04 jurnal analisis investasi usaha penye

Upload: hikmat-ramdan

Post on 06-Mar-2016

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

USAHA

TRANSCRIPT

  • 1

    ANALISIS INVESTASI USAHA PENYERAPAN KARBON PADA SEKTOR KEHUTANAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

    Oleh :

    Githa Parwadiredja

    ABSTRACT This research objective was aimed to analyze Feasibility Study of Carbon Sequestration Business Investment for Forestry in South Sumatera. The research process was carried out by using Experimental Description method in assesment of single variable, to describe Investment Analysis through three financial criteria i.e. Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) and Profitability Index (PI). All data regarding companys project cashflow was an imposing calculated-model for the financial condition of the six companies. The model was set up by using secondary data, based on: the companies Annual Planting Progress Report from 2009 2012, HTI Production Cost Standard of Ministry of Forestry Regulation (Permenhut No. P.64/Menhut-II/2009) and other previous research reports. Research criteria were determined, specificaly, by focusing on the six companies because of beeing operationaly successful since before 2009. The outcome indicated that only four companies among the six one, which they were proper and feasible in the Carbon Sequestration Business Investment.. Keyword : Investment, Cashflow, Net Present Value, Internal Rate of Return, Profitability Index, Carbon Sequestration Business 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

    Karbon dengan kode unsur kimia C merupakan unsur pengikat pada senyawa kimiawi suatu benda, yang menjadi tidak stabil bila berada pada suhu dan temperatur yang tinggi. Pada kondisi stabil, karbon tersimpan dalam wujud suatu benda. Bilamana terbakar karbon akan terlepas ke udara dalam bentuk partikel gas polutan (CO2), ini disebut proses emisi karbon. Usaha Penyerapan Karbon pada sektor Kehutanan berupaya untuk menyerap/ mengikat partikel C di udara kembali menjadi bagian dari biomassa tumbuhan. Seiring dengan pertumbuhan umur tumbuhan, apabila tumbuhan dijaga hingga terbebas dari gangguan kebakaran dan penebangan akan semakin banyak karbon terserap dan tersimpan.1

    Aktivitas manusia pada berbagai sektor usaha di dunia telah menyebabkan emisi gas polutan seperti CO2 dan Methan yang sulit terurai hingga menimbulkan efek gas rumah kaca, dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan suhu udara secara global dan memicu perubahan iklim. Data hasil penelitian International Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) yang disajikan pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa sektor usaha berbasis Kehutanan (Forestry) di dunia atau

  • kegiatan penebangan kayu berdampak pada penurunan daya serap CO2 dan menyebabkan emisi gas methan sehingga menambah porsi emisi gas rumah kaca yang tak terurai di udara sebesar 17 %.

    Tabel 1.1 Tingkat Emisi Gas Rumah Kaca Berdasarkan Sektor Usaha di Dunia Tahun 2004

    NO SUMBER EMISI TINGKAT EMISI (%) 1. Pembangkit Tenaga Listrik / Power Supply 21,0 2. Pembangkit Listrik dengan Bahan Bakar Fossil / Fossil Fuel Supply 5,0 3. Pembusukan Sampah / Waste 3,0 4. Pembangunan Perumahan / Building 8,0 5. Asap kendaraan / Transport 13,0 6. Aktivitas Industri / Industry 19,0 7. Penebangan Kayu di Hutan / Forestry 17,0 8. Perubahan fungsi lahan / Agriculture 14,0

    Sumber : IPCC, 20072

    Berawal dari kepedulian terhadap lingkungan dan kelestarian alam, upaya penyerapan karbon dilakukan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Berdasarkan kesepakatan CoP-13, Desember 2007 di Bali, bahwa upaya mitigasi terhadap pemanasan global melalui kegiatan/ program pengurangan emisi dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dapat menekan faktor emisi gas rumah kaca hingga 30%. Sehingga partisipasi negara-negara berkembang melalui REDD dapat didukung melalui dua skema : 1.) melalui bantuan pendanaan untuk program- persiapan kelembagaan REDD; dan 2.) pembukaan perdagangan karbon tersertifikasi (CER) mulai tahun 2013 di pasar sukarela (voluntary market). Tabel 1.2 Sumber dan Realisasi Dana Investasi untuk Program-Program pada Sektor

    Kehutanan di seluruh dunia NO SUMBER REALISASI PERUNTUKAN 1. Direct Private

    Investment 15 milyar / tahun bantuan langsung (hibah) untuk negara-negara

    berkembang 2. Official

    Development Agency (ODA)

    328 juta (th. 2000), 110 juta berupa investasi modal

    pinjaman lunak

    3. IFC 65 75 juta / tahun bantuan untuk program-program kehutanan 4. International

    Timber Trade Organization (ITTO)

    11,5 juta (th.2006) bantuan untuk program konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan terkait penggunaan dan penjualan sumber daya hutan tropis

    5. GEF 1,25 milyar (sejak 1997)

    pembiayaan 236 proyek pada 6 program operasional

    6. National Forest Programme Facility (NFP), FAO

    17,3 juta (2002 2007), sudah terealisasikan sebesar 12,5 juta

    bantuan pembiayaan program kerja di 50 negara selama 3 tahun (masing-masing) US$300.000. Diantaranya 13% untuk wilayah Asia dan Pasific

    7. PROFOR 8,2 juta (2002 2006) pembiayaan untuk 34 kegiatan secara global. 8. World Bank

    Global Forest Alliance

    1,5 2 juta / tahun pembiayaan proyek-proyek penghentian deforestasi di negara-negara percontohan

    9. New South Wales GHG Abatement Scheme

    6,7 juta (2007) perdagangan karbon hutan sebanyak 0,7 juta tonCO2e pada harga US$ 11,5 per tonCO2e

    Sumber : IPCC, 20073

  • Alokasi dana investasi sesuai Tabel 1.2 di antaranya telah disalurkan dalam bentuk pendanaan program Pemerintah Indonesia di bidang perlindungan hutan dan lingkungan hidup yang melibatkan dua instansi : Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan hidup. Sementara pelaku usaha dari sektor swasta cenderung menjual potensi karbon pada kawasan hutan tersebut langsung ke pasar-pasar karbon di negara Annex-14 dan ditaksir sesuai dengan harga pasar. Contoh di Riau, PT. Putra Riau Perkasa (Perusahaan HTI) bekerja sama dengan NGO Carbon Conservation pada proyek Kampar Carbon Reserve (2010); dan penjualan karbon di Ulu Masen, Aceh ke Merryl Lynch, AS oleh Pemda Aceh (2008); baru-baru ini (Mei 2013) diresmikan areal Restorasi Ekosistem (REKI) di Riau dan mendapat komitmen pembiayaan dana sebesar US$ 7 juta (tiga tahun) untuk tahap awal (2013 2015) untuk program selama 60 tahun. Kapasitas serapan karbon pada areal-areal tersebut di atas rata-rata bersumber dari kawasan hutan lahan basah (gambut).

    Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memperkirakan potensi serapan karbon pada hutan lahan kering dan hutan lahan gambut di Indonesia mencapai 5,5 gigaT-CO2, setara dengan nilai 105 114 milyar US$ pada tahun 2010. Sementara komitmen alokasi dana internasional yang disediakan untuk program-program pemerintah sejenis Pilot-Project REDD pada periode 2007 2011, baru mencapai US $ 4,4 milyar.5

    (Sumber: Laporan untuk Forest Trends Ecosystem Marketplace & Bloomberg New Energy Finance , Juni 2013)

    Gambar 1.1 Alur Perdagangan Karbon di Voluntary Market

    Gambar di atas menunjukan bagan alur perdagangan karbon yang berlangsung selama ini. Harga rata-rata karbon yang diterima endbuyer adalah US$6,2 per ton CO2e. Sementara broker atau reseller membeli karbon dari Project Developer seharga US $ 4,8 per ton CO2e. Kecenderungan penurunan harga disebabkan oleh penambahan listed stok karbon bersertifikat pada pasar Voluntary utama. Hal ini menunjukkan peningkatan peran serta negara-negara berkembang dalam mengupayakan pengurangan emisi GRK melalui Clean Development Mechanism dan skema REDD. Pasar utama dimaksud endbuyer adalah Eropa dan Amerika Utara dengan nilai transaksi karbon masing-masing sebesar US$204,9 juta untuk 43,4 juta ton CO2e dan US$142,9 juta untuk 29,6 juta ton CO2e. Pemerintah Indonesia dalam hal ini berperan sebagai salah satu Project Developer.

  • Berdasarkan data transaksi perdagangan karbon di bursa voluntary market6 (2011 2012), volume perdagangan meningkat dari 97 juta ton CO2e pada tahun 2011 menjadi 101 juta ton CO2e pada tahun 2012. Sebaliknya, harga rata-rata per ton CO2e menurun dari US$ 6,2 menjadi US$ 5,9. Tabel 1.3 Data Volume Transaksi Karbon di seluruh Voluntary Markets

    Sumber : Forest Trends, Ecosystem Marketplace: State of the Voluntary Carbon Markets 20137

    Pemanfaatan lahan kawasan hutan untuk penyimpanan cadangan karbon

    sesuai dengan core business sektor kehutanan. Di mana pemberian Izin Usaha untuk kegiatan pembangunan kawasan hutan dapat diberikan oleh Kementerian Kehutanan, yang terdiri dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

    Potensi lahan areal untuk usaha penyerapan karbon berdasarkan luas wilayah kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan total sebesar 43,28% dari keseluruhan luas wilayah provinsi 8.689.937 Ha. Sebagian berupa cadangan karbon yang tersimpan pada areal kawasan hutan yang berhutan dan gambut pada Hutan Suaka Alam (HSA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK). Secara proporsional pembagian potensi lahan areal usaha penyerapan karbon pada areal kawasan hutan adalah sebagai berikut.

    - Kawasan Hutan Lindung (6,43%) - Kawasan Hutan Produksi Terbatas (2,72%) - Kawasan Hutan Produksi Tetap (19.21%) - Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (6,73%) - Kawasan Hutan Suaka Alam (8.19%) Namun berdasarkan peraturan yang berlaku, total lahan areal kawasan hutan

    yang bisa digunakan/diizinkan untuk dimanfaatkan adalah 35,09% dari luas wilayah provinsi. Sehingga hanya terdiri dari kelompok kawasan Hutan Produksi dan kelompok kawasan Hutan Lindung8 dengan porsi: untuk izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan/ Hutan Tanaman Industri (28,66%); dan/atau untuk izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan/ usaha penyerapan karbon (35,09%). Sebagian besar porsi luasan areal potensi serapan karbon tersebar di beberapa wilayah Kabupaten sebagaimana terlihat pada Peta Wilayah Penutupan Kawasan Hutan terlampir. Kondisi nyata areal-areal kawasan hutan tersebut, bila tidak berada dalam pengelolaan masyarakat, dapat dipastikan telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari perusahaan-perusahaan HTI.

    Payung hukum untuk usaha-usaha terkait izin pemanfaatan kawasan hutan tersebut, antara lain :

  • 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ Atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung dengan perubahannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009.

    2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

    3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.

    Berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, sektor swasta yang berniat melakukan investasi pada usaha penyerapan karbon di Provinsi Sumatera Selatan dapat melakukan upaya berikut ini :

    1. Bekerja sama dengan perusahaan HTI yang sudah memiliki izin pemanfaatan hasil hutan di Sumatera Selatan untuk bersama-sama menjalankan program penyerapan karbon

    2. Bekerja sama dengan Pemerintah Daerah didukung oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan (HTI, HTR, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan) untuk memanfaatkan lahan pada kawasan Hutan Produksi dan/ atau kawasan Hutan Lindung untuk mendapatkan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan menjalankan program penyerapan karbon.

    1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan potensi pasar dan sumber daya alam tersebut di atas, perlu

    diketahui bagaimana perbandingan hasil analisa kelayakan investasi secara finansial pada usaha HTI dan proyeksi usaha penyerapan karbon? Sehingga dapat ditentukan apakah investasi usaha penyerapan karbon di Sektor Kehutanan layak atau tidak layak dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan?

