aggregate demand

46
Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question A typical first year college textbook with a Keynesian bent may as a question on aggregate demand and aggregate supply such as: Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP: 1. Consumers expect a recession 2. Foreign income rises 3. Foreign price levels fall 4. Government spending increases 5. Workers expect high future inflation and negotiate higher wages now 6. Technological improvements increase productivity We will answer each of these questions step-by-step. First, however, we need to set up what an aggregate demand and aggregate supply diagram looks like. We will do that in the next section. Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Set-Up Aggregate Demand & Supply 1 This framework is quite similar to a supply and demand framework, but with the following changes: Downward sloping demand curve becomes aggregate demand curve Upward sloping supply curve becomes aggregate supply curve Instead of "price" on the Y-axis, we have "price-level". Instead of "quantity" on the X-axis, we have "Real GDP", a measure of the size of the economy.

Upload: viky-natadipura

Post on 26-Jun-2015

919 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aggregate Demand

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question

A typical first year college textbook with a Keynesian bent may as a question on aggregate demand and aggregate supply such as:

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

1. Consumers expect a recession 2. Foreign income rises

3. Foreign price levels fall

4. Government spending increases

5. Workers expect high future inflation and negotiate higher wages now

6. Technological improvements increase productivity

We will answer each of these questions step-by-step. First, however, we need to set up what an aggregate demand and aggregate supply diagram looks like. We will do that in the next section.

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Set-Up

Aggregate Demand & Supply 1

This framework is quite similar to a supply and demand framework, but with the following changes: Downward sloping demand curve becomes aggregate demand curve Upward sloping supply curve becomes aggregate supply curve

Instead of "price" on the Y-axis, we have "price-level".

Instead of "quantity" on the X-axis, we have "Real GDP", a measure of the size of the economy.

We will use the diagram below as a base case and show how events in the economy influence the price level and Real GDP.

Kamis, 23 September 2010

Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression

Page 2: Aggregate Demand

Indeks Artikel

Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression

TINJAUAN LITERATUR

3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Semua Halaman

JURNAL KEUANGAN PUBLIK

Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality

dan Vector Autoregression

Luky Alfirman* Edy Sutriono**

Abstraksi

Penelitian ini berusaha mengetahui adanya hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan produk domestik bruto di Indonesia periode 1970-2003. Metode yang dipakai adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Hasil penelitian menyebutkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi produk domestik bruto karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap produk domestik bruto. Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta pendidikan terhadap produk domestik bruto dan pengaruh positif perubahan produk domestik bruto terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi.

Klasifikasi JEL : E62,H50,C32

Kata-kata kunci: Pengeluaran pemerintah, Produk Domestik Bruto (PDB), Vector autoregression (VAR) * Dr. Luky Alfirman saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Pajak Departemen

Page 3: Aggregate Demand

Keuangan. ** Edy Sutriono, SE, MM, MSE saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan.

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keadaan perekonomian Indonesia setelah krisis telah menunjukkan kemajuan dalam tiga tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari produk domestik bruto yang meningkat selama periode tahun 2001 hingga 2003. Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2004 dari Badan Pusat Statistik (BPS) , angka Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2002 mengalami peningkatan 3.69% dibanding tahun 2001 dan di tahun 2003 mengalami peningkatan 4.1% dibanding tahun 2002. Akan tetapi ditengah kemajuan tersebut, ujian terhadap fundamental perekonomian Indonesia belum kunjung usai. Peningkatan harga minyak dunia hingga diatas $ 60 per barel dan berdampak pada peningkatan depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika, hingga kurs menyentuh level psikologis Rp.10.000 per US dollar menyebabkan pelambatan terhadap besarnya produk domestik bruto di tahun 2005. Hal ini disebabkan di satu sisi tingginya konsumsi BBM dan di sisi lain tingginya impor BBM. Kondisi lain yang ikut memperburuk perekonomian adalah belum pulihnya stabilitas keamanan, ditandai dengan masih maraknya aksi terorisme dan intimidasi seperti peledakan bom Bali II dan peristiwa di Poso. Kejadian ini sedikit banyak akan mempengaruhi iklim sektor investasi terutama investasi asing, yang masih dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Dampak lain yang ditimbulkan adalah berkurangnya penerimaan negara khususnya devisa dari sektor pariwisata. Belum lagi masih maraknya praktek korupsi dan ekonomi biaya tinggi lainnya. Hal-hal ini menunjukkan bahwa kondisi funda-mental ekonomi Indonesia khususnya belum terlalu kuat. Sektor swasta sangat sulit diharapkan untuk berkontribusi lebih besar dalam menggerakkan perekono-mian dengan kondisi-kondisi diatas. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun 2006 ini dan peningkatan upah minimum propinsi/ kabupaten/kota akan memper-berat dunia usaha. Biaya operasional perusahaan akan meningkat, sementara itu daya beli masyarakat terasa terus mengalami penurunan. Di tengah sektor dunia usaha atau swasta yang seperti ini maka untuk memperbaiki dan meningkatkan produk domestik bruto diperlukan peran pemerintah yang lebih besar. Sesuai dengan pendapat Keynes, untuk mengatasi keadaan seperti ini maka sangat diperlukan campur tangan pemerintah dengan mempengaruhi agregat demand. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan dua cara yaitu mempengaruhi agregat demand dan agregat supply. Kebijakan yang mempengaruhi agregat supply dilakukan lebih untuk mempengaruhi kondisi sektor riil melalui peraturan-peraturan. Hanya saja kebijakan ini akan efektif dalam jangka waktu yang agak lama dan akan lebih baik bila dilakukan dengan kebijakan moneter dan sektor riil. Sementara itu kebijakan yang mempengaruhi agregat demand dilakukan melalui pengeluaran pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / APBN). Kebijakan ini efektif dalam waktu yang tidak lama karena pemerintah sendiri sebagai pemberi kebijakan

Page 4: Aggregate Demand

dan sekaligus pelaku. Dalam perspektif lain kebijakan ini dikenal dengan kebijakan fiskal. Kebijakan lain yang dapat dilakukan melalui kebijakan moneter. Hanya saja saat ini kebijakan moneter bersifat not by design artinya tidak dapat dipengaruhi karena Bank Indonesia tidak dapat membantu APBN bila terjadi defisit. Kebijakan moneter juga akan efektif dalam jangka waktu yang agak lama. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah dalam APBN diharapkan dapat menstimulus produk domestik bruto. Pengeluaran pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan investasi. Konsumsi dan investasi merupakan komponen Produk Domestik Bruto (PDB). Seperti kita ketahui dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi bahwa PDB(Y) terdiri dari konsumsi rumah tangga(C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X-M) atau (Y = C + I + G + (X-M)). Pengeluaran rutin pemerintah digunakan untuk pengeluaran yang tidak produktif dan mengarah kepada konsumsi sedang pengeluaran pembangunan lebih bersifat investasi. Hal ini menuntut produktivitas masing-masing komponen pengeluaran pemerintah untuk dapat memberikan kontribusi kepada PDB untuk periode berikutnya secara berkesinambungan. Tentunya pengeluaran komponen-komponen tersebut harus dialokasikan kepada pengeluaran-pengeluaran yang bersifat produktif dan investasi. Bertolak dari hal-hal tersebut diatas maka perlu diketahui hubungan pengeluaran pemerintah terhadap produk domestik bruto. Pengeluaran pemerintah memang sebagai salah satu komponen dari PDB, akan tetapi apakah pengeluaran pemerintah di suatu periode, katakanlah tahun 2000 mampu memberikan stimulus baik bagi investasi, konsumsi maupun pengeluaran pemerintah sendiri di tahun itu dan pada gilirannya akan memberikan kontribusi kepada PDB untuk tahun 2001 dan seterusnya. Demikian sebaliknya apakah kontribusi dari komponen lain yang terakumulasi pada PDB atau singkatnya PDB akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah. Apakah peningkatan PDB di tahun 2000 menyebabkan membaiknya perekono-mian dan dunia usaha sehingga meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak misalnya di tahun 2001, dan pada akhirnya dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah di tahun 2001. Demikian efek tersebut akan saling mempengaruhi antar periode secara kesinambungan . Implikasi bagi pemerintah adalah mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto dan sifat dari hubungan tersebut (searah atau timbal balik). Pengetahuan tersebut diperlukan bagi pemerintah dalam menyusun langkah-langkah dan kebijakan fiskal berikutnya dalam meningkatkan peranannya dalam meningkatkan produk domestik bruto.

