akibat hukum pembatalan penerbangan karena...
TRANSCRIPT
i
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PENERBANGAN KARENA OVERSEAT
OLEH MASKAPAI LION AIR
(Studi Putusan Nomor 471 PK/Pdt/2017)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rizki Diah Nasrunisa
(11140480000082)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H /2018M
v
ABSTRAK
Rizki Diah Nasrunisa. NIM 11140480000082, AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PENERBANGAN KARENA OVERSEAT OLEH MASKAPAI LION AIR (Studi
Putusan: Nomor 471/PK/Pdt/2017). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, 1439 H/2018 M. vii
+ 63 halaman + 3 halaman daftar pustaka + 19 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tanggung jawab pihak maskapai dalam
perkara keterlambatan penerbangan, serta bagaimana tanggung jawab pihak maskapai
penerbangan Lion Air dalam kasus Lion Air vs Rolas Budiman Sitinjak. Serta
bagaimana perlindungan hak konsumen sesuai dengan peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dan juga menjelaskan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara tersebut, dan menganalisis putusan Nomor 471/PK/Pdt/2017.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris. Penelitian yang
dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini,
peneliti juga melakukan penelitian langsung ke lapangan dengan cara wawancara
kepada pihak yang berhubungan, yaitu Karyawan PT. Lion Mentari Airlines dan
Pegawai Kementerian Perhubungan.
Hasil penelitian menunjukan/membuktikan bahwa permasalahan yang sering
terjadi dalam penerbangan ialah keterlambatan penerbangan. Maskapai penerbangan
Lion Air harus bertanggung jawab kepada penumpang selaku konsumen sesuai
dengan Undang-Undang Penerbangan dan Peraturan Menteri lainnya yang berkaitan.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009, Lion Air sebagai pelaku usaha
dalam perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang
dialami oleh penumpang selaku konsumen.
Kata Kunci: Tanggung jawab, Maskapai, Pembatalan Penerbangan.
Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum., S.H., MA., MDC
Daftar Pustaka: 1988-2013
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena berkat
rahmat, nikmat serta karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PENERBANGAN KARENA OVERSEAT
OLEH MASKAPAI LION AIR (Studi Putusan Nomor 471/PK/Pdt/2017)”. Sholawat
serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’Alayhi wa
Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini
peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Terkhusus Dr.Muhammad Maksum., S.H., M.A., MDC., Dosen Pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga
kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Indri Rosalina S.Sos., M.Si, perwakilan dari Direktorat Jendral Perhubungan
Udara Kementerian Republik Indonesia dan Bapak Rama Ditya Handoko selaku
karyawan PT. Lion Mentari Airlines yang sudah menyempatkan waktunya untuk
peneliti wawancarai terkait data penelitian skripsi.
vii
5. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali
dengan ucapan doa terima kasih.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
peneliti dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan Terima kasih.
Jakarta, 30 Juli 2018
Rizki Diah Nasrunisa
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Metode Penelitian ..................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 12
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 12
B. Kerangka Teori ......................................................................... 19
C. Tinjauan Kajian (Review) Terdaulu ......................................... 29
BAB III PERAN PEMERINTAH TERHADAP PENGAWASAN
BADAN USAHA ANGKUTAN UDARA NIAGA
DI INDONESIA .............................................................................. 31
A. Profil perusahaan Lion Air ....................................................... 31
B. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap
Keterlambatan Penerbangan ..................................................... 33
C. Peranan Pemerintah Terhadap Pengawasan Pada Badan
Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia ............ 34
D. Tanggung Jawab Pengangkut Udara Apabila Terjadi
Pembatalan Penerbangan Keberangkata Sepihak oleh Maskapai
Penerbangan ............................................................................. 38
ix
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN NOMOR
471/PK/Pdt/2017 TENTANG PEMBATALAN PENERBANGAN
KARENA OVERSEAT .................................................................. 45
A. Duduk Perkara .......................................................................... 45
B. Putusan Tingkat Pertama dan Kasasi dan Peninjauan
Kembali .................................................................................... 47
C. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 471/PK
/Pdt/2017 ................................................................................... 49
D. Analisis Putusan Hakim Nomor 471/PK/Pdt/2017 .................. 50
E. Pelanggaran Standar Operasional Prosedur tentang
Penanganan Keterlambatan Penerbangan Oleh PT. Lion
Mentari Airlines ....................................................................... 56
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 58
A. Kesimpulan ............................................................................... 58
B. Rekomendasi ............................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
LAMPIRAN .................................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Transportasi merupakan salah satu faktor pendukung kegiatan
perekonomian dalam pembangunan Indonesia. Jasa pengangkutan
transportasi udara sangat penting dalam menghubungkan pulau yang satu
dengan pulau yang lain dan negara lain.1 Dari berbagai alat transportasi yang
ada, transportasi udara merupakan alat transportasi yang mendukung
mobilitas masyarakat karena lalu lintas udara bebas hambatan sehingga
memungkinkan transportasi udara lebih cepat dari sarana transportasi yang
lain. Disamping itu kelebihan transportasi udara sangat berhubungan dengan
produktivitas manusia, karena tingginya mobilitas itu menandakan
produktivitas yang positif.2
Saat ini perkembangan peradaban manusia khususnya dalam bidang
pengangkutan telah membawa kedalam suatu sistem pengangkutan yang
lebih maju dibandingkan era sebelumnya.3 Transportasi udara dewasa ini
mengalami perkembangan pesat, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
perusahaan atau maskapai penerbangan yang melayani jasa penerbangan ke
berbagai rute penerbangan untuk domestik maupun internasional. Kondisi
tersebut menyebabkan pasar di Indonesia sangat terbagi dan kompetitif.4
Untuk mendapatkan penumpang, perusahaan maskapai penerbangan baik
domestik dan asing saling bersaing untuk menarik penumpang sebanyak-
banyaknya dengan menawarkan tarif yang lebih murah atau menawarkan
berbagai bonus. Namun di sisi lain, dengan tarif yang murah tersebut sering
menurunkan kualitas pelayanan (service), bahkan yang lebih
1 Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia jilid 1, (Jakarta; Rajawali Press, 1981), h.4
2 M.N. Nasution, Mamajemen Transportasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h.2
3 Suton Usman, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),
h.1
4 Anshuman Daga & Janeman Lilatul, Kompetisi Maskapai Penerbangan di Indonesia
Memanas (online), diakses di http://www.volindonesia.com (3 Desember 2017)
2
mengkhawatirkan lagi adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas
pemeliharaan (maintenance) pesawat sehingga rawan terhadap kualitas
layanan, keselamatan penerbangan dan akan berdampak kurang baik terhadap
keamanan, kenyamanan, dan perlindungan konsumen.5
Dengan berkembangnya zaman pertumbuhan dan perkembangan
transportasi udara semakin banyak meninggalkan jejak yang tidak
mengenakkan. Peningkatan kualitas pelayanan konsumen pada transportasi
udara tidak berjalan dengan optimal atau semakin menurun. Misalnya, sering
sekali terjadi keterlambatan penerbangan (flight delayed), pembatalan
penerbangan (cancelation of flight), bahkan terkadang ada yang tidak
terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied
boarding passanger). Hal ini menimbulkan kerugian para penumpang atau
konsumen yang dapat menimbulkan permasalahan hukum.6
Secara teoritis, perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan
dimana satu pihak menyanggupi untuk membayar ongkosnya.7 Ketentuan
tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di dalam kegiatan pengangkutan
atau transportasi udara, dalam hal ini pengangkut atau maskapai penerbangan
berkewajiban untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat
sampai di tujuan secara tepat waktu, dan sebagai kompensasi dari
pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan penerbangan
mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaraan pengangkutan dari
penumpang.
Menurut penjelasan Undang-Undang 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dimana faktor yang menjadi penyebab terjadinya
eksploitasi terhadap konsumen adalah masih rendahnya tingkat kesadaran
konsumen terhadap hak-haknya. Pihak pengangkut sebagai penyelenggara
mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang di derita oleh
5 E. Saefullah Wiradipradja, “Tanggung Jawab Pelaku Perusahaan Penerbangan
Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, 2006,
Jakarta, h.5-6
6 Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Udara,
(Jakarta; PT. Fikahati Aneska, 2013), h.15
7 R.Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung; PT Citra Adity, 1995), h.69
3
pengguna jasanya sebagai konsumen. Hal tersebut sejalan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dapat dilihat dalam
pasal 140 sampai dengan pasal 149 mengenai tanggung jawab pengangkut
terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo. Dilanjutkan dengan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggungjawab
Pengangkut Angkutan Udara dan PM 89 Tahun 2015 Tentang Penangan
Keterlambatan (Delay) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal
di Indonesia yang mengatur ketentuan tentang besaran ganti kerugian yang
ditanggung pihak pengangkut, apabila kesalahan atau kelalaian terhadap
penumpang angkutan udara disebabkan oleh kesalahan dari pihak
pengangkut. Ganti kerugian yang diberikan kepada penumpang dibutuhkan
oleh penumpang angkutan udara, dalam rangka meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, serta kemandirian penumpang angkutan udara itu
sendiri untuk melindungi dirinya, serta mengembangkan sikap dan perilaku
pelaku usaha yang bertanggungjawab atas sedikit kesalahan yang sebenarnya
tidak diinginkan untuk terjadi oleh siapapun. Namun dalam praktek kegiatan
transportasi udara sering kali pengangkut tidak memenuhi kewajibannya
secara baik dan benar atau dapat dikatakan dengan wanprestasi.
Dalam pengangkutan penumpang pesawat, hubungan hukum dapat
dikategorikan sebagai hubungan konsumen dan pelaku usaha (contractual),
oleh karena itu perjanjian antara konsumen terhadap PT. Lion Mentari
Airlines dimulai pada saat konsumen membeli tiket pesawat. Selanjutnya,
terjadilah kewajiban kedua belah pihak untuk memenuhi prestasi yang telah
disepakati. Salah satu menjadi kewajiban pelaku usaha tercantum dalam
Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yakni beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, artinya
perusahaan penerbangan harus memenuhi kewajibannya kepada penumpang
sebagai bentuk iktikad baik tersebut kemudian penumpang juga memenuhi
kewajibannya sebagai konsumen. Tidak jarang dalam pelaksanaanya salah
satu atau kedua belah pihak baik pengangkut maupun penumpang melakukan
kesalahan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap butir-butir kesepakatan.
4
Dari hasil penelitian dan pantauan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BKPN) tercatat sekitar tujuh maskpai penerbangan yang kerap dikeluhkan
konsumen. Ketujuh maskapai tersebut adalah: Airasia, Lion Air, Garuda,
Sriwijaya Air, Mandala dan terakhir Batavia Air. Sering terjadinya
pengaduan penumpang dalam berbagai bentuk seperti penundaan jadwal
penerbangan tanpa pemberitahuan, kehilangan barang di bagasi, tiket hangus,
tempat duduk, menolak booking lewat telepon, serta pengaduan lainnya
seperti barang di bagasi ditelantarkan, pembatalan tiket (refund), sikap
pramugara dan pramugari, keamanan dan kebersihan yang menandakan
bahwa pihak pengangkut udara belum optimal dalam memberikan pelayanan
kepada penumpang dan tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap permasalahan tersebut.8
Berdasarkan hal-hal tersebut penerapan tanggungjawab pengangkut
udara melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen belum berjalan efektif, maka penelitian yang akan diangkat adalah
tentang kerugian yang dialami oleh konsumen selaku penumpang angkutan
udara dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, fokus penelitian mengenai pembatalan
jadwal penerbangan karena overseat berdasarkan kasus yang dialami oleh
Rolas Budiman Sitinjak selaku konsumen yang dirugikan oleh maskapai
penerbangan Lion Air selaku pelaku usaha. Untuk permasalahan tersebut
maka peneliti tertarik membuat penelitian yang dituangkan dalam judul:
“AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PENERBANGAN KARENA
OVERSEAT OLEH MASKAPAI LION AIR (Studi Putusan Nomor
471/PK/Pdt/2017)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijabarkan sebelumnya maka
identifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
8 Ridwan Khairandi, 2006, “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab
Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara” , Jurnal Hukum Bisnis Vol 25,
Jakarta, h.20-21
5
a. Bagaimana kepatuhan hukum pelaku usaha penyedia jasa angkutan
udara terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
b. Bagaimana tanggung jawab pihak maskapai dalam menyelesaikan
masalah.
c. Bagaimana peran pemerintah terhadap perkara yang sering terjadi pada
maskapai Lion Air.
d. Konsekuensi yuridis dari pembatalan penerbangan angkutan udara oleh
Lion Air menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini maka peneliti membatasi masalah yang diteliti hanya
terfokus pada pembahasan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam
perkara pembatalan penerbangan untuk menganalisis putusan hakim
terhadap kasus PT. Lion Mentari Airlines VS Rolas Budiman Sitinjak,
serta peran pemerintah terhadap pengawasan pada Badan Usaha Angkutan
Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang melakukan pelanggaran
terhadap perundang-undangan.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
terkait dengan pembahasan tanggung jawab maskapai penerbangan Lion
Air berdasarkan putusan nomor 471/PK/Pdt/2017 dan menganalisis
putusan hakim dalam memutuskan perkara ini, serta peran pemerintah
pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang
melakukan pelanggaran perundang-undangan.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang telah
diuraikan di atas, maka dibuat rincian perumusan masalah dalam bentuk
pertanyaan riset sebagai berikut:
6
a. Bagaimana bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan Lion Air
kepada penumpang terhadap pembatalan penerbangan karena
overseat?
b. Bagaimana peran pemerintah terhadap perkara pelanggaran yang
dilakukan oleh maskapai penerbangan?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan
terhadap konsumen karena pembatalan penerbangan karena overseat
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung atas
kasus dalam putusan nomor 471/PK/Pdt/2017
c. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam meninjaklanjuti
pelanggaran yang dilakukan pada Badan Usaha Angkutan Udara
Berjadwal di Indonesia
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk berbagai
kalangan, yaitu:
a. Bagi peneliti: menambah ilmu dan wawasan mengenai hak-hak
sebagai konsumen sebagai penumpang pesawat, tanggung jawab
pelaku usaha khususnya maskapai penerbangan, serta perlindungan
hukum bagi konsumen penumpang pesawat apabila terjadi pembatalan
dari pihak maskapai.
b. Bagi pemerintah: agar lebih tegas mengawasi maskapai penerbangan
sebagai pelaku usaha di Indonesia agar tidak seenaknya melanggar
hak-hak konsumen dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai mana
mestinya.
c. Bagi maskapai penerbangan: agar maskapai penerbangan menyadari
bahwa tidak seharusnya menganggap pelanggar hak-hak penumpang
7
selaku konsumen sebagai hal yang biasa dan lebih peduli terhadap
tanggung jawabnya sebagai pelaku usaha.
d. Bagi masyarakat: memberi wawasan dan pengertian kepada
masyarakat tentang hak-haknya sebagai konsumen khususnya sebagai
penumpang pesawat, tanggung jawab pelaku usaha khususnya
maskapai penerbangan, serta pelindungan hukum bagi penumpang
pesawat apabila terjadi pembatalan dari pihak maskapai.
D. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini peneliti akan memaparkan tentang beberapa
metode yang akan digunakan, diantaranya adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Karena pada penulisan ini menggunakan metode penelitian yurudis
normatif maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-
undangan untuk mengkaji semua peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum konsumen dan penerbangan, pendekatan kasus
digunakan penulis untuk menjadi referensi saat menganalisis masalah
perlidungan hukum konsumen maskapai penerbangan dengan menelaah
kasus yang telah diputus oleh hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan
yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data primer.9 Dimana yang dikaji
adalah aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang, norma, ataupun
kaidah lainnya, sedangkan penelitian yuridis empiris adalah penelitian
hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan.10
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan dengan hal tersebut di dalam penelitian ini, penulis
menggunakan dua macam bahan pustaka, yaitu:
9 Widya Nukilan, Metode Penelitian Hukum, Cet.I (Jakarta: Tim Pengajar, 2005), h.9
10
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta; Sinar Grafika, 2012),
h.15
8
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim11
Bahan hukum primer yang
digunakan merupakan badan hukum yang mengikap berupa peraturan
perundang-undangan antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan
Konsumen
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 Tentang Penerbangan
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 471 PK/Pdt/2017
4) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
5) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 Tentang
Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga
Berjadwal di Indonesia
b. Data hukum sekunder
Data hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berkaitan
dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisa
memahami dan menjelaskan bahan hukum primer.12
Yang termasuk
bahan hukum sekunder yaitu publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen hukum.
c. Data non-hukum (tersier)
Data Non-Hukum adalah yang merupakan bahan-bahan hukum yang
primer dan sekunder, seperti: Kamus Inggris-Indonesia, Kamus Hukum
Belanda-Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia.13
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, cet-IV: 2010), h. 141
12
Jhonny Ibrahim, Metedeologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), Cet ke-2, h.302
13
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet 1, (Jakarta: Badan Penerbit
Universitas Indonesia, 2005), h.1
9
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
terutama data sekunder dan sebagai penunjang adalah data primer. Dari
data-data yang telah terkumpul tersebut, kemudian peneliti menganalisa
data secara kualitatif yaitu memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip
umum yang mendasari pewujudan keseluruhan data yang diperoleh
dirangkum, diteliti, dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh
sehingga dapat menghasilkan data yang akurat kemudian dijabarkan
dengan kalimat-kalimat.14
Sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu bentuk pengumpulan data
yang dilakukan dengan membaca buku literature, mengumpulkan,
membaca dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian, dan
mengutip dari data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-
undangan, dokumen dan bahan kepustakaan lain dari beberapa buku
referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian
ilmiah, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, media
masa seperti koran, internet dan bahan kepustakaan lainnya yang
relevan dengan masalah yang akan diteliti.
Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (narasumber) yang memberikan jawaban atas pertanyan
itu. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dilakukan
dengan cara terpimpin, yaitu wawancara dilaksanakan dengan jalan
informan diberi kebebasan untuk menjawab pertanyaan yang
ditentukan. Wawancara ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan data
yang lebih lengkap dengan cara mengajukan daftar pertanyaan yang
terstruktur.
14
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 20-21
10
Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Dokumentasi dan
Studi Pustaka. Studi Dokumentasi, teknik ini dipergunakan untuk
mendapatkan data yang diperlukan dengan cara melihat dokumen
putusan-putusan Mahkamah Agung dan perundang-undangan yang
terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti. Studi Pustaka,
dengan menggunakan buku-buku, skripsi, jurnal maupun sumber
pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara Studi Dokumentasi dan Studi
Pustaka. Studi Dokumentasi, teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan
data yang diperlukan dengan cara melihat dokumen putusan-putusan
Mahkamah Agung dan perundang-undangan yang terkait dengan pokok
masalah yang akan diteliti. Studi Pustaka, dengan menggunakan buku-
buku, skripsi, jurnal maupun sumber pustaka lainnya yang berhubungan
dengan penelitian ini.
6. Teknik Penulisan
Metode Penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi
yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017. Metode
ini lebih menekankan ke arah penulisan deduktif.
E. Sistematika Penulisan
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan sistematika
penulisan dalam penelitian sebagai berikut:
BAB I pada bab ini peneliti memaparkan latar belakang, identifikasi
pembahasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dalam penulisan, serta sistematika penulisan sebagai
rancangan penelitian.
BAB II dalam bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai kerangka
konseptual, kerangka teori dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III dalam bab ini akan dijelaskan tentang peranan pemerintah
dalam pengawasan dan meninjaklanjuti kasus pelanggaran yang sering terjadi
pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia.
11
BAB IV pada bab ini akan menjelaskan duduk perkara dari kasus antara
Rlas Budiman Sitinjak dengan Lion Air dan analisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 471 PK/Pdt/2017.
BAB V pada bab ini merupakan penutup, berisikan kesimpulan dari
hasil analisis pada bab-bab sebelumnya yang merupakan inti dari keseluruhan
isi dari skripsi dan dikemukakan beberapa rekomendasi yang relevan dengan
analisis.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Overseat
Peraturan Pemerintah Nomor 185 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam
Negeri pada Pasal 15 menyebutkan bahwa overseat atau Denied Boarding
Passanger adalah kondisi penumpang dalam status terangkut (confirm)
tetapi tidak dapat diangkut karena alasan kapasitas pesawat udara tidak
mecukupi. Overseat atau Denied Boarding Passanger hanya terjadi karena
adanya kesalahan dari pihak maskapai, karena masalah sistem overbooking
atau kesalahan operasional. Dampak terjadinya Denied Boarding
Passanger atau overseat adalah tidak terangkutnya penumpang yang sudah
memiliki tiket.
2. Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsumen (Belanda). Konsumen pada
umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan
kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjual belikan lagi.1
Sedangkan pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Batasan mengenai konsumen menurut AZ Nasution adalah setiap
orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan atau
jasa untuk semua kegunaan tertentu. Sedangkan Hondius menyimpulkan
1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2010), h.17
13
pengertian konsumen adalah pemakai atau pengguna produksi terakhir dari
benda dan jasa.2 Dari rumusan ini Hondius ingin mengemukakan bahwa
ada konsumen akhir dan konsumen antara. Artinya ada konsumen yang
membeli barang dan atau jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya berserta keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk
menambah penghasilan, disamping itu juga terdapat konsumen yang
memberi barang dan atau jasa untuk memenuhi hidupnya dan keluarganya
dengan tujuan melangsungkan kehidupan. Untuk itu batasan pengertian
konsumen perlu dibedakan, yaitu:3
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan
jasa yang digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau jasa lain
atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersial).
3. Hukum Perlindungan Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan
hukum. Oleh karena itu, perlindungan kosumen mengandung aspek
hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar
fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan
kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Menurut A.Zen Umar Purba, kerangka umum sendi-sendi pokok
pengaturan perlindungan konsumen sebagai berikut:4
2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT.Grasindo, 2000), h. 3
3 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2006), h.13
4 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h.7
14
a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha
b. Konsumen mempunyai hak
c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada
pembangunan nasional
e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat
f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa
g. Pemerintah perlu berperan aktif
h. Masyarakat juga perlu berperan serta
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai
bidang
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua
bidang hukum yang sulit dipisahkan, pada intinya, hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang menyatu dan
tidak dapat dipisahkan. Baik hukum konsumen maupun hukum
perlindungan konsumen ternyata belum dikabulkan menjadi satu
pengertian yang resmi, baik dalam perundang-undangan maupun
kurikulum akademis. Perlindungan konsumen merupakan masalah
kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa
di dunia untuk tidak dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlidungan
konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi antara satu
sama lain yang mempunyai keterkaitan dan ketergantungan antara
konsumen, pengusaha dan pemerintah.5
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”
5 Eman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
h.7
15
Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai,
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenangan yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.6
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen beserta
perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang
berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata
hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Pada hakekatnya, terdapat 2 (dua) instrumen hukum penting yang
menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:7
1) Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui
sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi
barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
2) Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini
memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas
transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian
hukum bagi konsumen.
4. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah;
6 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali
pers, 2010), h.1
7https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-dagang/dasar-hukum-
perlindungan-konsumen/ ,diakses pada tanggal 17 April 2018.
16
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bentuk bidang ekonomi”
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) pelaku usaha yang termasuk dalam
pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importer, pedagang,
distributor dan lain-lain.
Berdasarkan Directive , pengertian produsen meliputi:8
a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang
timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyrakat, termasuk bila
kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen
dalam proses produksinya
b. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk
c. Siapa saja, yang dengan membutuhkan nama, merek, ataupun tanda-
tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen suatu
barang.
5. Hukum Angkutan Udara
Menurut Abdulkadir Muhammad, pengangkutan berasal dari kata
dasar “angkut” yang berarti angkat dan bawa, muat dan bawa atau
kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat dan
membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan
pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau
orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi, dalam pengertian
pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu
tempat ke tempat lain.9
8 Agus Brotosusilo, Lika-liku Perjalanan UUPK dalam perbuatan yang dilarang Bagi
Pelaku Usaha, (Jakarta: YKLI-USAID, 1998), h.46
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, (Bandung; PT.
Citra Aditya Bakti, 1991), h.19
17
Angkutan udara menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1995 adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat
untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu bandara ke bandara yang lain atau beberapa bandara.
Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan yaitu;
“Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan
pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk
satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain
atau beberapa bandar udara.”
Hukum pengangkutan udara adalah salah satu bagian dari hukum
pengangkutan secara umum, definisi hukum pengangkutan udara atau
hukum penerbangan dapat ditafsirkan sebagai hukum yang mengatur
pengangkutan melalui udara, termasuk dinas-dinas bantuan didarat,
pegawai-pegawai, dan alat-alat penerbangan serta orang-orang dan barang-
barang yang diangkut melaui udara.
6. Tanggung Jawab Pengangkut
Tanggung jawab pengangkut menurut Pasal 1 ayat (22) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yaitu:
“Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan
udara untuk mengganti kerugian yang diterima oleh penumpang dan atau
pengirim barang serta pihak ketiga.”
7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pada pasal 19 sampai dengan 28 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengatur adanya pertanggung jawaban pelaku usaha. Dalam
Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini menyebutkan bahwa
jika konsumen menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan,
pencemaran, atau kerugian finansial dan kesehatan karena mengkonsumsi
produk atau jasa yang diperdagangkan, produsen sebagai pelaku usaha
wajib memberikan penggantian kerugian, baik dalam bentuk
18
pengembalian uang, pengembalian barang, perawatan maupun dengan
pemberian santunan.10
Setiap Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan
konsumen memberikan hak pada konsumen yang dirugikan tersebut untuk
meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta
untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen
tersebut.11
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yakni:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tengang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Memperhatikan subtansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa
tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:12
10
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta; Sinar Grafika,
2011), h.92
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.59 12
Ahmad Miru & Sutaman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen..., h.40
19
a. Tanggung jawab ganti kerguian atas kerusakan
b. Tanggung jawab ganti kerugian atau pencemaran
c. Dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen
B. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Perlindungan Konsumen
Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan
dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam
perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain13
:
a. Let the buyer beware (caveat emptor)
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan
dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini
berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang
sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan
perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam
perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai
untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan konsumen atau ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap
produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila konsumen
mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa
kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.
b. The due care theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang
maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya,
maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku
pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal
ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia
yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW
yang secara tegas menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan
13
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia…, h.61
20
mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau
membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka
diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
c. The privity of contract
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika
diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku
usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan.
Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan
wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW
yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian
hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan
konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah:
1) Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,
konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang
kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah
pihak harus memperoleh hak-haknya.
2) Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UUPK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha
dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
3) Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang,
tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
21
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5) Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Dalam hukum perlindungan konsumen terdapat pula hak dan
kewajiban konsumen. Menurut pasal 4 dan 5 UUPK hak dan
kewajiban konsumen, yaitu:
Hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, adalah sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa;
d. Hak untuk didengar endapat dan keluhannya atas barang dan atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
22
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun
kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling
mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut:
1) Hak konsumen mendapatkan keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang
dan jasa yang ditawarkan kepadanya.14
Produk barang dan jasa
itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi segingga
konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.
2) Hak untuk mendapatkan informasi yang benar
Setiap produk konsumen harus disertai informasi yang
benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak
mempunyai gambaran yang keliru mengenai suatu produk atau
jasa.
3) Hak untuk didengar
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan
informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebbkan oleh
informasi yang diberikan pihka yang berkepentingan atau
berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk
itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih
lanjut.15
4) Hak untuk memilih
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak
menentukan pilihannya. Konsumen tidak boleh mendapat
tekanan dari pihak luar dalam menentukan untuk membeli atau
tidak membeli. Seandainya ia juga membeli, ia juga bebas
menentukan produk mana yang akan dibeli.
5) Hak untuk mendaatkan produk barang dan atau jasa sesuai
dengan nilai tukar yang diberikan
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari
perminyaan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h.33
15
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h.35
23
dan kualitas barang dan atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai
dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.16
6) Hak untuk mendapatkan ganti kerugian
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang
dan atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai
tukar yang diberikannya, konsumen berhak mendapatkan ganti
kerugian yang pantas.17
Jenis dan jumlah ganti kerugian itu
tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas
kesepakatan masing-masing pihak.
7) Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan
lebih tinggi dari pada hak pelaku usaha (produsen atau penyalur
produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika
permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak
mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait
dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak
mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi.
8) Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat
merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar
konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan
setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan
hidupnya. Lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan
nonfisik.18
9) Hak untuk dilindungi akibat dari negatif pesaing curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat”
16
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 36
17
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 37
18 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 38
24
dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik
langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan
usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya
dengan mengunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan
itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun
dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen.
Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan.
Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang
dirugikan.
10) Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen
Masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-
haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan
dengan kesadaran hukum. Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat, maka makin tinggi penghormatannya pada hak-hak
dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak
selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat
melewati media masa dan kegiatan lembaga swadaya
masyarakat.19
Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan
atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.20
19
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 39
20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 42
25
Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara umum
memberikan perlindungan kepada penumpang sebagai konsumen,
mengingat penumpang adalah pemakai barang dan/atau jasa dari pelaku
usaha. Perusahaan atau maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha,
sedangkan konsumennya adalah para penumpang yang menggunakan
jasa transportasi udara yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan.
