skripsirepository.uinjambi.ac.id/3223/1/nafi'ah aini (ut 160091...persembahan ميح رل äح...
TRANSCRIPT
RELASI ANTARA PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
DENGAN KERUSAKAN ALAM
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S. 1) Dalam Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama
OLEH :
NAFI’AH AINI
NIM : UT. 160091
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
i
RELASI ANTARA PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
DENGAN KERUSAKAN ALAM
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Dan Studi Agama
OLEH :
NAFI’AH AINI
NIM : UT. 160091
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S
Al-Baqarah: 30)1
1Tim Pentejemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2016), 6.
vi
PERSEMBAHAN
بسم الله الر حمه الر حيم
Ku persembahkan Skripsi ini kepada:
Bapakku terhormat dan tersayang Nursa‟id
Ibuku termulia dan tersayang Sri Hartini, S.Pd.
Adikku tersayang Muhammad Syafiq Ihsan
Dan semua Keluarga-ku
Semua Guruku Dari SD-MA, Semua Dosenku, Dan Semua Pihak Yang Telah
Membantu dan mensupport ku sampai saat ini.
Bapak Drs. H. Moh. Yusuf, Hm, M. Ag Sebagai Dosen Pembimbing 1 saya,
Terimakasih atas bimbingan skripsinya selama ini.
Bapak Hayatul Islami, S. Th. I., M. SI Sebagai Dosen Pembimbing 2 saya,
Terimakasih atas bimbingan skripsinya selama ini.
Pengurus Ma‟had Al-Jami‟ah beserta teman-teman yang pernah hidup bersamaku
dan satu perjuangan denganku selama satu tahun di Ma‟had Al-Jami‟ah UIN STS
Jambi.
Bapak Suhendri, S.H dan Ibu Rini Nurhikmah, S.Kep sebagai Orang Tua kami di
Kost Arkan selama 3 tahun, dan beserta keluarga besar-nya yang telah menjaga
kami selama aku tinggal di Kost Arkan, Dan sahabatku seperjuangan kost Arkan
yaitu: (Lara Kartika Sari, Junia Nabila, Robi‟atul Adawiyah, Umi Cahya Lestari,
Endang Afriani, Nomi Vionika, Intan Juniarmi, Yulia Rahmatika, Annisa Putri
Dewi, Nenni Sara).
Semua Teman-temanku, sahabatku dari kecil, SD, SMP, MAS.
Hingga sampai ke tahap perkuliahan saat ini.
Kawan-Kawan Seperjuangan jurusan IAT Angkatan 2016.
vii
ABSTRAK
Penelitian ini di latar-belakangi oleh adanya ketidak-seimbangan
terhadap peran manusia sebagai khalifah. Sementara di dalam dalil-dalil al-Qur‟an
dan Sunnah, Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan bagaimana idealnya manusia
sebagai Khalifah, namun faktanya telah banyak terjadi kerusakan alam yang
diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Oleh sebab itu, penelitian ini menarik
sebab adanya ketidak-seimbangan antara peran manusia sebagai khalifah dengan
kerusakan alam. Karena seharusnya manusia berfungsi sebagai khalifah Kawniyah
yang menjaga alam. Namun, malah merusak alam. Maka dari masalah tersebut,
penulis akan mencari relasi antara peran manusia sebagai khalifah dengan
kerusakan alam.
Penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library research) dengan
subyek dan objeknya, semuanya berasal dari bahan-bahan kepustakaan (literatur)
berupa kitab-kitab tafsir, kitab-kitab Hadits, buku ilmiah, artikel dan lain
sebagainya. Kemudian metode pengumpulan data di sini menggunakan metode
dokumentasi yang terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah
atau dokumentasi tertulis lainnya. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian
ditelaah dan diolah menggunakan salah satu metode tafsir yaitu metode maudhu^’i. Hasil penelitian, penulis menemukan bahwa konsep khalifah adalah
makhluk yang dipercaya dan diberi tugas oleh Allah untuk mengelola seluruh
potensi alam ini, dan memanfaatkannya sesuai dengan tuntunan-Nya. Sedangkan
di dalam surat Al-Baqarah ayat 30, konsep khalifah adalah orang yang disuruh
Allah untuk menjadi pelaksana dimuka bumi ini. Oleh karena itu, manusia
diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini yang melaksanakan
kekhalifahan sesuai dengan tuntunan syari‟at yang dapat mengaplikasikan
rahmatan lil al-„alamin. Oleh karena itu, kekhalifahan menuntut adanya interaksi
antara manusia dan sesamanya dengan manusia dan alam sesuai dengan petunjuk-
petunjuk Ilahi yang tertera dalam Firman-firman Allah Swt. Tapi, apabila terjadi
kerusakan alam akibat ulah tangan manusia, itu disebabkan karena perbuatan
manusia, atau sikap manusia yang berlebihan di dalam memanfaatkan alam.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan,
kesempatan dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul “Relasi Antara Peran Manusia Sebagai Khalifah Dengan
Kerusakan Alam”.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda
Agung Nabi Muhammad Saw, seluruh keluarga beserta para sahabat beliau, yang
senantiasa istiqomah dalam memperjuangkan agama Islam, semoga kita menjadi
hamba-hamba pilihan seperti mereka Amiin ya Rabbal „aalamin.
Selanjutnya penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini,
penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini sampai selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, karena berkat kedua orang tua dan
karena do‟a dari beliaulah penulis bisa sampai pada tahap ini dan keluarga yang
telah senantiasa mengsupport serta mendoakan penulis sehingga karya ini dapat
diselesaikan.
Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. H. Moh. Yusuf, Hm, M. Ag selaku pembimbing I yang telah
banyak memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan
Skripsi ini.
2. Bapak Hayatul Islami, S. Th. I., M. SI Selaku Pembimbing II yang telah
banyak memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan
Skripsi ini.
3. Bapak Dr. Pirhat Abbas, M. Ag selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa selalu memberi saran, nasehat, semangat dan waktunya demi
terselesaikannya Skripsi ini.
4. Bapak Bambang Husni Nugroho, S.Th.I.,M.H.I selaku Ketua Jurusan Ilmu
Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
5. Bapak Dr. Halim, S.Ag.,M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil Dekan I bidang Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
ix
7. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M. Fil.I. selaku Wakil Dekan 2 bidang Administrasi
Umum Perencanaan dan Keuangan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
UIN STS Jambi.
8. Bapak Dr. M. Ied Al-Munir, M.Ag, M. Hum selaku Wakil Dekan 3 bidang
Kemahasiswaan dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
9. Para Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi, yang
telah senantiasa mendidik dan memberikan banyak ilmu, kepada semua
Mahasiswanya
10. Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA, Ph. D selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
11. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.M.EI, Bapak Dr. As‟ad Isma, M.Pd, Bapak
Bahrul Ulum, S.Ag.,MA, selaku Wakil Rektor I, II, dan III , beserta Staf-Staf
Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
12. Ibu Himmatun Zakiyah. S.Ag, M.Pd.I sebagai Kabag TU, beserta Karyawan
dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
13. Bapak Mohd. Isnaini, M.Hum sebagai Kepala Pusat Perpustakaan UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi beserta staf-stafnya, terima kasih telah
membantu, dan melayani secara baik pinjaman buku-buku kepada penulis
selama ini.
14. Bapak Idris, S. S., M.H sebagai Ketua Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
Dan Studi Agama beserta staf-stafnya, terima kasih telah membantu, dan
melayani secara baik pinjaman buku-buku kepada penulis selama ini.
15. Seluruh teman-teman seangkatan 2016 jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Semoga Allah SWT, membalas segala kebaikan dan bantuannya kepada
penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna untuk itu penulis mengharapkan masukan serta saran dari para
pembaca. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan pada
umumnya kepada seluruh pembaca.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . .......................................................................................i
NOTA DINAS ....................................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ...................................iii
PENGESAHAN .................................................................................................iv
MOTTO .............................................................................................................v
PERSEMBAHAN ..............................................................................................vi
ABSTRAK .........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................x
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. .......................................................1
B. Rumusan Masalah ........ ........................................................6
C. Batasan Masalah ........... ........................................................6
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ..........................................7
E. Tinjauan Pustaka .......... ........................................................8
F. Metode Penelitian ......... ........................................................9
G. Sistematika Penulisan ... ........................................................11
BAB II KONSEP MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DALAM AL-
QUR’AN
A. Kekhalifahan Manusia ...........................................................13
B. Pengertian Khalifah. ..............................................................15
C. Tugas-tugas Manusia sebagai Khalifah .................................21
xi
BAB III RELASI ANTARA PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
DENGAN KERUSAKAN ALAM
A. Hubungan Manusia dan Alam ................................................27
B. Contoh-contoh kerusakan alam akibat ulah tangan manusia..28
C. Penyebab Manusia melakukan kerusakan alam .....................30
BAB IV PENAFSIRAN TERHADAP AYAT-
AYAT YANG BERKAITAN DENGAN PERAN MANUSIA
SEBAGAI KHALIFAH DENGAN KERUSAKAN ALAM
A. Penafsiran ayat-ayat tentang Khalifah ..................................32
B. Penafsiran ayat-ayat tentang Kerusakan Alam .....................47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................... ........................................................63
B. Saran ............................. ........................................................64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI2
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
{t ط ’ ا
{z ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ th ث
f ف j ج
q ق {h ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dh ذ
n ن r ر
h ه z ز
w و s س
, ء sh ش
s ص y ي {
}d ض
B. Vokal dan Harakat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
>i اى <a ا a ا
aw ا و ả ا ى u ا
ay ا ى <u ا و i ا
2Mohd. Arifullah, et. al., Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin IAIN STS JAMBI, (Jambi: Fak. Ushuluddin IAIN STS Jambi, 2016), 149-150.
xiii
C. T a>’ Marb u>t}ah
Transliterasi untuk ta marbutah ini ada dua macam:
1. T a>’ Marb u>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka
transliterasinya adalah /h/.
Arab Indonesia
S{ala>h صلا ة
Mir’a>h مر اة
2. Ta Marbutah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah,
dan dammah, maka transliterasinya adalah /t/.
Arab Indonesia
Wiza>rat al-Tarbiyah وز ارة التر بية
Mir’a>t al-zaman مراة از مه
3. Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka transliterasinya
adalah /tan/tin/tun.
Arab Indonesia
فجئة
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi
dari setiap elemen alam ini. Matahari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara
punya fungsi, dan begitulah seterusnya. Begitu juga Allah menciptakan Manusia
di dunia ini. Fungsi diciptakan manusia di dunia ini ada 3, yaitu:
1. Fungsi Utama, sebagai hamba Allah untuk mengabdi kepada-Nya termasuk
tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Namun, mengabdi di sini adalah
keterlibatan yang mau mengerjakan apapun perintah Allah.
2. Fungsi Fungsional, sebagai khalifah di muka bumi.
3. Fungsi Operasional, sebagai orang yang dipercaya untuk mengatur dan
mempertahankan alam dan mewujudkan kemakmuran di muka bumi.3
Manusia memiliki peranan yang amat penting dalam pemeliharaan
lingkungan. Peranan manusia dikategorikan sebagai tujuan-tujuan yang sangat
mulia ditengah-tengah kehidupan manusia. Usaha membangun bumi ini akan
sempurna lewat cara menanam, membangun, memperbaiki dan menghidupi, serta
menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak. Nantinya, tujuan-tujuan tersebut di
atas akan saling melengkapi dan menyempurnakan. Karena membangun bumi
termasuk dalam konteks pelaksanaan tugas kekhalifahan, kedua-duanya
merupakan bentuk paling konkrit dari ibadah kepada Allah SWT.4
Khalifah berasal dari kata Khalảfả yang berarti menggantikan. Di dalam
Al-Qur‟an di temukan sebanyak 127 ayat yang membahas tentang Khalifah.5
Namun, Dalam bentuk tunggal, kata ini dipakai dua kali dalam al-Qur‟an:
3Abdurrahman Arroisi, Keberadaan Manusia di Muka Bumi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), 63. 4Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002), 24-26. 5
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Mu‟jam Al-Mufahraz Lil Al-Faazil Qur‟anil Karim,
(Kairo, Mesir: Darul Qutub Mishriyyah, 1945), 238-241.
2
Yang pertama pada surat Al-Baqarah ayat : 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."(Q.S Al-Bảqảrảh: 30)6.
Ayat ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para
malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian
kepada mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut
manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang
bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya.
Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui manusia, akan mengantarnya
bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog Allah
dengan para malaikat “Sesumgguhnya Aku akan menciptakan khalifah di dunia”.7
Yang kedua pada surat As-Saảd: 26
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
6Tim Pentejemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2016), 6. 7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Volume
1, (Jakarta:Lentera Hati, 2005), 20.
3
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(As-Saảd: 26).8
Ayat pertama ini berkenaan dengan Nabi Adam AS yang dijadikan
khalifah di bumi, yakni penguasa atau pengelola yang diberi tanggung jawab oleh
Allah untuk mengelola bumi dengan segala isinya. Yang kedua berkenaan dengan
Nabi Dawud AS yang dijadikan pemegang kekuasaan di tanah airnya, maka ia
harus menjalankan kekuasaan itu dengan benar. Ini menunjukkan kepada
pengertian khalifah sebagai pemegang mandat yang harus menjalankannya
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan pemberi mandat itu.9
Di dalam surat Al-An‟am ayat 165, Allah SWT juga telah menjelaskan
bahwa manusia adalah Khalifah Allah di bumi.
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-An‟am: 165).10
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai pemimpin
di alam jagat raya ini, Dia lebihkan di antara manusia beberapa derajat, ada yang
memimpin dirinya sendiri, memimpin keluarga, memimpin suatu organisasi dan
suku-sukunya, termasuk memimpin rakyat banyak. Terhadap pemimpin, al-
Qur‟an mengingatkan agar jangan sampai para pemimpin tidak berbuat adil, dan
melakukan kerusakan alam dengan seenaknya.11
8Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 454.
9 Machasin, Menyelam kebebasan Manusia Telaah Kritis Terhadap Konsepsi al-Qur‟an,
10.
10
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 150. 11
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2015), 114.
4
Di dalam Hadist juga ada riwayat yang menyatakan bahwa manusia
sebagai khalifah di muka bumi, yaitu:
ث نا عبد اللو بن مسلمة عن مالك عن عبد اللو بن دينار عن عبد اللو بن عمر أن ل اللو حد ل اللو ر أل كلكم راع وكلكم مسئل عن رعيتو فالمير الذي عل الناس را لم قا ع عليهم وىل مسئل عليو و
هم والمرأة راعية ع هم والرجل راع عل أىل ب يتو وىل مسئل عن هم عن ل ب يت ب علها وولده وىي مسئللة عن يده وىل مسئل عنو فكلكم راع وكلكم مسئل عن رعيتو (رواه بخاري و مسلم) .والعبد راع عل ما
“Ibn Umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda:
“setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara
rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya.
Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara
barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan
kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)
dari hal-hal yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).12
Di dalam hadits ini, terlihat bahwa siapapun manusianya, laki-laki atau
perempuan, rakyat atau pejabat, suami atau istri, budak sekalipun, berperan
sebagai pengembala, pemelihara, pengurus, dan pemimpin. Semuanya akan
diminta pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, setiap individu manusia itu
memiliki peranan sebagai pemimpin, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.13
Idealnya khalifah di muka bumi sebagaimana yang dijelaskan al-Qur‟an
memiliki dua bentuk khalifah yang melekat pada diri manusia. Pertama, khalifah
Kawniyah yaitu mencakup wewenang manusia secara umum yang telah
dianugerahkan Allah Swt untuk mengatur dan memanfaatkan alam bagi
kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Kedua Khalifah Syar‟iyah, yaitu
wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam
semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini predikat
khalifah secara khusus ditunjuk sebagai pemangku amanah untuk umat manusia.
12
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Jami‟ As-Shahih, (Kairo: Mut‟ah As-
Salfiyah, 1403), 222-223.
Imam Abi Khusain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Darul Qutub, 1991), 1459. 13
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), 116.
