akreditasi lipi no. 725/au3/p2mi-lipi/04/2016 jurnal

119
Jurnal Industri Hasil Perkebunan Journal of Plantation Based Industry Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Akreditasi Peringkat 2 Nomor 10/E/KPT/2019 (Ristek Dikti) 2019 p - ISSN 1979 0023 e - ISSN 2477 0051 Volume 14 No. 2 Desember 2019

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016

2017

Jurnal

Industri Hasil Perkebunan

Journal of Plantation Based Industry

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Badan Penelitian dan Pengembangan Industri

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Akreditasi Peringkat 2 Nomor 10/E/KPT/2019 (Ristek Dikti)

2019

p - ISSN 1979 – 0023

e - ISSN 2477 – 0051

Volume 14 No. 2 Desember 2019

Page 2: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

ADiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 2 Desember 2019

Penanggung Jawab:Tirta Wisnu Permana, ST. MAB.Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Manajer Jurnal:Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si.Melia Ariyanti,S.TP, M.SI.

Dewan Editor:Editor:

Alfrida Lullung S, M.Si.Editor Bagian:

Dr.Ratri Retno Utami, STP, MT.Dr.Asma Assa,ST, M.SI.

Copy EditorMedan Yumas. S.PIJamilah, ST, MT Andi Nur Amalia, STP, M.Si.

Layout Editor:Rahmad Wahyudi, ST.Dwi Indriana,ST

Proof Reader:Rahayu Wulandari,STDrs.Natsir P LatengDyah Wuri Asriati, ST.Wahyuni Daming,ST, MT

Reviewer :Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian)Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis)Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian)Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS)Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS)Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS)Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. ( Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. PhD. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada)Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta)Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak)

Penerbit : Balai Besar Industri Hasil PerkebunanBadan Penelitian dan Pengembangan IndustriKementerian Perindustrian R.I.Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135Makassar 90231e-mail : [email protected]

Akreditasi Peringkat 2, Nomor: 10/E/KPT/2019 (RISTEK DIKTI)

Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

Page 3: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

BDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Page 4: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

iDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 2, Desember 2019

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan Volume 14 No. 2 Desember 2019 dapat diterbitkan. Edisi kedua pada volume ini menyajikan sepuluh artikel hasil seleksi Tim Review.

Kesepuluh artikel tersebut masing-masing adalah: (1). Aplikasi Oleogel dengan Oleogelator Lemak Kakao, (2). Teknologi Digital Sensor Warna untuk Mengukur Tingkat Fermentasi Kakao (Ulasan) (3). Karakteristik Cokelat Spread dengan Penambahan Oleogel dari Oleogator Lemak Kakao, (4). Karakteristik Oleogel dari Minyak Nabati Menggunakan Lilin Lebah dan Lemak Kakao sebagai Oleogelator, (5). Karakteristik Bubuk Aloe vera yang Diproduksi Menggunakan Maltodekstrin Ubi Kayu sebagai Bahan Pembawa, (6). Pengaruh Penyangraian Biji Kakao non Fermentasi dengan Sistem Uap Panas Terhadap Kandungan Polifenol, Katekin, dan Residu Pestisida Kakao Bubuk, (7). Produk Samping Kulit Kopi Arabika dan Robusta Sebagai Sumber Polifenol Untuk Antioksidan dan Antibakteri, (8). Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Semi-Refined Karagenan dari Eucheuma Sp Sebagai Pupuk Cair pada Tanaman Hortikultura, (9). Pengaruh Steam Blanching dan Cara Pengeringan Biji Kakao non Fermentasi Terhadap Kandungan Total Flavonoid, Total Fenol, dan Aktivitas Antioksidannya, dan (10) Efek Penggunaan Biokar dan Asap Cair pada Lahan Kelapa Sawit Terhadap Produksi dan Kualitas Tandan Buah Sawit dan Analisis Nilai Tambahnya.

Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan, bangsa dan negara.

Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal Industri Hasil Perkebunan (JIHP).

Makassar, Desember 2019

Editor / Ketua Dewan Redaksi

i

Page 5: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

iiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 2, Desember 2019

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yang telah menelaah (mereview) artikel-artikel pada penerbitan Vol. 14 No. 1 Juni 2019. Terimakasih disampaikan kepada Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian), Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis), Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS), Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS), Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS), Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. ( Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. PhD. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada), Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta). Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak).

ii

Page 6: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

iiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

P - ISSN 1970-0023E - ISSN 2477 0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANVol. 14 No. 2, Desember 2019

DAFTAR ISI

iiiiv

1 — 15

16 — 23

24 — 32

33 — 43

44 — 50

DAFTAR ISIPENGANTAR REDAKSILEMBAR ABSTRAK

APLIKASI OLEOGEL DENGAN OLEOGELATOR LEMAK KAKAO PADA PEMBUATAN COKELATApplication of Oleogel with Cocoa Butter Oleogelator for Chocolate MakingSitti Ramlah, Eky Yenita Ristanti, Endang Sri Rejeki, Justus E. Loppies, Dyah Wuri Asriati

TEKNOLOGI DIGITAL SENSOR WARNA UNTUK MENGUKUR TINGKAT FERMENTASI KAKAO (ULASAN)Measurement of Cocoa Bean Fermentation Degree with Digital Colour Sensor Technology (Review)Nurhayati, Ratri Retno Utami, Yusdianto

KARAKTERISTIK COKELAT SPREAD DENGAN PENAMBAHAN OLEOGEL DARI OLEOGATOR LEMAK KAKAO Chocolate Spread Characteristics with Oleogel Addition from Cocoa Butter OleogatorAlfrida Lullung Sampebarra, Khaerunnisa, Eky Yenita Ristanti, Dyah Wuri Asriati

KARAKTERISTIK OLEOGEL DARI MINYAK NABATI MENGGUNAKAN LILIN LEBAH DAN LEMAK KAKAO SEBAGAI OLEOGELATORCharacteristics of Oleogel Prepared from Vegetable Oil using Beeswax and Cocoa Butter as OleogelatorJustus Elisa Loppies, Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, Alfrida Lullung S, Andi Nur Amalia

KARAKTERISTIK BUBUK ALOE VERA YANG DIPRODUKSI MENGGUNAKAN MALTODEKSTRIN UBI KAYU SEBAGAI BAHAN PEMBAWAThe Properties of Aloe Vera Powder Using Cassava Maltodextrin as Carrier AgentsMaherawati, Lucky Hartanti

iii

Page 7: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

ivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH PENYANGRAIAN BIJI KAKAO NON FERMENTASIDENGAN SISTEM UAP PANAS TERHADAP KANDUNGAN POLIFENOL, KATEKIN, DAN RESIDU PESTISIDA KAKAO BUBUKThe Effect of Steam Blanching Roasting Method of Non Fermented Cocoa Beans to Cocoa Powder Polyphenol, Catechin and Pesticides Residues Content Wahyuni, Rosniati, Medan Yumas, Melia Ariyanti, Dwi Indriana

PRODUK SAMPING KULIT KOPI ARABIKA DAN ROBUSTA SEBAGAI SUMBER POLIFENOL UNTUK ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERIBy-product of Arabica and Robusta Coffee Husk as Polyphenol Sourcefor Antioxidant and AntibacterialEnny Sholichah, Rizky Apriani, Dewi Desnilasari, Mirwan A. Karim, Harvelly

PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN SEMI-REFINED KARAGENAN DARI EUCHEUMA SP SEBAGAI PUPUK CAIR PADA TANAMAN HORTIKULTURAUtilization of Semi-Refined Carrageenan Processing Industry Waste from Eucheuma sp. as Liquid Fertilizer in Horticultural CropsMedan Yumas, Justus E Loppies, Eky Yenita Ristanti, Dyah Wuri Asriati

PENGARUH STEAM BLANCHING DAN CARA PENGERINGAN BIJI KAKAO NON FERMENTASI TERHADAP KANDUNGAN TOTAL FLAVONOID, TOTAL FENOL, DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDANNYA Effect of Steam Blanching and Drying Method of Unfermented Cocoa Beans on the Total Flavonoid, Fenol Total, and Antioxidant ActivityRosniati, Medan Yumas, Wahyuni Daming, Melia Aryanti, Dwi Indriana

EFEK PENGGUNAAN BIOKAR DAN ASAP CAIR PADA LAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS TANDAN BUAH SAWIT DAN ANALISIS NILAI TAMBAHNYAUse of Biochar and Liquid Smoke in Palm Oil for Increase Quality of Palm Fruit and Analysis of Economic Value-AddedAmos Lukas, Suharto Ngudiwaluyo, Heru Mulyono, Imran Rosyadi, Ishenny Mohd Noor dan P. Natsir La Teng

51— 56

57 — 66

67 — 82

83 — 90

91—100

iv

Page 8: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

vDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJornal of Platation Based IndustryVol. 14 No. 2, Desember 2019

LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

Application of Oleogel with Cocoa Butter Oleogelator for Chocolate Making

Sitti Ramlah, Eky Yenita Ristanti, Endang Sri Rejeki, Justus E. Loppies, Dyah Wuri Asriati

Balai Besar Industri Hasil Perkebunanos-el: [email protected]

Abstract: Oleogel is lipophilic fat and solid mixture, which solid fat material (oleogelator) with lower concentration (<10%) can absorbed by forming an oleogator network in bulk oil. Oleogel is used to produce fat with desirable structural properties. The aims of this study is to apply oleogel from palm oil and soybean oil with cocoa butter oleogelator in chocolate making. This research was carried out in 2 stages, namely oleogelmaking and chocolatemaking. Chocolatemaking is made with 10 formulas namely F1-F10, where F1-F8 using oleogel as fat replacer, while F9 and F10 using Cocoa Butter Substitute (CBS) as fat replacer as control. The content of water, sugar, fat, protein, metal, and organoleptic test was analyzed. The results showed that oleogel from palm oil and soybean oil with cocoa butter oleogelator can be used as fat replacer in chocolate making. Chocolate that uses oleogel fat has quality characteristics namely; water content of 1.04-1.94%, sugar content of 35.61-42.19%, fat content of 40.01-48.25%, protein content of 9.64-11.03%, metal content of As (<0.007 ppm), Cd (<0.08 ppm), Hg (<0.003 ppm).

Keywords: chocolate, soybean oil, palm oil, oleogel.

Measurement of Cocoa Bean Fermentation Degree with Digital Colour Sensor Technology (Review)

Nurhayati1, Ratri Retno Utami2, dan Yusdianto3

1Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Mataram 2Balai Besar Industri Hasil Perkebunan3Politeknik Akademi Teknologi Industri

Abstract: SNI 2323-2008 had been set up for cocoa bean quality improvement. Cocoa bean improvement can be achieved with fermentation process. Cocoa bean fermented showed mostly brown color, meanwhile the under-fermented beans show purple colour. Cut test had been done to determine the fermentation degree, this test is qualitative method by visually comparing cut beans color. This method is subjective and gives dispute among traders and farmers. This problem can be solved with digital technology-based innovations using colour sensor. This technology used to know the fermentation degree objectively, effectively and efficiently. This review aims to find the potential of digital color sensor technology that useful to determine the full fermentation degree of cocoa.

Keywords: cocoa beans, fermentation, colour sensor, digital technology, cut test

v

Page 9: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

viDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Chocolate Spread Characteristics with Oleogel Addition from Cocoa Butter Oleogator

Alfrida Lullung Sampebarra, Khaerunnisa, Eky Yenita Ristanti dan Dyah Wuri Asriati Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar (BBIHP)

Abstract: The purpose of this study was to apply oleogels with cocoa fat oleogators on chocolate spread. Chocolate spread are made from melted chocolate bars with formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, and PCBS which contain oleogels from palm oil, cocoa fat, and soybean oil. The results showed that six chocolate spread formulations contain 23 types of fatty acids (fatty content) with each chemical characteristic called fatty acids value namely Cis fatty acids, Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20: 2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 in BK3 and PK3 products but not in BS3, PS3, BCBS, and PCBS. While Cis-13.16-Docosadienoic Acid C22:2 fatty acids are found in chocolate products topped with PK3 and BS3 but are not found in BK3, BS3, PS3, BCBS, and PCBS. Analysis of As, Sn, Cd, and Hg metal contamination in chocolate spread products showed smaller average value or undetectable metal contamination based on SNI of Chocolate and Chocolate Products. The best results of color and texture sensory tests are BCBS formula with score of 5.35 and PCBS with score of 5.45 with softer textures, more shiny surfaces and better color appearance on product surface.

Keywords: application, chocolate, chocolate spread, cocoa fat, oleogel.

Characteristics of Oleogel Prepared from Vegetable Oil using Beeswax and Cocoa

Butter as Oleogelator

Justus Elisa Loppies, Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, Alfrida Lullung S., Andi Nur Amalia

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract: Characteristics of oleogel can be determined by restructuring of oil or fat molecules to obtain the special characteristics related to their functions. This research aims to analyze characteristics of oleogels prepared from vegetable oil (palm and soybean oil) with beeswax and cocoa butter as oleogelator. Parameters observed were; texture, melting point, viscosity and solid fat content. The method used in this research is laboratory experiment by comparing the oleogelation process using two types of vegetable oil; palm oil and soybean oil and two types of oleogelator composition: 1% cocoa fat + 9% beeswax and 3% cocoa fat + 7% beeswax. The oleogelation process was carried out by mixing the oil mass with the oleogelator at 15,000 and 25,000 rpm. The results showed that oleogel with the best characteristic was from the process of palm oil oleogration with 1% cocoa fat + 9% beeswax oleogelators at a stirring speed of 25,000 rpm. Characteristics of obtained oleogel were: a high melting point and viscosity of 43.72 - 45.53 oC and 161 x 103 centipoise, as well as a denser and more homogeneous structure with a lower solid fat content (83.33%).

Keywords: characteristics, oleogel, vegetable oil, beeswax, cocoa butter.

vi

Page 10: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

viiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

THE PROPERTIES OF ALOE VERA POWDER USING CASSAVA MALTODEXTRIN AS CARRIER AGENTS

Maherawati, Lucky HartantiDepartment of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture,

Universitas Tanjungpura, Pontianak, West Kalimantan, Indonesia

Abstract: This research aims to determine the powder properties of Aloe vera powder in a different amount of cassava maltodextrin addition. The total soluble solid in Aloe vera extract before spray drying was adjusted to the total soluble solid as 20%, 25%, and 30% (w/v) by adding the appropriate amount of cassava maltodextrin as carrier agents. The results showed that all Aloe vera powder has the water activity in the range of safe water activity for dried food (0.32-0.38). The highest cassava maltodextrin added produce Aloe vera powder with the lowest water content (4.49%). The addition of cassava maltodextrin increased brightness and flowability of the Aloe vera powder, reduced water content, decreased the cohesiveness between powder particles. More of cassava maltodextrin addition caused a decrease in solubility and wettability time on Aloe vera powder. The Aloe vera powder particle had a round shape and uniform size. The higher cassava maltodextrin addition made a larger size of Aloe vera powder particle.

Keywords: aloe vera, cassava, maltodextrin, powder characteristic

The Effect of Steam Blanching Roasting Method of Non Fermented Cocoa Beans to Cocoa Powder Polyphenol, Catechin and Pesticides Residues Content

Wahyuni, Rosniati, Medan Yumas, Melia Ariyanti, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract: This study aims to determine the content of polyphenols, catechins, and pesticide residues in cocoa powder. Cocoa powder made from fresh cocoa beans that processed through steam blanching method then dried by drying in protected sunlight, then roasted by the hot steam method using water bath at 80 oC for 30 minutes and without roasting. The scope of this research is Sangrai Cocoa Beans (BS) and Cocoa Beans without Roast (BTS). The results showed that cocoa powder produced from roasted cocoa beans (RB) and without roasting (URB) had total polyphenol content of 6,89% and 9,42%, respectively. Catechin compounds in cocoa powder from RB and URB are 6.626 g/100g and 6.335 g/100g, respectively. Pesticide residues from all cocoa powder analyzed were not detected, so cocoa powder produced from this study was safe from pesticides.

Keywords: Cocoa beans, cocoa powder, catechins, polyphenols, pesticide residues

vii

Page 11: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

viiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

By-PRODUCT OF ARABICA AND ROBUSTA COFFEE HUSK AS POLyPHENOL SOURCE FOR ANTIOXIDANT AND ANTIBACTERIAL

Enny Sholichah1*, Rizky Apriani2*, Dewi Desnilasari1, Mirwan A. Karim1, dan Harvelly2

1Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia2 Jurusan Tekologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

Abstract: Coffee husks are coffee processing by-product that can be processed to be a healthy beverage because it contains polyphenols, the bioactive compound which act as antioxidants and antibacterial. Its extraction method affected the content of active compounds in cascara. This research studied about the effect of cascara extraction process in 3 temperature levels (75 ºC , 85 ºC, and 95 ºC) and 3 concentration levels (1:100, 2:100, and 3:100) for Arabica and Robusta coffe towards the bioactive content of polyphenols, antioxidant activity, and antibacterial activity. The results showed that cascara Arabica extract contained the highest polyphenol content (2.381%) at 85 ºC and antioxidant activity (33.5%) at 75 ºC each at a ratio of 2:100. The best cascara Robusta extraction based on the content of polyphenols (8.089%) is at 85 ºC with a ratio of 2:100, while based on the antioxidant activity (57.5%) is at a temperature of 75 ºC and a ratio of 2:100 and 3:100. Cascara Arabica antibacterial activity is greater than Robusta. Cascara Arabica at a temperature of 75-95 ºC in 3 concentrations did not experience a significant change in antibacterial activity in the range of 91.02-97.6%. The highest cascara Robusta antibacterial activity occurred at 95 ºC in concentration of 3:100 was 97.16 %.

