adsorpsi logam berat pb (ii), cr (vi), zn (ii), cd (ii
TRANSCRIPT
ADSORPSI LOGAM BERAT Pb (II), Cr (VI), Zn (II), Cd (II), Cu(II) dan
Ni(II) DENGAN ABU SEKAM PADI
OLEH:
Drs. I Wayan Suarsa, M.Si
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
anugerah-Nya Karya Tulis yang berjudul Adsorpsi Logam Berat Pb (II), Cr (VI), Cd (II), Cu
(II), dan Ni (II) dengan Abu Sekam Padi ini dapat terselesaikan.
Karya Tulis ini merupakan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya di
Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih banyak kekurangannya, maka saran
dan kritik membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Harapan penulis, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.
Denpasar, 28 Juli 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR …………………………………………………... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
I.1. Latar belakang …………………………………………………………… 1
I.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 2
I.3. Tujuan Penelitian ………………………………………………………… 2
I.4. Manfaat Penelitian …………………………………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………4
2.1. Komposisi Sekam Padi dan Abu Sekam Padi ………………………………….. 4
2.2. Logam Berat dan Pencemaran Llingkungan ……………………………………. 5
2.3. Adsorpsi ………………………………………………………………………… 6
2.4. Studi Pendahuluan Abu Sekam Padi sebagai Adsorben……………………….. 8
2.5. Spektrofotometri Serapan Atom ……………………………………………… 9
2.6. Spektrofotometri FT-IR (Fourier Trasform Infra Red)………………………… 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………………….. 21
3.1. Alat dan Bahan ………………………………………………………………… 21
3.2. Metode Kerja………………………………………………………………… 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 28
4.1. Adsorpsi Zn dan Cd …………………………………………………………. 28
4.2. Adsopsi Cu pada Limbah ……………………………………………………. 35
4.3. Adsorpsi Logam Pb dengan HMS dari Abu Sekam Padi …………………… 39
4.4. Adsorpsi Logam Pb Dengan Zeolit dari Abu Sekam Padi …………………… 43
4.5. Adsorpsi Logam Ag, Cd, Cr, Pb, dan Ni …………………………………….. 48
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………………. 53
5.1. Kesimpulan …………………………………………………………………… 53
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 55
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bali merupakan pulau yang memiliki banyak pantai yang begitu indah. Maka tak
jarang bali disebut sebagai salah satu destinasi wisata yang sangat bagus bagi turis lokal
maupun asing. Sejalan dengan kemajuan wisata, pembangunan yang dilakukan juga begitu
cepat dan tidak jarang membuat pengolahan limbahnya tidak baik dan dapat tersebar ke
perairan.
Dewasa ini pencemaran logam berat terhadap beberapa perairan di bali cukup besar,
sehingga perlu diadakannnya penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Dalam
menanggulangi hal tersebut biasanya digunakan suatu adsorben untuk mengurangi
pencemaran logam berat yang terjadi.
Salah satu adsorben alternatif yang menjanjikan adalah penggunaan dari limbah
organik seperti limbah tanaman jagung, padi, pisang, dan lain-lain. Di antara beberapa limbah
organik tersebut yang menarik adalah penggunaan sekam padi. Hal ini berkaitan dengan
ketersediaan limbah sekam padi yang cukup banyak di segala tempat maupun waktu serta
pemanfaatan limbah tersebut yang masih terbatas.
Penelitan-penelitian penggunaan sekam padi sebagai adsorben sudah banyak
dilakukan. Topallar and Bayrak (1999) mengadakan penelitian tentang adsorpsi asam stearat,
palmitik, dan miristik dengan menggunakan abu sekam padi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa abu sekam padi merupakan adsorben yang cukup baik bagi ketiga senyawa tersebut.
Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Nakbanpote et.al. (1999) yang menggunakan abu
sekam padi untuk menyerap logam emas dan Mahvi et. al(2004) yang menggunakannya
untuk mengambil phenol dari suatu larutan. Penelitian mengenai penggunaan sekam padi
termodifikasi dengan senyawa tertentu juga telah dilakukan. Tang, et.al (2003) meneliti
penggunaan sekam padi yang dimodifikasi dengan etilen diamin sebagai adsorben logam
Cr(VI) dan Cu(II) serta oleh Wong, et.al. (2003) yang memodifikasi sekam padi dengan
asam tartaric untuk menyerap logam Cu dan Pb. Penelitian- penelitian di atas menunjukkan
hasil yang menjanjikan.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pengembangan terhadap pemanfaatan abu
sekam padi sebagai adsorben untuk berbagai logam-logam berat yaitu Ag, Pb, Cr, Cd, Cu, Zn
dan Ni.
I.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kemampuan adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan oleh adsorben hibrid
amino-silika (HAS) yang disintesis dari abu sekam padi (ASP) melalui proses sol-gel
dibandingkan dengan Silika Gel dan proses adsorpsinya?
2. Bagaimana efisiensi adsorben abu sekam padi saat digunakan untuk menurunkan
konsentrasi logam berat Cu pada air limbah dengan metode batch dan kontinyu ?
3. Bagimana cara mengadsorpsi Pb(II) dengan menggunakan asam humat terimobilisasi
pada hibrida merkapto silika (AH-HMS) dan penentuan kapasitas adsorpsinya ?
4. Bagaimana kemampuan zeolit sintesis dari abu sekam padi sebagai pengadsorbsi
logam Pb dan penetuan kapasitas adsorpsinya ?
5. Bagaimana selektivitas adsorpsi ion-ion multi logam Ag(I), Pb(II), Cr(III), Cu(II), dan
Ni(II) pada SG(silika gel) dan HDS (hibrida etilendiamino-silika) dan penentuan
kapasitas adsorpsi ?
6. Bagaimana perbandingan kinerja dari adsorben abu sekam padi terhadap Pb (II), Cr
(VI), Zn (II), Cd (II), Cu dan Ni(II) ?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kemampuan adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan oleh
adsorben hibrid amino-silika (HAS) yang disintesis dari abu sekam padi (ASP)
melalui proses sol-gel dibandingkan dengan Silika Gel dan proses adsorpsinya.
2. Untuk mengetahui efisiensi adsorben abu sekam padi saat digunakan untuk
menurunkan konsentrasi logam berat Cu pada air limbah dengan metode batch dan
kontinyu.
3. Untuk mengetahui cara mengadsorpsi Pb(II) dengan menggunakan asam humat
terimobilisasi pada hibrida merkapto silika (AH-HMS) dan penentuan kapasitas
adsorpsinya.
4. Untuk mengetahui kemampuan zeolit sintesis dari abu sekam padi sebagai
pengadsorbsi logam Pb dan penetuan kapasitas adsorpsinya.
5. Untuk mengetahui selektivitas adsorpsi ion-ion multi logam Ag(I), Pb(II), Cr(III),
Cu(II), dan Ni(II) pada SG(silika gel) dan HDS (hibrida etilendiamino-silika) dan
penentuan kapasitas adsorpsi.
6. Untuk mengetahui perbandingan kinerja dari adsorben abu sekam padi terhadap Pb
(II), Cr (VI), Zn (II), Cd (II), Cu dan Ni(II).
I.4. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui kemampuan adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan oleh
adsorben hibrid amino-silika (HAS) yang disintesis dari abu sekam padi (ASP)
melalui proses sol-gel dibandingkan dengan Silika Gel dan proses adsorpsinya.
2. Dapat mengetahui efisiensi adsorben abu sekam padi saat digunakan untuk
menurunkan konsentrasi logam berat Cu pada air limbah dengan metode batch dan
kontinyu.
3. Dapat mengetahui cara mengadsorpsi Pb(II) dengan menggunakan asam humat
terimobilisasi pada hibrida merkapto silika (AH-HMS) dan penentuan kapasitas
adsorpsinya.
4. Dapat mengetahui kemampuan zeolit sintesis dari abu sekam padi sebagai
pengadsorbsi logam Pb dan penetuan kapasitas adsorpsinya.
5. Dapat mengetahui selektivitas adsorpsi ion-ion multi logam Ag(I), Pb(II), Cr(III),
Cu(II), dan Ni(II) pada SG(silika gel) dan HDS (hibrida etilendiamino-silika) dan
penentuan kapasitas adsorpsi.
6. Dapat mengetahui perbandingan kinerja dari adsorben abu sekam padi terhadap Pb
(II), Cr (VI), Zn (II), Cd (II), Cu dan Ni(II).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Badan Pusat Statistik (2011), Indonesia memiliki sawah seluas 12,84 juta
hektar yang menghasilkan padi sebanyak 65,75 juta ton. Limbah sekam padi yang dihasilkan
sebanyak 8,2 sampai 10,9 ton. Potensi limbah yang besar ini hanya sedikit yang baru
dioptimalkan. Secara tradisional, sekam padi biasanya hanya digunakan sebagai bahan bakar
konvensional (Danarto, et al., 2010).
Sekam padi merupakan bagian pelindung terluar dari padi (Oryza sativa). Dari proses
penggilingan dihasilkan sekam sebanyak 20-30%, dedak 8-12% dan beras giling 52% bobot
awal gabah (Hsu dan Luh, 1980). Pada proses penggilingan padi, sekam akan terpisah dari
butiran beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Karena bersifat abrasif, nilai
nutrisi rendah, bulk density rendah, serta kandungan abu yang tinggi membuat penggunaan
sekam padi terbatas. Diperlukan tempat penyimpanan sekam padi yang luas sehingga
biasanya sekam padi dibakar untuk mengurangi volumenya. Jika hasil pembakaran sekam
padi ini tidak digunakan, akan menimbukan masalah lingkungan (Hsu dan Luh, 1980). Salah
satu proses alternatif untuk meningkatkan manfaat sekam padi adalah dengan pirolisis.
Pirolisis merupakan proses dekomposisi suatu zat/ material yang dilakuan pada suhu relatif
tinggi. Hasil pirolisis sekam padi berupa char mengandung karbon dan silika dengan
komposisi tergantung pada kondisi pirolisis (Danarto, et al., 2010).
Sekam padi mempunyai bulk density 96 sampai 160 kg/m3. Penggilingan sekam
padi dapat meningkatkan bulk density dari 192 menjadi 384 kg/m3 Dengan pembakaran pada
kondisi tertentu dapat menghasilkan abu sekam padi yang lebih mudah dihaluskan (Hsu dan
Luh, 1980).
2.1. Komposisi Sekam Padi dan Abu Sekam Padi
Sekam padi terdiri unsur organik seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu,
sekam padi juga mengandung unsur anorganik, berupa abu dengan kandungan utamanya
adalah silika 94-96%. Selain itu, juga terdapat komponen lain seperti Kalium, Kalsium, Besi,
Fosfat, dan Magnesium (Hsu dan Luh, 1980). Komposisi anorganik dari abu sekam padi
berbeda, tergantung dari kondisi geografis, tipe padi, dan tipe pupuk yang digunakan (Shukla,
2011).
Material karbon yang mempunyai pori disebut juga karbon aktif. Pengaktifan dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni dengan cara fisika dan kimia. Biasanya, pengaktifan secara
fisika dengan cara karbonisasi terhadap bahan dasar, karbonisasi dan aktifasi terjadi secara
bersamaan dan pada temperatur yang rendah. Dengan aktifasi, pori baru terbentuk tapi pada
saat yang bersamaan ukuran pori meningkat menjadi lebih besar sehingga menghasilkan luas
area permukaan yang tinggi, sekitar 1500 m2/g. Karbon aktif diketahui mempunyai struktur
pori yang beragam, menurut IUPAC, klasifikasi pori karbon yakni mikropori (jari-jari < 1
nm), mesopori (1 nm < d < 25 nm) dan makropori (d > 50 nm). Mikro dan mesopori dari
karbon aktif mempunyai kapasitas yang baik sebagai adsorben (Mdoe dan Mkayula, 2002).
Abu sekam padi berwarna putih keabuan, yang mengandung silika (Si2O) dengan kisaran
86,9-97,3% (Widwiastuti, et al., 2013). Merupakan oksida berpori, bersifat inert, dan area
permukaan yang luas (Kolasinski, 2008). Luas area permukaan dari silika adalah 50-430
m2/g (Widwiastuti, et al., 2013)
2.2. Logam Berat dan Pencemaran Lingkungan
Logam berat dapat mencemari lingkungan udara, tanah maupun air. Masuknya logam
berat ke dalam badan air dapat melalui proses alami maupu diakibatkan oleh perbuatan
manusia (Mulia, 2005). Logam berat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan
berpengaruh pada kesehatan manusia karena bersifat toksik, dapat terakumulasi pada rantai
makanan dan bersifat persisten (Igwe dan Abia, 2007). Beberapa jenis logam seperti timbal
dan kadmium dengan konsentrasi relatif kecil dapat membahayakan makhluk hidup (Mulia,
2005).
Logam terbagi dua, yakni logam berat yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk
tiap cm3 dan logam ringan yang beratnya kurang dari 5 gram tiap cm3. Ada istilah logam
trace yakni logam yang dalam keadaan alami berjumlah sangat sedikit (Darmono, 1995).
2.2.1 Timbal
2.2.1.1 Manfaat
Timbal (plumbum atau timah hitam) sering digunakan sebagai bahan pelapis atau
coating karena sifatnya yang tahan terhadap peristiwa korosi. Penggunaan timbal adalah
untuk produksi baterai pada kendaraan bermotor, kabel, amunisi, dan industri percetakan
tinta(Darmono, 1995).
2.1.1.2 Toksisitas
Gejala yang khas dari keracunan timbal adalah gastroenteritiss, merupakan reaksi
rangsangan garam timbal terhadap mukosa saluran cerna. Selain itu, juga dapat menyebabkan
anemia, karena timbal dapat berikatan dengan eritrosit sehingga sel darah merah mudah
pecah dan berpengaruh terhadap sintesis Hb Disamping itu, dapat menyebabkan encefalopati,
yakni kerusakan sel endotel kapiler darah otak sehingga protein dapat masuk ke dalam otak
(Darmono, 1995). Di dalam tubuh, timbal bersirkulasi dalam darah setelah diabsorbsi dari
usus, kemudian didistribusikan dalam jaringan lunak seperti tubulus ginjal dan sel hati.
