repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · bab ii tinjauan tentang...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN
F. Pengertian dan Asas-Asas Perjanjian
Dinamika perkembangan masyarakat tidak terlepas dari kodrat manusia
sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain atau yang dikenal
sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Melalui interaksi sosial yang selalu
dilakukan itulah muncul perjanjian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak
atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.14
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUH Perdata) dinyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.15
Bahwa
dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian
mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini
dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang
(pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas suatu
prestasi tersebut.
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ihktisar Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta, Balai Pustaka, 2005), hal. 458. 15
Ahmadi Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
1456 KUH Perdata), (Jakarta, Rajawali Pers, 2011), hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
15
Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan yang
dinyatakan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari
perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu
orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri“ sifatnya hanya datang dari
satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan
saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian
perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa,
tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus,
seharusnya digunakan kata persetujuan
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan,
yaitu janji kawin yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan
debitur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian
yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian. Tanpa menyebut
tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.16
Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman kelemahan pengertian
perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu:
Pengertian perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH
Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. pengertian itu
dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di
dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata
Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai
dengan uang.17
Pengertian perjanjian para pakar sarjana hukum memiliki pendapat yang
berbeda-beda satu sama lain, ini terjadi karena masing-masing ingin
mengemukakan atau memberikan pandangan yang dianggapnya lebih tepat.
Beberapa pandangan mengenai perjanjian adalah :
16
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung, Citra Aditya, 1992). hal 78. 17
Mariam Darus Badrulzaman, (1) Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, Citra Aditya
Bakti, 2001) hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
16
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang
berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melakukan
suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
pembuatnya. Dalam bentuknya perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.18
Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.19
Menurut Ahmadi Miru, perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di
mana seorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 20
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua
perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh
pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian
yang akan mengikat kedua belah pihak.
Asas hukum merupakan suatu landasan yang paling luas bagi lahirnya
peraturan hukum. Peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa dikembalikan
kepada asas-asas tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar
yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan
perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum
18
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 19, (Jakarta, Intermasa, 2005), hal. 1. 19
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006),
hal. 140. 20
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta, Rajawali Pers,
2017), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
17
dari peraturan konkrit tersebut. Ada tiga belas asas perjanjian, akan tetapi menurut
para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting, yaitu:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah
merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis.
Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis
dan mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya (Donald Harris and
Dennis Tallon) sebagaimana diketahui Code Civil Perancis mempengaruhi
Burgerlijk Wetbook (BW) Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi
maka BW Belanda diadopsi dalam KUH Perdata Indonesia. 21
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui
ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.
Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”22
. Asas kebebasan berkontrak ini bermakna bahwa setiap orang bebas
membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh
tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 dan
Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan bahwa : “semua
21
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisis Kasus), (Jakarta, Kencana, 2014),
hal 4. 22
Salim H.S., (1) Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta, Sinar
Grafika, 2009), hal 9.
Universitas Sumatera Utara
18
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”23
. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini oleh
sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang
mendasarkan pada Pasa 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat
sahnya perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan bagi para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.24
Keempat hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak merupakan
suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini
tidak terlepas dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum
yang mengatur sehingga para pihak menyimpanginya (mengesampingkannya),
kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
23
Ibid. 24
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian DiIndonesia, (Yogyakarta, Pustaka Yustisia,2002),
hal 44
Universitas Sumatera Utara
19
2. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak)
Pada mulanya, suatu perjanjian atau kesepakatan harus ditegaskan dengan
sumpah, namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja
kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para
pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat
dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya
kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, meskipun demikian perlu
diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu
dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan
atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.25
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata26
dalam pasal itu dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak, ini mengandung makna, suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada
saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang
dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebutlah yang dijadikan dasar
kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.
