
Negara.63
Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah aturan
dasar pokok Negara (Staatsgrundgesetz) adalah Formell Gesetz atau
diterjemahkan dengan undang-undang (‘formal’). Berbeda dengan
kelompok-kelompok norma di atasnya, yaitu norma dasar Negara dan
aturan dasar/pokok Negara, maka norma-norma dalam suatu undang-
undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci
serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma
hukum dalam undang-undang ini tidak saja hanya norma yang bersifat
tunggal, tetapi norma-norma hukum tersebut sudah dapat dilekati norma
sekunder disamping norma-norma primernya, sehingga suatu undang-
undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi,
baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.64
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan
pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung).
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturan-
peraturan yang terletak di bawah undang-undang, di mana peraturan
pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan
norma otonom bersumber dari kewenangan atribusi.65
Sistem norma hukum Indonesia pernah mengalami perubahan
hierarki susunan peraturan perundang-undangan. Hierarki susunan
peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini tercantum dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 .
636363 Ibid64 Ibid, hal. 32 65 Ibid, hal. 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011,
pedoman hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia tercantum
dalam dua produk hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPR/MPRS). Pertama,
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
RI. Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
Tata Urutan Peraturan Peundang-Undangan Indonesia menurut
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden; dan
6. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR
No. III/MPR/2000 , adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden; dan
7. Peraturan Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menurut Undang-
Undang No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011, adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya.
Sistem norma hukum/hierarki perundang-undangan di Indonesia
merupakan pencerminan dari teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan
teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky. Hal ini terlihat dalam
sistem norma hukum Negara Republik Indonesia yang pernah diberlakukan
(TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR RI No. III/MPR/2000)
dan yang saat ini sedang berlaku (Undang-Undang No. 10 Tahun 2004),
berada dalam suatu sistem hierarki/susunan yang berjenjang-jenjang,
berlapis-lapis, dan sekaligus berkelompok-kelompok.
Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan
berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma
hukum yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma hukum yang
lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma
fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu
Pancasila. Asasnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Sistem norma hukum Indonesia menggaris bawahi bahwa
Pancasila merupakan norma hukum tertinggi atau sumber dari segala
sumber hukum negara. Jenjang di bawah Pancasila sekaligus menempati
puncak hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UUD
1945 sebagai aturan dasar Negara/aturan pokok Negara
(Staatsgrundgesetz). Namun sebelum Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibentuk, disamping
UUD 1945, TAP MPRS/MPR juga menjadi aturan dasar Negara/aturan
pokok Negara. Saat ini TAP MPRS/MPR tidak lagi termasuk dalam jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Norma hukum selanjutnya di bawah UUD 1945 adalah Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Formell
Gesszt), dan terakhir Peraturan Daerah masuk dalam kategori sebagai
peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung dan Autonome
Satzung).
3. Ruang Lingkup Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-
undangan
Sering kita mendengar kata sinergi tanpa mengetahui arti kata
tersebut. Menurut kamus besar bahasa Indonesia sinergi mempunyai arti
kegiatan atau operasi gabungan.66 Kata yang sering disepadankan dengan
sinergi adalah integrated (terpadu). Khasanah bahasa kita kurang lebih
mempersamakan kedua istilah kata tersebut. Istilah “sinergi” kita adopsi
dari suatu pengertian dalam bisnis. Synergism diartikan sebagai “a
66 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, Edisi IV): hal. 1312
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
combination of known elements or fungctions that create a result greater
than the sum of the individual elements or functions”.67 Selain itu sinergi
mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan
keluaran lebih baik dan lebih besar.68 Apabila pengertian tersebut kita
alihkan ke dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, maka sinergi
merupakan keterpaduan antara peraturan perundang-undangan yang
mengatur satu sektor tertentu, dimana peraturan perundang-undangan
tersebut harus saling terkait (terintegrasi) satu dengan yang lain agar
pengaturan atas suatu sektor tertentu menjadi lebih baik dan efektif.
Langkah awal untuk mencapai sinergi/keterpaduan tersebut adalah melalui
sinkronisasi peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga tidak terjadi
konflik atau tumpang tindih norma antara peraturan perundang-undangan
yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyerasian berbagai
peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan perundangan-
undangan yang telah ada dan sedang disusun yang mengatur suatu sektor
tertentu.69 Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan
landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan
kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu
secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih,
inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya
dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi
67 http://pkbh.uad.ac.id/sinergi-fungsi-dan-peran-advokat-dikaitkan-dengan-uu-nomor-18-
tahun-2003-tentang-advokat-dalam-penegakan-hukum-sistem-peradilan-dalam-tataran-praktis, diakses pada tanggal 31 Mei 2012
68 http://sibosnetwork.wordpress.com/2007/02/12/kata-sinergy/, diakses pada tanggal 31 Mei 2012
69 http///www.penataanruang.net.ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4 , diakses pada tanggal 12 Januari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun
horizontal.70
Sinkronisasi juga berkaitan dengan penentuan materi suatu
undang-undang, Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa:71
Materi muatan suatu peraturan perundang-undangan suatu Negara, dapat ditentukan atau tidak tergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan Negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan Negara yang menentukannya dan di Belanda soal-soal politiklah yang menentukan materi wet , karena itu tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Pensikronisasian suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang-undang, ditentukan oleh penentuan batas materi muatan undang-undang dimaksud.
Pembentukan suatu undang-undang apabila ditinjau dari aspek
subtansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari
suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah
hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-
aturan hukum.72 Lebih jauh aspek materil ini berkenaan dengan
pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek
formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-
undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman
terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan.73
Aspek materil dan aspek formal ini saling berhubungan secara
timbal balik dan dinamis. Aspek materil yang memuat jenis-jenis kaidah
memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak
70 Ibid71 A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan
Kebijakan (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1993): hal. 119 72 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
(Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2009): hal. 22273 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat
diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif
dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.74 Demikian sebaliknya dimana
sebuah prodak perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek
formal/prosedural, yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-
undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna
serta respek untuk mendapat pengakuan yang memadai dari pihak yang
terkena dampak pengaturan aturan tersebut memerlukan landasan dan
legitimasi dari aspek materil/subtansial.75 Melalui proses sinkronisasi
materi muatan undang-undang akan tercapai harmonisasi peraturan
perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan
ganda dan pertentangan norma antar peraturan perundang-undangan
tersebut.
Sinkronisasi peraturan perundangan-undangan dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan asas-asas peraturan perundang-undangan.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, asas-asas umum
perundang-undangan terdiri dari:76
1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif)
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis)
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih dahulu (lex posteriori derogate lex periori)
5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat6. Peraturan perundang-undangan merupakan sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual
74 Ibid75 Ibid, hal. 223 76 Purnadi Purbacarak dan Soerjono Soekanto, Peraturan Perundang-Undangan dan
Yurispudensi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet.3): hal. 7-11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat)
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
secara vertikal dan atau horizontal. Sinkronisasi Vertikal dapat
diselesaikan dengan asas hukum Lex Superiori derogate Lex Inferior
(peraturan/undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan
peraturan/undang-undang yang lebih rendah), sehingga sinkronisasi
vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk suatu sektor tertentu tidak bertentangan
antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau
hieraki perundang-undangan yang ada.77 Sedangkan sinkronisasi
horizontal dapat diselesaikan/ dibantu dengan menggunakan dua asas
hukum yaitu: Lex Posteriori derogate Lex Priori (Peraturan / undang-
undang baru mengenyampingkan peraturan / undang-undang lama) dan
Lex Speciali derogate Lex Generale (Peraturan / undang-undang yang
bersifat khusus mengenyampingkan Peraturan /undang-undang yang
bersifat umum).78 Dengan demikian sinkronisasi horizontal dilakukan
dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat
dan mengatur sektor yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga
harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu
diterapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.79
D. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Alam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah sumber hukum tertinggi dalam
melakukan pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam di
Indonesia. Di dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan
77 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009): hal. 28 78 Ibid79 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal 33
ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan
alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan
“hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.80
Terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut di atas tidak pernah
ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh
Negara”. Namun satu hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh
Negara tidak sama dengan dimiliki oleh Negara. Kesepakatan ini
bertalian dengan dan atau suatu bentuk reaksi dari sistem atau konsep
domein yang dipergunakan pada masa kolonial Hindia Belanda.81
Konsep atau lebih dikenal asas domein, mengandung pengertian
kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu
memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat
kepemilikan (eigensdaad).82 Pengertian hak menguasai Negara ditemukan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), memberikan makan “hak
menguasai negara”, yaitu wewenang untuk:83
a. Mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan:
“Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
80 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet.1, 2010): hal.15
81 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2011): hal.123 82 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
UII, 2004): hal. 23083 Ibid., hal. 231
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”.84
Berkaitan dengan itu, AP Parlindungan lebih lanjut menegaskan
bahwa: “Kesimpulan Pasal 1, 2, 3, 4, dan 9 UUPA, kesemuanya dalam
konteks dengan ketahanan nasional sebagaimana disebutkan oleh Pasal 2
ayat 4 UUPA: “Wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara
tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejateraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”85
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tujuan dari dikuasai
Negara baik menurut UUD 1945 maupun UUPA adalah untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban
Negara sebagai berikut:86
- Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
- Melindungi dan menjamin segala segala hak-hak rakyat yang
terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam
tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati
langsung oleh rakyat.
- Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
84 AP Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA (Mandar Maju: Bandung, 1989): hal. 3
85 Ibid86 Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD
1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://panmohamadfaiz.com/2006/10/08/penafsiran-konsep-penguasaan-negara/, diakses tanggal 25 Februari 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan hak nya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan
hak penguasaan Negara atas sumber daya alam yang sekaligus
memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, Negara hanya
melakukan pengurusan (bestuurdaad) dan pengolahan (beheersdaad),
tidak untuk melakukan eigensdaad.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUUI/2003 penguasaan Negara berarti bahwa Negara berwenang
untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi pengelolaan dan
pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Pengurusan,
pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi, yaitu:
1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat;
2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip:
a. Kebersamaan;
b. Efisiensi berkeadilan;
c. Berkelanjutan;
d. Berwawasan lingkungan;
e. Kemandirian;
f. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya
dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang
hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di
dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
memberi wewenang kepada pemerintah untuk:87
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan
kawasan hutan;
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Penguasaan itu tetap memperhatikan hak masyarakat Hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui kebenarannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain itu, Pemerintah juga
mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain
untuk melakukan kegiatan di sektor kehutanan ataupun di luar sektor
kehutanan di dalam kawasan hutan.
Sama halnya dengan hutan, bahan galian tambang juga dikuasai
oleh Negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penguasaan Negara atas bahan galian tambang merupakan kewenangan
yang diberikan oleh hukum kepada Negara untuk mengurus, mengatur
dan mengawasi pengelolaan bahan galian sehingga di dalam pengusahaan
dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat.
Kedudukan Negara adalah sebagai pemilik bahan galian mengatur
peruntukan dan penggunaan bahan galian untuk kemakmuran masyarakat
sehingga Negara menguasai bahan galian. Tujuan penguasaan oleh
Negara (pemerintah) adalah agar kekayaan nasional tersebut
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha,
sekalipun memiliki hak atas sesektor tanah di permukaan, tidak
87 Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 3, 2006): hal. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
mempunyai hak menguasai ataupun memiliki bahan galian yang
terkandung di dalamnya.88
Penguasaan oleh Negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan adalah wewenang
yang diberikan Negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, baik terhadap bahan galian strategis,
vital maupun golongan C.89
E. Desentralisasi Dalam Kerangka Otonomi Daerah
a. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa
latin yaitu “de” = lepas dan “centerum” = pusat. Berdasarkan
peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat.
Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri;
nomos = undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri”
(zelfwetgeving).90 David M. Brock, menyatakan “autonomy may be
defined as the degree which one may make significant decisions
without the consent of others.” (otonomi dapat diartikan sebagai
suatu kondisi dimana seseorang dapat membuat keputusan tanpa
perlu persetujuan dari pihak lain)91
Sedangkan desentralisasi secara umum dapat dimaknai
sebagai wujud komitmen para penyelenggara pembangunan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam
88 Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, Cet.5,
2010): hal. 10 89 Ibid.90 RDH. Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, Binacipta, Bandung, hal. 1491 David M. Brock, “Autonomy of Individuals and Organizations: Toward a Strategy
Research Agenda” , International Journal of Business and Economics, 2003, Vol, 21, No.1, 53-57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan di
daerahnya masing-masing.
