akar teori wilayat al faqih
DESCRIPTION
Menurut Faham Islam Syi’ah Pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan.TRANSCRIPT
![Page 1: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/1.jpg)
I. Pendahuluan
Menurut Faham Islam Syi‟ah Pemerintahan Islam adalah pemerintahan undang-undang
Ilahi, maka adalah niscaya berdasarkan akal, adanya seorang faqih dan adil, di samping
undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-
undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam
masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya
berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada
penyelewengan.
Karena tujuan daripada undang-undang tersebut adalah mengantarkan masyarakat
manusia kepada kesempurnaan (Allah), maka wali al-faqih haruslah memiliki
kesempurnaan maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah orang yang paling dekat
kepada Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as. Inilah makna daripada wali.
Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan akal, merupakan keniscayaan dan
keharusan.
II. Sejarah Perkembangan Politik Syi’ah
Persatuan dan persaudaraan bagi ummat muslim sejak zaman Rasulullah SAW., mulai
terusik dan goyah terutama sejak berakhirnya kepemimpinan Khalifah ketiga „Utsman bin
Affan, penyebab goyahnya persatuan kaum muslimin pada saat itu dimulai dari pertikaian
politik bercorak keagamaan diantara kelompok-kelompok muslimin yang sedang bersaing.
Peristiwa tersebut merupakan awal masa desintergasi yang dalam perkembangan
selanjutnya terutama setelah terbunuhnya Khalifah „Utsman bin Affan, merupakan
pendorong lahirnya sekte-sekte dalam Islam yang memiliki doktrin sendiri-sendiri dan
ajaran yang berbeda pula.1
Kambuhnya semangat fanatisme golongan di satu pihak dan munculnya sikap kultus
individu terhadap diri „Ali bin Abi Thalib dan Ahlul bait, tampakya sangat berpengaruh
1 Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: Rajawali
Press, 2002) hal. 02
![Page 2: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/2.jpg)
1
terhadap lahirnya doktrin teologi kaum syi‟ah dalam perjalanan sejarahnya. Kekalahan
mereka dalam bidang politik dan militer selama pemerintahan dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, yang menyebabkan banyak di antara imam mereka menjadi korban politik
merupakan faktor penting lahirnya ide atau mitos tentang datangnya Al Mahdi sebagai
juru selamat mereka suatu saat nanti.2
Faham tentang akan datangnya Al Mahdi sebagai juru selamat bermula muncul di
kalanga Syi’ah Kaisaniyyah, dan sekte Syi‟ah yang paling terkenal pemahaman mereka
tentang Al Mahdi ini adalah mereka yang berasal dari Syi’ah Al Imamiyah dan merekapun
terbagi dua yaitu Saba‟iyah dan Itsna Asyariyah, pemehaman kedua kelompok dari Syi’ah
Imamiyah ini sangat berbeda dalam menentukan siapa Imam yang sebenarnya mereka
anggap sebagai juru selamat yang akan datang pada saat yang telah ditentukan.
Kelompok yang penulis sebutkan pertama menganggap bahwa Musa Al Kadzim bin Ja‟far
Shadiq tidak meninggal dan tetap hidup sebagai juru selamat mereka sehingga sekte ini
diberi nama Saba‟iyah (Ketujuh) dikarenakan Musa Al Kadzim sendiri adalah Imam Ketujuh
dari Faham Syi’ah Al imamiyah.3
Sedangkan kelompok Itsna Asyariyah adalah kelompok yang berpendapat bahwa
Musa Al Kadzim memang telah meninggal, kelompok ini juga disebut Al Qath‟iyyah.
Menurut mereka Imamah berpindah dari Musa Al Kadzim kepada putranya Ali Ridha yang
terbunuh di Thus, kemudian Ali Ridha digantikan oleh Muhammad Attaqi Al Jawwad bin
Ali Ridha dan digantikan oleh Ali Hadi bin Muhammad Jawwad dan digantikan oleh Hasan
Askari bin Ali Hadi dan ketika dia meninggal digantikan oleh putranya sebagai Imam
kedua belas, yang menghilang pada umurnya yang masih kanak-kanak dan akan kembali
sebagai juru penyelamat menurut pemahaman kelompok ini.4
2 Ibid.
3 Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006). Hal. 148
4 Ibid.
![Page 3: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/3.jpg)
2
Kelompok ini lebih luas pengaruhnya dibanding kelompok-kelompok syi‟ah lainnya,
mayoritas pengikut kelompok ini tinggal di Iran dan Iraq. Aliran ini didirikan setelah abad 3
H., dan sebagian ulama berpendapat bahwa kelompok ini lahir setelah menghilangnya
Muhammad Al Mahdi bin Hasan Al Askari.
