14 - web viewpemateri : kemenkpk gembel ... dan perbedaan dalam menjalankan putusan ini juga yang...
TRANSCRIPT
“MATERI DISKUSI HUKUM ACARA PERDATA OLEH KEMENTRIAN KUNJUNGAN
PENGADILAN DAN KEAKRABAN PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR”
SENIN, 14-09-2015
PEMBICARA : 1. PASKAH PASARIBU (2012)
2. BEFRY SEMBIRING (2012)
PEMATERI : KEMENKPK GEMBEL
“Letak dan Posisi Para Pihak Dalam Hal Persidangan Acara Perdata"
A B C
D E
F
G I
H
1
A. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Kasus Perdata (dalam Ruang Lingkup Acara
Perdata).
Dalam Gugatan Contentiosa atau yang lebih dikenal dengan Gugatan Perdata, yang
berarti gugatan yang mengandung sengketa di antara pihak-pihak yang berperkara. Dikenal
beberapa istilah para pihak yang terlibat dalam suatu Gugatan Perdata yaitu:
1. Penggugat
Yakni, orang yang merasa hak-hak hukumnya dilanggar, dan jika terdiri dari beberapa
pihak yang merasa sama-sama dilanggar haknya, dapat juga mengajukan gugatan bersama-sama
sehingga disebut juga Para Penggugat.
2. Tergugat
Yakni orang atau para pihak yang disangkakan telah melanggar hak-hak hukum
penggugat, jika hanya ada satu tergugat cukup disebut tergugat, namun jika ada beberapa maka
masing-masing ditulis Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dst dengan didasari oleh derajat
hubugngan masing-masing dalam menuliskan siapa Tergugat I, siapa Tergugat II, dst. Dan
secara bersama-sama keseluruhannya disebut Para Tergugat.
3. Turut Tergugat
Yakni pihak lain yang turut digugat dengan tujuan untuk menjadikan gugatan tersebut
terlihat lengkap. Misalnya dalam perkara perbuatan wanprestasi, maka turut tergugat ini
bukanlah pihak yang melakukan wanprestasi tersebut, namun dia terkait dalam kronologi
kejadian perkara misalnya. Sehingga dalam putusan hakim nantinya, jika gugatan penggugat
dikabulkan maka turut tergugat tidak ikut untuk menjalankan hukuman namun hanya tunduk dan
patuh terhadap putussan tersebut, dan perbedaan dalam menjalankan putusan ini juga yang
menjadi perbedaan mendasar antara Tergugat dengan Turut Tergugat.
4. Penggugat Intervensi / Tergugat Intervensi
Jika dalam perkara yang sedang berlangsung, ada pihak ketiga yang merasa memiliki
kepentingan terhadap perkara tersebut, maka dia dapat melibatkan dirinya atau dilibatkan oleh
salah satu pihak dalam perkara tersebut. Inilah yang biasa disebut dengan Intervensi. Dalam
melakukan intervensi, pihak ketiga dapat melakukannya sebagai Penggugat Intervensi atau
Tergugat Intervensi. Pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses berperkara ini biasanya dalam
bentuk Voeging, Intervensi/Tussenkomst, dan Vrijwaring. Ketiganya ini tidak diatur di dalam
HIR maupun RBG, namun aturannya terdapat di dalam Rv. Dan beberapa yurisprudensi.
2
1. Voeging (menyertai)
Pasal 279 Rv berbunyi “Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara
perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri
atau campur tangan”. Di dalam Voeging pihak yang ikut serta akan menyertakan diri kepada
salah satu pihak, apakah itu pihak tergugat ataupun pihak penggugat.
2. Intervensi / Tussenkomst
Yurisprudensi MA No. 731 K/Sip/1975, menyatakan “Intervensi (i.c. tussenkomst)
adalah fihak ke-3 yang tadinya berdiri di luar acara sengketa ini, kemudian masuk dalam proses
untuk membela kepentingannya sendiri”.
3. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)
Pasal 70 Rv berbunyi “jika seorang tergugat berpendapat ada alasan untuk memanggil
seseorang untuk menanggungnya dan pemanggilan tidak dilakukan sebelum hari siding
pemeriksaan perkaranya, maka ia pada hari yang ditentukan untuk mengadakan bantahan harus
mengajukan kesimpulan disertai alasan-alasan untuk itu sebelum bantahan dilakukan.
B. Alat Bukti Beracara dalam Perdata
Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai
membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam
tahap pembuktian. Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk
menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang
memeriksa perkara.
Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut (1866
KUHPerdata dan 164 HIR):
1. Bukti surat (tertulis)
2. Bukti saksi.
3. Persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
1. Bukti Surat
Bukti surat adalah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu
3
peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam
surat sebagai berikut.
1.Surat biasa;
2.Akta otentik;
3.Akta di bawah tangan.
2. Bukti Saksi
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Saksi
adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa.
Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada
pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.
Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut.
– Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
– Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar,
diketahui, dan dialami sendiri.
– Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
– Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
– Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan
dari saksi.
– Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).
– Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu
saksi harus didukung dengan alat bukti lain.
3. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau majelis hakim
terhadap suatu peristiwa yang terang, nyata, ke arah peristiwa yang belum terang kenyataannya.
Dengan kata lain persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang sudah
terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti. Dasarnya ada di pasal 1915 KUHPerdata kata
lain persangkaan adalah Vermoedem yang berarti dugaan.
4
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut.
A. Persangkaan Undang-Undang
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan
adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran
sebelumnya telah dibayar.
B. Persangkaan Hakim
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus.
Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
4. Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata
pasal 1923-1928. Pengakuan terhadap suatu peristiwa yang didalilkan dianggap telah terbukti
adanya peristiwa yang didalilkan tersebut. Pengakuan ada dua macam sebagai berikut.
A. Pengakuan di depan sidang.
Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak
dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja.
B. Pengakuan di luar sidang.
Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas
tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak
perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan
pembuktian atas pengakuan tersebut.
5. Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada
Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar. Apabila
sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak.
Sumpah terdiri dari:
a. Sumpah promissoir
5
Sumpah promissoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
b. Sumpah confirmatoir
Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu
yang benar.
Sumpah confirmatoir terdiri dari:
– Sumpah supletoir (155 HIR / Pelengkap)
– Sumpah decisoir (156 HIR / Pemutus)
– Sumpah aestimatoir (155 HIR / Penaksir)
6. Pemeriksaan Setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan
setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya
memiliki maksud sebagai berikut :
Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan
ke tempat objek yang diperkarakan. Pemeriksaan Setempat untuk melihat objek yang didalilkan
dan bisa berasal dari penggugat dan bisa juga dari tergugat.
a. Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat
barang itu terletak.
b. Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota Majelis yang
bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.
7. Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami
dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan.
Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu.
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia:
A.Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi;
6
B.Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman;
C.Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people). Dari pengertian diatas tidak semua
orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa,
spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
C.Asas-Asas dalam BerAcara dalam Kasus Perdata
1. Peradilan Bebas dari Campur Tangan Pihak-pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang Judicieel menurut Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman tidak mutlak sifatnya, karena tugas dari pada hakim adalah menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum serta asas-asas
yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga
keputusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat.
2. Asas Obyektifitas
Asas tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang No.48 tahun 2009). Didalam memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak.
3. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Sederhana maksudnya adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Cepat menunjukan pada jalannya pengadilan, hal ini bukan hanya jalnnya sidang saja tetapi
penyusunan berita acara pemeriksaan di persidangan samapai dengan penandatanganan putusan
oleh hakim.
4. Gugatan/permohonan Dapat Diajukan dengan Surat atau Lisan
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan gugatan perdata/tuntutan sipil yang dalam tingkat
pertama masuk wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat gugatan/surat
permintaan, yang telah ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut
7
Pasal 123 HIR kepada ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat
tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat tergugat sebenarnya berdiam.