Menurut Smith92, “Decentralizations is usually defined as any
act by which central government formally cedes powers to actors and
institusions at lower level in political administrative and territoria
hierarchy”.(Desentralisasi seringkali diartikan sebagai tindakan
pemerintah pusat yang menyerahkan wewenangnya kepada institusi
atau pemerintah di bawahnya secara politik administrasi dan
territorial hiraki)
Dua istilah yang penting dalam konteks hubungan pemerintah
pusat dan daerah pasca reformasi adalah desentralisasi dan otonomi
daerah. Dua sektor tersebut (desentralisasi dan otonomi daerah)
merupakan konsep yang berbeda, namun saling berhubungan satu
dengan yang lainnya, bahkan merupakan dua konsep yang tidak
dapat dipisahkan.93
Desentralisasi dapat diartikan sebagai sebuah mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan
antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal.94
Desentralisasi dapat juga diartikan sebagai mekanisme pengaturan
relasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur pemerintahan.95
Sementara Otonomi Daerah dalam konsepnya lebih merupakan
92 Jesse C. Ribot, “Waiting for Democracy The Politics of Choice in Natural Resource
Decentralizations”, World Research Institutes Report, Washington, DC, 200493 R. Siti Zuhro, dkk, Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya
(Yogyakarta: Ombak, 2010): hal. 10 94 Syaukani, dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002): hal. xvii 95Syarif Hidayat, Desentralisasi: Tinjauan Literatur tentang Konsep Dasar, Pengalaman
Negara Lain dan Dinamika Kebijakan di Indonesia, dalam Susanto, Hari (Ed.), Otonomi Daerah Toeri dan Kenyataan Empiris (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004): hal.1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
persoalan hak dan kewajiban daerah (Pemda dan masyarakat) dalam
proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.96
Pelaksanaan desentralisasi dan pemberian otonomi pada
daerah dalam konteks Indonesia pasca reformasi, harus tetap dilihat
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara struktural bukan berarti daerah sama sekali terlepas dari
pemerintah pusat, namun ada pembagian urusan dan kewenangan-
kewenangan yang asalnya merupakan kewenangan pemerintah pusat
yang kemudian dilimpahkan kepada daerah.97
Sebagai salah satu sendi Negara yang demokratis
(democratischerechtsstaat), desentralisasi merupakan pilihan yang
tepat dalam rangka menjawab berbagai persoalan yang dihadapi
Negara dan bangsa sekarang dan di masa yang akan datang.98
Pentingnya desentralisasi pada esensinya agar persoalan yang
kompleks yang dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor
heterogenitas dan kekhasan daerah yang melingkunginya, seperti,
budaya, agama, adat-istiadat, dan luas wilayah yang jika ditangani
semuanya oleh pemerintah pusat merupakan hal yang tidak mungkin
karena adanya keterbatasan dan kekurangan di semua aspek dapat
diselenggarakan dengan baik oleh pemerintah daerah yang memang
memahami kekhasan daerah mereka masing-masing.
Desentralisasi mengandung makna adanya pengakuan dari
penentu kebijaksanaan pemerintahan Negara terhadap potensi dan
kemampuan daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah-
daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan,
dengan melatih diri menggunakan hak yang seimbang dengan
96 Ibid 97 R. Siti Zuhro, op. cit., hal.10 98 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD
dan Kepala Daerah (Bandung: PT. Alumni, Edisi Kedua, Cet.1, 2008): hal. 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
kewajiban masyarakat yang demokratis. Dalam ungkapan lain,
melaksanakan sistem desentralisasi adalah untuk menumbuhkan
kebiasaan yang baik dalam menyerap, merumuskan dan mengambil
keputusan memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam lingkup
daerah sendiri dengan memperhatikan dan mengindahkan
kepentingan yang sifatnya nasional baik berupa perencanaan maupun
pelaksanaan kebijaksanaan nasional.99
Salah satu bentuk desentralisasi adalah pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagai
pihak yang paling mengerti dan mengenali aspirasi masyarakat di
daerah yang bersangkutan. Maka dari itu di Indonesia desentralisasi
menjadi lebih dikenal dengan otonomi daerah.100
Rondinelli, sebagaimana dikutip oleh Gustam Idris,
mengemukakan tiga bentuk desentralisasi:101
1. Dekonsentrasi (deconsentration), bersifat field (lapangan), dan local administration (integrated local administration and unintegrated administration).Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrasi antara departemen pusat di lapangan.Pada tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, namun pegawainya tetap departemen pusat. Pada integrated local administration, tenaga staf departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada pemda. Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan pemda berdiri sendiri mereka bertanggung jawab
99 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi Dan Desentralisasi Dalam
Pembangunan Daerah (Yogyakarta: Citra Media, Cet. 1, 2006): hal. 54 100 Subadi, op. cit, hal. 18 101 http://www.scribd.com/doc/53196793/27/Dikuasai-oleh-Negara-atau-Hak-Menguasai-
Negara, diakses tanggal 8 November 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
kepada departemen masing-masing. Koordinasi dilakukan secara informal.
2. Delegasi wewenang kepada badan semi otonommerupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung di bawah pemerintah pusat (BUMN di Indonesia)
3. Devolusi kepada pemerintahan daerahPemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintah pusat, wilayah jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan; unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum yang berwenang mengelola sumber daya.
4. Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi)
Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah.
Menurut teori center peripheral relationships, dalam
pendekatan formulasi wewenang pusat dan daerah, pusat adalah
bagian dari masyarakat yang wewenangnya di kontrol. Sedangkan
pinggiran atau daerah adalah lokasi dimana wewenang
digunakan/dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilai-
nilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and
beliefs). Pusat adalah sistem nilai karena di dukung oleh
kewenangan-kewenangan untuk berkuasa dari masyarakat. Sistem
nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti
melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang
dalam sistem nilai-nilai tersebut.102
102 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
R. Tresna103 menggolongkan desentralisasi menjadi
ambtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) dan staatskundige
decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan). Desentralisasi
ketatanegaraan dapat berupa “desentralisasi teritorial” dan
“desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi)
adalah pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka
kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. Desentralisasi
ketatanegaraan memberikan kekuasaan untuk mengatur bagi daerah
di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi
pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna, mengemukakan desentralisasi
dapat juga berbentuk “otonomi” dan “medibewind”. Otonomi
mengandung makna regeling dan bestuur, sedangkan medibewind
merupakan tugas pembantuan.104
Di Belanda, medibewind dipahamkan sebagai pembantu
penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah
yang tingkatnya lebih atas oleh alat perlengkapan pemerintahan
daerah yang tingkatannya lebih rendah. Urusan itu tidak beralih,
tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab
tetap kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan
pengaturannya berada pada sepenuhnya daerah yang memberi
bantuan.
Secara konstitusional norma-norma dasar penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah diatur dalam beberapa Pasal yaitu,
Pasal 18 ayat (2), (4), (5), (6), dan 18 A ayat, (1), (2) amandemen
kedua UUD 1945. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut
guna mewujudkan komitmen otonomi daerah maka diterbitkannya
103 Ibid104 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
lah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Di dalam konstitusi tersebut, ada dua nilai dasar dalam
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di daerah, yaitu nilai unitaris
dan desentralisasi teritorial. Nilai unitaris artinya tidak akan ada
kesatuan pemerintah lain di dalam Negara RI yang bersifat Negara.
Sedangkan nilai dasar desentralisasi territorial diwujudkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi
daerah.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut,
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan
dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelengaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan
daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.105
Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan
atau pengakuan atas urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan
dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Ada dua tujuan
utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu
tujuan politik dan tujuan administrasi. Tujuan politik akan
memposisikan Pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik
bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan
105Made Suwandi, 2002, Makalah Konsep Dasar Otonomi Daerah Indonesia Dalam Upaya
Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien, Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, hal. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
berkonstribusi pada pendidikan publik secara nasional untuk
mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan
administratif akan memposisikan Pemerintah daerah sebagai unit
pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan
pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis.106
Berdasarkan tujuan politis dan administratif tersebut, maka
tujuan dari keberadaan pemerintah daerah adalah mensejahterakan
masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif,
efisien dan ekonomis dan melalui cara-cara yang demokratis. Peran
pusat dalam kerangka otonomi daerah akan bersifat menentukan
kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol
dan pemberdayaan sehingga daerah dapat melaksanakan otonominya
secara optimal. Sedangkan peran daerah lebih banyak bersifat
pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dalam melaksanakan
otonominya daerah berwenang membuat kebijakan daerah. Kebijakan
yang diambil daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang
diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi.107
Sebagaimana telah disebutkan, landasan yuridis konstitusional
pemerintahan daerah tercantum dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan B,
UUD 1945. Perkembangan paradigma dan arah politik dalam sektor
pemerintahan daerah yang terakomodir dalam UUD 1945 tersebut
tampak dari prinsip-prinsip dan ketentuan sebagai berikut:
1. prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal
18 ayat 2).
2. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 2).
106 Ibid, hal. 5.107 Ibid, hal., 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
3. prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A ayat 1).
4. prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2).
5. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang
bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat 1).
6. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan
umum (Pasal 18 ayat 3).
7. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilakukan secara selaras
dan adil (Pasal 18 A ayat 2).108
Dari prinsi-prinsip tersebut, tampak bahwa sendi-sendi
otonomi telah terpenuhi. Sendi-sendi otonomi yang dimaksud
adalah :
1. Pembagian kekuasaan (sharing of power)
2. Pembagian pendapatan (distribution of income)
3. Kemandirian administrasi daerah (empowering).109
Mengingat semakin besarnya tanggung jawab pemerintah
daerah (daerah otonom) tersebut, maka demi kelancaran dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah serta suksesnya
pembangunan di daerah, perlu didukung oleh beberapa faktor,
antara lain:
1. Tata hukum yang jelas, khususnya sektor hukum administrasi
Negara.
2. Standar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tinggi.
3. Manajerial organisasi pemerintahan yang baik, termasuk juga
menyangkut birokrasi pemerintahan.
4. Strategi pembangunan yang tepat dan efektif.110
108 Ni’matul Huda, op. cit. hal. 20.109 Ibid,.hal. 83 110 Subadi, op. cit., hal. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dengan adanya pemberian keleluasaan kepala daerah, maka
daerah harus dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat menjadi lebih baik, mau mengembangkan kehidupan
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan
yang serasi antara Pusat dan Daerah maupun antara sesama daerah,
sehingga akan terjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah
Dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otnomi seluas-luasnya dan
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dalam
penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi
yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran
serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi kekhasan
daerah. Otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yakni memberdayakan daerah dan
meningkatkan kesejahteraan.
Lebih lanjut dalam penjelasan umum UU Pemerintahan
Daerah dijelaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan
pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan-urusan
pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan
pemerintah.
Dalam pembagian ini, yang disebut urusan pemerintahan,
ada yang menjadi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah dan ada urusan pemerintahan yang bersifat concurrent,
yang dalam penanganannya dalam bagian atau sektor tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan daerah.
Dalam UU Pemerintahan Daerah pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam pasal 10 :
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas perbantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
f. agama.
Berdasarkan Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah tersebut
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yang
sepenuhnya tetap meliputi kewenangan yang menyangkut poliik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan
agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
sepenuhnya tetap ini, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa (Pasal 10 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah).
Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah
diatur mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent.
Urusan pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Untuk
melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent
tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat berbentuk (1)
menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian kepada
Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan
kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian
hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar tingkat pemerintah.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila
regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional
menjadi kewenangan pemerintah.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari
urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan-pemerintahan dengan mempertimbangkan
tersedianya sumber daya untuk mendapatkan ketetapan, kepastian,
dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan
bagian urusan.
Berdasarkan kriteria ini, maka urusan yang menjadi
kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar, sedang urusan pilihan adalah urusan pemerintahan
terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.111
Terkait urusan pemerintahan yang bersifat concurrent,
dalam Pasal 2 ayat (4) PP 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (untuk
selanjutnya disebut PP Pembagian Urusan Pemerintahan)
disebutkan urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama antar
111 Lili Romli, op.cit., hal. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, terdiri dari sektor urusan
pemerintahan yang meliputi:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan umum;
d. Perumahan;
e. Penataan ruang;
f. Perencanaan pembangunan;
g. Perhubungan;
h. Lingkungan hidup;
i. Pertanahan;
j. Kependudukan dan catatan sipil;
k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. Sosial;
n. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. Penanaman modal;
q. Kebudayaan dan pariwisata;
r. Kepemudaan dan olah raga;
s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. Statistik;
w. Kearsipan;
x. Pepustakaan;
y. Komunikasi dan informatika;
z. Pertanian dan ketahanan pangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
aa. Kehutanan
bb. Energi dan sumber daya mineral
cc. Kelautan dan perikanan;
dd. Perdagangan; dan
ee. Perindustrian.
