93606115 etika bisnis dalam industri farmasi
TRANSCRIPT
PERSAINGAN BISNIS INDUSTRI FARMASI
DI TINJAU DARI
SUDUT PANDANG ETIKA
LINGKUNG BISNIS
DISUSUN OLEH : KELOMPOK VII
Statement of Authorship
“Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan
orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat
diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya
plagiarisme.”
Anggota Kelompok VII :
No NAMA NRP
1 Adriel Marcellus Enggai 91114305
2 Nicolas Hermawan S. 91114312
3 Andreas Iwan Hudiarto 91114314
4 Moh. Armyn Rizal 91114330
5 M. Ashar Pratama 91114331
Dosen : Tim Dosen
Surabaya, 7 Mei 2012
Adriel Marcellus
1
1. Pendahuluan
a. Etika Bisnis
Etika bisnis atau Corporate ethics adalah bentuk etika terapan
atau etika profesional yang meneliti prinsip-prinsip etika dan
masalah – masalah moral yang muncul dalam lingkungan bisnis. Hal
ini berlaku untuk semua aspek bisnis dan relevan dengan perilaku
individu dan organisasi bisnis secara keseluruhan. Etika Terapan
adalah bidang etika yang berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan
etis dalam berbagai bidang seperti etika medis, teknis, hukum dan
bisnis.
Secara historikal, etika bisnis mulai mndapatkan peran pada era
tahun 1980 dan 1990, baik di dalam perusahaan besar dan dalam
akademisi. Misalnya, banyak website perusahaan yang lebih
menekankan pada komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai sosial
non-ekonomi seperti kode etik. Dalam beberapa kasus, perusahaan
telah mendefinisikan kembali nilai-nilai inti mereka dalam
pertimbangan etika.
Etika bisnis dapat bersifat normatif dan disiplin deskriptif.
Jangkauan dan kuantitas masalah bisnis etika mencerminkan sejauh
mana bisnis dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial non-
ekonomi. Etika bisnis secara sederhana adalah cara-cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga
masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan
bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak
tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di
masyarakat. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai
manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem
2
nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf
(1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut:
Prinsip otonomi;
adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa
yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip kejujuran.
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan
secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan
berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur
dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua,
kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan
harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern
dalam suatu perusahaan.
Prinsip keadilan;
menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai
dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional
obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle);
menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga
menguntungkan semua pihak.
Prinsip integritas moral;
terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku
bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan
tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun
perusahaannya.
3
b. Problem etika dalam bisnis farmasi
Industri farmasi sebagai produsen yang menghasilkan obat-obatan
bersama dengan dokter memiliki peranan besar dalam aktivitas
penyembuhan suatu penyakit. Bahkan omzet obat sangat besar yaitu
50-60% dari anggaran rumah sakit (Source: Industri Farmasi, Profit
dan Etika: manajemen-rs.net/.../MRS_BAB%20XIV%20-
%20INDUSTRI%20FA...). Hal ini ditunjang bahwa sebagian obat
tidak memiliki barang pengganti/substitusi dan harus di beli untuk
kemudian dikonsumsi demi kesembuhan penyakitnya. Namun ada
beberapa obat yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat
maka obat tersebut di subsidi oleh pemerintah sehingga masyarakat
dapat menikmati secara gratis obat tersebut. Obat-obat itu antara lain
untuk imunisasi dan beberapa penyakit menular.
Karena rata-rata obat tidak memiliki substitusi dan masyarakat ketika
menderita suatu penyakit mau tidak mau harus membeli obat yang
diresepkan oleh dokter demi kesembuhan dirinya, maka industri
farmasi adalah sektor industri yang tidak/jarang terpengaruh oleh
krisis perekonomian yang ada.
Menurut Clarkson (1996), Industri farmasi merupakan salah satu
industri yang paling menguntungkan. Industri ini menduduki
rangking – 4 setelah industri software, perminyakan dan makanan
yang paling menguntungkan.
Indstri Farmasi yang paling untung adalah yang mampu menemukan
jenis obat baru yang disebut obat paten karena oleh undang-undang
internasional dilindungi hak patennya tidak boleh di copy oleh
industri farmasi lainnya selama 17 sampai dengan 25 tahun. Jadi
penemu obat baru tersebut dapat melakukan monopoli dan harga bisa
ditentukan oleh produsen tersebut.
