filmgajahmada.comfilmgajahmada.com/wp-content/uploads/2011/01/gajahmada.pdf · enurut a.l. kroeber,...
TRANSCRIPT
Telaah Kejayaan Nusantara
menuju
Neo-Maritim Indonesia
Renny Masmada
“Peristiwa demi peristiwa membentuk kita menjadi semakin dewasa menyikapi
perkembangan peradaban warisan nenek moyang kita, tidak saja nusantara Jawa, namun
yang tersebar di seluruh nusantara seperti untaian permata di atas samudra biru, maupun
yang kemudian dibawa oleh masyarakat sebrang lautan. India dan Cina.
Kita semakin maju bersamaan dengan percampuran kebudayaan
itu. Namun sejarah mencatat, kita terlalu mudah untuk saling
curiga satu dan lainnya.
Peradaban dan kebudayaan akhirnya saling berbenturan. Darah
telah banyak tumpah di tanah tercinta ini untuk alasan yang tidak
jelas. Kenapa itu harus kita lakukan? Kita akhirnya menjadi budak
bagi diri kita sendiri.
Peradaban tidak lagi menjadi penting. Selain berpikir bagaimana kita mendapatkan
kebahagiaan atas pemerkosaan nilai-nilai peradaban?
Perpecahan akan semakin membuka jurang kecurigaan yang akhirnya akan
menenggelamkan peradaban selamanya.
Perpecahan ini akhirnya mengantarkan kita pada kelemahan terhadap kepercayaan
diri kita pada kekuatan yang tersimpan di setiap rongga dada kita. Kekayaan alam dan
kebudayaan yang seharusnya dapat membawa kita pada kemajuan dan kesejahteraan
rakyat hanya akan menjadi mimpi.
Akhirnya kita hanya akan menjadi pelayan bangsa asing. Warisan yang tersimpan,
akan menjadi milik orang lain.
Kita harus bersatu. Kita harus mempersatukan segala perbedaan untuk satu tujuan,
keberlangsungan tanah ini di tangan kita, bukan bangsa lain. Seluruh nusantara harus
bersatu.
Lihat saudara-saudaraku. Ini adalah Kiai Surya Panuluh. Pusaka milik Sang Prabu Sri
Kertarajasa, pendiri kerajaan ini. Yang diberikan kepada Paman Arya Tadah. Pekan lalu
pusaka besar ini diberikan kepadaku.
Pagi ini, aku sangat bangga atas anugerah Dewata.
Saudara-saudaraku, sesuai dengan sifat dan nama pusaka ini, Surya Panuluh, sebagai
penerang persada jagad raya, yang kini menjadi genggamanku.
Aku, Gajah Mada, Mahapatih Amangkubumi Majapahit, Wilwatikta Agung,
bersumpah ..........:
Lamun huwus kalah
nusantara,
isun amukti palapa,
lamun kalah Gurun,
ring Seram, Tanjung Pura,
ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik,
samana isun amukti
palapa. “
(Majapahit, 1334)
daftar isi
.
Bagian 1 Prawacana 7
Bagian 2 Temuan Sejarah 9
Bagian 3 Gajah Mada, Politik Nusantara dan Konsepsi Neo-Maritim 16
Bagian 4 Penutup 38
Kepustakaan
Tentang Penulis
kata pengantar
hinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa yang tertuang dalam naskah
Sutasoma karya agung Rakawi Tantular menjadi begitu penting untuk dimaknai bagi
bangsa Indonesia saat ini.
Lebih enam ratus tahun lalu, Gajah Mada, seorang negarawan sejati telah
membuktikan keampuhan falsafah ini menjadi kekuatan spiritual untuk membangun
persatuan yang terbukti mampu membawa bangsa yang sangat heterogen ini mencapai
kejayaan yang sangat disegani dan berwibawa di mata mancanegara.
Semua peristiwa sejarah masa itu dikupas
dalam buku ini dengan sangat realistis.
Buku ini diharapkan mampu memberikan
ruang gerak pemikiran yang sangat luas dan
futuristik bagi bangsa ini keluar dari
keterpurukan panjang di segala sektor, terutama
perekonomian, berdasarkan realita sejarah yang
pernah ada di Negara ini.
Kita harus perduli terhadap persoalan bangsa
dengan memberikan perbandingan masa
sekarang dengan sejarah masa lampau.
Kurangnya manuscript, catatan sejarah dan
situs mengenai Gajah Mada menyebabkan
begitu sedikitnya buku, analisis maupun hipotesis
mengenai tokoh besar ini.
Aku memberanikan diri menembus ruang dan waktu wilayah kesejarahan Gajah
Mada melalui berbagai pendekatan, mudah-mudahan dapat meramaikan kekayaan karya
sastra sejarah abad ini.
B
pen
gan
tar
Hipotesis mengenai konsepsi, gagasan dan pokok-pokok pikiran Gajah Mada pada
enam ratus tahun lalu yang terbukti mampu membawa bangsa ini ke zaman keemasan,
mudah-mudahan mampu memberikan sumbangan sangat besar bagi kita untuk kembali
mengkaji-ulang peristiwa sejarah saat itu terhadap kinerja bangsa kita saat ini.
Dalam buku ini, aku begitu percaya
diri memberikan ruang yang begitu luas
pada kita untuk ikut memahami bahwa
bangsa ini adalah bangsa besar, yang
pernah menjadi kekuatan besar di Asia
Tenggara ini, jauh enam ratus tahun lalu.
Majapahit sebagai cikal-bakal Negara
Kesatuan Republik Indonesia saat itu
digambarkan mampu memberikan
kepercayaan yang sangat besar pada
seluruh rakyatnya untuk bersama-sama
membangun rantai kepulauan yang
sangat luas ini.
Pada akhirnya, buku ini terasa begitu penting untuk dibaca. Selain memberikan
pemahaman tentang tokoh sejarah Gajah Mada, juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan pemikiran terhadap kebangkitan bangsa yang sekarang sedang mengalami
keterpurukan di segala bidang.
Tangerang Selatan, Januari 2011
Salam Nusantara..!
Renny Masmada
www.rennymasmada.com
www.filmgajahmada.com
Bagian 1
prawacana
eklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 menjadi tonggak sejarah lahirnya Wawasan
Nusantara.
Batas laut teritorial yang sebelumnya diatur di dalam Territoriale Zee Maritiem
Kringen Ordinatie 1939 (Ordinasi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim)
peninggalan kolonial Belanda, mengalami perubahan. Wilayah laut Indonesia menjadi
lebih luas. Walau Deklarasi Djuanda ditolak pada Konferensi Hukum Laut di Geneva
tahun 1958, namun momentum ini cukup memberikan semangat maritim yang pernah
ada sejak zaman Indonesia purba dulu.
Deklarasi Djuanda
dikukuhkan pada tanggal 18
Februari 1960 dalam
Undang-Undang No. 4/Prp
tahun 1960 tentang perairan
Indonesia.
Sedang Konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar
pokok pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara melalui Ketetapan MPRS No. IV
tahun 1973. Tahun 1978 pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva,
konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia Internasional.
Dan, pada 10 Desember 1982, dengan perjuangan diplomatik yang tak
kenal lelah, konsep Wawasan Nusantara dapat diterima dan ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS), yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17
tanggal 31 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
D
pen
gan
tar
Apalagi kemudian pada tanggal 26 September 1998, B.J. Habibie mengumumkan
deklarasi yang populer dikenal dengan Deklarasi Bunaken, menyatakan bahwa sudah
waktunya visi pembangunan dan persatuan Indonesia berorientasi ke laut.
Sebagai negara maritim terbesar di
dunia, Indonesia mulai kembali
memiliki kepercayaan diri memiliki
3,9 juta km² luas lautan yang
terbentang di antara 17.500 lebih
pulau yang tercatat sebagai pulau
terbanyak di dunia.
Yang menarik, adalah bahwa
Deklarasi Djuanda melahirkan
konsepsi Wawasan Nusantara.
Sedang Wawasan Nusantara sebenarnya adalah implementasi dari Politik Nusantara
yang diterapkan oleh Gajah Mada, Mahapatih Amangkubumi Majapahit lebih dari 600
tahun lalu.
Bagian 2
temuan sejarah
2.1. PRASEJARAH BANGSA
enurut A.L. Kroeber, ahli Antropologi, ras manusia dibagi dalam 4 golongan ras
besar, yaitu:
1. Caucasoid
Nordic (Eropa Utara sekitar Laut Baltik)
Alpine (Eropa Tengah dan Timur)
Mediterranean (sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia dan Irania)
Indic (India)
2. Mongoloid
Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah dan Asia Timur)
Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia dan Filipina)
American Mongoloid (Orang Eskimo di Amerika Utara sampai penduduk Terra del
Fuego di Amerika Selatan)
3. Negroid
African Negroid (benua Afrika)
Negrito (Afrika Tengah, sebagian Malaysia dan sebagian Filipina)
Melanesian (Papua/Irian dan Melanesia)
4. Ras-Ras Khusus (yang tidak dapat diklasifikasikan)
Bushman (di daerah gurun Kalahari di Afrika Selatan)
Veddoid (pedalaman Srilangka, Sulawesi Selatan)
Austroloid (penduduk asli Australia)
Polynesian (Kepulauan Mikronesia dan Polynesia)
Ainu (pulau-pulau Karafuto, Hokkaido di Jepang Utara)
M
pen
gan
tar
Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa ras besar yaitu ras Mongoloid, ras Melanesian
dan ras Veddoid.
Menurut Djoko Pramono dalam bukunya Budaya Bahari, sebagian besar teori tentang
kebudayaan prasejarah yang datang dari Barat menjelaskan bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia datang dari daratan Asia Tenggara (Indocina/Yunan) dalam dua
gelombang migrasi besar diperkirakan sekitar tahun 5.000 SM dan 2.000 SM.
Dalam buku yang sama, Djoko Pramono justru memberikan hipotesa berbeda.
Beberapa teori justru mengindikasikan dengan kuat bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia sudah ada sejak ribuan tahun sebelum migran besar itu.