Dalam arti Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya
memberikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta
pelaku usaha. Sementara itu, Undang-Undang Penerbangan serta
peraturan pelaksanaannya mengatur secara khusus pertanggung
jawaban dan bentuk ganti rugi yang wajib dilakukan oleh maskapai
penerbangan terkait dengan keterlambatan penerbangan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara dan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan
keterlambatan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan
Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
2. Teori Pengangkutan Udara
Sumber hukum udara perdata nasional terdapat di berbagai peraturan
perundang-undangan nasional sebagai implementasi undang-undang dasar
1945, seperti KUH Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD), Stb. 1939-100, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 beserta
peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 beserta peraturan pelaksanaannya,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 77 Tahun 2011 dan KM
Nomor 92 Tahun 2011.21
Secara konprehensif, Abdulkadir Muhammad juga menggambarkan
konsep hukum pengangkutan meliputi tiga aspek22
, diantaranya:
21
H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013) h. 8
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Penerbit PT Citra
Aditya Bakti, 2008), h. 7-8
26
a. Pengangkutan sebagai usaha (business)
Pengangkutan sebagai usaha adalah kegiatan usaha di bidang
jasa pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik. Alat
pengangkut mekanik contohnya ialah gerbong untuk mengangkut
barang, kereta untuk mengangkut orang, truk untuk mengangkut
barang, bus untuk mengangkut penumpang, pesawat kargo, pesawat
penumpang untuk mengangkut penumpang, kapal kargo untuk
mengangkut barang dan kapal penumpang untuk mengangkut
penumpang. Kegiatan usaha tersebut selalu dalam bentuk perusahaan
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum. Karena menjalankan
perusahaan usaha jasa pengangkutan bertujuan memperoleh
keuntungan dan/atau laba.
b. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement)
Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh
kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau
pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan
hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim. Kewajiban
pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang sejak tempat
pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati dengan
selamat. Sebagai imbalan, pengangkut berhak memperoleh sejumlah
uang jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Kewajiban
penumpang atau pengirim adalah membayar sejumlah uang sebagai
biaya pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan sampai di
tempat tujuan dengan selamat. Perjanjian pengangkutan pada
umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh
dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai
bukti sudah terjadinya perjanjian pengangkutan dan wajib
dilaksanakan pihak-pihak. Dokumen pengangkutan barang lazim
disebut surat muatan sedangkan dokumen penumpang lazimnya
disebut karcis penumpang.
27
c. Pengangkutan sebagai proses penerapan (aplying process)
Pengangkutan sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan
mulai dari permuatan ke dalam alat pengangkut. Kemudian dibawa
oleh pengangkut menuju tempat tujuan yang telah ditentukan, dan
pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai
proses merupakan sistem yang mempunyai unsur-unsur sistem yaitu
subjek pengangkutan, status pelaku pengangkutan, objek
pengangkutan, peristiwa pengangkutan dan hubungan pengangkutan.
Berbicara mengenai perlindungan hukum, maka berbicara sejauh mana
hukum serta aturan yang ada menegaskan dilaksanakannya tanggung
jawab masing-masing pihak. Oleh karenannya secara teoritis terdapat
aturan yang mengatur mengenai batasan tanggung jawab khususnya bagi
pelaku usaha pengangkutan udara, namun bukan berarti mengesampingkan
hak mereka sebagai pelaku usaha. Dalam hal ini tetap mengutamakan
keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan pengguna jasa
sesuai dengan Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan yang
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan. Dalam transportasi udara terdapat (tiga) macam konsep
dasar tanggung jawab hukum23
yaitu : konsep tanggung jawab hukum atas
dasar kesalahan (based on fault liability), konsep tanggung jawab hukum
atas dasar praduga bersalah (presumption of liability), dan konsep
tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) atau
tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability). Sehubungan
dengan tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang seperti yang
telah disebutkan, di bawah ini membahas konsep tanggung jawab
pengangkut yang diterapkan dalam Undamg-undang Penerbangan, yaitu:
a. Konsep Tanggung Jawab Hukum Atas Dasar Kesalahan (Base on
Fault Liability)
23
H.K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 145
28
Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault
liability) terdapat dalam Pasa 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pasal tersebut dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtsmatingdaad) berlaku umum terhadap siapapun juga, termasuk
perusahaan penerbangan. menurut pasal tersebut setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerguian terhadap orang lain
mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian
itu mengganti kerugian (tocompensate the damage). Berdasarkan
ketentuan tersebut setiap orang harus bertanggung jawab (liable)
secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena
perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang
tersebut harus bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti rugi
yang diderita oleh orang.24
b. Konsep Tanggung Jawab Hukum Praduga Bersalah
Konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of
liability concept), penumpang atau pengirim barang tidak perlu
membuktikan kesalahan pengangkut (maskapai penerbangan), sebab
maskapai penerbangan telah dianggap bersalah. Dalam konsep
tanggung jawab praduga bersalah, yang harus membuktikan adalah
perusahaan penerbangan yang disebut dengan pem-buktian terbalik
(burden of proof) atau disebut juga dengan pembuktian negatif. Jadi
maskapai penerbangan harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Apabila maskapai penerbangan (termasuk karyawan, pegawai, agen
atau perwakilannya) dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah,
maka maskapai penerbangan bebas dari tanggung jawab untuk
membayar ganti rugi kepada penumpang atau pengirim barang.
c. Konsep Tanggung Jawab Mutlak (Absolute liability principle)
Tanggung Jawab Mutlak atau pertanggung jawaban tanpa
kesalahan adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan
kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang
24
H.K. Martono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Cetakan ke-2,
(Jakarta; PT. Rajagrafindo Persada, 2016), h. 10
29
bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur
kesalahan atau tidak dan si pelaku dapat dimintakan tanggung jawab
mutlak yang diutamakan adalah fakta kejadian oleh korban dan
tanggung jawab oleh orang yang diduga sebagai pelaku dimana
kepadanya tidak diberikan hak untuk membuktikan tidak bersalah.25
C. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu
Pertama, “Tinjauan Hukum terhadap Penerapan Harga Tiket Pesawat
Udara Pada Maskapai Garuda Indonesia Untuk Penerbangan Domestik
(Tinjauan Peraturan Mentri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2010)” yang
disusun oleh Husnul Azmi Ritonga, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, 2015. Skripsi ini
membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap penjualan harga tiket
pesawat Garuda Indonesia berdasarkan Peraturan Mentri Nomor 26 Tahun
2010 tentang Mekanisme Formulasi Pehitungan dan Penetapan Tarif Batas
Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjawal
Dalam Negeri. Perbedaannya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah
penulis melakukan studi kasus terhadap pembatalan penerbangan karena
overseat.
Kedua, “Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
Atas Keterlambatan dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang
Angkutan Udara ( Studi Pada PT.Sriwijaya Air Medan)” yang disusun oleh
Adrian Hidayat Nasution, Universitas Sumatera Utara, Fakultas Hukum,
2012. Skripsi ini membahas mengenai faktor-fakor apa saja yang
menyebabkan pesawat Sriwijaya sering terjadi keterlambatan penerbangan
(delay), dihubungkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92
Tahun 2011 yang mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara
terhadap penumpang. Perbedaannya dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah penulis melakukan studi kasus terhadap pembatalan penerbangan
25
Munir Fuady I, Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2005),
h.275
30
maskapai penerbangan Lion Air dengan meninjau peraturan perundang-
undangan tentang penerbangan dan perlindungan konsumen.
Ketiga, buku Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional di
susun oleh H.K Martono, dan Agus Pramono, buku ini membahas mengenai
sumber hukum udara internasional maupun nasional serta konsep tanggung
jawab hukum yang menjadi pembeda dengan peneliti adalah adalah peneliti
membahas studi kasus terhadap pembatalan penerbangan Lion Air
beradasrkan putusan yang terkait.
Keempat, Jurnal Hukum yang berjudul “Perlindungan dan Tanggung
Jawab Perusahaan Penerbangan Domestik PT.LAI Kepada Konsumen Selaku
Penumpangnya” yang disusun oleh Lukmanul Hakim dan Sry. Jurnal ini
membahas mengenai perlindungan hukum dan tanggung jawab PT. LAI
terhadap penumpangnya dan mekanisme upaya hukum yang bisa dilakukan
penumpang yang dirugikan oleh PT. LAI, perbedaan jurnal ini dengan
penelitian yang penulis buat adalah penulis melakukan studi kasus mengenai
pembatalan penerbangan karena overseat yang dilakukan oleh maskapai Lion
Air.
31
BAB III
PERAN PEMERINTAH TERHADAP PENGAWASAN BADAN USAHA
ANGKUTAN UDARA DI INDONESIA
A. Profil Perusahaan Lion Air
Lion Air merupakan maskapai penerbangan swasta nasional asal
Indonesia yang secara hukum didirikan pada tanggal 15 November 1999 dan
mulai beroperasi pertama kali pada tanggal 30 Juni 2000. Berkantor pusat di
Lion Air Tower, Jl. Gajah Mada No. 7 yang berada di kawasan Jakarta Pusat,
PT. Lion Mentari Airlines atau yang biasa dikenal dengan Lion Air
merupakan maskapai penerbangan berbiaya rendah (Low Cost Carrier) dengan
mengusung slogan “We Make People Fly”. Melalui hal ini Lion Air mencoba
mewujudkan dan merubah stigma masyarakat bahwa siapapun bisa terbang
bersama Lion Air dengan tetap mengedepankan aspek keselamatan,
keamanan, dan kualitas penerbangan.
Lima belas tahun lebih mengudara dan melayani masyarakat, hingga
saat ini Lion Air telah terbang ke 183 rute penerbangan yang terbagi dalam
rute domestik yang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia dari sabang sampai
merauke, dan rute Internasional menuju sejumlah negara seperti, Singapore,
Malaysia, Saudi Arabia dan China. Jumlah rute tentunya akan terus bertambah
karena melihat pasar penerbangan di Indonesia yang terus berkembang begitu
pesat. Dengan kepemilikan pesawat sebanyak 112 armada yang terbagi dalam
beberapa tipe seperti Boeing 747-400, Boeing 737-800, Boeing 737-900 ER,
dan Airbus A330-300. Jumlah armada pun juga akan bertambah sesuai dengan
pengiriman pemesanan pesawat yang dilakukan oleh Lion Air.
1. Sejarah Lion Air
Lion Air didirikan oleh kakak beradik bernama Kusnan dan Rusdi
Kirana. Kusnan dan Rusdi Kirana tercatat sebagai salah satu orang terkaya
Indonesia versi Forbes 2015 dengan kekayaan USD 1,8 miliar. Lion Air
didirikan pada tanggal 15 November 1999 dan mulai beroperasi pertama
kali pada tanggal 30 Juni 2000, dengan melayani rute penerbangan dari
32
Jakarta menuju Pontianak menggunakan pesawat dengan tipe Boeing 737-
200 yang pada saat itu berjumlah 2 unit.
Lion Air beroperasi di bawah bendera PT. Lion Mentari Airlines
sebagai perusahaan yang mengelola maskapai penerbangan berbiaya
rendah (Low Cost Carrier) dengan mengusung slogan “We Make People
Fly”. Lima belas tahun lebih mengudara dan melayani masyarakat, hingga
saat ini Lion Air telah terbang ke 183 rute penerbangan yang terbagi dalam
rute domestik yang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia dari sabang
sampai merauke, dan rute Internasional menuju sejumlah negara seperti,
Singapore, Malaysia, Saudi Arabia dan China. Jumlah rute tentunya akan
terus bertambah karena melihat pasar penerbangan di Indonesia yang terus
berkembang begitu pesat. Dengan kepemilikan pesawat sebanyak 112
armada yang terbagi dalam beberapa tipe seperti Boeing 747-400, Boeing
737-800, Boeing 737-900 ER, dan Airbus A330-300. Jumlah armada pun
juga akan bertambah sesuai dengan pengiriman pemesanan pesawat yang
dilakukan oleh Lion Air.
Dalam perjalanannya, Lion Air telah banyak memiliki rangkaian
prestasi dan penghargaan, serta sertifikasi internasional yang tentunya
diraih untuk terus meningkatkan kualitas dalam pelayanannya kepada
masyarakat dan pelanggan setianya. Beberapa diantaranya adalah
sertifikasi ISSA yaitu sebuah standar keselamatan dan keamanan berskala
internasional yang diberikan oleh IATA dan diraih pada Januari 2016,
Lalu sertifikasi ISO 9001:2015 mengenai delay management yang
tentunya standar tersebut akan terus diaudit secara berkala.1
2. Visi dan Misi Maskapai Penerbangan Lion Air
a. Visi
Menjadi perusahaan penerbangan swasta nasional yang melayani
penerbangan domestik dan internasional dengan berpedoman kepada
prinsip-prinsip keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah
ditetapkan lion air.
1 http://www.lionair.co.id/id/lion-experience/about, diakses pada tanggal 17 April 2018
33
b. Misi
Menjadi perusahaan penerbangan nasional inovatif, efisien dan
profesional dalam menjangkau beberapa kota yang ada di Indonesia
sehingga akan lebih banyak pengguna yang dapat terbang bersama
armada lion air.
B. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Keterlambatan
Penerbangan
Narasumber dari perwakilan PT. Lion Mentari Airlines Bapak Rama
Ditya Handoko dari divisi hubungan masyarakat. Peneliti mempertanyakan
apakah penanganan keterlambatan penerbangan pada maskapai Lion Air
sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki oleh
Lion Air dan bagaimana bentuk tanggung jawab maskapai Lion Air apabila
terjadi pembatalan penerbangan karena overseat seperti pada kasus yang
peneliti buat.
