5. sesi ekonomi dan kemiskinan
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
922
ANALISIS EKONOMI DAMPAK TAMBANG INKONVENSIONAL (TI) TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN BANGKA BARAT
(ECONOMIC ANALYSIS OF ILLEGAL MINNING IMPACT TO FISHERMAN
INCOME IN KABUPATEN BANGKA BARAT)
Endang Bidayani
Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung
ABSTRACT
Tin production in Kabupaten Bangka Barat (Bangka Belitung Province) generated positive and negative impact to environment. The aim of this research is to analyse impact from illegal minning (TI) activity to fisherman income in Kabupaten Bangka Barat. The data was analysed by analysis of impact methode. The results shows that the illegal minning causes decreasing income of fisherman up to 70% in ten years (1998-2008). The policy of fishery sector development is to stop illegal minning in the fishery area. Keyword : illegal minning, income of fisherman, Kabupaten Bangka Barat
PENDAHULUAN
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah
penghasil timah terbesar di Indonesia dengan pasokan hampir mencapai 40% dari
kebutuhan timah dunia. Selain berdampak positif, aktivitas penambangan timah
juga berdampak negatif, yakni limbah berupa pasir tailing sisa buangan hasil
pencucian pasir timah, dan terbentuknya danau yang istilah lokal Bangka Belitung
disebut kolong atau lobang camuy. Sedangkan dampak pengerukan material
tambang di laut, dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem terumbu
karang, menyebabkan degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai (Anonimous
2009).
Salah satu daerah yang cukup parah dirambah TI adalah wilayah perairan
Kabupaten Bangka Barat, dengan kerusakan terumbu karang mencapai 30%.
(Anonymous 2007). Seiring maraknya aktivitas TI di perairan Kabupaten Bangka
Barat, maka dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pendapatan nelayan, dan
semakin memperburuk kerusakan lingkungan pesisir/pantai yang terjadi. Untuk
mengatasi hal ini, perlu strategi pengelolaan yang sifatnya terpadu dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
923
melibatkan semua stakeholders, sehingga penyusunan strategi pengelolaan
sumberdaya pesisir di Kabupaten Barat tepat sasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan, yaitu : 1)
Menganalisis dampak kerusakan lingkungan terhadap sumberdaya ikan; dan 2)
Menghitung penurunan pendapatan nelayan. Adapun kegunaan penelitian ini
diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bangka Barat
dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di wilayah
tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Juli 2009 sampai dengan Februari 2010 di
wilayah pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Metode Penelitian dan Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
dengan jenis metode studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di
daerah penelitian melalui wawancara langsung kepada nelaya dan penambang
timah berdasarkan kuesioner. Metode pengambilan sampel/responden yang
digunakan adalah teknik sampling purposive atau sampling pertimbangan dengan
teknik snow ball. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat (nelayan pemilik
yang mewakili sifat-sifat dari keseluruhan nelayan yang menangkap ikan dan
pengunjung pantai) yang memperoleh dampak langsung dari kegiatan
penambangan timah di laut, dan penambang timah yang memperoleh manfaat
(benefit) dari kegiatan penambangan timah di Perairan Tanjung Ular. Jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang nelayan dari populasi nelayan
sebanyak 117 orang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan data
statistik dari DKP Kabupaten Bangka dan DKP Kabupaten Bangka Barat.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
924
Metode Analisis Data
Analisis Bio-teknik dan Bioekonomi Sumberdaya Perikanan
Dampak TI terhadap pendapatan nelayan diestimasi dengan analisis bio-
teknik menggunakan metode surplus produksi dari Schaefer MB (1954) diacu
dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008). Hasil tangkapan maksimum lestari
dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (E)
dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) menggunakan
persamaan :
22
Er
KqqKEh
Untuk memperoleh nilai parameter bio-teknik r, q dan k dilakukan dengan
menggunakan model estimasi Algoritma Fox pendukung dari persamaan
Schaefer, sebagai berikut :
1
1tU
zy
2
1tt EE
b
az
qk
2kqr
Analisis bio-ekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi
– faktor harga dan biaya - ke dalam aspek bio-teknik melalui model matematis
Gordon-Schaefer (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)
π = TR – TC
= p.h – c.E
Keterangan : TR = penerimaan total (Rp), TC = biaya total (Rp), π = keuntungan
(Rp), p = harga rata-rata ikan (Rp), h = hasil tangkapan (kg), c= biaya
penangkapan persatuan upaya (Rp), E = upaya penangkapan (trip)
Berdasarkan rumusan di atas, maka berbagai kondisi pola pemanfaatan
sumberdaya statik ikan di Perairan Tanjung Ular disajikan pada Tabel 1.
………………………………………………….……..…..(1)
EcEr
kqEkqp ..
.... 2
2
………..……………....(3)
1
tU
zx
(2)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
925
Tabel 1. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Optimal Statik Ikan di Perairan Tanjung
Ular
Variabel Kondisi
MEY MSY Open Access
Biomassa
(x)
Kqp
cK
..1
2
q
K
2
qp
c
.
Catch (h)
Kqp
c
Kqp
cKr
..1
..1
4
.
4
.Kr
Kqp
c
qp
cr
..1
.
.
Effort (E)
Kqp
c
q
r
..1
2
q
r
2
Kqp
c
q
r
..1
Rente
Ekonomi
(π)
p.q.K.E Ecr
Eq.
.1
p.
q
rc
Kr
2.
4
. )(
.xF
xp
cp
Sumber : (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008)
Pengelolaan sumberdaya ikan dalam konteks dinamik, secara matematis
dapat dituliskan dalam bentuk (Sobari dan Diniah 2009):
....………………………...............(4)
dengan kendala:
………………………………….................…(5)
Berdasarkan pertumbuhan mengikuti kaidah Golden Rule, pemecahan
pengelolaan sumberdaya ikan dengan model dinamik dalam bentuk (Sobari dan
Diniah 2009):
dan
),()1(0
max ttt
t
tt
t
h
hx
tttt hxFxx )(1
qx
cp
qx
ch
K
xr
22
1 ...(11)
K
xrx 1 ……………....(6)
F(x) = h =
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
926
Dengam demikian nilai biomassa, hasil tangkapan, Effort dan rente ekonomi
optimal model dinamik dapat dihitung dengan rumus (Sobari, Diniah, Widiastuti
2008):
………………………………………………….(7)
Kpqr
c
rKpq
c
rKpq
cx
811
2
* …14) *
**
qx
hE
Biaya penangkapan dalam kajian bio-ekonomi model Gordon-Schaefer
didasarkan pada asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan.
Biaya penangkapan rata-rata dapat dihitung dengan rumus berikut (Sobari dan
Diniah 2009):
n
c
c
n
i
i 1 , dan
100
1
1
11
e
tmm
t ji
n
i t
eCPI
CPI
hh
h
E
C
nC
........................(9)
keterangan:
c= biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun ), ci biaya nominal penangkapan responden ke- i (Rp per tahun), n=jumlah responden nelayan (orang), Ce= biaya riil per upaya pada periode penelitian (Rp per unit), C biaya nominal rata-rata penangkapan (Rp per tahun), Et= effort alat tangkap pada waktu t (trip), h= produksi ikan pada waktu t (ton), ∑(hi+hj) = total produksi ikan dari alat tangkap (ton), n= jumlah responden (orang), m= jumlah tahun, CPIe= indek harga pada periode penelitiaan, CPIt= indek harga pada periode t
Harga ikan yang digunakan merupakan harga rata-rata dari responden,
dengan rumus sebagai (Sobari dan Diniah 2009):
n
P
P
n
i
i 1 , dan 100 P
CPI
CPIP
e
t
t
..............................................(10)
dimana:
I = responden ke i , Pt = harga riil ikan pada tahun t (Rp), P = harga nominal ikan berlaku (Rp), CPIe = indek harga pada periode penelitiaan CPIt = indek harga pada periode t
Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini
dibandingkan manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam.
K
xrcpqx
c
xh
21*
…………………….(8)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
927
Tingkat discount rate yang digunakan dalam kasus ini adalah discount rate yang
mengacu ketetapan World Bank yakni berkisar 8% hingga 18%.
Standarisasi upaya penangkapan sebagai berikut (Gulland 1983 diacu
dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008):
FPI = CPUEi / CPUEs……………………………….………………..…...(11)
dimana:
FPI = Fishing Power Index, CPUEi = CPUE alat tangkap yang akan distandarisasi (kg per trip), CPUEs = CPUE alat tangkap standar (kg per trip) Menghitung upaya standar
fs = FPI x fi ……………………………………………………..................(12)
dimana:
fs = upaya penangkapan hasil standarisasi (trip)
fi = upaya penangkapan yang akan distandarisasi (trip)
Standarisasi biaya yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pola
standarisasi yang digunakan Anna (2003) yang mengacu pada Gulland (1983)
secara matematis dapat ditulis :
Analisis depresiasi dan degradasi yang dilakukan mencakup analisis bio-
teknik dan bio-ekonomi. Analisis bio-ekonomi menggunakan pendekatan model
Algoritma Fox.
Analisis Kerugian Ekonomi
Penghitungan analisis kerugian ekonomi menggunakan data time series,
yakni perhitungan total revenue menggunakan data produksi aktual dan harga riil,
daan total cost yang menggunakan data effort dan riil cost mulai tahun 1998
hingga tahun 2008, untuk mengetahui besarnya rente setiap tahunnya.
Cet =
n
i
tt
ji
itn
t
i
i CPl
hh
h
E
TC
n 1
1
1
1100
1 ................................(13)
Keterangan :
Cet = Biaya per unit standarisasi upaya tangkap pada periode t, TCi = Biaya total untuk
alat tangkap i (i= 1,2), Ei = Total standarisasi upaya tangkap untuk alat tangkap i, ∑(hi
+ hj) = Total produksi ikan, CPlt = Indeks harga konsumen pada periode t, hit =
Produksi alat tangkap i pada periode t, n = Jumlah total alat tangkap
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
928
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Dampak Kerusakan Terhadap Sumberdaya Ikan
Analisis dampak kerusakan dilakukan melalui pendekatan analisis
sumberdaya perikanan menggunakan analisis bioekonomi perikanan terhadap
produksi ikan pelagis dan ikan demersal berdasarkan jenis alat tangkapnya, yakni
jaring insang dan bagan, serta bubu dan pancing. Secara agregat jumlah
tangkapan ikan pelagis mengalami penurunan dari tahun 1998 hingga 2008.
Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model Gordon-
Schaefer (1957). Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal belum
terjadi overfishing secara biologi (biological overfishing). Hasil estimasi parameter
biologi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Estimasi Parameter Biologi
Parameter Ikan Pelagis Ikan Demersal
R 0,18 0,61
Q 0,000114 0,000218
K 67.306,26 20.999,87
Analisis optimasi statik sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa
jumlah effort aktual sebesar 752 unit masih berada di bawah titik optimal, artinya
upaya penangkapan ikan pelagis masih efisien baik secara ekonomi maupun
biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan belum terjadi overfishing. Namun
pada kondisi open access dengan effort sebesar 1.519 unit, dihasilkan produksi
sebesar 541,64 ton mengindikasikan semakin banyak effort maka harvest turun
atau pemborosan (inefisiensi ekonomi). Demikian juga dengan sumberdaya ikan
demersal menunjukkan bahwa upaya penangkapan ikan demersal masih efisien
baik secara ekonomi maupun biologi. Demikian juga dengan hasil tangkapan
aktual sebesar 2.857,60 ton yang masih di bawah optimal pada kondisi MEY
sebesar 3.053,93 ton dan MSY sebesar 3.060,52 ton, atau belum terjadi
overfishing. Namun pada kondisi open access dengan effort sebesar 2.752 unit,
dihasilkan produksi sebesar 127,19 ton mengindikasikan semakin banyak effort
maka harvest turun atau pemborosan (inefisiensi ekonomi).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
929
Nilai rente sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal pada kondisi open
access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan dibiarkan terbuka untuk setiap
orang, maka persaingan upaya penangkapan pada kondisi ini tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan secara MEY, maka skenario kebijakan yang harus
dilakukan adalah : Meningkatkan upaya penangkapan (effort). Berdasarkan
perhitungan MEY model Fox, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan
ikan pelagis berjumlah 759 unit. Demikian juga dengan sumberdaya ikan
demersal, perlu penambahan effort dari 1.255 unit menjadi 1.376 unit atau
sebanyak 121 unit. Penambahan effort ini bisa dilakukan melalui kebijakan
pemberian kredit bunga ringan dari koperasi atau bantuan dana dari pemerintah.
Analisis optimasi dinamik sumberdaya ikan pelagis, menunjukkan bahwa
nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar Rp 672.751,37 juta.
Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus dibuat dalam pengelolaan
yang optimal dan lestari pada ikan pelagis adalah penambahan jumlah effort, dari
752 unit menjadi 1.288 unit untuk menghasilkan produksi (harvest) optimal
sebesar 3.465,93 ton. Demikian juga berdasarkan sumberdaya ikan demersal,
menunjukkan bahwa nilai rente tertinggi dicapai pada discount rate 8% sebesar
Rp 1.413.182,92 juta. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang harus
dibuat dalam pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan demersal adalah
penambahan jumlah effort, dari 1.255 unit menjadi 1.679 unit untuk menghasilkan
produksi (harvest) optimal sebesar 3.415,38 ton dari produksi aktual 2.408,34 ton.
Analisis laju degradasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa,
belum mengalami degradasi, dengan koefisien tertinggi terjadi tahun 1998 yaitu
sebesar 0,35 dan koefisien terendah tahun 2001 sebesar 0,09. Laju degradasi
cenderung mengalami kenaikan. Demikian juga untuk sumberdaya ikan demersal
dengan nilai koefisien tertinggi terjadi tahun 2002 yaitu sebesar 0,43 dan terendah
pada tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,05 dan laju degradasi cenderung fluktuatif.
Analisis laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan belum
mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 1998 yaitu
sebesar 0,35 dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,08, dengan laju depresiasi
yang cenderung mengalami penurunan. Demikian juga sumberdaya ikan demersal
belum mengalami depresiasi dengan koefisien tertinggi terjadi pada tahun 2002
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
930
yaitu sebesar 0,44 dan terendah tahun 2001 dan 2003 sebesar 0,04, dengan laju
depresiasi yang cenderung fluktuatif.
Analisis Kerugian Ekonomi
Nilai rente ikan pelagis secara agregat mengalami penurunan. Rente
tertinggi dicapai pada tahun 1998, yakni sebesar Rp. 8,22 Milyar dan rente
terendah pada tahun 2003 sebesar Rp. 1,24 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-
1999 sebesar Rp. 7,68 Milyar dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp.
3,58 milyar. Pada tahun 2002 menjelang pemekaran wilayah, rente naik menjadi
Rp. 6,63 Milyar dan kembali turun pada kurun waktu 2003-2008 dengan rente
rata-rata sebesar Rp. 5,86 Milyar. Demikian juga untuk rente ikan demersal yang
secara agregat mengalami penurunan. Rente tertinggi dicapai pada tahun 2002
yakni sebesar Rp. 600,92 Milyar dan rente terendah tahun 2003 sebesar Rp.
34,45 Milyar. Rente rata-rata tahun 1998-1999 sebesar Rp. 151,09 Milyar,
dan menurun pada tahun 2000-2001 menjadi Rp. 105,99 Milyar. Pada kurun
waktu 2003-2008 rente rata-rata menurun menjadi Rp. 46,44 Milyar. Untuk itu,
kebijakan pengembangan sektor perikanan yang harus dilakukan adalah
kebijakan penghentian kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh
besar terhadap sumberdaya perikanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa : 1) Penambangan timah illegal (TI) apung berdampak negatif bagi
lingkungan pesisir Tanjung Ular Kabupaten Bangka Barat, menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas air laut utamanya suhu, salinitas, kecerahan, dan
kecepatan arus yang kurang optimal bagi pertumbuhan terumbu karang sebagai
tempat hidup ikan; dan 2) Kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan
pendapatan nelayan ikan pelagis sebesar 24%, dan pendapatan nelayan ikan
demersal hampir mencapai 70% dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
931
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan: Kebijakan penghentian
kegiatan pertambangan timah di daerah yang berpengaruh besar terhadap
sumberdaya perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kondisi Terumbu Karang di Babel Memprihatinkan. http://www// kompascommunity. com/index.php. 5 September 2007.
Anonymous. 2009. Perairan Dikeruk, Nelayan Terimpit. Kompas. Sabtu 7 Maret
2009 Anna Suzy. 2003. Model Embeded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-
pencemaran. Disertasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana. IPB Fisher S. at al. 2000. Working with Conflict : Skills et Strategies for Action.
Bookcraft Midsomer Norton, Bath. UK. Lipton DW et al. 1995. Economic Valuation of Natural Resources: A Handbook for
Coastal Resources Policymakers. Decision Analysis Series No.5. Coastal Ocean Office. National Oceanic and Atmospheric Administration. U.S. Department of Commerce.
Sobari Moch Prihatna, Diniah dan Widiastuti. 2008. Kajian Model Bionomi
Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Pelabuhan Ratu: Makalah Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sobari Moch Prihatna dan Diniah. 2009. Kajian Bio-Ekonomi dan Investasi
Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Perairan Kepulauan Seribu. Padang. Jurnal Mangrove Bung Hatta (Siap Terbit)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
932
PERTAHANKAN PENDAPATAN PEKEBUN KARET DENGAN MENGENDALIKAN PENYAKIT KERING ALUR SADAP
Tri R Febbiyanti dan Lina Fatayati Syarifa
Balai Penelitian Sembawa Pusat Penelitian Karet
ABSTRAK
Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat pada tanaman karet adalah munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali. Kelainan fisiologis yang ditampakkan tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi pohon dan bidang sadap tampak sehat, yang seolah tanpa gangguan. kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,- per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp 14.585.000,- per hanca. Namun apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp 9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila menggunakan pisau scrapping) . Pengendalian KAS dapat melalui deteksi dengan menggunakan jarum tusuk, kemudian kulit yang terserang KAS dikerok sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok langsung dioles dengan menggunakan campuran senyawa oleokimia dan pohon diberikan pupuk ektra untuk mempercepat pemulihan. Penyadapan dapat dilaksanakan kembali setelah tumbuh kulit pulihan selama 1-1,5 tahun, dengan ketebalan minimal 7 mm.
Kata Kunci : Kering alur sadap, karet, analisa ekonomi
PENDAHULUAN
Karet merupakan komoditas ekspor yang sangat strategis bagi
perekonomian Indonesia. Luas perkebunan karet Indonesia pada tahun 2007
sekitar 3,4 juta hektar, 85% diantaranya dikelolah oleh rakyat dengan produksi
2,76 juta ton. Dari produksi tersebut menghasilkan devisa bagi Indonesia sebesar
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
933
US$ 4.868 juta dengan volume ekspor mencapai 2,4 juta ton (Amypalupy, 2009).
Karet juga berperan penting dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber
pendapatan lebih dari 10 juta petani dan memberikan kontribusi yang sangat
berarti dalam menyerap tenaga kerja (GAPKINDO, 2005).
Selain itu, perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan
sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan, dan berfungsi
sebagai pelestari lingkungan. Andalan perkebunan karet di Indonesia bertumpu
pada perkebunan rakyat, yang mencakup areal sekitar 83% (> 3 juta ha) dari total
areal perkebunan karet Indonesia (3,5 juta ha), dan memberikan kontribusi sekitar
76% (2,2 juta ton) dari total produksi karet alam nasional (2,8 juta ton) pada tahun
2008 (Tabel 1).
Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan karet seluruh Indonesia
Tahun dan jenis pengusahaan
Luas areal (Ha) Produksi (Ton) Rerata produksi (Kg/Ha)
Rakyat/smallholders 3.000.461 2.241.803 929
Negara/goverment 239.543 285.871 1.384
Swasta/Private 276.791 310.982 1.635
Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia (2007)
Pada saat ini, permintaan karet dunia terus meningkat, pada tahun 1999,
konsumsi karet alam di pasar dunia 6.650 juta ton, meningkat sampai 8.620 juta
ton pada 2005 (International Rubbeer Study Group, 2006). Sementara itu harga
karet fob SIR 20 juga meningkat dari US $ 510 per ton pada tahun 2001 menjadi
US $ 2.340 per ton pada Juni 2006 (Bisnis Indonesia, 2006-2006; International
Rubber Study Group, 2006; Gapkindo, 2006). Peningkatan konsumsi terutama
disebabkan oleh adanya permintaan dalam jumlah besar dari negara-negara
industri karet di pasar tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) dan
meningkatnya permintaan di pasar baru (China, India, Rusia dan Brasilia), tarikan
peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan kesejahteraan negara-negara di
dunia, dan peningkatan harga minyak bumi dan karet sintetis. Cina misalnya,
diperkirakan masih akan terus meningkatkan konsumsi karet alamnya menjadi
sebesar 4 juta ton per tahun pada tahun 2020 (Pakpahan, 2004; Sinung, 2007 ).
Prospek karet alam yang diperkirakan masih akan sangat terbuka ini
mengakibatkan harga karet meningkat secara drastis. Peningkatan ini
memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pekebun dan petani karet.
Keuntungan karet ini meningkatkan taraf hidup dan keinginan yang berlebih dari
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
934
petani. Selanjutnya, untuk memenuhi setiap keinginan tersebut, para petani
mengeksploitasi tanaman karet dengan melakukan penyadapan tidak sesuai
dengan norma yang ditentukan, tanpa memperhatikan kesehatan dan
kemampuan tanaman.
Penyadapan merupakan suatu tindakan membuka pembuluh lateks,
supaya lateks yang terdapat di dalam tanaman karet keluar. Cara penyadapan
adalah dengan mengiris kulit batang sebesar 2mm dengan kedalam 1 mm dari
kambium. Penyadapan yang terlalu berat mengakibatkan tanaman tidak mampu
untuk meregenerasi/mensintesis lateks. Selain itu, pemakaian kulit yang
berlebihan mengakibatkan pemulihan kulit bidang sadap tidak normal, yang
berdampak pada produksi dan fisiologis tanaman.
Dampak fisiologis yang muncul akibat penyadapan terlalu berat adalah
munculnya penyakit kering alur sadap (KAS). KAS adalah sebagai akibat tidak
seimbangnya antara lateks yang dipanen dengan lateks yang terbentuk kembali
(Jacob et al., 1994; Dian et al., 1995). Kelainan fisiologis yang ditampakkan
tanaman karet yang bergejala KAS ditandai dengan jumlah lateks yang mengalir
setelah penyadapan sangat sedikit atau tidak dihasilkan lateks sama sekali, tetapi
pohon dan bidang sadap tampak sehat, seolah tanpa gangguan. Bagian kulit
yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini
terbentuk gum (blendok) (Semangun, 2004)
Kasus KAS di perkebunan Indonesia mencapai 5 – 25 %, kerugian yang
disebabkan oleh penyakit ini lebih dari 1,7 trilyun pertahun (Siswanto, 1997). KAS
menjadi salah satu penyakit yang sangat penting di perkebunan karet Indonesia.
Banyak cara dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah
munculnya penyakit KAS. Pengendalian akan sangat efektif dan tepat sasaran jika
teknik pengendalian dilakukan secara terpadu baik preventif maupun kuratif.
Tulisan ini memberikan informasi mengenai kerugian ekonomi, teknik pengamatan
penyakit kering alur sadap di lapangan serta cara pengendaliannya.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KAS DI PERKEBUNAN RAKYAT
KAS adalah penyakit fisiologis akibat penyadapan yang terlalu berat,
apalagi jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks ethephon, klon
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
935
yang berproduksi tinggi, tanaman yang berasal dari seedling dan tanaman yang
sedang membentuk daun baru (Situmorang dan Budiman, 1984).
Penggunaan sistem eksploitasi yang berlebihan merupakan faktor utama
penyebab tingginya kejadian penyakit KAS. Eksploitasi berat ini terutama
disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi-budaya petani dalam pemenuhan
kebutuhan hidup.
Kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet dan
pengetahuan mengenai penyakit KAS, merupakan faktor yang menyebabkan
petani tidak memperhatikan kesehatan tanaman. Selanjutnya, kurangnya
kesadaran petani terhadap pentingnya pengendalian penyakit juga merupakan
penyebab tingginya kejadian penyakit KAS di lapangan. Selain itu, terbatasnya
pendapatan petani untuk melaksanakan pengendalian penyakit, juga
mempengaruhi tingginya kerugian ekonomi akibat penyakit KAS.
Tabel 2. Faktor sosial-ekonomi-budaya yang mempengaruhi perkembangan kekeringan alur sadap
No
Tingkat kerawanan penyakit
Tingkat kemajuan petani
Kondisi sosial-ekonomi- budaya
Dampak
kondisi sosial-ekonomi-budaya
1 Rawan Kurang maju 1. Sarana/penyuluh tidak tersedia PTP/Swasta/PPKR,
2. Pengetahuan kurang, 3. Kesadaran kurang 4. Pendapatan rendah
Penyadapan intensitas tinggi
Akibatnya Intensitas penyakit tinggi
2 Sedang Agak maju 1. Sarana/penyuluh kadang tersedia
2. Pengetahuan sedang 3. Kesadaran mulai ada 4. Pendapatan cukup
Penyadapan intensitas tinggi mulai dikurangi
Akibatnya Intensitas penyakit mulai berkurang
3 Ringan Maju 1. Sarana/penyuluh tersedia 2. Pengetahuan tinggi, 3. Kesadaran cukup 4. Pendapatan cukup-tinggi
Penyadapan sesuai dengan anjuran
Akibatnya Intensitas penyakit rendah
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
936
Pada kondisi seperti tersebut, peran kelembagaan yang terkait sangat diperlukan
untuk memberikan pengetahuan dan wawasan akan pentingnya penjagaan
kesehatan tanaman dan pelaksanaan sistem budidaya yang sesuai anjuran,
karena intensitas searangan KAS akan meningkat bersama-sama dengan
meningkatnya intensitas sadapan dan pemakaian stimulan yang tidak terkendali.
PENGENDALIAN PENYAKIT KAS
Sebaiknya KAS ditanggulangi secara terpadu baik secara preventif
maupun kuratif. Tindakan tersebut dapat meliputi mengetahui sifat klon, sistem
eksploitasi yang tepat, pemeliharaan tanaman dan pengobatan tanaman yang
sakit.
Mengetahui sifat klon sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya KAS.
Ada klon yang rentan terhadap KAS yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR
261 dan RRIC 100 dan ada klon yang tahan yaitu PB 237, PR 107 dan GT 1.
Terhadap klon yang rentan KAS tersebut dihindari sistem penyadapan berlebihan
(Situmorang dan Budiman, 2003).
Salah satu upaya yang sangat penting mencegah terjadinya KAS adalah
melakukan sistem eksploitasi yang tepat. Untuk klon berproduksi tinggi sebaiknya
digunakan sistem eksploitasi rendah misalnya ½ S d/3, ½ S d/2 atau ½ S d 3 ET
1.5 % Ga 1.0.9/y(m) sedang untuk klon berproduksi sedang digunakan sistem
ekploitasi tinggi misalnya ½ S d/3 ET 2.5% Ga 1.0.18/y/(2w) (Sumarmadji et al.,
2004). Pemakaian kulit diusahakan sehemat mungkin, penyadapan yang
memakai kulit secara berlebihan tidak akan menaikkan produksi, bahkan
memperkecil produksi secara kumulatif. Untuk masing-masing sistem sadap
ternayata ada jumlah konsumsi kulit yang optimal bagi produksi karet. Norma
baku pemakaian kulit secara umum bervariasi sesuai dengan frekuensi sadapan
(Tabel 2).
Di perkebunan karet rakyat dianjurkan ½ S d/2 tanpa penggunaan ethrel.
Penggunaan ethrel tidak dianjurkannya pada petani karet karena dikhawatirkan
penggunaannya dilakukan tidak sesuai atau berlebihan yang akan berakibat
tingginya kejadian KAS.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
937
Tabel 4. Pemakaian kullit yang terbaik sesuai dengan frekunsi sadap (sadap bawah)
Frekunsi sadap Pemakaian kulit
Per sadap (mm) Per bulan (cm) Per tahun (cm)
d/2 1,2 1,8 22
d/3 1,6 1,6 19
d/4 1,8 1,3 15
Sumber : Siagian et al. 2009
Bila terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang
dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai
10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2
menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan ethrel dikurangi atau dihentikan
untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur sadap
(Situmorang dan Budiman, 2003).
Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan gulma, pemupukan dan
pengendalian penyakit sesuai anjuran perlu dilakukan untuk mempertahankan
kondisi kesuburan tanaman. Pemeliharaan tanaman ini merupakan pendekatan
pengendalian KAS secara preventif.
Pengobatan tanaman dapat dilakukan dengan pengerokan (bark scraping)
pada pohon yang terserang KAS. Setelah pohon diindikasikan terkena KAS
melalui deteksi dini, penyebaran KAS ditentukan pada panel dengan
menggunakan jarum tusuk. Kulit yang terkena KAS diisolasi dengan mengerok
keliling sampai batas kambium. Kemudian panel yang kering dikerok. Pengerokan
kulit yang kering dilakukan sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan memakai
pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan perangsang
pertumbuhan kulit formulasi oleokimia sekali satu bulan dengan 3 ulangan. Balai
penelitian Sembawa telah menemukan formula untuk menyembukan penyakit kering
alur sadap yaitu Antico F 96. Formula ini mengandung Phytolipid Refinery Oil dan
fungisida terpilih 1,0 5 v/v dan Plant Growth Regulator 250 ppm. Antico F 96 ini juga
dapat mempercepat penyembuhan luka-luka kambium akibat kesalahan
penyadapan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
938
Pengobatan dengan cara ini pada pohon yang terserang KAS cukup efektif,
sehingga setelah satu tahun, pohon sudah dapat disadap dengan ketebalan kulit
7,0 – 7,8 mm dan produksi lateks 24 – 44 g/pohon/sadap (Siswanto et al. 2004).
ANALISIS EKONOMIS KERUGIAN DAN PENYEMBUHAN KAS PADA TANAMAN KARET
Pada tulisan ini, dihitung kerugian yang diakibatkan oleh KAS dan biaya
pengobatannya pada klon karet PB 260 yang disadap dengan sistem sadap 1/2S
d/2 dan 1/2S d/3. Asumsi berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang mana
produksi lateks yang dihasilkan dengan sistem sadap 1/2S d/2 adalah 26 g/p/s
dan dengan sistem sadap 1/2S d/3+ ET2,5% adalah 33 g/p/s (Sumarmadji, 2000
dalam Sumarmadji, et al., 2005).
Apabila diasumsikan bahwa konsumsi kulit sebesar 2 mm per kali sadap,
maka setiap sentimeter kulit pohon dapat menghasilkan: 5 x 26 g = 130 g karet
yang disadap dengan sistem 1/2S d/2 atau senilai (0,130 kg x Rp 35.000) = Rp
4.550,- dan akan menghasilkan : 5 x 33 g = 165 g karet yang disadap dengan
sistem 1/2S d/3 atau senilai ( 0,165 kg x Rp 35.000,-) = Rp 5.775,-. Rincian
perhitungan kerugian dan penyembuhan KAS pada tanaman karet dapat dilihat
pada Tabel 5.
Dari Tabel 5. terlihat bahwa kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS
adalah sebesar Rp 591.500,- per pohon atau sekitar Rp 23.660.000,- per hanca
untuk tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d2. Sedangkan untuk
tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang disebabkan
penyakit KAS adalah sebesar Rp 750.750,- per pohon atau Rp 30.030.000,- per
hanca.
Apabila tanaman yang terserang KAS tersebut diobati maka diperlukan biaya
sebesar Rp 19.554,- per pohon atau Rp 782.177,- per hanca (bila digunakan pisau
sadap manual). Sedangkan bila pengobatannya menggunakan pisau scrapping
hanya diperlukan biaya sebesar Rp 15.224,- per pohon atau Rp 608.973,-.per
hanca.
Tabel 5. Kerugian akibat penyakit KAS pada tanaman karet dan biaya penyembuhannya
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
939
Uraian Per pohon Per hanca
1/2S d/2 1/2S d/3 1/2S d/2 1/2S d/3 KERUGIAN AKIBAT KAS A. Produksi 1. Per kali sadap - Produksi (gram) 26 33 1,040 1,320 - Produksi (Kg) 0.026 0.033 1.040 1.320 2. Per panel - Produksi (Kg) 17 21 676 858 B. Harga karet (Rp) 35,000 C. Kerugian 1. Per kali sadap - Rp/Kg 910 1,155 36,400 46,200 2. Per panel - Rp/Kg 591,500 750,750 23,660,000 30,030,000 BIAYA PENYEMBUHAN Pisau Sadap Manual A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 6,186 6,186 247,433 247,433 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 19,554 782,177 782,177 Pisau scrapping A. Tenaga Kerja 1. Bark scrapping (Rp) 1,856 1,856 74,230 74,230 2. Pengolesan (Rp) 619 619 24,743 24,743 B. Bahan Antico-F96 (Rp) 12,750 12,750 510,000 510,000 Total Biaya (Rp) 15,224 15,224 608,973 608,973 KERUGIAN YANG DISELAMATKAN Dengan Pisau Sadap (Rp) 571,946 731,196 19,446,150 24,860,650 Dengan Pisau Scrapping (Rp) 576,276 735,526 19,593,373 25,007,873
Asumsi :
1 hanca : 400 pohon Tingkat serangan KAS = 10 %
1 panel : 130 cm (konsumsi kulit 2 mm /kali sadap) = 650 kali sadap Harga karet : Rp 35.000,-/Kg (harga karet kering di tingkat pabrik per November 2010) Tenaga kerja bark scrapping apabila menggunakan : - pisau sadap secara manual : 1 HOK = 6 pohon - pisau scrapping : 1 HOK = 20 pohon Tenaga kerja aplikasi bahan : 1 HOK = 60 pohon Upah tenaga kerja adalah Rp 37.115,- per HOK (UMR tahun 2010) Harga bahan Antico-F 96 adalah Rp 85.000,- per liter (dosis pengobatan = 150 ml per 3 kali aplikasi)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
940
Namun dengan pengobatan menggunakan Antico F-96 tersebut pada sistem
sadap 1/2S d/2, besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp
571.946,-per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam
satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah
sebesar Rp 19.446.150,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp
576.276,- per pohon dan Rp 19.593.373,- per hanca (menggunakan pisau
scrapping). Sedangkan pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian
yang bisa diselamatkan dengan menggunakan Antico F96 adalah sebesar Rp
731.196,- per pohon atau bila diasumsikan dalam tingkat kesembuhan KAS dalam
satu hamparan sebesar 85% maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah
sebesar Rp 24.860.650,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap manual) dan
Rp 735.526,- per pohon atau Rp 25.007.873,- per hanca (bila menggunakan pisau
scrapping) .
Dengan menggunakan pisau sadap untuk bark scrappingnya, maka biaya
dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan dengan cara
menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa
pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu
sepanjang 4,3 cm (Rp 19.554/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,5
bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 3,4 cm (Rp
19.554/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,7 bulan penyadapan
(pada sistem sadap1/2S d/3). Dengan demikian jika panjang panel KAS yang
diobati sekitar 130 cm per pohon, maka sekitar 125 cm panjang panel per pohon
(pada 1/2S d/2) dan 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan
keuntungan yang bisa diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.
Apabila menggunakan pisau sadap scrapping untuk bark scrappingnya,
maka biaya dari pengobatan KAS per pohon tersebut sudah dapat dikembalikan
dengan cara menyadap pindah panel ke panel sadap yang masih normal (tanpa
pengistirahatan pohon) dimulai 3 bulan setelah aplikasi Antico-F96 ke-1, yaitu
sepanjang 3,3 cm (Rp 15.224,-/Rp 4.550,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1
bulan penyadapan (pada sistem sadap 1/2S d/2) dan sepanjang 2,6 cm (Rp
15.224,-/Rp 5.775,- x 1 cm) atau penyadapan selama 1,3 bulan penyadapan
(pada sistem sadap1/2S d/3).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
941
Hal ini berarti jika panjang panel KAS yang diobati sekitar 130 cm per pohon,
maka sekitar 126 cm panjang panel per pohon (pada 1/2S d/2) dan 127 cm
panjang panel per pohon (pada 1/2S d/3) merupakan keuntungan yang bisa
diselamatkan dibandingkan jika pohon tidak diobati.
PENUTUP
Penyakit kering alur sadap (KAS) merupakan penyakit penting di perkebunan
karet Indonesia.
Pengobatan tanaman KAS dapat dilakukan dengan pengerokan (bark
scraping) sedalam 3-4 mm kambium dan segera dilakukan pengolesan
dengan menggunakan Antico F96.
kerugian yang diakibatkan oleh penyakit KAS adalah sebesar Rp 287.300,-
per pohon atau sekitar Rp 11.492.000,- per hanca untuk tanaman karet
yang disadap dengan sistem 1/2S d2.
Pada tanaman karet yang disadap dengan sistem 1/2S d/3 kerugian yang
disebabkan penyakit KAS adalah sebesar Rp 364.650,- per pohon atau Rp
14.585.000,- per hanca.
Apabila tanaman KAS tersebut diobati pada sistem sadap 1/2S d/2,
besarnya kerugian yang bisa diselamatkan adalah senilai Rp 267.746,-per
pohon maka kerugian yang bisa diselamatkan adalah sebesar Rp
9.103.350,- per hanca (menggunakan pisau sadap manual) dan Rp
272.076,- per pohon dan Rp 9.250.573,- per hanca (menggunakan pisau
scrapping).
Pada sistem sadap sadap 1/2S d/3, besarnya kerugian yang bisa
diselamatkan apabila KAS diobati adalah sebesar Rp 345.096,- per pohon
atau sebesar Rp 11.733.250,- per hanca (bila menggunakan pisau sadap
manual) dan Rp 349.426,- per pohon atau Rp 11.880.473,- per hanca (bila
menggunakan pisau scrapping) .
DAFTAR PUSTAKA
Amypalupy, 2007. 100 Langka Bijak Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa-Pusat Penelitian Karet. Palembang.
Basuki. 1982. Penyakit dan gangguan pada tanaman karet. Pusat Penelitain dan
Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Tanjung Morawa. 125 hal.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
942
Budiman, A. 2001. Penanggulangan gejala mati kulit pada tanaman karet di perkebunan rakyat Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.
Dian, K., Sangare A., Diopoh J.K., 1995. Evidence for specific variations of protein pattern during tapping panel dryness condition development in Hevea brasiliensis. Plant Science, 105 : 207 - 216.
Gomez J.B., Hamzah S., Ghandimathi H., & Ho L.H., 1990. The brown bast syndrome of Hevea : Part II. Histological observations. J. Nat. Rubb. Res., 5 (2) : 90 - 101.
Jacob, J.L., J.C. Prevot & R. Lacrotte (1994). L'encoche seche chez Hevea brasilienis Plantations, recherche, developpement, CIRAD FRANCE, 15 - 21.
. Husairis, K., Sitompul, J., Ginting K., Gunawan, Sipayung, T.V dan Siswanto.
1999. dampak pemulihan bidang sadap terserang KAS dengan aplikasi NoBB di PT. Perkebunan Nusantara III. Pros. Pertemuan. Teknis Biotek. Perkebunan untuk praktek, Bogor 5-6 Mei 1999, 19 – 30.
PT. Perkebunan Nusantara VII. 1994. Vademecum budidaya kelapa sawit dan
karet. PTPN VII. Bandar Lampung Revli, N.R. 2004. Pertambahan tebal kulit pulihan dan produksi beberapa klon
karet (Hevea brasiliensis Muell.Agr) anjuran yang bergejala kering alur sadap setelah perlakuan formulasi oleokimia. Fakultas pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya.
Siswanto. Sumarmadji dan Aron Situmorang. 2004. Status pengendalian
penyakit kering alur sadap tanaman karet. Prosiding Pertemuan Teknis ‖Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Indistri Perkaretan Indonesia Tahun 2020. Palembang, 6-7 Oktober 2004.87-96
Situmorang A dan Budiman A. 2003. Penyakit tanaman karet dan pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet.
Soepadmo. 1980. Suatu pemikiran tentang pengendalian penyakit daun pada tanaman karet. BPP Bogor. Menara Perkebunan. Bogor. 48 (5): 147-154
Sumarmadji. 2001. Pengendalian kering alur sadap dan nekrosis pada kulit tanaman karet. Warta Pusat Penelitian Karet, 2001, 20 (1-3) : 76 - 88
Sumarmadji, U. Junaidi, Karyudi, T.H.S. Siregar, and Island Boerhendhy. 2004.
Rubber exploiation system for Indonesia recommended clones based latex diagnosis. Proc. Int. Rubber Conf. and Product Exhibition 2004, 184-196.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
943
PENDAPATAN USAHATANI DAN KEMAKMURAN: TERKAITKAH SECARA FUNGSIONAL?
Muhammad Yazid
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Zone E, Kampus Unsri Indralaya,
Jalan Palembang-Prabumulih, Indralaya
ABSTRAK
Walaupun kenaikan produksi pertanian terus berlanjut, pendapatan petani masih tergolong rendah. Hal ini diduga terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan sektor non-pertanian. Sehingga kemakmuran rumah tangga petani masih tertinggal dibandingkan rumah tangga non-pertanian. Kemakmuran rumah tangga petani diharapkan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi. Pada pertanian pasang surut, keterkaitan antara kemakmuran dan produksi pertanian penting dipahami mengingat pertanian adalah satu-satunya pencaharian bagi sebagian besar rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini mencoba menjelaskan keterkaitan peningkatan pendapatan usahatani dengan kemakmuran keluarga petani di pertanian pasang surut. Kajian ini dilakukan melalui survei pada wilayah pertanian pasang surut Telang yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Sampel kajian meliputi 500 keluarga tani. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa indikator kemakmuran petani seperti kualitas rumah (lantai, dinding dan atap) terkait dengan tingkat pendapatan usahatani. Selain itu, rumah tangga petani yang berpendapatan usahatani lebih tinggi cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber air bersih dan memiliki fasilitas pembuangan. Pengujian satistik membuktikan bahwa pendapatan usahatani dan kemakmuran rumah tangga petani di lahan pasang surut terkait secara signifikan. Kata kunci: pendapatan usahatani, kemakmuran, pasang surut
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran
ekonomi dan sosial petani. Di satu sisi, peningkatan kemakmuran tersebut
hendak dicapai melalui peningkatan produksi dan perbaikan nilai tukar produk
pertanian. Disisi lain, peningkatan tersebut akan membuka akses yang lebih baik
terhadap perumahan, pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Namun status
ekonomi petani masih jauh di bawah mata pencaharian lainnya. Tidak hanya
pendapatan perkapita petani yang rendah, tetapi pertumbuhan pendapatan sektor
pertanian juga relatif rendah daripada sektor lainnya.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
944
Usahatani di lahan pasang surut dipandang kurang produktif dibandingkan
dengan usahatani di lahan beririgasi baik di dataran rendah ataupun di dataran
tinggi (Simatupang and Rusastra, 2003). Hal ini disebabkan tidak hanya oleh
faktor fisik lahan, tetapi juga aspek agro-klimat yang mengakibatkan usahatani di
lahan pasang surut menghadapi lebih banyak kendala daripada lahan beririgasi di
dataran rendah atau tinggi. Mayoritas lahan pertanian di wilayah pasang surut
hanya dapat ditanami tanaman pangan semusim sekali dalam setahun, yaitu pada
musim penghujan. Pada musim penghujan, kebutuhan air tanaman dapat
dipenuhi oleh air hujan. Pada beberapa lokasi di pasang surut, musim tanam
kedua dapat dilakukan segera setelah panen musim pertama dengan
memanfaatkan curah hujan yang mulai menurun dan dicukupi oleh sistem irigasi
pasang surut. Namun, pola tanam di lahan pasang surut tetap terbatas dan
produktivitasnya pun masih lebih rendah dibandingkan dengan lahan irigasi.
Memahami kendala-kendala di atas, patut dipertanyakan bagaimanakah
pendapatan usahatani di lahan pasang surut dapat mendukung upaya petani
untuk mensejahteraan petani dan keluarganya. Karena itu kajian ini mencoba
menafsirkan kondisi pendapatan usahatani petani dengan beberapa indikator
kesejahteraan ekonomi keluarga petani yang teramati saat ini.
PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN PASANG SURUT
Indonesia memiliki lahan rawa (lowlands) yang luasnya diperkirakan 33,4
juta ha. Lahan rawa yang luas dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua. Dari 33,4 juta ha tersebut, sekitar 60 persen (20,1 juta ha) merupakan
lahan pasang surut (Direktorat Rawa dan Pantai, 2007). Sifat alamiah lahan rawa,
di antaranya kondisi tanah yang fragile, water-logging, tergenang periodik hingga
permanen, dan nilainya terhadap lingkungan, menyebabkan lahan rawa tidak
direkomendasikan untuk pembangunan. Namun, karena pengaruh pasang surut
air yang melimpahkan hara, lahan rawa dinilai sebagai salah satu sumberdaya
lahan yang terbaik untuk pertanian (Ali, Suryadi, Schultz, 2002). Pengembangan
pertanian ke lahan rawa menjadi pilihan karena konversi lahan beririgasi untuk
kebutuhan non-pertanian. Sehingga, pengembangan lahan pasang surut untuk
aktivitas pertanian sebagai pilihan untuk mengatasi tekanan konversi lahan di
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
945
Jawa dan Bali sekaligus mencapai tingkat produksi beras yang cukup haruslah
direncanakan dan dikelola dengan tepat dengan memperhatikan semua alternatif.
Ini bermakna bahwa pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian haruslah
memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat, dampaknya
terhadap lingkungan dan terakomodasinya pembangunan berkelanjutan (Schultz,
2007). Kata kunci untuk mencapainya adalah pengelolaan air yang tepat
(agricultural water management).
Pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian dilaksanakan melalui
proses reklamasi. Reklamasi lahan pasang surut di Indonesia telah mencapai
luasan 1,8 juta ha. Seluas 692.000 ha terdapat di Sumatra dan 373.000 ha di
antaranya berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan. Walaupun wilayah yang telah
direklamasi luas, pemanfaatannya untuk kegiatan produksi pertanian masih
rendah. Saat ini hanya sekitar 30 persen lahan yang cocok untuk padi dapat
berproduksi di atas 5 ton per ha. Selain itu, haya sekitar 10 persen saja lahan
yang dapat ditanami dua hingga tiga kali per tahun (IP 200 – 300). Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman petani terhadap karakteristik agro-fisika
dan kimia lahan rawa dan terbatasnya penerapan sistem pengelolaan air.
Tujuan utama pengembangan lahan pasang surut di Indonesia bersumber
dari tujuan ganda untuk mendukung program transmigrasi dan meningkatkan
produksi pangan untuk mengimbangi berkurangnya produksi akibat konversi lahan
di Jawa yang mencapai 40.000 hingga 50.000 ha setiap tahun. Untuk
mempertahankan tingkat produksi pangan, sekurang-kurangnya setiap ha lahan
beririgasi yang dikonversi harus digantikan dengan 3 ha lahan kering atau sawah
pasang surut.
Tujuan untuk meningkatkan produksi pangan kembali menjadi prioritas
sejak kering berkepanjangan yang berlangsung pada tahun 1991, 1994, dan 1997
yang berdampak kepada peningkatan impor beras hingga 4,5 juta ton per tahun
pada tahun-tahun tersebut. Tujuan peningkatan produksi pangan dengan
mendorong kenaikan produktivitas telah diadopsi menjadi tujuan pengembangan
pertanian pasang surut yang sebelumnya terfokus kepada mendukung program
transmigrasi. Dengan demikian, arah selanjutnya dalam pengembangan pertanian
pasang surut adalah meningkatkan kapasitas produksi dengan mengakomodasi
perkembangan teknologi seperti penggunaan varietas unggul atau high yielding
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
946
varieties (HYVs), pupuk, pengendali hama dan penyakit, peralatan pertanian, dan
perbaikan pengelolaan air.
METODOLOGI
Penelitian survei ini dilakukan di daerah persawahan pasang surut Telang
yang merupakan salah satu sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Telang
secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Muara Telang, Kabupaten
Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Telang dipilih sebagai daerah penelitian
karena merupakan salah satu wilayah reklamasi pasang surut yang paling
produktif yang didukung oleh sistem pengelolaan air yang berkembang.
Sampel survei sebanyak 500 keluarga petani dipilih secara acak dari
sekitar 10.000 keluarga petani dilokasi studi yang meliputi 12 blok sekunder
seluas sekitar 3.072 ha. Data dikumpulkan melalui observasi rumah tangga dan
usahatani serta wawancara terstruktur kepada petani sampel.
Data hasil observasi dan wawancara dianalisis secara deskriptif. Tabel
frekuensi dan tabel silang (cross-tabulation) digunakan untuk menyajikan hasil
analisis karena dipandang cukup untuk menampilkan data deskriptif (Norusis,
2006). Untuk melihat hubungan antara variabel pendapatan dan variabel indikator
kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani, dilakukan uji χ2 (kai kuadrat).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi, Produktivitas dan Pendapatan Usahatani di Lahan Pasang Surut
Produksi adalah hasil dari kegiatan penggunaan beberapa masukan (input)
usahatani seperti benih, pupuk, bahan kimia pertanian, dan tenaga kerja. Jumlah
produksi tergantung kepada luas lahan yang diusahakan sehingga antar petani
terdapat perbedaan jumlah produksi yang disebabkan oleh perbedaan luas lahan
yang dimiliki dan diusahakan. Agar dapat dibandingkan, pengukuran produksi
dilakukan menggunakan produktivitas. Ukuran produktivitas independen terhadap
penggunaan input dan menggunakan satuan unit lahan sebagai referensi.
Produktivitas dalam studi ini dinyatakan dengan jumlah produksi per ha lahan
yang diusahakan.
Hasil analisis data produksi yang diperoleh dari 500 petani sampel
menunjukkan bahwa produksi bervariasi dari serendah 1,5 ton hingga setinggi
79,2 ton padi kering panen (on-farm dried paddy). Tingginya variasi angka
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
947
produksi ini disebabkan oleh variasi dalam luas lahan yang diusahakan, yaitu dari
seluas hanya 0,25 ha hingga seluas 12 ha. Produksi rerata adalah 9,75 ton ± 5,70
ton dan luas tanam rerata 1,84 ha ± 0,99 ha. Produktivitas rerata di antara petani
sampel mencapai 5, 35 ton ± 0,88 ton.
Menggunakan harga di tingkat pasar lokal, yaitu Rp 2.100 per kg gabah
kering panen, rerata penerimaan untuk setiap ha sawah adalah Rp 11.235.000.
Dengan rerata biaya per ha sebesar Rp 4.958.460, pendapatan dari usahatani
padi adalah Rp 6.276.540 per ha. Jika diasumsikan rerata lahan usahatani yang
diusahakan per keluarga adalah 2 ha dan hanya sekali tanam dalam setahun
sebagaimana dilakukan mayoritas petani di pasang surut karena kendala agro-
klimat, maka pendapatan total per keluarga tani per tahun adalah sebesar Rp
12.553.080. Nilai pendapatan inilah yang digunakan untuk semua jenis
pengeluaran konsumsi keluarga dan jika memungkinkan diinvestasikan dalam
berbagai bentuk untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga tani, misalnya
perbaikan rumah (lantai, dinding, atap), pembangunan fasilitas rumah (toilet,
pembuangan air), pengadaan listrik, dan lain-lain.
Kesejahteraan Petani
Perubahan kehidupan suatu masyarakat dapat diamati secara material
melalui keadaan rumah dan kelengkapan fasilitasnya, khususnya fasilitas yang
diperlukan untuk mendorong kualitas hidup masyarakat. Keadaan fisik rumah
responden dapat diamati dari aspek-aspek berikut: jenis lantai, dinding dan bahan
atap rumah. Sedangkan kualitas hidup dapat dilihat dari akses rumah tangga
terhadap fasilitas listrik, air bersih, tersedianya toilet pada setiap rumah, dan
sistem pembuangan limbah. Keadaan fisik rumah responden disajikan pada
Tabel 1.
Tipe bangunan rumah paling nampak mengalami perubahan, yaitu dari
rumah asal berupa rumah panggung berbahan papan (elevated temporary
wooden houses) menjadi rumah depok (earthed brick houses). Lantai rumah yang
baru lebih luas daripada rumah asal. Beberapa rumah depok bahkan didesain
mengikuti perkembangan yang berlaku di kawasan perumahan di perkotaan.
Lantai rumah pada umumnya berupa lantai semen, sebagian diantaranya sudah
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
948
dilapisi keramik. Rumah panggung yang telah diperbaiki hanya tinggal sekitar 2
persen saja.
Bahan dinding rumah pada umumnya semen dan hanya sebagian masih
berdinding papan. Persentase rumah berdinding papan lebih tinggi daripada
rumah berlantai papan. Hal ini menunjukkan ada tahapan perubahan dari rumah
panggung berbahan papan menjadi rumah depok berdinding papan sebelum
menjadi sepenuhnya rumah depok, yaitu rumah yang berdinding dan berlantai
semen atau keramik.
Atap rumah terbanyak berupa genting, diikuti oleh seng dan hanya
sebagian kecil saja yang masih berupa atap daun nipah (thatch-palm leaves).
Atap daun nipah adalah tipikal atap rumah panggung sederhana di lokasi studi.
Wujud fisik rumah sering merupakan simbol status dalam masyarakat.
Berdasarkan wujud fisik rumah tampak bukti bahwa telah terjadi perubahan status
ekonomi yang signifikan pada masyarakat di wilayah studi. Perubahan status
ekonomi masyarakat tersebut bersumber dari hasil kegiatan pertanian yang
merupakan pencaharian pokok.
Tabel 1. Proporsi kondisi rumah responden
Kondisi rumah Frekuensi Persentase Persentase kumulatif
Jenis lantai:
Tanah 58 11.6 11.6 Papan 12 2.4 14.1 Semen 354 71.1 85.1 Keramik 74 14.9 100.0
Total 498 100.0
Bahan dinding: Papan 126 25.3 25.3 Semen 372 74.7 100.0
Total 498 100.0
Jenis atap: Daun nipah 5 1.0 1.0 Seng 68 13.7 14.7 Genteng 424 85.3 100.0
Total 497 100.0
Pengamatan ke dalam isi rumah menunjukkan lebih dalam mengenai
kualitas kehidupan rumah tangga responden. Lebih dari 90 persen rumah
responden telah memiliki akses listrik seperti tampak pada Tabel 2. Listrik pada
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
949
umumnya digunakan untuk menyalakan lampu dan beberapa peralatan berdaya
listrik seperti televisi, radio, dan kipas angin.
Sumber utama air minum rumah tangga responden adalah air hujan, diikuti
oleh air dalam kemasan, bersama-sama persentasenya mencapai lebih 95 persen
dari sumber air minum rumah tangga responden. Hampir semua rumah di wilayah
studi memiliki penampung air hujan (rain water collector) dengan rerata kapasitas
tampung 2 m3. Penampung air hujan ini sebagian disuplai melalui program yang
disponsori pemerintah dan sebagian lagi dibuat oleh masyarakat sendiri. Pada
musim hujan, sebagian besar kebutuhan air minum masyarakat dapat dicukupi
dari penampung air hujan. Sedangkan pada masa curah hujan berkurang dan
stok air hujan dalam penampung menurun, kebutuhan air minum dipenuhi dengan
membeli air minum dalam kemasan. Namun, masih ada sebagian kecil rumah
tangga responden yang mengkonsumsi air saluran dan sumur. Kedua sumber air
ini dinilai tidak aman bukan saja karena kurang bersih, tetapi juga dicurigai
terkontaminasi bahan berbahaya yang digunakan untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman yang terbawa aliran sampai ke saluran.
Tabel 2. Proporsi beberapa aspek kualitas hidup responden
Aspek kualitas Frekuensi Persentase Persentase kumulatif
Listrik:
Tidak tersambung 43 8.6 8.6 Tersambung 456 91.4 100.0
Total 499 100.0
Sumber air minum: Sungai dan saluran 1 .2 .2 Sumur 14 2.8 3.0 Hujan 365 73.3 76.3 Air dalam kemasan 118 23.7 100.0
Total 498 100.0
Toilet: Tanpa septic tank 134 27.0 27.0 Dengan septic tank 363 73.0 100.0
Total 497 100.0
Saluran pembuangan: Tiada 37 7.5 7.5 Ada 458 92.5 100.0
Total 495 100.0
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
950
Fasilitas lainnya yang terdapat di dalam rumah yang dapat menunjukkan
kualitas hidup rumah tangga adalah ketersediaan toilet. Sekalipun rumah telah
diperbaiki, masih banyak rumah yang toiletnya tidak dilengkapi dengan tangki
penampung kotoran (septic tank). Selain itu, ada sebagian kecil rumah yang
tidak memiliki fasilitas pembuangan air kotor.
Pendapatan Usahatani dan Kesejahteraan Fisik
Bagi rumah tangga petani, pendapatan dari usahatani pertama kali
digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan dasar. Jika berlebih, kelebihan
pendapatan digunakan untuk berbagai pengeluaran yang dapat dikategorikan
sebagai investasi sesuai kebutuhan rumah tangga, khususnya untuk menambah
modal (lahan pertanian, alat dan mesin pertanian) dan untuk memperbaiki rumah
dan melengkapi fasilitas dalam rumah. Dengan demikian, surplus pendapatan
usahatani terefleksi pada kondisi rumah yang lebih baik yang menggambarkan
kesejahteraan fisik yang lebih tinggi. Analisis berikut menunjukkan bagaimana
perbedaan pendapatan usahatani terkait dengan perbedaan pencapaian beberapa
indikator kesejahteraan fisik rumah tangga (Tabel 3).
Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan usahatani yang lebih tinggi
secara signifikan berkorelasi dengan lantai, dinding dan atap rumah yang lebih
berkualitas. Semakin tinggi pendapatan usahatani, semakin tinggi persentase
rumah tangga petani yang memiliki lantai semen atau keramik, semakin tinggi
persentase dengan dinding batu, dan semakin tinggi persentase atap genting.
Pendapatan usahatani yang tinggi juga berkaitan dengan fasilitas rumah
tangga yang lebih baik dan lebih sehat seperti sumber air minum, fasilitas toilet,
dan ketersediaan saluran pembuangan. Peningkatan pendapatan diikuti oleh
peningkatan penggunaan air minum dalam kemasan. Namun, sebagian kecil
rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah masih mengkonsumsi air
sungai, saluran atau kolam, sedangkan rumah tangga berpendapatan tinggi tak
satupun yang menggunakannya. Akses terhadap listrik tidak menunjukkan
perbedaan antara rumah tangga berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.
Hal ini disebabkan listrik disuplai oleh pemerintah sehingga setiap rumah tangga
tanpa membedakan pendapatannya tersambung kepada fasilitas ini.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
951
Tabel 3. Tabulasi silang hubungan pendapatan usahatani dengan beberapa ukuran kesejahteraan fisik
Ukuran kesejahteraan Tingkat pendapatan
SigΧ2a Rendah Menengah Tinggi
Jenis lantai: 1. Tanah 2. Semen 3. Keramik
19.4 69.7 10.9
15.1 71.7 13.3
7.8
71.7 20.5
13.626**
Jenisdinding: 1. Papan 2. Semen
32.7 67.3
28.3 71.7
15.1 84.9
14.803**
Jenis atap: 1. Daun nipah 2. Seng 3. Genting
1.2
23.0 75.8
0.6
10.9 88.5
1.2 7.2
91.6
19.604**
Listrik: 1. Tidak
tersambung 2. Tersambung
5.4
94.6
10.8 89.2
9.6
90.4
3.411
Sumber air minum: 1. Sungai, saluran 2. Hujan 3. Air dalam
kemasan
6.1
75.8 18.2
3.0
74.1 22.9
0.0
69.9 30.1
15.530**
Toilet: 1. Tiada septic tank 2. Ada septic tank
26.1 73.9
27.7 72.3
26.7 73.3
0.118
Saluran pembuangan: 1. Tiada 2. Ada
9.1
90.9
10.3 89.7
3.0
97.0
7.163**
aSignifikansi dari Pearson Chi-square
KESIMPULAN
Dari temuan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
1. Pendapatan usahatani bervariasi mengikuti variasi dalam produksi
pertanian yang disebabkan adanya variasi dalam luas pemilikan lahan.
Petani yang menguasai dan menanam lebih luas memperoleh total
produksi yang lebih tinggi daripada petani yang menguasai dan menanam
lebih sedikit. Sehingga, pendapatan usahatani diantara mereka juga
berbeda.
2. Rumah tangga yang berpendapatan usahatani tinggi cenderung mencapai
kesejahteraan fisik yang lebih tinggi pula. Mereka cenderung memiliki
rumah dengan kondisi lebih baik, fasilitas rumah tangga lebih baik, dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
952
menggunakan sumber air minum yang lebih sehat. Dengan kata lain,
peningkatan pendapatan usahatani telah digunakan oleh rumah tangga
responden untuk memperbaiki kesejahteraan hidup fisik keluarga.
3. Upaya terus menerus untuk meningkatkan pendapatan usahatani melalui
peningkatan produktivitas usahatani akan meningkatkan kesejahteraan fisik
rumah tangga petani di wilayah pasang surut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Md. L., F.X. Suryadi, B. Schultz. (2002). Water Management Objectives and Their Realization in Tidal Lowland Areas in Bangladesh and Indonesia. In Proceeding of the International Workshop on Sustainable Development of Tidal Areas. 18th Congress and 53rd IEC Meeting of the International Commission on Irrigation and Drainage. Montreal, Canada, July 22, 2002.
Direktorat Rawa dan Pantai. (2007). Distribusi Lahan Rawa di Indonesia.
Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Kasryno, F. et al. (Eds.). (2003). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. LWMTL. (2006). Technical Guidelines on Tidal Lowland Development Volume I:
General Aspects. Report of the Joint Indonesia – Netherlands Working Group. Jakarta, Indonesia.
Norusis, M. J. (2006). SPSS 15.0 Statistical Procedures Companion. Upper
Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Schultz, B. (2007). Development of Tidal Lowlands Potentials and Constraints of
the Tidal Lowlands of Indonesia. Paper disajikan pada Kuliah Umum di Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, 30 Juni 2007.
Simatupang, P. and I. W. Rusastra. (2003). Kebijakan Pembangunan Sistem
Agribisnis Padi. In Kasryno, F. et al. (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
953
ANALISIS PENGGUNAAN FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT
The Analysis Factor of Production and Revenue in Rice Farming in Tidal
Swamp Land
Nasir
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang, Jl.
Kapten Marzuki No. 2446 Kamboja palembang
ABSTRACT The Analysis of Use Production factor and Income of Rice Farming in Lawland (Case in the village of Muara Telang Telang Rejo Sub District Banyuasin) by Nasir. The Study aims to: Analyze the relationship of input use with the production of rice farming, Measuring the efficiency of input use of rice farming, and count the rice farm income tidal wetlands. The experiment was conducted in the village of Muara Telang Telang Rejo district Banyuasin District. The method used in this research is the case with simple random sampling method on the respondent farmers who seek rice farming, while the methods used in data analysis to determine the effect of production factors on the production used regression analysis on the Cobb-Douglas equation, determining the efficiency of factor production efficiency measure used to calculate the level of prices and rates of return using the formula R / C ratio. The results showed that the production factors of land, seed, fertilizer and labor significantly influence on the production while the other production factors, namely: KCl and SP-36 as well as the use of herbicides and insecticides no significant effect on production. Judging from the level of efficiency, the use of all factors of production (land, seed, fertilizer (urea, SP-36 and KCl), pesticides (insecticides and herbicides) and an outpouring of all is not yet efficient workforce.) The number of average farm income of Rp. 4,799,222.20 / hectare, with the ratio of farm revenue at the expense of 2.1 means that every Rp1,- issued will generate revenue of Rp. 2.1, - Keywords: factors of production, efficiency and revenue.
PENDAHULUAN
Latar Belakang. Padi merupakan komoditi penting yang memiliki peran yang
sangat penting yaitu sebagai barang ekonomi yang dikaitkan dengan fungsinya
sebagai penghasil beras yang merupakan bahan pangan pokok, dan merupakan
komoditi strategis yang kadangkala dapat mempengaruhi kondisi politik suatu
Negara. Di Indonesia, dominasi beras atas pangan lainnya, tercermin dari 50%
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
954
total konsumsi pangan nasional dan 96% penduduk Indonesia menjadikan beras
sebagai pangan pokok ketimbang sumber pangan lainnya. Pentingnya komoditi
ini juga terlihat dari tingginya tingkat konsumsi komoditi ini yang mencapai 133
kg/kapita/tahun dan jauh di atas tingkat konsumsi pangan lain (Simatupang,
1999).
Tingginya kebutuhan komoditi ini dimasa mendatang akan terus berlanjut
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk apalagi saat ini belum ada komoditi
lain yang mampu menggeser keberadaan beras sebagai pangan pokok. Untuk
memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat maka upaya peningkatan
produksi yang dipacu melalui peningkatan produktivitas dengan mendayagunakan
sumberdaya di berbagai wilayah yang berpotensi untuk pengembangan komoditi
tersebut.
Sumatera Selatan merupakan salah satu sentra pengembangan usahatani
padi di Indonesia. Berdasarkan hasil survey pertanian, produksi padi di Sumatera
Selatan tahun 2008 mencapai 2,97 juta ton GKG, bertambah sebesar 2.181,24
ribu ton (7,93%) dibandingkan tahun 2007. Ditinjau wilayah pengusahaannya,
untuk tahun 2008 kabupaten yang memiliki produksi tertinggi adalah kabupaten
Banyuasin (746,55 ribu ton), Ogan Komering Ilir (789,81 ribu ton) dan OKU Timur
(234,45 ribu ton), (BPS Sumsel, 2009).
