20130131073026.evaluasi otsus papua dan papua barat

203
1 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat BAB I PENDAHULUAN ada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang mengapa dilakukan penelitian ini, tujuan kajian yang ingin dicapai, batasan yang digunakan, metodologi secara singkat dalam penelitian ini dan kerangka kajian serta sistimatika penulisan. A. Latar Belakang Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat daerahnya. Selanjutnya berbagai kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya di Provinsi Papua. Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. p

Upload: leonidas-spartan

Post on 20-Jan-2016

879 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

20130131073026.Evaluasi Otsus Papua Dan Papua Barat

TRANSCRIPT

1 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

BAB I PENDAHULUAN

ada bagian ini dijelaskan mengenai latar belakang mengapa dilakukan penelitian ini,

tujuan kajian yang ingin dicapai, batasan yang digunakan, metodologi secara singkat

dalam penelitian ini dan kerangka kajian serta sistimatika penulisan.

A. Latar Belakang

Otonomi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dengan negeri yang mempunyai

luas, penduduk, pulau terbanyak dan suku yang beraneka ragam seperti Indonesia. Otonomi

sendiri dapat diartikan sebagai pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (LAN, 2007). Pengalaman

Orde Baru dengan pendekatan sentralisasinya ternyata tidak mampu membendung gejolak

daerah-daerah yang menginginkan keadilan antara pusat dengan daerah, dikarenakan melalui

pendekatan top down tersebut setiap daerah di Indonesia hanya bisa memajukan daerahnya

dengan mengikuti segala aturan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat

menggali potensi yang dimilikinya guna memajukan dan mensejahterakan masyarakat

daerahnya.

Selanjutnya berbagai kebijakan yang tersentralisasi juga belum sepenuhnya memenuhi

rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat dan belum

sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya memungkinkan

tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan

hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia

(HAM) khususnya di Provinsi Papua.

Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur

dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang

tersebut dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat

masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah

Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus

di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

p

2 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan

yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan

mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang berarti peran dan tanggung

jawab yang lebih besar dalam mengatur

urusan rumah tangganya, menyelenggarakan

pemerintahan dan mengatur pemanfaatan

kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran

rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan

ini akan dapat mengurangi kesenjangan di

Provinsi Papua dan Papua Barat dengan

provinsi-provinsi lainnya dengan

memberikan ruang lebih bagi masyarakat

lokal Papua dan Papua Barat sebagai subyek

utama dalam pembangunan.

Kebijakan Otonomi Khusus Papua tersebut tidak lepas dari sejarah panjang friksi yang

terjadi antara daerah ini dan Pusat. Sentimen atas ketidakadilan yang diterima daerah ini telah

memunculkan berbagai gejolak dimasa lampau yang mengarah pada proses disintegrasi.

Gejolak yang menjadi respon atas ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami rakyat Papua

tersebut merupakan salah satu ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di tingkat

lokal, di Provinsi Papua sendiri hal tersebut menjadi salah satu alasan atas keterbelakangan

pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua. Provinsi Papua yang kaya akan hasil alam,

namun ironisnya Provinsi ini merupakan Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya

dan tertinggal pembangunanya. Kondisi tersebut tentu saja mencerminkan kelemahan Negara

dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelemahan inilah

yang memicu tuntutan atas hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bagi

masyarakat Papua. Latar belakang ini tidak dapat dikesampingkan dalam mengkaji

perkembangan pelaksanaan otonomi khusus Papua sampai saat ini.

Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001diterbitkan dan mulai dilaksanakan sejak

tanggal 1 Januari 2002, segenap Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-

perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan

mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab

berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua

yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah

harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih

setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

“Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua berawal dari belum berhasilnya Pemerintah mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Selain itu, persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum juga diselesaikan secara adil dan bermartabat”.

Tim Asistensi Otsus Papua (dikutip oleh Sumule, 2002: Djohermansyah Djohan, 2005)

3 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru

diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.

Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua.

Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan

khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui

pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang

sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan

masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara

Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan

keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan

hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam

aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk

keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda

pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta

pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara

strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata kelola pemerintahan yang baik

melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan

kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya.

Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang

dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002

sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun

Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara

resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun

ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi.

Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu

perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan,

pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita

tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil

pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup

kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi

khusus yang hampir mencapai satu dekade ini. Bagaimana pencapaian agenda utama dari

4 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kebijakan khusus ini perlu diketahui secara komprehensif. Di samping itu, penting untuk dikaji,

sejauh mana Provinsi Papua dan Papua Barat mampu mengejar ketertinggalannya dengan

provinsi lainnya sebagaimana diharapkan dengan adanya kebijakan otonomi khusus tersebut.

Kebijakan otonomi khusus tidak serta merta menjamin terselenggaranya pemerintahan

daerah yang lebih baik di Papua. Pelaksanaannya memerlukan kapasitas pemerintahan yang

memadai. Titik berat otonomi khusus Papua dan Papua Barat berada pada level provinsi.

Namun demikian kabupaten/kota dalam provinsi tersebutlah yang secara riil menjadi lokus

utama implementasi program pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Di sisi lain, pemerintah

Pusat juga memiliki peran penting dalam kebijakan ini. Kapasitas dan hubungan antara ketiga

level pemerintahan ini perlu ditingkatkan untuk terselenggaranya pemerintahan daerah yang

lebih baik di Papua.

Aspek yang penting dari pelaksanaan otonomi khusus adalah bagaimana kebijakan

tersebut diimplementasikan. Dari segi kebijakan, sejumlah kebijakan pelaksanaan otonomi

khusus Papua dan Papua Barat dan berbagai program pembangunan telah diterapkan.

Kebijakan tersebut pada akhirnya juga berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya,

khususnya finansial. Apakah pilihan-pilihan kebijakan/program dan alokasi sumberdaya telah

berjalan optimal, perlu terus dimonitor dan ditingkatkan. Selain itu, pelaksanaan otonomi

khusus juga berjalan beriringan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pengganti Undang-

Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Sektoral

dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008

tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya, penerapan

kebijakan otonomi khusus tidak dapat diisolasi dari lingkungan kebijakan lainnya. Perlu ada

koherensi antar berbagai kebijakan yang bersinggungan dengan provinsi tersebut sehingga

terbangun kebijakan yang sinergis.

Dalam perkembangannya, setelah 11 tahun keberlangsungan otonomi khusus di Papua

ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang

menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi

rakyat dan pembangunan infrastruktur pada kenyataannya masih ditemukan berbagai

permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar

mengajar di kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang

relatif mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua

masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di kisaran 50,0-

65,9(BPS).

5 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Selanjutnya di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi

baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta dan penyakit lainya masih

banyak terjadi .

Di sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar

kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik mata

hari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan

pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua.

Selanjutnya, di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga

korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi

Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun

pengadilan HAM.

Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua,

ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat

menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak

berjalan mulus. Seperti dilansir oleh TheJakartaglobe.com, Ferry Ayomi anggota Kongres

Rakyat Papua

“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab

atas kegagalan otonomi khusus, karena kami (rakyat Papua) masih tertinggal dalam

situasi kemiskinan,”

Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi

dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap

pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung jawab

akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus

Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi

Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata

Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi

Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.

Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan,

diantaranya: Pertama, implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinisi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan

Pembangunan Papua dan Papua Barat*) telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada

6 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat

berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong

percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian

terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai

tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi

Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi dinamika yang

terjadi di kedua Provinsi ini perlu dipantau perkembangannya seaktual mungkin.

Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi

pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang

tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya

dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya

otonomi khusus dengan baik.

Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang

harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan

yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis.

Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu

untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial

budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan

untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua

Barat.

B. Tujuan Kajian

Secara umum, tujuan Kajian Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua

dan Papua Barat adalah:

1. Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat

perhatian, sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan;

2. Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan

khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya;

3. Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi

khusus Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan

pelaksanaan kewenangan khusus;

7 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan

implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

C. Batasan Penelitian

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas sehingga penelitian dapat terarah

dengan baik sesuai tujuan penelitian serta dengan adanya keterbatasan waktu pengerjaan

maka perlu adanya batasan penelitian. Batasan penelitian dalam keterkaitan kekhususan

lainnya hanya terbatas kepada Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

yaitu Perdasi dan Perdasus.

D. Metodologi dan Kerangka Pikir Kajian

1. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah pengumpulan data primer dan

sekunder. Data sekunder digunakan untuk data pendukung yang dibutuhkan untuk melengkapi

data primer, dapat berupa konsep/literatur, kebijakan, berita media massa, hasil kajian-kajian

yang terkait, dan laporan-laporan seperti: Provinsi, Kabupaten/Kota dalam angka yang

biasanya disajikan oleh Bappeda Kabupaten dan Kota/Badan Pusat Statistik, Data/Laporan

Hasil EKPPD, LAKIP, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahunan, APBD Provinsi

Papua dan data-data lainnya yang digunakan untuk menganalisa dan menggambarkan

bagaimana pencapaian pembangunan Papua dan Papua Barat pada masa pelaksanaan otonomi

khusus dan juga bagaimana kebijakan terimplementasikan di daerah tersebut. Data primer

dikumpulkan selain juga melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden-responden yang

mewakili juga melalui wawancara dengan pemerintahan provinsi, pemerintahan

kabupaten/kota, perwakilan masyarakat, akademisi dan LSM. Diskusi kelompok terarah (focus

group discussion) juga dilakukan dengan para politisi, akademisi dan komunitas bisnis serta

seminar dengan para pihak terkait yang hasilnya digunakan dalam rangka mendapatkan

informasi kebutuhan pengembangan kapasitas daerah Papua dan Papua Barat dalam

mewujudkan tujuan otonomi khusus dan diharapkan melalui FGD juga akan didapatkan

berbagai informasi yang terkait dengan persepsi, verifikasi, dan hal-hal lain yang berkenaan

dengan dimensi sosial budaya. Wawancara dan FGD dimaksudkan untuk memastikan

konsistensi data dan menghindari terjadinya salah tafsir (mis-interpretasi).

2. Daerah Penelitian Untuk analisa data pelaksanaan otonomi khusus, daerah penelitian mencakup Provinsi Papua

dan Propinsi Papua Barat, dan untuk studi lapangan digunakan sampel beberapa daerah yaitu

8 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi Papua Barat meliputi Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan

sedangkan Provinsi Papua meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Biak

Numfor, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke.

3. Kerangka Pikir Kajian Kerangka pikir kajian yang dikembangkan dalam penelitian ini, dengan mengacu kepada acuan

pokok kebijakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yaitu Keuangan Khusus, Kewenangan Khusus, dan

Kelembagaan Khusus dan Kekhususan Lainnya yang digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Kajian

KEUANGAN DAN PENGELOLAANNYA

LEMBAGA KHUSUS

KEWENANGAN KHUSUS

KEKHUSUSAN LAINNYA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA (DPRP) & DPRPB

MAJELIS PERWAKILAN PAPUA (MRP) & MRPB

PEREKONOMIAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPENDUDUKAN &

KETENAGAKERJAAN LINGKUNGAN HIDUP SOSIAL INFRASTRUKTUR

PERDASI & PERDASUS

KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA & PAPUA BARAT

IDEN

TIFI

KASI

M

ASAL

AH

STRATEGI PERBAIKAN PENYELENGGARAAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk

menghasilkan strategi perbaikan kebijakan dibutuhkan berbagai masukan–masukan dari

identifikasi permasalahan yang terkait komponen-komponen kebijakan otonomi khusus Papua

dan Papua Barat sendiri yaitu keuangan khusus, kewenangan khusus, kelembagaan khusus dan

kekhususan lainnya yaitu perdasi dan perdasus.

9 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

E. Sistematika Penyajian Laporan Kajian

Adapun Sistematika penyajian laporan kajian ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang, tujuan kajian, metode dan kerangka pikir kajian dan

sistematika penyajian.

BAB II KERANGKA KONSEP

Pada bab ini diuraikan teori-teori evaluasi kebijakan, implementasi kebijakan dan assimetris

desentralisasi yang sesuai untuk dijadikan dasar atau landasan untuk membahas tentang

kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.

BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

Pada bab ini diuraikan penjelasan kebijakan otonomi khusus dari Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008.

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan sub pokok bahasan yang pertama tentang gambaran umum kebijakan

otonomi khusus Papua dan Papua Barat, Implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan

Papua Barat, dan terakhir strategi alternatif perbaikan penyelenggaraan otonomi khusus Papua

dan Papua Barat

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil laporan yang dibahas dari bab

sebelumnya dan saran-saran yang dipandang perlu berdasarkan atas kesimpulan yang

dikemukakan.

10 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

BAB II KERANGKA KONSEP

ada bab ini akan dijelaskan mengenai pengkajian konsep atau teori yang berkaitan

dengan desentralisasi asimetris dan implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan

otonomi khusus serta pembahasan penelitian yang relevan

A. Pengkajian Teori

1. Desetralisasi Asimetris

Desentralisasi merupakan suatu cara yang efektif dalam memperbaiki bentuk

pelayanan dengan mendekatkan penyedia layanan publik dengan lebih memberikan rasa

keadilan kepada masyarakat dalam pendistribusian layanan masyarakat. Desentralisasi

juga diakui di negara berkembang sebagai jalan pintas dalam mempercepat pengentasan

kemiskinan (poverty reduction) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic

growth) melalui penataan manajemen pemerintah yang efektif dan efisien (Osborne dan

Gaebler, 1992).

Cornelis Lay1 yang dikutip Suara Karya Online, Desentralisasi merupakan bentuk

koreksi terhadap praktek sentralisasi Orde Baru dengan tujuan mengakomodasi aspirasi

dari daerah-daerah yang termarjinalkan, penerapan yang paling ideal untuk Indonesia

adalah Desentralisasi asimetri yaitu desentralisasi yang disesuaikan dengan daerah

masing-masing artinya tidak disamaratakan secara seragam penerapannya terhadap

seluruh daerah di Indonesia.

Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut

Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”.

Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan

desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk

mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan

pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus

menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan

demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk

mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah

untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry

1 Disampaikan saat penyampaian aspirasi dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR, 19 Februari 2010

P

11 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja

dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan

dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya

perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang

didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi

kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah

kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.

Asimetri, didefinisikan sebagai perbedaan status dan/atau kekuasaan (power)

diantara unit-unit yang menjadi bagian suatu Negara federal atau Negara yang

terdesentralisasi yang termaktub dalam konstitusi atau ketentuan hukum lainnya

(Hombrado,2001). Adapun desentralisasi asimetris merupakan suatu kondisi dimana tidak

semua unit yang terdesentralisasi, diberikan fungsi, kewajiban-kewajiban, sekaligus

kekuasaan yang sama. Banyak negara di dunia yang menerapkan desentralisasi asimetris,

baik politik maupun administrative (Livack, Jeanni, dkk 1998). Secara teoritis,

desentralisasi asimetris berhubungan dengan sebuah transfer kekuasaan fiskal,

kewenangan, dan tanggung jawab dengan “takaran yang berbeda” diberbagai daerah yang

berbeda dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan suatu negara dan taraf

pembangunannya.

Munculnya konsep desentralisasi asimetris (asymmetric decentralisation) berawal

dari konsep asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton (1965), dan

selanjutnya dikembangkan oleh Andrew Tilin. Menurut Tillin (2006), terdapat dua jenis

asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. De facto asymmetry merujuk

pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam

hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam

pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan

karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara

sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan

dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu,

kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.

Disebutkan pula oleh Livack, Jeanni, dkk (1998) bahwa dengan banyaknya perbedaan

yang ada, baik dalam yurisdiksi politik maupun perbedaan karakteristik urusan rumah

tangganya, model “one size fits all” tidak sesuai bagi desentralisasi. Argumennya, instrumen

yang berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda dalam kondisi yang berbeda. Demikian

pula dengan pendekatan yang berbeda, ini pun bisa saja dibutuhkan untuk mencapai tujuan

yang sama. Untuk mengakomodasi kebutuhan pendekatan bagi perbedaan tersebut,

12 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kebijakan pusat yang asimetris yakni dengan memperlakukan unit yang berbeda secara

berbeda bisa diperlukan untuk mendapatkan hasil (outcome) yang sama.

Desentralisasi asimetris dapat dijumpai dalam berbagai model. Ditinjau dari relasi

antara otoritas pusat dan daerah dapat diidentifikasi berbagai tipe kekhususan/asimetri:

Pertama, kekhususan/asimetri politis (political asymmetry), diterapkan khususnya untuk

alasan non ekonomi dan alasan politis di negara-negara dimana unit pemerintahan

daerahnya memiliki kapasitas yang berbeda, atau dimana terdapat unit pemerintahan

daerah yang memiliki tugas tanggung jawab yang berbeda. Kedua, kekhususan (asimetri)

administratif (administrative asymmetry), kekhususan dicapai dengan adanya kesepakatan

antara otoritas pusat dan otoritas daerah dimana kompetensi disepakati dengan

mempertimbangkan kapasitas administratif otoritas lokal. Ketiga, kekhususan/asimetri

fiskal (fiscal asymmetry). Kekhususan politis maupun administratif pada umumnya diikuti

dengan dimensi finansial yang khusus2.

Selain ditemukan kekhususan/asimetri secara de jure, de facto atau keduanya, dapat

pula dijumpai kekhususan yang diimplementasikan pada keseluruhan wilayah atau hanya

pada wilayah tertentu yang membutuhkan adanya kekhususan. Misalnya ditemukan di

Spanyol dan Kanada. Disamping itu, dimungkinkan pula dilakukan desentralisasi asimetrik

dengan mendesentralisasikan tugas-tugas secara langsung dari pemerintah pusat kepada

swasta daripada pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris diberbagai negara diterapkan

secara temporer. Terdapat pula desentralisasi asimetris yang diterapkan secara permanen

atau untuk jangka waktu yang panjang (long term asymmetrical decentralization).

Contoh yang menarik tentang desentralisasi asimetris dijumpai di Republik

Macedonia, dimana desentralisasi fiskal yang asimetris diimplementasikan secara

bersyarat (conditional fiscal decentralization based on asymmetric transfer of grants). Dalam

hal ini masing-masing Municipal mendapatkan hak yang sama dalam hal kompetensi dan

sumber finansial, namun memperhatikan aturan spesifik untuk memasuki langkah

selanjutnya dalam proses desentraslisasi. Selain itu, adanya kenyataan bahwa beberapa

unit bisa saja tidak memenuhi kriteria akan diperhitungkan sehingga konsekuensinya, unit-

unit tersebut akan tetap berada pada tahapan yang lebih rendah. Pendekatan asimetris

dalam proses desentralisasi fiskal asimetris di Republik Macedonia berlandaskan pada

prinsip bahwa transfer kompetensi dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas

2 Lihat pembahasan oleh Aleksandra Maksimovska Veljanovski, The Model of the Asymmetric

Fiscal Decentralisation in the Theory and the Case of Republic of Macedonia, Iustinianus Primus Law Review Vol1.1

13 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

municipal dan alokasi pendapatan (revenue assignment) untuk menjamin kinerja finansial

yang tepat dan efektif. Oleh karena itu aktivitas finansial pada tingkat lokal mengalami

perbaikan dibanding kondisi sebelumnnya.

Model yang berbeda diterapkan di China, dimana mekanisme desentralisasi ekonomi

asimetris diterapkan bersama dengan sentralisasi politik dibawah partai yang berkuasa

dengan control yang ketat dari Chinese Communist Party (CCP). Terminologi assimetris

dalam hal ini juga memerujuk pada konsep bahwa Pemerintah Pusat masih memegang

kendali diatas. Desentralisasi hanya diberlakukan dalam ekonomi .

Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris.

Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan

politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan nasional.

Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa, agama,

ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan khusus

(Leemans ,1970;Ramses M, 2009). Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai

berpotensi menyelesaikan konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang

terfragmentasi.Dengan demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi

strategi untuk mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan

gejolak perlawanan terhadap pemerintahan nasional.

Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti

pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan. Perbedaan

instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam desentralisasi

fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis, sebagaimana disampaikan oleh Tiebout

(1956)dan Oates (1972) bahwa system yang terdesentralisasi akan lebih mampu

mengakomodasi perbedaan pilihan untuk pelayanan publik. Tujuan efisiensi tersebut

selaras dengan motif administratif dalam penerapan desentralisasi asimetris, khususnya

berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas antar daerah dalam menjalankan

administrasi publik.Penyediaan properti dan pelayanan publik serta kebijakan publik yang

efisien bergantung pada birokrasi yang berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga

dipengaruhi oleh institusi politik yang mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang

lebih baik dalam menjalankan pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika

kewenangan fiskal tertentu didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang

lebih baik daripada diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi.

Joachim Wehner berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi asimetris.

Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang dilandasi tujuan

politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga dapat dilakukan untuk

14 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan makro ekonomi yang lebih

baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi (administrative cohesion)3. Pendekatan

asimetris seperti diterbitkannya aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang

memiliki banyak perbedaan. Disamping itu, hal semacam ini juga dapat diimplementasikan

dengan tujuan politis dimana daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan

populasi multietnis.

Devolusi yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi

pemerintahan yang substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat

meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman

semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti Kanada,

Spanyol, maupun Britania.

Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk tujuan hukum (legal reasons). Hal ini

dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan konstitusional. Disamping itu, desentralisasi

asimetris untuk tujuan ini bisa juga dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan

internasional yang telah diratifikasi (ratified international agreements). Penerapan

desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat sebagaimana

disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga memungkinkan

timbulnya berbagai persoalan atau resiko-resiko tertentu. Livack, Jeanni, dkk (1998)

mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni

perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi,

sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara unit-

unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga memiliki

resiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang lebih (Livack,

Jeanni, dkk, 1998).

Selain itu sejumlah literatur yang mengkaji tentang penerapan desentralisasi

asimetris di berbagai negara, memberikan catatan khusus yang perlu dipertimbangkan.

Meski model ini dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan konflik politik dan etnis

dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun tidak menjamin bahwa masyarakat yang

terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih koheren jika pemerintah pusat hanya

menerapkan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal saja. Reformasi lain perlu

dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pendekatan asimetris tidak mengarah

pada separatism, namun sebaliknya dapat memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan

riil, kondisi, dan kapasitas masing-masing area haruslah menjadi kriteria pembedaan

transfer khusus atas kompetensi dan tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan

3 Ibid.

15 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kualitas pelayanan publik dalam unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu

negara. Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia,

Kosovo memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah,

sementara dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda

untuk menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat

tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat lokal.

Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. Livack, Jeanni, dkk (1998) juga

memberikan catatan bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam

desentralisasi asimetris mempengaruhi keberhasilannya.

Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan desentralisasi asimetrik dapat

dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah,

Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania- Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland,

Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di Spanyol, pemerintah pusat mengatur level

otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat

otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan

sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara

historis. Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan

menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting

dalam transisi menuju demokrasi4.

Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang dituangkan dalam hukum konstitusi

yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino-

Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang

khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar

dalam hal legislasi dan administrasi.Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi

finansial yang signifikan. Friuli-Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak,

sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki

kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus

tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang

dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis,

Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino-

Alto Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi

geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.

4 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric

Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002

16 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang

dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi

asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga

sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah.

Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk

kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus

untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam

(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006), serta

4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2007).

Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang Otonomi khusus

Papua mencakup aspek politis dan fiskal. Dalam banyak hal, tujuan politis dan ekonomis

cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua sebagaimana disinggung

dalam penjelasan konsep di atas. Kebijakan ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam

jangka panjang, pada akhirnya kekhususan dalam hal perimbangan keuangan akan

dikurangi setelah jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan.

2. Implementasi Kebijakan dan Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Implementasi menurut kamus Webster berasal dari kata to implement

(mengimplementasikan) yang juga berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu

dan to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Oleh karena

itu definisi implementasi kebijakan banyak dikemukakan oleh para ahli lebih difokuskan pada

dampak atau akibat dari suatu kebijakan yang dilakukan oleh individu-individu, kelompok-

kelompok atau para aktor yang terkait dalam organisasi pelaksana.

Dalam bahasa Pressman dan Wildavsky (1973), kebijakan adalah suatu hipotesis yang

berisi kondisi awal dan prediksi hasil-hasilnya. Oleh karena itu implementasi disebut sebagai

‘process of interaction between the setting of goals and actions geared to achieve them. It is

essentially and ability to ‘forge links’ in a causal chain so as to put policy into effect’. Menurut

mereka implementasi akan berjalan tidak efektif jika hubungan antara berbagai lembaga yang

terlibat memperlihatkan ‘ketidakcakapan dalam mengimplementasikan (implementation

deficit)’. Tujuan harus jelas didefinisikan dan dimengerti, sumberdaya harus memadai, rantai

komando harus mampu menyatukan dan mengontrol sumberdaya. Di samping itu harus ada

komunikasi yang efektif dalam sistem dan ada kontrol yang baik atas individu dan organisasi

yang terlibat dalam tugas-tugas yang ada. Pressman dan Wildavsky juga berpendapat bahwa

implementasi haruslah merupakan proses yang linier dimana arah kebijakan diterjemahkan

17 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

menjadi aktivitas-aktivitas program dengan sedikit mungkin adanya deviasi. Kemudian,

pembuat kebijakan berdasarkan pemikiran Pressman dan Wildavsky mempunyai peranan

yang paling signifikan karena merupakan satu-satunya tokoh penting dan lainnya merupakan

pelaksana saja dalam proses implementasi tersebut. Oleh karenanya, dalam pandangan mereka

implementasi membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi serta sumber daya dari atas ke

bawah (top down) yang memadai (Parson, 1995).

Dalam perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendapat tentang fenomena yang

kompleks dari implementasi kebijakan5. Analisis tentang implemantasi perlu memperhatikan

fenomena tersebut yang mencakup: (1) bentuk kebijakan dan kontennya, (2) organisasi dan

sumber dayanya; (3) pelaku termasuk didalamnya mengenai talenta-talenta, motivasi-motivasi,

kecenderungan-kecendungan, dan hubungan/relasi antar personal termasuk pola

komunikasinya. Studi yang dilakukan oleh Wildavsky dan Majone serta Browne selanjutnya

menyimpulkan bahwa proses implementasi melibatkan peran pelaksana dalam merumuskan

kebijakan sebagaimana dalam melaksanakan tujuan kebijakan yang ditetapkan dari atas

(Parson, 1995). Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pendekatan yang murni top

down dalam implemantasi.

Kelemahan lain ditunjukkan oleh Michael Lipsky dimana pendekatan top down tidak

memperhitungkan peran para aktor dan tingkatan dalam proses implementasi. Disebutkan

bahwa pelaksana di lapangan (street-level) harus diperhitungkan. Hal ini memunculkan model

bottom-up models, yang mana member penekanan pada fakta bahwa para pelaksana di

lapangan memiliki ruang diskresi dalam mengimplementasikan kebijakan (Parson, 1995).

Pada implementasi kebijakan pada dasarnya terdapat ruang diskresi yang bisa saja

sangat luas, karena kebijakan atau undang-undang mengandung elemen yang dapat

diinterpretasikan secara berbeda-beda (interpretative element). Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Davis, 1969 (dikutip oleh Parson, 1995) : ‘A public officer has discretion

wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible courses

of action and inaction. Whether the mode of implementation is top down or bottom up, those on

the front line of policy delivery have varying bands of discretion over how they choose to exercise

the rule which they are employed to apply’. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang

otoritas yang dimilikinya, pelaksana kebijakan bisa memilih apa yang dikehendakinya untuk

dikerjakan atau tidak dikerjakan. Apapun pendekatannya (baik top down atau bottom up), para

pelaksana kebijakan memiliki banyak pilihan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan 5 Konsep ini dianggap sebagai generasi kedua dalam studi implementasi. Dalam kelompok ini antara lain adalah Daniel Mazmanian dan Paul Saatier (1975), Donald S. Van Meter dan Carls E. Van Horn menulis buku yang berjudul ”The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework in Administration and Society” serta Merilee S. Grindle menulis buku yang berjudul “Politics and Policy Implementation in The Third World”.

18 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

yang telah ditetapkan. Adanya diskresi ini di satu sisi bisa memudahkan para pelaksana, namun

jelas juga dapat menimbulkan masalah.

Perkembangan selanjutnya, muncul konsep implementasi kebijakan generasi ketiga yang

lebih mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan utama dengan variable-variabel

penelitian top-down dan bottom-up.6 Dalam pendekatan ini lebih difokuskan kepada desain

kebijakan dan jejaring kebijakan serta implikasinya terhadap bagaimana keberhasilan dari

implementasi kebijakan. Elemen tersebut merupakan hal terpenting yang akan dievaluasi atau

dengan kata lain seberapa baik suatu program dan kebijakan itu didesain akan mempengaruhi

tingkat keberhasilan dari implementasinya dalam jejaring kebijakan tertentu. Integrasi kedua

elemen tersebut memungkinkan masalah yang timbul akibat adanya diskresi dalam

implementasi dapat dikelola.

Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi

pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam

perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung jawab

baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai

tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini menjadi

arena baru-dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka dituntut untuk

berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu

diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi

dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung

jawab yang didesentralisasikan (Grindle,2007) .

Ada karakteristik tertentu dalam implementasi kebijakan desentralisasi, sehingga faktor

yang bisa mempengaruhi keberhasilannya pun khas untuk kebijakan sejenis ini. Cheema dan

Rondinelli (1983, hal. 26-31) menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan desentralisasi. Sebagaimana diilustrasikan dalam gambar, faktor

tersebut mencakup kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya untuk

implementasi program, karakteristik lembaga pelaksana, yang keterkaitan mempengaruhi

kinerja dan dampak implementasi kebijakan desentralisasi.

6 Generasi ketiga ini antara lain dimotori oleh Malcolm L Goggin, Ann Ann O’M Bownman, James Lester dan Lautence J O’toole dengan bukunya yang berjudul “Implementation Theory and Practice – Toward a third Generation”.

19 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Gambar 2.1

Proses Implementasi Program menurut G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli

Kondisi Lingkungan1. Tipe system Pol 2. Struktur pembangunan Kebijakan 3. karakteristik struktur politik lokal 4. kendala sumberdaya 5. sosio kultural 6. Derajad keterlibatan para penerima program 7. Tersedianya infrastruktur fisik yg cukup

Hub. Antar Organisasi 1. Kejelasan & konsistensi sasaran program2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi & evaluasi4. Ketepatan, konsistensi & kualitas komunikasi antar instansi5. Efektivitas jejaring utk mendukung program

Sumberdaya Organisasi 1. control terhadap sumber dana. 2. keseimbangan antara pembagian anggaran & kegiatan program 3. Ketepatan alokasi angg 4. pendapatan yg cukup utk pengeluaran 5. Dukungan pemimpin pol pusat 6. dukungan pemimpin politik lokal 7. komitmen birokras i

Karakteristik & Kapabilitas Instansi Pelaksana : 1. Ketrampilan teknis , manajerial & politis petugas 2. Kemampuan utk mengkoordinasi, mengontrol & mengintegrasikn kepts. 3. Dukungan & sumberdaya pol instansi 4. 4. Sifat kom internal 5. Hub yg baik antara instansi dg kel sasaran 6. Hub instansi dg pihak diluar pemt & NGO 7. Kualitas pemimpin instansi yg bersangkutan 8. komitmen petugas terhadp program 9. kedudukan instansi dlm hirarki sistem adm

Kinerja dan Dampak 1. Tingkat sejauh mana program dpt mencapai sasaran 2. adanya perubahan kemampuan adm pd orgs lokal 3. Berbagai keluaran & hsl yg lain

Sumber: Subarsono, 2005:102

Lebih lanjut, pendapat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Kondisi lingkungan (environtmental conditions)

Pemahaman akan kondisi sosial ekonomi dan politik yang melatarbelakangi munculnya

suatu kebijakan sangat diperlukan untuk menganalisa implementasi kebijakan. Suatu

kebijakan muncul dari lingkungan sosial ekonomi yang spesifik dan kompleks serta

lingkungan politis. Hal ini tidak saja menentukan substansi dari suatu kebijakan, namun

juga bentuk dari hubungan antar organisasi yang terlibat didalamnya beserta karakteristik

pelaksana beserta jumlah dan jenis sumberdaya yang digunakan untuk melaksanakan

kebijakan tersebut.

Hubungan antar organisasi (interorganizational relationship)

Keberhasilan suatu kebijakan memerlukan interaksi dan koordinasi organisasi

pemerintahan pada berbagai level, baik nasional, regional, maupun di tingkat lokal. Hal ini

utamanya dalam tindakan yang saling mendukung yang perlu dilakukan organisasi

tersebut dan kerjasama dengan berbagai pihak lain, termasuk dengan para penerima

manfaat program. Efektifitas hubungan antar organisasi tersebut bisa saja dipengaruhi

oleh berbagai hal: a) kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan serta sejauhmana lembaga

pelaksana mendapatkan arahan yang jelas untuk menjalankan aktivitas tersebut; b)

alokasi fungsi-fungsi yang sesuai, berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki; c)

sejauhmana perencanaan, penganggaran, dan prosedur implementasi diatur, sehingga

20 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dapat meminimalkan interpretasi yang tidak sesuai, dimana dapat menyebabkan

implementasi sulit dikoordinasikan; d) akurasi, konsistensi, dan kualitas hubungan

komunikasi yang memungkinkan organisasi yang terlibat memahami peran dan tugasnya

dalam mendukung satu sama lain; e) efektivitas hubungan unit-unit administratif yang

terdesentralisasi yang menjamin interaksi antar organisasi dan koordinasi kegiatan.

Sumberdaya untuk implementasi program (resource for policy and program

implementation)

Kondisi lingkungan dan hubungan organisasi yang kondusif penting bagi implementasi,

namun itu saja tidak cukup. Sejauhmana pelaksana menerima dukungan finansial,

administratif, serta dukungan teknis yang memadai, juga menentukan hasil dari

implementasi. Implementasi kebijakan desentralisasi juga dapat dipengaruhi sejauhmana

pelaksana kebijakan memiliki kontrol terhadap dana yang ada, sejauhmana kecukupan

alokasi anggaran maupun ketersediaanya pada waktu yang tepat, maupun seberapa cukup

dana yang dimiliki dibanding pengeluaran yang ada. Agar pemerintah daerah mampu

melaksanakan kebijakan desentralisasi, diperlukan dukungan dari pimpinan politik,

pejabat lokal maupun elit, serta memerlukan dukungan administratif dan teknis dari

pemerintah pusat.

Karakteristik lembaga pelaksana (characteristic of implementing agencies)

Hal ini mencakup kemampuan teknis, manajerial, maupun politis lembaga pelaksana.

Disamping itu juga kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengontrol, dan

mengintegrasikan keputusan dari sub-unit yang ada, ditambah dengan dukungan politis

dari pimpinan politik nasional. Selain itu hal-hal seperti kualitas komunikasi internal,

kepemimpinan organisasi pelaksana, maupun penerimaan dan komitmen untuk

mewujudkan tujuan kebijakan juga dapat mempengaruhi hasil-hasil implementasi

kebijakan desentralisasi.

Hal lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan desentralisasi adalah adanya

diskresi dalam kebijakan tersebut. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Davis di atas,

implementasi kebijakan otonomi khusus memiliki suatu ruang diskresi didalam

pelaksanaannya. Kebijakan tersebut mengandung elemen interpretatif, yang dapat saja

diinterpretatisikan secara berbeda oleh pelaksanaanya. Akibatnya, adanya diskresi yang keliru

dalam implementasi kebijakan bisa berpengaruh terhadap hasil-hasil kebijakan. Oleh karena

itu, bukan saja desain kebijakan yang perlu mendapat perhatian, namun juga dukungan dalam

implementasi yang mampu mengarahkan diskresi para pelaksana agar berjalan sesuai dengan

tujuan. Dalam hal ini integrasi antara peran dari pemerintah pusat kepada pelaksana di

21 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

lapangan (top down) dan kemampuan pemerintah daerah di lapangan (bottom-up) sangat

menentukan.

Implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri

(Riant Nugroho;2006), oleh karenanya pada prinsipnya harus memenuhi “empat tepat” yang

penting dalam keefektifan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat

Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal

yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.

2. Ketepatan pelaksana

Aktor implementasi bukan hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi

pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau

implementasi kebjakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).

3. Ketepatan target implementasi

Ketepatan di sini berdasarkan atas tiga hal, yaitu: pertama, apakah target yang diintervensi

sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang

lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, ketiga,

apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi

kebijakan sebelumnya.

4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu (1) lingkungan kebijakan, merupakan

interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain

yang terkait; (2) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, persepsi

publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institutions yang

berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat.

Pasarnya setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk mengalami

kegagalan. Hogwood dan Gunn (1986), menjelaskan berbagai penyebab dari kegagalan suatu

kebijakan (policy failure) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu: (1) karena “non

implementation” (tidak terimplementasikan), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang

tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu

tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil

biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan

mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan tersebut

tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.

Oleh karena itu kebijakan memerlukan evaluasi. Evaluasi kebijakan pada dasarnya

adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu

22 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang

ditentukan (Darwin, 1994: 34).

Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, evaluasi ini perlu dilakukan. Terlebih

mengingat dalam berbagai literatur tentang desentralisasi, praktek yang ada memperlihatkan

bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi bisa saja justru menimbulkan dampak yang tidak

diinginkan atau tujuan yang tidak tercapai.

Menurut Sofian Efendi, evaluasi kebijakan publik dapat ditujukan untuk mengetahui

variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan

pokok, yaitu:

1. Bagaimana kinerja kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi

publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.

2. Faktor-faktor apa saja yang menimbulkan variasi itu? Jawabannya berkaitan dengan faktor

kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi

kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.

3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini

berkenaan dengan “tugas” dari pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat

diubah, atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak

dapat dan dimasukkan sebagai variabel evaluasi.

Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik

buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi

dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang

ditetapkan (Hanafi & Guntur, 1984:16). Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4

aspek yaitu:

1. Proses pembuatan kebijakan

2. Proses implementasi kebijakan,

3. Konsekuensi kebijakan,

4. Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9).

Pada prinsipnya model evaluasi kebijakan sangat bervariasi tergantung dari tujuan dan

level yang akan dicapai. Dari segi waktu, evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi preventif

kebijakan dan evaluasi sumatif kebijakan. Evaluasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua

Barat merupakan evaluasi setelah kebijakan, dikarenakan kebijakan otonomi khusus yaitu UU

Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah

dilaksanakan.

Selanjutnya berbagai macam keputusan dapat diambil atas dasar evaluasi yang dilakukan

beberapa diantaranya yang dapat dilakukan adalah: (1) meneruskan dan mengakhiri program,

23 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

(2) memperbaiki praktek dan prosedur administrasi, (3) menambah atau mengurangi strategi

dan teknik implementasi, (4) melembagakan program ke tempat lain, (5) mengalokasikan

sumber daya ke program lain dan (6) menerima dan menolak pendekatan/teori yang dipakai

(Wibawa,op.cit:12). Dari kelima keputusan yang diambil atas dasar evaluasi dilihat dari jenis

kebijakan yang dievaluasi.

B. Pembahasan Penelitian Yang Relevan

Penelitian kinerja otonomi khusus Papua yang telah dilakukan pada tahun 2008 yang

dilakukan oleh Kemitraan bekerjasama dengan Kemendagri yang merupakan sintesa hasil

implementasi kebijakan otonomi khusus di Provinsi Papua. Adapun hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa kinerja otonomi khusus selama lima tahun implementasi masih belum

mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipahami

sebagai Special-Automoney dan otonomi khusus juga mendapatkan dukungan dana khusus

yang jumlahnya semakin meningkat sejak 2002-2007, namun demikian injeksi dana otonomi

khusus, belum menunjukkan keterkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di Papua,

kemiskinan di Papua tetap memprihatinkan, baik dilihat dari segi rerata kemiskinan di

dalam Papua, juga dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang pada tahun

2008.

Beberapa penelitian yang relevan dengan otonomi khusus yang relevan, antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 oleh Fibiolla Irianni bertujuan menganalisis

Pendapatan Asli Daerah Propinsi Papua dan menganalisis Dana Perimbangan Propinsi

Papua dengan diterapkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, teori yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Intergovermental Transfer dengan data yang digunakan dalam

penelitian merupakan data sekunder yang sumbernya dari biro anggaran, BPS, Bappeda

Propinsi Papua dan Kementerian Keuangan. Temuan utama dari penelitian ini adalah

jumlah penduduk, banyak sekolah, panjang jalan dan jumlah penduduk miskin mempunyai

pengaruh positif dan signifikan terhadap kebutuhan dana Propinsi Papua sedangkan

perkembangan PAD Propinsi Papua bila ditinjau dari nilai nominalnya dari tahun ke tahun

terus menunjukkan kenaikan tetapi bila ditinjau dari nilai riilnya menunjukkan gambaran

yang kurang menguntungkan, dengan kata lain PAD Propinsi Papua masih relatif rendah

sehingga mengakibatkan ketergantungan kepada pusat masih tinggi.

2. Penelitian evaluasi terhadap kebijakan pemberian dana otonomi khusus kepada Propinsi

Papua yang dilakukan oleh Winardito, bertujuan untuk mengetahui pemberian kekhususan

yang diwujudkan dengan pemberian dana otonomi khusus yang berupa dana penerimaan

khusus dan Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas Alam yang prosentasenya lebih besar

24 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dibandingkan daerah lain di Indonesia, disamping juga dana perimbangan lainnya, dari hasil

penelitian diketahui bahwa alasan utama diberikannya otonomi khusus pemberian dana

otonomi khusus kepada Provinsi Papua faktor politis, yakni untuk mereduksi keinginan

sebagian masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dalam 3 (tiga) tahun pemberlakuannya, dana otonomi khusus juga ternyata tidak

efektif karena bagian terbesar dana otonomi khusus tidak digunakan untuk pendidikan dan

kesehatan (perbaikan gizi masyarakat) namun dibagikan secara hampir merata ke semua

sektor pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua.

3. Penelitian peningkatan kualitas sumber daya manusia Majelis Rakyat Papua dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Esau Hombore,

bertujuan mengetahui upaya meningkatkan kualitas SDM MRP dalam melaksanakan tugas

dan fungsinya dan mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menjembatani perbedaan

pendapat antara DPRP dan MRP, dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam upaya untuk

meningkatkan kualitas MRP dapat dilakukan melalui penetapan beberapa kegiatan yang

berguna untuk meningkatkan wawasan anggota MRP antara lain dengan Workshop, Diklat,

Capacity Building, kerjasama dengan lembaga lain (LSM, LMA, Akademik) dan studi banding,

peningkatan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan yang dilakukan

bersama-sama dengan DPRP dan tak kalah pentingnya adalah penyediaan sarana dan

prasarana yang memadai bagi anggota MRP.

25 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

BAB III KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA DAN PAPUA BARAT

ada bagian ini akan dijelaskan mengenai kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua

Barat dilihat dari proses kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat itu sendiri

serta muatan kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

A. Proses Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Reformasi disegala aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang ditandai

dengan terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada B.J. Habibie

sebagai Presiden Republik Indonesia berimplikasi secara signifikan terhadap konstelasi

politik nasional. Pemerintahan di masa Soeharto yang semula bersifat sentralistik

kemudian dalam masa B.J. Habibie berubah menjadi desentralistik, yang berorientasi

demokratis dan partisipatif. Sejumlah agenda perubahan yang dilakukan oleh Presiden B.J.

Habibie seluruhnya diarahkan pada upaya menciptakan suasana demokratis dan

partisipatif dalam berbangsa dan bernegara. Begitu juga dalam penanganan permasalahan

politik terkait dengan keinginan masyarakat Papua yang dikenal pada saat itu sebagai “Tim

Seratus”, yang menyampaikan keinginan untuk memisahkan diri “merdeka” dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia pada saat bertemu secara langsung dengan Presiden Habibie

di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Pebruari 1999. Dalam merespons tuntutan

tersebut kemudian didesainlah strategi alternatif yang dianggap mampu untuk

membendung keinginan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Salah satu dari strategi tersebut adalah melalui kebijakan “Pemekaran

Wilayah Provinsi Irian Jaya”.

Kebijakan tersebut sebenarnya merupakan suatu rencana kebijakan yang telah

dibuat sejak tahun 1984 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen

Dalam Negeri yang diawali dengan adanya aspirasi dari sekelompok kecil masayarakat

Papua yang menginginkan pemekaran. Atas dasar itulah maka ditetapkanlah Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986 dibentuk 3 (tiga) Wilayah Pembantu

Gubernur, yang dipandang sebagai embrio bagi pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I

baru di Irian Jaya. Namun dalam perkembangannya lebih dari satu dasawarsa, rencana

pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tidak pernah terealisasi, dengan alasan

utama keterbatasan anggaran negara. (Uncen, 2003)

Rencana Pemekaran Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya terealisasikan pada

tanggal 4 Oktober 1999, dengan dilegitimasinya UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang

P

26 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Kebijakan ini kemudian

diikuti dengan pengangkatan Drs. Herman Monim sebagai Pejabat Gubernur Irian Jaya

Tengah dan Brigjen. TNI Marinir (Purn.) Abraham Atururi sebagai Pejabat Gubernur Irian

Jaya Barat berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999, pada

tanggal 5 Oktober 1999.

Kebijakan pemekaran propinsi daerah Tingkat I Irian Jaya, khususnya yang terkait

dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat mendapat penolakan

dari berbagai kalangan masyarakat di Papua, yang ditandai dengan aksi demonstrasi besar-

besaran termasuk menduduki gedung DPRD Propinsi Irian Jaya dan Kantor Gubernur Dok

II Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Aksi penolakan ini direspon oleh DPRD

Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua) dan kemudian dilegitimasi dengan Keputusan

DPRD. Nomor 11/DPRD/1999 Tentang Pernyataan Pendapat DPRD Provinsi Irian Jaya

kepada Pemerintah Pusat untuk Menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya dan usul

Pencabutan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 327/M Tahun 1999 tanggal 5 Oktober

1999.

Aksi penolakan ini didasari oleh beberapa alasan: (1) kebijakan pemekaran wilayah

Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut dilakukan tanpa melalui proses konsultasi

rakyat; (2) kebijakan pemekaran wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya tersebut

tidak sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I

Irian Jaya, yang antara lain menyebutkan bahwa pemekaran wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Irian Jaya menjadi 2 (dua) Propinsi, yaitu: (a) Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya

Timur, dengan ibukota di Jayapura, meliputi: Kabupaten Jayapura, Kodya Jayapura,

Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Puncak Jaya; (b) Propinsi

daerah Tingkat I Irian Jaya Barat, dengan ibukota di Manokwari, meliputi: Kabupaten

Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Nabire, Kabupaten Biak

Numfor, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, dan Kotif Sorong. (3) Kebijakan Pemekaran

Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya lebih berorientasi sebagai strategi untuk

memperkokoh integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa bermaksud

untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua melalui akselerasi pembangunan

secara berkeadilan. Hal ini terbukti dari format pembagian wilayah yang kurang

memperhatikan aspek kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan

kemampuan ekonomi.

Pada tanggal 19 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR, pada Paripurna ke-12,

ditetapkan Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

27 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

(GBHN) Tahun 1999-2004, pada bab IV, huruf G, butir 2 antara lain memuat kebijakan

Otonomi Khusus bagi Aceh dan Irian Jaya. Rumusan lengkap kebijakan tersebut adalah:

‘...dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah

yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh, maka perlu ditempuh

langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman

kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus

yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi

manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat...”;

Pada penghujung Sidang Umum MPR tahun 1999, terjadi suksesi kepemimpinan

nasional. B.J. Habibie digantikan oleh K.H. Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI. Salah

satu agenda politik yang terkait dengan Propinsi Irian Jaya yang harus dilakukan oleh

Pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid adalah memformulasikan Rancangan

Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Dalam kenyataannya

setelah satu tahun pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid, agenda tersebut belum

dilaksanakan.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam pelaksanaan

otonomi daerah pada umumnya dan otonomi khusus bagi Aceh dan Irian Jaya, maka dalam

sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditetapkan Tap MPR RI Nomor: IV/MPR/2000 tentang

Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang ditujukan kepada

Pemerintah dan Dewan perwakilan Rakyat. Dalam salah satu bagian dari Ketetapan ini

disebutkan: “… Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya,

sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya

1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan...”.

Dalam kenyataannya undang-undang yang menjadi landasan operasional penerapan

otonomi khusus di Provinsi Irian Jaya sampai dengan memasuki batas waktu yang

diamanatkan Tap MPR RI tersebut, ternyata belum ditetapkan. Keterlambatan ini

disebabkan antara lain: (1) tingginya eskalasi politik di Provinsi Irian Jaya menjelang dan

pasca Musyawarah Besar dan Kongres Rakyat Papua di Jayapura Tahun 2000 dan (2)

adanya keinginan Pemerintahan K.H. Abdurahman Wahid untuk memperhatikan secara

sungguh-sungguh aspirasi rakyat Papua.

Komitmen pemerintah ini direspon oleh berbagai kalangan terutama akademisi dan

aktivis LSM, di Provinsi Irian Jaya yang mulai menjadikan otonomi khusus sebagai topik

28 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

wacana diberbagai forum kajian. Hal ini terbukti dengan adanya sejumlah

konsep/draf/pokok-pokok pikiran tentang materi muatan Rancangan Undang-undang

tentang Otonomi Khusus bagi Irian Jaya yang disusun oleh berbagai institusi di Irian Jaya.

Akan tetapi karena situasi dan kondisi di Provinsi Irian Jaya yang kurang kondusif sebagai

akibat meningginya eskalasi politik sebelum dan pasca Mubes dan Kongres rakyat Papua

yang salah satu tuntutannya adalah memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia, maka issue tersebut hanya sekedar sebagai wacana dan bahan pergumulan yang

lebih bersifat interen institusi tertentu. Pada waktu yang hampir bersamaan Freddy

Numberi sebagai Gubernur Propinsi Irian Jaya pada waktu itu, diangkat menjadi salah

seorang Menteri dalam Kabinet Presiden K.H. Abdurahman Wahid, akibatnya Musiran

diangkat sebagai carateker Gubernur. Dalam posisi ini Pejabat Gubernur Musiran merasa

tidak memiliki wewenang yang cukup untuk mempersiapkan RUU Otonomi Khusus Irian

Jaya. Kondisi ini diperparah lagi ketika adanya pihak-pihak tertentu yang

mempertentangkan antara otonomi dan merdeka. Dua konsep ini seakan-akan merupakan

opsi yang harus dipilih.