Beliau menjelaskan bahwa, “untuk penanganan kepada penumpang
yang mengalami keterlambatan penerbangan sudah dilakukan sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki perusahaan kami”.2
Standar Operasional Prosedur (SOP) Lion Air mengacu pada Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, KM Nomor 25 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, PM Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut, PM 38 Tahun 2015 tentang Standar
Pelayanan Penumpang Angkutan Udara dalam Negeri dan PM 89 Tahun 2015
tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (delay management) pada
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
“Pada setiap sub BAB yang terlampir dalam Standar Operasional
Prosedur (SOP) maskapai Lion Air, sudah jelas mengatur secara keseluruhan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh maskapai kami terhadap
penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan sesuai dengan hak-
hak mereka selaku konsumen sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan
2 Wawancara dengan Rama Ditya Handoko, 23 Mei 2018
34
Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan
(delay management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di
Indonesia. Dan dalam hal ini, implementasi untuk keterlambatan penerbangan
menurutnya sampai saat ini dirasa sudah cukup baik, mulai dari kerjasama
setiap unit kerja kepada Airport Utirithy untuk menghubungi otoritas bandara
setempat, cathering service, passanger handling, hotel dan transportasi lainnya
untuk memberitahukan bahwa akan atau telah terjadinya keterlambatan
penerbangan pada maskapai kami dan setelah itu berkoordinasi untuk
memberikan layanan terbaik untuk calon penumpang kami yang mengalami
keterlambatan penerbangan”.3
Tanggung jawab kepada penumpang pada kasus pembatalan
penerbangan karena overseat yaitu dengan mengalihkan ke penerbangan lain,
dan memberikan akomodasi trasportasi dan penginapan. Akan tetapi, ganti
rugi yang seharusnya diberikan oleh pihak maskapai sangat berjalan dengan
lambat.4
C. Peranan Pemerintah Terhadap Pengawasan pada Badan Usaha
Angkutan Niaga Berjadwal
Narasumber dari perwakilan Kemeterian Perhubungan adalah Ibu Indri
Rosalina, S.Sos., M.Si sebagai Kepala Seksi Sistem Pelayanan Angkutan
Udara Subdirektorat Sistem Informasi dan Pelayanan Angkutan Udara. Pada
kesempatan wawancara tersebut peneliti menanyakan tentang bentuk
pengawasan Kementrian Perhubungan terhadap pelanggaran perundang-
undangan yang terjadi pada maskapai penerbangan di Indonesia dan sanksi
apa yang diberikan terhadap Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal
yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Kementrian Perhubungan terhadap
perkara pelanggaran perundang-undangan yang terjadi pada maskapai
penerbangan di Indonesia merupakan pengawasan secara langsung. Direktorat
3 Wawancara dengan Rama Ditya Handoko, 23 Mei 2018
4 Wawancara dengan Rama Ditya Handoko, 23 Mei 2018.
35
Angkutan Udara sebagai regulator yang memiliki tugas melaksanakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan penyusunan norma, standar, prosedur,
kriteria, pemberian bimbingan teknis, supervise dan evaluasi serta pelaporan
dibidang angkutan udara. Dalam hal pengawasan secara keseluruhan terhadap
Badan Usaha Angkutan Udara, Direktorat Angkutan Udara memberikan
wewenang kepada Inspektur penerbangan sebagai personel yang diberi tugas,
tanggung jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melakukan kegiatan pengendalian, pengawasan keamanan, dan pelayanan
penerbangan. Pengawasan keselamatan keamanan dan pelayanan penerbangan
meliputi audit, inspeksi, pengamatan, pemantauan, survei dan pengujian,
untuk Inspektur Penerbangan melaksanakan tugas dan wewenang pada kantor
pusat direktorat jendral dan kantor otoritas bandar udara. Pengawasan selain
dilakukan oleh Inspektur Penerbangan juga dilakukan oleh masing-masing
Subdirektorat Angkutan Udara. Insprektur penerbangan dan Subdirektorat
memiliki program pengawasan untuk 1 tahun anggaran berjalan,
pengawasannya sesuai dengan program kegiatan. Untuk pengawasan masalah
keterlambatan penerbangan atau delay management, yang memiliki kegiatan
pengaturan, pengendalian dan pengawasannya adalah ada pada Subdirektorat
Sistem Informasi dan Pelayanan Angkutan Udara sesuai dengan Peraturan
Direktur Jendral Perhubungan Udara KP Nomor 199 Tahun 2017 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Pengaturan, Pengendalian, dan Pengawasan di
Lingkungan Direktorat Jendral Perhubungan Udara pada pasal 8 ayat (2) huruf
c yakni;
“Penyusunan bahan pengawasan terkait:
1. Pelayanan penumpang angkutan udara
2. Pelayanan kargo angkutan udara
3. Pelayanan jasa penunjang angkutan udara
4. Pelayanan angkutan udara haji; dan
5. Penanganan keterlambatan penerbangan/delay management.”
Dalam hal terjadinya penundaan atau pembatalan penerbangan
Direktorat Angkutan Udara selaku regulator penerbangan juga sudah
36
membuat peraturan seperti misalnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay
Management).
“Jadi kalau misalnya ada masalah seperti penundaan penerbangan atau
pembatalan penerbangan karena alasan faktor cuaca atau teknis operasional,
maka inspektur penerbangan dan maskapai serta pengelola bandara harus
cepat berkoordinasi sehingga didapat kesimpulan penerbangan akan ditunda
atau dibatalkan”.5
Hasil pengawasan langsung oleh Inspektur Penerbangan dilaporkan
oleh Inspektur Penerbangan kepada Direktur atau Kepala Kantor Bandar
Udara berupa perintah tugas melalui pesan pendek atau SMS atau bentuk lain
yang sejenis untuk dilakukan pemeriksaan, setelah menerima laporan dari
Inspektur Penerbangan setelah itu pengelola bandara dan maskapai juga
harus memberikan informasi yang transparan kepada penumpang terkait hal
yang terjadi sehingga penumpang mendapatkan informasi yang jelas bahwa
pesawat yang akan ditumpanginya tidak dapat diberangkatkan sesuai dengan
jadwal karena alasan faktor cuaca dan teknis operasional, faktor cuaca dan
terknis operasional yang dimaksud susai dengan PM Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara dalam
pasal 13 ayat (2) faktor cuaca sebagaimana yang dimaksud ayat (1) antara
lain hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang, di bawah standar
minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar minimal, atau
keepakatan angina yang melampaui standar maksimal yang menggangu
keselamatan penerbangan dan pasal 13 ayat (3) yang dimaksud dengan teknis
operasional adalah bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
digunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandar udara atau
landasan terganggu fungsinya misalnya retak, bajir atau kebakaran, dan
terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off) mendarat (landing)
atau lokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara serta
keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling). Penumpang dan operator
5 Wawancara dengan Indri Rosalina, 14 Mei 2018
37
harus bekerjasama membuat kondisi yang nyaman bagi semua pihak tanpa
merugikan salah satu pihak. Dan semua kegiatan tersebut harus dalam
koordinasi dan pengawasan dari otoritas bandara setempat.
Seperti kasus yang peneliti buat, dalam kasus ini maskapai
penerbangan Lion Air melakukan pembatalan penerbangan dari Manado ke
Jakarta kepada beberapa calon penumpangnya karena kapasitas pesawat
udara (change aircraft 215 seat ke 205 seat) dan pihak maskapai tidak
memberitahukan kepada calon penumpangnya sebelum 7 hari keberangkatan
melainkan pada saat penumpang melakukan check in tiket atas nama
penumpang sendiri. Pada kasus ini, maka yang turun langsung untuk
menangani masalah ini adalah pihak operator atau maskapai penerbangan dan
kantor otoritas bandar udara wilayah VIII kelas II yang berlokasi tepat di
bandar udara Samratulangi Manado sesuai dengan penempatan kelas,
wilayah, dan lokasi kantor otoritas bandar udara yang ada di Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 41 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Otoritas Bandar Udara. Maka otoritas bandar udara yang berada di bandara
Samratulangi Manado segera menindaklanjuti kasus yang terjadi pada saat
itu.
Mengenai sanksi terhadap maskapai penerbangan yang melakukan
pelanggaran terhadap perundang-undangan akan dikenakan sanksi
administratif, pelanggaran yang dimaksud di temukenali berdasarkan hasil
pengawasan inspektur penerbangan, temuan langsung oleh inspektur
penerbangan pada saat di lokasi atau laporan dari operator atau personel
penerbangan yang mengetahui atau melakukan pelanggaran. Dalam hal
ditemukenali adanya pelanggaran, Inspektur Penerbangan harus menyusun
Laporan Hasil Pengawasan atau LPH dan dilaporkan kepada Direktur,
Kepala Kantor dan Sekretaris Direktorat Jendral, setelah menerima LPH
Sekretaris Direktorat Jendral bersama Direktur dan atau Kepala Kantor serta
Inspektur Penerbangan melakukan evaluasi dan analisa terkait penegakan
hukum. Untuk kasus pelanggaran seperti delay atau bahkan sampai dengan
pembatalan penerbangan dengan alasan yang tidak sesuai dengan peraturan
38
menteri yang terkait, dan terjadi berturut-turut, maka akan dikenakan sanksi
administratif berupa surat peringatan saja, tidak sampai kena denda penalty
atau bahkan sampai pencabutan, kecuali badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal tidak mengirimkan laporan On Time Performance (OTP)
keterlambatan penerbangan dan pembatalan penerbangan setiap bulan paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya akan dikenakan sanksi administratif
berupa pembekuan selama 5 hari, dan denda penalty sebesar Rp. 250.000
sampai dengan Rp. 1.000.000 berdasarkan PM Menteri Perhubungan Nomor
78 Tahun 2017 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap
Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Penerbangan.
D. Tanggung Jawab Pengangkut Udara Apabila Terjadi Pembatalan
Penerbangan Keberangkatan Sepihak oleh Maskapai Penerbangan
1. Tanggung Jawab Pengangkut Udara apabila Melakukan Pembatalan
Penerbangan
Konversi Wasarwa menentukan bahwa pengangkut bertanggung
jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi, atau kargo akibat
adanya keterlambatan selama dalam pengangkutan udara.6
Dalam pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan pada menyebutkan pengertian tanggung jawab
pengangkut udara yakni “Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban
perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga”. Tanggung jawab
pengangkut apabila melakukan pembatalan penerbangan diatur dalam
beberapa peraturan yang belaku di Indonesia, yaitu:
a. Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yakni “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan atau kerugian akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
6 Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta; Liberti, 1989), h.105
39
b. Dalam Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan mengatakan “Pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan
penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila penggangkut dapat
membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor
cuaca dan teknis operasional”.
Fakor cuaca sebagaimana yang dimaksud diatas berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang
Penanganan Keterlambatan (Delay Management) pada Badan Usaha
Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia antara lain hujan lebat,
petir, badai, kabut, asap, jarak pandang dibwah standar minimal, atau
kecepatan angina yang melampaui standar maksimal yang menggangu
keselamatan penerbangan. Sedangkan, Teknis Operasional antara lain:
1) Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
digunakan operasional pesawat udara;
2) Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu
fungsinya misalnya retak, banjir atau kebakaran;
3) Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat
(landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di
bandar udara; atau keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling)
c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara memasukkan
pembatalan penerbangan sebagai salah satu keterlambatan. Ada tiga
jenis keterlambatan menurut Pasal 9 PM 77: “Keterlambatan angkutan
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari:
1) Keterlambatan penerbangan (flight delayed)
2) Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat
udara (denied boarding passanger); dan
3) Pembatalan penerbangan (cancelation of flight)
Selanjutnya dalam pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 77 Tahun 2011 : “Terhadap tidak terangkutnya penumpang
40
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b, pengangkut wajib
memberikan ganti kerugian berupa:
a. Mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya
tambahan dan atau
b. Memberikan konsumsi, akomodasi, biaya transportasi apabila
tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
d. Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015
Tentang Penanganan keterlambatan (Delay Management) pada Badan
Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, keterlambatan
penerbanggan dikelompokkan dalam 6 (enam) kategori keterlambatan,
yaitu:
a) kategori 1, keterlambatan 30 menit s/d 60 menit;
b) kategori 2, keterlambatan 61 menit s/d 120 menit;
c) kategori 3, keterlambatan 121 menit s/d 180 menit;
d) kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit;
e) kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit; dan
f) kategori 6, pembatalan penerbangan.
Tentang pemberian kompensasi dan ganti rugi pada pasal 9 ayat (1)
menyebutkan “Badan Usaha Angkutan Udara wajib memberikan
kompensasi sesuai dengan kategori keterlambatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 berupa:
a) keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan;
b) keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan
ringan;
c) keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan
berat (heavy meal);
d) keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan
ringan (snack box), makanan berat (heavy meal);
e) keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp.
300.000 (tiga ratus ribu rupiah);
41
f) keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib
mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh
biaya tiket (refund ticket); dan
g) keterlambatan pada kategori 2 sampai 5 penumpat dapat dialihkan ke
penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket
(refund ticket)
2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab
Sehubungan dengan tanggung jawab pengangkut, peneliti juga
akan menjelaskan beberapa prinsip tanggung jawab dalam hukum. Prinsip
tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen.
Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-
hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan
seberapa jumlah yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.7
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab dan cara
membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut pada dasarnya
diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya
kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian dibebankan
dalam proses penuntutan. Ketiga prinsip tanggung jawab ini adalah
sebagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini
menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya
secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Tanggung
jawab hukum atas dasar kesalahan (liability based on fault) adalah
prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum perdata khususnya
Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang
perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur
pokok, yaitu :
7 Celina Tri Siwi Kritiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta; Sinar Grafika,
2001), h. 92
42
1) Adanya perbuatan;
2) Adanya unsur kesalahan;
3) Adanya kerugian yang diderita;
Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,
tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.8 Asas tanggung
jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat
salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain,
tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang
diderita orang lain. Tanggung jawab atas dasar kesalahan melemahkan
hak-hak penumpang, karena penumpang tidak punya keahlian untuk
membuktikan kesalahan pengangkut. Tanggung jawab pengangkut
terbatas setinggi-tingginya sebesar kerugian penumpang. Konsep
tanggung jawab atas dasar kesalahan dirasakan adil apabila kedudukan
kedua belah pihak (penumpang selaku konsumen dan pengangkut)
mempunyai kemampuan yang sama sehingga mereka dapat saling
membuktikan kesalahan.
b. Tanggung Jawab Hukum Atas Dasar Praduga Bersalah (Presumption of
Liability)
Prinsip ini menyatakan, pengangkut selalu dianggap bertanggung
jawab, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Beban
pembuktiannya ada pada pengangkut. Pengangkutan udara dalam hal
tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of
liability) pernah diakui.9 Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini,
dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal 4 (empat)
variasi:
1) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia
dapat membuktikan kerugian yang ditimbulkan oleh hal-hal diluar
kekuasaannya;
8 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 93
9 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 94
43
2) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia
dapat membuktikan ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan
untuk menghindari timbulnya kerugian;
3) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia
dapat membuktikan kerugian yang timbul bukan karena
kesalahannya;
4) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan
oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu
barang yang diangkut tidak baik. Menurut konsep tanggung jawab
hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability),
perusahaan penerbangan dianggap bersalah, sehingga perusahaan
penerbangan demi hukum harus membayar ganti kerugian yang
diderita oleh penumpang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu,
kecuali perusahaan membuktikan tidak bersalah yang dikenal
sebagai beban pembuktian terbalik.10
c. Tanggung Jawab Hukum Mutlak (Strict Liability)
Tanggung jawab hukum mutlak (strict liability) sering diidentikan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati
demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua teminologi diatas.
Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung
jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
mementukan. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung
jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut
Koesnadi Hardjasoemantri, konsep tanggung jawab mutlak diartikan
terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan
timbulnya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak
adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan.11
10
H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 , (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 2011), h. 223
11 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (
Bandar Lampung: Penerbit UNILA, 2007), h. 9
44
3. Lingkup Tanggung Jawab Pembayaran Ganti Kerugian
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami
konsumen secara garis besar ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti
kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang
berdasarkan perbuatan melanggar hukum.12
Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka
terlebih dahulu tergugat dan penggugat (produsen dengan konsumen)
terikat suatu perjanjian. Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang
didasarkan pada perbuatan melawan hukum, tuntutan tidak perlu didahului
dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan
ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan walau
tidak pernah membuat perjanjian.13
12
Ahmad Miru & Sutaman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta;
Rajawalipers, 2010), h.127
13
Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen…, h.129
45
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PUTUSAN NOMOR
471/PK/Pdt/2017 TENTANG PEMBATALAN PENERBANGAN KARENA
OVERSEAT
Apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.
proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban
dari tergugat. jika semua tahap ini telah tuntas diselesaikan, Majelis
menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan
atau pengucapan putusan.1
Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Perkara Nomor 471
PK/Pdt/2017 yang dibacakan pada hari jum’at 25 Agustus 2017 akan peneliti
analisis apakah pertimbangan majelis hakim sudah sesusai dengan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Sebelum
menganalisis, peneliti membahas duduk perkara, pertimbangan hukum majelis
hakim, serta amar putusan.
