abdullahi ahmed an na'im ch4
TRANSCRIPT
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif
Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak
selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena
pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi
ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara
hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara
secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang
sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan
dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat
teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negara-
negara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di
India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi
mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak
kompleks di seluruh negara-negara Barat.1 Daripada mencari-cari konsep-
konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita
mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh
berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji
pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa
semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan
hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi
sekularisme yang rigid dan spesifik.
Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami
proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap
masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa
perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian
itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review
singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan
bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubah-ubah, sarat perdebatan dan
sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara
1 Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi, Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya sebuah
masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan
revisi.
Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap
pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing-
masing negara terhadap berbagai isu, bukan mengklasifikasikan mereka ke
dalam kategori-kategori tertentu yang sudah jelas. setiap negara, memang,
mengambil sikap yang berbeda dalam merespon aspek-aspek tertentu dalam
hubungan agama dan negara dan tidak ada satupun yang mengikuti satu
pemahaman sekularisme dalam menyikapi semua isu. Lagipula, selalu ada
saja perdebatan mengenai bagaimana aspek tertentu dalam sekularisme
harus diperlakukan sehingga kebijakan apapun yang diambil oleh negara
akan selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang lain. Misalnya apakah
negara boleh membiayai pendidikan agama, atau menyediakan fasilitas
keuangan atau lainnya kepada institusi keagamaan, atau bahkan mengatur
pilihan moral rakyatnya seperti yang terlihat dalam debat mengenai aborsi,
kontrol kelahiran dan perceraian.
Namun demikian, masalah terpenting dalam buku ini sebetulnya adalah
bagaimana proses negosiasi itu diorganisasi dan difasilitasi melalui kerangka
yang akan saya diskusikan pada bagian tiga bab ini. Pada bagian tersebut,
saya menjelaskan bahwa ketegangan permanen dalam hubungan antara
agama dan negara harus dimediasi melalui kerangka “public reason’ yang
sudah diungkapkan dalam bab 1. Kerangka public reason ini juga harus
diamankan dengan prinsip-prinsip dan institusi-institusi konstitusionalisme,
HAM, dan kewarganegaraan seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 3.
Dengan demikian, pada bagian ini saya akan menggunakan review dan
diskusi mengenai pengalaman Barat pada bagian satu guna mengklarifikasi
kerangka yang diperlukan untuk melakukan negosiasi makna dan implikasi
sekularisme dalam konteks masyarakat Islam. Saya akan melanjutkan
perbincangan ini pada 3 bab berikutnya untuk melihat penerapan kerangka
tersebut di India, Turki dan Indonesia.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dengan memahami sekularisme melalui pengalaman negosiasi kontekstual
masing-masing masyarakat bukan berarti bahwa tidak ada prinsip-prinsip
yang menyatukan pengalaman yang berbeda itu, atau makna dan implikasi
konsep itu akan selalu relatif bagi setiap masyarakat. Malah sebaliknya,
mengembangkan pemahaman spesifik mengenai makna sekularisme dan
implikasinya melalui analisis komparatif merupakan hal yang mungkin dan
perlu. Namun, kita tidak boleh memaksakan satu definisi atau meneguhkan
satu implikasi hanya melalui perspektif teoritis yang abstrak belaka. Dengan
demikian, pertanyaan utama bab ini adalah bagaimana pengalaman Barat
bisa berguna untuk menegosiasikan hubungan antara agama dan negara
dalam masyarakat Islam?
I. Pengalaman Negeri-Negeri Barat
Saya tidak mungkin menjelaskan pengalaman semua negeri Barat atau
menawarkan sebuah diskusi komprehensif mengenai situasi mereka dalam
bab ini. Saya memutuskan untuk memilih beberapa di antara mereka untuk
mendiskusikan pengalaman sekularisme di beberapa negara yang memiliki
kondisi, tradisi keagamaan dan rezim politik atau konstitusi yang berbeda.
Meskipun demikian, beberapa negara di Eropa maupun di Amerika Utara bisa
juga didiskusikan dengan cara yang sama untuk menunjukkan bahwa posisi
Agama dalam konsepsi dan pengalaman Barat tidak identik ataupun ekslusif
dari domain kebijakan publik dan undang-undang.
Inggris
Karena Inggris hanya sedikit dari negara yang tetap mempertahankan
lembaga Gereja resmi (nasional), penting kiranya untuk membicarakan
pengalaman mereka dalam bab ini, meskipun diskusi dalam bagian ini juga
tidak berpretensi untuk membahas semua daerah yang ada di Inggris. Istilah
gereja resmi (established church), dan sejumlah istilah yang berkaitan
dengannya, digunakan dalam bab ini untuk menunjukkan adanya agama
atau sekte (denomination) tertentu yang diakui atau diresmikan sebagai
agama resmi negara. Meskipun kedekatan hubungan antara Gereja Inggris
(The Curch of England) dengan negara semakin berkurang, namun hubungan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
itu masih tetap kukuh.2 Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang
modern di Inggris bisa ditelusuri dari asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The
Curch of England) pada abad ke-16 di masa pemerintahan Henry VIII. Henry
memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja-gereja di Inggris
dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui pernikahannya
dengan Catherine dari Aragon.3 Dengan mengeluarkan “Act of Supremacy”
tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus.4 Henry VIII
juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik
gereja. Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para
biarawan tidak lagi menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2
lembaga parlemen Inggris). Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa
pendeta yang menjadi anggota lembaga itu.5 Setelah Henry meninggal,
penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan Protestan, sampai
akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan
sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of
Supremacy” kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah
otoritas kerajaan.
Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan
politik Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris
dengan Roma merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama
kekuasaan Edward VI dan Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi
benda-benda dan karya seni suci menurun. Para seniman menemukan tema-
tema non religius untuk mereka tampilkan; dan bentuk lukisan barupun
berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika negara mulai
mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk drama-
drama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun
berkembang menggantikan posisi tradisi lama.6
2S. V. Monsma and J.C. Soper, “England: Partial Establishment.” The Challenge of Pluralism: Church and State in Five Democracies (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1997), hlm. 121. 3 Monsma and Soper, hlm. 1244 David McClean, “State and Church in the United Kingdom” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 310.5 C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England: From Religious Culture to Religious Faith (Oxford: Oxford University Press, 1992), hlm. 13-146 Sommerville, hlm. 87, 93-94
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Selama berabad-abad, gereja resmi di Inggris telah memperkuat sekaligus
diperkuat oleh kekuasaan negara. Hubungan gereja Inggris dan negara
menguat pada abad ke-17, ketika mazhab Kristen Inggris (Anglican)
disponsori dan diperkuat oleh negara sementara Katolik Roma dan mazhab
lainnya ditindas. “The Corporation Act” tahun 1661 dan “The Test Act” tahun
1673 melarang orang-orang yang tidak mengikuti Kristen Anglikan untuk
berpartisipasi dalam arena politik dan masuk universitas. Baru pada abad ke-
18-lah, posisi istimewa gereja resmi ini mulai menurun. Penganut Protestan
yang tidak tunduk pada negara diberikan hak untuk melakukan ibadah pada
tahun 1689, namun mereka tetap tidak diberikan hak-hak politik kecuali
sampai 1824. orang-orang Katolik dan Yahudi mulai diperbolehkan
berpartisipasi dalam politik beberapa dekade setelah itu. Tahun 1871,
pemerintah Inggris menetapkan tes agama untuk masuk universitas. Namun
di akhir abad 19, bibit-bibit toleransi mulai tumbuh.7
Pemberian hak politik kepada penduduk yang tidak menganut kristen
Anglikan merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak bisa
memaksakan keseragaman agama pada warga negaranya. Selama abad 19,
beberapa kelompok diorganisasi untuk memisahkan gereja dari negara,
namun mereka tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai. Pada
awal abad ke-20, pengaruh kelompok-kelompok separatis itu mulai menurun,
mungkin karena secara politis, kekuasaan gereja juga tidak lagi penting.
Gereja Inggris tetap menjadi Gereja resmi negara, namun ikatan formalnya
kepada negara berangsur-angsur mengendur dan lebih bersifar seremonial.
Di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21, gereja Inggris mulai
berusaha mempromosikan sikap yang lebih toleran dan mempertahankan
fungsi ekumenisnya dengan mendukung pengakuan pemerintah terhadap
sekte lain. Pada saat ini, negara juga tidak lagi mempromosikan gereja
Anglikan secara agresif dan membatasi kegiatan kelompok-kelompok agama
lain. Kebijakan negara semakin mengarah pada pemberian dukungan kepada
semua agama, daripada hanya kepada satu kelompok.8
7 Monsma and Soper, hlm. 1248 Monsma and Soper, hlm. 124-132
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Meskipun sikap negara terhadap agama semakin plural, beberapa implikasi
legal dan kultural model negara tradisional masih terlihat. Sebagai contoh,
kerajaan, dengan saran dari Perdana Menteri, menunjuk para uskup dari
calon yang dinominasikan oleh gereja. Sementara itu, Uskup Agung serta
anggota senior lembaga keuskupan tetap menjadi anggota The House of
Lords. Hukum negara yang mengatur penghinaan agama (blasphemy)
merupakan upaya untuk melindungi doktrin-doktrin gereja Anglikan, tapi
tidak untuk doktrin agama lain.9 Hukum Gereja Anglikan (eclesiastical law
atau canon law) masih menjadi bagian Hukum Inggris dan memiliki kekuatan
yang sama dengan common law di pengadilan. Parlemen mempunyai
kekuasaan untuk membuat hukum yang berkaitan dengan gereja, meskipun
akhirnya kekuasaan ini diberikan kepada Majelis Umum Gereja-Gereja (the
General Synod of the Church) pada abad ke-20. Gereja Inggris masih
mempunyai hak istimewa untuk mengeluarkan aturan-aturan yang berkaitan
dengan gereja-gereja lain, aturan ini kemudian diajukan ke parlemen untuk
mendapatkan persetujuan sehingga memiliki kekuatan hukum seperti
ketetapan parlemen lainnya. Namun dalam praktiknya, parlemen jarang
menolak aturan-aturan itu dan bahkan mungkin tidak mengamandemen
teksnya.10 Posisi Gereja Inggris saat ini merefleksikan apa yang disebut
partial establishment sebagai bentuk kerjasama antara negara dan gereja
untuk melindungi peran publik agama. Adanya otoritas keagamaan ini
merupakan pengakuan negara terhadap peran publik sebuah kepercayaan
agama”.11
Meskipun mendapatkan dukungan yang luas, sistem “partial
establishment” ini menghadapi beberapa tantangan dalam masyarakat
kontemporer, seperti dalam kasus pendidikan agama. Negara
mempertahankan sikap setengah netral dalam persoalan agama dengan,
misalnya, dengan memasukkan pendidikan agama sekte lain dalam
9 Monsma and Soper, hlm. 129-13010 McClean, hlm. 311-31211 Monsma and Soper, hlm. 148
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kurikulum nasional. Namun, Gereja Inggris tetap memiliki hak veto untuk
merubah silabus pelajaran yang penyusunannya melibatkan komite lokal
meskipun Education Reform Act (Undang-Undang Reformasi Pendidikan)
tahun 1988 melarang komite tersebut untuk membuat kurikulum yang
memperlihatkan kecenderungan pada salah satu sekte keagamaan.12 Selain
itu, dana fasilitas pendidikan juga lebih diutamakan untuk diberikan kepada
sekolah-sekolah Anglikan atau Katolik, meskipun sekolah-sekolah Protestan
dan Yahudi juga mendapatkan sejumlah dana.13 Pihak yang tidak setuju
terhadap kebijakan pemberian dana untuk sekolah-sekolah agama
mengklaim bahwa lembaga-lembaga seperti itu memecah belah kohesi
sosial, karena memisahkan anak-anak berdasarkan agama.14
Kesulitan yang muncul dalam kebijakan pendidikan agama di atas
memperlihatkan keterbatasan sistem “partial establishment” yang
berlaku Inggris. Karena Inggris tidak mempunyai bill of rights tertulis, maka
tidak ada jaminan formal untuk kebebasan beragama atau harapan bagi
terciptanya kesetaraan beragama. Negara, dengan demikian, hanya
mengakomodasi kepentingan minoritas jika kepentingan itu masih dalam
batasan yang bisa diterima.15 Meskipun kombinasi kebijakan “partial
establishment” dan toleransi terhadap minoritas secara umum bisa
diterima oleh rakyat Inggris, namun nampaknya kebijakan ini mulai
mendapatkan tekanan dari kalangan minoritas yang menuntut adanya
pernyataan yang lebih jelas tentang kesamaan status mereka. Sementara di
pihak lain, kalangan tradisionalis Inggris masih ingin mempertahankan hak
sosial dan politik istimewa yang dimiliki oleh Gereja Anglikan.
Swedia
Sejarah pemberlakuan agama resmi di Swedia dimulai sejak abad ke-16
ketika desakan untuk menyatukan negara di bawah kepercayaan Lutheran
12 McClean, hlm. 31613 Monsma and Soper, hlm. 13714 Monsma and Soper, hlm. 13915 McClean, hlm. 311, dan Monsma and Soper, hlm. 148-149
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
semakin menguat dan bisa dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan
dukungan massa terhadap adanya gereja Protestan. Tahun 1953, untuk
mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga berkompetisi untuk
mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik di Uppsala.
Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis
Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa
Swedia telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.16
Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini
juga diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia
yang muncul kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government”
(peraturan pemerintah) menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran
adalah agama resmi negara sekaligus mengungkapkan prinsip kesatuan
dalam beragama bagi rakyat Swedia.17 Pada tahun 1686, ketetapan gereja
menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan dengan demikian
rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada orang
Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga
negaranya.18 Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang
dan Swedia menjadi negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya.
Namun, toleransi terhadap praktik agama lain tidak pernah muncul sampai
akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para imigran, tidak bagi orang
Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19 bersamaan dengan
meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh gerakan
kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya
mengakui hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk
jemaah ibadah sendiri, namun kebijakan ini baru berlaku setelah the
Dissenter Act (undang-undang tentang sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860.
Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun harus tetap berdasarkan agama
Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.19
16 Jonas Alwall, “Religious Liberty in Sweden: An Overview.” Journal of Church and State. Ed. Davis, D. 42:1 (2000), hlm. 147, 148.17 Alwall, hlm. 14818 Robert Schött, “State and Church in Sweden.” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 298.19 Alwall, hlm. 149, 151
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin
goyahnya kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty
Act (undang-undang tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang
mengatur kebebasan praktik beragama melarang seseorang untuk
menganggu kedamaian atau menganggu ketentraman publik. Peraturan
Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan beragama dalam Undang-
Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi tahun 1974
menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi
oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan.20 Tahun 1996,
keanggotaan gereja didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus
dibaptis meskipun orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena
mereka tidak bisa serta merta menjadi anggota hanya karena orangtuanya.21
Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia
berhubungan sangat erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia
yang menunjuk Uskup Agung dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan
negara juga digunakan untuk membayar gaji para pendeta, hingga kontribusi
rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada. Sebagai pegawai
negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara dan
berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang
mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan
hukum yang berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat
Gereja Lutheran mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga
membuat otonominya terbatas. tidak seperti di Itali atau Spanyol dimana
negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja nampaknya lebih tunduk pada
negara.22
Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada
tahun 1970-an, tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an,
perubahan besar dimulai. Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional 20 Alwall, hlm. 152 21 Alwall, hlm. 16822 R. Stark and L. R. Iannaccone. “A Supply-Side Reinterpretation of the ‘Secularization’ of Europe.” Journal for the Scientific Study of Religion. 33:3, 1994: 238.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dialihkan dari gereja ke otoritas pajak.23 Komisi yang dibentuk tahun 1994
untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara menyimpulkan bahwa
meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna, namun
negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak
memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi
yang dibuat oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata
hubungan gereja dan negara di Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal
1 Januari 2000. 24 Secara umum rekomendasi yang diajukan oleh komite
adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan status independen dari
pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus diperlakukan
sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan
hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang
diberikan kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus
dibayarkan oleh anggota sekte kepada sektenya.25
Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan
khusus bagi gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan
dalam posisinya sebagai salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat
yang plural. Salah satu perlakuan istimewa yang dinikmati oleh gereja
nasional Swedia adalah pemberian dana pemerintah untuk pemeliharaan
bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu khazanah budaya
penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan tanggung jawab
untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum. Meskipun
ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun
negara dapat menerimanya.26
Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui
dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya
Church of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur
23 Alwall, hlm. 16724 Lars Friedner, “Church and State in Sweden in 2000.” European Journal of Church State Research. Ed. R. Torfs. v.8 (2001), hlm. 255.25 Schött, hlm. 30126 Friedner, hlm. 257; Alwall, hlm. 168, 169
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
gereja dan Majelis Umum Lutheran sebagai otoritas hukum utama.27
Ketetapan inilah yang memberikan Gereja Swedia status hukum istimewa
yang diperkuat dengan aturan undang-undang khusus.28 Setelah proses ini,
Gereja membuat Ordinansi Gereja sendiri sebagai kerangka hukum yang
terpisah dari hukum nasional. Ordinansi ini memuat Hukum Gereja yang dulu.
Karena perubahan ini, Uskup tidak lagi dipilih dari 3 orang kandidat yang
diajukan gereja kepada pemerintah melainkan melalui pemilihan langsung
dalam Gereja.29
Penting untuk dicatat, meskipun dilakukan dengan cara dan perangkat yang
berbeda, Inggris dan Swedia telah menempuh pola yang sama untuk
meningkatkan pengakuan mereka atas pluralisme agama. Inggris masih
mempertahankan status Gerejanya sebagai gereja resmi, namun hanya
memberikan peran moderat bagi mereka. Sedangkan Swedia telah
melangkah lebih jauh dengan pemisahan legal antara negara dan agama.
