akar edisi 2 (oktober 2013)

24

Upload: akar

Post on 14-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)
Page 2: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

P R A K A T ASatu bulan telah berlalu sejak kemunculan entitas

baru di dunia kepenulisan kampus, yakni majalah AKAR. Mungkin tak ada rangkaian kalimat lain selain

seuntai maaf dan terima kasih bagi seluruh aspek yang terlibat dalam proses kreatif AKAR., terutama para pem-baca sekalian.

Terima kasih untuk penerimaan dan antusiasme yang begitu baik pada edisi pertama kami. Senyum serta tanggapan kalian adalah energi bagi karya kami!

Maaf jika kekurangan masih tampak di sana sini, karena itu kritik dan saran kalian adalah satu yang selalu dinanti. Agar akar. dapat jadi lebih baik lagi.

Edisi Oktober mengangkat tema BUMI. Dalam edisi ini bumi menjelma jadi berbagai karya dengan seki-an perspektif berbeda.

Dalam rangka mewujudkan kebebasan, ekspresi, dan perasaan lewat karya, di edisi kedua ini AKAR., ke-hadiran dua orang kontributor tambahan demi menam-bah kaya kacamata kami untuk melihat BUMI.

Semoga edisi kali ini senantiasa meninggalkan ke-san di hati.

Okti P. Zakaria

S E N A R A I

Aforisme………………1Ulas………………3

Fragmen………………6Teroka………………10Matra………………15

Pardika………………16Plot………………17

Pukau………………21

Pemimpin RedaksiYasser Mandela

Okti P. Zakaria (ad-interim)

EditorFaradha

LayoutingNugi Wicaksono

IlustrasiOkti P. ZakariaDwas Syahbanu

MultimediaWaskitha W. Galih

Dwas SyahbanuGumai Akasiwi

Kontributor‘Ijonk’ Muhammad Adi Nugroho

Alldo Fellix Januardy

ilustrasi sampul: Dwas Syahbanu© 2013 Majalah AKAR.

Page 3: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 1

?“Kapan pulang ?” pertanyaan

yang kerap ditanyakan orang tersayang jika kita sudah terlalu lama berkelana. Biasanya disana, di suatu tempat bernama rumah, sepaket orang penuh cinta bersemayam, menunggu kita pu-lang. Entah itu ayah, ibu, saudara, suami, isteri, atau bahkan kekasih yang mungkin belum jelas statusnya. Namun tak jarang pertanyaan itu bu-kannya membuat senang, tapi malah jadi beban. Perasaan cinta mendadak seperti jaksa yang siap menuntut kapan saja.

Memang sesungguhnya manusia memang tidak pernah suka dengan sesuatu yang bersifat memaksa, itulah kenapa banyak orang yang be-gitu sering melanggar hukum dan segala macam peraturan lainnya, itu kenapa banyak yang malah merasa terpaksa dan akhirnya mencari seribu alasan untuk menunda kepulangan.

Ketika terminologi ‘rumah’ mucul yang kita bayangkan adalah tentang bangunan bert-ingkat dengan empat kamar dan belasan daun pintu dilengkapi daun-daun jendela tinggi yang menjuntai di pinggir jalan, tentang betapa banyak hal yang tidak bisa dikerjakan jika kita berdiam disana seharian. Manusia yang sudah terbiasa hidup berpindah-pindah dengan segala kemudahan dan kecanggihan alat transportasi yang ada akan sedikit keberatan berhenti di satu

titik berlama-lama. Rumah jadi terasa seperti nomor dua, di-

mana dari 24 jam sehari, tak jarang tiga perem-pat bagiannya dihabiskan dengan segala aktivitas di luar rumah sehingga kebersihan dan keinda-hannya tak lagi terjaga. Sebab seiring berjalan-nya usia, rasa ‘memiliki’ akan rumah semakin berubah. Terkikis seiring bertambahnya peng-etahuan dan wawasan mengenai betapa luasnya bumi yang bisa kita jelajahi ini. Perjalanan jadi terlihat terlalu menyenangkan untuk diabaikan.

Tapi ketika esensi rumah mulai memu-dar, cobalah bayangkan dekapan hangat ibu dan tangan kokoh ayah yang menyambut diri yang baru saja kembali, rengkuhan penuh cinta ketika akhirnya dua insan bertemu lagi. Rasa hangat yang perlahan meresap menembus hati karena sepenggal ucapan singkat, ‘Selamat Datang!’.

JIKA BUMIADALAH RUMAH,...

aforisme

O K T I P . Z A K A R I A

Sebab rumah bukanlah menge-nai status dan kepemilikan, tapi tentang rasa hangat yang sang-gup memupuk rindu dan me-narik kita kembali pulang.

Page 4: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

2 akar. oktober 2013

Semua kemewahan yang akan kita rasakan ketika ‘pulang’ akhirnya jadi pilihan. Sebab ru-mah bukanlah mengenai status dan kepemilikan, tapi tentang rasa hangat yang sanggup memupuk rindu dan menarik kita kembali pulang; begitu juga dengan bumi.

Jika bumi adalah rumah, tentu ia akan memiliki nasib yang kurang lebih sama. Mun-cul keengganan untuk kita merawat dan men-jaga apa yang selama ini kita injak tanahnya dan kita hirup oksigennya; dan begitulah yang ter-jadi sekarang ini. Meski secara fisik kita berada di bumi, tapi hati kita tidak. Hal ini tercermin dari betapa sulitnya sebagian dari kita untuk sek-edar membuang sampah pada tempatnya, untuk merawat pepohonan agar tetap rindang, bahkan untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang telah kita lakukan. Rasanya begitu sulit.

Tapi jika bumi adalah rumah, maka tentu ia juga memiliki persediaan cinta yang tak kalah banyaknya. Bumi secara tidak kita sadari juga telah menciptakan rasa itu, kenyamanan yang menjadikan kita rindu untuk kembali. Apalagi bagi yang pernah mencicipi perjalanan ke luar angkasa, tentu esensi bumi sebagai rumah akan lebih terasa karena di bumi kita semua memulai dan menutup hari, di bumi kita dipercaya Yang Mahakuasa untuk jadi penghuninya.

