13. iv. hasil dan pembahasan
DESCRIPTION
hasilTRANSCRIPT
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran histopatologi testis mencit
Subjek penelitian menggunakan 25 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan
galur DDY berumur 2-3 bulan. Selama satu minggu tiap-tiap kelompok
mencit diadaptasikan sebelum diberi perlakuan. Subjek penelitian dibagi
ke dalam 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit.
Kelompok I (K1) yaitu kontrol normal, hanya diberikan aquades.
Kelompok II (K2) yaitu kontrol negatif, hanya diberikan etanol dengan
dosis 0,28 ml/20gBB. Kelompok III (K3) adalah kelompok perlakuan coba
dengan pemberian ekstrak etanol jahe putih dosis 0,14 mg/gBB,
kelompok IV (K4) dengan dosis jahe putih sebanyak 0,28 mg/gBB, dan
kelompok V (K5) dengan dosis jahe putih sebanyak 0,56 mg/gBB.
Kemudian ketiga kelompok perlakuan ini selang 2 jam diberikan induksi
etanol sebesar dosis 0,28 ml/20gBB. Masing-masing diberikan secara per
oral selama 10 hari.
Kemudian setelah mencit diberi perlakuan selama 10 hari, mencit tersebut
dinarkosis dengan menggunakan kloroform lalu dibuka kantong
52
skrotumnya untuk pengambilan organ testis dan selanjutnya dilakukan
pembuatan preparat. Gambaran histopatologi testis mencit yang diamati
adalah jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa dengan mengamati
1 tubulus seminiferus tiap lapang pandang hingga mencapai 5 lapang
pandang setiap sampel perlakuan pada potongan melintang preparat
histopatologi testis. Jumlah sel spermatogenik dan jumlah sel spermatozoa
dalam 5 lapang pandang masing-masing kemudian dirata-ratakan untuk
tiap sampel. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 400 kali.
Pada kelompok I, tubulus seminiferus terlihat normal seperti pada gambar
11. Sel-sel spermatogenik tersusun rapi dan cukup padat sesuai dengan
tingkat perkembangannya yang dimulai dari sel germinal
(spermatogonium), lalu spermatosit primer, spermatosit sekunder
(umumnya spermatosit sekunder sulit diamati pada preparat histologi),
spermatid, dan berakhir pada spermatozoa. Sel-sel spermatozoa terlihat
cukup penuh pada lumen tubulus seminiferus yang menandakan
spermatogenesis masih berjalan dengan normal. Sel sertoli juga terlihat
pada tubulus seminiferus yang letaknya berdekatan dengan sel-sel
spermatogenik.
53
Gambar 11. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok I dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)
Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.
Sementara itu, pada kelompok II terjadi penurunan spermatogenesis serta
spermiogenesis pada tubulus seminiferusnya seperti pada gambar 12.
Tubulus seminiferus mengalami atrofi yang disebabkan karena penurunan
jumlah sel spermatogenik, hilangnya sel-sel spermatozoa, serta penurunan
diameter tubulus seminiferus. Sel-sel pada tubulus seminiferus banyak
mengalami nekrosis dan terlihat lebih banyak sel sertoli.
6
1
2
3
5
7
4
54
Gambar 12. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok II dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)
Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatozoa; 4. Lumen tubulus seminiferus; 5. Sertoli.
Pada kelompok III, terlihat tubulus seminiferus mirip seperti tubulus
seminiferus normal pada kelompok I. Proses spermatogenesis dan
spermiogenesis tetap berjalan normal padahal mencit tersebut telah
diinduksi etanol (gambar 13).
4
1
2
3
5
55
Gambar 13. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok III dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)
Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.
Jika dibandingkan dengan kelompok IV, terlihat tubulus seminiferus
normal dengan proses spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi
kelompok I dan kelompok III (gambar 14).
1
2
3
5
6
7
4
56
Gambar 14. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok IV dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)
Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.
Sementara pada kelompok V, terlihat tubulus seminiferus normal dengan
proses spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I, III,
ataupun IV (gambar 15).
