document1
TRANSCRIPT
SKEN 1
Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
a. Anemia Defisiensi Besi
I. Definisi
Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena
kurangnya zat besi.
II. Etiologi
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut
melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada
anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana merupakan masa
terbanyak penggunaan zat besi untuk pertumbuhan. Neonatal yang lahir dari
perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali anemis tetapi memang memiliki
cadangan zat besi yang rendah. Bayi ini tidak memiliki cadangan yang diperlukan
untuk pertumbuhan setelah lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang adekuat secara
marginal.
Berdasarkan data dari “the third National Health and Nutrition Examination Survey”
( NHANES III ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang abnormal dari serum
ferritin, transferring saturation, dan/atau erythrocyte protophorphyrin. Kebutuhan zat
besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa pubertas dikarenakan peningkatan
volume darah, massa otot dan myoglobin. Pada wanita kebutuhan zat besi setelah
menstruasi sangat tinggi karena jumblah darah yang hilang, rata-rata 20mg zat besi
tiap bulan, akan tetapi pada beberapa individu ada yang mencapai 58mg. Penggunaan
obat kontrasepsi oral menurunkan jumblah darah yang hilang selama menstruasi,
sementara itu alat-alat intrauterin meningkatkan jumblah darah yang hilang selama
menstruasi. ³Tambahan beban akibat kehilangan darah karena parasit seperti cacing
tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah dengan proporsi yang
mengejutkan.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis. Setelah
gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama
akibat peningkatan motilitas dan by pass usus halus proximal, yang menjadi tempat
utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga
dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proximal
ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dariradang
usus non tropical ( celiac sprue ).
Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau patologis;
Fisiologis:
Menstruasi
Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 900mg zat besi hilang dari ibu
kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus.
Patologis:
Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan selanjutnya anemia
defisiensi besi. Prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu dapat juga karena cacing
tambang, pasien dengan telangiektasis herediter sehingga mudah berdarah, perdarahan
traktus gastrourinarius, perdarahan paru akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru
idiopatik.
Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:
Wanita menstruasi
Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi
Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat
Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang makan
daging dan telur selama bertahun-tahun.
Menderita penyakit maag.
Penggunaan aspirin jangka panjang
Colon cancer
Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan dengan
brokoli dan bayam.
III. Gejala Klinis
Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami seluruh
gejala dan apabila anemianya sangat ringan, gejalanya mungkin tidak tampak.
Beberapa gejalanya antara lain; warna kulit yang pucat, mudah lelah, peka terhadap
cahaya, pusing, lemah, nafas pendek, lidah kotor, kuku sendok, selera makan turun,
sakit kepala (biasanya bagian frontal).
Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang utama adalah
sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan. Akibatnya banyak tanda
dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini:
Glositis ; lidah merah, bengkak, licin, bersinar dan lunak, muncul secara
sporadis.
Stomatitis angular ; erosi, kerapuhan dan bengkak di susut mulut.
Atrofi lambung dengan aklorhidria ; jarang
Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; pada defisiensi zat besi
jangka panjang.
Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari lapisan
kuku.
Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.
Satu gejala aneh yang cukup karakteristik untuk defisiensi zat besi adalah Pica,
dimana pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat dikendalikan terhadap
bahan seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa
dari bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran
makanan, sehingga memperburuk defisiensi. Konsekuensi yang menyedihkan adalah
meningkatnya absorpsi timbal oleh usus halus sehingga dapat timbul toksisitas
timbale disebabkan paling sedikit sebagian karena gangguan sintesis heme dalam
jaringan saraf, proses yang didukung oleh defisiensi zat besi.
IV. Diagnosis Laboratorium
Penurunan cadangan zat besi
Pada stadium ini, aspirasi sum-sum tulang dengan pewarnaan prusian blue jelas
menunjukkan penurunan atau tidak adanya simpanan zat besi dalam makrofag.
Kondisi ini diikuti oleh penurunan kadar feritin serum.