Pembicaraan tentang kemungkinan penyusunan RUU Otonomi Khusus bagi Irian

Jaya baru dimulai secara sungguh-sungguh ketika Drs. J.P. Solossa, M.Si. dilantik sebagai

Gubernur dan Drh. Constan Karma sebagai Wakil Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini

Provinsi Papua), pada akhir tahun 2000. Atas prakarsa Gubernur maka dibentuk Panitia

Penyelenggara Forum Kajian, yang diikuti dengan dibentuknya Tim penjaring Aspirasi,

serta Tim Asistensi dan dengan didukung oleh berbagai komponen masyarakat, serta

melalui suatu mekanisme yang panjang, maka RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

yang diberi nama “Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam bentuk wilayah

berpemerintahan sendiri” dapat disusun.

RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua diterima dan diadopsi

oleh DPR RI sebagai RUU usul inisiatif setelah melalui proses pengayaan. Melalui suatu

pembahasan yang alot antara DPR dan pemerintah sebagai akibat dari adanya dua RUU

mengenai otonomi khusus bagi Irian Jaya, yakni RUU usul inisitif DPR RI dan RUU usulan

Pemerintah. Akan tetapi pada akhirnya disepakati bahwa RUU yang dijadikan acuan utama

adalah RUU usulan Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Papua yang telah diadopsi

sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.

Menindaklanjuti amanat kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

tersebut, dan setelah melalui pembahasan lebih kurang 5 (lima) bulan, maka DPR RI pada

tanggal 22 Oktober 2001 telah menyetujui dan menetapkan Rancangan Undang-Undang

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Hasil ketetapan DPR

29 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

RI ini kemudian disampaikan kepada Pemerintah (Presiden) untuk disahkan. Presiden

Republik Indonesia sesuai kewenangan yang dimiliki, pada tanggal 21 Nopember 2001

telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang kemudian dimuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2001

Nomor 4151.

Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku sah tahun 2008 setelah

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1

Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Papua. Perpu diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua menjadi UU.

Peraturan tersebut merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan otonomi khusus agar

tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya di bidang sosial,

ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat

telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan

kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus

berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001.

B. Muatan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis

pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai

strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan

(acseleration development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi

Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi

kesenjangan antar Provinsi Papua dengan propinsi-propinsi lain dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk

berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan.

Sebagai bentuk kebijakan di Papua, UU Nomor 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi

perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan. Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi

untuk berbagai persoalan di Papua. Harapannya, kebijakan ini bisa menjadi instrumen

efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta

menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan,

keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi.

Dengan demikian, kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan

kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab kebutuhan

30 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan

mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini.

Hal tersebut diatas merupakan beberapa dasar pertimbangan dikeluarkannya UU

tentang otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam konsideran UU Nomor 21 Tahun

2001, yang secara lengkap sebagai berikut:

1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil,

makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia

yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi,

hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta

memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat

istimewa yang diatur dalam undang-undang;

4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui

penerapan daerah otonomi khusus;

5. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia

yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman

kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri;

6. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi

Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya

memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung

terwujudnya penegakkan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat

Papua;

7. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum

digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga

telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain

serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

8. Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain,

dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, serta memberikan kesempatan

kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka

NKRI;

31 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

9. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar

yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak

dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme,

serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;

10. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk

memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar

serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan

perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

11. Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut

aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua

sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor

7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya

menjadi Papua;

12. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dipandang perlu memberikan otonomi

khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang.

Otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU

Nomor 21 Tahun 2001 pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi

provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung

jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan

pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-

besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari Rakyat Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk

memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk

memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat,

agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan

kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan

dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam

Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah

dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat

Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum

adat.

32 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan Pemerintah Provinsi

Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan

kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta

pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan

penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri:

a. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi

kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua

pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,

pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;

dan

c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan

bertanggung jawab kepada masyarakat.

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara

badan legislatif dan eksekutif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural

penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Sebagai akibat dari penetapan otonomi khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang

diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal mendasar

yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia,

seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak

diberlakukan di Provinsi Papua; Berdasarkan sifat khusus tersebut, berlakulah asas hukum

aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (lex spesialis derogat legi

generali). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang

diawali dengan konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal

demi pasal. Berikut ini disajikan beberapa muatan dari keistimewaan dan kekhususan bagi

Pemerintahan Papua yang dikategorikan dalam bidang-bidang yang meliputi :

1. Bidang Pemerintahan

a. Kewenangan daerah

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus adalah kewenangan

khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

33 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Kewenangan Provinsi Papua

mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan

bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan

peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

b. Kewenangan Bersifat Khusus

Beberapa kewenangan yang bersifat khusus antara lain :

1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya

sebagai Lagu Kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai

panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam

bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol

kedaulatan.

2) Peraturan Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah

Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu

dalam undang-undang otonomi khusus.

3) Peraturan Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah

Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan

kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan

Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5) Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama secara langsung dengan

lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan lembaga atau badan di luar

negeri sesuai dengan kewenangannya kecuali hal-hal yang menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Pemerintah Papua juga dapat berpartisipasi secara langsung

dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.

6) Pemerintah Papua dalam hal ini gubernur berkoordinasi dengan pemerintah

pusat dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua. Koordinasi

yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan

kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi

Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

34 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

c. Bentuk dan Susunan Kepemerintahan

1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif,

yang terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan pemerintah provinsi sebagai badan eksekutif daterdiri

atas gubernur beserta perangkat pemerintah provinsi lainnya.

2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk

Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli

Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak

orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan

budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama

3) Di kabupaten/kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan

legislatif serta pemerintah kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. Pemerintah

Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah

Kabupaten/Kota lainnya

4) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung

atau dapat disebut dengan nama lain

2. Bidang Politik

Dalam bidang politik penduduk Provinsi Papua mempunyai hak untuk membentuk

partai politik. Sedangkan tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam

pemilihan umum diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses

rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan

memprioritaskan masyarakat asli Papua. Rekrutmen politik dengan memprioritaskan

masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik

bagi setiap Warga Negara Republik Indonesia, partai politik wajib meminta

pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-

masing. Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian

partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik

3. Bidang Keuangan

a. Penyelenggaraan tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas

Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara.

b. Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen:

1) Pendapatan Asli Provinsi, Kabupaten/Kota

Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas :

35 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

a) Pajak Daerah, antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di

atas Air, Pajak Balik Nama, Pajak Bahan Bakar, Pajak Pengambilan Air Tanah,

Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak

Penerangan Jalan, Pajak Galian Golongan C, Pajak Parkir, dan Pajak lain-lain.

Pajak-pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang Pajak

Daerah.

b) Retribusi Daerah, antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi

Pelayanan Persampahan, Retribusi Biaya Cetak Kartu, Retribusi Pemakaman,

Retribusi Parkir di Tepi Jalan, Retribusi pasar, Retribusi Pengujian

Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran, dan lain-lain. Retribusi

ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi

Daerah.

c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain hasil

deviden BUMD; dan

d) Lain-lain pendapatan yang sah, antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah

yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai

tukar, komisi, potongan, dan lain-lain yang sah.

2) Dana Perimbangan

Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari bagi Dana Bagi Hasil terbagi atas

Dana Bagi Hasil Pajak (BHP) dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan

bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka otonomi khusus dengan

perincian sebagai berikut:

a) Bagi Hasil Pajak

BHP antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun pribadi dengan

pembagian :

Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan

puluh persen); dan

Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).

b) Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

36 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);

Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);

Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan

Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).

c) DAU yang ditetapkan dengan undang-undang

d) Dana Alokasi Khusus

Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang

besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum

Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan

kesehatan. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang

besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan

Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk

pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar

sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota-kota

provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya

terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas

sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik

dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan

global. Penerimaan untuk bagi hasil sumber daya alam yang meliputi

pertambangan minyak bumi dan gas alam berlaku selama 25 (dua puluh

lima) tahun. Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka

otonomi khusus menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan

minyak bumi, sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas

alam.

Penerimaan khusus dalam rangka otonomi khusus berlaku selama 20 (dua

puluh) tahun yang diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus,

dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.

3) Pinjaman Daerah

Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah

memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat melakukan

pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai

sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi

Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar negeri

untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan

Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

37 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

4) Lain-lain Penerimaan yang sah

Pendapatan daerah selain dari PAD dan Dana Perimbangan, juga didapatkan

adanya Pendapatan lain-lain yang sah. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari

pendapatan pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan pendapatan

lainnya.

4. Bidang Perekonomian

a. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional

dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya

kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi

prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi

Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati

hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha,

serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan

yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Sebagai bagian dari pembangunan

berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan

sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari

eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang

hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di

masa mendatang.

b. Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan

beroperasi di wilayah Provinsi Papua. Tata cara penyertaan modal pemerintah

Provinsi Papua diatur dengan Perdasi.

c. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau

masyarakat setempat. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi

Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.

Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan

penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. Pemberian

kesempatan berusaha melakukan pemberdayaan masyarakat adat agar dapat

berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.

5. Bidang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan Hak Asasi Manusia

(HAM)

a. Hak-Hak Masyarakat Adat

38 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

- Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi,

memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan

berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Kewajiban

sebagaimana dimaksud juga merupakan kewajiban Pemerintah yang

dilaksanakan oleh gubernur selaku wakil pemerintah. Pemberdayaan hak-hak

tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan

taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.

- Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat

dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

- Dalam pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,

dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan

menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan

tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain.

- Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat

untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat

hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan

mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

- Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang

asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak kekayaan

intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang

kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana

dan rancangan bangunan tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hak-

hak yang terkait dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan

oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang

sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan

intelektual anggota masyarakat lainnya di Provinsi Papua.

b. Hak Asasi Manusia

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib

menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di

Provinsi Papua. Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah membentuk

perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah:

- melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan

bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

39 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

- merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi

berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan

secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai

mitra sejajar kaum laki-laki.

6. Bidang Sosial dan Kesehatan

a. Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan

memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang

menyandang masalah sosial.

b. Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi

pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi

Papua.

c. Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan

pelayanan kesehatan bagi penduduk. Pelayanan kesehatan yang berkualitas

dilaksanakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di pelosok

Provinsi Papua. Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

d. Pemerintah juga berkewajiban untuk mencegah dan menanggulangi penyakit-

penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan

hidup penduduk.

7. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.

1. Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan

pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Setiap

penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai

dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.

Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi

Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga

menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan

yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya

manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka

pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya

pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua atau sebagian jenjang

pendidikan.

40 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

2. Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten/kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang

memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk

mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi

Papua.

3. Pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan

kebudayaan asli Papua. Pemerintah provinsi memberikan peran sebesar-besarnya

kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi

persyaratan.

4. Pemerintah provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan

keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan

jati diri orang Papua.

5. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Bahasa Inggris ditetapkan

sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.

8. Bidang Pertahanan dan Keamanan

a. Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala

Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur. Selain itu kepolisian juga

bertanggung jawab terhadap ketertiban dan ketenteraman masyarakat.

b. Pelaksanaan tugas kepolisian dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah

Provinsi Papua kepada Gubernur. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah

Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Pemberhentian Kepala Kepolisian

Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

c. Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi

Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

d. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik

Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua

dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan

Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan

lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua.

41 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

9. Bidang Kependudukan dan Ketanagakerjaan

a. Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan

pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.

b. Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan

partisipasi penduduk asli Papua alam semua sektor pembanguan, Pemerintah

Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.

c. Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional

yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan dengan Persetujuan Gubernur.

Hal ini diatur dengan Perdasi.

d. Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas

memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

e. Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk

mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua

berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

f. Dalam hal mendapatkan pekerjaan tersebut diatas di bidang peradilan, orang asli

Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi hakim atau jaksa di

Provinsi Papua.

42 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

agian ini akan dijelaskan deskripsi hasil penelitian yang terdiri dari gambaran umum

daerah kajian, evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,

Implementasi kebijakan serta Perdasus dan Perdasi dan terakhir strategi perbaikan

penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

A. Gambaran Umum Daerah Kajian

Pulau Papua atau Guinea Baru (Bahasa Inggris: New Guinea) atau yang dulu disebut dengan

Pulau Irian adalah pulau terbesar kedua (setelah Tanah Hijau) di dunia yang terletak di sebelah

utara Australia. Nama Papua, aslinya Papa-Ua, asal dari bahasa Maluku Utara yang berarti anak

piatu yang dimaksudkan bahwa di pulau ini tidak ada seorang raja yang memerintah tetapi ada

juga menyatakan bahwa Kata Papua berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting,

sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli (Stirling, 1943:4, dalam

Koentjaraningrat, 1993). Penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar,

masing-masing:

1) Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang

(rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan).

2) Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah

serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu

dan mengumpulkan hasil hutan;

3) Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak

secara sederhana.

Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis

keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat

berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh

alam laut, hutan dan pegunungan.

Hasil inventarisasi Dr. Peter J. Siher dari penelitian Summer Institute of linguistie cabang

Papua, terdapat 236 suku di Papua yang berbeda bahasa dan budayanya. Perbedaan bahasa ini

menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi satu dengan yang lain. Penyebaran suku-

suku di Papua, menurut jumlah suku perkabupaten yang ada di Pulau Papua, dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

B

43 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tabel 4.1 Jumlah Suku Papua Menurut Kabupaten

No Kabupaten Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jayapura Merauke Sorong Fakfak Yapen waropen Paniai Jayawijaya Manokwari Biak Numfor

75 39 23 21 20 20 18 18

1 Jumlah 236

Sumber : Peter J. Siher, Summer Institute of linguistie.

Pada tahun 2003, Papua mengalami pembagian menjadi 2 (dua) provinsi, berdasarkan UU

Nomor 45 Tahun 1999 jo Inpres Nomor 1 Tahun 2003, bagian timur tetap memakai nama

Papua sedangkan bagian barat menjadi Propinsi Papua Barat dengan wilayah yang mencakup

kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya.

1. Kondisi Wilayah Provinsi Papua

Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.062 km² atau 19,33 persen dari luas Negara

Indonesia yang mencapai 1.890.754 (Km2). Provinsi Papua terdiri dari 29 (dua puluh sembilan)

kabupaten/kota yaitu Kabupaten Asmat, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Boven Digoel,

Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayapura, Kabupaten

Jayawijaya, Kabupaten Keerom, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Lanny Jaya,

Kabupaten Memberamo Raya, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Mappi, Kabupaten

Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Nabire, Kabupaten Nduga, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Sarmi,

Kabupaten Supiori, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen,/ Kabupaten Yahukimo,

Kabupaten Yalimo dan Kota Jayapura.

Secara geografis, Provinsi Papua berada pada posisi 0° 19' - 10° 45' Lintang Selatan dan

130° 45' - 141° 48' Bujur Timur menempati setengah bagian barat dari New Guinea yang

merupakan pulau terbesar kedua dari Greenland. Adapun Batas-batas wilayah Provinsi Papua

adalah sebagai berikut :

Bagian Utara : Samudera Pasifik

Bagian Barat : Provinsi Irian Jaya Barat

Bagian Selatan : Laut Arafura

Bagian Timur : Negara Papua New Guinea.

44 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawan sampai dataran

tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput dan lembah dengan alang-

alangnya. Dibagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu

bagian dari pegunungan tersebut adalah pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena disana

terdapat 3 puncak tertinggi yang walaupun terletak didekat kathulistiwa namun selalu

diselimuti oleh salju abadi yaitu puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030m (15.090 ft);

puncak Trikora 5.160 m (15.480 ft) dan puncak Yamin 5.100 m (15.300 ft).

Di Provinsi Papua terdapat banyak sungai, danau, dan rawa berskala kecil sampai dengan

skala besar. Selain sungai, juga terdapat beberapa danau besar antara lain Danau Sentani di

Kabupaten Jayapura dan Danau Paniai di Kabupaten Paniai. Disamping itu terdapat beberapa

rawa sangat luas terutama disepanjang pesisir pantai selatan Papua. Pulau Komoro merupakan

pulau delta hasil sedimen Sungai Digul yang diperkirakan masih muda.

Sementara itu, di bagian utara terdapat rawa yang terletak di tepian sungai Memberamo

dan anak sungainya yaitu sungai Tariku dan Taritatu, sedangkan daerah rawa sempit

menyebar di tepian danau Rembabai. Daerah rawa di Papua terdapat buaya, di samping itu

pada garis rawa terluar yang dekat dengan pantai merupakan daerah yang baik untuk

kehidupan udang. Vegetasi dominan yang hidup di daerah rawa adalah sagu. Daerah rawa

tersebut dapat dikembangkan untuk usaha perikanan darat dan persawahan.

2. Kondisi Wilayah Provinsi Papua Barat

Provinsi Papua Barat terletak di wilayah kepala dan leher Burung Pulau Papua pada

posisi di bawah garis khatulistiwa antara 129˚-132˚ Bujur Timur dan 0˚-4˚ Lintang Selatan.

Berdasarkan posisi geografisnya Provinsi Papua Barat memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik.

Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram Provinsi Maluku Utara.

Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda Provinsi Maluku.

Secara administrasi pemerintahan, Provinsi Papua Barat terdiri atas 11 Kabupaten/Kota

(10 Kabupaten dan 1 Kota), 127 distrik, dan 1.286 kampung. Kesebelas kabupaten/kota

tersebut adalah Kabupaten Fak Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Manokwari, Kabupaten

Maybrat, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten

Tambrauw, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama dan Kota Sorong.

Kondisi topografi Provinsi Papua Barat sangat bervariasi membentang mulai dari dataran

rendah, rawa sampai dataran tinggi, dengan tipe tutupan lahan berupa hutan hujan

tropis, padang rumput dan padang alang-alang. Ketinggian wilayah di Provinsi Papua

45 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Barat bervariasi dari 0 s.d > 1000 m. Kondisi ini merupakan salah satu elemen yang

menjadi barrier transportasi antar wilayah, terutama transportasi darat, serta dasar bagi

kebijakan pemanfaatan lahan.

Karena daerahnya yang bergunung-gunung, maka iklim di Provinsi Papua Barat sangat

bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Pola umum iklim dan cuaca sangat

dipengaruhi oleh topografinya yang kasar. Suhu sangat bergantung dari ketinggian,

sedangkan ketinggian dan kejajaran barisan pegunungan mempengaruhi pola angin dan

presipitasi dalam setiap daerah.

Secara geologis, wilayah Provinsi Papua Barat sangat unik dari proses dan masa

pembentukannya. Menurut Piagam dan Davis (1989), wilayah Kepala Burung terbentuk secara

terpisah dari bagian lain di New Guinea yang sebagian besar terjadi pada masa Miocene akhir

(10 Ma) dan Pliocene (2 Ma), yang berasal dari pengangkatan dasar laut dan sisa pecahan dari

benua purba Gondwana. Dari sini terbentuk delapan microplates yaitu Arfak, Kemum, Netoni,

Waigeo, Misool, Wandamen. Tambrauw, dan Lengguru yang sangat mempengaruhi bahan

induk batuan dan tanah.

Jenis batuan yang ada saat ini sangat berhubungan erat dengan proses pembentukan dan

masa pembentukan wilayah Papua Barat di masa lampau. Hal ini menyebabkan wilayah ini

cenderung labil dan sering terjadi aktivitas tektonik seperti gempa bumi. Kondisi topografi

Provinsi Papua Barat dengan kemiringan lahan 3-15% seluas 2.524.944 ha, jenis lahan curam

dengan kemiringan 16-40% seluas 2.795.754 ha dan jenis lahan sangat curam dengan

kemiringan > 40% seluas 5.556.300 ha. Selain itu, topografi ketinggian 50-1.500 meter di atas

permukaan laut.

B. Evaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 35 Tahun 2008

Dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 “Negara mengakui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan yg bersifat khusus dan bersifat istimewa yg diatur dengan Undang-

Undang”. Dengan demikian selain otonomi yang berlaku secara umum dalam sistem

pemerintahan daerah di Indonesia dikenal juga otonomi yang bersifat asimetris. Saat ini

setidaknya ada 5 (lima) provinsi di Indonesia yang berdasarkan otonomi yang bersifat

asimetris yaitu Provinisi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta

dan Provinsi Papua Barat. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai

perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif

dengan pertimbangan seperti karakteristik yang dimiliki daerah tertentu, terutama aspek

rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, historis, aspek politis dan pertimbangan sebagai

46 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

ibukota negara. Dalam hal tersebut, aspek kualitas hidup dan ketertinggalan dibandingkan

dengan provinsi lain menjadi unsur yang dominan dalam otonomi khusus bagi Provinisi Papua

dan Provinsi Papua Barat.

Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang.

Oleh karena hanya bersifat “menetapkan” maka pengaturan mengenai penyelenggaraan

pemerintah daerah terdapat dalam Perpu, dimana setidaknya terdapat 2 pasal yang mengalami

perubahan dari UU Nomor 21 Tahun 2001 yaitu:

a) Perubahan (penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan

Papua Barat, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 huruf a, “Provinsi Papua adalah Provinsi

Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang diberi Otonomi

Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b) Penghapusan ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih

gubernur dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan

dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI.

Dengan kata lain, penetapan Perpu 1/2008 menjadi undang-undang yakni Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi

Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, telah diatur tentang sumber-sumber penerimaan

daerah sebagai berikut: a) dana pembangunan bagian provinsi, kabupaten/kota dalam rangka

Otonomi Khusus: (1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90%, (2) Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan sebesar 80%, (3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20%, (4)

Kehutanan sebesar 80%, (5) Perikanan sebesar 80%, b) Pertambangan umum sebesar 70%,

dan Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota sebesar 15% dan Tambahan Penerimaan (setelah

dikurangi pajak) sebesar 55%, c) Pertambangan gas alam sebesar 70%, Bagian Provinsi,

Kabupaten/Kota sebesar 30% dan Tambahan Penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar

40%, dan e) Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

Selain penerimaan dari bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta DAU dan DAK

sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua

diberikan dana yang besarannya setara dengan 2% dari plafon DAU nasional dan berlaku 20

tahun. Ada pula dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya

47 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun

anggaran yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Selanjutnya, sekurang-kurangnya 30% penerimaan dari dana Otonomi Khusus Bagi Hasil

Minyak Bumi dan Gas Alam dialokasikan untuk biaya pendidikan dan sekurang-kurangya 15%

untuk kesehatan (Pasal 36 ayat 2). Pembagian lebih lanjut Dana Otonomi Khusus 2% DAU

Nasional ini antara Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur secara adil dan berimbang dengan

Perdasus dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal (Pasal 34 ayat

3 huruf c angka 7 UU 21 Tahun 2001). Namun sangat disayangkan, perdasus yang telah

diamanatkan dalam pasal ini belum diterbitkan atau masih dalam bentuk rancangan perdasus

(raperdasus), meskipun pada kenyataannya sudah digunakan sebagai acuan/pedoman. Selama

ini pembagian alokasi dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan proporsi 40:60, dimana

40% untuk provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota yang ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur Papua, sedangkan Provinsi Papua Barat dengan proporsi 30:70, dimana 30% untuk

provinsi dan 70% untuk Kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur Papua Barat .

Rancangan Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan dana Otonomi Khusus yang ada

dapat dikatakan belum memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam

lembaran daerah, raperdasus ini pun hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum sehingga

membutuhkan peraturan-peraturan turunan dalam menjabarkan tata cara alokasi,

pengawasan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban guna terwujudnya

pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel dan pada implementasi di lapangan

akhirnya, pembagian tersebut diatur berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang

sebenarnya memang akan lebih tepat apabila diatur dalam perdasus.

Kebijakan pengalokasian dana otonomi khusus yang selama ini dilakukan sepertinya

juga belum didasarkan kepada model pelaksanaan kewenangan khusus secara proporsional.

Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat mestinya

dibarengi dengan lingkup pelaksanaan kewenangan yang ada di provinsi. Dari sisi pemerintah

kabupaten/kota pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum mempertimbangkan

karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah kabupaten/kota, seperti daerah

berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir, termasuk pertimbangan jumlah

penduduk (demografi), dan sebagainya.

Sumber-sumber pendanaan (resources) pada dasarnya digunakan untuk membiayai

kewenangan-kewenangan yang dimiliki Provinsi Papua sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (2)

UU 21 Tahun 2001 “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruh

kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan selain daripada 6 (enam) kewenangan

Pemerintah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan

48 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

khusus berdasarkan undang-undang ini. Pada ayat (3) disebutkan bahwa pelaksanaan

kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus

dan Perdasi.

Perdasus dan perdasi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 terkait dengan

kewenangan dalam rangka Otonomi Khusus sampai dengan saat ini kemajuan penyelesaiannya

dapat dilihat pada tabel berikut dan penjelasan kewenangan khusus sebagaimana diamanatkan

undang-undang Otonomi Khusus dapat dilihat pada lampiran laporan ini:

Tabel 4.2 Jumlah Peraturan Tindak Lanjut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

PROVINSI PROSES PERDASUS PERDASI

PERDASUS DAN PERDASI AMANAT UU NO. 21 Tahun 2001 13 Perdasus 18 Perdasi PAPUA Sudah Diterbitkan 7 Perdasus 8 Perdasi Sedang Dalam Proses 5 Perdasus 8 Perdasi Belum Diproses 1 Perdasus 2 Perdasi

PAPUA BARAT Sudah Diterbitkan 0 Perdasus 1 Perda*) Sedang Dalam Proses 8 Perdasus 2 Perdasi Belum Diproses 5 Perdasus 16 Perdasi

*) Perdasus Tentang Lambang Daerah untuk Provinsi Papua Barat diatur dengan Perda Nomor 2 tahun 2006

Tentang Lambang Daerah

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 21 tahun 2001 bahwa

pelaksanaan kewenangan khusus dimaksud harus diatur dalam Perdasus dan dengan

ketiadaaan peraturan tersebut dapat dikatakan Prinsip “money follow function” dalam

penggunaan anggarannya belum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka tidak heran bahwa kehadiran Otonomi Khusus belum berdampak

secara signifikan terhadap pencapaian kesejahteraan orang asli Papua sebagai target/sasaran

affirmative action yang menjadi roh UU Nomor 21 Tahun 2001. Apabila Perdasus yang

mengatur tentang kewenangan khusus ini tidak segera diterbitkan, maka dapat dipastikan sulit

bagi Pemerintah Provinsi Papua/Provinsi Papua Barat, DPRP/DPRPB bersama-sama dengan

MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat untuk mengawal kepentingan/kesejahteraan

orang asli Papua, oleh karena keseluruhan proses tidak mendapat legitimasi pada tahapan awal

proses yaitu penetapan dan pelembagaan hukum kewenangan yang diatur dengan UU Nomor

21 Tahun 2001 yang menjadi dasar seluruh tindakan/aktivitas/kegiatan dalam

penyelenggaraan otonomi khusus.

49 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Begitupun kewenangan yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota sesuai amanat Pasal 4

ayat (5) UU Nomor 21 Tahun 2001 juga memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan

perdasus/perdasi tetapi peraturan khusus dimaksud belum ada, hal ini berimplikasi terhadap

pengukuran tingkat keberhasilan pelaksanaan kewenangan khusus di kabupaten/kota

disebabkan kesulitan daerah dalam mendefinisikan operasional kewenangan khusus tersebut

dalam perencanaan daerahnya. Belum terpenuhinya sejumlah perdasus/perdasi yang

disyaratkan berimplikasi pada ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan

khusus.

Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang

manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan perdasus dan

perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan yang tegas, jelas dan

terukur misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum menjadi acuan yang terukur untuk

dapat membedakan mana urusan yang harus dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota.

Akibatnya, kinerja yang dicapai pada bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk

akuntabilitasnya seperti yang digambarkan dalam gambar berikut ini:

50 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Gambar 4.1 Otonomi Simetris dan Otonomi Asimetris

Belum adanya perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus

sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang misalnya, pada bidang sosial di dalam Pasal

65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan.

“Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial” Pada penjabarannya, bagaimana ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran

untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan.

PERDASI PERDASUS

PROVINSI

1

OTONOMI ASIMETRIS

PEMERINTAH PUSAT

OTONOMI SIMETRIS

KABUPATEN/KOTA

PERDA 1. Lambang Daerah 2. Kewenangan Daera h Provinsi Papua 3. Kewenangan Daera h Kabupaten/Kota 4. Pemberian pertimbangan o leh gube rnur 5. Tata cara pemilihan gube rnur dan wakil Gube rnur 6. Keanggotaan dan jumla h anggota MRP 7. Tugas dan Wewe nagn MRP 8. Hak MRP 9. Kewajiban MRP 10. Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi

khusus 11. Perekonomian di Provinsi Papua 12. Pengembangan suk u – Suku Terisolasi 13. Pengawasan Sosial

1. Kewenangan Daera h kabupaten dan Kota 2. Tata cara pemilihan anggota MRP 3. Pengaturan perangkat dan kepegawaia n di Provinsi

Papua 4. Kebijakan Kepegawaia n provinsi 5. Pemberian pertimbangan dan persetujua n MRP 6. Fungsi. Tugas, Wewenang, bent uk dan susuna n

Keanggotaan hukum Ad Hoc 7. Ketentuan Pinjaman Luar Negeri 8. Tata cara penyusunan dan pelaksanaan a nggaran

penda patan dan bela nja provinsi 9. Tata cara penyertaan modal 10. Tugas kepolisian di bidang ketentraman da n ketertiban 11. Penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua 12. kewajiban melindungi, membina dan mengembangka n

kebudayaa n asli Papua 13. Kewajiban menyelengga rakan pelaya nan kese hatan 14. Kewajiban merencanaka n dan melaksa nakan program

perbaika n dan peningkatan gizi penduduk 15. Penempatan penduduk 16. Kesempatan Kerja 17. Lingk ungan Hidup 18. Jaminan hidup layak

3

Keterangan: 1. Hubungan dalam alokasi dan distribusi dana otonomi otsus serta sinergitas penyelenggaraan kewenangan khusus. 2. Sejumlah perdasi yang harus diterbitkan. 3. Sejumlah perdasus yang harus diterbitkan.

51 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Contoh yang lain, perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk

menilai keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua.

Apakah pembatasan masuknya orang luar Papua dapat dimaknai sebagai upaya memberikan

perlindungan terhadap orang asli Papua agar memperoleh pekerjaan karena tidak harus

bersaing dengan pendatang. Hal inilah yang telah dilakukan selama ini, yakni dengan

memberikan KTP bagi penduduk asli dan penduduk non Papua (pendatang). Pemberian dua

jenis KTP dan pembatasan dimaksud jelas-jelas telah melanggar hak azasi warga negara untuk

bertempat tinggal dan mencari penghidupan yang layak di negeri ini.

Terkait dengan pengelolaan kewenangan khusus tercermin desain pelaksanaan otonomi

khusus yang terkait dengan: (1) kewenangan/urusan yang akan dilaksanakan sendiri oleh

pemerintah provinsi, (2) kewenangan/urusan mana saja yang ‘didelegasikan’ oleh pemerintah

provinsi kepada pemkab/pemkot dan (3) kewenangan/urusan yang dikerjasamakan atau

dikelola bersama-sama pemkab/pemkot seperti yang dapat digambarkan dalam model-model

berikut ini:

Gambar 4.2 Model-Model Kewenangan Otonomi Khusus

Dalam Model 1, seperti bidang pendidikan, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota bersama-sama memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam

memberikan pendidikan bermutu dan memberikan bantuan atau subsidi kepada

penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan. Kemudian, untuk model 3 seperti bidang

kependudukan, dimana pemerintah provinsi berkewajiban melakukan pembinaan,

pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan penyerahan

urusan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota yang tergambar dalam

model 2, terkait dengan pengelolaan dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi

kewenangan khusus tersebut.

52 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dalam Pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial,

Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup juga menjadi urusan wajib yang merupakan

kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan tidak adanya pedoman dalam bentuk petunjuk

pelaksanaan maupun petunjuk teknis berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang

harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut, hal tentunya akan berdampak

kepada seringnya terjadi tumpang tindih wewenang dan pelaksanaan pembangunan di antara

ketiga level pemerintahan tersebut.

Selanjutnya, dalam bentuk dan susuan pemerintahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001, disebutkan bahwa pemerintahan di Papua didasarkan pada tiga lembaga yakni: legislatif

(DPRP), eksekutif (gubernur dan pemerintahan daerah) dan MRP, dimana posisi ketiga

lembaga tersebut adalah sama dan sederajat.

Dalam Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan secara jelas Jumlah

anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRP sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan namun tanpa diikuti dengan pengaturan mengenai

kuota penambahan kursi DPRP yang bersifat khusus. Peraturan UU KPU menetapkan bahwa

wakil rakyat yang berhak duduk di DPRD Provinsi Papua adalah 56 kursi. Namun sesuai

dengan UU Nomor 21 tahun 2001 mengatur penambahan ¼ kuota dari jumlah yang ada maka

berjumlah menjadi 67 kursi. Sampai saat ini belum ada mekanisme dalam penambahan 11

kursi yang diamanatkan Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut. Pengaturan tata cara

pengisian anggota DPRP harus diatur secara khusus dalam Perdasus yang didalamnya memuat

ketentuan tentang penambahan 11 anggota DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali

(einmalig).

Selanjutnya, kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab,

keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-

undangan. DPRP mempunyai tugas dan wewenang (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001), sebagai berikut: (a) memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; (b) mengusulkan

pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia; (c)

mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik

Indonesia; (d) menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan

Gubernur; (e) membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-

sama dengan Gubernur; (f) membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan

Gubernur; (g) menetapkan Perdasus dan Perdasi; (h) bersama Gubernur menyusun dan

53 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan berpedoman pada Program

Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (i) memberikan

pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap rencana

perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; (j) melaksanakan pengawasan

terhadap: pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan pemerintah

daerah lainnya; pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah Provinsi Papua; pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; pelaksanaan

kerjasama internasional di Provinsi Papua; (k) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,

menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan (l) memilih para utusan

Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Dalam Perpu Nomor 1/2008, tugas DPRP telah mengalami penyesuaian yaitu

penghapusan tugas pertama pada huruf (a) memilih gubernur dan wakil gubernur, dan huruf

(l) memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan

secara langsung melalui Pilkada, sementara itu utusan golongan/daerah dihapuskan dari MPR

RI.

Disamping DPRP, dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua juga dibentuk Majelis

Rakyat Papua atau disingkat MRP. MRP merupakan representasi kultural orang asli Papua,

yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua

dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan

perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Tugas dan wewenang MRP meliputi: (a) memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (b)

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; (c)

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh

DPRP bersama-sama dengan Gubernur; (d) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan

terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah

Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut

perlindungan hak-hak orang asli Papua; (e) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi,

pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada

umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut

penyelesaiannya; dan (e) memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD

Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan

hak-hak orang asli Papua. Pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diatur dengan Perdasus

54 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dan sudah diterbitkan Perdasus yang tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP yakni

Perdasus Nomor 4 Tahun 2008.

Berdasarkan penjabaran tugas dan wewenang tersebut dalam pasal tersebut, pada ayat

(1) huruf b, tidak dapat digunakan lagi dikarenakan sudah tidak adanya anggota MRP utusan

daerah yang diusulkan oleh DPRP. Utusan daerah telah dihapuskan dan diganti dalam bentuk

DPD, sebuah “kamar kedua” yang dianggap lebih merepresentasikan “utusan daerah dan

pemilihan anggotanya berdasarkan pemilihan umum legislatif.

Adapun hak MRP antara lain: (a) meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;

(b) meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan

dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (c) mengajukan rencana Anggaran Belanja

MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Provinsi Papua; dan (d) menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.

Sedangkan kewajiban anggota MRP meliputi: (a) mempertahankan dan memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

(b) mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan

perundang-undangan; (c) membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya

asli Papua; (d) membina kerukunan kehidupan beragama; dan (e) mendorong pemberdayaan

perempuan. Pelaksanaan hak dan kewajiban MRP didasarkan pada Perdasus dengan

berpedoman pada Peraturan Pemerintah dimana sampai saat ini, Peraturan Pemerintah

dimaksud belum ada.

Dasar dari pembentukan MRP adalah sejenis aksi affirmative yang memiliki tujuan untuk

meningkatkan partisipasi rakyat Papua dalam setiap pengambilan keputusan di Papua, baik

yang berkaitan dengan politik dan ekonomi, agar dapat melindungi hak-hak orang asli Papua

dan juga meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Merujuk pada pandangan Agus Sumule,

setidaknya ada tiga persoalan yang melatarbelakangi terbentuknya MRP, yaitu pertama,

kehadiran orang-orang asli Papua belum dianggap penting di lembaga-lembaga atau institusi-

institusi pemerintahan selama Orde Baru, serta tidak dilibatkannya orang-orang asli Papua

dalam pengambilan kebijakan di Papua; Kedua, partisipasi dan hak-hak politik orang asli Papua

terus diabaikan, bahkan setelah reformasi; Ketiga, hak-hak dan partisipasi kaum perempuan di

Papua juga terus diabaikan, termasuk dalam hal pembuatan kebijakan publik, atas dasar itulah,

dibentuknya MRP menjadi salah satu jalan keluar yang disepakati Jakarta dan Papua dalam

membangun komitmen untuk melindungi hak-hak asli orang Papua.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini memang berimplikasi terhadap

penyelenggaraan pemerintahan yang ada di Papua dimana sebelum pemerintahan semula

55 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

diselenggarakan atas duet pemerintah dan DPRP kini berubah menjadi trio alias “Three in One”

artinya, keputusan terhadap penyelenggaraan pembangunan diatur oleh tiga komponen utama,

yakni Pemerintah, DPRP dan MRP. Undang-undang otonomi khusus telah mengakomodir

ketiga pilar utama (Pemerintah, DPRP dan MRP) baik menyangkut tugas dan wewenang

maupun hak dan kewajiban dari masing-masing ketiga lembaga sebagai pilar utama.

Berdasarkan hal tersebut, penyelenggaraan pemerintahan di Papua selain legislative dan

eksekutif juga ada MRP sebagai representasi kultural, diharapkan semakin kuat dengan kinerja

yang tinggi.

Dalam pelaksanaannya ternyata ketiga institusi ini cenderung tidak bersinergis. Bahkan

pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis (DPRP, Pemerintah

Provinsi, dan MRP) tidak jelas. Akibatnya kinerjanyapun tidak optimal. Ketidakjelasan

hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini mengakibatkan munculnya “konflik

kepentingan” bermain pada ranah yang tidak jelas misalnya, MRP sebagai representasi kultural

sering masuk ke dalam ranah politik. Di satu sisi, belum ada solusi kebijakan memperkuat

peran dan fungsi lembaga khusus (MRP). Pemerintah Provinsi dan DPRP belum dapat bekerja

secara optimal dalam proteksi terhadap masyarakat asli Papua yang tergambar dalam

diterbitkan perdasus yang belum sesuai dengan target yang diharapkan.

Desakan untuk melakukan revisi undang-undang Otonomi Khusus semakin mengemuka

seiring dengan “tuduhan” kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berdasarkan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001. Hampir setiap hari, media massa cetak dan elektronik

senantiasa memberitakan perlunya penyempurnaan undang-undang otonomi khusus. Namun

persoalannya adalah, pertama, tuduhan dan pemberitaan yang relatif gencar tersebut tidak

pernah menjelaskan kepada publik hal-hal apa yang perlu direvisi/disempurnakan. Kedua,

bahwa tuduhan dan pemberitaan tersebut juga tidak pernah menjelaskan apakah memang isi

undang-undang otonomi khusus telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh ataukah tidak?.

Titik berat perbincangan mengenai otonomi khusus Papua senantiasa dan selalu saja

ditujukan pada kegagalan pemerintah daerah (pemerintah provinsi) dalam mengelola dana

Otonomi Khusus yang diterimanya. Benarkah hal itu hanya merupakan kegagalan pemerintah

daerah saja? Bukankah pemerintahan daerah terdiri atas pemerintah daerah, DPRP dan MRP

secara bersama-sama? Selain pemerintah daerah, ada pula pemerintah pusat yang ikut

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan otonomi khusus.

Untuk mendukung pembahasan hasil penelitian ini juga dilengkapi dengan berbagai

pendapat, diantarannya bagaimana pandangan dari informan yang terhadap kebijakan

otonomi khusus. Dari segi kebijakan, kabupaten/kota pada daerah penelitian sangat

menyambut baik atau menanggapi dengan positip pelaksanaan kebijakan otonomi khusus.

56 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi

pemerintah daerah provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di

dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih

besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan

mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.

Kebijakan otonomi khusus sendiri merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis

dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh

rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat

mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan provinsi-provinsi

lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di

wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

Tabel 4.3

Persepsi Responden Terhadap Tujuan Pelaksanaan Otsus

Prioritas Tujuan Pelaksanaan Otsus Menurut Responden

Prioritas Tujuan Pelaksanaan Otsus Papua menurut UU Nomor 21 Tahun

2001 Integrasi nasional Keadilan

Keadilan dan kesejahteraan rakyat Penegakan supremasi hukum dan penghormatan HAM

Penegakan hukum dan HAM Percepatan pembangunan ekonomi

Kesenjangan antarprovinsi Peningkatan kesejahteraan dan pembangunan

Sumber: Kuesioner (data diolah)

Box1. Persepsi Responden terhadap Tujuan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Persepsi stakeholder pelaksana kebijakan terhadap tujuan suatu kebijakan bisa saja berbeda dari apa yang digariskan oleh kebijakan tersebut. Hal ini bisa saja mempengaruhi tindakan-tindakan yang dipilih dan hasil-hasil yang dicapai. Dengan adanya perbedaan persepsi yang dimiliki, implementasi bisa saja menjadi bias, tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan LIPI, Yayasan TIFA, dan Yayasan Obor Indonesia tahun 2009, diuraikan beberapa alasan mengapa otsus belum berhasil sebagai kekuatan pendorong paradigma baru pembangunan di Papua dan Papua Barat. Alasan itu antara lain adanya ketidaksamaan pemahaman dan persepsi mengenai otsus. Sejak awal telah terbangun perbedaan persepsi dan kepentingan di kalangan pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai masyarakat.

Seperti dalam penelitian ini, dimana responden diminta mengurutkan tujuan pelaksanaan otsus Papua dan Papua Barat, mayoritas responden (58,33%) menyatakan integrasi nasional sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan otsus, sedangkan urutan kedua adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat, selanjutnya urutan ketiga penegakan hukum dan HAM, dan terakhir (pengurangan) kesenjangan antar provinsi. Padahal menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 pada bagian penjelasannya disebutkan bahwa “Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain”.

57 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Responden selanjutnya memang mengharapkan bahwa pelaksanaan otsus hendaknya

dapat menjamin terciptanya persatuan dan kesatuan dimana Provinsi Papua dan Papua Barat

menjadi salah satu bagian pentingnya dan untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu ditempuh

melalui peningkatan keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan otonomi khusus, Provinsi Papua memperoleh sumber

penerimaan lain yaitu dalam bentuk penerimaan dana otonomi khusus sebesar 2% dari DAU

secara nasional. Berdasarkan dana yang diterima tersebut, provinsi kemudian

mendistribusikan kepada kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus

Nomor 1 Tahun 2007, Pada kabupaten/kota, dana otonomi khusus tersebut diarahkan kepada

4 (empat) bidang kewenangan khusus yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi

dan infrastruktur dasar.

Berdasarkan dana otonomi khusus tersebut beberapa kabupaten/kota sebagai pelaku

kebijakan yang menerjemahkan dalam berbagai program affirmative action, seperti yang

dilakukan di Kabupaten Puncak Jaya, melalui beberapa program keberpihakan dan proteksi

masyarakat asli Papua asal Kabupaten Puncak Jaya diantaranya program pendidikan melalui

pendidikan gratis yang mencakup pembebasan semua biaya dan pungutan di sekolah mulai

dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA/SMK) dan

beasiswa bagi siswa yang akan melanjutkan Perguruan Tinggi dan akomodasi bahkan asrama

di kota studinya. Kesehatan gratis meliputi penggratisan biaya pelayanan, obat-obatan hingga

tindakan medis dan ditanggung pemerintah selain itu dibangunnya rumah sakit dan puskesmas

di setiap distrik di daerah-daerah.

Berbicara mengenai evaluasi kebijakan, tentunya juga harus berbicara dampak yang

dihasilkan dari implementasi kebijakan tersebut. Dari berbagai pendapat informan diketahui

bahwa dampak Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat bervariasi, ada yang menyatakan

belum memberikan dampak signifikan, namun ada pula yang menyatakan sebaliknya, bahwa

Otonomi Khusus telah memberikan impact bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Anggota

DPRP/DPRPB dan anggota MPRP/MPRPB pada umumnya memberikan pendapat bahwa

implementasi Otonomi Khusus selama sepuluh tahun belakangan belum memberikan dampak

kepada masyarakat Papua, sebagaimana pernyataan Ketua Komisi D-DPR Papua Barat sebagai

berikut:

“Pelaksanaan otonomi khusus selama 10 tahun di Provinsi Papua Barat dinilai belum membawa perubahan kemajuan yang signifikan bagi daerah dan kesejahteraan hidup yang layak serta bermartabat di daerah ini jika disejajarkan dengan perkembangan kemajuan daerah serta tingkat kesejahteraan rakyat secara nasional maupun regional”

58 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Hal senada disampaikan Anggota MRP Provinsi Papua Barat, H. Muhammad Aerobi

(perwakilan agama), bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Barat masih jauh dari

harapan, sebagaimana pernyataan beliau:

“kita melihat pelaksanaan Otonomi Khusus ini sepertinya tidak ada transparansi antara legislatif dengan eksekutif. MRP sebagai lembaga representasi adat, agama dan perempuan tidak pernah diajak bicara untuk melaksanakan Otonomi Khusus Papua.Bahkan di Papua Barat ini ada istilah PMP (Papua makan Papua), Otonomi Khusus yang seharusnya memberdayakan orang asli Papua, pada kenyataannya tidak terlaksana karena perilaku orang Papua sendiri”.

Di sisi lain, penjelasan yang diberikan Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan

menunjukkan bahwa Otonomi Khusus Papua Barat sebenarnya memiliki harapan untuk terus

dilanjutkan di antara persoalan yang dihadapinya.

“pemerintah daerah telah mengerahkan segenap daya upaya dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut, permasalahannya masyarakat belum menyadarinya, seharusnya kebijakan Otonomi Khusus mengadopsi kebijakan yang dicanangkan pemerintah orde baru yang menerapkan kebijakan Sekolah Inpres, sekolah yang dibangun berdasarkan dana inpres sehingga masyarakat mengetahui peruntukkan danannya, dapat dikatakan masyarakat membutuhkan suatu label atau penanda dari kebijakan otonomi khusus sehingga masyarakat mengetahui dampaknya ”

Pendapat yang diberikan tersebut merupakan suatu pembelaan terhadap apa yang

dikeluhkan sebagian masyarakat bahwa otonomi khusus adalah gagal. Penyelenggaraan

otonomi khusus sebagai akselerasi dalam

mengurangi kesenjangan dengan provinsi lain

telah ditempuh melalui berbagai program–

program di pemerintah kabupaten/kota tetapi

memang kurangnya “penanda” sehingga selama in

menjadi pertanyaan masyarakat.

Mengenai manfaat dari penyelenggaraan otonomi khusus, ditekankan oleh Asisten I

Kabupaten Biak Numfor, bahwa pelaksanaan otonomi khusus besar atau kecilnya pasti ada

dampaknya yang dirasakan masyarakat sehingga otonomi khusus harus tetap dilanjutkan.

“Otonomi Khusus Papua yang telah dilaksanakan selama 10 tahun lebih, menurut kami perlu dilanjutkan. Besar-kecilnya anggaran yang diturunkan kepada kabupaten/kota pasti akan memberikan manfaat bagi pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Hanya, persoalannya memang, Provinsi harus melengkapi pelaksanaan Otonomi Khusus ini dengan perdasus dan perdasi yang diperlukan”.

“Sejak pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mulai berlaku tahun 2001 silam, kami langsung membuat program keberpihakan pada masyarakat karena dana Otsus itu adalah hak mereka,”

59 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

C. Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1. Keuangan dan Pengelolaannya

Jumlah dana Otonomi Khusus dan dana tambahan infrastruktur yang telah diserahkan

kepada Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2002-2012 sebesar Rp. 33,682 T dengan rincian

sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini dari tahun ke tahun cenderung terdapat

kenaikan dana otonomi khusus yang disalurkan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua

Barat.

Tabel 4.4 Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Tambahan

Infrastruktur Tahun 2002-2012

No Tahun

Dana Otonomi Khusus

(dalam milyar Rp)

Infrastruktur

(dalam milyar Rp)

Papua Papua Barat Papua Papua Barat 1 2002 1,380 2 2003 1,539 - - - 3 2004 1,643 - - - 4 2005 1,775 - - - 5 2006 2,913 - - - 6 2007 3,296 - - - 7 2008 3,590 - 330 670 8 2009 2,610 1,118 800 600 9 2010 2,695 1,155 800 600

10 2011 3,157 1,353 800 600 11 2012 3.833 1,642 571 428 TOTAL 28,413 5,269 2,501 2,298

Sumber : Ditjen Keuangan Daerah, Kemendagri Tahun 2012

Gambar 4.3 Perkembangan Alokasi Dana Otonomi Khusus (2002-2012)

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

1.380

1.539

1.643

1.775

2.913

3.296

3.590

2.610

2.695

3.157

3.833

1.1181.155

1.353

1.642

Dlm

Mily

ar R

p

Papua

Papua Barat

60 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Gambar 4.4

Perkembangan Dana Infrastruktur (2002-2012)

Sampai dengan tahun 2008 dana otonomi khusus Papua tidak dibagikan kepada

Pemerintah Provinsi Papua Barat. Dengan diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, otonomi khusus juga berlaku bagi Provinsi

Papua Barat dan sejak tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menerima dana

otonomi khusus.

Dana otonomi khusus Papua dialokasikan untuk membiayai kegiatan provinsi dan

dialokasikan kepada kabupaten/kota. Otonomi khusus Papua terletak pada provinsi,

selanjutnya provinsi melakukan pendistribusian pada kabupaten/kota. Adapun dana tambahan

infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan

berdasarkan usulan provinsi, terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan

infrastruktur. Dana tersebut dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh

kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan

dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat

melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem

perekonomian nasional dan global.

