a. latar belakang masalah · 2017. 7. 17. · bab i . pendahuluan . a. latar belakang masalah sejak...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak negara ini didirikan, bangsa Indonesia telah menyadari bahwa pekerjaan
merupakan kebutuhan asasi warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27
Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam
Amandemen UUD 1945 tentang Ketenagakerjaan juga disebutkan dalam Pasal 28 d
Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. Hal tersebut berimplikasi pada kewajiban negara
untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu perencanaan matang di bidang ketenagakerjaan
untuk mewujudkan kewajiban negara tersebut.1 Berdasarkan pengertian di atas maka
sangatlah penting bahwa tiap-tiap warga negara haruslah mempunyai hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai pekerja atau disebut buruh. Menurut
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatakan “ Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.2
Pada dasarnya, pekerja/buruh, maupun karyawan adalah sama. Namun dalam
kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan
sebagainya. Sedangkan pekerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih
tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam
melakukan kerja, akan tetapi pada intinya sebenarnya baik pekerja maupun karyawan
1 Adrian Sutedi,Hukum Perburuhan. Jakarta. Sinar Grafika. 2009. Hal 1
2 Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 1 Aayat (3) Nomor 13 Tahun 2003
mempunyai arti satu yaitu buruh. Hal ini terutama merujuk pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di
Indonesia.
Berbicara mengenai perjanjian kerja sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 14
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa:
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Lebih lanjut Undang-Undang Ketenagakerjaan ini juga memuat definisi mengenai
hubungan kerja yang terjalin setelah adanya perjanjian kerja, lebih tepatnya termuat
dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dinyatakan bahwa:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian, agar dapat disebut
perjanjian kerja harus dipenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya orang di bawah pimpinan orang lain
Adanya unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain.
2. Penunaian kerja
Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan.
3. Adanya upah
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja.3
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang
dibuat secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan perjanjian kerja secara lisan
harus dibuat surat pengangkatan. Berkaitan dengan perjanjian kerja yang
termuat di dalam Pasal 56 Angka 1 dan 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan,
perjanjian kerja terdiri atas:
1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu.
2. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Angka 1
Undang-Undang Ketenagakerjaan didasarkan:
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Berbicara mengenai perjanjian kerja waktu tertentu pengusaha tidak dapat
mensyaratkan adanya masa pencobaan kerja bagi pekerja. Dalam hal ini masa
pencobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu yang dijadikan syarat maka akan
batal demi hukum.4 Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Upah terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti
beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk dana yang disisihkan pengusaha
untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan, dan kondisi lingkungan kerja. Sistem
3 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, Maret, 2005, Hal 8-9 4 Pasal 58 Angka 1 dan 2 UU Ketenagakerjaan
penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji pokok yang didasarkan
pada kepangkatan dan masa kerja.5
Di dalam upah sendiri juga ada kebijakan
pengupahan yang mengatur guna melindungi pekerja/buruh yang apabila hak dan
kewajibannya sebagai pekerja/buruh tidak dipenuhi. Kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan meliputi:
1. Upah minimum;
2. Upah kerja Lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan upah;
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10. Upah untuk membayar pesangon; dan
11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.6
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa prinsip kebijkan pengupahan harus sesuai
dengan kebutuhan hidup yang layak yang diperoleh sehingga pekerja/buruh memenuhi
5 R Joni Bambang,Hukum Ketenagakerjaan. Bandung. Penerbit Pustaka setia Bandung. 2013. Hal 15 6 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bab X-Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak, di
mana jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi
makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan
jaminan hari tua.7
Pekerja/buruh selain berbicara tentang pengertian umum dan upah yang harus
diberikan, penulis juga melihat bahwa pekerja/buruh harus ada
perlindungan-perlindungan hukum apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Salah
satu bidang di antara banyak bidang Hukum Ketenagakerjaan yang sangat penting jika
dikaitkan dengan perlindungan pekerja/buruh adalah bidang pemutusan hubungan
kerja, terutama pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha. Persoalan pemutusan
hubungan kerja menjadi masalah utama jika pengusaha ingin memutuskan
(mengakhiri) hubungan kerja, padahal pekerja/buruh masih ingin tetap bekerja.
