2. tinjauan pustaka 2.1 film - dewey.petra.ac.id · dapat “disuruh” memegang peranan apa saja,...
TRANSCRIPT
11 Universitas Kristen Petra
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film
Film dianggap lebih sebagai media hiburan daripada media pembujuk. Namun
yang jelas, film sebenarnya punya kekuatan bujukan atau persuasi yang besar. Kritik
publik dan adanya lembaga sensor juga menunjukkan bahwa sebenarnya film sangat
berpengaruh (Rivers, 2004).
Menikmati cerita dari film berlainan dari buku. Film memberikan tanggapan
terhadap yang menjadi perilaku dalam cerita yang dipertunjukkan itu dengan jelas
tingkah lakunya, dan dapat mendengarkan suara para pelaku itu beserta suara-suara
lainnya yang bersangkutan dengan cerita yang dihidangkan. Apa yang dilihatnya pada
layar bioskop seolah-olah kejadian yang nyata, yang terjadi di hadapan matanya.
Penonton film pasif saja karena disajikan cerita yang sudah masak hingga penonton
tinggal menikmati (Effendy, 2003, p.207).
Sehubungan dalam ukuran, film dibedakan pula menurut sifatnya yang umum
(Effendy, 2003, p.210-216) :
1. Film cerita (story film)
Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang
lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya
yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan
diperuntukkan semua publik semua publik di mana saja.
Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita.
Sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat menyentuh rasa
manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada publik
dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar,
dan yang merupakan suatu hidangan yang sudah masak untuk dinikmati,
sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur
tadi.
12 Universitas Kristen Petra
2. Film Berita (newsreel)
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada
publik harus mengandung nilai berita (newsvalue). Sebenarnya kalau
dibandingkan dengan media lainnya seperti surat kabar dan radio sifat
“newsfact” nya film berita tidak ada. Sebab sesuatu berita harus aktual, sedang
berita yang dihidangkan di film berita tidak pernah aktual. Ini disebabkan
proses pembuatannya dan penyajiannya kepada publik yang memerlukan
waktu yang cukup lama. Akan tetapi dengan adanya TV yang juga sifatnya
auditif visual seperti film, maka berita yang difilmkan dapat dihidangkan
kepada dihidangkan kepada kepada publik melalui TV lebih cepat daripada
kalau dipertunjukkan juga di gedung-gedung bioskop mengawali film utama
yang sudah tentu film cerita.
3. Film dokumenter (documentary film)
Istilah “documentary” mula mula dipergunakan oleh seorang sutradara
Inggris, John Grierson, untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang
dipelopor oleh seorang Amerika bernama Robert Flaherly termasuk salah
seorang seniman besar dalam bidang film. Film dokumenternya itu
didefinisikan Grierson sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”. Berbeda
dengan film berita yang merupakan interpretasi yang puitis yang bersifat
pribadi dari kenyataan-kenyataan. Filmnya yang pertama dan sangat terkenal
adalah Nanook of the North (1922), yang menggambarkan perjuangan sehari-
hari dari sebuah keluarga Eskimo untuk mempertahankan hidupnya di Kutub
Utara.
Titik berat film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi.
Bedanya dengan film berita adalah bahwa film berita harus mengenai sesuatu
yang mempunyai nilai berita untuk dihidangkan kepada penonton apa adanya
dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Film berita sering dibuat dalam
waktu yang tergesa-gesa karena itu mutunya sering tidak memuaskan. Sedang
untuk membuat film dokumenter dapat dibuat dengan pemikiran dan
13 Universitas Kristen Petra
perencanaan yang matang. Berbeda pula dengan film cerita yang dapat diolah
dengan unsur kejahatan dan seks, film dokumenter tidak demikian. Karena
itu film dokumenter sering menjemukan akal untuk mengolahnya sehingga
dapat mempersona publik terbatas sekali. Tetapi meskipun demikian usaha ke
arah itu harus dilakukan, tetapi tidak boleh dipaksakan sehingga apa yang
dipertunjukkan menjadi tidak logis.
4. Film Kartun (cartoon film)
Pada tahun 1908 seorang Perancis bernama Emile Cohl telah membuat
film kartun Phantasmagora. Pada tahun 1909 seorang Amerika, Winsor
McCay, menciptakan film kartun yang mengisahkan seekor dinosaurus yang
diberi nama Gertie, dan pada tahun 1913 Ladislas Starevitch dari Uni Soviet
memperkenalkan film kartun berjudul si Belang dan si Semut.
Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun ini adalah dari para
seniman pelukis. Ditemukannya sinematografi telah menimbulkan gagasan
kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang mereka lukis.
Lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik karena
dapat “disuruh” memegang peranan apa saja, yang tidak mungkin diperankan
manusia. Si tokoh dalam kartun dapat dibuat menjadi ajaib.
Titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Setiap lukisan
memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan seksama untuk kemudian
dipotret satu persatu pula. Apabila rangkaian lukisan yang 16 buah itu setiap
detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisan itu menjadi hidup.
Sebuah film kartun tidaklah dilukis oleh satu orang, tetapi oleh pelukis-
pelukis dalam jumlah yang banyak.
2.2 Desakralisasi Pada Agama
Desakralisasi adalah proses sosial untuk melepaskan status religius dari isu
dan konflik keagamaan, desakralisasi sebenarnya berbeda dari kasus yang satu
dengan kasus yang lain (Svensson, 2013, p.161). Desakralisasi menurut Svensson
adalah suatu upaya untuk menurunkan sifat religiositas dan mengedepankan
14 Universitas Kristen Petra
rasionalitas dalam menghadapi suatu konflik. Agama sebagai sesuatu yang mudah
untuk dianggap sakral, namun hal ini dapat membuat suatu konflik karena berbicara
tentang kesakralan berbicara juga sesuatu yang sensitif. Desakralisasi adalah suatu
cara untuk melepaskan pengaruh agama yang berlebihan dan mengedepankan
rasionalitas untuk menghindari konflik. Terdapat kesamaan dan pola yang umum
pada setiap kasus yang berbeda untuk tiap desakralisasi. Maka itu perlu memahami
bagaimana pola dan teori untuk menganalisis desakralisasi. Dalam hal ini
desakralisasi dipakai dalam sebuah pesan. Pesan yang terkandung dalam sebuah film
untuk memberikan pesan bagi masyrakat. Beberapa konteks desakralisasi dipakai
umumnya untuk menjadi solusi bagi masyarakat dengan tingkat religiositas tinggi.