Berdasarkan data tersebut, Kabupaten Banyuasin merupakan sentra
penghasil padi di Sumatera Selatan. Beberapa faktor yang menyebabkan
kabupaten ini menjadi sentra beras antara lain karena memiliki lahan yang cukup
luas, berupa lahan pasang surut yang potensial untuk pengembangan tanaman
padi. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Banyuasin (2007), luas lahan yang sudah direklamasi seluas 362.000 hektar. Dari
luasan tersebut yang baru ditanami seluas 153.000 hektar dan dari jumlah
tersebut yang baru dapat ditanami dua kali setahun baru 5.000 hektar yang telah
dapat ditanami dua kali setahun sedangkan sisanya masih ditanami satu kali
setahun, yang sebagian besar berupa lahan pasang surut.
Meskipun dikenal sebagai daerah yang berpotensi untuk pengembangan
usahatani padi, tetapi ternyata produktivitas usahatani di daerah ini masih lebih
rendah. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas
lahan di daerah ini adalah karena kondisi lahan yang marjinal dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
955
produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas juga disebabkan karena
penggunaan sumberdaya berupa sarana produksi yang masih rendah, Padahal
upaya peningkatan produktivitas usahatani padi dapat dipacu dengan penggunaan
sarana produksi secara optimal, antara lain menurut Suharno et al., (2000) dapat
dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan, waktu tanam
yang tepat dan pengendalian jasad pengganggu, dan penggunaan varietas
unggul.
Langkah awal untuk memacu peningkatan produktivitas lahan adalah
dengan cara mengetahui faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap
peningkatan produksi dengan cara melakukan analisis terhadap tingkat efisiensi
penggunaan faktor produksi. Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik
melakukan penelitian ―Analisis Penggunaan Faktor Produksi dan Pendapatan
Usahatani Padi pada Lahan Rawa Pasang Surut‖ penelitian ini dilaksanakan di di
Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Melalui
penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh penggunaan faktor produksi
terhadap produksi, tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta pendapatan
usahatani padi pada lahan rawa pasang surut.
Rumusan Masalah. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah hubungan penggunaan faktor produksi dengan produksi
usahatani padi.
2. Bagaimanakah tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi
pada lahan rawa pasang surut
3. Seberapa besar tingkat pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut
Tujuan dan Kegunaan. Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis hubungan hubungan penggunaan faktor produksi dengan
produksi usahatani padi.
2. Mengukur tingkat efisiensi pengunaan faktor produksi usahatani padi pada
lahan rawa pasang surut
3. Menghitung pendapatan usahatani padi lahan rawa pasang surut
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
956
Kegunaan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi bagi
semua pihak khususnya petani yang berkaitan langsung dengan pengembangan
usahatani padi, dan memberikan manfaat berupa penambahan khazanah
kekayaan ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan penggunaan
faktor produksi pada usahatani padi.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Telang Rejo Kecamatan
Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja
(purposive) dengan pertimbangan Kecamatan Muara Telang merupakan sentra
usahatani padi yang dianggap telah melaksanakan usahatani secara intensif.
Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu April sampai Mei 2010.
Metode Penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kasus,
dengan alasan petani di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten
Banyuasin merupakan petani yang telah melaksanakan intensifikasi usahatani
karena telah merupakan salah satu wilayah yang sering menjadi sentra
pengembangan proyek percontohan untuk usahatani padi di lahan rawa pasang
surut.
Metode Penarikan Contoh. Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah
metode acak sederhana dengan jumlah sample sebanyak 38 orang atau 10
persen dari jumlah populasi yang ada.
Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan petani yang
meliputi karakteristik individu, penggunaan factor produksi, produksi, harga
produksi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan
penelitian ini, seperti: Kantor Pemerintah Kecamatan Muara Telang, Dinas
Pertanian dan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
terstruktur terhadap petani dengan menggunakan panduan kuisioner.
Metode Analisa Data. Data yang dikumpulkan di lapangan diolah secara tabulasi
dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Untuk menjawab permasalahan
pertama yaitu melihat hubungan antara penggunaan faktor produksi dan produksi
digunakan model persamaan sebabagi berikut, yaitu:
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
957
LnY= Ln+1 LnX1+2 LnX2+3Ln X3+4Ln X4+5 LnX5+6 LnX6+7 LnX7+8 LnX8+e
Keterangan:
Y = Variabel yang dijelaskan (variabel tak bebas) produksi usahatani padi
X = Variabel yang menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi produksi padi,
yaitu: X1 = Lahan (ha), X2 = benih (kg); X3= pupuk urea (kg); X4= pupuk SP-36
(kg); X5=Pupuk KCl (kg); X6= Insektisida (lt); X7= Herbisida (lt); X8= Tenaga Kerja
(HOK); , = Penduga parameter dan i
Kemudian untuk mengetahui apakah variable bebas (X) secara bersama-
sama berpengaruh terhadap variable tak bebas (Y) menggunakan uji F, dengan
hipotesis statistik sebagai berikut :
Ho : 1 = 2 = 3 = ………..= 9 = 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak
nyata oleh X1, X2, X3,…………., X8
Ho : 1 = 2 = 3 = ………..= 9 0 : Y secara simultan dipengaruhi secara tidak
nyata oleh X1, X2, X3,…………., X8
JKR / (K – 1) Rumus F hitung adalah = ---------------- JKK / (n – 1)
Keterangan :
JKR = Jumlah kuadrat regresi; JKK = Jumlah kuadrat kesalahan; k= Jumlah
parameter dugaan; n = Jumlah sampel
Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
1. Jika F hitung > F tabel , (k – 1), (n – k) maka Hi diterima yang artinya variabel
bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani.
2. Jika F hitung > F tabel , (k – 1), (n – k), maka Ho diterima yang artinya variabel
bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap produksi usahatani.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variable bebas (X) terhadap variable
tak bebas (Y) menggunakan rumus t hitung dengan hipotesis statistik sebagai
berikut :
Ho : bo = 0 : Y secara parsial dipengaruhi secara tidak nyata oleh X1, X2, X3,…, X8
H1 : b1 0 : Y secara parsiap dipengaruhi secara nyata oleh X1, X2, X3,…, X8
i
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
958
Rumus t hitung = --------
Se (i)
Keterangan :
i.. : Koefisien regresi variable ke – 1; Se (i) : Simpangan variable ke-i
Kaidah pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
1. Jika thitung > t (/2) tabel maka tolak Ho, artinya variable bebas ke-n
berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani.
1. Jika thitung < t (/2) tabel maka terima Ho, artinya variable bebas ke-n tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani
Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu mengukur tingkat efisiensi
penggunaan factor produksi digunakan rumus efisiensi harga yang dirumuskan:
NPMx NPMx = Px atau -------- = 1 Px b.Y.Py NPMx = ----------- X Dimana : b = elastisitas Y = produksi PY = harga produksi Y X = jumlah faktor produksi X PX = harga faktor produksi X Kaidah keputusan:
NPM / Hx > 1---------- Tidak optimal (kekurangan penggunaan faktor produksi)
NPM / Hx = 1---------- Optimal
NPM / Hx < 1----------Tidak optimal (kelebihan penggunaan faktor produksi)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
959
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Penggunaan Faktor Produksi Terhadap Produksi Padi. Hasil
analisis regresi fungsi produksi usahatani padi di Desa Telang Rejo dihasilkan
persamaan sebagai berikut:
Y = 6,957 - 0,261X1 - 0,075X2 +0,384X3+0,046X4+ 0,171X5 + 0,069X6 + 0,084X7 + 0,186X8
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara agregat hubungan antara
faktor produksi dan produksi usahatani padi cukup kuat dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,988. Nilai koefisien 0,988 artinya 98,8 persen
perubahan dari produksi usahatani padi dapat dijelaskan oleh variabel sarana
produksi: luas lahan usahatani, jumlah benih, pupuk (urea, SP-36 dan KCl),
herbisida, insektisida serta jumlah curahan tenaga kerja, sedangkan 1,2 persen
dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.
Dari hasil uji F diketahui nilai F-hitung 311,620 pada tingkat kepercayaan 95
persen lebih besar dibandingkan dengan F tabel sebesar 2,27 sehingga
disimpulkan bahwa hasil pengujian berbeda sangat nyata sehingga variabel bebas
luas lahan, benih, pupuk urea, SP36, KCl, herbisida, insektisida dan curahan
tenaga kerja bersama-sama berpengaruh terhadap produksi usahatani padi.
Meskipun secara bersama-sama penggunaan faktor produksi memiliki
pengaruh atau dampak yang kuat terhadap produksi, tetapi hasil analisis
menunjukkan bahwa tidak semua faktor prdoduksi berpengaruh nyata terhadap
produksi. Hasil analisis regresi variabel independen (sarana produksi) dan produk
di ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 memperlihatkan dari delapan variable bebas hanya luas lahan
usahatani, benih, pupuk urea dan tenaga kerja yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap produksi, sedangkan variable lainnya, yaitu: penggunaan pupuk KCl dan
SP-36, penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap produksi usahatani padi.
Lahan usahatani memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap
produksi usahatani dan memiliki hubungan yang negatif dengan koefisien sebesar
-0,261. Nilai koefisin tersebut berarti setiap penambahan 10 persen lahan
usahatani akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar 2,61
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
960
persen. Nilai negative disebabkan semakin luas lahan maka penggunaan sarana
produksi yang digunakan juga makin tidak optimal karena biaya yang dikeluarkan
besar sedangkan petani keterbatasan dana sehingga produksi yang dicapai untuk
satuan luas tertentu makin rendah. Rata-rata kepemilikan lahan ditingkat petani
cukup tinggi yaitu mencapai 1,92 hektar per petani.
Tabel 1. Hasil analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen
No Variabel Koefisien t-hitung Keterangan
X1 Lahan (ha) 6,957 5,724 Signifikan
X2 Benih (kg) -0,261 -2,557 Signifikan
X3 Urea (kg) 0,384 4,025 Signifikan
X4 SP-36 (kg) 0,046 1,403 Non Signifikan
X5 KCl (kg) 0,171 1,183 Non signifikan
X6 Insektisida (lt) 0,069 0,953 Non signifikan
X7 Herbisida (lt) -0.084 -1,167 Non signifikan
X8 Tenaga kerja (HOK) 0,186 2,266 Signifikan
Koefisin determinasi (R2) = 0,992;
F-hitung=311,62 dan F Tabel 0,05(8;30)=2,27
t-tabel (0.025)=2,042 ; t-tabel (0.010)=2,457; t-tabel (0.005)=2,750
Penggunaan benih memiliki pengaruh yang signifikan. Pelaksanaan
penanaman yang dilakukan petani menggunakan sistem tabela (tanam benih
langsung) yaitu dengan cara menaburkan benih secara langsung di lahan
usahatani sehigga jumlah benih yang digunakan besar, yaitu rata-rata 130
kg/hektar dan melebihi dari batas optimal anjuran PPL yang maksimum 60
kilogram perhektar. Penggunaan benih yang berlebihan menyebabkan
pertumbuhan tanaman padi tidak berlangsung optimal karena terjadi persaingan
penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai tidak
optimal. Nilai koefisien benih sebesar 0,075 yang artinya kenaikan 10 persen
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
961
penggunaan benih akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi sebesar
0,75 persen.
Penggunaan pupuk urea memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
produksi dengan nilai koefisien sebesar 0,384 yang artinya setiap penambahan
penggunaan pupuk urea sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan
produksi sebesar 3,84 persen. Pengaruh positip ini disebabkan karena
kemungkinan ketersediaan unsur hara N pada lahan rawa pasang surut masih
rendah sehingga penggunaan pupuk urea yang mengandung unsure hara N akan
cepat direspon oleh tanaman dalam bentuk peningkatan produksi. Selain itu
jumlah penggunaan pupuk urea lebih banyak dibandingkan dengan pupuk lainnya
yaitu rata-rata 219,87 kilogram perhektar permusim tanam, sehingga tanaman
lebih mudah dalam merespon penggunaan pupuk tersebut.
Penggunaan pupuk SP-36 dan KCl tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap produksi. Penyebabnya karena jumlah penggunaan kedua pupuk masih
jauh dari anjuran lebih rendah dibandingkan dengan pupuk urea, yaitu masing-
masing 134,23 kilogram dan 115,64 kilogram perhektar., padahal menurut
Suwalan et al., (2004) respon tanaman terhadap pemberian pupuk akan
meningkat apabila pupuk yang digunakan tepat jenis, dosis, waktu dan cara
pemberian.
Penggunaan herbisida dan insektisida tidak berpengaruh signifikan
terhadap produksi. Penyebabnya, penggunaan sarana produksi tersebut ditingkat
petani masih belum optimal, yaitu: insektisida pestisida 1,64 liter perhektar
permusim tanam dan herbisida 0,615 liter perhektar permusim tanam. Faktor
lainnya adalah sifat dari sarana ini yang tidak memiliki pengaruh langsung pada
peningkatan produksi seperti sarana produksi lainnya khususnya pupuk. Faktor
lainnya adalah serangan hama yang ditemui di lapangan masih dibawah batas
ambang ekonomi, sehingga penggunaan insektisida masih rendah dan hanya
bersifat pencegahan. Penggunaan herbisida masih rendah karena pemberantasan
gulma sering dilakukan secara manual yaitu dengan melakukan penyiangan
terhadap gulma sehingga penggunaan herbisida juga masih rendah.
Faktor produksi tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
produksi. Rata-rata curahan tenaga kerja pada usahatani padi adalah sebesar
37,38 HOK perhektar permusim tanam. Hubungan antara curahan tenaga kerja
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
962
dengan produksi bersifat positip artinya semakin tinggi curahan tenaga kerja maka
produksi yang dicapai juga makin tinggi dengan nilai koefisien sebesar 0,186,
yaitu jika terjadi peningkatan curahan tenaga kerja sebesar 10 persen maka
produksi akan meningkat seesar 1,86 persen. Pengaruh curahan tenaga kerja
terhadap produksi sangat beralasan karena tanaman padi memerlukan perawatan
dan pengelolaan yang baik, sehingga curahan tenaga kerja yang tinggi
menyebabkan tanaman akan semakin terpelihara dengan baik sehingga produksi
yang dicapai juga akan meningkat.
Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi. Berdasarkan hasil penelitian
penggunaan faktor produksi pada usahatani padi sebagian besar tidak efisien.
Rincian perhitungan terhadap analisis efisiensi ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani padi
No variabel Sarana propduksi NPMx / Px Keterangan
X1 Lahan (ha) 0,99 Tidak efisien
X2 Benih (kg) 0,89 Tidak efisien
X3 Urea (kg) 9,94 Tidak efisien
X4 SP-36 (kg) 1,39 Tidak efisien
X5 KCl (kg) 3,80 Tidak efisien
X6 Insektisida (lt) 14,12 Tidak efisien
X7 Herbisida (lt) 6,04 Tidak efisien
X8 Tenaga kerja (HOK) 1,17 Tidak efisien
Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan faktor
produksi pada usahatani padi belum efisien karena memiliki nilai perbandingan
nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih kecil atau lebih besar
dari satu.
Nilai rasio produk marjinal dan harga faktor produksi lahan lebih kecil dari
satu (0,991) menunjukkan bahwa penggunaan lahan usahatani belum efisien
karena luas lahan yang digunakan petani relatif sudah cukup tinggi yaitu rata-rata
1.92 hektar perpetani, sedangkan jumlah modal yang dimiliki petani untuk
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
963
mengusahakan lahan tersebut masih rendah sehingga produksi yang dicapai tidak
optimal. Rendahnya modal yang dimiliki petani terlihat dari belum optimalnya
penggunaan faktor produksi lain, yaitu: pupuk (urea, SP-36 dan KCl), pestisida
(insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja yang belum optimal karena
memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga faktor produksi yang lebih besar dari
satu. Nilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi
tersebut masih rendah dari jumlah yang dibutuhkan untuk pengelolaan usahatani
padi sehingga perlu dilakukan penambahan agar usahatani tersebut efisien.
Penggunaan benih memiliki rasio nilai produk marjinal dan harga benih
yang lebih rendah dari satu (0,89) menunjukkan bahwa penggunaan benih tidak
efisien karena terjadi kelebihan penggunaan yang seharusnya maksimal 60
kg/hektar perpetani tetapi meningkat mencapai 130 kg/hektar. Terjadinya
kelebihan penggunaan benih menyebabkan biaya yang dikeluarkan tinggi
sedangkan produksi yang dicapai tidak optimal karena terjadi perebutan unsur
hara yang terbatas oleh tanaman sehingga produksi yang dicapai belum optimal.
Pendapatan Usahatani Padi. Lahan rawa pasang surut memiliki karakteristik
berupa lahan marginal yang memiliki tingkat keasaman tinggi yang dapat
diusahakan satu kali musim tanam per tahun.
Tabel 3. Produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi di Desa Telang Rejo Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin
No. Indikator Jumlah
1. Produksi (kg/Ha/Mt) 3.951,00
2. Harga (Rp/kg) 2.290,00
3. Penerimaan (Rp/Ha/Mt) 9.118.932,50
4. Biaya (Rp/Ha/Mt) 4.319.710,30
- Biaya variabel (Rp/ha/Mt) 4.207.172,50
- Biaya tetap 112.537,80
5. Pendapatan (Rp/Ha/Mt) 4.799.222,20
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
964
Dengan adanya sistem penanaman tersebut maka secara otomatis
optimalisasi penggunaan lahan pada lahan pasang surut masih rendah, dengan
produksi yang masih cukup rendah, yaitu rata-rata 3.951 kilogram per hektar.
Rincian produksi, harga, biaya dan pendapatan di tampilkan pada Tabel 3,
Berdasarkan data pada tabel 3 terlihat bahwa rata-rata pendapatan
usahatani padi pada lahan pasang surut di Desa Telang Rejo rata-rata Rp.
4.700.222,20 per hektar per musim tanam, dengan tingkat penerimaan atas biaya
yang dikeluarkan (R/C rasio) sebesar 2,11. Nilai R/C=2,11 menunjukkan bahwa
setiap Rp.1,- yang dikeluarkan petani akan menghasilkan penerimaan sebesar
Rp. 2,11,-.
Pendapatan petani yang masih rendah disebabkan beberapa faktor, yaitu:
produktivitas lahan yang masih rendah yaitu rata-rata 3.951 kg/Ha. Produktivitas
lahan yang masih rendah juga disebabkan kondisi lahan yang marjinal dengan
tingkat keasaman tinggi dan penggunaan faktor produksi yang belum optimal,
Faktor lain yang menyebabkan pendapatan petani rendah yaitu harga gabah yang
masih rendah ditingkat petani khususnya pada saat panen raya yaitu rata-rata Rp.
2.290/kg menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani masih rendah.
KESIMPULAN
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah:
1. Produksi usahatani padi dipengaruhi secara signifikan oleh factor produksi
lahan, benih, pupuk urea dan tenaga kerja berpengaruh sedangkan factor
produksi lainnya, yaitu: pupuk KCl dan SP-36 serta penggunaan herbisida dan
insektisida tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi.
2. Penggunaan seluruh faktor produks: (lahan, benih, pupuk (urea, SP-36 dan
KCl), pertisida (insektisida dan herbisida) serta curahan tenaga kerja
semuanya belum efisien.
3. Pendapatan rata-rata usahatani Rp. 4.799.222,20 /hektar, dengan rasio
penerimaan usahatani atas biaya sebesar 2,1 artinya setiap Rp1,- yang
dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan Rp. 2,1,-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
965
DAFTAR PUSTAKA
BPTP Sumatera Selatan. 2007. Laporan PRA Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian pada Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Banyuasin. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Palembang
Samaoen, I, 1992. Ekonomi Produksi Pertanian. Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia, Jakarta Suharno, Idris, M. Darwin, Sahardi dan Subandi, 2000. Keunggulan dan peluang
pengembangan padi varietas Konawe. Dalam Dewi Sahara dan Idris: Efisiensi Produksi Sistem usahatani Terpadu Pada Lahan Sawah Irigasi Teknis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
Suwalan, S., Nana, S., Bambang S., R. Kusmawa dan Didi Ardi, 2004.
Penggunaan Pupuk Alternatif pada Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
966
ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI DAN OPTIMASI FORMULASI PEMPEK LENJER SKALA INDUSTRI
Railia Karneta
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian STIPER Sriwigama Palembang
ABSTRACT
Pempek is a kind of traditional food for South Sumatera people, which is potentially to be developed into large scale of industry if its technology meets standart procedure and consistent quality. Now a days, current pempek activity has adjusted its formula and technology to changes of the existing materials as well as their prices. The study investigated people‘s perception on pempek taste, optimalized pempek‘s formula, minimized material cost and analized it‘s feasible enterpreneurship. Optimalization formula and minimization testing-using LINDO-Linier Programing Computer‘s Program- shows that condition using 100 grams of pempek. Minimum cost of pempek‘s material is Rp 2310,04,- per 100 grams pempek‘s formula. The feasibility study shows that 1000 lenjer per day production is feasible for industry scale. NPV test shows positive, IRR higher than current interest and Net B/C ration more than 1, PBP 1,69 per year and BEP 32,60 %. Sensitivity test to the increasing of costs and decreasing of return to 15 percent, pempek activity is still feasible to be done
Keywords: Traditional Food, feasibility study,optimalization formula
PENDAHULUAN
Pengembangan makanan tradisionil saat ini semakin digalakkan , agar
dapat bersaing dengan makanan yang berasal dari luar negeri .Yang perlu
mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisionil
dan menambah selera masyarakat agar dapat sejajar dengan bahan pangan
lainnya. Kebijakan diversifikasi pangan harus dititik beratkan pada sistem
agribsinis yang terpadu mulai dari produksi sampai kepengolahan dan pemasaran
(Iljas,N. 1995). Pempek sebagai salah satu makanan tradisionil Sumatera selatan
berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri yang lebih besar, karena selain
rasanya yang khas dan disukai masyarakat, produk ini memiliki nilai ekonomis dan
gizi yang cukup tinggi. Usaha untuk menjadikan pempek lenjer sebagai komoditas
perdagangan tidak mudah untuk dilaksanakan, karena diperlukan suatu
konsistensi mutu dan proses yang efisien teknologinya. Industri pempek skala
kecil sering mengubah formula dan cara pengolahan pempek lenjer karena
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
967
berfluktuasinya bahan baku terutama ikan, sehingga konsistensi mutu pempek
lenjer sulit dipertahankan. Industri pempek sulit dikembangkan ke skala industri
yang lebih besar tanpa konsistensi mutu yang baik.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri pempek di
Sumatera selatan adalah bahan baku dan pemasaran (harga/kelayakan usaha)
jika akan dikembangkan ke skala industri yang lebih besar dengan mutu yang
konsisten. Penyelesaian masalah tersebut diperlukan analisis kelayakan, baik
secara teknologi maupun ekonomi . Secara teknologi diperlukan penentuan
formulasi dan cara pengolahan yang tepat dengan mutu yang konsisten, secara
ekonomi hal tersebut masih menguntungkan produsen. Formula dan cara
pengolahan yang dikembangkan dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan
bagi pengembangan industri pempek lenjer di Sumatera Selatan.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan gabus
(Ophicephallus striatus Blkr), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), tepung
sagu dengan derajad putih minimal 94, garam dapur (NaCl), gula pasir
(sukrosa),susu bubuk, telur ayam ras, minyak kelapa dan air es.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap dan digunakan dua metode yaitu
penelitian lapang (tahap I) dan penelitian Laboratorium (tahap II). Pada tahap I
dilakukan studi lapang untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data skunder. Metode yang
digunakan dalam pengumpulan data primer ditentukan secara sengaja (purposive)
dengan alat bantu kuisioner kepada 50 orang responden dan wawancara kepada
5 orang produsen untuk memperoleh keterangan mengenai biaya produksi, jumlah
produksi, kapasitas produksi, biaya investasi dan harga pempek . Survai yang
dilakukan meliputi kebiasaan mengkonsumsi dan persepsi konsumen tentang
mutu pempek yang baik dan diinginkan konsumen . Pengumpulan data sekunder
melalui studi pustaka. Pada tahap II dilakukan percobaan pembuatan pempek di
Laboratorium .Penelitian di Laboratorium di bagi menjadi dua tahap, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
968
Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan perbandingan jumah
ikan gabus dan ikan tenggiri (0 : 2, 0,5 : 1,5 , 1 :1, 1,5 : 0,5) untuk pembuatan
pempek lenjer. Untuk mengidentifikasi kesukaan atau ketidaksukaan panelis
dilakukan uji coba perbandingan ikan gabus dan ikan tenggiri. Perbandingan
ikan tenggiri dan ikan gabus terpilih dari penelitian pendahuluan digunakan untuk
bahan penelitian lanjutan (standart). Sedangkan sumber protein ditambahkan
telur ayam dan susu bubuk, pengganti lemak ditambahkan minyak kelapa, dan
pengganti vetsin digunakan gula pasir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kelayakan Ekonomi Skala Usaha Industri kecil
Analisis kelayakan ekonomi dilakukan pada skala usaha industri kecil
(kapasitas produksi 1000 lenjer/ hari). Dalam operasionalisasi produksi pempek
lenjer terdapat kegiatan teknis dan administrasi , sehingga dibutuhkan sumber
daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan dua kegiatan tersebut . Pada
usaha pembuatan pempek dengan kapasitas produksi 1000 lenjer per hari,
tenaga kerja yang dibutuhkan adalah 3 orang manajer (manajer umum, produksi
dan keuangan), sekretaris 3 orang, karyawan (tenaga kerja harian) 10 orang dan
karyawati (tenaga kerja harian) 20 orang. Sebagai dasar perhitungan digunakan
beberapa asumsi sebagai berikut :
-. Modal yang digunakan adalah modal sendiri dan pinjaman
-. Jumlah hari kerja 240 hari per tahun
-. Perhitungan biaya didasarkan pada harga awal tahun 2010 dan diasumsikan
konstan selama periode pengkajian, dengan suku bunga 14 % / tahun.
-. Gaji manajer Rp. 2.000.000/bulan ; sekretaris Rp 1.000.000/bulan; upah harian
karyawan Rp 25.000/hari dan karyawati Rp 20.000/hari
-. Harga daging ikan gabus Rp 40.000/kg
-. Harga daging ikan tenggiri Rp 50.000/kg
-. Harga saus/cuka 1/5 dari harga bahan baku
-. Harga tanah Rp 150.000/m2 dan bangunan Rp 200.00 /m2
-. Biaya operasi 5 % dari modal investasi
-. Gaji dan upah naik 5 %/ tahun
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
969
-. Biaya pemeliharaan 3 % dari harga alat dan bangunan
-. Biaya pemasaran dan adminsitrasi Rp 500.000/bulan
-. Biaya telpon dan listrik masing-masing Rp 250.000/bulan dan biaya air Rp
100.000/bulan.
-. Analisis kelayakan ekonomi dilakukan untuk umur proyek 5 tahun yang
ditetapkan berdasarkan umur ekonomi peralatan. Dengan asumsi tersebut, maka
penentuan biaya investasi, biaya produksi, harga pokok dan harga jual produk
dapat dilaksanakan. Total biaya produksi (tetap dan tidak tetap) disajikan pada
Tabel 1. Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan
produksi yang terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah
biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya
tidak tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan ( Ibrahim, 1998).
Tabel 1. Biaya tetap dan tidak tetap produksi pempek lenjer /tahun
No Uraian Biaya Jumlah (Rp)
1 Biaya tetap
- Gaji 108.000.000
-. Penyusutan 6.520.000
-. Bunga pinjaman 82.740.924
-. Biaya pemasaran dan administrasi 6.000.000
-. Biaya pemeliharaan 2.634.000
-. Biaya listrik 3.000.000
-. Biaya telepon 3.000.000
Jumlah 211.894.924
2 Biaya tidak tetap
-. Upah 156.000.000
-. Biaya bahan baku 1.832.832.000
-. Biaya air 1.200.000
Jumlah 1.990.032.000
Total (1-2) 2.201.926.924
Komponen biaya tetap yang dibutuhkan terdiri dari : gaji untuk membayar 3
orang manajer (Rp 72.000.000 / tahun) dan 3 orang sekretaris (Rp 36.000.000 /
tahun), penyusutan , bunga pinjaman , biaya pemasaran dan administrasi (Rp
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
970
500.000/bulan), pemeliharaan sebesar 3 % dari harga alat dan bangunan, biaya
listrik dan telepon masing-masing sebesar ( Rp 250.000/bulan).
Biaya tidak tetap terdiri dari upah untuk 10 orang karyawan (Rp
60.000.000/tahun dan 20 orang karyawati (Rp 96.000.000/tahun). Besarnya biaya
produksi yang harus dikeluarkan untuk membuat produk (harga pokok)
merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang
dihasilkan.
Tabel 2. Rekapitulasi biaya investasi, biaya produksi dan harga pempek lenjer
DESKRIPSI JUMLAH
A. INVESTASI
1. Tanah 30.000.000
2. Bangunan 40.000.000
3. Peralatan Produksi 7.800.000
4. Peralatan Kantor 10.000.000
5. Biaya pra oprasi 4.390.000
Jumlah 92.190.000
B. BIAYA PRODUKSI
1. Biaya tetap 211.894.924
2. Biaya Tidak Tetap 1.990.032.000
Jumlah 2.201.926.924
C. PRODUKSI/TAHUN (Lenjer) 240.000
D. HARGA POKOK = (B: C) 9.174
E. HARGA JUAL = D + (D x 20%) 11.000
*) harga jual Rp 11.000/lenjer (dibulatkan)
Pada perhitungan laba rugi tersebut, pengeluaran setiap tahun digunakan
untuk keperluan biaya produksi (biaya tetap dan biaya tidak tetap) serta pajak.
Gaji dan upah ada kenaikan sebesar 5 % per tahun. Sedangkan pendapatan
setiap tahun diperoleh dari nilai penjualan produk yang besarnya tergantung dari
harga juall produk yang dihasilkan (Rp 11.000/lenjer). Arus penerimaan yang
merupakan sumber dana bagi industri terdiri dari modal sendiri dan modal
pinjaman (tahun ke-1), penerimaan (hasil penjualan produk) dan penyusutan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
971
untuk tahun ke-2 sampai tahun ke-5, sumber dana hanya terdiri dari penerimaan
dan penyusutan.
Pengeluaran dana terdiri dari : modal investasi, gaji dan upah, bahan baku,
air, listrik, telepon, pemeliharaan alat dan bangunan, biaya piutang, bunga bank
dan cicilan. Usaha produksi pempek lenjer dengan kapasitas produksi 1000 lenjer
per hari menghasilkan total kas yang positif pada akhir umur proyek (tahun ke-5)
yaitu Rp 2.929.822.730,-
Perhitungan atau penentuan kriteria investasi dengan menggunakan
tingkat suku bunga14 % per tahun disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi Kriteria Investasi Produksi Pempek Lenjer
NPV 14% (Rp) IRR (%) Net B/C PBP(th) BEP(%)
2.265.090.000 38,70 23,57 1,69 32,60
Hasil perhitungan kriteri investasi menunjukkan bahwa usaha produksi
pempek lenjer pada skala industri kecil (kapasitas produksi 1000 lenjer per hari)
layak untuk dilaksanakan. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh NPV yang bernilai
positif, IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan Net B/C
lebih besar dari satu. NPV yang bernilai positif (Rp 2.265.090.0000 ) merupakan
keuntungan bersih yang akan diterima penyelenggara usaha pada tahun yang
akan datang, jika diukur dengan nilai uang sekarang. NPV yang bernilai positif
menunjukkan kemampuan usaha untuk menghasilkan laba, sehingga usaha layak
untuk dilaksanakan.
Nilai IRR yang diperoleh(38,70 %) lebih besar dari tingkat suku bunga
yang digunakan dalam perhitungan (14%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha
yang akan dilakukan mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal yang
digunakan dan dapat menghasilkan keuntungan, sehingga usaha layak untuk
dilaksanakan.
Net B/C pada tingkat suku bunga 14 % per tahun menunjukkan nilai 23,57.
Hal ini berarti setiap satu rupiah yang ditanam akan menghasilkan keuntungan
sebesar 23,57 rupiah. Nilai Net B/C yang dihasilkan dalam perhitungan lebih
6
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
972
besar dari satu, sehingga usaha ini layak untuk dilaksanakan. PBP adalah waktu
yang diperlukan untuk menutup atau mengembalikan modal investasi yang
ditanam. Modal investasi yang digunakan pada usaha produksi pempek lenjer
sebesar Rp 92.190.000,- akan kembali setelah usaha berjalan 1,69 tahun.
Hasil perhitungan nilai BEP menunjukkan bahwa usaha memiliki potensi
untuk menghasilkan keuntungan. Semakin kecil nilai BEP maka semakin besar
keuntungan yang akan diperoleh. Sebagai ilustrasi , nilai BEP dicapai pada saat
32,60 % dari penjualan yaitu Rp 860.728.000. Hal ini berarti 67,40 % dari
penjualan atau senilai Rp 1.404.362.000 merupakan keuntungan usaha.
Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terhadap
hasil analisa ekonomi yang telah dlakukan, maka dilakukan analisis kepekaan
atau sensitivitas. Pada produksi pempek lenjer, analisa kepekaan dilakukan
terhadap perubahan biaya bahan baku, air, listrik dan telepon serta perubahan
penerimaan karena penurunanan harga atau jumlah yang dijual.
Tabel 4. Rekapitulasi kriteria investasi dengan kenaikan biaya bahan baku, air,
listrik dan telepon.
Kenaikan biaya (%) NPV (Rp) IRR (%) Net B/C
5 1.947.140.509 38,64 12,62
10 1.697.355.916 38,60 9.35
15 1.315.841.526 38,4 1,22
Tujuan analisa kepekaan terhadap perubahan biaya bahan baku, air, listrik
dan telepon adalah untuk melihat sejauh mana perubahan biaya tersebut
(khususnya kenaikan biaya) akan mempengaruhi kelayakan usaha. Pada tabel 4,
terlihat bahwa kenaikan biaya sebsar 5%, 10% dan 15 %, usaha pempek lenjer
masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV yang positif
dan nilai IRR yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang digunakan dalam
perhitungan. Analisis kepekaan terhadap penurunan penerimaan bertujuan untuk
melihat seberapa jauh perubahan penerimaan khususnya penurunan penerimaan
karena penurunan harga jual atau jumlah yang dijual akan mempengaruhi
kelayakan usaha produksi pempek lenjer. Pengaruh perubahan penerimaan
terhadap nilai NPV, IRR dan net B/C disajikan pada Tabel 5.
7
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
973
Tabel 5. Rekapitulasi kriteria investasi dengan penurunan penerimaan
Penurunan Penerimaan (% NPV (Rp) IRR (%) Net B/C
5 1.810.064.246 38,48 24,62
10 1.359.444.400 38,22 6,65
15 904.018.000 38,07 2,07
Pada Tabel 5. Terlihat bahwa penurunan penerimaan sebesar 5%, 10%,
15 % usaha pempek lenjer masih layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai NPV yang positif dan nilai IRR yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga
yang digunakan dalam perhitungan. Kenaikan biaya produksi dan penurunan
harga jual menyebabkan penurunan nilai Net B/C, akan tetapi nilai-nilai tersebut
masih tergolong layak, karena masih lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan
bahwa perubahan biaya produksi (kenaikan) dan harga jual (penurunan) sampai
sebesar 15 % berpengaruh terhadap niai Net B/C, tetapi masih tergolong layak.
2.Optimasi Formulasi Pempek
Pada pembuatan pempek lenjer digunakan campuran ikan tenggiri dengan
ikan gabus, dengan taraf 0%, 25%, 50% dan 75%. Pengganti protein ikan dapat
digunakan telur ayam dan susu bubuk , sedangkan pengganti lemak ikan dapat
digunakan minyak kelapa dan pengganti vetsin digunakan gula pasir. Komposisi
adonan pempek yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi bahan baku yang digunakan pada penelitian
Bahan baku Komposisi
Ikan tenggiri (Kg) 1-2
Ikan gabus (Kg) 0-0,75
Tepung tapioka (gram) 250-1000
Susu bubuk 0-50
Telur (ml) 100-150
Minyak kelapa sawit (ml) 100-150
Gula (gram) 100
Garam (gram) 50
Air (ml) 400-500
8
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
974
Penggunaan ikan gabus hingga 75 % dan penggunaan susu bubuk, telur ayam
ras, minyak kelapa dan gula pasir ditujukan untuk mendeteksi tingkat penerimaan
konsumen terhadap pempek lenjer yang dihasilkan.
Model Pencampuran Bahan Baku
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan model pencampuran bahan baku
pempek dengan bantuan teknik operasional seperti program linier dengan
menggunakan program LINDO (Maarif,S dan Machfud, 1989). Tujuan dari
penggunaan program linier adalah untuk mendapatkan optimasi formula pempek
dalam menghasilkan produk yang bermutu baik dan ekonomis dari segi biaya.
Untuk kemudahan interpretasi model linier yang digunakan dalam penelitian ini
digunakan dasar perhitungan 100 gram adonan pempek yang dibuat bagi
penentuan fungsi tujuan maupun fungsi kendala (Siagian, 1987)
Informasi biaya bahan baku (Cj) yang digunakan
Bahan baku pempek yang digunakan dalam model pencampuran bahan
baku dengan penyelesaian program linier adalah ikan tenggiri (Rp 50.000/kg),
ikan gabus (Rp 40.000/kg), tepung tapioka (Rp 10.000/kg), Susu bubuk Rp
40.000/kg) , telur (Rp 13.000/kg), minyak kelapa (Rp 9000/kg), gula (Rp
10.000/kg), garam (Rp 1000/kg) dan air ( Rp2500/l)
Dalam permasalahan ini, bahan baku dapat dianggap sebagai peubah
keputusan (faktor Xj), diasumsikan bahwa sumber daya yang terbatas perlu
dilakukan minimisasi biaya bahan baku yang dinyatakan dalam bentuk fungsi
tujuan yaitu :
Minimisasi = 50 X1 +40 X2 + 10 X3 + 40 X4 + 13 X5+ 9 X6 +10 X 7+ X8 + 2,5 X9
Batasan Selang Penggunaan Bahan Baku (bj) Yang Diperkenankan
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bahan baku yang digunakan harus dibatasi
dalam jumlah tertentu untuk menekan biaya produksi. Batasan yang akan
digunakan untuk menyusun fungsi atau persamaan kendala adalah jumlah protein
berkisar antara 5,48 – 9,23 %, jumlah lemak berkisar antara 4,37 – 9,92 % ,
jumlah ikan tenggiri (X1) 27,27 – 36,36 %, jumlah ikan gabus (X 2) 0 – 9,09 %.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
975
Jumlah tepung tapioka (X 3) antara 27,27 – 36,36 %,Jumlah susu bubuk (X4) 0 –
50 %, Jumlah telur ayam (X4 )3,63 - 5,45 % .
Jumlah minyak kelapa (X5 ) 1,81-3,63, jumlah gula (X6 ), jumlah garam (X7) tetap,
jumlah air (X8 ) antara 51,78 – 63,87 %.
a. Fungsi kendala bobot bahan baku total :
X1 +X2 +X3+X4+X5+X6+X7+X8 + X9 = 100 gram
b. Fungsi kendala protein :
5,48 ≤ 0,124 X1 + 0,128 X2 + 0,007 X3 + 0,089 X4 + + 0,128 X5 ≤ 9,23
c. Fungsi kendala Lemak
4,37 ≤ 0,01 X1 + 0,015 X2+ 0,013 X3 + 0,002 X4 + 0,115 X5 + X6 ≤ 9,92
d. Fungsi kendala jumlah ikan tenggiri : 27,27 ≤ X1 ≤ 36,36
e. Fungsi kendala ikan gabus : 0 ≤ X2≤ 9,0
f. Fungsi kendala tepung tapioka : 27,27 ≤ X3 ≤36,36
g. Fungsi kendala susu bubuk : 0 ≤ X4 ≤ 9,0
h. Fungsi kendala telur ayam : 3,63 ≤ X5 ≤ 5,45
i. Fungsi kendala minyak kelapa : 1,81≤ X6 ≤ 3,63
j. Fungsi kendala gula : X7 = 3,63
k. Fungsi kendala garam : X8 = 1,81
l. Fungsi kendala air : 51,78 ≤ 0,81X1 + 0,79 X2 + 0,14 X 3
+ 0,12 X4 + 0,74 X5 + 0,054 X6 + X9 ≤ 63,87
Dari fungsi tujuan dan fungsi kendala yang dibentuk untuk menyelesaikan
model pencampuran bahan baku secara optimal dengan program komputer
LINDO didapatkan biaya minimum bahan baku Rp 2310,04 ,- untuk setiap 100
gram adonan pempek . Hal tersebut diperoleh pada kondisi penggunaan ikan
tenggiri (X1) 27,27 gram, ikan gabus (X2 ) 3,13 gram , tepung tapioka (X3) 27,27
gram, susu bubuk (X4 ) 9,09 , telur ayam (X5) 5,45 gram, minyak kelapa (X6) 3,05
gram, gula pasir (X7) 3,63 gram, garam (X8) 1,81 gram dan air (X9) 19,29 gram.
Hasil perhitungan biaya bahan baku untuk pembuatan 100 gram adonan pempek
yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 7. Terlihat bahwa biaya bahan baku
untuk membuat 100 gram adonan pempek adalah Rp 2310,04 atau untuk
memperoleh satu lenjer pempek adalah 300 gram (Rp 6930,12) , sehingga biaya
untuk membuat satu lenjer pempek dan cukanya dibutuhkan biaya Rp 8316,144,-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
976
Tabel 7. Hasil optimal pencampuran bahan baku pempek lenjer
Bahan baku Jumlah bahan
(gram)
Harga satuan
(Rp/gram)
Harga Bahan *)
Ikan tenggiri (X1) 27,27 50 1363,50
Ikan gabus (X2) 3,14 40 125,60
Tepung tapioka (X3) 27,27 10 272,70
Susu bubuk (X4 ) 9,09 40 363,60
Telur ayam (X5) 5,45 13 70,85
Minyak kelapa (X6) 3,05 9 27,45
Gula pasir (X7) 3,63 10 36,3
Garam (X8) 1,81 1 1,81
Air (X9) 19,29 2,5 48,23
Total 100,00 2310,04
*) Harga bahan = jumlah bahan x harga/gram
KESIMPULAN
1. Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha pempek lenjer dengan produksi
1000 lenjer per hari layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh NPV
Rp 2.265.090.000 ; IRR 38,70 ; Net B/C 23,57 ; PBP 1,69 tahun ; BEP
32,60 %. Hasil analisis sensitivitas terhadap kenaikan biaya bahan baku,
air, listrik dan telepon serta penurunan penerimaan hingga 15 %, usaha
pempek lenjer masih layak untuk dilaksanakan
2. Hasil optimasi pencampuran bahan baku pempek dengan minimisasi biaya
untuk 100 gram bahan baku adonan adalah ikan tenggiri sebanyak 27,27
gram, ikan gabus 3,13 gram, tepung tapioka 27,27 gram, susu bubuk 9,09
gram, telur ayam 5,45 gram, minyak kelapa 3,05 gram, gula pasir 3,63
gram, garam dapur 1,81 gram dan air 19,29 gram. Harga bahan Rp
2310,04 /100 gram adonan atau harga satu lenjer pempek dan cukanya Rp
8316,144,-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
977
DAFTAR PUSTAKA
Astawan,M, F.G. Winarno dan Y. Kusumawati. Kajian Mutu Empek-empek Palembang Dari Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersoni). 1997. Bul.Teknol dan Industri Pangan. VIII(1) :pp 1-7.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Daftar
Komposisi Bahan Makanan. Bharatara Karya Aksara. Jakarta. Fardiaz,D. 1985. Kamaboko, Produk Olahan Ikan yang Berpotensi
Dikembangkan. Media Teknologi Pangan. 1 (2). Govindan. 1987. Fish Processing Technology. IBH Publishing Co PVT.Ltd. New
Delhi. Gray,C; P. Simanjuntak dan L.K.Sabur. 1997. Pengantar Evaluasi proyen.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Greenwood,C.T. and Munro. 1979. Carbohydrates dalam Priestey (ed). 1979.
Effects of Heating on Foodstuffs. Applied Science Publishers Ltd. London.
Hubeis.M. 1994. Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia
. Bul Teknol dan Ind Pangan 5 (3) : 65-70
Hubeis,M, Ni Luh Puspitasari dan Herijanto. 1994. Optimasi Formulasi Es Krim Skala Kecil Dengan Menggunakan Minyak kelapa Sawit Sebagai Pengganti Lemak Mentega (Optimization of Small Scale Ice Cream Formulating Using Palm Oil As Better Fat Substitute). Bul Teknol dan Ind Pangan 5 (3) : 1-6.
Ibrahim, Y. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta. Iljas. N. 1995. Peranan Teknologi Pangan Dalam Upaya Meningkatkan Citra
Makanan Tradisional Sumatera Selatan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru besar Tetap Pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang.
Maarif,S dan Machfud. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan .
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siagian.P. 1987. Penelitian Operasional Teori dan Praktek. Universitas
Indonesia Press. Jakarta. Turner,J. And Martin,T. 1989. Applied Farm Management. Blackwell Scientific
Publication Ltd. Melborne. Widodo,S.T. 1995. Indikator Ekonomi. Kanisius. Yogyakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
978
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT WANITA PENGRAJIN BAJU PENGANTIN DI DESA TANJUNG BATU, OKI DALAM BERWIRAUSAHA
Desloehal Djumrianti dan Yusleli Herawati
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menghambat wanita pengrajin baju pengantin di desa Tanjung Batu OKI dalam berwirausaha. Banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha di depan mata, tapi terkadang tidak tahu bagaimana menangkapnya secara maksimum. Ibu rumah tangga mempunyai potensi yang luar biasa karena dapat mengerjakan banyak hal sekaligus. Oleh karena itu dia tidak hanya ibu dari anak-anak mereka atau istri dari suami, tetapi mereka juga orang-orang yang dapat membuat "sesuatu" untuk mendapatkan uang. Dengan potensi yang besar dalam diri mereka terbuka peluang yang besar untuk menjadi pengusaha yang. Seperti misalnya dengan melakukan bisnis rumahan atau home industry, yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di desa Tanjung Batu, Kabupaten OKI. Walaupun usaha tersebut sudah dilakukan turun temurun teapi tetap saja mereka lamban dalam meraih sukses sebagai pengusaha wanita, hal ini di karenakan faktor intern dan ekstern yang menghambat. Dari Keywords: pengrajin baju pengantin, wirausaha wanita, kewirausahaan
PENDAHULUAN
Banyaknya tuntutan kebutuhan hidup dan naiknya harga barang memaksa
kita berfikir untuk memenuhinya. Sementara itu tidak berimbangnya penghasilan
masyarakat dapat mempersulit keadaan, terkadang seorang kepala keluarga tidak
mampu menghidupi keluarga secara layak. Upah atau gaji mereka tidak mampu
mencukupi kebutuhan pangan, papan, dan sandang keluarga mereka. Dengan
Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp 927.825 (Sapri H. Nungcik, 2009), hal
ini jelas tidak dapat memenuhi semua kebutuhan satu keluarga yang mempunyai
dua orang anak dan seorang isteri.
Belum lagi dampak yang ditimbulkan oleh krisis global di beberapa negara
seperti di Indonesia. Banyak perusahaan yang besar bankrupt tidak bisa bertahan
dalam kondisi ini. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
979
perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-
kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Kebijakan
pemerintah seperti bantuan langsung tunai (BLT) akan sulit menahan pelemahan
perekonomian yang sudah bersifat struktural. Perlu adanya gerakan yang cepat
dan tepat untuk mengatasi semua itu. Peran pria sebagai kepala keluarga yang
sekaligus pencari nafkah bagi keluarga sudah tidak dapat lagi menjadi satu-
satunya andalan bagi keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup, perlu adanya
kerjasama antara suami dan isteri dalam menopang keluarga mereka.
Wanita mempunyai potensi yang besar untuk dapat berbuat sesuatu yang
lebih kreatif dan produktif untuk menghasilkan uang. Mereka dapat berbagi
dengan suami mereka dalam mencari nafkah. Sekarang ini banyak wanita
Indonesia yang sudah merubah paradigma lama dimana mereka tidak hanya
sebagai seorang isteri dari suami dan sebagai seorang ibu bagi anak-anak
mereka, tetapi mereka juga sebagai wanita pekerja atau pengusaha. Setidaknya
tercatat sekitar 9.3 juta wanita Indonesia yang berkerja lebih dari 48 jam per
minggu dan sekitar 40.000 pengusaha wanita Indonesia (BPS Indonesia, 2009 &
IWAPI, 2010). Tidak semua mereka memulai usahanya dengan modal yang besar
ada juga yang memulainya dari usaha rumahan. Walaupun belum tercatat
sebagai pengusaha wanita yang sukses para ibu rumah tangga di Desa Tanjung
Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir berusaha dengan ketrampilan seadanya
mereka mencari uang sebagai pembuat baju pengantin adat Sumatera Selatan.
Sebagian wanita di desa ini berkerja sebagai pengrajin baju pengantin adat
Sumatera Selatan, ada juga yang menjadi pengrajin pembuat perhiasan emas dan
perak, dan membuat perabot dapur. Akan tetapi kesemua industri yang ada di
desa ini masih terkategori industri rumah tangga atau skala kecil dan tidak jelas
legalisasi hukumnya serta tidak tercatat resmi di dinas Perindustrian dan
Perdagangan Sumatera Selatan. Tidak ada data mengenai berapa jumlah yang
persis industri baju pengantin adat Sumatera Selatan di daerah ini, dan sejak
kapan memulai usahanya. Dari data di lapangan di dapat bahwa wanita pengrajin
baju pengantin adat Suamtera Selatan ini memulai usahanya karena turun
temurun warisan dari nenek moyang mereka.
Usaha pembuatan baju pengantin adat Sumatera Selatan ini berjalan
begitu saja dari hari ke hari, mereka membuat baju pengantin karena mendapat
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
980
upahan atau membuat atas inisiatif sendiri kemudian mereka jual. Upah
pembuatan satu stel baju pengantin sangat bervariasi tergantung dari baju yang
akan dipakai oleh pengantin wanita atau baju yang akan dipakai oleh pengantin
pria. Selain itu yang membedakan tingkat kerumitan dari baju itu sendiri, seperi
contoh baju pengantin Aesan Kebesaran (Gede), tentu berbeda dengan
pembuatan baju pengantin berbeda Aesan Pengangon (Pak Sangko). Seperti
untuk membuat satu stel baju kurung pengantin wanita (Pak Sangko wanita)
lengkap dengan teratai, sunting, mahkota, gelang tetapi tidak termasuk kain
songket yang akan dipakai pengantin wanita yaitu berkisar antara Rp. 300.000,- –
Rp. 500.000,- tergantung dari kualitas baju tersebut. Tetapi untuk pakaian Pak
Sangko Pria upahnya sedikit lebih rendah berkisar Rp. 200.000,- - Rp. 400.000,-.
Sedangkan untuk baju pengantin Aesan Gede Wanita upah pembuat satu stel
lebih mahal karena walaupun baju pengantin ini tidak tertutup seperti hanya
menggunakan kain dodot saja, tetapi ditutupi dengan teratai pada bagian dada,
dan biasanya sebagai daya tarik utama pakaian jenis ini terletak pada teratai itu.
Sehingga dibuat agak gemerlap bertaburan dengan hiasan-hiasan keemasan
sehingga pengerjaannya menjadi lebih rumit, selain itu perbedaan pakain ini
dengan Pak Sangko juga ditambahkan selempang jadi upah untuk mengerjakan
baju jenis ini berkisar antara Rp. 350.000,- sampai Rp. 600.000,-. Sedangkan
upah untuk pakaian prianya sama dengan pakaian Pak Sangko wanita.
Selain menerima membuatkan pesanan dari toko-toko yang menjual baju
pengantin adat Sumatera Selatan di Palembang, mereka juga membuat baju
pengantin apabila tidak ada pesanan dan kemudian menjualnya apabila ada orang
yang datang ke desa mereka atau membawa hasil karya mereka ke kota
Palembang. Harga 1 stel pakaian pengantin Aesan Gede wanita mereka jual
dengan harga Rp. 3.000.000,- sedangkan Aesan Gede Pria Rp. 1.500.000,-
dengan kualitas nomor satu. Untuk pakaian pengantin Pak Sangko nomor satu
mereka menjual satu pasang untuk pria dan wanita Rp. 3.000.000 sampai Rp.
4.000.000,-.
Bahan baku untuk membuat baju pengantin adat Sumatera Selatan
biasanya terdiri dari kain bludru, kuningan, manik-manik, benang emas, kuningan,
mata-mata, kembang goyang. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk
membuat baju pengantin ini selain dari mesin jahit, benang jahit, alat untuk
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
981
membentuk sunting, anting-anting, kalung, bunga-bunga untuk mahkota. Tetapi
yang terpenting dalam membuat baju pengantin ini adalah ketelitian, keuletan, dan
ketrampilan untuk memasang ornament-ornamen untuk baju tersebut. Proses
pembuatan satu pasang baju pengantin ini berkisar antara satu hingga dua
minggu. Dibawah ini adalah gambar baju pengantin adat Palembang, Sumatera
Selatan yang dibuat oleh wanita pengrajin baju pengantin di desa Tanjung Batu,
Kabupaten OKI.
Baju Pengantin Pak Sangko Baju Penganti Aesan Ged
Gambar 1 Baju Pengantin Adat Palembang, Sumatera Selatan
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor manakah yang
dapat menghambat wanita pengrajin pakaian pengantin di desa Tanjung Batu ini
dalam berwirausaha. Manfaat yang akan di dapat dari studi ini adalah untuk
membantu wanita pengrajin dalam mengatasi permasalahannya, serta membantu
mereka untuk dapat mengembangkan usahanya. Secara tidak langsung ini juga
akan bermanfaat bagi pemerintah daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam
meningkatkan income per kapitanya.
TINJAUAN PUSTAKA
Apakah Wirausaha dan Kewirausahaan
Banyak pengertian dari kewirausahaan atau dalam bahasa Inggrisnya
Entrepreneurship, seperti yang dikatakan oleh Timmons (1994) states
entrepreneurship is a human, creative act that builds something of value from
practically of opportunity regardless of the resources, or less of resources, at
hand. It requires a willingness to take calculated risks. Sedangkan menurut
Wikipedia Online (2010) dalah proses mengidentifikasi, mengembangkaan, dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
982
membawa visi ke dalam kehidupan. Pendapat senada di uraikan oleh Unggul
(2008) Semangat , sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani
usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya cara kerja teknologi dan produk
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang
lebih baik dan keuntungan yang lebih besar.
Tahap-tahap kewirausahaan
Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha:
1. Tahap memulai
2. Tahap melaksanakan usaha
3. Tahap mempertahankan usaha
4. Tahap mengembangkan usaha(Wikipedia Online, 2010)
Pengertian seorang Entrepreneur
Beberapa orang berpendapat adanya perbedaan antara pengusaha,
pekerja dan seorang entrepreneur. Menurut Zimmerer and Scarborough (2003),
an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and
uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying
opportunities ad assembling the necessary resources to capitalize on those
opportunities. Sedangkan menurut Unggul (2008), pengusaha adalah wirausaha
yaitu orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis,
mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan
tindakan yang cepat dalammemastikan kesuksesan.
Faktor-faktor Keberhasilan dan Kegagalan Wirausaha
1. Keberhasilan Wirausahawan
Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan dukungan dari orang lain
yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola. Seorang wirausaha harus
mau menghadapi
tantangan dan resiko yang ada. Resiko dijadikan sebagai pemacu untuk maju,
dengan adanya resiko, seorang wirausaha akan semakin maju.
a. Kerja keras e. Pandai membuat keputusan
b. Kerjasama dengan orang lain f. Mau menambah ilmu pengetahuan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
983
c. Penampilan yang baik g. Ambisisi untuk maju
d. Yakin h. Pandai berkomunikasi
3. Kegagalan Wirausahan.
Menurut Alex S. Niti Semito dalam Unggul (2008), kegagalan wirausahawan
dalam menjalankan bisnisnya terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Kegagalan yang dapat dihindarkan
Misal: salah mengelola perusahaan, tidak ada rencana yang matang, pelayanan
yang kurang baik, dll
2. Kegagalan yang tidak dapat dihindarkan
Yaitu kegagalan yang sulit atau hamper tidak dapat dihindari seperti bencana
alam, peperangan, kebakaran, kecelakaan.
Prinsip dasar membuka peluang usaha adalah : 1. Memiliki motivasi , tekad yang bulat dan kuat. 4. Memiliki wawasan luas
2. Cerdas dalam teknik pengambilan resiko 5. Memiliki naluri kuat
3. Percara diri 6. Tidak suka diatur orang lain
7. Menerima pendapat orang lain
Strategi membuka peluang usaha adalah :
1. Jangan ragu 4. Berupaya menutupi kelemahan
2. Menhilangkan rasa pesimis 5. Mau belajar pada dengan orang lain
3. Bangikitkan sifat optimis 6. Memiliki wawasan luas
Pengusaha Wanita Kesempatan dan dan Tantangannya
Kesempatan berwirausaha di depan mata, tergantung bagaimana setiap
orang memanfaatkannya. Untuk mendapatkannya memang tidaklah mudah
karena kesempatan tidak datang begitu saja, sehingga orang harus jeli melihat
peluang tersebut. Begitu pula kesempatan usaha bagi wanita dari sektor industri
rumah tangga, walaupun kecil peran wanita dalam industri rumah tangga tetapi
wanita tetap dapat mengembangkan potensi yang ada pada mereka (Indriani,
2005). Untuk itu pengusaha wanita harus pandai mengidentifikasi kesempatan
bisnis dan menangkap peluang disekitar mereka. Sama halnya dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
984
pengusaha pria, banyak pengusaha wanita yang memulai bisnisnya karena hanya
mempunyai ide yang baik.
Tetapi ada beberapa alasan yang membuat perbedaan antara pembinis
wanita dan pria, seperti motivasi, dan diskriminasi (Zimmerer & Scarborough,
2003). Selain itu ada tantangan lain bagi pengusaha wanita, seperti personal
service, karena sektor industri lebih percaya dengan pengusaha pria. Sebuah
studi di Inggris memperoleh hasil bahwa pengusaha wanita lebih menderita
disbanding dengan pengusaha pria dikarenakan adanya diskriminasi gender
(Shaw et.al, 2001). Masalah lain yang dapat timbul adalah karena urusan
keluarga termasuk suami dan anak-anak (Deakin & Fareel, 2003), dan kesibukan
urusan rumah tangga (Darmawan & Kurniati, 2008)
PROSEDUR DAN METHODOLOGI
Banyak faktor yang mempengaruhi entrepreneur wanita untuk
mengembangkan usahanya. Pada penelitian ini dibatasi menjadi dua jenis yaitu
potensi dan hambatan secara detil seperti diagram di bawah ini:
Sumber: Djumrianti, 2010
Gambar 2. Model Penelitian
Teori
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesempatan berusaha:
1. Hambatan 2. Potensi
- modal - keahlian
- keluarga - ketrampilan
- diskriminasi
Analisis
Regresi Berganda
Hasil dan Interpretasi
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
985
HIPOTESA
Asumsi bahwa faktor-faktor hambatan secara signifikan parsial mempengaruhi
kesempatan berwirausaha.
Asumsi bahwa faktor-faktor potensi mempengaruhi signifikan parsial terhadap
kesempatan berwirausaha.
Asumsi bahwa faktor-faktor hambatan dan potensi mempengaruhi
kesempatan berwirausaha secara simultan signifikan.
Diagram di bawah ini adalah hipotesa model dalam penelitian ini:
Gambar 3. Model Hipotesis Definisi dari variable-variabel
Dibawah ini adalah variable-variabel penelitian:
1. Hambatan (X1), comprise three indicators:
- Modal (X11), Jumlah orang dan dana yang ada di perusahaan. - Family (X12), orang yang ada hubungan dekat termasuk suami, anak dan
orang tua. - Discrimination (X13), perbedaan supporting program terhadap pengusaha
wanita. 2. Potentials (X2), consist of three indicators: - Hobbi (X21), sesuatu yang wanita sangat menyukai - Ketrampilan (X22), sesuatu dimana pengusaha wanita yakin bisa mengerjakan - Keahlian (X23), suatu ketrampilan di dalamnya ada pengetahuan untuk
mencapai sesuatu. 3. Kesempatan (Y), kesempatan untuk berbisnis.
PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Data Primer: Serangkaian observasi telah dilakukan secara langsung untuk
melihat proses pembuatan baju pengantin adat Sumatera Selatan. Beberapa
kuesioner pun telah dibagikan kepada 67 orang responden terpilih. Serta focus
Hambatan
Potensi
Kesempatan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
986
group discussion selama 60 menit pun telah dilakukan untuk mendapatkan hasil
yang lebih maksimal.
Data Sekunder: Untuk melengkapi data pada penelitian ini ditambah data
sekunder yang diperoleh dari dinas Perindustian dan Perdagangan propinsi
Sumatera Selatan, Biro Pusat Statistik Daerah Sumatera Selatan, dan Indonesia,
serta mengkaji beberapa literatur.
Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi wanita, ibu rumah tangga di desa Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 200 wanita. Sedangkan yang menjadi sampel adalah sebagai berikut, dihitung dengan menggunakan rumus Slovin, seperti di bawah ini (Arikunto, 2002 & Umar, 2001):
N n = ---------------- 1 + N (e) 2
n: sample, N: populasi, e: precision . Dengan tingkat ketelitian 10%, didapat
sampel sebanyak 67 orang.
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan regresi
berganda (Gujarati, 2003):
Y = f (X1, X2, X3, … Xn) atau Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + …μ
Y : dependent variable β1 … βn : regression coefficient μ:
disturbing error
β0 : constantan X1… Xn: independent variables
Pengukuran variable-variabel
Untuk mengukur variable-variabel tersebut digunakan skala Likert untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan dimana skornya adalah Sangat setuju= 5,
Setuju=4, Netral = 3, Tidak setuju= 2, Sangat Tidak Setuju = 1.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
987
HASIL DAN DISKUSI
Deskripsi responden
Sebanyak 67 pertanyaan dibagikan kepada respondent di desa Tanjung
Batu OKI, tetapi hanya hanya 60 kuesioner yang dikembalikan.
Demographi Responden
Umur wanita pengrajin yang dijadikan responden adalah 19-25 th = 10 org
(17%), 26-32 th = 11 org (18%), 33-38 th = 20 org (33%), ≥ 39 th = 19 org (31%).
Sedangkan status perkawinan responden adalah mayoritas sudah menikah
sebanyak 58 orang (97%), sisanya 2 orang atau 3% yang belum menikah.
Diskusi
Berdasarkan analisis data pada penelitian diperoleh sebagai berikut:
K = 0.452 H + 0.226 P + 3.788E
K : Kesempatan, H: Hambatan-hambatan, P: Potensi, E: Error
Berdasarkan rumus diatas, dijelaskan hambatan dan potensi berpengaruh
terhadap kesempatan, hambatan 0.452 dan potensi berpengaruh 0.226.
Untuk mengetahui bagaimana kedua independent variabel mempengaruhi
kesesempatan seperti tabel di bawah ini:
Tabel 1. Analisis T test hambatan, Potensi, dan Kesempatan
Variable C.R (t test)
Prob Description
Hambatan - Kesempatan 5.005 0.000 Significant*
Potentsi – Kesempatan 1.274 0.206 Not Significant
* Significant at level 5% or 0.05
Dari tabel diatas terlihat dua variable independen mempunyai pengaruh
terhadap variable dependen, dimana satu variable dependen mempunyai
hubungan signifikan kausal (seperti yang terlihat dari tabel level signifikan
hipotesis test adalah dibawah 0.05). Pengaruhh hambatan dan kesempatan pada
level significan 0.000, nilai t test adala 5.005. Pengaruh potensi terhadap
kesempatan sebesar 0.2006 dan t test adalah 1.274.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
988
Secara detil pengaruh dari variable independent terhadap dependent dalam
penelitian ini seperti tabel di bawah ini:
Tabel 2. Hypothesis Test
Independent
Variable
Dependent
Variable
The Influence (p value) Decision
X1 Y 0.465 0.000 Accept
X2 Y 0.227 0.206 Reject
Sumber: Data Primer diolah, 2010
Asumsi pertama dimana hambatan mempunyai pengaruh secara parsial
terhadap kesempatan bisnis. Untuk membuktikan ini, ada beberapa penemuan,
dimana t test hambatan adalah 5.005 dengan significan t adalah 0.000. Karena t
test lebih besar dari t tabel (5.005 >1.661) atau significan t tabel lebih kecil dari 5%
(0.000 <0.05), jadi hambatan mempunyai pengaruh terhadap kesempatan sebesar
0.465 secara parsial.
Asumsi kedua dimana potensi mempunyai pengaruh terhadap kesempatan
bisnis secara parsial. Untuk membuktikannya dimana t test adalah 1.274 dengan
significan t 0.000. Karena t test lebih kecil dari t tabel (1.274 < 1.661) or signifikan
t lebih besar dari 5% (0.206 > 0.05), sehingga, potensi tidak mempunyai dampak
yang signifikan terhadap kesempatan bisnis sebesar 0.465 secara parsial.
