agama primitif.docx

14
Agama dalam Arus Post-Modern Oleh Sutomo* Agama selamanya hanya akan menjadi hiasan dan patung belaka, jika umatnya tidak dapat merasionalkan ajaran agama itu sendiri. Permasalahan pokok dari era yang satu ini (Post-Modern) adalah anti kemapanan, menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menghindari suatu sistematika uraian dan pemecahan persoalan yang bersifat skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.(Amin Abdullah) Agama, dari segi doktrin didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Secara antropologis, agama sebagai sistem keyakinan yang dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai kebudayaan masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat untuk berjalan sesuai dengan kebudayaan dan ajaran agamanya. Sejauh ini, bebricara soal agama, di sadari atau tidak, claim sepihak selalu muncul. Hal ini tidak lepas dari doktrin agama itu sendiri, tapi hal yang tidak patut dilakukan agama adalah pemaksaan terhadap kebenaran sepihak. Ini sesuai dengan peran ganda agama, yaitu individu dan masyarakat. Terhadap individu, agama berperan sebagai penyucian diri, sarana penyucian jiwa dalam memberi berbagai pegangan dan pedoman untuk mencapai kesempurnaan hidup. Terhadap masyarakat, agama sebagai sarana penting dalam tata sosial dan efektif untuk membentuk sistem sosial tertentu berdasarkan dogma normatifnya. Sejarah masyarakat telah menunjukkan suatu perkembangan dalam sistem sosialnya, sebagaimana perkembangan dalam pemikiran, pengetahuan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setidaknya berawal dari pola perkembangan primitif, tradisional, modern, dan berujung pada posmodern. Syahdan, masyarakat primitif, masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mereka menganggap bahwa sebagian alam mengandung kekuatan ghaib. Sehingga pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalahpun akhirnya melalui langkah-langkah irasional, salah satunya melalui sesajen untuk mengendalikan dan menundukkan kekuatan-kekuatan ghaib yang dipandang sebagai sumber segala kejadian. Tapi setelah masyarakat berkembang dalam bentuk agraris. Kepercayaan alam primitif mulai bergeser dan menemukan tampilan yang baru, dan akhirnya sampai pada zaman modern atau industri. Banyak gejala-gejala sosial yang muncul akibat perubahan masyarakat pasca- agraris ini. Di antaranya sikap rasionalitas terhadap bidang hidup kemasyarakatan, termasuk bidang kepercayaan atau agama. Meledaknya urbanisasi, sikap hidup yang dinamis, bebas, individualistik, dan materialistik. Kenyataan tersebut tentu membawa perubahan dalam pandangan manusia terhadap kepercayaan atau agama. Dari sejarah perkembangan masyarakat dan sistem kepercayaan di atas, menunjukkan bahwa agama atau kepercayaan akan ditinggal umatnya, manakala tidak mampu memberikan solusi atas masalah pelik yang dibutuhkan. Lebih-lebih bagi agama yang dipandang menghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat.

Upload: bee-afrianti-rita

Post on 04-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: agama primitif.docx

Agama dalam Arus Post-Modern

Oleh Sutomo*

Agama selamanya hanya akan menjadi hiasan dan patung belaka, jika umatnya tidak dapat merasionalkan ajaran agama itu sendiri.

Permasalahan pokok dari era yang satu ini (Post-Modern) adalah anti kemapanan, menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menghindari suatu sistematika uraian dan pemecahan

persoalan yang bersifat skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.(Amin Abdullah)

Agama, dari segi doktrin didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara

manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Secara antropologis, agama sebagai sistem keyakinan yang

dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai kebudayaan masyarakat, dan menjadi pendorong atau

penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat untuk berjalan sesuai dengan kebudayaan dan

ajaran agamanya.

Sejauh ini, bebricara soal agama, di sadari atau tidak, claim sepihak selalu muncul. Hal ini tidak lepas dari

doktrin agama itu sendiri, tapi hal yang tidak patut dilakukan agama adalah pemaksaan terhadap kebenaran

sepihak. Ini sesuai dengan peran ganda agama, yaitu individu dan masyarakat. Terhadap individu, agama

berperan sebagai penyucian diri, sarana penyucian jiwa dalam memberi berbagai pegangan dan pedoman untuk

mencapai kesempurnaan hidup. Terhadap masyarakat, agama sebagai sarana penting dalam tata sosial dan

efektif untuk membentuk sistem sosial tertentu berdasarkan dogma normatifnya.

Sejarah masyarakat telah menunjukkan suatu perkembangan dalam sistem sosialnya, sebagaimana

perkembangan dalam pemikiran, pengetahuan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setidaknya berawal

dari pola perkembangan primitif, tradisional, modern, dan berujung pada posmodern.

Syahdan, masyarakat primitif, masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mereka menganggap

bahwa sebagian alam mengandung kekuatan ghaib. Sehingga pemenuhan kebutuhan dan pemecahan

masalahpun akhirnya melalui langkah-langkah irasional, salah satunya melalui sesajen untuk mengendalikan dan

menundukkan kekuatan-kekuatan ghaib yang dipandang sebagai sumber segala kejadian.

Tapi setelah masyarakat berkembang dalam bentuk agraris. Kepercayaan alam primitif mulai bergeser dan

menemukan tampilan yang baru, dan akhirnya sampai pada zaman modern atau industri.

Banyak gejala-gejala sosial yang muncul akibat perubahan masyarakat pasca- agraris ini. Di antaranya sikap

rasionalitas terhadap bidang hidup kemasyarakatan, termasuk bidang kepercayaan atau agama. Meledaknya

urbanisasi, sikap hidup yang dinamis, bebas, individualistik, dan materialistik. Kenyataan tersebut tentu

membawa perubahan dalam pandangan manusia terhadap kepercayaan atau agama.

Dari sejarah perkembangan masyarakat dan sistem kepercayaan di atas, menunjukkan bahwa agama atau

kepercayaan akan ditinggal umatnya, manakala tidak mampu memberikan solusi atas masalah pelik yang

dibutuhkan. Lebih-lebih bagi agama yang dipandang menghambat kemajuan dan perkembangan masyarakat.

Seperti pada masyarakat Barat, sebagian besar di antara mereka telah meninggalkan agamanya ketika berada

pada masa transisi positivisme dan industrialisasi kebutuhan hidup. Mereka gagal membawa agamanya dan gagal

membangun nilai-nilai agama pada masyarakat sekarang.