Ketiga puluh satu sektor urusan pemerintahan tersebut di
atas dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam lampiran PP
Pembagian Urusan Pemerintahan tersebut.
Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah urusan wajib
pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah sebanyak
16 urusan pemerintahan. Ke-16 urusan pemerintahan itu berlaku
baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota,
sedangkan yang membedakannya adalah skala berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi seperti disebutkan di
atas.112 Oleh karena itu, baik urusan pemerintahan provinsi maupun
urusan pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas urusan:
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan sektor kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
7. Penanggulangan masalah sosial;
8. Pelayanan sektor ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
112 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan dn catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar;
16. Dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan wajib daerah
sebagaimana tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7
ayat (2) PP Pembagian Urusan Pemerintahan, urusan wajib tersebut
meliputi:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Lingkungan hidup;
d. Pekerjaan umum;
e. Penataan ruang;
f. Perencanaan pembangunan
g. Perumahan;
h. Kepemudaan dan olahraga;
i. Penanaman modal;
j. Koperasi dan usaha kecil dan menengah
k. Kependudukan dan catatan sipil;
l. Ketenagakerjaan;
m. Ketahanan pangan;
n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. Perhubungan;
q. Komunikasi dan informatika;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
r. Pertanahan;
s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. Sosial;
w. Kebudayaan;
x. Statistik;
y. Kearsipan; dan
z. perpustakaan
Selain urusan wajib tersebut, pemerintah daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) selain menyelenggarakan urusan wajib juga
dapat melaksanakan urusan pilihan. UU pemerintahan daerah tidak
menyebutkan secara eksplisit apa saja yang menjadi urusan pilihan
tersebut. Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU Pemerintahan
Daerah hanya menyebutkan kriteria yang menjadi urusan pilihan
tersebut adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Jenis urusan pilihan itu baru disebutkan secara eksplisit ada
pada penjelasan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) UU
Pemerintaha Daerah jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan
Pemerintahan, urusan pilihan tersebut meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
Berdasarkan pembagian urusan tersebut, pemerintah pusat
dan daerah pada hakikatnya mempunyai fungsi yang sama dan
hanya dibedakan oleh cakupan kekuasaan dan kewenangan masing-
masing, maka sudah semestinya pola hubungan pemerintah pusat
dan daerah bersifat saling melengkapi dan saling ketergantungan.
Artinya, pemerintah pusat tidak berfungsi tanpa adanya pemerintah
daerah, begitu pula sebaliknya, karena kedua tingkat pemerintahan
mengemban fungsi secara saling melengkapi. Dengan demikian
maka legitimasi pemerintah pusat ditentukan oleh keberadaan dan
kepercayaan pemerintah daerah, sebaliknya pemerintah daerah
membutuhkan justifikasi pusat bagi penyelenggaraan pemerintahan
secara mandiri dan otonom.113
F. Tinjauan Umum tentang Perizinan
1. Pengertian Perizinan
Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai
perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya
memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah
dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Pengertian
izin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pernyataan
mengabulkan atau persetujuan membolehkan. Sedangkan perizinan berarti
hal pemberian izin.
113 Ibid., hal. 159
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan
dalam hukum administrasi. Pemerintah Menggunakan izin sebagai sarana
yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya. Apabila ada sesuatu
yang dilarang dilakukan, maka dengan dikeluarkannya izin, penguasa
memperkenankan orang yang memohon izin untuk melakukan tindaka
yang sebelumnya dilarang tersebut.
Utrecht mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya
tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya
asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal
konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).114 Izin (vergunning)
adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.115 Bagir
Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan
dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara
umum dilarang.116
Izin tidak sama dengan pembiaran. Kalau ada suatu aktifitas dari
anggota masyarakat yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tetapi ternyata tidak dilakukan penindakan oleh
aparatur yang berwenang, pembiaran seperti itu bukan berarti dizinkan.
114 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Suarabaya: Pustaka Tinta Mas, 1998):
hal. 187.115 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik (Jakarta: Sinar Grafika,
Cet. 1, 2010): hal. 168 116 Bagir Manan, 1995, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Peraturan Penyelenggaraan Hak
Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Dasar 1945, Makalah, tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Untuk dapat dikatakan izin harus ada keputusan yang konstitutif dari
aparatur yang berwenang menerbitkan izin.117
Berdasarkan pemaparan mengenai definisi izin oleh para ahli di
atas, maka terdapat kemiripan pendapat diantara mereka. Izin berkaitan
dengan suatu larangan bertindak dari penguasa, namun larangan tersebut
dapat disimpangi dengan adanya perkenan dari alat perlengkapan
administrasi negara yang berwenang melalui suatu persetujuan yang
memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu dari pihak pemohon izin.
Obyek dari pada perbuatan tersebut dilakukan di bawah pengawasan alat
kelengkapan negara.
Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan
fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan
dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuotan
dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau
diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang
bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.118 Dengan
memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi
memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan.119
2. Tujuan Perizinan
Izin bertujuan untuk mengendalikan kegiatan masyarakat.
Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan atau
tindakan tertentu yang saling berhubungan, larangan ini dimaksudkan
117 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan ( Jakarta: Grasindo, 2009): hal. 8
118 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan…, op. cit, hal.168 119 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
secara mutlak namun untuk dapat bertindak dan mengeluarkan izin,
khususnya dengan menghubungkan peraturan-peraturan pada izin itu.120
Tujuan Perizinan antara lain adalah:121
a. Keinginan mengarahkan/mengendalikan aktifitas-aktifitas tertentu
(misalnya izin bangunan).
b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (misalnya izin lingkungan).
c. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (misalnya izin tebang,
izin membongkar pada monumen-monumen).
d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit jumlahnya (izin penghuni
di daerah padat penduduk).
e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitsnya
(izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus
memenuhi syarat-syarat tertentu).
3. Unsur-unsur Perizinan
Beberapa unsur yang termuat di dalam perizinan, antara lain:
a. Instrumen Yuridis
Tugas kewenangan pemerintah dalam negara hukum modern adalah
menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tidak kalah
pentingnya juga adalah mengupayakan kesejahteraan umum
(bestuurzorg).122 Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga
ketertiban dan keamanan merupakan tugas penting dalam sebuah
negara hukum. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, pemerintah
diberikan wewenang dalam sektor pengaturan. Melalui fungsi
pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi
120 M. Hadjon, et.all., Pengantar Hukum Administrasi Negara, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Pers) : hal. 125
121 N.M Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon, (Srabaya: Yuridika, 1993): hal. 4-5
122 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2006): hal 211
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
peristiwa individual dan konkret yang dituangkan dalam bentuk
ketetapan (beschikking). Sesuai dengan sifatnya, ketetapan ini
merupakan ujung tombak dari instrument hukum dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
b. Peraturan Perundang-undangan
Pemerintah dalam memperoleh wewenang untuk mengeluarkan izin
adalah ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar dalam perizinan tersebut. Akan tetapi dalam
penerapannya, menurut Marcus Lukman, kewenangan pemerintah
dalam sektor izin itu bersifat deskresionare power atau berupa
kewenangan bebas, dalam arti pemerintah diberi kewenangan untuk
mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri hal-hal yang berkaitan
dengan izin tersebut, misalnya tentang:123
1) Kondisi-kondisi yang memungkinkan suatu izin dapat diberikan
kepada pemohon.
2) Hal mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.
3) Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul akibat pemerian atau
penolakan permohonan izin dikaitkan dengan pembatasan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Prosedur yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat dan
sesudah serta pada saat ketetapan izin diberikan baik penerimaan
ataupun penolakannya.
c. Organ Pemerintah
Organ pemerintah adalah instansi yang berwenang menjalankan urusan
pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut
Sjahran Basah, dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelenggaraan
pemerintahan dapat diketahui mulai dari adminitrasi negara tertinggi
123 Ibid, hal. 213
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
hingga yang terendah berwenang memberikan izin.124 Sedangkan
menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, “keputusan yang
memberikan izin harus diambil dari organ yang berwenang”.125
d. Peristiwa konkret
Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang
digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan
individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu
tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu.126
e. Prosedur dan Persyaratan
Permohonan izin harus menempuh prosedur yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, sebagai pihak pemberi izin. Selain untuk menempuh
prosedur yang telah ditetapkan pemerintah, pemohon izin harus
memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan secara sepihak
oleh pemerintah tersebut sebagai pemberi izin. Meskipun penentuan
prosedur dan persyaratan secara sepihak oleh pemerintah, tidak
dibenarkan pemerintah membuat dan menentukan dengan
kehendaknya sendiri secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar izin tersebut.
4. Bentuk dan Isi Izin
Izin termasuk dalam kategori ketetapan (beschikking). Ketetapan
dirumuskan sebagai perbuatan hukum administrasi negara sepihak yang
dilakukan oleh pejabat atau instansi negara yang berwenang khusus untuk
itu, dituangkan dalam bentuk tertulis berupa surat keputusan atau surat
edara yang ditujukan kepada subyek yang bersangkutan (pemohon izin).
124 Ibid125 Ibid, hal, 214.126 Ibid, hal. 215-216.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Secara umum, izin memuat hal-hal sebagai berikut:127
a. Organ yang berwenang
Dalam izin dinyatakan siapa yang berwenang memberikannya.
Biasanya, terdapat pada kepala surat dan penanda tangannya. Pada
umumnya, dalam sistem perizinan pembuat peraturan akan menunjuk
organ yang berwenang.
b. Subyek yang dialamatkan
Izin ditujukan kepada pihak yang berkepentingan, yaitu subyek hukum
yang terdiri dari perorangan maupun badan hukum. Ketetapan yang
memuat izin akan dialamatkan kepada pihak pemohon izin tersebut. Izin
diterbitkan setelah pemohon mengajukan permohonan dan tellah
memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang telah disebutkan.
c. Diktum
Diktum berupa uraian alasan izin tersebut diberikan dan akibat-akibat
hukum yang lahir sesudahnya demi mewujudkan kepastian hukum.
d. Ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat
Dalam keputusan izin terdapat ketentuan-ketentuan, pembatasan-
pembatasan dan syarat-syarat sebagaimana dengan keputusan lainnya.
Ketentuan adalah kewajiban-kewajiban yang dapat dikaitkan pada
keputusan yang menguntungkan apabila kewajiban tersebut dilanggar
menimbulkan suatu pelanggaran. Pembatsan-pembatasan digunakan
untuk membatasi waktu, tempat atau dengan cara lain seperti pada izin
lingkungan yang dapat berlaku sampai pada jangka wamtu tertentu.
Syarta-syarat dalam izin berupa syarat penghapusan dan syarat
penangguhan dimana untuk mengantisipasi peristiwa yang terjadi di
kemudian hari yang tidak pasti.
e. Pemberian alasan (konsiderans)
127 N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, op. cit, hal 11-15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Pemberian alasan dapat memuat hal-hal seperti penyebutan ketentuan
undang-undang yang diterapkan, pertimbang-pertimbangan hukum,
serta penetapan fakta-fakta sebagai acuan oleh organ yang berwenang
terhadap aturan yang relevan. Dalam keadaan tertentu, organ yang
berwenang dapat menggunakan data yang diperoleh dari pihak pemohon
izin, selain menggunakan data yang diperoleh dari para ahli atau biro
konsultan.
f. Pemberitahuan tambahan
Pemberitahuan tambahan adalah sejenis pertimbangan yang berlebihan,
yang pada dasarnya terlepas dari dictum selaku inti ketetapan dan
memuat tentang pengenaan sanksi akibat dari pelanggaran ketentuan
yang termuat dalam izin atau peraturan perundangan tentang perizinan
apabila dilanggar.
