2 - 7 november

56
2 - 7 November

Upload: duongmien

Post on 01-Jan-2017

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2 - 7 November

2 - 7 November

Page 2: 2 - 7 November
Page 3: 2 - 7 November

I am delighted to introduce “OFF THE WALL JAKARTA”. From November 2 to 7, this French-Indonesian contemporary and urban art week brings together ten famous street artists from France and Indonesia to combine their creativity and realize artworks in several locations across Jakarta.

The French Institute in Indonesia (IFI) is excited to host and play a leading role in this remarkable project. Street art personifies the ethos of what the IFI strives for by bringing art to the people, on the streets, making culture accessible to everyone and thereby helping to develop a creative economy. Street Art, although mostly ephemeral, remains a symbol of the long-standing ties between France and Indonesia. I believe that this art week is a perfect analogy of our cooperation: just as the artists will perform together during the week, we too will spend time together, finding out about each other in all our diversity through a process which leads to creativity. It is a means through which we can become enriched and lay the foundations for further cooperation, not only cultural, but across a range of fields.

However, what would this event be without the institutions which make it happen? As hosts to many of the events, I would like to thank all the partners which have made this event possible: the Tauzia Group with its modern and inventive concept, Yello Hotels which provides the opportunity for young artists to share their experiences and express themselves, as well as the National Museum and D’Gallerie. Finally, I would like to thank the French International School who will host the closing event, and whose work empowers young students to develop their talents in visual arts, just as the events of this week aim to do also.Looking forward seeing you all,

Marc Piton Director of Institut Français Indonesia

Saya merasa senang dapat mempersembahkan “OFF THE WALL JAKARTA”. Pekan seni urban kontemporer Prancis-Indonesia yang diadakan dari tanggal 1 s.d. 7 November ini akan mempertemukan sepuluh seniman street art dari Indonesia dan Prancis yang akan berkolaborasi dan membuat beberapa karya seni di beberapa tempat di Jakarta.

Institut Prancis di Indonesia (IFI) bangga sekali dapat menjadi tuan rumah dan mengambil peranan penting dalam kegiatan seni yang hebat ini. Street art mengejawantahkan misi yang diperjuangkan IFI, yaitu mempopulerkan seni kepada masyarakat, apalagi ketika seni dihadirkan di jalanan, maka semua orang dapat mengaksesnya, selain itu seni dapat membantu mengembangkan ekonomi kreatif. Seni jalanan, meskipun kebanyakan tidak langgeng, tetap menjadi simbol pengikat yang sejak lama ada antara Prancis dan Indonesia. Saya percaya bahwa pekan seni ini adalah analogi yang sempurna untuk kerja sama kita: sebagaimana para seniman akan berkolaborasi sepanjang pekan, kita juga akan menghabiskan waktu bersama untuk saling mengenal satu sama lain di tengah keberagaman kita melalui sebuah proses yang berujung pada kreativitas. Inilah cara bagaimana kita bisa memperkaya diri dan membangun landasan untuk kerja sama di masa depan, tidak hanya di bidang kebudayaan, namun juga di sektor-sektor lainnya.

Bagaimanapun juga, bagaimana mungkin acara ini dapat terlaksana tanpa dukungan dari banyak pihak? Sebagai tuan rumah, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekanan kerja yang telah membuat acara ini dapat terlaksana: Tauzia Group dengan kemodernan dan konsepnya yang inventif, Yello Hotels yang memberikan kesempatan kepada seniman-seniman muda untuk berbagi pengalaman dan mengekspresikan diri mereka, Museum Nasional, serta D’Gallerie. Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Internasional Prancis yang akan menjadi tuan rumah penutupan acara ini, dan yang memotivasi siswa-siswinya untuk mengembangkan bakat seni visual mereka, yang memang merupakan tujuan dari acara ini.Sampai bertemu di acara nanti,

Marc PitonDirektur Institut Prancis di Indonesia

Page 4: 2 - 7 November

“Being creative is not a hobby, it is a way of life”

Taking insight to the inspiration, creativity is a very big part of Tauzia’s way of life and also for its people. It is an immense part of our DNA and is an approach taken by each and every one of our brands.

YELLO Hotels offers a creative approach to hospitality with a new concept for an economy hotel. It is derived from Yes + Hello, our commitment to provide the best services for our guests and to provide them with a positive energy. With a strong emphasis on urban art elements and technology, we position ourselves as a creative space for netizens. We hope to inspire everyone to chase their passion and express themselves.

We are proud to be a part of OFF THE WALL as a major partner. We share the same values and passion and it so happens that we also share the same name (sort of) - OFF DA WALL – a competition we hold to uncover new and exciting urban artists.

The last few years have been a very interesting time for urban art in Indonesia. Communities are growing bigger and better, young artists are emerging and are braver than ever; the attention keeps on getting wider. We feel that this is the best time to establish ourselves as a fervent supporter of the artform.

It has been a privilege to be able to work with our partners, All Sedayu, Gardu House, IFI, D’Gallerie, Museum Nasional; and for that, we would like to thank all of them for their cooperation and support. Without them, this would not be able to happen.

We hope that you enjoy this journey as much as us!

Marc Steinmeyer President Director of Tauzia

“Menjadi kreatif bukanlah sebuah hobi, melainkan sebuah jalan hidup”

Mengambil inspirasi dari kutipan tersebut, kreatifitas merupakan bagian yang sangat besar dalam hidup Tauzia dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut juga merupakan bagian besar dalam DNA kami dan merupakan sebuah pendekatan yang diambil setiap brand yang kami miliki.

YELLO Hotels menawarkan sebuah pendekatan kreatif terhadap industry perhotelan dengan sebuah konsep baru untuk hotel ekonomi. Nama tersebut diambil dari kata Yes + Hello, komitmen kami untuk menyediakan layanan terbaik dan menyebarkan energi postitif kepada tamu kami. Kami memposisikan brand tersebut sebagai ruang kreatif bagi para netizens dan juga mengedepankan elemen urban art dan teknologi. Kami berharap dapat menginspirasi pengunjung untuk mengejar passion mereka dan tidak takut untuk mengekpresikan diri.

Kami bangga turut serta dalam OFF THE WALL sebagai mitra utama. Kami berbagi nilai dan passion yang sama, dan kebetulan kami juga berbagi nama yang mirip – OFF DA WALL – merupakan kompetisi yang kami buat untuk menggali seniman-seniman urban yang baru.

Beberapa tahun terakhir merupakan waktu yang menarik untuk urban art di Indonesia. Berbagai komunitas menjadi makin besar, seniman muda semakin berani, dan perhatian terhadap seni ini juga semakin besar. Kami rasa bahwa ini adalah waktu yang sangat tepat untuk memantapkan diri kami sebagai pendukung besar urban art.

Merupakan sebuah kehormatan untuk bisa bekerjasma dengan mitra-mitra kami, All Sedayu, Gardu House, IFI, D’Gallerie dan Museum Nasional; untuk itu kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasamanya. Tanpa mereka, semua ini tidak akan terjadi.

Kami harap kalian menikmati perjalanan ini sebesar kami!

Marc SteinmeyerPresiden Direktur dari Tauzia

Page 5: 2 - 7 November

FOREWORD

Many people might consider graffiti and street art only (and must) develop and be centered in streets and public space. For the last few decades, this form of art has been become the icon of pop culture and urban, has also become global phenomena. Many art spaces and public already notice and recognize values of this artistic practice. Also they are competing in providing alternative spaces for replacing the vandalism value that usually attached to graffiti. Especially in Jakarta, there are many spaces that willingly to represent these talented artists. Some might think about the institutionalization as interference towards the original purpose of the practice, but on the other hand those spaces help the artists in getting wider attention from different public.

At the same time, the number of galleries dedicated for graffiti and street art is increasing. It means that art lovers and visual art foundations are slowly and significantly accept this art.

D Gallerie was established with purposes to support, to celebrate, and to manage the development and the dynamic of visual art also to give acknowledgement for the artists and public who develop it. We are certainly open and admit the temporality of graffiti and street art, and understand that this practice opens the opportunity for changing depends on its aim and concept because of its fluidity.

Through exhibition program that runs since 2001, we try to support artists with various backgrounds and disciplines. We try to open with those various possibilities; especially this exhibition is our support to continuously give discourse and exposure to graffiti and street artist.