    1.3 Tujuan Penelitian Melakukan studi Analisis Investasi secara financial feasibility terhadap

    kemungkinan pelaksanaan usaha penyerapan karbon pada Sektor Kehutanan di Provinsi Sumatera Selatan. Mengetahui rasio cashflow usaha tersebut untuk menjadi pilihan berinvestasi pada sektor kehutanan di Provinsi Sumatera Selatan.

    1.4 Manfaat Penelitian Manfaat langsung penelitian ini adalah tersedianya data sebagai bahan

    pertimbangan bagi calon investor yang tertarik untuk berinvestasi pada perdagangan karbon dan mendapatkan manfaat dari keikutsertaannya dalam mengurangi tingkat emisi karbon ke udara.

    Secara akademis, penelitian ini dapat menambah jumlah referensi penelitian terkait analisis finansial dengan kasus Investasi Usaha Penyerapan Karbon pada Sektor Kehutanan.

  • 2. STUDI PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Analisis Investasi

    Analisis investasi dilakukan bilamana diperlukan pertimbangan-pertimbangan untuk mengambil keputusan investasi. Contoh: Bahkan dalam analisis investasi publik untuk melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat, pemerintah dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan investasi untuk mendukung pelaksanaan program, kegiatan, dan fungsi yang menjadi prioritas kebijakan. Dampaknya pada masalah alokasi anggaran, apakah belanja investasi perlu diprioritaskan sehingga mengurangi belanja rutin.9

    Menilik pada model usaha penyerapan karbon yang terkait dengan usaha pemanfaatan hasil hutan, dalam penerapannya, sedikit banyak akan berpengaruh pada kondisi keuangan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hal ini disebabkan perbedaan output yang diharapkan atau nilai hasil dari pengeluaran biaya/ investasi. Apakah yang dimaksud dengan keuntungan menurut pengusaha pemilik Perusahaan HTI, value of cashflow ataukah value of goodwill?

    Maman Rahmat dalam tulisannya menggambarkan tentang manfaat dan biaya bagi perusahaan HTI pada areal bergambut apabila berinvestasi dengan menerapkan salah satu dari tiga skenario usaha pemanfaatan hasil hutan (kayu saja, karbon saja, atau kayu dan karbon). Mana yang lebih menguntungkan? Kesimpulannya adalah usaha HTI memiliki prospek keuntungan atau manfaat yang besar apabila menerapkan skenario pemanfaatan hutan untuk kayu dan karbon sekaligus. Dengan kata lain akan merugi apabila tidak memanfaatkan kesempatan mendapatkan pemasukan dana dari hasil proses penyerapan karbon dan pencegahan emisi karbon.10

    Sementara Maman Rahmat tidak secara spesifik menganalisis kondisi cashflow di dalam perusahaan yang dijadikan obyek penelitiannya. Analisis investasi sendiri meliputi beberapa aspek kelayakan:

    1. Aspek teknis, mengenai kelayakan usulan investasi dari sisi teknis. Semisal, usaha penyerapan karbon akan dilaksanakan pada areal kerja HTI, apakah ada kesesuaian antara tanaman HTI (Acacia mangium) dengan potensi daya serap karbon terhadap target penyerapan.

    2. Aspek sosial dan budaya, mengenai implikasi sosial yang ditimbulkan suatu proyek terkait masalah keadilan, manfaat proyek, legalitas, dan dampak lingkungan. Bagaimana usaha penyerapan karbon dimaknai oleh pengusaha HTI? Sudah siap kah perusahaan HTI beralih dari pemanfaatan hutan kayu menjadi pemanfaatan hutan karbon.

    3. Aspek ekonomi dan finansial, mengenai kontribusi proyek dan dampak penggunaan sumber daya terhadap pembangunan perekonomian; serta pengaruh-pengaruh finansial berdasarkan perencanaan anggaran, keputusan mengenai efisiensi proyek secara finansial, solvabilitas dan likuiditas.

    4. Aspek distribusi, mengenai manfaat/ keuntungan investasi ditujukan

    kepada siapa, dari mana mendapatkan modal untuk investasi dan kemana output investasi akan didistribusikan. Bagaimana hasil penjualan karbon akan diperoleh? Seberapa rumit akses birokrasi yang harus ditempuh hingga akhirnya perusahaan dapat memperoleh sertifikat karbon dan menjual potensi cadangan karbonnya ke pasar sukarela di luar negeri.

  • Penelitian ini akan difokuskan pada analisa kelayakan investasi usaha penyerapan karbon secara ekonomi dan finansial. Analisis investasi ini terkait dengan kriteria yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan untuk berinvestasi, antara lain :

    1. Net Present Value (NPV) adalah total pendapatan/ arus kas dikurangi modal atau biaya yang telah diinvestasikan11. Aturan kriteria penilaian untuk kelayakan investasi berdasarkan Aturan NPV12 adalah :

    Terima proyek investasi jika nilai NPV lebih besar dari nol (positif). Tolak proyek investasi jika nilai NPV kurang dari nol (negatif)

    Tiga keunggulan metode analisis berdasarkan nilai NPV13 : 1) NPV menggunakan cash flows. Data cash flows menggambarkan

    kondisi kas/ aktiva lancar sesungguhnya sehingga hasil analisanya lebih mendekati dengan kenyataan.

    2) NPV bahkan dapat menggunakan seluruh data cash flows yang ada untuk dianalisa. Namun perlu diperhatikan juga batasan waktu. Karena alasan tertentu, model analisa selain NPV tidak menggunakan data cashflows.

    3) NPV melakukan analisis dengan menerapkan rate atau diskon faktor secara merata pada seluruh data cashflows.

    Kesulitan yang mungkin dialami oleh pengguna analisis adalah bilamana melakukan penghitungan secara manual. Sehingga perlu menggunakan bantuan program aplikasi Excell atau kalkulator ilmiah. Secara matematis, nilai NPV dihitung menggunakan rumus persamaan di bawah ini : ,

    CT / Co = cash flows r = tingkat bunga T = periode

    2. Average Accounting Return, adalah rata-rata pendapatan setelah dikurangi pajak dan biaya penyusutan, dibagi dengan nilai rata-rata investasi yang dikeluarkan.14

    3. Internal Rate of Return adalah analisis investasi berdasarkan nilai pendapatan di masa yang akan datang, yang dipengaruhi tingkat bunga sebagai kriteria. Analisis dilakukan dengan cara mencari ambang batas tingkat rate/ diskon faktor yang menghasilkan nilai NPV paling mendekati nol. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah tingkat rate yang diberlakukan sudah ideal atau belum. Sehingga aturan dasar IRR yang berlaku adalah terima proyek investasi bila IRR melebihi diskonto untuk NPV=0 dan tolak bila IRR kurang daripada diskonto untuk NPV=015. Beberapa permasalahan pada pendekatan analisis IRR terkait dengan kondisi cash flows di awal proyek (negatif = biaya investasi; bila positif =

    NPV = PV - Cost

    FV = Co x (1 + r)T

    PV = CT (1 + r)T

    AAR = Average Net Income Average Investment

  • financing / utang kredit). Model pertama merupakan model yang digunakan untuk proyek investasi, sehingga Kriteria yang digunakan sama dengan aturan dasar di atas: IRR R, Accept ; IRR R, Reject.16

    4. Profitability Index, rasio profitabilitas berdasarkan nilai total pendapatan terhadap total biaya investasi yang dikeluarkan.17

    Tiga kondisi untuk penerapan analisis menggunakan Profitability Index : 1) Terdapat dua proyek dengan nilai NPV yang sama positif dan

    keduanya dinyatakan layak dan tidak saling mempengaruhi (independent), maka PI 1 layak diterima dan PI 1 ditolak.

    2) Terdapat dua proyek dengan nilai NPV yang sama positif, namun hanya satu yang dapat dinyatakan layak, maka pilihan ditentukan berdasarkan nilai NPV yang tertinggi.

    3) Bilamana dana modal perusahaan terbatas, dalam arti perusahaan harus memilih satu proyek saja untuk diprioritaskan, maka perlu dilakukan capital rationing dan pilihan ditentukan berdasarkan nilai NPV tertinggi atau nilai gabungan NPV tertinggi.

    5. Payback Period,18 aturan investasi berdasarkan payback period adalah setelah ditentukan ambang batas pengembalian (cutoff date) maka seluruh proyek investasi dengan tingkat pengembalian di bawah ambang batas akan dinilai layak. Sementara yang melebihi ambang batas berarti ditolak. Rumus matematis : NPV = -Cost + Cfn+ ... +Cfn+1 = 0, maka PP = n Kelemahan metode Payback Period :

    1) Metode payback masih lebih lemah pengaruhnya dibandingkan analisis berdasarkan NPV

    2) Keuntungan jangka panjang dari suatu proyek investasi akan bias, semata-mata karena melihat bahwa Payback Period investasi lain lebih cepat masa pengembaliannya.

    2.1.2 Cash Flows Suppose you decide to start a firm to make a tennis balls. To do this you

    hire managers to buy raw materials, and you assemble a workforce that will produce and sell finished tennis balls. In the language of finance, you make an investment in assets such as inventory, machinery, land and labor (Ross, et. al., 2010: hal. 1)

    Cash flows adalah arus kas atau uang sebagaimana digambarkan oleh Ross, et.Al. dalam buku Corporate Finance Ninth Edition (2010). Sesungguhnya merupakan suatu alur pembiayaan atau pembayaran modal investasi secara langsung oleh investor untuk membiayai aset-aset yang diperlukannya. Atau sebaliknya berupa penggunaan aset lancar untuk memenuhi kewajibannya.

    Cara pencatatan transaksi pada pembukuan pun berbeda antara model untuk laporan akuntansi dengan model untuk laporan keuangan perusahaan. Laporan

    PI = PV cash flows subsequent to initial investment Initial Investment

  • akuntansi mencatat segala macam jenis transaksi keuangan, sementara laporan keuangan hanya mencatat cash flows yang berupa Cash in atau Cash out (Ross, et. al., 2010: hal. 8)

    Net Working Capital = Current Assets Current Liabilities

    Data keuangan / Financial Statements ada 3 (tiga) : 1. Balance Sheet / Neraca,The balance sheet states what the firm owns

    and how it is financed (Ross, et. al., 2002: hal. 22). Secara akuntansi dirumuskan dengan persamaan berikut ini :

    2. Income Statement / Laporan Laba-(Rugi), The Income statement measures performance over a spesific period of time ... a year (Ross, et. al., 2002: hal. 25). Secara akuntansi dirumuskan dengan persamaan berikut ini :

    3. Financial Cash Flows / Laporan Arus Kas, In finance the value of the firm is its ability to generate financial cash flow... cash flow is not the same as net working capital (Ross, et. al., 2002: hal. 28).

    Sumber-sumber data keuangan tersebut di atas, dapat diolah menjadi 3 jenis data kelompok arus kas (cash flow) berikut ini :

    1. Cash Flow dari Aktivitas Operasional, To calculate cash flow from operating activities ... start with net Income. ... Net income can be found on the income statement... This is the cash flow that result from the firms normal activities producing, and selling goods and services (Ross, et. al., 2002: hal. 40)

    OCF = EBIT + Depreciation/Penyusutan Tax / Pajak

    2. Cash Flow dari Aktivitas Investasi, ... to make and adjustment for cash flow from investing activities ... involves changes in capital assets: acquisition of fixed assets and sales of fixed assets (Ross, et. al., 2002: hal. 40 - 41)

    3. Cash Flow dari Financing Activities, ... the net payments to creditors and owners (excluding interest expense) made during the year ... Cash flows to and from creditors and owner include changes in equity and debt (Ross, et. al., 2002: hal. 40 - 41)

    \

    Assets = Liabilities + Stockholders equity

    Assets = Liabilities + Stockholders equity

    Income = Revenues Expenses

  • 2.1.3 Usaha Penyerapan Karbon Sesuai Peraturan Menteri Kehutan No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata

    Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ Atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung dengan perubahannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009, Usaha Penyerapan Karbon dapat dilaksanakan pada Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung oleh perusahaan setelah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Pasal 2)19.

