3-skripsi bab 5.docx

80
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial, dimana manusia dalam hidup selalu melakukan kegiatan interaksi; baik sesama manusia, manusia dengan TuhanNya, manusia dengan makhluk ciptaanNya, maupun manusia dengan lingkungannya. Manusia berinteraksi sejak lahir dan dilakukan secara terus-menerus selama merasa itu hidup, yang selalu berusaha berkembang kearah lebih baik dengan hasil yang tidak menentu baik buruknya. Berinteraksi memang bukan merupakan tujuan, akan tetapi berinteraksi merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup tiap individu. Di dalam interaksi itu sendiri, antara tidak sengaja ataupun pada akhirnya disengaja akan terbentuk sistem sosial yang berkembang menurut pola dan

Upload: oediex-noedx

Post on 22-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Manusia pada hakekatnya merupakan makhluk sosial, dimana manusia dalam

hidup selalu melakukan kegiatan interaksi; baik sesama manusia, manusia dengan

TuhanNya, manusia dengan makhluk ciptaanNya, maupun manusia dengan

lingkungannya. Manusia berinteraksi sejak lahir dan dilakukan secara terus-menerus

selama merasa itu hidup, yang selalu berusaha berkembang kearah lebih baik dengan

hasil yang tidak menentu baik buruknya. Berinteraksi memang bukan merupakan

tujuan, akan tetapi berinteraksi merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang

untuk mencapai tujuan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup tiap individu.

Di dalam interaksi itu sendiri, antara tidak sengaja ataupun pada akhirnya disengaja

akan terbentuk sistem sosial yang berkembang menurut pola dan tujuan tertentu yang

saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk

perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan

lingkungannya.

Di dunia kerja, interaksi yang terjadi merupakan indikasi adanya keterkaitan

satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan

tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan

hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja

diperlukan aspek yang paling utama yaitu suatu kepemimpinan. Dalam sebuah

2

organisasi, apakah perusahaan, instansi, sekolah atau keluarga yang kita pimpin,

selalu ada masalah tentang pemimpin, dan yang dipimpin. Pernyataan ini bukanlah

sesuatu yang berlebihan karena ada manusia yang terbatas kemampuannya untuk

memimpin pada satu pihak, tetapi pada pihak lain ada manusia yang mempunyai

kelebihan kemampuan untuk memimpin. Dalam suasana yang seperti inilah timbul

apa yang disebut dengan kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.

Istilah pemimpin dalam bidang pendidikan atau educational leadership

mengacu pada pemimpin di sekolah yang berusaha memadukan tiga kepentingan

yang utama di sekolah. Kepentingan tersebut adalah kepentingan guru dan staf,

kepentingan siswa dan kepentingan orang tua. Dimasa sekarang sekolah menghadapi

tantangan yang sangat berat dikarenakan sekolah diharapkan bisa menjadi jawaban

dari berubahnya jaman dan banyaknya sumber pengetahuan  diluar sekolah. Kepala

sekolah sebagai orang yang terpandang dilingkungan masyarakat sekolah. Beliau

sebagai pusat teladan bagi warga sekolah dan warga masyarakat di sekitar sekolah,

karena itu kepala sekolah wajib melaksanakan petunjuk tentang usaha peningkatan

ketahanan sekolah. Pada umumnya kepala sekolah memiliki tanggungjawab sebagai

pemimpin dibidang pengajaran dan pengembangan kurikulum, administrasi

personalia, administrasi personalia staf, hubungan masyarakat, “school Plant” dan

perlengkapan organisasi di sekolah. Kepala sekolah dapat menerima tanggungjawab

tersebut namun belum tentu mengerti dengan jelas bagaimana dapat menyumbang

kearah perbaikan program pengajaran. Dapat dikatakan juga tanpa adanya kehadiran

pemimipin yang berkualitas, akan sulit rasanya pendidikan mencapai tujuan yang

3

diharapkan. Kehadiran guru yang berkualitas tanpa adanya pemimpin atau kepala

sekolah akan menjadikan pendidikan berjalan terpecah karena guru dan staf berjalan

tanpa adanya kesinergian yang baik.

Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah terus menerus

berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita,

yang selalu menekankan adanya peranan pimpinan sekolah selain guru dan staf yang

difungsikan. Keadaan ini terjadi disemua sekolah di Indonesia, tidak terkecuali

seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Sumenep. Sekolah yang terbilang favorit,

karena banyak citra baik tercipta dari lulusan yang pernah mengenyam dunia

pendidkan di sekolah inipun memperoleh sorotan dan penilaian naik turunnya mutu

pendidikan yang dihasilkan.

Penilaian naik turunnya mutu pendidikan yang dihasilkan dapat dinilai dari

kinerja pegawai baik guru maupun staf yang ada di SMA Negeri 1 Sumenep.

Menurut Mangkunagara, Kinerja adalah hasil kerja baik secara kualitas maupun

kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung

jawab yang diberikan (Mangkunagara, 2002:22). Di dunia pendidikan terutama

lingkungan sekolah menilai kinerja pegawai dapat dilihat dari hasil keluaran (lulusan

siswa) yang mempunyai prestasi dari sisi akademik maupun non akademik. Penulis

mempunyai inisiatif dengan melihat dari sisi akademik yang ada di SMA Negeri 1

Sumenep sudah bisa menilai bagaimana prestasi siswa yang dihasilkan oleh kualitas

dan kuantitas unjuk kerja guru dan staf yang ada. Bagaimana guru sebagai pendidik

4

bisa mencetak siswa lebih berprestasi dan staf sebagai pendukung pelaksanaan

pendidikan yang dijalankan.

SMA Negeri 1 Sumenep sebagai sekolah percontohan di kabupaten Sumenep

dituntut menyediakan media yang bisa dijadikan contoh bagi sekolah lain. Faktor

yang bisa mensukseskan hal tersebut ditunjukkan dari kinerja guru dan staf yang ada.

Guru selain sebagai pendidik harus mempersiapkan media pembelajaran yang

sekiranya mampu mencetak siswa lebih efisien dalam belajar dan menerima pelajaran

yang diberikan. Selain itu tuntutan pemerintah untuk melengkapi segala bentuk

administrasi pegawai, pimpinan SMA Negeri 1 Sumenep harus memutar rencana agar

kegiatan pembelajaran tidak terganggu yang akhirnya diperlukan dukungan dari staf

yang ada untuk melaksanakan tuntutan tersebut. Sehingga kerjasama tercipta yang

menghasilkan kinerja terbaik yang dilaksanakan oleh guru dan staf di SMA Negeri 1

Sumenep. Hasil tersebut dapat dilihat dari sisi akademik yaitu lulusan yang berhasil

masuk perguruan tinggi setiap tahunnya.

Dari data siswa lulusan SMA Negeri 1 Sumenep, bisa dilihat kinerja guru dan

staf di SMA Negeri 1 Sumenep dari naik turunnya prestasi siswa yang berhasil masuk

perguruan tinggi melalui 3 jalur prestasi yaitu jalur PMDK, jalur SNMPTN dan jalur

Kedinasan yang diadakan oleh berbagai perguruan tinggi negeri secara serentak

dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Pendataan ini dilakukan dengan maksud

untuk mengukur kinerja guru dan staf sekaligus mutu pendidikan yang dilaksanakan

di SMA Negeri 1 Sumenep. Dengan adanya data ini pihak sekolah dapat dengan

mudah mengontrol aspek-aspek yang perlu diperbaiki bahkan ditingkatkan untuk

5

mencapai hasil yang maksimal, sehingga menumbuhkan tingkat kepercayaan

masyarakat akan mutu pendidikan sekolah ini.

Berdasarkan data Tabel 1.1 dan Grafik 1.1 dapat dilihat jumlah siswa yang

diterima di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur PMDK, SNMPTN maupun

Kedinasan. Pada Tahun Pelajaran 2010/2011 terjadi kenaikan jumlah siswa yang

diterima di Perguruan Tinggi Negeri meskipun terjadi penurunan pada jalur

kedinasan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun Pelajaran berikutnya terjadi

kenaikan dan penurunan jumlah siswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri.