Timbal terdeposit dalam tulang, rambut, gigi. Di mana 90% terdeposit dalam tulang
(Darmono, 2001).
2.2.2 Kadmium
2.2.2.1 Manfaat
Kadmium bersifat tahan terhadap korosi sehingga banyak digunakan sebagai penstabil
dalam pembuatan polivinil klorida. Selain itu, mempunyai sifat yang tahan panas sehingga
bagus untuk campuran dalam pembuatan keramik, dan juga dapat digunakan dalam pelapisan
logam lain untuk pencegahan korosi (Darmono, 1995). Kebanyakan kadmium merupakan
produk samping dari pengecoran seng, timah atau tembaga. Kadmium banyak digunakan
pada industri pelapisan logam, pigmen, batrai, dan plastik (Darmono, 2001). Sehingga,
limbah industri yang mengandung kadmium sering mencemari perairan.
2.2.2.3 Toksisitas
Kadmium dapat menyebabkan resiko terhadap kerusakan pembuluh darah. Beberapa
efek yang ditimbulkan oleh kadmium adalah kerusakan ginjal, liver, sistem imunitas, sistem
susunan saraf dan darah. Kadmium dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi maupun
pencernaan. Setelah kadmium diabsorbsi maka akan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Hati
dan ginjal merupakan tempat deposit 50% dari total kadmium yang masuk ke dalam tubuh.
Waktu paruh kadmium dalam jaringan sekitar 5-10 tahun dalam hati, sedangkan waktu
paruhnya 16-33 tahun dalam ginjal (Darmono,1995).
2.3. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan suatu proses dimana komponen pindah dari suatu fase ke fase
lainnya dengan melintasi beberapa pembatas. Atau perpindahan zat dari pelarut menuju
penyerapnya (LaGrega, et al., 2001). Menurut Benjamin (2002), adsorpsi adalah akumulasi
dari suatu substansi pada atau didekat permukaan. Substansi yang terserap disebut dengan
adsorbat, sedangkan bahan yang menyerap disebut dengan adsorben. Perpindahan bahan
organik atau anorganik pada sisi permukaan adsorben terjadi dalam empat proses yaitu
transpor bulk fluid, film transport, difusi intrapartikel, physical attachment Menurut La
Grega, et al., (2001), proses adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Adsorpsi
2.3.1 Pembagian Adsorpsi
2.3.1.1 Adsorpsi fisika
Dalam adsorpsi fisika, melibatkan gaya van der waals yang menyebabkan molekul
adsorbat terikat secara lemah dengan permukaan adsorben, dan proses ini berlangsung cepat
dan bersifat refersibel (Madan dan Tuli, 2007). Proses adsorpsi fisika terjadi tanpa
memerlukan energi aktivasi (energi untuk bereaksi), sehingga proses tersebut membentuk
banyak lapisan (multilayer) pada permukaan adsorben. Kecepatan adsorpsi tergantung dari
kecepatan difusi dari adsorbat terhadap permukaan adsorben dan tidak tergantung dari sisi
spesifik adsorben (Selwood, 1962).
2.3.1.2 Adsorpsi kimia
Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi kimia antara molekulmolekul adsorbat
dengan permukaan adsorben dan berlangsung lambat,
Gambar 1. Proses Adsorpsi
bersifat ireversibel dan hanya membentuk satu lapisan (monolayer) (Madan dan Tuli 2007).
Adsorpsi kimia (chemisorptions) selalu disertai dengan pertukaran elektron pada adsorben
dan tergantung terhadap temperatur (Selwood, 1962).
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi adsorpsi
Menurut Al-Anber (2011), beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi, yakni:
Luas permukaan adsorben, semakin luas area permukaan adsorben, maka kapasitas
adsorpsinya juga semakin meningkat.
Ukuran partikel adsorben, semakin kecil ukuran partikel adsorben maka akan
memperlambat difusi internal.
Waktu kontak, semakin lama waktu kontak maka proses adsoprsi akan semakin baik.
Kelarutan adsorbat dalam air atau limbah, adsobat yang kurang larut dalam limbah
akan semakin mudah untuk diserap oleh adsorben.
Afinitas pelarut terhadap adsorben, jika permukaan adsorben bersifat kurang polar,
maka substansi yang kurang polar akan lebih mudah diadsorpsi.
Ukuran molekul adsorbat dan ukuran pori adsorben, molekul adsorbat yang berukuran
besar jika masuk ke dalam poriadsorben yang ukuran lebih kecil, maka akan
menurunkan kapasitas adsorpsi.
Kemampuan ionisasi adsorbat
pH, ionisasi adsorbat tergantung pada pH, sehingga dapat mempengaruhi adsorpsi.
Efek konsentrasi awal adsorbat, dengan konsentrasi tinggi, kemampuan adsorsi lebih
sedikit, hal ini berhubungan dengan proses kompetitif difusi adsorbat terhadap pori
adsorben yang tersedia
Efek dosis adsorben, adsorpsi akan semakin efektif jika adsorben yang digunakan
semakin banyak.
Total zat yang teradsorpsi adsorben disebut dengan densitas adsorbsi, dengan symbol q.
Densitas adsorpsi dapat berupa masa zat yang terserap per luas area (mg/m2) atau per masa
adsorben (mg/g) (Benjamin, 2002).
2.3.3 Isoterm adsorpsi
Isoterm adsorpsi merupakan hubungan kesetimbangan antara konsentrasi pada fase
cair dan konsentrasi pada partikel adsorben pada suhu tertentu. Model isotherm Langmuir
dan Freudlich umum digunakan pada adsorpsi cairan dengan konsentrasi rendah. Isotherm
Langmuir berdasarkan sisi ikatan yang terdistribusi secara homogen diseluruh permukaan
adsorben, dimana adsorpsi terjadi pada satu lapisan (monolayer), serta adsorpsinya bersifat
refersibel (LaGrega, et al., 2001). Sedangkan isotherm Freudlich berdasarkan adsorpsi pada
banyak lapisan (fisisorpsi) Model isotherm ini mengasumsikan bahwa adsorpsi terjadi secara
fisika (Sembodo, 2005).
2.4. Studi Pendahuluan Abu Sekam Padi sebagai Adsorben
Penelitian terdahulu yang memanfaatkan abu sekam padi sebagai adsorben logam
yakni yang telah dilakukan oleh El-Said, et al., (2012). Selain itu, penelitian tentang
penggunaan abu sekam padi sebagai adsorben logam tembaga juga pernah dilakukan oleh
Astuti, et al., (2011).
2.5. Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-
atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau sinar ultraviolet (Gandjar dan
Rohman, 2008).
Prinsip dari spektrofotometer serapan atom adalah atom-atom pada keadaan dasar
mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, yang umumnya adalah panjang
gelombang pada radiasi yang akan dipancarkan atom-atom itu bila kembali ke keadaan dasar
dari keadaan eksitasi. Jika cahaya pada panjang gelombang tertentu dilewatkan nyala yang
mengandung atomatom yang bersangkutan maka sebagian cahaya itu akan diserap dan
banyaknya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom pada keadaan dasar
yang berada dalam nyala. Lampu yang digunakan disebut dengan lampu katode rongga dan
katode tersebut dilapisi dengan logam yang akan dianalisis. Kerugian teknik ini adalah lampu
harus diganti setiap unsur yang akan dianlisis berbeda dan hanya satu unsur yang dapat
dianalis pada satu waktu (Watson, 2005).
Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur
logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara analisis ini
memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk
molekul logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit logam karena
mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif
sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2008).
Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom.
Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah
tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan
absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar
dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985). Bagian instrumentasi
spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut:
a) Sumber Sinar
Sumber sinar yang digunakan adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp).
Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda.
Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan logam tertentu (Gandjar dan
Rohman, 2008).
b) Tempat Sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis
harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas.
c) Monokromator
Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum sesuai dengan
panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian banyak spektrum yang
dihasilkan lampu katoda berongga (Gandjar dan Rohman, 2008).
d) Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman
(Gandjar dan Rohman, 2008).
e) Amplifier
Amplifier merupakan suatu alat untuk memperkuat signal yang diterima dari detektor
sehingga dapat dibaca alat pencatat hasil (Readout) (Gandjar dan Rohman, 2008).
f) Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai pencatat
hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang menggambarkan
absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2008). Menurut Watson, (2005),
komponen spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom.
Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-
atomnya, yaitu:
1. Dengan nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap dan
untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas yang
digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 2200°C. Sumber nyala
asetilen-udara ini merupakan sumber nyala yang paling banyak digunakan. Pada sumber
nyala ini asetilen sebagai bahan pembakar, sedangkan udara sebagai bahan pengoksidasi
(Gandjar dan Rohman, 2008).
Menurut Khopkar (1985), beberapa contoh nyala yang digunakan dalam
spektrofotometri serapan atomdapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1. Nyala yang Dapat Digunakan dalam Spektrofotometri Serapan Atom
2.Tanpa nyala (Flameless)
Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Untuk mencapai atomisasi
sempurna, digunakan tungku grafit yang dengan mudah mencapai 2000-3000°K (1700 -
2700°C) dalam beberapa detik. Sejumlah sampel diambil sedikit (hanya beberapa µL), lalu
diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris
dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan
dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar
yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar
yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2008). Tanpa nyala sering
digunakan untuk logam-logam yang tidak tahan panas, seperti timbal, kadmun, raksa
(Khopkar, 1985).
2.4.1 Gangguan-gangguan pada Spektrofotometri Serapan Atom
Gangguan-gangguan (interference) pada Spektrofotometri Serapan
Atom adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur
yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan
konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2008). Secara luas dapat dikategorikan
menjadi dua kelompok, yakni interferensi spektral dan interferensi kimia (Khopkar, 1985).
Interferensi spektral disebabkan karena tumpangasuh absorpsi antara spesies
pengganggu dan spesies yang diukur. Interfernsi kimia disebabkan adanya reaksi kimia
selama atomisasi, sehingga mengubah sifat absorpsi (Khopkar, 1985). Contoh gangguan
kimia adalah terdapatnya senyawa refragtorik (sukar diuraikan dengan nyala api), dengan
adanya senyawa ini maka akan mengurangi jumah atom netral yang terdapat dalam nyala
(Ganjar dan Rohman, 2008).
2.5 Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/XRD)
Spektroskopi difraksi sinar-X (X-ray difraction/XRD) merupakan salah satu
metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga sekarang.
Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara
menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.
Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam
sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan
interferensi yang konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk
mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg :
n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,...
Dengan λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, d adalah jarak antara
dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan n adalah
bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan.
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal,
maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama
dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh
detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang
kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya.
Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki
orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data
pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua
jenis material. Standar ini disebut JCPDS.
Keuntungan utama penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah
kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi akibat panjang
gelombangnya yang pendek. Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang 0,5-2,0 mikron. Sinar ini dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron
berenergi tinggi. Elektron itu mengalami perlambatan saat masuk ke dalam logam dan
menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut terpental membentuk kekosongan.
Elektron dengan energi yang lebih tinggi masuk ke tempat kosong dengan memancarkan
kelebihan energinya sebagai foton sinar-X.
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan tipis yang
terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar X. Proses difraksi sinar
X dimulai dengan menyalakan difraktometer sehingga diperoleh hasil difraksi berupa
difraktogram yang menyatakan hubungan antara sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar X
yang dipantulkan. Untuk difraktometer sinar X, sinar X terpancar dari tabung sinar X. Sinar
X didifraksikan dari sampel yang konvergen yang diterima slit dalam posisi simetris dengan
respon ke fokus sinar X. Sinar X ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi
sinyal listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai
analisa pulsa tinggi. Teknik difraksi sinar x juga digunakan untuk menentukan ukuran
kristal, regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki orde yang sama.
2.5.1 Sumber dan sifat sinar X
Pada umumnya, sinar diciptakan dengan percepatan arus listrik, atau setara dengan transisi
kuantum partikel dari satu energi state ke lainnya. Contoh : radio (electron berosilasi di
antenna) , lampu merkuri (transisi antara atom) Ketika sebuah elektron menabrak anoda :
1. Menabrak atom dengan kecepatan perlahan, dan menciptakan radiasi
bremstrahlung atau panjang gelombang kontinyu, Secara langsung menabrak atom
dan menyebabkan terjadinya transisi menghasilkan panjang gelombang garis Sinar
X merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar 200 eV
sampai 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh interaksi antara berkas elektron eksternal
dengan elektron pada kulit atom. Spektrum Sinar X memilki panjang gelombang 10-
5– 10 nm, berfrekuensi 1017 -1020 Hz dan memilik energi 103 -106 eV. Panjang
gelombang sinar X memiliki orde yang sama dengan jarak antar atom sehingga dapat
digunakan sebagai sumber difraksi kristal.
2. Difraksi Sinar X merupakan teknik yang digunakan dalam karakteristik material
untuk mendapatkan informasi tentang ukuran atom dari material kristal maupun
nonkristal. Difraksi tergantung pada struktur kristal dan panjang gelombangnya. Jika
panjang gelombang jauh lebih dari pada ukuran atom atau konstanta kisi kristal maka
tidak akan terjadi peristiwa difraksi karena sinar akan dipantulkan sedangkan jika
panjang gelombangnya mendekati atau lebih kecil dari ukuran atom atau kristal maka
akan terjadi peristiwa difraksi. Ukuran atom dalam orde angstrom (Å) maka supaya
terjadi peristiwa difraksi maka panjang gelombang dari sinar yang melalui kristal
harus dalam orde angstrom (Å).