25
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 29 26
Salim H.S (2), Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2014, hal 10
Universitas Sumatera Utara
20
3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak
tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan
janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal
ini dapat dinyatakan pada Pasal 1338 ayat (1) yang dinyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang dinyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”27
4. Asas Iktikad Baik (Geode Trouw)
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat
(3). Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perunding-
perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan
berhadapan dalam suatu hubungan hukum khususnya yang dikuasai oleh iktikad
baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah
27 Salim H.S, (1) Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
21
pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar
dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu
kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar
terhadap pihak lawan sebelum menandatangani perjanjian atau masing-masing
harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup perjanjian yang berkaitan
dengan iktikad baik.28
Ada dua asas makna iktikad baik, pertama, dalam kaitannya dengan
pelaksanaan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata. Dalam kaitan ini iktikad baik atau bonafides diartikan perilaku yang patut
dan layak antara dua belah pihak (redelijkheid en billikheid). Pengujian apakah
suatu tingkah laku itu patut dan adil didasarkan pada norma-norma objektif yang
tertulis. Kedua iktikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui
adanya cacat, seperti pembayaran dengan iktikad baik sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1386 KUH Perdata.29
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yang dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik”. Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat
hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak
dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditor, maupun
pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.30
28
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 5 29
Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, (Yang Lahir dari
Hubungan Kontraktual (Jakarta, Kencana, 2014), hal 77. 30
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, (1) Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003), hal.80.
Universitas Sumatera Utara
22
Walaupun iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan
pada tahap pra perjanjian, secara umum iktikad baik harus selalu ada pada tahap
perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu dapat diperhatikan oleh pihak
lain.
5. Asas Kepribadian (Personalia)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseoang yang
akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan
perorangan saja. Hal ini dapat dinyatakan pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata.
Asas personalia dinyatakan pada Pasal 1315 KUH Perdata, dinyatakan
bahwa “Pada umumya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”.
Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para
pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak ketiga).31
Intinya
ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk penting
dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antar
pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata,
yang dinyatakan dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga,
bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
31
Ibid, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
23
seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan
suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak
hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hakl daripadanya.32
Asas kepribadian disimpulkan sebagai asas kepribadian yang berarti
bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk
kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat
perjanjian untuk kepentingan pihak lain.
Munir Fuady, beberapa asas lainnya dalam hukum perjanjian, yaitu: .
1. Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya
mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal
yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga mengikat
dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan katakata dalam
kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli satu rim kertas
dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan tetapi jika ada
pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan 395 lembar, hal
tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah melakukan
wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400 lembar) sebab
menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau kekurangan 10 lembar
dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam bisnis semacam itu.
2. Sutu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip
kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai dengan prinsip hukum yang
universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh
dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, jika ada kontrak yang
bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut
sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku yang menurut
Pasal 1339 KUH Perdata, hal tersebut tidak dibenarkan. 33
Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan beberapa
asas lain yang dinyatakan dalam KUH Perdata yaitu:
1. Asas kepercayaan. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama
lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak
mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak
32
Salim H.S (2), Op.Cit, hal 13. 33
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2001), hal. 82-83.
Universitas Sumatera Utara
24
mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang.
2. Asas persamaan hukum. Asas ini menempatkan para pihak di dalam
persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit,
bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak
wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk
menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
3. Asas keseimbangan. Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan
dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur
dan debitur seimbang.
4. Asas kepastian hukum. Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus
mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan
mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
5. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat
kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman zaakwarneming
dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral)
yang bersangkutan mempunya kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH
Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan dari hati nuraninya.
6. Asas kepatutan. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas
kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas
kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.34
G. Jenis-Jenis Perjanjian
Jenis-jenis perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang bukan
merupakan perjanjian yang bersahaja atau perjanjian yang dapat dilaksanakan
dengan mudah karena para pihak hanya terdiri atas masing-masing satu orang dan
objek perjanjiannya pun hanya satu macam, dan lain-lain yang terkait dengan
perjanjian tersebut serba bersahaja.35
34
Mariam Darus Badrulzaman, (1), Op.Cit, hal 87-89. 35
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 52.
Universitas Sumatera Utara
25
Perjanjian yang tidak bersahaja yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian Bersyarat
Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang digantungkan pada suatu
peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi.