Identifikasi Masalah

Penelitian ini akan mencoba mengangkat permasalahan yaitu :1. Apakah ada hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto ?2. Bagaimana sifat hubungan tersebut, apakah searah atau timbal balik antara pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto? 3. Bagaimana hubungan per jenis pengeluaran pemerintah (total, rutin dan pembangunan) dengan produk domestik bruto?

Hipotesa

Page 5: Aggregate Demand

Kerangka Pikir Analisis Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Pengeluaran rutin biasanya lebih banyak untuk konsumsi seperti gaji pegawai sedang pembangunan lebih cenderung untuk investasi. Akan tetapi dalam kenyataannya, komponen pengeluaran pembangunan juga mengandung gaji / honor dan upah. Pengeluaran pemerintah ini sebagai stimulus perekonomian akan meningkatkan PDB. Asumsikan kondisi ini terjadi pada waktu t-1. Peningkatan PDB pada waktu t-1 dan membaiknya kondisi perekonomian akan mempengaruhi kondisi pelaku ekonomi pada waktu t (rumah tangga, perusahaan dan pemerintah sendiri). Peningkatan kesejahteraan rumah tangga akan meningkatkan pendapatan yang berdampak pada peningkatan konsumsi dan tabungan (investasi). Di sisi dunia usaha atau perusahaan akan meningkatkan penjualan dan keuntungan serta investasi. Peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan akan membawa dampak peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak. Peningkatan penerimaan pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Peningkatan konsumsi ,investasi serta pengeluaran pemerintah akan kembali meningkatkan PDB. Jadi pengeluaran pemerintah dan PDB pada periode t-1 akan mempengaruhi PDB dan pengeluaran pemerintah pada periode t. Jadi dalam hal ini sangat dibutuhkan lag untuk analisis. Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka hipotesa yang diajukan adalah:1. Terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto (PDB). 2. Terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran rutin pemerintah dengan produk domestik bruto (PDB). 3. Terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran pembangunan pemerintah dengan produk domestik bruto (PDB).4. Terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor pertanian dan kehutanan dengan produk domestik bruto (PDB).5. Terdapat hubungan atau pengaruh timbal balik antara pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor transportasi, meteorologi dan geofisika dengan produk domestik bruto (PDB). 6. Terdapat hubungan atau pengaruh timbal balik antara pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olahraga dengan produk domestik bruto (PDB).

Metodologi Penelitian

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR). Vector Autoregression merupakan alat analisis atau metode ekonometrika yang biasa digunakan untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor-faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel. Sedangkan Granger Causality merupakan alat analisis yang sangat berguna di dalam memahami adanya hubungan timbal balik antara variabel-variabel ekonomi.

Keterbatasan Penelitian

Page 6: Aggregate Demand

Data yang digunakan adalah periode tahunan dari tahun 1970 sampai dengan 2003.Dalam hal penetapan jenis pengeluaran ,karena periode analisisnya sampai dengan tahun 2003 maka penelitian ini masih menggunakan jenis pengeluaran sesuai periode waktu itu yaitu pengeluaran pemerintah dibagi rutin dan pembangunan sedang pengeluaran pembangunan dibagi per sektoral. Keterbatasan lain adalah bahwa mulai tahun fiskal 2005 pemerintah menerapkan unified budget yang tidak lagi membagi rutin dan pembangunan. Penelitian ini belum menggunakan sistem baru karena belum ada data yang mendukung (belum ada konversi data sebelum 2005 ke bentuk unified budget). Sampai saat ini data pengeluaran pemerintah yang ada baru konversi dari T-account menjadi I-account.

2. TINJAUAN LITERATUR

Peranan pemerintah dalam perekonomian

Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak. Kebijakan moneter dilakukan dengan mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Pengawasan langsung dilakukan dengan membuat peraturan-peraturan.Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah:1. untuk menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor privat2. untuk membetulkan bila terjadi kegagalan pasar. Adapun kegagalan pasar diantaranya : a. Kompetisi tidak sempurna Di dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang. b. Public goods (barang publik) Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry. Dengan adanya sifat barang publik seperti itu maka akan timbul fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor privat, sehingga peme-rintah yang menyediakannya. c. Ekternalitas Market economy bersifat selfish sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan

Page 7: Aggregate Demand

dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan. d. Adanya kegagalan informasi Dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuh-kan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya prakiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca , akan tetapi pihak swasta tidak ada yang menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut.3. Peranan pemerintah adalah mendistribusikan pendapatan dari yang kaya kepada yang miskin secara lebih adil4. menyediakan merit goods. Musgrave (1959) menyebutkan merit goods adalah barang-barang yang seharusnya disediakan meskipun masyarakat tidak memintanya. Masyarakat sering tidak bijaksana atau tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengalokasikan sumber ekonomi yang dimiliki. Peranan pemerintah adalah membantu masyarakat untuk mengalokasikannya untuk kebaikan masyarakat. Contohnya adalah pemerintah menyediakan helm agar masyarakat terhindar dari bahaya manakala terjadi kecelakaan, demikian juga pemerintah menggalakkan asuransi untuk masyarakat. Secara umum fungsi pemerintah dalam perekonomian modern dapat dibagi menjadi :1. Fungsi alokasi Pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien. 2. Fungsi distribusiKaldor mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan bermanfaat apabila golongan yang memperoleh manfaat dari tindakan tersebut memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami kerugian sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum adanya tindakan yang bersangkutan. 3. Fungsi stabilisasiPerekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor privat sangat peka terhadap guncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi.

Teori perkembangan pengeluaran pemerintah

1. Model pembangunan tentang per-kembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun

Page 8: Aggregate Demand

tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave(1980)(1) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap PDB semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan penge-luaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar , terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut:

PkPP : pengeluaran pemerintah per kapitaPPK : pendapatan per kapita1,2,…,n : jangka waktu (tahun)

Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 1 dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk ekponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan kurva 2.

3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan penge-luaran pemerintah yang terbaik(2). Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedang-kan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah

Page 9: Aggregate Demand

membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat , pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis,tetapi seperti tangga.

Page 10: Aggregate Demand

Bird mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman . Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird ,efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang. Satu hal yang perlu dicacat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Clarke menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional . Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya.4. Menurut Dr. Guritno Mangkoesoe-broto, M.Ec, perkembangan penge-luaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu :a. Perubahan permintaan akan barang publik.b. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. c. Perubahan kualitas barang publik. d. Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi.

Hubungan kausalitas pengeluaran pemerintah dan produk domestik bruto

Page 11: Aggregate Demand

a. pengeluaran pemerintah sebagai variabel dependen Artinya produk domestik bruto mempengaruhi pengeluaran pemerintah. Teori perkembangan pengeluaran pemerintah yang telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) akan mempengaruhi besarnya pengeluaran pemerintah.

b. pengeluaran pemerintah sebagai variabel independen Artinya pengeluaran pemerintah mempengaruhi produk domestik bruto (PDB). John Due(1968) mengemukakan bahwa pemerintah dapat mempengaruhi tingkat PDB nyata dengan mengubah persediaan berbagai faktor yang dapat dipakai dalam produksi melalui program-program pengeluaran pemerintah seperti pendidikan. Sementara Atep Adya Barata(2004) mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pemerintah yang mendorong besaran jumlah pengeluaran negara mempunyai pengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Landau (1986) membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang militer dan pendidikan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara untuk pendidikan sendiri berkorelasi kuat dan investasi pemerintah berkorelasi positif tetapi tidak signifikan. Steven A.Y.Lin (1994) mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDB) dengan laju yang semakin mengecil. Lin juga menyatakan bahwa Hukum Wagner hanya berlaku untuk negara maju.

Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto Produk domestik bruto pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Untuk menghitung angka PDB digunakan tiga pendekatan yaitu :

1. Pendekatan ProduksiPDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan men-jadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik,gas dan air bersih, bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa.

