05.2-bab-292 tugas
DESCRIPTION
Tugas Jurusan EpidemiologiTRANSCRIPT
-
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres
Konsep stres sangatlah kompleks. Demikian kompleksnya hingga pada
kenyataannya para peneliti tidak dapat setuju dengan satu definisi saja. Hal ini
disebabkan oleh beragamnya reaksi dan perasaan terhadap stres (Kahn dan
Boysiere, dalam Beehr, 1995)
Pelopor penggunaan istilah ini adalah Hans Selye pada tahun 1936, ketika
ia menyatakan bahwa dalam lingkungan ini ada unsur yang disebut "stresor".
Reaksi spesifik dari individu ketika berhadapan dengan stresor inilah yang
dinamakan stres (Kusein, dalam Izzati 1996).
Menurut bidang ilmu fisik, stres diartikan sebagai suatu kekuatan yang
menyebabkan tubuh mengalami ketegangan. Dalam ilmu biologi, stres
didefinisikan sebagai perubahan dalam fungsi fisiologis. Berikutnya dalam bidang
ilmu psikologi, stres merupakan bagian dari hasil interaksi organisme dengan
lingkungannya. Bila ditinjau dari segi psiko-fisiologis, stres diartikan sebagai
stimulus yang memperdaya dan menimbulkan ketegangan, sehingga tidak mudah
diakomodasi oleh tubuh. Stres ini akan muncul dalam bentuk gangguan kesehatan
(Pestonjee, 1992)
Ivancevich dan Mateson (dalam Luthans, 1995) menyatakan bahwa stres
adalah konsekuensi wajar dari interaksi tersebut, tetapi respon fisik dan psikologis
yang muncul merupakan respon yang menyimpang dari keadaan normal individu,
yang dapat menimbulkan akibat psikologis yang negatif seperti kecemasan,
-
ketegangan atau sebaliknya yang positif seperti penyesuaian diri yang konsumtif.
Bermacam-macam definisi tentang stres dikemukakan oleh banyak ahli.
Berdasarkan banyak pendapat tersebut, dapat disimpulkan adanya 3 pendekatan
tentang definisi stres, yaitu:
a. Pendekatan stres sebagai stimulus, memandang stres sebagai suatu variabel
"sebab". Dengan kata lain, stres adalah suatu stimulus yang berasal dari
lingkungan eksternal individu. Lingkungan tersebut mengangkat lingkungan
fisik maupun sosial. Stres dipandang sebagai suatu situasi atau peristiwa yang
menimbulkan tuntutan untuk bereaksi, untuk kemampuan individu dianggap
tidak mencukupi sebagai sumber kebutuhannya. Stres dianggap sebagai
stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai macam reaksi dan
perasaan; meningkatkan ketegangan;menimbulkan respon atau tuntutan
fisiologis dan atau psikologis; serta mengganggu keseimbangan fisiologis dan
emosional. Situasi yang menyebabkan stres ini bisa juga disebut stresor,
misalnya ujian akhir, keadaan keuangan yang buruk, kesulitan hubungan
dengan atasan, polusi bau bahan kimia, kebisingan, beban kerja berlebihan,
atau bahkan promosi jabatan, perkawinan, kehamilan dan liburan (Gibson,
dkk,1994)
b. Pendekatan stres sebagai respon, memandang stres sebagai variabel "akibat".
Stres dipandang sebagai suatu respon yang timbul dari dalam diri individu.
Stres didefinisikan sebagai suatu konsekuensi atau respon adaptif dan respon
perilaku (Gibson, dkk, 1994); tanggapan tubuh yang non-spesifik (Selye,
dalam Rachmaningrum, 1999);ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan
dan kemampuan individu yang menyebabkan respon dalam bentuk fisiologis
-
dan atau perilaku (Krantz, dalam Luthans, 1995); serta pengalaman yang
tidakseimbang tersebut (Cox dan Mackay, dalam Frese, 1985), yang semua
itu dipengaruhi oleh karakteristik individual (Gibson, dkk, 1994). Respon
terhadap stres ini juga disebut dengan "Strain "
Menurut Duffy dan Wong (dalam Rachamningrum, 1999), respon terhadap
stresor dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Respon fisiologis
Mengacu pada konsep dr. Hans Selye tentang General Adaptation
Syndrome (GAS), tahap pertama dari GAS ini disebut "Alarm stage" atau
peringatan. Tahap ini ditandai dengan diaktifkannya sistem saraf simpatis
oleh munculnya situasi yang menekan, yang menyebabkan detak jantung
makin cepat, berkeringat, serta peningkatan kekuatan otot dan respon
fisiologis lainnya, sehingga tubuh akan siap melakukan tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi situasi. Tahap kedua disebut dengan
"Resistance stage" atau perlawanan. Beberapa bagian atau organ tubuh
tertentu yang dibutuhkan pada tahap ini mulai diaktifkan untuk
menghadapi stresor, baik untuk melawan/menarik diri. Besarnya
penolakan terhadap suatu stresor lain yang tidak saling berhubungan
berbeda. Meskipun secara fisik tampak baik-baik saja, pertahanan tubuh
individu sebenarnya terkikis. Inilah sebabnya individu yang mengalami
ketegangan emosi menjadi lemah terhadap penyakit fisik atau gangguan
lain. Akhirnya apabila ketegangan yang harus dihadapi sangat besar atau
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka individu akan mengalami
tahap terakhir yang di sebut dengan "Exhaustion ' atau kelelahan. Tahap
-
ini karena tubuh tidak sempat memperbaiki kondisinya. Hal ini dapat
mengakibatkan kematian.
b. Respon psikologis
Respon psikologis terhadap stres sangat bervariasi. Reaksi individu
terhadap stres dapat berupa penurunan kesehatan psikologis (bahkan
psikopatologis), pengembangan diri pribadi melalui strategy coping yang
efektif, atau dengan tanpa adanya perubahan psikologis yang berarti.
Menurut Napoli (dalam Rachamningrum, 1999) respon tersebut dapat juga
berupa pemikiran yang tidak logis dan tidak koheren (Illogical and non-
coheren thinking), misalnya mudah lupa, sulit berkonsentrasi, mimpi
buruk, atau penurunan kemampuan memecahkan masalah; atau berupa
emosi negatif (negative emotion), misalnya marah, cemas, perasaan
bersalah, mudah tersinggung atau depresif. Masih terdapat satu respon lain
yaitu respon perilakuan, yang biasanya tampak sebagai perilaku yang
berlebihan dan kompulsif (excessive and compulsive behaviour), seperti
lebih banyak merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol, terlalu
banyak makan, menggigit kuku atau bahkan diam sama sekali.
Pendekatan interaksional/transaksional, menyatakan bahwa stres akan terjadi
bila ada tuntutan dari lingkungan terhadap diri individu yang melebihi
kemampuan penyesuaiannya. Stres merupakan gejala yang terjadi di dalam
proses interaksi antara faktor-faktor lingkungan dengan individu (Lazarus,
dalam Rachmaningrum, 1999). Lingkungan dapat mempengaruhi individu.