Meskipun demikian, kedua negara ini dianggap negara sekuler yang secara
subtstansial menjaga netralitas agama sebagaimana yang saya ajukan dalam
proposal saya untuk masyarakat Islam.
Rusia
Sejarah hubungan gereja dan negara di Rusia telah berubah sejak abad lalu.
Selagi masih dalam kekuasaan monarki, Gereja Kristen Ortodoks Rusia
adalah agama resmi negara yang diberikan hak untuk menyelenggarakan
pendidikan, pencatatan nikah dan kematian. Sedangkan agama-agama Rusia
lain dibatasi hak-hak dan fasilitas istimewanya. Namun sejak revolusi 1917,
Dewan Rakyat (the Council of People’s Commisars) mengambil alih semua
hak milik gereja dan tempat ibadah agama lain serta mencabut status hukum
seluruh organisasi keagamaan. Pada beberapa saat di masa Perang Dunia II,
Gereja Ortodoks Rusia pernah muncul kembali dan gereja-gereja kembali
dibuka untuk menumbuhkan semangat patriotisme. Namun, satu dekade
27 Friedner, hlm. 25628 Alwall, hlm. 16929 Friedner, hlm. 257
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup
kembali dan praktik-praktik keagamaan mulai menurun.30
Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara
negara dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun
undang-undang. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia
sebagai negara sekuler sehingga tidak akan ada negara yang dibangun
berdasarkan satu agama tertentu. Undang-Undang dasar juga menyebutkan
bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki posisi setara di depan hukum.
Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama dijamin oleh Pasal
19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau
keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai
alternatif dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga
dengan jelas melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun.
Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi,
diklarifikasi bahkan mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur
hubungan antara gereja dan negara. Setelah kebijakan “Perestroika”
Gorbachev, hubungan antara negara dan sekte-sekte keagamaan
dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990 tentang
“kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang
terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi
tersebut yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti
bahwa jumlah agama minoritas telah berkembang selama masa itu.
Organisasi-organisasi tersebut kini diperbolehkan untuk mengorganisasi
massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi keagamaan dan sosial.
Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada tahun 1980
menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.31
Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan
menetapkan Undang-Undang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan
30 Lev Simkin, “Church and State in Russia” dalam Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters 2003), hlm. 261, 262.31 Simkin, hlm. 263
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dan mendirikan asosiasi keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan
negara. Di bawah ketentuan UU ini, organisasi keagamaan harus
mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000, namun hanya
mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak
menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan
demikian hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi
keagamaan yang terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar.
Artikel 11, 18, dan 23 UU ini menyatakan bahwa “hanya organisasi
keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan
keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan penjara,
menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri,
mendirikan struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”.32
Organisasi keagamaan juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak
penghasilan yang didapatnya dari aktivitas keagamaan atau penjualan
barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah yang mereka miliki
dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka betul-betul
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.33
Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah
Gereja Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status
hukum khusus. Namun demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya
adalah untuk melindungi Gereja Ortodoks. Beberapa pembuat UU
memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi Gereja ini dari invasi
sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya UU 1997
ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan
untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini
merupakan usaha untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan
oleh negara pada permulaan era komunis terhadap properti milik gereja.34
32 Vsevolod Chaplin, “Law and Church-State Relations in Russia: Position of the Orthodox Church, Public Discussion and the Impact of Foreign Experience.” Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters, 2003), hlm. 28233 Simkin, hlm. 278, 27934 Simkin, hlm. 261-277
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Meskipun UU 1997 dan perundang-undangan yang lain mengenai pendidikan,
militer dan pajak jelas-jelas melindungi status Gereja Ortodoks Rusia, namun
UU itu juga berisi mengindikasikan karakter negara sekuler. Secara
keseluruhan, UU ini meminta negara untuk tidak mempercayakan fungsinya
pada asosiasi keagamaan, begitupun negara dan otoritas lokal tidak boleh
memasukkan perayaan keagamaan apapun dalam aktivitasnya. Negara tidak
boleh mencampuri urusan agama dalam mengasuh anak dan tetap harus
menjamin bahwa pendidikan negeri tetap bersifat sekuler. Hanya sertifikat
pernikahan yang disahkan oleh catatan sipil yang dianggap sah, sedangkan
perayaan pernikahan yang dilaksanakan di gereja tidak memiliki efek hukum
apapun. Asosiasi keagamaan diperbolehkan untuk menjalankan urusannya
sesuai dengan aturannya sendiri, tetapi mereka tidak bisa berpartisipasi
dalam pemilihan, gerakan dan aktivitas partai politik, atau memberikan
bantuan material kepada mereka.35
Bertingkatnya UU yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia mengenai
hubungan antara agama dan negara berakhir pada banyaknya kontradiksi.
Misalnya UU 1996 tentang pendidikan melarang aktivitas lembaga
keagamaan di sekolah, tetapi UU 1997 mengizinkan pendidikan agama di
sekolah-sekolah negeri. Kontradiksi ini kemudian diselesaikan dengan cara-
cara berikut ini: administrasi sekolah memang tidak diperbolehkan untuk
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum standar, tetapi mereka
dapat menyetujui permintaan orang tua atau keinginan anak untuk
mengizinkan organisasi keagamaan mengajarkan agama kepada mereka
diluar kurikulum. Setelah umur 14, anak-anak boleh memilih sendiri apakah
mereka ingin menerima pendidikan agama atau tidak, namun izin orangtua
tetap disyaratkan sampai anak mencapai umur ini.36
Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidasepakatan di Rusia mengenai
karakter dan tingkat hubungan antara gereja dan negara yang tepat.
Misalnya, pemisahan antara agama dan negara dibatasi dengan perundang-
undangan yang memperbolehkan negara untuk membatasi kebebasan
35 Simkin, hlm. 26936 Simkin, hlm. 275
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
beragama jika dibutuhkan untuk melindungi struktur konstitusi, moralitas,
kesehatan, hak asasi manusia, dan kepentingan hukum seseorang dan untuk
menjamin pertahanan dan kemanan negara”.37 Perundang-undangan lain
yang dianggap memihak Gereja Ortodoks Rusia adalah UU yang
memperbolehkan hak kepada otoritas lokal untuk mengeluarkan organisasi
keagamaan yang tidak diterima dari daerahnya.38
Kebangkitan kesadaran keagamaan di Rusia sejak jatuhya Uni Soviet berakhir
pada lahirnya sejumlah pendapat berbeda mengenai hubungan agama dan
negara. Meskipun sulit untuk mengidentifikasi model spesifik yang bisa
langsung diterapkan dalam konteks Rusia sekarang, pandangan tradisional
Eropa yang lebih memberikan ruang bagi terjadinya kerjasama yang lebih
dekat antara agama dan negara nampaknya lebih mungkin diterima disana
daripada model Amerika atau Perancis yang cenderung mendukung
pemisahan yang lebih besar dan menuntut adanya “buffer zone” antara
keduanya.39 Namun, pengalaman masyarakat Rusia juga berbeda dengan
masyarakat Eropa seperti Inggris dan Swedia yang sudah berusaha untuk
mengendurkan ikatan mereka dengan Gereja resmi. Rusia, yang secara
hukum dan sosial sudah lama menjadi negara sekuler, belakangan ini malah
mengizinkan, bahkan mendorong, pengakuan Gereja Ortodoks Rusia sebagai
geraja negara, meskipun tidak melalui instrumen hukum.
Perancis
Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang mengalami dominasi Gereja
Katolik, Perancis memiliki tradisi pemisahan antara negara dan gereja yang
cukup tua yaitu sejak masa Revolusi Perancis. Pendekatan perancis terhadap
sekulerarisme ditandai dengan adanya istilah laicite. Sebuah kata yang tidak
hanya bermakna netralitas negara terhadap agama, tetapi juga menandakan
adanya komitmen yang kuat untuk menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai
sipil dan nasional. Pasal 10 Declaration of the Rights of Man and Citizen
(Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) tahun 1789
37 Simkin, hlm. 26638 Simkin, hlm. 26739 Chaplin, hlm. 292
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I
Undang-Undang Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama. Meskipun para pembuat dokumen itu pada
awalnya hanya bermaksud mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan
sipil, kebijakan ini, terutama pada masa teror, kemudian beralih menjadi
kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk memerangi agama
Kristen.40 Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi
pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai
agama ataupun mengakui keberadaan kementrian agama.
Concordat tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis
namun tidak diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan
mengklarifikasi hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini
memungkinkan otoritas sipil untuk mengontrol kementrian agama dan
kehidupan keagamaan di sana. Beberapa waktu kemudian, instrumen
hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan kekuasaan kepada
negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja Reformasi dan
Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang diakui ini
bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi
menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi,
selama abad ini pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama
dan negara yang muncul. Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali
“rezim lama” dan mendukung kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula
pihak yang mendukung perubahan yang telah dibuat sejak tahun 1789 dan
menentang gereja Katolik.41 Dalam konteks antagonisme politik seperti
itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang satu anti pemuka
agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara agama
dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati
semua kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama
dan radikal memenangkan perdebatan.
40 Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State and Church in France.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 120 Concordat adalah kesepakatan yang dibuat oleh Vatikan dan salah satu Negara sekuler (catatan dari pen.)41 Basdevant-Gaudemet, hlm. 121-122
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Pada tahun 1905, setelah partai politik mendukung gerakan anti-pemuka
agama berkuasa selama dua dekade dan setelah timbulnya perdebatan
hangat tentang hubungan agama dan negara di Perancis, pemerintah
memutuskan hubungan dengan Paus dan mengeluarkan Undang-Undang
yang menegaskan pemisahan antara gereja dan negara, yang ternyata masih
berlaku sampai sekarang. Di bawah aturan baru ini, negara menjamin
kebebasan publik untuk beribadah namun mengakhiri keberadaan “Agama
yang Diakui”. Gereja bukan lagi institusi publik dan menjadi bagian dari
sektor privat. Sesuai dengan pasal 4 UU tahun 1905, kelompok keagamaan
(religious assocaition) lama bisa membentuk “asosiasi kultural” (cultural
association) yang menerima pengalihan kepemilikan tanah gereja. Meskipun
sektor privat bisa mendapatkan dana dari negara, tetapi gereja tidak bisa
mendapatkan dana tersebut kecuali untuk membiayai bangunan-bangunan
keagamaan yang dianggap monumen.42 Paus mengutuk Undang-Undang
tahun 1905 itu dan Gereja Katolik Perancis menolak untuk menerima
perubahan statusnya karena takut kehilangan otoritas kepausan yang
dimilikinya atas gereja-gereja katolik lain di Perancis. Gereja-gereja Katolik
menolak untuk mendaftarkan diri sebagai “asosiasi kultural” dan lebih suka
mengorganisasi diri dengan aturan mengenai kebebasan untuk membuat
majelis publik atau kebebasan untuk membuat asosiasi.
Di bawah aturan UU tahun 1905, negara tetap memiliki kewajiban untuk
melindungi kebebasan menganut kepercayaan dan melakukan ibadah serta
tetap berkomitmen untuk menyediakan kemungkinan bagi para penganut
agama untuk menghadiri perayaan keagamaan dan menerima instruksi
keagamaan. Ini berarti bahwa negara tetap membolehkan adanya asistensi
spiritual di tempat-tempat yang dibutuhkan orang seperti rumah sakit,
penjara, militer, dan bahkan sekolah, dalam tahap tertentu.43 Meskipun pada
prinsipnya undang-undang tidak memberikan status istimewa pada agama
apapun, namun negara bisa mengeluarkan peraturan-peraturan lain yang
memberikan keuntungan pada salah satu agama.
42 Basdevant-Gaudemet, hlm. 122-12543 Basdevant-Gaudemet, hlm. 140
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Setelah Perang Dunia I, hubungan diplomatik antara Perancis dan Paus
dibangun kembali. Pada tahun 1924 disepakati bahwa Gereja Katolik bisa
mendirikan asosiasi keagamaan mereka menurut aturan khusus. Asosiasi-
asosiasi itu akan bekerja di bawah otoritas uskup yang berada dalam komuni
Paus dan harus sesuai dengan Undang-Undang Gereja Katolik.44 Kelompok
keagamaan lain memiliki hak implisit yang tertera dalam “kebebasan
beragama dan memeluk kepercayaan”, namun hak-hak tersebut tidak
diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki tujuan terlarang yang
bertentangan dengan hukum dan moral”. Kelompok-kelompok yang
termasuk dalam kategori terakhir ini tidak bisa menerima dana dari
pemerintah kecuali dari donasi individu. 45
Kebijakan laicite pemerintah Perancis telah menimbulkan persoalan yang
berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan dan hukum keluarga. Contohnya,
kebebasan untuk mendapatkan pendidikan di Perancis adalah prinsip
konstitusi yang telah dibentuk dan diterapkan melalui berbagai hukum pada
abad 19. padahal, mayoritas siswa yang belajar di sekolah swasta masuk di
sekolah Katolik. Sekolah Negeri menerima siswa tanpa mementingkan
persoalan agama dan tidak menjadikan instruksi keagamaan sebagai
kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa. Pada pendidikan tingkat dasar,
orang tua boleh mengatur pendidikan agama di luar sekolah semingu sekali
untuk anak-anaknya. Sekolah tingkat menengah, dulu boleh menunjuk
seorang guru dari gereja untuk mengajar para siswa, namun penunjukkan ini
harus berdasarkan permintaan orang tua dan harus dibiayai sepenuhnya oleh
mereka, meskipun bisa jadi sebagian biayanya juga ditanggung oleh pihak
gereja. Kelompok keagamaan yang diminta oleh sekolah bisa menominasikan
kandidatnya yang kemudian akan ditunjuk oleh kepala sekolah.46
Dalam bidang pekerjaan, Undang-Undang Dasar Perancis melarang
diskriminasi dalam pekerjaan karena alasan latar belakang suku, pendapat,
atau kepercayaan. Klausul ini memiliki efek berbeda dalam konteks
44 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12645 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12946 Basdevant-Gaudemet, hlm. 132-133
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keagamaan tergantung bagaimana seseorang diperlakukan di tempat
pekerjaannya; sebagai pemuka agama atau orang biasa. Mempekerjakan
seorang menteri untuk memegang jabatan pastoral, dan ia digaji untuk
pekerjaannya itu, tidak bisa mempergunakan undang-undang sekuler karena
tidak ada kontrak kerja resmi. Pengadilan negeri tidak akan mereview
keputusan uskup untuk mengangkat atau memecat seorang pastur. Menteri-
menteri yang bekerja di penjara, rumah sakit, atau sekolah swasta yang
memiliki hubungan kontrak dengan negara seperti yang diatur oleh UU tahun
1959 digaji oleh negara. Uang diberikan oleh negara untuk pembangunan
tempat peribadatan baru, dan orang yang memberikan sumbangan untuk
organisasi keagamaan mendapatkan keringanan untuk membayar pajak
sampai jumlah tertentu. Pendeta protestan dan Rabi Yahudi memperoleh
asuransi sosial dari negara sejak 1945. Pastor-Pastor Katolik berada di bawah
sistem yang lebih kecil selama beberapa dekade, tetapi sejak tahun 1978,
mereka telah berada di bawah otoritas asuransi sosial meskipun masih
berada dalam rezim yang terbatas. Aturan bagi orang biasa (bukan pemuka
agama) yang bekerja di gereja lebih kompleks lagi, apalagi karena gereja
lokal memang tidak mendapatkan tempat dalam aturan hukum Perancis,
sehingga hanya mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi keagamaan
besar yang dianggap valid. Pengecualian menarik lain yang dikeluarkan oleh
pengadilan-pengadilan Perancis sebagai bentuk ketundukkan pada aturan
gereja adalah memberikan keputusan sah pada pemecatan guru-guru Katolik
yang bercerai dan menikah lagi.47
Tantangan yang dihadapi konsep laicite di Perancis adalah desakan
pluralisme keagamaan di negera itu. Ada sejumlah 750.000 orang penganut
Protestan di Perancis dan mereka mengorganisasi diri di bawah Federation
Protestante de France sejak tahun 1901. Penganut Yahudi juga memiliki
pemikiran yang sama. Mereka memiliki majelis Sinagog pusat yang
menghimpun semua badan keagamaan Yahudi di Perancis dan memilih
Pimpinan Rabi sebagai wakil mereka untuk negara. Jumlah orang Islam di
Perancis juga terus bertambah (diperkirakan ada sekitar 4 juta muslim saat
ini) dan saat ini mereka adalah kelompok agama terbesar kedua di Perancis
47 Basdevant-Gaudemet, hlm. 136-140
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
setelah Katolik. Namun demikian, sampai saat ini umat Islam di Perancis
tidak memiliki organisasi yang terpusat di Perancis dan kegiatan ibadah lebih
banyak dilakukan di masjid-masjid sementara.48
Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang berusaha memberlakukan
kebijakan ekumenikalisme dan pluralisme, negara Perancis merespon
ketegangan hubungan agama dan negara dengan memberlakukan
sekularisme yang sungguh-sungguh memisahkan agama dan negara secara
ketat. Namun penting untuk dicatat, sepanjang sejarah Perancis,
pemahaman mengenai konsep sekularisme selalu berbeda-beda sehingga
memberikan kemungkinan bagi terjadinya perubahan di masa yang akan
datang. Bahkan, perbedaan pemahaman terhadap konsep sekularisme ini
terus berperan dalam pembuatan keputusan politik di Perancis hingga saat
ini.49 Untuk tujuan pembicaraan kita dalam buku ini, saya menyimpulkan
bahwa pandangan Perancis tentang sekularisme bukanlah satu-satunya
pandangan yang muncul di Eropa Barat, namun ide ini pun tetap
diperdebatkan dan berkembang dalam konteks Perancis sendiri.
