2. hiv

16
I. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah tersebut. Materi dasar dalam pelatihan konseling dan tes HIV akan menggambarkan kebijakan Pemerintah RI dalam penanganan HIV dan membantu peserta memahami arti dari epidemiologi. Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Situasi Epidemi HIV AIDS di dunia Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.6–36.1 juta). Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV. Kecenderungan epidemik baik pada tingkat global maupun regional, secara umum membentuk 3 pola epidemi, yaitu: 1. Epidemi meluas (generalized epidemic), HIV sudah menyebar di populasi (masyarakat) umum. Bila prevalensi HIV lebih dari 1% diantara ibu hamil. 2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic), HIV menyebar di kalangan sub populasi tertentu (seperti kelompok LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya). Bila prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut.

Upload: selvia-helena-utami

Post on 03-Oct-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mklm

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah tersebut. Materi dasar dalam pelatihan konseling dan tes HIV akan menggambarkan kebijakan Pemerintah RI dalam penanganan HIV dan membantu peserta memahami arti dari epidemiologi. Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-UndangNo.36tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.Situasi Epidemi HIV AIDS di duniaEpidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.636.1 juta). Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV. Kecenderungan epidemik baik pada tingkat global maupun regional, secara umum membentuk 3 pola epidemi, yaitu:1. Epidemi meluas(generalized epidemic), HIV sudah menyebar di populasi (masyarakat) umum. Bila prevalensi HIV lebih dari 1% diantara ibu hamil.2. Epidemi terkonsentrasi(concentrated epidemic), HIV menyebar di kalangan sub populasi tertentu (seperti kelompok LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya). Bila prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut.3. Epidemi rendah(low epidemic), HIV telah ada namun belum menyebar luas pada sub populasi tertentu. Infeksi yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi, misalnya pekerja seks, penasun, dan LSL. Prevalensi HIV dibawah 5% pada sub populasi tertentu.Perkiraan kematian akibat AIDS seluruh dunia pada 2007 sekitar 2.1 juta, dimana 76% kematian tersebut terjadi di sub Sahara Afrika. Penurunan kematian telah terjadi dalam 2 tahun terakhir sebagian disebabkan oleh perluasan pelayanan pengobatan ARV

Kerentanan di AsiaPenularan HIV umumnya terjadi akibat perilaku manusia, sehingga menempatkan individu dalam situasi yang rentan terhadap infeksi. Perilaku berisiko terutama jika melakukan hubungan seksual yang tidak aman, baik secara vaginal maupun anal dengan pasangan yang berganti-ganti maupun yang tetap, selain itu juga akibat bergantian menggunakan alat suntik pada pengguna napza suntik.Perilaku seksual dan penggunaan alat suntik bergantian meliputi:a.Berhubungan seks penetrasi tanpa menggunakan kondom.b.Pengguna napza dengan menggunakan alat suntik tidak steril secara bergantianCara penularan paling utama di Asia adalah melalui hubungan seks, dimana prevalensi HIV lebih dari 40%. Ledakan epidemi HIV dari penasun terjadi di 100 kawasan di seluruh dunia. Penggunaan alat suntik bersama lebih menonjol dijumpai di banyak negara Asia, Eropa Timur dan Selatan.Surveilans HIV di AsiaPengukuran epidemi HIV kebanyakan menggunakan angka prevalensi pada populasi orang dewasa yakni persentase orang dewasa hidup dengan HIV AIDS (ODHA). Data ini dikumpulkan dari daerah surveilans sentinel pada kelompok tertentu, misalnya: pada pekerja seks, perempuan hamil yang datang datang untuk pemeriksaan kehamilan (Ante Natal Care=ANC), pasien TB, pasien IMS, penasun, dan LSL (laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki).Untuk kepentingan surveilans suatu negara, dibuat pengelompokkan status epideminya. Status negara tersebut dapat berubah-ubah sesuai keadaan epidemiknya.1. Epidemi generalisata, misalnya: Kamboja, sebagian India, Myanmar, dan Thailand2. Epidemi terkonsentrasi, misalnya sebagian; China, Indonesia, Malaysia, Nepal dan Vietnam3. Epidemi rendah, misalnya: Bangladesh, Bhutan, Laos, Philippines, Republik Korea, Srilanka