5
Hal ini, dimaksudkan agar keimanana fitrah yang dimilikinya mampu menjadi
pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, dan menjaga
ekosistemnya sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah.14
Namun, faktanya yang terjadi pada saat ini, telah banyak terjadinya
kerusakan-kerusakan akibat ulah tangan manusia, dan hal ini juga telah di jelaskan
Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S
Ar-Rum: 41).15
Di dalam surat Al-Bảqảrảh ayat 11 dijelaskan :
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi. mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang
Mengadakan perbaikan." (Q.S Al-Baqarah: 11).16
Contoh lain bencana alam, yang terjadi akibat ulah tangan manusia itu
terjadi juga di daerah Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur pada 29 Mei
2006. Lumpur panas bercampur gas menyembur dari sumur. Semburan lumpur
terus membesar dan meluas selama beberapa bulan hingga menenggelamkan area
pemukiman, pertanian, dan industri di tiga kecamatan yaitu Porong,
Tanggulangin, dan Jabon. Sebanyak empat desa di lahan seluas 400 hektar terkena
dampak langsung dari semburan lumpur panas itu. Semburan lumpur ini
14
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), 121. 15
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 408. 16
Ibid, 3.
6
merupakan bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas yang
dilakukan oleh Perusahaan Lapindo Brantas Inc.17
Hal ini membuktikan adanya ketidak-seimbangan terhadap peran manusia
sebagai khalifah. Sementara di dalam dalil-dalil al-Qur‟an dan Sunnah, Allah dan
Rasul-Nya telah menjelaskan bagaimana idealnya manusia sebagai Khalifah,
namun faktanya telah banyak terjadi kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah
tangan manusia. Oleh sebab itu, penelitian ini menarik sebab adanya ketidak-
seimbangan antara peran manusia sebagai khalifah dengan kerusakan alam.
Karena seharusnya manusia berfungsi sebagai khalifah Kawniyah yang menjaga
alam. Namun, malah merusak alam. Maka dari masalah tersebut, penulis akan
mencari relasi antara peran manusia sebagai khalifah dengan kerusakan alam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang akan menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep Khalifah dalam al-Qur‟an?
2. Bagaimana penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan peran
manusia sebagai Khalifah dengan kerusakan alam?
3. Bagaimana relasi antara peran manusia sebagai Khalifah dengan
kerusakan alam?
C. Batasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya masalah yang akan penulis bahas, maka
penulis rasa perlu untuk membatasinya. Maka dalam penelitian ini penulis hanya
memfokuskan penelitian terhadap ayat-ayat yang berkaitan tentang peran manusia
sebagai Khalifah dengan kerusakan alam. Ada 5 ayat tentang khalifah, yaitu: Surat
Al-Baqarah ayat: 30, As-S>>>{>>a>d ayat: 26, Al-An‟am ayat: 165, Yunus ayat 14, Fathir
ayat 39. Dan ada 5 ayat tentang kerusakan alam, yaitu: Surat Ar-Ru>m ayat: 41, Al-
Baqarah ayat 11, Al-Maidah ayat 33, Al-Qas{as ayat 77, dan Al-A‟raf ayat 56.
17
Abdul Azis Said, “Kontroversi Penyebab hingga Penamaan Lumpur lapindo”, diakses
melalui alamat https://katadata.co.id/berita, tanggal 4 Oktober 2019.
7
Ayat ini digunakan dalam skripsi ini, karena dari sekian banyak ayat yang
menjelaskan tentang khalifah dan kerusakan alam. Tapi menurut penulis, 10 ayat
inilah yang sangat berkaitan langsung dengan pembahasan di dalam skripsi ini.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk:
a. Untuk mengetahui bagaimana konsep Khalifah dalam al-Qur‟an?
b. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan
dengan peran manusia sebagai Khalifah dengan kerusakan alam?
c. Untuk mengetahui bagaimana relasi antara peran manusia sebagai khalifah
dengan kerusakan alam?
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memenuhi di
antaranya adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khasanah keilmuwan,
khususnya yang berkaitan dengan kajian ilmu al-Qur‟an Dan Tafsir.
b. Penelitian ini diharapkan mampu meramaikan dan memperkaya
perbendaharaan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelaahan mengenai
Relasi antara peran manusia sebagai Khalifah dengan kerusakan alam.
c. Mengkaji dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini,
sedikit banyaknya bisa menjadi sumbangsi bagi insan akademik serta bisa
menjadi sesuatu yang memajukan lembaga pendidikan khususnya fakultas
Ushuluddin Dan Studi Agama baik di masa sekarang maupun di masa yang
akan datang.
d. Serta sebagai pelengkap persyaratan guna untuk memeperoleh gelar Sarjana
Strata Satu (S.1) pada jurusan Ilmu al-Qur‟an Dan Tafsir pada Fakultas
Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
8
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan dan pengamatan penulis, hingga saat ini sudah banyak
penelitian yang ditemukan atau tulisan yang membahas tentang manusia sebagai
khalifah dan Kerusakan Alam. Namun, sepanjang penelusuran penulis belum ada
penelitian yang secara spesifik membahas tentang relasi antara peran manusia
sebagai khalifah dengan kerusakan alam. Diantara penelitian-penelitian yang
terdahulu yang pernah dilakukan adalah:
1. Dalam bentuk skripsi, yang ditulis oleh M. Luthfi Maulana mahasiswa jurusan
Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo,
Semarang pada tahun 2016 yang berjudul “Manusia Dan Kerusakan
Lingkungan Dalam Al-Qur‟an: Studi Kritis Pemikiran Mufassir Indonesia
(1967-2014)”.18
Namun, setelah penulis teliti, skripsi yang ditulis M. Luthfi
Maulana diatas lebih memfokuskan kajiannya kepada studi kritis pemikiran
Mufassir Indonesia pada tahun 1967-2014 tentang ayat yang menjelaskan
manusia dan kerusakan lingkungan. Sedangkan perbedaannya dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penulis ingin mencari relasi
antara peran manusia sebagai khalifah dengan kerusakan alam melalui
penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan peran
manusia sebagai khalifah dengan kerusakan alam.
2. Dalam bentuk Jurnal yang ditulis oleh Abu Bakar Madani, beliau Dosen tetap
pada Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah di IAIN Samarinda, yang
berjudul “Dakwah Dan Perubahan Sosial: Studi Terhadap Peran Manusia
Sebagai Khalifah Di Muka Bumi”.19
Setelah penulis teliti, Jurnal ini memuat
tentang manusia sebagai khalifah yang berperan terhadap perubahan sosial.
Karena manusia dianggap sebagai aktor atau pelaku yang menciptakan sejarah
dan penemuan baru. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan
penulis lakukan adalah pada pencarian dalil-dalil Al-Qur‟an dan Hadith yang
18
M. Luthfi Maulana, Manusia Dan Kerusakan Lingkungan Dalam al-Qur‟an: Studi Kritis
Pemikiran Mufassir Indonesia (1967-2014), Skripsi (Semarang: Program Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo, 2016), 20. 19
Abubakar Madani, “Dakwah Dan Perubahan Sosial: Studi Terhadap Peran Manusia
Sebagai Khalifah Di Muka Bumi”, Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi, I, No.1, (2017), 15.
9
menjelaskan bagaimana idealnya peran manusia sebagai Khalifah dan mencari
sebab yang melatar- belakangi manusia melakukan kerusakan alam.
3. Dalam bentuk Jurnal yang ditulis oleh Watsiqotul, Sunardi, Leo Agung,
jurusan Magister Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang berjudul “Peran Manusia Sebagai
Khalifah Allah Di Muka Bumi Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam”.20
Setelah penulis teliti, Jurrnal ini memuat tentang bagaimana peran manusia
sebagai Khalifah di muka bumi dalam perspektif ekologis sesuai ajaran Islam.
Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah
penulis akan membahas tentang relasi antara peran manusia sebagai khalifah
dengan kerusakan alam dengan menggunakan metode Tafsir Tematik analisa
Munasabah. Sehingga ditemukan Relasi dari hubungan ayat dengan ayat yang
lain yang memiliki maksud yang sama.
4. Dalam bentuk Buku yang ditulis oleh Fachruddin M. Mangunjaya yang
berjudul “Konservasi Alam Dalam Islam” dan diterbitkan oleh Yayasan Obor
Indonesia 2005 di Jakarta. Buku ini berbicara tentang teori lingkungan hidup,
akhlaq terhadap kehidupan liar, konservasi alam, menjaga pola konsumsi dan
perdagangan binatang berdasarkan syariat.21 Sedangkan perbedaanya dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis adalah penulis lebih menfokuskan pada
kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berangkat dari permasalahan yang diangkat dan data yang akan dihimpun,
maka tampak jelas bahwa jenis penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library
research) dengan subyek dan objeknya, semuanya berasal dari bahan-bahan
kepustakaan (literatur) berupa kitab-kitab tafsir, kitab-kitab Hadits, buku ilmiah,
artikel dan lain sebagainya. Kondisi data yang demikian sudah cukup untuk
20
Watsiqotul, Sunardi, Leo Agung, “Peran Manusia Sebagai Khalifah Allah Di Muka Bumi
Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam”, Jurnal Penelitian , XII, No 2, (2018), 24. 21
Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), 5.
10
dijadikan bahan baku penelitian, sehingga tidak kesulitan dalam melakukan
analisa untuk mengambil kesimpulan yang merupakan hasil penelitian. Jika
demikian, maka penelitian ini tidak memerlukan data lapangan karena yang ingin
dicari ialah pemikiran, konsep atau teori yang dikemukakan oleh para ulama dan
ilmuwan yang tertuang di dalam karya-karya tulis mereka. Jadi tanpa data
lapangan hasil penelitian ini sudah cukup representatif dan dapat dijadikan
pegangan.22
2. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka
diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini
menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan sumber
data sekunder. Yang perinciannya sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah sumber informasi yang langsung dari subyek
penelitian sebagai informasi yang di cari.23 Dalam skripsi ini, data primernya
adalah: al-Qur‟an, Kitab Mu‟jam al-Mufahras li Alfazil Qur‟an dan Kitab-kitab
Tafsir al-Qur‟an.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah sumber informasi secara tidak langsung
mempunyai wewenang dan tanggung jawab atau yang berkaitan dengan tema
tersebut. Dalam hal ini adalah buku-buku yang relevan dengan pembahasan
dalam penelitian ini.24Dalam skripsi ini, data sekundernya adalah: Buku,
Artikel, Jurnal, dan lain sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan judul
penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, penulis di sini menggunakan metode
dokumentasi yang terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal ilmiah
22
H. Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz, Metodologi Penelitian Tafsir, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), 152. 23
Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 90. 24
Ibid, 90.
11
atau dokumentasi tertulis lainnya. Penggunaan dokumen ini berkaitan dengan apa
yang disebut analisis data. Cara menganalisis dokumen ialah dengan memeriksa
dokumen secara sistematik, bentuk-bentuk komunikasi yang dituangkan secara
tertulis dalam bentuk dokumen secara obyektif.25
4. Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian ditelaah dan diolah
menggunakan salah satu metode tafsir yaitu metode tafsir Maudhu’i. Metode
maudhu^’i dapat diartikan dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan
tema atau topik permasalahan.26 Pada umumnya, pelaksanaan penafsiran dengan
menggunakan metode tafsir maudhu^’i selama ini berpedoman kepada langkah-
langkah yang disusun oleh Al-Farmawi. Adapun langkah-langkah aplikasi metode
maudhu^’i rumusan Al-Farmawi tersebut sebagai berikut:
a. Memilih atau menetapkan tema.
b. Mengumpulkan ayat-ayat yang terkait tema.
c. Menyusun ayat-ayat secara kronologis dan mengkaji Asba al-Nuzul.
d. Menganalisa Muna^sabah setiap ayat.
e. Menyusun tema bahasan atau Outline.
f. Mengkaji Hadis sebagai penjelasan tambahan.
g. Menafsirkan ayat secara keseluruhan.27
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini dan agar tidak
memperluas objek dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan.
Proposal Skripsi ini merujuk pada tehnik penulisan yang disepakati pada Fakultas
Ushuluddin Dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi. Penelitian ini terbagi kepada lima bab, setiap babnya terdiri dari sub-sub
bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan tersendiri, tetapi
25
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), 226. 26
Zulhedi, 6 Langkah Metode Tafsir Maudhu‟i, (Jakarta, PT RajaGrafindo:2017), 29. 27
Ibid, 40-41.
12
tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Adapun
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini
memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, berisikan tentang kekhalifahan manusia, pengertian khalifah,
tugas-tugas Manusia sebagai Khalifah.
Bab ketiga, berisikan tentang hubungan manusia dan alam, contoh-contoh
kerusakan alam akibat ulah tangan manusia, penyebab manusia melakukan
kerusakan alam.
Bab keempat, berisikan penafsiran ayat-ayat tentang khalifah dan
penafsiran ayat-ayat tentang kerusakan alam.
Bab kelima, merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir dari penelitian, saran tentang skripsi ini, serta dilanjutkan daftar
pustaka, dan curriculum vitae penulis skripsi ini.
13
BAB II
KONSEP MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DALAM AL-QUR’AN
A. Kekhalifahan Manusia
Ungkapan Khalifah Allah secara harfiah berarti pengganti Allah atau
wakil Allah. Ungkapan khalifah Allah lebih dapat diartikan makhluk yang
dipercaya dan diberi tugas oleh Allah untuk mengelola seluruh potensi di alam ini
dan memanfaatkannya sesuai dengan tuntunan-Nya. Manusia dalam menjalankan
tugasnya di bumi ibaratkan sebagai wakil Allah, maka disebut khalifah Allah.28
Hal ini telah dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."(Q.S Al-Bảqảrảh: 30)29.
Menurut Quraish Shihab terhadap konsep Khalifah yaitu salah satunya
pada surat al-Baqarah ayat: 30, diartikan dengan khalifah Allah. Walaupun kata
khalifah itu diartikan pengganti, tetapi khalifah Allah disini tidak bisa diartikan
dengan pengganti Allah. Karena tidak ada pengganti Allah. Tentu maksudnya di
sini ialah orang yang disuruh oleh Allah menjadi pelaksana di muka bumi.
Dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat: 30, Quraish Shihab
berpendapat bahwa kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau
yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang
memahami kata khalifah di sini dalam arti menggantikan Allah dalam
28
Ahmad Thib Raya, Memahami Perjalanan Hidup dan Mati (siapa saya, dari mana, dan
mau ke mana), (Jakarta: PT Qaf Media Kreativa, 2017), 21. 29
Tim Pentejemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya , 6.
14
menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi
bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai
Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya
penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan
makhluk lain dalam menghuni bumi ini. Sementara dalam surat Sa>d ayat 26, kata
khalifah diartikan sebagai pengganti. Karena pada saat itu, Nabi Dawud diangkat
sebagai khalifah untuk menggantikan penguasa sebelumnya. 30
Allah Swt memberikan peranan ganda kepada manusia agar kehidupan di
bumi lestari dan harmoni. Di samping manusia sebagai „abdulla^h, manusia diberi
peran sebagai khalifatulla^h fi al-ard{. Yang dimaksud dengan menjadikan manusia
khalifah, ialah menjadikan manusia berkuasa di bumi. Oleh sebab itu, manusia
sebagai khalifah itu harus menyadari, bahwa sebelum manusia bertindak dan
berbuat, harus sesuai dengan perintah Allah. Sebab manusia itu hanyalah
pengganti. Inilah yang diakui oleh jumhur mufassir, seperti pendapat Qurthubi,
Tabtaba‟i, Razi dan lain-lainnya.31
Dengan demikian, manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka
bumi yang melaksanakan kekhalifahanna, sesuai dengan tuntunan syariat yang
dapat mengaplikasikan rah{matan li al-‘alami^n. Manusia mempunyai kedudukan
istimewa di dunia ini, peranannya tidak sama dengan makhluk lain. Dengan
demikian, tingkah laku manusia ada tujuannya, yaitu mematuhi perintah,
diperintahkan untuk bekerja keras untuk mengatasi berbagai rintangan dan
problema kehidupannya. Menjadi khalifah Allah tidak bermakna hidup dengan
bebas, kehidupan berkelompok tidaklah mudah, dan kepemimpinannya selalu
diuji.32
Khalifah hanya merupakan “pengganti” yang menggantikan atau yang
datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Yang berfungsi sebagai pemegang
amanah Allah untuk menggantikan Allah dalam menegakkan kehendaknya dan
30Yeni Lisnawati, “Konsep Khalīfah Dalam Al-Qur`Ᾱn Dan Implikasinya Terhadap
Tujuan Pendidikan Islam (Studi Maudu‟i Terhadap Konsep Khalīfah Dalam Tafsir Al-Misbah)”,
Jurnal Tarbawy, II, No.1 (2015), 51-52. 31
Nasharuddin, Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), 119. 32
Ibid, 119.