A. Duduk Perkara
1. Para Pihak
Pada perkara ini yang menjadi pihak adalah Rolas Budiman Sitinjak, yang
bertempat tinggal di Jalan Gading Raya rt.001 rw.013, Pisangan Timur,
Pulo Gadung Jakarta Timur yang dalam perkara ini berkedudukan sebagai
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat/ Termohon Kasasi dan
Direktur Utama PT. Lion Mentari Airlines, yang berkedudukan di Jalan
Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat yang dalam perkara ini berkedudukan
sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/ Tergugat
I, selanjutnya Direktur Jendral Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia yang berkedudukan di Jalan Medan
Merdeka Barat Nomor 8 Jakarta Pusat yang dalam perkara ini
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.797
46
berkedudukan sebagai Para Pemohon Peninjauan Kembali dahulu
Termohon Kasasi II/ Tergugat II.
2. Kronologis Kasus
Penggugat adalah penumpang Lion Air yang bernama Rolas Budiman
Sitinjak. Sedangkan sebagai tergugat adalah Direktur Utama PT. Lion
Mentari Airlines dan Direktur Jendral Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan profesi Penggugat sebagai pengacara, Penggugat
akan melaksanakan aktivitasnya untuk melaksanakan janji temu dengan
para kolega dan kliennya di Jakarta, Penggugat juga hendak merayakan
hari ulang tahun putri sulungnya pada tanggal 20 Oktober 2011.
Untuk menghadiri acara tersebut maka penggugat membeli tiket
elektronik yang diterbitkan pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan Nomor
Tiket 9902170408086 dengan nama penggugat sendiri untuk tujuan
Manado ke Jakarta dengan Nomor Penerbangan JT 743.
Setelah Penggugat tiba dibandara Samratulanggi Manado pada pukul
17.15 WITA untuk melakukan check in atas nama miliknya dan setelah
tiba giliran Penggugat untuk memvalidasi tiket miliknya, dan saat itu
Penggugat mendapat pemberitahuan dari petugas yang melayani ticket
Penggugat yakni “pesawat telah overseat atau melebihi kapasitas”.
Selanjutnya Penggugat mendesak Tergugat I untuk menjelaskan perihal
gagal diberangkatkannya Penggugat dan para penumpang lainnya, lalu
Tergugat I mengeluarkan Surat Keterangan kepada Penggugat tidak dapat
diberangkatkan karena alasan Operasional (Change Aircraft 215 seat ke
205 seat).
Selain itu Penggugat meminta Tergugat I untuk memberikan
Kompensasi yang sangat manusiawi sesuai dengan ketentuan undang-
undang perilindungan konsumen. Penggugat akhirnya membeli tiket
pesawat elektronik maskapai Lion Air kembali dengan Nomor Tiket
9902170468988 yang diterbitkan pada tanggal 19 Oktober 2011 untuk
keberangkatan tanggal 20 Oktober 2011 dengan nomor penerbangan JT
0771.
47
3. Gugatan (Petitium)
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat
kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga
biasanya menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti seperti
menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan agar putusan
hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari
yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad.
Pada perkara tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Penggugat mengajukan gugatan untuk mengabulkan gugatan penggugat
untuk seluruhnya, menyatakan secara hukum tergugat bersalah melakukan
perbuatan melawan hukum, dan menyatakan kerugian yang dialami
penggugat merupakan akibat dari tindakan tergugat I serta meminta
tuntutan ganti kerugian materiil sebesar Rp. 25.814.300 (dua puluh lima
juta delapan ratus empat belas ribu tiga ratus ribu rupiah) dan kerugian
imateriil sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Pada perkara tingkat kasasi, Pemohon Kasasi/ Tergugat I meminta
untuk Majelis Hakim Agung membatalkan putusan Judex Facti, dan pada
perkara tingkat Peninjauan Kembali Pemohon Peninjauan Kembali/
Tergugat I meminta untuk Majelis Hakim Agung membatalkan putusan
dalam tingkat kasasi.
B. Putusan Tingkat Pertama, Kasasi dan Peninjauan Kembali
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh Hakim atas perkara
kasus Perlindungan Konsumen akibat perbuatan melawan hukum yang
diperiksa dan diadilinya. Hakim dalam memutus perkara ini terlebih dahulu
mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses
persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun
sumpah yang terungkap dalam persidangan, sehingga keputusan Hakim yang
ditetapkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan,
profesionalisme dan bersifat objektif.
48
Setelah pemeriksaan selesai, Majelis Hakim melakukan musyawarah
untuk mengambil putusan yang akan ditetapkan. Pemeriksaan atas perkara
Perlindungan Konsumen oleh Manjelis Hakim dianggap telah selesaii karena
telah melalui tahap jawaban dari tergugat. Putusan Majelis Hakim Agung di
tingkat Peninjauan Kembali diperkuat dengan adanya putusan sebelumnya
pada tingakat pertama dan kasasi.
1. Putusan Tingakat Pertama
Pada putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan nomor putusan 42/PDT.G/2012/PN.JKT.PST yaitu mengabulkan
gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan secara hukum tergugat I
melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan kerugian yang
dialami penggugat merupakan akibat dari tindakan tergugat I. Dalam
mengambil putusan ini, Majelis Hakim berpedoman pada putusan Hoge
Raad pada tahun 1999 dalam perkara Lindenbaum Cohen di Belanda
tentang perbuatan melawan hukum.
2. Putusan Tingkat Kasasi
Keberatan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, setelah meneliti
memori kasasi tanggal 4 mei 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 11
agustus 2015 dihubungkan dengan putusan Judex Facti telah tepat dan
benar dengan pertimbangan bahwa penggugat telah berhasil membuktikan
kebenaran dalil gugatannya yaitu tidak terangkutnya Pengugat dalam
penerbangan Tergugat I JT 743 dari Manado ke Jakarta tanggal 19 oktober
2011, oleh karena itu tergugat I terbukti telah melakukan perbuatan
melawan hukum terhadap penggugat sehingga menimbulkan kerugian bagi
penggugat, sebaliknya tergugat I tidak dapat membuktikan kebenaran
dalilnya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. Lion
Mentari Airlines ditolak oleh Majelis Hakim.
49
3. Putusan Peninjauan Kembali
Pada perkara Peninjauan Kembali dengan Nomor Putusan
471/PK/Pdt/2017 Majelis Hakim Agung Menolak permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Permohonan Peninjauan Kembali Direktur
PT. Lion Mentari Airlines.
C. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 471 PK/Pdt/2017
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 471/PK/Pdt/2017 Majelis
Hakim menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
pemohon kasasi PT. Lion Mentari Airlines. Untuk menganalisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 471/PK/Pdt/2017 peneliti akan melihat bagaimana
pertimbangan hukum majelis hakim dalam membuat putusan.
Pemohon Peninjauan Kembali menilai adanya pertimbangan hukum yang
salah dan/atau keliru, karena Pemohon Peninjauan Kembali tidak terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum, dengan demikian jelas terbukti
putusan Majelis Hakim Agung Nomor 3287 K/PDT/2015, tanggal 11 Februari
2016 dalam tingkat kasasi salah dan keliru oleh karenanya harus dibatalkan
dalam tingkat peninjauan kembali.
Majelis Hakim menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan
kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak terdapat
kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata karena dalam perkara a quo
penggugat telah membeli tiket pesawat Lion Air dengan tujuan Manado ke
Jakarta pada tanggal 19 oktober 2011, yang tidak dapat dilaksanakan oleh
tergugat I dengan alasan operasional dan untuk selanjutnya tergugat I juga
tidak memberikan kompensasi kepada penggugat sebagaimana diatur dalam
Pasal 140 dan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, sehingga perbuatan tergugat I tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas,
maka permohonan penjinjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali DIREKTUR UTAMA PT. LION AIR/PT. LION
MENTARI AIRLINES tersebut harus ditolak.
50
D. Analisis Putusan Hakim Nomor 471 PK/Pdt/2017
Menurut peneliti, putusan hakim dalam perkara ini sudah tepat
mengenai tidak di berangkatkannya penggugat pada penerbangan milik
tergugat I, dan tergugat I juga tidak memberikan kompensasi kepada
penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan, sehingga perbuatan tergugat I tersebut
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Karena sudah jelas
dalam Pasal 147 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan yaitu Penganggkut bertangung jawab atas tidak terangkutnya
penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan
kapasitas pesawat udara dan pada ayat (2) Tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang
berupa mengalihkan penumpang ke penerbangan lain tanpa membayar biaya
tambahan dan memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi
apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.
Dalam kasus ini, pihak maskapai dari tergugat I tidak memberikan
kompensasi ganti kerugian kepada konsumen selaku penumpangnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan dalam Pasal 11 Peraturan
Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara
yang berisikan tentang tanggung jawab pengangkut terhadap pemberian ganti
kerugian tidak terangkutnya penumpang karena alasan kapasitas pesawat
seperti pada kasus yang dialami penggugat dan tergugat.
Selanjutnya, mengenai perbuatan melawan hukum yang dijatuhkan
Hakim kepada tindakan yang dilakukan tergugat I sudah dirasa tepat.
Berdasarkan teori tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (base on fault
liability) terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal tersebut dikenal sebagai tindakan melawan hukum (onrecht matige
daad) berlaku umum terhadap siapapun juga, termasuk perusahaan
penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian (to compensate
51
the damage). Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang harus bertanggung
jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila karena
perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut
harus bertanggung jawab (liable) untuk membayar ganti rugi yang diderita
oleh seseorang.
Dalam perkara ini, ada kerugian yang diderita oleh Tergugat I karena
penggugat tidak dapat diberangkatkan oleh pesawat milik Tergugat I karena
alasan kapasitas pesawat udara atau teknis operasional yang merupakan faktor
kesalahan yang dibuat oleh Tergugat I. Apabila terjadi peristiwa atau kejadian
yang menyebabkan kerugian bagi penumpang maka akan timbul tanggung
jawab hukum dari pihak pengangkut untuk mengganti kerugian yang dialami
penumpang, wujud tanggung jawab tersebut adalah berupa pemberian ganti
rugi atau kompensasi.2
Pada putusan mengenai perbuatan melawan hukum, Majelis Hakim
berpedoman pada putusan Hoge Raad tahun 1919 dalam perkara Lindenbaum
Cohen di Belanda, yang menyebutkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum
adalah melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum dari
si pembuat, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan
kepatutan yang berlaku. Dalam kasus ini, pihak maskapai tidak mau
memberikan kompensasi kepada penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal
147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan
alasan Penggugat tidak mau menyerahkan tiketnya, alasan tersebut tidak dapat
diterima secara hukum, karena tanpa pengugat menyerahkan tiketnya kepada
Tergugat I tetap mempunyai kewajiban memberikan kompensasi kepada
penggugat, dengan tidak memberikan kompensasi tersebut, Tergugat I juga
tidak melakukan kewajibannya kepada Penggugat sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Seharusnya, semua maskapai penerbangan apabila melakukan keterlambatan
penerbangan bahkan sampai dengan pembatalan penerbangan di luar alasan
2 Ridwan Khaerandy, Pengantar Hukum Pengangkutan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2006), h.167
52
faktor cuaca dan teknis operasional berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan peraturan pemerintah lainnya yang berkaitan, harus
memberikan ganti kerugian kepada penumpangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang belaku. Maka dalam kasus ini, Tergugat I sudah
jelas tidak memberikan ganti kerugian kepada penumpangnya, sehingga
menurut peneliti putusan majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali
sudah dirasa tepat berdasarkan alasan-alasan diatas.
Berdasarkan teori tanggung jawab mutlak atau pertanggung jawaban
tanpa kesalahan adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada
pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan
dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak dan
si pelaku dapat dimintakan tanggung jawab mutlak yang diutamakan adalah
fakta kejadian oleh korban dan tanggung jawab oleh orang yang diduga
sebagai pelaku dimana kepadanya tidak diberikan hak untuk membuktikan
tidak bersalah.3 Dalam kasus ini, perusahaan penerbangan harus bertanggung
jawab atas terjadinya overseat ini, walaupun pihak management perusahaan
tidak terlibat langsung tetapi tetap memiliki kewajiban untuk memberikan
pertanggung jawaban hukum atas kejadian ini. Seperti kasus, hilangnya
kendaraan roda dua di parkiran yang dikelola oleh PT. Securindo Packatama
Indonesia atau sering dikenal dengan Secure Parking. Meskipun, pihak
management perusahaan Secure Parking tersebut tidak terlibat langsung dalam
hilangnya kendaraan roda dua tersebut, namun pihak perusahaan harus
bertanggung jawab terhadap kasus itu, karena kesalahan pengelola parkir pada
saat dilapangan tetap menjadi tanggung jawab perusahaan tersebut.
Pada perkara ini, jelas bahwa atas perbuatan tidak diberangkatkannya
Penggugat pada penerbangan JT 743 milik Tergugat I karena alasan
operasional merupakan kesengajaan yang menimbulkan kerugian pada
Penggugat, karena tiket pesawat untuk penerbangan tersebut telah dibeli oleh
Penggugat sehari sebelum diberangkatnya Penggugat oleh pesawat milik
3 Munir Fuadi I, Perbandingan Hukum Perdata, (Bansung; Citra Aditya Bakti, 2005),
h.45
53
Tergugat I, yang mana seharusnya Tergugat I tidak menerbitkan tiket
elektronik milik Penggugat karena pihak Tergugat I sudah menduga akan
terjadi overseat, oleh karenanya perbuatan Tergugat I tersebut menimbulkan
kerugian yang dialami oleh Penggugat dan Tergugat I tidak mau memberikan
kompensasi kepada Penggugat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 147
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang sudah
menjadi kewajiban bagi Tergugat I maka atas alasan diatas perbuatan Tegugat
I dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Selanjutnya mengenai beban pembuktian terbalik. Pembuktian
merupakan salah satu tahap yang sangat penting dalam proses penyelesaian
sengketa. Berdasarkan asas umum pembuktian pada Pasal 1865 KUH
Perdata/163 HIR, baik penggugat maupun tergugat diberikan hak untuk
membuktikan dalil-dalilnya. Dasar pembebanan pembuktian dalam hukum
acara perdata yang ada pada Pasal 1865 KUH Perdata menyatakan barang
siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu
peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau menyangkal hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.4
Berdasarkan teori perlindungan konsumen yaitu the due care theory
menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati
dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa, pada prinsip ini berlaku
pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan dan
selanjutnya prinsip yang menyatakan pembuktian berbalik adalah prinsip
tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah, prinsip ini menyatakan,
pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan
ia tidak bersalah. Beban pembuktiannya ada pada pengangkut. Pengangkutan
udara dalam hal tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah
(presumption of liability) pernah diakui.5 Dalam perkara ini, Tergugat I dalam
jawaban atas gugatan Penggugat terhadapnya, Tergugat I tidak dapat
membuktikan dalil bantahannya. Oleh karena itu, dalam putusannya hakim
4 Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen…, h.167
5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 94
54
nampak menggunakan beban pembuktian terbalik, dimana Tergugat I tidak
dapat membuktikan dalil-dalil bantahan atas hak yang dimilikinya pada
persidangan.
