©ukdwsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50100278/ae7c...2 permukaan laut yang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertanyaan
Aceh Tenggara yang sering disebut dengan Tanah Alas1 adalah salah satu
Kabupaten di Propinsi Aceh, daerah cagar alam nasional terbesar di Aceh. Pada
dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi alam, salah satu di
antaranya adalah Sungai Alas. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan
ekonomi, wilayah ini termasuk zona pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk
ini adalah pertanian kopi dan hasil hutan.2 Kabupaten Aceh Tenggara merupakan bagian
dari Provinsi Aceh dengan luasan wilayah seluas 4.165,63 km2.3 Kabupaten Aceh
Tenggara terdiri dari 16 Kecamatan dan 386 Desa serta 51 mukim.4 Wilayah Kabupaten
Aceh Tenggara memiliki dua karakteristik kawasan yaitu kawasan dataran dan kawasan
pegunungan. Dua karakteristik tersebut mengindikasikan adanya dua kegiatan budidaya
utama yaitu wilayah dataran yang memberikan peluang sebagai sentra pengembangan
komoditi tanaman pangan berupa padi, palawija, tanaman hortikultura seperti buah-
buahan, sayuran dan juga berpeluang dikembangkan untuk sektor peternakan dan
perikanan. Wilayah pedalaman yang memiliki daerah perbukitan diprioritaskan
pengembangannya sebagai kawasan perkebunan rakyat maupun perkebunan besar.
Daerah Kabupaten Aceh Tenggara terletak diketinggian ±200-2000 meter diatas
1 Dalam tulisan ini penulis memakai kedua kata tersebut dalam berbagai penjelasan.
2 BPS Provinsi Aceh, Tingkat Kemiskinan di Provinsi Aceh September 2012, 2013, dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=persentasi%20kemiskinan%20di%20indonesia-
%20aceh%20tenggara&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDwQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.b
ps.go.id%2Fbrs_file%2Fkemiskinan_02jan13.pdf&ei=-
np3Uc_xEMf7rAepsIAw&usg=AFQjCNF7rV767nJlgMtdkgziDOUuqZD8xg&bvm=bv.45580626,d.bmk
, diakses tanggal 20 Mei 2012. 3 Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara 2011, h.28.
4 Hasanuddin, Aceh, 2011, dalam, http://aceh.bps.go.id/?r=data/dinamis&id=2&id2=13, diakses tanggal
20 Mei 2012.
©UKDW
2
permukaan laut yang merupakan daerah perbukitan dan pegunungan. Sebagian
kawasannya merupakan daerah suaka alam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).5
Kedatangan suku Batak ke Tanah Alas dimulai dengan adanya pembukaan jalan
dari Dairi-Sidikalang pada tahun 1909-1914. Pembukaan jalan tersebut menjadi sumber
informasi bagi orang Batak Toba yang ada di Sumatera Utara untuk mengadu nasib di
Tanah Alas.6 Dengan mengikuti sistem pertanian tradisional di Tanah Alas, suku Batak
Toba juga mengikuti sistem yang sama. Suku Batak Toba mulai memiliki tanah dengan
cara membeli dari suku Alas dan Gayo dengan harga yang masih relatif murah pada
waktu itu. Dengan status sosial para suku pendatang yang sudah mulai berkembang,
mereka mendirikan perkampungan-perkampungan yang baru. Perkampungan-
perkampungan yang dirintis adalah tanah masyarakat lokal. Suku Batak Toba mulai
merintis perkampungan-perkampungan di daerah pinggiran Lawe Sigalagala dan pada
akhirnya tinggal menetap sebagai warga masyarakat Tanah Alas. Suku Batak Toba
sebagian besar sebagai petani dan pada perkembangan selanjutnya ada yang menjadi
pedagang.
Pada tahun 1909 Pdt. Justin Sihombing dikirim ke Tanah Alas, di mana telah
ada orang-orang Batak Toba yang pindah ke sana dan membuka sawah-sawah di
Bungamelur, Rantodiar, Rungkahau, Lawe Ponggas, Lawe Petanduk dan Lawe
Sigalagala. Pada tahun 1934, ditempatkan seorang pendeta di Kutacane yakni Pdt. Boas
Simatupang diikuti dengan berdirinya 3 Resort yakni Resort Kutacane, Resort Lawe
Sigalagala dan Resort Lawe Diski.7 Kemudian pada tanggal 1 April 1934 didirikan
Resort HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Lawe Sigalagala di areal seluas 1,5 Ha.8
HKBP Lawe Sigalagala sebagai gereja tertua dan gereja yang memiliki jumlah jemaat
5 Buku Putih Sanitasi (BPS)Kabupaten Aceh Tenggara 2011, h.29.
6 Justin Sihombing, Seratus Tahun Kekristenan Dalam Sejarah Rakyat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX
Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP, 1961), h.55. 7 Ibid, h.56.
8 HKBP, Almanak HKBP 2013, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2012), h.516.
©UKDW
3
paling banyak dibandingkan dengan gereja-gereja yang terdapat di Aceh Tenggara.
Masyarakat yang tinggal di sekitar HKBP Lawe Sigalagala adalah suku Alas, Gayo
yang beragama Islam. Pada kurun waktu 1942-1945, akibat kekejaman Jepang yang
memberlakukan romusha (kerja paksa), banyak orang Batak Toba melarikan diri ke
Sidikalang dan Medan, walaupun anak dan istri mereka masih tinggal di Tanah Alas.9
Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) dan HKBP telah menghadapi masa sulit atau
penderitaan secara terpisah akibat Perang Dunia Kedua. Pendudukan rezim Hitler ke
negeri Belanda berakibat fatal bagi penginjil RMG dan HKBP. HKBP mengalami
pengambilalihan seluruh aset sending dan gereja oleh Belanda, kemudian Jepang dan
akhirnya pemerintah Indonesia.10
Setelah itu perkembangan selanjutnya suku Batak
Toba mengalami perkembangan yang pesat, suku Batak Toba sudah memiliki rumah,
lahan persawahan sendiri. Dengan perkembangan ekonomi tersebut ternyata bagi orang-
orang Batak Toba di luar Aceh Tenggara menjadi satu daya tarik untuk merantau ke
tanah yang subur tersebut. Seiiring dengan perkembangan tersebut di mana ada
perkampungan Batak, di sana pula akan ditemukan gereja. Dapat dibandingkan dengan
jumlah gereja HKBP yang tergabung dalam Distrik XII Tanah Alas sebanyak 44
gereja.11
HKBP Lawe Sigalagala yang dibangun berhadapan dengan Masjid Shabah
Radhiyallahu Anhu menunjukkan bahwa HKBP Lawe Sigalagala diperhadapkan dengan
konteks masyarakat Muslim Alas dan Gayo. Artinya, konteks keberagaman agama
adalah satu konteks yang harus disadari HKBP Lawe Sigalagala. Daerah yang memiliki
sumber-sumber kekayaan alam yang luar biasa, namun mayoritas mereka (Suku Alas
9 Elvis F. Purba, Sejarah Kedatangan Orang Batak Toba ke Tanah Alas, 1998, dalam,
http://kutacaneku.blogspot.com/2009/11/sejarah-kedatangan-orang-batak-toba-ke.html, diakses tanggal 8
Mei 2012. 10
Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di Dalam Kristus: Sejarah 150 Tahun HKBP 7
Oktober 1981-7 Oktober 2011, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2011), h.177. Bnd. Notulen
Sinode Godang HKBP, 24-25 Nopember 1948 di Seminarium Sipoholon, (Pearaja-Tarutung: Kantor
Pusat HKBP), h.6. 11
HKBP, Almanak HKBP 2013, (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2012), h.372-374.
©UKDW
4
dan Gayo) adalah penduduk miskin dan tertinggal. Hasil pengamatan penulis
menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang tinggal di sekitar HKBP Lawe
Sigalagala tidak mengecap pendidikan, rumah yang sangat sederhana, tidak memiliki
pekerjaan tetap. Berhadapan dengan situasi ini, stigma-stigma bahwa masyarakat Alas/
Gayo tersebut adalah orang yang bodoh, miskin, pencuri dan ungkapan lainnya sering
menjadi cap yang diberikan warga gereja kepada penduduk Muslim Alas/ Gayo yang
ada di Lawe Sigalagala. Gereja cenderung menarik diri dari kehidupan bersama
masyarakat, sehingga kehadiran gereja hanya berguna untuk warga gereja sendiri.
Selama ini penulis melihat HKBP Lawe Sigalagala belum bertindak untuk merespon
konteks yang dimaksudkan di atas.
Berhadapan dengan situasi yang demikian, penulis termotivasi untuk meneliti
apa yang membuat gereja bisa menjadi sedemikian terpisah dari kehidupan
masyarakatnya?. Lalu bagaimana gereja memaknai arti kehadirannya di tengah-tengah
pergumulan konteks lokal, seperti konteks kemiskinan dan konteks pluralitas agama?.