III. Imamah dalam Pemahaman Syi’ah
Imamah dalam ajaran Syi‟ah sendiri sangat fundamental terutama bagi Syi’ah Itsna
Asyariyah, masalah keimaman mereka pandang sebagai dasar agama dan mereka
menganggap bahwa Imam merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT., kepada
hambanya dan mereka yakin bahwa Allah SWT., tidak akan mengosongkan ummat Islam
tanpa adanya Imam.5
Keimaman Syi‟ah didasarkan pada hadits Ghadir Khum yang diyakini sebagai hadits
mutawatir. Di Ghadir Khum inilah Rasulullah SAW., sepulangnya dari menunaikan haji di
hadapan para sahabat beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al
Kabir:
أللهم من آمن بى وصدقىن فليتىل على ابن أبى طالب فإن واليته واليىت وواليىت والية اهلل تعاىل
Ya Allah! Barang siapa yang beriman kepadaku dan membenarkan aku, hendaknya ia
menjadikan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya
kepemimpinannya adalah kepemimpinanku dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan
Allah SWT.
Dengan nas semacam ini, maka keimaman itu diberikan secara berkesinambungan
dari imam yang satu kepada imam yang lain, dan oleh karena itu keimaman itu tidak akan
keluar dari keturunan Ahlul Bait.6
5 Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: Rajawali
Press, 2002) Hal. 43
6 Ibid.
![Page 4: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/4.jpg)
3
Tradisi keimaman Syi’ah Itsna Asyariyah ini rupanya masih berjalan sampai saat ini,
terutama dalam menjalankan tugas seorang imam perlu diangkatnya seorang mandataris
imam selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade terakhir
dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumeini, menurut pendapatnya ajaran para imam
adalah sejajar dengan Al Qur‟an yang wajib ditaati dan dilaksanakan, dan selama Al Mahdi
belum muncul maka kedudukan diwakili oleh seorang mandataris imam yang berhak
mengemban tugas sebagai imam.7
IV. Corak Teologi Khomeini
Imam Khomeini, lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan pernah
tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi menyelesaikan
pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam (fiqih)
memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang spektakuler.
Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar
Revolusi”.8 Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah
menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil” (just jurist),
atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng Islam”. Dalam konteks
revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa ‟80-an, Imam Khomeini menyerukan
agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam, “memperhatikan keadaan negara sebagaimana
kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah
buku kritik yang sangat tajam terhadap rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada
tahun 1940-an, dalam bukunya “Kasyful Asrar” (“Menyingkap Rahasia”, yaitu keadaan yang
tidak disadari masyarakat umumnya). Syi‟ah sendiri adalah suatu mazhab yang
meneruskan tradisi Mu‟tazilah di abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul
tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan keadilan adalah
dua sisi dari mata uang yang sama. Keadilan bersumber dari tauhid dan tauhid yang
7 Ibid
8 Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)
![Page 5: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/5.jpg)
4
merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min al Allah) diwujudkan dalam
keadilan dalam hubungan antar sesama manusia (hablun min al naas).9
Memperhatikan keadaan negara mengisyaratkan agar kaum fuqaha ikut
bertanggung-jawab dalam mengurus masalah negara dan pemerintahan. Dalam doktrin
Islam Syi‟ah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam yang 12. Imam
yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai Imam Mahdi. Tapi selama
Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus tampil mengambil alih
kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan kontemporer, yaitu kaum fuqaha, adalah
wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas dasar kepercayaan itu, maka Imam
Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih” yang menjadi garda terhadap hukum
Islam. Konsep inilah yang menimbulkan kharisma terhadap kaum fuqaha yang diwakili
oleh Imam Khomeini. Agaknya Imam Khomeini menyadari kepemimpinan semacam itu,
yaitu kepemimpinan itu bisa hilang setelah ia meninggal. Karena itu, maka kharisma
kemimpinan atau Imamah itu dilembagakannya dalam konsep Wilayah al-Faqih, sehingga
keimaman itu dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu. Sementara itu kefuqahaan itu
dibibitkan dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu lembaga pendidikan dan
penelitian sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci Qom Iran atau Najef Iraq,
di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan.10
Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau
hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus juga ahli d bidang-bidang
lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Ayatullah Rafsanjani umpamanya, adalah
juga seorang ahli ekonomi yang piawai.11 Demikian pula ulama ahli tafsir besar Tabataba‟i
yang menulis buku mengenai sistem ekonomi Islam. Sedangkan Ayatullah Murtadha
Mutahhari adalah juga ahili sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial yang sangat produktif
9. Ibid
10 Ibid.
11 Khomeini, Imam., Al Hukumah Al Islamiyah, (Malaysia: ABIM, 1983)
![Page 6: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/6.jpg)
5
menulis buku di berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan dan diterbitkan di
Indonesia.
Sejalan dengan pemikiran itu, maka Imam Khomeini sangat menentang sekularisme
yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan ini tidak semata-mata
bersifat normatif, tetapi juga empiris, sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan
revolusioner Iran. Dalam penjelasannya sendiri.12
Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan, patriotisme adminstrasi
keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada
pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum
imperialis merusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara
antara agama dan pemerintahan dan politik.13
Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk
menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh
negara dan pemerintahan yang adil.14 Dalam menentang rezim dinasti Syah Iran, berbagai
kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok sosialis atau Marxis dan terakhir
kelompok nasionalis yang dipimpin oleh pemimpin legendaris yang berani menentang
imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama adalah
satu-satunya suara oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam Khomeini
adalah satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam ideologi yang
secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu didasarkannya
pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang menentang kepemimpinan
tradisional yaitu sistem dinanti.