Konsep desakralisasi menurut Paola Partenza ketika ia menyorot tulisan-
tulisan sastra yang sudah dikalahkan oleh zaman. Desakralisasi menurutnya adalah
titik awal atau solusi untuk membuat pemikiran manusia yang penuh khayalan
menjadi pemikiran kritis bagi dunia ini. Caranya dimulai dari beberapa tulisan sastra
yang harus dikembangkan namun tujuannya adalah untuk mengubah pemikiran
masyarakat. Dengan kata lain sastra digunakan untuk menjelaskan perubahan
pemikiran masyarakat yang lebih kritis dan revolusioner (Partenza, 2015).
Konsep desakralisasi menurut Abraham Maslow adalah untuk menurunkan
sifat masyarakat agar lebih punya pemikiran yang lebih terbuka dan tidak takut akan
hal-hal yang dianggap sakral tapi tidak manusiawi. Contohnya adalah saat dokter
melakukan operasi maka ia harus melepaskan segala sesuatu yang bersikap sakral
untuk menyelamatkan nyawa seseorang misalnya saat melakukan operasi payudara.
Desakralisasi inilah yang diperlukan untuk membuka pikiran masyarakat akan hal-hal
yang harus dilakukan daripada menjaga sifat sakral (Maslow, 1966).
Desakralisasi menurut Golpayegani adalah salah satu karakter dari
sekularisme. Desakralisasi dimaksudkan untuk melawan semua sifat manusia yang
mempercayai takhyul. Kepercayaan manusia dalam takhyul adalah penyimpangan
dan kesalahan dan banyak dilakukan karena pengenalan banyak bakal-bakal hal-hal
yang suci. Akar dan tanda-tanda dari sekularisme melahirkan desakralisasi pada
15 Universitas Kristen Petra
beberapa aspek dari kehidupan manusia termasuk pemisahan hal-hal yang dianggap
suci dari takhyul dan ilusi (Tamimi, 2000).
Secara keseluruhan konsep desakralisasi tidak bisa dilepaskan dari sifat
aslinya yaitu sakral. Sifat sakral berada dalam hampir setiap aspek kehidupan
manusia mulai dari sastra hingga politik. Desakralisasi adalah suatu proses untuk
melepaskan hal-hal yang dianggap suci atau sakral tersebut menjadi lebih masuk akal
untuk dicerna. Pada hal ini peneliti akan memakai konsep desakralisasi dari Svensson
karena konsepnya secara jelas mengacu pada agama seperti dalam film yang ingin
diteliti, yaitu film tentang tokoh agama Katolik. Svensson menjelaskan bahwa
desakralisasi tidak bisa terlepas dari sifat sakral yang dilahirkan dari agama. Untuk itu
perlu untuk menjelaskan secara singkat konsep tentang sakral pada agama.
Durkheim salah satu pengamat sosiologi mengamati pada agama memisahkan
sesuatu dengan hal lain yaitu yang duniawi dan sakral dan menciptakan suatu
kepercayaan atau agama. Pada agama mempunyai 2 ciri yang membuat ia sakral dan
membedakan dengan hal yang duniawi yaitu sifat sakral itu sendiri yang ditunjukkan
sebagai penghargaan pada agama, dan juga praktik-praktik ritual yang dilakukan.
Sifat sakral lahir berdasarkan keadaan manusia yang banyak mengalami kejadian-
kejadian yang bergejolak pada masyarakat sendiri (keadaan kolektif) hingga
masyarakat menciptakan sesuatu yang dianggap kudus seperti adanya istilah tuhan
atau roh seperti sebuah batu, pohon, potongan kayu, rumah, kata-kata, yang
semuanya dapat disakralkan. Ini berdasarkan penelitian terhadap Totemisme yang
dianggap Durkheim sebagai agama tertua. Setiap agama mempunyai 2 unsur yang
membuat ia disebut agama yaitu (Giddens, 1986) :
- Sifat Sakral : yaitu sifat yang dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan, larangan-
larangan, dan batasan-batasan pada suatu obyek.
- Praktek-Praktek ritual : suatu kegiatan yang berfungsi melahirkan kembali
kesadaran masyarakat terhadap yang sakral tersebut. Ritual keagamaan
mempunyai 2 unsur yaitu:
Ritual yang positif : yaitu ritual itu sendiri atau tata cara yang
dilakukan dalam ritual tersebut. Dalam hal ini ritual yang dilakukan
16 Universitas Kristen Petra
tokoh agama Katolik adalah ibadah Minggu dan hari raya, lalu juga
pelayanan sakramen, maupun ibadah di luar gedung gereja.
Ritual yang negatif : larangan-larangan atau batasan-batasan dalam
ritual positif atau disebut juga dengan pantangan yang harus dilakukan
untuk mempersiapkan diri agar sakral dalam melakukan ritual tersebut.
Dalam hal ini tokoh agama Katolik mempunyai ritual negatif yaitu
dengan menggunakan pakaian hitam atau putih saat ibadah, berada di
mimbar, tidak melakukan kegiatan apapun saat ritual tersebut, dan
sebagainya.
Katolik sebagai sebuah agama memiliki tokoh agama Katolik yang dianggap
sakral karena mewakili sebagai pemuka agama yang berdiri paling depan dan
dianggap sakral. Masyarakat menganggap tokoh agama Katolik ini sakral
dikarenakan ritual positif dan negatif yang mereka lakukan serta sikap kebaikan-
kebaikan yang mereka tunjukkan menjadi nilai tambah yang dapat membuat mereka
menjadi tokoh sakral panutan umat Katolik maupun masyarakat dunia. Kebaikan-
kebaikan yang mereka tunjukkan juga dipertontonkan dalam film-film mempertegas
nilai sakral disertai ritual-ritual yang mereka lakukan dalam film.
2.3 Tokoh Agama Katolik dalam Film
Katolik sudah menjadi bagian dari sejarah media khususnya dalam film.
