13. iv. hasil dan pembahasan

39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran histopatologi testis mencit Subjek penelitian menggunakan 25 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY berumur 2-3 bulan. Selama satu minggu tiap-tiap kelompok mencit diadaptasikan sebelum diberi perlakuan. Subjek penelitian dibagi ke dalam 5 kelompok yang masing- masing terdiri dari 5 ekor mencit. Kelompok I (K1) yaitu kontrol normal, hanya diberikan aquades. Kelompok II (K2) yaitu kontrol negatif, hanya diberikan etanol dengan dosis 0,28 ml/20gBB. Kelompok III (K3) adalah kelompok perlakuan coba dengan pemberian ekstrak etanol jahe putih dosis 0,14 mg/gBB, kelompok IV (K4) dengan dosis jahe

Upload: fajar-al-habibi

Post on 28-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hasil

TRANSCRIPT

Page 1: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran histopatologi testis mencit

Subjek penelitian menggunakan 25 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan

galur DDY berumur 2-3 bulan. Selama satu minggu tiap-tiap kelompok

mencit diadaptasikan sebelum diberi perlakuan. Subjek penelitian dibagi

ke dalam 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit.

Kelompok I (K1) yaitu kontrol normal, hanya diberikan aquades.

Kelompok II (K2) yaitu kontrol negatif, hanya diberikan etanol dengan

dosis 0,28 ml/20gBB. Kelompok III (K3) adalah kelompok perlakuan coba

dengan pemberian ekstrak etanol jahe putih dosis 0,14 mg/gBB,

kelompok IV (K4) dengan dosis jahe putih sebanyak 0,28 mg/gBB, dan

kelompok V (K5) dengan dosis jahe putih sebanyak 0,56 mg/gBB.

Kemudian ketiga kelompok perlakuan ini selang 2 jam diberikan induksi

etanol sebesar dosis 0,28 ml/20gBB. Masing-masing diberikan secara per

oral selama 10 hari.

Kemudian setelah mencit diberi perlakuan selama 10 hari, mencit tersebut

dinarkosis dengan menggunakan kloroform lalu dibuka kantong

Page 2: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

52

skrotumnya untuk pengambilan organ testis dan selanjutnya dilakukan

pembuatan preparat. Gambaran histopatologi testis mencit yang diamati

adalah jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa dengan mengamati

1 tubulus seminiferus tiap lapang pandang hingga mencapai 5 lapang

pandang setiap sampel perlakuan pada potongan melintang preparat

histopatologi testis. Jumlah sel spermatogenik dan jumlah sel spermatozoa

dalam 5 lapang pandang masing-masing kemudian dirata-ratakan untuk

tiap sampel. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop

cahaya dengan pembesaran 400 kali.

Pada kelompok I, tubulus seminiferus terlihat normal seperti pada gambar

11. Sel-sel spermatogenik tersusun rapi dan cukup padat sesuai dengan

tingkat perkembangannya yang dimulai dari sel germinal

(spermatogonium), lalu spermatosit primer, spermatosit sekunder

(umumnya spermatosit sekunder sulit diamati pada preparat histologi),

spermatid, dan berakhir pada spermatozoa. Sel-sel spermatozoa terlihat

cukup penuh pada lumen tubulus seminiferus yang menandakan

spermatogenesis masih berjalan dengan normal. Sel sertoli juga terlihat

pada tubulus seminiferus yang letaknya berdekatan dengan sel-sel

spermatogenik.

Page 3: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

53

Gambar 11. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok I dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)

Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.

Sementara itu, pada kelompok II terjadi penurunan spermatogenesis serta

spermiogenesis pada tubulus seminiferusnya seperti pada gambar 12.

Tubulus seminiferus mengalami atrofi yang disebabkan karena penurunan

jumlah sel spermatogenik, hilangnya sel-sel spermatozoa, serta penurunan

diameter tubulus seminiferus. Sel-sel pada tubulus seminiferus banyak

mengalami nekrosis dan terlihat lebih banyak sel sertoli.

6

1

2

3

5

7

4

Page 4: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

54

Gambar 12. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok II dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)

Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatozoa; 4. Lumen tubulus seminiferus; 5. Sertoli.