Ada beberapa alasan sosiologis yang menyebabkan makin rendahnya jumlah orang menjalankan amalan-

amalan keagamaan. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi adalah adanya sekulerisasi, iklim penalaran dan

skeptisisme serta ketidakpraktisan sembahyang. Sampai sekarang, masyarakat Barat banyak yang menempuh

jalan hidup secara atheis. Setidaknya, mereka berhaluan agnostis, yaitu sikap hidup yang percaya terhadap

Tuhan dan namun tidak beragama.

Page 2: agama primitif.docx

Untuk itu, pemeluk agama harus bisa mengaktualisasikan diri untuk merespon agama secara kontekstual,

tanpa adanya penghalang yang membayangi nalar spiritualnya. Dan ini berarti menghargai adanya relativisme

dalam tafsir agama, sebagaimana prinsip posmodern itu sendiri.

1. % D.    Dinamisme dan Animisme dalam Dunia Moderen

Ketika berbicara tentang dunia moderen, terbayang dalam benak seseorang berbagai alat canggih, obat-obatan teruji dan lainnya. Hal ini hanya memandang kulit luarnya saja tanpa menyatu dengan kehidupan yang sebenarnya. Dalam masyarakat yang katanya moderen, ternyata masih banyak ditemukan praktik-praktik pembuatan dan penggunaan azimat, meminta tolong orang pintar agar tidak turun hujan ketika hajatan, kekuatan keris dan lainnya.

Fenomena di atas terjadi di pedesaan maupun di kota besar seperti Surabaya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan banyak ditemukan penulis di desanya juga di sebuah pondok yang ditempati sekarang di Surabaya. Yang diketahui penulis, sesepuh pondok membuat azimat dengan tulisan tangan lalu di-scan dan tinggal memperbanyak (biasanya santri yang melakukan). Selebihnya tentang yang lain-lain terkait dengan petunjuk atau himabuan tidak diketahui. Karena hal tersebut berhubungan dengan sesepuh dan tamunya. Di akhir makalah ini penulis melampirkan contoh azimat yang pernah dia print.

Bertolak belakang dengan fenomena di atas, sebagian orang (peneliti) mengatakan bahwa agama lahir untuk menjawab ketidakmampuan atau keterbatasan manusia. Sehingga ketika melihat sejarah manusia yang tidak sanggup menjelaskan alam, mereka menuhankan alam. Hal ini terus berkembang dari sekian banyak kekuatan yang dipercaya samapai pada satu kekuatan tertinggi (monoteisme) seiring dengan perkembangan manusia. Dan menurut mereka (peneliti) agama ini akan hilang setelah manusia semakin maju dan sanggup menjelaskan segalanya.

Apa yang dikatakan di atas tidak sepenuhnya benar. Apa lagi melihat  fenomena yang ada di mana Dinamisme dan Animisme sebagai kepercayaan yang sering dikaitkan dengan masyarakat primitif, ternyata masih banyak ditemukan prakteknya di dunia moderen sekarang ini. Bahkan bisa dikatakan berkembang dengan semakin banyaknya penemuan hal-hal baru.

Eksisnya Dinamisme dan Animisme dalam dunia moderen, khususnya di pedesaan memberikan sinyal bahwa kepercayaan ini seakan menyatu dengan manusia dan tidak bisa ditinggalkan, tetapi hanya perlu diluruskan. Karena dipercayai atau tidak, mereka yang merasakan efeknya (kekuatan) tidak mungkin menolaknya. Dan terkait hal-hal gaib yang tidak tampak oleh mata, di sini bukan wilayah pengetahuan yang mudah diterangkan dan pembuktiannya dirasakan banyak orang. Tetapi harus mempunyai pengalaman sendiri dalam membuktikan objektivitasnya.

Dalam kitab-kitab kuno karya ulama salaf sendiri, banyak ditemukan beberapa ajaran atau tulisan yang mengandung unsur Animisme dan Dinamisme. Selain azimat dan keutamaan-keutamaan, ada juga ayat atau bacaan-bacaan tertentu yang memiliki formula dengan ketentuannya. Kitab yang terkenal dalam bahasannya akan hal yang mengandung Animisme dan Dinamisme ini seperti Abu Ma’syar dan Syamsul Ma’arif yang biasa dipegang dan menjadi rujukan para kiai. Contoh yang dapat diambil dalam Islam sendiri misalnya keutamaan hari tertentu, ayat-ayat yang memiliki nilai lebih ketika dibaca sesuai prosedur yang ditentukan, keutamaan nama-nama tertentu  dan lain

bagi pembaca semua.

Thursday, July 30, 2009

AGAMA PRIMITIF

AGAMA PRIMITF

Asal Usul Agama PrimitifPada dasarnya agama primitive mempunyai dua asal-usul yaitu :1. suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yeng terbuktu dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.2. agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, histories, dab psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena soaial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitive, kepada bentuk yang sempurna.Istilah primitif dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak diliat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern. Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat. Berdasarkan hal tersebut, belum ada kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun apabila pengertian primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard beliau menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya.Apabila dilihat dari segi sudut pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai agama primitive, atau berawal dari praktek-praktek agama primiti, mungkiin agama ini derkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut. Banyak kita jumpai sistem ritus, kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme, dan lain-lain yang dimana

