06 bab v komunitas masjid -...

79
BAB V IDENTITAS KOMUNITAS MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 5.1. Selayang Pandang Plosokuning Dari sisi geo-sosial yang berada di tengah pusat politik dan kebudayaan Jawa kuno, dahulu daerah Plosokuning dikenal sebagai tanah perdikan setingkat kecamatan yang disebut Kepanewonan dengan pangkat pejabatnya yang bergelar Raden Mas Panewu dalam struktur wilayah Negaragung Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. 1 Di pulau Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang dan dilanjutkan Kerajaan Mataram baru di Yogyakarta, tanah perdikan semula merupakan tanah yang dibebaskan atas pembayaran pajak (upeti) yang biasanya dibebankan kepada masyarakat dan pemimpin lokal untuk menunjukkan loyalitasnya sebagai warga kerajaan. 2 Tanah perdikan yang secara harafiah berarti wilayah yang dimerdekakan, tidak hanya bermakna ekonomi yang menunjukkan kebijakan pembebasan dari 1 Suratmin, dkk., Laporan Akhir Studi Aset Wisata Kabupaten Bantul (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul dan Lembaga Prapanca Yogykarta, 2009), 1. 2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), 24.

Upload: nguyenkien

Post on 22-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

BAB V IDENTITAS KOMUNITAS

MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING

5.1. Selayang Pandang Plosokuning Dari sisi geo-sosial yang berada di tengah pusat

politik dan kebudayaan Jawa kuno, dahulu daerah Plosokuning dikenal sebagai tanah perdikan setingkat kecamatan yang disebut Kepanewonan dengan pangkat pejabatnya yang bergelar Raden Mas Panewu dalam struktur wilayah Negaragung Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.1 Di pulau Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang dan dilanjutkan Kerajaan Mataram baru di Yogyakarta, tanah perdikan semula merupakan tanah yang dibebaskan atas pembayaran pajak (upeti) yang biasanya dibebankan kepada masyarakat dan pemimpin lokal untuk menunjukkan loyalitasnya sebagai warga kerajaan.2

Tanah perdikan yang secara harafiah berarti wilayah yang dimerdekakan, tidak hanya bermakna ekonomi yang menunjukkan kebijakan pembebasan dari

1 Suratmin, dkk., Laporan Akhir Studi Aset Wisata Kabupaten

Bantul (Yogyakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul dan Lembaga Prapanca Yogykarta, 2009), 1.

2 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), 24.

Page 2: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

226 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

pembayaran pajak pertahun kepada kerajaan dalam rupa penyerahan hasil-hasil pertanian atau barang berharga lain sebagaimana yang harus dibayarkan oleh daerah-daerah yang ditaklukkan, akan tetapi juga bermakna konstitutif, dalam arti pemimpin lokal tanah perdikan karena jasa-jasanya yang luar biasa kepada kerajaan diberi kewenangan khusus mengatur sendiri kehidupan masyarakatnya.3

Oleh karena itu tanah perdikan pada masa lalu merupakan wilayah otonomi khusus kerajaan yang kemudian memperoleh dana subsidi yang dapat dimanfaatkan, antara lain untuk membiayai pemeliharaan tempat ibadah atau tempat-tempat suci yang dihormati, seperti candi, vihara, sthana, dharmma, prasada, caitya, dan parhyangan, dan ia juga dipakai untuk membiayai ritus dan upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam sistem kekuasaan monarkhi

3 Istilah tanah perdikan juga terdapat pada Prasasti Plumpungan yang

berangka tahun 750 M. Prasasti ini ditemukan di Dusun Plumpungan Kelurahan Kauman Kidul, Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah. Sejarawan sekaligus ahli epigraf; Dr. J.G. de Casparis mengalihkan bahasa prasasti itu yang selanjutnya diindonesiakan oleh Prof. R. Ng Poerbatjaraka. Prasasti Plumpungan berisi ketetapan raja tentang status tanah perdikan yang disebut tanah “swatantra” bagi suatu daerah yang bernama Hampra (Salatiga). Pemberian tanah perdikan dipandang istimewa oleh raja dan tidak setiap daerah dapat ditetapkan sebagai tanah perdikan. Dasar pemberian tanah perdikan ditetapkan raja berdasarkan jasanya terhadap kerajaan. Prasasti Plumpungan ditulis oleh seorang Citraleka atau pujangga yang dibantu oleh sejumlah pendeta atau resi, dan dalam bahasa Jawa kuno diberi kata sesanti (penanda), "Srir Astu Swasti Prajabyah" yang berarti "Semoga bahagia, selamatlah rakyat sekalian". Sejarawan memperkirakan, masyarakat Hampra telah berjasa kepada Raja Bhanu (Kalingga) di zaman Mataram Kuno yang pernah memerintah di Jawa Tengah pada abad ke-8 M. Lih. http://www.kemendagri.go.id. Diunduh pada tanggal 25 Januari 2015.

Page 3: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 227

tradisional di Jawa masa lalu, tanah perdikan diberikan juga di atas dasar pertimbangan politik raja. Terdapat tiga kepentingan raja dalam mempertahankan kekuasaan monarkhinya berkaitan dengan pemberian tanah perdikan. Pertama, dengan pemberian tanah perdikan, raja dapat memperoleh keuntungan-keuntungan langsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan protektif raja kepada penguasa lokal dan penundukan lawan-lawannya yang potensial, seperti para pangeran dan pemimpin daerah sebagai imbalan atas dukungan mereka kepada raja dalam pola hubungan patron-client. Kedua, raja dapat memelihara kultus pemujaan mengenai diri dan kerajaannya yang mencerminkan sanksi-sanksi gaib yang akan mendukung kebesaran dirinya sebagai dewa raja (maharaja) karena kekuasaannya yang bersifat ilahiah. Ketiga, raja memiliki tambahan kekuatan militer yang besar yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menaklukkan daerah lain dalam rangka memperluas wilayah.4

Pada masa Kerajaaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung, kebijakan menghadiahkan tanah perdikan juga diberikan kepada para pemimpin agama, terutama rohaniawan yang mengasuh pondok pesantren. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan dan ajaran agama Islam secara mandiri di wilayah Kerajaan Mataram

4 Lih., Soekmono, Candi: Fungsi dan Pengertiannya (Semarang: IKIP

Semarang Press, 1977), 230-231; M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern....., 24-25.

Page 4: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

228 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

pada waktu itu.5 Namun dalam perjalanan waktu di kemudian hari, daerah Plosokuning tidak lagi menjadi tanah perdikan yang memiliki otonomi khusus dari Kerajaan Mataram, ia hanya menjadi salah satu nama dusun yang menjadi bagian dari struktur Desa Minormartani. Desa Minomartani berlokasi di sebelah selatan Gunung Merapi, tepatnya menjadi bagian dari daerah administrasi Pemerintahan Kecamatan Ngaglik dalam lingkup Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan distrik tertua kedua yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno setelah Provinsi Jawa Timur dalam penentuan awal luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia modern.6

Secara geografis, daerah Yogyakarta terletak diantara 7033’-8012’ Lintang Selatan, dan 110000’-110050’ Bujur Timur dengan luas wilayah yang dimiliki sebesar 3.185,80 km2. Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kotamadia yang masing-

5 Ahmad Adabi Darban, “Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah”, Jurnal

Humaniora UGM, Vol. 16, Nomor 1, Februari 2004, 31. 6 Lutfiana Devi Kurniawati, Sejarah Perkembangan Daerah Istimewa

Yogyakarta, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013, Makalah tidak diterbitkan. Sementara itu, kata modern di sini merujuk pada negara Indonesia yang lahir sebagai negara yang berjiwa demokratis dengan sistem pemerintahan republik, bukan monarkhi (absolut) seperti kenyataan-kenyataan pemerintahan yang pernah ada di masa lampau. Oleh karena itu Indonesia modern adalah Indonesia sabagai suatu fenomena negara yang dibentuk per-17 Agustus 1945. Lih., John A. Titaley, “Strategi Pengembangan Kebudayaan Nasional dan Peran Agama-Agama di Indonesia”, dalam Djam’annuri, dkk., 70 Tahan H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), 271.

Page 5: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 229

masing mempunyai luas wilayah yang berbeda, yaitu Kabupaten Kulonprogo dengan luas wilayah 586, 27 km², Kabupaten Bantul dengan luas wilayah 506,85 km², Kabupaten Gunungkidul dengan luas wilayah terbesar 1.485,36 km², Kabupaten Sleman dengan luas wilayah 574,82 km² dan Kota Yogyakarta dengan luas wilayah yang terkecil, yaitu 32,50 km².7 Sebagai daerah setingkat provinsi, letak geografis Yogyakarta berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah yang beribukota di Semarang, tepatnya di sebelah utara Gunung Merapi berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Boyolali, di sebelah timur perbukitan Gunung Sewu (Gunung Kidul) berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri dan Klaten, di sebelah barat Pegunungan Menoreh berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Magelang, dan di sebelah selatan berbatasan dengan pantai selatan Samudera Hindia (Indonesia).8

5.1.1. Nama Desa dan Dusun

Pada masa awal kemerdekaan, daerah Plosokuning sebelumnya merupakan nama suatu desa sekaligus dusun, kemudian dipaksa berubah status menjadi daerah setingkat dusun yang dikepalai oleh seorang kepala

7Lih., Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Tahun 2007 (Yogyakarta: Pemerintah DIY, 2007).

8 Lih., Undang-Undang RI. Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339, Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Negara RI. di Jakarta, Tahun 2012.

Page 6: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

230 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dukuh, disebut Pedukuhan Plosokuning. Pedukuhan Ploskuning memiliki stuktur pemerintahan sampai ke bawah dari tingkat RW (Rukun Warga) hingga ke yang terkecil, yaitu kampung atau RT (Rukun Tetangga) sebagaimana struktur pemerintahan tingkat pedukuhan se-DIY. Ciri khas sistem pemerintahan DIY, selain kedudukan gubernur yang tidak dipilih secara langsung oleh masyarakat, melainkan ditetapkan dengan sistem konsensus representatif setiap 5 tahun oleh parlemen daerah (DPRD) karena statusnya sebagai raja yang kemudian dikeluarkan SK (Surat Keputusan) pengangkatannya oleh presiden, adalah pada status kepala dukuh yang dijabat hampir sama dangan gubernur, seperti di Dusun Plosokuning.9

Apabila jabatan gubernur dibatasi sampai usia tua yang mununjukkan sudah tidak mampu lagi bekerja, mengundurkan diri atau meninggal dunia. Sedangkan jabatan dukuh dibatasi berusia 60 tahun. Berbeda dengan

9 Gubernur Yogyakarta adalah jabatan kepala daerah yang membawahi empat kabupaten dan satu kotamadia. Status keistimewaan Yogyakarta tidak serta merta menjadikan jabatan bupati atau walikota ditetapkan seperti gubernur, melainkan dipilih langsung melalui Pilkada. Berdasarkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akhir masa jabatan Gubernur DIY periode 2003-2008, Pemerintah DIY dibentuk berdasarkan UU. Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi tentang posisi DIY sebagai daerah istimewa setingkat provinsi, yang diamandemen oleh UU. Nomor 19 tahun 1950, dengan penambahan kewenangan. Sedangkan status keistimewaan, diatur dalam UU. Nomor 22 Tahun 1948. Aturan ini mengandung konsekuensi hukum dan politik, terutama dalam hal pengangkatan gubernur dan wakil gubernur. Tetapi tata pemerintahan DIY telah berjalan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu berbentuk monarkhi termasuk Kadipaten Pakualaman. Moch. Faried Cahyono dan Lukman Hakim, Laporan Tata Kelola Pemerintahan Provinsi di Yogyakarta (Yogyakarta: Pemerintah DIY., 2008), 20.

Page 7: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 231

jabatan lurah atau kepala desa yang dipilih setiap 5 tahun dengan sistem demokrasi langsung; masyarakat yang terlibat sendiri secara individu dalam menentukan siapa pimpinan yang paling banyak mendapat dukungan dengan menentukan pilihannya di bilik suara pada saat pencoblosan. Pada setiap pemilihan kepala desa atau lurah, sang calon membentuk “organisasi partai sementara” dengan menggunakan lambang-lambang tanaman hasil pertanian, seperti jagung, ketela dan padi dalam masa berkampanye. Dari organisasi partai-partai bersifat tentatif itu, tim sukses berkampanye mengusung keunggulan calon dan memperkenalkan program kerja yang hendak dilaksanakan dalam membangun desa apabila menang dalam pemilihan kepala desa. Sementara kepala dukuh diangkat dan diberhentikan langsung oleh gubernur, terutama pengangkatannya melalui usulan dari hasil konsensus tokoh-tokoh masyarakat setempat. Sistem pengangkatan gubernur dan dukuh model konsensus representatif ini tidak ditemui di daerah-daerah lain di Indonesia sejak era reformasi, ia hanya ada di Yogyakarta.

Pada masa sekarang, Plosokuning merupakan bagian dari wilayah Pemerintahan Desa Minomartani. Desa Minomartani secara administratif membawahi enam dusun yang meliputi daerah Plosokuning yang terbagi menjadi empat wilayah pedusunan, yaitu Dusun Plosokuning I, Plosokuning II, Plosokuning III, dan

Page 8: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

232 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Plosokuning IV, ditambah dengan Dusun Gantalan dan Dusun Mlandangan.10

Pada fase sebelum Indonesia lahir sebagaimana telah disebutkan, Dusun Plosokuning merupakan nama daerah setingkat kecamatan yang disebut Kepanewonan. Ibukota kecamatan ini ditetapkan oleh raja sebagai daerah pembatas ibukota negara dalam struktur pemerintahan monarkhi, yang berpusat di Keraton.11 Sesudah masa kemerdekaan, nama Plosokuning berubah menjadi nama desa sekaligus nama dusun bersamaan dengan Keraton bergabung dengan RI. Seiring dengan laju kepadatan penduduk yang berpusat di derah Minormatani yang terletak di sebelah selatan Plosokuning bertambah meningkat, sebagai konsekuensi dari pembangunan besar-besaran perumahan baru bagi para

10Dokumen Kode dan Wilayah Administrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman Kode 34.04, Tahun 2010.

11Dahulu Keraton sebagai pusat kekuasaan monarkhi, juga menjadi istana, tempat kediaman resmi raja, keluarga dan para menteri. Disusul dengan wilayah Kutanegara (Kepatihan), yang terletak di luar Keraton, disebut juga Negara atau Nagari, ditandai dengan tugu pembatas (Pathok Negoro). Di lingkungan Kutanagara tinggal para abdi dalem (pegawai negeri) yang menjalankan tugas dan perintah raja. Wilayah di luar Kutanagara, disebut Nagari Agung atau Negaragung yang merupakan tanah lungguh (penghidupan) bagi abdi dalem yang tinggal di wilayah Nagari. Sementara lingkungan paling luar kerajaan, disebut Mancanegara dan Pesisiran yang diperintah oleh bupati yang ditunjuk oleh raja. Pada zaman kolonial, Keraton menjadi negara bagian dari pemerintahan Gubernur Jendral di Batavia dan Calcutta di India. Namun sejak timbul era kebangsaan, kedudukan monarkhi ini ditetapkan oleh Presiden Soekarno menjadi bagian dari pemerintahan demokratis, yakni berada setingkat dengan gubernuran, di mana raja sekaligus gubernur yang diangkat berdasarkan konsensus, namun ia tidak lagi memiliki kewenangan (depolitisasi) untuk mengangkat adipati (bupati atau walikota). Adipati-adipati itu dipilih dengan sistem demokrasi liberal (baca: langsung) oleh masyarakat. Bdk., Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), 28-30.

Page 9: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 233

pendatang yang dilakukan oleh pemerintah setempat pada masa awal Orde Baru, yang menggantikan Pemerintah Orde Lama, Desa Plosokuning berubah menjadi nama dusun yang statusnya lebih rendah setingkat di bawah pemerintahan desa. Sedangkan nama Minomartani ditetapkan sebagai nama desa. Meskipun demikian karena nilai historisnya yang tinggi yang melahirkan kebanggaan lokal, penduduk di sekitar Minormatani, banyak yang menghendaki mengubah nama dusunnya menjadi Dusun Plosokuning V dan VI.12

Plosokuning dari dulu itu masih menjadi satu dengan Minomartani, jadi daerah Plosokuning itu kalau sekarang sudah menjadi Desa Minomartani. Dulu Plosokuning itu adalah nama dusun dan juga nama desa, akan tetapi berubah menjadi nama Desa Minomartani itu setelah Indonesia merdeka. Jadi sejarahnya daerah Plosokuning itu adalah daerah yang tidak mau digabung dengan daerah yang lain setelah kemerdekaan dan oleh sebab itu diganti namanya dengan Desa Minomartani. Jadi nama Minomartani dulu itu tidak ada. Minomartani itu hanya ada satu kelurahan saja, yaitu Desa Plosokuning, lalu menjadi Desa Minomartani.13

12 Wawancara Rr. Salma Mumtaza, Komunitas Plosokuning Jero, pada

tanggal 24 Januari 2015. 13 Hasil FGD. pandangan Bapak Saelan, Komunitas Plosokuning Jobo,

pada tanggal 5 Desember 2014.