Eritropoisis kekurangan zat besi
Kapasitas ikat besi total (TIBC) serum pertama-tama meningkat, lalu diikuti
penurunan mendadak zat besi serum. Akibatnya saturasi fungsional transferin
turun secara mencolok. Kadar saturasi transferin yang penting untuk mendukung
eritropoisis adalah sekitar 15%. Dibawah nilai ini, eritropoisis kekurangan zat besi
tidak dapat dihindarkan. Sel darah merah dalam sirkulasi menjadi lebih mikrositik dan
hipokromik. Hal ini diikuti oleh peningkatan FEP (Free Erytrocyte Protoporphyrin).
Anemia defisiensi besi yang mencolok (stadium akhir).
Sel darah merah menjadi sangat hipokromik dan mikrositik
Sering hanya kerangka tipis sitoplasma yang muncul di tepi sel darah merah.
Fragmen kecil dan poikilositosis yang aneh juga dapat terlihat. Membran
eritrosit kaku, kelangsungan hidup sel darah merah ini lebih pendek dalam
sirkulasi.
Retikulosit ↓ (N: 50.000/ml³)
Leukosit N
Trombosit N/↑
Sum-sum tulang menunjukkan hiperplasia eritrosit sedang.
Reseptor transferin dilepaskan dari membran plasma sel dan dapat dideteksi
dalam plasma. Sumber utama transferin adalah sel hematopoitik di sum-sum
tulang.
Jumblah reseptor transferin dalam plasma meningkat pada pasien dengan
defisiensi besi, sehingga memberikan kemungkinan tes diagnostik lain untuk kondisi
ini.
V. Diagnosis Banding
Pada pasien dengan anemia hipokrom mikrositik, kemungkinan diagnostik utama
adalah anemia defisiensi besi, talasemia, anemia karena radang kronik, keracunan
timbal, dan anemia sideroblastik.
VI. Terapi
Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral seperti garam
besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa
ferosus). ²Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk
meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi
anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan
zat besi. CDC merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2
kali perhari bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang
mengandung zat besi dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan. Sayangnya,
ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa penuh dan rasa
sakit yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi ini. ²Tetapi resiko
efek samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap,
menggunakan zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang mengandung
elemen besi yang rendah, salah satunya glukonat ferosus. ³Kompleks polisakarida zat
besi seringkali lebih berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun
kenyataannya tablet tersebut mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin
yang mengandung zat besi biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan
mengandung jumblah zat besi yang suboptimal. Retikulositosis dimulai 3-4 hari
setelah inisiasi terapi zat besi, dengan puncaknya sekitar 10 hari.
Pasien dapat tidak berespon dengan penggantian zat besi sebagai akibat dari:
Diagnosis yang tidak benar
Tidak patuh.
Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian.
Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll.
Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi, diperlukan penggantian zat
besi parenteral.
Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im setelah tes
dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi.
100 mg dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang setiap
minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya digunakan
pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan tersebut kedalam
dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit yang tidak dapat
dihilangkan.
Pemberian secara iv dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat menerima
suntikan im atau yang memerlukan koreksi defisiensi zat besi lebih cepat.
Pendekatan yang paling nyaman adalah dengan mengencerkan 500 mg
campuran tersebut kedalam 100 ml cairan salin steril dan memasukkan dosis
percobaan sebanyak 1 ml. jika tidak terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat
diberikan dalam 2 jam. Pemberian iv sampai 4 g zat besi dalam satu keadaan
memungkinkan koreksi defisiensi zat besi dalam satu sesi. Sekitar 20% dari
pasien mengalami artralgia, menggigil dan demam yang tergantung dari dosis
yang diberikan dan dapat berlangsung sampai beberapa hari setelah infus.
Zat besi-dekstran harus digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua pasien
dengan artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu oleh
penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur gejala
tersebut. Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat besi-dekstran, jarang
muncul. Jika gejala awal muncul, infus dihentikan dan perbaikan keadaan
dengan benadril dan epinefrin dapat dimulai.
Jumlah zat besi yang diperlukan untuk penggantian dapat dihitung dari deficit
massa sel darah merah, dengan tambahan 1000 mg untuk mengganti cadangan
tubuh.
Transfusi darah jarang diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia
defisiensi zat besi yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau
cerebrovaskular.
VII. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan preparat besi.
b. Thalasemia
I. Definisi
Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh
berkurangnya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan hemoglobin
(HbA, α 2 β 2). Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam
hemoglobin. Nolmalnya HbA memiliki rantai polipeptida α dan β, dan yang paling
penting thalasemia dapat ditetapkan sebagai α - atau β -thalassemia.