Keywords: antioxidant, antibacterial, by-product of coffee, polyphenol

UTILIzATION OF SEMI-REFINED CARRAGEENAN PROCESSING INDUSTRy WASTE FROM EUCHEUMA SP. AS LIqUID FERTILIzER IN HORTICULTURAL CROPS

Medan Yumas, Justus E Loppies, Eky Yenita Ristanti, dan Dyah Wuri AsriatiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract: Seaweed waste has prospects as liquid fertilizer because it contains growth regulator hormon, and a number of macro and micro nutrients. This research aims to utilize seaweed thallus pieces (Eucheuma sp) as a material for making liquid fertilizer for horticultural crops. Stages of the research were: the manufacture of fermentor tank, preparation of raw materials and formulas, fermentation process, testing and applying fertilizer to the plants. Liquid fertilizer formula consists of 90%, 85%, 80%, 75%, and 70% thallus of seaweed (Eucheuma sp) plus EM4 solution and shrimp paste solution. The fermentation process is carried out in a semi-anaerobically for 30 days. The results showed that liquid fertilzer with the best formula was from the fermentation process with 85% thallus seaweed (Eucheuma sp), 10% EM4 solution, and 5% shrimp paste solution. The best formula has contains auxin 150.94, gibberellins 178.55, cytokinin consisted of kinetin 105.98 and zeatin 127.04), pH 7.15, does not contain patogenic bacteria and has a faster plant growth rate than the other treatments. Despite having a high growth regulator hormon content compared to commercial fertilizer however, micro and macro nutrient elements are still low and does not complied with standards

Keywords: Eucheuma sp, plant growth-regulator hormon, liquid fertilizer, horticultural crops

viii

Page 12: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

ixDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

EFFECT OF STEAM BLANCHING AND DRyING METHOD OF UNFERMENTED COCOA BEANS ON THE TOTAL FLAVONOID, FENOL TOTAL, AND ANTIOXIDANT ACTIVITy

Rosniati, Medan Yumas, Wahyuni, Melia Aryanti, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract: Study effect of steam blanching and drying method of unfermented cocoa beans to total flavonoid content, total fenol content, and antioxidant activity had been carried out. The aim of this research was to know the effect steam blanching and drying method of the unfermented cocoa beans to flavonoid content, fenol content, and antioxidant activity. The research consisted of 4 treatments, i.e : A1B1 (Non blanching and sun drying), A1B2 (Non blanching and oven drying), A2B1 (Blanching and sun drying), and A2B2. (Blanching and oven drying). This research used experimental and descriptive analysis method. The results showed that treatment combination of non blanching and sun drying (A1B1) has the highest of flavonoid content of 4,60% and the lowest of DPPH free radicals scavenging activity as IC50 (which means has highest antioxidant activity), while treatment combination of non blanching and oven drying (A1B2) has the highest phenol content of 4,04%.

Key words: unfermented cocoa beans, blanching, drying

Use of Biochar and Liquid Smoke in Palm Oil for Increase Quality of Palm Fruit and Analysis of Economic Value-Added

Amos Lukas1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono2) , Imran Rosyadi3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng5)

1) Pusat Sistem Audit Teknologi – BPPT 2) Pusat Pengkajian Kawasan Spesifik dan Sistem Inovas i– BPPT

3) Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT4)Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional

Dr. Ishenny (P3TDI) Kota Langsa5) Balai Besar Industri Hasil Perkebunan- Kota Langsa, Banda Aceh, Indonesia3

Abstract : Study the effect of biocar and liquid smoke from solid waste of palm oil mill to enhance products palm, quality of fresh palm fruit bunches (FFB), and economic value-added. The study was conducted in 2017 at Langsa-Aceh. The method used is the analytical method of comparing FFB products and FFB quality, between land treated with biocar 2 ton/ha and spraying liquids moke formulation : water = 1:100. Data collection through on-site observation, interviews from various parties, laboratory tests for the yield of CPO and the content of FFA. The results showed that the products of FFB increased from 19% to 28%. The weight of FFB shows an increased of 17.5 kg. to 25 kg/FFB. Increased products of fresh fruit sign per Ha for a year of 223% and the quality of palm bunches that gave fresh fruit yields with 90-95% better maturity uniformity, compared with not treatment which only reached 60-70%. A higher yield of CPO 26-27% compared with no treatment of 19-21%, FFA content 2-5% lower than with no treatment of 2-15%. Application of biocar technology and liquid smoke can reduce the loss of economic value of Rp. 20.8484 T. annually over 4.7 million Ha of palm oil in Indonesia

Keywords: FFA, biochar, liquid smoke, economic value-added

ix

Page 13: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

xDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

APLIKASI OLEOGEL DENGAN OLEOGELATOR LEMAK KAKAO PADA PEMBUATAN COKELAT

Sitti Ramlah, Eky Yenita Ristanti, Endang Sri Rejeki, Justus E. Loppies, danDyah Wuri Asriati

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Oleogel didefinisikan sebagai lemak lipofilik dan campuran padat, dimana material lemak padat (oleogelator) dengan konsentrasi yang lebih rendah (<10%) dapat menjerap dengan cara membentuk jejaring oleogator pada minyak curah. Oleogel digunakan untuk menghasilkan lemak dengan sifat struktur yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator lemak kakao pada pembuatan cokelat. Penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu pembuatan oleogel dan pembuatan cokelat. Pembuatan cokelat dibuat dengan 10 formula yaitu F1-F10, dimana F1-F8 menggunakan oleogel sebagai pengganti lemak, sedangkan F9 dan F10 merupakan pembanding dimana pengganti lemak yang digunakan adalah Cocoa Butter Substitute (CBS). Parameter uji adalah kadar air, gula, lemak, protein, kandungan logam, dan uji organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator lemak kakao dapat digunakan sebagai pengganti lemak pada pembuatan cokelat. Cokelat dengan penggunaan lemak oleogel mempunyai karakteristik mutu yaitu; kadar air 1,04-1,94 %, gula 35,61-42,19 %, lemak 40,01-48,25 %, protein 9,64-11,03 %, kadar logam As (<0,007 ppm), Cd (<0,08 ppm), Hg (<0,003 ppm).

Kata kunci: cokelat, minyak kedelai, minyak sawit, oleogel.

TEKNOLOGI DIGITAL SENSOR WARNAUNTUK MENGUKUR TINGKAT FERMENTASI KAKAO (ULASAN)

Nurhayati1, Ratri Retno Utami2, dan Yusdianto3

1Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Mataram 2Balai Besar Industri Hasil Perkebunan3Politeknik Akademi Teknologi Industri

Abstrak: SNI Biji Kakao Nomor 2323-2008 telah diberlakukan untuk meningkatkan kualitas biji kakao. Tahap pengolahan untuk meningkatkan kualitas kakao adalah fermentasi. Fermentasi sempurna ditunjukkan dengan warna coklat dominan, sedangkan fermentasi tidak sempurna ditunjukkan dengan warna ungu. Tingkat fermentasi dapat diketahui melalui metode uji belah, dimana uji ini bersifat kualitatif dengan membandingkan warna keping biji secara visual. Pengujian ini bersifat subyektif yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat kualitas biji kakao antara petani dan pedagang. Permasalahan penentuan tingkat fermentasi ini dapat diatasi dengan melakukan inovasi berbasis teknologi digital menggunakan sensor warna. Teknologi ini berguna untuk mengetahui tingkat fermentasi secara obyektif, efektif dan efisien. Ulasan ini bertujuan untuk mengetahui potensi teknologi digital sensor warna sehingga bermanfaat untuk menentukan tingkat fermentasi sempurna dari kakao.

Kata kunci: biji kakao, fermentasi, sensor warna, teknologi digital, uji belah

x

Page 14: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

xiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KARAKTERISTIK COKELAT SPREAD DENGAN PENAMBAHAN OLEOGEL DARI OLEOGATOR LEMAK KAKAO

Alfrida Lullung Sampebarra, Khaerunnisa, Eky Yenita Ristanti dan Dyah Wuri Asriati Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan oleogel dengan oleogator lemak kakao pada produk cokelat spread. Cokelat spread dibuat dari cokelat batang yang dilelehkan dengan formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS yang mengandung oleogel dari minyak sawit, lemak kakao dan minyak kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keenam formulasi cokelat spread yang dihasilkan mengandung 23 jenis asam lemak (fatty acid dan fatty content) dengan masing masing karakterisik kimia yaitu nilai asam lemak diantaranya asam lemak Cis, Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20:2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 pada produk BK3 dan PK3 tetapi tidak terdapat pada BS3, PS3, BCBS, dan PCBS. Sedangkan asam lemak Cis-13,16-Docosadienoic Acid C22:2 terdapat pada produk cokelat spread PK3 dan BS3 tetapi tidak terdapat pada BK3, BS3, PS3, BCBS dan PCBS. Hasil analisa cemaran logam As, Sn, Cd, dan Hg pada produk cokelat spread yang dihasilkan menunjukkan nilai rata-rata yang lebih kecil atau tidak terdeteksi adanya cemaran logam berdasarkan SNI Cokelat dan Produk Cokelat. Hasil terbaik dari uji sensori warna dan tekstur yaitu pada formula BCBS dengan skor 5,35 dan PCBS dengan skor 5,45 dengan tekstur yang lebih lembut, permukaan lebih mengkilap dan penampakan warna pada permukaan produk yang lebih bagus.

Kata Kunci: aplikasi, cokelat, cokelat spread, lemak kakao, oleogel.

KARAKTERISTIK OLEOGEL DARI MINYAK NABATI MENGGUNAKAN LILIN LEBAH DAN LEMAK KAKAO SEBAGAI OLEOGELATOR

Justus Elisa Loppies, Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, Alfrida Lullung S., danAndi Nur Amalia

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Karakteristik oleogel dapat ditentukan dengan cara menata ulang struktur molekul minyak atau lemak sehingga diperoleh karakteristik tertentu sesuai peruntukannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa karakteristik oleogel yang dibuat dari bahan minyak nabati (minyak sawit dan kedelai) dan lilin lebah dan lemak kakao sebagai oleogelator. Parameter yang diamati meliputi; tekstur, titik leleh, viskositas dan kandungan lemak padat. Metode yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan membandingkan proses oleogelasi menggunakan dua jenis minyak nabati yaitu: minyak sawit dan minyak kedelai dan dua jenis komposisi oleogelator yaitu lemak kakao 1% + lilin lebah 9% dan lemak kakao 3 % + lilin lebah 7 %. Proses oleogelasi dilakukan dengan cara mencampurkan massa minyak dengan oleogelator pada putaran 15.000 dan 25.000 rpm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oleogel dengan karakteristik terbaik adalah dari proses oleogelasi minyak sawit dengan oleogelator (1% lemak kakao dan 9% lilin lebah) pada kecepatan pengadukan 25.000 rpm. Karakteristik dari oleogel yang diperoleh adalah; titik leleh dan viskositas yang tinggi yaitu 43,72 – 45,53 oC dan 161 x 103

centipoise, serta struktur yang lebih padat dan homogen dengan kandungan lemak padat yang lebih rendah (83,33 %).

Kata Kunci: karakteristik, oleogel, minyak nabati, lilin lebah, lemak kakao.

xi

Page 15: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

xiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KARAKTERISTIK BUBUK ALOE VERA YANG DIPRODUKSI MENGGUNAKAN MALTODEKSTRIN UBI KAYU SEBAGAI BAHAN PEMBAWA

Maherawati, Lucky HartantiDepartment of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture,

Universitas Tanjungpura, Pontianak, West Kalimantan, Indonesia

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik bubuk Aloe vera yang diproduksi dengan bahan pembawa berupa maltodekstrin ubi kayu dalam jumlah yang berbeda. Total padatan terlarut campuran Aloe vera dan maltodekstrin sebelum proses spray drying diatur sebesar 20%, 25%, dan 30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua bubuk Aloe vera yang dihasilkan mempunyai aktivitas air dalam kisaran yang aman sebagai bahan kering (0,32-0,38). Penambahan maltodekstrin terbanyak menyebabkan kadar air terendah (4,49%). Penambahan maltodekstrin ubi kayu meningkatkan kecerahan, kemudahan mengailr bubuk, mengurangi kadar air, dan menurunkan kohesivitas antar partikel. Semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan menyebabkan penurunan kelarutan dan pembasahan bubuk Aloe vera. Bubuk Aloe vera mempunyai bentuk bundar dengan ukuran tidak seragam. Semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan menghasilkan partikel bubuk yang semakin besar.

Kata kunci: aloe vera, ubi kayu, maltodekstrin, karakteristik bubuk

PENGARUH PENYANGRAIAN BIJI KAKAO NON FERMENTASIDENGAN SISTEM UAP PANAS TERHADAP KANDUNGAN POLIFENOL, KATEKIN, DAN

RESIDU PESTISIDA KAKAO BUBUK

Wahyuni, Rosniati, Medan Yumas, Melia Ariyanti, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan polifenol, katekin, dan residu pestisida pada kakao bubuk. Biji kakao basah diblanching menggunakan air panas, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur pada sinar matahari terlindung. Biji kakao kering disangrai dengan metode uap air panas menggunakan waterbath pada suhu 80°C selama 30 menit. Ruang lingkup pada penelitian ini yaitu Biji Kakao Sangrai (BS) dan Biji Kakao Tanpa Sangrai (BTS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kakao bubuk yang dihasilkan dari biji kakao sangrai (BS) mempunyai kandungan senyawa total polifenol 6,89% sedangkan kakao bubuk tanpa sangrai (BTS) mempunyai kandungan total polifenol 9,42%. Senyawa katekin pada kakao bubuk dari biji kakao sangrai (BS) 6,335 g/100g, sedangkan biji kakao tidak sangrai (BTS) 6,626 g/100g. Residu pestisida dari semua kakao bubuk yang dianalisis tidak ada yang terdeteksi, sehingga kakao bubuk yang dihasilkan dari penelitian ini aman dari pestisida.

Kata Kunci: Biji kakao, kakao bubuk, katekin, polifenol, residu pestisida.

xii

Page 16: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

xiiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PRODUK SAMPING KULIT KOPI ARABIKA DAN ROBUSTA SEBAGAI SUMBER POLIFENOL UNTUK ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI

Enny Sholichah1*, Rizky Apriani2*, Dewi Desnilasari1, Mirwan A. Karim1, dan Harvelly2

1Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia2 Jurusan Tekologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

Abstrak: Kulit kopi sebagai produk samping pengolahan kopi dapat dimanfaatkan menjadi produk minuman kesehatan karena mengandung polifenol yang merupakan senyawa bioaktif untuk antioksidan dan antibakteri. Kondisi proses ekstraksi menentukan kandungan bahan aktif dalam minuman cascara. Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh proses ekstraksi cascara dengan 3 variabel suhu (75 ºC, 85 ºC, dan 95 ºC) dan konsentrasi (1:100, 2:100, dan 3:100) untuk 2 jenis kopi yaitu arabika dan robusta terhadap kandungan bioaktif senyawa polifenol, aktivitas antioksidan, dan aktivitas antibakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi cascara arabika menghasilkan kandungan polifenol terbaik (2,381%) pada suhu 85 ºC dan aktivitas antioksidan (33,5%) pada suhu 75 ºC, masing-masing pada perbandingan 2:100. Ekstraksi cascara robusta terbaik pada suhu 85 ºC dan perbandingan 2:100, dimana kandungan polifenol (8,089 %) sedangkan aktivitas antioksidan ( 57,5%) pada suhu 75 ºC serta perbandingan 2:100 dan 3:100. Aktivitas antibakteri cascara arabika lebih besar dari robusta. Cascara arabika pada suhu 75-95 ºC dengan 3 konsentrasi tidak mengalami perubahan aktivitas antibakteri secara signifikan yaitu pada kisaran 91,02-97,6%. Aktfitas antibakteri cascara robusta tertinggi pada suhu ekstraksi 95 ºC konsentrasi 3:100 yaitu 97,16%.

