103. ridwan abdullah sani (lemlit medan)

31
Model Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan di Pesantren Ridwan Abdullah Sani Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar, Psr V Medan Email: [email protected] Abstrak Penelitian tentang best practices pendidikan karakter telah dilakukan di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Ditemukan bahwa pesantren salafiyah lebih mengutamakan keteladanan ustadz, sedangkan pesantren modern menerapkan aturan yang ketat untuk menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab. Pesantren menumbuhkan atribut karakter saling tolong menolong, ihklas mengabdi, kesederhanaan, dan kemandirian. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah menerapkan pendidikan karakter secara holistic melalui program sekolah yang harus dipahami dan dipatuhi oleh semua unsur pendidik dan peserta didik. Untuk itu, lembaga pendidikan seharusnya menetapkan misi yang eksplisit terkait pengembangan karakter siswa. Kata Kunci: pendidikan karakter, pondok pesantren Latar Belakang Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

Upload: rizka-amalia

Post on 02-Jan-2016

31 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Model Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan di Pesantren

Ridwan Abdullah SaniLembaga Penelitian Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar, Psr V Medan

Email: [email protected]

AbstrakPenelitian tentang best practices pendidikan karakter telah dilakukan di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Ditemukan bahwa pesantren salafiyah lebih mengutamakan keteladanan ustadz, sedangkan pesantren modern menerapkan aturan yang ketat untuk menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab. Pesantren menumbuhkan atribut karakter saling tolong menolong, ihklas mengabdi, kesederhanaan, dan kemandirian. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah menerapkan pendidikan karakter secara holistic melalui program sekolah yang harus dipahami dan dipatuhi oleh semua unsur pendidik dan peserta didik. Untuk itu, lembaga pendidikan seharusnya menetapkan misi yang eksplisit terkait pengembangan karakter siswa.

Kata Kunci: pendidikan karakter, pondok pesantren

Latar Belakang

Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang

dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam

Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”. Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan

nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya

mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,

memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari

dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup

dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991).

Beranjak dari situasi tersebut di atas, terlihat bahwa pendidikan nilai/moral memang

sangat diperlukan atas dasar argument : 1) adanya kebutuhan nyata dan mendesak; 2) proses

Page 2: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

tranmisi nilai sebagai proses peradaban; 3) peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital

pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; 4) tetap adanya kode etik dalam

masyarakat yang sarat konflik nilai; 5) kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral; 6)

kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai; 7) persoalan

moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan 8) adanya landasan yang kuat dan

dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah. Keseluruhan argumen tersebut

tampaknya masih relevan untuk menjadi cerminan kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di

Indonesia pada saat ini. Proses demokasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi

yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia pendidikan di berbagai jalur, jenjang,

dan jenis yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan (knowledge) dan

hampir mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi

Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan

karakter.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia,

diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan

tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan

hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu, pengembangan nilai yang bermuara

pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga

negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan

nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan

pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan

pada tataran koginitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata

pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan

Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui karena kondisi

jaman yang berubah dengan cepat, maka upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu

mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut.

Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam

wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu

direformulasikan dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan dimensi

kehidupan. Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak

mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan

dalam media cetak maupun non-cetak (televisi, jaringan maya, dan lain-lain) yang memuat

fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan

Page 3: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan.

Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan

tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu

ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini dan pada tahap

pendidikan dasar secara holistik dan berkesinambungan.

Kajian Teori:

Pengertian Karakter

Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama,

kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya

yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-

nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter adalah

suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi

pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik

terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun

kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Undang-undang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 3 menyebutkan Pendidikan nasional berfungsi: Mengembangkan kemampuan

dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan karakter bukanlah semata-mata

tanggung jawab pemerintah, melainkan juga orangtua, institusi pendidikan, organisasi agama,

dan masyarakat.

Istilah karakter menurut Winnie memiliki dua pengertian, yakni: Pertama, ia

menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak

jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk.

Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut

memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’.

Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah

lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan

akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah

menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Nilai

karakter yang perlu diajarkan pada anak menurut Sukamto adalah: 1) kejujuran, 2) loyalitas

Page 4: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

dan dapat diandalkan, 3) hormat, 4) cinta, 5) ketidak egoisan dan sensitifitas, 6) baik hati dan

pertemanan, 7) keberanian, 8) kedamaian, 9) mandiri dan potensial, 10) disiplin diri dan

moderasi, 11) kesetiaan dan kemurnian, serta 12) keadilan dan kasih sayang. Sedangkan Rich

(2008) mengemukakan pentingnya beberapa keterampilan yang terkait atribut karakter,

yakni: Confidence, Motivation, Effort, Responsibility, Initiative, Perseverance, Caring,

Teamwork, Common Sense, Problem Solving, Focus, Respect.

Athur (2003) menyatakan: “Character can be said to be the sum total of a person’s

characteristics, affective, cognitive and physical”. Secara psikologis dan sosial kultural

pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu

manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural

(dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Atribut karakter

dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan

dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual

development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah

Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).