Bahwa gereja adalah milik Kristus dan Kristus-lah sebagai kepala gereja, mestinya
menjadi sebuah dasar bahwa kehidupan bergereja adalah kehidupan yang mewujudkan
Kerajaan Allah. Dengan demikian di mana pun gereja hadir, gereja mestinya
menunjukkan kepedulian kepada konteks di mana gereja itu bertumbuh dan
berkembang. Gereja menjadi satu persekutuan yang membebaskan bagi setiap konteks
yang dihadapi. HKBP Lawe Sigalagala dalam Tri-Tugas panggilan gereja (bersaksi,
bersekutu dan melayani) diingatkan kembali pada apa yang termuat dalam Pengakuan
Iman HKBP Tahun 1951, 1996 (Konfessi). Konfessi HKBP yang ditetapkan oleh
Sinode Agung HKBP pada 17-22 Nopember 1996 adalah rumusan yang kedua setelah
Konfessi Pertama yang dilakukan pada 28-30 Nopember 1951 di Seminarium
Sipoholon. Dalam pelaksanaan di jemaat yang dipakai adalah rumusan yang kedua yang
©UKDW
5
ditetapkan tahun 1996.12
Pada Pasal 7 tentang “Gereja”, pada bagian E. Tanda dari
gereja yang benar adalah:
Tanda dari gereja yang benar adalah:
a. Kalau kabar baik dikhotbahkan dan diajarkan dengan murni.
b. Kalau sakramen (Baptisan Kudus dan Perjauan Kudus) yang dua itu dilayankan dengan
benar (Mat.28:19, Mark.16:15-16).
c. Kalau Hukum Penggembalaan dan Siasat Gereja dijalankan dengan benar. 13
Tanda-tanda gereja yang benar yang dicantumkan dalam Konfessi HKBP pasal
7 dituliskan dalam konteks penginjilan. Peraturan jemaat itu bertujuan
“mengkristenkan” tatanan kehidupan orang Batak. Pandangan para sending Jerman
memberlakukan sejumlah tindakan dan peraturan gerejawi yang bagi orang-orang Batak
Kristen membatalkan berbagai kaidah serta nilai budaya dari tata kehidupan orang
Batak.14
Maka Konfessi tersebut harusnya dibaca ulang dan dirumuskan dengan
mempertimbangkan konteks kemiskinan dan pluralisme agama. Berangakat dari point
tentang gereja yang benar dalam Konfessi HKBP 1996, pemahaman tersebut persis
sama dengan apa yang sudah diutarakan pada Pengakuan Iman HKBP 1951. Jubil R.
Hutauruk mengatakan proses pemikiran dan praksis para pembentuk Tata Gereja sejak
1866 hingga saat ini memunculkan pengertian eklesiologi yang kontekstual dan
universal.15
Penulis berpendapat bahwa pemahaman tentang eklesiologi dalam Konfessi
HKBP harusnya dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan konteks di mana
HKBP itu hadir (konteks kemiskinan dan pluralisme agama).
Berangkat dari permasalahan yang sudah diungkapkan di atas maka penulis
mencoba menelusuri pemahaman eklesiologi seperti apakah yang dihidupi dan dijiwai
oleh HKBP Lawe Sigalagala saat ini, untuk mengetahui gereja seperti apakah yang
12
HKBP, Panindangian Haporseaon HKBP Tahun 1951 & 1996, (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 2009), h.7. 13
Ibid, h.136. 14
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja: Penelitian Historis tentang Gerakan Kemandirian Gereja di
Sumatera Utara dalam kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-
1942, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h.52. 15
Jubil R. Hutauruk, Menata Rumah Allah, (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2008), h.33
©UKDW
6
mereka hayati sebagai Tubuh Kristus Sang Kepala dan Pemilik gereja.16
Sangat
mungkin bahwa pemahaman eklesiologi saat ini yang menjiwai warga gereja adalah
pemahaman yang belum mempertimbangkan konteks kemiskinan dan pluralisme agama
di Lawe Sigalagala. Oleh karena itu dapat menawarkan sebuah konsep eklesiologi yang
ideal yang akan menolong HKBP Lawe Sigalagala dapat hidup bersama dengan
masyarakat Muslim Alas dan Gayo dan sekaligus dapat menolong memperbaiki taraf
ekonomi dan ketertinggalan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan. HKBP
Lawe Sigalagala akan bergerak pada pelayanan yang membebaskan dari berbagai
keterpurukan yang dialami. Dalam konteks kemiskinan dan pluralisme agama HKBP
Lawe Sigalagala bertumbuh dan berkembang pada arah yang membebaskan. Dalam
rangka mewujudnyatakan Kerajaan Allah di dunia ini, HKBP Lawe Sigalagala sebagai
tempat persekutuan orang kristen Batak khususnya terpanggil menjawab realitas
kemiskian dan pluralisme agama.
1.2. Rumusan Pertanyaan
1. Bagaimana pandangan HKBP Lawe Sigalagala terhadap masyarakat Islam
Alas/ Gayo yang miskin?
2. Mengapa HKBP Lawe Sigalagala terpisah dari masyarakat miskin (Masyarakat
Alas/ Gayo?
3. Eklesiologi manakah yang seharusnya ditawarkan kepada HKBP Lawe
Sigalagala?
16
Pada Konfessi HKBP 1996 Pasal 7. poin D, dikatakan bahwa gereja di dunia ini esa adanya, itulah
Tubuh Kristus. Karena itu hanya Kristuslah dasar keesaan (keesaan yang dimaksud adalah keesaan
kerohanian).
©UKDW
7
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membangun Eklesiologi yang kontekstual dan
dapat dijadikan sebagai dasar untuk mendukung hidup bersama HKBP Lawe Sigalagala
dengan komunitas masyarakat Muslim Alas dan Gayo di Aceh Tenggara. Penulis
berharap tulisan ini menawarkan satu konsep eklesiologi yang kontekstual, konsep
eklesiologi yang dapat menolong HKBP Lawe Sigalagala melakukan pelayanan dalam
konteks kemiskinan dan pluralisme agama.
1.4. Landasan Teori
Michael Amaladoss adalah seorang Jesuit dari Tamil Nadu-India Selatan. Dia
seorang teolog yang menggumuli inkulturasi, dialog interreligius, spiritualitas dan
kristologi. Saat ini dia menjabat sebagai Professor di Vidyajyoti College of Theology di
Delhi dan Direktur Institute for Dialogue with Cultures and Religions di Chennai, India.
Teologi-teologi pembebasan Asia yang diuraikan oleh Amaladoss memiliki ciri khas
tersendiri, teologi pembebasan Asia lebih memperhatikan dua konteks yaitu kemiskinan
Asia dan pluralisme keagamaan serta dampaknya terhadap perjuangan pembebasan.17
Dalam kedua konteks inilah Amaladoss merumuskan teologi pembebasan Asia. Dalam
rangka merumuskan pemahaman teologinya, Amaladoss mempelajari refleksi dari para
teolog-teolog Asia dari berbagai agama yang melibatkan diri dalam teologi pembebasan
Asia. Konsep Teologi pembebasan Asia sebenarnya tidak lahir atau dirumuskan oleh
salah seorang teolog Asia. Hal itu lahir dari pergumulan orang Asia dalam menghadapi
realitas kehidupannya. Walaupun begitu, konsep teologi Amaladoss sangat memperkaya
pemahaman kita terhadap teologi pembebasan Asia.
17
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, (Maryknoll: Orbis Book,
1997), h. I.
©UKDW
8
Bagi Amaladoss, pembebasan Asia adalah pembebasan yang menyeluruh.
Permasalahan dan pergumulan yang dialami Asia dalam kedua konteks tadi saling
terkait satu sama lain. Maka perlu suatu analisis sosial dengan mengkaji konteks Asia
dalam konteks ekonomi, politik, hak azasi manusia, kebudayaan dan agama. Dalam
konteks itulah teologi pembebasan Asia lahir. Dalam melakukan analasis ini Amaladoss
merujuk pada kenyataan real yang dialami Asia seperti perjuangan Minjung di Korea,
perjuangan rakyat Filipina, perjuangan kaum Dalit di India, perjuangan perempuan Asia
dan perjuangan terhadap keselarasan alam, yang di dalamnya agama-agama di Asia
mengambil peran masing-masing.
Asia bukan saja beragama tetapi beragam agama. Oleh sebab itu teologi
pembebasan Asia adalah proyek lintas agama. Situasi di mana terjadi dialog dengan
penganut agama lain, di sana bukan saja seseorang memberi tahu tentang pandangan
agama masing-masing, namun bisa terjadi saling mempengaruhi atau menerima
tantangan dari penganut agama lain. Dalam situasi seperti itulah seseorang dapat
merefleksikan dan menafsirkan tradisinya dengan perspektif baru yang berujung pada
proses mengembangkan tradisi itu dalam kerangka yang lebih baru lagi dengan secara
kreatif memadukan unsur-unsur tradisi lain. Hal ini juga merupakan sebuah
pembebasan: pembebasan iman dan teologi dari segala hambatan oleh lembaga-lembaga
keagamaan.18
Penulis melihat sikap Amaladoss ini sebagai suatu motivasi bagi banyak
orang bahwa berteologi pembebasan lintas agama akan melahirkan suatu sudut pandang
baru. Masyarakat secara bersama-sama menggumuli dan memperjuangkan pembebasan
itu sendiri. Tanpa itu kita tidak bisa melakukan perjuangan karena akan sangat dibatasi
oleh tradisi-tradisi yang terkotak-kotak dan tidak saling menerima. Perjuangan bersama
seluruh agama Asia akan membawa Asia pada pembebasan yang menyeluruh.