Jadi menurut peneliti, Majelis Hakim dalam mengambil keputusan
sudah dirasa tepat. Kerena pertimbangan-pertimbangannya mengacu pada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Apabila
diteliti lebih lanjut mengenai kasus tersebut ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Dalam jawabannya Tergugat I menjelaskan bahwa mengapa Tergugat I
melakukan pembatalan penerbangan tersebut karena alasan operasional,
yaitu kapasitas pesawat udara (change aircraft 215 seat ke 205). Pada PM
Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara dan
PM 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan
(delay management) pada Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal di
Indonesia menjelaskan bahwa pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab
atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan yang disebabkan
oleh faktor cuaca dan atau teknis operasional. Teknis Operasional yang
dimaksud adalah:
a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan
operasional pesawat udara;
b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya
misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
c. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat
(landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di
bandar udara; atau
d. Keterlambatan pengisian bahan bakar.
2. Terhadap kasus ini, ada hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku
usaha berdasarka Pasal 4 UUPK Nomor 8 Tahun 1999, di dalam UUPK
tersebut tidak saja dimaksudkan melindungi hak-hak konsumen dari
tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha, melainkan juga
dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan mendorong
55
pelaku usaha menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Hal ini terdapat dalam penjelasan umum UUPK yang disebutkan bahwa
dalam pelaksanaannya akan tetap memperhatikan hak dan kepentingan
pelaku usaha kecil dan menengah. 6
Berdasarkan kasus di atas, terdapat hak-hak konsumen yang dilanggar
berdasarkan Pasal 4 UUPK, yakni:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Dalam kasus ini, maskapai Lion Air selaku pelaku usaha
penerbangan telah menggalar hak-hak Rolas Budiman Sitinjak yang
seharusnya didapat sebagai pihak konsumen maskapai Lion Air tidak
memberangkatkan Rolas Budiman Sitinjak sesuai dengan tiket yang
sudah dibeli. Sehingga penumpang tidak mendapatkan hak atas
kenyamanan dalam mengkonsumsi jasa tersebut.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
Dalam hal ini, Maskapai Lion Air sudah melanggar hak
penumpang selaku konsumen untuk mendapatkan jasa yang
seharusnya didapat.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.
Seharusnya maskapai Lion Air memberitahukan atau memberikan
informasi kepada para penumpang sebelum keberangkatan bahwa
adanya perubahan aircraft baik secara tertulis ataupun lisan.
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
Pihak maskapai Lion Air telah melanggar hak Rolas Budiman
Sitinjak karena tidak menanggapi dan memberikan kompensasi yang
sangat manusiawi kepada Rolas Budiman Sitinjak.
6 Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Cet 1, (Jakarta: Visimedia,2008),
h.12
56
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dalam hal ini, Rolas Budiman Stitinjak selaku konsumen sudah
melakukan negoisasi dengan pihak Lion Air untuk memberikan ganti
rugi yang layak tetapi tidak ada pemberian kompensasi atau ganti rugi
dari maskapai Lion Air.
f. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, penggantian apabila
barang dan/jasa yang diterima tidak sebagaimana mestinya.
Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi tersebut timbul
karena jasa penerbangan yang seharusnya diterima oleh Rolas
Budiman Sitinjak selaku konsumen yaitu tidak diberangkatnya
penumpang karena overseat. Oleh karena itu, penumpang berhak
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi tersebut.
E. Pelanggaran Standar Operasional Prosedur tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan Oleh PT. Lion Mentari Airlines
Pada kasus peneliti, pembatalan penerbangan karena alasan kapasitas
pesawat udara atau overseat baru diberitahukan oleh pihak maskapai pada
saat penggugat melakukan chek-in tiket atas namanya, dan dalam hal tersebut
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan yang dimiliki perusahaan Lion Air pada pasal 9
angka (1) yaitu dalam hal terjadinya pembatalan penerbangan penumpang
dibebaskan dari denda, penalty ataupun tambahan biaya lainnya akibat
pembatalan penerbangan, semua bentuk kompensasi mengacu kepada PM 89
Tahun 2015.
Dalam wawancara peneliti dengan karyawan PT. Lion Mentari
Airlines yaitu bapak Rama Ditya Handoko mengenai tanggung jawab pihak
maskapai terhadap pembatalan penerbangan karena overseat yang
mengharuskan pihak maskapai memberikan kompensasi berupa mengalihkan
penumpang ke penerbangan lain, atau memberikan akomodasi apabila tidak
ada penerbangan lain ke tempat tujuan, masih berjalan lambat. Dalam hal
57
pemberian kompensasi terhadap kasus peneliti, pihak maskapai dalam
memberikan kompensasi belum sesuai dengan Standar Operasional Prosedur
tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan yang dimiliki oleh
perusahaan Lion Air, meskipun sudah jelas bahwa apabila terjadi pembatalan
penerbangan akan diberikan kompensasi sesuai dengan Peraturan Menteri
Perhubungan yang terkait.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pemaparan yang di bahas pada bab-bab sebelumnya, maka
peeliti dapat mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban dari
beberapa rumusan masalah yang peneliti berikan.
1. Bahwa dalam hal ini, maskapai penerbangan selaku pengangkut dan
sebagai pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap penumpangnya
selaku konsumen. Tanggung jawab pengangkut menurut Pasal 1 ayat (22)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Serta
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam Pasal 19 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal terjadi
pembatalan penerbangan, maskapai penerbangan selaku pengangkut
memiliki tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang terkait, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang ada pada
Pasal 9 dan 11, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun
2015 Tentang Penanganan Keterlambatan (Delay Management) pada
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang ada
pada pasal 3.
2. Bahwa terkait pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai penerbangan,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan telah melakukan
pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada pengawasan
secara keseluruhan terhadap Badan Usaha Angkutan Udara yang
melakukan pelanggaran, Direktorat Angkuta Udara memberikan
wewenang kepada Inspektur Penerbangan sebagai personel yang diberi
tugas, tanggung jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan kegiatan pengendalian, pengawasan keamanan, dan
pelayanan penerbangan.
59
3. Bahwa dalam putusan Hakim nomor 471 PK/Pdt/2017 hakim menolak
Permohonan Peninjauan Kembali oleh PT. Lion Mentari Airlines karena
Permohonan Peninjauan Kembali terbukti tidak melaksanakan
kewajibannya kepada teregugat I dengan alasan operasional dan tidak
melaksanakan kewajibannya kepada Tergugat I sesuai dengan Pasal 140
dan 147 Undang-Undang Penerbangan sehingga perbuatannya tersebut
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dalam putusan ini
Majelis Hakim berpedoman pada putusan Hoge Raad tahun 1919 tentang
Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata serta berdasarkan Teori tanggung jawab hukum
atas dasar kesalahan dan Teori tanggung jawab hukum atas dasar praduga
bersalah.
B. Rekomendasi
Sebagai penutup dari kesimpulan di atas, peneliti akan memberikan
rekomendasi agar tidak lagi terjadinya pembatalan penerbangan sebagai
berikut:
1. Peneliti menyarankan kepada PT. Lion Mentari Airlines selaku
pengangkut agar apabila terjadi delay atau bahkan sampai pembatalan
penerbangan untuk memberikan tanggung jawab berupa memberikan
kompensasi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan peraturan
menteri yang berlaku, sehingga tidak terajadi lagi hal-hal yang dapat
merugikan konsumen di kemudian hari.
2. Peneliti menyarankan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian
Perhubungan untuk melaksanakan pemberian sanksi sesuai dengan
Peraturan Menteri Perhubungan yang diberikan kepada maskapai
penerbangan apabila melakukan pelanggaran perundang-undangan agar
kedepannya pelanggaran yang dilakukan oleh masakapai penerbangan bisa
berkurang.
3. Perlunya perlindungan hukum untuk masyarakat selaku penumpang
pesawat udara sebagai konsumen yang merasa hak-haknya dirugikan agar
60
mendapatkan apa yang menjadi haknya, serta pihak maskapai agar
menjalankan kewajibannya untuk bertanggungjawab apabila penumpang
mengalami kerugian.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.
Dunne, J.M Van dan Vander Burght, Perbuatan Melawan Hukum Terjemahan
KPH Hapsoro Jayaningprang, Ujung Pandang, 1988.
Fuadi, Munir, Ilmu Perbandingan Hukum Perdata , Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metedeologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2006.
Martono, H,K, dan Agus Pramono, Hukum Perdata Internasional dan Nasional,
Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2013.
Martono, H,K, dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan
Undang-Undang No.1 Tahun 2009, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Martono, H,K, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional Cetakan ke-2,
Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Cetakan ke-1,
Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
Marzuki, Mahmud, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencan, 2010.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan. Bandung: Alumni, 2002.
Hukum Pengangkutan Darat Laut dan Udara, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991.
Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2008.
Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, 2006.
Nasution, M,H, Manajemen Transportasi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
62
Nukilan, Widya, Metode Penelitian Hukum Cetakan I, Jakarta: Tim Pengajar,
2005.
R, Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid I, Jakarta: Rajawali, 1981.
Rajagukguk, Eman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju,
2000.
Sasongko, Wahyu, Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandar Lampung: UNILA, 2007.
Setiawan, Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung:
Alumni, 2005.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo,
2000.
Sibadalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Banding: Citra
Aditya Bakti, 2010.
Siwikristiyanti, Celina, Tri, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Adity, 1995.
Susanto, Happy, Hak-hak Konsumen jika dirugikan Cetakan ke-1, Jakarta: Badan
Penerbit UI, 2005.
Susilo, Agus, Broto, Lika-Liku Perjalanan UUPK, Jakarta: YKLI, 1998.
Syawali, Husni dan Heni Srilmaniyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: Mandar Maju, 2000.
Umar, Sution, Hukum Pengangkutan di Ludo, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
Wiradipradja, Suefullah, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional, Yogyakarta: Liberti, 1999.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
63
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 Tahun 2015 tentang Standar
Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Udara.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan
Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha
Angkutan Niaga Berjadwal di Indonesia.
Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara KP Nomor 199 tahun 2017
tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Pengaturan, Pengendalian, dan
Pengawasan di Lingkungan Direktorat Jendral Perhubungan Udara.
Jurnal
F. Saefullah Wiradipradja, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap
Penumpang Menurut Hukum Udara di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol 25, 2006.
Interview Pribadi dengan Ibu Indri Rosalina selaku Pegawai Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia, pada tanggal 2018.
Interview Pribadi dengan Bapak Rama Dita Handoko selaku Karyawan PT. Lion
Mentari Airlines, pada tanggal 23 Mei 2018.
Ridwan Khairandi, “Tanggung jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab
Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara”, Jurnal
Hukum, Vol 25, 2008.
Web
Anshuman Daga dan Janeman Litatul, “Kompetisi Maskapai Penerbangan
Indonesia Memanas”, Artikel di atas diakses pada tanggal 3 Desember
2018 dari di http://www.volindonesia.com.
https://rennymagdawiharnani.wordpress.com/sih/hukum-dagang/dasar-hukum-
perlindungan-konsumen/ , diakses pada tanggal 17 April 2018.
http://www.lionair.co.id/id/lion-experience/about, diakses pada tanggal 17 April 2018.