Italia
Model hubungan gereja dan negara di Italia yang berlaku saat ini bisa
dirunut permulaannya pada proses unifikasi negara pada tahun 1870 yang
ditandai dengan aneksasi Gereja Romawi dan penyerahan tanah kepausan
kepada negara Italia baru. Akibat dari kejadian itu dan hilangnya kekuasaan
sekuler Paus, proses unifikasi Itali menimbulkan krisis dalam hubungan
antara negara dan gereja Katolik di sana. Kovenan Lateran tahun 1929
berusaha untuk membangun rekonsiliasi antara keduanya dengan menjawab
persoalan-pesoalan seputar kepemilikan teritori Gereja Katolik Roma di Itali,
posisi Vatican City di kota Roma dan peran Gereja Katolik di Italia secara
umum. UU No. 1159 juga dikeluarkan pada saat yang sama untuk
memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok keagamaan untuk
mendapatkan kapasitas hukum. Di bawah aturan UU tersebut, kelompok-
kelompok tersebut memperoleh pembebasan pajak dan hak-hak lain yang
48 Basdevant-Gaudemet, hlm. 12049 Troper, Michel, “French Secularism, or Laicité,” Cardoza Law Review, 21 (1999-2000), hlm. 1276-1281
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan sosial
yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada
mereka.
Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-
satunya agama yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil
bertentangan dengan, namun tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang
Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip negara sekuler, kesetaraan
warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk agama dan
kepercayaan.50 Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan
dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk
menyeimbangkan perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan
jaminan sistem kerjasama negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-
Undang Dasar juga menjamin kesamaan status sekte-sekte tersebut di
hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar tahun 1948
memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan
menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang
independen dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran.
Amandemen apapun yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh
kedua belah pihak dan tidak harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh
lazimnya amendemen konstitusi yang lain”.51
Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi
kesepakatan tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali
setelah diratifikasi oleh parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen
undang-undang tahun 1985 meneguhkan prinsip pemisahan negara dan
agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan memberikan
preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa antara
negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan
komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah
menandatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama
50 Mauro Giovannelli, “The 1984 Covenant between the Republic of Italy and the Vatican: A Retrospective Analysis after Fifteen Years.” Journal of Church and State (2000), hlm. 531.51 Silvio Ferrari, “State and Church in Italy.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 172.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
untuk mengatur status hukum mereka, sekaligus mengakui pernikahan
agama dan aktivitas sosial yang dilakukannya.52
Sistem kesepakatan negara Itali dengan sejumlah sekte keagamaan
membentuk tiga level sistem. Posisi hukum paling tinggi dinikmati oleh
Gereja Katolik Roma yang diperlakukan seperti negara berdaulat di bawah
aturan hukum Itali. Komunitas agama lain yang memiliki kesepakatan dengan
negara seperti beberapa sekte Kristen Protestan dan Yahudi menempati
posisi kedua. Karena kelompok-kelompok ini telah menandatangani
kesepakatan dengan negara Itali, keberadaan mereka tidak lagi diatur oleh
UU tahun 1929. Kesepakatan yang mereka tandatangani memberikan
mereka fasilitas-fasilitas istimewa berkaitan dengan keuangan, pendidikan
agama dan pelayanan lembaga pastoral yang tidak dimiliki oleh komunitas
agama level ketiga. Komunitas keagamaan ketiga ini adalah komunitas
agama yang relatif baru berdiri di Perancis seperti umat Islam dan saksi
Yehovah. Mereka diatur oleh UU No. 1159 tahun 1929 dan undang-undang
umum tentang asosiasi yang berarti mereka tidak mendapatkan hak-hak
istimewa seperti yang diperoleh dua level komunitas lainnya.53
Karena keberadaan sistem tiga level inilah, tidak ada ketentuan dalam
hukum Itali yang berlaku bagi semua komunitas keagamaan untuk hal-hal
seperti posisi lembaga pastoral, pembiayaan lembaga keagamaan,
pelayanan pastoral, pendidikan agama dan hukum perkawinan.54 Selain itu,
hukum gereja Itali memberikan wewenang besar kepada otoritas publik
untuk menerima atau menolak permohonan negosiasi sekte agama apapun
untuk menghentikan kesepakatan dengan negara; dan tidak ada kriteria
objektif yang mengatur keputusan itu. Situasi hukum yang ad hoc ini telah
melahirkan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Status
istimewa pastur di Itali menyebabkan lahirnya perlakuan khusus pada
mereka, misalnya tindak kejahatan yang menimpa mereka diperlakukan lebih
serius. Sementara itu, undang-undang menganggap pastor tidak memiliki
52 Giovannelli, hlm. 53153 Ferrari, hlm. 172-17654 Ferrari, hlm. 174
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kapasitas hukum sehingga mereka dilarang untuk memegang jabatan publik
seperti walikota, hakim, notaris, pengacara atau petugas pajak.55
Isu kontoversi lain berkaitan dengan pengajaran agama Katolik di sekolah-
sekolah Negeri Itali. Pasal 9 kesepakatan tahun 1985 mengharuskan
pemerintah untuk menjamin adanya pengajaran agama Katolik dalam sistem
pendidikan sekolah-sekolah negeri selain universitas. Komunitas keagamaan
lain yang memiliki kesepakatan dengan pemerintah bisa mengirim guru
mereka ke sekolah, bila murid atau orang tuanya telah mendaftarkan diri
untuk mendapatkan pengajaran agama. Tapi pembiayaannya dibebankan
kepada institusi agama bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab
negara. Masalahnya kemudian, apakah kelas pendidikan agama
diselenggarakan pada jam-jam sekolah atau diluarnya. Pengadilan konstitusi
berkeyakinan bahwa kelas tidak bisa diselenggarakan bila jadwalnya
bertabrakan dengan mata pelajaran wajib dan siswa yang tidak mengikuti
kelas pelajaran agama bisa datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir.56
Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi kelompok-kelompok agama yang tidak
memiliki kesepakatan dengan pemerintah seperti umat Islam. Mereka tidak
mempunyai hak untuk mengirimkan guru agama mereka ke sekolah.
Setelah kesepakatan tahun 1985, sistem pembiayaan dan perpajakan untuk
gereja dan lembaga keagamaan lain juga berubah. Masalah perpajakan
muncul karena pemerintah mengakui kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh
pihak gereja. Keinginan pemerintah Itali untuk mendukung kontribusi sosial
gereja Katolik ini harus diharmonisasikan dengan aturan undang-undang
dasar yang mengakui kesetaraan posisi semua agama dan individu, tak
peduli apapun agamanya.57 Keinginan ini kemudian mewujud dalam dua
sistem pembiayaan bagi organisasi keagamaan. Pertama, berasal dari kuota
pajak penghasilan. Di Itali, orang bisa memberikan sebagian penghasilannya
kepada salah satu dari 3 lembaga ini: kegiatan sosial yang difungsikan oleh
negara, Gereja Katolik Roma, atau sekte-sekte keagamaan yang menjalin
55 Ferrari, hlm. 18656 Giovannelli, hlm. 53257 Giovannelli, hlm. 536
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kesepakatan dengan negara. Kedua berasal dari potongan langsung
penghasilan para anggota Gereja Katolik atau sekte yang mempunyai
kesepakatan dengan negara.58 Kebijakan ini merupakan salah satu cara
untuk mempertahankan tradisi hukum dan sejarah negara Italia yang
memang harus memenuhi kebutuhan gereja. Kebijakan kompromistis ini juga
bisa dilihat sebagai bentuk pengembalian aset gereja yang pernah diambil
negara pada abad ke-18 dan 19.59
Selain sistem pajak, hubungan keuangan negara dan gereja juga berlaku
untuk masalah pelayanan pastoral. Kesepakatan tahun 1985 menyatakan
bahwa pelayanan pastoral untuk para tentara, tahanan dan pasien rumah
sakit dan klinik merupakan tanggung jawab pemuka agama Katolik yang
ditunjuk oleh otoritas negara yang kompeten namun berdasarkan ajuan dari
otoritas gereja. Pastor-pastor katolik yang memberikan pelayanan pastoral di
institusi-institusi negara mendapatkan gaji dari negara. Sekte-sekte
keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara telah menegosiasikan
hak mereka untuk memberikan pelayanan keagamaan yang sama di penjara,
lembaga militer dan rumah sakit, namun gaji pemuka agama yang mereka
utus menjadi tanggung jawab komunitas agamanya.60 Sekte-sekte agama
yang tidak memiliki kesepakatan dengan negara tetapi diikat oleh UU No.
1159 juga bisa mendapatkan akses yang sama ke penjara, lembaga militer
dan rumah sakit.61
Spanyol
Seperti Itali, hubungan negara Spanyol dengan Gereja Katolik diatur oleh
berbagai perjanjian atau kesepakatan. Pasca terjadinya gerakan reformasi
dan kontra reformasi, banyak terjadi fusi antara kekuasaan politik dan agama
di negara ini. Namun tak seperti di negara-negara Eropa yang Protestan,
Kerajaan Spanyol tidak mengklaim kekuasaan keagamaan untuk dirinya
sendiri, karena otoritas itu terletak pada kekuasaan Paus. Sebagai gantinya,
58 Ferrari, hlm. 182, 18359 Giovannelli, hlm. 536, 53760 Ferrari, hlm. 184, 18561 Giovannelli, hlm. 537
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Kerajaan mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik intervensi untuk
memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di sana.62
Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa
Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya
Undang-Undang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa
Spanyol tidak memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-
1939), fusi gereja dan negara ini dipulihkan kembali oleh Franco dan
berpuncak pada kesepakatan tahun 1953.
Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas
hukum dan keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara
untuk menggaji pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri dan menerima dana dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu,
perundang-undangan yang berkaitan dengan moralitas publik merefleksikan
pengaruh gereja.63 Namun, pandangan ini semakin sulit untuk dipertahankan
karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika pesatnya
perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler
yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik.64
Kebutuhan akan reformasi ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik
Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup Agung Madrid dan Ketua Konferensi
Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan Carlos I pada November
1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung perubahan
politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk
berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga
mengatakan bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk
menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan
merupakan persetujuan atas pemisahan ketat antara negara dan gereja,
62 Ivan C. Ibán, “State and Church in Spain.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 94.63 William J. Callahan, “Church and State in Spain, 1976-1991.” Journal of Church and State 34.3 (1992): 504.64 Ibán 96
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari penyelesaian unilateral
yang dipaksakan negara kepada gereja.65
Periode transisi antara kematian Franco pada tahun 1975 dan terbentuknya
demokrasi sekuler pada tahun 1978 mendorong pemilihan umum dan
pembuatan undang-undang dasar oleh konsensus partai politik saat itu.
Perubahan yang terjadi, termasuk menghentikan fasilitas-fasilitas yang
dinikmati oleh gereja sebagai cara untuk memperjelas hak-haknya. Sampai
saat itu, sejumlah perjanjian dilakukan pemerintah Spanyol dengan Vatikan
untuk mengganti kesepakatan tahun 1953. Negara mengakhiri “hak
patronase tradisionalnya terhadap keputusan sidang para uskup dan
mengakui hak Gereja Katolik untuk menyelenggarakan urusan-urusan
keagamaan dan administratifnya, bebas dari intervensi negara. Sebaliknya,
gereja juga mengakui pluralitas masyarakat Spanyol termasuk hak warga
negara untuk mendapat kebebasan agama penuh”.66 Undang-undang dasar
ini diperkuat oleh sejumlah undang-undang yang dibuat secara unilateral
oleh negara termasuk undang-undang tahun 1980 tentang kebebasan
beragama dan UU tahun 1981 tentang kebolehan perceraian.67
Kesuksesan partai sosialis (PSOE) pada pemilihan tahun 1982 menghasilkan
pemerintahan mayoritas dan perdana menteri yang sosialis. Kepemimpinan
PSOE yang sebelumnya dikenal sangat anti-pemuka agama, berusaha untuk
tapi memberikan rasa aman kepada Gereja Katolik ketika mereka
menjalankan pemerintahan pada pemilihan 1982. Pemerintahan saat itu
menerima sejumlah perjanjian yang dibuat dengan Vatikan dan statusnya
sebagai perjanjian internasional termasuk kesepakatan mengenai kewajiban
negara untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja.
Namun, pemerintahan sosialis ini juga berbeda pendapat dalam beberapa hal
dengan pihak Gereja, seperti dalam masalah moralitas publik. Meskipun para
pemuka gereja mendukung perubahan konstitusi yang mempromosikan
65 Callahan 503, 50566 Callahan 506 (quoting “Textos oficiales,” Acuerdos entre la Iglesia y Espana, 778-81, 785-90)67 Ibán 97
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
demokrasi dan pluralisme, mereka masih mengungkapkan pandangan
tentang harusnya konstitusi memasukkan beberapa nilai kepercayaan Katolik
dalam hal-hal semisal pernikahan, pendidikan, dan penghormatan kepada
sesama manusia.68
Masalah yang nampaknya paling sering diperdebatkan dalam konteks
hubungan agama dan negara adalah masalah pendidikan. Undang-Undang
Dasar dan undang-undang lainnya mengungkapkan bahwa negara
menghormati hak orang tua untuk menentukan pendidikan moral dan agama
anak-anaknya, dan menjamin tetapnya penghormatan terhadap nilai-nilai
Kristen dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Negara juga
sepakat bahwa pendidikan agama harus tetap dilanjutkan di sekolah-sekolah
negeri meskipun menghadirinya bukan lagi merupakan satu kewajiban. Hak
untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta dan hak orang tua untuk
memilih sekolah swasta diberlakukan. Negara juga setuju untuk tetap
membiayai sekolah-sekolah gereja sampai gereja itu dapat mengembangkan
sistem pendanaan sendiri. Pada Februari tahun 1983, pemerintah
mengumumkan rencana reformasi organisasi pendidikan dan keuangannya.
Kontroversi yang muncul seputar rencana tersebut adalah seberapa banyak
dan besar kontrol pemerintah pada sekolah-sekolah gereja. Pemerintah ingin
memaksakan suatu kondisi agar ia dapat terus membiayai sekolah-sekolah
gereja seperti dengan mengharuskan sekolah untuk menerima kesepakatan
kontrak dengan pemerintah, dan menyerahkan seluruh aspek administrasi
pada majelis yang sudah dipilih. Selain itu, sekolah juga diharuskan untuk
mengakui kebebasan akademik guru dan kebebasan staf dan siswa untuk
mengikuti keyakinan yang dipercayainya dan untuk tidak mengharuskan
orang untuk menghadiri pelayanan-pelayanan keagamaan.69
Pemerintah juga mengusulkan agar karakter institusi-institusi keagamaan
harus disetujui oleh otoritas publik, namun usulan ini dianggap
inkonstitusional oleh Pengadilan Konstitusi berdasarkan kesepakatan antara
gereja dan negara yang sudah dibuat lebih dulu. Usulan ini menimbulkan
68 Callahan 51269 Callahan 507-515
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ketakutan akan terancamnya identitas sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya
memicu protes sekitar 250.000 orang pada saat pemutusan suara terakhir.
Perundang-undangan lain mengenai pendidikan yang memicu ketegangan
adalah Rancangan Undang-Undang mengenai kurikulum yang menganggap
kurang pentingnya pelajaran agama dan menghapusnya dari daftar bidang
studi yang menentukan penerimaan seseorang di universitas. Selain itu, pada
tahun 1988 pemerintah juga memutuskan untuk mulai menerapkan skema
aturan swa-pembiayaan gereja yang sudah dirancang dalam kesepakatan
tahun 1979. Meskipun ketegangan mengenai masalah pendidikan ini terus
muncul, namun pemerintah tetap menjalankan kewajibannya kepada gereja
dan menggaji para pemuka agama.70
Selama dekade 80-an, sayap konservatif Gereja Katolik memperparah
pemisahan moral antara negara dan gereja. Dalam Surat Pastor tahun 1990
tentang “kondisi moral bangsa”, para uskup berpendapat bahwa mental
moral masyarakat Spanyol lemah dan mereka menyalahkan negara atas hal
ini. Surat tersebut menyatakan keberatan atas bebasnya propaganda
ideologi yang kerap bertentangan dengan agama dan banyak digunakan
untuk meniadakan atau mengolok-olok “apa yang dimaksud dengan Katolik”.
Partai Sosialis menganggap surat tersebut bertentangan dengan demokrasi,
sedangkan pemerintah menolaknya karena menganggap surat itu keliru
sekaligus menolak pernyataan dalam surat itu tentang keinginan negara
untuk mengeliminasi agama Kristen dari Spanyol. 71
Meski terjadi ketegangan antara negara dan gereja mengenai masalah
pendidikan dan moral, ide hubungan antara keduanya di Spanyol masih bisa
dideskripsikan sebagai ide yang melindungi kebebasan beragama dan
mendukung praktik-praktik agama yang sudah terlembagakan dan tetap
melindungi mereka yang tidak beragama atau mereka yang cenderung
mengikuti pandangan keagamaan yang tidak konvensional, termasuk mereka
yang meremehkan agama. Fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah
kepada Gereja Katolik sangat jelas dalam masalah pemberian dana dan
70 Callahan 515, 51771 Callahan 517,518
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pajak. Gereja Katoliklah satu-satunya kelompok agama yang mendapatkan
dana dari pemerintah. Seperti di Itali, meskipun sistem ini mengatur agar
Gereja Katolik mendapatkan uang seperti dalam sistem pajak gereja,
sebenarnya sistem ini merupakan bagian dari sistem perpajakan negara
secara keseluruhan. Pembayar pajak bisa mengalihkan prosentase pajak
penghasilan mereka kepada Gereja Katolik atau untuk tujuan-tujuan sosial
lain. Jumlah ini mengurangi atau menambah beban pajak yang harus dibayar,
tapi merupakan pengurangan dari pajak yang seharusnya dibayar.
