12 bab ii - eprints.stainkudus.ac.ideprints.stainkudus.ac.id/313/5/5. bab ii.pdf · mempunyai iman...

50
12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pembinaan Aktivitas Keagamaan 1. Pengertian Pembinaan Aktivitas Keagamaan Menurut Poerwadarminta, pembinaan artinya pembaruan. 1 Sedangkan aktivitas artinya “kegiatan, kesibukan”. 2 Adapun keagamaan terdiri dari kata dasar agama, yang mempunyai arti ”segenap kepercayaan kepada Tuhan serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”. 3 Agama dapat dipahami sebagai ketetapan Tuhan yang dapat diterima oleh akal sehat sebagai pandangan hidup, untuk kebahagiaan dunia akhirat. Harun Nasution dalam Ali Anwar Yusuf, mengatakan bahwa secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk harfiah yang terpadu, perkataan agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, langgeng, abadi yang diwariskan secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya. 4 Kata agama sendiri yang berarti ajaran; sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa 1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, Ed. III, Cet. 4, hlm 160. 2 Ibid., hlm. 20. 3 Ibid., hlm. 10. 4 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm. 17. 12

Upload: hoangngoc

Post on 27-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pembinaan Aktivitas Keagamaan

1. Pengertian Pembinaan Aktivitas Keagamaan

Menurut Poerwadarminta, pembinaan artinya pembaruan.1

Sedangkan aktivitas artinya “kegiatan, kesibukan”.2 Adapun keagamaan

terdiri dari kata dasar agama, yang mempunyai arti ”segenap kepercayaan

kepada Tuhan serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban

yang bertalian dengan kepercayaan itu”.3 Agama dapat dipahami sebagai

ketetapan Tuhan yang dapat diterima oleh akal sehat sebagai pandangan

hidup, untuk kebahagiaan dunia akhirat.

Harun Nasution dalam Ali Anwar Yusuf, mengatakan bahwa

secara etimologis kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang tersusun

dari kata “a” berarti “tidak” dan “gam” berarti “pergi”. Dalam bentuk

harfiah yang terpadu, perkataan agama berarti tidak pergi, tetap di tempat,

langgeng, abadi yang diwariskan secara terus menerus dari satu generasi

kepada generasi lainnya.4

Kata agama sendiri yang berarti ajaran; sistem yang mengatur tata

keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007,

Ed. III, Cet. 4, hlm 160.

2 Ibid., hlm. 20.

3Ibid., hlm. 10.

4 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm. 17.

12

13

serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan

manusia serta lingkungannya.5 Dengan demikian istilah keagamaan berarti

segala sesuatu yang berhubungan dengan agama.

Sedangkan definisi agama dalam Islam, terdapat istilah din, yang

mencakup pengertian keberhutangan, ketundukan, kekuatan yang

mengadili dan kecenderungan alami. Istilah ini berhubungan erat dengan

beberapa istilah yang memiliki akar kata sama, yaitu dana atau kondisi

memiliki hutang. Manusia memiliki hutang yang tak terhingga kepada

Sang Pencipta, berupa keseluruhan eksistensi. Orang yang berhutang

disebut da’in, memiliki kewajiban untuk membayar. Karena pembayaran

hutang ini melibatkan seluruh manusia dengan beragam kondisi, maka

diperlukan ketentuan (idanan), dan penilaian terhadap yang patuh dan

yang ingkar (daynunah). Segala ketentuan di atas hanya dapat

diaktualisasikan dalam suatu masyarakat yang teratur (madinah) dan

memiliki pemimpin (dayyan). Dengan demikian agama tidak lain adalah

keseluruhan proses pemberadaban manusia yang akan menghasilkan

kebudayaan.6

Oleh karena itu, agama secara mendasar dan umum, dapat diartikan

sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan

manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur

5Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

2003, hlm. 12.

6Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Bulang Bintang,

Jakarta, 1992, hlm. 103.

14

hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan

manusia dengan lingkungannya.

Berangkat dari uraian penjelasan di atas, dapat peneliti simpulkan

bahwa pembinaan aktivitas keagamaan adalah upaya membangun sikap

dan perilaku iman seseorang yang tercermin dari pembenaran dalam hati,

pernyataan dengan lisan dan tanggapan atau reaksi individu terhadap

ajaran agama (wujud dari perilaku iman) berupa pelaksanaan kewajiban-

kewajiban agama, baik berupa shalat, puasa, akhlak terhadap sesama dan

sebagainya.

2. Bentuk-bentuk Pembinaan Aktivitas Keagamaan

Pembinaan aktivitas keagamaan siswa yang dimaksudkan di sini

adalah usaha yang direncanakan secara sistematis berupa bimbingan,

pemberian informasi, pengawasan dan juga pengendalian untuk

peningkatan kualitas para siswa, khususnya dalam hal keagamaan dalam

menciptakan sikap mental dan pengembangan potensi yang positif

sehingga terbentuk keberagamaan yang baik pada diri siswa.

Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di sekolah dalam rangka

pembinaan keberagamaan siswa dilaksanakan melalui dua kelompok

pelaksana kegiatan keagamaan yaitu sekolah sebagai lembaga pendidikan

yang utuh dengan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan

pengembangan budaya agama di komunitas sekolah dan Rohis (rohani

Islam) sebagai jenis kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang husus

menaungi kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.

15

Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan sekolah sebagai lembaga

yang berkomitmen untuk mengembangkan budaya agama di sekolah

yang wajib diikuti oleh seluruh warga sekolah dilaksanakan dalam

bentuk:

a. Membaca Al-Qur’an 5 sampai dengan 10 menit sebelum jam

pelajaran pertama.

b. Berdo’a secara Islami di awal dan akhir pelajaran.

c. Melaksanakan shalat duhur berjama’ah

d. Membiasakan berinfaq di hari Jum’at

e. Pelaksanaan Perayaan Hari Besar Islam (PHBI)

f. Mengadakan pesantren kilat di bulan Ramadhan

g. Mengadakan kegiatan sosial keagamaan.

h. Memasyarakatkan/membiasakan 3 S (senyum, salam, sapa)

i. Mengadakan pengajian rutin

j. Mengadakan kegiatan baca tulis/tilawah al-Qur’an.

k. Pakaian sekolah muslim-muslimah pada bulan Ramadhan.7

Dilihat dari waktu pelaksanaannya, kegiatan keagamaan tersebut

ada yang dilaksanakan secara rutin baik secara harian, mingguan

maupun tahunan. Kegiatan keagamaan yang dilaksanakan setiap hari

antara lain membaca al-Qur’an selama 5 menit pada jam pelajaran

pertama, bersalaman dengan guru sebelum masuk sekolah, sholat

Zhuhur berjamaah.

7Ermis Suryana dan Maryamah, “Pembinaan Keberagamaan Siswa Melalui Pengembangan

Budaya Agama”, Jurnal Ta’dib, Vol. XVIII, No. 02, Edisi November 2013, hlm. 179.

16

c. Ciri-ciri Perilaku Keagamaan

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa seseorang yang

mempunyai perilaku keagamaan atau keberagamaan yang baik akan selalu

menunjukkan tingkah laku sebagaimana dituntunkan dalam ajaran Islam.

Segala yang diperintahkan dalam ajaran Islam senantiasa dikerjakan dan

segala yang dilarangnya senantiasa dijauhi, dan berusaha mendekatkan diri

pada Allah.

Ada beberapa ciri perilaku keagamaan yang baik yaitu : 1) Beriman

dan bertakwa; 2) Gemar dan giat beribadah; 3) Berakhlak mulia; 4) Sehat

jasmani, rohani dan aqli; 5) Giat menuntut ilmu; dan 6) Bercita-cita

bahagia dunia akherat”8. Dari ciri-ciri tersebut akan diuraikan sebagai

berikut :

a. Beriman dan bertakwa

Iman menempati kedudukan yang sangat penting dalam

kehidupan manusia, karena iman akan mengantarkan seseorang untuk

meraih kebahagiaan dunia dan akherat.9 Manusia yang tidak

mempunyai iman tidak akan memperoleh kebahagiaan dunia dan

akherat, sebagaimana diterangkan Allah dalam QS. Surat Yunus ayat

63-64 sebagai berikut :

8Abu Tauhid MS, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

1990, hlm. 26.

