12technical paper dalam rock breakage symposium - singgih.pdf

31
1 PENGARUH PELEDAKAN TERHADAP STABILITAS LERENG Oleh : Dr. Ir. Singgih Saptono, MT. Program Studi Teknik Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta ABSTRAK Kondisi lereng penambangan yang stabil sangat berperan untuk menunjang kelancaran kegiatan penambangan. Di beberapa tambang untuk memberaikan batuan dengan menggunakan metode peledakan. Kesalahan dalam melakukan peledakan akan menyebabkan terjadi kondisi lereng yang tidak stabil karena energi peledakan yang dilepaskan melampaui batas kekuatan massa batuan berakibat akan merusak dinding massa batuan pembentuk lereng yang dihasilkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kerusakan akibat peledakan. Kata Kunci: Peledakan, Kekuatan Massa Batuan 1. PENDAHULUAN Kegiatan penyelidikan di lapangan perlu dilakukan untuk mengetahui karakterisasi massa batuan dan dapat dilakukan di singkapan massa batuan. Karakterisasi massa batuan harus dilakukan dengan benar dan cermat sesuai standard prosedur ISRM 1981. Pada umumnya metode karakterisasi massa batuan dilakukan di singkapan dengan menggunakan metode garis scan (scanline) yaitu dengan membagi menjadi beberapa bagian singkapan massa batuan untuk diamati sesuai dengan kondisi massa batuan. Dari hasil karakterisasi massa batuan ini berdasarkan hasil analisis kinematika dari orientasi bidang ketidakmenerusan, khususnya pada batuan terkekarkan, dapat diketahui potensi model kelongsoran (Wyllie et al., 2004). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan model potensi kelongsoran dengan memanfaatkan proyeksi stereografik (Goodman, 1976; Hocking, 1976; Hoek & Bray, 1981; Matherson, 1988; Markland, 1972; Cruden, 1978, Kramadibrata dkk, 2011; Saptono, 2012). Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi kelas massa batuan menggunakan metode klasifikasi massa batuan, contohnya sistem Slope Mass Rating (SMR) yang diusulkan oleh Romana & Swindels (1985). Sistem Slope Mass Rating dapat digunakan untuk menentukan potensi kelongsoran yang terjadi di lereng massa batuan dan untuk membedakan lereng yang paling berpotensi longsor dan model kelongsoran yang paling dominan untuk kemiringan dan tinggi lereng tertentu. Perkembangan berikutnya sistem klasifikasi dapat digunakan untuk menilai kekuatan massa batuan berdasarkan kondisi geologi struktur permukaan massa batuan, sistem klasifikasi ini dikenal dengan nama Geological Strength Index (GSI) dan dalam perkembangnya digunakan untuk menentukan kohesi dan sudut gesek dalam massa batuan (Hoek & Brown, 1997). Metode klasifikasi ini dalam perkembangannya telah memasukan parameter metode penggalian termasuk peledakan untuk penentuan kohesi dan sudut gesek dalam serta modulus elastisitas massa batuan (Hoek, Carranza-Torres & Corkum; 2002).

Upload: moccacinofloat

Post on 27-Oct-2015

428 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

1

PENGARUH PELEDAKAN TERHADAP STABILITAS LERENG

Oleh : Dr. Ir. Singgih Saptono, MT.

Program Studi Teknik Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta

ABSTRAK Kondisi lereng penambangan yang stabil sangat berperan untuk menunjang kelancaran kegiatan penambangan. Di beberapa tambang untuk memberaikan batuan dengan menggunakan metode peledakan. Kesalahan dalam melakukan peledakan akan menyebabkan terjadi kondisi lereng yang tidak stabil karena energi peledakan yang dilepaskan melampaui batas kekuatan massa batuan berakibat akan merusak dinding massa batuan pembentuk lereng yang dihasilkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kerusakan akibat peledakan. Kata Kunci: Peledakan, Kekuatan Massa Batuan

1. PENDAHULUAN

Kegiatan penyelidikan di lapangan perlu dilakukan untuk mengetahui karakterisasi massa batuan dan dapat dilakukan di singkapan massa batuan. Karakterisasi massa batuan harus dilakukan dengan benar dan cermat sesuai standard prosedur ISRM 1981. Pada umumnya metode karakterisasi massa batuan dilakukan di singkapan dengan menggunakan metode garis scan (scanline) yaitu dengan membagi menjadi beberapa bagian singkapan massa batuan untuk diamati sesuai dengan kondisi massa batuan. Dari hasil karakterisasi massa batuan ini berdasarkan hasil analisis kinematika dari orientasi bidang ketidakmenerusan, khususnya pada batuan terkekarkan, dapat diketahui potensi model kelongsoran (Wyllie et al., 2004). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan model potensi kelongsoran dengan memanfaatkan proyeksi stereografik (Goodman, 1976; Hocking, 1976; Hoek & Bray, 1981; Matherson, 1988; Markland, 1972; Cruden, 1978, Kramadibrata dkk, 2011; Saptono, 2012). Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi kelas massa batuan menggunakan metode klasifikasi massa batuan, contohnya sistem Slope Mass Rating (SMR) yang diusulkan oleh Romana & Swindels (1985). Sistem Slope Mass Rating dapat digunakan untuk menentukan potensi kelongsoran yang terjadi di lereng massa batuan dan untuk membedakan lereng yang paling berpotensi longsor dan model kelongsoran yang paling dominan untuk kemiringan dan tinggi lereng tertentu. Perkembangan berikutnya sistem klasifikasi dapat digunakan untuk menilai kekuatan massa batuan berdasarkan kondisi geologi struktur permukaan massa batuan, sistem klasifikasi ini dikenal dengan nama Geological Strength Index (GSI) dan dalam perkembangnya digunakan untuk menentukan kohesi dan sudut gesek dalam massa batuan (Hoek & Brown, 1997). Metode klasifikasi ini dalam perkembangannya telah memasukan parameter metode penggalian termasuk peledakan untuk penentuan kohesi dan sudut gesek dalam serta modulus elastisitas massa batuan (Hoek, Carranza-Torres & Corkum; 2002).

Page 2: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

2

2. FAKTOR PELEDAKAN 2.1. Bidang Diskontinuitas Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan peledakan adalah bidang diskontinuitas (kekar) dan struktur perlapisan batuan. Berkaitan dengan struktur kekar ini dapat digunakan untuk penentuan arah peledakan (lihat Gambar 1) adalah: a. Pada batuan bidang kekar berpotongan satu dengan yang lain, sudut horizontal

yang dibentuk oleh bidang kekar vertikal biasanya membentuk sudut tumpul dan pada bagian lain akan membentuk sudut lancip.

b. Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti bentuk perpotongan bidang kekar. Apabila peledakan diarahkan pada sudut runcing akan menghasilkan pecahan melebihi batas (overbreak) dan retakan-retakan pada jenjang. Peledakan selanjutnya menghasilkan bongkah, getaran tanah, suara peledakan (air blast) dan batu terbang. Untuk menghindari hal tersebut peledakan diarahkan keluar dari sudut tumpul.

c. Jika dijumpai kemiringan kekar horisontal atau miring maka lubang ledak miring akan memberikan keuntungan karena energi peledakan dapat berfungsi secara efisien. Jika kemiringan vertikal fragmentasi lebih seragam dapat dicapai bila peledakan dilakukan sejajar dengan kemiringan kekar.