Page 10: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

234 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

5.1.2. Nama Pohon Ploso Istilah Plosokuning itu sendiri semula bukan nama

desa atau dusun, bukan pula nama kota kecamatan, melainkan nama sebuah pohon, yaitu pohon Ploso. Pohon Ploso yang mempunyai bunga berwarna kekuning-kuningan itu kemudian oleh penduduk dianggap sebagai pohon keramat. Dalam manuskrip sejarah disebutkan pohon Ploso pada zaman dahulu tumbuh sekitar 300 meter di sebelah selatan bangunan Masjid Pathok Negoro sekarang. Dari nama pohon Ploso dan warna bunganya yang kuning ini yang memberikan inspirasi pemimpin Keraton waktu itu untuk menyebut daerah ini dengan nama Plosokuning.14

Sejarah nama Plosokuning itu berasal dari nama pohon Ploso yang bunganya berwarna kuning, dan itu sebabnya daerah tersebut dinamakan daerah Plosokuning dan pohon Ploso yang bunganya berwarna kuning itu hanya satu-satunya pohon keramat yang berada di daerah sini. Tempat pohon tersebut itu berada di dalam Masjid Sultoni itu, akan tetapi pohon itu ditebang untuk dijadikan masjid dan itu atas perintah dari Keraton.15

Namun pohon Ploso yang dikeramatkan dan

menjadi saksi bisu sejarah berdirinya masjid itu, kini

14 Andi Andriyanto, Masjid Pathok Negoro Plosokuning; Sebuah

Reportase, Rumah Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Institute Yogyakarta, 2010), 56.

15 Hasil FGD, pandangan Bapak Saelan.....

Page 11: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 235

sudah tidak tumbuh lagi. Hanya saja hubungan Masjid Pathok Negoro dan Pohon Plosokuning yang mengidentikkan masyarakatnya sebagai masyarakat yang hidup dalam ikatan religius dan mitologis. Selain tentu saja juga dalam pertumbuhannya sebagai masyarakat religius, dengan dukungan kultural kehadiran sejumlah pondok pesantren yang berdiri di Plosokuning pada awal abad ke-20 M., yaitu Pondok Pesantren Mursidul Hadi, Pondok Pesantren Qoslul Arifin, Pondok Pesantren Nailul Ula, dan Pondok Pesantren At-Tafsir.16

Gambar 5.1. Pohon Ploso (Butea Monosperma)17

Pohon Ploso yang menjadikan daerah tersebut

bernama Plosokuning, kehadiran Masjid Pathok Negoro

16 Andi Andriyanto, Masjid Pathok Negoro Plosokuning....., 45 17 www.twicsy.com. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2015.

Page 12: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

236 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

dan pertumbuhan pondok pesantren setelahnya, menunjukkan bahwa jatidiri masyarakat Posokuning dikenal oleh masyarakat umum Yogyakarta sebagai masyarakat santri yang memiliki keistimewaan tersendiri, yakni kelompok santri yang bukan sembarang santri sebagaimana pandangan kulturalnya selama ini untuk membedakannya dengan kaum priyayi Jawa. Keistimewaan ini muncul karena asal asul kesantrian masyarakat Plosokuning yang dekat dengan budaya priyayi; berkedudukan setara dengan para bangsawan dan raja-raja di Jawa. Hanya saja nilai kesantrian mereka juga bersenyawa dengan makna religius pohon Ploso. Sebagaimana juga dalam nilai historisnya, pohon Ploso yang semula berasal dari negeri India ini sangat dekat dengan Hinduisme yang kaya akan tradisi dan bangunan candi.18 Pohon Ploso yang berbunga indah ini pada awalnya tumbuh menyebar dari negeri India, kemudian ke Asia Tenggara, hingga ke Indonesia bersamaan dengan era penyebaran agama Hindu dan Buddha. Dari bunga pohon Ploso yang berwarna jingga terang, ungu, merah dan kekuning-keuningan diketahui warna bunga pohon Ploso dapat menghasilkan bahan pewarna alami.19

18 Dusun Plosokuning berlokasi di daerah yang juga berdekatan

dengan gugusan candi-candi Hindu peninggalan Mataram Kuno, seperti Candi Gebang di Dusun Gebang, Candi Pal Gading, dan Candi Kimpulan di kompleks kampus UII Yogyakarta.

19 www.b.geolocation.com.; www.rareflora.com/butea. Diunduh pada tanggal 19 Februari 2015.

Page 13: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 237

Pohon Ploso yang dalam bahasa Latin disebut Butea Monosperma adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae, dikenal sebagai Flame of the Forest dalam bahasa Inggris. Pohon ini mempunyai aneka nama dalam bahasa-bahasa di India, seperti dhaak, palash, palaash, palah, palashpapra, polash, polashi, porasum, parasu, modugu, dan kela. Di kawasan Asia Tenggara, tumbuhan ini disebut sebagai pouk-pen (Burma); chaa (Kamboja); chaan (Laos); thong kwaao, thong thammachaat (Thailand).20 Pohon Ploso (Jawa) ditemukan tumbuh secara alami di padang rumput terbuka dan di hutan-hutan campuran. Di pegunungan Himalaya India, pohon Ploso ditemukan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Sedangkan di Jawa, pohon Ploso tumbuh terbatas di daerah kering terutama di bagian timur pulau, hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Pohon Ploso tahan terhadap iklim kekeringan dan dapat tumbuh baik di tanah-tanah yang bergaram dan tanah yang berdrainase buruk. Pohon Ploso dikeramatkan karena dahulu dipakai untuk upacara keagamaan Hindu, terutama bunganya yang berwarna jingga kekuningan yang digunakan untuk menandai dahi pada wajah perempuan yang hendak beribadah di pura atau candi.

20 www.envis.frlht.org.; www.datab.us/i/palash. Diunduh pada

tanggal 19 Februari 2015.

Page 14: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

238 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

5.1.3. Wilayah dan Penduduk Letak geografi Dusun Plosokuning berada di sekitar

10, 2 kilometer di sebelah timur laut arah utara istana Keraton Yogyakarta, dan sekitar 17 kilometer dari sebelah selatan puncak Gunung Merapi. Jika dirinci jarak Dusun Plosokuning dari pusat pemerintahan kecamatan, yaitu Kecamatan Ngaglik adalah 2, 8 kilometer, jarak dari ibu kota Kabupaten Sleman 4, 9 kilometer, jarak dari ibukota Dearah Istimewa Yogyakarta sekitar 10, 2 kilometer, dan jarak dari Ibukota Negara Republik Indonesia 600 kilometer. Berdasarkan data rekapitulasi pada bulan Juli tahun 2009, jumlah penduduk Dusun Plosokuning pada tahun 2009 adalah 1540 jiwa dengan proporsi penduduk berdasarkan perbedaan gender, laki-laki lebih banyak daripada kaum perempuan, yaitu 860 orang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan jumlah penduduk perempuan sekitar 680 orang.21

Dusun Plosokuning diketahui mempunyai struktur tanah berdataran tinggi beriklim sejuk dengan komposisi kelembutan tanah yang cukup subur untuk areal pertanian dan tanaman palawija. Namun letak geo-sosial wilayahnya yang strategis karena berada di ujung utara kota Yogyakarta, arah menuju tempat pariwisata hutan lindung Kaliurang sekaligus berdekatan dengan ibukota provinsi, mendorong mobilitas sosial yang cukup tinggi

21 Dokumen Kode dan Wilayah Administrasi Pemerintah Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman Kode 34.04, Tahun 2010. Ibid.

Page 15: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 239

bagi masyarakat dan memudahkan untuk akses masuk ke kawasan perkotaan. Bahkan juga letaknya yang berdekatan dengan lokasi kampus UII (Universitas Islam Indonesia), menjadikan dusun ini sebagai sasaran urbanisasi sosial masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, seperti tampak dari kian padat rumah dan kos-kosan mahasiswa di dusun tersebut, yang semakin menyempitkan areal persawahan yang dahulu sangat subur dan menjadi lahan penghidupan bagi masyarakat setempat. Oleh karena itu pekerjaan penduduk Plosokuning dewasa ini tidak lagi hanya mengandalkan pada bidang pertanian dan tanaman palawija, melainkan seiring dengan modernisasi yang masuk ke Yogyakarta, ia memiliki diferensiasi pekerjaan yang beragam; dari mulai yang berprofesi sebagai pegawai swasta, pegawai pemerintah maupun abdi dalem Keraton, sampai pedagang, dan hanya sebagian kecil yang masih berprofesi sebagai petani.22

Dalam hal kehidupan keagamaan, sebagian besar masyarakat Plosokuning merupakan masyarakat santri. Hanya saja kesantrian masyarakat Plosokuning berbeda dengan kampung-kampung santri di daerah-daerah yang berbasis masyarakat Islam pada umumnya. Kesantrian masyarakat Plosokuning memiliki nilai keunikan tersendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena mereka mengidentikkan diri sebagai kerabat Keraton.

22 Wawancara dengan Rr. Salma Mumtaza......

Page 16: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

240 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Oleh karena itu, masyarakat santri di sini mempunyai ikatan yang kuat dengan kebudayaan Jawa yang diwariskan dan dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta.

Seiring dengan pergantian zaman, Dusun Plosokuning berkembang menjadi kawasan yang mengalami perubahan pesat akibat urbanisasi dan modernisasi yang berlangsung di Indonesia, terutama di daerah Yogyakarta sehingga semakin memperlihatkan tingkat kemajemukan masyarakat, baik secara etnik maupun agama. Selain kampus UII, wilayah dusun ini juga berdekatan dengan jalur pariwisata alam yang banyak dikunjungi turis asing dan domestik, dan juga berdekatan dengan kampus UGM (sekitar 2 km), supermarket, Sekolah Tinggi Seminari Katolik Santo Paulus yang dibangun oleh Gereja Katolik. Satu dan lain hal dari kenyataan di atas yang menarik diteliti ialah kedudukan dan peran Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang membentuk identitas komunitasnya itu di tengah globalisasi yang hadir ke dunia sosial mereka.

5.2. Asal Usul Masjid Pathok Negoro 5.2.1. Makna Teologis dan Sosiologis Masjid

Masjid adalah nama rumah peribadatan dalam agama Islam yang secara sosial memiliki fungsi yang hampir sama dengan tempat ibadah gereja, vihara, pura atau candi, yakni untuk mengumpulkan umat membentuk ikatan religiusnya. Ia menjadi tempat suci yang bersifat kolektif; menjadi tempat pertemuan para anggota dari

Page 17: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 241

suatu jamaah untuk beribadah. Fungsi kolektivitas masjid sebagai rumah suci, sebagaimana pemikiran sosiologi agama Durkheim tentang asal usul totemisme yang menjadi dasar kemunculan agama di masyarakat,23 terletak pada praktek-praktek keagamaan yang dijalankan secara bersama-sama yang berfungsi untuk mengukuhkan sistem kepercayaan suci yang diyakini, seperti ritus kewajiban shalat (berdoa; memuja) lima kali yang dilakukan secara berkelompok, atau tempat berkumpul umat pada hari Jum’at, guna melakukan kebaktian dengan melaksanakan shalat dan menyimak khotbah dalam suatu ikatan persekutuan, yang disebut komunitas.

Oleh karena itu, rumah ibadah masjid berbeda dengan rumah pribadi yang hanya dapat berfungsi sebagai tempat peribadatan yang bersifat individual dalam agama Islam. Pada rumah ibadah masjid, selain dikenal sebagai rumah suci yang dipakai untuk ruang peribadatan pribadi, ia memiliki fungsi pokok sebagai tempat ibadah bersifat kolektif. Masjid menjadi tempat persekutuan umat dalam menjalankan kepercayaan dan ritus keagamaannya.

Dari sudut pandang teologi, kata masjid dalam kitab suci al-Qur’an disebut sebanyak 28 kali, 22 kali diantaranya dalam bentuk kata singular, dan 6 kali dalam

23 Lih., Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life

(New York: The Free Press, 1965).

Page 18: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

242 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

bentuk kata plural (jamak). Secara etimologi, kata masjid merupakan derivasi dari kata dasar “sajada” berubah menjad kata kerja "sujud" yang berarti taat, setia, dan tunduk. Dalam liturgi agama Islam, kata sujud yang merupakan intisari dari rangkaian ibadah shalat menunjuk pada posisi gerakan tubuh di mana kepala menunduk dengan dahi wajah berikut ujung hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki menyentuh ke tanah atau lantai, untuk tujuan menghadap pada kekuatan ilahi, yaitu Allah.24 Kata kerja “sujud” yang kemudian terinstitusi menjadi kata benda “masjid” dalam surat-surat yang terdapat pada ayat-ayat dalam kitab suci al-Qur'an mengandung tiga makna teologis, ialah Pertama, sujud berarti penghormatan atau supremasi terhadap pihak lain, seperti para malaikat bersujud kepada Nabi Adam. Tuhan berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah) tatkala Kami (Tuhan) berkata kepada para malaikat; sujudlah kalian kepada Adam! Maka sujudlah mereka untuk menghormati, kecuali iblis yang menyombongkan diri, karena ia makhluk yang tidak mempercayai Tuhan (Q.S. (al-Qur’an-Surat) al-Baqarah, 2:34). Kedua, sujud berarti sebagai kesadaran atas kesalahan yang diperbuat atau pengakuan dosa dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, seperti para ahli sihir Raja Fir’aun bersujud kepada Nabi Musa. Tuhan

24 Makhmud Syafe’i, Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam,

dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS. Diunduh pada tanggal 23 Januari 2015.

Page 19: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 243

berfirman yang artinya, “Lalu para pesihir itu menunduk bersujud seraya berkata, "Kami telah percaya kepada Tuhan yang dipercayai Harun dan Musa” (Q.S. Thaha, 20:70). Ketiga, sujud berarti mengikuti atau menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan atas takdir manusia dan alam semesta hasil ciptaan-Nya, seperti bintang-bintang dan pepohonan yang juga bersujud kepada Tuhan. Tuhan telah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya matahari dan rembulan beredar menurut perhitungan yang telah ditetapkan, dan bintang-bintang serta pepohonan, keduanya bersujud kepada-Nya” (Q.S. ar-Rahman, 55:5-6).25

5.2.2. Masjid Batas Negara

Kata Pathok Negoro sebagai identitas utama masjid, yang dalam bahasa Jawa halus (Kromo Inggil) disebut Pathok Nagari, dalam sejarah merupakan tempat ibadah yang didirikan oleh Keraton untuk masyarakat Plosokuning. Namun fungsi masjid ini tidak semata-semata sebagai tempat beribadah masyarakat dalam membentuk ikatan religiusnya, melainkan sebagai tugu pembatas ibukota kerajaan, terutama setelah disepakatinya Perjanjian Giyanti.26

25 Ibid 26 Perjanjian Giyanti juga mencerminkan kegagalan pemerintah VOC

di bawah Gubernur Jendral Nicolaas Hartingsh (1754-1761) dalam mempersatukan Jawa. Pemerintah VOC. telah menjadikan tanah Jawa dipimpin dua raja kembar (kakak beradik). Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian wilayah yang terletak di sebelah barat Surakarta. Menurut perjanjian Giyanti tapal batas kerajaan di Yogyakarta adalah Sungai

Page 20: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

244 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubowono I yang bertahta di Yogyakarta, Masjid Pathok Negoro mulai dicanangkan berdiri.27 Ada empat

Opak yang berada di sebelah barat Candi Prambanan, sedangkan di sebelah timur menjadi wilayah Surakarta. Setelah mendapatkan bagian itu, Pengeran Mangkubumi membangun Pesanggrahan (istana) di Ambarketawang (Gamping, Sleman). Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan di tempat sekarang (Yogyakarta), berdasarkan letak geo-sosialnya yang strategis, yakni diapit oleh Sungai Code dan Winongo yang mengaliri areal pertanian yang luas, dengan mengambil poros imajiner yang ditarik dari posisi Gunung Merapi ke Laut Selatan. Poros ini berada di Desa Patjetokan di tengah hutan bernama Paberingan. Pembangunan Keraton diresmikan pada tanggal 17 Okober 1756, dan ia menobatkan dirinya sebagai, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono I Senopati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah yang artinya, “Beliau yang terhormat dan yang dimuliakan penguasa yang sah atas dunia yang mempunyai kewenangan menentukan perdamaian dan peperangan sebagai panglima tertinggi angkatan perang, pemimpin semua agama dan wakil Tuhan”. Sementara lambang dua naga yang saling melilit adalah tahun berdirinya kerajaan, yakni pada tahun 1682 Saka yang dibaca dari belakang (2 = dwi, 8 = naga, 6= rasa, 1= tunggal). Sangkala dwi naga rasa tunggal dapat dibaca menjadi dwi nagara satunggal yang artinya adalah “dua negara dalam satu kesatuan”, yang mempunyai arti obsesif sekalipun kerajaan terbagi dua, tetapi tetap satu jiwa. Lih., http://www.kerajaannusantara.com. 2/5. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2015; Bdk., M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern...., 149-151; Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya Merunut Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 6.