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah Siswa yang Diterima di PTN

Tahun Pelajaran 2009/2010 sampai Tahun Pelajaran 2012/2013

Pada SMA Negeri 1 Sumenep

TAHUN PELAJARAN

PMDK SNMPTN KEDINASAN TOTAL SISWA

2009/2010 75 65 17 157

2010/2011 77 70 15 162

2011/2012 82 63 7 152

2012/2013 79 124 12 215

Sumber: Pendataan siswa diterima PTN Bimbingan Konseling (BK) SMA Negeri 1 Sumenep

6

Grafik 1.1. Grafik Siswa yang Masuk Perguruan Tinggi

melalui Jalur PMDK, Jalur SNMPTN, dan Jalur Kedinasan

Sumber: Pendataan siswa diterima PTN Bimbingan Konseling (BK) SMA Negeri 1 Sumenep

Keadaan dari tabel dan grafik di atas menunjukkan gejala dari berbagai faktor

yang mempengaruhinya terutama guru. Guru merupakan aset yang penting dan

berharga bagi sekolah karena apabila dikelola dengan baik maka kinerja guru akan

baik. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya motivasi, budaya organisasi, dan

kepemimpinan dimana faktor ini berhubungan dengan kepuasan kerja, dan kinerja

baik yang ingin dituju nantinya akan mempengaruhi gambaran dari sebuah organisasi

pendidikan itu sendiri terutama di SMA Negeri 1 Sumenep. Sekolah juga harus

memperhatikan berbagai tujuan individu-individu yang ada dalam sekolah.

Keselarasan tujuan antara sekolah dan guru akan memberikan keuntungan bagi

PMDK SNMPTN KEDINASAN TOTAL SISWA0

50

100

150

200

250

2009/20102010/20112011/20122012/2013

7

keduanya. Para guru akan termotivasi untuk mewujudkan tujuan sekolah karena

dengan mewujudkan tujuan sekolah maka tujuan guru juga dapat terwujud.

Sedangkan pihak sekolah juga dapat meraih keuntungan dengan adanya keselarasan

tujuan, yaitu memperlancar sekolah dalam mencapai segala macam yang menjadi

sasaran dan tujuannya.

Dengan melihat keadaan dan tantangan yang dihadapi oleh sekolah ini, perlu

kita lakukan penelitian dan penggalian informasi lebih dalam untuk lebih mengenal

bagaimana dan apa yang mempengaruhi mutu pendidikan sekolah ini. Penelitian ini

diadakan dengan menitikberatkan pada Pengaruh Sifat Kepemimpinan Terhadap

Kinerja Guru dan Staf di SMA Negeri 1 Sumenep.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas serta dengan melihat pengaruh

penyebab naik turunnya grafik prestasi lulusan SMA Negeri 1 Sumenep yang

dihasilkan dari kinerja guru dan staf, maka dirumuskan sebuah masalah dalam

penelitian ini yaitu :

1. Adakah pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dan

staf di SMA Negeri 1 Sumenep?

2. Bagaimana pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah baik secara simultan

terhadap kinerja guru dan staf di SMA Negeri 1 Sumenep?

3. Bagaimana pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah baik secara parsial

terhadap kinerja guru dan staf di SMA Negeri 1 Sumenep?

8

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada rumusan masalah penelitian di atas, penelitian yang

ber-objek di SMA Negeri 1 Sumenep ini mempunyai tujuan:

1. Mengetahui pengaruh sifat kepemimpinan terhadap kinerja guru dan staf

di SMA Negeri 1 Sumenep.

2. Mengetahui pengaruh sifat kepemimpinan secara simultan terhadap kinerja guru

dan staf di SMA Negeri 1 Sumenep.

3. Mengetahui pengaruh sifat kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja guru

dan staf di SMA Negeri 1 Sumenep.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

peneliti selanjutnya dalam rangka pengembangan dan dukungan terhadap teori-

teori yang berkaitan dengan pengaruh sifat kepemimpinan terhadap kinerja guru

dan staf.

2. Menjadikan penelitian ini sebagai bahan pertimbangan bahkan sebagai acuan

bagi kepala sekolah SMA Negeri 1 Sumenep dalam mengevaluasi kinerja guru

dan staf.

3. Penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi para

peneliti lain yang akan mengembangkan penelitian lebih lanjut.

9

BAB II

KERANGKA DASAR TEORI

2.1. Pemimpin

Menurut Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi (2010:2) dalam bukunya "Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi" mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu : 1) kepemimpinan melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut, 2) kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan

anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya,

3) adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk memengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.

Oleh karena itu, kepemimpinan pada hakikatnya adalah :

Proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada

pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi;

Seni memengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan,

kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai

tujuan bersama;

Kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan

tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan;

Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin,pengikut dan situasi tertentu;

Kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan.

10

Kepemimpinan dijelaskan oleh kualitas internal yang dimilikinya sejak lahir

(Bernard, 1926). Intinya adalah bahwa jika sifat-sifat yang membedakan para

pemimpin dengan gaya pengikutnya dapat diidentifikasi, para pemimpin yang

berhasil dapat dengan cepat dinilai kepemimpinannya (Tierney, 1999).

Karakteristik kepribadian, fisik, dan mental diuji. Riset ini didasarkan pada

pandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan tidak diciptakan. Jadi, kunci sukses dalam

mengidentifikasi orang-orang yang dilahirkan menjadi pemimpin besar adalah cukup

sederhana. Meskipun banyak riset dihasilkan untuk mengidentifikasi sifat-sifat,

belum ada jawaban yang jelas tentang sifat-sifat seperti apa yang secara konsisten

dihubungkan dengan kepemimpinan yang besar (great leadeship).

Teori sifat ini mengesampingkan faktor situasional dan lingkungan yang

memainkan peran penting dalam menciptakan keefektifan seorang pemimpin

(Horner, 1997).

Blake, Shepard dan Mouton (1964) mengembangkan model kepemimpinan dua faktor yang mirip dengan apa yang ditemukan dalam studi Michigan dan Ohio State. Mereka kemudian menambahkan variabel ketiga yaitu fleksibilitas. Menurut studi ini, manajer menunjukkan perilaku yang termasuk dalam dua kategori utama yaitu fokus pada tugas dan pada orang. Hasil riset ini bersifat deskriptif dan mampu membantu mengkategorikan pemimpin berdasarkan perilakunya. (Horner, 1997)

Pendekatan ketiga yang berkenaan dengan cara terbaik memimpin berhubungan dengan interaksi sifat, perilaku dan situasi dimana seorang pemimpin berada. Teori-teori kontijensi berasumsi bahwa pengaruh satu variabel kepemimpinan adalah kontijen dengan satu variabel lainnya. Konsep ini membuka wacana baru bahwa kepemimpinan bisa jadi berbeda-beda tergantung pada situasi (Saal dan Knight, 1988).

11

Berdasarkan ide ini pandangan yang realistis tentang kepemimpinan muncul.

Meski beberapa kontijensi yang berbeda diidentifikasi dan dipelajari, hal ini tidak

serta merta bisa diasumsikan bahwa satu teori adalah lebih valid dari yang lainnya.

Seiring makin berkembangnya riset tentang kepemimpinan, pandangan yang

lebih luas tentang kepemimpinan muncul. Pandangan ini fokus pada budaya

organisasi (Schein, 1985). Agar seorang pemimpin bisa efektif, masalah-masalah

yang berhubungan dengan budaya harus diidentifikasi secara jelas. Sebagai contoh,

salah satu aspek budaya adalah perubahan. Seorang pemimpin harus bisa

menyesuaikan diri dengan perubahan (yang tergantung pada budaya) ketika

lingkungan berubah dan berkembang.

Pimpinan memegang posisi kunci dalam sebuah organisasi. Oleh karena

dalam melihat efektifitas sebuah organisasi harus dilihat seberapa jauh peran yang

dimainkan pimpinan di dalamnya. Pimpinan harus dapat memecahkan persoalan-

persoalan yang muncul dalam organisasi dengan cara penyelesaian yang cepat dan

tepat dengan kecakapan dan kemampuannya untuk membina orang lain membentuk

satu kesatuan kerja dan bersama-sama bawahan bekerja untuk mencapai kesuksesan.