2. Pendekatan PendapatanPDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak

Page 12: Aggregate Demand

langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

3. Pendekatan PengeluaranPDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan akan menghasilkan angka yang sama. Jadi jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi.

Hasil Studi Empiris Hubungan atau Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (Pertumbuhan Ekonomi)

Studi yang menunjukkan hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan diantaranya: Barro dan Salla-i-Martin (1992) yang membagi pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran produktif dan tidak produktif. Pengeluaran produktif apabila pengeluaran tersebut mempunyai efek langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan studi mengenai hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi mengasumsikan semua pengeluaran pemerintah bersifat produktif (Barro,1990). Landau (1983) meneliti 27 negara berkembang menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah yang besar terutama pengeluaran konsumsi justru akan menurunkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Hasil yang sama ditemukan oleh Landau (1986) terhadap 65 negara berkembang. Devarajan dan Vinaya (1993) menemukan hubungan negatif dan tidak signifikan hubungan antara pengeluaran produktif dengan pertumbuhan. Sementara itu Lin (1994) menyatakan pengeluaran non-produktif mempunyai hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan di negara industri tetapi positif dan signifikan di negara berkembang. Hal ini terjadi karena pelayanan pemerintah yang bersifat non produktif di negara berkembang sebagian besar digunakan untuk konsumsi. Josaphat P Kweka dan Oliver Morrisey (1999) meneliti hubungan keduanya terhadap negara Tanzania periode 1965-1996. Hasil yang diperoleh bahwa pengeluaran pemerintah berdampak negatif terhadap pertumbuhan. Dampak negatif disebabkan karena tidak efisiennya pengeluaran pemerintah di Tanzania. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan (Grier dan Tullock,1989, Barro,1991). Studi terhadap negara-negara maju juga meyimpulkan hasil yang sama seperti Hannson dan Henrekson (1994). Pada mayoritas studi, pengeluaran pemerintah total mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan (Romer,1990;Folster dan Henrekson,2001). Folster dan Henrekson mengatakan bahwa pada tingkat pengeluaran pemerintah yang rendah di negara miskin terutama untuk pengeluaran produktif dan rendah pula pajaknya, biasanya tidak efisien dalam pengumpulan pajak dan pengeluaran pemerintahnya. Studi yang menunjukkan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan diantaranya: Ram (1986) dan Grossman(1988) menemukan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Diamond (1989) menyatakan bahwa pengeluaran sosial mempunyai hubungan positif yang signifikan dan pengeluaran investasi mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak tersebut sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan dana.

Page 13: Aggregate Demand

3. METODOLOGI PENELITIAN

Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) periode 1970 sampai dengan 2003, yang diperoleh dari berbagai laporan dan kompilasi data serta bentuk publikasi lainnya, seperti dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Nota Keuangan dan RAPBN beberapa seri dan laporan Bappeki dari Departemen Keuangan.

Definisi Operasional Variabel –Variabel

1. PDB = Produk Domestik Bruto riil. PDB yang digunakan adalah PDB atas dasar harga konstan 2000 dari tahun 1970 sampai dengan 2003.2. TOTAL = Total pengeluaran pemerintah riil dalam APBN tahun 1970 sampai dengan 2003. Data yang diambil adalah realisasinya (Perhitungan Anggaran Negara) , dengan tujuan untuk mengetahui pengeluaran yang sebenarnya. 3. RTN = Realisasi pengeluaran rutin riil dalam APBN dari tahun 1970 sampai dengan 2003.4. PEMB = Realisasi pengeluaran pembangunan riil dalam APBN setelah dilakukan dari tahun 1970 sampai dengan 2003.5. SKTR1 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor pertanian dan kehutanan dalam APBN dari tahun 1970 sampai dengan 2003. 6. SKTR2 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor transportasi,meteorologi dan geofisika dalam APBN tahun 1970 sampai dengan 2003.7. SKTR3 = Realisasi pengeluaran pembangunan riil di sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pemuda dan Olahraga dalam APBN setelah dilakukan konversi ke I-account dari tahun 1970 sampai dengan 2003. Data yang bersumber dari APBN sebelum tahun 2000 disesuaikan dengan berdasarkan tahun kalender yaitu dari Januari sampai Desember (dimana sebelum tahun 2000, tahun fiskal dimulai dari April sampai Maret tahun berikutnya), jumlah pengeluaran berasal dari penjumlahan realisasi tiap triwulanan. Hal ini dilakukan karena PDB dihitung dari Januari sampai Desember.

Spesifikasi Model Empiris Yang Digunakan

Model yang dipakai adalah Vector Autoregression (VAR) seperti yang dilakukan oleh Wing Yuk dari University of Victoria Canada yang melakukan studi bulan Januari 2005 tentang “Government Size and Economic Growth: Time-Series Evidence For The United Kingdom,1980-1993.” dan dalam pengolahan datanya menggunakan software Eviews 4.1.

Page 14: Aggregate Demand

Model 1 Hubungan D(PDB) dan D(TOTAL)Model 2 Hubungan D(PDB) dan D(RTN)Model 3 Hubungan D(PDB) dan D(PEMB)Model 4 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR1)Model 5 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR2)Model 6 Hubungan D(PDB) dan D(SKTR3)Keterangan :D( ) = first difference

Granger Causality dan Vector Autoregression

Model persamaan biasanya menggunakan teori ekonomi untuk menggambarkan hubungan antara variabel yang terkait. Hasil dari model kemudian diestimasi dan digunakan untuk menguji relevansi empiris dari teori tersebut. Sayangnya teori ekonomi mungkin tidak cukup untuk menentukan spesifikasi yang benar. Hal ini disebabkan karena mungkin teorinya terlalu rumit sehingga sulit bagi kita untuk menurunkan spesifikasi secara persis. Atau mungkin saja teorinya adalah sesuai dengan struktur selang yang dibangun tetapi struktur-struktur selang ini dapat menghasilkan model dengan perilaku dinamis yang berbeda. Atau mungkin juga terdapat perbedaan antar teori yang mendasari model tersebut. Walhasil adakalanya kita mesti membiarkan data itu sendiri berbicara.

Alasan pemilihan metode VAR :1. Berdasarkan kerangka pikir diatas, diasumsikan bahwa baik pengeluaran pemerintah dan produk domestik bruto merupakan faktor endogen. Kedua variabel tidak dapat dipastikan secara pasti apakah endogen atau eksogen. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto (Keynesian) sedang Wagner’s Law menunjukkan adanya pengaruh produk domestik bruto terhadap pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu kedua variabel diperlakukan sebagai variabel endogen.2. Berdasarkan kerangka pikir diatas, nilai masing-masing variabel selain dipengaruhi oleh nilai variabel itu sendiri di masa lampau tetapi juga dipengaruhi oleh nilai masa lampau dari semua variabel endogen lain dalam model. Dari hal tersebut berusaha dibuat model yang bersifat dinamis dengan menspesifikasi masing-masing variabel dengan struktur selang atau lag. Sementara itu teori ekonomi tidak cukup banyak memberi spesifikasi yang jelas dari hubungan dinamis antar variabel. Model persamaan simultan pada

Page 15: Aggregate Demand

umumnya bersifat struktural atau berdasarkan teori yang ada, kemudian dilakukan estimasi dan dicocokkan dengan teori tersebut. Persamaan simultan biasanya juga tidak memasukkan variabel endogen di kedua sisi persamaan dan tidak memasukkan lag dari masing-masing variabel tersebut. Selain itu dalam persamaan simultan, antar persamaan terdapat keterkaitan sehingga dapat dilakukan reduced form. Penelitian ini menggunakan VAR karena VAR merupakan model yang dapat menjelaskan spesifikasi struktur dinamis tersebut, meskipun terkesan ateoritik. VAR ditandai oleh model tiap variabel endogen dalam system sebagai fungsi dari nilai lag untuk keseluruhan variabel endogen dalam sistem. VAR lebih cocok digunakan untuk membangun model-model yang bersifat non struktural (ateoritik). Persamaan satu dengan yang lain berdiri sendiri sehingga dalam estimasi masing-masing persamaan dapat dilakukan dengan ordinary least square (OLS).