SITUASI DI INDONESIAIndonesia secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh provinsi yang dikeluarkan secara triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI sampai bulan Maret tahun 2010, tercatat 20.564 kasus AIDS dengan persentase, laki-laki sebanyak 62%, perempuan 30% dan tidak diketahui 8 %. Estimasi yang dilakukan pada tahun 2006 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 193.000 orang terinfeksi HIV dan sekitar 186.000 orang tahun 2009, sedangkan kasus AIDS yang tercatat oleh Kementerian Kesehatan RI sampai dengan September 2010 tercatat 22.726 orang hidup dengan HIV AIDS. AIDS pada pengguna Napza Suntik (penasun) di Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak 2.224 kasus dan jika dilihat dari kelompok umur dari kelompok tersebut ada 70% berada di kelompok usia produktif (20-39 tahun). Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Para pakar memperkirakan jumlah kasus HIV AIDS sudah mencapai 130.000 orang, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat Internasional yang diikuti kebijakan nasional. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%), yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), dan waria.Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahapconcentrated epidemic.Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006, prevalensi HIV berkisar antara 21% 52% pada penasun, 1% 22% pada WPS, dan 3% 17% pada waria. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Provinsi Papua dan Propinsi Papua Barat, penyebaran infeksi HIV sudah pada tahap meluas, yaitu telah terjadi melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalensi > 1%).Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sampai dengan 2010, terjadi laju peningkatan kasus baru HIV yang semakin cepat terutama jumlah kasus baru HIV dalam 3 tahun terakhir lebih dari 3 kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi HIV di Indonesia. Dari jumlah kumulatif 22.726 kasus AIDS yang dilaporkan pada September 2010, dengan proporsi 73.6% adalah laki-laki, 26.0% perempuan. Persentasi kasus AIDS pada pengguna napza suntik 91.2% pada kelompok berusia 20-39 tahun. Seiring dengan pertambahan total kasus AIDS, jumlah daerah yang melaporkan kasus AIDS pun bertambah. Pada akhir tahun 2000, terdapat 16 provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat tajam pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia yang sudah melaporkan adanya kasus AIDS. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2009 memperkirakan ada 5 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV. Jumlah terbesar berada pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,9 juta. Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya. Berdasarkan modeling matematika, diperkirakan dalam rentang waktu tahun 2008 2015, secara kumulatif akan terdapat 44.180 anak yang dilahirkan dari ibu positif HIV.Dalam melakukan intervensi suatu program, pengelola program harus memperhatikan situasi epidemi di wilayah tersebut, disamping kemampuan sumber daya yang dimiliki, agar intervensi program tersebut mencapai tujuan secara efektif dan efisien.Pada semua tingkat epidemik1. Menempatkan akselerasi (percepatan) pencegahan sebagai prioritas