5. Syarat Sah Perizinan
Perizinan adalah merupakan suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh
pemerintah.Agar suatu ketetapan menjadi sah, maka harus memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu:
a. Ketetapan harus dibuat oleh organ yang mempunyai kekuasaan untuk
itu.
b. Ketetapan tidak boleh mempunyai kekurangan yuridis.
c. Ketetapan harus diberi bentuk yang ditetapkan di dalam peraturan
yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan
cara membuat ketetapan itu, bilamana caranya ditetapkan dalam
peraturan tersebut.
d. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi tujuan dasarnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
G. Kerangka Berpikir
1. Bagan
Untuk memudahkan alur pemikiran tesis ini disusun dengan bentuk
bagan sebagai berikut:
2. Penjelasan Bagan
Dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945
diletakan dasar konstitusional tentang hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah
PASAL 18 ayat (2), 18A ayat (2) DAN PASAL 33 UUD 1945
UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH
OTONOMI SELUAS-LUASNYA
KEWENANGAN PENGELOLAAN
PASAL 38 AYAT (3) jo PASAL 50 AYAT (3) HURUF G UU
NO 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
KEWENANGAN MENHUT MEMBERIKAN IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN
UNTUK KEPERLUAN PERTAMBANGAN
KEWENANGAN PENGELOLAAN HUTAN
KESESUAIAN
UU NO 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
hubungan pemerintah pusat dan daerah, diantaranya mengenai pembagian
urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat
dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas:
a. Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat
b. Urusan yang dibagi antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan,
yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan.
Adapun pembagian kewenangan untuk menyelesaikan urusan-
urusan pemerintahan di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauh
mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai wewenang
untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan.
Pembagian wewenang tersebut di atas, secara umum diatur dalam
UU Pemerintahan Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut juga
diatur dalam UU sektoral, namun pengaturan tersebut sering kali
menimbulkan berbagai macam persoalan karena kurang tepat dalam
pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terjadi tumpang tindih dan tarik-menarik kewenangan, termasuk dalam
masalah pengelolaan hutan dan pertambangan.
Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah
merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 ayat 2 dan 18 A ayat 2 UUD
1945. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah
untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Pasal 10 ayat (1) UU
Pemerintahan Daerah menyebutkan, “Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah”. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (3) UU
Pemerintahan Daerah disebutkan, “Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Politik luar negeri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.”
Dengan kata lain urusan pemerintahan selain sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, menjadi
kewenangan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam,
khususnya pengelolaan sumber daya hutan.
Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
mensyaratkan bahwa pemberian pinjam pakai kawasan hutan untuk
kepentingan pertambangan diberikan oleh Menteri Kehutanan, dengan kata
lain terdapat kewenangan Menteri Kehutanan untuk mengatur pengelolaan
kawasan hutan jo Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan yang
mengatur desentralisasi bidang kehutanan. Demikian hal nya dengan Pasal
18 dan 18A amandenen kedua UUD 1945, yang diejawantahkan dalam UU
Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, juga mensyarakatkan
desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, termasuk desentralisasi dalam pengelolaan kawasan hutan.
Berdasarkan hal tersebut di atas terdapat permasalahan pokok
bagaimana mensinkronkan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat
dan daerah dalam hal pengelolaan kawasan hutan termasuk dalam
kewenangan pemberian izin penggunaan kawasan hutan untuk keperluan
pertambangan pada era otonomi daerah. Untuk itu menarik untuk dikaji
kesesuaian Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g jo Pasal 66 ayat
(1), (2), dan (3) UU Kehutanan dengan Pasal 18 ayat (2) dan 18A ayat (2)
amandenem kedua UUD1945 sebagaimana diejawantahkan UU
Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, serta kesesuaian dengan UU
Minerba.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
H. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penulisan tesis ini antara lain:
1. Penelitian yang berjudul Peranan Dinas Pertambangan dalam Pengelolaan
Batu Bara terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten
Pasir Kalimantan Timur oleh Yusuf (Tesis Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada). Penelitian ini membahas implementasi kebijakan
otonomi daerah di Kabupaten Pasir Kalimantan Timur terkait peranan Dinas
Pertambangan dalam pengelolaan tambang batu bara dalam rangka
meningkatkan pendapatan asli daerah.
2. Penelitian yang berjudul Pemberdayaan Hukum Pertambangan dalam
Rangka Meningkatkan Pendapatan Daerah Studi Kasus Kabupaten Sanggau
oleh Karmindanu (Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).
Penelitian ini membahas arah kebijakan pengelolaan pertambangan dalam
rangka otonomi daerah di Kabupaten Sanggau dan sinkronisasi arah
kebijakan pemerintahan dalam meningkatkan pendapatan daerah dari sektor
pertambangan.
Kedua penelitian tesis di atas mempunyai kesamaan dengan penelitian
yang dilakukan penulis dalam hal obyek penelitian, yaitu kebijakan pengelolaan
pertambangan dalam rangka otonomi daerah. Namun, terdapat perbedaan fokus
penelitian antara kedua penelitian tesis tersebut dengan penelitian penulis.
Kedua penelitian tersebut di atas membahas kebijakan pengelolaan
pertambangan pada era otonomi daerah secara general, sedangkan penulis
memfokuskan pada kebijkakan pengelolaan pertambangan pada era otonomi
daerah khusus untuk kegiatan pertambangan yang berada di kawasan hutan.
Selain itu kedua penelitian di atas merupakan penelitian empiris yang
membahas implementasi kebijakan pertambangan pada era otonomi daerah dan
pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan daerah, dengan mengambil
lokasi penelitian di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dan Kabupaten Pasir
Kalimantan Timur. Sedangkan penelitian penulis merupakan penelitian hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
normatif (doktrinal) yang membahas sinkronisasi dan sinergitas peraturan
perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan
pada era otonomi daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Setiono, metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu
pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu
yang akan dicari.128 Di dalam penelitian hukum, metode yang digunakan
tergantung pada konsep apa yang akan digunakan. Berdasarkan pandangan
Soetandyo Wignjosoebroto dalam Setiono, mengemukakan ada 5 (lima) konsep
hukum yaitu :
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal.
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional.
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan
tersistematisasi sebagai judge made law.
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial empirik.
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.129
Berdasarkan pengertian di atas, penulis menggunakan konsep hukum
yang kedua, yaitu hukum sebagai norma-norma positif di dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional.
Menurut Soerjono Soekanto dan Srimamudji penelitian hukum
normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara meneliti
bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka, penelitian ini disebut juga
128 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu
Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta, 2005, hal.19 129 Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
penelitian hukum kepustakaan. Untuk memahami adanya hubungan antara ilmu
hukum dengan hukum positif perlu ditelaah terhadap sinkronisasi vertikal dan
horizontal.130 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk dalam jenis
penelitian hukum normatif yang dalam hal ini tentang sinkronisasi vertikal
yaitu analisis Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
ditinjau dari Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 66 ayat (1), (2), dan
(3) UU Kehutanan ditinjau dari Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dan sinkronisasi
horizontal antara UU Kehutanan, UU Pemerintahan Daerah serta UU Minerba,
terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan di dalam
kawasan hutan.
B. Sifat Penelitian
Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif
dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum ini
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai
preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.131
Dalam penelitian ini penulis akan mengemukakan argumentasi dan
konsep baru sebagai preskripsi dari masalah kegiatan pertambangan di dalam
kawasan hutan pada era otonomi daerah.
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif khususnya:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
130 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. Kelima, 2010): hal. 13
131 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2010): hal.35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis,
pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti
untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-
undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan
Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.132 Dalam
penelitian hukum ini, terkait masalah kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan pada era otonomi daerah, penulis akan melakukan
sinkronisasi horizontal antara UU Pemerintahan Daerah, UU Kehutanan
dan UU Minerba. Dan terkait masalah konflik kewenangan dalam
penerbitan izin kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era
otonomi daerah penulis akan melakukan sinkronisasi vertikal antara Pasal
38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan dengan Pasal 18
ayat (2) dan 18 A ayat (2) UUD 1945. Untuk itu peneliti harus melihat
hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:133
- Comprehencive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan yang lain secara logis. All-inclusive bahwa
kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung
permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan
hukum.
- Sistematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierakis.
b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
132 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.93133 Johny Ibrahim , Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:
Banyumedia, 2010), hal. 303
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.134 Dalam penelitian
hukum ini penulis akan meneliti konsep kewenangan, perizinan dan
desentralisasi. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti akan merujuk prinsip-
prinsip hukum terkait konsep kewenangan, perizinan dan desentralisasi
yang dikemukakan oleh para ahli hukum dan yang tertuang dalam doktrin-
doktrin hukum.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi berupa himpunan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran,
majalah jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan topik penelitian.
Mengacu pendapat Soerjono Soekanto dalam Setiono135 dalam
menggunakan data sekunder di sektor hukum ditinjau dari kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), terdiri dari (1) bahan hukum
primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian, (2) bahan hukum sekunder, yaitu
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan (3) bahan
hukum tertier, atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Sedangkan menurut Peter Mahmud136, sumber-sumber penelitian hukum
dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
134 Ibid, hal. 95 135 Setiono, op. cit, hal. 19136 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, hal.141
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber-sumber
penelitian yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkkait
dengan penelitian ini, antara lain:
- Undang-undang Dasar 1945
- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan
- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
- Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
b. Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari buku-buku literatur tentang kebijakan,
otonomi daerah, teori perundang-undangan ataupun literatur lain yang
terkait dengan penulisan tesis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
c. Bahan Hukum Tertier, terdiri dari kamus hukum dan kamus besar Bahasa
Indonesia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian hukum
normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah dengan cara
pengumpulan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data
dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat
catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-
hal lain yang diteliti berhubungan dengan masalah yang diteliti.
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian hukum ini analisis menggunakan logika deduksi, yaitu
menarik kesimpulan dari yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual. Merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta
mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus. Analisis dilakukan
dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, kemudian dilakukan
analisis terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dengan melakukan
penafsiran perundang-undangan, untuk kemudian ditarik kesimpulan dari hasil
analisis tersebut.
Dalam penelitian hukum ini peraturan perundang-undangan yang
penulis inventarisasi terdiri dari:
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
d. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011
e. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan
g. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
i. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah
beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa kesamaan anasir-anasir,
atau bertujuan untuk mencapai objek yang sama, bahwa diantara peraturan
hukum ternyata terdapat hubungan antara satu dengan yang lain. Suatu
peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Setiap peraturan hukum mempunyai
tempat dalam suatu lapangan hukum tertentu, hal ini sebagai konsekuensi
adanya interdependesi antara masing-masing gejala sosial dan bahwa hukum
merupakan suatu gejala sosial.137
137 Purwoatmodjo Sihombing, Pengantar Ilmu Hukum (Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1997): hal.171
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Peraturan Perundang-undangan Sektor Pertambangan Terkait
Pertambangan di Kawasan Hutan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai Negara dan
diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu sumber daya alam yang terkandung di dalam
bumi selain minyak dan gas bumi juga terdapat mineral dan batubara yang
merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan artinya apabila sumber
daya alam tersebut telah diusahakan/tambang sumber daya alam tersebut
tidak ada lagi/habis. Oleh karena itu pengelolaan/pengusahaan dimaksud
harus diteliti dieksplorasi baik kualitas maupun kuantitas serta
pemasarannya dan harus diperhatikan lingkungan dari pertambangan
apakah akan menimbulkan bahaya atau tidak, hal ini dilakukan agar dapat
memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
sebagaimana dikehendaki Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas.
Pada saat ini pengelolaan/pengusahaan pertambangan baru dapat
dilakukan apabila kegiatan tersebut dinilai layak teknis, layak ekonomi dan
layak lingkungan. Mengenai layak teknis dan layak ekonomi dilakukan
instansi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan layak
lingkungan dilakukan oleh instansi Lingkungan Hidup. Di sisi lain kegiatan
pertambangan harus pula mendapat izin Menteri Kehutanan apabila
wilayah kerja pertambangan tersebut berada di dalam kawasan hutan, kalau
belum mendapat izin pinjam pakai baik untuk penelitian atau
pertambangan berdasarkan UU Kehutanan, maka kegiatan tersebut
merupakan tindak pidana (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan). Kesimpulannya
walaupun sudah mendapat kegiatan pertambangan tapi belum mendapat
izin pinjam pakai kawasan dari kehutanan, maka usaha pertambangan tidak
dapat dilaksanakan sepanjang wilayah kerja kegiatan pertambangan
tersebut berada di kawasan hutan.
Dengan berlakunya UU Minerba sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
ada beberapa perubahan mendasar, yaitu antara lain bahwa sebelum
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam
penerbitan wilayah kerja Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus berada di
dalam Wilayah Pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral. WP tersebut ditetapkan dalam rangka tata
ruang nasional. Istilah penggunaan izin “Kuasa Pertambangan (KP)”
menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), bentuk perizinannya berubah
yaitu yang lama setiap tahapan mempunyai KP tersendiri, sedangkan yang
baru terbagi dua, yaitu IUP eksplorasi yang terdiri dari kegiatan
Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan, selanjutnya IUP
produksi sendiri yang terdiri dari kegiatan konsttruksi, Pertambangan,
Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan Penjualan.