15
menerapkan ketetapan-ketetapannya untuk mengelola bumi dengan segenap
potensi yang diberikan Allah Swt.33
B. Pengertian Khalifah
Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata
khalafa, yang berarti di belakang atau menggantikan tempat seseorang
sepeninggalnya karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang,
sesudah yang digantikannya,.34
Oleh karena itu kata khalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Al-
Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti
melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama ynag
digantikannya maupun sesudahnya. Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan
tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan dan dapat juga akibat penghormatan
yang diberikan kepada yang menggantikan. Kata al-khalifah juga memiliki arti al-
imarat yaitu kepemimpinna, atau al-sulthan yaitu kekuasaan.35
Menurut Baqir Al-Shadr, yang antara lain mengupas ayat 30 surat Al-
Baqarah dengan menggunakan metode Tematik, mengemukakan bahwa
kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang saling berkait. yaitu:
1. Manusia yang dalm hal ini dinamai khalifah.
2. Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat ini sebagai ardh.
3. Hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk
dengan manusia.36
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat dalam ayat di
atas, tersirat Karena penunjukan sebagai khalifah tidak akan ada artinya jika tidak
disertai dengan penugasan atau istikhlaf. Itulah ketiga unsur yang saling berkait,
sedangkan unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan oleh ayat
33
M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol 1,
Cet X (Jakarta: lentera hati, 2007), 140. 34
Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharib al-Qur‟an, (Mesir: Al-Halabi, 1961), 156-157. 35
Ibn Manzur, Lisân al-‟Arab, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1969), Juz X, h. 430 36
M. Quraish Shihab, Membumikan AL-Qur‟an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), 246.
16
tersebut dengan kata inni ja’il/ inna jà~~``‘alnaka khalifah yaitu yang memberi
penugasan, yakni Allah SWT. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan
demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.37
Kata Khali^fah yang cukup dikenal di Indonesia ini, mengandung makna
ganda. Di satu pihak, khali^fah dimengerti sebagai kepala negara dalam
pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan
pengertiannya sama dengan kata sulthan. Di lain pihak, cukup dikenal pula
pengertian khali^fah sebagai ‚wakil Tuhan‛ di muka bumi.38
Yang dimaksud dengan wakil Tuhan itu bisa dua macam. Pertama, yang
diwujudkan dalam jabatan sulthan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu
sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Menurut
Andi Hakim Nasution “[M]akanan bergizi terutama untuk bayi, membentuk
jaringan otak yang mempengaruhi kecerdasan orang setelah dewasa. Dengan
kecerdasan itulah manusia mampu menjalankan fungsinya sebagai khali^fah di
bumi”.39
Kata khalifah, menurut Hanna E. Kassis, berasal dari akar kata kh-l-f.
Dalam al-Qur‟an akar kata ini membentuk beberapa kata jadian, seperti terlihat
dalam table berikut40:
BENTUK KATA ARTI
Khalafa D menggantikan (to succed), menjadi pengganti (to be
successor), mengambil, menjemput (to come after),
menggantikan tempat seseorang (to do in some one else‟s
place) setelah seseorang meninggalkan suatu tempat (after
one leave), seseorang yang tertinggal, ketinggalan,
ditinggalkan (one who stays behind).
37
Ibid, 246-247. 38
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: PARAMADINA dan Jurnal Ulumul Qur‟an, 1996), 346. 39
Ibid, 346. 40
Ibid, 347.
17
Khalf Pergantian (a succession), generasi penerus (succeeding
generation), terbelakang (behind) dari belakang (from
behind), sesudah (after).
Khalifah Wakil (a viceroy), pengganti (successor).
Khu>lafa’ bentuk kata jamak (plural) dari kata khalifah.
Khawalif mereka yang ditinggal dibelakang, tertinggal (those who
stay behind); yang tidak berguna (the useless); (wanita)
yang tertinggal di belakang ([the woman] who stays
behind)
Khilaf sesudah (after), belakang (behind); sebagai pengganti
(alternately), bertolak belakang (on the opposite), di bagian
yang lain (on the alternate sides).
Khilfah bergantian, silih berganti (a succession).
Khallafa
Khalafa
Meninggalkan (to leave behind), khullifa (ditinggalkan);
(orang) yang ditinggalkan (mukhallaf).
Menyalahi seseorang (to come behind another, to do
something behind another‟s back); menentang (to appose,
go against); yukhtalif-u, menyalahi.
Lk;
Kkllll
akhlafa Gagal (to fail), mengingkari janji (to break one‟s word);
orang yang gagal atau menyalahi janji (one who fail or
break his word); mengingkari janji (yukhlif-u);
menghindari (yukhlafu); orang yang menyalahi janji
(mukhlif).
Takhllafa Tidak ikut menyertai (yatakhallaf-u).
Ikhtalafa Berlainan (to be at variance); menemukan sebab perbedaan
(to find cause of disagreement); berbeda (to differ);
mencari sebab perselisihan (to seek cause of dispute);
18
pergantian (alternation); perbedaan (difference); sesuatu
yang berbeda (that which is different), beraneka ragam
(divers); seseorang yang memiliki perbedaan (who is at
variance); yang diperselisihkan (yakhtalif-u),
diperselisihkan (ukhtulifa); pergantian (ikhtilaf); tidak
sama, berbeda (mukhtalif).
istakhlafa Menunjuk sebagai pengganti (to make one successor);
seseorang yang ditunjuk sebagai pengganti tau pewaris
(one who is made a successor or inherior); mengganti
dengan (yastakhlif-u); menjadikan seseorang menguasai
(mustakhlaf).
Dalam Al-Qur‟an kata yang berasal dari kata Kh-l-f ini ternyata disebut
sebanyak 127 kali, dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar di antara kata kerja
menggantikan, meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada
juga yang artinya telah “menyimpang”, seperti berselisih, menyalahi janji, atau
beraneka ragam.41
Kata yang berkaitan dengan khalifah ini disebut sebanyak 10 kali dalam
Al-Qur‟an pada surat Al-Baqarah. Istilah itu menggantikan banyak makna, yakni
“mereka yang datang kemudian,” “sesudah kamu,” yang diperselisihkan, “silih
berganti”, “berselisih”, dan “yang diperselisihkan”.42 Dan pada ayat 30 surat Al-
Baqarah disebut istilah khalifah yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini.
Bunyi ayat tersebut:
41
Ibid, 349. 42
Ibid, 353.
19
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."(Q.S Al-Bảqảrảh: 30)43.
Dalam ayat ini diceritakan bahwa Allah akan menciptakan seorang
Khalifah di bumi. Tetapi, agaknya yang dimaksud dengan khalifah disini adalah
Adam. Pada ayat 31 disebutkan bahwa “Ia mengajarkan kepada Adam nama
segala sesuatu”. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan khalifah
itu. Tetapi dari ayat-ayat selanjutnya menjelaskan sedikit penafsiran bahwa yang
dimaksud dengan khalifah adalah Adam. Ia oleh Allah, diberi kemampuan
menyebut nama benda. Dengan kemampuan ini manusia mempunyai bahasa
untuk berkomunikasi.44
Setelah disebut dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah di atas, istilah ini
disebut lagi dalam Al-Qur‟an Surat Al-An‟am ayat 165.
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-An‟am: 165).45
Menurut Muhammad „Ali, ayat ini memberi isyarat bahwa umat Islam
akan menjadi penguasa-penguasa di muka bumi. Dengan melihat bentuk
jamaknya, yakni khala‟if dan juga disebut bahwa ia meninggikan derajat sebagian
kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, maka yang dituju disini adalah
umat manusia umumnya. Mereka itu berlomba untuk bias memperoleh kekuasaan,
43
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 6. 44
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, 354 45
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 150.
20
dan yang satu mungkin lebih unggul dari yang lain. Di sini, khalifah
diterjemahkan sebagai “penguasa” atau mereka yang memiliki kekuasaan.46
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan khalifah adalah penguasa.
Dijelaskan bahwa sebagian kaum Nuh telah binasa oleh banjir besar, sedangkann
sebagian yang lain, yang mengikuti Nuh bisa selamat dengan menumpang sebuah
bahtera. Mereka yang hidup itu akhirnya berhasil membentuk suatu kekuasaan
baru. Selanjutnya, datang generasi baru yang menyeleweng, dan kepada mereka
Tuhan juga mendatangkan utusan. Lalu datang generasi pengganti lagi yang
menyeleweng sehingga Tuhan mengutus Musa dan Harun.47
Dalam al-Qur‟an surat Sa>d ayat 26, istilah khalifah diterjemahkan pula
sebagai penguasa. Dalam surat ini ada contohnya yang jelas, yakni Nabi Dawud
AS. Ayat tersebut berbunyi :
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (As-Saảd: 26).48
Di dalam ayat ini, yang disebut khalifah disini adalah Dawud A.S. Ia
telah dijadikan oleh Allah sebagai seorang raja Isra‟il. Kepadanya diperintahkan
agar mempergunakan kekuasaaanya tersebut untuk memerintah umatnya secara
adil. 49
Dengan demikian, ada tiga makna khalifah. Pertama adalah Adam yang
merupakan simbol manusia sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa manusia
46
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, 354. 47
Ibid, 355. 48
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 454. 49
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci,, 356.
21
berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah berarti pula generasi
penerus atau generasi pengganti, fungsi khalifah diemban secara kolektif oleh
suatu generasi. Dan ketiga, khalifah adalah kepala negara atau pemerintahan.50
C. Tugas Manusia Sebagai Khalifah
Secara garis besar tugas-tugas kekhilafahan manusia di dunia ini ada tiga, yaitu:
1. Harmoni dengan Allah: manusia harus mengakui bahwa Allah adalah
pencipta mereka dan pencipta alam semesta. Manusia adalah hamba-Nya.
Kehidupan manusia sangat tergantung kepada-Nya. Manusia harus
memahami hanya kepada-Nya lah semua makhluk tergantung. Oleh karena
itu sebagai implementasi ketergantungan ini, manusia harus mengabdi
kepada-Nya, melaksanakan titah-Nya. Semua pesan keagamaan dalam
bidang akidah, syari‟ah maupun akhlak merupakan tugas kekhilafahan
manusia dibumi ini.
2. Harmoni dengan manusia: semua manusia adalah makhluk yang harus
hidup bersama-sama dalam satu kerukunan dan keharmonisan. Perbedaan
agama, keyakinan, ras, bahasa, dan perbedaan lainnya bukanlah faktor
terjadinya permusuhan.
3. Harmoni dengan alam: sebagai makhluk yang diserahi tugas untuk
mengelola alam semesta, manusia dibolehkan untuk memanfaatkan semua
yang ada di alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia di
bumi ini. Agar kekayaan alam tidak habis oleh satu generasi, manusia
harus betul-betul menjaga alam semestta dengan baik. Manusia tidak boleh
merusak alam dalam berbagai macam bentuknya. Merusak alam adalah
salah sau bentuk kemungkaran yang harus dicegah.51
50
Ibid, 357. 51 Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan Al-Qur‟an: Memahani Tema-Tema Penting
Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci. (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2017). 59.
22
Tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, antara lain adalah untuk :
1. Memakmurkan bumi.
Dalam menjalankan tugas kekhalifahan di bumi, Allah menjadikan
kedudukan manusia berbeda antara satu dan yang lain. Hal ini berkaitan dengan
fungsinya sebagai khalifah. Sebagaimana tafsiran Hamka dalam menafsirkan surat
Al-An‟am ayat 165, mengatakan bahwa “tugas menjadi khalifah ialah
meramaikan bumi, memberdayakan akal untuk berkreasi, berusaha, mencari dan
menambah ilmu dan membangun kemajuan dan kebudayaan, mengatur siasat
negeri dan bangsa dan benua. Maka dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah, kedudukan manusia tidaklah sama, sebab sebagian dilebihkan dari yang
lain.”52
2. Menggunakan potensi akal dengan baik
Untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Dengan mengotimalkan potensi akal yang dimilikinya, tentu manusia dapat
memakmurkan bumi sebagaimana telah dijelaksan sebelumnya. Dalam
menjalankan tugasnya di bumi ini, manusia telah dianugerahi kemampuan yang
luar biasa. Hal ini terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 31-33. Dalam ayat tersebut
jelas bahwa pada penciptaanya, manusia telah Allah berikan potensi akal yang
luar biasa. 53
3. Bekerja keras
Agar mampu mengatasi tantangan yang mungkin timbul. Menjadi
khalifah Allah berarti menjadi seorang pemimpin, bertugas mengatasi berbagai
cobaan dan ujian. Manusia dituntut bekerja keras agar mampu mengatasi
tantangan yang mungkin timbul, menciptakan dan membina suatu masyarakat
yang baik hubungannya dengan Allah SWT. Membina kehidupan masyarakat
yang harmonis, memelihara agama, akal, dan budaya, memanfaatkan tenaga, otak,
52
Pernyataan ini banyak sekali ditemukan dalam penafsiran-penafsiran Mufassir. Seperti
penafsiran Quraish Shihab mengenai surat Al-A‟raf ayat 69. Dalam hal ini, Syahminan Zaini
mengatakan sebagai khalifah dan hamba Allah, manusia berkewajiban mensyukuri segala nikmat
itu dengan kehendak sang pemberi nikmat, yakni dengan berupaya kreatif, memakmurkan bumi,
dan membudidayakan alam. 53
Neviyarni, Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah fil Ardh,
(Alfabeta, Bandung: 2009), 64.
23
dan jiwa yang diberikan Tuhan. Menciptakan hal-hal yang diperlukan untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik, adil, aman, damai, dan makmur. Dengan
demikian, diharapkan dapat tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.54
Hal tersebut senada dengan pendapat Neviyani, manusia merupakan
makhluk Allah yang dibekali dengan kemampuan untuk belajar dan memliki
pengetahuan, serta mengetahui dengan berbgai sarana untuk itu. Seperti
penglihatan, pendengaran, bahasa dan berfikir. Dengan akal dan hatinya manusia
mengelola alam untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.55
Sebagaimana dikemukakan di atas, manusia memperoleh mandat dari
Allah menjadi Khalifah di bumi. Oleh karena itu, Manusia mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang telah dijelaskan juga oleh al-Qura‟n. Diantaranya adalah:
1. Menempati kawasan atau wilayah bumi (Surat Al-Baqarah ayat 36):
“lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itudan dikeluarkan dari
Keadaan semuladan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu
menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di
bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (Q.S Al-
Baqarah: 36).56
Ar-Razi mengatakan: “Ketahuilah bahwa di dalam ayat ini terdapat
ancaman keras terhadap berbagai macam kemaksiatan dari beberapa sisi.
Pertama, orang yang menggambarkan pada diri Adam A.S., disebabkan
keberaniannya melakukan kesalahan kecil itu, maka ia akan merasa benar-
benar takut untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan.
Ar-Razi menuturkan bahwa fathi al-Mushili mengatakan: “Kita dulu
adalah kaum yang dahulu menghuni surge, lalu iblis menjerumuskan ke
dunia, maka tiada kami rasakan kecuali kedukaan dan kesedihan hingga
kami dikembalikan ke tempat kita dikeluarkan (surga).” Sebagian ulama
54
Ibid, 65. 55
Yeni Lisnawati, “Konsep Khalīfah Dalam Al-Qur`Ᾱn Dan Implikasinya Terhadap
Tujuan Pendidikan Islam (Studi Maudu‟i Terhadap Konsep Khalīfah Dalam Tafsir Al-Misbah)”,
Jurnal Tarbawy, II, No.1 (2015), 51-52. 56
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 6.