Sebaliknya, individu mampu mempengaruhi lingkungan dan mengendalikan
tingkftt stres yang ditimbulkan, misalnya dengan mengurangi jumlah terpaan
-
stimulus atau mengubah suasana mencekam menjadi lebih menyenangkan
(Schuler, dalam Rachmaningrum, 1999)
Stresor menimbulkan berbagai macam respon atau tanggapan yang
berbeda-beda. Cara individu berespon terhadap stresor dapat juga menjadi
penyebab munculnya stres yang lain, atau bahkan memperberat stres yang sudah
ada (Duffy dan Wong, dalam Rachmaningrum, 1999). Beberapa orang lebih
mampu mengatasi stres dapat menyesuaikan perilakunya dengan stresor. Mampu
tidaknya individu menyesuaikan diri dengan stres juga tergantung dari persepsi
mengenai rangsangan yang mengancam (Gibson, dkk, 1994). Interaksi antara
lingkungan dan individu ini menimbulkan dinamika psikologis yang unik. Ada
proses internal individu yang mempengaruhi persepsi terhadap stresor (Schuler,
dalam Jex, dkk, 1992). Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa
satu hal terpenting dalam menghadapi stresor ialah faktor persepsi atau
interpretasi individu yang bersangkutan (Riggio, 1996)
Persepsi sangat penting artinya untuk menentukan seberapa besar kejadian
dalam lingkungan individu diartikan stres. Penilaian individu tentang peristiwa
atau keadaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin,
inteligensi, motivasi, kebutuhan, status soaial, latar belakang budaya,
keperibadian, serta pengalaman individu dalam menghadapi masalah. (Maramis,
1990)
Secara umum, stres didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam,
menekan, dan tidak menyenangkan bagi individu. Lebih spesifik lagi, stres
merupakan reaksi fisik dan psikis terhadap perubahan-perubahan yang dialami
oleh individu. Bentuk reaksi fisik itu antara lain, detak jantung semakin cepat,
-
tekanan darab meningkat, dan timbul penyakit psikosomatis seperti tukak
lambung. Reaksi psikis dapat berupa sikap penarikan diri dan terbentuknya
mekanisme pertahanan ego. Perubahan-perubahan tersebut merupakan salah satu
bentuk adaptasi individu untuk berinteraksi dengan lingkungan (Tyrer, 1984)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi yang
berhubungan reaksi fisik maupun psikis terhadap perubahan-perubahan yang
dialami individu yang disertai stresor.
2. Sumber-sumber Stres
Menurut Sue & Sue (1986), ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya
stres, yaitu :
a. Faktor biologis
Yaitu adanya kerusakan atau gangguan fisik maupun organ tubuh individu itu
sendiri, misalnya infeksi, serangan berbagai macam penyakit, kurangnya gizi,
kelelahan dan cacat tubuh.
b. Faktor psikologis
Berhubungan dengan keadaaan psikis individu. Individu yang secara psikis
mengalami hambatan, misalnya berpola pikir irasional, cenderung lebih mudah
terkena stres daripada individu yang berpola pikir rasional. Ditambahkan oleh
Maramis (1990) bahwa sumber-sumber stres psikologis dapat berupa :
a. Frustasi, timbul bila ada kesenjangan antara keinginan dengan maksud
atau tujuan individu. Ada frustasi yang datang dari luar, seperti bencana
alam, kecelakaan, kematian orang yang dicintai, serta norma atau adat
istiadat. Sebaliknya, ada frustasi yang berasal dari dalam diri individu ,
seperti cacat tubuh, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga
-
penilaian diri menjadi tidak menyenangkan. Semua itu merupakan
frustasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.
b. Konflik, teijadi bila tidak dapat memilih salah satu dari dua macam
kebutuhan atau lebih, misalnya memilih mengurus rumah tangga atau
aktif dalam kegiatan kantor.
c. Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu.
Tekanan dari dalam dapat teijadi bila individu mempunyai harapan yang
sangat tinggi terhadap dirinya. Namun, tidak disesuaikan dengan
kemampuannya sendiri. Tekanan dari luar misalnya, atasan di kantor
menuntut pekerjaan cepat diselesaikan dalam waktu yang sangat
terbatas.
d. Krisis, teijadi bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba.
Sehingga menimbulkan stres berat. Hal ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan, kegagalan usaha, maupun kematian.
c. Faktor sosial
Berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti kesesakan (crowding),
kebisingan (noise), dan tekanan ekonomi.
3. Pengertian Stres Kerja
Setiap hari, tenaga keija berinteraksi dengan lingkungan keijanya. Tenaga
keija berinteraksi dengan pekeijaannya, para tenaga keija lainnya, dan organisasi
serta kelompok perusahannya. Dari sini muncul konflik, yang pada akhirnya akan
memicu teijadinya stres kerja (Munandar, 1983)
Menurut Jex, dkk (1992) pengertian stres keija dapat dibagi menjadi tiga
pendekatan, yaitu :
-
1. Stres kerja sebagai stimulus, mengacu pada stresor pekerjaan, yaitu semua
keadaan lingkungan di tempat keija yang menuntut adanya suatu tipe
respon adaptif tertentu. Menurut Shendab dan Radmacher (dalam
Rachmaninrum, 1999) ada 3 faktor penyebab stres keija yaitu, yang
berkaitan dengan lingkungan, organisasi dan individu, yang diuraikan
sebagai berikut:
a. Faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan secara global,
meskipun individu tidak terlibat langsung tetapi pengaruhnya dapat
dirasakan melalui organisasi.
b. Faktor organisasional, yaitu kondisi organisasi yang langsung
mempengaruhi kineija individu. Misalnya tuntutan keija, beban
keija, kondisi keija dan tanggung jawab atas orang lain.
c. Faktor individual, yaitu semua hal yang terdapat dalam kehidupan
pribadi individu diluar pekerjaan, seperti masalah keuangan dan
ekonomi, masalah pribadi yang teijadi diluar jam keija sering
dibawa ke tempat keija. Akibatnya konsistensi keija terganggu,
kineija kurang memuaskan dan individu tidak dapat memenuhi
tuntutan pekerjaan.
2. Stres kerja sebagai respon, dipandang sebagai suatu reaksi individu atau
respon adaptif yang menimbulkan penyimpangan, baik fisiologis,
psikologis dan atau perilaku pada lingkungan organisasi yang disebabkan
oleh interaksi individu dengan lingkungan kerja. Menurut Arsenault dan
Dolan (1983), stres kerja merupakan suatu kondisi psikologis yang tidak
menyenangkan, yang timbul karena merasa terancam dalam bekerja.
-
kelelahan fisik, gangguan tidur, mudah marah, sering melakukan kesalahan dalam
pekerjaan, timbulnya sikap apatis pada individu.
Menurut Davis dan Newstroom (1993), stres dapat bermanfaat tetapi juga
dapat merugikan bagi prestasi karyawan. Bila tidak ada stres maka tidak ada
tantangan terhadap pekerjaan, sehingga prestasi cenderung rendah. Sebaliknya,
bila stres terlalu tinggi maka individu akan mengalami kelelahan, sehingga
prestasi kerja menurun. Apabila berada pada tingkat tertentu yang masih dapat
ditolerir oleh individu, stres akan menjadi suatu tantangan yang dapat
meningkatkan motivasi, sehingga prestasi juga meningkat.
Kineija individu yang optimal akan dapat tercapai apabila ada
keseimbangan antara tuntutan pekeijaan dengan kemampuan individu untuk
memenuhi tuntutan tersebut (Northcraft dan Neale,1990).
