document1

39
SKEN 1 Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12 b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik c. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik B. Anemia akibat hemoragi a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular a. Gangguan membran eritrosit (membranopati) b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)

Upload: ruki-gazerock

Post on 19-Jan-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Document1

SKEN 1

Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

b. Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

b. Anemia mieloptisik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoietik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD

c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)

Thalassemia

Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll

2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular

a. Anemia Hemolitik autoimun

b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik

c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Page 2: Document1

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan

melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi

tiga golongan :

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:

2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:

3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.

Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam

mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada

tabel di bawah ini :

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi

I. Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia Defisiensi Besi

b. Thalasemia Mayor

c. Anemia akibat Penyakit Kronik

d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologik

III. Anemia makrositer

a) Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi asam folat

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa

b) Bentuk non-megaloblastik

1. Anemia pada penyakit hati kronik

2. Anemia pada hipotiroidisme

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.

Page 3: Document1

a. Anemia Defisiensi Besi

I. Definisi

Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena

kurangnya zat besi.

II. Etiologi

Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut

melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada

anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana merupakan masa

terbanyak penggunaan zat besi untuk pertumbuhan. Neonatal yang lahir dari

perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali anemis tetapi memang memiliki

cadangan zat besi yang rendah. Bayi ini tidak memiliki cadangan yang diperlukan

untuk pertumbuhan setelah lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang adekuat secara

marginal.

Berdasarkan data dari “the third National Health and Nutrition Examination Survey”

( NHANES III ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang abnormal dari serum

ferritin, transferring saturation, dan/atau erythrocyte protophorphyrin. Kebutuhan zat

besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa pubertas dikarenakan peningkatan

volume darah, massa otot dan myoglobin. Pada wanita kebutuhan zat besi setelah

menstruasi sangat tinggi karena jumblah darah yang hilang, rata-rata 20mg zat besi

tiap bulan, akan tetapi pada beberapa individu ada yang mencapai 58mg. Penggunaan

obat kontrasepsi oral menurunkan jumblah darah yang hilang selama menstruasi,

sementara itu alat-alat intrauterin meningkatkan jumblah darah yang hilang selama

menstruasi. ³Tambahan beban akibat kehilangan darah karena parasit seperti cacing

tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah dengan proporsi yang

mengejutkan.

Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis. Setelah

gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama

akibat peningkatan motilitas dan by pass usus halus proximal, yang menjadi tempat

utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga

dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proximal

Page 4: Document1

ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dariradang

usus non tropical ( celiac sprue ).

Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau patologis;

Fisiologis:

Menstruasi

Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 900mg zat besi hilang dari ibu

kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus.

Patologis:

Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan selanjutnya anemia

defisiensi besi. Prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu dapat juga karena cacing

tambang, pasien dengan telangiektasis herediter sehingga mudah berdarah, perdarahan

traktus gastrourinarius, perdarahan paru akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru

idiopatik.

Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:

Wanita menstruasi

Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi

Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat

Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang makan

daging dan telur selama bertahun-tahun.

Menderita penyakit maag.

Penggunaan aspirin jangka panjang

Colon cancer

Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan dengan

brokoli dan bayam.

III. Gejala Klinis

Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami seluruh

gejala dan apabila anemianya sangat ringan, gejalanya mungkin tidak tampak.

Beberapa gejalanya antara lain; warna kulit yang pucat, mudah lelah, peka terhadap

cahaya, pusing, lemah, nafas pendek, lidah kotor, kuku sendok, selera makan turun,

sakit kepala (biasanya bagian frontal).

Page 5: Document1

Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang utama adalah

sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan. Akibatnya banyak tanda

dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini:

Glositis ; lidah merah, bengkak, licin, bersinar dan lunak, muncul secara

sporadis.

Stomatitis angular ; erosi, kerapuhan dan bengkak di susut mulut.

Atrofi lambung dengan aklorhidria ; jarang

Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; pada defisiensi zat besi

jangka panjang.

Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari lapisan

kuku.

Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.