27Selain merancang pembangunan Masjid Pathok Negoro, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga membuka pintu masuk kepada orang-orang China untuk menetap di Yogyakarta. Para perantau China ini berasal dari marga Hokkian dari Provinsi Fu Kien dan Kwang Tung. Mereka ini yang menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, dan sebagian wilayah pantai Sumatra. Menurut data statistik jumlah orang China di Yogyakarta antara tahun 1808 sampai 1811 adalah 758 orang. Pada umumnya orang-orang China di Yogyakarta mempunyai keperluan untuk berdagang. Oleh karena itu, lingkungan tempat tinggal mereka selalu berkoherensi dengan pusat perdagangan, yaitu pasar. Hal tersebut juga menguntungkan bagi ekonomi kerajaan. Untuk mengurus kepentingan orang-orang China, baik dalam urusan kelahiran, kematian, surat jalan, maupun penarikan pajak ditunjuk seorang Kapiten China. Raja pernah mengangkat beberapa orang Kapiten China di Yogyakarta, antara lain: To In (1755-1764), Gan Kek Ko (1764-1776), Tan Lek Ko (1776-1793), Que Jin Sing (1793-1803), Tan Jing Sin (1803-1813), Que Wi Kong (1813-1828), dan Que Pin Sing. Bahkan Kapiten China Tan Jin Sin pernah

Page 21: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 245

buah Masjid Pathok Negoro yang dibangun dengan lokasi yang berbeda sesuai dengan batas-batas ibukota kerajaan berdasarkan empat arah mata angin, yaitu lokasi masjid yang berada di Plosokuning yang menjadi pembatas ibukota di sebelah utara, masjid yang berada di Mlangi yang menjadi pembatas ibukota di sebelah barat, masjid di lokasi Kauman Dongkelan yang menjadi batas ibukota di sebelah selatan, dan masjid yang terletak di Babadan yang menjadi pembatas ibukota di sebelah timur.28

Konsep pembangunan masjid dalam posisi empat arah itu juga sejalan dengan filosofi kebudayaan Jawa kuno mengenai makna tata ruang kosmik. Dalam kontek hubungan individu dengan dunia sosial, kebudayaan Jawa juga memiliki empat lingkaran pandangan dunia (konsentris) yang lahir dari tata ruang kosmik itu di mana dunia dipandang oleh individu sebagai keseluruhan sistem nilai, yakni benar dan salah, estetik dan tidak yang menjadi kerangka dasar individu dalam memahami diri dan dunia sosial yang menghidupinya. Terdapat empat struktur lingkaran kosmik di mana individu memahami dunia sosialnya ketika berinteraksi, yaitu lingkaran pertama adalah sikap individu terhadap dunia luar yang dipahami sebagai sebuah kesatuan kesadaran antara manusia, alam dan dunia adikodrati. Lingkaran kedua

dianugerahi gelar kebangsawanan di bawah adipati, yaitu Tumenggung Secodiningrat. Lih. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diunduh pada tanggal 18 Februari 2015.

28 M. Jadul Maula, ed., Ngesuhi Deso Sak Kukuban: Lokalitas, Pluralisme, Modal Sosial Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2001), 146.

Page 22: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

246 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

adalah penghayatan kekuasaan politik sebagai perpanjangan tangan kekuatan adikodrati yang bersifat ilahiah. Lingkaran ketiga adalah pengalaman mistis (batiniah) dalam memahami eksistensi diri sebagai bagian dari dunia sosial. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran di atas sebagai bagian dari takdir kehidupan pribadi29

Menurut kebiasaan orang Jawa, imajinasi simbol yang berjumlah empat arah berada dalam suatu sudut ruang, masing-masing sudut ruang itu mengikuti arah mata angin yang mengelilingi suatu titik pusat ruang konsentris sebagaimana konsep struktur kekuasaan Jawa masa lampau, yaitu satu ada di tengah sebagai kepala ditambah empat berada di sekeliling sebagai pembantu utama sang kepala. Sebagai contoh pada masa Kerajaan Majapahit, apabila raja sedang duduk di singgasananya, dihadapan para abdi dalem; mereka membentuk lingkaran duduk konsentris mengelilingi raja, seperti juga letak bangunan Candi Parambanan yang dikelilingi candi-candi kecil. Hal ini menunjukkan keberadaan Masjid Pathok Negoro yang berada di empat lokasi membentuk formasi mengelilingi Keraton yang berada di tengah sebagai pusat kosmik raja, sebagaimana juga struktur konsentris zaman kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu.30

29 Lih., Franz Magnis Suseno S.J., Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi

Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), 83-84.

30 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaludin Purnomo, Ketua Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning, pada tanggal 24 Januari 2015;

Page 23: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 247

Keempat Masjid Pathok Negoro itu sampai kini masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ibadah, namun tidak berfungsi lagi sebagai benda penanda batas ibukota negara. Hanya saja yang masih terjaga keaslian aristektur Masjid Pathok Negoro adalah yang berada di Plosokuning. Sedangkan ketiga masjid lain telah mengalami perubahan radikal, sehingga nyaris kehilangan wujud asalnya.31

Gambar 5.2. Masjid Pathok Negoro Plosokuning32

5.2.3. Masjid Raja

Masjid Pathok Negoro Plosokuning disebut juga sebagai Masjid Sultoni.33 Ini artinya Masjid Pathok Negoro Bdk., Yohanes Setiawan, Agamaning Wong Balong (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Salatiga), 57-59.

31 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaluddin Purnomo..... 32 www.gudeg.net/id. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2015.

Page 24: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

248 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

merupakan Masjid Kagungan Dalem yang berarti masjid milik raja dan menjadi bagian dari aset Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Menurut catatan sejarah yang tidak terdokumentasi dengan baik, Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan dalam masa pembangunan yang cukup lama, diperkirakan dibangun secara bertahap selama hampir 100 tahun, yakni antara tahun 1723-1819 M. dalam periode tiga raja yang memerintah. Pada awal mula masjid ini berdiri, dikisahkan pada waktu Kerajaan Mataram yang beribukota di Kartasura, Raja Amangkurat Jawi IV yang memerintah pada tahun 1719-1727 M. memiliki beberapa orang putra, diantaranya yang terkenal adalah Raden Mas Ichsan yang menyandang gelar sebagai Bendara Haryo Sandiyo,34 Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Mangkubumi. Sepeninggal Raja Amangkurat Jawi IV terjadi perselisihan antara kedua putranya (kakak beradik), yaitu Pangeran Adipati Anom dengan Pangeran Mangkubumi. Perselisihan itu berakhir dengan pembagian kerajaan sebagai harta warisan yang

33 Hasil FGD, pandangan Ibu Farida, Komunitas Plosokuning Jobo, pada tanggal 5 Desember 2015.

34 Sebagaimana akibat tradisi lesan yang kuat dalam masyarakat Jawa, sumber-sumber sejarah tertulis tidak ada yang menjelaskan secara rinci perihal hari dan tanggal kelahiran Raden Mas Ichsan yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Pahok Negoro di lingkungan Keraton Yogyakarta. Namun diperkirakan ia lahir pada tahun 1719, terutama ketika ayahnya, Raden Mas Suryo Putro meninggalkan Pondok Pesantren Gedangan di Jawa Timur pada tahun 1718 untuk dinobatkan menjadi Raja Mataram yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Amangkurat Jawi. Istri Raden Mas Suryo yang juga ditinggalkan di pesantren ketika itu masih mengandung bayi laki-laki yang kelak lahir bernama Raden Mas Ichsan. Irwan Masduqi, Suluk Sufi Ulama Karaton Yogyakarta Ajaran Kyai Nur Iman (Yogyakarta: Assalafiyah Press, 2011), 34-35.

Page 25: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 249

ditinggalkan oleh ayahnya itu menjadi dua. Pangeran Adipati Anom menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwono yang beribukota di Kartasura.35

Pakubuwono II menyebut kerajaannya dengan nama Kesunanan Surakarta.36 Sedangkan Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi raja di Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono.37 Ia menjadi raja

35 Setelah penyerbuan etnik China yang gagal dalam melawan

Kompeni Belanda yang bersekutu dengan Pakubuwono II, ibukota Keraton Kartasura mengalami kehancuran fisik yang parah. Pada tahun 1746, Pakubuwono II memindahkan ibukota ke Surakarta. Pemindahan ibukota ditetapkan di Desa Solo yang terletak di dekat Tempuran (titik pertemuan) dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Solo. Desa Solo dipandang lebih strategis karena berdekatan dengan Sungai Bengawan Solo, sebuah sungai yang sejak zaman dulu mempunyai peranan sosial penting yang menghubungkan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penetapan Desa Solo sebagai ibukota kerajaan juga didasarkan pada pertimbangan bahwa Solo telah menjadi desa yang ramai, bukan hutan yang harus dibuka sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk membabat hutan. Selain tentu saja karena alasan perhitungan mistik (petungan), di mana keadaan tanah di Desa Solo menurut perhitungan kalender Jawa menbawa pengaruh kehidupan yang baik bagi penghuninya yang hendak bertempat tinggal dan mendirikan bangunan. Yohanes Setiawan, Agamaning Wong Balong...., 54-57.

36 Karena lebih tua dan merasa paling berhak sebagai pewaris dinasti Mataram dibanding Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta tidak pernah merasa puas dengan pembagian wilayah kerajaan ini. Pada tahun 1800-an Pakubuwono IV (Raden Mas Subadya), pernah berharap agar Pemerintah Hindia Belanda bersedia membantu Kesunanan Surakarta untuk merebut Yogyakarta dari tangan Raden Mas Sundoro (Sri Sultan Hemengkubuwono II), meskipun kemudian ditolak. Pada tahun 1811, ketika Kerajaan Inggris menguasai Jawa, Pakubuwono IV juga memanfaatkan Kerajaan Inggris untuk merebut Yogyakarta, namun gagal. Sri Wintala Achmad dan Krisna Bayu Adji, Geger Bumi Mataram (Yogyakarta: Araska, 2014), 71.

37 Ibukota Kerajaan Mataram sejak awal berdiri selalu berpindah tempat, baik perpindahan ini terjadi karena faktor bencana alam maupun akibat konflik. Pada awal mula kerajaan berdiri beribukota di Kotagede. Pada waktu dipimpin Sultan Agung, ibukota Mataram dipindah ke Plered, Bantul. Namun pada masa Raja Amangkurat I, akibat pernyerbuan panglima Trunojoyo, bangsawan Madura yang mengabdi di Giri Kedaton (Gresik),

Page 26: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

250 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

pertama dan menyebut kerajaannya dengan nama Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.38 Sesudah Pangeran Mangkubumi wafat pada tahun 1792, ia digantikan oleh ibukota Mataram dipindah ke Kartasura, dan sejak Perjanjian Giyanti beribukota di Surakarta dan Yogyakarta. Dalam penyerbuan Trunojoyo yang meluluhlantakkan Keraton Plered, dikisahkan bahwa setelah berhasil mengusir raja keluar dari istana dan mengungsi ke Tegal, Jawa Tengah, ia dengan nada kesal mengungkapkan, “Ratu Mataram iku dakumpamakake tebu, pucuke maneh yen legiya, senajan bongkote ya adhem bae, sebab raja trahing wong tetanen, anggur macula bae bari angon sapi”, yang artinya, Raja Mataram itu kuumpamakan tebu, ujungnya pun tidak manis, begitu juga pangkalnya, sebab ia raja keturunan petani, lebih baik mencangkul saja sambil menggembalakan seekor sapi. Bdk., Aryaning Arya Kresna, The Concept of Power and Democracy in Javanese Worldview, Makalah dipresentasikan dalam International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) tahun 2009, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan dimuat dalam prosiding konferensi tersebut.

38 Sri Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717- 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Sujana yang dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Karena berselisih soal suksesi, ia berkonfrontasi dengan kakaknya; Pakubuwono II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau orang Jawa menyebut Kompeni Belanda. Dalam perang melawan kakaknya, ia dibantu oleh Raden Mas Said, terutama dalam pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya pada pertempuran di tepi Sungai Bagawanta yang berhasil menghancurkan pasukan Jendral De Clerck (1751). Peristiwa lain yang menyebabkan ia dimusuhi Kompeni adalah ketika pada tahun 1749 Pakubuwono II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan kepada Kompeni dan melantik putra lain, yaitu Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwono III. Pangeran Mangkubumi bersikap keras, ia tidak mengakui Mataram berada di bawah Kompeni. Namun Kompeni membujuknya berunding menghentikan permusuhan, dengan mengirim seorang tokoh berkebangsaan Arab dari Batavia yang mengaku sebagai ulama terkemuka dari Mekah. Berkat sepak terjang utusan Arab ini, lahirlah perjanjian di Giyanti. Selain dikenal pendiri kerajaan, Pengeran Mangkubumi yang berdarah seniman ini juga mendirikan tempat pemandian permaisuri dan bendara putri, yaitu Taman Sari. Pembangunan kolam ini diarsitekturi dengan gaya Jawa-Portugis oleh pelancong Portugis yang bersimpati kepadanya. Kisah pembagian kerajaan dan peperangan antara pangeran-pangerannya digubah oleh pujangga Yasadipura menjadi karya sastra Babad Giyanti. Ia akhirnya wafat pada tahun 1792 M, dan kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah pada peringantan Hari Pahlawan tahun 2006 di Surabaya. Lih., http://kebudayaan.kemdikbud.go.id...,; Sri Wintala Achmad dan Krisna Bayu Adji, Geger Bumi Mataram...., 137-138; Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Narasi, 2008), 85.

Page 27: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 251

putranya yang bernama Bendoro Raden Mas Sundoro dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hemengkubuwono II memerintah secara terputus-putus (1750-1828 M).39 Kemudian ia diganti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III yang memerintah dari tahun 1810 sampai 1814.40 Pada masa pemerintahan Sri Sultan

39 Sri Sultan Hamengku Buwono II (1750-1828) atau disebut Sultan

Sepuh diikenal sebagai penentang yang keras terhadap Kompeni Belanda dan Inggris, dengan melakukan konfrontasi terbuka kepada Gubernur Jendral Daendels dan Letnan Gubernur Raffles. Sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda pada saat sowan (menghadap) raja yang hanya menggunakan payung dan tidak perlu membuka topi, karena tidak menghormati unggah ungguh (tata krama) Jawa. Perselisihan antara Sultan Sepuh dengan Kesunanan Surakarta tentang batas wilayah juga mengakibatkan Daendels memaksa Sultan Sepuh turun tahta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus, selama tiga kali, yaitu 1792-1810, 1811-812, 1826-1828. Pada akhir tahun 1811 ketika Kerajaan Inggris menginjakkan kaki di Jawa dan menyerbu Keraton pada tahun 1812, Sultan Sepuh diturunkan tahtanya. Pada masa Sri Hamengku Buwono III, IV dan V bertahta, ia masih hidup dalam karantina. Pada saat menjadi putra mahkota, Sultan Sepuh pernah mengusulkan membangun benteng untuk menahan kedatangan tentara Inggris. Namun pada tahun 1812, ia ditangkap Inggris dan diasingkan di pulau Penang Malaysia, kemudian dipindah ke Ambon. Pada masa pemerintahannya, Pangeran Notokusumo (putra Sri Sultan Hamengku Buwono I) dinobatkan Raffles sebagai Pangeran Amardiko pada tanggal 29 Juni 1812. Adapun perjanjian antara Pangeran Amardiko dengan Inggris ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1813 M. dengan memecah Keraton menjadi dua, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman. Bagian wilayah Paku Alaman seluas 4.000 cacah, mencakup kawasan istana, Adikarto (Kulonprogo), dan Karang Kemuning yang mempunyai empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsongko, dan Tawangkerto, dengan Brosot sebagai pusatnya. Namun sejak Sri Paku Alam VII, wilayah Paku Alaman yang berada di luar Kota Yogyakarta disebut Kadipaten Adikarto dengan ibukota di Wates. Kadipaten ini membawahi 53 desa dengan empat kapanewonan, yaitu: Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon. Adapun wilayah dalam kota meliputi Kecamatan Paku Alaman, yaitu Kalurahan Gunung Ketur dan Purwokinanti. Lih.. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id....., ; Idem, Geger Bumi Mataram...., 138-139.