Asumsi ketiga dimana hambatan dan potensi mempunyai dampak terhadap
kesempatan bisnis secara simultan. Hasil menunjukkan bahwa F test was 30.90
(sig F = 0.000). Therefore, F test lebih besar dari F table (30.792 > 2.12) of Sig F
lebih kecil dari 5% (0.000 < 0.05). Ini berarti kedua hambatan dan potensi
mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis.
Sehingga kesemua hipotesis-hipotesis tersebut:
H1: Hambatan mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis terbukti.
H2: Potensi mempunyai pengaruh terhadap kesempatan bisnis terbukti.
H3: Faktor-faktor hambatan mempengaruhi kesempatan bisnis sudah terbukti.
Sedangkan faktor-faktor potensi mempengaruhi kesempatan bisnis tidak
terbukti.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
989
KESIMPULAN
Sebagian besar wanita pengrajin baju pengantin adat Sumatera Selatan di
desa Tanjung batu adalah isteri sekaligus ibu rumah tangga. Mereka berkerja
atau berusaha karena warisan turun temurun. Meskipun mereka telah
mempunyai keahlian dan pengalaman dalam membeuat baju pengantin ini
tetapi perkembangan usaha mereka sangat lamban. Hal ini dikarenakan
adanya hambatan-hambatan dari keluarga. Dari hasil focus group discussion
di dapat, bahwa sebagian dari mereka berkerja sampil mengasuh anak. Jadi
mereka tidak banyak waktu untuk lebih kreatif dan inovatif. Selain itu
diskriminasi gender juga menjadi halangan bagi mereka, dan halangan
mendapatkan dana juga hambatan lain mereka untuk sukses.
Faktor-faktor dari potensi seperti hobbi, ketrampilan dan keahlian tidak
signifikan berpengaruh terhadap kesempatan bisnis. Hal ini dikarenakan
wanita di desa ini memulai pekerjaannya bukan karena hobbi, tetapi mereka
hanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh ibu, dan nenek mereka secara
turun temurun. Dari focus group discussion di dapat bahwa sejak kecil mereka
sudah Some factors of potentials, such as hobbies, abilities, and skills are
having not significant influence belajar membuat baju pengantin karena
membantu orang tua mereka, sehingga keahlian dan ketrampilan terdidik
mereka miliki selama ini sudah cukup untuk mensupport usaha mereka.
Faktor potensi dan hambatan berpengaruh secara simultan terhadap
kesempatan bisnis baju pengantin adat Sumatera Selatan ini.
Penelitian yang akan datang akan mengkaji lebih dalam bagaimana peran
serta wanita di dalam industri rumah tangga di desa ini. Melihat mengapa terjadi
diskriminasi bagi wanita dalam menjalankan usahanya, serta mencari tahu
bagaimana bantuan permodalan untuk pengusaha wanita.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
990
DAFTAR PUSTAKA
M. Ikhsan Modjo (2008). Dampak Krisis Pengangguran 2009 Diprediksi 9.5 persen. Suara Karya Online. 27 Nopember 2009.
Safri. H. Nungcik (2009). UMR Sumsel naik 12.5 persen. Tempo Interaktif, 18
November 2009 rikunto, S. (1999).: Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Citpa Berita Sore. (2009).: Pekerja di PHK Akibat Krisis Global, Retrieved 26/04/10
World Wide Web http://beritasore.com/2009/2/003/31660-pekerja-di-phk-akibat-krisis-global
Darmawan & Kurniati (2008). Pemberdayaan Perempuan pada Sektor Industri
Kecil. Bandung: UPI Deakins, D. & Freel, M. (2003).: Entrepreneurship and small firms. New York:
McGraw-Hill Education (UK) Limited. Global Entrepreneurship Monitor (1999).: Executive Report. USA: Kauffman
Centre for Entrepreneurial Leadership, Babson College, Boston. Global Entrepreneurship Monitor (2000).: Executive Report. USA: Kauffman
Centre for Entrepreneurial Leadership, Babson College, Boston. Gujarati, D. (2003).: Basic Econometric. New York: McGraw-Hill. Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). (2010).: Laporan Ketua IWAPI.
Retrieved 27 April 2010 World Wide Web http://www.iwapi.or.id Indriani (2005). Peran Perempuan dalam Perkembangan Industri Kecil. (Studi
Kasus: Perempuan dalam Industri Batik di Kabupaten Banyumas). Universitas Diponegoro.
Lambing, P. & Kuehl, C. R. (2000).: Entrepreneurship. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall. McClelland, D.C. (1996).: The Achiving Society. New Jersey: Van Nostrand Shaw, E., Carter, S. and Brierton, J. (2001).: Unequal Entrepreneurs: Why female
enterprise is an uphill businesss. London: The Industrial Society. Statical Abstract of the U.S. (1992).: Department of Commerce, Bureau of the Census. BPS Indonesia & Sumsel. (2009). Data wanita bekerja di Indonesia pada tahun 2009.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
991
Steinhoff, D. & Burgess, J. F. (1993).: Small Business Management
Fundamentals. 6th ed. New York: McGrawhill Inc. Timmons, J. (1994).: The Entrepreneurial Mind. Success. Vol. 48. Umar, H. (2001).: Metode Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Unggul, E. (2008). Modul Kewirasuahaan. Tegal: Politeknik Tegal. Wikipedia Online (2010). Kewirasuahaan. Diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan pada tanggal 5 Desember 2010. Zimmerer, W. T. & Scarborough, N. M. (1996).: Entrepreneurship and The New
Venture Formation. New Jersey: Prentice Hall International Inc. Zimmerer, W. T. & Scarborough, N. M. (2003).: Entrepreneurship and The New
Venture Formation. New Jersey: Prentice Hall International Inc.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
992
PENINGKATAN PENDAPATAN MELALUI PENANAMAN TANAMAN SELA KEDELE DAN CABE RAWIT DIANTARA TANAMAN PANILI YANG BELUM
MENGHASILKAN
INCREASING INCOME THROUGH INTERCROPPING OF SOYBEAN AND CHILLI ON VANILLA BEFORE PRODUCTION
Robet Asnawi dan Ratna Wylis Arief
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
ABSTRACT
Low production and low quality of vanilla caused by the farmers do not cultivate the plant in proper way, such as pruning the post, mound, fertilizer, and post harvest technology. Besides, monoculture farming system espesially for young plant caused does not have affort. The activity of assesment adaptability of package technology and farming system of vanilla was conducted at Jabung (East Lampung) in 2007. The treatments were Model 1 (recommended cultivation technology) such as superior variety of Anggrek vanilla, pruning the post, mound, and fertilizer, and Model 2 (traditional cultivation technology). Farming system of vanilla (vanilla-soybean and vanilla-chili) will be done by young plant of vanilla. The objective was to increase farmers income and to obtain technology packages cultivation and farming system exspecially for young plant of vanilla. The result showed that cultivar Anggrek vanilla that support by application of recommended cultivated technology such as prunning and fertilizer produced higher growth than local cultivar. Soybean and chilli were planted among vanilla result the same growth and production with soybean monoculture and chilli monoculture. Soybean planted among vanilla (pattern of vanilla-soybean) increased farmers income average Rp.1.691.000,- per ha per season (3 months) and increased farmers income average Rp. 1.656.000,- per ha per season (3 months) by pattern of vanilla-chili. Key Word : Vanilla planifolia, soybean, chilli, intercropping, income.
PENDAHULUAN
Tanaman panili (Vanilla planifolia Andrews) di propinsi Lampung berkembang
sangat pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1991 luas areal tanaman panili di
propinsi Lampung adalah 834 ha, dan berkembang menjadi 2 245,5 ha pada tahun
1995 (Dinas Perkebunan Propinsi Lampung, 1995).
Budidaya tanaman panili memerlukan penegak yang sekaligus merupakan
naungan. Tanaman panili menghendaki kelembaban udara dan tanah yang tinggi,
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
993
yaitu 80 sampai 100%. Oleh karena itu pada pertanaman panili tidak memerlukan
penyiangan yang intensif, terutama pada musim kemarau, bahkan jika perlu tidak
dilakukan penyiangan. Hasil observasi Asnawi (1995), menunjukkan bahwa tanaman
panili yang disiang bersih akan menguning dan bunga akan rontok pada musim
kemarau. Sifat demikian yang dimiliki tanaman panili memberikan peluang dalam
upaya memanfaatkan tanaman sela diantara tanaman panili baik untuk menjaga
kelembaban tanah maupun menambah pendapatan petani. Budidaya tanaman
panili memerlukan penegak yang sekaligus merupakan naungan. Tanaman panili
menghendaki kelembaban udara dan tanah yang tinggi, yaitu 60 sampai 80%
(Kartono dan Isdijoso, 1977). Hasil penelitian Soenardi dan Rakhmadiono (1985),
menunjukkan bahwa pemberian 30 liter/pohon pupuk kandang berasal dari kotoran
sapi mampu menaikkan hasil lebih dari 100 %.
Secara umum permasalahan pertanaman panili di Indonesia adalah produksi
dan mutu yang rendah. Produksi ditentukan oleh antara lain ditentukan oleh
penerapan dan pemakaian teknologi budidaya yang belum sesuai, seperti
penggunaan bahan tanaman klon harapan unggul), pemangkasan pohon penegak,
pengguludan, pemakaian mulsa, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit,
serta belum diterapkannya teknologi pengolahan buah panili. Sistem usahatani yang
tidak optimal akan menyebabkan pendapatan usahataninya yang rendah, seperti
terjadi pada usahatani panili di Bali (Mauludi dan Indrawanto, 1997). Sebagian
besar pola pertanaman panili di Lampung dilakukan secara monokultur. Efisiensi
penggunaan lahan melalui penanaman tanaman sela diantara tanaman panili sangat
mungkin dilakukan dan sesuai dengan habitat yang diinginkan tanaman panili, yaitu
kelembaban tanah yang tinggi. Karena itu penanaman tanaman sela antara lain
jagung, kedele, jahe, dan cabe diantara tanaman panili yang belum menghasilkan
diharapkan akan mampu menambah pendapatan petani selama tanaman panili
belum menghasilkan.
Pola tanam monokultur ini menanggung resiko kegagalan yang cukup tinggi
baik ditinjau dari segi fluktuasi harga komoditas maupun resiko kegagalan tanam
dari komoditas bersangkutan, yang berakibat menurunnya pendapatan petani.
Karena itu kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan
pijakan utama bagi kelangsungan hasil usahataninya (Kasryno et al., 1993).
Tanaman panili berproduksi pada umur 2,5 sampai 3 tahun setelah tanam. Dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
994
demikian selama tanaman panili belum menghasilkan, penanaman tanaman sela
bernilai ekonomis seperti padi, palawija, sayuran merupakan alternatif sumber
pendapatan atau tambahan modal usahatani panili sebelum menghasilkan. Di
propinsi Lampung, produksi panili di tingkat petani masih sangat rendah, yakni rata-
rata 0,25 kg buah panili basah/pohon (Asnawi dan Rosman, 1994), sementara
potensi klon harapan panili unggul (klon Anggrek) serta ditunjang dengan teknik
budidaya yang benar akan mampu menghasilkan 1 sampai 1.5 kg buah panili
basah/pohon (Asnawi, 1993). Klon harapan Anggrek panili hingga saat ini belum
dijumpai di pertanaman panili di Lampung, sehingga perlu dikaji sebagai klon
introduksi dalam upaya meningkatkan produksi panili di Lampung, baik melalui
peremajaan tanaman maupun perluasan areal. Pada umumnya teknologi budidaya
yang dilakukan di Lampung adalah secara tradisional dengan input teknologi yang
rendah, seperti tanpa pemupukan, pemangkasan yang tidak teratur, dan tanpa
guludan. Hasil penelitian Asnawi dan Rosman (1994) menunjukkan bahwa
penerapan paket teknologi budidaya seperti pemangkasan, pemupukan,
pengguludan mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi panili.
Pada umumnya petani menjual hasil panen dalam bentuk buah basah (buah
segar). Sedangkan bila petani melakukan pengolahan buah yang akan dijual dalam
bentuk hasil olahan maka akan memperoleh pendapatan dua sampai tiga kali lipat
(Mauludi, 1993). Karena itu penerapan teknologi pasca panen panili di tingkat petani
secara langsung akan meningkatkan pendapatan petani. Hal tersebut akan berhasil
apabila ditunjang oleh koordinasi antara dinas instansi, kelompok tani, serta peranan
pihak swasta (eksportir) yang membeli hasil olahan buah panili.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan peket teknologi budidaya dan
meningkatkan pendapatan petani melalui pemanfaatan tanaman sela diantara
tanaman panili yang belum menghasilkan.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur
pada tahun 2007. Pemilihan lokasi kegiatan karena Kecamatan Jabung merupakan
salah satu sentra produksi tanaman panili di Provinsi Lampung. Kegiatan dilakukan
di lahan petani dengan total areal kajian 2 ha. Paket teknologi yang diterapkan
(Tabel 1) adalah paket teknologi anjuran (Model 1) dan paket teknologi
konvensional/cara petani (Model 2). Paket teknologi budidaya anjuran seperti klon
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
995
harapan unggul Anggrek panili, pemangkasan pohon penegak, pengguludan,
pemupukan, pola tanam panili-kedele dan pola tanam panili-cabe rawit. Sedangkan
paket teknologi konvensional menggunakan klon lokal Jabung dan tanpa
pemupukan. Sebagai pembanding diamati pertumbuhan dan produksi tanaman
kedele dan cabe rawit yang ditanam secara monokultur masing-masing dengan luas
400 m2.
Tabel 1. Model Paket teknologi yang diterapkan di areal pengkajian.
Perlakuan Model 1 (Paket teknologi anjuran)
Model 2 (Paket teknologi konvensional)
Bahan
Tanaman
Klon Anggrek panili Klon panili lokal Jabung
Pemangkasan Pangkas teratur dgn menyisakan 2 cabang per pohon pada awal musim hujan.
Pangkas habis pada awal musim hujan.
Pengguludan Digulud Tidak digulud
Pemupukan 10 kg/phn/th pupuk kandang Tidak dipupuk
Pola tanam Panili-kedele dan panili-cabe rawit
Panili monokultur
Jenis data yang akan dikumpulkan antara lain adalah : pertumbuhan
vegetatif panili, kedele, dan cabe, dan komponen hasil kedele dan cabe, serta
analisis usahatani pola tanam panili-kedele dan panili-cabe rawit.
Data hasil pengamatan akan dianalisis dengan uji T (T-Test) dengan
membandingkan masing-masing paket teknologi budidaya panili yang diadaptasikan
(teknologi budidaya dan pola tanam) dengan teknologi konvensional yang diterapkan
petani.
Tahap awal kegiatan ini adalah pengajiran dan penanaman pohon penegak
Glyricidia sp. Jarak tanam yang digunakan adalah 1.5 m x 1.25 m. Tahap
selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm
kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 10 kg per pohon. Klon harapan unggul
Anggrek panili dan klon panili lokal ditanam satu minggu setelah pemberian pupuk
kandang pada lubang tanam yang telah tersedia. Ukuran setek yang digunakan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
996
adalah 7 ruas, dengan 3 ruas (daun dibuang) dibenam di dalam tanah serta 4 ruas
(daun tidak dibuang) diikatkan pada pohon penegak yang sudah ada.
Pemangkasan pohon penegak, dilakukan pada awal musim hujan dengan hanya
memelihara 2 cabang per pohon (teknologi anjuran) dan pangkas habis (untuk
teknbologi konvensional). Pembuatan guludandilakukan satu bulan setelah
penanaman panili dengan meninggikan tanah pada daerah perakaran setinggi 25
cm dan lebar 75 cm. Pemupukan dilakukan pada awal musim kemarau dengan
memberikan pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi/kambing dengan dosis
30 liter/pohon/tahun atau 10 kg/pohon/tahun. Pola tanam panili-kedele dan panili-
cabe rawit dilakukan satu minggu setelah penanaman panili ditanam. Jenis tanaman
sela yang digunakan adalah selain berumur pendek juga merupakan tanaman yang
toleran terhadap sedikit naungan tetapi tanpa menghambat pertumbuhan tanaman
tersebut seperti kedele dan cabe rawit. Tanaman kedele ditanam sebanyak 3 baris
diantara tanaman panili (jarak tanam 10 x 50 cm), sedangkan tanaman cabe rawit
ditanam 1 baris diantara tanaman panili dengan jarak di dalam barisan berukuran 1.5
m. Pemeliharaan tanaman panili meliputi pemeliharaan sulur, pengendaliaan
penyakit busuk batang panili.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan Tabel 1 menunjukkan bahwa klon Anggrek panili
menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dari klon lokal Jabung, yang
tercermin pada pengamatan persentase tanaman tumbuh, tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah ruas, dan persentase serangan penyakit.
Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman panili.
No Parameter Klon Anggrek panili Klon panili lokal
1. Tanaman tumbuh (%) 89.27 78.78
2. Tinggi tanaman (cm) 89.22 87.67
3. Jumlah daun 12.66 11.78
4. Jumlah ruas 12.36 10.44
5. Serangan penyakit (%) 8.23 8.77
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
997
Hal tersebut disebabkan karena selain perbedaan faktor genetik juga disebabkan
daya adaptasi yang lebih tinggi bagi klon harapan Anggrek untuk tumbuh dan
berkembang di Jabung. Dijelaskan oleh Bari et al (1974) bahwa faktor genetik akan
muncul secara optimal apabila didukung oleh kondisi lingkungan (penerapan
teknologi budidaya yang benar) yang sesuai. Ditambahkan hasil penelitian Asnawi
(1993), bahwa klon Anggrek panili yang ditanam di KP Natar menghasilkan
pertumbuhan dan produksi yang lebih tinggi dari klon Ungaran Daun Tipis, Ungaran
Daun Tebal, dan Gisting.
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sela
kedele (Tabel 2), menunjukkan bahwa tanaman kedele yang ditanam diantara
tanaman panili (Gambar 1) menghasilkan pertumbuhan yang tidak jauh berbeda
dengan tanaman kedele yang ditanam dengan pola monokultur, kecuali untuk
parameter produksi per hektar. Hal tersebut disebabkan kondisi lingkungan baik
dari jumlah cahaya maupun kelembaban relatif sama (masih pada batas toleransi)
antara kedele yang ditanam diantara tanaman panili dengan kedele monokultur.
Gambar 1. Pola tanam panili-kedele.
Rendahnya produksi per hektar untuk tanaman kedele yang ditanam diantara
tanaman panili yang belum menghasilkan dikarenakan jumlah populasi tanaman
kedele lebih sedikit bila ditanam diantara tanaman panili dibandingkan dengan
kedele monokultur.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
998
Tabel 2. Hasil pengamatan tanaman sela kedele (Panili-kedele) dan kedele
monokultur.
No Parameter Panili-kedele Kedele monokultur
1 Tinggi tanaman (cm) 88.25 87.36
2 Jumlah polong isi/tanaman 109.24 111.03
3 Berat 100 butir (g) 11.08 10.97
4 Berat berangkasan (g) 20.02 20.82
5 Produksi (ton/ha) 0.74 0.96
Hasil pengamatan pada Tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan tanaman cabe
rawit yang ditanam diantara tanaman panili (Gambar 2) cenderung menghasilkan
pertumbuhan yang lebih baik daripada tanaman cabe rawit yang ditanam secara
monokultur. Hal tersebut disebabkan karena adanya sedikit naungan yang
dibutuhkan tanaman cabe rawit untuk pertumbuhannya. Sedangkan produksi
tanaman cabe yang ditanam diantara tanaman panili terlihat lebih rendah jika
dibandingkan dengan produksi tanaman cabe rawit yang ditanam secara
monokultur. Hal tersebut dikarenakan jumlah populasi tanaman cabe rawit pada pola
panili-cabe rawit lebih sedikit (hanya 1 baris) dibandingkan dengan tanaman cabe
rawit monokultur.
Tabel 3. Hasil pengamatan tanaman sela cabe rawit.
No Parameter Panili-cabe rawit Cabe rawit monokultur
1. Tinggi tanaman (cm) 121.76 106.75
2. Produksi (ton/ha) 370.75 987.50
Gambar 2. Pola tanam panili-cabai.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
999
Hasil analisis usahatani panili-kedele (Tabel 4) menunjukkan bahwa tanaman
panili yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman kedele (pola tanam
panili-kedele) mampu menambah penghasilan pertani sebesar Rp. 1.691.000.-/ha
selama 3 bulan, sedangkan tanaman panili yang ditanam secara tumpang sari
dengan tanaman cabe (pola tanam panili-cabe) mampu menambah penghasilan
pertani sebesar Rp.1.656.710.-/ha selama 3 bulan (Tabel 5). Hal tersebut berarti
selama menunggu tanaman panili menghasilkan, areal tanaman panili dapat
ditanami beberapa jenis tanaman pangan (kedele, cabe) untuk menambah
penghasilan petani.
Tabel 4. Analisis usahatani pola tanam panili-kedele.
No Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1 Benih kedele 10 kg 5,000 50,000
2 Pupuk kandang 5000 kg 125 625,000
3 Pupuk Urea 100 kg 1,100 110,000
4 Pupuk SP36 100 kg 1,400 140,000
5 Pupuk KCl 50 kg 3,000 150,000
6 Pestisida 3 lt 40,000 120,000
7 Jumlah Pengeluaran - - 1,250,000
8 Hasil 740 kg 3,900 2,886,000
9 Pendapatan - - 1,691,000
Catatan : Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja keluarga (dikelola sendiri).
Tabel 5. Analisis usahatani pola tanam panili-cabe rawit.
No
Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1 Benih cabe rawit 5 bks 30,000 150,000
2 Pupuk kandang 5000 kg 125 625,000
3 Pupuk Urea 150 kg 1,100 165,000
4 Pupuk SP36 100 kg 1,400 140,000
5 Pupuk KCl 50 kg 3,000 150,000
6 Pestisida 2 lt 40,000 80,000
7 Jumlah Pengeluaran - - 1,310,000
8 Hasil 370.7
5 kg 8,000 2,966,000
9 Pendapatan - - 1,656,000
Catatan : Tenaga kerja menggunakan tenaga kerja keluarga (dikelola sendiri).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1000
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Pertumbuhan tanaman panili klon harapan Anggrek yang ditunjang dengan
teknologi budidaya anjuran menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih
baik dibandingkan dengan klon panili lokal Jabung dengan teknologi budidaya
konvensional.
2. Pemanfaatan tanaman sela kedele (pola tanam panili-kedele) mampu
menambah pendapatan petani sebesar Rp.1.691.000,-/ha/musim (selama 3
bulan) dan cabe rawit (pola tanam panili-cabe rawit) Rp.1.656.000,-/ha/musim
(selama 3 bulan)
3. Pertumbuhan dan produksi tanaman kedele dan cabe rawit yang ditanam
diantara tanaman panili cenderung sama dengan tanaman kedele dan cabe
rawit monokultur.
DAFTAR PUSTAKA
Asnawi, R. 1993. Produksi beberapa tipe panili (Vanilla planifolia Andrews). Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (VIII) 1 : 52-55. Asnawi, R dan R. Rosman. 1994. Perakitan paket teknologi peningkatan mutu
panili. Kerjasama antara Badan Litbang Pertanian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian, dengan Sub Balittro Natar. 18 hal.
Asnawi, R. 1995. Observasi pengaruh curah hujan terhadap pembungaan tanaman
panili. Analisis Iklim Untuk Pengembangan Agribisnis. Prisiding Simposium Meteorologi Pertanian IV, Yogyakarta 26-28 Januari 1995. Hal 249-256.
Bari, A., S. Musa dan E. Syamsudin. 1974. Pengantar pemuliaan tanaman. Dept. Agronomi, Faperta IPB, Bogor: 15-18. Dinas Perkebunan Propinsi Lampung. 1995. Perkembangan pembudidayaan panili
di Lampung dan permasalahannya. Prosiding temu tugas pemantapan dan pengolahan panili di Bandar Lampung 15 Maret 1995. Kerjasama Balittro Bogor dan Disbun Propinsi Lampung. Hal 1-23.
Kartono,G dan S.H.Isdijoso. 1977. Panili (Vanilla planifolia Andrews). Pemberitaan LPTI (27): 65-85.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1001
Kasryno, F, P. Simatupang, dan V.T. Manurung. 1993. Penelitian pertanian dengan pendekatan agribisnis. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
XII (4): 67-73. Mauludi, L. 1993. Analisa efisiensi pemasaran panili di daerah sentra produksi
propinsi Bali. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri (XIX) 3-4: 49-58. Mauludi, L dan C. Indrawanto. 1997. Analisa sistem usahatani dan pemasaran panili
di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri (II) 6: 255-260. Soenardi dan S. Rakhmadiono. 1995. Pemupukan panili dengan pupuk kandang
dan pupuk buatan. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri (X) 3-4 : 69-71.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1002
ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR KEUNTUNGAN USAHATANI
PADI SAWAH IRIGASI DI SUMATERA SELATAN
Sidiq Hanapi, Yanter Hutape dan Waluyo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian, Km 6 Kotak Pos 1265, Palembang 30153
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan pada bulan oktober 2010 di salah satu sentra produksi padi di Kecamatan Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dan metode regresi berganda untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Variabel-variabel luas tanam, harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk organik, harga pestisida dan jumlah produksi padi , menjadi variabel bebas, sedangkan yang menjadi variabel tak bebas adalah tingkat keuntungan usahatani padi irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa besar pendapatan rumah tanga petani padi sawah irigasi dan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata usahatani padi sawah irigasi per hektar sebesar Rp.8.911.338,24. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi adalah luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga pestisida dan jumlah produksi padi. Kata Kunci : Usahatani padi, pendapatan, dan keuntungan.
PENDAHULUAN
Sasaran pembangunan nasional Indonesia yang telah ditetapkan sebagai
komitmen nasional adalah menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2
persen pada tahun 2009, jumlah pengangguran juga akan diupayakan untuk
diturunkan menjadi 5,2 persen di tahun 2009. Untuk mencapai sasaran-sasaran
tersebut diperlukan adanya pertumbuhan perekonomian nasional baik di
perkotaan maupun diperdesaan. Sektor pertanian memegang peranan sangat
penting dalam upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguaran di Indonesia,
karena disanalah salah satu tumpuan pengentasan kemisikinan, percepatan
kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. (Lokollo dan Friyanto, 2007)
Sejalan dengan hal itu, dalam upaya penanggulangan kemiskinan,
kapasitas Departemen Pertanian yang sekarang menjadi Kementrian Pertanian
sesuai mandat utamanya yaitu menangani stabilitas peningkatan produksi
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1003
pertanian, terutama menfasilitasi untuk pengembangan kemampuan masyarakat
petani (Harniati, 2008). Wujud komitmen yang tinggi itu dalam bentuk kebijakan-
kebijakan dan program-program peningkatan produksi pangan, khususnya beras.
Besarnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi perberasan ini didasari oleh
pertimbangan bahwa beras merupakan bahan pokok bagi sebagian besar
penduduk Indonesia, serta bahwa usahatani padi merupakan sumber pendapatan
dan sumber lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan
(Hermanto, 2001).
Produksi padi di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) berasal dari lahan
sawah mencapai 2.891.263 ton (BPS Sumsel, 2009). Untuk lahan sawah irigasi
seluas 90,8 ribu ha yang tersebar di 7 kabupaten dan sekitar 33 ribu ha berupa
sawah irigasi teknis. Agroekosistem sawah irigasi teknis sangat potensial untuk
peningkatan produktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan petani. upaya
perbaikan agribisnis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi adalah
melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), suatu pendekatan
potensi secara terpadu, sinergi dan partisipatif dalam upaya meningkatkan
produksi padi sehingga pendapatan petani meningkat (Thamrin T.dkk, 2009).
Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis seberapa besar pendapatan
rumah tanga petani padi pada lahan sawah irigasi (2) melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi sawah irigasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analitis, yaitu memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena,
menerangkan hubungan antar variabel, antar kategori dalam suatu variabel
dengan kategori atau variabel lain, membuat prediksi, serta mendapatkan makna
dan implikasi dari suatu masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988). Selanjutnya
dapat memberikan gambaran pendapatan petani padi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi keuntungan usahatani padi sawah irigasi sehingga dapat dijadikan
pertimbangan dalam pengembangan usahatani padi saat ini.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ringinsari, Kecamatan Belitang III,
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Penentuan lokasi ini pengkajian ini
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1004
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa kabupaten
Ogan Komering Ulu Timur merupakan salah satu sentra produksi padi/lumbung
beras Sumatera Selatan (Badan Puasat Statistik Sumsel, 2009) dengan jumlah
sampel sebanyak 35 petani padi.
Teknik Analisis
1. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Aanalisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani
padi. Pendapatan diperoleh dengan menghitung selisih antara penerimaaan yang
diterima dari hasil usaha dengan biaya produksi yang dikeluarkan, dirumuskan:
= Y.Py - ∑Xi.Pxi - BTT
Keterangan:
= Pendapatan (Rp)
Y = Produksi (Kg)
Py = Harga GKP (Rp)
∑Xi = Jumlah faktor produksi ke i (i= 1,2,3...n)
Px = Harga produksi ke i (Rp)
BTT = Biaya Tetap Total (Rp)
Untuk mengetahui keuntungan usahatani padi digunakan analisis imbangan
penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: R/C = Nisbah antar penerimaan dengan biaya
PT = Penerimaan Total
BT = Biaya total yang dikeluarkan petani
Jika R/C > 1, maka usahatani padi yang diusahakan menguntungkan. Jika R/C < 1
maka suahatani padi yang diusahakan mengalami kerugian.
2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan
Usahatani Padi Sawah Irigasi
Dalam analisis pengkajian ini digunakan metode regresi berganda untuk melihat
pengaruh beberapa variabel bebas (independent) yang meliputi luas tanam, harga
GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pupuk organik,
BT
PTCR /
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1005
harga pestisida dan jumlah produksi padi terhadap variabel tak bebas (dependent)
yaitu tingkat keuntungan usahtani padi. Persamaan regresi berganda adalah
(Lains,2006):
Y=β0+β1X1+β2X2+ β3X3+β4X4 +β5X5+β6X6 β7X7+β8X8+ u
Keterangan:
Y = Tingkat keuntungan usahatani padi
β0 = intersep
β1 = Koefisien regresi
X1 = Luas tanam
X2 = Harga GKP
X3 = Harga Benih
X4 = Harga Pupuk NPK
X5 = Harga Pupuk Urea
X6 = Harga Pestisida
X7 = Harga Pupuk Organik
X8 = produksi padi
U = Galat baku
Untuk mengetahui seberapa besar proporsi atau persentase total dalam
variabel tak bebas (dependent variable) yang dijelaskan oleh variabel bebas
(independent variable) digunakan koefisien determinasi (R2) (Gujarati, 2000).
Selanjutnya digunakan uji-F untuk melihat variabel bebas secara simultan
terhadap tingkat keuntungan usahatani padi. Guna menguji secara parsial dari
masing-masing variabel bebas terhadap tingkat keuntungan usahatani padi
digunakan uji-t.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Keuntungan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Penerimaan usahtani padi diperoleh dari hasil produksi padi (GKP) dikalikan
harga produksi yaitu harga GKP pada periode tersebut yang dinyatakan dalam
rupiah. Pengeluaran usahatani padi merupakan penjumlahan dari biaya variabel
dan biaya tetap. Biaya variabel meliputi pengunaan bibit, pupuk, pestisida, tenaga
kerja pengolahan lahan, semai, pemeliharaan tanaman sampai panen, biaya
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1006
angkut dan lain-lain, sedangkan biaya tetap meliputi biaya penyusutan alat dan
pajak. Keuntungan yang didapat petani adalah penerimaan dikurangi dengan total
pengeluaran petani untuk prosess produksi.
Tabel 1. Rata-rata Penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani padi sawah
irigasi
di kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur.
Uraian
Volume (Kg)
Harga (Rp)
Nilai (Rp) (Usahtani/0,67
ha) Niali (Rp) Per hektar
Produksi (Kg/ha) 3.545,63 2.513,33 8.911.338,24 14.852.230,41
Biaya Variabel (RP):
a. Benih 17,80 6.713,33 119.497,27 199.162,12
b. Pupuk
1. NPK 138,63 2.383,33 330.401,03 550.668,39
2. Urea 93,50 1.556,66 145.547,71 242.579,51
3. Organik 76,95 7.033,33 541.214,74 902.024,57
c. Pestisida (ltr) 1,01 27.200,00 27.472,00 45.786,66
d. Tenaga Kerja (HOK) 60,70
1. Babat Rumput 59.766,66 99.611,10
2. Semai 99.500,00 165.833,33
3. penyiapan lahan 319.166,67 531.944,45
4. Penamanam 448.700,00 747.833,33
5. Penyiangan 77.000,00 128.333,33
6. Semprot G/H/P 44.833,33 74.722,21
7. Pemupukan 52.333,33 87.222,21
8. Angkut 91.000,00 151.666,66
9. Panen 1.212.930,33 2.021.550,55
e. Lain-lain 371.500,00 619.166,66
Jumlah 3.940.863,08 6.568.105,14
Biaya Tetap
a. Penyusutan Alat 76.850,45 128.084,08
Jumlah 76.850,45 128.084,08
Total Biaya 4.017.713,53 6.696.189,22
Keuntungan 4.893.624,71 8.156.041,18
R/C 2,21 2,21
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1007
Berdasar hasil analisis yang disajikan pada tabel 1 tersebut bahwa
penerimaaan dan total biaya usahatani padi, maka diperoleh nisbah penerimaan
dengan biaya yang disebut Revenue cost ratio (R/C rasio). Besarnya R/C
usahatani padi adalah 2,21 artinya setiap Rp. 1.000,- biaya yang dikeluarkan
dalam usahatani padi akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2.210,-.
Sehingga dilihat besarnya R/C tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi tetap
memberikan keuntungan petani. Keuntungan rata-rata pada lahan garapan padi
seluas 0,67 hektar yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten
OKU Timur sebesar Rp. 4.893.624,71 dan keuntungan rata-rata per hektar
sebesar Rp. 8.156.041,18. Lebih tinggi dibanding tingkat keuntungan rata-rata
petani di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Musi Rawas yang per hektar sebesar
Rp. 7.734.000,00 dalam hasil penelitian Thamrin T dkk mengenai produktifitas
padi sawah irigasi di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi
Faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi adalah luas tanam,
harga GKP, harga benih, harga pupuk NPK, harga pupuk Urea, harga pestisida,
harga pupuk organik, dan produksi padi. Variabel-variabel ini dianalisis dengan
menggunakan model regresi. Hasil analisis model regresi sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap pertama)
Variabel Koef. Regresi t-hitung
Sig
Konstanta -5787313 -3,977 0,001 Luas Tanam(X1) 2736391 3,747 0,001 Harga GKP(X2) 2436,582 4,834 0,000 Harga Benih(X3) -20,378 -0,359 0,723 Harga NPK(X4) -48,983 -0,155 0,878 Harga Urea(X5) -386,3390 -0,755 0,459 Harga Pestisida(X6) -10,196 -1,970 0,062 Harga Pupuk organik(X7) -701,374 -1,237 0,230 Produksi Padi(X8) 2226,522 17,204 0,000
F-hitung 205,948 R2 adjusted 0,983 R2 0,987
Berdasarkan uji t, diketahui ada variabel 4 variabel yang mempengaruhi
tingkat keuntungan usahtani padi irigasi, sedangkan sisa 4 variabel lainnya tidak
berpengaruh nyata. Kemudian data diolah kembali dengan menggunakan metode
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1008
backward untuk mendapatkan hasil terbaik dengan menghilangkan variabel-
variabel independent yang memiliki korelasi tinggi terhadap variabel dependent.
Hasilnya disajikan pada tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil analisis regresi tingkat keuntungan usahatani padi (tahap kedua)
Vareabel Koef. Regresi
t-hitung Sig
Konstanta -6041395 -4,943a 0,000 Luas Tanam(X1) 2710294 3,915a 0,001 Harga GKP(X2) 2485,683 5,340a 0,000 Harga Urea(X5) -463,189 -2,153c 0,042 Harga Pestisida(X6) -8,709 -3,262b 0,003 Produksi Padi(X8) 2218,268 18,175a 0,000
F-hitung 298,832 R2 adjusted 0,984 R2 0,987 Keterangan:
a. Nyata pada taraf kepercayaan 99,99 persen
b. Nyata pada taraf kepercayaan 99,97 persen
c. Nyata pada taraf kepercayaan 95,80 persen
Model faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani padi
di Kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur :
Y= - 6041395 +2710294X1+2485,683X2 - 463,189X5 - 8,709X6 +2218,268X8
Nilai koefisien determinasi ( 2R ) memberikan informasi proporsi variasi
dalam faktor yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama.
Kecocokan model dikatakan lebih baik kalau 2R semakin mendekati nilai 1
(Gujarati, 2000). Pada tabel terlihat nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh
sebesar 0,987 yang berarti sekitar 98,7 persen dari variasi produksi padi
dijelaskan oleh variabel Independennya/bebasnya yaitu luas tanam, harga GKP,
harga pupuk Urea, harga pestisida, dan produksi padi. Sedangkan 1,3 persen
sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi.
Nilai F-hitung sebesar 298,832 yang berarti lebih besar dari f-tabel pada
tingkat kepercayaan 99,99 persen yaitu f 0,01 (6;41)= 3,67. Dengan demikian
secara keseluruhan semua variabel independen/bebas secara bersama-sama
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1009
berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani padisawah irigasi di
Kabupaten OKU Timur.
Untuk mengetahui pengaruh antara variabel Independen/bebas terhadap
dependen variabel(keuntungan usahatani padi) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Faktor luas tanam padi (X1) berpengaruh nyata terhadap tingkat
keuntungan usahatani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen.
Nilai koefisien regresi yang positif berarti semakin besar luas tanam yang dimiliki,
maka akan semakin besar produksi padi yang dihasilkan dan keuntungan yang
diperoleh petani juga semakin besar. Berarti kenaikan dan penurunan luas tanam
padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi.
Faktor harga GKP (X2) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan
usahtani padi sawah irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien
regresi yang positif berarti semakin tinggi harga GKP sebagai harga jual produksi,
maka akan semakin tinggi keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi.
Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga GKP padi berpengaruh terhadap
tingkat keuntungan usahtani padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa
rata-rata harga GKP yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten
OKU Timur sebesar Rp. 2.513,33/kg.
Faktor harga pupuk Urea (X5) berpengaruh nyata terhadap tingkat
keuntungan usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 95,80 persen. Nilai
koefisien regresi yang negatif berarti semakin tinggi harga pupuk Urea, maka
keuntungan yang diperoleh petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan
penurunan harga pupuk Urea berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani
padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa rata-rata harga pupuk Urea
yang diterima oleh petani di kecamatan Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar
Rp. 1.556,66/kg.
Faktor harga pestisida (X6) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan
usahtani padi pada taraf kepercayaan 99,70 persen. Nilai koefisien regresi yang
negatif berarti semakin tinggi harga pestisida, maka keuntungan yang diperoleh
petani akan menurun. Hal ini berarti kenaikan dan penurunan harga pestisida
berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usahtani padi irigasi. Dari hasil analisis
diketahui bahwa rata-rata harga pestisida yang diterima oleh petani di kecamatan
Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar Rp.27.200/liter.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1010
Faktor produksi padi (X8) berpengaruh nyata terhadap tingkat keuntungan
usahtani padi irigasi pada taraf kepercayaan 99,99 persen. Nilai koefisien regresi
yang positif berarti semakin tinggi jumlah produksi padi, maka akan semakin tinggi
keuntungan yang diperoleh petani juga semakin tinggi. Hal ini berarti kenaikan dan
penurunan jumlah produksi padi berpengaruh terhadap tingkat keuntungan
usahtani padi sawah irigasi. Dari hasil analisis diketahui bahwa rata-rata produksi
padi dengan luas tanam 0,67 hektar, yang diterima oleh petani di kecamatan
Belitang III, Kabupten OKU Timur sebesar 3.545,63 kg dengan nilai sebesar
Rp.8.911.338,24.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendapatan rata-rata rumah tangga petani padi sawah irigasi di Kecamatan
Belitang III, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sebesar Rp.4.893.624,71
per luas tanam 0,67 hektar atau sebesar Rp. 8.156.041,18 per hektar.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keuntungan uisahatani
padi sawah irigasi adalah luas tanam, harga GKP, harga pupuk Urea, harga
pestisida dan jumlah produksi padi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Sumatera Selatan. 2009. Sumatera Selatan dalam Angka tahun
2009.Badan Pusat Statistik Sumsel. Palembang.
Gujarati, D. dan Zain, S, 2000. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta. Hariati, 2008, Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi
Penganggulangan Kemiskinan, Dalam Prosiding Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor
Lains, Alfian. 2006. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jilid II. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.
Lokollo, EM dan Friyanto,S, 2007, Peran Sektor Pertanian Dalam Pendapatan Rumah Tangga, Dalam Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: mencari alternatif arah
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1011
pengembangan ekonomi rakyat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, DEPTAN, Bogor
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suryana, A. Dan Mardianto, S. 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, LPEM-FEUI, Jakarta
Thamrin,T., Hutape, Y., dan Soehendi, R. 2009, Produkrifitas Padi Sawah Irigasi
Intensif Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan, dalam Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Peningkatan Produksi Pertanian Spesifikasi Lokasi. BPTP Lampung kerjasama dengan BBP2TP,Faperta UNILA. Lampung.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1012
DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI
PENERIMA BLM PUAP DI LAMPUNG
Zahara, Jamhari Hadipurwanta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
ABSTRACT
Poverty requires the handling of serious and involve many parties, not only governments but also business, social, and community volunteers in general. Based on survey results of the Central Bureau of Statistics (CBS) In March 2009 the number of poor people reached 32.53 million persons or 14.15% of the total population of Indonesia. Comprised of more poor in rural areas is 20.62 million people or 17.35 percent of the total population in the village. Therefore, to accelerate the growth and development Agribusiness while reducing poverty and unemployment in rural areas the Ministry of Agriculture launched the activities of Rural Agribusiness Development (PUAP). PUAP aims to cultivate agribusiness activities in rural areas according to potential target areas, reducing poverty and unemployment, improve household welfare of poor farmers, farmers / farmer (land owner / cultivator) and small-scale farmers, the development of agribusiness enterprises that have a daily business, weekly or seasonal, empowerment gapoktan / poktan in the target area PUAP. This study aims to determine the impact on farmers' income in particular PUAP rice farmers and determine the feasibility of the business (R / C) ratio of rice farming, and is there any difference of rice farming pendapataan between before and after PUAP BLM Program. This research was conducted at the site of three locations in Lampung PUAP BLM recipients from January to December 2009. Data collection was conducted on rice farmer who received the BLM PUAP. Sampling was done on purpose (purposive) in three districts namely North Lampung, South and East Lampung, with a total sample of 30 people. The method used is the survey method and data collected is of primary and secondary data. The analysis used in this study is to analyze revenue and statistical calculation using paired sample t test. The results showed that: (1) Program PUAP positive impact on farmers' income. Before PUAP farmer income of Rp. 6,399,047.00 and after PUAP Rp. 8,435,686.00, there is a difference of Rp. 2036639.00; (2) Before PUAP value of R / C ratio based on cash costs is 3 and R / C ratio based on total cost is 2.43. After PUAP value of R / C ratio based on cash costs is 3 and R / C ratio based on total cost is 2.83. Value R / C ratio of more than one meaning rice farm worth conducting, (3) The test results statistic obtained by value t-count = │-2.618 │ and t-table = 1.645 if t-count > t-table then reject H0. This means that there are significant differences of rice farm revenues between before and after PUAP. Keyword : impact PUAP, poverty, income
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1013
PENDAHULUAN
Permasalahan kemiskinan cukup kompleks khususnya bagi negara
berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan memerlukan penanganan yang cukup
serius dan melibatkan berbagai pihak, bukan saja pemerintah namun juga dunia
usaha, relawan sosial dan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan hasil survei
Badan Pusat Statistik (BPS) Bulan Maret 2009 jumlah penduduk miskin mencapai
32,53 juta jiwa atau 14,15 % dari jumlah total penduduk Indonesia. Peduduk
miskin lebih banyak berada di pedesaan yaitu 20,62 juta jiwa atau 17,35 persen
dari total penduduk di Desa. Sebagian besar penduduk di pedesaan bekerja
sebagai petani yang kehidupannya dibawah garis kemiskinan. Diperkirakan sekitar
80% penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan adalah para buruh tani
dan petani yang menguasai lahan garapan kurang dari 0.3 hektar.
Sebagian besar pendapatan rumah tangga miskin di pedesaan berasal dari
kegiatan pertanian atau usaha agribisnis. Kegiatan pertanian atau usaha
agribisnis yang dilkaukan oleh petani masih belum mampu meningkatkan
pendapatan mereka sehingga kesejahteraan petani masih rendah. Hal ini
disebabkan karena petani tersebut hanya memilki lahan yang sempit, cara
bercocok tanam yang tradisional, sarana dan prasarana yang tidak mendukung,
akses yang rendah terhadap pasar dan keterbatasan modal. Oleh karena itu untuk
mempercepat tumbuh dan berkembangnya Usaha Agribisnis sekaligus
mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan, Pemerintah
mengeluarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M).
Sehubungan dengan hal tersebut Kementerian Pertanian meluncurkan kegiatan
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang mendukung PNPM-M
melalui bantuan modal usaha dalam menumbuhkembangkan Usaha Agribisnis
sesuai potensi daerah sasaran. Usaha agribisnis dapat berupa kegiatan produktif
budidaya (on farm) baik tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan
dan kegiatan non budidaya (out farm) yang terkait dengan komoditas pertanian
yaitu industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian dan usaha lain
yang berbasis pertanian.
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bertujuan
menumbuh kembangkan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai potensi
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1014
wilayah sasaran, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan
kesejahteraan rumah tangga petani miskin, petani/peternak (pemilik
tanah/penggarap) skala kecil dan buruh tani, berkembangnya usaha pelaku
agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan maupun musiman,
pemberdayaan gapoktan/poktan yang ada di daerah sasaran PUAP. Sasaran
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) hanya ditujukan
kepada desa miskin/tertinggal yang di dalamnya terdapat gapoktan/poktan yang
aktif.
Persiapan pelaksanaan Program PUAP dimulai pada tahun 2007, tetapi
baru direalisasikan pada tahun 2008 dengan sasaran 33 propinsi, 379 kabupaten/
kota 1.834 kecamatan miskin dan 10.542 desa miskin. Sasaran PUAP pada awal
program adalah: (1) berkembangnya usaha agribisnis di 10.000 desa
miskin/tertinggal sesuai dengan potensi pertanian desa; (2) berkembangnya
10.000 gapoktan/poktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; (3) meningkatnya
kesejahteraan rumah tangga tani miskin, petani/peternak skala kecil, buruh tani;
dan (4) berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian,
mingguan, maupun musiman. Total desa miskin/gapoktan yang direncanakan
menerima dana BLM-PUAP adalah 11.000 desa miskin/gapoktan. Tahun 2008,
program PUAP dapat direalisasikan pada 10.542 gapoktan di 10.542 desa.
Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 3.505.369.742.000,00 pada
tahun 2008. Dari dana tersebut, alokasi untuk Lampung sebesar
Rp.26.511.675.000,00 yang tesebar di 10 Kabupaten dan 269 desa/gapoktan
pada tahun 2008. Pemanfaatan dana tersebut digunakan petani untuk modal
berusahatani baik tanaman pangan, hortikultura, perkebuanan, peternakan
maupun non usahatani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak PUAP
terhadap pendapatan petani khususnya petani padi dan mengetahui kelayakan
usaha (R/C) rasio usahatani padi, serta adakah perbedaan terhadap pendapataan
usahatani padi anatara sebelum dan setelah Program BLM PUAP.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada tiga kabupaten di Propinsi Lampung yaitu
Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Timur. Responden diambil dari 10
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1015
gapoktan dari tiga tabupaten dan dari 10 gapoktan diambil sampel sebanyak 30
orang responden. Penelitian dilakukan pada Bulan Desember 2009. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, data yang digunakan adalah
data primer dan sekunder.
Dampak PUAP dapat dilihat dari peningkatan pendapatan petani sebelum
menerima dan setelah menerima dana BLM PUAP. Pendapatan bersih usahatani
diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor dan pengeluaran kotor usahatani.
Pendapatan usahatani dapat dihitung menggunakan rumus :
P = TP – (Bt + Btt)
Dimana : P = Pendapatan bersih usahatani (Rp)
TP = Total penerimaan usahatani (Rp)
Bt = Biaya tunai (Rp)
Btt = Biaya tidak tunai (Rp)
Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis rasio
pendapatan dan biaya (R/C rasio). Analisis kelayakan usahatani dihitung
menggunakan rumus:
R/C = BT
TP (Rasio atas biaya total)
R/C = Bt
TP (Rasio atas biaya tunai)
Dimana BT = Bt + Btt
Keterangan : TP = Total penerimaan usahatani (Rp)
BT = Biaya total (Rp)
Bt = Biaya tunai
Btt = Biaya tidak tunai
Jika :
R/C > 1, maka dikatakan usahatani layak
R/C < 1, maka dikatakan usahatani tidak layak
R/C = 1, maka dikatakan usahatani impas
Untuk menguji perbedaan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah adanya
program PUAP, dihitung dengan menggunakan uji t untuk pengamatan
berpasangan (walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut :
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1016
t hitung 1;/
nvnsd
dod
Keterangan: d – do = Rata-rata tingkat pendapatan setelah ada dana pinjaman –
sebelum ada dana pinjaman.
Sd = Standar deviasi
n = Jumlah observasi
v = Derajat Bebas
Hipotesis yang diajukan yaitu:
1. Tidak ada perbedaan yang nyata terhadap pendapatan usahatani sebelum dan
sesudah adanya program PUAP.
2. Adanya perbedaan yang nyata terhadap pendapatan sebelum dan sesudah
adanya Program PUAP. Hipotesis tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
Kriteria Uji :
Ho ditolak apabila t-hitung > t-tabel, v = n-1, α = 0.05
Ho diterima apabila t-hitung < t-tabel, v = n-1, α = 0.05
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pendapatan petani sebelum dan setelah menerima BLM PUAP
Pendapatan diperoleh dari pengurangan penerimaan rata-rata dengan biaya rata-
rata yang dikeluarkan. Penerimaan adalah nilai produksi yang diperoleh dalam
jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini penerimaan usahatani padi diperoleh
dari jumlah produksi total padi yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual padi.
Biaya usahatani dihitung dari penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan
proses usahatani. Biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang
dan jasa secara tunai yang meliputi : benih, pupuk, pestisida, herbisida,
pengolahan tanah, tenaga kerja dari tanam sampai panen. Sedangkan Biaya yang
diperhitungkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli barang
dan jasa secara tidak tunai yang meliputi : tenaga kerja dalam keluarga dan biaya
lainnya (pajak, iuran desa/IPAIR).
Pendapatan usahatani rata-rata dihitung sebelum petani menerima BLM PUAP
pada musim tanam ke-II tahun 2008. Analisis pendapatan usahatani petani
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1017
responden sebelum dan setelah menerima dana BLM PUAP dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Pendapatan Usahatani Padi Sebelum dan Setelah PUAP Tahun 2008 di Lampung
Uraian Nilai rata-rata sebelum PUAP
Nilai rata-rata setelah PUAP
A. Penerimaan
1. Jumlah Produksi Beras (kg) 5,241 5,465
2. Harga Jual (Rp/kg) 2,060 2,361
3. Nilai Produksi 10,876,028 13,051,708
B. Biaya Usahatani
1. Biaya Tunai
a. Benih 287,811 338,862
b. Pupuk Kandang 71,133 61,258
c. Urea 326,641 244,879
d. SP-18 303,053 225,223
e. Phonska 356,876 416,814
f. Pupuk Alternatif 71,333 45,000
g. Pestisida 105,315 137,010
h. Herbisida 72,852 82,149
i.Tenaga Kerja (Tanam-Panen) 1,893,087 2,392,763
Total Biaya Tunai 3,636,893 3,943,958
2. Biaya yang diperhitungkan
j. TKDK 543,033 513,138
k. Biaya lainnya 297,054 158,926
Total Biaya yang diperhitungkan 840,088 672,064
C. Total Biaya Usahatani 4,476,981 4,616,022
D. Pendapatan total 6,399,047 8,435,686
E. Pendapatan atas biaya tunai 7,239,134 9,107,750
F. Pendapatan atas biaya yg diperhitungkan 10,035,940 12,379,644
G. R/C Rasio atas biaya tunai 3 3
H. R/C Rasio atas biaya yg diperhitungkan 12 19
I. R/C Rasio atas biaya total 2,43 2,83
Sumber : data primer diolah (dihitung per hektar)
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat terlihat produksi rata-rata padi sebelum
PUAP sebesar 5.241 kg dan setelah PUAP sebesar 5.465 kg atau meningkat 224
kg (4,27%). Harga jual rata-rata sebelum PUAP Rp. 2.060,00/kg GKG dan setelah
PUAP Rp. 2.361,00/kg GKG atau meningkat Rp. 301/kg GKG (14,61%). Jumlah
produksi dikalikan dengan harga jual diperoleh penerimaan rata-rata sebelum
PUAP sebesar Rp. 10.876.028,00 dan setelah PUAP Rp. 13.051.708,00. Terjadi
peningkatan rata-rata penerimaan total usahatani padi sebelum dan setelah PUAP
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1018
sebesar Rp. 2.175.680,00 atau 20 %. Penerimaan rata-rata ini meningkat karena
jumlah produksi padi juga meningkat sebesar 224 kg (4,27%) setelah adanya
PUAP disebabkan petani beralih menggunakan benih unggul berlabel dan adanya
peningkatan harga jual Rp. 301/kg GKG. Petani meggunakan bantuan modal ini
untuk membeli benih yang lebih unggul dan berkualitas dan penanganan pasca
panen.
Biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya tunai dan biaya
diperhitungkan. Biaya tunai digunakan petani untuk membeli sarana produksi yaitu
benih, pupuk, pestisida serta untuk membayar tenaga kerja mulai dari olah tanah
sampai panen. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya tidak tunai untuk
membayar iuran air (IPAIR) dan tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tunai yang
dikeluarkan petani sebelum PUAP sebesar Rp. 3.636.893,00 dan setelah PUAP
sebesar Rp. 3.943.958,00 atau terjadi peningkatan biaya usahatani sebesar Rp.
307.065,00 (8,44%). Peningkatan biaya usahatani setelah PUAP karena petani
menggunakan dana BLM PUAP untuk membeli semua sarana produksi yang lebih
banyak dan tentunya lebih berkualitas misalnya benih unggul bersertifikat dalam
upaya menerapkan teknologi produksi yang direkomendasikanh. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar produktivitas tanaman padi lebih baik lagi sehingga hasil
panen yang diperoleh pun juga akan mengalami peningkatan (Prihartono, M.K,
2009). Sebelumnya petani hanya menggunakan sarana produksi seadanya
karena keterbatasan modal. Selain itu petani mengalokasikan dana bantuan
PUAP untuk membayar tenaga kerja mulai dari olah tanah sampai panen. Biaya
tenaga kerja sebesar Rp. 1.893.087,00 sebelum PUAP dan setelah PUAP Rp.
2,392,763,00 atau meningkat sebesar Rp. 499.676,00 (26,39 %). Biaya yang
diperhitungkan sebelum PUAP sebesar Rp. 840.088,00 dan setelah PUAP
sebesar Rp. 672.064,00 atau terjadi penurunan sebesar Rp. 168.024,00. Hal ini
menunjukkan petani mengurangi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, dan
menambah penggunaan tenaga kerja dari luar keluarga. Dengan kata lain terjadi
peningkatan penyerapan tenaga kerja di perdesaan setelah pelaksanaan PUAP
pada usahatani padi. Total pendapatan rata-rata yang diperoleh dari selisih antara
total penerimaan dan total biaya usahatani menunjukkan adanya kenaikan
sebesar Rp. 2.036.639,00 (31,83 %) yaitu dari Rp. 6.399.047,00/ha sebelum
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1019
PUAP menjadi Rp. 8.435.686,00/ha setelah PUAP. Hal ini berarti pelaksanaan
program PUAP pada usahatani padi mampu meningkatkan pendapatan petani.
Peningkatan pendapatan ini sudah sejalan dengan tujuan program PUAP
yaitu meningkatkan kesejahteraan petani miskin, dan indikator kesejahteraan
adalah peningkatan pendapatan petani. Dengan meningkatnya pendapatan petani
padi maka meningkat pula kesejahteraan keluarga petani. Hal ini menunjukkan
bahwa program PUAP berdampak positif terhadap pendapatan petani dalam
berusahatani padi.
2. Uji Statistik
Peningkatan pendapatan yang telah dihitung tersebut harus di uji secra
statistik. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara sebelum dan
setelah program PUAP. Oleh karena itu perlu diuji dengan uji statistik
menggunakan rumus t-test untuk data berpasangan atau paired sample t-test
(Walpole, 1995). Hasil Uji statistik pendapatan petani berdasarkan luas lahan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Statistik t-hitung terhadap Pendapatan Usahatani
Luas Lahan t-hitung t-tabel Kesimpulan
1 Ha │- 2,618│
1,645 Perbedaan yang nyata
(tolak H0)
Sumber : data diolah
Hasil pengujian statistik menggunakan rumus t-test menghasilkan nilai t-
hitung sebesar -2,618 dan nilai t-tabel sebesar 1,645. Berdasarkan kriteria uji jika
t-hitung > t-tabel maka tolak H0. Tabel 2 diatas menunjukkan nilai t-hitung > nilai t-
tabel, maka tolak H0 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05). Kesimpulannya ada
perbedaan yang nyata terhadap pendapatan usahatani padi sebelum dan setelah
program PUAP.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1020
3. Analisis R/C rasio
Analisis R/C rasio adalah perbandingan antara penerimaan (revenue)
dengan biaya (cost). Semakin besar penerimaan maka semakin besar pula nilai
R/C rasio. Hasil perhitungan analisis R/C rasio sebelum dan setelah PUAP dapat
dilihat pada Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3. Hasil Perhitungan R/C rasio Sebelum dan Setelah PUAP
Uraian Sebelum PUAP Setelah PUAP
R/C rasio atas biaya tunai 3 3
R/C rasio atas biaya total 2,43 2,83
Sumber : data diolah
Berdasarkan Tabel 4 dapat terlihat perbedaan yang tidak terlalu signifikan
pada nilai R/C rasio atas biaya tunai sebelum dan setelah PUAP yaitu 3. Artinya
setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan petani dalam usahatani padi maka petani
akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp. 3,00. Nilai R/C rasio untuk biaya
total sebesar 2,43 artinya setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 2,43,00. Jika nilai R/C rasio lebih dari
satu,maka usahatani layak untuk diusahakan. Dapat disimpulkan bahwa usahatani
padi layak untuk diusahakan.
Setelah PUAP nilai R/C untuk biaya tunai sebesar 3, tidak berbeda dengan
nilai R/C rasio sebelum PUAP. Tetapi nilai R/C rasio atas biaya total berbeda
antara sebelum dan setelah PUAP. Sebelum PUAP nilai R/C rasio sebesar 2,83,
artinya setiap Rp.1,00 biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan
sebesar Rp. 2,83,00. Nilai R/C rasio setelah PUAP lebih besar dari satu sehingga
usahatani padi leyak untuk diusahakan. Perbedaan nilai R/C rasio atas biaya tunai
dan biaya total dikarenkan ada biaya yang diperhitungkan dalam biaya total
sehingga biaya yang dikeluarkan bertambah. Biaya yang diperhitungkan walaupun
nilainya kecil namun sangat mempengaruhi pendapatan total.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1021
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan:
1. Pendapatan petani sebelum PUAP Rp. 6.399.047,00 dan setelah PUAP Rp.
8.435.686,00. Ada peningkatan pendapatan antara sebelum dan setelah PUAP
sebesar Rp. 2.036.639,00. Hal ini menunjukkan bahwa Program PUAP
berdampak positif terhadap pendapatan petani
2. Sebelum nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 3 dan nilai R/C rasio atas
biaya total sebesar 2,43. Setelah PUAP nilai R/C rasio atas biaya tunai
sebesar 3 dan nilai R/C rasio atas biaya total 2,83. Nilai R/C rasio lebih besar
dari satu berarti usahatani padi layak untuk diusahakan.
3. Nilai t-hitung = │-2,618│ > t-tabel = 1,645, maka tolak H0. Artinya ada
perbedaan yang nyata terhadap pendapatan petani sebelum dan setelah
Program PUAP
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial- Ekonomi Indonesia. Jakarta.
Pedoman Umum PUAP. 2009. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Prihartono, M.K. 2009. Dampak Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian terhadap Kinerja Gapoktan dan Pendapatan Anggota Gapoktan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PUAP untuk Kesejahteraan Rakyat. Vol. 1 no. 36. Tahun 2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1022
MENGENTASKAN KEMISKINAN MELALUI PERANG TERHADAP KORUPSI:
STUDI KASUS TERHADAP BEBERAPA NEGARA DI ASIA
Sari Lestari Zainal Ridho, Dewi Fadila, Elisa
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Sriwijaya
ABSTRAK
Kajian ini berjudul ―Mengentaskan Kemiskinan melalui Perang Terhadap Korupsi‖, yang ditulis oleh Sari Lestari Zainal Ridho dan Dewi Fadila, staf pengajar jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Sriwijaya. Kajian ini bertujuan memaparkan dan membuktikan pentingnya perang terhadap korupsi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan dalam upaya menjalankan pembangunan ekonomi, sehingga merupakan kewajiban tiap Negara untuk mengentaskan kemiskinan. Namun upaya pengentasan kemiskinan tanpa menghilangkan perilaku korupsi hanya akan menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam pencapaian tujuan program-program pengentasan kemiskinan. Menggunakan metode penelitian deskriptif eksploratif dan analisis profil, kami menemukan bahwa tingkat pengendalian korupsi yang rendah yang berarti tingginya tingkat korupsi di suatu Negara akan dibarengi oleh tingkat pendapatan rata-rata Negara yang juga rendah dan jumlah penduduk miskin yang tinggi. Sehingga perang terhadap korupsi melalui pencegahan, penegakkan hukum dan pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam rangka memberantas kemiskinan. Kata Kunci: Kemiskinan, Pengendalian Korupsi, Pendapatan Rata-Rata
PENDAHULUAN
Kemiskinan meupakan masalah yang menimbulkan berbagai masalah
lainnya, yaitu: (1) tingkat kriminalitas yang semakin tinggi, (2) memunculkan
berbagai penyakit pada kelompok beresiko tinggi seperti ibu hamil, ibu menyusui,
bayi dan balita, (3) anak putus sekolah serta masalah-masalah lainnya.
Kemiskinan merupakan pekerjaan rumah bagi Negara-negara yang hendak
membangun negerinya karena salah satu indikator pembangunan ekonomi di
suatu Negara adalah rendahnya jumlah orang miskin atau angka kemiskinan di
Negara tersebut.
Berbagai program pengentasan kemiskinan dilakukan oleh pemerintah di
Indonesia, baik dalam bentuk bantuan publik ataupun program anti kemiskinan.
Namun hasil yang diperoleh dalam pelaksanaan program-program tersebut masih
bergerak perlahan dalam mengentaskan kemiskinan. hal ini bisa dilihat dari salah
satu indikator kemiskinan yaitu penganguran. Berdasarkan data dari Biro Pusat
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1023
Statistik (BPS) Indonesia untuk periode Februari-Agustus 2010, laju penurunan
tingkat penganguran di Indonesia belum menunjukkan perubahan yang signifikan,
bahkan berjalan lebih lambat dari periode sebelumnya.
Korupsi dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakberhasilan berbagai
program pengentasan kemiskinan tersebut. Berbagai strategi yang dilakukan
untuk mengurangi kemiskinan, tanpa upaya memerangi korupsi hanya akan
menimbulkan masalah baru dalam pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan
oleh dana yang sejatinya disalurkan untuk mengentaskan kemiskinan ketika
dikorupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, akan menyebabkan
deefisiensi dan deefektititas dalam pencapaian tujuan mengentaskan kemiskinan.
Berdasarkan data lembaga Transparency International, Index Persepsi Korupsi
Indonesia untuk tahun 2010 masih sangat rendah, yaitu sebesar 2,8 walaupun
mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya. Indeks Persepsi Korupsi
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara korup, karena
skor yang diperoleh Indonesia jauh lebih mendekati angka nol (skor bagi negara
terkorup) dibanding mendekati angka 10 (skor bagi negara terbersih) (Corruption
Perception Index 2010)
Tingginya tingkat korupsi meperlambat laju penurunan jumlah kemiskinan
yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi. Kajian ini
bertujuan memaparkan permasalah korupsi dan pengaruhnya terhadap
kemiskinan dan pembangunan ekonomi di Indonesia serta memberikan solusi dari
pemasalah tersebut.
BAHAN DAN METODE
Berdasarkan definisi dari Asia Development Bank, kemiskinan adalah
perampasan aset penting dan peluang yang setiap manusia berhak atasnya,
seperti atas pendidikan dasar, perawatan kesehatan, nutrisi, air, sanitasi,
pendapatan, pekerjaan dan gaji. Senada dengan definisi yang diberikan oleh
Ratnayake bahwa kemiskinan tidak hanya berarti kehilangan pendapatan dan
asset-aset productive tapi juga kehilangan akses terhadap pelayanan publik dan
ekonomis yang esensial juga kehilangan kekuatan, kesempatan berpartisipasi dan
hak atas penghormatan. (Ratnayake, 2007)
Ada berbagai program yang dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah
penduduk miskin. Program-program tersebut dapat kita kelompokkan dalam dua
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1024
golongan, yaitu: pemberian bantuan publik (public assistance) dan program anti
kemiskinan (anti poverty program). Pemberian bantuan publik merupakan program
untuk mengurangi kondisi Program anti kemiskinan berarti menjalankan program
yang mengarah pada pemindahan kondisi kemiskinan seseorang dan membantu
orang menghindari kemiskinan. (Northrop, 1991)
Indonesia telah melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan,
baik dalam bentuk bantuan langsung maupun anti kemiskinan. Program-program
yang termasuk bantuan publik adalah: program beras untuk rakyat miskin dan
program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin, dan program Bantuan
Langsung Tunai (BLT). Sedangkan program yang termasuk program anti
kemiskinan adalah: Kredit Untuk Rakyat dan Bantuan Operasional Sekolah.
