alinahrowi4.files.wordpress.com · web viewasas-asas perkawinan diatas, akan diungkapkan beberapa...
TRANSCRIPT
RESUME
JUDUL BUKU
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
PENGARANG
Prof.Dr.H.Zainuddin Ali, M.A
Untuk Memenuhi Tugas Resume Mata Kuliah Hukum Perdata Islam
Semester III Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Dosen pegampu :
Miftah Solehuddin,M.HI.
Oleh :
Ali Nahrowi ( 13220214 )
MALANG
2014/2015
BAB III
PENGERTIAN, PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERKAWINAN SERTA
PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUMYA
A. Pengertian Hukum Perkawinan Dan Prinsip-Prinsipnya.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oen karena itu
pengertian perkawinn dalam ajaaran Agam islam mempunyai nilai ibadah.
Sehingga pasal 2 kompilasi hukum islam menjelaskan bahwa perkawinan adalah
akad yang sangat kuat (mitswan ghalidon) untuk menaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan.
Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk segera melakukannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,
baik dalam bentuk penglihatan ataupun dalam bentuk erzinaan. Orang yang
berkeinginan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi belum mempunyai
persiapan bekal (fisik dan nun fisik) dianjurkan oleh Nabi SAW untuk berpuasa.
Orang yang yang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat
tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.
Prinsip-prinsip perkawinan yang bersumber dari al-quran dan al hadis
yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentng perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991
mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut :
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar asing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus
dicatat oleh petugas yang berwenag.
3. Asas monogami terbuka.
Artinya, jika suami tidak ampu berlaku adil terhaap istri-istri bila lebih
dari seorang maka cukup seorang istri saja.
4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat
melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat,
sehingga tidak berfikir kepada perceraian.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupundalam pergaulan masyarakat.
7. Asas pencatatan perkawinan.
Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang
sudah menikah atau melangsungkan ikatan perkawinan.
Asas-asas perkawinan diatas, akan diungkapkan beberapa garis hukum
yang dituangkan melalui undang-undang on 1 tahun 1974 tentang perkawinan
(selanjutnya disebut UUP) dan kompilasi hukum islam tahun 1991 (selanjutnya
disebut KHI) sebagai berikut.
Selain itu keabsahan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP: “
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Abai (2) mengungkapkan: tiap-tiap
pekawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
garis hukum kompilasi hukum islam diungapkan bahwa pencatatan perkawinan
diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan
syarat administratif sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan
perkawinan sebagai berikut.
Pasal 2 KHI
Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan atau akad yang
sangat kuat atau mtsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 KHI
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah, dan rahmah.
Apabila undang-undang nomor 1 tahun 1974 menggunakan istilah yang
bersifat umum, maka kompilasi hukum islam menggunakan istilah khusus yang
tercantum di dalam Al-quran. Mitsaqan ghalidzan, ibadah, sakinah, mawadah dan
rahmah.
Pasal 4 KHI
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) undang-undang on 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam hal ini kompilasi hukum islam mempertegas dan merinci mengenai
pengaturan perundang-undangan.
B. Peminangan: Pengertian, Syarat, Halangan, Dan Akibat Hukum.
1. Pengertian peminangan.
Peminangan adalah langkah awal menuju perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita. Hukum perkawinan islam menghendaki calon mempelai
saling mengenal dan memahami karakteristik pribadi. Calon suami melakukan
peminangan berdasarkan berdasarkan kriteria calon istri yang didasarkan oleh
hadis Nabi yaitu wanita dikawini karena 4 hal: (1) hartanya, (2) keturunannya, (3)
kecantikannya, (4) agamanya. Menurut hadis Nabi Muhammad SAW. Dimaksud,
bila 4 (empat) hal itu tidak dapat ditemukan oleh calon suami terhadap perempuan
yang akan menjadi calon istrinya, maka calon suami harus memilih yang
mempunyai kriteria agamanya. Sejalan hukum perkawinan dimaksud mengenai
peminangan, kompilasi hukum islam memberikan definisi mengenai peminangan.