The idea to link this exhibition with National Museum emerges after seeing the list of the participated artists. It will be a loss if the public cannot see their presence in Jakarta. The choice is welcomed by the national museum that enthusiastically supports the exchange of graffiti and street art culture between Indonesian graffiti artists and France graffiti artist.

We express our thanks to the artists Darbotz, Age: Tutu Graff, Adi, Darma: Stereoflow, Soni Irawan, Farhan Siki, Kongo, Colorz, Mist, Fenx, Tilt, the curator Mrs Claire Thibaud-Piton, Institut Francais, d’Indonésie, National Museum staff Mrs. Dedah, Ms. Nusi, Ms., Nurul, and Ibu Dra. Intan Mardiana M.Hum as the Head of Museum Nasional, my family also to everyone helped to organize this exhibition.

Warm Regards,

Esti NurjadinD’Gallerie

KATA PENGANTAR

Mungkin bisa jadi orang banyak menganggap bahwa graffiti dan street art hanya (dan harus) berkembang dan berpusat di jalan-jalan dan ruang publik. Selama beberapa dekade terakhir, bentuk seni ini telah berkiprah menjadi ikon budaya pop dan urban, juga menjadi fenomena global. Sudah banyak ruang-ruang dan publik seni yang mulai melirik dan mengenali nilai atas luapan artistik ini dan berlomba memberikan ruang alternatif untuk menggantikan nilai vandalisme graffiti yang biasanya lekat dengannya. Di Jakarta khususnya, ada banyak tempat yang dengan bangga bisa mewakili seniman-seniman berbakat ini. Beberapa mungkin berpendapat bahwa pelembagaan seni ini dianggap mengganggu tujuan awalnya, tetapi pada saat yang sama ruang-ruang tersebut membantu membawa seniman untuk mendapatlan perhatian yang lebih luas lagi terhadap publik yang berbeda.

Pada saat yang sama, jumlah galeri yang didedikasikan untuk graffiti dan street art mulai tumbuh, yang berarti bahwa seni ini secara perlahan-lahan dan signifikan menjadi lebih diterima oleh pecinta seni dan lembaga seni rupa.

D Gallerie dibangun dengan tujuan mendukung, merayakan dan mengelola perkembangan dan dinamika seni rupa dan memberikan pengakuan kepada seniman dan publik yang juga turut serta membangunnya. Kami tentu saja terbuka dan mengakui sifat kesementaraan graffii dan street art, juga memahami bahwa seni ini juga membuak peluang dengan sifat cairnya yang jika ditampilkan di galeri bisa berubah tergantung dengan tujuan dan konsep yang diusungnya.

Melalui program pameran yang sudah berlangsung sejak 2001, kami mencoba mendukung seniman dengan berbagai macam latar belakang dan disiplinnya dan mencoba terbuka dengan berbagai kemungkinan tersebut, khususnya pameran ini adalah dukungan kami untuk terus menerus memberikan wacana dan paparan bagi seniman graffiti dan street art.

Ide untuk menggandengkan pameran ini di Museum Nasional pun muncul setelah melihat jajaran nama seniman yang ikut berpameran merupakan seniman grafiti dunia yang super sibuk jadwalnya. Sangat disayangkan apabila keberadaan mereka di Jakarta tidak dipertontonkan kepada publik Jakarta. Pemilihan lokasi di Museum Nasional disambut baik oleh pihak Museum Nasional yang antusias mendukung pertukaran kultur grafiti dan street art antara seniman grafiti Indonesia dan seniman grafiti Perancis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kaki ucapkan kepada para seniman Darbotz, Age, Adi Darma, Soni, Farhan, Kongo, Colorz, Mist, Fenx, Tilt, Ibu Claire Thibaud-Piton, Institut Français d’Indonésie, pihak Museum Nasional Ibu Dedah, Mba Nusi, Mba Nurul, Kasi Museum National Ibu Dra. Intan Mardiana M.Hum dan segenap keluarga saya dan semua pihak yang telah membantu penyelenggaran pameran ini dalam waktu yang sangat singkat.

Salam,

Esti NurjadinD’Gallerie

Page 6: 2 - 7 November

Pekan seni urban terbesar di Jakarta !

Ajang street art sesungguhnya di kota ini! Beberapa seniman internasional mengolaborasikan bakat mereka untuk menciptakan karya seni gabungan Prancis-Indonesia.

DARBOTZ, FARHAN SIKI, STEREOFLOW, SONI IRAWAN DAN TUTUGRAFF, Lima seniman asal Jakarta serta lima seniman dari Prancis: COLORZ, FENX, KONGO, MIST DAN TILT, berpartisipasi untuk meramaikan acara ini dari tanggal 2 – 7 November di berbagai sudut kota Jakarta. Sebagai kota yang paling dinamis di Asia Tenggara, Jakarta akan memamerkan di D’Gallerie 40 karya seni karya seniman-seniman street art, memperlihatkan luapan energi yang mereka serap dari jalanan. Seperti acara “Off the Wall Singapore”, gelaran “Off the Wall Jakarta” melalui berbagai pamerannya akan memberikan perspektif baru terhadap seni urban. Para seniman ini tidak hanya melukis di atas kanvas, namun karya-karya mereka juga dipamerkan di hotel, galeri, museum, lembaga bahkan di sekolah.

Acara ini berfokus pada anak-anak muda, karena seni graffiti dan street art adalah tentang kebebasan berekspresi yang dapat diakses oleh semua orang. Bagi mereka yang muda, graffiti adalah seni yang dinamis, penuh warna, spontan dan menyenangkan.

Untuk merayakan semangat graffiti dan street art yang sebenarnya, edisi pertama “Off the Wall Jakarta” akan dimeriahkan dengan berbagai karya yang penuh energi tepat di jantung kota ini: di Museum Nasional, IFI, D’Gallerie, Sekolah Internasional Prancis dan di Yello Hotel! Kesepuluh seniman akan melukis secara langsung dan spontan untuk memeriahkan kota ini.

Di Sekolah Internasional Prancis, kompetisi “One Artist, One Child” akan menutup pekan seni ini. Sepuluh anak yang terpilih akan membuat sebuah karya seni, masing-masing berkolaborasi dengan seorang seniman. Lukisan-lukisan mereka kemudian akan dilelang dan hasilnya akan diberikan kepada yayasan untuk anak jalanan, Pour Les Enfants des Rues. Kami ucapkan terima kasih kepada Anda yang ingin mendukung aksi ini dengan membeli karya seni mereka.

Datang dan temui para seniman pada pembukaan pameran yang digelar di D’Gallerie pada malam hari. Namun, jangan lewatkan pula aksi para seniman pada Sabtu, 5 November di Yello Harmoni, dan Minggu pagi, 6 November di IFI Thamrin bersamaan dengan Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Di malam hari, pekan seni urban ini tidak hanya menyuguhkan pameran lukisan, namun juga pagelaran musik, hip hop, makanan dan suasana magis Jakarta di Museum Nasional pada Jumat malam, 4 November. Pesta sudah dimulai!

Claire Thibaud-PitonCurator, Producer, Art Consultant

Jakarta‘s biggest urban art week project !

A real buzz around street art in the city !

International artists are combining their talent and creating Franco-Indonesian artworks.

DARBOTZ, FARHAN SIKI, STEREOFLOW, SONI IRAWAN AND TUTUGRAFF, five artists from Jakarta, Yogyakarta and Bandung and five French artists from Paris, Montpellier and Toulouse : COLORZ, FENX, KONGO, MIST AND TILT, are coming to create many events from 2/11 to 7/11 in different places in Jakarta.

In the most dynamic scene in South East Asia, Jakarta will show 40 pieces artworks at the D’Gallerie reflecting the energy of their draw from their thriving urban environment. Following « Off The Wall Singapour », « Off The Wall Jakarta » bring a fresh perspective on urban art work with different exhibitions and projects. The artist works are on canvas , but not only. It will be on show : in hotel, in galerie, in museum, in institution and in school.The focus is on young people because graffiti art and street art are all about free expression, accesibility to all. For the youth, graffiti is dynamic, spontaneous colourfull and fun.

