about baduy (sunda) new

34
I. Pendahuluan Masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Luas wilayah keseluruhan pada saat ini, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy adalah 5.101,85 hektar. Daerah tersebut berjarak sekitar 120 km dari Jakarta, dekat dengan zona industri (Cilegon) dan wisata (Anyer, Carita) yang ramai dan berkembang. Namun demikian masyarakat tersebut tetap menjalankan adat istiadat yang diturunkan nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga sekarang masih dapat bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan perilaku tradisional di tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik dan menarik. Masyarakat Baduy memiliki beberapa kearifan tradisional yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya. Mereka membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan, sebagaimana pada masyarakat Kasepuhan Halimun (Nugraheni & Winata, 2003), dan diduga mereka mempunyai asal usul ataupun hubungan yang erat yang bersumber dari kebudayaan Sunda Hindu kuno peninggalan Kerajaan Pajajaran sekitar 600 tahun yang lalu. Suku Baduy terdiri dari Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar berada di antara Desa Ciboleger dan Baduy Dalam. Sedang Baduy Dalam terdiri dari tiga perkampungan, yaitu Cibeo, Cikatawarna, dan Cikeusik yang masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala adat yang disebut Puun. Meski sama-sama suku Baduy, namun Baduy Dalam hingga saat ini masih sangat Laporan Baduy Expedition ’08 1

Upload: junnshikamaru

Post on 30-Jun-2015

155 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: about baduy (sunda) new

I. Pendahuluan

Masyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Luas wilayah keseluruhan pada saat

ini, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang

perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy adalah 5.101,85 hektar.

Daerah tersebut berjarak sekitar 120 km dari Jakarta, dekat dengan zona

industri (Cilegon) dan wisata (Anyer, Carita) yang ramai dan berkembang.

Namun demikian masyarakat tersebut tetap menjalankan adat istiadat

yang diturunkan nenek moyangnya secara arif dan taat, dan hingga

sekarang masih dapat bertahan di lingkungan alamnya. Cara hidup dan

perilaku tradisional di tengah masyarakat yang berkembang menjadi unik

dan menarik.

Masyarakat Baduy memiliki beberapa kearifan tradisional yang

berkaitan dengan lingkungan hidupnya, antara lain dalam pola pertanian

yang khas dan konsep tentang hutan dan kelestariannya. Mereka

membagi dan menggolongkan hutan sesuai dengan fungsinya, yaitu hutan

untuk konservasi dan hutan untuk dimanfaatkan, sebagaimana pada

masyarakat Kasepuhan Halimun (Nugraheni & Winata, 2003), dan diduga

mereka mempunyai asal usul ataupun hubungan yang erat yang

bersumber dari kebudayaan Sunda Hindu kuno peninggalan Kerajaan

Pajajaran sekitar 600 tahun yang lalu.

Suku Baduy terdiri dari Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Luar

berada di antara Desa Ciboleger dan Baduy Dalam. Sedang Baduy Dalam

terdiri dari tiga perkampungan, yaitu Cibeo, Cikatawarna, dan Cikeusik

yang masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala adat yang

disebut Puun. Meski sama-sama suku Baduy, namun Baduy Dalam hingga

saat ini masih sangat memegang teguh peraturan adat. Termasuk

mematuhi larangan-larangan untuk tidak menggunakan kendaraan,

barang elektronik serta kemajuan teknologi lainnya.

Sementara masyarakat Baduy Luar sudah dapat menggunakan

berbagai kemajuan teknologi, seperti kendaraan, radio dan lainnya,

selama masih mengikuti aturan adat. Tetapi meskipun begitu, tetap saja

bila suatu ketika diadakan sweeping oleh ‘aparat’ baduy dalam, maka

Laporan Baduy Expedition ’08 1

Page 2: about baduy (sunda) new

yang menggunakan alat alat elektronik yang ‘berbau’ teknologi, maka

akan dikenakan hukuman yang sesuai dengan tindakan yang dilakukan.

Orang Baduy Luar dan Baduy Dalam dibedakan dari ikat kepalanya.