Katanya Tuhan selalu punya alasan untuk semua hal, tentu juga ada alasan mengapa Ia akh-irnya menempatkan kita di sini, bersama-sama sebagai penghuni bumi.

Mungkinkah Dia hanya ingin kita belajar? Tidak dulu mengerti, tapi setidaknya mencoba.

Menerima kondisi bumi sebagaimana adanya, belajar memanfaatkan tanpa perusakan, menjaga tiap butir tanah dan molekul udara yang tersisa, dan untuk itu hanya penghargaan dan pengertian kepada sesama penghuni bumi—manusia—lah semua (mungkin) dapat tercipta.

Pada akhirnya, jika bumi adalah rumah, maka yang harus kita lakukan hanyalah membi-arkan hati kita pulang.

“Saya percaya rumah itu dite-mukan di dalam. Kalau di dalam damai, semua tempat bisa jadi rumah kita.” - Partikel, Dee Lestari

• • •

A F O R I S M E

Katanya Tuhan selalu punya ala-san untuk semua hal,…

Page 5: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 3

ulas

Percikan percakapan yang terjadi di atas menjadi awal mula keseruan film yang diangkat dari sebuah buku anak-anak ternama karangan Dr. Seuss yang mengangkat judul yang sama, The Lorax. Audrey yang di isi suaranya oleh penyanyi papan atas Taylor Swift mempunyai keinginan untuk memiliki sebuah pohon asli dan keinginan itu ditawarkan kepada Ted, te-man sepermainannya yang diam-diam memiliki ketertarikan khusus pada Audrey––siapa men-yangka lawan main Taylor Swift disini adalah Zac Efron. Permintaan Audrey terdengar jang-gal dan aneh, tetapi keadaan tanpa pohon yang asli tidak janggal bagi warga Thneed-Ville, po-hon buatan yang dipompa dengan udara serta oksigen yang diperjual-belikan menjadi kegia-tan sehari-hari warga Thneed-ville. Seolah-olah bumi bukan lagi bumi di kota yang dibatasi oleh

dinding pembatas yang tinggi dan besar, serta terlarang bagi warga untuk melewati dinding itu. Lagi pula memang tak ada satu pun yang me-miliki nyali untuk melanggar peraturan tersebut. Keadaan-keadaan yang janggal di Thneed-Ville tentu tidak lahir begitu saja, keinginan Audrey menjadi motivasi besar bagi Ted mengawali ter-bongkarnya kisah asal-muasal kepunahan pohon di kota tersebut.

Berawal dari pembicaraan meja makan ke-luarga Ted dengan tingkah neneknya yang lucu, secara tidak sengaja memberikan petunjuk kepa-da Ted bahwa sebenarnya masih terdapat sisa-sisa pohon asli yang bisa didapatkan dengan melang-gar peraturan terbesar di Thneed-Ville, yaitu me-lewati dinding raksasa pembatas kota. Rasa cinta Ted kepada Audrey mengalahkan ketakutannya terhadap hukuman yang bisa saja didapatkan

“Ted, aku sangat ingin mempunyai sebuah rumah pohon.”“Ya, aku akan membuatkannya untukmu, Audrey.”

“Tapi, aku ingin membuatnya di pohon yang asli.”

THE LORAX(2012)Sutradara : Chris RenaudProduser : Chris Meladandri, Janet HealyPenulis : Dr. SeussPemeran : Zac Efron, Taylor Swift, Danny DeVito, Ed HelmsTanggal Rilis : 2 Maret 2012Negara : Amerika Serikat

 

G U M A I A K A S I W I

Page 6: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

4 akar. oktober 2013

jika tertangkap basah. Tidak hanya oleh penegak hukum, tetapi keluarga bahkan warga Thneed-Ville juga akan memberikan ‘hukuman’ sosial bagi Ted, namun itulah yang terlewatkan dari pikiran remaja yang sedang kasmaran tersebut, sehingga ia merencanakan sematang mungkin supaya berhasil melewati dinding raksasa terse-but.

Langit yang suram, tanah yang gersang, suasana yang sepi, dan keadaan yang mencekam adalah kota mati yang menjadi gambaran diba-lik dinding pembatas yang berhasil dilewati Ted. Putaran ban sepeda motornya dipercepat sampai ia menemukan sebuah rumah dengan seorang penghuni yang super misterius. Dengan berba-gai cara yang membuat Ted meneteskan keringat dinginnya, akhirnya Ted dapat berkomunikasi langsung dengan penghuni tersebut, yang berk-enan memaparkan dirinya sebagai seorang yang berdosa bernama Once-Ler. Beliau yang sudah tidak terawat,dekil dan mengurung diri selama bertahun-tahun itu akhirnya membuka suara dan hatinya untuk bercerita kepada Ted.

Sungguh terkejut Ted setelah mengetahui

bahwa hutan yang sekarang gersang dulunya adalah hutan yang indah dengan pohon yang tumbuh asri disekitarnya dan dipenuhi dengan penghuni hutan yang lincah dan lucu. Once-Ler pada masa mudanya merupakan seorang yang pertama kali datang ke hutan tersebut, dia mer-antau dari kotanya. Dia merupakan seorang yang diremehkan oleh orang-orang bahkan keluargan-ya sendiri, sampai suatu saat ia menemukan hu-tan yang penuh pohon tersebut dan dengan alat yang telah dipersiapkan, ia menggunakan selu-ruh kemampuannya untuk mengolah pohon-po-hon tersebut menjadi berbagai karya yang sangat digemari oleh siapapun. Kabar mengenai prestasi Once-Ler dalam usahanya terdengar sampai ke telinga keluarganya, sehingga keluarganya data-ng dan membantu untuk menghabiskan pohon-pohon di hutan tersebut dan kemudian terus menjadi penyedia dari perusahaan-perusahaan ternama pembuat produk yang digemari warga kota, sehingga Once-Ler menjadi jutawan dan orang ternama pada masanya. Tetapi ada yang ia lupakan, The Lorax.