Sekitar tahun 10.000 SM, nenek moyang bangsa Indonesia sudah
berdiam setidaknya di pulau-pulau Muna, Seram dan Arguni. Hal ini
terungkap berdasarkan temuan sejarah berupa cadas gua yang berisi
lukisan.
Dan lukisan itu banyak dipenuhi dengan lukisan perahu layar sebagai instrument
pokok dalam kehidupan bahari mereka.
Selain itu, temuan lainnya adalah temuan beberapa bukti prasejarah dari suku
Aborijin di Australia bertarikh 25.000 SM yang mempunyai kesamaan karakter dengan
bukti yang ditemukan di pulau Jawa.
Jauh sebelum itu, di Indonesia, banyak ditemukan fosil-fosil yang diduga sebagai
manusia tertua di bumi Nusantara Raya ini.
Tahun 1941, J. Von Konigswald, menemukan fosil rahang bawah yang diduga kuat
sebagai rahang manusia yang hidup pada zaman Antar-Pluvial I-II (sekitar lebih dari
400.000 SM). Temuan di lembah Bengawan Solo itu diberi nama Meganthropus
Palaeojavanicus.
Juga di lembah Bengawan Solo, di dekat desa Trinil, ahli dari Belanda Eugene DuBois
menemukan fosil-fosil berupa tengkorak atas, beberapa gigi dan sebuah tulang paha pada
tahun 1890, yang kemudian diberi nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang
berjalan tegak).
Berturut-turut kemudian juga ditemukan di dekat desa Ngandong di lembah
Bengawan Solo fosil-fosil yang kemudian dinamakan secara khusus yaitu Homo Soloensis.
Di desa Wajak, Tulungagung, Jawa Timur juga ditemukan fosil dari manusia yang
diduga hidup pada zaman Akhir-Pluvial IV (sekitar tahun 100.000 SM) diberi nama
Homo Wajakensis.
Juga bukti kuat temuan bekas kerajaan Marina di Madagaskar yang
didirikan oleh perantau dari Nusantara pada tarikh sebelum Masehi. Hal yang cukup
menarik apabila kita pahami jarak antara Nusantara sampai ke Madagaskar sejauh kurang
lebih 6.500 km.
Temuan prasejarah di atas memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa besar yang memang sudah mendiami tanah air ini jauh puluhan
bahkan ratusan tahun sebelum Masehi.
Temuan prasejarah di atas juga mengisyaratkan begitu kentalnya kehidupan nenek
moyang bangsa Indonesia dengan kehidupan bahari. Sebagai pelaut ulung, mereka
terbukti mampu mengarungi dunia sampai ke kawasan Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik.
2.2. PERADABAN NUSANTARA
i penghujung abad ke empat, Nusantara Raya ini sudah
mengenal peradaban dengan ditemukannya Prasasti Kutai di
aliran Sungai Mahakam. Mulawarman sebagai Raja yang
memerintah di Kalimantan Timur itu telah “membukukan”
catatan awal perjalanan kebudayaan dan peradaban bangsa.
Disusul kemudian pada abad ke lima, berdiri kerajaan besar
di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Barat yaitu kerajaan
Tarumanagara dengan rajanya bernama Purnawarman.
Keberadaan kerajaan besar ini diberitakan melalui setidaknya tujuh prasasti yang kita
sebut dengan prasasti-prasasti Citarum yaitu: Prasasti Ciaruteun di daerah Ciampea-
D
pen
gan
tar
Bogor, Prasasti Jambu di bukit pasir Koleangkak (Jambu) Bogor, Prasasti Kebon Kopi di
kampung Muara Hilir Cibung Bulan-Bogor, Prasasti Pasir Awi di daerah Pasir Awi-Bogor,
Prasasti Muara Cianten di Muara Cianten-Bogor, Prasasti Tugu di daerah Tugu-Cilincing,
Prasasti Lebak atau Prasasti Cidanghiang di daerah Lebak-Banten, dan berita Cina pada
kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan Kerajaan
Tarumanegara ke negeri Cina. Selain itu juga berita yang ditulis oleh pengembara Cina Fa
Hsien yang tersesat di Tarumanegara.
Setelah kedua kerajaan besar itu “kehilangan” berita, ditemukan prasasti-prasasti
lainnya seperti Prasasti Dakawu (sering juga disebut Prasasti Tukmas) di Magelang
berangka tahun 500 Masehi dan Prasasti Canggal berangka tahun 732 Masehi.
Selain itu, yang cukup mengejutkan kemudian ditemukan prasasti-prasasti di Sumatera
bertarikh abad ke tujuh Masehi yang memberitakan tentang kebesaran kerajaan Sriwijaya
di Palembang.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Kedukan Bukit di tepi Sungai Tatang dekat
Palembang, berangka tahun 683 Masehi. Prasasti Talang Tuwo di daerah Talang Tuwo
Palembang berangka tahun 684 Masehi. Prasasti Telaga Batu di daerah Telaga Batu
Palembang, tidak berangka tahun, tapi diperkirakan berangka tahun 683 Masehi. Prasasti
Kota Kapur di daerah Kota Kapur Bangka berangka tahun 686 Masehi. Prasasti Karang
Berahi di Karang Berahi Jambi berangka tahun 686 Masehi. Prasasti Palas Pasemah di
daerah Palas Pasemah Lampung bertarikh akhir abad ke tujuh.
Kerajaan Sriwijaya (683-1030) terkenal sebagai Negara Maritim yang sangat kuat
pada masanya. Kepopuleran Sriwijaya terdengar jauh sampai ke India. Bahkan pada
masa kejayaannya Sriwijaya kerap melakukan kerjasama di bidang kebudayaan,
perdagangan dan keagamaan dengan Negara lain seperti India dan Cina.
Di Jawa, pada masa yang hampir sama dengan
Sriwijaya juga berdiri kerajaan Mataram Kuno yang juga
besar dan populer.
Walau kerajaan ini bercirikan Negara Agraris, namun di beberapa temuan sejarah
tampak juga sangat kental dengan kebaharian. Ini dapat dilihat dari relief di dinding
candi Borobudur yang menggambarkan perahu bercadik dengan konstruksi bertingkat.
Setelah itu, ditemukan pula prasasti-prasasti bertarikh awal abad ke delapan di daerah
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Seperti: Prasasti Kalasan di desa Kalasan di timur kota
Yogyakarta berangka tahun 778 Masehi. Prasasti Raja Balitung yang terkenal disebut juga
Prasasti Mantyasih atau juga sering disebut dengan Prasasti Kedu berangka tahun 907
Masehi. Prasasti Dinoyo di daerah Malang berangka tahun 760 Masehi.
Di Jawa Timur banyak ditemukan prasasti berangka tahun sejak 929 Masehi yang
menerangkan tentang munculnya Dinasti Isana dengan rajanya yang pertama bernama
Mpu Sindok yang bergelar Sri Isanawikrama. Dari prasasti-prasasti ini kita kenal beberapa
nama yang cukup “populer” seperti Darmawangsa, Mahendradatta yang menikah
dengan raja Bali yang bergelar Udayana, yang memperoleh putra salah satunya bergelar
Airlangga yang populer dengan pembagian dua kerajaan bersejarah yaitu kerajaan
Jenggala dan Kediri atas bantuan seorang pendeta Brahmana yang bernama Mpu
Bharada.
Di Bali, prasasti-prasasti yang ditemukan diantaranya: Prasasti Baturan berangka tahun
1022 Masehi, Prasasti Bila berangka tahun 1023 Masehi dan Prasasti Tengkulak berangka
tahun 1025 Masehi.
Prasasti-prasasti ini menyebutkan urut keturunan Raja Udayana dengan ketiga
puteranya: Airlangga (Erlangga), Marakata dan Anak Wungsu yang memerintah dari
tahun Saka 971 (=1049 M) sampai dengan tahun Saka 999 (=1077 M).
Dari temuan prasasti-prasasti di atas, kita ketahui bahwa beberapa kali kerajaan-
kerajaan besar di Nusantara Raya ini berpindah-pindah dari Kalimantan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatera dan Jawa Timur (sebagian Bali).
Ini juga memberikan pemikiran bahwa kerajaan satu dengan yang lainnya mungkin
saja pada saat itu saling berebut kekuasaan. Kerajaan pemenang kemudian
“membukukan” kekuasaannya dengan menuliskan prasasti tentang kebesaran
kerajaannya masing-masing. Secara otomatis pusat kerajaan dipindahkan ke daerah
kerajaan pemenang. Begitu seterusnya.
Namun, dari penemuan prasasti-prasasti di atas terungkap bahwa kekuasaan kerajaan-
kerajaan pada saat itu belum mencakup seluruh daerah Nusantara Raya.
Sampai akhirnya catatan yang paling besar dari
beberapa temuan berupa prasasti, pecandian, situs-
situs, kesusastraan dan dokumen bangsa asing
(terutama Cina) telah memberitakan lahirnya
kerajaan besar yang merubah sejarah perjalanan
bangsa menjadi kerajaan yang memiliki falsafah
persatuan dan kesatuan di Nusantara Raya ini.
Pada masa itu, tepatnya pada abad ke 14,
lahirlah seorang tokoh bangsa dari kalangan rakyat
jelata, dari kasta yang tidak diperhitungkan.
Seorang yang hidup hanya untuk kepentingan masyarakatnya. Sejarah mencatat
perjalanan hidupnya yang sangat bersahaja dan sangat setia pada negara sampai akhir
hayatnya.
Dengan berbekal falsafah persatuan Nusantara yang tertuang di dalam serat
Pararaton, sumpah Amukti Palapa, yang diucapkannya di Paseban Agung Majapahit pada
tahun 1334, Gajah Mada, seorang tokoh politik pada zamannya itu telah memberikan
inspirasi yang sangat besar bagi pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia yang
bercirikan kemaritiman.
Keberhasilannya mempersatukan bangsa yang heterogen ini telah memperkaya
budaya bangsa menjadi bangsa yang besar dan berwibawa di mata negara tetangga.