9Ibid., hlm. 26.

17

Artinya : Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.(QS. Surat Yunus ayat 63-64)10

b. Gemar dan giat beribadah

Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah hanya untuk

mengabdi kepada-Nya. Oleh sebab itu kalau manusia sudah beriman

kepada Allah, harus menyembah atau menghambakan diri kepada-Nya,

sesuai dengan ajaran Islam11. Hal ini seperti yang diterangkan dalam

QS. Surat: Adz Dzariyaat ayat 56 :

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Surat Adz Dzariyaat ayat 56)12

c. Berakhlak mulia

Ajaran Islam banyak sekali mengandung tuntunan akhlak, yang

semuanya itu merupakan satu kesatuan yang mutlak dan tidak

10Al-Qur’an Surah Yunus Ayat 63-64, Departemen Agama RI, hlm. 316.

11Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.

12Al-Qur’an Surah Shaad Ayat 46, Departemen Agama RI, hlm. 856.

18

terpisahkan dari ajaran-ajaran lainnya. Akhlak yang mulia adalah sifat-

sifat utama yang terpuji.13 Akhlak dalam Islam dijadikan syarat

kesempurnaan iman, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Surat

Shaad ayat 46 :

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”. (QS. Surat Shaad : 46)14

d. Sehat jasmani, rohani dan aqli

Kesehatan jasmani dan rohani perlu dijaga, yang dalam ajaran

Islam dimulai dari membersihkan diri dari kotoran yang melekat pada

dirinya. Perintah membersihkan (mensucikan diri) dalam ajaran Islam

bertujuan untuk memenuhi ketentuan taubat kepada Allah15. Seperti

Firman-Nya dalam QS. Surat Al Baqarah ayat 222 :

13Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.

14Al-Qur’an Surah Al Baqarah Ayat 222, Departemen Agama RI, hlm. 738.

15Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.

19

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Surat Al Baqarah ayat 222) 16

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang

suka mensucikan diri, senantiasa akan terpeliharanya kesehatan jasmani

maupun rohani, untuk mencapai kesehatan yang maksimal. Dalam

ajaran Islam telah menggariskan yaitu kewajiban menjalankan shalat

lima waktu, jika seseorang itu mampu menjalankan dengan biak insya

Allah akan terjamin kesehatan jasmani dan rohaninya.

e. Giat menuntut ilmu

Islam mengajarkan agar senantiasa menuntut ilmu dalam

hidupnya di dunia ini untuk bekal kemudian hari. Nabi Muhammad

Saw bersabda:

كـل مسـلم ان املالئكـة اطلبوا العلـم ولـو بالصـني فـان طلـب العلـم فريضـة علـى

)رواه ابن عبد الرب عن انس(تضع اجنحتها لطالب العلم رضا مبا يطلب

Artinya : “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina, karena sesungguhnya mencari ilmu adalah fardlu setiap muslim, sesungguhnya para Malaikat menaruh sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu”. (HR. Ibnu Abdil Barr dari Annas).17

16Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 222, Departemen Agama RI, hlm. 54.

17Al Hadits, Al Jami’us shaghir Juz 1, (terjemahan), Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hlm. 329.

20

f. Bercita-cita bahagia dunia dan akherat

Kehidupan di dunia maupun di akherat harus senantiasa

diperhatikan dan berjalan seimbang. Manusia cenderung memiliki dua

sikap dalam menempuh jalan hidup yaitu hidup yang materialis artinya

hanya mementingkan kehidupan duniawi dan mementingkan harta

benda, mereka beranggapan bahwa dengan harta yang melimpah, akan

membahagiakan dirinya dan keluarganya.18 Yang kedua yaitu hidup

yang spiritualis artinya seseorang yang menempuh jalan hidup dengan

hanya mementingkan bekal di akerat saja, sedangkan kehidupan di

dunia termasuk hidup rukun bermasyarakat diabaikan. Mereka

beranggapan bahwa hidup di dunia hanya semu dan yang abadi di

akherat yang hanya dapat ditempuh melalui menjauhkan diri dari

ramainya dunia dan mementingkan akherat saja.

Islam mengajarkan agar tidak menempuh seperti contoh jalan

hidup seperti di disebutkan di atas, tetapi harus berjalan seimbang

antara kebutuhan hidup di dunia untuk bekal selama hidup di dunia, dan

mencari bekal di akherat untuk bekal mengarungi kehidupan akherat

kelak. Allah berfirman dalam QS. Surat al Qashash ayat 77 :

18Abu Tauhid MS, Op. cit., hlm. 26.

21

Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Surat Al Qashash: 77)19

B. Keberagamaan Siswa

1. Pengertian Keberagamaan

Keberagamaan berasal dari kata “agama” yang berarti ajaran,

sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tata kaidah yang berhubungan

dengan pergaulan manusia dan lingkungannya.20 Dan keberagamaan

adalah perihal beragama. Keberagamaan dalam bahasa Inggris disebut

religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity adalah

merupakan bentuk dari religious yang berarti beragama atau beriman.

Menurut Muslim A. Kadir, keberagamaan menunjuk pada ”respon

terhadap wahyu yang diungkapkan dalam pemikiran, perbuatan dan

kehidupan kelompok.”21 Lebih lanjut, Quraisy Syihab mengemukakan

bahwa keberagamaan adalah “upaya seseorang meneladani sifat-sifat

Tuhan yang dipercayainya”.22

19Al-Qur’an Surah Al-Qashah Ayat 77, Departemen Agama RI, hlm. 623.

20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 755.

21 Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 105-106.

22Quraisy Syihab, Kultum: Mutiara Ramadhan, http://video.okezone.com/play/2009 /08/24/334/12574/keberagamaan, diakses pada tangga 16 September 2015.

22

Muhaimin mengemukakan bahwa keberagamaan atau religiusitas

menurut Islam adalah melaksanakan ajaran agama atau ber-Islam

secara menyeluruh, karena itu setiap muslim baik dalam berpikir

maupun bertindak diperintahkan untuk ber-Islam.23 Dengan demikian,

keberagamaan adalah sebagai segala perwujudan dari pada pengakuan

seseorang terhadap suatu agama. Tetapi keberagamaan bukanlah semata-

mata karena seseorang mengaku beragama, melainkan bagaimana

agama yang dipeluk itu dapat memengaruhi seluruh hidup dan

kehidupannya.

Menurut Jalaluddin, sikap beragama (keberagamaan) merupakan

suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk

bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama, sikap

keberagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antar kepercayaan

terhadap agama sebagai unsur kognitif perasaan terhadap agama sebagai

unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif.24

Oleh karena itu, keberagamaan dalam Islam tidak hanya

diwujudkan dalam bentuk ritual saja, akan tetapi dalam aktivitas lainnya.

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh. Setiap

muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus secara

Islami. Dengan demikian, sikap keberagamaan adalah tingkah laku yang

taat kepada agama atau perilaku yang mencerminkan ketaatan dalam

23 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 297.

24 Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 184.

23

menjalankan ajaran agama yang didasarkan oleh pengetahuan dan

perasaan terhadap agama dengan harapan mendapat ridla Allah SWT.