Stationeritas Data

Suatu series dikatakan stationer apabila rata-rata, varian dan autocovariance nilainya konstan dari waktu ke waktu (untuk berbagai lag yang berbeda nilainya sama, tidak masalah di titik mana memulai mengukur). Singkatnya, ketiga ukuran tersebut tidak tergantung dari waktu (t) atau dalam literatur disebut time invariant.Secara matematis time series (misal Y) bersifat stationer memiliki properties sbb:

Rata-rata = E(Yt) = μVarian = Var(Yt)= E (Yt – μ)2= σ2 Covariance = γk= E[ (Yt- μ) (Yt+k - μ) Dalam analisis time series, informasi apakah data bersifat stationer merupakan hal yang sangat penting. Variabel-variabel ekonomi yang terus menerus meningkat sepanjang waktu adalah contoh dari variabel yang tidak stationer. Dalam estimasi koefisien regresi, mengikutsertakan variabel yang non stationer dalam persamaan mengakibatkan standard error yang dihasilkan menjadi bias. Adanya bias ini menyebabkan kriteria konvensional yang biasa digunakan untuk menjustifikasi kausalitas antara dua variabel menjadi tidak valid. Jika suatu variabel terdapat unit root (non stationer), dalam banyak kasus mengikutsertakan variabel non stationer dalam analisis regresi menghasilkan kesimpulan yang tidak benar. Banyak ditemukan bahwa koefisien estimasi signifikan tetapi sesungguhnya tidak ada hubungan sama sekali (spurious regression). Cara untuk menguji stationeritas sering disebut uji unit root. Ada beberapa uji diantaranya Dickey Fuller (DF) test dan Phillip Peron (PP) test.Prosedur pengujian unit root dengan DF test sebagai berikut:

Yt = β Yt-1 + ut , -1 < β < 1Yt - Yt-1 = β Yt-1 - Yt-1 + utΔ Yt = ( β – 1) Yt-1 + ut……...1) Δ Yt = Yt-1 + ut

Page 16: Aggregate Demand

Persamaan 1 merupakan dasar dari pengujian unit root dengan Dickey Fuller. Statistik testnya adalah t-statistik pada lag dependen variabel. Jika β > 1 maka koefisien pada lag dependen variabel (δ) bernilai positif. Jika β = 1 maka δ = 0. Hipotesis nol (Ho) pada prosedur pengujian unit root dengan DF test adalah bahwa β = 1 artinya series mempunyai unit root dan tidak stationer. Hipotesa alternatifnya (Ha) adalah β < 1 yaitu ( β – 1 ) bernilai negatif yang menunjukkan Yt mengikuti proses stationer.

Null hypothesis :Ho: series mempunyai unit root dan non stationerHa: series stationer

Jika kita menolak hipotesa nol, maka kita mempunyai series yang bersifat stationer. Bila terdapat korelasi antar residual dalam suatu series (serial correlation), maka hasil uji DF akan menjadi bias. Karena bias dalam pengujian merupakan masalah yang penting, maka DF test dilakukan modifikasi. Untuk itu dikembangkan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Ide dasarnya adalah dengan mengikutsertakan sejumlah lag variabel dependen dalam prosedur standar DF test agar korelasi antar residual dapat dihilangkan. Kita dapat menggunakan salah satu dari beberapa teknik untuk memilih jumlah lag yang perlu disertakan dalam pengujian ADF sedemikian rupa sehingga serial correlation dapat dihilangkan. Cara termudah adalah dengan menggunakan kriteria seleksi secara otomatis yang telah disediakan oleh Eviews. Prosedur ini dilakukan dengan cara memilih jumlah lag yang rasional mulai dari yang terbesar kemudian menguji sampai semua lag tersebut signifikan. Alternatif uji stationeritas dengan ADF test adalah dengan menggunakan Phillip Peron (PP) test. Uji ini memodifikasi test statistik yang digunakan oleh DF test sedemikian rupa sehingga tidak perlu ada tambahan lag variabel dependen untuk menghilangkan pengaruh serial korelasi.

Pemilihan Panjang Lag

Dalam memilih panjang lag, kita ingin lag yang cukup panjang untuk menangkap sepenuhnya dinamika sistem yang dimodelkan. Namun semakin panjang lag semakin banyak jumlah parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya (jumlah total parameter yang diestimasi = n(1+np) ,dimana n=jumlah persamaan,p=panjang lag endogenous variabel). Jadi kita menghadapi trade off antara mempunyai jumlah lag yang memadai dan mempunyai derajat kebebasan yang cukup. Dalam praktek kita membatasi jumlah lag menjadi lebih sedikit dari yang secara ideal diberikan pada model dinamis (Gujarati). Penentuan jumlah lag dapat dibantu dengan menggunakan Akaike information criteria (AIC) dan Schwart Bayesian criterion(SBC). AIC ditentukan oleh

dimana:

Page 17: Aggregate Demand

T = jumlah observasi yang residual kuadratK = panjang lagSSR = residual sum of squaresN = jumlah parameter yang diestimasi

Baik Akaike information criteria (AIC) atau SBC adalah ukuran baik buruknya kecocokan yang mengoreksi karena derajat kebebasan akan berkurang jika lag-lag ditambahkan kedalam suatu model. Statistik-statistik ini dapat digunakan untuk membantu menentukan jumlah lag yang dimasukkan kedalam VAR.

Granger Causality

Granger Causality test dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Granger causality dilakukan bermula dari ketidaktahuan keterpengaruhan antar variabel. Jika ada dua variabel X dan Y, maka apakah X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X atau berlaku keduanya atau tidak ada hubungan keduanya. Variabel X menyebabkan variabel Y artinya berapa banyak nilai Y pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai Y pada periode sebelumnya dan nilai X pada periode sebelumnya. Granger Causality hanya menguji hubungan diantara variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model. Untuk bivariate regression :

Yt = 0 + α1 Yt-1 + … + αn Yt-n + β1 Xt-1 + … + βn Xt-n + ε1 …2)Xt = 0 + α1 Xt-1 + … + αn Xt-n + β1 Yt-1 + … + βn Yt-n + u1 …3)

F-statistics adalah Wald statistics dengan hipotesis untuk masing-masing persamaan :

β1 = β2 = ….….= βn = 0

Null hipotesis adalahHo= X tidak Granger menyebabkan Y untuk regresi pertama dan Y tidak Granger menyebabkan X untuk regresi kedua. Jika tidak menolak bahwa X tidak Granger menyebabkan Y tetapi menolak hipotesis Y tidak Granger menyebabkan X maka Granger causality hanya searah yaitu Y menyebabkan X. Dengan demikian terdapat empat kemungkinan :a. Bila β1 = β2 = ….= βn # 0 untuk persamaan 1 dan β1 = β2 = ….= βn = 0 untuk persamaan 2, berarti X Granger menyebabkan Y dan tidak sebaliknya.b. Bila β1 = β2 = ….= βn = 0 untuk persamaan 1 dan β1 = β2 = ….= βn # 0 untuk persamaan 2, berarti Y Granger menyebabkan X dan tidak sebaliknya.c. Bila β1 = β2 = ….= βn # 0 untuk persamaan 1 dan β1 = β2 = ….= βn # 0 untuk persamaan 2, berarti X Granger menyebabkan Y dan Y menyebabkan X.d. Bila β1 = β2 = ….= βn = 0 untuk persamaan 1 dan β1 = β2 = ….= βn = 0 untuk persamaan 2, berarti X dan Y tidak ada hubungan.

Page 18: Aggregate Demand

Impulse Response

Impulse response function menelusuri pengaruh kontemporer dari satu standar deviasi shock dari satu inovasi terhadap nilai-nilai variabel endogen saat ini atau nilai mendatang. Suatu shock dari variabel endogen langsung berpengaruh terhadap variabel itu sendiri dan juga diteruskan terhadap variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis dari VAR. Impulse response function (IRF) memberikan arah hubungan dan besarnya pengaruh antar variabel endogen karena menunjukkan pengaruh satu standar deviasi shock variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya maupun variabel itu sendiri. Dengan demikian shock atas suatu variabel dengan datangnya informasi baru akan mempengaruhi variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya dalam sistem.