Khusus Baduy Dalam, ikat kepalanya hanya berwarna putih. Bila orang

Baduy luar dapat mengenakan pakaian berwarna-warni, orang Baduy

Dalam hanya diperbolehkan dua warna saja yaitu hitam dan putih.

Warga Baduy Dalam melarang orang asing (luar Indonesia)

berkunjung ke sana. Kunjungan ke sana pun umumnya dibatasi hanya

untuk satu malam, yaitu setiap hari Sabtu dan Minggu saja. Sehingga

tidak mengganggu aktivitas warga untuk ke ladang, satu-satunya mata

pencaharian yang mereka lakukan.

Dalam berkunjung ke Baduy Dalam tak boleh sembarangan.

Diperbatasan ini, kami sudah harus menyarungkan semua alat memotret.

Selain dilarang motret, saat tinggal di sini pun kami dilarang

menggunakan odol dan sabun saat mandi di sungai, serta tidak

menyalakan handphone atau alat-alat elektronik lainnya.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–

Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar

menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan

pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak

mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan

cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Laporan Baduy Expedition ’08 2

Page 3: about baduy (sunda) new

II. Pembahasan

1. Letak Wilayah

Wilayah Baduy secara geografis terletak pada 6°27’27” – 6°30’0”

Lintang Utara dan 108°3’9” – 106°4’55” Bujur Timur (Permana, 2001).

Wilayah pemukiman yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng di

desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,

Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. dengan

ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut tersebut mempunyai

topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata

mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah

endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan).

Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat, dan andosol. Sedangkan

curah hujan adalah 4000 mm/tahun, dan suhu rata-rata 20°C (Garna,

1993).

2. Asal Usul

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat

adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy"

merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok

masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang

agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab

yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy

yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka

menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai

dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama

kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Masyarakat suku

Baduy terkenal dengan kemampuan luar biasa yang mereka miliki untuk

menolak pengaruh budaya dari luar.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok

yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu

Laporan Baduy Expedition ’08 3

Page 4: about baduy (sunda) new

adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, Baduy Dalam hanya

terdiri dari 3 kampung yang masing-masing mempunyai ke-puun-nan

(kepala adat), yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Berbeda dengan

Baduy Luar yang terdiri dari belasan perkampungan kecil menyebar di

sekeliling wilayah Desa Kanekes. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah

pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala

putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal

sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar

mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,

Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.

Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat

kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di

wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes,

dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras

(Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut

berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana,

2001). Walaupun sudah sedikit terbuka dengan pengaruh budaya dari

luar, namun masyarakat Baduy Luar masih sangat kuat memegang adat

istiadat Baduy dengan ”kiblat” utama kepada ketiga kepuunan Baduy

Dalam.

Perbedaan sikap, walau tidak ekstrim, antara Baduy Luar dan Baduy

Dalam ketika merespon intervensi budaya dari luar komunitasnya, telah

memberikan perbedaan warna antara kedua kelompok tersebut.

Penggunaan paku untuk membuat rumah, misalnya, bagi Baduy luar

adalah hal yang biasa, sementara bagi Baduy Dalam penggunaan paku

tersebut merupakan hal tabu dan dilarang. Contoh lain adalah

penggunaan angkutan transportasi kendaraan bermotor; bagi orang

Baduy Luar diperbolehkan, sedangkan untuk orang Baduy Dalam tidak

boleh sama sekali.

Namun demikian, adalah hal menarik ketika keseluruhan Baduy dari

kedua kelompok sama-sama memiliki ikatan yang sangat kuat dengan

tumbuhan bambu. Hal ini dengan mudah dapat dilihat disaat kita mulai

memasuki wilayah habitat Baduy Luar. Sepanjang perjalanan akan

dijumpai sejumlah rumpun bambu yang sebagian-nya terpelihara dengan

Laporan Baduy Expedition ’08 4

Page 5: about baduy (sunda) new

baik oleh penduduk Baduy. Beruntung, letak wilayah Desa Kanekes yang

merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 –

600 m di atas permukaan laut (DPL), yang mempunyai topografi berbukit

dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%,

yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di

bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dengan suhu

rata-rata 20°C. Keadaan tersebut memungkinkan untuk tumbuh suburnya

rumpun bambu.