Menurut Abi Sujak, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu (Abi Sujak, 2000:56). Kepemimpinan adalah upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu (Jorkasih, 2001:91). Didalam kepemimpinan tercakup tiga faktor utama, yaitu kekuasaan (power), wewenang (authority) dan pengaruh (influence).

12

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah

kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahan atau karyawan untuk

bekerja sama melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang berhubungan untuk

mencapai tujuan yang diinginkan.

Kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 3 macam pendekatan (T. Hani Handoko, 2000:35) : a) Pendekatan mendasarkan sifat-sifat (traits) yang mendasarkan kualitas yang

diperlukan untuk menjadi pimpinan. b) Pendekatan mempelajari perilaku (behaviors) yang diperlukan untuk menjadi

pemimpin yang efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat- sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dimana dia berada.

c) Pendekatan situasional (contingency) yang berdasarkan atas faktor-faktor situsional, untuk menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan yang tertentu.

Pendekatan dasar terhadap kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pendekatan Sifat (Trait Approach)

Stogdill menyampaikan 5 macam pendekatan sifat kepemimpinan seseorang yaitu:1) Sifat fisik: tinggi, besar, kesehatan, penampilan fisik, dan lain-lain.2) Sifat intelegensia dan kemampuan: kemampuan untuk mempersatukan,

berfikir konseptual, pembuatan rencana, dan lain-lain. 3) Kepribadian: toleransi untuk berbuat baik terhadap orang lain. 4) Hubungan dengan tugasnya: hasil kegiatan, inisiatif, dorongan dan lain-lain. 5) Sifat sosial: kerjasama, kemampuan administrasi, ketrampilan inter personal,

dan lain-lain. b. Pendekatan Penggunaan Wewenang

Berdasarkan pendekatan ini, dibedakan 3 macam pemimpin yaitu: 1) Pemimpin yang otokratis.

Pemimpin macam ini paling suka memerintah, menekan bawahan harus patuh, tidak memberikan kesempatan bawahan memberikansaran, sifatnya ingin menunjukkan kekuasaan dan merasa dirinya yang paling benar.

2) Pemimpin yang tidak pedulian Pemimpin macam ini tidak memperhatikan hasil yang dicapai organisasi yang dipimpinnya dan tidak peduli terhadap bawahan.

3) Pemimpin yang demokratis

13

Pemimpin macam ini sangat memperhatikan bawahannya baik sebagai individu maupun kelompok bawahan diberi kesempatan untuk menyampaikan saran-saran, masukan-masukan atau pendapatpendapat yang mungkin ada gunanya bagi pemimpin dalam mengambil keputusan (Ibnu Syamsi, 2001).

Untuk menjadi pemimpin yang ideal, pendekatan yang paling baik tentang

kepemimpinan adalah yang integratif yang dengan hati-hati memperhatikan kekuatan

karyawan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi supaya efektif dalam mencapai

tujuan. Selain itu, manajemen budaya merupakan aspek penting kepemimpinan.

Manajemen budaya berhubungan dengan kemampuan pemimpin mengetahui dan

memahami apa itu budaya organisasi, bagaimana mengubahnya agar sesuai dengan

kebutuhan perusahaan.

Baron (1995) menemukan dalam risetnya bahwa organisasi yang mencoba secara proaktif mengekploitasi peluang-peluang baru dalam lingkungan eksternalnya akan mengalami perubahan budaya organisasi yang baik.

Dalam (Miftah Thoha, 2003:32-33) menyebutkan ada empat sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu:1) Kecerdasan , hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa kepemimpinan

mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi di bandingkan dengan yang dipimpin. Namun pemimpin tidak bias melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.

2) Kedewasaan dan keluwesan hubungan social, para pemimpin cendrung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas social dan mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.

3) Motivasi dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relative mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi, dan berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsic dibandingkan dari yang ekstrinsik.

4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya, dalam istilah penelitian universitas Ohio pemimpin itu mempunyai perhatian dan kalau mengikuti istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada produksi.

14

Baron (1995) juga menemukan bahwa meningkatnya manajer profesional

dekade terakhir ini mensyaratkan peningkatan kemampuan kepemimpinan yang lebih

tinggi untuk mengelola budaya yang efektif. Dengan kata lain, keterampilan

tambahan dibutuhkan pada diri pemimpin saat ini sehingga mereka akan dapat

mengelola budaya organisasi. Bagian perubahan budaya yang ditemukan dalam riset

ini terdiri dari dorongan untuk memiliki tingkat fleksibilitas yang makin tinggi dan

mengembangkan pemberdayaan karyawan serta otonomi karyawan. Pemimpin juga

terlibat dalam mengelola budaya dengan memantabkan arah stratejik secara eksplisit,

mengkomunikasikan arah tersebut dan mendefinisikan visi, misi dan nilai organisasi.

Fase transformatif merupakan fase terakhir perkembangan evolusioner teori

kepemimpinan. Dalam era ini, pemimpin harus proaktif dalam pemikirannya, lebih

radikal, inovatif dan kreatif serta lebih terbuka terhadap ide-ide baru (Bass, 1985).

Pemimpin harus mampu menciptakan visi dan meningkatkan komitmen karyawannya

untuk berubah.

2.2. Sifat Pemimpin

Di dalam sebuah organisasi, apakah perusahaan atau keluarga yang kita

pimpin, selalu ada masalah tentang pemimpin, dan yang dipimpin. Tanpa adanya

pemimpin dalam suatu organisasi, tentu jalannya organisasi tersebut menjadi kacau

balau, dalam artian tidak ada arah tertentu.

Menurut (Yammarino dan Bass, 1990), di sini peran pemimpin menjadi sangat penting. Ada hal-hal yang sangat mendasar yang harus dipahami oleh seorang pemimpin, ketika dia membawa organisasinya, seberapapun kecilnya organisasinya itu, untuk menuju pada arah atau tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mencapai

15

tujuan tersebut, maka sebagai pemimpin perlu memahami tiga peran sebagai seorang pemimpin, yaitu :1. Amadangi (Penerang)

Seorang pemimpin harus mampu menjadi dan memberikan penerangan bagi yang dipimpinnya. Dia harus mampu berperan sebagai inspirator dan motivator. Dengan kemampuan ini, dia akan bisa membuat organisasinya bergerak tanpa harus diperintah lagi, namun tetap dalam koridor nilai-nilai yang  benar.

2. Amuladani (Teladan, Panutan)Seorang pemimpin akan mampu menjadi panutan karena orang-orang yang dipimpinnya memiliki rasa hormat (respect) pada dirinya sebagai pribadi. Hal ini membuat dia disegani, bukan ditakuti. Dengan demikian perilakunya menjadi acuan dan diikuti oleh orang-orang yang dipimpinnya dengan sukarela dan tulus, karena diyakini sebagai perilaku yang baik, bukan karena adanya motif  lainnya baik material ataupun agar mendapat pujian dari orang lain atau dari pemimpinnya. Untuk dapat menjadi panutan, seorang pemimpin harus memiliki nilai-nilai yang jelas yang diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya sebagai sesuatu yang baik / benar. Kualitas yang tinggi sebagai manusia dari sang pemimpin lah yang membuat orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya akan menjadikannya sebagi panutan, atau idolanya.