Pada kurun waktu 2002-2003, Provinsi menerima porsi dana otonomi khusus sebesar

60% sementara 40% sisanya dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua. Hal

ini merujuk pada Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari

2002 tentang cara penyalurah dana otonomi khusus Provinsi Papua. Sejak tahun 2004

berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka

0

100

200

300

400

500

600

700

800

2008 2009 2010 2011 2012

330

800 800 800

571

670

600 600 600

428

Dlm

Mily

ar R

p

Papua

Papua Barat

61 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Otonomi Khusus, pola pengalokasian berubah dengan porsi lebih besar diberikan pada

kabupaten/kota (60%). Sementara provinsi menerima 40% dari dana otonomi khusus. Sejak

tahun 2007, pola pengalokasian merujuk pada rancangan Perdasus Nomor 1 Tahun 2007

tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus

Papua, dengan pola yang sama, yakni kabupaten/kota (60%) dan provinsi (40%). Untuk

kabupaten/kota ditetapkan lebih besar (60%) mengingat implikasi dari otonomi daerah dan

otonomi khusus Papua titik beratnya beratnya berada di kabupaten/kota. Pola pengalokasian

dana otonomi khusus dalam berbagai periode terangkum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.5 Pola Pengalokasian Dana Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Periode Porsi Kabupaten/Kota

Porsi Provinsi

Dasar Hukum

Periode 2002-2003 40% 60% Surat Keputusan Menteri RI Nomor 47/KM.07/2002 tanggal 21 Februari 2002 tentang Cara Penyalurah Dana Oonomi Khusus Provinsi Papua

Periode 2004-2006 60% 40% Perda Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan dalam Rangka Otonomi Khusus

Periode 2007-Sekarang 60% 40% Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua

Periode 2009-2011 70% 30% Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009

Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua.

Sementara untuk Provinsi Papua Barat, kabupaten/kota mendapat proporsi alokasi yang

lebih tinggi daripada kabupaten/kota di Provinsi Papua. Pembagian dana otonomi khusus di

Provinsi Papua Barat adalah 70% untuk Provinsi dan 30% untuk Pemerintah kabupaten/kota.

Pembagian ini merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009.

Perimbangan alokasi antara provinsi dan kabupaten/kota sejauh ini oleh berbagai pihak

masih dirasakan kurang ideal mengingat jumlah 60% dana otonomi khusus tersebut

dialokasikan kepada kabupaten/kota, alokasi yang diterima oleh kabupaten/kota dianggap

ideal. Ditambah lagi, tidak ada dasar pertimbangan yang jelas dalam penetapan proporsi

tersebut. Meski otonomi khusus merupakan otonomi bagi provinsi, namun jelas sasarannya

tersebar diberbagai kabupaten/kota. Untuk itu muncul beragam pendapat tentang

perimbangan dana otonomi khusus antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagian pihak

menghendaki pembagian 80% untuk kabupaten/kota dan 20% untuk provinsi, sebagian lagi

agar pengelolaannya seluruhnya diserahkan kepada kabupaten/kota.

Dana penerimaan khusus ditujukan untuk memperkuat kemampuan keuangan

Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka percepatan

62 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

pembangunan dengan tujuan dan sasaran: 1) mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua;

2) meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; 3) meningkatkan kualitas sumber

daya masyarakat; dan 4) mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah,

serta antar desa-kota.

Secara garis besar penggunaan dana otonomi khusus digunakan untuk pembangunan di

Provinsi Papua dan disalurkan ke kabupaten/kota. Gambaran umum tentang penggunaan dana

otonomi khusus kurun 2002-2010 tertuang dalam tabel 4.5. Dana yang disalurkan ke

kabupaten/kota diantaranya berupa dana segar (fresh money) yang penggunaannya diserahkan

sepenuhnya ke kabupaten/kota untuk mendanai kegiatan sesuai dengan kebutuhan daerah.

Ada catatan khusus terkait dengan dana segar tersebut. Dari berbagai contoh penggunaan dana

segar, tampak bahwa penggunaan dana segar ini yang semestinya diperuntukkan bagi

program-program strategis dengan prioritas pada sektor pendidikan, kesehatan,

pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur, dijumpai alokasi yang tidak sesuai dengan

prioritas tersebut. Misalnya dijumpai penggunaan dana segar untuk proyek pembuatan rumah

dinas camat di salahsatu kabupaten atau pembangunan kantor badan pemerintahan.

Tabel 4.6 Penggunaan Dana Otonomi Khusus Papua Tahun 2002-2010

Tahun Pengalokasian 2002 Sejumlah Rp. 1.38 trilyun, 60% diantaranya atau Rp. 829,53 miliar merupakan alokasi

provinsi digunakan untuk melaksanakan program pembangunan dan dana cadangan rutin. Dana otonomi khusus Kabupaten/Kota sebesar Rp. 552,77 miliar (40%) dibagikan kepada 14 Kabupaten/Kota sebagai berikut: Bantuan program/kegiatan di Kabupaten/Kota melalui DIPA Provinsi Papua sejumlah

Rp. 349.726.166.000 Bantuan keuangan (dana segar/fresh money) sejumlah Rp. 200.000.000 disalurkan

langsung melalui Kas Daerah Kabupaten/Kota Bantuan untuk subsidi pembebasan EBTA sejumlah Rp. 3053.834.000, disalurkan

langsung ke Kas Daerah Kabupaten/Kota 2003 Sejumlah Rp. 924,48 miliar (60% dari Rp. 1,53 triliun) digunakan untuk pembangunan

di Provinsi Papua dan sebesar Rp. 605,51 miliar (40%) dialokasikan ke kabupaten/kota se Provinsi Papua sebagai berikut: Bantuan dana segar (fresh money) bagi 7 kabupaten induk dan 7 kabupaten/kota yang

tidak dimekarkan sebesar Rp. 210 miliar Bantuan dana segar (fresh money) bagi 14 kabupaten pemekaran sejumlah Rp. 70

miliar Bantuan proyek yang diarahkan oleh Provinsi untuk 7 kabupaten/kota induk dan 7

kabupaten/kota yang tidak dimekarkan sejumlah Rp. 325,51 miliar 2004 Dana Otonomi Khusus sejumlah Rp. 1,64 triliun dialokasikan sebesar Rp.657,42 miliar

(40%) untuk Provinsi. Sejumlah Rp. 985,20 miliar untuk 20 Kabupeten/Kota se Provinsi Papua dan 9 kabupaten/kota Se Provinsi Irian Jaya Barat, sebagai berikut: Program/kegiatan yang diarahkan oleh provinsi bagi 15 kabupaten/kota hasil

pemekaran sejumlah Rp. 299,94 miliar Diberikan berupa dana segar kepada 7 kabupaten induk sejumlah Rp.485,30 miliar Diberikan kepada 14 kabupaten/kota hasil pemekaran tahun 2002 dan 1 kabupaten

hasil pemekaran sebesar Rp. 199,96 miliar

63 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tahun Pengalokasian 2005 Sejumlah Rp. 350 miliar digunakan antara lain untuk Pilkada, sosialisasi dan

pemilihan/pembentukan MRP, pembangunan RS pendidikan, dan RS rujukan Sejumlah Rp. 570 miliar atau sebesar 40% digunakan untuk mendukung

program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur Sejumlah Rp. 855,312 miliar dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota baik yang

berada di wilayah Provinsi Papua maupun Irian Jaya Barat yang digunakan untuk mendanai 4 program prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur masing-masing kabupaten/kota

2006 Sejumlah Rp. 2,91 triliun dialokasikan sebesar 40% untuk Provinsi dan sebesar 60% untuk 20 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan 9 Kabupaten/Kota se Provinsi Irian Jaya Barat. Pembagian tersebut dilakukan setelah dikurangi dengan pembiayaan kegiatan-kegiatan yang dipandnag sebagai tanggung jawab bersama antara provinsi dan kabupaten/kota (Rp. 165.066.000.000)

2007 Sejumlah Rp. 3,29 triliun dialokasikan sebesar Rp. 411,4 miliar untuk mendukung program unggulan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Sisanya sebesar 60 persen atau sebesar Rp. 1,73 triliun dialokasikan kepada 29 kabupaten/kota se Provinsi Papua dan sebesar Rp. 1,11537 triliun (40%) dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi Papua. Pembagian penerimaan telah didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus

2008 Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua ditetapkan setara 2% dari plafon DAU Nasional ataur sebesar Rp. 3,590 triliun Pembagian penerimaan didasarkan pada Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan Penerimaan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus. Sejumlah Rp. 1.374.181.353.000 merupakan porsi Kabupaten/Kota. Dana Respek dan infrastruktur sebesar Rp. 1.227.742.897.000

2009 Dilakukan pemisahan antara dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Pengalokasian dana Otonomi Khusus Papua sebesar Rp 1.023.918.439.000 (40%)

menjadi bagian Provinsi digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur. Sejumlah Rp. 320 miliar disalurkan untuk dana Respek

Sebesar Rp. 1.265.877.659.000 (60%) dialokasikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Papua

Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.718.484.600.000. Alokasi untuk Provinsi sebesar Rp 857.559.380.000

Sejumlah Rp. 860.925.220.000 didistribusikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua Barat

2010 Sejumlah Rp. 1.045.945.915.000 (40%) dari alokasi dana otonomi khusus Papua (sejumlah Rp. 2.694.864.788.000) digunakan untuk mendukung program/kegiatan Provinsi Papua di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan infrastruktur dan dana Respek sebesar Rp. 350 miliar

60% dari alokasi dana otonomi khusus Papua dialokasikan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua

Provinsi Papua Barat menerima alokasi dana otonomi khusus sebesar Rp. 1.754.942.052.000. Sejumlah Rp. 1.083.182.615.600 dialokasikan untuk program/kegiatan Provinsi Papua Barat

Alokasi yang didistribusikan kepada Kabupaten/Kota di wilayah Papua Barat sejumlah Rp. 671.759.436.400

Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua

Jika menilik proporsi dana otonomi khusus dalam APBD, pada level provinsi terdapat

proporsi yang cukup besar. Nilai total penerimaan dana Otonomi Khusus Pemerintah Provinsi

Papua dan Papua Barat sampai tahun 2010 sebesar Rp. 28.842.036.297.420, jika dibandingkan

64 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dengan APBD masing-masing pemerintah provinsi dari TA 2002-2010 mencapai 63,20% dari

nilai APBD sebesar Rp. 45.639.072.604.954. Sedangkan total penerimaan dana Otonomi Khusus

pemerintah kabupaten/kota di wilayah Papua dan Papua Barat jika dibandingkan dengan

keseluruhan penerimaan APBD rata-rata hanya mencapai 10,20% dari nilai APBD.

Proporsi yang relatif kecil ini mengakibatkan terbatasnya pengalokasian untuk

pendidikan, kesehatan, pemberdayan ekonomi rakyat, infrastruktur, dibandingkan dengan

ketersediaan dana otonomi khusus pada kabupaten/kota7. Perimbangan yang kurang

berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota ini mengindikasikan perlunya perbaikan dalam

mekanisme perimbangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Memang otonomi khusus

menitikberatkan pada otonomi di level provinsi. Namun mengingat pelayanan kepada

masyarakat dan dampaknya sesungguhnya lebih banyak berada di level kabupaten/kota, perlu

dukungan dana yang lebih pada kabupaten/kota.

Selama ini juga tidak ada mekanisme yang ideal untuk pengalokasian dana otonomi

khusus untuk kabupaten/kota. Pembagian di antara kabupaten/kota diharuskan memberikan

perhatian khusus pada daerah-daerah tertinggal. Namun demikian untuk alokasi pada tiap-tiap

kabupaten/kota di Provinsi Papua belum didasari oleh pertimbangan secara komprehensif.

Sejauh ini yang ada baru bersifat rancangan peraturan daerah dengan mempertimbangkan

diantaranya (i) luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat kesulitan wilayah,

pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan, produk domestik regional

bruto. Sementara di Provinsi Papua Barat, alokasi kepada kabupaten/kota dilakukan dengan

mempertimbangkan Dimensi Keadilan yang mencakup luas wilayah (bobot 20%), jumlah

penduduk (bobot 15%), Indeks Kemahalan Konstruksi (bobot 20%), dan jumlah Orang Asli

Papua (bobot 45%). Namun terdapat indikasi bahwa kriteria ini sesungguhnya tidak

diterapkan dalam pengalokasian dana otonomi khusus bagi kabupaten/kota di Provinsi Papua

Barat (lihat catatan pada box 2). Pembagian alokasi pada kabupaten/kota kurang tidak diikuti

dengan target-target pencapaian. Di samping itu tidak ada mekanisme yang jelas terkait dengan

mekanisme penyerahan urusan dalam rangka otonomi khusus kepada kabupaten/kota. Hal ini

berimbas pada pengelolaan keuangan, dimana terkesan pengalokasian dan kepada

kabupaten/kota semata-mata merupakan hibah dari provinsi kepada kabupaten/kota. Alokasi

dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam

kurun waktu 2002-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

7 Informasi antara lain disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari

65 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tabel 4.7 Alokasi Dana Otonomi Khusus

Pada Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat

NO KABUPATEN TAHUN (dalam milyar rupiah)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1 Kab.Jayapura 44.21 46.90 35.95 28.50 54.48 57.16 60.82 52.66 52.66

2 Kab. Yapen Waropen

42.18 39.69 32.97 29.00 54.08 56.76 60.38 52.28 52.28

3 Kab.Biak Numfor 40.06 32.57 35.19 28.50 55.77 58.53 62.27 53.91 53.91

4 Kab. Nabire 41.92 35.68 35.67 29.00 53.11 55.74 59.30 51.34 51.34

5 Kab.Merauke 33.83 38.30 33.93 28.50 55.31 58.05 61.76 53.47 53.47

6 Kab. Jayawijaya 40.99 34.00 36.28 29.00 61.60 64.65 68.78 59.55 59.55

7 Kab. Paniai 38.00 33.65 36.50 30.30 59.79 62.75 66.75 57.80 57.80

8 Kab. Puncak Jaya 47.10 56.30 38.72 30.30 61.15 64.17 68.27 59.12 59.12

9 Kab. Mimika 25.56 37.05 37.19 28.60 55.77 58.53 62.27 53.91 53.91

10 Kota Jayapura 37.06 33.85 33.41 27.10 52.66 55.26 58.79 50.90 50.90

11 Kab.Waropen - 5.00 30.93 30.10 56.09 64.86 62.63 54.23 54.23

12 Kab. Asmat - 5.00 38.85 31.50 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74

13 Kab. Boven Digoel - 5.00 32.97 30.10 59.98 62.95 66.97 57.99 57.99

14 Kab. Mappi - 5.00 32.97 31.10 59.72 64.86 66.68 57.74 57.74

15 Kab. Sarmi - 5.00 33.23 30.25 57.58 60.43 64.29 55.67 55.67

16 Kab. Keerom - 5.00 31.41 30.00 57.00 59.82 63.64 55.10 55.10

17 Kab. Tolikara - 5.00 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74

18 Kab. Peg. Bintang - 5.00 34.05 31.00 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74

19 Kab. Yahukimo - 5.00 38.62 31.50 61.80 64.86 69.00 59.74 59.74

20 Kab.Supiori - - 29.29 29.50 50.71 62.95 56.62 49.02 49.02

21 Kab. Yalimo - - - - - - 5.00 12.77 16.86

22 Kab. Lanny Jaya - - - - - - 5.00 12.77 16.86

23 Kab. Nduga - - - - - - 5.00 12.77 16.86

24 Kab. Puncak - - - - - - 5.00 12.77 16.86

25 Kab. Dogiyai - - - - - - - 12.77 16.86

26 Kab. Memberamo Tengah

- - - - - - - 12.77 16.86

27 Kab. Memberamo Raya

- - - - - - - 50.18 50.18

28 Kab. Intan Jaya - - - - - - - 12.77 16.86

29 Kab. Deiyai - - - - - - - 12.77 16.86

30 Kab. Manokwari* 46.71 34.29 32.45 28.30 54.48 60.82 60.82 90.95 100.46

31 Kab. Sorong* 48.75 37.96 30.93 27.10 53.56 59.80 59.80 75.56 66.84

32 Kab. Fak-fak* 30.69 32.03 32.71 28.20 56.49 63.06 63.06 67.58 64.55

33 Kab. Teluk Wandama*

- 5.00 33.23 30.00 54.73 61.10 61.10 62.46 55.86

66 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO KABUPATEN TAHUN (dalam milyar rupiah)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

34 Kab. Teluk Bintuni*

- 5.00 32.19 30.00 55.77 62.27 62.27 68.15 65.02

35 Kab. Raja Ampat* - 5.00 32.19 30.75 57.00 63.64 63.64 65.00 59.91

36 Kab. Sorong Selatan*

- 5.00 33.72 29.50 56.48 63.06 63.06 75.00 66.56

37 Kab. Kaimana* - 5.00 32.19 30.00 55.77 62.27 62.27 67.22 60.50

38 Kota Sorong* 35.71 43.25 33.41 28.10 52.66 58.79 58.79 75.61 73.88

39 Kab.Tambraw* - - - - - - - - 35.00

40 Kab. Maybrat* - - - - - - - - 35.00 Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi Papua

*Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Papua Barat, Pada Tahun 2002-2003 masih tergabung dalam Provinsi Papua. Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat terbentuk setelah Provinsi Papua Barat dibentuk.

Alokasi dana otonomi khusus yang diberikan kepada kabupaten/kota di Provinsi Papua

pada tahun 2010, terlihat bahwa Kabupaten Yakuhimo, Kabupaten Pegunungan Bintang,

Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Asmat memperoleh dana terbesar dibanding

kabupaten/kota lainnya. Masing-masing kabupaten tersebut mendapatkan dana sejumlah Rp.

59.740.000.000. Sementara Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten

Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai mendapatkan alokasi terendah, masing-masing sebesar Rp.

16.860.000.000 sedangkan untuk alokasi dana otonomi khusus pada kabupaten/kota di

Provinsi Papua Barat disajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 4.5

Sumber : Bappeda Provinsi Papua Barat, Tahun 2010

Dalam Gambar di atas terlihat bahwa Kabupaten Manokwari memperoleh dana terbesar

dibanding kabupaten/kota lainnya sebesar Rp. 100.46 Milyar sedangkan terkecil didapat

Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat sebesar Rp 35 Milyar. Kedua kabupaten ini

merupakan kabupaten baru saja dimekarkan.

67 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Selanjutnya, pada tahun 2009 Pemerintah Provinsi Papua mengalokasikan dana otonomi

khusus pada bidang pendidikan sebesar 7,62%. Sementara Pemerintah Provinsi Papua Barat

mengalokasikan dana otonomi khusus yang diterima dengan persentase sebesar 15,36%.

Untuk bidang kesehatan, persentase anggaran yang dialokasikan di Provinsi Papua Barat relatif

sama dengan alokasi pada bidang pendidikan. Sementara di Provinsi Papua persentasenya

sekitar 6,07%. Bidang infrastruktur dan ekonomi mendapat porsi yang jauh lebih tinggi. Di

Provinsi Papua alokasinya mencapai 55,02%, lebih tinggi daripada 49,31% yang dialokasikan

Pemerintah Provinsi Papua seperti yang disajikan pada Gambar di bawah ini:

Gambar 4.6 Proporsi Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat

pada Tiga Bidang Tahun 2009

Sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, penggunaan dana otonomi khusus

terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Pasal 34 ayat 3 Huruf (c)

angka (2) UU itu menyebutkan, penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi

khusus. Kabupaten Sorong Selatan memberikan tanggapan yang positif terhadap pemberian

dana otonomi khusus dari provinsi tersebut dimana Kabupaten Sorong baru menerima dana

otonomi khusus pada tahun 2003, walaupun kebijakan otonomi khusus telah ada pada tahun

2002. Tahap awal lebih memprioritaskan penggunaan dana tersebut kepada bidang

pendidikan, dengan membangun sejumlah perpustakaan dan sekolah yang bertipe asrama, hal

ini untuk mendorong orang asli Papua yang ada dipelosok untuk bersekolah, karena kesulitan

transportasi yang dihadapi sehingga orang asli Papua enggan untuk bersekolah.

Dengan besarnya dana otonomi khusus dalam penyelenggaraan otonomi khusus di

Papua dan Papua Barat bagi masyarakat belum merasakan manfaatnya seperti dituturkan oleh

salah seorang anggota masyarakat yang dikutip dari Kompasiana, 19 April 2011.

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

Bidang Pendidikan Bidang Kesehatan Bidang Infrastruktur dan

Ekonomi

Papua

Papua Barat

68 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

“Kitong sudah dapat otonomi khusus dengan dana yang banyak dari Pemerintah Indonesia karena kitong orang Papua minta merdeka, tapi selama ini saya lihat kitong orang Papua yang ada di kota masih tetap susah hidup. Tidak tahu lagi dengan dong yang ada di kampung-kampung. Saya heran sekali, uang yang banyak-banyak itu lari kemana kah..?”

Hal ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Sekretariat Daerah Sorong Selatan, ketika

diskusi terbatas yang diadakan di Kantor Bupati, Sorong Selatan :

“Orang Papua memang mengharapkan dana otonomi khusus adalah seperti dana BLT yang dibagikan langsung, tetapi pemerintah daerah tidak bisa begitu, pengalokasian dana tersebut dilaksanakan melalui program–program yang berpihak kepada orang asli Papua, harusnya masyarakat dapat melihat dari mudahnya pendidikan bagi orang asli Papua, apabila tidak mampu dapat diberikan beasiswa, kemudian sarana kesehatan dengan berbagai kemudahannya, pembangunan Pasar dan mudahnya jalan dimana pembangunan jalan telah baik, dahulu untuk menuju Kota Sorong dibutuhkan paling tidak waktu 1(satu) hari sekarang paling cuma 5 (lima) jam”

Berdasarkan hal tersebut, orang asli Papua mengharapkan dana otonomi khusus

dibagikan saja kepada orang Papua tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah kabupaten/kota

tidak dapat menerapkan seperti itu, pemerintah kabupaten/kota melakukan berbagai

program-program yang nantinya akan dapat membantu orang asli Papua, memberi “Kail bukan

Ikan”.

69 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Kritik tentang kriteria pengalokasian dana otonomi khusus juga disampaikan oleh Perwakilan Kabupaten Lanny Jaya, seperti yang diuraikan berikut ini:

“Permasalahan geografis kami lebih berat, tetapi anggaran relatif disamakan dengan daerah lain, ini kan tidak adil karena aksesibilitas kami yang sangat terbatas”

Topografi Kabupaten Lanny Jaya merupakan dataran tinggi dengan derajat kemiringan

lereng yang cukup terjal dan berada pada ketinggian 1.500 hingga 3.000-an meter di atas

permukaan laut. Daerah ini mencakup 80 % dari total wilayah kabupaten tersebut, sisanya

berupa dataran rendah dengan topografi yang rata.

Terkait dengan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, memang masih menjadi

suatu kendala hal ini pula diakui pada pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) di setiap

kabupaten. Kurangnya sosialisasi terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah

provinsi sehingga kabupaten/kota mengalami ketidaktauan akan peraturan yang ada, sebagai

jalan tengah pemerintah kabupaten kadang dalam pelaksanaannya mengambil inisiatif

penyerapan dengan terpenting memberikan penyalurannya yang berdasarkan keterpihakan

kepada masyarakat asli Papua. Hal yang sama terjadi ketika diskusi terbatas di Kabupaten

Merauke, dimana terjadi kebingungan dengan permasalahan alokasi anggaran tersebut.

“Bagaimana peruntukkan bagi tenaga kesehatan non Papua yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua, apakah bisa honorarium dibayarkan kepada tenaga kesehatan tersebut dengan mengunakan dana otonomi khusus?”

Hal ini juga tergambar berdasarkan pernyataan Anggota Komisi XI DPR RI Irene Manibuy yang

dikutip oleh KBR68h.com, dikatakan bahwa:

“begitu undang-undang Otonomi Khusus pada tahun 2001 yang disertai dengan dana tentunya jadi tidak sekedar undang-undang, tidak sekedar peraturan tetapi dikucurkan sejumlah dana dari pusat kepada daerah. Cuma sayangnya implementasi secara regulasi yang mengiringi tentang dikucurkan dana itu sampai dengan saat ini tidak ada satu peraturan yang mengatur khusus tentang bagaimana penggunaan dana Otonomi Khusus itu. Kedua pengawasannya secara melekat itu tidak ada, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah”.

Pernyataan yang diamini oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sorong Selatan: “Kita dikasih dana dari provinsi dalam bentuk gelondongan dan dari kabupaten sini langsung dibagikan kepada tiap–tiap SKPD, tanpa petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaaan, monitoring dan evaluasi juga kurang dilakukan oleh pemerintah provinsi”.

70 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pernyataan senada diungkapkan Gubernur Barnabas Saebu dalam rapat kerja Menteri

Keuangan dan Badan Anggaran DPR RI di Gedung DPR, Senin, 6 Desember 2010 yang dikutip

vivanews.com bahwa salah satu penyebab dana otonomi khusus tidak sesuai di lapangan

dikarenakan ketidaksiapan aparat pemerintahan dalam pengelolaan anggaran yang besar,

lemahnya manajemen keuangan juga menjadi sebab tata kelola pemerintah yang baik

pemerintah provinsi penerima dana otonomi khusus tidak berjalan dengan semestinya

ditambah kurangnya advokasi yang diberikan pemerintah pusat dalam menyusun sistem

perencanaan yang benar, pengawasan internal dan laporan akuntabilitas yang benar.

Hal ini diakui oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri,

Djohermansyah Djohan yang dikutip di Harian Kompas, 23 November 2011:

“Perubahan yang tidak signifikan pada kesejahteraan masyarakat Papua setelah penggelontoran dana otonomi khusus diakui sebagai akibat kurangnya perencanaan dan pengawasan. Selain itu, peraturan pedoman penggunaan anggaran umumnya belum ada”

Hal-hal lain yang perlu menjadi catatan dari alokasi yang telah diterima kabupaten/kota

adalah bagaimana pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana tersebut kepada program

kegiatan. Terdapat daerah yang mengalokasikan dana tersebut tidak pada porsinya

sebagaimana yang menjadi prioritas seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi B Dewan

DPRPB, Amos H May, yang dikutip MetroTVNews.com,

“triliunan rupiah dana otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat belum dimanfaatkan secara tepat untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Program pembangunan yang disusun tidak tepat sasaran, dan malah melemahkan pemberdayaan masyarakatnya. Pembangunan dari dana otonomi khusus belum terlihat nyata hasilnya. Pembangunan fisik, selama 10 tahun, memang terlihat, tetapi pembangunan masyarakatnya masih belum sama sekali. Program pengentasan rakyat dari kemiskinan sering kali salah sasaran, di antaranya membagikan televisi kepada warga kampung, yang manfaat ekonominya sebenarnya rendah.”

Akibat tidak ada petunjuk teknis penggunaan dana otonomi khusus, pengelolaan dana

triliunan rupiah itu tidak terkendali. Masyarakat menilai dana yang diserahkan tidak

berpengaruh positif. Padahal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menekankan bahwa dana

otonomi khusus diperuntukkan bagi peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan,

perekonomian, sosial, kependudukan, infrastruktur, dan penguatan sumber daya masyarakat.

71 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Box3. Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang Tidak Pada Porsinya

Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, khususnya terkait dengan pelaksanaan

Pasal 15 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka Pemerintah Provinsi

Papua mempunyai kewenangan untuk mengatur, menetapkan, dan mengendalikan pengelolaan

dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Namun yang menjadi

persoalan Pemerintah Provinsi Papua belum menyediakan payung hukum yang jelas dari

pemerintah provinsi sebagai penerima dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Akibatnya

pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi

daerah masing-masing. Di Kabupaten Biak Numfor pada akhirnya pemberian dana otonomi

khusus diberikan kepada hampir semua SKPD, dengan kriteria pengalokasian yang belum

jelas8.

Sebenarnya tahun 2004 telah diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 2

Tahun 2004 tentang Pembagian Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus, kemudian

berlanjut pada tahun 2007 telah dirumuskan Rancangan Perdasus mengenai Pembagian dan

8 Keterangan ini antara lain disampaikan oleh narasumber dari Pemerintah Kabupaten Biak Numfor dalam wawancara Oktober 2011

Ditemukan alokasi dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi pilkada kabupaten dan pilkada provinsi. Menurut penuturan Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek yang dikutip KBR68h, hal ini sebenarnya memungkinkan. Disebutkan bahwa ketiadaan dana untuk menggelar pemilukada ulang di Papua Barat tidak bisa dijadikan alasan agar pelaksanaannya ditunda hingga tahun depan, pemerintah daerah bisa saja menggelontorkan dana dari kas daerah yang belum masuk, daerah juga punya dana alokasi khusus atau dana otonomi khusus yang bisa dipergunakan sewaktu – waktu.

“Penundaan itu dimungkinkan kalau dengan alasan ketiadaan dana. Tapi secara factual itu gak mungkin. Karena kalau dari segi pembiayaan, pemda dalam hal kalaus sesuai aturan apakah PP 58 atau Permendagri, pemda dalam hal tertentu atau keadaan darurat dalam mengeluarkan kas yang belum tersedia anggarannya.”

Namun ini tentunya menjadi rancu, tidak sesuai dengan otonomi khsusu, dan bisa mendorong terjadinya pernyalahgunaan. Dana ini pun dipergunakan untuk pembangunan kantor Bupati. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam pelaporannya, alokasi tersebut ditempatkan pada bidang ekonomi. Apakah ini suatu kesengajaan untuk menghindari tudingan penyalahgunaan. Yang jelah praktek semacam ini tidak diharapkan terjadi.

Gambar 4.6. Contoh Pengalokasian dan Pencatatan Dana Otonomi Khusus yang tidak pada porsinya

72 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pengelolaan Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, namun sampai

saat ini belum disahkan oleh DPRP karena DPRP belum menyepakati substansi yang diatur

dalam Perdasus tersebut. Namun demikian, Peraturan ini tetap menjadi rujukan bagi berbagai

pihak mengingat dapat dianggap sah sebagai Perdasus Nomor 1 Tahun 2007 meskipun belum

memiliki kekuatan hukum yang tetap karena belum ditetapkan dalam lembaran daerah.

Berlanjut dengan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2007 tentang Petunjuk

Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua Tahun

Anggaran 2007.

Tahun 2009 diterbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009

tentang Pedoman Pengelolaan Dana Penerimaan Khusus dalam rangka Pelaksanaan Otonomi

Khusus Provinsi Papua Tahun Anggaran 2009. Melalui pedoman tersebut pemerintah provinsi

mencoba lebih mengarahkan penggunaan dana otonomi khusus baik oleh Provinsi maupun

kabupaten/kota untuk membiayai percepatan pelaksanaan pembangunan di Papua melalui

program prioritas pendidikan, kesehatan, infrastruktur kampung dan pemberdayaan ekonomi

rakyat. Peraturan serupa telah pula diterbitkan pada tahun 2010 sebagai pedoman dalam

mengelola dana penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua

Tahun Anggaran 2010.

Dalam Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 198 Tahun 2009 tersebut diatur

mekanisme pengelolaan dana penerimaan khusus Provinsi Papua. Pada mekanisme

perencanaan dalam rangka menyusun/membahas program/kegiatan di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota yang bersumber dari dana otonomi khusus tetap berdasarkan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional, Undang- Undang

Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi

Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang

tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan

daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Untuk program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus di kabupaten/kota

melalui pembahasan Usulan Rencana Definitif (URD) oleh provinsi sebelum penetapan APBD

kabupaten/kota. Mekanisme pembahasan URD akan diatur dalam Pedoman Pembahasan

URD/RD otonomi khusus kabupaten/kota.

Terkait dengan pelaksanaan, program dan kegiatan yang bersumber dari dana otonomi

khusus tetap berpedoman pada PERDA dan Peraturan Kepala Daerah APBD provinsi dan

kabupaten/kota, petunjuk pelaksanaan program dan kegiatan APBD Provinsi Papua dan atau

kabupaten/kota serta ketentuan yang berlaku tentang pengelolaan keuangan daerah. Jika

73 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

diperlukan revisi, revisi program kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada

Gubernur Provinsi Papua cq Kepala Bappeda Provinsi Papua. Kabupaten/kota tidak

diperkenankan melakukan revisi program/kegiatan tanpa persetujuan Gubernur. Usulan revisi

selanjutnya dibahas oleh Tim pembahas yang terdiri dari unsur Bappeda Provinsi Papua dan

Badan Pengelola Keuangan Daerah.

Di Provinsi Papua Barat tahun 2011, pengelolaan dana otonomi khusus diatur dengan

Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/V/2011/Tahun 2011. Peraturan Gubernur ini

mengatur tentang pelaksanaan dan pertanggungjawaban transfer atas bantuan alokasi dana

otonomi khusus, tambahan dan infrastruktur kepada pemerintah kabupaten/kota, distrik,

kelurahan, dan kampung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas pelaksanaan penyaluran dan pertanggungjawaban anggaran bantuan alokasi

dana otonomi khusus dan tambahan dana infrastruktur. Secara khusus disebutkan bahwa

alokasi dana tersebut digunakan untuk pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan bidang

pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, infrastruktur, dan affirmative actions bagi putra-

putri asli Papua. Peraturan ini juga mengatur penyaluran bantuan dana RESPEK.

Peraturan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua Barat tentang pengelolaan dana

otonomi khusus dalam prakteknya dapat dikatakan belum berjalan secara optimal, selain

belum tersosialisasikan dengan baik, timbul juga berbagai permasalahan dalam

pelaksanaannya diantaranya kegiatan yang dilaksanakan swakelola oleh SKPD dan bersumber

dari dana otonomi khusus tidak pernah disampaikan laporan secara rutin maupun berkala

sehingga sulit pula mengikuti perkembangannya. Persoalan lain terkait koordinasi dan

kerjasama di tingkat tim yang dinilai masih kurang, sehingga hal ini menghambat proses

pelaporan. Koordinasi dengan SKPD pengelola kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari

dana otonomi khusus kurang direspon baik dan terkesan lamban, sehingga mempersulit tim

memperoleh data yang member informasi terhadap perkembangan penyelesaian suatu

pekerjaan. Kurang adanya koordinasi juga terjadi antara pemimpin proyek provinsi yang

melaksanakan pekerjaan di kabupaten dengan pemerintah daerah. Hal ini juga menyulitkan

pemerintah daerah dalam melakukan monitoring proyek-proyek yang bersumber dari otonomi

khusus.

Selain itu proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan SKPD mengalami

keterlambatan sehingga pelaksanaan fisik terhambat dan tidak tercapai sepenuhnya.

Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus ini bisa menyebabkan keterlambatan

pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik yang dikerjakan oleh para kontraktor lokal. Di

samping itu karena para kontraktor baru lokal rata-rata masih pemula, sangat terbatas dalam

hal sumber daya dan modal sehingga pekerjaan harus menunggu pencairan uang muka

74 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

pekerjaan sebesar 30%. Distrik dan kampung-kampung sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan

sebagian besar sangat sulit, sehingga berdampak pada sulitnya kontraktor memobilisasi bahan

dan peralatan9

Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran,

mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Berimplikasi pada menurunnnya

kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan sosial antara

masyarakat terutama antara orang asli Papua dan non-Papua.10 Persoalan lain yang terkait

dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan terhadap

pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian pelaksanaan

otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring yang

dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian laporan

akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus setiap tahun.

Keterlambatan dropping dana pada kabupaten/kota antara lain juga diakibatkan karena

keterlambatan perncairan dana otonomi khusus dari pusat ke provinsi. Pemerintah provinsi

mengatasi masalah ini salah satunya dengan meminjam dana dari DAU. Panjar kas semacam ini

dibolehkan asal ada izin dari DPR dengan catatan uang itu tergantikan. Kondisi ini

mengindikasikan perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi .

Salah satu poin yang menjadi catatan terkait pengalokasian realisasi dana yang diterima

kabupaten/kota. Terdapat pemerintah kabupaten yang menerima sejumlah dana otonomi

khusus yang kurang dari rencana. Misalnya dana yang diterima kabupaten tersebut berjumlah

74 Miliar, namun yang terealisasi hanya 75% dari jumlah tersebut. Pemerintah daerah tersebut

mengeluhkan darimana dapat mencari ‘minus’ dana otonomi khusus sebagaimana yang

dijanjikan oleh Pemerintah Provinsi 11.

Masalah lain adalah belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah

atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada

menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah, menimbulkan kecemburuan

sosial antara masyarakat terutama antara rakyat asli Papua dan non-Papua. Persoalan lain

yang terkait dengan akuntabilitas dan transparansi terkait dengan monitoring yang dilakukan

terhadap pelaksanaan otonomi khusus dan ketersediaan data tentang capaian-capaian

pelaksanaan otonomi khusus dan sejauh mana manfaatnya. Data-data sebagai hasil monitoring

yang dihimpun tim monitoring sering kurang lengkap, sehingga mempersulit penyelesaian

laporan akhir dari pelaksanaan seluruh kegiatan yang dibiayai oleh dana otonomi khusus

9 Informasi ini antara lain disampaikan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan dan Mimika 10 Informasi ini disampaikan oleh Ketua MRP Papua Barat 11 Informasi ini antara lain diungkap oleh beberapa partisipan dari Kabupaten dalam diskusi di Papua, Oktober 2011

75 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

setiap tahun. Bahkan dijumpai pula laporan pelaksanaan kegiatan pembangunan sumber dana

otonomi khusus yang tidak tepat. Misalnya, disebutkan dalam laporan rincian penggunaan

dana otonomi khusus untuk bidang ekonomi, namun di dalamnya terdapat alokasi bagi pilkada

kabupaten dan provinsi serta pembangunan kantor bupati seperti dalam gambar di atas. Hal ini

tentu menjadi pertanyaan terkait akuntabilitas implementasi otonomi khusus.

Formula perimbangan dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat belum dapat

dikatakan ideal karena meski otonomi khusus berada pada provinsi, namun pelayanan dan

dampaknya lebih dirasakan secara langsung pada level kabupaten/kota. Dalam pengelolaannya

masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Sasaran program dan kegiatan dalam rangka

otonomi khusus seringkali tidak sepenuhnya menjangkau orang asli Papua. Di samping itu

dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan

dana otonomi khusus karena tidak sesuai dengan prioritas otonomi khusus. Tidak ada target-

target atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otonomi khusus.

Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otonomi

khusus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otonomi khusus menimbulkan

masalah. Akibatnya pemerintah kabupaten/kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang

menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan

kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana

otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun

keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan

otonomi khusus mulai dari perencanaan, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek

pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan

Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi

pengelolaan dana otonomi khusus.

Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal. Dijumpai pula program dan kegiatan yang dijalankan yang tidak semestinya dibiayai dengan dana otsus karena tidak sesuai dengan prioritas otsus. Tidak ada target-target atau indikator capaian yang ingin dicapai melalui otsus. Belum adanya transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran, mekanisme pembangian serta bentuk pengelolaannya. Ketiadaan payung hukum yang jelas dari Provinsi sebagai penerima dana otsus dari Pemerintah Pusat tentang penggunaan dana otsus menimbulkan masalah, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota mencoba menafsirkan sendiri apa yang menjadi prioritas bagi daerah masing-masing. Hal ini berimbas pada penetapan program dan kegiatan. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otsus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otsus mulai dari perencanaan, koordinasi, sampai ke monitoring dan evaluasi terkait aspek pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan otsus Provinsi Papua dan Papua Barat. Diperlukan pula adanya perbaikan dalam akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otsus. Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otsus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan keberadaan penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari Pusat ke Provinsi, sehingga keluhan dropping dana otsus yang selalu terlambat tidak terjadi lagi.

76 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

2. Kelembagaan Khusus

a) DPRP/DPRPB

DPRP atau Dewan Perwakilan Rakyat Papua sesungguhnya tidak berbeda dengan DPRD

(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), yang membedakan hanyalah titelaturnya karena

menyesuaikan dengan amanat UU 21 Tahun 2001. Oleh karena itu, tugas dan wewenangnya

pun sama dengan DPRD yang ada di provinsi lainnya, yaitu menjalankan fungsi legislasi, fungsi

anggaran, dan fungsi pengawasan.

Satu hal yang membedakan dengan DPRD provinsi lain, bahwa dalam pelaksanaan tugas

dan wewenang tersebut DPRP/DPRPB dibantu oleh MRP Provinsi Papua maupun MRP Provinsi

Papua Barat yang bertugas memberikan pertimbangan dalam penyusunan perdasus.

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) seperti DPRD di Provinsi lainnya, merupakan

lembaga perwakilan politik rakyat, mitra Pemerintah Daerah yang memiliki 3 (tiga) fungsi

utama, terdiri dari: a) fungsi legislasi, yaitu kegiatan bersama gubernur untuk membentuk

Peraturan Daerah, b) fungsi anggaran, yaitu kegiatan bersama gubernur untuk menyusun dan

menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas dan

wewenang DPRP, serta c) fungsi pengawasan, yaitu kegiatan pengawasan kinerja gubernur dan

aparatnya dalam melaksanakan Undang-undang, Peraturan Daerah, Keputusan Gubernur dan

Kebijakan Daerah lainnya.

DPRD tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam mewujudkan perlindungan

hak-hak asli orang Papua (Ibo 2010), karena yang memiliki peran dan fungsi secara langsung

dalam mewujudkan perlindungan hak‐hak orang asli Papua adalah Majelis Rakyat Papua

(MRP). Fungsi DPRP secara langsung dalam perlindungan hak‐hak orang asli Papua adalah

ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan

hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf

i UU Otonomi Khusus dan Pasal 29 ayat (1) UU Otonomi Khusus.

Anggota DPRP dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu legislatif, bersamaan

dengan pemilihan DPR RI dan DPRD Kabupaten/Kota. Jumlah anggota DPRP Papua sebanyak

56 orang, sedangkan jumlah anggota DPRPB sebanyak 44 orang.

Tabel 4.8 Komposisi DPRP Periode 1999-2014

NO NAMA PARTAI 1. Drs. John Ibo, MM P. GOLKAR (Ketua DPRD Nomor

161.91-743 Thn 2009 Tgl. 20-10-2009) 2. Jan Lukas Ayomi, S.Sos P. GOLKAR 3. Kayus Bahabol P. GOLKAR 4. Hendrik Tomasoa, SH P. GOLKAR 5. Ignasius W. Mimin, Amd.Ip P. GOLKAR 6. Cris Risamasu P. GOLKAR 7. Panus Towolom, S.Th P. GOLKAR

77 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO NAMA PARTAI 8. Deerd Tabuni, Se, M.Si P. GOLKAR 9. Bob Jacobus Pattipawai, SH P. GOLKAR

10. Yance Kayame, SH P. GOLKAR 11. John F. Rustam, SE, MBA P. GOLKAR 12. Drs. Masia Lay P. GOLKAR 13. H. Zainuddin Sawiyah, SH P. DEMOKRAT 14. Yarius Balingga, SE P. DEMOKRAT 15. Jus Jefry Kaunang, SE P. DEMOKRAT 16. Yunus Wonda P. DEMOKRAT 17. Carolus Kia Kelen Boli P. DEMOKRAT 18. Melkias Yeke Gombo P. DEMOKRAT 19. Albert Bolang, SH, MH P. DEMOKRAT 20. Ruben Magai, S.Ip P. DEMOKRAT 21. Boy Markus Dawir P. DEMOKRAT 22. Kamarudin Watubun, SH, MH PDI-P 23. Philipus Wisabla, S.Th PDI-P 24. Herman Rahail PDI-P 25. Rosiyati Anwar, SE, MM PDI-P 26. Yafet Pigai PDI-P 27. Drs. Marcus Mirino, SH, MM PDI-P 28. Yulianus Rumbairussy, S.Sos, MM PDS 29. Pdt. Charles Simare Mare, S.Th PDS 30. Yop Kogoya, Dip.Th. SE, M.Si PDS (Wakil Ketua) 31. Ananias Pigai, S.Sos PDS 32. Erwin Rinaldi Kbarek PDS 33. Jhony Banua Rouw, SE P. PATRIOT 34. Thomas Sondegau, ST P. PATRIOT 35. Drs. Muhamad Nawawi P. PATRIOT 36. M. Keklo Ossu, Se PAN 37. Ir. Adolf Alpius Asmuruf PAN 38. Ny. Makdalena Matuan PAN 39. Yanni PBR 40. Toni Infandi PBR 41. Hagar Aksamina Madai PBR 42. Amal Saleh P.KEDAULATAN 43. Ir. Weynand B. Watory P.KEDAULATAN 44. Naftali Kobepa P.KEDAULATAN 45. Kamasan Yakob Komboy P. HANURA 46. Letinus Jikwa, SE P. HANURA 47. Yan Permenas Mandenas, S.Sos P. HANURA 48. Kenius Kogoya PPRN 49. Harun Agimbau PKPB 50. Amon Gobay PPPI 51. Arnold Wenekolik Walilo, S.Pd, M.Si. PNBKI 52. Julius Miagoni, SH PKDI 53. Stefanus Kaisepo PNIM 54. H. Maddu Mallu, SE PKS 55. Johanes Sumarto P. GERINDRA 56. Nason Utti, SE PBN

78 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah anggota DPRP sebanyak 56 orang, yang berasal

dari Partai Golongan Karya (12 orang), Partai Demokrat (9 orang), Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (6 orang), Partai Damai Sejahtera (5 orang), Partai Patriot (3 orang), Partai Amanat

Nasional (3 orang), Partai Bintang Reformasi (3 orang), Partai Kedaulatan (3 orang), Partai

Hanura (3 orang), dan masing-masing 1 orang berasal dari PPRN, PKPB, PPPI, PNBKI, PKDI,

PNIM, PKS, Gerindra, dan PBN.

Tabel 4.9 Komposisi DPRPB Periode 1999-2014

NO NAMA PARTAI 1. Ir. Max A. Hehanussa P. GOLKAR 2. Origenes Nauw, S.Pd P. GOLKAR 3. Pdt. Hans Mobalem, S.Th P. GOLKAR 4. Drs. Anthon Duwit P. GOLKAR 5. Yosef Johan Auri P. GOLKAR 6. Jeanne Naomi Karubaboy P. GOLKAR 7. Amos Hendrik May P. GOLKAR 8. Aminadap Asmuruf, S.Ip, M.Si PD 9. Emelia Simorangkir PD

10. Roberth Melianus Nauw PD 11. Darius Hara, S.Pd PD 12. Deby Debora Pangemanan PD 13. Andi Effendy Simanjuntak PDI-P 14. Jimmy Demianus Ijie PDI-P 15. Saleh Siknun, Se PDI-P 16. Drs. Barnabas Sedik PDI-P 17. Ir. Eko Tavip Maryanto PAN 18. Salihin, Sh PAN 19. Sius Dowansiba, Se PAN 20. Goliat Dowansiba PAN 21. H. Muhammad Taslim, S.Sos PKS 22. Hasanuddin M. Noor, S.Hut PKS 23. Chaidir Djafar, Se, M.Si PPP 24. A. Fitri Nyili, Se PPP 25. Daniel Daat P. HANURA 26. Abdul Hakim Achmad P. HANURA 27. Royke Veky Tuwo P. BARNAS 28. Harianto, St P. BARNAS 29. Michael Y.B. Farneubun, St PDK 30. Obeth A. Rumbruren, St PDK 31. Yance Yomaki PNIM 32. Ir. Erick Sutomo Rantung PNIM 33. Izak K. Bahamba PKPB 34. Imanuel Yenu PPRN 35. Ir. Yacob Maipauw P. GERINDRA 36. Maxsi N. Ahorena, Amd, Kp, Se PPIB 37. M. Sanusi Rahaningmas, S.Sos PKB 38. Silas Kaaf PPI 39. Elsiana R. Kalembang, Sh P. PELOPOR 41. Hermince I.A. Baransano PDS 40. Laurantius Renel, Se PNBKI 42. H. Syahruddin Makki, Sp PBB 43. Ferry M. Auparay P. PATRIOT

79 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO NAMA PARTAI 44. Albertina Mansim PIS

Senada dengan DPRP, komposisi keanggotaan DPRPB didominasi partai besar yakni

Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat. Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan terhadap

kinerja DPRP atau DPRPB berdasarkan dari faktor inisiatif, Kapabilitas Sumber daya Manusia

(SDM), Integritas SDM serta Sarana dan Prasarana (Sarpras) yang ada dapat digambarkan

dalam diagram sebagai berikut:

Gambar 4.7 Persepsi terhadap Kinerja DPRP dan DPRPB dilihat dari Inisiatif,

Kapabilitas, Integritas dan Sarpras

Responden memandang bahwa faktor-faktor terkait dengan kinerja daripada DPRP atau

DPRPB terbilang baik, hal ini ditunjukkan dengan mayoritas responden (41,67%) menyatakan

inisiatif DPRP ataupun DPRPB baik, Kapabilitas SDM pun juga baik (41,67%), untuk integritas

responden menyatakan baik (33,33%) dan sangat baik (8,33%), dan terakhit untuk sarana dan

prasarana responden menyatakan (58,33%) baik dan 16,67% responden menyatakan sangat

baik.

Selanjutnya responden mengatakan bahwa untuk melihat kinerja DPRP atau DPRPB

adalah dengan seberapa banyak Perdasus dan Perdasi terkait dengan aspirasi orang asli Papua.

Responden mengatakan :

“belum banyak produk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang mampu memproteksi hak-hak sipil orang Asli Papua, DPRP lebih banyak waktu, mengeluarkan penyataan politik”

kurang, 33.33 kurang, 33.33

kurang, 16.67kurang, 25.00

sedang, 25 sedang, 25

sedang, 41.67

baik, 41.67 baik, 41.67baik, 33.33

baik, 58.33

sangat baik, 8.33sangat baik, 16.67

Inisiatif Kapabilitas Integritas Sarpras

80 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pendapat diatas secara substansial terlihat bahwa kinerja DPRP belum dapat dikatakan

baik, DPRP masih sibuk dengan ranahnya sendiri sehingga kepentingan dasar yaitu proteksi

terhadap orang asli Papua terabaikan. Pendapat senada juga dikemukakan berikut ini :

“masih banyak masalah yang belum disentuh yaitu masalah pembentukan Komisi HAM, persolan penambangan ilegal, Pembalakan hutan, pelangaran HAM serta masalah-masalah lainya”

DRPP juga dituding belum banyak belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat untuk

ditindaklanjuti dalam bentuk nyata, tetapi lebih sibuk dalam mempolitisasi aspirasi tersebut,

seperti dalam pernyataan yang disampaikan berikut ini :

“DPRP belum menindaklanjuti berbagai aspirasi rakyat dan selalu saja memberikan janji-janji manis tampa pelaksananaan maka fungsinya selama ini harus dipertanyakan serta dipertangungjawabkan, DPRP sebagai lembaga politik di Provinsi Papua seharusnya, setelah menerima berbagai aspirasi masyarakat selama ini harus dibahas dan dilanjutkan kepada pihak-pihak yang berwewenang seperti Gubernur dan Pemerintah Pusat. Sehingga apapun hasilnya harus disampaikan juga kepada Orang Asli Papua (OAP) bukan malah mempolitisir aspirasi tersebut lagi”

Permasalahan-permasalahan yang dikemukakan tersebut, merupakan permasalahan

yang harus secepatnya dapat ditemukan solusinya dengan tentunya memaksimalkan peran

DPRP atau DPRPB yang ada. DPRP atau DPRPB sebagai lembaga politik dan legislatif harus

lebih responsif terhadap permasalahan yang berkembang sehingga lembaga ini dapat berfungsi

seperti yang diharapkan.

b) MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat

Berbeda dengan DPRP dan DPRPB, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) bukan dari

perwakilan partai tetapi representasi kultur orang asli Papua yang memiliki wewenang

tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada

penghormatan terhadap ada dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kultur

hidup beragama.