Satu gejala aneh yang cukup karakteristik untuk defisiensi zat besi adalah Pica,

dimana pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat dikendalikan terhadap

bahan seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan tanah liat (geofagia). Beberapa

dari bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi pada saluran

makanan, sehingga memperburuk defisiensi. Konsekuensi yang menyedihkan adalah

meningkatnya absorpsi timbal oleh usus halus sehingga dapat timbul toksisitas

timbale disebabkan paling sedikit sebagian karena gangguan sintesis heme dalam

jaringan saraf, proses yang didukung oleh defisiensi zat besi.

IV. Diagnosis Laboratorium

Penurunan cadangan zat besi

Pada stadium ini, aspirasi sum-sum tulang dengan pewarnaan prusian blue jelas

menunjukkan penurunan atau tidak adanya simpanan zat besi dalam makrofag.

Kondisi ini diikuti oleh penurunan kadar feritin serum.

Eritropoisis kekurangan zat besi

Kapasitas ikat besi total (TIBC) serum pertama-tama meningkat, lalu diikuti

penurunan mendadak zat besi serum. Akibatnya saturasi fungsional transferin

turun secara mencolok. Kadar saturasi transferin yang penting untuk mendukung

eritropoisis adalah sekitar 15%. Dibawah nilai ini, eritropoisis kekurangan zat besi

tidak dapat dihindarkan. Sel darah merah dalam sirkulasi menjadi lebih mikrositik dan

hipokromik. Hal ini diikuti oleh peningkatan FEP (Free Erytrocyte Protoporphyrin).

Page 6: Document1

Anemia defisiensi besi yang mencolok (stadium akhir).

Sel darah merah menjadi sangat hipokromik dan mikrositik

Sering hanya kerangka tipis sitoplasma yang muncul di tepi sel darah merah.

Fragmen kecil dan poikilositosis yang aneh juga dapat terlihat. Membran

eritrosit kaku, kelangsungan hidup sel darah merah ini lebih pendek dalam

sirkulasi.

Retikulosit ↓ (N: 50.000/ml³)

Leukosit N

Trombosit N/↑

Sum-sum tulang menunjukkan hiperplasia eritrosit sedang.

Reseptor transferin dilepaskan dari membran plasma sel dan dapat dideteksi

dalam plasma. Sumber utama transferin adalah sel hematopoitik di sum-sum

tulang.

Jumblah reseptor transferin dalam plasma meningkat pada pasien dengan

defisiensi besi, sehingga memberikan kemungkinan tes diagnostik lain untuk kondisi

ini.

V. Diagnosis Banding

Pada pasien dengan anemia hipokrom mikrositik, kemungkinan diagnostik utama

adalah anemia defisiensi besi, talasemia, anemia karena radang kronik, keracunan

timbal, dan anemia sideroblastik.

VI. Terapi

Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral seperti garam

besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa

ferosus). ²Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk

meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi

anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan

zat besi. CDC merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2

kali perhari bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang

mengandung zat besi dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Page 7: Document1

Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan. Sayangnya,

ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa penuh dan rasa

sakit yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi ini. ²Tetapi resiko

efek samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap,

menggunakan zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang mengandung

elemen besi yang rendah, salah satunya glukonat ferosus. ³Kompleks polisakarida zat

besi seringkali lebih berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun

kenyataannya tablet tersebut mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin

yang mengandung zat besi biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan

mengandung jumblah zat besi yang suboptimal. Retikulositosis dimulai 3-4 hari

setelah inisiasi terapi zat besi, dengan puncaknya sekitar 10 hari.

Pasien dapat tidak berespon dengan penggantian zat besi sebagai akibat dari:

Diagnosis yang tidak benar

Tidak patuh.

Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian.

Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll.

Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi, diperlukan penggantian zat

besi parenteral.

Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im setelah tes

dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi.

100 mg dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang setiap

minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya digunakan

pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan tersebut kedalam

dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit yang tidak dapat

dihilangkan.

Pemberian secara iv dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat menerima

suntikan im atau yang memerlukan koreksi defisiensi zat besi lebih cepat.