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku

keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang

diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi

Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,

Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas

bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan

pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara

sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan

pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda'

yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan

Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat

di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya

Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian

penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang

cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan

ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.

Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai

Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu

dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan

yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan

lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan

pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal

bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah

hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada

masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang

Laporan Baduy Expedition ’08 5

Page 6: about baduy (sunda) new

mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan

musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan

pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy

adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat

terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun

menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian

dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan

Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang

dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena

penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan

leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan

di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau

Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama

asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan

wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

3. Sistem Kepercayaan

Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang

dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka

itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-

konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar

supaya orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan kehidupan

Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai

keturunan yang lebih muda). Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan

kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan

selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.

Orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih

muda itu bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan,

bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terbelihara

baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap

inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia.

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy

tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa ‘Lojor

Laporan Baduy Expedition ’08 6

Page 7: about baduy (sunda) new

heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung’.

(panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).

Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang

kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep

pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang

ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan.

Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa

tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun

dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat

agama Sunda Wiwitan.

Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan

karuhun, yang langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep

yang merupakan kewajiban puun dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara

Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasakan Domas atau Parahyang;

mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi

kesejahteraan dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada

upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok

seba.

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok,

yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para

puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu

kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan

sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti,

Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan

ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi

Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan

tidak ada keturunannya, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat

batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum

Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana, Nini

Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan

Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang

Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang

menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip

Laporan Baduy Expedition ’08 7

Page 8: about baduy (sunda) new

menurunkan kerabat kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain

masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala,

yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang

Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di

luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang

menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan

orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai

Cihaliwung. Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy

keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy

itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis

keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan

patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai

masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali

pergantian puun Sikeusik. Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun

Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna

1988).

Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu

generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di

Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun

dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para

keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung. Dalam

kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang,

sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan

para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala

marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus

yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau

penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.

Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia,

karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi

mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama

wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung

Laporan Baduy Expedition ’08 8

Page 9: about baduy (sunda) new

tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan

bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di

pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan

untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek

moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan

manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung

Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua

itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek

moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan

karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya

disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan

Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.

Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik

mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan

Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak

terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia

melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan

memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah

bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga

benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan

keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu

(ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting

(peling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana

Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana

Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati

dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya

mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala

kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap

masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-

mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan

ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan

melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata

dari Buana luhur.

4. Sistem Pemerintahan 

Laporan Baduy Expedition ’08 9

Page 10: about baduy (sunda) new

Masyarakat Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem

nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan

sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat

Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian

rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy

dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang

ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat

Baduy yang tertinggi, yaitu Puun.

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy  adalah Puun yang

ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun,

walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga

kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya

berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

 Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan

oleh Jaro. Di Baduy ada 4 macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro

tanggungan, dan jaro pamarentah.  Jaro tangtu bertanggung jawab pada

pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan

lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah

titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini ada

9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut

sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro

tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai

penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional,

yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur

atau tetua kampung (Makmur, 2001).

Dari  tahun ke tahun jumlah penduduk Baduy terus mengalami

kenaikan. Data jumlah kampung dan jumlah penduduk yang dikumpulkan

dari berbagai penelitian oleh Makmur (2001) dan Permana (2003b) tertera

pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Sedangkan pada saat penelitian

dilakukan, menurut keterangan Jaro Sami,  tetua adat di kampung Cibeo

(Baduy Dalam) jumlah penduduk secara total kurang lebih telah mencapai

8 ribu orang. Penghitungan jumlah penduduk Baduy tersebut diakui sering

mengalami kesulitan karena mobilitas mereka yang cukup tinggi,

terutama penduduk Baduy Luar dan Dangka.