40 Sri Sultan Hamengku Buwono III (1769-3 November 1814) adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono II yang bernama kecil Bendoro Raden Mas Surojo. Ia memerintah pada tahun 1810. Ketika Pemerintah

Page 28: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

252 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Hemengkubuwono III ini, Masjid Pathok Negoro Plosokuning diresmikan berdiri, yaitu sejak Kyai Raden Mustofa bergelar Kyai Hanafi I, cucu dari Raden Mas Ichsan ditetapkan sebagai abdi dalem yang berkedudukan di Plosokuning.41

Sejarah Masjid Pathok Negoro Plosokuning berdiri sekitar 400 tahun yang lalu, dengan pimpinan dari Kyai Raden Nur Iman yang mengutus putranya yang bernama Kyai Mursodo dan anaknya Kyai Mustofa untuk mendirikan masjid ini42 Dalam kisah yang juga banyak dituturkan

masyarakat setempat, Raden Mas Ichsan putra pertama Raja Amangkurat Jawi IV memang tidak dinobatkan menjadi raja, melainkan sesuai dengan minatnya yang bertahun-tahun mondok di pesantren-pesantren Jawa Timur, ia mencari jalan hidup sendiri menjadi tokoh spiritual dengan gelar kebesaran yang disandangnya,

Hindia Belanda ditaklukkan oleh Inggris, ia turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh kembali (1812). Pada masa kepemimpinannya, Keraton mengalami kemunduran besar-besaran, antara lain kehilangan daerah Kedu, separuh Pacitan, Jipang dan Grobogan yang diserahkan kepada Inggris, angkatan perang kerajaan diperkecil satuannya, dan sebagian daerah Keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo. Pada tahun 1814, ia wafat dalam usia 43 tahun. Lih. https://masdidit88.wordpress.com, Diunduh pada tanggal 19 Februari 2015; Idem, Geger Bumi Mataram...., 139-141.

41 http://jogjatrip.com/id. Diunduh pada tanggal 12 November 2014; https://sarjiono774.wordpress.com. Diunduh pada tanggal 13 November 2014.

42Hasil FGD, pandangan Bapak Raden Mohammad Faizun, Komunitas Plosokuning Jero, pada tanggal 5 Desember 2014.

Page 29: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 253

yaitu Kyai Raden Nur Iman.43 Kyai Raden Nur Iman yang secara harafiah berarti kyai yang membawa cahaya keimanan, kemudian menjadi penyebar agama di Gegulu, suatu nama desa yang terletak di bagian selatan Kabupaten Kulonprogo. Ia mengajarkan agama Islam ke masyarakat setempat seraya mendirikan pondok pesantren.44

Tidak lama kemudian karena hambatan kultural dan agama dari sisa-sisa kepercayaan lama masyarakat Gegulu, Kyai Raden Nur Iman berpindah tempat dan mendirikan pondok pesantren baru di sebelah timur sekitar 25 kilometer dari Gegulu, tepatnya di Desa Mlangi, Kabupaten Sleman. Selama tinggal di Mlangi, Kyai Raden Nur Iman juga membangun rumah tangga sehingga dikaruniai banyak putra, antara lain yang terkenal Raden Mursodo dan Raden Nawawi yang di kemudian hari

43 Pada waktu perang saudara antara Pangeran Adipati Anom dan

Pangeran Mangkubumi berkecamuk. Kyai Raden Nur Iman memutuskan keluar dari istana. Ia bersama pengawalnya pergi mengembara ke Gegulu Kulonprogo, diterima oleh Ki Demang Hadiwongso, penguasa daerah setempat. Namun setelah Demang Hadi Wongso meninggal, Kyai Raden Nur Iman berpindah ke utara di sebelah timur Sungai Progo, yaitu Desa Kerisan. Di desa ini ia bertemu dengan utusan raja yang memintanya kembali ke Keraton. Namun ia menolak, dan memilih tinggal di tanah perdikan. Permintaan itu direstui raja, ia kemudian membangun pondok pesantren. Dari asal kata “mulangi” pondok pesantren yang berarti mengajar di lembaga pendidikan pondok pesantren, daerah perdikan ini disebut Kampung Mlangi. Lih., M. Lutfi Khamdani, dkk., Sejarah Mbah Kyai Nur Iman (Yogyakarta: Panitia Peringatan Khaul Mbah Kyai Nur Iman, 2012).

44 Dalam pengembaraan spiritual ke Gegulu dan mengajarkan agama di masyarakat, Kyai Raden Nur Iman juga mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme kepada masyarakat daerah ini, terutama dalam melawan Kompeni. Di daerah ini juga, ia diterima dengan baik oleh Ki Demang Gegulu, bahkan menikahi putrinya yang bernama Mursalah. Irwan Masduqi, Suluk Sufi Ulama Karaton...., 38.

Page 30: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

254 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

keduanya menjadi ulama.45 Sebagaimana juga dalam sistem kekerabatan bangsawan Jawa, Raden Nawawi diangkat oleh Keraton menjadi abdi dalem Pathok Negoro I di Mlangi menggantikan ayahnya. Sedangkan Raden Mursodo yang berputra Raden Mustofa diangkat sebagai abdi dalem Pathok Negoro yang berkedudukan di Plosokuning dengan gelar Kyai Raden Hanafi I. Raden Mustofa adalah guru spiritual dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Karena alasan itu pula, Masjid Pathok Negoro Plosokuning dibangun sebagai bentuk persembahan dan rasa hormat raja kepada guru spiritualnya itu. Bahkan di kompleks masjid ini juga menjadi kediaman resmi Raden Mustofa karena kedudukannya sebagai penasehat spiritual raja. Ada juga sumber yang menjelaskan Raden

45 Hampir semua keturunan Kyai Raden Nur Iman menjadi seorang

ulama dan mendirikan pondok pesantren, jarang yang menjadi pejabat politik. Sebagaimana dalam sistem perkawinan tradisional dan kebangsawanan Jawa, ia sendiri memiliki 4 istri dengan 14 putra. Keempat belas putra Kyai Raden Nur Iman dan generasi penerusnya tersebut kemudian juga ikut mendirikan pondok pesantren di berbagai daerah, baik yang tersebar di Mlangi, Yogyakarta maupun di Jawa Tengah dan Jambi, seperti yang tercatat antara lain, Pondok Pesantren Al Miftah (Mlangi), Pondok Pesantren As Salafiyah (Mlangi), Pondok Pesantren Falahiyah (Mlangi), Pondok Pesantren Al Huda (Mlangi), Pondok Pesantren Mlangi Timur, Pondok Pesantren Hujatul Islam (Mlangi), Pondok Pesantren As Salimiyyah (Mlangi), Pondok Presantren An Nasyath (Mlangi), Pondok Pesantren Ar Risalah (Mlangi), Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'in (Mlangi), Pondok Pesantren Al-Qur'an (Mlangi), Pondok Pesantren Darussalam (Mlangi), Pondok Pesantren Krapyak (Bantul Yogyakarta), Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan (Magelang), Pondok Pesantren Tegalrejo (Magelang), Pondok Pesantren Al Asy'ariyah, Kalibeber (Wonosobo), Pondok Pesantren An Nawawi, Berjan (Purworejo), Pondok Pesantren Bambu Runcing, Parakan (Temanggung), Pondok Pesantren Secang, Sempu (Magelang), dan Pondok Pesantren Nurul Iman (Jambi). M. Luthfi Khamdani, dkk., Sejarah Mbah Kyai....,

Page 31: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 255

Mustofa juga menjadi guru agama Pangeran Diponegoro.46

Jadi dari generasi Kyai Raden Nur Iman dari Mlangi, pertumbuhan agama Islam dan Masjid Pathok Negoro Plosokuning menemukan keterkaitan historisnya, sebagaimana juga dituturkan oleh salah satu marbot masjid, yaitu Bapak Raden Muhammad Agung :

Masjid Plosokuning ini masih trah dari Mlangi, jadi Kyai Mbah Nuriman itu adalah kesepuhan dari Plosokuning. Jadi beliau memiliki putra yang bernama Kyai Mursodo dan memiliki putra namanya Kyai Mustofa yang menjadi cikal bakalnya daerah Plosokuning. Akan tetapi cikal bakal dari Masjid Pathok Negoro ini adalah dari Kyai Mursodo yang diutus oleh ayahnya Kyai Nuriman Mlangi. Dan yang menurunkan Plosokuning ini adalah Kyai Mustofa di mana Kyai Mustofa sebagai kakek buyutnya orang Plosokuning, karena warga sekitar masjid masih memiliki ikatan darah dari Kyai Mustofa dan dianggap memiliki garis keturunan darah biru, orang sekitar masjid masih memiliki garis keturunan dari darah biru.47

5.2.4. Arti Pathok Negoro Istilah Pathok Negoro sendiri yang melekat menjadi

identitas masjid tersebut, ternyata mempunyai banyak

46 Ibid. 47 Hasil FGD pandangan Bapak Raden Muhammad Agung, Komunitas

Plosokuning Jero, pada tanggal 5 Desember 2014.

Page 32: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

256 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

pengertian semantik. Kata pathok itu sendiri yang berasal dari bahasa Jawa mempunyai beberapa makna, antara lain pertama, pathok berarti benda, baik berupa kayu, batu, tiang atau benda-benda lain yang ditancapkan ke tanah sebagai penanda sesuatu. Pathok adalah sejenis penanda suatu wilayah, seperti bangunan gapura kembar pintu masuk yang didirikan di desa-desa di Jawa Tengah dan Yogyakarta, atau gapura penanda batas wilayah kabupaten-kabupaten dan kotamadia di Indonesia. Kedua, istilah pathok mengandung pengertian tetap dan tidak berubah atau tidak dapat ditawar-tawar lagi seperti ungkapan “patokan harga barang di pasar”. Jadi harga barang atau makanan sudah dipatok sekian, sehingga menjadi stabil atau tidak berubah karena perubahan pasar atau konsumen.

Ketiga pathok juga dapat berarti tempat ronda atau pos keamanan di kampung. Ini berarti pathok merupakan sejenis bangunan kecil berbentuk bale atau gazebo yang dibangun di setiap sudut desa sebagai sarana berkumpul masyarakat untuk menjaga secara bergiliran keamanan lingkungan desa pada malam hari. Keempat pathok dapat berarti batas pembagian tanah persawahan yang membedakan antara luas petak sawah yang satu dengan petak sawah yang lain dalam wujud tugu pembatas, seperti pohon yag ditanam atau batu beton persegi panjang untuk memudahkan pengeluaran ijin sertifikat kepemilikan atas tanah oleh pemerintah. Kelima pathok dapat berarti peraturan atau pedomaan operasional

Page 33: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 257

dalam mengambil tindakan. Pathok merupakan cara-cara menentukan suatu keputusan bersama, disebut juga standar operasional kegiatan atau program. Keenam pathok berarti dasar hukum, yakni dasar filosofi dan tata tertib bersama yang digunakan untuk menetapkan suatu masalah hukum di masyarakat.48 Sedangkan istilah negoro, dalam bahasa Jawa halusnya disebut nagari yang mempunyai makna sinonim dengan negara atau kerajaan. Jadi kata pathok negoro berarti batas wilayah negara :

Kalau ditinjau dari segi sejarah, istilah dari Pathok Negoro atau Pathok Nagari ini tidak lepas dari Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta yang di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I ini pada intinya untuk menyusun dan membenahi sistem pemerintahan yang akan diterapkan, setelah Mataram terpecah menjadi dua. Meskipun begitu ada aturan yang masih digunakan dari sisa-sisa Kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua, yaitu terkait dengan masalah keagamaan dan kehidupan masyarakat. Misalkan kalau ada masyarakat yang melanggar aturan, maka diselesaikan dalam Pengadilan Surambi atau yang sering disebut Hukum Ndalem Ing Surambi. Jadi, badan peradilan itu terbagi atas ketua yang menjabat sebagai penghulu sekaligus bergelar Kyai Penghulu dibantu oleh anggotanya. Anggota tersebut

48 Bdk., W.J.S. Poerwodarminta, Baoesastra Djawa (Groningen-

Batavia: J.B. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, 1939), 479.

Page 34: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

258 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

berjumlah empat orang dan itu yang disebut dengan Pathok Negoro atau Pathok Nagari. Jabatan ini merupakan jabatan rendah di istana, namun jabatan ini sangat penting pada saat itu, karena keempat orang ini ditempatkan di Masjid Kagungan Dalem yang memiliki arti sebagai masjid milik raja. Keempat orang itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Jadi keempat orang ini yang bertanggung jawab atas kemakmuran masing-masing masjid yang dipimpinnya. Jadi keempat orang tersebut memang sengaja ditempatkan secara berjauhan, hal ini dikarenakan untuk membentengi kesultanan dan menyebarkan agama serta memperkuat semangat nasionalisme untuk menanggulangi pengaruh asing di segala bidang yang sekiranya akan merusak kebudayaan Jawa waktu itu. Jadi untuk pengangkatan Pathok Negoro ini langsung oleh Sultan dan mendapatkan Serat Kekancingan. Kalau pada zaman dulu yang dijadikan sebagai Pathok Negoro langsung ditunjuk oleh Sultan, kalau sekarang untuk menjadi Pathok Negoro itu dengan cara mengajukan surat lamaran kepada Keraton. Jadi, kata Pathok Negoro sendiri itu terdiri berasal dari dua kata, yaitu Pathok dan Negoro. Pathok sendiri mempunyai banyak arti, diantaranya adalah 1) suatu benda yang ditancapkan baik berupa kayu atau yang lainnya, dengan maksud dijadikan sebagai tanda, 2) bersifat tetap dan tidak ditawar-tawar lagi, 3) tempat para ronda berkumpul, 4) sawah pembagian yang utama, 5) aturan, dan yang ke 6) dasar hukum. Sedangkan Negoro sendiri menurut bahasa Jawa halusnya namanya Nagari yang memiliki arti negara, kerajaan atau

Page 35: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 259

pemerintahan. Jadi secara harafiah Pathok Negoro dapat diartikan sebagai batas negara, aturan negara ataupun dasar hukum negara. Jadi Masjid Pathok Negoro tersebut tidak hanya dijadikan sebagai tempat beribadah, akan tetapi juga memiliki fungsi kemasyarakatan yang meliputi fungsi politik, keagamaan yang meliputi pernikahan dan kematian.49 Istilah Pathok dengan demikian, menunjukkan

baragam pengertian. Namun jika diringkas ia mengandung makna “state”dalam pengertian politik, yaitu tanah yang dipathok (ditandai) melambangkan bahwa tanah sebagai sumber awal pertumbuhan wilayah kekuasaan, kemudian patokan harga yang melambangkan kekuasaan itu membutuhkan sumber daya ekonomi, dan pathok ronda melambangkan kekuasaan membutuhkan keamanan dalam mempertahankan stabilitas sosial, dan juga membutuhkan aturan hukum demi ketertiban negara dan masyarakat. Dari rangkaian makna ini, kata pathok negoro tidak semata-mata menjadi identitas tempat ibadah, melainkan identitas politik, sebagai pejabat negara yang kedudukannya setingkat di bawah raja. Dari pengertian itu dapat dipahami Masjid Pathok Negoro Plosokuning tidak hanya menjadi tanda atas keabsahan raja dalam kontek agama, melainkan juga kultural dan

49 Hasil FGD, pandangan Bapak Raden Ngabehi Suprobo, A. Ma,

Komunitas Plosokuning Jero, pada tanggal 5 Desember 2014.

Page 36: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

260 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

politik.50 Ia secara kultural berfungsi menjadi palindung kekuatan ilahi dan penjaga kekuasaan raja.51 Ini artinya fungsi masjid menjadi bersifat politik karena kekuatan legitimasinya yang dipakai oleh raja dalam menjalankan pemerintahan.

Gambar 5.3. Pintu gerbang Masjid Pathok Negoro Plosokuning52

5.2.5. Pejabat Pathok Negoro

Sebagai Pathok Negoro, pemimpin Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah pejabat negara yang tergabung dalam keanggotaan Al-Mahkamah Al-Kabirah atau Mahkamah Agung, yakni institusi Peradilan Surambi (peradilan teras) dalam Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh imam besar Masjid Gedhe.53 Terdapat empat imam besar Al Mahkamah Al Kabirah yang diangkat oleh raja, yaitu di Mlangi, Plosokuning,

50 Nasruddin Anshariy, Matahari Pembaharu: Rekam Jejak KH. Ahmad

Dahlan (Yogyakarta: Penerbit Yogya Bangkit Publisher, 2010), 43. 51 Ibid. 52 Dokumen pribadi. 53 Suratmin, dkk., Laporan Akhir Studi Aset...., 2.