Dengan demikian secara jelas Hukum Acara Perdata mengharuskan gugatan tertulis. Sedangkan
mengenai gugatan lisan pasal 120 HIR mengatakan, bilamana penggugat tidak dapat menulis
maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan negeri. Ketua Pengadilan
negeri tersebut membuat catatan atau menyuruh membuat catatan tentang gugatan itu.
5. Inisiatif berperkara diambil oleh Pihak yang Berkepentingan
Dalam Hukum Acara Perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak suatu perkara harus diambil
oleh sesorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Ini
berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana pada umumnya, terkecuali delik aduan. Oleh karena
dalam Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai
pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, selah perkara diajukan, dalam batas-batas
tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya.
6. Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan
Soepomo berpendapat: berlainan dari sistem RV (Reglement Rechtsvordering) yang pada
pokoknya mengandung prinsip pasivitet dari hakim, maka IR mengharuskan hakim aktif dari
pemulaan hingga akhir proses. Pasal 119 HIR mengatakan, ketua pengadilan negeri berwenang
untuk memberi nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kepada kuasanya dalam hal
mengajukan guguatannya itu. Pasal 132 HIR mengatakan, jika menurut pertimbangan ketua
supaya perkara berjalan dengan baik, dan teratur, ketua berwenang pada waktu memeriksa
perkara memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan kepada mereka tentang
upaya hukum dan alat bukti, yang dapat dipergunakan oleh mereka. Selaku pimpinan sidang
hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekadar
alat dari pada para pihak, dan harus berusaha sekeras-keranya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya keadilan.
7. Beracara dikenakan Biaya
8
Pasal 121 ayat (4) HIR/ 145 Ayat (4) RGB yaitu: mendaftar dalam daftar seperti yang
dimaksud dalam ayat pertama, tidak boleh dilakukan sebelum oleh penggugat dibayar lebih
dahulu kepada Panitera sejumlah uang yang besarnya untuk sementara diperkarakan oleh ketua
pengadilan negeri menurut keadaan perkara, untuk ongkos panitera melakukan panggilan serta
pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua pihak dan harga materi yang akan dipergunakan;
jumlah yang akan dibayar lebih dahulu akan diperhitungkan.
8. Para Pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang Kuasa
Dengan demikian tidak diwajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di Persidangan dapat terjadi secara langsung terhadap pihak yang
berkepentingan. Namun berdasarkan pasal 123 HIR/147 RGB para pihak dapat meminta bantuan
atau mewakilkan kepada seorang kuasa. Berbeda dengan RV (Hukum Acara Perdata bagi
Golongan Eropa) mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain (procureur) dalam
beracara dimuka pengadilan. Perwakilan ini merupakan suatu keharusan dengan akibat batalnya
tuntutan hak. (pasal 106 (1) RV) atau diputus diluar hadir tergugat (pasal 109 RV) apabila para
pihak ternyata tidak diwakili. Baik dalam HIR maupun RGB tidak ada ketentuan yang mengatur
bahwa seorang pembantu atau wakil adalah seorang ahli atau sarjana hukum. Kenyataan dewasa
ini di dalam praktek sebagian besar seorang kuasa adalah sarjana hukum, terutama di kota-kota
besar.
9. Sifat terbukanya Persidangan
Sifat sidang terbuka untuk umum artinya setiap orang dibolehkan hadir dan menyaksikan
pemeriksaan di persidangan..
10. Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman). Hal ini mengandung pengertian bahwa pihak-pihak yang berperkara harus sama-
sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi
kesempatan untuk memberi pendapat. Para pihak harus didengar (audi alteram partem).
9
11. Hakim Bersifat Menunggu. (Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg)/
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang
bersangkutan. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu
akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, sedangkan Hakim
bersifat menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Akan tetapi sekali perkara
diajukan kepadanya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun
dengan dalih bahwa Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk
menolak memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi
novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 UU No.
4/2004).
12. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan. (Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR
dan Pasal 195, 618 RBg).