The Lorax adalalah sosok makhluk mungil penjaga hutan, dia merupakan sosok yang ramah, tetapi jika dia marah, ia akan meng-habiskan pohon di hutan yang menjadi tempat tinggal penghuni hutan termasuk Lorax. Ulah keluarga Once-Ler menjadi satu penyebab terbe-sar kemarahan The Lorax. Dengan segala keta-makan Once-Ler dan keluarga, maka kemarahan Lorax pun mencapai puncaknya. Penghuni hu-tan mencari tempat baru untuk berpinjak dan menghirup udara segar. Once-Ler bangkrut dan keluarganya meninggalkannya seorang diri den-

U L A S

 

Page 7: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 5

U L A S

gan penyesalan yang amat besar, tidak ada pohon lagi.

Cerita yang penuh inspirasi dan pula emosional menjadi kesenangan sendiri bagi Ted karena dia satu-satunya orang yang mengetahui cerita yang sebenar-benarnya langsung dari bi-ang kerok perusak lingkungan. Ted tidak hanya menemui Once-Ler untuk mendapatkan cer-ita seutuhnya dalam waktu singkat, tetapi Ted harus melalui banyak pelanggaran penerobosan tembok perbatasan yang dilakukan Ted demi Audrey sang pujaan hati. Masalah didapatkan Ted karena gerak-gerik Ted akhirnya ditangkap kamera pengamanan dari penjaga keamanan Th-need-Ville. Ted pun dirundung masalah seraya merasakan kebahagiaan ketika ia mendapatkan bibit pohon yang tersisa dari simpanan yang di-miliki oleh Once-Ler.

Menerobos tembok pembatas memang membuat Walikota Thneed-Ville geram dan hen-dak menangkap Ted. Akhirnya aksi menggelitik dan menegangkan pun terjadi ketika Ted, nenek Ted, dan Audrey berusaha melarikan bibit po-hon asli dari kejaran polisi setempat dan Wa-likota Thneed-Ville.

Thneed-Ville menjadi rusuh akibat kasus Ted dan pohon asli. Diantara Ted dan Walikota mempunya dua pemikiran yang tak sama dan membuat bingung warga, apakah pohon asli itu benar berbahaya seperti kata Walikota atau apakah pohon asli itu bisa menghasilkan oksigen yang asli seperti kata Ted?

Kemasan yang menarik dari penyuguhan cerita oleh Chris Renaud yang juga menyutra-darai film animasi Despicable Me ini, patut diacungi jempol. Tingkah yang lucu, emosional, dan plot yang sarat makna menjadi daya tarik untuk menonton film animasi ini. Film ini se-cara implisit menegaskan tentang pentingnya menjaga dan merawat lingkungan, dan bahaya dari eksploitasi lingkungan. Dikemas dengan animasi demi narasi yang hendak sampai ke hati yang bisa mengilhaminya. Hutan itu jantung dan paru-paru kota, bayangkan jika tidak ada lagi jantung dan paru-paru di tubuh kita, masih mungkin di film ini untuk membeli oksigen ataupun pohon buatan, hakikatnya imajinasi. Nah, apakah kita juga harus berimajinasi bahwa kelak oksigen harus dibeli? Tanyakan kepada penebang hutan ilegal itu, jangan-jangan mereka adalah keturunan Once-Ler! • • •

 

Page 8: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

6 akar. oktober 2013

Bukan pula Jakarta yang membuat seorang kakek mencela generasi cucu-cucunya dengan lanjutan ocehan-ocehan kebanggaan kejayaan generasinya di masa yang sudah habis. Bukan juga Jakarta yang membuat seorang ibu meme-luk erat anak-anaknya seraya berdoa pada Tuhan agar selalu melindungi mereka.

Bukan. Jakarta yang sedang dilalui bus itu bukanlah Jakarta pada umumnya. Jakarta yang tidak beraroma asam keringat para dewa, tidak juga Jakarta dengan nyanyian sumbang dari bo-cah-bocah tanpa alas kaki. Jakarta yang sedang dilalui bus itu adalah bagian kecil dari Jakarta yang dikenal orang-orang, seperti Jakarta yang merupakan bagian kecil dari bumi ini, namun Jakarta seakan memiliki porosnya sendiri, akan tetap berputar, tak peduli apabila bumi suatu saat akan berhenti. Atau mungkin, Jakarta ada-lah poros dari bumi ini. Bila Jakarta berhenti berputar, bumi pun akan ikut berhenti.

Bus kota itu hanya berpenumpang dua

orang, keduanya wanita. Sampai di sebuah ti-kungan, bus itu berhenti. Seorang wanita di usia paruh baya berpakaian kantoran berdiri dari tempat duduknya. Nampaknya ia baru saja lem-bur, tas jinjingnya ia bawa asal-asalan, pakaiann-ya lusuh, dari mulutnya kental aroma kopi. Sete-lah mengucap terima kasih pada sopir bus dan memberikan selembar uang lima ribu rupiah, ia turun dari bus. Di luar, seseorang telah menung-gunya. Seorang pria berjaket kulit, nampaknya seorang kekasih. Rindu adalah penghangat un-tuk melawan dinginnya malam itu.

Penumpang terakhir di bus itu adalah Airin. Nama yang indah. Banyak orang yang memuji namanya saat pertama kali berkenalan dengannya. Rata-rata mengucapkan, “Nama yang cantik,” atau kalimat lain yang memiliki satu makna seperti, “Namamu indah sekali, seperti orangnya.” Nama Airin memang meru-pakan nama yang cantik, tetapi orang-orang itu, yang kebanyakan lelaki, memuji namanya lebih

fragmen

31 Oktober 2013.Sebuah bus kota melaju dengan cepat, membelah malam Jakarta yang menggigil dan sunyi. Jalanan ini memang bukanlah bagian Jakarta yang ser-ing dilihat oleh orang-orang di televisi sambil menggeleng-gelengkan kepala

lalu mengutuk habis-habisan negerinya sendiri.

MOMENTUMEpisode 1 – Lacrimæ Rerum*

W A S K I T H A W . G A L I H

*)air mata (untuk segala) hal; diungkapkan oleh Virgil (70-19 SM) dalam Aeneid, Buku 1, Baris 462

Page 9: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 7

dikarenakan paras Airin yang jelita. Lalu Airin, seraya tersenyum, kurang-lebih akan menjawab, “Terima kasih. Airin artinya kedamaian.” Kemu-dian orang-orang itu akan merasa senang dan terpesona dengan suara dan senyuman Airin.