Kata kunci: antioksidan, antibakteri, by-product kopi, polifenol

PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRIPENGOLAHAN SEMI-REFINED KARAGENAN DARI EUCHEUMA SP

SEBAGAI PUPUK CAIR PADA TANAMAN HORTIKULTURA

Medan Yumas, Justus E Loppies, Eky Yenita Ristanti, dan Dyah Wuri AsriatiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Limbah rumput laut mempunyai prospek sebagai pupuk cair karena mengandung hormon pemacu tumbuh (HPT), unsur hara makro dan mikro.Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan potongan thallus rumput laut (Eucheuma sp) sebagai bahan pembuatan pupuk cair untuk tanaman hortikultura. Tahapan penelitian meliputi pembuatan alat fermentasi, penyiapan bahan baku penelitian, formulasi, fermentasi, pengujian pupuk cair, dan aplikasi pupuk ke tanaman. Pupuk cair diformulasi dari 90%, 85%, 80%, 75%, dan 70% thallus rumput laut ditambah larutan EM4 dan larutan terasi. Fermentasi dilakukan secara semi-anaerob selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk cair yang terbaik adalah formula dengan perlakuan 85% thallus rumput laut (Eucheuma sp), 10% larutan EM4, dan 5% larutan terasi, dengan kandungan HPT (auksin 150,94, giberelin 178,55, sitokinin terdiri dari kinetin 105,98 dan zeatin 127,04), pH 7,15, tidak mengandung bakteri patogen dan memiliki laju pertumbuhan tanaman lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Jumlah kandungan HPT lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah yang terkandung dalam pupuk cair rumput laut komersial. Namun unsur hara makro dan mikro yang terdapat pada pupuk cair jumlahnya sedikit dan belum memenuhi standar.

Kata kunci: Eucheuma sp, hormon pemacu tumbuh (HPT), pupuk cair, tanaman hortikultura

xiii

Page 17: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

xivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH STEAM BLANCHING DAN CARA PENGERINGAN BIJI KAKAO NON FERMENTASI TERHADAP KANDUNGAN TOTAL FLAVONOID, TOTAL FENOL, DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDANNYA

Rosniati, Medan Yumas, Wahyuni, Melia Aryanti, dan Dwi Indriana

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Penelitian pengaruh steam blanching dan pengeringan biji kakao non fermentasi terhadap kandungan total flavonoid, total fenol, dan aktivitas antioksidannya telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh steam blanching dan cara pengeringan terhadap kandungan total fenol, total flavonoid dan aktivitas antioksidan biji kakao. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yaitu: A1B1 (Tanpa Blanching, dan pengeringan sinar matahari), A1B2 (Tanpa Blanching dan pengeringan oven), A2B1 (Blanching dan pengeringan sinar matahari), dan A2B2 (Blanching dan pengeringan oven). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan biji kakao dengan cara penjemuran dengan sinar matahari (A1B1) menghasilkan total flavonoid paling tinggi yaitu 4,60% dan mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50) yang paling kecil (sifat antioksidan paling kuat) yaitu 0,16 ppm, sedangkan kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan oven (A1B2) menghasilkan total fenol paling tinggi yaitu 4,04%.

Kata Kunci: Biji kakao non fermentasi, blanching, pengeringan

EFEK PENGGUNAAN BIOKAR DAN ASAP CAIR PADA LAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS TANDAN BUAH SAWIT

DAN ANALISIS NILAI TAMBAHNYA

Amos Lukas1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono2) , Imran Rosyadi3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng5)

1) Pusat Sistem Audit Teknologi – BPPT 2) Pusat Pengkajian Kawasan Spesifik dan Sistem Inovas i– BPPT

3) Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT4)Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional

Dr. Ishenny (P3TDI) Kota Langsa5) Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan melihat efek penggunaan biokar dan asap cair pada lahan kelapa sawit terhadap produksi dan kualitas Tandan Buah Sawit Segar (TBSS), dan nilai tambah ekonominya. Penelitian dilakukan pada tahun 2017 di Langsa–Aceh. Menggunakan metode analisis membandingkan produksi dan kualitas TBSS antara lahan yang diperlakukan dengan pemberian biokar 2 ton/ha, dan penyemprotan formulasi asap cair : air = 1 : 100 dengan lahan tanpa perlakuan. Pengumpulan data melalui pengamatan langsung di lokasi, wawancara dari barbagai pihak, uji laboratorium untuk rendemen CPO dan kandungan ALBnya. Hasil penelitian menunjukkan produksi TBSS meningkatkan dari 19% menjadi 28%. Berat TBSS mengalami peningkatan dari 17,5 kg. menjadi 25 kg/TBSS. Peningkatan produksi TBSS/Ha. selama setahun sebesar 223% dan tingkat keseragaman kematangan buah 90-95% lebih baik, dibandingkan dengan tanpa perlakuan yang hanya sekitar 60-70%. Rendemen CPO yang lebih tinggi 26-27% dibandingkan dengan tanpa perlakuan hanya 19–21%, kandungan ALBnya 2-5% lebih rendah dibandingkan dengan tanpa perlakuan sebesar 2-15%. Penerapan teknologi biokar dan asap cair dapat memberikan nilai tambah ekonomi sebesar Rp. 20,8484 T. pertahun atas 4,7 juta Ha lahan sawit di Indonesia

Kata kunci: TBSS, biokar, asap cair, nilai tambah ekonom

xiv

Page 18: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

1Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

APLIKASI OLEOGEL DENGAN OLEOGELATOR LEMAK KAKAO PADA PEMBUATAN COKELAT

Application of Oleogel with Cocoa Butter Oleogelator for Chocolate Making

Sitti Ramlah, Eky Yenita Ristanti, Endang Sri Rejeki, Justus E. Loppies, dan Dyah Wuri AsriatiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl.Prof.Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231Email: [email protected]

os-el: [email protected]: Oleogel is lipophilic fat and solid mixture, which solid fat material (oleogelator) with lower concentration (<10%) can absorbed by forming an oleogator network in bulk oil. Oleogel is used to produce fat with desirable structural properties. The aims of this study is to apply oleogel from palm oil and soybean oil with cocoa butter oleogelator in chocolate making. This research was carried out in 2 stages, namely oleogelmaking and chocolatemaking. Chocolatemaking is made with 10 formulas namely F1-F10, where F1-F8 using oleogel as fat replacer, while F9 and F10 using Cocoa Butter Substitute (CBS) as fat replacer as control. The content of water, sugar, fat, protein, metal, and organoleptic test was analyzed. The results showed that oleogel from palm oil and soybean oil with cocoa butter oleogelator can be used as fat replacer in chocolate making. Chocolate that uses oleogel fat has quality characteristics namely; water content of 1.04-1.94%, sugar content of 35.61-42.19%, fat content of 40.01-48.25%, protein content of 9.64-11.03%, metal content of As (<0.007 ppm), Cd (<0.08 ppm), Hg (<0.003 ppm).

Keywords: chocolate, soybean oil, palm oil, oleogel.

Abstrak: Oleogel didefinisikan sebagai lemak lipofilik dan campuran padat, dimana material lemak padat (oleogelator) dengan konsentrasi yang lebih rendah (<10%) dapat menjerap dengan cara membentuk jejaring oleogator pada minyak curah. Oleogel digunakan untuk menghasilkan lemak dengan sifat struktur yang diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator lemak kakao pada pembuatan cokelat. Penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu pembuatan oleogel dan pembuatan cokelat. Pembuatan cokelat dibuat dengan 10 formula yaitu F1-F10, dimana F1-F8 menggunakan oleogel sebagai pengganti lemak, sedangkan F9 dan F10 merupakan pembanding dimana pengganti lemak yang digunakan adalah Cocoa Butter Substitute (CBS). Parameter uji adalah kadar air, gula, lemak, protein, kandungan logam, dan uji organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator lemak kakao dapat digunakan sebagai pengganti lemak pada pembuatan cokelat. Cokelat dengan penggunaan lemak oleogel mempunyai karakteristik mutu yaitu; kadar air 1,04-1,94 %, gula 35,61-42,19 %, lemak 40,01-48,25 %, protein 9,64-11,03 %, kadar logam As (<0,007 ppm), Cd (<0,08 ppm), Hg (<0,003 ppm).

Kata kunci : cokelat, minyak kedelai, minyak sawit, oleogel.

PENDAHULUANIndustri makanan dan minuman

Indonesia sedang tumbuh pesat dengan omset 400 triliun rupiah (sekitar 30,5 miliar USD) pada kuartal pertama 2016. Menurut Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), pertumbuhan sektor makanan dan minuman pada kuartal pertama 2016 berada pada kisaran 8-9%. Akan tetapi, industri ini mengalami tantangan dalam hal meningkatnya kebutuhan akan ketersediaan bahan baku serta upah buruh (Omron,2016).

Bahan baku industri makanan dan minuman olahan di dalam negeri masih sangat bergantung pada pasokan impor, bahkan ada yang harus mengimpor bahan baku hingga 100%. Ketergantungan terhadap impor tersebut disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya pasokan dari dalam negeri yang belum memenuhi ketentuan baik dari sisi standar, jenis, spesifikasi maupun skala ekonomi. Selain itu, data mengenai jumlah pasokan bahan baku dengan data kebutuhan industri sering tidak sinkron (Ningsih, 2016).

Page 19: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

2Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Minyak dan lemak digunakan secara meluas pada industri makanan dan minuman untuk memperbaiki nutrisi dan mutu produk. Lemak padat diproduksi dari minyak melalui proses hidrogenasi, interesterifikasi, dan fraksinasi. Lemak padat banyak digunakan pada berbagai makanan olahan untuk memperbaiki maupun memodifikasi cita rasa dan tekstur, mengembangkan adonan, mengemulsi, memindahkan panas pada proses penggorengan, mencegah penggumpalan serta memberi rasa kenyang. Sayangnya, konsumsi lemak jenuh yang berlebih dapat meningkatkan resiko terserang penyakit kardiovaskuler, kegemukan, dan obesitas (PehlivanoĞlu et al., 2016).

Pada pembuatan cokelat sering digunakan lemak Cocoa Butter Substitute (CBS) untuk menggantikan lemak kakao. CBS memiliki karakter fisik yang mirip dengan lemak kakao. Cokelat yang dibuat dengan lemak Cocoa Butter Substitute (CBS) juga dapat digunakan langsung tanpa harus melalui proses tempering. Cokelat yang dibuat dengan CBS akan lebih cepat lumer di mulut. Sifat ini sangat mirip dengan cokelat yang dibuat dengan Cocoa Butter (Anonim, 2019a).

Selain penggunaan CBS, sekarang ini diupayakan untuk mencari alternatif pengganti penggunaan lemak padat. Salah satu perkembangan teknologi dalam industri pangan untuk mengurangi penggunaan lemak padat adalah dengan menggunakan oleogel. Oleogel dapat didefinisikan sebagai lemak lipofilik dan campuran padat, dimana material lemak padat (oleogator) dengan konsentrasi yang lebih rendah (<10%) dapat menyerap globula lemak atau minyak dengan cara membentuk jejaring oleogator pada minyak curah. Oleogator dapat digolongkan menjadi dua, yakni sistem self-assembly dan sistem partikel kristal (Samuditha et al., 2011).

Oleogelasi atau proses pembentukan oleogel, meliputi gelasi dari minyak dengan bantuan gelator tunggal atau kombinasi sinergis dari beberapa molekul gelator yang berbeda. Oleogelasi menjadi solusi untuk

menjawab tantangan kebutuhan teknologi untuk mengubah struktur minyak pangan yang ada. Organogel merupakan cikal bakal oleogel. Organogel konvensional menggunakan pelarut organik dan pada umumnya digunakan pada industri kimia, sedangkan oleogel menggunakan lemak alami yang aman dikonsumsi (edible). Beberapa oleogel yang telah dibuat diantaranya menggunakan oleogator dari lilin candellila (candellila wax, CLX) (Toro-Vazquez et al, 2007) dan lilin mata beras (rice bran wax) (Kodali, 2009; Dassanayake, 2009).

Pada industri pangan olahan, penggunaan minyak dan lemak semakin meningkat, baik sebagai komponen utama maupun sebagai pengikat untuk memberikan tekstur yang diinginkan. Dengan semakin tingginya konsumsi makanan olahan, maka konsumsi minyak dan lemak, terutama minyak dan lemak jenuh, juga semakin tinggi. Minyak dan lemak jenuh, memicu masalah kesehatan seperti kolesterol tinggi yang dapat memicu penyakit stroke dan jantung. Oleh karena itu, produsen makanan mulai menaruh perhatian terhadap bahan-bahan yang dapat menggantikan peranan minyak dan lemak jenuh pada makanan olahan tanpa merusak tekstur dan sifat fisik yang diharapkan. Oleogelasi merupakan proses untuk menata struktur minyak dan lemak sehingga ketika diaplikasikan pada produk makanan olahan dapat memperbaiki karakteristik fungsional seperti tekstur, kerenyahan, tampilan dan stabilitas. Selain itu, proses ini juga tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak berdampak negatif terhadap kesehatan (Ristanti et al., 2018).

Oleogel pada awalnya dikembangkan untuk penggunaan pada bidang farmasi dan kosmetik. Namun, oleogel mulai dikembangkan untuk digunakan pada pembuatan makanan karena berdasarkan beberapa studi (Van, 2014; Davidovich-Pinhas, 2016) memiliki potensi untuk mengurangi penggunaan lemak jenuh yang tidak baik bagi kesehatan.

Jurnal Hasil Industri Hasil perkebunan Vol. 14 No 2, Desember, 2019: 1—15

Page 20: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

3Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Industri makanan saat ini mulai meninggalkan penggunaan lemak trans pada berbagai produk pangan. Kesehatan dan kesejahteraan menjadi fokus global sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi industri makanan untuk menghasilkan produk yang lebih rendah kalori, rendah lemak serta rendah lemak jenuh, tetapi masih memiliki rasa yang enak.Untuk itu, teknologi penataan ulang lemak kini banyak dikembangkan untuk memperbaiki mutu shortening yang ada di pasaran.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan oleogel dari minyak sawit

Minyak Sawit dan Minyak Kedelai

Pemanasan (80oC)

Formulasi/Pencampuran (K1, K3, S1, S3)

Beeswax dan Lemak Kakao

Pemanasan dan Pengadukan

(80 oC, 15 menit)

Pendinginan (Suhu ruang)

Oleogel

dan minyak kedelai dengan lemak kakao sebagai oleogelator pada pembuatan cokelat.

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah oleogel dari minyak sawit, oleogel dari minyak kedelai, gula sukrosa, CBS, lesitin, vanili, pasta kakao, dan bubuk kakao. Sedangkan alat yang digunakan adalah stirer, counching (Univer-sal Counching), melter, dan cetakan cokelat.

Gambar 1. Proses Pembuatan Oleogel dengan Oleogelator Lemak Kakao

Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dengan

beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelei dengan oleogator lemak kakao dengan mengacu pada hasil penelitian Ristanti et al. (2017), tahap pembuatan cokelat mengacu pada hasil penelitian Ramlah (2016) dengan pengembangan formula dengan bahan baku

lemak oleogel, tahap analisa kimia, dan uji organoleptik cokelat yang dihasilkan.

Pembuatan Oleogel dan CokelatPembuatan oleogel dari minyak sawit

dan minyak kedelai dengan oleogator lemak kakao mengacu pada hasil penelitian Ristanti et al. (2017) dengan formula (Tabel 1) dan proses pembuatan seperti pada Flowchart Proses Pembuatan Oleogel (Gambar 1).

Page 21: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

4Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 1. Formulasi Oleogel

Formula Minyak Sawit (%) Beeswax (%) Lemak Kakao (%)S1 90 9 1S3 90 7 3

Formula Minyak Kedelai (%) Beeswax (%) Lemak Kakao (%)K1 90 9 1K3 90 7 3

Gambar 2. Proses Pembuatan Cokelat

Tabel 2. Formulasi Cokelat dengan Oleogel

No. Bahan Baku

F(PS1)F1

F(PS3)F2

F(PK1)F3

F(PK3)F4

F(BS1)F5

F(BS3)F6

F(BK1)F7

F(BK3)F8

F(PCBS) F9

F(BCBS)F10

1. Pasta Kakao (kg)

2 2 2 2 - - - - 2 -

2. Bubuk Kakao (kg

- - - - 2 2 2 2 - 2

3. Oleogel S1 (kg)

2 - - - 2 - - - - -

4. Oleogel S3 (kg)

- 2 - - - 2 - - - -

5. Oleogel K1 (kg)

- - 2 - - - 2 - - -

6. Oleogel K3 (kg)

- - - 2 - - - 2 - -

7. CBS - - - - - - - 2 28. Gula

Sukrosa (kg)

2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Pasta kakao/ Bubuk Kakao

Formulasi (F1, F2, F3, …, F10) Oleogel, Gula, Susu

Counching/Penghalusan (4 jam, 55oC)

Pencetakan (Cokelat Batang)

Pendinginan (Lemari Pendingin)

Pelepasan Cokelat dari Cetakan

Cokelat (F1, F2, F3, …, F10)

Lesitin, Vanili, garam

Jurnal Hasil Industri Hasil perkebunan Vol. 14 No 2, Desember, 2019: 1—15

Page 22: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

5Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

9. Susu Bubuk (kg)

1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6

10 Lesitin (gr)

30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

11. Vanili (gr)

8 8 8 8 8 8 8 8 8 8

12. Garam (gr)

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Parameter UjiParameter uji yang digunakan pada

penelitian ini adalah kadar air (SNI 01-2891-1992), kadar gula (SNI 01-2892-1992), kadar lemak (SNI 3748:2009), kandungan logam (AAS), uji organoleptik terhadap tekstur, warna, aroma, dan rasa dengan menggunakan skala hedonik 1 hingga 5 dengan jumlah panelis 20 orang (1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak suka; 4 = suka; 5 = sangat suka).