Pendekatan yang paling nyaman adalah dengan mengencerkan 500 mg

campuran tersebut kedalam 100 ml cairan salin steril dan memasukkan dosis

percobaan sebanyak 1 ml. jika tidak terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat

diberikan dalam 2 jam. Pemberian iv sampai 4 g zat besi dalam satu keadaan

memungkinkan koreksi defisiensi zat besi dalam satu sesi. Sekitar 20% dari

Page 8: Document1

pasien mengalami artralgia, menggigil dan demam yang tergantung dari dosis

yang diberikan dan dapat berlangsung sampai beberapa hari setelah infus.

Zat besi-dekstran harus digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua pasien

dengan artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu oleh

penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur gejala

tersebut. Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat besi-dekstran, jarang

muncul. Jika gejala awal muncul, infus dihentikan dan perbaikan keadaan

dengan benadril dan epinefrin dapat dimulai.

Jumlah zat besi yang diperlukan untuk penggantian dapat dihitung dari deficit

massa sel darah merah, dengan tambahan 1000 mg untuk mengganti cadangan

tubuh.

Transfusi darah jarang diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia

defisiensi zat besi yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau

cerebrovaskular.

VII. Prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan diketahui

penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan

manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan preparat besi.

b. Thalasemia

I. Definisi

Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh

berkurangnya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan hemoglobin

(HbA, α 2 β 2). Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam

hemoglobin. Nolmalnya HbA memiliki rantai polipeptida α dan β, dan yang paling

penting thalasemia dapat ditetapkan sebagai α - atau β -thalassemia.

II. Epidemiologi

Kelainan Hemoglobin pada awalnya endemik di 60% dari 229 negara, berpotensi

mempengaruhi 75% kelahiran. Namun sekarang cukup umum di 71% dari Negara

Negara di antara 89% kelahiran. Tabel 2.3-1 menunjukkan perkiraan prevalensi

Page 9: Document1

konservatif oleh WHO regional. Setidaknya 5,2% dari populasi dunia (dan lebih dari 7%

wanita hamil) membawa varian yang signifikan. S Hemoglobin membawa 40% carir

namun lebih dari 80% kelainan dikarenakan prevalensi pembawa local sangat tinggi.

Sekitar 85% dari gangguan sel sabil (sickle-cell disorders), dan lebih dari 70% seluruh

kelahiran terjadi di afrika. Selain itu, setidaknya 20% dari populasi dunia membawa

Thalassemia α

Diantara 1.1% pasangan suami istri mempunya resiko memiliki anak dengan kelainan

hemoglobin dan 2.7 per 1000 konsepsi terganggu. Pencegahan hanya memberikan

pengaruh yang kecil, pengaruh prevalensi kelahiran dikalkulasikan antara 2.55 per 1000.

Sebagian besar anak anak yang lahir dinegara berpenghasilan tinggi dapat bertahan

dengan kelainan kronik, sementara di Negara Negara yang berpengasilan rendah

meninggal sebelum usia 5 tahun. Kelainan hemoglobin memberikan kontribusi setara

dengan 3.4% kematian padan anak usia di bawah 5 tahun di seluruh dunia.

III. Klasifikasi

Di Indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia

hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler.

Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :

1. Thalasemia-α (gangguan pembentuakan rantai α).

2. Thalasemia-β (gangguan pembentukan rantai β).

3. Thalasemia- β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen nya di duga

berdekatan ).

4. Thalasemia –δ (gangguan pembentukan rantai δ)

IV. Patofisiologis

Mutasi pada β-Thalassemia meliputi delegi gen globin, mutasi daerah promotor,

penghentian mutasi dan mutasi lainnya. Terdapat relatif sedikit mutasi pada α-

Thalassemia. Penyebab utama adalah terdapatnya ketidakseimbangan rantai globin. Pada

sumsum tulang mutasi thalasemia mengganggu pematangan sel darah merah, sehingga

tidak efektifnya eritropoiesis akibat hiperaktif sumsum tulang, terdapat pula sedikit

Retikulosit dan anemia berat. Pada β-thalasemia terdapat kelebihan rantai globin α-yang

relatif terhadap β- dan γ-globin; tetramers-globin α (α4) terbentuk, dan ini berinteraksi

dengan membran eritrosit sehingga memperpendek hidup eritrosit, yang mengarah ke

Page 10: Document1

anemia dan meningkatkan produksi erythroid. Rantai globin γ-diproduksi dalam jumlah

yang normal, sehingga menyebabkan peningkatan Hb F (γ2 α2). Rantai δ-globin juga

diproduksi dalam jumlah normal, Hb A2 meningkat (α2 δ2) di β-Thalassemia. Pada α-

talasemia terdapat lebih sedikit-globin rantai α dan β-berlebihan dan rantai γ-globin.