Struktur perlapisan batuan juga mempengaruhi hasil peledakan. Apabila lubang ledak yang dibuat berlawanan dengan arah perlapisan, maka akan menghasilkan fragmentasi yang lebih seragam dan kestabilan lereng yang lebih baik bila dibandingkan dengan lubang ledak yang dibuat searah dengan bidang perlapisan. Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya berlawanan dengan arah kemiringan bidang pelapisan, maka pada posisi demikian kemungkinan terjadinya backbreak akan sedikit, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi hasil peledakan akan seragam dan arah lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedang jika arah lubang ledak searah dengan arah kemiringan bidang perlapisan, maka kemungkinan yang terjadi adalah timbul backbreak lebih besar, lantai jenjang rata, fragmentasi batuan tidak seragam dan batu akan terlempar jauh serta kemungkinan terhadap terjadinya longsoran akan lebih besar (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Arah Pemboran Pada Bidang Perlapisan

Page 3: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

3

Pengaruh orientasi bidang diskontinuitas terhadap kelongsoran menurut Hoek & Bray (1981) dapat dibedakan menjadi empat jenis (lihat Gambar 2) yaitu : a. Longsoran busur

Longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang berupa busur disebut longsoran busur. Longsoran busur hanya terjadi pada tanah atau material yang bersifat seperti tanah yang antar partikelnya tidak terikat satu sama lain. Longsoran busur juga dapat terjadi pada batuan yang sangat rapuh serta banyak mengandung bidang lemah maupun pada tumpukan batuan hancur.

b. Longsoran Bidang Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa sesar, rekahan, maupun bidang perlapisan batuan.

Gambar 2. Model kelongsoran lereng berdasarkan pola distribusi

bidang diskontinu (Hoek & Bray, 1981)

c. Longsoran baji Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika terdapat lebih dari satu bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Bidang lemah ini dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint), maupun bidang perlapisan. Cara

Page 4: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

4

longsoran suatu baji dapat melalui salah satu atau beberapa bidang lemahnya, atau melalui garis perpotongan kedua bidang lemahnya.

d. Longsoran guling Longsoran guling terjadi pada batuan yang keras dan berada pada lereng terjal dengan bidang lemah yang tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Longsoran ini bisa berbentuk blok atau bertingkat.

2.2. Rock Blastability

Rock blastability ditentukan sebagai tahanan batuan terhadap peledakan dan sangat dipengaruhi oleh kondisi massa batuan yang berhubungan dengan peledakan. Penilaian rock blastibilty dengan cara membobotkan kondisi batuan berdasarkan nilai indeks peledakan (Lilly, 1986). Nilai indeks peledakan ini dapat digunakan untuk mencari besarnya faktor batuan. Parameter untuk pembobotan tersebut meliputi deskripsi massa batuan, spasi kekar, orientasi bidang kekar, specifik graviti dan kekerasan batuan (Tabel 1).

Tabel 1 Pembobotan Massa Batuan Untuk Peledakan (Lilly, 1986)

PARAMETER PEMBOBOTAN 1. Rock Mass Description ( RMD ) 1.1. Powdery/ Friable 10 1.2. Blocky 20 1.3. Totally massive 50 2. Joint Plane Spacing ( JPS ) 2.1. Close ( Spasi < 0,1 m ) 10 2.2. Intermediate ( Spasi 0,1 – 1 m ) 20 2.3. Wide ( Spasi > 1 m ) 50 3. Joint Plane Orientation ( JPO ) 3.1. Horizontal 10 3.2. Dip Out of Face 20 3.3. Strike Normal to Face 30 3.4. Dip into Face 40 4. Specific Gravity Influence ( SGI ) SGI = 25 x SG – 50

5. Hardness ( H ) 1 – 10

Indek Peledakan (BI) = 0,5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H) Faktor Batuan = BI x 0,12

2.3. Geometri Peledakan 2.3.1. Burden

Perhitungan geometri peledakan produksi menggunakan 10 teori dasar dalam penentuan burden (Jimeno dkk, 1995). Perbandingan burden ini bertujuan untuk memberikan variasi terhadap parameter masukan, dan menyesuaikan terhadap kondisi massa batuan di lapangan. Berikut persamaan dalam penentuan Burden. 1. Andersen (1952)

B = √� × � ....................................................................................... (1) Keterangan : B :Burden (m)

Page 5: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

5

D : Diameter lubang ledak (mm) H : Kedalaman lubang ledak (m) 2. Fraenkel (1952)

� =�� ��.��� �.���.�

��

Keterangan : B : Burden (m) H : Kedalaman lubang ledak (m) PC : Panjang isian lubang ledak (m) D : Diameter lubang ledak (mm) Rv : Daya tahan batuan untuk diledakkan (High Compressive Strength = 1.5)

3. Pearse (1955) Menggunakan konsep deformasi energi per unit volume, Pearse (1955) mengemukakan persamaan Burden sebagai berikut :

� = �� × � × ���

���

�/�

PD =�� × �� �

4

Keterangan : B : Maksimum Burden (m) Kv : Konstanta tergantung dari karakteristik massa batuan (0,7-1) D : Diameter lubang ledak (mm) PD : Tekanan detonasi bahan peledak (kg/cm2) RT : Kuat tarik batuan (kg/cm2) RC : Kuat tekan uniaksial (kg/cm2) VD : Kecepatan Detonasi Bahan Peledak (m/s)

4. R.L.Ash (1963)

� =�� ���������� ��

��,�

Kbterkoreksi = 30 x Af1 x Af2

��� = ����� ���

��

�/�

��� = ��� × ���

����� × ������

�/�

Bobot isi batuan standart (Dstd) : 160 lb/cuft Bahan peledak : SGstd : 1,2 Vestd : 12000 fps Kbstandart : 30

Keterangan : Kb : Burden ratio

………………………………….…………..(2)

………………………………….……………...(3)

….………………………………….……………............(4)

………………………………….……………...(5)

………………………………….…………….......(6)

………………………………….…………...(7)

Page 6: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

6

Af1 : Adjusment factor (faktor penyesuaian) untuk batuan yang diledakkan Af2 : Adjusment factor (faktor penyesuaian) untuk bahan peledak yang diledakkan. D : Bobot isi batuan yang akan diledakkan (lb/cuft) De : Diameter lubang ledak (m) SG : Berat jenis bahan peledak yang dipakai SGstd : Berat jenis bahan peledak standart. Tabel 2. Hubungan Kb dengan tipe bahan peledak dan tipe batuan (Ash, 1963)

5. Langefors (1963)

Langefors dan Khilstrom mengemukakan persamaan Burden untuk menghitung jumlah maksimum Burden (Bmax) :

���� =�

�� × �

�� ���

� × �×(�

�)

B =�

��

Keterangan : Bmax : Burden maksimum (m) D : Diameter dibawah lubang ledak (mm) τ : Konstanta batuan (kondisi peledakan dengan batuan kompak = 0,4) f : Derajat kedalaman (lubang ledak tegak (f =1), lubang ledak dengan

inklinasi 3:1 (f=0,95) ) S/B : Spacing/Burden Ratio ρe : Densitas Bahan Peledak (gr/cm3) PRP : Berat relatif kekuatan bahan peledak Konstanta batuan jika Burden memiliki kisaran sebagai berikut : Jika B = 1,4 – 1,5 m, maka τ = τ + 0,75 Jika B< 1,4 m, maka τ = 0,07/B + τ

6. C.J. Konya (1972)

B = �� ������

���

� + 1,5�

B = 3,15 De�����

���

���,��

B = 0,67 �������

���

���,��

Lemah Sedang Keras

Densitas rendah (0,8-0,9 gr/cm3)

dan Kekuatan rendah

Densitas medium (1 - 1,2 gr/cm3)

dan kekuatan sedang

Densitas tinggi (1,3 - 1,6 gr/cm3)

dan kekuatan tinggi40 35 30

Tipe BatuanTipe Bahan Peledak

30 25 20

35 30 25

………………………………….………(8)

