9. ileus paralitik (bougenville)
DESCRIPTION
AskepTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN DENGAN ILEUS PARALITIK DI RUANG BOUGENVILLE
RSUD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO
Disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan NersStase Keperawatan Medikal Bedah
oleh:Rizka Annisa Hanif, S. Kep.
NIM 082311101067
PROGRAM PENDIDIKAN NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2013
1. Definisi
Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran gastrointestinal tanpa
disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal. Pada kondisi klinik sering disebut dengan
ileus paralitik. Obstruksi Ileus adalah gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus,
(Selvia A. Price).
Dapat disimpulkan bahwa obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal atau suatu
blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis
atau fungsional yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.
Perawat sangat perlu melakukan pemantauan pada pasien pascabedah abdominal dari
kondisi ileus. Setelah 2-3 hari pasca-pembedahan abdomen, ileus merupakan suatu kondisi
fisiologis yang normal sekunder dari anastesia dan efek intervensi bedah, namun istilah ileus
kondisi kelumpuhan intestinal dapat bertahan lebih dari 3 hari pascabedah.
Sebagian besar kasus ileus terjadi setelah operasi intra-abdomen. Kembali normalnya
aktivitas usus setelah pembedahan abdominal mengikuti pola yang dapat diprediksi. Usus kecil
biasanya mendapatkan kembali fungsi dalam beberapa jam. Aktivitas regains lambung dalam 1-2
hari dan usus besar aktivitas regains 3-5 hari, (Person, 2006).
2. Etiologi
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen, tetapi ada faktor
predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko terjadinya ileus, diantaranya (Behm, 2003)
sebagai berikut :
a. Sepsis
b. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline, chlorpromazine)
c. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia, hipernatremia,
anemia, atau hiposmolalitas)
d. Infark miokard
e. Pneumonia
f. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina)
g. Bilier dan ginjal kolik
h. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf
i. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis
j. Hematoma retroperitoneal.
3. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala penting dari obstruksi Ileus adalah :
a. Nyeri daerah umbilicus
b. Muntah, sering terjadi bila obstruksi pada usus halus bagian atas
c. Konstipasi absolut dan peregangan abdomen
4. Klasifikasi
a. Ileus Obstruktif
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan
penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007).
Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif
ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari.
Misalnya intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura,
perlengketan, hernia dan abses.
b. Ileus Paralitik
Ileus paralitik adalah ileus yang disebabkan gerakan (peristaltik) usus yang menghilang, disini
tidak ada sumbatan. Ileus paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama karena usus tidak dapat
bergerak (mengalami motilitas) dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar.
Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf ototnom mengalami paralisis dan peristaltik usus
terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis,
distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti
penyakit parkinson.
5. Patofisiologi
Menurut beberapa hipotesis, ileus pascabedah dimediasi melalui penghambatan aktivasi
refleks spinal. Secara anatomis, refleks yang terlibat pada ileus adalah pada pleksus ganglia
prevertebral, (Mattei, 2006).
Respons dari stres bedah mengarah pada generasi sistemik dari endokrin dan mediator
inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. Model tikus telah menunjukkan
bahwa laparotomi, penetrasi, dan kompresi usus menyebabkan peningkatan jumlah makrofag,
monosit, sel dendritik, sel T, sel-sel pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh
imonohistokimia. Kalsitonin-peptida, nitrit oksid, peptida vasoaktif intestina, dan substansi P
berfungsi sebagai inhibitor neurotransmiter pada sistem saraf usus, (Bauer, 2004).
Diferensiasi yang umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi dan obstruksi usus mekanik. Seperti
ileus pada pseudo-obstruksi, terjadi dengan tidak adanya patologi mekanis. Beberapa teks dan artikel
cendrung menggunakan ileus disamaartikan dengan pseudo-obstruksi atau merujuk pada ileus kolon.
Namun, kondisi ini jelas merupakan dua entitas yang berbeda. Pseudo-obstruksi jelas terbatas pada usus
besar, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus besar yang terlibat dalam
pseudo-obstruksi klasik, yang biasanya terjadi pada lanjut usia dengan gambaran penyakit
ekstarintestinal serius atau trauma. Agen farmakologi, sepsis, dan ketidakseimbangan elektrolit dapat
juga berkontribusi terhadap kondisi ini. Obstruksi usus mekanik dapat disebabkan oleh adhesi, velvulus,
hernia, intususepsi, benda asing, atau neoplasma. Klinis obstruksi hadir dengan kolik abdominal yang
hebat atau tanda-tanda obstruksi perforasi yang jelas, (Loktus, 2012).