Pengurangan pajak seperti ini hanya berlaku bagi donasi kepada Gereja
Katolik atau kepada sekte keagamaan yang memiliki perjanjian dengan
negara. Selain pemasukan dari pajak, negara masih membayar gaji untuk
guru-guru agama, pastur yang bekerja di militer dan penjara, bantuan
keuangan untuk institusi sosial dan kesehatan milik Katolik. Sayangnya,
semua fasilitas ini tidak berlaku bagi komunitas agama lain.72
Amerika Serikat
Usaha untuk memperjelas hubungan antara gereja dan negara di Amerika
Serikat terjadi dalam kerangka konsensus yang dicapai pada masa Revolusi
Amerika. Walaupun para pemimpin revolusi memiliki beragam kepercayaan,
mereka hampir sepenuhnya sepakat pada sejumlah prinsip termasuk hak
individu untuk memeluk suatu agama dan melaksanakan kewajibannya tanpa
paksaan dari negara. Mereka percaya bahwa tidak boleh ada gereja resmi,
tidak ada test keagamaan untuk pegawai negeri, dan pentingnya kebebasan
untuk mempraktikkan agama. Ide-ide ini diungkapkan melalui Konstitusi dan
Bill of Rights Amerika terutama dalam Amandemen Pertama (First
Amandemen) yang menjamin dua elemen penting dalam apa yang disebut
“Model Amerika” (The American Model) yaitu pemisahan gereja dan negara,
di satu pihak, dan kebebasan untuk beragama, di pihak lain. Dokumen-
dokumen dasar itu berusaha untuk melindungi pemerintah dari agama dan
melindungi agama dari pemerintah secara simultan.73
72 Ibán 102-10973 Susan Jacoby. Freethinkers: A History of American Secularism (New York: Metropolitan Books, 2004), hlm. 26-28.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai
dengan penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang
penting bagi kehidupan etis yang mendukung bentuk pemerintahan
republik.74 Agama jelas berperan besar dalam Revolusi Amerika, karena
bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para patriot revolusi untuk
memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih kemerdekaan. Selain
Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal, kebangkitan
kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin
agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan
Revolusi dan kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa
berikutnya.75 De Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat
dari Perancis, mengatakan bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi
politik yang benar-benar berperan besar dalam mempertahankan bentuk
pemerintahan republik di Amerika” dengan menyediakan konsensus moral
yang kuat di tengah perubahan politik yang terus menerus terjadi.76
Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan
konsekuensi penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini.
Karena tidak ada dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus
tergantung pada keanggotaan dan dukungan keuangan yang bersifat
sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gereja-gereja di Amerika tidak
terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih demokratis, bersifat
lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan organisasinya. Para
komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi tendensi
pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal
abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis
dan spiritual”.77
Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional
tentang pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama
74 Corbett, M. and J. Mitchell. Politics and Religion in the United States. New York: Garland Publishing, Inc., 1999, hlm. 83 – 8475 Corbett and Mitchell, hlm. 4876 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America.” Daedalus 96 (1967), hlm. 1277 Bellah, hlm. 12
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sebagai nilai politik dan budaya yang dianut luas disana dan membuka
kemungkinan bagi berkembangnya gereja-gereja yang independen.78
Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif seperti ini dan patriotisme
yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen pasca periode
Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai
“Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi
Perancis yang berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi
gereja, agama sipil Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka
agama atau pada pendukung sekularisme. Malah, agama sipil Amerika
meminjam berbagai tradisi agama dengan cara tertentu hingga rata-rata
orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama dan negara.
Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional, tanpa
perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi
personal yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”.79 Bentuk ini
direfleksikan dengan memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-
dokumen negara, lagu kebangsaan, deklarasi dan proses pelantikan presiden
serta pengakuan negara terhadap hari libur keagamaan.
Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial
dalam kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan
terbangunnya hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan
pengadilan-pengadilan untuk menentang pembentukan agama resmi di
Amerika, sebagiannya, karena kehadiran hegemoni informal satu agama.
Gereja-gereja besar hanya membutuhkan sedikit dukungan karena mereka
memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal.80 Selain terbentuknya
agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan inspiratif
dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan
untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika
menjelang pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat
komitmen penduduk di bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi
78 Corbett and Mitchell, hlm. 106 – 10779 Bellah, hlm. 1380 N. J Demerath and R. H. Williams. “A Mythical Past and Uncertain Future.” Society 21.4 (1984), hlm. 5.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
perbudakan.81 Para periode antara Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan
Evangelis memberikan dukungan yang berarti kepada sejumlah gerakan
yang menginginkan adanya purifikasi moral dan budaya dalam kehidupan
sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan mengkonsumsi alkohol dan
memberikan hak politik pada perempuan.82 Gereja-gereja juga telah menjadi
partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu yang
lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran
perusahaan, arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses
demokrasi langsung melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan
pemilihan ulang.
Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I
ketika materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain
mulai melemahkan peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis,
sebagai “prinsip nasional de facto”.83 Dalam debat-debat yang muncul
seperti dalam pengajaran teori evolusi di sekolah, tradisi berfikir bebas yang
sudah ada pada mayoritas penganut Protestan menemukan kembali
kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik yang berbeda,
“ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu yaitu
dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang
diterjemahkan ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan
keuangan untuk lembaga-lembaga keagamaan khususnya sekolah-sekolah
paroki”.84
Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai
ketidaksepakatan mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan
publik dan politik. Dalam banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama
paruh kedua abad 20 telah memperdalam pemisahan antara agama dan
gereja dengan tidak memasukkan aktivitas agama dalam ruang, waktu dan
anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan dan sekolah negeri,
81 Kenneth Wald, Religion and Politics in the United States. (New York: St. Martin’s Press, 1987), hlm. 183.82 Wald, hlm. 14283 Demerath and Williams, hlm. 484 Jacoby, hlm. 153
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
seperti yang tercermin dalam keputusan mengenai misa sekolah.85 Kalangan
Kristen konservatif merespon kecendrungan ini dengan melakukan banding
di pengadilan dan kampanye untuk mempengaruhi politik. Kampanye banyak
dilakukan untuk mendukung adanya misa di sekolah, program voucher yang
memberikan kebebasan pada orang tua untuk memilih sekolah untuk anak-
anaknya dan kebebasan sekolah Kristen untuk beroperasi dengan intervensi
yang kecil dari pemerintah. Kristen konservatif juga berusaha untuk
mempertahankan ikatan keluarga tradisional, agama ortodoks, dan
pendekatan puritan terhadap moral yang menekankan kelurusan moral
individu.
Seperti yang sudah diperkirakan, trend tersebut juga tercermin dalam
sejumlah pandangan partai politik dan kampanye mereka tentang beberapa
isu. Kampanye untuk menentang buku-buku sekolah yang “cabul”, hak-hak
kaum gay, dan kesetaraan hak perempuan, mampu menarik banyak
pendukung terutama dari kalangan penganut Protestan Evangelis yang
memahami keterlibatan mereka dalam isu-isu tersebut sebagai jihad untuk
membela nilai-nilai dan lembaga Kristen tradisional.86 Namun, aktivisme
politik yang terorganisir semacam itu tidak hanya terjadi kalangan Protestan.
Gereja-gereja yang berasal dari politik sayap kiri juga memiliki sejarah lobi
politik yang sama baik mengatasnamakan isu hubungan etnis, perang
terhadap kemiskinan, atau mengakhiri perang Vietnam. Mereka juga
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika sesuai dengan
pandangan mereka. Aktivisme sosial dari sayap kiri biasanya muncul dari
sekte-sekte utama Kristen Protestan, gereja Afrika Amerika, dan Yahudi.
Gereja Katolik juga ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri,
masalah-masalah ekonomi dan mempertanyakan kebijakan seperti aborsi
dan homoseks.87
Komitmen negara Amerika untuk tidak cenderung pada salah satu sekte
keagamaan telah teruji dalam beberapa dekade ini dalam kasus-kasus yang
85 Demerath and Williams, hlm. 4, 586 Wald, hlm. 18887 Corbett and Mitchell, hlm. 124-6
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
melibatkan kelompok-kelompok seperti Gereja Scientology, International
Society untuk Krishna, dan Gereja Unifikasi yang menuntut kesamaan status
di hadapan hukum. Larangan konstitusi untuk memihak pada salah satu
komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung sebagai prinsip yang
penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan beragama.88 Namun isu-
isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu yang
berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan,
dan keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik.
Bagaimana lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun
politik, akan kita lihat nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan
hukum antara agama dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah status
agama dalam kehidupan politik dan publik negara ini secara permanen
melalui formula yang sederhana dan ketat.89
Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan
pengalaman sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik
agama dari ruang kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan
kontekstual sejarah sekularisme dan kontroversi mengenai makna dan
implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai hari ini di semua negara
Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview pengalaman negara
lain yang relevan seperti Jerman90 dan Belanda91. Namun yang terpenting
bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk
kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme
masyarakat Barat dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami
proses-proses yang terjadi berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka.
II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan
Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama
dan negara dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula
88 James Wood, “Abridging the Free Exercise Clause.” Journal of Church & State 32 (1990), hlm. 74289 Corbett and Mitchell, hlm. 2390 Richard Puza “The Development of the Relationship between the Church and State in Germany in 2001.” European Journal for Church and State Research 2002 (9): 11.91 Sohpie Van Bijsterveld, “State and Church in the Netherlands.” State and Church in the European Union, Ed. G. Robbers. Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996, hlm. 209.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
diperlukan untuk memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-
konsepsi tentang hubungan ini. Malah, kita harus mencoba untuk
mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam proses ini dan
mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek netralitas
negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh
dilihat sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang
berkelanjutan dengan identitas dan kebebasan beragama individu”.92 Di
Amerika misalnya debat politik dan tuntutan hukum seputar peran agama
dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat politik dan budaya yang
lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai tradisional
dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan
kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai
aborsi, contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah
persoalan otonomi perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa
menyatakan bahwa negara harus melindungi kehidupan sebuah janin.
Keduanya bisa menggunakan justifikasi keagamaan untuk memperkuat
posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas atau tidak. Negara
harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu pendapat
sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang
diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi
oleh negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian
lain, namun berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami
sesuatu di balik ketegangan permanen ini.
Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan
seberapa besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik
negara. Di satu sisi, negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk
memenuhi kewajibannya dalam menjaga perdamaian, mempertahankan
stabilitas politik, dan mencapai perkembangan ekonomi dan sosial. Seperti
yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol atas teritori dan
warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihan-pilihan
92 Rik Torfs, “New Liberties and Church-State Relationships: Synthesis.” “New Liberties” and Church and State Relationships in Europe (European Consortium for Church-State Research, Milan: Dott A Giuffre Editore, 1998), hlm. 10.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kebijakan publik yang berlawanan. Paradoksnya, negara tidak bisa
mempertahankan netralitasnya terhadap agama tanpa melakukan kontrol
terhadap aktivitas keagamaan warga negaranya. Di pihak lain, institusi-
institusi keagamaan harus mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan
kursif negara guna menjaga legitimasi doktrin dan praktik keagamaan
mereka. Hal-hal seperti itu harus diatur sesuai dengan kerangka referensi
internal dan otoritas institusi keagamaan yang independen tanpa campur
tangan pejabat pemerintah yang akan cenderung memaksakan pandangan
mereka. Dengan demikian saya akan memfokuskan diri pada cara untuk
memediasi ketegangan hubungan antara negara dan agama yang inheren
dan permanen ini.
Breyy Scharffs, misalnya, menyarankan agar hubungan ini difahami dengan
istilah independen, interdependen dan inter-independen.93 Menurutnya,
otonomi independen antara negara dan agama berarti menerapkan sistem
pemisahan antara keduanya, sedangkan otonomi interdependen bisa menjadi
dasar yang digunakan untuk mengatur kerjasama antara keduanya, dan
otonomi inter-independen (yang nanti akan saya sebut sebagai
“intermediate” untuk memudahkan pengistilahan) menghasilkan sistem yang
mengatur akomodasi mereka.94 Ditinjau dari berbagai hal, pendekatan ini
bisa konsisten dengan ide mengenai sekularisme sebagai proses negosisasi
yang konstan, karena pendekatan ini bisa memotret sisi yang berbeda dalam
satu rangkaian yang sama, bukan menganggapnya sebagai kategori-kategori
yang berbeda.
Negara apapun dapat mengadopsi posisi yang berbeda untuk menyelesaikan
isu yang berbeda. Dalam beberapa isu, negara bisa mengadopsi posisi yang
lebih dekat pada independen, tapi dalam isu yang lain posisinya bisa lebih
dekat ke interdependen atau dalam posisi di antara keduanya. Bahkan ketika
kita hanya menyebut sebuah posisi lebih dekat pada posisi ini atau itu, kita
harus mengakui bahwa ada posisi yang tidak bisa masuk pada deksripsi
93 Brett Scharffs, “The Autonomy of Church and State.” Brigham Young University Law Review (2004), hlm. 1248.94 Scharffs, hlm. 1220
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
umum. Dengan demikian, pilihan posisi negara bukan cuma satu, tetapi
beragam dan pilihan-pilihan lain masih sangat terbuka dan bisa menjadi
pilihan kebijakan pada masa yang akan datang. Inilah yang saya maksud
dengan mengatakan bahwa sekulerisme sangat tergantung kondisi dan
selalu diperdebatkan dimana pun. Paparan mengenai pilihan kebijakan yang
akan dikemukakan berikut ini saya tempatkan dalam konteks 3 rangkaian
kemungkinan ini, bukan dalam kerangka klasifikasi yang ketat.
1. Pandangan Independen
Salah satu ujung rangkaian ini adalah ketika negara menerima independensi
otoritas dan praktik keagamaan dengan tidak mendukung atau mencampuri
urusannya. Dengan demikian, negara tidak akan menyediakan pendanaan
langsung atau tidak langsung pada badan-badan keagamaan, dan tidak akan
mencampuri urusan pengurus gereja, pendidikan agama, atau hukum dan
undang-undang keagamaan. Tidak ada satu negara pun yang bisa
dikategorikan memenuhi posisi ini, namun beberapa negara telah mengambil
posisi seperti ini pada beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa
persoalan. Ini bisa dilihat dari beberapa pengalaman Perancis, Amerika dan
Swedia.
Seperti yang sudah dicatat tadi, beberapa pandangan mengenai laicite yang
berkaitan dengan interaksi antara negara dan agama, bermunculan di
Perancis sejak Revolusi Perancis terjadi. Karena ketegangan antara Gereja
Katolik dengan pemerintah dalam beberapa isu seperti pendidikan dan
bahasa pengantar pelajaran agama terus memuncak, interpretasi yang ketat
terhadap sekularisme pun diadopsi oleh Perancis pada akhir abad ke-19.
Kebijakan ini terrefleksikan dalam Undang-Undag 1902 yang secara resmi
memisahkan agama dan negara. Undang-undang ini menyatakan ketiadaan
hubungan antara negara dan institusi-institusi keagamaan, dan agama
dianggap telah kehilangan fungsinya dalam sosialisasi kenegaraan. Undang-
undang dan konstitusi setelahnya berusaha untuk membuat agama dan
negara semakin independen satu dari yang lain.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat
dalam teori, karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja.
Sejak 1959, pemerintah Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang
mengajar di sekolah swasta, yang kebanyakan adalah sekolah-sekolah
agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan tertentu kepada mereka.
Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum 1905 adalah
milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para
pemuka agama.95 Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris
nampaknya merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam
menginterpretasikan konsep pemisahan antara agama dan negara. Beberapa
peristiwa dalam sejarah Perancis yang memperlihatkan baik penolakan dan
kerelaan negara untuk mendukung pendidikan dan institusi agama telah
diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep laicite.96
Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji
kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi
muslim menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari
mereka dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens
terjadi selama berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang
penggunaan semua simbol keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-
sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan pada semua agama, seperti
kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga memenuhi aturan
kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli apapun yang
orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa
mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite,
malah merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda
komitmennya terhadap netralitas dan kebebasan beragama.97 Tapi
sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk
menjaga netralitas agama dalam ruang publik harus diperlihatkan dengan
menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan negara.98 Namun ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai jilbab sebetulnya 95 Dominique Decherf, “French Views of Religious Freedom.” US-France Analysis. (http://www.brookings.edu/fp/cuse/analysis/relfreedom.htm), 2.96 Troper, hlm. 127797 Troper, hlm. 1280
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan
kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap
negara daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun,
negara Perancis terus mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap
agama seperti dalam pendidikan dan masalah keuangan, meskipun tetap
mempertahankan pemisahan yang ketat dalam masalah lain.
Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa
dipahami dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang
independen. Namun, meski posisi ini yang diambil, ketegangan antara
keduanya masih tetap ada karena pilihan untuk menghapus agama dari
pemerintahan dianggap penting “meskipun ada keyakinan yang luas bahwa
ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang krusial dalam ruang
publik”.99 Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan dalam
makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of
separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan
sehingga masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya,
karena prinsip otonomi negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya
independensi masing-masing dari yang lain.100
Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat
dari sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan
negara. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen
keagamaan di ruang publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan
interpretasi yang berbeda terhadap Amendemen Pertama Konstitusi Amerika.