………………………………….……………….…………(9)

………………………………….……………(10)

………………………………………………….(11) ………………………………….………(3.8)

…………………………………………………..(12) ………………………………….………(3.8)

Page 7: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

7

Keterangan : B : Burden (m) De : Diameter bahan peledak (mm) SGe : Specific gravity bahan peledak (gr/cm3) SGr : Specific gravity batuan (gr/cm3) Stv : relative bulk strength (ANFO = 100) Setelah diketahui nilai burden dasarnya, maka menurut Konya nilai burden harus dikoreksi lagi dengan beberapa faktor penentu, yaitu faktor jumlah baris lubang ledak (Kr), factor bentuk lapisan batuan (Kd), dan faktor kondisi dari struktur geologinya (Ks). Tabel 3. Faktor koreksi terhadap jumlah baris dalam lubang ledak (Konya, 1972)

Corection for number of row Kr

One or two rows of holes Third and subsequent rows or buffer blasts

1,00 0,90

Tabel 4. Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan (Konya, 1972)

Corection for rock deposition Kd Bedding steeply dipping into cut Bedding steeply dipping into face Other case of deposition

1,18 0,95 1,00

Tabel 5. Faktor koreksi terhadap struktur geologi (Konya, 1972)

Corection for geological structure Ks Heavily cracked, frequent weak joint, weakly cemented layers Thin well cemented layers with tight joints Massive intact rock

1,30 1,10 0,95

Secara matematis persamaan burden terkoreksi dapat ditulis sebagi berikut : Bc = Kr x Kd x Ks x B Keterangan : Bc : Burden terkoreksi (m) B : Burden hasil perhitungan rumus dasar (m) Kr : Faktor koreksi terhadap jumlah baris dalam lubang ledak Kd : Faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan Ks : Faktor koreksi terhadap struktur geologi

7. Foldesi (1980)

Foldesi mengemukakan persamaan burden sebagai berikut :

� = 0,88 × � ×���

���

…………………………………………………..(13) ………………………………….………(3.8)

…………………………………………...(14) ………………………………….………(3.8)

Page 8: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

8

� = 1 + �,���

��(�����)��� ����,��

�� = ����

�������

�� = (�� × �� − � � × ��)�

(�� × �� + � � × ��)�

�� = �

��/� �(���)

Keterangan : B : Burden (m) D : Diameter lubang ledak (mm) �� : Densitas bahan peledak (kg/m3) CE : Powder Factor (kg/m3) VD : Kecepatan detonasi bahan peledak (m/s) RC : Kuat tekan batuan (MPa) gf : Satuan dari volume batuan (m2/m3), gf = 64/M M : dimensi maksimum material hancuran (P80 = 0.8 m) �� : Energi per massa (MJ/kg) η1 : Faktor Impedansi η2 : Faktor Coupling η3 : Faktor hancuran, normalnya adalah 0,15

8. Lopez Jimeno, E (1980) Jimeno memodifikasi persamaan yang dikemukakan oleh R.L.Ash dengan penggabungan kecepatan seismik terhadap massa batuan : B = 0,76 x D x F

�� = ��,�����

�����

�,��

�� = �����

�,������

�,��

Keterangan : B : Burden (m) D : Diameter lubang ledak (mm) F : Faktor koreksi tergantung tipe batuan dan tipe bahan peledak (F = fr x fe) fr : Faktor batuan fe : Faktor bahan peledak �� : Densitas bahan peledak (kg/m3)

VD : Kecepatan detonasi bahan peledak (m/s)

9. G. Berta (1985) Giorgio Berta mengemukakan persamaan burden sebagai berikut :

� = �� × ��×��

���

……………………………………(15) ………………………………….………(3.8

………………………………………………..(16) ………………………………….………(3.8)

…………………………………………(17) ………………………………….………(3.8)

……………………………………………………..(18) ………………………………….………(3.8)

………………………………………………………..(19) ………………………………….………(3.8) ………………………………………………………..(20) ………………………………….………(3.8) ……………………………………………………….(21) ………………………………….………(3.8)

……………………………………………………….(22) ………………………………….………(3.8)

……………………………………………………….(23) ………………………………….………(3.8)

Page 9: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

9

�� = ����

�������

�� = (�� × �� − � � × ��)�

(�� × �� + � � × ��)�

�� = �

��/� �(���)

Keterangan : B : Burden (m) De : Diameter bahan peledak (mm) �� : Densitas bahan peledak (kg/m3) CE : Powder Factor (kg/m3) gf : Satuan dari volume batuan (m2/m3), gf = 64/M M : dimensi maksimum material hancuran �� : Energi per massa (MJ/kg) η1 : Faktor Impedansi η2 : Faktor Coupling η3 : Faktor hancuran, normalnya adalah 0,15

10. Bruce Carr (1985) Carr mengemukakan persamaan sebagai berikut :

- Karakteristik impedansi batuan

�� = 1,31 × �� × ��

1000

- Tekanan detonasi bahan peledak

�� =�,���×��× �

��

�����

�,� × ����

Keterangan : �� : Densitas batuan (kg/m3) VC : Propagasi gelombang seismic ke dalam mass batuan (m/s) �� : Densitas bahan peledak (kg/m3) VD : Kecepatan detonasi bahan peledak (m/s).

2.3.2. Spacing Peledakan Produksi (S) Spasi peledakan adalah jarak diantara lubang ledak dalam satu garis yang sejajar dengan bidang bebas. Apabila jarak spasi terlalu kecil dari jarak Burden akan mengakibatkan batuan hancur menjadi halus, disebabkan karena energi yang menekan terlalu kuat, sedangkan apabila jarak spasi terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang tidak baik atau bahkan batuan hanya mengalami keretakan, karena energi ledakan dari lubang ledak yang satu tidak mampu berinteraksi dengan energi dari lubang lainnya dan dinding akhir yang dihasikan relatif tidak rata. Berikut persamaan dalam menentukan spacing adalah sebagai berikut:

…………………………………………(24) ………………………………….………(3.8)

……………………………………………………(25) ………………………………….………(3.8)

…………………………………………..(26) ………………………………….………(3.8)

…………………………………………..(27) ………………………………….………(3.8)

Page 10: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

10

1. R.L. Ash (1963) S = 1,15 x B ........................................................................................... (28) Keterangan : B : Burden (m) S : Spacing (m)

2. Langefors (1963) S = 1,25 x B ........................................................................................... (29) Keterangan : S : Spacing (m) B : Burden (m)

3. C.J. Konya (1972)

Tabel 6. Persamaan untuk menentukan jarak Spacing (Konya, 1972) Tipe detonator L/B < 4 L/B > 4 Instantaneous

Delay S = ( L + 2B ) / 3 S = ( L + 2B ) / 8

S = 2 B S = 1,4 B

Keterangan : L : Tinggi jenjang (m) B : Burden (m) S : Spacing (m) 4. Bruce Carr (1985)

� = 3 × ���×��

���

Keterangan : S : Spacing (m) �� : Densitas bahan peledak (kg/m3) CEC : Karakteristik Powder Factor (kg/m3) d : Diameter bahan peledak (mm)

2.3.3. Stemming Peledakan Produksi (T) Stemming adalah kolom material penutup lubang ledak di atas kolom isian bahan peledak, Stemming biasanya diisi oleh abu hasil pemboran atau kerikil (lebih baik) dan dipadatkan diatas bahan peledak. Stemming berfungsi untuk : - Menentukan Stress Balance dalam lubang tembak. Untuk mendapatkan Stress