Menurut Ahmad Zubaidi dalam Muhyani, kesadaran religius

(beragama) adalah kepekaan dan penghayatan seseorang akan

hubungannya yang dekat dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan

sekitarnya yang diungkap secara lahiriah dalam bentuk pengamalan ajaran

yang diyakininya.25

Religiusitas atau keberagamaan diwujudkan dalam berbagai sisi

kehidupan, keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

ritual agama yang dianutnya, tetapi juga ketika melakukan aktivitas-

aktivitas lainnya yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya

yang berkaitan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tetapi juga

aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu,

masalah kesadaran religius seseorang akan meliputi berbagai macam sisi

atau dimensi.26

Keberagamaan dalam Islam adalah wujud dari adanya perilaku

iman. Sebagai perilaku iman, maka keberagamaan terdiri dari beberapa

unsur. Menurut Imam al-Sunnah wa al-Jamah, Abu Hasan al-Asy’ari

seperti yang dikutip Muslim A. Kadir menyatakan bahwa “iman itu terdiri

dari tiga unsur, yaitu pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qolbi),

pernyataan dengan lisan (tasdiq bi al-lisan) dan realisasinya dalam amal

25 Muhyani, Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan Peran Guru di Sekolah Menurut

Persepsi Siswa Terhadap Kesadaran Religius dan Kesehatan Mental, Kemenag RI, Jakarta, 2012, hlm. 55.

26 Ibid.

24

perbuatan konkret (amal bi al-arkan)”.27 Secara rinci akan peneliti

jelaskan pada uraian berikut:

a. Keyakinan di dalam hati

Keyakinan dalam hati merupakan bagian dari iman yang utama.

Orang yang mengucapkan iman dengan lidahnya dan mengamalkan

dengan segenap perbuatan anggota badan, tetapi tidak disertai dengan

pengakuan dalam hati, tidaklah disebut iman. Orang yang demikian

dalam pandangan al-Qur’an disebut orang munafiq.28 Allah berfirman:

Artinya: (8) Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (9). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (Q.S. Al-Baqarah: 8-9)29

Dalam ayat tersebut jelas sekali, bahwa iman itu harus

menyertakan hati atau pengakuan dalam batinnya, bahwa ia beriman.

Pengakuan batin ini tentunya yang tahu hanya yang bersangkutan. Di

hadapan orang lain mereka tidak diketahui, karenanya mereka dapat

27 Muslim A. Kadir, Op. cit., hlm. 82.

28 M. Ali Hasan, Materi Pokok Aqidah Akhlak, Dirjen Binbagais, Depag RI, Jakarta, 2007, hlm. 50.

29 Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 8-9, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 2007, hlm. 2.

25

menipu orang-orang beriman. Sedangkan Allah Yang Maha Tahu,

mengetahui apa yang terdapat dalam hatinya. Dengan demikian hati

memiliki peran yang sangat penting dalam keimanan seseorang.

b. Pengucapan dengan lisan

Unsur iman yang kedua adalah ucapan atau qawl bil lisan, yakni

”membenarkan dengan ucapannya terhadap apa-apa yang

diyakininya”.30 Bila keyakinan di dalam hati merupakan kerangka

dalam membangun iman, maka tasdiq bi al-lisan sebagai lapisan

kerangkanya, pengucapan dengan lisan sebagai pembuktian iman dalam

hati kita. Allah berfirman:

Artinya: Dia berkata: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Q.S. Yunus: 90)31

Ayat di atas menunjukkan bahwa iman yang benar adalah iman

yang disertai dengan pengakuan dan diikuti dengan amal perbuatan.

Ungkapan pengakuan iman itu selanjutnya dinyatakan dalam ucapan

dua kalimat syahadat. Dengan demikian, betapa pentingnya peran dan

fungsi lisan sebagai salah satu unsur pokok ajaran Islam.

30M. Ali Hasan, Op. cit., hlm. 53.

31Al-Qur’an Surah Yunus Ayat 90, Departemen Agama RI, hlm. 219.

26

c. Pembuktian dengan amal perbuatan

Amal perbuatan ini adalah bukti nyata sebagai suatu

konsekuensi dari apa yang telah diyakini dalam hati, dan diucapkan

dengan lisan yang diwujudkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.32

Unsur amal perbuatan dalam iman ini jelas pula terlihat dalam ayat-ayat

Al-Qur’an yang banyak mengaitkan iman dengan amal sholih, di

antaranya:

Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-Ankabut: 7)33

Unsur iman dalam perbuatan ini, selanjutnya akan membawa

pada hubungan iman dengan budi yang baik dan amal yang berguna,

seperti mengerjakan shalat dengan khusyu’, menjauhkan diri dari

perkataan dan perbuatan yang tidak berguna, membayar zakat dan lain-

lain.

Dengan demikian, keberagamaan adalah merupakan wujud dari

perilaku iman yang tercermin dari pembenaran dalam hati, pernyataan

dengan lisan dan tanggapan atau reaksi individu terhadap ajaran agama

(wujud dari perilaku iman) berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban

32M. Ali Hasan, Op. cit., hlm. 53.

33Al-Qur’an Surah Al-Ankabut Ayat 7, Departemen Agama RI, hlm. 423.

27

agama, baik berupa shalat, puasa, akhlak terhadap sesama dan

sebagainya.

2. Dimensi-dimensi Keberagamaan

Salah satu unsur dasar dalam Islam adalah adanya kesatuan antara

dunia dan akhirat. Prinsip dasar ini kemudian dipertegas dengan rumusan

Islam kaffah yang mengandung arti bahwa Islam di dalamnya meliputi

seluruh kehidupan umat manusia. Ini berarti seluruh aspek kehidupan,

apakah duniawi atau ukhrawi adalah medan keberagamaan dalam wujud

memberi respon kepada wahyu Allah SWT dan bobot tampilan

keberagamaan ini kemudian dipertajam dengan tampilan empiris

pelaksanaannya oleh Rasulullah dalam praksis kehidupan manusia.34

Menurut Muslim A. Kadir, bahwa lingkup atau dimensi

keberagamaan dalam Islam menjangkau seluruh segi kehidupan manusia.

Ini berarti bahwa baik di dunia maupun akhirat adalah bagian integral dari

lingkup tersebut. Suatu perbuatan disebut perilaku beragama bukan karena

yang satu mengurusi dunia sedang lainnya akhirat, melainkan karena

bentuk perbuatan tersebut merupakan wujud respon kepada Allah.35

Senada dengan hal itu, Ma’mun Mu’min menjelaskan bahwa lingkup

keberagamaan dalam Islam mencakup seluruh segi kehidupan manusia,

baik aspek sosial, ekonomi, budaya, seni, teknologi, dan sebagainya.36

34 Ma’mun Mu’min, Teknologi Beragama: Suatu Ikhtiar Implementasi Islam Praktis dalam

Menyongsong Era Global, Media Ilmu Press, Kudus, 2008, hlm.109.

35Muslim A. Kadir, Op. cit., hlm. 9.

36 Ma’mun Mu’min, Op. cit., hlm.109.

28

Menurut Glock dan Stark dalam Muhyani, ada lima dimensi

religiusitas yang bila dilaksanakan akan memunculkan aktivitas

keagamaan (keberagamaan), yaitu dimensi keyakinan (bilief), dimensi

peribadatan atau praktek agama (practical), dimensi pengalaman dan

penghayatan (the experiential dimensions/religious feeling), dimensi

pengalaman dan konsekuensi (the consequential dimensions/religious

effect), dan dimensi pengetahuan agama (intellectual).37 Secara rinci

kelima dimensi penulis jelaskan pada uraian berikut:

a. Dimensi keyakinan (bilief)

Dimensi keyakinan berisi seperangkat keyakinan yang terpusat pada

keyakinan adanya Allah. Kepercayaan kepada Allah ini selanjutnya

melahirkan seperangkat keyakinan yang berkaitan dengan alam gaib

dan alam nyata. Bagaimana misalnya tentang konsep penciptaan alam,

penciptaan manusia dan adanya roh dalam diri manusia. Bagitu pula

tentang alam lain yang akan menjadi tempat kembalinya manusia kelak.

Dimensi ini pula umumnya memberikan muatan-muatan yang bercorak

doktrinal.38 Jadi dimensi ini berkaitan dengan keyakinan (keimanan)

akan adanya Tuhan.

b. Dimensi peribadatan atau praktek agama (practical).