12. Ibid. 13
Ibid. 14
Ali Al Amin, Wilayat Al Daulah Daulat Al Faqih, (Hayya Bina)
![Page 7: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/7.jpg)
6
Imam Khomeini memang menduduki posisi yang dominan sebagai pemipin
kharismatis, meminjam konsep Weber yang berbeda dengan kepemimpinan tradisional di
satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi sebenarnya ia tidak sendirian
dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya ada dua kelompok pemimpin yang
mengakumulasi proses revolusi Islam Iran. Pertama adalah kelompok ulama atau fukaha
dan filsuf. Selain Khomeini, terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain, seperti Morteza
Muttahari, Ayatullah Madari, Ayatullah Ni‟matullah Salihi dan Ayatullah Talegani untuk
mengambil sebagian yang terkemuka. Muttahari banyak melakukan pendekatan
kesejaharan dan kemasyarakatan, sedangkan ketiga ayatullah lainnya punya konsep yang
berbeda tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan demokrasi. Kedua, adalah
kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh Ali Syari‟ati, Dr. Mehdi
Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari‟ati sendiri menentang konsep dominasi kaum fuqaha,
sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran Islam dengan baik,
bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang menyebabkan kemunduran
Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya, apalagi dalam masyarakat
modern. Ali Syari‟ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa yang disebutnya
cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini bukan hanya berasal dari
cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari ulama, sebagai contohnya
Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang tidak saja menguasai teologi tetapi
juga filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan sejarah.15
Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang al-
Qur‟an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak
memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya rakyat itu
sudah punya UU dasar, yaitu al Qur‟an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini bukan berarti
parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan peraturan-
15 Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)
![Page 8: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/8.jpg)
7
peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan tugas kepada eksekutif. Namun
pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum fuqaha.
V. Syarat Wali Al Faqih
Ketika pemerintahan Islam adalah pengaturan Ilahi, yakni pemerintahan Islam adalah
untuk melaksanakan undang-undang dan mengamalkan keadilan Ilahi di tengah-tengah
masyarakat, maka wali al-faqih haruslah memiliki dua sifat dasar. Keduanya merupakan
dasar pemerintahan undang-undang yang tanpanya, menurut akal, pemerintahan Islam
tidak akan terbentuk. Keduanya adalah: pertama, ilmu terhadap undang-undang tersebut,
dan, kedua, keadilan ('adalah). Tentunya, ilmu tersebut dalam artian yang luas, yang
mencakup permasalahan:
1. Kifayah (memenuhi standar kepemimpinan, leadership).
2. Shalahiyat (berkelayakan untuk memimpin).
Hal itu tidak mungkin ditinggalkan bagi seorang hakim, sehingga dapat dijadikan
kriteria ketiga bagi pemimpin. Tentunya, pemimpin dalam artian adil juga mencakup hal
yang positif dalam artian akal, seperti berani, melaksanakan tradisi dan perundangan
agama, atau keluarnya sifat-sifat negatif akhlak, seperti bakhil dan menerima raswah
(sogok). Sebenarnya, dua dasar sifat tersebut telah merupakan hal yang musalam
(disepakati), yang sudah harus ada pada pemimpin Islam. Jadi, pemimpin Islam harus faqih
dan adil.16
16 Ibid
![Page 9: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/9.jpg)
8
VI. Penutup
Itulah konsep formal Ayatullah Khomeini. Tapi dalam pelaksanannya, Imam Khomeini
juga mengakomodasi pandangan Ali Syari‟ati yang berbeda itu. Buktinya ia memilih Dr.
Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Sementara yang dibentuknya
pada masa transisi. Ia kemudian merestui Bani Sadr sarjana ekonomi didikan Paris yang
berkecenderungan sosialis sebagai Presiden Iran nyang pertama, walaupun kemudian
digulingkannya sendiri. Tokoh cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya misalnya
adalah Sadeq Godzabeg dan Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang, walaupun
presidennya adalah ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-menteri dalam
kabinet adalah para cendekiawan Muslim didikan barat.
![Page 10: Akar Teori Wilayat Al Faqih](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081807/5571f7eb49795991698c46ce/html5/thumbnails/10.jpg)
9
DAFTAR PUSTAKA
Fathoni, Muslih, Drs., MA., Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta:
Rajawali Press, 2002)
Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006)
Yamani, Filsafat Politik Islam antara Al Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan, 2002)
Ali Al Amin, Wilayat Al Daulah Daulat Al Faqih, (Hayya Bina)
Khomeini, Imam., Al Hukumah Al Islamiyah, (Malaysia: ABIM, 1983)