Mata Airin memandang ke arah jendela kaca bus. Sesekali ia memejamkan kedua matan-ya. Matanya basah, dan memang selalu basah, namun ia tidak sedang menangis. Rambutnya hitam lurus, sehat, namun kusut. Tangan kirinya memegang erat lengan kanan jas mantel panjang berwarna cokelat yang ia kenakan saat itu. Kedua kakinya yang mengenakan sepatu sneakers yang telah lusuh bergantian mengetuk-ketuk lantai bus kota. Tangan kanannya memeluk sebuah tas ransel berwarna merah sambil menggenggam sebuah bungkus plastik berisi bubuk putih: her-oin. Mulutnya gemetar menggumamkan kata-kata yang sama, “Tinggal satu… tinggal satu… tinggal satu…”

Gumaman itu tak lama kemudian ber-henti ketika Airin mendengar teriakan si Sopir bus, “Mbak, di sini kan? Tadi Mbak bilang mau turun di Apartemen Fortuna?”

Airin menolehkan wajahnya yang jelita

itu, memperhatikan gedung apartemen yang sebenarnya tak terlalu terlihat karena tertutup pekatnya malam. Kemudian ia bangkit dari tem-pat duduknya, merogoh receh dari dalam saku tas ransel merahnya, dan memberikannya ke sopir bus tanpa menghitungnya terlebih dahu-lu. Pada jam-jam seperti ini, sopir bus tak akan mempermasalahkan apabila uang yang dibayar-kan kurang. Sebab, mendapatkan penumpang yang bukan pemabuk atau preman ia sudah ber-syukur. Niatnya pada jam-jam di malam seperti ini hanyalah untuk menyelesaikan trayek tera-khirnya hingga ke terminal, sambil mengang-kut penumpang-penumpang terakhir dengan niat memberikan tumpangan, dan kemudian kembali ke rumah dengan selamat. Kembali ke hangatnya kecupan dari istrinya dan memeluk anak-anaknya yang telah tertidur.

Setelah memastikan Airin benar-benar telah turun, sopir bus kembali melanjutkan per-jalanannya menuju terminal. Airin menggigil. Ia memandangi pintu gedung apartemen di depan-nya. Apartemen ini sangat gelap, hanya ada satu lampu yang menerangi bagian depan gedungn-ya. Airin berjalan masuk dan kemudian berdiri di depan lift. Tak satupun pegawai apartemen ataupun satpam ada di lantai itu. Airin menoleh ke atas, ada satu kamera pengawas, namun bisa dipastikan kamera itu tak berfungsi lagi.

Airin memencet tombol luar lift untuk naik ke atas. Ia kembali menggumam, “Fortuna.. 902... Fortuna… 902... Fortuna… 902...”

Tangan Airin melingkar di tubuhnya. Tangan kanannya masih menggenggam bungku-san heroin. Buru-buru ia membuka bungkusan

F R A G M E N : M O M E N T U M

Tangan kanannya memeluk se-buah tas ransel berwarna merah sambil menggenggam sebuah bungkus plastik berisi bubuk putih: heroin.

Page 10: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

8 akar. oktober 2013

itu, kemudian menghisapnya melalui hidung. Kepalanya menghentak ke belakang, mulutnya menganga, pupilnya membesar. Kemudian ia membungkuk, kakinya menghentak-hentak lantai. Tiba-tiba Airin berhenti, terdiam. Ia mengambil nafas panjang. Perlahan, ia menegak-kan badannya. Matanya bertambah basah, tapi sekali lagi, ia tidak sedang menangis.

Tentu saja, wajahnya masih terlihat jelita.Ding! Lift membuka. Airin masuk ke-

mudian memencet angka sembilan. “Fortuna… 902... Fortuna... 902...” Ia masih berusaha mengatur kembali tempo nafasnya yang mem-buru.

Ding! Tak lama, lift kembali membuka. Airin menyusuri koridor lantai sembilan. For-tuna… 902, 902, 902. Kali ini hanya benaknya yang berbicara seraya mata terus mencari nomor kamar yang dituju.

Kini ia telah berada di depan kamar no-mor 902. Ia memencet belnya dua kali. Tak lama kemudian terdengar suara kunci kamar dibuka. Pintu kamar dibuka oleh seorang pria. Bisa diki-ra-kira, umurnya jauh di atas Airin. Kepalanya bulat, rambutnya menipis, bisa dikatakan botak di tengahnya. Perutnya buncit. Ia hanya sedikit lebih tinggi dari Airin. Airin memandangi pria itu, kemudian melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar.

“Ada KTP?” pria berambut tipis itu buru-buru mencegah. Alisnya mengerut.

Airin mengeluarkan KTP dari ranselnya. Pria itu mengambil KTP Airin, mengamatinya dengan seksama, “Airin saja namamu? Nama yang cantik. Umur... 22 tahun... Oke, semuanya

baik-baik saja.”“Silakan masuk,” kali ini raut muka pria

itu berubah. Setelah Airin masuk, pria itu men-gunci pintu kamarnya.

“Tetapi kau tidak memenuhi permintaan khususku. Hmm… Tak apa. Mau kopi? Atau teh?”

Airin menggeleng. Ia menjatuhkan tas ransel merahnya ke lantai. Masih berdiri, ia melepaskan jas mantel panjang berwarna cokelatnya, dan kemudian menaruhnya asal-asalan di meja. Kemudian ia melihat pria itu, dengan matanya yang basah. Di balik jas mantel itu, Airin mengenakan setelan seragam SMA: ke-meja putih dengan badge OSIS di sakunya dan bawahan rok abu-abu yang kekecilan. Tentu saja kekecilan, terakhir kali Airin memakai seragam itu adalah enam tahun yang lalu.