Kelebihan rantai ini membentuk hb Bart (γ4) dalam kehidupan janin dan Hb H (β4)

setelah lahir. Tetramers abnormal ini tidak mematikan tetapi mengakibatkan hemolisis

extravascular.

Thalasemia –α

Seperti telah disebutkan diatas terdapat 2 gen α pada tiap haploid kromosom, sehingga

dapat di duga terjadi 4 macam kelainan pada thalasemia- α. Kelainan dapat terjadi pada 1

atau 2 gen pada satu kromosom atau beberapa gen pada seorang individu sehat.

Penelitian akhir akhir ini menunjukkan bahwa pada kelainan α- thalasemia-1 tidak

terbentuk rantai- α sama sekali, sedangkan α – thalasemia-2 masih ada sedikit

pembentukan rantai- α tersebut. Atas dasar tersebut, α-thalasemia-1 dan α-thalasemia-2

sekarang disebut α0- dan α-+- thalasemia.

Disamping kelainan pada pembentukan rantai α ini terdapat pula kelainan struktural

pada rantai α. Yang paling banyak di temukan ialah Hb constant spring. Pada Hb

constant spring terdapat rantai α dengan 172 asam amino, berarti 31 asam amino lebih

panjang daripada rantai α biasa. Kombinasi heterozigot antara α0- thalasemia dengan α-

+- thalasemia atau α0- thalasemia dengan Hb constant spring akan menimbulkan

penyakit HbH. Pada thalasemia α akan terjadi gejala klinis bila terdapat kombinasi gen

α0- thalasemia dengan gen- - lainnya.

Pada penyakit HbH, biasanya ditemukan anemia dengan pembesaran limpa. Anemia

biasa nya tidak membutuhkan tranfusi darah. Mudah terjadi serangan hemolisis akut

pada serangan infeksi berat. Kadar Hb biasanya 7-10 g%. Sediaan darah tepi biasanya

menunjukkan tanda tanda hipokromia. Terdapat pula retikulositosis (5-10%) dan

ditemukan inclusion bodies, pada sediaan hapus darah tepi yang di inkubasi dengan biru

brilian kresil. Pada elektroforesis ditemukan adanya HbA, H, A2 dan sedikit Hb Bart’s.

HbH jumlanya sekitar 5-40%, kadang kadang kurang atau lebih dari variasi itu. Pada

pemeriksaan sintesis rantai globulin (in vitro) dari retikulosis terdapat ketidak

seimbangan antara pembentukan rantai- α / β yaitu antara 0,5 sampai 0,25.

Thalasemia- β (Thalasemia major, cooley anemia)

Page 11: Document1

Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan thalasemia α, tetapi untuk kepentingan

klinis umumnya dibedakan antara thalasemia β0 dan thalasemia β+. Pada β0 thalasemia

tidak dibentuk rantai globin sama skali, sedangkan β+ thalasemia terdapat pengurangan

(10-50%) daripada produksi rantai globin β tersebut. Pembagian selanjutnya adalah

kadar HbA2 yang normal baik pada β0 maupun β+- thalasemia dalam bentuk

heterozigotnya. Bentuk homozigot dari β0 atau campuran antara β0 dengan β+ -

thalasemia yang berat akan menimbulkan gejala klinis yang berat yang memerlukan

tranfusi darah sejak permulaan kehidupannya. Tapi kadang kadang bentuk campuran ini

memberi gejala klinis ringan dan disebut thalasemia intermedia

V. Gejala Klinis

Penderita thalassemia minor biasanya asimtomatis dengan temuan normal pada

pemeriksaan fisik. Berbeda dengan -thalasemia mayor yang normal saat lahir tapi

berkembang menjadi anemia siknifikan sejak tahun pertama kelahiran. Jika kelainan

tersebut tidak teridentifikasi dan di terapi dengan tranfusi darah, pertumbuhan anak

sangat buruk dan disertai hepatoslenomegali masiv dan perluasan dari jarak medulla

dengan penjalaran pada cortex tulang. Perubahan tulang terlihat jelas pada deformitas

wajah gambar 2.7-1. (prominen dari kepala dan maksilla) dan hal ini juga sering

menyebabkan penderita thalasemia rentan terhadap fraktur patologis.