Balance dapat ditentukan T = B. Stemming ini disebut dengan Collar. - Mengurung gas hasil proses kimia bahan peledak - Mengontrol kemungkinan terjadinya Airlast dan Flyrock. Ada dua hal yang berhubungan dengan Stemming yaitu: 1. Panjang Stemming Secara teoritis, Semming berfungsi sebagai penahan agar energi ledakan terkurung dengan baik, sehingga dapat menekan dengan kekuatan maksimal.Apabila peledakan menerapkan Stemming yang pendek, maka akan mengakibatkan pecahnya energy ledakan terlalu mudah mencapai bidang bebas sebelah atas sehingga menimbulkan batuan terbang dan energy yang menekan batuan tidak maksimal, serta fragmentasi batuan hasil peledakan secara keseluruhan akan

…...………………………………………………….(30) ………………………………….………(3.8)

Page 11: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

11

kurang baik. Pada jenjang yang terbentuk juga akan timbul retakan yang melewati batas jenjang (Overbreak). 2. Ukuran material Stemming Ukuran material Stemmingsangat berpengaruh terhadap batuan hasil peledakan. Apabila bahan Stemming terdiri dari bahan-bahan halus hasil pengeboran, maka kurang memiliki gaya gesek terhadap lubang ledak sehingga udara yang bertekanan tinggi akan mudah mendorong Stemming tersebut keluar sehingga energi yang seharusnya terkurung dengan baik dalam lubang ledak akan hilang keluar bersamaan dengan terbongkarnya Stemming. Untuk mengatasi hal tersebut maka digunakan bahan yang memiliki karakteristik susunan butir saling berkaitan dan berbutir kasar serta keras. 2.3.4. Subdrilling Peledakan Produksi (J) Subdrilling adalah panjang lubang ledak yang dibor sampai melebihi batas lantai jenjang bagian bawah. Maksudnya supaya batuan dapat meledak secara fullface dan untuk menghindari kemungkinan adanya tonjolan-tonjolan (toes) pada lantai jenjang lantai bagian bawah. Tonjolan yang terjadi akan menyulitkan peledakan berikutnya dan pada waktu pemuatan dan pengangkutan. 2.3.5. Kedalaman lubang ledak (H) Kedalaman lubang tembak tidak boleh lebih kecil dari ukuran burden untuk menghindari terjadinya Overbreak.Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik.

2.4. Geometri Peledakan Terkendali Pada dasarnya teknik pengontrolan peledakan berguna untuk memperoleh dimensi hasil peledakan yang teratur dan menjaga kesetabilan disekitar lokasi peledakan. Berdasarkan urutan peledakan, pengontrolan peledakan dapat dilakukan melalui dua cara (Jimeno, 1995) yaitu: 1. Controlled blasting, bertujuan untuk memperoleh dinding yang stabil dengan kerusakan yang sedikit (minimal) dari peledakan produksi sepanjang batas penggalian. Dalam controlled blasting lubang ledak perimeter diledakkan terakhir, sehingga lubang ledak ini dapat memanfaatkan bidang batas yang dihasilkan dari seri peledakan sebelumnya. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan dinding yang rata. Teknik untuk melakukan controlled blasting antara lain: a. Smoothwall blasting b. Trim (cushion) blasting c. Buffer blasting 2. Precutting, dimana lubang ledak perimeter diledakkan pertama kali, sehingga menghasilkan ketidakmenerusan antara batuan yang akan diledakkan dengan batuan yang tidak diledakkan. Teknik untuk melakukan precutting antara lain: a. Line drilling b. Presplitting Penggunaan metode pengontrolan peledakan ini didasarkan pada karakteristik massa batuan, kekuatan batuan, diameter lubang ledak, spacing, serta tipe dari

Page 12: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

12

bahan peledak yang digunakan. Namun pada tulisan ini hanya akan dibahas mengenai trim blasting dan pre-splitblasting. Trim (cushion) blasting Trim blasting merupakan teknik kontrol peledakan yang digunakan untuk membersihkan dinding akhir penggalian setelah peledakan produksi yang dilakukan . Tujuan dilakukan Trim blasting adalah untuk menciptakan dinding akhir penggalian yang baik, rata dan untuk meningkatkan kesetabilan dinding akhir yaitu dengan cara memotong bagian massa batuan yang sudah terlanjur terkekarkan oleh peledakan produksi.Trim blasting biasanya menggunakan diameter lubang ledak yang sama dengan diameter lubang ledak produksi.Jarak (spasi) antara lubang Trim yang satu dengan yang lain lebih kecil dibandingkan dengan spasi lubang produksi. Faktor isian bahan peledak pada lubang Trim lebih sedikit daripada lubang produksi, sehingga untuk menambah energi hasil peledakannya dapat digunakan Gas bag. Berikut ini persamaan yang digunakan pada Trim blasting : Spacing Bauer & Crosby (1989), persamaan spacing sebagai berikut :

St = (12 – 16) x D ……………………………………………………..(31)

Keterangan : St : Spacing pada lubang Trim (m) D : Diameter lubang ledak (m) Burden C.J. Konya (1995), Burden dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bt = 1,3 x St …………………………………………………………..(32)

Keterangan : B : Burden (m) Stemming

T = 2/3 x Bt …………………………………………………………..(33)

Keterangan : T : Panjang Stemming (m) Berikut ini merupakan gambar dari atas lubang Trim (lihat Gambar 3).

Page 13: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

13

Gambar 3. Geometri Trim blasting (Bauer, 1982)

Presplit blasting Metode presplit blasting disebut juga dengan metode preshearing (Bhandari, 1997). Tujuan yang ingin dicapai dari peledakan pre-split ini adalah ingin menciptakan suatu desain dinding yang relatif stabil dan mencegah timbulnya backbreak. Baris presplit berada di baris terakhir dari baris lubang produksi yang berfungsi sebagai batas crest suatu jenjang.Lubang Presplit diisi dengan bahan peledak yang memiliki energi lebih kecil daripada lubang produksi. Spasi pada presplit lebih kecil daripada spasi pada baris lubang produksi. Energi yang terbentuk pada lubang presplit tersebut hanya akan membuat suatu rekahan pada massa batuan tersebut.Parameter kesuksesan presplit blasting adalah half cast factor yaitu persentase bentukan setengah bulatan (half cast) bekas lubang peledakan pada dinding setelah batuan hasil peledakan digali dan kondisi permukaan jenjang relatif lebih rata. Berikut ini merupakan gambar 4 penampang atas dari lubang Presplit :

Gambar 4. Geometri Presplit blasting (Bauer, 1982)

Page 14: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

14

Berikut ini persamaan yang digunakan pada metode presplit blasting yaitu : Spacing Hustrulid merumuskan nilai spasi pada presplit menggunakan persamaan:

…………………………………………………….. (34)

Keterangan : Sp : spacing pada presplit row (m) Dh : Diameter lubang ledak presplit basting (mm) Pw : Tekanan pada dinding lubang ledak (MPa) T : Kuat tarik batuan (MPa) Namun jika tekanan pada lubang ledak sama dengan kuat tekan batuan, maka persamaan diatas akan menjadi :

……………………………………………………. (35)

Keterangan : σc : Kuat tekan batuan (MPa) T : Kuat tarik batuan (MPa) Menurut Jordan & H.L. Graham nilai ( σc/ T ) berkisar antara 9 – 15.

