11. bab ii tinjauan teoritis
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Defenisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang terdapat pada
anak dan dewasa yang disebabakan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti
betina dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya
memburuk setelah dua hari pertama (Kapita Selekta Kedokteran, 2000,
edisi ke 3).
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus
Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Virus Dengue
termasuk genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang dibedakan menjadi 4
serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat serotipe virus
ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotipe virus DEN 3 sering
menimbulkan wabah. (Syahrurahman A et al., 1995)
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue di
tularkan pada manusia melalui gigitian nyamuk aedes aegypti. Nyamuk
aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar
liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)
10
sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. (Tata Laksana DBD di Indonesia, Depkes 2005).
2.1.2 Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang termsuk kelompok
B Arthropod Borne (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe virus yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang berbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe
virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. (Tata
Laksana DBD di Indonesia, Depkes 2005)
2.1.3 Tanda dan Gejala
Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari.
Permulaan penyakit biasanya mendadak. Gejala yang timbul meliputi
mendadak suhu tubuh tinggi, nyeri pada otot seluruh tubuh, suara serak,
batuk, epitaksis disertai gejala lain seperti lemah, nafsu makan berkurang
dan muntah. Penyakit ini biasanya akan sembuh sendiri dalam 5 hari
dengan penurun suhu secara lisis. Pada hari ke-2 dan ke-3 demam muncul
bentuk perdarahan di bawah kulit (petekie/ekimosis), perdarahan gusi,
11
epistaksis sampai perdarahan yang hebat berupa muntah darah akibat
perdarahan lambung, melena dan juga hematuria masif. (Ngastiyah, 2005)
Dignosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut
WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan
kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlbihan
(overdiagnosis).
Kriteria klinis sebagai berikut:
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
1) Uji touniquet positif.
2) Petekie, ekimosis, purpura
3) Perdarahan mukosa, epistaksis dan perdaran gusi
4) Hematemisis dan melena.
c. Hepatomegali
d. Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria Laboratoris yaitu:
a. Trombositopenia (100.000/ul atau kurang)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau
lebih.
12
WHO membagi derajat DBD dalam 4 derajat yaitu sebagai berikut:
1. Derajat I: demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan ialah uji tourniquet.
2. Derajat II: seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
3. Derjat III: didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis
di sekitar mulut, kulit dingin, lembab dan anak tampak gelisah
4. Derajat IV: syok berat (Profound), nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Adanya trombositopenia disertai hemokonsetrasi membedakan
DBD derajat I atau II. Pembagian derajat penyakit dapat juga
dipergunakan untuk kasus dewasa (Tata Laksana Demam Berdarah di
Indonesia, Depkes 2005).
1.1.4 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Untuk merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bank darah yang senantiasa
13
siap bila diperlukan. (Tata Laksana Demam Berdarah di Indonesia, Depkes
2005).
Pada pasien Demam berdarah dengue dapat dianjurkan:
1. Tirah baring, selama masih demam.
2. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila perlu.
3. Untuk menurunkan suhu menjadi < 39 C, dianjurkan pemberian
paracetamol, asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikator kontra)
karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asiodosis.
4. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop,
susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2
hari.
5. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase
konvalesen.
Jenis pemberian cairan menurut rekomendasi WHO:
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL), larutan ringer asetat (RA), larutan garam faali
(GF), Dektrosa 5 % dalam larutan ringer laktat (D5/RL), dektrose 5%
dalam larutan ringer asetat (D5/RA), dektrose 5% dalam ½ larutan garam
faali (D5/1/21-GF). Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau
RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran.
2. Koloid
Dekstran 40, plasma dan albumin
14
2.1.5. Pencegahan dan pemberantasan
Pemberantasan DBD seperti juga penyakit menular lain, didasarkan
atas pemutusan rantai penularan. Dalam hal DBD, komponen penularan
terdiri dari Virus ae. Aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum
terdapat vaksin yang efektif terhadap virus ae. Aegypti maka pemberantasan
ditujukan pada manusia dan terutama pada vektornya (Ilmu Kesehatan Anak,
2005, edisi ke 2).
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DBD ada beberapa cara yaitu:
1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah
dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya
kasus DBD.
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada
tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia
sembuh secara spontan.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi
penularan tinggi.
Seperti telah diterangkan, pemberantasan DBD didasarkan atas
pemutusan rantai penularan yang dapat dilaksanakan dengan cara sebagai
berikut:
1. Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan Ae aegypti yang dapat
dilakukan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah dengan
15
cara menggunakan mosquito repellent dan insektisida dalam bentuk
semprotan.