Pada tahap mikro, pendidikan karakter ditata sebagai berikut :

1. Secara mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar yakni:

kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan

pendidikan (school culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta

pada keseharian di rumah dan dalam masyarakat,

2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan nilai/karakter

dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata

pelajaran (embedded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama

dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah

mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi

fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai

(value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut, nilai/karakter

dikembangka sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak

pengiring (nurturant effects). Sementara itu, untuk mata pelajaran lainnya, yang

secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib

dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects)

berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.

Page 5: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

3. Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-

kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan

warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan

pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.

4. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait

langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler,

yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung

pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja,

Pecinta Alam, dan lain-lain, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan

(reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.

5. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan

dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter

mulai yang dikembangkan di satuan pendidikan menjadi kegiatan keseharian di

rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

Pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik. Pendidikan holistik membentuk

manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek/potensi

spiritual, potensi emosional, potensi intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi sosial, dan

potensi jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin,

atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus.

Pendidikan holistik juga untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati

(lifelong learners). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi

anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, perkembangan anak harus

seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan emosinya. Pendidikan selama

ini hanya memberi penekanan pada aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek

social, emosi, kreatifitas, dan bahkan motorik. "Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai

bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup”.

Lickona mengacu pada pemikiran filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa

watak atau karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek, yaitu: Konsep moral (moral

Knowing), sikap moral (moral feeling), perilaku moral (moral behavior). Bagan keterkaitan

ketiga konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 6: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif dan studi literatur. Dalam

penelitian dilakukan penjaringan data tentang pembentukan karakter yang dilaksanakan di

pesantren sedangkan penelitian studi literatur yaitu mendata buku-buku teks (kitab kuning)

yang digunakan oleh pesantren dalam membentuk karakter bangsa. Metode penelitian yang

digunakan untuk studi literatur (penelitian teks), yaitu bertumpu pada analisis konten (teks)

dengan mengidentifikasi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dan menganalisis

muatannya. Dengan menggunakan pendekatan analisis harafiah dan makna, nilai-nilai

tertentu terkait dengan nilai-nilai yang mengandung pembentukan karakter akan dikumpulkan

dan dianalisis berdasarkan arti harfiah, makna yang tersurat dan tersirat, dan bagaimana cara

pengajarannya.

Penelitian dilakukan di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi

Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi

Sumatera Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) tehnik

yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian kualitatif, yaitu; observasi dan

wawancara mendalam. Observasi dilakukan secara non-partisan, dimana peneliti berperan

hanya sebagai pengamat fenomena yang sedang diteliti. Selama penelitian berlangsung,

mengamati kegiatan-kegiatan para pengurus, guru (ustadz) dan santri Pondok Pesantren,

melihat bagaimana proses belajar mengajar, khususnya berkaitan dengan pendidikan karakter

bangsa berbasis pesantran dan kitab kuning berlangsung.

Karakter/Watak

KONSEP MORAL:Kesadaran Moral

Pengetahuan Nilai MoralPandangan ke Depan

Penalaran MoralPengambilan Keputusan

Pengetahuan Diri

PERILAKU MORAL:Kemampuan

Kemauan Kebiasaan

SIKAP MORAL:Kata Hati

Rasa Percaya Diri Empati

Cinta KebaikanPengendalian DiriKerendahan Hati

Page 7: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview dengan

pola semi structured interview. Wawancara dilaksanakan terhadap pimpinan pesantren dan

pengurus yayasan sekaligus pemrakarsa pendirian Pondok Pesantren untuk mengetahui latar

belakang pendirian Pesantren serta hambatan yang dihadapi mulai dari pendirian sampai saat

ini. Wawancara juga dilakukan kepada pengelola (kepala sekolah) dan guru (ustadz) yang

berperan dan bertanggung jawan terhadap proses pembelajaran di Pondok Pesantren.

Wawancara yang dilakukan terhadap pengurus yayasan (kiyai) dan guru (ustadz), peneliti

memperoleh informasi tentang perkembangan pesantren dan bagaimana proses

pembelajarannya berlangsung. Peneliti juga diminta untuk mendapatkan informasi tentang

pandangan beberapa tokoh pesantren (Kiyai maupun ustadz) mengenai beberapa tema-tema

karakter kebangsaan melalui kasus-kasus yang diangkat.

Untuk studi penelitian kualitatif ini sangat ditekankan pada wawancara tentang nilai-

nilai pembentukan karakter di pesantren. Wawancara dilakukan pada pimpinan pondok

pesantren, pada ustad dan santrinya. Lebih lanjut dilakukan juga observasi (pengamatan)

tentang aplikasi yang dilakukan oleh para santri dalam membentuk nilai-nilai kepribadian

yang berhubungan dengan pembentukan karakter bangsa. Kemudian juga dilakukan studi

tokoh, yaitu dengan metode indepth interview dengan para tokoh (ustad), santri, pengasuh,

dan orang-orang di sekitar lingkungan pesantren.

Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa langkah. Pertama,

membuat proceeding lengkap secara tertulis dan catatan pinggir (berupa resume) dari semua

informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi dan interview. Kedua, melaksanakan seleksi

atau validasi informasi dengan menggunakan teknik trianggulasi sehingga diperoleh data

yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan dilakukan coding data. Ketiga,

klasifikasi data ke dalam beberapa kategori data sesuai topik bahasan penelitian. Selanjutnya,

dalam proses analisis data digunakan pendekatan analisis kualitatif. Data yang diperoleh

melalui instrumen pengumpulan data disusun secara teratur dan sistematis serta selanjutnya

dianalisis secara kualitatif, karena kajian ini dapat juga dikategorikan dan disebut sebagai

penelitian kualitatif1. Penarikan kesimpulan didasarkan pada pemikiran logis dari data yang

diperoleh setelah diberi penjelasan dalam bentuk uraian. Data disajikan sekaligus

menganalisisnya (deskriptif analisis), dengan kata lain, agar tidak kehilangan relevansinya,

penyajian data tidak dipisahkan dari analisisnya, tetapi dilakukan secara bersamaan.

1Analisis kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang mengahasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan pendekatan kualitatif, seorang peneliti bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 3

Page 8: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Kompilasi dan pengolahan data penelitian dari semua pesantren dilakukan oleh ketua peneliti

bersama tim khusus pengolah data yang sekaligus mengembangkan model pendidikan dan

manual prosedur berdasarkan best practices yang ditemukan serta mengkaji teori yang

relevan. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengembangkan metode

pembelajaran yang dapat digunakan untuk membentuk karakter mulia siswa.

Temuan dan Pembahsan Hasil Penelitian

Best Practices Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren

Pada awalnya pusat pendidikan Islam berada di surau, langgar, masjid atau rumah

sang Kiyai. Para murid cukup duduk di lantai dalam posisi setengah lingkaran,

mengitari sang guru. Waktu belajar biasanya dilaksanakan pada waktu malam hari sehabis

sholat Maghrib setelah terbebas dari pekerjaan sehari-hari. Model pendidikan agama

seperti ini masih berlaku hingga saat ini, terutama di pelosok-pelosok pedesaan dan daerah

terpencil. Beberapa Pondok Pesantren oleh masyarakat telah dinyatakan sebagai Pondok

Pesantren modern dan menjadi model dalam penyelenggaraan pendidikan. Lembaga

pendidikan Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena

keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang

diterapkan oleh lembaga agama tersebut.

Pondok Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous

Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan

pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Hal itu karena disebabkan karena adanya

jiwa dan falsafah serta adanya panca jiwa. Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang

ditanamkan kepada anak didiknya. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin

kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor penggeraknya menuju

kemajuan di masa depan. Panca Jiwa yang terdiri dari : a) keikhlasan, b) kesederhanaan, c)

kemandirian, d) ukhuwah Islamiyah, dan e) kebebasan dalam menentukan lapangan

perjuangan dan kehidupan. Panca jiwa ini menjadi landasan ideal bagi semua gerak langkah

pondok pesantren. Implementasi panca jiwa dalam pendidikan sangat diperhatikan di

pesantren modern Babussalam Langkat, Sumatera Utara.

Pesantren menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan,

penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga

seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh santri adalah pendidikan.

Page 9: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan miliu juga

sangat penting. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan

dilakukan melalui : a) penugasan, b) pembiasaan, c) pelatihan, d) pengajaran, e) pengarahan,

serta f) keteladanan. Semua hal tersebut mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam

pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas disertai pemahaman akan dasar-dasar

filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran

dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh

dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian,

kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam

kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama

(team work) dan kegigihan untuk berusaha.

Pengaturan kegiatan dalam pendidikan Pesantren ditangani oleh Organisasi Pelajar

yang terbagi dalam banyak bagian, seperti bagian Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan,

Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih

Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa, dan lain-lain.

Kegiatan Kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa

andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan koordinator urusan kesekretariatan,

Andalan koordinator urusan keuangan, Andalan koordinator urusan latihan, Andalan

koordinator urusan perpustakaan, Andalan koordinator urusan perlengkapan, Andalan

koordinator urusan kedai pramuka, dan Pembina gugus depan. Pendidikan organisasi ini

sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government. Sementara itu

pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan,

penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap club olah raga dan kesenian

juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal

santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi

pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf

pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing

masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh

Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok. Pengawalan secara rapat,

berjenjang dan berlapis-lapis juga dilakukan oleh para santri senior dan guru di hampir semua

pesantren modern yang diteliti, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan,

sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena

semua santri, terutama santri senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh

Page 10: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

pendidikan. Pimpinan Pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan : a)

pendekatan program, b) pendekatan manusiawi (personal), dan c) pendekatan idealisme.

Pendidikan karakter dan moral sangat penting, dalam segala sektor kehidupan.