Peminangan adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak
perempuan karah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma’ruf)(pasal 1 bab 1 huruf A KHI).
Oleh karena itu, peminganag dapat langsung dilakukan oleh orang yang ingin
mencari pasangan (jodoh), tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya ( pasal 11 KHI ). Selain itu, peminangan dapat juga diakukan secara
terang-terangan dan/atau sendirian. Sebagai contoh firman Allah dalam surah Al-
Baqarah (2) ayat 235 sebagai berikut.
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148]
dengan sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Pada umumnya berpendapat ayat diatas dapat dipahami bahwa
peminangan tidak wajib dalam pengertian yang telah diungkapkan. Namun,
kebiasaan masyarakat dalam praktisi menunjukkan bahwa peminangan dilakukan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud da-zahiri yang menyatakan bahwa
peminangan hukumnya wajib karena peminangan itu merupakan suatu tindakan
yang menuju kebaikan.
2. Syarat dan hubungan peminagan.
Syarat peminangan tidak dapat dipisahkan dari halangannya. Karena
syarat dan halangan peminangan diuraikan dalam satu sup pembahasan.
Peminangan dalam bahasa Al-quran disebut khitbah. Hal ini diungkapkan
oleh Allah dalam Surah Al-baqarah (2) ayat 235 seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, sehingga garis hukum peminangan terinci dalam pasal 12 ayat 1 KHI
mengatur syarat peminangan, bahwa peminangn dapat dilakukan terhadap seorang
wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang sudah habis masa iddahnya.
Selain itu, pasal 12 ayat 2, 3 dan 4 menyebutkan larangan peminangan terhadap
wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut.
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang`wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi
dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Dari pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) KHI diatas, dapat ditemukan bahwa
wanita yang termasuk untuk dipinang dalam Al-quran adalah sebagai berikut.
1. Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2. Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
3. Wanita yang dipinang tidak menjalani masa idah raj’i. Karena perempuan
yang sementara menjalani idah raj’i berarti masih ada hak bekas suami
untuk merujuknya.
4. Wanita yang menjalani masa idah wafat, hanya dapat dipinang dalam
bentuk sindiran.
5. Wanita yang menjalani masa idah ain sughra dari bekas suaminya.
6. Wanita yang menjalani idah bain kubra dapat diinang oleh bekas suaminya
sesudah kawin dengan laki-laki lain (ba’da dukhul) kemudiandiceraikan.
Dapat dipahami bahwa wanita yang mempunyai status dari yang
dijelaskan diatas, terhalang untuk dipnang. Oleh karena itu, dalam peaksanaan
peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan ia
berhak melihat wanita yang dipinangnya, hukumnya sunah. Dengan melihat
tersebut, pihak laki-laki dapat mengetahui identitas pribadi wanita yang akan
menjadi calon istrinya.
3. Akibat hukum peminangan.
Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada
seorang wanita tidak mempunyai akibat hukum. Pasal 12 ayat 1 dan 2 Kompilasi
Hukum Islam mengatur bagai berikut:
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan;
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tepat terbina kerukunan dan saling menghargai.
C. Syarat-Syarat Perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu ibadah dan memiliki syarat-sarat
sebagai ibadah lainnya. Syarat dimaksud, tersirat dalam Undang-Undang
perkawinan dan KHI yang dirumuskan sebagai berikut.
1. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah
a. Beragama islam;
b. Laki-laki;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat memberikan persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah
a. Beragama islam;
b. Perempuan;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat diminta persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
Selain itu, pasal 16 ayat 2 kompilasi hukum islam mengungkapkan bahwa
bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tetapi berupa diam dalam arti selama tidak
ada penolakan yang tegas. Sebagai bukti adanya persetujuan mempelai, pegawai
pencatat nikah menyatakan kepada mereka, seperti yang diungkapkan dam pasal
17 kompilasi hukum islam.