Ada berbagai penelitian empiris yang membuktikan keterkaitan antara
Negara-negara miskin atau dengan jumlah penduduk miskin yang tinggi dengan
tingkat korupsi yang tinggi pula yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
pembangunan ekonomi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fishman dan
Miguel yang melakukan penelitian pada tahun 2006 dengan judul ―Economic
Gangsters: Corruption, Violation and the Poverty of Nations‖ membuktikan bahwa
Negara-negara miskin merupakan Negara-negara dengan tingkat korupsi yang
tinggi hal ini disebabkan oleh banyaknya koruptor di Negara-negara miskin
tersebut. Hal ini tentunya berpengaruh dalam pembangunan. (Harford, 2009).
Sebuah penelitian lain membuktikan bahwa tinggi rendahnya korupsi akan
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat pembangunan di suatu Negara.
Blackburn dan Sarmah dalam kajiannya yang berjudul “Corruption, Development
and Demography‖, dalam peneltian ini Blackburn dan Sarmah menganalisa
hubungan antara korupsi birokrasi, pembangunan ekonomi, tingkat harapan hidup
dan transisi demografi. Temuan mereka membuktikan bahwa: rendahnya tingkat
pembangunan berkaitan dengan tingginya tingkat korupsi dan rendahnya tingkat
harapan hidup. Sebaliknya tingginya tingkat pembangunan berkaitan dengan
rendahnya tingkat korupsi dan tingginya tingkat harapan hidup. (Blackburn &
Sarmah, 2008)
Metode yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif
eksploratif, dengan menggunakan analisis profil. Variabel yang digunakan dalam
kajian ini adalah kemiskinan, yaitu: jumlah penduduk dari suatu Negara yang
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1025
berada di bawah garis kemiskinan dalam persentase. Variable kedua adalah:
rangking pengendalian korupsi, yaitu: menangkap persepsi sejauh mana
kekuasaan publik dan kekuasaan negara oleh para elite dilaksanakan untuk
keuntungan dan kepentingan pribadi, termasuk bentuk kecil dan besar korupsi.
Data diukur berdasarkan rangking 0-100 dimana angka yang lebih kecil
menunjukkan posisi yang lebih rendah. Sedangkan Variabel ketiga adalah
pendapat rata-rata, yaitu: tingkat pendapatan negara secara rata-rata, yang diukur
berdasarkan bagian dari perseratus atau percentile.(Kaufmaan, 2010). Data yang
digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder yang penulis peroleh dari
berbagai lembaga, yaitu: Biro Pusat Statistik, World Bank, dan Transparency
International.
HASIL
Table 1 menunjukkan berbagai kasus korupsi di Indonesia, yaitu: dalam Badan
Usaha Milik Negara, dalam dunia perbankan, dalam dunia pendidikan dan dalam
program pengentasan kemiskinan, dengan jumlah luar biasa yang dikorupsi oleh
berbagai lembaga tersebut. Kasus korupsi di Pertamina untuk 2 kasus saja, yang
terjadi pada tahun 1993 sampai dengan 1998, di duga telah merugikan Negara
sebesar kurang US $ 24,800,700. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada
tahun 2000 diduga telah merugikan Negara sebesar Rp 138,4 T. Kasus program
pendidikan yang sebagian besar terjadi pada penggelapan dana Bantuan
Operasional Sekolah dan Dana Alokasi Khusus, sebanyak 142 kasus, merugikan
Negara sebanyak kurang lebih Rp 243,3 M, dan program pengentasan kemiskinan
untuk 1 kasus, diduga telah merugikan Negara sebanyak Rp 210 juta. Tabel 2 di
atas menunjukkan bahwa untuk tahun 2009 Indonesia berada pada rangking 28,1
dari 100 jika dibandingkan dengan Negara-negara yang dipilih dalam kajian ini
Indonesia berada pada rangking terendah kedua setelah Philipina. China dan
Vietnam berada posisi yang lebih tinggi yaitu rangking 36.2 dan 36.7. Singapura
berada pada posisi yang sangat tinggi yaitu pada rangking 99. Pada data
pendapat rata-rata yang dihitung berdasarkan bagian dari perseratus (percentile)
maka Indonesia berada pada 38,6 persentil, angka tersebut juga di peroleh oleh
Philipina dan Thailand. Singapura dan Korea Selatan memiliki pendapatan rata-
rata pada 83.4 persentil. Profil dari data table 2 dapat dilihat pada gambar 1.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1026
Table 1 Data Beberapa Kasus Dugaan Korupsi di Indonesia
Kasus Jumlah Kasus
Jumlah Kerugian Negara
Keterangan Sumber
PERTAMINA 2 $ 24.8 juta US$ 700
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993. Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat, tahun 1995-1998.
www.tempointeraktif.com
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
1 Rp 138,4T Pada tahun 2000, adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.
www.tempointeraktif.com
Program Pendidikan
142 Rp243,3 M Kasus korupsi terjadi sampai dengan bulan September 2009. Sebagian besar terjadi penggelapan pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
Tempo dari website BAPPENAS (TKPKP2E-DAK BAPPENAS)
Program Pengentasan Kemiskinan
1 Rp 210 Juta Kasus Korupsi terjadi di Desa Karangharja Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi periode September hingga Desember 2008. Terjadi penggelapan dana pada Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat miskin
Republika
Table 2. Pengawasan Korupsi, Perbandingan antara Beberapa Negara di Asia
Negara Tahun Rangking
Pengawasan Korupsi Pendapatan Rata-
Rata
(0-100) (bagian dari perseratus)
CHINA 2009 36.2 38.6
INDONESIA 2009 28.1 38.6
KOREA, SOUTH 2009 71.4 83.4
MALAYSIA 2009 58.1 58.7
PHILIPPINES 2009 27.1 38.6
SINGAPORE 2009 99 83.4
THAILAND 2009 51 38.6
VIETNAM 2009 36.7 23.4
Sumber: World Bank, Worldwide Governance Indicators 2009, diolah oleh penulis
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1027
Sumber: World Bank, Worldwide Governance Indicators 2009, diolah oleh penulis
Tabel 3. Kemiskinan, Perbandingan antara Beberapa Negara di Asia
Negara
Proporsi dari Populasi yang Berada di Bawah
Garis Kemiskinan
Rangking Pengawasan Korupsi
Tahun 2009
(%) (0-100)
CHINA 4.2 (2008) 36.2
INDONESIA 14.2 (2009) 28.1
KOREA, SOUTH 5.0 (2004) 71.4
MALAYSIA 3.6 (2007) 58.1
PHILIPPINES 32.9 (2009) 27.1
SINGAPORE --- 99
THAILAND 8.5 (2008) 51
VIETNAM 13.5 (2008) 36.7
Sumber: Asian Development Bank, Key Indicators for Asia and the Pacific 2010, diolah penulis.
Tabel 3 merupakan data dari proporsi dari populasi yang berada di bawah
garis kemiskinan dan data ranking pengawasan korupsi. Pada table tersebut
disajikan bahwa Indonesia memiliki proporsi jumlah penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan sebanyak 14,2 % yang merupakan urutan ke dua tertinggi
setelah Philipina dengan 32,9 % diikuti oleh Vietnam dengan 13,5%. Sedangkan
posisi terendah secara berurutan dari yang paling rendah adalah sebagai berikut:
Malaysia dengan 3.6%, China dengan 4.2 %, Korea Selatan dengan 5%, dan
Thailand dengan 8.5%
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1028
PEMBAHASAN
Berdasarkan data pada table 1 yang menunjukkan bahwa hanya dengan
sejumlah kecil kasus korupsi di Indonesia—dalam Badan Usaha Milik Negara,
perbankan, program pendidikan dan program pengentasan kemiskinan—saja
telah merugikan Negara sebanyak ratusan triliun rupiah, yang jika digunakan
untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan akan dapat membiayai
sekolah sejumlah besar anak putus sekolah, atau dapat memberikan ribuan warga
bantuan dana untuk membuka usaha dan memberikan ratusan juta rakyat
bantuan publik. Irosnisnya tidak sedikit penggelapan dana terjadi pada program-
program yang bertujuan menngentaskan kemiskinan dan memperbaiki kondisi
sumber daya manusia, seperti pendidikan dalam rangka memutus lingkaran
kemiskinan yang selama ini terjadi di Indonesia. Kasus-kasus dugaan koruspsi
yang telah merugikan Negara sedemikian besar, masih merupakan puncak
gunung es,karena kita mengetahui ada lebih banyak kasus duggan koruspsi yang
terjadi akhir-akhir ini.
Berdasarkan data pada table 2, kita dapat melihat bahwa ada pergerakan
yang selaras antara rangking pengawasan korupsi dan tingkat pendapatan rata-
rata. Hal ini diperjelas pada profil yang ditunjukkan gambar 1. Indonesia berada
pada posisi terendah kedua yang berarti tingkat pengawasan terhadap korupsi di
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1029
Indonesia sangat rendah, hal ini menyebabkan maraknya kasus korupsi di
Indonesia. Demikian dengan pendapatan rata-rata Indonesia berada di posisi
kedua terendah setelah Vietnam. Sebaliknya Singapura dengan tingkat
pengawasan yang tinggi terhadap korupsi memiliki tingkat pendapatan rata-rata
yang juga tinggi. Data dan profil tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah
rangking pengawasan korupsi di suatu Negara yang berindikasi semakin tingginya
jumlah kasus korupsi di Negara tersebut maka semakin rendah pendapatan rata-
rata Negara tersebut.
Sama halnya dengan pergerakan yang terjadi ketika kami membandingkan
jumlah kemiskinan di suatu Negara dengan tingkat pengawasan korupsi, hal ini
dapat dilihat dari table 3 dan gambar 2. Sebagai contoh Negara Korea Selatan
dan Malaysia, merupakan dua Negara yang memiliki ranking pengawasan korupsi
yang cukup tinggi yaitu 71, 4 dan 58,1, kedua Negara tersebut memiliki
prosentase yang rendah atas populasi penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan, dengan demikian jumlah penduduk miskin di kedua Negara tersebut
secara proporsional lebih sedikit disbanding Negara-negara dengan tingkat
pengawasan korupsi yang rendah seperti di Indonesia. Data dan profil tersebut
menunjukkan bahwa semakin rendah rangking pengendalian korupsi di suatu
Negara yang berarti semakin tinggi tingkat korupsi di Negara tersebut, Negara
tersebut juga memiliki jumlah penduduk miskin yang lebih besar disbanding
Negara dengan angka pengendalian korupsi yang lebih tinggi atau Negara dengan
tingkat korupsi yang lebih rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kaiian ini adalah, pertama,
semakin rendah rangking pengendalian korupsi di suatu Negara yang berarti
semakin tingginya jumlah kasus korupsi di Negara tersebut maka semakin rendah
pendapatan rata-rata Negara tersebut. Kedua, semakin rendah rangking
pengendalian korupsi di suatu Negara yang berarti semakin tinggi tingkat korupsi
di Negara tersebut, Negara tersebut juga memiliki jumlah penduduk miskin yang
lebih besar disbanding Negara dengan angka pengendalian korupsi yang lebih
tinggi atau Negara dengan tingkat korupsi yang lebih rendah. Sehingga tingkat
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1030
pengendalian korupsi yang rendah atau tingkat korupsi yang tinggi di suatu
Negara akan menyebabkan upaya pengentasan kemiskinan berjalan lambat.
Demikian sehingga perang terhadap korupsi merupakan keniscayaan dalam
upaya mengentaskan kemiskinan suatu Negara, dengan cara-cara antara lain
adalah: melalui tindakan pencegahan, penegakan hukum dan pendidikan kepada
masyarakat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan secara ketat
terhadap perilaku-perilaku korupsi yang dapat dilakukan oleh masyarakat,
lembaga penegak hokum dan lembaga sosial masyarakat. Penegakkan hukum
dapat dilakukan dengan transparan dan tegas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan dengan melakukan pembersihan dari korupsi pada lembaga-
lembaga Negara, baik lembaga pengelola asset dan keuangan Negara maupun
lembaga pelayanan publik. Pendidikan dapat dilakukan dengan upaya-upaya
peningkatan pemahaman masyarakat akan dampak dari korupsi bagi individu,
masyarakat dan Negara. Melalui pendidikan juga diharapkan dapat menciptakan
pembentukan karakter pribadi-pribadi yang memiliki integritas, moral yang tinggi
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Incar BOS dan DAK Kasus Korupsi di Pendidikan Rp 243,3 Miliar: Kasus korupsi di sekolah-sekolah masih dianggap sebagai kasus recehan. Tempo. 10 September. http://www.tkp2e-dak.org/newsview.asp?kk=138&dkd=berita. Tanggal pengaksesan: 5 Desember 2010.
Anonim. 2004. Kasus-kasus Korupsi di Indonesia.www.tempointrtaktif.com. 25 Oktober. http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,20041025-04,id.html. Tanggal Pengaksesan: 4 Desember 2010.
Anonim. 2010. Key Indicators for Asia and The Pacific 2010: The Rise of Asia‘s Middle Class. August. Asian Development Bank. 41th Edition. http://www.adb.org/Documents/Books/Key_Indicators/2010/pdf/Key-Indicators-2010.pdf Tanggal pengaksesan: 3 Desember 2010.
Anonim. 2010. Corruption Perception Index 2010.
http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2010. Tanggal Pengaksesan: 4 Desember 2010.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1031
Blackburn, Keith and Rashmi Sarmah. 2008. Corruption, Development and
Demography. Econ Gov; 9; 341-362. Harford, Tim. 2009. The Development Dilemma. Reason; May; 41,1; Research
Library, hal. 51. Tanggal Pengaksesan 3 Desember 2010. Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, and Massimo Mastruzzi. 2010. Worldwide
Governance Indicators: Methodology and Analysis. Policy Research Working Paper 5430. The World Bank, Development Research Group, Macroeconomics and Growth Team. http://siteresources.worldbank.org/INTMACRO/Resources/WPS5430.pdf. Tanggal pengaksesan: 4 Desember 2010
Northrop, Emily M.1991. Public Assistance and Antipoverty Programs or Why
Haven't. Journal of Economic Issues. Lincoln: Dec . Vol. 25, Edisi 4; pg. 1017, 11 pgs http://www.unescap.org/pdd/publications/RuralPoverty/ChIII.pdf. Tanggal Pengksesan 2 Desember 2010.
Ratnayake, Ravi. 2007. Persistent and Emerging Issues in Rural Poverty Reduction. UN Economics and Social Commission for Asia and the Pacific Document. http://www.unescap.org/pdd/publications/RuralPoverty/Rural_Poverty_Reduction.pdf Tanggal Pengaksesan 3 Desember 2010.
Yuwanto, Endro. 2010. Tiga Tersanka Kasus Korupsi di Bekasi.
REPUBLIKA.co.id. 15 Juli. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/07/15/124819-tiga-tersangka-korupsi-dana-blt-di-bekasi-ditahan. Tanggal Pengaksesan: 5 Desember 2010.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1032
PROSES PENGOLAHAN DAN ANALISIS USAHA HOME INDUSTRY DODOL NENAS DI DESA BIKANG KECAMATAN TOBOALI
KABUPATEN BANGKA SELATAN
Evahelda
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Perikanan Dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, kampus terpadu Balunijuk Desa Balunijuk
Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengolahan dodol nenas, dan menghitung analisis usaha (total biaya, penerimaan dan pendapatan) pada proses pengolahan dodol nenas di Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode survei. Penarikan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive). Metode pengumpulan data, yaitu observasi (pengamatan), wawancara langsung dan studi pustaka. Selanjutnya data yang diperoleh disusun secara tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan dodol nenas adalah sebagai berikut : Buah nenas dikupas dan dicuci, lalu di potong kemudian di blender. Campurkan nenas yang sudah halus dengan sebagian santan, tepung ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan dodol, tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk dan dimasak sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak. Angkat adonan dan tuangkan kedalam loyang yang sudah dialasi plastik, setelah dingin adonan dikemas dengan plastik. Biaya total yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi adalah sebesar Rp. 289.638,91. Penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 600.000. Pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 310.361,09 dalam satu kali produksi. Kata kunci : dodol nenas, analisis usaha, home industry, Toboali
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi alamiah untuk
mengembangkan sektor pertanian, termasuk tanaman hortikultura. Sektor
pertanian merupakan suatu kegiatan ekonomi yang tangguh yang dapat
digunakan untuk menggerakkan roda perekonomian.
Nenas (Ananas comucus L) merupakan komoditas hortikuktura andalan
Indonesia, baik yang di ekspor dalam bentuk buah segar maupun olahan. Volume
ekspor buah nenas Indonesia pada tahun 2008 sebesar 269.663,512 ton. Jumlah
ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2007 sebesar
110.112,419 ton (Anonim 2009).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1033
Produksi nenas Indonesia pada tahun 2009 mencapai 1.558.049 ton dan
9.266 ton dihasilkan oleh Provinsi Bangka Belitung (BPS RI 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa nenas dapat mendukung pengembangan pembangunan
pertanian di Bangka Belitung selain sektor perkebunan dan pertambangan.
Salah satu sentra produksi nenas terbesar di Kabupaten Bangka Selatan
adalah Desa Bikang. Luas areal tanaman nenas di Desa Bikang pada tahun 2009
adalah sebesar 48 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 130 ton (BPS Bangka
Selatan 2009).
Nenas di Desa Bikang sudah menjadi produk unggulan, hal ini disebabkan
karena usahatani nenas sudah menjadi mata pencaharian utama yang
diusahakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Keunggulan Nenas
Bikang dibanding nenas lainnya adalah kualitas rasanya yang tak tersaingi, manis
dan gurih, dengan kondisi buahnya yang besar, kelihatan segar dan sedap
dipandang mata (Anonim 2009).
Melihat potensi nenas yang cukup besar baik dari segi produksi dan
rasanya, sudah selayaknya nenas dapat meningkatkan pendapatan petani di
Desa Bikang. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pada saat panen
raya tiba harga nenas tersebut akan menjadi rendah. Didukung lagi dengan
karakteristik produk hortikultura yang mudah rusak, tidak seragam dan bulky,
sehingga akan menurunkan pendapatan petani nenas.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah dengan pengolahan lebih lanjut buah nenas menjadi dodol nenas,
sehingga dapat meningkatkan nilai tambah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Agustus sampai November 2009, di
Desa Bikang Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode survei dimana peneliti melihat langsung keadaan
dilapangan. Menurut Hasan (2006), penelitian survei adalah penelitian dengan
tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1034
variabel yang diteliti, dan penelitian ini dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta
dari gejala-gejala yang ada pada suatu kelompok ataupun suatu daerah.
Penarikan sampel dilakukan secara sengaja (Purposive), yaitu home
industry milik Bapak Saparudin. Usaha pembuatan dodol nenas ini sudah dimulai
sejak tahun 2007.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu observasi
(pengamatan), wawancara langsung dan studi pustaka.
Metode yang digunakan untuk menghitung besarnya biaya produksi
(Soekartawi, 2002) adalah sebagai berikut :
TC = FC + VC
Dimana : TC = Total Cost / Biaya Total (Rp)
FC = Fixed Cost / Biaya Tetap (Rp)
VC = Variabel Cost / Biaya Variabel (Rp)
Menghitung biaya penerimaan dan pendapatan (Soekartawi, 2002) adalah
sebagai berikut:
Pn = Pt x Hp
Dimana : Pn = Penerimaan (Rp)
Pt = Produksi (unit)
Hp = Harga Jual (Rp)
Menghitung pendapatan
Pd = TR - TC
Dimana : Pd = Pendapatan Total (Rp)
TR = Total Revenue / Penerimaan (Rp)
TC = Total Cost / Biaya Produksi Total (Rp)
Selanjutnya data yang diperoleh disusun secara tabulasi dan dijelaskan
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pembuatan Dodol Nenas
Berdasarkan bahan bakunya dodol diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
dodol yang diolah dari tepung-tepungan dan buah-buahan (Satuhu dan Sunarmi
2004). Dodol merupakan salah satu produk olahan hasil pertanian (buah-buahan)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1035
yang termasuk dalam jenis pangan semi basah yang terdiri dari campuran tepung
dan gula yang dikeringkan, sehingga dapat langsung dimakan dan kandungan
airnya rendah sehingga dapat stabil selama penyimpanan. Makanan ini biasanya
digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan.
1. Bahan baku dan peralatan :
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan dodol nenas terdiri dari
bahan pokok (utama), bahan pembantu dan bahan penunjang. Bahan utama yang
digunakan untuk pembuatan dodol nenas adalah buah nenas. Bahan penolong
yang digunakan terdiri dari tepung ketan, gula putih, margarin, santan kelapa, air
dan plastik kemasan. Bahan penunjang yang digunakan minyak tanah, kayu bakar
dan listrik.
Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut: wajan almunium, pisau,
pengaduk kayu, blender, baskom, loyang, ember, tungku besi, saringan santan,
dan ember.
2. Cara Pembuatan :
a. Buah nenas yang akan digunakan dikupas dan dicuci
b. Ambil daging buah, lalu dipotong kecil kemudian di blender
c. Siapkan santan kelapa dengan perbandingan 1 : 3
d. Campurkan nenas yang sudah halus dengan sebagian santan, tepung
ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan dodol
e. Tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir
menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk
f. Masak sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak
g. Angkat adonan dan tuangkan kedalam loyang yang sudah dialasi plastik
dengan ketebalan adonan 2 cm
h. Setelah dingin adonan bisa dikemas dengan plastik.
Analisis Usaha
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1036
Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang harus dikeluarkan
produsen untuk memperoleh faktor-faktor produski dan bahan penunjang lainnya,
yang akan digunakan agar produk-produk tertentu yang direncanakan dapat
terwujud (Mankiw 2003). Biaya produksi dalam penelitian ini adalah semua biaya
yang dikeluarkan dalam memproduksi dodol nenas. Biaya produksi yang
dikeluarkan yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
1. Biaya Tetap (Fixed cost)
Biaya tetap dalam penelitian ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk
pembiayaan faktor-faktor produksi yang sifatnya tetap, tidak berubah walupun
volume produk yang dihasilkan berubah. Atau dengan kata sarana produksi yang
tidak habis dipakai dalam satu kali proses produksi.
Penghitungan biaya tetap merupakan biaya penyusutan peralatan yang
digunakan selama proses pengolahan dodol nenas, yang sifatnya tidak habis
dipakai dalam sekali produksi. Akan tetapi dapat digunakan berulang-ulang sesuai
dengan umur pemakaiannya. Biaya penyusutan dihitung dengan membandingkan
harga beli (Rp) dengan lamanya pemakian (Th) (Suratiah 2006). Rincian biaya
tetap dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan
berdasarkan biaya penyusutan adalah sebesar Rp. 16.638,91.
Tabel 1. Biaya tetap yang digunakan dalam pembuatan dodol nenas
No. Bahan Satuan (unit)
Harga satuan (Rp)
Nilai Penyusutan (Rp/Bln)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Baskom Wajan besar Wajan sedang Pengaduk kayu Loyang Tungku besi Saringan santan Blender Ember Pisau
2 1 1 1 4 1 2 1 1 2
10.000 250.000 130.000 30.000 15.000 40.000 6.000 200.000 10.000 12.500
555,56 4.166,67 2.166,67
833,33 1.666,67
666,67 333,33
5.555,56 277,78 416,67
Total 703.500 16.638,91
Sumber : diolah dari data primer
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1037
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Biaya variabel adalah biaya yang digunakan untuk pengadaan faktor-faktor
produksi yang sifatnya berubah-ubah. Atau dengan kata lain biaya variabel adalah
biaya yang dikeluarkan selama proses produksi yang langsung mempengaruhi
jumlah produksi dan penggunaanya habis dipakai dalam satu kali proses produksi.
Biaya variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya bahan baku,
bahan penolong, biaya tenaga kerja dan biaya penunjang yang besar kecilnya
tergantung dari besar kecilnya volume produksi. Biaya variabel yang digunakan
selama proses pengolahan dodol nenas dalam satu kali produksi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Biaya variabel yang digunakan dalam pembuatan dodol
nenas
No. Bahan Satuan Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
Nenas Gula pasir Margarin Tepung ketan Kelapa Kayu bakar Minyak tanah Plastik kemasan Listrik Tenaga Kerja
20 buah 2,5 Kg 5 ons
3 bungkus 10 buah
2 ikat 0,25 liter
1 pak ukuran 0.5 kg
2 orang
3.500 11.000 4.000 5.000 4.000 6.000 4.000 7.500 30.000 25.000
70.000 27.500 20.000
15.000 40.000 12.000 1.000 7.500 30.000 50.000
Total 100.000 273.000
Sumber : diolah dari data primer
3. Biaya Total (Total Cost)
Biaya total adalah semua komponen biaya yang digunakan selama proses
produksi. Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap (FC) ditambah biaya variabel
(VC) yang digunakan bersama-sama dalam satu kali proses produksi. Biaya Total
yang digunakan selama proses pengolahan dodol nenas dalam satu kali produksi
dapat dilihat pada Tabel 3.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1038
Tabel 3. Biaya Total yang digunakan dalam pembuatan dodol nenas
No. Uraian Biaya Jumlah perbulan (Rp/bln)
1. Biaya Tetap (Fixed Cost) Penyusutan
Rp. 16.638,91
2. Biaya variabel (Variable Cost) Rp. 273.000
3. Biaya total (total Cost) Rp. 289.638,91
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa biaya tetap yang dikeluarkan
adalah sebesar Rp. 16.638,91. Biaya ini merupakan biaya peralatan setelah
mengalami penyusutan. Biaya variabel adalah seluruh biaya yang dikeluarkan
selama satu kali proses pengolahan dodol nenas yaitu sebesar Rp. 273.000.
Sehingga biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 289.638,91 yang
merupakan penjumlahan dari kedua komponen tersebut.
4. Penerimaan
Penerimaan adalah hasil kali antara jumlah produksi dengan harga jual.
Selama satu kali produksi akan menghasilkan 12 kg dodol nenas. Harga jual 1 kg
dodol nenas sebesar Rp. 50.000. Penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp.
600.000 dalam satu kali produksi. Komponen penerimaan yang diperoleh dalam
satu kali produksi dodol nenas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali produksi dodol
nenas
No. Uraian Biaya Sekali produksi
1. Jumlah produksi 12 kg
2. Harga per kg Rp. 50.000
3. Penerimaan Rp. 600.000
Penerimaan dari usaha pengoalahan dodol nenas dalam satu kali produksi
adalah = produksi x harga penjualan
= 12 kg x Rp. 50.000
= Rp. 600.000
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1039
5. Pendapatan
Pendapatan adalah selisih antara jumlah penerimaan yang diperoleh
dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali
proses pengolahan dodol nenas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pendapatan yang diperoleh dalam satu kali produksi dodol
nenas
No. Uraian Biaya Sekali Produksi (Rp)
1. Penerimaan Rp. 600.000
2. Biaya total Rp. 289.638,91
3. Pendapatan Rp. 310.361,09
Pendapatan dari usaha pengoalahan dodol nenas dalam satu kali produksi
adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total yaitu :
= Rp. 600.000 - Rp. 289.638,91
= Rp. 310.361,09
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh dalam
satu kali proses pengolahan dodol nenas adalah sebesar Rp. 310.361,09.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Proses pengolahan dodol nenas adalah sebagai berikut : Buah nenas dikupas
dan dicuci, dipotong, lalu di blender. Campurkan nenas yang sudah halus
dengan sebagian santan, tepung ketan, gula pasir, margarin menjadi adonan
dodol, tambahkan sisa santan yang sudah dipanaskan di wajan dan hampir
menjadi minyak kedalam adonan yang sudah rata sambil diaduk dan dimasak
sampai kental, liat, dan adonan keluar minyak, angkat adonan dan tuangkan
kedalam loyang yang sudah dialasi plastik dengan ketebalan adonan 2 cm,
setelah dingin adonan bisa dikemas dalam plastik.
2. Biaya total yang digunakan dalam satu kali proses produksi adalah sebesar
Rp. 289.638,91
3. Penerimaan yang diperoleh dalam satu kali produksi adalah sebesar
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1040
Rp. 600.000
4. Pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 310.361,09 dalam satu kali
produksi.
SARAN
1. Perlu dilakukan promosi lebih lanjut supaya nenas dan produk turunannya
seperti dodol nenas tetap ada dan diharapkan meningkat volume produksi
sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah setempat,
sehingga daerah Toboali khususnya dapat menjadi ikon sebagai daerah
penghasil nenas di Kabupaten Bangka Selatan.
2. Perlu dilakukan pembinaan kepada masyarakat pengrajin dodol nenas
sehingga produk yang dihasilkan lebih baik mutu dan kemasannya, sehingga
dapat meningkatkan nilai tambah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Statistik Ekspor 2003-2008. Jakarta : Dirjen Hortikultura. http://www.hortikultura.go.id (20 Januari 2009).
Anonim, 2009. Bikang Menuju Sentra Nenas.
http://cetak.bangkapos.com/serumpunsebalai/read/17370.html (6 Februari 2009).
Badan Pusat Statistik. 2009. Bangka Selatan dalam Angka. BPS. Toboali. Badan Pusat Statistik RI. 2009. Produksi Buah-buahan Menurut Provinsi.
http://www.bps.com. (1 Maret 2009). Hasan. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Mankiw, N.G. 2003. Pengantar Ekonomi. Erlangga. Jakarta. Satuhu, S dan Sunarmi. 2004. Membuat Aneka Dodol Buah. Penebar Swadaya.
Jakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Persada. Jakarta. Suratiah, K. 2006. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1041
KKEEUUNNGGGGUULLAANN KKOOMMPPEETTIITTIIFF DDAANN KKOOMMPPAARRAATTIIFF UUSSAAHHAA
PPEEMMAASSAARRAANN LLOOBBSSTTEERR DDII KKOOTTAA BBEENNGGKKUULLUU
M.Mustopa Romdhon1 Ketut Sukiyono
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
ABSTRACT
The tight competition in lobster market at Bengkulu was indicating the small quantity of market player, and promoting highest profit. The highest level of competition caused great spending on marketing, and production cost. These could lead to fluctuation of firm advantages. The Objective of research was to asses the competitive and comparative advantages of lobster marketing firm at Bengkulu. Competitive and comparative advantages of lobster marketing would be tested through economic unit cost proposed by Cockburn and Sieggel (1998, 1999). This indication mean that if value is < 1 the cost smaller than production value, firms have profit and high competitive and comparative advantages. The results showed that average index of competitive and comparative advantages were .0,97 and 0,377. These means that the marketing firm has high advantages. Nowadays, the decreasing of catchments had to push the local government to construct the strength policy to market activities, where is the marketing firms should apply it. The policy related to the eco-market for lobster stock through empowering fishermen by applying catching eco-friendly technology .
key words : lobster, advantages, marketing firm
PENDAHULUAN
Potensi laut Propinsi Bengkulu cukup besar dengan tingkat pemanfaatan
ikan laut mencapai 31.906,6 ton per tahun, pada panjang garis pantai mencapai
525 km yang membentang ke arah laut lepas (ZEE 200 mil), dimana peluang
penangkapan ikan mencapai 94.310,4 ton per tahun (74,72%). Ini menunjukkan
tingkat produksi ikan lestari di laut mencapai 126.217 ton per hektare. Jenis
komoitas laut yang dapat dikonsumsi dari perairan Bengkulu antara lain ikan tuna
besar, cakalang, tongkol, tenggiri, sentuhuk, pedang, layaran, pelagis kecil,
demersal, udang penaide, lobster, cumi-cumi, serta ikan karang (Aprianty, 2006).
Jenis ikan di Bengkulu termasuk salah satu kelompok komoditas yang bernilai
tinggi baik di pasar lokal/domestik maupun di pasar ekspor menurut Delgado
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1042
(2003) yaitu lobster kelompok Crustacea yang merupakan jenis ikan terkecil dalam
jumlah penangkapan namun memiliki nilai jual tinggi di pasar per kilogram.
Produksi lobster tangkap berfluktuasi tiap lima tahun meskipun produksi tertinggi
ada di Kota Bengkulu. Prospek permintaan lobster ke depan semakin besar
sehingga perlu peningkatan produksinya, padahal sebagian besar lobster di
Bengkulu lobster dari perikanan tangkap sebesar 60 persen. Faktor
pendukungnya adalah perkembangan harga nominal lobster di pasar lima tahun
terakhir di Propinsi Bengkulu menunjukkan peningkatan cukup baik dari Rp.52.000
per kg tahun 2001 menjadi Rp.165.480 per kg tahun 2005 (Romdhon dan Ketut
,2008).
Pelaku usaha komoditas lobster menjanjikan tingkat laba yang besar
mengingat pelaku usaha di Kota Bengkulu sendiri relatif terbatas. Jumlah
perusahaan di bisnis lobster hanya empat perusahaan salah satunya CV.Edi Koto
sebagai perusahaan penampung dan pemasar lobster terbesar,sehingga tingkat
persaingan usaha pemasaran lobster sangat tinggi. Namun resiko dan
ketidapastian usaha yang dihadapi pelaku usaha tinggi karena rantai pemasaran
panjang dan besar hingga membutuhkan biaya besar untuk mendistribusikan
produknya kepada konsumen yang lokasinya relatif jauh antara lain Lampung dan
Jakarta. Persoalan rantai pemasaran lobster yang panjang ini lahir dari adanya
kerjasama produksi maupun pemasaran mulai dari tingkat nelayan, pedagang
besar sampai eksportir luar daerah. Tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi
karena pengaruh iklim dan cuaca berpengaruh terhadap hasil tangkapan lobster.
Kondisi ini berdampak besar terhadap keunggulan kompetitif dan
komparatif lobster asal Propinsi Bengkulu dibandingkan lobster tangkapan dari
daerah lain seperti ini Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Lobster daerah ini
juga menghadapi pesaing dari Propinsi Lampung dan wilayah-wilayah penghasil
lobster lainnya telah mampu membudidayakan lobster kualitas ekspor dengan
harga yang bersaing. Ketidakstabilan harga lobster di pasar domestik di Jakarta
dan pasar dunia di Cina dan Jepang menambah besar tingkat persaingan usaha
lobster. Terbukanya pasar di setiap negara bagi berbagai komoditas menjadi
penanda datangnya era globalisasi ekonomi. Schuh (1991) mengungkapkan
bahwa globalisasi telah menyebabkan ekonomi nasional menjadi makin terbuka
dan tergantung pada perdagangan internasional, sehingga makin jauh dari
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1043
intervensi pemerintah. Akibatnya, agar mampu bersaing, produk yang dipasarkan
harus memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar
internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menilai Keunggulan kompetitif dan
komparatif usaha pemasaran lobster.
Keunggulan kompetitif dan komparatif sebagai kemampuan perusahaan
meningkatkan produktivitas melalui upaya efisiensi teknis dan proses produksi
(Novalia, 2005). Keunggulan kompetitif dan komparatif usaha diuji dengan
menggunakan formula pendekatan unit biaya ekonomi yang diajukan oleh
Cockburn and Siggel (1998, 1999) seperti tersaji pada persamaan (1). Jika nilai
indikator ini kurang dari satu, biaya lebih rendah dari nilai produksi dan
perusahaan memperoleh keuntungan. Implikasinya, unit biaya kurang dari satu
maka diinteprestasikan sebagai indikator keunggulan kompetitif dan komparatif
yang tinggi (Cockburn and Siggel, 1998, 1999).
Kedua keunggulan ini dalam usaha pemasaran sebagai ukuran
kemampuan perusahaan memasarkan produknya dengan penggunaan biaya
pemasaran yang efisien. Sehingga perusahaan dapat menekan harga jual produk,
agar produk dapat bersaing dengan produk sejenis. Faktor-faktor pembentuk
keunggulan kompetitif dan komparatif usaha pemasaran menurut Malian, et al.
(2004) terdiri dari teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri,
serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor ini dibedakan atas:
(1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk,
teknologi, riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan
pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang),
kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan,
pelatihan dan regulasi; (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input
dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan,
seperti lingkungan alam.
Fluktuasi harga tersebut dapat bersumber dari fluktuasi produksi dalam
negeri, fluktuasi harga internasional dan flukuasi nilai tukar (Simatupang,1999).
Zylbersztajn dan Claudio (2003) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dan
komparatif produk pertanian ditunjukkan oleh koordinasi pada tiap tahapan proses
produksi sampai pemasaran yang diindikasikan oleh besarnya permintaan produk
melalui indikasi kualitas, standarisasi dan sertifikasi. Rachman (2002)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1044
berpendapat pemerintah menerapkan instrumen kebijakan komprehensif meliputi
1) penetapan harga dasar pembelian pemerintah, 2) penetapan tarif bea masuk
yang realistik dan periodik,3) pengaturan volume impor yang konsisten, dan 4)
perbaikan struktur dan efisiensi pemasaran serta pemberdayaan kelembagaan
pemasaran di tingkat petani/nelayan.
BAHAN DAN METODE
Penentuan lokasi Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja yakni CV.Edi Koto yang
bergerak dalam usaha penampungan dan pemasaran terbesar dengan produksi
tangkapan 3,2 ton di Kota Bengkulu yang secara aktif melakukan pemasaran
lobster selama tiga tahun terakhir. Sehingga diharapkan akan mampu menunjang
ketersediaan data yang dibutuhkan untuk menjawab tujuan penelitian.
Metode Analisa Data
Data yang digunakan diperoleh melalui pengumpulan data sekunder harian
perusahaan berupa nota dan faktur pembelian dan penjualan lobster, laporan
transaksi, serta data keuangan lainnya selama lima belas bulan terakhir. Metode
yang digunakan dalam pengukuran keunggulan kompetitif dan komparatif.
1) Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif dan komparatif domestik diukur pada harga output
dan input domestik. Rumus unit biaya tersebut akan menjadi :
d
d
d
d
dPQ
TC
VO
TCUC
≤ 1 (1)
dimana TCd mengindikasikan total biaya produksi pada harga pasar domestik, Pd
harga pasar domestik (harga yang diterima Perusahaan Edi Koto dari penjualan
Lobster) per unit produk, Q adalah jumlah lobster yang dijual, VOd dalah
penerimaan pada tingkat harga domestik.
2) Keunggulan komparatif
Analisa keunggulan komparatif diukur dengan harga bayangan (shadow
price) seperti yang disarankan oleh Canh, et al (2005). Ini berarti rumus unit biaya
akan menjadi sebagai berikut:
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1045
s
s
s
s
sPQ
TC
VO
TCUC
≤ 1 (2)
dimana TCs adalah total biaya produksi pada harga bayangan, Ps adalah harga
bayangan output, Q adalah kuantitas yang dijual, dan Vos adalah Total revenue
pada harga bayangan. Dalam analisa unit cost, penerimaan, biaya dan
keuntungan dibedakan menurut harga privat dan harga bayangan. Perbedaan
kedua harga ini merupakan dampak kebijakan pemerintah, serta terjadinya distorsi
di pasar input dan/atau output. Harga privat adalah harga yang berlaku di bawah
kondisi aktual kebijakan pemerintah. Harga bayangann adalah harga dimana
pasar dalam kondisi efisien (tidak ada distorsi pasar) (Malian et al., 2004). Unit
biaya merupakan rasio antara total biaya produksi dengan nilai output
Berdasarkan pendekatan daya saing usaha Cohran dan Sigel (2005)
tersebut maka diasumsikan bahwa :
1. Harga bayangan adalah nilai tertinggi dari produk dalam penggunaan alternatif
terbaik (Rp).
2. Penerimaan bersih merupakan pendapatan bersih CV.Edi Koto (Rp/triwulan).
3. Pajak pendapatan adalah nilai yang harus dibayarkan oleh CV.Edi Koto atas
pendapatan dari usaha pemasaran lobster (Rp/triwulan)
4. Harga input bayangan terdiri dari komponen bahan bakar, telepon dan listrik
diperhitungkan pada harga non-subsidi (Rp)
5. Harga output bayangan adalah harga FOB lobster di pasar internasional,
karena Indonesia pada saat ini sebagai eksportir lobster.
6. Biaya penyusutan atas aktiva tetap pada CV.Edi Koto dihitung dengan metode
garis lurus (straight line method) dimana tingkat suku bunga diasumsikan tetap
dan nilai akhir aktiva tetap adalah nol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi pemasaran lobster di Provinsi Bengkulu mulai dari nelayan sampai
tujuan ekspor cukup panjang dan beragam. Nelayan di kota Bengkulu umumnya
langsung menjual lobster tangkapannya langsung ke pedagang besar. Namun
nelayan dari daerah atau kabupaten lain umumnya menjalin kemitraan dengan
pedagang pengumpul setempat yang memiliki akses kepada pedagang besar di
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1046
kota Bengkulu. Saluran pemasaran lobster yang melibatkan UD Edi Koto dapat
dilihat pada Gambar 1. Lobster mati hanya dibeli oleh UD Edi Koto dari pedagang
pengumpul. Sedangkan lobster yang dipasarkan ke Jakarta adalah lobster dalam
keadaan hidup. Lobster mati baik yang dibeli dalam keadaan mati maupun mati
saat pemyimpanan akan dijual ke pasar lokal atau ke padagang besar lainnya di
kota Bengkulu.
Gambar 1. Saluran Pemasaran Lobster di Propinsi Bengkulu
Dalam saluran pemasaran lobster pada UD Edi Koto pembentukan harga
terbentuk berdasarkan transmisi harga dari pedagang eksportir, ke pedagang
besar, yang diteruskan oleh pedagang pengumpul kepada nelayan. UD Edi Koto
sebagai pedagang besar menjadi penerima harga dari PT Velyn. Dari sisi
pembelian, UD Edi Koto menjadi penentu harga lobster dari pedagang
pengumpul. Kondisi ini menyebabkan kenaikan harga di tingkat konsumen tidak
ditransimisikan kepada nelayan secara sempurna. Sistem ini menimbulkan
kekuatan monopsoni/oligopsoni yang terbentuk melalui proses: (1) menjalin
kerjasama dan kemitraan dengan nelayan atau lembaga pemasaran penyalur
lobster, (2) menciptakan hambatan pasar komoditi, dan (3) menciptakan
ketergantungan pemasaran lobster kepada pedagang tertentu. Mekanisme ini
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1047
menyebabkan tingkat keuntungan pedagang lebih besar dari keuntungan nelayan
maupun pedagang sebelumnya.
Keunggulan Kompetitif
Penerimaan CV.Edi Koto berasal dari penjualan lobster kepada mitra
bisnisnya yaitu PT Velyn Lestari di Jakarta. Zylbersztajn dan Claudio (2003)
menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif diindikasikan oleh
besarnya permintaan produk melalui indikasi kualitas, standarisasi dan sertifikasi.
Proses sortasi dan grading oleh CV.Edi Koto pada proses pembelian lobster.
Kriteria sortasi yang diterapkan yaitu: Kelengkapan organ kaki (ada tidaknya kaki
yang patah),tekstur dan keras atau lunaknya kulit lobster, kondisi leher,jenis
lobster dimana lobster mutiara adalah jenis yang memiliki nilai harga paling tinggi
baik di pasar domestik maupun internasional serta size (ukuran) seperti tersaji
ada Tabel 3. CV.Edi Koto menerapkan dua sistem sortasi dan grading pada
pembelian lobster yang ditentukan oleh musim lobster. Sistem grading pada
musim biasa dapat digambarkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sistem Grading Lobster Pada Musim Biasa
No. Jenis Corak Lobster Grade Pembelian (Ukuran)
1. Hijau Pasir (Panulirus homarus) Baby (< 0,1 kg)
Rut (0,1-0,5 kg)
5 Up (> 0,5 kg)
2. Batu (Panulirus penicilatus) Baby (< 0,1 kg)
Rut (0,1-0,5 kg)
5 Up (> 0,5 kg)
3. Bambu (Panulirus versicolor) Baby (< 0,1 kg)
Rut (0,1-0,5 kg)
5 Up (> 0,5 kg)
4. Batik (Panulirus cygnus) Baby (< 0,1 kg)
Rut (0,1-0,5 kg)
5 Up (> 0,5 kg)
5. Hitam/Pakistan (Panulirus argus) Baby (< 0,1 kg)
Rut (0,1-0,5 kg)
5 Up (> 0,5 kg)
6. Mutiara (Panulirus ornatus) 6/9 (0,6 – 0,9 kg)
Besar (> 0,9)
7. Lobster Mati (semua jenis) Kecil (< 0,3 kg)
Besar (> 0,3 kg)
Sumber: data primer dan sekunder, 2008
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1048
Sistem sortasi pada musim puncak lebih terperinci karena proporsi lobster
ukuran kecil lebih banyak dari pada lobster dengan ukuran lebih besar. Pola ini
dilakukan pada lobster jenis Hijau Pasir dan Mutiara karena selain nilai
ekonomisnya tinggi, kedua jenis lobster ini jumlah produksinya tertinggi di
Bengkulu. Sistem grading lobster pada musim puncak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sistem Grading Lobster Pada Musim Puncak
No. Jenis Corak Lobster Grade Pembelian (Ukuran)
1. Hijau Pasir (Panulirus homarus)
Baby (< 0,1 kg) ; 0,1 – 0,2 Kg ; 0,2 – 0,3 Kg ;
0,3 – 0,5 Kg ; 5 Up (> 0,5 kg)
2. Batu (Panulirus penicilatus)
Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)
3. Bambu (Panulirus versicolor)
Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)
4. Batik (Panulirus cygnus) Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg) ; 5 Up (> 0,5 kg)
5. Hitam/Pakistan (Panulirus argus)
Baby (< 0,1 kg) ; Rut (0,1-0,5 kg); 5 Up (> 0,5 kg)
6. Mutiara (Panulirus ornatus)
6/9 (0,6 – 0,9 kg) ; Besar (> 0,9)
7. Lobster Mati (semua jenis)
Kecil (< 0,3 kg) ; Besar (> 0,3 kg)
Sumber: data primer dan sekunder, 2008
No
Periode Jenis (Rp.)
Jumlah (Rp) Hijau Pasir Mutiara Lainnya Lobster Mati
1. Triwulan I
2.043.307.165
78.239.700 99.581.625 28.878.660
2.250.007.150
2. Triwulan II
1.274.207.510
63.505.800 36.639.430 11.977.400
1.386.330.140
3. Triwulan III
1.220.237.840
55.354.950 30.376.675 6.243.200 1.312.212.665
4. Triwulan IV
928.250.465 2.286.200 27.384.585 10.417.700
968.338.950
5. Triwulan V
1.792.295.050
27.500.250 51.848.840 12.171.500
1.883.815.640
Rata-rata 1.451.659.606
45.377.380 49.166.231 13.937.692
1.560.140.909
% 93,05 2,91 3,15 0,89 100 Jumlah 7.258.298.03
0 226.886.90
0 245.831.15
5 69.688.46
1 7.800.704.54
6
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1049
Sumber: data sekunder (diolah), 2008
Dengan sistem standarisasi kualitas ini, maka penerimaan CV.Edi Koto
atas penjualan lobster menurut jenis lobster selama November 2006 – Januari
2008 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Penjualan CV.Edi Koto per Triwulan (November 2006 – Januari
2008)
Nilai penjualan lobster tertinggi yang terjadi pada periode triwulan I
disebabkan oleh tingginya jumlah lobster terutama pada musim puncak lobster
yang dipasarkan oleh CV.Edi Koto. Rendahnya nilai penjualan lobster pada
triwulan IV berkaitan dengan rendahnya jumlah lobster yang dipasarkan karena
menurunnya intensitas penangkapan lobster akibat kondisi cuaca serta siklus
perkembangbiakan lobster.
Tabel 4. Total Cost, Nilai Output dan Unit Cost pada Harga Riil CV.Edi Koto (November 2006 – Januari 2008)
Uraian Periode
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
Triwulan V
Biaya Produksi
B. Operasi
4.740.400 4.724.950 4.740.400 4.740.400 4.740.400
B. Pemasaran
161.560.682 90.406.750 68.586.583 52.651.023
86.943.987
B. Pembelian
1.974.640.225
1.225.325.200
1.172.999.950
863.994.200
1.427.774.950
B. Tenaga Kerja
12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000
12.000.000
B. Penyusutan
8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997
Total Cost (TCd)
2.161.750.304
1.341.265.897
1.267.135.930
942.194.620
1.540.268.334
Nilai Output (VOd)
2.250.007.150
1.386.330.140
1.312.212.665
968.338.950
1.883.815.640
Unit Cost (UCd)
0,961 0,967 0,966 0,973 0,818
Sumber: data primer dan sekunder (diolah), 2008
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1050
Keunggulan kompetitif diukur dengan pendekatan unit biaya dimana
seluruh faktor input dan output dihitung pada harga domestik (harga privat).
Sehingga seluruh biaya dan hasil produksi dihitung pada tingkat dimana harga-
harga berada dibawah kebijakan pemerintah seperti subsidi misalnya. Total biaya
produksi, nilai penerimaan, dan indeks keunggulan kompetitif diukur dengan
pendekatan unit biaya dalam triwulan dapat dilihat pada Tabel 4.
Nilai rata-rata rasio unit cost usaha pemasaran lobster pada CV.Edi Koto
selama lima belas bulan terakhir lebih kecil dari 1, yaitu 0,937. Hasil analisis unit
cost tersebut mencerminkan bahwa secara finansial, usaha pemasaran lobster
pada CV.Edi Koto memiliki keunggulan kompetitif (domestik) yang relatif tinggi.
meskipun nilainya fluktuatif. Artinya CV.Edi Koto dapat dapat bersaing dalam
menjual produk sejenis dengan pesaingnya (Romdhon et al, 2008).
Fluktuasi harga tersebut dapat bersumber dari fluktuasi produksi dalam
negeri, fluktuasi harga internasional dan flukuasi nilai tukar (Simatupang,1999)
yang berdampak pada fluktuasi tingkat keunggulan kompetitif usaha pemasaran
lobster. Tingkat keunggulan kompetitif terendah terjadi pada periode triwulan IV,
yaitu pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2007. Ini dikarenakan pada
periode ini jumlah penangkapan lobster yang rendah. Jumlah transaksi lobster
yang lebih rendah dari pada jumlah transaksi lobster pada bulan yang sama tahun
sebelumnya dikarenakan intensitas penangkapan lobster pada periode triwulan V
terutama pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008. Penurunan intensitas
penangkapan lobster ini diakibatkan oleh kondisi cuaca yang tidak kondusif lokasi
penangkapan bahkan di sebagian besar perairan laut di Indonesia. Kondisi
tersebut menyebabkan jumlah tangkapan lobster menurun dibandingkan tahun
sebelumnya, meskipun harga lobster mencapai titik tertinggi tidak berpengaruh
terhadap tingkat keunggulan kompetitif karena harga lobster yang tinggi akibat
menurunnya tingkat penawaran. Habitat hidupnya lobster beruapa terumbu –
terumbu karang dan hutan – hutan banyak terancam akibat alih fungsi lahan dan
penangkapan yang tidak lestari, dengan menggunakan peralatan seperti bom ,
jaring pukat dan lain-lain.
Tingkat keunggulan kompetitif tertinggi terjadi pada periode triwulan I dan
V, yaitu pada bulan-bulan November, Desember, dan Januari, menurut Delgado
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1051
(2003) karena harga jual baik dipasar domestik maupun internasional cukup tinggi.
Tingginya tingkat keunggulan kompetitif sejalan dengan tingginya jumlah lobster
yang ditransaksikan. Tingginya tingkat keunggulan kompetitif dan pada periode
tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya harga jual lobster khususnya jenis hijau
pasir dan mutiara. Harga jual rata-rata lobster jenis hijau pasir mencapai Rp.
239.000,-/kg, sedangkan jenis jenis mutiara rata-rata Rp. 302.500,- /kg. Hal yang
sama terjadi pada periode triwulan IV (Agustus, September, dan Oktober).
Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif usaha pemasaran lobster juga diukur dengan
pendekatan unit biaya. Namun faktor input dan output dihitung pada harga
bayangan. Harga FOB lobster rata-rata (semua jenis) pada periode November
2006-Januari 2008 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Harga FOB Lobster (semua jenis) November 2006 – Januari 2008
Jenis Periode (Rp./kg)
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Triwulan V
Hidup 409.925 411.692 431.058 414.214 402.564 Mati 274.659 269.213 294.341 272.980 260.210
Rata-rata 342.292 340.452 362.699 343.597 331.387
Sumber: National Marine Fisheries Service USA (diolah)
Faktor input usaha pemasaran lobster yang dikenai subsidi antara lain:
bensin, solar, tarif dasar listrik dan tarif telepon. Komponen harga bayangan
lainnya diasumsikan sama dengan harga domestiknya. Harga privat sebesar Rp.
4.500,- per liter. Harga bayangan bensin pada kurun waktu November 2006 –
Januari 2008 berkisar antara Rp. 4.780,55 sampai Rp. 7.587,7 per liter. Solar
pada harga domestik dibeli seharga Rp. 4.300,- per liter. Harga bayangan solar
berkisar antara Rp. 5.481,- sampai Rp. 8.402,5 per liter (Pertamina,2008).
Tarif dasar listrik domestik (privat) dengan 1.300 volt pada pemakaian
sampai dengan 20 kwh dikenai tarif Rp. 385/kwh, pada pemakaian 21-40 kwh
dikenai tarif Rp. 445/kwh, dan pada pemakaian lebih dari 40 kwh dikenai tarif Rp.
495/kwh. Sedangkan pada harga bayangan (bayangan) dengan menghilangkan
komponen subsidi, tarif dasar listrik adalah Rp. 970,-/kwh pada semua tingkat
pemakaian (PLN, 2007). Pada komponen telepon, tarif percakapan lokal per menit
di bawah kebijakan subsidi adalah Rp. 173,-/menit. Dengan menghilangkan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1052
komponen subsidi pada pembentukan harga tarif telepon akan menjadi Rp.
313/menit dengan asumsi penggunaan telepon sepenuhnya pada pemakaian
percakapan lokal. Total biaya produksi, nilai output, dan indeks Keunggulan
kompetitif dan komparatif yang diukur dengan pendekatan unit biaya pada harga
bayangan dalam periode triwulan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Total Cost, Nilai Output, dan unit Cost pada Harga Bayangan (Nov. 2006 – Jan. 2008)
Uraian Periode
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Triwulan V
Biaya Produksi
B. Operasi 5.577.264 5.551.810 5.690.221 5.736.231 5.879.355 B. Pemasaran
162.019.310 90.822.206 69.086.722 53.237.608 87.754.979
B. Pembelian
1.974.640.225
1.225.325.200
1.172.999.950
863.994.200 1.427.774.950
B. Tenaga Kerja
12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000 12.000.000
B. Penyusutan
8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997 8.808.997
Total Cost (TCs)
2.163.045.796
1.342.508.213
1.268.585.889
943.777.035 1.542.218.280
Nilai Output (VOs)
7.138.110.293
3.838.445.626
3.041.574.520
2.191.495.871
3.630.704.561
Unit Cost (UCs)
0,303 0,350 0,417 0,431 0,425
Sumber: data primer dan sekunder (diolah), 2008
Hasil analisis unit cost pada harga bayangan diketahui menunjukkan bahwa
nilai indeks keunggulan komparatif rata-rata sebesar 0,385. Hasil ini
mencerminkan bahwa secara ekonomi, usaha pemasaran lobster memiliki tingkat
keunggulan komparatif yang relatif tinggi. Rasio ini juga menunjukkan bahwa
tanpa proteksi pemerintah pun, usaha pemasaran lobster masih memiliki daya
saing tinggi, Hal ini dipicu oleh selisih harga beli domestik dengan harga jual
internasional yang tinggi.
KESIMPULAN
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1053
Tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif usaha pemasaran CV.Edi
Koto relatif tinggi meskipun jumlah produksi lobster yang ditransaksikan semakin
menurun dimana rata-rata indeks keunggulan kompetitif dan komparatif CV.Edi
Koto berturut-turut adalah 0,97 dan 0,377.
Kecenderungan penurunan jumlah tangkapan lobster disebabkan oleh
penurunan kualitas ekosistem hidup lobster. Upaya pemeliharaan ekosistem
terumbu karang harus segera diupayakan secara sadar dan bijaksana sebagai
suatu bentuk investasi untuk menjamin ketersediaan lobster tangkap. Perusahaan
juga perlu segera menerapkan strategi usaha untuk menjamin pasokan losbter
misalnya dengan mendorong nelayan untuk menerapkan teknologi penangkapan
ramah lingkungan serta sistem pembesaran lobster pada keramba jaring apung
dan dijual setelah ukurannya cukup besar. Lobster betina yang sedang bertelur
juga dihindari untuk ditangkap agar mampu berkembang biak.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianty,H,Hadi,S.A,Kooswardhono, M,Endriatmo, dan Lala, M.(2006). Struktur Sosial Masyarakat Nelayan Kota Bengkulu : Kajian Struktural tentang Kemiskinan Nelayan Kota Bengkulu. Jurnal Agrisep 4(2): ,Maret .Jurusan SOSEk UNIB.Bengkulu.
Canh, et al.. 2005. The Competitiveness of Ho Chi Minh's Food Processing Industry. Research Report. The Faculty of Economics, Faculty of Industry at Vietnam National University-Ho Chi Minh City and the Institute for Economic Research of HCMC.
Cockburn, J. et al.. (1998). Measuring competitiveness and its sources: ‘the case of Mali's manufacturing sector‘, Working Paper. CRÉFA: Université Laval.
Delgado,C.L,Nikolas w, Mark W.R,Siet M, and Mahfuzuddin A.(2003). Fish to 2020 : Supply and Demand in Changing World Markets. International Food Policy Research Institute (IFPRI). Wahington D.C. World Fish Center-Penang,Malaysia.
Hawkins, R dan Meindertsma J.,D. 2004. Competitiveness and Comparative Advantage: Key Concepts. ICRA Learning Materials (www.icra-edu.org).
Irawan, B. Nurmanaf, R. Hastuti, E.L. Muslim,C. Supriatna, dan Y.V. Darwis. 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertianian, Bogor.
Irawan, Bambang. 2007. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian, 22 (4) Desember: 358-373.
Malian, et al.. 2004. Permintaan Ekspor dan Keunggulan kompetitif dan komparatif Panili Di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi, 22 (1) Mei: 26-45.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1054
Novalia, Nurkadina. 2005. Analisis Keunggulan kompetitif dan komparatif Industri Agro Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi, 4 (1) Juni: 105-127.
Rachman,B dan Tahlim Sudaryanto.(2002). Kemampuan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Jurnal SOSIO EKONOMIKA,8(1), Juni 2002,31-44. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.Bandar Lampung.
Romdhon,M. dan Ketut S.2008.Daya Saing dan Model Kemitraan Usaha Pemasaran Lobster di Kota Bengkulu (laporan penelitian tidak di publikasikan). Hibah Kompetisi A2. Jurusan Sosek Fak. Pertanian Universitas Bengkulu.
Simatupang, P dan J Situmorang. (1998) Integrasi Pasar dan Keterkaitan Harga Karet Indonesia dan Singapore. Jurnal Agro Ekonomi. Oktober 1998. 7(2): 12 – 29.
Schuh, G. E. 1991. Open Economic: Implication for Global Agriculture. ―American Journal of Agricultural Economics‖. Hlm 1322-1329.
Simatupang, P, Saptana, Supena,and I.W.Ruastra.(1999). The Impact of Policy Adjustment on Aricultural Input Market and Rice Farmer Income. Workshop on Macro Food Policy and Rural Finance.Brawijaya University .Malang.
Zylbersztajn, D and Cluadio A.Pinheiro M.F. (2003). Competitiveness of Meat Agri-Food Chain in Brazil. Supply Management : An International Journal 8(2):155 – 165.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1055
KERAGAAN PERTUMBUHAN KEDELAI VARIETAS UNGGUL DI LAHAN KERING SUMSEL
NP. Sri Ratmini, Rudy Soehendi dan Herwenita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
RINGKASAN
Luas areal panen di Indonesia mengalami penurunan secara tajam rata-
rata 11 % per tahun dan 9,66% per tahun Selama periode 2000–2004. Permintaan kedelai nasional cukup tinggi, namun tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan pemakaian benih unggul Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Desa Jaga Baya Kecamatan Kikim Selatan Kabupaten Lahat, dari bulan Juli sampai Oktober 2009, yang bertujuan untuk mempercepat proses diseminasi varietas unggul kedelai yang berpotensi tinggi dan dapat bedapatasi baik pada lahan kering Sumsel. Kegiatan ini berua demontrasi teknologi varietas unggul yang menggunakan 4 varietas unggul kedelai yaitu Sinabung, Tanggamus, Anjasmoro dan Grobogan dengan total luasan 1 ha. Data yang diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, produksi dan analisis usahatani. Hasil analisa usahatani didapatkan bahwa pengembangan kedelai di Kabupaten Lahat layak untuk dikembangkan dengan nilai ROI dan B/C ratio di atas 1. Varietas yang paling direspon petani di sekitar penelitian adalah kedelai varietas Anjasmoro.
Kata Kunci: varietas unggul, lahan kering, diseminasi dan usahatani
PENDAHULUAN
Kebutuhan kedelai Nasional terus meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk dan berkembangnya industri pangan olahan. Pertumbuhan permintaan
kedelai selama 15 tahun terakhir cukup tinggi, namun tidak mampu diimbangi oleh
produksi dalam negeri, sehingga harus dilakukan impor dalam jumlah yang cukup
besar, untuk menanggulangi hal ini maka perlu dilakukan peningkatan produksi
kedelai Nasional. Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih
terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal
tanam. Produktivitas rata-rata kedelai nasional saat ini baru mencapai 1,28 t/ha
dengan pencapain di tingkat petani berkisar antara 0,6 – 2,0 t/ha, sedangkan
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi kedelai bisa mencapai 1,7
– 3,2 t/ha. Produksi ini masih dapat ditingkatkan dengan menerapkan inovasi
teknologi (Badan Litbang, 2007; Badan Litbang, 2008; BPS, 2005 dan Subandi,
2007).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1056
Data statistik dari FAO menunjukkan bahwa selama periode 1990-1995,
areal panen kedelai meningkat dari 1,33 juta ha pada tahun 1990 menjadi 1,48
juta ha pada tahun 1995, atau meningkat rata-rata 2,06% per tahun. Sejak tahun
1995, terjadi penurunan areal panen secara tajam dari sekitar 1,48 juta ha menjadi
sekitar 0,83 juta ha pada tahun 2000, atau menurun rata-rata 11 % per tahun.
Selama periode 2000–2004, areal panen kedelai masih terus menurun rata-rata
9,66% per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 15 tahun terakhir (1990–
2004) luas areal kedelai di Indonesia menurun tajam dari sekitar 1,33 juta ha pada
tahun 1990 menjadi 0,55 juta ha pada tahun 2004, atau turun rata-rata 6,14% per
tahun.
Pada dekade 1997 -2007 perkembangan luas panen dan produksi kedelai
di Sumatera Selatan terus menurun (BPS, 2007). Peluang peningkatan produksi
kedelai melalui perluasan areal tanam pada lahan kering di Provinsi Sumsel cukup
besar dengan potensi yang dapat ditanami kedelai mencapai 285 ribu ha dan
21.433 ha terdapat di Kabupaten Lahat (BPTP Sumsel, 2001). Hambatan yang
dihadapi antara lain: beriklim basah dengan curah hujan tinggi mengakibatkan
tingkat pencucian basa-basa cukup intensif sehingga kemasaman tanah dan
kejenuhan Al dan Fe tinggi, dan kesuburan fisik-kimia menjadi rendah (Hidayat et
al., 2000 dan Utomo, 1997). Tujuan dari penelitian ini adalah mempercepat
proses diseminasi varietas unggul kedelai yang berpotensi tinggi dan dapat
bedapatasi baik pada lahan kering Sumsel.
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan pada lahan kering di Desa Jagabaya Kabupaten
Lahat dari bulan Juli-Oktober 2009. Varietas yang diperagakan ada 4 (empat)
macam yaitu: Anjasmoro, Tanggamus, Sinabung dan Grobogan dengan total luas
1 ha. Komponen teknologi yang diterapkan dengan pendekatan PTT.
Pengolahan tanah dilakukan sempurna dengan dilengkapi saluran keliling untuk
membantu menjaga kelembaban dan aerasi tanah. Kapur yang digunakan adalah
residu dari pengapuran pada musim tanam sebelumnya dengan dosis 500 kg/ha.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK majemuk dengan dosis 100 kg/ha.