Ketegangan tercermin dari dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda
mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut sebagai “kelompok
Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide
pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi
mereka, pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan
98 Jonathan Laurence, “Islam in France: A Contest between the Wind and the Sun.” New Europe Review (2004), 13.99 Kent Greenawalt, “Comment: Separation and Schools.” Cardozo Law Review 21 (1999), 1289.100 Scharffs 1234-1235
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mendorongnya untuk menganut satu agama”.101 Dari sudut pandang ini,
kegagalan untuk melaksanakan pemisahan yang ketat antara negara dan
agama merupakan hal berbahaya bagi pemerintah dan agama. Sebaliknya,
kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy, Scalia, dan Thomas)
berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam kehidupan Amerika
tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas pelanggaran
aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk
menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih
pada agama tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan
kepercayaan agama ini”.102
Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry
dan McCreary v. American Civil Liberties Union of Kentucky, yang
mempermasalahkan pameran “Ten Commandements” yang disponsori oleh
pemerintah. Mereka yang menentang pameran itu berpendapat bahwa
pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten Commandement, yang
berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya mereka yang
mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan
itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya
peran Ten Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan
di Amerika.
Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini
akhirnya mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten
Commandements di bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung
menganggap pemasangan monumen Ten Commandements di halaman
gedung pemerintah di Texas sebagai konstitusional, tetapi tidak di dua ruang
sidang di Kentucky. Dua keputusan itu nampaknya membenarkan strategi
Mahkamah Agung untuk membuat keputusan mengenai isu ini berdasarkan
kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita saat ini adalah bahwa
101 The Pew Forum on Religion & Public Life, A Monumental Decision: Supreme Court Considers Constitutionality of Ten Commandments Display on Public Property, www.pewforum.org (2005), 6.102 Pew Forum, 7
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
isu-isu yang berkaitan dengan makna dan implikasi pemisahan gereja dan
negara atau netralitas negara terhadap agama ternyata masih menjadi
bahan kontroversi dalam negosiasi politik dan hukum di Amerika.
Seperti yang sudah dijelaskan secara singkat tadi, hubungan agama dan
negara di Swedia terus berkembang pesat, karena dalam dua dua abad
terakhir ini negara tersebut telah mengubah pandangannya yang kuat
mengenai pentingnya keberadaan gereja resmi.103 Trend terbaru seperti
imigrasi dan sekularisasi kultural telah menggerakkan pemisahan gereja dan
negara selama tahun 90-an, seperti yang terlihat dalam pemindahan
registrasi penduduk dari gereja ke otoritas pajak dan reformasi administratif
lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncaknya pada
pemisahan resmi negara dan agama pada tahun 2000, yang bisa difahami
sebagai model hubungan negara dan agama yang independen. Namun,
kenyataan bahwa Swedia tetap memberikan dana kepada organisasi-
organisasi keagamaan, baik secara langsung maupun tidak, mengindikasikan
bahwa ada usaha yang terus menerus untuk menegosiasikan makna dan
istilah pemisahan ini.
Swedia mungkin merupakan contoh peralihan menuju model independen
yang paling nyata dan baru, meskipun pendekatan ini juga bisa dilihat dalam
debat dan perkembangan negara-negara Eropa lain. Sat ini kampanye untuk
menuntut pemisahan yang lebih jelas sedang berlangsung di Inggris, pun
kampanye mengenai hubungan agama dan negara di Spanyol selama masa
republik kedua, atau hubungan resmi antara agama dan negara di Rusia. Hal
yang penting untuk kita catat adalah proses yang terus berlanjut adalah
negosiasi sekularisme, bukan penerapan sebuah model yang tetap di sebuah
tempat. Berdasarkan perspektif inilah, saya akan melihat kemungkinan
hubungan negara dan agama di negara-negara Barat di masa yang akan
datang berdasarkan pengalaman mereka saat ini.
2. Pandangan Interdependen
103 Alwall, hlm. 391
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum
berlaku di negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan
interdependensi atau kooperasi.104 Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan
interaksi tertentu antara negara dan agama, walaupun agama tidak menjadi
bagian resmi dari negara. Contoh posisi interdependen ini termasuk
pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan baik secara
langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara
yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap
urusan-urusan gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan
memberikan perlakuan khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak
konsisten atau mendukung prinsip otonomi negara dan gereja.105 Karena
itulah logika untuk memahaminya adalah kita tidak harus menyetujui atau
menolak model seperti itu karena merupakan proses negosiasi yang terjadi
terus menerus dalam sebuah masyarakat.
Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja
dan negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang
intim antara kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi
Perancis dan pasca-Reformasi Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik
bekerja sama untuk melegitimasi kekuasaan negara dan menjaga agama
Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model kerjasama seperti ini
menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling menguntungkan
dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus berubah.
Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan
seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut
sampai sekarang.
Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi
bagian undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme
governor” bagi Gereja Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk
104 Roland Minnerath, “Church Autonomy in Europe.” Church Autonomy: A Comparative Survey. Ed. Gerhard Robbers (Frankfurt: Peter Lang, 2001), hlm. 381.105 Scharffs, hlm. 1260
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mempertahankannya.106 Seperti yang dicatat di bagian lalu, kerajaan
menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan memberikan kursi
kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja juga
masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang
dibuat gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh
Parlemen. Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya
bentuk lahiriah konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang
sesuai dengan konvensi—dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-
benar lebih independen”.107 Dengan demikian, pengakuan negara atas Gereja
Anglikan sebagai gereja resmi terus berlangsung meskipun keduanya
memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain dan masih bekerja
sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan kedua
belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan
sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap
mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual
dan moral pemerintah.
Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa
lain, tapi saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara
yang sudah saya kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat
dari pengalaman-pengalaman negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol
dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah mereka, hubungan negara dan
gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara pemisahan yang kuat
dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem kesepakatan
yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya sebagai
pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan
kesempatan kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan
memberikan gereja fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di
negara-negara Katolik maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah
direkonsiliasikan dengan pengakuan terhadap keragaman agama dan hadir
106 Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford, Oxford University Press, 1995), hlm. 216.107 Cheryl Saunders, “Comment: Religion and the State.” Cardozo Law Review 21 (1999).
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bersamaan dengan sekularisasi kehidupan sosial dan budaya yang sedang
meluas.
Model otonomi interdependen seperti ini juga bisa dilihat di Rusia yang
secara resmi mengakui pemisahan agama dan negara tetapi masih
membangun kooperasi dengan gereja ortodoks. Setelah perubahan drastis
yang terjadi pada tahun 90-an dan runtuhnya Uni Soviet, ada
interdependensi yang terus tumbuh antara negara dan gereja; dimana
kekuasaan simbolis gereja dikendalikan oleh negara sebagai kompensasi
atas perlindungan dan keuntungan yang diberikan negara kepadanya.
Pengalaman Rusia yang terbaru menunjukkan bagaimana masyarakat yang
telah tersekulerkan selama masa berdirinya Uni Soviet, sekarang nampak
mulai kembali menganut pandangan Eropa yang tradisional mengenai
hubungan agama dan gereja.
Model interdependen ini bisa juga tumbuh di negara yang lebih dekat ke
model independen. Contohnya, daerah Alsace Lorraine di Perancis yang
digabungkan ke Jerman setelah kekalahan Perancis pada tahun 1871 dan
masih berada di bawah kontrol Jerman ketika undang-undang 1905 tentang
pemisahan negara dan gereja diberlakukan di Perancis. Setelah PD I, ketika
daerah itu dikembalikan ke Perancis, sistem kesepakatan gereja dan negara
masih dipertahankan. Di Alsace Lorraine pemuka agama menerima gaji dari
negara dan Uskup ditunjuk oleh Presiden, padahal di daerah Perancis lain, hal
itu tidak terjadi.108 Dengan demikian model interdependensi antara gereja
dan negara Perancis masih berlanjut di daerah tertentu, meskipun tidak di
daerah lain. Begitupun di Jerman, ukuran interdependensi antara negara dan
gereja berbeda-beda di beberapa daerah. Di daerah daerah bekas Jerman
Timur dan di negara seperti Berlin, pemisahan antara gereja dan negara
merupakan hal substansial dalam beberapa hal, seperti dalam masalah
pendidikan. Sementara di daerah lain seperti di daerah yang dikuasai oleh
Katolik Bavaria, hubungan antara gereja dan negara terlihat lebih kuat.
3. Level Intermediate
108 Troper 1278-9
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Di antara posisi independen dan interdependen, terdapat kemungkinan yang
amat luas bagi terjadinya kombinasi antara dua posisi itu, dimana negara dan
gereja dapat mempertahankan independensinya masing-masing, namun
negara diharapkan untuk membuat aturan-aturan tertentu untuk
memberdayakan gereja dan memfasilitasi perannya dalam masyarakat.
Berlawanan dengan asumsi yang kaku mengenai independensi dua lembaga
ini, posisi intermediate mengakui keberadaan manusia sebagai makhluk yang
lahir dan tumbuh dalam konteks sosial tertentu sebagai anggota keluarga
dan komunitas.109 Pada saat yang sama, posisi ini juga mengakui bahwa
otonomi merupakan hal yang tidak mungkin, jika negara memberi perlakuan
khusus kepada agama tertentu atau berusaha memaksa individu untuk
mempraktikkan ajaran agama tertentu. Komitmen untuk menghargai ruang
dimana individu memiliki kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka
tanpa paksaan atau manipulasi, mengandaikan adanya pembedaan antara
kehidupan publik dan privat, walaupun dengan tetap menyadari
kemungkinan akan terjadinya persinggungan dan pengaruh yang saling
menguntungkan keduanya”.110 Mengakomodasi agama untuk memainkan
peran aktif dalam kehidupan politik dan sosial sebuah komunitas harus
diupayakan menjadi sebuah usaha untuk menyeimbangkan realitas
interdependensi dan sikap saling menghormati di kalangan agen otonom.111
Posisi Rehnquist, salah seorang hakim Mahkamah Agung AS yang sudah saya
sebutkan tadi bisa menjadi contoh pendekatan intermediate. Posisi ini bisa
difahami sebagai sebuah interpretasi terhadap prinsip pemisahan antara
negara dan agama yang berpijak pada adanya hubungan moral dan sejarah
yang mendalam antara keduanya. Untuk mempertahankan netralitas negara
terhadap agama, hakim-hakim ini tidak akan mengharuskan proses
peminggiran agama dari seluruh aspek kehidupan publik. Melalui perspektif
ini, negara masih tetap bisa memberikan bantuan kepada institusi-institusi
keagamaan, yang memang sudah dilakukan, tanpa diskriminasi. Belanda bisa
menjadi contoh untuk memperlihatkan hubungan agama dan negara model
109 Scharffs, hlm. 1254110 Scharffs hlm. 1255111 Scharffs hlm. 1256
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ini, dimana negara tidak memberlakukan pemisahan yang ketat dan
memberikan dukungan keuangan dan dukungan lain kepada komunitas-
komunitas keagamaan utama tanpa mengistimewakan salah satunya.112
Pada saat yang sama, nampaknya pemerintah Belanda tidak tergantung
pada agama untuk mendapatkan legitimasi bagi pemerintahannya seperti
negara-negara yang memiliki gereja resmi. Posisi tengah ini bisa diterapkan
saat ini, di negara-negara seperti Itali dan Spanyol yang secara resmi sekuler,
tetapi tetap mendukung peran gereja sebagai agen sosial yang penting.
4. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal
Di samping peran historis dan kontemporer faktor-faktor internal dan
eksternal, negosiasi sekularisme di negara-negara Eropa Barat juga
dipengaruhi oleh kerangka pikir Uni-Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia
Eropa. Semua anggota Uni-Eropa adalah anggota Dewan Eropa, namun
beberapa anggota Dewan, seperti Turki, bukanlah anggota Uni Eropa. Tugas
utama Dewan Eropa adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia di Eropa
sementara Uni Eropa yang awalnya hanya organisasi ekonomi berkembang
menjadi organisasi yang juga mengurusi persoalan politik dan sosial. Kedua
sistem ini mempengaruhi hubungan negara dan agama di negara-negara
anggotanya.113 Kebijakan dan peraturan regional mengenai agama berusaha
untuk menyeimbangkan pluralisme dan kebebasan beragama dengan tetap
mengakui keberadaan gereja resmi dan pandangan yang berbeda mengenai
hubungan agama dan di kalangan negara-negara anggotanya. Negosiasi
mengenai makna dan implikasi netralitas negara terhadap otonomi gereja di
dalam negeri kini dipengaruhi oleh perkembangan regional.
Salah satu aspek utama faktor regional ini adalah Keputusan Pengadilan Hak
Asasi Manusia Eropa yang berada di bawah aturan Konvensi HAM Eropa.
Keputusan pengadilan itu merefleksikan penerimaannya yang sudah lama
terhadap keberadaan gereja resmi negara. Dengan demikian, berdasarkan
deksripsi di bagian lalu, pengadilan ini mengadopsi pandangan
interdependen. Pandangan ini terbukti dalam kasus Darby melawan
112 Van Bijsterveld, hlm. 220-24113 Rivers, hlm. 45
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pemerintah Swedia (1990). Pengadilan bependapat bahwa gereja resmi boleh
saja berdiri, tetapi ia tidak bisa memaksa orang untuk menjadi anggotanya
atau menghalangi mereka meninggalkan gereja. Pengadilan juga
menyatakan bahwa negara boleh-boleh saja bekerjasama, mendukung atau
memberi perlakuan istimewa pada gereja tertentu. Di samping itu,
pengadilan juga berkeyakinan bahwa negara boleh menarik pajak secara
langsung untuk kepentingan gereja resmi, dan mereka yang bukan penganut
kristen bisa diminta untuk membayar pajak gereja, jika gereja itu melakukan
fungsi-fungsi sekular seperti memberikan layanan pernikahan, menyediakan
TK, dan lain sebagainya (kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan gereja-
gereja di Eropa).114 Dalam kasus Kustannus, misalnya, pengadilan
berkeyakinan bahwa perusahaan ateis yang menentang keberadaan gereja
resmi, juga bisa diminta untuk membayar pajak gereja. Pengadilan juga
menyetujui pajak yang hanya memberikan keuntungan pada satu atau
beberapa gereja saja. Dalam kasus Iglesia Bautista El salvador dan Ortega
Mortilla melawan Pemerintah Spanyol, Komisi Eropa (yang biasanya memiliki
otoritas untuk menyelesaikan perselisihan di bawah wewenang Konvensi
HAM Eropa) berkeyakinan bahwa praktik negara menarik pajak atas nama
satu gereja tertentu dan tidak atas nama gereja lain tidak melanggar
konvensi. 115
Berkenaan dengan masalah pendidikan, Pengadilan HAM Eropa secara umum
berpendapat bahwa orang tua bisa meminta negara untuk tidak mendidik
anak-anaknya dengan cara tertentu, dan negara tidak mempunyai tugas atau
kewajiban untuk membiayai pendidikan moral atau agama dalam bentuk
apapun.116 Bila kurikulum pendidikan agama dari negara memperhatikan hal-
hal semacam itu, pengadilan memutuskan bahwa negara tidak perlu
menghindari penyajian bahan-bahan agama atau filsafat, tetapi harus
menjamin konteks penyajiannya tetap objektif, kritis dan pluralis”.117 Dalam
kasus Angelini melawan Pemerintah Swedia, penuntut, yang kebetulan
114 Scharffs, hlm. 1261, 1262115 Carolyn Evans, Freedom of Religion under the European Convention on Human Rights (Oxford University Press, 2001), hlm. 82.116 Carolyn Evans 88117 Carolyn Evans 92
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
seorang ateis, mengklaim bahwa negara telah melanggar kebebasan
beragama dengan memaksa anaknya untuk mengikuti pelajaran agama yang
hanya berfokus pada pengajaran agama Kristen. Pengadilan memutuskan
bahwa pengajaran agama di sekolah hanya berusaha memberikan informasi
bukan mendoktrinasi satu ajaran agama, dan memberikan informasi bukan
merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. lagipula pendidikan
agama dilakukan dengan cara yang umum dan netral.118 Instruksi-instruksi
Uni Eropa memiliki pengaruh signifikan terhadap administrasi beberapa
gereja. Dalam kasus Serif melawan Pemerintah Yunani, pengadilan
menekankan independensi gereja, terutama gereja atau lembaga agama
yang bukan merupakan agama resmi, dari campur tangan negara, namun
pengadilan juga tetap mempertahankan hak negara untuk membuat
beberapa peraturan tentang perilaku aktivis gereja.119
Dari pembahasan mengenai hubungan agama dan negara di atas, jika kita
melihat secara lebih detail pada perbedaan pola-pola lokal hubungan
tersebut, serta status badan-badan keagamaan, organisasi internal gereja
dan keuangannya jelaslah bahwa variasi model hubungan itu terus
meningkat.120 Namun tujuan kita yang paling penting adalah hanya ingin
menekankan bahwa keragaman itu adalah produk sebuah proses negosiasi
makna dan implikasi sekularisme dalam berbagai kondisi yang berbeda. Tiga
model independen, interdependen dan intermediate yang kita bicarakan
diatas akan berguna karena mereka merepresentasikan point yang berbeda
dalam spektrum yang sama, daripada berusaha untuk mencocokkan satu
negara pada satu atau lain kategori yang terpisah. Bentuk dan substansi
hubungan antara agama dan negara bisa berbeda tergantung waktu dan
situasi yang dihadapinya, bisa jadi hubungan itu berupa pemisahan ketat
maupun peleburan. Sebuah negara mungkin bisa berusaha mengambil jarak
dengan institusi-institusi dan praktik-praktik keagamaan pada satu waktu,
118 Malcolm Evans, “Religion, Law and Human Rights: Locating the Debate” Law and Religion in Contemporary Society: Communities, Individualism and the State. Eds. Peter Edge, Graham Harvey (England: Ashgate, 2000).119 Carolyn Evans, hlm. 130120 Grace Davie, Religion in Modern Europe: A Memory Mutates (Oxford: Oxford University Press 2000), hlm. 15.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
atau menerima dan bahkan bekerja sama dengan erat pada saat yang lain.