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk
mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan
MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan
merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
D. Sumber Hukum Acara Perdata
1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Reglement tentang melakukan pekerjaan
kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman buat bangsa Bumiputera dan
bangsa timur di Tanah Jawa dan Madura, yang merupakan pembaruan dari reglement
bumiputera/ Reglement Indonesia (RIB) dengan Staatsblad 1941 Nomor 44.
2. RBg. (Reglement tot regeling van het rechtswezen in de gewesten buiten java en Madura)
reglement tentang hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah luar jawa dan Madura dengan
Staatsblad 1927 nomor 227.
3. Rv (reglement op de rechtsvordering) reglement tentang hukum acara perdata dengan
staatblad 1847 No. 52 juncto 1849 No. 63.
10
4. RO (Reglement of de rechterlijke organisatie in het beleid der justitie in Indonesia, reglement
tentang oranisasi kehakiman dengan staatsblad 1847 N0. 23).
5. Ordonansi dengan staatblad 1867 No. 29 tanggal 14 maret 1867 tentang kekuatan bukti, surat-
surat di bawah tangan yang di perbuat oleh orang-orang bangsa bumi putera atau oleh yang
disamakan dengan dia.
6. BW (Burgerlijk Wetboek/ Kitab UU Hukum Perdata / Kitab UU hukum Sipil)
7. Kitab UU Hukum Dagang (wetboek van Koophandel Buku ke satu lembaran Negara RI No.
276 yang diberlakukan mulai tanggal 17 juli 1938 dan buku kedua lembaran negara RI No. 49
tahun 1933.
8. UU No. 20 tahun 1947 tentang ketentuan banding (peradilan Ulangan).
9. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan lembaran negara RI No. 1 tahun 1974 tanggal 2
januari 1974.
10. UU No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggung atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah (UUHT).
11. UU NO. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
12. UU No. 49 tahun 2009 tentang peradilan umum.
13. UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
14. UU No. 37 Tahun 2004 tantang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
15. UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama.
16. UU No. 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara.
17. UU No. 8 Tahun 2011 tentang mahkamah konstitusi.
18. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan
mahkamah agung.
19. Peraturan mahkamah agung No. 1 tahun 1982 tentang peraturan mahkamah agung No. 1
tahun 1980 yang disempurnakan.
20. SEMA No. 6 tahun 1992 tentang penyelesaian perkara dipengadilan tinggi dan pengadilan
negeri, SEMA no. 3 tahun 2002, SEMA No. 4 tahun 2001 dan SEMA No. 10 tahun 2005.
21. Yurisprudensi dan sebagainya.
22. Perjanjian Internasional
E. Jenis-jenis Gugatan perkara perdata yang lazim Diajukan di Peradilan umum
11
Jenis-jenis gugatan yang lazim diajukan di Peradilan Umum yaitu gugatan wanprestasi dan
gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”).
Menurut Yahya Harahap, gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:
1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)
Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”) timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu, wanprestasi tidak
mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih dahulu diantara para pihak. Hak
menuntut ganti kerugian karena wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUH Perdata, yang pada
prinsipnya membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUH Perdata juga
telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut, serta jenis
dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi.
2. Gugatan PMH
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu
somasi. Kapan saja terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut
ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi.
Dengan demikian, bisa digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat
diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).
F. Proses (Alur) Sidang Perdata di Pengadilan
A. Tahap Pertama (Pendaftaran Perkara).
1. Mengajukan surat gugatan (Pasal 118 HIR);
2. Membayar Panjar Biaya Perkara;
3. Pendaftaran Nomor Perkara dalam Register Perkara;
4. Penetapan Majelis Hakim;
5. Penetapan Panitera/Panitera Pengganti dan Jurusita/Jurusita Pengganti;
6. Penetapan Hari Sidang (Pasl 112 HIR)
12
7. Pemanggilan Penggugat dan Tergugat oleh Jurusita;
B. Tahap Pemeriksaan Perkara.
1. Pemeriksaan Pendahuluan (Memeriksa Identitas para Pihak);
2. Mediasi;
3. Pembacaan Surat Gugatan Penggugat;
4. Jawaban atas Surat Gugatan oleh Tergugat;
A. Konvensi;
B. Rekonvensi;
5. Replik (Menanggapi poin 4) oleh Penggugat;
6. Duplik (Menanggapi poin 5) oleh Tergugat;
7. Intervensi;
8. Putusan Sela;
9. Pembuktian;
10. Kesimpulan (Konklusi) oleh para Pihak;
11. Musyawarah Majelis;
12. Pembacaan Putusan;
1. Pengajuan Gugatan Pengajuan gugatan
a. Diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang.