    Kegiatan Usaha RAP-KARBON terkait Pengelolaan Hutan Produksi Lestari meliputi (Pasal 3, Ayat 1):

    a. Penanaman dan pemeliharaan dari bagian kegiatan IUPHHK-HT atau IUPHHK-HTR yaitu penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran sesuai dengan sistem silvikultur yang ditetapkan pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan;

    b. Penanaman dan pemeliharaan sampai daur tanaman pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan IUPHHK-HA dan IUPHHK-RE;

    c. Pengayaan pada areal bekas tebangan dalam seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan dalam areal IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE atau IUPHHK-HT atau IUPHHK-HTR;

    d. Penanaman pada jalur tanam di IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE atau IUPHHK-HT yang menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur atau menerapkan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif;

    e. Peningkatan produktivitas melalui peningkatan riap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur.

    Kegiatan Usaha RAP-KARBON pada hutan lindung meliputi (Pasal 3, Ayat 3) : a. Penanaman dan pemeliharaan dari bagian kegiatan izin usaha

    pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa yaitu penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran sesuai dengan sistem silvikultur yang ditetapkan pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan;

    b. Penanaman dan pemeliharaan sampai daur tanaman pada seluruh areal atau bagian hutan atau blok hutan pada izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, dan hutan desa;

    c. Peningkatan produktivitas melalui peningkatan riap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur.

    Usaha penyerapan karbon dapat menggabungkan diri (bekerja sama) dengan pihak-pihak: pengelola HTI, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan komunitas masyarakat setempat. Hal ini dalam rangka proses mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Kegiatan usaha penyerapan karbon sebagaimana dimaksud pasal-pasal Permenhut No.36/Menhut-II/2009 di atas, kemudian dapat dapat dilakukan dalam dua model:

    1. Menanami kembali lahan areal kawasan Hutan Produksi yang sudah tidak produktif dengan tanaman kehutanan.

  • 2. Menunda atau menghentikan penebangan pada areal dengan luas tanaman kehutanan yang telah ditentukan, dengan maksud untuk memperpanjang masa rotasi (selama-lamanya) 60 tahun, atau sesuai perjanjian kontrak.

    2.1.4 Model Penghitungan Cash Flows Pendekatan untuk mengetahui besaran cashflow per tahun dari tiap

    perusahaan HTI menggunakan informasi dan asumsi dari data-data kegiatan operasional di lapangan dan/atau dihimpun dari sumber aturan pemerintah dan referensi yang digunakan oleh penelitian terdahulu, sebagaimana berikut ini :

    1. Data Realisasi Tanam Berdasarkan Rencana Kerja Tahunan Perusahaan HTI20. Sumber data ini berasal dari laporan perusahaan ke Bidang Pemanfaatan Hasil Hutan di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan yang dihimpun untuk data statistik per tahun.

    2. Perkembangan Harga Kayu HTI per meter kubik. Harga kayu HTI seperti Acacia merujuk pada artikel hasil penelitian Maman Rahmat (2010), rata-rata perkembangan harga jual kayu Acacia di pabrik berdasarkan laporan keuangan PT. Musi Hutan Persada (2009)21 dan informasi dari Petugas Bidang Pemanfaatan Hasil Hutan mengenai harga kayu Acasia yang berlaku di Pabrik saat ini (2012 2013). Berturut-turut diperoleh data perkembangan harga pabrik untuk kayu jenis Acacia sejak tahun 2009 s. d. 2012 : Rp.160.000 (2009); Rp.230.000 (2010 - 2011); Rp.320.000 (2012).

    3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.64/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Tercantum pada Lampiran 1 peraturan menteri tersebut, bahwa biaya produksi untuk seluruh kegiatan pembangunan HTI sebesar Rp.16.662.320 per hektar. Sementara untuk biaya operasional, dapat dipisahkan komponen-komponen penyusun biaya produksi tersebut sehingga diperoleh nilai biaya operasional sebesar Rp.1.966.532 per hektar.

    4. Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Besaran pajak PPh untuk badan usaha besar sesuai peraturan adalah 28% dari total pendapatan setelah dikurangi harga pokok dan biaya operasional (EBIT). Dalam penghitungan cashflow untuk penelitian ini diperlukan besaran pajak dan interest rate sehingga biaya pajak dan lain-lain dapat dibulatkan menjadi 30% dari total EBIT.

    5. Tingkat suku bunga kredit. Interest rate atau diskon faktor menggunakan standar bank BI yang berlaku saat ini, yaitu 15% (0,15).

    6. Laporan Keuangan PT. Musi Hutan Persada (Neraca & Laba/Rugi) Tahun 2007 s.d. Tahun 2010. Laporan keuangan dimaksud terdiri dari Neraca Perusahaan dan Laporan Laba(Rugi), yang digunakan sebagai percontohan bagi pembuatan income statement untuk perusahaan HTI yang lain.

    Biaya pembangunan Usaha Penyerapan Karbon pada tahap awal, cash flows-nya diasumsikan sama dengan pembangunan Usaha HTI, sebesar Biaya Satuan Standar Produksi per hektar dikalikan Luas Realisasi Tanam selama empat tahun operasional perusahaan (2009 s.d. 2012). Perbedaannya terletak pada cara penanganan tanaman saat daur panen tiba. Di mana secara prinsip,

  • kayu atau pohon dalam areal usaha penyerapan karbon tidak boleh ditebang kecuali ada alasan teknis operasional.

    Biaya Operasional diasumsikan sama dengan Luas Realisasi Tanam dikalikan Biaya Satuan Operasional Standar HTI.

    Kemudian, cara pembayaran karbon (cash-in flow) dibayar teratur dengan asumsi dibayarkan secara periodik dengan jumlah yang sama Rp.70 Milyar per tiga tahun, sesuai perjanjian kerja sama di awal selama 30 tahun. Data atau bahan informasi untuk model penghitungan cash flows penyerapan karbon, antara lain :

    1. Data jumlah potensi karbon pada areal HTI. Diperoleh berdasarkan hasil pernghitungan dari penelitian Maman Rahmat (2010), bahwa rata-rata kemampuan serapan karbon per hektar per tahun pada tanaman Acacia di lahan gambut adalah 212,40 tonCO2e. Sementara pada areal tanaman Acacia tanpa lahan gambut menggunakan data serapan karbon pada tanaman Acacia yang dikumpulkan oleh Mayang Bogawa (2012)22 dalam penelitian skripsinya.

    2. Harga patokan karbon di pasar dunia tahun 2012 (US$ 5,9 US$ 6 per ton CO2e)23. Menggunakan nilai kestabilan mata uang Rupiah pada tahun 2012 yaitu pada Rp. 10.000 untuk US$ 1.

    3. Informasi mengenai perjanjian jual beli karbon di HTI.24 Penelitian ini merujuk contoh perjanjian perdagangan karbon yang sudah berjalan di Semenanjung Kampar, Riau antara PT. Putra Riau Perkasa (perusahaan HTI) dengan NGO-Carbon Conservation dalam program Restorasi Ekosistem (REKI) selama 60 tahun yang telah menerima pembiayaan dana sebesar US$ 7 juta per tiga tahun untuk tahap awal (2013 2015).

    4. Informasi dari Referensi penelitian terdahulu mengenai karbon dan perdagangan karbon: a) Mamat Rahmat (Artikel Jurnal, Agustus 2010) b) Febriani Anggari (Skripsi, 2011) c) Lutfy Abdulah (Tesis, 2011) d) Rina Muhayah Noor Pitri (Tesis, 2011) e) Mayang Bogawa (Skripsi, 2012)

    5. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.64/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Penggunaannya sama dengan model pembiayaan untuk pembangunan HTI.

    6. Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

    7. Tingkat suku bunga kredit. 8. Laporan Keuangan PT. Musi Hutan Persada Tahun 2007 s.d. 2010. Sebagai contoh pendekatan untuk model cashflow dapat dilihat pada

    Laporan Keuangan (Laba / Rugi) PT. Musi Hutan Persada pada tahun 2010 m(Gambar 2.1). Pada gambar tersebut tampak bahwa komponen cashflow pada Laporan Laba/ Rugi PT. Musi Hutan Persada terdiri dari

    1. Nilai Penjualan 2. Nilai Harga Pokok Penjualan :

    a) Nilai Persediaan Awal b) Biaya Produksi (Production Cash flows, penyusutan dan Amortisasi)

    3. Nilai Biaya Operasi, Bunga Pinjaman dan Lain lain 4. Nilai Pajak Penghasilan Badan (28 % 30 %)

  • Biaya penyusutan sebagaimana tercantum pada contoh laporan keuangan PT. Musi Hutan Persada selama 4 tahun akan dihitung rata-rata per tahun. Sehingga diperoleh indeks persentase Biaya Penyusutan sebesar 9,4 % dari komponen Biaya Produksi.

    (Sumber : Febriani Anggari, 2011 , Analisis Kinerja Keuangan pada PT. Musi Hutan Persada Muara Enim (Sum-Sel) Berbasis Laporan Keuangan 2007 2010, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor)

    Gambar 2.1 Contoh Laporan Laba (Rugi) Perusahaan HTI

    2.2 Penelitian Terdahulu Analisis investasi berdasarkan aspek ekonomi dan finansial untuk sektor kehutanan

    biasa disebut Land Expectation Value (LEV). Thomas J. Straka25 menggunakan model persamaan Present Value yang dikembangkan untuk mengetahui Net Present Value pada lahan tidur/ areal kosong untuk tanaman kayu, bilamana masa daur panen/ rotasi tiba

  • sesuai dengan karakteristik tanaman kehutanan. Berikut ini beberapa persamaan untuk kondisi khusus pada areal tanaman kayu: 1. Nilai perkiraan cash flow pada areal tanaman kayu yang belum ditanami

    a = periodic payment i = interest rate t = time period between

    payments (rotations)

    2. Nilai perkiraan cash flow untuk kayu yang belum memasuki masa panen (Premerchantable Timber Stands).

    Vm = value of m-aged timber NFV = Net future value in rotation t = rotation length, in years

    3. Nilai perkiraan cash flow dari kayu pada areal tanam dengan umur kayu tidak seragam (Uneven-aged Timber Stands)

    a = net annual income generated i = interest rate

    Pada tahun 2010, Mamat Rahmat, peneliti dari Balai Penelitian Kehutanan Palembang menggunakan sedikit data cashflow PT. Sebangun Bumi Andalas dari komponen biaya pengangkutan untuk menentukan kriteria kelayakan usaha pada tiga skenario model pemanfaatan areal kerja HTI berdasarkan tiga indikator : Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).26

    Analisis biaya Break Even dilakukan untuk mengetahui indikator kelayakan usaha penyerapan karbon berdasarkan nilai profitabilitas yang diperoleh dari hasil perbandingan antara biaya Break Even-HTI per Ha, kapasitas serapan karbon (tonCO2per Ha), biaya Break Even-penyerapan karbon per Ha dengan Harga Pasar di Voluntary Market untuk 1 tonCO2e per Ha pada saat masa daur (umur tanaman 8 tahun) tiba.

    Berdasarkan hasil analisa tiga indikator pertama (NPV, BCR dan IRR), diperoleh kesimpulan bahwa dari segi keuntungan, usaha pemanfaatan hutan pada areal gambut akan lebih menguntungkan apabila menggabungkan antara model usaha HTI dan model penyerapan karbon. Sementara berdasarkan hasil analisa Biaya Break Even diperoleh kesimpulan bahwa biaya untuk usaha penyerapan karbon pada areal kerja PT. SBA akan cukup kompetitif dibandingkan dengan biaya untuk usaha yang sama di negara-negara tropis lainnya dan harga yang ditawarkan di Voluntary market.