HASIL DAN PEMBAHASANKadar Air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, tingkat kerenyahan produk akhir serta cita rasa makanan. Keawetan dari suatu produk berhubungan erat dengan kadar airnya (Winarno, 2004).

Hasil analisa kimia produk cokelat yang dihasilkan (F1 hingga F10), mempu-nyai kadar air berkisar 1,04% hingga 1,94% (Gambar 3). Secara keseluruhan semua formula menghasilkan kadar air yang rendah dan tidak berbeda jauh antara satu formula dengan formula lainnya. Hal ini disebabkan karena semua formula diolah dengan tahapan pengolahan yang sama (suhu dan lama penghalusan). Namun jika ditinjau dari bahan baku yang digunakan antara pasta cokelat (F1, F2, F3, F4, dan F9) dan bubuk cokelat (F5, F6, F7, F8, dan F10),

maka produk cokelat yang diolah dari bahan baku bubuk kakao cenderung menghasilkan produk cokelat dengan kadar air yang lebih rendah dibanding dengan cokelat yang diolah dari pasta kakao. Hal ini disebabkan bubuk kakao yang digunakan mempunyai kadar air yang lebih rendah dibanding kadar air pasta kakao.

Kadar GulaGula atau sukrosa memiliki peranan

penting dalam pengolahan pangan karena

Gambar 3. Histogram Kadar Air Cokelat

Kada

r Air

(%)

Page 23: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

6Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

fungsinya yang beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembentuk cita rasa, sebagai substrat bagi mikroba dalam proses fermentasi, bahan pengisi, dan pelarut.

Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk dalam golongan karbohidrat, memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhydrous dan kelarutannya dalam air mencapai 67,7% pada suhu 20 °C (w/w). Komponen terbesar yang digunakan dalam industri konfeksioneri adalah gula pasir (sukrosa).

Hasil penelitian (Gambar 4) menunjukkan bahwa produk cokelat yang dihasilkan mempunyai kadar gula berkisar 35,61% hingga 43,28% (F1 s/d F10). Cokelat yang dihasilkan dari setiap formula mempunyai kandungan gula yang hampir sama. Hal ini disebabkan oleh penggunaan jumlah gula yang sama pada proses pengolahan cokelat untuk semua formula.

Penggunaan oleogel baik oleogel dari minyak sawit maupun oleogel dari minyak kedelai sebagai pengganti lemak kakao pada pembuatan cokelat dan bahan baku lainnya seperti susu, pasta, dan bubuk kakao tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap kandungan gula cokelat yang dihasilkan.

Gula berfungsi membantu pemben-tukan tekstur, memberi flavor melalui reaksi pencoklatan, dan memberi rasa manis. Selain itu, apabila gula ditambahkan ke dalam bahan makanan pada konsentrasi cukup tinggi (paling sedikit 40% padatan terlarut), sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikrobiologi dan Aw dari bahan pangan berkurang. Daya larut yang tinggi dari gula dan kemampuannya mengurangi keseimbangan relatif dan mengikat air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam proses pengawetan pangan (Buckle et al., 1987).

Kadar Lemak Lemak adalah campuran trigliserida

dalam bentuk padat dan terdiri dari suatu fase padat dan fase cair (Buckle et al, 1987). Dalam pengolahan produk pangan, umumnya penggunaan lemak ditujukan untuk menambah cita rasa.

Kadar lemak cokelat yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak dari bahan baku yang digunakan seperti

pasta kakao atau bubuk kakao, lemak kakao/lemak lainnya, susu, dan lain-lain.

F1 hingga F10 mengandung lemak berkisar 40,01% hingga 50,95% (Gambar 5). Kandungan lemak pada suatu produk dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Pada penelitian ini, kadar lemak cokelat yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku oleogel yang digunakan sebagai pengganti lemak kakao. Selain itu, juga dipengaruhi oleh bahan baku pasta kakao dan bubuk

Gambar 4. Histogram Kadar Gula Cokelat

Kada

r Gul

a (%

)

Jurnal Hasil Industri Hasil perkebunan Vol. 14 No 2, Desember, 2019: 1—15

Page 24: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

7Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

kakao. Namun, jika dibandingkan antara satu formula dengan formula lainnya, maka penggunaan oleogel tidak mempengaruhi kadar lemak cokelat yang dihasilkan karena setiap formula menggunakan volume atau jumlah oleogel yang sama. Namun, jika dilihat dari penggunaan bahan baku bubuk cokelat dan pasta kakao, maka produk cokelat yang diolah dari bahan baku bubuk kakao mempunyai kadar lemak yang lebih rendah dibanding dengan cokelat yang diolah dari

pasta kakao. Bubuk kakao mempunyai kadar lemak yang lebih rendah dari pasta kakao karena bubuk kakao merupakan produk yang dihasilkan dari proses pengepresan pasta kakao sehingga lemak kakao yang terdapat dalam pasta kakao terpisah atau keluar dari pasta dan diperoleh cake yang selanjutnya dijadikan bubuk kakao. Cokelat dengan formula F1–F4 dan F9 menggunakan bahan baku pasta kakao, sedangkan F5–F8 dan F10 menggunakan bahan baku bubuk kakao.

Gambar 5. Histogram Kadar Lemak Cokelat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk cokelat yang dihasilkan dari formula F1. Lemak merupakan unsur yang penting dalam cokelat, sama halnya seperti gula. Keduanya memberikan pengaruh yang sangat berarti untuk rasa dan tekstur, dimana fungsi dari lemak pada pembuatan cokelat yakni untuk memadatkan (Ketaren, 1986). Industri pengolahan cokelat umumnya menggunakan lemak kakao sebagai bahan baku pada proses pembuatannya. Lemak kakao memiliki sifat khas yakni bersifat plastis dan memiliki kandungan lemak padat yang relatif tinggi (Wahyudi et al., 2008). Namun, dalam perkembangan industri pengolahan cokelat sering digunakan jenis lemak lain sebagai pengganti lemak kakao. Menurut Minifie (1999), lemak yang tidak memiliki persamaan dengan lemak kakao tetapi dapat digunakan dengan baik apabila dicampurkan dalam jumlah kecil pada lemak kakao atau cokelat dapat disebut sebagai

pengganti lemak kakao. Lemak ini dapat diproduksi dari minyak kelapa, kelapa inti sawit serta minyak kacang .

Kadar ProteinProtein sangat penting bagi tubuh,

karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Kandungan protein di dalam suatu produk pangan akan menentukan mutu produk pangan itu sendiri. Molekul protein tersusun dari atom karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Sebagian besar protein juga mengandung sulfur (S) dan fosfor (P) (Sugiyono, 2004). Protein dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia umumnya akan diserap oleh usus dalam bentuk asam amino. Kadang-kadang beberapa asam amino yang merupakan peptida dan molekul–molekul protein kecil dapat juga diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam pembuluh darah. Molekul

Kada

r lem

ak (%

)

Series 1

Formula

Page 25: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

8Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

protein tersusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar yang saling berkaitan satu sama lain (Winarno, 2004). Protein mempunyai mutu yang beraneka ragam tergantung sampai seberapa jauh protein itu dapat menyediakan asam amino essensial dalam jumlah yang memadai (Buckle et al., 1987)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein dari produk cokelat yang dihasilkan dari formula F1 hingga F10 berkisar 9,64% hingga 11,03% (Gambar 6) dimana kandungan protein cokelat dari beberapa formula tidak berbeda jauh antara formula satu dengan formula lainnya seperti

antara F2, F4, dan F5. Demikian juga antara F1 dengan F8, serta antara F3, F6, dan F7. Penggunaan lemak oleogel dan CBS tidak memberikan konstribusi yang besar terhadap kandungan protein. Oleogel yang digunakan pada penelitian ini diolah dari minyak kelapa sawit dan minyak kedelai, dan CBS diolah dari minyak kelapa sawit. Di samping oleogel atau CBS, cokelat yang dihasilkan pada penelitian ini menggunakan bahan baku dari pasta kakao, bubuk kakao, dan susu bubuk dengan jumlah yang sama sehingga cokelat yang dihasilkan cenderung mempunyai kandungan protein yang hampir sama pula.

Kandungan Logam BeratLogam berat adalah kelompok unsur

logam dengan massa jenis lebih besar dari 5 gr/cm3 yang pada tingkat tertentu menjadi bahan beracun dan sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Logam berat diantaranya adalah timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As), dan cadmium (Cd) (Riadi, 2019). Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup walaupun beberapa

diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Melalui beberapa perantara seperti udara, makanan maupun air yang terkontaminasi logam berat, logam tersebut dapat terdistribusi ke tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasi. Jika ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama maka dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia (Supriyanto, et al., 2007).

Gambar 6. Histogram Kadar Protein Cokelat

Prot

ein

(%)

Formula

Page 26: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

9Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 3. Hasil Analisa Kadar Logam Cokelat dengan Oleogel

No. FormulaParameter Uji

Arsenic ( As)(mg/kg)

Cadmium(Cd)(mg/kg)

Mercury ( Hg)(mg/kg)

1. F1 < 0,007 <0,08 <0,0032. F2 < 0,007 <0,08 <0,0033. F3 < 0,007 <0,08 <0,0034. F4 < 0,007 <0,08 <0,0035. F5 < 0,007 <0,08 <0,0036. F6 < 0,007 <0,08 <0,0037. F7 < 0,007 <0,08 <0,0038. F8 < 0,007 <0,08 <0,0039. F9 < 0,007 <0,08 <0,003

10. F10 < 0,007 <0,08 <0,003

Dari hasil analisa kandungan logam cokelat dari formula F1 hingga F10 diperoleh kadar As <0,007 mg/kg, Sn <1.5 mg/kg, Cd <0.08 mg/kg, dan Hg dengan kadar <0,003 mg/kg (Tabel 3). Rendahnya kandungan logam berat pada cokelat yang dihasilkan dari formula F1 hingga F10 diduga disebabkan oleh bahan baku yang digunakan baik oleogel, CBS, pasta kakao, bubuk kakao, gula sukrosa, dan susu bubuk mengandung kadar logam berat yang rendah pula. Di samping itu, pada proses pengolahan cokelat menggunakan peralatan/wadah yang aman dari bahaya kontaminasi logam berat. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Iswidodo (2010) bahwa sumber utama kontaminan logam berat sesungguhnya berasal dari udara dan air yang mencemari tanah. Selanjutnya, semua tanaman yang tumbuh di atas tanah yang telah tercemar akan mengakumulasikan logam-logam tersebut pada semua bagian (akar, batang, daun dan buah). Empat sumber utama, yaitu udara yang dihirup saat bernapas, air minum, tanaman (sayuran dan buah-buahan) serta ternak (berupa daging, telur, dan susu). Selanjutnya Anonim (2019b) menyatakan bahwa untuk mengurangi resiko kontaminasi logam berat pada makanan, maka pihak industri seharusnya menggunakan bahan baku yang tidak tercemar dan dalam

proses produksi hendaknya menggunakan peralatan, wadah, dan kemasan yang aman dari bahaya kontaminasi logam berat. Jika ditinjau dari Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 5 Tahun 2018 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan olahan, khususnya pada produk Kembang Gula/Permen dan Cokelat yang menyatakan bahwa batas maksimum logam berat pada produk olahan cokelat adalah arsen (As) sebesar 1,0; cadmium (Cd) sebesar 0,50 dan mercury (Hg) sebesar 0,05; maka cokelat yang dihasilkan pada penelitian ini tidak mengandung logam berat dan memenuhi peraturan BPOM (2018) tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan, yang berarti aman untuk dikonsumsi.

Uji OrganoleptikTekstur

Salah satu faktor yang sangat penting dalam penentuan kualitas suatu produk termasuk produk cokelat adalah tekstur. Tekstur adalah salah satu bagian dari sifat organoleptik suatu produk. Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat dirasakan di mulut (waktu digigit, dikunyah, dan ditelan) atau dengan perabaan menggunakan jari (Kartika et al., 1988).

Page 27: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

10Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Penghalusan dan pencampuran bahan yang digunakan serta ada tidaknya pengemulsi yang digunakan pada pembuatan cokelat

akan mempengaruhi baik tidaknya tekstur cokelat yang dihasilkan (Minifie, 1999).

Hasil uji organoleptik terhadap kehalusan (tekstur) produk yang dihasilkan berkisar 2,21 hingga 3,29 yang berarti tidak suka hingga agak suka (Gambar 7). Cokelat hasil formula F1 hingga F8 mempunyai tekstur yang relatif sama, kecuali pada formula F9 dan F10 dengan nilai 3,71 dan 4,14 yang berarti suka. Hal ini diduga disebabkan mutu oleogel yang digunakan belum maksimal sehingga tingkat kekerasan produk cokelat yang dihasilkan belum sama (agak lembek) dan agak lengket pada cetakan dibanding dengan cokelat yang diolah dengan lemak CBS (F9 dan F10). Oleogel yang digunakan diolah dari minyak sawit dan kedelai dengan oleogelator lemak kakao masih dalam bentuk semi solid, belum dalam bentuk padat seperti halnya CBS. Ristanti et al. (2018) melaporkan bahwa kandungan lemak padat oleogel dari lemak sawit dan minyak kedelai dari berbagai perlakuan mempunyai kandungan lemak padat yang lebih rendah dibandingkan kandungan lemak padat pada CBS. Hal ini

disebabkan karena 90% bahan pembentuk oleogel berada dalam bentuk fraksi minyak berupa asam oleat dan lenolenat, dan 10% dalam bentuk fraksi padat berupa asam stearat, palmintat, dan laurat. Hal ini akan berpengaruh pada tekstur cokelat yang dihasilkan.

Namun dari segi kehalusan, cokelat yang dihasilkan dari semua formula F1 hingga F10 diperoleh tingkat kehalusan yang relatif sama karena proses pengolahan cokelat menggunakan waktu counching yang sama. Misnawi dan Jinap (2008) menyatakan bahwa pada pengolahan cokelat proses counching merupakan proses yang sangat berpengaruh terhadap cita rasa dan tekstur cokelat. Penghalusan sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur produk cokelat dan kelinciran (smoothness) cokelat saat dimakan. Melalui penghalusan yang baik, fraksi-fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan potensi aroma, serta cita rasa dan warna khas cokelat timbul.

Gambar 7. Histogram Hasil Uji Organoleptik Terhadap Tekstur Cokelat

Teks

tur

Page 28: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

11Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 8. Histogram Uji Organoleptik Terhadap Warna Cokelat

WarnaHasil penilaian organoleptik warna

pada produk cokelat pada formula F1 sampai F8 berkisar 3,07 hingga 3,57 yang berarti rata-rata panelis memberikan respon agak suka hingga suka, sedangkan cokelat hasil formula F9 dan F10 panelis memberikan respon dengan nilai 4 yang berarti suka (Gambar 8). Hal ini disebabkan karena cokelat hasil formula F1 hingga F8 dibuat dengan menggunakan oleogel menghasilkan cokelat yang agak lembek dan cokelat formula F9 dan F10 menggunakan CBS menghasilkan produk cokelat yang lebih keras dan mengkilat sehingga penampakan warna pada permukaan lebih bagus. Oleogel mempunyai tingkat kepadatan atau kekerasan yang lebih rendah dibanding lemak CBS. Tingkat kekerasan lemak memberikan pengaruh terhadap tingkat kekerasan cokelat yang dihasilkan. Hal ini berpengaruh pula terhadap respon panelis terhadap warna cokelat yang dihasilkan pada penelitian ini.

AromaAroma merupakan salah satu faktor

yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Menurut Winarno (2004), aroma yang enak dapat menarik perhatian konsumen dan

kemungkinan besar memiliki rasa yang enak pula sehingga konsumen lebih cenderung menyukai makanan dari aromanya. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 1992). Aroma khas cokelat tidak saja ditentukan oleh satu komponen, melainkan suatu fungsi dari ratusan komponen penyusunnya. Senyawa–senyawa tersebut terbentuk selama proses penyiapan biji, khususnya saat proses fermentasi dan pengeringan. Selanjutnya pada proses penyangraian senyawa pembentuk cita rasa beraksi satu sama lain sehingga menghasilkan komponen yang mudah menguap dan beraroma khas cokelat (Prasetya, 2009).