Page 3: agama primitif.docx

kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu jenis keagamaan, agama primitive sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme, kecuali orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim, sedangkan orang primitive tigak mengenal apakah dirinya animisme, dinamisme atau sebagainya.Dalam hal ini manusia primitive adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunai isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.Maka dengan adanya hal semacam ini timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti halnya upacara bersaji dimana bersaji ini merupakan suatu keyakinan dan sudah menjadi doktrin, karena kegiatan ini merupakan perwujudan dari agama. Yang memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat yang dijujukan pada Dewa melalui adanay korban binatang misalnya, yang dalam hal ini darahnya disajikan untuk para Dewa, sedangkan dagingnya untuk kita, seperti halnya yang terjadi pada kelompok masyarakat Bugis yang berada dikalimantan barat, yang dimana pada tiap tahunnya kelompok ini mengadakan upacara bersaji atau dalam kelompok ini disebut dengan “Makan-makan”, upacara makan-makan ini biasanya dilaksanakan didalam sebuah kelambu yang diadakan di atas tempat tidur orang yang melaksanakan upacara tersebut, dalamupacara ini disediakan alat-alat seperti beras kuning, beras putuh, telur ayam kampong yang mentah dan yang masak masing-masing satu buah.Dalam pelaksanaan upacara ini setiap anak diusapkan minyak wangi dari telapak kaki sampai pada ubun-ubun, dan biasanya dilakukan oleh keluarga yang dianggap paling tua. Bisa kakek, ayah, atau kakak tertuan dalam keliarga tersebut, sedangkan waktunya biasa dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Guna menghindarkan diri atau keluarga dari gangguan setan atau Jin yang ada dalam keluarga tersebut, serta agar semua keluarga selalu berada dalam keselamatan, serta menjauhkan diri dari gangguan penunggu laut.Biasanya upacara semacam ini wajib dilakukan pada tiap tahun, apa bila tidak melakukan hal tersebut maka dalam satu keluarga dan salah satu dari keluarga tersebut ada yang tidak sempurna kehidupannya. Baik dalam hal jodoh, rizki, ataupun nasibnya dalam menjalani hidup. Namun upacara atau adapt semacam ini dapat hilang atau tidak wajib lagi dilakukan apabila salah satu keturunan dari keluarga tersebut yaitu anaknya menikah bukan dengan oaring yang berketurunan bugis, maka ia keturunan berikutnya boleh melaksanakan boleh juga tidak. Namun sebelumnnya belau harus berjanji dulu untuk meninggalkan hal tersebut agar tidak dikucilkan oleh keluarga.Dalam hal ini sangat bertentangan dengan ajaran islam karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah. Namun adapt-adat semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat primitif didaerah tersebut, walaupun mempunyai dampak positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Iani merupakan salah satu contoh dari sebagian masyarakat primitive yang masih mempertahankan upacara atau adapt tersebut pada zaman modern saat ini, dan walaupun mereka memeluk agama islam serta rajin beribadah.Setelah melihat uraian diatas dapat dikatakan bahwa masyarakat primitive berpadangan bahwa dunia dan alam sektarnya bukanlah objek tetai sebagai subjek, lain halnya dengan masyarakat modern memandang dirinya sebagai subjek sedangkan alam sebagai objeknya. Akibat dari tidak bisanya membedakan antara subjek dan objek antara manusia dan alam sektarnya, akhirnya masyarakat primitive memandang sakrala terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan dan bencana, sebagai contoh apabila ada yang sakit mereka lebih mempercayai dukun dari pada dokter.Selain itu keris pohon yang rindang mereka menganggap semua itu memiliki sesuatu yang sangat sacral sehingga perlu dipeliharan dan dihormati. Jika kita amati denda-benda tersebut menjadi sacral dikarenakan sikap manusi itu sendiri yang selalu menganggap benda itu sacral, dalam hal ini kehidupan manusia primitive dipanihi dengan upacara keagamaan. Oleh karena itu upacara-upacara keagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka, sepert pada saat membuka sawah, lading, perkawinan, serta perbuatan-perbuatan lainny. Dalam setiap upacara memiliki mite-nya tersendiri, yang mempunyai suatu naskah atau scenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam hidupnya.Agama-agama primitif meskipun disana sini bersifat sinkretis, pada hakaekatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsure. Satu conto adalah beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh) tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsure-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa-sisa toteisme yang tak jelas dan sukar ditetapkan.

% .     Bentuk – bentuk Agama Primitif

Pada dasarnya bentuk Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase

keprimitifan. Agama – agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme Politeisme dll, adapun

pengertiannya adalah sebagai berikut :[5][5][5][5]

1)      Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda – benda

tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan

ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.

2)      Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap – tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi

masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda – benda tertentu

adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua

yang gelap dll.

3)      Agama Monoteisme ialah : Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi

kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

4)      Agama Politeisme ialah : mengandung kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam politeisme talah mempunyai tugas-tugas tertentu.

Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa

kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.

    Persamaan dari agama-agama primitif tersebut adalah manusia membujuk kekuatan supernatural dengan penyembahan dan saji-sajian supaya

mengikuti kemauan manusia.

Perbedaan politeisme dan henoteisme ?

[5][5]

Page 4: agama primitif.docx

Jika pada politeisme, kepercayaan kepada dewa-dewa dan mengakui dewa terbesar diantara para dewa. Pada henoteisme, mengakui satu tuhan

untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lainnya mempunyai tuhannya sendiri. Keduanya masih menyakini dewa-dewa lain atau tuhan-tuhan

lain(bukan monoteisme).[6][6][6][6]

Tidak ada manusia dari yang primitip sampai yang modern yang tidak mengenal agama atau dalam pengertian primitip keyakinan akan hal-hal yang gaib/sihir/magi (magic). Dalam masyarakat apapun selalu ada keyakinan mengenai adanya realita yang dianggap kekal, baka dan suci (Sacred) dan realita alam nyata yang kita diami yang bersifat tidak kekal, fana, dan duniawi (Profane). Menurut Mircea Eliade, tokoh sejarah agama:

[6][6]

Page 5: agama primitif.docx

"Manusia menyadari realita yang suci (sacred) karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi (profane). Pernyataan itu disebut sebagai hierophany." [1]

Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya orang-orang memandangnya dengan hormat disertai larangan dan pantangan bila berhubungan dengannya. Keyakinan demikian diiringi dengan keyakinan adanya kekuatan supranatural khususnya kekuatan gaib/sihir/magi, atau ide-ide mengenai adanya mahluk halus, roh-roh, setan, roh nenek moyang yang telah mati, atau dewa-dewi (gods) yang berasal atau berada dalam realita yang suci tersebut.

Orang yang meletakkan dasar studi antropologi agama adalah Edward B. Taylor yang mengatakan:

"esensi agama primitip adalah animisme, keyakinan akan mahluk halus, dan keyakinan ini berasal dari penafsiran yang keliru tetapi konsisten tentang mimpi, penglihatan, halusinasi, kesurupan, dan gejala-gejala yang sama." [2]

Pandangan ini menuntun kepada sikap yang membedakan jiwa dari badan, dimana jiwa akan terus akan mengalami kehidupan sesudah mati karena dalam kenyataannya mereka yang mati sering menampakkan diri dalam mimpi, membayang-bayangi mereka yang masih hidup dalam ingatan dan penglihatan, dan mempengaruhi tujuan hidup manusia, ini membawa kepada keyakinan akan setan dan roh-roh nenek moyang dan akan kehidupan sesudah mati di alam lain.