http://unjalu.blogspot.com/2011/03/hukum-perlindungan-konsumen-html.,“Hukum
Perlindungan Konsumen”, artikel diakses pada 29 Mei 2018”
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A NNomor 471 PK/Pdt/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata pada peninjauan kembali telah memutus sebagai
berikut dalam perkara:
DIREKTUR UTAMA PT LION AIR/PT LION MENTARI
AIRLINES, berkedudukan di Jalan Gajah Mada Nomor 7,
Jakarta Pusat, diwakili oleh Rudy Lumingkewas selaku Direktur
Utama, dalam hal ini memberi kuasa kepada Achmad Fauzan,
S.H., LL.M., dan kawan-kawan Para Advokat beralamat di Lion
Tower Lantai 3, Jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 26 Januari 2017;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/
Tergugat I/Pembanding
L a w a n
1. ROLAS BUDIMAN SITINJAK, bertempat tinggal di Jalan
Gading Raya Nomor 47 Rt 001 Rw. 013, Pisangan Timur,
Pulo Gadung, Jakarta Timur, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Charles Sihombing, S.H., M.H., dan kawan-kawan,
Para Advokat beralamat di Komplek Maya Indah, Jalan
Kramat Raya Nomor 3N, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 12 Mei 2017;
2. DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA
KEMENTRIAN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,
berkedudukan di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 8
Jakarta Pusat;
Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kasasi I,
II/Penggugat, Tergugat II/Terbanding dan Turut Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/Tergugat I/Pembanding telah
mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Mahkamah
Agung Nomor 3287 K/Pdt/2015 tanggal 11 Februari 2016 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Para Termohon
Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kasasi I, II/Penggugat, Tergugat II/
Terbanding dan Turut Terbanding dengan posita gugatan sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 19 Oktober 2011, Penggugat selesai menjalankan
Halaman 1 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
tugasnya selaku kuasa hukum (advokat) dari klien Penggugat di Manado,
hendak kembali ke Jakarta untuk melanjutkan aktivitasnya pada keesokan
harinya di Jakarta, oleh karenanya Penggugat telah membeli tiket elektronik
yang diterbitkan pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan Nomor Tiket
9902170408086 dengan atas nama Penggugat sendiri yakni Rolas/Sitinjak
Mr. Untuk tujuan Manado-Jakarta dengan Nomor Penerbangan JT 743 (bukti
P-1);
2. Bahwa Penggugat selain akan melaksanakan aktivitasnya untuk
melaksanakan janji temu dengan para kolega dan kliennya di Jakarta,
Penggugat juga hendak merayakan hari ulang tahun putri sulungnya
bernama Yosephine G Race Angelina yang berulang tahun pada tanggal 20
Oktober 2011;
3. Bahwa kebiasaan Penggugat dalam merayakan hari ulang tahun putri
Sulungnya adalah setiap tanggal 20 Oktober pada pukul 00.00 Wib,
Penggugat beserta keluarga besarnya melakukan kebaktian bersama/doa
bersama-sama, dan oleh karena kebiasaan itulah Penggugat harus kembali
ke rumahnya pada tanggal 19 Oktober 2011 untuk berkumpul dengan istri
dan keempat anaknya serta keluarga besarnya untuk ibadah/syukuran
merayakan hari ulang tahun putri Penggugat (bukti P - 2 dan P - 3);
4. Bahwa kehadiran Penggugat dirumahnya pada tanggal 19 Oktober 2011
memang sudah direncanakan/dijadwalkan dengan matang sehingga
keluarga besarnya akan berkumpul untuk melakukan ibadah/syukuran
bersama menjelang perayaan hari ulang tahun putri sulung Penggugat;
5. Bahwa selama perjalanan menuju bandara Samratulangi Manado,
Penggugat menghubungi keluarganya untuk mengabarkan bahwa
Penggugat akan sampai di Jakarta sesuai dengan jadwal yang tertera dalam
tiket milik Penggugat atau telat antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) jam
sebagaimana kebiasaan Lion Air;
6. Bahwa pada tanggal 19 Oktober 2011, Pukul 17.15 WITA Penggugat tiba di
bandara Samratulangi Manado untuk melakukan check in atas miliknya dan
setelah tiba giliran Penggugat untuk menvalidasi tiket miliknya, dan saat itu
Penggugat mendapat pemberitahuan dari petugas yang melayani ticket
Penggugat yakni "pesawat telah overseat atau melebihi kapasitas";
7. Bahwa selanjutnya petugas Lion Air meminta Penggugat beserta beberapa
penumpang lainnya yang gagal terbang untuk mengumpulkan e-tiket, namun
Penggugat menolak untuk mengumpulkan tiketnya;
8. Bahwa Penggugat berserta para penumpang lainnya mendesak Tergugat I
untuk menjelaskan perihal gagal diberangkatkannya Penggugat dan para
penumpang lainnya;
Halaman 2 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
9. Bahwa kemudian Penggugat meminta keterangan secara tertulis dari
perwakilan Lion Air yang bertugas disana, dan dikeluarkanlah Surat
Keterangan kepada Penggugat mengenai bahwasanya Penggugat tidak
dapat diberangkatkan karena "alasan operasional (change air craft 2015
seat) bukti P-4);
10.Bahwa alasan operasional ini sangatlah tidak beralasan karena tiket yang
telah dikeluarkan oleh Lion Air melebihi kapasitas daya angkutnya, maka hal
ini nyata-nyata merupakan kesengajaan yang rugikan Penggugat, karena
Penggugat telah memesan tiket ini dan dibukukan pada tanggal 19 Oktober
2011 tanggal yang sama yang mana seharusnya pihak Tergugat I tidak
menerbitkan tiket elektronik milik Penggugat karena pihak Tergugat I sudah
menduga akan terjadi overseat;
11.Bahwa kemudian Penggugat berserta para penumpang lainnya meminta
Tergugat I untuk memberikan Kompensasi yang sangat manusiawi sesuai
dengan ketentuan undang undang perlindungan konsumen, namun Tergugat
tidak memahami hal-hal tersebut;
12.Bahwa Tergugat I jelas dan terang tidak memahami hak-hak dari konsumen
yang telah memenuhi kewajibannya yakni dengan membayar tiket dengan
harga yang memang seharusnya para konsumen bayarkan, dan para
Konsumen bersama-sama dengan Penggugat telah mengantri untuk check
in selama kurun waktu yang ditentukan oleh Tergugat sebelum
keberangkatan atau sesuai dengan jadwal keberangkatan yang Tergugat
tentukan;
13.Bahwa dampak dari tidak diberangkatkannya Penggugat oleh Tergugat dari
Manado menuju Jakarta, jelas sangat merugikan Penggugat, karena jadwal
pekerjaan Penggugat sangat padat dan beberapa janji yang telah dibuat
sebelumnya menjadi turut batal serta kebiasaan Penggugat untuk
beribadah/syukuran bersama dengan keluarganya di hari ulang tahunnya
turut gagal karena Penggugat tidak bisa pulang ke Jakarta sesuai dengan
jadwal yang ditentukan;
14.Bahwa Penggugat membeli tiket pesawat elektronik maskapai Lion Air
kembali dengan Nomor Tiket 9902170468988 yang diterbitkan pada tanggal
19 Oktober 2011 untuk keberangkatan tanggal 20 Oktober 2011 dengan
Nomor Penerbangan JT 0771, hal ini jelas membuktikan bahwa Penggugat
selaku Konsumen benar-benar tidak menerima kompensasi dari Tergugat
karena yang Tergugat tawarkan tidaklah memenuhi hak-hak dari Konsumen
(bukti P - 3 dan P - 4);
15.Bahwa selama keberadaan Penggugat dibandara Penggugat
memberitahukan kepada isteri dan ke empat anaknya melalui telepon
Halaman 3 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
bahwasanya Penggugat tidak bisa hadir dalam acara ibadah/syukuran
perayaan ulang tahun putri sulungnya sehingga Penggugat hanya bisa
menyampaikan ucapan selamat ulang tahun melalui telepon kepada putri
sulungnya. Hal yang paling menyedihkan hati Penggugat adalah pada saat
putri sulungnya mempertanyakan kenapa Penggugat tidak ada dirumah
pada saat ulang tahunnya;
16.Bahwa untuk menetralisir keadaan acara ulang tahun yang tidak jadi
dilaksanakan terutama untuk menghibur putri sulungnya, Penggugat
terpaksa secara khusus berbicara lewat telepon kepada Putri Sulungnya
supaya putri sulungnya dapat mengerti akan keadaan yang dialami oleh
Penggugat walaupun dengan biaya pulsa yang tidak sedikit. Penggugat juga
mengetahui bahwa telah disiapkan jamuan makan malam bersama saat itu
untuk bersama-sama dengan keluarga besarnya, kurang lebih 50 orang;
17.Bahwa atas kejadian ini, Penggugat merasa disepelekan oleh Tergugat I,
karena hak-hak Penggugat selaku konsumen dipandang sebelah mata oleh
Tergugat I, dan atas perbuatan Tergugat tersebut dapatlah dikualifisir
sebagai perbuatan melawan hukum, atas dasar inilah Penggugat melakukan
gugatan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUH Perdata kepada
Tergugat I;
18.Bahwa atas perbuatan tidak diberangkatkannya Penggugat pada
penerbangan JT. 743 pada tanggal 19 Oktober 2011 olen Tergugat karena
alasan operasional (Change Aircraft 215 seat ke 205 seat), jelas merupakan
kesengajaan yang menimbulkan kerugian Penggugat, karena tiket pesawat
untuk penerbangan tersebut telah dibeli secara lunas sejak tanggal 19
Oktober 2011 tanggal yang sama yang mana seharusnya pihak Tergugat I
tidak menerbitkan tiket elektronik milik Penggugat karena pihak Tergugat I
sudah menduga akan terjadi overseat, oleh karenanya jelas dan terang
kesengajaan yang menimbulkan kerugian ini adalah sebuah perbuatan
melawan hukum, yakni seperti dipertegas dalam Pasal 1365 sebagai berikut:
"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut";
Bahwa selanjutnya ijinkan kami mengutip kembali putusan hoge raad
tanggal 31 Januari 1919 yang mengkualifikasikan suatu perbuatan hukum
adalah:
a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
atau
b. Perbuatan tersebut melanggar hak subjektif orang lain; atau
c. Perbuatan tersebut melanggar kaidah tata susila; atau
Halaman 4 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
d. Perbuatan tersebut bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta
kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan
dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain:
Bahwa atas putusan hoge raad tersebut diatas, perbuatan melawan hukum
dapat dibuktikan jika ada salah satu unsur yang diuraikan diatas telah terjadi;
19.Bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum dari Tergugat I ialah dapat
dibuktikan sebagai berikut:
a. Adanya surat keterangan yang dikeluarkan oleh Lion Air yang
menerangkan bahwa Tergugat I tidak dapat memberangkatkan
Penggugat karena alasan Operasional (Change Aircraft 215 seat ke 205
seat), namun Penggugat merasa keberatan bahwa hal itu tidak
seharusnya terjadi karena secara otentitas bukti print out e-tiket milik
Penggugat jelas dan terang telah dibooking pada tanggal 13 Oktober
2011, oleh karenanya jika diklaim telah overseat (Change Aircraft 215
seat ke 205 seat) jelas tidak masuk akal, karena tiket atas nama
Penggugat telah dibeli secara lunas sejak tanggal 19 Oktober 2011
tanggal yang sama yang mana seharusnya pihak Tergugat I tidak
menerbitkan tiket elektronik milik Penggugat karena pihak Tergugat I
sudah menduga akan terjadi overseat, sebelum penerbangan terjadi
maka hal ini jelas terjadi karena kesengajaan, dan atas kesengajaan
tersebut hak-hak konsumen dari Penggugat telah dilanggar;
Hal ini membuktikan bahwa Perbuatan Tergugat I telah bertentangan
dengan kewajibannya, yakni kewajiban menerbangkan/
memberangkatkan Penggugat dengan pesawat;
Bahwa selanjutnya Perbuatan Tergugat I tersebut juga telah melanggar
hak subjektif Penggugat, yakni hak Penggugat sebagai konsumen Jasa
Penerbangan Lion Air;
Bahwa perbuatan Tergugat I tersebut juga telah bertentangan dengan
asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
Tergugat dalam pergaulan dengan Penggugat selaku konsumen, yang
mana karena ketidaktelitian, dan ketidak hati-hatian Tergugat jelas telah
merugikan Penggugat selaku konsumen;
20.Bahwa tindakan Tergugat I tidak mengakut Penggugat dalam Penerbangan
JT.743, pada tanggal 19 Oktober 2011 dari Manado tujuan Jakarta tersebut
jelas telah melanggar ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999,
Tentang Perlindungan Konsumen, adapun hal-hal yang dilanggar Tergugat
adalah sebagai berikut kami uraikan;
Pasal 2 Jo. Pasal 3 huruf c, d dan f Jo. Pasal 4 huruf a, c, d, e dan ii Jo.
Pasal 7 huruf b, d, f, dan g Jo Pasal 8 ayat (1), yang kami uraikan sebagai
Halaman 5 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
berikut:
Pasal 2
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum''
Pasal 3
“Perlindungan konsumen bertujuan”:
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran perilaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusahaan;
f. Meningkatkan kualitas harang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen;
Pasal 4
"Konsumen mempunyai hak:
Huruf a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Huruf c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan;
Huruf d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan /
atau jasa yang digunakan;
Huruf e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
Huruf h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Pasal 7
"Pelaku usaha mempunyai kewajiban :"
Huruf b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
Huruf d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang beriaku;
Huruf f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
Halaman 6 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian;
21.Bahwa telah terbuktilah perbuatan melawan hukum Tergugat I yang
dilakukan oleh Tergugat I, dan atas perbuatan tersebut Penggugat jelas dan
terang menderita kerugian, dan oleh karenanya Penggugat berhak atas ganti
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum Tergugat baik
materiil maupun imateriil:
Kerugian Materiil: Bahwa kerugian yang diderita oleh Penggugat adalah atas
biaya tambahan:
1. Tiket Lion (batal diberangkatkan) Rp1.828.000,00;
2. Tiket lion dan Aiport Tax (Pengganti) Rp1.786.300,00;
3. Biaya Pulsa Rp500.000,00;
4. Biaya makan Rp500.000,00;
5. Biaya penginapan hotel Rp1.200.000,00;
6. Biaya konsumsi ulang tahun Rp20.000.000,00;
total Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta delapan ratus empat belas ribu
tiga ratus rupiah);
Kerugian Imateriil : Bahwa selain kerugian materiil, Penggugat juga
menderita kerugian Imateriil, berupa hilangnya waktu,
tersitanya tenaga dan pikiran selama Penggugat
bermalam di Bandara, serta hilangnya kebersamaan
dan nilai-nilai spiritual dengan keluarga dimana secara
kebiasaan seharusnya Penggugat berkumpul bersama
saat ulang tahunnya,serta menyebabkan berubahnya
jadwal untuk bertemu dengan rekan bisnis, yang mana
atas hal tersebut Penggugat kehilangan kepercayaan
dari rekan bisnis, dan terbeng kalainya pekerjaan-
pekerjaan Penggugat, yang mana secara keseluruhan
hal-hal tersebut tidaklah dapat dinilai dengan apapun
juga. Namun dalam perkara ini Penggugat akan
menentuken suatu nilai atas kerugiannya yang
dikonversikan dalam rupiah sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
22.Bahwa berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, sudah terang dan jelaslah
dasar Penggugat meminta ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya
tersebut, serta secara tertulis-pun dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan
Konsumen pada Pasal 19, Penggugat pun berhak mendapat ganti kerugian
seperti yang tertera sebagai berikut:
Halaman 7 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Ayat (1) "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan";
Ayat (2) "Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara niiainye, atau perawatan kesehatan dan /atau perolehan
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan “perundang-undangan";
23.Bahwa selain persoalan yang dialami oleh Penggugat, Tergugat I juga
banyak dikomplain oleh konsumen-konsumen lain yang menggunakan jasa
Tergugat I ke berbagai tujuan yang mana hal ini dapat dibuktikan dari
maraknya surat pembaca yang dibuat oleh para konsumen karena merasa
hak-hak nya dirugikan (bukti P - 6 & P - 7);
24.Bahwa maraknya surat pembaca tersebut di atas, seharusnya diperhatikan
oleh Tergugat II dalam mengevaluasi pelayanan management atau
pelayanan rute1 yang diselenggarakan oleh Tergugat I, seperti yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995, tentang
Angkutan Udara, yakni :
Pasal 14
"Menteri melakukan evaluasi terhadap potensi jasa angkutan udara dan
kapasitas angkutan udara sebagai dasar untuk pembukaan rute baru dari
penambahan kapasitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 serta
mengumumkan hasil evaluasi sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan";
25.Bahwa juga seharusnya Tergugat II mencabut izin Tergugat I khususnya
Rute Jakarta-Manado dan Manado-Jakarta, karena sudah begitu banyak
komplain yang ditayangkan kepada Tergugat I yang dapat dilihat dari surat-
surat pembaca pada beberapa masmdia dan juga sudah menjadi rahasia
umum bagi para Konsumen yang menggunakan jasa maskapai Tergugat I,
Lion Air yang sering terlambat dalam menerbangkan/memberangkatkan
penumpangnya serta selanjutnya dalam perkara ini hal yang terjadi adalah
tidak diberangkatkannya beberapa penumpang dengan alasan over seat;