2.5.2. Skema Tabung Sinar X
Sinar X dihasilkan dari tumbukan antara elektron kecepatan tinggi dengan logam target. Dari
prinsip dasar ini, maka alat untuk menghasilkan sinar X harus terdiri dari beberapa komponen
utama, yaitu :
a. Sumber elektron (katoda)
b. Tegangan tinggi untuk mempercepat elektron
c. Logam target (anoda)
2.5.3. Komponen dalm XRD
Komponen XRD ada 2 macam yaitu:
1. Slit dan film
2. Monokromator
Sinar-X dihasilkan di suatu tabung sinar katode dengan pemanasan kawat pijar untuk
menghasilkan elektron-elektron, kemudian electron-elektron tersebut dipercepat terhadap
suatu target dengan memberikan suatu voltase, dan menembak target dengan elektron.
Ketika elektron-elektron mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan elektron-
elektron dalam target, karakteristik spektrum sinar-X dihasilkan. Spektrum ini terdiri atas
beberapa komponen- komponen, yang paling umum adalah Kα dan Kβ. Ka berisi, pada
sebagian, dari Kα1 dan Kα2. Kα1 mempunyai panjang gelombang sedikit lebih pendek dan
dua kali lebih intensitas dari Kα2. Panjang gelombang yang spesifik merupakan karakteristik
dari bahan target (Cu, Fe, Mo, Cr). Disaring, oleh kertas perak atau kristal monochrometers,
yang akan menghasilkan sinar-X monokromatik yang diperlukan untuk difraksi. Tembaga
adalah bahan sasaran yang paling umum untuk diffraction kristal tunggal, dengan radiasi
Cu Kα =05418Å. Sinar-X ini bersifat collimated dan mengarahkan ke sampel. Saat sampel
dan detektor diputar, intensitas Sinar X pantul itu direkam. Ketika geometri dari peristiwa
sinar-X tersebut memenuhi persamaan Bragg, interferens konstruktif terjadi dan suatu
puncak di dalam intensitas terjadi. Detektor akan merekam dan memproses isyarat
penyinaran ini dan mengkonversi isyarat itu menjadi suatu arus yang akan dikeluarkan pada
printer atau layar komputer.
2.6. Spektrofotometri FT-IR (Fourier Trasform Infra Red)
Spektrofotometri infra-merah adalah sangat penting dalam kimia modern, terutama dalam
bidang kimia organik. Ia merupakan alat rutin dalam penemuan gugus fungsional, pengenalan
senyawa, dan analisa campuran. Kebanyakan gugus, seperti C- H, O-H, C=N, dan C=N,
menyebabkan pita absorpsi infra-merah, yang berbeda hanya sedikit dari satu molekul ke
yang lain tergantung pada substituen yang lain (Day dan Underwood,1990).
Pancaran infra-merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang
terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Bagi kimiawan organik,
sebagian besar kegunaannya terbatas di antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15,0 µm).
Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra-merah dekat, 14.290 – 4000 cm-1 (0,7 –
2,5 µm) dan daerah infra-merah jauh, 700 – 200 cm-1 (14,3 – 50 µm) (Silverstein, dkk.,
1986). Spektrofotometri infra-merah juga digunakan untuk penentuan struktur, khususnya
senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif, seperti analisa kuantitatif pencemaran
udara, misalnya karbon monoksida dalam udara dengan teknik non-dispersive (Khopkar,
2003). Pada dasarnya Spektrofotometri FT-IR (Fourier Trasform Infra Red) adalah sama
dengan spektrofotometri IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada
sistim optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati contoh.
2.6.1. Cara Kerja Alat Spektrofotometer FTIR
Sistim optik Spektrofotometer FT-IR seperti pada gambar dibawah ini dilengkapi dengan
cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra-
merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M)
dan jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang
selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang
diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik
dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai
sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Gambar 2.3 Cara Kerja Spektrofotometer FT-IR
Pada sistim optik FT-IR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated
Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan
radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra-merah yang diterima oleh detektor secara utuh
dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FT-IR adalah TGS (Tetra
Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak
digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu
memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih
cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang
diterima dari radiasi infra-merah (Anonim, 2008).
2.7. Timbal (Pb)
Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam. Dalam bahasa
ilmiahnya dinamakan Plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb. Logam ini termasuk
kedalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia.
Mempunyai unsur atom (NA)82 dengan bobot atau berat atom (BA)207,2.
2.7.1. Sumber Timbal (Pb)
Timbal merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi. Timbal sering kali
digunakan dalam industri kimia seperti pembuatan baterai, industri pembuatan kabel listrik
dan industri pewarnaan pada cat.
2.7.2. Sifat Logam Timbal (Pb)
a) Merupakan logam yang lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan
pisau atau tangan dan dapat dibentuk dengan mudah.
b) Tahan terhadap korosi atau karat, sehingga logam timbal sering digunakan
sebagai coating
c) Titik lebur rendah, hanya 327,5 derajat C.
d) Merupakan penghantar listrik yang tidak baik.
e) Mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam- logam biasa,
kecuali emas dan mercuri
2.7.3. Kegunaan Timbal (Pb)
a) Digunakan dalam pembuatan kabel telepon
b) Digunakan dalam baterai
c) Sebagai pewarnaan cat
d) Sebagai pengkilapan keramik dan bahan anti api
e) Sebagai aditive untuk bahan bakar kendaraan
2.7.4. Dampak Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan
Efek Pb terhadap kesehatan terutama terhadap sistem haemotopoetic (sistem
pembentukan darah), adalah menghambat sintesis hemoglobin dan memperpendek umur sel
darah merah sehingga akan menyebabkan anemia. Pb juga menyebabkan gangguan
metabolisme Fe dan sintesis globin dalam sel darah merah dan menghambat aktivitas
berbagai enzim yang diperlukan untuk sintesis heme.
Anak yang terpapar Pb akan mengalami degradasi kecerdasan alias idiot. Pada orang dewasa
Pb mengurangi kesuburan, bahkan menyebabkan kemandulan atau keguguran pada wanita
hamil, kalaupun tidak keguguran, sel otak tidak bisa berkembang. Dampak Pb pada ibu hamil
selain berpengaruh pada ibu juga pada embrio/ janin yang dikandungnya. Selain penyakit
yang diderita ibu sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang akan dilahirkan juga bahan
kimia atau obat-obatan, misalnya keracunan Pb organik dapat meningkatkan angka
keguguran, kelahiran mati atau kelahiran prematur.
2.8. Logam Berat Cadmium (Cd)
2.8.1. Pengertian Cadmium (Cd)
Cadmium adalah logam yang berwarna putih keperakan, lunak dan tahan korosi. Oleh karena
sifat-sifatnya, Cd banyak dipakai sebagai stabilizer dalam pembuatan polyvinil & clorida. Cd
didapat pada limbah berbagai jenis pertambangan logam yang tercampur Cd seperti Pb, dan
Zn. Dengan demikian, Cd dapat ditemukan di dalam perairan baik di dalam sedimen maupun
di dalam penyediaan air minum.
2.8.2. Sumber Cadmium (Cd)
Cadmium merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak bumi. Cadmium murni berupa
logam berwarna putih perak dan lunak, namun bentuk ini tak lazim ditemukan di
lingkungan. Umumnya cadmium terdapat dalam kombinasi dengan elemen lain seperti
Oxigen (Cadmium Oxide), Clorine (Cadmium Chloride) atau belerang (Cadmium Sulfide).
Kebanyakan Cadmium (Cd) merupakan produk samping dari pengecoran seng, timah atau
tembaga cadmium yang banyak digunakan berbagai industri, terutama plating logam,
pigmen, baterai dan plastik.
2.8.3. Sifat Logam Cadmium (Cd)
1. Sifat Fisik
a. Logam berwarna putih keperakan
b. Mengkilat
c. Lunak/Mudah ditempa dan ditarik
d. Titik lebur rendah
2. Sifat Kimia
a. Cd tidak larut dalam basa
b. Larut dalam H2SO4 encer dan HCl encer Cd + H2SO4 → CdSO4 + H2
c. Cd tidak menunjukkan sifat amfoter
d. Bereaksi dengan halogen dan nonlogam seperti S, Se, P
e. Cd adalah logam yang cukup aktif
f. Dalam udara terbuka, jika dipanaskan akan membentuk asap coklat CdO
g. Memiliki ketahanan korosi yang tinggi
h. CdI2 larut dalam alkohol
2.8.4. Kesenyawaan Cadmium (Cd)
a. Oksida Cd
Senyawa biner, oksida CdO dibentuk dengan pembakaran logamnya di udara atau
dengan pirolisis karbonat atau nitratnya. Asam oksida dapat diperoleh dengan
pembakaran alkil, asap cadmium oksida luar biasa beracun. Cadmium oksida
warnanya beragam mulai dari kuning kehijauan sampai coklat mendekati hitam
bergantung pada proses pemanasannya. Warna-warna ini adalah hasil dari keragaman
jenis kerusakan kisinya. Oksida menyublim pada suhu yang sangat tinggi.
b. Hidroksida
Jika larutan garam Cd di tambah NaOH terbentuk Cd(OH)2. Cd2+ + 2NaOH →
Cd(OH)2 ↓(putih) + 2Na+
Hidroksida Cd mudah larut dalam amonia kuat berlebih membentuk
kompleksamin [Cd(NH3)4]2+.
Cd(OH)2(s) + 4NH3(aq) → [Cd(NH3)4]2+(aq) + 2OH-(aq)
c. Sulfida
Senyawa sulfida diperoleh dari interaksi langsung/pengendapan oleh H2S dari larutan
aqua, larutan asam untuk CdS. Cd + H2S → CdS +H2
d. Halida
Larutan Cd halida mengandung semua spesies Cd2+, CdX+, CdX 2+, dan CdX3 –
dalam kesetimbangan Garam Okso dan Ion Aquo Garam dari okso seperti nitrat,
sulfat, sulfit, perklorat, dan asetat larut dalam air. Ion aquo bersifat asam dan larutan
garamnya terhidrolisis bagi larutan Cd Yang lebih pekat, spesies yang utama adalah
Cd2OH3+2Cd2+(aq) + H2O(l) → Cd2OH3+(aq) + H+ Dengan adanya anion
pengompleks, misalnya halida, spesies seperti Cd(OH)Cl atau CdNO3+ dapat
diperoleh. Iodida Garam Cd dapat larut dalam KI. Jika larutan KI pekat ditambahkan
pada larutan garam amoniakal terbentuk Cd(NH3)¬4I4 yang berbentuk endapan putih.
CdI2 larut dalam alkohol dan digunakan dalam fotografi.
2.8.5. Kegunaan Cadmium (Cd)
a. Di gunakan dalam penyepuhan kayu, CdO
b. Digunakan dalam baterai c. Sebagai katalis
c. Sebagai nematosida
d. Sebagai fotokonduktor dalam fotokopi, CdS
e. Sebagai material Pigmen
f. Sebagai Sel volta baku (sel weston), CdSO4
g. Digunakan dalam fotografi, CdI2
2.8.6. Dampak Cadmium (Cd) Terhadap Kesehatan
Cadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini
beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Apabila Cd masuk ke dalam tubuh maka sebagian
besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian yang dikeluarkan lewat saluran
pencernaan. Cadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah secara langsung
maupun tidak langsung lewat ginjal, sebagai akibatnya terjadi kenaikan tekanan darah. 1,2
Cadmium (Cd) adalah salah satu logam berat yang keberadaanya patut mendapat perhatian
khusus karena secara luas terdapat dilingkungan baik sebagai pencemar atau sebagai
komponen dalam rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat luas. Salah satu sistem organ yang
yang merupakan target dari Cd adalah sistem reproduksi, khususnya pada individu jantan.1,2
Beberapa efek yang ditimbulkan akibat pemajanan Cd adalah adanya kerusakan ginjal, liver,
testes, sistem imunitas, sistem susunan saraf dan darah. Berbahaya-nya unsur ini sebenarnya
bila manusia mengkonsumsi (baik itu dihirup atau dimakan) dalam jumlah yang cukup besar.
Karena pada kenyataanya, cadmium itu tidaklah mudah untuk keluar di dalam tubuh. Logam
ini akan terakumulasi terus didalam tubuh. Dan bila sudah mencapai kadar tinggi, akan
menyerang organ tubuh terutama ginjal dan paru-paru.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat-alat :
Peralatan yang digunakan meliputi alat penyiapan larutan Na2SiO3 dari ASP, yaitu
tungku pemanas (Charbolite), pompa vakum (Buchi Vac R V-500”), dan ayakan ukuran 200
mesh (Fisher). Untuk pencirian adsorben digunakan spektrofotometer inframerah
transformasi-Fourier (FTIR) (Shimadzu FTIR-8201PC) dan difraktometer sinar-X (XRD)
(Shimadzu PW3 710), sedangkan untuk proses adsorpsi digunakan sentrifus (Centrifig 228)
dan spektrofotometer serapan atom (AAS) (Hitachi Z-8000) untuk analisis logam, SSA
Perkin Elmer 3110. Timbangan analitik, pemusing, pH meter, pengaduk magnet, stirring Hot
Plate, alat-alat gelas (beker gelas, pipet volume, pro pipet, labu takar, gelas ukur, dan gelas
arloji) dan peralatan plastik (gelas, sendok, corong, dan botol plastik), oven pemanas merk,
muffllefurnace, shaker mekanik, ayakan 50 dan 100 mesh, neraca analitik Mettler AE200,
Indikator pH universal.
3.1.2 Bahan-bahan :
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Silika Gel (SG),
Hibrida etilendiamino-silika (HDS), Ni(NO3)2, AgNO3, Pb(NO3)2, Cr(NO3)2.9H2O,
Cu(NO3)2.3H2O, akuades. Abu dari sekam padi jenis IR, NaOH, HCl, Al2O3, HNO3,
Pb(NO3)2, CH3COOH dengan kualitas analytical grade buatan Merck, aquades, aquademin,
dan air sumur Ngawen Pati. larutan H2SO45%, Na2EDTA 0.01 M digunakan untuk mencuci
ASP. Untuk pembuatan adsorben digunakan padatan NaOH (Merck), asam sitrat, C6H8O7·
H2O, (Merck), dan (3-aminopropil)trimetoksisilana, APTS, (Aldrich). Larutan logam
diperoleh dengan melarutkan ZnCl2dan CdCl2(Merck) dalam akuades sesuai keperluan.