VI. Temuan Laboratorium

Anak dengan thalassemia minor pada screening memperlihatkan hasil normal

tapi suspect pertumbuhan dari penurunan MCV dengan atau tanpa anemia ringan.

Apusan darah tepi memperlihatkan hipokromik, target sel dan terkadang basofil

stipling. Hb elektroforesis memperlihatkan setelah usia 12-16 bulan selalu terdiagnisis

ketika lebel Hb A2 , Hb F, atau keduanya meningkat. Thalassemia mayor saat

skrening sering memperlihatkan Hb A negative. Saat lahir bayi tersebut memiliki

sistem hematologi yang normal namun berkembang menjadi anemia berat setelah

bulan pertama kelahiran. Karakteristik apusan darah tepi memperlihatkan hipokromik,

mikrositik anemia dengan anisocytosis dan poikilositosis. Sel target meningkat dan

nucleus sel darah merah sering memperlihatkan peningkatan dari pada sel darah putih.

Level Hb biasanya berada antara 5-6 g/dl atau lebih rendah. Retikulosit count sangat

meningkat. Perhitungan Platelet dan sel darah putih biasanya meningkat, dan serum

bilirubin juga meningkat. Sumsung tulang memperlihatkan erythroid hyperplasia tapi

Page 12: Document1

sulit untuk didiagnosa. Hb elekrteoporesis memperlihatkan hanya Hb F dan Hb A2

pada anak anak dengan thalassemia homozigot. Mereka dengan gen thalassemia

memiliki beberapa Hb A tetapi mengalami peningkatan pada Hb F dan Hb A2.

Diagnosis homozygot thalassemia sebaiknya juga diperkuat dengan temuan

thalassemia minor pada kedua orang tua penderita

VII. Tatalaksana

1. Medikamentosa

a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum

sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali

transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui

pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap

selesai transfusi darah.

b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek

kelasi besi.

c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel

darah merah

2. Bedah

Splenektomi, dengan indikasi:

a. Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan

peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur

b. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau

kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu

tahun.

Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia

dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan

tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih

berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-

spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan

transplantasi ini.

Page 13: Document1

3. Suportif

a. Tranfusi Darah

Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan

memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi

besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.

Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap

kenaikan Hb 1 g/dl.

c. Anemia Penyakit Kronis

I. Etiologi

Kemajuan dalam bidang antibiotik menyebabkan menurunnya kejadian infeksi kronis,

dan anemia karena infeksi. Derajat anemia sebanding dengan berat ringannya gejala,

seperti demam, penurunan berat , debilitas umum. Untuk terjadinya anemia

memerlukan memerlukan waktu 1-2 bulan pasaca infeksi.

Anemia pada inflamasi kronis secara fungisional sama seperti pada infeksi kronis,

tetapi mempunyai kepentingan lebih karena tidak adanya terapi yag efektif. Penyakit

kolagen dan arthritis merupakan penyebab terbanyak . enteritis regional, kolitis

ulseratif serta sindrome inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia penyakit kronis.

Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih dalam

stadium dini dan asimptomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia ini

biasanya disebut dengan anemia pada kanker (cancer-related anemia). Anemia pada

penyakit kronis ditandai dengan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan

gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin

III. Patogenesis anemia penyakit kronik

Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan

sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan banyak

penelitian. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin–sitokin proses inflamasi

seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF α), interleukin 1 dan interferon gama (γ) yang

diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat

terjadinya proses eritropoesis.

Page 14: Document1

Pada pasien artritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini

bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume plasma.