Menurut Munandar (2001) hubungan antara stres dan kineija di
gambarkan sebagai bentuk U-terbalik. Hubungan ini secara umum dapat
dijelaskan bahwa stres yang terlalu kecil akan dapat menimbulkan kerugian yang
sama besar dengan stres yang terlalu besar. Dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1.1. Hubungan Antara Stres dan Kinerja Sumber : Munandar,200 l.PIO. Halaman 375
-
Stres yang meningkat sampai unjuk-keija mencapai titik optimalnya
merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum
mencapai titik optimalnya, peristiwa atau situasi yang dialami sebagai tantangan
yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwa atau
situasi yang dialami sebagai ancaman yang mencemaskan. Agar tetap berada
dalam kesehatan yang baik dan bekeija pada tingkat puncak, kita harus mampu
mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan teknik-teknik mengatasi
stres.
Cox (dalam Gibson,dkk,1994) menguraikan dampak dari stres kerja yang
merugikan, merusak, serta berbahaya bagi individu dan organisasi, sebagai berikut
a. Akibat subjektif, seperti gelisah, kelesuan, kebosanan, kemuraman,
kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, dan perasaan terasing.
b. Akibat perilaku, seperti ledakan emosi, mudah mengalami kecelakaan
keija, penyalahgunaan obat, makan berlebihan, minum minuman keras,
lebih banyak merokok, berperilaku impulsif, dan tertawa gelisah.
c. Akibat kognitif, yaitu sangat peka terhadap kritik serta mengalami
hambatan secara mental.
d. Akibat fisiologis, seperti tingkat gula darah menigkat, denyut jantung atau
tekanan darah menigkat, berkeringat.
e. Akibat keorganisasian, yaitu produktivitas keija rendah, kemangkiran, dan
mengasingkan diri dari rekan sekerja. Ditambahkan oleh Dipboye, dkk,
(1994) bahwa dampak keorganisasian ini biasanya meliputi ketidakpuasan
kerja, menurunnya loyalitas, rendahnya keterlibatan kerja, meningkatnya
-
absensi, serta adanya kecenderungan untuk mencari pekerjaan di
perusahaan lain.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stres Ker ja
1. Faktor usia
Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya stres keija adalah faktor
usia. Individu yang lebih tua cenderung lebih mudah mengalami stres daripada
individu yang lebih muda. Hal itu antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis
yang telah mengalami kemunduran visual, kemampuan berpikir, mengingat, dan
mendengar (Frese, 1985 )
2. Pengalaman kerja
Pengalaman ketja juga mempengaruhi munculnya stres keija. Individu
yang memiliki pengalaman keija lebih besar cenderung lebih tahan terhadap
tekanan-tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit pengalaman
(Koch,dkk, 1982).
3. Lama perkawinan
Menurut hasil penelitian Setyawati (1996), lama perkawinan juga
mempengaruhi tingkat stres individu. Semakin lama individu menjalani suatu
perkawinan maka tingkat stresnya akan semakin rendah. Individu memandang
perkawinan sebagai proses penyesuaian yang tiada henti, sehingga waktu yang u
dijalani dalam menempuh sebuah perkawinan dipandang sebagai wahana untuk
melakukan penyesuaian yang dilandasi sikap menerima, penuh kasih sayang, dan
prestasi.
-
4. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga berperan dalam kemunculan stres keija. Wanita
cenderung lebih rentan terhadap stres kerja daripada pria karena secara fisiologis
wanita memiliki kondisi yang unik yang dapat memicu timbulnya stres. Secara
fisiologis, wanita mengalami perubahan hormon setiap bulan pada saat mengalami
menstruasi; kemudian selama sembilan bulan saat mengandung, dilanjutkan
dengan menyusui; dan pada masa-masa menjelang serta selama mengalami
menopause. Tekanan yang dialami pada masa-masa tersebut akan memudahkan
timbulnya stres. (Shreve dan Lone, 1986)
5. Tingkat pendidikan
Betz dan Fitzgerald (dalam Rachmaningrum, 1999 menyatakan bahwa
tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi respon fisiologis yang muncul
dari stres. Tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menyebabkan pola berpikir
dan pandangan hidup bagi kebanyakan individu. Individu dengan tingkat
pendidikan tinggi akan mengalami perubahan pola berpikir dari tradisional kearah
yang lebih maju, sehingga dalam memandang persoalan tidak hanya dari satu sisi
saja melainkan dapat dari berbagai sudut pandang. Hal ini tentu saja lebih
menguntungkan dalam menghadapi masalah dalam pekerjaannya.
6. Tipe kepribadian
Tipe kepribadian juga mempengaruhi munculnya stres keija. Individu
yang bertipe kepribadian A cenderung lebih mudah mengalami stres kerja dari
pada individu bertipe kepribadian B. Karakteristik tipe kepribadian A adalah
cenderung ambisius, suka berkompetisi, sering tergesa-gesa, tidak mudah puas
dengan hasil pekerjaan, mudah tersinggung, responsif, banyak mengharapkan
-
penghargaan dari orang lain, dan tidak dapat tinggal lama pada suatu keadaan
yang sama; sehingga tipe A dikatakan dapat menciptakan sendiri stresor internal
dalam dirinya dan menambah stres yang sudah ada. Tipe kepribadian B
menunjukkan karakteristik tidak mudah tergesa-gesa, tidak terlalu suka
berkompetisi, cenderung lamban dalam bertindak, serta mudah puas pada hasil
kerjanya, sehingga tipe B cenderung tidak mudah mengalami stres (Northcraft dan
Neale, 1990)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kemunculan stres kerja adalah: faktor usia, faktor psikologis,
pengalaman kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tipe kepribadian tertentu.
6. Stres Kerja pada Wanita Berperan Ganda
Mempelajari topik stres keija tidak dapat dilepaskan dari konteks stres
yang bersumber dari luar tempat kerja. Stres yang demikian ini biasanya dialami
oleh wanita yang berperan ganda (Beehr, 1995)
Menurut Barnadib (dalam Izzati, 1996), wanita berperan ganda adalah
wanita yang memiliki dua peran. Pertama, wanita menjadi pelaku proses
kemanusiaan yang sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai seorang istri dan ibu
lewat keluarga. Kedua, wanita menjadi partisipan aktif dalam pembangunan lewat
masyarakat. Peran ganda ini merupakan satu kesatuan utuh karena tidak dapat
dipisahkan. Hal ini sesuai dengan anjuran pemerintah tentang prinsip peran ganda,
yaitu adanya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara peranan wanita
dalam keluarga dan sebagai pelaku pembangunan. Konsekuensi dari peran ganda
tersebut adalah wanita njenghadapi adanya tugas ganda, disamping bekerja
mencari nafkah di luar rumah, tanggung jawab urusan rumah tangga tetap harus
-
dilaksanakan oleh individu. Akibatnya, dapat dibayangkan betapa berat beban
yang harus ditanggung, yaitu berasal dari tempat keija dan dari rumah. Hal ini
dapat menimbulkan konflik peran dan beban peran (Abbot dan Sanpsford, dalam
Suhapti, 1995)
Shaevitz (1991) berpendapat bahwa faktor penyebab timbulnya masalah
pada peran ganda wanita biasanya bersumber dari diri individu itu sendiri.
Individu biasanya menuntut dirinya sendiri untuk menjalankan semua perannya
dengan sempurna. Jika kurang mengenal diri sendiri, maka individu cenderung
memaksakan diri untuk melakukan sesuatu di luar batas-batas kemampuannya.
Hal inilah yang memicu timbulnya ketegangan.
Selama ini, wanita dianggap sebagai "pekerja" utama dalam rumah tangga.