3.2. Metode Kerja
Pembuatan Larutan Na2SiO3 dari ASP
Sekam padi dibersihkan dari tanah,kerikil, dan kotoran lainnya, dicuci dengan air dan
dibilas dengan akuades, lalu dikeringkan dalam oven. Sekam padi bersih dan kering dibakar
dengan nyala api sehingga diperoleh arang sekam yang berwarna hitam. Arang ini kemudian
diabukan pada suhu 700 °C selama 4 jam dalam tungku. Abu sekam berwarna putih yang
diperoleh kemudian digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Selanjutnya, sebanyak 5 g
dicuci dengan 10 ml H2SO45%, dinetralkan dengan akuades, dicuci lagi dengan 20 ml
Na2EDTA 0.05 M, dan dinetralkan kembali dengan akuades.
Abu sekam hasil pencucian tersebut kemudian dikeringkan dalam oven, dimasukkan
dalam krus porselen, ditambah 8 g NaOH, dan dilebur pada 500 °C selama 30 menit. Setelah
dingin ditambahkan 50 ml akuades dan dibiarkan semalam sebelum disaring dengan kertas
saring. Filtrat yang merupakan larutan Na2SiO3ditampung dalam gelas plastik. Kadar Si
dalam larutan ditentukan dengan AAS.
Pembuatan dan Pencirian Adsorben Hibrid Amino-silika (HAS)
Sebanyak 20 ml larutan Na2SiO3hasil peleburan ASP dimasukkan ke dalam gelas
plastik dan ditambahkan 2 ml APTS sambil diaduk dengan pengadukmagnet. Selanjutnya
ditambahkan asam sitrat 1 M tetes demi tetes sampai terbentuk gel dan diteruskan hingga pH
7. Gel lalu didiamkan semalam, disaring dan dicuci dengan akuades hingga netral (diperiksa
dengan indikator universal), sebelum dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 70 ºC.
Setelah kering, HAS digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Pembentukan gel dengan
cara yang sama tanpa penambahan APTS dilakukan untuk mendapatkan silika gel (SG). HAS
dan SG dicirikan dengan FTIR dan XRD.
Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II)
Sebanyak 100 mg HAS ditempatkan dalam wadah plastik. Adsorpsi dilakukan dalam
sistem lompok (batch) dengan cara menambahkan 50 ml larutan ZnCl2dengan ragam
konsentrasi 10, 20, 40, 80, 150, 200, 300 mg/l lalu diaduk selama 1 jam.Selanjutnya larutan
disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm untuk memisahkan supernatan dari adsorben. Setiap
supernatan dianalisis dengan AAS untuk menentukan konsentrasi Zn(II) yang teradsorpsi.
Hal yang sama dilakukan untuklogam Cd(II). Adsorpsi yang sama juga dilakukan dengan SG
sebagai adsorben.
Proses Pelaksanaan Percobaan Batch untuk Logam Cu.
Variasi Percobaan Kontinyu
Variabel berubah
Variasi konsentrasi larutan yang mengandung logam berat Cu. Variasi konsentrasi
larutan Cu adalah 4 mg/l, 8 mg/l, dan 12 mg/l. dimana nilai tersebut didasarkan dari
batas atas, batas bawah, dan nilai yang didapat dari data sekunder dengan kadar Cu
8,01 mg/l (Haryanto, 2005).
Variabel tetap
1. Debit larutan umpan.
Besarnya nilai debit larutan umpan pada kolom kontinyu ini berkisar antara 2-5
gal/menit.ft2 (Reynold,1982). Bila besaran tersebut dikonversikan ke satuan SI maka
didapatkan besaran 8,149-20,373 ml/menit.cm2. dari nilai tersebut dibagi dengan luas
kolom kontinyu sebesar 20,26 cm2 maka didapat debit umpan sebesar 165,08 ml/menit
untuk batas bawahnya dan 412,716 ml/menit untuk batas atasnya. Dari kriteria desain
tersebut diambil debit larutan umpan sebesar 222 ml/menit.
2. Ketinggian media kolom kontinyu.
Ketinggian kolom dipilih adalah 75 cm dengan ketinggian kolom yang terisi adsorben
adalah 65 cm didasarkan pada kriteria desain (Reynolds, 1982), dimana Ø min 1 inchi
(2,54 cm) dan ketinggian kolom min 24 inchi (60,96 cm)
3. Ukuran Partikel
Ukuran yang akan dipakai dalam kolom kontinyu didasarkan pada ukuran yang
efisiensinya paling besar dalam penjerapan logam berat Cu yang dilakukan pada proses
batch.
Proses Pelaksanaan Percobaan Kontinyu untuk Logam Cu
Penentuan kapasitas adsorpsi Pb(II) oleh asam humat terimobilisasi hibrida
merkapto silika
Larutan Pb dibuat dengan variasi konsentrasi awal 25, 50, 75, 100 dan 125 mg/l
melalui pengenceran dari larutan stok Pb(II) 1000 mg/l. Selanjutnya ke dalam
erlenmeyer 100 ml dipipet sebanyak 20 ml larutan untuk setiap konsentrasi awal, dan
ditambahkan 1 gram adsorben asam humat terimobilisasi HMS ke dalam setiap larutan
tersebut. Selanjutnya dilakukan pengocokan dengan shaker selama 24 jam. Setiap larutan
disaring, dan filtrat yang diperoleh dianalisis dengan SSA untuk mengetahui banyaknya
Pb yang tersisa dalam larutan setelah interaksi dengan adsorben. Dilakukan pengulangan
dengan prosedur yang sama sebanyak dua kali. Prosedur yang sama dilakukan juga
untuk adsorben asam humat dan adsorben HMS.
Abu sekam padi dibuat dengan menimbang sebanyak 1500 g sekam padi dicuci
dengan air kira-kira 3 sampai 5 kali untuk menghilangkan kotoran terutama tanah liat. Sekam
padi dikeringkan menggunakan sinar matahari kemudian dilanjutkan dengan pengeringan
menggunakan oven pada suhu 105oC untuk menghilangkan air sampai diperoleh kadar air
tetap. Sekam padi sebanyak 1500 g ditimbang dalam wadah yang telah diketahui beratnya,
kemudian dibakar dengan tungku listrik pada temperatur 600oC selama 3 jam. Kenaikan
temperatur diatur sebelum mencapai kondisi pembakaran yang diinginkan supaya penguraian
termal dari sekam berlangsung baik. Tungku didinginkan setelah kondisi pembakaran
tercapai. Abu sekam padi yang diperoleh pada pembakaran diatas ditentukan kadar abunya
(Yunita, 2008).
Untuk pembuatan larutan Na-silikat dari abu sekam padi yang telah dihasilkan,
selanjutnya direfluks dengan larutan HCl 1 M selama 1 jam pada suhu 90°C. Kemudian
ditambahkan larutan NaOH 1M dengan rasio 10 ml larutan tiap 10 g abu sekam padi. Larutan
tersebut dipanaskan dalam oven selama 3 jam pada suhu 130°C kemudian didinginkan.
Untuk pembuatan Natrium aluminat ditimbang sebanyak 0,102 g Al2O3 dicampurkan dengan
0,24 g NaOH dan 50 mL aquades. Campuran diaduk dengan magnetik stirrer (skala 6-8).
Sintesis zeolit abu sekam padi dilakukan dengan mencampurkan larutan natrium
silikat dengan larutan aluminat disertai pengadukan dengan kecepatan skala 2 selama 1 jam.
Campuran dimasukkan dalam oven pada suhu 160oC selama 7 jam. Zeolit siap digunakan
(Nur ,2001).
Zeolit abu sekam padi ditimbang 0,25 gram kemudian dimasukan kedalam 50 mL
larutan Pb dengan konsentrasi 100 ppm, 150 ppm 200 ppm dan 250 ppm. Zeolit dalam
larutan Pb dishaker selama 30 menit pada pH 6.
Larutan didiamkan selama satu malam, kemudian diambil filtrat diukur absorbansinya
dan dihitung kapasitas adsorpsinya. Sebanyak 0,25 gram zeolit 100 mesh dan 50 mL larutan
standar Pb 100 ppm dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer , pH divariasi menjadi 5, 6, 7, 8,
dan 9 dengan menggunakan NaOH 0,1 M dan CH3COOH 0,1 M kemudian ditambah larutan
buffer . Larutan digojog mengunakan shaker mekanik pada temperatur kamar , kemudian
didekantasi selama 45 menit.
Absorbansi filtrat pada masing-masing pH diukur dengan spektrofotometer serapan
atom. Masing-masing zeolit abu sekam padidengan variasi massa 0,125; 0,25; 0,5 dan 0,75
gram dimasukan ke dalam 4 buah erlenmeyer. Kemudian larutan Pb 100 ppm sebanyak 50
mL, diatur keasamannya pada pH optimal dimasukan kedalam masing-masing erlenmeyer
250 mL. Selanjutnya larutan dikocok dengan shaker selama 30 menit. Larutan kemudian
didekantasi dan diambil filtratnya kemudian diukur absorbansinya menggunakan SSA.
Sebanyak 50 mg HDS ditempatkan dalam gelas plastik.
Adsorpsi dilakukan dalam sistem batch dengan cara menambahkan 50 mL larutan
multilogam Cr(III), Pb(II), Cu(II), Ni(II), Ag(I) dengan variasi konsentrasi 20, 60, 100, 140,
180, 220, 260, 300 mg/L. Campuran adsorben dan larutan logam diaduk dengan pengaduk
magnet selama 60 menit. Selanjutnya larutan disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm untuk
memisahkan supernatan dan adsorben. Masing-masing supernatan dianalisis dengan
spektrometer serapan aton (AAS) untuk menentukan jumlah ion logam yang teradsorpsi. Hal
yang sama dilakukan untuk SG terhadap larutan multi logam tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Adsorpsi Zn dan Cd
Pembuatan HAS dilakukan dengan menambahkan senyawa organik aktif APTS pada
larutan Na2SiO3sebelum ditambah asam sitrat untuk pembentukan gel. Hasil pembuatan SG
dan HAS dengan tiga kali pengulangan (n= 3) ditampilkan dalam Tabel 1. Bobot HAS yang
dihasilkan lebih banyak daripada SG. Hal ini disebabkan penambahan APTS mengakibatkan
penggantian gugus silanol oleh merkaptopropilsilana yang bobot molekulnya lebih besar.
Karakteristik SG dan HAS
Spektrum FTIR
Spektrum FTIR digunakan untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang terdapat
pada SG dan HAS (Gambar 1). Gambar 1 (a) merupakan spektrum IR dari SG produksi
Merck (Kieselgel 60 tipe G) yang digunakan sebagai pembanding. Pitaserapan pada bilangan
gelombang 472.5 cm-1
menunjukkan vibrasi tekuk gugus siloksana Si–O–Si.Vibrasi ulur
simetris Si–O dari Si–O–Si ditunjukkan oleh pita serapan pada bilangan gelombang 800.4
cm-1
. Pita serapan pada 974.0 cm-1
menunjukkan vibrasi ulur Si–O dari Si–OH. Pita serapan
yang kuat pada bilangan gelombang 1101.3 cm-1
merupakan vibrasi ulur asimetris Si–O dari
Si–O–Si, sedangkan pita lebarpada bilangan gelombang 3448.5 cm-1
menunjukkan vibrasi
ulur gugus OH dari Si–OH. Adanyapita serapan pada 1629.7 cm-1
menunjukkan vibrasi dari
molekul air yang terikat (William 1998).
Gambar 1(b) merupakan spektrum IR dari SG hasil sintesis. Terlihat kemiripan
dengan spektrum SG pembanding. Pita-pita serapan terdapat pada bilangan gelombang yang
hampir sama. Dengan demikian, gugus fungsi yang terdapat pada SG ini adalah juga gugus
siloksana dan silanol. Perbedaan terletak pada jumlah gugus yang ada. Gugus silanol lebih
sedikit dibandingkan dengan pada Kieselgel 60, yang ditunjukkan oleh rendahnya intensitas
serapan di sekitar 3400 cm-1
Pada Gambar 1(c) yang merupakan spektrum HAS terlihatadanya perubahan pola
serapan. Pita serapan pada bilangan gelombang 3415.7 cm-1
mengalami penurunan intensitas
serapan yang cukup besar dibandingkan dengan spektrum SG hasil sintesis, begitu juga
dengan pita serapan pada bilangan gelombang 964.3 cm-1
. Penurunan intensitas serapan ini
menunjukkan berkurangnya gugus silanol akibat terjadinya kondensasi dengan senyawa
APTS pada proses transisi sol-gel. Munculnya pita serapan baru pada bilangan gelombang
2933.5 cm-1
yang merupakan serapan rantai alifatik akibat vibrasi ulur –CH2– juga
menunjukkan bahwa HAS telah berhasil dibuat. Vibrasi ulur N–H ditunjukkan oleh serapan
pada bilangan gelombang 3500–3100 cm-1
Serapan gugus N–H ini mungkin bertumpang
tindih dengan serapan gugus OH dari Si–OH pada bilangan gelombang 3415.7 cm-1
.
Munculnya serapan baru tersebut didukung oleh terjadinya pergeseran serapan gugus
siloksana ke bilangan gelombang yang lebih rendah, yaitu 462.9,792.7, dan 1074.3 cm-1
,
yang menunjukkan adanya perubahan lingkungan Si–O–Si akibat pembentukan HAS.