Pada kelompok III, terlihat tubulus seminiferus mirip seperti tubulus

seminiferus normal pada kelompok I. Proses spermatogenesis dan

spermiogenesis tetap berjalan normal padahal mencit tersebut telah

diinduksi etanol (gambar 13).

4

1

2

3

5

Page 5: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

55

Gambar 13. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok III dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)

Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.

Jika dibandingkan dengan kelompok IV, terlihat tubulus seminiferus

normal dengan proses spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi

kelompok I dan kelompok III (gambar 14).

1

2

3

5

6

7

4

Page 6: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

56

Gambar 14. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok IV dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)

Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.

Sementara pada kelompok V, terlihat tubulus seminiferus normal dengan

proses spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I, III,

ataupun IV (gambar 15).

1

2

3

4

5

6

7

Page 7: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

57

Gambar 15. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok V dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)

Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.

6

1

2

3

4

5

7

Page 8: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

58

2. Analisis jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa

Data hasil pengamatan jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa

testis mencit untuk masing-masing kelompok disajikan pada tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Perhitungan sel spermatogenik tiap kelompok

Kelompok Sampel Rata-rata jumlah sel spermatogenik tiap

sampel (X sampel)

Rata-rata jumlah sel spermatogenik tiap kelompok (X±SD)

I

II

III

IV

V

ABCDE

ABCDE

ABCDE

ABCDE

ABCDE

127,20104,80127,00127,20144,40

50,0045,6042,2029,8038,00

124,00108,40115,60108,80161,00

176,80158,00158,20155,40134,00

228,40175,20148,20139,00128,00

126,12±14,07

41,12±7,71

123,56±21,87

156,48±15,20

163,76±40,13

Page 9: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

59

Berdasarkan tabel 3, diperoleh hasil perhitungan jumlah sel spermatogenik

dengan rata-rata pada K1 (126,12±14,07), K2 (41,12±7,71), K3

(123,56±21,87), K4 (156,480±15,20), dan K5 (163,76±40,13).

Tabel 4. Perhitungan sel spermatozoa tiap kelompok

Kelompok Sampel Rata-rata jumlah sel spermatozoa tiap

sampel (X sampel)

Rata-rata jumlah sel spermatozoa tiap kelompok (X±SD)

I

II

III

IV

V

ABCDE

ABCDE

ABCDE

ABCDE

ABCDE

35,6081,2057,6048,6040,00

11,2021,0018,0014,0021,60

84,8057,2050,4055,2066,00

58,4086,2075,4097,2068,20

103,60114,60 72,40 80,60 80,00

52,60±18,07

17,16±4,49

62,72±13,57

77,08±15,15

90,24±17,94

Page 10: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

60

Sementara untuk hasil perhitungan jumlah sel spermatozoa dapat dilihat

pada tabel 4, diperoleh rata-rata pada K1 (52,60±18,07), K2 (17,16±4,49),

K3 (62,72±13,57), K4 (77,08±15,15), dan K5 (90,24±17,94).

Gambar 16. Grafik rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa

Berdasarkan grafik pada gambar 16, terlihat penurunan yang signifikan

jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada K2 jika dibandingkan

dengan K1. Rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa untuk

K3 sangat meningkat jika dibandingkan dengan K2. Jika dibandingkan

antara K3 dengan K1, rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel

spermatozoanya tidaklah berbeda jauh. Rata-rata jumlah sel spermatogenik

dan sel spermatozoa pada K5 adalah yang paling tinggi.

Jumlah

Kelompok

Page 11: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

61

Rerata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada tubulus

seminiferus testis mencit tiap kelompok diuji normalitasnya dengan uji

Saphiro-Wilk dan didapatkan keduanya baik jumlah sel spermatogenik

maupun sel spermatozoa semuanya berdistribusi data normal (p>0,05).

Hasil uji varians didapatkan nilai p=0,058 (p>0,05) untuk sel

spermatogenik dan nilai p=0,150 (p>0,05) untuk sel spermatozoa sehingga

dapat diambil kesimpulan bahwa varians data baik jumlah sel

spermatogenik maupun sel spermatozoa adalah sama.