Celebrating the true spirit of graffiti and street art, this edition of « Off the Wall Jakarta » will blast of with an explosive work, right at the heart of the city. National Museum ! French Institut of Indonesia IFI ! D’Gallerie ! French school ! and the brand new Yello hotel ! Live painting, this artistic voice on hoardings or ladders will make a real buzz around the city.

At LFJ French school of Jakarta, the « one artist, one child » competition will end the week. 10 children selected will create a unique artwork with the 10 artists. An auction will host the event for the happiness of the Yayasan PER : Pour les Enfants des Rues. Thank you to support this action by acquiring a painting which will be on display for the enjoyment of the children.

Come and meet the artists at the opening evening at the exhibition’s, main first venue in D’Gallerie on November 3rd.! But not only ! During the all Saturday 5th at Yello Harmoni and also at Sunday 6th at morning, during car free Jakarta at IFI Thamrin.And also at nights, the urban art week will not only show paintings but also music, hip hop, food, and real atmosphere about magic Jakarta at National Museum on the 4th, Friday night. The most creative place to be.

The party’s on !

Claire Thibaud-PitonCurator, Producer, Art Consultant

Page 7: 2 - 7 November

Kata Pengantar

Museum Nasional sebagai lembaga pelestarian budaya menyimpan, memamerkan dan mempromosikan warisan budaya Indonesia. Koleksi yang dikelola sejak didirikan lembaga ini tahun 1778 hingga saat ini tidak kurang dari 141.000 benda. Meskipun warisan budaya yang dikelola bersifat tangible, namun upaya penyebarluasan informasi kepada masyarakat tidak hanya sebatas budaya yang bersifat tangible, melainkan juga budaya yang bersifat intangible seperti informasi proses pembuatan atau upacara-upacara tradisi yang berkaitan dengan koleksi seperti batik, keris, wayang ataupun benda budaya atau benda seni lainnya.

Dalam melaksanakan kegiatan pameran temporer, Museum Nasional kerap bekerja sama dengan para mitra. Pameran yang digelar selama ini mengangkat tema yang beragam seperti teknologi, arsitektur, terutama yang erat kaitannya dengan seni dan budaya. Menjelang akhir tahun 2016 ini, Museum Nasional bekerja sama dengan D Gallerie dan Pusat Kebudayaan Perancis (IFI) mempersembahkan Pameran Graffiti. Pameran yang akan digelar selama .... hari di Museum Nasional ini merupakan suatu bentuk apresiasi kami terhadap bentuk seni Graffiti. Semoga ke depannya Museum Nasional senantiasa menjadi ruang kondusif untuk membicarakan perkembangan seni dan posisinya di masyarakat sebagai bagian dari wacana seni rupa.

Kami menyampaikan selamat atas terwujudnya kolaborasi harmonis antara lima seniman graffiti Indonesia dan lima seniman graffiti Perancis. Mudah-mudahan kegiatan ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada masyarakat untuk mengembangkan seni rupa khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Akhir kata semoga pameran ini bermanfaat bagi masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Terima kasih.

Dra. Intan Mardiana, M. Hum.Kepala Museum Nasional Indonesia

Foreword

National Museum as an institution of cultural preservation holds, exhibits and promotes national heritage. Since its establishment in 1778 until presently National Museum have collections of over 141,000 artifacts. Although these national heritage are tangible by nature, however the dissemination of information to public is not limited to only tangible culture, but also the intangible culture such as manufacturing process, traditional ceremonies related to kain batik, keris, wayang puppets or other cultural artifacts.

In carrying out temporary exhibitions, National Museum often collaborate with other parties. The exhibitions at National Museum has been showing various themes such as technology, architecture, arts and culture. Towards the end of 2016, National Museum is partnering with D Gallerie and Indonesia French Cultural Insititut (IFI) to show graffiti exhibition. This 30 day exhibition at National Museum is one of our form of appreciation towards graffiti as art. Hopefully, in the future National Museum can be a conducive space to discuss the development of art and its position in the community as part of art discourse.

We would like to congratulate the realization of the collaboration of five Indonesian graffiti artists and five French artists. I’m hoping that this activity can provide inspiration and motivation for the community to develop arts and culture. Last but not least, I’m confident that this exhibition will bring benefit to Indonesian as well as global community. Thank you.

Dra. Intan Mardiana, M. Hum.

Head of Indonesian National Museum

Page 8: 2 - 7 November

Indonesian Graffiti and Street Art - Then and Now

In their development, graffiti and street art start to be distinguished, both from its concept and its ways of working. Though these two forms have some significant element, they are really different in ideology and ways of working. Graffiti tries to cover the surfaces and spread all over the city, while street art pays more attention to the strategic placing and tends to have messages, to raise questions, and to express concerns related to social political issues. While writers (those who write graffiti) are related to the aim of spreading names, street artists prioritized on the effect of their works.

2004 was the peak moment when a website named tembokbomber.com officially launched their mission to collect and record persons and works spread all over some regions in Indonesia like Jakarta, Bandung, Yogyakarta, then followed by some other cities with graffiti and street art practices.

Tembok Bomber starts from a design forum named godote that often discussed about street art. Later, the forum made mailing list that intensely discussed about street art. Finally, they decided to make a blog publishing news about street art images in local scene. Besides the temporality of graffiti and street art, they think about documenting and archiving works that made in the street.

Before Tembok Bomber, a blog named pyloxworld.tk, used to do documentation around Jakarta. It was established and developed in 2003-2004 by Graver, a graffiti artist from Philippine. Then an American guy, named Luscent, helped him in documenting by photographing the works.

Graffiti and street art culture were adopted from the western world around nineties. It was marked by the entry of Internet and access in getting imported magazines as references shaping persons’ perspective in making graffiti and street art on the wall. They were automatically seeing, imitating, and developing their owns to make identities and messages be seen by public. Street became the only reasonable media to be used.

In Jakarta, graffiti developed at a housing complex in Pondok Indah region, South Jakarta. It was because many of Jakarta International School foreign students do graffiti practices around some vacant lands in the area. Graffiti with western style was allegedly the result of adaption from the Internet, the distribution of imported magazines, and references brought by foreigners staying in Jakarta.

Moreover, graffiti is also identical with the visual expression from hip-hop music with breakdance as its physical expression. In Iwa K’s Bebas video clip (1994) we can see graffiti elements are being used as visual element toning up the crowd of people playing basketball, skateboard, and hip-hop. Graffiti is also allegedly close to punk culture since Board Riders Crew (1997), a Jakarta-based graffiti group that fond of skateboarding, listens to punk music.

Graffiti and street art have different notion and discourse. Street gives opportunities for those surveying it. Each site offers the visibility of visual and verbal signs. Those signs enable legibility of meaning to be explained, discovered, and extracted. Using public space as working space, putting messages and aesthetic on buildings, walls, and visible surfaces, works will be automatically ‘broadcasted’. The pattern of placing and spreading itself becomes production and activism points. Therefore, street enables graffiti and street art to exists, and at some point, to become a space for expression.

Long before graffiti and street art doers start their practices in the street, some independent groups based on visual art have been using street as their medium. Taring Padi (1998) and Apotik Komik (1997) are the examples.

Lembaga Kebudayaan (cultural organization) Taring Padi is an artist collective focusing on populist issues and spreading them by putting posters massively in some cities. Taring Padi tends to use message with evoking values and to produce campaign with moral values in the public space.

Meanwhile, Apotik Komik is a group that started with comic as their media of expression and legally did murals in public space. This initiative triggers art in public space activities and aims to create interactive public art projects in collaboration with people. Apotik Komik Public Gallery (2001) and City Mural Project: “Sama-sama” (2002) are the examples of art projects that quite interesting for examining art in public space matter. The role of archiving in graffiti and street art scene is an interesting thing to be examined. Especially when it is related to the pattern of documenting, collecting data, and independently maximizing resources and strategy in disseminating and archiving. Since this practice of art celebrates mortality and temporality, sometimes we can observe the ever-changing condition and discourse of a city through the works.

Some works might last for some years, while others might last only for days, or even hours. None of street art last forever; that’s the nature. Because of the nature, archival organization tries to work and examine the visual history through photography. The celebration of “recording” is the core of graffiti and street art archival organization. Some initiatives on graffiti and street art archival are Indonesian Street Art Database (2012), Urbancult (2011), and Visual Jalanan (2012).