18
Ibid, h. 205.
©UKDW
9
Konteks pebebasan yang dimaksudkan oleh Amaladoss dapat dilihat dalam
konteks apakah dia berbicara. Titik tolak pembebasan Asia adalah pengalaman real
masyarakat Asia yang mengalami penderitaan, kemiskinan, penindasan, diskriminasi
terhadap kaum perempuan, dan eksploitasi terhadap alam. Sebelum berhasil melakukan
refleksi tantangan-tantangan dari pengalaman real tersebut, perlu memahami fenomena-
fenomena, terutama sebab akibat yang ada di dalam struktur-struktur masyarakat.
Beberapa analisis tradisional memusatkan perhatian kepada konteks sosial, ekonomi
dan politik. Namun orang-orang Asia telah menandaskan bahwa Asia tidak bisa terlepas
dari konteks keragaman agamanya. Kemudian ada yang sudah mulai masuk pada
konteks transformasi budaya. Menurut Amaladoss, untuk dapat melakukan pembebasan
secara menyeluruh maka perlu mengkaji kenyataan real, yang melaluinya kita mengenal
pergumulan Asia dan dapat berjuang melakukan pembebasan.19
Untuk dapat menuju
hidup yang bebas merdeka, maka perlu melakukan analisis masyarakat terhadap konteks
Asia yang meliputi konteks sebagai berikut:
1.4.1. Konteks Ekonomi
Konteks ekonomi menyangkut produksi dan pendistribusian barang-barang yang
mengakibatkan tereksploitasinya bumi dan kekayaannya. Kemajuan teknologi telah
membantu proses produksi demi memenuhi kebutuhan masyarakat Asia. Namun ketika
hasil produksi didistribusikan dengan sistem kapitalisme maka terjadi penumpukan
keuntungan untuk beberapa pihak dan kemiskinan bagi pihak lain. Struktur-strukrut
ekonomi lebih fokus pada pencarian keuntungan pribadi daripada mengutamakan
kesejahteraan umum. Struktur-struktur ekonomi rupanya memperoleh otonomi sendiri,
yang dikendalikan oleh dewan-dewan yang tak berwajah, yang bertanggungjawab
19
Ibid, h. 204.
©UKDW
10
kepada diri sendiri dan pasar, bukan kepada masyarakat banyak. Jangkauan kapitalisme
secara mendunia dan tak tertandingi serta spekulasi keuangan.20
Ketidakadilan sangat dekat dengan kemiskinan karena kemiskinan merupakan
efek langsung dari ketidakdilan di mana terjadi penguasaan aset oleh sekelompok orang.
Banyak orang Asia yang menjadi miskin oleh sistem ekonomi. Beberapa orang
menguasai sarana-sarana produksi dan menggunakannya untuk memperbesar
keuntungan pribadi, tetapi menjadikan orang lain semakin miskin. Para politisi pun
cenderung berminat dan tertarik kepada perlindungan proses ekonomi daripada
memperjuangkan kesejahteraan umum. Dengan demikian orang-orang miskin tidak
memiliki kesempatan untuk membela kepentingannya bahkan tidak diikutkan dalam
pengambilan keputusan-keputusan yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
Konteks Asia yang sarat dengan ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan yang
dialami oleh para rezim telah membuat banyak masyarakat Asia mengalami
penderitaan. Dapat dilihat Minjung di Korea yang sangat menderita dan tertekan akibat
rezim Jepang, bahkan penindasan dari pemerintah mereka sendiri. Demikian juga di
Filipina terdapat kesenjangan yang besar antara orang kaya dan orang miskin.
Kemiskininan di Filipina terdiri dari berbagai ragam. (1) Orang-orang miskin yang
bekerja di perkebunan-perkebunan besar yang hasilnya diekspor. (2) Anggota-anggota
suku yang digusur dari tanah leluhurnya yang turut mempengaruhi kebudayaan, cara
hidup yang berbasis tanah. (3) Orang-orang miskin yang mencari nafkah di kota-kota.
(4) Eksploitasi tenaga kerja anak, penindasan kaum perempuan, turisme seks.21
Konteks
seperti ini telah mewarnai banyak negeri di Asia sehingga membutuhkan pemulihan
melalui pembebasan.
20
Ibid, h. 206. 21
Ibid, h. 17-18.
©UKDW
11
1.4.2. Konteks Politik
Konteks politik menyangkut relasi-relasi dalam penguasaan sumber daya yang
ada di Asia. Para pemilik modal menjadi tokoh politik yang dapat memakai uangnya
untuk melaksanakan segala kepentingannya tanpa perduli terhadap eksploitasi alam dan
manusia. Kesejahteraan umum ternyata bisa terlupakan hanya karena percaturan para elit
politik dalam memperebutkan sumber-sumber yang dapat dikuasai.22
Politik bersangkut
paut dengan hubungan-hubungan kekuasaan, siapa yang mengendalikan sarana-sarana
produksi dan pasar-pasar?, siapa yang berkuasa dalam masyarakat dari sudut struktur
sosial?, politik diungkapkan dalam aparat negara. Bahkan dalam masyarakat-masyarakat
demokratis, hubungan-hubungan kekuasaan bersifat kompleks. Biasanya orang yang
memiliki uang juga memiliki kendali politis, meskipun kerap kali dilakukan secara tak
langsung melalui politik profesional. Kelompok-kelompok yang berkuasa dapat
mengeksploitasi rakyat dengan berbagai cara yang kurang lebih terbuka. Kesejahteraan
umum boleh jadi tersisih dalam percaturan komplek kepentingan-kepentingan
kelompok.23
Dalam situasi percaturan politik Asia, Hukum positif (hukum negara) sering
dipolitisir para elit politik demi mencari keuntungan pribadi sementara banyak orang
menjadi korban. Seharusnya hukum menjadi sumber kekuatan yang mensejahterahkan
banyak orang. Untuk mewujudkan cita-cita tentang keadilan dalam masyarakat maka
hukum harus dibuat untuk kepentingan semua pihak sebagaimana dijelaskan oleh Frans
Magnis Suseno:
“Hukum yang dibuat tidak boleh hanya bersifat praktis, efisien dan efektif melainkan harus
bermaksud untuk mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai adil
dan sesuai dengan penghayatan mereka tentang martabat mereka sebagai manusia. Untuk
menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur-unsur yang relevan bagi perasaan
masyarakat dalam hubungan dengan tata tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai,
norma-norma kehidupan, pola dan struktur-struktur hidup bermasyarakat, peranan-peranan
sosial, situasi dan keadaan, hubungan-hubungan sosial, lembaga-lembaga dengan fungsi
22
Ibid, h. 206. 23
Ibid
©UKDW
12
dan kedudukan masing-masing. Dalam unsur-unsur ini kelihatan apa yang dinilai adil,
wajar, dan pantas oleh masyarakat. Semakin unsur-unsur ini diperhatikan dalam pembuatan
hukum, semakin terjadi keadilan sesuai dengan martabat manusia.”24
Selanjutnya dapat dilihat bahwa dalam pembentukan sebuah hukum harus
memperhatikan tiga nilai dasar hukum: yaitu kesamaan, kebebasan dan solidaritas.
Hukum menjamin kedudukan yang sama bagi semua anggota masyarakat. Inti
kesamaan ialah bahwa setiap orang diperlakukan bedasarkan kriteria objektif yang
berlaku bagi semua pihak bukan berdasarkan siapa yang paling mampu dan kuat
melaksanakannya. Kesamaan dalam hukum ini akan membawa pada suatu keadilan di
mana setiap manusia diperlakukan secara merata sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Secara hakiki hukum juga harus melindungi kebebasan para anggota masyarakat
sehingga hak setiap orang untuk mengurus diri terlepas dari segala paksaan. Bukan
berarti bahwa setiap orang bebas melakukan seturut kemauan sendiri, tetapi justru
kebebasan yang diambil harus mempertimbangkan dan memperhatikan relasi dengan
orang lain. Dengan demikian hukum akan menjadi institusi solidaritas. Pertimbangan
pembuatan hukum harus merealisasikan ketiga nilai tersebut secara optimal.25
Namun dalam kenyataan real Asia, hukum adalah milik orang-orang kaya sebab
hukum dapat dibeli dengan kekayaannya. Situasi ini semakin membuka jurang yang
lebar antara penguasa dengan rakyat. Penguasa dapat menikmati hidup yang sejahtera
sementara rakyat banyak menderita. dalam konteks ini pun perlu dilakukan pembebasan
sehingga orang Asia akan hidup dalam jaminan hukum yang tidak pandang bulu.
24
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 112. 25
Ibid, h. 115-118.
