akar teori wilayat al faqih

10
I. Pendahuluan Menurut Faham Islam Syi‟ah Pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang- undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan. Karena tujuan daripada undang-undang tersebut adalah mengantarkan masyarakat manusia kepada kesempurnaan (Allah), maka wali al-faqih haruslah memiliki kesempurnaan maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah orang yang paling dekat kepada Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as. Inilah makna daripada wali. Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan akal, merupakan keniscayaan dan keharusan. II. Sejarah Perkembangan Politik Syi’ah Persatuan dan persaudaraan bagi ummat muslim sejak zaman Rasulullah SAW., mulai terusik dan goyah terutama sejak berakhirnya kepemimpinan Khalifah ketiga „Utsman bin Affan, penyebab goyahnya persatuan kaum muslimin pada saat itu dimulai dari pertikaian politik bercorak keagamaan diantara kelompok-kelompok muslimin yang sedang bersaing. Peristiwa tersebut merupakan awal masa desintergasi yang dalam perkembangan selanjutnya terutama setelah terbunuhnya Khalifah „Utsman bin Affan, merupakan pendorong lahirnya sekte-sekte dalam Islam yang memiliki doktrin sendiri-sendiri dan ajaran yang berbeda pula. 1 Kambuhnya semangat fanatisme golongan di satu pihak dan munculnya sikap kultus terhadap diri „Ali bin Abi Thalib dan Ahlul bait, tampakya sangat berpengaruh 1 Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: Rajawali Press, 2002) hal. 02

Upload: abumeisha

Post on 23-Jun-2015

184 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Menurut Faham Islam Syi’ah Pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan.

TRANSCRIPT

Page 1: Akar Teori Wilayat Al Faqih

I. Pendahuluan

Menurut Faham Islam Syi‟ah Pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang

Ilahi, maka adalah niscaya berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping

undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan

sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-

undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam

masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya

berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada

penyelewengan.

Karena tujuan daripada undang-undang tersebut adalah mengantarkan masyarakat

manusia kepada kesempurnaan (Allah), maka wali al-faqih haruslah memiliki

kesempurnaan maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah orang yang paling dekat

kepada Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as. Inilah makna daripada wali.

Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan akal, merupakan keniscayaan dan

keharusan.

II. Sejarah Perkembangan Politik Syi’ah

Persatuan dan persaudaraan bagi ummat muslim sejak zaman Rasulullah SAW., mulai

terusik dan goyah terutama sejak berakhirnya kepemimpinan Khalifah ketiga „Utsman bin

Affan, penyebab goyahnya persatuan kaum muslimin pada saat itu dimulai dari pertikaian

politik bercorak keagamaan diantara kelompok-kelompok muslimin yang sedang bersaing.

Peristiwa tersebut merupakan awal masa desintergasi yang dalam perkembangan

selanjutnya terutama setelah terbunuhnya Khalifah „Utsman bin Affan, merupakan

pendorong lahirnya sekte-sekte dalam Islam yang memiliki doktrin sendiri-sendiri dan

ajaran yang berbeda pula.1

Kambuhnya semangat fanatisme golongan di satu pihak dan munculnya sikap kultus

individu terhadap diri „Ali bin Abi Thalib dan Ahlul bait, tampakya sangat berpengaruh

1 Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: Rajawali

Press, 2002) hal. 02

Page 2: Akar Teori Wilayat Al Faqih

1

terhadap lahirnya doktrin teologi kaum syi‟ah dalam perjalanan sejarahnya. Kekalahan

mereka dalam bidang politik dan militer selama pemerintahan dinasti Umayyah dan

Abbasiyah, yang menyebabkan banyak di antara imam mereka menjadi korban politik

merupakan faktor penting lahirnya ide atau mitos tentang datangnya Al Mahdi sebagai

juru selamat mereka suatu saat nanti.2

Faham tentang akan datangnya Al Mahdi sebagai juru selamat bermula muncul di

kalanga Syi’ah Kaisaniyyah, dan sekte Syi‟ah yang paling terkenal pemahaman mereka

tentang Al Mahdi ini adalah mereka yang berasal dari Syi’ah Al Imamiyah dan merekapun

terbagi dua yaitu Saba‟iyah dan Itsna Asyariyah, pemehaman kedua kelompok dari Syi’ah

Imamiyah ini sangat berbeda dalam menentukan siapa Imam yang sebenarnya mereka

anggap sebagai juru selamat yang akan datang pada saat yang telah ditentukan.