utama2. Memilih intervensi pencegahan yang sesuai dengan pola penularan HIV3. Memfokuskan pada wilayah geografis dengan kasus HIV yang meningkat sangat cepat4. Memilih pendekatan konseling dan tes HIV yang akan mengoptimalkan jalan masuk ke pencegahan, perawatan dan tes pada semua ibu hamil yang berisiko.5. Merencanakan penyediaan pelayanan perawatan dan pengobatan yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh populasi sasaran6. Menjamin pelayanan konseling, tes HIV, pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan termasuk layanan penjangkauan bagi populasi berisiko tinggi.Pada daerah dengan epidemi terkonsentrasidan meluas1. Intervensi program pengendalian AIDS diarahkan pada pencegahan untuk populasi berisiko dan perawatan pengobatan dan dukungan untuk orang dengan HIV dan AIDS.2. Program ditujukan untuk mencegah timbulnya infeksi baru HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.Berikut ini dibahas pendekatan intervensi dan layanan kesehatan berdasarkan tingkat epideminya.Pada tingkat epidemi meluas (generalized)1. Memilih pendekatan layanan yang mampu melayani mereka yang berisiko, infeksi baru, kelompok yang terdampak dan sejumlah besar orang yang membutuhkan pengobatan dan perawatan.2. Mendesentralisasikan layanan HIV ke puskesmas dan masyarakat3. Mengintegrasikan layanan pencegahan, pengobatan dan perawatan kedalam layanan kesehatan dasar.4. Menekankan pencegahan bagi Odha pada program positif prevention5. Merekomendasikan tes HIV bagi semua pasien yang mencari layanan (inisiasi petugas) dan wanita hamil dan menyusui6. Kondisi kerentanan dan risiko ini tidak tersebar secara merata pada populasi. Untuk memaksimalkan efektifitas program, para pengelola perlu untuk membuat keputusan strategis mengenai siapa yang menjadi target, pendekatan apa yang perlu diambil, pelayanan apa yang perlu disediakan pada lokasi apa, sumber daya apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana hal-hal ini seharusnya didistribusikan.7. Di banyak negara epidemi HIV dilaporkan pertama-tama di kota-kota besar, kota-kota di perbatasan negara atau lokasi lainnya dimana unsur kerentanan dan risiko sangat tinggi.Populasi dengan mobilitas tinggi cenderung meningkatkan kerentanan ini dan juga mempermudah penyebaran HIV ke daerah baru. Para pengelola program perlu untuk mengerti pola geografis ini untuk secara tepat mengalokasikan sumber daya pencegahan ke wilayah-wilayah dimana sumber daya tersebut akan memiliki dampak maksimal terhadap penularan.Pada tingkat epidemik terkonsentrasi1. Mengenali bahwa intervensi sasaran yang efektif memerlukan informasi tentang populasi yang paling berisiko dan aksesnya terhadap layanan.2. Menargetkan intervensi bagi populasi yang paling berisiko seperti pekerja seks, waria, laki seks dengan lelaki, pengguna napza suntik.3. Memprioritaskan intervensi khusus bagi pengguna napza suntik bila ada diwilayahnya.4. Menjamin cakupan intervensi pencegahan yang memadai bagi populasi yang paling berisiko.5. Memanfaatkan program penjangkauan, pendekatan sebaya atau orang yang dipercaya oleh populasi rawan/rentan, kelompok masyarakat mandiri dan klinik setempat untuk memberikan layanan bagi populasi tersebut.6. Pemantauan melalui kegiatan Surveillans