Peningkatan keterlibatan wanita dalam profesi dan dunia keija itu menuntut
keterlibatan, dedikasi, dan komitmen yang tinggi. Hal ini cenderung menimbulkan
konflik antar peran yang lebih besar dari pada kaum pria. Hal tersebut dianggap
wajar, karena semakin banyak peran yang dimiliki seseorang, maka akan semakin
besar kemungkinan terjadinya konflik antar peran yang berbeda (Beehr, 1995)
Penelitian yang di lakukan Cooke dan Rousseau (1984) membuktikan
bahwa semakin besar harapan yang diberikan, baik di tempat kerja maupun di
rumah, pada karyawan wanita yang mempunyai anak, maka kemungkinan
timbulnya konflik antar peran akan semakin besar pula. Penelitian tersebut juga
membuktikan adanya hubungan antar stresor. Konflik dan beban yang berlebihan,
dengan kepuasan kerja dan munculnya simpton stres secara fisik. Bahkan menurut
Cooper (dalam Cooke dan Rousseau, 1984) stres dari keluarga dan peran di
tempat kerja pada wanita jumlahnya lebih besar daripada pria.
-
Menurut Wolfman (1992), ketegangan atau stres itu muncul karena adanya
rasa bersalah tentang peran-peran yang bertentangan, adanya tekanan dari luar
seperti pendapat orang lain tentang sifat pekerjaannya, merasa tidak yakin pada
pilihan prioritasnya, atau tidak yakin pada kemampuan diri sendiri untuk
melaksanakan beberapa peran tersebut.
Selain itu, stres tersebut dapat timbul karena adanya kecemasan akan
terjadinya efek negatif terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan dan
atau kemampuan untuk membina rumah tangga yang ideal (Sedyono, dalam
Gardiner, dkk, 1996); adanya kecemasan terhadap pengasuhan anak balita yang
diserahkan kepada babysitter atau pembantu, serta terhadap perkembangan anak
remaja (Ihromi, 1990). Selain itu, dapat juga berupa ketidakpuasan hidup (Moore
house, 1991); serta dilema psikologis atau moral yang harus dihadapi ketika
terbentuk pada dua peran tersebut (Puspitasari, dalam Izzati, 1996). Di tambahkan
oleh Bisman (dalam Izzati, 1996) bahwa secara kodrati wanita telah diciptakan
untuk mengalami proses menstruasi, kehamilan dan menopause. Ketiga proses itu
dapat menjadi sumber stres juga pada wanita.
Menurut Dipboye, dkk (1994) manifestasi stres keija pada wanita biasanya
berupa respon psikologis, seperti gangguan depresi dan gangguan fatigue,
sedangkan pria cenderung menunjukkan respon fisik atau fisiologis seperti
peningkatan tekanan darah Manifestasi stres yang biasa dialami oleh wanita yang
berperan ganda misalnya konflik peran, ketidakjelasan peran maupun
ketidakjelasan tugas, beban yang berlebihan yang menyangkut pekerjaan maupun
tugas di rumah, peningkatan absensi, serta kemangkiran. Individu biasanya juga
mengalami penyakit psikosomatis yang ringan, seperti kelelahan, kecemasan, dan
-
cenderung lebih peka terhadap kritik dan saran. Manifestasi stres yang ekstrim
yang dialami oleh wanita adalah penyalahgunaan obat sampai dengan
kecenderungan melakukan bunuh diri.
Hubungan konflik peran ganda dengan stres kerja dijelaskan oleh Lewis &
Cooper (dalam Gutek, dkk, 1988) bahwa konflik peran ganda merupakan salah
satu sumber stres pada gangguan hubungan pekerjaan dan keluarga. Akibatnya
akan dapat mempengaruhi rendahnya kesehatan mental, gangguan kondisi fisik,
ketidak puasan kerja dan akhirnya dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup.
Rendahnya kesehatan mental diteliti oleh Sekaran (dalam Gutek dkk,1988) pada
166 pasangan berkarir dengan anak dibawah usia 18 tahun. Ternyata stres yang
disebabkan karena peran ganda berhubungan dengan ketidakpuasan kerja dan
ketidakpuasan hidup pada pria dan wanita. Namun efek negatif secara langsung
pada kesehatan mental hanya pada wanita. Beberapa sumber stres dalam
hubungan pekerjaan dan keluarga serta faktor-faktor individual yang mendukung
timbulnya stres. Kepribadian tipe A, komitemen kerja, peran jenis tradisional &
locus of control merupakan faktor internal yang berperan terhadap timbulnya r
stres. Sedangkan faktor ekstemalnya terdiri dari sikap pasangan dalam komitmen
kerja, gaji, status, gaya hidup, usia dan jumlah anak.
Dalam penelitian Sekaran (1983) stres peran ganda pada pasangan suami
istri yang berkarir, mengemukakan bahwa stres peran ganda terdiri dari dua puluh
aspek yaitu: perawatan, bantuan pekerjaan rumah tangga, mengatasi penyakit pada
anggota keluarga yang sudah dewasa, membantu kegiatan anak-anak,
meningkatkan komunikasi, kurangnya waktu untuk berdua, kurangnya waktu
untuk pribadi, tekanan karir, menghadapi situasi baru, kenyataan yang
-
individu mempunyai bermacam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. Ini sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan
perbuatannya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh
masyarakat kepadanya. Dikatakan pula oleh Soekanto (1987) tentang pentingnya
peranan yang berfungsi mengatur perilaku seseorang. Peranan juga menyebabkan
seseorang pada batas-batas tertentu dapat memprediksikan perbuatan-perbuatan
orang lain, sehingga individu tersebut akan dapat menyesuaikan perilakuannya
sendiri dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya.
Fuhrman (1990) berpendapat bahwa peran adalah suatu kategori tingkah
laku yang disediakan untuk suatu kelompok individu. Misalnya seorang ibu yang
mempunyai peranan sebagai ibijf dilain sisi juga dapat berperan sebagai dosen.
Perilaku yang diharapkan sebagai seorang ibu adalah memperhatikan kebutuhan
fisik dan emosional anak. Sedangkan perilaku yang dilakukan oleh seorang dosen
antara lain menyiapkan materi pelajaran dan mengajar para mahasiswa.
Ketentuan-ketentuan suatu peran menurut Newcomb dkk (1965) adalah
penggambaran normatif mengenai cara-cara melaksanakan fungsi-fungsi dimana
terdapat posisi-posisi, cara-cara yang umumnya disetujui bersama dalam
kelompok mana saja yang mengakui suatu posisi tertentu. Dikatakan pula oleh
Soekanto (1987) peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi-fungsi, penyesuaian
diri dan sebagai proses. Oleh karena itu suatu peranan dapat mencakup paling
sedikit 3 hal, yaitu:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
-
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing dalam kehidupan
masyarakat
2. Peranan adalah suatu konsep yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat
Setiap peranan bertujuan agar antara individu pelaksana peran dengan orang-
orang disekitarnya yang ada hubungannya dengan peranan tersebut terdapat
hubungan yang diatur oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah
pihak.
Dari berbagai pandangan dan pendapat yang dikutip diatas maka dapat
disimpulkan bahwa peran pada prinsipnya adalah posisi yang diharapkan dari
seseorang ketika individu berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Barnadib (dalam Izzati,1996), wanita berperan ganda adalah wanita
yang memiliki dua peran. Pertama, wanita menjadi pelaku proses kemanusiaan
yang sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai seorang istri dan ibu lewat keluarga.