©UKDW
13
1.4.3. Konteks Sosial dan Hak Azasi Manusia
Hak Azasi manusia di Asia sering mengalami diskriminasi. Konteks ini ingin
lebih memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk diberdayakan diri secara kreatif
dan bebas. Forum-forum international sering merumuskan tentang hak-hak azasi
personal namun dalam kenyataannya sering terabaikan. Terdapat perbedaan antara hak-
hak manusia secara hukum dan secara nyata. Namun sering juga egoisme dan
individualisme menjadi merajalela. Orang bisa membela hak-hak secara individualistis
namun mengabaikan kewajiban-kewajiban orang kepada orang lain. Dalam keadaan
seperti itu orang menjadi sulit bergaul dengan orang lain di sekitarnya.26
Dalam hal ini termasuk penting untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Para
perempuan Asia bangkit memperjuangkan situasi subordinasi yang mereka alami atas
legitimasi struktur budaya patriarki. Amaladoss membuat gambaran perempuan Asia
yang sangat tragis. Di beberapa negara Asia, digambarkan bahwa perempuan sejak dari
masa kandungan, anak-anak, remaja, gadis, ibu bahkan sampai tua sering mengalami
ketidakadilan. Ketika dalam kandungan, orangtua merasa bahwa lebih baik
mengandung anak laki-laki. Ketika sudah menjadi gadis, perempuan disosialisasikan ke
dalam masyarakat yang patriarkal di mana kebebasannya tidak sama dengan laki-laki.
Ketika beranjak menjadi gadis dewasa, dia terancam oleh pelecehan seksual. Ketika
sudah kawin, dia harus ikut suaminya dan sering menjadi bulan-bulanan di tengah
keluarga. Kalau perempuan bekerja, maka dia bekerja secara rangkap yaitu di tempat
kerja dan di rumah. Jika perempuan tinggal di desa, pekerjaannya mengumpulkan
kebutuhan keluarga dari alam, yang saat ini sudah terancam karena eksplotiasi manusia
terhadap alam. Itu artinya peran perempuan desa semakin sulit mendapat akses
mencukupi kebutuhan hidup. Dalam tatanan sosial patriarkal, perempuan tidak
26
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h. 207.
©UKDW
14
mempunyai kekuasaan dan kemampuan membuat keputusan. Dalam lingkup
keagamaan, peranannya tidak dominan. Memang gambaran konkret dari sikap-sikap ini
berbeda dari setiap tempat di Asia. Namun struktur-struktur yang menindas perempuan
Asia terjadi di mana-mana.27
Konteks masyarakat Asia yang terbagi-bagi dalam kelompok suku, agama dan
ras di mana ada yang dominan dan ada yang defensif sering membuat jurang yang
dalam di antara kelompok. Kelompok-kelompok lain merasa tersingkir, tertutup,
termarginalkan. Pluralisme budaya bukannya dipandang sebagai kekayaan namun
sering menjadi permasalahan yang berujung pada konflik. Kesejahteraan umum menjadi
sebuah pertimbangan di antara kelompok-kelompok. Itu sebabnya banyak orang
mengupayakan jatidiri-jatidiri kelompok berdasarkan suku, agama, kasta, ras dengan
dalih bahwa orang-orang yang mempunyai jati diri yang sama itu juga mempunyai
kepentingan yang sama dalam bidang ekonomi, politik dan sosial yang perlu dibela dan
diperjuangkan.28
Di India terdapat masyarakat yang mengalami diskriminasi karena dipatahkan
oleh sistem kasta. Ada empat golongan kasta yaitu kaum Brahmana yaitu golongan
paling atas dan termurni secara ritual (para imam dan cendikiawan), Kaum Ksatria yaitu
para prajurit dan pejuang yang memerintah, Kaum Vaisya yaitu para pedagang, kaum
Sudra yaitu para pelayan, petani dan pekerja. Di luar keempat golongan ini disebut para
dalit, yaitu orang-orang cemar terutama karena pekerjaan mereka yang kasar dan kotor.
Mereka adalah orang-orang yang tidak boleh disentuh dan terbuang. Sesungguhnya
tidak ada orang yang tahu bagaimana sistem penataan masyarakat seperti itu bisa
terbentuk namun kaum Brahmana memperkokoh status sosial mereka dengan
mengembangkan suatu ideologi dan mengabsahkan suatu mite penciptaan. Sistem sosial
27
Ibid, h. 60-61. 28
Ibid, h. 207.
©UKDW
15
itu sedemikian kuatnya sehingga agama-agama Islam, Kristen dan Sikh tidak dapat
menghilangkannya. Memang agama-agama itu tidak mengabsahkannya seperti Hindu
tetapi menerimanya tanpa perlawanan sebagai hal yang seolah-olah tak tersingkirkan
lagi. Banyak kaum dalit yang pindah ke agama Kristen namun tetap saja memperoleh
diskriminasi-diskriminasi sosial. Secara sosial mereka tersingkir, mereka hidup di luar
atau di pinggir desa-desa.29
Mereka tidak mempunyai hubungan sosial yang benar-benar
sederajat dengan orang-orang lain. Fasilitas-fasilitas umum seperti sumur-sumur dan
kuil-kuil desa tidak diperuntukkan bagi mereka.
1.4.4. Konteks Kebudayaan
Konteks kebudayaan terdiri dari pandangan-pandangan hidup dan sistem-sistem
nilai yang diungkapkan, dirayakan, dihayati dari generasi ke generasi. Kebudayaan telah
memberi makna kepada dunia di mana para penganutnya dapat mengungkapkan
pengalaman-pengamalan dan jati dirinya melalui kebudayaan. Namun seringkali
kebudayaan diterima begitu saja tanpa sikap kritis. Setiap kebudayaan memiliki
keterbatasan karena kebudayaan merupakan salah satu cara kreatif untuk memberi
sumbangsih bagi dunia ini. Dengan demikian orang dapat mentransformasi
kebudayannya. Kebudayaan seseorang sering dibentuk dan dikondisikan oleh keadaan-
keadaan geografis, sejarah dan kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu sistem-sistem yang
bermakna akan memiliki tujuan untuk membentuk suatu tatanan sosial menyeluruh.
Dengan demikian masyarakat akan berdialektika di mana yang satu tidak dapat diubah
tanpa mengubah yang lain. Bahkan dalam keadaan dikuasai dan tertindas orang-orang
akan dapat berpegang teguh pada kebudayaannya sebagai sumber jatidirinya.30
29
Ibid, h. 33. 30
Ibid, h. 208.
©UKDW
16
Salah satu ciri khas kebudayaan Asia adalah hidup selaras dengan alam. Alam
bukan saja dipandang sebagai sumber kehidupan, tetapi alam adalah bagian dari jatidiri
orang Asia. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi dengan minat-minat ekonomi yang
tak dikendalikan, telah membawa akibat negatif bagi lingkungan hidup. Keserakahan
manusia dan pemborosan sumber alam termasuk pemborosan terhadap air telah
menghancurkan lingkungan hidup. Kehancuran lingkungan hidup pada gilirannya juga
akan menghancurkan kehidupan manusia sendiri.31
Oleh sebab itu, budaya keselarasan
dengan alam perlu dijaga dan dipertahankan serta ditransformasi supaya lebih peka lagi
dalam merawat dan mencintai alam.
1.4.5. Konteks Agama
Konteks ini merupakan elemen penting karena memberi makna yang ultimate.
Beberapa makna datang dari pengalaman mendalam orang-orang berkharisma, yang
kadang dikaitkan dengan pewahyuan Ilahi. Agama dalam upayanya untuk terungkap
dalam kehidupan akhirnya terjelma ke dalam struktur-struktur sosial-budaya dan
akhirnya mengabsahkan struktur tersebut. Namun perlu juga bahwa orang-orang dengan
jiwa kenabiannya menentang struktur-sturktur sosial, budaya dan keagamaan yang
baku. Sebab agama dapat dipakai orang sebagai jati dirinya dalam rangka mencapai
tujuan ekonomi maupun politik. Konteks Asia dengan keberagaman agama sering
terjadi benturan-benturan pandangan mutlak. Namun situasi itu harus dipakai dalam
rangka membangun dialog.32
Amaladoss memberi gambaran tentang teologi
pembebasan Asia yang di dalamnya semua agama-agama Asia turut ambil bagian. Para
teolog Asia dari berbagai agama, berakar dan mengembangkan serta menafsirkan tradisi
keagamaannya sendiri. Hasil penafsiran masing-masing teolog kemudian dapat menjadi
31
J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan
Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 71-72. 32
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h. 208.
©UKDW
17
inspirasi bagi penganut agama lain karena tujuannya sama-sama meperjuangkan
pembebasan Asia.
Dalam rangka memandang agama lain, maka pertanyaannya bukanlah apakah
agama lain memiliki ajaran yang benar dan menerima keselataman atau tidak. Hal yang
penting dilihat adalah bahwa di dalam agama lain Allah turut bekerja dalam kehidupan
dan komunitas penganut agama lain. Kita memahami bahwa Allah memiliki relasi
dengan kita melalui ajaran, mite agama dan ritual. Namun kita juga dapat melihat
bahwa Allah memiliki relasi dengan agama yang lain sekalipun dengan ajaran, mite
agama dan ritual yang berbeda.33
Dalam Alkitab dapat ditemukan kesaksian tentang
Allah yang inklusif di mana Allah dilihat sebagai Allah bagi semua orang. Allah
mampu menjangkau semua orang dari berbagai latar belakang (lihat. Ams. 8:24-32,
Ayub 28:1-28). Keinklusifan Allah ini berangkat dari visi dan misi penciptaannya yang
menciptakan segala sesuatu (Kej. 1:1-31).34
Puncak keinklusifan Allah adalah melalui
inkarnasi dalam diri Yesus Kristus yang berkelanjutan secara terus menerus. Dalam
pelayanan Yesus juga menjadi pelayanan yang inklusif bagi bangsa-bangsa dan umat
lain.35
Demikian juga dalam kitab suci Quran digambarkan Allah sebagai yang inklusif.