"Kepercayaan Animistis melahirkan rasa takut dan rasa hormat terhadap banyak macam gejala alami. Orang pun memuja tempat-tempat tertentu, sementara para leluhur pun dikeramatkan dan diharapkan berkatnya." [3]

Animisme menurut Taylor, sebagai filsafat dan agama orang-orang primitip, dihasilkan dari pengamatan dan penyimpulan (akan mimpi, halusinasi dll) secara spontan. Taylor terkenal sebagai pelopor yang mempromosikan teori 'evolusi agama' dalam buku karyanya 'The Primitive Culture' yang ditulisnya pada tahun 1872.

Pandangan Taylor terbatas karena menganggap orang-orang primitip itu sebagai terlalu perenung dan rasional, padahal faktanya banyak sekali penyelidikan baru menunjukkan bahwa orang-orang biadab sekalipun, sudah memiliki minat selain pada mengail ikan dan berkebun juga upacara dan festival suku yang lebih luas daripada hanya pengalaman perenungan mimpi perorangan. Dalam studi sejarah agama dimulai dari Taylor kuat adanya pendapat yang menganggap bahwa telah terjadi perkembangan agama dimulai dari keyakinan adanya mana (manism) ke keyakinan akan roh-roh dibalik segala sesuatu (animism) menuju keyakinan akan patung (totemism), jimat (fetishism), penyembahan alam dan roh-roh, kemudian kepada dewa-dewi & setan-setan (polytheism), dan terakhir kepada ide akan keberadaan Allah yang tunggal (monotheism).

Sekalipun demikian banyak tokoh sejarah agama seperti Mircea Eliade mengatakan bahwa faham evolusi gejala agama dari yang sederhana sampai yang kompleks adalah hipotesa yang tidak dapat dibuktikan [/COLOR][4], demikian juga Andrew Lang dalam buku 'The Making of Religion' (1989) membuktikan bahwa teori evolusi agama tidak cocok dengan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam sejarah agama. Pandangan menolak dikemukakan oleh Robert Brow:

"Teori evolusi agama sedang dirumuskan kembali dengan anggapan bahwa Monotheisme telah terjadi pada bayang-bayang masa pra-sejarah. Dipelopori oleh Pastor William Schmidt dari Wina, para anthropolog telah memperlihatkan bahwa ratusan agama suku bangsa yang terpencil sampai pada masa kini tidaklah primitif dalam arti agama asali yang belum berkembang. Bangsa-bangsa ini mempunyai ingatan tentang "Sang Hiang Tunggal", Sang Pencipta Allah Bapa yang lemah lembut, Allah ini tidak lagi dipuja, sebab tidak ditakuti ... Dengan demikian kita melihat bahwa evolusi agama yang mulai dari Animatisme primitif, tidak lagi dapat diterima sebagai axioma (kenyataan), dan bahwa beberapa antropolog percaya bahwa Monotheisme mungkin saja lebih primitif daripada Animisme." [5]

Penelitian lebih lanjut antropologi modern dapat dijumpai dalam karya Sir James Frazer. Ia mengemukakan adanya tiga masalah yang dihadapi oleh agama primitip, yaitu (i) hal-hal gaib/sihir/magi (magic) dan hubungannya dengan agama dan pengetahuan; (ii) totemisme (penghormatan patung) dan aspek sosiologis keyakinan kuno; dan (iii) kultus kesuburan dan tanam-tanaman.

Dalam buku 'The Golden Bough,' Frazer menunjukkan dengan jelas bahwa animisme bukan satu-satunya keyakinan pada budaya primitip. Orang primitip berusaha untuk menguasai alam untuk tujuan praktis, ini dilakukannya secara langsung melalui upacara dan mantra, menguasai angin dan iklim, dan binatang dan panen agar mengkuti kemauannya. Baru setelah usahanya menguasai alam ini mengalami kesulitan barulah manusia mencari usaha meminta bantuan roh-roh yang lebih tinggi seperti setan, roh nenek-moyang atau dewa-dewi. Disinilah Frazier membedakan antara kepercayaan Ilmu Gaib (Magic, yaitu keyakinan bahwa manusia dapat menguasai alam) dan Agama (Religion, yaitu pengakuan akan keterbatasan manusia dan pencarian kuasa yang lebih tinggi darinya sejalan perkembangan pengetahuan).

Banyak pujian dan kritik ditujukan pada tulisan Frazier yang dianggap sudah lebih maju dari tulisan Taylor, yang umumnya membedakan antara Ilmu Pengetahuan (Science) yang dihasilkan dari pengalaman dan Ilmu Gaib/Sihir/Magi (Magic) yang dihasilkan dari tradisi. Ilmu Pengetahuan dipimpin akalbudi dan diuji oleh pengamatan, terbuka akan kebaikan untuk seluruh komunitas, sedangkan Ilmu Magic berkisar kebatinan (mysticism) dan berbau okultisme yang diajarkan melalui awal yang rahasia yang diturunkan secara bakat atau diwariskan secara eksklusip. Jadi dari pengertian Frazer kedua realita itu tidak saling bergantung dalam arti kata tidak harus bahwa Ilmu Pengetahuan diahasilkan karena perkembangan Ilmu Gaib (Magic).

Bila Ilmu Pengetahuan dilandaskan konsepsi kekuatan-kekuatan alam, Ilmu Gaib dihasilkan oleh keyakinan akan adanya kekuatan atau tenaga (power) yang bersifat batin dan tidak berpribadi yang secara umum diyakini oleh orang-orang primitip.

Bagi Mircea Eliade "Baik bagi orang primitip atau masyarakat modern, yang suci (sacred) itu disamakan dengan suatu kekuatan atau tenaga (power)" [/COLOR][6]. Kekuatan atau tenaga (power/force) yang diyakini oleh kebanyakan orang-orang primitip sampai sekarang biasa disebut antara lain sebagai mana di Melanesia, arungquiltha di suku Aborijin Australia, wakan/orenda/manitu yang diyakini orang-orang Indian Amerika dapat ditemui secara universil di semua suku-suku primitip di dunia dimana Ilmu Gaib/Sihir dipraktekkan.

Page 6: agama primitif.docx

Dari banyak pengamat antropologi agama, ditemukan dalam semua agama primitip adanya keyakinan akan kekuatan (power/force) supranatural yang tidak berpribadi yang menggerakkan semua hal yang ada disekitar kehidupan orang-orang dan juga dalam realita yang suci. Mana inilah dan bukan animisme yang merupakan esensi ilmu gaib agama pra-animisme. Kepercayaan akan Mana yang juga sering disebut sebagai dinamisme (dynamism) yang berasal dari istilah Melanesia dan secara umum kemudian digunakan oleh para ahli antropologi.