Hasil penilaian organoleptik aroma produk cokelat yang dihasilkan dari formula F1 hingga F10 berkisar 2,64 sampai 3,85 yang berarti panelis rata-rata memberikan respon agak suka hingga suka (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan oleogel (F1 hingga F8) dan CBS (F9 dan F10) tidak mempengaruhi aroma cokelat yang dihasilkan karena oleogel dan CBS yang ditambahkan tidak memiliki aroma.

Penyusun aroma yang ditimbulkan pada cokelat tidak hanya ditentukan oleh

War

na

Page 29: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

12Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

satu komponen seperti aroma cokelat terbentuk selama penyaringan biji kakao yang merupakan bahan baku dalam pembuatan cocoa powder. Asam amino, peptida, gula pereduksi, dan kuinon

merupakan pembentuk cita rasa yang termasuk ke dalam senyawa-senyawa golongan alkohol, eter, furan, tiazol, piron, asam, ester, aldehid, imin, amin, oksazol, pirazin dan pirol (Prasetya, 2009).

Gambar 9. Histogram Hasil Uji Organoleptik terhadap Aroma Cokelat

RasaRasa merupakan faktor yang penting

dari suatu produk pangan yang dihasilkan. Cita rasa yang timbul tergantung dari senyawa penyusunnya. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari satu macam rasa yang terpadu sehingga menimbulkan cita rasa makanan yang utuh. Perbedaan penilaian panelis terhadap rasa dapat diartikan sebagai penerimaannya terhadap flavour atau cita rasa yang dihasilkan oleh kombinasi bahan yang digunakan (deMan, 1997)

Rasa juga merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang mudah terlarut dalam mulut (Meilgard et. al., 1999). Penilaian konsumen terhadap bahan suatu makanan biasanya tergantung pada cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut.

Hasil uji organoleptik terhadap rasa cokelat dari oleogel yang dihasilkan (F1–F8), nilai rata-rata berkisar dari 2,21 hingga 2,86

yang berarti tidak suka hingga agak suka. Hal ini diduga disebabkan karena oleogel yang digunakan masih memberikan rasa asli minyak yang digunakan yaitu minyak sawit dan minyak kedelai. Sedangkan penilaian panelis pada formula F9 dan F10 sebesar 4.30 (suka) dimana kedua formula ini menggunakan lemak CBS. Rendahnya nilai rasa cokelat F1 hingga F8 dibandingkan dengan nilai rasa cokelat F9 dan F10 disebabkan cokelat dari F1 hingga F8 menggunakan lemak oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai, dimana cokelat yang dihasilkan mempunyai rasa minyak sawit atau minyak kedelai yang terasa ditenggorokan sesuai rasa dengan bahan baku minyak yang digunakan untuk membuat oleogel. Sedangkan cokelat F9 dan F10 menggunakan lemak CBS, walaupun diolah dari minyak sawit namun telah mengalami proses fraksinasi dan hidrogenasi dimana cokelat yang dihasilkan tidak memberikan rasa yang menyimpang dari rasa cokelat. Lemak CBS memiliki karakter fisik yang mirip dengan lemak kakao (Anonim, 2019a).

Aro

ma

Page 30: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

13Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 10. Histogram Hasil Uji Organoleptik terhadap Rasa Cokelat

SIMPULAN DAN SARANSimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator lemak kakao dapat dimanfaatkan sebagai pengganti lemak pada pembuatan cokelat.

Cokelat dengan penggunaan lemak oleogel mempunyai karakteristik mutu yaitu kadar air 1,04-1,94 %, kadar gula 35,61-42,19 %, kadar lemak 40,01-48,25 %, kadar protein 9,64-11,03 %, kadar logam As (<0,007 ppm), Cd (<0,08 ppm), Hg (<0,003 ppm), dan nilai rasa nilai rata-rata berkisar dari 2,21 hingga 2,86 yang berarti tidak suka hingga agak suka, kehalusan (tekstur) produk yang dihasilkan berkisar 2,21 hingga 3,29 yang berarti tidak suka hingga agak suka, warna pada produk cokelat pada formula F1 sampai F8 berkisar 3,07 hingga 3,57 yang berarti rata-rata panelis memberikan respon agak suka hingga suka, organoleptik aroma produk cokelat yang dihasilkan berkisar 2,64 hingga 3,85 yang berarti agak suka hingga suka.

SaranPerlu penelitian lebih lanjut untuk

mendapatkan oleogel yang stabil sehingga dapat mempermudah proses pengeluaran cokelat dari cetakan dan mempunyai cita

rasa yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2019a. Cocoa Butter Sub-stitute-https://shopee.co.id/Cocoa-B u t t e r - S u b s t i t u t e - F o n t a - C K -Special-CBS-CBE-Lemak-Cacao-Cok la t - i .16057390.817784183 (Diakses pada 30 Oktober 2019)

2. Anonim. 2019b. Penelitian Sebut Sejumlah Merk Makanan Bayi Me-ngandung Logam Berat. https://tirto.id/penelitian-sebut-sejumlah-merk-makanan-bayi-mengandung-logam-berat-dduy (Diakses pada 12 November 2019)

3. BPOM, 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 5 Tahun 2018. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

4. Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan (Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono). Penerbit Universitas Indonesia.

5. Dassanayake, L. S. K., Kodali, D. R., Ueno, S., and Sato, K. 2009. Physical Properties of Rice Bran Wax in Bulk and Organanogels. J Am. Chem. Soc. 86. 1163-73

Ras

a

Page 31: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

14Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

6. Davidovich-Pinhas, M., Barbut, S., and Marangoni, A. G. 2016. Development, Characterization and Utilization of Food-Grade Polymer Oleogels, Annu. Rev. Food Sci. Technol. Doi:10.1146/annurev-food-041715-033225

7. deMan, M John. 1997. Kimia Makanan. Bandung: ITB

8. Iswidodo. 2010. Ini Lho Logam Berat Berbahaya bagi Tubuh. h t t p s : / / w w w. t r i b u n n e w s . c o m /kesehatan/2010/10/13/ in i - lho-logam-berat-berbahaya-bagi-tubuh. (Diakses pada 12 November 2019)

9. Kartika.1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Proyek Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Ting-gi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

10. Ketaren, S. 1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

11. Kodali, D. R., 2009. The Utilization of Rice Bran Wax to Stabilize Long Chain ω-3 Polyunsaturated Fatty Acid Esters. Lipid Technol. 21, 254-6

12. Meilgard, M., Civille, GV., Carr, BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Ed. CRC Press, Boca Raton.

13. Minifie, W., Belnard. 1999. Chocolate, Cocoa and Confectinery Sains Technology. An Aspen Publication, London.

14. Misnawi dan Jinap, S. 2008. Citarasa , Tekstur, dan Warna Cokelat dalam buku Panduan Lengkap KAKAO. Penerbit: Penebar Swadaya, Jakarta.

15. Moehyi, S. 1992. Penyelenggaran Maka-nan Institusi dan Jasa Boga. Bhatara. Jakarta

16. Ningsih, D. 2016. Industri Mamin Masih 100% Andalkan Bahan Baku Impor. Artikel. http://www.beritasatu.com/ekonomi/348025-industri-mamin-masih-100-andalkan-bahan-baku-impor.html (Diakses pada 23 Januari 2017)

17. Omron, Asia. 2016. www.omron.asia/

archive/news/2016/benefit-from-application-of-robotics).

18. PehlivanoĞlu, H., Demirci, M, Toker, O.S, Konar, N., Karasu, S, and Sagdic, O. 2016. Oleogels, A Promising Structured Oils for Decreasing Saturated Fatty Acid Concentrations: Production and Food-Based Appli-cations. Critical Reviews In Food Science and Nutrition. Original Arti-cle. Manuscript accepted 10 Juli 2019

19. Prasetya, A. 2009. Komponen Pem-bentuk Rasa Asam pada Cokelat. h t tp : / /4armi ta .wordpress.com. (Diakses pada 21 Juli 2019)

20. Ramlah, S. 2016. Karakteristik Mutu dan Citarasa Cokelat Kaya Polifenol. Jurnal Industri Hasil Perkebunan

21. Riadi, M. 2019. Pengertian, Sifat, Ciri dan Jenis Logam Berat. https://www.kajianpustaka.com/2019/05/pengert ian-si fat-c i r i -dan- jenis-logam-berat.html. (Diakses pada 12 November 2019)

22. Ristanti, E. Y. et al. 2017. Pembuatan Oleogel dengan Menggunakan Lemak Kakao sebagai Oleogator. Laporan Penelitian, Balai Besar Industri Hasil Perkebunan, BPPI, Kementerian Perindustrian

23. Ristanti, E. Y., Yunus, M. R., Ramlah, S., Justus E. L., Sampebarra, A. L., Rejeki, E. S., Winaldi, A., Asriati, D. W., Amalia, A. N. 2018. Aplikasi Oleogel dengan Oleogator Lemak Kakao pada Produk Pangan Olahan Kakao. Laporan Penelitian. Balai Besar Industri Hasil Perkebunan. BPPI. Kementerian Perindustrian.

24. Samuditha, L., Dassanayake, K., Ko-dali, D. R., and Ueno, S. 2011. Current Opinion in Colloid & Interface Science Formation of Oleogels Based On Edible Lipid Materials. Current Opinion in Colloid & Interface Science,16(5), 432–439. Doi:10.1016/j.cocis.2011.05.005.

25. Sugiyono. 2004. Kimia Pangan. Fakultas

Page 32: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

15Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/ir-sugiyono-mkes/buku-kimia-pangan.pdf. (Diakses pada 11 November 2019).

26. Supriyanto, C., Samin, Zainul, K. 2007. Analisis Cemaran Logam Berat Pb, Cu, dan Cd pada Ikan Air Tawar dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan Atom (SSA). Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, BATAN. Makalah Seminar Nasional III, SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, 21–22 November 2007, 147–15

27. Toro-Vazquez, JF., Morales-Rueda, JA., Dibildox-Alvarado, E., Char´ o-Alonso, M., Alonzo-Macias, M., Gonz´alez-Ch´avez, MM. 2007. Thermal and Textural Properties of Organogels Developed by Candelilla Wax in Safflower Oil. J. Am. Chem. Soc. 84:989–1000

28. Van, D. 2014. Edible Applications of Shellac Oleogels: Spreads, Chocolate Paste, and Cakes. Doi:10.1039/c4fo00034j

29. Wahyudi, T., Pangabean, dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya, Jakarta.

30. Winarno, FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

Page 33: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

16Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

TEKNOLOGI DIGITAL SENSOR WARNAUNTUK MENGUKUR TINGKAT FERMENTASI KAKAO (ULASAN)

Measurement of Cocoa Bean Fermentation Degreewith Digital Colour Sensor Technology (Review)

Nurhayati1, Ratri Retno Utami2, dan Yusdianto3

1Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Mataram Jl. KH. Ahmad Dahlan, Pagesangan, Mataram, Nusa Tenggara Barat 83115

2Balai Besar Industri Hasil PerkebunanJl. Prof. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassar, Sulawesi Selatan 90231

3Politeknik Akademi Teknologi IndustriJl. Sunu No.220, Suangga, Kec. Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90211

e-mail: [email protected]

Abstract: SNI 2323-2008 had been set up for cocoa bean quality improvement. Cocoa bean improvement can be achieved with fermentation process. Cocoa bean fermented showed mostly brown color, meanwhile the under-fermented beans show purple colour. Cut test had been done to determine the fermentation degree, this test is qualitative method by visually comparing cut beans color. This method is subjective and gives dispute among traders and farmers. This problem can be solved with digital technology-based innovations using colour sensor. This technology used to know the fermentation degree objectively, effectively and efficiently. This review aims to find the potential of digital color sensor technology that useful to determine the full fermentation degree of cocoa.

Keywords: cocoa beans, fermentation, colour sensor, digital technology, cut test

Abstrak: SNI Biji Kakao Nomor 2323-2008 telah diberlakukan untuk meningkatkan kualitas biji kakao. Tahap pengolahan untuk meningkatkan kualitas kakao adalah fermentasi. Fermentasi sempurna ditunjukkan dengan warna coklat dominan, sedangkan fermentasi tidak sempurna ditunjukkan dengan warna ungu. Tingkat fermentasi dapat diketahui melalui metode uji belah, dimana uji ini bersifat kualitatif dengan membandingkan warna keping biji secara visual. Pengujian ini bersifat subyektif yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat kualitas biji kakao antara petani dan pedagang. Permasalahan penentuan tingkat fermentasi ini dapat diatasi dengan melakukan inovasi berbasis teknologi digital menggunakan sensor warna. Teknologi ini berguna untuk mengetahui tingkat fermentasi secara obyektif, efektif dan efisien. Ulasan ini bertujuan untuk mengetahui potensi teknologi digital sensor warna sehingga bermanfaat untuk menentukan tingkat fermentasi sempurna dari kakao.

Kata kunci: biji kakao, fermentasi, sensor warna, teknologi digital, uji belah

PENDAHULUANKakao merupakan salah satu

komoditi ekspor non migas yang berperan penting sebagai sumber devisa negara setelah sawit dan karet. Komoditas kakao telah menjadi salah satu komoditas andalan sebagai pendorong perekonomian nasional. Kakao termasuk dalam komoditas strategis unggulan nasional yang difokuskan sejak tahun 2008 sebagai komoditi ekspor unggulan perkebunan (Ditjenbun, 2011). Kemajuan sektor industri menjadikan biji kakao selain dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan dan minuman juga sebagai bahan kosmetika, farmasi, kesehatan, dan

kecantikan. Dalam perkembangannya, kakao memiliki prospek yang cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri juga semakin kuat dengan berkembangnya sektor agroindustri.

Produksi rata-rata perkebunan kakao di Indonesia saat ini masih rendah yaitu 775 kg/ha/tahun, jika dibandingkan dengan rata-rata potensi produksi klon unggul sekitar 2000 kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2016). Berdasarkan data tersebut, program perluasan areal, replanting, rehabilitasi, atau sulaman sebaiknya menggunakan klon unggul yang telah tersedia (Langsa, 2008). Upaya peningkatan produksi kakao

Page 34: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

17Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

terus dilakukan oleh pemerintah dengan merealisasikan perluasan areal kakao rakyat. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana pada tahun 2014 dengan produksi sebesar 325 ribu ton dan pada tahun 2015 dengan produksi sebesar 320 ribu ton (ICCO, 2018).

Biji kakao Indonesia yang dihasilkan perkebunan rakyat pada umumnya masih memiliki mutu yang rendah. Rendahnya kualitas biji kakao Indonesia disebabkan karena biji kakao tidak difermentasi (Elisabeth dan Rubiyo, 2006). Umumnya fermentasi yang dilakukan oleh petani tidak memadai, sehingga menyebabkan kadar biji tak terfermentasi cukup tinggi dan menjadi biji dengan mutu terendah (Wahyudi dan Misnawi, 2007). Hal ini juga yang menyebabkan pemasaran biji kakao Indonesia di dunia mengalami hambatan. Produk kakao yang diekspor sebagian besar tidak difermentasi sehingga melemahkan posisi penawaran di mata konsumen dunia (Purba, 2009). Pasar biji kakao internasional menginginkan biji kakao yang telah difermentasi (Kholis, 2009). Biji kakao fermentasi memiliki kualitas dan harga yang lebih baik dari pada biji kakao yang tidak difermentasi. Proses fermentasi biji kakao menjadi sangat penting untuk dilakukan karena menjadi penentu kualitas dan harga biji kakao. Peningkatan kualitas kakao perlu dilakukan yaitu dengan memperbaiki proses fermentasi sehingga diperoleh biji kakao dengan fermentasi sempurna.

Fermentasi digunakan untuk melepas-kan pulp dari biji kakao, mencegah pertumbuhan mikroba, memperbaiki kenampakan dan mempermudah pengo-lahan. Tujuan utama fermentasi adalah mendapatkan biji kakao yang memiliki calon (prekursor) aroma dan cita rasa (flavor) khas cokelat (Yusianto et al., 2008). Fermentasi menyebabkan kematian biji sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji dan pembentukan prekursor flavor (Afoakwa et al., 2008; Galvez et al.,

2007). Praktek fermentasi yang tidak tepat akan menghasilkan kerusakan cita rasa biji kakao yang tidak dapat diperbaiki melalui pengolahan selanjutnya. Biji kakao tanpa fermentasi tidak menghasilkan aroma khas cokelat dan memiliki rasa sepat dan pahit yang berlebihan (Misnawi, 2005).