1
2
3
4
5
6
7
57
Gambar 15. Gambaran tubulus seminiferus testis mencit kelompok V dengan pewarnaan H.E. (pembesaran 400 kali)
Keterangan : 1. Spermatogonium; 2. Spermatosit primer; 3. Spermatosit sekunder ; 4. Spermatid; 5. Spermatozoa; 6. Lumen tubulus seminiferus; 7. Sertoli.
6
1
2
3
4
5
7
58
2. Analisis jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa
Data hasil pengamatan jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa
testis mencit untuk masing-masing kelompok disajikan pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Perhitungan sel spermatogenik tiap kelompok
Kelompok Sampel Rata-rata jumlah sel spermatogenik tiap
sampel (X sampel)
Rata-rata jumlah sel spermatogenik tiap kelompok (X±SD)
I
II
III
IV
V
ABCDE
ABCDE
ABCDE
ABCDE
ABCDE
127,20104,80127,00127,20144,40
50,0045,6042,2029,8038,00
124,00108,40115,60108,80161,00
176,80158,00158,20155,40134,00
228,40175,20148,20139,00128,00
126,12±14,07
41,12±7,71
123,56±21,87
156,48±15,20
163,76±40,13
59
Berdasarkan tabel 3, diperoleh hasil perhitungan jumlah sel spermatogenik
dengan rata-rata pada K1 (126,12±14,07), K2 (41,12±7,71), K3
(123,56±21,87), K4 (156,480±15,20), dan K5 (163,76±40,13).
Tabel 4. Perhitungan sel spermatozoa tiap kelompok
Kelompok Sampel Rata-rata jumlah sel spermatozoa tiap
sampel (X sampel)
Rata-rata jumlah sel spermatozoa tiap kelompok (X±SD)
I
II
III
IV
V
ABCDE
ABCDE
ABCDE
ABCDE
ABCDE
35,6081,2057,6048,6040,00
11,2021,0018,0014,0021,60
84,8057,2050,4055,2066,00
58,4086,2075,4097,2068,20
103,60114,60 72,40 80,60 80,00
52,60±18,07
17,16±4,49
62,72±13,57
77,08±15,15
90,24±17,94
60
Sementara untuk hasil perhitungan jumlah sel spermatozoa dapat dilihat
pada tabel 4, diperoleh rata-rata pada K1 (52,60±18,07), K2 (17,16±4,49),
K3 (62,72±13,57), K4 (77,08±15,15), dan K5 (90,24±17,94).
Gambar 16. Grafik rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa
Berdasarkan grafik pada gambar 16, terlihat penurunan yang signifikan
jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada K2 jika dibandingkan
dengan K1. Rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa untuk
K3 sangat meningkat jika dibandingkan dengan K2. Jika dibandingkan
antara K3 dengan K1, rata-rata jumlah sel spermatogenik dan sel
spermatozoanya tidaklah berbeda jauh. Rata-rata jumlah sel spermatogenik
dan sel spermatozoa pada K5 adalah yang paling tinggi.
Jumlah
Kelompok
61
Rerata jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada tubulus
seminiferus testis mencit tiap kelompok diuji normalitasnya dengan uji
Saphiro-Wilk dan didapatkan keduanya baik jumlah sel spermatogenik
maupun sel spermatozoa semuanya berdistribusi data normal (p>0,05).
Hasil uji varians didapatkan nilai p=0,058 (p>0,05) untuk sel
spermatogenik dan nilai p=0,150 (p>0,05) untuk sel spermatozoa sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa varians data baik jumlah sel
spermatogenik maupun sel spermatozoa adalah sama.
Setelah syarat uji parametrik terpenuhi, dilanjutkan dengan uji one way
ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) baik untuk jumlah sel
spermatogenik maupun sel spermatozoa, yang artinya paling tidak terdapat
perbedaan jumlah sel spermatogenik maupun sel spermatozoa yang
bermakna pada dua kelompok. Analisis data dilanjutkan menggunakan
analisis Post Hoc LSD untuk menilai perbedaan masing–masing kelompok
dan diperoleh hasil sebagai berikut untuk sel spermatogenik pada tabel 5
dan untuk sel spermatozoa pada tabel 6.