Keberadaan Mana jelas diakui oleh semua ahli yang umumnya sepakat untuk mempercayai bahwa Mana adalah kekuatan yang tidak berpribadi (impersonal power) . Emile Durkheim dalam penelitiannya akan suku-suku Indian di Amerika mengemukakan bahwa umumnya suku-suku itu mempercayai adanya 'kekuatan unggul' (pre-eminent power) yang bisa dimanfaatkan, karenanya banyak yang kemudian menganggapnya sebagai 'semacam dewa yang berkuasa' sehingga banyak yang menyebutnya sebagai 'roh besar' (great spirit), tetapi dari penelitian suku-suku itu sendiri ternyata bahwa pernyataan terakhir mengenai roh besar itu tidak didukung kenyataan. A.      Karakter Masyarakat Modern

Sekalipun perkembangan kehidupan manusia terkadang terlalu kompleks untuk dijelaskan, kita bisa menyebutkan beberapa karakter yang umumnya dimiliki oleh “manusia modern,” yang membuat mereka berbeda dari masyarakat sebelum modernis muncul. Beberapa karakter itu adalah:Pertama, rasional. Masyarakat modern sangat percaya pada kekuatan akal manusia. Ini meniscayakan segala sesuatu dipahami dan dimengeti melalui penalaran rasio, termasuk hal-hal yang sebelumnya diterima manusia begitu saja sebagai suatu keyakinan atau peristiwa alamiah. Manusia modern berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan secara kritis dan rasional. Bila orang tradisional bisa dibungkam, orang modern justru menuntut penjelasan dan pembuktian rasional dari siapa pun juga, termasuk dari otoritas tertinggi sekalipun. Dalam paradigma ini, sesuatu dinyatakan benar bila dapat dibuktikan dan diterima secara logis atau rasional . hal – hal yang tidak rasional tidak atau kurang mendapat tempat alam masyarakat modern. Karena itu, sebagian besar ajaran agama dan tradisi pun acap ditolak atau, kalau tidak, dirasionalisasi oleh masyarakat modern. Agama yang mengajarkan hal – hal irasional bahkan dipandang sebagai sisa – sisa kepercayaan primitif (primitive culture).

Kedua, terobsesi dengan perubahan atau kemajuan. Manusia modern senang melahirkan perubahan – perubahan besar disegala bidang, terutama menyangkut hal – hal yang mendasar dalam kehidupan. Telah banyak perubahan yang digulirkan oleh masyarakat modern. Yang paling mencolok misalnya perubahan dalam sarana komunikasi dan transportasi. Pada masa kita sekarang, manusia dapat mengelilingi bumi tak lebih dari satu hari saja, dan dapat bekomunikasi langsung dengan mereka yang berada mereka yang berada di belahan bumi terjauh saat sekarang juga.

Bagian dari obsesi manusia modern akan perubahan dan kemajuan adalah obsesi akan kecepatan dan kemudahan. Manusia modern terpacu untuk membuat perubahan atau transformasi agar lebih cepat. Waktu menjadi sedemikian berarti bagi manusia modern. Sampai – sampai, obsesi akan kecepatan ini telah sering justru membuat manusia modern mengidap time-sickness (mabuk-waktu), suatu keadaan di mana waktu senantiasa dirasa menghilang, dan manusia tak pernah merasa cukup waktu, dan merasa harus mengayuh lebih cepat untuk dapat mengejarnya. Manusia modern menghargai waktu tapi juga cenderung tertekan oleh waktu.

Manusia modern sering terasa tertuntut untuk membuat waktu mereka produktif. Manusia modern tak jarang merasa terganggu dengan penundaan ataupun keharusan menunggu yang lama. Segala hal diusahakan dibuat lebih padat, lebih singkat. Hatta, dongeng di tempat tidur untuk anak – anak pun dibuat agar Cuma belangsung satu menit. Belajar membaca Alquran dibuat agar bisa ditempu dalam 3 jam. Memasak dibuat tidak lebih 3 menit. Bahkan menulis buku dibuat agar sikap dalam 1 minggu. Tak jarang, stopwatch pun dipakai oleh manusia modern untuk “menghemat” waktu dan meladani tekanan untuk bergerak lebih cepat. Mereka keranjingan dan gila dengan kecepatan (speedaholic). Dalam situasi seperti itu, individu sering tak bisa lagi melakukan perubahan, tetapi melayani perubahan.Selain keranjingan dengan kecepatan, manusia modern juga mengejar kemudahan. Segalanya dibuat tersedia dimana saja, berada dalam jangkauan, bahkan dalam genggaman.

Ketiga, mengandalkan sains dan teknologi. Pengandalan akal dan obsesi akan perubahan dan kecepatan membuat manusia modern terus melakukan inovasi dan pengembangan dalam bidang sains dan teknologi. Telah banyak kemajuan sains dan teknologi yang dihasilkan, sampai – sampai zaman modern disebut- sebut sebagai the age of science and technology (zaman sains dan teknologi). Dengan sains dan teknologi, manusia semakin tidak tergantung pada alam, karena misalnya: bisa menciptakan kendaraan yang lebih cepat dari kuda; bisa menciptakan lampu – lampu listrik yang lebih terang dari lilin, obor, atau api unggun; dan bisa menciptakan teknologi email yang jauh lebih cepat dan efisien ketimbang surat diatas lontar yang dikirim lewat seorang utusan.

Karena cenderung lebih percaya pada sains, manusia modern mempunyai ketergantungan pada sains. Ketergantungan ini memunculkan gejala saintisme di tengah masyarakat modern, di mana ilmu pengetahuan berkembang menjadi semacam “berhala” yang dipertuhankan oleh manusia modernyang sudah menjauh dari yang sakral.

Pada sisi lain, percapaian sains dan teknologi, ditambah dengan obsesi akan perubahan, kemajuan dan kecepatan, telah banyak berkonstribusi pada krisis lingkungan yang melanda dunia. Manusia modern telah mengekplorasi dan mengekploitasi alam secara besar – besaran yang berdampak pada rusaknya ekosistem.

Tidak hanya krisis lingkungan, pencapaian sains dan teknologi oleh masyarakat modern juga berkonstribusi pada krisis sosial dan budaya, yakni ketika hal ini memungkinkan dominasi masyarkat modern yang menguasai teknologi terhadap masyarakat yang masih modern praindustri; dulu ini misalnya direprensitasikanoleh kolonialisme.