Perkiraan mekanisme reaksi pembentukan HAS padakondisi basa ditampilkan pada
Gambar 2. Pada saat penambahan asam sitrat, terjadi proses pembentukan gel yang diduga
diawali dengan protonasi atom oksigen pada gugus metoksi (–OCH3) dalam senyawa APTS
dan dilanjutkan dengan serangan anion silikat (≡Si–O−) terhadap atom Si dalam senyawa
APTS melalui mekanisme reaksi SN2. Protonasi atom oksigen dari gugus metoksi yang
terikat pada atom Si menyebabkan atom Si semakin terpolarisasi positif sehingga lebih
mudah diserang oleh spesies yang bermuatan negatif, yaitu anion silikat, membentuk ikatan
siloksan (≡Si–O–Si≡) dengan melepas metanol.
Reaksi tersebut masih dapat berlanjut karena masih terdapat 2 gugus metoksi yang
dapat terkondensasi dengan anion silikat yang lain. Secarasederhana, reaksi dalam tahapan
proses sol-gel selanjutnya ditampilkan dalam Gambar 3.
Reaksi kondensasi yang disertai pelepasan metanol tersebut tidak selalu berlanjut
sampai menghasilkan C, tetapi dapat terhenti hanya pada persamaan (2) menghasilkan A,
atau pada persamaan (3) menghasilkan B. Karenaitu setelah HAS terbentuk, berbagai variasi
permukaan seperti yang dimodelkan pada Gambar 4 mungkin terjadi.
Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa bahwa A1dan B1masih dapat mengalami
reaksi hidrolisis menghasilkan hibrid masing-masing A2dan B2. Pada hibrid A2, transisi sol-
gel yang terjadi melibatkan kondensasi satu gugus ≡Si–O− dan gugus metoksi menghasilkan
dua gugus silanol dan satu gugus amino sehingga menambah jenis dan jumlah tapak aktif
pada HAS relatif terhadap SG. Pada hibrid B2, transisi sol-gel tidak memengaruhi jumlah
tapak aktif yang ada, tetapi hanya meragamkan jenis tapak aktif tersebut, sedangkan pada
hibrid C transisi sol-gel justru akan mengurangi jumlah tapak aktif yang ada.
Selain reaksi kondensasi tersebut, pada pembentukan gel hibrid ini juga terjadi
kondensasi antara anion silikat dan gugus silanol yang terbentuk dari protonasi anion silikat
karena penambahan asam, menghasilkan ikatan siloksana yang membentukjaringan kerangka
gel. Masing-masing reaksi kondensasi terus berlangsung membentuk trimer, tetramer,
oligomer dan akhirnya membentuk bolabola polimer. Bola-bola polimer yang berasal dari
reaksi kondensasi APTS dengan anion silikat maupun anion silikat dengan silanol akan saling
bergabung melalui reaksi kondensasi lebih lanjut membentuk gel hibrid.
Difraksi Sinar-X
Metode XRD memberikan informasi mengenai struktur padatan yang dianalisis
dalam bentuk pola difraksi yang sesuai dengan tingkat kristalinitasnya. Hasil pencirian SG
dan HAS menggunakan metode ini ditampilkan dalam Gambar 5.
Terlihat bahwa SG dan HAS memiliki pola difraksi dengan puncak melebar dan
dengan intensitas maksimum di sekitar 2θ= 21˚untuk SG dan 22˚untuk HAS. Menurut
Kalaphaty (2000), puncak melebar di sekitar 2θ= 22˚menunjukkan struktur amorf dari silika.
Jadi, modifikasi SG dengan gugus aminopropil tidak memengaruhi kristalinitas.
Nilai energi adsorpsi yang diperoleh masih tergolong rendah untuk adsorpsi kimia.
Energi adsorpsi Zn(II) pada adsorben SG dan HAS berkisar 16 kJ mol-1
, sedangkan untuk
logam Cd(II) berkisar 18 kJ mol-1
. Rendahnya energi adsorpsi ini mengindikasikan bahwa
interaksi adsorben dengan ion logam tidak berupa ikatan kimia langsung antara ion logam
dan atom dari tapak aktif adsorben, tetapi diduga melalui jembatan molekul dan membentuk
ikatan hidrogen. Penggantian gugus silanol oleh aminopropil dari SG ke HAS berakibat
melemahnya ikatan hidrogen dan menurunkan energi adsorpsi.
Dari Tabel 2 juga diketahui bahwa kapasitasadsorpsi terhadap Zn(II) lebih tinggi
daripada terhadap Cd(II), baik untuk SG maupun HAS. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
pendekatan jejari hidrasi. Proses adsorpsi dilakukan dalam medium air. Kedua ion dapat
membentuk kompleks dengan molekul air, yaitu kompleks akua oktahedral [M(H2O)6]2+
.
Menurut Martell & Hancock (1996), logam Zn(II) memiliki jejari kompleks lebih kecil (1.09
Å) jika dibandingkan dengan jejari Cd(II) (2.30 Å). Karena ukuran [Zn(H2O)6]2+
yang lebih
kecil, jumlah Zn(II) yang tertampung di permukaan adsorben lebih banyak daripada
[Cd(H2O)6]2+
yang berukuran lebih besar.
Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben SG dan HAS dipelajari
berdasarkan proses adsorpsi ion logam dalam sistem lompok pada berbagai waktu kontak.
Laju adsorpsi ion logam dikaji dari kurva hubungan antara jumlah ion logam yang teradsorpsi
dan waktu adsorpsi (Gambar 7).
Nuryono et al. (2003) membedakan kinetika adsorpsi ion logam pada adsorben
menjadi tiga jenis. Jenis yang pertama, adsorpsi berlangsung dalam satu tahap cepat
kemudian mencapai kesetimbangan. Pada adsorpsi jenis ini, laju desorpsi relatif lambat dan
dapat diabaikan. Jenis kedua, adsorpsi berlangsung lambat kemudianmencapai
kesetimbangan. Pada adsorpsi ini laju desorpsi relatif cepat dan tidak dapat diabaikan.
Dengan kata lain, adsorpsi berlangsung secara reversibel. Jenis ketiga, adsorpsi berlangsung
dalam dua tahap, tahap cepat dan lambat, kemudian mencapai kesetimbangan. Dari Gambar
7 terlihat bahwa adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS termasuk jenis adsorpsi
ketiga. Dengan mengasumsikan bahwa proses mengikuti orde pertama, adsorpsi dapat
dinyatakan dengan persamaan reaksi
M adalah ion logam (adsorbat), Adcdan Adladalah tapak aktif adsorben cepat dan
lambat, Madc dan Madl merupakan adsorben yang telah mengadsorpsi logam M, berturut-
turut untuk reaksi cepat dan lambat, kc merupakan tetapan laju adsorpsi tahap cepat,
sedangkan klmerupakan tetapan laju adsorpsi tahap lambat. Dari kurva hubungan
ln([M]0/[M]) terhadap tdiperoleh kemiringan, yang merupakan harga tetapan laju adsorpsi
tahap cepat (kc). Setelah tahap cepat selesai,berlangsung proses lambat yang menentukan laju
adsorpsi dan diasumsikan berlangsung secara reversibel. Dari kurva hubungan ln{([M]0–
[M]e) / ([M]– [M]e)} terhadap t akan diperoleh kemiringan yang merupakan k1+k’1; k1dan
k’1dapat dihitung. Tetapan kesetimbangan (K1) diperoleh dari k1/k’1.
Proses adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS terjadi melalui proses cepat
yang diikuti oleh proses lambat. Dua tahapan adsorpsi ini diduga terjadi pada gugus yang
berbeda. Pada SG tahap cepat terjadi antara ion-ion logam dan gugus silanol, karena gugus
ini terletak lebih di luar sehingga lebih mudah terjangkau dan karena itu, akan bereaksi
terlebih dahulu dengan ion-ion logam. Tahap lambat diduga terjadi antara ion-ion logam dan
gugus siloksana, karena atom O pada gugus ini kurang mampu mendonorkan elektronnya
dibandingkan dengan O pada silanol, dan letaknya juga cenderung agak ke dalam sehingga
diperlukan waktu lebih lama bagi ion logam untuk mencapainya.
Pada HAS, tahap cepat diduga terjadi antara ion logam dan gugus −NH2 sementara
tahap lambat terjadi antara ion logam dan gugus silanol yang masih ada pada HAS dan juga
gugus siloksana. Hal ini disebabkan atom N pada gugus −NH2 dalam HAS bersifat lebih basa
daripada atom O pada gugus –OH silanol. Karena itu, gugus −NH2 akan lebih siap
mendonorkan pasangan elektronnya sehingga interaksinya dengan ion logam lebih efektif
daripada gugus–OH, walaupun keduanya samasama terletak di permukaan. Sementara itu,
gugus siloksana cenderung berperan pada proses adsorpsi tahap lambat, karena selain kurang
efektif dalam mendonorkan elektron, keberadaannya relatif lebih di dalam sehingga ion
logam memerlukan waktu lebih lama untuk mencapainya.
Pada tahap cepat laju adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) lebih besar apabila digunakan
adsorben HAS dibandingkan dengan SG. Hal ini dapatdijelaskan sebagai berikut. Pada hibrid,
gugus yang berperan dalam adsorpsi tahap cepat adalah gugus −NH2sedangkan pada SG,
gugus –OH. Gugus −NH2 lebih basa daripada gugus –OH, maka lebih efektif dalam
mendonorkan pasangan elektronnya. Hal tersebut meningkatkan keefektifan HAS dalam
mengadsorpsi Zn(II) dan Cd(II).
Pada tahap cepat, peningkatan lajuadsorpsi untuk Cd(II) pada HAS tidak begitu
nyata terlihat sebagaimana untuk Zn(II). Keberadaan gugus –NH2yang tidak begitu
memengaruhi adsorpsi Cd(II), dikarenakan Cd(II) mempunyai ukuran yang besar dan
polarisabilitas yang tinggi sedangkan –NH2 mempunyai sifat yang tidak berbeda jauh dari
OH, yaitu berukuran kecil dengan polarisabilitas yang rendah. Oleh karena itu, interaksinya
dengan Cd(II) kurang begitu efektif. Seperti pada tahap cepat, laju adsorpsi tahap lambat
untuk Zn(II) dan Cd(II) juga relatif lebih besar apabila digunakan adsorben HAS. Gugus yang
berperan pada tahap lambat untuk HAS adalah gugus –OH pada silanol dan siloksana
sedangkan pada SG hanya gugus siloksana. Jadi, pada HAS terdapat 2 tapak aktif yang siap
berinteraksi dengan ion logam sehingga proses adsorpsi cenderung akan lebih cepat.
Dari Tabel 3 terlihat pula bahwa nilai tetapan laju adsorpsi pada SG maupun HAS
untuk Zn(II) lebih tinggi daripada untuk Cd(II). Sebagaimana diuraikan di muka, ion logam
Zn(II) dan Cd(II) akan membentuk kompleks dengan molekul air menjadi [Zn(H2O)6]2+
dan
[Cd(H2O)6]2+
. Karena ukuran Zn(II) yang lebih kecil, mobilitasnya dalam larutan akan lebih
cepat daripada Cd(II) sehingga mempercepat pula interaksinya dengan gugus fungsi pada
permukaan SG maupun HAS, dan dengan demikian akan meningkatkan laju adsorpsi.
4.2. Adsopsi Cu pada Limbah
Proses Batch Menggunakan Abu Sekam Padi 10-30 mesh
Dari percobaan batch yang telah dilakukan, maka didapat grafik penurunan konsentrasi Cu
seperti dibawah ini:
Dari gambar 5 di atas, hasil penurunan konsentrasi Cu dapat digunakan untuk menentukan
Isoterm yang berlaku.
Proses Batch Menggunakan Abu Sekam Padi 30-50 mesh
Dari percobaan batch yang telah dilakukan, maka didapat grafik penurunan konsentrasi Cu
seperti dibawah ini:
Dari gambar 6 di atas, hasil penurunan konsentrasi Cu dapat digunakan untuk menentukan
Isoterm yang berlaku.
Pembahasan Percobaan Batch
Percobaan Kontinyu
Percobaan Kontinyu Dengan Konsentrasi Influen 4 mg/l, Debit 222 ml/menit, dan Ukuran
Media 30-50 mesh.
Percobaan Kontinyu Dengan Konsentrasi Influen 8 mg/l, Debit 222 ml/menit, dan Ukuran
Media 30-50 mesh
Percobaan Kontinyu
Percobaan Kontinyu Dengan Konsentrasi Influen 12 mg/l, Debit 222 ml/menit, dan Ukuran
Media 30-50 mesh
Pembahasan Percobaan Kontinyu
Perbandingan Pola Adsorpsi
Perbandingan pola adsorpsi dapat diketahui dengan membuat kurva terobosan dari percobaan
kontinyu yang dilakukan.
Dari kurva terobosan terlihat bahwa kurva terobosan untuk konsentrasi 12 mg/l lebih curam
dibandingkan kurva terobosan untuk konsentrasi 8 mg/l dan 4 mg/l maka dapat disimpulkan
bahwa semakin besar konsentrasi influen maka semakin curam pula kurva terobosan yang
dihasilkannya. Kurva terobosan yang curam disebabkan karena adanya zone perpindahan
massa yang pendek. Karena semakin pendek zona perpindahan massa maka akan semakin
cepat men-capai titik tembus dan titik jenuh. Menurut Mc Cabe (1993), semakin pendek zona
aktif menunjukkan bahwa penggunaan media adsorben sudah tidak efisien untuk dipakai
Berikut ini adalah waktu titik tembus dan titik jenuh untuk berbagai variasi influen.
Dari gambar kurva efisiensi diatas dapat dilihat adanya penambahan waktu pada efisiensi
penyisihan bila konsentrasi influen dalam larutan bertambah kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa penurunan kon-sentrasi larutan akan menyebabkan peningkatan kemampuan adsorpsi
abu sekam padi terhadap Cu dalam larutan.