Kebutuhan akan moral dan akhlak karimah dalam berbangsa dan bernegara; ada etika bisnis,

etika politik, etika kekuasaan dan etika pergaulan, dalam rangka membangun masyarakat

madani yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Karakter nasional bangsa yang merupakan kualitas kepribadian tangguh yang dimiliki secara

kolektif oleh masyarakat luas, dan bermuara pada nilai-nilai inti (core values) seperti amanah,

menghormati orang lain dan toleran, kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab serta

kewarganegaraan (sosial), harus dipelihara dan senantiasa direvitalisasi agar selalu bisa

menjadi inspirasi, pengobar semangat dan mampu berfungsi sebagai human capital sebuah

bangsa karena karakter nasional menentukan ketahanan nasional bangsa yang bersangkutan.

Pendidikan dilakukan di pondok pesantren (ponpes) berada dalam situasi yang

terkontrol karena pengaruh lingkungan bisa diminimalkan. Siswa/santri distrelisasi dari

lingkungan yang dapat mempengaruhi moral dan kepribadiannya, bahkan pada ponpes

tertentu santri tidak boleh membawa alat komunikasi (HP) seperti di ponpes Syekh

Burhanuddin di Riau. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan faktor utama yang

mempengaruhi kepribadian santri yakni media elektronik dan media cetak yang terkait

dengan perilaku artis dan pejabat serta tayangan yang tidak mendidik lainnya. Faktor lain

yang juga dibatasi adalah pergaulan dengan teman sejawat pada pergaulan yang tidak baik.

Dalam kehidupan di ponpes, santri hanya bergaul dengan ustadz/guru dan teman sejawat

sesama santri. Pergaulan dengan masyarakat sekitar terbatas pada upaya membangun

keperdulian dan semangat gotong-royong. Tentu saja hal tersebut sangat dibutuhkan dalam

pembentukan karakter karena ”karakter bangsa” yang sudah mulai pudar adalah gotong

royong serta menghargai perbedaan dan pendapat orang lain yang seharusnya diwujudkan

dalam tepa selira.

Metode pengajaran di pesantren Salafiyah, misalnya pesantren Syekh Burhanuddin

diberikan dalam bentuk, sorogan, bandong, halaqah dan hafalan. Sorogan artinya: belajar

secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi

saling mengenal antara keduanya. Bandongan artinya belajar secara kelompok yang diikuti

seluruh santri, dan biasanya Kiyai mengunakan bahasa daerah setempat dan langsung

menterjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya, halaqah artinya diskusi

Page 11: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa

yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan kitab. Santri

yakin bahwa Kiyai tidak akan mengajarkan hal-hal yang salah dan juga mereka yakin bahwa

isi kitab yang dipelajari adalah benar. Masih dalam kegiatan proses belajar mengajar

santrinya biasanya seminggu sekali pada saat shalat isya dan subuh, mengadakan belajar

pidato atau belajar memberikan ceramah keagamaan, ceramah keagamaan terserah pada

santri/santriwati, tetapi kebanyakan berkisar pada sejarah Nabi Muhammad Saw,

kepahlawan, kejujuran para sahabat dan tema-tema aktual sifatnya, dan juga belajar

memberikan kata sambutan dalam berbagai hal, misalnya kemalangan dan kata sambutan

lainnya yang dianggap perlu untuk di sampaikan, dan semua santri yang dalam satu

kelompok yang disebut dengan khalifah, dan diketuai oleh seseorang dan jumlah santrinya

berkisar lebih kurang 30 orang, dan semua santri wajib berpidato atau memberikan kata

sambutan dalam berbagai hal, yang sangat unik dilihat dalam satu kelompok khalifah ini

dipilih secara demokratis dari santri yang hadir, dan tidak ada yang keberatan jika pilihannya

kalah. Satu kelompok khalaqah tersebut terdiri dari berbagai kelas, dari kelas I s/d kelas VII,

jika mereka tidak bisa memberikan pidato dan ceramah keagamaan yang berdurasi lebih

kurang 10 menit dan selesai sampai jam 10 malam dan presentasinya sudah dijawalkan dan

lebih kurang berjumlah 7 orang atau 10 orang santri, maka mereka dihukum, sampai

kegiatan tersebut selesai dilakukan, yang sangat unik disini tidak ada ustad dan ustazah yang

mengawasinya, inilah sebenarnya menanamkan kejujuran sejak usia dini dilakukan,

tujuannnya supaya santri mandiri dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyiapkan

materi yang akan disampaikan. Metode pembelajaran dengan menceritakan keteladanan rasul

dan menanamkan kejujuran sudah mulai hilang di sekolah dan masyarakat, padahal metode

tersebut cukup efektif untuk anak usia dini.

