17 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 91
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 91
I
alam yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam
yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak
anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang
melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti
semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga
penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh
lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang
yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh
langkah. Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara
langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih
benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat
tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang
diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih
ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.
Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi
isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian
mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka
tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari
ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai
arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika
semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan,
berjumlah sepuluh orang.
Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat
pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum
tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru
kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong
mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
“Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis
pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang
dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus
berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan
perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 91
gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun
yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu
gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari
mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal
melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang
itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur
bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan
Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya.
Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya
mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak
lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.
Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri
samasekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu
geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam,
namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.
Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang
bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah
orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada
penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang
bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar. Sekarang,
tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam
keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya.
Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu
Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah
pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain,
Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi
kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis
lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang. Mereka itulah
anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke
perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit,
Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang
berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 91
Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata
perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh
Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari
gardu itu. “Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar
dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih
terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini
adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri,
lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau
ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya.
Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-
sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang
pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”
Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru.
Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu
pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah.
Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum
akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para
penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.
Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama.
Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali
dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itu berkata, “Ki Lurah, tak seorang penjaga pun
yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka
bertugas.”
“Bagus….” dengus Lawa Ijo, “Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
“Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman
melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-
kurusan, yang bernama Carang Lampit.
Lawa Ijo tertawa pendek. “Aku kira Mahesa Jenar tidak akan
kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat
diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan
keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 91
berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila
ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang
khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.
Setelah suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti,
Carang Lampit meneruskan laporannya, “Ki Lurah, menurut
penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu
kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang
penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah
berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”
“Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,”
dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu
pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah
yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh
Endang Widuri.
Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit
tertawa. “Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya
apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”
“Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. “Di desaku dahulu gadis-
gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan
memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin.
Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”
“Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,”
jawab Bagolan.
“Akulah orangnya,” jawab Jadipa.
Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang
dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap
berkata, “Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari
kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”
Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan
gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, “Aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 91
sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya.
Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”
Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo
berkata, “Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat
mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap
terpenting?”
“Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang
sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-
penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang
penjagapun,” jawab Carang Lampit.
Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut
laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru
bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan
Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di
perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-
beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang
menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba.
Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa
bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut
Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka
sendiri.”
“Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, “Gadis itu berkata demikian.”
Kemudian Lawa Ijo meneruskan, “Kalau demikian pekerjaan
kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali
menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka.
Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini
jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap
berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di
tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk
mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk
keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang
yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 91
memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan
demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar
Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai
Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu.
Ia menjadi bergembira sekali, seolah-olah Banyubiru telah jatuh
ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten.
Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan
bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia
mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali
pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para
pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba.
Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya.
Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu
sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-
nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada
keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar,
Widuri sendirilah yang telah bercerita.
Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, “Nah,
sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para
pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan
kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut
pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang
Lampit…?”
“Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang
Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati
Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-
tama akan memasuki pondok Rara Wilis.
Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah
dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 91
Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh.
Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan
bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan
segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba
ada di dalam kemah itu.
Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin
lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa
saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika
mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar,
Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir
beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk
kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo
tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin
marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu,
baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka.
Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.
Dalam pada itu, Widuri sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di
belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi
jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan
Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar.
Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.
Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang
mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk
mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka
kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja
menggenggam senjata mereka semakin erat.
Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari
perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, “Inikah pondok itu,
Carang Lampit?”
“Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, “Itulah mereka, para penjaga
yang jatuh tertidur.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 91
Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. Sahutnya,
“Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang
masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka
kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang
dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita
pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang
gila itu.”
Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia
menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga
sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa.
Meskipun ia samasekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu,
namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada
harus bertempur melawannya.
Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang
pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu,
karena di luar kembali terdengar suara. “Carang Lampit, bawalah
Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka
hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka
melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di
dalam pondok itu pula.”
“Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.
Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di
dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik
langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti
terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang
ada di dalam.
Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah
suara tertawa agak jauh dari pondok itu. Suara tertawa itu tidak
begitu keras dan samasekali tidak mengerikan. Orang-orang yang
berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di
luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar
pondok itu berkata, “Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 91
“Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.
“Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah
suara Lawa Ijo sendiri. “Masih ada orang yang dapat
membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, “Lawa Ijo, sebagai
penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
“Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.
“Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang
bernama Mantingan,” jawab suara itu.
“Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang
Mantingan yang sakti?”
“Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa
Ijo,” jawab Mantingan. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang
dalang.”
“Bagus….” jawab Lawa Ijo. “Bahwa kau dapat membebaskan
dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda
bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu
berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku.
Apakah kau sudah bosan hidup?”
“Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, “Aku
samasekali masih belum bosan hidup.”
“Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.
“Aku samasekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku
sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.
“Diam!” teriak Lawa Ijo marah. “Kemarilah dan katakan cara
apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah
menghina aku.”
“Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 91
“Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. “Kalau begitu,
pilihlah cara yang kau senangi untuk membunuhmu.”
Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan
renyah. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan bahwa aku masih
senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah
keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”
“Setan!” umpat Lawa Ijo. “Kalau begitu, aku akan
memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara
yang aku senangi.”
“Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan
mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu
memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.
Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia
berteriak kepada Wadas Gunung, “Wadas Gunung, tangkap orang
itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang
kepalanya.”
Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia
tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi
rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil
tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, “Ki Dalang
Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”
Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia
selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu. Mendengar suara
seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh
sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah
melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan
garangnya ia berkata, “Carang Lampit, ternyata masih ada orang-
orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”
Carang Lampit tidak menjawab, tetapi terdengar giginya
gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan
seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 91
tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati
panjang di tangan kiri.
Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di
bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah
berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang
Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas
menghadapinya. Segera ia meloncat ke samping, dan kemudian
berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian
dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit
menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis
menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas
pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.
Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-
mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi
kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah
pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui
bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan
salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal
itu. Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-
kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip.
Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan
Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, “Siapakah
orang itu?”.
“Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang
anak buahnya.
“Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. “Aku ingin
menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
“Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.
“Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago.
Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup.
Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 91
sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari
tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
“Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.
Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi
setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah
pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia
melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri.
Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah
pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua
langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.
Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya,
menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia
seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan,
tidak akan banyak membuang tenaga.
Ketika ia tetap berdiri beberapa langkah dari mantingan masih
saja ia sempat berkata, “Hai Mantingan. Kalau kau mencoba
melawan maka kau akan menyesal”
Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia
melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki
pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi
Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan
untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap
bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu
berbahaya.
Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa
Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras
ia mengulangi, “Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku?
Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan
demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami
penderitaan pada saat akhirmu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 91
Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja
menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar
dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu
terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke
arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas.
Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak
memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia meloncat keluar
dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali.
Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat
berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang
lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka
samasekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi
Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau
di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup
terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu
yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka
untuk melawan Wirasaba. Namun yang samasekali diluar
perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun
telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya
Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah
gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah
rantai perak sebesar ibu jari. Untuk beberapa saat mereka menjadi
heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa
mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi
mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang,
sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya
berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap
penjuru. Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa
Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan
Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis
dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan
ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus
mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor
burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 91
Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian
menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir
tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam
kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.
Perkelahian antara anak buahnya dengan beberapa orang yang
muncul dari dalam pondok
yang telah hampir saja
dimasukinya. Apalagi kemudi-
an ketajaman matanya dapat
menangkap bahwa yang
bertempur itu adalah dua
orang gadis, seorang anak
muda disamping orang yang
gagah dan bersenjatakan ka-
pak. Bahkan kemudian tanpa
disengaja ia bergumam, “Sia-
pakah mereka itu?”
Dan tanpa disengaja pula
Mantingan menjawab, “Mereka
itulah yang telah kau sebut-
sebut namanya.”
Lawa Ijo tidak berkata-
kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran
itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat
dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota
gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang
Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar
dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan
gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung
menyerang lawannya. Disamping itu masih ada lagi cahaya yang
berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang
sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya.
Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di
lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 91
maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini
cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang
kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-
kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk
kemudian membelitnya. Meskipun demikian, meskipun Endang
Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun
sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun
anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa
pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak. Di sebelah
lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak
pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun
kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian
membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya.
Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba
menyerangnya dari arah yang berlawanan.
Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban
melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya
dari Lawa Ijo. Ia samasekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis
adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan
kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi
lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka
itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula
harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya
sendiri. Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa
bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota
gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis
dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka
sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya.
Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang
seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa
Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah
bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.
Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang
bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 91
ketika ia melihat Wadas Gunung samasekali tidak berdaya
menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus
membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan
dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua
orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya
Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk
melawannya bertiga, samasekali tidak menyulitkan anak muda itu.
Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan
Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu.
Ia merasa bahwa gadis kecil itu samasekali bukanlah pekerjaan
yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir
saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri,
barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena
itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar
melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir
seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan
namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya. Wirasaba
sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya.
Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa
Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu.
Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah
benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan
kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.
Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu,
dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan
Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik.
Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang
banyak tingkah itu.” Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa
Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”
Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-
kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak
akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 91
Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo
sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk
mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”
Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak
terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak
maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami
akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak
dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga
seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya
kami saja yang membunuh kalian.”
Juga, kata-Kata Endang Widuri itu samasekali juga tidak
terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah.
Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan
Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap
hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan
sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka. Karena kemarahan
Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, “He, Wadas
Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah
gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan
kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan
kalian.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar
tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap
perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang
mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah
meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan,
sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari
barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat.
Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta
kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi
bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.
Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu
mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 91
murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar
dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang
diberikan kepada murid mudanya itu. Meskipun demikian karena
pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah
orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah
ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang
lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan
sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh
tangannya.
Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang
yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan
Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-
olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu
diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan
sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.
Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan
Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir
Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam
jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut
ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya. Hampir
setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu
benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi
kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari
Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi
itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat. Karena itulah
kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah
terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata.
Demikianlah ketekunan kakeknya itu, samasekali tidak sia-sia.
Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali,
meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir,
yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di
Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat
perhitungan dengan janda ayahnya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 91
Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur
melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia
samasekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya
telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan
tenaganya untuk menekan lawannya.
Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan
Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya.
Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah
bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan
pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka samasekali
tidak putus asa.
Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia
tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu
kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah
mendekati lingkaran pertempuran.
Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat
Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang
bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di
belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu
seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut
dengan penuh gairah.
Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu
semakin lama menjadi semakin terdesak.
Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia
menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat
menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan
pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya.
Karena itu segera ia berkata, “Lawa Ijo, apa yang akan kau
lakukan?”
Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk,
menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, “Aku akan
membunuh mereka itu satu demi satu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 91
“Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.
Hati Lawa Ijo yang sedang menyala-nyala itu menjadi seperti
disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu
ia menjawab sambil berteriak, “Kau…!”
Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya
itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar
tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau
belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, “Aku
bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku
merah. Setelah itu, baru yang lain.”
Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu
ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan
cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak
memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas.
Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya,
kemudian menyerang kembali dengan ganasnya.
II
Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang
tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang,
menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak
henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya
dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-
putar ke arah badai bertiup. Dengan demikian Mantingan selalu
dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi
yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup
diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya
dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-
ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya
kesaktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga
sasarannya seolah-olah samasekali tidak mendapat tempat untuk
mengelak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 91
Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid
Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng
menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan
berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun
berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk
penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai
ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar
biasa. Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan
dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung
Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu
warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh
Mantingan dari gurunya. Oleh karena itu Mantingan harus berjuang
sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran
bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat
menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah
bekerja lebih tekun lagi.
Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas
sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai
tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah
cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur
dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali
ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak
terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-
cara yang kasar dan curang.
Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan
tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang
menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah
bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai
seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke
tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan
yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan
sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan
pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 91
gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman
itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.
Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa
ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus
berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak
ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur.
Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap
saat dan keadaan untuk membantu dirinya. Meskipun demikian
hati Mantingan mengeluh juga. “Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya.
“Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang
sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan
Carang Lampit.”
Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran
pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati.
Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis
harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan
demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari
serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang
dahsyat. Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum
dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih
mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak
musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat
merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia
tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk
kepalanya. Gadis itu bertempur samasekali seenaknya saja,
meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh
pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai
di kedua tangannya. Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu
banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan.
Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis.
Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti
baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari
patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 91
Lawa Ijo yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin
melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan
mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa
Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya,
sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk
menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan
kini tinggal mampu mempertahankan diri.
Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk
memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap
Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti
kedudukannya.
Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang.
Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-
lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi
lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan
dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan
dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang
seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran
anginnya. Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh
Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus
menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan
rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening. Segera
Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak
habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa
melampaui tenaga Widuri. Sadar akan kelebihannya maka sekali-
kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya.
dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap
serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini.
Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak
menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang
terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan
rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam
kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan
memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 91
akan merampas bola-bola besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan
anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-
aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo
yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak.
Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher
seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam
benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini.
Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang
kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia
berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan
dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan
sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang
dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi
ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang
timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada
kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap
saat terancam akan terlepas dari lehernya.
Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan
lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang
lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan
pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking
dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih.
Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan
perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran.
Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat
mengalahkan Wirasaba.
Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu
pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi
peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun
menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud
untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-
lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 91
menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin
berbahaya.
Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk
mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar
telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya
terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru.
Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia samasekali
tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan
Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah
maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak
kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan
dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam
keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih
cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.
Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin
segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama
usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh
kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring.
Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari
matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala.
Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa
maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin
bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan.
Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih
melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu
bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka
itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka,
supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika Lawa Ijo sudah
siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan
membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir
kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama
sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun
demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat
Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 91
diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama.
Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan
menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun
dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu
pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab
kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan
udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas
itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh
kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam.
Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan
garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang
sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat
kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang
membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan
tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan
demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke
depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan
dua pisau belati di tangan.
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba
terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh
terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada
Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika
ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya
Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah
merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah
Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat
keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia
berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo. Karena
untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang
terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada
Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului
gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur
Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas
Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan
langkah terakhir Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 91
Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa
Ijo samasekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi
semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari
mulutnya terdengar umpatan, “Persetan kau Tembini. Matilah kau
kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita
sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang
memalukan.”
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang
bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat
berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu
Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti
Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.
Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata
ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti
selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti
lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya
dengan sesukanya. Memang, beberapa kali Bagolan telah
merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri.
Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil
itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu
bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan
terkelupas habis.
Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah
menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang
membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya
api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun
yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak
bersama-sama dan mati bersama-sama sekali pun. Ia akan
membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan
Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak
muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke
arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang
manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, “Paman
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 91
Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara.
Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini.
Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur
mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan
Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah
aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah
dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk
sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.”
Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya
untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu
hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian
marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di
tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan
Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?
Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap
arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja
bertempur melawan Arya Salaka.
Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini
tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran
berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis
melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan
Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.
Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan
bertanya, “Di manakah lawan Angger tadi…?”
Arya Salaka masih saja tersenyum. “Aku terpaksa membunuh
mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar
peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba
membunuh aku pula.”
“Kau bunuh mereka bertiga…?” Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo
berteriak.
“Maaf Lawa Ijo.” jawab Arya Salaka. “Anak buahmu itu terlalu
keras kepala,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 91
Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang
berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking,
Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka.
Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah
Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai
Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi
berteriak, “Benar kau lakukan pembunuhan itu?”
“Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar
membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada
membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua
berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya
bukan main.”
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, “Ialah Kyai Sada
Gebang. Kau bunuh juga orang itu?”
Terpaksa, gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain
yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh
ketiga orangnya yang samasekali bukan orang-orang kebanyakan,
Dan sekarang anak itu datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah
dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin
membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin
membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat
perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru
yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang
berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh
daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.
Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk
menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa
bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu
dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-
benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 91
orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi
kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia,
maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan,
kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-
tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira
rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar
itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo
itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia
menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku
jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup
tanpa kepala.
“Gila!” geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan,
telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak
yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula,
menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.
Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang
maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya
yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa
membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba
menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh,
membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau
ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh
dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa
orang-orang itu samasekali tidak menghargainya, tidak merasa
ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat
hukuman.
Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka,
sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-
olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di
sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu
pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 91
Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang
akan terjadi dengan Arya Salaka? Mantingan sendiri mengalami
kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi
hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya
dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo.
Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan
yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya,
langsung mengarah ke ulu hati lawannya. Lawa Ijo pun terkejut
melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan.
Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih
sempat dihindarinya.
Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut
merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa sesadarnya,
udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan
sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang
kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi
terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat
dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang
berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji
Alas Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan
untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk
melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan
itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah
suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan
pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik
menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk
mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang
berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan
kekuatan di dalam tubuhnya. Demikianlah, maka Arya Salaka
seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan
simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun
ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-
saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap
perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 91
Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur
pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak,
percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-
tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang
menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh
wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai
ujud jasmaniahnya sendiri.
Dalam keadaan yang
demikianlah Arya Salaka
bertempur dengan gigihnya
melawan Lawa Ijo. Sebagai
seorang pemuda yang sedang
berkembang, ia memiliki
semangat yang luar biasa.
Otot-ototnya yang mulai
tampak berjalur-jalur di bawah
kulitnya telah membentuk
tubuhnya menjadi bertambah
serasi dengan wajahnya yang
keras penuh daya juang dan
penuh harapan bagi masa
depan.
Mantingan melihat pertem-
puran itu seperti terpaku di
tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan
menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam
keadaan sedemikian baiknya. Ia samasekali tidak menyangka
bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi
seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya
bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya
sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata
bahwa Arya Salaka samasekali tidak mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang
memancarkan panas, sepanas api.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 91
Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda
dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik
pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah
sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah samasekali tidak
merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu. Meskipun
demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka
bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak
itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya.
Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan
tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur
berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun ia yakin bahwa
seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka
akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun
barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh
Lawa Ijo.
Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran
itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam
erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya
Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti
burung rajawali raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-
benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya
menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram
dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di
dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya.
Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak
muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas
Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas
pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya
menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia
merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya
berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar,
yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera
pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 91
Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang
gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan
gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan
Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah
banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah
beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan
dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya
dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal
beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang
dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak.
Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.
Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk
menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita
untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-
kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan
Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi
saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam
itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena
Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah
sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi
suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki
kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada
Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih
ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh
ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.
Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya
mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah
membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar
dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda
yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 91
kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang
dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang
muda itu.
Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan
akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika
sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran
yang lain. Tak ada tanda-tanda samasekali bahwa anak buahnya
dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya
ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar
mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung
samasekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak
pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih bertempur pula
dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan. Di
kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di
tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di
mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri
membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama
Bagolan samasekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai
berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi
lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi,
Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya Bagolan menjadi marah
juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur.
Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena
peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia
ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah
sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil
itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan
rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah
mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja
Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada
perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri
masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang
sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 91
berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena
itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.
Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata
jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan
tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar
seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun
yang lalu di hutan Tambak Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan
ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi
ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu
samasekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut
penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari
Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan
di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil
menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan
Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya.
Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang
tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan
sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar.
Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari
Rawa Pening. Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari
mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah
yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan
cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas
sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata
pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan
tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha
Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi
gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia samasekali
tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring
dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 91
Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik
pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis
dan Endang Widuri disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan
lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya
Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah
untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak
buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa.
Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa
Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri samasekali belum bermaksud meninggalkan
pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia
mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-
sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-
sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo
tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk
mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun
benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan
kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati
pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka
tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang
Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap
bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.
Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran
itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka
bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam
hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya
Salaka bertempur sendiri.
Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia
mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata,
“Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju
bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan
membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 91
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan
menjawab, “Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura
untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang
kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan
beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan
sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah
untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat
berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu
Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap
itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah
bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun
anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk
mengalahkannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah
bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka
ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran,
apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran
itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah
pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi
kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?
Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan.
Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-
kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya.
Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu
kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi
kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring
sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu
kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi
dengan nada yang lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu,
ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 91
Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, “Tangkap iblis dari
Mentaok ini.”
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan
mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk
beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur.
Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia
sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya
menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di
sisi itu. Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan
dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini
bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah
bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak
mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil
itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat kepalanya
letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat di samping
mereka berdiri.
Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang
kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias
bibirnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi
terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti
yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan
anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka
bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.
III
Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam
keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah
bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang
memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 91
Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta
menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan
jelek.
“Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan
nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti
bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, “Apakah yang
telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya
terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang
sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud
kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak
buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, “Kalian telah
melakukan beberapa kesalahan.”
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua
telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan.
Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat
orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka
dengan sebuah tuntutan yang mengerikan. Tetapi mereka tidak
akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka
sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat
diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu
kemudian terdengar Mantingan menjawab, “Tidak ada sesuatu
yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan
selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi
oleh murid Tuan sendiri.”
“Hem….” terdengar Pasingsingan mendengus. “Kau tahu
dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”
“Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab
Mantingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 91
“Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau
demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku
dengan baik pula.”
Mantingan mengangguk.
“Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. “Kenapa
kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”
Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan
sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun
demikian ia menjawab. “Kami samasekali tidak melakukan
pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk
menyelamatkan diri kami.”
“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu
tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya
seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu.
Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang
memburu. Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang
bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab Mantingan pendek.
“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang
pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan
perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya.
Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam. Meskipun
Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang
mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang
tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu
Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan
darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 91
lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar
sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat. Bahkan
kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin
ikut dalam permainan anak-anak ini?.”
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya
dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga
didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam.
Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri.
Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang
yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat
dibenarkan untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang
menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai
suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?”
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh
jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah
mendahuluinya menjawab. “Dibelakang sayap indukmu kau masih
mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami samasekali tidak seperti
orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang
ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat
bilalang terbang.”
“Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba
tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang
mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan
tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau
dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani
memperdengarkan tertawanya.
“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang
yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-
tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya.
Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”
Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa
seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 91
cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-
tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh
disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah
tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila
iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis,
berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia
merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula. Dengan
menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”
“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu,
siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa
takut-takut.
Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang
sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya,
tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia
masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun
sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas
sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap
tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka
Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina
oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu
ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah
berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia samasekali
tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga
terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih
sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka
dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu
diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga
berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-
tama akan menerima hukuman”. Sehabis kalimat itu, mulailah
Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua
orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak
mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak
tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 91
menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan
trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis
dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.
Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan
dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak.
Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah
tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung
berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya. Melihat
sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai
seorang yang berilmu tinggi, ia samasekali tidak takut menghadapi
barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya
bergumam di belakang topengnya. Kemudian terdengar
Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian.
Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh
gadis gila itu.” Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata-
katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam
ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah
gadis kecil itu.”
Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika
ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya.
Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan
heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah
Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”
“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.
“Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.
Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya
yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang
menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram.
Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret
pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.
Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak
istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 91
perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa
sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh
keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang
memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar,
berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar. Beberapa kali
terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin
pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.
Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan
ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung.
Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah
suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak
terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”
Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan.
Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan sekali lagi ia
bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”
Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.
Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang
mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.
Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah
mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni
perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk
membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah
setitik cahaya terang di dalam dada mereka.
Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam,
terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah-
mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan
kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi
merupakan umpan-umpan yang samasekali tak berarti bagi
Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya
dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 91
Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu
pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi,
suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh
tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-
daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga
ini. Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan
suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah
dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa
tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian yakin
akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih
cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk
menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan
sama saja akibatnya bagi kalian.” Kemudian kepada Lawa Ijo ia
berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat
datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”
“Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya
menatap wajah Endang Widuri.
“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya
Pasingsingan.
Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan
apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”
“Pergilah,” dengus Pasingsingan.
Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir
hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah
abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.
Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk
dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali. Meskipun
mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu
Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka,
semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 91
Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar-
lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah
dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus
ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar
seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada
kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang
tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya
kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar
melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan
Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam.
Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk
kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan.
Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya
samasekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan
menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.
Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat
menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya.
Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata
yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan
cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri
untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-
lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara
Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun
kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang
dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di
dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa
mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup
lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa
Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk
menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda
itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan
perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir.
Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 91
dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin pusaran
mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak
pernah mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran
bersama, namun karena pengalaman mereka masing-masing,
segera mereka dapat menyesuaikan diri. Ternyata gerak mereka
dapat sedikit menolong memperpanjang waktu. Mula-mula
Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan
terhadap rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-
ganti dari segenap arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat
pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut berputar pula
mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada tempat
yang tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa Rara Wilis yang
berdiri di belakang Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya
dapat membantu melawan iblis yang mengerikan itu, disamping
serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka dari arah
yang lain. Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil
menyerang Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya
untuk menghindari sambaran tangan Pasingsingan sambil
mengacungkan senjatanya. Tetapi dengan demikian
pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan berhasil
meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba
menyerangnya ketika Pasingsingan sedang terapung di udara.
Tetapi kapak raksasanya itu terayun menebas angin. Dengan
menggeliat Pasingsingan berhasil menghindari sambaran kapak
itu. Namun sayang bahwa demikian kakinya menjejak tanah,
terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil
menghindar, terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia
berusaha memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga
sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia sudah
siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar
seperti baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh
jubahnya. Sekali lagi Pasingsingan berdesis marah. Tetapi
demikian ia siap untuk menyerang dari bawah ke arah tubuh
Endang Widuri, teringatlah ia akan pesan muridnya, sehingga
maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi semakin
marah. Terasa sesuatu menyumbat dadanya, sehingga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 91
terdengarlah giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari
saluran untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa
tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci itu berhasil
mengenainya, meskipun hanya jubahnya. Dalam kemarahan yang
memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan
bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu
memancarlah cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru.
Ternyata di tangan iblis itu tergenggam sebuah pisau belati
panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka
Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu di
tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, “Aku masih berbaik
hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan
senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar
jangkrik dengan ilmu Alas Kobar.”
Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya
gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu.
Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-
bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi
meskipun demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur
sampai tenaga terakhir, sampai tetes darah terakhir pula.
Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi. Ia
sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di
lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam
pertempuran melawan Lawa Ijo. Pasingsingan mengharap Lawa Ijo
dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu
yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah
akhirnya terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan
bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti bayangan
hantu di malam yang kelam menyerang dengan dahsyatnya.
Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari
pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan
bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa
iblis itu hancur bersama dengan mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 91
Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan
dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran
keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.
Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai pada titik
tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul dengan
sebuah sapa yang tergesa-gesa, “Selamat malam Pasingsingan
muda, yang pernah bergelar Umbaran.”
Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia
mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena itu,
sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat
mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia
memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya
itu.
Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang
tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah
yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran
pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut
menyebut nama orang itu dengan penuh harapan dan
kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka.
Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng
jeleknya, “Mahesa Jenar.”
“Ya,” jawab orang itu. “Hampir aku terlambat datang.”
Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia
heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu jauh lebih
cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo setidak-
tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya
membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu.
Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang
dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya yang
sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 91
Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah
mendapat suatu firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya
mereka memacu kuda mereka seperti anak panah. Mereka
menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain di
tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan
mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.
Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan daerah
perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai
perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh
kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Alangkah sejuknya malam.”
Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak
pada tempatnya, karena itu ia menjawab, “Sejuk, bahkan terlalu
sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar
sampai menggigit tulang.”
Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah
kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat mengetahuinya
bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu
tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar
berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah
perkemahan anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak
hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin
menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa
yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.
Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, “Ya, alangkah
sejuknya malam.”
Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya
dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh
perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun
berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi
yang telah menggigil kedinginan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 91
Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, “Alangkah
anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala.
Kalau malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi
agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak merasakan betapa
tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda
mereka.”
“Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran.
“Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian
menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela.
Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan
makan, namun laparnya bukan main.”
Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-
sela suara tertawanya. “Kakang Bantaran. Untunglah bahwa
tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang Pamingit,
sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.”
Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa
Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka sudah tidak
mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah
terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi
sesuatu.
Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk
tidak menggelisahkan pengikutnya. “Apakah yang telah
mempengaruhi udara malam ini Kakang?”
“Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas
kudanya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sirep,” desis Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Kanigara singkat.
Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka
berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin terasa pengaruh
yang aneh mengalir menurut angin lembah menyentuh-nyentuh
tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 91
menguap sambil menggerutu, “Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu
begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”
“Kami terlalu letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.
Mendengar pembicaraan
mereka, Kebo Kanigara men-
jadi cemas. Maka katanya
kepada Mahesa Jenar, “Kita
beritahu mereka, supaya me-
reka berjuang memperta-
hankan kesadaran mereka. Se-
dang Paman Wanamerta, aku
kira mempunyai kemampuan
yang cukup dalam tubuhnya
yang telah tua dan penuh
pengalaman itu.”
“Baiklah Kakang,” jawab
Mahesa Jenar.
Kemudian Kebo Kanigara
melambaikan tangannya dan
sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu yang
hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah
menyusulnya.
“Adakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus,” sahut Kebo Kanigara, “Itu pertanda bahwa perasaan
kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan
perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau
tidak.”
Mereka menggeleng bersama-sama.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 91
“Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang
khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah kalian alami
selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu
ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”
“Sirep,” potong mereka hampir bersamaan.
Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, “Ya, kalian
merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian
harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian
sedang mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan
segenap kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu
kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan.
Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka untuk
menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka
tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan
pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang
baik di dalam usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-
masing.
Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya iapun
sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya. Kemudian
terdengarlah ia bergumam, “Hem…. Untunglah Angger Kebo
Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan
sembarang kantuk.”
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, “Nah, kalau
demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil
berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah
berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa
orang menghadang perjalanan ini dan melubangi tempat nasi
kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.”
Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun
mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 91
Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan
mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam.
Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi
semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu
terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti ratusan
kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka
dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan
mereka menjadi semakin tidak tenteram.
Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di
dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang
di tengah jalan. Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka
pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera
mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian
terdengarlah Kebo Kanigara berbisik, “Mereka benar-benar
menghadang perjalanan kita.”
“Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak
kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.
“Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa
Jenar.
Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam dada
Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang sangat penting di
dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya Salaka,
sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di
tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya.
Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-
saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi bertambah nyata.
Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud
Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-
satunya putri yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun
apabila salah seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 91
itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai, siapapun
yang sedang berada di sana.
“Kalau begitu….” akhirnya Kebo Kanigara mengambil
keputusan, “Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang
itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu.
Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang perjalanan
kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.”
“Baik Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak
menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa Jenar meloncat
dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik gerumbul-
gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan
tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke
perkemahan di Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh
lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun
sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang
yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-
angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah
perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat
derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia
samasekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara
pasti akan dapat mengatasi keadaan.
Dalam pada itu, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun
terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan
kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya
ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, “Bawalah
kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita.
Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”
Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-
orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya
sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka.
Namun mereka masih tetap berada di atasnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 91
IV
Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah,
bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil
berkata dengan suara yang menakutkan, “Siapa kalian?”
“Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.
“Hem….” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah
Lawa Ijo. “Kalian mau ke mana?”
“Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.
“Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.
“Dari manakah kalian?” Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara
merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin
memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan.
Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. “Aku
datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku.
Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah
sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?”
Lawa Ijo tertawa, jawabnya, “Jarang-jarang aku menemui
pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku.
Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”
“Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur
kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu
Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya.
Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang
rombongan berkuda itu. “Berapa orang kalian semuanya?”
“Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.
“Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang
seorang?” tanya Lawa Ijo pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 91
Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan
yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan
menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu
Kanigara berkata lantang, “Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa
lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”
Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh
penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai
ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar
seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak
lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi
marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan
memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah
menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak
cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu
Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati
ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun
ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari
rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.
Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya,
“Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau
turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini.
Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa
Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi
keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke
perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke
Banyubiru.”
Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya
ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa
demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-
orang dari kalangan hitam. Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa
benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan
tajamnya ia menjawab, “Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau
pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan
diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 91
dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan.
Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau
pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru.
Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan
kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada
tempatnya.”
Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang
menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia
merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi,
bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati
itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, “Kau benar. Ternyata
otakmu terang seperti bintang-
bintang di langit itu. Karena itu
seharusnya kau juga mengerti
bahwa orang-orang Banyubiru
dan orang-orang yang datang
bersama Mahesa Jenar telah
habis terbunuh. Karena itu
maka sekarang datang giliran
padamu dan orang-orang yang
datang bersertamu itu.”
Kanigara mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak
yakin bahwa kata-kata Lawa
Ijo itu benar-benar telah
terjadi. Sebab dengan
demikian tidak perlu agaknya
bagi Lawa Ijo untuk
mencegatnya di perjalanan,
meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa
yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti
Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan
membunuhnya di sana pula, atau samasekali membiarkan hidup
apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 91
Dengah demikian maka Kanigara menjawab, “Jangan
membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu
menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja
kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku
menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya
di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar
Pasingsingan barangkali…?”
Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar
berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia
merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari
bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia
berkata, “Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku
berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang
yang ditemuinya.”
Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa
Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda
itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju.
Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut.
Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu.
Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke
samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo
Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar
dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba
terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya.
Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap
kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya
di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-
benar keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun
ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah
tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang
Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat
mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak
yang samasekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo
Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 91
sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah
melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi
yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti
seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya
menyambar mangsanya. Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya.
“Gila,” gumamnya, “Siapakah orang ini?”
Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan
nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang
berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara.
Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga
kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.
Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk
menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo
kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo
itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang
yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu
menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung
kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang
mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian
sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo
berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.
Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang
melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja kekuatannya yang
maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya
ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan
kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi
orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-
tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun
hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara
itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke
dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring.
Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan
meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi
melihat di udara ada seekor elang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 91
Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat
ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-
kawannya menuju ke perkemahan. “Ayolah kita tinggalkan tempat
celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-
mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”
Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak
lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa
melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh
dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda
memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk
kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor
kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.
Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri
diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan.
Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak
karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa
tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai
ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang
menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak
demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa
bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan
bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga
kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu.
Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap
orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu
diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang
telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar
bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah
bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih
menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat,
“Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi
menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 91
“Hem….” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya,
“Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”
Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia
sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan
dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya
tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan
Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang-
orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya
menyambar Arya Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan
seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi
semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat.
Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan
belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.
Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin
marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi,
“Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama
itu?”
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, “Tuan, aku pernah
berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun
Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan
bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki
Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang
tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan.
Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”
“Hem….” Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih
mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa
Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan
muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia
bertanya lebih lanjut, “Adakah ceritanya itu menarik?”
“Entahlah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi ceritanya itu ada
sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 91
Dengan gelisah Pasingsingan mendesak, “Jawab ptanyaanku.
Siapakah yang kau maksudkan dengan Pasingsingan muda itu”
“Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.
“Pasingsingan sahabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak
ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki
Ageng Pandan Alas.”
“Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau.
Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan
semakin marah.
“Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, “Bukankah Tuan
ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan
muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan
cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu
di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka
adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu,
belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia
samasekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang
itu juga bernama Pasingsingan.”
“Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
“Dengar dahulu Tuan….” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa
memperdulikan teriakan Pasingsingan. “Aku benar bertemu
dengan Pasingsingan satu lagi.”
Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin
mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan
Pasingsingan yang satu itu.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah
Tuan tidak percaya?- “
“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang
mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 91
“Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung
Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.
“Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi
tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.
“Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi
kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia
merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan
dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-
kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan
yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti
pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan.
Karena itu dengan marahnya ia menggeram, “Nah, sekarang aku
tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-
sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku
mencapai ujung cemara itu.”
Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata
Pasingsingan itu dan berkata terus, “Dua orang Pasingsingan
sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah
lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku
mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu
lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu.
Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda
dan bernama Umbaran.”
Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang
mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu
menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu
menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya
menyelidiki, “Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa
betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu.
“Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar
pura-pura.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 91
“Tentu,” Pasingsingan menegaskan, “Tak ada duanya di dunia
ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya
Pasingsingan itu.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, “Ternyata Tuan yang
menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak
pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang
Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah
mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu
Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti
yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama
Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian
berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu
Umbaran.”
Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun
Mahesa Jenar berkata terus, “Sayang bahwa Pasingsingan yang
sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah
Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”
Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, “Tutup mulutmu,
dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu
diri.”
Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa
Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya
Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula.
Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian
terdengar ia berkata, “Apakah untung kami untuk bertempur
bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita
menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang
sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba
mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat
menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku
dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 91
Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu,
sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, “Adi
Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini
Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”
Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam
dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa
terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur
melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia
tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian
Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar.
“Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini,
supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena
kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat
terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku
patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau
kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”
Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma
mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan.
Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar,
sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung
perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap
dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan
akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka,
untuk membiarkan hal itu terjadi.
Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa
Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan
kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan
mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu
karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh
deru gelombang.
Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa
Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang
anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 91
selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari
tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah
pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam
sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup
menggoncangkan dada mereka yang melihatnya.
Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan
memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa
tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat
berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu.
Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi
marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa
dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan
dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.
Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap
acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa
Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang
menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya.
Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu
hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran
anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja
dilontarkan.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir
copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak
sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran
melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya
bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah
pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.
Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri.
Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa
Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan
menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi.
Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 91
ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya samasekali tak
berarti.
Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya.
Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk
kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa
yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap
Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan
dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya.
Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang
tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.
Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut.
Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan
udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh
tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang
melawan ilmu Gelap Ngampar itu. Demikian dahsyatnya ilmu itu,
sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh
tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku,
dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang
mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah
Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh
tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian
dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke
dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak
rontok. Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih
mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian pula yang
lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.
Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu.
Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di
alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki
Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu
dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada
ilmu yang dinamai Sapu Angin.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 91
Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar
itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya
lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian
berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis
baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah
berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.
Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah
berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-
batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar
telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya
di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia
biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari
seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung
diterima dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak
kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena
itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun
dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana
kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya
penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, maka Mahesa Jenar samasekali tidak dapat
melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi
ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut
sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak
seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan
kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap
Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu
seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya tahannya
sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas,
namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap
Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula
olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning.
Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga
terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga
kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 91
dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal.
Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati. Yang lebih mengerikan
lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling
membunuh.
Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat
menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi
kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat
dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia
mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke
puncaknya. Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan
sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada
Pasingsingan yang terbuka.
Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia
sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya
dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat
serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya
menyerang dadanya.
Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi
Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia
menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri.
Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar,
Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk
menangkis serangan Mehasa Jenar.
Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan
Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata
hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk
dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri.
Karena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap
kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut
beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental
selangkah mundur.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 91
Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan
dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur
melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena
benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara
tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk
menjaga keseimbangan tubuh-
nya yang hampir-hampir saja
terdorong jatuh.
Tetapi kemudian dengan
sigapnya Pasingsingan pun
telah berhasil menguasai ke-
seimbangannya kembali. Se-
perti sebatang pohon raksasa
ia kemudian berdiri tegak.
Giginya gemeretak, dadanya
mengombak seperti akan
meledak. Sekali lagi matanya
yang tersembunyi di belakang
lubang topengnya itu meman-
dang Mahesa Jenar dengan
tajamnya. Kekuatan apakah
yang telah membantunya,
sehingga ia mampu melawan
aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar
biasa besarnya..? Hanya dalam waktu kira-kira lima tahun saja,
sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa
Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa
Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua,
seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua
ekor kucing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu
telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah
seekor kucing yang garang itu.
Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang
makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 91
ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya.
Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat
mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal
yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih
perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan
kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan
kelincahan hantu bertopeng itu.
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak
mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram,
“Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu
penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu
untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan.
Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang
berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu
tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan
merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur
beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak
seorangpun dapat mencegahnya.”
V
Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah
memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya.
Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan
Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun
sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-
kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus
sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula.
Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang
dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya,
Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat
menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka
kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka
masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan.
Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 91
melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai
bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling
cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya
masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya
erat-erat.
Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya.
Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak
dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur
untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa
Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya
tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang
sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara.
Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun
Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang
sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga
persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak
sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang
diciptakannya kemudian.
Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang
tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah
menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya
yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang
dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil
menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh
lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu
loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-
serangan Mahesa Jenar ternyata samasekali tidak kalah
berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-
kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan
yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada
dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan
dan tak dapat dikalahkan.
Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya.
Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 91
namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa
Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun
mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya.
Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah
mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-
macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia
harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu
telah mampu melawannya.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan
lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya
dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai
gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di
dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa
Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang
Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…?
Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya
kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai
tanda-tanda kekhususannya…?
Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa
sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan
kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang
sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa
Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?
Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-
kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang
Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya
mati.
Dengan demikian, Pasingsingan bertempur semakin dahsyat.
Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap.
Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa
yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang
berkembang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seekor banteng
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 91
yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa
Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun
bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya
semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar
seperti banteng ketaton.
Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan
tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu,
seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu
semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang
berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat
persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal
gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam
gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang
dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar.
Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran
lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang
sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan
gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh
Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula
dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna,
Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu
Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu
dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula
bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu.
Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati.
Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang
itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda
kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang
memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil
untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya,
menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 91
tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki
kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan
kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar
samasekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena
tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu
jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah
dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran.
Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-
kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas
Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama
tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati
setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam
mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit
pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.
Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun
merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-
lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya
menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus
dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri
kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat
dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang
ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan
Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa
bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan
mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan
dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk
Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa
segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya
Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti
apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang
masih memperlakukannya sebagai sahabatnya.
Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di
Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar
dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 91
mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan.
Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun
akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya
lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba
bayangan kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian, kedua
orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera
tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat
mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat
membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu
tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.
“Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia
bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin
deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang
bergulung-gulung mengerikan.
Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya
digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu
lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan
untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas
Kobar.
Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang
Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari
akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-
akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat
berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti
pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa
Jenar.
Mantingan yang samasekali tidak menduga bahwa Mahesa
Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi
dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada
penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang
berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 91
sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar
tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati.
Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka
dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia
telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu
kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan
membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar
biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi
perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang
sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini
benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil
menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa. Mantingan
bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan
diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia
akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan,
pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha
Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri
dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah
digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mampu
menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang
kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari
sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang
menurut penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu
bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak
mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan.
Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar
dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau
menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali
karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig
melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh
kuat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 91
Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-
benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun
dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat
untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar
bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang
seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah
mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula
untuknya. Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri,
bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia
akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak.
Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang
gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan
kedalam asuhan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula
setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun
ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat
ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir
setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat
bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang
bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku
demikian. Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir
bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat
yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya
seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya
bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut
Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia
melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip
benar dalam setiap gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil ini tidak tahu
bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air
dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah
menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara
sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.
Orang yang samasekali tidak tahu bagaimana menilai
pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 91
karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah
payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya
itu.
Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia
mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika
pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin
cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar
memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan
iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan
dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan
yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang
terluka. Rara Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas
daripada ia sendiri yang bertempur. Ia samasekali tidak rela kalau
laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela
kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar akan
perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia
merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorang pun
yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-
daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna
hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya
berbisik di telinganya, “Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan
kehilangan laki-laki itu.” Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan
wajahnya dengan tersipu-sipu.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh
sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar
Pasingsingan. Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke
segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona
menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja,
segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan
Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk
menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa. Itulah
pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja
dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 91
Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat
mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam
penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah
berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga.
Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap
sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa
menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh
tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar
bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya
bernama Alas Kobar.
Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia
mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan.
Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar
samasekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia
akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi
pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa
melarikan diri, maka ia tak ada artinya samasekali. Apa saja yang
pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang
kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya
untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan
orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar
membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir
batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan,
betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian
tubuhnya.
Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan.
Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan
tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir
batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa,
maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang
semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah
udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal
perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 91
biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan
apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat
dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi
kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas
yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa
kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran
darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling
kecil sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti
mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh
permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah
gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh
pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu. Maka tanpa
setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah
berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa
Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah
sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan
Pasingsingan mengenai pundak itu.
Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar
itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang
yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong
dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia samasekali tidak
melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam
perlawanannya.
Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar
telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam
bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya,
bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk
perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian
tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk
kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang
mencoba mempengaruhi tubuh itu.
Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan
dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 91
dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh
terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan
pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang
dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika
mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin
terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut
ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh
lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah,
Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.
Apalagi ketika ia kemudian melihat Pasingsingan itu tertawa
sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya
terdengarlah ia bergumam, “Hem… aku terpaksa melakukan apa
yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi satu.
Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau
berteriak minta ampun.”
Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri
agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa
mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka samasekali tidak
mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak
bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama,
dan kalau perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan
dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya. Karena
itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia
merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun
belum lagi ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan
sambaran sinar yang lain. Sekali lagi Pasingsingan terpaksa
menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa kedua
sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari
tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan
Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 91
terdengar ia bergumam, “Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak
tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”
Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat.
Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat
Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan laki-laki
itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha untuk
meloncat mendekati. Namun langkah Wilis pun terhenti ketika
tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih
dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga
Mahesa Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa
depan.
Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang
jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah memaksa Rara
Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun tubuhnya
serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia
mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa
Jenar, sedang matanya samasekali tidak mau melepaskan setiap
gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia
meloncat dan menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil mencapai
laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya
menjadi luluh.
Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap
daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia
terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa
sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan
panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya
dari aji Alas Kobar itu.
Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang
telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata
yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah
Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada
dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan
atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 91
perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan
menggeram, “Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya.
Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula, sehingga demikian
ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di atas kedua
kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya
segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan
kekaguman. Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan
kebenaran penglihatan mereka. Tiba-tiba dari antara mereka Arya
Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian meraba-raba
tubuh itu sambil berkata lirih, “Adakah guru selamat…?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka
tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir tidak
mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun
pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat
jantungnya telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan
Sasra Birawa-nya telah mengalir dan membendung segenap
rangsangan yang menyentuh tubuhnya.
Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara
panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa
terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun
sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan
atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan
yang diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan
ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi
pergolakan-pergolakan yang cepat. Terasa betapa getaran-
getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak. Tidak ke sisi telapak
tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya. Dengan
demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan
perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah
dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri
yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh.
Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya
perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 91
tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa
Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu yang menggelinding
karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya perlawanan.
Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran,
mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu,
sehingga batu itu sendiri samasekali tidak mengalami cidera
samasekali.
Akhirnya segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala
macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya, perlahan-
lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah
samasekali. Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas
Kobar, namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu,
yang semula dirasanya melampaui panasnya bara.
Namun demikian, ia tidak segera bangkit. Ia masih mencoba
meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa
Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak
kembali.
Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat
tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh sebuah
trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu
samasekali tidak mengenai sasarannya.
Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia melihat
Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri,
mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia
melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja
terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke
arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada
saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di
tangannya.
Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun
Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada
dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 91
laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang
gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari
tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian
hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka
Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap melekat di
hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian
diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi terharu juga,
ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-
olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh
perasaan sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala
anak muda itu sambil menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa,
Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?”
Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak.
Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan
seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah
herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin
panas. Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah
seorang yang memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada
kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh
kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas
gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas
tanah ini. Atas kerajaan Demak.
Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di
dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus
dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap
jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-
laki yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang
bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya itu masih
hidup, selama itu pula niatnya akan selalu dirintanginya. Karena
itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah
sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu.
Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 91
Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh,
yang bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar
betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri khusus dari
orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima turun-temurun
dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang
kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh
paras yang cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang
berbahaya ini.
Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-
matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak
berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya
perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu.
Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa Jenar segera
melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan perlahan-
lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh
kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan
mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa
setiap pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga
dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun
tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan
keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.
Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap Mahesa
Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap itu
melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-
bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa
idamannya, yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan
Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti.
Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap
Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan,
sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi
masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit
hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 91
tak akan dilanggarnya. Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar
samasekali tidak terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar.
Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama
dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun pepohonan,
terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama
semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki
kuda itu. Ia percaya bahwa tak seorang pun dapat menghalangi
perjalanan Kebo Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu
pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu
hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua,
untuk mendapat pengadilan.