b. Diajukan secara tertulis atau lisan
c. Bayar preskot biaya perkara
d. Panitera mendaftarkan dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara
e. Gugatan akan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri.
f. Ketua pengadilan menetapkan majelis hakim
2. Penetapan hari sidang dan Pemanggilan para pihak
a. Majelis hakim menentukan hari sidang
b. Pemanggilan para pihak :
1) Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang tidak boleh kurang dari 3 hari
13
2) Tata cara melakukan pemanggilan :
* Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti
* Pemangilan dengan surat panggilan dan salinan surat gugatan
* Bertemu langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggal/kediamanan
* Jika tidak bertemu disampaikan kepada kepala desa/lurah
* Jika ada pihak yang tidak diketahui tempat tinggal dan kediamannya dlakukan pemangilan
melalui bupati/walikota di wilayah hukum penggugat
* Jika sitergugat meningal dunia ke ahli warisnya, jika tidak diketahui maka diserahkan kepada
kepala desa/lurah
* Jika para pihak bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang memeriksa
perkara relas dikirim ke pengadilan negeri di mana pihak itu bertempat tinggal
* Jika berada di luar wilayah Indonesia dikirim ke kedutaan besar Indonesia
3. Persidangan pertama
a. Penggugat tidak hadir, tergugat hadir. Pasal 126 HIR/150 RBg: majelis dapat memanggil
sekali pihak yang tidak hadir agar hadir pada siding berikutnya. Akibatnya: gugatan dinyatakan
gugur.
b. Penggugat hadir, tergugat tidak hadir. Berlaku pasal 126 HIR / 150 RBG. Akibatnya : Verstek.
4. Verstek
Verstek adalah sebuah putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat sedangkan
upaya dari verstek adalah verzet/perlawanan.
Bentuk Putusan Verstek
a. Menggabulkan gugatan penggugat;
b.Gugatan tidak dapat diterima;
c. Gugatan ditolak apabila gugatan tidak beralasan;
d. Gugatan ini tidak dapat diajukan kembali.
5. Verzet
Pasal 129 ayat (1) HIR atau pasal 83 Rv menegaskan :
14
“Tergugat yang sedang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu,
dapat mengajukan perlawanan atas putusan itu”
Berdasarkan ketentuan tersebut, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan
verstek adalah perlawanan atau verzet. Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang
telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama). Pada asasnya perlawanan
ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat yang
dikalahkan dengan putusan verstek tersedia upaya hukum banding.
*. Syarat Verzet
Menurut pasal 129 ayat (1) dan pasal 83 Rv, yang berhak mengajukan perlawanan hanya
terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan,
dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga.
6. Perdamaian (mediasi)
a. Jika pihak penggugat dan tergugat hadir, Dasar hukum Pasal 130 HIR/154 RBg;
b. Upaya yang pertama kali dilakukan oleh hakim;
c. Dilakukan selama sebelum hakim menjatuhkan putusan, dapat menyelesaikan perkara;
d. Tujuannya (golnya) : Mencegahnya timbulnya perselisihan di kemudian hari di antara para
pihak, Menghindari biaya mahal dan Menghindari proses perkara dalam jangka waktu lama;
e. Perdamaian dituangkan dalam akta perdamaian ( acte van vergelijk) di mana mempunyai
kekuatan yang sama dengan putusan hakim, mediasi dilakukan hanya 40 hari lamanya, dan
f. Tidak dapat dibanding kesepakatan para pihak/menurut kehendak para pihak.