2. Pembentasan vektor jangka panjang dan harus dilakukan secara terus
menerus seperti yang kita kenal 3M Plus yaitu:
a. Menguras
Menguras tempat-tempat penampungan air seperti : bak mandi/ WC,
tempanyan, ember, vas bunga, tempat minum burung dan lain-lain
seminggu sekali.
b. Menutup
Menutup rapat semua tempat penampungan air seperti ember, gentong,
drum dan lain-lain
c. Mengubur
Mengubur semua barang-barang bekas yang ada disekitar / di luas
rumah yang dapat menampung air hujan
Plus tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk
a. Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah ditempat air yang sulit
dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos ( abate )
atau Altosoid 2-3 bulan sekali dengan takaran 1 gram abate untuk 10
liter air atau 2,5 gram Altosid untuk 100 litter air. Abate dapat
diperoleh / dibeli di Puskesmas atau di apotik.
b. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
c. Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk.
16
d. Mencegah Gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok.
e. Memasang kawat kassa jendela dan ventilasi.
f. Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar.
g. Gunakkan sarung klambu waktu tidur.
h. Pemberantasan nyamuk dengan fogging maupun penyemprotan hanya
mengusir nyamuk untuk sementara, dan terkadang kurang sehat bagi
mereka yang alergi pada asap fogging ini. (Prilaku Hidup Bersih dan
Sehat, Depkes 2008).
2.2. Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit DBD
2.2.1. Pengetahuan
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo, S. (2005). pengatahuan
(knowledge) adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimiliki (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui
indera pendengaran dan indra penglihatan. Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengatahuan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya penyakit
demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti.
Untuk mengatahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat
17
menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana cara
melakukan PSN (Pemberantasan sarang nyamuk).
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang
diketahui. Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan
penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M
(mengubur, menguras dan menutup), tetapi harus dapat menjelaskan
mengapa harus mengubur, menguras dan menutup tempat-tempat
penampungan air tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek
yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip
yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang
yang telah paham tentang metodologi penelitian, ia akan mudah
membuat proposal penelitian dimana saja.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengatahuan seseorang itu sudah sampai
pada tingkat analisis apabila bisa membedakan, memisahkan dan
18
mengelompokkan objek tersebut. Misalnya bisa membedakan
nyamuk aedes aegypti dengan nyamuk biasa.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengatahuan yang dimiliki. Dengan kata lain
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat.
Pengetahuan kesehatan ( health knowledge) adalah mencakup
apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara
kesehatan. Pengatahuan tentang cara-cara memelihara kesehatan
meliputi:
1. Pengetahuan tentang penyakit menular dan tidak menular (jenis
penyakit, cara penularannya, tanda-tandanya, gejala-gejalanya,
penyebab, cara pencegahan, cara mengatasi atau menangani
sementara).
19
2. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait atau
mempengaruhi kesehatan antara lain: gizi makanan, sarana air
bersih, pembuangan sampah, perumahan sehat dan sebagainya.
3. Pengetahauan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang
profesional maupun yang tradisional.
4. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan
rumah tangga, maupun kecelakaan lalu lintas.
Pengatahuan kesehatan dapat diukur degan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui
pertanyaan tertulis (angket). Indikator pengatahuan kesehatan adalah
tingginya pengatahuan responden tentang kesehatan atau besarnya
persentase sampel responden tentang variabel kesehatan. Misalnya
berapa % responden yang tahu tentang cara-cara mencegah penyakit
demam berdarah. (Notoatmodjo, 2005).
2.2.2. Perilaku Manusia
Dari aspek biologis menurut Notoatmodjo, S (2005) perilaku adalah
suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau aktivitas organisme atau
makhluk hidup yang bersangkutan. Manusia sebagai makhluk hidup
mempunyai bentangan aktivitas yang sangat luas. Secara singkat,
aktivitas manusia dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
20
1. Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, misalnya:
membuang sampah sembarangan, menguras bak mandi dan
sebagainya.
2. Aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain seperti berfikir,
berfantasi dan sebagainya.
Menurut Skiner (1983) seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo, S
(2005), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi
seseoarang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) dengan demikian,
perilaku manusia terajadi melalu proses: stimulus-----> organisme ----->
respons.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, Skiner (1938)
dalam Notoatmodjo (2007) membedakan perilaku menjadi dua yaitu:
1) Perilaku tertutup (cover behaviour) adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau
reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut, dan belum dapat diamati oleh orang lain secara jelas.
2) Perilaku terbuka (overt behaviour) adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap
stimulus tersebut sudah nyata jelas dalam bentuk tindakan atau pratik
(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku manusia yaitu:
21
1. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam individu mencakup
pengatahuan, keceradasan, emosi, dan sebagaianya.
2. Faktor ekstern yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu
meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim,
manusia, sosial dan budaya.