Proses fermentasi dimulai di bagian pulp yang menyelimuti biji, pulp mengandung gula yang tinggi dimana gula ini diubah oleh yeast menjadi etanol. Etanol diubah oleh bakteri asam asetat dan bakteri asam laktat menjadi asam asetat serta asam laktat. Etanol dan asam ini mendifusi kulit biji dan menyebabkan kematian biji. Aktivitas mikroba ini menghasilkan panas yang juga menyebabkan kematian biji. Setelah kematian biji, enzim bereaksi dengan substrat dan membentuk gula serta asam yang merupakan prekursor rasa. Enzim berperan aktif dalam mengurangi rasa sepat, menghilangkan pigmen ungu, membentuk warna cokelat serta membentuk prekursor aroma dan rasa khas cokelat (Hansen et al., 1998; Thompson et al., 2001). Prekursor flavor juga dibentuk oleh reaksi antara sukrosa dan protein (Beckett, 2009). Pembentukan prekursor flavor cokelat dipengaruhi oleh sifat fisik biji kakao. Biji kakao dengan ukuran besar membutuhkan waktu fermentasi lebih lama daripada biji kakao yang lebih kecil. Biji kakao dengan warna ungu lebih gelap membutuhkan waktu yang lebih lama daripada biji cerah (Yusianto et al., 1997). Warna ungu biji berhubungan dengan kandungan zat warna violet dalam biji. Biji kakao dengan jumlah zat warna violet lebih banyak akan memerlukan waktu fermentasi yang lebih lama, namun belum diketahui dengan pasti seberapa jauh pengaruh zat warna violet terhadap pemilihan waktu fermentasi (Haryadi dan Supriyanto, 1991). Protein dan peptida akan bereaksi dengan polifenol untuk menghasilkan warna cokelat. Fermentasi biji kakao akan mengakibatkan perubahan fisik, kimiawi, dan biologi di dalam biji kakao seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Page 35: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

18Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 1. Mekanisme Perubahan yang Terjadi Selama Fermentasi Kakao

Tahap Bakteri Waktu Kondisi Temperatur Proses Perubahan yang terjadiI Yeast 24-36 jam Anaerobic 27–42oC

pH < 4Gula diubah menjadi alkohol

Kematian biji terjadi pada hari kedua yang disebabkan karena asam asetat dan alkohol

II Bakter i a s a m laktat

48–96 jam Aerobic Gula dan asam organik diubah menjadi asam laktat

Protein diuraikan oleh enzim menjadi polipeptida dan asam amino. Keduanya sebagai prekursor flavor cokelat

III Bakter i a s a m asetat

96-120 jam Aerobic 50oC Alkohol diubah menjadi asam asetat

Senyawa protein dan polifenol dioksidasi, keduanya mengurangi rasa sepat

Sumber : Mulato et al., 2008; Beckett, 2009

Asam asetat yang semula di permukaan biji merembes lewat kulit biji dan masuk ke jaringan daging biji. Kombinasi suasana asam dan panas di dalam biji

menyebabkan kemampuan germinasi biji menjadi hilang dan biji menjadi mati (Mulato, 2008). Secara skematis pembentukan asam asetat dan asam laktat disajikan Gambar 1.

Gambar 1. Pembentukan Asam Asetat dan Asam Laktat dalam Fermentasi (Chong dalam Sulistyowati, 1988).

Penentuan Akhir Fermentasi Penentuan akhir fermentasi dapat

dilakukan dengan pengamatan suhu, warna, bau, dan kenampakan internal. Warna keping biji kakao dijadikan sebagai penentu akhir fermentasi berdasarkan SNI 2323-2008. Biji kakao sebelum fermentasi berwarna putih kekuningan dan berbau

asam. Biji kakao yang terfermentasi berwarna merah kecoklatan dan kotiledon menjadi lebih cerah pada bagian tengah dengan lingkar warna cokelat di bagian pinggir. Biji dengan kondisi seperti ini telah terfermentasi dan siap dikeringkan. Fermentasi yang berlangsung lebih dari 5 hari akan menyebabkan biji berwarna agak

CO2 + H2O Penguapan

Yeast bakteri asam asetat bakteri

Ethanol Asam Asetat CO2 + H2O Pulp Gula

Asam Laktat Bakteri asam laktat Asam asetat Keterangan : : jalur utama

Page 36: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

19Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

hitam dan tercium bau amonia, yang berarti bahwa proses fermentasi berlebih (Anonim, 2013). Perubahan warna diakibatkan oleh adanya perubahan kompleks polifenol selama proses fermentasi. Pembentukan warna yang terjadi selama proses fermentasi bersamaan dengan pembentukan prekursor flavor, sehingga warna biji kakao seringkali digunakan sebagai penduga potensi flavor (Camu et al., 2008). Perubahan tersebut tidak akan terjadi jika biji kakao tidak difermentasi.

Penentuan akhir fermentasi dengan pengamatan perubahan warna pada keping biji kakao dilakukan dengan mengukur indeks fermentasi dan uji belah. Pengukuran indeks fermentasi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer, sedangkan uji belah dilakukan secara visual subyektif dan alat semi mekanis. Indeks fermentasi adalah perbandingan absorbansi pada panjang gelombang 460 nm (flavonoid kompleks) dan 530 nm (anthocyanin) yang merupakan indikator terjadinya fermentasi sempurna dimana jika terfermentasi sempurna diperoleh angka indeks fermentasi 1 atau lebih (Gourieva, Tserevinov dalam Misnawi, 2005).

Uji belah dilakukan dengan membelah biji kakao membujur di bagian tengah dan dilihat warna serta lekukan rongganya. Tingkat fermentasi berdasarkan warna biji dapat digolongkan menjadi fermentasi berlebihan (biji coklat gelap, bau tidak enak), fermentasi sempurna (biji berwarna coklat dominan), tidak terfermentasi (biji berwarna seperti batu tilis/slaty), biji berwarna ungu sebagian, dan coklat sebagian, serta biji berwarna ungu dominan (Anonim, 2013). Uji belah dilakukan dengan menghitung biji berwarna coklat penuh, sebagian coklat sebagian ungu, dan ungu penuh. Cara yang lain adalah dengan menggunakan alat pembelah biji kakao semi mekanis yang dapat membelah biji kakao dengan jumlah 50 biji sekaligus sehingga dapat diketahui persentasenya (Mulato, 2008). Metode uji belah dapat memberikan informasi tentang persentase tingkat fermentasi suatu sampel biji kakao yaitu slaty (0–20%), ungu (20–40%), ungu dominan terhadap cokelat (40–60%), cokelat dominan terhadap ungu (60–80%), dan cokelat penuh (80–100%) (Yusianto et al., 2008). Uji belah terlihat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. (a) Alat Uji belah (b) Perubahan Warna Biji Kakao yang Difermentasi (aNurhayati, 2010 ;

bMulato, 2008)

Penelitian Rohan dalam Jinap et al. (2008) dan Caligiani dalam Jalil and Ismail (2008) mengklasifikasikan warna biji kakao menjadi tiga kelompok yakni warna slaty mengindikasikan biji kakao tidak terfermentasi (unfermented), ungu berarti biji kakao belum terfermentasi sempurna atau sebagian (underfermented), dan cokelat

berarti biji kakao terfermentasi (fermented). Fermentasi dianggap sudah mencukupi bila 50% biji terdapat cairan ungu merah kecoklatan serta warna merah kecoklatan di sisi luar kotiledon. Fermentasi berakhir bila biji tampak kering (lembab), berwarna coklat, dan berbau asam (Anonim, 2013).

Page 37: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

20Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Pengukuran indeks fermentasi juga dianggap masih kurang efektif dan efisien, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal, karena menggunakan bahan kimia. Uji belah masih dianggap kurang efektif dan efisien serta kurang akurat, karena cara ini membutuhkan ahli dalam penilaian warna biji kakao dengan standar sama dalam jumlah yang banyak secara cepat (Suharyanto dan Mulato, 2008). Metode uji belah bersifat subyektif karena berdasarkan pengamatan secara visual. Subyektivitas ini menyebabkan perbedaan pendapat antara pedagang dan petani tentang kualitas biji yang sedang diperjualbelikan. Umumnya petani merupakan pihak yang dirugikan karena posisi tawarnya yang rendah, sehingga pada akhirnya petani enggan melakukan fermentasi karena tidak adanya perbedaan harga yang memadai antara biji kakao fermentasi dan tidak difermentasi (Nurasa dan Muslim, 2009). Kelemahan uji belah yang lain adalah nilai pengukuran tidak mencerminkan kualitas produk cokelat yang dihasilkan dari biji kakao. Kesulitan penentuan akhir fermentasi dengan metode ini dikarenakan ketidakseragaman biji kakao yang terfermentasi, sehingga diperlukan metode yang efektif untuk menentukan akhir fermentasi (Anonim, 2013). Untuk menghindari permasalahan penentuan kesempurnaan tingkat fermentasi, perlu adanya inovasi berbasis teknologi digital sehingga dapat diketahui tingkat fermentasi secara obyektif, efektif dan efisien. Salah satu inovasi teknologi digital ini adalah penggunaan sensor warna untuk menentukan akhir fermentasi. Diharapkan alat tersebut dapat digunakan sebagai acuan jual beli yang obyektif sehingga biji kakao yang dihasilkan memenuhi standar SNI

2323-2008, mendapat harga yang tinggi dan mendorong petani kakao melakukan proses fermentasi dengan lebih baik.

Teknologi Digital Sensor WarnaSensor warna merupakan sistem

yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi warna, mengubah data analog menjadi digital, mengolah data digital, dan menampilkan hasil olahan. Warna yang dapat dilihat oleh manusia merupakan cahaya. Cahaya tampak mempunyai energi elektromagnetik dengan frekuensi 790-400 THz dan panjang gelombang antara 400-700 nm. Warna dasar penyusun atau warna primer terdiri dari warna merah, hijau, dan biru atau lebih dikenal dengan istilah RGB (red-green-blue). Sensor warna mengambil data suatu warna menggunakan kamera video, data ini merupakan data analog yang diubah menjadi data digital (Gunadhi, 2002).

Teknologi digital sensor warna untuk menentukan akhir fermentasi biji kakao telah dilakukan. Inovasi teknologi ini dibuat dengan memanfaatkan perubahan warna biji kakao pada proses fermentasi. Perubahan warnanya dideteksi, diproses, dan ditampilkan pada LCD dalam bentuk angka-angka yang menunjukkan akhir fermentasi. Penelitian Nurhayati (2010) mengukur tingkat fermentasi biji kakao dengan alat sensor warna hasil penelitian Suharyanto dan Mulato (2008), dimana diagram blok sistem secara keseluruhan alat sensor warna terlihat pada Gambar 3. Alat ukur indeks fermentasi ini menggunakan software yang dapat mengontrol kinerja mikrokontroler Atmega 8 AVR dan menampilkan angka hasil pengolahan mikrokontroler dengan metode spektrofotometer (Suharyanto dan Mulato, 2008).

Page 38: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

21Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 3. Diagram Blok Sistem Keseluruhan Alat Sensor Warna (Suharyanto dan Mulato, 2008)

Biji kakao

Modul Sensor TCS230

Rangkaian Utama Sistem Mikrokontroler

Tampilan Nilai Indeks fermentasi dengan Seven Segment

Power Supply LED

Secara umum komponen utama alat sensor warna ini adalah adaptor dan power supply, LED, modul sensor TCS230 yang terdiri dari photodioda dan pengkonversi arus ke frekuensi, mikrokontroler Atmega 8535L, display/7 segment. Mekanisme kerja alat tersebut dimana sampel biji kakao yang dibelah atau berbentuk pasta dimasukkan pada kuvet kemudian disinari dengan radiasi LED (Light Emitting Diode) berwarna clear. Sinar warna clear merupakan gabungan sinar dengan berbagai panjang gelombang. Sinar yang memiliki panjang gelombang yang sama dengan warna sampel kemudian dipantulkan menuju modul sensor warna, sedangkan sinar dengan panjang gelombang berbeda akan diserap oleh sampel. Sensor berbasis silikon photodioda menangkap warna pantulan, sensor ini akan mengubah intensitas cahaya menjadi pulsa-pulsa satuan frekuensi. Pulsa-pulsa ini ditangkap oleh mikrokontroler dan diproses menjadi satuan lama fermentasi (waktu) atau satuan indeks fermentasi (persentase). Kemudian mikrokontroler mengatur drive 7 segment untuk menampilkan nilai hasil olahan mikrokontroler. Alat sensor warna ini mampu mengukur tingkat fermentasi pada sampel seperti halnya spektrofotometer untuk semua klon dengan persentase error alat maksimal adalah 5,59%.

Penelitian Ridho (2011), menggunakan mikrokontroler Atmega 16 dan sensor warna

biji kakao TCS 230-DB yang mempunyai 4 buah mode filter warna yaitu mode filter merah, mode filter hijau, mode filter biru, dan mode filter clear (RGBC). Output berupa frekuensi untuk diolah di mikrokontroler Atmega 16. Hasil akhir berupa tampilan indeks fermentasi yang terlihat pada LCD 2X16 Display. Indeks fermentasi kemudian dikalibrasi dengan hasil indeks fermentasi spektofotometer. Hasil pengujian menunjukkan alat bekerja cukup baik dengan tingkat keberhasilan 89%. Error persentase alat terbesar dalam pembacaan indeks fermentasi sebesar 10,90% dan terkecil 0,12%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat sensor warna mampu mengukur tingkat fermentasi seperti halnya spektrofotometer. Pengukuran tingkat fermentasi biji kakao menggunakan teknologi digital sensor warna merupakan suatu inovasi teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan transaksi jual beli. Diharapkan dengan adanya inovasi ini, biji kakao yang dihasilkan merupakan biji kakao yang sudah terfermentasi sempurna. Teknologi ini cukup efektif dan efisien karena mampu mempersingkat waktu pengujian serta menghindari penggunaan bahan kimia dan penilaian subyektif.

KESIMPULANAspek mutu dalam SNI biji kakao yang

sangat penting adalah tingkat fermentasi

Page 39: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

22Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

yang sempurna. Fermentasi sempurna umumnya diketahui dengan metode uji belah (uji belah). Cara uji subyektif ini dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara pedagang dan petani tentang kualitas biji kakao hasil fermentasi. Inovasi teknologi berbasis teknologi digital perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat fermentasi secara obyektif, efektif dan efisien. Salah satunya adalah menggunakan sensor warna yang mampu mempersingkat waktu pengujian serta menghindari penggunaan bahan kimia dan penilaian yang subyektif. Alat ini diharapkan digunakan sebagai alat proses kontrol selama biji kakao difermentasi agar diperoleh biji kakao dengan mutu terfermentasi sempurna.

DAFTAR PUSTAKA1. Afoakwa, E.O., Paterson, A., Fowler, M

and Ryan, A., 2008. Flavor formation and character in cocoa and chocolate. Critical Review in Food Science and Nutrition. Taylor and Francis Group. United kingdom.

2. Anonim. 2013. Pasca Panen, Kualitas Biji Kakao dan Fermentasi. Swisscontact. Medan.

3. Beckett, S. T. 2009. Industrial Chocolate Manufacture and Use. 4th edition. Blackwell Publishing, York, Inggris.

4. Camu, N., Winter, T.D., Addo, S.K., Takrama, J.S., Bernaert, H and Vuyst, L.C., 2008., Fermentation of cocoa beans: influence of microbial activities and polyphenol concentration on the flavour of chocolate. Journal Science Food and Agriculture. 0022-5142. Society of Chemical Industry. Belgium. 2288 – 2297 h.

5. Ditjenbun, 2011. Renstra Direktorat Jenderal Perkebunan 2010-2014. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

6. Ditjenbun, 2016. Statistika Perkebunan Indonesia 2015-2017. Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

7. Elisabeth, D.A.A. dan Rubiyo.,2006. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Mutu Kimia Bubuk Cokelat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 22 No. 2, 2006. BPTP. Bali. 82-90 h.

8. Galvez, S.L.,, Loiseau, G., Paredes, J.L., Barel, M and Guiraud, J.P., 2007. Study on the microflora and biochemistry of cocoa fermentation in the Dominican Republic. International Journal of Food Microbiology. 114 (2007) 124–130. Republik Dominika.

9. Gunadhi, A, 2002. Sensor Warna de-ngan Menggunakan Kamera Video Berbasis Komputer Pribadi. Procee-ding Komputer dan Sistem Intelijen. Universitas Mandala Surabaya. Surabaya.

10. Hansen., C.E., del Olmo., Burri, C and Burri, C.,1998. Enzyme activities in cocoa beans during fermentation. Journal of The Science of Food Agri-culture. Vol 77 Issue 2. 273 – 281h.

11. Haryadi dan Supriyanto., 1991. Pengola-han Kakao menjadi Bahan Makanan. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

12. ICCO, 2018. ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol XLIV, No. 2, Cocoa Year 2017/2018. Published: 31 Mei 2018.

13. Jalil, A.M.M and Ismail A., 2008. Polyphenols in cocoa and cocoa products : is there a link between antioxidant properties and health. Review Molecules 13 DOI; 10.3390,. University Putra Malaysia. Malaysia. 2190 – 2219h

14. Jinap, S., Ikrawan, Y., Bakar, J., Saari, S and Lioe, H.N., 2008. Aroma prekursor and methylpyrazines in underfermented cocoa beans induced by endogenous carboxypeptidase. Journal of Food Science. Vol 73 Nr.7. Institute of Food Technologists. Malaysia. 141 – 147h.