Tabel 5. Hasil uji statistik jumlah sel spermatogenik perbandingan antar kelompok (Post Hoc LSD)
Kelompok I II III IV VI - 0,000* 0,860 0,047* 0,016*II 0,000* - 0,000* 0,000* 0,000*III 0,860 0,000* - 0,033* 0,011*IV 0,047* 0,000* 0,033* - 0,618V 0,016* 0,000* 0.011* 0,618 -
*Hasil analisis Post Hoc LSD bermakna jika p<0,05
62
Berdasarkan analisis Post Hoc LSD pada tabel 5, didapatkan hasil untuk
jumlah sel spermatogenik bahwa terdapat perbedaan bermakna antara K1
dengan kelompok lainnya kecuali dengan K3. Perbedaan bermakna
tersebut yaitu K1 dengan K2 (p=0,000), K1 dengan K4 (p=0,047), dan K1
dengan K5 (p=0,016). Sementara K1 dengan K3 terdapat perbedaan yang
tidak bermakna (p=0,860). Lalu juga ada perbedaan bermakna antara K2
dengan seluruh kelompok lainnya yaitu K1, K3, K4, dan K5 (p=0,000).
Selain itu, terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara K4 dengan K5
(p=0,618).
Tabel 6. Hasil uji statistik jumlah sel spermatozoa perbandingan antar kelompok (Post Hoc LSD)
Kelompok I II III IV VI - 0,001* 0,290 0,016* 0,001*II 0,001* - 0,000* 0,000* 0,000*III 0,290 0,000* - 0,139 0,008*IV 0,016* 0,000* 0,139 - 0,173V 0,001* 0,000* 0.008* 0,173 -
*Hasil analisis Post Hoc LSD bermakna jika p<0,05
Berdasarkan analisis Post Hoc LSD pada tabel 6, didapatkan hasil untuk
jumlah sel spermatozoa bahwa terdapat perbedaan bermakna antara K1
dengan kelompok lainnya kecuali dengan K3. Perbedaan bermakna
tersebut yaitu K1 dengan K2 (p=0,001), K1 dengan K4 (p=0,016), dan K1
dengan K5 (p=0,001). Sementara K1 dengan K3 terdapat perbedaan yang
tidak bermakna (p=0,290). Lalu juga ada perbedaan bermakna antara K2
dengan seluruh kelompok lainnya yaitu K2 dengan K1 (p=0,001), K2
dengan K3 (p=0,000), K2 dengan K4 (p=0,000), dan K2 dengan K5
63
(p=0,000). Selain itu, terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara K3
dengan K4 (p=0,139) dan K4 dengan K5 (p=0,173).
B. Pembahasan
Pada hasil pengamatan mikroskopis gambaran histopatologi testis mencit
didapatkan bahwa pada kelompok I, tubulus seminiferus testis mencit dalam
keadaan normal. Sel-sel spermatogenik tersusun rapi dan cukup padat sesuai
dengan tingkat perkembangannya yang dimulai dari sel germinal
(spermatogonium), lalu spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid,
dan berakhir pada spermatozoa. Sel-sel spermatozoa terlihat cukup penuh
pada lumen tubulus seminiferus, yang menandakan spermatogenesis masih
berjalan dengan normal. Perhitungan rata-rata jumlah sel spermatogenik pada
kelompok kontrol normal adalah 126,12±14,07 sedangkan rata-rata jumlah sel
spermatozoa adalah 52,60±18,07.
Tiap mencit memiliki rata-rata jumlah sel spermatogenik dan spermatozoa
yang berbeda-beda, tetapi dapat dilihat penyebaran jumlah sel spermatogenik
dan spermatozoa pada kelompok I adalah hampir sama. Hal ini menandakan
bahwa semua mencit pada kelompok I dalam keadaan sehat (terutama dalam
hal sistem reproduksi) dan tidak mengalami gangguan faktor eksternal seperti
rangsangan psikis berupa stres akibat perubahan lingkungan yang dialami
mencit.
64
Sagi (1994) menyebutkan secara garis besar aktivitas testis dalam kaitannya
dengan spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal antara lain temperatur tubuh, lokasi testis, dan kontrol
hipofisis. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah rangsang psikis (stres),
dan perubahan-perubahan lingkungan seperti temperatur lingkungan,
makanan, zat-zat kimia tertentu, dan kontak-kontak sosial. Hal inilah yang
menyebabkan jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa pada tiap mencit
berbeda-beda.