Mengedepannya persoalan ini terletak pada : keinginan pengusaha yang lazimnya serba
kuat berhadapan dengan keinginan pekerja/buruh yang lazimnya serba lemah. Padahal,
hukum yang bersifat memaksa (dwingendrecht) yang dapat mengekang keinginan
pengusaha itu merupakan benteng perlindungan yang terakhir agar pekerja/buruh tetap
mempunyai pekerjaan, yang berarti menjamin kelangsungan perolehan nafkah.8
Jika berbicara tentang prinsip no work no pay yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa diartikan bahwa
apabila pekerja/buruh tidak melakukan kewajibannya sebagai pekerja/buruh maka
pekerja/buruh juga tidak akan mendapatkan upah atau haknya sebagai pekerja/buruh.
7 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan indonesia. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.2014. Hal 122 8 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuan di Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo. 1995. Hal 113
Walaupun terdapat prinsip “no work no pay” dalam sistem pengupahan, karena alasan
tertentu pekerja/buruh tetap berhak menerima upah dari pengusaha.
Pengecualian prinsip “no work no pay” diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Pasal 93 Ayat (2) tentang Ketenagakerjaan:
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha
wajib membayar upah apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,
menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau
mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri
maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Jadi, pihak yang mengakhiri Perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan,
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha yang memiliki perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran
diri,pemberhentian oleh perusahaan, atau habis kontrak.9
Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai tenaga kerja,
Perjanjian kerja dapat berakhir apabila:
1) Pekerja meninggal dunia
2) Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
3) Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
9 R. Joni Bambang. Hukum Ketenagakerjaan.Penerbit Pustaka Bandung. Hal 299
4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Ketentuan dalam Pemutusan Hubungan Kerja juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja Pasal 151 yang
berbunyi :
1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.10
Apabila memang pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindari dan di bawa ke jalur
hukum/ pengadilan maka selama putusan pemutusan hubungan kerja belum
berkekuatan hukum tetap, pekerja dan pengusaha tetap wajib melakukan segala
kewajibannya, sesuai dengan bunyi pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatakan :
10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Bab XII. Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal 151
“selama putusan pemutusan hubungan kerja belum berkekuatan hukum tetap, pekerja
dan pengusaha tetap wajib melaksanakan segala kewajibannya”.
Makna Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu bahwa sebelum
Pemutusan Hubungan Kerja berkekuatan hukum tetap, pekerja wajib melakukan
pekerjaannya sehingga pekerja berhak untuk memperoleh upah dari pengusaha yang
merupakan kewajiban pengusaha.
Terhadap Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dijudicial
review oleh Mahkamah Konstitusi yang dituangkan dalam Putusan Nomor
37/PUU-IX/2011 antara Pemohon drg. Ugan Gandar, Ir. Eko Wahyu, dan Ir. Rommel
Antonius Ginting yang berisi :
Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 ayat
(2), Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya. Pada Ayat (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Bila tadi penulis telah menjelaskan pengertian pekerja/buruh, pengertian pemutusan
hubungan kerja, dan tentang upah proses yang tertuang didalam Pasal 155 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka selanjutnya
penulis ingin mengulas tentang latar belakang kasus yang sebenarnya terjadi di dalam
Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk. antara Abdul Jalil melawan Hotel Ogh Doni Jogja.
Latar belakang kasus ini bermula penggugat/pemohon mendapatkan surat
peringatan dari pihak tergugat/termohon pada tanggal 11 oktober 2011 dengan alasan
penggugat/pemohon datang terlambat, pulang awal tanpa ada pemberitahuan kepada
atasan/security, lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada saat terjadi
pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk menyalakan
genzet. Bahwa atas kejadian tersebut pada tanggal 31 Januari 2012 pihak
Tergugat/Termohon melakukan pemanggilan kepada Penggugat/Pemohon dan
sekaligus memberikan surat yang berisi penggugat/pemohon diminta untuk
mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang engineering dan
di dalam surat tersebut sekaligus menerangkan perihal hak-hak pengunduran diri dan
penggugat/pemohon diminta agar berkoordinasi dengan pihak personalia dan security
koordinator. Setelah hal tersebut dikoordinasikan dengan pihak personalia, alhasil
didapati nilai yang ditawarkan pihak Tergugat/Termohon adalah sebesar Rp. 1.000.000
(Satu Juta Rupiah) atau 2 (dua) kali gaji Penggugat/Pemohon, dan kemudian tawaran
uang tersebut ditolak oleh Penggugat/Pemohon dengan alasan dan pertimbangan
lamanya waktu Penggugat/Pemohon bekerja. Kemudian Penggugat/Pemohon
mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
tergugat/termohon, namun tidak ada titik temu, sehingga akhirnya penggugat/pemohon
mencatatkan permasalahan perselisihan hubungan industrial tersebut ke Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sekitar awal bulan April tahun 2012.