15. Kholis, D, 2009. Produksi kakao Standar Ekspor. Direktorat Jenderal Industri

Page 40: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

23Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Kecil dan Menengah. [serial online]. Departemen Perindustrian. Jakarta.

16. Langsa, Y. 2008. Upaya peningkatan produksi dan mutu hasil kakao melalui penggunaan klon unggul baru.Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah.

17. Misnawi, 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Cita rasa Cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol. 21 (3). Oktober 2005, Jember.

18. Mulato, 2008. Pengolahan Kopi dan Ka-kao. Handout Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Universitas Jember. Jember

19. Mulato, S., S. Widyotomo, and Suhar-yanto., 2008. Cocoa Processing Technology Development an Integra-ted Approach. Agro Inovasi.Jember

20. Nurasa, T, Muslim, C., 2009. Perkem-bangan kakao indonesia dan dampak penerapan kebijakan eskalasi tarif dipasaran dunia: kasus kabupaten kolaka, provinsi sulawesi selatan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. Badan Litbang Pertanian, Bogor

21. Nurhayati. 2010. Pengukuran Tingkat Fermentasi Beberapa klon kakao Lindak dengan Teknologi Digital Sensor warna. Program swdi Agronomi. Program Magister Jurusan Budi daya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas jember

22. Purba F. HK. 2009 Upaya Ekspansi Pasar Kakao Indonesia ke Eropa (serial online) Direktorat Pemasaran Internasional Ditjen PPHP Jakarta.

23. Ridho, A.H, 2011. Penentu Tingkat Fermentasi Biji Kakao Menggunakan Sensor Warna Dengan Mikrokontroler Atmega 16. Program Studi Diploma III Teknik Elektronika. Jurusan Teknik Elektro. Fakultas Teknik. Universitas Jember.

24. SNI 01-2323-2008. Biji kakao. ICS 67.140.30. Badan Standardisasi Nasional.

25. Suharyanto, E., dan S. Mulato. 2008. Kinerja Perangkat Elektronik Digital untuk Mengukur Lama Fermentasi Biji Kakao (Theobroma cacao L.). Disampaikan pada Simposium Kakao 2008, 28 – 29 Oktober 2008 di Denpasar Bali. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

26. Sulistyowati, 1988. Keasaman biji kakao dan masalahnya. Pelita Perkebunan Vol 3 No 4 Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Assosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia. 151-158h.

27. Thompson,S.S., Miller,K.B and Lopez,A.S., 2001. Food Microbiology Cocoa and Coffee. ASM Press. Washington, D.C. 721-733 h.

28. Wahyudi, T dan Misnawi., 2007. Fasilitas perbaikan mutu dan produktivitas kakao Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. 26 No. 1, 2007.

29. Yusianto, Wahyudi, T., dan Winarno. 1997. Mutu dan pola cita rasa biji beberapa klon kakao lindak. Pelita Perkebunan Vol.13 No 3 September 1997. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Assosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia.

30. Yusianto, Wahyudi,T dan Sulistyowati. 2008. Bab 15 Pasca Panen, dalam Wahyudi, T., R Panggabean dan Pujiyanto (Ed).Panduan Lengkap Kakao Managemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 207 h.

Page 41: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

24Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KARAKTERISTIK COKELAT SPREAD DENGAN PENAMBAHAN OLEOGEL DARI OLEOGATOR LEMAK KAKAO

Chocolate Spread Characteristics with Oleogel Additionfrom Cocoa Butter Oleogator

Alfrida Lullung Sampebarra, Khaerunnisa, Eky Yenita Ristanti, dan Dyah Wuri Asriati Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar (BBIHP)

Jalan prof. Abdurahman Basalamah No.28 makassar 90231 E-mail : [email protected]

Abstract: The purpose of this study was to apply oleogels with cocoa fat oleogators on chocolate spread. Chocolate spread are made from melted chocolate bars with formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, and PCBS which contain oleogels from palm oil, cocoa fat, and soybean oil. The results showed that six chocolate spread formulations contain 23 types of fatty acids (fatty content) with each chemical characteristic called fatty acids value namely Cis fatty acids, Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20: 2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 in BK3 and PK3 products but not in BS3, PS3, BCBS, and PCBS. While Cis-13.16-Docosadienoic Acid C22:2 fatty acids are found in chocolate products topped with PK3 and BS3 but are not found in BK3, BS3, PS3, BCBS, and PCBS. Analysis of As, Sn, Cd, and Hg metal contamination in chocolate spread products showed smaller average value or undetectable metal contamination based on SNI of Chocolate and Chocolate Products. The best results of color and texture sensory tests are BCBS formula with score of 5.35 and PCBS with score of 5.45 with softer textures, more shiny surfaces and better color appearance on product surface.

Keywords: application, chocolate, chocolate spread, cocoa fat, oleogel.

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan oleogel dengan oleogator lemak kakao pada produk cokelat spread. Cokelat spread dibuat dari cokelat batang yang dilelehkan dengan formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS yang mengandung oleogel dari minyak sawit, lemak kakao dan minyak kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keenam formulasi cokelat spread yang dihasilkan mengandung 23 jenis asam lemak (fatty acid dan fatty content) dengan masing masing karakterisik kimia yaitu nilai asam lemak diantaranya asam lemak Cis, Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20:2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 pada produk BK3 dan PK3 tetapi tidak terdapat pada BS3, PS3, BCBS, dan PCBS. Sedangkan asam lemak Cis-13,16-Docosadienoic Acid C22:2 terdapat pada produk cokelat spread PK3 dan BS3 tetapi tidak terdapat pada BK3, BS3, PS3, BCBS dan PCBS. Hasil analisa cemaran logam As, Sn, Cd, dan Hg pada produk cokelat spread yang dihasilkan menunjukkan nilai rata-rata yang lebih kecil atau tidak terdeteksi adanya cemaran logam berdasarkan SNI Cokelat dan Produk Cokelat. Hasil terbaik dari uji sensori warna dan tekstur yaitu pada formula BCBS dengan skor 5,35 dan PCBS dengan skor 5,45 dengan tekstur yang lebih lembut, permukaan lebih mengkilap dan penampakan warna pada permukaan produk yang lebih bagus.

Kata Kunci : aplikasi, cokelat, cokelat spread, lemak kakao, oleogel.

PENDAHULUAN Produksi kakao nasional cenderung

meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 total produksi kakao Indonesia mencapai 831.919 ton, pada tahun 2011 turun 712 ton dan pada tahun 2012 meningkat kembali menjadi 740.513 ton. Hasil produksi biji kakao selama ini umumnya diekspor dalam bentuk biji kering dan sebagian diekspor dalam bentuk kakao olahan seperti lemak

kakao, pasta kakao, bubuk kakao, dan bungkil kakao.

Rendahnya produksi kakao olahan di Indonesia disebabkan oleh beberapa kendala antara lain masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang teknologi pengolahan kakao, belum berkembangnya teknologi diversifikasi produk kakao serta ketersediaan peralatan dan mesin yang sulit terjangkau. Salah satu produk pangan

Page 42: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

25Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

menggunakan penambahan bubuk cokelat sebagai pengganti bahan utama untuk memberikan rasa dan aroma dari buah kakao asli (Deannisa, et al., 2014).

Menurut penelitian Arie, et al. (2015), produk cokelat spread atau selai coklat sangat digemari oleh kalangan masyarakat umum terutama anak-anak dan berfungsi sebagai olesan yang sering dioles pada roti tawar. Selai cokelat mengandung kakao bubuk, susu, dan minyak lemak (shortening) yang dapat memperbaiki mutu tekstur produk selai cokelat. Salah satu komponen yang paling penting dalam pembuatan produk olesan seperti cokelat spread adalah lemak akan memberikan efek seperti mentega, memperkaya rasa, memberikan tekstur yang lembut serta akan meningkatkan patabilitas roti dan kue seperti meminyaki roti pada saat dimakan, selain itu sebagai sumber vitamin dan asam lemak esensial yang memberikan flavor pangan (Winarno, 1997).

Agar produk cokelat spread berbasis sawit yang dihasilkan menjadi lebih bernutrisi maka perlu dilakukan penambahan zat gizi seperti salah satu penelitian Ristanti, et al. (2017) tentang oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai yang dapat diaplikasikan pada produk pangan seperti cokelat spread. Oleogel yang terbuat dari minyak sawit dan minyak kedelai mengandung asam-asam lemak yang bermanfaat bagi tubuh seperti asam palmitat, asam oleat, asam stearat, dan asam linoleat. Minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Berdasarkan komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang maka secara ideal bisa menjadi produk oleogel yang dapat diaplikasikan ke dalam produk makanan sehingga dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan mutu produk cokelat spread atau selai cokelat dengan tesktur yang lebih baik (Hariyadi, 2014).

METODOLOGI Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu susu cair, cokelat batang dari bahan

berbahan cokelat atau bubuk cokelat adalah produk cokelat spread yang merupakan salah satu produk olahan kakao yang sudah banyak diproduksi di Indonesia oleh industri besar namun harganya relatif mahal, sehingga sulit terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Salah satu produk olahan lemak cokelat dan bubuk cokelat adalah cokelat spread atau dikenal secara umum yaitu sebagai selai coklat yang terbuat dari pasta cokelat sebagai olesan pada permukaan roti. Cokelat spread juga mengandung kakao, minyak, susu, dan tambahan serta pengawet makanan. Pada umumnya, cokelat spread terbuat dari bubuk kakao yang merupakan hasil samping dari lemak kakao. Cokelat spread atau lebih umum dikenal dengan selai cokelat adalah campuran yang bersifat setengah padat yang terdiri dari tidak kurang dari 45 bagian bubur dan 55 bagian berat gula yang dikentalkan sampai kadar zat padat terlarut menjadi 65% (Ginting, 2011).

Isyanti, et al. (2012) telah melakukan penelitian mengenai cokelat spread berbasis sawit dengan hasil terbaik secara organoleptik yaitu cokelat spread dengan komposisi olein sawit (60%) dan lemak cokelat (40%). Proses pembuatan cokelat spread yang dilakukan adalah mencampurkan fraksi air (susu, skim, gula halus, dan kalium sorbat) dengan fraksi lemak (olein sawit, lemak cokelat, dan bubuk cokelat serta lesitin) menggunakan mixer di atas waterbath pada suhu 90-100ºC selama 15 menit, kemudian dimasukan ke dalam jar dan dipasteurisasi pada suhu 70ºC selama 15 menit.

Beberapa penelitian tentang cokelat spread telah dilakukan oleh El-Hadad, et al. (2011) dan Isyanti, et al. (2012) dalam pemanfaatan turunan minyak sawit berupa RBDPO dan RBDPS atau campuran keduanya sebagai bahan subtitusi lemak cokelat untuk menghasilkan produk cokelat spread dengan metode blending. Syarat cokelat spread yang baik adalah mudah dioleskan dan mempunyai aroma dan rasa buah asli. Pada pembuatan selai cokelat atau cokelat spread umumnya

Page 43: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

26Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

bubuk dengan menggunakan oleogel dari minyak kedelai (BK3) dan pasta (PK3), bubuk dengan oleogel dari minyak sawit (BS3) dan pasta (PS3), bahan dan pasta (PCBS) bubuk dengan menggunakan Cocoa Butter Substitute (CBS) pada kode (BCBS) dan bahan pasta (PCBS), aquadest, kalium sorbat sebagai pengawet, dan pereaksi uji asam lemak trans. Peralatan yang digunakan terdiri dari timbangan, wadah atau baskom stainless, spatula, kompor listrik, steambath, oven, alat GC, dan botol steril sebagai kemasan.

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret

hingga Mei 2018 di Laboratorium BBIHP Makassar dan Laboratorium IPB Bogor. Metode penelitian mencakup pembuatan cokelat spread dari cokelat batang, dan aplikasi oleogel minyak sawit dan minyak kedelai pada cokelat batang dan pengujian mutu kimia dari karakteristik produk cokelat spread.

Pembuatan Cokelat Spread Tahap pembuatan produk selai

coklat (cokelat spread) seperti yang terlihat pada Gambar 1 yaitu menimbang bahan, melelehkan coklat batang sebanyak 500 gram dari formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS. Bahan–bahan tersebut ditambahkan susu cair sebanyak 250 ml dan kalium sorbat sebanyak 0,2 gram, lalu diaduk rata hingga homogen di atas waterbath, didinginkan dan segera dikemas dalam botol kaca bertutup.

Gambar 1. Proses Pembuatan Cokelat Spread

Formulasi Cokelat Batang BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS

Produk cokelat batang dengan formula BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS (Ristanti, et al., 2017) sebagai berikut:

Oleogel yang digunakan yaitu oleogel yang dibuat dengan formulasi S3, K3, dan CBS yaitu S3:minyak sawit 90%:lemak kakao 3%:beeswax 7% dan K3:minyak kedelai 90%:lemak kakao 3%:beeswax 7%. Masing-masing dibuat dalam 500 ml.CBS sediaan dan shortening (mentega putih) yang langsung ditambahkan pada pembuatan cokelat batang dan selai cokelat. Pembuatan cokelat batang menggunakan bahan oleogel S3 dan K3 baik dari pasta maupun bubuk cokelat masing masing 2 kg, gula 2 kg, garam 4 gr, lesitin 30 gr, dan vanili 8 gr. Adonan dihaluskan melalui alat conching selama 4 jam pada suhu 50 ºC kemudian dicetak dengan alat cetakan cokelat. Cokelat batang yang telah tercetak kemudian dilelehkan untuk menghasilkan cokelat spread.

Parameter uji yang digunakan pada penelitian yaitu pengujian fatty acid, fatty content dengan metode uji menggunakan gas chromatography, warna, tekstur, dan

Page 44: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

27Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

uji cemaran logam menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophotometry (AAS).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji yang diperoleh menunjukkan

bahwa cokelat spread dengan formulasi BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS (Tabel 1) mengandung senyawa-senyawa asam lemak bebas.

Hasil uji menunjukkan bahwa cokelat spread yang dihasilkan (Tabel 1) mengandung 23 jenis asam lemak. Jenis asam lemak yang tinggi pada cokelat spread dengan oleogel dari minyak sawit adalah Oleic Acid, disusul C18, Palmitic Acid, C16:0, Stearic Acid, C18:0, dan Linoleic Acid, C18. Sedangkan kandungan asam lemak yang tinggi pada cokelat spread dengan oleogel dari minyak kedelai adalah Linoleic Acid C18:2n6c,disusul Oleic Acid, C18:1n9c, Palmitic Acid, C16:0, dan Stearic Acid, C18:0. Demikian juga kandungan asam lemak yang tinggi dari cokelat spread dengan lemak CBS adalah Lauric Acid, C12:0, disusul Stearic Acid, C18:0, Palmitic Acid, C16:0, dan Oleic Acid, C18:1n9c. Perbedaan kadar asam lemak dari tiap jenis asam lemak pada cokelat spread dipengaruhi oleh jenis minyak atau lemak pada oleogel yang digunakan dalam pembuatan cokelat spread.

Tabel 1 menunjukkan adanya nilai asam lemak yaitu asam lemak Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20:2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 pada produk BK3 dan PK3 tetapi tidak terdapat pada BS3, PS3, BCBS, dan PCBS. Sedangkan asam lemak Cis-13,16-Docosadienoic Acid C22:2 terdapat pada produk cokelat spread PK3 dan BS3 tetapi tidak terdapat pada BK3, BS3, PS3, BCBS, dan PCBS. Namun

nilai asam oleat tertinggi rata-rata berkisar 35 hingga 24% pada cokelat spread BK3, PS3, dan BS3 yang mengandung oleogel dari minyak kedelai. Asam lemak adalah asam monokarboksilat berantai lurus yang terdapat di alam sebagai ester di dalam molekul lemak atau trigliserida. Hasil hidrolisis trigliserida akan menghasilkan asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak tidak jenuh memilki ikatan rangkap yang terdapat pada minyak dapat berada dalam dua bentuk yakni isomer cis dan trans. Jumlah asam lemak trans dan cis dapat mengikut di dalam makanan berlemak terutama margarin dan selai akibat dari proses pengolahan yang diterapkan seperti hidrogenasi pada saat pemanasan dengan suhu tinggi (Jansen dan Sanggam, 2002).