Pada kelompok II terjadi penurunan spermatogenesis serta spermiogenesis
yang bermakna pada tubulus seminiferusnya, dimana rata-rata jumlah sel
spermatogeniknya 41,12±7,71 sedangkan sel spermatozoa 17,16±4,49.
Berdasarkan analisis Post Hoc LSD, terdapat perbedaan yang bermakna
(p<0,05) jumlah sel spermatogenik (p=0,000) dan sel spermatozoa (p=0,001)
antara kelompok II dengan kelompok I sehingga hal ini membuktikan bahwa
etanol dapat menyebabkan kerusakan testis. Etanol tidak hanya mampu
mengganggu proses spermatogenesis, tetapi juga hingga tahap
spermiogenesisnya karena terlihat penurunan sel spermatozoa berbanding
lurus dengan penurunan sel spermatogenik. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Foa et al. (2006) yang melaporkan bahwa penelitiannya
pada tikus putih jantan dengan umur 40-60 hari (umur dewasa) sebanyak 35
ekor yang diberikan etanol peroral dengan dosis 10%, 1g/kgBB/hr; 10%,
3g/kg/BB/hr; 30%, 1g/kgBB/hr; dan 30%, 3g/kgBB/hr selama 45 hari dapat
menurunkan jumlah sel spermatosit primer, sel spermatogonium, dan sel
65
Leydig. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2004) pada tikus
jantan yang diberi alkohol 10% secara oral sebanyak 1 ml/hari selama 60 hari
menyebabkan penurunan proses pembentukan spermatozoa sekitar 24% dari
yang normal.
Longgarnya susunan sel spermatogenik tubulus seminiferus testis pada
kelompok II disebabkan oleh adanya kerusakan sel-sel spermatogenik yang
selanjutnya akan berdegenerasi dan difagositosis oleh sel sertoli. Tidak
penuhnya spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus terjadi karena
berkurangnya jumlah sel spermatogenik dan adanya gangguan spermiogenesis
sehingga spermatid terhambat untuk berdiferensiasi menjadi spermatozoa.
Etanol di dalam hati dimetabolisme oleh enzim alkohol dehidrogenase
menjadi asetaldehid. Kemudian, asetaldehid diubah oleh enzim aldehid
dehidrogenase menjadi asam asetat. Reaksi-reaksi tadi dapat membentuk
molekul NADH yang meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga
meningkatkan produksi radikal bebas beroksigen yang dikenal sebagai ROS.
ROS dapat merusak atau menyebabkan degradasi komplit molekul kompleks
essensial dalam sel, termasuk molekul-molekul lemak, protein, dan DNA.
Produksi ROS dapat menyebabkan penurunan level antioksidan alami.
Radikal bebas tersebut menyebabkan stress oksidatif yang akan meningkatkan
peroksidasi lipid dan akan menghasilkan MDA pada testis. Radikal bebas
menyebabkan kerusakan sel-sel spermatogenik dan spermatozoa dengan cara
peroksidasi lipid yang dapat menghancurkan struktur lipid dari membran sel
66
spermatogenik dan spermatozoa. Peroksidasi dari asam lemak tak jenuh yang
terjadi pada membran sel spermatogenik dan spermatozoa akan meningkatkan
disfungsi sel akibat hilangnya fungsi dan integritas membran (Wu dan
Cederbaum, 2004).
Efek dari radikal bebas akibat etanol tersebut menimbulkan pengaruh negatif
pada proses spermatogenesis melalui sistem hormonal pada hypothalamic
pituitary gonadal axis maupun berpengaruh langsung melalui kerusakan dan
kematian sel. Melalui sistem hormonal, etanol diketahui menghambat GnRH
yang dihasilkan oleh hipotalamus. Selanjutnya GnRH yang menurun akan
mengakibatkan penurunan sintesis dan sekresi LH serta FSH oleh hipofisis
anterior, di samping terjadi penurunan kualitas hormon-hormon tersebut oleh
etanol. Fungsi FSH sebagai pemelihara proses spermatogenesis melalui sel
sertoli dan fungsi LH pada sel leydig baik dalam pertumbuhan serta fungsinya
dalam mensekresi hormon testosteron, ikut terganggu karena pengaruh etanol.