Pada daerah dengan epidemi rendahIntervensi sebaiknya lebih ditujukan untuk pencegahan yang efektif dengan meningkatkan pengetahuan terhadap perilaku yang aman masyarakat melalui edukasi agar angka kejadian tetap rendah.

Pada tingkat epidemik rendah1. Mengenali bahwa individu yang terkena sering berasal dari populasi yang termarjinalkan dan menjadi sasaran stigma dan diskriminasi.2. Merencanakan pelayanan yang sesuai dengan penyebaran populasi yang paling berisiko terinfeksi dan Odha3. Menentukan paket layanan optimal dan jejaring rujukan untuk menjangkau populasi populasi yang paling berisiko terinfeksi dan Odha4. Menekankan pencegahan agar angka kejadian HIV tetap rendah.5. Pemantauan melalui kegiatan Surveillans

STRATEGI PENCEGAHAN HIV MELALUI PROGRAM NASIONALKebijakan Umum1. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga;2. Mengingat luasnya respon dan permasalahan, maka upaya penanggulangan AIDS harus dilakukan melalui suatu gerakan secara nasional bersama sektor dan komponen lain;3. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;4. Upaya pencegahan HIV AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat;5. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV;6. Upaya penanggulangan HIV AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap Odha7. Upaya penanggulangan HIV AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya penanggulangan HIV AIDS;8. Upaya penanggulangan HIV AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marginal terhadap penularan HIV AIDS.Kebijakan Operasional1. Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi Odha2. Penyelenggaraan dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program;3. Pemerintah berkewajiban menjamin tersedianya ARV maupun reagen pemeriksaan secara berkesinambungan;4. Pengembangan layanan bagi Odha dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi : situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, SDM dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.5. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain;6. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada Odha.7. Keberpihakan kepada Odha dan masyarakat (patient and community centered); Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan napza;8. Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi Odha9. Layanan bagi Odha dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan konsep layanan perawatan yang berkesinambungan;10. Pengembangan layanan dilakukan secara bertahap pada seluruh pelayanan yang ada sesuai dengan fungsi dan strata pelayanan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan sarana, tenaga dan dana;11. Pencapaian target program nasional juga memperhatikan komitmen dan target internasional.Tujuan ProgramTujuan program secara umum juga dapat menjadi arah jalannya suatu program dan indikator dalam melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan program.Pada tingkat nasional tujuan program dirumuskan sebagai berikut:1.Tujuan UmumMencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup Odha serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.2.Tujuan Khusus Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada Odha yang terintegrasi dengan upaya pencegahan. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV AIDS, dengan menitik beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk Odha dalam berbagai upaya penanggulangan HIV AIDS. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV AIDS. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam penanggulangan HIV AIDS.Universal AccessPeningkatan program dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa sasaran kunci, yang juga sejalan dengan upaya mewujudkanuniversal accessdalam mencapai MDG tahun 2015.Indikator pada Inpres 3 tahun 2010 yaitu:1. Prevalensi HIV pada penduduk usia 15-49 tahun, menjadi kurang dari 0,5%2. Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS, menjadi 75%3. Jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan tes HIV, menjadi 400.0004. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan penularan HIV sesuai pedoman, menjadi 60%5. Penggunaan kondom pada kelompok risiko tinggi, menjadi 35% pada perempuan dan 20% pada laki-laki6. Persentase Odha yang mendapatkan ART, menjadi 75%, dan7. Persentase Rumah Sakit Pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan rujukan bagi Odha, menjadi 70%.Strategi merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Secara umum strategi meliputi:1. Meningkatkan dan mengembangkan program (Program Expansion Strategy) dengan memfokuskan akses layanan bermutu (Konseling dan Tes HIV, Perawatan Dukungan dan Pengobatan/ PDP, Infeksi Menular Seksual/IMS, Pengurangan Dampak Buruk/PDB, Program Pencegahan dari Ibu ke Anak/PPIA, dll), penguatan jejaring layanan, pelibatan semua penyedia layanan (care provider) dan merespon tantangan baru sepertidrug resistance, kolaborasi TB-HIV;2. Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan;3. Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan M&E program dan promosi program4. Meningkatkan dan menguatkan sistem Informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS5. Memberdayakan Odha dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.