Ileus Pseudo-obstruksi Obstruksi mekanik ususAnam-nesis
Nyeri abdomen ringan, kembung, mual, muntah, obstipasi, konstipasi
Nyeri kram abdominal, mual, muntah, anoreksia, obstipasi, konstipasi
Nyeri kram abdominal, mual, muntah, anoreksia, obstipasi, konstipasi
Pemerik-saan fisik abdomen
Bising usus hilang, distensi, timpani
Borborygmi, timpani, gelombang peristaltic, bising usus hiperaktif atau hipoaktif, distensi, nyeri tekan local
Borborygmi, gelombang peristaltic, bising usus bernada tinggi, distensi, nyeri tekan local
Foto polos
abdomen
Dilatasi usus kecil & usus besar, elevasi diafragma
Dilatasi isolasi pada usus besar, elevasi diafragma
Berbentuk lesi gas kolon distal, diafragma agak tinggi, air-fluid levels
Tabel : Perbedaan dari ileus, pseudo-obstruksi, dan obstruksi usus mekanik, (Mukherjee, S, 2008).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium, peningkatan kadar Haemoglobin (indikasi dari dehidrasi), leukositosis,
peningkatan PCO2 / asidosis metabolik.
b. Foto polos abdomen (BOF) dengan posisi tegak atau lateral dekubitus tampak distensi usus
proksimal dari hambatan dan fenomena anak tangga. Pada volvulus sigmoid tampak sigmoid
yang distensi berbentuk U yang terbalik dan dapat juga di dapatkan :
1) Gambaran usus melebar (Darm Courtur)
2) Gambaran seperti duri ikan
3) Gambaran seperti anak tangga (Air Fluid Level)
c. Pemeriksaan CT scan, dikerjakan secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai adanya
strangulasi. CT scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan pada dinding
usus (obstruksi komplet, abses, keganasan), kelainan mesenterikus, dan peritoneum. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema. Pemeriksaan ini mempunyai suatu peran
terbatas pada klien dengan obstruksi usus halus. Pengujian enema barium terutama sekali
bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen.
e. Pemeriksaan USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran penyebab dari
obstruksi.
f. Pemeriksaan MRI. Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenteric kronis.
g. Pemeriksaan angiografi. Angiografi mesenteric superior telah digunakan untuk mendiagnosis
adanya herniasi internal, intususepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi, (Suratun & Lusianah,
2010).
7. Penatalaksanaan
a. Dekompresi dengan pipa lambung.
b. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit juga keseimbangan asam
basa.
c. Koreksi bedah, tindakan bedah yang di lakukan sesuai dengan kelainan patologinya.
d. Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi penyebabnya.
8. Komplikasi
a. Nekrosis usus.
b. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada organ intra
abdomen.
c. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi peradangan atau
infeksi yang hebat pada intra abdomen.
d. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
e. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
f. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
g. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
h. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen. Muntah
mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung, serta menimbulkan
penurunan klorida dan kalium dalam darah, (Dermawan, 2010).
10. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian ileus terdiri atas pengkajian, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi
diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah keluhan kembung dan
tidak bisa kentut (flatus). Keluhan adanya kembung dan tidak bisa flatus bersifat akut disertai
mual, muntah, anoreksia, dan nyeri ringan pada abdomen.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, perawat mengkaji riwayat pembedahan
abdominal, jenis pembedahan, penyebab adanya intervensi bedah, kondisi klinik preoperatif,
pengetahuan mobilisasi dini pasien praoperatif, dan adanya penyakit sistemik yang memperberat,
seperti adanya sepsis, gangguan metabolik, penyakit jantung, pneumonia pasca bedah, prosedur
bedah saraf, dan trauma abdominal berat.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena perut kembung dan
belum bisa melakukan flatus, serta perlunya pemenuhan informasi.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survei umum
pasien terlihat lemah. TTV biasa didapatkan adanya perubahan. Pada pemeriksaan fisik fokus
akan didapatkan :
a) Inspeksi : Secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan adanya distensi abdominal.
b) Auskultasi : Bising usus atau tidak ada.
c) Palpasi : Nyeri tekan lokal pada abdominal.
d) Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi adanya gangguan elektrolit atau metabolik, foto polos abdominal untuk mendeteksi
adanya dilatasi gas berlebihan dari usus kecil dan usus besar.
Pola Kesehatan Gordon
a) Aktivitas atau istirahat
Gejala : Kelelahan dan ngantuk.