Kedua, wanita menjadi partisipan aktif dalam pembangunan lewat masyarakat.
Peran ganda ini merupakan satu kesatuan utuh karena tidak dapat dipisahkan.
Dalam pandangan tradisional, fungsi utama wanita dalam keluarga adalah
membesarkan dan mendidik anak (Suprapto,1985). Sementara itu pria berperan
mencari nafkah. Banyak gerakan wanita di barat dalam menuntut persamaan hak
memandang bahwa pembagian tanggung jawab demikian dianggap timpang dan
tidak memberikan kesempatan bagi wanita untuk bekerja. Oleh karena itu, dengan
-
meningkatnya partisipasi wanita dalam dunia keija mereka dituntut berperan
sebagai ibu dan sekaligus sebagai wanita bekerja.
Van Dusen & Sheldon (dalam Jersild dan Sawrey, 1975) menyatakan
wanita tidak lagi menggunakan sebagain besar kehidupan masa dewasa mereka
semata-mata untuk urusan keluarga dan rumah tangga saja, tetapi juga
memikirkan pekeijaan sebagai unsur penting dalam kehidupan mereka. Seperti
dijelaskan oleh Nye (dalam Hoffman, 1974) tujuan wanita bekeija antara lain :
1. Untuk membantu penghasilan suami
2. Untuk prestasi diri sebagai sarana mengembangkan bakat karir sesuai
dengan pendidikan yang telah diperoleh
3. Untuk mengisi waktu luang, karena merasa jenuh di rumah, agar dapat
berkumpul dengan teman-teman serta mendapat pengakuan masyarakat
Tidak dapat disangkal masih adanya sikap mendua pada pria dan wanita
tentang peranan yang tepat bagi wanita khususnya di Indonesia. Disatu pihak
masih tetap berlaku ideal budaya (cultural ideal) mengenai wanita sebagai istri,
ibu dan pengelola rumah tangga dan keluarga (Suprapto,1985). Dilain sisi wanita
dianggap sebagai sumber daya manusia. Ini berarti bahwa wanita sama dengan
pria. Untuk mendapat kesempatan optimal dalam mengembangkan bakatnya dan
menerapkan pengetahuan serta kemampuannya diluar keluarga dan rumah tangga.
Hal inilah yang mendukung munculnya konsep, peran ganda dengan segala
permasalahannya. Kini peran ganda bagi wanita Indonesia dianggap suatu
tuntutan pembangunan (Muryani,dalam Arinta, 1993).
-
Peran ganda bagi wanita dapat dikatakan memiliki konsep dualisme kultural,
yakni adanya domestic sphare (lingkungan domestik) dan public sphare
(lingkungan publik). Lingkungan domestik adalah lingkungan yang tidak pernah
lepas dari kodratnya sebagai wanita yaitu sebagai ibu yang melahirkan, meyusui,
membimbing anak, mendidik, mengasuh dan mendampingi suami. Lingkungan
publik adalah lingkungan pekeijaan diluar rumah yang diakui secara formal di
masyarakat seperti kedudukan, prestise, kepuasan, gaji dan status sosial (Rahayu
dalam Jawa pos , 4 oktober,1992).
Berdasarkan berbagai penelitian dan dasar teori yang dikemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa istilah peran ganda wanita dimiliki oleh ibu yang
bekerja diluar rumah sehubungan dengan partisipasinya dalam dunia kerja. Peran
ganda tersebut terdiri dari 2 peran yaitu peran domestik dan peran publik.
Individu yang sama dapat menjalankan peran yang berbeda-beda. Hal ini
dapat mengakibatkan tuntutan yang berbeda pula dari masing-masing peran.
Diferensiasi dalam beberapa peran itu dapat menumbuhkan kompetisi dalam
penggunaan waktu, energi, perhatian dan komitmen. Hal ini dapat menimbulkan
konflik peran ganda. Jadi konflik peran ganda dapat timbul bila individu pada saat
yang sama melakukan peran yang berbeda-beda (Snock, dalam Allen dkk, 1980).
Konflik peran didefinisikan oleh Katz&Kahn (1996) sebagai suatu kejadian
sehari-hari dari dua atau lebih peran dimana pemenuhan salah satu peran dapat
menghasilkan kesulitan dalam pemenuhan peran lain bagi seseorang. Kesulitan
dalam pemenuhan inilah yang dapat menimbulkan stres pada individu, seperti
yang dikemukakan oleh Katz&Kahn (1996), konflik peran ganda telah terbukti
secara signifikan dapat menghasilkan stres.
-
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wanita Berperan Ganda
1. Pengasuhan anak
Berdasarkan kajian yang diungkapkan para ahli ternyata anak-anak
menjadi teman yang memberi kekuatan sekaligus merupakan tanggung jawab
yang dapat menyebabakan tekanan bagi wanita (Wolfman, 1992). Bagi ibu yang
bekerja, mengasuh anak dapat merupakan sumber kesulitan. Khususnya bagi ibu
bekeija yang memiliki anak yang pra sekolah. Salah satu fungsi mendasar yang
dijalankan tiap wanita adalah mengasuh dan merawat. Inilah satu segi dimana
terdapat peluang besar sekali untuk timbulnya rasa bersalah (Shaevitz, 1991)
Kecemasan dan kegelisahan atas kesehatan jasmani dan emosi anak-anak
menguras tenaga dan kecakapan para ibu bekerja. Contohnya: banyak wanita
sudah kehabisan tenaga pada awal hari kerja sebab mereka telah menyiapkan
makan pagi, sambil memperhatikan keluarga, memberi nasehat-nasehat,
mengawasi cara-cara berpakaian dan mengantarkan anak-anak. Penelitian oleh
Valdez & Gutek (Gutek, dkk, 1988) menemukan bahwa wanita dengan jabatan
profesional atau manajerial ternyata memiliki anak yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan wanita tingkat jabatan yang lebih rendah. Oleh karena itu
membatasi jumlah anak dapat merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi
kemungkinan menghadapi konflik peran ganda yang tinggi (Gerson, dalam Gutek
dkk, 1988).
2. Waktu
Satu keluhan umum dari wanita bekeija adalah masalah kekurangan
waktu. Hal itu disebabkan karena harus menangani dua macam kegiatan dalam
-
waktu yang sama dan berharap dapat menyelesaikannya sekaligus. Apabila salah
satu kegiatan tidak dapat terselesaikan, timbullah perasaan bersalah kepada salah
satu peran. Kekurangan waktu untuk anak dan suami seringkali menimbulkan
perasaan bersalah kepada keluarga. Hal ini yang akan menimbulkan konflik
Shaerita & Pleck (dalam Arinta, 1993). Selain itu problem waktu dan jadwal kerja
menjadi aspek utama dalam konflik peran ganda pada wanita (Pleck, dalam
Arinta, 1993).
3. Banluan pekerjaan rumah tangga
Dalam lingkungan keluarga, dapat dijumpai bahwa beban pekeijaan rumah
tangga sebanyak 95 persen banyak menjadi tugas ibu (Shaevitz, 1991), sedangkan
suami dan anak-anak memiliki keterlibatan yang teramat kecil. Robinson (dalam
Shaevitz, 1991) mengemukakan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan suami V
untuk pekerjaan rumah tangga dan merawat anak ternyata tidak ada kaitannya
dengan status keija istri. Hal ini membuktikan bahwa ternyata sangat sedikit
suami terlibat dalam urusan pekeijaan rumah tangga. Umumnya suami cenderung
mau membantu dalam urusan pengasuhan anak. Banyak dijumpai situasi yang
begitu timpang dimana ibu terperas energinya mengurus pekerjaan rumah tangga.