Anggota MRP terdiri atas orang asli Papua yang berasal dari tiga unsur yaitu: unsur

perempuan, unsur adat, unsur agama yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari jumlah

anggota DPRD Provinsi. Tugas dan wewenang MRP adalah memberikan pertimbangan dan

persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP,

rancangan PERDASUS yang diajukan oleh DPRP bersama sama dengan gubernur, rencana

perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak

ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khususnya yang menyangkut perlindungan hak-hak

orang Asli Papua, menyalurkan aspirasi, memperhatikan pengaduan masyarakat adat, umat

beragama dan kaum perempuan dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiaannya serta

memberikan dukungan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan

81 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua,

maka untuk pertama kalinya syarat-syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihannya

disusun oleh DPRP dan gubernur untuk kemudian diusulkan kepada pemerintah sebagai bahan

penyusunan Peraturan Pemerintah.

Menurut Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 4 tahun 2008

tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP. Dalam peraturan ini MRP mempunyai tugas

dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon

gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan. Memberikan pertimbangan dan persetujuan

terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.

Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama

yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di

wilayah Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Selanjutnya,

MRP memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat adat, umat beragama,

kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua

serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Memberikan pertimbangan kepada DPRP,

gubernur, DPRD kabupaten/kota serta bupati/walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan

perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Berdasarkan posisi dan peran yang ada sekarang dan melihat peran, wewenang dan

tugasnya, MRP seharusnya mempunyai posisi yang sejajar dengan gubernur dan DPRP, dengan

wewenang yang berbeda peran dimana MRP sebagai lembaga konsultatif kultur.

Berdasarkan tugas pokok dan Fungsi MRP Papua Barat maka dapat digambar keadaan

keanggotaan sebagai berikut:

Tabel 4.10 Komposisi MRP Provinsi Papua Barat Masa Jabatan 2011-2016

NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 1 Hermius Saiba, S.Th Adat SARJANA (S1) 2 Mesianus Waney Adat SMA 3 Jance Aristotelis Waropen, SH Adat SARJANA (S1) 4 Mathias Komegi, SE Adat SARJANA (S1) 5 Filep Yakob Spener Mayor, SE, M.Si Adat PASCASARJANA (S2) 6 Zeth Mlaskit Adat SMA 7 Simson Sonny Bless Adat SMEA 8 Drs. Tohntji Wolas Krenak Adat SARJANA (S1) 9 Yusan Yeblo Adat SKKA

10 Lukas Agustinus Surbay, SE Adat SARJANA (S1) 11 Zainal Abidin Bay Adat SMA 12 Anike Tance Hendrika Sabami Perempuan SMA 13 Anthonia Bauw Perempuan SMKK 14 Mince Imburi Perempuan SMA (PAKET C) 15 Rosiyana SaraGoram, A.Md.Pak Perempuan DIPLOMA (D3) 16 Ruth Monica Osok Perempuan SPWK 17 Beatrix M. Buratehi, S.Pd Perempuan SARJANA (S1)

82 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 18 Neltje Nelly Kambu, S.Pak Perempuan SARJANA (S1) 19 Olla Dorkas Dwaramury, BA Perempuan DIPLOMA (D3) 20 Paula Yewen Perempuan SMKK 21 Lusia Imakulata Hegemur Perempuan SMA 22 Atakiah Sirfefa Perempuan DIPLOMA (D2) 23 Pdt. Lamech Marisan, S.Si Agama/Kristen SARJANA (S1) 24 Drs. Yan Piet Hein Baibana Agama/Kristen SARJANA (S1) 25 Yehezkiel Sanadi, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 26 Drs. David Misiro, M.Ed Agama/Kristen PASCASARJANA (S2) 27 Pdt. Jance Wutoy, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 28 Ev. Mesach M. Karubaba, SE Agama/Kristen SARJANA (S1) 29 Esrom Kayoi, S.Th.Pak Agama/Kristen SARJANA (S1) 30 Eduard Sangkek, SH Agama/Kristen SARJANA (S1) 31 Vitalis Yumte, S.Pd Agama/Katolik SARJANA (S1) 32 H. Mahmud Ugar, S.Hi Agama/Islam SARJANA (S1) 33 H. Arobi Ahmad Aituarauw, SE, Mm Agama/Islam PASCASARJANA (S2)

Adapun komposisi untuk MRP Provinsi Papua adalah sebagaimana tabel berikut:

Tabel 4.11 Komposisi MRP Provinsi Papua Masa Jabatan Tahun 2011-2016

NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 1 Demas Tokoro, SH Adat SARJANA (S1) 2 George Arnold Awi Adat SLTA (PPSDA) 3 Seblum Werbabkay Adat SLTA (PAKET C) 4 William Sawaki, SH Adat SARJANA (S1) 5 Joram Wambrauw, SH Adat SARJANA (S1) 6 Aristarkus Marey Adat SLTA (PAKET C) 7 Yakobus Dumupa, S.Ip Adat SARJANA (S1) 8 Alpius Murib, SE, MM Adat PASCA SARJANA (S2) 9 Timotius Murib Adat SLTA

10 Wasilani Amanus Mabel Adat SLTA (PAKET C) 11 Luis Madai Adat SLTA 12 Costan Oktemka Adat SARJANA (S1) 13 Dominikus Kombaliop Amote Adat SLTA (PAKET C) 14 Ananias Tomokaimo, SE Adat SARJANA (S1) 15 Rode Muyasin, A.Md.Pd Perempuan AHLI MADYA (D3) 16 Bertha Paulina Yane Perempuan SLTA (PAKET C) 17 Herlina Rosa Papare Perempuan SLTA (KKSM) 18 Yuliana Wambrauw Perempuan - 19 Fransiska Okmonggop Mote Perempuan SLTA (SPG) 20 Debora Mote, S.Sos Perempuan SARJANA (S1) 21 Engelbertha Kotorok Perempuan SARJANA (S1) 22 Ciska Abugau Perempuan AHLI MUDA (D2) 23 Nehemi Yebikon Perempuan SLTA 24 Ere Wakur Perempuan (TIDAK TELAMPIR) 25 Merry Lantipo Perempuan 26 Maria Magdalena Kaize Perempuan SARJANA (S1) 27 Hendrika Pasuaut Perempuan SLTP 28 Herman Saud, M.Th Agama/Kristen PASCA SARJANA (S2) 29 Petrus Bonyadone, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 30 Hofni Simbiak, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 31 Natan Pahabol, S.Pd Agama/Kristen SARJANA (S1) 32 Yosia Gire, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1)

83 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO NAMA WAKIL PENDIDIKAN 33 Ferry Yonathan Ayomi, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 34 Samuel K. Waromi, SH Agama/Kristen SARJANA (S1) 35 Penetina Lanicasia Kogoya, S.Sos Agama/Kristen SARJANA (S1) 36 John Polabek Wenda, S.Th Agama/Kristen SARJANA (S1) 37 Joseph Luns Yom Agama/Kristen SLTA (PAKET C) 38 Titus Fransiscus Wayne, S.Pd, MM Agama/Katholik PASCA SARJANA (S2) 39 Drs . Wiro Yoseph Watken Agama/Katholik SARJANA (S1) 40 Didik Yelegat, S.Sos Agama/Islam SARJANA (S1)

Jumlah anggota MRP secara keseluruhan (Papua dan Papua Barat) seharusnya sebanyak

75 orang. Namun jika dilihat pada tabel di atas jumlahnya baru mencapai 73 orang, karena 2

orang calon anggota MRP Provinsi Papua tidak dapat disyahkan karena tidak memenuhi

persyaratan dalam verifikasi. Hingga saat ini terdapat 3 orang anggota MRP Provinsi Papua

yang meninggal dunia dan masih belum diusulkan penggantian antar waktu (PAW) yaitu:

Ananias Tomokaimo, SE (Wakil Adat); Maria Magdalena Kaize (Wakil Perempuan) dan Yosia

Gire, S.Th (Wakil Agama). Jumlah MRP Provinsi Papua saat ini 37 orang. Ada harapan jumlah

MRP ditambah bila perlu mewakili semua suku yang ada di Papua, sehingga hak-hak dasar

masyarakat adat Papua dapat terakomodir di dalam agenda kerja MRP karena jika tiga

komponen MRP seperti adat, agama dan perempuan saja, sepertinya MRP belum ‘lengkap’

disebut lembaga representasi kultural orang asli Papua dimana seperti yang dikemukakan

sebelumnya bahwa jumlah suku di Papua yaitu sebanyak 236 suku.

MRP Periode sebelumnya (2005-2011) yang dipilih berdasarkan keterwakilan

perempuan, adat, dan agama belum menunjukkan kinerja yang dapat dikatakan memuaskan,

dikarenakan MRP yang merupakan lembaga baru dan masih mencari bentuk.

Pendapat Dra. Hans S Hiyokoyabi, Wakil Ketua II Umum MRP periode yang lalu, yang

dilakukan dalam penelitian yang dilakukan Esau Hombore, Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia MRP.

”Dalam Peningkatan Kualitas MRP.masih sangat kesulitan karena MRP ini merupakan suatu lembaga baru di Indonesia bahkan di dunia sehingga MRP masih mencari pola yang tepat dari lembaga kultur karena Pemerintah RI Belum memberikan Acuan sehingga semua masih mengacu ke DPRP”

Berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Pasal 36 PP Nomor 54 tahun 2004

sebagian besarnya adalah terkait memberikan pertimbangan dan persetujuan bakal calon

Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan, calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP, Rancangan

Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur, perjanjian kerjasama

sehingga penting bagi anggota MRP untuk terus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan

profesionalisme.

84 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Secara institusional kekuasaan MRP juga cukup besar, melekat dengan kekuasaan

legislatif dan eksekutif seperti kekuasaan Judicial Review terhadap PERDASI yang dinilai

bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Di Indonesia, hanya ada 3

lembaga yang dapat melakukan Judicial Review yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi

dan MRP, sayangnya MRP tidak tahu bagaimana dapat menggunakan kekuasaannya apalagi

definisi normatif tentang orang asli Papua masih belum final bahkan ruang-ruang

interpretasinya terus berkembang.

Perjalanan keanggotaan MRP periode sebelumnya sendiri, dapat dikatakan lembaga ini

masih berjalan tanpa arah, MRP belum bisa dibedakan sebagai lembaga kultural orang asli

Papua, justru MRP periode sebelumnya bermain di ranah politik ketimbang ranah kultural

misalnya, ada kontradiksi lantaran MRP pernah mengusulkan soal lambang-lambang daerah

dan merekomendasikan perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota

harus orang asli Papua, dan lain-lain. Ini terjadi karena memang hingga kini belum ada

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur secara terperinci mengenai kewenangan

MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Meskipun disatu pihak, sejumlah

kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga kultural yang

semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.

Dalam sisi kebijakan anggaran belanja untuk pimpinan dan anggota MRP melalui

mekanisme pembahasan dari Panitia anggaran eksekutif maupun legislatif dan disidangkan

serta diputuskan dalam suatu sidang paripurna dan ditetapkan dalam Keputusan Gubernur

tentang DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) MRP.

Alasan kenapa anggaran belanja MRP itu dirubah atau tidak sesuai dengan yang

diharuskan dalam PP Nomor 54 tahun 2004, karena jumlah gaji yang diharuskan di dalam PP

dimaksud tidak sesuai kondisi di Papua. Apalagi anggota MRP adalah utusan atau wakil dari

berbagai daerah di Papua dengan medan yang sulit.

Tak hanya itu, latar belakang pendidikan dan ekonomi sebagian anggota MRP juga ada

yang masih terbatas, sehingga tidak adil jika anggaran belanja mereka disesuaikan dengan PP

Nomor 54 tahun 2004 yang hanya berkisar Rp 2 juta (gaji per bulan) bagi anggota dan Rp 3 juta

(Gaji per Bulan) bagi pimpinan. “Jadi tidak adil memang, apalagi para anggota MRP ini adalah

utusan dari berbagai daerah di Papua yang begitu luas dan dengan kesulitan masing-masing.

Namun hal ini nampaknya telah terselesaikan, karena pendapatan anggota MRP dan

MRPB saat ini telah cukup memadai. Menurut salah seorang anggota MRPB, take home pay

anggota MRPB saat ini rata-rata sekitar Rp. 17 juta per bulan.

“Hanya saja, gaji kami belum dibayarkan sejak kami dilantik beberapa bulan lalu. Tidak hanya itu, sampai sekarang kami masih menginap di hotel ini (Hotel Mansinam-

85 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Manokwari) karena kami belum memiliki kantor sendiri dan tidak memiliki tempat tinggal selama di Manokwari”.

Adapun pembentukan kelembagaan MRP telah sesuai Perdasus Nomor 4 Tahun 2010

Bab II Pasal 3 menyebutkan keberadaan MRP merupakan satu satunya lembaga yang

berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua dan Perwakilan MRP Papua Barat berkedudukan di

Ibukota Provinsi Papua Barat.

c) Hubungan Antara MRP dengan DPRP

Pemerintahan (governance) Papua berarti DPRP Papua, DPR kabupaten/kota, dan Majelis

Rakyat Papua (MRP). Hal ini secara tegas dimuat dalam Bab V UU Nomor 21 Tahun 2001

mengenai Bentuk dan Susunan. berbicara tentang tata pemerintahan yang baik (good

governance) di Provinsi Papua, maka yang dimaksud tidak hanya birokrasi (Gubernur,Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, para kepala Dinas, Badan, Kantor,

dan semua pegawai negeri), tetapi juga institusi dan anggota DPRP provinsi, kabupaten/kota,

serta MRP. Bahkan karena Trias Politica adalah prinsip pemerintahan yang dianut, maka para

penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI),

juga haruslah merupakan bagian dari pemerintahan yang bersih di Papua.

DPRP harus lebih mampu memainkan fungsi-fungsi pembuatan legislasi dan

penganggaran (budgetting), disamping terus menerus meningkatkan kemampuan

pengawasannya. Hal ini penting, mengingat pentingnya inisiatif oleh DPR di seluruh Provinsi

Papua, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mendalami suatu permasalahan

pemerintahan atau pembangunan tertentu dan menerjemahkannya ke dalam konsep (draft)

peraturan daerah yang disodorkan ke eksekutif untuk diperdebatkan, diperkaya, lalu

ditetapkan dan dilaksanakan oleh eksekutif dan pihak-pihak lain yang berkompeten.

3. Kewenangan Khusus

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang dimaksud dengan kewenangan

khusus adalah kewenangan yang hanya terdapat dalam undang-undang tersebut yang

pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan perdasus atau perdasi. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001, terdapat 6 (enam) kewenangan khusus yang harus dipenuhi

pemerintah provinsi dalam pelaksanaan otonomi khusus yaitu perekonomian, pendidikan dan

kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan sosial.

Sementara pada implementasinya di kabupaten/kota berdasarkan Rancangan Peraturan

Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembagian dan Pengelolaan

Penerimaan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua diarahkan kepada 4 (empat)

bidang yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur kampung.

86 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Seperti telah dikemukakan dimuka, walaupun masih dalam bentuk rancangan, ternyata

peraturan ini telah baku diimplementasikan di setiap kabupaten/kota.

Gambaran pelaksanaan kewenangan khusus sendiri di Provinsi Papua dan Papua Barat

dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perekonomian Pasal 38, Pasal 39 sampai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001,

secara khusus mengatur aspek perekonomian. Perekonomian Provinsi Papua secara umum

diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan

kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan

pemerataan. Di samping itu, usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan

sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat,

memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian

lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan.

Adapun pengembangan ekonomi kerakyatan dan penghormatan hak-hak masyarakat

adat dalam pemanfaatan sumber daya alam mendapat penekanan khusus dalam kebijakan

otonomi khusus ini. Pada Pasal 42 ayat 1, diamanatkan bahwa pembangunan perekonomian

berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Pelaku usaha mendapat kesempatan

melakukan investasi dengan melibatkan masyarakat adat.

Provinsi Papua memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan bila dikelola

secara benar dan baik, dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun

pengelolaan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya orang asli Papua. Untuk mewujudkannya

kemandirian ekonomi rakyat Papua, khususnya orang asli Papua, yang berorientasi pasar

sebagai bagian dari perekonomian nasional regional dan global, perlu mengoptimalkan

pelaksanaan pembangunan ekonomi rakyat di Provinsi Papua.

Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Perdasus Provinsi

Papua Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan. Perekonomian

berbasis kerakyatan menurut perdasus tersebut adalah sistem pembangunan ekonomi rakyat,

khususnya ekonomi orang asli Papua. Sementara kegiatan usaha ekonomi berbasis kerakyatan

adalah segala usaha ekonomi yang dikelola secara sadar oleh perorangan, kelompok dan badan

usaha baik skala kecil, menengah dan besar yang berorientasi dari, oleh dan untuk rakyat.

Peraturan Daerah ini memuat penerapan kebijakan affirmatif terhadap orang asli Papua,

penciptaan dan perluasan pasar, penyediaan modal, pembinaan dan pendampingan, dan

pengembangan budaya kewirausahaan. Substansi terkait ekonomi kerakyatan yang diatur

dalam perdasus tersebut terangkum dalam tabel berikut.

87 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tabel 4.12 Substansi Tentang Ekonomi Kerakyatan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 18

Tahun 2008 Tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan

Aspek Substansi

Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Masyarakat adat berhak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya, dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain. Bentuk-bentuk manfaat tersebut dapat berupa royalti, sewa tanah, kompensasi, dividen, bagi hasil, dana abadi, donasi, dan ganti rugi

Pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak lain, terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari masyarakat adat setempat melalui musyawarah

Pemanfaatan Potensi lainnya

Masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan budaya dan adat istiadat serta obyek wisata untuk kegiatan usaha pariwisata dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya adat istiadat setempat

Pengembangan ekonomi masyarakat

Pemerintah Daerah dan pelaku usaha skala besar serta organisasi dunia usaha melakukan upaya pengembangan perekonomian masyarakat dalam hal pengelolaan, produksi, pemasaran, sumberdaya manusia dan teknologi. Upaya tersebut meliputi: penguatan institusi masyarakat adat dalam pengelolaan hak ulayat untuk produksi; pemberdayaan kewirausahaan kelompok pengusaha produk lokal; penggalangan kemitraan (partnership) antara usaha besar dan menengah dengan pelaku usaha ekonomi masyarakat setempat; dan pendampingan bagi pelaku usaha ekonomi masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat. Adapun cara yang dapat ditempuh melalui: peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan teknis produksi; peningkatan kemampuan teknologi tepat guna; dan peningkatan prasarana dan sarana produksi dan pengelolaan bahan baku, bahan penolong dan kemasan.

Kewenangan dan Tanggung Jawab

Wewenang Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan pengelolaan potensi daerah

Wewenang Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan mengenai perekonomian berbasis kerakyatan dan melakukan pembinaan dan pengembangan atas pelaksanaan perekonomian berbasis kerakyatan. Wewenang pemerintah kabupaten/kota mengatur pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya dan pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan sesuai potensi daerah.

Tanggung jawab Pemerintah daerah mengembangkan sistem nilai dan etos kerja yang berorientasi pada produktivitas dan efisiensi dalam rangka menunjang berkembangnya perekonomian berbasis kerakyatan, memfasilitasi musyawarah antara masyarakat adat dengan pelaku kegiatan usaha ekonomi, menyelenggarakan pelayanan perizinan yang memudahkan dan mendorong berkembangnya usaha ekonomi berbasis kerakyatan, menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menjamin terciptanya kepastian hukum dan terselenggaranya usaha Ekonomi Berbasis Kerakyatan (EBK).

Hak dan Kewajiban

Hak setiap pelaku usaha EBK untuk melakukan kegiatan usaha untuk memperoleh pendapatan yang layak, melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak lain, memperoleh informasi yang diperlukan dalam pengembangan usahanya.

Hak masyarakat adat sebagai pelaku usaha untuk memperoleh

88 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Aspek Substansi

manfaat dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, melakukan usaha dibidang konstruksi, pengadaan barang dan jasa. Kewajiban setiap pelaku usaha ebk untuk memperhatikan adat istiadat setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat dalam pemanfaatan sumber daya alam, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup dalam pemanfaatan potensi daerah.

Kewajiban pelaku usaha ekonomi berskala besar yang beroperasi di wilayah Provinsi Papua untuk memberikan dukungan modal usaha yang disertai dengan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku usaha EBK.

Pelaku usaha EBK adalah perorangan, kelompok atau badan yang dikategorikan menurut skala usaha dalam berbagai sektor: primer, sekunder, dan tersier.

Keharusan pelaku usaha harus bergabung pada wadah organisasi orang asli Papua yang dibentuk oleh masyarakat adat yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Bentuk organisasi adalah koperasi peranserta masyarakat adat (Kopermas), dan berbadan hukum, kelompok usaha bersama dan kegiatan program lainnya.

Prioritas bagi masyarakat adat

Masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10 (sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di berbagai sektor yang telah disebutkan.

Permodalan Pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan pelaku usaha skala besar dan sektor swasta untuk memperoleh pekerjaan dari jasa pemerintah melalui APBD Provinsi, menyediakan permodalan untuk kegiatan usaha ebk yang berasal dari penyisihan 1 % (satu persen) dari keuntungan bersih

Permodalan yang berasal dari Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah.

Permodalan yang berasal dari Pemerintah Provinsi sudah harus tersedia dalam anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar 3,5% (tiga koma lima) persen dari Dana Otonomi Khusus pada Tahun Anggaran 2009, yang setiap tahunnya apabila dianggap perlu dapat ditambah.

Permodalan yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota besarnya ditetapkan sendiri.

Sumber daya alam dan hak atas tanah yang berada dalam penguasaan masyarakat yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha ekonomi dapat diperhitungkan sebagai modal. Penentuan nilai ekonomi didasarkan atas kesepakatan antara masyarakat pemangku hak dan pelaku usaha.

Penjaminan Kredit

Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga non pemerintah dapat menjadi lembaga penjamin untuk membantu usaha EBK yang tidak memiliki akses ke lembaga pembiayaan.

Pembinaan dan Pendampingan

Pemerintah Daerah, lembaga pembiayaan dan pelaku usaha skala besar melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha EBK yang dilakukan secara berskala dan berkesinambungan. Pembinaan dan Pendampingan tersebut meliputi: peningkatan kualitas sumber daya manusia; pembinaan manajamen usaha;

89 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Aspek Substansi

peningkatan ketrampilan usaha; pengembangan perilaku kewirausahaan; pemberian bantuan fasilitas dan permodalan; dan bantuan pemasaran hasil produksi.

Menurut ketentuan tersebut, masyarakat adat memperoleh prioritas melalui usaha

keberpihakan dan pemberdayaan sebelum mampu untuk bersaing secara terbuka selama 10

(sepuluh) tahun untuk melakukan kegiatan usaha ekonomi di sektor usaha.

Terbitnya perdasus ini dapat dikatakan terlambat, namun secara substansial, perdasus

mengenai ekonomi kerakyatan ini cukup komprehensif dan dapat dijadikan suatu kerangka

pengembangan ekonomi kerakyatan. Bagaimana implementasi Perdasus tersebut, memerlukan

pengkajian lebih lanjut yang lebih detail. Patut menjadi pertanyaan bagaimana implementasi

kebijakan tersebut baik oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten/kota

di wilayah Papua. Terdapat indikasi bahwa perdasus ini belum dapat dijalankan dengan baik.

Hal ini mengingat para stakeholders, khususnya di kabupaten/kota bahkan belum mengetahui

keberadaan Perdasus ini.12 Hal ini berkaitan dengan bagaimana menerjemahkan kebijakan

tersebut ke dalam program/kegiatan atau kebijakan lainnya secara konkrit. Ada indikasi

bahwa kewenangan membangun perekonomian yang berbasis kerakyatan ini belum dihayati

dengan baik sehingga ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan

ekonomi kerakyatan. Implementasi yang terpantau saat ini baru sekedar pengalokasian dana

otonomi khusus ke dalam berbagai program. Salah satu contoh yang dilakukan pemerintah

kabupaten diuraikan dalam box 4 berikut:

Box 4. Implementasi Otonomi Khusus Bidang Perekonomian di Kabupaten Jayapura

12 Hal ini antara lain tercermin dari berbagai diskusi dan wawancara dengan pemerintah daerah yang menyatakan bahwa kebijakan perdasus/perdasi yang mengatur ekonomi kerakyatan ini belum tersedia. Terkesan ada kebingungan dalam memaknai kewenangan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan

90 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Di Kabupaten Jayapura, alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi selama tahun 2002-2011 sangat bervariasi sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Alokasi dana Otonomi Khusus untuk pemberdayaan ekonomi (Milyar Rupiah) selama

tahun 2002-2011 di Kabupaten Jayapura

Bidang 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pemberdayaan Ekonomi

6.42 3.45 2.86 1.92

1 9.2 0.20 12.09 11.82

Beberapa program utama yang dipilih pemerintah adalah gerakan wajib tanam kakao, peningkatan usaha pertanian masyarakat Papua, perikanan dan pemberdayaan usaha ekonomi perempuan Papua. Program lain yang dilakukan adalah pengembangan perikanan melalui pembangunan BBI Lokal, pakan dan bibit ikan, kolam dan penampungan hasil ikan. Selain itu terdapat pula program pengembangan produksi jeruk, pisang dan komoditas tanaman pangan lainnya. Dilakukan pula upaya pengembangan usaha peternakan rakyat berupa pembuatan ranch, pengobatan ternak, bantuan bibit sapi dan ternak lainnya.

Dengan adanya gerakan wajib tanam kakao sebagai salah satu program andalan, diharapkan pada tahun 2010 seluruh KK miskin di kabupaten Jayapura telah memiliki sumber penghasilan yang tetap dan pasti. Perkembangan 3 tahun terakhir gerakan wajib kakao, mencatat perkembangan yang positif. Tahun 2006 sejumlah 1.15 juta bibit didistribusikan bagi 490 KK. Selanjutnya pada tahun 2007, 4.1 juta bibit kakao diberikan untuk 4979 KK dan pada tahun 2008, 5 juta bibit diberikan bagi 7000 KK. Tahun 2009 terdapat 14333 KK petani dengan areal mencapai 12.234 ha, kepemilikan rata-rata 0.83 ha/KK. Adapun produksinya mencapai 5.474 ton biji kering. Pendapatan petani yg sudah berproduksi (sekitar 5124KK) berkisar antara Rp 1.6 juta-2.5 juta per bulan (dengan asumsi harga biji kakao kering Rp 18 ribu-20 rb/kg). Ilustrasi ini mengindikasikan bahwa pengalokasian dana otonomi khusus dengan pemilihan program yang sesuai yang dapat memberi nilai tambah secara langsung bagi pendapatan penduduk sebetulnya dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat asli Papua, khususnya secara ekonomi.

Adapun program yang bersifat meningkatkan kapasitas berusaha masyarakat Papua antara lain: pengiriman peserta pelatihan manajemen usaha kecil bagi perempuan Papua Jayapura, bantuan usaha kepada pengusaha perempuan Papua. Selain itu terdapat pula program pelatihan pertukangan mubelair pengusaha asli Papua dan pelatihan anyaman bagi 7 orang di Jogjakarta. Contoh lain adalah penyuluhan dan pendampingan petani dan pelaku agribisnis sebanyak 200 orang di Kalimantan. Belum ada informasi yang jelas tentang kemanfaatan upaya peningkatan kapasitas berusaha masyarakat semacam ini. Namun perlu menjadi perhatian agar program semacam ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan terdapat upaya tindak lanjut agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan dengan baik.

Catatan lain, masih dijumpai alokasi tidak sesuai untuk bidang perekonomian. Di mana kegiatan pengamanan dan perlindungan cagar alam dan pengamanan dan perlindungan kawasan penyangga cagar alam. Kegiatan semacam ini semestinya tercakup dalam sektor lingkungan. Memang diperlukan adanya sinkronisasi dan keterlibatan berbagai sektor. Namun perlu dibedakan peran yang dapat dilakukan oleh masing-masing sektor, dan menghindari adanya tumpang tindih atau sasaran yang kurang tepat.

Papua sangat kaya dengan hasil hutan. Secara ekonomi kekayaan ini juga semestinya

mampu meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya orang asli Papua. Pemerintah

daerah mencatat bahwa banyak suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat

91 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

yang cukup besar, dan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat hukum adat sangat

tergantung pada hutan. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan

selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan bahwa usaha-usaha perekonomian

di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati

hak-hak masyarakat hukum adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta

prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Di samping itu

usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumberdaya alam harus

dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang

berkelanjutan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan

kepastian hukum bagi pengusaha. Terdapat upaya Pemerintah Provinsi Papua dalam

menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan Perdasus Nomor 21 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

Salah satu aspek yang terdapat dalam perdasus tersebut adalah keberpihakan kepada

masyarakat adat guna memperoleh manfaat dari pengelolaan hutan, diantaranya melalui

pelaksanaan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat, dalam bentuk

pemberian kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan masyarakat

hukum adat. Pemberian hak pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat

hukum adat dilakukan dalam bentuk Kesatuan Pengelolan Hutan Masyarakat Hukum Adat yang

selanjutnya disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHK).

Sementara di Provinsi Papua Barat, pemerintah provinsi bahkan belum menerbitkan

perdasus/perdasi yang mengatur tentang perekonomian, khususnya perekonomian berbasis

kerakyatan. Namun Pemerintah Provinsi Papua Barat mencoba mengembangkan suatu grand

design terkait empat program strategis Provinsi Papua Barat. Ekonomi kerakyatan menjadi

salah satu dari program strategis dalam grand design tersebut. Selanjutnya langkah yang

diambil Provinsi Papua Barat tersebut disebarkan ke seluruh kabupaten/kota di wilayah Papua

Barat13. Menurut Sekretaris BP3D Papua Barat, pembangunan perekonomian Papua Barat

mulai tahun 2011 diarahkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, dana

Otonomi Khusus yang telah didistribusikan kepada kabupaten/kota sebesar 70%, sebagian

dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun pasar-pasar kampung dan infrastruktur

kampung.

“...ke depan strategi pembangunan Papua Barat ditekankan pada pemberdayaan masyarakat (community development), salah satunya di bidang ekonomi akan diterapkan ekonomi kerakyatan pada semua bidang pembangunan untuk meningkatkan derajat

13 Penuturan Kepala Bappeda Provinsi Papua Barat

92 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

hidup yang layak bagi warga Papua Barat dan khususnya bagi orang asli yang ada di Papua Barat”.

Wacana pemerintah provinsi tersebut antara lain telah sejalan dengan upaya pemerintah

Kabupaten Manokwari. Hal ini sebagaimana yang telah dilaksanakan Kabupaten Manokwari,

dimana telah diprioritaskan pembangunan bidang ekonomi dengan sasaran rehabilitasi

prasarana pasar dan pengembangan produktivitas pertanian dalam arti luas. Pemberdayaan

ekonomi rakyat dilakukan melalui kebijakan pemberian kredit lunak dalam usaha ekonomi

produktif, paket program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui paket program bidang

pertanian, perikanan, peternakan , perkebunan, perindustrian, koperasi, usaha sektor informal,

dalam rangka memperkuat basis usaha ekonomi keluarga maupun yang berorientasi investasi

dalam skala kecil dan menengah.

Pemerintah Kabupaten Manokwari pada tahun 2010 mengalokasikan dana sebesar Rp

3.571.137.800 untuk pengembangan ekonomi kerakyatan yang dikelola 3 SKPD. SKPD yang

mengelola adalah Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan

serta Dinas Perindagkop dan UMKM. Dana diarahkan untuk menunjang peningkatan ketahanan

pangan, serta pemberdayaan industri kecil, koperasi, UMKM.

Senada dengan Kabupaten Manokwari, apa yang dilakukan oleh Kabupaten Sorong

Selatan menunjukkan perhatian khusus pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Disampaikan

oleh Sekda Kabupaten Sorong Selatan bahwa:

“program ekonomi kerakyatan merupakan prioritas yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Otonomi Khusus, meskipun tidak terlalu besar dana tersebut dapat mendorong dinas terkait untuk memprogramkan kegiatan ekonomi kerakyatan di Kabupaten Sorong Selatan. Kami mengharapkan dana Otonomi Khusus ini terus dilanjutkan, untuk mengentaskan rakyat Papua dari kemiskinan dan keterbelakangan’.

Adapun Pemerintah Kota Sorong, mengalokasikan dana sebesar Rp 8.268.550.000 pada

tahun 2009. Jumlah ini merupakan 11.07% dari dana yang diterima kota tersebut. Dana

tersebut diperuntukkan bagi pengembangan pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan di

Kota Sorong yang dikelola oleh 5 SKPD, meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi

dan UMKM, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta

Kantor Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun demikian, program ekonomi kerakyatan yang memberikan kesempatan seluas-

luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat nampaknya belum mencapai

kondisi yang diharapkan. Sebagai contoh, program pemberdayaan ekonomi kerakyatan kadang

menerima pendanaan yang sangat kecil sehingga efeknya kurang terasa dalam pembangunan

perekonomian.

93 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Secara makro, perekonomian daerah di Provinsi Papua mengalami perkembangan yang

fluktuatif dari tahun 2007-2010 (Lampiran 1). Tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar

harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) mengalami penurunan dari 4.34 persen di

tahun 2007 menjadi -1.4 di tahun 2008. Pada tahun berikutnya terdapat lonjakan menjadi

22.74 persen, namun mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 menjadi -

2,65 persen. Sementara di Provinsi Papua Barat, dalam kurun waktu yang sama mengalami

perkembangan yang cukup positif. Tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar

harga konstan 2000 (pertumbuhan ekonomi daerah) sebesar 6.95 persen. Pada tahun

berikutnya terus meningkat menjadi 7.84 persen. Selanjutnya pada tahun 2009 terdapat sedikit

penurunan menjadi 7.02 persen. Sementara pada tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan

menjadi 7.96 persen.

Dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua Barat pada tahun

2010 mampu mencatat laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 (pertumbuhan

ekonomi daerah) yang tertinggi. Namun untuk Provinsi Papua justru merupakan angka

terendah dibanding provinsi lainnya pada tahun 2010.

Sektor pertambangan masih mendominasi perekonomian daerah di Provinsi Papua

maupun Papua Barat. Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat dari Produk Domestik

Regional Bruto di kedua Provinsi tersebut jika sektor pertambangan tidak diikutsertakan

dalam perhitungan, sebagaimana terlihat dalam grafik berikut. Namun demikian, menilik

masing-masing sektor, di Provinsi Papua Barat sektor memiliki share terbesar kedua untuk

PDRB di Provinsi tersebut. Sementara di Provinsi Papua sektor pertambangan dan penggalian

masih memiliki share terbesar dari PDRB Provinsi tersebut.

Produktifitas ekonomi suatu daerah terlihat dari pertumbuhan ekonominya yang

diperoleh dari PDRB atas dasar harga konstan. Selama lima tahun terakhir, Papua mengalami

pertumbuhan ekonomi yang cukup berfluktuasi. Setelah mencapai pertumbuhan tertinggi di

tahun 2005 (36,40%), 2006 (19,26%), 2007 (23.60%), 2008 (22,20%), 2009 (22,74%) dan

2010 (20,09).

Tanpa sub sektor pertambangan dan migas, pertumbuhan Provinsi Papua khususnya

lima tahun terakhir (2006-2010) terlihat jauh lebih stabil dengan rata-rata pertumbuhan

10,90%. Pada tahun 2010 perekonomian Papua tumbuh 11,98%, tidak jauh berbeda dengan

tahun-tahun sebelumnya yang tumbuh diatas 10%.

Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 26,82% terhadap tahun 2009. Hampir

semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di

94 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

sektor industri pengolahan 149,52%. Sementara sektor pertambangan dan penggalian

mengalami konstraksi sebesar -0,84%.

Gambar 4.8 Perbandingan PDRB atas Dasar Harga Konstan dengan Tambang dan Tanpa Tambang

di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2005-2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005 - 2010

Tabel berikut memperlihatkan perkembangan PDRB atas dasar harga konstan di Provinsi

Papua menurut berbagai lapangan usaha (sektor) dari tahun 2008-2010. Sektor pertanian

memiliki share terbesar kedua setelah sektor pertambangan. Di sektor ini, tanaman bahan

makanan menghasilkan PDRB tertinggi, diikuti sub sektor perikanan, kehutanan, peternakan,

dan tanaman perkebunan. Mengingat mata pencaharian penduduk sebagian besar masih

95 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

mengandalkan sektor pertanian, perlu diupayakan untuk memperbesar hasil-hasil produksi di

sektor pertanian ini.

Tabel 4.13 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua atas Dasar Harga Konstan Menurut

Lapangan Usaha (miliyar Rupiah) Tahun 2008-2010

No Lapangan Usaha Tahun

2008 2009 2010 1. Pertanian 3419.07 3548.78 3768.31

a. Tanaman Bahan Makanan 1700.89 1755.14 1868.51 b. Tanaman Perkebunan 161.4 171.87 184.2

c. Peternakan 224.64 244.69 266.09

d. Kehutanan 467.85 481.35 510.16

e. Perikanan 864.28 895.73 939.35

2. Pertambangan dan Penggalian 8574.1 11495.77 9475.03 3. Industri Pengolahan 485.6 515.78 558.8 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 45.99 48.65 51.57 5. Bangunan 1452.25 1712.65 1993.11 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1360.78 1518.24 1677.49 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 1344.37 1536.71 1747.42 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 515.55 745.12 792.28 9. Jasa-Jasa 1734.13 23237.11 2555.29

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2008-2010

Sementara di Provinsi Papua Barat, lapangan usaha pertanian menghasilkan porsi

tertinggi penyumbang PDRB, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, industri

pengolahan, jasa-jasa, restoran, pengangkutan, telekomunikasi, bangunan, perdagangan dan

hotel, keuangan, persewaan dan jasa, listrik, gas dan air bersih. Produk Domestik Regional

Bruto Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat mengalami

kenaikan dari tahun 2008-2010 dari Rp 1826,853 milyar, menjadi Rp 1896,815 milyar pada

tahun 2009, dan Rp. 2014,324 pada tahun 2010. Pada sektor pertanian ini, usaha perikanan

menjadi penyumbang terbesar. Sementara usaha peternakan dan tanaman perkebunanan

menyumbang terkecil. Untuk itu strategi peningkatan perekonomian Provinsi Papua Barat ke

depan perlu mempertimbangkan upaya peningkatan perekonomian di sektor peternakan dan

tanaman perkebunan.

Tabel 4.14

96 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010

No Lapangan Usaha Tahun

2008 2009 2010 1. Pertanian 1826.853 1896.815 2014.324

a. Tanaman Bahan Makanan 324.5103 346.4035 374.1625

b. Tanaman Perkebunan 180.2295 190.454 201.30927 c. Peternakan 104.6912 113.5365 121880.7 d. Kehutanan 519.359 518.4514 533.5877

e. Perikanan 698.0628 727.9701 783384.3

2. Pertambangan dan Penggalian 1101.023 1099.265 1090.052 3. Industri Pengolahan 875.5633 1004.826 2507.291 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 29.13444 31.76602 34.08513 5. Bangunan 579.4177 654.539 718.4682 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 671.7639 715.364 743.8819 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 474.2808 551.8739 612.201 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 150.4108 152.392 169.1823 9. Jasa-Jasa 691.0812 741.7145 796.1624

Sumber : Badan Pusat Statistik, tahun 2008 - 2010

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan upaya peningkatan perekonomian rakyat, dalam

bagian ini diulas kondisi kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini mengingat

sasaran dari otonomi khusus adalah orang asli Papua yang mana sebagian besar diantaranya

termasuk kategori keluarga miskin. Ujung dari kegiatan perekonomian rakyat pada akhirnya

salah satunya adalah penurunan tingkat kemiskinan baik di Provinsi Papua maupun Papua

Barat. Perkembangan kondisi tingkat kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat serta

perbandingannya dengan kondisi nasional dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4.9 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Papua , Papua Barat,

dan Nasional Tahun 2007-2010

Sumber : Kompilasi data Badan Pusat statistik, tahun 2007-2010

40.7837.08 37.53 36.80

39.3135.12 35.71

34.88

16.58 15.4214.14 13.33

0

10

20

30

40

50

2007 2008 2009 2010

Provinsi Papua

Provinsi Papua Barat

Nasional

97 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Secara umum terdapat kecenderungan penurunan persentase penduduk miskin, baik di

Provinsi Papua maupun Papua Barat pada kurun waktu 2007-2010. Terdapat kecenderungan

tingkat kemiskinan di Provinsi Papua yang lebih tinggi daripada Provinsi Papua Barat,

diindikasikan dengan persentase penduduk miskin yang lebih tinggi di Provinsi Papua.

Perkembangan tingkat kemiskinan di kedua Provinsi tersebut memang tidak hanya merupakan

hasil dari implementasi otonomi khusus. Namun demikian, implentasi otonomi khusus juga

memberikan andil tersendiri dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan. Artinya, dengan

memperhatikan kondisi kemiskinan secara makro yang jauh dari harapan tersebut, masih

banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat

Papua khususnya masyarakat asli Papua.

Indikator lain yang memperlihatkan kondisi kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua

Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia. Dibandingkan berbagai provinsi di Indonesia,

pada tahun 2009 Provinsi Papua masih mencatat IPM terendah sebesar 64,53 %. Provinsi

Papua memiliki IPM yang sedikit lebih baik di atas Provinsi Papua, yakni sebesar 68,58%.

Angka ini lebih baik dibandingkan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Di lingkup provinsi, secara umum terdapat peningkatan IPM di kabupaten/kota dari

tahun 2006-2008. Kabupaten Merauke merupakan daerah dengan IPM terendah di Provinsi

Papua, sementara Kota Jayapura memiliki IPM tertinggi. Sementara di Provinsi Papua Barat

secara umum terdapat perbaikan IPM di kabupaten/kota pada periode 2007-2010. Tahun

2010, Kabupaten Tambraw tercatat memiliki IPM terendah sebesar 50,51% sementara Kota

Sorong tercatat memiliki IPM tertinggi di Papua Barat sebesar 77,18%.

Persoalan lain yang perlu menjadi perhatian dalam pembangunan perekonomian

Provinsi Papua dan Papua Barat adalah persoalan kesenjangan perekonomian baik dalam

kabupaten maupun antar kabupaten dan kesenjangan antara provinsi dengan daerah lain di

Indonesia. Kesenjangan ekonomi di dalam kabupaten antara lain dapat dilihat dari rasio gini di

berbagai kabupaten di Provinsi Papua. Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Nabire, Kepulauan

Yapen, Puncak Jaya, Mappi, Pegunngan Bintang, Mimika, Tolikara, Yalimo, dan Dogiyai memiliki

rasio Gini sama dengan atau melebihi 30. Sementara untuk kabupaten/kota di Provinsi Papua

Barat data rasio gini tingkat provinsi pada tahun 2008 mencapai 0.36 dan menurun menjadi

0.35 pada tahun 2009. Angka ini menggambarkan ketidakmerataan yang rendah-sedang.

Namun demikian, kondisi perekonomian masyarakat Papua dan Papua Barat berada pada level

yang rendah.

98 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Persoalan pemerataan ekonomi antar kabupaten baik di Provinsi Papua maupun Papua

Barat dapat diperhatikan dari variasi diberbagai indikator seperti PDRB kabupaten/kota,

pertumbuhan ekonomi, maupun dari berbagai indikator kesejahteraan seperti persentase

penduduk miskin dan Indeks Pembanguan Manusia di berbagai kabupaten/kota sebagaimana

terlihat dalam grafik di bawah ini. Terdapat kecenderungan variasi yang lebih besar di

Provinsi Papua Barat, dibandingkan Provinsi Papua. Namun demikian, kondisi di Papua tampak

lebih mengelompok pada posisi bawah.

b. Pendidikan dan Kebudayaan Lahirnya sebuah kebijaksanaan publik dilatarbelakangi adanya suatu masalah. Masalah

yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Apa yang

diharapkan suatu negara atau masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di

masyarakat tersebut. demikian pula, Pendidikan dalam kebijakan otonomi khusus

mendapatkan prioritas utama dilatarbelakangi permasalahan pendidikan di Papua dan Papua

Barat seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Nur14 yang dikutip oleh KBR68,

permasalahan pendidikan Papua sudah sangat kompleks yaitu dari distribusi geografis,

keterbatasan guru atau tenaga pendidik, keterbatasan sarana prasarana dan menumbuhkan

semangat belajar terus menerus.

Permasalahan infrastruktur dengan wilayah geografis Papua yang sulit, memang

menjadi suatu kendala tersendiri dan diperparah dengan dengan kerusakan jalan menuju

tempat pendidikan juga ketersediaan sarana penunjang bagi para guru dengan terpencilnya

tempat tugas serta jaminan kesejahteraan bagi para guru ditambah persoalan rendahnya

semangat peserta didik dalam mengenyam pendidikan yang disebabkan rendahnya kesadaran

orang tua akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidup anaknya sehingga semakin

mempertegas permasalahan pendidikan di Papua.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap orang

mempunyai kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa dibedakan

menurut jenis kelamin, status sosial, ekonomi, agama dan lokasi geografis. Menyikapi

permasalahan–permasalahan pendidikan di Papua di atas, dalam kebijakan otonomi khusus

UU Nomor 21 Tahun 2001, Pendidikan mendapatkan porsi yang sangat penting dimana dalam

Pasal 36 disebutkan bahwa pendidikan harus dialokasikan sebesar 30% dari penerimaan

daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.

Pendidikan dan Kebudayaan sendiri diatur dalam sub bab tersendiri yaitu Bab XVI

dengan 3 (tiga) Pasal yaitu Pasal 56, 57 dan 58. Dalam Pasal 56 menyebutkan pemerintah 14 Menteri Pendidikan Nasional Kabinet sejak 22 Oktober 2009

99 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur,

dan jenis pendidikan di Provinsi Papua dengan menetapkan kebijakan umum tentang otonomi

perguruan tinggi, kurikulum inti dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis

pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan pemerintah

provinsi.

Kemudian, penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu

sampai tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya diberbagai

kesempatan yang wajib diberikan seluas–luasnya oleh pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota kepada lembaga keagamaaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha

untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dimaksud.

Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga dapat memberikan bantuan atau

subsidi kepada penyelenggaran pendidikan tersebut.

Pasal selanjutnya selanjutnya yaitu Pasal 57 dan 58 UU Nomor 21 Tahun 2001 diatur

masalah kebudayaan dimana pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan

mengembangkan kebudayaan asli Papua dengan memberikan peran serta sebesar-besarnya

kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, pemerintah provinsi juga

berkewajiban terhadap berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan

keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang

dimana dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris

sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan, untuk bahasa daerah masih dapat

digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar.

Dalam pelaksanaan kewajiban terkait pendidikan tersebut, telah diterbitkan peraturan

daerah propinsi (Perdasi) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Papua

yang berisi diantarannya menyangkut :

1) Hak atas pendidikan pola khusus bagi setiap orang

Papua.

2) Kewajiban setiap orang tua di Papua untuk

menyekolahkan anak serendah-rendahnya pada

jenjang pendidikan dasar.

3) Hak masyarakat dari keluarga ekonomi lemah dan tidak mampu membiayai pendidikan

serta memiliki kemampuan akademik untuk mendapatkan biaya pendidikan dari

Pemerintah dan Pemda.

4) Hak Pendidik dan tenaga pendidik yang bekerja di daerah terpencil untuk menerima gaji,

pension, tunjangan fungsional, tunjangan daerah terpencil serta tunjangan lain.

Jika dunia pendidikan tak diperhatikan, otomatis Papua mengalami “lost generation”. pemerintah wajib membuat

100 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

5) Pendidikan berasrama atau semi asrama yang diberikan ruang untuk menyesuaikan dengan

kebutuhan, lingkungan dan usia dan mengakui atau menghormati tradisi dan kebudayaan

masyarakat setempat.

6) Peran pemerintah kampung dan lembaga adat dalam membina dan mengembangkan

pendidikan kearifan lokal.

7) Penetapan bahasa inggris sebagai bahasa wajib kedua di lembaga-lembaga pendidikan

formal.

Kebijakan lain yang ditempuh Pemerintah Provinsi Papua adalah pembebasan biaya

pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta

didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah. Kebijakan diatur dengan Peraturan

Gubernur (Pergub) Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pembebasan Biaya

Pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Pengurangan Biaya Pendidikan bagi peserta

didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah.

Kebijakan yang baik tentunya harus dapat diikuti dengan implementasi yang baik pula di

lapangan dan dalam implementasinya. Bagi responden sektor pendidikan selama pelaksanaan

otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapatkan kemajuan yang signifikan, sebelum

otonomi khusus responden memandang pelaksanaan pendidikan sangat memprihatinkan

terlihat sebanyak 58% responden menyatakan kurang baik.

Berbeda dengan capaian pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus dimana 67%

menyatakan dalam kondisi baik (67%), 25% menyatakan sedang dan 8% menyatakan sangat

baik terlihat pada diagram di bawah ini :

Gambar 4.10 Persepsi tentang Capaian Kinerja Pendidikan dan Kebudayaan Sebelum dan Sesudah

Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam berbagai program-program

seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dalam Program Penelusuran

Pengembangan Potensi Putra-Putri Papua (P5), pengiriman anak-anak Papua ke Surya Institute

101 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

di Sorong Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke yang telah mengirimkan putra–putri

suku Marind ke Surya Institute sebanyak 50 (lima puluh) orang, sekolah dokter 3 (tiga) orang,

akademi penerbangan curug 3 (tiga) orang, IPB 3 (tiga) orang.