Dalam pernyataan: “There is no God but Allah”, terdapat juga pernyataan “there must
be no coercion in matters of faith”.36
Hal ini merupakan pernyataan yang implisit di
mana iman seseorang menuntunnya kepada Allah yang esa. Allah menunjukkan bahwa
keberagaman agama adalah atas kehendakNya. Jika Allah menginginkan semua orang
menjadi seragam, tentu semua orang akan diciptakannya sebangsa dan sebagai muslim.
33
Michael Amaladoss, Making Harmony-Living in Pluralist World, (Delhi: IDCR&ISPCK, 2003), h.
124. 34
Ibid, h. 126. 35
Calvin Shenk, Who Do You say that I am? Christian Encounter Other Religions, (Pennsylvania: Herald
Press, 1997), h. 209. 36
Michael Amaladoss, Making Harmony-Living in Pluralist World, h. 132.
©UKDW
18
Namun ternyata Allah tidak melakukan hal tersebut dan pada pemahaman inilah umat
Muslim harus menuruti kehendak Allah yang menciptakan keberagaman. Demikian
juga Muhammad tidak menciptakan agama baru, namun memperkenalkan kepada dunia
Arab agama yang menyembah satu Allah. Quran menegaskan bahwa pewahyuan yang
diberikan kepada Muhammad bukan berarti membatalkan pewahyuan yang diberikan
kepada umat lain melalui nabi-nabi lain. Itu sebabnya Muhammad menyarankan umat
Muslim untuk berlaku santun kepada umat Kristen dan Yahudi sebab mereka
mempercayai satu Allah.
“Do not argue with the people of the book unless it is in the most courteous manner, except
for those of them who do wrong. We believe in the revelation which has come down to us
and in that which came down to you. Our God and your God is one, and to Him we
submit”.37
Oleh sebab itu keselamatan yang disediakan Allah bukan sekedar memindahkan
orang dari neraka menuju surga. Keselamatan yang dibawa Allah telah dimulai sejak di
bumi ini dan semua orang penganut agama mengambil peranan dalam keselamatan itu
dalam tuntunan Roh Allah.38
Roh Allah bebas bergerak bagi siapapun. Hal ini patut
diperhatikan dan tidak perlu ditutup-tutupi bahwa Roh Allah dapat bekerja bagi dan
melalui siapa saja. Kebebasan berarti hidup dalam Roh yang di dalamNya umat
beragama dapat melampaui batas-batas ideologi, agama, golongan agama tertentu untuk
menggunakan segala sumber daya secara kreatif untuk solidaritas, dialog dan kerjasama.
MENUJU HIDUP MERDEKA DALAM EKLESIOLOGI AMALADOSS
Mengapa mengupayakan teologi pembebasan? Teologi pembebasan Asia pada
umumnya diilhami oleh model Amerika Latin. Amerika Latin yang memusatkan diri
pada kemiskinan yang diakibatkan oleh penindasan ekonomi dan politik. Para teolog
Asia lebih memikirkan religiositas dan pluralisme agama serta dampaknya terhadap
37
Ibid, h. 133. 38
Michael Amaladoss, “Identity and Harmony”, dalam Robert J. Schreiter, Mission in the Third
Millenium, (New York: Orbis Book, 2002), h. 30-31.
©UKDW
19
perjuangan pembebasan.39
Amaladoss mengkajinya secara Biblis berdasarkan refleksi
imannya. Amaladoss menegaskan bahwa apa yang dibahasnya sebagai teologi
pembebasan adalah berakar dari jati dirinya sebagai seorang Kristen. Dia mengatakan
demikian:
“The model we see operative here is that I as a Christian Theologian must indeed be open
not only to reality but also to the visions and conviction of others belonging to the others
religious traditions and ideologies who share with me the same economic, political and
socio cultural context. I must be in constant dialogue with them. But I can olny reflect as a
Christian without claming to evolve an inter-religious or universal theology. This is the
only way I can be true to my own identity and roots and the same time respect the other
believer as other without somehow dominating him/her and assuming his/her perpective as
an element of my own global vision, pretending to be universal. This is the orientation that
governs the following reflection.” 40
Berangkat dari pernyataan itu, artinya harus melihat dasar Biblis panggilan
pembebasan pada konteks Asia. Yesus hadir ke dunia ini sebagai pembebas dari segala
dosa dan penderitaan. Kebebasan yang dibawa Yesus dapat dikenal di Asia dalam
konteksnya masing-masing. Ada dua jenis simbol Asia tentang Yesus: Simbol seperti
Minjung, Dalit, Liberator digunakan oleh orang-orang tertindas untuk berjumpa Yesus
sebagai orang yang termarjinal dan tertindas. Sedangkan simbol seperti Guru, Jalan,
Avatar, Penari, menunjuk pada apa yang dilakukan Yesus pada orang Asia. Yesus
adalah petunjuk dan model hidup. Dapat dilihat ketika Yesus berpihak kepada orang
miskin, dia juga memilih menjadi miskin. Hal ini bukan sekedar miskin material tetapi
juga menyangkut dimensi spritual. Hal itu lebih kepada pengosongan diri dan anugerah,
yang menjadi salah satu elemen membawa Yesus dekat kepada Asia. Pengalaman
penderitaan Yesus bagi kita harus menjadi pengalaman dalam kebangkitannya dan
pengalaman itu tidak akan pernah komplit dalam perjalanan sejarah. Hal inilah yang
membuat simbol-simbol Asia dapat selalu relevan. Semua simbol-simbol Asia tentang
39
Michael Amaladoss, Life in Freedom: Liberation Theologis from Asia, h.xiii. 40
Ibid, h.204.
©UKDW
20
Yesus memiliki relevansinya sendiri walaupun berbeda pada banyak orang, waktu yang
berbeda, tetapi memiliki kesatuan pemahaman bagi mereka.41
Amaladoss mengutip penafsiran teolog Minjung, Ahn Byung Mu terhadap injil
Markus. Ahn Byung Mu menunjukkan suatu golongan rakyat yang khusus yang
senantiasa berada di sekeliling Yesus yang disebut dengan Ochlos. Yesus menyatukan
diri dengan mereka dan memaklumkan kemerdekaan. Namun kerena Yesus memihak
Minjung, ia dibunuh dan kebangkitanNya telah memberi harapan baru kepada para
Minjung. Dalam Perjanjian Lama, peristiwa keluaran merupakan proses pembebasan.
Para Minjung memandang diri mereka sebagai rakyat tertindas oleh bangsanya sendiri
dan janji pembebasannya diwartakan bagi mereka. Meskipun kedua teks tersebut
(tentang pembebasan: Musa dan Yesus) merupakan paradigma-paradigma untuk
Minjung, namun ada perbedaan-perbedaan penting dalam paradigma itu. Menurut
Minjung, Musa adalah pemimpin heroik yang berhasil dalam revolusi. Dalam peristiwa
keluaran, revolusi hanya terjadi sekali saja dalam sejarah di mana Minjung dijadikan
sebagai objek penyelamatan (penyelamatan dari luar). Yesus adalah seorang
revolusioner yang gagal jika dinilai dari sudut pandang Musa karena gaya revolusi
Yesus berbeda dari Musa. Peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus menjadi
revolusi yang berkelanjutan di mana Minjung menjadi subjek keselamatan
(penyelamatan dengan percaya kepada diri sendiri). Yesus adalah aspirasi rakyat sendiri
dan menjadi bagian dari Minjung bukan semata-mata demi kepentingan Minjung.
Dalam pandangan seperti itulah mereka melihat bahwa Allah bertindak dalam sejarah
Minjung yang memberi perhatian dan kemerdekaan bagi Minjung.42
41
Michael Amaladoss, “Asia Encountering Jesus” dalam Ludwing Bertsch (ed), Vielle Wege Sim Ziel,
Herausforderegem im Dialog der Religionen und Kulturen, (Heiden: Freinburg, 2006), h. 222. 42
Michael Amaldoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h. 8
©UKDW
21
Menurut Amaladoss, sikap yang diharapkan dalam rangka pembebasan Asia
adalah ketidakberpusatan pada diri sendiri, peyerahan diri dan tindakan yang pamrih.43
Sikap ini dapat direfleksikan dari teguran Yesus kepada pemuda kaya untuk membagi-
bagikan hartanya kepada orang miskin (Mat. 19:16-26, Mrk. 10:17-27, Luk. 18:18-27).
Teguran dan nasihat Yesus kepada orang-orang kaya bertujuan untuk mengembalikan
relasi yang baik antara orang kaya dan miskin sebab Allah mengasihi semua orang.
Allah mengasihi orang miskin dan mengajak orang kaya untuk turut ambil bagian dalam
pembebasan. Orang kaya dapat turut dalam pelayanan pembebasan melalui orang
miskin sebab Allah sendiri hadir untuk membebaskan orang miskin. Misi pelayanan
Yesus dilakukannya melalui sebuah proklamasi tentang pembebasan orang-orang yang
menderita (Luk. 4:16-30). Proklamasi ini menunjukkan bahwa keselamatan yang
dibawa Yesus ditujukan bagi semua orang termasuk orang yang miskin, tawanan, orang
buta, tertindas, dan juga orang asing.