Katolik banyak mempengaruhi tempat-tempat yang ikonik, cerita yang menarik, dan
tentunya karakter-karakter berkarisma dari tokoh-tokoh Katolik seperti tokoh agama
menjadi alasan mengapa Katolik sangat menginspirasi film-film dunia. Karakter
Katolik, tempat-tempat, dan ritual-ritual telah menjadi inspirasi film sejak era film
bisu. Tokoh agama Katolik seperti pastor dan biarawati sudah banyak memerankan
dalam film sejak film bisu. Sebuah visual yang intens dari agama dengan sistem ritual
dan otoritas. Katolik dan tokoh agama katolik menyatu dengan drama yang menjadi
ikon dalam film. Para pecinta film sudah terbiasa melihat visioner Katolik
berhubungan dengan supranaturalis, pastor lain, dan berkonsiliasi dengan tokoh
politik, begitu juga dengan uskup yang ikut memerangi kejahatan dalam lingkungan
17 Universitas Kristen Petra
sosial. Para tokoh agama yang menjadi karakter dalam film juga mewakilkan sisi luar
layaknya cara hidup orang Amerika. (McDannell, 2008, p.14). Sebagai contohnya,
anggota-anggota gereja Katolik terwakilkan dalam film Going My Way (1944), lalu
juga kriminal Irlandia dan Italia yang pada era emas adalah perwakilan dari tokoh
kriminalitas saat itu dengan karakter Katolik yang menyatu seperti yang diceritakan
dalam film Angels with Dirty Faces (1938). Tidak hanya itu, ritual Katolik juga
terwakilkan melalui trilogy film Godfather (1972, 1974, 1990) yang menjelaskan
tentang kekuatan ritual tersebut untuk orang yang menghindari lingkungan jahatnya.
Karakter Katolik diwakilkan khususnya pada film yang menggunakan tokoh agama
Katolik digambarkan dengan sangat kuat. Sebelum sensor film secara resmi berakhir
pada tahun 1960-an, penggambaran pendeta-pendeta Katolik, suster-suster, ritual-
ritual dan objek khas Katolik diperhatikan dengan seksama untuk meyakinkan bahwa
film tersebut tidak menyerang gereja. Perjalanan Katolik dalam sebuah film yang
dikuatkan dengan tempat-tempat dan karakter-karakter khas Katolik masih
diabadikan dalam film-film hingga saat ini. Penggambarannya yg terwakilkan dalam
scene pun tidak mengalami perubahan baik dari sisi kostum seperti Pendeta Katolik
mengenakan jubah atau jas hitam yang menggambarkan penyatuan antara kesahannya
dan kemurniannya dengan kekuasaan dunia, serta ada juga pakaian suster dengan
Rosario di luar serta bersikap introvert dan eksklusif. (McDannell, 2008)
Saat Elia Kazan di Film On the Waterfront (1955) ia menyerukan tradisi
sinematik tokoh agama Katolik yang merakyat menggambarkan kekuatan mereka dari
orang-orang yang mereka layani. Seperti film The Cardinal (1963). (McDannel,
2008, p.21). Para tokoh agama Katolik mencapai pengaruh aslinya bukan dari
pengakuan dari orang-orang tetapi dari koneksi mereka dan dari hirarki otoritas
Roma. Protagonis dalam The Cardinal berubah dari seorang pemuda pembantu
pendeta yang diubah oleh pastor jahat di pedesaan Amerika menjadi orang haus
kekuasaan dengan pengalaman spiritual dan politiknya. Pada awal 1960 ini karakter
Katolik meningkat mewakili tokoh-tokoh kenegaraan yang mempunyai kekuasaan
yang bukan terwakilkan sebagai karakter korupsi tapi lebih sebagai tokoh dengan
pengakuan dan berlandaskan komitmen layaknya pendeta-pendeta Katolik. Film-film
18 Universitas Kristen Petra
tersebut, beserta dengan berbagai macam negara, telah terperangkap dalam kharisma
tokoh Katolik dalam politik.
Katolik mempunyai segalanya dalam sejarah film untuk dipertontonkan
seperti pemusatan dan disiplin strukturnya serta kepatuhan dari tokoh pemuka Katolik
yang dicerminkan dalam film, lalu seksualitas yang dapat dikontrol yang dihasilkan
oleh pekerja bujang seumur hidup seperti Pastor dan Biarawati dan umat yang
produktif, dan sebuah set ritual yang menyatukan rasa candu spiritual dan solidaritas
umat menjadikan budaya Katolik dan tokohnya pas untuk dinikmati dalam sajian
film. Para pembuat film kala itu sangat tereksploitasi sensual yang berlebih, visual,
dan karakter dari cerita Katolik. Mereka mewakili Kardinal dan Paus dalam jubah dan
tali yang tidak pernah mengorbankan kekuatan maskulinitas untuk kemegahan yang
berlebihan. Pendeta-pendeta Katolik mempunyai pertemanan yang intens dengan
semua pria, tetapi hubungan mereka tidak menodai orientasi heterosexual mereka.
Begitu juga dengan hal nya perempuan di Katolik. Pemimpin Katolik seperti Paus
dan Pastor terwakilkan pengaruh mereka diantara politik dunia pria. The Shoes of the
Fisherman (1968), contohnya seperti scene hampir 3 jam pemilihan dan penyematan
Paus Rusia pertama. Pada akhir film, Paus tersebut sukses mencegah Perang Dunia
ke-3. Katolik, pakaiannya, ritualnya, tradisi, nilai-nilai dan struktur otoritas yang
sangat dipakai oleh film Katolik dipakai untuk memerangi kejahatan.
Pada era perang dingin, Perempuan, bagaimanapun juga, adalah hal yang
berbeda. Tahun-tahun perang dingin adalah tahun film biarawati yang didalamnya
terdapat seperti Ingrid Bergman dalam The Bells of St. Mary’s (1945), lalu Audrey
Hepburn dalam Nun’s Story (1959), lalu film terakhir Elvis Presley, dan tentu saja
Change of Habit (1969). Angka menunjukkan bahwa suster-suster Katolik di
Amerika pada tahun 1965 sangat banyak, adalah sebuah gambaran yang ditunjukkan
Amerika. Perempuan-perempuan ini menjadi pegawai di sekolah Katolik,
menjalankan rumah sakit, melayani di misionari luar negeri, berdoa di biara dan
bernegosiasi dengan tokoh agama Katolik yang lain. bekerja di luar rumah
memberikan banyak perasaan personal, spiritual, dan kepuasan professional bagi
suster-suster tersebut. Perempuan-perempuan ini tidak akan memiliki suami dan anak
19 Universitas Kristen Petra
untuk mengekspresikan komitmen religius mereka dengan berdoa dan bekerja
diantara komunitas Katolik.
Dalam film, biarawati mempunyai peran yang menentukan yang
memantapkan independen mereka dan kemandirian mereka. Dalam tahun 1960
perbedaan pria dan perempuan dalam Katolik adalah saat seorang pria menjadi
pendeta Katolik, pakaian legitimasi dan pemurnian menjadi sebuah kegagahannya.