II. Epidemiologi
Kelainan Hemoglobin pada awalnya endemik di 60% dari 229 negara, berpotensi
mempengaruhi 75% kelahiran. Namun sekarang cukup umum di 71% dari Negara
Negara di antara 89% kelahiran. Tabel 2.3-1 menunjukkan perkiraan prevalensi
konservatif oleh WHO regional. Setidaknya 5,2% dari populasi dunia (dan lebih dari 7%
wanita hamil) membawa varian yang signifikan. S Hemoglobin membawa 40% carir
namun lebih dari 80% kelainan dikarenakan prevalensi pembawa local sangat tinggi.
Sekitar 85% dari gangguan sel sabil (sickle-cell disorders), dan lebih dari 70% seluruh
kelahiran terjadi di afrika. Selain itu, setidaknya 20% dari populasi dunia membawa
Thalassemia α
Diantara 1.1% pasangan suami istri mempunya resiko memiliki anak dengan kelainan
hemoglobin dan 2.7 per 1000 konsepsi terganggu. Pencegahan hanya memberikan
pengaruh yang kecil, pengaruh prevalensi kelahiran dikalkulasikan antara 2.55 per 1000.
Sebagian besar anak anak yang lahir dinegara berpenghasilan tinggi dapat bertahan
dengan kelainan kronik, sementara di Negara Negara yang berpengasilan rendah
meninggal sebelum usia 5 tahun. Kelainan hemoglobin memberikan kontribusi setara
dengan 3.4% kematian padan anak usia di bawah 5 tahun di seluruh dunia.
III. Klasifikasi
Di Indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia
hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler.
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
1. Thalasemia-α (gangguan pembentuakan rantai α).
2. Thalasemia-β (gangguan pembentukan rantai β).
3. Thalasemia- β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen nya di duga
berdekatan ).
4. Thalasemia –δ (gangguan pembentukan rantai δ)
IV. Patofisiologis
Mutasi pada β-Thalassemia meliputi delegi gen globin, mutasi daerah promotor,
penghentian mutasi dan mutasi lainnya. Terdapat relatif sedikit mutasi pada α-
Thalassemia. Penyebab utama adalah terdapatnya ketidakseimbangan rantai globin. Pada
sumsum tulang mutasi thalasemia mengganggu pematangan sel darah merah, sehingga
tidak efektifnya eritropoiesis akibat hiperaktif sumsum tulang, terdapat pula sedikit
Retikulosit dan anemia berat. Pada β-thalasemia terdapat kelebihan rantai globin α-yang
relatif terhadap β- dan γ-globin; tetramers-globin α (α4) terbentuk, dan ini berinteraksi
dengan membran eritrosit sehingga memperpendek hidup eritrosit, yang mengarah ke
anemia dan meningkatkan produksi erythroid. Rantai globin γ-diproduksi dalam jumlah
yang normal, sehingga menyebabkan peningkatan Hb F (γ2 α2). Rantai δ-globin juga
diproduksi dalam jumlah normal, Hb A2 meningkat (α2 δ2) di β-Thalassemia. Pada α-
talasemia terdapat lebih sedikit-globin rantai α dan β-berlebihan dan rantai γ-globin.
Kelebihan rantai ini membentuk hb Bart (γ4) dalam kehidupan janin dan Hb H (β4)
setelah lahir. Tetramers abnormal ini tidak mematikan tetapi mengakibatkan hemolisis
extravascular.
Thalasemia –α
Seperti telah disebutkan diatas terdapat 2 gen α pada tiap haploid kromosom, sehingga
dapat di duga terjadi 4 macam kelainan pada thalasemia- α. Kelainan dapat terjadi pada 1
atau 2 gen pada satu kromosom atau beberapa gen pada seorang individu sehat.
Penelitian akhir akhir ini menunjukkan bahwa pada kelainan α- thalasemia-1 tidak
terbentuk rantai- α sama sekali, sedangkan α – thalasemia-2 masih ada sedikit
pembentukan rantai- α tersebut. Atas dasar tersebut, α-thalasemia-1 dan α-thalasemia-2
sekarang disebut α0- dan α-+- thalasemia.