Dengan berkurangnya hormon testosteron, maka proses spermatogenesis pada
pembelahan meiosis dan proses spermiogenesis akan terganggu. Pengaruh
etanol secara langsung dalam menimbulkan kerusakan dan kematian sel-sel
spermatogenik dan sel leydig, diduga diakibatkan oleh asetaldehid yang
merupakan hasil pemecahan etanol oleh sel hati (Foa et al., 2006).
Pada jalur mikrosom (MEOS) metabolisme etanol, terjadi proses konjugasi
dengan antioksidan glutathion yang terdapat dalam hepar sehingga
asetaldehid berubah menjadi asetat yang bersifat lebih polar sehingga dapat
67
larut dalam air. Namun, karena antioksidan glutathion terdeplesi akibat
pemberian alkohol sehingga fase ini biasanya tidak akan terjadi. Akibatnya
tertumpuklah asetaldehida yang bersifat reaktif dalam sel hepar (Murray et al.,
2003).
Selain mempengaruhi jalur hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak
sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk
mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-
dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan
proses spermatogenesis terganggu. Pada akhirnya akan terjadi penurunan
jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa (Nugroho, 2007).
Penggunaan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas dan dilakukan oleh
masyarakat secara turun temurun karena dianggap lebih aman dan lebih
murah. Pemanfaatan tanaman sebagai salah satu pengobatan alternatif maupun
pengganti obat modern membutuhkan serangkaian pengujian seperti uji
khasiat, toksisitas, sampai uji klinik dengan didukung oleh pengembangan
bentuk sediaan yang lebih baik agar efektifitasnya dapat dioptimalkan (Depkes
RI, 2000). Salah satu tanaman obat yang memiliki prospek pengembangan
yang potensial adalah jahe terutama jahe putih (Zingiber officinale Roscoe)
karena jahe putih memiliki zat antioksidan yang dapat melawan radikal bebas.
Jahe khususnya jahe putih telah diteliti memiliki khasiat sebagai zat
antioksidan, immunomodulatory, antikanker, antiinflamasi, antiapoptosis,
68
antihiperglikemi, antiangiogenesis, antiarterosklerotik (antilipidemic), dan
antiemetik. Jahe memiliki zat antioksidan yang kuat dan mampu mengurangi
serta mencegah terbentuknya radikal-radikal bebas. Jahe telah dianggap
sebagai obat herbal yang aman dengan efek samping yang sangat minimal.
Sebagai hasil dari aktivitas antioksidannya, jahe putih akan memacu aktivitas
androgenik untuk organ testis sebagai hasil dari peningkatan hormon LH,
FSH, dan testosteron (Ali et al., 2008).
Setelah dilakukan uji statistik dengan uji one way Anova didapatkan
perbedaan yang bermakna p=0,000 (p<0,05) baik jumlah sel spermatogenik
maupun sel spermatozoa. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pemberian ekstrak etanol jahe putih terhadap gambaran histopatologi testis
mencit jantan yang diinduksi etanol secara signifikan. Pengaruh ekstrak etanol
jahe putih terhadap testis tidak hanya pada tahap spermatogenesis, tetapi juga
hingga tahap spermiogenesis.
Hasil pengamatan baik jumlah sel spermatogenik maupun sel spermatozoa
testis mencit pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan perbedaan yang
signifikan p=0,000 (p<0,05) melalui analisis Post Hoc LSD jika dibandingkan
dengan kelompok II. Nilai ini berarti menunjukkan bahwa mencit yang
diberikan ekstrak etanol jahe putih (dosis 0,14 mg/gBB; 0,28 mg/gBB; dan
0,56 mg/gBB) mampu menangkal radikal bebas akibat induksi etanol tersebut.