Pada pelaksanaan otonomi khusus, pendidikan diarahkan kepada keragaman kebutuhan

daerah dengan memperbesar muatan lokal, mengupayakan perluasan dan pemerataan

kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai

dengan karakteristik spesifik Papua seperti pendidikan berpola asrama.

Berdasarkan penjelasan narasumber dari Kabupaten Jayapura, Pelaksanaan

pembangunan di bidang pendidikan selama otonomi khusus khususnya dalam dana

pendidikan sebagian besarnya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber

utamanya APBD namun demikian, petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan

dana otonomi khusus secara lebih tepat sesuai dengan kebutuhan daerah belum ditetapkan

sehingga tidak ada ketegasan tentang penggunaan atau pemisahan antara yang bersumber

dari dana otonomi khusus dengan dana yang bersumber dari lainnya.

Narasumber lainnya menyatakan dalam kewenangan khusus, pendidikan merupakan

bidang yang paling diprioritaskan tetapi untuk menilai keberhasilan bidang ini tidak dapat

diukur dalam waktu satu atau dua tahun ke depan saja, seperti anak–anak Papua yang

disekolahkan pada Program P5.

Salah satu contoh pelaksanaan otonomi khusus dapat ditunjukkan dari program–

program yang diberikan dalam rangka otonomi khusus yang dilakukan oleh Kabupaten

Manokwari berikut ini :

Sektor pendidikan pada Kabupaten Manokwari diarahkan kepada pencapaian 3 (tiga)

sasaran yaitu :

1. Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini dan

meningkatnya angka partisipasi kasar dan murni SD, SLTP dan SLTA; Pencapaian sasaran

dilaksanakan melalui 3 program, yaitu Program Pendidikan Anak Usia Dini, Program Wajib

Belajar Sembilan Tahun dan Program Pendidikan Menengah. Pencapaian sasaran

berdasarkan hasil dari pelaksanaan program sampai tahun 2009 dapat dilihat pada table

dibawah ini :

Tabel. 4.15 Indikator Kinerja Hasil Pencapaian Sasaran Meningkatnya Proporsi Anak yang Terlayani pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Meningkatnya Angka Partisipasi

Program Indikator Satuan Realisasi

2006 Realisasi

2007 Realisasi

2008 Realisasi

2009 Pendidikan Anak Usia Dini

Dimanfaatkannya bantuan pelaksanaan pendidikan anak usia dini

PAUD 23 21 2 3

102 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Program Indikator Satuan Realisasi

2006 Realisasi

2007 Realisasi

2008 Realisasi

2009 Meningkatnya pengetahuan Guru non

formal PAUD Orang - 80 40 30

Meningkatnya pengetahuan Guru TK Orang 25 40 - - Dimanfaatkannya alat peraga edukatif TK Paket 9 14 5 3 Dimanfaatkannya ruang belajar TK 3 3 2 - PAUD - 1 - - Wajib Belajar 9 Tahun

Dimanfaatkannya ruang belajar Ruang 21 37 36 37

Rehabilitasi Gedung Sekolah SD Ruang 15 11 34 52 Rehabilitasi Gedung Sekolah SLTP Ruang 2 13 3 12 Dimanfaatkannya Meubelair SD Unit 600 420 750 180 Dimanfaatkannya Meubelair SMP Unit 27 300 480 450 Dimanfaatkannya rumah Guru SD Unit 15 41 8 16 Dimanfaatkannya rumah guru SMP Unit - 6 2 4 Dimanfaatkannya alat peraga Paket 10 5 - 6 Dimanfaatkannya computer untuk siswa Unit 30 40 - 8 Berfungsinya solar cell Unit 20 20 - - Terlaksananya ujian sekolah SD dan SMP Murid 5.511 5.748 5.781 5.781 Dimanfaatkannya seragam sekolah Pasang 18.812 24.520 19.440 19.714 Terdaftarnya murid baru di sekolah Murid 9.406 12.260 9.720 9.857

Dimilikinya buku raport bagi siswa baru Buku 9.406 12.260 9.720 9.857

Pendidikan Menengah

Dimanfaatkannya ruang belajar Ruang 7 7 7 7

Dimanfaatkannya rumah guru Unit 1 3 2 9 Dimanfaatkannya meubelair sekolah Unit 300 240 240 280 Dimanfaatkannya alat peraga Paket 6 7 6 3 Terlaksananya ujian sekolah Murid 1.818 2.155 2.151 2.511 Dimanfaatkannya seragam sekolah Pasang - 4.968 5.124 5.222 Terdaftarnya murid baru di sekoah Murid 1.993 2.848 2.565 2.611 Dimilikinya buku raport bagi siswa baru Buku - 2.848 2.565 2.611

2. Berkurangnya jumlah guru dengan kualifikasi tidak layak mengajar;

Pencapaian sasaran dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kualitas guru melalui

pelatihan, magang atau pendidikan lanjutan. Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur

melalui pencapaian 4 (empat) indikator sebagai berikut :

Tabel 4.16 Indikator Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidik/Manajemen

Pelayanan Kependidikan

Program Indikator Satuan Kondisi

2005 Realisasi

2006 Realisasi

2007 Realisasi

2008 Realisasi

2009

Peningkatan Mutu Prndidik dan Tenaga Pendidik/ Manajemen Pelayanan Kependidikan

Meningkatnya pengetahuan guru SD, SMP dan SMA

Orang n.a 444 514 294 323

Jumlah guru yang disekolahkan Orang n.a 41 96 270 703

Terbinanya guru melalui musyawarah guru mata pelajaran dan kelompok kerja guru

Orang n.a - 50 110 70

Tersedianya guru eksakta tingkat SMP dan SMA

Orang - - - 45 18

3. Terlaksananya pemerataan dan kesempatan pendidikan bagi semua masyarakat luas;

Keberhasilan pencapaian sasaran ini diukur melalui pencapaian 4 indikator kinerja hasil

yang dikembangkan dari indikator kinerja program/kegiatan tahun 2009

Tabel 4.17

103 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Indikator Bantuan Pendidikan

Hasil Indikator Satuan Kondisi

2005 Realisasi

2006 Realisasi

2007 Realisasi

2008 Realisasi

2009

Bantuan Pendidikan

Bantuan pendidikan luar sekolah Orang - 250 652 300 -

Dimanfaatkannya bantuan pendidikan Orang 1.670 2.259 2.507 3.768 4.223

Dimanfaatkannya bangunan tempat tinggal yang diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan belajar

Unit 4 12 14 12 4

Dimanfaatkannya bantuan untuk perguruan tinggi/sekolah tinggi

PT 5 5 5 5 7

Tentunya untuk mengukur seberapa sasaran dan sejauhmana pencapaian program

pendidikan yang sudah dicapai dan dampak akan kembali kepada data. Perkembangan bidang

pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat secara umum dapat diuraikan menurut berbagai

indikator berikut. Perkembangan komponen pendidikan direpresentasikan oleh angka melek

huruf dan rata–rata lama sekolah. Angka melek huruf menggambarkan persentase penduduk

umur 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya

sedangkan rata–rata lama sekolah menggambarkan rata–rata jumlah tahun yang dijalani oleh

penduduk untuk menempuh pendidikan formal.

1) Angka Partisipasi

Angka partisipasi pendidikan, yang mengindikasikan tingkat partisipasi penduduk dalam

mengakses program pendidikan, yang terdiri dari:

a) Angka Partisipasi Sekolah (APS), yang mengindikasikan seberapa besar akses dari

penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal di sekolah.

b) Angka Partisipasi Kasar (APK), mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang

mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. Angka APK ini bisa lebih besar

dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan,

mencakup anak diluar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan.

Secara umum, APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan

pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi

penduduk untuk mengenyam pendidikan.

c) Angka Partisipasi Murni (APM), yang mengindikasikan proporsi anak usia sekolah

yang dapat bersekolah tepat waktu.

Angka partisipasi sekolah dapat menggambarkan berapa banyak penduduk usia

pendidikan yang sedang bersekolah, sehingga terkait dengan pengentasan program wajib

belajar. Indikator inilah yang digunakan sebagai petunjuk berhasil tidaknya program tersebut.

104 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sebagai standar program wajib belajar dikatakan berhasil jika nilai APS SD (umur 7-12) > 95%,

SLTP (umur 13-15 tahun) > 70%, SLTA (umur 16-18 tahun) > 50%.

Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur pada tahun 2008, 2009 dan 2010

untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.18

Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008-2010

PROVINSI Angka Partisipasi Sekolah

2008 2009 2010

1 2 3 4 5

PAPUA 7 – 12 (SD) 13 – 15 (SLTP) 16 – 18 (SLTA)

76,16 73,69 49,79

76,16 73,69 47,59

76,22 74,39 48,28

PAPUA BARAT 7 – 12 (SD) 13 – 15 (SLTP) 16 – 18 (SLTA)

93,18 88,75 57,53

93,35 88,75 57,95

94,04 89,95 58,08

Sumber : BPS, Susenas, Tahun 2008, 2009 dan 2010

Berdasarkan data tersebut di Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2009 APS penduduk 7–12

tahun atau tingkat SD mencapai 76,16%, ini berarti masih terdapat 23,84% yang belum sekolah

atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010 sebesar 76,22%. Hal ini menggambarkan bahwa

terdapat sedikit peningkatan APS.

Untuk APS penduduk umur 13-15 tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 dan 2009 sebesar

73,60% artinya 26,40% masih belum sekolah atau tidak sekolah lagi, sedangkan tahun 2010

sebesar 74,39%, terdapat peningkatan. APS untuk umur 16-18 tahun atau tingkat SLTA tahun

2008 sebesar 49,70% kemudian menurun di 2009 sebesar 47,59% dan mengalami

peningkatan kembali tahun 2010 sebesar 48,28%.

Di Provinsi Papua Barat APS penduduk 7–12 tahun atau tingkat SD Tahun 2008 sebesar

93,18%, Tahun 2009 sebesar 93,35%, dan tahun 2010 sebesar 94,04%, APS penduduk 13–15

tahun atau tingkat SLTP tahun 2008 sebesar 88,75%, tahun 2009 sebesar 88,75% dan tahun

2010 sebesar 89,95%, sedangkan untuk APS penduduk umur 16–18 tahun atau tingkat SLTA

tahun 2008 sebesar 57,53%, tahun 2009 sebesar 57,95%, dan tahun 2010 sebesar 58,08%.

Hal ini menggambarkan bahwa APS di Provinsi Papua Barat terus mengalami peningkatan di

baik di tingkat SD, SLTP, dan SLTA.

Gambar 4.11

Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SD

105 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Gambar 4.12

Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SLTP

Gambar 4.13

Angka Partisipasi Sekolah Tingkat SLTA

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

2008 2009 2010

97,96 97,96 97,96

76,16 76,16 76,22

93,18 93,35 94,04

Pe

rse

n

Nasional

Papua

Papua Barat

-

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

2008 2009 2010

86,11 86,11 86,11

73,69 73,69 74,39

88,75 88,95 89,95

Pers

en

Nasional

Papua

Papua Barat

106 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Capaian APS di Provinsi Papua untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD tahun

2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 97,96%, APS usia 13-15 atau

tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target nasional sebesar 86,11%,

dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 belum memenuhi target

nasional sebesar 55,83%. Sehingga dikatakan penerapan program wajib belajar 9 tahun di

Provinsi Papua belum sepenuhnya berhasil, terutama pada jenjang pendidikan SD atau

sederajat.

Sedangkan di Provinsi Papua Barat untuk usia penduduk 7-12 tahun atau tingkat SD

tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah hampir mendekati target nasional sebesar 97,96%, APS

usia 13-15 atau tingkat SLTP tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah memenuhi target nasional

sebesar 86,11%, dan APS usia 16-18 atau tingkat SLTA tahun 2008, 2009, dan 2010 sudah

memenuhi target nasional sebesar 55,83%. Hal ini menggambarkan bahwa angka yang dicapai

Provinsi Papua Barat lebih tinggi dari Provinsi Papua, sementara untuk APS per kabupaten

pada Provinsi Papua Barat tahun 2010 disajikan pada gambar berikut.

Gambar 4.14 APS Penduduk Jenjang 7-12, 13-15, 16-18, dan 19-24 di Kabupaten/Kota Provinsi Papua

Barat

-

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

2008 2009 2010

55,83 55,83 55,83

49,79 47,59 48,28

57,53 57,95 58,08

Pers

en

Nasional

Papua

Papua Barat

107 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : BPS Papua Barat, Tahun 2011

Berdasarkan gambar diatas, terlihat sebagian besar Kabupaten di Provinsi Papua Barat

pada tahun 2010 telah memenuhi target wajib belajar yaitu dengan APS untuk jenjang umur

7–12 yang telah mencapai 95% diantaranya Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten

Teluk Bintuni, Kabupaten Kaimana bahkan Kabupaten Maybrat capaian APS mencapai 100%

artinya pada Kabupaten Maybrat mampu mengenyam pendidikan dasar. Untuk jenjang umur

13-15, semua kabupaten pada Provinsi Papua Barat telah mencapai lebih dari 70% artinya

untuk propinsi Papua Barat, program–program pengentasan program wajib belajar 9 tahun

telah berjalan dengan baik.

Untuk jenjang usia 19–24, tercatat Kabupaten Manokwari memiliki APS tertinggi

diantara Kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat yaitu 21.7% artinya 21.76% penduduknya

melanjutkan sekolahnya ke bangku perguruan tinggi sedangkan terendah adalah Kabupaten

Kaimana yang hanya 3.46%, hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan akses untuk melanjutkan

pada perguruan tinggi di kabupaten tersebut yang kurang sehingga terjadi keengganan

penduduk kabupaten tersebut untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lainnya.

Indikator lainnya adalah yang digunakan untuk mengukur partisipasi sekolah adalah

angka partisipasi kasar (APK). Indikator ini digunakan untuk mengukur seberapa besar

108 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

penduduk bersekolah pada tingkat pendidikan tertentu pada interval usia di tingkat sekolah

tersebut.

Untuk Papua Barat, secara agregat terjadi peningkatan APK di hampir seluruh jenjang

pendidikan kecuali pada jenjang pendidikan SD/MI dibandingkan tahun 2009, sehingga secara

umum pola ini menunjukkan terjadi peningkatan yang positif pada perbaikan kondisi

pendidikan di tahun 2010.

Tabel 4.19

Angka Partisipasi Kasar Provinsi Papua Barat Tahun 2010

No Kabupaten/Kota Jenjang Pendidikan

SD/MI SLTP/MTs SMU/MA Perguruan Tinggi

1 2 3 4 5 6 1 Kabupaten Fakfak 111.8 58.46 70.87 16.45 2 Kabupaten Kaimana 119.62 54.35 36.18 3.2 3 Kabupaten Teluk Wondama 117.65 87.72 50 9.24 4 Kabupaten Teluk Bintuni 117.25 55.77 40.43 7.06 5 Kabupaten Manokwari 110.96 68.07 84.48 29.36 6 Kabupaten Sorong Selatan 112.26 43.24 32.95 9.94 7 Kabupaten Sorong 117.89 59.52 73.68 6.49 8 Kabupaten Raja Ampat 142.15 62 48.65 8.7 9 Kabupaten Tawbraw 107.98 67.35 46.15 5

10 Kabupaten Maybrat 125.2 61.22 82.35 5 11 Kota Sorong 108.74 84.06 86.25 18.54 12 Papua Barat (2010) 115 66.68 72.07 16.8 13 Papua Barat (2009) 117.5 66.29 62.04 8.41 14 Papua Barat (2008) 112.68 89.99 57.25 9.73

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinisi Papua Barat, Tahun 2011.

APK SD tahun 2010 sebesar 115% artinya masih terdapat penduduk di luar usia sekolah

SD/MI (7-12 tahun) yang sedang bersekolah SD/MI karena APK berada diatas 100%. Dengan

kata lain, 15% siswa yang sedang bersekolah SD/MI berada diluar usia sekolah SD/MI.

Kontribusi paling tinggi yang menjadikan capaian APK Provinsi Papua Barat tahun 2010,

dimiliki oleh Kabupaten Raja Ampat dengan APK yang mencapai 142.15% atau 42.15% siswa

yang sedang bersekolah SD/MI di Kabupaten Raja Ampat berada diluar usia sekolah SD/MI.

APK SLTP/MTs Papua Barat tahun 2010 hanya 66,68% artinya banyaknya penduduk

yang bersekolah di SLTP/MTs sebesar 66,68% diantara penduduk usia 13–15 tahun selebihnya

tidak sedang menempuh pendidikan karena tidak putus sekolah, tidak mampu melanjutkan

pendidikan atau karena alasan lainnya. Distribusi APK SLTP/MTs menunjukkan APK

Kabupaten Sorong Selatan memiliki nilai terendah yaitu sebesar 43,24% artinya lebih dari

setengah penduduk usia 13–15 tahun pada kabupaten tersebut tidak melanjutkan sekolah.

Selanjutnya, angka partisipasi murni (APM) adalah indikator yang digunakan untuk

mendeteksi partisipasi penduduk yang bersekolah tepat pada waktunya. APM dibagi menjadi

109 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kelompok APM SD untuk penduduk yang berusia 7–12 tahun, APM SLTP untuk penduduk yang

berusia 13–15 tahun dan APM SLTA untuk penduduk yang berusia 16–18 serta APM perguruan

tinggi untuk penduduk yang berusia 19–24 tahun.

Tabel 4.20 Angka Partisipasi Murni Provinsi Papua Barat tahun 2010

No. Kabupaten/Kota

Jenjang Pendidikan

SD/MI SLTP/MTs SMU/MA Perguruan

Tinggi 1 2 3 4 5 6 1 Fakfak 93.42 48.74 46.12 10.08 2 Kaimana 95.8 38.98 26.28 0.8 3 Teluk Wondama 83.66 56.14 25 3.36 4 Teluk Bintuni 97.31 41.51 19.87 3 5 Manokwari 88.44 55.34 51.26 11.69 6 Sorong Selatan 89.17 30.61 17.92 3.47 7 Sorong 93.68 47.62 42.11 1.3 8 Raja Ampat 95.04 42 21.62 n.a. 9 Tawbraw 90.96 48.98 35.9 5

10 Maybrat 97.56 38.78 66.18 5 11 Kota Sorong 91.26 57.97 50 9.55 12 Papua Barat (2010) 91.91 49.65 43.93 7.36 13 Papua Barat (2009) 91.25 49.03 43.55 6.25 14 Papua Barat (2008) 90.71 48.92 43.61 6.06

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS ) Provinsi Papua Barat, Tahun 2011

APM Provinsi Papua Barat mengalami peningkatan di semua level pendidikan

dibandingkan tahun 2009. APM SD/MI meningkat menjadi 91,91%, APM ini menunjukkan

bahwa hampir 92 dari 100 penduduk usia 7-12 tahun sedang bersekolah SD/MI.

APM SLTP/MTS meningkat menjadi 49.65% dari sebelumnya pada tahun 2009 yaitu

49.03%. APM SLTP/MTs yang jauh lebih kecil dari APM SD/MI memberikan gambaran bahwa

jumlah penduduk usia 13–15 tahun yang ikut berpartisipasi sekolah SLTP/MTs dibandingkan

yang berpartisipasi sekolah SD/MI pada usia 7-12 tahun sangat rendah atau dapat dikatakan

banyak penduduk usia 13–15 yang tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP/MTs.

Kecenderungan yang terlihat dari APM tersebut adalah bahwa semakin tinggi jenjang

pendidikan yang ditempuh maka tingkat partisipasinya semakin rendah dengan demikian

dapat diartikan semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi pula

angka putus sekolah. Kesenjangan antara APM SD/MI dengan APM SLTP/MTs menandakan

bahwa putus sekolah terbesar adalah ketika siswa menyelesaikan pendidikan SD/MI dan akan

melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTP/MTs.

Berdasarkan sebaran menurut kabupaten/kota, APM tertinggi untuk jenjang pendidikan

SD/MI berada pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 97,56% ; APM SLTP/MTs pada Kota

110 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sorong yaitu sebesar 57,97%; APM SLTA/MA pada Kabupaten Maybrat yaitu sebesar 66,18%

dan APM Perguruan tinggi pada Kabupaten Manokwari sebesar 11,69%.

2) Angka Melek Huruf

Salah satu faktor untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Provinsi Papua dan

Papua Barat yaitu melalui perkembangan angka melek huruf, yaitu indikasi dari kemampuan

seseorang untuk membaca dan menulis. Dalam hal angka melek huruf adalah persentase

penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf

lainnya.

Untuk Provinsi Papua, angka melek huruf masih dikategorikan terendah dengan dari 29

kabupaten yang ada saat ini, sebagian besar angka melek hurufnya masih dibawah 50% atau

dapat dikatakan 50% penduduknya belum dapat membaca dan menulis. Pencapaian angka

melek huruf tertinggi adalah Kota Jayapura sebesar 99,09% yang berarti 99,09% penduduknya

dapat membaca dan menulis sedangkan terendah adalah Kabupaten Nduga sebesar 30,52%

yang berarti hanya 30,52% penduduknya yang dapat membaca dan menulis. Perbandingan

antara Penduduk yang masih buta huruf dengan Jumlah penduduk dapat disajikan pada

gambar berikut ini :

Gambar 4.15 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Penduduk Belum Melek Huruf

111 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi Papua Tahun 2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2010.

Dalam gambar di atas terlihat bahwa penduduk yang masih buta huruf pada kabupaten

Provinsi Papua beragam namun demikian jumlah penduduk yang belum melek huruf pada

provinsi Papua ini terbilang tinggi. Tercatat Kabupaten Nduga 83,67% penduduknya masih

belum melek huruf. Tingkatan paling baik dicapai oleh Kota Jayapura yang hanya 3,77%

penduduknya belum melek huruf. Sementara, angka melek huruf di Provinsi Papua Barat terus

mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seperti tergambar pada grafik di bawah ini :

Gambar 4.16 Capaian Angka Melek Huruf Provinsi Papua Barat

112 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : Badan Pusat statistik Papua Barat, Tahun 2011.

Angka melek huruf di Provinsi Papua Barat tahun 2010 mencapai 93,19% atau

mengalami peningkatan di bandingkan kondisi tahun–tahun sebelumnya yaitu tahun 2005

sampai dengan tahun 2009 dimana tahun 2005 sebesar 85,4%, tahun 2006 sebesar 88,55%,

tahun 2007 sebesar 90,32%, tahun 2008 sebesar 92,15% dan tahun 2009 sebesar 92,34%.

Perkembangan angka melek huruf ini menandakan bahwa kondisi angka buta huruf di

Provinsi Papua Barat terus mengalami penurunan dengan semakin tingginya masyarakat yang

telah atau bisa membaca dan menulis.

Semakin tinggi angka melek huruf maka kenaikan persentase angka melek huruf ini akan

cenderung semakin lambat, dalam artian pertumbuhan angka melek hurufnya semakin kecil

atau mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar di bawah ini:

Gambar 4.17 Perubahan Angka Melek Huruf di Provinsi Papua Barat Tahun 2005 - 2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005-2010.

Selama kurun waktu 2009–2010 angka melek huruf provinsi Papua Barat mengalami

peningkatan sebesar 0,85 poin dan untuk periode 2008–2010 mengalami perubahan sebesar

1,04 poin sedangkan untuk periode 2006–2008, angka melek huruf di Papua Barat mengalami

perubahan sebesar 3,6 lebih tinggi dari periode 2008–2010. Selanjutnya, perkembangan angka

113 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

melek huruf menurut kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat dari tahun 2005–2010 dapat

dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.18 Melek Huruf menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010

Secara lebih terperinci pencapaian dan peningkatannya tersaji dalam tabel di bawah ini :

Tabel 4.21 Peningkatan Angka Melek Huruf Per Kabupaten/Kota

Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2005-2010.

Dari gambar dan tabel diatas, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki peningkatan yang

sangat tinggi untuk tahun 2005–2010 dengan perubahan sebesar 13,95 poin, namun untuk

pencapaian angka melek hurufnya masih termasuk tiga terendah (85,9) Kabupaten di Provinsi

No Kabupaten/Kota Tahun Peningkatan 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Fak – fak 95.9 95.98 97.17 97.13 97.18 97.46 1.56 2 Kaimana 91.2 91.2 95.48 95.48 95.49 95.5 4.3 3 teluk Wondama 70.1 80.43 81.02 82.85 83.13 84.05 13.95 4 Teluk Bintuni 70 78.53 80.84 82.67 82.98 85.9 15.9 5 Manokwari 77.2 83.54 83.54 85.37 85.67 87.79 10.59 6 Sorong Selatan 87.2 87.9 87.9 88.07 88.2 88.32 1.12 7 Sorong 90.3 91.39 91.39 91.39 91.4 91.69 1.39 8 Raja Ampat 86.3 89.93 89.93 92.69 92.77 93.62 7.32 9 Tambrauw 0 0 0 0 76.38 77.15 0.77

10 Maybrat 0 0 0 0 89.8 90.73 0.93 11 Kota Sorong 99.1 99.1 99.1 99.1 99.12 99.13 0.03

114 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Papua Barat. Pencapaian angka melek huruf terendah adalah kabupaten pemekaran baru

Tambrauw yaitu sebesar 77,15% dan Kabupaten Teluk Wondama sebesar 84,05%.

3) Rata-rata lama sekolah

Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk

berumur 15 tahun atau lebih untuk menempuh suatu jenjang pendidikan formal yang pernah

dijalani.

Untuk Provinsi Papua Barat, Angka rata–rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat dari

tahun 2006–2010 terjadi peningkatan walaupan bergerak lambat dimana pada tahun 2006

rata–rata lama sekolah adalah sebesar 7,2 tahun, pada tahun 2007 sebesar 7,65 tahun, pada

tahun 2008 sebesar 7,67 tahun, pada tahun 2009 sebesar 8,01 tahun dan tahun 2010

meningkat sebesar 8,21 tahun. Rata – rata lama sekolah dapat dilihat pada grafik di bawah :

Gambar 4.19 Rata–rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat Tahun 2006 - 2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, tahun 2006-2010

Dari gambar grafik tersebut, angka rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua Barat pada

tahun 2009-2010 mencapai 8,01 tahun dan 8,21 tahun atau mengalami peningkatan sebesar

0,20 tahun. Untuk tahun 2008 mencapai 7,67 tahun dengan perubahan yang sangat lambat

yaitu sebesar 0,02 dari tahun 2007 berbeda dengan tahun 2006–2007 mengalami perubahan

yang cukup besar yaitu sebesar 0,45 tahun. Untuk perubahan angka rata–rata lama sekolah di

Provinsi Papua Barat dari tahun 2006–2010 dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

115 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Gambar 4.20 Perubahan rata–rata lama sekolah Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2010

Sumber : Badan Pusat statistik, tahun 2006-20010

Angka rata–rata 8,21 tahun mengandung arti bahwa rata-rata penduduk provinsi Papua

Barat hanya mengenyam pendidikan samapi dengan kelas 2 SLTP atau putus sekolah pada

kelas 3 SLTP, hal ini berarti bahwa dari tahun 2006–2010 kondisi pendidikan masyarakat di

Provinsi Papua Barat semakin membaik, sedangkan di Provinsi Papua rata-rata lama sekolah

tahun 2010 pencapaian angka 6,4 tahun berarti rata-rata penduduk Provinsi Papua hanya

mengenyam pendidikan sampai dengan kelas 6 SD.

Tingkat pendidikan sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu indikator yang

digunakan untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu suatu alat pengukuran

keberhasilan yang dilihat dari seberapa besar permasalahan mendasar di masyarakat dapat

teratasi seperti kemiskinan, penggangguran, gizi buruk dan buta huruf. Secara nasional IPM

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2008 masih tergolong rendah dari 33 Provinsi

(BP3D RI, 2009). Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.22 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi secara Nasional Tahun 2008

No Provinsi IPM No Provinsi IPM 1 2 3 4 5 6

1 Aceh 70,76 18 Nusa Tenggara Barat 64,12 2 Sumatra Utara 73,29 19 Nusa Tenggara Timur 66,15 3 Sumatra Barat 72,96 20 Kalimantan Barat 68,17 4 Riau 75,09 21 Kalimantan Tengah 73,88 5 Jambi 71,99 22 Kalimantan Selatan 68,72 6 Sumatra Selatan 72,05 23 Kalimantan Timur 74,52 7 Bengkulu 72,14 24 Sulawesi Utara 75,16 8 Lampung 70,30 25 Sulawesi Tengah 70,09 9 Bangka Belitung 72,19 26 Sulawesi Selatan 70,22 10 Kepulauan Riau 74,18 27 Sulawesi Tenggara 69,00 11 DKI Jakarta 77,03 28 Gorontalo 69,29 12 Jawa Barat 71,12 29 Sulawesi Barat 68,55 13 Jawa Tengah 71,60 30 Maluku 70,38

116 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

No Provinsi IPM No Provinsi IPM 1 2 3 4 5 6

14 Yogyakarta 74,88 31 Maluku Utara 68,18 15 Jawa Timur 70,38 32 Papua Barat 67,95 16 Banten 69,70 33 Papua 64,00 17 Bali 70,98

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2008.

Dari tabel diatas terlihat bahwa IPM secara nasional pada tahun 2008, baik Provinsi

Papua maupun Provinsi Papua Barat masih berada pada kisaran terendah dibandingkan

dengan provinsi lainnya, oleh sebab itu diperlukan kerja keras dalam perbaikan dan

peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

diharapkan merupakan salah satu upaya dalam mengejar ketertinggalan dengan provinsi

lainnya.

c. Kesehatan Pasal 59 dan 60 UU Nomor 21 tahun 2001, mengatur mengenai sektor kesehatan

dimana pada Pasal 59 disebutkan bahwa pemerintah rovinsi berkewajiban menetapkan

standard mutu dan memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk. Selain itu pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten diwajibkan untuk dapat mencegah dan

menanggulangi penyakit–penyakit endemis dan/atau penyakit–penyakit yang membahayakan

kelangsungan hidup penduduk. Kemudian, disebutkan juga bahwa setiap penduduk Papua

berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah–rendahnya.

Selanjutnya, dalam pasal 60 disebutkan dengan kewajiban bagi pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program–program

perbaikan dan peningkatan gizi penduduk yang pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga

keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.

Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra putri asli Papua. Terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan, maupun kualitas dan ketersediaan sarana pendidikan dan sumberdaya manusia pendidiknya. Bidang ini mendapat dukungan yang besar dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD. Diperlukan petunjuk pelaksanaan yang mengiringi tentang penggunaan dana otsus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada ketegasan tentang bagaimana pencapaian-pencapaian yang harus dilakukan terkait penggunaan dana otonomi khusus di bidang pendidikan.

117 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Bidang kesehatan pada pelaksanaan otonomi khusus diarahkan pada peningkatan mutu

lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja,

pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat

kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga

medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.

Dari sisi pembiayaan otonomi khusus untuk bidang kesehatan yang dialokasikan

Pemerintah Provinsi Papua, terdapat kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan pada

kurun tahun anggaran 2005-2011. Tahun Anggaran 2002 tercatat dana yang digulirkan

berjumlah 87,24 milyar rupiah. Pada tahun anggaran berikutnya turun menjadi 85,19 milyar

rupiah. Pada tahun 2004 dana tersebut turun menjadi 63,90 milyar rupiah.

Masalah kesehatan di Papua masih belum tertanggani secara baik akibat pelayanan

kesehatan yang belum memuaskan dengan minimnya sarana pelayanan dan alat–alat

kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah Sakit. Provinsi Papua, dengan

wilayah yang cukup luas dan kondisi geografis yang cukup sulit, memerlukan dukungan sarana

kesehatan yang memadai. Dengan rata-rata jarak dari provinsi ke kabupaten yang cukup jauh,

diperkirakan biaya biaya rata-rata perjalanan dari provinsi ke kabupaten berkisar Rp.

4.252.000,-, Sementara rata-rata biaya diperlukan dari Puskesmas ke desa berkisar Rp

1.044.000,-.15 Situasi ini jelas memperlihatkan perlunya mendekatkan sarana-sarana pelayanan

kesehatan pada masyarakat, salah satunya untuk menurunkan biaya yang harus ditanggung

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Gambaran perkembangan bidang kesehatan secara umum dapat diuraikan sebagaimana

berikut. Aspek yang utama mendapat sorotan dalam hal ini adalah ketersediaan sarana

kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Hal ini mengingat kebutuhan ini sangat mendasar

yang perlu dipenuhi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

1) Sarana Kesehatan

Berdasarkan distribusinya baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tidak

semua kabupatennya memiliki rumah sakit sendiri. Dari 29 Kabupaten yang ada di Provinsi

Papua pada tahun 2010 hanya 16 Kabupaten yang memiliki rumah sakit sendiri sedangkan 13

Kabupaten lainnya tidak memiliki rumah sakit.

Gambar 4.21 Jumlah Rumah Sakit Dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit

per 10.00 penduduk Tahun 2010 Provinsi Papua

15 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua

118 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : Badan Pusat Statistik Dan Hasil Data Diolah.

Kondisi yang berbeda dialami oleh Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 hampir setiap

kabupaten telah memiliki rumah sakit, adapun 4 (empat) kabupaten yang belum memiliki, 2

(dua) kabupaten tersebut merupakan kabupaten pemekaran baru yaiut Kabupaten Maybrat

dan Kabupaten Tambrauw. Kabupaten Raja Ampat dimana pada tahun 2010 ini baru memiliki

1 (satu) rumah sakit setelah tahun sebelumnya belum memiliki.

Jumlah rumah sakit di Provinsi Papua Barat hanya berjumlah 13 unit, 6 (enam)

diantaranya berada di Kota Sorong dan 3 (tiga) di Kabupaten Manokwari dan 1 (satu) di

Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten

Sorong, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak. Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk

Wondama, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw belum memiliki rumah sakit.

Gambar 4.22 Jumlah Rumah Sakit dan Rasio Penduduk Terhadap Rumah Sakit per 10.000 Penduduk

Tahun 2010 Provinsi Papua Barat

119 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Hasil Data Diolah

Dilihat dari rasio penduduk terhadap rumah sakit pada Provinsi Papua tercatat

Kabupaten Pengunungan Jaya Wijaya memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:196.100 artinya

satu rumah sakit di Kabupaten tersebut harus melayani sebanyak 196.100 penduduk atau

dapat dikatakan bahwa semua penduduk di Kabupaten Pengunungan Jayawijaya hanya

terlayani oleh satu rumah sakit saja. Sementara untuk Papua Barat tercatat bahwa Kabupaten

Sorong selatan memiliki rasio yang paling besar yaitu 1:70.600. artinya 70.000 penduduk

Kabupaten Sorong selatan hanya terlayani oleh 1 (satu) rumah sakit saja.

Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Papua, meski cenderung mengalami peningkatan

jumlahnya, namun belum mencukupi. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan di

Provinsi Papua dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.23 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan

di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

SARANA PELAYANAN KESEHATAN

TAHUN

2006 2007 2008 2009 2010

RS PEMERINTAH 10 11 12 16 16

PUSKESMAS 230 245 260 296 310

PUSKESMAS PEMBANTU 735 735 731 703 685

PONDOK BERSALIN n.a 454 497 497 n.a Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Tahun 2006-2010.

Di samping ketersediaan yang masih minim tersebut, Pemerintah Provinsi Papua

mencatat berbagai tantangan antara lain adanya sekitar 40% dari puskesmas tersebut tidak

memiliki dokter, 26,65% pustu tak memiliki tenaga kesehatan, dan 41,4% pondok bersalin

kampung tak memiliki bidan. Selain itu sekitar 7% dari jumlah distrik yang ada tidak

120 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

mempunyai Puskesmas. Bahkan sejumlah besar kampung belum memiliki sarana pelayanan

kesehatan dan tenaga pelayanan kesehatan, sehingga akses ke tempat pelayanan terdekat

dapat mencapai 1–22,8 jam.

Kondisi yang ada di Provinsi Papua Barat, tidak jauh beda dengan kondisi pada Provinsi

Papua. Perkembangan jumlah sarana pelayanan kesehatan dari tahun 2006-2009 dapat

disaksikan pada tabel berikut. Terdapat peningkatan jumlah rumah sakit, namun dengan

jumlah tersebut masih sangat kurang. Demikian halnya dengan keberadaan puskesmas,

maupun pondok bersalin desa.

Tabel 4.24 Perkembangan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan

di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2009

Sumber : Papua Barat dalam Angka, Tahun 2006-2009.

Gambar 4.23

Perkembangan Sarana Kesehatan Rumah Sakit

Gambar 4.24

Perkembangan Sarana Kesehatan Puskesmas

12

16 16

10

1314

0

5

10

15

20

2008 2009 2010

Uni

t

PapuaPapua Barat

SARANAPELAYANAN KESEHATAN

TAHUN

2006 2007 2008 2009

1 2 3 4 5

RUMAH SAKIT 10 10 10 13

PUSKESMAS 76 76 94 105

PUSKESMAS PEMBANTU 334 334 339 339

POLINDES 217 217 185 218

121 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

2) Tenaga Kesehatan

Kesehatan mendapatkan porsi penting, dimana pembiayaan dana otonomi khusus

terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, bahwa kesehatan juga

menerima sekurang-kurangnya porsi 15% dari penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota.

Untuk implementasi otonomi khusus di level kabupaten/kota.

Dalam pembangunan kesehatan, faktor penggerak utamanya adalah sumber daya

manusia. SDM kesehatan yang berkualitas menentukan keberhasilan dari seluruh proses

pembangunan tersebut. Informasi tenaga kesehatan diperlukan bagi perencanaan dan

pengadaan tenaga serta pengelolaan pegawai. Kesulitan memperoleh data tenaga kesehatan

yang mutakhir disebabkan antara lain oleh sifat dari data ketenagaan yang selalu berubah

dengan cepat dan terus menerus dari waktu ke waktu.

Perkembangan tenaga kesehatan baik dokter, bidan, perawat maupun tenaga kesehatan

lainnya mengalami peningkatan. Hal ini dapat dipahami bahwa pemerintah provinsi menyadari

pentingnya peran kesehatan dalam kemajuan pembangunan daerahnya dan dengan misi untuk

mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan

menjadi salah satu cara atau arah dari indikator keberhasilan tersebut. Peningkatan tenaga

kesehatan ini juga disadari oleh Provinsi Papua Barat dimana dalam tiga tahun terakhir

mengalami peningkatan jumlah dokter yang cukup signifikan.

Gambar 4.25 Perkembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2007-2010 Provinsi Papua

260

296320

94 105 110

0

50

100

150

200

250

300

350

2008 2009 2010

Uni

t

Papua

Papua Barat

122 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Berdasarkan gambar di atas terlihat trend yang meningkat untuk masing-masing

tenaga kesehatan pada Provinsi Papua dimana Jumlah Dokter Umum tahun 2007 sebesar 248

orang meningkat pada tahun 2010 menjadi 551 orang, begitupun jumlah dokter gigi dan dokter

spesialis yang memiliki peningkatan jumlah yang cukup signifikan pada tahun 2010

dibandingkan tahun 2007. Hal yang sama tentunya berlaku pula pada Bidan, Perawat dan

tenaga kesehatan lainnya.

Seperti halnya Provinsi Papua tersebut, Provinsi Papua Barat juga mengalami

peningkatan jumlah dokter dimana jumlah dokter meningkat lebih dari 2 (dua) kali lipat

dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini menandakan pula sebagai salah satu provinsi

termuda di Indonesia, peningkatan tenaga kesehatan menjadi salah satu prioritas utama

Pemerintah Provinsi Papua Barat dalam kemajuan pembangunan daerahnya.

Gambar 4.26 Perkembangan Tenaga Dokter Umum Tahun 2008-2010

123 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dalam gambar diatas terlihat peningkatan jumlah dokter dari tahun 2008 hingga tahun

2010 dari 56 orang menjadi 188 orang artinya dalam 3 (tiga) tahun terakhir terjadi

peningkatan sebesar 132 orang dokter di Provinsi Papua Barat.

Sementara, jumlah dokter umum yang bertugas di kabupaten/kota Provinsi Papua dan

Papua Barat adalah sebanyak 700 orang dengan 551 orang di Provinsi Papua dan 149 orang di

Provinsi Papua Barat. Kebutuhan terhadap dokter umum jika dihitung dengan menggunakan

rasio setiap 30 dokter umum melayani 100.000 penduduk dan berdasarkan data BPS

Penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 adalah 2.771.262 jiwa dan

760.855 jiwa maka kebutuhan tenaga dokter umum berdasarkan rasio tersebut untuk Provinsi

Papua adalah 830 orang dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar 228 orang. Berarti dapat

dikatakan bahwa Provinsi Papua masih kekurangan tenaga dokter umum sebanyak 279 orang

untuk Provinsi Papua dan 79 orang untuk Provinsi Papua Barat. Ratio per kabupaten/kota

untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.27 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Barat Per Kabupaten

420

504551

56

148188

050

100150200250300350400450500550600

2008 2009 2010

Ora

ng

PapuaPapua Barat

124 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dengan asumsi 30 dokter umum melayani paling tidak 100.000 penduduk, pada

gambar di atas sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mengalami kekurangan

jumlah dokter umum. Tercatat Kota Sorong paling besar mengalami kekurangan tenaga dokter

umum yaitu sebanyak 47 orang, Kabupaten Raja Ampat masih membutuhkan 1 orang,

Kabupaten Sorong sekitar 16 dokter umum, dan Kabupaten Manokwari sekitar 24 dokter,

bahkan 2 (dua) Kabupaten Pemekaran baru belum memiliki dokter umum sama sekali.

Sementara pada kabupaten/kota di Provinsi Papua terlihat Kota Jayapura memiliki

jumlah dokter umum yang lebih besar daripada kebutuhan dokter umum yang ada atau dapat

dikatakan bahwa sebagian besar tenaga dokter berada di Kota Jayapura sedangkan daerah-

daerah yang memiliki kondisi geografis yang lebih sulit justru sangat kekurangan tenaga

dokter.

Gambar 4.28 Kebutuhan dan Dokter yang ada Pada Provinsi Papua Per Kabupaten

125 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : Badan Pusat Statistik, Data diolah

Dari gambar diatas terlihat bahwa jumlah dokter yang ada pada Kota Jayapura pada

tahun 2010 adalah sebesar 84 orang sedangkan kebutuhan dokter dengan jumlah penduduk

pada Kota Jayapura sebesar 256.705 orang, dengan asumsi 30 dokter umum melayani 100.000

penduduk maka kebutuhan dokter umum untuk Provinsi Papua sebesar 77 dokter. Dari

gambar tersebut juga terlihat sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat masih

mengalami kekurangan dokter umum dan selain faktor geografis juga ada sebagian wilayah

yang merupakan kabupaten pemekaran baru menjadikan penyebaran dokter umum di

126 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi ini tidak dapat sesuai dengan proporsinya seperti Kabupaten Intan Jaya yang

merupakan kabupaten pemekaran baru dengan faktor geografisnya yang yang hanya memiliki

1 (satu) orang dokter umum atau Kabupaten Lanny Jaya dengan kondisi geografisnya berbukit-

bukit ternyata jumlah dokter umumnya hanya 5 orang masih jauh dikatakan untuk

proporsional bila dikaitkan dengan jumlah kebutuhan dokter di kabupaten tersebut.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kondisi ketersediaan dokter maupun tenaga

kesehatan lainnya juga memperlihatkan upaya pelayanan kesehatan yang masih kurang di

provinsi ini. Ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan lainnya juga bervariasi diberbagai

kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.25 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2009

No Kabupaten/Kota Dokter Spesialis Dokter Umum Dokter Gigi

Puskesmas Rumah

Sakit Puskesmas Rumah

Sakit Puskesmas Rumah

Sakit

1 Merauke 0 9 33 12 6 3 2 Jayawijaya 0 7 10 10 2 2 3 Jayapura 0 6 19 12 5 2 4 Nabire 0 7 17 9 5 1 5 Kepulauan Yapen 0 8 6 7 2 1 6 Biak Nomfor 0 8 15 14 3 1 7 Paniai 0 2 7 8 0 1 8 Puncak jaya 0 0 5 6 3 1 9 Mimika 0 5 17 18 2 2

10 Boven Digoel 0 n.a 11 n.a 2 n.a 11 Mappi - n.a 21 4 3 1 12 Asmat - 1 21 13 2 1 13 Yahukimo 0 n.a 15 n.a 1 n.a 14 Pegunungan Bintang 0 n.a 10 n.a 0 n.a 15 Tolikara 0 n.a 15 n.a 1 n.a 16 Sarmi 0 n.a 10 n.a 2 n.a 17 Keerom 0 0 12 4 1 4 18 Waropen 0 n.a 2 n.a 0 n.a 19 Supiori 0 n.a 7 n.a 1 n.a 20 Mamberamo Raya 0 n.a 8 n.a 0 n.a 21 Nduga 0 n.a 1 n.a 0 n.a 22 Lanny Jaya 0 n.a 2 n.a 0 n.a 23 Mamberamo Tengah 0 n.a 2 n.a 0 n.a 24 Yalimo 0 n.a 2 n.a 0 n.a 25 Puncak 0 n.a 4 n.a 0 n.a 26 Dogiyai 0 n.a 1 n.a 0 n.a 27 Kota Jayapura 0 45 14 84 7 18

JUMLAH 0 98 287 201 48 35

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Tahun 2009.

Berdasarkan data yang disampaikan Dinas Kesehatan Provinsi, Provinsi Papua masih

kekurangan tenaga bidan. Dengan perhitungan satu bidan satu kampung, provinsi ini masih

127 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

membutuhkan sekitar 2524 bidan, dengan perkiraan sampai tahun 2018 baru dapat terpenuhi.

Demikian halnya dengan tenaga gizi, perawat, tenaga analis, kesehatan lingkungan, farmasi,

perawat gigi, masih memerlukan cukup banyak tenaga untuk mengisi berbagai sarana

pelayanan kesehatan.

Sementara di Provinsi Papua Barat, ketersediaan tenaga medis di provinsi ini juga

menunjukkan kurangnya tenaga pelayanan kesehatan di Provinsi tersebut. Meskipun dari

tahun 2006 sampai tahun 2009 terdapat peningkatan jumlah dokter, kondisi yang ada masih

jauh dari yang dibutuhkan. Dari tabel berikut, terlihat Provinsi Papua hanya memiliki dokter

ahli/spesialis dalam jumlah yang minim. Ketersediaan yang relatif lebih banyak baru terdapat

di Kota Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Fak-Fak. Tidak mengherankan jika

dijumpai sarana pelayanan kesehatan (puskesmas) yang tidak ada dokternya.

Tabel 4.26 Jumlah Dokter menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2009

NO Kabupaten/Kota Dokter Jumlah

Ahli Umum Gigi

1. Kabupaten Fakfak 3 27 3 33

2. Kabupaten Kaimana - 4 2 6

3. Kabupaten Teluk Wondama - 4 - 4

4. Kabupaten Teluk Bintuni - 5 2 7

5. Kabupaten Manokwari 7 32 7 46

6. Kabupaten Sorong Selatan - 9 1 10

7. Kabupaten Sorong 4 5 - 9

8. Kabupaten Raja Ampat - 12 1 13

9. Kota Sorong 7 10 3 20

Jumlah 21 108 19 148 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Tahun 2009

Memperhatikan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan tenaga dokter serta

tenaga kesehatan lainnya, dapat dikatakan bahwa kewajiban untuk memberikan pelayanaan

kesehatan bagi penduduk belum dapat terpenuhi dengan baik. Dengan kondisi Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat yang sangat luas dan memiliki medan yang sulit, kurangnya sarana

pelayanan dan tenaga medis menyebabkan penduduk akan memerlukan biaya yang mahal

untuk menjangkau layanan kesehatan yang ada.

Sementara mengenai masalah kesehatan, terdapat berbagai masalah kesehatan yang ada

di Provinsi Papua. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Papua, masalah tersebut adalah:

tingginya angka kematian ibu dan bayi baru lahir, Sepuluh penyakit terbanyak yakni Malaria,

128 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Diare, ISPA, penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, Filarial, Gingivitis, konjungtivitis dan

masalah kesehatan lainnya seperti kebiasaan makan dan gizi buruk, persalinan dan imunisasi

dan terakhir Pola Hidup Bersih Sehat.

Dalam upayanya menanggani permasalahan-permasalahan kesehatan tersebut, dalam

rangka otonomi khusus masing-masing daerah telah melaksanakan berbagai program dan

kegiatan-kegiatan sebagai sarana percepatan pembangunan kesehatan seperti halnya yang

dilaksanakan pada Kabupaten Mimika dan Kabupaten Manokwari.

Upaya pelaksanaan otonomi khusus di bidang kesehatan di Kabupaten Mimika dari tahun

2002-2010, dilakukan dalam berbagai program yang didanai dengan dana otonomi khusus.

Pelayanan kesehatan tersebut ditujukan untuk peningkatan akses dan mutu pelayanan

kesehatan, penanggulangan penyakit, serta peningkatan gizi.

1. Pengadaan obat-obatan dan peralatan medis

Antara lain dilaksanakan pada tahun 2002, 2004, 2005, dan 2009. Pada tahun 2004,

disamping pengadaan obat-obatan, dan peralatan pengobatan, juga dilakukan pengadaan

vitamin, dan vaksin.

2. Pendidikan tenaga kesehatan di Kabupaten Mimika.

Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 160 juta rupiah. Tahun

2010 dilakukan program pendidikan DIII Keperawatan/Kebidanan dengan biaya 250 juta

rupiah.

3. Penanggulangan gizi buruk dan pengembangan posyandu di Kabupaten Mimika.

Pada tahun 2003 dilaksanakan dengan menelan biaya sejumlah 153,454 juta rupiah.

Tahun 2005, 2007, dan 2008 dilakukan program pemberdayaan masyarakat untuk

pencapaian keluarga sadar gizi. Sementara di tahun 2009 diadakan pemberian makanan

tambahan bagi ibu hamil, bufas, bayi dan balita. Di samping itu juga dilakukan upaya

penanggulangan kurang energy protein (KEP), anemia, gizi besi, gangguan akibat kurang

yodium, kekurangan vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.

4. Pencegahan, penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di Kabupaten Mimika

Pada tahun 2003 dilakukan dengan dana sejumlah 149,440 juta rupiah. Pada tahun 2004

dilakukan surveilance dan pengamatan penyakit menular juga pemberantasan penyakit

dan penyehatan lingkungan pemukiman. Di samping itu pada tahun 2004 dilakukan

pembangunan sentra pelayanan dan penggunaan serta sosialisasi HIV/AIDS. Upaya lain

dilakukan melalui peningkatan imunisasi dan pencegahan serta pemberantasan penyakit

menular dan wabah.

5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan di Kabupaten Mimika.