Kegiatan Strategi Program Konseling dan Tes HIV di Indonesia1.Target IntervensiCara paling efisien untuk menurunkan penyebaran HIV dilakukan pada semua populasi dan memprioritaskan target yang berisiko tinggi terinfeksi HIV, yaitu pada kelompok pengguna NAPZA suntik, kelompok pekerja seks, kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksual. Epidemi HIV melalui IDU dimulai di beberapa negara Asia dan kemudian menyebar kepada kelompok berisiko tinggi dan populasi umum. Program pengurangan dampak buruk(harm reduction)dengan pencucian alat suntik dan pertukaran alat suntik, serta terapi rumatan dengan subsitusi terbukti efektif menghambat penularan HIV diantara pengguna NAPZA suntik. Akses ke VCT dan ARV harus tersedia di semua area semua Rumah Sakit rujukkan tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota.2. PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK(Prevention of Mother-To-Child Transmission=PMTCT)Beberapa uji coba klinik menunjukkan antiretroviral dapat menurunkan penularan HIV dari ibu ke anak, ibu yang menyusui jangka pendek dan kemudian dapat memperpanjang masa menyusui. Angka anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV secara dramatis menurun dengan adanya intervensi PMTCT. Perempuan hamil mendapatkan penawaran VCT dan hingga tahun 2010 sebanyak 7,5% perempuan hamil positif HIV telah menerima ARV untuk mengurangi risiko penularan. Beberapa negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, Eropa Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara telah mengimplementasikan pencegahan melalui intervensi MTCT dengan memberikan antiretroviral.Voluntary counselling and testing(VCT) selama masa antenatal merupakan pintu masuk pada pelayanan pencegahan melalui ibu ke anaknya. Negara-negara dengan kasus infeksi yang telah masuk populasi umum, menerapkan program PMTCT komprehensif. Data RSUPN Cipto Mangun Kusumo Jakarta menunjukkan bahwa jika pada tahun 1996 dan 2002 diketahui masing-masing terdapat 1 bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, maka pada tahun 2010 terdapat 65 kasus baru. Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 118 kasus baru bayi/anak yang dilahirkan dari ibu HIV positif. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah.Dengan intervensi PMTCT maka risiko penularan dari yang semula 25 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Kemkes tahun 2010, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi sekitar 3000 bayi dikhawatirkan lahir HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Sangat disayangkan, efektivitas intervensi PMTCT tersebut seringkali terhambat oleh faktor biaya.3. MEMASTIKAN LAYANAN DARAH YANG AMAN PADA PELAYANAN SKRINING DARAHSalah satu peran Palang merah Indonesia (PMI) dalam penanggulangan HIV adalah program pencegahan, perawatan dan dukungan terhadap Odha. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1990, tugas dari UTD PMI adalah menyediakan darah yang aman dan bebas dari Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tapi perlu kita ketahui bahwa UTD PMI merupakan unit skrining untuk periksaan darah donor.Upaya yang dilakukan dapat berupa optimalisasi pengelolaan darah dalam suatu UTD baik input, proses maupun output. Penyediaan darah juga harus terstandarisasi dan berkualitas. Sesuai dengan strategi I dari World Health Organization (WHO), maka darah yang tercemar HIV pada pemeriksaan awal akan segera dibuang. Optimalisasi pengelolaan darah dalam hal input yang terpenting adalah di saat proses seleksi calon donor darah sehingga didapatkan donor darah sukarela risiko rendah. Begitupun dalam pemeriksaan dokter juga harus cermat ketika menilai kondisi kesehatan calon donor saat itu. Penanganan input yang optimal merupakan awal dari penyediaan darah yang aman dimana didapatkan bahan tersebut dari donor. Saat ini tiap Unit Transfusi Darah Cabang (UTDC) telah melakukan uji saring terhadap 4 penyakit menular berbahaya yaitu Sifilis, Hepatitis B & C dan HIV. Apabila ada donor darah yang dicurigai terinfeksi dengan hasil tes yang mendukung, maka dirujuk ke Unit Tranfusi Darah Pusat (UTDP) untuk dilakukan tes ulang darah donor tersebut. Hasilnya dikembalikan ke UTDC yang bersangkutan. Di Unit Tranfusi Darah Daerah (UTDD) DKI Jakarta apabila dicurigai adanya infeksi HIV AIDS maka dilakukan rujukan pasien ke rumah sakit yang menyediakan layanan konseling dan tes HIV.Kebijakan PMI mengenai HIV AIDS dalam upaya penanggulangan HIV AIDS secara nasional, memfokuskan kegiatan pencegahan secara nasional melalui:1) Penyediaan darah aman HIV sesuai prosedur tetap (PROTAP)/SOP/PKS = Prosedur Kaya Standar. Sebagai upaya pencegahan HIV tersebut, seluruh Unit Transfusi Darah Cabang (UTDC) PMI telah melakukan uji saring terhadap darah donor.2) Mengembangkan kerjasama dengan penyelenggara layanan konseling dan tes HIV di rumah sakit dan LSM Peduli HIV AIDS.3) Memberikan bantuan perawatan keluarga bagi Odha, dan dukungan lainnya sesuai kebutuhan.4) Memantapkan program Pendidikan Remaja Sebaya (PRS) dan Pendidikan Wanita Sebaya (PWS) dalam upaya meningkatkan ketahanan keluarga serta mengembangkan sikap anti stigma dan nondiskriminatif terhadap Odha5) Pendekatan promotif PMI secara simultan melakukan sosialisasi pesan dari kampanye anti stigma dan diskriminasi terhadap Odha dan keluarganya