Saat perempuan bersikap baik dan memakai Rosario, pekerjaan mereka menjadi
terbatas dan introvert. Bagi perempuan, perang dingin tergambarkan untuk
memantapkan semangat independen, dan film bertajuk biarawati mendukungnya
Pengaruh yang digunakan oleh biarawati diwakilkan dalam sifat terbaiknya yaitu
tegas dan memimpin, lalu dalam terburuknya sebagai diktator dan terkadang
menyerang. Dalam beberapa film misalnya seperti The Trouble with Angels (1966),
seorang ibu biarawati menghabiskan waktunya untuk mengejar biarawati yang tidak
bisa diatur Mary Clancy. Dalam Change of Habit, suster Michelle melepaskan
kebiasaannya dan menggunakan rok untuk bekerja di klinik dengan dokter John
Carpenter. Pada akhirnya kita dibiarkan menebak pilihan apa yang ia ambil apakah
kembali pada komitmennya atau pergi bersama dokter tersebut.. Setelah itu hubungan
yang baru yang terbayangkan oleh orang-orang Amerika dimanfaatkan biarawati
untuk mengeksplor perubahan yang terjadi antara ras dan gender. (McDannel, 2008,
p.21-24)
Penggambaran tokoh agama Katolik seperti suster, pastor, uskup, kardinal,
dan pastor dalam film sudah sangat dekat dengan karakter-karakter yang memiliki
kharisma dalam perannya. Kharisma sendiri menurut Max Webber, adalah
pembawaan khusus seseorang yang dapat mengundang ketertarikan orang lain pada
mereka. Kharisma dapat dimiliki oleh tokoh agama dengan cara melakukan tugasnya
sebagai petugas agama dan berbuat kebaikan dalam pelayanannya yang sakral (Potts,
dalam Webber, A History of Charisma, 2009, p.121-122).
Tokoh agama Katolik memiliki 2 karakter dan kebiasaan yang biasanya
terlihat pada mereka dalam menjalankan tugas dan pelayanan sakral, sebagai berikut
(Olahan Penulis, 2016):
20 Universitas Kristen Petra
1. Ritual
Ritual menjadi aspek yang paling penting dalam tokoh agama Katolik juga
sebagai identitas film tersebut. Film-film pada era tersebut selalu berhasil
dalam ritual mereka seperti doa dan ritual yang terjawab sesuai keinginan
mereka.
2. Sikap
Tokoh agama Katolik saat itu sangat digambarkan mempunyai sifat yang khas
seperti menyatu dengan masyarakat (dalam beberapa film dengan penjahat
sekalipun), punya kharisma dan kekuatan untuk mempersuasi, dapat
memimpin dengan tegas, dan dapat bekerja rajin dimana saja. Sikap yang
sakral juga berlawanan dengan profanisme dan duniawi. Menurut Durkheim
sikap profan yaitu sikap yang berlawanan dengan sifat sakral. Sikap profan
seperti mengutuk, gegabah, bersikap tidak adil, bersumpah yang tidak pantas,
dan sumpah yang jahat (Stapleton, 1913).
Berhasil dalam ritualnya dan bersikap baik membuat mereka menjadi sakral
bagi masyarakat, ditambah pengaruh film yang mencerminkan sikap dari tokoh
agama Katolik (apapun sebutannya). Namun ritual dan sikap dari tokoh agama
Katolik dalam film era saat ini berbeda dengan tahun 1960an dimana film-film yang
masih bernuansa Katolik yang diwakilkan melalui pemuka-pemuka agamanya banyak
ditampilkan. Fenomena ini dapat tergambar melalui representasi tokoh agama Katolik
dalam film saat ini yang dapat dilihat dari sikap, bahasa yang digunakan, pakaian
serta ritual-ritual yang dijalani.
2.4 Representasi
Representasi merupakan konsep yang memiliki beberapa pengertian. Konsep
ini berasal dari proses sosial dari “representing”. Representasi diartikan juga sebagai
proses konsep ideologi yang abstrak dan berubah dalam bentuk yang pasti. Dapat
diartikan cara kita memandang teman terdekat dan yang hanya teman biasa kita akan
lebih mudah jika kita memberikan kejutan ulangtahun pada teman dekat dan teman
biasa. Begitu pula dengan pandangan hidup kita mengenai cinta, perang, dan
21 Universitas Kristen Petra
sebagainya akan tampak dari hal-hal yang praktis. Representasi adalah konsep yang
dipakai dalam proses pemaknaan sosial melalui penandaan seperti: dialog, tulisan,
video, film, fotografi, dan sebagainya (Hall, 1997, p.15).
Menurut Stuart Hall representasi adalah proses penting yang dipakai untuk
membentuk sebuah kebudayaan. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang
menyangkut pengalaman pribadi yang sangat luas. Apabila semua orang dapat
membagi pengalaman yang ama dan berbicara dengan bahasa yang sama, serta dapat
membagi konsep-konsep yang sama maka kebudayaan orang-orang tersebut adalah
sama. (Hall, 1997, p.15).
Menurut Hall terdapat tiga pendekatan dalam representasi di antaranya
(Juliastuti, 2000, p.24) :
1. Pendekatan Reflektif :
Pendekatan ini melihat bahasa memiliki fungsi sebagai cermin yang
merefleksikan makna sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah
makna bergantung pada sebuah objek baik itu orang, ide, atau peristiwa di dunia
nyata, bahasa berfungsi sebagai cermin yang memantulkan arti sebenarnya.
Contoh pendekatan reflektif adalah kita menyebut bunga mawar adalah bunga
mawar. Tetapi tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur
dari objek yang dipresentasikan. Begitu banyak kata-kata, suara, dan gambar yang
harus dimengerti dengan jelas sehingga pemikiran fantasi yang dipikirkan akan
menunjuk ke dunia yang diimajinasikan. Kita dapat menggunakan kata bunga mawar
dalam pengertian sebenarnya, tanaman yang tumbuh di taman tetapi karena kita
mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau
gambar.
2. Pendekatan Intensional :
Pendekatan ini melihat bahwa manusia menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang setiap individu terhadap
sesuatu. Pendekatan intensional mengatakan sang pembicara atau penulis siapapun
22 Universitas Kristen Petra
yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia dengan memakai
bahasa.
3. Pendekatan Konstruktivis :
Pendekatan ini dipakai untuk mengenali publik dan karakter sosial dari
bahasa. Bahwa tidak terdapat sesuatu yang terdapat dalam diri mereka sendiri
termasuk pengguna bahasa secara individu dapat memastikan makna dalam bahasa.
Sesuatu disini tidak berarti kita dapat mengkonstruksi makna, menggunakan sistem
representasional konsep dan tanda.