69
Pada kelompok III terlihat proses spermatogenesis dan spermiogenesis tubulus
seminiferus tetap berjalan normal padahal mencit tersebut telah diinduksi
etanol dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 123,56±21,87 sedangkan
sel spermatozoa 62,72±13,57. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD,
memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara kelompok
III dengan kelompok I yaitu p=0,860 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,290
(untuk sel spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih
dosis 0,14 mg/gBB sudah mampu menormalkan proses spermatogenesis dan
spermiogenesis tubulus seminiferus testis mencit yang diinduksi etanol. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zahedi et al. (2010) yang
menyatakan bahwa ekstrak Zingiber officinale dengan dosis 100 mg/kg/hr
pada tikus (0,14 mg/gBB pada mencit) selama 30 hari dapat menghambat
toksisitas terhadap sistem reproduksi yang disebabkan oleh gentamisin dengan
cara meningkatkan level hormon testosteron (baik testosteron intratestikular
maupun testosteron plasma/serum) sehingga menginduksi proses
spermatogenesis dan spermiogenesis. Penelitian yang dilakukan oleh
Morakinyo et al. (2008) dan Khaki et al. (2009) juga menyatakan bahwa
pemberian ekstrak jahe dosis 100 mg/kg/hr pada tikus selama 20 hari dapat
meningkatkan kualitas spermatozoa, kadar LH dan FSH, serta menurunkan
kadar MDA testis. MDA adalah indikator tidak langsung untuk ROS sebagai
hasil dari peroksidasi lipid yang berefek toksik terhadap fungsi dan kualitas
sperma (Sharma dan Agarwal, 1996).
70
Spermatogenesis merupakan proses perkembangan sel-sel spermatogenik yang
terdiri dari 3 tahap yaitu tahap spermatositogenesis atau proliferasi, tahap
meiosis, dan spermiogenesis. Spermatogenesis pada mencit memerlukan
waktu selama 35,5 hari setelah menempuh 4 kali daur epitel seminiferus.
Lama satu daur epitel seminiferus pada mencit adalah 207 ± 6 jam (8-9 hari)
sedangkan spermatogenesis pada tikus tidak berbeda jauh dengan mencit,
memerlukan waktu selama 48 hari setelah menempuh 4 kali daur epitel
seminiferus. Lama satu daur epitel seminiferus pada tikus adalah 12 hari
(Johnson dan Everitt, 1995).
Pada penelitian ini, mencit diberi perlakuan hanya selama 10 hari, tetapi sudah
terlihat efek dari ekstrak etanol jahe putih maupun efek toksis etanol itu
sendiri terhadap testis mencit. Dari hasil penelitian Kamtchouing et al. (2002),
ekstrak Zingiber officinale dosis 100 mg/kg/hr pada tikus selama 8 hari
(hampir 1 kali daur epitel seminiferus) sudah mampu meningkatkan kadar
serum testosterone, berat testis, serta aktifitas alfa-glukosida epididimis.
Pada kelompok IV terlihat tubulus seminiferus normal dengan proses
spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I dan III
dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 156,48±15,20 sedangkan sel
spermatozoa 77,08±15,15. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD, terdapat
perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok IV dengan kelompok I
yaitu p=0,047 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,016 (untuk sel
spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih dosis 0,28
71
mg/gBB tidak hanya mampu menormalkan proses spermatogenesis dan
spermiogenesis tubulus seminiferus testis mencit yang diinduksi etanol, tetapi
juga mampu meningkatkan proses spermatogenesis dan spermiogenesis testis
mencit yang efeknya lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok III.
Menurut Sakr et al. (2009), pemberian secara oral ekstrak jahe dengan dosis
120 mg/kgBB selama 14 hari dapat meningkatkan jumlah sel spermatogenik
tikus jantan yang dipapari oleh fungisida mancozeb, hal ini disebabkan karena
terjadinya peningkatan hormon LH dan testosteron (peningkatan aktivitas
androgenik) pada testis. Penelitian Sakr dan Badawy (2011) juga menyatakan
bahwa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak Zingiber officinale dengan
dosis 120 mg/kgBB dapat memperbaiki kerusakan histologis dan mengurangi
apoptosis testis tikus jantan yang disebabkan oleh metiram.