Variance Decomposition

Cara lain untuk memahami karakteristik dari perilaku dinamis adalah dengan variance decomposition. Jika impulse response functions dapat melacak pengaruh dari suatu shock yang terjadi terhadap endogenous variabel dalam sistem, maka variance decomposition memisahkan varian yang ada dalam variabel endogen menjadi komponen-komponen shock pada variabel endogen dalam VAR. Variance decomposition digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain atau untuk melihat pengaruh relatif variabel-variabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedurnya dengan mengukur persentase kejutan-kejutan atas masing-masing variabel. Misalnya bila ada shock terhadap PDB, perubahan yang terjadi dapat dijelaskan berapa persen oleh PDB sendiri dan berapa persen lagi oleh TOTAL. Lebih penting menurut Sims (1982) variance decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger causality yang mungkin ada diantara variabel-variabel. Dengan kata lain , jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar dari forecast error variance dari variabel lain atau sebaliknya, mengindikasikan hubungan Granger causality yang kuat.Jika forecast error periode ke-n dapat dinyatakan dalam persamaan :

Yt+n – EtYt+n = θ11(0)εyt+n+ θ11(1)εyt+n-1+..+θ11(n-1)εyt+1 +θ12(0)εzt+n+θ12(1)εzt+n-1+…+ θ12(n-1)εzt+1

Variance dari forecast error yt+n adalah σy(n)² = σ²y[ θ11(0) ² + θ11(1) ² + …+ θ11(n-1) ²] + σ²z[ θ12(0) ² + θ12(1) ² + ..+ θ12(n-1) ²]

selanjutnya dapat dicari proporsi forecast error yang berasal dari error term dari y (εy) sendiri dan yang berasal dari shock z(εz) ,masing-masing :

Page 19: Aggregate Demand

Forecast error dari variance decomposition menjelaskan tentang proporsi dari variance suatu variabel yang terdiri atas variance dari variabel itu sendiri dan variance dari variabel lainnya.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil uji unit root keenam variabel pada levelnya seperti terlihat pada Lampiran 1. Nilai ADF test untuk semua variabel lebih besar dibandingkan nilai kritis untuk 1%, 5% maupun 10%. Kesimpulannya tidak menolak Ho artinya nilai keenam variabel mempunyai unit root atau tidak stationer. Sedang uji ADF terhadap first difference keenam variabel seperti Lampiran .2. Nilai ADF test untuk PDB, TOTAL, RTN, PEMB, SKTR1, SKTR2, SKTR3 lebih kecil dibandingkan nilai kritis pada level 1%. Artinya dengan kepercayaan 99% memberi kesimpulan untuk menolak Ho yaitu first difference dari PDB, TOTAL, RTN, PEMB, SKTR1, SKTR2, SKTR3 tidak terdapat unit root atau stationer. Kriteria yang digunakan untuk menentukan panjang lag adalah : Akaike information critetion (AIC) dan Schwartz information criterion (SC).Pemilihan lag ditentukan dengan nilai terkecil dari masing-masing kriteria. Dengan bantuan Eviews 4.1 dan dengan menggunakan panjang lag tertentu diperoleh nilai-nilai dari masing-masing kriteria. Dengan lag sebesar 8 diperoleh angka untuk masing-masing kriteria sebagai berikut:Dalam mencari jumlah lag yang optimal untuk kelima model diatas, pertimbangan mengikutsertakan jumlah lag yang berbeda:1. Untuk model 1, 2, 3, 4 dan 5 mengikutsertakan sampai 6 lag untuk memilih lag optimal adalah dengan asumsi prioritas kebijakan fiskal yaitu pengeluaran pemerintah yang berlainan dalam suatu pemerintahan (setiap 5 tahun masa pemerintahan), berkaitan dengan Propenas.2. Untuk model 6 mengikutsertakan sampai 9 lag karena pendidikan biasanya mempunyai dampak yang lebih lama. Berdasarkan pemilihan lag optimal diatas maka disimpulkan penggunaan lag untuk masing-masing model cenderung menggunakan AIC (karena lebih stabil) yaitu untuk model 1 menggunakan sampai lag 2, model 2 dengan 3 lag , model 3 dengan 6 lag, model 4 dengan 3 lag , model 5 dengan 3 lag dan model 6 dengan 9 lag. (Dalam praktek, kita membatasi lag menjadi lebih sedikit dari pada yang secara ideal diberikan pada model dinamis (Gujarati) (1995))

Page 20: Aggregate Demand

Granger Causality

Hasil pengujian Granger causality dengan Eviews 4.1 ditunjukkan Lampiran 3. Secara ringkas dapat disarikan dalam Tabel berikut ini

Kesimpulan dari hasil uji Granger Causality diatas:: 1. D(PDB) mempunyai hubungan timbal balik dengan D(TOTAL) artinya variabel D(PDB) Granger menyebabkan variabel D(TOTAL), dan D(TOTAL) Granger menyebabkan variabel D(PDB).2. D(PDB) mempunyai hubungan searah dengan D(RTN) artinya variabel D(PDB) Granger menyebabkan variabel D(RTN), sedangkan D(RTN) tidak Granger menyebabkan variabel D(PDB).3. D(PDB) mempunyai hubungan timbal balik dengan D(PEMB) yaitu variabel D(PDB) Granger menyebabkan variabel D(PEMB), demikian sebaliknya D(PEMB) Granger menyebabkan variabel D(PDB).4. D(PDB) mempunyai hubungan searah dengan D(SKTR1) yaitu variabel D(PDB) tidak Granger menyebabkan variabel D(SKTR1), akan tetapi sebaliknya D(SKTR1) Granger menyebabkan variabel D(PDB).5. D(PDB) mempunyai hubungan timbal balik dengan D(SKTR2) yaitu variabel D(PDB) Granger menyebabkan variabel D(SKTR2), dan sebaliknya D(SKTR2) Granger menyebabkan variabel D(PDB).6. D(PDB) mempunyai hubungan searah dengan D(SKTR3) yaitu variabel D(PDB) tidak Granger menyebabkan variabel D(SKTR3), akan tetapi sebaliknya D(SKTR3) Granger menyebabkan variabel D(PDB).

Estimasi VAR

Page 21: Aggregate Demand

Berdasarkan hasil Granger Causality dan penentuan jumlah lag maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi terhadap model-model yang mempunyai hubungan. Masing-masing persamaan dalam VAR terdiri dari variabel-variabel yang sama di sisi sebelah kanan dan ordinary least square (OLS) merupakan estimator yang paling efisien (Pindyck & Rubinfeld,1998). Dari persamaan diatas terlihat hanya sebagian lag yang signifikan pada setiap persamaan. Hasil estimasi VAR ditunjukkan dalam Lampiran 4. Keadaan ini merupakan tipikal dalam VAR (Pindyck,1998).

Impulse Respon

Hasil dari perhitungan impulse response antara D(PDB) dan D(TOTAL) disarikan dalam Lampiran 5 dan Gambar A. Tes dilakukan 2 tahap, pertama untuk mengetahui pengaruh kontemporer dari variabel D(PDB) terhadap variabel D(TOTAL) dan kedua digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari variabel D(TOTAL) terhadap variabel D(PDB). Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama, satu standar deviasi dari D(PDB) sebesar 53421.11 tidak membawa dampak apapun terhadap variabel