6. Gugatan dibacakan oleh penggugat yang hak-hak hukumnya dilanggar oleh tergugat. Jadi
pembuatan gugatan dilakukan oleh penggugat. Dalam pembuatannya bisa diberikan ke kuasa
hukum penggugat untuk dibuat.
7. Jawaban Tergugat
Setelah gugatan dibacakan oleh penggugat maka bentuknya adalah:
a. Mengakui menyelesaikan perkara dan tidak ada pembuktian.
b. Membantah harus dengan alasan.
c. Referte tidak mengakui dan tidak membantah.
15
Pada akhirnya nanti ada 3 yang perlu dibahas atau dikupas lebih dalam di jawaban tergugat
yaitu:
1. Eksepsi/tangkisan ini dari tergugat, dalam hal gugatan yang sudah dibacakan oleh penggugat
maka dibuat berupa eksepsi atau tangkisan oleh tergugat. Eksepsi ini bisa juga bantahan dan
dasar hukumnya 136 HIR.
Pengertian dari eksepsi itu sendiri adalah sebuah jawaban tergugat yang tidak langsung
pada pokok perkara, sedangkan bentuk dari eksepsi ada 3 yaitu :
A. Eksepsi kompetensi
Hal ini tentunya berkaitan dengan batahan pihak tergugat, yang berisi bahwa pengadilan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, baik itu berkenaan dengan kompetensi absolut
maupun kompetensi relatif.
B. Eksepsi prosesual
Terdapat banyak jenis eksepsi prosesual ini, namun yang sering sekali diajukan dalam
praktik adalah: Surat kuasa khusus tidak sah, Eksepsi error in persona, Eksepsi ne bis in idem,
eksepsi obscuur libel.
C. Eksepsi hukum materil
1. Exceptio dilotoria atau dilatoria exceptie.
2. Exceptio peremprotiaa
3. Exceptio tempotis (eksepsi daluarsa)
4. Exceptio non pecuniae numeratae
5. Exceptio doli mali
6. Exceptio metus
7. Exceptio non adimpleti contractus
8. Exceptio dominii
9. Exceptio litis pendentis
2. Konvensi
Istilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau
gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah
konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat).
Di dalam penjelasan Yahya Harahap (hal. 470), Anda dapat menemukan bahwa ketika penggugat
16
asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan
balik B disebut gugatan rekonvensi.
3. Rekonvensi
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan)
rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang
diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi
kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat,
maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan
gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Adapun
dasar dari hukum rekonvensi yaitu tertera pada Pasal 132a dan Pasal 132b HIR disisip dgn Stb
1927 – 300, Pasal 157 – 158 RBg.
Rekonvensi tidak dapat diajukan dalam hal :
Jika kedudukkan penggugat tidak dalam kualitas yang sama antara gugatan konvensi dengan
rekonvensi, Rekonvensi tidak dalam kompetensi yang sama dan Rekonvensi tentang pelaksanaan
putusan hakim.
8. Replik
Replik yaitu jawaban penggugat baik terulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas
gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhkan gugatannya , dengan mematahkan
alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan
lanjutan dari pemeriksaan perkara perdata dipengadilan negeri setelah tergugat mengajukan
jawaban. Replik berasal dari dua kata yaitu re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi replik berarti
kembali menjawab. Replik adalah jawaban balasan atas jawaban tergugat dalam perkara perdata .
17
9. Duplik
Duplik yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama dengan
replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk
meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat. Apabila
acara jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat sudah cukup, dimana duduk perkara
perdata yang diperiksa sudah jelas semuanya, tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah
pembuktian.