Internet and technology development facilitate dissemination and modus of archival working. By using easier and cheaper technology and more attractive communication strategy, technology facilitates the dissemination of information between the doers and the observers of graffiti and street art. It also connects the artists with global population through ways that impossible before.

One attempt to escalate the discourse between graffiti and visual art is by organizing exhibitions and discussion forums. Jakarta was successful in presenting festival and competition showing works from artists under the theme of urban art. The event was JakArt@ 2001 with making mural and graffiti in public space as one of the activities. Since 2009, Jakarta Biennale also consistently works with graffiti, mural, and street art to narrate ideas, stories, and values from sites in public space and from people as the reflection of Jakarta.

In the exhibition entitled “Wall Street Arts” (2010) from Paris, Alia Swastika, curator, invited seven graffiti artists from Jakarta to collaborate with the 7 French artists in Salihara Gallery. A year after, in 2011, the exhibition entitled «Off The Wall, Singapore » curated by Claire Thibaud-Piton, French curator, with 9 Singapore and 9 French artists marked the entry of graffiti and street art to a more private space; gallery. Certainly, later on, these artists replace and redefine the meaning of their practice to a more private space.

‘Bebas tapi Sopan’, initiated by Visual Jalanan in the end of 2015, departs from the fluidity of Indonesian street nowadays. The exhibition then examined that public is indirectly causing never-ending stake in public space. Each person tries to interpret and claim the street.

This newest attempt shows that the boundary between artists and public is going blur. Public space is being seen as the most democratic space where every individual can inscribe values and ideas into visual forms. Furthermore, with the increasing visually disturbing advertisements, they are also competing with the corporation in taking our visibility.

Riksa AfiatyCurator

Page 9: 2 - 7 November

GRAFITI DAN STREET ART DI INDONESIA - DULU DAN KINI

Pada perkembangannya istilah graffiti dan street art mulai dibedakan, baik secara konsep dan cara kerjanya. Sementara dua bentuk ini memiliki beberapa unsur yang signifikan, mereka sangat berbeda dalam ideologi dan cara kerja. Graffiti berusaha untuk menutupi seluruh permukaan sebisa mungkin dan pergi ke semua sudut kota, sedangkan street art umumnya lebih peduli dengan penempatan strategis dan cenderung memiliki pesan yang ingin disampaikan, mengajukan pertanyaan dan mengekspresikan keprihatinan terhadap isu-isu yang berhubungan dengan isu sosial, politik yang sifatnya lebih luas. Ketika para penulis graffiti -biasa disebut writers- dikaitkan dengan seberapa banyak menyebarkan nama, street artist lebih mengutamakan seberapa besar pengaruh yang dihasilkan oleh visualnya.

Tahun 2004 adalah puncaknya ketika sebuah situs bernama tembokbomber.com dengan resmi meluncurkan misinya untuk mengumpulkan dan mendata para pelaku dan karya yang tersebar di wilayah Indonesia. Jakarta, Bandung, Jogjakarta kemudian disusul oleh beberapa kota lainnya mulai gencar mempraktekan graffiti dan street art.

Tembok Bomber berawal dari forum desain bernamanya godote forum yang sering membahas tentang street art, dari situ timbulah karena ketertarikan yang sama untuk membuat mailing list yang semakin intens membahas street art. Akhirnya diputuskanlah untuk membuat blog yang berisikan berita tentang gambar-gambar street art di scene lokal. selain karena graffiti dan street art berumur pendek, mereka berpikir untuk mendokumentasikan dan mengarsipkan karya-karya yang dibuat di jalan. Jauh sebelum tembok Bomber, sebuah blog pernah melakukan pendokumentasian di sekitar Jakarta. pyloxworld.tk berdiri di tahun 2003-2004 didirikan oleh Graver seorang pelaku graffiti dari Filipina mengembangkan website tersebut, selanjutnya seorang pria berkebangsaan Amerika Serikat, Luscent membantu mendokumentasikan dengan memotretnya. Kultur graffiti dan street art yang diadopsi dari barat sekitar tahun 90an ditandai dengan masuknya internet dan akses untuk mendapatkan majalah import sebagai referensi juga membentuk pola pikir pelaku untuk melakukannya «begitu saja» di tembok. Mereka dengan sendirinya melihat, menirukan dan mengembangkan7 untuk membuat identitas dan pesannya terlihat oleh publik, jalan menjadi satu-satunya media yang masuk akal untuk mereka gunakan.

Di Jakarta, graffiti berkembang di sebuah komplek perumahan di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, alasan lain yang menyebabkan graffiti muncul di daerah ini adalah karena banyaknya siswa asing dari Jakarta International School yang memulai praktik ini di beberapa tanah kosong di komplek tersebut. Graffiti dengan american style disinyalir merupakan hasil adaptasi dari internet, beredarnya majalah import dan referensi yang dibawa oleh orang asing yang kemudian menetap di Jakarta.

Di Indonesia pun graffiti identik dengan ekspresi visual dari dan musik hiphop, di mana breakdance adalah ekspresi fisiknya. Dalam video klip Iwa K Bebas (1994) kita bisa melihat unsur graffiti dipakai sebagai visual yang ikut memeriahkan kerumunan orang bermain basket, skateboard dan hiphop. Graffiti juga disinyalir dekat dengan punk, Board Riders Crew (1997) adalah sebuah kelompok graffiti di Jakarta yang memiliki hobi bermain skateboard dan mendengarkan musik punk.

Graffti dan street art memiliki gagasan dan wacana yang berbeda. Jalanan memberikan pilihannya bagi mereka yang mensurveynya, setiap situsnya menawarkan visibilitas sebuah tanda visual dan verbal. Tanda tersebut memungkinkan keterbacaan untuk diuraikan, ditemukan dan digali maknanya. Menggunakan ruang publik sebagai tempat kerjanya, menempatkan pesan dan estetika pada bangunan, dinding dan permukaan yang dianggap bisa terlihat, karya dengan sendirinya akan «tersiar». Pola penempatan dan penyebaran sendiri menjadi tempat produksi dan aktivisme. Dengan demikian jalan memungkinkan graffiti dan street art untuk eksis, sampai tingkatan tertentu menjadi sebuah ruang ekspresi.

Jauh sebelum pelaku graffiti dan street art memulai aksinya di jalan, beberapa kelompok independent berbasiskan seni rupa telah menggunakan jalan sebagai mediumnya. Taring Padi (1998) dan Apotik Komik (1997).

Lembaga Kebudayaan Taring Padi adalah kolektif seni yang menitik beratkan isu-isu kerakyatan dan menyebarkannya dengan turun ke jalan dan memproduksi poster yang ditempelkan di beberapa kota secara massif. Taring Padi cenderung menggunakan nilai pesan yang menggugah dan memproduksi pesan kampanye yang membawa pesan moral ke ruang publik.

Sedangkan Apotik Komik adalah kelompok yang berangkat dari komik sebagai media ekspresinya dan menggunakan teknik mural yang ditempatkan di ruang publik secara legal. Inisatif ini mendorong kegiatan seni di ruang publik dan bertujuan untuk membuat proyek-proyek seni publik interaktif yang bekerja sama dengan masyarakat. Apotik Komik Public Gallery (2001) dan City Mural Project «Sama-Sama» (2002) adalah projek kesenian yang cukup menarik perhatian untuk dikaji sebagai studi menampatkan seni di ruang publik.

Peran pengarsipan dalam dunia graffiti dan street art adalah hal yang menarik untuk dikaji. Terutama bila dikaitkan dengan pola pendokumentasian, pengumpulan data, dan bagaimana mereka secara mandiri memaksimalkan sumber daya dan berstrategi untuk turut menyebarkan dan dan mengarsipkan, sejak seni ini merayakan ketidakkekalan, bersifat sementara dan terkadang pada karya yang bisa ditemukan kondisi dan dinamika sebuah kota yang sering berubah wacananya.

Beberapa karya mungkin bisa bertahan selama bertahun-tahun, sedangkan yang lain hanya dapat bertahan hanya beberapa hari, jam bahkan. Tidak ada karya jalanan yang bertahan selamanya, dan memang begitulah alaminya. Akibat kewajaran hal inilah, sebuah lembaga perngarsipan ini mencoba bekerja dan menelaah sejarah visual melalui catatan fotografi. Perayaan ‘mencatat’ ini merupakan inti dari lembaga pengarsipan graffiti dan street art. Beberapa inisiatif yang melakuka peran ini adalah Indonesian Street Art Database (2012), Urban Cult (2011), dan Visual Jalanan (2012).