Disamping kelainan pada pembentukan rantai α ini terdapat pula kelainan struktural
pada rantai α. Yang paling banyak di temukan ialah Hb constant spring. Pada Hb
constant spring terdapat rantai α dengan 172 asam amino, berarti 31 asam amino lebih
panjang daripada rantai α biasa. Kombinasi heterozigot antara α0- thalasemia dengan α-
+- thalasemia atau α0- thalasemia dengan Hb constant spring akan menimbulkan
penyakit HbH. Pada thalasemia α akan terjadi gejala klinis bila terdapat kombinasi gen
α0- thalasemia dengan gen- - lainnya.
Pada penyakit HbH, biasanya ditemukan anemia dengan pembesaran limpa. Anemia
biasa nya tidak membutuhkan tranfusi darah. Mudah terjadi serangan hemolisis akut
pada serangan infeksi berat. Kadar Hb biasanya 7-10 g%. Sediaan darah tepi biasanya
menunjukkan tanda tanda hipokromia. Terdapat pula retikulositosis (5-10%) dan
ditemukan inclusion bodies, pada sediaan hapus darah tepi yang di inkubasi dengan biru
brilian kresil. Pada elektroforesis ditemukan adanya HbA, H, A2 dan sedikit Hb Bart’s.
HbH jumlanya sekitar 5-40%, kadang kadang kurang atau lebih dari variasi itu. Pada
pemeriksaan sintesis rantai globulin (in vitro) dari retikulosis terdapat ketidak
seimbangan antara pembentukan rantai- α / β yaitu antara 0,5 sampai 0,25.
Thalasemia- β (Thalasemia major, cooley anemia)
Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan thalasemia α, tetapi untuk kepentingan
klinis umumnya dibedakan antara thalasemia β0 dan thalasemia β+. Pada β0 thalasemia
tidak dibentuk rantai globin sama skali, sedangkan β+ thalasemia terdapat pengurangan
(10-50%) daripada produksi rantai globin β tersebut. Pembagian selanjutnya adalah
kadar HbA2 yang normal baik pada β0 maupun β+- thalasemia dalam bentuk
heterozigotnya. Bentuk homozigot dari β0 atau campuran antara β0 dengan β+ -
thalasemia yang berat akan menimbulkan gejala klinis yang berat yang memerlukan
tranfusi darah sejak permulaan kehidupannya. Tapi kadang kadang bentuk campuran ini
memberi gejala klinis ringan dan disebut thalasemia intermedia
V. Gejala Klinis
Penderita thalassemia minor biasanya asimtomatis dengan temuan normal pada
pemeriksaan fisik. Berbeda dengan -thalasemia mayor yang normal saat lahir tapi
berkembang menjadi anemia siknifikan sejak tahun pertama kelahiran. Jika kelainan
tersebut tidak teridentifikasi dan di terapi dengan tranfusi darah, pertumbuhan anak
sangat buruk dan disertai hepatoslenomegali masiv dan perluasan dari jarak medulla
dengan penjalaran pada cortex tulang. Perubahan tulang terlihat jelas pada deformitas
wajah gambar 2.7-1. (prominen dari kepala dan maksilla) dan hal ini juga sering
menyebabkan penderita thalasemia rentan terhadap fraktur patologis.
VI. Temuan Laboratorium
Anak dengan thalassemia minor pada screening memperlihatkan hasil normal
tapi suspect pertumbuhan dari penurunan MCV dengan atau tanpa anemia ringan.
Apusan darah tepi memperlihatkan hipokromik, target sel dan terkadang basofil
stipling. Hb elektroforesis memperlihatkan setelah usia 12-16 bulan selalu terdiagnisis
ketika lebel Hb A2 , Hb F, atau keduanya meningkat. Thalassemia mayor saat
skrening sering memperlihatkan Hb A negative. Saat lahir bayi tersebut memiliki
sistem hematologi yang normal namun berkembang menjadi anemia berat setelah
bulan pertama kelahiran. Karakteristik apusan darah tepi memperlihatkan hipokromik,
mikrositik anemia dengan anisocytosis dan poikilositosis. Sel target meningkat dan
nucleus sel darah merah sering memperlihatkan peningkatan dari pada sel darah putih.