Menurut Kusumaningati (2009), kemampuan jahe sebagai antioksidan alami
tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang terkandung di
dalamnya. Jahe memiliki kadar fenol total yang lebih tinggi dibandingkan
kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan shogaol
telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.
Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu
atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol dapat menghambat oksidasi lipid
dengan menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas, sebagai akibat
senyawa tersebut mampu mengubah sifat radikal menjadi nonradikal dan
terjadi perubahan oksidasi radikal oleh antioksidan (Widiyanti, 2009).
72
Struktur molekul antioksidan tidak hanya memiliki kemampuan melepas atom
hidrogen, tetapi juga mengubah radikal menjadi reaktifitas rendah sehingga
tidak bereaksi dengan lemak (Jati, 2008). Jahe merupakan tanaman kaya akan
senyawa fenolik dan beberapa dari senyawa fenolik mempunyai senyawa
antioksidan yang tinggi serta dapat melindungi sel-sel imun dari kerusakan
oleh senyawa radikal bebas. Antioksidan fenolik pada jahe dapat bereaksi
sebagai scavenger radikal peroksil (ROO*) dan merupakan scavenger yang
kuat terhadap radikal hidroksil (OH*) (Zakhari, 2006). Senyawa fenolik dalam
jahe yang bersifat antioksidan dapat melindungi sel dari kerusakan oksidatif
(Winarsi, 2007).
Menurut penelitian Zancan et al. (2000), jahe dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan testikular sehingga memacu aktivitas androgenik pada testis
dimana komponen antioksidan yang dimiliki oleh jahe tersebut berupa
zingerone, gingerdiol, zingiberene, gingerols, and shogoals. Siddaraju dan
Dharmesh (2007) menjelaskan bahwa komponen ginger-free phenolic (GRFP)
dan fraksi ginger hydrolysed phenolic (GRHP) pada jahe dapat menghambat
efek radikal bebas dan peroksidasi lipid serta melindungi DNA. Begitu juga
penelitian yang dilakukan oleh Ansari et al. (2006) yang menyatakan bahwa
ekstrak jahe dapat meningkatkan aktivitas enzim antioksidan pada miocardium
yang mengalami nekrosis akibat pengobatan isoproternol pada tikus seperti
katalase, superoxide dismutase, dan glutathion jaringan.
73
Menurut Gordon (1990), mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai
pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama
tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau
mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan
(A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi
kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil.
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida
dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi (gambar 17). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang
terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi
untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida
baru (Gordon, 1990).
Inisiasi : R* + AH ———-> RH + A*
Propagasi : ROO* + AH ——-> ROOH + A*
Gambar 17. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990)
74
Pada kelompok V terlihat tubulus seminiferus normal dengan proses
spermatogenesis dan spermiogenesis yang melebihi kelompok I, III, ataupun
IV dimana rata-rata jumlah sel spermatogeniknya 163,76±40,13 sedangkan sel
spermatozoa 90,24±17,94. Setelah dilakukan analisis Post Hoc LSD, terdapat
perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok V dengan kelompok I
yaitu p=0,016 (untuk sel spermatogenik) dan p=0,001 (untuk sel
spermatozoa). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56
mg/gBB mampu meningkatkan proses spermatogenesis dan spermiogenesis
testis mencit yang efeknya lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok III
ataupun IV. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dharmawan, Febriani, dan Prawati (2011) yang menyatakan bahwa efek
ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap mencit yang diinduksi
etanol dengan konsentrasi dan dosis yang sama ternyata memiliki efek toksik
terhadap organ hati, ginjal, dan lambung.
Pengaruh ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap testis mencit
yang diinduksi etanol ternyata tidak toksik seperti pada organ hati, ginjal, dan
lambung. Hal ini membuktikan bahwa efek suatu obat pada dosis tertentu
tidaklah sama untuk semua organ. Pada organ hati, ginjal, dan lambung, kadar
antioksidan yang tinggi bisa berubah menjadi prooksidan sehingga tidak bisa
menetralkan radikal bebas dan memberikan peluang untuk terjadinya
peroksidasi lipid (Gordon, 1990). Menurut Zick et al. (2008), perbedaan ini
disebabkan karena organ hati, ginjal, dan lambung adalah organ yang
langsung berperan dalam proses farmakokinetika suatu zat yang dianggap obat
75
ataupun zat xenobiotik dimana proses ini diawali oleh pengabsorbsian oleh
lambung (jika rute secara oral), lalu didistribusikan, dimetabolisme oleh hati
dan ginjal, dan terakhir dieliminasi dari tubuh melalui urin, empedu, atau tinja.