Falsafah persatuan dan kesatuan yang dicanangkannya itu terbukti telah membawa
bangsa ini ke zaman keemasan. Beberapa catatan menuliskan dengan tegas kemakmuran
bangsa yang merata di seluruh teritorial Nusantara.
Rakyat hidup sejahtera, gemah ripah loh jinawi, adil dan aman dalam kerangka
kesatuan pikiran dan perbuatan. Perbedaan suku, adat-istiadat dan agama justru menjadi
kekayaan bangsa menciptakan negara yang kokoh lahir dan bathin.
Sumberdaya alam menjadi kekayaan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Dioptimalkannya bandar besar di Selat Malaka secara tidak langsung pada saat itu telah
memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap kemajuan perekonomian Nusantara
Raya.
Kestabilan politik dan keamanan menciptakan kepercayaan yang tinggi tidak saja bagi
masyarakat Nusantara Raya, tapi juga bagi bangsa asing untuk berdagang dan melakukan
transaksi ekonomi melalui bandar-bandar internasional di seluruh wilayah Nusantara.
Kebudayaan dan peradaban maju pesat. Corak agama yang beragam justru
memberikan nuansa moral yang kohesif. Agama duduk berdampingan dan saling
memberikan sumbangan moral bagi masyarakat heterogen ini.
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, berbeda tapi satu, perbedaan
adalah kekayaan yang harus dijaga dan terus dilestarikan, asah-asih-asuh dan tut wuri
handayani.
Bagian 3
gajah mada, politik nusantara dan konsepsi neo maritim
K ata Nusantara antara lain terdapat pada prasasti Penampihan bertarikh 1269, Serat
Pararaton dan Nagarakretagama karya Rakawi Prapanca. Dan tidak diragukan, kata
Nusantara yang kita pergunakan sampai hari ini terambil dari kepopuleran program
politik Nusantara Gajah Mada.
Mau disadari atau tidak, kita „sangat‟ mengakui eksistensi Gajah Mada yang telah
berhasil mempersatukan nusantara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, bahkan
lebih luas lagi.
Gajah Mada, pahlawan pemersatu Nusantara, hidup pada zaman keemasan
Majapahit di abad ke-14, tercatat pada prasasti dan naskah-naskah sastra para pujangga
besar bangsa ini.
Sumpah Amukti Palapa yang sangat sakral, yang diucapkannya di paseban
agung Majapahit pada tahun 1334 telah merubah sejarah bangsa besar ini menjadi
bangsa yang mempunyai kekayaan budaya, peradaban dan semangat kesatuan yang
sangat inheren.
Berdasarkan ideologi dasar konsepsi persatuan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika tan hana
dharma mangrwa, Gajah Mada terbukti mampu mempersatukan perbedaan dalam
bentuk apapun, di seluruh persada Nusantara yang sangat heterogen ini.
Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah Mada
menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu.
Dalam abad ke empat belas, Majapahit merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara
menggantikan kedudukan Mataram dan Sriwijaya. Dua negara yang berbeda cirinya.
Yang pertama sebagai negara pertanian, sedang yang kedua negara maritim. Kedua ciri
itu dimiliki oleh Majapahit.
K
pen
gan
tar
Pada abad itu, timbulnya Majapahit di geopolitik Asia Tenggara yang sanggup
mempersatukan seluruh perairan Nusantara Raya merupakan peristiwa sejarah yang
belum pernah terjadi.
Majapahit menjadi kekuatan besar di Asia Tenggara yang ditakuti dan disegani
negara-negara tetangganya di daratan Asia.
Kekuasaan Majapahit yang sangat luas saat
itu terbagi dalam beberapa wilayah kekuasaan.
Di Jawa ada sebelas Negara bawahan masing-
masing diperintah oleh Raja/Ratu/Prabhu, dan
lima propinsi yang disebut Amancanagara
masing-masing diperintah oleh Juru Pengalasan
atau Adipati.
Kesebelas Negara bawahan di tanah Jawa
itu adalah: 1. Daha; 2. Wengker; 3. Matahun;
4. Lasem; 5. Pajang; 6. Paguhan; 7. Kahuripan;
8. Singasari; 9. Mataram; 10. Wirabhumi; 11.
Pawanuhan.
Semua pemegang kuasa di Negara bawahan adalah keluarga Raja Majapahit sesuai
dengan Nagarakretagama pupuh VI/4 dan XII/6.
Kelima propinsi yang disebut Amancanagara disebut menurut mata angin yaitu utara,
timur, selatan, barat dan pusat/tengah, masing-masing diperintah oleh seorang Mantri
Amancanagara atau Juru Pengalasan atau Adipati yang bergelar Rakryan, seperti juga
tertulis pada piagam Bendasari.
Pola pemerintahan seluruh Negara bawahan dan Amancanagara mengikuti pola
pemerintahan pusat. Raja, Juru Pengalasan atau Adipati adalah pembesar yang
memegang kuasa dan tanggungjawab Negara, namun pemerintahannya diserahkan
kepada Patih.
Dalam Nagarakretagama pupuh X, para pembesar Negara dan para patih Negara
bawahan atau Amancanagara apabila datang ke Majapahit, mengunjungi Kepatihan
Amangkubumi untuk urusan pemerintahan. Apa yang dilaksanakan di pusat, dilaksanakan
di daerah.
Dari patih perintah diteruskan ke Wadana, semacam pembesar distrik kemudian turun
ke Akuwu sampai ke Buyut, kepala desa sebagai pimpinan wilayah paling rendah
dalam struktur organisasi ketatanegaraan Majapahit.
Yang menarik, sebagai pusat pemerintahan, Majapahit menerapkan konsep otonomi
yang sangat luas kepada semua Negara bawahan di sebrang lautan. Para Raja, Juru
Pengalasan atau Adipati berdaulat penuh di negaranya masing-masing. Majapahit dalam
hal ini tidak ikut campur dengan urusan daerah.
Kewajiban utama daerah bawahan adalah menyerahkan upeti tahunan dan
menghadap Raja Majapahit pada waktu-waktu tertentu sebagai bukti kesetiaan pada
Majapahit. Mengikuti rapat besar pada waktu-waktu tertentu.
Sedikitnya ada enam macam rapat yang pernah dilakukan. Antara lain: 1. Rapat
Perayaan Palguna, 2. Sidang Tentara, 3. Rapat Perayaan Bubat, 4. Rapat Perayaan Caitra,
5. Rapat Paseban dan 6. Rapat Nusantara.
Dalam Nagarakretagama pupuh XVI/5 ditegaskan bahwa Majapahit melindungi
seluruh Negara bawahan dan Amancanagara dengan memelihara Angkatan Laut
(Jaladibala) yang sangat besar dan tangguh pada abad itu dan sangat ditakuti oleh
Negara tetangga di Asia Tenggara.
Bahkan Cina sebagai Negara adikuasa di selatan Asia saat itu sangat menaruh
perhatian terhadap pertumbuhan kekuasaan Majapahit yang begitu pesat. Sehingga pada
tahun 1416 melakukan show of force dengan mengirimkan 22 jung besarnya yang
mengangkut tidak kurang dari dua puluh tujuh ribu prajurit Cina ke Majapahit.
Begitu luasnya wilayah kekuasaan Majapahit mengisyaratkan betapa kompleksnya
persoalan yang setiap saat muncul di seluruh wilayah yang lebih luas lagi dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia saat ini.
Lebih dari enam ratus tahun lalu, bangsa kita telah membukukan sejarah yang
tercatat bukan saja oleh parapujangga, namun dalam laporan kenegaraan negara
lain, termasuk Cina, negara adikuasa di selatan Asia saat itu.
Majapahit, dengan luas wilayah teritorial lebih luas dari Indonesia saat ini (sebagai
perbandingan, luas geografis Indonesia saat ini yang membentang mulai dari 95˚ sampai
dengan 141˚ BT dan di antara 60˚ LU dan 110˚ LS meliputi 7,9 juta km² wilayah perairan
laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dikelilingi 81.000 km panjang pantai
terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada, dengan memiliki 17.508 pulau terbanyak
nomor satu di dunia), ternyata tercatat dalam sejarah sebagai negara maritim yang
mampu dan berhasil meciptakan konsepsi wawasan Nusantara pada sektor-sektor
perekonomian, sosial, pemberdayaan potensi sumber daya alam, politik, keamanan dan
kebudayaan yang sangat signifikan dan inheren memberikan kesejahteraan, kemakmuran
dan keadilan bagi rakyat di seluruh persada Nusantara, sampai ke negara-negara yang
sekarang kita kenal dengan Malaysia, Singapura dan Brunei, yang dulu adalah bagian dari
wilayah Nusantara Raya.
Terbukti, Majapahit yang lebih luas lagi dari Indonesia saat ini mampu bertahan
sebagai Negara besar, agung, ditakuti dan disegani selama seratus tujuh puluh tahun.
Kestabilan keamanan dan politik secara implisit mangandung muatan pemikiran yang
mengacu pada pengakuan atas berhasilnya konsepsi Keamanan dan Pertahanan baik di
dalam maupun luar negeri yang diterapkan oleh Majapahit (baca: Gajah Mada, sebagai
konseptor hampir seluruh kebijakan di segala sektor) secara utuh dan terorganisir.
Konsep strategis sistem dan struktur organisasi keamanan dan pertahanan Majapahit
terbukti mampu membawa Negara Agung ini menjadi Negara aman dan berdaulat yang
memberikan peluang begitu luas terhadap pertumbuhan di segala sektor: ekonomi,
politik, sosial, budaya dan keagamaan.
Memberikan garis struktur dan komando yang jelas terhadap job description antara
Angkatan Darat (Samatyabala), Badan Intelijen (Sandibala), Angkatan Laut (Jaladibala)
dan Bhayangkara (sebagai kesatuan bersenjata pengawal raja dan kerabatnya) pada saat
itu ternyata telah membuktikan adanya regulasi yang sangat brilian, intelektual dan
responsif terhadap perkembangan kemajuan peradaban yang sustainable dan futuristik.