Kelompok yang penulis sebutkan pertama menganggap bahwa Musa Al Kadzim bin Ja‟far

Shadiq tidak meninggal dan tetap hidup sebagai juru selamat mereka sehingga sekte ini

diberi nama Saba‟iyah (Ketujuh) dikarenakan Musa Al Kadzim sendiri adalah Imam Ketujuh

dari Faham Syi’ah Al imamiyah.3

Sedangkan kelompok Itsna Asyariyah adalah kelompok yang berpendapat bahwa

Musa Al Kadzim memang telah meninggal, kelompok ini juga disebut Al Qath‟iyyah.

Menurut mereka Imamah berpindah dari Musa Al Kadzim kepada putranya Ali Ridha yang

terbunuh di Thus, kemudian Ali Ridha digantikan oleh Muhammad Attaqi Al Jawwad bin

Ali Ridha dan digantikan oleh Ali Hadi bin Muhammad Jawwad dan digantikan oleh Hasan

Askari bin Ali Hadi dan ketika dia meninggal digantikan oleh putranya sebagai Imam

kedua belas, yang menghilang pada umurnya yang masih kanak-kanak dan akan kembali

sebagai juru penyelamat menurut pemahaman kelompok ini.4

2 Ibid.

3 Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006). Hal. 148

4 Ibid.

Page 3: Akar Teori Wilayat Al Faqih

2

Kelompok ini lebih luas pengaruhnya dibanding kelompok-kelompok syi‟ah lainnya,

mayoritas pengikut kelompok ini tinggal di Iran dan Iraq. Aliran ini didirikan setelah abad 3

H., dan sebagian ulama berpendapat bahwa kelompok ini lahir setelah menghilangnya

Muhammad Al Mahdi bin Hasan Al Askari.

III. Imamah dalam Pemahaman Syi’ah

Imamah dalam ajaran Syi‟ah sendiri sangat fundamental terutama bagi Syi’ah Itsna

Asyariyah, masalah keimaman mereka pandang sebagai dasar agama dan mereka

menganggap bahwa Imam merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT., kepada

hambanya dan mereka yakin bahwa Allah SWT., tidak akan mengosongkan ummat Islam

tanpa adanya Imam.5

Keimaman Syi‟ah didasarkan pada hadits Ghadir Khum yang diyakini sebagai hadits

mutawatir. Di Ghadir Khum inilah Rasulullah SAW., sepulangnya dari menunaikan haji di

hadapan para sahabat beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al

Kabir:

أللهم من آمن بى وصدقىن فليتىل على ابن أبى طالب فإن واليته واليىت وواليىت والية اهلل تعاىل

Ya Allah! Barang siapa yang beriman kepadaku dan membenarkan aku, hendaknya ia

menjadikan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya

kepemimpinannya adalah kepemimpinanku dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan

Allah SWT.

Dengan nas semacam ini, maka keimaman itu diberikan secara berkesinambungan

dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karena itu keimaman itu tidak akan

keluar dari keturunan Ahlul Bait.6

5 Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: Rajawali

Press, 2002) Hal. 43

6 Ibid.

Page 4: Akar Teori Wilayat Al Faqih

3

Tradisi keimaman Syi’ah Itsna Asyariyah ini rupanya masih berjalan sampai saat ini,

terutama dalam menjalankan tugas seorang imam perlu diangkatnya seorang mandataris

imam selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade terakhir

dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumeini, menurut pendapatnya ajaran para imam

adalah sejajar dengan Al Qur‟an yang wajib ditaati dan dilaksanakan, dan selama Al Mahdi

belum muncul maka kedudukan diwakili oleh seorang mandataris imam yang berhak

mengemban tugas sebagai imam.7

IV. Corak Teologi Khomeini

Imam Khomeini, lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan pernah

tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi menyelesaikan

pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam (fiqih)

memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang spektakuler.

Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar

Revolusi”.8 Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah

menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil” (just jurist),

atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng Islam”. Dalam konteks

revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa ‟80-an, Imam Khomeini menyerukan

agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam, “memperhatikan keadaan negara sebagaimana

kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah

buku kritik yang sangat tajam terhadap rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada

tahun 1940-an, dalam bukunya “Kasyful Asrar” (“Menyingkap Rahasia”, yaitu keadaan yang

tidak disadari masyarakat umumnya). Syi‟ah sendiri adalah suatu mazhab yang

meneruskan tradisi Mu‟tazilah di abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul

tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan keadilan adalah

dua sisi dari mata uang yang sama. Keadilan bersumber dari tauhid dan tauhid yang

7 Ibid

8 Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)

Page 5: Akar Teori Wilayat Al Faqih

4

merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min al Allah) diwujudkan dalam

keadilan dalam hubungan antar sesama manusia (hablun min al naas).9

Memperhatikan keadaan negara mengisyaratkan agar kaum fuqaha ikut

bertanggung-jawab dalam mengurus masalah negara dan pemerintahan. Dalam doktrin

Islam Syi‟ah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam yang 12. Imam

yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai Imam Mahdi. Tapi selama

Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus tampil mengambil alih

kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan kontemporer, yaitu kaum fuqaha, adalah

wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas dasar kepercayaan itu, maka Imam

Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih” yang menjadi garda terhadap hukum

Islam. Konsep inilah yang menimbulkan kharisma terhadap kaum fuqaha yang diwakili

oleh Imam Khomeini. Agaknya Imam Khomeini menyadari kepemimpinan semacam itu,

yaitu kepemimpinan itu bisa hilang setelah ia meninggal. Karena itu, maka kharisma

kemimpinan atau Imamah itu dilembagakannya dalam konsep Wilayah al-Faqih, sehingga

keimaman itu dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu. Sementara itu kefuqahaan itu

dibibitkan dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu lembaga pendidikan dan

penelitian sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci Qom Iran atau Najef Iraq,

di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan.10

Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau

hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus juga ahli d bidang-bidang

lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Ayatullah Rafsanjani umpamanya, adalah

juga seorang ahli ekonomi yang piawai.11 Demikian pula ulama ahli tafsir besar Tabataba‟i

yang menulis buku mengenai sistem ekonomi Islam. Sedangkan Ayatullah Murtadha

Mutahhari adalah juga ahili sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial yang sangat produktif

9. Ibid

10 Ibid.

11 Khomeini, Imam., Al Hukumah Al Islamiyah, (Malaysia: ABIM, 1983)

Page 6: Akar Teori Wilayat Al Faqih

5

menulis buku di berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan dan diterbitkan di

Indonesia.

Sejalan dengan pemikiran itu, maka Imam Khomeini sangat menentang sekularisme

yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan ini tidak semata-mata

bersifat normatif, tetapi juga empiris, sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan

revolusioner Iran. Dalam penjelasannya sendiri.12

Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan, patriotisme adminstrasi

keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada

pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum

imperialis merusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara

antara agama dan pemerintahan dan politik.13

Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk

menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh

negara dan pemerintahan yang adil.14 Dalam menentang rezim dinasti Syah Iran, berbagai

kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok sosialis atau Marxis dan terakhir

kelompok nasionalis yang dipimpin oleh pemimpin legendaris yang berani menentang

imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama adalah

satu-satunya suara oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam Khomeini

adalah satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam ideologi yang

secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu didasarkannya

pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang menentang kepemimpinan

tradisional yaitu sistem dinanti.