Page 37: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 261

Dongkelan dan Babadan, ditambah pimpinan tertinggi Al Mahkamah Al Kabirah di Masjid Gedhe.54 Tugas dan fungsi dari Al-Mahkamah Alkabirah ternyata dalam prakteknya sangat luas, tidak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik, ia merupakan kepanjangan kekuasaan raja.55 Dahulu pihak Keraton pada umumnya mendirikan lembaga-lembaga sosial keagamaan dengan tujuan untuk melakukan perubahan-perubahan penting dalam kehidupan politik masyarakat. Perubahan politik Keraton Yogyakarta dalam hal ini diprakarsai oleh raja yang dilakukan melalui berbagai lembaga sosial-politik, termasuk institusi keagamaan.56

54 Lih., Chamamah Soeratno et.al., Keraton Yogyakarta: the History and

Cultural Heritage (Yogyakarta and Jakarta: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Associations, 2004).

55 Istilah Sultan Hamengku Buwono yang menjadi gelar resmi raja-raja Mataram di Yogyakarta secara harafiah mengandung arti “raja yang memangku dunia”. Oleh karena itu secara simbolis, kata hamengku yang terderivasi menjadi kata hamangku, hamêngku dan hamêngkoni jagad mengandung nilai filosofi universal berkaitan dengan kepribadian ideal seorang pemimpin dalam kebudayaan Jawa. Hamangku berhubungan dengan watak yang seharusnya dimiliki oleh seorang penguasa, yakni watak berbudi bawa leksana (mengutamakan kebaikan bersama). Dengan hamangku, penguasa Keraton ingin lebih banyak memberi daripada menerima, terlebih lagi terhadap mereka yang berkekurangan, terbelakang dan menderita dalam kehidupannya. Hamengku berkaitan dengan watak ambeg adil paramarta (bersikap adil untuk semua). Dengan hamengku, penguasa Keraton ingin ngemong, mengayomi dan melindungi siapapun, tanpa membeda-bedakan golongan, keyakinan atau agama. Hamengkoni berkaitan dengan watak ing ngarsa sung tulada. Dengan hamengkoni, penguasa Keraton ingin menjadi panutan dunia sanggup berada di depan dan bertanggungjawab sesuai dengan tuntutan pekerjaannya sebagai raja yang gung binathara, seperti dewa agung atau orang suci. Lih., Sindhunata, Kata Pengantar, dalam Sri Sultan Hamengku Buwana X, Bercermin di Kalbu Rakyat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 8.

56 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial....., 304-306.

Page 38: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

262 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Kini kedudukan sebagai pejabat Pathok Negoro telah hilang dan digantikan dengan struktur baru masjid yang bersifat spiritual yang terdiri dari Ketua takmir, Khatib (pengkhotbah), Muadzin (bidang adzan), Jajar jama’ah (bidang pembina komunitas), Ulu-ulu (bidang perkawinan dan perceraian), dan Jajar Marbot (bidang pemelihara fisik).57 Struktur organisasi masjid saat ini dipimpin oleh Raden Mas Kamaludidn Purnomo sebagai Ketua, Raden Zamakhsari sebagai Khatib, Raden Muhammad Baghowi sebagai Muadzin, Raden Mulyoharjo sebagai Jajar Jama’ah, Raden Ngabaehi Suprobo sebagai Jajar Ulu-ulu, dan Raden Yusuf sebagai Jajar Marbot.58

Dengan demikian sejak kemerdekaan Indonesia, kedudukan dan peran Pathok Negoro berubah sesuai dengan perubahan status Kerajaan Mataram. Kerajaan yang semula mempunyai stuktur kekuasaan pusat yang absolut, dengan sendirinya berubah menjadi stuktur kekuasaan daerah. Keraton Yogyakarta juga Kadipaten Pakualaman telah mengintegrasikan wilayahnya menjadi bagian dari Republik Indonesia.59

Ini artinya ketergabungan kekuasaan monarkhi ini tidak hanya bernilai politik, akan tetapi juga bermakna ideologi dan konstitutif. Oleh karena itu walaupun Republik Indonesia merupakan negara yang baru berdiri,

57 Hasil FGD, pandangan Bapak Raden Ngabehi Suprobo, A. Ma...... 58 Ibid. 59 Pada masa perang kemerdekaan, Masjid Pathok Negoro pernah

dijadikan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia sebagai benteng pertahanan fisik. www.solopos.com. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2015.

Page 39: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 263

namun ia segera mempunyai konstitusi negara, undang-undang dasar dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat demokratis. Peraturan atau undang-undang pemerintah peninggalan masa lalu diubah, termasuk peradilan monarkhi. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1947 Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja (Zelfbestuursrecht-spraak) di Jawa dan Sumatera. Undang-undang tersebut secara tegas menyebutkan semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang di bawah Pemerintahan Repubik Indonesia. Dengan demikian sejak diberlakukan undang-undang tersebut, secara yuridis Peradilan Surambi di Masjid Pathok Negoro telah terhapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan politik, namun penghulu hakim dan pejabat Pathok Negoro secara adat dan kebudayaan masih tetap kedudukannya sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon Pemerintahan Keraton. Kawedanan adalah nama departemen pemerintah, sedangkan Kawedanan Pangulon merupakan departemen yang mengurusi masalah keagamaan yang kemudian terhapus pula.60

60 Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan

Raja di Asia Tenggara, diterjemahan oleh Deliar Noer (Jakarta: Rajawali, 1972), 11-12.

Page 40: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

264 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

5.3. Aristektur Masjid: Keaslian dalam Perubahan 5.3.1. Tradisionalisme Jawa

Masjid Pathok Negoro Plosokuning berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter persegi. Pada saat didirikan, bangunan masjid hanya seluas 288 m2, tetapi setelah perluasan seiring dengan kepadatan jumlah penduduk, bangunan masjid berkembang menjadi seluas 328 m2. Sekilas tidak ada yang istimewa pada bangunan masjid yang berarsitektur tradisional, yaitu beratap gunungan (meru) seperti beber gunungan wayang yang pucuk gunungnya (atap) menghadap ke langit, dengan bahan dasar bangunan dari kayu jati dan batu bata. Namun ia tidak seperti masjid-masjid di Timur Tengah pada umumnya dengan bangunan menara menjulang dan kubah di tengah bangunannya yang bertingkat.61

61 Kubah ternyata tidak hanya digunakan pada bangunan masjid, tetapi juga gedung-gedung ataupun rumah ibadah agama lain. Konon peradaban Mesopotamia yang pertama memperkenalkan dan menggunakan kubah pada arsitektur bangunan mereka, diperkirakan sekitar 6000 tahun silam. Mesopotamia sendiri terletak diantara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris (Irak). Namun ada pula yang menyatakan bahwa kubah mulai muncul pada masa Imperium Romawi, sekitar tahun 100 M. Salah satu buktinya adalah bangunan Pantheon (kuil) di kota Roma yang dibangun Raja Hadria pada 118 M-128 M. Penggunaan kubah tercatat berkembang pesat di periode awal pertumbuhan agama Kristen. Struktur dan bentang kubah pada waktu itu tidak terlalu besar, seperti terdapat pada bangunan Santa Costanza di Roma. Pada era kekuasaan Bizantium, Kaisar Justinian mulai membangun kubah kuno yang megah. Ia menggunakan kubah pada bangunan Hagia Sophia di Konstantinopel. Gereja yang beralih fungsi menjadi masjid dan kini menjadi museum nasional adalah salah satu bukti kubah merupakan hasil interaksi Islam dengan kebudayaan lain. Bahkan di Rusia, ada juga bangunan Katedral yang menjadi ikon kota Moskow dengan kubah pada bagian atasnya. Dahulu, saat khalifah Abdul Malik (685-688 M) berkuasa pada masa dinasti Umayah, ia membangun Dome of the Rock (kubah batu) atau lebih dikenal dengan nama Masjid Umar yang berdekatan dengan Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Inilah masjid pertama yang menggunakan kubah dalam sejarah

Page 41: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 265

Masjid yang berlantai satu ini tidak memiliki kubah dan menara menjulang, melainkan hanya ruang serambi (teras), tempat mimbar khotbah, hingga kentongan dan bedug di dalamnya sebagai penanda waktu shalat, serta dua gapura berarsitektur Majapahit di halaman luar masjid. Mimbar khotbah ini menarik karena berbentuk singgasana kecil raja dengan tempat duduk bertangga yang terbuat dari kayu jati, berornamen ukiran motif bunga pada pegangan mimbar. Mimbar khotbah juga dilengkapi dengan sebuah tongkat kecil yang dipegang oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan sebagai ciri khas masjid yang berkebudayaan Jawa tradisional. Masjid ini juga masih menganut adat kebiasaan lama di mana adzan pada saat sholat Jum'at disuarakan sebanyak 2 kali. Dahulu sekitar tahun 1950 adzan pertama disuarakan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang dari mereka. Khotbah Jum’at dahulu disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab yang tidak dapat dipahami artinya oleh komunitas masjid. Baru pada tahun 1960 terjadi perdebatan, adat kebiasan lama tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2 orang, tetapi adzan tetap dilakukan sebanyak 2 kali. Khotbah

pertumbuhan agama Islam. Sejarawan Al-Maqdisi menuturkan biaya pembangunan masjid mencapai sekitar 100 ribu uang dinar (koin emas). Lih., www.divanikaligrafi.com. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2015.

Page 42: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

266 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

juga diganti dengan bahasa Jawa sesuai dengan bahasa ibu komunitasnya.62

Ciri khusus lain dari Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah beratap tajuk dengan dua tumpang dan mahkota masjid yang berasal dari tanah liat serta atap masjid dari sirap berbentuk tajuk seperti piramida.63 Selain ciri-ciri tersebut, di halaman depan masjid adalah adanya kolam keliling sedalam tiga meter, dan pohon sawo kecik.64 Pohon sawo kecik yang berusia ratusan tahun ini memiliki makna sarwo becik atau serba baik, bahwasanya fungsi masjid adalah untuk kegiatan yang baik, dan tentu saja mendatangkan kebaikan bagi sesama.65

Namun dalam perkembangannya, terjadi perubahan bangunan tradisional seiring dengan unsur-unsur arsitektur modern yang masuk di Indonesia. Pada bagian lantai Masjid Pathok Negoro Ploskuning dahulu diplester biasa dengan menggunakan semen dari batu bata merah, kemudian pada tahun 1976 lantai masjid ini diganti dengan tegel biasa. Begitu juga dengan daun pintu dan tembok masjid dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dahulu tembok dinding masjid setebal 2 batu bata, namun karena terkikis terus menerus sekarang tinggal 1

62www.gudeg.net. Diunduh pada tanggal 25 Februari 2015. 63www.iwantgoto.com/yogyakarta/sleman-territories/religion-

tourism-sleman-territories/jami-sulthoni-mosque-the-west-pathok-nagari-mosque. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2015.

64www.jogjatrip.com. Diunduh pada tanggal 12 November 2014. 65 www.jalanjogja.com. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2015.

Page 43: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 267

batu. Dahulu pintu masjid hanya ada satu dan sangat rendah setinggi satu meter yang menyebabkan ruang masjid menjadi gelap gulita. Pintu yang rendah ini pada mulanya dimaksudkan agar setiap orang yang masuk ke masjid hendaknya membungkukkan badan dan menundukkan kepala sebagai tanda yang menunjukkan sikap tata krama dan rendah hati untuk menyepi di tempat yang sunyi sekaligus sebagai simbol penghormatan terhadap kesucian tempat ibadah.66 Namun keadaan demikian menyebabkan ruangan di dalam masjid menjadi gelap dan menyulitkan orang untuk melaksanakan ibadah, sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu masuk menjadi tiga bagian setinggi dua meter, yang memudahkan orang memasuki ruangan dalam masjid tanpa perlu lagi membungkukkan badan dan menundukkan kepala, serta ditambah bangunan jendela di ruang dalam masjid untuk memberikan kesempatan cahaya matahari masuk ke ruang dalam.67

Pada tahun 2000 Masjid Pathok Negoro Plosokuning mengalami renovasi besar-besaran, pada empat tiang utama kayu jati dan beberapa elemen lain yang telah mengalami kelapukan usia diganti, namun tanpa meninggalkan bentuk aslinya. Pada tahun 2001, Dinas Kebudayaan Pemerintah DIY membantu biaya untuk melakukan renovasi masjid pada bagian ruang serambi (depan) dan tempat wudhu (bersuci). Pada tahun itu pula

66 www.jogja.tribunnews.com. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2015. 67 www.masjidjogja.com. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2015

Page 44: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

268 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Gambar 5.4. Ruang dalam Masjid68

masyarakat secara swadaya mengganti lantai tegel masjid dengan keramik, memasang konblok di halaman serta mendirikan menara pengeras suara setinggi sepuluh meter sebagai penanda baru waktu shalat, meskipun telah tersedia alat bedug dan kentongan. Pada momen-momen tertentu, di masjid ini juga dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga inti Keraton, semisal tradisi Bukhorenan. Tradisi Bukhorenan telah menjadi bagian dari tradisi Keraton yang dilestarikan hingga sekarang. Maksud dan tujuan tradisi Bukhorenan tidak lain adalah untuk mempelajari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad melalui perkataan dan perbuatannya dengan

68 www.jalanjogja.com. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2015.

Page 45: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 269

membaca dan memahami teks-teks hadis yang terdokumentasi dalam Kitab Sahih Bukhari.69

Dalam konsep tata ruang Keraton, Masjid Pathok Negoro Plosokuning merupakan stereotype (miniatur) Masjid Gedhe yang terletak di alun-alun utara. Sampai kini masyarakat di lingkungan masjid ini dikenal berkehidupan yang sangat religius, yang juga ditandai sejak awal abad ke-20 M. dengan kehadiran sejumlah pondok pesantren baru. Kini bangunan masjid telah masuk dalam inventaris benda cagar kebudayaan tidak bergerak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.70 5.3.2. Papat Kiblat Lima Pancer

Letak Masjid Pathok Negoro Plosokuning juga dibangun dengan menganut pandangan dunia Jawa mengenai papat kiblat lima pancer, yang berarti “empat penjuru dengan satu titik pusat” sebagaimana juga konsep tata ruang konsentris Jawa. Istilah papat kiblat lima pancer ini juga mengandung makna filosofis bahwa keberadaan masjid dengan atap yang berbentuk gunungan menghadap ke langit merupakan satu pancaran cahaya Tuhan dari langit yang hanya dapat terpancar dan diperoleh jika manusia memiliki empat laku hidup sempurna sesuai dengan bentuk kubistik bangunan masjid dalam empat persegi panjang, yakni

69 Ibid. 70 www.purbakalayogya.com. Diunduh pada tanggal 12 Januari 2015.

Page 46: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

270 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

melambangkan pencapaian hakikat ketuhanan itu dimaknai dengan beribadah, berkeluarga, berpendidikan dan bersosial kemasyarakatan. Pencapaian hakikat ketuhanan dengan demikian, tidak murni melahirkan pemahaman mengenai agama Islam sebagai sistem kepercayaan personal manusia dalam mengimani Tuhan, melainkan juga kepercayaan publik yang mendorong etos duniawi, terutama dalam berkeluarga, berpendidikan dan bermasyarakat.

Sedangkan air kolam yang dibangun sedalam tiga meter di sekeliling Masjid Pathok Negoro Plosokuning melambangkan makna spiritual bahwa manusia dalam hidup harus selalu berkeadaan bersih dari dosa, seperti air yang berfungsi membersihkan badan, dengan cara tidak hanya rajin beribadah dengan menggunakan air untuk bersuci ketika memasuki tempat ibadah, akan tetapi juga air yang dalam melambangkan menuntut ilmu hendaknya dilakukan yang sedalam-dalamnya, yakni berkompetensi sebagaimana kedalaman air kolam.71

Berbicara tentang prinsip pacupat lima pancer masjid, dapat dijelaskan bahwa dalam bentuk bangunan pancer-nya itu Masjid Gedhe Kauman yang berada di kota Yogyakarta, sedangkan Masjid Pathok Negoro sebagai pacupat. Berlandaskan atas prinsip pecupat itu pula, desain semua masjid Pathok Negoro awalnya semua dilengkapi dengan kolam yang

71 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaluddin Purnomo.....