129 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Antara lain dilakukan pada tahun 2003. Selain itu juga dilakukan pengembangan media

informasi dan promosi sadar hidup sehat yang dilaksanakan tahun 2007. Penyuluhan

kesehatan anak dan balita dilakukan tahun 2008.

6. Pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten Mimika.

Kegiatan tersebut antara lain dilakukan pada tahun 2003. Pada tahun 2004 dilakukan

peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat daerah terpencil di Kabupaten Mimika.

Tahun 2005 dilakukan peningkatan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan.

7. Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi

Tahun 2007 dan 2008 diadakan penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi bagi

keluarga miskin serta advokasi dan KIE tentang kesehatan reproduksi remaja. Selanjutnya

pada tahun 2008 dilakukan penyuluhan kesehatan bagi ibu hamil dan keluarga kurang

mampu, pertolongan persalinan bagi ibu dari keluarga kurang mampu.

8. Peningkatan pelayanan kesehatan rumah sakit dan rujukan di Rumah Sakit Mimika

9. Pembangunan sarana pelayanan kesehatan

Pada tahun 2003 dilakukan pembangunan polikinik RSUD. Tahun 2005 dilakukan lanjutan

pembangunan RSUD tipe C Kabupaten Mimika serta progam pengadaan peningkatan dan

perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya. Tahun 2007 dilakukan

pengadaan sarana dan prasarana puskesmas serta puskesmas pembantu.

10. Pembangunan rumah dokter sepesialis.

Sementara di Kabupaten Manokwari, pelayanan kesehatan digunakan untuk

peningkatan jangkauan/pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan melalui program

pemberantasan penyakit, pencegahan dan penangggulangan HIV/AIDS, peningkatan SDM di

bidang kesehatan baik medis maupun para medis, pelayanan puskesmas, pelayanan rumah

sakit, dan penyediaan obat-obatan. Upaya pencapaian sasaran Tercukupinya Rasio Dokter,

Puskesmas, Pustu dan Polindes dengan jumlah penduduk melalui peningkatan akses

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, dilaksanakan 6 (enam) program,

yaitu :

1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Pengadaan Peningkatan dan

Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas dan Jaringannya.

Program ini dilaksanakan dengan indikator sasaran yang ingin dicapai adalah

meingkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui kegiatan antara lain pembangunan,

rehabilitasi, peningkatan puskesmas dan jaringannya, penyediaan obat dan perbekalan

kesehatan serta penyediaan biaya operasional puskesmas dan jaringannya.

2. Operasional Puskesmas dan Jaringan serta Gudang Farmasi Kabupaten

130 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran, pemerintah daerah menyediakan dana

operasional untuk 16 puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, 83 puskesmas pembantu,

59 polindes serta 2 puskosdes tersebar di Kabupaten Manokwari.

Selain itu juga disediakan biaya operasional dan handing cost GFK yang digunakan untuk

membiayai biaya pengepakan dan pengiriman obat-obatan yang didistribusikan ke 19

puskesmas, 5 puskesmas pembantu plus, sedangkan untuk puskesmas pembantu dan

polindes pengelola kegiatan selanjutnya menyerahkan biaya untuk pengiriman obat di

puskesmas yang selanjutnya didistribusikan ke puskesmas pembantu dan polindes pada

akhir tahun 2009.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan penanggulangan masalah kesehatan,

pemerintah daerah juga memberikan insentif bagi tenaga medis dan paramedis untuk

tenaga medis PNS, PTT dan tenaga magang yang tersebar di 19 Puskesmas.

3. Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Puskesmas dan Jaringannya

Untuk memperluas jaringan pelayanan kesehatan, pada tahun 2009 dilaksanakan program

pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas beserta

jaringannya dengan 9 (sembilan) kegiatan diantaranya kegiatan Pembangunan Puskesmas

Pembantu, Pengadaan Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala

Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana

Puskesmas Pembantu, Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana dan Prasarana Puskesmas

Keliling, Pengadaan Rumah Medis dan Paramedis dan lainnya.

4. Program Kesehatan Masyarakat

Pelaksanaan program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan

pada RSUD Manokwari, maka pada tahun 2009 dilaksanakan kegiatan pembangunan

gedung perawatan kebidanan tahap II seluas 1.214 M2 .

5. Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular

Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan vaksinasi Balita dan Anak sekolah,

Peningkatan Surveilance Epidomologi dan Penanggulangan Wabah, Pencegahan dan

Penanggulangan Penyakit Menular, Pelaksanaan Fooging dan Monitoring dan Evaluasi.

Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut: Imunisasi,

Penyemprotan/Fooging Sarang Nyamuk, Frambusia, TB Paru, Kusta, Pemberantasan

Filaria, Diare, Pemberantasan ISPA, Pemberantasan Cacing Pita dan Peningkatan Survelian

Epedemologi dan Penanggulangan Wabah.

6. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui 3

kegiatan, dengan indikator kinerja hasil adalah meningkatnya pemhaman masyarakat dan

131 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

anak sekolah tentang kesehatan, terlaksananya penyuluhan dan promosi kesehatan

dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan media promosi dan informasi sadar hidup

sehat, dan kegiatan-kegiatan penyuluhan masyarakat pola hidup sehat

Salah satu program yang mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan otonomi

khusus di bidang kesehatan adalah upaya peningkatan gizi. Bahkan secara eksplisit disebutkan

bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota merencanakan dan

melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi, dengan ketentuan lebih

lanjut diatur dengan perdasi. Penekanan ini dilatarbelakangi masalah tingginya angka

prevalensi penderita gizi buruk baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat. Upaya

perbaikan gizi masyarakat pada hakikatnya dimaksudkan untuk menangani permasalahan gizi

yang dihadapi masyarakat. Persoalan gizi ini disebabkan antara lain karena pola hidup yang

kurang sehat, di samping pengetahuan kesehatan yang rendah sehingga masyarakat terutama

para orang tua yang tidak mengerti dan memahami makanan yang harus diberikan kepada

anak-anaknya. Untuk itu, anak-anak yang berusia 0-1 tahun hingga 5 tahun banyak yang

mengalami kurang gizi. Kasus tersebut masih banyak terjadi di Papua maupun Papua Barat

terutama di daerah pedalaman yang jangkauannya sulit.

Tabel 4.27 Persentase Balita Usia 0-59 Bulan Yang Menderita Gizi Kurang dan Buruk

Provinsi Gizi Buruk Gizi Kurang

2005 2007 2010 2005 2007 2010 Papua Barat n.a 6.8 9.1 n.a 16.4 17.4 Papua 13.75 6.6 6.3 17.46 14.6 10 Indonesia 8.80 5.4 4.9 19.24 13 13

Sumber : Badan Pusat Statistik, Indikator Pembangunan Berkelanjutan 2011

Dari tabel di atas terlihat bahwa prevalensi anak-anak yang berusia 0-59 bulan dengan

status gizi kurang dan status gizi buruk masih cukup tinggi. Baik di Provinsi Papua maupun

Provinsi Papua Barat, sampai dengan tahun 2007 kondisinya masih di atas angka nasional.

Namun demikian ada indikasi positif penurunan jumlah balita dengan masalah gizi jika

dibandingkan dengan kondisi tahun 2003 khususnya pada Provinsi Papua.

Pada dasarnya dengan adanya dana otonomi khusus, hal ini membantu pelayanan

kepada masyarakat. Namun kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang

ditransformasikan dalam rangka memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat, masih

menjumpai berbagai kendala. Salah satunya belum adanya petunjuk yang jelas, baik berupa

petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis dari pembuat kebijakan, sehingga pelayanan yang

diberikan kepada sebagian masyarakat atau dalam kasus ini masyarakat asli Papua belum

132 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dapat diberikan secara optimal, seperti diuraikan pada petikan wawancara yang dilakukan oleh

Tim Peneliti :

“Penyelenggaraan otonomi khusus pada bidang kesehatan diarahkan kepada untuk kabupaten/kota misalnya untuk perbaikan gizi dan pencegahan HIV/AIDS, terkait dengan perdasi bidang kesehatan, sudah ada perdasinya yaitu perdasi Nomor 8 tahun 2010 tentang pelayanan kesehatan, tetapi memang baru disosialisasi, dan untuk desain program, selama ini khan sudah ada dengan mengacu kepada SPM kesehatan”

Sebagaimana terlihat dalam wawancara di atas, Perdasi mengenai pelayanan kesehatan

sudah ada yang diterbitkan pada tahun 2010, namun masih dalam tahap sosialisasi. Standar

kesehatan yang ada mengacu pada SPM bidang kesehatan. Namun dari praktek yang ada,

terlihat kurang adanya target pencapaian yang terarah.

Persoalan lain adalah keterlambatan turunnya anggaran otonomi khusus dilapangan

karena anggaran otonomi khusus turunnya selalu akhir tahun. Hal ini mengakibatkan

pelaksanaan di lapangan terburu-buru. Di samping itu ada persoalan di mana dana otonomi

khusus tidak boleh diperuntukkan untuk honor pegawai. Sementara dalam pelaksanaannya

memerlukan dukungan sumber daya manusia. Jika tenaga tidak diperhitungkan maka bisa

menimbulkan masalah.

Sumber daya manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi

khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang

ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan

manajerial dan keuangan. Pemekaran daerah yang selama ini terjadi di Provinsi Papua juga

terkait dengan kelemahan ini pada kasus-kasus di mana sumberdaya manusia yang memadai

tidak tersedia.16

16 Wawancara dengan Drg. Josef Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, 18 Oktober 2011

Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber Daya Manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan. Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum tersosialisasikan dengan baik. Perdasus ini perlu menjadi acuan dalam pelaksanaan ke depan, dan dilakukan dengan standar pencapaian yang jelas.

133 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

d. Pembangunan Infrastruktur Wilayah Papua yang sedemikian luas ini dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit

mengakibatkan sebagian besar penduduk masih hidup terisolir di daerah terpencil yang sulit

dijangkau lewat transportasi darat. Oleh sebab itu transportasi di Papua adalah membutuhkan

biaya besar. Sementara penerbangannya juga dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Keterisolasian

penduduk masih menjadi masalah. Persoalan infrastruktur lain yang perlu menjadi perhatian

adalah masih banyak penduduk yang belum dapat mengakses air bersih dan listrik yang

memadai.

Dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, meski tidak

secara eksplisit disebut sebagai kewenangan khusus, pembangunan infrastruktur mendapat

perhatian dengan adanya arahan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam

implementasi otonomi khusus. Selanjutnya pendekatan kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat (the new deal policy for Papua) juga menekankan pada peningkatan

infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan

perbatasan negara.

Komitmen tersebut ditunjukkan dengan diberikannya dana tambahan infrastruktur sejak

tahun 2008. Adapun bentuk pemanfaatan dana tersebut sangat bergantung pada kebutuhan

dan kondisi daerah yang bersangkutan. Dengan adanya tambahan sumber daya finansial yang

khusus ini Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan dapat melaksanakan

kebijakan pembangunan infrastruktur di kedua provinsi tersebut.

Pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang infrastruktur di berbagai kabupaten

dapat digambarkan sebagai berikut.

1) Kabupaten Biak Numfor

Pembangunan bidang infrastruktur dilaksanakan dalam sejumlah program seperti:

a) Program perumahan

Program ini dilakukan dengan membangun perumahan masyarakat kepulauan

sebanyak 117 unit serta pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan

sebanyak 36 unit pada tahun 2008. Selanjutnya pada tahun 2009 dilakukan kembali

pembangunan perumahan masyarakat kepulauan sebanyak 90 unit dan

pembangunan perumahan masyarakat daerah biak daratan sebanyak 36 unit.

Program lain adalah pembangunan rumah layak huni Tipe 40 sebanyak 80 unit pada

tahun 2010 dan Tipe 45 sebanyak 82 unit pada tahun berikutnya.

b) Program Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

Dilakukan rehabilitasi/pemeliharaan jalan 22 ruas jalan lebar ruas jalan 4 meter.

Anggaran juga dialokasikan untuk perencanaan dan pengawasan.

c) Program Pembangunan Jaringan Air, Saluran Drainase/Gorong-Gorong

134 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dilakukan pemasangan jaringan air bersih.

d) Program Peningkatan Jalan

Program ini antara lain pelebaran dua jalur jalan majapahit sepanjang 977 m.

e) Program Pengendalian dan Pengamanan Lalu Lintas

Program ini antara lain pembangunan Median jalan majapahit sepanjang 612 m.

2) Kabupaten Jayapura

a) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur

Tahun 2008 dilakukan pembangunan asrama putri mahasiswa Jayapura di Padang

Bulan, pembangunan asrama mahasiswa manokwari, dan pemeliharaan gedung

asrama mahasiswa Manado. Anggaran juga dialokasikan untuk kegiatan perencanaan

dan pengawasan pembangunan asrama. Tahun 2009 dilakukan pembangunan pagar

Asrama Mahasiswa Putri Jayapura di Manokwari dan lanjutan pembangunan Asrama

Mahasiswa Putri Kabupaten Jayapura di Kotaraja.

b) Program Pembangunan Jalan dan Jembatan

Dilakukan pembangunan Jalan Dormega-Yongsu di Distrik Ravenirara, pembangunan

Jalan Demta-Bukisi-Maribu di Distrik Yokari , dan pembangunan jalan SP.V-Kwarja di

Distrik Yapsi. Selain itu juga dilakukan pembangunan Jembatan Kali Tablanusu I dan II

di Distrik Deprare.

c) Program Pembangunan Perumahan

Program yang pernah dilakukan antara lain : pembangunan Rumah Sederhana Sehat

di Kampung Aurina Distrik Airu, pembangunan Rumah Masyarakat di Kampung

Tablasu Distrik Depapre, dan pembangunan Rumah Sederhana Sehat di distrik

depapre. Selain itu juga dilakukan pembangunan MCK di Kampung Yakonde Distrik

Walibu dan pembangunan MCK di Kampung Albar Distrik Ebungfau.

d) Program Pembangunan Drainase

Pembuatan Drainase dilakukan pada Bahu Jalan Depapre-Dormena

e) Program Pembangunan Jaringan Air Bersih

Pembangunan jaringan air bersih yang pernah dilakukan antara lain: pembangunan

sarana air bersih di Kampung Sinngri di Distrik Nimboran, Pembangunan sarana air

bersih di kampung indokesi di Distrik Yokari, pembangunan sarana air bersih di

kampung Sosiri di Distrik Walibu, dan pembangunan sarana air bersih di Kelurahan

Sentani Kota.

f) Program Pembangunan dan Rehabilitasi Jalan

135 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Jayapura mempergunakan dana otonomi khusus

untuk peningkatan lapangan parkir Tablasu Distrik Depapre serta penimbunan

Lapangan Parkir Sebelah Barat Jl. Masuk FDS. Kedua program ini dimasukkan dalam

kategori pembangunan dan rehabilitasi jalan.

3) Kabupaten Mimika

a) Peningkat an jalan

Peningkatan jalan antara lain dilakukan di jalan Kokonao di distrik Mimika Barat

berupa paving block, dari tahun 2007. Pada tahun-tahun berikutnya sampai dengan

tahun 2011, program ini masih dilakukan pada jalan yang sama. Anggaran juga

digunakan untuk pengawasan peningkatan jalan tersebut.

b) Pembersihan dan penataan alur sungai

Tahun 2010 dilakukan pengerukan sungai yang menelan dana mencapai 1,412 miliar

rupiah.

c) Peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan

Tahun 2002 dilakukan peningkatan fasilitas keselamatan lalu lintas jalan yang

menelan dana mencapai 1 miliar rupiah.

d) Pembangunan pemukiman masyarakat lokal

Pembangunan pemukiman masyarakat lokal dilakukan dengan menelan dana

mencapai 728,819 juta rupiah.

e) Penanganan bencana alam banjir

Tahun 2003 dilakukan penanganan bencana alam banjir di kabupaten mimika dengan

dana mencapai 5,150 miliar rupiah.

f) Operasi dan pemeliharaan pengairan

Tahun 2003 dilakukan operasi dan pemeliharaan pengairan di Kabupaten Mimika

dengan dana sejumlah 425 juta rupiah.

g) Pembuatan rumah jabatan camat

Tahun 2002, pembangunan rumah jabatan camat yang menelan dana sebesar 1,195

miliar rupiah dilakukan dengan mempergunakan dana otonomi khusus dan

dikategorikan dalam pembangunan infrastruktur

h) Pembangunan kantor

Tahun 2003 dilakukan pembangunan kantor BP3D Kabupaten Mimika. Pembangunan

ini menelan dana sebesar 1,8 miliar rupiah.

4) Kabupaten Sorong Selatan

136 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

a) Pembangunan dan peningkatan jalan dan jembatan

Pembangunan jalan yang telah dilakukan antara lain pembangunan Jalan Sesna-

Boldon-Wehali, dan pembangunan Jalan Inspeksi ke TPA, serta pambangunan jalan

lingkungan.

Untuk upaya peningkatan jalan, dilakukan peningkatan Jalan SP II – Wardik, serta alih

trase Jalan Sodrofoyo-Elles.

b) Pembangunan jaringan air bersih, drainase dan peningkatan saluran irigasi.

Antara lain dilakukan pembangunan jaringan air bersih dan peningkatan saluran

irigasi Moswaren. Contoh lain adalah pengadaan aksesoris jaringan air bersih (Kota).

c) Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan

Program yang telah dilaksanakan antara lain: pembangunan Jalan Lingkungan

sepanjang 2,0 km dan pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik Jaya dan

Pengadaan Pipa. Selain itu juga dilakukan peningkatan jalan di berbagai lokasi, yakni

peningkatan Jalan Lingkungan Jalan Masuk Kampung SD Sengguer, Kampung

Sengguer, Kampung Gorolo, jalan lingkungan Asrama SMA/SMP, jalan lingkungan

Asrama Distrik Kais, jalan lingkungan Kampung Kami Sabe, jalan lingkungan jalan

lingkungan Kampung Aibobor, jalan lingkungan Kampung Wehali, jalan lingkungan

Kampung Any, jalan lingkungan Kampung Sodrofoyo, jalan lingkungan menuju TK

Aisya, jalan lingkungan Warkawar, Pembangunan Jaringan Air Bersih di SP II Hasik

Jaya dan Pengadaan Pipa, Perencanaan dan Pengawasan Teknik Jalan dan Jembatan,

Pembangunan Jalan lingkungan di Inanwatan.

d) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Air

Program yang telah dilakukan antara lain : normalisasi Sungai Kaswesi dan

normalisasi Sungai Tarof. Selain itu juga dilakukan pembangunan Dermaga Kais

(Tahap IV) dan Dermaga Kayu Kokoda III. Upaya lain termasuk peningkatan

pelabuhan rakyat Wesimar.

e) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Udara

Terkait transportasi udara, pada tahun 2010 dilakukan peningkatan Perpanjangan

Run Way Bandara udara Terminabuan Tahap III.

f) Program Pembangunan, Peningkatan, dan Pemeliharaan Transportasi Darat

Untuk meningkatkan akses transportasi darat, dilakukan pembangunan Terminal

Penumpang Angkutan darat Dalam Kota Terminabuan.

5) Kabupaten Manokwari

137 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pendanaan bidang infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur strategis,

termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi yang mendukung peningkatan pelayanan

publik, terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil. Tahun mendapatkan porsi sebesar

11,16 dari dana otonomi khusus atau sebesar Rp 10.194.665.250. Jumlah tersebut lebih

kecil dari jumlah pada tahun 2009 yang mencapai lebih dari 11 miliar. Namun dibanding

tahun-tahun sebelum 2009 ada peningkatan yang cukup signifikan.

Alokasi dana Otonomi Khusus pada bidang infrastruktur digunakan untuk menunjang

penerobosan isolasi daerah melalui penyediaan prasarana jalan, penanganan abrasi pantai

dan normalisasi air sungai, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro di

Kebar dan Taige. Program yang dijalankan antara lain

a) Pembangunan jalan dan jembatan terdiri dari pembangunan jalan Sakumi-Neney 4,65

km, jalan Demaisi-Hingk sepanjang 2 km, serta jalan Kampung Inggramui sepanjang

0.3 km.

b) Pembangunan Talud/Turap/Bronjong, terdiri dari pembangunan talud abrasi pantai di

Arfai, distrik Manokwari Selatan.

c) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau, dan sumberdaya air

lainnya, terdiri dari normalisasi sungai Arupi sepanjang 100 meter, normalisasi Sungai

Membowi sepanjang 100 meter, dan talud pengaman kantor lurah Sanggeng sepanjang

65 meter.

d) Pembangunan listrik pedesaan, terdiri dari pembangunan listrik tenaga mikrohidro di

Distrik Kebar dan penyediaan sarana listrik perkampungan lainnya.

Pembangunan infrastruktur dasar sebagai upaya penerobosan isolasi daerah yang

diharapkan akan mempermudah aksesibilitas antara ibu kota kabupaten dengan ibukota

distrik serta kampung. Disamping itu diharapkan dengan membangun infrastruktur dasar

wilayah, yang meliputi prasarana jalan dan jembatan untuk mengembangkan sentra industri

dan produksi pangan, pusat-pusat permukiman penduduk, membuka isolasi daerah, dan

membangun prasarana jaringan irigasi untuk mendukung ketahanan pangan, serta

menyediakan prasarana air minum, sanitasi, drainase dan air limbah, kesejahteraan

masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat akan meningkat.

Namun mencermati berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di atas,

ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pemanfaatan dana otonomi khusus bagi

bidang infrastruktur. Ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang

dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya

mempermudah aksesibilitas. Hal ini khususnya tampak pada awal pelaksanaan otonomi

khusus, dimana pemerintah daerah menggunakan dana otonomi khusus untuk infrastruktur

138 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

yang tidak strategis bagi penerobosan keterisolasian. Misalnya saja dengan pembangunan

rumah dinas camat atau sarana pemerintahan. Seyogyanya kebutuhan tersebut dibangun

dengan dana APBD yang bukan bersumber dari dana otonomi khusus. Hal semacam ini

menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan

dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam

pemanfaatan dana otonomi khusus. Perkembangan selanjutnya, pada beberapa tahun terakhir

terlihat ada sasaran yang lebih tepat sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten

Sorong Selatan. Namun demikian pada beberapa tahun terakhir masih juga dijumpai upaya

pembangunan infrastruktur yang kurang strategis sebagaimana diharapkan.

Program pembangunan infratruktur salah satunya juga dijalankan melalui pemanfaatan

dana otonomi khusus dalam program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK).

Program ini merupakan pembangunan masyarakat berbasis kampung. Program ini mencakup

berbagai potensi, bukan hanya infrastruktur, tetapi semua, misalnya perbaikan gizi dan

ekonomi. Hal ini karena berkaitan dan juga ditujukan dalam rangka meningkatkan ekonomi

secara holistik. Dana yang dialokasikan dalam program RESPEK ini merupakan sebagian dari

dana otonomi khusus yang diterima Provinsi di luar dana yang dialokasikan ke pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Program ini juga termasuk pemberdayaan

masyarakat kampung tetapi dengan satu posisi peran aktif dari para pendamping. Seluruh

kampung menerima dana tunai langsung (block grant) rata-rata sebesar Rp 100 juta

rupiah. Di Provinsi Papua, pada tahun 2007 dana untuk program RESPEK telah digulirkan

pemerintah Provinsi sebesar lebih dari 411 miliar rupiah. Tahun berikutnya mencapai lebih

dari 1,2 triliun, di mana berbeda dari tahun sebelumnya total dana ini mencakup juga

infrastruktur (sumber: Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Provinsi

Papua). Tahun 2009 sejumlah 320 miliar digulirkan untuk mendanai RESPEK di Provinsi

Papua. Tahun 2010 ditingkatkan menjadi 350 miliar dan pada 2011 menjadi 457 miliar.

Sementara di Provinsi Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai menyalurkan dana

RESPEK pada tahun 2009 sejumlah 122 miliar rupiah. Kemudian pada tahun 2010 menjadi

136,7 miliar rupiah dan menjadi 136,6 miliar rupiah pada tahun 2011.

Untuk hasil-hasil yang dicapai melalui program RESPEK ini memerlukan pengkajian lebih

lanjut. Namun demikian bagaimana argumen yang digunakan untuk mengalokasikan dana

RESPEK tersebut perlu menjadi catatan khusus. Bagaimana pengelolaannya perlu mendapat

perhatian untuk diperbaiki.

Terdapat sejumlah masalah yang mewarnai pelaksanaan pembangunan infrastruktur

dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya

menyangkut masalah geografis, di mana sebagian wilayah lokasi merupakan medan yang sulit.

139 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Hal ini antara lain menimbulkan kesulitan dalam memobilisasi alat. Sebagaimana yang

dijumpai pada sektor lainnya, pendanaan untuk program infrastruktur juga banyak mengalami

keterlambatan pencairan, sehingga pekerjaan lambat dimulai. Di sisi lain kontraktor lokal rata-

rata kemampuan dasarnya masih terbatas, untuk memulai pekerjaan harus menunggu

pencairan uang muka pekerjaan sebesar 20-30%. Masalah semacam ini menjadi salah satu

kendala yang dihadapi pemerintah daerah. Masalah lain terkait dengan pembebasan tanah.

Sebagian wilayah terkendala pembebasan tanah ulayat/adat milik masyarakat. Masalah

pertanahan ini juga mengakibatkan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur.

Salah satu aspek pembangunan infrastruktur yang utama di Provinsi Papua adalah

penyediaan dan pembangunan jalan. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting

untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan

meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan mobilitas penduduk

dan memperlancar lalu lintas barang dan jasa dari suatu daerah ke daerah lain.

Progres pembangunan jalan di Provinsi Papua dari tahun 2006-2010 menunjukkan

adanya fluktuasi (peningkatan dan penurunan) sebagaimana grafik berikut:

Gambar 4.29 Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua (km) tahun 2006-2010

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa panjang jalan nasional, provinsi maupun

kabupaten/kota terlihat mengalami peningkatan dan penurunan meskipun jumlahnya tidak

terlalu drastic. Pada tahun 2006 misalnya, jalan nasional yang menghubungkan antar daerah

tercatat sebesar 1.848,25 km, namun pada tahun 2007 dan 2008 panjang jalan nasional

ternyata mengalami penurunan sebesar 53,3 km (2,90%) menjadi 1.794,95 km. Demikian pula

pada level jalan provinsi pun mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 dari 1.562 km

menjadi 1.400,63 km atau turun sebanyak 161,5 km (10,33%).

140 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tabel 4.28 Panjang Jalan Menurut Status Jalan di Provinsi Papua

Status

Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Jalan Nasional 1848,25 1794,95 1794,95 2072,36 2072,36 Jalan Provinsi 1562,13 1400,63 1400,63 1498,68 1498,68 Jalan Kabupaten/Kota 13488,33 12131,78 12131,78 12131,78 12131,78

Jumlah 16898,71 15327,36 15327,36 15702,82 15702,82 Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2006-2010.

Pada level jalan kabupaten/kota, penurunan panjang jalan terjadi sepanjang tahun mulai

tahu 2007 sampai dengan tahun 2010, yaitu sebesar 1.356,55 km atau sebesar 10,06%, dari

13.488,33 km menjadi 12.131,78 km. Kondisi penurunan panjang jalan kabupaten/kota ini

mengindikasikan beberapa hal, misalnya pemerintah kabupaten/kota kurang memberikan

perhatian yang cukup pada operasi dan pemeliharaan jalan yang menjadi tanggung jawabnya.

Disamping, kurang teralokasikannya anggaran daerah untuk membangun jalan yang baru.

Selanjutnya dari sisi permukaan jalan, ternyata panjang jalan yang diaspal sangat sedikit

jika dibandingkan dengan jumlah panjang jalan yang ada di Provinsi Papua. Data menunjukkan

bahwa kegiatan pengerasan jalan masih menjadi permasalahan serius.

Tabel 4.29 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan

di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

Permukaan jalan

Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Diaspal 3221,88 932,78 1596,98 1522,61 1522,61 Kerikil 4456,92 374,55 374,55 697,64 697,64 Tanah 6131,03 93,3 1496,6 1189,8 1189,8 Tdk Dirinci 0 0 101 126,15 126,15

Jumlah 15815,83 3407,63 5577,13 5545,2 5546,2 Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Tabel di atas memperlihatkan jumlah panjang jalan yang diaspal pada tahun 2006

sepanjang 3221,88 km mengalami penurunan menjadi 932,78 km pada 2007. Kondisi jalan

yang diaspal mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 menjadi 1596, 98 atau

sepanjang 664,20 km (41,60%). Ini merupakan progress luar biasa, karena kenaikannya

mencapai lebih dari 50%. Namun kondisi ini kembali turun pada tahun 2009 dan 2010 menjadi

1.522,61 km atau sepanjang 74,37 km (4,70%). Kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua

dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:

Gambar 4.30 Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan di Provinsi Papua

141 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010

Kondisi serupa nampak pada permukaan jalan kerikil dimana terjadi penurunan pada tahun

2007 dan 2008 sepanjang 82,37 km atau sebesar 18,03%, demikian pula untuk jalan tanah

pada tahun 2007 sepanjang 37,73 km atau sebesar 28,80%.

Tabel 4.30 Kondisi Jalan di Provinsi Papua

Kondisi Jalan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Baik 112,5 405,95 1461 1356,6 1356,6 Sedang 0 0 587,88 731,87 731,87 Rusak 97,25 579,77 770,14 716,06 716,06 Rusak berat 16 414,91 849,78 640,32 640,32 Tidak dirinci 0 0 204 126,15 126,15

Jumlah 2231,75 3407,63 5880,8 5580 5581

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Kondisi jalan yang baik di Provinsi Papua mengalami peningkatan dari waktu ke waktu,

meskipun jumlah peningkatanya masih relatif kecil. Pada tahun 2006 misalnya, panjang jalan

dalam kondisi baik sepanjang 112,5 km meningkat menjadi 405,95 km pada tahun 2007.

Kondisi tersebut terus membaik pada tahun 2008 menjadi 1.461 km. Namun pada tahun 2009

dan 2010, kondisi jalan dalam kondisi baik mengalami penurunan menjadi 1.356, 60 km atau

menurun sebesar 7,14%. Jika digambarkan dalam grafik, maka kondisi jalan di Provinsi Papua

terlihat sebagai berikut:

Gambar 4.31 Perkembangan Kondisi Jalan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

142 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber: BPS Provinsi Papua

Pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua dapat dikatakan masih belum

memperoleh perhatian yang proporsional dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Minimnya perhatian dan alokasi

anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan pasarana jalan ini akan menyebabkan

semakin lamanya upaya pemerintah provinsi dalam rangka membuka isolasi antardaerah di

Provinsi Papua.

Disamping prasarana jalan, infrastruktur yang tak kalah pentingnya adalah jembatan

yang menghubungkan antarwilayah/daerah dikarenakan keberadaan sungai dan atau

hamparan lainnya yang memerlukan jembatan. Panjang prasarana jembatan di Provinsi Papua

terlihat pada grafik berikut:

Gambar 4.32 Perkembangan Panjang Jembatan di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

143 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber: BPS Provinsi Papua, Tahun 2010.

Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa panjang jembatan di Provinsi Papua masih

didominasi oleh jembatan kayu. Hal ini berarti bahwa pembangunan jembatan beton dan

jembatan baja masih sangat diperlukan penambahan dari tahun ke tahun untuk mengantisipasi

medan wilayah Papua yang sangat berat.

Namun yang terjadi pada tahun 2007-2010 justru sebaliknya, yakni terjadi penurunan di

hampir semua jenis jembatan di Provinsi Papua, kecuali jembatan baja yang meningkat dari

10.428 km menjadi 10.974,8 km. Dari grafik terlihat terjadi peningkatan pada panjang

jembatan baja sepanjang 546,8 km atau sebesar 5%. Angka ini bertahan hingga tahun 2010

atau tidak terdapat kenaikan selama kurang lebih 4 tahun.

Pada infrastruktur pelabuhan udara di Provinsi Papua ternyata belum menunjukkan

kondisi yang optimal. Sampai tahun 2010 dilaporkan sebanyak 13 bandara yang terdapat di

Provinsi Papua dalam memberikan layanan kepada penduduk Papua dan non Papua.

Gambar 4.33 Perkembangan Jumlah Bandara di Provinsi Papua

144 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber : BPS Provinsi Papua, Tahun 2011

Untuk Papua Barat, Pembangunan jalan merupakan salah satu prioritas penting dalam

rangka membuka isolasi daerah di Provinsi Papua Barat. Hal tersebut disampaikan Kepala

BP3D Provinsi Papua bahwa salah satu misi pembangunan Provinsi Papua Barat adalah

meningkatkan ekonomi kerakyatan dengan membuka akses jalan antardaerah. Tabel berikut

menjelaskan kondisi panjang jalan di Provinsi Papua Barat pada 2006-2010.

Tabel 4.31 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Status Jalan

di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010

Status Jalan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Nasional 345,31 615,81 635,81 1168,16 412,31 Provinsi 488,47 686,175 693,175 973,28 938,48 Kab/Kota 1121,65 3882,222 4071,222 3784,84 4378,43 Jumlah 1955,43 5184,207 5400,207 5926,28 5729,22

Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.

Tabel di atas menunjukkan panjang jalan di Provinsi Papua Barat yang menunjukkan

peningkatan dari waktu ke waktu. Pada 2006 total panjang jalan adalah 1955,43 km bertambah

menjadi 5184,207 pada 2007 atau meningkat sebesar 62,28%. Panjang jalan baik jalan

nasional, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota terus mengalami penambahan,

diantaranya pada tahun 2008 menjadi 5.400, 207 km atau sebesar 4%, dan kembali bertambah

pada 2009 menjadi 5.926,28 km atau sebesar 8,88%. Pada tahun 2010, kondisi panjang jalan di

145 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Provinsi Papua Barat tercatat sepanjang 5.729,22 km atau mengalami penurunan sebesar

3,33%. Gambaran fluktuasi pembangunan dan pemeliharaan jalan di Provinsi Papua Barat

terlihat pada gambar berikut:

Gambar 4.34 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Statusnya di Provinsi Papua Barat (km) Tahun 2006-2010

Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010

Adapun kondisi permukaan jalan di Provinsi Papua Barat pun menunjukkan kondisi

positif, meskipun belum optimal. Peningkatan panjang jalan yang diaspal terlihat pada tahun

2007 yakni dari 875,98 km menjadi 1.137,31 km atau sebesar 4,41%. Panjang jalan yang

diaspal kembali bertambah pada tahun 2008 dan 2009 yaitu menjadi 1.164,85 km dan 1.448,24

km atau masing-masing sebesar 0,50% dan 4,80%.

Tabel 4.32 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan

di Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010 Permukaan jalan Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 Diaspal 875,98 1137,31 1164,885 1448,24 1328,49 Kerikil 1036,7 2226,394 2371,201 1887,37 1639,25 Tanah 1094,59 1803,953 1688,171 2220,56 2222,13 Tidak Dirinci 7,5 16,55 141,45 350,11 539,35

Jumlah 5020,77 7191,207 7373,707 7915,28 7739,22 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, Tahun 2010.

Kondisi permukaan jalan yang dikeraskan (kerikil) juga mengalami peningkatan antara

tahun 2007-2008 dari 1.036,7 km menjadi 2.226,394 km (20,07%) pada 2007 dan menjadi

2.371,01 km (2,44%) pada 2008. Namun, kondisi permukaan jalan kerikil ini mengalami

146 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

penurunan menjadi 1.887,37 km (8,16%) pada 2009 dan kembali turun menjadi 1.639,25 km

(4,19%) pada 2010.

Gambar 4.35 Perkembangan Panjang Jalan Menurut Permukaan Jalan

Provinsi Papua Barat Tahun 2006-2010

Sumber: BPS Papua Barat, Tahun 2010

Gambar di atas menunjukkan panjang jalan dengan permukaan kerikil dan tanah masih

mendominasi kondisi jalan di Papua Barat. Angka tertinggi terlihat pada permukaan jalan

kerikil sepanjang 2.226,394 km dan permukaan jalan tanah sepanjang 2.222,13 km. Hal ini

menjadi tantangan bagi pemerintah provinsi dalam membuka isolasi daerahnya.

Selanjutnya, terkait dengan infrastruktur transportasi, pada 2006 Papua Barat memiliki

6 bandara yakni Bandara Torea (Fak Fak), Bandara Utarum (Kaimana), Bandara Wasior (Teluk

Wondama), Bandara Bintuni (Teluk Bintuni), Bandara Rendani (Manokwari) dan Bandara Deo

(Sorong) serta Bandara Teminabuan pada tahun 2007.

Gambar 4.36 Jumlah Pelabuhan Udara di Provinsi Papua Barat

147 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber; BPS Provinsi Papua Barat, tahun 2010

Dari gambar diatas tersebtu terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah pelabuhan

udara pada Provinsi Papua Barat, bila dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/Kota yang ada

pada Provinsi Papua Barat yaitu sebanyak 11 Kabupaten/Kota termasuk juga daerah

pemekaran baru artinya dengan peningkatan pada tahun 2010 yaitu sebanyak 7 (tujuh)

pelabuhan udara, sebagian Kabupaten/Kota tersebut telah memiliki Pelabuhan Udara.

Mengingat kondisi geografis Provinsi Papua Barat yang tidak seperti daerah Jawa

umumnya, Pelabuhan udara menjadi infrasrtuktur yang sangat stratagis (selain jalan) dalam

upaya menembus keterisoliran suatu daerah. Ke depan pembangunan infrastruktur pelabuhan

udara/bandara diharapkan harus menjadi prioritas atau paling tidak setiap kabupaten/Kota di

Provinsi ini memiliki pelabuhan udara.

e. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan

pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. Pasal 61 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan perlunya penanganan kependudukan untuk

mempercepat terwujudnya pemberdayaan peningkatan kualitas dan partisipasi orang asli

Papua dalam semua sektor pembangunan.

Salah satu masalah kependudukan di Papua sangat berbeda dengan permasalahan pokok

kependudukan Nasional, berkisar pada persoalan kepadatan dan pertumbuhan penduduk.

Dengan wilayah yang sangat luas sementara jumlah penduduk yang sedikit menyebabkan

Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.

148 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

tingkat kepadatan yang sangat rendah. Permasalahan kependudukan di Papua lebih

dihadapkan pada masalah penyebaran penduduk antara Kota-Desa/Kampung dan pola tinggal

yang tersebar dalam kampung-kampung kecil yang terpisah sangat jauh.

Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, distribusi penduduk di Provinsi Papua

sebagian besar terkonsentrasi di kota Jayapura. Distribusi penduduk yang terendah di

Kabupaten Supiori dengan jumlah penduduk sebanyak 15874 jiwa. Sementara di Provinsi

Papua Barat, pada grafik 4.38 distribusi penduduk terbesar terdapat di Kota Sorong dan

Kabupaten Manokwari. Distribusi penduduk yang terendah di Kabupaten Tambraw yang

merupakan daerah pemekaran dengan jumlah penduduk sebanyak 6144 jiwa.

Gambar 4.37 Peta Distribusi Sebaran Penduduk

di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010

Gambar 4.38 Peta Distribusi Sebaran di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010

149 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Kabupaten/kota di Provinsi Papua pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang

rendah. Dari grafik kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, dapat

disaksikan bahwa pada umumnya kabupaten di Provinsi Papua memiliki kepadatan penduduk

kurang dari 10 orang per km². Beberapa kabupaten seperti Kabupaten Biak Numfor dan Lanny

Jaya memiliki kepadatan penduduk lebih dari 50 orang per km². Kota Jayapura relatif cukup

padat dengan kepadatan 326.52 orang/km². Kondisi geografis yang cukup luas dan sulit

dijangkau juga menjadikan masalah dalam hal ini. Para pendatang umumnya berada di Kota

Jayapura, sehingga kepadatan penduduk di Kota ini sangat jauh berbeda dari daerah lainnya di

samping karena kota ini merupakan pusat pemerintahan provinsi dan berbagai aktivitas

ekonomi.

Gambar 4.39 Peta Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2010

Sementara di Provinsi Papua Barat, kondisi kepadatan penduduk juga rendah. Dari

gambar kepadatan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berkisar antara 1.19

150 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

orang per km2 sampai 290.3 orang/km2. Kepadatan terendah di Kabupaten Tambraw

sementara yang teringgi adalah Kota Sorong. Namun demikian secara umum kepadatan

penduduk di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010 pun masih kurang dari 10 orang

per km2. Hanya Kabupaten Manokwari kepadatan penduduk 13.7 orang per km2 dan Kota

Sorong yang kepadatannya melebihi 10 orang per km2.

Gambar 4.40 Kepadatan Penduduk di Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2010

Kondisi ini berimbas pada pelayanan bagi masyarakat, baik di Provinsi Papua maupun

Papua Barat. Bukan saja menyulitkan jangkauan pemberian layanan bagi masyarakat, namun

juga menjadi kendala bagi efisiensi penyediaan layanan publik.

Persoalan lain berkaitan penduduk asli Papua. Pemerintah Daerah mencatat bahwa

orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan

yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di

bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberaaan orang asli Papua.

Masuknya penduduk luar Papua tanpa melalui pendendalian dan penertiban yang benar telah

berdampak pada munculnya kesenjangan sosial antara penduduk luar dengan orang asli Papua.

Di samping itu hal ini juga berdampak pada kurang terlindunginya hak-hak sebagai orang asli

Papua. Dari sisi tingkat kesehatan juga berpengaruh terhadap kondisi kependudukan di Papua.

151 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tingginya angka kematian ibu dan anak menyebabkan lambatnya perkembangan orang asli

Papua. Berangkat dari hal ini, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah

Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan.

Secara umum kebijakan ini mencakup Wewenang dan Kewajiban Pemerintah Daerah,

baik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Hak dan Kewajiban Penduduk Orang Asli

Papua dan Bukan Asli Papua, Pengendalian Penduduk, Penertiban Penduduk, Pertumbuhan

Penduduk Orang Asli Papua, Administrasi Kependudukan, dan Ketentuan Pidana terhadap

pelanggaran yang dilakukan.

Melalui kebijakan ini Pemerintah Provinsi berwenang membatasi masuknya penduduk

luar ke wilayah Provinsi Papua. Disebutkan bahwa setiap orang asli Papua berhak

mendapatkan KTP khusus yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Orang asli

Papua juga wajib melapor kepada pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, dan atau

lembaga agama setempat atas setiap peristiwa kelahiran dan kematian atau peristiwa penting

lainnya yang dialami, melaporkan perkawinannya kepada instansi pemerintah daerah yang

berwenang untuk dicatat dalam buku induk perkawinan dan pemberian akta perkawinan, serta

wajib melaporkan pengangkatan anak yang dilakukan.

Sementara itu untuk penduduk bukan asli Papua yang datang ke wilayah Papua untuk

kegiatan dan tujuan tertentu berhak mendapatkan Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS)

dan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPM). Penduduk bukan asli Papua diwajibkan untuk

memiliki KIPS dan KIPM tersebut. Selain itu bagi penduduk bukan asli Papua diwajibkan

membawa surat keterangan domisili dari daerah asal, membawa KTP dari daerah asal saat

datang ke Provinsi Papua, membawa surat keterangan dari instansi pemerintah daerah yang

berwenang yang memuat tujuan kedatangan ke Provinsi Papua, serta menyediakan biaya

sebagai jaminan untuk perjalanan kembali ke daerah asal bagi penduduk yang tidak bekerja

sebagai PNS, TNI, POLRI, dan bekerja pada Badan Usaha Swasta.

Melalui peraturan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mengatur pengendalian

penduduk yang meliputi: menetapkan prosedur dan tata cara memperoleh kartu identitas bagi

penduduk musiman, melakukan penertiban terhadap administrasi kependudukan secara

terpadu, berkelanjutan, dan lintas sektor pada bidang sosial, ekonomi budaya dan lingkungan

hidup. Bagi orang yang bukan asli Papua diwajibkan melapor kepada Pemerintah Kampung

dan/atau kelurahan setempat pada saat pindah atau datang ke wilayah Papua selambat-

lambatnya 14 (empat belas) hari setelah domisili. Badan hukum yang mengelola sarana

transportasi laut dan udara wajib menyampaikan laporan tentang penduduk yang datang ke

wilayah Papua. Sementara badan hukum yang menyediakan sarana penginapan, wajib

menyampaikan laporan tentang penduduk yang menginap dalam sarana tersebut. Untuk

152 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

menertibkan penduduk, peraturan ini juga menetapkan bahwa penertiban penduduk yang

datang di wilayah Provinsi Papua dilakukan pada sarana transportasi, darat, transportasi laut,

dan udara. Penertiban melibatkan pula pemerintah kampung, pemerintah kelurahan, tokoh

adat dan lembaga keagamaan. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk

orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli

Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi

yang berwenang sekali dalam tiga tahun.

Melalui peraturan ini pula, Pemerintah Provinsi Papua menetapkan kebijakan

transmigrasi dimana transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli

Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa. Pelaksanaan kebijakan tersebut memerlukan

pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP.

Di Provinsi Papua Barat, Perdasus/Perdasi yang mengatur tentang bidang kependudukan

belum diterbitkan. Peraturan daerah lain yang belum diterbitkan dalam implementasi otonomi

khusus di bidang kependudukan ini, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, antara lain

yang berkaitan dengan hak penduduk asli Papua untuk memperoleh keutamaan diangkat

menjadi hakim atau jaksa di Provinsi Papua. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang

peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim

atau Jaksa di Provinsi Papua. Kentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Perdasi.

Salah satu persoalan dalam upaya penanganan masalah kependudukan di Provinsi Papua

dan Papua Barat adalah ketiadaan informasi yang tepat tentang populasi penduduk yang

merupakan asli penduduk Papua. Di samping itu, untuk mengetahui pertumbuhan penduduk

orang asli Papua dan orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus penduduk orang asli

Papua dilaksanakan sekali dalam dua tahun serentak oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Sementara bagi orang bukan asli Papua ditetapkan bahwa sensus dilaksanakan oleh instansi

yang berwenang sekali dalam tiga tahun. Provinsi Papua Barat telah menjadikan persentase

populasi penduduk asli Papua sebagai salah satu criteria dalam pengalokasian dana otonomi

khusus kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut.

Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari

suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli

Papua oleh masyarakat adat Papua. Tabel 4.30. berikut memperlihatkan sebaran populasi

masyarakat asli Papua dan bukan asli Papua di Provinsi Papua.

Tabel 4.33 Jumlah Penduduk Provinsi Papua Menurut Suku Tahun 2010

153 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Kab/Kota Papua Non Papua Total Persentase Papua

(1) (2) (3) (4) (5) Merauke 73,082 122,634 195,716 37.34 Jayawijaya 177,698 18,387 196,085 90.62 Jayapura 68,430 43,513 111,943 61.13 Nabire 62,119 67,774 129,893 47.82 Kepulauan Yapen 64,338 18,613 82,951 77.56 Biak Numfor 93,482 33,316 126,798 73.73 Paniai 149,427 4,005 153,432 97.39 Puncak Jaya 99,339 1,809 101,148 98.21 Mimika 75,267 106,734 182,001 41.36 Boven Digoel 37,355 18,429 55,784 66.96 Mappi 72,390 9,268 81,658 88.65 Asmat 68,641 7,936 76,577 89.64 Yahukimo 162,194 2,318 164,512 98.59 Pegunungan Bintang 62,361 3,073 65,434 95.30 Tolikara 113,315 1,112 114,427 99.03 Sarmi 22,935 10,036 32,971 69.56 Keerom 19,725 28,811 48,536 40.64 Waropen 20,396 4,243 24,639 82.78 Supiori 15,283 591 15,874 96.28 Mamberamo Raya 17,088 1,277 18,365 93.05 Nduga 78,377 676 79,053 99.14 Lanny Jaya 148,354 168 148,522 99.89 Mamberamo Tengah 39,315 222 39,537 99.44 Yalimo 50,327 436 50,763 99.14 Puncak 92,510 708 93,218 99.24 Dogiyai 83,395 835 84,230 99.01 Intan Jaya 40,414 76 40,490 99.81 Deiyai 61,565 554 62,119 99.11 Kota Jayapura 90,196 166,509 256,705 35.14

PAPUA 2,159,318 674,063 2,833,381 76.21 Sumber : BPS Provinsi Papua, Tahun 2010

Dari tabel 4.30 di atas dapat dijelaskan bahwa perbandingan jumlah penduduk asli Papua

dan Non Papua sebenarnya lebih banyak penduduk asli Papua (2.159.318 jiwa dibanding

674.063 jiwa). Di Provinsi Papua, berdasarkan hasil sensus tahun 2010 tercatat 76.21%

merupakan penduduk asli Papua. Namun memang, di beberapa kabupaten/kota, jumlah

penduduk non Papua lebih besar dari penduduk asli Papua di antaranya di Kota Jayapura,

Kabupaten Mimika dan Kabupaten Merauke. Persentase penduduk asli Papua yang terendah

berada di Kota Jayapura dengan persentase sebesar 35,14%. Beberapa daerah memiliki

persentase di bawah 50%, seperti di Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Keerom,

Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Nabire. Persentase terbesar populasi penduduk asli Papua

dapat dijumpai di Kabupaten Lanny Jaya dengan persentase sebesar 99,89%. Sejumlah

154 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kabupaten masih memiliki proporsi penduduk asli Papua yang cukup tinggi di atas 90%. Di

antaranya adalah Kabupaten Intan Jaya, Memberamo Tengah, Dogiyai, Tolikara yang memiliki

persentase penduduk asli Papua yang melebihi 99%.

Gambar 4.41 Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Tahun 2008-2010

Jumlah penduduk Provinsi Papua, tahun 2006 (2.000.738), 2007 (2.015.600), 2008

(2.056.500), 2009 (2.097.482), dan 2010 (2.833.381), sedangkan Provinsi Papua Barat, tahun

2009 (743.860), dan 2010 (798.601).

Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan pada prakteknya tidak

seluruhnya dapat dilaksanakan. Pembatasan penduduk yang masuk ke Papua tidak serta merta

dapat dilakukan, karena melanggar hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup layak dan

bertempat tinggal dimana saja di Indonesia. Di samping itu, hal ini juga bertentangan dengan

Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap orang

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah

pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya. Dengan demikian sesungguhnya kebijakan

otonomi khusus tidak mengharapkan bahwa masalah kependudukan di Provinsi Papua tidak

dilakukan dengan membatasi penduduk yang masuk ke Papua. Ditambah lagi bahwa

pembedaan KTP asli dan KTP pendatang juga tidak menyelesaikan persoalan sebenarnya.