12. Ibid. 13

Ibid. 14

Ali Al Amin, Wilayat Al Daulah Daulat Al Faqih, (Hayya Bina)

Page 7: Akar Teori Wilayat Al Faqih

6

Imam Khomeini memang menduduki posisi yang dominan sebagai pemipin

kharismatis, meminjam konsep Weber yang berbeda dengan kepemimpinan tradisional di

satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi sebenarnya ia tidak sendirian

dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya ada dua kelompok pemimpin yang

mengakumulasi proses revolusi Islam Iran. Pertama adalah kelompok ulama atau fukaha

dan filsuf. Selain Khomeini, terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain, seperti Morteza

Muttahari, Ayatullah Madari, Ayatullah Ni‟matullah Salihi dan Ayatullah Talegani untuk

mengambil sebagian yang terkemuka. Muttahari banyak melakukan pendekatan

kesejaharan dan kemasyarakatan, sedangkan ketiga ayatullah lainnya punya konsep yang

berbeda tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan demokrasi. Kedua, adalah

kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh Ali Syari‟ati, Dr. Mehdi

Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari‟ati sendiri menentang konsep dominasi kaum fuqaha,

sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran Islam dengan baik,

bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang menyebabkan kemunduran

Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya, apalagi dalam masyarakat

modern. Ali Syari‟ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa yang disebutnya

cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini bukan hanya berasal dari

cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari ulama, sebagai contohnya

Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang tidak saja menguasai teologi tetapi

juga filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan sejarah.15

Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang al-

Qur‟an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak

memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya rakyat itu

sudah punya UU dasar, yaitu al Qur‟an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini bukan berarti

parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan peraturan-

15 Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)

Page 8: Akar Teori Wilayat Al Faqih

7

peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan tugas kepada eksekutif. Namun

pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum fuqaha.

V. Syarat Wali Al Faqih

Ketika pemerintahan Islam adalah pengaturan Ilahi, yakni pemerintahan Islam adalah

untuk melaksanakan undang-undang dan mengamalkan keadilan Ilahi di tengah-tengah

masyarakat, maka wali al-faqih haruslah memiliki dua sifat dasar. Keduanya merupakan

dasar pemerintahan undang-undang yang tanpanya, menurut akal, pemerintahan Islam

tidak akan terbentuk. Keduanya adalah: pertama, ilmu terhadap undang-undang tersebut,

dan, kedua, keadilan ('adalah). Tentunya, ilmu tersebut dalam artian yang luas, yang

mencakup permasalahan:

1. Kifayah (memenuhi standar kepemimpinan, leadership).

2. Shalahiyat (berkelayakan untuk memimpin).

Hal itu tidak mungkin ditinggalkan bagi seorang hakim, sehingga dapat dijadikan

kriteria ketiga bagi pemimpin. Tentunya, pemimpin dalam artian adil juga mencakup hal

yang positif dalam artian akal, seperti berani, melaksanakan tradisi dan perundangan

agama, atau keluarnya sifat-sifat negatif akhlak, seperti bakhil dan menerima raswah

(sogok). Sebenarnya, dua dasar sifat tersebut telah merupakan hal yang musalam

(disepakati), yang sudah harus ada pada pemimpin Islam. Jadi, pemimpin Islam harus faqih

dan adil.16

16 Ibid

Page 9: Akar Teori Wilayat Al Faqih

8

VI. Penutup

Itulah konsep formal Ayatullah Khomeini. Tapi dalam pelaksanannya, Imam Khomeini

juga mengakomodasi pandangan Ali Syari‟ati yang berbeda itu. Buktinya ia memilih Dr.

Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Sementara yang dibentuknya

pada masa transisi. Ia kemudian merestui Bani Sadr sarjana ekonomi didikan Paris yang

berkecenderungan sosialis sebagai Presiden Iran nyang pertama, walaupun kemudian

digulingkannya sendiri. Tokoh cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya misalnya

adalah Sadeq Godzabeg dan Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang, walaupun

presidennya adalah ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-menteri dalam

kabinet adalah para cendekiawan Muslim didikan barat.

Page 10: Akar Teori Wilayat Al Faqih

9

DAFTAR PUSTAKA

Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta:

Rajawali Press, 2002)

Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006)

Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)

Ali Al Amin, Wilayat Al Daulah Daulat Al Faqih, (Hayya Bina)

Khomeini, Imam., Al Hukumah Al Islamiyah, (Malaysia: ABIM, 1983)