4
Secara diagram, menurut Reuter business Insight. Life cycle produksi
obat baru dapat digambarkan sebagai berikut :
Pada fase 1, tahapan riset yang dilakukan oleh R&D hingga
mendapatkan persetujuan edar obat di masyarakat membutuhkan
waktu hingga 15 tahun. Hal ini dikarenakan proses pembuatan obat
tersebut melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: Formulasi-
pengujian kepada binatang – pengujian kepada sekelompok kecil
orang sehat – pengujian kepada sekelompok orang yang lebih
banyak dari tahap sebelumnya tetapi mempunyai penyakit untuk
menguji kemanjuran obat terhadap penyakit tersebut – pengujian
kepada kelompok yang lebih banyak lagi dengan berbagai latar
belakang untuk menguji kemanjuran dan keselamatan ketika
mengkonsumsi obat tersebut. Oleh karena panjangnya tahap riset
terhadap obat baru, maka untuk tetap memotivasi para professional
peneliti obat baru, perlu diberikan stimulan yang memadai yaitu
dengan memberikan hak paten untuk menjual secara eksklusif
dengan jangka waktu tertentu tanpa adanya pesaing dengan jenis
obat yang sama(antara 17 sampai dengan 25 tahun) sehingga
keuntungan penemu obat dapat dimaksimalkan. Baru setelah lewat
masa eksklusif, industri-industri lain berhak untuk meniru untuk
5
membuat obat tersebut. Obat ini dikenal sebagai obat copy atau obat
generik. Pada saat masa ekslusif telah lewat, baru harga obat dapat
turun menyesuaikan dengan kondisi pasar yang ada, sehingga
masyarakat luas terutama yang tidak mampu dapat menikmati
khasiat dari obat tersebut.
Namun meskipun dikatakan merupakan industri yang paling
menguntungkan nomor 4, persaingan di industri farmasi sangatlah
ketat. Hal ini dipengaruhi oleh 3 hal yaitu
a. Regulasi obat
Industri obat agar bisa bertahan dalam persaingan maka harus
memiliki modal yang besar. Hal ini disebabkan adanya regulasi-
regulasi yang ketat dalam proses pembuatan obat. Pemenuhan
terhadap serangkaian regulasi yang ketat tersebut membuat
industri farmasi harus mengeluarkan modal yang besar. Bila
industri farmasi tidak memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh
regulator (Regulator Indonesia dibawah kendali Badan
Pengawasan Obat dan Makanan/BPOM, di Amerika dibawah
kendali Food and Drug Administration/FDA) maka industri
farmasi tersebut tidak akan diberikan ijin edar oleh regulator
yang ada di masing-masing negara.
b. Hak paten
Seperti penjelasan di atas, ketika industri farmasi menemukan
obat baru, maka akan diberikan hak ekslusif tanpa diganggu oleh
industri farmasi lainnya untuk memasarkan obatnya secara
maksimal. Setelah hak paten berakhir, industri-industri farmasi
lainnya bisa memproduksi obat yang sejenis yang dikenal sebagai
obat generik. Karena banyaknya industri farmasi yang
memproduksi produk serupa, maka timbul persaingan yang ketat.
Persaingan yang ketat antara industri farmasi ini kadang-kadang
6
menjurus ke suatu hal yang kurang beretika seperti melakukan
kolusi dengan dokter, rumah sakit ataupun apotik. Kolusi ini
dilakukan dengan cara melobi dokter ataupun rumah sakit untuk
meresepkan obat dengan merek industri farmasi tertentu dan bila
mencapai target, maka mereka akan diberikan kompensasi yang
memadai oleh industri farmasi tersebut. Kompensasi bisa mulai
dari pemberian perangkat elektronik, rumah mewah, mobil
mewah hingga jalan-jalan ke luar negeri bersama gratis atas biaya
industri farmasi tersebut. Hal ini dapat rawan memicu dokter
untuk menyalahgunakan profesi mereka demi keuntungan pribadi
dengan mengabaikan hak pasien untuk medapatkan obat yang
manjur dan murah.