Pada pasien anemia penyakit kronik eritropoetin memang lebih rendah dari pasien

anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih tinggi dari orang – orang bukan penderita

anemia. Dari sejumlah penelitian disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan

memainkan peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain :

1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau menjadi

sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan binatang

yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit hal yang sama (panjaitan,

2003). Karena anemia yang terjadi pada penyakit kronis merupakan bagian dari

sindrom stres hematologik, pada keadaaan ini terjadi produksi sitokin yang

berlebih akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin ini dapat menyebabkan

sekuesterasi makrofag sehingga mengikat lebih banyak besi, menekan

eritropeitindan meningkatkan destruksi eritrosit sehingga menyebabkan umur

hidup eritrosit berkurang. (Supandiman et all, 2009)

Pada keadaan yang lebih lanjut dapat terjadi penurunan tranformasi T4 menjadi

T3, dimana terjadi hiptiroid fungsional yang akan menyebabkan penurunan

kebutuhan Hb sehingga sintesis eritropoetin juga berkurang (Supandiman et all,

2009)

2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit

kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit

kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita

infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan

merangsang binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin. (panjaitan, 2003).

3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai deposit

besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan

terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang

mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritroblast. (panjaitan, 2003).

4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari adanya

hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal

dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan

Page 15: Document1

makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons

terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya

produksi eritropoetin yang aktif secara biologis. (panjaitan, 2003).

5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang dilakukan oleh

suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.

(panjaitan, 2003).

6. Kegagalan produksi transferin. (panjaitan, 2003).

IV. Gambaran klinis

Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan

munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah

progresif atau stabil, dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita

tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. (Supandiman et all,

2009). Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit

yang mendasari (asimptomatik). Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru

yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya

kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan

mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular

degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio

intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan

angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral. Tanda fisik yang mungkin dapat

dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi. (panjaitan, 2003).

VII. Diagnosis Anemia Penyakit kronis

Pemeriksaan Laboratorium

Anemia umumnya berbentuk normokrom-normositer, meskipun banyak pasien

memberikan gambaran hipokrom mikrositer. Nilai retikulosit absolut dalam batas

normal atau sedikit meningkat. Sedangkan perubahan pada leukosit dan trombosit

tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya (Sudoyo, et al. 2007).

Page 16: Document1

Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi untuk diagnosis anemia

penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi atau inflamasi

dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin)

menurun sehingga menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada anemia

defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif mencukupi dengan meningkatkan

transfer Fe dari suatu persediaan yang kurang Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid

matur (Sudoyo, et al. 2007).

Anemia akibat penyakit kronis memberikan gambaran laboratorik sebagai

berikut :

Anemia ringan sampai sedang (Hb 7-11 g/dl) dengan hemoglobin jarang < 8 g/dl

Anemia bersifat normositer atau mikrositer ringan (MCV 75-90 fl)

Memberikan gambaran hipokromik dengan MCHC < 31 g/dl

Besi transferin sedikit menurun

Feritin serum normal atau meningkat

Kadar reseptor transferin normal

Pada pengecatan sumsum tulang, besi sumsum tulang normal atau meningkat dengan

butir-butir hemosiderin yang kasar (Bakta, 2007).

Perbedaan Parameter Fe Pada Orang Normal, Anemia Defisiensi Besi, dan Anemia Penyakit

Kronis

Parameter Kondisi

Normal

Anemia

Defisiensi

Besi

Anemia

Penyakit

Kronis

Fe plasma

(mg/L)

70-90 30 30

TIBC (μg/dl) 250-400 > 450 < 200

Persen

saturasi

30 7 15

Kandungan

Fe di

++ - +++

Page 17: Document1

makrofag

Feritin serum

(μg/L)

20-200 10 150

Reseptor

transferin

serum

8-28 > 28 8-28

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sumber : Weiss, et al, NEJM

VIII. Terapi

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.

Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain :

Transfusi

Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan gangguan hemodinamik. Tidak

ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberikan transfusi. Pada

Page 18: Document1

pasien anemia penyakit kronis yang terkena infark miokard, transfusi dapat menurunkan

angka kematian. Sedangkan pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb

dipertahankan sampai 10-11 g/dl.