3. Angayomi (Pelindung)Seorang pemimpin harus mampu memberikan perlindungan kepada orang-orang yang dipimpinnya, termasuk memberikan rasa aman. Untuk itulah seorang pemimpin harus memiliki kekuatan (power) yang dapat membuatnya mampu berperan sebagai pelindung. Artinya pemimpin bukanlah seorang yang lemah yang tidak mempunyai kekuatan (walau hanya sekedar sebagai orang baik). Peran sebagai pelindung juga dapat diartikan seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas dan kopetensi yang dibutuhkan yang dapat membuat dirinya memberikan dan membangun rasa aman pada orang-orang yang dipimpinnya katakanlah terhadap bahaya yang akan datang. Hal ini dapat dilakukannya karena dia memiliki kemampuan antisipatif karena kompetensinya yang memberikan rasa aman dan memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Menurut (Bass dan Avolio, 1994) dalam buku mereka yang berjudul “Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership” untuk dapat melakukan tiga peran tersebut dengan baik, setiap pemimpin dituntut memiliki sepuluh sifat kepemimpinan yang efektif / berhasil, yaitu :1. Araja (raja) : Sifat yang membuat seorang pemimpin tidak tampil di depan,

bukan pula mengekor dibelakang. Tampil di depan dalam arti mengendalikan situasi, bukan sebaliknya. Sifat sebagai raja yang baik yang membuat dirinya disegani oleh rakyatnya dan apa perintahnya akan dilaksanakan dengan baik.

16

2. Andaru (Berwibawa) : Sebagai  seorang pemimpin tidak boleh tampil dalam perilaku yang murahan dan tidak juga arogan. Dia tetap rendah hati tetapi tidak harus rendah diri ataupun sombong. Kata-kata yang diucapkannya dapat dijadikan pegangan. Dia tegas dalam bersikap dan tampil dengan penuh keyakinan diri.

3. Amerta (Kaya) : Sebagai seorang pemimpin dia tidak mengejar harta atau niat dan tujuannya bukan untuk mengumpulkan harta. Dia tidak memerlukan itu lagi karena dia telah kaya yang tidak harus berupa materi yang melimpah tetapi dia disebut secara mental sudah kaya. Karena dia tidak akan terkena salah satu kelemahan manusia yaitu harta. Secara materi dia berkecukupan yang memang menjadi relatif tetapi bila dia mendengarkan hati nuraninya dia akan tahu batasan berkecukupan tersebut yang membuatnya tidak menjadikan posisinya sebagai pemimpin menjadikan harta / materi sebagai salah satu tujuannya.

4. Ajaksa (Adil) : Ajaksa berarti seorang pemimpin harus memiliki sifat adil. Adil artinya melakukan sesuatu berdasarkan nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Suatu nilai-nilai yang dilandasi kejujuran, bersih dari kepentingan pribadi apapun dan dalam mengambil suatu keputusan benar-benar didasarkan atas kajian yang objektif dengan niat baik (hati nurani). Karenanya semua tindakan ataupun keputusannya akan dapat diterima dengan baik oleh orang-orang yang dipimpinnya.

5. Alaras (Selaras) : Selaras artinya seorang pemimpin yang memiliki integritas tinggi, apa yang dipikirkannya, selaras dengan apa yang diucapkannya dan selaras juga dengan apa yang dikerjakannya. Di samping itu juga dalam bertindak dia mampu menyelaraskan dengan lingkungan / alam yang artinya tidak merusak lingkungan ataupun merusak apa yang sudah berkembang di lingkungannya.

6. Aparna (Tekun) : Sifat ini menggambarkan seorang pemimpin memiliki sifat tekun, daya juang yang tinggi, tidak mudah menyerah dan mampu berjuang untuk mempertahankan cita-cita atau gagasannya yang baik. Sifat seorang pemimpin yang memiliki belief yang kuat dan mampu menjawab pertanyaan kenapa dia melakukan apa yang dilakukannya. Seorang pemimpin bukan orang yang ikut-ikutan atau terbawa mode atau tren.

7. Apada (Pemersatu) : Seorang pemimpin yang mampu sebagai pemersatu diantara perbedaan, selalu ingin adanya kesamaan “bahasa” antara dirinya dengan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan perkataan lain dia memiliki sifat yang membuatnya mampu membangun di atas perbedaan (building on differences) bukan dengan paksaan tetapi dengan kesadaran dari orang-orang yang dipimpinnya.

8. Apura (Pemaaf) : Seorang pemimpin selalu bisa memaafkan perbuatan orang lain yang salah, bukan seorang pendendam. Dia tidak membawa persoalan orang lain menjadi persoalan pribadi dirinya yang menimbulkan kebencian secara pribadi. Pemaaf bukan berarti sebagai orang yang dapat disepelekan, melainkan seorang yang berbudi luhur.

17

9. Alodran (Perkasa) : Seorang pemimpin harus tetap tegar, perkasa memilliki rasa keyakinan diri, dan mampu membangun keyakinan yang dipimpinnya dalam menghadapi segala rintangan, hambatan dan tantangan dalam mewujudkan cita-citanya.

10. Abaya (Angin) : Seorang pemimpin ibarat angin, bisa masuk ke segala lini, tidak membedakan suku, agama, ras, tidak membedakan tingkat perekonomian masyarakat, baik ekonomi lemah hingga tingkat perekonomian atas.

Upaya untuk menilai sukses tidaknya pemimpin itu dilakukan antara lain

dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas atau mutu perilakunya, yang

dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya. Usaha-usaha yang

sistematis tersebut membuahkan teori sifat atau kesifatan dari kepemimpinan. Teori

kesifatan atau sifat dikemukakan oleh beberapa ahli.

Dalam Handoko (1995: 297) Edwin Ghiselli mengemukakan teori mereka tentang teori kesifatan atau sifat kepemimpinan. Edwin Ghiselli mengemukakan 6 (enam) sifat kepemimpinan yaitu : 1) Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau

pelaksana fungsi-ungsi dasar manajemen.2) Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab

dan keinginan sukses.3) Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif, dan daya pikir. 4) Ketegasan, atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan

memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.5) Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sehingga mampu untuk

menghadapi masalah. 6) Inisiatif, atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan

serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inofasi.

2.3. Kepala Sekolah sebagai Pemimpin

Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks

karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu

sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang bersifat unik karena

18

sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat

terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks

dan unik tersebut, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang

tinggi. “Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah”.

Kata “kepala sekolah” tersusun dari dua kata yaitu “kepala” yang dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga, dan “sekolah” yaitu sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seseorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. (Nurkolis, 2003)

Kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi

para staf dan para siswa. “Kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui

tugas-tugas mereka dan mereka yang menentukan irama bagi sekolah mereka”.

Rumusan tersebut menunjukkan pentingnya peranan kepala sekolah dalam

menggerakkan kehidupan sekolah guna mecapai tujuan. Studi keberhasilan kepala

sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik

pusat dan irama suatu sekolah. Kepala sekolah yang berhasil adalah kepala sekolah

yang memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi kompleks yang unik, serta

mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.

2.4. Pengertian Kinerja

Menurut Sjafri Mangkuprawira dalam www.ronawajah.wordpress.com yang

dikutip dari Veithzal Rivai (2005) mengemukakan bahwa beberapa pengertian berikut

ini akan memperkaya wawasan tentang kinerja:

19

1. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps: 1992).

2. Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja (Griffin:1987).

3. Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy and Premeaux: 1993).4. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk

menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey and Blanchard: 1993).

5. Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan (Casio:1992).

6. Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik (Donnelly, Gibson and Ivancevich: 1994).

7. Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolok ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilian kinerja individu, yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu (Robbin: 1996).

8. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan (Schermerhorn, Hunt and Osborn: 1991).

9. Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = ƒ (A x M x O). Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins: 1996). Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-ringtangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat.

Sehubungan dengan itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok

orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan

tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan

performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari

sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil

20

kerja yang dapat dicapai oleh seseoarng atau kelompok orang dalam suatu perusahaan

sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya

pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak

bertentangan dengan moral atau etika.

Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang

merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai

untuk menjawab pertanyaan, “Seberapa baikkah kinerja seorang guru maupun staf

pada suatu periode tertentu?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai

kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak

mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu

salahnya guru ataupun staf”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan

gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja

hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.

Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson memberikan gambaran

tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen

kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.

Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab,

dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan, –

dimana guru dan staf dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan

upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam

fase evaluasi, kinerja guru maupun staf dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi

yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus

21

terus berulang antara guru, kepala sekolah, dan staf administrasi, serta organisasi

terus belajar dan tumbuh. Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya

dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya

lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu

proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan

pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi. (Karen Seeker dan

Joe B. Wilson, 2000)

Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau

pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan

menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1)

keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat subyektif mungkin; (3)

komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau

ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional

guru. Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat

memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Oleh

karena itu, seorang pemimpin harus menjelaskan apa yang diharapkannya, harus

menghargai kontribusi setiap orang, harus membawa lebih banyak orang keluar

“kotak organisasi” dan harus mendorong setiap orang untuk berani mengemukakan

pendapat.

Namun apapun cara yang ditempuh oleh pemimpin dalam memberdayakan

staf/bawahan, menurut Sarah Cook dan Steve Macaulay kepemimpinan yang

memberdayakan perlu mengacu pada empat dimensi, yaitu visi, realita, orang

22

(manusia), dan keberanian. Visi, pemimpin yang memberdayakan melihat semuanya

secara luas dan mendorong pemahaman anggota tim tentang bagaimana cara mereka

menyesuaikan diri dengan situasi dan berbagi dengan anggota tim tentang

kemungkinan-kemungkinan baru di masa mendatang. Mereka memotivasi yang lain

dengan visi tentang apa yang mereka coba meraih dan mendorong tim untuk

memikirkan cara sampai ke sana. Realita, kepemimpinan yang memberdayakan

menanggapi dan mencari fakta-fakta tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Mereka tetap menjaga agar kaki mereka tetap menginjak bumi dengan secara

teratur;memeriksa realita dan tidak mudah terpedaya atau mengabaikan peringatan.

Mereka menyadari akan keberadaan orang lain dan keberadaan mereka sendiri.

(Sarah Cook dan Steve Macaulay, 1996)

Salah satu tugas kepala sekolah selaku manager terhadap guru dan staf salah

satunya adalah melakukan penilaian atas kinerjanya. Penilaian ini mutlak

dilaksanakan untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh guru maupun staf.

Apakah kinerja yang dicapai setiap guru maupun staf baik, sedang atau kurang.

Penilaian ini penting bagi setiap guru maupun staf dan berguna bagi sekolah dalam

menetapkan kegiatannya.

Soedjono (2005) menyebutkan 6 (enam) kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pegawai secara individu yakni :a) Kualitas, Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi

tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.b) Kuantitas, Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan.c) Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan

serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.d) Efektivitas,  Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada pada organisasi

untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.

23

e) Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna menghindari hasil yang merugikan.

f) Komitmen kerja, yaitu komitmen kerja antara pegawai dengan organisasinya dan tanggung jawab pegawai terhadap organisasinya.

Unsur prestasi karyawan yang dinilai oleh setiap organisasi atau perusahan

tidaklah selalu sama, tetapi pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai itu mencakup

seperti hal-hal di atas. Demikian juga untuk menilai kinerja guru dan staf, unsur-

unsur yang telah dipaparkan di atas dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk

melakukan penilaian namun tentu saja berkaitan dengan profesinya sebagai guru

maupun staf dengan utamanya sebagai pengajar dan pemberi layanan.

Dalam melaksanakan tugasnya, guru maupun staf tidak berada dalam

lingkungan yang kosong. Ia bagian dari dari sebuah “mesin besar” pendidikan

nasional, dan karena itu ia terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara

nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun

dalam konteks profesionalisme guru dan staf, dimana mengajar dan menyediakan

layanan dianggap sebagai pekerjaan profesional, maka guru dan staf dituntut untuk

profesional dalam melaksanakan tugasnya.

Untuk menciptakan guru dan staf yang profesional tersebut, diperlukan

adanya bimbingan dan supervisi dari kepala sekolah. Tanpa adanya supervisi,

peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja

guru maupun staf tergantung bagaimana sifat pemimpin yang memiliki gaya

kepemimpinan dalam memimpin. Bila kepala sekolah bersifat otokratik, maka guru

maupun staf akan cenderung bersikap pasif dan menunggu komando dari pimpinan.

24

Dalam kepemimpinan yang liberalis, guru dan staf akan melakukan inisiatif sebisanya

atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan belajar mengajar maupun

penyediaan layanan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan

yang demokratis, guru dan staf dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala

sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan.

2.5. Kinerja Guru dan Staf

Setiap individu yang diberi tugas atau kepercayaan untuk bekerja pada suatu

organisasi tertentu diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan dan

memberikan konstribusi yang maksimal terhadap pencapaian tujuan organisasi

tersebut.

Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan

dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001,2). Sedangkan Ahli lain

berpendapat bahwa Kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan

tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan

yang menjadi tanggung jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu

pekerjaan atau fungsi; Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu

pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992,45).

Fatah (1996,22) Menegaskan bahwa kinerja diartikan sebagai ungkapan

kemajuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan motivasi dalam menghasilkan

sesuatu pekerjaan.

25

Dari beberapa penjelasan tentang pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan

bahwa Kinerja guru dan staf adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dan staf

dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan

memuaskan apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Kinerja Guru  dan Staf pada dasarnya merupakan unjuk kerja yang dilakukan

oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan staf sebagai tenaga

kependidikannya. Kualitas kinerja guru dan staf akan sangat menentukan pada

kualitas hasil pendidikan, karena guru maupun staf merupakan pihak yang paling

banyak bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pendidikan/pembelajaran

dan pemberian layanan terbaik di lembaga pendidikan Sekolah.

Kinerja anggota-anggota suatu organisasi ditentukan oleh kemampuan dan

motivasinya. Terdapat korelasi yang positif antara motivasi dengan penampilan kerja.

Kinerja dari karyawan atau staf sangat tergantung pada kemampuan dan motivasinya.

Bila setiap karyawan atau staf mempunyai kemampuan dan motivasi kerja, maka

hasilnya akan nampak pada penampilan kerjanya dalam bentuk produktivitas

kerja.Kinerja dapat dilihat dalam wujud kematangan kerja anggota-anggota suatu

organisasi. Kematangan merupakan kapasitas seseorang dalam merumuskan tujuan

serta kemampuan untuk mencapai tujuan itu, kemauan dan kemampuan bertanggung

jawab, berpendidikan dan berpengalaman sebagai individu atau kelompok. Guru

sebagai pendidik dan pengajar diasumsikan dalam kinerjanya telah memiliki tingkat

kematangan yang tinggi atau dengankata lain telah dewasa. Menurut Sikun Pribadi,

arti dewasa itu sangat mendalam jika ditinjau dari segi substansial, yaitu apa arti dan

26

makna kedewasaan. Secara eksplisit makna kedewasaan sebagai tujuan pendidikan

antara lain berisikan :

1. Manusia dapat meningkatkan kesadarannya demi memperluas pandangan

hidupnya dalam meningkatkan mencari kebenaran dan mengembangkan dirinya

dalam rangka menyadari apa tugas hidupnya di dunia ini, serta meningkatkan

kemampuannya untuk dapat menunaikan tugas itusebaik-baiknya (dengan mutu

sebaik mungkin).

2. Dengan meningkatkan kesadarannya dan kemampuannya diharapkan dapat

meningkatkan kualitasnya atau martabatnya sebagai insan, dengan implikasi

bahwa peningkatan martabat itu dengan memperhatikan sebelas hukum hidup

yang sifatnya mutlak itu.

3. Dengan meningkatkan martabatnya, manusia akan ikut serta dalam proses evolusi,

baik evolusi yang menyeluruh dalam alam semesta termasuk masyarakatnya,

maupun kehidupan individualnya, karena setiap manusia yang normal mempunyai

tendensi ingin maju, berkembang dan meningkatkan martabatnya.

4. Dengan kemampuan yang makin meningkat dengan memperhatikan derajat psiko-

higiene, ia akan lebih mampu menghadapi segala kemungkinan dalam bentuk

segala masalah hidupnya, karena dunia manusia adalah dunia terbuka yang

mengandung segala kemungkinan.