Pendekatan konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia yang
meliputi dimana benda-benda dan orang-orang berada serta simbol praktis dan proses
yang melalui representasi makna dan bahasa dioperasikan. Pendekatan ini melihat
bahwa bukan materi di dunia yang memberikan suatu makna melainkan makna
terbetuk melalui sistem bahasa atau sistem apapun yang kita pakai untuk
mempresentasikan konsep kita. Representasi adalah sebuah praktek kerja yang
memakai objek material dan efek tetapi makna tidak hanya bergantung pada kualitas
material tanda tetapi kepada fungsi simbolik.
Representasi dapat dilihat dari sebuah teks yang di dalamnya berisi tentang
semua bentuk bahasa, tidak hanya kata-kata yang terdapat pada lembaran kertas tetapi
juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan
lain-lain (Sobur, 2006, p.56). Dapat disimpulkan bahwa representasi adalah proses
pemaknaan suatu tanda melalui bahasa.
2.5 Semiotika
Secara etimologis, semiotik berasal dari bahasa Yunani “semion” yang
diartikan sebagai “tanda”. Tanda adalah suatu atas dasar yang dikonvensikan oleh
sosial yang terbangun sebelumnya (Sobur, 2006, p.95). Secara terminologis, semiotik
adalah ilmu yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Menurut Umberto Uco, tanda adalah suatu kebohongan, sebab di
dalam tanda pasti tersembunyi sesuatu dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu
sendiri (Sobur, 2006, p.87). Sementara itu, John Fiske mengatakan bahwa semiotik
23 Universitas Kristen Petra
merupakan studi tentang tanda-tanda dan caranya itu bekerja. Menurut Fiske, terdapat
tiga studi utama yang mempelajari semiotika (Fiske, 2007, p.60) :
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan
cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakan. Tanda adalah
dikonstruksikan oleh manusia yang hanya bisa dipahami oleh manusia
tersebut.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda untuk keberadaan dan bentuknya
sendiri Teori semiotika merupakan teori yang dapat berkembang sesuai
dengan pergantian zaman. Dengan munculnya teori semiotika baru, maka
akan diikuti juga pendapat-pendapat dari tokoh semiotika. Salah satunya
adalah Charles Sanders Peirce (1931-1958), Peirce berpendapat bahwa ia
mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas eksternal
sebagai model untuk mengkaji makna. Peirce yang dipandang sebagai pendiri
semiotika Amerika, menjelaskan pendapatnya melalui model di bawah ini
(Fiske, 2007, p. 63) :
“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam
beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni
menciptakan dibenak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barang kali
suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya diberi nama
interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu yakni
objeknya” (dalam Zeman, 1977).
24 Universitas Kristen Petra
Tanda
Interpretant Objek
Gambar 2.1 Unsur Makna dari Pierce
Sumber Fiske, 2007, p.63
Kemudian Pierce menjelaskan bahwa panah dua arah menekankan masing-
masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Tanda
mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri yaitu objek. Ini dapat dipahami oleh
seseorang dan memiliki efek di benak penggunanya yaitu interpretant. Interpretant
bukanlah pengguna tanda melainkan “efek pertandaan yang tepat” yaitu konsep
mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman pengguna terhadap
objek.
2.6 Kode Televisi John Fiske
Menurut John Fiske di dalam bukunya yang berjudul “Television Culture”
bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh manusia. Berdasarkan
pandangannya tersebut ia mengatakan apa yang ditampilkan di layar kaca termasuk
film menunjukan suatu realitas sosial. Dalam buku ini, Fiske membagi tiga level
pengkodean yang berlaku pada film diantaranya :
1. Level Reality
Pada level ini tercakup beberapa kode yaitu tata rias, kostum, penampilan,
lingkungan, perilaku, ucapan, gerakan, ekspresi, suara, dan sebagainya. Selain itu,
John Fiske menambahkan di dalam level ini juga terdapat kode yang berfungsi
menyampaikan informasi tentang sesuatu yang tak ada dan melibatkan penciptaan
pesan atau teks yang terlepas dari komunikator serta situasi, kode ini meliputi
orientasi, anggukan kepala, gestur, postur, gerak mata, dan aspek non verbal
percakapan (Fiske, 2007, p 95).
25 Universitas Kristen Petra
a) Kostum, tata rias, dan penampilan :
Kostum adalah segala hal yang dipakai oleh pemain beserta seluruh
aksesorisnya. Dalam sebuah film, kostum tidak hanya dipakai untuk menutupi tubuh
melainkan dapat memiliki fungsi sesuai dengan jalan ceritanya. Biasanya kostum
yang dipakai oleh pemain akan disesuaikan dengan setting periode (waktu) dan
wilayah (ruang). Penggunaan kostum dan aksesoris dapat memberikan gambaran
umum tentang karakter dari setiap pemain.
Tata rias di dalam sebuah film memiliki dua fungsi yaitu untuk menunjukan
faktor usia serta untuk menggambarkan wajah bukan manusia (wujud makhluk
halus). Di dalam suatu film tata rias wajib digunakan sebagai pembeda apabila
seorang pemain melakukan dua peran yang berbeda pada satu film
b) Tingkah laku, cara bicara, sikap tubuh, dan ekspresi :
Penampilan seorang pemain film secara umum dibagi menjadi dua yaitu
secara visual dan audio. Secara visual menyangkut aspek fisik yang meliputi gerakan
tubuh dan ekspresi wajah. Ekspresi wajah pemain dapat terbentuk melalui jalan cerita
film, genre, gaya sinematik sineas, bentuk fisik, wilayah (ruang), periode, ras, dan
sebagainya. Penampilan seorang pemain dinilai dengan cara memahami fungsi dan
motivasi karakter sesuai dengan cerita film melalui konteks naratif serta genre.
Selain penampilan, faktor cara bicara juga perlu diperhatikan oleh seorang
pemain. Cara bicara disini meliputi aspek komunikasi bahasa verbal yang akan
dipakai dalam film tersebut. Bahasa bicara biasanya akan disesuaikan dengan wilayah
dan waktu yang akan dipakai. Dalam hal ini bahasa bicara tidak terlepas dari aksen
atau gaya bicara di masing-masing negara.
c) Suara :
Suara dalam sebuah film dapat kita ketahui sebagai keseluruhan suara yang
keluar pada gambar, meliputi dialog, musik, dan efek suara. Bagian ini secara khusus
akan menjelaskan tentang efek suara, efek suara adalah keseluruhan suara yang
dihasilkan oleh semua obyek yang terdapat di dalam maupun di luar cerita film. Peran
penting penggunaan efek suara adalah sebagai pengisi suara latar.