Peran internet dan perkembangan teknologi memudahkan penyebaran dan modus kerja pengarsipan. Dengan memanfaatkan medium teknologi yang jauh lebih mudah dan murah serta strategi komunikasi yang lebih luwes, keberadaan teknologi memudahkan penyebaran informasi diantara para pelaku dan pemerhati graffiti dan street art, menghubungkan seniman dengan populasi global dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya.

Salah satu Usaha untuk memperluas wacana graffiti dan seni rupa adalah dengan dibuatnya pameran dan forum diskusi. Jakarta pernah sukses menghadirkan festival dan kompetisi yang menampilkan karya-karya para seniman dengan mengusung tema urban art, yaitu JakArt@ 2001 yang salah satu kegiatannya adalah membuat Mural dan Grafiti di beberapa ruang public.

Sejak 2009, Jakarta Biennale secara konsisten bekerja dengan grafiti, mural dan street art untuk menarasikan ide-ide, cerita dan nilai-nilai dari sebuah situs di ruang publik dan masyarakatnya sebagai cerminan kota Jakarta.

Dalam pameran «Wall Street Arts» (2010) kurator Alia Swastika mengundang tujuh seniman grafiti dari Jakarta untuk berkolaborasi dengan seniman Prancis di Galeri Salihara. Satu tahun setelahnya, pada 2011, pameran “Off the Wall, Singapour” yang dikuratori oleh kurator Prancis Claire Thibaud-Piton, mengundang 9 seniman Prancis dan 9 seniman Singapura untuk berkolaborasi. Hal ini menandai masuknya seni graffiti dan street art ke ruang yang lebih privat, yaitu galeri. Tak ayal, seniman-seniman ini di kemudian hari mulai menempatkan ulang dan meredefinisi makna seni ini ke ruang yang lebih privat.

Riksa AfiatyCurator

Page 10: 2 - 7 November
Page 11: 2 - 7 November

Born in 1972, Colorz have lived and worked in Paris. His talent has been seen and demonstrated all over Paris and the outskirts. Since 1987, he has made his imprint by wall, and train tagging. His ever growing notoriety has expanded from the North to the South of France. He has made world wide fame in capital cities such as Amsterdam, Athens, New York and Jakarta. Colorz become a reference for french graffiti along with his unique style.

For the last 6 years, Colorz has developed a new style with bright colors, on different supports : wood, aluminuim, plexiglass… He traces street energy, the place to observer and to find inspiration.

Colorz mastered art of expression. Nothing is left to chance ; every brush stroke, every trace reflects the past and the vision of this son’s prodigy of street art.

Colorz lahir pada 1972. Ia tinggal dan bekerja di Paris. Sejak 1987, jejak-jejak seninya memenuhi seluruh kota Paris dan daerah-daerah sekitarnya. Colorz membuat tagging, graffiti, melukis di dinding, di kereta-kereta, di pagar-pagar kayu, dlsb.Reputasinya, baik nasional maupun internasional, terbentuk seiring bubuhan karya-karyanya yang ia sematkan dari Utara sampai Selatan Prancis, dari Amsterdam hingga Athena, bahkan di New York dan Jakarta. Berkat berbagai perjalanan dan pertemuannya di kota-kota besar, Colorz berhasil mengembangkan gaya khasnya yang kini menjadi referensi graffiti Prancis.

Sejak 2005, Colorz mulai mengeksplorasi warna-warna yang berani dan mengaplikasikannya di berbagai media, mulai dari plexiglas, kayu hingga alumunium. Ia mentransfer energi jalanan, tempat favoritnya untuk jalan-jalan dan mencari inspirasi.

Colorz menguasai gaya yang sangat ekspresif. Tidak ada satu pun guratan yang tidak disengaja. Semua garis dan warna melukiskan masa lalu dan visi seniman jalanan yang sangat berbakat ini.

colorzParis - France

Page 12: 2 - 7 November
Page 13: 2 - 7 November
Page 14: 2 - 7 November
Page 15: 2 - 7 November

DARBOTZ

Darbotz loves Jakarta very much. For him, the traffic jam, the chaos and the hecticness of Jakarta must be faced by him everyday. That which bring out his visual character of his work. The cumi (squid). A character describes his alter ego in facing the hard city.

Darbotz first signature on the street probably his school gang name back in 1997, from walls, buses, and including at the enemy schools area. He began to make his character on the street in 2004, the character itself always evolve, its like the dynamic of urban society, always evolve. He also one of the founder of Tembokbomber.com, one of the biggest street art and graffiti community in Indonesia.

His visualization style is very distinctive and unique. Darbotz solely uses black and white and a bit of accentuation. This is part of strategy that he uses when work on the streets. Black and white becomes the cure of urban festive colors with a variety of advertising products such as billboards, neon box, and city lights. By using simple color, the picture that he made in the wall able to take the attention in the middle of visual density. Besides working on the street, works of darbotz also attract the attention of some big companies to cooperate. Nike, Google chrome and other companies use darbotz’s work to collaborate. Moreover, darbotz also produce clothing and merchandise product with character that he developed. Through this way the darbotz character transformed in various media as the same citizen who spread and become part of urban culture.

Darbotz sangat mencintai Jakarta. Bagi dirinya, kemacetan, kekacauan dan kesibukan kota Jakarta adalah hal-hal yang harus ia hadapi setiap hari. Itulah yang menginspirasinya untuk menciptakan karakter Cumi, yang menurutnya dapat mendeskripsikan alter egonya dalam menghadapi kota yang keras ini.

Tagging pertama Darbotz di Jalanan adalah nama geng sekolahnya dahulu pada 1997 yang ia torehkan di tembok-tembok, bus-bus dan di sekolah-sekolah musuhnya. Ia mulai menciptakan karakternya di jalanan pada 2004. Karakter ciptaannya sendiri selalu berevolusi mengikuti dinamika masyarakat kota yang memang selalu bergerak. Ia juga salah satu pendiri Tembokbomber.com, salah satu komunitas street art dan graffiti di Indonesia.

Ciri khas lukisannya sangat berbeda dan unik. Darbotz gemar menggunakan warna hitam dan putih dengan sedikit aksentuasi. Ini adalah salah satu strategi yang ia gunakan ketika melukis di jalanan. Hitam dan putih menjadi obat tersendiri bagi kota yang riuh sesak dengan warna-warni papan iklan seperti billboard, neon box dan lampu-lampu jalanan. Dengan menggunakan warna yang sederhana, lukisan yang ia buat di tembok-tembok dapat menarik perhatian di tengah padatnya jalanan. Selain melukis di jalanan, Darbotz juga banyak diminta untuk bekerja sama dengan berbagai perusahaan besar. Nike, Google Chrome dan beberapa lainnya pernah menjadi kliennya. Selain itu, Darbotz juga memproduksi pakaian dan berbagai merchandise yang menampilkan karakternya. Dengan cara ini, karakter yang ia ciptakan dapat bertransformasi ke berbagai macam media, digunakan, kemudian menjadi bagian dari budaya urban.

Jakarta - Indonesia

Page 16: 2 - 7 November
Page 17: 2 - 7 November
Page 18: 2 - 7 November
Page 19: 2 - 7 November

FENX

Born in the mid 70s, Fenx has grown surounded by american, japonese and french culture. Tv, comics, books, skateboarding and snowboarding would be his own pop culture. At the age of 15 he felt attracted by graffiti. Maybe more by the illegal side than the art one. That made him devolloping the sides that the public love less : tags and throw up. In the early 2000 he decided to explore an other medium : canvas. That was not something he was doing because he was doing graffiti but more because he has always been obseded by it (his grand father was a painter). He painted in his appartment until a collector offered him a real studio to paint. In this shared studio he was able to paint big and that where he fell himself.

His mains themes are based on memories, childhood, relationships, life, death, duality, trinity and women. He has showed in different countries and part of famous collection.