Setelah syarat uji parametrik terpenuhi, dilanjutkan dengan uji one way

ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) baik untuk jumlah sel

spermatogenik maupun sel spermatozoa, yang artinya paling tidak terdapat

perbedaan jumlah sel spermatogenik maupun sel spermatozoa yang

bermakna pada dua kelompok. Analisis data dilanjutkan menggunakan

analisis Post Hoc LSD untuk menilai perbedaan masing–masing kelompok

dan diperoleh hasil sebagai berikut untuk sel spermatogenik pada tabel 5

dan untuk sel spermatozoa pada tabel 6.

Tabel 5. Hasil uji statistik jumlah sel spermatogenik perbandingan antar kelompok (Post Hoc LSD)

Kelompok I II III IV VI - 0,000* 0,860 0,047* 0,016*II 0,000* - 0,000* 0,000* 0,000*III 0,860 0,000* - 0,033* 0,011*IV 0,047* 0,000* 0,033* - 0,618V 0,016* 0,000* 0.011* 0,618 -

*Hasil analisis Post Hoc LSD bermakna jika p<0,05

Page 12: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

62

Berdasarkan analisis Post Hoc LSD pada tabel 5, didapatkan hasil untuk

jumlah sel spermatogenik bahwa terdapat perbedaan bermakna antara K1

dengan kelompok lainnya kecuali dengan K3. Perbedaan bermakna

tersebut yaitu K1 dengan K2 (p=0,000), K1 dengan K4 (p=0,047), dan K1

dengan K5 (p=0,016). Sementara K1 dengan K3 terdapat perbedaan yang

tidak bermakna (p=0,860). Lalu juga ada perbedaan bermakna antara K2

dengan seluruh kelompok lainnya yaitu K1, K3, K4, dan K5 (p=0,000).

Selain itu, terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara K4 dengan K5

(p=0,618).

Tabel 6. Hasil uji statistik jumlah sel spermatozoa perbandingan antar kelompok (Post Hoc LSD)

Kelompok I II III IV VI - 0,001* 0,290 0,016* 0,001*II 0,001* - 0,000* 0,000* 0,000*III 0,290 0,000* - 0,139 0,008*IV 0,016* 0,000* 0,139 - 0,173V 0,001* 0,000* 0.008* 0,173 -

*Hasil analisis Post Hoc LSD bermakna jika p<0,05

Berdasarkan analisis Post Hoc LSD pada tabel 6, didapatkan hasil untuk

jumlah sel spermatozoa bahwa terdapat perbedaan bermakna antara K1

dengan kelompok lainnya kecuali dengan K3. Perbedaan bermakna

tersebut yaitu K1 dengan K2 (p=0,001), K1 dengan K4 (p=0,016), dan K1

dengan K5 (p=0,001). Sementara K1 dengan K3 terdapat perbedaan yang

tidak bermakna (p=0,290). Lalu juga ada perbedaan bermakna antara K2

dengan seluruh kelompok lainnya yaitu K2 dengan K1 (p=0,001), K2

dengan K3 (p=0,000), K2 dengan K4 (p=0,000), dan K2 dengan K5

Page 13: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

63

(p=0,000). Selain itu, terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara K3

dengan K4 (p=0,139) dan K4 dengan K5 (p=0,173).

B. Pembahasan

Pada hasil pengamatan mikroskopis gambaran histopatologi testis mencit

didapatkan bahwa pada kelompok I, tubulus seminiferus testis mencit dalam

keadaan normal. Sel-sel spermatogenik tersusun rapi dan cukup padat sesuai

dengan tingkat perkembangannya yang dimulai dari sel germinal

(spermatogonium), lalu spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid,

dan berakhir pada spermatozoa. Sel-sel spermatozoa terlihat cukup penuh

pada lumen tubulus seminiferus, yang menandakan spermatogenesis masih

berjalan dengan normal. Perhitungan rata-rata jumlah sel spermatogenik pada

kelompok kontrol normal adalah 126,12±14,07 sedangkan rata-rata jumlah sel

spermatozoa adalah 52,60±18,07.

Tiap mencit memiliki rata-rata jumlah sel spermatogenik dan spermatozoa

yang berbeda-beda, tetapi dapat dilihat penyebaran jumlah sel spermatogenik

dan spermatozoa pada kelompok I adalah hampir sama. Hal ini menandakan

bahwa semua mencit pada kelompok I dalam keadaan sehat (terutama dalam

hal sistem reproduksi) dan tidak mengalami gangguan faktor eksternal seperti

rangsangan psikis berupa stres akibat perubahan lingkungan yang dialami

mencit.