Pertambangan adalah sebagian atau keseluruhan tahapan kegiatan
dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
pertambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan
serta kegiatan pasca tambang.
Kegiatan fisik untuk melakukan kegiatan pertambangan dalam
kawasan hutan harus terlebih dahulu mendapat izin pinjam pakai kawasan
hutan dari Kementerian Kehutanan, ketentuan di sektor kehutanan
membatasi kegiatan pertambangan tersebut. Kawasan suaka alam tidak
dibenarkan sama sekali untuk kegiatan pertambangan, yang dperbolehkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
adalah pada kawasan hutan produksi terbatas, sedangkan pada kawasan
hutan lindung hanya boleh dilakukan dengan persyaratan tertentu, yaitu
pertambangan tidak boleh tambang terbuka.
2. Peraturan Perundang-undangan Sektor Kehutanan Terkait
Pertambangan di Kawasan Hutan.
Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya
dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang
hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan,
tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan
hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan
hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum
mengenai kehutanan. Atas dasar hak menguasai tersebut, selanjutnya
negara (pemerintah) berwenang untuk memberikan izin dan hak kepada
pihak lain yang terpaksa harus menggunakan kawasan hutan. Untuk itu
setiap kegiatan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan diberikan
secara selektif dan terencana dalam satu perizinan oleh Menteri, termasuk
dalam penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan.
Atas dasar hal tersebut maka dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU
Kehutanan diatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan, karena dengan mekanisme tersebut Pemerintah masih
mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengendalikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
penggunaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang dapat digunakan
untuk kegiatan pertambangan adalah kawasan hutan produksi dan hutan
lindung (Pasal 38 ayat (1), dimana pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan pertambangan dengan pola pertambangan terbuka.(Pasal 38
ayat (4)).
Sebagai tindak lanjut atas ketentuan tersebut, maka pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
kegiatan pertambangan termasuk dalam kegiatan pembangunan di luar
sektor kehutanan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan melalui
izin pinjam pakai kawasan hutan. Mengenai izin pinjam pakai kawasan
hutan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yang
mengatur:138
1. Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Permohonan (diatur dalam
Pasal 11 sampai dengan Pasal 15).
2. Kewajiban Pemegang Persetujuan Prinsip.
3. Kewajiban Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam
Pasal 26 dan Pasal 28).
4. Larangan Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (diatur dalam
Pasal 29).
5. Hapusnya Persetujuan Prinsip/Izin Pinjam Pakai
6. Jangka Waktu Persetujuan Prinsip Dan IPPKH.
138 Budi Ryanto, Reformasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Menuju Senergitas
Kegiatan Sektor Pertambangan dan Kehutanan, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan , 2011): hal. 17-23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
7. Dispensasi (diatur dalam Pasal 20).
Dalam Permenhut P.18/Menhut-II/2011, diatur bahwa untuk
kegiatan pertambangan izin pinjam pakai terdiri dari izin pinjam pakai
tahap eksplorasi dan eksploitasi produksi, atau dengan kata lain sejak tahap
eksplorasi pengusaha tambang dalam melakukan kegiatannya di dalam
kawasan hutan harus sudah memiliki izin pinjam pakai.
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan di dalam
kawasan hutan lindung dilarang melakukan kegiatan pertambangan dengan
pola pertambangan terbuka. Incontrario dalam kawasan hutan lindung
diperkenankan melakukan kegiatan pertambangan dengan pola
pertambangan tertutup (bawah tanah). Ketentuan mengenai penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dengan pola pertambangan
tertutup diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawsan Hutan Lindung Untuk
Pertambangan Bawah Tanah.
3. Peraturan Perundang-undangan Terkait Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Sektor Pertambangan dan Kehutanan
Otonomi daerah secara efektif dijalankan serentak di seluruh
wilayah Indonesia sejak tanggal 1 Januari 2001. Namun demikian, sejak
kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 euforia reformasi sudah
merebak di berbagai wilayah. Tuntutan reformasi yang begitu kuat
didengungkan oleh berbagai kalangan masyarakat menuntut dihapuskannya
sistem pemerintahan yang terpusat. Selama tahun 1998, berbagai tuntutan
muncul dari pemerintah daerah diberbagai wilayah agar diberi kewenangan
yang lebih besar dalam menangani berbagai urusan. Mereka juga menuntut
bagian yang lebih besar dari hasil eksploitasi sumberdaya alam, termasuk
sumberdaya hutan yang ada di wilayah mereka. Pada saat yang sama,
masyarakat setempat mulai melakukan klaim kepemilikan lahan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
menuntut kompensasi dari perusahaan kayu atas kerusakan dan kerugian
yang disebabkan oleh kegiatan logging.
Walaupun dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah secara
resmi sudah ditetapkan pada tahun 1999, namun pelaksanaannya baru
dimulai secara efektif pada awal tahun 2001. Dibutuhkan waktu untuk
menyiapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32
Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, dan tatanan kelembagaan baik di
pusat maupun daerah, termasuk diantaranya peraturan pemerintah sebagai
aturan pelaksanaan otonomi daerah dan proses penyerahan kewenangan
administrative dan pengaturan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.
Pemberlakuan otonomi daerah melalui UU Pemerintahan Daerah
merupakan pengejawantahan dari Pasal 18 dan 18 A UUD 1945.
Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi daerah untuk
mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam UU Pemerintahan Daerah
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan daerah diatur dalam
pasal 10:
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas perbantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 di atas, jelaslah bahwa sektor
kehutanan tidak termasuk dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur
dalam ayat (3) atau dengan kata lain telah didesentralisasikan. Berdasarkan
penjelasan pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP
Pembagian Urusan Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam
urusan daerah yang bersifat pilihan. Pembagian urusan pemerintahan sektor
kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah dirinci lebih lanjut
sebagaimana tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan huruf AA.
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan
desentralisai pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah
tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan
dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan
dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap
dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004
yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
dan sumber daya lainnya.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut
diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:
(1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa pengelolaan kawasan
hutan pada era otonomi daerah telah didesentralisasikan, akan tetapi dalam
pengelolaan dan pemanfaatannya tetap memperhatikan hubungan
koordinasi dan bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sama hal nya dengan sektor kehutanan, pertambangan juga
termasuk dalam urusan pemerintahan pilihan yang di desentralisasikan.
Pembagian urusan pemerintahan sektor pertambangan antara pemerintah
pusat dan daerah dirinci lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam
lampiran PP Pembagian Urusan Pemerintahan huruf BB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Ketentuan tentang pertambangan mineral dan batu bara diatur
dalam UU Minerba. UU Minerba yang berlaku saat ini telah menganut
prinsip desentralisasi dengan memberikan ruang bagi peran daerah
(provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian kewenangan antar pemerintahan
(pusat dan daerah) dalam UU Minerba diatur dalam:
Pasal 6:
(1) Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan dan mineral,
antara lain adalah:
a. Penetapan kebijakan nasional;
b. Pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. Penetapan standar nasioanal, pedoman, dan kriteria;
d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara
nasional;
e. Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
f. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah
provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari
garis pantai;
g. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan yang lokasi pertambangannya
berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari
12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak
lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut
lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
i. Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
j. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan
serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
k. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan dan
konservasi;
l. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan
masyarakat;
m. Perumusan dan penetapan penerimaan Negara bukan pajak dari
hasil usaha pertambangan dan mineral batu bara;
n. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah;
o. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di sektor
pertambangan;
p. Penginventarisasian, pendidikan, dan penelitian serta eksplorasi
dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu bara
sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;
q. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya
mineral dan batu bara serta informasi pertambangan pada tingkat
nasional;
r. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang;
s. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara tingkat
nasional;
t. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha
pertambangan; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
u. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
usaha pertambangan.
Pasal 7
(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan
mineral dan batu bara, antara lain, adalah:
a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut lebih dari 4 (empat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil;
c. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang
kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang
berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau
dalam wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas)
mil;
e. Penginvetarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi
dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu
bara sesuai dengan kewenangannya;
f. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya
mineral dan batu bara, serta informasi pertambangan pada
daerah/wilayah propinsi;
g. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada
daerah/ wilayah provinsi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha
pertambangan di provinsi;
i. Pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
j. Pengkoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan
peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;
k. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,
dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan atau
bupati/walikota;
l. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,
serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;
m. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dalam pasca
tambang; dan
n. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
pertambangan.
Pasal 8:
(1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara, antara lain, adalah:
a. Pembuatan peraturan perundang-undang daerah;
b. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat , dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah
kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil;
c. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan atau
wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi
dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batu
bara;
e. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batu
bara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
f. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batu bara pada
wilayah kabupaten/kota;
g. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat
kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,
dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan
Gubernur;
j. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,
serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur;
k. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca
tambang;
l. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6, 7, dan 8 tersebut di atas dapat
dicermati bahwa kewenangan ekslusif pemerintah pusat hanya
meliputi:
a. Penetapan kebijakan nasional.
b. Pembuatan peraturan perundang-undangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
c. Penetapan standar, pedoman dan kriteria.
d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batu bara
nasional.
e. Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan
pemerintah daerah dan DPR.
Selain kewenangan tersebut di atas, kewenangan pemerintah pusat
jika dibandingkan dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
mempunyai subtansi yang sama hanya berbeda dalam skala cakupan
wilayah. Sebagai rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini:139
Tabel 1
Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi serta Kabupaten/Kota
Dalam Menerbitkan IUP
No Kewenangan Pusat Kewenangan Provinsi Kewenangan
Kabupaten/Kota
1. Pemberian IUP,
pembinaan,
penyelesaian konflik
masyarakat, dan
pengawasan usaha
pertambangan yang
berada pada lintas
wilayah provinsi
dan/atau wilayah laut
lebih dari 12 (dua
belas) mil dari garis
pantai
Pemberian IUP,
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha
pertambangan yang
berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota dan atau
wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 mil
Pemberian IUP dan Izin
Pertambangan Rakyat
(IPR), pembinaan,
penyelesaian konflik
masyarakat dan
pengawasan usaha
pertambangan di
wilayah kabupaten/kota
dan atau wilayah laut
sampai dengan 4 mil
2. Pemberian IUP,
pembinaan,
penyelesaian
Pemberian IUP,
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat dan
Pemberian IUP dan IPR,
pembinaan, penyelesain
139 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 138
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
konflik masyarakat,
dan pengawasan
usaha
pertambangan yang
lokasi
pertambangannya
berada pada lintas
wilayah provinsi
dan/atau wilayah
laut lebih dari 12
(dua belas) mil dari
garis pantai
pengawasan usaha
pertambangan operasi
produksi yang
kegiatannya berada pada
lintas wilayah
kabupaten/kota dan atau
wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 mil
konflik masyarakat dan
pengawasan usaha
pertambangan operasi
produksi yang
kegiatannya berada di
wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut
sampai dengan 4 mil
3. Pemberian IUP,
pembinaan,
penyelesaian
konflik masyarakat,
dan pengawasan
usaha
pertambangan
operasi produksi
yang berdampak
lingkungan
langsung lintas
provinsi dan/atau
dalam wilayah laut
lebih dari 12 (dua
belas) mil dari garis
pantai
Pemberian IUP,
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat dan
pengawasan usaha
pertambangan yang
berdampak lingkungan
langsung lintas wilayah
kabupaten/kota atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
B. Pembahasan
1. Sinkronisasi dan Sinergitas Peraturan Perundang-undangan yang
Mengatur Kegiatan Pertambangan dalam Kawasan Hutan pada Era
Otonomi Daerah
Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi
daerah, selain tunduk dengan kebijakan pertambangan juga berkaitan erat
dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk sektor di luar sektor
kehutanan dan pembagian urusan pemerintahan di sektor kehutanan dan
pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu untuk
menghindari kekisruhan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan yang
disebabkan karena adanya pertentangan norma yang mengatur kegiatan
tersebut, maka antar kebijakan tersebut harus sinkron dan bersinergi.
Tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan
landasan pengaturan suatu sektor tertentu yang dapat memberikan
kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan sektor tertentu
secara efisien dan efektif. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih,
inkonsistensi, atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya
dengan sistem asas hieraki, maka proses tersebut mencakup harmonisasi
semua peraturan Perundang-undangan, baik secara vertikal maupun
horizontal.