10. Intervensi
Pengertian intervensi adalah masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata yang
sedang berlangsung bila dia juga mempunyai kepentingan (interest) dalam gugatan baik untuk
kepentingan tergugat maupun penggugat.dasar hukumnya yaitu Pasal 279 – 282 BRv sedangkan
bentuk dari intervensi yaitu:
a. Voeging (menyertai) dengan cara menggabungkan diri kepada salah satu pihak;
b. Tussenkomst (menengahi) berdiri sendiri (tidak memihak salah satu pihak);
c. Vrijwaring (penanggungan) : mirip tapi tidak sama dengan intervensi karena insiatifnya tidak
dari pihak ketiga yang bersangkutan dan ikut sertanya karena diminta sebagai penjamin /
pembebas oleh salah satu pihak yang berperkara.
d. Exceptio Plurium Litis Consortium: masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu
pihak yang berperkara, dilakukan karena pihak tersebut tidak lengkap dan contoh dalam perkara
warisan.
11. Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan
dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam
hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu :
1) Putusan Preparatuir;
2) Putusan Interlocutoir;
3) Putusan Incidental;
4) Putusan provisional.
18
Dan putusan sela ini berbicara Kompetensi absolut (kewenangan mengadili) dan Kompetensi
Relatif.
12. Pembuktian dalam hukum acara perdata
A. Teori Pembuktian
Teori pembuktian dalam hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum
acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam
pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab
undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat
undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini
telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di
RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku
IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.
B. Pengertian Pembuktian/Membuktikan
Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., mengandung beberapa pengertian:
1. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
2. Membuktikan dalam arti konvensionil
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
C. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah
suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya
yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil,
maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil
yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan
lagi. Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
19
1. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui;
2. hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal;
3. hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta
notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa
harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW
D. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun
pembuktian itu masih harus dinilai. Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai
berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa
didalam sidang, yaitu :
1. Teori Pembuktian Bebas;
2. Teori Pembuktian Negatif;
3. Teori Pembuktian Positif.
E. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan
oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat
buktinya. Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang
menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:
1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief);
2. Teori hukum subyektif;
3. Teori hukum obyektif;
4. Teori hukum public;
5. Teori hukum acara.
F. Alat-Alat Bukti
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan
bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu
dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu
penilaian hakim di dalam pengadilan. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata
diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam
20
acara pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat membandingkan
antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:
Alat Bukti Hukum
Acara Perdata
(Pasal 164 HIR,
1866 BW)
Alat Bukti Hukum
Acara Pidana
Pasal 184 KUHAP
1. Tulisan/Surat
2. Saksi-saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
1. Ket. Saksi
2. Ket. Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Ket. Terdakwa
13. Konklusi
Kesimpulan atau konklusi perkara perdata, Di dalam kasus perdata, setelah adanya surat
gugatan, eksepsi, replik dan duplik di persidangan terahir menjelang putusan dijatuhkan masing-
masing pihak baik tergugat ataupun penggugat harus membuat surat kesimpulan dalam kasus
perdata tersebut yang berisi tentang kesimpulan dari proses persidangan yang dijalankan.
Kesimpulan oleh tergugat maupun penggugat. Kesimpulan perkara perdata wajib dibuat oleh
kedua belah pihak yang masing-masing akan menjelaskan kesimpulan dengan bahasa dan versi
mereka baik penggugat ataupun tergugat. Kesimpulan ini biasanya dibuat oleh
pengacara/advokad yang sudah mendapatkan kuasa dari orang yang berperkara serta sebagai
pendamping atau mewakili dalam persidangan.
14. Musyawarah majelis dan pembacaan putusan Hakim dalam acara perdata
1. Pengertian Putusan Pengadilan
Penjelasan pasal 60 undang – undang Nomor 7 tahun 1989 memberi definisi tentang
putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan
adanya suatu sengketa. Sedangkan Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap
putusan, bahwa : "Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
21
gugatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suat
pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang
untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang
menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya
melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai,
Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan
diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempu tahap jawaban dari
tergugat sesuai dari pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat
berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap
pembuktian dan konklusi.
Untuk dapat membuat putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan
mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum
tertulis dalam perundang - undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
2. Jenis – Jenis Putusan
Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat sedemikian rupa agar prosesnya dapat
berjalan secara cepat, sederhana, mudah dimengerti dan tentunya dengan biaya yang murah.