Page 47: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 271

memberikan petunjuk bahwa untuk masuk masjid (pancer) masyarakat harus dalam keadaan suci maka harus melewati kolam karena dulu masyarakat tidak terbiasa memakai sandal maupun sepatu72. Empat kiblat lima pancer atau sedulur papat lima

pancer yang secara harafiah berarti “empat saudara, dan yang kelima induknya” atau pendawa lima dalam tokoh lima bersaudara pada dunia pewayangan, dalam ajaran (mitologi) kebudayaan Jawa kuno, juga mengandung pengertian badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad lahir bersama empat unsur roh alam semesta yang berasal dari tanah, air, api dan udara, Keempat unsur roh ini masing-masing mempunyai tempatnya sendiri yang disebut kiblat papat, yaitu arah timur, selatan, barat dan utara, sedangkan faktor yang kelima bertempat di pusat atau tengah. Lima tempat itu sesuai dengan nama lima pasaran (wetonan) dalam sistem kalender Jawa yang memiliki kesamaan dengan empat unsur roh di mana ia berasal, yaitu Pertama, Pasaran Legi, roh bertempat di sebelah timur yang melahirkan unsur (energi) udara, sehingga dimaknai akan memancarkan aura putih atau kesucian hidup. Kedua Pasaran Pahing, roh bertempat di sebelah selatan yang melahirkan unsur api, sehingga dapat memancarkan sinar merah atau spirit kehidupan. Ketiga, Pasaran Pon yang bertempat di sebelah barat yang

72 Ibid.

Page 48: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

272 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

melahirkan unsur air, sehingga akan memancarkan energi sinar kuning atau sumber kehidupan. Keempat, Pasaran Wage yang bertempat di sebelah utara yang melahirkan unsur tanah, sehingga dapat memancarkan sinar hitam atau keabadian. Kelima, Pasaran Kliwon bertempat di tengah, yaitu tempat sukma atau jiwa yang melahirkan sinar manca warna (energi lima warna dunia). Pasaran Kliwon yang bertempat di tengah merupakan pusat jiwa atau roh yang membawa daya pengaruh (energi) bagi kiblat papat. Pancaran pengaruhnya dimulai dari arah timur berjalan ke barat sesuai dengan perputaran jam dan akan berakhir di titik tengah.73

Sementara pada bagian gerbang masjid terdapat tiga undakan (tangga) yang dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan beberapa hal simbolik yang mengandung banyak makna spiritualitas Islam sebagaimana dalam kontek kebudayaan Jawa yang membungkus nilai ke dalam identitas (form). Lambang tiga undakan pertama menunjukkan tiga elemen dasar beragama, yakni iman (kredo; rukun iman), Islam (liturgi; rukun Islam), dan ikhsan (spiritualitas). Rukun iman menjelaskan sistem kepercayaan dalam agama Islam yang tersusun dalam enam kredo (pengakuan iman), yaitu kepercayaan kepada Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, kepercayaan kepada para malaikat sebagai pembantu Tuhan, kepercayaan kepada para utusan Tuhan (Rasul) yang

73 Lih., Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen (Yogyakarta: Eule Book, 2009), 40.

Page 49: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 273

membawa misi ketuhanan, kepercayaan kepada kitab-kitab suci (al-Qur’an, Injil, Zabur, dan Taurat) yang merupakan rangkuman firman-firman Tuhan yang terdokumentasi, kepercayaan kepada hari kiamat sebagai tanda akhir zaman, dan terakhir, kepercayaan pada ketentuan Tuhan atas takdir manusia dalam hidup di dunia dan setelahnya. Sedangkan yang bermakna rukun Islam menjelaskan lima praktek keagamaan; menjadi ciri pokok sistem liturgi dalam agama Islam, yaitu deklarasi tentang Allah Swt sebagai Tuhan,74 dan Kerasulan Nabi Muhammad sebagai pernyataan syahadat (pengakuan), pelaksanaan shalat lima kali sehari sebagai media kebaktian untuk memuja dan berdoa kepada Tuhan, pelaksanaan puasa sebulan penuh selama bulan Ramadhan sebagai media penguatan kerohanian manusia, pelaksanaan zakat sebagai kewajiban hamba Tuhan (individu) untuk mendistribusikan hartanya dalam mendorong keadilan sosial di masyarakat, dan pelaksanaan ibadah haji ke Baitullah (rumah Tuhan) ke kota suci Mekah sebagai media integrasi sosial umat secara spiritual sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi

74 Allah Swt. adalah nama yang paling populer dipakai oleh umat

Islam di Indonesia ketika menyebut Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kata Allah Swt, singkatan dari Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya secara teologis adalah Allah yang maha suci dan tinggi sebagaimana Allah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim ketika mendirikan Ka’bah sebagai “rumah-Nya” di Mekah melalui Nabi Muhammad. Dalam kitab suci al-Qur’an sendiri kata Allah sebagai Tuhan yang satu itu memiliki 99 nama ketuhanan (sifat; personae), diantaranya ar-Rahman, artinya yang pengasih; ar-Rahim, artinya yang penyayang; al-Hakim, artinya yang menghakimi, dan al-Ghafur, artinya yang mengampuni.

Page 50: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

274 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Sedangkan makna Ikhsan mengandung arti bahwa hendaknya menusia selalu dekat dengan Tuhan karena kedudukan religiusnya sebagai hamba Tuhan.75

Selain itu, Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang dibangun menghadap arah timur ke barat, dalam konsep kebudayaan Jawa juga melambangkan arti bahwa siklus kehidupan duniawi yang diawali dengan terbit matahari dari arah timur dan diakhiri dengan terbenam matahari di sebelah barat, yang juga mengingatkan tentang siklus kehidupan manusia bahwa dari lahir ditandai dari matahari terbit hingga ke kematian ditandai dari terbenam matahari; hendaknya manusia selalu beribadah dalam mencapai keteduhan hidup sebagai makhluk yang asal muasalnya akan kembali kepada Tuhan atau dalam bahasa Jawa disebut sangkan paraning dumadi yang artinya semua akan kembali ke sumber asalnya (Tuhan). Sementara arti susunan atap satu tajuk menunjukkan bahwa semua tatanan dan tuntutan agama dipersembahkan hanya satu tujuan, yakni demi kesejahteraan umat manusia sebagai makhluk Tuhan. Selanjutnya dalam tingkatan puncak tajuk masjid memberikan arti bahwa manusia dapat menjadi derajat insan kamil atau tingkat manusia paripurna. Manusia paripurna diibaratkan sebagai manusia yang telah mampu memegang senjata dalam bentuk bergodho untuk

75 www.aprekecil.blogspot.com/masjid-sulthoni-plosokuning. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2015.

Page 51: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 275

mengendalikan hawa nafsu (instinc) sehingga dapat mencapai tingkatan wong linuweh, yaitu manusia yang mempunyai keunggulan spiritual.76

Gambar 5.5. Kolam Masjid Pathok Negoro Plosokuning77

5.4. Komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning 5.4.1. Pembentukan Identitas Agama dan Etnik

Merujuk pada pemikiran Durkheim melalui benda-benda yang disakralkan yang hidup dalam budaya masyarakat setempat untuk membedakannya dengan benda yang profan,78 seperti masjid, agama membentuk komunitas sosialnya yang tidak hanya diikat oleh benda-benda sakral, akan tetapi melalui benda-benda sakral itu, ia menghasilkan sistem kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan yang mengikatnya menjadi komunitas sosial.

76 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaludin Purnomo...., 77 Dokumen pribadi. 78 Lih., Emile Durkheim, The Elementary Forms...

Page 52: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

276 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Dalam pembentukan komunitas yang lahir dari agama seperti diteorisasikan oleh Durkehim tersebut yang membentuk identitas agama pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Menurut Hans Mol, agama memiliki hubungan yang erat dalam membentuk identitas di masyarakat. Hal ini terjadi karena, pertama, agama berperan dalam dramatisasi dialektika di masyarakat, dalam rupa mitos dalam bentuk keyakinan primitif dan kebijaksanaan moral, teologi dalam agama-agama dunia dan ideologi dalam bentuk sekuler. Mitos, teologi dan ideologi menyediakan suatu pedoman nilai bagi individu dan masyarakat dalam membangun kehidupan sosial. Mitos, teologi dan ideoleogi juga menyatukan berbagai unsur dalam uraian makna simbolik yang jelas, padat dan singkat.79

Kedua, agama menciptakan keteraturan transedental. Semakin kompleks masyarakat, diperlukan suatu nilai suci tertinggi agar keteraturan sosial terjaga. Fungsi sosial ini berkaitan dengan jaminan keadilan, keutuhan, dan kelangsungan identitas sosial.80 Ketiga, agama mengembangkan keterikatan emosional atau komitmen sosial yang membawa kepada kehendak bersama, seperti dalam memperkuat solidaritas sosial. Ia menjadi pegangan emosional dalam pemusatan identitas

79 Hans Mol, “Religion and Identity: A Dialectic Interpretation of

Religious Phenomena”, dalam Hayes, V.C., ed., Identity Issues and World Religions (Bedford Park, Australia: Australian Association for the Study of Religion, 1986), 66.

80 Ibid., 68.

Page 53: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 277

yang serba banyak atau majemuk. Keempat, agama, dalam bentuk ritual dapat menegakkan nilai kebersamaan. Ritual akan memberikan rasa memiliki dan identitas bagi manusia dalam berkelompok. Ritual merupakan bentuk pengulangan tindakan, pengucapan dan gerakan yang mempertahankan obyek sakralisasi. 81

Dengan demikian komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning pada awalnya dibentuk oleh ikatan religius yang sama, yaitu dalam hal beragama Islam yang mempersatukan mereka sebagai anggota persekutuan tempat suci, yang bersifat simbolik, yaitu masjid. Sebagai anggota persekutuan agama, masjid merupakan tempat ibadah yang merekatkan secara teologis dan sosial dalam mempercayai kekuatan suci, yaitu Tuhan. Tuhan yang dalam istilah agama Islam yang berasal dari bahasa Arab disebut Allah atau Rabb, dan dalam bahasa Jawa mengalami transformasi istilah disebut Gusti Allah atau Pengeran Sing Aweh Urip, yang berarti Tuhan yang memberi hidup yang dipahami sebagai kekuatan suci yang menghidupkan alam semesta dan seisinya. Dalam bahasa Jawa, Tuhan Allah juga disebut oleh masyarakat dengan Gusti Ingkang Murbeng Dumadi yang secara harafiah berarti Tuhan yang menguasai jagad, yang bermakna bahwa Tuhan merupakan kekuatan mutlak yang dipercayai keberadaan-Nya, baik keberadaan-Nya sebagai substansi yang berdiri sendiri dalam hakikat

81 Ibid., 70.

Page 54: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

278 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

maupun bentuk namanya sebagai perwujudan yang tunggal dalam menciptakan alam semesta. Namun Tuhan atau Gusti Allah itu menjadi manunggal dalam hakikat-Nya, yakni Ia sehakikat dalam sifat dan sehakikat dalam dzat (nama). Maksudnya Tuhan itu menjadi ada dan mengada tetapi Ia tidak dapat dibagi dan tidak terbagi keberadaan nama-Nya yang ada dan mengada di alam semesta yang diciptakan-Nya.

Dasar-dasar sistem kepercayaan religius tersebut yang memperkokoh keyakinan individu manusia dalam menjalankan praktek-praktek keagamaan, baik praktek-praktek dalam bentuk ritus yang disebut sebagai ibadah mahdhah, yakni ibadah yang bersifat personal dan berorientasi vertikal ke arah langit maupun dalam bentuk tradisi-tradisi kebudayaan masyarakat, yang disebut muamalah, yakni ibadah yang bernilai hubungan kemasyarakatan sebagai aktualisasi sosial dari dasar-dasar kepercayaan itu. Dalam struktur bangunan sistem kepercayaan teologis dan hubungan timbal balik dengan praktek-praktek keagamaan yang bersifat sosiologis ini yang membantu individu manusia berada dalam fungsi mana ia mengikatkan diri ke dalam komunitas atau kelompok sosial. Sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang secara religius dapat berdiri sendiri sebagai individu yang otonom dalam beragama (institusi), dan sebab itu pula ia disebut sebagai makhluk sosial yang memiliki keyakinan-keyakinan teologis yang sama yang

Page 55: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 279

terinstitusikan, sebagaimana pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning.

Dasar-dasar kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan yang saling mengokohkan itu yang membentuk identitas pertama komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Yaitu sistem kepercayaan teologis dalam agama dan praktek-praktek keagamaannya yang dilakukan secara berulang-ulang dan bersama, baik dalam praktek ritus (ibadah), seperti shalat, berpuasa, dan berzakat maupun dalam praktek tradisi (muamalah), yaitu kehidupan sosial dan berkebudayaan di masyarakat. Selain tentu saja kehadiran pohon Plosokuning yang dikeramatkan oleh komunitas masjid sebagai mitos awal tentang yang sakral, karena menjadi bagian dari identitas masjid. Proses pengidentitasnya terjadi, baik secara simbolik di mana unsur kekeramatannya yang membentuk nilai dan pandangan dunia kosmik Jawa yang serba sakral maupun letak geografisnya yang satu kompleks dengan lingkungan masjid sebagai tempat suci itu berada.

Namun identitas komunitas Masjid Pathok Negoro tidak semata didasarkan pada ikatan teologis dan mitologis pohon Plosokuning yang sama, tetapi juga ikatan etnik, yaitu Jawa sebagai pembentuk kesadaran manusia Jawa di mana agama Islam itu mendapat tempat untuk tumbuh dalam lingkungan budaya non Arab, yakni kebudayaan Jawa. Menurut Liliweri, identitas agama dalam suatu komunitas yang terbentuk juga menjadi

Page 56: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

280 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

bagian dari identitas kebudayaan. Ini artinya identitas agama separarel dengan identitas kebudayaan yang juga terbentuk dari keanggotaan individu dalam suatu suku bangsa atau kelompok etnik budaya tertentu.82 Dalam komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, kebudayaan Jawa membentuk identitas karena asal usul geneologis komunitasnya yang bersambung dengan sistem kekerabatan bangsawan Jawa, seperti ditandai dari ciri komunitasnya yang berakar pada sejarah kekuasaan raja-raja Mataram di Yogyakarta. Namun ikatan kebangsawanan yang lahir dari hubungan agama dan etnik ini yang justru membelah komunitas masjid ke dalam dua kelompok, yaitu komunitas Plosokuning Jero dan Plosokuning Jobo. Bahkan status kebangsawanan yang membelah komunitas itu tidak hanya terjadi di lingkungan masjid, tetapi juga masyarakat Dusun Plosokuning pada umumnya.

5.4.2. Identitas Plosokuning Jero dan Plosokuning

Jobo Komunitas Plosokuning Jero secara harafiah berarti

“orang dalam” , yakni kelompok internal masjid, sedangkan komunitas Plosokuning Jobo secara harafiah berarti “orang luar” atau kelompok luar masjid. Istilah Plosokuning Jobo tidak lahir dan melekat dari dirinya sendiri, melainkan sebutan yang diberikan oleh

82 A. Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LKiS, 2002), 96-97.

Page 57: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 281

komunitas Plosokuning Jero terhadap kelompok masyarakat umum atau pendatang. Meskipun penyebutan orang luar ini terkesan diskriminatif, namun diskriminasi resmi ini diterima oleh komunitas Plosokuning Jobo akibat dari keterikatan terhadap kebudayaan etnik yang dominan dan agama yang membentuk komunitas itu. Bentuk diskriminasi sosialnya itu terletak pada status sosial kelompok Plosokuning Jero yang merasa lebih tinggi dalam komunitas, sehingga yang lain disebut orang luar. Status sosial yang tinggi ini lahir karena ikatan historis komunitas Plosokuning Jero sebagai kelompok pemilik masjid sekaligus pewaris tugas-tugas kenegaraan Keraton. Perbedaan status sosial ini juga mempengaruhi secara geo-sosial di mana anggota komunitas yang berbeda stratifikasi etniknya ini berkoloni. Komunitas Plosokuning Jero yang bertempat tinggal di sekitar kompleks masjid. Karena tidak hanya mewarisi tugas mengelola kemasjidan, tetapi juga menempati tempat tinggal di tanah nenek moyangnya di sekitar masjid, yakni tanah peninggalan Kyai Raden Mursodo, putra Kyai Raden Nur Iman yang dikenal sebagai saudara tua Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Selain ditandai dari status sosial sebagai pemegang yang sah pewaris tanah peninggalan Keraton yang kemudian menjadi tempat tinggal komunitas Plosokuning Jero, mereka juga memperoleh keistimewaan lain berdasarkan gelar kebangsawanan yang disandangnya secara turun temurun, seperti raden, roro dan raden mas.