24
mengatakan, bahwa iblis itu kemungkinan menggoda keduanya dari luar
pintu surga.57
2. Memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam (An-Nahl ayat 5):
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya
kamu makan.” (Q.S An-Nahl: 5).58
Allah memberi anugerah kepada hamba-hamba-Nya dengan apa
yang diciptakan untuk mereka, berupa binatang-binatang ternak, yaitu unta,
sapi, dan domba. Sebagaimana Allah telah merincinya dalam surah al-an‟am
ayat 143 hingga berjumlah delapan pasang. Dan Allah jadikan pula untuk
mereka kemashlahatan dan kemanfaatan yang terdapat pada binatang-
binatang itu, dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing. Mereka dapat
menggunakannya sebagai pakaian dan permadani. Merekapun minum
susunya dan makan anak-anak tersebut.59
3. Mampu mengambil pelajaran dari seluruh fenomena sosial dan natural
(biosfik) dalam hubungannya dengan tujuan religious maupun hubungan
dengan masalah social dan keilmuan. Singkatnya dapat disebutkann sebagai
fungsi “Intifa‟ dan I‟tibar” (An-Nahl ayat 66):
“Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam
perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah
ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (Q.S An-Nahl: 66).60
57
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang
berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 1, (Pt. Bina
Ilmu, Surabaya: 2004), 38. 58
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 267. 59
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5. 268. 60
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 274.
25
Ayat ini menjelaskan tanda sekaligus bukti atas kebijaksanaan,
kekuasaan, kasih sayang, dan kelembutan penciptanya. Dan Kami memberi
kalian minum dari apa yang terdapat di dalam perut hewan tersebut. Warna
putihnya, juga rasanya, dan manisnya benar-benar bersih, yang berada di
antara kotoran (tahi) dan darah dalam perut binatang. Yang masing-masing
berjalan pada alirannya jika makanan telah matang dan selesai dicerna di
dalam pencernaan. Dan tidak ada seorangpun yang merasa tercekik karena
meminumnya. Setelah menyebutkan susu yang Dia jadikan sebagai
minuman bagi umat manusia dengan sangat mudah.61
4. Mewujudkan kesejahteraan hidup, kemaslahatan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup dari kemusnahan maupun kerusakan (Al-A‟raf
ayat 10):
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan
Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah
kamu bersyukur.” (Q.S Al-A‟raf: 10).62
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah berfirman mengingatkan hamba-
Nya, bahwa Allah telah menjadikan bumi sebagai tempat tinggal, dan di
dalamnya Allah menciptakan gunung-gunung, sungai-sungai, dan rumah
tempat tinggal. Allah membolehkan mereka mengambil berbagai manfaat
yang ada padanya, memperjalankan bagi mereka awan untuk mengeluarkan
rezeki dari bumi tersebut. Dan di bumi itu juga Allah menjadikan bagi
mereka sumber penghidupan dan berbagai macam sarana buat berusaha dan
berdagang bagi mereka. Namun dengan semuanya itu, kebanyakan dari
mereka tidak bersyukur.63
5. Mematuhi peraturan-peraturan Allah, demi kemaslahatan umat manusia (Ali
Imran ayat 132).
61 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, 278. 62
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 151 63
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, 153.
26
“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. Ali Imran:
132).64
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengemukakan tuntunan umum
tentang kewajiban taat kepada Allah dan Rasulullah. Agar kamu di beri
rahmat oleh Allah Swt.65
6. Mengikuti bimbingan para Rasul Allah, yang tugas pokoknya menjaga hati
nurani umat. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akan membawa resiko
yang merugikan manusia sendiri ( Al-Hujurat ayat 13):
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).66
Ayat ini menjelaskan bahwa yang menjadi pembebasan tingkat
kekayaan, suku bangsa, tingkat atas ketakwaan yang diwujudkan dari
hubungan manusia dengan Tuhannya dan bagi sesamanya. Allah Ta‟ala
mengingatkan asal-usul manusia, bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya
yang bermula dari seorang laki-laki dan perempuan.
Dari segi bahan dasar atau asal-usul, mereka semua berasal dari
yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Karena itu, kedudukan manusia dari segi
nasabnya setara. Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‟aruf itu menuntut
agar setiap orang dapat mendekati atau menentang nasabnya dengan pihak
lain. Bukan untuk saling mengingkari.67
64
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 66.
65Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang
berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 1, (Pt. Bina
Ilmu, Surabaya: 2004), 68. 66
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 517. 67 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang
berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 8, 520.
27
BAB III
RELASI ANTARA PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DENGAN
KERUSAKAN ALAM
A. Hubungan Manusia dan Alam
Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia sesamanya,
bukan merupakan hubungan antara Penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara
Tuhan dan Hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah
Swt. Karena, walaupun manusia mampu mengelola (menguasai), hal tersebut
bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya
untuk manusia. Hal ini dijelaskan di dalam surat Ibrahim ayat 32:
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan
dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-
buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.” (Q.S. Ibrahim: 32).68
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara
manusia dan sesamanya dengan manusia dan alam sesuai dengan petunjuk-
petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu ditemukan
kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi
lingkungannya.69
Semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin dalam
pengenalan terhadapnya, akan semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui
alam itu. Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, interaksi
68
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 259. 69
M. Quraish Shihab, Membumikan AL-Qur‟an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, 248
28
manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan semakin
banyak yang dapat dimanfaatkan dari alam raya ini.70
Al-Qur‟an telah memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia
untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh
manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantar-
kannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah SWT.71
B. Contoh-Contoh Kerusakan Alam Akibat Ulah Tangan Manusia
Dalam beberapa tahun ini banyak terjadi bencana alam, terutama di
negara kita sendiri Indonesia, seperti kerusakan ekosistem laut, kebakaran,
gundulnya hutan, pencemaran udara dan lain sebagainya. Inilah beberapa contoh
kerusakan alam yang terjadi akibat ulah tangan manusia, yaitu:
1. Tanah Longsor
Bencana ini sering menimbulkan korban jiwa karena banyak
pemukiman yang tertimpa batu-batuan dari lereng ataupun bukit. Bencana
ini juga sering terjadi tiba-tiba, terkadang membuat orang yang disekitarnya
saja tidak sadar akan terjadi tanah longsor. Adanya bencana tanah longsor
ini dikarenakan Dampak Kerusakan Alam Akibat Ulah Manusia. Adanya
penebangan pohon liar tanpa adanya reboisasi menjadikan adanya erosi.
Biasanya lereng gunung ataupun pegunungan ataupun daerah sekitarnya jika
terjadi hujan lebat, kumpulan pohon itulah yang akan menyerap air. Tapi
jika mereka sudah ditebang tanpa adanya reboisasi, air hujan akan mengenai
langsung tanah tersebut dan terjadilah erosi.72
2. Pencemaran
Dampak pencemaran ini bisa mempengaruhi kesehatan manusia
yang berada di daerah tersebut, muncul berbagai penyakit yang tidak
70
Ibid, 250. 71
Ibid, 204. 72
Staf Editor, “Dampak Kerusakan Alam Bagi Kehidupan”, diakses melalui alamat
https://dlh.semarangkota.go.id/5-dampak-kerusakan-alam-bagi-kehidupan/, tanggal 27 Maret
2020.
29
biasanya terjadi. Banyak pencemaran ini juga termasuk dampak kerusakan
alam Oleh manusia. Apalagi jika sudah ada pabrik di suatu pemukiman,
berbagai lingkungan pun akan tercemar. Mulai dari lingkunagn air dan
udara. Adanya pembuangan limbah yang sembarangan ini akan menjadikan
pencemaran air yang melebar sampai ke pemukiman. Hal ini akan menjalar
sampai ke sumur, bahkan beberapa sungai juga bisa tercemar.73
3. Global Warming
Adanya global warming atau pemanasan global sering dikaitkan
dengan adanya efek rumah kaca. Hal ini memang benar, karena adanya suhu
bumi yang semakin lama semakin naik. Adanya konsentrasi gas-gas tertentu
yang menjadikan suhu semakin panas. Berbagai industri juga berperan
dalam mensukseskan adanya kenaikan suhu. Selain itu adanya global
warming juga dikarenakan meningkatnya karbondioksida dan menipisnya
oksigen. Adanya penggunaan batu bara, penggundulan hutan dan juga
pembakaran hutan menjadikan karbondioksida semakin naik.74
4. Banjir
Dampak Kerusakan Alam Akibat Banjir dikarenakan ulah tangan
manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan. Banjir tidak hanya
menyebabkan teredamnya suatu tempat saja, tapi banjir juga bisa
menyebabkan banyak nyawa yang melayang karen arus yang deras. Banjir
biasanya disebabkan oleh sampah mengunung di sungai yang menjadikan
aliran sungai tidak lancar. Banyaknya pemukiman di sekitar sungai yang
menjadikan aliran sungai terhambat.75
73
Ibid, tanggal 27 Maret 2020. 74
Ibid, tanggal 27 Maret 2020. 75
Ibid, tanggal 27 Maret 2020.
30
C. Penyebab Manusia Melakukan Kerusakan Alam
Salah satu faktor terjadinya kerusakan alam adalah hubungan yang tidak
seimbang antara manusia dan alam itu sendiri. Hal ini telah dijelaskan di dalam
firman Allah Swt, Surat Asy-Syura ayat 30:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)”. (Q.S. Asy-Syura: 30).76
Ayat di atas menyebutkan bahwa bencana atau musibah yang terjadi atau
menimpa manusia adalah karena disebabkan oleh ulah tangan manusia itu
sendiri.77 Merujuk pada ayat al-Qur‟an di atas dijelaskan beberapa tingkah laku
manusia yang dapat merusak atau memicu adanya bencana alam, yaitu:
1. Ulah manusia secara fisik. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam
kalam-Nya surat Ar-Ruum ayat 41:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S
Ar-Rum: 41).78
Ayat di atas menjelaskan bahwa rusaknya alam atau terjadinya sebuah
bencana alam terdapat hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh manusia.
Abu „Aliyah berkata: “Barang siapa yang berlaku maksiat kepada Allah Swt di
muka bumi, maka berarti dia telah berbuat kerusakan di dalamnya.” Karena
kebaikan bumi dan langit adalah dengan sebab ketaatan.79
76
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 486. 77
Eko Prayetno, “Kajian Al-Qur‟an Dan Sains Tentang Kerusakan Lingkungan”, Jurnal
Studi Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadits, XII, No. 1, (2018), 124. 78
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 408. 79
M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 6, ( Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,
20014), 380
31
2. Tingkah laku manusia yang melampui batas norma agama dan norma
kemanusiaan. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt surat al-Isra‟ ayat 16:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Q.S. Al-Isra‟:
16).80
Dalam ayat ini dijelaskan Allah Swt akan memenuhi apa yang diminta
oleh manusia seperti untuk hidup mewah atau menjadi seorang pemimpin
dalam arti untuk memanfaatkan kekayaan alam dengan semaksimal mungkin.
Akan tetapi Allah Swt tidak menghendaki perbuatan yang melampui batas. Hal
yng demikian Allah Swt anjurkan agar tidak membuat manusia lupa diri yang
kemudian melakukan hal yang berebihan yang justru membuat manusia
durhaka dengan apa yang dicapainya tersebut. 81
80 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 283.
32
BAB IV
PENAFSIRAN TERHADAP AYAT-AYAT YANG BERKAITAN
DENGAN PERAN MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH
DENGAN KERUSAKAN ALAM
A. Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Khalifah
Khalifah berasal dari kata Khalafa yang berarti menggantikan. Di dalam
al-Qur‟an di temukan sebanyak 127 ayat yang membahas tentang Khalifah.82
Namun yang akan dijelaskan beserta penafsirannya ada 5 ayat:
1. Surat Al-Baqarah ayat 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S
Al-Baqarah: 30)83
Menurut M. Quraish Shihab kelompok ayat ini dimulai dengan
penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya
menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena
malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia, ada yang akan bertugas
mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang
membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian ini juga, kelak ketika diketahui
manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang
tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat “Sesungguhnya Aku akan
82
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Mu‟jam Al-Mufahraz Lil Al-Faazil Qur‟anil Karim,
238-241. 83 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 6.
33
menciptakan khalifah di dunia” demikan penyampaian Allah Swt. Penyampaian
ini bisa jadi setelah proses penciptaanlam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama (Adam) dengan nyaman.
Mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna
penciptaan tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut.
Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah.
Dugaan itu mungkin berdasarakan pengalaman mereka sebelum terciptanya
manusia, di mana makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasarkan
asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat,
maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih menyucikan
Allah Swt. Penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan
khalifah. Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum,
sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang beselisih dan
menumpahkan darah.
Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya, yang pasti
adalah mereka bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencana-Nya.
Apakah, bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa terjemahan, “Engkau akan
menjadikan khalifah di bumi siapa yang akan merusak dan menumpahkan
darah?” Bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan
darah, tetapi anak cucunya.
Rupanya mereka menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih
dan tahmid, karena itu para malaikat melanjutkan pertanyaan mereka, Sedang
kami menyucikan, yakni menjauhkan Dzat, sifat, dan perbuatan-Mu dari segala
yang tidak wajar bagi-Mu, sambil memuji-Mu atas segala nikmat yang Engkau
anugerahkan kepada kami, termasuk mengilhami, kami menyucikan dan memuji-
Mu.
Anda perhatikan mereka menyucikan terlebih dahulu, baru memuji,
penyucian mereka ini mencakup penyucian pujian yang mereka ucapkan, jangan
sampai pujian tersebut tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Menggabungkan
pujian dan penyucian dengan mendahulukan penyucian, ditemukan banyak sekali
dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
34
Selanjutnya para malaikat itu menunjuk diri mereka dengan berkata, dan
kami juga menyucikan, yakni membersihkan diri kami sesuai kemampuan yang
Engkau anugerahkan kepada kami, dan itu kami lakukan demi untuk Mu.
Mendengar pernyataan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau
menyalahkan, karena memang akan ada di antara yang diciptakan-Nya itu yang
berbuat seperti yang di duga malaikat. Allah menjawab singkat, “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Perlu dicatat, bahwa kata khalifah pada mulanya berarti yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas
dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan
Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-
Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia
dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang
menggantikan makhluk lain dalam bumi ini.
Betapapun, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari
wewenang yang dianugerahkan Allah Swt, makhluk yang diserahi tugas, yakni
Adam AS. Dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang
terhampar ini. Maka, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu
melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberikan tugas dan
wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah
pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.
Dalam ayat ini juga menyebutkan tentang malaikat. Banyak ulama
berpendapat bahwa malaikat dari segi pengertiannya dalam bahasa agama adalah
makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan
aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikit pun tidak membangkang.
Allah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, menciptakan bagi
mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan berbagai macam
yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Ibnu „Asyu>r lebih lanjut menulis bahwa ayat ini oleh banyak mufassir
dipahami sebagai semacam “permintaan pendapat” sehingga ia merupakan
35
pengajaran dalam bentuk penghormatan, serupa dengan keadaan seorang guru
yang mengajar muridnya dalam bentuk tanya jawab, dan agar mereka
membiasakan diri melakukan dialog menyangkut aneka persolan.
Setelah menguraikan pendapat banyak mufassir sebagaimana dikutip di
atas, Ibnu „Asyu>r mengemukakan pendapatnya bahwa istisyarah/permintaan
perndapat itu, dijadikan demikian agar supaya ia menjadi satu substansi yang
bersamaan dalam wujudnya penciptaan manusia pertama, agar ia menjadi bawaan
dalam jiwa anak cucunya, karena situasi dan ide-ide yang menyertai wujud
sesuatu dapat berbekas dan menyatu antara sesuatu yang wujud itu dengan situasi
tersebut.