c. Sistem Distribusi
Sistem distribusi obat-obatan di industri farmasi sangat unik
dibandingkan industri-industri di sektor lainnya. Distribusi
dilakukan dengan cara dari produsen harus melalui distributor
dan tidak boleh di jual secara langsung ke konsumen. Dari
distributor dengan konsep ”Detailing” akan memasarkan obat
dengan menemui dokter yang sedang praktek di rumah sakit
ataupun praktik pribadi di rumah. Detailer ini akan melobi dokter
untuk menggunakan obat merk tertentu dengan imbalan tertentu.
Dari hal ini, maka harga obat akan susah ditekan karena biaya
kompensasi untuk dokter dibebankan kepada harga obat serta
industri farmasi baru sulit bertahan karena kalah dengan industri
farmasi lainnya yang sudah lama exists dan memiliki jaringan
yang luas dengan dokter-dokter yang ada.
Karena susahnya industri farmasi baru bersaing dengan industri-
industri farmasi yang telah lebih dahulu berdiri serta persaingan
antara industri-industri farmasi yang telah establish membuat
7
persaingan menjadi semakin tidak sehat. Kesulitan dalam bersaing
didalam industri farmasi diperkuat oleh pendapat Sudirman-salah
seorang anggota GP Farmasi Indonesia yang mengatakan bahwa
porsi produksi obat terbagi menjadi 3 bagian yaitu 2 BUMN yaitu
Kimia Farma dan Indo Farma masing-masing memperoleh
prosentase 5%, PMA yang berjumlah 40 masing masing memperoleh
2,5% dan 200 Industri Swasta Lokal masing-masing memperoleh
0,22%. Dari data ini semakin nampak bahwa dengan ketatnya
persaingan membuat tiap industri farmasi melakukan trik-trik
penjualan yang menjurus kearah yang tidak sehat.
Trik-trik persaingan penjualan dapat dilakukan dengan melakukan
kolusi antara industri farmasi dengan dokter maupun industri farmasi
dengan rumah sakit. Kolusi dengan rumah sakit dapat dilakukan
dengan cara ikut terlibat dalam mensponsori seminar yang diadakan
oleh rumah sakit serta memberikan bantuan dana dalam merayakan
ulang tahun rumah sakit tersebut. Dibalik kegiatan itu, rumah sakit
diminta menggunakan produk dari industri farmasi yang
menyumbang sejumlah dana tersebut. Kolusi dengan dokter
dilakukan oleh seorang medical representative (Medrep) dimana
fungsi awalnya adalah melakukan edukasi obat ethical industri
farmasi nya kepada rumah sakit maupun apotik. Namun fungsi itu
semakin bergeser dimana Medrep juga ditugaskan oleh industri
farmasi untuk melakukan pendekatan kepada dokter. Pendekatan itu
dilakukan dengan tujuan agar dokter mau menggunakan obat mereka
dengan cara me-resep-kan jenis obat sesuai dengan penyakit si
pasien tetapi dengan merk-merk tertentu dan sebagai imbalannya bila
memenuhi target dokter akan diberi sesuatu materi tertentu. Otomatis
dengan aktifitas tersebut, biaya yang dikeluarkan akan
diperhitungkan di dalam harga obat, sehingga harga obat semakin
8
melambung tinggi. Bukti kolusi yang dilakukan oleh industri farmasi
dan dokter ini terbukti dengan diperiksanya 50 dokter oleh IDI dan
20 orang diantaranya telah menjalani sidang (TEMPO 4 Agustus)
Kerja sama dengan apotik juga dilakukan dengan memberikan
diskon dalam jumlah besar serta oleh medrep akan dibantu untuk
memasarkan obat yang ditawarkan melalui jaringan dokter yang
dikenalnya. Oleh medrep, dokter tersebut diminta untuk
mengarahkan pasien membeli obat di apotik tertentu. Dari jaringan
distribusi ini, otomatis apotik semakin diuntungkan namun lagi-lagi
biaya yang dikeluarkan harus dibebankan ke harga obat sehingga
harga obat semakin mahal.