“Oh, sayang, ternyata kau tidak melupa-kan permintaan khususku. Kau terlihat sangat cantik dengan pakaian seragam ini,” seru pria itu bersemangat, sambil berjalan mendekati Airin. Airin sedikit berjalan mundur, membalikkan badannya membelakangi pria itu, namun tak menolak ketika pria itu memeluknya. Dari be-

F R A G M E N : M O M E N T U M

Airin sedikit berjalan mundur, membalikkan badannya memb-elakangi pria itu, namun tak menolak ketika pria itu meme-luknya.

Page 11: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 9

lakang, terasa nafas pria itu berusaha menghirup sebanyak-banyaknya wangi Airin.

Airin mulai menggumam lagi, sangat lir-ih, nyaris hanya gerak bibirnya saja ia mengucap, “Cepat selesai… cepat selesai… cepat selesai…”

Matanya kini sembab, namun kali ini ia memang sedang menangis.

Pikirannya seakan otomatis kembali ke enam tahun silam. Suara-suara teriakan ayahnya kepada ibunya. Piring-piring yang pecah. Isak tangisnya sendiri.

Pandangannya mengabur, pelukan erat pria itu juga semakin tak terasa. Ia memejam-kan mata, air matanya mengalir membasahi pip-inya. Kemudian ia perlahan membuka matanya. Tunggu, ini tidak mengabur, ini semakin jelas.

Airin mengangkat kedua tangannya. Ia menggeleng tak percaya.

Saat Airin menangis dan memejamkan mata, bumi dan isinya berhenti bergerak. Kemu-dian bumi berotasi berbalik arah dengan sangat cepat, begitu juga semua isinya, berjalan mun-dur. Air mata kembali ke pelupuk, goresan luka menghilang, dan jiwa-jiwa yang telah tertiup, kembali lagi ke alam ruh, begitu pula jiwa-jiwa yang telah hilang, kembali ke dalam raga.

Mata Airin masih tetap sembab, masih tetap menangis. Namun, saat ini, ia menangis

karena mendengar suara ayahnya yang meneri-aki ibunya, dan suara piring-piring yang pecah. Ia sedang menangis di kamarnya, di depan cer-min lemarinya. Tangisnya ini adalah tangis enam tahun yang lalu. Tangis yang menyebabkan ia kabur dari rumah.

Airin ingat, ini adalah September 2007 dan ini sangat nyata. Enam tahun sudah. Airin merasa pusing, kepalanya terasa sangat sakit. Da-rah mengalir dari hidungnya. Ia melihat dirinya sendiri di cermin. Beberapa detik kemudian tu-buhnya tersungkur ke lantai, Airin tak sadarkan diri.

• • BERSAMBUNG • •

F R A G M E N : M O M E N T U M

Saat Airin menangis dan meme-jamkan mata, bumi dan isinya berhenti bergerak.

Page 12: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

10 akar. oktober 2013

teroka

Gambar: https://typhoon-production.s3.amazonaws.com/uploads/image_attachment/image_attachment/1036/map_tokyo.png

DUNIA SEMPIT!N U G I W I C A K S O N O

Wuih! Lihat peta kereta yang mengular ini? Cabangnya menjurus ke berbagai arah, berbagai tujuan, berbagai tempat sehingga menjangkau seluruh kota (Tokyo). Li-hat juga warnanya yang mengesankan! Berbeda satu dengan yang lain. Namun betapa jalur-jalur itu pada akhirnya—pada beberapa titik—bertemu, bersua, hing-ga mencapai titik pisah menuju stasiun terakhir masing-masing.

Lalu betapa masinis-masinis itu, dengan rasa percaya diri mereka, bagai robot mengendalikan kereta-kereta itu pada jalurnya, namun beberapa dari mereka menyadari bahwa jalurnya akan bertemu dengan jalur yang lain, sementara yang lain tidak menyadari hal itu dan terus mengemudi hingga tujuan akhir.

Page 13: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 11

Lihat baik-baik pada jalur-jalur itu. Ada mereka yang bertautan berdua namun tidak sanggup mencapai tujuan akhir bersama-sama, ada mereka yang bertautan berdua dalam beberapa saat namun ditautkan dengan jalur lain bertiga, hingga ada jalur yang mendekati akhir perjalanannya ditemani bersama-sama dengan jalur yang lain. Romantis, bukan? (terkekeh sejenak). Namun di sisi lain ada juga jalur yang sendiri, menghubungkan yang satu dengan yang lain.

------------------------------------Trus, kau dan aku?---------------------------------

Demikian adanya hingga muncul pikiran, (tidak) heran ketika menemukan ban-yak titik taut antar satu manusia dengan yang lainnya di bumi.

Dunia yang menyempit adalah sebuah keniscayaan di masa-masa ini. Apakah nan-ti, di tengah ruwet dan njelimetnya hidup, kita masih sempat beriringan? Apakah mungkin… Suatu hari kita akan menjauh dan tidak bertemu lagi di tujuan akhir kita? Apakah mungkin diantara jalur kita yang berjauhan, kita akan dipertemukan pada satu titik, hingga berjalan beriringan? Atau malah kita akan bertemu di satu titik, tapi pada akhirnya tak sanggup untuk mencapai jalur yang (akan) kau lalui?

Kesimpulannya hanya satu: hidupku dan hidupmu (semua) bagai hidup kereta-kereta ini; mereka saling berhubungan. • • •

T E R O K A

Page 14: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

12 akar. oktober 2013

Lantai dua puluh. Terdengar suara gurat pena pada serat kertas putih dan dentum stempel berlogo peru-

sahaan ternama pada lembar demi lembarnya. Jika orang lain masih membayangkan bagaimana rasanya memiliki segalanya, aku telah memiliki segalanya.

Vincent Lloyd, Ltd. Jika ada orang yang tak pernah mendengarnya mungkin mereka hidup di bagian Negara termiskin di dunia. Sedikitnya 95 anak perusahaan yang bergerak dalam skala internasional berada dalam geng-gamanku.

* * *

Manusia datang untuk menaklukkan bumi. Aku meyakini bahwa aku bukanlah satu-satunya manusia yang hidup dengan filosofi

demikian. Bahkan, beberapa meyakini bahwa manusia memang dititahkan untuk menjadi penguasa atas segala yang ada di bumi.