Dari perhitungan diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk konsentrasi Cu
sebesar 12 mg/l mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan
konsentrasi Cu sebesar 4 mg/l dan 8 mg/l. Tetapi memiliki kecepatan adsorpsi yang lebih
kecil dibandingkan dengan konsentrasi Cu sebesar 4 mg/l dan 8 mg/l. Nilai kapasitas adsorpsi
yang lebih besar pada konsentrasi Cu 12 mg/l mengakibatkan media adsorben cepat
mengalami jenuh, sehingga titik jenuh lebih cepat tercapai dibandingkan dengan konsentrasi
Cu sebesar 4 mg/l dan 8 mg/l.
4.3. Adsorpsi Logam Pb dengan HMS dari Abu Sekam Padi
Penentuan pH Adsorpsi Pb(II) oleh Asam Humat Terimoblisasi Hibrida Merkapto
Silika (HMS).
Pada penentuan pH ini, asam humat yang diimobilisasi pada hibrida merkapto
silika diujikan pada kondisi pH 3, 7, 9 untuk mengetahui pH adsorpsi Pb(II). Hasil
penentuan asam humat terimobilisasi pada hibrida merkapto silika pada pH 3, 7, dan 9
yang dikontakkan dengan logam Pb(II) ditunjukkan pada Gambar 1 dalam bentuk
persen teradsorpsi.
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa pH 3 adalah pH optimum adsorpsi Pb(II)
oleh asam humat, HMS, dan AH-HMS serta adanya kecenderungan semakin naik pH maka
adsorpsi terhadap logam Pb semakin berkurang ini. Hal ini dijelaskan oleh Buhani
(2006) dalam penelitiannya terhadap asam humat, senyawa humat yang tidak larut
dalam pelarut air pada kondisi asam (pH sekitar 2), tetapi sudah mulai larut jika pH
larutan di atas 2. Pada pH di atas 2 gugus-gugus fungsi seperti –COOH dan –OH
fenolat dari asam humat sudah mulai terionisasi sehingga melemahkan ikatan hidrogen
intramolekul dari asam humat, tolak menolak antar gugus yang terionisasi dan juga
akibat hidrasi oleh molekul air. Akibat adanya fraksi terlarut dari asam humat, maka
interaksi asam humat dengan ion logam tidak semata-mata berupa adsorpsi fraksi tak
larut, tetapi juga interaksi pembentukan kompleks antara fraksi terlarut asam humat, sehingga
pada pH 3 gugus-gugus fungsi seperti –COOH dan –OH fenolat, -OH alkoholat dan –
C=O dari asam humat lebih banyak tersedia untuk berinteraksi dengan logam, sedangkan
pada pH lebih dari 5 ionisasi ion-ion logam cenderung akan turun dan membentuk
kompleks hidroksi dengan ikatan yang kuat, sehingga sulit diikat oleh gugus humat.
Pada adsorben HMS terdapat gugus Si-OH dan Si-O-Si seperti pada silika gel,
juga terdapat gugus aktif baru yaitu gugus –SH yang berasal dari TMSP pada HMS
yang berfungsi sebagai pengikat logam. Gugus fungsi tiol (–SH) lebih banyak tersedia
pada pH 3 sehingga lebih banyak logam Pb(II) yang dapat diadsorpsi, sedangkan pada
pH 7 dan 9 ion logam mulai terhidrolisis sehingga terbentuk hidroksida logam. Selain
itu juga pada pH tinggi permukaan adsorben bermuatan negatif, akibatnya terjadi
tolakan antara permukaan adsorben dan spesies ion logam, sehingga adsorpsi menjadi
berkurang. Hal ini juga karena pada pH tinggi adanya sifat hidrofob pada gugus
merkapto mempertahankan jaringan silika dalam HMS dari anion hidroksil dalam
larutan. Hal ini sesuai dengan dengan Buhani (2009) yang menyatakan bahwa pada
adsorben HMS, atom S dari gugus merkapto lebih tersedia pada pH rendah.
Pada adsorben AH-HMS, kondisi pada pH 3, pH 7, dan 9 terlihat bahwa
dalam mengadsorpsi ion logam Pb(II) perbedaannya tidak terlalu jauh. Berdasarkan
kondisi pH tersebut maka telihat bahwa AH-HMS yang merupakan hasil imobilisasi dari
asam humat dan HMS cenderung mempunyai sifat gugus fungsi yang sama. AH-HMS
pada pH 3 gugusgugus fungsi seperti –COOH dan –OH fenolat, -OH alkoholat dan –
C=O dari asam humat dan gugus fungsi –SH dari HMS lebih tersedia, sehingga lebih
banyak logam Pb(II) yang teradsorpsi dibandingkan pada pH 7 dan 9. Pada pH yang tinggi,
jumlah ion OH meningkat dan menyebabkan ligan permukaan cenderung terdeprotonasi
sehingga pada saat yang sama terjadi kompetisi antara ligan permukaan dengan ion OH
untuk berikatan dengan kation logam. Jumlah ion logam Pb(II) yang teradsorpsi oleh
AH-HMS pada pH 3, 7 dan 9 adalah sebesar 97,32%, 96,19%, dan 92,30%.
Penentuan Kapasitas Adsorpsi Logam Pb(II) oleh asam humat yang terimobilisasi
pada hibrida merkapto silika
Suatu isoterm adsorpsi menunjukkan hubungan antara jumlah logam yang
teradsorpsi per berat adsorben dengan konsentrasi kesetimbangan logam di dalam larutan.
Penentuan model isoterm adsorpsi dilakukan untuk memperkirakan mekanisme adsorpsi
logam Pb(II) pada adsorben. Ada dua model yang sering dipakai untuk menjelaskan
proses adsorpsi pada permukaan zat padat, yaitu isoterm Langmuir dan isoterm
Freundlich. Model isoterm adsorpsi Langmuir berlaku untuk adsorpsi pada lapisan
tunggal (monolayer) pada permukaan zat yang homogen. Persamaan Langmuir dapat
diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya suatu kesetimbangan antara
molekul yang diadsorpsi dan molekul yang masih bebas. Pada penentuan kapasitas
adsorpsi logam Pb(II) oleh asam humat yang terimobilisasikan pada hibrida merkapto
silika (AH-HMS) menggunakan model isoterm Langmuir. Hasil penentuan kapasitas
adsorpsi logam Pb(II) terlihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 dapat ditentukan bahwa kapasitas adsorpsi adsorben asam humat
terhadap Pb(II) = 27,03 mg/g, sedangkan kapasitas adsorpsi adsorben HMS terhadap
Pb(II) = 34,48 mg/g, dan kapasitas adsorpsi adsorben AHHMS terhadap Pb(II) = 22,73
mg/g. Hal ini dapat dapat dijelaskan bahwa pada adsorben AH-HMS gugus –OH dari
asam humat ada yang terikat pada struktur HMS sehingga –COO kelimpahannya berkurang,
sehingga yang bertindak sebagai donor pasangan elektron juga mengalami pengurangan
dan akan berdampak pada kapasitas AH-HMS yang lebih kecil dari pada asam humat
yaitu dari 27,03 mg/g menjadi 22,73 mg/g. Begitu yang terjadi pada HMS, gugus -Si-
OH dan –SH ada yang terikat pada –COO dari asam humat, sehingga donor pasangan
elektron yang dapat mengadsorpsi logam Pb(II) mengalami pengurangan yang
menjadikan kapasitas adsorpsi AH-HMS menjadi jauh lebih kecil dibandingkan HMS
yaitu dari 32,68 mg/g menjadi 22,73 mg/g. Dengan kata lain gugus yang berperan aktif
pada AH-HMS yaitu gugus –SH pada HMS.
4.4. Adsorpsi Logam Pb Dengan Zeolit dari Abu Sekam Padi
Abu sekam padi yang telah diketahui kadar silikanya yaitu 87,59% direfluks
menggunakan HCl, hal ini bertujuan untuk mengaktifasi gugus-gugus fungsi yang ada di
dalam abu seperti gugus OH yang merupakan gugus aktif sebagai penukar kation pada logam
lain. Selain itu aktifasi ini juga berperan untuk membuka pori-pori agar menjadi lebih besar
sehingga mempermudah penjerapan logam pada proses adsorpsi. Abu sekam padi yang telah
teraktifasi kemudian direaksikan dengan NaOH untuk membentuk natrium silikat. Adapun
reaksi síntesis zeolit dari abu sekam padi dapat dituliskan sebagai berikut (Nur , 2001):
Fungsi NaOH yang ditambahkan dalam sintesis zeolit tidak hanya bekerja sebagai reagen
tetapi juga sebagai metalizer , karena pada struktur zeolit terbentuk muatan negative berlebih
pada ion Al sehingga dibutuhkan kation-kation pendukung di luar rangka untuk
menetralkannya. Kation Na+ juga berperan penting dalam pembentukan zeolit (Ojha, 2004)
dalam (Ferianto, 2011). Penambahan NaOH juga berfungsi sebagai materi pendukung
pembentukan zeolite atau disebut juga sebagai mineralizer (Jumaeri, 2007). Hal tersebut
dikarenakan sifat air murni sebagai pelarut pada temperatur yang sangat tinggi seringkali
tidak mampu untuk melarutkan zat dalam proses pengkristalan. Mineralizer adalah suatu
senyawa yang ditambahkan pada larutan yang encer untuk mempercepat proses kristalisasi
dengan cara meningkatkan kemampuan melarutnya, sehingga yang biasanya tidak dapat larut
dalam air dengan ditambahkannya mineralizer dapat menjadi larut. Mineralizer yang khas
adalah suatu hidroksida dari logam alkali, khususnya amfoter dan oksida asam. Mineralizer
yang digunakan untuk SiO2 adalah NaOH, KOH, Na2CO3 atau NaF . Berikut ini adalah reaksi
antara silika dengan larutan NaOH:
Selanjutnya natrium silikat yang telah terbentuk direaksikan dengan natrium aluminat.
Mekanisme yang terjadi pada saat kedua larutan tersbut direaksikan adalah terlarutnya sedikit
padatan dalam air , difusi zat terlarut dan timbulnya senyawa yang berbeda dari padatan
terlarut. Proses ini meliputi modifikasi tekstur atau struktur pada suatu padatan dan akan
mengurangi energi bebas dalam sistem. Perubahan tekstur tersebut akan menyebabkan
reduksi pada luas permukaan dan meningkatkan ukuran partikel dari pori (F’le , 1977) dalam
(Ferianto, 2011).
Penentuan kapasitas adsorpsi dilakukan untuk mengetahui kemampuan adsorben dalam
menyerap logam dalam kondisi awal, yaitu kondisi sebelum adanya perlakuan optimasi-
optimasi tertentu. Selain itu, penentuan kapasitas adsorpsi awal dimaksudkan untuk
menentukan konsentrasi larutan yang akan digunakan selama perlakuan-perlakuan
selanjutnya. Sehingga tidak akan ditemukan konsentrasi Pb yang akan diserap seluruhnya
oleh adsorben. Hal ini dimaksudkan agar terlihat jelas antara konsentrasi Pb yang terserap
dengan yang tidak.
Gambar 1. Kurva penentuan kapasitas adsorpsi zeolit abu sekam padi pada larutan Pb
Penentuan kapasitas adsorpsi sebelum adanya perlakuan optimasi dilakukan pada berbagai
konsentrasi larutan Pb yaitu 100, 150, 200 dan 250 ppm. Untuk adsorpsi larutan Pb kapasitas
adsorpsinya dapat dilihat pada Gambar 1.
Penentuan kapasitas adsorpsipada berbagai konsentrasi dimaksudkan untuk menentukan
kemampuan adsorben dalam menyerap logam timbal sebelum dilakukan optimasi. Untuk
logam timbal diperoleh rata-rata kapasitas adsorpsi sebesar 5 mg/g.
Salah satu faktor yang mempengaruhi adsorpsi adalah pH. Pada penentuan pH maksimal
digunakan 50 mL ion logam Pb dengan konsentrasi awal 100 ppm. Variasi pH yang dipakai
adalah 5, 6, 7 dan 8. Ion logam Pb 100 ppm yang digunakan mempunyai pH 5. Untuk
membuat variasi pH tersebut dilakukan penambahan NaOH 0,1 M dan CH3COOH 0,1M.
Kemudian larutan buffer ditambahkan agar pH larutan tidak mengalami perubahan selama
proses adsorpsi. Massa zeolit yang digunakan adalah 0,25 gram dan waktu kontak selama 30
menit. pH optimum pada ion Pb(II) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva hubungan antara pH Pb dengan logam terserap (mg/g)
Pada gambar terlihat bahwa adsorpsi larutan Pb oleh zeolit pada pH 5, 6, 7 dan 8berturut turut
sebesar 4,98 ; 5,32 ; 5,28 dan 5,10 mg/g. Penyerapan larutan Pboleh zeolite terbesar terjadi
pada pH 6 dengan Pb yang terserap sebesar 5,32 mg/g. Berdasarkan data dapat disimpulkan
bahwa perubahan pH mempengaruhi proses adsorpsi logam Pb oleh zeolit abu sekam padi.
Pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan adsorben lain menunjukkan serapan
optimum untuk logam Pb(II) terjadi pada pH 5 dengan kapasitas penyerapan sebesar 1,769
mg/g (Corry Handayani, 2009). Apabila pH larutan melewati pH optimumnya, penyerapan
cenderung berkurang karena pada pH yang lebih tinggi terdapat lebih banyak ion OH
sehingga ion-ion logam mulai mengendap yang mengakibatkan lebih sukar terjadinya
penyerapan oleh zeolit. Penyerapan juga berkurang jika dibawah pH optimum hal ini
disebabkan oleh konsentrasi H+ yang terlalu tinggi sehingga gugus fungsi negatif bereaksi
dengan H+ dan menghalangi terikatnya ion logam pada gugus material tersebut.
Penentuan waktu kontak optimum dilakukan setelah diketahui pH optimum adsorpsi. Waktu
kontak berpengaruh terhadap proses adsorpsi. Penentuan waktu kontak ini bertujuan untuk
memperoleh waktu yang paling baik dalam proses adsorpsi ion logam Pb oleh zeolit abu
sekam padi. Pada proses adsorpsi, waktu kontak biasanya dipilih tidak terlalu lama. Hal ini
dilakukan kerena jika waktu kontak adsorpsi terlalu lama ditakutkan Pb yang terserap dalam
adsorben akan mengalami desorpsi yaitu terjadi pelepasan kembali logam Pb dari adsorben.