26 Universitas Kristen Petra
Beberapa elemen pokok suara yaitu loudness, pitch, dan timbre. Loudness
atau lebih dikenal dengan sebutan volume dapat menunjukan kuat lemahnya suara.
Pitch ditentukan oleh frekuensi suara, apabila frekuensi suara besar maka pitch yang
dipakai akan semakin tinggi dan berlaku sebaliknya. Timbre atau warna suara yaitu
volume dan frekuensi yang sama setiap sumber warna memiliki warna suara berbeda.
d) Orientasi (Fiske, 2004, p.96-98):
Bagaimana posisi kita terhadap orang lain adalah cara lain untuk mengirimkan
pesan tentang relasi. Misalnya : menghadap langsung pada wajah seseorang dapat
menunjukan keakraban, bila posisi menghadap 90 derajat pada orang lain
menunjukan sikap kooperatif dan seterusnya.
e) Anggukan kepala :
Sikap ini dipakai dalam manajemen interaksi, khususnya dalam mengambil
giliran berbicara. Misalnya : satu anggukan berarti mengizinkan orang lain untuk
berbicara, anggukan cepat menunjukan keinginan untuk berbicara.
f) Gestur :
Lengan dan tangan adalah transmiter utama gestur, meski gestur kaki dan
kepala juga penting. Semuanya terkoordinasi erat dengan pembicaraan dan pelengkap
komunikasi verbal. Hal ini menunjukan munculnya emosi umum atau kondisi
tertentu.
g) Postur :
Cara kita duduk, berdiri, atau berselonjor bisa mengkomunikasikan secara
terbatas tetapi bisa menarik makna. Postur sering terkait dengan sikap interpersonal :
bersahabat, bermusuhan, superioritas, atau inferioritas yang semuanya bisa ditunjukan
lewat postur. Postur dapat pula menunjukan kondisi emosi, khususnya tingkat
ketegangan atau kesantaian.
h) Gerak mata :
Menunjuk seseorang adalah tantangan sederhana terhadap dominasi,
melakukan kontak mata sejak awal pada permulaan pernyataan verbal menunjukan
hasrat untuk mendominasi pendengar, membuat mereka memberi perhatian, kontak
27 Universitas Kristen Petra
mata pada akhir atau setelah pernyataan verbal menunjukan relasi yang lebih afiliatif,
hasrat untuk memperoleh umpan balik, atau untuk melihat reaksi pendengar.
i) Aspek non verbal percakapan :
Aspek ini dibagi menjadi dua kategori yaitu :
Kode prosodic yang mempengaruhi pemaknaan kata-kata yang digunakan.
Nada suara dan penekanan menjadi kode utama dalam hal ini.
Kode paralinguistik yang mengkomunikasikan informasi tentang pembicara
yang meliputi irama, volume, aksen, salah ucap, kecepatan bicara
menunjukan kondisi emosi, kepribadian kelas, status sosial, cara
memandang pendengar, dan sebagainya.
2. Level Representation
Pada level ini kode-kode yang termasuk di dalamnya berupa kode teknik.
Kode tersebut meliputi : sutradara (director), kamera (camera), pencahayaan
(lighting), editing, artistik (setting), musik (music), suara (sound), serta pemeran
(actrees). Level ini mentransmisikan representasi ke dalam kode-kode konvensional
(Sumarno, 1996, p. 34-84) :
a) Sutradara (director)
Sutradara menduduki posisi tertinggi dari segi artistik. Ia memimpin
pembuatan film tentang “bagaimana yang harus tampak” oleh penonton. Sutradara
bertanggung jawab meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis,
dari sebuah produksi film. Selain bertugas mengatur kamera dan mengarahkan akting
serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara,
pencahayaan, di samping hal-hal lain yang menyumbang kepada hasil akhir sebuah
film.
b) Kamera (camera) (Sumarno, 1996, p.50-58)
Berawal dari kata mise-en-scene, kata yang berasal dari bahasa Perancis
tersebut memiliki arti bebas menata-dalam-adegan atau pengadeganan yang berkaitan
dengan fungsi kamera. Tugas ini berurusan dengan penciptaan ruang-ruang film yang
28 Universitas Kristen Petra
berupa jenis shot. Shot adalah dipotretnya sebuah subyek, saat tombol kamera ditekan
dan dilepaskan sesuai dengan kebutuhan skenario.
Setiap shot berhubungan erat dengan masalah pembingkaian yang berarti
sedikit banyaknya subyek dimasukan ke dalam bingkai. Dengan bingkai ini pembuat
film memberikan batas antara dunia subyek yang ditampilkan dan dunia nyata.
Tujuannya dipakai untuk memberi makna harfiah dan makna simbolik tentang apa,
siapa, dan bagaimana maksud cerita yang disampaikan. Setiap shot yang dihasilkan
dari sudut pandang kamera (camera angle) terhadap aksi-aksi yang direkam. Terdapat
tiga faktor yang menentukan sudut pandang kamera yaitu :
a. Besar kecil subyek besar kecil subyek hasil tangkapan kamera merupakan
jenis-jenis shot yang mengambil sosok tubuh manusia sebagai referensi. Berikut ini
istilah yang dipakai dalam besar kecil subyek dalam perfilman :
- Extreme long shot : shot yang diambil dari jarak yang sangat jauh, kira-
kira diambil dari jarak 200 meter sampai dengan jarak yang lebih jauh
lagi. Jenis shot ini merupakan shot diluar ruangan dan tujuan pengambilan
shot ini untuk memperlihatkan situasi geografi.
- Long shot : shot jarak jauh yang kepentingannya untuk memperlihatkan
hubungan antara subyek dan latar belakang.
- Medium shot : shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya
dibandingkan long shot. Dalam kaitannya dengan subyek manusia, shot
yang menampilkan dari pinggang ke atas. Memiliki fungsi untuk
memotret adegan pengenalan, terutama sebagai transisi dari long shot ke
close shot.
- Closer shot : istilah bebas untuk menyebut jarak dekat pemotretan yaitu
lebih dekat dari sebuah medium shot, tetapi belum sedekat close up.
- Close up : pengambilan gambar dari kamera pada jarak yang sangat dekat
dan memperlihatkan hanya bagian kecil subyek. Close up cenderung
mengungkapkan pentingnya obyek dan sering memiliki arti simbol.