Stycos dan Weler (dalam Hagul, 1984) mengemukakan bahwa konflik atau
ketidakserasian antara peranan wanita sebagai istri dan ibu dengan peranannya
sebagai karyawan dapat berkurang bila sistem kekeluargaan dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat memungkinkan bagi keluarga untuk dapat mendapatkan
bantuan tenaga keluarga atau pembantu rumah tangga dengan mudah dan relatif
murah.
-
4. Menentukan prioritas
Dikatakan oleh Sekaran (1986) bahwa kesulitan yang dapat menimbulkan
konflik peran ganda wanita bekerja adalah menentukan prioritas. Kecenderungan
ini merupakan akibat adanya sifat pada wanita yang kurang asertif (Shaevitz,
1991) contoh yang sering menghambat kemajuan wanita adalah sulit mengatakan
tidak dan sulit meminta tolong. Hal itulah yang justru menyulitkan diri wanita
bekerja bila harus memilih antara dua kegiatan yang dirasa sama pentingnya.
5. Komunikasi & interaksi dengan anak dan suami >
Komunikasi merupakan unsur yang penting bagi terciptanya hubungan
yang harmonis dalam keluarga. (Shaevitz, 1991) mengemukakan bahwa
komunikasi yang baik adalah kemampuan mengutarakan kebutuhan dan perasaan
kepada pasangan disatu sisi, dan kesediaan mendengarkan kebutuhan dan
perasaan pasangan disisi lain. Wanita pada dasarnya membutuhkan komunikasi
pada pasangannya untuk rasa aman, baik emosional maupun fmansial, tanggung
jawab, martabat, kejujuran, kesamaan derajat, kepekaan, kelembutan, keramahan,
rasa disayangi, rasa diperhatikan, dukungan, tempat bergantung, pengertian,
persahabatan, penerimaan, rasa aman akan mengurangi rasa bersalah dan
ketegangan yang teijadi pada diri wanita.
6. Tekanan karir dan tekanan pekerjaan
Wanita yang telah berumah tangga dan bekeija dituntut untuk berhasil
dalam dua peran yang bertentangan. Dirumah dituntut untuk selalu siap
memberikan bantuan pada keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka
diharapkan menjadi seorang yang agresif (Rowatt & Rowatt, 1990). Birnbaum
-
(dalam Hoffman, 1974) melaporkan bahwa satu dari enam wanita prof mengalami
konflik dalam mengkombinasikan karir dan rumah tangga. Hal tersebut membuat
karyawan wanita merasa tidak adekuat sebagai orang tua (Feld, dalam Hoffman,
1974)
Banyak karyawan wanita yang menunjukkan kecemasan dan perasaan
bersalah terhadap peran sebagai ibu rumah tangga. Walaupun karyawan wanita
bekeija full time lebih merasa bahagia dalam pekeijaan kantor daripada sebagai
ibu rumah tangga, tetapi pada saat yang sama merasakan bersalah karena merasa
tidak adekuat dalam peran rumah tangga (Kligler dalam Hoffman, 1974)
Hoffman (1974) mengemukakan bahwa wanita bekeija mengalami konflik
karena kekhawatiran mereka terhadap akibat buruk bekerja bagi anak-anak
sehingga mereka sering merasa bersalah.
Dikatakan oleh Dunnete (1976) bahwa konflik peran bersifat psikologis
dengan gejala yang terlihat antara lain rasa bersalah, kegelisahan,
ketergantungan, dan frustasi.
7. Pandangan suami terhadap peran ganda wanita
Dewasa ini, banyak suami yang mulai menunjukkan sikap positif terhadap
istri yang bekeija. Selama pekeijaan istri tidak mempengaruhi kehidupan
perkawinan umumnya suami puas dengan situasi tersebut. Namun ternyata
kesuksesan istri yang berkarir dapat dirasakan oleh suami sebagai kegagalan diri
dalam menyeimbangkan karimya dengan karir istrinya. Khususnya bila
kesuksesan istri mengakibatkan keterlibatan yang lebih besar terhadap pekerjaan,
sehingga makin kurang waktu untuk keluarga. Ini akan mengakibatkan suami
-
pengendalian. Menurut Ranupandojo (1987) manajemen merupakan ilmu
pengetahuan yang dapat dijadikan upaya untuk memperbaiki tata kerja dalam
mencapai tujuan. Menurut Terry (1986) manajemen berhubungan dengan usaha
untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu, dengan jalan mempergunakan sumber-
sumber yang tersedia sebaik mungkin. Apabila tujuan tertentu ingin dicapai, maka
senantiasa terdapat adanya penyatuan pikiran, tenaga, bahan-bahan, alat-alat,
waktu serta ruangan guna melaksanakannya. Manajemen terdiri dari fungsi-fungsi
dasar atau aktivitas yang berhubungan satu sama lain. Aktivitas-aktivitas tersebut
merupakan proses yang disebut proses manajemen. Proses manajemen memiliki 4
hal, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian atau menggerakkan
dan pengawasan atau pengendalian.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian manajemen adalah
ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan
dari sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan terlebih
dahulu.
2. Pengertian Waktu
Waktu adalah penting bagi seseorang. Pepatah barat mengatakan "Time is
money " yang berarti bahwa mereka sangat menghargai waktu. Hal tersebut terasa
sekali di negara-negara industri maju dimana penduduknya terlihat selalu dalam
keadaan tergesa-gesa dan tidak pernah melewatkan waktunya dengan berdiam
diri. Haynes (1991) mengatakan waktu adalah sumber daya yang unik yang tidak
dapat dihentikan atau dijalankan. Waktu adalah sesuatu yang paling berharga.
Barang yang hancur, orang yang lari, uang yang hilang dapat dicari atau diganti
tetapi waktu yang sudah hilang akan hilang selamanya (Winarno,1987). Waktu
-
adalah suatu komoditas yang paling bernilai dan merupakan suatu jenis sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui (Taylor, 1990). Waktu adalah hidup. Hidup
adalah waktu. Jika membuang waktu maka membuang kehidupan dan bila
mengendalikan waktu berarti mengendalikan hidup. Waktu adalah bahan yang
digunakan untuk membuat hidup, sedangkan menurut Winarno (1987) waktu
merupakan sumber daya yang perlu dikelola, karena waktu merupakan sumber
daya yang terbatas dan tidak terperbaharukan.
3. Pengertian Manajemen Waktu
Semua individu pada dasarnya mempunyai waktu yang sama, yaitu 24 Jam
sehari semalam. Namun penggunaan waktu pada setiap manusia berbeda sesuai
keadaan masing-masing. Sikap mental dalam menghargai waktu yang tersedia
sesuai dengan kebutuhan adalah unsur disiplin yang esensial. Orang yang tidak
bisa memanfaatkan waktu adalah orang yang merugi. Maka orang perlu
memanfaatkan waktu secara efektif . Hal ini dinamakan manajemen waktu
(Kate,1995). Menurut Schuler (dalam Yuniarti, 2000) manajemen waktu adalah
proses tentang bagaimana seseorang dapat menyelesaikan pekeijaan dan target
yang dilakukan secara efektif. Menurut Haynes (1991), manajemen waktu
merupakan proses tentang bagaimana seseorang dapat menyelesaikan pekerjaan
dan target yang dilakukan secara efektif Manajemen waktu merupakan proses
pribadi dan harus sesuai dengan gaya dan lingkungan individu masing-masing.