Dimensi ini merupakan refleksi langsung dari dimensi pertama. Ketika

agama menkonsepsikan adanya Allah yang menjadi pusat

penyembahan, disebut juga dimensi praktik agama atau peribadatan

37 Muhyani, Op. cit., hlm. 65-67.

38Ibid., hlm. 65-66.

29

(ritual). Semua bentuk peribadatan itu tidak lain merupakan sarana

untuk melestarikan hubungan manusia dengan Allah. Lestarinya

hubungan ini akan berakibat pada terlembaganya agama itu secara

permanen.39 Jadi dimensi ini berkaitan dengan pelaksanaan ibadah

seseorang sebagai manifestasi adanya keimanan seseorang.

c. Dimensi pengalaman dan penghayatan (the experiential

dimensions/religious feeling)

Dimensi ini berhubungan dengan bentuk respon kehadiran Tuhan yang

dirasakan oleh seseorang atau komunitas keagamaan. Respon kehadiran

Tuhan dalam diri seseorang atau komunitas keagamaan tercermin pada

adanya emosi keagamaan yang kuat. Terdapat rasa kekaguman,

keterpesonaan dan hormat yang demikian melimpah. Dimensi ini

berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung

pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan

bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan

mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan

terakhir. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan,

perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami

seseorang oleh suatu kelompok keagamaan.40

39 Ibid., hlm. 66.

40 Ibid.

30

d. Dimensi pengalaman dan konsekuensi (the consequential

dimensions/religious effect)

Dimensi ini berupa pelaksanaan secara konkrit dari tiga dimensi di atas.

Pengamalan adalah bentuk nyata dari semua perbuatan manusia yang

disandarkan kepada Tuhan. Hidup dalam pengertian ini merupakan

pengabdian yang sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan. Orientasi dari

semua perilkau dalam hidup semata tertuju kepada Tuhan. Komitmen

seorang pemeluk suatu agama akan nampak dari dimensi ini.41

e. Dimensi pengetahuan agama (intellectual)

Dimensi ini mengacu pada indentifikasi akibat-akibat keyakinan

keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari

ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya

seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak

sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama

merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal

dari agama. 42 Dengan demikian, pengamalan adalah bentuk nyata dari

semua perbuatan manusia yang disandarkan kepada Tuhan. Hidup

dalam pengertian ini merupakan pengabdian yang sepenuhnya

diabdikan kepada Tuhan. Orientasi dari semua perilaku dalam hidup

semata tertuju kepada Tuhan. Komitmen seorang pemeluk suatu agama

akan nampak dari dimensi ini.

41 Ibid.

42Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 78.

31

Berdasarkan dari lima dimensi keberagamaan atau religiusitas di

atas, dapat dikemukakan bahwa aktivitas beragama bukan hanya terjadi

ketika seorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika

melakukan aktivitas lain. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang akan

meliputi berbagai macam sisi atau dimensi, yaitu dimensi keyakinan,

dimensi praktik agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama

dan dimensi pengamalan atau konsekuensi.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan

Tumbuh kembangnya manusia dipengaruhi oleh dua faktor, yakni

faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Kedua faktor inilah yang

mempengaruhi manusia berinteraksi dari sejak lahir hingga akhir hayat.

Dalyono mengatakan bahwa setiap individu yang lahir ke dunia dengan

suatu hereditas tertentu. Ini berarti karakteristik individu diperoleh melalui

pewarisan atau pemindahan cairan-cairan “germinal” dari pihak kedua

orang tuanya. Disamping itu individu tumbuh dan berkembang tidak

lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik, psikologis, maupun

lingkungan sosial.43

Dengan demikian dapat diartikan bahwa faktor yang memengaruhi

kesadaran beragama ataupun kepribadian pada diri seseorang pada garis

besarnya berasal dari dua faktor, yaitu :

43 Dalyono, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 120.

32

a. Faktor internal (pembawaan)

Faktor internal yang dimaksud disini adalah faktor yang

berasal dari dalam diri seseorang, yaitu segala sesuatu yang

dibawanya sejak lahir di mana seseorang yang baru lahir tersebut

memiliki kesucian (fitrah) dan bersih dari segala dosa serta fitrah untuk

beragama. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Ar-Rum

ayat 30 sebagai berikut:

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30)

Yang dimaksud fitrah Allah pada ayat di atas adalah ciptaan

Allah. Manusia diciptakan Allah melalui naluri beragama yaitu agama

tauhid. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu

tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran

pengaruh lingkungan.

Jadi sejak lahir manusia membawa fitrah dan mempunyai

banyak kecenderungan, ini disebabkan karena banyaknya potensi yang

dibawanya. Dalam garis besarnya kecenderungan itu dapat dibagi

dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan

33

menjadi orang yang jahat. Sedangkan kecenderungan beragama

termasuk dalam kecenderungan menjadi baik.

b. Faktor eksternal (lingkungan)

1) Lingkungan keluarga

Keluarga adalah lembaga pendidikan yang paling utama.

Keluarga sejahtera sangat besar pengaruhnya untuk pendidikan

dalam lingkup kecil dan juga sangat menentukan dalam lingkup

besar yaitu pendidikan bangsa dan negara.44 Melihat kenyataan ini

dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam

pendidikan anaknya.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi

anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam

pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Orang

tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama

kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api

neraka.

Dalam kehidupan manusia, lingkungan keluargalah yang

menjadikan dasar pembentukan perilaku seseorang, juga

memberikan andil yang sangat banyak dalam memberikan

bimbingan dan pendidikan keagamaan. Sebab seseorang sebelum

mengenal dunia luar, mereka terlebih dahulu menerima norma-

norma dan pengalaman-pengalaman dari anggota keluarganya,

44 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya,

Bandung, 2008, hlm. 138.

34

terutama dari orang tuanya. Dan orang tualah yang berperan banyak

dalam mendidik anak-anaknya, selain itu orang tua dalam keluarga

sangat menentukan pribadi anak dalam berperilaku terutama

kesadaran beragama.

Sehubungan hal tersebut, Zakiah Daradjat menyatakan orang

tua adalah “pembina pribadi yang utama dan pertama dalam

kehidupan anak”. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup

mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung

yang dengan sendirinya akan masuk dan memengaruhi pribadi anak

yang sedang tumbuh dan berkembang.45

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa, orang tua

memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan jiwa

keagamaan anak. Melalui peran orang tua dan hubungan yang baik

antara orang tua dan anak dalam proses pendidikan, maka kesadaran

beragama dapat berkembang melalui peran keluarga dalam

memengaruhi dan menanamkannya kepada anak. Di mana orang

tualah yang bertanggung jawab dalam membentuk perilaku

keberagamaan anak dalam kaitannya dengan kesadaran beragama.

b) Lingkungan sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang

mempunyai program sistemik dalam melaksanakan bimbingan,

pengajaran dan latihan kepada anak (peserta didik) agar mereka

45 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2008, hlm. 56.

35

berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik

menyangkut aspek fisik, psikis, (intelektual dan emosional), sosial,

maupun moral-spiritual.46

Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah

beragama anak atau peserta didik, sekolah mempunyai peranan yang

sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman,

pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlaq yang mulia, serta

sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.47

Adapun faktor yang menunjang perkembangan beragama

pada individu di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut:

(1) Kepedulian kepala sekolah, guru dan staf sekolah lainnya terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, baik melalui contoh yang baik dalam bertutur kata, berperilaku dan berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama. (2) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal. (3) Penyelenggaraan ekstra kurikuler kerohanian bagi para peserta didik dan ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.48

Dengan demikian lingkungan sekolah adalah faktor yang

potensial dalam rangka mendidik dan mengembangkan ajaran agama

untuk peserta didik terutama melalui bidang studi agama Islam dan

membiasakan suasana keagamaan melalui berbagai kegiatan

keagamaan dan perilaku sehari-hari sehingga dapat meningkatkan

kesadaran beragama bagi mereka.

46 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Belajar Agama, Maestro, Bandung, 2001, hlm. 48.