Laporan Baduy Expedition ’08 10

Page 11: about baduy (sunda) new

5. Interaksi Masyarakat Baduy dengan Masyarakat Luar

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat

istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun

masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka

dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan

Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai

puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di

luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan

sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan

setempat (Garna, 1993). Sampai sekarang upacara Seba tersebut terus

dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,

palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian

penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang

bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,

sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa.  Orang Baduy

menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para

tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi

sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes

seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Baduy semakin

meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya

merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung

dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan

untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti

adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak

boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau

odol di sungai.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga

senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat

harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil

yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang

pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.

Laporan Baduy Expedition ’08 11

Page 12: about baduy (sunda) new

Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan

uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

6. Mata Pencaharian Orang Baduy

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata

pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain

itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-

buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,

serta madu hutan.

7. Pola Pertanian Tradisional Masyarakat Baduy

Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah

dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian

yang paling awal di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian

dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 –

3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera

yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan

biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara tradisional, dan

menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993).

Pada waktu hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna

biasanya dibiarkan atau sedikit disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama

waktu perladangan dan masa bera atau masa lahan diistirahatkan adalah

sangat bervariasi, dan lama masa bera merupakan faktor kritis bagi

regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan hasil pertanian yang

didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan tumbuh

kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).

Masyarakat Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional

zaman Kerajaan Sunda (Pajajaran), telah mempraktekkan sistem

perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih 600 tahun yang

lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2

tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan

meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari

bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut.

Laporan Baduy Expedition ’08 12

Page 13: about baduy (sunda) new

Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan periode

masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.

Namun demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit

ditambah dengan pertambahan penduduk, maka lahan huma yang

tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun ke tahun masa bera

ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal tersebut

merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya

dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy

yang tersisa adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah

pertanian 2.585 ha atau 51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera

yaitu 1.876,25 ha atau 37%); lahan pemukiman 24,5 ha atau 0,48%;

hutan tetap atau hutan lindung yang tak boleh digarap 2.492 ha atau 49%

(Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah yang digunakan untuk

bertani dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke tahun.

Secara tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis

perladangan atau huma berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses

mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam huma tersebut adalah:

Huma serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy

dalam, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.

Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.

Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.

Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan

desa.

Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.

Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang

Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.

Kepemilikan lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk

wilayah Baduy Dalam, artinya setiap warga dapat menggarap tanah di

wilayah ladang yang manapun dalam luasan yang tak dibatasi, namun

hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya. Sedangkan bagi

warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga

Laporan Baduy Expedition ’08 13

Page 14: about baduy (sunda) new

dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap

sesuai adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka

akan menjadi Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik

orang tersebut.

Pekerjaan di huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy

Dalam, yang merupakan huma adat milik bersama dikerjakan secara

bersama-sama pula, baik oleh masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy

Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan dalam satu hari karena

dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara adat.

Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang

tersebut mengawali pekerjaan di huma lainnya.

A. Kalender Pertanian

Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat

Baduy mempunyai jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan

didasarkan kepada letak benda astronomi tertentu, seperti kemunculan

bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang yang

digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang

Kartika atau bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih

banyak dipakai karena lebih jelas terlihat (Permana, 2001). Kemunculan

bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena

masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan

pertanian. Dalam ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus

dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti

wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju

turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika

bumi kita telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati

penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang

kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)” (Permana, 2001)

Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali,

dan prinsip pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin

mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang

panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan menanam benih padi

dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu.

Laporan Baduy Expedition ’08 14

Page 15: about baduy (sunda) new

Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah

terlarang.

Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah

kalender yang berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun

dibagi menjadi 12 bulan. Menurut Narja, seorang penduduk kampung

Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut: Kapat, Kalima,

Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit

Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan

dalam proses perladangan. Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan

bulan-bulan akhir masa berladang dan masa panen disebut pula masa

Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai bentuk

larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya

tidak diterima.

B. Tahap Pengolahan Ladang

Pengolahan ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap.

Kegiatan pertanian padi tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan

sehari-hari masyarakat Baduy, sehingga setiap kegiatan pada masing-

masing tahapan dilakukan dengan upacara adat (Permana, 2001).

Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut.