Page 14: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

64

Sagi (1994) menyebutkan secara garis besar aktivitas testis dalam kaitannya

dengan spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal antara lain temperatur tubuh, lokasi testis, dan kontrol

hipofisis. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah rangsang psikis (stres),

dan perubahan-perubahan lingkungan seperti temperatur lingkungan,

makanan, zat-zat kimia tertentu, dan kontak-kontak sosial. Hal inilah yang

menyebabkan jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada tiap mencit

berbeda-beda.

Pada kelompok II terjadi penurunan spermatogenesis serta spermiogenesis

yang bermakna pada tubulus seminiferusnya, dimana rata-rata jumlah sel

spermatogeniknya 41,12±7,71 sedangkan sel spermatozoa 17,16±4,49.

Berdasarkan analisis Post Hoc LSD, terdapat perbedaan yang bermakna

(p<0,05) jumlah sel spermatogenik (p=0,000) dan sel spermatozoa (p=0,001)

antara kelompok II dengan kelompok I sehingga hal ini membuktikan bahwa

etanol dapat menyebabkan kerusakan testis. Etanol tidak hanya mampu

mengganggu proses spermatogenesis, tetapi juga hingga tahap

spermiogenesisnya karena terlihat penurunan sel spermatozoa berbanding

lurus dengan penurunan sel spermatogenik. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Foa et al. (2006) yang melaporkan bahwa penelitiannya

pada tikus putih jantan dengan umur 40-60 hari (umur dewasa) sebanyak 35

ekor yang diberikan etanol peroral dengan dosis 10%, 1g/kgBB/hr; 10%,

3g/kg/BB/hr; 30%, 1g/kgBB/hr; dan 30%, 3g/kgBB/hr selama 45 hari dapat

menurunkan jumlah sel spermatosit primer, sel spermatogonium, dan sel

Page 15: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

65

Leydig. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2004) pada tikus

jantan yang diberi alkohol 10% secara oral sebanyak 1 ml/hari selama 60 hari

menyebabkan penurunan proses pembentukan spermatozoa sekitar 24% dari

yang normal.

Longgarnya susunan sel spermatogenik tubulus seminiferus testis pada

kelompok II disebabkan oleh adanya kerusakan sel-sel spermatogenik yang

selanjutnya akan berdegenerasi dan difagositosis oleh sel sertoli. Tidak

penuhnya spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus terjadi karena

berkurangnya jumlah sel spermatogenik dan adanya gangguan spermiogenesis

sehingga spermatid terhambat untuk berdiferensiasi menjadi spermatozoa.

Etanol di dalam hati dimetabolisme oleh enzim alkohol dehidrogenase

menjadi asetaldehid. Kemudian, asetaldehid diubah oleh enzim aldehid

dehidrogenase menjadi asam asetat. Reaksi-reaksi tadi dapat membentuk

molekul NADH yang meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga

meningkatkan produksi radikal bebas beroksigen yang dikenal sebagai ROS.

ROS dapat merusak atau menyebabkan degradasi komplit molekul kompleks

essensial dalam sel, termasuk molekul-molekul lemak, protein, dan DNA.

Produksi ROS dapat menyebabkan penurunan level antioksidan alami.

Radikal bebas tersebut menyebabkan stress oksidatif yang akan meningkatkan

peroksidasi lipid dan akan menghasilkan MDA pada testis. Radikal bebas

menyebabkan kerusakan sel-sel spermatogenik dan spermatozoa dengan cara

peroksidasi lipid yang dapat menghancurkan struktur lipid dari membran sel

Page 16: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

66

spermatogenik dan spermatozoa. Peroksidasi dari asam lemak tak jenuh yang

terjadi pada membran sel spermatogenik dan spermatozoa akan meningkatkan

disfungsi sel akibat hilangnya fungsi dan integritas membran (Wu dan

Cederbaum, 2004).