Perjanjian bersyarat ini dapat dibagi dua, yaitu perjanjian dengan syarat tangguh
dan kontak dengan syarat batal. Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat
tangguh jika untuk lahirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa
tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi sedangkan suatu perjanjian
disebut perjanjian dengan syarat batal jika untuk batalnya atau berakhirnya
perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan
belum tentu akan terjadi. Berkenaan dengan hukum perjanjian, pada asasnya suatu
syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal
adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya, dan
membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah
ada suatu perjanjian, demikianlah Pasal 1265 KUH Perdata. Berlaku syarat batal
maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau
mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan
semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini
berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan
yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum
tentu terjadi secara membatalkan perikatan. Dengan demikian, syarat batal itu
Universitas Sumatera Utara
26
mewajibkan si berpiutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya,
apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.36
2. Perjanjian dengan Ketetapan Waktu
Perjanjian dengan ketentuan waktu dinyatakan dalam Buku III, Bab I,
bagian 6 (enam) meliputi Pasal 1268-1271 KUH Perdata. Perjanjian dengan
ketentuan waktu adalah perjanjian yang berlaku atau hapusnya digantungkan
kepada waktu atau peristiwa yang akan terjadi dan pasti terjadi. Pada umumnya
jika peristiwanya belum tentu terjadi maka termasuk dalam perjanjian bersyarat.
Dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu,
dengan melihat maksud dari para pihak37
3. Perjanjian Mana Suka atau Alternatif
Perjanjian mana suka atau alternatif diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perjanjian alternatif, debitur
dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu di antara prestasi yang
telah ditentukan. Di sini alternatif didasarkan pada segi sisi dan maksud
perjanjian.38
Dalam hal terjadi perjanjian mana suka ini, debitur diperkenankan
untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam perjanjian.
Hak untuk memilih dalam perjanjian mana suka ini selalu dianggap diberikan
kepada debitur, kecuali kalau secara tegas hak memilih tersebut diberikan kepada
kreditur.39
36
Subekti, Op.Cit, hal 6. 37
Ahmadi Miru & Sakka Pati, Op.Cit, hal 245 38
Salim. H.S. (3) Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika
Offset, 2006), hal 180. 39
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 56.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Perjanjian Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
KUH Perdata tidak memberikan satu pengertian atau definisi perjanjian
tanggung menanggung atau perjanjian tanggung renteng.40
Berdasarkan ketentuan
Pasal 1278 KUH Perdata dan Pasal 1280 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1278 KUH Perdata dan Pasal 1280 KUH Perdata
dinyatakan bahwa suatu perjanjian tanggung-menanggung atau perjanjian
tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika dalam bukti persetujuan
secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan
seluruh utang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang di
antara mereka, membebaskan debitur meskipun perikatan itu menurut sifatnya
dapat dipecah dan dibagi antara para kreditur tadi.
5. Perjanjian yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi
Suatu perjanian, dapat atau tak dapat dibagi, adalah sekedar prestasinya
dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat
prestasi itu. Soal dapat dibagi atau tidak dapat dibaginya suatu prestasi itu terbawa
oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari
maksud perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan
untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya tak
dapat dibagi kewajibannya untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak
dapat dibagi-bagi tanpa kehilangan hakikatnya.41
40
Gunawan Wijaya dan Kartini Muljadi, (2) Penanggungan Utang dan Perikatan
Tanggung Menanggung, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006), hal.118 41
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta, Pradnya
Paramita, 2006), hal. 299
Universitas Sumatera Utara
28
6. Perjanjian dengan ancaman hukuman
Ancaman hukuman merupakan suatu klausul kontrak yang memberikan
jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika
debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, debitur diwajibkan melakukan sesuatu
atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim
manakala debitur telah memenuhi sebagian prestasinya. Pada dasarnya ancaman
hukuman adalah ganti kerugian yang ditetapkan lebih dahulu oleh para pihak
manakala debitur lalai memenuhi prestasinya sehingga kreditor tidak
diperkenankan menuntut prestasi pokok bersama-sama dengan ancaman
hukumannya, kecuali kalau ancaman hukuman itu sekedar dijatuhkan terhadap
keterlambatan pemenuhan prestasi.42
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak
dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya
perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa
Pasal 1548 KUH Perdata. Perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua
belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan
berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan
hak menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Seperti perjanjian hibah. Dalam hibah
ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan
42
Subekti, Op.Cit, hal 2.