Asisten I Kabupaten Biak Numfor, menyatakan bahwa:

“terbitnya Perdasi 15/2008 tentang kependudukan ini bagaimana...disatu sisi ini bagus untuk membatasi masuknya orang luar Papua sehingga mengurangi persaingan dengan orang asli Papua, tetapi disisi lain hal ini bisa melanggar ketentuan peraturan perundangan lainnya seperti SIAK. Dan sebagai informasi, masyarakat Papua sebenarnya tidak memerlukan hal seperti ini, yang terpenting bagaimana penduduk asli Papua dapat memperoleh pekerjaan”. Senada dengan hal tersebut, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kota Jayapura pun

menyatakan:

2,056,500 2,097,482

2,833,381

743,860 798,601

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

2008 2009 2010

Ora

ng

Papua

Papua Barat

155 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

“problem kependudukan saat ini sebenarnya bukan hanya persaingan pendatang dengan penduduk asli Papua, akan tetapi bagaimana pemerintah ini mau dan mampu meningkatkan kualitas, kemampuan penduduk Papua. Lalu, bagaimana kita sebagai pemerintah ini bisa mengubah sedikit demi sedikit budaya yang tidak mendukung tercapainya kesetaraan dengan pendatang”.

Dalam Undang-Undang tentang otonomi khusus Papua, disebutkan bahwa orang asli

Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam

semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan

suatu langkah affirmative dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan. Namun

terdapat beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam penanganan bidang

kependudukan dan tenaga kerja. Rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat pendidikannya.

Ditambah lagi produktifitas dan kemampuan daya saing masyarakat asli Papua kurang

dibandingkan para pendatang. Di samping itu terdapat pula sikap atau perilaku masyarakat asli

yang kurang mendukung. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kebijakan ini adalah

pemerintah daerah perlu memilih langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan

sosial dan dampak lain yang tidak diharapkan. Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan

pekerjaan bagi orang asli Papua harus dilakukan dengan penguatan kemampuan, produktifitas,

dan pemberdayaan orang asli Papua.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian di Papua adalah pengangguran. Gambar

memperlihatkan kondisi tingkat pengangguran di kabupaten/kota di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat. Perlu adanya verifikasi atau pendataan lebih lanjut tentang sejauhmana

tingkat pengangguran penduduk asli Papua. Data semacam itu belum tersedia, namun ke depan

perlu dipertimbangkan untuk mengadakan data tersebut. Namun dari data yang ada dapat

dilihat bahwa tingkat pengangguran di sebagian besar kabupaten/kota di Papua

mengindikasikan adanya masalah pengangguran yang perlu mendapat perhatian. Meskipun

demikian, patut diapresiasi bahwa terdapat kecenderungan penurunan angka pengangguran

terbuka di Papua.

Gambar 4.42 Perbandingan Indikator Pengangguran

di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2008-2010

156 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Sumber :Badan Pusat Statistik dan Hasil Data Olah, Tahun 2011

Untuk Provinsi Papua Barat, tahun 2008 tercatat tingkat pengangguran terbuka sebesar

7,65%, dan menurun menjadi 7,56% pada tahun 2009. Di Provinsi Papua angka pengangguran

terbuka relatif rebih rendah dibanding Provinsi Papua Barat. Tahun 2009, tingkat

pengangguran terbuka tercatat sebesar 4,08%. Angka ini menurun jika dibandingkan tahun

sebelumnya yang tercatat sebesar 4,39%. Terjadi penurunan yang cukup signifikan jika

dibandingkan kondisi pada tahun 2006 dimana angka pengangguran terbuka di Provinsi Papua

tercatat sebesar 12,6%.

Gambar 4.43 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka

Kabupaten/Kota Propinsi Papua Tahun 2009

Gambar 4.44 Diagram Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota

Provinsi Papua Barat Tahun 2009

60

65

70

75

80

85

2008 2009 2010Papua 76.7 77.75 80.99

Papua Barat 68.15 68.32 69.29

TPA

K (%

)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) Provinsi Papua dan

Papua Barat (2008-2010)

0

2

4

6

8

2008 2009 2010Papua 4.39 4.08 3.55

Papua Barat 7.65 7.56 7.69

Ting

kat P

enga

nggu

ran

Terb

uka

(%)

Tingkat Pengangguran Terbuka (%) di Provinsi Papua dan Papua

Barat (2008-2010)

Sumber :Badan Pusat Statistik, dan Data diolah, Tahun 2009

157 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Salah satu hal yang menarik untuk dicermati dari kondisi tingkat pengangguran di Papua,

sebagaimana terlihat pada gambar di atas adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kota

yang cenderung tinggi. Tingkat pengangguran di Kota Jayapura pada tahun 2009 tercatat

sebesar 11,93 %. Sementara di kota Sorong tercatat sebesar 15,45 %.

Tingginya tingkat pengangguran ini sangat berkolerasi dengan tingginya jumlah

penduduk miskin dan tingkat partisipasi angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) Provinsi Papua, tahun 2008 (76,76), 2009 (77,95), dan 2010 (80,99), Provinsi Papua

Barat, tahun 2008 (68,15), 2009 (68,32), dan 2010 (69,29).

Gambar 4.45

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Sedangkan Jumlah Penduduk Miskin masih cukup tinggi untuk Provinsi Papua, Tahun 2008

sebanyak 934. 370 jiwa (45,43%), 2009 sebanyak 997.340 jiwa (47,54%), dan 2010 sebanyak

60

65

70

75

80

85

2008 2009 2010

76.76 77.9580.99

68.15 68.32 69.29

Pers

en Papua

Papua Barat

158 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1.031.210 jiwa (36,39%) dan Provinsi Papua Barat Tahun 2008 sebanyak 256.840 jiwa

(34,52%), 2009 sebanyak 256.840 jiwa (34,52%) dan 2010 sebanyak 256.250 jiwa (32,08%).

Gambar 4.46

Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Kondisi tenaga kerja di Papua memiliki kecenderungan tingkat pendidikan yang rendah.

Sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor informal. Lebih dari 67 % pekerja di Papua

Barat merupakan pekerja pada sektor informal. Selain itu, di Provinsi Papua maupun Papua

Barat, terdapat kecenderungan bahwa partisipasi kerja laki-laki lebih tinggi daripada

perempuan sementara angka pengangguran terbuka perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Terkait pemanfaatan dana otonomi khusus dalam bidang ketenagakerjaan, dapat

dicontohkan program-program yang telah diimplementasikan di berbagai kabupaten/kota.

Misalnya di Kabupaten Jayapura, dilakukan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja di 5

Distrik 7 kampung. Biaya yang dikeluarkan pemerintah kabupaten Jayapura sebesar

Rp.200.000.000 bersumber dari dana otonomi khusus. Di Biak Numfor, dilakukan bantuan

pembinaan tenaga kerja pengangguran sebesar. Kegiatan ini menelan biaya sejumlah Rp

1.000.000.000. Ke depan kegiatan ketenagakerjaan perlu lebih disinergikan dengan lapangan

kerja yang ada, dengan bidang pendidikan dan program/kegiatan perekonomian lainnya.

Alokasi dana otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja memang

relatif kecil dibandingkan sektor lainnya. Hal ini karena bidang ini tidak mendapat penekanan

sebagai prioritas. Namun sesungguhnya, khususnya untuk bidang ketenagakerjaan, perlu

0

20

40

60

80

100

2008 2009 2010

45.43 47.54

36.3934.52 34.52 32.08

15.53 14.08 13.05

Pers

en

Papua

Papua Barat

Nasional

159 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

mendapat perhatian yang lebih baik lagi. Hal ini karena sesungguhnya masalah

ketenagakerjaan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua.

f. Lingkungan Hidup Pasal 63 Undang-Undang 21 Tahun 2001 mengamanatkan dilakukannya pembangunan

di Provinsi Papua dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,

pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang

wilayah. Disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan

lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber

daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan

iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan penduduk.

Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi

keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting. Terkait dengan amanat tersebut,

Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Di samping itu di Provinsi

Papua dapat pula dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.

Untuk melaksanakan amanat tersebut, Pemerintah Provinsi Papua telah menerbitkan

sejumlah peraturan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di antara berbagai

peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang

Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan. Di satu sisi penerbitan perda ini, dengan adanya ketentuan untuk melakukan sensus penduduk asli Papua dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Kebijakan wewenang Pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan pembatasan masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua juga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, dan kebijakan lainnya, seperti Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan. Bukan saja melalui penambahan alokasi di bidang tersebut, namun juga diperlukan strategi yang tepat dan sinergitas penanganan masalah ketenagakerjaan ini dengan bidang lainnya khususnya dengan bidang pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Ke depan, perlu penyempurnaan perdasi kependudukan yang menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam pemenuhan lapangan pekerjaan. Penduduk asli Papua diharapkan dapat bersaing, untuk itu intervensi pemerintah sangat diperlukan dalam upaya tersebut.

160 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Pelestarian Lingkungan Hidup. Substansi pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam

kebijakan tersebut, terangkum dalam tabel berikut.

Tabel 4.34 Pengaturan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Peraturan Daerah

Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008

ASPEK SUBSTANSI Kewenangan dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan umum dan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota mengenai pelestarian lingkungan hidup dan melakukan pengawasan atas kebijakan pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota,menetapkan kawasan-kawasan tertentu untuk melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan

Pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang meliputi: penanganan, pengendalian pencemaran dan kerusakan; tempat pembuangan sementara dan tempat pembuangan akhir sampah, urusan kebersihan pelestarian terkait penentuan lokasi dan teknis pengolahan akrab lingkungan; perubahan fungsi ruang;pengendalian pemanfaatan bahan galian C; dan pengendalian abrasi laut.

Peran Serta Masyarakat

Setiap orang berperan serta dalam menjaga, memanfaatkan lingkungan berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan, berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan lingkungan hidup. Organisasi lingkungan hidup dapat ikut serta dalam pelestarian lingkungan.

Hak dan Kewajiban

Hak setiap orang untuk menikmati manfaat lingkungan hidup, mendapat penggantian yang layan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Kewajiban setiap orang untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, melaporkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta mendukung upaya pemulihan lingkungan hidup.

Inventarisasi dan Perencanaan

Pemerintah daerah melakukan inventarisasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, karakter sosial budaya, dan ekonomi pada masing-masing wilayah dan mengumumkan hasilnya. Inventarisasi tersebut dapat melibatkan organisasi lingkungan hidup.

Pemerintah daerah menyususn perencanaan mengenai pemanfaatan dan pemulihan lingkungan hidup berdasarkan hasl inventarisasi secara partisipatif, transparan, dan terpadu.

Pemulihan lingkungan

Pemerintah daerah melakukan pemulihan atas pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dengan pembiayaan yang dibebankan pada APBD. Pemulihan lingkungan hidup juga dilakukan oleh pelaku kegiatan yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatannya dengan dana bersumber dari pelaku kegiatan tersebut, dimana upaya pemulihan tersebut dapat melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup.

Kearifan Lokal Pemerintah kabupaten/kota beserta masyarakat mengembangkan kearifan lokal yang mendukung pelestarian lingkungan hidup di wilayahnya, serta menggali dan mempertahankan praktek-praktek yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Perizinan Setiap kegiatan usaha yang berdampak luas dalam pemanfaatan lingkungan hidup wajib memiliki ijin sesuai dengan peraturan perundangan yang ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan bupati/walikota. Pemberian ijin tersebut diberikan apabila kegiatan usaha tersebut telah melakukan kajian lingkungan menyangkut kepentingan adat, sosial, dan budaya lokal.

Pengendalian dan Pengawasan

Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup dilakukan bupati/walikota dan hasilnya dilaporkan kepada Gubernur. Pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan pelestarian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur.

161 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

ASPEK SUBSTANSI Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga mediasi, negosiasi, arbitrase.

Penghargaan Pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada orang atau kelompok yang berjasa melakukan penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup.

Sanksi Administrasi

Pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan perizinan dikenakan sanksi administratif yang dapat berupa: paksaan pemerintahan, denda adminnistratif, penghentian mesin-mesin perusahaan, penutupan sementara tempat usaha, pencabutan izin

Perda tersebut mengamanatkan bahwa penetapan kawasan-kawasan tertentu untuk

melindungi keanekaragaman hayati, proses ekologi terpenting, dan pemulihan lingkungan

diatur dengan perdasi. Namun belum ada perdasi yang mengatur tentang hal tersebut.

Persoalan lingkungan hidup yang sangat penting bagi Provinsi Papua terkait dengan

pengelolaan hutan. Hutan di Papua hampir 80% dari luas wilayah Provinsi Papua. Sementara

dari tahun ke tahun kerusakan hutan di Papua semakin meluas. Terdapat fakta bahwa di Papua

terdapat berbagai suku yang menguasai areal hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar.

Sebagai implementasi amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, telah diterbitkan

Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan di Provinsi Papua. Perdasus ini mengatur tentang keberpihakan dan

pemberdayaan masyarakat hukum adat, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan, batasan,

prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, perencanaan hutan, mengatur tentang

perizinan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, bagi hasil penerimaan kehutanan,

pengawasan dan pengendalian, serta penyelesaian sengketa, dan sanksi.

Di samping itu peraturan ini juga mengatur tentang pembentukan kesatuan pengelolaan

hutan dan kelembagaan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan tersebut

ditujukan untuk: mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat

hukum adat Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya, mewujudkan

peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat hukum adat Papua;

menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha dan meningkatkan

pendapatan daerah; mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian

fungsi hutan; menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi; mempertahankan dan

mengembangkan keanekaragaman hayati; mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan

iklim global. Melalui Perdasi tersebut terdapat upaya untuk menjaga agar masyarakat hukum

adat dapat menikmati lingkungan hidup yang nyaman.

Substansi pengelolaan hutan berkelanjutan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan

lingkungan hidup terangkum dalam tabel berikut.

Tabel 4.35

162 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Aspek Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di

Provinsi Papua

ASPEK SUBSTANSI Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat berhak untuk: mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya; menggunakan pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal; memperoleh pendampingan dan fasilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota; berpartisipasi dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan; bermitra dengan pihak lain. Dalam hal pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain,

masyarakat hukum adat berhak: mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan; memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan hutan; memperoleh manfaat sosial dan ekonomi; menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan mengelola hutan secara lestari; memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya; melakukan rehabilitasi dan reklamasi hutan sesuai ketentuan perundangan; melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam; membayar kewajiban kepada negara; mendistribusikan manfaat secara adil dan proporsional di dalam kelompok masyarakat hukum adatnya; menyisihkan sebagian pendapatannya untuk generasi akan datang.

Kesatuan Pengelolaan Hutan

Pelayanan pemerintah terdepan dan terdekat kepada masyarakat hukum adat dan pengguna hutan lainnya dilakukan melalui KPH, mencakup: penataan hutan; penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; rehabilitasi hutan; perlindungan dan konservasi; pembinaan; audit internal; pengendalian.

Pengurusan Hutan Pengurusan hutan meliputi pengelolaan hutan serta tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

Peredaran dan Pengelolaan

Pengelolaan hutan didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, meliputi aspek manajemen dan aspek hasil. Aspek manajemen meliputi: manajemen kawasan hutan yang mencakup pemanfaatan kawasan, penataan kawasan, pengamanan kawasan; manajemen hutan yang mencakup kelola produksi, kelola lingkungan, kelola sosial; manajemen kelembagaan yang mencakup tata organisasi, pemberdayaan sumber daya manusia, pengelolaan pendanaan. Aspek hasil meliputi: kelestarian fungsi produksi yang mencakup kelestarian sumber daya hutan, kelestarian hasil hutan, kelestarian usaha; kelestarian fungsi ekologi yang mencakup stabilitas ekosistem dan lintasan spesies langka/endemik/dilindungi; kelestarian fungsi sosial budaya, mencakup terjaminnya sistem tenurial hutan komunitas, terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas, terjaminnya keberlangsungan integrasi sosial dan kultural komunitas. Pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat hukum adat dan pihak

lainnya didukung dan difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah daerah melakukan bimbingan pengendalian dan pengawasan

kepada pemegang izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

Tata hutan dilaksanakan pada semua kawasan hutan, dengan komponen utama dari penyiapan areal kerja dan pembagian areal kerja. bupati/walikota menetapka tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan kabupaten/kota. Sementara tata hutan dalam kawasan hutan yang berada dalam lintas administrasi pemerintahan

163 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

ASPEK SUBSTANSI kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur. Selanjutnya rencana pengelolaan hutan (jangka pendek dan jangka panjang) disusun berdasarkan hasil tata hutan, dengan memperhatikan rencana kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan

Kewajiban menyusun AMDAL bagi penggunaan kawasan hutan dan atau pemanfaatan hasil hutan oleh pemrakarsa usaha yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadapa lingkungan Pemanfaatan hutan dilakukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat

hukum adat harus tetap menjaga kelestarian fungsi hutan. Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hukum adat dengan tetap

memperhatikan fungsi dan peruntukan hutan, dengan memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari, yang mencakup aspek kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial budaya. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat dalam bentuk kegiatan usaha

dapat dilaksanakan pada semua kawasan hutan sesuai jenis perizinan pada fungsi kawasan hulan. Pemanfaatan hutan pada kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan

produksi dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Perdasus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008.

Ijin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan

Penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dalam bidang kehutanan dilakukan setelah memperoleh ijin dari Gubernur. Dalam pengelolaan hutan pemegang hak kelola melakukan tahapan egiatan:

penataan areal kerja; rencana pengelolaan; pemanfaatan; rehabilitasi; perlindungan.

Rehabilitasi dan Reklamasi Kawasan Hutan

Badan usaha sebagai pemegang ijin penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan wajib melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi kawasan hutan yang dilakukan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi kawasan hutan dan lahan dilaksanakan melalui kegiatan reboisasi; penghijauan; pemeliharaan; pengayaan tanaman; penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan teknik sipil pada lahan kritis dan tidak produktif. Reklamasi kawasan hutan dilakukan untuk memperbaiki dan memulihkan

kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi rehabilitasi dan reklamasi hutan

yang rusak, atau yang tidak memenuhi fungsi pokoknya. Dalam rangka rehabilitasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

memfasilitasi budaya menanam dan memelihara serta penyelenggaraan hutan tanaman bagi masyarakat hukum adat.

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Pemegang ijin pemanfaatan hutan wajib melakukan perlindungan hutan untuk menjaga dan memelihara hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar berfungsi secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan tersebut meliputi kegiatan: pengamanan areal hutan; pencegahan kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak; tindakan terhadap gangguan keamanan areal hutan; pelaporan adanya pelanggaran hukum di areal hutan kepada instansi kehutanan; penyediaan sarana dan prasarana serta tenaga pengamanan hutan. Pemegang ijin pemanfaatan hutan berperan aktif melaksanakan konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan silvikultur pengelolaan hutan secara lestari terdiri: tebang pilih

tanam Indonesia pada hutan alam; tebang habis dengan permudaan buatan pada hutan tanaman. Silvikultur Intensif (SILIN). Tebang pilih tanam Indonesia dilaksanakan pada hutan alam produksi untuk mengatur cara penebangan dan melakukan permudaan hutan, melalui pengayaan tanaman dengan jenis

164 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

ASPEK SUBSTANSI tanaman unggulan.

Peningkatan SDM Dalam pengelolaan hutan dilakukan peningkatan sumber daya manusia dengan pemberian pengetahuan dan teknologi.

Peredaran dan Pengolahan Hasil Hutan

Pemerintah Provinsi menetapkan pedoman penatausahaan hasil hutan, peredaran dan pengolahan hasil hutan, serta pemenuhan kayu olahan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Setiap pendirian atau perluasan industri primer hasil hutan kayu wajib

memiliki izin usaha industri primer atau izin perluasan industri primer hasil hutan kayu. Izin tersebut diberikan setelah dilakukan pengkajian atas ketersediaan potensi

bahan baku. Tata pemberian izin tersebut diatur dengan Peraturan Gubernur. Perubahan Status hutan

Setiap kegiatan yang menggunakan dan atau mengubah status kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan wajib mendapat persetujuan dari G ubernur. Areal hutan yang dipergunakan untuk kepentingan non kehutanan yang

berbatasan dengan kawasan hutan lindung dan atau kawasan konservasi dibuat daerah penyangga selebar 1 (satu) km kearah luar dari batas kawasan.

Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan secara lestari dilaksanakan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan kelestarian sumber daya hutan.

Aspek lain yang jika tidak tertangani dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan

lingkungan adalah pengelolaan sumber daya alam. Di Papua, masyarakat hukum adat

mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan sumber daya alam, sebagai sarana untuk

mempertahankan dan memelihara kehidupan dan identitas budaya dalam aspek spiritual,

sumber kehidupan ekonomi dan pengembangan kehidupan lainnya. Tahun 2008, Pemerintah

Provinsi Papua juga menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun

2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat Hukum

Adat Papua. Peraturan ini terkait dengan amanat untuk memperhatikan hak-hak masyarakat

adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk sebagaimana telah disebutkan

sebelumnya. Perdasus ini lebih bersifat melindungi hak masyarakat hukum adat untuk

memanfaatkan sumber daya alam melalui kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam.

Namun peraturan ini juga menekankan pengelolaan sumber daya tersebut harus dilakukan

dengan menjamin kesinambungan ketersediaan, disamping meningkatkan kualitas hasil

pemanfaatannya, serta menghormati hak masyarakat hukum adat.

Pengelolaan pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota harus melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.

Pengelolaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam. Adapun rencana pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam harus berdasar pada berdasarkan Rencana Tata Ruang

Wilayah Propinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pemerintah Provinsi dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan

pada pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan

menetapkan syarat dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha pemanfaatan sumber daya

165 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

alam. Sementara kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi adalah melakukan

supervisi pada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

alam, melakukan pendampingan dalam pemetaan adat oleh masyarakat hukum adat yang

berada di wilayah lintas Kabupaten/Kota, dan memberikan bantuan pada Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam pendampingan pada masyarakat hukum adat.

Gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang lingkungan hidup di Provinsi

Papua dapat diuraikan sebagaimana berikut. Berdasarkan Perda Nomor 11 tahaun 2008 terjadi

perubahan nomenklatur dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)

menjadi Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan Provinsi Papua, sehingga visi

mengalami perubahan menjadi “Selamatkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk

pembangunan berkelanjutan menuju Papua baru”.

Program/kegiatan yang telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua (2006-2009),

antara lain meliputi program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup,

program perlindungan dan konservasi sumber daya alam, peningkatan kualitas SDM dan akses

informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, program peningkatan pengendalian polusi,

pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan konservasi laut dan hutan, serta

program pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur (tahun 2009-2011), dilakukan

melalui pembangunan gedung kantor (laboratorium SDA dan LH), pengadaan perlengkapan

gedung kantor, kursus lingkungan hidup bagi aparatur pemerintah Provinsi Papua, sosialisasi

dan TOT pelaksanaan kurikulum mulok, pengembangan sekolah berwawasan lingkungan.

Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, dilakukan melalui :

Rakor pengelolaan limbah B3 dengan sektor terkait tingkat provinsi/kabupaten/kota;

pengawasan limbah B3 di Provinsi Papua, koordinasi penyusunan AMDAL, pemantauan

kerusakan lingkungan akibat galian C, pemantauan kualitas air sungai di Provinsi Papua,

pemantauan kualitas air perairan pesisir dan lau di Provinsi Papua, peningkatan kapasitas

komisi penilai AMDAL Provinsi Papua, Pemantauan RKL/RPL, operasional Komisi Penilai

AMDAL Provinsi Papua, Pembinaan laboratorium, rakor AMDAL. Program Perlindungan dna

Konservasi SDA: penyuluhan dan pengendalian poilusi dan pencemaran, pemberdayaan

institusi kemasyarakatan dalam pengelolaan LH, Konsultasi dan koordinasi pemantapan

rencana pengelolaan lingkungan terpadu kawasan teluk cendrawasih, pembinaan dan

pengawasan pengelolaan LH, sinkronisasi perencanaan program bidang LH, pembinaan

konservasi bagi masyarakat, pembuatan penangkaran burung kasuari pada kebun biologi LIPI

di Wamena, peningkatan kinerja PPNS, Penyusunan Perdasi CA. Cyloop, peningkatan kapasitas

pengawas LH, penyusunan perdasi/perdasus pengelolaan SDA dan LH (2011).

166 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Program peningkatan Kualitas dan akses informasi SDA dan LH, meliputi : pameran

lingkungan hidup, pecan lingkungan hidup provinsi Papua, penyusunna status LH daerah,

penyusunan dan penyebaran informasi LH, rakornis pengelolaan SDA dan LH, studi potensi

SDA Papua, studi potensi sda melalui penginderaan jauh, valuasi ekonomi SDA dan LH,

pengembangan aplikasi sistem informasi SDA dan LH, pembangunan jaringan teknologi

komunikasi SDALH, pemutakhiran data SDALH, peningkatan SDM di bidang TI, inventarisasi

perijinan SDA dan LH Prov Papua. Program peningkatan pengendalian polusi, melalui:

monitoring pencemaran udara di provinsi Papua, Program pengembangan ekowisata dan jasa

lingkungan di kawasan-kawasan konservasi laut dan hutan, melalui konferensi internasional

keanekaragaman hayati Papua.

Program pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH melalui peningkatan

kapasitas tenaga laboratorium SDA dan LH, inventarisasi potensi bahan galian industry dan

batubara, sintesa profil SDA Papua, identifikasi potensi karbon di Provinsi Papua, studi potensi

SDA di kawasan konservasi hutan dan laut, evaluasi tambang rakyat di Provinsi Papua,

operational secretariat task force carbon Papua.17

Pemerintah Provinsi Papua menghadapi kendala seperti sarana dan prasarana

pendukung belum terbangun, diantaranya gedung laboratorium. Sementara peralatan

laboratorium dan kendaraan operasional lapangan belum memadai. Sumber daya manusia

yang berlatar belakang sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum mencukupi (masih

kurang 50%), sementara di sisi lain disiplin pegawai perlu ditingkatkan. Ditambah lagi dari segi

pendanaan belum memadai sesuai dengan beban kerja.

Kabupaten Jayapura melalui Dinas Kehutanan mengadakan program pengamanan dan

perlindungan cagar alam dengan alokasi dana sebesar Rp. 775.000.000. Di samping itu juga

dilakukan pengamanan dan perlindungan Kawasan Penyangga Cagar Alam.

Kabupaten Mimika tahun 2009 program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber

daya alam, peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi dan pemulihan cadangan

SDA realisasinya. Dinas kehutanan dan perkebunan melakukan program perencanaan dan

pengembangan hutan melalui pengembangan hutan masyarakat adat dengan biaya mencapai

Rp. 701 juta. Di tahun 2008, Dinas Kehutanan dan perkebunan melakukan program rehabilitasi

hutan dan lahan melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan

lahan.

Di Provinsi Papua Barat, gambaran pelaksanaan pengembangan program bidang

lingkungan hidup selama beberapa tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut. Rencana

dan konsep pembangunan di Papua Barat yang berprinsip pada pembangunan berkelanjutan,

17Disampaikan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Papua

167 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang

untuk mewujudkan Provinsi konservasi Papua Barat. Bapedalda Provinsi Papua Barat baru

dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah. Program Bidang Lingkungan Hidup dalam

kaitannya dengan otonomi khusus belum banyak dilaksanakan. Namun upaya perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Papua belum

optimal.18 Provinsi Papua Barat juga belum menetapkan perdasus/perdasi terkait tentang

pengelolaan lingkungan, kawasan lindung, keterlibatan LSM dan pembentukan lembaga

independen.

Salah satu contoh kebijakan yang telah dilakukan dengan sumber dana dari Otonomi

Khusus adalah kegiatan peningkatan edukasi dan komunikasi mayarakat di bidang lingkungan

hidup. Dalam kegiatan pengelolaan lingkungan, diikutsertakan pula berbagai Lembaga

Swadaya Masyarakat seperti LSM Perdu, WWF, Paradisea. Undang-Undang tentang otonomi

khusus Papua mengamanatkan dibentuknya lembaga independen untuk menyelesaikan

sengketa lingkungan. Di Provinsi Papua Barat baru didirikan pos pengaduan masyarakat sejak

tahun 2010 yang telah mendapatkan sejumlah pengaduan masyarakat tentang trans Papua

Barat.

Terdapat berbagai masalah yang dihadapi Pemerintah Provinsi Papua dalam

pembangunan di bidang lingkungan hidup di Papua Barat. Masalah tersebut antara lain belum

dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup, laboratorium lingkungan di Provinsi,

tenaga laboratorium lingkungan hidup, belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan

lingkungan hidup. Di samping itu konflik masalah sumber daya alam terutama hutan, tambang

dan perikanan semakin meningkat.

g. Bidang Sosial Pelaksanaan kewenangan bidang sosial pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan atau kualitas hidup masyarakat sehingga masyarakat memiliki kebebasan di

18 Hal ini diakui oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat yang menangani masalah lingkungan hidup

Di Provinsi Papua telah diterbitkan perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan, namun di Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati,pengelolaan hutan lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu lebih melibatkan lembaga non pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ada keterbatasan dalam sarana dan prasarana pendukung, dimana gedung laboratorium, dan saran alainnya belum terbangun. Di samping itu dibutuhkan pula SDM yang berlatar belakang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Selain itu perlu adanya koordinasi yang terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi karena kelestarian lingkungan hidup bukan tanggungjawab sebagian pihak saja tetapi juga tanggung jawab bersama.

168 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dalam memenuhi aspirasinya dan merelisasikan potensinya. Paradigma pembangunan yang

dikembangkan sudah mengalami perubahan, dari pembangunan yang terlalu menitikberatkan

kepada bidang perekonomian kepada pembangunan kemasyarakatan atau kadang disebut

sebagai pembangunan kesejahteraan sosial.

Dengan kata lain, pelaksanaan kewenangan bidang sosial diharapkan dapat memelihara

dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang

menyandang masalah sosial, seperti keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, dan

sebagainya. Untuk keterbelakangan (pendidikan) telah dilaksanakan oleh dinas pendidikan,

pengagguran dilaksanakan oleh dinas kependudukan dan ketenagakerjaan, sedangkan

kemiskinan menjadi ranah dinas sosial dan atau dinas kesejahteraan sosial. Disamping

kemiskinan, pelaksanaan kewenangan bidang sosial juga menyangkut penanganan anak

terlantar, penyandang cacat dan trauma, panti asuhan/panti jompo, eks penyandang penyakit

sosial (eks napi, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya) serta komunitas adat terpencil

(KAT) dan masyarakat terisolir.

Di Provinsi Papua, kewenangan bidang sosial ditangani oleh Dinas Kesejahteraan Sosial

dan Masyarakat Terisolir, sedangkan di Provinsi Papua Barat dilaksanakan oleh Dinas Sosial.

Sementara itu, di kabupaten/kota pun nomenklatur yang digunakan berbeda-beda antara

daerah satu dengan lainnya namun tetap menyebutkan ‘sosial’.19

Pertama, menyangkut penanganan kemiskinan di Papua dan Papua Barat. Kendatipun

penanganan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas dinas sosial semata, namun persoalan

kemiskinan yang melanda sebagian besar penduduk Papua dan Papua Barat senantiasa

dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi SKPD ini. Ironisnya, kondisi kemiskinan terjadi

di tanah yang dianugerahi Tuhan akan kekayaan alam yang melimpah ruah. Gunung, lembah,

laut dan pantai semuanya mengandung kekayaan alam yang tidak ternilai. Tambang minyak di

Kabupaten Sorong, tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat dan sumber gas bumi di

Kabupaten Teluk Bintuni, serta hutan yang terdapat di sejumlah kabupaten seolah tidak

memberikan pengaruh nyata pada kehidupan sosial dan kesejahteraan penduduk Papua Barat.

Di Provinsi Papua pun menunjukkan kondisi serupa, kandungan emas dan tembaga di

Kabupaten Mimika misalnya, ternyata tidak banyak memberikan pengaruh terhadap

kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Hasil wawancara dengan sejumlah narasumber baik di Papua maupun Papua Barat dapat

menggambarkan hal tersebut. Kepala Bappeda Kabupaten Dogiyai menyebutkan :

“Papua kaya raya, rasanya tidak ada yang membantah. Rakyat Papua tidak menikmati kekayaan yang melimpah, pun rasanya tidak ada yang membantahnya. Persoalan ini

19 Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kab. Mimika, Dinas Kesejahteraan Sosial di Kab. Biak Numfor, Dinas Sosial di Kota Sorong, Kab. Manokwari, Kota Jayapura dan Kab. Merauke.

169 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

menjadi titik awal kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah, termasuk kita semua di dalamnya. Karena itu, pemberian Otonomi Khusus ini menjadi satu harapan baru bagi rakyat dan penduduk Papua untuk menikmati sedikit kekayaan yang telah disumbangkan kepada Pemerintah dan akan kembali kepada mereka sebagiannya guna mengatasi masalah-masalah sosial yang timbul”.

Senada dengan hal itu, anggota MRP Provinsi Papua Barat menyayangkan sikap

penyelenggara pemerintahan yang kurang memberikan memberikan perhatian kepada

kesejahteraan rakyat Papua Barat:

“kalau ingin melihat potret kemiskinan dan keterbelakangan datang ke daerah yang kaya, seperti Papua Barat ini. Jika ada peribahasa ayam mati di lumbung padi, persis seperti yang kami alami disini. Rakyat menjerit karena kemiskinan, sementara para pejabatnya berfoya-foya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Permasalahan sosial seperti anak terlantar, orang cacat, panti asuhan/panti jompo sepertinya luput dari perhatian pemerintah daerah. Sayangnya, MRP tidak memiliki kekuatan politik sehingga tidak mampu menyuarakan ini dan menjadikannya peraturan normatif”.

Secara umum, potret permasalahan penanganan sosial untuk penyandang masalah

sosial di Provinsi Papua meliputi: anak-anak yatim piatu, orang lanjut lanjut usia yang

memerlukan, kaum cacat fisik dan mental, dan korban bencana alam.

Penangananan bidang sosial memerlukan prasarana yang memadai. Salah satunya adalah

tersedianya jumlah panti yang memadai bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti panti

asuhan, panti jompo, dan panti bagi penyandang masalah sosial lainnya. Tabel berikut

memperlihatkan keberadaan panti asuhan di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua,

kondisi pada tahun 2010.

Tabel 4.36 Jumlah Panti Asuhan Menurut Status Pengelola

Kabupaten/Kota Provinsi Papua Tahun 2010

NO KABUPATEN/KOTA Pemerintah Swasta dan Subsidi

Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni 1 2 3 4 5 6 7 8

1 Kabupaten Merauke 6 2 Kabupaten Jayawijaya 15 3 Kabupaten Jayapura 2 120 110 23 4 Kabupaten Nabire 11 5 Kabupaten Yapen

Waropen 18

6 Kabupaten Biak Numfor 1 40 38 2

7 Kabupaten Paniai 5 8 Kabupaten Puncak Jaya 1 9 Kabupaten Mimika 2

10 Kabupaten Yahukimo 1

170 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO KABUPATEN/KOTA Pemerintah Swasta dan Subsidi

Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni

11 Kabupaten Peg. Bintang 2

12 Kabupaten Keerom 10 13 Kabupaten Waropen 1 14 Kota Jayapura 1 40 40 49

Jumlah 4 200 188 146 Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011

Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat sejumlah panti asuhan yang

menampung anak-anak yatim piatu, anak korban bencana, maupun anak-anak korban konflik.

Sebagian dilaksanakan oleh pemerintah dan sebagiannya dilaksanakan oleh yayasan atau pihak

swasta dan bersubsidi. Di Kabupaten Mimika, terdapat 71 LSM/yayasan, 9 lembaga profesi, 32

lembaga keagamaan, 33 lembaga pemuda, 44 paguyuban/ikatan keturunan dan 16 lembaga

wanita yang ikut berpartisipasi dalam penanganan masalah sosial. Sejumlah lembaga tersebut

ditujukan untuk melayani anak jalanan (18 anak terlantar, 113 anak nakal), penyandang cacat

(250 cacat tubuh dan 37 cacat mental), pramuria (19 timung 85 orang, 6 bar 91 orang,

lokalisasi 302 orang) dan lanjut usia sebanyak 332 orang.

Perkembangan ketersediaan panti asuhan dalam kurun 2006-2009 menunjukkan

kecenderungan adanya peningkatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.

Namun panti tersebut lebih banyak dikelola oleh Swasta/subsidi. Ini mengindikasikan

peran/partisipasi kelompok non pemerintah yang lebih baik dalam penanganan masalah sosial

terkait penyediaan panti asuhan. Adapun perkembangan penyediaan panti asuhan oleh

pemerintah kurang menunjukkan adanya perbaikan.

Tabel 4.37 Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola

di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

Tahun Pemerintah Swasta/Subsidi

Jumlah Kapasitas Penghuni Jumlah Kapasitas Penghuni 1 2 3 4 5 6 7

2006 - - - 70 2,793 2793 2007 4 - - 131 - - 2008 4 200 188 138 - - 2009 2 200 188 168 - - 2010 4 200 188 146 - -

Tabel 4.38

Jumlah Panti Asuhan Menurut Pengelola di Provinsi Papua Barat Tahun 2009-2010

171 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Tahun Pemerintah Swasta/Subsidi

Jumlah Jumlah

1 2 3

2009 - 41

2010 - 41

Sementara terkait penanganan orang lanjut usia, pemerintah semestinya berkewajiban

menyediakan panti-panti jompo untuk mereka. Pada kenyataannya, karena minimnya

perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan orang lanjut usia ini menjadi

kurang optimal.

Kelompok masyarakat lain yang perlu mendapat perhatian adalah para penyandang

cacat. Jumlah penyandang cacat di Provinsi Papua 3.374 orang yang terdiri atas tunanetra,

tunarungu, tubuh, mental, tubuh dan mental (ganda). Jumlah penyandang cacat terbanyak

berada di Kabupaten Tolikara sebanyak 953 orang, sedangkan pada daerah yang dikunjungi

terbanyak berada di Kota Jayapura sebanyak 408 orang.

Tabel 4.39 Jenis Cacat Menurut Jenis Kabupaten/Kota Tahun 2010

NO KABUPATEN/KOTA JENIS CACAT

NETRA RUNGU WICARA TUBUH MENTAL GANDA JUMLAH

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Kabupaten Jayawijaya 12 10 14 36 2 Kabupaten Jayapura 82 82 164 3 Kabupaten Yapen

Waropen 36 125 269 82 19 531

4 Kabupaten Biak Numfor

35

5 Kabupaten Asmat 142 146 170 125 871 6 Kabupaten Tolikara 190 331 411 3 18 953 7 Kabupaten Sarmi 8 Kabupaten Keerom 45 205 24 26 300 9 Kabupaten Waropen 52 59 111

10 Kota Jayapura 204 204 408 Jumlah 403 997 1055 589 77 3374

Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir, Provinsi Papua, 2011

Terkait permasalahan PMKS, tabel berikut memperlihatkan banyaknya masalah kesejahteraan

sosial yang tercatat di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua:

Tabel 4.40 Banyaknya Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010

172 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO KABUPATEN/KOTA BALITA TERLANTAR ANAK

TERLANTAR

USIA LANJUT JOMPO

TERLANTAR 1 2 3 4 5

1 Kabupaten Merauke - 259 - 2 Kabupaten Jayawijaya - 8.358 - 3 Kabupaten Jayapura 15 25 22 4 Kabupaten Nabire - 894 53 5 Kabupaten Yapen Waropen - 1.694 458 6 Kabupaten Biak Numfor 12 14 9 7 Kabupaten Paniai - - 138 9 Kabupaten Mimika - - 59

10 Kabupaten Peg. Bintang 6 20 32 11 Kabupaten Tolikara - - 13 12 Kabupaten Keerom 93 462 577 13 Kabupaten Warooen - 98 180 14 Kabupaten Supiori - 5 - 15 Kota Jayapura - 162 297

Jumlah 126 371.658 1.838 Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, Tahun 2011

Tabel di atas menunjukkan variasi PMKS di Provinsi Papua, daerah paling banyak jumlah orang

lanjut jompo terlantar adalah Kabupaten Keerom sebanyak 557 orang, lalu Kabupaten Yapen

Waropen sebanyak 458 orang, kemudian Kota Jayapura sebanyak 297 orang. Sedangkan anak

terlantar terbanyak di Kabupaten Jayawijaya, di Kota Jayapura sebanyak 162 anak.

Adapun untuk perkembangan banyaknya jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial

dari tahun ke tahun terangkum dalam tabel berikut. Jumlah bayi terlantar di Provinsi Papua

antara 2006-2008 mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 11639 bayi menjadi 27

bayi pada tahun 2008. Namun tahun 2009 jumlah balita terlantar mengalami kenaikan menjadi

252 bayi. Kecenderungan serupa terjadi pada perkembangan jumlah anak terlantar, lansia

terlantar, tuna susila, wanita tuna susila, penyandang cacat, maupun bekas narapidana. Secara

umum jika dibandingkan kondisi antara tahun 2006 dan 2010, banyaknya PMKS mengalami

perkembangan yang positif dengan berkurangnya jumlah PMKS pada umumnya. Namun untuk

PMKS bekas penderita penyakit kusta, justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan

dari 66 orang di tahun 2006 menjadi 6289 di tahun 2010. Demikian halnya dengan banyaknya

perempuan korban kekerasan yang mengalami peningkatan dari 55 orang di tahun 2006

menjadi 1782 orang di tahun 2010.

Tabel 4.41 Perkembangan Banyaknya PMKS menurut Jenisnya

di Provinsi Papua Tahun 2006-2010

NO PMKS PROVINSI PAPUA

2006 2007 2008 2009 2010

173 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1 2 3 4 5 6 7

1 Balita Terlantar 11,639 33 27 252 - 2 Anak Terlantar 57,122 1,768 1,444 2,004 2,383 3 Lansia Terlantar 21,973 1,007 640 3,073 3,732 4 Anak Jalanan 963 6 2 - - 5 Anak Jermal 37,165 - - - - 6 Anak Nakal - - - (824) - 7 Anak Korban Tindak kekerasan 55 - 159 280 397 8 Korban Narkotika 3,084 228 - 321 194 9 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 28,556 - - 1,957 90

10 Wanita Korban Kekerasan 55 55 26 482 1,782 11 Tuna Susila 2,124 386 271 1,039 482 12 Wanita Tuna Susila 2,040 244 186 263 653 13 Penyandang Cacat 7,004 1,217 876 7,629 263 14 Bekas Penderita Penyakit Kusta 66 533 313 533 6,289 15 Gelandangan dan Pengemis - 2 - - 471 16 Bekas Narapidana 632 30 15 473 283 17 Perintis Kemerdekaan 119 192 130 130 120

Disamping masalah PMKS, dalam hal ini perlu juga diketahui keluarga PMKS,

sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.42 Keluarga Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Menurut Jenis dan Kabupaten/Kota 2010

NO KABUPATEN/KOTA Perumahan & Lingkungan Tidak Sehat

Komunitas Adat Terpencil/

KAT (jml KK)

Korban Bencana

Alam

Fakir Miskin dan Keluarga

Miskin 1 2 3 4 5 6

Kabupaten 1 Merauke - 2.088 - 195 2 Jayawijaya 5 484 - - 3 Jayapura 17 508 943 484 4 Nabire 1.006 346 - 250 5 Yapen Waropen 8.577 131 1.647 684 6 Biak Numfor 17 75 880 117 7 Paniai 3.511 4.384 - 762 8 Puncak Jaya - 1.213 - - 9 Mimika - 1.215 - 140

10 Boven Digoel - 3.247 - - 11 Mappi - 4.542 - 150 12 Asmat 15.588 2.112 - 14.911 13 Yahukimo - 2.147 - - 14 Peg. Bintang 2.000 1.882 112 2.000 15 Tolikara - 779 - 125 16 Sarmi - 1.213 - -

174 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO KABUPATEN/KOTA Perumahan & Lingkungan Tidak Sehat

Komunitas Adat Terpencil/

KAT (jml KK)

Korban Bencana

Alam

Fakir Miskin dan Keluarga

Miskin 1 2 3 4 5 6

17 Keerom - 170 2.325 6.033 18 Warooen - 898 - 100 19 Supiori - 246 - - 20 Lanny Jaya - - 170 -

Kota 21 Jayapura - - 496 117

Jumlah 26.182 26.187 6.573 26.068

Sumber: Dinas Kesos dan Masyarakat Terisolir, Provinsi Papua, Tahun 2011

Para PMKS berasal dari keluarga dengan kondisi yang tidak mendukung pencapaian

kehidupan yang lebih baik. Mereka menjadi seperti saat ini karena peran keluarga yang sangat

besar bagi pribadi yang bersangkutan. Setidaknya terdapat 4 latar belakang keluarga yang

meliputi: perumahan dan lingkungan tidak sehat, KAT, korban bencana alam dan fakir miskin &

keluarga miskin. Perumahan dan lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku

seseorang menjadi tidak sehat pula, akibatnya menimbulkan masalah. Kedua, KAT yakni

jumlah kepala keluarga (KK), lalu korban bencana alam dan fakir miskin & keluarga miskin

yang pada akhirnya mempengaruhi seseorang menjadi PMKS.

Keluarga PMKS tersebut mengalami perkembangan yang bervariasi dari tahun ke

tahun. Tabel berikut merangkum perkembangan jumlah keluarga PMKS dari tahun 2006-2010.

Secara umum keluarga PMKS dengan Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat, keluarga korban

bencana alam, serta keluarga Fakir Miskin dan Keluarga Miskin mengalami kecenderungan

adanya penurunan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006-2010. Adapun jenis keluarga

PMKS yang mengalami kenaikan jika dibandingkan antara kondisi tahun 2006 dan 2010 adalah

keluarga komunitas terpencil. Tahun 2006 tercatat sejumlah 32.721 keluarga komunitas

terpencil, namun pada tahun 2010 banyaknya keluarga komunitas terpencil mengalami

peningkatan menjadi 41.122.

Yang menarik perhatian dari keseluruhan jenis keluarga PMKS tersebut adalah adanya

kecenderungan terjadinya lonjakan jumlah keluarga PMKS tersebut dari tahun 2008 ke tahun

2009. Hal ini perlu informasi lebih lanjut terkait latar belakang kondisi tersebut.

Tabel 4.43 Perkembangan Banyaknya Keluarga PMKS

di Provinsi Papua Menurut Jenis Tahun 2006-2010

NO KELUARGA PMKS PROVINSI PAPUA

2006 2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6 7

175 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1 Perumahan dan Lingkungan tidak Sehat 31,224 17,605 11,261 41,930 11,694

2 Komunitas Terpencil 32,721 9,018 6,919 42,465 41,122 3 Korban Bencana Alam 7,607 3,845 2,430 7,492 1,999

4 Fakir Miskin dan Keluarga Miskin 121,557 25,561 17,370 112,969 113,071

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010 Kondisi dan permasalahan bidang sosial di Provinsi Papua Barat, sesungguhnya tidak

jauh berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua. Di Provinsi Papua Barat, perkembangan

banyaknya penyandang masalah kesejahteraan sosial terangkum dalam tabel berikut. Untuk

penyandang masalah kesejahteraan sosial wanita tuna susila, terdapat kecenderungan

penurunan dari tahun 2007-2010. PMKS yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah

penyandang masalah narkotika, dimana jumlahnya meningkat dari 19 orang di tahun 2009

menjadi 2115 orang di tahun 2010.

Tabel 4.44 Perkembangan Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

di Papua Barat Tahun 2007-2010

NO PMKS Tahun

2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6 1 Wanita Tuna Susila 668 626 271 500 2 Anak Terlantar 2,988 2,891 4,356 366 3 Narkotika - - 19 2,115 4 Manula 4,684 4,554 5,571 366 5 Lainnya 2,497 2,433 937 -

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010

Salah satu upaya penanganan masalah sosial yang dilakukan di Provinsi Papua Barat

adalah melalui pemberian bantuan UKS bagi keluarga fakir miskin dan pembinaan serta

pelayanan sosial bagi penderita cacat mental dan anak nakal. Perkembangan jumlah fakir

miskin penerima bantuan serta penderita cacat mental dan anak nakal yang mendapat

pembinaan dan pelayanan sosial dapat ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 4.45 Banyaknya Keluarga Fakir Miskin yang Memperoleh Bantuan UKS serta Penderita Cacat

Mental dan Anak Nakal Yang Mendapat Pembinaan dan Pelayanan Sosial di Provinsi Papua Barat Tahun 2007-2010

NO Pelayanan Sosial Tahun

2007 2008 2009 2010 1 2 3 4 5 6

176 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1 Fakir Miskin 28,106 27,088 240,438 246,393 2 Cacat Mental 3,867 3,654 910 910 3 Anak Nakal 201 180 165 165

Sumber : Badan Pusat Statistik, Tahun 2007-2010

Terdapat perkembangan positif untuk keluarga fakir miskin yang memperoleh bantuan

UKS dalam kurun tahun 2006-2010. Adapun untuk penderita cacat mental dan anak nakal,

terdapat kecenderungan penurunan jumlah penerima pembinaan dan pelayanan sosial. Secara

umum penanganan masalah sosial di Provinsi Papua Barat juga belum mendapat perhatian

yang cukup.

Sejumlah upaya program/kegiatan pun telah dilakukan oleh pemda provinsi maupun

kabupaten/kota di Papua khususnya. Terdapat beberapa program yang telah dilaksanakan

oleh Dinas Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat Terisolir Provinsi Papua, di antaranya:

Program pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), dengan kegiatan-kegiatan: pengadaan sarpras

pendukung bagi keluarga miskin, peningkatan kesejahteraan sosial keluarga, pemberdayaan

KAT;

Program pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, dengan kegiatan-kegiatan:

penanganan masalah strategis menyangkut tanggap cepat darurat dan kejadian luar biasa,

pelayanan dan perlindungan kesejahteraan sosial lanjut usia, pelayanan kesejahteraan

sosial bagi anak nakal, pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat, pelayanan dan

rehabilitasi sosial penyandang cacat;

Program pembinaan anak terlantar, dengan kegiatan pengembangan bakat dan

keterampilan anak terlantar;

Program pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidana, PSK, narkoba dan

penyakit sosial lainnya);

Program pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, dengan kegiatan: pembinaan

generasi muda, koordinasi informasi strategis, penyuluhan sosial, pembinaan organisasi,

yayasan dan panti sosial, bantuan penghargaan dan bimbingan kepada tokoh

perintis/pahlawan yang berjasa terhadap masyarakat, pembinaan dan peningkata sarana

keagamaan, wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat, peningkatan akses jaminan

sosial, pemberdayaan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, pendayagunaan sumber dana

sosial;

Program pembinaan kehidupan umat beragama, dengan kegitan: peningkatan kegiatan

keagamaan, peningkatan pendidikan keagamaan, dan pelatihan manajemen lembaga

keagamaan;

Program penunjang pendidikan tinggi negeri dan swasta, dengan kegiatan: bantuan

penunjang pendidikan bagi mahasiswa kurang mampu.