Seperti telah diuraikan di atas tentang faktor yang mempengaruhi
prilaku, bahwa prilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor
ekstern) dengan respons (faktor intern) dalam subjek atau orang yang
berprilaku tersebut. (Notoatmodjo, S 2005) .
Lawrence Green dalam Notoatmodjo, S (2005) mencoba
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni
faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-
behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3
faktor yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi, yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya,
2. Faktor-faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
22
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi,
jamban dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku keseahatan (healthy behavior)
adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, nutrisi dan pelayanan
kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas
atau kegiatan seseorang, baik yang diamatai (observable) maupun yang
tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan. (Notoatmodjo, S. 2005)
Perilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi
dua, yaitu:
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkatkan
kesehatan.
Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang
mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam
mencegah atau menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit
(perilaku preventif), dan perilakudalam mengupayakan meningkatnya
kesehatan (perilaku promotif). Seperti menggunakan mosquito
repellent untuk menghindari gigitan nyamuk aedes aegypti.
23
2. Perilaku orang yang sakit.
Perilaku orang yang telah terkena masalah kesehatan untuk
memperoleh penyembuhan dan pemecahan masalah kesehatannya.
Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health
seeking behavior).
2.2.3. Lingkungan
Menurut Sartaian seorang ahli psikologi Amerika dalam Ngalim,
M.P. (1996) mengatakan bahwa lingkungan (environment) ialah meliputi
semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu
mempengaruhi perilaku kita, pertumbuhan, perkembangan, atau life
processes kita kecuali gen-gen. Sedangkan menurut UU. RI. No.23 tahun
1997 dalam Suryani, D (2007) lingkungan adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan makhluk hidup termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraaan
manusia dan makhluk hidup lainnya.
Menurut definisi yang luas ini ternyata bahwa di dalam lingkungan
kita tidak hanya terdapat sejumlah besar faktor-faktor pada suatu saat,
tetapi terdapat pula faktor-faktor lain yang banyak sekali, yang secara
potensial sanggup dapat mempengaruhi kita. Menurut Sartain lingkungan
itu dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
24
1. Lingkungan alam/luar (external or physical environment)
Lingkungan alam atau luar ialah segala sesuatu yang ada dalam
dunia ini yang bukan manusia seperti: rumah, tumbuh-tumbuhan, air,
iklim, hewan dan sebagainya.
2. Lingkungan dalam (internal environment)
Lingkungan dalam yaitu segala sesuatu yang termasuk
lingkungan luar/alam. Akan tetapi makanan yang sudah dalam perut
mengalami proses penceranaan dan perserapan ke dalam pembuluh-
pembuluh darah dan mempengaruhi tiap-tiap sel di dalam tubuh
merupakan termasuk lingkungan dalam.
3. Lingkungan sosial/masyarakat (social environment)
Lingkungan sosial yaitu semua orang atau manusia yang
mempengaruhi kita.
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik
peran lingkungan terhadap status kesehatan yang menyebabkan
terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan berpengaruh
terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. (Soemirat, J.S.
2007). Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau
daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit.
(Sukarni, M. 1994).
Menurut Manssjoer (2001) dalam Kristina (2004) Secara umum
lingkungan dibedakan atas lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.
25
Lingkungan fisik adalah lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar
manusia, sedangkan lingkungan non fisik ialah lingkungan yang muncul
akibat adanya interaksi antar manusia. Faktor lingkungan fisik yang
berperan terhadap timbulnya penyakit DBD meliputi kelembaban nisbi,
cuaca, kepadatan larva dan nyamuk dewasa, lingkungan di dalam rumah,
lingkungan di luar rumah dan ketinggian tempat tinggal. Unsur-unsur
tersebut saling berperan dan terkait pada kejadian infeksi Virus Dengue
(Soegijanto S., 2003).
Kesehatan lingkungan merupakan pengndalian penyakit menular,
pendidikan hygiene perorangan, mengorganisir pelayanan medis dan
perawatan dan membangun mekanisme sosial menikmati hidup (Suryani,
D 2007). Depkes (2004) dalam Kristina (2004) menyatakan bahwa faktor
lingkungan yang berperan terhadap timbulnya penyakit DBD diantaranya
lingkungan pekarangan yang tidak bersih, seperti bak mandi yang jarang
dikuras, pot bunga, genangan air di berbagai tempat, ban bekas, batok
kelapa, potongan bambu, drum, kaleng-kaleng bekas serta botol-botol
yang dapat menampung air dalam jangka waktu yang lama. Lingkungan
non fisik yang berperan dalam penyebaran DBD adalah kebiasaan
menyimpan air serta mobilitas masyarakat yang semakin meningkat.
26