Keempat, cenderung materialis. Modernisasi tumbuh dari akar –akar materialisme. Masyarakat modern cenderung materialis dan konsumeris dan hedonis. Modernisme sendiri telah ditopang oleh mesin ekonomi yang disebut kapitalisme, yang telah menggiring manusia modern untuk untuk berorientasi materi.

Di tengah orientasi materi ini, tak jarang muncul kehampaan spritual dalam diri manusia modern. Mereka kerap terjangkiti ketidak seimbangan psikologis karena menyandarkan dan mengarahkan hidup pada materi. Mereka pun rentan penyakit kejiwaan, seperti kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang, dan psikomatis. Mereka bahkan sering merasa teralienasi karena lupa pada diri sendiri. Dengan bantuan teknologi disegala aspek kehidupan, manusia modern ternyata justru terjebaka dalam rantai tak putus ketergantungan pada alat yang turut membuatnya terasing dri kualitas dan kemampuan jiwa dan raganya sendiri.

Manusia modern tak jarang kehilangan makna hidup juga karena harus mengikuti tuntunan perubahan. Mereka terus berada dalam situasi terdesak untuk mengantsipasi dan melayani perubahan yang terjadi dengan sangat cepat. Sebagian manusia modern pun justru diperbudak oleh tuntunan sosial untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Mereka juga tak punya waktu untuk melakukan refleksi tentang eksitensi diri, hingga mereka cenderung letih jasmani dan letih mental. Manusia modern dihinggapi krisis makna, dan dihantui dislokasi, disorientasi, malaise spiritual, dan split-personality yang akut. Diri mereka justru tereksploitasi oleh pekerjaan yang mereka lakukan. Manusia modern dipacu semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal, untuk memuaskan orientasi materi mereka. Peradaban modern di mulai telah menjadi peradaban material yang tidak memberi ruang pada ekspresi dan artikulasi spritual serta penemuan makna hidup.

Krisis spritual masyarakat modern pada gilirannya tak jarang membuat mereka mecari – cari ketenangan dalam acara – acara hiburan, liburan, dan berbagai kegiatan yang lebih bersifat spiritual seperti yang digambarkan oleh fenomena tumbuhnya spiritual gaya baru ala new age. Akan tetapi, ini sering kali juga tidak menghilangkan orientasi materi dari diri manusia modern.

Page 7: agama primitif.docx

Kelima, terobsesi dengan kebebasan. Sekalipun terkadang manusia modern justru terbelenggu dengan tuntutan untuk berubah dan cepat, manusia modern pada dasarnya menganggungkan kebebasan. Modernisasa sering diterjemahkan sebagi upaya melepaskan semua belenggu dan meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan. Obsesi akan kebebasan inilah yang akan menyuburkan individualisme dalam masyarakat modern. Individu dipandang memiliki hak – hak yang tak boleh diganggu gugat. Manusia modern telah mengembangkan konsep hak sedemikian rupa untuk menjamin terciptanya kebebasan individu dalam hal apa pun- beragama, berpendapat , dan sebagainya. Hal ini juga menjelaskan mengapa dalam masyarakat modern, ikatan pada tradisi/adat berkurang, sehingga misalnya, solidaritas kekerabatan menipis,tradisi menjodohkan anak menghilang, kaum perempuan diberi keluasan untuk berkiprah di luar rumah dan mengembangkan karir, ikatan pernikahan dianggap tak terlalu sakral, dan kemandirian anak ditanamkan sejak masih sangat kecil.

Seiring dengan obsesi akan kebebasan ini, manusia modern juga terobsesi dengan keterbukaan. Manusia modern dituntun untuk berpikiran terbuka, bisa menerima pandangan dan gagasan orang lain, menjalin hubungan secara terbuka, menampilkan diri secara terbuka, dan menjalankan tanggung jawab secara terbuka pula. Manusia modern terbuka pada hal- hal yang baru atau berbeda, dan tidak menekankan hirarki. Karena itu wajar bila manusia modern dicirikan dengan heterogenitas, sistem pelapisan yang terbuka, mobilitas sosial yang tinggi, dan perubahan sosial yang sangat cepat.

Keenam, memberi penghargaan dan imbalan berdasarkan prestasi. Manusia modern tidak memberikan imbalan berdasarkan kasta atau status sosial, tapi berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan hasil kerja.

B.      Sikap muslim terhadap modernitasMunculnya modernitas pada mulanya menjadi tema amat penting dalam pemikiran dan perdebatan di antara kaum muslim, yang membuat mereka terbela ke dalam beberapa arus sikap, yang spektrumnya terbentang dari sikap menolak sepenuhnya (biasanya karena menggapnya bertentangan dengan tradisi Islam yang harus dipegang), sikap menerima dengan salektif, hingga sikap menerima sepenuhnya (yang kadang berimplikasi pada penomorduaan tradisi); dari sikap yang menggap Islam dan modernitas sebagai tidak sesuai, sikap yang menggap modernitas perlu dikritisi dalam kerangka Islam, hingga yang menggap Islam dan modernitas sepenuhnya sesuai.

Sering kali berdasarkan perbedaan sikap ini, kaum muslim dipetakan menjadi tiga kelompok:Pertama, kaum tradisional, yakni yang berpegang teguh pada tradisi dan tidak melihat modernitas sebagai sesuatu yang penting untuk

diikuti. Pandangan kelompok ini mengasumsi bahwa tradisi (turats) dan modernitas (hadatsah) tidak atau kurang kompatibel.Kedua, kaum modernis, yang bersikap sangat terbuka pada modernitas dan melihatnya penting atau harus diikuti. Kelompok ini

memandang bahwa tradisi dan modernitas cukup kompatibel. Dalam kelompok ini emang ada cenderung meninggalkan tradisi, namun ada pula yang mengharmoniskan atau merekonsiliasikan tradisi dan modernitas. Secara umum mereka melihat modernitas bisa di ikuti dengan tetap menganut tradisi, bahkan melihat Islam sendiri telah mempunyai karakter modern sejak kemunculannya.

Ketiga, kaum selektivis, yang melihat modernitas memiliki sisi – sisi yang berlawanan atau merusak tradisi dan karenanya tak seharusnya diikuti. Mereka tidak menolak ataupun menerima modernisasi sepenuhnya, tetapi memilih – milih bagian tertentu dari modernitas, entah dengan sikap kritis ataupun tidak.

