akhlak terhadap khalik
TRANSCRIPT
A. Pendahuluan
Di zaman yang modern ini, banyak sekali orang – orang lalai dengan sang
kholiq (pencipta) dan sedikit sekali orang yang cinta melebihi segalanya dari pada
dengan Allah (harta benda, kedudukan, kemewahan, dan lain – lain). Karena
difikirkan orang – orang tersebut hanya ada kesenangan duniawiyahnya saja dan
tidak mau memikirkan dampakanya kelak di akhirat bahwa semua yang dilakukan
di dunia hanya akan menyesatkan dan menjerumuskan.
Sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk beriman,bertaqwa serta patuh
kepada Allah, dengan menjalakan perintah - perintah-Nya dan menjauhi larangan -
larangan-Nya. Disamping itu, kita harus menerapkan dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari - hari seperti halnya: melakukan sholat, mensyukuri ni’mat -
ni’mat Allah, bersikap rendah hati, menerima apa adanya (pemberian Allah),
meninggalkan sifat kufur, sombong, congkak,dan lain - lain. Agar kita dapat
meraih rahmat dan kecintaan Allah.
B. Pengertian Akhlak
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khalaqa-
yahluqu, artinya menciptakan, dari akar kata ini pula ada kata makhluk (yang
diciptakan) dan kata khalik (pencipta), maka akhlak berarti segala sikap dan
tingkah laku manusia yang datang dari pencipta (Allah SWT). Akhlak merupakan
tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk
melakukan suatu perbuatan yang baik.[1]
Secara terminologi, Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang
mudah dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama.
Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang
mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari
1 Ahmad A.K. Muda. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher. 2006, hlm 45-50
1
pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya
tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu.[2]
Kata dalam bahasa Indonesia yang lebih mendekati maknanya dengan
akhlak adalah budi pekerti. Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna
yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku
yang mungkin positif atau negatif.
C. Syarat Akhlak
Ada empat hal yang harus ada apabila seseorang ingin dikatakan berakhlak.[3]
a. Perbuatan yang baik atau buruk.
b. Kemampuan melakukan perbuatan.
c. Kesadaran akan perbuatan itu.
d. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk.
Suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai cerminan akhlak, jika
memenuhi syarat berikut ini:
a. Dilakukan berulang- ulang sehingga hampir menjadi suatu kebiasaan.
b. Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan yang lama dan dipikir- pikir
terlebih dahulu.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan
takwa merupakan 'buah' pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan
berdaun syari'ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah
qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah:
2 Brittanica Encyclopedia3 Mubarak, Zakky, dkk. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku
Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI. 2008. hlm. 20-39
2
Akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia
itu, disebut akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat
dalam Al-Qur'an yang menjadi sumber utama ajaran Islam.
D. Akhlak Kepada Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian
agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu
menjangkau hakikat-Nya.4
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia
untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah").
Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan
Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa
kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka --sebelum
memuji-Nya-- bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.
Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau
4 Rakhmat Djatnika. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992. hlm. 173
3
Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena
segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut
pada hakikatnya terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti
mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu
persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya
sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil
melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan
kepadanya.5
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang
disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah
yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang
menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang
Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang
mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala
hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan.
Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah
menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan
diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah
Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam
batas kemampuannya.
Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya
sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan
kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya
didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61:5 Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010. hlm. 2
4
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan
bertawakallah kepada Allah.
E. Takut Kepada Allah
Rasa takut kepada Allah SWT. merupakan suatu kekuatan suara hati yang
membisikkan kebenaran. Sebagian orang banyak yang berakhlak mulia
berdasarkan suara hati dan rasa perikemanusiaannya. Ada pula yang berakhlak
mulia karena mempercayai adanya hokum karma atau hokum sebab akibat.
Orang yang beriman kepada Allah dengan suara hati nurani dan rasa
perikemanusiaan serta kepercayaan adanya hokum yang mendorongnya untuk
beraklak mulia, maka iman dan taqwanya kepada Allah akan lebih mendorong dan
memantapkannya berakhlak mulia.6.
F. Tawadu’ Kepada Allah
Manusia diciptakan dari tanah maksudnya cikal bakal manusia (adam) dari
tanah, bisa juga diartikan bahwa semua manusia hidup dari makanan dan tumbuh –
tumbuhan yang berasal dari tanah, kemudian makanannya itu menjadi air mani.
Tawadu’ atau sikap rendah hati merupakan akhlak yang utam. Dengan
tawadu’ akan menjadi indah budi pekertinya, baik sesame manusia maupun
terhadap Allah. Sikap tawadu’ tumbuh karena adanya kesadaran akan hakikat
kejadian manusia dan hari kemudian.