Dua puluh tahun membangun semua ini. Aku bergegas dengan kecepatan penuh. Waktu tak pernah bisa menunggu. Hidup di bumi ada-lah tentang menentukan apa yang akan kita tak-lukkan hari ini dan menstrategikan bagaimana cara menaklukkannya esok hari.

“Bos, buruh di cabang perusahaan kita di Indonesia besok akan melakukan aksi mogok. Kita harus apa?” seorang bawahanku tiba-tiba datang ke ruangan kerja sambil tergopoh-gopoh.

“Sudah saya perhitungkan. Biarkan mere-ka mogok sehari, kemudian naikkan gaji mereka untuk perbaiki citra perusahaan kita. Kita tak-kan rugi. Lagipula, sejumlah kenaikan gaji itu adalah tunjangan yang memang sudah kita ta-han dan perhitungkan untuk menghadapi situasi semacam ini,” kataku dingin.

Gambar: http://www.vincentlloyd.co.uk/

TERRAA L L D O F E L L I X J A N U A R D Y

( F H U I 2 0 0 9 )

T E R O K A

Page 15: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 13

“Bagaimana kalau mereka sadar dan men-untut lagi, Bos?” bawahanku melanjutkan den-gan kalimat yang ragu. Dalam batinnya mung-kin sedang terjadi pertentangan. Tetapi, bumi takkan ditaklukkan oleh peragu. Setidaknya itulah alasan mengapa ia jadi bawahan dan aku duduk di kursi ini.

“Kalau mereka berani melakukan itu, media massa akan merasa itu tindakan irasional dan berbalik mendukung kita. Masyarakat juga tak simpatik dengan gerakan buruh. Takkan ada yang peduli, citra perusahaan kita akan segera naik. Maka, lakukan saja,” tutupku sambil berge-gas menelepon sopir yang akan menunggu di bawah untuk menjemputku.

* * *

“Tunggu,” kata dari bibir tipis seorang perempuan memotong bayanganku. Suara da-tang dari masa lalu.

“Tunggu? Tak ada orang yang bisa men-unggu,” jawabku seperti biasa. Dengan terburu-buru. Ini seperti sebuah prinsip yang tak bisa aku langgar.

“Untuk saat ini, bisa,” jawabnya sambil tersenyum manis dengan nada yakin.

Sepuluh tahun berada dalam pernikahan ini dan aku selalu kalah. Aku batalkan semua misi penaklukkanku untuk duduk sekadar ber-bicara menyeruput kopi dengan kue-kue. Meng-habiskan waktu, tak berpikir tentang menakluk-kan apa dan bagaimana cara melakukannya.

Sejak ia datang, semua hal yang tadinya berjalan begitu cepat seketika menjadi lambat.

Aku memperhatikan apa yang terjadi di seki-tarku. Aku tak lagi mengejar-ngejar cahaya yang seolah selalu ada di depan mataku. Cahaya itu ada disampingku.

Sekali dalam hidup rasanya aku tak in-gin menaklukkan apa-apa atau siapa-siapa. Aku hanya ingin berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada.

* * *

“Namaku Terra, artinya bumi,” suara dari kenangan membawaku beranjak lebih lalu.

“Namaku Vincent, artinya sang penakluk. Mungkin berikutnya aku akan menaklukkanmu, bumi, sebagaimana biasanya aku lakukan,” tan-dasku dengan nada bercanda meski aku yakin bahwa semua orang tau aku tak pernah bercanda.

* * *

“Warna bumi,” adalah kalimat yang kuucap dengan lembut ketika dahulu aku yak-in bahwa aku telah menemukan bumi dengan filosofi yang lain.

“Apa?” jawabnya dengan tersenyum. Ia memang selalu tersenyum.

“Matamu.”Tak pernah sekali dalam hidupku men-

coba bersikap sebagai seorang yang romantis.“Menurutmu bumi berwarna coklat?”

tanyanya.“Bumi adalah tempat kehidupan beru-

lang. Sebagaimana semua yang lahir akan mati. Aku ingin mengulang hidup; lahir dan mati

T E R O K A

Page 16: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

14 akar. oktober 2013

dalam tatapan matamu.”Sepuluh tahun kemudian mungkin aku

akan menyesali dengan apa yang aku katakan. Aku mengubah filosofi bumi hanya karena ingin hidup selamanya bersama dengan orang yang memperlambat ritmeku. Membuatku menikma-ti hidup di bumi dengan filosofi yang berbeda.

Terra terkekeh dan mencoba melanjutkan kalimat, “Katamu bumi adalah tentang penak-lukkan?”

Ada yang tak pernah ingin kulewatkan meski hanya dalam sepersepuluh detik kedipan mata: tatap mata kita yang saling bertemu.

Tatap mata yang membuatku hidup di bumi dengan cara yang semestinya.

* * *

“Bos, kita sudah sampai tujuan,” suara berat laki-laki berseragam Vincent Lloyd Ltd. memotong kenangan-kenangan yang sempat lewat.

Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk mengubah kembali filosofi hidup kita. Aku kembali pada titik nol. Maka, aku bergegas keluar untuk menaklukkan sesuatu.

* * *Mimpi.Wajah dari masa lalu.Terulang lagi.

* * *Bumi adalah tempat kehidupan berulang.

Tapi, tak lagi untuk mereka yang telah abadi.

Lalu, apa yang sesungguhnya se-dang aku cari?

Terra telah memeluk bumi.

* * *

“Kalau kita perkarakan tanah di wilayah ini untuk membangun proyek kita, 937 orang pedagang akan kehilangan pekerjaan, Bos. Apa-kah kita harus lanjut?”

“Gusur saja. Itu tanggung jawab pemerin-tah, bukan kita.”

Tugas kita adalah menaklukkan bumi;Jika tak ada yang membuat kita ber-henti.

* * *

Selasa, 15 Oktober 2013.