Kolusi lainnya adalah yang dilakukan oleh oknum dokter yang
merangkap sebagai staf pengajar dan spesialis senior dimana dalam
melakukan penelitian obat-obatan baru yang disponsori oleh industri
farmasi tertentu, sengaja diarahkan dengan data-data yang telah
disiapkan oleh industri farmasi sponsor ke arah yang
menguntungkan industri farmasi tersebut. Hal ini menyimpang dari
kriteria penelitian yang disebut EBM (Evidence Base Medicine).
Sehingga seolah-olah, dokter tersebut menjadi seorang marketer
industri farmasi tersebut.
2. Strategi Pemasaran dalam Bisnis Industri Farmasi ditinjau dari
Sudut Pandang Etika
a. Perusahaan farmasi yang menjalankan etika bisnis secara
berkelanjutan sebenarnya akan memiliki beberapa keuntungan,
antara lain :
* Bisnis ini akan meet demands of business stake holder, dimana
bisnis farmasi harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan
kepentingan semua pihak yang terkait yang berkepentingan
9
(stakeholders) dijamin, diperhatikan, dan dihargai. bisa dilihat
juga secara jelas bagaimana prinsip-prinsip etika bisnis yang
bisa berelevansi dalam interaksi bisnis dari sebuah bisnis
dengan berbagai pihak terkait. Misalnya, perusahaan yang
mampu menyejahterahkan karyawannya, maka secara etika
perusahaan ini telah bertanggung jawab dalam memperlakukan
karyawan secara beretika dan akhirnya mampu menciptakan
citra di masyarakat dan komunitas sebagai perusahaan yang
beretika. Dan saat suatu perusahaan mampu menjaga standar
standar etika di masyarakat, konsumen akan merespon hal
tersebut secara positif dan mampu meningkatkan profit
perusahaan. Sebagai contoh: perusahaan farmasi yang salah
dalam pembuatan obat, sehingga obat yang beredar di
masyarakat adalah obat yang rusak, maka peran QA dalam
suatu pabrik farmasi akan melakukan penarikan barang secara
keseluruhan pada no batch obat tersebut.
* Dalam etika bisnis sebagai enchance business performance,
dimana perusahaan yang mampu mengakomodir etika bisnis
secara berkelanjutan maka akan meningkatkan kualitas
karyawan, meningkatkan penjualan dan mendapatkan loyalitas
konsumen. Pada bisnis farmasi yang mampu menjaga etika
tidak hanya sekedar profit oriented, tapi mengutamakan patient
oriented, maka dampak etika bisa dirasakan langsung oleh
konsumen.
* Comply with regal requirements, etika bisnis seringkali juga
menjadi kebutuhan standar-standar hukum suatu perusahaan.
Bisnis farmasi di Indonesia, memliki beberapa landasan
diantaranya Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009,
dimana perusahaan bisnis farmasi memliki batasan dalam
10
menjalankan bisnis farmasinya, seperti larangan hukum
mengedarkan narkoba, dsb. Selain itu juga masih ada berbagai
peraturan etika tentang hak konsumen.
* Prevent or minimize harm, dimana bisnis farmasi tidak boleh
melakukan kesalahan yang dapat merugikan masyarakat,
berbagai pihak yang berinteraksi dengan perusahaan dan
lingkungan sekitar. Misalnya limbah perushaan farmasi harus
mengikuti berbagai peraturan regulator sehingga tidak
mencemari dan berbahaya bagi lingkungan, karena limbah
pabrik farmasi jika tidak diproses terlebih dahulu memiliki
resiko merusak ekosistem lingkungan, sangat kesehatan
masyarakat sehingga berdampak pada citra perusahaan
menurun dan akhirnya menjadi merugikan.
* Promote personal morality, dimana bisnis setiap orang memiliki
persepsi dan pandangan yang berbeda – beda dalam hal etika.
Bisnis farmasi yang mampu menjangkau semua pemikiran
tersebut maka akan dapat menjalankan etika bisnis secara
maksimal. Karena jika hal ini tidak dijaga, maka tidak menutup
kemungkinan karyawan akan mengundurkan diri di karenakan
tidak setuju dengan persepsi etika perusahaan yang berbeda.