Pasal 17 KHI
1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Ketentuan diatas, dapat dipahami sebagai antitesis terhadap pelaksanaan
perkawinan yang sifatnya dipaksakan, yaitu pihak wali memaksakan kehendaknya
untuk mengawinkan perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan laki-laki
yang ia sukai, walaupun laki-laki tersebut tidak disukai oleh calon mempelai
perempuan. Selain itu, juga diatur mengenai umur calon mempelai.
Selain itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Sebagai fakta yang ditemukan dalam kasus perceraian diindonesia
pada umumnya didominasi oleh usia muda. Undang-undang perkawinan dan
kompilasi hukum islam menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria
maupun wanita (penjelasan umum Undang-Undang perkawinan). Namun
demikian, bila dikaji sumber, kaidah, dan asas yang dilakukan tolak ukur
penentuan batas umur dimaksud, sebagai contoh Firman Allah SWT Adam surah
An-nisa ayat 9 sebagai berikut.
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
Kandungan ayat diatas bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan
bahwa perkawinan yang dilakukan oleh usia muda (dibawah ketentuan yang
diatur dalam oleh undang-undang nomor 1 tahun 1974) akan menghasilkan
keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya.
3. Syarat-syarat wali nikah adalah
a. Laki-laki;
b. Dewasa;
c. Mempunyai hak perwalian;
d. Bidak perdapat halangan perwalian.
Selain syarat perwalian diatas, perlu diungkapkan bahwa wali nikah
adalah orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang pria. Karena wali
nikah dalamperkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya (pasal 9 KHI). Wanita naf
menikah tanpa wali berarti pernikahannya tidak sah. Ketentuan ini didasarkan
oleh hadis Nabi Muhammad SAW yang mengungkapkan: tidak sah perkawinan,
kecuali dinikahkan oleh wali.
Wali nikah ada 2 (dua ) macam. Pertama, wali masa, yaitu wali yang hak
perwaliannya didasari oleh adanya hubungan darah. Kedua: wali hakim, yaitu
wali yang hak perwaliannya timbul karena orang tua perempuan menolak untuk
menjadi wali abadi anak perempuannya, atau karena sebab lainnya. Kedua wali
tersebut, ditegaskan secara rinci dalam pasal 21, 22, dan 23 Kompilasi Hukum
Islam.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna
rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang
lain menurut derajat berikutnya. Urun wali muka secara rinci adalah sebagai
berikut:
1. Ayah kandung.
2. Kakek
3. Saudara laki-laki sekandung.
4. Saudara laki-laki seayah.
5. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9. Saudara laki-laki ayah sekandung.
10. Saudara laki-laki ayah seayah.
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Anak laki-laki kakek seayah.
13. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung.
14. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.
Dari 15 (lima belas) urutan wali diatas, bila semuanya tidak ada maka hak
perwalian pindah kepada negara (sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim.
Hal ini diungkapkan dalam pasal 23.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Peraturan pindah wali nikah yang dekat kepada wali nikah yang jauh urutnnya
kalau wali yang dekat ada, atau karena sua hal, di anggap tidak ada yaitu:
1. Wali yang mempunyai urutan dekat tidak ada sama sekali.
2. Wali yang mempunyai urutan dekat ada, tetapi belum balig.
3. Wali yang mempunyai urutan dekat ada, tetapi menderita penyakit gila;
4. Wali yang mempunyai urutan dekat ada, tetapi pikun karena tua;
5. Wali yang mempunyai urutan dekat ada, tapi tidak beragama islam
sedangkan calon mempelai wanita beragama islam.
Selain perpindahan wali nikah yang mempunyai urutan dekat kepada wali
nikah yang jauh, ala diurutkan pula perpindahan wali nikah berdasarkan hubungan
darah kepada wali nikah berdasarkan jabatan, yaitu wali hakim. Perpindahan wali
yang dimaksud, akan diuraikan sebagai berikut.
1. Wali yang mempunyai urutan dekat dan jauh tidak ada sama sekali.
2. Wali yang mempunyai urutan jauh dan dekat ada, tapi menjadi calon
mempelai pria, sementara wali nikah yang sederajat dengannya sudah
tidak ada.
3. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat ada, tetapi sementara melakuka
ihram.
4. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat ada, tapi tidak diketahui tempat
tinggalnya.
5. Wali nikah Yan mempunyai urutan dekat ada, tapi menderita penyakit
yang membuatnya tidak bisa menjadi wali.
6. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat ada, tapi sementara menjalani
hukuman penjara.
7. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat ada,tetapi bepergian jauh.
8. Wali nikah yang mempunyai urutan dekat ada,tapi menolak untuk
mengawinkan.
9. Calon Mampelai wanita menderitan penyakit gila, sementara wali
mujbirnya sudah tidak ada lagi.
Peran wali nikah berkaitan dengan umur calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun seperti yang diatur dalam pasal 6 ayat 3, 4,5 dan 6
undang undang perkawinan.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Dari hal inilah sangat tegas, kedudukan wali menjadi esensial bagi
keabsahan dan tidaknya satu perkawinan. Lain halnya pernikahan yang
dilaksanakan dengan wali hakim.
4. Syarat-syarat saksi nikah adalah
a. Minimal dua orang laki-laki;
b. Menghadiri ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad;
d. Beragama islam;
e. Dewasa.
Mengenai persyaratan bagi orang yang menjadi saksi, perlu diungkapkan
bahwa kehadiranwali pada saat akad nikah merupakan salah satu saat sahnya akad
nikah.oleh karena itu, perkawinan harus disaksikan oleh dua arang saksi laki-laki
(pasal 24 KHI ). Jadi, setiap pelaksannaan akad nikah wajib dihadiri oleh dua
orang saksi. Pada pasal 26 ayat 1 undang-undang perkawinan mengungkapkan
bahwa perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencaat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa
dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.
5. Syarat ijab qabul adalah
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
b. Adanya pernyataan penerimaan dari mempelai pria;
c. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;
d. Antara ijab dan qabul bersambung;
e. Antara ijab dan qabul jelas maksdnya;
f. Orang yang terkait dengan akad tidak sedang melaksanakan ihram
haji/umrah.
g. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang yaitu calon mempelai
pria , 2 orrang saksi, wali dari mempelai wanita atau yang mewakilinya.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur syarat-syarat
perkawinan dalam bab II pasal 6.
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
(7) pelaksanaan akad nikah atau ijab qabul adalah penyerahan yang dilakukan
oleh wali nikah calon mempelai perempuan kepada calon mempelai pria dengan
sejumlah persyaratan, yang kemudian diterima oleh calon mempelai pria.
Hukum islam memberikan peraturan bahwa syarat-syarat ijab qabul dalam akad
nikah sebagai berikut:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2. Adanya pernyataan menerima dari mempelai peria.
3. Menggunakan nikah atau semacamnya yang memiliki makna sama.
4. Antara ijab dan qabul bersambung.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab qabul itu tidak sedang dalam keadaan
ihram baik haji atau umrah.
7. Majelis ijab qabul harus dihadiri minimal oleh 4 orang yaitu . calon
mempelai laki-laki, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.
Persyaratan ijab qabul tersebut, dijelaskan dalam pasal 27, 28 dan 29
Kompilasi Hukum Isalam. Garis hukum dalam pasal tersebut diungkapkan
sebagai berikt.
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Dari ketiga pasal KHI tersebut dapat dipahami sebagai berikut bahwa
penyerahan calon mempelai wanita oleh wali nikah kepada calon mempelai pria
harus bersambung antara kalimat ijab dan qabul. Demikian juga kebiasaan wali
nikah mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang mempunyai pengetahuan
Agama atau kepada pegawai pencaat nikah sudah merata.
Dari Pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai mendapatkan akta
perkawinan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan ketentuan
yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan penandatanganan
akta nikah yang dimaksud, perkawinan telah tercatat secara resmi (pasal 11), dan
mempunyai kekuatan hukum ( pasal 6 ayat 2 KHI ). Akad nikah yang demikian
disebut sah atau tidak dapat dibatalkan oleh pihak lain.