Sebagai contoh, dengan ditetapkannya Selat Malaka sebagai Bandar Internasional saat
itu sebagai pintu gerbang transaksi perdagangan antara masyarakat Nusantara Raya
dengan masyarakat luar seperti Cina, India, Timur Tengah, Campa, Kamboja dan
lainnya.
Perairan Selat Malaka, yang begitu ramai dikunjungi para pedagang ke dalam dan
ke luar perairan Nusantara Raya terbukti sangat aman dijaga oleh Jaladibala yang sangat
ditakuti saat itu karena memiliki armada dan prajurit yang sangat tangguh di lautan.
Juga Samatyabala sebagai kekuatan militer di daratan yang memiliki puluhan ribu
prajurit tangguh dalam mengatur strategi tempur di daratan, dan Bhayangkara yang
berfungsi sebagai Angkatan „Bersenjata‟ yang memiliki garis tugas dan tangungjawab
sebagai pengawal masyarakat sipil di seluruh pelosok Nusantara.
Bersama-sama seluruh komponen Angkatan Bersenjata baik di darat dan lautan, para
Dharmadhyaksa dan Upapati, Bhayangkara tegar berdiri dan berwibawa sebagai
kekuatan yang selalu dekat di istana maupun di seluruh jiwa masyarakat luas, di seluruh
wilayah perairan Nusantara Raya.
Di bawah Mapanji Gula-Kelapa (baca: merah-putih), Gajah Mada dengan tegas
menetapkan ideologi bangsa yang sangat sakral dan mempunyai muatan falsafah yang
sangat luar biasa dan terus up-to-date sampai hari ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan
hana dharma mangrwa.
Berdasarkan letak geografis, sejarah nenek-moyang bangsa Nusantara, ideologi dan
falsafah Negara sebagai holy-spirit bagi setiap jiwa anak bangsa, Gajah Mada dengan
tegas menetapkan konsep Negara Maritim yang sangat implementatif terhadap
perkembangan bangsa besar ini.
Konsepsi Negara Maritim, sebagai warisan nenek-moyang mampu membawa
bangsa ini selama seratus tujuh puluh tahun hidup tentram, damai, gemah ripah loh
jinawi. Dan berwibawa di mata mancanegara.
Sudah saatnya, bangsa Indonesia mulai „kembali‟ memahami pentingnya menjadikan
Indonesia sebagai negara maritim yang memang pernah menjadi rencana strategis negara
besar ini jauh sebelum Indonesia merdeka, di abad ke 13-14 pada masa kejayaan
Majapahit sebagai cikal bakal negara kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian
diwariskan pada kerajaan-kerajaan yang tumbuh sesudahnya, yang menguasai beberapa
wilayah teritorial perairan nusantara seperti Demak, Cirebon, Banten, Tuban, Gresik,
Pasai, Banda, Makasar, Buton, Ternate, Tidore, Jayilalo, Bacan dan lainnya.
Setelah tahun 1357, Majapahit, kerajaan Indonesia pertama yang mampu
mewujudkan politik persatuan nusantara tercatat memliki kekayaan maritim yang lebih
luas lagi.
Sejak ratusan tahun lalu, geopolitis Indonesia purba sudah mencakup sekeliling laut
jawa, dari Tanjung Pujung, Tanjung Tua dan Tanjung Kait sampai ke pulau Irian antara
Tanjung Sele dan Merauke, juga Nusa Tenggara (Kep. Sunda Kecil, Sulawesi,
Kalimantan, Jawa dan Sumatera) terletak di sekeliling pantai lautan mare nostrum.
Sebelah barat laut nusantara raya terdapat Lautan Cina Selatan yang dikelilingi oleh
pesisir wilayah Nusantara Raya termasuk di dalamnya semenanjung Malayu, India
Belakang dan Cina Selatan.
Pada masa itu, di abad ke-14 setidaknya peta geopolitik di Asia Tenggara
mencakup empat lingkaran besar, yaitu: India, Cina, Asia Tenggara (lama) dan Nusantara
Raya (Majapahit). Temuan ini sangat mengejutkan kita. Ternyata lebih enam ratus tahun
lalu kita telah membukukan daerah teritorial yang sangat luas dan mempunyai kekuatan
politik yang diakui oleh mancanegara.
Hayam Wuruk bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya dengan
telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang sangat jelas
mengenai luas wilayah Majapahit yang merupakan rantai kepulauan besar nusantara,
menurut Mohammad Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama pupuh XIII-XIV)
terbagi dalam daerah yang delapan, yaitu:
1. Seluruh Jawa, meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
2. Seluruh Pulau Sumatra (Melayu), meliputi: Lampung, Palembang, Jambi, Karitang
(Inderagiri), Muara Tebo, Dharmasraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas,
Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang,
Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra (Aceh), Lamuri
(Aceh tiga segi), Bantam dan Barus.
3. Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara/Tanjung Pura), meliputi: Kapuas,
Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin,
Sambas, Lawar (Muara Labai), Kedangan (Kendangwangan), Landak, Samedang
(Simpang), Singkawang, Tirem (Peniraman), Landa, Brunai/Barune/Puni, Sedu,
Sukadana, Kalka, Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Barito, Sebuku/Sawaku,
Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau dan Tanjungpuri.
4. Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka/Hujung Medini), meliputi: Pahang,
Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan,
Trengganu, Nagor (Ligor),
5. Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura),
Sanghyang Hujung, Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah. Jere (Jering, Petani),
Kanjab (Singkep) dan Niran (Karimun).
6. Di sebelah timur Jawa, seluruh Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah
(Lilowan, Negara), Gurun (Nusa Penida), Sukun, Taliwang (Sumbawa), Dompo
(Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sanghyang Api (Gunung Api, Sangeang), Bima, Seram,
Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru), Gurun
(Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Saksak (Lombok Timur), Sumba dan Timor.
7. Seluruh Sulawesi, meliputi: Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya
(Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Galian,
Salaya (Saleier) dan Solot (Solor).
8. Seluruh Maluku, meliputi: Muar (Saparua, Kei), Wandan (Banda), Ambon dan
Maluku (Ternate).
9. Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Wanin, Irian Utara) dan Seram (Irian Selatan).
Masih dalam Nagarakretagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit
sudah menetapkan batasan wilayah negara tetangga (bukan negara bawahan), seperti:
Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari,
Campa, Kamboja dan Annam (Yawana).
Politik Nusantara yang pertama kali dicanangkan Sri Kertanegara, raja Singasari
terakhir, mempunyai arti yang sangat penting bagi pengembangan Majapahit
selanjutnya. Nusantara, yang berarti pulau lain, pada masa Kertanegara lebih tepat
disebut pulau lain di luar Jawa. (Prof. Dr. Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah
LELUHUR MAJAPAHIT).
Kerangka pemikiran inilah yang mendorong Kertanegara melakukan ekspansi besar-
besaran untuk meluaskan wilayah Singasari di luar pulau Jawa. Tercatat pada tahun saka
1206 (=1284 Masehi) Nagarakretagama pupuh XLII/1-2 menyatakan bahwa Bali berhasil
ditundukkan, menyusul kemudian Gurun dan Bakulapura, Pahang, Sunda dan Madura.
Puncaknya ketika negeri Malayu yang pada saat itu berpusat di Suwarnabhumi,
Jambi, sebagai lalu-lintas perdagangan besar di Selat Malaka berhasil ditundukkan
Singasari pada 22 Agustus 1286.
Ini dilakukan oleh Sri Kertanegara mengingat pada saat itu kekuasaan Kubilai Khan di
Cina yang baru saja mendirikan dinasti baru, Dinasti Yuan, berupaya menjadikan
Suwarnabhumi sebagai pangkalannya di Asia Tenggara.
Dengan gilang-gemilang Kertanegara berhasil mendahului rencana Cina
menundukkan Suwarnabhumi, ditandai dengan pengiriman arca Amoghapasa
Lokeswara ke Suwarnabhumi setelah mutlak berada di bawah Singasari.
Bunyi prasastinya sebagai berikut:
Salam bahagia! Pada tahun saka 1208 bulan Bhadrapada……..tatkala itulah arca
Paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata,
dibawa dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi, ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah
Sri Wiswarupa Kumara. Untuk tujuan itu Sri Kertanegara Wikrama Dharmottunggadewa
memerintahkan Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Samgat Payanan Hyang Dipangkaradasa, Rakryan Demung Wira, untuk
mengantar Paduka arca Amoghapasa.
Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu termasuk
para brahmana, ksatria, waisya, sudra dan terutama pusat segenap para arya Sri
Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.
Politik Nusantara Sri Kertanegara secara resmi disebut politik dwipantara. (Prof. Dr.
Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah LELUHUR MAJAPAHIT). Dwipantara adalah
sinonim nusantara seperti tertulis pada prasasti Camunda bertarikh 17 April 1292 yang
dikeluarkan oleh Sri Kertanegara sebagai rasa terimakasih atas kemenangan-kemenangan
yang diperoleh di seluruh nusantara, bunyinya:
Salam bahagia! Tahun saka 1 (214)…..Pada waktu itu ditegakkan arca Paduka Bhatari.
Sri Maharaja sudah puas dengan kemenangan-kemenangan yang diperoleh di segenap
tempat, menjadi pelindung seluruh dwipantara.
Namun sayang program Sri Kertanegara ini belum mempunyai corak yang positif
mengenai persatuan nusantara seutuhnya.
Sehingga tata pemerintahan masih terkonsep pada pemikiran Jawa-sentris, dan ini
salah satu kelemahan yang justru menjatuhkan Singasari sendiri. Belum adanya falsafah
penyatuan nusantara seperti yang diprogramkan Gajah Mada pada zaman Majapahit,
membuat konsep Kertanegara menjadi kurang utuh dan tidak mendapat respons positif
negara-negara bawahan.
Ambisinya melakukan penaklukan kerajaan-kerajaan lain atau nusantara di luar Jawa
lebih sebagai perluasan wilayah Singasari yang menjadi obsesinya menjadikan Singasari
kerajaan besar di perairan nusantara raya ini.