Bumi adalah tentang menghidupi hidup; pertandingan antara filsuf penakluk dan filsuf pencinta. • • •

T E R O K A

Page 17: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 15

matra

Gambar: Dwas Syahbanu

Page 18: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

16 akar. oktober 2013

pardika

Pohon dahan rumput bunga dedaunan akar: matiHarimau badak burung gajah ikan manusia: punahHujan semi kemarau gugur panas dingin sepi riuh: hilang

“Di bumi ini engkau akan temukan segala. Dengan kerumitan dan kesederhanaan, dengan kekerasan dan kelembutan, dengan hidup dan mati, dengan bukit kota desa hutan yang kau jalani hidup: hatimu ada di bumi. Jadi kenapa engkau tidak memiliki welas asih menjaga segalanya itu. Betapapun kau lihat bumi adalah segalanya, bila tak bijak dalam menikmati, kelak akan purba juga.”

Kemarin, siut angin mulai dingin dan hilang berganti ricuhKemarin, gunung kehilangan terjal terkeruk gigi besi dan menjadi landaiKemarin, air tak lagi gemericik tersumbat limbah dan sampahKemarin, api tak ditemani jilatnya lalu kehilangan panasnya

Esok, cakrawala tak berjarak dan horizon tampak di depan mataEsok, matahari terbit dari barat, senja kabur ke timurEsok, di matamu tak ada lagi matahari yang bisa kutengok, gelap disekap timbunan tanah

Hari ini, bumi memahat nisan, memilih dikebumikan di antara alam semestaHari ini, kita lupa bahwa segalanya akan sepi dan kembaliHari ini, kita lengah menghadapi hutan laut dan tanah yang jengah pada perilaku manusia

Pohon dahan rumput bunga dedaunan akar Harimau badak burung gajah ikan manusia Hujan semi kemarau gugur panas dingin sepi riuh

: Mereka bersalawat mencari selamat

HILANG

‘ I J O N K ’ M U H A M M A D A D I N U G R O H O( F I B U I 2 0 0 7 )

Page 19: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 17

plot

“Percayakah kamu akan Adam dan Hawa?” tanya Helena Antrowardoyo dari atas kursi

goyang rotan beralaskan bantal kapuk yang se-daritadi berayun melintasi titik tumpunya.

Siang itu terik matahari seakan memba-kar sampai ke ubun-ubun. Barometer dalam arloji keluaran Perancis yang menempel di pergelangan tangan kiriku menunjukan angka 40 derajat Celcius. Udara di tempat ini memang begitu panas. Sangat panas hingga kuyakin tak satu turis skandinavia pun mampu bertahan lama berlibur disini.

Di tengah terik matahari itu, aku duduk menyeruput jus sunkist sambil mengobrol den-gan nenek di teras. Ini adalah hari-hari yang san-gat jarang, untuk pertama kalinya dalam bebera-pa tahun terakhir aku berkunjung ke rumahnya.

“Adam dan Hawa? Tentu aku percaya. Bu-kankah agama kita memang mengajarkan adan-ya mereka? Bahkan seluruh agama Samawi pun mengakui keberadaannya,” jawabku agak tidak bersemangat.

“Benarkah?” balasnya menantang.Nenekku memang begitu. Dulunya dia

adalah dosen ilmu filsafat di salah satu univer-sitas di Indonesia. Setiap perbincangan dengan-

nya selalu bermakna dalam, meskipun biasanya dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas. Seperti yang baru saja dilontarkan.

Ia melanjutkan pertanyaannya, “Kalau begitu, percayakah kamu akan teori evolusi Dar-win?” tanyanya lagi.

Kali ini aku langsung menjawab, “Aku tidak percaya pada evolusi. Meskipun para il-muwan itu bilang telah ditemukan bukti fosil dan ilmiah yang sangat sesuai, aku tetap tidak percaya. Aku yakin itu hanya bualan konspirasi untuk meninggikan Britania di ranah sains; di mana status tinggi di ranah sains selalu menem-patkan negara dalam posisi politik yang kuat. Sama seperti ketika Edison menemukan lampu, atau ketika Ford menemukan mobil dulu,”

Entah mengapa nenek terlihat puas mendengar jawaban dariku. Senyum bulan sa-bit terbalik menyungging diantara lesung pipi yang mulai tertutup rona hitam dan keriput tua. Saat-saat seperti inilah yang membuatku tegang setengah mati. Nenek selalu memiliki makna dibalik pertanda kecilnya, termasuk dalam se-nyum manis yang baru saja dia berikan.

“Bagaimana dengan bumi? Apakah kamu percaya kalau bumi adalah pencipta?” pertan-yaan kembali terlontar oleh wanita berusia 64

RISALAH PENCIPTAANY A S S E R M A N D E L A

Page 20: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

18 akar. oktober 2013

tahun itu. Matanya berbinar terang ketika me-nanyakan pertanyaan ketiganya tersebut.

“Tidak. Aku tidak percaya. Bumi han-yalah salah satu ciptaan dari sang pencipta yang sesungguhnya, Tuhan Yang Maha Esa,” kali ini aku menjawab dengan sangat mantap, 100% yakin dengan jawabanku barusan.

“Benarkah?” tantangnya, “Kalau begitu bagaimana dengan tanah beserta segala unsurn-ya. Laut beserta garam, minyak, dan segala zat kimia didalamnya. Atmosfer beserta awan, ozon, dan segala unsur alamiah disekelilingnya? Apa-kah kamu akan bilang kalau itu semua ciptaan dari ciptaan yang diciptakan sang pencipta?” lan-jutnya bertubi-tubi.

Kali ini aku diam. Pembeberan bukti dari nenek tentang bumi sebagai pencipta begitu telak menggulingkan segala argumenku. Tak ada sedikitpun dari ucapannya yang dapat kulawan. Hingga akhirnya nenek kembali menunjukan senyumannya sembari mencoba berdiri menuju taman bougenville yang berada tepat di depan teras rumah.

Sambil memetik bunga bougenville ber-

warna ungu, nenek mulai menjelaskan pertan-yaan demi pertanyaan yang baru saja dia tan-yakan, “Adam, menurut kamu mengapa nenek tanyakan tentang Adam, si manusia pertama, hawa, evolusi, dan bumi?”

Hanya setiap nenek mulai menuju akhir penjelasan setiap ceritanya lah dia menyebut namaku (yang kebetulan bernama sama dengan manusia pertama). “Seperti biasanya, aku sama sekali tidak tahu, nek,” jawabku.