Jadi, menurut M. Quraish Shihab apa yang dikemukakan Ibn Ἇsyữr ini
setelah menemukan kata yang lebih sesuai untuk keagungan Allah Swt. Dari kata
istisyarah (permintaan pendapat) sungguh tepat. Memang kondisi dari situasi
kejiwaan misalnya yang terjadi pada saat pembuahan (hubungan seks) dapat
mempengaruhi janin. Seorang yang diliputi oleh rasa takut atau rasa berdosa
ketika melakukan hubungan, akan melahirkan anak yang penakut serta pemalu
dan muram. Demikian pandangan banyak ilmuwan.
Dari sini pula dapat dimengerti mengapa agama memerintahkan suami
istri untuk membaca basmalah dan doa-doa tertentu ketika melakukan hubungan
seks. Ini agar situasi keagamaan yang menghiasi jiwa ketika itu dapat mengalir
kepada benih yang dikandung. Nah, suasana yang lalu dari dialog, yakni
kesediaan bertanya dengan baik dan menjawab itulah yang diharapkan dapat
menyertai seseorang, karena itu terjadi pada saat penciptaannya, serupa dengan
sesuatu yang terjadi pada saat pembuatan anak cucu Adam.84 Oleh karena itu,
anak cucu Adam diharapkan dapat menjalankan tugas khalifah di bumi dengan
petunjuk-petunjuk yang telah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Firman-Nya.
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi bahwa Adam ini bukanlah jenis
makhluk berakal pertama yang ada di bumi. Jauh sebelum Adam sudah ada
makhluk berakal lainnya sebagaimana telah diisyaratkan melalui ayat di atas yang
84
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 1, (Lentera hati, Jakarta: 2008), 140-145.
36
menyangkut pertanyaan para Malaikat. Sebagian mufassir berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan khalifah di sini ialah sebagai pengganti Allah dalam
melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia.
Pengangkatan khalifah ini menyangkut pula pengertian pengangkatan
sebagian manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syari‟at-syari‟at-Nya.
Pengertian khalifah ini juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri
mempunyai kemampuan berpikir yang luar biasa. Sekalipun kita tidak mengerti
secara pasti rahasia khalifah jenis terakhir ini, termasuk mengetahui bagaimana
prosesnya.
Dengan kemampuan akal, manusia bisa berbuat mengelola alam semesta
dengan penuh kebebasan. Manusia menyelidiki lautan, daratan dan udara serta
dapat merubah wajah bumi, yang tandus bisa dirubah menjadi subur dan bukit-
bukit terjal bisa menjadi daratan atau lembah yang sangat subur.
Jadi, tak ada bukti yang lebih jelas di dalam hikmah Allah menciptakan
manusia Jenis manusia ini kecuali manusia itu mempunyai keistimewaan dengan
bakat-bakat yang ada pada diri mereka sehingga mampu mengemban tugas
khalifah di muka bumi ini. Dengan kemampuan ini, manusia dapat
mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah dan mengungkap rahasia-
rahasia makhluknya.85
Menurut Nasharuddin kata khalifah dalam ayat ini, diambil dari kata
khalafa yang bermakna menggantikan orang lain. Penggunaan kata khalifah
sebagai pemimpin atau sebagai kepala negara sejak zaman Nabi, sehingga Abu
Bakar, Umar bin Khattab,, Usman bin „Affan, Ali bin Abi Thalib disebut
Khula^fa^’u al-Ra^syidu^n. Kemudian masing-masing mereka belakangan setelah
Nabi wafat, kepala negara disebut “Khalifah “sehingga sampai runtuhnya
kekhalifahan bani Umayyah dan bani Abasyiah.
Selanjutnya term khalifah berubah menjadi term ima^mah dan umara.
Terkait dengan penggunaan kata khalifah yang dideskripsikan al-Qur‟an, yang
bermakna “mengganti”, bahwa manusia sebagai makhluk yang menggantikan
85
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi Jilid 1, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 135-136.
37
makhluk lain yang telah menempati bumi ini, sehingga ia ditugaskan menjaga dan
melestarikan makhluk lain tersebut. Mengganti makhluk lain, yaitu jin. Jadi,
manusia mengganti jin tersebut, karena manusia lebih layak untuk memimpin
alam dibanding dengan jin.86
2. Surat As-Sh{a>d ayat 26
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S
As-Shaad: 26).87
Menurut M. Quraish Shihab setelah mendapat pengalaman berharga,
Allah Swt, mengangkat Daud sebagai khalifah, Allah berfirman: Hai Daud,
sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah yakni penguasa di muka bumi,
yaitu di Bait al-Maqdis, maka putuskanlah semua persoalan yang engkau hadapi
di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu antara
lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum mendengar semua pihak
sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua pihak yang berperkara tentang
kambing itu, karena jika engkau mengikuti nafsu, apapun dan bersumber dari
siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain maka ia yakni nafsu itu
akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang terus-menerus hingga tiba ajalnya sesat
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang terus-menerus hingga tiba
ajalnya sesat dari jalan Allah, akan mendapat siksa yang berakibat kesesatan
86
Nasharuddin, Akhlak Ciri Manusia Paripurna, 118. 87
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 454.
38
mereka itu, sedang kesesatan itu sendiri adalah karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang
sesudah siapa yang datang sebelumnya. Pada masa Daud A.S terjadi peperangan
antara dua penguasa yaitu Thalut dan Jalut. Daud A.S adalah salah seorang
anggota pasukan Thalut. Kepandaiannya menggunakan katapel mengantarnya
berhasil membunuh Jalut, dan setelah keberhasilannya itu serta setelah
meninggalnya Thalut, Allah mengangkatnya sebagai khalifah menggantikan
Thalut.
Dari ayat di atas dipahami juga bahwa kekhalifahan mengandung tiga
unsur pokok yaitu: Pertama, manusia yakni sang khalifah. Kedua, wilayah yaitu
yang ditunjuk oleh ayat di atas dengan al-ardh dan ketiga adalah hubungan antara
kedua unsur tersebut. Di luar ketiganya terdapat Yang menganugerahkan tugas
kekhalifahan, dalam hal ini adalah Allah Swt.
Penggunaan bentuk jamak untuk menunjuk Allah Swt mengandung
isyarat tentang adanya keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan
yang dibicarakan, kalau itu dapat diterima maka ini berarti bahwa dalam
pengangkatan Daud AS sebagai khalifah, terdapat keterlibatan selain Allah Swt,
yakni masyarakat Bani Isra‟il ketika itu. Ini berbeda dengan Adam AS yang
pengangkatannya sebagai khalifah ditunjuk dengan kata berbentuk tunggal yaitu
Aku (Allah swt.) ini berarti dalam pengangkatan itu tidak ada keterlibatan satu
pihak pun selain Allah Swt. Ini bukan saja disebabkan karena apa yang
dibicarakan ayat itu belum ada masyarakat manusia yang terlibat. Sebab Adam
A.S adalah manusia pertama. Dari penjelasan di atas kita dapat berkata bahwa
Daud AS. Demikian juga semua khalifah, hendaknya memperhatikan petunjuk
dan aspirasi siapa yang mengangkatnya dalam hal ini adalah Allah Swt. Dan
masyarakatnya.88
88
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 12, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 132-134.
39
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan setelah Allah SWT,
menceritakan kepada kita kisah tentang Daud dan dua orang yang bersengketa,
maka dilanjutkanlah dengan menerangkan bahwa Allah menyerahkan kepada
Daud kekhalifahan di muka bumi, dan berwasiat kepadanya agar memberi hukum
di antara manusia secara benar dan jangan mengikuti hawa nafsu, sehingga tidak
tersesat dari jalan Allah. Kemudian, Allah menyebutkan pula bahwa barangsiapa
yang sesat dari jalan Allah, maka dia akan mendapatkan azab yang pedih dan
tempat kembali yang buruk, karena dia melupakan hari hisab dan pembalasan.89
Menurut Ibnu Katsir ini adalah pesan dari Allah Swt kepada para
penguasa agar memberikan keputusan di antara manusia dengan kebenaran yang
telah diturunkan dari sisi-Nya, tidak menyimpang dari kebenaran yang telah
diturunkan dari sisi-Nya, tidak menyimpang dari kebenaran itu. Jika menyimpang,
mereka sesat dari jalan Allah. Sesungguhnya Allah menyatukan baginya kenabian
dan kekhalifahan, kemudian Allah mengancam dia di dalam kitab-Nya, “Hai
Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah
keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena dia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”90
3. Surat Al-An’am ayat 165
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-An‟am: 165).91
89
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi Jilid 23, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 205. 90
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 1, (Pt.
Bina Ilmu, Surabaya: 2004), 458. 91 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 6. 150.
40
Menurut M. Quraish Shihab setelah menegaskan bahwa Allah Swt akan
mengembalikan semua manusia kepada-Nya, maka melalui ayat ini diingatkan-
Nya bahwa disamping Allah Swt Tuhan pemelihara segala sesuatu Dia juga yang
menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, yakni pengganti ummat-ummat yang
lalu dalam mengembangkan alam. Dan Dia meninggikan derajat akal, ilmu, harta
kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain-lain sebagian kamu atas sebagian
yang lain beberapa derajat. Itu semua untuk menguji kamu melalui apa yang
dianugerahkan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi
Muhammad Saw. bukan tuhan-tuhan yang mereka sembah amat cepat siksaan-
Nya. Karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan tidak pula disibukkan oleh
aktivitas oleh satu aktivitas untuk menyelesaikan aktivitas yang lain dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi sungguh Maha Penyayang, bagi hamba-
hamba yang taat.
Kata khala‟if adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Kata ini terambil
dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalifah
seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang
datang sebelumnya, ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang
sesudah yang ada atau datang sebelumnya.
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam “Mufradat”-nya menjelaskan bahwa
menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan,
baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut pakar bahasan
al-Qur‟an itu menulis bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat
ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan yang digantikan itu, dan
dapat juga karena yang digantikan memberi kepercayaan dan penghormatan
kepada yang menggantikannya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah
dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan
menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah bermaksud
menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya
dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Asy-Sya‟rawi mengemukakan kesannya tentang ayat ini satu analisis
yang menarik. Ulama Mesir kenamaan ini, bertitik tolak juga dari makna
41
kebahasaan. Kata khalifah, yakni menggantikan. Menurutnya, yang menggantikan
itu boleh jadi menyangkut waktu, boleh jadi juga tempat. Ayat ini dapat berarti
pergantian antara sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi
dapat juga berarti kekhalifahan manusia yang diterimanya dari Allah SWT. Tetapi
di sini asy-Sya‟rawi tidak memahaminya dalam arti bahwa manusia yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya, serta memakmurkan bumi sesuai apa yang digariskan-
Nya bukan dalam arti tersebut-tetapi ia memahami kekhalifahan tersebut berkaitan
dengan reaksi dan ketundukan bumi kepada manusia.
Segala sesuatu tunduk dan bereaksi kepada Allah SWT. Sekelumit dari
kekuasaan-Nya menundukkan dianugerahkan-Nya kepada manusia. Jika Anda
menyalakan api, maka dia akan menyala. Jika demikian, Anda adalah khalifah
Allah, yakni khalifah iradat/kehendak. Maksudnya Allah memberi Anda sebagian
dari kekuasaan-Nya, sehingga sebagaimana apa yang dikehendaki Allah terjadi
melalui reaksi sesuatu untuk batas-batas yang dianugerahkan-Nya dapat
mewujudkan apa yang Anda kehendaki melalui perintah Allah kepada benda-
benda itu untuk bereaksi terhadap tindakan Anda. Ini menurut Asy-Sya‟rawi
untuk membuktikan bahwa Allah Maha Berkehendak. Dia melakukan apa yang
dikehendaki-Nya. 92
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Dialah yang menjadikan khalifah-
khalifah di muka bumi setelah lewat umat terdahulu, yang dalam perjalanan
mereka terdapat pelajaran bagi orang yang ingat dan memperhatikan. Demikian
pula Dia telah mengangkat sebagian kamu atas sebagian lainnya tentang
kekayaan, kekafiran, kekuatan, kelemahan, ilmu, kebodohan, agar Dia menguji
kalian tentang apa yang Dia berikan kepadamu. Artinya Dia memperlakukan
kamu sebagi penguji terhadapmu pada semua itu, lalu Dia beritakan balasan atas
amalmu. Sebab telah menjadi Sunnah-Nya bahwa kebahagiaan manusia secara
92
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 4, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 362-366..
42
individual maupun kelompok di dunia dan akhirat, atau kesengsaraan mereka di
dunia dan akhirat, tergantung pada amal dan tindakan mereka.
Sesungguhnya Allah Ta‟ala amat cepat siksanya terhadap orang yang
kafir kepada-Nya atau kafir kepada Nabi-Nya, melanggar syari‟at dan menerjang
sunnah-Nya. Siksaan yang amat cepat ini mencakup siksaan di dunia berupa
bahaya terhadap jiwa, akal, kehormatan, harta atau urusan-urusan sosial lainnya.
Siksaan seperti ini, di dunia bersifat umum, harta atau urusan-urusan sosial
lainnya. Siksaan seperti ini, di dunia bersifat umum, bila merupakan hukuman atas
dosa-dosa bangsa, dan menimpa kebanyakan orang, bila bersifat hukuman atas
dosa orang-perorangan. Tetapi di akhirat bersifat khusus, karena mengotori dan
mencemarkan jiwa.93
Menurut Ibnu Katsir, Allah telah menjadikan kalian pemakmur bumi itu
dari generasi ke generasi, dari satu masa ke masa yang lain, generasi berikutnya
ke generasi sebelumnya untuk mencoba dan menguji kalian mengenai nikmat
yang telah diberikan kepada kalian, untuk menguji orang kaya kekayaannya dan
meminta pertanggung-jawab tentang rasa syukurnya kepada-Nya, juga untuk
menguji orang miskin tentang kemiskinan dan meminta pertanggung-jawab
tentang kesabarannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang
bagi orang-orang yang menjadikan-Nya sebagai pelindung dan mengikuti apa
yang di bawa oleh para Rasul-Nya berupa berita dan tuntutan.94
4. Surat Yunus ayat 14
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka
bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat.” (Q.S. Yunus:14).95
93
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, jilid 3, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 163-165. 94
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 3,
153. 95 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 209.
43
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan khala‟if adalah bentuk jamak
dari kata khalifah. Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di
belakang. Dari sini kata khalifah seringkali diartikan yang menggantikan atau
yang datang sesudah siapa yang ada sebelumnya. Kata ini telah dijelaskan
kandungan maknanya dengan cukup panjang ketika menafsirkan QS. Al-An‟am;
165.
Jatuhnya kebinasaan atas mereka menurut ayat ini disebabkan oleh dua
hal. Pertama karena mereka berbut kezaliman yang tidak dapat ditoleransi, yakni
syirik/mempersekutukan Allah Swt, dan kedua adalah karena Allah Swt
Mengetahui bahwa kezaliman itu akan terus berlanjut sehingga mereka sekali-kali
tidak hendak beriman, walau sampai kapan pun.96
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan Kami jadikan kalian
khalifah-khalifah di muka bumi setelah kaum-kaum itu. Yakni, Kami datangkan
kepadamu dalam agama ini, jalan-jalan untuk mencapai kekuasaan dan
pemerintahan. Karena, dalam syari‟at kalian terdapat sesuatu yang jika
dilaksanakan, maka membawa kebahagiaan umat, baik mengenai agama maupun
dunia.
Dalam ayat ini terdapat juga kabar gembira bagi umat ini, bahwa mereka
akan menjadi khalifah di muka bumi, apabila beriman kepada Nabi Muhammad
dan mengikuti cahaya yang diturunkannya bersamanya. Kalian dijadikan sebagai
pengganti-pengganti mereka di bumi, supaya Kami dapat melihat apa yang kamu
lakukan dalam kekhalifahanmu, sehingga Kami dapat memberi balasan kepadamu
atas hal itu.97
Menurut Ibnu Katsir, Kemudian Allah menguasakan generasi setelah
mereka atas kaum itu dan mengutus Rasul untuk melihat sejauh mana mereka
96 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 6, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 36. 97
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi Jilid 11, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 146-147.