Universitas Sumatera Utara
29
barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai
kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang
dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Seperti hibah dan pinjam pakai Pasal
1666 dan 1740 KUH Perdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil perjanjian konsensuil adalah perjanjian
yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang
membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata
sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Seperti perjanjian penitipan barang
Pasal 1741 KUH Perdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUH
Perdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan
bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum
notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).
Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus
dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama perjanjian
bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan
khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII.
Seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak
bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-
Universitas Sumatera Utara
30
undang. Seperti perjanjian pembiayaan, perjanjian keagenan dan distributor,
perjanjian kredit.43
Berdasarkan jenis-jenis perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa semua
jenis-jenis perjanjian tersebut di atas masing-masing mempunyai konsekuensi
hukum bagi para pihak dalam perjanjian.44
Jenis perjanjian yang digunakan dalam
BPJS Kesehatan adalah perjanjian bersyarat sesuai dengan Pasal 1265
KUHPerdata, yang dinyatakan bahwa Suatu syarat batal adalah syarat yang bila
dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.
H. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah apabila mengikat kedua belah
pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu dapat
dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya, perjanjian
tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Oleh karena itu, agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang,
haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Syarat sah perjanjian dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Kesepakatan
Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan
(konsensus) para pihak. Kesepakatan ini dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1)
43
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung, Alfabeta, 2003), hal
82. 44
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis)cetakan kedua,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007), hal 3
Universitas Sumatera Utara
31
KUHPerdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. 45
Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri artinya bahwa semua
pihak menyetujui atau sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini
tidak terdapat unsur paksaan ataupun penipuan. Hal ini berdasarkan dalam
ketentuan Pasal 1321 yang dinyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena paksaan.Adanya
paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman Pasal 1324
KUH Perdata, adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi
juga adanya tipu muslihat Pasal 1328 KUH Perdata. Terhadap perjanjian yang
dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan
pembatalan.
2. Kecakapan
Kecakapan yang dimaksud dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata syarat
kedua yaitu kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan
perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri tanpa dapat
diganggu gugat.46
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya
diukur dari usia dewasa atau cukup umur, dikatakan dewasa bagi mereka yang
sudah berumur 21 tahun dengan landasan Pasal 1330 KUH Perdata. Sementara
pada sisi lain menggunakan standard usia 18 tahun, sebagai Pasak 47 juncto Pasal
50 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
45
Salim H.S, (2), Op.Cit, hal 23 46
Yahman, Op.Cit, hal 58-59
Universitas Sumatera Utara
32
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata yang dimaksud tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang dibawah pengampunan.
c. Perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat persetujuan tertentu.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun
1963 ketentuan mengenai kedudukan wanita telah bersuami itu diangkat sama
dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan
pengadilan tidak memerlukan bantuan suaminya dengan demikian sub ketiga dari
Pasal 1330 KUH Perdata telah dihapus. Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan
bahwa : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun
dan tidak kawin sebelum mereka genap 21 tahun, maka mereka kembali berstatus
belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang
tua berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan rasa. Dari uraian tentang
usia dewasa dapat disimpulkan bahwa dewasa adalah bagian mereka yang sudah
genap umur 21 tahun. 47
3. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu berarti bahwa sesuatu yang diperjanjikan atau yang menjadi
objek perjanjian harus jelas, dan dapat ditentukan jenisnya. Di dalam berbagai
literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
47
Ibid
Universitas Sumatera Utara
33
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif.