Preparat Besi

Pemberian preparat besi dilakukan dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan

TNF-α. Sedangkan pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti

dapat meningkatkan kadar hemoglobin.

Eritropoetin

Pemberian eritropoetin terbukti bermanfaat pada pasien anemia akibat kanker, gagal

ginjal, mieloma multipel, artritis rheumatoid, dan penderita HIV. Eritropoetin mempunyai

efek antiinflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan interferon-γ. Tetapi

pemberian eritropoetin juga menyebabkan peningkatan proliferasi sel-sel kanker ginjal

dan rekurensi pada kanker kepala dan leher (Sudoyo, et al. 2007).

Apabila anemia akibat penyakit kronis disertai dengan defisiensi besi, maka

pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti

setelah hemoglobin mencapai kadar 9-10 g/dl (Bakta, 2007).

d. Anemia Sideroblastik

I. Definisi

Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang ditandai dengan

adanya sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam sirkulasi dan sumsum tulang. Anemia

sideroblastik primer dapat terjadi akibat cacat genetik pada kromosom X yang jarang

ditemukan (terutama dijumpai pada pria), atau dapat timbul secara spontan terutama

pada orang tua. Penyebab sekunder anemia soderoblastik adalah obat-obat tertentu,

misalnya beberapa obat kemoterapi dan ingesti timah. Anemia sideroblastik

merupakan anemia dengan cincin sideroblas (ring sideroblastik) dalam sumsum

tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai, tetapi perlu mendapat perhatian karena

merupakan salah satu diagnosis banding anemia hipokromik mikrositik.

II. Klasifikasi

Page 19: Document1

1. Anemia sideroblastik primer

a. Herediter sex linked sideroblastic anemia

b. Primary acuquired sideroblastic anemia (PASA) atau idiopatic acuired

sideroblastic anemia (IASA). Dapat dimasukkan disini adalah refractory anemia

with ring sideroblast (RARS) yang tergolong dalam sindrom mielodisplastic.

2. Anemia sideroblastik sekunder

a. Akibat obat ;INH, pirasinamid dan sikloserin

b. Akibat alkohol

c. Akibat keracunan timah hitam

d. Pyridoxin responsive anemia

III. Patofisiologi

Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan inkorporasi besi

ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan besi mengendap pada

mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan terlihat binyik-bintik yang

mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan

kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis inefektif dan

menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.

Anemia sideroblastik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu bentuk herediter

dan bentuk didapat.

1. Bentuk herediter

Jarang dijumpai, herediter dan sex linked (X-linked). Sebagian besar menunjukkan

bentuk defek enzim ALA synthetase.

2. Idiopathic acquired sideroblastic anemia

a. Mutasi somatik pada progenitor eritroid

b. Tergolong sebagai sindrom mielodisplastik

c. Menurut klasifikasi FAB sideroblastik sekunder disebut sebagai refractory anemia

with ring sideroblastik (RARS)

3. Anemia sideroblastik sekunder

Akibat alkohol, obat anti TBC: INH dan keracunan Pb.

4. Anemia yang responsif pada terapi piridoksin (piridoksin responsif anemia)

Page 20: Document1

Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin

(pembentukan heme)

Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin

dalam mitokondria

ring sideroblastik hipokromik mikrositer

eritropeisis inefektif

Skema patofisiologi anemia sideroblastik

IV. Gambaran Klinik

Gambaran anemia sideroblastik sangat bervariasi dimana pada bentuk yang didapat

dijumpai anemia refrakter terhadap pengobatan. Telah dilaporkan adanya suatu

sindroma anemia sideroblastik yang refrakter pada 4 orang anak dengan adanya

vakuolalisasi prekurser sel-sel sumsum dan gangguan fungsi eksokrin pancreas.

Anemia sideroblastik kongenital terjadi pada orang dewasa dengan berbagai proses

peradangan dan keganasan atau pada alkoholisme.

V. Gambaran Laboratorium

Pada anemia sideroblastik dijumpai :

1. Anemia bervariasi dari ringan sampai berat.

2. Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gamabaran populasi ganda (double

population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik mikrositer berdampingan

dengan normokromik normositer.