Burden Nilai burden antara lubang presplit dan lubang produksi dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bp = 0,75 x B ………………………………………………………. (36)

Keterangan : Bp : burden presplit (m) B : burden (m) Berikut ini merupakan gambar penampang samping dari lubang Presplit (lihat Gambar 5).

Gambar 5. Penampang Geometri Presplit blasting (Bauer, 1982)

Page 15: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

15

Pada lubang presplit ini juga dipengaruhi oleh decoupling ratio. Nilai decoupling ratio tersebut didapatkan dari perbandingan antara diameter bahan peledak dengan diameter lubang ledak. Nilai ini selanjutnya digunakan untuk menghitung jumlah isian yang digunakan dalam lubang isian presplit. Pada lubang presplit hanya diharapkan untuk membuat rekahan, bukan untuk menghancurkan atau membuat fragmentasi pada suatu massa batuan. Besarnya tekanan pada lubang ledak dapat dirumuskan sebagai berikut : Tekanan yang dihasilkan dari bahan peledak

Pb = 228 x 10-6.ρe.��� �

��(�,� .��) …………………………………………… (37)

Keterangan : Pb : Tekanan lubang ledak couple (tekanan seluruh ruang di dalam lubang ledak, jika terisi penuh oleh bahan peledak (MPa) ρe : Densitas bahan peledak (kg/m3) Pada lubang ledak presplit dilakukan decoupling yaitu menyisakan ruang udara di dalam lubang ledak, disekitar isian bahan peledak. Dengan maksud agar bahan peledak tersebut mampu memberikan tekanan sepanjang lubang ledak Besarnya nilai tekanan lubang ledak decoupling dapat dirumuskan sebagai berikut : Tekanan lubang ledak decoupling

Pb(dc) = Pb x (CR)2,4 ………………………………………………….. (38)

Keterangan : Pb(dc) : Tekanan lubang ledak decoupling (MPa) CR : Nisbah coupling Nisbah Coupling

CR = �� √��

��� ………………………………………………………….. (39)

Keterangan : C : Persentase bahan peledak yang diisi (%) d : Diameter bahan peledak (m) D : Diameter lubang ledak (m) Agar hasil dari peledakan presplit ini baik, maka besarnya tekanan pada lubang ledak decoupling harus lebih kecil daripada kuat tekan batuan dinamik insitu. Kuat tekan batuan dinamik insitu adalah kekuatan batuan ketika menerima suatu perubahan seperti gelombang kejut akibat peristiwa peledakan.Namun sebagai pendekatan dapat digunakan kuat tekan uniaksial. Workman & Calder (1981) menyatakan bahwa besarnya tekanan pada lubang ledak presplit dapat berkisar antara 68– 103MPa. 3. Klasifikasi Massa Batuan Massa batuan yang terdiri dari kenampakan struktur geologi atau bidang diskontinuitas, atau bidang perlapisan atau kekar dapat diklasifikasi menurut tiga karakteristik utama yaitu, 1. Orientasi bidang diskontinuitas dan keluarga bidang diskontinuitas 2. Jarak antar bidang diskontinuitas, frekuensi bidang diskontinuitas, Rock

Page 16: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

16

Quality Designation – RQD dan ukuran blok bidang diskontinuitas 3. Kondisi bidang diskontinuitas terdiri dari beberapa karakteristik seperti;

Persisten atau kemenerusan bidang diskontinuitas Kekasaran (roughness) Apertur atau bukaan bidang diskontinuitas (aperture) Isian bidang diskontinuitas (filling material) Luahan (seepage) Kekuatan (strength)

Untuk mengkuantifikasi inti bor dari boks tersebut maka RQD harus dihitung. RQD dihitung dari persentase bor inti yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm dan jumlah potongan inti bor tersebut biasanya diukur pada inti bor sepanjang 2 m, potongan akibat penanganan pemboran harus diabaikan dari perhitungan dan inti bor yang lembek dan tidak baik berbobot RQD = 0 (Bieniawski, 1989) dan perhitungannya adalah seperti berikut.

x100%(m)bor totalPanjang

m 0.10 intibor totalPanjangRQD

……………………… (40)

Bila bor inti tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak langsung dengan melakukan pengukuran orientasi dan jarak antar diskontinuitas pada singkapan batuan. Priest & Hudson (1976) mengajukan sebuah persamaan untuk menentukan RQD dari data garis bentangan sebagai berikut.

RQD = 100 e-0.1 (0.1 + 1) ............................................................ (41)

Keterangan: = frekuensi diskontinuitas per meter. Untuk = 6 – 16/m, maka RQD = 110.4 – 3.68

3.1. Slope Mass Rating

Slope Mass Rating dikembangkan berdasarkan 87 kasus studi di Valencia dan jenis kelongsoran bidang dan toppling. Romana (1985, 1993, 1995) mengusulkan modifikasi pada konsep penggunanan RMR (Bieniawski, 1983) khususnya untuk kemantapan lereng. Pada klasifikasi massa batuan lereng (SMR) ini ada penambahan satu faktor penyesuaian, F4 yaitu faktor koreksi terhadap metode penggalian sehingga faktor penyesuaian keseluruhan menjadi empat (F1, F2, F3, dan F4). Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dengan menjumlahkan faktor penyesuaian yang bergantung pada orientasi bidang diskontinuitas dan metode penggalian Seperti halnya pada RMR parameter penentu dalam SMR adalah bidang diskontinu. Namun demikian, agak berbeda dengan RMR, jika material berupa tanah dan batuan lunak yang sulit diidentifikasi adanya bidang diskontinu, maka SMR tidak dapat dipakai untuk menilai kondisi stabilitas. Beberapa sistem klasifikasi yang harus dihitung: Karakterisasi massa batuan keseluruhan (joint frekuensi, kondisi air) Perbedaan arah lereng dan kondisi kekar Perbedaan antara sudut kemiringan lereng dan kekar – kondisi ini mengontrol

blok baji lereng yang akan longsor Hubungan kemiringan kekar dengan normal dari kekuatan geser kekar (bidang

atau baji)

Page 17: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

17

Hubungan tegangan tangensial, yang berkembang sepanjang kekar dengan geseran (topping)

Tabel 7. Pembobotan Massa Batuan menurut Bieniawski (Bieniawski, 1989)

Usulan “Slope Mass Rating” didapat dari RMR dengan mengurangkan faktor penyesuaian yang bergantung pada kekar – hubungan lereng dan menambahkan suatu faktor bergantung pada metode penggalian.

SMR = RMRB - (F1 x F2 x F3) + F4 ……………………………….. (42)

RMRB dihitungan dengan menggunakan RMR Bieniawski (1989)

F1 bergantung pada kesejajaran antara kekar dan jurus lereng. F2 merujuk pada sudut kemiringan kekar pada model keruntuhan bidang. F3 merefleksikan hubungan antara muka lereng dana kemiringan kekar. Model bidang F3 merujuk pada probabilitas kekar pada baji di muka lereng. Keadaan baik ketika lereng memiliki kemiringan 10o lebih besar dari kekar. Sangat tidak menguntungan tidak terjadi pada kondisi toppling, dengan sedikit tampat keruntuhan yang seketika dan kemungkinan terjadi toppling.

s /s

j /j s slope dip direction

s slope dip

s joint dip direction

s joint dip

Page 18: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

18

Tabel 8. Faktor penyesuaian untuk kekar (Romana, 1985)