    Dalam tulisannya itu, Mamat Rahmat menghitung daya serap CO2 dengan menggunakan formula Brown (1996) untuk jenis vegetasi pohon utama (Accasia crassicarpa), yakni :

    LEV = a 1

    (1 + i)t - 1

    Vm = a NFV + LEV

    - LEV (1 + i)t - m

    LEV= a

    i

  • CO2= C x 3.67 dan C = W x 0.5 CO2 = jumlah penyerapan CO2 (ton/ha) C = jumlah serapan karbon (ton/ha) 3,67 = perbandingan berat atom CO2 dengan berat atom C dalam

    senyawa CO2 W = jumlah total biomassa (ton/ha) / berat keseluruhan pohon

    Pada tahun 2011, Febriani Anggari, seorang mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor melakukan penelitian di PT. Musi Hutan Persada untuk bahan penulisan skripsinya yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan pada PT. Musi Hutan Persada Muara Enim (Sum-Sel) Berbasis Laporan Keuangan 2007 2010. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kondisi keuangan dan kinerja keuangan dengan menggunakan analisis Rasio keuangan dan analisis Du Pont, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruh kinerja perusahaan selama periode tersebut di atas. Hasil analisis rasio, bahwa kondisi keuangan perusahaan kurang likuid dan kurang solvabel yang berdampak pada aktivitas perusahaan menjadi kurang baik. Terindikasikan pada kondisi laba (rugi) pada komponen laba kotor dan biaya yang mengalami penurunan seiring dengan kondisi neraca keuangan, di mana kewajiban jangka panjang, nilai aktiva tetap dan aktiva lain-lain yang juga mengalami penurunan. Berdasarkan analisis Du Pont, kinerja perusahaan selama empat tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan karena faktor internal (penjualan, harga pokok penjualan, biaya, aktiva, kewajiban dan ekuitas) dan faktor eksternal (Cuaca, pihak lain yang menjalin kerja sama, dan pemerintah).

    Rina Muhayah Noor Fitri dengan tesisnya pada tahun 2011 telah melakukan penelitian mengenai Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produk Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+. Penelitian ini melakukan simulasi penilaian potensi karbon untuk sertifikasi dalam rangka mendapatkan insentif finansial dari perdagangan karbon.

    Lutfy Abdulah dengan Tesis (2011) berjudul Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi melihat prospek dan tantangan untuk REDD dan perdagangan karbon dari sisi kegunaannya dalam membantu peningkatan mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan hutan. Dikarenakan perbedaan kepentingan dan prospek income yang kurang meyakinkan dari proyek REDD+, lambat- laun masyarakat mulai kembali merambah kawasan hutan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Mayang Bogawa untuk Skripsinya pada tahun 2012 berjudul Potensi Insentif Ekonomi Serapan Karbon Hutan Tanaman Industri di Provinsi Jambi. Dalam penelitian ini, Mayang berusaha mengetahui perkiraaan besaran nilai insentif yang akan diperoleh perusahaan HTI dari hasil tanaman Acacia dan karbon. Secara analisis kelayakan, usaha dari karbon dan kayu tersebut layak untuk dijalankan pada tingkat harga US$ 4, US$ 9 dan US$12 per tonCO2e.

    Dikaitkan dengan usaha penyerapan karbon, model-model persamaan di atas akan coba diterapkan pada analisis DCF terhadap investasi usaha penyerapan karbon. Di mana secara prinsip, usaha penyerapan karbon berbeda cara perhitungan investasinya dengan usaha penanaman kayu hutan. Dalam hal usaha ini tidak melakukan penebangan pohon, melainkan memelihara pohon dan menilai ekspektasi lahan berdasarkan nilai karbon sesuai perkembangan bursa pasar karbon di negara-negara Annex 1.

    Carbon Trading adalah suatu konsep mengenai mekanisme pembayaran kompensasi dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang seperti

  • Indonesia dan Brazil, dengan tujuan agar negara-negara berkembang tidak lagi menjadikan hutan sebagai sumber atau basic economy activities. Artinya, negara-negara industri maju bersedia untuk membayar negara-negara berkembang agar menghentikan aktivitasnya.

    2.3 Kerangka Konseptual Analisis Investasi meninjau aspek kelayakan hanya sebatas ruang lingkup

    finansial. Kriteria kelayakan finansial hanya akan menggunakan tiga indikator rasio cashflow berikut ini :

    1. Net Present Value 2. Internal Rate of Return 3. Profitability Index

    Bahan yang akan dianalisa berupa Data Realisasi Rencana Kerja Tahunan HTI di Provinsi Sumatera Selatan (2009 2012), Model data cash flow untuk kegiatan perusahaan HTI dan Usaha Penyerapan Karbon terdiri dari :

    1. Cashflow dari nilai Hasil Penjualan : - Nilai penjualan perusahaan HTI berasal dari jumlah kapasitas

    produksi dikalikan harga kayu per meter kubik (m3). - Nilai penjualan Usaha Penyerapan Karbon yang berdasarkan

    Potensi karbon (ton CO2e) dikalikan harga patokan karbon sebesar (US$ 5,9 - US$ 6 per ton CO2e)27.

    2. Cashflow dari nilai Investasi adalah Biaya Produksi berlaku baik untuk Perusahaan HTI maupun Usaha Penyerapan Karbon, diperoleh dari hasil kali luas Realisasi Tanam terhadap biaya per hektar mengikuti Standar Biaya Pembangunan HTI.

    3. Cashflow dari Biaya Penyusutan berdasarkan persentase Biaya Penyusutan terhadap Harga Pokok Penjualan pada Laporan Keuangan PT. Musi Hutan Persada.

    4. Cashflow dari Biaya Operasional berdasarkan persentase Biaya Operasional terhadap Harga Penjualan pada Laporan Keuangan PT. Musi Hutan Persada.

    5. Cashflow dari nilai Pajak badan usaha besar, sesuai ketentuan (28 30 %) diterapkan pada Perusahaan HTI maupun Usaha Penyerapan Karbon.

    Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konseptual

    Laba (Rugi)

    USAHA PENYERAPAN KARBON

    Laporan Keuangan

    Cash Flows

    Analisis Investasi

    Aspek Finansial

    Layak / Tidak Layak

    Model : Perusahaan HTI

    Rekomendasi

  • 2.4 Metode Penelitian 2.4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang kondisi keuangan dan kapasitas produksi perusahaan HTI. Proses selanjutnya, membuat model skenario usaha penyerapan karbon pada areal HTI berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Sehingga dapat dibandingkan berdasarkan aspek finansial antara hasil analisis investasi usaha pemanfaatan hutan untuk kayu dengan hasil analisis investasi usaha pemanfaatan hutan untuk penyerapan karbon. Demikian, sehingga penelitian ini bersifat deskriptif-eksperimental28.

    2.4.2 Definisi Operasional Analisis Investasi sebagaimana didefinisikan oleh (Mardiasmo,2009: 93-94)

    adalah penilaian kelayakan suatu proyek investasi berdasarkan Aspek Teknis, Aspek Ekonomi dan Finansial, Aspek Sosial Budaya dan Aspek Distribusi.

    Kriteria analisis investasi yang digunakan hanya sebatas ruang lingkup Aspek Finansial, terdiri dari :

    1. Analisis Cashflow berdasarkan Net Present Value (NPV) sebagaimana didefinisikan oleh Ross, et. Al. (2002: hal. 59) digunakan untuk mengetahui kelayakan investasi dengan menggunakan indikator nilai cashflow positif atau negatif

    2. Analisis Cashflow berdasarkan Average Accounting Return (AAR) sebagaimana didefinisikan oleh Ross, et. Al (2002: hal. 144) digunakan untuk mengetahui kelayakan investasi berdasarkan indikator nilai AAR yang terbesar.

    3. Analisis Cashflow berdasarkan Internal Rate of Return (IRR) sebagaimana didefinisikan oleh Ross, et. Al. (2002: hal. 146 - 147) untuk mengetahui kelayakan investasi menggunakan indikator tingkat pendapatan, di atas atau di bawah Diskon Faktor.

    4. Analisis Cashflow berdasarkan Profitability Index (PI) sebagaimana didefinisikan oleh Ross, et. al. (2002: hal. 158) untuk mengetahui kelayakan investasi berdasarkan indikator rasio Present Value terhadap modal investasi.

    2.4.3 Identifikasi Variabel Penelitian ini hanya menggunakan satu variabel yaitu mengenai Analisis

    Investasi untuk mengetahui kelayakan usaha penyerapan karbon dari segi finansial berdasarkan kriteria Net Present Value, Average Accounting Return, Internal Rate of Return, Profitability Index. Indikator untuk masing-masing kriteria tersebut adalah Layak atau Tidak Layak.

    NO VARIABEL DEFINISI VARIABEL KRITERIA Indikator

    1. Analisis Investasi Analisis Kelayakan Investasi dari Segi Finansial berdasarkan Cash Flow Analysis

    NPV 1. Positif / Layak 2. Negatif / Tidak Layak

    IRR 1. Labih Besar / Layak 2. Lebih Kecil / Tidak Layak

    PI 1. Lebih Besar / Layak 2. Lebih Kecil / Tidak Layak

  • 2.4.4 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari: data statistik terbaru,

    standar biaya, data hasil kompilasi dari beragam referensi penelitian terdahulu dan data kapasitas produksi dan realisasi tanam perusahaan HTI di Sumatera Selatan sepanjang 2009 hingga 2012.

    2.4.5 Prosedur Pengumpulan Data Data kapasitas produksi dan realisasi tanam perusahaan HTI sebagaimana

    dimaksud di atas dikumpulkan dengan cara tatap muka dan diskusi dengan pegawai di Bidang Pemanfaatan Hasil Hutan pada instansi Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.

    Data sekunder lainnya dikumpulkan dengan cara riset di perpustakaan dan internet. Sumber informasi lainnya berasal dari buku, surat kabar, majalah dan jurnal-jurnal penelitian, disertasi, tesis dan skripsi.

    2.4.6 Teknik Analisis Penelitian menggunakan metode analisis investasi secara kuantitatif. Dimana

    data yang digunakan pada dasarnya bersifat kuantitatif karena berupa data statistik, yaitu data finansial dan data kapasitas produksi serta realisasi tanam perusahaan HTI di Provinsi Sumatera Selatan sepanjang tahun 2009 2012.

    Analisis Investasi terutama dilakukan pada model / contoh laporan laba (rugi) usaha penyerapan karbon yang merupakan modifikasi dari laporan keuangan / Laba (Rugi) PT. Musi Hutan Persada pada tahun 2010. Analisis Cash Flows dilakukan untuk mengetahui kelayakan investasi untuk Usaha Penyerapan Karbon.

    Tahapan analisis dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Kompilasi Data

    Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengumpulan data sekunder dari beberapa sumber, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Studi Pustaka di Perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan Internet.

    2. Identifikasi Income Statement Kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat dari laporan Laba (Rugi) tahunan. Berapa nilai cashflow yang dihasilkan. Surplus ataukah defisit cashflow perusahaan, dapat dilihat pada nilai Earning After Taxes (EAT). Identifikasi income statement dilakukan dengan menghitung dan memproyeksikan perkiraan biaya untuk komponen-komponen yang secara logis harus ada sesuai contoh Laporan Laba Rugi PT. Musi Hutan Persada: a) Harga Penjualan = Kapasitas Produksi (m3) x Harga Kayu / m3 b) Biaya Produksi = Realisasi Tanam (ha) x Rp.16.662.320 / ha

    (Asumsi : seluruh stok habis terpakai) c) Biaya Penyusutan = 9,4% x Biaya Produksi d) Biaya Operasional = Realisasi Tanam (ha) x 1.966.538/ha e) Pajak Perusahaan dan lain-lain= 30% x EBIT

    3. Identifikasi Operating Cash Flows Setelah mendapatkan data perkiraan proyeksi Income Statement perusahaan HTI dapat diketahui pula berapa nilai rata-rata Operating Cash Flows perusahaan sepanjang tahun 2009 s.d. 2012. Selain itu diperoleh pula nilai investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan selama 4 tahun.