Menindaklanjuti pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta telah melakukan klarifikasi dengan
memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon ke kantor Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan kemudian beberapa kali diadakan
pertemuan/pemanggilan untuk mediasi/sidang, pertama pada tanggal 09 Mei 2012,
kedua tanggal 11 Juni 2012, ketiga tanggal 15 Juni 2012, keempat tanggal 28 Juni
2012), kelima 10 Juli 2012, keenam 11 Juli 2012, dan pada hari Kamis 19 Juli 2012
bertempat di ruang Pertemuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, namun
pertemuan atau mediasi yang telah diupayakan tetap tidak membuahkan hasil. Atas
permasalahan tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta
telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor : 565/7321 tertanggal 07 November 2012
dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Yogyakarta dan Mediator yang ditujukan kepada Tergugat/Termohon dan
Penggugat/Pemohon yang berisi anjuran agar Pihak Tergugat/Termohon membayarkan
hak-hak Penggugat/Pemohon sebesar Rp. 33.215.143,15 (Tiga Puluh Tiga Juta Dua
Ratus Lima Belas Ribu Seratus Empat Puluh Tiga Rupiah Lima Belas Sen) dan
Tergugat/ Termohon hanya menawarkan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000
(Lima Juta Rupiah), Kemudian diadakan beberapa kali pertemuan/mediasi/sidang,
Pertemuan PERTAMA tanggal 27 Juni 2012, KEDUA tanggal 04 Juli, KETIGA
tanggal 19 Juli dan KEEMPAT tanggal 25 Juli 2012, Penggugat/Pemohon tetap pada
sikapnya yakni meminta hak-hak pekerja sesuai dengan Peraturan Perundang-udangan.
Sementara sikap Tergugat/Termohon-pun tetap yakni hanya memberi uang kompensasi
sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) kepada Penggugat/Pemohon yang mana hal
tersebut sesuai dengan Surat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
tertanggal 30 November 2012 terlampir yang ditandatangani oleh Mediator Hubungan
Industrial Bpk. R. Irwantono, SH.
Oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil
menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan
upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.
Selanjutnya, dalam Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.YK, hakim mempertimbangkan
permintaan upah proses pada bagian pertimbangan hukumnya yang isinya menolak
permintaan upah proses oleh Abdul Jalil.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pertimbangan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
dalam menjatuhkan Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk yang dituangkan ke dalam
skripsi dengan judul “STUDI KASUS PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG
UPAH PROSES PADA PUTUSAN NOMOR 01/G/2013/PHI.YK. ANTARA
ABDUL JALIL MELAWAN HOTEL OGH DONI JOGJA.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
- Apakah pertimbangan hakim tidak mengabulkan permohonan upah proses Abdul
Jalil sesuai dengan ketenntuan Pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu, untuk mengetahui pertimbangan hakim atas Putusan
Nomor 01/G/2013/PHI.YK. apakah sesuai dengan Ketentuan Pasal 155 Ayat (2) dan
(3) Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan untuk membantu menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Hukum Ketenagakerjaan khususnya tentang prinsip no work no pay
dalam kaitannya dengan pemberian upah proses.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan untuk memberikan pemikiran yuridis terhadap hakim dalam
memutuskan putusan tentang kebijakan upah proses pekerja/buruh.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif karena yang
diteliti ialah pertimbangan hakim.
2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu, data sekunder, berupa:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
norma-norma, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum
primer seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, karya dari kalangan
hukum, dan sebagainya.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekuunder, seperti Ensiklopedia, kamus,
dan lain-lainnya.
Sedangkan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka.
3. Unit Amatan dan Unit Analisis.
a. Unit Amatan dari penelitian ini yaitu:
i. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
ii. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XI/2011.
iii. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Yogyakarta Nomor 01/G/2013/PHI.YK.
iv. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
:Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan.
b. Unit Analisis
Unit Analisis dalam penelitian ini yaitu pertimbangan hakim tentang upah proses
dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 01/G/2013/PHI.YK..
F. Sistematika Penulisan
Untuk memahami tulisan ini, sistematika penulisan terdiri dari, yaitu:
BAB I : Pada bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian yang akan dilakukan,
meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian.
BAB II : Prinsip Pengupahan dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
Nomor 01/G/2013/PHI.YK..
BAB III : Penutup berisi Simpulan dan Saran.
Daftar Pustaka.