44
mentaati dan mengikutinya.98 Menurut Jalaluddin Al-Mahali dan Jalaluddin As-
Suyuthi kemudian Kami jadikan kalian hai penduduk Mekkah penganti-
pengganti. Lafal khala>if adalah bentuk jamak dari lafal khali>fah di muka bumi;
apakah kalian mau mengambil pelajaran dari umat-umat terdahulu itu sehingga
kalian mau percaya kepada rasul-rasul kami.99
5. Surat Fathir ayat 39
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.
dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Q.S. Fathir: 39).100
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan kelompok ayat-ayat ini kembali
berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah Swt. Di sisi lain, ayat ini
mengukuhkan juga pernyataan sebelumnya yang menyatakan: “Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui segala isi hati”. Ini karena siapa yang menciptakan sesuatu,
pastilah dia paling mengetahui tentang ciptaannya, dan semakin teliti serta indah
ciptaan itu, semakin besar pula bukti kemampuan dan kuasanya.
Dari sini untuk membuktikan kuasa Allah bahkan keesaan-Nya, serta
pengetahuan-Nya tentang ciptaan-Nya yang antara lain manusia, ayat di atas
menegaskan bahwa: Dialah saja, tidak ada wujud selain-Nya yang menjadikan
kamu wahai manusia khalifah-khalifah yakni pengganti-pengganti generasi yang
lain di bumi. Itu adalah satu nikmat sekaligus bukti keesaan dan kekuasaan-nya
yang harus kamu syukuri, bukannya kamu hadapi dengan kekufuran.
98
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang
berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 4, (Pt. Bina
Ilmu, Surabaya: 2004), 212. 99
Jalaluddin Al-Mahali dan Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain,
Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Jalalain”oleh Muhammad Al-Khumayyis,
(Yogyakarta: Ummul Quro, 2018), 211. 100
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 439.
45
Karena itu barang siapa yang kafir, maka atas dirinya sendiri jatuh akibat
kekafirannya. Allah sedikit pun tidak akan disentuh oleh kekufuran makhluk-Nya.
Dan tidaklah menambah bagi orang-orang kafir yang mantap kedurhakaannya-
kekufuran mereka yakni kesinambungan mereka dalam kekufuran tidaklah
menambah kesinambungan itu di sisi Tuhan mereka kecuali murka. Dan tidaklah
menambah bagi orang-orang kafir itu kekufuran mereka kecuali kerugian belaka,
baik di dunia maupun diakhirat.
Kata khala‟if adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Kata ini terambil
dari kata khalf yang pada mulanya berarti belakang. Dari sini kata khalifah sering
kali diartikan yang menggantikan atau yang datang di belakang (sesudah) siapa
yang datang sebelumnya.
Ketika menafsirkan QS. Al-An‟am: 165, M. Quraish Shihab antara lain
mengemukakan bahwa bentuk jamak yang digunakan al-Qur‟an untuk kata
khalifah adalah khala‟if dan khulafa. Setelah memperhatikan konteks ayat-ayat
yang menggunakan kedua bentuk jamak itu, penulis berkesimpulan bahwa bila
kata khulafa digunakan al-Qur‟an, maka itu mengesankan adanya makna
kekuasaan politik dalam mengelola satu wilayah, sedang bila menggunakan
bentuk jamak khala‟if, maka kekuasaan wilayah tidak termasuk dalam maknanya.
Dengan demikian, penulis tidak sependapat dengan Ibn ‘Asyu>r yang
menjadikan ayat ini sebagai berita gembira kepada Nabi Muhammad SAW
tentang akan berkuasanya umat Islam setelah sekian banyak umat/negara
sebelumnya yang hancur.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setiap orang bertugas membangun dunia
ini dan memakmurkannya sesuai petunjuk Allah, apapun fungsi dan kedudukan
orang itu, baik sebagai penguasa maupun rakyat biasa. Allah telah
menganugerahkan kepada setiap insan sejak Adam as. Hingga kini, potensi untuk
mengelola dan memakmurkan bumi sesuai dengan kadar masing-masing.
Thabathaba‟i memahami kata khalifah sebagai pengganti yang
menggantikan orang-orang sebelumnya. Yakni menggantikan dalam hal
kemampuan mengelola dan menarik manfaat dari bumi, sebagaimana halnya
generasi yang lalu. Mereka memperoleh keistimewaan itu, melalui
46
pengembangbiakkan dan kelahiran. Dengan demikian, kekhalifahan itu berkaitan
dengan pengaturan dan penciptaan Allah. Atas dasar itu, maka ayat ini
membuktikan keesaan dan kekuasaan-Nya, karena Dialah satu-satunya Pencipta
dan Dia pula Pengatur dan Pengendali semua makhluk.101
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan Allah lah yang telah
memberikan kepadamu kunci-kunci pengendalian dan pemanfaatan apa saja yang
ada di bumi, agar kamu bersyukur kepada-Nya dengan mengesakan Allah dan
patuh kepada-Nya. Maka barang siapa mengingkari nikmat yang besar seperti ini,
akibat buruknya akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain.
Karena dia sendirilah yang akan mendapat hukuman bukan orang lain.
Dan setiap kali meneruskan kekafiran, maka mereka dibenci dan
dimurkai Allah. Dan tiap kali mereka merasa aman dengan kekafiran, itu berarti
mereka merugikan diri sendiri, dan pada hari kiamat mereka akan ditimpa azab
yang buruk. Ulangan yang ada pada ayat ini adalah untuk memberi peringatan
bahwa kekafiran itu akan mengakibatkan terjadinya dua keadaan yang buruk
semua, yaitu murka Allah dan kerugian yang akan ditanggung sendiri-sendiri.102
Menurut Ibnu Katsir, Dialah yang menjadikan suatu kaum menggantikan
kaum lain yang sebelumnya, dan suatu generasi menggantikan generasi lain
sebelumnya. Dan bahaya kekufurannya itu hanya akan kembali kepada dirinya
sendiri, bukan kepada orang lain. Setiap kali mereka terus berada dalam kekufuran
mereka, dan setiap kali mereka terus berada di dalamnya, setiap kali itu pula
mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan keluarga mereka pada hari
kiamat.
Berbeda dengan orang-orang yang beriman yang mana setiap kali salah
seorang di antara mereka bertambah umurnya dan baik amalnya, maka setiap kali
101
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 11, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 482-484. 102
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, jilid 22, Diterjemahkan
dari kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 237.
47
itu pula meningkat derajat dan kedudukannya di dalam surga, bertambah
pahalanya, serta dicintai oleh Penciptanya, Rabb semesta Alam.103
B. Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Kerusakan Alam
Kerusakan berasal dari kata Lafasadati di dalam al-Qur‟an ditemukan
sebanyak 50 ayat. Namun yang akan penulis jelaskan beserta penafsirannya ada 3
ayat yaitu:
1. Surat Ar-Ruum ayat 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S.
Ar-Ruum: 41).104
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan sikap kaum musyrikin yang
diuraikan ayat-ayat yang lain, yang intinya adalah mempersekutukan Allah, dan
mengabaikan tuntunan-tuntunan agama, berdampak buruk terhadap diri mereka,
masyarakat dan lingkungan. Ini dijelaskan oleh ayat di atas dengan menyatakan
telah nampak kerusakan di darat seperti kekeringan, paceklik, hilangnya rasa
aman, dan di laut seperti ketertenggalaman, kekurangan hasil laut dan sungai,
disebabkan karena perbuatan tangan manusia yang durhaka, sehingga akibat
perbuatan dosa dan pelanggaran mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar.
Kata Zhahara pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan
bumi. Sehigga, karena dia di permukaan, maka menjadi nampak dan terang serta
diketahui dengan jelas. Lawannya adalah bat{hana yang berarti terjadinya sesuatu
di perut bumi, sehingga tidak nampak. Demikian al-Ashfahani dalam Maqayis-
nya. Kata zhahara pada ayat di atas dalam arti banyak dan tersebar.
103
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 7,
440. 104
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 408.
48
Kata al-fasad menurut al-Ashfahani adalah keluarnya sesuatu dari
keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa
saja, baik jasmani, jiwa, maupun hal-hal lain. Ia juga diartikan sebagai antonim
dari ash-shalah yang berarti manfaat atau berguna.
Sementara ulama membatasi pengertian kata al-fasad pada ayat ini dalam
arti tertentu seperti kemusyrikan atau pembunuhan Qabil terhadap Habil dan lain-
lain. Pendapat-pendapat yang membatasi itu, tidak memiliki dasar yang kuat.
Beberapa ulama kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan.
Karena ayat di atas mengaitkan fasad tersebut dengan kata darat dan laut.
Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu.
Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, misalnya dengan
terjadinya pembunuhan dan perampokan di kedua tempat itu, dan dapat juga
berarti bahwa darat dan laut sendiri telah mengalami kerusakan, ketidak-
seimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar, sehingga ikan mati
dan hasil laut berkurang.
Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Al-hasil,
keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang mengantar sementara ulama
kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.
Bahwa ayat di atas tidak menyebut udara, boleh jadi karena yang ditekankan di
sini adalah apa yang nampak saja, sebagaimana makna kata zhahara yang telah
disinggung di atas apalagi ketika turunnya ayat ini, pengetahuan manusia belum
menjangkau angkasa, lebih-lebih tentang polusi.
Ibnu Ἇsyữr mengemukakan beberapa penafsiran tentang ayat di atas dari
penafsiran yang sempit hingga yang luas/ makna terakhir yang dikemukakannya
adalah bahwa alam raya telah diciptakan Allah dalam suatu sistem yang serasi dan
sesuai dengan manusia. Tetapi meraka melakukan kegiatan buruk yang merusak,
sehingga terjadi kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam.
Dosa dan pelanggaran (fasad) yang dilakukan manusia, mengakibatkan gangguan
keseimbangan di darat dan di laut.
Sebaliknya, ketiadaan keseimbangan di darat dan di laut, mengakibatkan
siksaan kepada manusia. Demikian pesan ayat di atas. Semakin banyak
49
pengrusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap
manusia. Semakin banyak dan beraneka ragam dosa manusia, semakin parah pula
kerusakan lingkungan. Hakikat ini merupakan kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri lebih-lebih dewasa ini. Memang Allah Swt menciptakan semua
makhluk, saling kait berkait. Dalam keterkaitan itu, lahir keserasian dan
keseimbangan dari yang terkecil hingga yang terbesar, dan semua tunduk dalam
pengaturan Allah Yang Maha Besar. Bila terjadi gangguan pada keharmonisan
dan keseimbangan itu, maka kerusakan terjadi, dan ini kecil atau besar, pasti
berdampak pada seluruh bagian alam, termasuk manusia, baik yang merusak
maupun yang merestui pengrusakan itu. Salah satu bagian tidak berfungsi dengan
baik atau menyimpang dari jalan yang seharusnya ia tempuh, maka akan nampak
dampak negatifnya pada bagian yang lain, dan ini pada gilirannya akan
mempengaruhi seluruh bagian.
Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan hukum alam yang
ditetapkan Allah Swt. Yang tidak mengalami perubahan, termasuk terhadap
manusia dan manusia pun tidak mampu menghindari darinya. Manusia yang
menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan Allah bagi kebahagiaannya,
penyimpangannya dalam batas tertentu itu menjadikan keadaan sekelilingnya,
termasuk hukum-hukum sebab akibat yang berkaitan dengan alam raya dan
mempengaruhi manusia, ikut terganggu dan ini pada gilirannya menimbulkan
dampak negatif.
Bila itu terjadi, maka akan lahir krisis dalam kehidupan bermasyarakat
serta gangguan dalam interaksi sosial mereka, seperti krisis moral, ketiadaan kasih
sayang, kekejaman bahkan lebih dari itu, akan bertumpuk musibah dan bencana
alam seperti “Keengganan langit menurunkan hujan atau bumi menumbuhkan
tumbuhan”, banjir dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya. Semua itu
adalah tanda-tanda yang diberikan Allah Swt. Untuk memperingatkan manusia
agar mereka kembali ke jalan yang lurus.105
105
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 11, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 76-79.
50
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan telah muncul berbagai
kerusakan di dunia ini sebagai akibat dari peperangan dan penyerbuan pasukan-
pasukan, pesawat-pesawat terbang, kapal-kapal perang dan kapal-kapal selam. Hal
itu tiada lain karena akibat dari apa yang dilakukan oleh umat manusia berupa
kezaliman, lenyapnya perasaan dari pengawasan Yang Maha Pencipta. Dan
mereka melupakan sama sekali akan hari kiamat, hawa nafsu terlepas bebas dari
kalangan sehingga menimbulkan berbagai macam kerusakan di muka bumi.
Karena tidak ada lagi kesadaran yang timbul dari dalam diri mereka, dan agama
tidak dapat berfungsi lagi untuk mengekang kebinalan hawa nafsunya serta
mencegah keliarannya.
Akhirnya Allah Swt merasakan kepada mereka balasan dari sebagian apa
yang telah mereka kerjakan berupa kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan lalu
yang berdosa. Barangkali mereka mau kembali mengambil kepada jalan petunjuk.
Dan mereka kembali ingat bahwa setelah kehidupan ini ada hari yang pada hari itu
semua manusia akan menjalani penghisaban amal perbuatannya. Maka apabila
ternyata perbuatannya buruk, maka pembalasannya pun buruk pula sehingga
keadilan menaungi masyarakat semuanya, orang kuat merasa kasih sayang kepada
orang yang lemah. Dan manusia mempunyai hak yang sama di dalam
menggunakan fasilitas-fasilitas yang bersifat umum dan masyarakat semuanya
bekerja dengan kemampuan yang seoptimal mungkin.106
Menurut Ibnu Katsir dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan
buah-buahan karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para
penghuninya. Abul Aliyah mengatakan bahwa barang siapa yang durhaka kepada
Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya
kelestarian bumi dan langit adalah karena ketaatan. Dan Allah menguji mereka
dengan berkurangnya harta dan jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu
kehendak dari Allah untuk mereka dan sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan
106
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, jilid 21, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 101-102.
51
mereka. Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan
maksiat.107
2. Surat Al-Baqarah ayat 11
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi". mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang
Mengadakan perbaikan." (Q.S. Al-Baqarah:11).108
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan keburukan mereka tidak
terbatas pada kebohongan dan penipuan, tetapi ada yang lain, yaitu kepicikan
pandangan dan pengakuan yang bukan pada tempatnya sehingga bila dikatakan
yakni ditegur kepada mereka: janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
mereka menjawab: Sesungguhnya hanya kami bukan selain kami orang-oang
munafik, yakni yang selalu melakukan perbaikan. Ucapan mereka dibantah,
Tidak! Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang benar-benar perusak, tetapi
mereka tidak menyadari.
Pengrusakan di bumi adalah aktivitas yang mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya dan atau berfungsi dengan baik serta bermanfaat menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga tidak atau berkurang fungsi
dan manfaatnya. Seorang dituntut, paling tidak menjadi saleh, yakni memelihara
nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya,
dan dengan demikian, sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan hilang atau
berkurang nilainya, kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas
(memperbaiki) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali
dengan sesuatu itu.
Yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang
bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia melakukan aktivitas yang
melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaat lebih
107 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 7, (Pt.
Bina Ilmu, Surabaya: 2004), 410. 108
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 3.
52
tinggi dari semula. Orang-orang munafik menduga diri mereka mencapai
peringkat ini. Allah mengingatkan semua pihak yang bisa jadi terpedaya oleh
kepandaian mereka, Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang benar-benar
perusak, tetapi mereka tidak menyadari keburukan mereka, atau tidak menyadari
bahwa rahasia mereka telah diketahui oleh Nabi dan umat Islam.
Mereka tidak menyadari keburukan mereka sendiri karena setan telah
memperdaya mereka dengan memperindah sesuatu yang buruk di mata mereka.