Ini kelalaian yang sangat fatal. Dengan hampir mengirimkan seluruh kekuatan
Singasari, Kertanegara secara gegabah melakukan ekspansi militernya ke beberapa daerah
yang menjadi targetnya, antara lain Suwarnabhumi sebagai penguasa Malayu pada saat
itu. Ini mengakibatkan kekosongan kekuatan militer di dalam negeri.
Itulah sebabnya ketika Singasari pada tahun 1286 dengan gilang gemilang berhasil
menundukkan Suwarnabhumi, dengan menjadikan Suwarnabhumi sebagai pangkalan
militernya, mengakibatkan kekosongan militer di dalam negeri. Hal itu mengundang
Jayakatwang dari Gelang-Gelang melakukan pemberontakan karena hasutan Arya
Wiraraja di Sumenep yang sakit hati karena jabatannya sebagai Demung dicopot oleh
Sri Kertanegara.
Dengan persiapan yang sangat matang, Jayakatwang melakukan penyerangan besar-
besaran ke pusat kerajaan Singasari yang dalam keadaan kosong itu, seperti kita baca di
Pararaton, sebagai berikut:
Pasukan Daha dari utara berhenti di Mameling. Sang Prabhu Siwa-Budha
selalu minum tuak. Ketika diberitahu bahwa ada serangan dari Daha, ia tidak percaya
bahkan katanya: “Tidak mungkin Jayakatwang berbuat demikian terhadap saya, karena
ia mendapat kesenangan dari saya.” Baru setelah kepadanya ditunjukkan orang-orang
yang luka-luka, ia percaya. Lalu Raden Wijaya disuruh melawan musuh dari utara,
diiringkan oleh para perwira seperti Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Podang, Sora, Dangdi,
Gajah Pagon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, Wirot. Itulah perwira-perwira
yang menangkis serangan pasukan Daha dari sebelah utara. Mereka serentak mengamuk.
Bubarlah pasukan Daha yang datang dari utara, lari dikejar oleh Raden Wijaya.
Maka turunlah pasukan besar Daha yang datang dari pinggir Aksa menuju Lawor,
dilarang berramai-ramai, dilarang membawa bendera atau alat bunyi-bunyian. Sampai di
Sidhabhawana terus menuju Singasari.
Para perwira terkemuka di pihak pasukan Daha yang datang dari sebelah selatan ialah
Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, Bowong.
Pada saat itu Sri Kertanegara sedang minum-minum bersama patihnya. Ia mati
terbunuh oleh musuh. Kebo Anengah berbela, mati di manguntur.
Kelalaian dan kelemahan Kertanegara mempersiapkan kekuatan militernya di dalam
negeri berakibat fatal. Kertanegara dan hampir seluruh pembesar kerajaan terbunuh.
Singasari yang mempunyai obsesi menguasai perairan nusantara runtuh pada tahun
1292 sesuai tulisan yang terdapat di prasasti Singasari bertarikh 27 April 1351, yaitu:
Pada tahun saka 1214 bulan Jyestha, itulah tarikh mangkat Paduka Bhatara yang
dimuliakan di candi Siwa-Budha. (=antara 18 Mei – 15 Juni 1292).
Nagarakretagama pupuh XLIII/6 menyatakan bahwa di Sagala ditegakkan arca Sri
Kertanegara sebagai Jina dan arca Ardhanareswara bersatu dengan arca permaisuri
Bhajradewi. Arca Ardhanareswara itu sekarang disimpan di museum Berlin.
Dari Nagarakretagama pupuh LV/3 diketahui bahwa jenazah Sri Kertanegara
dicandikan di Jajawa di kaki gunung berapi. Candi itu sekarang dikenal dengan nama
Candi Jawi di kaki gunung Welirang.
Singasari runtuh pada tahun 1292. Namun keruntuhannya, bagaimanapun
mempunyai arti penting yang tak boleh diabaikan, Program politik Nusantara justru lahir
di Singasari, kerajaan yang situsnya sekarang berada di Malang, Jawa Timur.
Jauh sebelum itu, pada abad ke-7, Sriwijaya yang mempunyai kekuasaan maritim
hampir setengah belahan bumi Dwipantara tidak pernah memperkenalkan konsep,
gagasan bahkan semangat persatuan itu.
Setahun kemudian setelah Singasari runtuh, Raden Wijaya mendirikan kerajaan
Majapahit. Setelah meggulingkan Jayakatwang, Majapahit mulai menerapkan program
politiknya yang terbukti dalam sejarah mampu mempersatukan seluruh wilayah
Nusantara Raya.
Perjalanan sejarah bangsa yang begitu panjang dan majemuk meninggalkan catatan
yang sarat dengan persoalan yang tidak pernah selesai.
Keragaman budaya, agama dan adat-istiadat yang sebenarnya menjadi kekayaan
moral bangsa menjadi begitu mengganggu perjalanan bangsa ini menuju cita-cita luhur
menciptakan negara yang adil dan sejahtera.
Bhinneka Tunggal Ika, yang lahir dan sudah dikenal lebih dari enam ratus tahun lalu
menjadi mubazir dan kehilangan makna. Persatuan dan kesatuan nyaris hanya sebagai
slogan kosong yang dibingkai dengan propaganda kebersamaan yang berkeadilan.
Wilayah politik yang saat ini menjadi rebutan kalangan tertentu semakin
memperburuk rapor bangsa yang penuh dengan angka merah dan mengisyaratkan
hancurnya nilai-nilai moral bangsa untuk berdiri di atas kepentingan rakyat. Setiap
kontestan sibuk melakukan strategi pemenangan pemilu dengan mengumbar janji kosong
yang membuat rakyat menjadi semakin bodoh.
Lebih dari enam ratus tahun lalu bangsa ini telah memiliki falsafah yang sangat luhur,
persatuan nusantara, yang sarat dengan muatan dan gagasan pada kerangka dan pola
pemikiran yang sangat inheren terhadap kemajuan bangsa heterogen ini, namun rakyat
saat ini menjadi kecewa ketika melihat bahwa persatuan dan kesatuan bangsa sekarang
ini sedang tercabik-cabik.
Isu beberapa wilayah teritorial kita yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan
Republik Indonesia yang kita cintai ini semakin menorehkan luka yang sangat panjang di
hati bangsa yang sudah sangat lelah mempertahankan nilai-nilai kesatuan dan persatuan
ini.
Ketidak seimbangan distribusi antara pusat dan daerah, dan perkembangan
pembangunan di pusat memberikan kontribusi negatif dan memacu ketimpangan sosial
yang semakin parah. Rakyat menjadi terpecah-belah, terkotak-kotak. Kesenjangan
ekonomi dan sosial semakin transparan dan segera memicu bom waktu perpecahan yang
akan menenggelamkan peradaban bangsa ini.
Perekonomian kita yang mestinya menjadi soko guru penegakkan nilai-nilai keadilan
dan kesejahteraan bangsa menjadi semakin tidak jelas dan mengalami keterpurukkan
yang sangat parah.
Kejenuhan terhadap dunia bisnis yang terus mengalami kemunduran dan hancurnya
kualitas produksi akibat dari impact politik dan perubahan nilai valuta asing yang
sangat fluktuatif menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kurang percaya terhadap
slogan ekonomi dalam bentuk apapun.
Kenaikan tarif telepon, listrik dan BBM semakin menyempurnakan hancurnya
perekonomian rakyat yang sebenarnya menjadi soko guru perekonomian bangsa.
Melambungnya beban hidup, ikut menurunkan daya beli masyarakat yang pada
akhirnya akan semakin menurunkan keberdayaan ekonomi kita.
Tingkat pengangguran yang sudah mencapai 32 juta angkatan kerja, semakin
menambah daftar panjang gejala kerusakan sistem perekonomian kita. Belum lagi
ditambah dengan beban hutang luar negeri yang terpaksa menimbulkan korban
masyarakat dengan dihapuskannya subsidi, terutama BBM.
Lalu-lintas perdagangan semakin mandeg, macet dan semakin semrawut. Sumberdaya
alam menjadi mubazir. Kalaupun tereksploitasi, hanya akan dinikmati oleh bangsa barat
yang berhasil mempromosikan kecanggihan sistem kapitalis yang mereka bawa itu.
Kita semakin terpuruk dan menjadi bulan-bulanan mereka. Ekspor yang seharusnya
memberikan added-value yang cukup besar, hanya selesai di atas kertas dan proposal.
Gejala ketidak pastian keamanan dan teror bom yang meluas di beberapa daerah
belakangan ini makin memperburuk perekonomian kita dengan anjloknya devisa dari
sektor pariwisata yang sementara ini secara signifikan mempunyai andil yang sangat besar
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto.
Ketidak seimbangan penjualan dengan biaya produksi (pembelian raw material dari
luar dengan hitungan dolar, ditambah ketidakmampuan pemerintah memfasilitasi
produsen dalam negeri bersaing di pasar mancanegara, ketidak mampuan pemerintah
mempromosikan produk-produk dalam negeri) yang terus ditekan dengan seluruh biaya-
biaya instrumen ekspor akan terus menambah daftar bangkrutnya perusahaan dalam
negeri Indonesia.
Era kolusi pengusaha dalam negeri terhadap penguasa yang terbukti hanya
menghancurkan investasi dan keberlangsungan perusahaan lokal harus dikikis habis.
Untungnya, kesadaran „sebagian‟ masyarakat Indonesia terhadap pentingnya
peningkatan sumberdaya manusia yang produktif semakin memberikan kepercayaan
besar terhadap pertumbuhan perekonomian bangsa yang sudah sangat terpuruk selama
satu dasawarsa ini.
Sumberdaya manusia merupakan kekuatan dasar dari seluruh aspek ekonomi yang
semakin kompetitif dan komparatif. Ketidakseimbangan pemenuhan supply dan demand
memberikan grafik yang sangat tajam akibat dari ketidakmampuan sebagian besar
pengusaha Indonesia memanfaatkan sumberdaya manusia yang produktif, efisien dan
efektif.