Namun untuk menumbuhkan kemampuan berpikir rasional sejak permulaaan berdiri sampai

sekarang pesantren Syekh Burhanudin menyadari perlunya pelajaran umum diberikan di

pesantren, dan juga diperkenalkan keterampilan khusus di pesantren, seperti bertani,

berternak, bertukang dan pekerjaan lainnya telah akrab dengan kehidupan sehari-hari, dan

biasanya kegiatan ini mereka lakukan jika hari libur, tujuannya adalah untuk

mengembangkan wawasan dan orientasi santri dari pandangan hiduap yang terlalu berat pada

ukhrawi, agar menjadi seimbang dengan orientasi kehidupan duniawi. Adapun prinsif sistem

pendidikan pesantren dari pengamatan di lapangan maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Theocentric

Page 12: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Sistem pendidikan pesantren mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric,

yaitu pandangan yang menyatakan bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali

kepada kebenaran Allah Swt. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada

Allah Swt. Semua aktivitas pendidikan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan

keagamaan, sehingga kegaitan belajar mengajar tidak memperhitungkan waktu. Dalam

praktiknya cenderung mengutamakan sikap dan prilaku yang sangat kuat beroreintasi kepada

kehidupan ukhrawi dan berprilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari. Semua perbuatan

dilaksanakan dalam struktur relevansinya dengan hukum agama demi kepentingan hidup

ukhrawi.

2. Sukarela dalam mengabdi

Para pengasuh pondok pesantren memandang semua kegiatan pendidikan adalah ibadah

kepada Allah Swt. Sehubungan dengan itu penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara

sukarela dan mengabdi kepada sesama dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Mengingat

biaya masuk ke pesantren Syekh Burhanuddin sama sekali tidak memungut biaya, maka

honor dan gaji para Kiyai, ustad dan guru tidak tahu dari mana bila menurut anak pendiri

pesantren tersebut, tapi ada saja, dan satu yang ditanamkan ayahnya kalau mencari makan

jangan dipesantren tapi silakan kerja atau ngajar ketempat lain untuk memenuhi kebuthan

hidup untuk istri dan anaknya. Santri merasa wajib menghormati Kiyai dan ustadnya serta

saling menghargai sesamanya, sebagai bagian perintah dari agama. Santri yakin bahwa

dirinya tidak akan menjadi orang berilmu tanpa guru dan bantuan sesamanya.

3. Kearifan

Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan pentingnya kearifan dalam menyelenggarakan

pendidikan pesantren dan dalam tingkah laku sehari-hari. Kearifan yang dimaksud disini

adalah bersikap berlaku sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu

mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan

bersama, jika dilihat dari pesantren Syekh Burhanuddin maka memberikan kebebasan pada

santri untuk membentuk jati dirinya sebagai santri yang tunduk dan taat pada aturan

pesantren.

4. Kesederhanaan

Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai salah

satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman prilaku sehari-hari bagi seluruh

santri/santriwati. Kesederhanaan yang dimaksudkan disini adalah, tidak tinggi hati dan

sombong pada santri lain walaupunn dia dari golongan orang kaya, ada satu hal yang unik

dari pengasuh pondok pesantren jika mereka mau membeli mobil atau keperluan prabot

Page 13: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

rumah tangga, maka para pengasuh pondok pesantren berdiskusi dengan santri/santriwati dan

memberikan penerangan bahwa apa yang mereka beli memang adalah kebutuhan yang sangat

mendesak sekali, misalnya mobil, dan akhirnya para santri menerimanya, atau kalau

seandainya mau menjual dan menganti mobil lain maka disini terjadi diskusi, supaya jangan

ada salah paham dengan santri lain, hal ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada sama

sekali biaya yang dikutip dari santri, dari uang masuk, makan, penginapan, uang bulanan dan

lain-lain.

5. Kolektivitas

Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan kebersamaan lebih tingi dari pada kepentingan

pribadi. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa “mengutamakan kepentingan orang

banyak dari pada kepentingan pribadi, tetapi dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan

kewajiban diri sendiri sebelum orang lain, sedang dalam hal memilih atau memutuskan

sesuatu “santri harus memelihara hal-hal baik yang telah ada, dan mengembangkan hal-hal

yang baru yang baik. Kedua nilai tetap berlaku, dan kamar tidur yang berukuran 2 x 3 m

ditempati dua atau tiga santri, dan kamar tersebut adalah berdinding papan dan beralaskan

papan, dan yang lebih uniknya bangunan kamar itu adalah dibangun oleh santri tersebut

dengan cara saling membantu, dan bangunan tersebut jika santri sudah selesai maka dengan

ikhlas diberikan kepada generasi berikutnya, sedangkan santriwati ada bangunan khusus yang

permanen yang telah disiapkan pondok pesantern, dan mereka juga saling menolong satu

sama lain, jika terlambat uang kiriman dari uang tuanya, maka mereka berusaha bersama

untuk membantu meringankan rekannya tersebut, dan juga ada kamar mandi umum untuk

laki-laki dan perempuan, walaupun dari tempat tersebut ada berapa ratus meter dari kamar

mandi santri ada sungai yang airnya sangat jernih sekali.