Dengan demikian jelaslah bahwa tugas guru sebagai pendidik adalah untuk

membimbing anak didik kearah pencapaian dan perwujudan tujuan yang telah

dijelaskan di atas. Guru harus bertanggung jawab penuh terhadap Tuhan, terhadap

27

masa depan bangsa dan umat manusia dan terhadap diri sendiri. Dan tanggung jawab

itu bukan suatu kesadaran semata-mata tanpa perbuatan, melainkan penugasan untuk

peningkatan kesadaran tentang segala jenis persoalan hidup dan peningkatan

kemampuannya, dan menjaga jangan sampai dia sendiri menjadi korban kesulitan-

kesulitan hidup, jangan sampai ia mengalami frustasi dan neurosis, yang akan

melumpuhkan segala usahanya dan pelaksanaan kewajibannya. Kepada guru sangat

dituntut harus mampu menyadari akan hal itu semua, yaitu ia itu adalah pertama-tama

pendidik, dan baru keduanya sebagai guru. Sebagai guru/pendidik ia harus penuh

kasih sayang, penuh kebijaksanaan dan penuh kesabaran, agar anak didiknya kelak

menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan. Walaupun ia sebagai guru

tugasnya mengajar, tidak berarti ia bebas dari tuntutan sebagai pendidik, karena

segala gerak-geriknya akan berakibat pada anak didiknya, baik perilaku yang sadar

maupun tak sadar. Memang perkataan guru sering diartikan "digugu dan ditiru", yaitu

guru berarti dipercaya dan ditiru segala sifat dan perilakunya.

Dalam kepribadian seorang guru harus memancarkan sifat-sifat sejati sebagai

pendidik, karena disamping mengajar ia mengemban tugas sebagai pendidik pula,

karena sebagai pribadi ia memiliki sifat-sifat tertentu mau tak mau berpengaruh

kepada lingkungan. Dia tidak bisa mengelakkan hal itu.Tugas guru sebagai guru ialah

mengajar, tetapi tidak dalam arti melimpahkan pengetahuan yang ada padanya,

karena pengetahuan itu beberapa tahun kemudian akan usang dan tidak relevan lagi

dalam kondisi pengetahuan yang lebih maju. Sering sifat guru itu suka menggurui,

seakan-akan dialah yang paling tahu. Ia sering bersikap otoriter karenanya. Hal itu

28

menimbulkan ia kurang waspada akan segala kekurangannya, terlampau merasa pasti

akan kebenarannya, dan kurang bersikap terbuka terhadap siswa-siswanya. Siswa-

siswa yang mengajukan pertanyaan yang agak sukar dan kritis sering dilihat dari

kacamata anak yang membandel atau mengganggu rasa kepastian guru, dan tidak

bersedia mengaku terus terang seperti: "saya belum dapat menjawab pertanyaanmu.

Tunggu saja, saya akan mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu".

Tugas guru harus mengarah kepada memberikan kemudahan atau fasilitas

sehingga anak senang belajar, bersedia berfikir sendiri secara kritis, bersedia mencari

informasi dan jawaban terhadap pertanyaan di mana saja. Guru harus mampu

merangsang dan mendorong murid untuk mencari kebenaran, baik kebenaran ilmiah

maupun kebenaran filsafah tentang masalah hidup dan dirinya atau kadang-kadang

disebut "the quest for truth". Kebenaran akan menjadi pegangan hidupnya kelak

selama-lamanya. Nilai pengetahuan yang hanya bersifat hafalan tanpa mengerti dan

memahami maknanya dalam hubungannya dengan hal-hal lain dan seluruh alam

semesta, akan tidak tinggi nilai pakainya, paling-paling mempunyai nilai untuk

berlaga atau untuk memperalat dan untuk membohongi orang lain dan juga dirinya.

Berhasil tidaknya suatu kurikulum bergantung kepada kualitas martabat dan

kesadaran gurunya. Tugas dan peranan guru sebagai pendidik dan pengajar sangat

menentukan bagi produktivitas belajar siswa-siswa dan produktivitas sekolah pada

umumnya. Guru adalah suatu jabatan profesional yang memerlukan berbagai keahlian

khusus. Sebagai suatu profesi maka harus memenuhi kriteria profesional, sebagai

berikut :

29

1. Fisik

a. Sehat jasmani dan rohani,

b. Tidak mempunyai cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan/cemoohan atau

rasa kasihan dari anak didik.

2. Mental/Kepribadian. 

a. Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak

didik,

b. Berbudi pekerti yang luhur,

c. Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan sarana pendidikan yang ada secara

maksimal.

d. Mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa,

e. Mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab yang besar akan

tugasnya,

f. Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi,

g. Bersikap terbuka, peka dan inovatif,

h. Menunjukkan rasa cinta kepada profesinya,

i. Ketaatan akan disiplin, dan

j. Memiliki "Sense of Humor".

3. Keilmuan/Pengetahuan.

a. Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi

pendidikan/mengajar yang demokratis, 

30

b. Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya dalam

tugasnya sebagai pendidik/pengajar yang demokratis,

c. Memahami, menguasai serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan,

d. Memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang yang lain,

e. Senang membaca buku-buku ilmiah,

f. Mampu memecahkan persoalan secara sistematis, terutama yang berhubungan

dengan bidang studi, dan

g. Memahami prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar.

4. Keterampilan. 

a. Mampu berperan sebagai organisator proses mengajar belajar, 

b. Mampu menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan struktural,

indisipliner, fungsional, behavior dan teknologi,

c. Mampu menyusun garis-garis besar program pengajaran (GBPP),

d. Mampu memecahkan dan melaksanakan teknik-teknik mengajar yang baik

dalam mencapai tujuan pendidikan,

e. Mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan, dan

f. Memahami dan mampu melaksanakan kegiatan pendidikan luar sekolah

2.5. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2008:93) menyatakan :”Hipotesis merupakan suatu

pernyataan sementara atau dugaan jawaban yang paling memungkinkan walaupun

masih harus dibuktikan dengan penelitian”.

31

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah diatas, maka penulis

mengemukakan 2 hipotesa dalam penelitian ini, yaitu :

1. Hipotesa Nihil (H.0)

- Tidak ada pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru

dan staf di SMA Negeri 1 Sumenep

2. Hipotesa Nihil (H.1)

- Ada pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dan

staf di SMA Negeri 1 Sumenep

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.1.1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah hal-hal yang dapat membedakan atau membawa

variasi pada nilai (Sekaran, 2006). Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu

variabel independen dan variabel dependen.

1. Variabel terikat (Dependent Variable)

Variabel dependen merupakan variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti.

Hakekat sebuah masalah, mudah terlihat dengan mengenali berbagai variabel

dependen yang digunakan dalam sebuah model (Ferdinand, 2006). Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah kinerja guru dan staf (Y).

2. Variabel bebas (Independent Variable)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen,

baik yang pengaruhnya positif maupun yang pengaruhnya negatif (Ferdinand,

2006).

Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah sifat Kepala Sekolah sebagai

pemimpin diantaranya :

1. Kemampuan (X1)

2. Keinginan (X2)

3. Kecerdasan (X3)

33

4. Ketegasan (X4)

5. Percaya diri (X5)

6. Inisiatif (X6)

3.1.2. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini kemudian

diuraikan yang meliputi:

1. Kinerja Guru dan Staf

Beberapa indikator untuk mengukur sejauh mana guru dan staf mencapai

suatu kinerja secara individual adalah sebagai berikut:

a. Kualitas : Tingkat dimana hasil aktifitas yang dilakukan mendekati

sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan

aktivitas ataupun memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.

b. Kuantitas : Jumlah yang dihasilkan dalam istilah jumlah unit, jumlah siklus

aktifitas yang diselesaikan.

c. Ketepatan Waktu : Tingkat suatu aktifitas diselesaikan pada waktu awal

yang diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta

memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktifitas lain.

d. Efektifitas : Tingkat penggunaan sumber daya manusia, organisasi

dimaksimalkan dengan maksud menaikan keuntungan atau mengurangi

kerugian dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.