Tanda : Kesulitan ambulasi
b) Sirkulasi
Gejala : Takikardia, pucat, hipotensi (tanda syok)
c) Eliminasi
Gejala : Distensi abdomen, ketidakmampuan defekasi dan flatus
Tanda : Perubahan warna urine dan feces
d) Makanan atau cairan
Gejala : anoreksia, mual atau muntah dan haus terus menerus
Tanda : muntah berwarna hitam dan fekal, membran mukosa pecah-pecah, kulit buruk.
e) Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen terasa seperti gelombang dan bersifat kolik
Tanda : Distensi abdomen dan nyeri tekan
f) Pernapasan
Gejala : Peningkatan frekuensi pernafasan
Tanda : Napas pendek dan dangkal
Pengkajian Penatalaksanaan Medis
a. Konservatif
Sebagian besar kasus ileus pasca bedah mendapat intervensi konservatif. Pasien harus
menerima hidrasi intravena. Untuk pasien dengan muntah dan distensi, penggunann selang
nasogastrik diberikan untuk menurunkan gejala, namun belum ada penelitian untuk literature
yang mendukung penggunaan selang nasogastrik untuk memfasilitasi resolusi ileus. Panjang
selang ke saluran gastrointestinal tidak memiliki manfaat atas perbaikan ileus. Untuk pasien
dengan ileus berlarut-larut, obstruksi mekanis harus diperiksa dengan studi kontras. Sepsis dan
gangguan elektrolit yang mendasari, terutama hipokalemia, hiponatremia, dan hipomagnesemia,
dapat memperburuk ileus. Kondisi ini didiagnosis dan diperbaiki, (Mukherjee, 2008).
Cara lainnya adalah menghentikan obat yang memproduksi ileus (misalnya : opiate).
Dalam suatu studi, jumlah morfin yang diberikan secara langsung akan berhubungan dengan
terjadinya ileus, (Cali, 2000).
Penggunaan narkotika pasca operasi dapat dikurangi dengan suplemen dengan obat anti-
inflamasi non-steroid (OAINS). OAINS dapat menurunkan ileus dengan menurunkan
peradangan local dan dengan mengurangi jumlah narkotika yang digunakan. Studi mioelektrik
dari elektroda ditempatkan pada usus besar, dimana studi ini telah mengungkapkan resolusi lebih
cepat dari yang diberikan pada pasien ileus versus yang diberikan ketorolac morfin, namun
kelemahan OAINS digunakan mencakup disfungsi trombosit dan ulserasi mukosa lambung.
Kondisi ini dapat dipertimbangkan dengan penggunaan agen cyclooxygenase-2, untuk
menurunkan efek samping ini, (Ferraz, 1995).
Sampai saat ini belum ada suatu variabel yang secara akurat memprediksi resolusi ileus.
Pemeriksaan kondisi klinis masih menjadi parameter penting untuk mengevaluasi asupan oral
dan fungsi usus yang baik. Laporan dari pasien bahwa sudah terjadi flatus, harus dinilai ulang
dengan seksama secara pemeriksaan fisik dan diagnostic yang akurat, serta tidak boleh hanya
mengandalkan dari laporan pasien (Mukherjee, 2008).
b. Terapi Diet
Umumnya, menunda intake makan oral sampai tanda klinis ileus berakhir. Namun, kondisi
ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi enteral. Pemberian enteral secara hati-hati dan
dilakukan secara bertahap, (Ng WQ, 2003). Pada suatu studi pemberian permen karet
menunjukkan bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk pemberian makanan palsu pada
fase pemulihan awal dari ileus pasca bedah setelah laparoskopi colectomy. 19 pasien yang
menjalani elektif laparoskopi colectomy secara acak. 10 pasien yang ditetapkan ke grup permen
karet dan 9 untuk kelompok control. Kelompok permen karet yang digunakan 3x sehari dari
pasca operasi pertama pagi sampai intake oral. Terjadinya flatus lebih cepat dalam kelompok
permen karet daripada di kelompok control buang air besar pertama tercatat pada 3,1 hari dalam
kelompok permen karet versus 5,8 hari pada kelompok control, (Asao, 2002).
c. Terapi Aktivitas
Kebijakan konvensional pada praktek klinik memberikan pemahaman bahwa ambulasi dini
merangsang fungsi usus dan meningkatkan ileus pasca bedah, meskipun hal ini belum
ditunjukkan dalam literature.
Dalam sebuah studi nonrandomized mengevaluasi 34 pasien, elektroda bipolar
seromuscular ditempatkan di segmen saluran gastrointestinal setelah laparotomi. 10 pasien
ditugaskan untuk ambulasi pada pasca operasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien
ditugaskan untuk ambulasi pada pasca bedah hari keempat. Hasil yang didapat, ternyata tidak
ada perbedaan yang signifikan dari hasil mioelektrik dalam pemulihan di lambung, jejunum, atau
usus antara 2 kelompok tersebut, (Waldhausen, 1990). Walaupun begitu, ambulasi tetap
bermanfaat dalam mencegah pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia
tetapi tidak memiliki peran dalam mengobati ileus.
d. Terapi Farmakologi
Sampai saat ini belum terdapat studi yang menilai manfaat supositoria dan enema untuk
pengobatan ileus. Eritromisin, suatu agonis resptor motilin, telah digunakan untuk paresis pasca
operasi lambung namun belum terbukti bermanfaat bagi ileus. Metoklopramid, sebuah antagonis
dopaminergik, sebagai obat anti muntah dan prokinetik. Data telah menunjukkan bahwa
pemberian obat ini dapat benar-benar memperburuk ileus, (Mukherjee, 2008).
Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah golongan opioid antagonis selektif, misalnya
alvimopan. Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus post operative reseksi
usus, (Maron, 2008).
b. Diagnosa Keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.
2) Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari
muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.
3) Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurangnya intake makanan yang adekuat.
4) Actual/resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan penurunan volume darah,
sekunder dari penurunan hidrasi, ketikmampuan absorpsi cairan oleh kolon.
5) Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit.
6) Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya intervensi medic dan keperawatan,
misinterpretasi informasi.
7) Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, distensi abdominal.
c. Intervensi Keperawatan
Rencana intervensi disususn sesuai dengan tingkat toleransi individu. Pada pasien ileus,
intervensi pada masalah keperawatan actual/resiko tinggi syok hipovolemik dapat disesuaikan
dengan masalah yang sama pada asuhan keperawatan pasien gastroenteritis. Untuk intervensi
masalah nyeri, kecemasan dan pemenuhan informasi dapat disesuaikan pada intervensi masalah
pasien diverticulitis.
1) Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.
Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam terjadi perbaikan konstipasi.
Kriteria evaluasi :
a) Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.
b) Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x / menit.
c) Gambaran foto polos abdomen tidak terdapat adanya akumulasi gas di dalam intestinal.
Intervensi :
a) Kaji faktor predisposisi terjadinya ileus.
R : menentukan intervensi medis, misalnya adanya sepsis harus diatasi, kondisi gangguan
elektrolit harus dikoreksi
b) Monitoring status cairan.
R : Penurunan volume cairan akan meningkatkan resiko ileus semakin parah karena terjadi
gangguan elektrolit.
c) Evaluasi secara berkala laporan pasien tentang flatus dan periksa kondisi bising usus.
R : memberikan data dasar pada perawat atau sebagai pera untuk kolaborasi dengan medis
tentang kondisi perbaikan ileus.
d) Pasang selang nasogastrik.
R : menurunkan keluhan kembung dan distensi abdomen.
e) Lakukan teknik ambulasi.
R : mencegah pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan pneumonia.
f) Kolaborasi : Opioid antagonis selektif.
R : Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus post operatif reseksi usus
2) Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari
muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.
Tujuan : dalam waktu 5x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria evaluasi :
a) Pasien tidak mengeluh pusing, membrane mukosa lembap, turgor kulit normal.
b) TTV dalam batas normal.
c) CRT < 2 detik, urin > 600 ml/hari.
d) Laboratorium : Nilai elektrolit normal.
Intervensi :
a) Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output).
R : monitoring yang ketat pada produksi urin < 600 ml/hari merupakan tanda-tanda
terjadinya syok hipovolemik
b) Kaji sumber kehilangan cairan.
R : kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium via oral yang
juga akan meningkatkan resiko gangguan elektrolit.
c) Dokumentasikan intake dan output cairan.
R : data dasar dalam pemberian terapi cairan dan pemenuhan hidrasi tubuh secara umum
d) Monitor TTV secara berkala.
R : hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi yang memberikan manifestasi sudah
terlibatnya system kardiovaskular untuk melakukan kompensasi mempertahankan tekanan
darah
e) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer dan diaphoresis secara teratur.
R : mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan tahanan perifer
f) Kolaborasi : Pertahankan pemberian cairan secara intravena dan evaluasi kadar elektrolit.
R : jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat
dalam melakukan control intake dan output cairan. Sebagai deteksi awal menghindari
gangguan elektrolit sekunder dari muntah pada pasien peritonitis
3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya
intake makanan yang adekuat.
Tujuan : Setelah 7x24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi :
a) Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25x/menit.
b) Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
c) Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen.
d) Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah meningkat minimal 0,5 kg.
Intervensi :
a) Evaluasi secara berkala kondisi motilitas usus.
R : Sebagai data dasar teknik pemberian asupan nutrisi.
b) Hindari intake apapun secara oral.
R : umumnya, menunda intake makanan oral sampai tanda klinis ileus berakhir. Namun
kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi enteral.
c) Berikan nutrisi parenteral.
R : pemberian enteral diberikan secara hati-hati dan lakukan secara bertahap sesuai tingkat
toleransi dari pasien
d) Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodic (sekali
seminggu)
R : mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan
e) Lakukan perawatan mulut.
R : menurunkan resiko infeksi oral
f) Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis nitrisi yang akan digunakan pasien.
R : penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan
individu
DAFTAR PUSTAKA
Alief. M, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Alih bahasa Agung Waluyo,
dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Doengoes. 2000 .Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.Jakarta: EGC.
Price &Wilson. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6, Volume1.
Jakarta: EGC.