“Layaknya sebuah puzzle, kita hanya tinggal menyusun keping demi keping informasi tentang kehidupan yang telah terkuak. Adam dan Hawa adalah mula, evolusi adalah paradoks, dan bumi adalah nyata,” Nenek mulai menjelas-kan. Ia sudah kembali duduk di kursi goyangnya.

“Jangan melihat suatu masalah setengah-setengah, cobalah liat secara menyeluruh, secara holistik,” lanjutnya, “Aku sendiri selalu percaya akan keberadaan Adam dan Hawa, mereka berd-ualah awal dari segalanya. Sebab setiap yang ada di dunia ini pasti memiliki awal. Hanya Tuhan pemilik semestalah yang memang sepantasnya tidak dipertanyakan awalnya. Sebab Dialah pu-sat dari segalanya.”

“Bagaimana kalau kukatakan evolusi Dar-win juga benar? Kalau ternyata evolusi memang benar terjadi, namun tidak pada spesies kita, anak Adam, atau yang biasa disebut Bani Adam? Tapi evolusi terjadi pada spesies lain yang me-miliki bentuk mirip dengan manusia modern. Meganthropus atau Pithecantropus mungkin, atau mungkin juga kera. Aku selalu percaya, Adam memang turun ke bumi dari Surga dan dia berbeda dengan makhluk purba itu. Hanya

P L O T : R I S A L A H P E N C I P T A A N

“Layaknya sebuah puzzle, kita hanya tinggal menyusun keping demi kep-ing informasi tentang kehidupan yang telah terkuak. Adam dan Hawa adalah mula, evolusi adalah paradoks, dan bumi adalah nyata,”

Page 21: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

oktober 2013 akar. 19

kita tidak tahu kapan sebenarnya dia turun. Apakah sebelum kehadiran makhluk purba itu, sesudahnya, atau malah bersamaan. Kita hanya bisa menerka, karena hanya Tuhan yang tahu jawabnya,” lanjutnya.

Aku kembali terdiam. Memikirkan kata demi kata yang baru saja keluar. Belum sempat otakku jernih mengolah semua, nenek kembali melanjutkan ceritanya.

“Lalu bumi. Bagiku bumi adalah wahana, bukan pencipta. Bumi hanyalah tempat serba ada yang disiapkan Tuhan untuk Adam, ketu-runannya, dan segala makhluk lain yang dicip-takannya. Bukankah ketika kita menciptakan mesin motor, kita juga membutuhkan bengkel, perkakas, onderdil, perusahaan, dan pasar se-bagai media agar mesin motor itu bermanfaat? Begitu juga bumi, ia berperan sebagai wahana lengkap bagi segala yang dibutuhkan manusia sebelum menghadap Sang Mahakuasa,” Nenek mengakhiri penjelasannya tentang bumi. Kali ini sambil mengambil gelas berisi teh hijau di meja kayu sebelahnya.

“Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah diantara ketiga komponen tadi: Adam-Hawa, evolusi, dan bumi, hanya tinggal bumi sebagai komponen penciptaan yang masih terlihat je-las secara nyata. Jagalah dia, rawatlah dia, dan rindangkanlah dia. Sebab itu sedikit usaha yang dapat kita lakukan untuk melestarikan secara baik media dimana moyang kita pertama kali diturunkan. Setidak-tidaknya hingga Tuhan me-mutuskan kalau umur bumi telah habis, ketika tiupan sangkakala bergemuruh menghancurkan-nya,” tutup nenek.

Perbincangan hari itu berakhir dengan aku yang diam sambil memandang ke arah ta-man bougenville. Aku tak pernah sepenuhnya yakin akan cerita-cerita nenek. Aku percaya pada hakikatnya setiap manusia itu hidup untuk ber-pikir dan memberi jawaban (yang kalau tidak salah para aktivis itu bilang dengan sebutan ‘kri-tis’). Aku hanya menjadikan cerita-cerita nenek sebagai sarana pembelajaran untuk mencari kebenaran hakiki. Bukankah hidup itu tentang bagaimana kita belajar?

Hari ini aku sadar, nenekku adalah satu dari sedikit orang dengan keimanan dan ket-eguhan hati yang tinggi, namun mampu me-mandang suatu hal secara menyeluruh dan berpikir secara jernih. Beliau adalah panutanku —mungkin juga panutan rekan kerja dan maha-siswanya dulu—dalam berpikir kritis.

Ah, tampaknya aku secara tidak sadar mulai memuja Soe Hok Gie. Dia pernah bi-lang, kalau tak ada yang lebih puitis dari bicara soal kebenaran, dan memang tak ada yang lebih luar biasa dibanding bicara soal kebenaran yang hakiki. Kebenaran hasil pemikiran pemikiran yang diambil hasil dari melihat berbagai sisi. Ke-benaran hasil pemikiran layaknya Helena Antro-wardoyo, nenekku.

Aku percaya pada hakikatnya setiap manusia itu hidup untuk berpikir dan memberi jawaban...

P L O T : R I S A L A H P E N C I P T A A N

Page 22: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

20 akar. oktober 2013

Hari ini juga aku sadar, kalau bumi seba-gai—yang disebut nenekku—wahana Sang Pen-cipta dibuat agar kita dapat mengamalkan kebai-kan dan keikhlasan dalam beribadah kepadaNya. Bukan memberikan kerugian kepada sesama dan menyekutukanNya.

Tak perlu bicara soal kampanye ‘go green’ yang dicetuskan bangsa-bangsa Eropa jika me-mang beberapa dari kita merasa itu hanya bua-lan konspirasi––hanya usaha mereka untuk menancapkan pengaruh di negara dunia ke-3. Kita hanya perlu cukup percaya bahwa bumi ad-lah rumah kita, tempat kita mengakselerasi diri menuju tempat hakiki di keabadian.

Sebab bumi hanyalah wahana, sedangkan kita adalah pelakonnya. • • •

P L O T : R I S A L A H P E N C I P T A A N

Page 23: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)

september 2013 akar. 21

pukau

Page 24: Akar Edisi 2 (Oktober 2013)