Page 58: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

282 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Gelar kebangsawanan yang diekspresikan oleh komunitas Plosokuning Jero telah membentuk kebanggaan jatidiri selama berabad-abad karena tidak semua orang dapat memperoleh gelar geneologis tersebut, kecuali karena jasanya yang luar biasa yang pernah dilakukan untuk kebesaran Keraton.83 Gelar kebangsawaan ini juga menciptakan ketegori kelompok bahwa mereka berada dalam stratifikasi sosial teratas dalam piramida sosial masyarakat Plosokuning, sebagai bagian dari kebanggaan terhadap sejarah masa lalunya yang dilestarikan. Gelar yang menimbulkan kebanggaan psikis dan sosial ini pula yang dampaknya membatasi mereka dalam menentukan perjodohan, yakni kecenderungan untuk menikah dengan sesama bangsawan Keraton. Bahkan dalam berinteraksi sosial, komunitas Plosokuning Jero dibiasakan menggunakan etika kebangsawanan, tata aturan dan penggunanan bahasa Jawa yang halus (krama inggil) sebagai aturan kesopanan yang diwariskan dari para leluhur.

83 Gelar kebangsawanan yang mencerminkan ketinggian martabat

sebenarnya merupakan sisa-sisa warisan masyarakat Majapahit yang memiliki struktur sosial yang didasarkan pada empat lapisan masyarakat atau caturjana pada saat itu. Tingkat pertama, mereka yang lahir sudah bernasib menjadi “orang baik” (sujanma), seperti para mantri, rohaniawan, pejabat tinggi serta para bangsawan, yang kedua disusul para ksatria, yaitu para wali dan perwira sebagai golongan bangsawan rendah, kelas ketiga dan keempat adalah waisya dan sudra, yang merupakan golongan masyarakat biasa di luar kerajaan. Struktur sosial berlapis-lapis ini kemudian berkurang pengaruhnya seiring dengan “semangat egaliter” ajaran Islam yang masuk. Lih., Denys Lombard, Nusa Jawa, Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 58-59.

Page 59: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 283

Aturan kesopanan itu mengajarkan, antara lain bagaimana seorang bangsawan bersikap lembut dan merendah terhadap orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi status sosialnya di masyarakat, dengan cara menundukkan wajah dan menghilangkan sikap angkuh pada saat berhadapan dengan orang yang lebih tua atau dituakan tersebut. Dalam hal berkunjung ke rumah yang sesama keluarga bangsawan, juga menggunakan aturan kesopanan yang rumit, misalnya ketika mengambil makanan jamuan yang disediakan di meja tamu, harus menunggu tawaran dari si tuan rumah lebih dulu dan mengambil jamuan makanannya itu pun dengan menggunakan tangan kanan, tidak diperkenankan dengan tangan kiri. Jamuan makanan yang ditelan pun tidak boleh menimbulkan suara berisik atau gaduh. Begitu pula dalam penggunaan bahasa halus, yaitu bahasa Jawa Krama Inggil yang diajarkan kepada putra-putrinya sejak kecil ketika berinteraksi sosial dengan orang lain. Semakin intensif berinteraksi dengan individu yang berstatus sosial lebih tinggi, semakin halus bahasa komunikasi yang digunakan.84 Gelar kebangsawanan yang

84 Selain bahasa Sunda dan Madura, bahasa Jawa juga memiliki hirarki

bahasa berdasarkan kehalusannya bertutur yang melambangkan kesopanan masyarakat dalam pelapisan sosial, dan ketinggian kebudayaannya. Tingkatan bahasa ini terjadi pada pilihan kosakata yang bertingkat, yaitu tingkat kromo inggil, kromo dan ngoko. Tingkatan ngoko merupakan bahasa tingkat rendah yang biasanya digunakan oleh masyarakat bawah dan dituturkan dalam suasana “akrab”, yakni hubungan dekat, seperti penggunaan kata “aku” (aku) dan engkau (kowe) yang dipakai jika penutur sudah saling mengenal dengan baik dan berhubungan erat. Namun jika salah satu dari penutur menganggap diri lebih rendah, atau belum kenal akrab

Page 60: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

284 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

membawa ajaran dan nilai-nilai sosial ini juga memberikan perhatian pada kedudukan perempuan yang diletakkan sebagai makhluk lemah lembut (feminim) yang bertutur kata halus kepada setiap orang yang dijumpai dan menyapa.

Gelar kebangsawanan komunitas Plosokuning Jero, dengan demikian mengandung identitas yang bermakna ganda, yaitu pertama menunjukkan kategori kelompoknya yang berada di lapisan elite dalam piramida sosial masyarakat Plosokuning, sehingga berkecenderungan mempertahankan keelitan sosialnya. Keelitan ini yang melahirkan sikap feodalisme kuno di mana gelar yang menjadi identitasnya itu membatasi interaksi sosial mereka kepada kelompok lain, sehingga cenderung menutup diri. Selain itu, sikap feodalisme juga membuat mereka selalu merasa ingin dihormati kelompok yang lebih rendah status sosialnya karena nilai kesejarahannya atas tanah yang dikuasai sebagaimana ciri sejarah feodalisme kuno sebagai golongan aristokrasi di masa lalu.

(ayah terhadap anak, majikan terjadap pelayan), maka disebut tingkat kromo, seperti dalam memanggil orang yang lebih tinggi statusnya, dengan kata sampeyan atau penjenangan (anda). Sedangkan tingkatan kromo inggil adalah tingkatan bahasa yang paling halus di mana penutur berada dalam status sosial yang berbeda secara tajam, dengan orang yang dihormati, yaitu raja, atasan atau orang tua, seperti sampeyan dalem (beliau yang terhormat), ingkang sinuwun (anda yang mulia), enggih (ya), dalem (ya siap), dan kulo (aku). Diferensiasi bahasa ini berlaku untuk semua sektor kosakata’ “rumah” ngoko-nya adalah omah, kromonya griya; “besar:” ngoko-nya gedhe, dan kromo-nya ageng, kemudian ditambahi kata akhiran nipun, untuk kromo inggil-nya, yaitu griyanipun, agengipun. Ibid., 59.

Page 61: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 285

Kedua, karena gelar kebangsawanan itu juga mengajarkan etika sosial, mereka cenderung mengkategorikan diri sebagai kelompok yang teguh mempertahankan kebudayaan lokal yang dibentuk oleh asal usul leluhurnya, seperti sikap ramah, kesopanan dan kelembutan sebagai nilai-nilai yang dibutuhkan dalam berinteraksi sosial. Etika sosial inilah yang membuat mereka selalu berjiwa melindungi (ngayomi) terhadap kelompok sosial di bawahnya yang telah menghormatinya sebagai imbalan sosial (patron-client). Jadi identitas kebangsawanan memiliki makna yang rumit dan paradoksi jika diamati secara intensif dan mendalam, yakni ke dalam mereka selalu ingin menjadi terdepan; menjadi pemimpin; penguasa yang mengatur. Namun keluar, dengan gelar kebangsawanan itu melahirkan sifat kepemimpinan yang melindungi dan mengasihi terhadap orang kecil, sehingga cenderung melahirkan watak kerakyatan yang bersumber dari nilai-nilai etno-nasionalismenya, meskipun masih tampak sikap feodalismenya yang tidak mau berbagi kepemimpinan dan peran sosialnya di masyarakat, seperti yang ditunjukkan dalam struktur kepengurusan masjid.

Sementara lawan dari komunitas Plosokuning Jero adalah orang-orang yang tinggal di daerah yang agak jauh dari masjid, yang disebut komunitas Plosokuning Jobo yang kebanyakan berasal dari pendatang atau masyarakat umum. Ini artinya batas antara komunitas Plosokuning Jero dengan Plosokuning Jobo tidak hanya ditentukan

Page 62: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

286 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

oleh ikatan kekerabatan dengan generasi kebangsawanan Jawa dan kebudayaan lokalnya itu. Tetapi juga ditentukan oleh letak geo-sosialnya, yaitu komunitas Plosokuning Jero bertempat tinggal yang berdekatan dengan kompleks masjid, hingga ke utara sekitar 500 meter. Tepatnya, sampai di Plosokuning II. Selain yang ada di kompleks Plosokuning II, yaitu Plosokuning I, III dan IV merupakan bagian dari komunitas Plosokuning Jobo.85 Sebagian besar komunitas Posokuning Jobo adalah pendatang dari daerah-daerah di Jawa, namun terdapat pula yang datang dari daerah luar Jawa, seperti Sumatera atau Kalimantan yang menikah dengan masyarakat Plosokuning. Melalui pernikahan ini mereka beradaptasi dengan kebudayaan Jawa di mana mereka bertempat tinggal.

Identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, baik Plosokuning Jero maupun Plosokuning Jobo pada kenyataannya tidak lahir dari doktrin agama akibat kesamaan keyakinan-keyakinan teologis dan ritual semata, melainkan berdasarkan stratifikasi sosial-etnik masyarakat Jawa yang hirarkial. Komunitas Plosokuning Jero mengidentikan diri sebagai kalangan priyayi adalah dalem (keluarga mulia) Keraton yang memiliki otoritas atas “kekuasaan spiritual” masjid karena mandat yang diberikannya yang diperoleh berdasarkan pertalian darah yang diwariskan. Sedangkan komunitas Plosokuning Jobo tidak memiliki identitas geneologis seperti itu.

85http://pencariilmu-goresantinta.blogspot.com/budaya-jawa-dan-islam-di-sekitar-kita. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2015

Page 63: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 287

Menurut keterangan dari narasumber daerah sekitar masjid hanya di tempati oleh keturunan dari Kyai Raden Nur Iman yang berasal dari Mlangi. Oleh sebab itu daerah tersebut dianggap sebagai daerah Mutihan atau tempat tinggalnya orang-orang putih atau santri dan disebut sebagai Plosokuning Jero atau dalam bahasa Indonesianya adalah orang dalam. Dan orang-orang yang jauh dari daerah masjid disebut sebagai orang Jobo atau luar. Perbedaannya antara orang Jero dan Jobo adalah dari segi fungsinya, kalau orang Jero itu yang menjalankan dan menjaga kebudayaan yang sudah ditetapkan oleh Keraton dan ini sudah tugas khusus dari Keraton, sedangkan orang Jobo tidak diperkenankan untuk menjalankan fungsi tersebut, karena tidak memiliki ikatan darah dengan Keraton.86 Dengan demikian kesadaran etnik komunitas

Plosokuning Jero lebih menonjol daripada kesadaran religius. Hal ini terjadi karena alasan historis yang cukup pajang sejak awal Masjid Pathok Negoro Plosokuning berdiri. Untuk melihat bagaimana historisitas identitas etnik dan agama terbentuk di tengah komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang perlu dipahami, adalah komposisi masyarakatnya yang terbelah menjadi dua sebagaimana disebutkan di atas, dan hasil wawancara di bawah ini.

86 Hasil FGD, pandangan Bapak Raden Ngabehi. Suprobo, A. Ma.....

Page 64: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

288 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Ada jarak antara yang dalam (Jero) dan yang luar (Jobo). Yaa itu ada perbedaan yaa, kalau dulu ada raden yang laki-laki, raden ayu yang perempuan. Yaa itu terjadi karena ada perbedaan keturunan itu tadi. Karena yang orang Jero itu orang Keraton, yang orang Jobo adalah orang biasa”.87 Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa

pembentukan identitas itu lahir karena adanya kesadaran etnik yang melekat dalam diri mereka. Etnisitas ini muncul karena adanya perbedaan garis keturunan yang berbeda antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dalam stratifikasi sosial Keraton yang ditandai dari gelar kebangsawanan yang melekat.88 Dari perbedaan garis keturunan inilah yang mendorong terbentuknya kesadaran etnik yang diperkuat dengan adanya panggilan gelar kebangsawanan yang membedakan antara mereka yang mempunyai status sosial tinggi, yaitu keturunan dari Keraton dengan masyarakat biasa.

87 Wawancara dengan Ibu Uul, Komunitas Plosokuning Jobo, pada

tanggal 10 November 2014. 88 Keraton dihuni oleh kelompok-kelompok sosial berstratifikasi.

Stratifikasi sosial di dalam Keraton sangat berhubungan dengan sistem pelapisan sosial berbentuk kerucut dalam masyarakat Jawa. Sistem pelapisan masyarakat pertama ialah sultan atau raja. Lapis kedua terdiri dari kerabat atau sentana Keraton, menyusul lapis ketiga terdiri dari pekerja administrasi Keraton maupun pemerintahan yang disebut abdi dalem. Lapis keempat ialah golongan wong cilik. Pada perkembangan sosialnya, pada lapis ketiga ini sering disebut mempunyai peranan utama dalam penguatan kebudayaan dan tradisi Jawa di Keraton, Lih. Abdurrachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), 27.

Page 65: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 289

Panggilan kebangsawanan yang digunakan untuk anggota komunitas Plosokuning Jero adalah raden atau raden mas untuk laki-laki, dan raden ayu atau raden roro bagi perempuan sebagai identitas asli kebangsawanan Jawa. Dalam prakteknya panggilan tersebut juga membentuk suatu sikap yang berbeda dalam masyarakat. Kondisi sosial ini mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Jawa yang sering ditemui bahwa penghormatan pada keluarga Keraton tidak hanya dalam bentuk panggilan gelar kebangsawanan, tetapi juga unggah-ungguh. Unggah-ungguh merupakan suatu bentuk etika pergaulan yang terdapat di masyarakat Jawa. Etika atau unggah-ungguh ini terepresentasi pada sikap yang diperlihatkan komunitas Plosokuning Jobo terhadap Plosokuning Jero, yang selalu bersikap merendah.

Secara teoritis, perbedaan identitas komunitas tersebut dapat melahirkan “kesenjangan sosial” yang dapat memicu konflik. Namun konflik tidak terjadi karena adanya faktor identitas agama yang mengikatnya secara kohesif, sebagaimana perbedaan itu diletakkan pada garis keturunan etno-religius, yaitu asal usul Kyai Mursodo. 89 Hal itu sebagaimana ungkapan berikut :

..gak-gak sampek (konflik) yaa. Kalau konflik yang benar-benar terjadi gak sampek yaa. Cuma, apa yaa. Kalau ngrasani yaa paling, kok orang dalem kayak gini kata orang luar. Tapi

89 Wawancara dengan Ibu Uul....

Page 66: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

290 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

gak sampek kalau jadi konflik yang berlebih yaa.”90 Keterangan tersebut menunjukkan bahwa konflik

mempunyai ukuran-ukuran tertentu. Konflik merupakan suatu bentuk mencuatnya masalah sosial yang ada di masyarakat dan menjadi perseteruan yang melibatkan banyak orang dan bersifat terbuka, bukan sekedar ngrasani yang berarti membicarakan “aib” orang karena rasa kesal, dan menilai secara pejoratif pihak lain sebagaimana yang sering ditunjukkan dalam masyarakat Jawa. Sedangkan ukuran ngrasani atau menggerutu di belakang orang yang diperbincangkan dan bersifat tertutup tidak dianggap konflik. Artinya tidak dapat dikatakan konflik terbuka jika terjadi dalam komunitas kecil dan tidak sampai meledak ke permukaan sosial, karena memang sikap kebudayaan orang Jawa yang harus tampak baik (harmonis) secara lahiriah dalam berinteraksi sosial dengan sesama.

Proses pembentukan kesadaran identitas etnik itu juga yang membentuk jarak secara internal dalam komunitas masjid itu sendiri. Secara teritorial atau letak geografis antara komunitas Plosokuning Jobo dan Plosokuning Jero yang tidak menyatu, membedakan satus sosial mereka secara etnik. Batas wilayah tempat tinggal ini juga sekaligus menjadi penanda perbedaan identitas

90 Ibid.

Page 67: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 291

antara komunitas Plosokuning Jero dan Plosokuning Jobo dalam kategori politik lokalnya.

Kini kehadiran para pendatang di sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning menjadi sebuah ruang interaksi yang mulai terbuka, antara komunitas Plosokuning Jero dengan dunia luar. Tetapi, ada keunikan tersendiri yang terdapat pada komunitas Plosokuning Jero, yakni mereka cenderung selektif dengan masyarakat pendatang yang akan menetap di sekitar komunitas Plosokuning Jero. Artinya proses interaksi sosial antara komunitas Plosokuning Jero dengan pendatang cenderung terbatasi. Sikap membatasi yang ada pada komunitas Plosokuning Jero terhadap Plosokuning Jobo merupakan bagian dari usaha yang dianggap positif untuk tetap menjaga kemurnian nilai-nilai luhur kehidupan sosial yang telah dijaga secara turun temurun dari leluhur, dan merasa bertanggungjawab atas kelangsungan hidup kebudayaan Jawa yang diwariskan oleh mereka. Selain itu, ia merupakan bagian dari usaha untuk tetap memperteguh identitas lokal mereka sebagai bagian dari keluarga penerus dari keturunan Kyai Mursodo yang juga bagian dari kerabat Keraton.