Adaptasi kebudayaan kapitalis dari luar yang sangat bebas dan cepat, menjadi begitu
tergesa-gesa diaksep oleh seluruh aspek ekonomi di negara kita. Dan ini mengakibatkan
perubahan yang sangat mendasar dan memunculkan budaya „instant‟ dari seluruh
psikologis perekonomian Indonesia. Perubahan yang sangat cepat ini memberikan
tekanan yang sangat kuat terhadap kemampuan sumberdaya di segala bidang, termasuk
diantaranya yang sangat penting ialah sumberdaya manusia.
Perubahan kultur dan struktur perekonomian Indonesia yang begitu cepat akibat
penyesuaian terhadap berkembangnya budaya ekonomi kapitalis (dan terutama Amerika)
di negara tercinta ini mau tidak mau memberikan impact psikologis yang sangat besar
terhadap pertumbuhan perekonomian kita.
Budaya agraris (yang seharusnya adalah bagian dari konsepsi makro budaya maritim
nusantara) yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa bergeser secara cepat. Revolusi
Industri di Inggris yang merubah sejarah perjalanan kultur ekonomi di sana terinspirasi di
negara kita. Budaya industri, akibat dari pesatnya perkembangan teknologi di segala
bidang secara pasti telah menggantikan budaya agraris yang selama ini menjadi kultur
nenek moyang kita.
Sejak tahun 1993 telah terjadi pergeseran struktur perekonomian Indonesia dari
sumber utama ekonomi pertanian menjadi ekonomi modern (baca: industri).
Tahun 1991 saja sektor industri pengolahan telah berperan besar dalam pembentukan
PDB (sampai 21%) dibanding sektor pertanian (yang turun menjadi 19,7%).
Sektor pertanian semakin terdesak, yang akhirnya sebagai negara agraria, Indonesia
menjadi negara pengimpor hasil pertanian dari negara lain. Peningkatan produksi padi
sejak tahun 1995 sudah mengalami leveling-off (kemandekan, pertambahan yang
mengecil dari tahun ke tahun, baik pada perluasan areal intensifikasi, peningkatan hasil
persatuan luas maupun pada peningkatan produksi secara keseluruhan).
Industri dan perdagangan menjadi simbol (kalau tidak dikatakan sebagai filosofi baru
dari budaya majemuk bangsa) perilaku bangsa sejak bangun tidur sampai tidur kembali.
Kemampuan sumberdaya manusia diukur oleh instrument rentability ratio yang begitu
ketat sebagai indikator dari konsep dan aturan bisnis yang menjadi kendaraan
perekonomian kapitalis barat (dan terutama Amerika).
Secara ekonomi itu masuk akal, namun bagaimanapun, sebagai bangsa yang terlahir
sebagai masyarakat timur yang juga mempunyai kebudayaan dan peradaban yang sudah
berurat akar, tentunya tidak harus menelan mentah-mentah kultur ekonomi kapitalis
begitu saja.
Kekayaan moral yang pernah kita miliki seharusnya merupakan bagian yang tak boleh
ditinggalkan. Terbukti, korupsi dan segudang deviasi yang telah menggerogoti keuangan
negara saat ini dipicu karena kehancuran nilai-nilai moral.
Hal-hal inilah yang menyebabkan kelemahan struktur dan kultur perekonomian
Indonesia bersaing dengan negara luar. Pada akhirnya para investor tidak saja
menanamkan investasi tetapi menempatkan sumber daya manusia yang seharusnya
berada di tangan anak bangsa.
Bangsa Indonesia akan semakin hancur berkeping-keping. Kita tidak lagi memiliki
perekonomian di negara sendiri.
Pengangguran bukan lagi menjadi isu nasional tetapi menjadi masalah nasional.
Pengembangan kreativitas produksi sering tidak diimbangi dengan tingkat
profesionalitas yang memadai. Akhirnya bisnis kita jalan di tempat.
Sudah saatnya, memasuki masa baru liberalisme pasar regional, kerangka pemikiran
ini diarahkan pada pentingnya mendirikan pondasi manajemen yang kokoh, yang dapat
menjadi kekuatan besar penyusunan kerangka dan seluruh aspek manajemen yang pada
akhirnya akan melahirkan sumberdaya manusia yang produktif, profesional, efisien dan
efektif.
Era globalisasi tidak identik dengan menerima secara total seluruh produk ekonomi
yang datang dari barat atau belahan dunia manapun. Secara moral, kita mempunyai
tanggungjawab untuk memberikan nuansa ketimuran pada setiap perkembangan
peradaban yang datang dari dunia barat.
Kemajuan dan perkembangan sistem kapitalis apabila tidak diimbangi dengan didikan
moral keagamaan yang kontinuitas dan terus menerus melakukan upaya pendekatan
dasar falsafah perekonomian yang sudah pernah ada di negara kita, akan menumbuhkan
kekhawatiran kita pada apresiasi dan penerapan budaya ekonomi yang keliru bagi anak-
cucu kelak.
Manusia Indonesia yang memiliki falsafah gotong-royong dan berkemampuan
memberikan nuansa kekeluargaan yang begitu kuat dan lekat selama berabad-abad akan
terdampar pada impact psikologis ekonomi kapitalis yang pada akhirnya akan
menenggelamkan peradaban bangsa selamanya.
Kita harus memberikan warisan yang mempunyai semangat Asia (ketimuran) terhadap
ekonomi kapitalis yang sulit dibendung perkembangannya ini.
Lebih dari enam ratus tahun lalu, kejayaan Majapahit sebagai cikal-bakal negara
kesatuan Republik Indonesia bukan dongeng menjelang tidur.
Di bawah kepemimpinan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi, Majapahit
tercatat dalam sejarah menjadi negara besar di kawasan Asia Tenggara. Negara yang
mampu membawa rakyatnya hidup makmur, sejahtera, adil, gemah ripah loh jinawi
dengan kestabilan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang luar biasa.
Dalam bukunya Tao-I-che-lio, Wang Ta-Juan (1349} menulis bahwa tanah Jawa
dikatakan banyak menghasilkan beras, lada, garam, burung kakak-tua, emas, perak.
Penduduknya banyak mendirikan rumah yang cukup baik.
Minangkabau menghasilkan bunga ijas, kapur barus, kayu lak, pinang, kapuk, emas,
perak dan ukir-ukiran. Sulu menghasilkan mutiara. Maluku menghasilkan cengkeh. Banda
menghasilkan kapuk. Timor menghasilkan cendana.
Tulisan Wang Ta-Juan itu menguatkan kepercayaan kita atas kebesaran,
kesejahteraan dan keagungan bangsa kita jauh sebelum Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan.
Sumber daya alam yang begitu kaya menjadi kekuatan perdagangan kita di selat
Malaka. Kita telah melakukan eksport ke mancanegara. Dan itu hanya dapat dilakukan
oleh negara yang berkuasa dan terjamin keamanan dan stabilitas politiknya.
Sumber daya alam menjadi kekayaan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Dioptimalkannya bandar besar di Selat Malaka secara tidak langsung pada saat itu telah
memberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap kemajuan perekonomian Nusantara
Raya.
Pada saat itu, basis militer Majapahit dipusatkan di Bali, sampai akhirnya
Suwarnabhumi di Jambi sebagai pusat lalu lintas perdagangan di Selat Malaka mutlak
berada dibawah kendali Majapahit.
Baru pada tahun 1357 setelah Dompo di Pulau Bima ditundukkan, basis militer
dipindahkan di Dompo oleh mPu Lembu Nala yang menjabat Tumenggung
menggantikan Wayuh. Sejak itu, kerajaan Majapahit begitu berwibawa dan mampu
menciptakan keamanan dan ketertiban di seluruh teritorial Nusantara dengan
menciptakan stabilitas sosial, politik dan perekonomian.
Kestabilan sosial, politik dan keamanan menciptakan kepercayaan yang tinggi tidak
saja bagi masyarakat Nusantara Raya, tapi juga bagi bangsa asing untuk berdagang dan
melakukan transaksi ekonomi melalui bandar-bandar internasional di seluruh wilayah
Nusantara.
Itulah sebabnya pada saat pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami zaman
keemasan. Salah satu bandar besar di selat Malaka, Suwarnabhumi, bukan saja berfungsi
sebagai bandar pelabuhan biasa. Tapi Gajah Mada menata Suwarnabhumi sebagai lalu-
lintas perdagangan di selat Malaka. Karena Cina tidak campur tangan terhadap
kebijakan ini, memudahkan Majapahit melakukan upaya dan kinerja eksport-import
yang sangat maju.
Setelah itu berturut-turut Nusantara bagian timur tunduk dibawah satu bendera,
merah-putih, diantaranya adalah: Maluku, Banggawi, Buru, Gurun, Seram, Gunung Api,
Sumba, Flores, Banda, Timor dan Wanin di pantai barat Irian Jaya.
Sejak itulah perdagangan yang sangat besar di Selat Malaka menjadi soko guru
kemajuan perekonomian seluruh Nusantara, tanpa campur tangan Cina yang sebenarnya
pada saat itu menguasai hampir seluruh belahan Asia Tenggara.
Setelah Kubilai Khan mangkat pada tahun 1294, dinasti Yuan mengalami kemunduran
tajam. Bahkan pemberontakan dalam negeri menyita perhatian dinasti Mongolia ini
(pemberontakan ini di kemudian hari berhasil dengan direbutnya kota Peping pada
tahun 1368 oleh Tsyu Yuan Tsyang yang juga bernama Hung Wu, yang kemudian
mendirikan dinasti Ming yang sangat populer itu. Sejak tahun 1368 kedinastian Mongolia
runtuh).
Krisis pertentangan kedinastian Yuan ini dimanfaatkan oleh Gajah Mada dibantu
Adityawarman untuk melakukan diplomasi politik ke Cina, agar menyerahkan
seluruh urusan di belahan selatan kepada Majapahit yang mulai tumbuh. Kecerdasan ini
membuahkan hasil yang sangat gilang gemilang. Majapahit mempunyai ruang gerak yang
sangat luas untuk menerapkan seluruh program politik nusantaranya.
Setelah Genghis Khan berhasil menyatukan suku-suku Mongolia, kekhawatiran Cina
terhadap kekuatan Mongolia yang terkenal dengan sebutan singa-singa padang
rumput itu menjadi kenyataan. Cina dikalahkan.