47 Ibid., hlm. 48-49.

48 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 36.

36

c) Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat adalah interaksi sosial dan

sosiokultural yang berpotensial berpengaruh terhadap perkembangan

fitrah beragama anak (terutama remaja). Dalam masyarakat, anak

atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya

(peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sebaya

itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama

(berakhlaq mulia), maka anak cenderung berakhlaq mulia. Namun

sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya buruk, maka anak

akan cenderung berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini

terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang

tuanya.49

Dengan demikian lingkungan masyarakat merupakan faktor

yang penting dalam rangka mengembangkan kesadaran beragama

khususnya pada masa remaja (pubertas), di mana hal ini dilakukan

dengan teman sebaya. Namun peran orang tua dalam keluarga

dan guru di sekolah amat dibutuhkan dalam mengawasi pergaulan

tersebut, guna menghindari pergaulan yang melanggar ajaran agama.

C. Hasil Belajar PAI

1. Pengertian Hasil Belajar PAI

Istilah hasil belajar berasal dari dua kata yaitu ”hasil” dan

”belajar”. Menurut Poerwadarminta, hasil adalah ”sesuatu yang

49 Syamsu Yusuf, Op. cit., hlm. 51-52.

37

diadakan oleh usaha”. 50 Sedangkan menurut I.L. Pasaribu dan S.

Simanjutak dalam bukunya Proses Belajar Mengajar menyatakan bahwa

hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai setelah mengikuti pendidikan

atau latihan.51 Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa prestasi

merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang dari sesuatu yang

telah ia kerjakan. Secara akademis prestasi merupakan hasil pelajaran

yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah yang bersifat kognitif dan

biasanya melalui pengukuran dan penilaian.

Adapun mengenai pengertian belajar, Howard L. Kingskey

seperti yang dikutip Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa

“Learning is the process by which behavior (in the broader sense) is

originated or changed through practice or training”atau“Belajar adalah

proses di mana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah

melalui praktek atau latihan”.52 Dengan demikian, belajar merupakan

proses untuk merubah tingkah laku seseorang yang belajar melalui

latihan-latihan.

Muhibbin Syah mendefiniskan belajar sebagai tahapan perubahan

seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil

pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses

50Poerwadarminta, Op. cit., hlm. 408.

51I.L. Pasaribu dan S. Simanjutak, Proses Belajar Mengajar, Tarsito, Bandung, 2000, hlm. 15.

52Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 13.

38

kognitif.53 Jadi belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang

sebagai hasil dari pengalaman.

Nana Sudjana mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan

bentuk-bentuk kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajar.54Pendapat yang sama dikemukakan oleh I Wayan

Nurkancana yang mengemukakan prestasi hasil belajar adalah kecakapan

baru yang diperoleh seorang individu yang mempengaruhi tingkah

lakunya.55

Pendidikan Agama Islam sebagaimana mata pelajaran

sebagaimana dijelaskan dalam buku Standar Kompetensi Pendidikan

Agama Islam, Pendidikan Agama Islam yaitu upaya sadar dan terencana

dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,

menghayati hingga mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam

mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber-sumber utamanya kitab

suci al-Qur’an dan Hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,

latihan, dan penggunaan pengalaman yang dibarengi tuntutan untuk

menghormati penganut agama dalam hubungannya dengan kerukunan

antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan

persatuan bangsa.56

53Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 64.

54Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 5-6.

55I Wayan Nurkancana, Evaluasi Hasil Belajar, Usaha Nasional, Surabaya, 1990, hlm. 27.

56 Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam, Depdiknas, Jakarta, 2003, hlm. 7.

39

Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dimaksudkan untuk

peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral

sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual

mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai

keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan

individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual

tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang

dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan.57

Berdasarkan dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

Pendidikan Agama Islam merupakan usaha berupa bimbingan dan

asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya

dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta

menjadikannya sebagai pandangan hidup.

Berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar PAI adalah hasil usaha belajar yang

dicapai seorang siswa dari kegiatan belajar PAI berupa suatu kecakapan

yang berupa ranah pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan, yang

diwujudkan dalam bentuk angka (nilai).

57Ibid., hlm. 2.

40

2. Ranah Hasil Belajar PAI

Ranah hasil belajar PAI merupakan bentuk-bentuk kemampuan

atau kecakapan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

belajar. Menurut Gagne seperti yang dikutip Agus Suprijono menyatakan

bahwa bentuk hasil belajar terdiri dari 5 kategori, yaitu: informasi

verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan

motoris.58

Berikut ini akan penulis jelaskan kelima bentuk prestasi belajar

tersebut:

a. Informasi verbal

Kemampuan ini sangat erat berhubungan dengan kapabilitas

seseorang untuk mengungkapkan pengetahuan yang dimilikinya

dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan ini

timbul akibat adanya tanggapan dari rangsang yang ada. Akan tetapi

kemampuan ini hanya terbatas pada pengungkapan sesuatu dengan

ucapan atau perkataan saja, yang meliputi nama benda, fakta dan

data.59

b. Keterampilan intelektual

Keterampilan intelektual ini merupakan kemampuan yang

bersifat khas yang berhubungan dengan kegiatan otak. Seorang

individu yang memiliki keterampilan intelektual ini akan mampu

untuk mempresentasikan konsep dan lambang menjadi uraian-uraian

58Suprijono, Op. cit., hlm. 5-6.

59Ibid., hlm. 5.

41

yang lebih terperinci dan mengelompokkan sesuai dengan kategori-

kategori. Selain itu, keterampilan intelektual ini diperlukan dalam

rangka pengembangan prinsip-prinsip keilmuwan yang dimiliki oleh

seseorang.60

c. Strategi kognitif

Bentuk hasil belajar ini merupakan kecakapan yang lebih

menekankan pada penggunaan konsep-konsep yang sudah diperoleh

dari belajar untuk diterapkan dalam aktivitas sehari-hari terutama

untuk memecahkan suatu masalah. 61 Dengan demikian keterampilan

ini lebih bersifat aplikatif. Seseorang yang memiliki strategi kognitif

akan mampu menerapkan pengetahuan yang diperolehnya untuk

mengatasi problem-problem yang ditemui dalam hidupnya, sehingga

ia akan menemukan pemecahan masalah dari problema tersebut.

d. Sikap

Sikap adalah ”Kecenderungan untuk mereaksi atau merespon

dengan cara yang relatif tetap terhadap objek”.62 Dengan demikian

sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-

nilai yang diperolehnya dari belajar. Sikap merupakan kemampuan

menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Sikap ini akan mampu

mengarahkan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma-

60 Ibid.

61 Ibid.

62 Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 135.

42

norma yang berlaku di masyarakat, sehingga ia akan mampu untuk

beradaptasi dengan lingkungan masyarakat yang ada.63

e. Keterampilan motoris

Keterampilan motoris merupakan hasil belajar yang memiliki

tingkatan paling tinggi. Kemampuan ini lebih mengarah kepada skill

seorang individu untuk melakukan serangkaian gerak jasmani dalam

urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

Gerak ini secara sadar akan diterapkan dalam aktivitas sehari-hari.64

Ranah hasil belajar dalam sistem pendidikan nasional

menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benjamin S. Bloom. Secara

garis besar Benjamin S. Bloom dalam bukunya Taxonomy of Educational

Objectives sebagaimana dikutip Anas Sudijono, membagi hasil belajar

menjadi tiga jenis domain (ranah), yaitu: ranah kognitif (cognitive

domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah psikomotorik

(psychomotor domain).65

Berikut ini akan penulis jelaskan ketiga ranah hasil belajar

tersebut:

a. Ranah Kognitif (Cognitive Domain)

Ranah kognitif adalah “Ranah yang mencakup kegiatan mental

(otak)”.66 Ranah kognitif merupakan salah satu ranah psikologis

63 Agus Suprijono, Op. cit., hlm. 6.

64 Ibid., hlm. 6.

65Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 49.