Dengan tidak toksiknya ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB (200
mg/kgBB pada tikus) terhadap testis mencit yang diinduksi etanol, ternyata
sejalan dengan penelitian Morakinyo et al. (2008) yang menyatakan bahwa
ekstrak jahe dengan dosis 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB pada tikus
selama 14 dan 28 hari belum menyebabkan toksik melainkan masih dapat
meningkatkan kualitas spermatozoa, kadar LH dan FSH, serta menurunkan
kadar MDA testis tikus. Qureshi et al. (1989) juga menyatakan bahwa jahe
secara signifikan dapat meningkatkan jumlah sperma serta motilitas sperma di
epididimis dan vas deferens tanpa menghasilkan efek spermatotoksik. Namun,
dengan toksiknya ekstrak etanol jahe putih dosis 0,56 mg/gBB terhadap organ
hati, ginjal, dan lambung mencit, tentu pemakaian dosis ini harus dikaji ulang
untuk organ testis.
Menurut penelitian Hafez (2010), minuman jahe juga memiliki aktivitas
antidiabetik dan mampu meningkatkan fertilitas pada tikus jantan yang
mengalami diabetes mellitus. Nassiri et al. (2009) juga menyatakan bahwa
pengobatan tikus yang mengalami diabetes dengan menggunakan jahe selama
20 hari mampu meningkatkan motilitas dan viabilitas sperma serta
menurunkan peroksidasi lipid. Jahe juga mampu menurunkan efek berbahaya
dari pajanan timbal asetat pada organ hati (Khaki dan Khaki, 2010). Menurut
76
Manju dan Nalini (2005), jahe juga mampu menekan apoptosis kanker kolon
akibat induksi 1,2 dimethylhydrazine.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemberian ekstrak etanol jahe putih baik
dosis 0,14 mg/gBB, dosis 0,28 mg/gBB, dan dosis 0,56 mg/gBB mampu
meningkatkan jumlah sel spermatozoa dan sel spermatogenik testis mencit
yang diinduksi etanol. Pengaruh ini disebabkan oleh antioksidan alami yang
terkandung pada jahe dapat meningkatkan aktivitas androgenik pada testis.
Hal ini menandakan bahwa hipotesis penelitian ini diterima bahwa ekstrak
etanol jahe putih memiliki pengaruh terhadap gambaran histopatologi testis
mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY yang diinduksi etanol.
Namun demikian, berdasarkan analisis Post Hoc LSD terdapat perbedaan
jumlah sel spermatogenik yang tidak bermakna (p=0,618) antara ekstrak
etanol jahe putih dosis 0,28 mg/gBB dengan dosis 0,56 mg/gBB. Begitu juga
terhadap jumlah sel spermatozoa, tidak terdapat perbedaan bermakna antara
ekstrak etanol jahe putih dosis 0,14 mg/gBB dengan dosis 0,28 mg/gBB
(p=0,139) dan antara ekstrak etanol jahe putih dosis 0,28 mg/gBB dengan
dosis 0,56 mg/gBB (p=0,173). Hal ini menandakan bahwa dengan semakin
meningkatnya dosis, jumlah sel spermatogenik dan sel spermatozoa tidak
terlalu berbeda jauh walaupun secara keseluruhan jumlah rata-rata sel
spermatogenik dan sel spermatozoa mengalami kenaikan dari dosis perlakuan
pertama hingga ketiga. Perubahan yang tidak bermakna yang terjadi antar
kelompok III, IV, dan V ini dapat disebabkan oleh rentang dosis yang tidak
77
terlalu jauh (seharusnya lebih dari dua kali lipat dari dosis sebelumnya) atau
dapat juga disebabkan oleh waktu pemberian perlakuan yang kurang lama
sehingga pengaruh antar kelompok perlakuan belum dapat terlihat jelas.