Lahir di pertengahan tahun 70an, Fenx dibesarkan oleh pengaruh budaya Amerika, Jepang dan Prancis. TV, komik, buku, skateboard dan snowboard adalah budaya popnya sendiri. Pada usia 15 tahun, ia mulai tertarik pada graffiti, mungkin lebih karena graffiti dianggap ilegal ketimbang karena bentuk seninya. Maka, ia pun mulai melakukan apa yang tidak disukai orang-orang, yaitu mencoret-coret dinding dengan tagging-taggingnya. Di awal tahun 2000an, ia mengeksplorasi media lain, yaitu kanvas. Hal ini ia lakukan bukan karena ia seorang seniman graffiti, namun memang ini sudah menjadi obsesi lamanya, karena kakeknya dahulu adalah seorang pelukis. Fenx melukis di dalam apartemennya sampai saat seorang kolektor menawarkannya sebuah studio lukis. Di studio ini ia dapat melukis di media yang lebih besar.

Tema-tema lukisannya kebanyakan adalah kenangan-kenangan masa kecilnya, hubungannya dengan orang lain, kehidupan, kematian, dualisme, trinitas dan perempuan. Fenx telah mengadakan pameran di berbagai negara dan beberapa karyanya merupakan barang koleksi terkenal.

Paris - France

Page 20: 2 - 7 November
Page 21: 2 - 7 November
Page 22: 2 - 7 November
Page 23: 2 - 7 November

Farhan Siki

Farhan Siki lahir pada tanggal 17 Juli 1971 di Kota Lamongan (Provinsi Jawa Timur) Indonesia, mulai mengenal seni graffiti sejak akhir tahun 1989 bersama gank anak pecinta musik metal bernama «Accept» di Surabaya. Kemudian mulai serius berkarya seni di jalanan pada awal tahun 2000, dengan proyek - proyek komik kaleng di ruang majalah [aikon!] Jakarta (2000), proyek mural di galeri jalanan Apotik Komik Yogyakarta (2001) juga berlanjut dengan proyek mural kota «Sama-sama» yang berkolaborasi dengan Clarion Alley Mural Project dari San Fransisco, Amerika Serikat (2003).

Beberapa proyek seni jalanan yang ia kerjakan antara lain adalah Proyek «Re-publik» bersama artist Perancis L’atlas dan Sun7 di Yogyakarta (2005), Midnight Mural Jogja Mural Forum, JMF di Yogyakarta (2006, Proyek «Wall Street Art» Jakarta-Paris Graffiti Art di Jakarta (2010). Pada tahun 2011 melakukan residensi singkat di South Italy Street Art Community di Kota Lecce, Italia. Dan setahun kemudian pergi ke Beijing, China membuat mural di komplek seni 798 Chaoyang.

Sekarang tincal dan bekerja di Yogyakarta dan mengikuti proyek street art secara rutin bersama komunitas Geneng Street Art Project jogja sejak 2014.

Farhan Siki was born on 17th July, 1971 in Kota Lamongan, East Java, Indonesia. He first came into contact with graffiti in 1989 among a group of fans of the heavy metal band “Accept» in Surabaya. He became more serious about the art form in 2000 with a series of comic projects for the magazine aikon!, published in Jakarta, and a mural for the street gallery Apotik Komik Yogyakarta in 2001 was followed by another urban mural «Sama-sama» in collaboration with the Clarion Alley Mural Project from San Fransisco in 2003.

Street art projects he has been involved in include «Re-publik» with the French artist L’atlas and Sun7 in Jogjakarta (2005), the Midnight Mural for the Jogja Mural Forum (2006), and «Wall Street Art» for Jakarta-Paris Graffiti Art in Jakarta (2010). In 2011 he took up a short residency at the South Italy Street Art Community in Lecce and a year later he went to Beijing, to work on a mural for the 798 Chaoyang Art Complex.

He now lives and works in Jogjakarta and has frequently collaborated with the Komunitas Geneng Street Art Project since 2014.

Jogjakarta - Indonesia

Page 24: 2 - 7 November
Page 25: 2 - 7 November
Page 26: 2 - 7 November
Page 27: 2 - 7 November

Cyril Phan was born in Toulouse in 1969 of a French mother and Vietnamese father. He spent his early years in Vietnam, before moving moving to the South of France. At fourteen he moved with his mother to Brazzaville in the Republic of Congo where he he gained his artist name, Kongo. These multicutural influences have forged both his identity and his art and Kongo is at ease in whichever continent he finds himself.

A self taught street artist, Kongo became known as a tagger and graffiti artist in inner city Paris. Over the past 30 years of honing his skills, he has become a leading light in the graffiti movement internationally.

As an urban artist, Kongo is constantly reinventing himself and seeking out his own limitations through his interaction with the noise and perpetual motion of the city. His art has evolved from the passionate act of expressing himself on the walls of his inner city environment to a work that is deeper and more carefully constructed on canvas, without ever leaving behind him the street which remains an indispensable source of energy and inspiration.

Cyril Phan lahir di Toulouse pada 1969 dari seorang ibu Prancis dan ayah Vietnam. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Vietnam, kemudian di Prancis Selatan. Saat usianya 14 tahun, ibunya membawa dirinya pindah ke Brazzaville, Republik Kongo. Dari sanalah asal usul nama senimannya, Kongo. Pengaruh multibudaya ini nampak jelas dalam identitas dan gaya melukisnya.

Seniman jalanan yang belajar secara otodidak, Kongo pertama kali dikenal sebagai pembuat tagging dan graffiti di jalan-jalan kota Paris. Setelah 30 tahun menggeluti dunia seni, kini ia telah menjadi salah satu seniman graffiti yang dikenal di panggung internasional.

Sebagai seniman urban, Kongo tidak pernah berhenti bereksplorasi sembari mendengarkan bisingnya kota dan mengamati kehidupan urban yang tidak pernah tidur. Seninya terus berevolusi mulai dari mengekspresikan dirinya di dinding-dinding kota sampai pada gagasan seni yang lebih mendalam dan terkonstruksi di atas kanvas, namun tanpa pernah meninggalkan jalanan yang merupakan sumber energi bagi dirinya.

KONGOParis - France

Page 28: 2 - 7 November
Page 29: 2 - 7 November
Page 30: 2 - 7 November
Page 31: 2 - 7 November

Soni Irawan has been actively involved in exhibitions since 2001 in Indonesia and abroad such as Paris, London, Melbourne, Sydney, Singapore and Malaysia. In 2001, he was awarded Best Five on Phillip Morris Asean Art Award, a visual art competition.

He started the street art since 2000’s, join Mural Kota Sama Sama with Apotik Komik - CAMP (Clarion Alley Mural Project) San Fransisco in 2003, and followed with several mural works. In 2011, he started his project in title “Tribute to Street Fighter”, that contain almost a hundred traditional shop sign from Jogjakarta’s street, this installation is also show in ArtJog 2014.

A musician and one of the founder of a Jogjakarta experimental band Seek Six Sic, Soni’s art is greatly influenced by the spirit andenergy of rock music. His choices of artistic techniques and medium are in line with his musical practice. Like jamming session, his canvasesare filled with spontaneous strokes, sketchy figures and cut out pieces. He chooses oil bars to draw his lines since this medium gives him the similar feel of roughness and boldness as the sound he created by a guitar – the instruments he played in the band. His subject matters, however, are largely personal that revolve around his families and his environment with the underlying interest in capturing the spirit of human survival in everyday life.

Some of his painting has been published in several books, including «Indonesian Eye», Contemporary Indonesian Art by Skira Publisher and «Jogja Agro Pop» by Langgeng Art Foundation

Soni Irawan

Soni Irawan sudah sering terlibat dalam berbagai pameran sejak 2001, baik di Indonesia maupun di mancanegara seperti di Paris, London, Melbourne, Sydney, Singapura dan Malaysia. Pada 2001, ia menerima penghargaan Best Five pada gelaran kompetisi seni visual Philip Morris Asean Art Award.

Soni Irawan mulai terjun ke dunia street art sejak tahun 2000an, lalu berkolaborasi dalam proyek Mural Kota Sama Sama bersama Apotik Komik – CAMP (Clarion Alley Mural Project) San Fransisco pada 2003, kemudian terlibat dalam beberapa proyek mural lainnya. Pada 2011, ia memulai proyek seninya yang berjudul Tribute to Street Fighter yang menampilkan sekitar seratus papan reklame toko-toko kaki lima di jalan-jalan di Yogyakarta. Pameran ini juga ditampilkan di ajang ArtJog 2014.