Page 22: Aggregate Demand

D(TOTAL) (standar deviasinya sama dengan nol = tidak ada kejutan). Setelah satu periode ,standar deviasi dari D(PDB) menjadi 16232.48 diatas rata-ratanya, membawa pengaruh terhadap penurunan standar deviasi dari variabel D(TOTAL) sebesar 3258.578 dibawah rata-rata. Dilain pihak satu standar deviasi dari variabel D(TOTAL) sebesar 15430.81 menyebabkan dampak negatif terhadap variabel D(PDB) sebesar 1183.898. Setelah periode kedua , penurunan standar deviasi dari variabel D(TOTAL) sebesar 1629.230 menyebabkan kenaikan standar deviasi dari variabel D(PDB) menjadi 3870.209 diatas rata-ratanya. Jika dikaji lebih dalam , kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam D(PDB) akan berpengaruh baik terhadap D(PDB) sendiri maupun terhadap D(TOTAL). Demikan juga kejutan-kejutan yang terjadi dengan datangnya informasi baru dalam D(TOTAL) akan berpengaruh baik terhadap D(TOTAL) sendiri maupun terhadap D(PDB). Bila dilihat gambar A di lampiran bahwa shock terhadap PDB akan membawa pengaruh terhadap TOTAL dan akan konvergen lagi setelah periode ke tujuh, sedangkan shock terhadap TOTAL akan membawa pengaruh terhadap PDB dan akan konvergen setelah periode keenam. Hasil dari perhitungan impulse response antara D(PDB) dan D(RTN) ditunjukkan dalam Lampiran 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama, satu standar deviasi dari D(PDB) sebesar 55926.34 tidak membawa dampak apapun terhadap variabel D(RTN) (standar deviasinya sama dengan nol = tidak ada kejutan). Setelah satu periode, standar deviasi dari D(PDB) menjadi 15318.51 diatas rata-ratanya, membawa pengaruh terhadap penurunan standar deviasi dari variabel D(RTN) sebesar 1632.650 dibawah rata-rata. Apabila ada shock terhadap PDB maka akan direspon oleh RTN. Demikian pula hubungan D(PDB) dengan D(PEMB) maupun dengan D(SKTR1) , D(SKTR2) dan D(SKTR3) , setiap shock terhadap D(PDB) akan direspon oleh masing-masing variabel, demikian pula shock terhadap D(PEMB) dan D(SKTR2) akan direspon oleh D(PDB). Dari gambar impulse response function pada Lampiran 5 terlihat bahwa impulse respon tersebut akan menuju keseimbangan (konvergen) dan tidak eksplosif.

Variance Decomposition

Dalam lampiran 6 ditunjukkan tabel variance decomposition hasil pengolahan menggunakan Eviews 4.1 D(PDB) dan D(TOTAL). Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada periode pertama forecast error variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 100% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) sebesar 0%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 99.66053% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) sebesar 0.339469%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) menurun menjadi 93.52448% dan yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) hanya sebesar 6.475518%. Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(PDB) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(TOTAL) meskipun tidak signifikan (cateris paribus). Sementara itu pada periode pertama forecast error variance dari D(TOTAL) yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) sendiri sebesar 99.41480% dan sudah terpengaruh oleh D(PDB) sebesar 0.585197%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(TOTAL) yang dapat dijelaskan oleh D(TOTAL) sendiri menurun menjadi sebesar 93.62999% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) meningkat menjadi sebesar 6.370010%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan

Page 23: Aggregate Demand

oleh D(TOTAL) menurun menjadi 80.92555% dan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sebesar 19.07445%. Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(TOTAL) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(TOTAL) (cateris paribus). Sementara pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa pada periode pertama forecast error variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 100% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sebesar 0%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(PDB) yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri sebesar 99.92079% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) hanya sebesar 0.079212%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sebesar 99.90216% dan yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sebesar 0.097839%. Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(PDB) lebih banyak dipengaruhi oleh D(PDB) sendiri dan D(RTN) hampir tidak mempunyai pengaruh . Sementara itu pada periode pertama forecast error variance dari D(RTN) yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sendiri sebesar 81.60653% dan sudah terpengaruh oleh D(PDB) sebesar 18.39347%. Pada periode kedua forecast error variance dari D(RTN) yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) sendiri menurun menjadi sebesar 79.51457% sedangkan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) meningkat menjadi sebesar 2048543%. Sampai sepuluh periode mendatang forecast error variance yang dapat dijelaskan oleh D(RTN) menjadi 56.52548% dan yang dapat dijelaskan oleh D(PDB) sebesar 43.47452%. Hasil ini menyimpulkan bahwa fluktuasi dari D(RTN) dipengaruhi oleh D(PDB) dan D(RTN) (cateris paribus). Sedangkan pada Lampiran 6 juga menunjukkan bahwa bila ada shock terhadap D(PDB) maka dampak dari shock tersebut dapat dijelaskan oleh D(PDB) sendiri dengan porsi yang semakin menurun dengan bertambahnya periode dan semakin besarnya dampak yang dapat dijelaskan oleh D(PEMB). Pada sepuluh periode mendatang yang dapat dijelaskan D(PDB) sebesar 90.63020% dan oleh D(PEMB) sebesar 9.369801%. Demikian sebaliknya apabila ada shock D(PEMB) maka efek dari shock tersebut dapat dijelaskan baik oleh D(PDB) maupun oleh D(PEMB). Pada Lampiran 6 , baik shock terhadap D(PDB) maupun D(SKTR1) masing-masing lebih banyak dijelaskan oleh variabel itu sendiri. Pada sepuluh periode mendatang shock terhadap D(PDB) hanya dapat dijelaskan oleh D(SKTR1) sebesar 2.433968%. Sementara variance decomposition D(PDB) dengan D(SKTR2), shock terhadap masing-masing variabel dapat dijelaskan baik oleh variabel itu sendiri maupun oleh variabel yang lain. Demikian pula untuk D(PDB) dengan D(SKTR3).

PEMBAHASAN

Hubungan Total Pengeluaran Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto

Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara produk domestik bruto dengan total pengeluaran pemerintah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara signifikan produk domestik bruto berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan total pengeluaran pemerintah tidak signifikan berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto.

Produk domestik bruto mempengaruhi total pengeluaran pemerintah Bila produk domestik bruto meningkat maka akan berdampak kepada peningkatan kegiatan ekonomi

Page 24: Aggregate Demand

utamanya sektor riil dan dunia usaha pada umumnya. Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh peningkatan penerimaan pemerintah melalui perpajakan, karena bergairahnya perekonomian sehingga aktivitas dunia usaha meningkat dan pada akhirnya keuntungan perusahaan meningkat pula. Peningkatan aktivitas dan keuntungan perusahaan ini tentunya akan meningkatkan perpajakan baik dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai maupun cukai. Jika penerimaan pemerintah meningkat maka akan membawa konsekuensi peningkatan pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran pemerintah juga didasari alasan bahwa dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka menuntut peningkatan penyediaan barang publik oleh pemerintah. Dengan demikian untuk kasus Indonesia Wagner’s Law berlaku, dimana peningkatan produk domestik bruto akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mempunyai efek terhadap pengeluaran pemerintah setelah periode dua tahun (cateris paribus). Hasil impulse respon juga menunjukkan bahwa apabila terjadi shock terhadap produk domestik bruto maka pengeluaran pemerintah akan merespon setelah tahun pertama dan setelah tahun ketujuh akan mengarah menuju konvergen kembali. Sementara hasil variance decomposition menunjukkan bahwa shock terhadap PDB dapat dijelaskan baik oleh selisih PDB sendiri maupun total pengeluaran pemerintah.

Total pengeluaran pemerintah tidak signifikan mempengaruhi produk domestik bruto Peningkatan pengeluaran peme-rintah secara tidak signifikan juga membawa dampak kenaikan produk domestik bruto di Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan struktur dan komposisi pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah dalam APBN terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Secara rata-rata pengeluaran komposisi pengeluaran keduanya tahun 1970 sampai 2003 adalah 56% pengeluaran rutin dan 44% pengeluaran pembangunan. Sekitar 30% dari pengeluaran rutin digunakan untuk belanja pegawai dan kurang lebih 40% untuk membayar bunga utang dalam dan luar negeri. Porsi belanja pegawai terhadap PDB juga hanya sekitar 2% (sangat kecil porsinya terhadap konsumsi rumah tangga). Belum lagi terdapat pengeluaran yang bersifat kontraksi seperti belanja pegawai luar negeri dan belanja barang luar negeri. Pengeluaran subsidi juga merupakan pengeluaran yang konsumtif dan tidak produktif. Pengeluaran pembangunanlah yang berperan dalam meningkatkan produk domestik bruto. Hanya saja dengan keterbatasan dana serta banyaknya obligatory expenditure pada pengeluaran rutin membuat pemerintah tidak bisa berbuat terlalu jauh dalam pengeluarannya. Oleh karena wajar bila hasil estimasi menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah secara tidak signifikan berpengaruh terhadap produk domestik bruto. Dengan demikian pendapat Keynes berlaku di Indonesia , dimana pengeluaran pemerintah sebagai campur tangan pemerintah dapat menstimulus perekonomian. Hasil impulse respon juga menunjukkan bahwa apabila terjadi shock terhadap pengeluaran pemerintah maka produk domestik bruto akan merespon mulai tahun pertama dimana shock timbul dan setelah enam tahun akan menuju keseimbangan kembali. Sementara hasil variance decomposition menunjukkan bahwa shock terhadap pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan baik oleh pengeluaran pemerintah sendiri maupun produk domestik bruto.