Level Hb biasanya berada antara 5-6 g/dl atau lebih rendah. Retikulosit count sangat
meningkat. Perhitungan Platelet dan sel darah putih biasanya meningkat, dan serum
bilirubin juga meningkat. Sumsung tulang memperlihatkan erythroid hyperplasia tapi
sulit untuk didiagnosa. Hb elekrteoporesis memperlihatkan hanya Hb F dan Hb A2
pada anak anak dengan thalassemia homozigot. Mereka dengan gen thalassemia
memiliki beberapa Hb A tetapi mengalami peningkatan pada Hb F dan Hb A2.
Diagnosis homozygot thalassemia sebaiknya juga diperkuat dengan temuan
thalassemia minor pada kedua orang tua penderita
VII. Tatalaksana
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali
transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap
selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
a. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
b. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan
tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3. Suportif
a. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.
c. Anemia Penyakit Kronis
I. Etiologi
Kemajuan dalam bidang antibiotik menyebabkan menurunnya kejadian infeksi kronis,
dan anemia karena infeksi. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala,
seperti demam, penurunan berat , debilitas umum. Untuk terjadinya anemia
memerlukan memerlukan waktu 1-2 bulan pasaca infeksi.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungisional sama seperti pada infeksi kronis,
tetapi mempunyai kepentingan lebih karena tidak adanya terapi yag efektif. Penyakit
kolagen dan arthritis merupakan penyebab terbanyak . enteritis regional, kolitis
ulseratif serta sindrome inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia penyakit kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam
stadium dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini
biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia). Anemia pada
penyakit kronis ditandai dengan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan
gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin
III. Patogenesis anemia penyakit kronik
Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan
sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan banyak
penelitian. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin–sitokin proses inflamasi
seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF α), interleukin 1 dan interferon gama (γ) yang
diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat
terjadinya proses eritropoesis.
Pada pasien artritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini
bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume plasma.
Pada pasien anemia penyakit kronik eritropoetin memang lebih rendah dari pasien
anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih tinggi dari orang – orang bukan penderita
anemia. Dari sejumlah penelitian disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan
memainkan peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain :
1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau menjadi
sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan binatang
yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit hal yang sama (panjaitan,
2003). Karena anemia yang terjadi pada penyakit kronis merupakan bagian dari
sindrom stres hematologik, pada keadaaan ini terjadi produksi sitokin yang
berlebih akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin ini dapat menyebabkan
sekuesterasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak besi, menekan
eritropeitindan meningkatkan destruksi eritrosit sehingga menyebabkan umur
hidup eritrosit berkurang. (Supandiman et all, 2009)
Pada keadaan yang lebih lanjut dapat terjadi penurunan tranformasi T4 menjadi
T3, dimana terjadi hiptiroid fungsional yang akan menyebabkan penurunan
kebutuhan Hb sehingga sintesis eritropoetin juga berkurang (Supandiman et all,
2009)
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit
kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit
kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita
infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan
merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin. (panjaitan, 2003).
3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai deposit
besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan
terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang
mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast. (panjaitan, 2003).
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari adanya
hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal
dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan
makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons
terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya
produksi eritropoetin yang aktif secara biologis. (panjaitan, 2003).
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan oleh
suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.
(panjaitan, 2003).
6. Kegagalan produksi transferin. (panjaitan, 2003).
IV. Gambaran klinis
Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan
munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah
progresif atau stabil, dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita
tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. (Supandiman et all,
2009). Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit
yang mendasari (asimptomatik). Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru
yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya
kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan
mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular
degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio
intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan
angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral. Tanda fisik yang mungkin dapat
dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi. (panjaitan, 2003).
VII. Diagnosis Anemia Penyakit kronis
Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya berbentuk normokrom-normositer, meskipun banyak pasien
memberikan gambaran hipokrom mikrositer. Nilai retikulosit absolut dalam batas
normal atau sedikit meningkat. Sedangkan perubahan pada leukosit dan trombosit
tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya (Sudoyo, et al. 2007).
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi untuk diagnosis anemia
penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi
dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin)
menurun sehingga menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia
defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mencukupi dengan meningkatkan
transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid
matur (Sudoyo, et al. 2007).