Soni Irawan adalah juga seorang musisi dan salah satu pendiri band eksperimental asal Yogyakarta, See Six Sic. Semangat dan energi musik rock mempengaruhi gaya melukisnya. Pilihannya atas teknik dan media seninya segaris dengan gaya musiknya. Seperti jamming session, kanvas-kanvasnya dipenuhi dengan guratan-guratan spontan, bentuk-bentuk yang sketchy dan potongan-potongan tajam. Ia memilih menggunakan krayon untuk menggambar garis-garisnya, karena krayon memberikan kesan kasar dan tebal seperti bunyi distorsi gitar, instrumen yang ia mainkan di bandnya. Tema-tema lukisannya cenderung personal, seputar keluarga dan lingkungannya, dengan penekanan pada semangat manusia yang bergelut di keseharian.

Beberapa lukisannya telah diterbitkan di beberapa buku, termasuk di buku Indonesian Eye, Contemporary Indonesian Art oleh Penerbit Skira, dan Jogja Agro Pop oleh Langgeng Art Foundation.

Jogjakarta - Indonesia

Page 32: 2 - 7 November
Page 33: 2 - 7 November
Page 34: 2 - 7 November
Page 35: 2 - 7 November

mist

Born in Paris in 1972, Mist discovered his passion for graffiti along the rails of the RER during his adolescence. He studied graphic arts at the Ecole Estienne, where he honed a particular style based on lettering and classic characters. In 1991, when he was 19, he participated in the exhibition “Graffiti Art” at the Musée National des Monuments Français alongside such international artists as Keith Haring, Futura, Rammellzee, and Jean-Michel Basquiat.

Mist is among the few artists with a graffiti background to develop his talents on walls, canvases, and volume. In 1996 he created his first designer toy, inspired by the mischievous imp Malus, his favorite character. The figures he designs for the company Bonustoyz, which he founded in 2000, are collected around the world. In addition, his collaborations with Medicom toys (Japan), Kid Robot (USA), and Artoyz (France) have made him a renowned artist in this field.

For more than a decade, Mist has worked out of his studio in Montpellier. Drawing inspiration from graffiti aesthetics, his years spent in school, and the varied materials used in paintings and sculptures, he has established himself as a major figure in contemporary urban art.

The abstract universe of Mist is inspired by the letters of his pseudonym, which is deconstructed in order to go beyond the traditional representation of lettering. However Mist does not limit himself to abstract compositions. A return to figurations can be seen across some of his paintings and sculptures, establishing a link between the world of his paintings and the plastic universe comprising his art toys. Recently, Mist revealed a new facet of his talent, by contributing two monumental frescoes to the cities of Montpellier and Rennes.

An artist who has exhibited widely, in France and around the world, Mist combines energy, color, tools, and his evolving aesthetic vision to create compelling work that is as full of humor and enthusiasm as it is sincere and positive.

Mist, seniman Prancis kelahiran Paris tahun 1972, telah menunjukkan ketertarikannya pada graffiti sejak usia remaja di sepanjang tembok yang dilalui kereta yang ia tumpangi menuju Sekolah Estienne, sekolah tempat dirinya mempelajari seni grafis. Pada 1991, saat usianya baru 19 tahun, ia mengikuti pameran « Graffiti Art » di Museum Monumen Nasional Prancis bersama beberapa seniman internasional ternama, seperti Futura, Rammellzee, Keith Harring dan Jean-Michel Basquiat.

Mist menjadi salah satu dari sedikit seniman graffiti yang mengaplikasikan bakatnya di dinding dan kanvas, dan juga dalam bentuk 3D. Pada 1996, figurin pertamanya lahir terinspirasi oleh karakter favorit ciptaannya sendiri, Malus si setan nakal. Figurin-figurin yang ia desain untuk Bonustoyz pada 2000 dijadikan koleksi di banyak negara. Kolaborasinya dengan Medicom Toys (Jepang), Kid Robot (USA) dan Artoyz (Prancis) dalam berbagai proyek figurin membuat dirinya juga dikenal sebagai seniman figurin.

Lebih dari satu dasawarsa Mist bekerja tanpa henti di studionya di Montpellier. Terinspirasi oleh graffiti, tahun-tahun yang ia lewati di sekolah dan berbagai material yang ia gunakan untuk melukis dan mematung, Mist kini telah mengguratkan namanya sebagai seniman besar seni urban kontemporer.

Lukisannya yang abstrak terinspirasi dari huruf-huruf yang terkandung dalam pseudonimnya yang ia dekonstruksi melampaui representasi tradisional nama tersebut. Meski begitu, Mist tidak membatasi dirinya dengan hanya membuat lukisan abstrak. Saat ia kembali pada bentuk-bentuk konkret yang ia tuangkan dalam lukisan maupun patung, ia pun mencipta suatu hubungan antara seni lukis dengan dunia Art Toys. Baru-baru ini, ia membuat dua lukisan dinding monumental di Montpellier dan Rennes yang menyibakkan wajah baru talentanya.

Sebagai seniman yang telah berpameran di seluruh dunia, Mist mengombinasikan energi, warna, medium gambar dan visi estetiknya untuk menciptakan karya-karya yang jujur dan positif, memperlihatkan selera humor dan antusiasmenya.

Montpellier - France

Page 36: 2 - 7 November
Page 37: 2 - 7 November
Page 38: 2 - 7 November
Page 39: 2 - 7 November

Adi Dharma (a.k.a Stereoflow), was born in Sukabumi in 1982. His interest in graffiti came in an early age and started doing graffiti in 1997. He studied International Relations in the University of Parahyangan, Bandung and graduated in 2005.

Adi Dharma is known for his angular shaped characters using very vibrant colors. In time, Adi experiments with different types of mediums including wheatpaste, stencils, paint brushes and of course spray paint. His work consist of murals, paintings, sculptures and installations.

In the last five years, he has exhibited his works in the United States, Canada, Hong Kong, Thailand and Australia. He has also participated in prestigious exhibitions in Indonesia and recently had his first solo exhibition in Yogyakarta in 2015.

Adi Dharma (a.k.a Stereoflow), lahir di Sukabumi pada tahun 1982. Ketertarikan terhadap graffiti timbul sejak usianya masih muda dan mulai melakukan graffiti pada tahun 1997. Ia adalah lulusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan, Bandung pada tahun 2005.

Adi Dharma dikenal dengan karakternya dengan bentuk menyudut yang menggunakan warna-warna cerah. Seiring waktu, Adi bereksperimen dengan berbagai macam media termasuk wheatpaste, stencil, kuas dan tentunya cat semprot. Karyanya mencakup mural, lukisan, patung, dan instalasi.

Dalam lima tahun terakhir, ia telah berpameran di Amerika Serikat, Kanada, Hong Kong,Thailand dan Australia. Ia juga telah berpartisipasi dalam pameran bergengsi di Indonesia serta berpameran tunggal pertama di Yogyakarta pada tahun 2015.

STEREOFLOWBandung - Indonesia

Page 40: 2 - 7 November
Page 41: 2 - 7 November
Page 42: 2 - 7 November
Page 43: 2 - 7 November

tilt

Tilt is an international graffiti artist coming from Toulouse. He has developed his skill in the streets and on the trains. His first tags were made in 1988 on some skateboard ramps. Since then his work has become richer and shows the influences he has brought back from his numerous trips. His journeys allowed him to exhibit and to leave his marks in almost 50 countries including United States, Japan, Philippines, Senegal, China, New Zealand, Australia, and numerous cities in Europe.

Tilt loves to demonstrate by his practice that graffiti initial form can give the same strong impact as more complex or figurative compositions. He proposes a formal and clear vocabulary with pure colors showing his primitive approach of classic graffiti from which he comes from. His exclusive use of rounded shapes explains his obsession with curves that do not initially compose his name.

According to the codes of graffiti, the writing constitutes the principal axis of his work even though today it tends to become abstract which bring to mind the explosion of his energy and his movement.

Remain true to his origin, he still keeps the same pleasure to paint in the streets, a place where he always feel freer.