Taylor (1990) berpendapat manajemen waktu adalah pencapaian sasaran utama
kehidupan dengan cara mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak penting.
Dalam penelitian ini manajemen waktu diarahkan pada individu-individu
sehingga sering disebut manajemen waktu untuk diri sendiri. Dengan demikian
-
manajemen waktu diartikan sebagai suatu usaha merencanakan,
mengorganisasikan, mengaktualisasikan dan mengontrol atau mengendalikan
kegiatan diri sendiri dalam menyelesaikan tugas, baik tugas yang diarahkan untuk
keperluan diri sendiri maupun tugas yang diarahkan untuk keperluan orang lain,
secara efektif dan efisien dan serta bagaimana memanfaatkan waktu yang baik.
4. Proses dan Fungsi Manajemen Waktu
Pengelolaan waktu menurut Labowitz dan Baird (1991) tidak lain adalah
menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada diri sendiri. Berbicara mengenai
pengelolaan waktu perlu meninjau kembali secara mendasar mengenai proses
manajemen itu sendiri. Tidak jadi masalah apakah mengelola orang yang besar,
satu kelompok ataupun diri sendiri, pada dasarnya proses manajemen itu terbentuk
dari 4 langkah, yaitu ;
a. Berusaha mengerti apa yang hendak dicapai
b. Mengorganisasikan kegiatan
c. Mencapai hasil
d. Mengkaji apa yang teijadi
Mempelajari manajemen dari segi proses berarti mempelajari fungsi-fungsi
manajemen (Nitisemito,1983). Fungsi manajemen menurut Albert terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan pengawasan (Kartono, dalam
Yuniarti, 2000). Dalam menjelaskan proses manajemen Terry (1986)
mengemukakan bahwa proses manajemen itu terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, penilaian dan pengendalian. Sedangkan Atmosudirjo (dalam
Manullang,1981) menyatakan bahwa fungsi manajemen terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian dan pengawasan. Dalam pengelolaan waktu itu sendiri
-
merupakan proses yang terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian dan
pengendalian. Mengelola waktu seseorang memerlukan perencanaan dan
pengorganisasian untuk pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien dalam
penggunaannya. Walaupun sampai saat ini masih belum ada kesepakatan baik
secara praktisi maupun teoritis tentang fungsi manajemen, namun pada dasarnya
fungsi manajemen terdiri dari 4 hal, yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pengaktualisasian dan pengawasan.
a. Perencanaan
Proses perencanaan berfungsi sebagai penentu serangkaian tindakan untuk
mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Menurut Lee dan Adcock (1991)
merencanakan penggunaan waktu seseorang pertama kali harus menemukan
dahulu bagaimana seharusnya digunakan, memutuskan bagaimana seharusnya
digunakan, dan merencanakan yang efektif akan mengurangi penggunaan waktu.
Apabila dapat mengatur waktu dengan baik dapat memanfaatkan waktu dengan
cara menyusun rencana secara menyeluruh (Lakein,1997). Perencanaan yang baik
mencakup: menetapkan sasaran, menurut cara dan sumber daya yang diperlukan,
menyusun langkah-langkah tindakan, menjadwalkan langkah-langkah tindakan,
memilih tanggal mulai yang meyakinkan pencapaian sasaran sesuai tanggal yang
diinginkan, menyiapkan titik-titik pengukuran hasil dan peninjauan kemudian
(Haynes,1991). Perencanaan mempunyai fungsi sebagai alat pengawasan
pelaksanaan kegiatan dengan cara memilih dan menentukan beberapa prioritas
dari beberapa pilihan atau alternatif. Lebih lanjut Taylor (1990) mengemukakan
syarat perencanaan yang baik adalah berdasarkan pada alternatif, harus realistis,
dan luwes (fleksibel).
-
b. Pengorganisasian
Proses organisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang
mengorganisasikan pekerjaan dan lingkungannya agar menjadi lebih efisien dalam
pemanfaatan waktunya. (Lee dan Adcock, 1991). Proses organisasi berfungsi
untuk mendelegasikan semua item pekerjaan dengan pembatasan pekerjaan.
Dalam penggunaan waktu, penetapan prioritas merupakan proses dua tahap yaitu
membuat hal-hal yang harus dilakukan dan menentukan prioritas masing-masing.
Dalam menentukan prioritas tentu saja berdasarkan kriteria sebagai pedoman
tersebut yaitu penilaian tentang mana yang sebaiknya dikerjakan terlebih dahulu,
relativitas yaitu pada saat ini yang paling cocok mengerjakan tugas yang mana
dan batas waktunya dalam hal ini berapa lama batas waktunya.
c. Pengaktualisasian
Proses pengaktualisasian berfungsi untuk menggerakkan sesuai dengan
apa yang diinginkan agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien
(Nitisemito,1983). Kalau dalam suatu organisasi yang digerakkan adalah orang
lain atau bawahan maka dalam manajemen waktu untuk diri sendiri yang
digerakkan adalah diri sendiri. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
menggerakkan diri sendiri untuk segera melaksanakan tugas atau pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya. Hal ini berarti berkaitan dengan penundaan.
Sedangkan menurut pendapat Mishra dan Misra (1991) semua perencanaan
mungkin dapat dikeijakan. Pernyataan sasaran dan prioritas dapat ditulis, analisis
mengenai penggunaan waktu sekarang dan pemantapan program untuk
memperbaiki kekurangan dapat diterapkan akan tetapi semua ini tidak akan
berguna jika tidak dilakukan.
-
Ada tiga sebab yang mengarah pada penundaan yaitu tidak
menyenangkan, pekerjaan yang sulit dan keraguan.
d. Pengawasan dan pengendalian
Pengawasan adalah tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil
pelaksanaan kesalahan. Kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan
mencegah terulangnya kembali kesalahan-kesalahan. Pengawasan juga berfungsi
untuk menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang diterapkan.
Namun demikian sebaik apapun rencana yang telah ditetapkan juga merupakan
pengawasan. Proses pengawasan atau pengendalian mempunyai fungsi untuk
mencegah rencana yang telah ditetapkan Lee dan Adcock (1991) mengemukakan
bahwa pengendalian tidak dapat dilaksanakan kecuali ada standar atau rencana
untuk membandingkan hasil aktual yang diharapkan. Oleh sebab itu antara
rencana dan pengawasan mempunyai hubungan yang erat. Kcanta dan O'Dannel
(dalam Yuniarti, 2000) menyatakan bahwa antara perencanaan dan pengawasan
ibaratnya seperti kedua sisi dari mata uang yang sama. Bila pengawasan dilakukan
adalah untuk membuat segenap kegiatan manajemen menjadi dinamis serta
berhasil secara efektif dan efisien. Fungsi pengawasan yang lain adalah untuk
memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa proses manajemen
meliputi 4 hal yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian dan
pengawasan atau pengendalian.
5. Faktor-faktor Pendorong Manajemen Waktu
Didalam setiap aktivitas individu tentu didasari oleh beberapa hal. Begitu juga
dengan manajemen waktu seseorang, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
-
Menurut Labowitz dan Baird (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang
dalam mengelola waktunya adalah adanya halangan baik itu halangan internal
maupun eksternal. Halangan internal adalah sesuatu yang berasal dari diri sendiri.