  • Operating Cash Flows = EBIT + Biaya Penyusutan Biaya Pajak

    4. Proyeksi Cashflow Data nilai rata-rata Operating Cash Flows pada akhir tahun 2012 dapat diproyeksikan untuk jangka waktu beberapa tahun ke depan. Model proyeksi Business As Usual (BAU) perusahaan HTI diproyeksikan untuk kondisi hingga 5 tahun ke depan dengan asumsi tingkat rate dan Standar biaya satuan tidak mengalami perubahan. Sementara model proyeksi Usaha Penyerapan Karbon pada areal perusahaan HTI diproyeksikan untuk kondisi selama 30 tahun kedepan dengan cash flows setiap 3 tahun.

    5. Analisa Data Teknik analisis data menggunakan kriteria/ indikator di bawah ini: 1. Net Present Value: Nilai cash flow positif, maka investasi layak

    dilakukan. Jika negatif, tidak layak dilaksanakan 2. Internal Rate of Return : Investasi dinilai layak bilamana nilai IRR

    berada di atas nilai diskon faktor untuk IRR = NPV = 0 3. Profitability Index: Investasi dinilai layak bila nilai rasio PI lebih besar

    daripada 1. Investasi tidak layak bila nilai rasio PI kurang dari 1. 3. HASIL ANALISA DATA 3.1 Kapasitas Produksi Usaha Hutan Tanaman Industri

    Berdasarkan data Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2010, perusahaan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Sumatera Selatan yang telah memiliki izin pemanfaatan hasil hutan kayu mencapai 21 perusahaan. Dua di antaranya merupakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan sisanya merupakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).

    Perusahaan HTI mulai beroperasi setelah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Menteri Kehutanan.

    Tahun 1996 : PT. Musi Hutan Persada Tahun 1998 : PT. Pakerin Tahun 2004 : PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau,

    PT. Bumi Andalas Permai, PT. Bumi Persada Permai I; Tahun 2005 : PT. Ciptamas Bumi Subur; Tahun 2006 : PT. Sumber Hijau Permai Tahun 2007 : PT. Rimba Hutani Mas; Tahun 2009 : PT. Sentosa Bahagia Bersama, PT. Bumi Persada Permai II,

    PT. Paramitra Mulia Langgeng, PT. Persada Karya Kahuripan, PT. Wahana Agro Mulia, PT. Sumatera Prima Fiber, PT. Tri Pupajaya, PT. Tunas Harapan Pratama dan PT. Wahana Lestari Makmur Sukses.

    Data berdasarkan laporan Realisasi Tanaman pada Areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) Perusahaan HTI di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari jumlah kapasitas produksi tiap perusahaan dan luas areal tanaman yang terealisasi (realisasi tanam) hingga akhir tahun. Hasil analisis hanya meloloskan 6 dari 21 perusahaan HTI (daftar terlampir). Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa data yang diperlukan berupa data seri selama 4 (empat) tahun, tanamannya sejenis, sudah berproduksi dan masih dalam status operasional: PT. Musi Hutan Persada,

  • PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Bumi Andalas Permai, PT. Bumi Persada Permai, PT. Rimba Hutani Mas.

    Berdasarkan keterangan dari petugas di Bidang Pemanfaatan Hasil Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, selain ke enam perusahaan tersebut di atas 4 (empat) perusahaan telah dicabut SK-nya oleh Menteri Kehutanan, 2 (dua) perusahaan bergerak di bidang Hutan Alam , 1 (satu) perusahaan di bidang tanaman bakau untuk arang dan 9 (sembilan) perusahaan baru mulai beroperasi pada tahun 2009.

    Kapasitas produksi perusahaan HTI sepanjang tahun tahun 2009 s.d. 2012 diasumsikan berbentuk kayu siap jual ke pabrik pengolahan, dan terpakai habis untuk bahan baku kertas. Asumsi ini digunakan untuk mendapatkan perkiraan nilai komponen Harga Penjualan pada perusahaan-perusahaan HTI yang dijadikan obyek penelitian. Berdasarkan informasi dan perkiraan perkembangan harga kayu per meter kubik dari tahun 2009 s.d. 2012, maka diperoleh Data Kapasitas Produksi Perusahaan HTI (Penghasil Bahan Pulp Kertas) sebagaimana terlampir. Berikut ini adalah ringkasan data kapasitas produksi enam perusahaan HTI selama 4 (empat tahun):

    Tahun 2009, PT. Musi Hutan Persada tertinggi dengan kapasitas produksi mencapai jumlah 2,2 juta m3 dengan nilai penjualan mencapai Rp. 367,19 miliar, diikuti PT. Sebangun Bumi Andalas dengan kapasitas produksi mencapai 0.4 juta m3 senilai Rp. 65,93 miliar.

    Tahun 2010, secara kapasitas produksi PT. Musi Hutan Persada masih yang tertinggi dengan capaian sebesar 1,8 juta m3 senilai Rp. 428,23 miliar. Diikuti PT. Rimba Hutani Mas (1,3 juta m3 senilai Rp.308,01 miliar).

    Tahun 2011, PT. Musi Hutan Persada masih yang paling tinggi mencapai kapasitas produksi sebesar 1,8 juta m3. Diikuti PT. Sebangun Bumi Andalas sebesar 0,8 juta m3 senilai Rp. 187,75 miliar.

    Tahun 2012, PT. Musi Hutan Persada mengalami penurunan kapasitas produksi walaupun masih tertinggi di antara perusahaan HTI lainnya, yaitu sebesar 1,3 juta m3 senilai Rp. 416,29 miliar. Diikuti PT. Bumi Persada Permai yang mencapai kapasitas produksi sebesar 0,5 juta m3 senilai Rp. 162,76 miliar.

    Hasil analisa data lebih lanjut menghasilkan Data Hasil Proyeksi Nilai Pendapatan Enam Perusahaan HTI (2009 s.d. 2012). Berdasarkan pencapaian Laba Kotor, berikut ini adalah nama-nama perusahaan yang menjadi peringkat pertama dalam kurun empt tahun:

    Tahun 2009, laba kotor tertinggi adalah PT. Musi Hutan Persada (Rp.25,15 miliar)

    Tahun 2010, PT. Rimba Hutani Mas menjadi yang tertinggi (Rp.134,20 miliar).

    Tahun 2011, PT. Sebangun Bumi Andalas membukukan nilai laba tertinggi (Rp.114,47 miliar)

    Tahun 2012, PT. Sebangun Bumi Andalas kembali menjadi yang tertinggi dengan nilai Laba Rp.93,50 miliar.

    Gambar 3.1 di bawah ini menunjukkan pergerakan Laba (kotor) perusahaan HTI sejak tahun 2009 hingga akhir tahun 2012.

  • Sumber : Analisa Data Lampiran 3, Data Hasil Proyeksi Nilai Pendapatan 6 (Enam) Perusahaan Hutan

    Tanaman Industri (2009 2012).

    Gambar 3.1 Grafik tingkat laba kotor perusahaan HTI.

    Analisa Data selanjutnya adalah untuk mengetahui Nilai Laba bersih setelah dikurangi pajak pada perusahaan HTI. Diasumsikan bahwa bunga interest sudah termasuk dalam biaya pajak yang mencapai 30%., maka data perusahaan HTI sepanjang tahun 2009 s.d. 2012 menunjukkan bahwa PT. Musi Hutan Persada (MHP) selalu merugi. Sementara kondisi PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA), PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), PT. Bumi Andalas Permai (BAP) pada awal tahun 2009 merugi, mulai tahun 2010 nilai laba (EAT) cenderung meningkat hingga akhir tahun 2012. Sebagaimana ditunjukkan dengan Gambar 3.2 di bawah ini.

    Sumber : Analisa Data Lampiran 2, Data Hasil Proyeksi Income Statement Perusahaan Hutan Tanaman Industri

    (2009 2012). Gambar 3.2 Grafik tingkat laba bersih (EAT) perusahaan HTI.

    -40.00

    -20.00

    0.00

    20.00

    40.00

    60.00

    80.00

    100.00

    120.00

    140.00

    160.00

    MHP SBA BMH BAP BPP RHM

    2009

    2010

    2011

    2012

    -200.00

    -150.00

    -100.00

    -50.00

    0.00

    50.00

    100.00

    MHP SBA BMH BAP BPP RHM2009

    2010

    2011

    2012

  • Hasil identifikasi data Operating Cashflow untuk kegiatan operasi 6 (enam) perusahaan HTI dari tahun 2009 s.d. 2012 menunjukkan trend sebagai berikut :

    1. Pada tahun 2009, rata-rata operating cashflow perusahaan HTI negatif, kecuali PT. Musi Hutan Persada dan PT. Sebangun Bumi Andalas.

    2. Pada tahun 2010 hingga tahun 2012 nilai rata rata operating cashflow positif dengan kecenderungan PT. Musi Hutan Persada dan PT. Rimba Hutani Mas menurun; PT. Sebangun Bumi Andalas dan PT. Bumi Persada Permai stabil; PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Bumi Andalas Permai meningkat.

    Tabel 3.1 Data Operating CashFlow Kegiatan Perusahaan HTI Sepanjang Tahun 2009 - 2012 (Rp. Milyar)

    NO PERUSAHAAN HTI 2009 2010 2011 2012 1. PT. MUSI HUTAN PERSADA 16,33 68,60 59,99 47,52 2. PT. SEBANGUN BUMI ANDALAS 6,73 64,01 76,14 63,20 3. PT. BUMI MEKAR HIJAU -2,45 1,85 30,43 266,67 4. PT. BUMI ANDALAS PERMAI -0,99 1,93 17,53 46,74 5. PT. BUMI PERSADA PERMAI -19,86 29,48 7,04 44,14 6. PT. RIMBA HUTANI MAS -20,26 84,49 14,38 2,56

    RATA-RATA -3,32 41,73 34,25 78,47 Sumber : Analisa Data Lampiran 2, Data Hasil Proyeksi Income Statement Perusahaan Hutan Tanaman Industri

    (2009 2012).

    3.2 Usaha Penyerapan Karbon Model usaha penyerapan karbon pada prinsipnya melakukan penanaman

    (realisasi tanam), pemeliharaan tanaman, pengamanan dan pengukuran. Sehingga secara pembiayaan dan operasional, komponen biayanya diasumsikan sama dengan Usaha HTI. Data hasil identifikasi cashflow untuk usaha karbon berbasis empat hal : potensi cadangan karbon pada tahun 2012, realisasi tanam pada tahun 2012, standar biaya (per ha) dan harga kayu (per m3) serta biaya penyusutan sebesar 9.4% dari Biaya Produksi. Diasumsikan bahwa keseluruhan bahan habis terjual atau terpakai oleh pabrik dan tidak ada stok sehingga Biaya Produksi sama dengan Harga Pokok Penjualan.

    Rincian data di bawah ini merupakan hasil identifikasi Income Statement dan Operating Cash Flows (Lampiran 1) untuk model kegiatan operasi pada usaha penyerapan karbon tahun 2012 di enam perusahaan pemegang izin pemanfaatan hutan di Provinsi Sumatera Selatan.