Case Condition Very

Favorable Favorable Fair

Un-favorable

Very un- favorable

P |j – s| >30

o 30

o-20

o 20

o-10

o 10

o-5

o <5

o

T |j – s - 180|

P/T F1 = (1-Sin|j-s|)2 0.15 0.4 0.7 0.85 1

P |j| <20o 20

o-30

o 30

o-35

o 35

o-45

o >45

o

P F2 = tan2j 0.15 0.4 0.7 0.85 1

T F2 = tan2j 1 1 1 1 1

P |j – s| >10o 10

o-0

o 0

o 0

o-(-10

o) <-10

o

T |j + s| <110o 110

o-120

o >120

o - -

P/T F3 0 -6 -25 -50 -60

Method of Excavation Natural slope

Presplitting Smooth blasting

Blasting / mechanical

Defficient blasting

F4 15 10 8 0 -8

Faktor penyesuaian untuk metode penggalian telah ditetapkan secara empirik sebagai berikut: i. Lereng alamiah lebih stabil karena terbentuk akibat proses erosi dalam

waktu yang lama dan ada mekanisme penahan (vegetasi, sedikit akan air, dsb): F4 = -15.

ii. Penggunaan presplitting meningkatkan stabilitas lereng untuk suatu klas setengah: F4 = ± 10.

iii. Penggunaan smooth blasting dengan lubang-lubang yang baik, juga meningkatkan stabilitas lereng: F4 = ± 8

iv. Peledakan normal. Penggunaan dengan sound method, tidak mengubah stabilitas lereng: F4 = 0.

v. Peledakan yang tidak efficient, sering terlalu banyak bahan peledak, tidak menggunakan peledakan beruntun atau lubang ledak tidak sejajar, stabilitas buruk: F4 = - 8.

vi. Penggalian lereng dengan peralatan gali, selalu dengan ripper, hanya dapat dilakukan pada batuan lemah dan atau di batuan terkekarakan, dan sering digabungkan dengan peledakan. Bidang lereng sulit untuk diakhiri. Metode ini bisa bertambah atau berkurang tingkat kemantapan lereng, F4 = 0.

Metode Peledakan Presplitting Baris dari lubang ledak yang dibor sepanjang permukaan lereng akhir. Masing-masing lubang diberi tanda Lubang harus dibuat sejajar (hingga + 2%) Jarak antar lubang antara 50 – 80 cm. Isian diberi jarak (decoupled) dari dinding lubang ledak, meninggalkan

kosong. Isian sangat ringan

Page 19: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

19

Baris diledakan sebelum peledakan utama

Tabel 9. Perbandingan tingkat kerusakan akibat pengaruh peledakan - nilai F4 (Swindells, 1985)

Excavation Methods No Depth of damaged zone

SMR F4 Range (m) Average (m)

Natural Slope 4 0 0 15

Presplit Blasting 3 0-0,6 0,5 10

Smooth Blasting 2 4-2 3 8

Poor Blasting -8

Mechanical Excavation 3 6-3 4 0

Metode Peledakan Smooth Blasting Setiap baris dari lubang ledak dibor sepanjang dinding akhir. Masing-masing lubang diberi tanda Lubang harus dibuat sejajar (hingga + 2%) Jarak antar lubang antara 60 – 100 cm. Isian sangat ringan Baris diledakan sebelum peledakan utama (kadang-kadang menggunakan

microdelays). Peledakan Normal.

Masing-masing peledakan dikerjakan sesuai dengan skema yang tetap sebelumnya.

Masing-masing lubang diberi tanda Isian diisi seminimal mungkin Peledakan dilakukan secara berturutan, menggunakan waktu tunda atau

microdelays. Metode Peledakan Deficient Blasting

Menggunakan skema peledakan hanya dengan satu aturan Isian tidak diisi seminimal mungkin Peledakan tidak dinyalakan secara berurutan

Jika peledakan dikerjakan seadanya dari satu dari kategori tersebut tetapi beberapa kondisi tidak dikerjakan sungguh-sunggu menggunakan faktor penyesuaian dari tingkat yang paling rendah. Kebanyak produski peledakan pada tambang terbuka dan quarry dirancang untuk mengurangi fragmentasi maksimum. Selalu mereka harus membobot sebagai “deficient” blasting. 3.2. Geological Strength Index Hoek &Brown (1980) mengusulkan suatu hubungan antara tegangan utama maximum dan minimum untuk menentukan runtuhan yang terjadi pada batuan utuh (intact rock) dan batuan retak (broken rock). Kriteria keruntuhan Hoek – Brown juga dikembangkan untuk dapat memperkirakan kekuatan geser dalam massa batuan yang terkekarkan (jointed rock mass). Kriteria keruntuhan ini berawal dari hasil penelitian oleh Hoek dan Brown mengenai mekanisme pecahan batuan utuh dan perilaku massa batuan yang terkekarkan. Hoek-Brown membuat

Page 20: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

20

suatu persamaan yang menggambarkan hubungan antar tegangan utama yaitu (Evert Hoek,1980) :

�� = �� + [����� + �� ��]�.�.......................................................... (43)

Keterangan : - σ1 dan σ3 adalah tegangan utama mayor dan minor. - σc adalah kekuatan tekan uniaksial pada batuan utuh - m dan s adalah nilai konstanta material denagan nilai konstanta s = 1 untuk

batuan utuh Hoek memperkenalkan konsep kriteria Generalized Hoek-Brown dimana

bentuk plot dari tegangan utama dalam lingkaran Mohr dapat disesuaikan dengan adanya nilai konstanta a yang dimasukkan dalam persamaan (43) sehingga persamaannya menjadi (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002) :

a

ci

bci sm

''' 3

31 ..................................................................... (44)

Keterangan mb merupakan nilai reduksi dari konstanta material mi, s dan a merupakan konstanta untuk massa batuan yang diberikan dari hubungan (Hoek & Brown , 2002), nilai konstanta mi dapat dilihat pada Tabel 10 dan Nilai GSI dapat dilihat pada Gambar 6.

D

GSImm ib

1428

100exp

........................................................................... (45)

D

GSIs

39

100exp

................................................................................. (46)

3/2015/

6

1

2

1 eea GSI

........................................................................ (47)

D (distrubance factor) adalah suatu faktor yang tergantung pada tingkat gangguan terhadap massa batuan akibat dari efek peledakan dan redistribusi tegangan (lihat Tabel 11). Nilai faktornya bervariasi mulai dari 0 untuk massa batuan yang tidak terganggu (undisturbed) hingga 1 untuk massa batuan yang terganggu (disturbed).

Page 21: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

21

Tabel 10. Nilai Parametermik (Hoek & Brown, 1980)

Rock type

Class Group Texture

Coarse Medium Fine Very Fine S

edim

enta

ry

Clastic

Conglomerat Sandstone Siltstone Claystone 22 19 9 4

Greywacke 18

Non

-Cla

stic

Organic

Chalk 7

Coal (8-21)

Carbonate

Breccia 20

Sparitic Limestone

10

Micritic Limestone

8

Chemical Gypstone 16

Anhydrite 13

Met

amo

rphi

c Non Foliated Marble

9 Homfels

19 Quartzine

24

Slightly Foliated Migmatite

30 Amphibolite

25-31 Mylonites

6

Foliated Gneiss

33 Schists (4-8)

Phylites 10

Slate 9

Ign

eous

Light

Granite 33

Granodiorie 30

Diorite 28

Rhyolite 16

Dacite 17

Andesite 19

Dark

Gabbro 27

Norite 22

Dolerite 19

Basak 17

Obsidian 19

Extrusive Pyroclasic type

Agglomerate 20

Breccia 18

Tuff 15

Page 22: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

22

Gambar 6. Penentuan Nilai GSI (Hoek & Brown, 1997)

Page 23: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

23

Tabel 11. Nilai Faktor D (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002)

Appearrance of rock mass

Description of rock mass Suggested value of D

Kontrol kualitas peledakan atau penambangan yang baik menggunakan mesin pemboran terowongan menghasilkan gangguanminimal pada massa batuan padat yang mengelilingi terowongan

D = 0

Penambangan mekanis atau manual pada batuan berkualitas massa rendah (tanpa peledakan) menghasilkan gangguan minimal pada massa batuan sekitar,dimana menekan problem pengangkatan lantai yang signifikan, gangguan dapat menjadi besar kecuali dipasang sebuah pembalik sementara seperti ditunjukan pada gambar.