66 Ibid., hlm. 49.

43

manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan

dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan

masalah, kesengajaan dan keyakinan. Ranah kejiwaan ini berpusat

pada otak yang berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi

(perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.67

Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak

adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif ini

terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah,

yaitu pengetahuan sampai jenjang yang paling tinggi, yaitu

penilaian.68 Keenam jenjang yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan jenjang berpikir terendah. Seorang

individu yang belajar akan mengetahui apa yang dikemukakan oleh

guru, sehingga ia memperoleh pengetahuan. Pengetahuan

merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali

atau mengenali kembali apa saja yang telah dipelajari, baik yang

menyangkut nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan

sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk

menggunakannya.69 Dengan demikian, jenjang berpikir ini lebih

pada mengetahui apa yang dipelajarinya tanpa untuk berfikir untuk

melakukan sesuatu yang diketahuinya tersebut.

67 Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 66.

68 Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 49.

69 Ibid., hlm. 49.

44

2) Pemahaman (comprehension)

Pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk

mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan

diingat. Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya kemudian

dipahami dari berbagai aspek, sehingga menjadi sesuatu yang

diketahuinya lebih mendalam. Seorang peserta didik yang

memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau

memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan

menggunakan kata-katanya sendiri, atau dengan kata lain dapat

mengungkapkan sesuatu hal berdasarkan inti pokok yang

diketahuinya.70

Dengan demikian, pemahaman merupakan kemampuan

individu untuk memahami makna dari sesuatu yang telah diketahui

sebelumnya. Pemahaman merupakan jenjang kognitif setelah

pengetahuan. Tanpa adanya pengetahuan sebelumnya, maka

individu tidak akan mampu untuk memahami sesuatu.

3) Penerapan (application)

Penerapan atau aplikasi adalah “Kesanggupan seseorang

untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum atau teori-

teori dan sebagainya dalam situasi yang baru dan konkret”.71

Dengan demikian, seorang individu yang sudah memiliki jenjang

penerapan, apabila ia sudah mampu menerapkan pengetahuan yang

70 Ibid.

71 Ibid., hlm. 50.

45

dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, melaksanakan

ibadah shalat.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah “Kemampuan seseorang untuk menguraikan

suatu bahan atau keadaan menjadi bagian yang lebih kecil dan

mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian yang satu

dengan yang lainnya”.72 Dengan dimilikinya kemampuan analisis

ini, seseorang akan mampu menguraikan sesuatu hal menjadi

beberapa hal yang lebih detail sehingga mudah dipahami oleh

seseorang yang diajak bicara.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah “Suatu proses memadukan bagian-bagian

atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi sesuatu

unsur yang berstruktur atau berbentuk pola baru”.73 Sintesis

merupakan kebalikan dari analisis.

6) Penilaian (evaluation)

Penilaian adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi

dalam ranah kognitif menurut taksonomi Bloom. Penilaian atau

evaluasi merupakan “kemampuan seseorang untuk membuat

72 Ibid., hlm. 51.

73 Ibid.

46

pertimbangan terhadap situasi, nilai atau ide, sesuai dengan

patokan-patokan atau kriteria yang ada”.74

b. Ranah Afektif (Affective Domain)

Ranah afektif adalah ”Ranah yang berkaitan dengan sikap

mental dan kesadaran siswa yang diperoleh siswa melalui proses

internalisasi yaitu proses menuju ke arah pertumbuhan batiniah”.75

Dalam kaitannya dengan hasil belajar, ranah afektif (sikap) dapat

diungkapkan sebagai kecenderungan siswa untuk bertindak dengan

cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan perilaku siswa belajar siswa

akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru

yang telah berubah lebih maju terhadap suatu objek yang

dipelajarinya.

Beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil proses

belajar antara lain:

1) Recieving/attending atau penerimaan,

Recieving atau penerimaan merupakan ”Semacam kepekaan

dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa

dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain”.76 Dalam

kategori ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima

stimulus kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa receiving

74 Ibid., hlm. 52.

75 Ibid., hlm. 54.

76 Ibid.

47

merupakan kemauan seseorang untuk memperhatikan suatu

kegiatan atu objek.

2) Responding atau memberi respon jawaban

Responding merupakan ”Reaksi yang diberikan oleh seseorang

terhadap stimulasi yang datang dari luar, yang meliputi: ketepatan

reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar

yang datang kepada dirinya”.77 Jadi responding merupakan

kemampuan seseorang untuk menanggapi rangsang yang datang

pada dirinya, sehingga ia mampu untuk mengikutsertakan dirinya

dalam kegiatan tersebut.

3) Valuing atau penilaian,

Valuing atau penilaian berkenaan dengan nilai dan kepercayaan

terhadap gejala atau stimulus tadi. Menilai artinya ”Memberikan

nilai atau memberikan penghargaan terhadap sesuatu kegiatan

atau obyek”.78 Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya

menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima

nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

4) Organisasi

Organisasi adalah ”Pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem

organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,

77 Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30.

78 Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 55.

48

pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya”.79

Kategori ini adalah konseptualisasi suatu nilai yakni mau menilai,

menemukan dan mengkristalisasikan kaidah-kaidah dan menata

suatu nilai, yaitu menimbang berbagai macam alternatif

penyelesaian sehingga timbul sistem nilai. Dengan kata lain,

mempertemukan perbedaan-perbedaan nilai sehingga terbentuk

nilai baru yang lebih bersifat universal.80

5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai

Internalisasi nilai yaitu ”Keterpaduan semua sistem nilai yang

telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian

dan tingkah lakunya yang di dalamnya termasuk keseluruhan nilai

dan karakteristiknya”.81

c. Ranah Psikomotorik (Psychomotor Domain)

Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan

(skill) dan kemampuan bertindak individu. Menurut Muhibbin Syah,

kecakapan psikomotor adalah “Segala amal jasmaniah yang konkrit

dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena

sifatnya yang terbuka”.82 Ada enam tingkatan keterampilan motoris,

yakni:

1) Gerakan refleks, yakni keterampilan pada gerakan yang tidak sadar; b) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; c)

79 Nana Sudjana, Loc. cit.

80 Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 56.

81 Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30.

82Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 52.

49

Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris dan lain-lain; d) Kemampuan di bidang fisik, misalnya: kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan; e) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks; dan f) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.83

Jadi kecakapan psikomotor siswa merupakan manifestasi

wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap mentalnya.

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

ranah hasil belajar PAI meliputi tiga ranah, yaitu ranah kognitif yang

berkaitan dengan kemampuan intelektual siswa, ranah afektif yang

berkaitan dengan sikap siswa, dan ranah psikomotorik yang berkaitan

dengan keterampilan (skill) siswa.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar PAI

Hasil belajar Pendidikan Agama Islam yang dicapai oleh siswa

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Muhibbin Syah secara global

mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, faktor

internal (faktor dari dalam diri siswa) yakni keadaan/kondisi jasmani dan

rohani siswa. Kedua, faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa, yakni

kondisi lingkungan di sekitar siswa dan ketiga, faktor pendekatan belajar

(approach to learning), yang meliputi strategi dan metode

pembelajaran.84

83 Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30-31.

84Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 132.

50

Faktor pendekatan belajar ini merupakan jenis upaya belajar

siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan guru dan siswa

untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.85

Dengan demikian, seorang guru yang profesional akan memilih

pendekatan atau metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan materi

dan kondisi siswa, sehingga diharapkan mampu mempermudah

penyampaian materi pelajaran kepada siswa.

Menurut Ngalim Purwanto prestasi belajar dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.86 Senada dengan hal

tersebut, menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya Psikologi

Pendidikan, faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor-

faktor yang berasal dari luar diri siswa dan dari dalam diri siswa. Yang

termasuk faktor yang berasal dari luar diri pelajar adalah faktor nonsosial

dan faktor sosial. Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri

siswa adalah faktor fisiologi dan faktor psikologis.87

Faktor Fisiologis dalam belajar terdapat dua bagian, yaitu:

keadaan tonus jasmani dan keadaan fungsi jasmani. Keadaan tonus

jasmani adalah keadaan yang melatar belakangi aktivitas belajar,

misalnya nutrisi harus selalu sesuai dengan kebutuhan tubuh jangan

sampai kekurangan. Juga beberapa ancaman penyakit seperti sakit gigi,

85Ibid.