    A) PT. Musi Hutan Persada (Acacia) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 346,75 2. Harga Pokok Penjualan (360,11) 3. Biaya Penyusutan (32,41) 4. Biaya Operasional (42,50) 5. Laba (Rugi)-EBIT (88.27)

    Financial Cashflow EBIT -88.27 Penyusutan 32,41 Pajak Penghasilan 0,00 Operating Cash flow -55,85

  • B) PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (Acacia & Gambut) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 462,32 2. Harga Pokok Penjualan (41,30) 3. Biaya Penyusutan (3,72) 4. Biaya Operasional (4,87) 5. Laba (Rugi)-EBIT 412.43 6. Pajak, bunga lain-lain (30%) (123.73) 7 Laba-EAT 288,70

    Financial Cashflow EBIT 412,43 Penyusutan 3,72 Pajak Penghasilan (123,73) Operating Cash flow 292,42

    C) PT. Bumi Mekar Hijau (Acacia & Gambut) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 132,05 2. Harga Pokok Penjualan (32,78) 3. Biaya Penyusutan (2,95) 4. Biaya Operasional (3,87) 5. Laba (Rugi)-EBIT 92.45 6. Pajak, bunga lain-lain (30%) (27.74) 7 Laba-EAT 64,71

    Financial Cashflow EBIT 92,45 Penyusutan 2,95 Pajak Penghasilan (27,74) Operating Cash flow 67,66

    D) PT. Bumi Andalas Permai (Acacia & Gambut) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 91,47 2. Harga Pokok Penjualan (28,24) 3. Biaya Penyusutan (2,54) 4. Biaya Operasional (3,33) 5. Laba (Rugi)-EBIT 57,36 6. Pajak, bunga lain-lain (30%) (17.21) 7 Laba-EAT 40,15

    Financial Cashflow EBIT 57,36 Penyusutan 2,54 Pajak Penghasilan (17,21) Operating Cash flow 42,69

    E) PT. Bumi Persada Permai (Acacia) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 24,27 2. Harga Pokok Penjualan (92,52) 3. Biaya Penyusutan (8,33) 4. Biaya Operasional (10,92) 5. Laba (Rugi)-EBIT (87,49)

    Financial Cashflow EBIT (87,49) Penyusutan 8,33 Pajak Penghasilan (0,00) Operating Cash flow (79,16)

  • F) PT. Rimba Hutani Mas (Acacia & Gambut) Income Statement

    1. Hasil Penjualan karbon 871,86 2. Harga Pokok Penjualan (2,99) 3. Biaya Penyusutan (0,27) 4. Biaya Operasional (45,06) 5. Laba (Rugi)-EBIT 823,53 6. Pajak, bunga lain-lain (30%) (247,06) 7 Laba-EAT ,576,47

    Financial Cashflow EBIT 823,53 Penyusutan 0,27 Pajak Penghasilan (247,06) Operating Cash flow 576,74

    3.3 Hasil Analisis Analisis data Operating Cashflows baik untuk model usaha HTI-Kayu dan

    model usaha HTI-Penyerapan Karbon berbasiskan proyeksi Income Statement pada akhir tahun 2012. Perbedaannya terletak pada proses penanganan produksi sesuai masa daur. Rumusan analisis menggunakan asumsi bahwa pengeluaran atau cashflow- out untuk investasi harus lebih kecil dari cashflow-in sehingga menghasilkan nilai/value yang positif. Secara rumus :

    - Investasi + cashflow = value (+)

    Apabila diasumsikan bahwa perusahaan HTI akan menjalankan usahanya sesuai dengan Business As Usual. Dalam arti tetap melakukan penebangan kayu sesuai masa daur tanaman Acasia, maka Cash-in flow akan diproyeksikan selama 5 tahun, dengan tingkat diskonto diasumsikan stabil pada 15 %. Asumsi lainnya adalah biaya operasional stabil dan biaya pajak+ interest lainnya 30%. Demikian sehingga cashflow perusahaan dapat diproyeksikan sesuai Tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.2 Data Proyeksi Cashflow Usaha HTI-Kayu (5 Tahun) INVESTASI CF-1 CF-2 CF-3 CF-4 CF-5 RATE

    (Rp.Milyar) 0.15

    PT. MUSI HUTAN PERSADA PROYEKSI CASHFLOW -1376.22 47.23 47.23 47.23 47.23 47.23

    TOTAL PRESENT VALUE 158.32 41.07 35.71 31.05 27.00 23.48 NPV -1217.90

    IRR -0.40 PI 0.12 PT. SEBANGUN BUMI ANDALAS

    PROYEKSI CASHFLOW -239.45 52.20 52.20 52.20 52.20 52.20 TOTAL PRESENT VALUE 174.98 45.39 39.47 34.32 29.85 25.95 NPV -64.46

    IRR 0.03 PI 0.73 PT. BUMI MEKAR HIJAU

    PROYEKSI CASHFLOW -87.35 74.12 74.12 74.12 74.12 74.12 TOTAL PRESENT VALUE 248.46 64.45 56.05 48.74 42.38 36.85 NPV 161.11

  • IRR 0.80 PI 2.84 PT. BUMI ANDALAS PERMAI

    PROYEKSI CASHFLOW -62.24 16.31 16.31 16.31 16.31 16.31 TOTAL PRESENT VALUE 54.67 14.18 12.33 10.72 9.33 8.11 NPV -7.57

    IRR 0.10 PI 0.88 PT. BUMI PERSADA PERMAI

    PROYEKSI CASHFLOW -205.88 15.20 15.20 15.20 15.20 15.20 TOTAL PRESENT VALUE 50.95 13.22 11.49 9.99 8.69 7.56 NPV -154.93

    IRR -0.26 PI 0.25 PT. RIMBA HUTANI MAS

    PROYEKSI CASHFLOW -381.77 20.29 20.29 20.29 20.29 20.29 PRESENT VALUE 68.02 17.64 15.34 13.34 11.60 10.09 NPV -313.75

    IRR -0.32 PI 0.18

    Sumber : Analisa Data Lampiran 2, Data Hasil Proyeksi Income Statement Perusahaan Hutan Tanaman Industri (2009 2012)

    Hasil analisis investasi terhadap proyeksi usaha HTI-Penebangan kayu sesuai daur 5 tahunan memperhitungkan nilai rata-rata cashflow per tahun (Rp.Milyar), tingkat suku bunga 15% per tahun dan biaya investasi (relatif) di awal usaha, menunjukkan bahwa Net Present Value perusahaan PT. MHP, PT. SBA, PT. BAP, PT. BPP dan PT. RHM adalah negatif. Hanya NPV untuk PT.BMH yang positif. Hasil analisis Profitability Index juga menunjukan, bahwa PT. BMH dengan NPV positif dan IRR lebih besar dari diskon faktor 15% memiliki nilai indeks Profitabilitas > 1.

    Selanjutnya, diskenariokan bahwa seluruh perusahaan HTI dengan masing-masing hasil realisasi tanamnya selama 4 (empat) tahun (2009 2012) akan melakukan investasi usaha penyerapan karbon mulai tahun 2013, dengan asumsi:

    - biaya investasi yang dikeluarkan sama dengan biaya investasi HTI; - tingkat diskonto stabil di 15 % hingga akhir masa kontrak (30 tahun); - Jumlah cash-in-flow dari donatur per 3 tahun sebesar Rp.70 milyar.

    Hasil analisis investasi terhadap proyeksi usaha HTI-Penyerapan Karbon untuk kurun waktu 30 tahun ke depan dengan model evaluasi untuk pembiayaan 3 tahunan menunjukkan PT. Musi Hutan Persada dan PT. Rimba Hutani Mas bernilai NPV negatif . Empat perusahaan lainnya : PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Andalas Permai dan PT. Bumi Persada Permai mendapatkan nilai NPV positif. Tampak pada data Tabel 3.3 di bawah ini.

  • Tabel 3.3 Analisa NPV, IRR Untuk Usaha HTI- Karbon( Proyeksi 30 Tahun, Cashflow per 3 tahun )

    RATE

    INVESTASI P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 P-9 P-10 0.15

    PT. MUSI HUTAN PERSADA

    PROYEKSI CASHFLOW -1376.22 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV -1029.73

    IRR -0.11

    PI 0.25

    PT. SEBANGUN BUMI ANDALAS

    PROYEKSI CASHFLOW -239.45 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV 107.05

    IRR 0.26

    PI 1.45

    INVESTASI P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 P-9 P-10

    PT. BUMI MEKAR HIJAU

    PROYEKSI CASHFLOW -87.35 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV 259.14

    IRR 0.80

    PI 3.97

    PT. BUMI ANDALAS PERMAI

    PROYEKSI CASHFLOW -62.24 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV 284.25

    IRR 1.12

    PI 5.57

    PT. BUMI PERSADA PERMAI

    PROYEKSI CASHFLOW -205.88 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV 140.61

    IRR 0.32

    PI 1.68

    PT. RIMBA HUTANI MAS

    PROYEKSI CASHFLOW -381.77 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00 70.00

    TOTAL PRESENT VALUE 346.49 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65 34.65

    NPV -35.27

    IRR 0.13

    PI 0.91

    Sumber : Analisa Data Lampiran 1, Model Identifikasi Cashflow Usaha Penyerapan Karbon pada 6 (enam) Perusahaan Pemegang Izin

    Pemanfaatan Hutan di Sumatera Selatan Hingga Tahun 2012.

  • Berdasarkan data hasil analisa finansial di atas, nilai Net Present Value dan Internal Rate of Return (NPV/IRR) bernilai positif untuk empat usaha HTI-Penyerapan Karbon pada empat perusahaan :

    PT. Sebangun Bumi Andalas, (107,05 / 0,26) PT. Bumi Mekar Hijau, (259,14/0,80) PT. Bumi Andalas Permai, (284,25/1,12) PT. Bumi Persada Permai, (140,61/0,32)

    Sementara nilai Profitability Index (PI) untuk keempat perusahaan tersebut seluruhnya lebih besar dari 1, masing masing: SBA (1,45); BMH (3,97); BAP (5,57); dan BPP (1,68).

    Analisa investasi selanjutnya dapat dilakukan dengan membandingkan antara hasil analisis terhadap proyeksi usaha HTI-Kayu untuk lima tahun ke depan dengan proyeksi usaha HTI Penyerapan Karbon untuk enam tahun ke depan. Berdasarkan data pada Tabel 3.2 dan Tabel 3.3, diperoleh data Tabel 3.4 di bawah ini.

    Tabel 3.4 Analisa NPV, Untuk Usaha HTI- Kayu dan HTI- Karbon

    NO PERUSAHAAN NPV T-5 HTI-KAYU NPV T-6

    HTI - KARBON 1. PT. MHP -1.217,90 -1.306,92 2. PT. SBA -64,46 -170.15 3. PT. BMH 161,11 -18.05 4. PT. BAP -7,57 7.06 5. PT. BPP -154,93 -136.58 6. PT. RHM -313,75 -312.47

    Sumber : Analisa Data Lampiran 1 dan Data Lampiran 2.

    Data Nilai NPV untuk HTI-karbon pada payback period ke dua (enam tahun) menunjukan bahwa hanya PT. BAP yang bernilai positif.

    4. PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Usaha HTI Produksi Kayu

    Berdasarkan hasil analisis data kapasitas produksi pada enam model perusahaan HTI ditemukan kecenderungan sebagai berikut:

    1. Perusahaan-perusahaan HTI yang mulai beroperasi pada tahun 1996 1998 seperti PT. Musi Hutan Persada dan PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, sebagaimana ditunjukkan Grafik Tingkat Laba Kotor Perusahaan HTI (Gambar 3.1), mulai tahun 2010 mengalami penurunan kapasitas produksi (panen kayu) yang berlanjut hingga tahun 2012.

    2. Sementara perusahaan-perusahaan yang mulai beroperasi pada tahun 2004 seperti PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Bangun Andalas Permai grafiknya masih meningkat hingga tahun 2012.

    Kecenderungan peningkatan dan penurunan grafik tingkat laba kotor tersebut di atas, sedikit banyak merupakan gambaran dari hasil penjualan kayu HTI sepanjang tahun 2009 s.d. 2012 kemungkinan terkait dengan kapasitas produksi kayu pada kurun 4 tahun ini.

    Berdasarkan hasil analisa proyeksi data tingkat laba bersih perusahaan ditemukan bahwa usaha produksi kayu HTI PT. Musi Hutan Persada sepanjang tahun 2009 s.d. tahun 2012 selalu mengalami kerugian. Hal ini disebabkan oleh komponen harga pokok penjualan yang tinggi hingga melebihi harga penjualan.