Begitu juga dengan konsumen, bila memliki sudut pandang
yang berbeda dengan perusahaan tentang etika, maka tidak
menutup kemungkinan, membuat loyalitas konsumen akan
menurun.
b. Analisa Problem Etika di Bisnis
Ada 5 nilai dalam kaitannya dengan etika yang berlaku umum yaitu :
tidak membahayakan, tidak memihak/adil, jujur, menghormati hak
orang lain dan melakukan tugas/tindakan secara bertanggung jawab.
11
Berkaitan dengan 5 nilai tersebut, ada metoda penalaran etika yang
dapt digunakan untuk tujuan analisa strategi pemasaran obat di tinjau
dari sudut pandang etika.
a. Etika Moralitas
Etika dari masa ke masa memiliki sudut pandang yang berbeda-
beda. Tetapi bila kita melihat nilai moral terbaru yaitu dari
Robert Solomon (1942-2007) dimana moral yang baik adalah
yang memiliki karakter jujur, percaya dan ketabahan dan
dikaitkan dengan 5 nilai umum di atas, maka strategi penjualan
obat-obatan farmasi yang biasanya di mana tugas penjualan di
delegasikan kepada detailer, yang dilakukan dengan cara kolusi
bersama dengan dokter, rumah sakit maupun apotik akan dapat
menyebabkan nilai-nilai etika yang ada kemungkinan besar
dilanggar. Sebagai contoh untuk nilai moral ”Jujur ”. Ketika
detailer memberikan iming-iming suatu hal yang menggiurkan
bagi dokter dengan syarat bisa memenuhi target pemberian resep
kepada pasien dengan obat dari perusahaan tempat detailer
bekerja, maka dokter pun akan berusaha mencari pembenaran
bahwa pasien memang butuh obat tersebut meskipun tidak terlalu
membutuhkan dan seharusnya yang dibutuhkan untuk lebih
manjur adalah obat lain dengan harga yang bisa lebih murah.
Serta sebagai dokter kita juga telah melanggar kepercayaan
pasien karena mereka yakin bahwa kesembuhan pasien ada di
tangan dokter. Walaupun dari tindakan dokter tersebut tidak
membahayakan si pasien namun dokter tidak memiliki karakter
kejujuran, memihak kepada detailer serta tidak memiliki tindakan
bertanggung jawab dan menodai kepercayaan pasien. Hal ini
yang menyebabkan kolusi antara detailer dan dokter
kemungkinan besar akan menimbulkan masalah etika. Strategi-
12
strategi yang lain dimana apabila industri farmasi membangun
kedekatan dengan instansi rumah sakit, dokter dengan
memberikan dukungan dalam bentuk dana untuk berbagai
keperluan instansi rumah sakit maupun dokter akan sangat dekat
sekali dengan perilaku yang menyimpang secara etika walaupun
secara bisnis hal itu tidaklah salah. Karena dengan membangun
kolusi atau hubungan terlalu dekat dapat menyebabkan konflik
kepentingan. Hal ini terjadi karena instansi rumah sakit ataupun
dokter akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu mendahulukan
pencapaian bonus yang di janjikan oleh industri farmasi bila
berhasil memenuhi target ataukah mengutamakan pasien
sehingga dapat sembuh kembali dengan biaya seefisien mungkin.
Dilema-dilema seperti ini yang memicu IPMG (International
Pharmaceutical Manufacturers Group) menyusun buku pedoman
yang mengatur tentang kode etik pemasaran produk farmasi.
Namun buku pedoman ini sangat lemah sekali karena sanksinya
hanya berupa sanksi moral tanpa adanya sanksi hukum yang
jelas. Buku pedoman ini juga tidak akan mengurangi kolusi
antara detailer dan dokter ataupun instansi rumah sakti karena
strategi ini sangat susah untuk dibuktikan.
b. Hak-hak Manusia
Hak-hak manusia yang paling dasar adalah hak untuk hidup,
aman, bebas berpendapat, kebebasan, mendapatkan informasi
yang benar, menghargai sesama. Manusia adalah makhluk yang
paling berharga. Sehingga dalam kasus kolusi antara detailer dan
dokter yang mengarah ke deal-deal tertentu adalah tidak beretika.