Hubungan Pengeluaran Rutin Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto.

Page 25: Aggregate Demand

Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan searah antara produk domestik bruto dengan pengeluaran rutin pemerintah. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara signifikan produk domestik bruto berpengaruh positif terhadap pengeluaran rutin pemerintah.

Produk Domestik Bruto mempengaruhi pengeluaran rutin pemerintah Karena pengeluaran rutin merupakan bagian dari pengeluaran total pemerintah yang besar dibandingkan pengeluaran pembangunan , maka dengan alasan yang sama dengan diatas bahwa peningkatan produk domestik bruto akan meningkatkan pengeluaran rutin pemerintah. Pengeluaran rutin pemerintah tahun 2003 sebesar Rp.188.584,3 M atau sebesar 74,3% dari total pengeluaran pemerintah. Peningkatan produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi) menuntut peningkatan public goods yang harus disediakan pemerintah. Demikian juga pelayanan yang tentunya meningkatkan kebutuhan secara kelembagaan seperti kebutuhan jumlah pegawai dan gaji pegawai, sarana dan prasarana pelayanan , belanja barang dan pemeliharaan dan sebagainya. Selang waktu yang relatif lama yaitu tiga tahun disebabkan perubahan pengeluaran rutin memang tidak secepat pengeluaran pembangunan, karena pengeluaran rutin relatif tetap dan untuk keperluan-keperluan yang sudah tetap/ periodic Setiap kenaikan selisih PDB tiga tahun yang lalu akan meningkatkan selisih pengeluaran rutin pemerintah tahun ini. Hasil impulse respon juga menunjukkan bahwa apabila terjadi shock terhadap produk domestik bruto maka pengeluaran rutin pemerintah akan merespon setelah tahun pertama dimana shock timbul dan lambat laun akan menuju keseimbangan kembali. Sementara hasil variance decomposition menunjukkan bahwa shock terhadap produk domestik bruto dapat dijelaskan baik oleh produk domestik bruto sendiri maupun pengeluaran rutin. Sementara itu pengeluaran rutin pemerintah tidak berpengaruh terhadap produk domestik bruto karena komposisi pengeluaran rutin lebih bersifat tidak produktif seperti belanja pegawai, tunjangan beras, uang makan/lauk-pauk, belanja barang dan subsidi. Sementara sumbangan belanja pegawai terhadap PDB dalam bentuk konsumsi rumah tangga juga kecil yaitu hanya sekitar 2%. Pengeluaran rutin lainnya yang membuat kontra produktif adalah pembayaran bunga utang luar terutama utang luar negeri. Dalam tahun 2003 misalnya total pembayaran bunga utang sebesar Rp.81,9 trilyun. Artinya dari penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak sebesar Rp.336 trilyun, sebesar Rp.81,9 trilyun (24,4%) hanya digunakan untuk membayar bunga utang. Dengan demikian apabila diteliti lebih jauh maka dari pengeluaran rutin, sangat kecil porsi pengeluaran yang betul-betul dapat produktif dan mempengaruhi produk domestik bruto. Belanja pegawai pun tidak begitu berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga secara keseluruhan. Kalau dilihat jumlah belanja pegawai jauh lebih kecil dibanding porsi konsumsi rumah tangga dalam PDB (sekitar 2%). Belanja pegawai berjumlah Rp.50 trilyun, sementara konsumsi rumah tangga dalam PDB sebesar Rp.1.372 trilyun. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga yang berasal dari sektor swasta lebih banyak berperan.

Hubungan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah dan tiga sektor pembangunan dengan produk domestik bruto.

Page 26: Aggregate Demand

Sejalan dengan alasan-alasan diatas maka pada dasarnya peningkatan produk domestik akan memberi dampak kepada peningkatan pengeluaran pemerintah tak terkecuali pengeluaran pembangunan, tergantung periode waktu pengaruhnya. Peningkatan pengeluaran pembangunan akan memberikan dampak terhadap peningkatan produk domestik bruto setelah tiga periode ( tiga tahun). Sedangkan peningkatan produk domestik bruto akan memberikan efek terhadap peningkatan pengeluaran pembangunan setelah satu dan dua periode. Secara umum pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran investasi pemerintah. Tentunya tidak cepat memberikan pengaruh terhadap produk domestik bruto. Sebagai contoh pembangunan jalan akan memberikan dampak setelah melewati beberapa periode. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pengeluaran pembangunan mempunyai dampak setelah tiga periode. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 1970 sampai 2003, sehingga wajar bahwa dalam penelitian ini sektor pertanian memberikan dampak atau pengaruh yang signifikan dan positif terhadap produk domestik bruto. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama periode tersebut secara rata-rata sektor pertanian memiliki sumbangan yang besar dalam produk domestik bruto. Hal ini mendukung penelitian Shergen Fan & Nertha Rao (2003) yang menyatakan bahwa sektor pertanian memberikan hasil positif dan signifikan terhadap pertambahan output. Varina Hisbah (2000) dalam penelitiannya menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) 1998 memberikan hasil bahwa pengeluaran pemerintah ke sektor pertanian memberikan dampak yang lebih baik. Sebaliknya porsi pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian makin menurun sejalan berkembangnya sektor manufaktur dan semakin berkurangnya nilai tambah dari sektor pertanian yang disebabkan tidak efisien. Hal ini dibuktikan dari hasil uji kausalitas bahwa pengeluaran pembangunan tidak banyak berpengaruh terhadap sektor pertanian. Bustanul Arifin dalam tulisannya Ekonomi Politik menyatakan bahwa merupakan fenomena biasa dimana pendapatan negara yang semakin meningkat maka alokasi untuk sektor yang berhubungan dengan bahan pokok akan berkurang (Engle Law). Sektor infrastruktur dan transportasi merupakan sektor penting dalam pertumbuhan investasi. Dengan infrastruktur dan transportasi yang kondusif maka akan meningkatkan perdagangan dan investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sektor infrastruktur sangat dibutuhkan khususnya di luar Jawa. Akses ke sumber bahan baku maupun ke pasar tujuan tidak dapat dilepaskan dari peranan sektor infrastruktur dan transportasi. Infrastruktur berfungsi memfasilitasi sirkulasi barang, menyebarkan penduduk, memperluas perdagangan, mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kondisi lingkungan. Menurut Mauritz H.M.Sibarani dalam penelitiannya berjudul “Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Industri (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997)” menyatakan bahwa infrastruktur (jalan,listrik dan telepon) memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Sementara menurut Munnel (1992) pengeluaran publik (infrastruktur) mempunyai pengaruh timbal balik dengan pertumbuhan ekonomi. Hanya saja menurut Munnel infrastruktur terjadi sebelum adanya aktifitas ekonomi. Peningkatan produk domestik bruto akan membawa dampak kepada peningkatan secara signifikan dan positif terhadap pengeluaran pembangunan merupakan hal yang logis. Pemerintah bahkan pada tahun-tahun ke depan akan meningkatkan anggaran pembangunan khususnya infrastruktur. Pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan akan memberikan dampak yang positif dan signifikan