Efek dari radikal bebas akibat etanol tersebut menimbulkan pengaruh negatif

pada proses spermatogenesis melalui sistem hormonal pada hypothalamic

pituitary gonadal axis maupun berpengaruh langsung melalui kerusakan dan

kematian sel. Melalui sistem hormonal, etanol diketahui menghambat GnRH

yang dihasilkan oleh hipotalamus. Selanjutnya GnRH yang menurun akan

mengakibatkan penurunan sintesis dan sekresi LH serta FSH oleh hipofisis

anterior, di samping terjadi penurunan kualitas hormon-hormon tersebut oleh

etanol. Fungsi FSH sebagai pemelihara proses spermatogenesis melalui sel

sertoli dan fungsi LH pada sel leydig baik dalam pertumbuhan serta fungsinya

dalam mensekresi hormon testosteron, ikut terganggu karena pengaruh etanol.

Dengan berkurangnya hormon testosteron, maka proses spermatogenesis pada

pembelahan meiosis dan proses spermiogenesis akan terganggu. Pengaruh

etanol secara langsung dalam menimbulkan kerusakan dan kematian sel-sel

spermatogenik dan sel leydig, diduga diakibatkan oleh asetaldehid yang

merupakan hasil pemecahan etanol oleh sel hati (Foa et al., 2006).

Pada jalur mikrosom (MEOS) metabolisme etanol, terjadi proses konjugasi

dengan antioksidan glutathion yang terdapat dalam hepar sehingga

asetaldehid berubah menjadi asetat yang bersifat lebih polar sehingga dapat

Page 17: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

67

larut dalam air. Namun, karena antioksidan glutathion terdeplesi akibat

pemberian alkohol sehingga fase ini biasanya tidak akan terjadi. Akibatnya

tertumpuklah asetaldehida yang bersifat reaktif dalam sel hepar (Murray et al.,

2003).

Selain mempengaruhi jalur hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak

sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk

mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-

dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan

proses spermatogenesis terganggu. Pada akhirnya akan terjadi penurunan

jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa (Nugroho, 2007).

Penggunaan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas dan dilakukan oleh

masyarakat secara turun temurun karena dianggap lebih aman dan lebih

murah. Pemanfaatan tanaman sebagai salah satu pengobatan alternatif maupun

pengganti obat modern membutuhkan serangkaian pengujian seperti uji

khasiat, toksisitas, sampai uji klinik dengan didukung oleh pengembangan

bentuk sediaan yang lebih baik agar efektifitasnya dapat dioptimalkan (Depkes

RI, 2000). Salah satu tanaman obat yang memiliki prospek pengembangan

yang potensial adalah jahe terutama jahe putih (Zingiber officinale Roscoe)

karena jahe putih memiliki zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas.

Jahe khususnya jahe putih telah diteliti memiliki khasiat sebagai zat

antioksidan, immunomodulatory, antikanker, antiinflamasi, antiapoptosis,

Page 18: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

68

antihiperglikemi, antiangiogenesis, antiarterosklerotik (antilipidemic), dan

antiemetik. Jahe memiliki zat antioksidan yang kuat dan mampu mengurangi

serta mencegah terbentuknya radikal-radikal bebas. Jahe telah dianggap

sebagai obat herbal yang aman dengan efek samping yang sangat minimal.

Sebagai hasil dari aktivitas antioksidannya, jahe putih akan memacu aktivitas

androgenik untuk organ testis sebagai hasil dari peningkatan hormon LH,

FSH, dan testosteron (Ali et al., 2008).

Setelah dilakukan uji statistik dengan uji one way Anova didapatkan

perbedaan yang bermakna p=0,000 (p<0,05) baik jumlah sel spermatogenik

maupun sel spermatozoa. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

pemberian ekstrak etanol jahe putih terhadap gambaran histopatologi testis

mencit jantan yang diinduksi etanol secara signifikan. Pengaruh ekstrak etanol

jahe putih terhadap testis tidak hanya pada tahap spermatogenesis, tetapi juga

hingga tahap spermiogenesis.

Hasil pengamatan baik jumlah sel spermatogenik maupun sel spermatozoa

testis mencit pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan perbedaan yang

signifikan p=0,000 (p<0,05) melalui analisis Post Hoc LSD jika dibandingkan

dengan kelompok II. Nilai ini berarti menunjukkan bahwa mencit yang

diberikan ekstrak etanol jahe putih (dosis 0,14 mg/gBB; 0,28 mg/gBB; dan

0,56 mg/gBB) mampu menangkal radikal bebas akibat induksi etanol tersebut.