  • Salah satu alasan, kenapa perusahaan ini masih bertahan adalah terdapat pemasukan dari bidang usaha lain yang menutupi kerugian pada usaha HTI di Sumatera selatan. Di mana hal ini perlu dilakukan penelitian secara terpisah. Grafik tingkat laba bersih untuk ke lima perusahaan lain (PT. SBA, PT. BMH, PT. BAP, PT. BPP dan PT. RHM menunjukkan operasi produksi perusahaan masih berjalan normal.

    Data operating cashflow kegiatan perusahaan-perusahaan HTI pada Tabel 3.1 mendukung kecenderungan posisi kapasitas produksi HTI-kayu dan laba kotor yang diperolehnya. Namun data ini tidak menggambarkan kondisi pendapatan bersih perusahaan, apakah mengalami laba ataukah mengalami kerugian.

    Analisa finansial terhadap ke enam perusahaan menunjukkan bahwa hanya PT. Bumi Mekar Hijau yang memiliki Net Present Value positif dengan tingkat diskonto (IRR) sebesar 80%, lebih besar dari diskon faktor yang digunakan (15%). Indeks Profitabilitas untuk PT. Bumi Mekar Hijau sebesar 2,84 atau lebih besar dari 1. Berdasarkan indikator tersebut, PT. Bumi Mekar Hijau secara usaha produksi kayu HTI masih layak.

    4.2 Kondisi Usaha HTI Penyerapan Karbon Potensi serapan karbon tanaman Acacia dan gambut pada areal tanaman

    perusahaan HTI yang telah terealisasi dari tahun 2009 s.d. 2012 mencapai 32,7 juta TonCO2e, senilai Rp.1,9 Tilyun pada harga Rp.59.000,- per TonCO2e. Sementara bila tanpa gambut, potensi penyerapannya hanya mencapai 9,6 juta TonCO2e, senilai Rp.569 Milyar. Hal ini menunjukkan kecenderungan rekomendasi usaha penyerapan karbon sebaiknya diarahkan pada areal HTI yang memiliki lahan gambut, mengingat potensi serapan karbonnya.

    Areal perusahaan HTI yang teridentifikasi memiliki lahan gambut, antara lain : PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Bumi Andalas Permai dan PT. Rimba Hutani Mas. Total Potensi serapan karbon pada empat perusahaan HTI ini sebesar 26,4 juta TonCO2e, senilai Rp.1,56 Trilyun. Kontribusi dari masing-masing perusahaan :

    Tabel 4.1 Potensi dan Nilai Cadangan Karbon pada Areal Tanaman HTI Bergambut NO PERUSAHAAN POTENSI

    (TonCO2e) NILAI

    (Rp.Milyar) 1 PT. SEBANGUN BUMI ANDALAS 7,84 462,32 2 PT. BUMI MEKAR HIJAU 2,24 132,05 3 PT. BUMI ANDALAS PERMAI 1,55 91,47 4. PT. RIMBA HUTANI MAS 14,77 871,86

    Sumber : Hasil Analisa Data pada Lampiran 1

    Proyeksi operating cashflow untuk usaha penyerapan karbon pada keempat perusahaan tersebut di atas, berdasarkan komponen EBIT, Biaya Penyusutan yang berlaku untuk HTI-kayu dan tarif Pajak standar, masing masing sebesar : Rp.292,42 Milyar (SBA), Rp.67,67 Milyar (BMH), Rp.42,69 (BAP) dan Rp.576,74 (RHM).

    Dua perusahaan HTI tanpa areal bergambut, PT. Musi Hutan Persada dan PT. Bumi Persada Permai menghasilkan operating cashflow yang negatif. Berdasarkan analisa proyeksi Laporan Laba (Rugi), nilai Harga Pokok Penjualan pada income statement PT. MHP dan PT. BPP melebihi nilai penjualan dari

  • potensi cadangan karbon yang ada. Kemungkinan disebabkan oleh dua hal, yang dapat diteliti lebih lanjut :

    1. Potensi serapan karbon yang ada pada kedua areal HTI tersebut belum sepenuhnya teridentifikasi atau tidak disertakan sehingga proyeksi penghitungan nilai penjualan belum sempurna.

    2. Kesepakatan perdagangan karbon tidak menyertakan jenis tutupan lahan selain gambut, hutan dan belukar sebagai sumber potensi serapan karbon sehingga potensi serapan karbon pada areal HTI PT. MHP dan PT. BPP hanya berasal dari tanaman Acasia saja.

    Hasil analisa investasi secara finansial pada model usaha HTI- Penyerapan Karbon menunjukkan bahwa dari empat perusahaan dengan nilai NPV positif, tiga di antaranya merupakan areal HTI yang ditanami Acasia dan arealnya bergambut, hanya satu yang bukan areal gambut (PT. BPP). Sebagaimana tampak pada data (NPV/IRR) untuk perusahaan PT. SBA (107,05/ 26%), PT. BMH (259,14/ 80%), PT. BAP (284,25/ 112%), PT. BPP (140,61/ 32%).

    Perbedaan pada PT. RHM yang areal kerjanya terdiri dari Acasia dan gambut tapi bernilai NPV negatif perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini diperkirakan terkait dengan komponen harga pokok penjualan yang belum sempurna, diskon faktor dan/atau harga pasar untuk karbon per TonCO2e yang belum menguntungkan hingga belum menutupi biaya operasional perusahaan.

    Proyeksi cashflow PT. Bumi Persada menunjukkan nilai operating cashflow negatif (-205.88), namun dengan pembiayaan dari usaha penyerapan karbon NPV cashflow menjadi positif. Hal ini menunjukkan bahwa investasi sebesar Rp.70 Milyar per 3 tahun selama 30 tahun cukup membantu kondisi nilai cashflow perusahaan. Hal ini tidak terjadi pada PT. Musi Hutan Persada, meskipun memiliki realisasi tanam lebih tinggi.

    4.3 Kelayakan Usaha HTI Penyerapan Karbon Berdasarkan hasil analisis investasi terhadap proyeksi cashflow 6 (enam)

    perusahaan HTI untuk Usaha Penyerapan Karbon, bahwa hanya 4 (empat) perusahaan HTI yang layak untuk melakukan Usaha Penyerapan Karbon, yaitu: PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Bumi Andalas Permai dan PT. Bumi Persada Permai. Hasil analisis kelayakan investasi usaha penyerapan karbon terhadap ke enam perusahaan ditampilkan pada tabel berikut ini.

    Tabel 4.2 Matriks Kriteria Indikator Kelayakan Investasi Usaha Penyerapan Karbon NO PERUSAHAAN NPV Indikator IRR Indikator PI Indikator 1. PT. Musi Hutan Persada -1029,73 (-) tidak layak -0,11 IRR 0,15

    (tidak layak) 0,25 PI 1

    (tidak layak) 2. PT. Sebangun Bumi Andalas 107,05 (+) layak 0,26 IRR 0,15

    (layak) 1,45 PI 1

    (layak) 3. PT. Bumi Mekar Hijau 259,14 (+) layak 0,80 IRR 0,15

    (layak) 3,97 PI 1

    (layak) 4. PT. Bumi Andalas Permai 284,25 (+) layak 1,12 IRR 0,15

    (layak) 5,57 PI 1

    (layak) 5. PT. Bumi Persada Permai 140,61 (+) layak 0,32 IRR 0,15

    (layak) 1,68 PI 1

    (layak) 6. PT. Rimba Hutani Mas -35,27 (-) tidak layak 0,13 IRR 0,15

    (tidak layak) 0,91 PI 1

    (tidak layak) Sumber : Hasil Analisa Data Lampiran 1 dan Rangkuman Tabel 3.3

  • Hasil analisis investasi lanjutan terhadap kelayakan usaha penyerapan karbon pada enam perusahaan HTI menunjukkan bahwa meskipun ada empat perusahaan HTI dengan nilai NPV positif, yaitu : PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Bumi Andalas Permai, PT. Bumi Persada Permai. Namun berdasarkan indikator nilai NPV, tampak bahwa PT. Bumi Andalas Permai memiliki nilai NPV paling tinggi sebesar Rp.284,25 Milyar. Selain itu, pada periode pembayaran karbon ke II (Tabel 3.4), hanya PT. BAP yang bernilai NPV positif. Indikator ini tidak dapat serta-merta diartikan bahwa investasi usaha penyerapan karbon pada areal PT. BAP akan lebih menguntungkan. Ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan.

    Faktor yang perlu diperhatikan adalah kaitan antara besaran investasi dengan besaran cashflow dari donatur karbon dan tingkat diskonto yang stabil. Selain itu, bagaimana bila dikondisikan terhadap besaran cashflow menjadi di bawah Rp.70 Milyar dengan tingkat diskonto yang berfluktuasi. Diperkirakan jumlah maupun komposisi perusahaan HTI yang layak untuk usaha penyerapan karbon pun akan berubah. Faktor perbedaan yang juga sangat mencolok dari PT. Bumi Andalas Permai adalah fakta bahwa realisasi tanamnya lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan HTI lainnya. Hal ini menjadi perbandingan dengan besaran investasi perusahaan lain hingga akhir tahun 2012.

    Mengacu pada pola dan alur penelitian ini, dapat dikatakan bahwa dibandingkan dengan Perusahaan HTI yang lain, PT. Bumi Andalas Permai akan memiliki tingkat Payback Period lebih cepat dibandingkan tiga perusahaan lainnya. Tampak dari hasil analisa data pada Tabel 3.4 sebelumnya. Di mana pada tahun ke enam, PT. BAP telah menghasilkan Cash Flow positif, sementara perusahaan lain masih negatif. Selain itu Index Rate of Return pun sangat tinggi mencapai 112%.

    Realisasi Tanam PT. Sebangun Bumi Andalas, di antara 4 perusahaan yang layak usaha penyerapan karbon adalah yang tertinggi, seluas 11 ribu hektar dengan potensi serapan cadangan karbon tertinggi mencapai 7 juta tonCO2e. Namun nilai NPV-nya tidak lebih tinggi daripada PT. Bumi Mekar Hijau. Apakah ini menunjukkan bahwa harga karbon/ ton merugi. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut, kemungkinan dipengaruhi oleh perkembangan harga bahan-bahan industri lain yang mengalami kenaikan.

    Kecenderungan lain yang mungkin perlu diperhatikan adalah terkait periode cashflow per 3 tahun. Kenapa tidak dibuat sesuai daur tanaman Acasia 5 (lima) tahunan. Adakah kaitannya dengan masa potensial serapan karbon pada tanaman Acasia yang singkat dan hanya mencapai 3 tahun? Penelitian ini belum cukup untuk menjawab semua pertanyaan tersebut.

    Secara Profitability Index, akan lebih menguntungkan lagi apabila keempat perusahaan tersebut melebur menjadi satu. Karena fakta yang ada menunjukkan bahwa keempat perusahaan ini berada di bawah naungan Grup Usaha yang sama. Bahkan secara rasio modal, akan cukup menguntungkan apabila perusahaan yang digabungkan untuk usaha penyerapan karbon adalah PT. Bumi Andalas Permai dan PT. Bumi Mekar Hijau.

    5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

    Hasil analisis investasi usaha penyerapan karbon dari segi finansial pada perusahaan HTI menunjukkan bahwa dari 6 (enam) perusahaan HTI yang mulai

  • beroperasi sebelum tahun 2009, hanya empat perusahaan yang dinilai layak untuk Usaha Penyerapan Karbon. Perusahaan dimaksud adalah :

    1. PT. Sebangun Bumi Andalas dengan potensi serapan karbon dari tanaman Acacia dan gambut, NPV = 107,05; IRR = 26% 15%; dan PI = 1,45 1.

    2. PT. Bumi Mekar Hijau dengan potensi serapan karbon dari tanaman Acacia dan gambut, NPV = 259,14; IRR = 80% 15%; dan PI = 3,97 1.