6. Mengatur Kegiatan Bersama

Kegiatan bersama yang dilakukan oleh para santri bisanya bersifat relatif dan mengikat,

dilakukan oleh santri dengan bimbingan ustad dan kiayai. Para santri mengatur hampir semua

kegiatan proses belajar mengajar terutama berkenaan dengan kegiatan kokurikurer, dari

pembentukan, penyusunan sampai pelaksanaan dan pengembangannya, dan juga mengatur

kegiataan, peribadatan, olah raga kursus-kursus keterampilan dan sebagainya. Selama

kegiatan dan apa yang direncanakan oleh santri tidak menyimpang dari Islam dan ketentuan

pesantren.

7. Ukhuwah Diniyah

Kehidupan diliputi dengan suasana persaudaraan yang akrab, persatuan dan gotong royong,

sehingga segala kesenangan di rasakan bersama dan kesulitan dapat diatasi bersama. Hal ini

Page 14: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

dapat terwujud karena keyakinan dan pandangan hidup mereka sama, bahwa manusia di

ciptakan dan berada di bumi ini tidak lain hanyalah untuk mengabdi kepada sang kholik,

yaitu Allah SWT. Sebagai hamba yang beriman (mukmin) mereka akan merasa bersaudara

dengan sesama dan berbuat baik terhadap mereka.

8. Kebebasan

Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari segi kurikulum dan bebas secara politis.

Kebebasan dari sisi kurikulum berarti bahwa pondok Pesantren Syekh Burhanuddin tidak

terikat oleh kurikulum Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional.

Sedangkan kebebasan secara politis Pesantren Syekh Burhanuddin merupakan lembaga

independen, tidak berafiliasi bahkan terlibat pada salah satu pada partai politik maupun ormas

tertentu. Dalam konteks santri, kebebasan di sini berarti penanaman sikap demokratis.

Mereka bebas berpikir, bebas dalam menentukan jalan hidupnya kelak di masyarakat, optimis

dalam menghadapi hidup ini. Namun semua itu dilakukan dalam batas-batas syari’at Islam.

Situasi pembelajaran dengan kondisi terkontrol tersebut dapat diterapkan pada

sekolah penuh hari (full-day school). Namun tidak semua faktor lingkungan dapat dikontrol

sehingga beberapa penyesuaian harus dilakukan. Kondisi lain yang sangat berbeda dengan

karakteristik ponpes adalah keteladanan yang ditunjukkan oleh kiyai/ustadz. Aspek afektif

sangat besar porsinya pada pendidikan di ponpes, sedangkan aspek kognitif lebih dominan

pada pendidikan umum (non-pesantren). Besarnya aspek afektif dapat dilihat dari keikhlasan

ustadz mengajar dengan bayaran yang minim bahkan ada yang mengajar secara sukarela

(tidak dibayar). Membentuk siswa yang memiliki jiwa yang ikhlas merupakan suatu

permasalahan tersendiri di sekolah formal yang tidak memiliki guru yang perhatian kepada

siswa. Jadi untuk dapat menerapkan pendidikan karakter, pengelola sekolah ataupun

pemerintah harus menetapkan standar khusus dan perekrutan untuk mendapatkan guru yang

memenuhi syarat.

Ponpes salafiyah tidak memiliki kurikulum yang jelas, sedangkan ponpes modern

memiliki kurikulum dan standar pembelajaran yang jelas. Pembentukan karakter tidak

dititipkan dalam tiap pelajaran yang diberikan tapi dilakukan secara holistic dengan

menerapkan aturan, keteladanan, dan hal-hal lain yang dapat dijadikan model bagi

pendidikan di sekolah umum. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik)

yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi emosional, potensi

intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara

optimal. Kondisi ini berbeda dengan grand design pendidikan karakter yang dicanangkan

Page 15: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

oleh Kemendiknas, dimana pendidikan karakter dititipkan pada masing-masing mata

pelajaran.

Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan,

harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus, karena karakter tidak dilahirkan tetapi

diciptakan. Pendidikan holistik juga dapat ditujukan untuk membentuk manusia pembelajar

sepanjang hayat yang sejati (lifelong learners). Selain itu, pendidikan karakter juga

mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini,

perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan

emosinya. Pendidikan di sekolah umum formal selama ini hanya memberi penekanan pada

aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek sosial, emosi, kreatifitas, dan bahkan

motorik. Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk

bisa hidup. Bahkan untuk memperoleh nilai yang bagus, beberapa oknum sekolah

memberikan contekan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Dalam kasus tersebut

dimensi kejujuran tidak dipentingkan oleh sekolah, bahkan didukung oleh orang tua siswa

(kasus ibu Siami yang diusir warga akibat melaporkan kecurangan UN di desa Gadel

Surabaya pada tahun 2011). Dekadensi moral yang mengarah pada pembentukan kepribadian

negatif telah dilakukan di sekolah.