Ayat di atas menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar-benar
perusak. Pengrusakan tersebut tentu saja banyak dan berulang-ulang karena kalau
tidak mereka tentu tidak dinamai perusak. Satu bentuk kata yang menunjukkan
kemantapan makna yang dikandungnya pada si pelaku, berbeda jika bentuk kata
yang digunakan adalah bentuk kata kerja. Bukankah berbeda antara Si A penyanyi
dan Si A menyanyi.
Pengrusakan yang mereka lakukan itu tercermin antara lain adalah
terhadap diri mereka yang enggan berobat sehingga semakin parah penyakit yang
mereka derita. Selanjutnnya pengrusakan kepada keluarga dan anak-anak mereka,
karena keburukan tersebut mereka tularkan melalui peneladanan sifat-sifat buruk
itu. Lebih lanjut pengrusakan kepada masyarakat dengan ulah tangan mereka
menghalangi orang lain melakukan kebajikan antara lain dengan menyebarkan
isu-isu negatif, menanamkan kebencian dan perpecahan dalam masyarakat.
Agaknya itu sebabnya nasihat yang ditujukan kepada mereka menyatakan Jangan
membuat kerusakan di bumi yakni secara jelas menyebut kata di bumi, bukan
sekedar melarang melakukan pengrusakan.
Yakni dengan penyebutan kata tersebut tercermin betapa luas dampak
keburukan itu, sehingga kalau dibiarkan akan menyebar ke seluruh persada bumi.
Ia tidak hanya akan menyentuh manusia, tetapi juga semua lingkungan hidup. Apa
yang diisyarakatkan oleh al-Qur‟an semakin terbukti kebenaran dewasa ini, di saat
alat-alat komunikasi sedemikian canggih dan dapat dijangkau dengan mudah oleh
siapa pun.
Ayat di atas membantah mereka dengan menggunakan susunan kata yang
mengandung makna pengkhususan yakni yang perusak tidak lain kecuali mereka.
53
Redaksi ini dipilih sebagai jawaban atas ucapan mereka yang juga menyatakan
bahwa hanya kami bukan selain kami yang mushlihin yakni pelaku-pelaku
perbaikan. Memang bisa saja jawaban terhadap mereka tanpa pengkhususan itu,
tetapi ditegaskan karena sebelum ini telah dinyatakan bahwa mereka tidak lagi
memilki dorongan untuk memperbaiki diri bahwa sifat mereka dari hari ke hari
bertambah buruk sehingga siapa yang sifat dan keadaannya demikian, tidak lagi
dapat diharapkan lahir darinya suatu kebaikan.
Setelah menyampaikan nahi mungkar, yakni melarang sesuatu yang
buruk, ayat di atas melanjutkan uraiannya dengan amar makruf, atau
memerintahkan yang baik yaitu perintah untuk beriman. Adalah hal yang sangat
wajar mendahulukan nahi mungkar, karena menyingkirkan keburukan lebih utama
daripada menghiasi diri dengan keindahan. 109
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan larangan disini
ditujukan kepada hal-hal yang akan mengakibatkan kerusakan, yaitu di dalam
membuka rahasia umat islam kepada kaum kafir, kemudian menyuruh kaum kafir
itu agar membujuk umat Islam supaya jangan mengikuti ajaran Nabi Muhammad
Saw, dan ajaran pembaharuan yang mereka bawa.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang disebarkan di kalangan umat Islam,
yakni berbagai kejahatan dan fitnah. Mereka tak segan-segan menakut-nakuti
umat islam dengan berbagai cara yang secara lahiriyah merupakan nasihat. Kami
tidak berbuat sesuatu melainkan hanya bercita-cita mengadakan pembaharuan.
Jauh kemungkinan kami akan berbuat kerusakan. Kami selalu mengikuti
pemimpin-pemimpin yang ajaran-ajaran mereka bersumber dari para Nabi.
Bagaimana mungkin kami akan melupakan hal itu hanya lantaran adanya tatanan
baru yang belum pernah kami kenal sebelumnya.
Demikianlah perbuatan kaum perusak di setiap masa. Mereka mengakui
bahwa dirinya adalah orang-orang yang mengadakan pembaharuan. Sekalipun
sudah terbukti bahwa mereka itu tidak lebih hanya sebagai para perusak dan
penyesal. Mereka menyatakan dirinya sebagai orang-orang yang menegakkan
pembaharuan guna untuk menutupi dari cacat dengan cara licik dari tipuan.
109
Ibid, 103-105.
54
Mereka berpura-pura sebagai orang yang bertanggung jawab. Namun
pada kenyataan mereka adalah para pembonceng yang tidak berinisiatif terhadap
pembaharuan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dari tingkah laku mereka yang
pada hakikatnya merusak umat dan jauh dari aspirasi umat sebenarnya. Mereka
berupaya dengan cara memblokir sarana-sarana penyelidikan yang bimembedakan
antara yang benar-benar muslihin (pembaharu) dan siapakah yang sebenarnya
sebagai perusak. Mereka menghambat jalan menuju kebenaran Islam dan mereka
mengajak kepada persatuan dan perpecahan dalam waktu yang bersamaan. Tidak
ada di dunia ini kerusakan yang lebih diabanding keluarnya dari garis kebenaran
dan menganjurkan berjalan di atas kebatilan dan mendukung para tokoh-
tokohnya.110
Menurut Ibnu Katsir, As-Suddi menceritakan Abu Malik dan Abu Shalih,
dari Ibnu Abbas, dari Murrah ath-Thalib al-Hamdani, dari Ibnu Masud, dari
beberapa sahabat Nabi, mengenai ayat ini. Mereka mengatakan: “Mereka itu
adalah orang-orang munafik.” Sedangkan kerusakan yang dimaksud adalah
“kekufuran dan kemaksiatan”. Ibnu Jarir mengatakan, dengan demikian, orang-
orang munafik itu memang pelaku kerusakan di muka bumi ini, dengan
bermaksiat kepada Allah, melanggar larangan-Nya serta mengabaikan kewajiban
yang dilimpahkan kepadanya.
Mereka ragu terhadap agama Allah di mana seseorang tidak diterima
amalnya kecuali dengan membenarkannya dan meyakini hakikatnya. Mereka juga
mendustai orang-orang mukmin melalui pengakuan kosong mereka, padahal
keyakinan mereka dipenuhi oleh kebimbangan dan keraguan. Serta dukungan dan
bantuan mereka terhadap orang-orang yang mendustakan Allah. Kitab-kitab, dan
rasul-rasul-Nya atas para wali Allah jika mereka mendapatkan jalan untuk itu.
Demikian itulah kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik di muka
bumi ini, sementara mereka mengira telah mengadakan perbaikan.111
110
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, Jilid 1, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 84-85. 111
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 1, 6.
55
3. Surat Al-Maidah ayat 33
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar”. (Q.S. Al-Maidah: 33).112
Menurut Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan Sesungguhnya
pembalasan yang mereka peroleh dari memerangi Allah dan Rasul-Nya serta
menimbulkan kerusakan di bumi adalah mereka dibunuh atau disalib atau tangan
dan kakinya dipotong dengan bersilangan atau diusir dari kampung halamannya.
Tidak ada pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi selain dibunuh atau disalib
atau dipotong tangan kanan dengan kaki kiri (tangan kiri dengan kaki kanan) atau
diusir dari negerinya. Itulah, bagi mereka kehinaan di dalam dunia dan bagi
mereka azab yang besar di akhirat. Itulah kehinaan yang ditimpakan kepada
mereka untuk menjadi pelajaran bagi umum. Bagi mereka azab yang besar di
akhirat.113
Menurut Allamah Kamal Faqih Imani menjelaskan bahwa pembalasan
ini, yang disebutkan dalam ayat ini, dihitung sebagai hak-hak Allah dan mereka
tidak diampuni dan hukumannya tidak diubah (Athyảbul bayản). Kata-kata dalam
ayat yang sebelumnya mengandung pesan pendidikan dan peringatan kepada si
pembunuh. Sekarang, dalam ayat ini, pernyataannya adalah tentang hukuman
terhadap orang yang memerangi Alllah dan melakukan kerusakan.
112 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 113. 113
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir AL-Qur‟anul Majid An-Nuur, Jilid 1, (PT.
Pustaka Rizki Putra, Semarang: 2000), 1070-1072.
56
Hal yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa memerangi pelayan-
pelayan Allah adalah sama dengan memerangi Allah. Jadi, orang yang menentang
manusia (hamba-hamba Allah) adalah seperti menentang Allah.
Oleh karena itu, hukuman-hukuman Islami juga disertai dengan
keadilan. Karena kerusakan-kerusakan dan kualifikasi-kualifikasi para pembuat
kerusakan adalah berbeda-beda, maka hukumannya juga tidak sama. Jika
kerusakan yang dilakukan bersifat tragis, maka hukumannya adalah dibunuh.
Tetapi jika kerusakannya hanya bersifat superfisal, maka hukumannya adalah
dibuang. Mengenai hukuman-hukuman seperti itu, dari hadits-hadits Islam
disimpulkan bahwa hukuman kejahatan pembunuhan adalah hukuman mati,
hukuman menakut-nakuti orang banyak adalah dibuang, hukuman pencurian
adalah potong tangan dan kaki, hukuman perampokan dan pembunuhan (dengan
senjata) adalah potong tangan dan kaki dan digantung (tafsir ash-Shảfi).114
Menurut M. Quraish Shihab ayat ini secara khusus menyangkut kasus
„Urainiyyin, jumhur ulama mengatakan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum.
Para ulama membahas maksud kata yang bersifat umum tersebut, dalam hal ini
adalah kalimat Yuh{arribu>na Allah wa Rasu>lahu (memerangi Allah dan rasul-
Nya). Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.115
Menurut Ibnu Katsir, Jumhur ulama yang telah menggunakan keumuman
pengertian ayat ini, sebagai dalil bagi pendapat mereka yang menyatakan, bahwa
hukum muh{arrabah (penyerangan) di tempat keramaian atau di tempat terpencil
adalah sama. Hal itu didasarkan pada firman-Nya yang artinya: “dan berbuat
kerusakan di muka bumi”. yang demikian itu pendapat Malik, Al-Auza‟i, Al-Laits
bin Sa‟ad, Asy-Syafi‟i, dan Ahmad bin Hanbal.
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak disebut muh{arrabah kecuali di
jalanan, sedangkan di dalam kota tidak disebut muharrabah, karena ia si teraniaya
akan memperoleh pertolongan jika meminta pertolongan. Berbeda dengan yang
114 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, Diterjemahkan dari buku aslinya
yang berjudul “Nur al-Qur‟an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur‟an
jilid IV”, oleh Sayyid Abbas Shadr dan Ahsin Muhammad, (Al-Huda, Jakarta: 2004), 364-366. 115
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Hal. 85.
57
dijalanan, yang jauh dari orang yang dapat memberikan bantuan dan
pertolongan.116
Mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, kebanyakan ulama terkemuka
mengatakan mengenai penduduk Ukail dan Urainah. Sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim, Abu Qilabah, dan Anas bin Malik: “Ada delapan
orang dari Ukail datang kepada Rasulullah Saw, lalu mereka berbai‟at kepada
beliau untuk memeluk Islam.” Mereka jatuh sakit karena tidak cocok dengan
udara di Madinah, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw.
Maka beliau bersabda: “Mengapa kalian tidak pergi bersama pengembala kami
yang menggembalakan untanya, sehingga kalian bisa mendapatkan air kencing
unta dan susunya”. Mereka menjawab: “Baiklah”.
Selanjutnya mereka pergi dan minum air kencing dan susu unta, sehingga
mereka kembali dalam keadaan sehat. Kemudian mereka membunuh pengembala
tadi dan mengiring unta tersebut. Maka berita itupun sampai kepada Rasulullah,
setelah itu beliau mengirim utusan untuk mengejar mereka hingga akhirnya
mereka ditemukan. Kemudian mereka dibawa menghadap Rasulullah, beliau
memberi hukuman kepada mereka yaitu tangan dan kaki mereka dipotong serta
mata mereka dicungkil, lalu dipanaskan dibawah terik matahari hingga sampai
mati.”117
Kemudian menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya, Abu
Daud dan Nasa‟i meriwayatkan dari Abul Zanad, “Bahwa setelah Rasullulah Saw
menyuruh supaya orang-orang yang mencuri untanya itu dipotong (tangannya)
dan dicungkil matanya dengan besi panas.” Maka mereka mendapatkan kecaman
dari Allah SWT. Sebagaimana turunya ayat ini.118
116
Ibnu Katsir, Lubabul Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Imam Syafi‟I, 2007), 116. 117
Ibid, 74. 118
Ahmad Mustafa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1974), 192.
58
4. Surat Al-Qasash ayat 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S. Al-Qasash: 77).119
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan larangan melakukan perusakan
setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar
tidak mencampur-adukkan antara kebaikan dan keburukan. Sebab keburukan dan
pengrusakan merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan walau
sebenarnya perintah berbuat baik telah berarti pula larangan berbuat keburukan
disebabkan karena sumber-sumber kebaikan dan keburukan sangat banyak,
sehingga boleh jadi ada yang lengah dan lupa bahwa berbuat kejahatan terhadap
sesuatu sambil berbuat ihsan walau kepada yang banyak masih merupakan hal
yang bukan ihsan.
Pengrusakan dimaksud menyangkut banyak hal. Di dalam al-Qur‟an
ditemukan contoh-contohnya. Puncaknya adalah merusak fitrah kesucian manusia,
yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan.
Di bawah peringkat itu ditemukan keengganan menerima kebenaran dan
pengorbanan nilai-nilai agama, seperti pembunuhan, perampokan, pengurangan
takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian
lingkungan dan lain-lain.120
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan pergunakanlah harta
dan nikmat yang banyak diberikan Allah kepadamu ini untuk mentaati Tuhanmu
119 Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 394. 120
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 10, (Lentera hati, Jakarta: 2004), 405-409.
59
dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai macam cara pendekatan yang
mengantarkanmu kepada perolehan pahala-Nya dunia dan akhirat.
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari
makan, minum dan pakaian, karena Tuhan mempunyai hak terhadapmu, dirimu
mempunyai hak terhadapmu, demikian pula keluargamu, mempunyai hak
terhadapmu.
Berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagaimana Dia telah berbuat
baik kepadamu dengan nikmat-Nya yang Dia limpahkan kepadamu, karena itu,
tolonglah makhluk-Nya dengan harta dan kemuliaanmu, muka manismu,
menemui mereka secara baik, dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka.
Dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat
kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah. Karena
sesungguhnya Allah tidak akan memuliakan orang-orang yang suka mengadakan
kerusakan, malah menghinakan dan menjauhkan mereka dari dekat kepada-Nya
dan tidak memperoleh kecintaan serta kasih saying-Nya.121
Menurut Ibnu Katsir gunakanlah apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu berupa harta yang melimpah dan kenikmatan yang panjang dalam
berbuat taat kepada Rabb-mu serta bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai
amal-amal yang dapat menghasilkan pahala di dunia dan di akhirat. Apa-apa yang
dibolehkam Allah di dalamnya berupa makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan pernikahan.
Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak, dirimu memiliki hak, keluargamu
memiliki hak serta orang yang berzirah kepadamu pun memilki hak. Maka
berikanlah setiap sesuatu dengan haknya. Dan berbuat baiklah kepada makhluk-
Nya sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah semangatmu
hanya menjadi perusak di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.122
121
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, Jilid 20 Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 169-170. 122
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 6,
396.
60
5. Surat Al-A’raf ayat 56
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S. Al-A‟raf: 56).123
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan ayat ini melarang pengrusakan
di bumi. Pengrusakan adalah salah satu bentuk pelampauan batas, karena itu ayat
ini melanjutkan tuntunan ayat yang lalu dengan menyatakan: dan janganlah kamu
membuat kerusakan di bumi, sesudah perbaikannya yang dilakukan oleh Allah
dan atau siapapun dan berdoalah serta beribadahlah kepada-Nya dalam keadaan
takut sehingga kamu lebih khusyu‟, dan lebih terdorong untuk mentaati-Nya dan
dalam keadaan penuh harapan terhadap anugerah-Nya, termasuk pengabulan do‟a
kamu. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada al-muhsinin, yakni orang-
orang yang berbuat baik.