Berita Injil menunjukkan bahwa keselamatan Allah yang dibawa Yesus berlaku
bagi semua orang tanpa diskriminasi. Pembebasan kepada orang miskin, buta dan
tertawan telah digenapi Yesus pada “hari ini” menunjukkan bahwa pembebasan itu
harus dinyatakan. Hal ini mengacu pada sikap terhadap ekonomi dan politik di mana
tidak terdapat lagi penumpukan harta materi pada segelintir orang sementara banyak
orang mengalami kemiskinan. Dalam situasi ini maka solidaritas sangat dibutuhkan.
Idealisme solidaritas tentu sangat kontras dengan individualisme ekonomi dan politik
yang lebih mempromosikan kesejahteraan individu atau kelompok tertentu di mana ada
individu lain yang menjadi korban. Karena situasi sosial politik kita sangat konkret
mengalami pergumulan ini maka sebaiknya solidaritas diarahkan untuk menjelaskan
keberpihakan terhadap orang miskin dan menderita dalam rangka mewujudkan
43
Michael Amaladoss, The Asian Jesus, (New York: Orbis Book, 2006), h. 143
©UKDW
22
pembebasan. Solidaritas sejati terhadap mereka akan membawa Asia pada suatu tatanan
yang lebih merdeka dari segala penindasan, kemiskinan, diskriminasi, dan eksploitasi.44
Amaladoss menunjukkan bagaimana seharusnya gereja merespon konteks Asia
yaitu kemiskinan dan religiositas yang di dalamnya lahir teologi pembebasan. Untuk
melayani orang miskin dalam konteks Asia harus ditemukan eklesiologi yang
kontekstual dan konkret yang langsung melayani kebutuhan jemaat. Lebih konkretnya
eklesiologi kaum miskin adalah eklesiologi yang bersemangat kerakyatan, gereja yang
sangat dekat dengan pergumulan orang miskin. Oleh sebab itu Tri Tugas panggilan
gereja yaitu koinonia, martuaria dan diakonia perlu ditransformasi sehingga bisa
disangkutkan dengan pergumulan dan pengharapan umat. Marturia adalah sebagai
kesaksian mengenai cinta kasih dan mengundang banyak orang untuk ambil bagian
dalam cinta kasih ini. Koinonia berarti persekutuan baru yang mempraktekkan secara
konkret cinta kasih dalam persekutuan hidup bersama tanpa membedakan strata sosial.
Diakonia adalah pelayanan cinta kasih bagi semua orang yang ditujukan untuk
kepentingan Kerajaan Allah. Dengan demikian gereja terpanggil untuk secara aktif
dalam penciptaan kembali masyarakat melalui konsep teologi kebersamaan yang
membebaskan. Teologi ini bersifat terbuka untuk menerima pemberian Kerajaan Allah
dan menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi serta bersama-sama berjuang
membebaskan dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan bersaudara.
Eklesiologi kaum miskin adalah eklesiologi yang mendapat bentuk dalam
pilihan mendahulukan kaum miskin dan tak berdaya, preferential option for (and with)
the poor and oppressed. Mendahulukan kaum miskin dan tertindas serta
memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan merupakan wujud serta
44
Michael Amaladoss, “Solidarity and Struggle” dalam S. Arokiasamy (ed), Vidyajyoti Journal of
Theological Reflection Vol 66/2002, (Delhi: Vidyajyoti Educational and Welfare Society, 2002), h. 660.
©UKDW
23
tanda kesetiaan kepada Injil Kristus.45
Eklesiologi yang mendahulukan orang miskin
bukanlah berarti pilihan mengecualikan orang kaya dari rencana penyelamatan Allah.
Namun dalam rangka menjalin persaudaraan antara orang kaya dan orang miskin,
sehingga jurang antara orang kaya dan orang miskin dijembatani, di mana tidak ada
lagi pemeras dan yang diperas, penindas dan yang ditindas, di mana semua “makan
bersama”. Orang kaya dapat bergembira dan berbahagia menemukan solidaritas Allah
sendiri dalam solidaritasnya dengan kaum miskin.46
Keselamatan terwujud bagi
mereka, apabila mereka ikut menjembatani jurang yang memisahkan mereka dengan
orang-orang miskin, agar dengan demikian persaudaraan semua orang dibangun.
Sebagaimana dalam Injil, Zakheus yang kaya berjumpa dengan Yesus dan mengubah
hidupnya (Luk. 19:1-10).47
Perjumpaannya dengan Yesus menghasilkan pertobatan
dan memiliki dampak yang luar biasa terhadap orang-orang miskin. Maka
terbangunnya sebuah persaudaraan antara orang miskin dan orang kaya, akan
membentuk sebuah komunitas yang berakar pada Allah sendiri, di mana Allah yang
memilih dan menyelamatkan, bukan kekayaan atau kemampuan dari prestasi manusia
itu sendiri.
Penekanan mendahulukan orang miskin tanpa mengabaikan orang kaya penting
diperhatikan supaya jangan ada pemahaman yang salah bahwa Injil hanya milik
eksklusif orang-orang miskin. Oleh sebab itu gambaran eklesiologi tidak hanya
berfokus pada penderitaan kaum miskin atau keberpihakan Yesus kepada kaum miskin.
Namun fokus eklesiologi-nya adalah panggilan Yesus kepada semua orang sama
sederajat, tidak diskriminatif dan dipanggil dalam satu persekutuan baru. Titik tolak
tetap pada pengalaman kaum miskin tetapi pusat perhatian pada persekutuan baru,
45
J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan
Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, h.21. 46
J.B. Banawiratma, J Muler, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup
Beriman, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.136. 47
Ibid, h.135.
©UKDW
24
persekutuan kemerdekaan dan kebersamaan, cinta kasih dan keadilan yaitu umat baru
dalam pemerintahan Allah. Dalam hal ini peranan kaum miskin adalah menantang para
penindasnya bukan dengan menutup diri sebagai umat pilihan Allah tetapi bersama-
sama dengan penindasnya membangun sebuah konsep eklesiologi baru.
Mendahulukan kaum miskin bukan mengabaikan golongan lain, tetapi
mengundang semua untuk turut serta mewujudkan keadilan yang bersaudara.
Mendahulukan kaum miskin berarti bahwa gereja menyapa semua orang melalui kaum
miskin. Dalam hal ini penting untuk menjaga hubungan kasih universal Allah dengan
orang-orang yang dipilih dan diutamakan Allah sebagai sarana pemberitaan firmanNya
yaitu kaum miskin. Pilihan ini dilakukan sebagai pilihan Allah, di mana Allah sendiri
yang telah mendahulukan kaum miskin namun bukan berarti mengeksklusifkan mereka.
Gereja menjadi komunitas kasih universal bagi semua orang miskin maupun kaya.48
Pembebasan seperti itu hanya dapat terlaksana bila orang miskin dijadikan sebagai
subjek pelayanan bukan sebagai objek. Pewartaan Injil akan sungguh menjadi
membebaskan ketika orang miskin sebagai “pewarta-pewarta” kabar sukacita. Orang-
orang miskin bergumul dengan kehidupan dan mereka pulalah yang tepat untuk
menyuarakan pesan pembebasan Kerajaan Allah. Mereka adalah saksi-saksi utama
karena mereka sendiri merasakan pergumulan, penderitaan, kemiskinan dan anugerah
pengasihan Allah. Kesaksian hidup mereka harus menjadi motivasi yang mengarahkan
orang lain untuk membebaskan diri dari penderitaan kemiskinan. Dengan memilih
hidup demi kepentingan kaum miskin dan berjuang bersama dengan mereka untuk
pembebasan mereka. Pieris melihat dalam diri Yesus suatu fakta pertahanan Allah
bersama dengan kaum miskin demi pembebasan mereka. Pieris berbicara tentang
peranan rangkap evanggelisasi orang Kristen:
48
Marthin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez – Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, (Yogyakarta: Kanisius,
2006), h. 122-125.
©UKDW
25
“To experience the solidarity with non-Christians by witnessing to the spirituality common
to all religions (by practising the beatitudes) and reveal their Christian uniqueness to
proclaim Jesus as the new covenant (by joining the poor against mammon’s principalities
and power that create poverty and oppression).”49
Yesus memperlihatkan dan mengejawantahkan perjuangan terus-menerus antara Allah
dan mamon. Orang-orang miskin dan tertindas adalah pelaku perjuangan tersebut. Allah
dalam diri Yesus berpihak kepada mereka, sehingga “perjuangan kaum miskin untuk
pembebasan mereka bertepatan dengan tindakan Allah yang menyelamatkan”. Oleh
karena itu, relasi-relasi yang terbangun itu hendaknya menjadi umat yang bersaksi
menyuarakan keadilan. Relasi-relasi tersebut akan membentuk jaringan-jaringan yang
saling melayani. Mereka sebagai gembala non formal yang berfungsi sebagai titik-titik
simpul jaringan saraf gereja yang terpencar di berbagai tempat instansi maupun fungsi
yang terdapat dalam banyak variasi tanpa memandang status sosial.