Pesantren menanamkan beberapa atribut karakter, diantaranya: 1) cinta terhadap Allah

SWT, RasulNya dan segenap ciptaanNya: Hal inilah yang menjadi perbedaan antara sekolah

umum dengan pesantren. Pesantren lebih menonjolkan agar para santrinya agar tidak

melupakan siapa yang menciptakannya yakni Allah SWT dengan mewajibkan baik ibadah

wajib ataupun sunnah yang mereka selalu melakukan hal ini secara berjama’ah seperti sholat

dhuha dan sholat tahajud serta puasa sunnah. 2) Jujur: kantin dan koperasi biasanya dikelola

oleh santri dengan bimbingan dari ustadz/ustadzah yang bersangkutan. Transaksi di kantin

tersebut biasanya dilakukan sendiri yakni tanpa penjaga. Hal inilah yang melatih kejujuran

dengan takut kepada Allah atas dosa yang akan mereka dapat jika tidak membayar secara

jujur. Di pesantren juga terdapat buku laporan tentang sholat berjamaah dan ibadah sunnah

lainnya. Hal ini akan mendidik kejujuran santri dalam melakukan ibadah karena takut pada

Allah bukan takut pada aturan pesantren. 3) Kemandirian: di pesantren selalu diajarkan

kemandirian dari para santrinya, yakni segala sesuatu menyangkut keperluan dirinya baik dari

makan dan pakaian akan diurus sendiri. 4) Kesederhanaan: di Pesantren hidup sederhana

sangat diajarkan karena Allah sangat membenci hal berlebihan. Di pesantren mulai dari

berpakaian, makan dan minum dituntut untuk keserhanaan, tidak pandang bulu santri berasal

dari kalangan ekonomi tinggi atau rendah di pesantren semua disetarakan dan tidak ada

Page 16: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

perbedaan pelayanan dan aturan. 5) Disiplin: pesantren memiliki aturan yang lebih ketat dari

pada sekolah umum. Aturan ini berlaku 24 jam. Mulai dari santri terbangun hingga tertidur

kembali ada aturannya. Hal ini mendidik kedisiplinan tinggi dan belajar menghargai waktu

karena pesantren sadar Allah pernah bersabda “demi masa sesungguhnya manusia kerugian”.

Jadi alangkah lebih baiknya jika waktu kita manfaatkan sedemikian rupa dalam hal kebaikan.

Salah satu bukti keunggulan pendidikan di pesantren adalah mempraktekkan kebiasaan

berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang ternyata meningkatkan

kemampuan santri dalam berbahasa. Best practices lain yang diamati di beberapa ponpes

adalah kegiatan kebersamaan melalui gotong royong. Pada umumnya kegiatan di ponpes

dilakukan berdasarkan pada panca jiwa (keikhlasan, kesederhanaan, kebersamaan, ukhuwah

islamiyah).

Salah satu best practices yang diterapkan pada pendidikan di pesantren adalah disiplin

dengan menetapkan jadwal kegiatan, aturan, dan sanksi yang ketat. Disiplin sangat

dibutuhkan untuk membentuk santri/siswa yang mampu bekerja keras (dengan gigih dan

bersemangat), tentu saja juga harus dilakukan secara cerdas (kognitif). Aspek disiplin juga

akan membentuk karakter siswa yang bertanggung jawab dalam melakukan aktivitas dan

gigih dalam berupaya mencapai sesuatu yang diinginkan.

Berdasarkan best practices di beberapa ponpes yang diteliti, dapat dikembangkan

desain pembelajaran yang dapat diterapkan oleh lembaga pendidikan. Namun perlu dilakukan

beberapa penyesuaian, mengingat perbedaaan karakeristik pendidikan di sekolah umum

dengan siswa yang lebih rasional dengan pendidikan di pesantren yang memiliki iklim

keteladanan dan kepercayaan penuh kepada ustadz. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam pembentukan karakter pada sekolah umum adalah knowing the good. Untuk

membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun

mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak

orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa alasannya

melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masih ada gap

antara knowing dan acting. Pada pendidikan di sekolah umum, siswa sebaiknya memahami

pentingnya memiliki atribut karakter dan menyadari manfaatnya bagi kehidupan di

masyarakat.Tahapan yang diajukan dalam teori adalah sebagai berikut: Curiousity (timbulkan

rasa ingin tahu anak), Share (ajak berdiskusi), Planning (apa yang akan dilakukan), Action

(anak melakukan rencana yang disusun), dan Reflection (anak mengevaluasi apa yang telah ia

lakukan). Untuk membentuk disiplin perlu dibuat beberapa aturan dan jadwal kegiatan yang

harus dipatuhi oleh siswa, kemudian siswa diajak berdiskusi tentang aturan/tata tertib beserta

Page 17: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

sanksinya, siswa juga perlu diajak bertukar pikiran tentang tujuan dan manfaat pelaksanaan

kegiatan. Integrasi pembentukan disiplin dalam mata pelajaran adalah penuntasan tugas yang

diberikan secara bertanggung jawab dengan rencana kerja yang jelas. Dalam kasus ini siswa

diminta membuat refleksi tentang apa yang mereka lakukan dan kendala yang ditemui dalam

menyelesaikan tugas atau kegiatan yang diberikan oleh guru.