Anemia akibat penyakit kronis memberikan gambaran laboratorik sebagai
berikut :
Anemia ringan sampai sedang (Hb 7-11 g/dl) dengan hemoglobin jarang < 8 g/dl
Anemia bersifat normositer atau mikrositer ringan (MCV 75-90 fl)
Memberikan gambaran hipokromik dengan MCHC < 31 g/dl
Besi transferin sedikit menurun
Feritin serum normal atau meningkat
Kadar reseptor transferin normal
Pada pengecatan sumsum tulang, besi sumsum tulang normal atau meningkat dengan
butir-butir hemosiderin yang kasar (Bakta, 2007).
Perbedaan Parameter Fe Pada Orang Normal, Anemia Defisiensi Besi, dan Anemia Penyakit
Kronis
Parameter Kondisi
Normal
Anemia
Defisiensi
Besi
Anemia
Penyakit
Kronis
Fe plasma
(mg/L)
70-90 30 30
TIBC (μg/dl) 250-400 > 450 < 200
Persen
saturasi
30 7 15
Kandungan
Fe di
++ - +++
makrofag
Feritin serum
(μg/L)
20-200 10 150
Reseptor
transferin
serum
8-28 > 28 8-28
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sumber : Weiss, et al, NEJM
VIII. Terapi
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.
Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain :
Transfusi
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan gangguan hemodinamik. Tidak
ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberikan transfusi. Pada
pasien anemia penyakit kronis yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan
angka kematian. Sedangkan pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb
dipertahankan sampai 10-11 g/dl.
Preparat Besi
Pemberian preparat besi dilakukan dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan
TNF-α. Sedangkan pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti
dapat meningkatkan kadar hemoglobin.
Eritropoetin
Pemberian eritropoetin terbukti bermanfaat pada pasien anemia akibat kanker, gagal
ginjal, mieloma multipel, artritis rheumatoid, dan penderita HIV. Eritropoetin mempunyai
efek antiinflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan interferon-γ. Tetapi
pemberian eritropoetin juga menyebabkan peningkatan proliferasi sel-sel kanker ginjal
dan rekurensi pada kanker kepala dan leher (Sudoyo, et al. 2007).
Apabila anemia akibat penyakit kronis disertai dengan defisiensi besi, maka
pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti
setelah hemoglobin mencapai kadar 9-10 g/dl (Bakta, 2007).
d. Anemia Sideroblastik
I. Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang ditandai dengan
adanya sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam sirkulasi dan sumsum tulang. Anemia
sideroblastik primer dapat terjadi akibat cacat genetik pada kromosom X yang jarang
ditemukan (terutama dijumpai pada pria), atau dapat timbul secara spontan terutama
pada orang tua. Penyebab sekunder anemia soderoblastik adalah obat-obat tertentu,
misalnya beberapa obat kemoterapi dan ingesti timah. Anemia sideroblastik
merupakan anemia dengan cincin sideroblas (ring sideroblastik) dalam sumsum
tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai, tetapi perlu mendapat perhatian karena
merupakan salah satu diagnosis banding anemia hipokromik mikrositik.
II. Klasifikasi
1. Anemia sideroblastik primer
a. Herediter sex linked sideroblastic anemia
b. Primary acuquired sideroblastic anemia (PASA) atau idiopatic acuired
sideroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan disini adalah refractory anemia
with ring sideroblast (RARS) yang tergolong dalam sindrom mielodisplastic.
2. Anemia sideroblastik sekunder
a. Akibat obat ;INH, pirasinamid dan sikloserin
b. Akibat alkohol
c. Akibat keracunan timah hitam
d. Pyridoxin responsive anemia
III. Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan inkorporasi besi
ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan besi mengendap pada
mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan terlihat binyik-bintik yang
mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan
kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan
menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu bentuk herediter
dan bentuk didapat.
1. Bentuk herediter
Jarang dijumpai, herediter dan sex linked (X-linked). Sebagian besar menunjukkan
bentuk defek enzim ALA synthetase.
2. Idiopathic acquired sideroblastic anemia
a. Mutasi somatik pada progenitor eritroid
b. Tergolong sebagai sindrom mielodisplastik
c. Menurut klasifikasi FAB sideroblastik sekunder disebut sebagai refractory anemia
with ring sideroblastik (RARS)
3. Anemia sideroblastik sekunder
Akibat alkohol, obat anti TBC: INH dan keracunan Pb.