Page 19: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

69

Pada kelompok III terlihat proses spermatogenesis dan spermiogenesis tubulus

seminiferus tetap berjalan normal padahal mencit tersebut telah diinduksi

etanol dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 123,56±21,87 sedangkan

sel spermatozoa 62,72±13,57. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD,

memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara kelompok

III dengan kelompok I yaitu p=0,860 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,290

(untuk sel spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih

dosis 0,14 mg/gBB sudah mampu menormalkan proses spermatogenesis dan

spermiogenesis tubulus seminiferus testis mencit yang diinduksi etanol. Hal

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zahedi et al. (2010) yang

menyatakan bahwa ekstrak Zingiber officinale dengan dosis 100 mg/kg/hr

pada tikus (0,14 mg/gBB pada mencit) selama 30 hari dapat menghambat

toksisitas terhadap sistem reproduksi yang disebabkan oleh gentamisin dengan

cara meningkatkan level hormon testosteron (baik testosteron intratestikular

maupun testosteron plasma/serum) sehingga menginduksi proses

spermatogenesis dan spermiogenesis. Penelitian yang dilakukan oleh

Morakinyo et al. (2008) dan Khaki et al. (2009) juga menyatakan bahwa

pemberian ekstrak jahe dosis 100 mg/kg/hr pada tikus selama 20 hari dapat

meningkatkan kualitas spermatozoa, kadar LH dan FSH, serta menurunkan

kadar MDA testis. MDA adalah indikator tidak langsung untuk ROS sebagai

hasil dari peroksidasi lipid yang berefek toksik terhadap fungsi dan kualitas

sperma (Sharma dan Agarwal, 1996).

Page 20: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

70

Spermatogenesis merupakan proses perkembangan sel-sel spermatogenik yang

terdiri dari 3 tahap yaitu tahap spermatositogenesis atau proliferasi, tahap

meiosis, dan spermiogenesis. Spermatogenesis pada mencit memerlukan

waktu selama 35,5 hari setelah menempuh 4 kali daur epitel seminiferus.

Lama satu daur epitel seminiferus pada mencit adalah 207 ± 6 jam (8-9 hari)

sedangkan spermatogenesis pada tikus tidak berbeda jauh dengan mencit,

memerlukan waktu selama 48 hari setelah menempuh 4 kali daur epitel

seminiferus. Lama satu daur epitel seminiferus pada tikus adalah 12 hari

(Johnson dan Everitt, 1995).

Pada penelitian ini, mencit diberi perlakuan hanya selama 10 hari, tetapi sudah

terlihat efek dari ekstrak etanol jahe putih maupun efek toksis etanol itu

sendiri terhadap testis mencit. Dari hasil penelitian Kamtchouing et al. (2002),

ekstrak Zingiber officinale dosis 100 mg/kg/hr pada tikus selama 8 hari

(hampir 1 kali daur epitel seminiferus) sudah mampu meningkatkan kadar

serum testosterone, berat testis, serta aktifitas alfa-glukosida epididimis.

Pada kelompok IV terlihat tubulus seminiferus normal dengan proses

spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I dan III

dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 156,48±15,20 sedangkan sel

spermatozoa 77,08±15,15. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD, terdapat

perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok IV dengan kelompok I

yaitu p=0,047 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,016 (untuk sel

spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih dosis 0,28

Page 21: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

71

mg/gBB tidak hanya mampu menormalkan proses spermatogenesis dan

spermiogenesis tubulus seminiferus testis mencit yang diinduksi etanol, tetapi

juga mampu meningkatkan proses spermatogenesis dan spermiogenesis testis

mencit yang efeknya lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok III.

Menurut Sakr et al. (2009), pemberian secara oral ekstrak jahe dengan dosis

120 mg/kgBB selama 14 hari dapat meningkatkan jumlah sel spermatogenik

tikus jantan yang dipapari oleh fungisida mancozeb, hal ini disebabkan karena

terjadinya peningkatan hormon LH dan testosteron (peningkatan aktivitas

androgenik) pada testis. Penelitian Sakr dan Badawy (2011) juga menyatakan

bahwa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak Zingiber officinale dengan

dosis 120 mg/kgBB dapat memperbaiki kerusakan histologis dan mengurangi

apoptosis testis tikus jantan yang disebabkan oleh metiram.