Prestasi terdiri atas:
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu, dan
c. Tidak berbuat sesuatu Pasal 1234 KUH Perdata48
Yang menjadi prestasi perjanjian adalah menyerahkan hak atas rumah itu dan
menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu. Misalnya dalam perjanjian
kerja, maka yang menjadi pokok perjanjian adalah melakukan pekerjaan dan
membayar upah. Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan
oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa. Hal
tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang,
keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang
menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung,
menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa,
harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak49
4. Suatu Sebab Yang Halal
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang
mendorong orang untuk membuat perjanjian, yang dimaksud dengan sebab yang
halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab
48
Salim HS. (2) Op.Cit, hal 24 49
Gunawan Wijaya dan Kartini Muljadi, (1) Op. Cit, hal 93
Universitas Sumatera Utara
34
dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan
dicapai oleh pihak-pihak.50
Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan
perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337
KUH Perdata.51
Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subjektif), dan;
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek
perjanjian (unsur objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur
kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan
dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif
meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang
diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati
untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau
diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari
keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan
perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat
dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun
batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan
50
Ahmadi Miru, Op. Cit. hal. 30 51
Mariam Darus Badrulzaman, (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III
Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Edisi II, Cet. I (Bandung, Alumni, 1996), hal 26
Universitas Sumatera Utara
35
pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat
dipaksakan pelaksanaannya52
I. Prestasi dan Wanprestasi/Pembelaan Debitur Yang Wanprestasi
Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari
dibitur untuk memenui suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan
terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu berarti prestasi buruk
(wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wabdadad perbuatan buruk).53
Pelanggaran hak-hak kontraktual menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan
wanprestasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1236 KUH Perdata (untuk
prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi
berbuat sesuatu). Kemudian berkenaan dengan wanprestasi dalam Pasal 1234 BW
dinyatakan bahwa penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan, abrulah mulai diwajibkan apabila siberutang setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampauinya.
Menurut Setiawan,54
dalam praktik sering dijumpai ingkar janji dalam
hukum perdata, ada tiga bentuk ingkar janji :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Terlambat memenuhi prestasi.
52
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, (1) Loc. Cit. 53
Subekti, Op.Cit., hal 45 54
Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1994), hal 18
Universitas Sumatera Utara
36
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Sehubungan dengan perbedaan ingkar janji seperti tersebut diatas, timbul
suatu persoalan bagaimana jika debitur yang tidak memenuhi prestasi tepat pada
waktunya harus dianggap terlambat atau tidak memenuhi prestasi, maka debitur
dapat dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Adapun debitur masih dapat
diharapkan memenuhi prestasi. Jika tidak memenuh prestasi secara baik, maka
debitur dianggap terlambat memenuh prestasi secara tidak baik.
Menurut Subekti,55
wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur
dapat berupa empat jenis yaitu :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap56
secara umum wanprestasi yaitu,
“pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya”. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam
keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi dalam
perjanjian telah lalai, sehingga “terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan
atau dalam melaksanakan suatu prestasi tidak menurut “sepatunya atau
selayaknya”. Dalam membericarakan “wanprestasi” tidak terlepas dari masalah
“pernyataan lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim). Akibat yang
timbul dari wanprestasi ialah keharusan bagi debitur membayar ganti atau dengan
55
Subketi, Op.Cit., hal 45 56
M. Yahya Harahap, Segi- Segi Hukum Perjanjian, (Bandung, Alumni, 1986), hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
37
adanya wanprestasi salah satu pihak, maka pihak yang lainnya dapat menuntut
“pembatalan kontrak/perjanjian”.57
Wanprestasi terjadi disebabkan kerena adanya kesalahan, kelalaian, dan
kesengajaan. Debitur kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang, tidak ada
kewajiban untuk memelihara barang sebagaimana disyaratkan oleh undang-
undang, bertanggung jawab atas berkurangnya nilai harga barang tersebut karena
kesalahan. Yang dimaksud adanya “kesalahan”, harus dipenuhi syarat-syarat,58
yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan yang dilakukan harus dapat dihindarkan.
2. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepada sipembuat yaitu bahwa ia
dapat menduga tentang akibatnya.