 1) Narawas

Narawas adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi

huma pada tahun tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih

untuk dijadikan huma biasanya berupa reuma (bekas huma yang

diberakan cukup lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang dipilih oleh

sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara meletakkan batu, batu

asahan, ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses memilih lahan

maka mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar, kentut,

memakai baju yang bersih dan memakai ikat kepala.

 2) Nyacar

Nyacar berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil

yang tumbuh tanpa ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon

Laporan Baduy Expedition ’08 15

Page 16: about baduy (sunda) new

besar agar lahan mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kegiatan ini

dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada

bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).

 3) Nukuh

Nukuh berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil

tebangan pada proses sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil

tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar matahari, dan setelah

kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan untuk kemudian dibakar

pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan huma terdapat

pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh dilakukan

sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan

menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara

adat (pembacaan mantera dan pemberian sesaji) yang dilakukan oleh

puun dengan maksud agar makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak

marah karena tempatnya diganggu manusia.

 4) Ngaduruk

Ngaduruk atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan

ranting pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan

pada saat  nukuh. Saat ngaduruk juga berpatokan dengan kehadiran

bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang ngarangsang kudu

ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang waktu subuh,

yang umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah waktu

yang tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk

setiap onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan

kebakaran hutan. Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu

memastikan bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan

huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil

menunggu hujan tiba.

 5) Nyoo Binih

Tahap penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan

nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai

dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada posisi bintang

Laporan Baduy Expedition ’08 16

Page 17: about baduy (sunda) new

kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah apabila bintang kidang

mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu subuh, yang

diistilahkan sebagai kidang muhunan.

Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1

hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan

menurunkan benih padi dari lumbung, yang dilakukan oleh para wanita.

Pelaku harus mengenakan selendang putih, sabuk putih, dan rambutnya

disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut dengan suasana hening dan

khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan mantra

tertentu. Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh

istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci, yaitu

dewi pelindung pertanian dari tidurnya.

Setelah menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat

yang lapang untuk diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar

butir-butirnya terlepas dari tangkai padi, kemudian benih tersebut

disimpan di dalam bakul. Pada malam hari salah satu dari bakul tersebut,

yang secara simbolis mewakili bakul-bakul lainnya dibawa ke tengah

lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung (baris kolot)

diiringi serombongan pemain angklung yang semuanya pria dan

disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul tersebut biasanya

kemudian ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal

masyarakat Baduy.

 6) Ngaseuk

Kata ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu

dengan cara membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu

yang diruncingkan ujungnya, dan menanam benih padi ke dalamnya.

Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria dewasa, dan

penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.

 7) Ngirab Sawan

Laporan Baduy Expedition ’08 17

Page 18: about baduy (sunda) new

Arti ngirab sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau

penyakit. Dalam kegiatan tersebut dilakukan pembersihan  ranting dan

daun atau tanaman lain (gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi.

Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan adalah

‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau

membacakan pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan

tersebut terdiri dari campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk

nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang, dan kelapa

muda. Semua bahan tersebut ditumbuk halus, dicampurkan dengan abu

dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan.  Pengobatan tersebut adalah

tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak 10 kali selama

pertumbuhan padi.

 8) Ngored dan Meuting

Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain

yang timbuh di antara tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama

pertumbuhan padi. Adapun meuting adalah kegiatan menginap di saung

huma atau  gubug yang dibangun di huma dengan jangka waktu tertentu

dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.

 9) Mipit

Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu

musim, dan dilakukan di huma serang. Pemetikan padi secara simbolis 

yang pertama tersebut dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi

kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya

menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di saung huma

serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan

di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang

selesai, kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian

dilanjutkan dengan panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan

dan huma panamping.

 10) Dibuat

Istilah dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau

memanen padi dengan mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya

Laporan Baduy Expedition ’08 18

Page 19: about baduy (sunda) new

dilakukan oleh kaum wanita. Pelaksanaannya adalah setelah upacara

mipit dan harus dilakukan  segera. Apabila terlambat maka hama walang

sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut dilakukan oleh seluruh

keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan padi menjadi

kering dijemur, seluruh anggota keluarga menginap di huma.