D = 0

D = 0,5 No invert

Kualitas Peledakan yang buruk dalam terowongan pada batuan keras menghasilkan kerusakan lokal yang parah, mencapai 2 atau 3 m, di sekitar massa batuan

D = 0,8

Peledakan skala kecil dalam suatu lereng menghasilkan kerusakan menengah pada massa batuan yang khususnya peledakan terkontrol digunakan, walaupun begitu menghilangkan tegangan menghasilkan beberapa gangguan.

D = 0,7 Good

blasting

D = 1,0 Poor

blasting

Kemiringan lereng pada tambang terbuka yang besar mengalami gangguan yang signifikan yang disebabkan oleh peledakan produksi berat dan karena kehilangan tegangan dari pelepasan klebihan beban. Pada beberapa batuan yang lebih lunak, penambangan dilakukan dengan ripping dan dozing serta tingkat kerusakan pada lereng tambang menjadi berkurang.

D = 0,7 Productions

blasting

D = 1,0 Mechanical

blasting

Page 24: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

24

Modulus deformasi pada massa batuan diperoleh dari (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002) :

)40/)10((10.1002

1)(

GSIci

m

DGPAE

...................................................... (48)

Persamaan di atas berlaku untuk σci 100 MPa. Sedangkan σci > 100 MPa menggunakan persamaan dibawah ini (Hoek & Brown , 2006).

)40/)10((10.2

1)(

GSI

m

DGPAE ............................................................. (49)

Catatan bahwa persamaan yang diusulkan oleh Hoek & Brown sudah dimodifikasi, dengan memasukkan faktor D sebagai perwujudan efek peledakan dan redistribusi tegangan akibat penggalian.

3.3. Hubungan Mohr - Coloumb dengan Hoek - Brown Kebanyakan software geoteknik masih mengacu pada kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb, sehingga perlu menentukan sudut geser dalam dan nilai kohesi yang setara untuk masing-masing massa batuan. Ini dilaksanakan dengan melakukan penyesuaian satu hubunganlinier kepada kurva yang dihasilkan dengan melakukan pemecahan pada dimana jarak (range) dari tegangan utama minor nilainya antara σt<σ3<σ3max. Proses penyesuaian membutuhkan keseimbangan antara daerah atas dan bawah pada plot Mohr-Coulomb, sehingga menghasilkan persamaan untuk

mendapatkan nilai sudut gesek dalam (’) dan kohesi (c’) (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002) :

1

3

1

31

'6212

'6sin'

a

nbb

a

nbb

msamaa

msam

................................... (50)

aamsamaa

msmasac

a

nbb

a

nbnbci

21/'61)2)(1(

'')1()21('

1

3

1

33

....................... (51)

Keterangan : cin /max'33

Penentuan nilai σ3max pada lereng dan terowongan berbeda, untuk lereng nilai σ3max didapat berdasarkan rumusan (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002) :

91.0

max3 '72.0

'

'

Hcm

cm

.......................................................................... (52)

sedangkan pada terowongan nilai σ3max didapat dengan rumusan (Hoek, Carranza-Torres & Corkum, 2002) :

Page 25: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

25

94.0

max3 '47.0

'

'

Hcm

cm

.......................................................................... (53)

Untuk mendapatkan nilai dari cm' dalam konsep rock mass strength Hoek &

Brown yang bertujuan untuk mendapatkan hubungan dengan persamaan Mohr-Coulomb maka

= ��� ��� ∅�

����� ∅� ...................................................................................... (54)

Dimana dan ' ditentukan dari besar tegangan ��<���<���/4 , maka

cm' = ���.��������(�����)�(�� �⁄ ��)���

�(���)(���) ........................................... (55)

Kekuatan geser Mohr-Coulomb τ yang diberi tegangan normal dapat diketahui dengan mensubstitusi nilai c’ dan�’ kedalam persamaan (Hoek, Carranza-Torres & Corkum , 2002) :

σ0= Hγ ....................................................................................................... (56)

Hubungan tegangan utama mayor dan minor dirumuskan sebagai berikut (Hoek & Brown , 1995) sebagai fungsi keriteria Mohr – Coulomb sebagai berikut.(lihat Gambar 7) :

''sin1

'sin1

'sin1

'cos'2' 31

c .................................................................... (57)

Gambar 7. Hubungan Antara Kriteria Hoek-Brown dengan Kriteria Mohr – Coulomb (Hoek & Brown, 1995)

cm'

'c

Page 26: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

26

4. Kerusakan batuan akibat peledakan di tambang tembaga AITIK Mine (Holmberg & Maki, 1981)

Kebanyakan kerusakan massa batuan akibat peledakan dapat diamati secara jelas di lapangan seperti terjadinya Backbreak. Orientasi dan jumlah backbreak per meter dapat dihitung, juga dapat dinilai karakteristik mekanika batuan, dan kondisi air tanah. Pada tulisan ini perhitungan karakteristik massa batuan akibat peledakan diambil dari pengalaman Holmberg & Maki (1981) dari tambang tembaga di Aitik, Swedia.

4.1. Distribusi backbreak Hasil penelitian Holmberg & Maki (1981) menunjukkan bahwa kerusakan terjadi 4 meter dari lubang ledak akhir (Lihat Gambar 8).

Gambar 8. Model backbreak yang terjadi di belakang lubang ledak (Holmber & Maki, 1981) 4.2. Perkembangan joint frequenty Tabel 12 memperlihatkan lebar bukaan pada kekar di massa batuan setelah peledakan.

Tabel 12. Perkembangan lebar bukaan setelah peledakan (Holmber & Maki, 1981)

Gambar 9. Menunjukkan perkembangan frekuensi kekar sebelum dan seteleah peledakan terjadi perubahan yang 65–160% jumlah kekar dari sebelum peledakan.

Page 27: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

27

Gambar 9. Perkembangan Frekuensi kekar hasil peledakan (Holmber & Maki, 1981)

4.3. Point load strength index test Setelah core diambil selanjutnya dilakukan uji point load. Hasil uji dari batuan sebelum peledakan menunjukan peningkatan sesuai jarak dari bidang bebas (lihat Gambar 10).

Gambar 10. Hasil uji point load batuan sebelum dan setelah peledakan (Holmber & Maki, 1981)

4.4. Kecepatan puncak partikel Hasil dari pengukuran ppv sedikit lebih tinggi daripada prediksi dari model kerusakan apapun. Sebagai model yang didasarkan pada ledakan dengan peledakan beruntun, hasilnya menunjukkan bahwa penyalaan awal baris-demi-baris dengan sumbu ledak tidak menguntungkan jika kerusakan batu harus tertekan. Pengukuran ppv menunjukkan zona kerusakan terjadi sekitar 20 meter.