Page 21: Document1

3. Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama pada eritrosit,

kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.

4. Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.

5. Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian blue (memakai

biru prusia) dijumpai sideroblas cincin > 15 % dari sel eritroblas.

VI. Terapi

1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan

transfusi darah.

2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita bersifat

responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis 200-500

mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme triptofan atau

defensiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-

sintase.

2.2 Prinsip Penegakan Diagnosis Anemia

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity), yang

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar. Hal ini penting diperhatikan dalam

diagnosis anemia. Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak

mungkin hanya cukup dengan diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat

menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-tahap dalam

diagnosis anemia adalah :

- Menentukan adanya anemia

- Menentukan jenis anemia

- Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

- Menentukan ada tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan.

Pendekatan Diagnosis Anemia

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara lain :

- Pendekatan Tradisional.

Page 22: Document1

Pendekatan tradisonal adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah

diagnostik, baik diagnosis tentatif maupun difinitif.

- Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia

Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai adalah anemia defisiensi besi,

anemia akibat penyakit kronik, dan thalasemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa

pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia

defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusun oleh anemia akibat penyakit kronik

dan thalasemia. Pada perempuan hamil, anemia karena dfisiensi folat perlu diperhatikan.

Pada daerah tertentu anemia karena malaria masih sering ditemui. Pada anak-anak

tampaknya anemia karena thalasemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan anemia

penyakt kronik.

- Pendekatan Klinis

Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah :

(1) Kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia)

Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut. Anemia yang

timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan oleh pendarahan

akut, anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi penurunah Hb > 1

g/dl perminggu. Anemia hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti

misalnya akibat salah transfusi, atau hemolisis anemia akibat defisiensi G6DP, anemia

yang timbul akibat leukimia akut, krisis aplastik pada anemia hemolitik kronik. Anemia

yang timbul pelan-pelan biasanya disebabkan oleh defisiensi besi, defisiensi asam folat

atau vitamin B12, akibat penyakit kronik, atau anemia hemolitik kronik yang bersifat

kongenital.

(2) Berat ringannya derajat anemia

Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya

disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut,

anemia hemolitik didapat kongenital misalnya seperti pada thalasemia mayor, anemia

pasca pendarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal. Jenis anemia yang lebih

sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat adalah : anemia akibat

penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia trait. Jika pada ketika ketiga

Page 23: Document1

anemia tersebut dijumpai anemia berat, maka harus dipikirkan diagnosa lain yang dapat

meperberat derajat anemia tersebut.

(3) Gejala yang menonjol

Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih

menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada : anemia defisiensi besi,

anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan

anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal),

gejal-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol.

- Pendekatan Diagnostik Berdasarkan Hasil Laboratorium

Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinik dan laboratorik

merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang

cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan berdasarkan hasil pemeriksaan

laboratorium.

Page 24: Document1
Page 25: Document1

2.3 Pemeriksaan Umum Untuk Penilaian Anemia

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis

anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) pemeriksaan penyaring (screening test), 2)

pemeriksaan darah seri anemia, 3) pemeriksaan sum-sum tulang 4) pemeriksaan khusus.

1) Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin,

indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adnya anemia serta jenis

morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk diagnosis lebih lanjut.

2) Pemeriksaan darah seri anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, tromboait, hitung retikulosit, dan

laju endap darah (LED).

3) Pemeriksaan sum-sum tulang

Page 26: Document1

Pemeriksaan sum-sum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai

keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada

beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sum-sum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis

anemia aplastik, anemia megaloblastis, serta pada kelainan hematologik yang dapat

mensupresi sisem eritroid.

4) Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan ini anya dikerjakan atas indikasi khusus misalnya pada :

Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC (total iron binding capacity, saturasi transferin,

protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sum-sum

tulang.

Anemia megaloblatik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes

schiling.

Anemia hemolitik : bilirubin serum, test coomb, elektroforesis hemoglobin, dll.

Anemia aplastik : biopsi sum-sum tulang

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti pemeriksaan faal hati, faal

ginjal, atau faal tiroid