 11) Ngunjal

Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung

untuk kemudian disimpan dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah

beberapa hari dikeringkan atau dilantay, disimpan dengan cara

menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum diangkut ke kampung, tali

pengikat padi diganti dengan tali baru. Pengangkutan hasil padi dilakukan

secara bertahap oleh seluruh keluarga. Para pria mengangkutnya dengan

cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan kemudian dipikul

dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita membawa padi

dengan cara menggendong dengan menggunakan kain.

 12) Nganyaran

Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi

baru, atau nasi pertama kali hasil dibuat di huma serang.  Upacara

nganyaran dimulai dengan mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang.

Padi tersebut kemudian dibawa ke saung lisung, yaitu tempat menumbuk

padi yang digunakan secara komunal, untuk ditumbuk oleh 5 orang

wanita, yaitu  para istri dari puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan

bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah

masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam

bakul tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian,

dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan

harinya, nasi tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi

mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng tersebut dibagi-

bagikan kepada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke rumah

masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari

huma serang yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi masih

banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal tersebut merupakan

suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan

Laporan Baduy Expedition ’08 19

Page 20: about baduy (sunda) new

berlimpah. Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang

untuk dijual atau diperdagangkan. 

C. Lumbung Padi Orang Baduy

Lumbung padi biasa disebut leuit oleh orang Baduy. Leuit merupakan

simbol ketahanan pangan bagi orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Ketahanan pangan sangat penting mengingat hubungan dengan dunia

luar sangat dibatasi. Oleh karena itu, orang Baduy berusaha untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Padi yang dihasilkan dari huma merupakan sumber pangan utama

orang Baduy. Setelah lima bulan ditanam, padi siap dipanen dan

kemudian disimpan dalam lumbung. Lumbung padi berbentuk panggung

yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau tihang. Tingginya sekitar

satu meter dari atas tanah. Tihang menyangga bilik leuit, tempat

menyimpan padi, yang terbuat dari anyaman bambu.

Pintu lumbung ada di bagian abig-abig, posisinya di atas bilik dekat

dengan atap. Pintu berukuran kecil sekitar 40 x 50 cm. Atap lumbung

terbuat dari daun sago kirai (sejenis palem) yang dianyam. Supaya kuat,

atap ditahan dengan gapit yang terbuat dari belahan bambu. Ukuran leuit

bervariasi tergantung pada luas huma yang dikelola. Masyarakat Baduy

biasanya membangun leuit dengan kapasitas 500-1.000 ikat padi.

Umumnya bilik lumbung berukuran panjang 1,5 meter, lebar 1,5 meter,

dan tinggi empat meter. Leuit dengan ukuran seperti di atas bisa

menampung padi sekitar 500-600 ikat. Seikat padi setara dengan tiga

kilogram beras.

Lumbung padi orang Baduy didesain khusus supaya mampu

menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama serta bebas gangguan

tikus. "Leuit mampu menyimpan padi sampai seratus tahun," menurut

Alim (53) Kepala Kampung (Jaro) Cikeusik, Desa Kanekes, Kecamatan

Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tentang keunggulan lumbung padi

masyarakat Baduy. Supaya padi bisa tahan lama, lumbung selalu dirawat

secara rutin. Atap merupakan bagian lumbung yang paling sering diganti

Laporan Baduy Expedition ’08 20

Page 21: about baduy (sunda) new

supaya tidak bocor. "Biasanya hatep diganti setiap tiga tahun sekali,"

ujarnya.

Selain perawatan secara fisik, lumbung dilindungi oleh puun (tetua

adat) dengan mantra- mantra. Di bawah lantai lumbung biasanya

digantung perupuyan (semacam tungku terbuat dari batok kelapa yang

diisi abu dari tungku masak untuk membakar gaharu (cendana). Asap

gaharu berbau wangi sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Asri

(Dewi Sri). "Sesajian ini untuk merawat padi supaya tetap baik," tutur

Sanip (28), seorang warga Baduy Luar. Hama padi yang dianggap paling

mengganggu adalah tikus. Orang Baduy menangkal tikus dengan

memasang gelebeg pada lumbung. Gelebeg merupakan papan kayu

berbentuk bundar dengan diameter sekitar 50 cm. Dipasang di atas empat

tiang penyangga tepat di bawah lantai lumbung. Bentuk gelebeg yang

bulat dengan diameter yang cukup besar menyebabkan tikus tidak bisa

naik ke lumbung padi.