Halangan internal berupa penghalang psikologis yaitu yang meliputi ego yaitu
pertimbangan yang menyatakan bahwa tidak ada orang lain yang mampu
melaksanakan pekeijaan tersebut, adanya keinginan untuk selalu ada ditempat dan
berusaha menjadi pribadi yang baik. Sedangkan halangan eksternal adalah hal
yang disebabkan orang lain. Apabila frekuensi hal eksternal sering maka bisa
dipastikan individu tidak akan dapat berkonsentrasi pada prioritas pekeijaan yang
telah diterapkan. Hal yang tidak terkendali akan mengalihkan perhatian dari
tujuan semula memperlambat momentum yang telah direncanakan.
Faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang untuk mengelola waktu antara
lain :
a. Pengalaman
Orang yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan akibat
kelemahan dalam mengatur waktunya, akan berusaha agar pengalaman yang tidak
menyenangkan tersebut tidak terulang kembali.
b.Tipe kepribadian
Tipe kepribadian ada 2 macam yaitu kepribadian tipe A yang memiliki adalah
keberanian menanggung resiko, enegik, dorongan untuk bersaing kuat, tidak
sabar, kebutuhan yang tinggi untuk berprestasi, senang merangkap tugas dan lebih
mementingkan waktu. Tipe kepribadian yang kedua yaitu kepribadian B untuk
memiliki ciri yang berlawanan dengan orang berkepribadian tipe A (Fakri, 1994)
-
c. Kemampuan khusus
Seseorang memiliki kemampuan khusus akan dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik, tugas yang diberikan sesuai dengan kemampuannya dan
orang tersebut akan menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan (Suryabrata,1984).
d.Tanggung jawab
Orang yang memiliki tanggung jawab yang baik akan selalu berusaha
untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan akan berusaha untuk mengatur
dirinya dan orang lain agar tugas dan pekeijaannya dapat terselesaikan dengan
baik (Schuler dalam Yuniarti, 2000).
6. Dampak dari Pengaturan Waktu
Orang yang memiliki keyakinan bahwa pengaturan waktu yang baik akan
memberi dampak positif bagi dirinya akan cenderung untuk meningkatkan
manajemen waktu (Taylor, 1990). Staub (dalam Yuniarti, 2000) berpendapat
bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang
mencerminkan manajemen waktu adalah sebagai berikut;
a. Personal values dan Norms
Nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai sosial yang diinternalisasikan oleh
individu dalam proses sosialisasi. Norma personal adalah harapan
seseorang bahwa dirinya akan berperilaku dengan cara tertentu, yang
sesuai dengan keyakinan pribadinya.
b. Self-gain
Seseorang merencanakan sesuatu, mewujudkan rencana dan mengontrol
rencana waktunya dengan baik karena adanya harapan untuk memperoleh
-
atau menghindari sesuatu. Manajemen waktu diterapkan dengan harapan
untuk menghindari kemungkinan mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan target, penundaan keputusan serta kelambatan dan ketidakpuasan.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirangkum bahwa faktor yang mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan yang mencerminkan manajemen waktu,
yakni pengalaman, lipe kerpibadian, kemampuan khusus, langgung jawab,
dampak dari pengaturan waktu, personal values dan norm serta self gam.
B. Hubungati Manajemen Waktu dan Stres Kerja pada Wanita
Berperan Ganda
Menurut Lanoil (1986), wanita yang berperan ganda cenderung mengalami
stres lebih besar daripada wanita yang berperan tunggal. Wanita berperan ganda
dituntut untuk dapat melaksanakan tugas di rumah dan di kantor dengan
seimbang. Wanita berperan ganda biasanya mengalami stres dengan cara yang
berbeda dengan yang dialami pria bekeija atau wanita yang berperan tunggal.
Wanita berperan ganda sering hidup dalam pertentangan yang tajam antara peran
di rumah dan di luar rumah. Keluhan yang biasa dilaporkan adalah perasaan tidak
puas dalam masing-masing perannya. Jika sedang di kanlor, teringat anak di
rumah. Sebaliknya jika sudah di rumah masih memikirkan pekerjaan di kantor.
Selain itu, wanita yang bekerja penuh waktu biasanya merasa bersalah karena
sepanjang hari meninggalkan rumah. Sampai di rumah wanita berperan ganda
akan mulai berkompetisi, dengan lebih memperhatikan anak dan suami, serta
mengurus rumah dengan sebaik-baiknya. Akibatnya wanita yang berperan ganda
bukan benstirahat di rumah, melainkan menambah kegiatan, seolah-olah seharian
-
di kantor sebelumnya hanya bermain-main. Hal-hal tersebut diatas diperparah
dengan keadaan di tempat kerja. Tuntutan tugas yang berat, hubungan dengan
rekan kerja atau atasan yang kurang harmonis, pelecehan seksual, diskriminasi,
dan lain sebagainya, dapat memicu timbulnya stres kerja bagi individu.
Menurut Shreve dan Lone (1986), stres kerja yang dialami oleh partisipan
organisasi biasanya menghasilkan lebih banyak kerugian daripada keuntungan,
sehingga harus segera diatasi. Wanita berperan ganda lebih rentan terhadap stres
kerja daripada pria ataupun wanita yang menjalani peran tunggal.
Banyak penelitian yang ingin membuktikan bahwa dengan pengelolaan
waktu yang baik adalah salah satu penangkal stres. Karena dengan memanajemen
waktu diri sendiri secara langsung telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen
waktu untuk diri sendiri. Manajemen waktu yang tentunya melewati langkah-
langkah untuk mencapainya sebagai fasilitator bagi perubahan konstruktif yang
dibuat dalam pemecahan masalah. Sebagaimana dikemukakan dalam hasil
penelitian Kate (1995) bahwa harus adanya keinginan untuk memanfaatkan waktu
secara lebih baik Karena jika mengatur waktu dengan serius dan mencoba
beberapa ide yang telah dianjurkan, pasti bisa merasakan berkurangnya stres, dan
mempunyai lebih banyak waktu. Menurut Kate (1995) mengatur waktu secara
lebih baik biasanya bisa dicapai dengan terlebih dahulu memikirkan hal dan
tindakan yang mungkin dilakukan dan bukannya langsung mengambil tindakan
secara gegabah.
Dengan demikian bahwa manajemen waktu sebagai suatu usaha
merencanakan, mengorganisasikan, mengaktualisasikan dan mengontrol atau
mengendalikan kegiatan din sendiri dalam menyelesaikan tugas, baik tugas yang
-
diarahkan untuk keperluan diri sendiri maupun tugas yang diarahkan untuk
keperluan orang lain, secara efektif dan efisien serta bagaimana memanfaatkan
waktu yang baik, baik di luar kegiatan rumah maupun sebaliknya.
Mengacu pada teori dan hasil penelitian yang dikemukakan para ahli,
diasumsikan bahwa ada hubungan manajemen waktu dan stres kerja pada wanita
yang berperan ganda. Apabila manajemen waktu yang dilakukan baik maka stres
kerja akan rendah. Demikian pula sebaliknya, jika manajemen waktu yang kurang
baik , maka stres ketja akan tinggi.
D. Hipotesis
Ada hubungan negatif antara manajemen waktu dengan stres kerja pada
wanita yang berperan ganda. Semakin tinggi manajemen waktu wanita berperan
ganda maka semakin rendah stres kerja, sedangkan jika semakin tinggi stres kerja
maka semakin rendah manajemen waktu wanita berperan ganda.