86M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm. 102.

87Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 233.

51

influenza, batuk dan lain-lain.88 Dengan demikian harus selalu sesuai

dengan kebutuhan tubuh jangan sampai kekurangan gizi. Seorang

individu yang kekurangan gizi akan berakibat pada menurunnya prestasi

belajar.

Adapun faktor psikologis merupakan faktor yang terdapat di

dalam diri siswa yang menyangkut perkembangan pribadi siswa tersebut.

Di antara faktor-faktor psikologis yang dipandang lebih esensial menurut

Muhibbin Syah, yaitu: intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat

siswa dan motivasi siswa.89 Secara rinci akan dijelaskan pada bagian

berikut:

a. Intelegensi siswa

Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai

kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau

menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi,

inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan

juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus

diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi

manusia lebih menonjol.90

Intelegensi itu besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar,

sebab dalam keadaan yang sama siswa yang mempunyai inteligensi

88Ibid., hlm. 235.

89Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 132.

90Ibid., hlm. 133.

52

yang lebih tinggi dalam pencapaian keberhasilan dengan siswa yang

kurang inteligensinya (rendah).

b. Sikap siswa

Sikap merupakan “kecenderungan untuk mereaksi atau

merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek”.91 Sikap

siswa bisa berupa sikap positif maupun negatif. Sikap positif yang

timbul pada siswa terhadap mata pelajaran merupakan pertanda awal

yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif

siswa terhadap mata pelajaran akan dapat menimbulkan kesulitan

belajar bagi siswa.

Hal ini berarti bahwa sikap merupakan salah satu faktor

psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Artinya,

prestasi belajar berhubungan erat dengan sikap yang ditunjukkan

siswa dalam mengikuti aktivitas belajarnya. Apabila dalam belajar

siswa menunjukkan sikap yang baik dan perhatian maka hasil

belajarnyapun akan lebih baik dan meningkat.

c. Minat siswa

Minat (interest) berarti “kecenderungan dan kegairahan yang

tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu”.92 Minat yang

dimiliki oleh siswa akan mampu menumbuhkan perhatian terhadap

mata pelajaran lebih banyak dari pada siswa yang tidak memiliki

minat belajar. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif

91Ibid., hlm. 134.

92Ibid., hlm. 136.

53

terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar

lebih giat, sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat.93

d. Bakat siswa

Secara umum bakat (attitude) adalah “kemampuan potensial

yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang

akan datang”.94 Biasanya siswa yang memiliki bakat dalam bidang

tertentu akan lebih berhasil belajarnya dibanding yang lain. Jadi secara

global bakat itu mirip dengan intelegensi.

e. Motivasi siswa

Motivasi adalah “dorongan untuk berbuat atau bertindak”.95

Timbulnya motivasi disebabkan adanya motif yang ada pada diri

individu. Motif merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh siswa

dalam belajar. Jika motivasi yang ada pada siswa baik, maka sangat

menunjang pada hasil baik yang akan diperoleh siswa tersebut.

Sedangkan faktor-faktor non sosial merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi belajar seseorang yang terdapat pada alat, tempat, atau

keadaan serta lingkungan tempat dilaksanakannya proses pembelajaran.

Contoh iklim, waktu, tempat, serta alat peraga yang digunakan.96

Sedangkan faktorsosial yaitu faktor yang terjadi karena adanya interaksi

manusia, baik kehadirannya itu dapat disimpulkan ada, maupun tidak

93Ibid., hlm. 136-137.

94Ibid., hlm. 136.

95Ibid., hlm. 137.

96Sumadi Suryabrata, Op. cit., hlm. 233.

54

langsung hadir. Contohnya ketika siswa belajar sedangkan di luar

terdengar kebisingan atau disisinya terdapat gambar yang mengganggu

konsentrasi belajar. Adapun faktor-faktor sosial ini terdiri dari: faktor

keluarga, sekolah, dan masyarakat.97

Pertama, Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan

yang paling utama. Keluarga sejahtera sangat besar pengaruhnya untuk

pendidikan dalam lingkup kecil dan juga sangat menentukan dalam

lingkup besar yaitu pendidikan bangsa dan negara.98 Melihat kenyataan

ini dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam

pendidikan anaknya. Di antara faktor ini adalah cara orang tua mendidik,

relasi antar anggota keluarga, susunan keluarga, keadaan ekonomi

keluarga dan pengertian orang tua dalam mendidik anak serta latar

belakang kebudayaan keluarganya akan dapat berpengaruh terhadap

prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.99 Jadi keluarga yang

memberikan perhatian dan bimbingan lebih terhadap anaknya akan

berpengaruh terhadap prestasi yang dicapainya.

Kedua, Faktor sekolah. Faktor yang mempengaruhi belajar yang

termasuk dalam faktor sosial sekolah ini mencakup metode pengajaran,

media pembelajaran, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa

dengan siswa, peraturan-peraturan sekolah, misalnya disiplin sekolah,

pelajaran dan waktu belajar akan dapat mempengaruhi semangat belajar

97Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 137-138.

98Ibid., hlm. 138.

99Ibid.

55

siswa. Para guru yang menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik

dan suri teladan yang baik dapat menjadi daya dorong yang positif bagi

kegiatan belajar siswa.100 Dengan demikian, faktor lingkungan sosial

sekolah berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Ketiga, Faktor masyarakat. Masyarakat merupakan faktor

eksternal yang juga berpengaruh pada proses belajar siswa, pengaruh itu

terjadi karena keberadaan siswa di dalam lingkungan masyarakat. Di

antara faktor ini yang termasuk adalah kegiatan siswa dalam masyarakat,

juga masyarakat bisa dijadikan media informasi dan sarana bergaul yang

berfungsi sebagai tempat curahan hati antar sebaya dalam berbagai

bentuk kehidupan dalam masyarakat.101 Dengan demikian, siswa akan

menemukan kemudahan dalam belajar jika berada di lingkungan

masyarakat syang aman dan kondusif dan juga sebaliknya, siswa akan

menemukan kesulitan belajar ketika berada lingkungan masyarakat yang

kumuh.

Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai seorang individu

merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya

baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor

eksternal) individu.

100Ibid., hlm. 137.

101Ibid.

56

D. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan telaah atau ulasan yang mengarah

kepada pembahasan tesis periode sebelumnya, sehingga akan diketahui titik

perbedaan yang jelas. Dari segi tesis yang pernah penulis baca adalah:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Aisyah Khumairo mahasiswa

UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Hubungan Antara Intensitas Mengikuti

Pembinaan Keagamaan dengan Kedisiplinan Siswa di MAN Lab. UIN

Yogyakarta.102 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan

positif signifikan antara intensitas mengikuti pembinaan keagamaan di

sekolah dengan kedisiplinan siswa. Variabel intensitas mengikuti pembinaan

keagamaan menggunakan skala model likert berdasarkan aspek-aspek dari

teori Glock dan Stark, yaitu frekuensi kehadiran siswa, minat siswa,

pemahaman makna dan keseriusan. Sedangkan dari variabel kedisiplinan

siswa didasarkan pada Hurlock, yaitu peraturan, hukuman, penghargaan dan

konsistensi.

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kuantitatif dengan

menggunakan metode survey dan pendekatan deskriptif analitik. Sampel

diambil secara stratified cluster random sampling. Teknik pengumpulan data

melalui angket skala lima kategori Likert. Hasil analisis dengan

menggunakan koefisien spearman rank menunjukkan bahwa nilai koefisien

korelasi sebesar 0,624 dengan nilai koefisien signifikan sebesar 0,000. Maka

102Aisyah Khumairo, “Hubungan Antara Intensitas Mengikuti Pembinaan Keagamaan dengan

Kedisiplinan Siswa di MAN Lab. UIN Yogyakarta”, Skripsi Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013.