Data yang dikumpulkan pada kegiatan ini meliputi: pertumbuhan tanaman,
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1057
serangan hama dan penyakit, produksi biji kedelai (t/ha) serta data sosial ekonomi
meliputi: volume input yang digunakan, harga input dan ouput, yang akan
menghasilkan struktur biaya, dan hasil akhir analisis usahatani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Wilayah
Luas wilayah Kecamatan Kikim selatan sekitar 41.085 ha yang tersebar di
17 desa, salah satunya adalah Desa Jaga Baya dengan total luasan 1.514 ha
dengan jumlah penduduk 3343 KK. Pada umumnya pemanfaatan lahan di daerah
Jaga Baya yaitu sebagai lahan pekarangan, ladang/huma, Tegal/kebun,
perkebunan, hutan rakyat, hutan negara, kolam dan lain-lain. Luas lahan
pertanian di Desa Jaga Baya adalah 31 ha yang merupakan pertanian dengan
irigasi sederhana. Petani di daerah ini pada umumnya mengusahakan tanaman
pangan dengan komoditi padi, kedelai, kacang tanah, jagung, ubi kayu dan
sayuran. Kedele merupakan komoditas kedua yang banyak diusahakan petani
setelah tanaman padi. Pada tahun 2008 total luas panen kedelai di Sumsel 5.352
ha dengan tingkat produksi 7.305 ton (BPS, 2007). Dilihat dari data di atas maka
Lahat mempunyai peluang untuk pengembangan kedelai di Sumsel.
B. Pertumbuhan Tanaman
Dari hasil pengamatan keragaan perumbuhan tanaman sangat baik
terutama Anjasmoro (Tabel 1). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
beberapa varietas unggul yang diperagakan mempunyai adaptasi yang baik
terhadap lingkungan sekitar hal ini dapat dilihat dari keragaan tinggi tanaman lebih
baik dari data deskripsi varietas masing-masing. Dari 4 (empat) varietas yang
diperagakan terlihat adanya gejala kekurangan unsur hara Ca dan Mg pada
varietas Sinabung, namun tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman, hal ini
disebabkan karena tanah di lokasi percobaan mempunyai nilai pH tanah 5,5,
sehingga belum berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pemberian kapur
sebanyak 500 kg/ha pada musim tanam sebelumnya ternyata belum dapat
mencukupi kebutuhan Ca dan Mg terutama untuk varietas Sinabung. Gejala
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1058
kahat Ca dimulai pada daun muda yang ditandai dengan adanya bintik-bintik
coklat atau hitam pada permukaaan daun. Bila kahat berlanjut terjadi nekrosis
pada permukaan bawah daun, sehingga daun berwarna coklat dan kadang daun
nampak kriting mirip gejala serangan virus. Kandungan Ca dapat ditukar (Ca-dd)
sebesar 10 me/100 g termasuk rendah dan perlu pepupukan Ca. Kekahatan Mg
ditandai dengan adanya klorosis yang berawal dari tepi daun, kemudian menjalar
ke bagian tengah diantara tulang daun. Kekahatan yang meningkat menyebabkan
perubahan warna tepi daun menjadi merah kekuningan, daun gugur, pertumbuhan
terhambat dan hasil rendah. Batas kritis kandungan Mg dalam tanah adalah 50
ppm Mg. Kisaran nilai cukup pada daun muda adalah 0,26 – 1,0 %. Kahat Ca
dapat diatasi dengan dolomit dan kapur, sedangkan kahat Mg pada tanah masam
dapat diatasi dengan pupuk yang mengandung Mg seperti kiserit (mgSO4) dan
dolomit [(CaMg(CO3)] atau dengan pupuk kandang (Puslitbangtan, 2006)
Tabel 1. Keragaan pertumbuhan tanaman pada kegiatan demplot di Desa
Jagabaya Kec. Kikim Kab Lahat, MK 2009
No Varietas Umur Berbunga (MST)
Tinggi Tanaman
(Cm)
Produksi (t/ha)
1. Sinabung 5 (35 hr)* 68,67 (66)* 1,385
2. Tanggamus 5 (35 hr)* 72,50 (67)* 1,250
3. Anjasmoro 7 (35,7–39,4 hr)* 83,33 (64-68)* 1,505
4. Grobogan 4 (30-32 hari)* 59,00 (50-60)* 1,085
Keterangan: ()* = Umur pada data deskripsi varietas
Dari Tabel 1 terlihat bahwa produksi dari ke empat varietas kedelai yang
dicobakan menunjukkan bahwa varietas Grobogan mempunyai produksi yang
paling rendah jika dibandingkan dengan varietas lainnya. Produksi tertinggi
diperoleh oleh varietas Anjasmoro, kemudian berturut turut diikuti dengan varietas
Sinabung, Tanggamus, dan Grabogon dengan tingkat produksi masing masing
1,505, 1,385, 1,250, dan 1,085 t/ha. Rendahnya produksi lebih disebabkan
karena pada saat berbunga tanaman mengalami kekeringan akibat adanya
perbaikan saluran irigasi disamping juga disebabkan hama penggerek polong.
Walaupun ditanam bukan pada musimnya ternyata tingkat serangan hama selain
penggerek polong tidak berpengaruh terhadap produksi hasil (Tabel 2). Serangan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1059
hama penggerek polong yang tinggi pada varietas Sinabung dan Tanggamus lebih
disebabkan karena umur tanaman yang lebih panjang. Saat varietas Grobogan
dan Anjsamoro telah panen, Tanggamus dan Sinabung masih hijau sementara
tingkat curah hujan sangat tinggi sehingga akan sangat berpengaruh terhadap
tingkat serangan hama.
Tabel 2. Data serangan hama pada kegiatan demplot di Desa Jaga Baya
Kecamatan Kikim kabupaten Lahat, MK 2009
No Varietas Ulat (%) Belalang (%)
Kutu Daun (%)
Hama penggerek polong (%)
1. Sinabung 4,8 3,2 2,8 45
2. Tanggamus 5,4 3,2 4,2 25
3. Anjasmoro 2,2 2,5 5,0 4
4. Grobogan 6,8 2,8 5,6 2
Ukuran biji menunjukkan bahwa varietas Grobogan mempunyai ukuran
paling besar, sementara Anjasmoro dan Tanggamus ukuran biji sedang dan
Sinabung ukuran biji kecil. Seperti yang dikemukakan oleh Sutomo dan Yuda
(2008) dan Duryatmo (2008), varietas Grobogan mempunyai ukuran biji besar dan
bobot 100 butir biji dapat mencapai 16 g. Produksi Grobogan paling rendah hal ini
berkorelasi dengan tinggi dan umur tanaman yang pendek, sehingga sangat
berpengaruh terhadap fotosintat yang dihasilkan juga kecil. Baharsjah, dkk.
(1998) menyatakan bahwa meningkatnya energi radiasi matahari yang dapat
diterima tajuk tanaman kedelai menjadikan proses fotosintesis meningkat
sehingga fotosintat yang dihasilkan lebih tinggi dan hasil akan meningkat.
Pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan fotosintesis yang meningkat akan
memperbesar pasokan fotosintat ke bagian limbung (biji) (Wicks, dkk., 2004).
Produktivitas tanaman kedelai juga sangat tergantung pada teknologi produksi,
panen dan pasca panen selain sifat morfologinya. Di samping itu kondisi
lingkungan makro seperti tinggi tempat, jenis tanah, suhu, kelembaban dan curah
hujan maupun kondisi lingkungan mikro seperti pemupukan, jarak tanam,
pengelolaan OPT (termasuk gulma) yang optimal dapat meningkatkan
produktivitas kedelai (Baihaki, 2008 dan Rahayu, 2008).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1060
C. Analisa Usaha Tani
Produksi biji kedelai yang diperoleh dari luas areal tanam 1 ha selama satu
musim tanam (3 bulan) di Desa Jaga Baya 1,79 t/ha dengan harga jual pada saat
panen Rp 5.000/kg, maka pendapatan yang diperoleh petani Rp 8.950.000
dengan keuntungan Rp 4.250.000.
Penilaian suatu kelayakan usaha tani dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain return of investment (ROI) dan (benefit cost ratio, B/C rasio). ROI
merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan total biaya produksi.
Cara ini digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan modal atau
mengukur keuntungan usaha tani dalam kaitannya dengan jumlah modal yang
diinvestasikan, sedangkan B/C rasio merupakan keuntungan bersih dengan total
biaya produksi sehingga dapat diketahui kelayakan usaha taninya. Bila nilai B/C
rasio lebih besar dari 1, berarti usaha tani tersebut layak untuk dilaksanakan.
Sebaliknya, bila nilai B/C rasio lebih kecil dari 1, usaha tani tersebut tidak layak
untuk dijalankan. Tabel 3 menujukkan bahwa nilai ROI usahatani kedelai 2,9 yang
menggambarkan bahwa setiap modal Rp 1 yang dikeluarkan untuk usaha tani
kedelai akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 2,9 dan nilai B/C ratio > 1
yaitu 1,94 artinya, setiap satuan biaya yang dikeluarkan akan diperoleh hasil
penjualan sebesar 1,94 kali lipat. Hasil ini menunjukkan bahwa usaha tani kedelai
di kabupaten Lahat layak untuk dikembangkan dan efisien dalam penggunaan
modal.
D. Respon Petani
Respon petani terhadap varietas yang digelarkan dapat diketahui melalui
pelaksanaan temu lapang. Dari hasil temu lapang terhadap petani dan aparat
dinas setempat di ketahui bahwa a[etani lebih menyukai varietas Anjasmoro
dibandingkan dengan varietas lainnya. Beberapa hal alasan petani memilih
Anjasmoro karena keragaan pertumbuhan dan produksi yang diperoleh cukup
baik, ukuran polong besar dan adaptif. Sinabung mempunyai tingkat produksi
yang tinggi namun tidak disukai petani karena mempunyai ukuran biji yang kecil,
sedeangkan Grobogan tidak disukai walaupun mempunyai ukuran biji besar dan
umur pendek karena keragaan pertumbuhan di lapang kurang tinggi
(pertumbuhan pendek).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1061
Tabel 3. Data Analisa Usahatani Kedelai di Desa Jaga Baya Kecamatan Kikim
kabupaten Lahat, MK 2009
No. Uraian Biaya (Rp.000,-)
1. Pengolahan Tanah 750
2. Saprodi :
- Benih 240
- Pestisida 70
- Pupuk NPK Majemuk 250
3. Biaya
- Tanam 400
- Pemupukan 90
- Pemberantasan Hapen 90
- Penyiangan & pemeliharaan 300
- Panen & pasca Panen 750
- Lain-lain 100
4. Total Biaya 3.040
5. Produksi (t/ha) 1,79
6. Pendapatan 8.950
7. Keuntungan 5.91
8. ROI 2,9
9. B/C ratio 1,94
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian terhadap kegiatan demplot di Desa Jaga Baya Kecamatan
Kikim Kabuoaten Lahat, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Budidaya kedelai dengan pendekatan PTT di Kabupaten Lahat layak untuk
dikembangkan, dengan nilai ROI 2,9 dan 1,94 di Desa Jaga Baya .
2. Pemakaian benih unggul dapat meningkatkan produksi kedelai di Kabupaten
Lahat. Adaptasi Varietas unggul, produksi tertinggi diperoleh pada varietas
Anjasmoro yaitu 1,5 t/ha
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1062
3. Varietas yang lebih disukai petani adalah Anjasmoro dan Tanggamus dengan
produksi dan adaptibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Indonesia 2004. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan, 2007. Sumatera Selatan Dalam Angka Palembang. Biro Pusat Statistik, Palembang.
Badan Litbang Pertanian. 2002. Inovasi Teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-
umbian Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2008. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis
Kedelai. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Baharsjah, J.S., Didi, S dan Irsal, L., 1998. Hubungan Iklim dengan Pertumbuhan
Kedelai. Balitbang Pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor : 87-102. Baihaki, A., 2008. Peningkatan Produktivitas Kedelai.
http://www.trubusonline.co.id. diakses pada 2 Mei 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2001. Peta Zona Agro-Ekologi Propinsi
Sumatera Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Palembang. Duryatmo, S., 2008. Grobogan Bukan Reinkarnasi Malabar. Error! Hyperlink
reference not valid.. diakses pada 2 Mei 2008. Hidayat, A., Hikmatullah dan Djoko Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan
Lahan Kering Dataran Rendah. Dalam Buku Sumberdaya Lahan Indonasia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hilman, Y. 2004. Inovasi Teknologi Pengembangan Kedelai di Lahan Kering
Masam. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)di Lahan Kering Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Pusllitbangtan. 2006. Hama, Penyakit dan Masalah Hara Pada Tanaman Kedelai.
Identifikasi dan pengendaliannya. Badan Litbang Pertanian. Error! Hyperlink reference not valid..
Rahayu, M., 2008. Teknologi Budidaya Intensif Tanaman Kedelai di Lahan Sawah
Setelah Padi di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Error! Hyperlink reference not valid. task=wiew&id=120&Hemid=141 <?xmlversion=‖1.0‖encoding=‖iso-8859-1‖?. diakses pada 7 Mei 2008.
Riwanodja dan T. Adisarwanto. 2002. Aplikasi pupuk Organik dan Anorganik
NPK pda Kedelai di Lahan Sawah. Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1063
Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Bogor.
Saleh, N. Dan A. Kasno. 2002. Teknologi Aneka Tanaman Kacang dan Umbi
Siap Uji Adaptasi. Balitkabi, Malang. Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai Pada
Lahan Kering Masam. Dalam Iptek Tanaman Pangan. Volume 2 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suhartina. 2007. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Balitkabi, Malang. Sutomo, Y dan Yuda T., 2008. Kedelai Kualitas Unggul Asal Grobogan.
<http://www.liputan6.com/new/?id=15443&c_id=>. diakses 7 Mei 2008. Tanjung, A., Akmal, Yustisia, Azwir, Suhartono dan Marzempi. 1992. Kipas Putih
dan TGX 562-4d: Galur Harapan Kedelai Untuk Lahan Kering Masam. Rapat Pelepasan Varietas Unggul, Bogor.
Utomo, M. 1997. Teknologi Pemnafaatan Lahan Kering. Prosiding Optimasi
Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian bagi peningkatan Kesejahteraan dalam Pelita VII. Perhimpunan Agronomi Indonesia.
Wicks, G.A., D.A.Crutcfield dan O.C.Burnside, 2004. Influence of Wheat (Triticum
aestivum) Straw Mulch and Metalachlor on Corn (Zea mays) rowth and Yield. Weed Sci . 42 : 141-147.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1064
ANALISIS PERKEMBANGAN USAHA PUAP DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN
Viktor Siagian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
ABSTRACTS
In the year 2008 amount of fund of Society Direct Relief (BLM) PUAP have channeled in Regency Musi Banyuasin (Muba) Provinsi of South Sumatra as much Rp 3,2 billion which is distributed to 32 Gapoktans. The aims of this research is 1) Knowing development of PUAP in Muba Regency, 2) Analysing business of PUAP in Muba Regency, 3) Knowing prospect and constraint of PUAP development. Method of Survey is case study. Method analyse to use ratio analysis and descriptive. Result of this research is 1) Fund of PUAP in Kab. Muba have increased into Rp 3,69 billion 2) Until month of June 2010 fund have increased into Rp 190,3 million in Teladan Jaya Gapoktan, and Rp 170,7 million in Ngesti Makmur Gapoktan, and both of finance balance sheet of such Gapoktans is helat/good, 3) Program of PUAP has good development prospect, the constraint the amount of fund relative still less.It‘s need to increase the fund of PUAP in order the productive effort of Gapoktan can more expand Keywords: Analyze, business, development of rural agribusiness entrepreneur.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah
satu kabupaten yang menerima dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Tujuan PUAP ini adalah
mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan melalui peningkatan
kemampuan pelaku usaha agribisnis, dan menjadi mitra lembaga keuangan untuk
akses ke permodalan (Kementan, 2010).
Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP adalah dana bergulir
yang dikelola oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Provinsi Sumatera
Selatan pada tahun 2008 telah menerima penyaluran dana BLM PUAP sebesar
Rp 36,2 milyar yang tersebar di 12 kabupaten/kota dan 362 Gapoktan yang
terdiri dari 2.256 kelompok tani (poktan) dan 42.538 anggota (Harnisah dkk,
2010). Pada tahun 2009 Kementan telah menyalurkan dana BLM PUAP sebesar
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1065
Rp 16,8 milyar kepada 168 Gapoktan yang tersebar di 13 kabupaten/kota yang
terdiri dari 982 poktan dan 22.186 anggota.
Khusus di Kabupaten Muba jumlah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
penerima dana PUAP pada tahun 2008 berjumlah 32 Gapoktan tersebar di 32
desa dan 6 kecamatan. Ke-32 Gapoktan tersebut terdiri dari 154 Kelompok tani
(Poktan) dan 1.292 anggota. Jumlah dana BLM PUAP Tahun 2008 yang telah
disalurkan berdasarkan Rencana Usaha Bersama (RUB) adalah Rp
3.182.250.000. (sampai dengan Maret 2010) dan sisa dana yang tidak
tersalurkan Rp13.750.000. Dari dana yang telah disalurkan telah berkembang
menjadi Rp 3.689.114.000 (sesuai Laporan Keuangan per tanggal 31 Desember
2009). Untuk program PUAP tahun 2009, jumlah Gapoktan penerima BLM PUAP
berjumlah 13 buah tersebar di 6 kecamatan dan 13 desa. Jumlah dana BLM
yang sudah disalurkan sesuai RUB berjumlah Rp 1,3 milyar, dengan total dana
yang dipertanggungjawabkan baru Rp 611 juta.
Untuk mengetahui sejauh mana perkembangan usaha PUAP di Kab. Muba,
keragaan usaha PUAP, serta prospek dan kendala pengembangannya maka
perlu dilakukan kajian sehingga dapat menjadi masukan untuk kebijakan program
PUAP selanjutnya.
BAHAN DAN METODE
Metode Pelaksanaan
Metoda yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kasus. Studi kasus
dilakukan di Gapoktan penerima dana BLM PUAP yaitu Teladan Jaya di Desa
Muara Teladan Kecamatan Sekayu dan Gapoktan Ngesti Makmur di Desa
Tanjung Keputran, Kecamatan Plakat Tinggi. Parameter yang didalami adalah
keragaan usaha kedua lembaga tersebut, perkembangan penyaluran BLM an
tingkat pengembaliannya, dan neraca keuangan kedua lembaga tersebut.
Lokasi dan Waktu Pengkajian
Lokasi pengkajian seperti tersebut di atas yang dipilih secara sengaja
(purposive) setelah berkonsultasi dengan Penyelia Mitra Tani (PMT) dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1066
BP2Tanikanhut Kab. Muba. Waktu pengkajian ini selama tiga hari yaitu dari
tanggal 21 – 22 Juli 2010.
Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan terdiri dari analisis kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif menggunakan statistik deskriptif. Analisis kuantitatif
menggunakan analisa laporan keuangan dengan metoda analisis rasio.Melalui
analisis rasio dapat diketahui baik buruknya posisi keungan suatu perusahaan
(Djahidin F., 1985). Ada tiga komponen utama dalam metoda analisa rasio
(Siagian, 1987; Santoso S., 2001), yaitu:
1. Likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk menyediakan alat-alat
yang likuid (yang mudah diuangkan/ dijual) untuk menjamin pengembalian
hutang jangka pendek dan panjang yang jatuh tempo.
2. Solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh
hutang-hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya perusahaan
tersebut bangkrut.
3. Rentabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dalam
periode tertentu.
Data yang ada diolah secara komputerisasi, untuk analisis tabulatif dan dan
kuantitatif diolah dengan program Excel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Dana PUAP di Kabupaten Muba
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab Pendahuluan bahwa dana PUAP
yang disalurkan pada tahun 2008 berjumlah Rp 3,2 milyar. Dana tersebut telah
berkembang menjadi Rp 3.689.114.000, diantaranya terdapat dana kas Rp
634.110.000, dana bank Rp 448.409.000, dan pendapatan lain Rp 37.618.000,
pendapatan saprodi Rp 37.495.000.
Berdasarkan jenis usaha produktif terdiri dana PUAP tersebut telah
berkembang sebagai berikut: 1) Tanaman pangan dari dana disalurkan Rp
281.650.000 telah berkembang menjadi Rp 333.493.000, 2) Tanaman hortikultura
dari dana disalurkan telah berkembang menjadi Rp 214.226.000, 3) Tanaman
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1067
Perkebunan dari dana disalurkan Rp 1.384.223.000 telah berkembang menjadi
Rp 1.619.728.000, 4) Peternakan dari dana disalurkan Rp 559.800.000 telah
berkembang menjadi Rp 638.491.000, 5) Industri rumah tangga dari dana
disalurkan Rp 39.277.000 telah berkembang menjadi Rp 43.286.000, 6)
Pemasaran hasil pertanian dari dana disalurkan Rp 718.550.000 telah
berkembang menjadi Rp 765.103.000, dan 6) Usaha lainnya dari dana disalurkan
Rp 19.000.000 menurun menjadi Rp 2.633.000.
Dana PUAP tersebut untuk usaha produktif tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan umumnya digunakan untuk membeli saprodi, penyiapan lahan, pagar
kebun. Untuk usaha peternakan digunakan untuk membeli bibit ayam potong
(d.o.c), bibit sapi (pedet), bibit kambing. Untuk usaha produktif pemasaran hasil
pertanian umumnya untuk modal kerja.
Keragaan Umum Gapoktan Teladan Jaya, Desa Muara Teladan
Gapoktan Teladan Jaya berdiri tanggal 28 Februari 2008 dengan jumlah
anggota 256 orang. Desa Muara Teladan terletak ± 30 km disebelah utara Kota
Sekayu di tepi jalan Sekayu – Keluang atau ± 150 km dari Kota Palembang.
Tipologinya adalah lahan kering dan tanaman dominan adalah karet, padi lebak
dan ubi kayu. Jumlah poktan penerima PUAP sebanyak 6 buah dari 10 poktan
yang ada. Berdasarkan RUBnya jenis usaha produktifnya adalah Peternakan,
Perkebunan, Tanaman Pangan dan Pemasaran, dan saat ini ditambah usaha
jasa. Dari dana PUAP sebesar Rp 100 juta yang sudah disalurkan, saat ini
volume usahanya bernilai Rp 190.288.000. Total tabungan anggota saat ini Rp 56
juta yang berasal dari simpanan pokok Rp 20.000/bulan, simpanan wajib Rp
5.000/bulan dan simpanan sukarela tidak terbatas.
Prosedur pengajuan pinjaman adalah: Mengajukan Rencana Usaha Anggota
(RUA) (dinilai kelayakannnya oleh Ketua Kelompok), jika layak diajukan ke
Pengurus Gapoktan, jika layak maka dana bantuan PUAP direalisasikan dalam
bentuk tunai. Jangka pengembalian maksimal 10 bulan, diangsur tiap bulan
dengan bunga tetap (flat) 1%/bulan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1068
Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Untuk kelacaran organisasi diberikan honor 20% dari pendapatan bunga
kepada pengurus tiap bulan yang dibagi atas: Ketua Gapoktan 40%, Sekretaris
20%, Bendahara 20%, Ketua Poktan 20% (dibagi 6 poktan). Saat ini Ketua
Gapoktan dijabat oleh Suhat (pendidikan tammat SLTA), Sekretaris dijabat oleh
Mus Mulyadi (pendidikan tammat SLTP), Bendahara dijabat oleh Amar Ma‘ruf
(tammat SLTA). Gapoktan tidak berbadan hukum, AD/ART dan kantor sampai
saat ini belum ada. Pertemuan diantara pengurus dilakukan tiap bulan sedangkan
dengan anggota baru 2 kali. Alat kelengkapan organisasi seperti buku anggota,
buku tamu, buku kas, buku simpan pinjam, buku inventaris, dsb sudah lengkap.
Perkembangan Usaha Produktif.
1. Peternakan
Pinjaman diberikan untuk usaha terpadu ikan + ternak. Total pinjaman
untuk membeli benih ikan nila dan patin Rp 25 juta/5 orang. Nilai Rp 5 juta per
anggota digunakan untuk membeli 1000 ekor benih ikan dan pakan ikan. Saat
ini sudah 7 orang yang melakukan pinjaman dan sudah lunas dan mereka sudah
mengajukan pinjaman lagi. Usaha ternak ayam digunakan untuk membeli bibit
ayam potong (boiler) ras (d.o.c) Rp 2 juta/orang. Harga doc Rp 4.900/ekor
berumur 1 hari. Ayam boiler dijual pada umur ± 45 hari. Jumlah pinjaman Rp 4
juta/2 orang dan sudah lunas dan sudah mengajukan pinjaman lagi.
Permasalahan usaha ini adalah harga pakan yang relatiftinggi.
2. Pemasaran
Digunakan untuk jual beli benih ikan dengan pinjaman Rp 1 juta/orang
dari semula yang meminjam 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 30
orang dengan kisaran pinjaman Rp 1 – 5 juta/orang. Pinjaman sudah lunas dan
anggota sudah mengajukan pinjaman lagi.
3. Bengkel
Nilai pinjaman Rp 5 juta untuk 1 orang, dan baru dilunasi Rp 2,5 juta.
4. Perkebunan dan Tanaman Pangan
Untuk perkebunan pinjaman digunakan untuk modal kerja senilai Rp 24 juta
dengan total peminjam 15 orang, baru berlangsung 2 – 3 bulan dan belum lunas.
Uang pinjaman umumnya digunakan untuk membeli kebutuhan saprodi. Untuk
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1069
tanaman pangan digunakan untuk membuat pagar kebun ubi kayu yaitu Rp 1 – 2
juta/orang dan belum lunas. Di desa ini serangan hama babi hutan relatif tinggi
sehingga kebun harus dipagar.
Jika dirinci distribusi bantuan menurut masing-masing Kelompok Tani (
Poktan), dana awal PUAP adalah sebagai berikut: 1) Rencana Baru sebesar Rp
52.000.000, 2) Pelung sebesar Rp 33.500.000, 3) Palu Raden sebesar Rp
34.500.000, 4) Harapan Utama sebesar Rp 32.500.000, 5) Padang Besar sebesar
Rp 43.000.000, 6) Sei Serni sebesar Rp 33.500.000.
Sebagai gambaran umum di Desa Muara Teladan, produktivitas rata-rata 4
kw/bulan/ha dengan harga karet basah Rp 10.500/kg. Padi lebak dengan
produktivitas 3 ton gkp/ha, sedangkan padi ladang 1,8 ton gkp/ha. Hasil produksi
dijual dalam bentuk beras dengan harga Rp 6.000/kg. Ubi kayu dengan
produktivitas 15 ton/ha, dipanen 6 – 7 bulan dengan harga jual Rp 500/kg umbi
basah. Harga jual ayam potong ras (hidup) adalah Rp 17.000/kg.
Analisa Laporan Keuangan
Melalui analisis rasio dapat diketahui kelayakan usaha Gapoktan tersebut
berdasarkan neraca keuangan di atas. Adapun hasilnya sebagai berikut:
1. Likuiditas:
a. Current Ratio atau Rasio Lancar:
Aktiva Lancar Rp 187.408.000 CR = _____________ = ________________ = 1,87. Hutang Lancar Rp 100.000.000 b. Cash Ratio (CHR) atau Rasio Posisi Kas: Kas + Bank Rp 3.838.000 + Rp 8.900.000 CHR = _________________ = __________________________ = 0,13. Total Passiva Lancar Rp 100.000.000
Rasio Lancar (CR) Gapoktan nilainya 1,87 yang artinya setiap Rp 100 hutang
lancar dapat dijamin dengan Rp 187 aktiva lancar. Nilai ini relatif baik, standar
rasio adalah 2 (Siagian, 1987). Rasio Posisi Kas sangat rendah yaitu 0,13 artinya
setiap Rp 100 hutang lancar (dana BLM diangap sebagai hutang lancar) hanya
dapat dibayar dengan uang kontan sebesar Rp 13. Nilai standar rasio yang
berlaku pada bank adalah 0,3, jadi masih dibawa nilai standar (Siagian, 1987).
Dari kedua alat rasio tersebut dapat disimpulkan bahwa Gapoktan Teladan Jaya
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1070
illikuid (kemampuan Gapoktan membayar hutangnya dengan alat yang likuid
relatif rendah).
2. Solvabilitas
a. Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (S1):
Total Modal Sendiri Rp 90.288.000 S1 = _________________ x 100% = ________________ x 100% = 47,4% Total Aktiva Rp 190.288.000 b. Rasio Total Aktiva dengan Total Hutang (S3) Total Aktiva Rp 190.288.000 S2 = _______________ x 100% = _________________ x 100% = 190,3%. Total Hutang Rp 100.000.000 Rasio Modal Sendiri (S1) nilainya 0,47, nilai ini mendekati nilai standar
yaitu 50% artinya kemampuan membayar hutangnya dengan modal sendiri relatif
baik. Nilai Rasio S2 adalah 190,3% di atas nilai standar 100%, kemampuan
membayar seluruh hutangnya dengan aktiva yang dimiliki masih lebih besar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa Gapoktan masih solvabel (mampu membayar
hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya bangkrut).
3. Rentabilitas
a. Return on Net Worth (RONW) atau Rasio Margin Laba Bersih (SHU)
dengan
Modal Sendiri
Laba Bersih (SHU) Rp 28.234.000 RONW = ________________ x 100% = ______________ x 100% =
31,3%. Modal Sendiri Rp 90.288.000
b. Return On Investment (ROI) atau Rasio Laba Bersih dengan Total Aktiva
Laba Bersih (SHU) Rp 28.234.000 ROI = ___________________ x 100% = _______________ x 100% = 14,8%. Total Aktiva Rp 190.288.000 Nilai RONW sebesar 31,3% artinya setiap modal sendiri sebesar Rp 100
mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 31,3 (tidak ada nilai standar rasionya),
artinya relatif baik. Nilai ROI sebesar 14,8% artinya setiap aktiva sebesar Rp 100
mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 14,8 nilai ini masih di atas rata-rata
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1071
bunga bank 10%/tahun, jadi kemampuan menghasilkan laba dengan total aktiva
laba relatif baik.Dari kedua alat rasio tersebut disimpulkan Gapoktan adalah
rentabel. Tabel 1 berikut menjabarkan neraca keuangan Gapoktan Teladan
Jaya.
Tabel 1. Neraca Gapoktan Teladan Jaya Per 31 Juni 2010
No. AKTIVA 31 JUNI 2010 (Rp)
No. KEWAJIBAN DAN MODAL
31 JUNI 2010 (Rp)
AKTIVA LANCAR
KEWAJIBAN
1. Kas 3.838.000 6. MODAL
2. Bank 8.900.000 7. Donasi 100.000.000
3. Piutang 174.670.000 8. Simpanan Pokok 2.760.000
4. Persediaan Barang
0 9. Simpanan Wajib 7.665.000
Jumlah Aktiva Lancar
187.408.000 10. Simpanan Swakarsa 46.309.000
AKTIVA TETAP
10. Dana Cadangan 5.320.000
5. Peralatan 2.880.000 11. SHU Thn 2009 15.907.000
Jumlah Aktiva Tetap
2.880.000 12. SHU Thn Berjalan 12.327.000
JUMLAH AKTIVA
190.288.000 JUMLAH PASSIVA 190.288.000
Sumber: Laporan Tengah Tahun Gapoktan Teladan Jaya, 2010.
Keragaan Umum Gapoktan Ngesti Makmur, Desa Tanjung Keputran
Gapoktan Ngesti Makmur berdiri tanggal 13 Desember 2007, dengan
angota 16 poktan dan 469 anggota. Sampai saat ini baru 7 poktan yang
menerima dana BLM PUAP. Gapoktan berada di Desa Tanjung Keputran,
Kecamatan Plakat Tinggi yang berjarak ± 70 km di sebelah barat Kota Sekayu
atau ± 190 km dari Kota Palembang. Tipologi lahannya adalah lahan kering
dengan tanaman dominan adalah karet dan padi ladang. Luas desa 2.200 ha
dengan jumlah penduduk 3.171 jiwa yang terdiri dari 597 kk. Luas tanaman karet
1.800 ha sedangkan padi ladang 80 ha. Produktivitas karet adalah 200
kg/ha/bulan dengan harga Rp 10.000/kg basah. Harga jual padi adalah Rp 3.000
– 3.500/kg gkg, sedangkan beras adalah Rp 6.500/kg. Desa ini termasuk Desa
peserta SLPTT.
Dana PUAP yang diterima tahun 2008 sebesar Rp 100 juta dan saat ini
sudah berkembang menjadi Rp 170.700.000. Tunggakan belum ada dan modal
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1072
sudah diputar dua kali. Unit usaha Gapoktan adalah simpan pinjam. Jenis usaha
produktif yang dibiayai adalah: 1) Peternakan, 2) Pemasaran, 3) Tanaman
Pangan, 4) Perkebunan.
Total tabungan anggota saat ini adalah Rp 8.178.000 per bulan Maret
2010. Tabungan tersebut berasal dari simpanan pokok Rp 10.000/orang/bulan,
simpanan wajib Rp 5.000/orang/bulan dan simpanan sukarela dengan besaran
tidak terbatas. Prosedur pengajuan pinjaman sama seperti pada Gapoktan
Muara Teladan. Jangka waktu pengembalian pinjaman adalah 10 bulan, diangsur
tiap bulan dengan tingkat bunga (flat) 2%/bulan. Hasil bunga tersebut sebesar 1%
untuk kas dan 1% lagi untuk honor dan operasional pengurus. Jumlah kas per
tanggal 31 desember 2009 adalah Rp 1.981.000.
Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Untuk kelancaran organisasi maka dari dana 1% tersebut dibagikan
kepada pengurus sebagai berikut: Ketua dengan honor Rp 110.000/bulan,
Sekretaris dengan honor Rp 135.000/bulan, Bendahara dengan honor Rp
85.000/bulan, Seksi LKM Rp 75.000/bulan, Tim Pengarah I dengan honor Rp
30.000/bulan, Tim Pengarah II dengan honor Rp 15.000/bulan, Pelindung
(Kades) dengan honor Rp 20.000/bulan, Ketua Poktan (7 orang) dengan honor
masing-masing Rp 60.000/bulan. Saat ini Ketua dijabat oleh Kartomulyono
(pendidikan tammat SR), Sekretaris dijabat oleh Muwardi SP (pendidikan tammat
Sarjana), Bendahara dijabat oleh Solehani (tammat SLTP). Gapoktan tidak
berbadan hukum, Anggaran Dasar/Anggaran Rumaah Tangga sudah ada,
kantor sampai saat ini belum ada tapi pondok pertemuan sudah ada. Pertemuan
diantara pengurus dilakukan tiap bulan sedangkan dengan anggota baru 2 kali.
Alat kelengkapan administrasi seperti buku anggota, buku tamu, buku kas, buku
simpan pinjam, buku inventaris, dsb sudah lengkap. Pendamping Gapoktan Sdr.
Sariman SP (juga PPL setempat sudah pernah mendapat pelatihan sebanyak 3
kali yang berkaitan dengan PUAP yaitu: LKMA (Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis), Pendampingan PUAP, dan Sosialisasi Pengembangan PUAP.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1073
Perkembangan Usaha Produktif.
2.2.1. Peternakan
Pinjaman digunakan untuk membeli bibit sapi dan kambing. Untuk bibit
sapi (pedet) besar pinjaman Rp 3 juta/orang/ekor. Jumlah peminjam sebanyak 7
orang per 7 kelompok tani (poktan). Untuk kambing pinjaman Rp 1,5 juta/orang
dan nilai tersebut dapat membeli 2 ekor kambing bakalan. Pinjaman sudah
menyebar di 7 poktan. Untuk ayam potong buras Rp 1,5 juta/orang dengan
jumlah peminjam 1 orang. Harga bibit ayam adalah Rp 20.000/ekor.
2.2.2. Pemasaran
Pinjaman digunakan untuk modal kerja berdagang sayuran, dan diberikan
ke tiap kelompok dengan nilai pinjaman Rp 1 juta/orang. Dari nilai tersebut
anggota bisa mendapatkan pendapatan Rp 600.000/bulan.
2.2.3. Tanaman Pangan dan Hortikultura
Untuk tanaman pangan pinjaman digunakan untuk membeli pupuk dengan
nilai pinjaman Rp 1 juta/orang dan menyebar di setiap kelompok. Untuk tanaman
hortikultura pinjaman digunakan untuk membeli saprodi dengan nilai pinjaman Rp
1,5 juta/orang dan tidak setiap poktan sudah menerimanya.
2.2.4. Tanaman Perkebunan
Pinjaman digunakan untuk membeli saprodi dan penyiapan lahan dengan
nilai pinjaman Rp 2 juta/orang dan diberikan di setiap poktan.
Jika dirinci per masing-masing poktan distribusi bantuan, dana awal PUAP
adalah sebagai berikut: 1). Sido mulung sebesar Rp 16.500.000, 2) Ngesti
Rahayu sebesar Rp 17.100.000, 3) Subur Makmur sebesar Rp 20.500.000, 4)
Cipta Karya Laksana sebesar Rp 34.500.000, 5) Sukarela sebesar Rp 31.500.000,
6) Sidomulyo sebesar Rp 24.800.000, 7) Tani Maju sebesar Rp 29.500.000. Total
dana awal Rp 174.400.000 (sudah perputaran 2 kali) dan nilai akhirnya
sekarang adalah Rp 177.108.000.
Analisa Laporan Keuangan
Melalui analisis rasio dapat diketahui kelayakan usaha Gapoktan tersebut
berdasarkan neraca keuangan di atas. Adapun hasilnya sebagai berikut:
1. Likuiditas:
a. Current Ratio atau Rasio Lancar:
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1074
Aktiva Lancar Rp 120.331.000 CR = _____________ = ________________ = 1,20. Hutang Lancar Rp 100.000.000 b. Cash Ratio (CHR) atau Rasio Posisi Kas: Kas + Bank Rp 1.961.000 + Rp 113.000.000 CHR = ___________________ = ____________________________ = 1,15. Total Passiva Lancar Rp 100.000.000
Rasio Lancar (CR) Gapoktan nilainya 1,20 yang artinya setiap Rp 100 hutang
lancar dapat dijamin dengan Rp 120 aktiva lancar, masih lebih rendah dari nilai
standar rasio yaitu 2. Rasio Posisi Kas sangat rendah yaitu 1,15 artinya setiap Rp
100 hutang lancar dapat dibayar dengan uang kontan sebesar Rp 115. Nilai
standar rasio yang berlaku pada bank adalah 0,3, jadi jauh di atas nilai standar.
Dari kedua alat rasio tersebut dapat disimpulkan bahwa Gapoktan Tani Sejahtera
likkuid (mampu membayar hutangnya dengan alat yang likuid).
2. Solvabilitas
a. Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (S1):
Total Modal Sendiri Rp 32.987.000 S1 = _________________ x 100% = ________________ x 100% = 24,8% Total Aktiva Rp 132.987.000 b. Rasio Total Aktiva dengan Total Hutang (S2) Total Aktiva Rp 132.987.000 S2 = _______________ x 100% = _________________ x 100% = 133,0%. Total Hutang Rp 100.000.000 Rasio Modal Sendiri (S1) nilainya 0,25, nilai ini masih dibawah nilai standar
yaitu 50% artinya kemampuan membayar hutangnya dengan modal sendiri masih
rendah. Nilai Rasio S2 adalah 133% di atas nilai standar 100%, kemampuan
membayar seluruh hutangnya dengan aktiva yng dimiliki masih lebih besar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa Gapoktan masih solvabel. (mampu membayar
hutangnya dengan aktiva yang dimiliki seandainya bangkrut).
3. Rentabilitas
a. Return on Net Worth (RONW) atau Rasio Margin Laba Bersih (SHU)
dengan
Modal Sendiri
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1075
Laba Bersih (SHU) Rp 27.294.000 RONW = _______________ x 100% = _______________ x 100% =
82,7%. Modal Sendiri Rp 32.987.000
b. Return On Investment (ROI) atau Rasio Laba Bersih dengan Total Aktiva
Laba Bersih (SHU) Rp 27.294.000 ROI = ___________________ x 100% = ______________ x 100% = 20,5%. Total Aktiva Rp 132.987.000 Nilai RONW sebesar 82,7% artinya setiap modal sendiri sebesar Rp 100
mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 82,7 (tidak ada nilia standar rasionya),
nilai ini relatif baik. Nilai ROI sebesar 14% artinya setiap aktiva sebesar Rp 100
mampu menghasilkan SHU sebesar Rp 20,5 nilai ini masih di atas rata-rata
bunga bank 10%/tahun, jadi dapat disimpulkan Gapoktan tersebut rentabel,
kemampuan menghasilkan laba relatif baik. Tabel 2 berikut menjabarkan neraca
keuangan Gapoktan Ngesti Makmur.
Tabel 2. Neraca Gapoktan Ngesti Makmur Per 31 Desember 2009
No. AKTIVA 31 DESEMB 2009 (Rp)
No. KEWAJIBAN DAN MODAL
31 DESEMB 2009 (Rp)
AKTIVA LANCAR
KEWAJIBAN
1. Kas 1.961.000 6. MODAL
2. Bank 113.330.000 7. Donasi 100.000.000
3. Piutang 0 8. Simpanan Pokok 1.100.000
4. Persediaan Barang
5.040.000 9. Simpanan Wajib 1.594.000
Jumlah Aktiva Lancar
120.331.000 10. Simpanan Swakarsa 1.119.000
Biaya-biaya 12.656.000 10. Dana Cadangan 0
5. AKTIVA TETAP
11. SHU Thn 2009 27.294.000
12. Pendapatan lain 1.520.000
13. Pendapatan Saprodi 360.000
JUMLAH AKTIVA
132.987.000 JUMLAH PASSIVA 132.987.000
Sumber: Laporan Akhir Tahun Gapoktan Ngesti Makmur, 2010.
Berdasarkan analisa laporan keuangan, kedua Gapoktan tersebut memiliki
neraca keuangan yang sehat/baik. Diperlukan audit (pemeriksaan) lebih lanjut
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1076
untuk mengetahui apakah aktiva/passiva tersebut benar adanya sesuai yang
dilaporkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dana BLM PUAP di Kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 2009 telah
berkembang dari Rp 3,2 milyar menjadi Rp 3,69 milyar. Unit Usaha produktif
terbesar yang menerima dana adalah perkebunan sebesar Rp 1,38 milyar telah
berkembang menjadi Rp 1,62 milyar.
2. Dana BLM PUAP di Gapoktan Teladan Jaya sudah berkembang dari Rp 100
juta menjadi Rp 190,3 juta sampai pada 31 Juni 2010, sedangkan pada Gapoktan
Ngesti Makmur sudah berkembang menjadi Rp 170,7 juta per 31 Juni 2010.
Kedua neraca keuangan Gapoktan tersebut adalah sehat, mampu membayar
kewajiban-kewajibanya.
3. Program PUAP memiliki prospek pengembangan relatif baik, kendalanya
besaran dana relatif masih kurang.
Saran
1. Perlu dukungan dari pemerintah pusat dan daerah baik untuk memperbesar
modal kerja Gapoktan sehingga seluruh anggota Poktan dapat menikmati dana
PUAP sebagai sumber permodalan usaha, dan juga pengawalan dan
pengawasan agar dana PUAP dapat terjamin penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Laporan Akhir Tahun Gapoktan Ngesti Makmur. Gapoktan Ngesti
Makmur, Tanjung Keputren. Anonim, 2010. Laporan Tengah Tahun Gapoktan Teladan Jaya Tahun 2010. Gapoktan Teladan Jaya, teladan Jaya. Djahidin F., 1985. Analisa Laporan Keuangan. CV Ghalia Indonesia, Jakarta. Harnisah, dkk, 2010. Laporan Akhir Tahun Pengembangan Sumberdaya Informasi Iptek, Diseminasi dan Jaringan Umpan Balik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel, Palembang.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1077
Kementan, 2010. Pedoman Umum Usaha Agribisnis Pedesaan. Kementerian Pertanian, Jakarta. Santoso S., 2001. Aplikasi Excel dalam Manajemen Keuangan. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Siagian V., 1987. Analisa Keadaan Usaha Koperasi Unit Desa. Skripsi S1, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1078
KONDISI (SOSEKBUD) MASYARAKAT PESISIR DALAM KAWASAN LINDUNG DAN PEMAHAMANNYA TERHADAP UPAYA KONSERVASI EKOSISTEM
MANGROVE DI TAMAN NASIONAL SEMBILANG, SUMSEL.
Yetty Hastiana 1), Fachrurrozie Sjarkowi 2), Dinar DAP 2), M. Rasjid Ridho 2)
1) Universitas Muhammadiyah Palembang, FKIP, Jurusan PMIPA, Program Pend. Studi Biologi;
2) Universitas Sriwijaya Palembang, Program Pasca Sarjana, Bidang Ilmu Lingkungan
ABSTRAK
Lahan basah yang dominan pada kawasan Taman Nasional Sembilang berupa ekosistem mangrove. Luasan hutan mangrove yang tersisa merupakan kawasan mangrove terluas di Pesisir Timur Sumatera. Kelestarian TN Sembilang beserta sumberdaya hayatinya sangat dipengaruhi beberapa faktor. Selain faktor alamiah, kegiatan masyarakat di sekitarnya memberikan andil terhadap upaya pelestarian. Rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran lingkungan, dan faktor kemiskinan masyarakat daerah penyangga, semakin mempercepat terjadinya perusakan hutan Taman Nasional (Yuswandi dkk, 2003). Potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional dapat menjadi faktor penentu terjadinya tekanan terhadap pelestarian SDA Taman Nasional. Tingkat kesadaran dan kepedulian individu terhadap konservasi dan pelestarian lingkungan, erat kaitannya dengan orientasi pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang. Diduga persepsi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, akan dilakukan suatu kajian dan pengamatan mengenai Kondisi (Sosekbud) Masyarakat Pesisir Kawasan Lindung dan Pemahamannya Terhadap Konservasi Ekosistem Mangrove. Data pengamatan dikumpulkan menggunakan teknik triangulasi, yaitu menggabungkan data wawancara, observasi lapangan non partisipasi dan dokumentasi. Selain wawancara dilakukan juga teknik focus group discussion (FGD). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sedangkan jenis data yang diambil adalah data kualitatif dan kuantitatif. Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Tanah Pilih di seksi III kawasan Taman Nasional Sembilang, meliputi tiga dusun yaitu Dusun Satu, Dusun Dua dan Dusun Terusan Dalam. Data hasil wawancara dan observasi pada setiap indikator variabel dianalisis secara kuantitatif dengan cara scoring dalam bentuk ordinal dan interval lalu dinilai dengan persentasi. Berdasarkan data statistik, saat ini jumlah penduduk 202 KK, dengan mata pencaharian masyarakat saat ini rata-rata sebagai nelayan, petani, dan peternak walet. Sejarah Desa Tanah Pilih berawal sejak tahun 1970 tujuh orang suku Bugis datang ke kawasan pesisir Sembilang dekat Sungai Benu. Daerah asal mereka adalah Teluk Bone Sulawesi Selatan. Pertama kali yang mereka kerjakan saat adalah membuka areal persawahan dan perkebunan yang terletak antara sungai Terusan Dalam hingga S. Benu. Dari hasil
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1079
wawancara ternyata 93,33 % responden tahu bahwa hutan yang ada di sekitarnya berstatus Taman Nasional, persen tersebut identik dengan nilai 158, dimana nilai itu masuk pada kriteria sangat paham. Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove termasuk kriteria paham, dimana nilai yang didapat adalah 158 identik dengan 65,83%, dari delapan kelompok yang dijadikan parameter pengukuran pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove, masyarakat memahami empat sampai tujuh macam fungsi. Ada satu fungsi hutan mangrove yang belum dipahami masyarakat, yaitu hutan mangrove dapat mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan. Pengetahuan masyarakat terhadap jenis dikelompokkan menjadi dua yaitu pengetahuan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi dilindungi.
Kata Kunci: Ekosistem mangrove, konservasi, sosekbud masyarakat pesisir,
Taman Nasional Sembilang.
PENDAHULUAN
Taman Nasional Sembilang (TNS) merupakan salah satu Taman Nasional
yang terletak di Sumatera Selatan yang memiliki karakteristik lahan basah. Dari
luasan tersebut 45% merupakan ekosistim mangrove, 42% rawa belakang, 9%
rawa air tawar dan gambut, sisanya merupakan dataran lumpur dan pantai
berpasir. Lahan basah yang dominan pada kawasan Taman Nasional Sembilang
adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove termasuk pada ekosistem yang
mempunyai fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang unik.
Konsep ekologis humanistik berusaha menempatkan manusia sebagai
integral sebuah ekosistem, dimana makhluk hidup mempunyai peluang yang sama
besarnya untuk menjaga dan merusak alam. Begitu juga dengan masyarakat sekitar
TNS mempunyai potensi yang sama antara memelihara dan merusak alam
khususnya hutan dalam kawasan TNS. Kecenderungan untuk mengeksploitasi jenis
sumber daya hutan di dalam kawasan secara berlebihan, dapat mengurangi
kelestarian sumber daya hayati TNS. Hasil penelitian Riyanto (2005), diketahui
terdapat interaksi antara masyarakat sekitar hutan dengan Taman Nasional.
Beberapa faktor yang ikut memberikan kontribusi bagi terjadinya kerusakan hutan di
Taman Nasional adalah faktor sosial ekonomi budaya masyarakat setempat.
Rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran
lingkungan, dan faktor kemiskinan masyarakat daerah penyangga, semakin
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1080
mempercepat terjadinya perusakan hutan Taman Nasional tersebut (Yuswandi dkk,
2003). Potensi SDA di daerah penyangga Taman Nasional dapat juga menjadi faktor
penentu terjadinya tekanan terhadap pelestarian SDA yang ada di dalam kawasan
Taman Nasional.
Tingkat kesadaran dan kepedulian individu terhadap konservasi dan
pelestarian lingkungan, secara teoritis terkait erat dengan orientasi, pengetahuan,
pemahaman, sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang.
Diduga tingkat pemahaman masyarakat akan mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan sebagai kawasan konservasi.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian dan
kajian ini, yaitu bagaimana kondisi (sosekbud) masyarakat pesisir dalam kawasan
lindung dan pemahamannya terhadap upaya konservasi ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang, SumSel. Setelah dilakukan serangkaian pengamatan
dan kajian mengenai kondisi dan pemahaman masyarakat pesisir kawasan lindung
terhadap upaya konservasi ekosistem mangrove, diharapkan dapat diketahui kondisi
sosekbud dan pemahaman masyarakat terhadap upaya konservasi ekosistem
mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang, SumSel. Adapun manfaat lebih
lanjut adalah untuk merancang pola pengelolaan kawasan ekosistem mangrove
secara berkelanjutan.
A. Metode Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Data pengamatan dikumpulkan menggunakan teknik triangulasi, yaitu
menggabungkan data wawancara, observasi lapangan non partisipasi dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur
berkaitan dengan aspek yang akan diukur pada setiap variabel. Selain itu
dilakukan juga teknik focus group discution (FGD), observasi lapangan non
partisipasi dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan potensi sumber daya alam
yang dikelola dan sumber daya manusia yang mengelolanya. Hal-hal yang terlihat
sebagai pendukung data dicatat dan didokumentasikan.
2. Sumber dan Jenis Data
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1081
Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder
sedangkan jenis data yang diambil adalah data kualitatif dan kuantitatif. Populasi
dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Tanah Pilih. Dalam rancangan
penetapan zonasi Taman Nasional Sembilang, Desa Tanah Pilih merupakan desa
yang diusulkan untuk menjadi kawasan zona tradisional. Desa tanah Pilih terdiri
dari tiga dusun yaitu Dusun Satu, Dusun Dua dan Dusun Terusan Dalam. Pada
data profil desa tahun 2009 jumlah penduduk Desa Tanah Pilih terdiri dari 202 KK,
25 KK ada di Dusun Terusan Dalam dan sisanya ada di Dusun Satu dan Dusun
Dua. Responden yang dijadikan sample adalah setiap Kepala Keluarga (KK) yang
ada di tiga dusun dengan jumlah sample 30 KK dilakukan dengan teknik purposive
sampling dengan intensitas sampling lebih dari 10%. Kepala keluarga yang
dimaksud adalah bapak atau ibu yang mewakili dari keragaman profesi yaitu
petani, nelayan, pejabat struktural desa, pedagang, tokoh masyarakat dan agama.
Sedangkan untuk data sosekbud masyarakat selain dari hasil pengamatan
lapangan non partisipatif, sebagian besar berupa data primer .
3. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah pemahaman masyarakat terhadap peran Taman
Nasional yang diukur dengan pemahaman status kawasan hutan. Indikator
pemahaman pada status kawasan, diukur dengan masyarakat mampu atau tidak
menyebutkan bahwa status hukum kawasan tersebut adalah Taman Nasional.
Untuk mempertajam pemahaman terhadap peran Taman Nasional maka indikator
selanjutnya adalah mengukur pemahaman terhadap sikap masyarakat terhadap
beberapa pernyataan yang berhubungan dengan peran Taman Nasional. Peneliti
mengajak responden berpartisispasi untuk dapat memberikan suatu sikap Setuju,
Netral dan Tidak Setuju atas beberapa pernyataan.
Variabel lain dari pemahaman adalah mengukur pemahaman terhadap
fungsi hutan mangrove, ada delapan fungsi hutan mangrove yang dijadikan
deskripsi dari indikator tersebut diantaranya: (1) Pelindung garis pantai dari abrasi,
(2) Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, (3) Mencegah intrusi
air laut, (4) Tempat berlindung dan berkembang biak jenis ikan, burung,
mamalia, reptile, dan serangga, (5) Sebagai pengatur iklim mikro, (6) Penghasil
keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan,
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1082
obat-obatan), (7) Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil,
kosmetik, penyamak kulit, pewarna), (8)Pariwisata, penelitian dan pendidikan.
Variabel pengetahuan jenis vegetasi dan satwa diukur dengan indikator
pengenalan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi dilindungi sedangkan
pengetahuan terhadap satwa diukur dengan pengenalan jenis satwa yang
dilindungi meliputi jenis primata, aves dan mamalia besar
Variabel lain adalah perilaku masyarakat terhadap kelestarian Taman
Nasional Sembilang dengan indikator peran masyarakat dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan kayu dan bukan kayu dalam kawasan.
4. Metode Analisis Data
Data hasil wawancara dan observasi pada indikator untuk mengukur setiap
variabel dianalisis secara kuantitatif dengan cara scoring dalam bentuk ordinal dan
interval lalu dinilai dengan persentasi, sedangkan data lainnya dianalisis secara
deskriftif kualitatif dengan cara tabulasi.
Cara perhitungan variabel pemahaman masyarakat pada indikator
pemahaman terhadap status kawasan dideskripsikan menjadi enam kelompok
kemungkinan masyarakat menjawab yaitu taman nasional, hutan konservasi,
suaka margasatwa, hutan lindung, status hutan lainnya dan tidak tahu, lalu diberi
point secara berurutan dengan nilai 5,4,3,2,1 dan 0. Nilai dari masing-masing
deskripsi dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab deskripsi berikut lalu
dipersentasikan. Dalam mengukur pemahaman masyarakat terhadap peran taman
nasional, apabila pernyataan positif maka pemberian skor Setuju=3, Netral=2,
Tidak Setuju=1 tetapi apa bila pernyataannya negatif pemberian skor menjadi
Setuju=1, Netral=2, Tidak Setuju=3. Dari setiap skor yang didapat lalu dikalikan
dengan jumlah responden yang menyatakan sikap tertentu tersebut.
Pada indikator fungsi hutan mangrove, ada 8 fungsi hutan mangrove yang
menjadi deskripsinya sehingga nilai berkisar antara 8-0. Pengenalan jenis
vegetasi dominan dideskripsikan menjadi 13 jenis dan kisaran nilai dari 13 - 0,
pengenalan jenis vegetasi dilindungi bernilai antara 3 - 0, pengenalan jenis satwa
dilindungi untuk kelompok primata bernilai antara 1 - 0, sedangkan untuk
kelompok aves bernilai 1 – 0, dan kelompok mamalia besar bernilai 12 - 0.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1083
Setelah dilakukan perhitungan lalu dimasukan pada interval skor, bila
dikonversikan pada nilai persentasi maka nilai 0 % - 20 % termasuk sangat tidak
paham, 21 % - 40 % tidak paham, 41 % - 60 % cukup paham, 61 % – 80 %
paham dan 81 % - 100 % sangat paham.
B. Hasil Penelitian
1. Keadaan Umum Lokasi
Secara Geografis Wilayah Desa Tanah Pilih terletak pada Muara Sungai
Benu yang berbatasan dengan Propinsi Jambi, sedangkan secara administrasi
pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin
dengan luas 70.000 Ha, adapun batas-batas wilayah Desa Tanah pilih adalah
sebelah Utara Sungai Benu, sebelah Selatan Sungai Tiram dan Desa Sungsang
IV, sebelah Timur Laut Cina Selatan dan sebelah Barat Kabupaten Musi
Banyuasin dan Propinsi Jambi (TNS, 2008). Aksesibilitas menuju Desa Tanah
Pilih dari Kota Palembang dapat dicapai dengan menggunakan kapal speed boat
melalui Sungai Musi dalam waktu 5½ jam. Dapat juga dicapai dari Mentok Pulau
Bangka dengan menggunakan speed boat besar dengan waktu yang diperlukan
kira-kira 3 hingga 4 jam. Disamping itu dapat juga ditempuh dari Nipah Panjang
Propinsi Jambi dengan memakai speed boat dalam waktu tempuh kira-kira 3 -4
jam (Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).
Kawasan Taman Nasional Sembilang umumnya memiliki iklim tropis
dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.455 mm. Musim kemarau biasanya terjadi
dari bulan Mei hingga Oktober, musim hujan dengan angin barat laut yang keras
dan membawa butiran hujan dari November hingga April. Iklim dapat dijabarkan
sesuai dengan Zona C : 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 3 bulan
atau kurang berturut-turut bulan kering, (TNS, 2008). Kawasan TN. Sembilang,
merupakan bagian dari lahan rawa yang lebih luas dengan formasi sedimen
Pelembang. Saat ini ditutupi oleh tanah liat merin muda dan sedimen sungai.
Sebagian kawasan ini sebagian besar didominasi oleh sedimen alluvial (termasuk
sedimen marin dan sedimen organik di pesisir, dan deposit organik, biasanya
sebagai kubah gambut jauh di daratan). Tanah umumnya terdiri dari jenis histosol
dan inceptisol.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1084
Sebagian besar TN Sembilang terdiri dari habitat estuarin. Sejumlah
sungai yang relatif lebih pendek menyalurkan air dari rawa air tawar tadah hujan
dan hutan rawa gambut yang terletak jauh ke daratan dalam sebuah pola menyirip
(pinnate) ke wilayah pesisir Taman Nasional. Sungai terpanjang di Desa Tanah
Pilih adalah Sungai Benu hulunya bersumber dari hutan rawa primer dan rawa
gambut, sedangkan sungai lainnya memberikan kontribusi pada formasi habitat
estuarin. Substrat sungai berupa organik pada bagian hulu (gambut), pada bagian
hilir liat. Substrat pantai lumpur dan sebagian pasir. Partikel lumpur tersuspensi
dalam air sungai, di daerah berarus deras substrat yang tertinggal berupa substrat
kasar, sedangkan di daerah berarus lemah, substrat yang tertinggal adalah
substrat halus.
Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Sembilang (sumber : Balai
TNS, 2008)
2. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Sejarah Desa Tanah Pilih berawal sejak tahun 1970 tujuh orang suku
Bugis (Daeng Pasoreh, Haji Aras, Mencak, Hamzah, Bedu, Darisek dan Baru)
datang ke kawasan pesisir Sembilang dekat Sungai Benu. Daerah asal mereka
adalah Teluk Bone Sulawesi Selatan. Pada umumnya Masyarakat Teluk Bone
meninggalkan Sulawesi menuju Sumatera, antara lain yang dituju adalah Jambi.
Karena lahan garapan di Jambi sudah mulai berkurang, maka mereka mencari
lahan garapan baru. Mereka mendapatkan ijin dari Pesirah di Sungsang untuk
mendirikan pemukiman pertama di Tanah Pilih dan membuka areal hutan
mangrove dan hutan rawa untuk pertanian (padi dan kelapa). Pertama kali yang
mereka kerjakan saat tiba di tanah Pilih adalah membuka areal persawahan dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1085
perkebunan yang terletak antara sungai Terusan Dalam hingga S. Benu (sumber :
informasi personal, 2009 ; Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).
Kesuksesan menggarap padi di sawah dan kelapa di kebun mengukir
sejarah Desa Tanah Pilih, hingga orang Bugis berduyun-duyun berdatangan
menetap di Desa Tanah Pilih untuk menggarap sawah dan kebun. Orang Bugis
tersebut ada yang datang dari Jambi dan ada yang datang langsung dari
Sulawesi. Tahun 1993 adalah puncaknya keramaian hingga mencapai 5000 jiwa
belum termasuk yang tinggal di wilayah Terusan. Sejak tahun 1990 hasil
pertanian mulai berkurang, disebabkan karena adanya hama yang membludak
yaitu beruang dan tikus. Dampak dari kejadian itu ada masyarakat yang kembali
ke Jambi, kembali ke Sulawesi dan sebagian lagi turun ke daerah muara beralih
profesi menjadi nelayan (sumber : informasi personal, 2009).
Pada tahun 2000, Desa Tanah Pilih mengalami musibah (air pasang,
badai ombak besar) yang memisahkan dan merusakkan perumahan warga.
Sehingga sebagian besar (70%) warga membuat pemukiman baru dengan sisa
bahan dari kerusakan rumah mereka yaitu di lokasi sekitar Sungai Benu. Sejak
Tahun 2000 Muara Sungai Benu telah menjadi desa Definitif yaitu Desa Tanah
Pilih dengan luas ± 70.000ha. Menurut data Statistik saat ini jumlah penduduk
adalah 202 KK dengan jumlah mata pilih hampir 400 orang. Daerah Sungai
Terusan Dalam termasuk bagian dari Desa Tanah Pilih. Dengan jumlah kepala
keluarga sekitar 25 KK. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Tanah Pilih saat ini
rata-rata adalah nelayan, bertani, dan yang mulai menjamur adalah peternak
walet. Hasil perikanan dan kebun dipasarkan ke Jambi dan Sungsang (sumber :
Profile Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009).
Adat istiadat yang ada di Desa Tanah Pilih dikelola oleh 5 orang
sesepuh/pemangku adat, meliputi (Sumber : Informasi personal, 2009 ; Profile
Desa Tanah Pilih, STN 3 TNS, 2009 ):
a. Bersih desa/syukuran desa
Dilakukan setahun sekali setiap bulan Maret. Waktu tersebut
diselenggarakan pada saat panen raya. Acara tersebut wajib diikuti oleh
setiap masyarakat. Tujuan kegiatan bersih desa adalah (1) Bersykur atas
hasil panen yang dicapai (2) Tolak bala terhadap hal-hal yan tidak
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1086
diinginkan, (3) Meningkatkan kebersamaan dan silaturahim antar warga,
(4) Membicarakan permasalahan desa dan harapan-harapannya.
b. Acara pernikahan
Upacara pernikahan harus memakai adat Bugis tidak dibolehkan
mengambil adat dari daerah lain. Dalam menentukan waktu pelaksanaan
pernikahan ditentukan hari baik dan bulan baik oleh 5 pemuka adat
melalui musyawarah. Tujuan dari ketentuan tersebut adalah (1)
Mempetahankan adat Bugis agar tidak punah oleh desakan budaya
modern, (2) Merupakan kekayaan budaya bagi anak cucu sebaagi ahli
waris, (3) Sebagai perisai terhadap pengaruh luar yang mungkin tidak /
bertentangan dengan budaya masyarakat Bugis.
c. Membakar ladang
Dalam melakukan pembakaran lahan garapan ada beberapa aturan yang
disepakati yaitu. (1) Apabila melakukan pembakaran lahan / ladang harus
diawasi dan dibuat sekat bakar agar tidak meluas, (2) Harus dilakukan
secara bergantian, tidak dilakukan secara serentak.
d. Pertengkaran
Kalau ada pertengkaran atau percekcokan diantara warga yang dianggap
sudah sangat memprihatinkan, maka untuk penyelesaiannya ada
semacam sanksi yaitu (1) Memotong kambing, (2) Membuat surat
perjanjian mengikat dan sanksi yang lebih berat.
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Tanah Pilih rata-rata lulusan SD.
Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh belum tercukupinya
fasilitas/sarana prasarana dan kekurangan tenaga pendidik. Untuk fasilitas
pendidikan hanya ada 1 (satu) gedung SD. Masyarakat Desa Tanah Pilih
seluruhnya memeluk agama Islam yang merupakan masyarakat asli Bugis.
3. Pemahaman Masyarakat Terhadap Status TNS dan Fungsi
Ekosistem Mangrove
Hasil penelitian dari variabel pemahaman masyarakat diawali dengan
mengukur pemahaman masyarakat terhadap status kawasan memakai beberapa
indikator. Metode yang dipakai untuk mengukur indikator itu adalah wawancara
kepada 30 responden. Berdasarkan hasil wawancara ternyata 93,33 %
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1087
responden tahu bahwa hutan yang ada di sekitarnya berstatus Taman Nasional,
persentase tersebut identik dengan nilai 158, dimana nilai itu masuk pada kriteria
sangat paham. Hasil tersebut lebih jelas terlihat pada Gambar 1.