Norma hukum yang mengatur perizinan kegiatan pertambangan di
kawasan hutan merupakan substansi yang harus disinkronkan guna
mencegah kekisruhan kegiatan pertambangan di kawasan hutan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini pemerintah daerah berwenang
menerbitkan IUP, namun untuk IUP yang wilayah kerjanya di kawasan
hutan harus tetap memperoleh izin pinjam pakai penggunaan kawasan
hutan dari menteri kehutanan.
Ketentuan Pasal 38 ayat (3) yang mengatur kewenangan menteri
kehutanan untuk memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
kegiatan pertambangan sering dipertentangkan dengan kebijakan otonomi
daerah yang memberi wewenang daerah mengurus rumah tangganya
sendiri, diantaranya mengurus potensi sumber daya alam di daerahnya,
termasuk sumber daya alam hutan dan bahan galian tambang. Untuk itu
dalam tesis ini penulis akan mengsinkronkan secara vertikal dan horizontal
peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan di
kawasan hutan khususnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
perizinan kegiatan penambangan di kawasan hutan pada era otonomi
daerah.
a. Sinkronisasi Vertikal
Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah merupakan inti dari pelaksanaan desentralisasi pada era
otonomi daerah. Pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan ekonomi di daerah.
Seperti telah dijabarkan pada kajian teori di atas landasan
konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan adalah Pasal 18 ayat 2 UUD 1945,
sedangkan landasan konstitusional hubungan pusat dan daerah harus
dilakukan secara selaras dan adil adalah Pasal 18 A ayat 2 UUD 1945.
Ketentuan tersebut lebih lanjut diejawantahkan dalam UU No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU
No. 32 Tahun 2004. Sedangkan dasar hukum dari kewenangan menteri
kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan adalah Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf
g UU Kehutanan. Kesesuaian kewenangan Menteri Kehutanan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah, dapat dianalisa dengan
mengsinkronkan dasar hukum kewenangan Menteri kehutanan tersebut
dengan dasar hukum pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam pembahasan ini penulis
akan mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dimana daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal
50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai landasan kewenangan menteri
kehutanan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan. Dan selanjutnya penulis akan mengsinkronkan ketentuan
pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 sebagai konstitusional hubungan pusat dan
daerah harus dilakukan secara selaras dan adil dengan ketentuan Pasal 38
ayat (3) UU Kehutanan jo Pasal 66 UU Kehutanan sebagai dasar
pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat
disampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Tabel 2
Sinkronisasi Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dengan Substansi
Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
UUD 1945 UU Kehutanan
Pasal
18
ayat
(2)
Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan
Pasal
38
ayat
(3)
Pasal
50
ayat
(3)
huruf
g
Penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan
pertambangan melalui
pemberian izin pinjam
pakai oleh Menteri
dengan
mempertimbangkan
batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta
kelestarian hutan
Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan
penyelidikan umum, atau
eksplorasi atau eksploitasi
bahan tambang di
kawasan hutan tanpa izin
menteri
UU Pemerintahan Daerah
Pasal
10
ayat
(3)
Pasal
(5)
Urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiscal
nasional; dan
f. Agama
Dalam urusan
pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di
luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
pada ayat (3), Pemerintah
dapat:
a. Menyelenggarakan
sendiri sebagian
urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan
kepada Gubernur
sebagai wakil
Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian
urusan pemerintahan
kepada pemerintahan
daerah dan / atau
pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Penjelasan UU Pemerintahan Daerah
Pasal
13
ayat
(2)
Pasal
14
ayat
(2)
. Yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dalam
ketentuan ini sesuai kondisi,
kekhasan dan potensi yang
dimiliki antara lain
pertambangan, perikanan,
pertanian, perkebunan,
kehutanan, pariwisata
Yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dalam
ketentuan ini sesuai kondisi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
kekhasan dan potensi yang
dimiliki antara lain
pertambangan, perikanan,
pertanian, perkebunan,
kehutanan, pariwisata.
PP Pembagian Urusan Pemerintahan
Pasal
7 ayat
(4)
Urusan pilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian;
c. Kehutanan;
d. Energi dan sumber daya
mineral;
e. Pariwisata;
f. Industri;
g. Perdagangan;dan
h. Ketransmigrasian.
Lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan
Huruf
AA
angka
7
Kewenangan pemerintah
pusat dalam penatagunaan
kawasan hutan meliputi
penetapan norma, standar,
prosedur, dan criteria
penatagunaan kawasan
hutan, pelaksanaan
penetapan fungsi hutan serta
perubahan hak dari lahan
milik menjadi kawasan
hutan, pemberian perizinan
penggunaan dan tukar-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
menukar kawasan hutan.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki urgensi
dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, oleh karena itu sistem hukum Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
dengan stufenbau theorie-nya atau jenis dan tata urutan (hieraki) peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.
Sebagaimana telah disebutkan dalam kajian teori bahwa
berdasarkan hieraki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut di
atas, UUD 1945 jika dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky merupakan norma dasar atau norma fundamental Negara,
sehingga peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya harus
berpedoman dan mengacu pada UUD 1945. Dalam tingkatan hieraki
peraturan perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 menempati
kedudukan paling atas, maka sudah semestinya norma hukum dalam UUD
1945 menjadi rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya,
sehingga kondisi sebagaimana dimaksud Fuller bahwa, “suatu sistem
hukum tidak boleh mengandung peraturan perundang-undangan yang
bertentangan satu sama lain” dapat terwujud.
Berdasarkan tabel sinkronisasi di atas terlihat Pasal 38 ayat 3 jo
Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan sebagai dasar hukum kewenangan
menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan di sinkronkan dengan ketentuan Pasal 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
ayat 2 UUD 1945 sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah guna
mengetahui apakah kewenangan menteri kehutanan tersebut telah sinkron
atau selaras dengan upaya pelimpahan wewenang dan urusan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada era otonomi daerah
karena berdasarkan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky ketentuan Pasal
38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 sebagai norma
hukum dasar yang mengatur otonomi daerah di Indonesia.
Kewenangan menteri kehutanan memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan merupakan perwujudan hak
menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Sejalan
dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa
mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan
dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan
bertangung-gugat
Hutan merupakan sumber daya alam yang penguasaannya
dilakukan oleh Negara. Dalam Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan tentang
hak Negara atas hutan. Di dalam Pasal itu ditentukan semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Maksud penguasaan hutan oleh Negara adalah memberi wewenang
kepada pemerintah untuk:140
140 Salim HS, op. cit., hal. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan
kawasan hutan;
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Selain itu, Pemerintah juga mempunyai wewenang untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di
sektor kehutanan ataupun kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan
di dalam kawasan hutan. Mengingat banyaknya kegiatan pembangunan di
luar sektor kehutanan yang bersifat penting dan strategis, maka perlu
adanya ketentuan yang dapat mengakomidir kepentingan-kepentingan
tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam ketentuan Pasal 38
UU Kehutanan diatur mengenai penggunaan kawasan hutan melalui
mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Filosofis pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pembangunan di luar sector adalah agar pemerintah
masih mempunyai kewenangan untuk mengawsai dan mengendalikan
penggunaan kawasan hutan tersebut.
Dalam Pasal 38 UU Kehutanan disebutkan:
1. Pengaturan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan pertambangan pola
pertambangan terbuka.
5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis
dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan.
Pengaturan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan
lebih lanjut diatur dalam PP. 18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan, PP 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Dalam PP 24 Tahun 2010, diatur mengenai kegiatan pembangunan
di luar sector kehutanan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan
hutan, termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan.
Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan tersebut di atas memberi kepastian
hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan
hutan. Lebih lanjut dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan diatur
bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin
menteri.
Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintahan Daerah
Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Pasal
18 ayat (2) merupakan landasan konstitusional pelimpahan wewenang dan
urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak
lanjut ketentuan tersebut maka diterbitkan UU Pemerintahan Daerah, yang
ditindaklanjuti dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan.
Dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah, urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat hanya meliputi:
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, serta agama. Dengan kata lain urusan pemerintahan di luar ke
enam urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
di desentralisasikan. Dalam kajian teori di atas telah dijelaskan bahwa
sektor kehutanan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dapat di
desentralisasikan. Sektor kehutanan berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat
(2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian Urusan
Pemerintahan, sektor kehutanan termasuk di dalam urusan daerah yang
bersifat pilihan.
Selanjutnya Pasal 10 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah diatur
mengenai urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent adalah urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3). Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent tersebut, pemerintah dalam melaksanakannya dapat
berbentuk (1) menyelenggarakan sendiri; (2) melimpahkan sebagian
kepada Gubernur (dekonsentrasi); dan (3) menugaskan sebagian urusan
kepada pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas
tugas pembantuan. Atau dengan kata lain pemerintah diperbolehkan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain pemerintah dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor kehutanan.
Dalam huruf AA angka 7 Lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan telah diatur pembagian urusan pemerintahan sektor
kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam lampiran tersebut
diatur bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam penatagunaan kawasan
hutan meliputi penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi hutan serta
perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian
perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Seperti telah diuraikan pada kajian teori urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
dan efisiensi dengan mempertimbangkan kesesuaian hubungan pengelolaan
urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Berdasarkan kriteria
tersebut urusan pemerintahan sektor kehutanan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila
dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan
tersebut menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, apabila regional
menjadi kewenangan provinsi dan apabila nasional menjadi kewenangan
pemerintah.
Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah
administratif namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah
administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari
kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam
yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Dampak
kerusakan hutan di suatu kabupaten atau provinsi tidak hanya dirasakan
oleh masyarakat yang tinggal di kabupaten atau provinsi tersebut tetapi
juga dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Indonesia bahkan turut
dirasakan masyarakat internasional. Oleh karena itu, seyogyanya
pengaturan izin penggunaan kawasan hutan berada di pemerintah pusat
karena izin penggunaan kawasan hutan ini merupakan instrument
pengendali pengelolaan hutan guna mencegah kerusakan hutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo
Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, tidak bertentangan dengan Pasal
18 ayat (2) UUD 1945 sebagai norma dasar yang mengatur pelimpahan
wewenang dan urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Selanjutnya penulis akan membahas sinkronisasi kewenangan
menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan
pada era otonomi daerah dengan pengaturan hubungan pemerintah pusat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu penulis akan
mengsinkronkan ketentuan Pasal 18 A ayat 2 sebagai landasan
konstitusional yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah
dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan sebagai dasar
kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan serta ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan yang mengatur
pelaksanaan desentralisasi di sektor kehutanan. Sinkronisasi tersebut dapat
digambarkan dalam table berikut ini:
Tabel 3
Sinkronisasi Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945 dengan Pasal 38
ayat 3 dan Pasal 66 UU Kehutanan
UUD 1945 UU Kehutanan
Pasal
18 A
ayat
(2)
Hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber
daya alam lainnya antara
pemerintah pusat dan daerah
diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan
undang-undang
Pasal
38
ayat 3
Pasal
66
ayat
(1),
(2), (3)
Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan
pertambangan melalui
pemberian izin pinjam pakai
oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan
luas dan jangka waktu tertentu
serta kelestarian hutan
(1) Dalam rangka
penyelenggaraan
kehutanan, Pemerintah
menyerahkan sebagian
kewenangan kepada
Pemerintah Daerah;
(2) Pelaksanaan penyerahan
sebagian kewenangan
UU Pemerintahan Daerah
Pasal
2 ayat
4
Pemerintah daerah
dalam
menyelenggarakan
urusan pemerintahan
memiliki hubungan
dengan Pemerintah dan
pemerintahan daerah
lainnya
Hubungan sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Pasal
2 ayat
5
Pasal
17
ayat 1
dimaksud ayat (4)
meliputi hubungan
wewenang, pelayanan
umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan
sumber daya lainnya.
Hubungan dalam
sektor pemanfaatan
sumber daya alam dan
sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4)
dan (5) meliputi:
a. Kewenangan
tanggung jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian
dampak, budidaya
dan pelestarian;
b. Bagi hasil atas
pemanfaatan
sumber daya alam
dan sumber daya
lainnya; dan
c. Penyerasian
lingkungan dan
tata ruang serta
sebagaimana dimaksud
ayat (1) bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas
pengurusan hutan dalam
rangka pengembangan
otonomi daerah;
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud
ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut
dengan Peraturan
Pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
rehabilitasi lahan
Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
pertambangan dalam kawasan hutan oleh menteri kehutanan, tidak dapat
diartikan sebagai upaya mengambil kewenangan daerah dalam mengelola
sumber daya alamnya, tapi lebih sebagai instrumen pengendalian dalam
pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan tidak hanya berbasiskan pada wilayah
administratif, namun harus dilihat sebagai karakter sifat yang lintas wilayah
administrasi pemerintahan. Pengelolaan hutan tidak hanya dilihat dari
kepentingan daerah atau kepentingan pusat, tapi ada sebuah kondisi alam
yang dilihat dari segi ecoregion-nya atau bioregion-nya. Keberadaan hutan
tidak semata-mata untuk kepentingan penghasilan daerah dan kepentingan
investasi dalam konteks pemanfaatan hutan, melainkan hutan harus mampu
memberikan manfaat jasa lingkungan, dapat mencegah bencana, erosi dan
tanah longsor serta dapat mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu
diperlukan instrumen pengendalian dalam pengelolaan hutan berupa izin
dan sanksi guna mencegah kerusakan hutan.
Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan
dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-
kegiatatan yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan izin adalah
mengendalikan kegiatan masyarakat. Terkait izin pinjam pakai kawasan
hutan yang diberikan oleh menteri kehutanan, maka izin pinjam pakai
kawasan hutan ditempatkan pada posisi pengendalian dalam penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Dengan demikian,
izin pinjam pakai tersebut bukan hanya sebagai sumber pendapatan hasil
daerah maupun sumber pendapatan hasil Negara, tetapi betul-betul sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
instrument pengendalian agar hutan dapat berfungsi sebagaimana diatur
dalam UU Kehutanan.
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan
desentralisasi pengelolaan kawasan hutan dalam era otonomi daerah
tertuang dalam pasal 66 yang menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud
ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan
dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mencermati ketentuan Pasal 66 UU Kehutanan tersebut, tujuan
dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Dalam konteks undang-undang, desentralisasi atau pemberian
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan, tetap
dibatasi oleh ketentuan pasal 2 ayat (4) dan (5) UU No. 32 Tahun 2004
yaitu yang menyangkut hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam,
dan sumber daya lainnya.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut lebih lanjut
diatur dalam pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004 ayat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
(1) Hubungan dalam sektor pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. kewenangan tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Pasal 38 ayat (3) UU Kehutanan, dikaitkan dengan Pasal 66 UU
Kehutanan yang mengatur penyerahan urusan atau wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah, maka apabila menteri kehutanan akan
memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan, menteri tidak dapat berjalan
sendiri, karena berkaitan dengan pola hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan (5) jo Pasal 17
ayat (1) UU Pemerintahan Daerah dan PP Pembagian Urusan
Pemerintahan, oleh karena itu dalam memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan, menteri kehutanan juga harus memperhatikan rekomendasi
kepala daerah yang menunjukan adanya hubungan yang adil dan selaras
antara pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
18A ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diejawantahkan dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (4) dan 5 jo Pasal 17 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan
Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) UU Kehutanan sebagai dasar hukum dari
kewenangan menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan pelaksanaan
desentralisasi sektor kehutanan tidak bertentangan dengan Pasal 18 A ayat
2 UUD 1945, sebagai dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah
pusat dan daerah secara adil dan selaras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sesuai stufenbau theory dimana
aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum yang lebih tinggi. Maka sesuai dengan hieraki peraturan perundang-
undangan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011, Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan
sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan dalam
memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai landasan
konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan Pasal 38 ayat (3)
dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan tidak bertentangan
dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai dasar hukum yang
hubungan pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu kewenangan
menteri kehutanan dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan telah sinkron dengan upaya
pelimpahan wewenang dan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah.
b. Sinkronisasi Horizontal
UU Kehutanan, UU Minerba dan UU Pemerintahan Daerah beserta
peraturan pelaksananya, merupakan peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era
otonomi daerah. Oleh karena itu selain sinkronisasi vertical terkait
eksistensi kewenangan menteri kehutanan dalam memberika izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada era otonomi
daerah, maka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur
kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah perlu
juga dilakukan sinkronisasi horizontal. Sinkronisasi horizontal dapat
dilakukan dengan menggunakan asas lex speciali derogate lex generale.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Dalam sinkronisasi horizontal, yang harus dilakukan pertama kali
adalah menentukan substansi / sektor yang akan disinkronkan, dalam
penelitian ini adalah kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era
otonomi daerah. Selanjutnya adalah memaparkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur kegiatan tersebut, dalam hal ini adalah UU
Minerba, UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah beserta peraturan
pelaksananya. Sinkronisasi tersebut dapat disampaikan melalui tabel
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Tabel 4
Sinkronisasi UU Pertambangan, UU Kehutanan dan UU
Otonomi Daerah terkait Substansi Pertambangan di Kawasan Hutan
UU Pertambangan UU Kehutanan UU Pemerintahan Daerah
Pasal
134
ayat (2)
Pasal
134
ayat (3)
Kegiatan
usaha
pertambangan
tidak dapat
dilaksanakan
pada tempat
yang dilarang
untuk
melakukan
kegiatan usaha
pertambangan
sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan
Kegiatan
usaha
pertambangan
sebagaimana
dimaksud
Pasal
38
ayat 3
Penggunaan
kawasan hutan
untuk
kepentingan
pertambangan
melalui
pemberian izin
pinjam pakai
oleh Menteri
dengan
mempertimbang
kan batasan luas
dan jangka
waktu tertentu
serta kelestarian
hutan
Pasal
10
ayat
(3)
Pasal
(5)
Urusan pemerintahan yang
menjadi urusan
pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiscal
nasional; dan
f. Agama
Dalam urusan
pemerintahan yang
menjadi kewenangan
Pemerintah di luar urusan
pemerintahan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah
dapat:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
pada ayat (2)
dapat
dilaksanakan
setelah
mendapat izin
dari instansi
pemerintah
sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan
yang berlaku
a. Menyelenggarakan
sendiri sebagian
urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan
kepada Gubernur
sebagai wakil
Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian
urusan pemerintahan
kepada pemerintahan
daerah dan / atau
pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Penjelasan UU
Pemerintahan Daerah
Pasal
13
ayat 2
Yang dimaksud
dengan urusan
pemerintahan yang
secara nyata ada
dalam ketentuan ini
sesuai kondisi,
kekhasan dan
potensi yang
dimiliki antara lain
pertambangan,
perikanan,
pertanian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Pasal
14
ayat
(2)
perkebunan,
kehutanan,
pariwisata
Yang dimaksud
dengan urusan
pemerintahan yang
secara nyata ada
dalam ketentuan ini
sesuai kondisi,
kekhasan dan
potensi yang
dimiliki antara lain
pertambangan,
perikanan,
pertanian,
perkebunan,
kehutanan,
pariwisata
PP Pembagian Urusan
Pemerintahan
Pasal
7
ayat
(4)
Urusan pilihan
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) meliputi:
a. Kelautan dan
perikanan;
b. Pertanian;
c. Kehutanan;
d. Energi dan
sumber daya
mineral;
e. Pariwisata;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
f. Industri;
g. Perdagangan;
dan
h. Ketransmigras
ian.
Lampiran PP
Pembagian Urusan
Pemerintahan
Huruf
AA
angka
7
Kewenangan
pemerintah
pusat dalam
penatagunaan
kawasan
hutan meliputi
penetapan
norma,
standar,
prosedur, dan
criteria
penatagunaan
kawasan
hutan,
pelaksanaan
penetapan
fungsi hutan
serta
perubahan
hak dari lahan
milik menjadi
kawasan
hutan,
pemberian
perizinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
penggunaan
dan tukar-
menukar
kawasan
hutan.
1. UU Pemerintahan Daerah
Seperti sudah dipaparkan pada hasil penelitian, dalam UU
Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) jo Pasal penjelasan
pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (4) PP Pembagian
Urusan Pemerintahan di sebutkan bahwa urusan sektor kehutanan dan
sektor pertambangan termasuk dalam urusan pemerintahan yang di
desentralisasikan kepada daerah. Dimana rincian urusan sektor kehutanan
yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan huruf AA, sedangkan rincian urusan sektor pertambangan
yang didesentralisasikan tercantum dalam lampiran PP Pembagian Urusan
Pemerintahan huruf BB.
2. UU Minerba
Dalam UU Minerba desentralisasi sektor pertambangan tercermin
dari Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, yang mengatur pembagian kewenangan
pemerintah pusat dan daerah dalam mengelolan pertambangan. Dalam
Pasal tersebut diatur bahwa pemerintah daerah juga mempunyai
kewenangan untuk menerbitkan IUP.
Terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan UU
Minerba mengatur apabila lokasi pertambangan berada di lokasi yang
dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, maka harus
memperoleh izin dari instansi terkait (Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU
Minerba). Termasuk dalam ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU
Minerba, adalah kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
hutan. Selain itu dalam PP 23 Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal
14 ayat 2, penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan
(berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan kepada
pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP).
3. UU Kehutanan
Dalam UU Kehutanan sendiri desentralisasi sektor kehutanan diatur
dalam Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3), yang menyebutkan tujuan
dilaksanakannya penyerahan kewenangan tersebut adalah untuk
meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dan dalam rangka
pengembangan otonomi daerah. Sejalan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentang Pemerintah Daerah, pengurusan hutan yang
bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi/
kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat makro,
wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pasal 38
ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, mensyaratkan bahwa
penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan harus melalui
izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.
Dalam UU Minerba diatur di lokasi yang dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan harus memperoleh izin dari instansi terkait.
Terkait dengan kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan secara khusus
diatur dalam Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan,
dimana kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan harus memperoleh
izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Jadi dapat
dikatakan bahwa UU Kehutanan merupakan aturan lex specialis yang
mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan. Oleh karenanya
norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3) jo
Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terkait
kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah,
diketahui bahwa:
1. Pemerintah Daerah berwenang menerbitkan IUP.
2. Kegiatan pertambangan di lokasi yang dilarang untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan, maka harus memperoleh izin dari
instansi terkait.
3. Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan meskipun telah
memperoleh IUP dari kepala daerah tetap memerlukan izin
penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa,
ketentuan UU Minerba Pasal 134 ayat (2) dan (3) telah sinkron dengan
ketentuan Pasal 38 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.
Sedangkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba yang mengatur
kewenangan daerah untuk menerbitkan IUP dalam pelaksanaannya harus
tunduk pada ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba jo Pasal 38
ayat (3) jo Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan, artinya untuk IUP
yang lokasinya berada dalam kawasan hutan tetap harus memerlukan izin
penggunaan kawasan dari menteri kehutanan.
d. Sinergitas
Dalam prakteknya kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
masih menuai banyak persoalan. Hal ini disebabkan kebijakan yang
mengatur kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan hanya bersifat
sektoral. Sebagai contoh Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU
Kehutanan, mensyaratkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan harus melalui izin pinjam pakai kawasan hutan dari
menteri kehutanan hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 134 ayat (2) dan
(3) UU Minerba yang mensyaratkan izin instansi pemerintah untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan di tempat yang dilarang untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
melakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalamnya izin menteri
kehutanan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dalam kawasan
hutan. Namun UU Minerba lebih lanjut tidak menyebutkan tentang
keharusan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon
areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak
menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam
penerbitan izin pertambangan yang areal kerjanya di dalam kawasan hutan.
Tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin Usaha
Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus
berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,
membuat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah
sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin pertambangan yang berada di
dalam kawasan hutan. Tidak adanya koordinasi dan rekomendasi tersebut
menyebabkan meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi
pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) wajib disampaikan
kepada pemenang lelang Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP)
sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika
proses penerbitan IUP oleh gubernur/bupati tidak melibatkan UPT
Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai
dengan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menjadi acuan
status kawasan hutan dan bukan hutan. Hal ini dapat menyebabkan
kerancuan apakah calon lokasi pertambangan tersebut berada dalam
kawasan hutan atau di luar kawasan hutan.
Selain itu tidak adanya aturan yang mensyaratkan penerbitan Izin
Usaha Pertambangan yang arealnya berada dalam kawasan hutan, harus
berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan,
menyebabkan di beberapa daerah surat izin usaha pertambangan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
lokasinya berada dalam kawasan hutan diterbitkan pemerintah daerah tanpa
adanya tembusan kepada Menteri Kehutanan, sehingga pemerintah pusat
dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak mengetahui perusahaan-
perusahaan tambang pemegang izin usaha pertambangan yang areal
kerjanya berada dalam kawasan hutan. Disamping itu belum adanya aturan
yang mengharuskan penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan
hutan harus mencantumkan klausul bahwa kegiatan pertambangan baru
bisa dimulai setelah adanya izin penggunaan kawasan hutan dari menteri
kehutanan menyebabkan banyak Kepala Daerah dalam menerbitkan IUP
tidak mencantumkan klausul tersebut.