- Extreme close up : sebuah close up yang sangat besar, yang
memperlihatkan bagian yang diperbesar dari sebuah benda atau bagian
29 Universitas Kristen Petra
manusia. Misalnya : hanya hidung, mata, atau telingan manusia.
Tujuannya untuk mengungkapkan detail reaksi manusia, keberadaan
benda-benda kecil tetapi sangat vital dalam rangkaian cerita, dan lain-lain.
b. Sudut subyek
Dalam kenyataan, semua benda memiliki tiga dimensi. Namun, semua subyek
ini akan direkam dan ditayangkan ke layar putih dengan permukaan dua dimensi.
Untuk mendapatkan kesan kedalaman atau tiga dimensi, terdapat berbagai cara untuk
mendapatkan efek dimensi kedalaman dalam pembuatan film. Solusinya adalah
dengan meletakan kamera sedemikian rupa terhadap subyek sehingga efek-efek
kedalaman dapat direkam.
c. Ketinggian kamera terhadap subyek Kamera bisa menangkap subyek
dengan sudut pengambilan normal (eye level), sudut pandang mendongak (low
angle), dan sudut pandang dari atas (high angle). Tinggi rendah pengambilan kamera
membawa dampak dramatis dan psikologis tertentu. Seorang tokoh diambil secara
low angle akan tampak lebih gagah dan berwibawa. Jika diambil secara high angle
akan mengesankan sebaliknya. Sementara itu, sudut pengambilan normal lebih
bersifat netral. Bagaimana penonton dapat merasakan jenis-jenis shot? Berkaitan
dengan keberadaan penonton, apakah jenis-jenis shot yang dihasilkan dapat memiliki
sikap obyektif, subyektif, atau merupakan sudut pandang tokoh dalam film? Jenis
shot bersifat obyektif jika yang tampil di layar film sebagai penglihatan obyektif
penonton terhadap subyek. Penonton diajak menyaksikan subyek dengan sikap yang
murni. Jenis shot bersifat subyektif jika penonton diajak berpartisipasi melihat segala
sesuatu yang disaksikan dan dirasakan oleh tokoh film. Sedangkan, sudut penglihatan
tokoh film berarti jika shot itu menunjukan bagaimana seorang tokoh melihat tokoh
lain dalam film
c) Pencahayaan (lighting) (Sumarno, 1996, p.52-53)
Unsur pencahayaan biasanya dilakukan oleh penata fotografi. Tugas dari
penata fotografi adalah menata posisi subyek dan perimbangan kontras, baik kontras
gelap terang, dan kontras warna. Komposisi ke kontrasan cahaya ini harus dipikirkan
dengan seksama, supaya penonton tidak kehilangan pusat perhatian. Tata cahaya
30 Universitas Kristen Petra
sangat diperlukan secara keseluruhan untuk menunjang jiwa maupun mood film.
Penempatan tata cahaya harus memiliki keterkaitan karena setiap shot tidak dapat
berdiri sendiri (terdapat hubungan antara shot sebelum dan sesudah). Untuk film
bernuansa riang (film komedi dan film musikal) akan memunculkan tata cahaya yang
dominan cerah dan terang. Untuk film bertema sedih dan bernuansa tragedi, dapat
didominasi oleh tata cahaya yang muram. Sedangkan untuk film horor menuntut tata
cahaya yang dominan gelap dan berkesan misterius.
d) Penyunting (editing) (Sumarno, 1996, p.59-65)
Hasil syuting yang telah selesai pembuatannya akan memasuki tahap editing.
Kegiatan editing ini akan dilakukan oleh seorang editor yang bertugas menyusun
hasil syuting hingga membentuk sebuah cerita yang tersusun rapi. Dalam proses
editing, shot diartikan sebagai komponen terkecil atau unsur dasar konstruksi film.
Satu unit shot disebut adegan, dan satu unit adegan disebut satu babak. Terdapat tiga
tahapan dasar dari proses editing yang harus dimengerti antara lain :
- Perpaduan arah pandang, menyangkut perakitan gambar yang melahirkan kesan
orang yang saling berhadap-hadapan.
- Perpaduan gerak, menyangkut persambungan shot yang menunjukan pertalian
gerak antar tokoh atau subyek.
- Perpaduan posisi, menyangkut posisi seorang tokoh atau subyek dalam satu shot
hendaknya terletak dalam posisi yang sama bila disambung dengan shot berikutnya
untuk memberikan kejelasan geografis kepada penonton.
e) Artistik (setting) (Sumarno, 1996, p.66-70)
Tata artistik adalah penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita
film yang menyangkut tentang tempat dan waktu berlangsungnya cerita film. Tujuan
penggunaan setting adalah untuk menunjukan tentang waktu atau masa
berlangsungnya cerita serta setting digunakan untuk menunjukan tempat terjadinya
peristiwa. Tugas seorang penata artistik adalah untuk menerjemahkan konsep visual
sutradara kepada pengertianpengertian visual : segala hal yang mengelilingi aksi di
depan kamera, di latar depan sebagaimana di latar belakang
31 Universitas Kristen Petra
Penciptaan setting berarti penciptaan konsep visual secara keseluruhan yang
menyangkut pakaian-pakaian yang harus dikenakan pada tokoh film, bagaimana tata
riasnya, dan properti apa yang harus tersedia. Penata artistik dalam menjalankan
tugasnya akan dibantu oleh penata kostum, bagian make up pemeran, tim properti,
dan jika diperlukan akan memakai tenaga pembuat efek-efek khusus.
f) Musik (music) (Sumarno, 1996, p.75-78)
Dalam sebuah film diperlukan penata musik yang berfungsi sebagai penata
paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh
cerita film. Menurut Muir Mathieson dalam bukunya “the techinique of film music”,
musik yang punya bentuk dalam dirinya punya peluang-peluang untuk dinilai sebagai
musik semata maupun dinilai sebagai bagian dari keseluruhan film. Musik film harus
diterima tidak sebagai dekorasi atau seperti pengisi rongga dari celah-celah, tetapi
sebagai bagian dari sebuah arsitektur.” Terdapat delapan kegunaan musik dalam
sebuah film :
- Membantu merangkaikan adegan. Sejumlah shot dirangkai dan diberi suatu
musik akan berkesan terikat dalam suatu kesatuan.
- Menutupi kelemahan atau cacat dalam film. Kelemahan dalam akting dan
pengucapan dialog dapat ditutupi dengan musik sehingga akting yang lemah atau
dialog yang dangkal akan menjadi lebih dramatik dari yang sebenarnya.