Tilt adalah seniman graffiti internasional asli Toulouse, Prancis. Ia mengembangkan kemampuan melukisnya di jalan-jalan dan di kereta-kereta. Tagging-tagging pertamanya ia buat di arena bermain papan luncur pada 1988. Sejak saat itu, karya seninya semakin kaya. Tilt mendapatkan banyak pengaruh berkat perjalanan-perjalanan yang ia lakukan. Ia telah berkelana, memamerkan dan meninggalkan jejak-jejak seninya di lebih dari 50 negara, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Senegal, Cina, Selandia Baru, Australia dan banyak kota di Eropa.

Melalui gaya melukisnya, Tilt gemar menunjukkan bahwa bentuk inisial graffiti dapat memberikan kesan yang sama kuat dengan kesan yang mungkin diberikan oleh komposisi lukisan-lukisan yang lebih kompleks dan figuratif. Tilt menawarkan kosakata formal dan warna-warni murni yang mencerminkan pendekatan primitif graffiti klasik, aliran dari mana ia berasal. Tilt banyak sekali menggunakan bentuk-bentuk bulat; hal tersebut menggambarkan obsesinya pada garis lengkung dan sekaligus menjelaskan pseudonim yang ia pilih.

Menurut kode-kode graffiti, tulisan merupakan fokus utama dari karya-karyanya meskipun kini lukisannya cenderung menjadi abstrak yang menyiratkan luapan energi dan gerak tubuhnya.

Setia pada asal-usul keseniannya, Tilt masing senang melukis di jalan-jalan, tempat di mana ia senantiasa merasa bebas.

Toulouse - France

Page 44: 2 - 7 November
Page 45: 2 - 7 November
Page 46: 2 - 7 November
Page 47: 2 - 7 November

Tutu

Live and grew up in Jakarta capital city of Indonesia, He has been active in the street of south area since 2000. In concept, A lot of his work is inspired by many social issues in everyday life of Jakarta city.

With a deep interest in process and structure, He creates works of intense detail centered on the order of balance. Tutu harmonizes/ opposing/ and contradictory dynamic in his work by setting modern compositions with earth-toned palettes, creating organically complex formations through meticulously structured line-work and color layering.

Known for modern geometrical forms, his work represented dynamic blends of futuristic graffiti.

Lahir dan hidup di Jakarta, Tutu mulai menggambar di jalan sejak tahun 2000 dan muralnya banyak ditemukan di area selatan kota. Karya karyanya banyak terispirasi dari lingkungan sekitar dan kejadian keseharian kota besar Jakarta, terutama kehidupan sosialnya yang sangat beragam.

Dalam menitikberatkan pada proses , Tutu selalu mengharmonisasikan detail, struktur, dan unsur lain dengan komposisi modern dan warna warna alam, dan menghasilkan bentuk baru yang kompleks lewat garis dan lapisan warna.

Dikenal dengan bentuk geometris dan tajam, karyanya mengetengahkan graffiti masa depan yang dinamis.

Jakarta - Indonesia

Page 48: 2 - 7 November
Page 49: 2 - 7 November
Page 50: 2 - 7 November
Page 51: 2 - 7 November
Page 52: 2 - 7 November
Page 53: 2 - 7 November
Page 54: 2 - 7 November
Page 55: 2 - 7 November

Wednesday 2/11 : Yello Hotel:The 10 artists are starting the draw on the walls at Yello Hotel, and start to paint the walls.

Thursday 3/11 : D’Gallerie : On the afternoon : preview at D’Gallerie,6.30pm : Vernissage at D’Gallerie, with the presence of the artists. The exhibition is running until 4/12.

Friday 4/11 : Yello hotel & National Museum : All day the 10 artists are working at the walls in Yello hotel : end of the work.6.30pm - 9pm : Vernissage at National Museum (Gajah Museum) outside main entrance : urban festival with hip hop dance, food,...etc. Presentation of the work of each artists on the windows.

Saturday 5/11 : Yello Hotel :10am - 12pm : Urban atmosphere with dance, food truck, etc. Press conference with the 10 artists.2pm - 6pm : competition start: 35 artists at work, graffiti jam.6pm - 7pm : the 10 artists, members of the jury will announce the selection and Yello hotel Organizer will give the prices.

Sunday 6/11 : IFI coffee morning :8am - 11am : 10 artists are working with their each style, on the wall of IFI.11am - 12am : conference/discussion in IFI auditorium

Monday 7/11 : LFJ (French School of Jakarta) :11am - 12am : “One child, One artist” will make together one canvas which will be sell, later, in auction, for the Yayasan PER (Pour les enfants des rues).12am - 1pm : free speak and work with children and the 10 artists.

Rabu 2/11 : Yello Hotel : Para seniman mulai menggambar dan melukis di 2 dinding Yello Hotel

Kamis 3/11: D’Gallerie :Siang-sore : Pratinjau di D’Gallerie,6.30pm : Pembukaan di D’Gallerie, dihadiri para seniman. Pameran berlangsung sampai 4/12.

Jumat 4/11 : Yello Hotel dan Museum Nasional : Seharian kesepuluh seniman akan melanjutkan lukisan mereka di dinding Yello Hotel : dan menyelesaikannya.6.30pm - 9pm : Pembukaan di Museum Nasional (Museum Gajah). Di pelataran luar museum : Urban Festival menampilkan tari hip hop, makanan, dlsb. Karya seni kesepuluh seniman dipajang di jendela-jendela.

Sabtu 5/11 : Yello Hotel :10am - 12pm : Urban Atmosphere menampilkan tarian, makanan, dlsb. Konferensi pers dengan kesepuluh seniman.2pm - 6pm : Kompetisi dimulai, melibatkan 35 seniman, graffiti jam.6pm - 7pm : Kesepuluh seniman, tim juri akan mengumumkan pemenang kompetisi dan Yello Hotel akan memberikan hadiah.

Minggu 6/11 : IFI : 8am - 11am : kesepuluh seniman melukis dengan gaya masing-masing di tembok IFI.11am - 12am : Konferensi dan diskusi di Auditorium IFI.

Senin 7/11 : LFJ (Sekolah Prancis di Jakarta) :11am - 12am : “Satu Anak, Satu Seniman” akan melukis bersama diatas kanvas. Lukisan kemudian akan dijual dalam lelang. Hasilnya diberikan kepada Yayasan PER (yayasan untuk anak jalanan). 12am - 1pm : bincang santai sambil melukis bersama anak-anak dan para seniman.

Indonesian & French Urban Art week

Page 56: 2 - 7 November

Marc Steinmeyer (Tauzia), Esti Nurjadin (D’Gallerie), Jean-Pascal Gerber (LFJ), Anne Drouin (LFJ), Julien Jouaud (LFJ), Mrs Daudelin (LFJ), Mr Deparis (LFJ), Mr Marty (LFJ), Mr Mellet (LFJ), Chrystel Gaudin and all the students, Arnaud Rivoire (IFI), Emmanuelle Klein (IFI), Dwi Setyowati (IFI), Arif Muhammad (IFI), Ginanjar (IFI), Mirsa Khairunnisa (IFI), Bimo Putra (IFI), Ahmad Rifqi Fadhillah (IFI), Christian Gaujac (IFI), Claude et Dewi Kunetz, Dir Ibu Intan Mardiana (National Museum), Ibu Dedah and her team (National Museum), Amélie Heim & Lucie Pech (Le Petit Journal), Violène Toulemonde (PER) and all the team, Tauzia Hotel Management, All Sedayu Group Management, Yello Hotel Harmoni Team, Gardu House, Claire Thibaud-Piton (Art Consultant, Curator)....Thank you!

TRANSLATION : Citra Megasari & Alan LlewellynMC : Arie Dagienkzvideografer : Anies Wildani

GRAPHIC DESIGN : Fred Nicolauprinted by : Yomi Printing

IFI, French Institut IndonesiaJalan M.H. Thamrin No 20 Jakarta 10350

Museum National IndonesiaJalan Medan Merdeka Barat No 12Jakarta Pusat 10110

D’GallerieJalan Barito 1 No 3Kebayoran Baru 12130

yello hotel HarmoniJalan Hayam Wuruk No 6Jakarta Pusat 10130

LFJ French SchoolJalan Cipete Dalam No 32Jakarta 12410

THANKS TO

address

Instagram : offthewalljakarta www.sugarandcream.coFacebook : offthewalljakarta

LEPETITJOURNAL

.COM

Le media des Français et francophones à l’étranger