Hal-hal tersebut di atas menyebabkan makin maraknya perusahaan
tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya izin pinjam
pakai penggunaan kawasan hutan dari Menteri kehutanan. Banyak
pengusaha tambang yang langsung beroperasi di dalam kawasan hutan
setelah mendapatkan izin eksplorasi tanpa adanya izin pinjam pakai
kawasan hutan. Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk
menentukan titik eksploitasi (pit). Penyelidikan umum sebagai bagian dari
tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara
tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP
Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan (Pasal 36 UU Minerba).
Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu
izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan
pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam
pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan.
Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan
operasi pertambangan bisa dimulai sejak IUP terbit. Seharusnya, operasi
pertambangan di dalam kawasan hutan (Hutan Lindung atau Hutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Produksi) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski
benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IUP.141
2. Upaya-Upaya Untuk Menyinergiskan Peraturan Perundang-
Undangan Terkait Pertambangan Di Kawasan Hutan
a. Keterpaduan Visi dan Misi
Permasalahan yang sering timbul dalam pengelolaan kawasan
hutan dan kegiatan pertambangan adalah adanya tumpang tindih
kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan.
Kebijakan sektor kehutanan sering dituding menjadi faktor
penghambat investor pertambangan di kawasan hutan. Sebaliknya,
kegiatan pertambangan di kawasan hutan dituding sebagai penyebab
kerusakan hutan karena kegiatan pertambangan di kawasan hutan akan
merusak ekosistem hutan. Untuk itu perlu keterpaduan visi dan misi
dalam pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan agar
kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat terus berlangsung,
namun kelestarian hutan juga dapat tetap terjaga.
Landasan konstitusional pengelolaan kawasan hutan dan bahan
galian tambang adalah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di
dalam Pasal tersebut dirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan Pasal
33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa
kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus
dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.142
141 Sri Sultarini Rahayu (Auditor pada Inpektorat IV Kementerian Kehutanan), Ketika Izin
Usaha Perkebunan (IUP) Bersinggungan Dengan Kawasan Hutan, hal.4 142 Nandang Sudrajat, op. cit., hal.15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUUI/2003 menyatakan penguasaan Negara berarti bahwa Negara
berwenang untuk mengurus, mengatur, mengelola serta mengawasi
pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat.
Pengurusan, pengaturan serta pengelolaan kekayaan alam tersebut
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konstitusi, yaitu:
1. Prinsip untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat;
2. Dasar demokrasi dengan ekonomi dengan prinsip:
a. Kebersamaan;
b. Efisiensi berkeadilan;
c. Berkelanjutan;
d. Berwawasan lingkungan;
e. Kemandirian;
f. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Kedua ketentuan tersebut diatas mengamanatkan agar Negara
mengelola sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan bahan
galian tambang, secara bijaksana untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan
galian tambang harus berorientasi untuk mencapai kemakmuran
rakyat. Dengan demikian tumpang tindih kepentingan antara sektor
kehutanan dan pertambangan harus dihindari, sebaliknya harus saling
bersinergi agar dapat memanfaatkan sumber daya hutan dan bahan
galian tambang secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas perlu adanya kerjasama antara
Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral untuk merumuskan pola-pola teknis pengelolaan terpadu
kegiatan pertambangan dengan kegiatan pengelolaan kawasan hutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Kegiatan pertambangan di kawasan hutan seyogyanya dilakukan
dengan teknis ramah lingkungan yang tetap menjaga kelestarian hutan.
Adanya pengelolaan kawasan hutan dan pertambangan yang terpadu
dan bersinergi dalam satu sistem diharapkan dapat memperoleh hasil
yang optimal guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu
keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan sangat
diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundang-
undangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan
yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan
pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.
b. Penyempurnaan Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Pada Era Otonomi
Daerah
Seperti telah dijabarkan pada pembahasan sebelumnya, maka
untuk mewujudkan visi misi pengelolaan kawasan hutan dan bahan
galian tambang yang berorientasi untuk mencapai kemakmuran rakyat
diperlukan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan
pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah yang sinkron
dan bersinergis satu sama lain. Peraturan perundang-undangan terkait
kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah
yang ada saat ini meskipun telah sinkron, namun belum bersinergis
satu sama lain. Sehingga belum ada keterpaduan dan koordinasi antar
instansi terkait dalam pengelolaan pertambangan di kawasan hutan
pada era otonomi daerah, terutama dalam hal penerbitan IUP yang
berada di kawasan hutan. Untuk itu perlu penyempurnaan peraturan
perundang-undangan tersebut, agar visi misi pengelolaan kawasan
hutan dan pertambangan dapat mencapai hasil yang optimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan
di kawasan hutan meliputi meliputi peraturan perundang-undangan di
bidan kehutanan, yaitu UU Kehutanan dan peraturan pelaksananya,
peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, yaitu UU
Minerba dan peraturan pelaksananya dan peraturan perundang-
undangan terkait otonomi daerah, yaitu UU Pemerintahan Daerah dan
peraturan pelaksananya. Ketiga sektor peraturan perundang-undangan
tersebut masih bersifat ego sektoral, sehingga tidak terjadi koordinasi
dalam pengaturan kegiatan pertambangan di kawasan hutan pada era
otonomi daerah.
UU Minerba (Pasal 134 ayat (2) dan (3) dan PP Minerba (Pasal
14 ayat 2) meskipun telah mensyaratkan untuk IUP yang areal
kerjanya di kawasan hutan harus ada izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan dari menteri
kehutanan, namun tidak menyaratkan perlunya berkoordinasi dengan
kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP tersebut. Perundang-
undangan sector kehutanan yang ada saat ini dinilai masih terasa
bernuansa command and control. Sehingga dianggap tidak memacu
dunia investasi dan tidak pro poor.143 Demikian pula Perda-Perda yang
dikeluarkan daerah lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya alam
untuk peningkatan pendapatan asli daerah daripada pelestarian sumber
daya alam itu sendiri. Untuk itu maka perlu penyempurnaan ketiga
sektor peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam PP Minerba seyogyanya dimasukan ketentuan yang
mengatur perlunya koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam
proses penerbitan IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.
Dengan dilibatkannya kementerian kehutanan dalam proses penerbitan
143 Budi Riyanto, Reformasi Kebijakan…..,op. cit., hal. 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan diharapkan tumpang tindih
lahan pertambangan dan kawasan hutan dapat dihindari. Dengan
adanya koordinasi kementerian kehutanan dapat segera mengetahui
bahwa di areal hutan tertentu telah diterbitkan IUP, hal ini akan
memudahkan aparat kehutanan dalam mengawasi kegiatan
pertambangan di kawasan hutan, sehingga kegiatan pertambangan
illegal dapat diminimalisir.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan sektor
kehutanan dapat dilakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan
peraturan perundang-undangan sektor kehutanan yang mengarah
kepada good forestry government yang berjiwa pro investasi, pro poor
dan pro job.144 Untuk itu perlu diatur ketentuan insentif dan disinsentif
dalam peraturan perundang-undangan kehutanan guna memacu dunia
usaha.145 Terkait dengan kegiatan pertambangan di kawasan hutan
maka perlu adanya peraturan yang mengatur insentif bagi para
pengusaha tambang yang melakukan kegiatan pertambangang di
kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Insentif tersebut dapat berupa kemudahan
dalam proses pengurusan dan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan.
Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, seyogyanya
perda-perda yang diterbitkan pemerintah daerah tidak hanya
berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam untuk peningkatan
pendapatan asli daerah, tetapi juga harus memperhatikan kelestarian
sumber daya alam tersebut. Perda-perda yang dikeluarkan hendaknya
tidak hanya mengatur masalah pemberian izin pengelolaan sumber
daya alam dan tarif atas pemanfaatan sumber daya alam tersebut, tetapi
144 Ibid145 Ibid, hal. 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
juga harus mengatur upaya-upaya rehabilitasi sumber daya alam
tersebut. Terkait kegiatan pertambangan di kawasan hutan, perlu
adanya perda yang mengatur bahwa dalam penerbitan IUP yang areal
kerjanya di kawasan hutan oleh Kepala Daerah, maka IUP tersebut
harus mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan
hutan baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri
kehutanan” serta dalam IUP tersebut mencantumkan tembusan kepada
menteri kehutanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan
dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah telah sinkron baik secara
vertikal dan horizontal. Namun peraturan-peraturan tersebut belum sinergis
satu dengan yang lainnya, karena peraturan-peraturan tersebut masih
bersifat sektoral sehingga belum terpadu satu dengan yang lainnya.
a. Secara vertikal Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU
Kehutanan sebagai dasar hukum dari kewenangan menteri kehutanan
dalam memberikan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) sebagai
landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah dan ketentuan
Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (1), (2), dan (3) UU Kehutanan
tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 A UUD 1945, sebagai
dasar hukum yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah.
b. Secara horizontal norma hukum yang mengatur kegiatan pertambangan
di kawasan hutan pada era otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam
Pasal 38 ayat (3), Pasal 50 ayat (3), dan Pasal 66 UU Kehutanan, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8 dan 134 ayat (2) dan (3) UU Minerba, dan Pasal 10
ayat (1) (2) dan (3) UU Pemerintahan Daerah juga telah sinkron satu
dengan yang lain. Namun peraturan perundangan-perundangan tersebut
belum bersinergis satu dengan yang lain. Pasal 134 ayat (2) dan (3) UU
Minerba meskipun telah mensyaratkan adanya izin menteri kehutanan
untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan, namun tidak mengatur
perlunya koordinasi dan rekomendasi menteri kehutanan dalam
penerbitan IUP yang areal kerjanya di kawasan hutan. Sehingga
pemerintah daerah dalam penerbitan IUP ada yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
mencantumkan klausul “kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan
baru dapat dilakukan setelah ada izin pinjam pakai menteri kehutanan”
serta dalam IUP tersebut tidak mencantumkan tembusan kepada
menteri kehutanan.
2. Upaya-upaya untuk menyinergiskan peraturan perundang-undangan terkait
kegiatan pertambangan di kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara:
a. Keterpaduan visi dan misi sektor kehutanan dan pertambangan yaitu
pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan dilakukan
dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu
peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dan pertambangan
yang mengatur pengelolaan kawasan hutan dan kegiatan pertambangan
haruslah berorientasi pada upaya optimal untuk mencapai kemakmuran
rakyat. keterpaduan visi dan misi sector kehutanan dan pertambangan
sangat diperlukan sebagai pedoman penyusunan peraturan perundang-
undangan yang komprehensif di sektor kehutanan dan pertambangan
yang mampu mengoptimalkan pengembangan sektor kehutanan dan
pertambangan, tetapi juga ramah terhadap lingkungan.
b. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan
pertambangan di kawasan hutan yang meliputi peraturan perundang-
undangan di sektor kehutanan, pertambangan dan otonomi daerah,
dengan cara merubah peraturan yang sudah ada dan membuat
peraturan hukum yang baru yang bersifat lintas sektoral dan
bersinergis satu sama lain, sehingga terjadi koordinasi dalam
pengaturan kegiatan pertamabangan di kawasan hutan pada era
otonomi daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
B. Implikasi
1. Maraknya kegiatan pertambangan illegal di kawasan hutan karena banyak
pengusaha sektor pertambangan setelah memperoleh IUP dari kepala
daerah langsung melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa
mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.
2. Adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan
IUP yang areal kerjanya berada di kawasan hutan.
C. Saran
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pertambangan
dalam kawasan hutan pada era otonomi daerah haruslah lintas sektoral,
sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi antar instansi terkait dalam
menerbitkan perizinan terkait kegiatan pertambangan dalam kawasan
hutan.
2. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait kegiatan
pertambangan di kawasan hutan pada era otonomi daerah:
a. PP Minerba perlu menambahkan ketentuan yang mensyaratkan adanya
koordinasi dengan kementerian kehutanan dalam penerbitan IUP yang
berada dalam kawasan hutan.
b. Perlu adanya perda pedoman penerbitan IUP yang mengatur bahwa
dalam penerbitan IUP yang lokasinya berada dalam kawasan hutan
diwajibkan untuk mencantumkan klausul bahwa untuk kegiatan
pertambangan dalam kawasan hutan baru bisa dimulai setelah adanya
izin penggunaan kawasan hutan dari menteri kehutanan.
c. Perlu adanya peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang
mengatur insentif bagi pengusaha tambang yang melakukan kegiatan
pertambangan di kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user