Kehidupan yang mendasar adalah ketika orang Asia menyadari bahwa
kehidupan ini merupakan suatu sharing, karunia, kasih dan persekutuan. Dengan saling
berhubungan manusia menemukan jati dirinya. Ini merupakan pengalaman kehidupan di
mana Allah menjadikan manusia sebagai laki-laki dan perempuan menurut citraNya.
Hal inilah yang meneguhkan suatu relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan
yang mengarah pada keutuhan ciptaan. Karena manusia diciptakan menurut citra Allah,
maka relasi timbal balik tidak dapat bersifat otomatis, tetapi harus diupayakan dan
dihidupi setiap orang. Manusia memang terlahir dalam persekutuan dengan yang lain
tetapi persekutuan itu harus selalu ditegakkan secara terus menerus.50
Menurut Amaladoss dasar teologis bagi orang Kristen untuk melakukan
perjuangan pembebasan lintas agama adalah karena semua orang dipanggil ke dalam
peziarahan Kerajaan Allah. Semua agama dipanggil masuk ke dalam Misteri Allah.
49
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h.145. 50
Michael Amaladoss, Seri Pastoral 309 - Tugas Perutusan Dalam Dunia Pasca Modern, (Yogyakarta:
Pusat Pastoral, 2000), h.15.
©UKDW
26
Perspektif paling mendasar adalah Allah yang satu mengatasi seluruh jagad raya ini
akan merangkul kemanusiaan kita. Pemeliharaan, penjelmaan dan keselamatan yang
dibawanya berlaku secara universal. Dalam pemahaman seperti itu maka umat
beragama lain tidak dilihat melulu sebagai musuh atau orang asing tetapi sebagai
mediasi Roh Kudus. Hal kedua adalah bahwa Roh Allah bebas bergerak bagi siapapun.
Hal ini patut diperhatikan dan tidak perlu ditutup-tutupi bahwa Roh Allah dapat bekerja
bagi dan melalui siapa saja. Dalam terang seperti itulah dapat kita pahami bahwa umat
beragama lain turut serta dalam mewujudkan Kerajaan Allah di bumi ini.51
Para teolog agama-agama Asia membangun teologi pembebasan karena pada
masa-masa tertentu agama-agama di Asia tidak merespon kemiskinan dan pluralisme
agama di Asia. Setiap agama memiliki visi dan misi mulia demi memperjuangkan
pembebasan. Artinya bahwa teologi pembebasan menjadi tugas lintas agama yang dapat
diwujudkan melalui kerjasama yang konkret. Sekalipun dasar pembebasan berasal dari
ajaran agama masing-masing namun tujuan mulianya adalah mengupayakan
kemanusiaan yang merdeka. Dalam hal inilah setiap agama harus mampu melihat
konteksnya dan konteks agama lain sebagai satu kesatuan visi sekalipun ada perbedaan
prinsip-prinsip tentang pembebasan. Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya,
teolog-teolog yang dijelaskan Amaladoss satu sama lain memiliki perbedaan prinsip
namun penulis melihatnya sebagai upaya pembebasan kemanusiaan dari kemiskinan
yang disebabkan ketidakadilan dan mengupayakan eklesiologi yang kontekstual.
Para teolog yang ditunjuk Amaladoss dari berbagai agama menunjukkan refleksi
dari agamanya sendiri, tetapi mereka menyatakan bahwa visi sosial yang mereka ajukan
dan nilai-nilai yang akan diperjuangkan dapat dimiliki oleh tradisi agama-agama lain.
Teologi pembebasan lintas agama dapat bekerja sama untuk membela dan memajukan
51
Michael Amaladoss, “Liberation: An Inter-Religious Project” dalam Geofrey King (ed), East Asian
Pastoral Review Vol. 28 No. 1, (Philipines: EAPI, 1991), h.21-23.
©UKDW
27
nilai-nilai manusiawi dan rohani bersama, meskipun setiap kelompok agama
menemukan motivasi dan inspirasi untuk keterlibatan seperti itu dalam agamanya
sendiri. Kalau selama ini tugas misi kita sering diarahkan pada agama lain dengan
asumsi bahwa agama kita yang paling sejati. Namun sekarang penilaian kita terhadap
agama lain dan para pengikutinya sebaiknya bersifat positif. Dalam menghadapi
pergumulan global ini, semua orang dapat terlibat dalam menegakkan suatu dunia
alternatif di mana “yang lain” dianggap sebagai mitra. Dengan demikian semua orang
dapat melaksanakan dialog karya dalam rangka menegakkan keadilan dan persekutuan
yang harmonis.52
Semangat teologi pembebasan lintas agama ini harus disambut oleh orang Kristen
(gereja) sebagai kesempatan emas untuk secara bersama-sama mewujudkan
pembebasan. Thomas melihat perutusan gereja adalah perutusan berdialog dan
bernubuat. Orang Kristen harus terlibat dalam dunia sejarah, dengan berusaha
meningkatkan kemanusiaan yang penuh dan mengambil bagian dalam gerakan-gerakan
sosial dan politik yang ada, sebab hal tersebutlah dasar bersama untuk berdialog.53
Dengan melihat realitas pluralisme tersebut Amaladoss mengatakan:
“Religion tend to be absolute in their affirmation and do not easily tolerate other absolutes.
Co-existence of religions, not merely as private belief systems, but as having a public role
in society, becomes possible only on the following conditions: (i) when every religion, that
is a community of believers, is able to make space for other believers, that is, other
religions not merely in the sense of their being tolerated as second class citizens, but
accepted as full and equal participants; (ii) When every religions is able to distinguish
between its faith convictions and their moral consequences... every religious group is
rooted in its own faith; it accepts other religious groups as legitimate; it is open to dialog
with their members in view of common commitment to build up the community.”54
Orang Kristen tetap memaklumkan Kristus sebagai jawaban terakhir atas usaha-usaha
semua bangsa, melalui gerakan apa saja untuk menuju kemanusiaan sepenuhnya.Kristus
melengkapi apa yang kurang dalam ideologi-ideologi sekarang ini, baik keagamaan
52
Michael Amaladoss, Seri Pastoral 309 - Tugas Perutusan Dalam Dunia Pasca Modern, h. 24. 53
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h. 159. 54
Michael Amaladoss, Making All Things New: Dialogue, Pluralism & Evangelization In Asia,
(Maryknoll-New York: Orbis Books, 1990), h.14-15.
©UKDW
28
maupun yang sekuler. Akan tetapi, dengan mengakui kehadiran dan tindakan Kristus
dalam agama-agama lainnya, ia harus belajar berdialog dengan mereka, dengan
memberi dan juga menerima.55
Orang Kristen bersama umat beragama lain dapat
membangun Basic Human Communities yaitu persekutuan yang dibangun berdasarkan
kepedulian manusiawi bersama yang tidak ditentukan oleh iman atau agama tertentu
tetapi dengan pengalaman hidup bersama dan kepedulian manusiawi. Hal ini merupakan
sesuatu yang sangat mendasar sebagai jawaban iman orang Kristen dalam konteks
kemiskinan dan kemajemukan agama.56
Dalam kesempatan itulah gereja bukan hanya
terbuka terhadap realitas kemiskinan dan ketidakadilan yang merajalela, namun turut
juga terbuka tehadap visi-misi dan keyakinan orang lain secara khusus karena visi-misi
itu diperuntukkan dalam konteks yang sama. Melalui Basic Human Communities orang-
orang Kristen mampu merefleksikan iman percayanya kepada Yesus untuk membawa
pembebasan dalam konteks Asia.
Berdialog dengan pandangan Amaladoss memang sangat menarik sebab beliau
merumuskan rumusan teologinya berdasarkan realitas Asia. Bahkan beliau sangat
terbuka terhadap refleksi dari teolog-teolog Asia lintas Agama. Berdialog dengan
Amaladoss sekaligus berdialog dengan kekayaan refleksi dari teolog-teolog Asia.
Dengan cara yang khas itulah Amaladoss menjelaskan teologi pembebasan Asia yang
lahir dari dan dalam realitas Asia. Pembebasan menyeluruh yang dirumuskannya
merupakan perjuangan yang sangat urgent pada masa kini dalam konteks Asia. Konflik
dan pergumulan yang menggerogoti segi-segi kemanusiaan di Asia telah menjadikan
banyak tempat di Asia menjadi miskin, bahkan dimiskinkan secara terorganisir. Dalam
konteks itulah gereja bersama penganut agama lain terpanggil untuk memperjuangkan
pembebasan demi hidup merdeka.
55
Michael Amaladoss, Life In Freedom – Liberation Theologies From Asia, h. 159. 56
J.B Banawiratma, “Hidup Menggereja Yang Terbuka” dalam J.B Banawiratma (ed), Gereja Indonesia
Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 192.
©UKDW
29
1.5. Judul Tesis
Hubungan HKBP Lawe Sigalagala dengan Komunitas Muslim Alas/Gayo
Usaha Membangun Eklesiologi yang Kontekstual
1.6. Hipotesis
1. Selama ini HKBP Lawe Sigalagala masih memiliki pemahaman bahwa orang
miskin bukanlah bagian dari pelayanan gereja.