Pemahaman masyarakat terhadap status kaw asan
93.33%
6.67%
Taman Nasional
Hutan Konservasi
Suaka Margasatw a
Hutan Lindung
Lain-lain
Tidak Tahu
Gambar 1. Pemahaman Masyarakat Terhadap Status Kawasan TN. Sembilang
Status Taman Nasional sangat familiar dengan masyarakat, terbukti
93,33% dari responden tahu dengan nama Taman Nasional dan hanya 6,67%
saja yang tidak tahu. Masyarakat tidak mengerti status kawasan yang lain,
padahal sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional status kawasan adalah
Suaka Margasatwa, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Tetapi hal ini tidak
familiar dengan masyarakat masyarakat hanya mengenal Taman Nasional.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Nilai
Pernyataan
Kayu tidak boleh
diambi/dimanfaatkan
Satwa harus dilindungi
Hasil hutan buka kayu
boleh dimanfaatkan
Ikan, burung, satwa
yang bisa dimanfaatkan
boleh diambil
Boleh menggarap kebun
dan tambak
Gambar 2. Respon Masyarakat Terhadap Peran Taman Nasional
Setelah mereka tahu atau mampu menyebutkan bahwa status hutan
yang berada di sekitarnya adalah Taman Nasional, maka peneliti ingin tahu lebih
jauh apakah masyarakat paham dengan peran Taman Nasional itu sendiri.
Masyarakat diberikan beberapa pernyataan yang berhubungan dengan peran
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1088
Taman Nasional lalu diminta untuk memberikan penilain sikap setuju, netral dan
tidak setuju. Ada dua pernyataan yaitu pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Respon masyarakat dari setiap pernyataan yang dimaksud tercantum pada
Gambar 2.
Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa ‖Setiap orang
dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan
dan zona lain dari Taman Nasioanl, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam‖.
Kalau merujuk aturan tersebut, sebenarnya masyarakat tidak diperkenankan untuk
memanfaatkan kayu karena kalau menelaah lebih lanjut tentang batasan dari zona
pemanfaatan tradisional, masyarakat di sekitar hutan hanya boleh memanfaatkan
hasil hutan dengan tidak menebang atau membudidaya.
Pada pernyataan ‖Satwanya harus dilindungi‖, semua responden
menyatakan setuju, sehingga nilai yang didapat adalah satu dan masuk pada
kriteria sangat paham. Jadi selama masyarakat tidak dapat mengambil
manfaatnya maka sumber daya tersebut tidak akan di manfaatkan dalam modus
apapun. Penilaian ini saling berhubungan dengan pernyataan ‖Ikan, burung, dan
satwa lainnya yang bisa dimanfaatkan boleh diambil‖. Pada pernyataan ini
masyarakat memberikan sikap dengan poin nilai 0,50, padahal pernyataan yang
dilontarkan hampir sama yaitu pemanfaatan satwa, tetapi pada pernyataan yang
kedua ada kalimat tambahan yaitu yang bisa dimanfaatkan, maka ada penilaian
pergeseran respon dari masyarakat. Hal ini lebih terbukti bahwa terlibatnya
masyarakat dalam pemeliharaan atau sebaliknya dalam pengrusakan sangat erat
hubungan dengan memberikan manfaat atau tidak terhadap masyarakat. Selama
sumberdaya itu tidak memberikan manfaat maka masyarakat tidak akan
mengganggunya tetapi bila sumberdaya itu memberikan manfaat, maka
masyarakat akan berusaha untuk memanfaatkannya.
Nilai yang didapat dari masyarakat dalam menyikapi pernyataan dari
‖hasil hutan bukan kayu boleh dimanfaatkan‖ adalah 0,50 masuk pada kriteri
cukup paham. Masyarakat memberikan penilaian tersebut karena masyarakat
menilai apa yang sedang terjadi pada dirinya, dimana masyarakat sering
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti daun nipah digunakan untuk atap
rumah, rotan untuk mengikat, dan nibung untuk tiang-tiang rumah dan bangunan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1089
lainnya. Dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebenarnya masyarakat
punya payung hukum, dimana dalam syarat penetapan sebagai zona
pemanfaatan tradisional bila pada zona tersebut memiliki potensi dan kondisi
sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara
tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Desa
Tanah Pilih tengah diusulkan menjadi zona pemanfaatan tradisional, berarti
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang telah biasa masyarakat manfaatkan
dibenarkan secara hukum. Namun demikian nilai yang didapat hanya 0,50, disini
terlihat sifat kehati-hatian masyarakat dalam menyikapi pemanfaatan sumberdaya
dan peran Taman Nasional. Dalam sejarah masyarakat Desa Tanah Pilih mata
pencahariannya adalah bertani padi dan kelapa setelah adanya serangan hama
yang hebat yaitu beruang dan tikus, masyarakat beralih menjadi nelayan dan
sekarang selain nelayan masyarakat menjamur mendirikan sarang walet. Jadi
masyarakat dalam menyikapi pernyataan boleh menggarap kebun/ladang dan
tambak disikapi dengan positif karena masyarakat sendiri tidak mempunyai
kepentingan dengan penggarapan lahan tersebut.
Pemahaman masyarakat terhadap fungsi hutan mangrove termasuk
kriteria paham, dimana nilai yang didapat adalah 158 identik dengan 65,83, dari
delapan kelompok yang dijadikan parameter pengukuran pemahaman masyarakat
terhadap fungsi hutan mangrove, masyarakat memahami empat sampai tujuh
macam fungsi. Ada tiga fungsi hutan mangrove yang secara keseluruhan
masyarakat atau (100 %) dari jumlah responden paham diantaranya fungsi
mangrove sebagai pelindung garis pantai dari abrasi; sebagai tempat berlindung
dan berkembang biak jenis ikan, burung, mamalia, reptil dan serangga dan
sebagai pengatur iklim mikro. Menyusul kemudian 90 % dari responden
memahami bahwa fungsi hutan mangrove adalah sebagai penghasil keperluan
rumah tangga. Fungsi mangrove sebagai pencegah intrusi air laut dipahami oleh
66,67 % responden sedangkan fungsi mangrove sebagai parawisata, pendidikan
dan penelitian dipahami oleh 40 % responden. Hanya 26,67 % dari masyarakat
yang memahami bahwa fungsi hutan mangrove adalah sebagai penghasil
keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna).
Ada satu fungsi hutan mangrove yang benar-benar masyarakat belum paham
yaitu dengan adanya hutan mangrove dapat mempercepat perluasan pantai
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1090
melalui pengendapan, padahal kemampuan mangrove untuk mengembangkan
wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam
pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan
subtrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus,
sementara vegetasi secara keseluruhan dapat menahan sedimen (davies and
Claridge, 1993 dalam Noor Rusila, 2006).
Tegakan mangrove menyukai suasana lingkungan yang memungkinkan
terjadinya penimbunan tanah dan perluasan lahan, dengan perakaran yang khas
yang berkembang mengikuti penimbunan tanah yang terjadi (Pramudji, 1996
dalam Arief 2003). Permudaan alam yang berasal dari alam dan keberadaannnya
ditentukan oleh variabel permudaan alam sangat membantu dalam perluasan
lahan baru. Seringkali di kawasan ini terbentuk daratan baru karena adanya
perakaran yang menghunjam ke dalam lumpur pantai sehingga membentuk
dinding vegetasi yang dapat menampung serasah dan lumpur. Oleh karena itu,
tumbuhan mangrove mampu tumbuh secara agresif dan cepat menyebar
menutupi dataran estuaria. Dengan bentuk akar yang rapat mangrove dapat
menangkap lumpur sehingga mendorong pengendapan lumpur serta memperkuat
ketahanan terhadap erosi.
4. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Jenis Vegetasi dan Satwa
Deskripsi pengetahuan masyarakat terhadap jenis vegetasi dan satwa
terlihat pada Gambar 3. Pengetahuan masyarakat terhadap jenis dikelompokkan
menjadi dua yaitu pengetahuan terhadap vegetasi dominan dan vegetasi
dilindungi. Parameter pengetahuan terhadap jenis vegetasi dominan dirangkum
menjadi 13 jenis vegetasi dominan yang menyusun kawasan pantai Taman
Nasional Sembilang diantaranya Rhizopora spp (bakau), Avicennia spp (Api-api),
Ceriops sp (tengar), Excoecoria sp (buta-buta), Xylocarpus (Nyirih), Bruguiera
(tumu), Sonneratia sp (pedada), Oncosperma tigilarium (nibung), Casuarina
junghuhniana (cemara laut), Nimpa pructican (Nipah), Pandanus spp (Pandan),
Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus sp (waru).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1091
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
Indikator
Pengetahuan
masyarakat
terhadap vegetasi
dominanPengetahuan
masyarakat
terhadap vegetasi
dilindungiPengetahuan
masyarakat
terhadap primata
dilindungiPengetahuan
masyarakat
terhadap aves
dilindungiPengetahuan
masyarakat
terhadap mamalia
besar dilindungi
Gambar 3. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Jenis Vegetasi dan
Satwa
Jumlah jenis yang di kenal masyarakat berkisar antara 5 – 13 jenis
dengan rata-rata yang mereka kenal 6 – 8 jenis. Secara umum semua jenis di
kenal oleh masyarakat tetapi ada lima jenis yang secara keseluruhan masyarakat
mengetahuinya yaitu bakau, api-api, pedada, nibung dan nipah. Jenis ini dikenal
oleh seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Alasan masyarakat
lebih mengenal dengan jenis ini adalah karena jenis ini berada sangat dekat
dengan tempat pemukiman, bahkan sudah menjadi pemandangan sehari-hari
seperti bakau, pedada, api-api dan nipah sedangkan nibung adalah kayu yang
sering masyarakat manfaatkan untuk tiang bangunan.
Selain vegetasi dominan, pengetahuan masyarakat terhadap jenis
diukur juga pengetahuan masyarakat terhadap vegetasi dilindungi. Hasil
penelitian menunjukkan masyarakat tidak paham dengan jenis vegetasi dilindungi,
hal ini dicirikan dengan nilai yang didapat adalah 21 yang identik dengan 23,33 %.
Jenis yang dijadikan parameter adalah jenis yang ada pada kawasan Taman
Nasional Sembilang yang sudah termasuk katagori langka dan dilindungi PP No. 7
tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Jenis yang di maksud
adalah Shorea palembanica (tengkawang), Nephentes spp (kantong semar) dan
Dendrobium spp (anggrek jamrud dan anggrek Hartina)
Pengetahuan masyarakat terhadap jenis satwa diukur dengan tiga
indikator yaitu primata, aves dan mamalia besar. Hasil penelitian menunjukkan
masyarakat tidak paham pada satwa dilindungi, hal ini ditunjukkan dengan nilai 10
atau 33,33% untuk primata, 18 atau 60% untuk aves dan 110 atau 30,56% untuk
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1092
mamalia besar. Pengetahuan masyarakat terhadap primata dan mamalia besar
dilindungi termasuk pada kriteria tidak paham, namun pengetahuan masyarakat
terhadap aves dilindungi masuk pada kriteria cukup paham.
5. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat yang diteliti hanya dibatasi pada perilaku masyarakat
dalam memanfaatkan sumberdaya hutan yang termasuk pada hasil hutan kayu
dan bukan kayu. Dari hasil wawancara dan observasi, masyarakat masih
memanfaatkan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Semua
jenis kayu yang ada disekitarnya tanpa dipilih dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk kayu bakar, sedangkan kayu yang digunakan untuk bahan bangunan
adalah jenis meranti dan jenis kayu berkelas lainnya, jenis nibung dan nyirih
digunakan masyarakat untuk tiang-tiang rumah. Bahan bangunan yang masih
memerlukan kayu adalah rumah tinggal, sarana ibadah, sekolah, gudang, perabot
rumah tangga dan jembatan. Nibung merupakan jenis kayu yang sangat populer
di kalangan masyarakat pesisir yang pemanfaatannya untuk tiang rumah atau
bangunan lainnya yang terkena pasang surut. Hasil hutan bukan kayu yang
sering dimanfaatkan masyarakat adalah daun nipah yang digunakan untuk atap
dan pengikatnya kadangkala masyarakat menggunakan rotan. Daun nipah
merupakan hasil hutan bukan kayu yang paling banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat, bahkan di Desa Maju Ria dan Desa Jati Sari masyarakat hanya
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu berupa daun nipah.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Arifin. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kansius.
Yogyakarta Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Jakarta, diakses 2 Mei 2009).
Gonner, C dan Wibowo, P. 2002. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Sembilang Propinsi Sumatera Selatan (buku-2). Wetlands International Asia Pacific-Indonesia Programme.
Harmoko. 2008. Inventarisasi Vegetasi Hutan Pantai Di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Skripsi . Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palembang
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1093
Muhlisin. 2006. Persepsi Siswa SMP Terhadap Pemanfaatan Zat Aditif Pada Makanan di Kec. Inderalaya Kab. OI. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Unsri.
Noor Rusila Y, M. Khazali, dan I N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Mentri Kehutanan No.P. 56 tahun 2006. tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Mentri Kehutanan.
Qum Zaidan Marhani. 2007. Persepsi dan Sikap dalam Hubungannya dengan Prilaku Masyarakat Industri Pandai Besi di Desa Limbung Jaya kab. OI (studi kasus masyarakat dalam pengelolaan limbah serbuk besi).
Riduwan. 2002. Varabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung Riyanto, B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan
Kawasan Pelestarian Alam, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor.
Rodi Edi. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Kimia Lingkungan dengan Sikap Mahasiswa Terhadap Lingkung-an Berdasarkan Jenis Kelamin di FKIP Kimia dan FMIPA Kimia UNSRI.
Suharto, Y. 2008. Konservasi Hutan dan Sikap Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan di Kecamatan Bubulan Kabupaten Bojonegoro. Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, (http://journal.um.ac.id/index.php/ilmu-pengetahuan- osial/article/view/1414. diakses, 24 November 2008)
Suriasumantri, J. S. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Sinar Harapan, Jakarta.
Taman Nasional Sembilang. 2008. Renstra Zonasi Taman Nasional Sembilang. Taman Nasional Sembilang. 2009. Profil Desa Tanah Pilih Kecamatan Banyuasin
II. Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistimnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Yuningsih, L. 2009. Studi Potensi Masyarakat Dalam Menunjang Pembangunan
Desa Konservasi Pada Daerah Penyangga Taman Nasional Sembilang. Tesis. Pascasarjana. Universitas Sriwijaya
Yuswandi, Hari dan Cahyoadi Bowo. 2003. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Masyarakat Daerah Penyangga Hutan untuk Pelestarian Taman Nasional Meru Betiri. FISIP Universitas Jember.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1094
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT MEDCO E&P INDONESIA
DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN SUMATERA SELATAN
Yulian Junaidi dan M. Yamin Hasan
Abstract
This paper is focusing on community empowerment through Corporate Social Responsibility (CSR). The objectives are to Analyze and evaluate community empowerment program that was done PT Medco E & P Indonesia-Rimau Asset in Musi Banyuasin District as part of corporate social responsibility, and Formulate recommendations based on evaluations conducted for the community empowerment program in the future. The method that used in this research is survey method, The samples in this evaluation, using purposive sampling method. Primary data collection method was used is indepth interviews and observation in the field. Secondary data collection is done by a search of documents from parties concerned. The data obtained are grouped according to predetermined parameters, then analyzed by tabulation and descriptive. The research result showed (1) Community empowerment programs conducted by PT Medco E & P Indonesia Rimau Asset-is that corporate social responsibility has a dimension of development grant to explore the potential socioeconomic conditions. (2) Community empowerment through SRI-organic program implemented under the principle of participation and independence. The program has provided benefits to the community include: increasing revenue, improving environmental quality, enhance independence, and establishment of cooperation between communities.(3) Empowering communities through programs duck farm has benefited the community, among others, to increase revenue, increase knowledge and skills. In practice there are several obstacles, among others, the inability of farmers to provide feed during moulting ducks which resulted in some participants withdraw from the program. (4) To strengthen community self-reliance and sustainability of the program required the development of institutional, technical assistance optimally, marketing network, and periodic monitoring and evaluation
A. Latar Belakang
Kehadiran perusahaan skala besar, selain menciptakan pertumbuhan
ekonomi dan kesempatan kerja, juga berdampak negatif pada masyarakat
sekitarnya akibat degradasi lingkungan dan terciptanya dual society karena
beroperasi secara enclave. Degradasi lingkungan akan menurunkan manfaat
sumberdaya alam dan meningkatkan biaya lingkungan, sedangkan dual society
akan menciptakan kecemburuan sosial akibat adanya kesenjangan sosial
ekonomi antara pihak perusahaan dan masyarakat. Dampak tersebut jika tidak
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1095
dikelola dengan baik akan menimbulkan ledakan konflik yang dapat merugikan
semua pihak. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan komitmen
perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan. Konsep CSR bukan hanya charity atau filantropi
yang memberikan hibah sosial untuk mengatasi persoalan dalam jangka pendek,
tetapi merupakan konsep investasi untuk akumulasi modal sosial melalui hibah
pembangunan jangka panjang dengan melakukan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Sepahvand (2009), CSR tidak bertentangan dengan tujuan profit
perusahaan, justru CSR merupakan bagian penting dari strategi perusahaan
untuk memaksimalkan keuntungan dalam jangka panjang.
Menurut Suparjan dan Suyatno (2003), kata pemberdayaan masyarakat
sangat terkait erat dengan konsep pembangunan alternatif (alternative
development). Kegagalan pembangunan model pertumbuhan ekonomi dalam
upaya pengentasan kemiskinan ataupun mewujutkan keberlanjutan lingkungan
mendorong lahirnya konsep pembangunan alternatif. Konsep ini, menuntut
adanya demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang menjamin kepentingan rankyat
banyak kesamaan gender dan keadilan antar generasi, Self reliance, direct
(participatory) democracy, and melalui proses belajar secara sosial.
Pemberdayaan pada hakekatnya mencakup dua aspek yaitu to give or autbority to
dan to give ability or to enable. Dalam pengertian pertama, pemberdayaan
memiliki makna memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, dan mendelegasikan
otoritas ke pihak lain. Sedangkan dalam pergertian yang kedua, pemberdayaan
diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.
Berdirinya PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset di Kabupaten Musi
Banyuasin diawali pada tahun 1996, saat itu masih bernama PT Expan Sumatera.
Pertama kali ditemukannya cadangan minyak yang besar di lapangan Kaji
Semoga, blok Rimau. Pada tahun 2004, tepatnya tanggal 19 April 2004 PT Expan
Sumatera berubah nama menjadi PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset.
Hadirnya perusahaan di tengah masyarakat menyebabkan adanya tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) di sekitar wilayah operasi kerja, sehingga
perusahaan membuat program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
membantu masyarakat di sekitar wilayah kerja agar menjadi lebih mandiri dan
sejahtera.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1096
Paper ini merupakan hasil evaluasi program pemberdayaan masyarakat yang
dilakuan PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset pada tahun 2009 dengan dua
kegiatan utama yaitu Program System Rice Intensification (SRI) Organik dan
Program peternakan itik petelur.
B. Tujuan dan Kegunaan B.1. Tujuan 1. Menganalisis dan mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat yang
dilakuan PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset pada tahun 2009 sebagai
bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan
2. Merumuskan rekomendasi berdasarkan evaluasi yang dilakukan untuk
program pemberdayaan masyarakat dimasa yang akan datang.
B.2. Kegunaan
Hasil evaluasi program pemberdayaan masyarakat diharapkan :
1. Menjadi bahan masukan untuk melaksanakan program pemberdayaan
masyarakat di masa mendatang.
2. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam
mensinergikan pembangunan wilayah.
3. Menjadi bahan informasi dan referensi bagi pihak yang terkait dengan
program pemberdayaan masyarakat
C. Metode Evaluasi
Metode yang digunakan dalam evaluasi ini adalah metode survey.
Penentuan sampel dalam evaluasi ini, menggunakan metode Purposive sampling.
Dengan kriteria terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat dan mengikuti
seluruh proses yang dianjurkan dalam program ini. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan metode wawancara secara mendalam (dept interview) dengan
dipandu dengan daftar pertanyaan, menyebarkan kuisioner yang dibantu oleh
enumerator dan melakukan observasi di lapangan. Sedangkan pengumpulan data
sekunder dilakukan dengan penelusuran dokumen dari pihak yang terkait. Data
yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan parameter yang telah ditentukan,
kemudian dianalisis secara tabulasi dan deskriptif.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1097
D. Hasil dan Pembahasan
Program System Rice Intensification (SRI) Organik
Program SRI organik yang dilaksanakan oleh PT Medco E&P Indonesia-
Rimau Asset merupakan komitmen perusahaan tersebut dalam Pemberdayaan
Masyarakat dan perbaikan kondisi lingkungan hidup. Program ini dilaksanakan di
Desa Teluk Betung Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin. Tujuan dari
program ini adalah melakukan perubahan sistem usahatani padi konvensional
yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia menjadi sistem usahatani padi
yang dilakukan secara intensif dengan menggunakan pupuk dan pestisida
organik, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan perbaikan
lingkungan hidup.
Peserta program pada tahap awal (perencanaan sampai pelatihan)
berjumlah 31 orang, tetapi setelah pelaksanaan program peserta bertambah
menjadi 47 orang. Beberapa petani sekitar wilayah kegiatan ikut menanam padi
SRI walaupun pada awalnya tidak mengikuti pelatihan. Mereka tertarik dengan
program SRI karena melihat keberhasilan budidaya padi dengan system tersebut,
dan adanya pendampingan yang dilakukan pada kegiatan tersebut. Pada kegiatan
evaluasi ini responden yang diwawancarai berjumlah 24 orang atau 51 persen dari
peserta program.
1. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat melalui program SRI
organik ini diawali dengan perencanaan, sosialisasi, pelatihan, pelaksanaan
program, pendampingan serta monitoring dan evaluasi. Setiap tahapan kegiatan
tersebut melibatkan pihak yang kompeten. Seperti pada Tabel 1 di bawah ini.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1098
Tabel 1. Tahapan kegiatan program SRI organik
No. Tanggal Uraian kegiatan Keterangan
1. 23 – 25 Des 2009 Perencanaan dan sosialisasi (pemetaan lahan dan pertemuan)
Hadir 31 orang petani
di Desa Teluk Betung
2. 26 Des 2009 Penyampaian laporan hasil kegiatan pemetaan dan sosialisasi
Ditentukan tgl pelatihan
3. 3-7 Januari 2010 Pelatihan Di PT Medco E&P Desa Sumber
Peserta 36 orang
4. Mulai 21 Jan 2010
Pelaksanaan program (penanaman bibit padi, pembuatan kompos dan pembuat MOL)
Di Desa Teluk Betung Kec. Pulau Rimau Kab. Banyuasin
Masih terus berlangsung sampai sekarang dan telah bertambah menjadi 47 orang
5. 21 Januari 2010 sampai sekarang
Pendampingan Tenaga pendamping 2 orang
Tenaga ahli dari Aliksa
6. Mulai 21 Januari 2010 sampai sekarang
Monitoring dan evaluasi Tenaga ahli dari Aliksa
Tim CD PT Medco
Kegiatan dalam program SRI organik di atas telah memenuhi prinsip
Pemberdayaan Masyarakat. Menurut Tonny (2002), dalam pelaksanaannya
pemberdayaan mengandung dua unsur pokok, yaitu partisipasi dan kemandirian.
Pemberdayaan dilakukan agar anggota kelompok mampu berpartisipasi untuk
mencapai kemandirian.
Kegiatan program SRI organik diawali dengan perencanaan dan sosialisasi,
dimana dalam perencanaan dilakukan secara partisipatif dengan mengajak petani
melakukan pemetaan lahan dan pertemuan untuk membahas rencana kerja
program. Kemudian dilakukan konfirmasi kembali ke calon peserta program
mengenai hasil dari perencanaan tersebut dan pada saat itu juga disepakati
tanggal pelatihan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1099
Kegiatan selanjutnya melakukan pelatihan. Dalam pelatihan ini diajarkan
mengenai prinsip-prinsip dan teknis budidaya SRI organik serta teknik pembuatan
kompos dan Mikro Organisme Lokal (MOL). Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta sehingga mampu
melaksanakan program tersebut secara mandiri. Dalam pelatihan ini PT Medco
E&P Indonesia-Rimau Asset didukung oleh tenaga ahli dari Aliksa Foundation
yang mempunyai kapasitas dan pengalaman dalam Pemberdayaan Masyarakat
melalui program SRI organik. Pentingnya kapasitas pelaku pemberdayaan sejalan
dengan pendapat Sidu (2006), bahwa paradigma baru pemberdayaan menuntut
adanya pelaku pemberdayaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan
tugas-tugasnya di lapangan dengan baik. Mereka tidak hanya dituntut memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam mendesain program pemberdayaan,
melainkan dituntut pula untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap kepentingan
masyarakat, terutama dalam menggali, menumbuhkan, mengembangkan dan
memanfaatkan sumberdaya lokal.
Pada saat pelatihan ini peserta program ditingkatkan kapasitasnya dalam
menggali potensi dan memanfaatkan sumberdaya lokal terutama dalam
pembuatan kompos dan MOL. Bahan-bahan pembuatan kompos terdiri dari sisa-
sisa tanaman dan kotoran hewan yang dipelihara oleh petani, sedangkan MOL
dibuat dari bahan yang ada di lingkungan petani seperti buah maja atau labu kayu,
kulit jengkol, rebung, nasi, bonggol pisang dan keong. MOL ini digunakan sebagai
pengurai kompos dan zat perangsang tumbuh.
Dalam pelaksanaan program, sejak pengolahan lahan, pembuatan bibit,
penanaman, serta pembuatan kompos dan MOL dilakukan sendiri oleh
masyarakat secara swadaya. PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset hanya
menyediakan pendamping 2 orang yang berasal dari Aliksa Foundation untuk
mengawal proses pelaksanaan program. Pendamping tersebut ditempatkan
bersama masyarakat untuk mengatasi persoalan yang muncul dan terus menerus
memberikan motivasi kepada masyarakat. Dengan motto ―Sabar, Ridho, Ikhlas‖
pendamping meyakinkan masyarakat bahwa program SRI ini dapat memberikan
hasil akhir berupa kesejahteraan, kemandirian dan perbaikan kualitas lingkungan
hidup.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1100
Kemandirian masyarakat ini terbangun karena program dilaksanakan
berdasarkan prinsip partisipasi. Menurut Bessette (2004), partisipasi dibutuhkan
untuk mendapatkan dukungan masyarakat dalam proyek pembangunan yang
didefinisikankan oleh pemerintah, LSM atau para ahli. Indikator partisipasi yang
baik apabila rakyat mengambil tanggungjawab untuk melaksanakan inisiatif
pembangunan. Hal ini berarti rakyat tidak hanya mengambil bagian dalam
aktivitas-aktivitas yang ada, tetapi juga dalam proses pengambilan keputusan dari
seluruh rangkaian inisiatif pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
sampai monitoring dan evaluasi.
Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala oleh PT Medco E&P
Indonesia-Rimau Asset dan tenaga ahli dari Aliksa Foundation. Monitoring ini
dilaksanakan untuk melihat apakah program tersebut dapat berjalan sesuai
dengan yang direncanakan. Dari hasil monitoring ini terdapat beberapa kendala
dalam pelaksanaan SRI Organik antara lain: di beberapa lahan, ketinggian air
pasang sulit dikendalikan sehingga menenggelamkan bibit padi yang baru
ditanam, selain itu adanya serangan hama yang merusak sebagian tanaman.
Untuk mengatasi masalah ini pendamping menyarankan kepada petani untuk
menanam ulang tanaman tersebut dan membuat perangkap hama.
2. Manfaat bagi Masyarakat
Program SRI organik telah memberikan manfaat pada masyarakat. Manfaat
program SRI organik yang dirasakan masyarakat antara lain mengatasi masalah
sosial ekonomi, menumbuhkan kemandirian, dan membangun kerjasama dalam
masyarakat.
Masalah ekonomi yang dihadapi petani antara lain kurangnya modal dalam
membeli input produksi seperti pupuk dan pestisida kimia. Keterbatasan modal ini
dikarenakan produktivitas lahan sudah semakin menurun dan tingginya biaya
produksi sehingga pendapatan usahatani menjadi rendah. Pendapatan yang
rendah ini mengakibatkan petani sering tidak mampu membeli input produksi.
Program SRI organik mampu menyelesaikan persoalan sosial ekonomi
masyarakat karena semua input produksi dibuat sendiri oleh petani. Selain itu
produktivitas lahan meningkat karena penggunaan pupuk organik dan mikro
organisme lokal (MOL). Produksi yang dihasilkan dari sistem SRI ini mencapai
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1101
antara 6 - 8 ton gabah kering panen (GKP)per hektar. Sedangkan dengan
menggunakan sistem konvensional yang dilakukan sebelumnya hanya mencapai
3-4 ton GKP per hektar. Dengan peralihan sistem konvensional ke sistem SRI
organik dapat meningkatkan produktifitas lahan dua kali lipat dari sebelumnya.
Peningkatan produktifitas tersebut tentunya akan diikuti dengan peningkatan
pendapatan petani secara proporsional dengan asumsi harga output tetap.
Kegiatan pelatihan dan pendampingan yang dilakukan dalam program ini
telah mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat. Hal ini terlihat dari petani
secara swadaya menyediakan tenaga, bahan dan alat yang diperlukan dalam
penanaman padi, pembuatan kompos dan MOL. Dalam pelaksanaan program ini
PT Medco E&P Indonesia-Rimau Asset tidak memberikan bantuan berupa uang
dan barang. Pembuatan rumah kompos dan pembelian alat seperti gentong untuk
pembuatan MOL dibeli sendiri oleh petani. Selain itu, pendamping dan tenaga ahli
yang disediakan perusahaan telah mampu meningkatkan kapasitas petani
membuat kompos dan MOL dari berbagai bahan yang ada disekitar petani
sehingga petani tidak lagi tergantung dari input luar yang harganya semakin
mahal. Dengan kemandirian yang sudah dibangun sejak awal ini sebagian besar
petani mengungkapkan akan tetap melanjutkan program ini ditahun-tahun
mendatang, tetapi masih berharap mendapatkan pendampingan dari perusahaan,
terutama dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada di pedesaan terkait
dengan model pertanian terpadu yang berkelanjutan.
Program SRI organik ini juga telah menumbuhkan kerjasama di dalam
masyarakat. Keterlibatan berbagai etnis yang ada di wilayah ini seperti etnis Jawa,
Sumsel, Bugis, Sunda telah mendorong terjalinya integrasi masyarakat, selain itu
adanya pihak ketiga untuk mendukung program ini juga bermanfaat dalam
membangun jaringan kerjasama antara petani dan pihak-pihak lain. Hanya saja
kelembagaan petani belum terbangun dengan baik. Menurut Uphoff (1986),
kelembagaan lokal harus dikembangkan karena sangat erat kaitannya dengan
pengembangan kapasitas manusia dan pembangunan perdesaan. Terminologi
kelembagaan ini merujuk pada persoalan struktur, prosedur, dan kemampuan
kinerja yang abstrak. Kelembagaan tersebut dibangun dari pikiran orang-orang,
keahlian, motivasi, dan kemampuan personal. Sedangkan pengertian lokal
hampir selalu disamakan dengan community level (tingkat desa), walaupun untuk
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1102
beberapa tempat karena kepentingan pengorganisasian, tingkatannya dapat
diturunkan menjadi group level atau dinaikkan menjadi locality level (beberapa
desa yang mempunyai kesatuan sosial ekonomi).
Program Peternakan Itik Petelur
Program peternakan itik petelur merupakan salah satu kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat yang telah dilaksanakan oleh PT Medco E&P
Indonesia-Rimau Asset yang dimulai dari tahun 2009 di sekitar wilayah operasi
perusahaan. Program tersebut bertujuan memberikan pengetahuan mengenai
cara beternak itik yang baik dan benar kepada masyarakat, selain itu diharapkan
juga dapat memahami teknologi yang lebih baik mengenai beternak itik.
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pemberian paket bantuan ternak itik
petelur. Paket bantuan tersebut terdiri dari itik yang siap bertelur, pembuatan
kandang dan pemberian pakan selama 2 (dua) bulan. Selain itu diberikan juga
pelatihan peternakan itik petelur bagi petani tentang teknik budidaya, penyediaan
pakan dan pengolahan pasca panen. Melalui paket bantuan ini diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan, taraf hidup dan lapangan pekerjaan masyarakat
sehingga terjadi kemandirian secara ekonomi. Program peternakan itik petelur
dilaksanakan di beberapa daerah antara lain di Dusun Tabuan (Kecamatan
Betung) dan Desa Langkap (Kecamatan Sungai Lilin).
1. Pelaksanaan Kegiatan
Program peternakan itik petelur merupakan salah satu kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat yang dilaksanakan di beberapa daerah di sekitar
wilayah kerja PT Medco E&P Indonesia– Rimau Asset, di antaranya di Dusun
Tabuan (Kecamatan Betung) dan Desa Langkap (Kecamatan Sungai Lilin).
Program ini merupakan kompensasi atas hilangnya kesempatan kerja akibat
lahannya digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan.
Berdasarkan data perusahaan, langkah awal yang dilakukan adalah
mengidentifikasi permasalahan yang ada di masyarakat. Hal tersebut dilakukan
untuk mengetahui kondisi masyarakat dan lingkungannya, problematika yang ada,
pihak-pihak yang berpengaruh dalam masyarakat serta karakteristik masyarakat.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1103
Hasil dari pra-kondisi dan penjajakan kebutuhan tersebut didiskusikan dengan
masyarakat dan pemerintah setempat. Tahapan selanjutnya adalah perusahaan
menyusun Work, Program and Budget (WP&B) tahunan. Setelah itu, perusahaan
menerima proposal dari masyarakat dan melakukan pengecekan informasi pada
proposal tersebut. Dari hasil evaluasi pada tahap perencanaan, perusaan telah
merencanakan program secara partisipatoris dengan memperhitungkan
keragaman masyarakat dan telah sesuai dengan Standar Operating Procedure
(SOP).
PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset telah melakukan kesepahaman
bersama (Memorandum of Understanding-MoU) dengan pemerintah dan pihak-
pihak lain. Kesepahaman bersama tersebut dilakukan agar sejalan dengan
program atau kegiatan pembangunan pemerintah atau pihak lain. Dengan
demikian, diharapkan dapat menjadi komplemen dan suplemen dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan pemerintah atau pihak lain. Begitupun juga dengan
program peternakan itik petelur sudah sejalan dengan program atau kegiatan
pembangunan pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.
Program dan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat peternakan itik petelur
yang dilakukan oleh PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset sudah dilakukan
bersama-sama dengan masyarakat dan pihak lain yang berkompetensi.
Masyarakat dalam hal ini khususnya adalah peserta program, misalnya kelompok
peternak Tabuan (Dusun Tabuan), Sehati (Desa Langkap), Mitra Bersama (Desa
Langkap). Untuk pelaksanaan kegiatan ini, perusahaan bekerjasama dengan
pihak yang berkompetensi di bidang peternakan, yaitu Agro Techno Park (ATP) di
Sumatera Selatan.
Jumlah karyawan atau personil PT Medco E&P Indonesia–Rimau Asset yang
mengurusi program pemberdayaan masyarakat hanya berjumlah empat orang
termasuk supervisor. Selain mengerjakan tugas-tugas untuk Pemberdayaan
Masyarakat, karyawan tersebut juga melaksanakan tugas-tugas kehumasan.
Dengan sedikitnya jumlah personil dan adanya kelebihan beban kerja (overload),
maka kegiatan pendampingan dan pemantauan pada program itik petelur yang
dilakukan oleh perusahaan tidak bisa secara rutin. Oleh karena itu, untuk kegiatan
pendampingan dan pemantauan, perusahaan menjalin kerjasama lagi dengan
pihak luar, yaitu ATP.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1104
Untuk melihat keberhasilan dari program dan kegiatan Pemberdayaan
Masyarakat yang telah dilakukan selama satu tahun, perusahaan melakukan
evaluasi secara internal. Dari hasil pemantauan dan evaluasi dapat diketahui
kesalahan dan hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan program peternakan itik
petelur. Selain itu, hasil dari evaluasi tahunan tersebut digunakan untuk
memperbaiki program tersebut di masa datang.
Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa dalam program itik petelur,
pihak perusahaan belum memanfaatkan sumberdaya alam lokal yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak itik, seperti buah karet dan keong. Hal
ini menyebabkan peternak harus membeli pakan ternak. Kondisi tersebut menjadi
hambatan peternak terutama saat terjadi masa moulting (rontok bulu). Masa
moulting yang dialami itik terjadi selama kurang lebih dua bulan. Selama kurun
waktu tersebut itik tidak menghasilkan telur, ini artinya tidak ada penerimaan yang
didapatkan oleh peternak. Sedangkan biaya produksi, terutama untuk pakan harus
terus dikeluarkan. Pada saat moulting, banyak peserta program peternakan itik
petelur yang mengundurkan diri karena tidak mampu membeli pakan. Melihat
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program peternakan itik petelur
tersebut, untuk selanjutnya sebaiknya perusahaan lebih memperhatikan
sumberdaya alam lokal yang dapat digunakan sebagai pakan.
Selain memperhatikan sumberdaya alam lokal sebagai pakan, perusahaan
juga harus mengajarkan peternak mengenai manajemen produksi yang baik
dalam usaha ternak itik petelur, misalnya memanajemen untuk mengatasi
masalah moulting. Pada saat moulting, itik tidak memproduksi telur sehingga
petani tidak mendapatkan pendapatan. Solusi dari permasalahan tersebut
sebaiknya perusahaan memberikan bantuan itik secara bertahap agar masa
moulting tidak terjadi secara bersamaan.
Kendala lain yang dihadapi peserta program adalah kurangnya
pendampingan. Pendampingan untuk program itik petelur hanya dilakukan satu
bulan sekali, sehingga masyarakat tidak dapat berkonsultasi apabila ada
permasalahan dalam usaha itik petelurnya. Solusi dari kendala ini adalah
sebaiknya perusahaan memiliki tenaga ahli khusus yang siap mendampingi
masyarakat yang diberikan bantuan sampai masyarakat tersebut bisa mandiri.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1105
2. Manfaat bagi Masyarakat
Menurut Servaes dalam White (2004), pemberdayaan adalah usaha untuk
menjamin bahwa rakyat mampu menolong diri mereka sendiri. Dengan adanya
program Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan misalnya
program peternakan itik petelur ini, diharapkan dapat membuat masyarakat
mandiri secara sosial ekonomi. Dalam pelaksanaannya, program peternakan itik
petelur yang telah dilaksanakan oleh perusahaan, dilihat secara Pemberdayaan
Masyarakat dapat dikatakan kurang berhasil. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
sebagian masyarakat yang mengundurkan diri karena tidak mampu membeli
pakan pada saat itiknya rontok bulu (moulting), tidak dimanfaatkannya
sumberdaya alam lokal untuk pakan, belum adanya manajemen produksi yang
baik, dan tidak optimalnya pendampingan.
Meskipun demikian, program itik petelur telah memberikan manfaat untuk
peserta yang masih mengikuti program tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi pendapatan usaha itik petelur sebesar rata-rata Rp. 446.139,- per
bulan. Analisis pendapatan usaha ternak itik petelur dalam program ini dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan peternak itik petelur
Uraian Rata-rata per Bulan Rata-rata per Tahun
Produksi (butir) 564 16.917
Harga (Rp/butir) 1.400 1.400
Penerimaan (Rp) 764.028 22.920.833
Biaya (Rp) 317.889 9.536.667
Pendapatan (Rp) 446.139 13.384.167
Sumber: data primer yang diolah
Manfaat lain yang diperoleh masyarakat dengan adanya program peternakan
itik petelur ini adalah meningkatnya keterampilan masyarakat. Paket bantuan
peternakan itik petelur tidak hanya terdiri dari material yang dibutuhkan saja tetapi
juga termasuk pelatihan peternakan itik petelur tentang teknik budidaya, pakan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1106
dan pengolahan pasca panen. Dengan adanya pelatihan tersebut, keterampilan
dan pengetahuan masyarakat menjadi bertambah.
E. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT Medco E&P
Indonesia-Rimau Asset merupakan tanggung jawab sosial perusahaan yang
berdemensi hibah pembangunan untuk menggali potensi sosial ekonomi
masyarakat.
2. Pemberdayaan masyarakat melalui program SRI organik dilaksanakan
berdasarkan prinsip partisipasi dan kemandirian. Program tersebut telah
memberikan manfaat bagi masyarakat antara lain: meningkatkan
pendapatan, memperbaiki kualitas lingkungan hidup, meningkatkan
kemandirian, dan terjalinnya kerjasama antar masyarakat.
3. Pemberdayaan masyarakat melalui program itik petelur telah memberikan
manfaat bagi masyarakat antara lain peningkatan pendapatan, menambah
pengetahuan dan keterampilan. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
kendala antara lain ketidakmampuan peternak dalam menyediakan pakan
pada masa itik moulting yang mengakibatkan sebagian peserta
mengundurkan diri dari program tersebut.
Saran
1. Untuk memantapkan kemandirian masyarakat dan keberlanjutan program
diperlukan pengembangan kelembagaan, khususnya ditingkat lokal seperti
kelompok tani, kelompok wanita tani, dan koperasi.
2. Perlu adanya pendampingan secara optimal dalam program petelur itik
petelur agar masyarakat mampu mengelola usaha itik petelurnya dengan
baik, misalnya perlu adanya pelatihan pembuatan pakan dengan
memanfaatkan sumberdaya alam lokal, pelatihan manajemen produksi dan
manajemen keuangan.
3. Perlu dibangun jaringan pemasaran khusus untuk beras organik dan telur
agar mendapatkan harga yang lebih layak sehingga usaha tersebut dapat
berkelanjutan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1107
4. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk memperbaiki
kelemahan dan meningkatkan keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Bessette, G. 2004. Involving The Community, A Guide to Participatory Development Communication. International Develovment Research Centre. Jointly Published by Southbound, Penang, Malaysia.
Sepahvand, M. 2009. Analyzing The Concept of Corporate Social Responsibility: with the monetary and ethical approach. http://www.essays.se/essay/20677c6bda/
Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Suparjan dan Suyatno, H. 2003. Pengembangan Masyarakat, Dari pembangunan Sampai Pemberdayaan. Aditya media, Jakarta.
Tonny. F. 2002. Pengembangan Masyarakat, Creating Community Alternatives – Vision, Analisis and Practice . Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development. Kumarian Press, West Harford, Connecticut.
White, R. A. 2004. Is ‗Empowerment‘ The Answer? : Current Theory And Research On Development Communication. Gazette: The International Journal For Communication Studies Copyright © Sage Publications.London, Thousand Oaks & New Delhi 0016-5492 Vol 66(1): 7–24. Doi: 10.1177/0016549204039939. Www.Sagepublications.Com
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1108
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DAN MODAL MANUSIA DENGAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET DI KECAMATAN TANJUNG BATU
KABUPATEN OGAN ILIR
Nukmal Hakim1, Henny Malini2, Selly Oktarina3
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Jl Palembang- Prabumulih Km 32 Indralaya OI, 30662
ABSTRAK
Hubungan Modal Sosial dan Modal Manusia dengan Tingkat Pendapatan Petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis berapa besar Modal Sosial dan Modal Manusia yang dimiliki petani karet dan Menghitung pendapatan Petani Karet, serta menganalisis hubungan modal manusia dan modal sosial dengan tingkat pendapatan Petani Karet dan Mengidentifikasi upaya yang dilakukan oleh petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir didalam meningkatkan Modal Sosial dan Modal Manusia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey.
Modal Sosial yang dimiliki oleh petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini adalah sebesar 45,57 yang berada pada kriteria sedang dan Modal Manusia yang dimiliki oleh petani karet ini adalah sebesar 14,36 yang juga berada pada taraf atau kriteria sedang. Rata-rata pendapatan usahatani karet petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini adalah sebesar Rp. 32.305.181,41 per hektar/thn dan pendapatan totalnya rata-rata 35.051.848,07 per tahunnya. Hasil uji korelasi dengan menggunakan alat uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara modal sosial petani dengan pendapatan petani karet di Kelurahan Tanjung Batu Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya semakin tinggi modal sosial petani maka tidak akan mempengaruhi pendapatan petani begitu pun juga sebaliknya.
Hasil uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Sperarman juga, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara modal manusia dengan tingkat pendapatan petani karet di kelurahan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir
Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan modal sosial yaitu dengan memperbanyak interaksi sosial dengan masyarakat lingkungan setempat dan lingkungan luar sehingga akan memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat dan upaya untuk meningkatkan modal manusia yaitu dengan rajin mengikuti pelatihan maupun kursus-kursus yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, senantiasa menjaga kesehatan diri maupun lingkungan.
1,2, 3 Staf Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unsri
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1109
PENDAHULUAN
Kontribusi tanaman karet dalam perekonomian Sumatera Selatan, antara
lain sebagai sumber pendapatan dan pekerjaan bagi 450.856 Kepala Keluarga
(Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan, 2008) dan memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa bagi perekonomian di
Sumatera Selatan. Tahun 2007 volume ekspor karet Sumatera Selatan
sebesar 592.134,92 Ton dengan nilai US $ 1.133.051,680 atau memberikan
kontribusi 79,53 % dari total ekspor komoditi perkebunan sebesar US $
1.424.663,920 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera
Selatan, 2008).
Bappeda Kabupaten Ogan Ilir (2007) menyatakan bahwa pendapatan
penduduk tertinggi adalah berasal dari usaha kebun karet dan perdagangan
yang dapat mencapai Rp. 9,5 juta perkapita per tahun, sedangkan
pendapatan terendah adalah penduduk dengan usahatani padi lebak dan ikan
tangkap. Kenyataan ini menunjukkan pentingnya sektor perkebunan karet di
wilayah Kabupaten Ogan Ilir, khususnya di karena adalah salah satu sentra
pengembangan karet, akan tetapi apabila dilihat dari harga yang diterima oleh
petani, maka keuntungannya yang diterima oleh petani masih sangat jauh
sekali bila dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pihak lain,
harga yang diterima oleh petani masih sangat rendah hal ini disebabkan masih
rendahnya mutu bokar yang dihasilkan oleh petani, selain faktor penyebab
lainnya adalah hubungan sosial petani (modal sosial) dengan pihak lainnya dan
modal manusianya.
Modal sosial berpengaruh kuat pada perkembangan sektor-sektor ekonomi
lainnya seperti sektor perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan beberapa
yang lain. Apapun pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor trust,
reciprocity, positive externalities, dan nilai-nilai etis merupakan penopang yang
akan menentukan perkembangan dan keberlanjutan beragam aktifitas usaha di
setiap sektor perekonomian (Mawardi M, 2007)
Disamping modal sosial, modal manusia (pendidikan, kesehatan dan
interaksi sosial) pun sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan sektor-
sektor ekonomi.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1110
Melihat kenyataan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan antara modal sosial dan modal manusia dengan
tingkat pendapatan petani karet di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan
Ilir.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten
Ogan Ilir, Karena mengingat Kecamatan ini merupakan salah satu dari
beberapa Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan yang sebagian
besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani karet.
Waktu penelitian pada Bulan Juni sampai dengan Desember 2010
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey. Metode survey ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai
fakta yang terjadi di lapangan dengan cara melakukan penarikan sampel untuk
mewakili populasi dan mengumpulkan data melalui wawancara langsung
kepada responden dengan berpedoman kepada kuisioner.
C. Metode Penarikan Contoh
Metode penarikan contoh pada penelitian ini adalah metode acak
sederhana (Simple Random Sampling) terhadap petani karet yang ada di
Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir. Hal ini bertujuan agar seluruh
petani karet tersebut memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel
dalam penelitian ini. Sampel yang diambil berjumlah 30 orang dari populasi
sejumlah 104 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan didalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan
wawancara langsung dengan petani karet di Kecamatan Tanjung Batu dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1111
menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (Quesioner) dan
dilanjutkan dengan observasi lapangan dalam mempertajam penilaian. Data
sekunder diperoleh dari instansi/ lembaga Pemerintah yang menjadi sampel
didalam penelitian ini.
E. Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari lapangan diolah secara tabulasi dan diuraikan
secara deskriptif yaitu dengan memaparkan hasil dalam bentuk uraian yang
sistematis pada pembahasan. Adapun untuk menjawab tujuan pertama yaitu
mengukur modal sosial dan Modal Manusia yang dimiliki petani karet di
Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir dilihat dari 4 indikator, yaitu
partisipasi dalam suatu jaringan, resiprositas, kepercayaan, dan norma sosial.
Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam interval kelas
dengan pemberian skor 3 untuk kriteria tinggi, skor 2 untuk kriteria sedang, dan
skor 1 untuk kriteria rendah.
Untuk menjawab pertanyaan kedua yaitu menghitung pendapatan
usahatani karet petani karet di Kecamatan Tanjung Batu yaitu dengan
menggunakan rumus
Pn = Y x Hy
Bp = Bt + Bv
PdU = Pn – Bp
Pdtotal= PdU + Pd non-U
Dimana:
Pn = Penerimaan petani (Rp/Ha/Th)
PdU = Pendapatan usahatani (Rp/Ha/Th)
Bp = Biaya produksi (Rp/Ha/Th)
Bt = Biaya total (Rp/Ha/Th)
Bv = Biaya variabel (Rp/Ha/Th)
Hy = Harga jual hasil produksi (Rp/Ha/Th)
Y = Produksi karet (Kg/Ha/Th)
Pdtotal = Pendapatan Total (Rp/Th)
PdnonU = Pendapatan non-usahatani (Rp/Th)
(Hernanto, 1996).
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1112
Untuk menjawab tujuan ketiga yaitu menganalisis hubungan modal sosial dan
modal manusia dengan tingkat pendapatan dengan menggunakan dilakukan uji
Statistik Koefisien Peringkat Spearman dengan taraf nyata 0,05 dan dipaparkan
dalam bentuk uraian secara sistematis.
Untuk menjawab pertanyaan terakhir yaitu mengidentifikasi upaya-upaya
yang dilakukan oleh petani karet di Kecamatan Tanjung Batu yaitu diolah
secara tabulasi dan di analisis secara deskriptif dan mendalam.
C. Modal Sosial
Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini
keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh modal dalam bentuk fisik
saja seperti jalan, bangunan, lahan, kendaraan dan modal fisik lainnya, tetapi
modal sosial dan modal manusia memegang peranan penting didalam
meningkatkan pendapatan petani di suatu daerah.
Dari Hasil Penelitian terhadap Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu,
maka rata-rata modal Sosial yang dimiliki oleh petani di Kelurahan Tanjung
Batu ini adalah tergolong sedang dengan skor 45,57. didalam penelitian ini
modal sosial diukur dari indikator partisipasi dalam suatu jaringan (networks),
kepercayaan(trust), resipirositas (Recipirocity), dan Norma Sosial.
Perbandingan rata-rata tingkat modal sosial petani contoh yaitu petani karet
yang tergabung dalam kelompok Tani P4S ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Rata-rata tingkat modal sosial petani contoh, 2010
No. Modal Sosial Skor Kriteria
1 Partisipasi dalam suatu jaringan (Networks)
10,17 S
2 Resiprositas (Reciprocity) 11,70 T 3 Kepercayaan (Trust) 13,00 T 4 Norma sosial (Norms) 10,70 S
Jumlah 45,57 S
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara umum modal sosial yang
dimiliki oleh petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu ini pada kriteria sedang.
Kualitas modal sosial dibangun oleh indikator partisipasi dalam suatu jaringan,
Resiprositas, kepercayaan, dan norma sosial. Partisipasi petani contoh didalam
suatu jaringan, serta norma sosial yang dimiliki oleh petani contoh tergolong
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1113
dalam kriteria sedang. Resiprositas dan Kepercayaan petani contoh tergolong
dalam kriteria tinggi.
Secara umum tingkat partisipasi yang terbangun pada petani contoh
tergolong dalam kriteria sedang dengan nilai skor 10,17.
Partisipasi petani contoh dalam suatu jaringan berhubungan dengan
keaktifan dalam organisasi dan jangkauan hubungan sosial atau pergaulan
antar masyarakat. Pada umumnya petani hanya mau berpartisipasi pada
lembaga yang ada hubungannya dengan kegiatan produksi pertanian saja,
sedangkan partisipasi petani contoh pada lembaga-lembaga sosial lainnya
maupun lembaga politik sangat terbatas.
Resipirositas atau sering disebut juga solidaritas petani contoh dapat
dilihat dari bagaimana petani contoh membantu penyelenggaraan acara
tetangga, kegiatan jaga malam, dan kegiatan gotong royong pembersihan
siring. Pengukuran terhadap ketiga bentuk resiprositas tersebut berada pada
kriteria tinggi dengan skor 11,70. hal ini berarti solidaritas yang terbentuk dari
petani terhadap kerabat dan lingkungan petani contoh tergolong tinggi. Di
Kelurahan Tanjung Batu ini suasana keakraban antar tetanga dan lingkungan
sangat terasa sekali. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme mereka didalam
membantu anggota dari masyarakat yang mempunyai hajatan, dan juga bisa
dilihat dari bagaimana mereka mau secara bergiliran didalam kegiatan jaga
malam untuk keamanan lingkungan di daerah mereka serta gotong royong atau
saling tolong menolong demi kepentingan mereka bersama.
Tingkat kepercayaan (trust) petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu ini
tergolong tinggi dengan skor 13,00. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana mereka
menaruh kepercayaan pada sesama warga masyarakat di lingkungan mereka,
kepada para tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat setempat, ketua organisasi/
kelompok yang mereka ikut serta dalam keanggotaannya, para penyuluh
lapangan dan pemerintah setempat.
Bentuk-bentuk norma sosial yang diteliti pada penelitan ini adalah
bagaimana tingkat kepatuhan petani contoh terhadap lembaga adat setempat,
bagaimana kepatuhan mereka terhadap perjanjian bagi hasil antara pemilik dan
penggarap usahatani karet petani contoh, kepatuhan terhadap sanksi yang
dikenakan kepada mereka apabila mereka melakukan pelanggaran. Kepatuhan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1114
petani contoh terhadap orang-orang yang dituakan di kelurahan Tanjung Batu
serta kepatuhan mereka terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah
setempat.
Berdasarkan penelitian, tingkat kepatuhan petani contoh terhadap norma
sosial yang berlaku di masyarakat tergolong sedang dengan skor 10,70.
D. Modal Manusia
Modal manusia dalam penelitian ini diukur melalui indikator tingkat
pendidikan, tingkat kesehatan dan kemampuan interaksi sosial. Perbandingan
rincian rata-rata modal manusia petani contoh berdasarkan masing-masing
indikator dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rincian rata-rata modal manusia petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu, 2010
No. Modal manusia Skor Kriteria
1 Tingkat Pendidikan 3,83 Sedang 2 Tingkat Kesehatan 5,1 Tinggi 3 Kemampuan Interaksi Sosial 5,43 Tinggi
Jumlah 14,36 Sedang
Kriteria : 2- 3,33 = Rendah ; 3,34 – 4,67 = Sedang ; 4,68 – 6,00 = Tinggi.
Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa secara umum modal
manusia yang dimiliki oleh petani contoh di Kelurahan Tanjung Batu berada
pada kriteria sedang. Kualitas modal manusia pada kriteria sedang dibangun
oleh indikator tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan kemampuan interaksi
sosial. Parameter pendidikan dilihat dari tingkat Pendidikan Formal dan Non
Formal, dari hasil penelitian didapatkan skor untuk tingkat pendidikan adalah
3,83 yang berada pada kriteria sedang.
Selain tingkat pendidikan, tingkat kesehatan juga sangat penting artinya
bagi pengembangan modal manusia, kesehatan yang baik dapat meningkatkan
hasil dalam pendidikan maupun meningkatkan hubungan dengan lingkungan,
karena dengan kondisi tubuh dan jiwa yang sehat, merupakan faktor utama
yang mempengaruhi petani agar dapat memperoleh pembelajaran, khususnya
pendidikan non formal untuk dapat menambah pengetahuan didalam kegiatan
usahatani karetnya, yang mana akan berdampak pada peningkatan taraf hidup
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1115
mereka. Kondisi kesehatan petani contoh secara umum rata-rata berada pada
kriteria Tinggi dengan skor 5,1.
Disamping kedua modal manusia diatas, ada satu hal lagi yang tidak
kalah pentingnya yaitu modal kemampuan interaksi sosial, kemampuan ini
dilihat dari penguasaan bahasa dan akses terhadap media. Kemampuan
berbahasa Indonesia, selain bahasa daerah akan meningkatkan kemampuan
petani didalam berinteraksi dengan orang lain diluar lingkungan mereka,
dengan adanya mereka berinteraksi dengan lingkungan diluar mereka, maka
akan menambah wawasan dan pengetahuan petani karet, untuk menerima
suatu perubahan baik itu perubahan pola pikir yang lebih baik, maupun
peningkatan pengetahuan petani tentang semua hal, khususnya pengetahuan
didalam kegiatan usahatani karet mereka. Selain itu akses terhadap media
akan mempermudah petani karet dikelurahan Tanjung Batu ini ini dan
mempercepat berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar. Adapun skor modal
manusia didalam kemampuan interaksi sosial pada penelitian ini adalah 5,43
yang berada pada kriteria Tinggi, yang berarti kemampuan berinteraksi sosial
petani karet di Kelurahan Tanjung Batu ini secara umum Tinggi.
E. Pendapatan Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu
1. Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani rata-rata yang diterima oleh petani karet di
Kelurahan Tanjung Batu untuk satu hektar lahan adalah sebesar Rp
32.305.181,41. yang didapatkan dari penerimaan sebesar Rp 36.081.553,34
per hektar dikurangi dengan biaya produksi sebesar Rp 3.776.371,93 per
hektar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Pendapatan usahatani petani karet di Kelurahan Tanjung Batu tahun
2010
No. Uraian Rata-rata (Rp/Ha/Th)
1 Penerimaan 36.081.553,34 2 Biaya total 3.776.371,93
Pendapatan usahatani 32.305.181,41
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1116
2. Pendapatan Luar-usahatani
Pendapatan luar usahatani atau pendapatan non usahatani adalah
pendapatan yang diperoleh oleh petani dari kegiatan non usahatani.
Adapun pendapatan non usahatani dari beberapa petani contoh di
Kelurahan Tanjung Batu ini diperoleh pekerjaan sampingan seperti pedagang
dan pengrajin. Pendapatan rata-rata dari pekerjaan sampingan petani adalah
sebesar Rp 2.746.666,66. Pendapatan petani contoh sebagai pedagang
diperoleh dari membuka warung manisan kecil-kecilan, dan jenis usaha
kerajinanyang dilakukan oleh petani contoh di dalam penelitian ini adalah
membuat kerajinan emas dan perak, akan tetapi bersifat musiman dan sesuai
dengan banyaknya pesanan.
3. Pendapatan Total
Pendapatan Total adalah penjumlahan pendapatan bersih dari usahatani
karet ditambah dengan pendapatan bersih dari luar usahatani karet (non
Usahatani) Rata-rata penerimaan, biaya total produksi, dan pendapatan petani
di Kelurahan Tanjung Baru dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Rata-rata penerimaan, biaya total, dan pendapatan usahatani petani di Kelurahan Tanjung Batu tahun 2010
No. Uraian Rata-rata
1 Pendapatan usahatani (Rp/Ha/Th) 32.305.181,41 2 Pendapatan non-usahatani (Rp/Th)
2.746.666,66
Pendapatan total (Rp/Th) 35.051.848,07
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa rata-rata pendapatan total yang
diperoleh petani adalah sebesar Rp 35.051.848,07 per tahunnya.
F. Hubungan antara Modal Sosial Petani dengan Tingkat Pendapatan
Petani Karet di Kelurahan Tanjung Batu
Berdasarkan hasil perhitungan, Karena rs hitung < rs tabel yaitu 0,213 <
0,365. Maka terima Ho, artinya tidak terdapat hubungan yang positif antara
modal sosial dengan pendapatan petani karet di Kelurahan Tanjung Batu
Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya modal sosial tidak
mempengaruhi secara langsung pendapatan petani karet di kelurahan Tanjung
Batu Kabupaten Ogan Ilir. Sehingga semakin tinggi modal sosial petani maka
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1117
pendapatan petani tidak akan berubah/tetap karena keduanya tidak saling
mempengaruhi satu sama lainnya.
G. Hubungan antara Modal Manusia dengan Tingkat Pendapatan Petani
Karet di Kelurahan Tanjung Batu
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa rs hitung < rs tabel
yaitu 0,24 < 0,372. Maka terima Ho, artinya tidak terdapat hubungan yang
positif antara pendapatan petani dengan Modal Manusia petani karet di
Kelurahan Tanjung Batu Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir, artinya
modal manusia tidak mempengaruhi pendapatan petani karet di Kelurahan
Tanjung Batu ini, apabila modal manusia semakin meningkat maka tidak akan
berpengaruh terhadap pendapatan petani.
H. Upaya-Upaya didalam meningkatkan Modal Sosial dan Modal
Manusia pada petani karet di Kelurahan Tanjung Batu Kabupaten
Ogan Ilir
Upaya- upaya petani di Kelurahan Tanjung Batu didalam meningkatkan
modal sosial (partisipasi dalam suatu jaringan, resiprositas, kepercayaan dan
norma sosial) yaitu dengan memperbanyak frekuensi berinteraksi/pertemuan
rutin dengan masyarakat lingkungan setempat dan lingkungan luar daerah
dalam suatu wadah atau organisasi guna berbagi pengalaman maupun
informasi yang bermanfaat untuk kehidupan mereka dan kegiatan mereka
dalam berusahatani karet.
Upaya untuk meningkatkan ketaatan/kepatuhan mereka terhadap norma
sosial yaitu dengan pemberian sanksi-sanksi yang tegas atas perbuatan yang
sudah melampaui batas dan melanggar norma di dalam masyarakat setempat,
sehingga akan membuat lingkungan di daerah mereka menjadi aman dan
tenteram.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh petani karet di Kelurahan
Tanjung Batu ini didalam meningkatkan modal manusia (pendidikan, kesehatan
dan kemampuan interaksi sosial) yang mereka miliki adalah yaitu dengan
mengikuti secara aktif pelatihan-pelatihan yang bermanfaat menambah
pengetahuan mereka didalam kegiatan usahatani karet, mengikuti seminar
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1118
maupun kursus-kursus yang akan membuka wawasan mereka, serta untuk
petani karet setempat yang masih buta huruf yaitu dengan mengikuti program
pemerintah Kejar Paket A dsb, Sedangkan untuk meningkatkan kesehatan di
lingkungan petani karet tersebut yaitu dengan senantiasa menjaga kebersihan
dan pola hidup yang sehat. Apabila terkena suatu penyakit yang agak berat
harus segera memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat, dan
upaya didalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial yaitu dengan
membiasakan diri berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah
setempat dan Bahasa Indonesia yang baik untuk berkomunikasi dengan orang
luar daerah. sehingga akan mengurangi kesalahpahaman dan memudahkan
untuk berinteraksi.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Ogan Ilir. 2007. Pendapatan Masyarakat. Diakses pada 4 Februari 2010 (http://bappeda.oganilirkab.go.id).
Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2008. Pemerintahan Provinsi Tingkat I
Sumatera Selatan. Palembang. Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan. 2008. Laporan Tahunan 2003-
2007. Pemerintahan Provinsi Tingkat I Sumatera Selatan. Palembang. Daniel, Manurung. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta Mawardi, M. 2007. Peranan Social Capital dalam Pemberdayaan Masyarakat.
Diakses pada 16 januari 2010 (http://komunitas.wikispaces.com). Soekartawi, 1990. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasinya.
Rajawali Press. Jakarta
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1119
ANALISIS PERMINTAAN BIBIT KELAPA SAWIT BERDASARKAN TREND
PERKEMBANGAN LUAS AREAL DAN PROSPEK USAHA PEMBIBITAN
DI SUMATERA SELATAN
M. Yamin Hasan dan Maryadi
Staf Dosen Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang – Prabumulih Km 33
Indralaya, Ogan Ilir Telp 0711-580662 Email: [email protected]
ABSTRAK
Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi dengan perkebunan kelapa sawit terbesar ketiga setelah Sumatera Utara. Pada tahun 2009 luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan adalah seluas 775,502.66 hektar, sehingga pada tahun 2009 saja ada penambahan luas lahan sebesar 85.118 hektar jika kerapatan per hektar 121 pohon, maka dibutuhkan bibit kelapa sawit sebanyak 10.299.357,86 batang bibit per tahun. Kebutuhan bibit yang besar tersebut sebagian besar masih di datangkan dari luar propinsi Sumatera Selatan, terutama di datangkan dari Medan. Penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sumatera Selata dengan menggunakan metode studi literatur dan survey kepada sampel. Data yang dikumpulkan meliputi primer dan data sekunder.
Trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat di analaisis dalam 3 bentuk model rehresi yaitu linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai R2 yang hampir sama yaitu sebesar 92%, yang berarti bahwa 92% nilai variasi luas lahan mampu dijelaskan oleh variabel waktu (tahun). Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan setiap tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun. Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan meningkat sebesar 1.47% per tahun. Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit meningkat dengan penurunan sekitar sebesar sekitar 6,5% setiap tahunnya. Dari analisis Net Present Value (NPV), diperoleh nilai NPV sebesar Rp 117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit sangat layak dengan prospek yang sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh lebih besar dari nol.
Kata kunci: Permintaan bibit kelapa sawit, trend luas lahan, trend
permintaan
I. PENDAHULUAN
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) saat ini merupakan salah
satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor
pertanian umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan
karena dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak,
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1120
kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi terbesar per hektarnya di dunia
(Balai Informasi Pertanian, 1990).
Kelapa sawit termasuk produk yang banyak diminati oleh investor karena
nilai ekonominya cukup tinggi. Para investor mengivestasikan modalnya untuk
membangun perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Selama tahun
1990 – 2000, luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 14.164.439 ha atau
meningkat 21,5% jika dibandingkan akhir tahun 1990 yang hanya 11.651.439
ha. Rata-rata produktivitas kelapa sawit mencapai 1,396 ton/ha/tahun untuk
perkebunan rakyat dan 3,50 ton/ha/tahun untuk perkebunan besar.