34

e. Kemandirian : Tingkat dimana seorang pegawai dapat melakukan fungsi

kerjanya tanpa minta bantuan bimbingan dari pengawas atau meminta turut

campurnya pengawas untuk menghindari hasil yang merugikan.

f. Komitmen Kerja : Tingkat dimana pegawai mempunyai komitmen kerja

dengan organisasi dan tanggung jawab pegawai terhadap organisasi.

2. Sifat Kepemimpinan

Dengan mengemukakan dua kategori dasar yaitu orientasi guru dan staf, dan

orientasi tugas, maka disusun suatu model tingkat efektifitas manajemen yang

mengacu pada sifat kepemimpinan yaitu :

a. Kemampuan : kepala sekolah mampu dalam melaksanakan fungsi dasar

manajemen.

b. Keinginan : kepala sekolah butuh akan prestasi dan tanggung jawab dalam

pekerjaan.

c. Kecerdasan : kepala sekolah mempunyai daya pikir tinggi, bersikap bijak

dan berpikir kreatif.

d. Ketegasan : kepala sekolah mampu membuat keputusan dan memecahkan

masalah dengan cakap dan tepat.

e. Percaya diri : kepala sekolah mempunyai pandangan terhadap dirinya

sehingga menilai dirinya mampu dalam melaksanakan tugasnya sebagi

pemimpin.

35

f. Inisiatif : kepala sekolah mampu mengembangkan serangkaian kegiatan

dan menemukan cara baru atau inovatif.

3. Pengukuran

Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan pengukuran interval untuk

menentukan nilai skor dari hasil kuisioner yang diberikan kepada responden yaitu

menggunakan pengukuran skala Likert, (Burhan Bungin, 2006 : 65).

Dalam pengukuran didasarkan atas opsi nilai yang akan diberikan pada

pengaruh sifat kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dan staf yaitu :

1) Sifat Kepemimpinan Kepala Sekolah yang meliputi Kemampuan, Keinginan,

Kecerdasan, Ketegasan, Percaya diri, Inisiatif yaitu :

Sangat baik : 5

Baik : 4

Cukup : 3

Tidak Baik : 2

Sangat Tidak Baik : 1

2) Kinerja Guru dan Staf yang meliputi Kualitas, Kuantitas, Ketepatan Waktu,

Efektifitas, Kemandirian, Komitmen Kerja yaitu :

Sangat baik : 5

Baik : 4

Cukup : 3

Tidak Baik : 2

Sangat Tidak Baik : 1

36

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sumenep Kabupaten Sumenep

memiliki prestasi pendidikan yang sangat baik di Kabupaten Sumenep, oleh karena

itu sangat penting untuk mengetahui kinerjanya yang akan dideskripsikan melalui

aspek kinerja guru dan staf, selain itu karena lokasi ini representatif untuk mewakili

penelitian mengenai pengaruh sifat kepemimpinan.

3.3. Sumber Data

Data adalah segala sesuatu yang diketahui atau dianggap mempunyai sifat bisa

memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan (Supranto, 2001). Data

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Data Primer

Yang dijadikan data primer dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih

secara acak meliputi guru dan staf yang merupakan data kuesioner.

b. Data Sekunder

Data pendukung pada penelitian ini meliputi dokumen-dokumen yang dianggap

penting dan dibutuhkan dalam penelitian (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).

3.4. Instrumen Penelitian

37

Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuisioner, karena dalam

kuesioner tersebut terdapat beberapa macam pertanyaan yang berhubungan erat

dengan masalah penelitian yang hendak dipecahkan, disusun, dan disebarkan,

meliputi variabel penelitian yang telah ditentukan yaitu :

1) 6 (enam) sifat kepemimpinan kepala sekolah yang meliputi Kemampuan,

Keinginan, Kecerdasan, Ketegasan, Percaya diri, Inisiatif

2) Kinerja guru dan staf yang meliputi Kualitas, Kuantitas, Ketepatan Waktu,

Efektifitas, Kemandirian, Komitmen Kerja

3.5. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi menurut Gay (1987:102) merupakan kelompok tertentu dari sesuatu

(orang, benda, peristiwa, dan sebagainya) yang dipilih oleh peneliti yang hasil

studinya atau penelitiannya dapat digeneralisasikan terhadap kelompok tersebut.

Suatu populasi sedikitnya mempunyai satu karakteristik yang membedakannya

dengan kelompok yang lain.

Arikunto (2006:130) menyatakan populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Jika seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah

penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi atau studi populasi atau

sensus. Subyek penelitian adalah tempat variabel melekat. Variabel penelitian adalah

objek penelitian. Sementara itu Sukardi (2010:53) menyatakan populasi adalah semua

anggota kelompok manusia, binatang, peristiwa, atau benda yang tinggal bersama

38

dalam satu tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir

suatu penelitian. Di pihak lain, Sisworo dalam Mardalis (2009:54) mendefenisikan

populasi sebagai sejumlah kasus yang memenuhi seperangkat kriteria yang ditentukan

peneliti.

Jadi dapat disimpulkan populasi adalah sekelompok manusia, binatang, benda

atau keadaan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan peneliti sebagai subjek

penelitian dan menjadi target kesimpulan dari hasil suatu penelitian. Populasi dalam

penelitian ini adalah keseluruhan obyek yang menjadi sasaran penelitian yaitu seluruh

guru dan staf sebanyak 88 orang yang ada di SMA Negeri 1 Sumenep pada tahun

pelajaran 2012 - 2013.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari subyek dalam populasi yang diteliti, yang sudah

tentu mampu secara representative dapat mewakili populasinya (Sabar,2007).

Menurut Sugiyono sampel adalah bagian atau jumlah dan karakteritik yang

dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang ada pada populasi, misal karena keterbatan dana, tenaga dan

waktu, maka peneliti akan mengambil sampel dari populasi itu. Apa yang dipelajari

dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel

yang diambil dari populasi harus betul-betul representative (Sugiyono,2011).

Teknik pengambilan sampel ada banyak salah satunya adalah Simple Random

Sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari

39

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi

itu (Sugiyono, 2011:64).

Dari teori di atas peneliti menarik kesimpulan pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling karena melihat kondisi

guru dan staf yang ada di SMA Negeri 1 Sumenep mempunyai strata pendidikan yang

beragam sehingga diambil sampel secara acak sesuai kriteria yang dianggap mampu

memberikan jawaban dan pernyataan terhadap kuisioner yang nantinya akan

diberikan. Sampel diambil sebanyak 60 orang (acak) yang meliputi guru dan staf di

SMA Negeri 1 Sumenep. Pembagian sampel dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1

Sampel yang diambil untuk penelitian

NO JABATANSTATUS

PEGAWAIJUMLAH

1. Wakil Kepala Sekolah Guru PNS 4 Orang

2. Guru PNS 36 Orang

3. Guru GTT 5 Orang

4. Staf Tata Usaha PNS 10 Orang

5. Staf Tata Usaha PTT 5 Orang

3.6. Teknik Pengumpulan Data

1. Kuesioner

40

Kuesioner adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada responden dengan panduan angket.

Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup.

2. Observasi

Teknik observasi yang akan dilakukan adalah observasi langsung (participant

observation). Maksudnya, peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap

proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas, Rapat koordinasi pimpinan,

pengajar dan staf, serta Rapat Dinas yang diikuti oleh seluruh pegawai sekolah.

3. Studi Pustaka

Selain wawancara dan observasi, pengumpulan data yang dilakukan oleh

peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik dokumentasi

atau studi pustaka. Intinya, dokumentasi atau studi pustaka adalah metode yang

digunakan untuk menelusuri data history atau mengkaji literatur-literatur dan

laporan-laporan yang berkaitan dengan judul penelitian.

3.7. Teknik Analisa Data

3.7.1. Uji Kualitas Data

Uji Kualitas data dilakukan untuk menguji kecukupan dan kelayakan data

yang digunakan dalam penelitian. Data penelitian tidak bermanfaat apabila

instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tidak memiliki

reliabilitas dan validitas yang tinggi (Cooper dan Emory (1995) dalam Gusti

41

Riza Rahman (2008). Uji Kualitas data dilakukan menggunakan uji Validitas

dengan Korelasi Pearson dan Uji realibilitas dengan Cronbach Alpha.