Adapun yang perlu diperhatikan oleh Tergugat II dalam hal meninjau kembali
Izin usaha dari Tergugat I adalah:
Pasal 19 (PP.Nomor 4/Tahun 1995, tentang Angkutan Udara);
"Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a. Menteri memperhatikan:
a. Kelangsungan usaha dan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal;
b. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran jasa angkutan udara;
c. Terlayaninya seturuh rute yang telah ditetapkan;
Bahwa selain itu juga Tergugat II sudah sangat wajar mencabut rute Jakarta-
Halaman 8 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Manado dan Manado-Jakarta serta perlu memperhatikan fakta yang ada
yakni dengan melihat surat-surat pembaca yang dari sana dapat disimpulkan
bahwa rute penerbangan maskapai Tergugat II telah sangat padat dan
sehingga tidak terlayani seluruh rute dengan baik;
26.Bahwa Komplain-komplain yang diterima oleh Tergugat I merupakan bukti
bahwa Penggugat telah meremehkan hak-hak dari pada konsumen dan
terbukti kalau Tergugat I tidaklah serius untuk membenahi pelayanannya,
juga membenahi managemennya khususnya managemen sistem
keberangkatan penumpang, atas hal ini Tergugat II seharusnya tidak perlu
menunggu lama untuk mengeluarkan sanksi yang tegas terhadap Tergugat I,
walaupun Tergugat II terlebih dahulu memberikan Teguran sampai dengan 3
(tiga) kali kepada Tergugat I;
27.Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas telah terang dan jelas
bahwasannya Tergugat II dapat dikategorikan melakukan tindakan
perbuatan melawan hukum karena tidak serius dalam persoalan-persoalan
yang alami oleh Tergugat I;
28.Bahwa selain itu juga, gugatan ini diajukan agar dapat menjadi pelajaran
bagi Tergugat I dan bagi Tergugat II kiranya dapat segera memberikan
sanksi yang tegas sehingga Terugugat II benar-benar menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya, dan dimasa yang mendatang tidak terjadi
kembali persoalan seperti ini, agar Tergugat I juga tidak menganggap remeh
mengenai hak-hak Konsumen dengan berdalih telah menanggapi keluhan
Konsumen, namun pada prakteknya kejadian-kejadian yang sama terulang
lagi dan Tergugat II juga dianggap bukan macan ompong oleh Terugugat I;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan secara hukum Para Tergugat bersalah melakukan perbuatan
melawan hukum;
3. Menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan
dari Tergugat I;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian materil sebesar
Rp25,814.300,00 (dua putuh lima juta delapan ratus empat belas ribu tiga
ratus rupiah);
5. Menghukum Tergugat I membayar kerugian immateriil yang dialami
Penggugat akibat hilangnya waktu dan tersitanya tenaga dan pikiran
Penggugat, hilangnya kebersamaan dan nilai-nilai sipritual dengan keluarga
dimana kebiasaan Penggugat berkumpul bersama dengan keluarga pada
Halaman 9 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
perayaan ulang tahun Penggugat, berubahnya jadwal pertemuan Penggugat
dengan rekan bisnis serta hilangnya kepercayaan rekan bisnis terhadap
Penggugat juga terbengkalainya pekerjaan Penggugat, yang mana
keseluruhan hal-hal tersebut tidak dapat dinilai dengan apapun juga. Namun
dalam perkara ini Penggugat menentukan suatu nilai kerugian yang konversi
dalam rupiah sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
6. Menghukum Tergugat II untuk mencabut ijin usaha dan atau ijin rute
Tergugat I;
7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu waiaupun ada
verzet, banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya (uitvoerbaar bij
voorraad);
8. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
Atau,
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Para Tergugat
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
Eksepsi Tergugat I:
Gugatan Penggugat kabur (abscuur libel):
1. Bahwa Tergugat I menolak secara tegas seluruh dalil Penggugat kecuali apa
yang secara tegas diakui oleh Tergugat I;
2. Subjek hukum (Tergugat I) yang digugat oleh Penggugat tidak jelas: Bahwa
terbukti subjek hukum yang digugat oleh Penggugat tidak jelas, apakah
Penggugat mau menggugat Direktur Utama PT Lion Air I PT Mentari Airlines
sebagai Tergugat I, karena antara Direktur ia/PT Lion Air dengan PT Lion
Mentari Airlines adalah Subjek fang berbjda, Direktur Utama PT Lion Air
adalah sebagai orang sedangkan PT Lion Mentari Airlines adalah sebagai
Badan, keduanya jelas mempunyai tanggung jawab yang berbeda objek
hukum yang berbeda. Apabila Penggugat mau menggugat kedua-duanya
seharusnya Penggugat menyebutkannya sebagai Tergugat I dan atau
Tergugat II atau Tergugat III. Dengan demikian terbukti gugatan Penggugat
kabur (abscuur libel);
3. Posita dan petitum gugatan saling bertentangan:
Bahwa antara posita dan petitum gugatan Penggugat saling bertentangan,
karena posita gugatan Penggugat fakta hukumnya (rechts feiten) tentang
perselisihan/masalah wanprestasi akan tetapi petitum gugatan penggugat
mengenai tuntutan perbuatan melawan hukum kepada Tergugat I, oleh
karenanya gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Halaman 10 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4. Gugatan Penggugat seharusnya mengenai wanprestasi:
Bahwa gugatan Penggugat seharusnya mengenai wanprestasi karena
perselisihan yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat l adalah
masalah wanprestasi, bukan perbuatan melawan hukum,
Namun terbukti Penggugat telah mengajukan gugatan melawan hukum
terhadap Tergugat I, dengan demikian terbukti gugatan Penggugat kabur
(abscuur libel);
Bahwa oleh karena telah terbukti gugatan Penggugat kabur (obscuur libel),
yaitu subjek hukum (Tergugat I) yang digugat oloh Penggugat tidak jelas
apakah Direktur Utama PT Lion Air/PT Lion Mentari Airlines, bertentangan
antara posita dan petitum gugatan, gugatan Penggugat a quo seharusnya
mengenai wanprestasi, maka patut dan pantas gugatan Penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaar);
Eksepsi Tergugat II:
Gugatan Tidak Jelas dan kabur (Obscuur Libels);
1. Bahwa Penggugat menyatakan gugatan berdasarkan atas perbuatan
melawan hukum, akan tetapi Penggugat mengakui dengan tegas dalam
surat gugatan, telah membeli telah membeli tiket elektronik yang diterbitkan
pada tanggal 19 Oktober 2011 dengan Nomor Tiket 9902170408086 atas
nama Penggugat untuk tujuan Manado-Jakarta dengan Nomor Penerbangan
JT 743;
Bahwa pengertian tiket menurut Pasal 1 angka 27 Undang Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah dokumen berbentuk cetak melalui
proses elektronik atau bentuk lainya yang merupakan salah satu alat bukti
adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan
hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan
pesawat udara;
Bahwa berdasarkan uraian diatas, dasar gugatan Penggugat tidak jelas, oleh
karena disatu sisi Penggugat mendasarkan gugatannya atas dasar
perbuatan melawan hukum akan tetapi disisi lain Penggugat mengakui
dengan tegas hubungan hukum dengan Tergugat I berdasarkan atas
perjanjian dimana Penggugat mengakui telah memenuhi kewajibannya
oengan membayar lunas tiket dimaksud dan menyatakan Tergugat I belum
memenuhi kewajibannya untuk mengangkut Penggugat sehingga terjadi
adanya wanprestasi, maka cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk
menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
2. Bahwa salah satu petitum Penggugat adalah meminta Tergugat II untuk
mencabut ijin usaha atau ijin rute dari Tergugat I;
Bahwa ijin usaha suatu Badan Usaha Angkutan Udara (Perusahaan
Halaman 11 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penerbangan) dan ijin rute Badan Usaha Angkutan Udara yang dikeluarkan
oleh Tergugat II adalah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, maka dengan demikian
merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk menyatakan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dicabut, batal atau tidak sah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 5
Tahun 1986 juncto Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang menyatakan "orang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang behsi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi";
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan
untuk menyatakan dicabut, batal atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, cukup beralasan bagi, Majelis
Hakim untuk menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah memberikan Putusan Nomor Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst. tanggal 15
Januari 2012 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan secara hukum Tergugat I melakukan perbuatan melawan
hukum;
3. Menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan akibat tindakan
Tergugat I;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian materil sebesar
Rp23.528.000,00 (dua puluh tiga juta lima ratus duapuluh delapan ribu
rupiah) kepada Penggugat;
5. Menghukum Tergugat I untuk membayar biaya perkara ini hingga kini
ditaksir sebesar Rp666.000,00 (enam ratus enam puluh enam ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Tinggi Tinggi Jakarta
dengan Putusan Nomor 739/PDT/2014/PT.DKI. tanggal 8 Januari 2015 adalah
sebagai berikut:
1. Menerima permohonan banding dari Pembanding;
Halaman 12 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
42/PDT.G/2012/PN.Jkt.Pst. tanggal 15 Januari 2013 yang dimohonkan
banding;
3. Menghukum Pembanding membayar biaya perkara untuk dua tingkat
pengadilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp150.00,00 (seratus lima
puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3287
K/Pdt/2015 tanggal 11 Februari 2016 yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi DIREKTUR UTAMA PT
LION AIR/PT LION MENTARI AIRLINES tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat I/Pembanding untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah Putusan Mahkamah Agung Nomor 3287
K/Pdt/2015 tanggal 11 Februari 2016 yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap tersebut, diberitahukan kepada Pemohon Kasasi/Tergugat I/Pembanding
kemudian terhadapnya oleh Pemohon Kasasi/Tergugat I/Pembanding dengan
perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 26 Januari
2017 diajukan permohonan peninjauan kembali pada tanggal 2 Maret 2017
sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor
05/SRT.PDT.PK/2017/PN.JKT.PST Juncto Nomor 42/PDT.G/2012/PN.JKT.PST
yang dibuat oleh Jurusita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan
tersebut disertai dengan memori peninjauan kembali yang memuat alasan-
alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal
2 Maret 2017;
Bahwa memori peninjauan kembali dari Pemohon Kasasi/ Tergugat
I/Pembanding tersebut telah diberitahukan kepada Termohon Kasasi I,
II/Penggugat, Tergugat II/Terbanding dan Turut Terbanding pada tanggal 21
April 2017;
Bahwa kemudian Termohon Kasasi I, II/Penggugat, Tergugat
II/Terbanding dan Turut Terbanding mengajukan tanggapan memori peninjauan
kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tanggal 18 Mei 2017;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, maka oleh karena itu permohonan peninjauan kembali tersebut
secara formal dapat diterima;
Halaman 13 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali/Pemohon Kasasi/Tergugat I/Pembanding dalam memori
peninjauan kembali tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI telah memutus dan
membacakan putusan Nomor 3287 K/PDT/2015 pada tanggal 11 Februari
2016, dan telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada
hari RABU, tanggal 18 Januari 2017 dan Pemohon Peninjauan Kembali
telah mengajukan pernyataan Permohonan Peninjauan Kembali pada hari
KAMIS, tanggal 02 Maret 2017 dan Memori Peninjauan Kembali ini diajukan
bersamaan dengan Permohonan Peninjauan Kembali tanggal 02 Maret
2017 atau dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh hukum;
2. Bahwa oleh karena itu adalah beralasan jika Pemohon Peninjauan Kembali
mohon agar Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali dinyatakan dapat diterima;
3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali keberatan atas putusan Judex Juris
(MahkamahAgung RI) Nomor 3287 K/PDT/2015, tanggal 11 Februari 2016
karena dalam pertimbangan putusannya “adanya kekhilafan atau kekeliruan
yang nyata” sebagaimana terurai dibawah ini;
4. Bahwa Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung RI (Judex Juris) dalam
putusan Nomor 3287 K/PDT/2015, tanggal 11 Februari 2016 pada halaman
ke16 alinea 2,3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung berpendapat;
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan setelah meneliti memori
kasasi tanggal 4 Mei 2015 dan kontra kontra memori kasasi tanggal 11 Agustus
2015 dihubungkan dengan putusan Judex Facti dalam perkara a quo ternyata
putusan Judex Facti telah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai
berikut:
Bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan kebenaran dalil
gugatannya yaitu tidak terangkutnya Penggugat dalam penerbangan Tergugat I
JT 743 dari Manado ke Jakarta tanggal 19 Oktober 2011, bahwa Tergugat I
terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat yaitu
tidak melakukan kewajiban hukumnya kepada Penggugat sehingga
menimbulkan kerugian bagi Penggugat, sebaliknya Tergugat I tidak dapat
membuktikan dalil bantahannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata
putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Direktur Utama PT Lion Air/PT Lion
Halaman 14 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Mentari Airlines tersebut harus ditolak;
Adalah pertimbangan hukum yang salah dan/atau keliru, karena
Pemohon Peninjauan Kembali tidak terbukti Melakukan Perbuatan Melawan
Hukum, akan tetapi hanya tidak melaksanakan akan kewajibannya sebagai
mana yang diakui oleh Mahkamah Agung (Judex Juris) sendiri dalam
putusannya Nomor 3287 K/PDT/2015, tanggal 11 Februari 2016 tersebut di
atas, dengan demikian terbukti bahwa Pemohon Peninjauan Kembali hanya
melakukan wanprestasi bukan melakukan perbuatan melawan hukum, dengan
demikian terbukti pula bahwa Judex Juris (Mahkamah Agung RI) dalam tingkat
kasasi telah keliru dan/atau kilaf dalam memberikan pertimbangan putusannya;
Bahwa dengan demikian jelas terbukti putusan Majelis Hakim Agung
Nomor 3287 K/PDT/2015, tanggal 11 Februari 2016 dalam tingkat kasasi salah
dan keliru oleh karenanya harus dibatalkan dalam tingkat peninjauan kembali
ini;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali
tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata
karena dalam perkara a quo Penggugat telah membeli tiket pesawat Lion Air
dengan tujuan Manado ke Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2011, yang tidak
dapat dilaksanakan oleh Tergugat I dengan alasan operasional dan untuk
selanjutnya Tergugat I juga tidak memberikan konpensasi kepada Penggugat
sebagaimana diatur dalam Pasal 140 dan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009, sehingga perbuatan Tergugat I tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali DIREKTUR UTAMA PT LION AIR/PT LION MENTARI AIRLINES
tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Pemohon Peninjauan Kembali
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan
kembali ini;
Memerhatikan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan;
M E N G A D I L I:
Halaman 15 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali DIREKTUR UTAMA PT LION AIR/PT LION MENTARI
AIRLINES tersebut;
2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/
Tergugat I/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan peninjauan kembali ini sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada
hari Jum’at tanggal 25 Agustus 2017 oleh Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H., Hakim
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H.
Panji Widagdo, S.H., M.H., dan Maria Anna Samiyati, S.H., M.H., Hakim-hakim
Agung sebagai anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Para Hakim Anggota tersebut
dan R. Yustiar Nugroho, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh
para pihak.
Hakim-Hakim Anggota: Ketua Majelis,
ttd./H. Panji Widagdo, S.H., M.H. ttd./
ttd./Maria Anna Samiyati, S.H., M.H. Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.
Panitera Pengganti,
ttd./
R. Yustiar Nugroho, S.H., M.H.,
Biaya – biaya : 1. M e t e r a i……………….............Rp6.000,00 2. R e d a k s i .................................Rp5.000,00 3. Administrasi PK ………….......... Rp 2. 489.000,00 J u m l a h……………….............. Rp2.500.000,00
Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I. a.n. Panitera Panitera Muda Perdata
Halaman 16 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Dr. PRIM HARYADI , S.H., M.H. Nip. 19630325 198803 1 001
Halaman 17 dari 17 Hal. Put. Nomor 471 PK/Pdt/2017
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17