Page 28: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

28

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Dinding Hasil pengamatan di lapangan tambang tembaga PT. Newmont Nusa Tenggara, bahwa kedalaman lubang ledak aktual tidak sesuai dengan desain yang diterapkan, disebabkan keadaan permukaan kerja yang tidak rata sehingga menyebabkan kedalaman lubang ledak aktual menjadi lebih besar (lihat Gambar 11). Kedalaman lubang ledak aktual yang semakin besar menyebabkan penggunaan bahan peledak juga semakin besar, dan Stemming yang digunakan tetap karena Stemming merupakan acuan dalam pengisian bahan peledak.

Gambar 11. Pembersihan Area yang tidak baik

Komposisi pengisian bahan peledak perlu dirubah dan disesuaikan dengan kedalaman lubang ledak aktual. Selain itu perlu diperhatikan faktor-faktor yang mendukung kerusakan terhadap dinding yang dihasilkan sebagai berikut : 1. Pembersihan area yang tidak baik menyebabkan kedalaman aktual akan

menjadi lebih besar, 2. Drainase yang tidak baik akan menyebabkan fungsi lubang Air decking pada

lubang Trim tidak tercapai.

Page 29: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

29

Gambar 12. Lubang Trim yang terisi air

Berdasarkan pengamatan dan perolehan data aktual di lapangan menunjukkan bahwa lubang ledak Presplit tidak sesuai dengan desain yang diterapkan. Lubang ledak aktual tidak mencapai target yang ditentukan akan menyebabkan Toe tidak terbentuk dan Presplit Barrel tidak terbentuk sempurna. Permasalahan ini dikarenakan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Adanya pengaruh Ground Water pada lubang Presplit (lihat Gambar 12)

sehingga menyebabkan banyak lubang Presplit yang Collapse (Runtuh). 2. Drainase yang buruk pada area Presplit menyebabkan lubang Presplit terisi

oleh air permukaan dan menyebabkan banyak lubang yang gagal (lihat Gambar 13).

3. Banyak lubang yang gagal menyebabkan rekahan yang menghubungkan antar lubang tidak maksimal sehingga fungsi Presplit untuk mereduksi vibrasi tidak maksimal (lihat Gambar 14).

Gambar 13. Area Presplit yang tergenang air

Page 30: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

30

Gambar 14. Dinding yang terbentuk setelah peledakan

6. Penutup Kegiatan pemberian dengan pemboran dan peledakan sangat mempengaruhi stabilitas lereng sehingga perlu keakuratkan dalam desain peledakan seperti penentuan model blasting geometri. Dengan adanya ketidakpastian kekuatan massa batuan sehingga banyak rumusan empirik untuk menentukan blasting geometri dalam kaitannya dengan pengurangan kekuatan massa batuan. Dalam hubungannya dengan kekuatan massa batuan lereng, beberapa klasifikasi massa batuan turut berperan dalam menentukan kondisi stabilitas lereng, seperti sistem klasikasi massa batuan slope mass rating dan geological strength index. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peledakan akan mempengaruhi frekuensi bidang ketidakemenerusan dan kekuatan massa batuan dalam jarak 20 meter dari bidang bebas yang terbentuk. Ucapan terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak Management PT. Newmont Nusa Tenggara yang telah memberi kesempatan kepada mahasiswa bimbingan penulis (Harry Prima Saputra Mahasiswa Teknik Pertambangan UPN “Veteran” Yogyakarta) untuk melakukan skripsi mengenai peledakan. Demikian juga, kepada Balinga Utama sebagai penyelenggara Rock Breakage and Fragmentation Workshop 2013. Daftar Pustaka Bieniawski, Z.T. (1989): Engineering Rock Mass Classifications, John-Wiley,

New York. Bhandari, S. (1997): Engineering Rock Blasting Operations, A.A. Balkema,

Roterdam, 195p. Cruden, D. M (1978): Discussion of G. Hocking’s paper ‘‘A Method for

Distinguishing Between Single and Double Plane Sliding of Tetrahedral Wedge. Int. J. Rock Mech. Min. Sci. Geomech Antoine, M. M.

Edy, T.M. and Sayed K.A. (2011): Assessment on Blasting – Induced Rock Slope Instability at Johor, Malyasia, EJGE, Vol 16 (2011).

Page 31: 12Technical Paper dalam Rock Breakage Symposium - Singgih.pdf

31

Goodman, R.E. (1970): The Deformation of Joint, in Determination of The Insitu Modulus of Deformation of Rock, ASTM STP 477 pp. 174 – 179.

Hocking, G (1976): A Method for Distinguishing Between Single and Double Plane Sliding of Tetrahedral Wedges, Int. J. Rock Mech. Min. Sci. Geomech. Abstr. 13, pp. 225–226.

Hoek, E. and Bray, J.W. (1981): Rock Slope Engineering, Institution of Mining and Metallurgy, London.

Hoek, E. and Brown, E.T. (1980): Underground Excavation in Rock, The Institute of Mining and Metallurgy, London.

Hoek, E. and Brown, E.T. (1997): Practical Estimates of Rock Mass Strength, International Journal Rock Mechanic & Mining Science and Geomechanic Abstract. 34(8) p. 1165 – 1187.

Hoek, E., Carranza, T.C. and Corkum, B. (2002): Hoek-Brown Failure Criterion – 2002 ed., Accessed through the Program RocLab.

Holmber, R. and Maki, K. (1981): Case Examples of Blasting Damage and Its Influence on Slope Stability, 3rd International Conference on Stability in Surface Mining, SME of AIME, Vancouver, Canada.

Jimeno, C.L., Jimeno, E.L., Carcedo, F.J. (1995): Drilling and Blasting of Rocks, A.A. Balkem, Rotterdam.

Kramadibrata, S., Saptono, S., Wattimena, R.K., and Simangunsong, G.M. (2011c): Developing A Slope Stability Curve of Open Pit Coal Mine by Using Dimensional Analysis Method, ISRM, Beijing.

Lilly, P.A. (1986): An empirical method of assessing rock mass blastability, Julius Knittschnitt Mineral Research Center.

Markland, J. T (1972): A Useful Technique for Estimating the Stability of Rock Slopes When the Rigid Wedge Sliding Type of Failure is Expected. Imp. Coll. Rock Mech. Res.

Matherson, G.D. (1988): The Collection and Use of Field Discontinuity Data in Rock Slope Design, Q. J. Eng. Geol.22, pp. 19–30.

Romana, M. (1988): Practice of SMR Classification for Slope Appraisal, Proceeding 5th International Symposium on Landslides, Lausanne, pp. 1227 – 1231.

Saptono, S., Kramadibrata, S., Sulistianto, B., Wattimena, K.R., Nugroho, P., Iskandar, E. and Bahri, S., (2008a): Low Wall Slope Monitoring By Robotic Theodolite System Likely to Contribute to Increased Production of Coal in PT. Adaro Indonesia, Proceeding 1st Southern Hemisphere International Rock Mechanics Symposium, Vol. 1, Potvin et al. eds. Perth. Australia.

Saptono, S., Pengembangan Metode Analisis Stabilitas Lereng Berdasarkan Karakterisasi Batuan di Tambang Terbuka Batubara. Disertasi Doktor, Rekayasa Pertambangan, Institut Teknologi Bandung, (2012).

Sjoberg, J. (1996): Large Scale Slope Stability in Open Pit Mining – A Review, Technical report, Devision of Rock Mechanics, Lulea University of Technology.

Swindells, C.F. (1985): The Detection of Blast Induced Fracturing to Rock Slopes, In. Int. Symp. On The Role of Rock Mech., pp. 81 – 86.

Wyllie, Duncan, C. and C. W. Mah (2004) Rock Slope Engineering: Civil and Mining, 4th Edition, Spon Press.