Suatu akbat itu dapat diduga atau tidak, untuk mengukur atau mengetahui
dugaan akibat itu dilihat dari unsur “objektif dan subjektif”. Objektif, yaitu
apabila kondisi normal akibat tersebut sudah dapat diduga, sedangkan unsur
subjektif yaitu akibat yang diduga menurut penilaian seorang ahli. Kesalahan
mempunyai dua pengertian, yaitu kesalahan dalam arti luas yang meliputi unsur
kesengajaan dan kelalaian dalam arti sempit yang menyangkut kelalaian saja.59
Kesengajaan merupakan perbuatan nyang dilakukan dengan diketahui dan
dikehendaki. Oleh karena itu, saat terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya
maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain, cukup diketahui dan si
pelaku tetap melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kelalaian merupakan
57
Ibid 58
Ibid, hal 64 59
Ibid, hal 67
Universitas Sumatera Utara
38
sebuah perbuatan. Dimana seorang pelaku mengetahui akan kemungkinan
terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
Untuk menentukan unsur kelalaian atau kealpaan tidaklah mudah perlu
dilakukan pembuktikan, karena seringkali tidak dijanjikan dengan tepat kapan
sesuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Misalnya dalam
jual beli barang tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar kepada pembeli,
atau kapan pembeli harus membayar uang harga barang tadi. Yang paling mudah
untuk menetapkan seorang melakukan wanprestasi ialah dalam perjanjian yang
bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu
melakukannya berarti ia melanggar perjanjian, ia dapat dikatakan melakukan
wanprestasi.60
Prestasi adalah suatu hubungan hukum yang lahir karena perjanjian dan
senantiasa melibatkan minimal dua pihak, yaitu pihak debitur dan pihak kreditur.
Debitur wajib melakukan suatu prestasi, dan prestasi inilah yang dikenal sebagai
objek dari perjanjian.61
Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan
prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian akan
menimbulkan ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat dibuktikan bukan
karena overmacht atau keadaan memaksa. Perkataan wanprestasi berasal dari
bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi
60
Subketi, Op.Cit., hal 46 61
Arus Akbar Silondae, Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, (Medan,
Mitra Wacana Media, 2012), hal 7
Universitas Sumatera Utara
39
adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak
dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian.62
Pembelaan debitur yang dituduh lalai untuk membebaskan diri, yaitu:
1. Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).
KUHPerdata soal keadaan memaksa dinyatakan dalam Pasal 1244-1245.
Dua pasal ini terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi. Dasar
pikiran pembuat undang-undang adalah keadaan memaksa yaitu suatu alasan
untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Pasal 1244 dinyatakan
bahwa jika ada alasan untuk itu, di berhutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena
suatu hal tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya, Pasal 1245
dinyatakan bahwa tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena
karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau
karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuat yang terlarang.63
Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat dilihat bahwa keadaan memaksa itu
adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja dan tak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa
tdak dapat menepati janjinya.
62
Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003), hal. 221 63
Subekti, Op.Cit, hal 56
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam pada itu dapat terjadi suatu peristiwa yang tak terduga di luar
kesalahan pihak debitur, tetapi segala akibat peristiwa itu harus dipikulkan
kepadanya, karena debitur telah menyanggupinya atau karena penanggungan
segala akibat itu termaktub dalam sifatnya perjanjian.
2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (Exceptio
non adimpleti contractus)
Prinsip atau asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di
dalam sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim.64
Prinsip hukum diperlukan sebagai dasar
pembentukan aturan hukum dan sekaligus sebagai dasar dalam menyelesaikan
persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia tidak
memadai.
Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan dapat pula dijadikan dasar
bagi hakim di dalam menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang
dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada aturan
hukum positif.65
Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar
ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak
menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas
bahwa kedua belah pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya. Dalam
64
M. Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
(Surabaya, Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 26 65
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta, Liberty,
2005), hal. 34
Universitas Sumatera Utara
41
Pasal 1478 KUH Perdata dinyatakan si penjual tidak diwajibkan menyerahkan
barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak
mengizinkan penundaaan pembayaran tersebut. Berdasarkan perjanjian timbal
balik yang mana kewajiban para pihak berhubungan sangat erat antara satu sama
lain, maka kiranya dapat diterima, bahwa jika pihak yang satu menuntut
pemenuhan kewajiban dari pihak yang lain, maka pihak tersebut sudah seharusnya
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati di dalam perjanjian.
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan hak nya unuk menuntut ganti
rugi (rechtsverwerking).