Produktivitas kelapa sawit tersebut dinilai cukup tinggi bila dibandingkan
dengan produktivitas komoditas perkebunan lain (Yan Fauzi, dkk, 2004).
Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi dengan perkebunan
kelapa sawit terbesar ketiga setelah Sumatera Utara. Perkembangan luas areal
perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun 2006 luasnya
mencapai 618.000 hektar dan tumbuh pesat menjadi 682.730 hektar pada
tahun 2007. Dalam kurun tahun 2006 – 2007 luas areal tumbuh sebesar
64.730 hektar, jika kerapatan per hektar 128 s/d 143 pohon, maka dibutuhkan
bibit kelapa sawit paling tidak antara 8 – 9 juta batang bibit per tahun.
Kebutuhan bibit yang besar tersebut sebagian besar masih di datangkan dari
luar propinsi Sumatera Selatan, terutama di datangkan dari Medan. Jumlah
yang besar tersebut membuat harga bibit sawit berkualitas cukup tinggi dan
sulit didapat, serta banyaknya beredar bibit palsu yang merugikan petani. Untuk
itu pengembangan bibit sawit secara lokal sangat diperlukan dan mempunyai
prospek usaha yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan daerah.
Permasalahan
Dari uraian di atas beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji
dalam penelitian seputar permintaan dan prospek usaha pembibitan kelapa
sawit adalah sbb:
1. Berapa besar pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya
di Sumatera Selatan?
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1121
2. Berapa besar kebutuhan bibit kelapa sawit di sumatera selatan dan
bagaimana cara memenuhi kebutuhan itu setiap tahunnya?
3. Berapa besar peluang usaha dan tingkat kelayakan pembibitan kelapa sawit
di Sumatera Selatan?
Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,
secara khusus penelitian bertujuan untuk:
1. Menentukan trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Selatan.
2. Menentukan tingkat kebutuhan bibit kelapa sawit berdasarkan permintaan
efektif.
3. Menganalisis prospek kelayakan usaha pembibitan kelapa sawit di Sumatera
Selatan.
Manfaat Penelitian
Bagi pengambil kebijakan diharapkan penelitian dapat menjadi masukan
dalam menjamin pasokan kebutuhan bibit kelapa sawit yang bermutu dengan
jumlah yang mencukupi bagi kebutuhan usaha pengembangan tanaman kelapa
sawit di Sumatera Selatan. Bagi masyarakat dan dunia usaha penelitian ini di
harapkan dapat berguna sebagai informasi penting tentang peluang usaha
pembibitan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Sedangkan bagi penelitian,
informasi awal ini bisa melahirkan penelitian baru di bidang kajian efisiensi
usaha pembibitan dengan menggunakan bermacam model pembibitan kelapa
sawit yang ada.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Selatan, dengan
pertimbangan Sumatera Selatan merupakan propinsi ketiga terbesar areal
perkebunan kelapa sawitnya setelah Riau dan medan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei s/d Desember 2010, dengan tahapan kegiatan
mencakup proses persiapan dan perizinan, studi literatur, pengumpulan dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1122
kompilasi data sekunder, pengumpulan dan pengolahan data primer, analisis
data dan penyusunan laporan hasil penelitian.
Metode Penelitian dan Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan metode survey,
karena data yang diperlukan merupakan gabungan antara data primer dan data
sekunder. Data sekunder yang digunakan meliputi publikasi tentang
perkebunan kelapa sawit di 11 kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Data
primer yang dikumpulkan adalah sebagai pelengkap data sekunder yang
sekaligus merupakan pengecekan silang data sekunder yang akan diambil dari
dua perusahaan inti dan beberapa orang tokoh kunci petani plasma.
Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan akan analisis baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Secara kuantitatif perhitungan akan dilakukan dengan menggunakan
persamaan trend yang secara matematis dapat dirumuskan sbb:
1. Y = a + bX (untuk trend yang linear)
Dimana: Y = Variabel permintaan X = Varibel Tahun (time series data selama 20 tahun
terakhir)
2. Y = a + bX + cX2 (untuk trend kuadratik)
2. Y = a + bX + cX2 + dX3 (untuk trend kubik)
3. Y = abx (untuk trend simple exponential)
Data trend akan diolah dengan menggunakan metode regresi linear sederhana
dengan teknik OLS (Ordinary Least Square) lalu diambil garis trend yang paling
mendekati keadaan aktual dengan nilai R2 terbesar. Pengolahan data akan
dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS versi 16.
Untuk meramalkan kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang didasarkan pada trend luas
lahan sepanjang tahun. Kemudian di hitung besar peningkatan luas lahan
setiap tahunnya. Kebutuhan bibit dihitung berdasarkan penambahan luas lahan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1123
per tahun dikalikan dengan jumlah bibit yang dibutuhkan per hektar (121
batang, dengan asumsi jarak tanam 11 x 11 meter) sehingga rumus kebutuhan
bibit pertahun dapat dihitung sbb:
PBt = (Lt – Lt-1) x 121
Dimana: Pt = Permintaan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun
t
Lt = Luas Lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun t
Lt-1 = Luas Lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada tahun t-1
Tingkat kelayakan usaha pembibitan kelapa sawit akan dilakukan
dengan menghitungan nilai bersih kini atau Net Present Value (NPV), The
Internal Rate of Return (IRR), Net B/C ratio, Gross B/C ratio dan The
Profitability Ratio (P/R).
Secara umum rumus matematis persamaan Net Present Value dapat
disajikan sebagai berikut:
Dimana : B = manfaat C = biaya r = discount rate per tahun i = waktu ke-i
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumatera Selatan memiliki areal perkebunan kelapa sawit tebesar ketiga
setelah Riau dan Sumatera Utara. Pada tahun 2009 perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Selatan memiliki luas lahan sebesar 775.502,66 ha dengan luas areal
untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) sebesar 208.486,51 ha, tanaman
menghasilkan (TM) sebesar 561.399,29 ha, dan tanaman tua (TT) sebesar
5.616,86 ha. Dari luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan
pada tahun 2009, perkebunan swasta memiliki luas areal terbesar, yaitu
454.590 ha atau 58,62% dari total luas areal yang ada, sedangkan plasma
hanya 236.401 ha atau 30,48% dan perkebunan rakyat sebesar 84.511,66 ha
atau 10,90% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan.
Kelapa sawit di Sumatera Selatan merupakan salah satu penyumbang
hasil produksi yang besar dalam produksi kelapa sawit nasional dengan tujuan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1124
pasar internasional. Hasil produksi kelapa sawit Sumatera Selatan pada tahun
2009 adalah 2.035.553,65 ton.
3.1. Pertumbuhan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan
Dari hasil pengumpulan data dari berbagai instansi terkait perkembangan
luas lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan setiap tahun
mengalami fluktuasi dengan trend yang terus meningkat. Data luas lahan
perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan selama kurun waktu tahun 1989
– 2009 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan 1989-2009
No. Tahun Luas Lahan (Ha)
1 1989 52.233,39 2 1990 76.696,29 3 1991 88.945,60 4 1992 71.513,24 5 1993 54.747,21 6 1994 161.645,37 7 1995 141.105,99 8 1996 140.532,76 9 1997 444.722,36
10 1998 315.673,50 11 1999 457.634,00 12 2000 491.810,00 13 2001 412.534,00 14 2002 422.812,50 15 2003 429.666,02 16 2004 488.693,00 17 2005 551.651,00 18 2006 618.752,42 19 2007 682.730,00 20 2008 690.384,00 21 2009 775.502,66
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1125
-
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
500,000.00
600,000.00
700,000.00
800,000.00
900,000.00
1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
Grafik Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa
Sawit di Sumatera Selatan 1989 - 2009
Luas Lahan
Gambar 1. Grafik Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di
Provinsi Sumatera selatan 1989-2009
Dari Tabel 1 terlihat bahwa sejak tahun 1989 hingga tahun 2009 luas
lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan menunjukkan trend yang
terus meningkat. Dalam periode 1989 – 2009, luas lahan perkebunan kelapa
sawit di Sumatera Selatan mengalami peningkatan sebesar 723.269,27 hektar
atau meningkat sebesar 1.384%. Perkembangan luas lahan yang sangat pesat
dalam kurun 20 tahun terakhir ini disebabkan semakin banyaknya perkebunan
besar nasional dan swasta, serta perkebunan rakyat yang bergerak di bidang
perkebunan kelapa sawit yang sangat menguntungkan. Secara grafis,
perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera
Selatan dapat dilihat pada Gambar 1.
Untuk melihat kecenderungan (trend) pertumbuhan luas lahan
dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS Versi 16 terhadap
kemunkinan trend perkembangan luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan.
Dari data perkembangan luas lahan yang ada diperoleh 3 (tiga) trend
perkembangan luas lahan, yaitu : linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai R2
yang sebanding sebesar 0,92. Ini berarti ketiga model ini mampu menjelaskan
bahwa variasi perkembangan luas lahan 92% dijelaskan oleh perubahan waktu
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1126
(tahun). Hasil pengolahan data dengan SPSS secara rinci dapat di lihat dalam
Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Hasil regresi trend perkembangan luas lahan kelapa sawit di Sumatera Selatan dengan model linear, kuadratik, dan kubik
Equation R
Square F df1 df2 Sig. Constant b1 b2 b3
Linear 0,92 213,438 1 19 0,00000 -40.470 36.450 - -
Quadratic 0,92 103,871 2 18 0,00000 -13.860 29.510 315,567 -
Cubic 0,92 65,533 3 17 0,00000 -3.941 24.650 854,604 -
16,334
Dari hasil tersebut terlihat bahwa ketiga model tersebut sama baiknya
dalam menjelaskan variasi luas lahan seiring dengan perjalan waktu (tahun).
Secara statistik model-model tersebut menunjukkan hasil yang sangat signifikan
dengan selang kepercayaan hampir mendekati 100%. Secara matematis ketiga
model tersebut dapat di tulis dalam persamaan sebagai berikut:
a) Linear : Y = -40.470 + 36.450 X
b) Kuadratik : Y = -13.860 + 29.510 X + 315,567 X2
c) Kubik : Y = -3.941 + 24.650 X + 854,604 X2 – 16,334 X3
Dalam model trend yang linear terlihat bahwa pertambahan luas lahan
setiap tahunnya meningkat dengan jumlah yang konstan yaitu sebesar 36.450
hektar. Sedangkan untuk model kuadratik peningkatan luas lahan setiap tahun
mengalami peningkatan, dimana pada tahun 1989 – 1991 luas lahan meningkat
sebesar 30,456.70 hektar dan tahun berikutnya bertambah sebesar 631.13
hektar menjadi 31,087.84 hektar dan peningkatan bertambah setiap tahun
berikutnya sebesar 631,13 hektar. Sedangkan untuk model kubik justru
peningkatan luas lahan semakin menurun setiap tahunnya. Pada tahun 1989 –
1991 luas lahan meningkat sebesar 27.099,47 hektar dan tahun berikutnya
pertambahan luas lahan meningkat sebesar 1.513,20 hektar menjadi 28.612,67
hektar dan peningkatan tahun berikutnya turun sebesar 98 hektar menjadi
hanya 1,415.20, dan demikian seterusnya pada tahun-tahun berikutnya
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1127
peningkatan luas lahan turun sebesar 98 hektar. Gambar trend peningkatan
luas lahan secara grafis dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 1. Grafik Trend Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
di Provinsi Sumatera selatan 1989-2009 Dengan menggunakan rumus trend di atas perkembangan luas lahan
kelapa sawit pada tahun 2011-2020 dan seterusnya dapat diramalkan luasnya
sebagai dapat di lihat dalam tabel berikut.
Tabel 3. Perkiraan luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan, tahun 2011 – 2020
Tahun Luas Areal (ha) utk trend Linear
Luas Areal (ha) utk trend Kuadratik
Luas Areal (ha) utk trend Kubik
2011 797.880 831.805 816.359
2012 834.330 876.147 854.110
2013 870.780 921.119 891.218
2014 907.230 966.723 927.585
2015 943.680 1.012.958 963.113
2016 980.130 1.059.825 997.705
2017 1.016.580 1.107.322 1.031.261
2018 1.053.030 1.155.450 1.063.685
2019 1.089.480 1.204.210 1.094.877
2020 1.125.930 1.253.601 1.124.741
Selanjutnya trend pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Selatan pada tahun 2010 - 2035. secara jelas dapat dilihat dalam
gambar berikut ini.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1128
Gambar 2. Grafik Trend Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Sumatera selatan. tahun 2010 - 2035
Dari grafik di atas terlihat bahwa trend perkembangan luas secara linear
dan kuadratik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Trend
peningkatan luas lahan secara kuadratik terlihat lebih besar dibanding trend
yang linear dan kubik. Sedangkan trend peningkatan luas lahan secara kubik
peningkatannya terus mengalami penurunan dan mencapai optimal pada tahun
2034. dan pada tahun 2035 sudah mulai menurun.
Trend dengan model kubik lebih realistis dengan kondisi riil dimana
ketersediaan lahan yang cenderung terbatas. sehingga pada titik terjenuh akan
mengalami kejenuhan dimana luas areal tidak dapat bertambah lagi karena
lahan yang tersedia tidak ada lagi. Pada saat ini ektensifikasi tidak dapat
dilakukan lagi. dan program pengembangan hanya bisa dilakukan dengan
intensifikasi. Dan jika data yang dapat mewakili kondisi riil yang ada maka pada
tahun 2034 pertambahan luas areal sudah mencapai maksimal.
3.2. Kebutuhan Bibit Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Analisis permintaan bibit kelapa sawit seharusnya dapat di analisis dari
data permintaan setiap tahun. karena kendala ketidak tersediaan data
permintaan dari instansi terkait yang ada di Sumatera Selatan. maka
pendekatan perhitungan kebutuhan bibit kelapa sawit dilakukan melalui trend
perkembangan luas lahan yang telah di bahas di muka.
Untuk menghitung kebutuhan bibit kelapa sawit di gunakan rumus
sebagaimana yang telah diuraikan dalam analisis data. yaitu : PBt = (Lt – Lt-1) x
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1129
121. Dimana disini diasumsikan bahwa kebutuhan bibit per hektar adalah 121
batang. dengan asumsi jarak tanam yang digunakan adalah 9 x 9 meter.
Berdasarkan persamaan trend luas lahan dan persamaan kebutuhan
bibit kelapa sawit di atas maka kebutuhan bibit kelapa sawit untuk tahun 2011
dan seterusnya dapat diramalkan kebutuhannya. Kebutuhan bibit kelapa sawit
di Sumatera Selatan pada tahun 2011 – 2020 dapat di lihat secara jelas dalam
tabel berikut ini.
Tabel 4. Perkiraan kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan, tahun
2011 – 2020
Tahun Linear Kuadratik Kubik
2011 4.410.450 5.288.972 4.633.796
2012 4.410.450 5.365.340 4.567.865
2013 4.410.450 5.441.707 4.490.076
2014 4.410.450 5.518.074 4.400.428
2015 4.410.450 5.594.441 4.298.921
2016 4.410.450 5.670.808 4.185.556
2017 4.410.450 5.747.176 4.060.333
2018 4.410.450 5.823.543 3.923.251
2019 4.410.450 5.899.910 3.774.311
2020 4.410.450 5.976.277 3.613.512
Secara grafik trend permintaan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan
yang dihitung berdasarkan trend perkembangan luas lahan dan persamaan
kebutuhan bibit pada tahun 2010 - 2035 secara jelas dapat dilihat dalam
gambar berikut ini.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1130
Gambar 3.Grafik Trend Perkembangan kebutuhan bibit Kelapa Sawit di Provinsi
Sumatera selatan, tahun 2010 - 2035
Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan
setiap tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun.
Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan pada tahun
2011 adalah sebesar 5.288.972 batang dan selanjutnya setiap tahunnya
meningkat sebesar 76.367 batang atau meningkat sebesar 1.47% per tahun.
Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit pada tahun 2011 diperkirakan
sebesar 4.633.796 batang bibit lalu turun pada tahun berikutnya sebesar 65.931
batang menjadi 4,567,865 dan tahun berikutnya penurunan itu terus bertambah
setiap tahunnya sebesar 11.858 batang.
Dari gambar di atas permintaan bibit kelapa sawit cenderung menurun
dari tahun ke tahun, hal ini dikarenakan trend pertambahan luas lahan dengan
model kubik yang cenderung menurun. Jika data yang dikumpulkan dapat
mempresentasikan keadaan riil di lapangan maka diperkirakan permintaan bibit
kelapa sawit akan menurun ke titik terendah pada tahun 2034, dan pada tahun
2035 permintaan bibit kelapa sawit menjadi nol untuk pertambahan luas areal
yang sudah mencapai stagnan. Namun permintaan bibit kelapa sawit akan
tetap ada dari peremajaan kebun kelapa sawit yang telah berumur 20 – 25
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1131
tahun yang sudah dianggap tanaman tua yang tidak produktif lagi atau dari
tanaman mati dan gagal.
3.3. Prospek Usaha Pembibitan Kelapa Sawit di Sumatera Selatan Besarnya potensi kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera Selatan
membuka peluang usaha pembibitan dengan prospek yang amat menjanjikan.
Dari data perkiraan yang di analisis, kebutuhan bibit kelapa sawit di Sumatera
Selatan saat ini sekitar 4 juta batang. Dengan masih cukup tersedia lahan
untuk perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan usaha pembibitan
memberikan prospek usaha dengan tingkat keuntungan yang cukup
menjanjikan.
Dari hasil analisis kelayakan usaha untuk pembibitan kelapa sawit seluas
1 hektar diperlukan biaya investasi sebesar Rp 45.773.000 yang meliputi biaya
lahan dan peralatan. Biaya operasional sebesar Rp 289.221.250 per tahun
yang meliputi biaya bahan habis pakai dan biaya tenaga kerja.
Jumlah produksi dari kegiatan pembibitan kelapa sawit ini dihasil
sebanyak 12.000 bibit kelapa sawit yang siap salur. Jika diasumsikan harga
bibit kelapa sawit yang dipakai dalam perhitungan penelitian ini adalah Rp
27.500.00. Penerimaan setiap tahun pertama menghasilkan Rp
330.000.000.00.
Dengan menggunakan analisis Net Present Value (NPV), dengan siklus
usaha selama 5 tahun dan discount faktor sebesar 11%, diperoleh nilai NPV
sebesar Rp 117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit
yang dilakukan sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh lebih besar dari
nol.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dari hasil
penelitian ini:
1. Trend pertumbuhan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat di analaisis
dalam 3 bentuk model rehresi yaitu linear, kuadratik, dan kubik dengan nilai
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1132
R2 yang hampir sama yaitu sebesar 92%, yang berarti bahwa 92% nilai
variasi luas lahan mampu dijelaskan oleh variabel waktu (tahun).
2. Dengan trend linear permintaan bibit kelapa sawit di sumatera selatan setiap
tahunnya adalah konstan yaitu sebesar 4.410.450 batang bibit per tahun.
Permintaan bibit kelapa sawit dengan trend kuadratik diperkirakan meningkat
sebesar 1.47% per tahun. Sedangkan untuk model kubik permintaan bibit
meningkat dengan penurunan sekitar sebesar sekitar 6,5% setiap tahunnya.
3. Dari analisis Net Present Value (NPV), diperoleh nilai NPV sebesar Rp
117.059.124. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan kelapa sawit sangat
layak dengan prospek yang sangat menguntungkan karena nilai NPV jauh
lebih besar dari nol.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Perkebunan, 2007. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Sumatera Selatan. Kantor Dinas Perkebunan Sumatera Selatan. Palembang.
Dinas Perkebunan, 2008. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Sumatera Selatan. Kantor Dinas Perkebunan Sumatera Selatan. Palembang.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2000. Pertemuan koordinasi teknis komoditas perkebunan: karet, kelapa, kelapa sawit, dan lada, Palembang, 27-28 Oktober 2000/Dirjenbun. Palembang.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008. Wilayah Potensi Kelapa Sawit berdasarkan Kabupaten/Kota. Jakarta.
Direktur Perbenihan, 2000. Pemikiran mengenai strategi dan kebijaksanaan penyediaan benih karet, kelapa, kelapa sawit dan lada /Direktur Perbenihan. Pertemuan Koordinasi Teknis Komoditas Perkebunan.
Direktur Produksi Perkebunan, 2000. Kebijakan pengembangan produksi perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit dan lada/ Direktur Produksi Perkebunan. Pertemuan Koordinasi Teknis Komoditas Perkebunan.
Drajat, Bambang, 2003. Peramalan figure perkelapasawitan 2004-2008 dan Tinjauan Komoditas Perkebunan: Karet, Kopi, Gula, Teh, Kelapa Sawit dan Umum.
Fauzi, Yan, dkk, 2004, ‖Budidaya Kelapa Sawit Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran‖, Penebar Swadaya, Jakarta
Girsang Annel, 2005. ―Pedoman Pembibitan Kelapa Sawit Pre-Nursery dan Main-Nursery.‖ PPKS – Unit Usaha Marihat. Pematang Siantar.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1133
Lubis Adlin U, 1993. ―Pengadaan Benih Kelapa Sawit.‖ Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan
Muhidin, S. A, Maman Abdurahman, 2007. Analisis Korelasi, Regresi Dan Jalur Dalam Penelitian. Pustaka Setia. Bandung
Pahan, Iyung, 2007, ‖Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu Sampai Hilir‖. Penebar Swadaya, Jakarta
Sastroyono Selardi, 2003, ‖Budidaya Kelapa Sawit‖. Agromedia Pustaka. Jakarta
Tim Pengembangan Materi LPP, 2007. Buku Pintar Mandor (BPM). Seri Budidaya. Tanaman Kelapa Sawit.‖ Lembaga Pendidikan Perkebunan. Yogyakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1134
PEMBANGUNAN SDM INDONESIA DITENGAH DAYA SAING NEGARA-NEGARA LAIN DAN DI ERA AC-FTA
NURLINA TARMIZI
ABSTRAK Kajian tentang Pembangunan SDM Indonesia di tengah Daya Saing Negara-Negara Lain dan di Era AC-FTA dalam upaya mengetahui sejauhmana keberhasilan pembangunan SDM Indonesia di tengah keberhasilan negara-negara lain dan langkah/strategi yang perlu ditempuh agar Indonesia mampu bersaing di Era AC-FTA. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam peningkatan pembangunan SDM. Di tingkat Asean, IPM Indonesia, lebih rendah dari Malaysia, Thailand dan Filipina. Di luar Asean, lebih rendah dari negara Amerika Latin dan Karibia. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan Indonesia kalah bersaing dalam perdagangan bebas ditunjukkan oleh competitiveness index Indonesia yang lebih rendah dari beberapa negara Asean dan China. Strategi yang perlu dilakukan adalah lebih mengoptimalkan pembangunan SDM terutama peningkatan kualitas pendidikan.
PENDAHULUAN
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan suatu strategi yang
dilakukan banyak negara dalam upaya memperlihatkan posisi keberhasilan
pembangunan negara-negara tersebut. Pemberdayaan SDM adalah sebuah
konsep pembangunan ekonomi yang merangkup nilai-nilai sosial. Sebuah
masyarakat dinyatakan telah ―berdaya‖ ketika masyarakat suatu negara telah
menunjukkan performance kualitas yang cukup tinggi dibandingkan masyarakat
di negara lain. Dengan demikian, outcome dari pemberdayaan SDM adalah
sejauhmana SDM memainkan peran aktif dalam pembangunan sehingga ada
perubahan besar dalam ekonomi, struktur sosial, sikap masyarakat yang dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi, utamanya dalam menghadapi persaingan
global yang semakin menguat.
Konsep pembangunan SDM berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi.
Paradigma pembangunan ekonomi meletakkan dasar pembangunan pada
pertumbuhan ekonomi dengan konsep trickle down effect (tetesan ke bawah)
dengan harapan kesejahteraan masyarakat di masa depan semakin meningkat.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1135
Akan tetapi pendekatan kesejahteraan hanya meletakkan manusia sebagai
objek (pengambil manfaat) bukan sebagai subjek (peserta aktif) pembangunan.
Apalagi konsep trickle down effect ternyata membuat ketimpangan pendapatan
semakin melebar, antar kelompok masyarakat dan antar daerah. Sementara
paradigma pembangunan manusia bertitik tolak dari pemahaman bahwa
pembangunan dapat memperluas pilihan. Seperti pilihan untuk umur panjang,
hidup di lingkungan yang layak sehingga kesehatannya dan keluarga terjamin,
memperoleh pendidikan, mempunyai akses pada sumber daya ekonomi, dan
lain-lain.
Ini berarti, pembangunan manusia merupakan pembangunan multidimensi yang
mengaitkan dimensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, sekaligus dengan
prasyarat pembangunan lingkungan eksternal: lingkungan hidup, lingkungan
sosial dan lingkungan global. Karena itu, proses pembangunan harus dapat
merealisasikan keinginan-keinginan tersebut.
Pembangunan manusia yang multidimensi merealisasikan juga pembangunan
sosial dan budaya. Outcome pembangunan SDM adalah adanya perubahan
besar dalam ekonomi, struktur sosial, sikap masyarakat sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan dan
dengan itu akan terjadi peningkatan kesejahteraan.
Indonesia melakukan upaya terus menerus meningkatkan pembangunan SDM.
Upaya Indonesia memperoleh kemajuan yang cukup signifikan, namun harus
terus dilakukan, sebab ketika Indonesia telah dapat meningkatkan performance
kualitas SDM nya, negara-negara lain juga terus memacu kemajuan kualitas
SDM mereka. Ini berarti daya saing negara-negara lain cukup tinggi, terutama
memasuki era perdagangan bebas. Dalam era ini, Indonesia perlu
meningkatkan basic requirement, efisiensi dan inovasi. Ketiga hal ini dapat
dicapai jika peningkatan SDM berhasil secara optimal.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1136
Pertanyaan yang muncul, sejauhmana keberhasilan pembangunan SDM
Indonesia di tengah keberhasilan negara-negara lain dan langkah/ strategi
yang perlu ditempuh agar Indonesia mampu bersaing di Era AC-FTA.
PEMBANGUNAN SDM
Indikator yang memperlihatkan pembangunan SDM suatu negara, dimana
didalamnya terangkum keberhasilan ekonomi dan sosial, adalah indeks
pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). IPM
merupakan suatu indeks melingkupi kondisi manusia yang dilihat dari dimensi
dasar pembangunan manusia, yakni, pertama, dimensi hidup sehat dan
panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat lahir. Usia harapan hidup
saat lahir (life expectancy) mencerminkan tingkat kesehatan dan gizi yang baik.
Kedua, dimensi pengetahuan yang diukur dengan angka melek huruf mereka
yang berumur 15 tahun. Angka ini menunjukkan kemampuan untuk menuju
dunia pengetahuan yang lebih tinggi. Ketiga, dimensi ekonomi, standar hidup
yang layak dilihat dari GDP perkapita Untuk dapat membandingkan dengan
daerah/negara lain maka indikator yang digunakan adalah kemampuan daya
beli (purchasing power parity); dengan indikator ini dapat diukur sejauhmana
kemampuan daya beli di satu daerah/ negara dapat dibandingkan dengan
kemampuan daya beli daerah/negara lain.
Namun untuk mencapai IPM yang unggul adalah tidak mudah. Terdapat dua
tantangan yang dihadapi suatu negara yaitu, tantangan dari dalam (internal)
dan tantangan dari luar (eksternal). Tantangan bersifat internal adalah
rendahnya tiga indikator komposit IPM, sedangkan tantangan bersifat eksternal
yaitu globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Tantangan kedua tidak dapat diatasi
ketika permasalahan pada tantangan pertama tidak terselesaikan, dan kedua
tantangan ini harus diselesaikan secara bersamaan.
Bagaimana posisi IPM Indonesia? Posisi Indonesia seperti yang dilaporkan
UNDP adalah sebagai berikut. Tahun 2005, Indonesia menempati posisi ke
110 dari 177 negara dengan indeks 0,697, lebih rendah dari Vietnam yang
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1137
menempati posisi 108 dengan indeka 0,704 dan jauh lebih rendah dari Filipina
(84/0,758), Thailand 73/0,778) dan Malaysia (61/ 0,796). Tahun 2006,
Indonesia mengalami kemajuan dengan mencapai indeks IPM 0,711 dan
berada di urutan ke 108 mengalahkan Vietnam. Pada tahun 2007, IPM
Indonesia meningkat menjadi 0,734. Variabel yang mengkontribusi IPM tahun
2007 menjadi bertambah lebih baik, adalah angka harapan hidup hidup sejak
dilahirkan, 70,5, jumlah penduduk Indonesia berumur 15 tahun telah melek
huruf 92,0%, enrollment ratio 68,2% dan angka GDP per kapita US$ 3,712.
Namun demkian, sepanjang tahun 2005, 2006 dan 2007, posisi Indonesia
selalu dibawah Thailand, China, Filipina, bahkan di bawah Palestina (Tabel 1).
Bagaimana bila dibandingkan dengan negara-negara lain diluar negara ASEAN.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Sub-Saharan Africa, Asia Selatan
dan Arab (Gambar 1), IPM Indonesia tahun 2005 masih lebih baik, tetapi
dibandingkan dengan negara-negara Karibia, Asia Timur dan Pasific, IPM
Indonesia masih di bawah posisi negara-negara tersebut (Gambar 1).
Gambar 1 IPM Indonesia dan Negara-negara Lainnya Tahun 2005
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1138
Tabel 1 HDI 1980-2007
HDI rank
Country code Country name 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2006 2007
VERY HIGH HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPED)
23 SGP Singapore 0.785 0.805 0.851 0.884 .. .. 0.942 0.944
30 BRN Brunei Darussalam 0.827 0.843 0.876 0.889 0.905 0.917 0.919 0.920
HIGH HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)
66 MYS Malaysia 0.666 0.689 0.737 0.767 0.797 0.821 0.825 0.829
MEDIUM HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)
87 THA Thailand 0.658 0.684 0.706 0.727 0.753 0.777 0.780 0.783
92 CHN China 0.533 0.556 0.608 0.657 0.719 0.756 0.763 0.772
105 PHL Philippines 0.652 0.651 0.697 0.713 0.726 0.744 0.747 0.751
110 PSE Occupied Palestinian Territories .. .. .. .. .. 0.736 0.737 0.737
111 IDN Indonesia 0.522 0.562 0.624 0.658 0.673 0.723 0.729 0.734
116 VNM Viet Nam .. 0.561 0.599 0.647 0.690 0.715 0.720 0.725
134 IND India 0.427 0.453 0.489 0.511 0.556 0.596 0.604 0.612
137 KHM Cambodia .. .. .. .. 0.515 0.575 0.584 0.593
138 MMR Myanmar .. 0.492 0.487 0.506 .. 0.583 0.584 0.586
148 PNG Papua New Guinea 0.418 0.427 0.432 0.461 .. 0.532 0.536 0.541
LOW HUMAN DEVELOPMENT (OR DEVELOPING)
162 TMP Timor-Leste .. .. .. .. .. 0.488 0.484 0.489
Deskripsi kuantitatif indeks komposit IPM di atas memberikan pelajaran bahwa
pembangunan manusia harus dilakukan berkesinambungan. Diharapkan,
Indonesia dapat memainkan peran penting, terutama menghadapi persaingan
yang semakin ―mengglobal‖.
Namun, perjuangan untuk dapat memainkan peranan global, tidak hanya
terkonsentrasi meningkatkan angka IPM. Perlu berbagai kebijakan yang saling
mendukung. Dalam konteks pencapaian keberhasilan pembangunan, maka
pembangunan harus diletakkan pada 3 faktor utama, yakni pro-growth, pro-job
dan pro-poor. Pembangunan yang hanya menfokuskan pada pertumbuhan
ekonomi tinggi memang akan menghasilkan pendapatan per kapita yang tinggi.
Namun pendapatan per kapita tinggi tidak mencerminkan kesejahteraan yang
relatif merata untuk seluruh masyarakat. Hasil penelitian (Nurlina, 2003)
menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan pada tahun 2003 terjadi ketimpangan
pendapatan yang cukup tinggi, 20% kelompok kaya menerima lebih dari 40%
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1139
pendapatan, sedangkan 40% dari kelompok berpendapatan rendah hanya
menerima 13-19% dari pendapatan.
Berikut, Gambar 2 menunjukkan suatu fenomena menarik. Tahun 2007, GDP per
kapita Indonesia US $ 3,700 sedangkan Filipina ―hanya‖ US$ 3,400, yang berarti
Indonesia dapat dikategorikan negara yang lebih kaya dari Filipina. Akan tetapi
indeks komposit pembangunan manusia Indonesia ternyata lebih rendah dari
Filipina. Fenomena ini memperlihatkan bahwa program pertumbuhan ekonomi
tinggi hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat. Program yang pro-growth
tidak diarahkan untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat secara
keseluruhan terutama masyarakat miskin. Atau dengan kata lain, kekayaan
Indonesia tidak terdistribusi secara merata. Ini merupakan ketidakefisienan dalam
pengelolaan hasil-hasil pembangunan.
Gambar 2 HDI dan GDP per kapita Indonesia dan Filipina
Tahun 2007
FREE TRADE AREA/AC-FTA
Free Trade Area (FTA) menggambarkan dunia tanpa batas. Setiap negara dapat
mengekspor/mengimpor barang dan jasa tanpa hambatan tariff dan juga
hambatan non tariff. Dasar pemikiran membentuk kerjasama perdagangan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1140
dengan keinginan agar setiap negara dapat memperoleh manfaat melalui
spesifikasi produksi yang diunggulkan masing-masing negara. Negara-negara
Asean (Indonesia, Malaysia, Philippina, Thailand dan Singapore atas prakarsa
PM Thailand (Anand Panyarachun) tahun 1992 di Kuala Lumpur membentuk
ASEAN Free Trade Area (AFTA). Blok perdagangan AFTA ini bertujuan untuk
memajukan local manufacturing semua negara ASEAN. Untuk itu ASEAN
menentukan besarnya tarif 0-5% untuk barang dan jasa dari negara ASEAN yang
masuk ke negara ASEAN lainnya (termasuk negara CMLV. Cambodia, Myanmar,
Laos dan Vietnam).
Namun, ide dasar untuk dapat memperoleh manfaat dari terbentuknya FTA tidak
berjalan mulus. Fakta menunjukkan perdagagan bebas dapat menimbulkan
dampak negatif, seperti terjadi eksploitasi terhadap negara yang lebih lemah,
rusaknya industri lokal dan faktor keamanan yang kurang terjamin. Selain itu pula
negara yang lebih efisien akan lebih menguasai perdagangan, meskipun
agreement yang disepakati tampaknya menguntungkan negara-negara yang
tergabung dalam asosiasi tersebut.
Selain membentuk blok perdagangan sesama negara Asean, Indonesia juga
membentuk blok perdagangan dengan China dengan Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation (AC-FTA). Kerangka kerja ini
memperlihatkan bahwa perdagangan bebas antara keduanya akan menghasilkan
manfaat antara kedua belah pihak. Untuk meningkatkan kerjasama ekonomi maka
disepakati: a) penghapusan tariff dan hambatan non-tariff dalam perdagangan
barang, b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, c) membangun regim
investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka AC-FTA. Tujuan dari
framework agreement tersebut: a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama
ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, b) meliberalisasikan
perdagangan barang, jasa dan investasi, c) mencari area baru dan
mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntung-kan, d)
memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru
ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1141
Untuk kasus Indonesia, data lapangan menunjukkan kerjasama yang terjadi
hanya menguntungkan China. Nilai ekspor Non Migas Indonesia ke China jauh
lebih rendah dari nilai impor barang yang sama dari China (Gambar 3). Dengan
demikian produk non migas China mempunyai keunggulan dari produk non migas
yang dihasilkan Indonesia. Tabel 2 mendukung hal di atas, selama 2 tahun
terakhir nilai ekspor ke China relatif lebih kecil dibanding dengan nilai impor dari
China. Dengan kata lain Indonesia tidak memperoleh value added yang tinggi
dari perdagangan bebas ini.
Tabel 2 Ekspor dan Impor Indonesia ke dan dari China
2007 dan 2008 (dalam juta US $)
No.
Ekspor Impor
HS 2007 2008 HS 2007 2008
1 15 1520,6 2119,1 84 1503,8 3394,2
2 40 762,1 901,2 85 1255,0 3281,0
3 47 510,9 742,3 72 858,2 1026,2
4 26 613,1 649,2 73 366,3 872,9
5 29 549,9 335,1 29 371,6 511,5
6 74 330,2 315,5 28 269,8 466,6
7 85 217,9 279,1 39 182,5 335,2
8 84 276,6 255,7 31 106,5 323,2
9 48 194,9 195,1 52 86,4 299,6
10 44 194,7 157,9 08 255,4 248,0
Sumber: Mutakin dan Salam, 2009
Keterangan:
HS: produk-produk highly sensitive 15: lemak dan minyak hewan/nabati dan produk disosiasinya 40: karet dan barang daripadanya 47: pulp dari kayu, kertas atau kertas kartom yang diputihkan 26: biji logam, terak dan abu 29: bahan kimia oeganik 74: tembagadan barang daripadanya 85: mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, perekam, preproduksi gambar dan suara televisi, dan bagian asesoris dari barang tersebut 84: reactor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis dan bagian daripadanya 48: kertas dan kertas karton, barang dari pulp kertas, dari kertas atau dari kertas karton 44: kayu dan barang dari kayu, arang kayu 72: besi dan baja besi 73: barang dari besi dan baja
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1142
29: bahan kimia organic 28: bahan kimia organic, senyawa organic atau anorganik, dari logam mulia, dari logam tanah lengka, dari unsure radio aktif atau dari isotop 39: plastic dan barang daripadanya 31: pupuk 52: kapas 08: buah dan buah tempurung yang dapat dimakan, kulit dari buah jeruk atau melon
Gambar 3 Neraca Perdagangan Non Migas Indonesia – China 2004-2008
(dalam miliar Rupiah)
Indonesia kalah bersaing dari China. Laporan the World Economic Forum tentang
The Global Competitiveness Report (GCR) tahun 2008-2009 memperlihatkan
kelemahan Indonesia dari 3 sisi, basic requirement, efisiensi dan inovasi, masing-
masing menduduki rangking 78, 49 dan 45. Sementara China untuk ketiga hal
tersebut berada di rangking 42, 40, 32. Ketiga hal tersebut membentuk overall
index, Indonesia berada di ranking ke 55 dengan overall index 4,09, sedangkan
China pada rangking ke 30 dengan overall index 4,70. China menempati posisi
30 top dunia, Posisi China pada tahun 2009-2010 meningkat menempati urutan
ke 29 dengan index 4,74 dan tahun 2010-2011 menempati rangking 27 dengan
index 4,84. Negara Asean lainnya yang mengalahkan Indonesia adalah
Singapura (menempati posisi 5) Malaysia (posisi 21), Thailand (posisi 34)
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1143
Hal di atas menyimpulkan bahwa adanya persetujuan tentang perdagangan
bebas tanpa hambatan tariff dan non tariff, tetap menguntungkan suatu Negara
dan merugikan Negara lainnya. Sebab kekuatan ekonomi antar Negara sangat
timpang. Ketimpangan ini dikontribusi oleh kekurangmampuan dalam inovasi dan
ketidakefisienan dalam setiap usaha/tindakan.
Namun demikian, kondisi ini tidak perlu ditakuti, karena roda globalisasi dan
liberalisasi terus berjalan dan tidak ada suatu negara yang dapat mengisolasi diri
dari kondisi tersebut. Untuk dapat bersaing di era ACFTA maka salah satu cara
memperkuat daya saing dengan cara meningkatkan kualitas pelaku pembangunan
melalui pendidikan dan melalui kemampuan dalam sains dan teknologi.
STRATEGI DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING
Banyak strategi untuk dapat meningkatkan daya saing. Namun ujung tombak dari
strategi tersebut adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1144
melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sebab dalam komponen pendidikan,
tercakup secara tidak langsung komponen kesehatan dan ekonomi, karena itu
pendidikan memerlukan perhatian serius.
Pendidikan merupakan jendela untuk meraih dunia. Tanpa pendidikan yang lebih
baik yang dipunyai rata-rata penduduk maka Indonesia susah bersaing di pasar
global. Dalam era informasi sekarang ini, dimensi pendidikan tidak hanya berkutat
pada melek huruf tetapi jangkauannya sudah semakin meningkat, bahwa yang
diperlukan adalah manusia yang berkualitas tinggi serta mampu bersaing dalam
berbagai bidang.
Paradigma pendidikan mengalami pergeseran. Pada masa lalu, diutamakan
adalah orang-orang yang memiliki pendidikan dan ketrampilan tinggi; sedangkan
paradigma pendidikan masa kini adalah sejauhmana pendidikan mampu
meningkatkan sumber daya bangsa menjadi semakin bermartabat. Dengan
demikian keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan adalah keberhasilan
memadukan pendidikan yang memfokuskan pada hard skil (paradigma lama) dan
soft skill. Pendidikan yang mengutamakan hard skill membuat seseorang
menguasai pengetahuan yang jika dipadu dengan pendidikan yang memuat soft
skill akan membentuk karakter yang mau bekerja keras, kepercayaan diri tinggi,
mempunyai visi ke depan dan memiliki keilmuan yang tinggi.
Oleh karena itu, peningkatan pembangunan manusia lewat pendidikan yang
memuat hard skill dan soft skill akan mempercepat keberhasilan dalam
pembangunan. Sebab, kedua hal tersebut merupakan dasar untuk melakukan
inovasi dan pengembangan sains dan teknologi. Rendahnya competitiveness
indeks Indonesia dibandingkan China disebabkan rendahnya kemampuan sains
dan teknologi.
Peran sains dan teknologi dalam pembangunan berkelanjutan adalah sangat
penting. Peran sains dan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun
2007 hanya 1,38%, berarti pertumbuhan ekonomi nasional masih di dominasi oleh
faktor modal bukan oleh sains dan teknologi. Sentuhan sains dan teknologi untuk
barang-barang Indonesia yang di ekspor ke China relatif rendah karena yang di
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1145
ekspor merupakan bahan mentah. Sementara yang di impor dari China
merupakan barang yang memiliki value added tinggi.
Perkembangan ekonomi yang berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi
tidak hanya memberikan kekuatan untuk bersaing di kancah perdagangan
internasional, namun yang terutama dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
(Kardiman, tanpa tahun).
KESIMPULAN
Pembangunan SDM di Indonesia secara kontinyu harus terus dilakukan. IPM
Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain. Sepanjang tahun 2005-
2007, posisi IPM Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara Asean
lainnya, seperti Thailand, Filipina dan Malaysia. Di tengah kancah dunia, IPM
Indonesia di bawah Amerika Latin dan Karibia.
Rendahnya IPM Indonesia, yang berarti rendahnya kualitas SDM Indonesia,
berdampak pada rendahnya inovasi dan efisiensi. Rendahnya kemampuan
melakukan inovasi dan rendahnya tingkat efisiensi dibandingkan, antara lain
dengan Singapura, Malaysia dan China, menyebabkan Indonesia menduduki
rangking 55 dalam persaingan ekonomi global.
Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan percepatan dalam peningkatan IPM,
terutama kualitas pendidikan. Jika tantangan internal ini (peningkatan kualitas
pendidikan) ini sudah dapat diatasi maka Indonesia mampu menghadapi
tantangan external berupa globalisasi dan liberalisasi ekonomi
DAFTAR RUJUKAN
GDP - Country Comparison. http://www.indexmundi.com/g/r.aspx. Diakses 8 November 2010.
Kadirman, Kusmayanto. Membangun Daya Saing, Kemandirian Sains dan
Teknologi Bangsa. Diakses 13 Oktober 2010.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1146
Mutakin, Firman & AR Salam, 2009. ―Dampak Penerapan Asean China Free Trade Agreement bagi Perdagangan Indonesia‖. Economic Review, 218, 2009.
Nurlina Tarmizi, 2003. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Melalui Agihan Masa
Pekerja Keluarga Wanita: Kajian Kes Propinsi Sumatera Selatan Indonesia. Tesis Program Doktor. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Nurlina Tarmizi, 2005. Gejolak Ekonomi, Kemiskinan dan Alternatif Kebijakan
Pengentasan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi pada FE UNSRI.
Nurlina Tarmizi, 2009. Ekonomi Ketenagakerjaan. Badan Penerbit Universitas
Sriwijaya. Porter, Michael E & Klaus Schwab, 2008. The Global Competitiveness Report
2008-2009. Geneva: World Forum. Diakses 12 Oktober 2010. Solihat, Eneng dkk, 2010. Angka Harapan Hidup Indonesia,
http://nezz33.blogspot.com/2010-Angka-harapan-hidup.html. Diakses 8 November 2010.
The Grey Chronics. http://reyadel.word press.com/2009/06/27//asian
competitiveness. Diakes, 13 Oktober 2010. UNDP, 2009. Human Development Report 2009. Diakses 9 Oktober 2010. UNDP, HDI Trend. Diakses 11 Oktober 2010. Wikipedia, Asean Free Trade Area, http://en.wikipedia.org/wiki/ASEAN
Free_Trade_Area. Diakses. 9 Oktober 2010. Yustiana, CB, 2010. Soft Skill dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Diakses 6 Oktober 2010.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1147
Kajian Penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Sumatera Selatan.
Syamsurijal, AK, H. Isnurhadi, Kosasih M. Zen, Subardin, Welly Nailis. Husni Thamrin, Eko Fitrianto, Zaleha, dan Lamazi
Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
Balitbang Sumatera Selatan dan Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
I, PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah yang diperkuat UU no. 32 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah. Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan
pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat,
penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah
daerah.
Dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa BUMD itu berdasarkan kategori
sasarannya dapat dibedakan dua golongan yaitu perusahaan daerah untuk
melayani kepentingan umum dan perusahaan daerah untuk tujuan peningkatan
penerimaan daerah dalam Pendapatan Asli daerah (PAD) nya. BUMD bergerak
dalam berbagai bidang usaha, yaitu jasa keuangan dan perbankan (bank Sumsel),
jasa air bersih (PDAM) dan berbagai jasa dan usaha produktif lainnya pada
industri, perdagangan dan perhotelan, pertanian – perkebunan, perparkiran,
percetakan dan lain-lain.
Sumatera Selatan saat ini memiliki 6 (enam) BUMD yang bergerak
diberbagai bidang. Antara lain yaitu PT. Bank SUMSEL BABEL, PT BPR Sriwijaya
Primadana (di bidang perbankan), PD. PDE (di bidang Pertambangan dan
Energi). PD. Prodexim (di bidang Perdagangan Ekspor dan Impor), PD.
Percetakan Meru (di bidang Percetakan), PD. Hotel Swarna Dwipa (di bidang
Perhotelan). Dalam perkembangannya BUMD di lingkungan SUMSEL memiliki
peran yang cukup baik seperti PT Bank SUMSEL Babel yang merupakan Bank
Pembangunan Daerah dengan sistem yang cukup baik, saat ini jangkauan
operasional perusahaan telah mencakup 2 (dua) provinsi sekaligus yaitu
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1148
Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Hotel Swarna Dwipa juga merupakan
BUMD yang mulai menunjukkan pertumbuhan yang positif, hal ini ditunjang dari
program pariwisata yang mulai digalakkan oleh pemerintah daerah baik Provinsi
Sumatera Selatan sendiri maupun pemerintah kota Palembang sebagai kota
tempat basis usaha.
Namun dalam perjalanannya tidak semua BUMD mengalami pertumbuhan
usaha yang baik, seperti PD. Prodexim dan PD. Percetakan Meru memiliki
masalah pada operasional perusahaan dan dikategorikan sakit (Data Biro
Perekonomian Provinsi SUMSEL). Sehingga dibutuhkan suatu metode
penanggulangan yang baik berdasarkan kajian riset ekonomi dan kondisi
manajemen usaha, serta riset potensi pasar bagi BUMD yang ada.
I.2 Perumusan Masalah
1. Seberapa baik kinerja BUMD selama 5 tahun terakhir?
2. Faktor apakah yang dominan mempengaruhi kinerja BUMN tersebut?
3. Bagaimana potensi pasar Sumatera Selatan pada umumnya dan pasar
Palembang pada khususnya dalam upaya mendukung perkembangan
BUMD tersebut?
I.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kinerja BUMD milik Pemda
Sumatera Selatan.
2. Mengetahui faktor apa yang mempengaruhi kinerja BUMD tersebut.
3. Mengetahui potensi pasar tempat BUMD tersebut menjalankan operasinya.
I.4 Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui dan memahami kondisi dan kinerja BUMD serta faktor
yang menjadi penyebabnya maka pimpinan atau manajemen BUMD dapat
merumuskan strategi manajemen yang lebih optimal dalam mencapai tujuan dan
sasaran perusahaan seperti yang dikehendaki oleh Pemda Sumatera Selatan.
I.5 Sasaran Penelitian
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1149
Sasaran dari kajian ini adalah BUMD-BUMD yang menjadi milik Pemda
Provinsi Sumatera Selatan yang masih berstatus Perusahaan Daerah atau PD,
antara lain :
1. PD Hotel Swarna Dwipa (Perhotelan)
2. PD. PDE (Pertambangan dan Energi)
3. PD Meru (Percetakan)
4. PD Prodexim (Ekspor-Impor)
I. 6 Kerangka Pemikiran
Salah satu tujuan didirikannya perusahaan secara umum adalah untuk
dapat menghasilkan laba. Dengan laba tersebut perusahaan dapat berkembang.
Laba juga akan memberikan pembagian keuntungan kepada Pemda dalam
bentuk dividen. Untuk dapat menghasilkan laba dan berkembang dengan baik
maka perusahaan dalam bentuk apapun harus dikelola dengan baik.
Namun selain manajemen yang baik, diperlukan juga kondisi yang
mendukung dalam hal ini adalah perekonomian atau lebih konkritnya adalah
aspek pasar. Apakah pasar Sumatera Selatan atau Palembang pada khususnya
mendukung perkembangan BUMD tersebut. Dengan kombinasi potensi pasar
yang besar dengan manajemen BUMD yang baik maka akan tercipta sinerji yang
baik sehingga BUMD dapat berkembang dan menghasilkan laba yang baik pula
yang pada akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap Pemda Sumatera
Selatan. Sinerji yang baik ini pula pada akhirnya akan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan.
I.7 Metode Penelitian
I.7.1 Rancangan Penelitian
a. Penelitian ini merupakan suatu penelitian terapan (applied research)
yaitu penyelidikan yang hati-hati, sistematis terhadap suatu masalah
dengan tujuan untuk digunakan segera demi keperluan tertentu.
b. Penelitian ini juga merupakan penelitian observasional yaitu
pengamatan terhadap objek yang diteliti, berusaha mengumpulkan
data dari fenomena yang telah muncul untuk memberikan penafsiran
yang diperoleh melalui data primer dalam pengumpulan data.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1150
I. 7.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah seluruh karyawan pada Perusahan
Daerah Milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan sampel data
yang diambil adalah berupa data kinerja perusahaan pada 5 (lima) tahun terakhir
meliputi data karyawan, data pemasaran dan data keuangan.
I.7.3 Metode Pengambilan Data
Metode penelitian menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Alat yang digunakan adalah metode interview dan diskusi yang mendalam (in-
depth interviews) dengan panduan kuesioner untuk daftar pertanyaan yang
digunakan untuk mengumpulkan informasi dari responden.
Adapun responden penelitian ini adalah pengambil keputusan setingkat
dibawah pimpinan utama (Direktur Utama) semisal Direktur Pemasaran untuk
Aspek Pemasaran, Direktur Keuangan untuk Aspek Keuangan, dan Direktur
SDM untuk Aspek SDM. Enumerator yang bertugas mengumpulkan data di
lapangan adalah staf peneliti dari Balitbangda Provinsi Sumatera Selatan
dengan koordinasi langsung oleh Tim Peneliti dari Universitas Sriwijaya.
2. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari data Jumlah Penduduk Sumatera Selatan dan
Palembang saat ini, PDB tahun 2005-2009, PAD tahun 2005-2009, DAU tahun
2005-2009 untuk aspek kajian ekonomi makro. Dan data keuangan
perusahaan yang meliputi Laporan Laba-Rugi, Neraca Keuangan dan laporan
lain yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
I.8 Bidang Kajian
Adapun jenis kajian yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Kajian Potensi Pasar (aspek ekonomi) Sumatera Selatan secara umum
dan Palembang secara khusus tempat dimana BUMD-BUMD tersebut
beroperasi.
2. Kajian di bidang Manajemen Keuangan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1151
3. Kajian di bidang Manajemen Pemasaran
4. Kajian di bidang Manajemen Sumberdaya Manusia
II. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAERAH
II.1 Gambaran Umum BUMD
Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan Undang-undang
No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun
2000 – 2004 adalah bahwa perwujudan otonomi daerah dalam pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan antar daerah dilaksanakan melalui berbagai arah
kebijakan, utamanya adalah: (a) mengembangkan otonomi daerah secara luas,
nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, serta
berbagai lembaga ekonomi dan masyarakat di daerah; (b) melakukan pengkajian
dan saran kebijakan lebih lanjut tentang berlakunya otonomi daerah bagi daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota serta daerah perdesaan; dan (c)
mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan
mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi
perizinan dan investasi serta pengelolaan sumber daya di daerah.
Dalam hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah
keseluruhannya dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: (a)
Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d)
Lain-lain Penerimaan yang sah. Dan sumber PAD tersebut meliputi; (a) hasil pajak
daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan (d) lainlain PAD yang sah.
Sehubungan dengan itu, sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi
daerah yang bersumber dari hasil badan usaha milik daerah (BUMD) telah
berjalan sejak lama. BUMD tersebut dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah, yang diperkuat oleh UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Nota Keuangan dan RAPBN, 1997/1998).
Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan
daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan
kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah.
II. 2 BUMD di Sumatera Selatan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1152
Sumatera Selatan saat ini memiliki 6 (enam) BUMD yang bergerak
diberbagai bidang. Antara lain yaitu PT. Bank SUMSEL BABEL, PT BPR Sriwijaya
Primadana (di bidang perbankan), PD. PDE (di bidang Pertambangan dan
Energi). PD. Prodexim (di bidang Perdagangan Ekspor dan Impor), PD.
Percetakan Meru (di bidang Percetakan), PD. Hotel Swarna Dwipa (di bidang
Perhotelan).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. ASPEK EKONOMI
Salah satu sumber pembiayaan alternatif bagi pembangunan adalah
pengembangan BUMD.. Sehubungan dengan hal ini, ada dua model
pengembangan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BUMD bekerjasama
dengan pihak swasta membentuk perusahan dengan masing-masing pihak turut
memberikan modal sesuai kesepakatan bersama. Kedua, pemerintah daerah
secara langsung bekerjasama dengan pihak swasta, membentuk perusahan baru
dengan modal yang disepakati. Kedua model ini diperkirakan dapat memicu
pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar strategis di daerah yang
diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan keuangan cukup signifikan
bagi Sumsel di masa mendatang.
Menilik potensi perekonomian Sumsel yang berkembang pesat, maka
peluang pengembangan BUMD berpotensi untuk meningkatkan PAD. Hanya saja
diperlukan upaya-upaya penguatan kelembagaan untuk menciptakan iklim usaha
kompetitif bagi BUMD. Pengembangan manajerial dan SDM Profesional yang
akan mengelola BUMD dilakukan dengan berbagai pelatihan dan rekrutmen untuk
menjaring tenaga berkualitas.
Kegiatan pembangunan termasuk pengembangan BUMD sangat
bergantung pada ketersediaan dana sebagai salah satu input dalam proses
pembangunan. Keberhasilan pembangunan ditentukan pula oleh kemampuan
dalam menggali dan mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari
sumber lokal maupun dari berbagai sumber lainnya.
Pengembangan BUMD dapat dilakukan dengan model yang menunjukkan
adanya partisipasi antar aktor ekonomi. Model kerjasama (kemitraan) yang
menunjukkan hubungan antara sektor publik dengan sektor swasta atau
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1153
masyarakat dalam rangka menggali sumber dana untuk membiayai investasi
pengembangan BUMD melalui partisipasi sektor publik dan swasta serta
masyarakat.
Bentuk kerjasama antara sektor publik dan sektor swasta serta partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana tergantung kepada bentuk hubungan yang
dijalin antara lembaga/sektor (pelaku-pelaku ekonomi). Kerjasama dapat saja
berbentuk kemitraan dan partisipasi atau bentuk lainnya. Bentuk-bentuk
kerjasama tersebut dapat berupa Joint venture; Venture capital; build, operate,
and transfer (BOT); build, transfer, and operate (BTO); production sharing
agreement (PSA); special purpose company (SPC); konsesi; penciptaan dan
penjualan obligasi dan saham melalui initial public offering (privatisasi perusahaan
publik).
Kerjasama dalam pembiayaan investasi melalui venture capital (kongsi)
sangat menguntungkan, karena ide-ide yang hebat tidak dapat dikonversi kedalam
produk yang dapat dipasarkan tanpa adanya pembiayaan. Sebagai contoh,
Perusahaan BUMD yang menciptakan barang cetakan (PD Grafika Meru)
memerlukan dukungan pembiayaan yang besar untuk membayar programmer
yang mendesain lay out, membiayai promosi, membayar tenaga penjual, dan
biaya lain-lain dalam menjalankan perusahaan. Tanpa adanya hubungan dengan
user maka perusahaan tersebut tidak akan mampu menawarkan jasanya.
Berbagai model pembiayaan bagi pengembangan BUMD dapat ditempuh
oleh pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada. Potensi
ekonomi Sumsel seperti pada sektor pertambangan dan energi sebenarnya bisa
dikelola sendiri oleh pemerintah daerah dengan mengembangkan BUMD. Dengan
demikian benefit dari sumberdaya alam tersebut dirasakan manfaatnya langsung
oleh masyarakat Sumatera Selatan.
3.2 ASPEK SUMBER DAYA
1. PDPDE
Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian terdahulu, dapat diketahui
dalam bidang MSDM, PDPDE belum berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa
fungsi MSDM masih perlu dibenahi, terutama untuk mendapatkan kinerja unggul
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1154
dan mampu bersaing. Penerimaan dan penempatan pegawai masih perlu
dibenahi, dibutuhkan persayaratan prilaku disamping syarat pengetahuan.
Pelaksanaan pelatihan pegawai tidak disesuaikan berdasarkan analisis
kebutuhan pelatihan. Pemberian kompensasi belum berdasarkan capaian kinerja
karyawan. Penilaian kinerja memang dilakukan tapi sasaran bukan pada
peningkatan kinerja perusahaan. Pelaksanaan manajemen karir belum berjalan
dengan baik, kedepan masih perlu disempurnakan. Struktur birokrasi yang dipakai
juga menghambat PDPDE dalam meningkatkan kinerja terutama dalam
menghadapi persaingan global
Pengelolaan Organisasi dan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya.
Perlu pembenahan jika PDPDE akan meningkatkan kinerjanya, terutama untuk
menghadapi persaingan.
2. PD Swarna Dwipa Palembang
Dari hasil pembahasan pada bagian terdahulu, dapat diketahui bahwa
pengelolaan SDM di PD Hotel Swarna Dwipa belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hampir semua fungsi MSDM belum dijalankan secara baik. Hal ini
terlihat dari :
1. Penerimaan pegawai masih belum dilakukan secara terencana
2. Penempatan pegawai tidak dilakukan secara baik.
3. Pelaksanaan pelatihan pegawai tidak disesuaikan berdasarkan
kebutuhan.
4. Pemberian kompensasi belum berdasarkan tujuannya dan syarat-
syarat jabatan.
5. Penilaian kinerja memang dilakukan tapi sasaran bukan pada
peningkatan kinerja perusahaan.
6. Pelaksanaan manajemen karir belum berjalan dengan baik.
7. Struktur birokrasi yang dipakai juga menghambat PD Hotel Swarna
Dwipa dalam meningkatkan kinerja dan menghadapi persaingan
dengan perusahaan lain.
Pengelolaan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya. Perlu
pembenahan dalam pengelolaan SDM jika PD Hotel Swarna Dwipa akan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1155
meningkatkan kinerjanya, terutama untuk menghadapi persaingan dengan
perusahaan sejenis.
3. PD Meru
PD Meru merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera Selatan
yang bergerak dibidang percetakan. Namun dalam pelaksanaan beberapa tahun
terakhir, perusahaan ini tidak memiliki aktivitas yang rutin, sehingga tidak didapati
laporan atau data-data yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil survey, PD Meru
memiliki rencana usaha kedepan.
4. PD Prodexim
PD Prodexim merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera
Selatan yang bergerak dibidang perdagangan ekspor dan impor. Namun dalam
penelitian ini, tidak didapati data-data keuangan perusahaan sehingga tidak dapat
diketahui kinerja perusahaan.
Dalam hasil survey didapati informasi mengenai usaha yang berjalan yaitu
agen distribusi pupuk non subsidi dari PT Pusri dan agen distirbusi Semen
Baturaja, SPBU yang dikelola oleh anak perusahaan PT PDPDE Hilir kerjasama
dengan PD PDE, dan penjualan batubara. Rencana usaha yang akan dilakukan
oleh PD Prodexim, yaitu pemanfaatan gedung bekas asrama haji milik Pemprov
Sumsel, dan rencana pembangunan real estate di tanah milik Pemprov Sumsel di
wilayah Kabupaten Banyuasin.
3.ASPEK PEMASARAN
1. Hotel Swarna Dwipa
Fokus dengan bisnis perhotelan, hendaknya komposisi pendapatan paling
tidak sama dengan komposisi penjualan makanan dan minuman, hal ini
ditujukan untuk focus dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya
secara lebih efektif dan efisien. Selain itu hotel Swarna Dwipa dapat
memposisikan diri sebagai hotel sejarah dan kebudayaan dikarenakan Hotel
Swarna Dwipa memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kota
Palembang dan Sumatera Selatan, dalam focus memposisikan diri sebagai
hotel sejarah, hendaknya tampilan, kegiatan dan segala sesuatu mengacu
pada sejarah dan kebudayaan Sumatera Selatan.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1156
2. PD PDE : PD PDE memiliki kekuatan sebagai perusahaan milik pemerintah
provinsi, maka jika ada komitmen dari pimpinan daerah, maka PD PDE
sangat berpeluang untuk dapat menjual produk jasanya. Namun kedepan
perusahaan harus menjadi lebih professional, dan tidak mengandalkan dari
komitmen pimpinan daerah, dikarenakan perusahaan luar dengan skala lebih
besar, memiliki sumber daya yang lebih besar dan menawarkan harga yang
bersaing akan menjadi ancaman serius bagi PD PDE. PD PDE harus memiliki
daya saing yang tinggi agar dapat memenangkan persaingan.
3. PD Meru : Memiliki kekuatan yang didukung oleh perusahaan besar
percetakan dari Bandung, dengan dukungan tersebut PD Meru dapat
menghasilkan hampir semua jenis produk cetakan, tentunya ini menjadi nilai
tambah dibanding pesaing. PD Meru diharuskan mengembangkan jaringan
pada sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan pada dinas-dinas pemerintah
kota maupun provinsi.
4. Prodexim : Sebagai perusahaan daerah komitmen dari pemimpin daerah
adalah kekuatan yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Namun kedepan
pengelolaan yang professional harus diutamakan agar dapat bersaing dengan
perusahaan luar.
4. ASPEK KEUANGAN
Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa PD PDE
merupakan perusahaan yang masih mampu melanjutkan kegiatan usahanya.
Namun dibutuhkan kebijakan perusahaan untuk terus mengembangkan jenis
usaha dalam skala yang lebih besar, karena posisi pertumbuhan perusahaan
(growth) yang masih labil, hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis usaha PD PDE
yang bergerak di bidang energi terkait dengan fluktuasi harga minyak di dunia.
PD Hotel Swarna Dwipa Palembang adalah perusahaan daerah milik
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang bergerak dibidang perhotelan.
Kondisi keuangan perusahaan ini dinilai cukup baik, dan menjanjikan dalam
pengembangan usahanya di kemudian hari. Namun tentu pertumbuhan usaha
harus dilakukan demi mempertahankan posisi perusahaan dalam kondisi baik.
Dan upaya perbaikan sistem manajemen harus terus dilakukan terkait semakin
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1157
membaiknya posisi DER yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
membayar utang perusahaan.
PD Meru merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera Selatan
yang bergerak dibidang percetakan. Namun dalam pelaksanaan beberapa tahun
terakhir, perusahaan ini tidak memiliki aktivitas yang rutin, sehingga tidak didapati
laporan atau data-data yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil survey, PD Meru
memiliki rencana usaha kedepan.
PD Prodexim merupakan Badan Usaha Milik Daerah Provinsi Sumatera
Selatan yang bergerak dibidang perdagangan ekspor dan impor. Namun dalam
penelitian ini, tidak didapati data-data keuangan perusahaan sehingga tidak dapat
diketahui kinerja perusahaan.
Dalam hasil survey didapati informasi mengenai usaha yang berjalan yaitu
agen distribusi pupuk non subsidi dari PT Pusri dan agen distirbusi Semen
Baturaja, SPBU yang dikelola oleh anak perusahaan PT PDPDE Hilir kerjasama
dengan PD PDE, dan penjualan batubara. Rencana usaha yang akan dilakukan
oleh PD Prodexim, yaitu pemanfaatan gedung bekas asrama haji milik Pemprov
Sumsel, dan rencana pembangunan real estate di tanah milik Pemprov Sumsel di
wilayah Kabupaten Banyuasin.