Negara juga bisa bekerja sama dengan agama dalam masalah pendidikan
agama atau dukungan keuangan bagi institusi-institusi keagamaan, tapi
tetap memberlakukan pemisahan yang ketat dalam persoalan administrasi
atau personilnya.
III. Agama, Negara dan Politik Public Reason
Proses negosiasi yang telah dikemukakan tadi bisa diperjelas dengan
mengulang kembali perbincangan mengenai public reason dan bagaimana ia
beroperasi melalui pembedaan negara dan politik seperti yang sudah kita
diskusikan dalam bab 1 dan 3. Sekarang saya akan merefleksikan pentingnya
peran sekularisme dalam kaitannya dengan pentingnya sebuah kerangka
untuk public reason yang akan berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan
memfasilitasi hubungan antara negara, politik dan agama. Setelah
membahas secara singkat diskusi kita mengenai pembedaan antara negara
dan politik, saya akan menjelaskan bagaimana arena public reason bisa
menjadi kerangka untuk memediasi hubungan antara negara dan politik.
Pada bagian akhir bagian bab ini, saya akan menguji kemungkinan peran
agama dalam mempengaruhi kebijakan publik dan akan memperkirakan
bagaimana agama dan sekularisme bisa saling mendukung.
1. Pembedaan antara Negara dan Politik
Seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab I, saya menyarankan
pemisahan institusional antara Islam dan negara sambil tetap mengakui dan
mengatur keterhubungan yang tak terhindarkan antara Islam dan Politik. Ini
tidak berarti bahwa Islam dan politik harus dipisahkan karena prinsip-prinsip
Islam bisa diimplementasikan melalui kebijakan dan undang-undang resmi
dengan tetap tunduk pada jaring-jaring pengaman yang sudah dijelaskan
dalam bab 1 dan 3. Ide ini mengandaikan adanya pembedaan antara negara
dan politik meskipun keduanya jelas-jelas berhubungan. Negara harus lebih
stabil dan memiliki swa-pemerintahan operasional yang terrencana,
sementara politik adalah sebuah proses dinamis pembuatan pilihan kebijakan
dari sejumlah pilihan yang saling bertentangan. Negara dan politik mungkin
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
seperti dua sisi mata uang, tapi mereka tidak mungkin dan bahkan tidak bisa
dilebur menjadi satu. Penting untuk menjamin keberadaan negara tidak
hanya sebagai cerminan politik harian, tetapi juga menjaganya untuk tetap
relatif independen dari kekuatan politik yang berbeda yang ada di
masyarakat karena negara harus bisa memediasi dan memutuskan satu dari
sekian banyak pilihan kebijakan.
Namun, membedakan negara dan politik secara sempurna juga tidak
mungkin karena mereka yang mengontrol negara bisa meraih dan
mempertahankan kekuasaannya melalui proses politik, entah itu demokratis
atau tidak. Dengan kata lain pegawai negara akan selalu bertindak secara
politis untuk mengimplementasikan agenda mereka dan mempertahankan
loyalitas orang-orang yang mendukungnya. Relitas keterhubungan ini
membuat pemisahan antara keduanya menjadi penting. Sehingga mereka
yang terpinggirkan dalam proses politik saat ini masih bisa menuntut organ
atau institusi negara untuk melindungi mereka dari pengaruh dan
penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara.
Hubungan yang paradoks ini bisa difahami dengan merujuk pada suatu
model dimana negara tetap mengakar dalam kehidupan politik
masyarakatnya, tetapi juga tetap mempertahankan otonominya dari proses
tersebut. Negara modern merupakan organisasi yang terpusat, birokratis,
dan hirarkis yang terdiri dari institusi, organ, pegawai yang seharusnya bisa
melaksanakan fungsi yang spesial dan berbeda-beda melalui aturan
penerapan yang sudah ditentukan.121 Malah, secara teroritis negara
merupakan organisasi yang berbeda dengan organisasi atau asosiasi sosial
apapun, meskipun tetap berhubungan erat dengan mereka dalam konteks
praksis untuk mendapatkan legitimasi dan kerja yang efektif. Sebagai contoh,
negara harus berjuang dan bekerja sama dengan berbagai konstituen dan
organisasi dalam melaksanakan fungsinya, seperti menegakkan hukum dan
aturan, menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Dengan demikian, institusi dan pegawai negara tidak bisa menghindar dari
121 Graeme Gill. The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 2-4.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
keharusan membangun hubungan dengan berbagai konstituen dan kelompok
yang memiliki ide yang berbeda dan bertentangan mengenai kebijakan
publik dan efeknya bagi kehidupan masyarakat. Konstituen tersebut
termasuk organisasi non-pemerintah, kalangan bisnis, partai politik, dan grup
penekan lainnya yang berbasis keagamaan atau lainnya. Hubungan tersebut
tidak hanya penting untuk membantu negara melaksanakan kewajibannya,
tetapi juga sebuah persyaratan bagi terpenuhinya hak untuk menentukan diri
sendiri (self-determination). Karakter otonom dan berbedanya negara
merupakan alat untuk membuat warga negara bisa berpartisipasi dalam
pemerintahannya dan bukan merupakan tujuan akhir.
Negara dapat mengizinkan partisipasi aktor-aktor non-negara melalui
mekanisme negosiasi dan representasi yang formal atau melalui komunikasi
dan pengaruh yang informal.122 Interaksi dinamis antara aktor negara dan
non-negara berrresiko menimbulkan konflik dan kompetisi, namun bisa
memberikan otonomi bagi aktor negara karena aktor non-negara terus
berusaha untuk memaksimalkan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan
dan administrasi. Resiko yang realistis ini harus dikurangi dan dikelola
melalui pengembangan institusi negara yang lebih kuat yang bisa
mempertahankan otonomi relatifnya, ketika berhubungan dengan kelompok
yang memiliki tuntunan yang beragam dan saling bertentangan itu.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana aktor negara bisa
tetap responsif terhadap keinginan organisasi-organisasi masyarakat sipil,
kelompok bisnis, dan yang lainnya tanpa harus dikontrol sepenuhnya oleh
mereka. Proses penyeimbangan yang lembut namun dinamis dan terus
berubah ini selalu dideksripsikan sebagai “proses penggabungan negara
dengan konstituen kebijakan tertentu dan masyarakat secara umum dengan
tetap mempertahankan otonominya.”123
Proses ini dapat difahami secara lebih konkrit dengan mempertimbangkan
hubungan antara gereja dan negara dalam masyarakat Barat, seperti yang
sudah kita bahas tadi, sebagai contoh untuk menegosiasikan perimbangan
122 Gill 17123 Gill 19
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
antara penggabungan keduanya atau otonomi masing-masing. Di setiap
masyarakat, dalam praktiknya, kelompok-kelompok keagamaan adalah
konstituen kebijakan publik penting yang berkaitan dengan hal-hal
fundamental dalam kehidupan sosial, dari pendidikan hingga pajak, dan dari
isu publik dan moralitas individu sampai fungsi sosial karitas. Negosiasi
antara gereja dan negara dalam masalah-masalah tersebut bisa dilihat
sebagai sebuah desain untuk memberikan tempat kepada kelompok agama
agar negara bisa mengakui mereka sebagai konstituen politik yang penting
yang tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh negara atau dizinkan untuk
mengambil alih negara dan institusinya. Sekularisme sebagai prinsip-prinsip
pemisahan agama dan negara membantu kita untuk meraih keseimbangan
yang indah dengan menyediakan kerangka untuk mengamankan legitimasi
negara di tengah komunitas agama, sambil tetap mengatur bagaimana
perhatian yang mereka dedikasikan pada kebijakan publik tidak
menyinggung perhatian dan kepentingan komunitas lain dan warga negara
secara umum. Seperti komunitas keagamaan, warga negara yang tidak
beragama atau tidak mengorganisasi diri untuk melobi negara, pun berhak
untuk mendapatkan penghargaan atas pandangan dan kepentingannya yang
sama. Karena itulah, negara dan organnya tidak boleh dikontrol oleh satu
komunitas keagamaan apapun, seberapapun besarnya komunitas itu. Malah,
netralitas negara terhadap perspektif keagamaan maupun non-keagamaan
lebih penting, terutama, dalam hubungannya dengan kelompok dominan,
karena resiko berpihaknya negara kepada kelompok ini lebih besar daripada
keberpihakannya kepada kelompok minoritas. Harus pula dicatat, bahwa
persepsi orang tentang masalah tersebut juga sama pentingnya dengan
realitasnya, karena bias keberpihakan seperti ini cenderung memperlemah
kepercayaan publik pada netralitas negara terhadap agama meskipun dalam
faktanya persepsi orang itu ternyata tidak benar. Sekularisme menyediakan
struktur dasar dimana negara bukan menjadi bagian atau dianggap menjadi
bagian satu kelompok agama atau non-agama apapun. Tapi sekularisme juga
memberikan kemungkinan kepada negara untuk tetap memperhatikan
semua pendapat yang relevan dan sah dalam memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan publik.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Selayang pandang pengalaman Barat yang telah lalu juga memberikan
pelajaran bahwa keseimbangan ini bisa dicapai melalui negosiasi langsung
maupun tidak langsung. Di satu sisi, negosiasi dan kesepakatan yang
langsung atau agak langsung antara negara dan tradisi keagamaan yang
dominan (dan tradisi keagamaan lain pada beberapa tingkatan tertentu)
mencerminkan preseden historis, pentingnya tradisi keagamaan tertentu
sebagai bagian dari peninggalan budaya atau peran sosial penting insitusi-
institusi keagamaan tersebut. Benar bahwa negara tidak mungkin
sepenuhnya lepas dari kegiatan dukung mendukung, namun bila kegiatan ini
meluas pada agama lain dan kebijakan negara yang lain tentu akan
bertentangan dengan nilai-nilai netralitas negara terhadap agama. Dalam
negosiasi seperti itu, prinsip umum pemisahan antara agama dan negara
mungkin diakui, meskipun nilai dan peran agama mayoritas dalam kehidupan
publik juga tetap diakui. Dengan demikian, meskipun rencana yang diajukan
oleh Komisi tahun 1994 di Swedia mengistimewakan Gereja Resmi Swedia
pada tingkat tertentu, rencana ini jelas mencerminkan pemahaman bahwa
gereja merupakan satu dari sekian banyak badan keagamaan dalam
masyarakat yang plural.124 Negara Inggris tidak sepenuhnya
mempertahankan netralitasnya dalam membiayai sekolah-sekolah agama,
namun ia tidak mempromosikan secara aktif gereja Anglikan atau
memaksakan pembatasan kepada anggota kelompok agama non-anglikan.
Meskipun Inggis tetap mempertahankan status formal gereja Anglikan
sebagai gereja resmi Inggris, kebijakan negara di Inggris sangat mendukung
agama lain secara umum namun tidak mendukung salah satu di antaranya.125
Prinsip sekularisme juga beroperasi dalam kerangka jaring pengaman
konstitusionalisme dan HAM agar negosiasi tidak langsung bisa terjadi dan
aktor religius atau aktor non-religius bisa memiliki peran dalam pembentukan
kebijakan publik. Kemungkinan ini dijamin oleh perlindungan negara
terhadap kebebasan untuk berorganisasi dan kebebasan untuk berekspresi,
hak untuk mengorganisasi diri dan melakukan protes, hak atas mendapatkan
ganti rugi secara hukum serta penggunaan instrumen komersil, media,
124 Alwall, hlm. 168125 Monsma and Soper, hlm. 131,132
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
komunikasi yang bisa membuat warga negara untuk mengemukakan
padangan mereka atau untuk memobilisasi sumber dan dukungan publik dari
perspektif mereka. Kebebasan dan hak yang mengatur dan meregulasi
proses-proses mempengaruhi kebijakan negara secara langsung atau tidak
tersebut ditempatkan sebagai prinsip sekuler dan dilindungi oleh kerangka
politik dan hukum yang sekuler.
Budaya politik Amerika Serikat mencerminkan contoh yang bagus tentang
bagaimana negosiasi tak langsung terjadi antara negara dan agama dalam
masalah kebijakan publik yang krusial. Meskipun pemisahan negara dan
agama adalah nilai sosial dan politik yang telah mapan dalam budaya politik
publik Amerika, namun kalangan konservatif dan Kristen Liberal selalu
melakukan kampanye dan berusaha menggunakan pengadilan untuk
menangani beberapa isu seperti dukungan terhadap pelaksanaan misa di
sekolah. Gereja-gereja Kristen Liberal telah melakukan lobi-lobi politik
berkaitan dengan isu-isu seperti hubungan ras, kemiskinan, dan mengakhiri
perang Vietnam. Kedua faksi dan aktor religius maupun non-religious sangat
terlibat dalam debat mengenai penunjukkan hakim, terutama untuk tingkat
Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, untuk menjamin adanya
representasi ide-ide mereka dalam penerapan dan pengembangan hukum
sekuler di negaranya. Proses dan dinamika yang sama bisa ditemukan di
negara-negara Barat lain. proses tersebut tercermin dalam beberapa
peristiwa seperti protes terhadap reformasi pendidikan di Spanyol tahun
1983 yang memperlihatkan kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap
hilangnya identitas katolik di sekolah-sekolah gereja maupun referendum
yang akan dilaksanakan pada Juni tahun 2006 di Itali untuk memutuskan
perubahan khusus dalam civil code negara itu yang semula ditentang keras
oleh Gereja Katolik sebagai kekuatan politik yang kuat dan memaksa disana.
Pada semua kasus ini, prinsip fundamental pemisahan agama dan negara
tidak langsung ditentang oleh aktor religius. Mereka hanya mempergunakan
hak mereka untuk berusaha mempengaruhi kebijakan negara, tetapi dengan
tetap menghormati hak kelompok lain, baik aktor religius maupun non-
religius, untuk melakukan hal yang sama.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
2. Public Reason sebagai Kerangka untuk Memediasi Negara dan Relasi
Politik
Dalam negosiasi langsung dan tak langsung antara aktor negara dan agama,
semua pihak harus dengan jelas menerima pembedaan antara agama-negara
dengan agama-politik dalam praktik. Namun seperti ide negosiasi itu sendiri,
akan terdapat ketegangan antara aktor negara dan agama dalam
berinteraksi dan memahami hubungan antara agama dan negara serta
dalam asumsi dan implikasi posisi yang mereka ambil. Adanya ketegangan
seperti itu dan kebutuhan untuk mempertahankan otonomi negara dan
agama membuat sebuah kerangka yang memungkinkan semua aktor, baik
individu maupun kelompok, untuk menegur negara dalam pembuatan
kebijakan publik tanpa harus mengkompromikan pemisahan negara dan
agama, menjadi penting. Kerangka ini akan memberikan kemungkinan
kepada sebanyak dan seluas mungkin aktor sosial untuk bisa bersaing secara
bebas dan adil dengan yang lain untuk memaparkan pandangan mereka
tentang kebijakan publik. Meskipun ada banyak persyaratan dan aspek yang
terdapat dalam proses tersebut, sekarang saya akan menggarisbawahi
dimensi public reason dan bagaimana ia beroperasi dalam kerangka ini.
Sebagaimana sudah saya tekankan, pentingnya memisahkan negara dan
agama sambil tetap mengatur keterhubungan permanen antara agama
dan politik mengharuskan proses ajuan kebijakan dan undang-undang
dilaksanakan melalui public reason yang berisi dua elemen. Pertama,
logika dan tujuan sebuah kebijakan publik atau undang-undang harus
berdasar pada sebuah penalaran yang bisa diterima, ditolak, atau
ditandingi oleh warga negara melalui debat publik tanpa harus berresiko
dituduh tidak percaya, murtad atau membangkang. Kedua, reason atau
penalaran itu harus diperdebatkan secara umum dan terbuka daripada
mengikuti kepercayaan atau motivasi seorang warga negara atau
pegawai pemerintahan. Mengontrol motivasi dan maksud tingkah laku
politik orang memang tidak mungkin, tetapi tujuan public reason adalah
untuk mempromosikan dan mendorong nalar dan penalaran publik,
dengan terus menerus menghilangkan pengaruh ekslusif kepercayaan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
agama seseorang. Keharusan adanya public reason yang diperdebatkan
secara umum menjadi sangat penting karena orang yang akan
mengontrol negara tidak bisa dipastikan akan selalu netral. Malah
sebaliknya, keharusan adanya public reason ini harus menjadi tujuan kerja
negara, karena orang akan terus bertindak berdasarkan kepercayaan dan
justifikasinya sendiri. Keharusan ini juga diinginkan karena mendorong
dan memfasilitasi pengembangan konsensus yang lebih luas di kalangan
rakyat secara umum, untuk mengatasai sempitnya pandangan
keagamaan individu dan kelompok.