Pemetaan atau taksonomi semacam ini telah mendapat berbagai kritik dari para pemikir dan pengamat Islam. Tidak hanya karena bisa mereduksi spekrum yang luas di kalangan kaum muslimin, tapi juga karena, terutama berkat peran negara dalam menggalangkan modernisasi, pemetaan semacam ini makin lama makin menjadi kurang relevan mengingat modernisasi itu kian tak bisa dihindari pengaruhnya. Munculnya arus – arus baru seperti neomodernisme dan tradisionalisme atau postradisionalisme, yang sama – sama memandang penting khazanah intelektual Islam dari modernitas, membuat perbedaan di antar respon muslim terhadap modernitas menjadi semakin tipis.

Akan tetapi, jejak ataupun sebagian manifestasi dari ketiga arus itu tetap bisa kita lihat di dunia Islam dewasa ini. Karenanya, kita masih melihat sebagian atau banyak muslim yang, meski tidak tertutup sama sekali, kurang terbuka pada modernitas.

C.      Karakrer Muslim ModernMuslim modern di sini bisa didefinisikan sebagai muslim yang terbuka pada modernitas. Tentu muslim modern mempunyai karakter

yang tak bisa diseragamkan, tapi beberapa karakter keislaman yang umum tampak pada muslim modern, yang membedakan mereka dari yang sering disebut Muslim Tradisional, bisa dirinci sebagai berikut :

Pertama, menekankan kesetaraan dan tidak menekankan hirarki. Muslim modern tidak lagi memandang penting, misalnya, gelar kehormatan kyai atau haji. Alih – alih, gelar akademik – meski tidak mesti – lebih disandangkan. Muslim modern juga meninggalkan adat dalam masyarakat yang berorientasi hirarki, seperi kebiasaan sembah atau sungkem, menggunakan bahasa alus untuk kelas tertentu, berbusana layak raja dan ratu dalam pernikahan, dan sebagainya. Muslim modern lebih mendukung egalitarianisme. Pemimpin tidak dihormati layaknya dalam masyarakat tradisional,dan kaum perempuan diberi ruang peran dan partisipasi yang lebih luas di luar rumah, termasuk di masjid dan organisasi – tak terkecuali organisasi dalam bentuk negara. Muslim modern mendukung ide – ide demokrasi, kesetaraan jender, dan hak asasi.

Kedua, menekankan solidaritas berdasarkan cita – cita, pandangan, perjuangan, atau keorganisasian, dan tidak menekankan solidaritas berdasarkan kekeluargaan, kesukuan, ataupun kedaerahan. Muslim modern sering melampaui ikatan-ikatan komunal kekeluargaan, kesukuan dan kedaerahan dalam membangun hubungan sosial. Mereka lebih mementingkan tujuan ketimbang asal – usul daerah atau keluarga seseorang. Di kalangan muslim modern, perkumpulan kedaerahan (berdasarkan desa atau kota tertentu), perkumpulan kesukuan (berdasarkan etnis tertentu), perkumpulan kekerabatan (berdasarkan keturunan bani tertentu), kurang populer atau kurang diutamakan, meski bisa saja ikatan primordial atau komunal membantu mengeretkan pertemanan di kalangan mereka. Muslim modern lebih cenderung kosmopolit.

Ketiga, menekankan pentingnya ijtihad dan menghindari taklid. Mengikuti kecenderungan rasional masyarakat modern, Muslim modern sering berupaya melahirkan iijtihat sendiri berdasarkan al-qur’an dan hadist dalam banyak hal,ketimbnag mengikuti pendapat-pendapat mazhap-mazhap ulama klasik.bagi mereka , itu ijtihat selalu terbuka lebar.selogan kembali ke al-qur’an dan sunah sangat populer di kalangan muslim modernis. bagi mereka, rain tape prestasi atau penapsiran ulang dan rasionalisasi adalah hal yang mungkin dan perlu bila keliahatan ada petentengan antara ajaran –ajaran islam dengan kondisi terbawah perubahan zaman. Muslim modern menjauhi kebiasan membuat karya-karya yang hanya merupakan “syarah” atau”hasyia” dari karya –karya ulama sebelum nya,dan menghasilkan karya-karya hasil mereka sendiri . Dengan kecenderungan ini, muslim modern di pandang sering melakukan pemurnian (hurifiakasi) terhadap tradisi , dan mengedepan kan pembaruan (reformasi).

Ke empat , menekan kan pemahaman rasional terhadap ajaran agama . Muslim modern meninggalkan warisan tradisi yang bernilai bersifat takhayul,syirik,atau berbau klenik. Muslim modern misal nya tidak mengenal ritual atau upacara-upacara tak berdasar tertentu untuk merayakan suatu hari , menyelamati suatu tempat, melihara benda “kramat” tertentu.

Ke lima, berorientasi pada kemajuan.Muslim modern berupaya mmemujutkan unsur-unsur ke modern-an yang bisa memajukan umat, seperti menyelenggarakan pendidikan modern , rumah sakit modern atau lembaga amil zakat modern, dan menguasai sains dan teknologi. Pengusaan sains dan teknologi dipahami sebagai bagian iman dan amal saleh, serta sarana kehidupan yang penting untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Orientasi pada kemajuan ini membuat muslim modern memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan tidak menganjurkan praktik – praktik menjauhi pergumulan kehidupan. Mereka mengembangkan etos kerja yang bisa mendukung pencapaian kemajuan ini, misalnya dengan kerja keras, kedisiplinan, pemanfaatan waktu sebaik – baiknya, dan berorientasi tujuan.

Keenam, memberi perhatian besar pada moralitas sosial atau akhlak-akhlak yang berdampak luas secara sosial. Meski juga mengindahkan amal atau akhlak yang sifatnya lebih individual atau berdimensi batiniah, Muslim modern sering menekankan pentingnya

Page 8: agama primitif.docx

menjauhi dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruk – seperti korupsi, perjudian, dan sebagainya – yang mempunyai pengaruh buruk secara luas dalam masyarakat, dan melembagakan perbuatan – perbuatan baik yang berdampak luas- seperti menjalankan lembaga yang menyantuni kaum dhuafa, mengembangkan suatu kawasan islami (seperti konsep qaryah thaiyyibah) yang menjamin adanya kepedulian sosial dan hubungan sosial yang baik di antara para warganya. Muslim modern memandang hal ini sebagai bagian penting dari ajaran Islam, yang menjadi kandungan dari ajaran amar makruf nahi mungkar.