    3. PT. Bumi Andalas Permai dengan potensi serapan karbon dari tanaman Acacia dan gambut, NPV= 284,25; IRR = 112% 15%; dan PI = 5,57 1.

    4. PT. Bumi Persada Permai dengan potensi serapan karbon dari tanaman Acacia, NPV = 140,61; IRR = 32% 15%; PI = 1,68 1.

    Berdasarkan hasil analisa lanjutan, Perusahaan HTI dengan tingkat Payback Period tercepat adalah PT. Bumi Andalas Permai.

    Berdasarkan Profitability Indeks, investasi usaha penyerpan karbon sangat layak untuk PT. Bumi Andalas Permai dan/atau untuk gabungan antara PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Bumi Andalas Permai.

    5.2 Saran

    Hasil analisis investasi usaha penyerapan karbon pada sektor kehutanan di Provinsi Sumatera Selatan diwakili oleh 6 (enam) perusahaan Hutan Tanaman Industri yang sudah mulai beroperasi sebelum tahun 2009. Perlu diperhatikan, bahwa data dasar yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari data kapasitas produksi dan realisasi tanam yang dilaporkan secara rutin per tahun oleh perusahaan HTI kepada instansi Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.

    Bagi para peneliti selanjutnya, yang bermaksud melakukan analisis lebih lanjut mengenai permasalahan yang sama berdasarkan data di dalam tulisan ini, agar lebih kritis. Hal ini mengingat semua data di dalam tulisan ini merupakan model/ atau pendekatan untuk mengetahui proyeksi kondisi cashflow dari ke enam perusahaan yang menjadi obyek penelitian.

    Usaha Penyerapan Karbon pada areal kawasan hutan memerlukan status pengakuan wilayah kerja dari masyarakat dan status izin usaha pemanfaatan hutan yang jelas dari pemerintah agar terhindar dari konflik kepentingan yang dapat mengganggu proses jalannya usaha. Rekomendasi penulis untuk investor yang akan memulai usaha penyerapan karbon agar bekerjasama dengan perusahaan HTI yang memiliki areal gambut di dalam wilayah kerjanya, seperti PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Bumi Andalas Permai. Hal ini mengingat potensi serapan karbon pada gambut yang lebih besar dibandingkan serapan karbon pada hutan tanaman biasa. Di samping itu, perlu dilihat pula bagaimana status kondisi keuangan perusahaan. Hal ini mengingat pada kasus PT. Rimba Hutani Mas, meski arealnya bergambut namun nilai NPV-nya negatif. Sehingga dianggap tidak layak untuk investasi usaha penyerapan karbon.

    Bagi Sektor Kehutanan di Provinsi Sumatera Selatan, hasil dari penelitian akan dapat membuka wawasan para pihak penyusun rencana pemanfaatan hutan untuk menjadi lebih aware tentang permasalahan di bidang usaha penyerapan karbon. Terutama terkait permasalahan dukungan dan antusiasme dari pihak swasta (perusahaan HTI) untuk mensukseskan target mitigasi terhadap dampak perubahan iklim pada tahun 2020 nanti.

  • DAFTAR PUSTAKA Abdulah, Lutfy, 2010, Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan

    Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.

    Anggari, Febriani, 2011, Analisis Kinerja Keuangan pada PT. Musi Hutan Persada Muara Enim (Sum-Sel) Berbasis Laporan Keuangan 2007 2010, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor

    Bogawa, Mayang, 2012, Potensi Insentif Manajemen Ekonomi Serapan Karbon Hutan Tanaman Industri di Provinsi Jambi, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Fauzi, Akhmad dan Johar Arifin, 2001, Aplikasi Excell dalam Bisnis Terapan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

    Herbohn, John & Steve Harrison, Introduction to Discounted Cash Flow Analysis and Financial Functions in Excel, dalam Socio-economic Research Methods in Forestry.

    Institute for Global Environmental Strategies (IGES), 2005, Panduan Kegiatan MPB di Indonesia, Edisi Terjemahan Elektronik, Tokyo: Kementerian Lingkungan Hidup Jepang

    Mardiasmo, 2009, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit ANDI Mather, A.S., 1986, Landuse, New York, Longman Inc. Murdiyarso, Daniel, 2003, Seri Perubahan Iklim: Protokol Kyoto Implikasinya

    bagi Negara Berkembang, Jakarta: Penerbit Buku Kompas Molly Peter-Stanley & Daphne Yin, Maneuvering the Mosaic : State of the

    Voluntary Carbon Market 2013, Laporan untuk Forest Trends Ecosystem Marketplace & Bloomberg New Energy Finance (Juni 2013).

    Gyat, Niniek L., dkk., 2012, Instrumen dan Mekanisme Pendanaan Program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan, Policy Brief, Jakarta: Kementerian Keuangan RI Badan Kebijakan Fiskal dan GIZ.

    Peterson, Kristin S. & Thomas J. Straka, Discounted Cash Flow Methods for Urban Forestry: Standard and Specialized Formulas, dalam Southern Regional Extension Forestry (Bulletin) (SREF-UF-002, December 2011)

    Pitri, Rina Muhayah Noor, 2012, Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor

    Rahmat, Mamat, Evaluasi Manfaat dan Biaya Pengurangan Emisi serta Penyerapan Karbon Dioksida pada Lahan Gambut di HTI PT. SBA WI, dalam Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No.2 (Agustus 2010)

    Ross, Stephen A., Randolph W. Westerfield & Jeffrey Jaffe, 2002, Corporate Finance, 6th Edition, International: McGraw-Hill Irwin

    Ross, Stephen A., Randolph W. Westerfield & Jeffrey Jaffe, 2010, Corporate Finance, 9th Edition, International: McGraw-Hill Irwin

    Stern, Nicholas, 2006, The Economics of Climate Change, New York: Cambridge University Press

  • Straka, Thomas J., Valuation of Base Forestland and Premerchantable Timber Stands in Forestry Appraisal, dalam Journal of The American Society of Fram Managers and Rural Appraisers (2007)

    Tjahjono, Achmad dan Muhammad Fakhri Husein, 1999, Perpajakan Ed. Kedua, Yogyakarta: UPP AMPYKPN.

    United Nations, Kyoto Protokol to The United Nations Framework Convention on Climate Change, 1988

    Weston, J. Fred & Thomas E. Copeland, 1995, Manajemen Keuangan Jilid 1 Edisi 9, Terjemahan (Revisi), Jakarta: Binarupa Aksara

    Wirartha, I Made, 2006, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit ANDI

    Catatan Akhir : 1 Action to prevent deforestation offers opportunities to reduce greenhouse gas emission on significant

    scale without much need for new technology except perhaps for monitoring. Action here can also bring significant national co-benefits in terms of local soil, water and climate protection, as well as opportunities for sustainable forest management and the protection of biodiversity and the livelihoods and right of local communities, dikutip dari buku Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge University Press: New York, USA, 2006)

    2 Sebagaimana dikutip dari publikasi data mengenai Investment and Financial Flows to Address Climate Change dari United Nations Framework Convcention on Climate Change (UNFCC) (Oktober, 2007) Hal. 35 .

    3 Ibid. Hal. 79 4 Annex-1 merupakan istilah dalam Konvensi Perubahan Iklim untuk merujuk pada negara-negara maju

    pencetus Konvensi Perubahan Iklim, antara lain: Amerika Serikat, Cina, Korea, Jepang, Australia dan Uni Eropa, tercantum dalam Annex-1, United Nation Framework Convention on Climate Change, 1992 (United Nations) Hal. 24 .

    5 Niniek L. Gyat, dkk., Instrumen dan Mekanisme Pendanaan Program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan , dalam Policy Brief (Kementerian Keuangan RI Badan Kebijakan Fiskal dan GIZ: Jakarta, 2012) Hal. 4.

    6 Molly Peter-Stanley & Daphne Yin, Maneuvering the Mosaic : State of the Voluntary Carbon Market 2013, Laporan untuk Forest Trends Ecosystem Marketplace & Bloomberg New Energy Finance (Juni 2013) Hal.vi.

    7 Molly Peter-Stanley & Daphne Yin, Loc. Cit. 8 Data Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2010 9 Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik (Penerbit Andi: Yogyakarta, 2009), hal. 93 94. 10 Pada tingkat diskonto 10% dan daur 8 tahun, pengusahaan kayu di PT. SBA WI tidak layak, karena nilai

    NPV negatif, BCR kurang dari satu serta IRR kurang dari 10%. Akan tetapi jika pengusahaan hutan ditujukan untuk jasa pengurangan emisi karbon dioksida ataupun untuk pengusahaan kayu dan karbon secara bersamaan, maka hasilnya menguntungkan. Dikutip dari kesimpulan Maman Rahmat pada artikelnya berjudul Evaluasi Manfaat dan Biaya Pengurangan Emisi serta Penyerapan Karbon Dioksida pada Lahan Gambut di HTI PT. SBA WI, Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No.2 (Agustus, 2010), hal. 282.

    11Net Present Value is the present value of the investments future cash flow, minus the initial cost of the investment Dikutip dari buku Stephen A. Ross, et. Al., Corporate Finance, 9th Ed./ International Edition, (McGraw-Hill/Irwin: New York, 2010) Hal. 89

    12 Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal. 135 136 13 Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal. 138 14is the average project earnings after taxes and depreciation, divided by the average book value of the

    investment during its life, Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal. 144 15 is about as close as you can get to the NPV without actually being the NPV. ... is the rate that causes the NPV of

    the project to be zero, Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal. 141 - 142 16 Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal. 149. 17 The ratio of the present value of the future expected cash flows after initial investment divided by the amount of

    the initial investment, Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal.155 18 Stephen A. Ross, et. Al., ibid., hal 138 - 141 19 Contoh Keputusan Menteri Kehutanan untuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan terlampir.

  • 20 Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan pada Lampiran 9, Realisasi Tanam Berdasarkan

    Rencana KerjaTahunan (RKT) Perusahaan HTI (2009 -2012). 21 Data Laporan Keuangan PT. Musi Hutan Persada sebagaimana digunakan untuk bahan analisa keuangan

    oleh Febriani Anggari (2011) dan dilampirkan dalam tulisan Skripsinya berjudul Analisis Kinerja Keuangan pada PT. Musi Hutan Persada Muara Enim (Sum-Sel) Berbasis Laporan Keuangan 2007 2010.

    22 Kompilasi data hasil peneliotian mengenai kemampuan serapan karbon pada jenis-jenis tanaman industri yang digunakan dalam penelitian untuk Skripsi oleh Mayang Bogawa (2009) ada pada Lampiran 6, Data Serapan Karbon berdasarkan Jenis Tanaman Industri.

    23Molly Peter-Stanley & Daphne Yin, Op. Cit., hal. iv. 24 Investor akan mengambil keuntungan dari hasil hutan bukan kayu seperti air, madu dan ekowisata," katanya. Bahkan, dalam mekanisme perdagangan karbon, sertifikat penyerapan karbon bisa diperdagangkan

    sementara itu, pemegang izin usaha dilarang memanfaatkan pohon atau bagian dari pohon yang berada di dalam kawasan yang sedang direstorasi.

    "Investasi ini adalah investasi jangka panjang oleh karena itu kriterianya pun tidak mudah karena perusahaan harus memiliki modal. Dan infrastruktur. Masa izin restorasi ekosistem adalah 60 tahun, " katanya.

    Sementara itu, APRIL akan menggulirkan dana investasi sebesar 7 juta dolar AS untuk mengelola areal restorasi ekosistem yang mana dana itu akan digulirkan selama tiga tahun pertama sejak 2013 hingga 2015 , dari artikel di internet Lima Perusahaan Kantongi Izin Restorasi Ekosistem, Antara, Selasa, 7 Mei 2013)

    25 Thomas J. Straka, Valuation of Bare Forestland and Premerchantable Timber Stands in Forestry Appraisal, Journal of The American Society of Farm Managers and Rural Appraisers (2007), hal. 142 -