4.Voluntary counseling and testing (VCT) sebagai strategi kesehatan masyarakatVCT yang berkualitas baik tidak saja membuat orang mempunyai akses terhadap berbagai pelayanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan terhadap HIV. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi tentang pencegahan HIV. Klien dimungkinkan mendapat pengetahuan tentang cara penularan, pencegahan, dan pengobatan terhadap HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, dan penggunaan alat suntik steril. Konselor juga harus mampu memberikan pengetahuan tentang hubungan IMS dengan HIV dan merujuk klien ketika IMS nya perlu dideteksi dan diobati lebih lanjut. Di banyak negara pembagian kondom dilakukan di klinik VCT dimana VCT merupakan komponen utama dalam program HIV di negara-negara industri. tetapi belum mendapat perhatian baik di negara-negara berkembang. Namun peran pencegahan penularan dan perbaikan akses ke pelayanan perawatan merupakan gambaran bahwa VCT mulai dikenal dan dilaksanakan. Sampai dengan Juni 2010 terdapat lebih kurang 8.000 konselor yang telah dilatih oleh tim pelatih VCT Nasional dengan Sertifikasi yang difasilitasi oleh Kementrian Kesehatan. Sementara itu Rumah Sakit atau klinik VCT yang sudah ada sebanyak 210 klinik baik yang di Rumah Sakit dan klinik. Kemudian untuk Rumah Sakit rujukan ARV mulai tahun 2004 di bentuk di 25 RS, tahun 2006 dikembangkan di 75 RS dan tahun 2007 dikembangkan di 125 RS yang sudah dilatih VCT. Selain itu dalam rangka meningkatkan mutu layanan terutama yang berkaitan dengan kualitas dan sistem layanan VCT, Subdit AIDS dan PMS Ditjen P2PLP Kemenkes RI secara berkala melakukan monitoring dan mentoring terhadap layanan-layanan VCT yang ada di Indonesia. Peningkatan kemampuan konselor juga dilakukan dengan melakukan pelatihan lanjutan VCT, pelatihan konselingAdherence ARTdan PITC dan pelatihan konseling terkait lainnya. Di samping itu dalam upaya mengoptimalkan sistem pelayanan VCT di Indonesia saat ini dengan membentuk asosiasi konselor VCT HIV Indonesia, PKVHI (Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia). Perhimpunan ini mempunyai kepengurusan pusat maupun daerah serta secara rutin melakukan musyawarah nasional maupun wilayah. PKVHI berperan dalam meningkatkan mutu konselor VCT.5.Kaitan VCT dengan Provider Initiative Testing and Counseling/ PITCSaat ini di berbagai rumah sakit di Indonesia telah dilakukan layanan tes HIV melalui program PITC. PITC adalah program yang dikembangkan dari layanan konseling dan tes HIV. PITC dan VCT adalah satu kesatuan pendekatan dalam HIV konseling dan tes HIV. PITC bukanlah tes mandatori karena mengedepankan prinsip 3C-2R yaituConsent(persetujuan setelah mendapat informasi dan memahaminya),Counseling(konseling), Confidentiality(konfidensialitas) sertaReport(pelaporan) danReferral(rujukan). Dalam PITC proses konseling pra tes dilakukan dalam bentuk pemberian informasi. Pada hakekatnya layanan PITC bekerja bersama dengan layanan VCT dalam konseling dukungan serta keduanya akan terlaporkan dalam suatu sistem yang baku.6.Pencegahan Positif dalam Konseling dan Tes HIVKementerian Kesehatan mendukung upaya pencegahan positif melalui pendekatan konseling dan tes HIV. Pencegahan seharusnya merupakan tanggung jawab bersama, termasuk pemerintah terlibat dalam program pencegahan positif. Tak ada satupun pencegahan HIV yang 100% efektif. Pencegahan dan perawatan HIV saling terkait dan tidak boleh saling bertentangan. Melibatkan orang yang positif pada tiap tahap pengembangan dan implementasi program. Program pencegahan HIV seharusnya dikembangkan tanpa stigmatisasi lebih jauh pada mereka yang sudah termarginalisasi. Kunci pencegahan positif dalam konseling adalah:a Mencegah penularan HIV kepada orang lainb Mencegah penularan infeksi ulang HIV dan infeksi lainnyac Meningkatkan kualitas hidup terkait dengan rencana masa depan (termasuk berkeluarga dan keluarga berencana)