2. Pemahaman warga HKBP Lawe Sigalagala bahwa pelayanan yang dilakukan
masih pada yang seiman saja.
3. Pandangan HKBP Lawe Sigalagala akan Eklesiologi belum mengakomodir arti
pentingnya hidup bersama gereja dengan masyarakat miskin dan umat agama
(Islam Alas/Gayo).
1.7. Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini, penulis akan memfokuskan pada satu jemaat yakni
HKBP Lawe Sigalagala. Dengan demikian metode penelitian yang akan digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif beberapa pengumpulan
data yang umum digunakan adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi.57
Dalam
penelitian kualitatif yang akan dilakukan penulis akan lebih memfokuskan pada
pengumpulan data terhadap HKBP Lawe Sigalagala dalam konteks kemiskinan dan
Islam Alas/ Gayo yang ada di Lawe Sigalagala. Untuk memberi informasi yang jelas
dan akurat maka pengumpulan data akan dilakuakan melalui:
1. Observasi: Penelitian sosio-budaya dimaksudkan untuk mengumpulkan data
tentang fakta, aturan, lembaga, dan organisasi sosial, serta menemukan struktur
57
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif unutk ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2010), h. 116-118.
©UKDW
30
pemahaman, kode etik, dan tingkah laku sosial dari satu kelompok budaya
tertentu.58
Maka pada bagian pengamatan ini tentu saja penulis hendak mengamati
orang dalam situasi normal. Selama penulis melayani sebagai pendeta di Tanah
Alas ± 3 tahun sudah memberikan gambaran yang memudahkan penulis untuk
melakukan wawancara. Pengamat memberikan latar belakang penting yang
memudahkan penafsiran data wawancara, karena peneliti sudah bisa membedakan
tingkah laku perorangan (pribadi) dari tingkah laku umum (sosial). Pengamatan
juga penting untuk memperoleh data tentang peristiwa ketika kita tidak bisa, atau
tidak mampu mau ambil bagian.59
2. Wawancara: Karena wawancara merupakan tehnik pengumpulan data yang paling
penting dalam penelitian sosio budaya60
maka dalam wawancara yang akan
dilakukan penulis mendahulukan wawancara kelompok atau Focus Group
Discustion (FGD) kemudian diikuti dengan wawancara perorangan. Alasan
melakukan wawancara kelompok terlebih dahulu adalah dengan merunut pada apa
yang dikatakan oleh John Mansford Prior, bahwa ada dua sebab, pertama, jika kita
mengadakan wawancara bersama kelompok informan, dan salah satu orang yang
diwawancarai secara pribadi ikut dalam wawancara bersama, ada bahaya, oknum
yang bersangkutan itu cenderung mengoreksi pendapat serta pandangan peserta-
peserta lainnya dan berusaha supaya arah pembicaraan disesuaikan dengan
wawancara pribadinya. Dia tidak lagi berperan sebagai peserta biasa, melainkan
sebagai kendala terhadap upaya peneliti. Kedua, wawancara bersama sangat
membutuhkan kita menyususn kembali pokok-pokok dan tema-tema budaya
selebih tepat dan matang yang kemudian dapat dilontarkan dalam wawancara
58
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Grasindo, 1997), h.63. 59
Ibid, h.66. 60
Ibid, h.93.
©UKDW
31
wawancara pribadi.61
Focus Group Discussion (FGD) menjadi penting dilakukan
untuk melihat bagaimana subjek mengekplorasi pemikiran mereka terhadap suatu
topik, bagaimana ide mereka dibentuk melalui percakapan dengan orang lain.
Dalam diskusi ini satu sama lain bisa saling mendengarkan dan saling melengkapi
untuk memperdalam respon dan pemahaman peserta terhadap topik yang dibahas.
Melalui FGD peserta dapat diarahkan untuk membahas secara langsung segala
perbedaan pemahaman yang ada. Kelompok ini dapat menjadi kreatif untuk
membahas hal-hal menyangkut objek penelitian.62
Maka FGD yang akan dilakukan
adalah untuk mendapatkan informasi tentang pandangan warga jemaat, pelayan
gereja terhadap kemiskinan dan hubungan gereja dengan agama lain (Islam
Alas/Gayo). Sehingga hasil dari penelitian ini akan menawarkan satu pandangan
eklesiologi yang ideal bagi HKBP Lawe Sigalagala.
3. Studi dokumentasi: Studi dokumentasi terhadap dokumen-dokumen HKBP Lawe
Sigalagala dianggap penting untuk melihat bagaimana perjalanan sejarah pelayanan
HKBP Lawe Sigalagala. Peneliti akan melihat pada dokumentasi yang ada seperti
program kerja HKBP Lawe Sigalagala, Buku Register, Buku Tingting dan
dokumen-dokumen HKBP yang berkaitan dengan Tata Gereja HKBP (TG HKBP).
Melalui studi dokumentasi ini peneliti dapat melihat gambaran mengenai aktivitas,
keterlibatan individu pada pelayanan HKBP Lawe Sigalagala.
4. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposeful Sampling.
Dalam pendekatan ini pemilihan subjek penelitian berdasarkan kriteria atau tujuan
penelitian. Sample dipilih karena mereka memiliki karakter khusus dan fakta-fakta
yang dapat menjelaskan dan mengeksplorasi dengan baik tema central yang sedang
diteliti. Subjek penelitian ditentukan dengan suatu tujuan untuk mewakili suatu
61
Ibid, h.102. 62
Jane Ritchie, Jane Lewis, Qualitative Research Practice, (London: Sage Publication, 2003), h. 37.
©UKDW
32
locus atau karakter tertentu yang berhubungan dengan tema utama penelitian.
Dalam hal ini ada dua tujuan yaitu: pertama, untuk memastikan bahwa semua kata
kunci yang relevan dengan subjek penelitian dapat dibahas dengan baik. Kedua,
untuk memastikan bahwa dalam setiap kata kunci utama terdapat keanekaragaman
yang dapat disertakan dalam penelitian sehingga dampak dari setiap karakter dapat
dieksplorasi. Lebih spesifiknya, tehnik pengambilan sampel dilakukan melalui
pendekatan Sampel homogen (Homogeneous Sample) di mana sampel yang dipilih
diharapkan dapat memberikan gambaran rinci tentang fenomena tertentu. Metode
ini biasanya dilakukan jika antara subjek penelitian atau lokasi penelitian terdapat
kesamaan sifat antara subjek dan kelompok yang lain. Dalam hal ini maka konteks
HKBP Lawe Sigalagala menjadi hal yang sangat penting dalam penelitian ini, baik
dalam konteks kemiskinan dan juga konteks Islam Alas/ Gayo dapat diteliti melalui
pendekatan sampel homogen. Hal ini memungkinkan untuk penyelidikan rinci dari
proses sosial konteks tertentu.63
Maka dalam penelitian ini sampel yang ditentukan
adalah sebagai berikut:
a. Kelompok-I untuk wawancara kelompok atau FGD pesertanya adalah
kaum Bapak 5 orang, Kaum Ibu 5 orang, Pemuda 2 orang, Pemudi 2
orang.
b. Kelompok yang kedua adalah pelayan gereja (Pendeta 2 orang, Penatua 5
orang).
c. Kemudian akan dilanjutkan pada wawancara perorangan, pesertanya
adalah kaum Bapak 5 orang, Kaum Ibu 5 orang, Pemuda 2 orang,
Pemudi 2 orang dan Kepala Desa.
63
Ibid, h. 78-79.
©UKDW
33
d. Informan :
Nama :
Pekerjaan :
Usia :
Status :
Pendidikan:
1.8. Sistematika Pembahasan
Bab I : Pendahuluan
Pada bagian ini akan menguraikan Latar Belakang Pertanyaan, Rumusan
Pertanyaan, Tujuan Penelitian, Landasan Teori, Judul Tesis, Hipotesis,
Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II : Gambaran HKBP Lawe Sigalagala
Pada bagian ini penulis akan menyajikan penelitian lapangan dan juga kajian
literatur yang terkait dengan dokumen-dokumen HKBP Lawe Sigalagala.
Pada bagian ini juga akan digambarkan kondisi HKBP Lawe Sigalagala,
dalam konteks Sosial, Ekonomi, Politik, Budaya dan Agama, yang akan
mencakup pada analisa data.
Bab III : Gambaran eklesiologi dalam Tata Gereja HKBP.
Pada bagian ini penulis akan menyajikan pemahaman eklesiologi yang
termuat dalam Tata Gereja HKBP (Konfessi HKBP 1951 & 1996, Aturan
Peraturan HKBP 2002, Hukum Siasat Gereja (RPP), dan dokumen terkait.
Bab IV : Eklesiologi kontekstual di HKBP Lawe sigalagala
Pada bagian ini penulis akan menyajikan refleksi terhadap hasil penelitian,
dan penulis akan menawarkan satu konsep eklesiologi yang kontekstual bagi
HKBP Lawe Sigalagala.
©UKDW
34
Bab V :Kesimpulan dan Saran/Rekomendasi
Bagian ini merupakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang sudah
dilakukan, termasuk jawaban dari rumusan pertanyaan beserta rekomendasi
berupa konstruksi eklesiologi yang kontekstual bagi HKBP Lawe Sigalagala.
1.9. Kepustakaan
1.10. Lampiran
©UKDW