Alasan lain yang dapat membebaskan debitur yang dituduh melakukan
kelalaian dalam melaksanakan prestasi dan memberikan alasan untuk menolak
pembatalan perjanjian adalah pelepasan hak atau rechtsverwerking. Maksud dari
hal tersebut adalah suatu sikap dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh
pihak debitur bahwa pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi dari pihak
debitur.
J. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian dinyatakan pada Pasal 1381 KUHPerdata.
Dengan berakhirnya suatu perjanjian adalah selesainya atau hapusnya sebuah
perjanjian yang diadakan oleh dua pihak yaitu kreditur dan debitur tentang sesuatu
hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi,
sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Bisa
Universitas Sumatera Utara
42
berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli,
utang piutang, sewa menyewa.66
Pasal 1381 KUHPerdata berakhirnya suatu perjanjian disebabkan:
1. Sebab Pembayaran
Pembayaran yang dimaksud pada bagian ini berbeda dari istilah
pembayaran yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari karena
pembayaran dalam pengertian sehari-hari harus dilakukan dengan
menyerahkan uang sedangkan menyerahkan barang selain uang tidak
disebut sebagai pembayaran, tetapi pada bagian ini yang dimaksud dengan
pembayaran adalah segala bentuk pemenuhan prestasi.67
2. Sebab Penawaran
Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, apabila
seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur
dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika
kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan uang
atau barang di pengadilan, membebaskan debitur dan berlaku baginya
pembayaran asal penawaran itu dilakukan berdasarkan undangundang, dan
apa yang dititipkan itu merupakan atas tanggungan kreditur.68
3. Sebab Pembaharuan Utang (Novasi)
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata pembaharuan utang terjadi karena:
66
Salim HS, (2), Op.Cit, hal 187 67
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 88. 68
Ibid, hal 96.
Universitas Sumatera Utara
43
a. Apabila antara kedua belah pihak diadakan perjanjian baru untuk
mengganti perjanjian lama yang degan ini dihapuskan
b. Apabila subjek uang dibebani kewajiban diganti subjek baru dan dengan
demikian subjek lama dikeluarkan dari kewajiban
c. Apabila subjek yang berhak diganti dengan subjek baru dan dengan
demikian subjek lama tidak berhak lagi.69
Pasal 1415 KUH Perdata menekankan bahwa adanya suatu pembaharuan
hutang harus terang ternyata dari perbuatan hukum dari para pihak tidak
boleh hanya dianggap saja.
4. Sebab Perjumpaan Utang atau Kompensasi
Perjumpaan utang atau kompensasi ini terjadi jika antar dua pihak saling
berutang antara satu dengan yang lain sehingga apabila utang tersebut
masing-masing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan
bebas dari utangnya. Perjumpaan utang ini terjadi secara hukum walaupun
hal itu tidak diketahui oleh debitur. Perjumpaan utang hanya dapat terjadi
jika utang tersebut berupa uang atau barang habis karena pemakaian yang
sama jenisnya serta dapat ditetapkan dan jatuh tempo.70
5. Sebab percampuran utang (konfusio)
Apabila kedudukan kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, utang
tersebut hapus demi hukum. Dengan demikian percampuran utang tersebut
juga dengan sendirinya menghapuskan tanggung jawab penanggungan
utang. Namun, sebaliknya, apabila percampuran utang terjadi pada
69
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Mandar Maju, 2011),
hal 138 70
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 102.
Universitas Sumatera Utara
44
penanggung utang, tidak dengan sendirinya menghapuskan utang pokok.
Demikian pula percampuran utang terhadap salah seorang piutang tanggung
menanggung tersebut tidak dengan sendirinya menghapus utang kawan-
kawan berutangnya.71
Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditur
dan debitur pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan dehitur pada
satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran
hutang sesuai dengan Pasal 1435 KUH Perdata.
6. Sebab Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditur
yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi
atau utang berdasarkan pada perikatanya kepada kreditur tersebut.
Pembebasan utang menghapuskan perikatan yang melahirkan utang yang
sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitur tersebut. 72
Namun
demikian pembebasan utang tidak dapat terjadi hanya dengan pernyataan,
tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya bukti yang kuat maka
pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur. Misalnya dengan
mengembalikan surat piutang kepada debitur.