Untuk itu dipilih variasi waktu kontak adsorpsi selama 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit.
Waktu kontak adsorpsi ditunjukan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva hubungan waktu kontak (menit) dengan logam terserap Pb (mg/g)
Penentuan waktu kontak adsorpsi Pbditunjukan pada Gambar 3, Ion Pb teradsorpsi
paling baik terjadi pada waktu kontak 40 menit dengan kapasitas sebesar 5,34 mg/g. Pb yang
teradsorpsi pada waktu kontak 10, 20, 30, 50 dan 60 menit berturut-turut adalah 4,82; 5,2;
5,26; 5,22; dan 5,06 mg/g. Dari data dapat disimpulkan bahwa waktu kontak berpengaruh
terhadap daya adsorpsi ion logam Pb oleh adsorben zeolit abu sekam padi. Langmuir dalam
Fandianto (2006) menyebutkan bahwa laju pembentukan kompleks adsorben dan adsorbat
sebanding dengan laju penguraian kompleks adsorben-adsorbat menjadi molekul adsorben
dan molekul adsorbat. Setelah adsorpsi mencapai titik optimum adsorpsi maka selanjutnya
akan terjadi proses penguraian yang disebut desorpsi. Kondisi optimum ini disebut dengan
keadaan kesetimbangan adsorpsi. Maka pada waktu kontak adsorpsi yang optimum kapasitas
logam terserapnya bernilai maksimal. Namun setelah melewati titik kesetimbangan itu, logam
Pb yang teradsorpsi pada zeolit akan mengalami proses desorpsi. Jadi logam terserapnya
kembali berkurang.
Setelah diketahui pH dan waktu kontak optimum, pada adsorpsi masing-masing
larutan ion Pb(II), selanjutnya dilakukan penentuan massa optimum zeolit. Telah diketahui
bahwa semakin luas permukaan suatu adsorben, semakin besar zat yang akan teradsorpsi.
Untuk itu ukuran partikel adsorben harus dibuat seragam sehingga luas permukaannya sama
yaitu sebesar 50 mesh tertahan 100 mesh. Selain ukuran partikel, semakin banyak massa
adsorben yang digunakan diharapkan semakin banyak zat warna yang akan teradsorpsi.
Untuk mengetahui pengaruh massa terhadap adsorpsi dilakukan variasi massa zeolit. V ariasi
yang digunakan adalah 0,05; 0,1 ; 0,125; 0,25; 0,5 dan 0,75 gram. Pengaruh masa terhadap
adsorpsi ion Pb dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva Massa zeolit dengan logam tereserap Pb(II)
Pada adsorpsi ion Pb , proses adsorpsi optimum terjadi pada massa adsorben sebesar
0,125 gram. Pada massa 0,05; 0,01; 0,125; 0,25; 0,5 dan 0,75 adsorptivitasnya berturut-turut
sebesar 7,6; 8,4; 10,88; 5,24; 2,47 dan 1,75 mg/g. Dari data di atas dapat disimpulan bahwa
pada adsorpsi adanya penanmbahan massa adsorben ke dalam larutan Pb berpengaruh
terhadap hasil adsorpsi. Massa zeolit abu sekam padi yang berlebih dalam proses adsorpsi
memberikan larutan menjadi keruh sehingga mempengaruhi kejernihan larutan Pb yang
kemudian mengganggu pengukuran absorbansi. Massa optimum zeolite terjadi pada massa
0,125 gram dengan daya serap adsorben sebesar10,88 mg/g. Artinya bahwa penambahan
massa 0,125 gram zeolite abu sekam padi menyerap larutan Pb pada konsentrasi 100 ppm
memberi hasil yang paling baik.
Studi isoterm adsorpsi terhadap ion logam Pb(II) oleh zeolit dari abu sekam padi
dilakukan untuk mengetahui isoterm yang cocok pada adsorpsi yang telah dilakukan.
Konsentrasi larutan yang digunakan untuk studi isotherm adsorpsi adalah 100 ppm, 150 ppm,
200 ppm dan 250 ppm. Pada adsorpsi air sumur massa adsorben yang digunakan adalah
massa optimum yaitu 0,125 gram. Adsorpsi dilakukan pada kondisi optimal yaitu pada pH 6
dengan waktu 10 menit.
Penentuan isoterm adsorpsi yang cocok untuk adsorpsi logam timbal pada air sumur
dilakukan dengan membandingkan nilai R2 yang paling besar menunjukkan bahwa isotherm
tersebut lebih cocok. Uji isoterm adsorpsi Freundlich dilakukan dengan membuat grafik
hubungan antara log M dengan log c dari data diketahui bahwa adsorpsi pada penelitian ini
lebih mengikuti isoterm Freundlich. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai R2= 0,989 pada
isoterm adsorpsi Freundlich lebih tinggi bila dibandingkan dengan isoterm adsorpsi Langmuir
yang nilai R2= 0,956. Teori isotherm Freundlich menyatakan bahwa perbandingan antara
jumlah padatan yang terserap pada massa adsorben tertentu dengan onsentrasi padatan akhir
pada larutan tidaklah konstan pada konsentrasi awal larutan yang berbeda. Freundlich juga
mengasumsikan bahwa permukaan pori adsorben bersifat heterogen dengan distribusi panas
adsorpsi yang tidak seragam sepanjang permukaan adsorben.
Pada penelitian ini belum dapat diketahui energi yang digunakan untuk adsorpsi.
Selain itu tidak dilakukan juga penelitian mengenai pengaruh panas adsorpsi terhadap hasil
adsorpsi. Oscik (1982) dalam Wakyu (2011) menyebutkan bahwa panas adsorpsi dapat
digunakan untuk mengetahui adsorpsi yang terjadi termasuk pada adsorpsi fisika atau imia.
Selain panas adsorpsi, reversibilitas dan ketebalan permukaan adsorben juga dapat digunakan
sebagai parameter untuk menentukan suatu adsorpsi terjadi secara fisika atau kimia.
Aplikasi zeolit dalam air sumur dilakukan dengan cara memasukkan 0,25 gram zeolite
kedalam 50 mL air sumurpada pH dan konsentrasi asli air sumur .Kemudian campuran
digojok menggunakan shaker selama 30 menit lalu di dekantasi selama 45 menit. Filtrat yang
dihasilkan dianalisis dengan SSA. Dari hasil analisis diperoleh logam terserap Pb dalam air
sumur sebesar 0,24 mg/g dari massa Pb dalam limbah awal 0,045 mg. Dari konsentrasi akhir
dapat dihitung % penurunan massa pada adsorpsi limbah yaitu sebesar 66,66 %.
Aplikasi zeolit dalam air sumur untuk keadaan maksimal dilakukan dengan cara
memasukkan 0,125 gram zeolit kedalam 50 mL air sumur pada pH dan waktu kontak
maksimal yang telah diperoleh pada adsorpsi larutan Pb sebelumnya, yaitu pada pH 6 selama
40 menit. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi asli air sumur . Kemudian
campuran didekantasi selama 45 menit. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan SSA. Dari
hasil analisis diperoleh logam terserap Pb dalam limbah sebesar 0,28 mg/g dari massa Pb
dalam limbah awal 0,045 mg. Dari konsentrasi akhir dapat dihitung % penurunan massa pada
adsorpsi limbah yaitu sebesar 72,78 %.
4.5. Adsorpsi Logam Ag, Cd, Cr, Pb, dan Ni
Dalam bahasan ini dibandingkan sifat termodinamika adsorpsi SG dan HDS dengan
teknik batch terhadap ion campuran multilogam (Ag(I), Ni(II), Cu(II), Pb(II), dan Cr(III)).
Pembahasan meliputi penentuan kapasitas dan energi adsorpsi. Adsorpsi dilakukan dengan
mencampurkan larutan multilogam (Ag(I), Ni(II), Cu(II), Pb(II), dan Cr(III)) pada variasi
konsentrasi dengan 50 mg adsorben (SG dan HDS) selama 60 menit pada temperatur kamar
(25oC). Waktu ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Oscik (1982) yang menyatakan
bahwa kesetimbangan adsorpsi ion logam pada berbagai adsorben umumnya tercapai setelah
lebih kurang satu jam. Penentuan kapasitas adsorpsi menggunakan model isoterm Langmuir
didasarkan pada kurva isoterm adsorpsi yang menghubungkan konsentrasi ion logam
kesetimbangan (µmol/L) pada adsorben (SG dan HDS) dengan jumlah ion logam yang
teradsorpsi (µmol/g) .
Gambar 1. Model Kemungkinan Variasi Permukaan Hibrida Etilendiamino-Silika
Ni(II), Cu(II), Pb(II), dan Cr(III)) semakin naik dengan meningkatnya konsentrasi ion
logam. Pada konsentrasi yang relatif tinggi kenaikan konsentrasi ion logam tidak lagi disertai
dengan kenaikan adsorpsi multilogam secara signifikan pada adsorben (SG dan HDS) di
mana kurva cenderung konstan (horizontal) dan bahkan ada yang mengalami penurunan.
Kecenderungan tersebut seperti terlihat pada Ag(I) yang menunjukkan bahwa pada
konsentrasi yang relatif tinggi, situs aktif adsorben (SG dan HDS) telah jenuh oleh Ag(I) dan
terjadi penyerapan tunggal (monolayer adsorption) yang saling berkompetisi dalam larutan
multilogam. Oscik (1982) menjelaskan bahwa isoterm Langmuir adalah model adsorpsi
isotermal yang menggunakan asumsi bahwa permukaan adsorben mempunyai sejumlah situs
aktif, setiap situs aktif dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat dan bila setiap situs aktif
yang telah mengadsorpsi adsorbat maka adsorben sudah tidak dapat mengadsorpsi lagi.
Adsorpsi secara kimia terjadi karena adanya interaksi antara situs aktif adsorben dengan
adsorbat yang melibatkan ikatan kimia. Interaksi kimia hanya terjadi pada lapisan penyerapan
tunggal (monolayer adsorption) permukaan dinding sel adsorben (Oscik, 1982).
Kapasitas adsorpsi. Dari Tabel 1 dapat dilihat hubungan antara kapasitas adsorpsi
dengan logam teradsorpsi dari larutan multilogam (Ag(I), Ni(II), Cu(II), Pb(II), dan Cr(III)).
Kapasitas adsorpsi logam pada SG dan HDS sangat bervariasi Setelah dilakukan modifikasi
SG dengan EDAPTMS melalui proses sol-gel menjadi HDS secara keseluruhan kapasitas
adsorpsi untuk Ag(I), Cr(III) dan Ni(II) mengalami peningkatan, sedangkan Cu(II) dan Pb(II)
mengalami penurunan. Peningkatan kapasitas adsorpsi Ag(I), Cr(III) dan Ni(II) disebabkan
oleh bertambahnya jenis dan jumlah situs aktif (gugusamin) yang berperan dalam adsorpsi
untuk berinteraksi dsorpsi Multi Logam Ag(I), Pb(II), Cr(III), Cu(II) dan NI(II) pada Hibrida
Etilendiamino-Silika dari Abu Sekam Padi (Dyah Purwaningsih) dengan ion logam karena
adanyaproses modifikasi seperti yang terlihat pada Ag(I). AtomN dari gugus etilendiamin (-
NH2) berfungsi sebagai donor pasangan elektron (basa Lewis) yang kuat dan akan
memberikan ikatan koordinasi yang kuat antara atom N dengan Ag(I), sehingga berada pada
lapisan terdalam dari ke-5 ion logam lainnya yang saling terhidrasi dalam berkompetisi
membentuk lapisan multilayer. Martell dan Hancock (1996) menjelaskan bahwa dalam
larutan air ada dua lapisan koordinasi yang dikelilingi oleh molekul H2O yaitu lapisan
koordinasi dalam dan luar, pada lapisan koordinasi dalam ikatan yang terjadi antara ion
logam dengan atom O dari molekul H2O adalah ikatan koordinasi sedangkan pada lapisan
koordinasi luar ikatanyang terjadi antara atom O dari molekul H2O pada lapisan luar dengan
atom H dari molekul H2O pada lapisan dalam adalah ikatan hidrogen. Kapasitas adsorpsi dari
HDS untuk mengadsorpsi ion logam Cr(III) dalam larutan multilogam juga meningkat dan
Cr(III) stabil atau dominan di urutan kedua seperti pada SG. Hal ini disebabkan karena
Cr(III) merupakan logam keras yang cocok untuk berikatan dengan N dari gugus -NH2 yang
bersifat basa keras sesuaidengan prinsip HSAB (Hard Soft Acids and Bases), sehingga HDS
yang telah dimodifikasi itu dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi terhadap ion logam
terlarut yang ditunjukkan dengan peningkatan kapasitas adsorpsi dari Cr(III) dan berada di
urutan kedua setelah Ag(I). Dapat dimungkinkan juga akan terjadi ikatan antarasitus aktif
dari HDS (atom N dari gugus –NH2) dengan atom H dari H2O yang terikat pada ion logam
Cr(III) dalam medium sehingga terjadi interaksi untuk membentuk ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen yang terbentuk ini relatif lemah jika dibandingkan dengan ikatan kovalen (tunggal,
rangkap dan koordinasi) atau ikatan ion (Huheey, 1993), maka harga kapasitas Cr(III) berada
di urutan kedua setelah Ag(I). Hal yang sama terjadi pada ion Ni(II).
Untuk Cu(II) dan Pb(II) terjadi penurunan kapasitas adsorpsi. Hal ini dapat
dimungkinkankarena Cu(II) dan Pb(II) dalam larutan membentuk ion terhidrat dengan
molekul air menjadi [Cu(H2O)6]2+
dan Pb(H2O)6]2+
sehingga pada permukaan HDS yang
mempunyaisitus aktif (gugus -NH2) akan berinteraksi secara tidak langsung membentuk
ikatan hidrogen, ikatannya relatif lemah maka Cu(II) dan Pb(II) teradsorpsi lebih sedikit
dibandingkan dengan Ni(II), Cr(III) dan Ag(I).