Karena dengan adanya deal tersebut, mereka tidak menghargai
sesama dalam hal ini adalah pasien, dimana pasien berhak
mendapatkan suatu obat yang benar-benar dibutuhkan mereka
13
dengan harga paling ekonomis sehingga tidak makin
memberatkan pasien yang sudah menderita karena penyakitnya.
Juga ketika terjadi kolusi yang menjurus kearah negative, maka
biaya yang dikeluarkan untuk memanjakan dokter otomatis akan
dibebankan kepada konsumen melalui harga obat yang sangat
mahal. Hal ini didukung adanya peraturan Pemerintah Indonesia
yang hanya mengatur batas maksimal untuk obat generik namun
tidak mengatur batas harga obat paten. Celah ini dimanfaatkan
oleh detailer dan dokter dengan memberikan resep obat dengan
menyebutkan merek tertentu (obat tersebut merupakan obat
paten) ditambah dengan ketidaktahuan konsumen bahwa ada
alternatif yang lebih murah yaitu obat generik dengan kandungan
bahan aktif yang sama dengan obat paten tersebut, sehingga
konsumen terpaksa membeli obat dengan harga yang jauh lebih
mahal. Yang dikhawatirkan adalah, ketika yang membutuhkan
obat tersebut adalah masyarakat yang tidak mampu dan tidak
memiliki asuransi sehingga dengan terpaksa tidak membeli obat
yang diresepkan oleh dokter dan tidak berani bertanya kepada
dokter karena merasa kurang percaya diri sehingga berakibat
fatal/kematian pada individu tersebut, maka hal ini sungguh
sangat tidak beretika karena hak manusia untuk hidup, hak untuk
merasa aman dan kebebasan untuk memilih obat yang lebih
murah dengan tingkat kemanjuran yang sama telah dilanggar oleh
aktivitas kolusi antara detailer dan dokter tersebut. Hal ini juga
melanggar hak untuk mendapatkan informasi yang sebenar-
benarnya karena dokter tidak memberikan penjelasan yang
sebenar-benarnya (hanya penjelasan sepotong untuk
menjustifikasi bahwa obat yang diresepkan benar) mengenai obat
14
apa yang sebenarnya perlu diminum demi kesembuhan pasien
nya.
c. Keadilan
Dengan adanya kolusi antara detailer dan dokter dimana secara
legal aspek tidak melanggar, namun dari sisi pasien akan
berpotensi memperoleh kerugian, apakah hal tersebut adil bagi
pasien ? Sehingga apakah bisa dikatakan kolusi tersebut
beretika ? Di tinjau dari sisi individu yang berperan dalam
industri obat maupun mitra pemasarannya, ketika penjualan obat
meningkat, maka karyawan dan pengusaha di industri obat akan
semakin sejatera begitu juga dokter yang menjadi mitranya,
namun di sisi yang lain, konsumen ataupun masyarakat pada
umumnya akan merasakan bebannya karena harga obat juga
dipengaruhi oleh budget yang dikeluarkan untuk aktivitas kolusi,
sehingga semakin mahal dan dapat menyebabkan tidak terbelinya
obat oleh pasien karena ketidakmampuan secara ekonomi.
Sumber dari SWA mengatakan bahwa untuk aktivitas promosi
dan pemasaran mengambil 10% dari penjualan dan untuk obat
ethical yaitu obat yang dilarang untuk diiklankan dialokasikan
sampai dengan 50% untuk aktivitas promosi dan pemasaran.
3. Analisa dan Kesimpulan
Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan diatas
antara lain :
a. Industri-industri farmasi PMA yang tergabung dalam
International Pharmaceuticals Manufacturer Group (IPMG)
membuat kode etik tentang pemasaran produk farmasi di Indonesia.
Aturan-aturan yang dikeluarkan meliputi materi promosi, prosedur
dan tanggung jawab perusahaan. Beberapa aturan yang diterapkan
15
adalah dilarang memberikan uang atau sejenisnya kepada
professional medis dan sponsorship dan bantuan hanya boleh
diberikan kepada organisasi saja. Namun kode etik ini tidak
memiliki dampak hukum, tetapi hanya memberikan sanksi moral
dimana nama baik perusahaan tersebut akan tercemar di dunia
internasional dan hanya berupa pemberian surat peringatan atau
dikeluarkan dari keanggotaan saja.
b. Pada tanggal 11 Juni 2007 di gedung Departemen
Kesehatan, terjadi penandatanganan bersama mengenai etika
promosi obat antara Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI)
dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Penandatangan kesepakatan
tersebut selain dihadiri sejumlah pengusaha, pengurus IDI juga
dihadiri pemerintah yang diwakili oleh Drs. Richard Panjaitan Apt.,
SKM, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes.