7. Sebab Musnahnya Barang Yang Terutang
Jika suatu barang tertentu yang dijadikan objek perjanjian musnah, tidak
dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, hapuslah perikatannya, kecuali
71
Ibid, hal 104. 72
Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi (3), Hapusnya Perikatan (Jakarta, RajaGrafindo
Persada. 2002), hal 171.
Universitas Sumatera Utara
45
kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan debitur telah lalai menyerahkan
sesuai dengan waktu yang ditentukan.73
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, jika barang tertentu yang menjadi objek
perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
perikatan hapus. Dengan syarat musnahnya atau hilangnya barang itu di luar
kesalahan si berutang (debitur) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi
menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar
kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan prestasi
kepada kreditur. Namun ketentuan tersebut hanya adil pada perjanjian
cuma-cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban menurut
Pasal 1445 KUHPerdata, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah
di luar kesalahan debitur, maka debitur harus tetap melakukan prestasi
kepada kreditur. Artinya debitur tetap memberikan hak-hak atau tuntutan-
tuntutan ganti rugi kepada kreditur
8. Sebab Batal atau Pembatalan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUH Perdata bahwa ketentuan-
ketentuan disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan
perjanjian karena kekurangan syarat subjektif dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu:
a. Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian didepan
hakim.
73
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 105.
Universitas Sumatera Utara
46
b. Secara pembelaan yang itu menunggu sampai digugat didepan hakim
untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan
kekurangannya perjanjian itu.74
Dikatakan suatu perjanjian batal demi hukum yaitu apabila perjanjian itu
tidak memenuhi syarat objektif. Sedangkan terjadinya suatu pembatalan
apabila perjanjian-perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, mislanya
seorang anak yang belum dewasa mengadakan suatu perjanjian jual-beli
dengan seorang yang sudah dewasa maka perjanjian itu dapat dibatalkan
oleh orang tua anak tersebut dengan alasan karena anaknya belum dewasa.
Pembatalan itu dapat pula dilakukan oleh anak itu sendiri setelah dia
menjadi dewasa dan kedewasaanya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
9. Sebab Berlakunya Suatu Syarat Batal
Hapusnya perikatan yang diakibatkan oleh berlakunya syarat batal berlaku
jika kontrak yang dibuat oleh para pihak dibuat dengan syarat tangguh atau
syarat batal karena apabila kontrak tersebut dibuat dengan syarat tangguh
dan ternyata syarat yang dijadikan syarat penangguhan tersebut tidak
terpenuhi, kontrak tersebut dengan sendirinya batal. Demikian pula kontrak
yang dibuat dengan syarat batal, apabila syarat batal tersebut terpenuhi,
kontrak tersebut dengan sendirinya batal.75
Dalam Pasal 1265 KUH Perdata
dinyatakan kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena
terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
74
Subekti, Op.Cit, hal 75-76 75
Ahmadi Miru, Op.Cit, hal 109.
Universitas Sumatera Utara
47
10. Sebab Lewatnya Waktu (Kadaluarsa).
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)
perjanjian. Berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan perjanjian
karena suatu perjanjian dikatakan berakhir apabila segala sesuatu yang
menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara para
pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan diadakannya
perjanjian telah tercapai oleh para pihak.76
Selain cara hapusnya perjanjian seperti yang telah dijelaskan di atas maka
berakhirnya suatu perjanjian, yaitu
1. Karena tujuan perjanjian sudah tercapai;
2. Dengan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2)
KUHPerdata;
3. Karena ketentuan undang-undang, misalnya: Pasal 1601 KUHPerdata
tentang perburuhan, jika si buruh meninggal, maka perjanjian perburuhan
menjadi hapus;
4. Karena ditentukan oleh para pihak mengenai perjanjian dengan jangka
waktu tertentu;
5. Karena keputusan hakim; dan
6. Karena diputuskan oleh salah satu pihak, yaitu jika salah satu pihak tidak
melakukan prestasi, maka pihak lainnya tidak wajib melakukan kontra
prestasi.77
76
Suharnoko, Op.Cit hal. 30 77
https://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/hapusnya-perikatan/diakses tanggal
12 Maret 2017.
Universitas Sumatera Utara