Sebagian dari perwujudan sikap tawadu’ yaitu tiada sikap bermegah-
megahan (sombong, congkak, takabur) serta berlaku curang (tidak adil, mau enak
sendiri saja). Dan orang yang memiliki sikap tawadu’ harus bersifat rendah hati
dan ucapan perkataannya mengandung kesejahteraan dan keselamatan serta tidak
menyakitkan orang lain. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya :
“Dan hamba hamba yang maha pengasih ialah orang – orang yang berjalan
dibumi dengan rendah hati………”
6 Ibid. hlm. 173
5
Sikap tawadu’ bukanlah sifat yang rendahdan tidak akan mengurangi harga
diri seseorang, bahkan menaikkan derajad sesorang.
G. Ikhlash Karena Allah
Ikhlash adalah keadaan sikap batin seseorang tanpa pamirih apapun. Baik
dalam meyakini Allah maupun dalam beribadah kepada Allah. Ikhlash dalam
beramal berarti tidak digemari oleh tujuan duniawiyah yang lain. Amalnya semata
– mata untuk dank arena Allah, tidak mengharap pujian dan sanjungan.
Lawan dari ikhlash adalah riya;, sum’ah dan nifaq. Riya’ adalah
memperlihatkan amalan untuk mendapatkan pujian. Sum’ah ialah menceritakan
amalan untuk mendapatkan perhatian dan sanjungan. Nifaq ialah memamerkan
amalan agar khalayak ramai memberikan penghargaan kepadanya, padahal hatinya
sendiri benci pada amal itu.7
H. Syukur dan Berharap Kepada Allah
Syukur ialah berterima kasih atas segala nikmat, rahmat dan hidayah Allah
itu tiada terhingga banyaknya. Syukur itu ada tiga tahap :
a. Menerima dengan gembira
b. Menyatakan kegembiraan itu dengan senang hati
c. Memelihara dan menjaga pemberian tersebut
Syukur itu berarti juga mempergunakan yang ada dan yang diterima
menurut keperluannya. Adapun nikmat Allah yang paling besar ialah Islam.
Karena dengan rahmat islam itu, seseorang diantarkan kepada Allah atas segala
pemberian-Nya.
Berharap kepada Allah adalah kenyataan bahwa setiap orang dalam
perjalanan hidupnya selalu berusaha untuk mewujudkan hal – hal baik atau
kebahagiaan untuk dirinya dan keluarganya. Namun manusia tidak mampu untuk
7 Hakim, Zikrul, Wisata Hati, Jakarta Timur : 2000, hlm, 28
6
mewujudkan bagaimana seharusnya, yang sering terjadi adalah bagaimana
adanya.8
Manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia ini pasti akan mengalami
rintangan – rintangan atau hambatan – hambatan yang manusia sendiri itu tidak
mengetahuinya.
Walaupun manusian memiliki kelebihan – kelebihan ia harus tetap bersikap
mengharap mengharap pertolongan atau petunjuk Allah SWT.
I. Kesimpulan
Hubungan manusia dengan Allah terwujud dalam bentuk ibadah dan sikap
disiplin terhadap Allah SWT. Langkah yang ditempuh agar dapat dicintai Allah
adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, cinta, takut, tawadu’, tawakkal dan
bersyukur serta berharap kepadany-Nya.
Cinta kepada Allah berarti taat kepada-Nya dan taat kepada Rosul-Nya,
hormat dan patuh terhadap seluruh ajaran – ajarannya, menjauhkan buruk sangka
kepada Allah dalam keadaan suka maupun duka.
Mendekatkan diri kepada Allah dapat dilakukan dengan belajar
menghimpun beragam kebaikan dengan kadar yang besar dan memungkinkan.
Rasa takut kepada-Nya merupakan kekuatan bantu suara hati yang membisikkan
kebenaran. Lain lagi dengan tawadu’ (rendah hati), sikap ini tumbuh karena
kesadaran yang tinggi akan kejadian hakikat manusia dan hari kemudian.
Manusia hendaknya bertawakkal kepada-Nya dan ikhlash karena-Nya
sebab, dalam usaha mencapai suatu tujuan untuk menghindarkan sesuatu maupun
untuk mencapai sesuatu harus diperlukan sikap tawakkal. Dan setelah semuanya
terjadi, manusia harus mengikhlashkannya dengan tujuan semata karena Allah.
Setelah mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Allah SWT, manusia
harus bersyukur kepada-Nya dengan cara :
Menerimanya dengan gembira
8 Ibid, hlm, 29-30
7
Menyatakan kegembiraan dengan senang hati
Memelihara dan menjaga pemberian tersebut
Sedangkan berharap kepada-Nya berarti mengharapkan pertolongan dan
petunjuk Allah, serta tidak pernah berburuk sangka dan berputus asa kepada-
Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010.
Ahmad A.K. Muda. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher.
2006.
Brittanica Encyclopedia
8
Hakim, Zikrul, Wisata Hati, Jakarta Timur : 2000.
Mubarak, Zakky, dkk. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku
Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga
Penerbit FE UI. 2008.
Rakhmat Djatnika. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas.
1992.
9