Atribut karakter lain yang perlu dikembangkan dan sangat terkait dengan karakter

kebangsaan adalah kemauan dan kemampuan membantu orang lain. Dengan membiasakan

siswa membantu orang lain secara ikhlas, maka sifat empati, toleransi, peduli, dan gotong

royong akan terbentuk pada kepribadian siswa. Peningkatan emotional quotient (EQ) yang

dilandasi oleh kasih sayang kepada sesama manusia sangat perlu dilakukan sejak dini untuk

mengantisipasi maraknya perpecahan dan konflik di kalangan masyarakat. Untuk membentuk

masysrakat madani, perlu dilakukan pendidikan yang membangun individu yang senantiasa

ikhlas membantu orang lain dan tepa selira. Pembentukan karakter ikhlas sebenarnya

termasuk dalam spiritual quotient (SQ), namun sangat perlu dikaitkan dengan ketulusan

dalam membantu orang lain dengan menolong tanpa pamrih dan tidak mengingat kebaikan

diri sendiri jika menolong orang lain. Sekolah perlu menciptakan kegiatan yang membina

kepribadian siswa dalam membantu orang lain. Pada penelitian ini ditemukan bahwa

aktivitas santri senior membantu santri yunior dapat dicontoh sebagai model pembelajaran

untuk membina karakter tolong menolong.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Pembentukan karakter harus dilakukan di sekolah dengan mempertimbangkan

interaksi siswa terhadap lingkungan (keluarga dan masyarakat). Oleh sebab itu pendidikan

karakter harus dilakukan secara holistik secara terprogram. Berdasarkan penelitian ini, atribut

karakter yang paling penting untuk dibentuk adalah kejujuran, disiplin, dan saling tolong

menolong. Model pembentukan disiplin yang dapat diusulkan misalnya mengikuti sintaks

sebagai berikut:

a. Penyampaian tujuan dan manfaat kegiatan

b. Deskripsi aturan dan tata tertib yang harus diikuti, beserta sanksinya

c. Diskusi tentang tugas dan perencanaan yang harus dibuat oleh siswa

d. Pelaksanaan kegiatan oleh siswa dan pengawasan oleh guru atau sejawat

e. Refleksi oleh siswa dalam upaya mengintegrasikan kepemilikan karakter disiplin

dalam dirinya.

Page 18: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

Sedangkan model pembentukan karakter saling tolong menolong dapat mengikuti sintaks

sebagai berikut:

1. Penyampaian tujuan dan manfaat kegiatan

2. Identifikasi permasalahan social masyarakat/lingkungan yang perlu dan dapat dibantu

penyelesaiannya.

3. Pemaparan solusi yang dapat dilakukan dan diskusi tentang mekanisme penyelesaian

masalah

4. Diskusi tentang peran, tugas dan perencanaan yang harus dibuat oleh siswa dan

sekolah. Dalam hal ini para siswa harus saling membantu satu sama lain.

5. Pelaksanaan kegiatan oleh siswa dengan pengawasan oleh guru dan anggota

masyarakat

6. Refleksi oleh siswa dengan berdiskusi tentang hasil atau dampak kegiatan dan upaya

menjaga keberlanjutannya

Saran

Untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan karakter nasional bangsa ada

beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat: yang pertama adalah

penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas, kedua adalah penyiapan tenaga pendidik

terutama para kepala sekolah yang mempunyai kapabilitas serta integritas kepribadian tinggi

dan yang ketiga adalah penciptaan lingkungan yang kondusif bagi pendidikan karakter anak

bangsa. Pertama penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang

mempunyai orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral,

mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek kemanusiannya.

Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian, akhlak, tingkah laku,

pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi dan pengetahuan semata (aspek

kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan spikomotorik. Kedua menyiapkan tenaga

pendidik terutama kepala-kepala sekolah yang handal untuk merealisasikan tujuan yang

ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan.

Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat

idealisme tinggi, berdedikasi dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai

kecakapan menejerial dan mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya.

Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan

perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan memperbaharui

pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan

Page 19: 103. Ridwan Abdullah Sani (Lemlit Medan)

bersikap bersedia membantu (helpful). Penciptaan lingkungan sekitar dan suasana yang

kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan

keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi

keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya

karakter bangsa peserta didik. Pusat penelitian kebijakan seharusnya membuat usulan

pengembangan kebijakan kepada pemerintah berupa: a) penetapan keharusan pencanangan

misi sekolah mencakup misi pengembangan karakter siswa, b) penetapan keharusan bagi

sekolah untuk membuat dan melaksanakan program pengembangan karakter (terutama: jujur,

tolong menolong, dan bertanggungjawab) secara holistik dengan melibatkan orang tua dan

masyarakat dengan pengontrolan oleh semua guru, c) penetapan keharusan menegakkan

disiplin dan keteladanan di lingkungan sekolah.

Daftar Pustaka

Arthur, James. (2003). Education with Character, New York: Routledge-Falmer.Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and

Responsibility, New York: BantamRich, Dorothy. (2008). Megaskills: Building your child's happiness and success in school and

life, Illinois: Sourcebooks, Inc.