Orientasi pada kemasalahan sosial ini sering kali tidak terbatas pada persoalan keumatan saja, tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan, sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Ini ditunjukan misalnya dengan mengembangkan gerakan – gerakan yang membangun toleransi atas keragaman dan kesaling mengertian diantara umat agama yang berbeda, atau yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan.

Untuk mendukung terwujudnya kemasalahan sosial, muslim modern tidak menarik diri dari memerhatikan kehidupan sosial. Alih – alih , muslim modern terlibat aktif untuk menegakkan moralitas politik- seperti penunaian amanat, penegakan keadilan , dan sebagainya – dan mendorong kebijakan – kebijakan yang bisa mendukung terciptanya masyarakat Islam yang sebenar – benarnya.

Thursday, July 30, 2009

AGAMA PRIMITIF

AGAMA PRIMITF

Asal Usul Agama PrimitifPada dasarnya agama primitive mempunyai dua asal-usul yaitu :1. suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yeng terbuktu dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.2. agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, histories, dab psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena soaial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitive, kepada bentuk yang sempurna.Istilah primitif dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak diliat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern. Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat. Berdasarkan hal tersebut, belum ada kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun apabila pengertian primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard beliau menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya.Apabila dilihat dari segi sudut pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai agama primitive, atau berawal dari praktek-praktek agama primiti, mungkiin agama ini derkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut. Banyak kita jumpai sistem ritus, kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme, dan lain-lain yang dimana kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu jenis keagamaan, agama primitive sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme, kecuali orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim, sedangkan orang primitive tigak mengenal apakah dirinya animisme, dinamisme atau sebagainya.Dalam hal ini manusia primitive adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunai isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.Maka dengan adanya hal semacam ini timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti halnya upacara bersaji dimana bersaji ini merupakan suatu keyakinan dan sudah menjadi doktrin, karena kegiatan ini merupakan perwujudan dari agama. Yang memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat yang dijujukan pada Dewa melalui adanay korban binatang misalnya, yang dalam hal ini darahnya disajikan untuk para Dewa, sedangkan dagingnya untuk kita, seperti halnya yang terjadi pada kelompok masyarakat Bugis yang berada dikalimantan barat, yang dimana pada tiap tahunnya kelompok ini mengadakan upacara bersaji atau dalam kelompok ini disebut dengan “Makan-makan”, upacara makan-makan ini biasanya dilaksanakan didalam sebuah kelambu yang diadakan di atas tempat tidur orang yang melaksanakan upacara tersebut, dalamupacara ini disediakan alat-alat seperti beras kuning, beras putuh, telur ayam kampong yang mentah dan yang masak masing-masing satu buah.Dalam pelaksanaan upacara ini setiap anak diusapkan minyak wangi dari telapak kaki sampai pada ubun-ubun, dan biasanya dilakukan oleh keluarga yang dianggap paling tua. Bisa kakek, ayah, atau kakak tertuan dalam keliarga tersebut, sedangkan waktunya biasa dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Guna menghindarkan diri atau keluarga dari gangguan setan atau Jin yang ada dalam keluarga tersebut, serta agar semua keluarga selalu berada dalam keselamatan, serta menjauhkan diri dari gangguan penunggu laut.Biasanya upacara semacam ini wajib dilakukan pada tiap tahun, apa bila tidak melakukan hal tersebut maka dalam satu keluarga dan salah satu dari keluarga tersebut ada yang tidak sempurna kehidupannya. Baik dalam hal jodoh, rizki, ataupun nasibnya dalam menjalani hidup. Namun upacara atau adapt semacam ini dapat hilang atau tidak wajib lagi dilakukan apabila salah satu keturunan dari keluarga tersebut yaitu anaknya menikah bukan dengan oaring yang berketurunan bugis, maka ia keturunan berikutnya boleh melaksanakan boleh juga tidak. Namun sebelumnnya belau harus berjanji dulu untuk meninggalkan hal tersebut agar tidak dikucilkan oleh keluarga.Dalam hal ini sangat bertentangan dengan ajaran islam karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah. Namun adapt-adat semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat primitif didaerah tersebut, walaupun mempunyai dampak positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Iani merupakan salah satu contoh dari sebagian masyarakat primitive yang masih mempertahankan upacara atau adapt tersebut pada zaman modern saat ini, dan walaupun mereka memeluk agama islam serta rajin beribadah.

Agama Primitif

Page 9: agama primitif.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Agama Primitif

Dilihat dari segi Agama dan Primitif (keadaan yang sangat sederhana; belum maju) yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain,

sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi keadaan yg

sangat sederhana pada suatu kehidupan.

Pada dasarnya agama primitif mempunyai dua asal-usul yaitu :

Pertama suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yeng terbuktu

dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya

monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan

penyelewengan tersebut.

Kedua agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, histories, dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena sosial

ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.

Page 10: agama primitif.docx

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Pengertian Agama : Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata “din” dari bahasa Arab dan kata “religi” dari

bahasa Eropa. Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, “a” yang berarti tidak dan

“gama” yang berarti pergi, maka kata Agama dapat diartikan tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun – temurun.1[1]

Sedangkan kata “Din” itu sendiri dalam bahasa Semit berarti undang – undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti

menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.

Adapula kata Religi yang berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah “relegere” yang mengandung arti mengumpulkan,

membaca dan dapat juga kata relegare juga bisa diartikan mengikat. Oleh karena itu agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan Yang

Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) kata primitif yaitu keadaan yg sangat sederhana; belum maju (tt peradaban; terbelakang):

kebudayaan.2[2]

Istilah primitif atau kebudayaan ( keadaan yg sangat sederhana; belum maju ) dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup

pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada

seseorang pada saat sekarang masyarakat modern.

Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun

tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga

menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari

segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat.

Berdasarkan hal tersebut, belum ada kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun apabila pengertian

primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard beliau

menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus

mengakui suatu studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya.3[3]

Apabila dilihat dari segi sudut pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai agama primitif,

atau berawal dari praktek-praktek agama primiti, mungkiin agama ini derkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun

waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut.

Banyak kita jumpai sistem ritus, kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme, dan lain-lain yang dimana

kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu jenis keagamaan, agama primitif sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme, kecuali

orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim, sedangkan orang primitif tigak mengenal apakah dirinya animisme,

dinamisme atau sebagainya.

Dalam hal ini manusia primitif adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunai isme-isme, praktek, dan

tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah

nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.

Maka dengan adanya hal semacam ini timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti halnya upacara bersaji

dimana bersaji ini

1

2

3