3.7.1.1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu

kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner

mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner

tersebut (Ghozali, 2005). Dalam hal ini digunakan beberapa butir pertanyaan

yang dapat secara tepat mengungkapkan variabel yang diukur tersebut.

Untuk mengukur tingkat validitas dapat dilakukan dengan cara

mengkorelasikan antara skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk

atau variabel. Hipotesis yang diajukan adalah:

Ho : Skor butir pertanyaan berkorelasi positif dengan total skor konstruk.

Ha : Skor butir pertanyaan tidak berkorelasi positif dengan total skor

konstruk.

Uji validitas dilakuan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r

tabel untuk tingkat signifikansi 5 persen dari degree of freedom (df) = n-2,

dalam hal ini n adalah jumlah sampel. Jika r hitung > r tabel maka

pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan valid, demikian sebaliknya

bila r hitung < r tabel maka pertanyaan atau indikator tersebut dinyatakan

tidak valid (Ghozali, 2005).

42

3.7.1.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan alat untuk mengukur suatu kuesioner yang

merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan

reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah

konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2005). Pengukuran

reliabilitas dilakukan dengan cara one shot atau pengukuran sekali saja

dengan alat bantu SPSS 11.5 uji statistik Cronbach Alpha (α). Suatu

konstruk atau variabel dikatakan reliable jika memberikan nilai Cronbach

Alpha lebih besar dari 0.60 (Nunnally dalam Ghozali, 2005).

3.7.2. Uji Asumsi Klasik

Untuk meyakinkan bahwa persamaan garis regresi yang diperoleh adalah

linier dan dapat dipergunakan (valid) untuk mencari peramalan, maka akan

dilakukan pengujian asumsi multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan

normalitas.

3.7.2.1. Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah untuk menguji apakah pada model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Apabila

terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinearitas

(Ghozali, 2005). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi

diantara variabel bebas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya

multikolinearitas di dalam model regresi adalah sebagai berikut:

43

• Nilai R² yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat

tinggi, tetapi secara individual variabel bebas banyak yang tidak

signifikan mempengaruhi variabel terikat (Ghozali, 2005).

• Menganalisis matrik korelasi variabel bebas. Apabila variabel bebas ada

korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90), maka hal ini

merupakan indikasi adanya multikolinearitas (Ghozali, 2005).

• Multikolinearitas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2)

Variance Inflation Factor (VIF). kedua ukuran ini menunjukkan setiap

variabel bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya.

Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak

dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi, nilai tolerance yang rendah

sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/Tolerance). Nilai cut

off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas

adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali,

2005).

Apabila di dalam model regresi tidak ditemukan asumsi deteksi seperti di

atas, maka model regresi yang digunakan dalam penelitian ini bebas dari

multikolinearitas, dan demikian pula sebaliknya.

3.7.2.2. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas adalah untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke

44

pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika varians

berbeda disebut heteroskedstisitas. Model regresi yang baik adalah yang

homokedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).

Cara untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan

melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat yaitu ZPRED dengan

residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat

dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot

antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah

diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya)

yang telah di studentized. Dasar analsisnya adalah:

• Apabila terdapat pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola

tertentu (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka

mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

• Apabila tidak terdapat pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas

dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi

heteroskedastisitas.

3.7.2.3. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi,

kedua variabel (bebas maupun terikat) mempunyai distribusi normal atau

setidaknya mendekati normal (Ghozali, 2005). Pada prinsipnya normalitas

dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal

45

dari grafik atau dengan melihat histogram dari residualnya. Dasar

pengambian keputusannya adalah (Ghozali, 2005):

• Jika data (titik) menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah

garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi

normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

• Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis

diagonal atau garfik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal,

maka model regrsi tidak memenuhi asumsi normalitas.

3.7.3. Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel

bebas yaitu: sifat kepemimpinan yang meliputi kemampuan (X1), keinginan

(X2), kecerdasan (X3), ketegasan (X4), percaya diri (X5), inisiatif (X6)

terhadap variabel terikatnya yaitu kinerja guru dan staf (Y).

Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut (Ghozali, 2005):

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + e

Dimana:

Y = Variabel dependen (kinerja karyawan)

a = Konstanta (nilai Y apabila X = 0)

b1, b2, b3, b4, b5, b6 = Koefisien garis regresi (nilai peningkatan ataupun

penurunan)

X = Variabel independen (sifat kepemimpinan)

46

3.7.4. Pengujian Hipotesis

3.7.4.1. Uji Signifikansi ( Uji Statistik F )

Dalam penelitian ini, uji F digunakan untuk mengetahui tingkat

siginifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

(Ghozali, 2005). Dalam penelitian ini, hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : Variabel bebas yaitu sifat kepemimpinan tidak mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap variabel terikatnya yaitu kinerja guru dan

staf.

Ha : Variabel bebas yaitu sifat kepemimpinan mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap variabel terikatnya yaitu kinerja guru dan staf.

Dasar pengambilan keputusannya (Ghozali, 2005) adalah dengan

menggunakan angka probabilitas signifikansi, yaitu:

a. Apabila probabilitas signifikansi > 0.05, maka Ho diterima dan Ha

ditolak.

b. Apabila probabilitas signifikansi < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha

diterima.

3.7.4.2. Analisis Koefisien Determinasi (R²)

Koefisien determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat (Ghozali,

2005). Nilai Koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R² yang

47

kecil berarti kemampuan variabel bebas (sifat kepemimpinan) dalam

menjelaskan variasi variabel terikat (kinerja guru dan staf) sangat terbatas.

Begitu pula sebaliknya, nilai yang mendekati satu berarti variabel bebas

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel terikat.

Kelemahan mendasar penggunaan koefisien determinasi adalah bias

terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan kedalam model. Setiap

tambahan satu variabel bebas, maka R² pasti meningkat tidak perduli apakah

variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.

Oleh karena itu, banyak peneliti menganjurkan untuk menggunakan nilai

Adjusted R² pada saat mengevaluasi mana model regresi yang terbaik. Tidak

seperti R², nilai Adjusted R² dapat naik atau turun apabila satu variabel

independen ditambahkan kedalam model.

3.7.4.3. Uji Signifikasi Pengaruh Parsial (Uji t)

Uji t digunakan untuk menguji signifikansi hubungan antara variabel X

dan Y, apakah variabel X (sifat kepemimpinan) yang meliputi benar-benar

berpengaruh terhadap variabel Y (kinerja guru dan staf) secara terpisah atau

parsial (Ghozali, 2005). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini

adalah:

Ho : Variabel bebas (sifat kepemimpinan) tidak mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap variabel terikat (kinerja guru dan staf).

48

Ha : Variabel bebas (sifat kepemimpinan, motivasi dan disiplin kerja)

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (kinerja

guru dan staf).

Dasar pengambilan keputusan (Ghozali, 2005) adalah dengan

menggunakan angka probabilitas signifikansi, yaitu:

a. Apabila angka probabilitas signifikansi > 0,05, maka Ho diterima dan Ha

ditolak.

b. Apabila angka probabilitas signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha

diterima.

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Sekolah

SMA Negeri 1 Sumenep merupakan sekolah favorit di Kabupaten Sumenep.

Penelitian ini mengambil sampel pegawai SMA Negeri 1 Sumenep sebanyak 60

Orang. Sebagai hasil penelitian pendahuluan, berikut ini akan diberikan tinjauan

mengenani karakteristik responden yang dinyatakan dalam bentuk tabulasi identitas

responden.

4.1.2 Identitas Responden

Dari kuesioner yang telah diisi oleh responden didapat data identitas

responden. Penyajian data mengenai identitas responden untuk memberikan

gambaran tentang keadaan diri dari para responden.

4.1.2.1 Status Kepegawaian

50

Status kepegawaian dalam keterkaitannya dengan perilaku individu di lokasi

kerja biasanya adalah sebagai gambaran akan status individu. Tabulasi umur

responden dapat dilihat sebagai berikut:

4.1.2.2