Terdapat 7 poin yang disepakati yaitu beberapa di antaranya adalah :
- Dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu
- Dukungan indutri farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak
boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan obat industri
farmasi tersebut.
- Industri farmasi dilarang memberikan honorarium kepada
dokter
- Donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan
penulisan resep atau penggunaan produk dari industri farmasi
tertentu
Namun penandatangan bersama itu sifatnya adalah hanya untuk
mengingatkan saja. Tidak ada sanksi hukum yang mendukung
dibelakangnya. Sanksi nya hanya secara moral saja. Dan menurut
beberapa sumber majalah SWA, kesepakatan ini dibuat karena GPFI
dan IDI makin gerah, sebab muncul efek domino dari terjadinya
16
pelanggaran etika menyebabkan harga obat melambung tinggi dan
ujungnya, konsumen berteriak keras selain itu juga muncul rumor
bahwa kesepakatan itu dibuat hanyalah karena akhir-akhir ini,
persaingan dalam memasarkan obat menjadi semakin tidak sehat,
dimana mereka jor-jor an memperebutkan dokter, rumah sakit,
apotik dan apoteker.
Kesimpulannya adalah selama tidak adanya sanksi hukum yang
mendukung terhadap cara-cara pemasaran obat, maka apabila hanya
mengandalkan kepedulian pemasaran yang beretika saja, maka
dilapangan akan masih banyak dijumpai praktik-praktik kolusi
karena dari sifat bisnis itu sendiri yaitu mencari keuntungan
semaksimal mungkin demi kelangsungan dan perkembangan
perusahaan.
Saran dari kelompok dimana elemen inti yang diperlukan dalam
membangun etika antara dokter dan perusahaan farmasi adalah:
Komitmen top management dan Lini Manager di bawahnya dalam
perusahaan farmasi adalah kunci dalam perusahaan dimana mereka
adalah pembuat keputusan yang akan dijalankan para pegawai,
dimana keputusan ini mempengaruhi tidakan pegawai, apakah
pegawai akan melakukan tindakan yang melanggar etika atau tidak.
Oleh karena itu moral pengambil keputusan harus dibangun sehingga
dapat lebih bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-
keputausan dalam perusahaan farmasi. Selain itu medical
representative sebagai ujung tombak dalam pemasaran produk
farmasi juga harus dibangun kepribadiannya sehingga memiliki
integritas yang tinggi, berdedikasi, dan jujur. Membangun
kepribadian dapat dilakukan dengan training-training mengenai
17
moralitas serta penyampaian komitmen dan kebijakan dari
pengambil keputusan dalam menjalankan bisnisnya.
Making ethics juga harus melibatkan pihak regulator atau Badan
POM dan Kementerian Kesehatan yang bisa melakukan Law
enforcement apabila terjadi penyimpangan terhadap etika dengan
sanksi yang jelas seperti menjalankan Peraturan Pemerintah 51 Pasal
24 Tahun 2009 dimana pemberian wewenang kepada apoteker untuk
mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang lebih murah
tetapi memiliki kemanjuran yang sama dengan persetujuan dokter
dan atau pasien. Dengan adanya kolaborasi antara dokter dan
apoteker diharapkan dapat mengurangi pelanggaran etika yang
terjadi dan masyarakat semakin diuntungkan.
18
DAFTAR PUSTAKA
John R Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 6th ed. Upper Saddle
River, NJ : Prentice Hall, 2009.
Etika Bisnis; tuntutan dan relevansinya. DR.A. Sonny Keraf. Jakarta;
Penerbit Kanisius,1998
http://bj.sisfo.net/art/artikel.php. diakses tanggal 7 april 2012
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp. diakses tanggal 7
april 2012
19