Menurut Kusumaningati (2009), kemampuan jahe sebagai antioksidan alami

tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di

dalamnya. Jahe memiliki kadar fenol total yang lebih tinggi dibandingkan

kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan shogaol

telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.

Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu

atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat menghambat oksidasi lipid

dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas, sebagai akibat

senyawa tersebut mampu mengubah sifat radikal menjadi nonradikal dan

terjadi perubahan oksidasi radikal oleh antioksidan (Widiyanti, 2009).

Page 22: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

72

Struktur molekul antioksidan tidak hanya memiliki kemampuan melepas atom

hidrogen, tetapi juga mengubah radikal menjadi reaktifitas rendah sehingga

tidak bereaksi dengan lemak (Jati, 2008). Jahe merupakan tanaman kaya akan

senyawa fenolik dan beberapa dari senyawa fenolik mempunyai senyawa

antioksidan yang tinggi serta dapat melindungi sel-sel imun dari kerusakan

oleh senyawa radikal bebas. Antioksidan fenolik pada jahe dapat bereaksi

sebagai scavenger radikal peroksil (ROO*) dan merupakan scavenger yang

kuat terhadap radikal hidroksil (OH*) (Zakhari, 2006). Senyawa fenolik dalam

jahe yang bersifat antioksidan dapat melindungi sel dari kerusakan oksidatif

(Winarsi, 2007).

Menurut penelitian Zancan et al. (2000), jahe dapat meningkatkan aktivitas

antioksidan testikular sehingga memacu aktivitas androgenik pada testis

dimana komponen antioksidan yang dimiliki oleh jahe tersebut berupa

zingerone, gingerdiol, zingiberene, gingerols, and shogoals. Siddaraju dan

Dharmesh (2007) menjelaskan bahwa komponen ginger-free phenolic (GRFP)

dan fraksi ginger hydrolysed phenolic (GRHP) pada jahe dapat menghambat

efek radikal bebas dan peroksidasi lipid serta melindungi DNA. Begitu juga

penelitian yang dilakukan oleh Ansari et al. (2006) yang menyatakan bahwa

ekstrak jahe dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan pada miocardium

yang mengalami nekrosis akibat pengobatan isoproternol pada tikus seperti

katalase, superoxide dismutase, dan glutathion jaringan.

Page 23: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

73

Menurut Gordon (1990), mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi.

Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai

pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama

tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat

memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau

mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan

(A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi

kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju

autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai

autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil.

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida

dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.

Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi

maupun propagasi (gambar 17). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang

terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi

untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida

baru (Gordon, 1990).

Inisiasi : R* + AH ———-> RH + A*

Propagasi : ROO* + AH ——-> ROOH + A*

Gambar 17. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990)

Page 24: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

74

Pada kelompok V terlihat tubulus seminiferus normal dengan proses

spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I, III, ataupun

IV dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 163,76±40,13 sedangkan sel

spermatozoa 90,24±17,94. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD, terdapat

perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok V dengan kelompok I

yaitu p=0,016 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,001 (untuk sel

spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56

mg/gBB mampu meningkatkan proses spermatogenesis dan spermiogenesis

testis mencit yang efeknya lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok III

ataupun IV. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Dharmawan, Febriani, dan Prawati (2011) yang menyatakan bahwa efek

ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap mencit yang diinduksi

etanol dengan konsentrasi dan dosis yang sama ternyata memiliki efek toksik

terhadap organ hati, ginjal, dan lambung.

Pengaruh ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap testis mencit

yang diinduksi etanol ternyata tidak toksik seperti pada organ hati, ginjal, dan

lambung. Hal ini membuktikan bahwa efek suatu obat pada dosis tertentu

tidaklah sama untuk semua organ. Pada organ hati, ginjal, dan lambung, kadar

antioksidan yang tinggi bisa berubah menjadi prooksidan sehingga tidak bisa

menetralkan radikal bebas dan memberikan peluang untuk terjadinya

peroksidasi lipid (Gordon, 1990). Menurut Zick et al. (2008), perbedaan ini

disebabkan karena organ hati, ginjal, dan lambung adalah organ yang

langsung berperan dalam proses farmakokinetika suatu zat yang dianggap obat

Page 25: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

75

ataupun zat xenobiotik dimana proses ini diawali oleh pengabsorbsian oleh

lambung (jika rute secara oral), lalu didistribusikan, dimetabolisme oleh hati

dan ginjal, dan terakhir dieliminasi dari tubuh melalui urin, empedu, atau tinja.