177 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dari ketujuh program tersebut, kiranya jelas bahwa persoalan sosial ternyata memiliki

spektrum yang sangat luas sehingga memerlukan kejelasan pembagian, mana yang menjadi

ranah penyelenggaraan Otonomi Khusus menurut UU 21/2011 dan mana yang menjadi ranah

UU 32 Tahun 2004. Sebut saja, dari 7 program dan sekian kegiatan, program apa yang akan

dibiayai dengan dana Otonomi Khusus? Sebagai contoh, di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten Jayapura, dengan dana Otonomi Khusus sebesar Rp. 6,2 M digunakan

untuk membiayai 3 program dan 3 kegiatan (2010) yaitu pembangunan rumah layak huni20

dan tempat ibadah21 bagi komunitas adat terpencil (KAT), penataan rumah masyarakat local22

dan pelatihan keterampilan bagi pencari kerja.23

Tabel berikut menunjukkan besaran dana APBD yang digunakan untuk membiayai

kewenangan bidang sosial.

Tabel 4.46 Anggaran Bidang Kesos Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2010

No PROGRAM TAHUN

2008 (Rp) 2010 (Rp) 1 2 3 4 1. Pemberdayaan fakir miskin, Komunitas Adat

Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

1.767.000.000 5.174.650.000

2. Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial 1.286.900.000 2.502.935.750

3. Pembinaan anak terlantar 183.200.000 859.319.000 4. Pembinaan eks penyandang penyakit sosial

(eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya)

602.435.575 5.059.772.200

5. Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial 5.816.254.800 443.705.000

6. Pembinaan kehidupan umat beragama 3.068.400.000 - 7. Penunjang pendidikan tinggi negeri dan

swasta 4.993.033.600 -

Jumlah 17.717.223.975 14.040.381.950 Sumber: Laporan Tahunan APBD Tahun 2008 dan 2010.

Di Provisi Papua dana yang dikeluarkan untuk mendanai 7 program sebesar 17,7 M

tahun 2008 dan 14 M tahun 2010. Namun demikian tidak ada kejelasan mengenai berapa

jumlah dana yang berasal dari dana Otonomi Khusus dan berapa jumlah yang berasal dari

sumber lainnya. Ketidakjelasan tersebut diakibatkan karena tidak adanya guidance yang jelas

dari pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan pengakuan narasumber, dana Otonomi Khusus

20 Rumah layak huni yang dimaksud disini adalah rumah type 36 21 Gereja, masjid, dan lain-lain sesuai kebutuhan pemeluk agamanya 22 Disebut juga pembangunan rumah bagi penduduk local sebagaimana yang telah dilakukan di Distrik Kaureh, Distrik Yapsi, Distrik Demta 23 Pelatihan keterampilan kerja bagi pencari kerja di 5 distrik dan 7 kampung di Kab. Jayapura, dan pengadaan alat pertukangan bagi peserta pelatihan

178 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan cenderung tidak

mendapatkan perhatian yang memadai dari para pengambil kebijakan daerah. Pernyataan

pejabat di Dinas Sosial Kabupaten Manokwari menunjukkan hal tersebut:

“Kewenangan bidang sosial selalu mendapatkan porsi yang minim dalam penganggaran di daerah. Tiap tahun kami selalu memperoleh dana Otonomi Khusus yang tidak sesuai dengan harapan. Bahkan, karena kecilnya dana yang kami terima dari dana Otonomi Khusus, kami merasa tidak diprioritaskan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat, sehingga masalah sosial, khususnya seperti penanganan panti asuhan/panti jompo tidak memperoleh pendanaan yang memadai”.

4. Perdasus dan Perdasi

Perdasus adalah Peraturan daerah Khusus adalah peraturan daerah Provinsi dalam

rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Perdasi adalah peraturan daerah Provinsi dalam

rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perudang-undangan.

Berdasarkan amanat Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 mengamanatkan 13

perdasus dan 18 perdasi serta peraturan pemerintah. Dari amanat 13 perdasus dan 18 perdasi

belum semuanya dibuat tetapi sejak otonomi khusus berlangsung, berikut disajikan daftar

perdasus dan perdasi yang harus dibuat berdasarkan amanat Undang- Undang Nomor 21 tahun

2001.

Tabel 4.47 Daftar Perkembangan Pembentukan Perdasi dan Perdasus

NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET

1 2 3 4 5

1 Pasal 2 ayat (3) Lambang daerah Perdasus Belum Terbit (Perda Papua Barat No. 2

Tahun 2006 Tentang Lambang Daerah)

2 Pasal 4 ayat (3) Pelaksanaan kewenangan Provinsi Papua

Perdasus atau Perdasi

Belum Terbit Perdasus

3 Pasal 4 ayat (5) Pelaksanaan Kewenangan daerah kabupaten dan kota

Perdasus atau Perdasi

Belum Terbit

4 Pasal 4 ayat (9) Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur tentang Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah terkait Kepentingan Provinsi Papua

Perdasus Belum Terbit

Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dana otsus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, diperlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.

179 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5

5 Pasal 11 ayat (3) Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pemilihan

Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua

6 Pasal 19 ayat (3) Keanggotaan dan Jumlah anggota MRP

Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun

2010 Tentang Keanggotaan dan Jumlah

anggota MRP 7 Pasal 20 ayat (2) Tugas dan wewenang MRP Perdasus Sudah Terbit

Perdasus Nomor 4 Tahun 2008 Tentang

Pelaksanaan Tugas dan wewenang MRP

8 Pasal 21 ayat (2) Hak MRP Perdasus Sudah Terbit Perdasus Nomor 3 Tahun

2008 Tentang Pelaksanaan Hak dan

Kewajiban MRP 9 Pasal 23 ayat (2) Kewajiban MRP Perdasus Sudah Terbit

Perdasus Nomor 3 Tahun 2008 Tentang

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban MRP

10 Pasal 24 ayat (2) Tata cara pemilihan MRP Perdasi Sudah Terbit Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pemilihan

Anggota MRP 11 Pasal 26 ayat (3) Pengaturan perangkat dan

kepegawaian baik Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya dan DPRP, MRP

Perdasi Sudah Terbit Perdasi Nomor 9 Tahun

2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD

dan Staf Ahli Gubernur Perdasi Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi

dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Provinsi

Papua Perdasi Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Provinsi

Papua

12 Pasal 27 ayat (3) Kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil

Perdasi Belum Terbit

13 Pasal 29 ayat (3) Tata cara pemberian pertimbangan dan

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 9 Tahun

180 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5

persetujuan MRP 2010 Tentang Pembentukan Perdasi dan

Perdasus 14 Pasal 32 ayat (2) Fungsi, Tugas, wewenang,

bentuk dan susunan keanggotaaan Komisi Hukum Ad Hoc

Perdasi Belum Terbit

15 Pasal 34 ayat (7) Pembagian Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus

Perdasus Sudah Terbit Dibuat dengan Perdasi No

2 Tahun 2004 Tentang Pembagian Penerimaan

Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi

Khusus 16 Pasal 35 ayat (6) Ketentuan Pinjaman luar

negeri Perdasi Belum Terbit

17 Pasal 36 ayat (3) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi

Perdasi Belum Terbit

18 Pasal 38 ayat (2) Perekonomian di Provinsi Papua serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan

Perdasus Sudah terbit Perdasus Nomor 18 Tahun

2008 Tentang Perekonomian Berbasis

Kerakyatan 19 Pasal 41 ayat (2) Tata cara penyertaan modal

pemerintah Provinsi Papua Perdasi Belum Terbit

20 Pasal 48 ayat (3) tugas kepolisian di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan

Perdasi Belum Terbit

21 Pasal 56 ayat (6) Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi Papua

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 5 Tahun

2006 Tentang Pembangunan Pendidikan

di Provinsi Papua 22 Pasal 57 ayat (4) Pelaksanaan kewajiban

melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 16 Tahun

2008 Tentang Perlindungan dan

Pembinaan Kebudayaan Asli Papua

23 Pasal 59 ayat (5) Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pelayanan

Kesehatan 24 Pasal 60 ayat (2) Kewajiban merencanakan

dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk

Perdasi Belum terbit

181 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

NO PASAL PERIHAL PENGATURAN KET 1 2 3 4 5

25 Pasal 61 ayat (4) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 15 Tahun

2008 Tentang Kependudukan

26 Pasal 62 ayat (4) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua

Perdasi Belum terbit

27 Pasal 64 ayat (5) Pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup

Perdasi Sudah terbit Perdasi Nomor 6 Tahun

2008 Tentang Pelestarian Lingkungan Hidup dan

28 Pasal 65 ayat (3) kewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah social

Perdasi Belum terbit

29 Pasal 66 ayat (2) Perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua

Perdasus Belum Terbit

30 Pasal 67 ayat (2) Pengawasan sosial dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggung jawab

Perdasus Belum Terbit

Sumber: Subdit Otonomi Khusus Wil. II Dit. PDOD Ditjen OTDA Kemendagri.

Perdasus dan Perdasi yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah

sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi, sampai dengan saat ini untuk Provinsi Papua sudah

menerbitkan 7 Perdasus, sedang dalam proses 5 Perdasus, dan belum diproses 1 Perdasus

sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 8 Perdasi, sedang dalam proses 8 Perdasi dan

belum diproses 2 Perdasi.

Sementara itu, untuk Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat dilaksanakan berdasarkan

UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Sampai saat ini Provinsi Papua

Barat belum ada menerbitkan Perdasus, sedang dalam proses 8 Perdasus, dan belum diproses

5 Perdasus, sedangkan terkait Perdasi sudah menerbitkan 1 Perdasi, sedang dalam proses 2

182 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Perdasi dan belum diproses 16 Perdasi. Dari sisi anggaran, Pemerintah Provinsi Papua Barat

telah menerima dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009.

Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Barat menggunakan

peraturan gubernur, di antaranya:

1) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 41 Tahun 2009 tentang Alokasi Dana Otonomi

Khusus dan Tambahan Dana Infrastruktur Tahun Anggaran 2009.

2) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Anggaran Bantuan Alokasi Otonomi Khusus dan Tambahan Dana

Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/ Kampung.

3) Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 900/8/V/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan

dan Pertanggungjawaban Transfer Atas Bantuan Alokasi Dana Otonomi Khusus dan

Tambahan Dana Infrastruktur Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota/Distrik/Kelurahan/

Kampung.

Kondisi di lapangan menyebutkan amanat tersebut 13 Perdasus dan 18 Perdasi belum

semuanya dibuat. Kadangkala mengalami keterlambatan seperti yang diungkapkan oleh PP

Otda dalam “kemandegan legislasi kemandegan otonomi khusus, yaitu

“Pemerintah provinsi Papua mengajukan draf Perdasus selalu mengalami penolakan oleh pemerintah pusat, hal inilah yang menjadi ungkapan dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa telah terjadi kemandegan legislasi”

Hasil kuesioner yang diterima oleh Tim peneliti bahwa mayoritas responden bahwa

mayoritas menyatakan bahwa penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus

sering terlambat 50%, bahkan sebanyak 34% responden menyatakan bahwa penyusunan,

pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selalu terlambat. Hanya 8% yang

menyatakan sudah baik atau sering tepat waktu dan 8% menyatakan kadang-kadang saja.

Gambar 4.47. Persepsi terhadap Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan Perdasus dan Perdasi

183 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain

disebabkan permasalahan kemandegan legislasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,

permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik. Diagram berikut akan menjelaskan

dukungan anggaran bagi penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus.

Gambar 4.48. Persepsi Terhadap Anggaran Bagi Penyusunan, Pembahasan

dan Penetapan Perdasi dan Perdasus

Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan anggaran dalam

penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus masih kurang memadai 50%

dan sedang 8%. Tentu bukan hal yang menggembirakan, mengingat urgensi kebijakan lokal

dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat. Dari hasil–hasil tersebut,

terlihat bahwa sumber daya pendukung dalam implementasi kebijakan dapat dikatakan masih

belum memadai.

Permasahan lainnya adalah dalam proses penyusunan Perdasus dan Perdasi, selama ini

diserahkan kepada konsultan luar Papua yang kadang-kadang tidak memahami Otonomi

Khusus secara kontekstual (konteks Papua) tentang apa yang menjadi kekhususan yang harus

diatur, terutama untuk sebuah rancangan Perdasus24.

24 http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/07/28/perdasus-perdasi-penantian-tak-berujung/

184 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Dalam bukunya “Satu Setengah Tahun Otonomi Khusus Papua Refleksi dan Prospek

(2003)”, Dr. Agus Sumule salah satu mantan anggota tim asistensi UU Otonomi Khusus Papua,

salah satu hambatan keterlambatan dari penyusunan Perdasi dan Perdasus adalah pemikiran

bahwa bahwa penyusunan Perdasi dan Perdasus memerlukan sekian banyak Peraturan

Pemerintah (PP) untuk implementasinya. Padahal keunikan UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah

bahwa peraturan pelaksanaannya cukup dalam bentuk Peraturan Daerah, baik Perdasus

maupun Perdasi, dan tidak membutuhkan Peraturan Pemerintah pusat sebagaimana undang-

undang yang draftnya pun harus dimasukkan dari Papua.

Dr. Agus Sumule kemudian menyatakan bahwa, lamban dan lambatnya penyusunan

peraturan-peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001 menunjukkan bahwa sesungguhnya

sementara Papua menyia-nyiakan kesempatan dan peluang untuk merancang sendiri hampir

semua aspek pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan agar sedapat mungkin sesuai

dengan kekhasan sosial-budaya, politik dan ekonomi di Papua. Padahal kalau kita mengacu

pada Pasal 75 UU Nomor 21 Tahun 2001 disana ditegaskan bahwa Peraturan pelaksana yang di

maksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua)

tahun sejak diundangkan. Karena memang dikuatirkan pemerintah pusat mengambil alih

sebagian kewenangan itu untuk membentuk peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan

semangat UU Otonomi Khusus sendiri seperti yang bisa dilihat dari mulai dari lahirnya Inpres

Nomor 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45/1999 tentang Pembentukan

Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinisi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota sorong, kemudian Tahun 2007, lahirlah Inpres Nomor

5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinisi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan

Perpu Nomor 1/2008 tentang Perubahan atas UU Otonomi Khusus Papua.

D. Masalah-Masalah Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Mencermati berbagai persoalan otonomi khusus Papua dan Papua Barat sebagaimana

diuraikan pada bagian sebelumnya, menjadi jelas bahwa permasalahan Otonomi Khusus pada

dasarnya menyangkut 2 ranah yakni kebijakan dan implementasi kebijakan. Artinya,

‘kegagalan’ Otonomi Khusus yang selama ini dtuduhkan kepada penyelenggara Otonomi

Khusus Papua dan Papua Barat sesungguhnya kekurangberhasilan pelaksanaan Otonomi

Khusus tersebut tidak hanya ‘melulu’ kealpaan para pelaksana di daerah namun (mungkin)

juga terdapat andil kesalahan para perumus kebijakan di level Pemerintah.

185 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Kebijakan Permasalahan yang terjadi pada ranah kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

menyangkut hal-hal sebagai berikut:

a. Terjadi disharmoni dan inkonsistensi kebijakan, sebagaimana diketahui dalam

pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terdapat dua peraturan

perundang-undangan yaitu UU 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 21 Tahun 2001

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008. UU generik atau simetris

berlaku di seluruh daerah dan menitikberatkan otonominya di kabupaten/kota,

sementara UU Otonomi Khusus atau asimetris menitikberatkan otonominya di level

provinsi. Implikasinya, terjadi kerancuan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah,

khususnya di level pemerintah kabupaten/kota karena di satu sisi mereka menjalankan

otonomi khusus dan di sisi lain mereka harus menjalankan otonomi generik. Akibatnya,

terjadi pula apa yang disebut sebagai inkonsistensi kebijakan, dimana pemerintah

kabupaten/kota mengalami kerancuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan serta

pengelolaan pembiayaannya. Dualisme kebijakan tersebut terus-menerus terjadi dalam

penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, sehingga cukup

menghambat pelaksanaan pembangunan daerah di berbagai sektor.

b. Belum diterbitkannya sebagian besar peraturan pelaksana UU Nomor 21 Tahun 2001

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 yang meliputi Perdasus dan

Perdasi yakni sebanyak 13 Perdasus dan 18 Perdasi. Sebagai operasionalisasi UU

Nomor 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 35 Tahun 2008, terbitnya perdasus dan perdasi

tersebut merupakan sebuah keharusan. Di satu sisi, belum terpenuhinya sejumlah

perdasus dan perdasi yang diisyaratkan dalam undang-undang berimplikasi pada

ketidakjelasan arah kebijakan dan pengelolaan kewenangan khusus. Namun di sisi lain,

perdasus dan perdasi yang telah diterbitkan pun belum sepenuhnya sesuai dan selaras

dengan amanat undang-undang untuk mensejahterakan rakyat Papua dan Papua Barat.

c. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang

manajemen penyelenggaraan Otonomi Khusus, mengakibatkan desain kebijakan

perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan

yang tegas, jelas dan terukur. Misalnya: Perdasus bidang lingkungan hidup, belum

menjadi acuan yang terukur untuk dapat membedakan mana urusan yang harus

dikelola oleh provinsi atau kabupaten/kota. Akibatnya, kinerja yang dicapai pada

bidang ini menjadi tidak optimal, termasuk akuntabilitasnya.

d. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus

sebagai penafsiran atas kewenangan setiap bidang. Misalnya, pada bidang sosial di

dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan “Pemerintah Provinsi

186 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan

hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.

Seperti apa ruang lingkup dan indikator yang bisa dijadikan ukuran untuk mengetahui

keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini, tidak ada kejelasan. Contoh lainnya,

perihal kependudukan, sesungguhnya apa yang menjadi indikator untuk menilai

keberhasilan pelaksanaan urusan kependudukan dan ketenagakerjaan di Papua dan

Papua Barat.

2. Permasalahan Pada Ranah/Dimensi Implementasi Kebijakan Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan

Papua Barat dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Keuangan Khusus dan Pengelolaannya

Persoalan mendasar dalam implementasi keuangan Otonomi Khusus dan

pengelolaannya adalah belum tersedianya peraturan pelaksana dalam bentuk perdasus

yang mengatur alokasi dan distribusi dana Otonomi Khusus yang disampaikan kepada

pemerintah kabupaten/kota. Amanat pasal 34 ayat (7) tersebut belum dapat

dilaksanakan oleh DPRP/DPRPB, MRP dan Gubernur Provinsi Papua maupun Papua

Barat. Hal ini menyebabkan pengelolaan keuangan/dana Otonomi Khusus selama ini

hanya didasarkan atas Peraturan Gubernur (Pergub). Artinya, alokasi dan distribusi

yang telah dilaksanakan sedemikian rupa, dimana 40:60 untuk Provinsi Papua (40%

untuk Provinsi dan 60% untuk kabupaten/kota) dan 30:70 untuk Provinsi Papua Barat

(30% untuk Provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota) sesungguhnya masih belum

mencerminkan demokrasi lokal karena tidak melibatkan peran DPRP/DPRPB serta

MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat.

Persoalan krusial lainnya adalah terkait dengan keterlambatan transfer/dropping

dana Otonomi Khusus dari provinsi ke kabupaten/kota, karena keterlambatan transfer

dari pusat ke provinsi. Memang diakui, hal ini sudah dicoba jalan keluarnya dengan

memperbaiki pencairan dengan menggunakan sistem termin, namun ternyata belum

menunjukkan hasil yang positif. Keterlambatan pencairan dana otonomi khusus masih

saja terjadi, hal ini memaksa pemerintah daerah untuk meminjam kas DAU dan akan

dikembalikan setelah dana otonomi khusus direalisasikan.

Permasalahan lain yang dihadapi dalam alokasi dan distribusi keuangan adalah

menyangkut transparansi kepada publik terkait dengan jumlah atau besaran,

mekanisme pembagian serta bentuk pengelolaannya. Hal ini berimplikasi pada

menurunnya kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah.

Terakhir, persoalan yang membelit bidang keuangan dan pengelolaannya adalah

terkait ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai program dan kegiatan yang akan

187 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

didanai dari dana otonomi khusus dimaksud. Memang, Pergub yang diterbitkan sudah

cukup memberikan arah program dan kegiatan prioritas, namun aturan ini pun belum

dapat dilaksanakan secara optimal karena substansinya masih kurang lengkap dan di

sisi lain pemerintah kabupaten/kota cenderung tidak mematuhi ketentuan pergub

karena memiliki agenda prioritas tersendiri.

b. Kelembagaan Khusus

MRP sebagai lembaga kultural, ternyata selama ini masih disibukkan dengan

ranah politik seperti rekomendasi perlunya bakal calon bupati/wakil bupati dan

walikota/wakil walikota harus orang asli Papua, dan lain-lain. Meskipun disatu pihak,

sejumlah kalangan di Papua menilai MRP sebaiknya tidak diposisikan sebagai lembaga

kultural yang semata-mata hanya mengurus hal-hal kebudayaan.

c. Kewenangan Khusus

Kebijakan pelaksanaan kewenangan khusus sejatinya dibiayai dengan dana

Otonomi Khusus, kebijakan alokasi dana Otonomi Khusus yang selama ini dilakukan di

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pun tidak didasarkan atas model pelaksanaan

kewenangan khusus secara proporsional. Pembagian 40% untuk Provinsi Papua dan

30% untuk Provinsi Papua Barat tidak dibarengi dengan lingkup pelaksanaan

kewenangan yang ada di provinsi. Sementara itu, dari sisi pemerintah kabupaten/kota

pembagian tersebut dianggap tidak adil, karena belum sepenuhnya

mempertimbangkan karakteristik dan kekhasan masalah yang ada di daerah

kabupaten/kota, seperti daerah berkarakter pegunungan, dataran, pedalaman, pesisir,

termasuk pertimbangan jumlah penduduk (demografi), dan sebagainya.

Pembagian 40:60 dan 30:70 yang telah dilaksanakan di kedua provinsi masih

menimbulkan persoalan jika dikaitkan dengan program dan kegiatan prioritas mana

yang dibiayai. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Papua yang memegang alokasi

40% mengalokasikan dana otonomi khusus kepada 4 (empat) bidang yaitu pendidikan,

kesehatan, infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, bahkan sampai ke kabupaten/kota.

Sementara di lingkup pemerintah kabupaten/kota, pun melaksanakan program

prioritas yang juga membiayai keempat bidang dan program prioritas dimaksud.

Bahkan, tidak jarang terjadi pemanfaatan dana otonomi khusus di kabupaten/kota

yang tidak sesuai dengan ketentuan pergub dan atau amanat UU Nomor 21 Tahun

2001. Sebagai contoh: dibeberapa kabupaten dana otonomi khusus didistribusikan

kepada SKPD-SKPD di luar 6 kewenangan khusus, ironisnya lagi justru SKPD yang

menangani bidang kewenangan diperintahkan dalam undang-undang terkadang justru

mendapatkan porsi yang sangat kecil. Hal ini terutama terjadi pada kewenangan

188 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

khusus yang tidak menjadi ‘mainstream’ penyelenggaraan otonomi khusus seperti

kewenangan bidang lingkungan hidup dan bidang sosial.

Dalam hal perekonomian, Meskipun telah terbit Perdasus Nomor 18/2008 tentang

Perekonomian Berbasis Kerakyatan, pada kenyataannya pendanaan dan implementasi

ekonomi kerakyatan belum memberikan pengaruh signifikan bagi kehidupan dan

kesejahteraan rakyat Papua. Sementara di Provinsi Papua Barat belum terbit Perdasus

mengenai Perekonomian Berbasis Kerakyatan, namun hal ini telah diintegrasikan

dalam rencana strategis BP3D dan menjadikannya ke dalam salah satu program

prioritas ekonomi kerakyatan. Namun sebagaimana di Provinsi Papua, alokasi dana

untuk bidang kewenangan ekonomi kerakyatan mendapat porsi yang kecil sehingga

efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.

Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya jumlah dan kualitas tenaga

pendidik dan kependidikan dan persoalan distribusi tenaga pendidik, sarana dan

prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, tertinggal dan terisolir.

Hal yang sama juga berlaku dialami dalam bidang kesehatan dimana minimnya sarana

pelayanan dan alat-alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga se tingkat Rumah

Sakit. Sarana pelayanan kesehatan, meski cenderung mengalami peningkatan

jumlahnya, namun belum mencukupi, ditambah penyebaran tenaga kesehatan relatif

tidak merata karena sebagian besar hanya ingin berada di kota besar. Ketiadaan

petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis juga menjadi catatan tersendiri bagi kedua

bidang ini, yang pada akhirnya menghambat kebijakan affirmative action yang menjadi

keharusan dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat.

Sementara, permasalahan kependudukan tergambar bahwa orang asli Papua

sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan yang

sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di

bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan orang asli

Papua namun demikian kebijakan akan pembatasan masuknya orang luar Papua

(Perdasi Nomor 15 Tahun 2008) justru menimbulkan kontraproduksi dengan tujuan

penyusunannya ditambah dengan rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat

pendidikan orang asli Papua sehingga produktifitas dan kemampuan daya saing

masyarakat asli Papua kurang dibandingkan para pendatang. Hal inilah yang

menyebabkan perlu pemikiran kebijakan yang sejalan dalam upaya menciptakan

langkah konkrit yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan dampak lainnya

melalui program-program penguatan kemampuan, produktifitas, dan pemberdayaan

orang asli Papua.

189 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Ketiadaan petunjuk teknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus

juga dikeluhkan pada bidang pembangunan infrastruktur sehingga cenderung sasaran

program pembangungan infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu

pada upaya penerobosan isolasi daerah dalam upaya mempermudah aksesibilitas.

Berlanjut, kepada penanganan lingkungan hidup yang disikapi Pemerintah

Provinsi dengan telah dikeluarkannnya Perdasi Nomor 6 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Peraturan Daerah Provinsi Papua No 22 Tahun

2008 yang mengatur perlindungangan dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat

Hukum Adat Papua, Pemerintah Provinsi menyadari bahwa hampir 80% dari wilayah

tanah Papua adalah hutan sementara kerusakan hutan di Papua semakin meluas

namun demikian belum dimilikinya tenaga penyidik bidang lingkungan hidup,

laboratorium lingkungan di Provinsi, belum dimilikinya tenaga laboratorium

lingkungan hidup dan belum efektifnya pendanaan bagi program pengelolaan

lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang harus segera tertanggani bagi pengelolaan

lingkungan hidup yang lebih baik.

Terakhir di bidang sosial, Masih tingginya angka kemiskinan dan penduduk yang

tergolong PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) baik di Papua maupun di

Papua Barat kurang dibarengi dengan alokasi dana Otonomi Khusus yang memadai

untuk menunjang penanggulangannya, diakui memang bidang ini bukan merupakan

bidang prioritas pemerintah daerah akan tetapi bidang ini tetap membutuhkan

penanganan yang lebih baik dan terencana.

E. Strategi Perbaikan Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Mencermati uraian mengenai penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

serta dinamika permasalahan yang dihadapi sebagaimana tersebut di atas, pada bagian ini akan

disampaikan strategi perbaikan sebagai salah satu alternatif penyelesaian berbagai persoalan

implementasi Otonomi Khusus. Implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua

Barat sampai saat ini masih belum berjalan dengan baik. Adapun strategi optimalisasi

kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat antara lain sebagai berikut:

Gambar 4.49. Strategi Perbaikan Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang

Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Percepatan Penerbitan

Perbaikan Kebijakan

190 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

1. Jangka Pendek (1 s/d 2 Tahun ke depan)

Persoalan besar dalam implementasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

sesungguhnya bukan semata berasal dari regulasi atau peraturan perundang-undangan (UU

Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008) yang

mengatur tentang pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua, namun persoalan utama adalah pada

lemahnya kemampuan dan komitmen para penyelenggara Otonomi Khusus, baik

penyelenggara yang ada di pusat maupun daerah, dalam rangka mensukseskan pelaksanaan

Otonomi Khusus itu sendiri. Dengan demikian, munculnya keinginan untuk segera mengubah

pengaturan Otonomi Khusus (UU Otonomi Khusus) sebagaimana yang sering disampaikan oleh

beberapa kalangan, sebenarnya tidak salah namun untuk jangka pendek tidak tepat, karena

pada kenyataannya belum seluruh amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 telah dilaksanakan oleh

pemerintah daerah.

Peningkatan SDM yang dimaksud tersebut meliputi anggota DPRP/DPRPB, MRP dan

aparatur pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Jika dilihat dari latar belakang tingkat

pendidikan, baik anggota MRP maupun anggota DPRP/DPRPB memang telah memenuhi

persyaratan perundangan karena terbukti mereka telah diusulkan dan akhirnya terpilih

menjadi anggota. Namun dari sisi kompetensi dalam rangka menjalankan tugas pokok, jelas

masih memerlukan peningkatan dan penajaman pada beberapa aspek tertentu. Sebagai

anggota legislatif, peran pimpinan dan anggota DPRP/DPRPB sangat dinantikan terutama

Maka, strategi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan para

penyelenggara kebijakan otsus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik Pusat dan

Daerah, untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen. Dalam konteks

peningkatan kapasitas (capacity building) penyelenggara kebjakan otsus meliputi upaya peningkatan

kapasitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan pengelolaan keuangan otsus menyangkut alokasi

anggaran otsus dan transparansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawabannya, peningkatan

pengawasan yang menyangkut monitoring dan evaluasi penyelenggaraan otsus.

191 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

dalam penyusunan produk-produk hukum daerah (perdasi) yang diamanatkan oleh UU 21

Tahun 2001, penyusunan anggaran dan pengawasan atas jalannya Otonomi Khusus. Demikian

pula pimpinan dan anggota MRP/MRPB, diharapkan dapat memainkan perannya terutama

dalam memberikan pertimbangan dalam penyusunan perdasus.

Adapun penajaman kompetensi lebih diarahkan pada hal-hal khusus yang belum

dikuasai oleh penyelenggara otonomi khusus, misalnya terkait penyusunan produk

perundangan (legal drafting). Selain itu, para penyelenggara memerlukan pembekalan

substansi penyelenggaraan otonomi khusus seperti persoalan pengelolaan keuangan,

pendidikan, kesehatan, perekonomian/ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, kependudukan

& ketenagakerjaan, dan sosial. Pemahaman yang cukup memadai mengenai hal-hal tersebut

niscaya akan mendorong lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan

fungsi dengan lebih baik. Tidak kalah penting, aparat pemerintah daerah pun perlu diberikan

penajaman kompetensi dalam penyelenggaraan otonomi khusus, salah satunya kemampuan

pengelolaan keuangan daerah.

Kemampuan mengelola keuangan daerah, dalam hal ini tidak hanya menyangkut

kemampuan teknis akuntansi keuangannya, namun yang terpenting adalah pemahaman

mengenai filosofi pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus kepada pemerintah

kabupaten/kota. Praktik pengalokasian dana otonomi khusus dengan perbandingan 60:40 di

Provinsi Papua (60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi) dan 70:30 (70% untuk

kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi) di Provinsi Papua Barat yang telah berlangsung saat

ini, secara konsep dan implementasi masih memerlukan pembenahan. Disinilah perlunya

upaya peningkatan kapasitas, tidak hanya kapasitas pengelolaan keuangan secara umum,

namun pengelolaan keuangan yang mempertimbangkan terlaksananya alokasi anggaran yang

adil untuk kabupaten/kota di wilayah masing-masing. Yang dimaksud adil tidak harus sama

besarnya, tetapi adil dalam pengertian sesuai dengan kriteria dan indikator yang disepakati

bersama.

Selain perlunya berbagai program peningkatan kapasitas sumber daya manusia

khususnya aparatur di Provinsi Papua maupun Papua Barat melalui berbagai kegiatan

bimbingan teknis, pelatihan/diklat, workshop, diskuai, pendidikan formal dan lain sebagainya,

nampaknya Program Pendampingan (supervise) bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Papua

Barat dapat dilakukan dalam jangka pendek.

Program Pendampingan (supervisi) adalah penugasan pegawai di lingkungan

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga Pemerintah lainnya dalam

suatu gugus tugas untuk memberikan fasilitasi dalam rangka peningkatan kapasitas

teknikal dan manajerial kepada aparatur pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat

untuk menimgkatkan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan

192 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Agar pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dikawal

dengan baik perlu dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan otonomi khusus

setiap tahun sebagai kegiatan rutin untuk melihat seberapa jauh efektivitas pelaksanaan

otonomi khusus dan mengidentifikasikan berbagai permasalahan yang dihadapi agar solusi

pemecahan masalah dapat dilakukan sedini mungkin. Untuk itu perlu di desain suatu

instrument evaluasi pelaksanaan otonomi khusus yang komprehensif.

2. Jangka Menengah (3 s/d 5 Tahun kedepan)

Fakta-fakta yang terungkap di atas, mengindikasikan bahwa sejak awal diberlakukannya

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, birokrasi

Kabupaten/Kota se Provinsi Papua masih mengalami banyak kendala dalam permasalahan

teknis baik berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dalam pengimplementasian

kebijakan di lapangan terlihat dari masih adanya persepsi berbeda dalam pengimplementasian

terkait kebijakan otonomi khusus tersebut. Hal ini harus segera diantisipasi oleh Pemerintah

Provinsi dengan segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis yang tepat

sehingga dapat memberikan acuan yang jelas dalam penyelenggaraan otonomi khusus

terutama dalam pengalokasian dana otonomi khusus.

Sementara itu, berkaitan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

di tingkat daerah, saat ini Pemerintah Provinsi Papua baru menerbitkan 7 Perdasus dan 8

Perdasi sedangkan Provinsi Papua Barat telah menerbitkan 1 Perdasi. Namun masih ada

Perdasi dan Perdasus yang belum terbentuk, sehingga dikhawatirkan dapat menghambat

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 seperti belum pengelolaan dana Otonomi

Khusus, yang sampai saat ini belum ada aturan pedoman penggunaannya akhirnya penggunaan

dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara Provinsi dan daerah

kabupaten/kota di Papua. Ketiadaan Perdasi dan Perdasus menyebabkan kebijakan-kebijakan

publik yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan amanat Otonomi Khusus.

Salah satu penghambat proses penerbitan perdasus dan perdasi adalah belum

diterbitkannya dasar hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) sehingga dalam hal ini

Pemerintah Pusat juga harus segera menerbitkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang

193 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

merupakan dasar pembuatan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 21 tahun 2001,

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

3. Jangka Panjang (5 s/d 10 Tahun ke depan)

Terakhir, dalam jangka panjang diharapkan adanya penyempurnaan terhadap Undang–

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan otonomi khusus Papua dimaksudkan

agar desain kebijakan lebih operasional, jelas dan mampu menjawab problem kebijakan.

Penyempurnaan terkait dengan pasal–pasal yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas

penyelenggaran otonomi khusus dan yang terpenting adalah garis besar arah penyempurnaan

harus jelas dan tetap ditujukan untuk lebih meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.

Perbaikan kebijakan ke depan juga perlu mempertimbangkan suatu format kebijakan yang

lebih detail dan operasional seperti perlunya pengaturan setingkat PP untuk aspek

kewenangan khusus dan keuangan khusus sebagaimana kelembagaan khusus telah diatur

dengan PP, sehingga dapat memandu jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di Provinsi Papua dan Provinisi Papua Barat secara menyeluruh. Saat ini

kebijakan yang ada banyak membutuhkan tindak lanjut kebijakan operasional baik dalam

bentuk Peraturan Pemerintah, Perdasus maupun Perdasi.

194 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

BAB V PENUTUP

ada bagian ini akan dijelaskan tentang kesimpulan dari peneliti yang telah dilakukan, selain kesimpulan dan saran agar penelitian dengan tema yang serupa dapat lebih baik dan memberikan dampak yang positif bagi penyelenggaran otonomi khusus Papua dan

Papua Barat.

A. Kesimpulan

Berdasarkan gambaran yang telah diuraiakan dalam bagian sebelumnnya maka dapat

ditarik suatu garis merah atau kesimpulan sebagai berikut :

1. Masalah–masalah dalam level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan

pertimbangan ke depan ditemukan beberapa hal sebagai berikut:

a. Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan

pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial,

Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup yang juga diatur oleh Undang–Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi kepada ketidakjelasan

urusan-urusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut

dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut.

b. Implikasi dari ketidakjelasan penjabaran dan penafsiran secara tepat tentang

manajemen penyelenggaraan otonomi khusus, mengakibatkan desain kebijakan

perdasus dan perdasi yang sudah diterbitkan/ditetapkan kurang bisa menjadi acuan

yang tegas.

c. Belum ada perumusan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan Otonomi Khusus

misalnya, pada bidang sosial, bagaimana ruang lingkup dan indicator yang bisa

dijadikan ukuran untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan urusan/kewenangan ini.

d. Belum ada mekanisme dalam penambahan kuota kursi bagi DPRP yang diamanatkan

Undang–Undang Otonomi Khusus tersebut.

e. Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi

strategis (DPRP/DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya

yang tidak optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-

lembaga ini mengakibatkan munculnya “konflik kepentingan” bermain pada ranah yang

tidak jelas.

P

195 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

2. Implementasi Kebijakaan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan

pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan

lainnya:

a. Jumlah dana Otonomi Khusus dan dana tambahan infrastruktur yang telah diserahkan

kepada Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun ke tahun cenderung mengalami

peningkatan, pengalokasian dana otsus dari pemerintahan provinsi kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksana kebijakan dilakukan sebesar 60%

Pemerintah Provinsi dan sisanya 40% dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota di

Provinsi Papua sedangkan pada Provinsi Papua Barat, Kabupaten/Kota mendapat

proporsi alokasi yang lebih tinggi yaitu 70% untuk Provinsi dan 30% untuk

Pemerintah Kabupaten/Kota. Penglokasian pada tiap–tiap Kabupaten/Kota dengan

memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi geografis dan tingkat

kesulitan wilayah, pendapatan asli daerah, pemerimaan pajak bumi dan bangunan,

produk domestik regional bruto (PDRB) diharapkan dana Otonomi Khusus dapat

memperkuat kemampuan keuangan Pemerintah Provinsi Papua serta pemerintah

kabupaten dan kota dalam rangka percepatan pembangunan dengan tujuan

mendukung pelaksanaan otonomi khusus Papua, meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat dan

mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor, antar wilayah, serta antar desa-

kota.

b. Dalam lembaga khusus, fungsi DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung

dalam mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua, keterberpihakan kepada

masyasarkat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan

Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan

Gubernur.

c. Dalam penyelenggaraan otonomi khusus, telah banyak hal yang dilakukan oleh

Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terkait 6 (enam) bidang

kewenangan khusus yang harus dipenuhi yaitu: perekonomian, pendidikan dan

kebudayaan, kesehatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, lingkungan hidup dan

sosial dengan kebijakan `affirmative action` atau keberpihakan pada orang asli Papua

seperti program pendidikan dan kesehatan gratis, penggratisan beras bagi masyarakat

miskin, beasiswa bagi mahasiswa hingga program strata tiga, pengutamaan orang asli

Papua dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil dan pembangunan pasar

tradisional sebagai pusat pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi orang asli Papua.

196 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

d. Perdasus dan Perdasi sebagai pedoman penyelenggaraan otonomi khusus telah ada

yang diterbitkan dan menjadi acuan pelaksanaan bagi Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota walaupun belum sesuai target yang diharapkan.

3. Permasalahan kebijakan dan implementasi penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan

Papua Barat, terkait dengan pengelolaaan keuangan khusus dan pelaksanaan kewenangan

khusus dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Aspek Keuangan Khusus dan Pengelolaannya

- Alokasi dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan

Papua Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun pengelolaan dana

otonomi khusus dalam prakteknya belum berjalan secara optimal.

- Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut,

sehingga pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami

kebingungan dalam hal pengalokasiannya. Setelah diterbitkannya Peraturan

Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan

mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum

optimal dan masih dijumpai ketidaksesuaian pengelolaan dana dengan prioritas

otonomi khusus.

- Pengaturan masalah pembagian dana otonomi khusus yang didistribusikan

pemerintah provinsi kepada tiap kabupaten/kota masih belum jelas

pengaturannya. Keberadaan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi

ketertinggalan belum sepenuhnya menjadi pertimbangan.

b. Aspek Kelembagaan Khusus

- DPRP/DPRPB masih belum memperhatikan kepentingan orang asli Papua, sehingga

tujuan utama penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat

yaitu proteksi terhadap keberadaan orang asli Papua masih sering terabaikan.

- Keberadaan MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat yang merupakan

lembaga kultural yang relatif baru, masih memerlukan penguatan terhadap anggota

dalam memahami tugas dan wewenang, hak dan kewajibannya baik sebagai

anggota MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat, maupun sebagai

lembaga khusus.

c. Aspek Kewenangan Khusus

Dalam pelaksanaan 6 (enam) bidang kewenangan khusus, terdapat berbagai

permasalahan sebagai berikut:

- Sektor ekonomi dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat

merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus. Pemerintah Papua

197 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

telah mencoba menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan perdasus

tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan keberpihakan pada masyarakat adat

dalam mendapat manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan. Di level

kabupaten/kota telah diupayakan berbagai program ekonomi kerakyatan namun

hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan efeknya

kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.

- Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat

mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus

diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan

kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk

meningkatkan tingkat pendidikan putra-putri asli Papua. Terdapat peningkatan

partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di

bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan

dalam kualitas pendidikan berupa ketersediaan sarana pendidikan dan sumber

daya manusia pendidiknya. Bidang pendidikan mendapat dukungan yang besar dari

Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD.

- Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan

perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum

tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi

penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami

kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana

pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Terdapat berbagai upaya

pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-

penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum

optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan

gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka

penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan

ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena

kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit

dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber daya manusia juga menjadi persoalan

yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua

Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait

sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan

keuangan.

198 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

- Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan

Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan

prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur

yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi

daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan

otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya.

Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan

dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka

pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai

berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami

keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah

ulayat.

- Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap

pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi

khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi

Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, sementara di Provinsi Papua

Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang kependudukan. Di satu sisi hal ini

dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk

asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan

diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk

mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi

penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam

kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi

antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan

bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan

kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing

dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami

penurunan pada beberapa tahun terakhir ini di Provinsi Papua maupun Papua

Barat, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan

perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi

bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan.

- Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan diantaranya telah

dilakukan dengan menerbitkan perdasus telah diterbitkan perdasus tentang

pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi

Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur

199 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum

sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang

konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara

berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam

nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan

lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan.

- Permasalahan lainnya dalam bidang lingkungan hidup ini adalah belum adanya

lembaga independen dalam penyelesaiaan sengketa lingkungan kemudian juga

diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan terakhir SDM yang berlatar

belakang lingkungan hidup.

- Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus.

Dana Otonomi Khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat

terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan

masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, dengan spektrum

yang sangat luas yang diatur harus ada pengaturan yang jelas antara mana yang

menjadi ranah penyelenggaraan otonomi khusus menurut UU Nomor 21 Tahun

2011 dan mana yang menjadi ranah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah

daerah sehingga memerlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui

pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.

d. Perdasi dan Perdasus

Keterlambatan penyusunan, pembahasan dan penetapan perdasi dan perdasus selain

disebabkan permasalahan keterlambatan legislasi seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, permasalahan anggaran juga masih menjadi kendala klasik

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut, untuk keberhasilan implementasi

kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, maka diajukan saran

sebagai masukan bagi perbaikan implementasi program ini dimasa yang akan datang

sebagai berikut:

1. Dalam tahapan Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

diajukan beberapa saran yang dapat memperbaiki pelaksanaannya dilapangan sebagai

berikut:

200 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

a. Perlu adanya acuan yang jelas mengenai pengaturan bersama dalam hal

penggunaan, pengalokasian dan transfer dana otonomi khusus selain itu diperlukan

juga pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi yang lebih efektif dan

efisien sehingga dana otonomi khusus benar-benar jelas pemakaiannya.

b. Perlu adanya Juklak dan Juknis yang mengiringi penggunaan dana Otonomi

Khusus agar lebih tepat sesuai dengan tujuan otonomi khusus sehingga ada

ketegasan tentang bagaimana pencapaian sasaran/target yang harus dilakukan

terkait penggunaan dana otonomi khusus.

c. Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, sampai pada tahapan monitoring dan

evaluasi sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam rangka

penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk

terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.

Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian

dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat dengan lebih memperhatikan jumlah

penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan di setiap kabupaten/kota. Selain

itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi,

sehingga tidak terjadi keterlambatan dropping dana Otonomi Khusus.

d. Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan terhadap sumber daya yang ada

bukan hanya lembaga khusus tetapi juga seluruh pemangku kepentingan yang

terlibat dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua, seperti halnya Anggota

DPRP/DPRPB dan Aparatur Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

e. Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan secara transparan melalui

laporan pertanggungjawaban publik dengan demikian fungsi kontrol akan berjalan

efektif, sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk pengelolaan keuangan

daerah.

f. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang

pendidikan, kesehatan, sosial dimana bidang-bidang tersebut juga sudah ada

Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat.

g. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti

dengan upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.

201 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

2. Untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan otonomi khusus Papua

dan Papua Barat ini berjalan secara lancar khususnya dalam faktor komunikasi dan

kemampuan pegawai yang merupakan faktor penentu keberhasilan implementasi

program ini, disarankan dilakukan komunikasi dan koordinasi internal maupun

eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Provinsi,

DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat, Pemerintah

Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.

3. Untuk faktor-faktor lain yang menjadi pengaruh bagi keberhasilan kebijakan

otonomi khusus Papua dan Papua Barat diajukan saran dan rekomendasi sebagai

berikut :

a. Kementerian Dalam Negeri, perlu menerbitkan peraturan yang berkaiitan dengan

pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

b. Dibutuhkan dukungan bersama dari kementerian/lembaga terkait dalam

implementasi kewenangan khusus dalam bidang perekonomian, kependudukan

dan tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sosial. Diharapkan

kementerian/lembaga terkait dapat berperan sebagai katalisator terhadap

pencapaian tujuan penyelenggaran otonomi khusus yaitu peningkatan taraf hidup

masyarakat asli Papua melalui peningkatan dan percepatan pembangunan sarana

dan prasarana dasar (pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat) di seluruh Papua,

antara lain: prasarana perhubungan, transportasi dalam rangka membangun

jaringan transportasi terpadu, ketersediaan air bersih, energi dan ketersediaan

telekomunikasi yang cukup dan memadai bagi seluruh rakyat.

c. Pembentukan daerah otonom baru harus dilakukan secara bersamaan dengan

restrukturisasi beberapa kabupaten, kecamatan dan desa, sehingga kantor

pemerintah daerah dapat lebih dekat, sehingga mudah diakses oleh masyarakat.

d. Perdasus dan perdasi yang belum diterbitkan harus segera diselesaikan terutama

yang berkaitan dengan pengelolaan dana otonomi khusus, kewenangan khusus, dan

kelembagaan khusus yang sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaannya.

Selama ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama

antara provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan

kerancuan dalam pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan

penyempurnaan berbagai perdasus dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak

kepada masyarakat asli Papua seperti Perdasi Kependudukan harus lebih

menitikberatkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki

202 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal pemenuhan lapangan

pekerjaan.

e. Untuk menjamin agar implementasi penyelenggaraan otonomi khusus ini dapat

terimplementasi dengan baik, maka perlu memaksimalkan peran MRP sebagai

fungsi pengawasan dari setiap tahapan kebijakan yang berkaitan dengan

perlindungan terhadap orang asli Papua melalui pemberian pertimbangan dan

persetujuan. Hal ini menyebabkan pentingnya bagi MRP untuk terus meningkatkan

kapasitas kelembagaan dan profesionalisme serta dengan terus memperbaiki

sistem pemilihan anggota MRP.

f. Pemerintah Provinsi Papua, kabupaten/kota, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua

dan MRP Provinsi Papua Barat mesti mensikronisasikan tugas dan wewenangnya

dalam rangka melindungi, keberpihakan, dan memberikan peluang bagi orang asli

Papua di bidang Kesehatan dan Pendidikan.

g. Searah dengan tujuan penyelenggaran otonomi khusus di Papua dan Papua Barat

yaitu dalam rangka pengingkatan taraf hidup masyarakat asli Papua untuk

mengurangi kesenjangan dengan provinsi lainnya butuh dukungan dan waktu yang

mencukupi sehingga penyelenggaraannya dapat mencapai sasaran dan tujuan yang

ditetapkan.

C. Srategi Perbaikan

Strategi perbaikan dalam memperkuat kebijakan dan implementasi kebijakan

otonomi khusus Papua dan Papua Barat dapat dilasanakan berdasarkan jangka waktunya

yaitu jangka pendek yang berlangsung 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun ke depan,

Jangka menengah yang berlangsung 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun ke depan dan Jangka

panjang yaitu 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) tahun ke depan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam strategi perbaikan dapat dimulai

dengan meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan Otonomi Khusus dan

sekaligus memantapkan komitmen semua pihak, baik pusat maupun daerah untuk

bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen dengan Program

Pendampingan (supervisi) dari pemerintah dalam memberikan fasilitasi dan advokasi guna

peningkatan kapasitas teknikal dan manajerial.

Jangka Pendek: 1) Meningkatkan kemampuan para penyelenggara kebijakan

otonomi khusus dan sekaligus menggugah komitmen semua pihak, baik pusat dan daerah,

untuk bersama-sama menjalankan kebijakan ini secara konsekuen; 2) Perlu dilakukan

pendampingan teknis untuk menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang diamanatkan UU

203 Evaluasi Implementasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008; 3) Setiap tahun perlu dilakukan

Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus sebagai amanat pelaksanaan Pasal 78 UU

Nomor 21 Tahun 2001, yang hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk

perumusan kebijakan dan implementasi otonomi khusus, serta dapat menjadi

pertimbangan dalam pencairan alokasi dana otonomi khusus; dan 4) Untuk itu perlu segera

disusun Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tentang Pengelolaan Dana

Otonomi Khusus.

Jangka Menengah, Strategi diarahkan untuk mendorong pemerintah pusat dalam

menerbitkan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi

Khusus, ataupun yang tidak diamanatkan tetapi diperlukan untuk menjalankan

kewenangan khusus mengacu kepada Pasal 74 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jangka Panjang, perlu dilakukan penyempurnaan Undang-Undang Otonomi Khusus

Papua agar desain kebijakan lebih operasional dan mampu menjawab problem kebijakan,

dengan memperhatikan perkembangan dinamika sosial politik.