Page 27: Aggregate Demand

setelah sembilan periode (tahun). Hal ini disebabkan sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang tidak secara cepat mempengaruhi perekonomian. Sektor pendidikan akan mempengaruhi produk domestik bruto melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana teori pertumbuhan endogen bahwa pertumbuhan yang berkesinambungan dapat terjadi dengan teknologi melalui investasi pemerintah dan swasta dengan R & D. Dengan teknologi maka akan terjadi perbaikan proses produksi yang lebih efektif dan efisien. Elizabeth Tiur Manurung dalam penelitiannya “Peranan Pendidikan dalam Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia 1969- 1993” mengatakan bahwa peran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui : 1) peningkatan kualitas dan produktivitas 2) dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa di Indonesia alokasi untuk sektor pendidikan relatif masih kecil sehingga pertumbuhan ekonomi tidak begitu berpengaruh terhadap pengeluaran pembangunan di sektor pendidikan. Hal ini mengingat pemerintah masih mempunyai masalah utang dan hal lain yang lebih mendesak seperti subsidi BBM yang lebih diprioritaskan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan1. Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara produk domestik bruto dengan total pengeluaran pemerintah. Artinya fluktuasi dan dinamika produk domestik bruto dapat dijelaskan oleh total pengeluaran pemerintah, demikian sebaliknya. Hal ini juga ditunjukkan oleh impulse response function dan variance decomposition. Hanya saja berdasarkan estimasi VAR dampak total pengeluaran pemerintah ternyata tidak signifikan terhadap produk domestik bruto. Hal ini banyak dijelaskan oleh besarnya pengeluaran rutin sementara pengeluaran rutin banyak tidak produktif dan bersifat kontraksi seperti pembayaran bunga utang. 2. Granger causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan searah antara produk domestik bruto dengan pengeluaran rutin pemerintah. Fluktuasi dan dinamika pengeluaran rutin dapat dijelaskan oleh produk domestik bruto. Hal ini juga ditunjukkan oleh impulse response function dan variance decomposition.3. Granger Causality menyimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pengeluaran pembangunan dan produk domestik bruto. Hal ini dapat dijelaskan karena pengeluaran pembangunan pemerintah merupakan pengeluaran investasi dan lebih produktif. Hasil estimasi VAR dari ketiga sektor pengeluaran pembangunan yang dipilih, menyimpulkan bahwa alokasi ke ketiga sektor tersebut memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap produk domestik bruto. Sementara itu produk domestik bruto lebih banyak memberikan dampak terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi.

Saran dan Implikasi Kebijakan1. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran dengan efektif ke pos-pos pengeluaran yang dapat meningkatkan produk domestik bruto sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Pemerintah

Page 28: Aggregate Demand

perlu mempertimbangkan peng-hematan pengeluaran utamanya pengeluaran rutin. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi laju pertumbuhan jumlah pegawai sehingga dapat mengurangi belanja pegawai. Hal lain yang dapat dilakukan adalah perlunya dipikirkan perlunya pengurangan subsidi BBM yang memberatkan APBN. Skala prioritas ini memang membawa dampak terhadap kemiskinan dan pengangguran. Literatur keuangan negara memang memberikan acuan bahwa terdapat trade off dalam kebijakan pemerintah yaitu efisiensi dan equality. Bila sudut pandangnya dari pertumbuhan ekonomi (efisien) maka equality akan berkurang. Hal ini dapat dikurangi dengan mengalokasikan ke proyek-proyek pembangunan yang bersifat padat karya. Tetapi hal ini juga menimbulkan dampak ketidak-efisienan dibanding menggunakan padat modal. Memang pada akhirnya pemerintah harus bijaksana untuk mengambil kebijakan dengan mempertimbangkan dampak ter-dapat efisiensi dan equality. Disamping itu perlunya manajemen pinjaman luar negeri sehingga semakin lama pinjaman semakin berkurang, dan mencari alternatif pembiayaan yang lain sehingga diharapkan dapat menekan pengeluaran obligatory dan memperlebar ruang gerak APBN dalam melakukan ekspansi fiskal yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.2. Pemerintah perlu lebih memberi perhatian kepada pengeluaran pembangunan karena pengeluaran pembangunan dapat menstimulus produk domestik bruto (pertumbuhan ekonomi).3. Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi akan meningkatkan investasi yang pada gilirannya dapat membawa dampak positif terhadap peningkatan produk domestik bruto. Sektor pendidikan meskipun memberi dampak dalam jangka panjang (setelah 9 tahun atau sesuai program wajib belajar 9 tahun) perlu mendapat perhatian pemerintah, bahkan UUD 1945 mensyaratkan alokasi ke sektor pendidikan sebesar 20%. 4. Penelitian ini menggunakan struktur APBN I-account sebelum 2005 karena analisisnya juga dibatasi hanya sampai tahun 2003. Oleh karena sistem unified budget baru diterapkan tahun 2005 ini, sehingga data konversi belum tersedia, maka untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan struktur APBN I-account dengan unified budget system.

Lampiran-lampiran: lihat file attachment.

Attachments:

lampiran-lampiran 84 Kb

MENU UTAMA Serambi Profil BPPK

o Profil Organisasi

Page 29: Aggregate Demand

o Sejarah Singkat BPPK

o Visi dan Misi

o Tugas Pokok dan Fungsi

o Struktur Organisasi

o Kegiatan BPPK

o Dukungan SDM

o Mantan Kepala BPPK

Unit Organisasi

o Sekretariat BPPK

o Pusdiklat

o STAN

o Balai Diklat Keuangan

Riset dan Pengembangan

Hubungi Kami

Download

o Artikel dan Jurnal

o Buku Digital

o Peraturan

o Research Paper

o Surat Edaran

o Tesis

o Majalah Digital

Galeri

Link SitusKementerian Keuangan

Kementerian Keuangan

Badan Kebijakan Fiskal

Bapepam-LK

Page 30: Aggregate Demand

Ditjen Anggaran

Ditjen Bea & Cukai

Ditjen Kekayaan Negara

Ditjen Pajak

Ditjen Pengelolaan Utang

Ditjen Perbendaharaan

Ditjen Perimbangan Keuangan

Inspektorat Jenderal

Bank Indonesia

Bank Indonesia

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Bappenas

Bappenas

Site Map / Peta Situs

Intranet BPPK

Pengunjung

Hari Ini 2490

Kemarin 4978

Minggu Ini 16006

Bulan Ini 88944

Seluruhnya 1834482

Page 32: Aggregate Demand

Aggregate Demand & Supply 2

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Consumers expect a recessionIf consumer expect a recession then they will not spend as much money today as to "save for a rainy day". Thus if spending has decreased, then our aggregate demand must decrease. An aggregate demand decrease is shown as a shift to the left of the aggregate demand curve, as shown below. Note that this has caused both Real GDP to decrease as well as the price level. Thus expectations of future recessions act to lower economic growth and are deflationary in nature

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Part 2

Aggregate Demand & Supply 3

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Foreign income risesIf foreign income rises, then we would expect that foreigners would spend more money - both in their home country and in ours. Thus we should see a rise in foreign spending and exports, which raises the aggregate demand curve. This is shown in our diagram as a shift to the right. This shift in the aggregate demand curve cause Real GDP to rise as well as the price level.

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Part 3

Page 33: Aggregate Demand

Aggregate Demand & Supply 2

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Foreign price levels fallIf foreign price levels fall, then foreign goods become cheaper. We should expect that consumers in our country are now more likely to buy foreign goods and less likely to buy domestic made products. Thus the aggregate demand curve must fall, which is shown as a shift to the left. Note that a fall in foreign price levels also causes a fall in domestic price levels (as shown) as well as a fall in Real GDP, according to this Keynesian framework.

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Part 4

Aggregate Demand & Supply 3

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Government spending increasesThis is where the Keynesian framework differs radically from others. Under this framework this increase in government spending is an increase in aggregate demand, as the government is now demanding more goods and services. So we should see Real GDP rise as well as the price level.

This is generally all that is expected in a 1st year college answer. There are larger issues here, though, such as how is the government paying for these expenditures (higher taxes? deficit spending?) and how much government spending chaces away private spending. Both those are isAggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Part 5

Page 34: Aggregate Demand

Aggregate Demand & Supply 4

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Workers expect high future inflation and negotiate higher wages nowIf the cost of hiring workers has gone up, then companies will not want to hire as many workers. Thus we should expect to see the aggregate supply shrink, which is shown as a shift to the left. When the aggregate supply gets smaller, we see a reduction in Real GDP as well as an increase in the price level. Note that the expectation of future inflation has caused the price level to increase today. Thus if consumers expect inflation tomorrow, they will end up seeing it today.

sues typically beyond the scope of a question such as this.

Aggregate Demand & Aggregate Supply Practice Question - Part 6

Aggregate Demand & Supply 5

Use an aggregate demand and aggregate supply diagram to illustrate and explain how each of the following will affect the equilibrium price level and real GDP:

Technological improvements increase productivityA rise in firm productivity is shown as a shift of the aggregate supply curve to the right. Not surprisingly, this causes a rise in Real GDP. Note that it also causes a fall in the price level.

Now you should be able to answer aggregate supply and aggregate demand questions on a test or exam. Good luck!