IV. KESIMPULAN
1. Aspek Ekonomi
Salah satu sumber pembiayaan alternatif bagi pembangunan adalah
pengembangan BUMD.. Sehubungan dengan hal ini, ada dua model
pengembangan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BUMD bekerjasama
dengan pihak swasta membentuk perusahan dengan masing-masing pihak turut
memberikan modal sesuai kesepakatan bersama. Kedua, pemerintah daerah
secara langsung bekerjasama dengan pihak swasta, membentuk perusahan baru
dengan modal yang disepakati. Kedua model ini diperkirakan dapat memicu
pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar strategis di daerah yang
diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan keuangan cukup signifikan
bagi Sumsel di masa mendatang.
2. Aspek SDM
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1158
Pengelolaan Organisasi dan SDM belum berjalan sebagaimana mestinya. Perlu
pembenahan jika BUMD akan meningkatkan kinerjanya, terutama untuk
menghadapi persaingan pada perusahaan sejenis.
3. Aspek Pemasaran
Pengembangan jaringan dan penguatan aspek pemasaran pada core business
harus terus dilakukan, seperti halnya Hotel Swarna Dwipa dan PD Meru yang
memiliki basis persaingan usaha yang sangat terbuka sehingga harus memiliki
keunggulan perusahaan, sedangkan untuk PD PDE dan Prodexim yang
dukungan kinerja yang profesional akan sangat membantu perusahaan untuk
terus berkembang.
4. Aspek Keuangan
Berdasarkan analisis laporan keuangan dapat disimpulkan bahwa BUMD yang
ada merupakan perusahaan yang masih mampu melanjutkan kegiatan usahanya.
Namun dibutuhkan kebijakan perusahaan untuk terus mengembangkan jenis
usaha dalam skala yang lebih besar, karena posisi pertumbuhan perusahaan
(growth) yang masih labil, hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis usaha yang
dijalankan. Namun tentu pertumbuhan usaha harus dilakukan demi
mempertahankan posisi perusahaan dalam kondisi baik. Dan upaya perbaikan
sistem manajemen harus terus dilakukan terkait semakin membaiknya posisi DER
yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar utang perusahaan.
4.2 Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian di atas, beberapa saran dapat menjadi
rekomendasi untuk pengembangan BUMD antara lain :
1. Aspek Ekonomi
Pertama, BUMD bekerjasama dengan pihak swasta membentuk perusahan
dengan masing-masing pihak turut memberikan modal sesuai kesepakatan
bersama. Kedua, pemerintah daerah secara langsung bekerjasama dengan pihak
swasta, membentuk perusahan baru dengan modal yang disepakati. Kedua model
ini diperkirakan dapat memicu pembangunan dan pengelolaan infrastruktur dasar
strategis di daerah yang diperkirakan dapat memberikan manfaat ekonomi dan
keuangan cukup signifikan bagi Sumsel di masa mendatang.
2. Aspek SDM
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1159
Perlu dilakukan berbagai perbaikan di sektor SDM berkaitan dengan sistem kerja
pegawai, sistem pembayaran kompensasi, dan juga pengembangan karir, hal ini
kaitannya dengan peningkatan kinerja pegawai yang menjadi acuan dari sisi
SDM dalam peningkatan kinerja BUMD.
3. Aspek Pemasaran
Pengembangan jaringan dan penguatan aspek pemasaran pada core business
harus terus dilakukan sehingga harus memiliki keunggulan perusahaan, kinerja
yang profesional akan sangat membantu perusahaan untuk terus berkembang.
BUMD sudah harus mempertimbangkan pentingnya segementasi perusahaan
dan bagaimana marketing mix (4 P) yang diterapkan oleh perusahaan yang
memiliki kinerja yang baik. Untuk itu sebaiknya BUMD memiliki rencana strategis
berdasarkan analisis SWOT perusahaannya.
4. Aspek Keuangan
Keuangan perusahaan daerah harus dikelola dengan baik. Cash ratio, growth,
firm size, DTA, dan DER yang menjadi acuan penilaian kinerja keuangan
perusahaan menunjukkan angka yang belum stabil. Untuk itu, perlu dilakukan
perbaikan-perbaikan khususnya pada pengelolaan kas dan piutang, serta
penetapan target dividen agar menjadi pemicu kinerja perusahaan.
REFERENSI
BPS SumSel, Sumatera Selatan dalam Angka 5 tahun terakhir.
BPS Palembang, Palembang dalam Angka 5 tahun terakhir.
Handoko, T. Hani, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia,
BPFE, Yogyakarta.
Kosasih, T.S, 1988, Manajemen Pemerintahan dalam Sistem dan Struktur
Administrasi Negara Baru, Idola Remaja, Doa Ibu, Bandung.
Ravianto, J., dkk, 1988, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi AKsara,
Jakarta.
Ross, Steven A, dkk, 2008. Modern Corporate Finance, Prentice Hall,
Singapore.
Sugiono, 1999. Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.
Kotler, Phillip, Principle of Marketing, 2005, Thomson Publishing, New York.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1160
Siregar, Sylvia Veronica N.P. dan Utama Siddharta, (2005), Pengaruh
Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate
Governance Terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management)
Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI, 2005
Siswanto, H.B. 2006. Pengantar Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1161
Efisiensi Pemasaran Bahan Olah Karet Rakyat (Bokar) di Wilayah Eks-PIRBUN PTPN XIII Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
Lina Fatayati Syarifa, Sinung Hendratno dan Dwi Shinta Agustina
Staf Peneliti di Balai Penelitian Sembawa, PO. BOX 1127 Palembang
ABSTRAK
Di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat umumnya pemasaran karet dilakukan secara tradisional melalui tengkulak. Penelitian dilakukan untuk melihat keragaan dan efisiensi pemasaran karet di Kab. Sintang Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan secara survei terhadap petani yang lokasinya dekat dengan pabrik dan jauh dari pabrik, dengan menelusuri rantai pemasaran karet yang dimulai dari prosesor/eksportir, dilanjutkan ke pedagang dan ke petani sebagai produsen. Dari hasil survei bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 64% dan 62%. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang pendek masing-masing 71% dan 69%. Sementara total marjin pemasaran di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing sebesar Rp 8.126,/kg dan Rp 8.576,-/kg. Sedangkan total marjin pemsaran di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang pendek masing-masing sebesar Rp 6.519,-/kg dan Rp 7.031,-/kg. Hal ini merupakan indikasi bahwa semakin pendek rantai pemasaran karet akan lebih efisien. Karena itu untuk memperoleh bagian harga yang lebih baik di tingkat petani, disarankan agar petani berkelompok memasarkan bokarnya langsung ke pabrik.
Kata kunci : Pemasaran tradisional, rantai pemasaran, fob, marjin pemasaran
PENDAHULUAN
Sektor perkebunan, khususnya perkebunan karet merupakan salah satu
sektor yang banyak menopang hidup penduduk Indonesia. Kalimantan Barat
merupakan salah satu sentra perkebunan karet di Indonesia dengan total areal
389 ribu hektar. Dari total areal tersebut, areal perkebunan karet rakyat
mendominasi areal perkebunan karet di Kalimantan Barat yaitu seluas 380 ribu
hektar atau sekitar 97% dari total areal karet. Dengan begitu, perkebunan karet di
Kalimantan Barat merupakan salah satu industri yang bukan saja sebagai
penyedia devisa bagi negara tapi juga merupakan industri yang banyak menyerap
tenaga kerja dan menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 200 ribu KK atau
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1162
sekitar 800 ribu penduduk di Kalimantan Barat (Statistik Perkebunan Indonesia,
2009). Kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri karet tidak hanya
bertujuan untuk meningkatkan devisa bagi negara, tapi diarahkan sebagai upaya
peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan refleksi
dari produktivitas kebun dan mutu bahan olah karet yang dihasilkan serta aspek
pemasaran bokar yang menentukan pendapatan bersih yang diterima petani.
Pada awal program pengembangan perkebunan karet rakyat melalui pola
PIRBUN di Kalimantan Barat, khususnya di Kab. Sintang, telah dibentuk
kelembagaan pemasaran bokar yang formal antara lain kelompok tani, KUD, atau
kelompok usaha bersama dan kemitraan. Selain itu juga telah lama berkembang
di masyarakat sistem pemasaran tradisional melalui pedagang atau tengkulak.
Awalnya kelembagaan pemasaran formal mampu memberikan bagian harga yang
lebih tinggi dibandingkan pemasaran tradisional (Nancy, 1988; Hendratno, 1986;
Hendratno, 1996). Namun lama kelamaan kelembagaan tersebut memperlihatkan
keragaan yang kurang menggembirakan. Petani kembali cenderung memilih
pemasaran tradisional. Saat ini, umumnya petani karet di Kalimantan Barat,
khususnya Kab. Sintang memasarkan bokarnya secara tradisional melalui
tengkulak dan tidak lagi ditemukan pola pemasaran bokar secara
formal/terorganisir. Karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui keragaan
pemasaran bokar serta pendapatan atau bagian harga yang diterima petani karet
yang memilih sistem pemasaran tradisional tersebut. Makalah ini akan mengkaji
keragaan dan efisiensi pemasaran bahan olah karet (bokar) secara tradisional
yang akan menentukan bagian bersih yang diterima petani di Kab. Sintang.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan secara survey pada bulan Nopember 2010 di lokasi eks
PIRBUN Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Data diperoleh melalui
wawancara langsung dengan petani karet, pedagang, prosesor/eksportir yang
terpilih menjadi responden. Penarikan contoh dilakukan dengan menelusuri rantai
pemasarannya yang dimulai dari prosesor/eksportir yang dipilih secara sengaja.
Kemudian secara acak dipilih pedagang yang menjual ke prosesor tersebut.
Selanjutnya penarikan contoh petani responden dilakukan secara acak di masing-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1163
masing lokasi pemasaran yaitu lokasi pemasaran yang dekat (< 70 km)
dari pabrik karet remah dan lokasi pemasaran yang jauh dari pabrik (>70 km).
Masing-masing kelompok lokasi diambil sampel sebanyak 30 responden.
Survei dilakukan pada desa-desa yang terletak pada lokasi yang dekat dan
lokasi yang jauh dari pabrik karet remah. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan petani di desa yang lokasinya dekat dengan pabrik yaitu desa
Taok dan desa Terusan di Kec. Dedai dan petani di desa yang lokasinya jauh
dengan pabrik yaitu desa Lundang Jaya, dan desa Bayah Betung, Kec. Sei
Tebelian. Efisiensi pemasaran dapat didekati dengan pengukuran marjin
pemasaran. Kinerja kelembagaan pemasaran bokar dapat diukur dengan marjin
pemasaran (Hendratno, 1986; Nancy, 1988). Marjin pemasaran adalah
perbedaan harga di tingkat produsen (harga beli) dengan harga di tingkat
konsumen (harga jual).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengolahan Bokar
Harga karet kering di tingkat pabrik berbeda-beda untuk setiap jenis mutu
bokar. Untuk sleb yang baik biasanya diberikan harga yang tinggi, sedangkan
untuk sleb bermutu rendah dikenakan penalti atau potongan, sehingga harganya
lebih murah. Penyusutan akibat pengangkutan dari kebun ke pedagang tidak
tercatat, karena petani tidak pernah menimbang bokarnya di kebun. Mutu bokar
yang dihasilkan erat kaitannya dengan teknologi pengolahan yang dilakukan oleh
petani (Tabel 1).
Umumnya petani yang lokasinya dekat dengan pabrik (91.7%) maupun yang
jauh dari pabrik (83.8%) menghasilkan lump mangkok yang kotor dan bermutu
rendah karena sebagian besar direndam yaitu 56.1% di desa dekat pabrik dan
76.7% di desa jauh dari pabrik. Semua petani responden tidak menggunakan
pembeku untuk membekukan bokarnya. Bokar yang dihasilkan petani dibekukan
secara alami.
Umumnya bokar di Propinsi Kalimantan Barat tidak saja dibedakan
berdasarkan usia simpan (KKK) tetapi juga dibedakan berdasarkan tingkat
kebersihan bokar (mutu A dan mutu B). Mutu A adalah jenis bokar yang bersih
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1164
(tanpa campuran) sedangkan mutu B adalah jenis bokar yang terdapat campuran
(Gambar 1). Namun sebagian besar bokar yang dihasilkan oleh petani adalah
mutu B atau campuran.
Tabel 1. Teknologi Pengolahan Bokar di Petani
Desa Pembeku Tempat
pembekuan (%) Kualitas bokar
(%) Penyimpanan
bokar (%)
Kotak kayu Mangkok Bersih Kotor Direndam kebun
Desa dekat Taok Alami 0 100 0 100 55 45 Terusan Alami 0 100 25 75 53.3 46.7 Rata-rata 0 100 8.3 91.7 56.1 43.9
Desa jauh Lundang Jaya
Alami 0 100 12.5 87.5 100 0
Bayah Betung
Alami 0 100 20 80 53.3 46.7
Rata-rata 0 100 16.3 83.8 76.7 23.4
Gambar 1. Jenis bahan olah karet mutu B (kiri) dan jenis bahan olah karet mutu A (kanan)
B. Pemasaran Bokar
Sementara pemasaran bokar yang dihasilkan petani di Kab. Sintang yang
memasarkan bokarnya secara tradisional, didominasi oleh pedagang perantara,
tidak ada petani atau kelompok tani yang langsung menjual ke pabrik. Hal ini
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1165
disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimilikinya seperti; lokasi yang
terpencil, kurangnya sarana dan prasarana angkutan serta rendahnya
pengetahuan petani. Secara umum saluran pemasaran bokar secara tradisional
melalui pedagang perantara di Kab. Sintang dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Saluran Pemasaran Bokar di Kab. Sintang
Tabel 2. Biaya pemasaran di tingkat petani
Desa Biaya Pemasaran (Rp/kg) Total
Sewa gudang
Pikul muat
Transport
Klp tani
Retribusi (Rp/kg)
Desa dekat Taok 0 0 184.4 0 0 184.4 Terusan 0 0 136.7 0 0 136.7 Rata-rata 0 20 252.4 0 0 252.4 Desa jauh Lundang Jaya 0 0 110 0 0 110 Baya Betung 0 0 184.4 0 0 184.4 Rata-rata 0.0 0.0 202 0.0 0.0 202
Rata-rata volume bokar setiap kali penjualan yang dilakukan oleh para
pedagang besar yang dijadikan sample adalah sebesar 15-20 ton, baik pada saat
musim hujan maupun pada saat musim kemarau. Pedagang besar berusaha
mempertahankan pasokan bokar ke pabrik tetap stabil meskipun pada saat musim
hujan maupun saat musim kemarau. Harga penjualan dari pedagang besar ke
pabrik bervariasi antara Rp 8.500,- - Rp 9.500,-. Rata-rata volume bokar per
penjualan di tingkat pedagang kecil adalah 4 ton. Bokar di tingkat pedagang besar
dan pedagang kecil rata-rata direndam selama 1-2 minggu sebelum dijual. Harga
Petani Pedagang
kecil/desa
Prosesor Eksportir Pedagang
Besar
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1166
pembelian bokar dari pedagang besar di tingkat pedagang kecil berkisar antara
Rp 7.400,- sampai Rp. 8.000,-. Sedangkan harga pembelian bokar dari pedagang
kecil di tingkat petani di masing-masing desa juga bervariasi bergantung pada
tingkat KKK dan kebersihan bokar. Harga pembelian bokar dari pedagang kecil di
tingkat petani adalah Rp 6.500,- 7.500,- per kg
Setiap pedagang umumnya membeli bokar dari 20-40 petani. Pedagang
umumnya ada yang mengambil bokar langsung di rumah petani, dan ada juga
yang menunggu petani mengantar bokar ke rumahnya. Untuk melakukan kegiatan
pembelian bokar tersebut, pedagang memiliki beberapa fasilitas seperti truk
dengan kapasitas 4 – 5 ton dan timbangan. Penjualan sleb oleh petani kepada
pedagang masih dilakukan atas dasar penimbangan berat basah, penentuan KKK
dilakukan berdasarkan perkiraan pedagang. Hal ini mengakibatkan tingginya
resiko karena banyak faktor yang sulit diduga seperti kadar air dan kotoran. Mutu
bokar yang rendah tidak hanya disebabkan oleh tingginya kadar air, tetapi juga
karena tingginya kadar kotoran. Untuk mengatasi resiko tersebut pedagang
biasanya menekan harga di tingkat petani. Penentuan harga oleh pedagang tidak
semata-mata berdasarkan umur simpan bokar, tapi lebih dilihat dari kebersihan
bokarnya. Kadang-kadang ada bokar yang disimpan selama sebulan pun
harganya sama saja dengan harga seminggu. Namun saat ini karena tingginya
persaingan antara pedagang karet, pedagang tidak bisa terlalu banyak menekan
harga. Selain itu dikarenakan tingginya tingkat teknologi komunikasi saat ini,
informasi harga sangat mudah diperoleh pedagang langsung dari pabrik.
C. Efisiensi Pemasaran
Pengukuran efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan menggunakan
marjin pemasaran. Marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan
keuntungan lembaga pemasaran. Dalam laporan ini akan diuraikan marjin
pemasaran mulai dari tingkat produsen yaitu petani karet sampai tingkat eksportir.
Biaya pemasaran meliputi biaya transportasi, biaya sortir, bongkar muat dan
pungutan-pungutan, biaya penyusutan dan biaya pengolahan. Sedangkan
keuntungan lembaga pemasaran terdiri dari keuntungan yang diperoleh pedagang
dan prosesor/eksportir.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1167
Ongkos angkut per kg bokar bervariasi dan tidak stabil setiap per penjualan,
karena ditentukan oleh biaya sewa mobil dan kapasitas angkut mobil tersebut.
Biaya sewa mobil dibedakan berdasarkan jarak angkut dan muatan angkut mobil
tersebut. Bila jarak angkut, semakin jauh, maka ongkos angkutnya menjadi mahal.
Selain itu bila muatan truk kurang dari kapasitas angkut bokar, maka ongkos per
kg bokar menjadi mahal. Bila muatan melebihi kapasitas angkut, akan diperoleh
persentase susut yang tinggi karena pengaruh tekanan/beban yang berlebihan.
Penyusutan terjadi karena berkurangnya kandungan air dalam bokar akibat
proses pengeringan yang disebabkan oleh tekanan atau penyimpanan.
Sedangkan kandungan karetnya sendiri tidak berubah. Akibatnya apabila terjadi
penyusutan, maka KKK akan meningkat. Penyusutan akan semakin tinggi dengan
semakin tingginya kadar air bokar. Biaya pemasaran dari rumah
pedagang/tempat pembelian bokar ke pabrik dan biaya penyusutan pada waktu
pengangkutan ditanggung oleh pedagang. Persentase penyusutan yang tidak
menentu dan penentuan KKK secara visual oleh pedagang, menyebabkan
berfluktuasinya marjin keuntungan yang diterima pedagang, dimana pedagang
adakalanya beruntung dan adakalanya merugi. Penjualan bokar yang dilakukan
pedagang di pabrik diperhitungkan atas dasar taksiran KKK dan harga 100% sleb
yang telah ditentukan oleh prosesor. Harga 100% sleb atau harga karet kering
adalah harga FOB SIR 20 setelah dikurangi biaya pengolahan pabrik, biaya
pemasaran prosesor/eksportir dan keuntungan prosesor. Sementara harga FOB
SIR 20 ditentukan berdasarkan harga yang terjadi di pasar internasional, setelah
dikurangi uang ongkos angkut, jasa angkutan laut, asuransi serta biaya-biaya
lainnya. Selanjutnya di tingkat pabrik pengolah, sleb mengalami proses
pengolahan, lalu dihasilkan produk SIR 20.
Yang dimaksud biaya pemasaran tingkat eksportir meliputi bunga bank, biaya
pengangkutan pabrik-pelabuhan, biaya L/C, komisi bank, biaya administrasi, iuran
Gapkindo dan sebagainya. Secara terperinci penyebaran bagian harga fob dan
marjin pemasaran berdasarkan lokasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Dari Tabel 3. terlihat bahwa, pada tingkat petani yang berlokasi di desa yang
jaraknya dekat yaitu desa Taok dan desa Terusan, memilih dua rantai pemasaran
yang berbeda. Petani di desa Taok memilih rantai pemasaran yang panjang, yaitu
petani – pedagang kecil/desa – pedagang besar – pabrik. Sedangkan petani di
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1168
desa Terusan memilih rantai pemasaran yang pendek yaitu: petani – pedagang
besar – pabrik. Dari hasil analisis, bagian harga fob di tingkat petani di desa Taok
yang memilih rantai pemasaran yang pendek sebesar 64% dengan marjin
pemasaran sebesar Rp 8.126,-/kg. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani
yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 71% dengan marjin
pemasaran sebesar Rp 6.519,-/kg. Sementara pada tingkat petani yang berlokasi
di desa yang jaraknya jauh dari pabrik yaitu desa Lundang Jaya dan desa Bayah
Betung, juga memilih dua rantai pemasaran yang berbeda. Dari hasil analisis,
bagian harga fob di tingkat petani di desa Lundang Jaya yang memilih rantai
pemasaran yang pendek sebesar 69% dengan marjin pemasaran sebesar Rp
7.031,-/kg. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani di desa Bayah Betung
yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing 62% dengan marjin
pemasaran sebesar Rp 8.576,-/kg.
Hasil analisis tersebut menunjukkan indikasi bahwa semakin pendek rantai
pemasaran karet dan semakin dekat jarak lokasi ke pabrik, pemasaran akan lebih
efisien. Jika dikaji rincian data pada Tabel 3. terdapat komponen biaya yang bisa
diefisienkan yaitu biaya pemasaran (yang terdiri dari biaya penyusutan dan
transport) dan biaya jasa lembaga/pedagang. Semakin tinggi KKK bokar yang
dihasilkan maka biaya penyusutan dan transport juga akan semakin kecil.
Semakin pendek rantai pemasarannya maka biaya untuk jasa lembaga/ pedagang
juga akan bisa dikurangi. Oleh karena itu untuk memperoleh bagian harga yang
lebih baik di tingkat petani, disarankan agar petani memperbaiki kualitas bokarnya
serta memperpendek rantai pemasarannya. Dalam upaya memperpendek rantai
pemasarannya, petani bisa membentuk kelompok pemasaran dan menjual
karetnya ke pabrik bersama-sama. Faktor-faktor penghambat yang selama ini
menyebabkan ketergantungan petani terhadap tengkulak perlu dicarikan solusinya
antara lain dengan mengembangkan usaha simpan pinjam untuk petani dari
lembaga ekonomi milik kelompok tani yang dapat menghimpun bantuan dana dari
program CSR, pihak lembaga swasta atau pemerintah. Dengan pinjaman dari
kelompok tani tersebut, petani dapat memperoleh uang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sebelum bokar terjual. Melalui cara ini, diharapkan perlahan-
lahan petani bisa melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap tengkulak.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1169
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai pemasaran yang
panjang yaitu desa Taok dan desa Bayah Betung masing-masing 64% dan
62%. Sedangkan bagian harga fob di tingkat petani yang memilih rantai
pemasaran yang pendek yaitu desa Terusan dan desa Lundang Jaya masing-
masing 71% dan 69 %. Sementara total marjin pemasaran di tingkat petani
yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing sebesar Rp
8.126,-/kg dan Rp 8.756,-/kg. Sedangkan total marjin pemasaran di tingkat
petani yang memilih rantai pemasaran yang panjang masing-masing sebesar
Rp 6.519,-/kg dan Rp 7.031,-/kg. Hal ini merupakan indikasi bahwa semakin
pendek rantai pemasaran karet akan lebih efisien.
2. Dari kesimpulan diatas, untuk memperoleh bagian harga dan pendapatan
yang lebih baik disarankan agar petani membentuk suatu kelompok
pemasaran bersama dan kemudian menjual karetnya secara bersama ke
pabrik. Hal ini selain dapat memperpendek rantai pemasaran juga dapat
meningkatkan posisi tawar petani di tingkat pabrik. Upaya tersebut juga harus
didukung oleh komitmen kelompok yang berkesinambungan untuk
menghasilkan karet yang berkualitas dengan kadar karet kering (KKK) yang
tinggi, yang dihasilkan dengan pembeku lateks yang dianjurkan, berukuran
seragam, bersih dari kotoran dan tidak direndam.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1170
Tabel 3. Bagian harga FOB dan marjin pemasaran bokar di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
Uraian Desa Dekat Pabrik Desa Jauh dari Pabrik
Taok Terusan Lundang Jaya Baya Betung
Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg) Harga (Rp/Kg)
KKK KKK %
FOB KKK KKK %
FOB KKK KKK %
FOB KKK KKK %
FOB
48% 100% 47% 100% 47% 100% 45% 100%
Biaya pengolahan (beku) - - - - - - - - - - - -
Biaya pemasaran 184.4 384.2 1.7 136.7 290.9 1.3 110.0 234.0 1.0 184.4 409.8 1.8
Harga Tk. Petani 6,936.0 14,450.0 64.0 7,547.0 16,057.4 71.1 7,306.0 15,544.7 68.9 6,300.0 14,000.0 62.0
Biaya Pemasaran 400.0 833.3 3.7 - - - - - - 500.0 1,111.1 4.9
Keuntungan Pedagang 564.0 1,175.0 5.2 - - - - - - 400.0 888.9 3.9
Harga Tk. Pedagang kecil 7,800.0 16,250.0 72.0 - - - - - - 7,200.0 16,000.0 70.9
Biaya Pemasaran 1,000.0 2,083.3 9.2 979.9 2,084.9 9.2 1,144.0 2,434.0 10.8 1,000.0 2,222.2 9.8
Keuntungan Pedagang 500.0 1,041.7 4.6 573.1 1,219.4 5.4 650.0 1,383.0 6.1 500.0 1,111.1 4.9
Harga Tk. Pedagang besar 9,300.0 19,375.0 85.8 9,100.0 19,361.7 85.8 9,100.0 19,361.7 85.8 8,700.0 19,333.3 85.6
Biaya pengolahan 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1 1,602.0 7.1
(Biaya pemasaran
keuntungan Prosesor) - 1,598.9 7.1 - 1,612.2 7.1 - 1,612.2 7.1 - 1,640.6 7.3
Harga Tk. Exportir - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0 - 22,575.9 100.0
Marjin Pemasaran 8,125.9 6,518.5 7,031.2 8,575.9
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1171
DAFTAR PUSTAKA
Haris, U. A, Anwar. I, Gonarsyah dan B, Juanda. 1998. Analisis Ekonomi
Kelembagaan Tataniaga Bahan Olah Karet Rakyat. Jurnal Penelitian Karet. 16 (1-3): 35-58.
Hendratno, S. 1986. Analisis Organisasi Pemasaran Primer Karet Rakyat.
Laporan Penelitian, 1 (2 dan 3), 5-11. Nancy, C. 1988. Efisiensi Pemasaran Untuk Meningkatkan Daya Saing Karet
Alam Indonesia. Bulletin Perkebunan Rakyat, 4(2), 43-47 Statistik Perkebunan Indonesia. 2009. Karet 2008-2010. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Jakarta.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1172
RINTISAN USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG SEBAGAI ALTERNATIF
MENGURANGI AKTIVITAS PEMBAKARAN LAHAN DAN HUTAN
DI KABUPATEN OKI SUMATERA SELATAN
(Studi Kasus di Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tulung Selapan)
Jauhari Efendy1, Waluyo
2 dan Tumarlan Thamrin
2
1)
Loka Penelitian Sapi Potong, 2)
BPTP Sumatera Selatan
ABSTRAK
Selama ini masyarakat pedesaan yang tinggal di lahan agroekosistem lahan kering
dan lebak wilayah Sumatera Selatan sudah biasa melakukan aktivitas pembakaran lahan
dan hutan untuk membuka lahan baru walaupun dengan resiko cukup tinggi. South
Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) yang merupakan salah satu lembaga
bidang pelestarian lahan dan hutan merasa bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian
alam khususnya hutan melalui program pemberdayaan masyarakat (community
development) dalam bentuk usaha penggemukan sapi potong skala usaha 8 ekor (sistem
kereman) dengan lama penggemukan 5 bulan. Sapi bakalan yang digunakan adalah sapi
Bali jantan berumur ± 1,5 tahun dengan bobot badan awal 206,34 ± 3,44 kg. Pakan yang
digunakan terdiri atas rumput (rumput alam + rumput kumpai) dan legume (gamal,
lamtoro dan turi) ditambah dedak padi sebanyak 3 kg per ekor per hari. PBBH yang
dicapai sebesar 0,41 ± 0,072 kg. Berdasarkan analisis ekonomi, kegiatan penggemukan
sapi potong ini mampu menambah pendapatan keluarga sebesar 20% atau dengan nilai R/C
= 1,2. Walaupun secara ekonomis tidak terlalu besar, namun petani berkeinginan untuk
mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di masa yang akan datang karena
kegiatan ini tidak mengganggu pekerjaan pokok sebagai petani.
Kata kunci : penggemukan sapi potong, pemberdayaan masyarakat, sumberdaya lokal
PENDAHULUAN
Meningkatnya jumlah pengangguran dan menurunnya pendapatan riil dapat
memicu masyarakat untuk mencari sumber penghasilan baru dengan cara yang mudah dan
murah. Sebagai contoh, setiap musim kemarau tiba banyak masyarakat pedesaan yang
tinggal di lahan rawa lebak membuka hutan dengan cara menebang dan membakar untuk
kemudian ditanami padi sonor (Anne, 1999). Namun di sisi lain, apabila praktek
pembukaan lahan tersebut dibiarkan maka dalam jangka panjang dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan maupun hutan itu sendiri.
Salah satu upaya mengurangi praktek perladangan berpindah adalah dengan
menciptakan kegiatan yang dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat
pedesaan. Namun demikian, melihat kemampuan sumberdaya modal masyarakat yang
masih rendah maka strategi pendekatannya dapat dilakukan melalui pengembangan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1173
kemampuan permodalan dengan memberikan stimulus berupa bantuan bergulir dimana
dalam implementasinya berdasarkan tujuh prinsip pembinaan yaitu pendekatan kelompok,
keserasian, kepemimpinan, kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja serta pendekatan
keluarga (Lestari, 1998).
Berdasarkan potensi dan sumberdaya (manusia dan alam) yang tersedia serta
keadaan ekonomi masyarakatnya, maka usaha penggemukan sapi potong dapat menjadi
solusi untuk menciptakan kegiatan baru serta memiliki prospek pasar yang baik. Hal ini
karena usaha tersebut tidak memerlukan waktu yang lama (4-6 bulan) sehingga perputaran
modal cepat berkembang dan pengelola (petani/peternak) dapat segera menikmati hasilnya
serta tidak banyak menyita waktu petani.
Secara umum pengkajian ini bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan sebagai
sumber pendapatan baru bagi masyarakat pedesaan serta meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan melakukan usaha penggemukan sapi yang prospektif dan berwawasan
lingkungan. Adapun keluaran yang diharapkan adalah tumbuh dan berkembangnya usaha
penggemukan sapi potong menggunakan pakan lokal serta memanfaatkan kotoran sapi
sebagai pupuk organik.
METODOLOGI
Pendekatan
Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif dimana petani dilibatkan
sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai akhir kegiatan. Metode statistik yang
digunakan adalah deskriptif analisis, dimana data hasil kegiatan ditabulasi dan diolah untuk
mendapatkan nilai rata-ratanya.
Lokasi Kegiatan
Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tulung Selapan
Kabupaten OKI Sumatera Selatan. Jadwal pelaksanaan dari bulan Maret-Desember 2007.
Materi dan Bahan yang Digunakan serta Skala Kegiatan
Kegiatan ini menggunakan 8 ekor sapi Bali jantan sebagai bakalan, satu unit
kandang kelompok serta satu paket peralatan kandang. Bahan yang digunakan terdiri atas
satu paket pakan konsentrat (dedak padi), satu paket obat-obatan (obat cacing) serta 100
bibit tanaman gamal (Glyricidia maculata). Materi dan bahan tersebut berasal dari bantuan
South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP).
Untuk mempermudah manajemen dan pengawasan maka kegiatan ini dikelola oleh
Kelompok Tani-Ternak Maju Jaya yang beranggota 16 orang dengan sistem bergulir.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1174
Mekanisme pergulirannya ditetapkan sebagai berikut, 8 anggota mendapatkan bantuan sapi
potong terlebih dahulu yang dipilih secara acak. Kemudian 8 anggota lainnya mendapatkan
sapi potong bakalan pada periode pemeliharaan berikutnya setelah sapi-sapi potong
tersebut dijual. Pembagian serta besarnya keuntungan didasarkan pada kesepakatan yang
sudah ditetapkan secara musyawarah oleh kelompok tani-ternak.
Teknologi yang Diterapkan
No. Paket teknologi** Uraian/jenis teknologi Keterangan
1. Sistem
pemeliharaan
Intensif (kereman) -
2. Sistem
perkandangan
Kandang kelompok (komunal). Luas
kandang 12 m2 atau (1,5 x 2) m
2 per
ekor.
-
3. Bangsa sapi
bakalan
Sapi Bali jantan, umur antara 1,5-2
tahun.
-
4. Manajemen pakan* Rumput alam :
Jumlah pemberian 15% dari bobot
badan per ekor per hari.
Pakan tambahan (dedak padi) :
Jumlah pemberian 3 kg per ekor per
hari
Rumput dan dedak
padi diberikan 2 kali
sehari, pagi dan sore
hari.
5. Air minum Ad-libitum -
6. Obat-obatan Obat cacing Verm-O Obat cacing
diberikan satu
minggu setelah sapi
tiba di lokasi. Dosis
pemberian 1 tablet
per ekor.
7. Penanaman HPT Gamal (Glyricidia maculata) Ditanam di sekitar
kandang sebagai
pagar/pelindung
serta pakan ternak
sapi.
* : target produksi pertambahan bobot badan harian (PBBH) 0,5 kg per ekor per
hari
** : masa pemeliharaan 5 bulan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya Alam
Desa Ujung Tanjung merupakan wilayah pedesaan dengan bentangan alam berupa
lahan kering, hutan bekas penebangan serta lahan rawa lebak. Lahan kering maupun rawa
lebak memiliki areal yang cukup luas dimana sebagian besar diantaranya (terutama lahan
rawa lebak) belum dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1175
Potensi sumberdaya pakan di Desa Ujung Tanjung dan sekitarnya berupa rumput
alam dengan berbagai jenis baik yang tumbuh di daratan maupun perairan/lebak. Pada
umumnya rumput yang tumbuh daratan terdiri atas rumput teki, rumput paitan dan rumput
bento (Leersia hexandra). Sedangkan khusus di daerah lebak didominasi oleh rumput
kumpai yang terdiri atas tiga jenis, yaitu kumpai tembaga, kumpai padi dan kumpai
minyak. Namun dari ketiga jenis kumpai tersebut yang terbanyak adalah kumpai padi dan
tembaga. Selama ini rumput kumpai tersebut sudah biasa dikonsumsi ternak kerbau yang
memang sudah menjadikan lahan rawa lebak sebagai areal penggembalaannya.
Selain berbagai rumput alam, sumber pakan lainnya yang memiliki potensi cukup
besar adalah tanaman legume. Sebagaimana rumput, tanaman legume juga tumbuh secara
liar dan tidak beraturan di berbagai tempat seperti sekitar areal perkebunan karet, pinggir
jalan desa, lahan tegalan serta pekarangan rumah penduduk. Beberapa jenis legume yang
banyak terdapat di Desa Ujung Tanjung antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala),
gamal (Glyricidia maculata) dan turi (Sesbania glandiflora). Selama ini keberadaan
berbagai tanaman legume tersebut luput dari perhatian masyarakat sehingga banyak
diantaranya yang ditebang/dibuang terutama yang tumbuh di sekitar rumah-rumah
penduduk karena dianggap sebagai tanaman tidak produktif.
Implementasi Teknologi Penggemukan Sapi Potong
Bagi sebagian besar masyarakat di Desa Ujung Tanjung, usaha penggemukan sapi
potong merupakan aktivitas yang relatif baru. Selama ini aktivitas keseharian penduduk
setempat terfokus pada usaha pertanian tanaman pangan (padi gogo + padi sonor) dan
perkebunan karet yang umumnya sebagai petani penggaduh/penggarap. Disamping itu,
terdapat juga aktivitas sambilan yang dilakukan sebagian masyarakat yaitu mencari kayu
bakar di bekas areal penebangan hutan. Dengan melihat kondisi masyarakat tersebut, maka
rintisan kegiatan penggemukan sapi potong membutuhkan bimbingan dan pendampingan
yang cukup intensif, mulai dari tahap perencanaan usaha, pemilihan sapi bakalan,
pembuatan kandang, pemberian pakan, manajemen pemeliharaan sampai pemasaran.
Sapi bakalan
Dalam usaha penggemukan sapi potong, pemilihan sapi bakalan merupakan faktor
yang sangat menentukan keberhasilan usaha. Secara teknis, pemilihan sapi bakalan
diarahkan pada beberapa faktor, yaitu ketersediaan bibit di pasaran, harga sapi bakalan,
potensi pakan lokal serta preferensi petani maupun konsumen. Berkaitan dengan berbagai
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1176
pertimbangan di atas, maka bibit/bakalan sapi potong yang dipilih adalah sapi Bali jantan
berumur sekitar 1,5 tahun dengan bobot badan awal kegiatan sebesar 206,34 ± 3,44 kg.
Pemilihan sapi Bali sebagai bakalan sapi potong, disamping atas dasar
pertimbangan di atas juga karena memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap kondisi
lingkungan serta produktivitasnya cukup tinggi. Banyak laporan dari beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki sifat-sifat dan kemampuan produksi
yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator seleksi. Beberapa
indikator sifat-sifat produksi yang dapat dilihat diantaranya bobot dewasa, laju
pertambahan bobot badan serta persentase dan kualitas karkas (Pane, 1991).
Manajemen Pakan dan Performans PBBH
Dalam usaha penggemukan sapi potong, komponen pakan merupakan biaya
terbesar setelah pembelian bibit/bakalan. Pemberian pakan ad-libitum adalah tindakan
pemborosan disamping menguras tenaga kerja, sebaliknya pemberian pakan sesuai
kebutuhan nutrisi ternak merupakan langkah tepat dan bijaksana mengingat sumberdaya
pakan di alam tersedia dalam jumlah terbatas.
Pakan yang diberikan terdiri dari dua jenis, yaitu hijauan (rumput alam + legume)
dan konsentrat (dedak padi). Jumlah pemberian hijauan sebanyak 15% dari bobot badan
per ekor per hari, sedangkan dedak padi sebanyak 3 kg per ekor per hari dengan frekuensi
pemberian 2 kali sehari pagi dan sore hari.
Untuk meningkatkan efisiensi dan kecernaan ransum, pemberian konsentrat
dilakukan dua jam sebelum hijauan. Pemberian hijauan yang hampir bersamaan dengan
konsentrat akan berakibat pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik
ransum. Hal ini karena mikroorganisme dalam rumen mempunyai preferensi untuk
mencerna konsentrat terlebih dahulu yang lebih banyak mengandung pati (Siregar, 2002).
Dari implementasi pemberian pakan tersebut diperoleh PBBH rata-rata 0,41 +
0,072 kg per ekor per hari (dari target 0,50 kg per ekor per hari). Berdasarkan beberapa
hasil penelitian sebelumnya, maka PBBH yang telah dicapai termasuk dalam kategori
cukup tinggi. Amril et al. (1990) melaporkan bahwa sapi Bali yang diberi pakan rumput
lapangan saja menghasilkan PBBH sebesar 0,177 kg per ekor per hari, sedangkan yang
diberi pakan rumput lapangan ditambah konsentrat menghasilkan PBBH sebesar 0,314 kg
per ekor per hari. Sementara itu, sapi Bali yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu
ditambah konsentrat 1% dari BB menghasilkan laju pertambahan bobot badan harian
sebesar 0,69-0,82 kg per ekor (Soemarmi et al., 1985). Tingginya PBBH yang dicapai
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1177
dalam pengkajian ini karena pakan yang diberikan cukup beragam, kuantitas sesuai
kebutuhan ternak serta memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi terutama pada
legume dan rumput kumpai (Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa hijauan pakan ternak
No
. Nama hijauan
Kandungan nutrisi (%)
PK SK LK Abu
1. Rumput lapang
2. Rumput kumpai padi (Hymenache interupta) 13,13 27,69 - 16,19
3. Rumput kumpai tembaga (Ischaenum
aristatum)
13,03 27,87 - 8,25
4. Daun gamal (Glyricidia maculata)
5. Daun lamtoro (Leucaena leucosephala)
6. Daun turi (Sesbania glandiflora)
Dengan kondisi saat ini dimana jumlah populasi sapi potong di Desa Ujung
Tanjung masih rendah yaitu ± 126 ekor (tahun 2007), masih memungkinkan bagi peternak
untuk dapat memberikan hijauan dengan berbagai jenis serta jumlah yang cukup. Namun
ke depan apabila populasi sapi potong maupun ternak ruminansia lainnya meningkat maka
tidak saja dibutuhkan hijauan yang cukup, tetapi juga dituntut kesadaran masyarakat bahwa
beberapa jenis hijauan yang ada di Desa Ujung Tanjung dan sekitarnya merupakan
sumberdaya alam yang potensial dalam usaha pengembangan ternak ruminansia khususnya
sapi. Hal ini perlu ditekankan agar penduduk setempat tidak lagi membuka lahan dengan
cara membakar supaya sumberdaya pakan tetap terjaga kelestariannya.
Sistem perkandangan
Dalam kegiatan usaha penggemukan sapi potong sistem kereman, kandang tidak
saja sebagai tempat berlindung tetapi sebagai salah satu faktor produksi. Artinya,
keberhasilan atau kegagalan dalam usaha penggemukan sapi potong ditentukan juga oleh
fungsi kandang.
Kandang menggunakan tipe individu kapasitas 8 ekor. Ukuran per ekor : panjang
2,0 meter dan lebar 1,0 meter. Perlengkapan kandang terdiri atas palungan (tempat pakan),
ember (tempat minum), tempat penampungan pakan (hijauan), kandang jepit/kandang
penimbangan ternak (berukuran 2 m x 0,75 m) serta selokan.
Bahan kandang terdiri atas kayu dan bambu serta bahan-bahan lain yang tersedia di
lokasi peternakan. Atap menggunakan bahan genting dengan model shade. Dinding
kandang dibuat semi terbuka agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan lancar. Lantai
kandang terbuat dari tanah yang dipadatkan dan pada bagian atas dilapisi semen dengan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1178
posisi miring ke belakang. Untuk memudahkan dalam membersihkan kotoran, peternak
dilengkapi berbagai macam peralatan diantaranya sepatu boot, sekop, lori dan cangkul.
Analisa Usahatani dan Respon Petani Kooperator (Peternak)
Total komponen biaya penggemukan sapi potong adalah sebesar 30.500.000,-,
terdiri atas 1) pembelian sapi bakalan, 2) penyusutan kandang, 3) pakan konsentrat (dedak
padi) dan 4) obat-obatan. Sedangkan total penerimaan sebesar Rp 35.500.000,- yang
berasal dari penjualan ternak sapi. Berdasarkan hasil analisa usahatani maka diperoleh
angka R/C sebesar 1,2. Artinya, kegiatan penggemukan sapi potong (skala usaha 8 ekor
dengan lama penggemukan 5 bulan) memberikan keuntungan sebanyak 20% dari modal
usahatani atau Rp 5.000.000,-. Secara ekonomis, besarnya keuntungan yang diterima setiap
peternak dalam satu periode pemeliharaan tidak terlalu besar, yaitu Rp 625.000,- (Rp
125.000,- per peternak per bulan). Namun demikian, peternak (petani kooperator)
memberikan respon positif terhadap kegiatan ini yang ditunjukkan dengan keinginannya
untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi potong di waktu mendatang.
Tumbuhnya minat dan keinginan peternak untuk mengembangkan usaha
penggemukan sapi potong karena dua alasan pokok. Pertama, aktivitas ini tidak banyak
menyita waktu dan tenaga, dimana dalam sehari hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 jam (1
jam membersihkan kandang, 2 jam mencari rumput). Dengan demikian, secara umum
usaha penggemukan sapi potong tidak mengganggu aktivitas pokok sebagai petani padi
maupun petani penggarap di perkebunan karet. Alasan kedua, walaupun keuntungan yang
diperoleh tidak terlalu besar, tetapi secara ekonomis dapat menambah pendapatan keluarga
± 20% per bulan dari total pendapatan yang berkisar antara Rp 600.000-750.000,-.
KESIMPULAN
Dengan melihat potensi sumberdaya (alam + manusia) yang tersedia di Desa Ujung
Tanjung maka usaha penggemukan sapi potong merupakan salah satu cabang usahatani
yang prospektif untuk dikembangkan. Sapi Bali yang digemukkan selama 5 bulan mampu
memberikan PBBH sebesar 0,41 + 0,072 kg dengan komposisi pakan hijauan (rumput dan
legume) sebanyak 15% dari bobot badan per ekor per hari dan konsentrat (dedak padi)
sebanyak 3 kg per ekor per hari.
Walaupun secara ekonomis sumbangannya terhadap pendapatan keluarga sebesar
Rp 125.000,- per bulan, namun petani merasa bahwa kegiatan usaha penggemukan sapi
potong cukup membantu ekonomi keluarga karena secara umum aktivitas ini tidak
mengganggu pekerjaan pokok sebagai petani.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1179
Dampak positif yang diharapkan dari kegiatan pengkajian ini disamping sebagai
upaya untuk pemberdayaan masyarakat (meningkatkan pengetahuan dan menambah
pendapatan keluarga) juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa hijauan yang
tumbuh di Desa Ujung Tanjung merupakan bahan lokal yang harus dijaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amril, M.A., S. Rasjid dan S. Hasan. 1990. Rumput Lapangan dan Jerami Padi Ammoniasi
Urea sebagai Sumber Hijauan dalam Penggemukan Sapi Bali Jantan dengan
Makanan Penguat. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali – Tanggal 20-22
September 1990. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
Anne, G. 1999. The Suistainable Development of Tree Crops and The Prevention of
Vegetation Fires in South Sumatera-Indonesia. European Union Ministry of
Forestry and Estate Crop. Forest Fire Prevention and Control Project. Palembang.
Lestari, B. 1998. Metode Penyuluhan Efektif untuk Pembentukan Kelompok Tani-Ternak
Mandiri. Prosiding Seminar Nasional Jilid II (hal 835-840). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Pane, I. 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali
Tanggal 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung
Pandang.
Siregar, S.B. 2002. Penggemukan Sapi – Cetakan ke-7. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soemarmi, A. Musofie dan N.K. Wardhani. 1985. Pengaruh Pemberian Wafer Pucuk Tebu
terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Bali Jantan. Prosiding Seminar
Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Lokakarya Nasional Sapi Potong
2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1180
TANAMAN SELA SEBAGAI TAMBAHAN PENDAPATAN BAGI PETANI KARET
(Studi Kasus di Desa Lubuk Bandung, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)
Dwi Shinta Agustina, L.F. Syarifa, C. Nancy, dan M.J. Rosyid
Balai Penelitian Sembawa, PO BOX 1127 Palembang 30001
ABSTRAK
Salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani karet rakyat adalah adanya komoditas pendukung yang diusahakan secara mix-cropping dengan tanaman karet. Tanaman nenas merupakan salah satu jenis tanaman sela yang dianjurkan ditanam di antara tanaman karet sebelum berumur tiga tahun. Salah satu desa di Provinsi Sumatera Selatan yang mengusahakan tanaman sela nenas sebagai sumber pendapatan tambahan adalah Desa Lubuk Bandung Kabupaten Ogan Ilir. Tulisan ini menampilkan gambaran usahatani karet dengan tanaman sela nenas yang dilakukan oleh petani karet rakyat di Desa Lubuk Bandung. Petani di Desa Lubuk Bandung merupakan petani proyek sehingga telah mempunyai minat dan motivasi yang kuat untuk menerapkan teknologi anjuran. Hal ini terlihat dari produksi tanaman karet yang cukup tinggi serta input yang diberikan pada tanaman karet dan tanaman sela sudah sesuai dengan anjuran. Tanaman sela yang umum diusahakan oleh petani meliputi padi dan nenas. Produksi yang diperoleh dari tanaman padi digunakan petani untuk memenuhi konsumsi keluarga sedangkan produksi nenas memberikan pendapatan sebesar Rp 12,2 juta. Rata-rata pendapatan usahatani di Desa Lubuk Bandung adalah Rp 21,2 juta per tahun.
Kata kunci : Hevea brasiliensis, usahatani karet, tanaman sela nenas
PENDAHULUAN
Provinsi Sumatera Selatan merupakan sentra perkebunan karet rakyat
terbesar di Indonesia. Luas areal karet Provinsi Sumatera Selatan pada tahun
2003 mencapai 928 ribu ha, terdiri dari 866 ribu ha perkebunan karet rakyat (93%
dari total luasan karet) dan sisanya merupakan perkebunan besar (Dinas
Perkebunan Provinsi Sumsel, 2006). Permasalahan umum yang dihadapi pada
perkebunan karet rakyat adalah rendahnya produktivitas perkebunan karet rakyat.
Hal ini disebabkan antara lain oleh : 1). Masih banyak petani yang menggunakan
bibit seedling sebagai bahan tanam, 2). Kurangnya pemeliharaan kebun sehingga
kondisinya lebih mirip ―hutan karet‖, 3). Masih luasnya areal kebun karet tua yang
perlu diremajakan, dan 4). Kerusakan bidang sadap akibat penyadapan yang
terlalu berat.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1181
Untuk mengoptimalkan usahatani karet, pengusahaan tanaman sela di
antara tanaman karet dapat menjadi salah satu alternatif teknologi bagi
perkebunan karet rakyat. Penanaman tanaman sela diantara tanaman karet
terutama pada masa tanaman karet belum menghasilkan dapat menambah
sumber pendapatan petani, meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan
intensitas pemeliharaan kebun (Rosyid, 2006).
Di Indonesia, sistem tumpang sari tanaman setahun maupun tanaman
tahunan dengan berbagai tanaman perkebunan juga merupakan salah satu
contoh yang baik, seperti tumpang sari tanaman pangan, vanili atau kakao di
antara kelapa (Darwis, 1988 dalam Rosyid dkk., 1992); cengkeh dengan kopi dan
vanili di Bali; tanaman pangan, buah-buahan, tanaman tahunan lainnya di antara
karet (Barlow dan Muharminto, 1982; Wibawa dkk., 1985; Rosyid dkk., 1987;
Gouyon dan Nancy, 1989; Rosyid dkk., 1993).
Petani karet di Sumatera Selatan baik petani proyek maupun non-proyek
telah melakukan diversifikasi usahataninya baik dengan tanaman palawija
maupun tanaman tahunan; seperti kopi, kakao, melinjo, duku, dan tanaman
lainnya yang dinilai menguntungkan (Rosyid dkk., 1992). Salah satu jenis tanaman
sela yang dianjurkan untuk ditanam di antara karet sebelum berumur tiga tahun
adalah tanaman nenas.
Pola usahatani karet dengan tanaman sela nenas telah dipraktekkan oleh
petani di Desa Lubuk Bandung Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
Tulisan ini menampilkan gambaran usahatani karet dengan tanaman sela nenas
yang dilakukan oleh petani karet rakyat di Desa Lubuk Bandung.
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DESA LUBUK BANDUNG
Sebagian besar petani di Desa Lubuk Bandung sudah menanam bibit karet
unggul, karena mereka pernah mengikuti proyek pembangunan demonstrasi plot
oleh Balai Penelitian Sembawa pada tahun 1994 dan proyek kehutanan pada tahun
2004. Pekerjaan pokok mereka adalah petani karet sehingga pendapatan utama
petani diperoleh dari hasil karet.
Rata-rata total pemilikan lahan petani adalah 2 ha, terdiri dari 1 ha lahan karet
belum menghasilkan (TBM) dan 1 ha lahan karet menghasilkan (TM). Pada lahan
karet TBM mayoritas petani sudah menanam bibit karet okulasi sedangkan pada
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1182
lahan karet TM yang umurnya antara 6 – 16 tahun, jenis bibit yang ditanam petani
masih beragam yaitu seedling, okulasi dan bibit campuran.
KARAKTERISTIK USAHATANI KARET DI DESA LUBUK BANDUNG
Usahatani karet di Desa Lubuk Bandung telah menerapkan teknis budidaya
karet sesuai dengan rekomendasi. Sebagai sumber pendapatan selain karet
terutama pada masa tiga tahun tanaman belum menghasilkan, petani di Desa Lubuk
Bandung menanam tanaman sela di antara tanaman karet. Teknologi tanaman sela
yang dilaksanakan oleh petani pada umumnya sesuai dengan rekomendasi. Hal ini
karena pada saat pelaksanaan proyek pembangunan demonstrasi plot oleh Balai
Penelitian Sembawa pada tahun 1994, petani sudah mendapatkan pengetahuan
mengenai teknis budidaya karet dengan tanaman sela.
Pada tiga tahun pertama masa tanaman karet belum menghasilkan, petani
menanam tanaman sela di antara karet berupa padi dan nenas. Setelah pembukaan
lahan, petani langsung menanami lahan mereka dengan nenas. Kegiatan ini
berlangsung pada bulan September. Kemudian pada bulan Oktober, petani mulai
menanam padi dan dilanjutkan dengan penanaman karet pada bulan November.
Pemilihan jenis tanaman sela perlu mempertimbangkan faktor sosial ekonomi
petani, peluang pasar disamping faktor agronomis dan ketahanan terhadap
naungan. Selain itu, faktor persaingan antara tanaman sela dengan tanaman karet
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jenis tanaman sela.
Persaingan antara karet dengan tanaman sela tertentu akan dapat terjadi
secepatnya setelah tahun pertama (Wibawa dkk., 1999). Untuk menghindari
persaingan antara tanaman sela dan tanaman karet, perlu dilakukan pengaturan
jarak tanam. Balai Penelitian Sembawa (2003) menganjurkan jarak tanaman sela
terdekat dengan tanaman karet untuk tanaman nenas adalah 100 cm. Keragaan
pertumbuhan tanaman karet dengan tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung
ditampilkan pada Gambar 1.
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1183
Gambar 1. Keragaan Pertumbuhan Tanaman Karet dengan Tanaman Sela Nenas di Desa Lubuk Bandung, Kabupaten Ogan Ilir
Dari Gambar 1 terlihat bahwa petani telah terlebih dahulu menanam nenas
sebelum menanam karet. Penanaman tanaman sela nenas diberi jarak dengan
tanaman karet sehingga tidak terjadi persaingan dalam pertumbuhan masing-
masing tanaman. Usahatani karet dengan tanaman sela nenas pada umumnya
dilakukan sampai dengan tanaman karet berumur tiga tahun.
PENDAPATAN USAHATANI
Pendapatan usahatani merupakan total pendapatan yang diterima petani
dari berbagai cabang usahatani yang diusahakannya. Cabang usahatani yang
umum ditemukan di Desa Lubuk Bandung adalah usahatani karet dengan
tanaman sela padi dan nenas.
Produksi padi yang diperoleh dari dua kali panen di Desa Lubuk Bandung
masing-masing adalah 60 dan 20 kaleng (1 kaleng sama dengan 20 kg). Produksi
padi pada umumnya dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani sehingga petani tidak
memperoleh pendapatan dari usahatani tanaman sela padi. Oleh karena itu pada
tulisan ini tidak dibahas mengenai analisis input-output tanaman sela padi secara
rinci.
Tabel 1. Analisis Input – Output Usahatani Nenas di Desa Lubuk Bandung
Komponen Biaya Biaya (Rp/ha/tahun)
Produksi (buah)
Penerimaan (Rp/tahun)
Pendapatan (Rp/tahun)
Persiapan lahan 1.990.000 - - -1.990.000
Penanaman 1.000.000 - - - 1.000.000
Pengkarbitan I 40.000 - - - 40.000
Panen buah induk 1.280.000 16.000 8.000.000 6.720.000
Pengkarbitan II 96.000 - - - 96.000
Panen buah anak 3.200.000 40.000 10.000.000 6.800.000
Pengkarbitan III 192.000 - - - 192.000
Panen buah catok 100.000 25.000 3.125.000 3.025.000
Pembersihan 1.000.000 - - - 1.000.000
Total 8.898.000 21.125.000 12.227.000
Keterangan : Harga buah induk Rp 500,00 Harga buah anak Rp 250,00 Harga buah catok Rp 125,00 Harga yang berlaku adalah harga pada tahun 2006 di tingkat desa
Lubuk Bandung
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1184
Berbeda dengan tanaman sela padi, produksi tanaman sela nenas yang
diperoleh dari tiga kali panen, memberikan pendapatan bagi petani. Pemanenan
buah nenas dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu periode tanam. Pemanenan
pertama adalah pemanenan buah induk, pemanenan kedua adalah pemanenan
buah anak, dan panen ketiga adalah panen buah catok. Produksi terbesar
diperoleh petani pada saat pemanenan buah anak sedangkan produksi terendah
diperoleh pada saat pemanenan buah induk. Namun ukuran buah induk lebih
besar dibandingkan dengan ukuran buah anak. Besar kecilnya ukuran buah ini
menentukan tingkat harga jual masing-masing buah. Harga jual buah induk lebih
tinggi dibandingkan dengan harga jual buah anak dan buah catok. Analisis input-
output usahatani tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung disajikan pada
Tabel 1.
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa usahatani tanaman sela nenas di
antara tanaman karet memberikan pendapatan bagi petani sebesar Rp 12,2 juta
per tahun. Pendapatan ini diperoleh setelah dikurangi biaya usahatani sebesar Rp
8,9 juta per tahun. Nilai R/C ratio (nilai perbandingan antara penerimaan dan
biaya) dari usahatani nenas di Desa Lubuk Bandung adalah 2,37. Nilai ini
menunjukkan bahwa secara ekonomis usahatani tanaman sela nenas
menguntungkan karena nilai R/C ratio yang diberikan adalah > 1.
Tabel 2. Perincian Biaya Produksi Usahatani Tanaman Sela Nenas di Desa Lubuk Bandung
Kegiatan Tenaga Kerja Bahan Total
Biaya Unit Jumlah Biaya Jenis Unit Jumlah Biaya
Persiapan lahan
HOK 78 1.950.000 Kawat ikat kg 4 40.000 1.990.000
Penanaman HOK 0 0 Bibit nenas rumpun 20000 1.000.000 1.000.000
Pengkarbitan I HOK 0 0 Karbit kg 3 40.000 40.000
Panen buah induk
HOK borong 1.280.000 - - - - 1.280.000
Pengkarbitan II HOK 0 0 Karbit kg 8 96.000 96.000
Panen buah anak
HOK borong 3.200.000 - - -
- 3.200.000
Pengkarbitan III HOK 0 0 Karbit kg 16 192.000 192.000
Panen buah catok
HOK borong 100.000 - - -
- 100.000
Pembersihan HOK borong 1.000.000 - - - - 1.000.000
Total Biaya 7.530.000 (85) 1.368.000 (15) 8.898.000
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1185
Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa secara keseluruhan komponen biaya yang
terbesar dalam usahatani tanaman sela nenas adalah pada kegiatan panen buah
anak. Hal ini ditimbulkan oleh biaya tenaga kerja panen yang cukup besar karena
buah yang dipanen cukup banyak. Pada umumnya tenaga kerja dibayar dengan
sistem borong dan tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan sebagai biaya.
Perincian biaya produksi usahatani tanaman sela nenas di Desa Lubuk Bandung
disajikan pada Tabel 2.
Dari data yang ditampilkan pada Tabel 2 terlihat bahwa biaya produksi
terbesar adalah komponen biaya tenaga kerja yang menyerap biaya sekitar 85%
dari total biaya produksi sedangkan sisanya sebanyak 15% merupakan biaya
bahan. Biaya bahan yang terbesar adalah biaya pembelian bibit nenas kemudian
biaya pembelian karbit dan biaya pembelian kawat untuk pemagaran. Pembelian
karbit dilakukan sebanyak tiga kali dengan jumlah pembelian yang bervariasi
dimana jumlah pembelian terbesar adalah pada saat pemanenan buah catok.
Produksi rata-rata dari hasil karet di Desa Lubuk Bandung adalah 1482
kg/ha/tahun. Dari sejumlah produksi tersebut, rata-rata pendapatan yang diterima
petani adalah Rp 9 juta per tahun. Pendapatan tersebut diterima setelah dikurangi
biaya usahatani rata-rata sebesar Rp 579 ribu per tahun. Pendapatan dari
usahatani karet diperoleh selama 25 tahun dan dimulai pada saat tanaman karet
berumur 6 tahun. Grafik produksi tanaman karet di Desa Lubuk Bandung mulai
tahun sadap pertama (umur tanaman 6 tahun) sampai dengan tahun sadap ke 25
(umur tanaman 30 tahun) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Produksi Tanaman Karet di Desa Lubuk Bandung
0
500
1000
1500
2000
2500
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Produksi tahun ke-
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1186
Rata-rata produksi tanaman karet yang diperoleh oleh petani di Desa Lubuk
Bandung cukup tinggi karena pada umumnya petani sudah menanam bibit karet
okulasi dan pemeliharaan yang dilakukan cukup intensif. Dari Gambar 2 terlihat
bahwa produksi karet petani di Desa Lubuk Bandung mulai dari tahun pertama
sadap sampai dengan tahun ke 25 sadap berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan
pola yang cenderung menurun.
Secara keseluruhan, pendapatan usahatani petani di Desa Lubuk Bandung
dari karet dan nenas tergolong tinggi yaitu rata-rata Rp 21,2 juta per tahun.
Kontribusi tanaman sela nenas cukup besar terhadap total pendapatan usahatani
yaitu 58% dari total pendapatan sedangkan tanaman karet memberikan kontribusi
42% terhadap total pendapatan usahatani.
Ditinjau dari kelayakan untuk memenuhi standar upah minimum regional
Provinsi Sumatera Selatan, pendapatan total usahatani karet dengan tanaman
sela sudah memenuhi kriteria tersebut. Upah minimum regional Provinsi Sumatera
Selatan adalah Rp 720 ribu per bulan (Keputusan Depnaker, 2007). Dilihat dari
pendapatan usahatani yang diterima petani di Desa Lubuk Bandung diketahui
bahwa pendapatan usahatani yang diterima telah memenuhi standar upah
minimum regional Provinsi Sumatera Selatan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengusahaan tanaman sela di antara tanaman karet layak dari sisi
pendapatan.
SIMPULAN DAN SARAN
Pengusahaan tanaman sela nenas di antara tanaman karet memberikan
keuntungan bagi petani. Rata-rata pendapatan usahatani karet dengan tanaman
sela yang diperoleh petani di Desa Lubuk Bandung adalah Rp 21,2 juta per tahun.
Petani di Desa Lubuk Bandung sudah menerapkan teknologi karet dan tanaman
sela sesuai dengan anjuran. Kontribusi pendapatan dari tanaman sela nenas
cukup besar yaitu 58% terhadap total pendapatan usahatani. Pendapatan
usahatani ini telah memenuhi standar upah minimum regional Provinsi Sumatera
Selatan sehingga pengusahaannya layak dari sisi pendapatan.
Dari hasil penelitian dapat disarankan agar pengusahaan tanaman sela
nenas di antara tanaman karet dapat dilaksanakan lebih intensif dan
ISBN 978-602-98295-0-1
Prosiding Seminar Nasional, 13-14 Desember 2010
1187
berkesinambungan sebagai sumber pendapatan bagi petani terutama selama
tanaman karet berumur tiga tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Sembawa, 2003. Sapta Bina Usahatani Karet. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet.
Barlow, C dan Muharminto. 1982. Smallholder Rubber in South Sumatra. Toward Economic Improvement. Doc. BPP Bogor dan ANU, 78 pp.
Gouyon, A dan C. Nancy. 1989. Increasing the Productivity of Rubber Smallholders in Indonesia : A Study of Agro-economic Constrains and Proposals. Paper for the Rubber Growers Conference, 26 pp.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja. 2007. Ketetapan UMR 2007. Jakarta. Rosyid, M.J., G. Wibawa, U. Junaidi, dan A. Gunawan. 1992. Pengujian
Diversifikasi Beberapa Tanaman Tahunan di Antara Tanaman Karet. Risalah Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Sembawa Tahun 1992/1993. h. 105-125.
Rosyid, 2006. Budidaya Tanaman Sela Berbasis Karet. Makalah disampaikan pada acara Gelar Teknologi di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, 31 Mei – 1 Juni 2006. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet.
Rosyid, M.J., G. Wibawa, dan A. Gunawan, 1993. Pola Usahatani Terpadu pada Perkebunan Karet untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Lahan. Makalah disajikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Usahatani di BIP, Aceh, 45 pp.
Rosyid, M.J., G. Wibawa, U. Junaidi, dan A. Gunawan. 1992. Pengujian Diversifikasi Beberapa Tanaman Tahunan di Antara Tanaman Karet. Risalah Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Sembawa Tahun 1992/1993. h. 105-125.
Rosyid, M.J., G. Wibawa, dan S. Arifin. 1987. Hasil dan Rencana Penelitian Pola Usahatani Lahan Kering di Sembawa dan Batumarta. Dalam : Mahyudin Syam, et al. 1987. Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Buku 2. Badan Litbangtan.
Wibawa, G, M.J. Rosyid, Suryatna Effendi, dan T. Subagio. 1985. Increasing of Land Productivity of Red Yellow Podzolic Soil through Rubber Based Farming System. Proceeding of International Workshop on Cropping/ Farming System, Sukarame, Indonesia.
Wibawa, G, A. Gunawan, dan M.J. Rosyid. 1999. Pola Tumpangsari berbasis karet sebagai alternatif potensial untuk pengembangan karet rakyat di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Terpadu, Palembang, 13 Februari 1999. h. 73-92.