Karena istilah public reason telah digunakan oleh sarjana-sarjana Barat, saya
akan mengulang kembali diskusi kita pada Bab 3 mengenai bagaimana cara
saya menggunakan istilah ini. Ide Jhon Rawls mengenai public reason bisa
difahami sebagai argumen bagi pentingnya memberikan kerangka nilai-nilai
fundamental politik masyarakat bagi tindakan dan kebijakan pemerintah,
untuk membedakannya dari doktrin komprehensif atau pandangan dunia
warga negara yang berdasarkan agama, moral atau filsafat.126 Perintah
untuk tunduk pada public reason diterapkan sangat ketat pada lembaga
kehakiman, pemerintah, penyelenggara negara dan partai politik.127 Tetapi,
bagi Rawls, civil society secara keseluruhan tidak tunduk pada public
reason.128 Ia juga membatasi jangkauan public reason pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan esensi konstitusi seperti masalah kemerdekaan
fundamental, dan masalah keadilan dasar.129 Berbeda dengan Rawls yang
membatasi public reason pada aktor dan isu tertentu saja, Habermas
memiliki pandangan yang lebih luas tentang prosedur debat dalam public
reason dan pentingnya pengakuan terhadap pluralisme dan pandangan dari
pihak luar.130 Bagi Habermas, ruang yang independen dan non-pemerintah
seperti asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial, serta jaringan dan
126 John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 441.127 Rawls, hlm. 442128 Rawls, hlm. 443-444129 Rawls, hlm. 442130 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on John Rawls’ Political Liberalism.” The Journal of Philosophy, 92 (March 1995), hlm. 118-119.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
proses komunikasi lain dalam civil society termasuk media massa merupakan
arena yang penting bagi pengembangan dan pengungkapan public reason.131
Konsep yang saya gunakan lebih dekat pada konsep Habermas. Saya
memahami public reason sebagai sebuah ruang diskusi dan debat yang
benar-benar berakar pada civil society dan ditandai dengan adanya proses
kontestasi sejumlah aktor yang berbeda. Apapun dasar dan motivasi
pandangan seseorang, apakah itu konsepsi politik atau doktrin komprehensif,
untuk mengajukan sebuah kebijakan publik dan undang-undang,
pandangannya harus dijustifikasi oleh alasan-alasan yang bisa difahami oleh
warga negara lain dan diperdebatkan di ruang publik. Aturan ini bukan untuk
mengontrol motivasi terdalam seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu karena hal itu mungkin masih berlanjut dalam
perbincangan dan refleksi privat, tetapi untuk mendorong terciptanya
konsensus publik seputar kebijakan publik dan undang-undang.
Seperti yang sudah didiskusikan dalam bab 3, kinerja public reason dalam
menegosiasikan peran agama dalam kebijakan publik dan negara harus
dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan
kewarganegaraan. Penerapan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten dan
terlembagakan bisa menjamin kemampuan seluruh warga negara untuk
berpartisipasi secara sejajar dan bebas dalam proses politik, dan melindungi
mereka dari diskriminasi berdasarkan agama, kepercayaan atau alasan
lainnya. Dengan perlindungan yang disediakan oleh jaring pengaman itu,
warga negara akan lebih mungkin memberikan kontribusi dalam
memformulasikan kebijakan publik dan undang-undang termasuk menolak
proposal kebijakan yang diajukan orang lain sesuai dengan persyaratan-
persyaratan public reason. Umat Islam dan umat agama lain bisa membuat
proposal kebijakan yang muncul dari kepercayaan yang mereka anut dan
diajukan kepada orang lain dengan menggunakan alasan-alasan yang bisa
diterima atau ditolak oleh mereka. Karena muslim bisa mengekspresikan
kepercayaan agamanya dalam proses politik dengan tetap tunduk pada
131 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue.” Ethics 105: 1 (October 1994), hlm. 49.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
jaring pengaman tersebut melalui cara ini, mereka akan lebih rela untuk
mendukung pembedaan antara negara dan politik yang memungkinkan
kontribusi seperti itu menjadi mungkin. Pada saat yang sama, realitas dan
kredibilitas pembedaan ini membuat upaya untuk memfasilitasi ekspresi
politik pandangan Islam menjadi mungkin tanpa harus berresiko menciptakan
negara teokratis yang totalitarian dengan sepenuhnya melebur negara pada
kehendak politik mayoritas penganut suatu agama atau elit penguasa.
Refleksi teoritis tentang bagaimana public reason beroperasi bukan berarti
bahwa konsep itu selalu jelas dan dapat dengan mudah diterapkan dalam
praktik. Kejelasan teoritis dan komitmen terhadap prinsip tersebut penting
untuk mengoreksi problem apapun yang muncul dalam praktiknya. Akses
warga negara terhadap debat public reason akan bervariasi; tergantung pada
status sosial dan ekonomi, pengalaman politik, dan kemampuan mereka
untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya, membangun aliansi dan
melakukan hal lainnya. Namun faktor-faktor tersebut lebih baik dianggap
sebagai alasan untuk menerapkan prinsip tersebut secara adil dan inklusif,
daripada untuk mengabaikannya. Aktor-aktor yang termarginalisasikan dapat
menggunakan berbagai strategi untuk mengamankan pengaruh mereka
dalam proses pengambilan kebijakan. Sebagai contoh, kelompok yang
mendapatkan sumber daya atau pengaruh politik yang lebih besar bisa
mengambil posisi moderat atau selalu terbuka untuk melakukan kompromi
dalam mengakses public reason. Sebagai alternatif, kelompok-kelompok
tersebut bisa mendapatkan asistensi dari pengadilan atau institusi-institusi
negara yang lain untuk menjamin akses mereka pada prinsip-prinsip
konstitusi atau hak asasi manusia guna melengkapi terbatasnya sumber daya
atau pengaruh mereka. Dalam kasus kebijakan mengenai aborsi di Amerika
Serikat misalnya, organisasi-organisasi yang moderat bisa mempunyai akses
yang lebih besar pada kelompok pembuat kebijakan, namun kelompok yang
mempertahankan hak perempuan untuk memutuskan aborasi akhirnya
memenangkan keputusan pengadilan dalam kasus Roe melawan Wade pada
tahun 1973. Namun ini tidak berarti bahwa penentang klaim ini menyerah
dan mengabaikan posisi mereka begitu saja. Malah, kelompok-kelompok
tersebut menggunakan strategi-strategi yang berbeda termasuk berusaha
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
merubah pembuatan kebijakan di level negara, daripada di tingkat
pemerintah federal karena mereka berharap bisa memberikan pengaruh
yang lebih besar pada level itu. Pertukaran strategi seperti itu akan mungkin
terjadi di masa yang akan datang selama orang masih berkepentingan
terhadap isu-isu tersebut.
Sekedar menyimpulkan, kontestasi dalam ruang public reason bisa dilihat
sebagai indikasi adanya keragamaan sosial dan keragaman pendapat dalam
masyarakat. Kontestasi seperti itu bisa juga mencerminkan semakin
tingginya akses individu dan kelompok terhadap public reason melalui
proses-proses demokratisasi, pengembangan komunikasi dan lain
sebagainya. Ketika akses terhadap public reason semakin terbuka dan adil,
pilihan-pilihan kebijakan publik lebih mungkin untuk diperdebatkan dan
dinegosiasikan daripada dipaksakan pelaksanaannya oleh mayoritas atau elit
penguasa. Konsensus terhadap pilihan-pilihan kebijakan publik yang bisa
dicapai melalui proses ini, lebih mungkin untuk mempromosikan legitimasi
negara di kalangan masyarakatnya, sehingga stabilitas politik di negeri itu
terus meningkat. Dengan memberikan apreasasi yang lebih besar terhadap
proses public reason, penganut agama bisa memiliki kesempatan untuk
mempromosikan kepercayaan agama mereka melaui proses-proses politik
reguler tanpa mengancam keberadaan kelompok penganut agama lain.
Keseimbangan ini sangat mungkin bisa dicapai karena pandangan-
pandangan keagamaan tidak akan langsung diberlakukan melalui kekuasaan
kursif negara, melainkan harus melalui proses kontestasi politik yang
transparan, adil dan tunduk pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan
konstitusionalisme yang sudah dibicarakan di muka. Sebagai analisis final,
kepercayaan agama tidak boleh diistimewakan maupun ditindas, karena
dengan cara ini hubungan antara negara dan agama akan menjadi lebih
dinamis dan hasilnya lebih bisa diidentifikasi.
3. Peran aksidental negara dalam mempengaruhi kebijakan publik
Agama (baik digunakan sebagai istilah untuk menyebut kelompok-kelompok
terorganisir, komunitas iman dan ritual, atau domain pandangan dan
kepercayaan individu) merupakan kekuatan yang penting yang bisa bersaing
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dalam ruang public reason untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Dalam
perkembangan dan perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara
Barat dalam beberapa dekade terakhir ini, perhatian individu terhadap isu-isu
kualitas hidup, kebijakan pendidikan, aborsi dan kebijakan lain mengenai
keluarga, kebebasan beragama, imigrasi, dan kebijakan naturalisasi, sama
besarnya dengan perhatian mereka terhadap kebijakan publik.132 Dengan
kata lain, public reason sebagai logika dan proses semakin meniadakan
dikotomi antara ruang eksistensi sosial yang publik dan privat, sehingga
pemisahan agama dan politik pun semakin sulit. Namun peran agama dalam
ruang public reason yang kompetitif tidak bisa dilihat sebagai sudah
ditentukan dan tetap, karena hasil kebijakan seperti ini tergantung pada
berbagai faktor.
Kemampuan aktor keagamaan untuk mempengaruhi kebijakan publik
dipengaruhi oleh hubungan historis antara negara dan agama serta kondisi
aktual seperti urbanisasi, perubahan demografis, tingkat religiusitas dalam
masyarakat serta hubungan antara komunitas keagamaan. Lagipula, karena
faktor-faktor tersebut cenderung untuk beralih dan berubah terus, akibat dan
pengaruh agama terhadap kebijakan publik cenderung beradaptasi dengan
perubahan-perubahan tersebut. Contohnya, pada paruh kedua abad ke-20,
Gereja Katolik Perancis tidak menolak reformasi inovatif kebijakan mengenai
keluarga walaupun ia memiliki pandangan yang lebih tradisional terhadap
nilai-nilai sosial dan peran gender daripada kelompok masyarakat lain yang
memiliki tingkat religiusitas yang lebih rendah. Komitmen kuat negara
tersebut terhadap konsep laicite cenderung menghambat kemampuan Gereja
Katolik untuk melakukan manuver sebagai sebuah kelompok kepentingan.
Keterlibatan Gereja dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
keluarga juga dibatasi di Jerman dan Inggris karena adanya kombinasi antara
otoritas tak penuh (partial establishment)agama resmi dan tingkat
religiusitas masyarakatnya yang moderat. Sehingga, gereja cenderung
bertindak sebagai institusi daripada sebagai sebuah kelompok kepentingan
dalam persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga. Tetapi, meskipun
132 Michael Minkenberg, “The Policy Impact of Church-State Relations: Family Policy and Abortion in Britain, France and Germany.” West European Politics, 26: 3 (2003), 205.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
gereja tidak dianggap sebagai agama resmi negara, aktor-aktor keagamaan
mempunyai lebih banyak ruang untuk melakukan manuver dalam politik
sehingga kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik
semakin meningkat seperti yang terlihat dalam kasus Amerika Serikat.133
Peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di Amerika juga mengindikasikan peran
orientasi ideologis pemerintahan Amerika saat ini dalam mengalihkan atau
bahkan mentransformasikan istilah dan dinamika peran agama dalam public
reason.
Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush
mengenai “inisiatif sosial berbasis keagamaan” bisa dilihat sebagai
rekonfigurasi ruang public reason dengan mengizinkan agama, atau lebih
tepatnya, kelompok agama tertentu untuk memberikan pengaruh yang lebih
besar dalam kehidupan publik dengan mendapatkan kesempatan yang lebih
besar untuk mendapatkan pendanaan dari negara. Segara setelah menjabat
presiden untuk pertama kalinya, George W. Bush mengeluarkan beberapa
kebijakan eksekutif untuk mendirikan Kantor Negara khusus (White House
Office) yang menangani “inisiatif sosial berbasis agama dan komunitas”
sebagai salah satu usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan
pendanaan berbasis agama. Tapi inisiatif-inisiatif tersebut mendapatkan
respon serius dari komunitas masyarakat asli Amerika yang mempertanyakan
apakah mereka akan mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakan
tersebut.134 Ini jelas mengindikasikan bahwa istilah “agama” dalam kebijakan
itu juga didefinsikan dalam pengertian yang terbatas, dan merefleksikan
pemahaman dan kepercayaan personal sang presiden terhadap agama.
Daftar agama yang dimiliki oleh pemerintahan Bush hanya terbatas pada
agama-agama monotheis yang cukup familiar keberadaannya dalam budaya
sekuler dan Agama Kristen di Amerika. Kelompok-kelompok tertentu seperti
The Nation of Islam tidak termasuk dalam daftar.135 Meskipun faktor-faktor
tersebut cenderung untuk menegaskan domain public reason dan partisipasi
133 Minkenberg 209-210134 Mary C. Churchill, “In Bad Faith? Possibilities and Perils in the Age of Faith- Based Initiatives.” Journal of the American Academy of Religion, 70:4 (2002), 844, 845.135 Rita Nakashima Brock, “The Fiction of Church and State Separation: A Proposal for Greater Freedom of Religion”, Journal of the American Academy of Religion, 70: 4 (December 2002), 856.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
beberapa kelompok di dalamnya, namun prosesnya akan terkoreksi dengan
sendirinya bila diaplikasikan dalam kerangka jaring pengaman yang sudah
disebutkan diatas.
Negara memang mempunyai potensi untuk beroperasi sebagai diskursus
yang hegemonik dalam public reason, tapi kekuatan-kekuatan non-agama
atau ideologi sebetulnya juga memiliki potensi yang sama. Pemisahan antara
agama dan negara bisa dikompromikan bila ajaran-ajaran agama tertentu,
seperti yang sudah diinterpretasikan oleh otoritas keagamaan atau elit
penguasa, dibuat sebagai kondisi awal untuk meciptakan partisipasi publik
dalam public reason. Hal yang sama bisa dilakukan dari perspektif nasionalis
atau sekular. Hal seperti ini terlihat dalam kontroversi yang baru-baru ini
terjadi di Perancis mengenai larangan pemakaian jilbab pada siswi-siswi
muslim di sekolah. Keputusan untuk melarang pemakaian jilbab atas nama
sekularisme mencerminkan kecendrungan pemerintah Perancis untuk
memberikan prioritas pada proses asimiliasi imigran ke dalam kerangka
budaya kewarganegaraan Perancis. Keputusan ini merupakan kebijakan yang
bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai identitas kultural dan etnis ke
dalam satu kerangka multikulturalisme nasional yang lazim berlaku di
negara-negara Eropa Utara dan Kanada. Konsep sekularisme Perancis yang
diperkenalkan disini berfungsi sebagai instrumen untuk memberlakukan
keseragaman kultural di kalangan warga negara Perancis, terutama di
kalangan imigran.
Debat mengenai jilbab dan sekularisme di Perancis harus ditempatkan dalam
kerangka hubungan post-kolonial yang lebih luas, termasuk hubungan antara
Perancis dan koloninya yang masih ambivalen, dan juga dalam konteks
persepsi stereotype dan ketakutan mereka terhadap Islam dan muslim.136
Seringkali muslim yang menjadi korban rasisme dan diskriminasi, dianggap
dan diperlakukan sebagai orang luar dalam masyarakat Perancis, padahal
banyak dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Perancis.137 Kasus ini
136 Jane Freedman, “Secularism as a Barrier to Integration? The French Dilemma.” International Migration, 42: 3 (2004), 6.137 Freedman 8
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa besar representasi dan akses
muslim dalam public reason di institusi negara dan non-negara Perancis.
Kasus Perancis juga mengilustrasikan bagaimana sekularisme bisa
dimunculkan sebagai ide mengenai budaya nasional yang hegemonik untuk
meminggirkan identitas-identitas budaya lain, sehingga sebetulnya
melanggar persyaratan public reason itu sendiri. Peminggiran individu atau
kelompok tertentu dari cakupan public reason karena alasan nasionalisme,
ideologi sekuler atau agama selalu tidak memuaskan. Dengan kata lain,
kasus Perancis menggambarkan bahwa bahwa prinsip-prinsip sekularisme itu
bisa dilanggar dengan alasan untuk melindunginya. Kesimpulan ini tentu
saja bisa diperdebatkan lagi, namun penting untuk dicatat, public reason
tidak akan terlaksana tanpa perlindungan terhadap prinsip-prinsip jaring
pengaman yang dibutuhkannya.
Sebagaimana yang sudah dicatat tadi, sekularisme sebagai pemisahan
antara agama dan negara adalah dasar atau kondisi minimal bagi terciptanya
partisipasi publik dalam ruang public reason. Namun hubungan antara
sekularisme dan agama bisa menjadi lebih signifikan dalam domain public
reason itu sendiri. Agama mungkin menyediakan kerangka yang penting bagi
beberapa aktor sosial untuk mengemukakan klaim-klaimnya, selama
kerangka tersebut diformulasikan dalam argumentasi yang bisa diakses
secara publik. Hubungan antara agama dan sekularisme bisa juga saling
menguatkan dalam batasan berikut ini. Sekularisme membutuhkan agama
untuk menyediakan sumber panduan moral yang bisa diterima secara luas
oleh sebuah komunitas politik dan juga untuk memenuhi dan mengatur
kebutuhan-kebutuhan non politis ummat beragama yang ada dalam
komunitas tersebut. Sebaliknya, agama juga membutuhkan sekularisme
untuk memediasi hubungan antara komunitas yang berbeda (baik komunitas
agama, komunitas anti agama atau non-agama) yang memiliki ruang politik
atau ruang public reason yang sama. Sinergi yang saling menguntungkan ini
bisa dijelaskan dengan merujuk pada karakter penting sekularisme.
Sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara dicirikan dengan satu
batasan, yaitu ia harus membatasi isi normatifnya pada batas minimum bila
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ingin mencapai tujuannya untuk melindungi pluralisme politik dalam
masyarakat yang heterogen dan menjamin keberadaan ruang public reason
yang menjadi tempat untuk tumbuhnya pluralisme semacam itu. Dengan
kata lain sekularisme bisa menyatukan berbagai komunitas iman dan ritual
yang berbeda menjadi satu komunitas politik bila klaim ia membuat klaim
moral yang minimal. Benar bahwa semua variasi sekularisme mengharuskan
adanya etos sipil (civic ethos) yang berdasarkan pemahaman tertentu
mengenai hubungan individu dengan komunitasnya. Etos tersebut bisa
sangat kompleks dan mengakar untuk menyelesaikan beberapa isu moral
yang dihadapi oleh masyarakat. Namun kemampuan sekularisme untuk
mencapai tingkat konsensus tertentu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan
dan mempertahankan stabilitas politik dalam masyarakat yang beragama
majemuk berarti bahwa sekularisme tidak selalu dapat menangani masalah-
masalah etis dan moral yang fundamental yang sering tidak disepakati di
kalangan komunitas yang berbeda tersebut.
Tak ada varian sekularisme, yang diketahui masyarakat manusia saat ini,
yang mampu untuk menempati posisi agama atau menyediakan pondasi
lintas-budaya yang berlaku sebagai norma universal hak asasi manusia.
Bahkan, umat beragama membutuhkan justifikasi agama untuk sekularisme
itu sendiri. Saya tidak hendak mengatakan bahwa keterlibatan agama selalu
penting bagi sekularisme untuk bisa diterima dimana dan kapanpun, namun
agama dibutuhkan untuk meraih perhatian umatnya, yang saat ini ternyata
menjadi mayoritas penduduk dunia ini.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa sekularisme tidak mampu
untuk menyelesaikan tuntutan dan penolakan yang mungkin dimiliki oleh
umat beragama terhadap salah satu prinsip pemerintahan sekular. Diskursus
sekuler murni bisa menghormati agama secara umum, namun
kemampuannya untuk membantah justifikasi keagamaan untuk beberapa
kebijakan nampaknya tidak mungkin bisa meyakinkan ymat beragama.
Pengakuan terhadap kesetaraan status warga negara non-muslim tidak
menarik bagi umat Islam tanpa adanya justifikasi ajaran agama Islam
terhadap salah satu prinsipnya. Dengan kata lain, agar sekularisme kondusif
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bagi terciptanya pengertian lintas agama, pluralisme dan mendukung ruang
public reason, maka ia harus mengurangi kapasitasnya untuk melegitimasi
dirinya sendiri sebagai prinsip universal yang bisa berlaku tanpa merujuk
pada sumber moral apapun.
Sekularisme bisa menghalangi pemberlakukan langsung pemahaman doktrin
agama sebagai kebijakan negara, namun ia tidak memadai untuk memenuhi
kebutuhan umat beragama dalam mengekspresikan implikasi moral
kepercayaannya dalam ruang publik. Karena itulah, kenapa saya
menekankan bahwa sekularisme sebagai pemisahan negara dan agama
tetap diperlukan, namun tidak memadai jika tidak mengakui dan mengatur
peran politik agama. Kedua elemen besar dalam definisi sekularisme ini bisa
ditingkatkan dengan mengakui adanya pemahaman kontekstual terhadap
tujuan dan fungsi pemerintahan sekuler di setiap tempat. Disinilah agama
dapat memainkan peranan yang amat penting. Sekularisme bisa hanya
dianggap sebagai sesuatu yang berlaku temporer oleh umat beragama
kecuali jika mereka juga bisa meyakini bahwa sekularisme itu konsisten
dengan (atau paling tidak diungkapkan secara implisit dan ditetapkan dalam)
doktrin-doktrin agama.
Persyaratan ini tidak sesulit yang terlihat, dikotomi untuk memilih salah satu
di antara agama dan sekularisme sudah gagal, karena konsep sekuler tidak
bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.138 Politik dan agama tidak bisa
beroperasi dalam realitas yang berbeda, salah satunya akan terus
memberikan informasi atau diberikan informasi oleh yang lain. Kekuatan
konsep sekuler untuk memotivasi ummat beragama secara langsung amat
terbatas karena mereka dipenuhi oleh dalam konsep agama yang memiliki
kekuatan untuk melakukan proses cek and balance. Seperti yang
diungkapkan oleh Harold Berman bahwa “orang tidak akan memberikan
dukungan mereka pada sistem politik dan ekonomi atau bahkan pada filsafat,
kecuali jika sistem-sistem itu mencerminkan kebenaran yang lebih tinggi dan
suci. Orang akan mengabaikan institusi yang tampak tidak berkaitan dengan
138 Talal Asad, “Religion, Nation-State, Secularism,” in Nation and Religion, ed. Peter van der Veer and Hartmut Lehmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), 192.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
realitas transenden yang mereka percayai berhubungan dengan seluruh
keberadaan mereka, bukan hanya apa yang mereka percayai dalam benak
mereka.”139 Sebagai analisis final, saya nyatakan bahwa sekularisme tidak
bisa memotivasi umat beragama untuk memegang salah satu prinsipnya
tanpa melibatkan ajaran agamanya. Namun agama juga membutuhkan
sekularisme untuk menjamin keberadaan ruang yang aman dan valid bagi
praktik dan kepercayaannya. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan,
hubungan antara agama dan sekularisme dengan demikian harus sinergis
dan saling mendukung, bukan saling bermusuhan dan konfrontatif.140
Penutup
Kilas balik pengalaman sekularisme Barat yang dikemukakan dalam bab ini
ditujukan untuk menghalau persepsi umum bahwa sekularisme berarti
peminggiran agama dari kehidupan publik dan politik. Baik negara maupun
otoritas atau lembaga keagamaan bisa mengambil pendekatan ekslusif yang
pasti pada yang lain. padahal, keduanya saling membutuhkan dalam
menghadapi berbagai isu yang sama dalam konteks sosial yang sama pula.
Nikki Kaddie menyimpulkan relevansi pengalaman Barat ini untuk
masyarakat Islam saat ini, “sekularisme di wilayah Barat manapun adalah
sesuatu yang sederhana dan sudah demikian adanya. Merebaknya praktik
dan kepercayaan sekular di Eropa dan Amerika Serikat telah menimbulkan
perubahan yang lambat dan debat yang kadang tajam namun berkelanjutan.
Akibatnya, merupakan sebuah kecerobohan untuk mengharapkan bahwa
reformasi kalangan sekuler bisa dilaksanakan lebih mudah di Timur Tengah
atau Asia Selatan.”141 Meskipun pengalaman setiap negara dan masyarakat
pasti sangat kontekstual, bahkan terlihat ambigu dan berubah-ubah di
negara-negara Barat dan di tempat-tempat lain, namun refleksi komparatif
tetap relevan dan berguna untuk masyarakat Islam saat ini untuk berjuang
menghadapi isu yang sama.
139 Harold Berman, The Interaction of Law and Religion (Nashville, TN: Abingdon, 1974), 73.140 Abdullahi Ahmed An-Na`im, “The Interdependence of Religion, Secularism, and Human Rights,” Common Knowledge, 11:1 (Winter 2005).141 Nikki Keddie, “Secularism and its discontents.” Daedalus 2003 (3), 20.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Masalah lain yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara yang
harus dihadapi oleh masyarakat manapun saat ini adalah masalah status
konstitusi dan hukum agama. Seperti yang sudah kita lihat, sekularisme
memungkinkan adanya berbagai macam variasi pilihan status agama dalam
undang-undang dasar. Salah satunya dengan mengizinkan para pemuka
agama berpartisipasi dalam institusi-institusi negara atau badan legisalatif
dan membiarkan mereka berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai agama
mereka seperti anggota legislatif terpilih lain. Kemungkinan lain yang
ditawarkan oleh pengalaman negara-negara Eropa adalah sistem
kesepakatan bilateral khusus antara negara dan entitas-entitas keagamaan
seperti di Spanyol dan Itali saat ini. Ide ini bisa menjadi alternatif ketiga dari
sistem teokrasi atau netralitas negara yang ketat. Sistem ini memungkinkan
adanya fleksibilitas dalam merekonsiliasikan klaim-klaim yang saling
bertentangan dan menjamin keberadaan kelompok minoritas atau sekte
dalam Islam. Realitas kemajemukan agama yang dihadapi masyarakat Islam
bisa juga dihadapi dengan berbagai mekanisme yang mempromosikan
pluralisme yang genuine dan penerimaan terhadap perbedaan agama. Bisa
juga dilakukan dengan memberikan ketentuan yang berbeda untuk beberapa
daerah di sebuah negara seperti yang tampak dalam kasus daerah Alsace
Lorraine di Perancis atau dengan menyamakan aturan bagi seluruh daerah di
sebuah negara. Ketegangan yang terjadi saat ini antara pengalaman
masyarakat Islam pra-kolonial dan tuntutan untuk mendapatkan kedaulatan
teritorial bisa diselesaikan melalui pemberlakukan aturan yang berbeda
untuk beberapa daerah di satu negara, agar kerjasama atau akomodasi
antara institusi agama dan negara dapat berlangsung lebih dekat di
beberapa daerah. Namun skema seperti itu pasti tidak konsisten dengan
persyaratan prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM dan kesetaraan warga
negara yang sudah kita diskusikan dalam bab 3.
Kesulitan dihadapi oleh negara-negara Barat dalam mengatur hubungan
antara agama dan negara dalam bidang pendidikan telah memunculkan
berbagai macam pilihan kebijakan dan mekanisme yang mungkin bisa
berguna bagi masyarakat Islam. Kesamaan dan perbedaan antara tradisi
Katolik dan Islam, serta antara masyarakat Barat dan Islam bisa berguna
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dalam konteks perbicangan ini. Sebagai contoh, Amerika dan Perancis
mengambil pendekatan yang berbeda dalam menerapkan doktrin pemisahan
agama dan negara di negaranya. Pendanaan negara bagi pendidikan agama
atau lembaga pendidikan agama masih menjadi isu kontriversial di kedua
negara itu. Materi pendidikan dan kontrol terhadapnya juga masih menjadi
bahan persaingan antara pihak pemerintah yang liberal dan sekuler dengan
gereja Katolik.
Masalah ini juga bisa merupakan tantangan bagi semua masyarakat Islam
dan bisa menimbulkan berbagai masalah krusial. Sebagai contoh masalah
status pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, diperbolehkan saja atau
diharuskan? Bagaimana design pendidikan untuk siswa non-muslim atau
siswa syai’ah yang belajar di lingkungan mayoritas sunni atau sebaliknya?
Bila pendidikan agama diperolehkan di sekolah-sekolah negeri, haruskah
negara membayar gaji guru-guru dari komunitas agama yang berbeda dan
dengan demikian mempunyai hak untuk memberikan pendapat dalam soal
materi dan metode pendidikan agama? apa prinsip yang mengatur peran
negara dalam pendidikan swasta? Terlepas dari kenyataan apakah negara
memberikan subsidi biaya pendidikan di sekolah swasta atau komunitas
agama sendirilah yang menanggung seluruh pembiayaan, haruskah negara
memiliki kekuasaan untuk menjamin keberadaan nilai-nilai sipil seperti
kesetaraan dan non diskriminasi dalam kurikulum sekolah tersebut? Bisakah
aparatur negara tetap bersikap netral dan tidak memaksakan kepercayaan
yang dianutnya atau kepercayaan kelompok mayoritas dalam melakukan
pengawasan seperti itu? Sebagai contoh, sekolah-sekolah tradisional Islam
sering memiliki peran penting dalam pendidikan dan sosial terutama di
daerah-daerah yang kesempatan pendidikannya terbatas atau bagi siswa
yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan. Namun otonomi sekolah
semacam itu juga bisa menimbulkan masalah serius, karena kadang-kadang
kurikulum yang mereka miliki cenderung menganggap enteng prinsip-prinsip
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara.
Masalah hubungan agama dan negara juga berlaku pada persoalan keuangan
dan organisasi keagamaan. Jika ajaran-ajaran Islam tidak dibatasi
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
penerapannya hanya pada persoalan-pesoalan privat, apa kewajiban yang
harus negara penuhi menyangkut gaji ulama dan ilmuwan Islam, biaya
pengurusan masjid dan bangunan keagamaan lain serta pajak? Pertanyaan-
pertanyaan seperti itu juga harus dipertimbangkan dalam konteks
perbincangan mengenai peran pemimpin dan institusi agama yang kuat
dalam pentas politik dan kemampuan mereka untuk menentang kebijakan
negara tentang masalah moral dan sosial. Dengan demikian masyarakat
Islam harus menemukan cara sendiri untuk menegosiasikan potensi konflik
yang mungkin muncul di antara jaminan kebebasan mendirikan asosiasi
keagamaan dan mengekspresikan keberagamaan dengan perlindungan dan
promosi nilai-nilai hak asasi manusia seperti hak-hak perempuan dan
masyarakat agama minoritas.
Akhirnya saya menyimpulkan bahwa ada paradoks permanen dalam
persaingan antara peran otonomi dan otoritas agama di satu sisi dengan
otoritas politik, kekuasaan hukum dan negara di pihak lain. Paradoks ini
dipicu oleh karakter dasar kedua institusi ini. di satu sisi, komunitas-
komunitas agama membutuhkan kerjasama negara untuk melaksanakan
misinya. Namun betapapun kaya dan terorganisirnya sebuah komunitas
agama, ia tidak bisa menghindari konflik dengan negara karena keduanya
berusaha untuk mempengaruhi, bila tidak mengontrol, perilaku warga negara
yang tinggal di satu wilayah yang sama. Di pihak lain, negara harus
sedikitnya mengontrol institusi-institusi keagamaan untuk membatasi cara-
cara mereka mempengaruhi dan membentuk perilaku publik penganutnya.
Dengan kata lain, bahkan jika negara tidak diharuskan atau diperbolehkan
untuk memberikan dukungan material dan administratif bagi komunitas-
komunitas agama yang kaya dan teroganisir, ia tetap bisa memberikan
mereka kebebasan untuk menyebarkan ajarannya atau terlibat dalam
aktvitas yang mereka lakukan dalam kerangka kebebasan beragama dan
memeluk kepercayaan.
Pendekatan yang saya coba klarifikasi dan perdalam dalam buku ini
dimaksudkan untuk mengenali paradoks permanen ini dan kemudian
mencari cara untuk memediasi konsekuensinya melalui seperangkat
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mekanisme, daripada memaksakan sebuah solusi akhir yang jelas. Sebagai
permulaan, paradoks ini mesti dikenali melalui komitmen yang konsisten dan
jelas terhadap kemungkinan untuk memadukan netralitas negara terhadap
agama dengan tetap menerima peran agama dalam kehidupan publik
masyarakat. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan dalam bab 2,
pemaduan seperti ini lebih mungkin cocok dengan sejarah masyarakat Islam
dan lebih konsisten dengan karakter dasar syari’ah daripada ide postkolonial
mengenai negara Islam yang memberlakukan syari’ah sebagai hukum dan
kebijakan resmi negara. Namun, kombinasi yang sulit ini tidak bisa
dipertahankan dalam konteks negara modern tanpa adanya kerangka politik
dan hukum yang jelas untuk memediasi ketegangan dan konflik yang pasti
muncul. Karena itulah, saya mengajukan prinsip-prinsip konstitusionalisme,
hak asasi manusia, dan kesetaraan status warga negara yang hanya bisa
berfungsi jika ada legitimasi religius dan kultural yang bisa memberikan
inspirasi bagi orang-orang untuk berpartisipasi dalam aksi politik dan hukum
yang berkelanjutan.
Dengan demikian, kita membutuhkan diskursus keislaman untuk
melegitimasi dan mengefektifkan strategi yang diperlukan untuk mengatur
peran publik Islam. Pada saat yang sama, diskursus itu juga tidak bisa
muncul atau efektif tanpa pengamanan dan stabilitas yang disediakan oleh
negara. Kesimpulannya, jelas bahwa hubungan antara agama dan negara
merefleksikan sebuah paradoks yang permanen, hingga memisahkan
keduanya jelas diperlukan meskipun dengan tetap mengakui hubungan
organik antara agama dan politik. Saya bisa terus melanjutkan perbincangan
mengenai paradoks yang beragam ini, tapi tujuannya harus untuk
membangun sebuah teori yang bagus yang bisa memfasilitasi dan
memungkinkan terwujudnya aksi yang efektif. Kita harus mulai dengan apa
yang kita punya baik pada para level teoritis maupun level praksis agar bisa
berkembang menuju mediasi yang berkelanjutan. Nah, untuk mengklarifikasi
dan mengembangkan teori ini, saya akan mempertimbangkan pengalaman
masyarakat-masyarakat Islam di tiga negara: India, Turki dan Indonesia
untuk menggaris bawahi betapa sulitnya mempertahankan dan
mengembangkan kombinasi antara netralitas negara terhadap agama di satu
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sisi dengan peran publik agama di pihak lain. Situasi-situasi tersebut perlu
dipertimbangkan untuk melihat apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dilakukan untuk menjamin masa depan syar’ah yang lebih baik dalam
masyarakat dan komunitas Islam di seluruh dunia.