4. Anemia yang responsif pada terapi piridoksin (piridoksin responsif anemia)
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
(pembentukan heme)
Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin
dalam mitokondria
ring sideroblastik hipokromik mikrositer
eritropeisis inefektif
Skema patofisiologi anemia sideroblastik
IV. Gambaran Klinik
Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk yang didapat
dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah dilaporkan adanya suatu
sindroma anemia sideroblastik yang refrakter pada 4 orang anak dengan adanya
vakuolalisasi prekurser sel-sel sumsum dan gangguan fungsi eksokrin pancreas.
Anemia sideroblastik kongenital terjadi pada orang dewasa dengan berbagai proses
peradangan dan keganasan atau pada alkoholisme.
V. Gambaran Laboratorium
Pada anemia sideroblastik dijumpai :
1. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat.
2. Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gamabaran populasi ganda (double
population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer berdampingan
dengan normokromik normositer.
3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama pada eritrosit,
kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.
4. Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.
5. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian blue (memakai
biru prusia) dijumpai sideroblas cincin > 15 % dari sel eritroblas.
VI. Terapi
1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah.
2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita bersifat
responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis 200-500
mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme triptofan atau
defensiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-
sintase.
2.2 Prinsip Penegakan Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan dalam
diagnosis anemia. Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak
mungkin hanya cukup dengan diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat
menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam
diagnosis anemia adalah :
- Menentukan adanya anemia
- Menentukan jenis anemia
- Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
- Menentukan ada tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan.
Pendekatan Diagnosis Anemia
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain :
- Pendekatan Tradisional.
Pendekatan tradisonal adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah
diagnostik, baik diagnosis tentatif maupun difinitif.
- Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai adalah anemia defisiensi besi,
anemia akibat penyakit kronik, dan thalasemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa
pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia
defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusun oleh anemia akibat penyakit kronik
dan thalasemia. Pada perempuan hamil, anemia karena dfisiensi folat perlu diperhatikan.
Pada daerah tertentu anemia karena malaria masih sering ditemui. Pada anak-anak
tampaknya anemia karena thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan anemia
penyakt kronik.
- Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah :
(1) Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)
Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang
timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh pendarahan
akut, anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunah Hb > 1
g/dl perminggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti
misalnya akibat salah transfusi, atau hemolisis anemia akibat defisiensi G6DP, anemia
yang timbul akibat leukimia akut, krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia
yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh defisiensi besi, defisiensi asam folat
atau vitamin B12, akibat penyakit kronik, atau anemia hemolitik kronik yang bersifat
kongenital.
(2) Berat ringannya derajat anemia
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya
disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut,
anemia hemolitik didapat kongenital misalnya seperti pada thalasemia mayor, anemia
pasca pendarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih
sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat adalah : anemia akibat
penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia trait. Jika pada ketika ketiga
anemia tersebut dijumpai anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosa lain yang dapat
meperberat derajat anemia tersebut.
(3) Gejala yang menonjol
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih
menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada : anemia defisiensi besi,
anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan
anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),
gejal-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.
- Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Hasil Laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinik dan laboratorik
merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang
cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.
2.3 Pemeriksaan Umum Untuk Penilaian Anemia
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) pemeriksaan penyaring (screening test), 2)
pemeriksaan darah seri anemia, 3) pemeriksaan sum-sum tulang 4) pemeriksaan khusus.
1) Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adnya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk diagnosis lebih lanjut.
2) Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, tromboait, hitung retikulosit, dan
laju endap darah (LED).
3) Pemeriksaan sum-sum tulang
Pemeriksaan sum-sum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sum-sum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastis, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sisem eritroid.
4) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini anya dikerjakan atas indikasi khusus misalnya pada :
Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity, saturasi transferin,
protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sum-sum
tulang.
Anemia megaloblatik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes
schiling.
Anemia hemolitik : bilirubin serum, test coomb, elektroforesis hemoglobin, dll.
Anemia aplastik : biopsi sum-sum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal
ginjal, atau faal tiroid