Pembuatan lumbung tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Peran

puun sangat besar dalam proses pembuatan leuit. Kesalahan

penghitungan pembuatan lumbung padi dipercaya akan membawa

malapetaka bagi kampung. Lokasi dan waktu pembuatan dihitung

berdasarkan peredaran bulan, ujar Ayah Mursid (33), Wakil Jaro Cibeo.

"Lumbung harus dibangun di luar kampung karena takut kampung

terbakar," katanya menambahkan.

Untuk membuat lumbung diperlukan bambu apus untuk rangka atap.

Kayu kikacang untuk tiang penyangga, daun kirai untuk atap. Daun aren

bisa juga digunakan untuk atap. Paku besi tidak boleh digunakan untuk

menyatukan sambungan kayu. Orang Baduy Dalam menggunakan kayu

sebagai kancing antarsambungan kayu. Masyarakat Baduy yang memiliki

kepercayaan Sunda Wiwitan dikenal pula memiliki filosofi: pondok teu

meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong (yang pendek

tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya,

orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.

Kompleks lumbung biasanya berjarak sekitar 20 meter dari kampung.

Dibatasi oleh kebun dengan pohon-pohon besar serta aliran sungai kecil.

Laporan Baduy Expedition ’08 21

Page 22: about baduy (sunda) new

Pembangunan leuit biasa dilakukan secara gotong royong maupun satu

keluarga. Jika dibangun satu keluarga, membutuhkan waktu sekitar

sebulan. Padi di lumbung merupakan cadangan pangan sampai panen

berikutnya. Masyarakat Baduy selalu menyisakan padi di lumbung sekitar

200-300 ikat. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan hasil

panen berikutnya yang kurang baik. Cadangan padi diambil sedikit demi

sedikit tiap beberapa hari sekali. Ibu-ibu warga Baduy menumbuk seikat

padi pada pagi hari sebelum berangkat ke huma.

Padi ditumbuk dengan lesung besar yang diletakkan di pinggir

permukiman. Dalam satu kampung, hanya ada satu lesung yang

digunakan secara bersama-sama. Lesung diletakkan dalam saung lisung,

yaitu bangunan mirip rumah tanpa dinding, berlantai tanah, dan beratap

daun kirai.

Setiap warga Baduy boleh memiliki lumbung lebih dari satu. Jumlah

lumbung disesuaikan dengan luas huma yang diolah oleh tiap keluarga.

Semakin luas huma, jumlah lumbung padi semakin banyak. Menurut Dr

Ayatrohaedi (65), antropolog dari Universitas Indonesia, jumlah lumbung

sering diartikan sebagai simbol kekayaan oleh orang luar Baduy. Tetapi,

masyarakat Baduy tidak memiliki konsep tingkatan sosial yang

membedakan masyarakat berdasarkan harta. Setiap warga diposisikan

sederajat dari segi ekonomi.

Kesetaraan ini tercermin pada pitutur (nasihat) yang sering

diucapkan oleh puun pada berbagai upacara adat. Judistira Garna dalam

bukunya Orang Baduy menuliskan, "Supaya tak terlalu tinggi

rendahkanlah, hendaknya sama rata. Bila ada yang rendah, mohon

hendaklah ditinggikan, supaya tetap tegar, tetaplah kekal, demikianlah ciri

buktinya."

8. Rumah Dalam Arsitektur Baduy Dalam

Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman

mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta

menyelaraskan diri dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik

atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi cukup "tinggi" dan

Laporan Baduy Expedition ’08 22

Page 23: about baduy (sunda) new

mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.

Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur

vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya

bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan

naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari

gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat

dalam penataan eksterior dan interiornya.

Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke utara-

selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak

diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup

menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka

memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha

mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh,

disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan

didirikan di atasnya.

Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan

dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan

permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah

kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur

atau kemiringan tanahnya. Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk

jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa

rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit

atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun

dengan cara dipaseuk. Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk

menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan

lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang

digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu

yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah

mengering.

Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan

palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu

konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy

termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat

fleksibel dan elastis. Rumah panggung Bangunan rumah tinggalnya

Laporan Baduy Expedition ’08 23

Page 24: about baduy (sunda) new

berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti

kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki

ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang

penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya

lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar

kedudukannya stabil.

Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di

lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang

penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak

longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai

untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang

sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.

Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah

posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap

menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis

atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak.

Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di

kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap

tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih

panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.

Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang

ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman

bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal.

Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal

ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak

pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka

sendiri. Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam

menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya

dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk

menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan

penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk

mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau

ditarik dari samping luar bangunan. Ruangan Inti

Laporan Baduy Expedition ’08 24

Page 25: about baduy (sunda) new

Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas,

dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu.

Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang

tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang

digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan

sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu

membentuk huruf L terbalik atau siku.

Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan

yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan

penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi

sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya. Mereka tidak

memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas

tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan

disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah

sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-

rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.

Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan

atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir

seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang

bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun

hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan

suami-istri dan kepala keluarga. Melalui kegiatan bergotong royong

seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar

sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120

meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang

seluruh komponennya.

Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala

keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong

royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka

menyumbangkan bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya.

Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif yang masih kuat dan

dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini. Henry H Loupias

Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni Universitas Pasundan dan Direktur Pusat

Penelitian dan Pengembangan Seni Nusantara.

Laporan Baduy Expedition ’08 25

Page 26: about baduy (sunda) new

III. Penutup/Kesimpulan

Masyarakat Baduy yang tinggal di Desa Kanekes adalah sekelompok

masyarakat yang memilih untuk hidup mengikuti tradisi nenek

moyangnya sehingga sering disebut sebagai masyarakat tradisional.

Namun Masyarakat Baduy bukanlah masyarakat yang terpencil ataupun

terbelakang sebagaimana dianggap oleh berbagai pihak,  baik dari segi

lokasi maupun interaksi mereka dengan kelompok masyarakat lainnya.

Luas wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang terus

bertambah menyebabkan rasio antara penduduk dan luas wilyah menjadi

tidak seimbang sehingga keberlanjutan dari praktek perladangan

berpindah yang tetap dilakukan sebagaimana cara nenek moyang Baduy

tersebut patut dipertanyakan. Tanda-tanda ketidakberlanjutan sistem

pertanian mereka tampak pada kesuburan tanah yang menurun dan pada

masa bera yang makin singkat, yaitu 7-10 tahun menjadi 3-5 tahun.

Pembagian hutan secara tradisional yang mereka lakukan relevan

dengan konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern.

Sesuai dengan awal mula tugas yang dibebankan kepada mereka, mereka

tetap menjaga kelestarian hutan dan daerah aliran sungai beserta mata

airnya dengan mengikuti pikukuh adat yang ketat. Akan tetapi, hutan di

wilayah Baduy banyak pula mengalami gangguan dan perambahan dari

pihak luar. Faktor tersebut ikut berpengaruh besar pada degradasi lahan

yang terjadi.

Menghadapi berbagai permasalahan lingkungan hidup, orang Baduy

yang pada prinsipnya cinta damai dan tidak pernah menggunakan

kekerasan, berada pada pihak yang lemah dan termarjinalkan. Mengikuti

kepercayaan mereka, maka nampaknya persoalan kehidupan tersebut

akan dibawa ke kawasan spiritual. Mereka akan patuh kepada cara

Laporan Baduy Expedition ’08 26

Page 27: about baduy (sunda) new

pemecahan masalah atas arahan tetua adat (puun dan jaro). Dengan

demikian eksistensi mereka di masa depan sangat tergantung kepada

mereka sendiri, kecuali ada usaha persuasi dan pendekatan dari pihak

luar yang dapat mereka terima.

Laporan Baduy Expedition ’08 27