Dari hasil kapasitas adsorpsi yang dipe roleh maka dapat disimpulkan bahwa
adsorpsi kation multilogam (Ag(I), Ni(II), Cu(II), Pb(II), dan Cr(III)) yang dilakukan secara
simultan terjadi kompetisi antara kation logam dalam memperebutkan sisi aktif dalam
permukaan adsorben (SG dan HDS) yang dapat mempengaruhi kemampuan adsorpsinya
terhadap ion logam terlarut. Harga kapasitas adsorpsi sangat bervariasi, jika dibandingkan
dengan SG pada HDS terja di kenaikan kapasitas adsorpsi untuk Ag(I), Cr(III) dan Ni(II)
sedangkan untuk Cu(II) dan Pb(II) mengalami penurunan. Energi adsorpsi. Dari Tabel 2
terlihat bahwa energi adsorpsi dalam larutan multilogam pada SG yang secara berurutan
adalah Ni(II) > Pb(II) > Cu(II) > Cr(III) > Ag(I), dan pada HDS yang secara berurutan adalah
Cu(II) > Pb(II) > Ag(I) > Cr(III) > Ni(II). Berda sarkan data tersebut maka pada SG energi
adsorpsi logam Ni(II), Pb(II), Cu(II), Cr(III) dan Ag(I) yang secara berurutan yaitu 33,20;
25,20; 23,77; 19,68 dan 22,89 kJ/mol, dapat dikategorikan terjadi adsorpsi secara kimia
(kemisorpsi) yang melibatkan ikatan langsung antara a dsorbat dengan permukaan adsorben.
Seperti yang dijelaskan oleh Adamson (1997) bahwa adsorpsi kimia (kemisorpsi) apabila
energi adsorpsi lebih dari 20,92 kJ/mol. Setelah dilakukan modifikasi silika melalui proses
sol-gel menjadi HDS, secara keseluruhan energi adsorpsi dari ion logam mengalami
penurunan. Hal ini diduga bahwa pada permukaan HDS yang terdapat atomN dari gugus –
NH2berinteraksi secara tidak langsung dengan atom H dari H2O yang terikat pada ion logam
dalam medium air, hingga membentuk ikatan hidrogen. Interaksi secaratidak langsung ini
menyebabkan ikatan antara atom H dari H2O yang terikat pada ion logam dengan situs aktif
dari HDS (atom N dari gugus - NH2) relatif lemah maka energi yang dilepaskan menjadi
kecil, sehingga energi adsorpsi logam Cu(II), Pb(II), Ag(I), Cr(III) dan Ni(II) mengalami
penurunan.
Secara umum, pada HDS terlihat bahwa energi adsorpsi Cu(II), Pb(II), dan Ag(I),
yang secara berurutan lebih besar yaitu 23,45; 22,70 dan 22,36 kJ/mol, dapat dikategorikan
terjadi adsorpsi secara kimia (kemisorpsi) yang melibatkan ikatan langsung antara adsorbat
dengan permukaan adsorben. Ion Cr(III) dan Ni(II) yang secaraberurutan memiliki nilai
energi adsorpsi lebih kecil yaitu 13,36dan 13,90 kJ/mol sehingga keduanya dapat
dikategorikan terjadi adsorpsi secara fisik (fisisorpsi). Akan tetapi untuk adsorpsi Cr(III) dan
Ni(II) kemungkinan terjadi secara kimia dan fisik, hanya saja interaksi fisik lebih dominan
dibandingkan interaksi secara kimia. Hal ini dimungkinkan karena selain adsorpsi secara
kimia terdapat juga kontribusi adsorpsisecara fisik, sebab pada kenyata annya hampir tidak se
mua adsorpsi hanya mengikuti satu jalur mekanisme saja (Nuryono dkk. 2004).
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Adsorben hibrid amino-silika telah berhasil dibuat melalui proses sol-gel dengan
menggunakan prazat Na2SiO3dari ASP. Hibridisasi dengan gugus amino mampu
meningkatkan kapasitas dan laju adsorpsi terhadap Zn(II) dan Cd(II). Proses adsorpsi
Zn(II) dan Cd(II) pada HAS diduga terjadi melalui ikatan hidrogen antara molekul air
yang terhidrasi pada ion logam dengan atom O dan N pada gugus fungsi adsorben.
Laju adsorpsi ion logam Zn(II) > Cd(II) pada SG maupun HAS.
2. Efisiensi penyisihan Cu terbaik pada percobaan batch diperoleh pada abu sekam padi
dengan ukuran media 30-50 mesh, dengan berat media 30 gram yaitu sebesar 52,81%
- 87,803%. Efisiensi penyisihan Cu pada eksperimen kontinyu dengan ukuran media
30-50 mesh sebesar 94,98% - 97,10%.
3. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pH adsorpsi Pb(II) oleh adsorben asam humat, HMS, dan asam humat
terimobilisasi hibrida merkapto silika yaitu pada pH 3. Besarnya kapasitas
adsorpsi yang diperoleh untuk adsorben asam humat, HMS dan AH-HMS adalah
sebesar 27,03 mg/g, 32,68 mg/g dan 22,73 mg/g. Gugus-gugus fungsional yang
berperan dalam adsorpsi logam Pb(II) pada asam humat yaitu gugus karboksilat
–COOH, pada hibrida merkapto silika (HMS) dan AHHMS yaitu gugus –SH.
4. Kondisi optimal adsorpsi ion logam timbal oleh zeolit abu sekam padi terjadi pada pH
6, massa 0,125 gram dan waktu kontak selama 40 menit. Kapasitas adsorpsi zeolit abu
sekam padi terhadap ion logam timbal adalah sebesar 5 mg/g. Isoterm adsorpsi yang
cocok untuk adsorpsi logam timbal pada air sumur yaitu isoterm Freundlich dengan
R2 sebesar 0,989. Proses adsorpsi menggunakan zeolit abu sekam padi dapat
menurunkan konsentrasi logam Pb pada air sumur sebesar 72,78 %.
5. Pada adsorpsi logam multi komponen bahwa :
a. Kajian adsorpsi multilogam pada hibrida etilendiamino-silika menunjukkan
bahwa urutan kapasitas adsorpsi adalah Ag(I), Cr(III), Ni(II), Cu(II) dan Pb(II)
b. Jika dibandingkan pada silica gel (SG), kapasitas adsorpsi pada HDS untuk
Ag(I), Cr(III) dan Ni(II) mengalami peningkatan, sedangkan untuk Cu(II) dan
Pb(II) mengalami penurunan.
c. Data energi adsorpsi ion logam secara umum relatif rendah untuk Ag(I), Pb(II),
Cr(III), Cu(II) dan Ni(II) adalah 22,36; 22,70; 13,36; 23,45; dan 13,90 kJ/mol,
yang mengindikasikan bahwa interaksi antara HDS dengan ion logam terjadi
melalui fisisorpsi untuk Cr(III) dan Ni(II) dan kemisorpsi untuk Ag(I), Pb(II) dan
Cu(II).
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A.D., Hadiwidodo, M., Oktiawan, W., dan Wahyudi, J. 2011. Penggunaan Abu
SekamPadi Sebagai Adsorben Limbah Logam Tembaga (Cu+2). Teknologi
Indonesia. 34(2): 111.
Benjamin, M.M. 2002. Water Chemistry. New York: The McGraw Hill. Hal.553-
554.Budiarto, E. (2004). Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 46.
Danarto, Y.C, dkk. 2010. Pirolisis Limbah Serbuk Kayu dengan Katalisator Zeolit.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia.
Danarto, Y.C., Nur, A., Setiawan, D.P., dan Kuncoro, N.D. 2010. Pengaruh Waktu Operasi
Terhadap Karakterstik Char Hasil Pirolisis Sekam Padi Sebagai Bahan Pembuatan
Nano Struktur Supermikrosporous Carbon. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia.
Yogyakarta. Hal. 1-2.
Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran (Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam), Penerbit : Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI Press. Hal. 5-7.
Eckenfelder, W.W., (2000), Industrial Water Pollution Control, McGraw-Hill Book
Companies, Singapura.
El-Said, A.G. (2010). Biosorption of Pb(II) Ion from Aqueous Solution Onto Rice Husk and
Its Ash. Journal of American Science. 6(10): 144.
El-Said, A.G., Badawy, N.A., dan Garamon, S.E. (2012). Adsorption of Cadmium (II) and
Mercury (II) onto Natural Adsorbent Rice Husk Ash (RHA) from aqueous Solution:
Study in Singel and Binary System. International Journal of Chemistry. 6(1): 59.
Ferianto, Rizal Taufik. 2011. Sintesis Zeolit Dari Abu Sekam Padi dan Aplikasinya Untuk
Menurunkan Kadar Ion logam Cr Pada Limbah Elektroplatting.Tugas Akhir 2 FMIP
A UNNES.
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2008). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan III.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Hal. 298, 305-307, 305-312, 319.
Hsu, H.W., dan Luh, B.S. (1980). Rice Hull. Dalam Rice Produck And Utilization. Editor:
Bor Shiun Luh. New York: Avi Publishing Company Inc. Hal. 736-740.
Igwe, J.C., dan Abia, A.A. (2007). Adsorption Isotherm Studies of Cd(II), Pb(II), and Zn(II)
on Bioremediation from Aqueous Solution Using Unmodified and EDTA-Modified
Maize Cob. Ecletica. 32(I): 33-34.
Khopkar, S.M. (1985). Basic Concepts of Analytical Chemistry. Penerjemah:
Asmuwahyu Saptorahardjo. (2008). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.
Hal. 275-277, 285.
Kolasinski, K.W. (2008). Surface Science: Foundation of Catalysis and Nanoscience. Edisi
ke-2. London: John Wiley & Sons Ltd. Hal. 22-23, 27.
LaGrega, M.D., Buckingham, P.L., dan Evans, J.C. (2001). Hazardous Waste Mangement.
Edisi ke-2. New York: McGraw Hill. Hal. 117, 196, 202, 478-479.
Mahvi, A.H., Maleki, A., and Eslami, A., 2004, “Potential of Rice Husk and Rice Husk Ash
for Phenol Removal from Aqueous Systems”, American J. Appl. Sci., 1(3), 321-326.
Mdoe, J.E.G., dan Mkayula, L.L. (2002). Preparation And Characteritation Of Activated
Carbon From Rice Husks And Shells Of Palm Fruits. Tanz. J. Sci: 28(2): 131-132.
Mulia, Ricky.M. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Edisi pertama, Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu.
Nakbanpote, W., Thiravetyam, P., and Kalambaheti, C., 1999, “Adsorption of Gold by Rice
Husk Ash”, The 5thAsia-Pacific Biochemical Engineering Conference 1999.
Penggunaan Abu Sekam Padi Sebagai Adsorben Limbah Logam.
Purwaningsih, D. (2009). Adsorpsi Multi Logm Ag (I), Pb(II), Cr (III), Cu (II) dan Ni (II)
Pada Hibrida Etilendiamono-Silika Dari Abu Sekam Padi. Jurnal Penelitian Saintek.
14(1): 6.
Reynolds, Tom, D. 1982. Unit Operations and Processes in Environmental Engineering.
Wadsworth Inc: California.
Selwood, P.W. (1962). Adsorption and Collective Paramagnetism. New York: Academic
Press. Hal. 1-2.
Sembodo, B.S.T. (2005). Isoterm Kesetimbangan Adsorsi Timbal Abu Sekam Padi.
Ekuilibrium. 4(2): 101.
Setyowati Rahayu, Suparni. 2009. Limbah Cair.
http://limbahcair_chemistry.Org_situsKimiaIndonesia_htm/
Shukla, S.P. (2011). Investigation In to Tribo Potential of Rice Husk (RH) Char Reinforced
Epoxy Composite. Thesis. Rourkela: National Institute of Technology Rourkela.
Soegianto, A. (2004). Metode Pendugaan Pencemaran Perairan Dengan Indikator
Biologi. Cetkan I. Surabaya: Air Langga Press. Hal. 1.
Sundstorm, Donald W., and Herbert E. Klei. 1979. Waste Water Treatment. PrenticeHall,
Inc. Englewood Cliffs, N.J. 07632: USA.
Tang, P.L., Lee, C.K., Low, K.S., and Zainal, Z., 2003, “Sorption of Cr(VI) and Cu(II) in
Aqueous Solution by Ethylenediamine Modified Rice Hull”, Environ. Technol.,
24(10), 1243-1251. Tembaga (Cu+2). Teknologi Indonesia. 34(2): 111.
Watson, G. 2005. Pharmaceutical Analysis: A Textbook for Pharmacy Students and
Pharmaceutical Chemists. Penerjemah: Winny R. Syarief. (2010). Analisis Farmasi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 169-170.
Widwiastuti, H., Mulyasuryani, A., dan Sabarudin, A. (2013). Extraction of Pb+2 Using
Silica From Rice Husk Ash (RHA) – Chitosan As Solid Phase. J. Pure App. Chem.
Res. 2(1): 42.
Wong, K.K., Lee, C.K., Low, K.S., and Haron, M.J., 2003, “Removal of Cu and Pb by
Tartaric Acid Modified Rice Husk from Aqueous Solutions”, Chemosphere, 50, 23 -
28.
I.chorkendroff, J.W. Niemantsverdiet. Concepts of Modern Catalysis and Kinetics.
Wliey-VCH GmbH&Co. New York. 2003. Hal 143 -147.
Unduh: http://www.chem-is-try.org/ Diakses pada tanggal 11 April 2014
Unduh: http://labinfo.files.wordpress.com Diakses pada tanggal 11 April 2014
Unduh: http://serc.carleton.edu/ Diakses pada tanggal 11 April 2014