Menurut bentuknya penyelesaian perkara oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perkara.
2. Penetapan / beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan
yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair” .
*. Dalam hukum acara perdata putusan ditinjau dari aspek kehadiran para pihak terdiri atas:
1. Putusan gugatan gugur ( Pasal 124 HIR dan Pasal 77 Rv) ;
2. Putusan Verstek ( Pasal 174 HIR dan Pasal 1925 KUH Perdata) ;
3. Putusan Contradictrir;
4. Putusan Sela, ( Pasal 185 ayat (1) HIR dan Pasal 48 Rv);
5. Putusan Akhir (Eind Vonnis).
3. Asas Putusan Hakim
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 178 H.I.R, Pasal 189 R.Bg. dan beberapa pasal dalam
Undang – undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, maka wajib bagi hakim
22
sebagai aparatur Negara yang diberi tugas untuk itu, untuk selalu memegang teguh asas-asas
yang telah digariskan oleh undang-undang, agar keputusan yang dibuat tidak terdapat cacat
hukum, yakni :
1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci ;
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan;
3. Tidak boleh Mengabulkan Melebihi Tuntu;tan
4. Diucapkan di Muka Umum.
4. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan uraian mengenai asas yang
mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut
dijelaskan dalam Pasal 178 HIR , Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009.
Menurut ketentuan undang undang ini, setiap putusan harus memuat hal – hal sebagai berikut :
1. Kepala Putusan;
2. Identitas pihak yang berperkara;
3. Pertimbangan atau alasan-alasan;
4. Amar atau diktum putusan ;
5. Mencantumkan Biaya Perkara.
5. Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada
kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jenis jenis
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu :
1. Kekuatan Mengikat;
2. Kekuatan Pembuktian;
3. Kekuatan Executorial
15. Terhadap putusan hakim, jika para pihak merasa keberatan dapat melakukan upaya hukum
Banding ke Pengadilan Tinggi. Pernyataan banding tersebut dapat dilakukan pada saat putusan
dijatuhkan atau pikir-pikir setelah 14 hari sejak putusan dijatuhkan.
23
“ DEKSKRIPSI ALUR PERSIDANGAN ACARA PERDATA”
NO. PROSES URAIAN
1. Pembukaan sidang Majelis hakim membuka persidangan dengan
menyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara
tertentu dinyatakan tertutup untuk umum).
2. Menghadirkan para pihak 1. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan
memasuki ruang sidang;
2. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya),
demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi
advokat (jika dikuasakan kepada Advokat).
3. Memberi kesempatan
perdamaian kepada para pihak
1. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi
kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara
damai (melalui mediasi);
2. Majelis Hakim menawarkan apakah akan menggunakan
mediator dari lingkungan PN atau dari luar (sesuai PERMA
RI No.1 Tahun 2008);
3. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai, maka
persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan
oleh penggugat/kuasanya;
4. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam
persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA."
4. Memberi kesempatan jawab
menjawab kepada para pihak
1. Apabila tidak ada perubahan acara, selanjutnya jawaban
dari tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan,
permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
2. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi
sebagai penggugat rekonvensi;
3. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia
berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
4. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada
kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring,
24
toesenkomst).
5. Putusan sela Ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil,
putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat
intervensi) sebelum pembuktian.
6. Pembuktian 1. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
2. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
3. Apabila diperlukan, Majelis Hakim dapat melakukan
pemeriksaan setempat (tempat objek sengketa).
7. Pembacaan kesimpulan dari
masing-masing pihak
Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Para
Pihak/Kuasanya untuk membacakan kesimpulan.
8. Musyawarah majelis hakim Majelis Hakim melakukan musyawarah dalam menentukan putusan
terhadap perkara.
9. Pembacaan putusan Isi putusan Majelis Hakim dapat berupa :
a. Gugatan dikabulkan (seluruhnya atau sebagian);
b. Gugatan ditolak, atau
c. Gugatan tidak dapat diterima.
25
26
27