- Menunjukan suasana batin tokoh utama. Hal ini semakin dimungkinkan jika
sang tokoh diambil dalam shot yang panjang, sendirian dalam suatu ruangan, maka
musik yang diperdengarkan seolah-olah menunjukan suasana batin.
- Menunjukan suasana waktu dan tempat. Sebagian besar alat musik dapat
menunjukan secara konkret konotasi geografi. Musik dan alat musik yang tepat akan
mensugestikan suasana waktu
- Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja atau namanama pendukung
produksi (credit title).
- Mengiringi adegan dengan ritme cepat. Setelah diberi musik, adegan
beritme cepat akan benar-benar jadi seru.
32 Universitas Kristen Petra
- Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik.
Musik diperdengarkan mendahului adegan, seakan-akan musik akan memberikan
aba-aba.
- Menegaskan karakter lewat musik.
g) Suara (sound)
Proses pengolahan suara dalam film memiliki arti proses memadukan unsur-
unsur suara yang terdiri dari atas dialog, narasi, musik, serta efek-efek suara. Tata
suara dikerjakan di studio suara dan yang bertugas untuk pengolahan suara ini disebut
penata suara yang dalam tugasnya akan dibantu tenaga pendamping seperti perekam
suara di lapangan maupun di studio. Fungsi suara yang terpenting adalah memberi
informasi lewat dialog dan narasi. Selain itu, suara berfungsi menjaga kesinambungan
gambar sehingga sejumlah shot dapat dirangkai dan diberi suara seperti musik,
dialog, dan efek suara akan terikat dalam satu kesatuan.
h) Pemeran (Sumarno, 1996, p.79-84)
Setiap orang dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya berperan sebagai
pemeran dan psikolog yaitu membawakan diri sendiri, sekaligus mengamati tingkah
laku orang lain. Jika ia pandai membawakan diri sendiri dan pandai pula
membawakan tingkah laku orang lain, ia berbakat menjadi pemeran. Proses
penokohan akan menggerakan seorang pemeran menyajikan penampilan yang tepat
(tanpa melupakan bantuan make up dan kostum), seperti cara bertingkah laku,
ekspresi emosi dengan mimik dan gerak-gerik, cara berdialog, untuk tokoh cerita
yang dibawakan.
3. Level Ideologi
Level ini merupakan perpaduan antara level reality dan level representation
yang terorganisir pada hubungan penerimaan dan hubungan sosial oleh kode ideologi
yang meliputi konteks digunakan untuk menyebut gagasan yang meyakini adanya
kaitan kausal antara ciri-ciri jasmaniah seseorang, kepribadian, intelektualitas,
kebudayaan, atau gabungan dari semuanya.
33 Universitas Kristen Petra
2.7 Bagan Kode Televisi John Fiske
Level pertama:
“REALITAS”
Penampilan, kostum pemain, riasan, lingkungan, perilaku, ucapan, gerakan, ekspresi,
suara
ini dikodekan secara elektronik dari kode teknik seperti:
Level kedua:
“REPRESENTASI”
Kerja kamera, pecahayaan, perevisian, musik, suara
Mengirim tentang
Kode representasi menurut kode konvensi yang berlaku, menjadi potongan dari
representasi, contoh:
Narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, latar, pemeran, dll.
Level ketiga:
“IDEOLOGI”
Di mana dikategorisasikan melalui hubungan dan entintas sosial yang dapat diterima
oleh kode ideologi.
Sumber : Fiske (1987, p.5)
34 Universitas Kristen Petra
2.8 Nisbah Antar Konsep
Representasi merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan
dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasi. Representasi dapat
dilihat dari sebuah teks yang di dalamnya berisi tentang semua bentuk bahasa, tidak
hanya kata-kata yang terdapat pada lembaran kertas tetapi juga semua jenis ekspresi
komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan lain-lain.
Film merupakan salah satu jenis media yang dipakai untuk merepresentasikan
pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Film adalah karya seni yang lahir
dari suatu kreativitas orang-orang yang terlibat dalam proses penciptaan film. Sebagai
karya seni, film terbukti mempunyai kemapuan kreatif. Film sanggup untuk
menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas
imajiner itu dapat menawarkan rasa keindahan, renungan, atau sekedar hiburan.
Film “Vatican Tapes” merupakan film yang mengandung pesan tentang tokoh
agama yang memiliki peran penting dalam hal-hal yang berbau agama seperti
pengusiran setan. Film ini memperlihatkan bahwa tokoh agama Katolik adalah
simbol yang dianggap suci, sakti, dan memiliki nilai yang lebih. Hollywood dalam
membuat film yang bertemakan agama selalu memperlihatkan tokoh agama sebagai
tokoh pentingnya. “Desakralisasi” adalah sebuah proses penurunan nilai sakral yang
disematkan pada sesuatu atau seseorang yang dianggap suci dan mempunyai nilai
yang lebih di mata masyarakat. Inilah hal yang dicoba sampaikan dalam film Vatican
Tapes.
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Umberto Uco, tanda
adalah suatu kebohongan, sebab di dalam tanda pasti tersembunyi sesuatu dibaliknya
dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, semiotika merupakan
objek fisik dengan sebuah makna atau ia memakai istilah sebuah tanda terdiri dari
penanda (citra tanda yang seperti dipersepsikan) dan petanda (konsep mental yang
diacukan petanda).
Untuk mempermudah melihat unsur semiotik yang terdapat dalam film
“Vatican Tapes”, peneliti akan menggunakan kode-kode televisi John Fiske sebagai
35 Universitas Kristen Petra
panduan. Dikarenakan kode-kode ini dapat menampilkan suatu realitas sosial yang
terdapat dalam film. Kode-kode yang akan dipakai meliputi level reality, level
representation, dan level ideology.
36 Universitas Kristen Petra
2.9 Kerangka Pemikiran
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber : Olahan Penulis (2016)
Penurunan nilai pandangan tokoh agama
Katolik dalam film Hollywood
Representasi yaitu pemaknaan melalui bahasa pada desakralisasi
tokoh agama Katolik
Semiotika adalah metode tanda dan lambang
Kode-Kode Televisi John Fiske
Level
reality:
a) Kostum,
tata rias, dan
penampilan
b) Tingkah
laku, cara
bicara, sikap
tubuh, dan
ekspresi
c) Suara
d) Orientasi
e) Gestur
f) Aspek non
verbal
percakapan
Level
representation:
a) Sutradara
b) Kamera
c) Pencahayaan
d) Artistik
e) Musik
f) Pemeran
(g) Narasi
Level ideology
Representasi Desakralisasi Tokoh Agama
Katolik Dalam Film “Vatican Tapes”