Setelah hampir seluruh daratan Cina berada di bawah kekuasaan Mongolia, Kaisar
Kubilai Khan seorang kerabat Genghis Khan yang kemudian mendirikan dinasti baru,
Dinasti Yuan, melakukan ekspansi militer besar-besaran ke berbagai daerah seperti
Campa, Kamboja dan Jepang. Cepat atau lambat Cina akan menguasai Asia Tenggara.
Suwarnabhumi, kerajaan Malayu di Selat Malaka saat itu sangat maju.
Perairan di belahan selatan itu menjadi sangat ramai sebagai lalu-lintas perdagangan
besar. Para pedagang dari India Belakang dan Cina Selatan sengaja melakukan pelayaran
ke Selat Malaka untuk menjual dagangan dari negara mereka dan pulang membawa
barang-barang berharga dari perairan nusantara ini seperti: beras, lada, garam, burung
kakak-tua, emas, perak, bunga ijas, kapur barus, kayu lak, pinang, kapuk, ukir-ukiran,
mutiara, cengkeh dan cendana.
Penaklukan Suwarnabhumi berarti menguasai sebagian terbesar perairan nusantara
raya, terutama di selat Malaka.
Seperti Sri Kertanegara, Sri Tribhuanatunggadewi dibantu konsep politik
Adityawarman berfikir sama, bahwa Suwarnabhumi merupakan sumber kekuatan
ekonomi yang sangat signifikan bagi rencana politik tingkat tinggi Majapahit menguasai
perairan nusantara raya.
Namun bagaimanapun mereka tahu, Cina, kerajaan besar di utara nusantara raya juga
tertarik untuk menjadikan Negara Suwarnabhumi sebagai pangkalan utama untuk
menguasai lalu-lintas perdagangan di Selat Malaka, dan itu akan menjadi batu sandungan
bagi seluruh master program Majapahit.
Sejalan dengan master program Majapahit, Tribhuanatunggadewi merasa perlu
mengganjal Cina untuk tidak melakukan invasi ke Suwarnabhumi yang saat itu menguasai
Malayu, dan sudah mulai melepaskan diri dari kekuatan Jawa (Singasari lama) yang
pernah menjatuhkannya pada tahun 1286. Majapahit, bagi Malayu dianggap bukan
otomatis penerus Singasari, apalagi keadaan negara Majapahit pada saat itu baru saja
tumbuh dan terus diguncang oleh pemberontakan-pemberontakan.
Itulah sebabnya, Majapahit begitu concern memusatkan perhatian pada Selat Malaka.
Dan itu terbukti, sekarang Selat Malaka ternyata menjadi Bandar internasional terramai
di dunia. Begitu juga dengan Tumasik, yang sekarang bernama Singapura. Kerajaan kecil
yang dulu berada di bawah kekuasaan Majapahit, sekarang mampu menciptakan
pendapatan hanya dari endorsement fee lalu-lintas perdagangan, eksport-import di
kawasan Asia Tenggara ini.
Majapahit menjadi kerajaan agung di Laut Selatan yang sangat disegani, di bawah
duli baginda Dyah Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara.
Kebesaran nama Majapahit meluas sampai ke negara tetangga. Berkat tangan dingin
Gajah Mada dan Hayam Wuruk Majapahit menjadi negara yang sangat mashur di Asia
Tenggara.
Beberapa pengelana Cina menggambarkan Majapahit sebagai negara yang makmur.
Rombongan Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho pada tahun 1416 berkunjung ke
Majapahit dengan dua puluh dua jung besar yang mengangkut tidak kurang dari dua
puluh tujuh ribu prajurit. Ikut dalam rombongan itu seorang agamawan Cina bernama
Ma Huan yang menyajikan uraian mengenai geografi Majapahit dalam karyanya yang
berjudul: Ying-yai Sheng-lan.
Demikianlah, lebih dari 170 tahun Majapahit sebagai Negara Maritim terbukti mampu
membawa bangsa ini hidup makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi, tanpa satupun
bangsa asing mampu memporakporandakannya, apalagi menjajah Negara besar ini.
Namun sayang, setelah keruntuhannya pada tahun 1478 karena pertikaian suksesi
antara kerabat yang sangat klise, Majapahit runtuh oleh perebutan kekuasan, dan
Indonesia saat itu mulai kehilangan makna. Perpecahan tak dapat dihindari. Kerajaan
yang tersebar di seluruh persada Nusantara ini mulai berantakan, menjadi kerajaan-
kerajaan kecil yang tak punya kekuatan apapun.
Kerajaan-kerajaan pesisir yang sangat potensial sebagai Negara maritim, yang dulu
berada di bawah Majapahit mulai saling mempertahankan teritorialnya masing-masing.
Demak yang kemudian „dianggap‟ menggantikan kedudukan Majapahit ternyata tak
mampu mempertahankan rantai kepulauan Nusantara yang sudah disatukan oleh Gajah
Mada.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Demak, sebagai kerajaan di pesisir, tak
mampu mempertahankan obsesinya sebagai Negara maritim sekuat Majapahit.
Pertama karena kesultanan Demak berada di bawah pengaruh para Wali yang saat itu
punya target strategis menyebarkan agama Islam, tidak terkonsentrasi pada sektor-sektor
perekonomian dan pemberdayaan potensi sumber daya maritim. Ini dapat dilihat dari
sejarah panjang perebutan kekuasaan yang terjadi sejak zaman Demak sampai Mataram
baru, sangat dipengaruhi oleh kekerabatan para Wali yang populer dengan sebutan Wali
Sanga. Rencana strategis Wali Sanga terbukti memang berhasil, empat ratus tahun
kemudian setelah berdirinya Demak, Indonesia tercatat sebagai Negara nomor satu yang
penduduknya memeluk agama Islam terbanyak di dunia.
Kegagalan kedua adalah karena masuknya bangsa Eropa memperebutkan pala dan
rempah-rempah yang sangat melimpah di tanah air tercinta ini.
Tahun 1511, Demak tak mampu mempertahanan Selat Malaka yang pada
zaman Majapahit menjadi soko guru perekonomian maritim Nusantara Raya.
Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Dua faktor strategis inilah yang menyebabkan Demak gagal mengembalikan
kebesaran Negara maritim yang sudah dirintis oleh Gajah Mada.
VOC (1602-1798) dengan signifikan menguasai perairan Nusantara Raya ini.
Apalagi setelah terjadi perjanjian Giyanti tahun 1755 antara pihak Belanda dengan Raja
Surakarta dan Yogyakarta yang isinya antara lain: diktum bahwa kedua raja keturunan
Mataram itu, yang sudah dikendalikan oleh otoritas Belanda, menyerahkan perdagangan
laut, hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia bergeser, yang semula
bercirikan budaya maritim menjadi budaya terestrial. (Djoko Pramono, Budaya Bahari,
2004).
Maritim sebagai tulang punggung perekonomian bangsa semakin pudar terlebih
ketika bergantian Belanda, Inggris dan Jepang dengan seenaknya mengobok-obok
kekayaan bangsa kita dalam segala bidang.
Nusantara Raya hilang dari percaturan planet bumi. Para anak-cucu fonding-father
Negara Maritim terbesar di belahan selatan Asia ini semakin tak memiliki kepercayaan
diri untuk menjadi pewaris tahta atas tanah yang dianugerahkan Allah dengan berjuta
sumber daya alam yang sangat kaya ini.
Sampai pada 17 Agustus 1945, barulah bangsa besar ini bagun dari tidur
panjangnya. Kita mulai disadari pentingnya menggalang kesatuan dan persatuan yang
pernah diperjuangkan dan terbukti berhasil membawa bangsa ini menjadi bangsa yang
berwibawa pada enam ratus tahun lalu.
Di bawah ideologi dan falsafah dasar yang sangat
keramat dan sakral, sebagai holy-spirit Gajah Mada
memimpin bangsa ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan
hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab
Sutasoma karya besar Rakawi Tantular.
Saat ini, kita harus yakin bahwa Kebhinnekaan yang
dicanangkan Gajah Mada lebih dari enam ratus tahun
lalu, masih sangat strategis sebagai shared-value bangsa
besar ini untuk bangkit dari tidur panjang.
Kini. kebaharian, kelautan, sudah waktunya kembali menjadi infrastruktur
perekonomian bangsa yang sudah sangat lelah menderita menjadi orang jajahan yang tak
lagi mampu berteriak: merdeka!
Bagian 4
penutup
anyak sekali cerita, dongeng, legenda dan versi yang berkembang seputar
kehidupan orang besar ini. Antara lain:
Gajah Mada seorang besar, bahkan sebagian besar versi menyebutkan bahwa
Gajah Mada keturunan dewa Brahma.
Gajah Mada berhasil mempersatukan nusantara.
Gajah Mada telah mengucapkan sumpah Amukti Palapa.
Gajah Mada sebagai seorang Patih yang mengabdikan hidupnya untuk negara dan
bangsa.
Gajah Mada mempunyai istri bernama Ken Bebed (sebagian versi menyatakan
mempunyai anak, sebagian lainnya tidak).
Gajah Mada lahir di daerah Malang, sebagian versi menyatakan di Bali,
Mojokerto, Lamongan, daerah dekat gunung Bromo dan bahkan di Purworejo.
Gajah Mada mepunyai keturunan di Bali dan di daerah Jawa Timur lainnya
(beberapa versi mengatakan tidak).
Di perpustakaan dan toko-toko buku, “dongeng” mengenai kebesaran Majapahit
(baca: Gajah Mada) ini semakin langka didapat.
Kita lebih cepat menemukan buku yang bercerita banyak tentang fiksi mengenai
keperkasaan mahluk-mahluk luar angkasa versi Amerika dan Jepang, yang begitu melekat
di alam pikiran anak-anak abad ini. Kita sudah melupakan siapa Gajah Mada. Kecuali
tentunya kita hanya ingat bahwa Gajah Mada hanyalah nama jalan, nama kapal perang,
nama institusi, nama restauran, nama toko buku dan bahkan nama beberapa merek
dagang.