Dari latar belakang sosial tersebut dapat diketahui bahwa komunitas Plosokuning Jero melakukan interaksi sosial yang terbatas dengan komunitas Plosokuning Jobo, kecuali dalam beribadah di masjid dan interaksi sosial dalam tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan yang digelar bersama. Tentu berbeda dengan lingkungan

Page 68: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

292 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

komunitas Plosokuning Jobo yang menjadi koloni tempat tinggal pendatang yang selalu mengalami dinamika sosial.91

5.4.3. Globalisasi Yang Meratakan

Pada dasarnya proses interaksi komunitas Plosokuning Jero dengan komunitas Plosokuning Jobo tidak terjadi secara intensif. Akan tetapi pengaruh kebudayaan baru, seperti perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang menurut Thomas L. Friedman telah ikut meratakan globalisasi ke seluruh dunia,92 dapat ditemukan di tengah kedua komunitas tersebut sebagaimana terlihat dari perubahan yang terdapat dalam mengelola infrastruktur Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Perubahan ini juga mulai meratakan sekat-sekat yang selama ini membatasi perbedaan antara komunitas Ploskuning Jero dengan Plosokuning Jobo dalam mengidentikkan diri dan berinteraksi. Pada awalnya, pengurus Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang terdiri dari orang Plosokuning Jero tidak memperkenankan teknologi pengeras suara dalam proses pengumandangan adzan dalam menandai waktu shalat tiba. Namun sekarang dapat ditemui adanya teknologi pengeras suara. Alasan penggunaan teknologi ini adalah untuk memperluas jangkauan suara adzan, dan juga

91 Wawancara dengan Uli, Komunitas Plosokuning Jero, pada tanggal 10 November 2014.

92 Lih., Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of Twenty-First Century (USA: Fattar, Straus and Giroux New York, 2015).

Page 69: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 293

penguat solidaritas sosial secara intensif dalam berbagi informasi mengenai jadwal kegiatan maupun pelaksanaan kegiatan peribadatan di masjid sehingga dapat diakses anggotanya.93

Selain keterbukaan terhadap hal-hal baru yang mulai tumbuh, seperti teknologi pengeras suara sebagai alat komunikasi dan informasi yang kadang tanpa disadari mengganggu ketenangan komunitas agama lain karena jangkauan suaranya yang berisik sampai ke luar lingkungan masjid, perbedaan tajam status sosial komunitas Plosokuning Jero dengan komunitas Plosokuning Jobo juga mulai terkikis dan meredup, terlebih dengan kehadiran teknologi internet yang memperluas interaksi dan dapat diakses ke dunia luar yang jangkauannya semakin besar. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya status ekonomi komunitas Plosokuning Jobo yang lebih baik dibanding komunitas Plosokuning Jero. Etos kerja komunitas Plosokuning Jobo lebih tinggi sehingga menghasilkan kemakmuran ekonomi dan peningkatan status sosial, dibanding dengan komunitas Plosokouning Jero yang selama ini mengandalkan sumber ekonomi warisan dari leluhurnya, seperti aset tanah dan pertanian.94 Sementara sumber-sumber eknonomi komunitas Plosokuning Jobo lebih variatif, dari mulai pekerjaan sebagai pedagang, pegawai negeri maupun biro jasa wisata dan travel.

93 Wawancara dengan Rr. Salma Mumtaza..... 94 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaludin Purnomo.....

Page 70: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

294 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

....akan tetapi masalah yang pernah muncul dulu terkait dengan identitas yang berada di masyarakat Jero itu, kalau tidak dipanggil gelarnya orang itu marah-marah. Tetapi sekarang sudah tidak terjadi lagi, karena masyarakat Jobo sudah beranggapan kalau semua itu sama. Sebabnya mereka juga masih makan di warung-warung yang masyarakat Jobo makan juga dan tidak ada keistimewaannya. Dari segi ekonomi malah masyarakat Jero dikatakan masih dalam kategori miskin, karena mereka sering menjual tanahnya ketika tidak memiliki uang, sedangkan masyarakat Jobo lebih makmur secara ekonominya karena mereka lebih giat bekerja tidak terikat dengan gelar yang diberikan oleh Keraton.95 Ini artinya sebagai bagian dari masyarakat

Indonesia yang menghadapi proses perubahan global, komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, baik Plosokuning Jero maupun Plosokuning Jobo juga memiliki reponsi positif bahwa media elektronik dan teknologi informasi, seperti teknologi pengeras suara dan jaringan internet yang datang dari dunia luar dapat mencairkan interaksi sosial mereka dan berkohesi sosial, bahkan menjadi sarana bersosialisasi dengan masyarakat luar secara timbal balik, sekaligus juga untuk memperkenalkan berbagai kekayaan tradisi agama dan kebudayaan lokal yang dimiliki oleh komunitas masjid ke

95 Hasil FGD, pandangan Ibu Ambar, Komunitas Plosokuning Jobo,

pada tanggal 5 Desember 2015.

Page 71: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 295

dunia global. Bagi generasi muda masjid, teknologi media tersebut digunakan untuk mempermudah komunikasi dan koordinasi antar pengurus untuk mempersiapkan berbagai agenda kegiatan yang direncanakan maupun yang akan dilaksanakan.96 Bahkan teknologi media global, seperti video youtube, televisi, koran online juga dipakai secara kreatif untuk mensosialisasikan kegiatan komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, terutama dalam mempromosikan kegiatan keagamaan dan kebudayaan lokal, selain tentu juga kunjungan wisatawan asing yang datang ke masjid, seperti yang pernah dilakukan oleh para mahasiswa dari Amerika Serikat.97 Kedatangan para mahasiswa dari Amarika Serikat ke lingkungan masjid ini dikarenakan ketertarikan mereka pada dua hal, yaitu pertama sikap keterbukaan komunitas masjid terhadap dunia luar karena juga dikenal dalam dunia maya (IT) yang bersifat global sehingga keberadannya terakses oleh masyarakat di seluruh dunia, dan kedua adalah tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang selama ini diekspresikan oleh komunitas masjid menjadi bagian identitasnya mulai dikenal luas, sehingga memikat para pelaku dalam dunia industri tourism.98

Pada fungsi awal sebagai masjid di masa lalu, Masjid Pathok Negoro Plosokuning digunakan sebagai tempat

96 Wawancara dengan Uli..... 97 Wawancara dengan Bapak Raden Mas Kamaluddin Purnomo...... 98 Ibid.

Page 72: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

296 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

ibadah dalam pengertian yang luas. Fungsi ini lahir karena pada asal mula berdiri, ia tidak hanya sebagai tempat ibadah murni untuk kebaktian komunitas yang bersifat kerohanian, tetapi menjadi tempat untuk melaksanakan kegiatan kemasyarakatan, seperti halnya dalam penyusunan strategi ekonomi dan politik, bahkan pendidikan sebagaimana kedudukannya sebagai bagian dari institusi Kerajaan Mataram. Kini, banyak hal yang berubah, identitas masjid dengan komunitasnya tidak lagi sebagai media mobilisasi sosial dan simbol kekuatan politik raja yang menyekatnya dalam batas-batas berinteraksi, melainkan menjadi tempat beribadah yang dilindungi oleh negara, dengan penetapannya sebagai cagar kebudayaan bangsa.99

Ini artinya media teknologi dan informasi yang menjadi bagian dari kekuatan global juga telah merambah masuk dan turut mengubah wajah identitas komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning menjadi majemuk sesuai dengan tantangan zaman yang muncul. Peran dan kedudukan komunitas masjid yang dahulu menempatkan agama dalam subordinasi politik Keraton yang berintegrasi dengan etnik Jawa, telah mengalami perubahan. Kedudukan masjid dan peran komunitasnya telah menjadi salah satu dari kekuatan tradisi dan kebudayaan Jawa. Perubahan dari yang bersifat vertikal ke sifat horisontal ini terjadi tidak hanya pada waktu

99 Wawancara dengan Uli.....

Page 73: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 297

Keraton terlibat dan bergabung dengan gagasan-gagasan revolusi nasionalisme Indonesia pada tahun 1945. Akan tetapi juga penetapan Masjid Pathok negoro sebagai bagian dari cagar kebudayaan nasional yang dilindungi.100 Perubahan identitas ini tidak hanya terjadi akibat kebijakan negara, akan tetapi juga karena dukungan Keraton yang juga berubah eksistensinya sebagai lembaga adat dan kebudayaan Jawa di tengah kecemasan Keraton menghadapi arus globalisasi yang menimbulkan dampak negatif akan kehilangan identitas lokalnya. Bahkan juga penetapan cagar kebudayaan bangsa itu mendapat dukungan dari komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning itu sendiri, seperti yang ditunjukkan dari menggeliatnya aktivitas-aktivitas tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal yang dilakukannya sebagai ekspresi identitas, katimbang aktivitas politik praktis. Bahkan ekspresi identitas itu juga intensif dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi global, sehingga menciptakan pandangan pluralitas kebudayaaan (lokal) dari wajah globalisasi yang dianggap datang dari Dunia Barat itu sendiri.

100 Bersama tempat ibadah; Wihara Buddha Praba Gondomanan,

Gereja Katolik Santo Yusuf Bintaran dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Margomulya, Masjid Pathok Negoro Plosokuning mendapatkan penghargaan sebagai cagar budaya nasional yang harus dilestarikan oleh Pemerintah RI. Lih., Keputusan Menteri Kebudayaan Pariwisata Republik Indonesia, Nomor 33/KP/107/MKP/2008 tentang Pemberian Penghargaan Kepada Pelestari dan Juru Pelihara Benda Cagar Budaya, Jakarta, 25 Juni 2008.

Page 74: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

298 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

Gambar 5.6. Karnaval Budaya Shalawatan Jawi/Baduwi101

Salah satu kebudayaan lokal yang berkembang unik di komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah karnaval budaya Shalawatan Jawi atau Baduwi.102 Karnaval budaya Shalawatan Baduwi merupakan gabungan dari seni tradisi gamelan Jawa, mistik Islam dan seni tari dari Turki sebagai ekspresi estetika dalam rangkaian upacara memuji Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan dalam bentuk gerak tari secara berkelompok model baduwi (suku pengembara), dengan syair yang dilagukan dalam bahasa Jawa dan Arab. Meskipun karnaval budaya Shalawatan Baduwi itu terbentuk dari unsur-unsur asing yang masuk, tetapi ia telah melekat menjadi identitas kebudayaan Jawa,

101 www.wordy.photo.com. Diunduh pada 2 Maret 2015. 102 Hasil FGD, pandangan Ibu Ambar.....

Page 75: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 299

terutama pada komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, ia menjadi tradisi lokal yang dibanggakan dan dilestarikan, bahkan di upload ke dunia maya.

Selain itu kebiasaan pembacaan puisi filosofis yang diringi dengan alat musik tradisional, yang isinya mengandung ajaran yang mengingatkan agar manusia selalu menuntut ilmu sebelum kematian menjemput, juga menjadi bagian dari kebudayaan lokal komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning. “Eling-eling siro manungso, Temenono anggonmu ngaji, Pupung durung katekanan, Malaikat juru pati”. Syair tersebut mengandung arti bahwa manusia agar selalu mengingatkan diri untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sebelum malaikat datang menjemput kematian. Syair ini tidak hanya mencerminkan ketinggian sastra Jawa yang padat kata dalam susunan bahasa yang puitis, namun juga memiliki kandungan nilai filosofi kehidupan yang universal, yakni kewajiban manusia dalam menuntut ilmu.103

Keunikan lain dari syair ini adalah dilantunkan dalam bahasa Jawa. Syair ini biasanya dinyanyikan pada saat bulan puasa atau pada peristiwa lain yang istimewa yang juga disiarkan oleh stasiun televisi nasional dan diungah di video you tube. Diantara lagu syair Jawa yang diciptakan oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning, adalah Tumbaling Negoro (berkorban untuk

103 http://www.radarjogja.co.id. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2015

Page 76: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

300 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

negara), Tasbih Hadiningrat (menghormati budaya Keraton), dan Dasar Bagus (watak yang baik). Dalam sejarah pertumbuhan agama Islam di Jawa, syair-syair ini memperlihatkan bahwa agama dan kebudayaan dapat berdialog untuk hidup berdampingan tanpa menimbulkan konflik dan ketegangan. Syair-syair yang dibacakan itu memiliki makna religius yang mendalam sejalan dengan pesan-pesan dasar agama Islam. Tradisi pembacaan karya puisi yang dilagukan ini diturunkan ke generasi selanjutnya di Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Syair-syair dalam bahasa Jawa itu juga memiliki makna filosofi lokal yang dapat menjadi pedoman moral dalam kehidupan sosial komunitas. Dalam proses pelestariannya, syair kerap dinyanyikan dengan lantunan nada-nada yang estetik diiringi alat musik tradisional kentong, kempyang, bebeb, dodok dan gong.104

Selain itu dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia, komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning juga menggelar secara kreatif lomba seni fotografi setiap tahun yang diikuti oleh puluhan fotografer Yogyakarta, dengan menampilkan seorang model cantik yang diphoto dalam berbagai pose “sopan” di sekitar masjid. Lomba fotografi ini mengambil tema yang bernuansa nasionalisme, yaitu “pedjoeang tempoe doeloe”.105 Lomba fotografi tematik ini membawa pesan simbolik untuk senantiasa menjaga spirit nasionalisme

104 Ibid. 105 www.antarafoto.com. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2015.

Page 77: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 301

Indonesia bagi komunitas masjid, dan dunia luar. Spirit nasionalisme itu terletak pada nlai-nilai perjuangan 1945 yang dapat diwariskan oleh generasi saat ini dalam berkarya memajukan bangsa.

Gambar 5.7. Lomba Foto “Pedjoeang Tempoe Doeloe”106

Sementara tradisi-tradisi lokal lain yang dilakukan oleh komunitas Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah festival gerobak sapi yang melambangkan kesejahteraan komunitas dalam bentuk arak-arakan sapi dan gerobaknya di sepanjang jalan dusun.107 Sapi dan gerobak adalah alat transportasi sederhana yang digunakan untuk mengangkut hasil panenan padi dan jenis tanaman pertanian lain sebagai salah satu ciri masyarakat ekonomi yang berkebudayaan agraris di Jawa

106 Ibid. 107 www.gudeg.net. Diunduh pada 12 Februari 2015.

Page 78: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

302 Identitas Komunitas Masjid Di Era Globalisasi

masa lalu. Ekspresi kebudayaan lokal itu juga dilakukan dalam bentuk kegiatan tradisi wiwitan atau upacara selamatan sebagai ungkapan syukur para petani sebelum memulai panen padi. Dengan membawa berbagai sesajen termasuk nasi tumpeng berikut lauk pauk, yaitu ayam, sambel gepeng dan ikan asin, warga bergegas menuju persawahan yang akan memasuki masa panen. Prosesi wiwitan dimulai dengan berdoa dilanjutkan dengan mengambil beberapa butir padi yang disimpan untuk dijadikan bibit pada musim tanam selanjutnya. Setelah semua prosesi selesai dilanjutkan dengan acara kenduri bersama. Seluruh warga yang hadir kemudian mendapatkan nasi berikut dengan lauk pauk, sebagian warga langsung menyantapnya di tengah sawah. Bagi warga Plosokuning, tradisi wiwitan merupakan ajaran leluhur yang dinilai positif untuk terus dilestarikan, mengingat mensyukuri hasil panen padi dengan bersedekah merupakan bagian dari ekspresi religius dalam memaknai rasa bersyukur kepada Tuhan yang bersifat universal.108 Sifat universalnya dari tradisi itu terletak pada makna ungkapan rasa syukur atau terima kasih yang sebenarnya juga diajarkan oleh semua ajaran agama dan seluruh kebudayaan bangsa, meskipun diwujudkan dalam bentuk budaya dan ritus yang berbeda.

108 www.indosiar.com. Diunduh pada tanggal 12 Februari 2015.

Page 79: 06 BAB V KOMUNITAS MASJID - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12411/5/D_762008001_BAB V.pdflangsung dalam rupa martabat (gelar dan kehormatan), dan perlindungan

Identitas Komunitas Masjid Pathok… 303

Tradisi keagamaan dan kebudayan lokal yang digelar secara kreatif oleh komunitas masjid tersebut, dengan demikian menunjukkan arus globalisasi yang masuk melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah meratakan jalan bagi mereka untuk berinteraksi ke seluruh dunia. Interaksi ke seluruh dunia ini tidak hanya berguna bagi komunitas itu dalam menunjukkan identitasnya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal sebagai kebanggaan lokal tersendiri yang masih eksis, sekaligus turut mencairkan sekat-sekat yang membatasi interaksi komunitas mereka secara internal. Namun juga, ia dapat digunakan untuk mengekspresikan tradisi keagamaan dan kebudayaan lokalnya itu ke seluruh dunia, sehingga dapat diakses oleh semua orang dari berbagai negara dan bangsa.