57

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara

intensitas mengikuti pembinaan keagamaan di sekolah dengan kedisiplinan

siswa dengan taraf hubungan yang kuat.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Maisyaroh mahasiswa

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Pengaruh Keaktifan

Mengikuti Kegiatan Keagamaan Terhadap Pengamalan Keagamaan Siswa

Kelas VIII MTs. Negeri Bantul Kota Tahun Pelajaran 2008/2009.103

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan sampel penelitian adalah

siswa kelas VIII sebanyak 54 siswa yang terbagi dalam 6 kelas. Metode

pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner (angket), observasi,

wawancara dan dokumentasi. Analisis menggunakan analisis statistik dengan

bantuan komputer program SPSS versi 13.0 for windows. Analisis data

menggunakan analisis korelasi product moment dan analisis regresi

sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang positif antara

keaktifan mengikuti kegiatan keagamaan terhadap pengamalan keagamaan

siswa MTs. Negeri Bantul Kota. Ini ditunjukkan dengan angka koefisien

korelasi sebesar 0,891.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Agus Mulyadi mahasiswa

IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Pengaruh Kegiatan Rohis

Terhadap Hasil Belajar Kognitif Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 01

103Nurul Maisaroh, “Pengaruh Keaktifan Mengikuti Kegiatan Keagamaan Terhadap

Pengamalan Keagamaan Siswa Kelas VIII MTs. Negeri Bantul Kota Tahun Pelajaran 2008/2009”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

58

Weleri Tahun Ajaran 2011/2012.104 Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh kegiatan Rohis terhadap hasil belajar kognitif PAI di

SMA. Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan yang dilaksanakan di

SMA Negeri 01 Weleri. SMA Negeri 01 Weleri dijadikan sumber data untuk

mendapatkan data kegiatan kegiatan Rohis dan hasil belajar PAI pada mid

semester II. Datanya diperoleh dengan cara observasi secara langsung di

lapangan, wawancara bebas, metode dokumentasi dan metode tes. Semua

data dianalisis menggunakan korelasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh tetapi tidak signifikan

antara kegiatan Rohis terhadap hasil belajar kognitif Pendidikan Agama Islam

(PAI) di SMA Negeri 01 Weleri dengan signifikansi kategori sangat lemah

dengan signifikansinya sebesar 0,103. Hal ini disebabkan materi yang

diberikan peserta kegiatan Rohis disamakan tanpa melihat jenjang kelas dan

materi yang diberikan pada mata pelajaran PAI di kelas ditambah kurangnya

keaktifan peserta didik dalam kegiatan Rohis yang menyebabkan mereka

tidak dapat memadukan materi kegiatan Rohis dengan materi PAI di kelas,

sehingga pengaruh yang diberikan kegiatan Rohis di SMA Negeri 01 Weleri

tehdapa hasil belajar kognitif PAI pada Mid semester II tidak signifikan

menurut perhitungan statistik.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Hidayad mahasiswa

program pascasarjana UIN Walisongo Semarang yang berjudul

104Agus Mulyadi, “Pengaruh Kegiatan Rohis Terhadao Hasil Belajar Kognitif Pendidikan

Agama Islam di SMA Negeri 01 Weleri Tahun Ajaran 2011/2012”, Skripsi IAIN Walisongo Semarang, 2012.

59

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Luar Jam Pelajaran Sebagai

Laboratorium Sosial Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Jepara

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.105 Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI)

di luar jam pelajaran sebagai laboratorium sosial dan juga untuk mengetahui

proses pengawasan dan penilaian pembelajaran pendidikan agama di luar

jam pelajaran sebagai laboratorium sosial di SMA Negeri 1 Jepara

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa pembelajaran

pendidikan agama Islam yang dilakukan di luar jam pelajaran merupakan

kegiatan keagamaan dalam rangka mengaktualisasikan pendidikan agama

yang dilakukan di dalam jam pelajaran. Pembelajaran pendidikan agama

Islam yang dilakukan di luar jam pelajaran seperti shalat dzuhur berjamaah,

shalat jumat, shalat tarawih satu bulan penuh, pelatihan membaca al-Qur’an

bagi siswa yang mengalami kesulitan atau tidak dapat membaca al-Qur’an

dengan lancar, kantin kejujuran, zakat fitrah, qurban dan Peringatan Hari

Besar Islam (PHBI) sangat mendukung program pembelajaran keagamaan

yang dilakukan secara formal, sehingga siswa mampu mengaplikasikan

pendidikan agama Islam dengan baik dan benar.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Ahyan Yusuf

Sya’bani mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Peranan

Guru Pendidikan Agama Islam dalam Penanaman Nilai-nilai Karakter

105Hidayad, “Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Luar Jam Pelajaran Sebagai

Laboratorium Sosial Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Jepara Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional”, Tesis, UIN Walisongo Semarang, 2011.

60

Terhadap Siswa Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Kasus Guru PAI

SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul).106 Fokus dari

penelitian ini adalah mengetahui bentuk-bentuk peranan dan cara yang

dilakukan oleh guru PAI dalam menanamkan nilai-nilai karakter terhadap

siswa SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul. Penelitian

ini merupakan penelitian lapangan dengan metode penelitian kualitatif

deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan peranan guru PAI SMK

Muhammadiyah Imogiri dan SMK Bantul sebagai pengajar, pendidik,

korektor, inspirator, informator, organizator, motivator, inisiator, fasilitator,

pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, evaluator,

da’i, konsultan dan pemimpin informal dengan kekurangan yaitu beberapa

guru tidak berperan sebagai demonstrator, belum memiliki program kegiatan

pengamalan agama. Sedangkan cara yang dilakukan oleh guru PAI dalam

menanamkan nilai-nilai karakter lebih berorientasi pada aspek keagamaan

terutama nilai karakter religius.

Persamaan dari ketiga dari kelima penelitian di atas dengan penelitian

yang akan penulis lakukan adalah sama-sama menggunakan pendekatan

kuantitatif dan mengkaji tentang pembinaan keagamaan dan hasil belajar

Pendidikan Agama Islam. Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut:

1) penelitian pertama, mengkaji tentang hubungan intensitas mengikuti

106Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, “Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam

Penanaman Nilai-nilai Karakter Terhadap Siswa Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (Studi Kasus Guru PAI SMK Muhammadiyah Imogiri dan SMK Nasional Bantul)”, Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

61

pembinaan keagamaan dengan sikap disiplin siswa, sedangkan pada

penelitian yang akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan

aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. 2)

penelitian kedua, mengkaji tentang pengaruh keaktifan mengikuti kegiatan

keagamaan terhadap pengamalan keagamaan siswa, sedangkan pada

penelitian yang akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan

aktivitas keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI. 3)

penelitian ketiga mengkaji tentang pengaruh kegiatan Rohis terhadap hasil

belajar kognitif Pendidikan Agama Islam, sedangkan pada penelitian yang

akan penulis lakukan mengkaji dengan pengaruh pembinaan aktivitas

keberagamaan terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI.

Adapun persamaan dengan penelitian keempat dan kelima adalah

sama-sama mengkaji tentang peran guru Pendidikan Agama Islam. Namun

perbedaannya adalah kedua tesis di atas menggunakan pendekatan kualitatif

deskriptif sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan memfokuskan pada pengaruh pembinaan aktivitas

keberagamaan yang dilakukan oleh guru PAI terhadap perubahan perilaku

dan hasil belajar PAI.

Berdasarkan dari ketiga penelitian terdahulu sebagaimana di atas,

posisi peneliti dalam penelitian ini adalah melengkapi penelitian terdahulu,

dengan memfokuskan pada pengaruh pembinaan aktivitas keberagamaan

terhadap perubahan perilaku dan hasil belajar PAI di SD Negeri Tlutup

Trangkil Kabupaten Pati.