Dengan tidak toksiknya ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB (200

mg/kgBB pada tikus) terhadap testis mencit yang diinduksi etanol, ternyata

sejalan dengan penelitian Morakinyo et al. (2008) yang menyatakan bahwa

ekstrak jahe dengan dosis 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB pada tikus

selama 14 dan 28 hari belum menyebabkan toksik melainkan masih dapat

meningkatkan kualitas spermatozoa, kadar LH dan FSH, serta menurunkan

kadar MDA testis tikus. Qureshi et al. (1989) juga menyatakan bahwa jahe

secara signifikan dapat meningkatkan jumlah sperma serta motilitas sperma di

epididimis dan vas deferens tanpa menghasilkan efek spermatotoksik. Namun,

dengan toksiknya ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap organ

hati, ginjal, dan lambung mencit, tentu pemakaian dosis ini harus dikaji ulang

untuk organ testis.

Menurut penelitian Hafez (2010), minuman jahe juga memiliki aktivitas

antidiabetik dan mampu meningkatkan fertilitas pada tikus jantan yang

mengalami diabetes mellitus. Nassiri et al. (2009) juga menyatakan bahwa

pengobatan tikus yang mengalami diabetes dengan menggunakan jahe selama

20 hari mampu meningkatkan motilitas dan viabilitas sperma serta

menurunkan peroksidasi lipid. Jahe juga mampu menurunkan efek berbahaya

dari pajanan timbal asetat pada organ hati (Khaki dan Khaki, 2010). Menurut

Page 26: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

76

Manju dan Nalini (2005), jahe juga mampu menekan apoptosis kanker kolon

akibat induksi 1,2 dimethylhydrazine.

Berdasarkan penjelasan di atas, pemberian ekstrak etanol jahe putih baik

dosis 0,14 mg/gBB, dosis 0,28 mg/gBB, dan dosis 0,56 mg/gBB mampu

meningkatkan jumlah sel spermatozoa dan sel spermatogenik testis mencit

yang diinduksi etanol. Pengaruh ini disebabkan oleh antioksidan alami yang

terkandung pada jahe dapat meningkatkan aktivitas androgenik pada testis.

Hal ini menandakan bahwa hipotesis penelitian ini diterima bahwa ekstrak

etanol jahe putih memiliki pengaruh terhadap gambaran histopatologi testis

mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY yang diinduksi etanol.

Namun demikian, berdasarkan analisis Post Hoc LSD terdapat perbedaan

jumlah sel spermatogenik yang tidak bermakna (p=0,618) antara ekstrak

etanol jahe putih dosis 0,28 mg/gBB dengan dosis 0,56 mg/gBB. Begitu juga

terhadap jumlah sel spermatozoa, tidak terdapat perbedaan bermakna antara

ekstrak etanol jahe putih dosis 0,14 mg/gBB dengan dosis 0,28 mg/gBB

(p=0,139) dan antara ekstrak etanol jahe putih dosis 0,28 mg/gBB dengan

dosis 0,56 mg/gBB (p=0,173). Hal ini menandakan bahwa dengan semakin

meningkatnya dosis, jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa tidak

terlalu berbeda jauh walaupun secara keseluruhan jumlah rata-rata sel

spermatogenik dan sel spermatozoa mengalami kenaikan dari dosis perlakuan

pertama hingga ketiga. Perubahan yang tidak bermakna yang terjadi antar

kelompok III, IV, dan V ini dapat disebabkan oleh rentang dosis yang tidak

Page 27: 13. IV. Hasil Dan Pembahasan

77

terlalu jauh (seharusnya lebih dari dua kali lipat dari dosis sebelumnya) atau

dapat juga disebabkan oleh waktu pemberian perlakuan yang kurang lama

sehingga pengaruh antar kelompok perlakuan belum dapat terlihat jelas.