Alam raya telah diciptakan Allah Swt. Dalam keadaan yang sangat
harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk. Allah telah menjadikannya
baik, bahkan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memperbaikinya.
Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah, adalah dengan
mengutus para nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau
dalam masyarakat. Siapa yang tidak menyambut kedatangan rasul, atau
menghambat misi mereka, maka dia telah melakukan salah satu bentuk
pengrusakan bumi.
Merusak setelah diperbaiki, jauh lebih buruk daripada merusaknya
sebelum diperbaiki, atau pada saat dia buruk. Karena itu, ayat ini secara tegas
menggaris bawahi larangan tersebut, walaupun tentunya memperparah kerusakan
atau merusak yang baik juga amat tercela.124
123
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, 157. 124
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 5, (Lentera hati, Jakarta: 2005), 123-126.
61
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan janganlah kalian
merusak di muka bumi setelah Allah membuat kemaslahatan dengan menciptakan
hal-hal yang bermanfaat dan menunjuki manusia cara mengeskplorasi bumi dan
memanfaatkannya, dengan menundukkan bumi itu kepada mereka. Kerusakan ini
mencakup kerusakan jiwa dengan cara membunuh dan memotong anggota tubuh,
kerusakan harta dengan cara ghas{ab dan mencuri, kerusakan agama dan kafir
dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan, kerusakan nasab dengan melakukan
zina dan kerusakan akal dengan meminum minuman yang memabukkan dan
semisalnya.
Kesimpulannya, bahwa pengrusakan itu mencakup kerusakan terhadap
akal, akidah, tata kesopanan, pribadi maupun sosial, sarana-sarana penghidupan,
dan hal-hal yang bermanfaat untuk umum, seperti lahan-lahan pertanian,
perindustrian, perdagangan dan sarana-sarana kerja sama untuk sesama manusia.
Adapun perbaikan Allah Ta‟ala terhadap keadaan manusia adalah berupa
petunjuk agama dan diutusnya Nabi dan Rasul, yang disempurnakan dengan
dibangkitkannya Nabi dan Rasul terakhir, yang merupakan rahmat bagi seluruh
alam. Dengan diutusnya itu, akidah umat manusia telah diperbaiki, akhlak dan tata
kesopanan mereka telah dibimbing. Sebab beliau telah menghimpun akhlak dan
kesopanan itu bagi umat manusia.
Segala kemaslahatan ruh dan jasad telah disyariatkan pula bagi mereka,
saling menolong dan saling mengasihi telah beliau pelihara bagi mereka. Keadilan
dan persamaan telah disyariatkan bagi mereka. Musyawarah yang terkait dengan
suatu kaidah, menolak hal yang merusak, dan memelihara hal-hal yang mashlahat.
Dengan demikian, agama mereka melebihi agama-agama lainnya.
Berdoalah kamu kepada Allah dengan merasa takut terhadap hukuman-
Nya atas pelanggaran terhadap syariat yang memperbaiki jiwa dan raga, serta
menginginkan rahmat-Nya, kebaikan di dunia dan akhiratmu. Berdoalah kepada
Tuhan ketika merasa tidak mampu dan butuh kepada-Nya, termasuk hal yang
memperkuat harapan akan terkabulnya doa akan mengahalangi terjadinya putus
62
asa, sekalipun terputus dari segala sebab dan tidak mengetahui sarana-sarana
keberhasilan.125
Menurut Ibnu Katsir Allah Ta‟ala melarang dari melakukan pengrusakan
dan hal-hal yang membahayakannya, setelah dilakukan perbaikan atasnya.
Karena jika berbagai urusan sudah berjalan dengan baik dan setelah itu terjadi
perusakan, maka yang demikian itu lebih berbahaya bagi umat manusia. Maka
Allah Ta‟ala melarang hal itu, dan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
beribadah, berdo‟a, dan merendahkan diri kepada-Nya, serta menundukkan diri
dihadapan-Nya.
Dan takut memperoleh apa yang ada di sisi-Nya berupa siksaan, dan
berharap pada pahala yang banyak dari sisi-Nya. Karena rahmat-Nya
diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat baik yang mengikuti berbagai
perintah-Nya dan meninggalkan semua laragan-Nya.126
125
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi, Jilid 8, Diterjemahkan dari
kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly,
Bahrun Abu Bakar, 314-316. 126 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab aslinya
yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 3,
158.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep Khalifah dalam al-Qur‟an adalah makhluk yang dipercaya dan
diberi tugas oleh Allah untuk mengelola seluruh potensi alam ini, dan
memanfaatkannya sesuai dengan tuntunan-Nya. Sedangkan di dalam surat
Al-Baqarah ayat 30, konsep khalifah adalah orang yang disuruh Allah
untuk menjadi pelaksana dimuka bumi ini. Oleh karena itu, manusia
diciptakan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini yang melaksanakan
kekhalifahan sesuai dengan tuntunan syari‟at yang dapat mengaplikasikan
rah{matan lil al-„alamin.
2. Relasi antara peran manusia sebagai khalifah dengan kerusakan alam adalah
manusia telah dijadikan oleh Allah Swt sebagai khalifah di bumi yang
berfungsi sebagai orang yang dipercaya untuk mengatur dan
mempertahankan alam dan mewujudkan kemakmuran di bumi. Dan
idealnya khalifah di muka bumi sebagaimana yang dijelaskan al-Qur‟an
memiliki dua bentuk khalifah yang melekat pada diri manusia. Dua bentuk
tersebut yaitu: Pertama: khalifah Kawniyah yaitu mencakup wewenang
manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah Swt untuk mengatur
dan memanfaatkan alam bagi kelangsungan kehidupan manusia di bumi.
Kedua khalifah Syar‟iyah, yaitu wewenang Allah yang diberikan kepada
manusia untuk memakmurkan alam semesta. Namun, faktanya yang terjadi
pada saat ini, telah banyak terjadinya kerusakan-kerusakan alam akibat ulah
tangan manusia. Dan hal ini telah dijelaskan Allah di dalam Firman-Nya
surat Ar-Ruum ayat: 41. Oleh karena itu hal ini membuktikan adanya
ketidak seimbangan terhadap peran manusia sebagai khalifah. Karena peran
manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah untuk mengatur dan
memanfaatkan alam bukan merusaknya.
64
3. Penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan peran manusia sebagai
khalifah dengan kerusakan alam dapat diambil kesimpulan bahwa Allah
telah menjelaskan kepada Malaikat bahwa Allah akan menjadikann seorang
khalifah di bumi yaitu Adam dan anak cucunya (manusia). Oleh karena itu
kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas melaksanakan
tugas sesuai petunjuk-Nya. Manusia dijadikan sebagai khalifah karena
manusia diberi Allah kemampuan akal yang bisa mengelola alam dengan
penuh kebebasan. Namun, kerusakan alam itu dapat terjadi akibat ulah
tangan manusia seperti kerusakan yang timbul di darat dan di laut.
Sehingga, dengan kejadian tersebut manusia dapat kembali ke jalan yang
benar. Oleh karena itu, Allah melarang manusia melakukan kerusakan di
bumi. Karena Allah telah membuat kemashlahatan dengan menciptakan hal-
hal yang bermanfaat dan memberi petunjuk manusia cara mengeksplorasi
bumi dan memanfaatkannya dengan menundukkan bumi itu kepada mereka.
B. Saran
Di dalam Skripsi ini, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainya.
Karena apa yang dilakukan penulis dalam tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis membuka selebar-lebarnya pintu kritik
dan saran demi tercapainya skripsi yang lebih baik.
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdullah, Abi Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Jami‟ As-Shalih, (Kairo:
Mut‟ah As-Salfiyah, 1403.
Al-Isfahani, Al-Raghib. Mufradat Gharib al-Qur‟an, Mesir: Al-Halabi, 1961.
Abi. Imam Khusain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo: Darul Qutub,
1991.
Arroisi, Abdurrahman. Keberadaan Manusia di Muka Bumi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.
Azwar, Syaifuddin. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2002.
Abdul, M. Ghoffar E.M. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,
2014.
Al-Mahali, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. Tafsir Jalalain, Yogyakarta:
Ummul Quro, 2018.
Anwar, Abu. Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, 2018.
Arroisi, Abdurrahman. Keberadaan Manusia di Muka Bumi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2002.
An-Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang
berjudul “Riyadhu Ash-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin” oleh
Solihin Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Arifullah, Mohd. et. al. Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin IAIN STS JAMBI, Jambi: Fak. Ushuluddin IAIN STS Jambi,
2016.
Anwar, Abu. Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, 2018.
Al-Mahali, Jalaluddin dan Jalaluddin As-Suyuthi. Terjemah Tafsir Jalalain,
Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Jalalain”oleh
Muhammad Al-Khumayyis, Yogyakarta: Ummul Quro, 2018.
66
Baqi, Muhammad Fu‟ad Abdul. Mu‟jam Al-Mufahraz Lil Al-Faazil Qur‟anil
Karim, Kairo: Darul Qutub Mishriyyah, 1945.
Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz. Metodologi Penelitian Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016.
Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta:
Lantarabora, 2004.
Ibn Manzur, Lisân al-‟Arab, Juz X, Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1969.
Imani, Allamah kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an. Diterjemahkan dari buku
aslinya yang berjudul “Nur al-Qur‟an: An Enlightening Commentary into
the Light of the Holy Qur‟an jilid IV”, oleh Sayyid Abbas Shadr dan
Ahsin Muhammad, Jakarta: Al-Huda, 2004.
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan dari kitab
aslinya yang berjudul “Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir” oleh Salim
Bahreisy dan Said Bahreisy, Jilid 1, 2, 3, 4 ,5, 6, 7, Surabaya: Pt. Bina
Ilmu, 2004.
, lubaabul tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Imam as-Syafi‟i, 2007.
Kamal, Allamah Faqih Imani. Tafsir Nurul Qur‟an, Diterjemahkan dari buku
aslinya yang berjudul “Nur al-Qur‟an: An Enlightening Commentary into
the Light of the Holy Qur‟an jilid IV”, oleh Sayyid Abbas Shadr dan
Ahsin Muhammad, Jakarta: Al-Huda, 2004.
Keraf, A. Sonny. Krisis Bencana Lingkungan Hidup global, Yogyakarta:
Kanisius, 2014.
Mustafa, Ahmad Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi. Mesir: Mustafa Al-Babi Al-
Halabi, 1974.
. Terjemahan Tafsir Al-Maragi, Jilid 1, 21, 22,
Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi” oleh
Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Semarang:
PT. Karya Toha Putra, 1992.
. Terjemahan Tafsir Al-Maragi, Jilid 11, 20, 23, 3,
8, Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul “Tafsir Al-Maragi”
67
oleh Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar,
Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993.
Machasin, Menyelam kebebasan Manusia Telaah Kritis Terhadap Konsepsi al-
Qur‟an, Yogyakarta: INHIS dan Pustaka Pelajar, 1996.
M. Mangunjaya. Fachruddin, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Muhammad, Ahsin Sakho. Keberkahan Al-Qur‟an: Memahani Tema-Tema
Penting Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci. Jakarta: PT. Qaf Media
Kreativa, 2017.
Nasharuddin. Akhlak (Ciri Manusia Paripurna), Jakarta: PT Rajagrafindo, 2015.
Neviyarni, Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berorientasi Khalifah fil Ardh,
Bandung: Alfabeta, 2009.
Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur‟an, 1996.
Sakho, Ahsin Muhammad. Keberkahan Al-Qur‟an: Memahani Tema-Tema
Penting Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci. Jakarta: PT. Qaf Media
Kreativa, 2017.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2006.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 12, 4, 6, 11, 10, Jakarta:Lentera Hati, 2004.
. Membumikan AL-Qur‟an Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.
. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
Volume 1 dan 5, Jakarta:Lentera Hati, 2005.
. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Thib, Ahmad Raya. Memahami Perjalanan Hidup dan Mati (siapa saya, dari
mana, dan mau ke mana), Jakarta: PT Qaf Media Kreativa.
Tim Penterjemah dan Penafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Jakarta:
Departemen Agama, 2016.
Zulhedi, 6 Langkah Metode Tafsir Maudhu‟i, Jakarta: PT Raja Grafindo,2017.
68
B. Jurnal dan Skripsi
Lisnawati, Yeni. “Konsep Khalīfah Dalam Al-Qur`an Dan Implikasinya Terhadap
Tujuan Pendidikan Islam (Studi Maudu‟i Terhadap Konsep Khalīfah
Dalam Tafsir Al-Misbah)”, Jurnal Tarbawy, II, No.1 (2015), 51-52.
Madani, Abu bakar. ”Dakwah Dan Perubahan Sosial: Studi Terhadap Peran
Manusia Sebagai Khalifah Di Muka Bumi.” Jurnal Ilmu Dakwah dan
Komunikasi, I, No.1 (2016), 20.
Maulana, M. Luthfi. “Manusia Dan Kerusakan Lingkungan Dalam al-Qur‟an:
Studi Kritis Pemikiran Mufassir Indonesia (1967-2014)”. Skripsi.
Semarang: Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Walisongo, 2016.
Watsiqotul, Sunardi, Leo Agung. “Peran Manusia Sebagai Khalifah Allah Di
Muka Bumi Perspektif Ekologis Dalam Ajaran Islam”. Jurnal Penelitian,
Vol 12, No 2 (2018), 24.
Eko Prayetno, “Kajian Al-Qur‟an Dan Sains Tentang Kerusakan Lingkungan”,
Jurnal Studi Ilmu Al-Qur‟an Dan Hadits, XII, No. 1, (2018), 124.
C. Internet
Azis, Abdul Said. “Kontroversi Penyebab hingga Penamaan Lumpur lapindo”,
diakses melalui alamat https://katadata.co.id/berita, tanggal 4 Oktober
2019.
Staf Editor, “Dampak Kerusakan Alam Bagi Kehidupan”. Diakses melalui alamat
https://dlh.semarangkota.go.id/5-dampak-kerusakan-alam-bagi-
kehidupan/. Tanggal 27 Maret 2020.
69
CURRICULUM VITAE
Informasi Diri:
Nafi‟ah Aini dilahirkan di Desa Taman Dewa, Kecamatan Mandiangin,
Kabupaten Sarolangun pada 05 Februari 1999. Putri Pertama dari Bapak Nursa‟id
dan Ibu Sri Hartini, S.pd. Dia mempunyai 1 saudara laki-laki yang bernama
Muhammad Syafiq Ihsan. Mereka 2 bersaudara.
Riwayat Pendidikan:
Nafi‟ah Aini memperoleh ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) di
Madrasah Aliyyah Swasta (MAS) Assyukuriyah di Pondok Pesantren Kanjeng
Sepuh pata tahun 2016, memperoleh ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMP Kanjeng Sepuh, masih sama seperti sekolah Aliyyahnya yaitu di Pondok
Pesantren Kanjeng Sepuh pada tahun 2013 di Desa Simpang Kertopati,
Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun. Dan dia memperoleh ijazah
Sekolah Dasarnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 125/Vll/Taman Dewa 1 di
Desa Talang Serdang, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun pada tahun
2010.
Karya Ilmiah:
Nafi‟ah Aini mempunyai satu karya ilmiah yang ditulis bersama kawan-
kawannya jurusan Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Dan Studi
Agama Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi ketika PPL di
Pusat Studi Qur‟an (PSQ)/ Bayt Qur‟an di Tangerang Selatan. Kami pernah
70
menulis sebuah buku yang berjudul “Mutiara Kata Sang Pencipta” pada tahun
2019.
Pengalaman Organisasi:
Nafi‟ah Aini pernah menjadi anggota bagian Informasi Dan komunikasi
pada Himpunan Jurusan (HMJ) Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Dan Studi Agama UIN STS Jambi (2017-2018), dan pernah menjadi Ketua bagian
Informasi Dan komunikasi Dewan Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ushuluddin Dan
Studi Agama UIN STS Jambi (2018-2019).