B
pen
gan
tar
Kita bahkan hampir lupa bahwa Patih Gajah Mada yang terlahir tanpa diketahui asal-
usulnya itu selain sekedar sebagai seorang penduduk biasa, pada zaman itu sudah mampu
menyusun suatu tatanan pemerintahan yang mengacu pada pola persatuan dan kesatuan
bangsa.
Keterbatasan komunikasi pada zaman itu tidak menjadi halangan bagi Gajah Mada
untuk menerapkan langkah-langkah diplomasi dengan negara lain, bahkan ke Cina yang
waktu itu menguasai hampir seluruh belahan Asia Tenggara.
Gajah Mada betul-betul cerminan seorang ksatria sejati. Sikap, tindakan dan
perilakunya sangat lugas, tegas, bijaksana, arif, cerdas, bertanggungjawab dan tidak
mementingkan dirisendiri. Sebagai seorang ksatria sejati, Gajah Mada sangat menjunjung
tinggi sila-sila kajiwan.
Demi persatuan dan kesatuan, Gajah Mada tidak segan-segan melakukan tindakan
apapun demi kesejahteraan masyarakat luas.
Ternyata seorang Gajah Mada yang berdarah ksatria dan militer sejati itu mempunyai
kelembutan melebihi para pendeta sendiri ketika dia secara tekun dan telaten
membangun prasasti candi Singasari di Malang sebagai penghormatan kepada Prabhu
Sri Kertanegara sebagai pencetus pertama program kesatuan dan persatuan bangsa.
Sejarah mencatat, kejatuhan Majapahit dimulai sejak kematian Gajah Mada pada
tahun 1364.
Setelah kematiannya, jabatan Gajah Mada dipegang tidak kurang oleh lima menteri.
Ini suatu indikasi yang menarik untuk menilai sejauh mana kemampuan Gajah Mada
memimpin negara tanpa pamrih.
Kini Gajah Mada telah tiada.
Dia pergi tidak pernah meninggalkan warisan harta sedikitpun, bahkan keturunanpun
tak punya.
Tetapi dia pergi meninggalkan pesan dan falsafah yang tidak akan pernah pudar bagi
anak cucunya di Nusantara ini yaitu persatuan dan kesatuan bangsa.
Pahlawan yang tidak punya pamrih apapun kecuali mempersatukan nusantara dari
Sabang sampai Merauke, bahkan lebih luas lagi.
Gajah Mada muksya, meninggalkan sejarah yang sulit untuk dihapus walau buku-buku
tentang kebesarannya sulit dicari lagi di toko buku terdekat.
Selamat jalan orang besar.
Namamu akan tetap abadi di hati setiap bangsa ini, bangsa yang tidak akan pernah
bersatu kecuali perjuanganmu tempo doeloe, bangsa yang terus haus mempertahankan
nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa ini, bangsa yang sekarang ini sangat prihatin
terhadap rong-rongan sebagian orang yang ingin memecah-belah bangsa dan negara
yang telah kau persatukan ini, bangsa yang sekarang mengalami stagnasi perjalanan
politiknya karena ada sebagian orang yang berjuang hanya bagi kepentingannya sendiri,
bangsa yang sebagian pejabatnya sekarang melakukan korup tanpa rasa malu, bangsa
yang satu dan lainnya sudah saling tidak perduli lagi, bangsa yang sudah tidak perduli
dengan pendidikan anak cucunya, bangsa yang sudah terbiasa menahan lapar dan hidup
bersahaja sementara kebijakan konsumerisme dan gaya hidup berlebihan menjadi
prioritas utama bagi sebagian kecil masyarakatnya, bangsa yang tidak perduli lagi dengan
rasa nasionalisme bangsanya, bangsa yang sebagian sumberdaya alamnya sudah
tergadaikan dan dinikmati oleh bangsa asing yang pada zamanmu justru sangat
diharamkan.
Selamat jalan orang besar.
Kami rindu kelahiranmu kembali, orang yang terlahir hanya untuk kemajuan
bangsanya tanpa pernah sedikitpun berfikir bagaimana memajukan, mensejahterakan dan
membahagiakan pribadi dan keluargamu. Seorang militer sejati yang budayawan,
negarawan dan tetap berdiri di atas sendi-sendi keagamaan yang sangat kuat. Pada
zamanmu, kemajuan di bidang sosial, ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan dan
peradaban, agama dan pendidikan mengalami kemajuan yang tak terhingga. Ini
membuat negara mancanegara kagum dan segan. Persatuan bangsa menciptakan
kemajuan yang sangat inheren.
Selamat jalan orang besar.
Semoga energimu tetap berada di atas mayapada nusantara ini. Mengayomi dan terus
memberikan inspirasi dan kekuatan moral bagi bangsa ini, bangsa yang sudah lelah
diguncang perpecahan dan kemunafikan, bangsa yang rindu akan kebesaran, keagungan,
kesejahteraan dan kemakmuran masa lalu yang sering diceritakan kakek-nenek kita,
bangsa yang sudah bosan dijajah oleh berbagai bentuk penjajahan; bangsa asing,
kebudayaan dan peradaban asing, sistem dan konsep perekonomian asing yang pada
akhirnya hanya akan menguntungkan negara asing.
Selamat jalan orang besar, Gajah Mada, mantrywira, Mahapatih Amangkubumi
Wilwatikta Agung.
Terakhir sekali mohon petunjuk dan ridho Allah atas bangsa ini, Indonesia Raya
tercinta. Berikan rahmat dan barokahMu ya Allah. Amien.
Tangerang Selatan, Januari 2011
Salam Nusantara..!
Renny Masmada
www.rennymasmada.com
www.filmgajahmada.com
Kepustakaan
Anwar Sanusi,
SEJARAH INDONESIA untuk Sekolah Menengah I, II, III, Pustaka “PAKUAN”,
Bandung 1951
Laode M. Kamaluddin, Dr
Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
2002
Partini Sarjono Pradotokusumo,
KAKAWIN GAJAH MADA, sebuah karya sastra Kakawin abad ke-20, suntingan Naskah
serta telaah struktur, tokoh dan hubungan antarteks, Binacipta – Bandung 1986
Renny Masmada
Gajah Mada Sang Pemersatu Bangsa - gagasan tentang amukti palapa dan refleksi kondisi
Indonesia saat ini, PT Elex Media Komputindo - Gramedia Group, Jakarta 2003
Renny Mursantio AS, R., MBA, Dr.
Konsep Validasi, Catur Prasetya Pedoman Karya Polri: Di tengah Berbagai Perubahan
Global (Sespim Polri), Cipanas, 13 April 2004
Renny Mursantio AS, R., MBA, Dr.
Merangsang Pertumbuhan Perekonomian Bangsa: Optimalisasi Investasi Asing Melalui
Kerjasama Mutualistis, Jakarta, 6 Februari 2005
Renny Mursantio AS, R., MBA, Dr. – Kombes Pol Atim Supomo, SmIk – Melda Kamil
Ariadno, SH, LL.M.
Laporan Sementara Hasil Penelitian Study Kelayakan Penempatan SLO Polri di Kawasan
ASEAN dan Asia, Kuala Lumpur-Malaysia, 27 Juli 2005
Renny Masmada
Visi dan Misi Penulisan Buku: AMUKTI PALAPA, persfektif persatuan Nusantara, Jakarta,
11 Juni 2003
Renny Masmada
Persfektif persatuan Nusantara: Telaah kekayaan karakter bangsa sebagai akar budaya
dan peradaban, Cifor-Bogor, 7 Juni 2006
Rokhmin Dahuri, Prof. Dr. Ir., M.S.
Keanekaragaman Hayati Laut – Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT
Gramedia Pustaka Utama – Jakarta 2003
Slamet Mulyana, Prof.Dr.
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarah, Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1979
Slamet Mulyana, Prof. Dr.
Pemugaran Persada Sejarah, Inti Idayu Press, Jakarta 1983
Tridoyo Kusumastanto, Prof. Dr. Ir.
MEMBANGUN INDONESIA – Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan
Perikanan Indonesia, IPB Press – Bogor 2005
Yamin, H. M., Prof.,
ATLAS SEDJARAH, Djambatan – Djakarta 1956
Yamin, H. M., Prof.,
GAJAH MADA, Pahlawan Persatuan Nusantara, Balai Pustaka – Jakarta1993
Yamin, H. M., Prof.,
TATA NEGARA MADJAPAHIT, SAPTA-PARWA, Jajasan Prapantja – Djakarta 1962
Lelaki yang lahir di
Jakarta pada 8 September 1958
dari pasangan R. Muradi K.
Nogodrono dengan R. Nganten
Samiatin H. Suparto ini lebih
akrab dipanggil Renny Masmada.
Terlahir dari lingkungan
keluarga seniman, Renny muda
sudah akrab dengan dunia seni
antara lain: seni peran, seni lukis
dan seni musik.
Sejak tahun 1984, penulis telah melakukan penelitian mengenai sosok Gajah Mada.
Dari perpustakaan-perpustakaan (baca: buku-buku) yang memang sangat terbatas sampai
pada para ahli sejarah dan kepurbakalaan. Bukan itu saja, bahkan juga melakukan
pendekatan pada institusi yang punya kaitan emosi dengan Gajah Mada seperti kalangan
militer dan kepolisian, kementerian terkait, Kepala Daerah yang wilayahnya mempunyai
keterkaitan dengan peninggalan Gajah Mada, pemerhati sejarah Majapahit/Gajah Mada,
sekolah/perguruan tinggi, dan beberapa lainnya.
Kemiskinan data tentang Gajah Mada itulah yang membuatnya semakin terpanggil
untuk terus melakukan traveling dengan kemampuan terbatas (terlahir bukan sebagai
sejarahwan!) untuk melakukan pendekatan empirik yang nantinya dapat memberikan
sumbangan besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Perkawinannya dengan Ely Parlina Mas telah dianugerahi lima putra-putri: Rr. Gendis
Filmierly, S.Kom., R. Theo Virsa Mas PWG, Rr. Ajeng Viola Pitaloka, R. Mohammad
Panji Mas PWG dan Rr. Ken Ayu Bebed.