Tabel 1 juga menunjukkan adanya bentuk cis pada produk cokelat oles (BK3, PS3, dan BS3) yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai tidak mengalami hidrogenasi tetapi hanya dilakukan proses pengadukan untuk menyatukan dispersi minyak dan lemak kakao dengan alat pengaduk Ultra Turrax. Menurut Murry et al. (2005), asam lemak trans dan cis merupakan golongan asam lemak tak jenuh dengan trans isomer yang mengacu pada konfigurasi ikatan rangkap karbon yang berasal dari minyak nabati yang mengalami proses pemadatan melalui teknik pemanasan atau teknik hidrogenasi parsial. Selain itu, minyak sayur (minyak kedelai, jagung, dan biji bunga matahari) mengadung sekitar 87-93% asam lemak tak jenuh yang sangat peka terhadap pemanasan yang dapat memicu terbentunya asam lemak trans maupun cis dari suatu senyawa lemak dan minyak (Sartika, 2008)

Page 45: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

28Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 1. Hasil Pengujian Fat Content dan Fatty Acid Cokelat Spread

No. Parameter UjiHasil Uji(% w/w)

BK3 PK3 BS3 PS3 BCBS PCBSFat Content 24.69 23.38 21.52 22.56 14.52 22.63Fatty Acid

1 Caproic Acid, C6:0 0.18 0.19 0.16 0.17 0.30 0.292 Caprillic Acid, C8:0 0.13 0.12 0.13 0.13 2.28 2.133 Capric Acid, C10:0 0.30 0.27 0.28 0.28 2.28 2.144 Undecanoic Acid, C11:0 0.03 0.03 0.03 0.03 0.02 0.035 Lauric Acid, C12:0 0.55 0.47 0.61 0.54 33.62 29.586 Myristic Acid, C14:0 1.51 1.35 1.90 1.77 1.81 10.287 Myristoleic Acid, C14:1 0.12 0.11 0.11 0.10 0.10 0.118 Pntadcanoic Acid, C15:0 0.14 0.13 0.15 0.14 0.12 0.139 Palmitic Acid, C16:0 17.91 18.01 31.80 32.41 13.87 16.7710 Palmitoleic Acid, C16:1 0.32 0.31 0.35 0.34 0.23 0.2611 Heptadecanoic Acid,

C17:00.20 0.20 0.18 0.19 0.13 0.16

12 Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1

0.11 0.05 0.04 0.04 0.02 0.03

13 Stearic Acid, C18:0 12.46 12.92 11.26 13.77 17.92 20.3414 Elaidic Acid, C18:1n9t - - 0.84 0.7915 Oleic Acid, C18:1n9c 24.81 23.82 34.69 35.64 9.31 13.1516 Linoleic Acid, C18:2n6c 35.20 32.26 8.74 8.18 1.08 1.4517 Arachidic Acid, C20:0 0.44 0.45 0.38 0.45 0.28 0.4018 Linoleic Acid, C18:3n3 3.35 3.01 0.30 0.29 0.11 0.1619 Cis-11,14-Eicosedienoic

Acid, C20:20.16 0.15 0.18 0.18 0.04 0.05

20 Behenic Acid, C22:0 0.33 0.31 0.08 0.10 0.06 0.0721 C i s - 8 , 1 1 , 1 4 -

Eicosetrienoic Acid, C20:3n6

0.04 0.05 - - -

22 Tricosanoic Acid, C23:0 0.04 0.03 0.02 0.02 0.02 0.0221 C i s - 1 3 , 1 6 -

Docosadienoic Acid, C22:2

- 0.02 0.02 - - -

23 Lignoceric Acid, C24:0 0.13 0.12 0.08 0.08 0.05 0.06Fatty Acid Total 98.45 94.38 91.48 94.84 94.25 98.40

Menurut Sartika (2008), kandungan lemak dan komposisi asam lemak dalam kedelai dipengaruhi oleh varietas dan keadaan iklim tempat tumbuh. Lemak kasar terdiri dari trigliserida sebesar 90-95%. Sedangkan sisanya adalah fosfatida, asam lemak bebas, sterol, dan tokoferol. Minyak kedelai mempunyai kadar asam lemak jenuh

sekitar 15% sehingga sangat baik sebagai pengganti lemak dan minyak yang memiliki kadar asam lemak jenuh yang tinggi seperti mentega dan lemak babi. Hal ini berarti minyak kedelai sama seperti minyak nabati lainnya yang bebas kolesterol. Asam lemak dalam minyak kedelai sebagian besar terdiri dari asam lemak esensial yang sangat

Page 46: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

29Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

diproduksinya. Indonesia mencantuman asam lemak trans dalam label informasi produk makanan. Nilai gizi belum diwajibkan tetapi jika diklaim bebas dari asam lemak trans harus mengandung tidak lebih dari 0,1 g/100 g untuk bentuk padat dan 0,1 g/100 ml dalam bentuk cair (BPOM, 2011).

Hasil uji cemaran logam As, Sn, Cd, dan Hg pada produk cokelat spread dengan formulasi BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS disajikan pada Tabel 2. Nilai rata–rata cemaran logam yang diperoleh sangat kecil atau lebih kecil dan bahkan tidak terdeteksi adanya cemaran logam berat pada produk. Pembuatan cokelat spread banyak menggunakan wadah dari stainless steel dan sumber cemaran logam diduga berasal dari proses yang digunakan sehingga perlu dianalisa cemaran logamnya.

Cemaran logam pada bahan pangan dapat berasal dari udara dan air serta dari bahan yang digunakan pada saat mengolah dan menyajikan makanan. Menurut Arie, et al., (2015), logam akan terakumulasi pada jaringan tubuh dan dapat menimbulkan keracunan pada manusia. Proses pembuatan cokelat spread pada umumnya dilakukan dengan menggunakan peralatan yang terbuat dari logam. Selama proses pengolahan, terjadi gesekan baik antar komponen peralatan maupun antara peralatan dengan bahan baku (Daming dan Mamang, 2014). Tabel 2 menunjukkan bahwa cemaran logam pada produk cokelat spread dari keenam formula (BS3, PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS) masing-masing memenuhi standar mutu SNI Cokelat dan Produk Cokelat karena nilainya sangat kecil atau tidak terdeteksi (BSN, 2014). Hal ini disebabkan karena pada saat proses pembuatan cokelat spread waktu kontak penggunaan peralatan berbahan logam tidak berlangsung lama sehingga kontaminan cemaran logam tidak memungkinkan untuk mencemari produk (Daming dan Mamang, 2014).

dibutuhkan oleh tubuh. Komposisi kimia dan sifat fisiko-kimia minyak kedelai yaitu mengandung asam lemak tidak jenuh (85%) yang terdiri dari asam linoleat 15-64%, asam oleat 11-60%, asam linolenat 1-12%, asam arachidonat 1,5%, dan asam lemak jenuh (15%) yang terdiri dari asam palmitat 7–10%, asam stearat 2-5%, asam arschidat 0,2–1%, asam laurat 0–0,1% (Hariyadi, 2014).

Nilai gizi asam lemak esensial dalam minyak dapat mencegah timbulnya atherosclerosis atau penyumbatan pembuluh darah. Kegunaan minyak kedelai yang sudah dimurnikan dapat digunakan untuk pembuatan minyak salad, minyak goreng (cooking oil) serta untuk segala keperluan pangan. Lebih dari 50% pangan dibuat dari minyak kedelai, terutama margarin dan shortening. Hampir 90% dari produksi minyak kedelai digunakan di bidang pangan dan dalam bentuk telah dihidrogenasi karena minyak kedelai mengandung lebih kurang 85% asam lemak tidak jenuh (Bani, 2018).

Pengaruh asam lemak trans dan cis terhadap kesehatan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Berdasarkan penelitian epidemiologis, trans fatty acid (TFA) atau asam lemak trans dapat menimbulkan resiko dan pengaruh negatif karena dapat menaikkan kadar LDL dalam darah, menimbulkan efek kolesterol yang tinggi, menyebabkan penyakit jantung, mengganggu metabolisme penglihatan pada mata, dan pembengkakan dinding jantung (Ovesen, et al., 1998).

Konsumsi asam lemak trans yang berlebihan sangat berbahaya bagi kesehatan. Word Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2010 memberikan batasan penggunaan asupan lemak trans pada makanan yaitu kurang dari 1% dari asupan energi secara keseluruhan. WHO dan FAO mendesak industri makanan untuk mengurangi jumlah asam lemak trans pada produk yang

Page 47: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

30Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 2. Hasil Pengujian Kadar Cemaran Logam Cokelat Spread

No. Parameter UjiHasil Uji(mg/kg)

BK3 PK3 BS3 PS3 BCBS PCBS1. Arsen (As) < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.0072. Stannum (Sn) < 1.5 < 1.5 < 1.5 < 1.5 < 1.5 < 1.53. Cadmium (Cd) < 0.08 < 0.08 < 0.08 < 0.08 < 0.08 < 0.084. Mercury (Hg) < 0.003 < 0.003 < 0.003 < 0.003 < 0.003 < 0.003

Gambar 2. Histogram Skor Keberterimaan Warna Produk Cokelat Spread dengan Penambahan Oleogel

Warna Pengujian sensori terhadap cokelat

spread (selai cokelat oleogel) memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap warna dan secara keseluruhan keadaan produk dapat diterima. Hasil penilaian pada produk cokelat spread dengan formula BK3, PK3, BS3, PS3, BCBS, dan PCBS pada Gambar 2 berkisar 4,21 hingga 5,5 yang berarti rata-rata panelis memberikan respon suka hingga sangat suka. Pada uji organoleptik, panelis memberikan penilaian tertinggi pada produk cokelat spread formula BCBS dan PCBS sebagai pembanding menunjukkan nilai sangat suka pada skor 5,5. Hal ini disebabkan karena pada formula BCBS dan PCBS yang menggunakan CBS dari lemak minyak sawit menghasilkan produk cokelat yang lebih lembut dan mengkilat sehingga penampakan warna pada permukaan lebih

bagus. Sedangkan pada formula BS3 dan PS3 (Gambar 2) menunjukkan nilai sensori 5,1 dan 5,2 yang hampir sama dengan BCBS dan PCBS yang memperlihatkan warna yang lebih bagus dan sangat disukai. Hal ini disebabkan karena pada formula yang digunakan adalah bahan oleogel campuran minyak sawit dengan lemak kakao serta penambahan beeswax yang komposisi kandungan asam lemaknya hampir sama dengan CBS sebagai pemanding. Menurut Marangoni dan Garti (2011), minyak kedelai dan minyak sawit mempunyai rasa yang natural dan memberikan efek warna dan aroma pada pangan yang tidak merusak rasa dan warna alami dari pangan yang diolah.

Tekstur Tekstur adalah bagian dari sifat

organoleptik pada produk. Faktor yang dapat mempengaruhi baik tidaknya produk cokelat

Page 48: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

31Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

yang dihasilkan yaitu pada penghalusan dan pencampran bahan yang digunakan serta ada tidaknya pengemulsi (Minifie, 1999). Bahan yang tidak halus dan tidak tercampur rata akan menyebabkan tekstur yang kasar. Hasil uji organoleptik tekstur cokelat spread dengan penambahan oleogel minyak sawit dan minyak kedelai (Gambar 3) menunjukkan bahwa nilai rata-rata terhadap tekstur cokelat spread yang dihasilkan yaitu berkisar antara 4,1 hingga 5,45 yang berarti umumnya panelis memberikan tanggapan suka dan sangat suka terhadap produk cokelat spread dengan penambahan oleogel yang dihasilkan. Penilaian tertinggi

terhadap tekstur pada produk cokelat spread formula BCBS dengan skor 5,35 dan PCBS dengan skor 5,45 dengan tekstur yang lebih lembut dan permukaan lebih mengkilap. Hal ini disebabkan karena pada formula ini menggunakan bahan oleogel dari campuran minyak sawit dan lemak kakao dengan penambahan beeswax yang komposisi kandungan asam lemaknya hampir sama dengan CBS sebagai pemanding dan komposisi asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit dan minyak kedelai dapat memperbaiki struktur dari tekstur olahan pangan yang dihasilkan (Ketaren, 2008).

Gambar 3. Histogram Skor Keberterimaan Tekstur Produk Cokelat Spread dengan Penambahan Oleogel

SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa dari keenam formulasi cokelat spread (BS3,PS3, BK3, PK3, BCBS, dan PCBS) yang dihasilkan mengandung 23 jenis asam lemak (fatty acid dan fatty content) dengan masing masing karakterisik kimia yaitu nilai asam lemak diantaranya asam lemak Cis, Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1, Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20:2, Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 pada produk BK3 dan PK3 tetapi tidak terdapat pada BS3, PS3, BCBS, dan PCBS dan

asam lemak Cis-13, 16-Docosadienoic Acid C22:2 terdapat pada produk cokelat spread PK3 dan BS3 tetapi tidak terdapat pada BK3, BS3, PS3, BCBS, dan PCBS sedangkan analisa cemaran logam As, Sn, Cd, dan Hg pada produk cokelat spread yang dihasilkan menunjukkan nilai rata-rata yang lebih kecil atau tidak terdeteksi dan memenuhi standar mutu SNI produk cokelat. Hasil terbaik dari uji sensori warna dan tekstur pada produk cokelat spread yaitu pada formula BCBS dengan skor 5,35 dan PCBS dengan skor 5,45 dengan tekstur yang lebih lembut, permukaan lebih

Page 49: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

32Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

mengkilap dan penampakan warna pada permukaan produk yang lebih bagus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Arie, W., Nami, L., dan Mirna, I. 2015.

Pengaruh Variasi Komposisi Lemak Cokelat, Olein Sawit dan Minyak Ikan Patin Terhadap Kandungan Nutrisi Cokelat Spread. Warta IHP. BBIA. Vol. 32 (2), 51-61

2. BSN. 2014. Cokelat dan Produk Cokelat. SNI 7934-2014. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta

3. Bani,Ta.2018 Minyak Kedelai, slide share.net/tubachemiistry//minyak_kedelai.

4. BPOM. 2011. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.11.11. 09909. Tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. http://www.bpom.go.id

5. Daming, W. dan Mamang. 2014. Tingkat Cemaran Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Pasta Cokelat yang Dihasilkan Balai Besar Industri Hasil Perkebunan. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Industri Vol. 4, 6-11

6. Deannisa, M., Zulkifli, L., dan Mimi, N. 2014. Pembuatan Selei Cokelat Kulit Pisang Barangan. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian. Vol 2, No.2, 111-116

7. El-Hadad, N. M., Youssef, M. M., El-Aal, M. H. A., dan Abou-Gharbia, H. H. 2011. Utilisation Of Red Palm Olein In Formulating Functional Chocolate Spread. Journal Food Chemstry. 124, 285-290

8. Ginting, D. 2011. Pengaruh Substitusi Minyak Sawit dan Suhu Pemanasan Terhadap Mutu Selai Cokelat. Skripsi. Fakultas Pertanian. USU, Medan

9. Hariyadi, P. 2014. Mengenal Sawit dengan Beberapa Karakter. GAPKI. Wordpress: Jakarta

10. Isyanti, Mirna, dan Sumantri. 2012. Peneli-tian Pengembangan Pembuatan Produk Olahan Cokelat Spread (Chocolate Spread) Berbasis Sawit. Laporan Litbang BBIA, Bogor

11. Jansen, S. dan Sanggam D. R. T. 2002. Asam Lemak Trans dalam Makanan dan Pengarunhya terhadap Kesehatan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. XIII, No. 2, 184-188

12. Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan kedua. Universitas Indonesia Press.: Jakarta

13. Marangoni, A. G. dan Garti, N. 2011. Edible Oleogels: Structure and Health Implications. Urbana: AOCS Pres.

14. Minifie. 1999. Chocolate and Confectio-nery: Science and Technology. 3rd Edition. Van Nostrand Reinhold: New York

15. Murry, R. K., Granner, Mayer, P., dan Rodwell, V. W. 2005. Biosintesis Asam Lemak. Editors. Biokimia. Jakarta

16. Ovesen, L., Leth, T., and Hans, K. 1998. Fatty Acid Composition and Content of Trans Monounsaturated Fatty Acids in Frying Fats, and Margarines, and Shortenings Marketed in Denmark. J.Am. Oil.Chem. SOC. 75 (9), 1079-1083

17. Ristanti, E. Y., Ramlah, S., Daming, W. 2017. Laporan Hasil Litbang Pem-buatan Oleogel. BBIHP Makassar

18. Sartika, R. A. D. 2008. Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh, dan Asam Lemak Trans terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyara-kat Nasional. Vol. 2, No. 4, 154-160

19. WHO and FAO. 2010. World Health Organization and Food Angriculture Organization. Fats and Fatty Acids in Human Nutrition Report and Expert Consultation in Food and Nutrition Paper. Vol. 91. Food and Agriculture Organization at the United Nations

20. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Wordpress: Jakarta

Page 50: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

33Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KARAKTERISTIK OLEOGEL DARI MINYAK NABATI MENGGUNAKAN LILIN LEBAH DAN LEMAK KAKAO SEBAGAI OLEOGELATOR

Characteristics of Oleogel Prepared from Vegetable Oil using Beeswax and Cocoa Butter as Oleogelator

Justus Elisa Loppies, Eky Yenita Ristanti, Sitti Ramlah, Alfrida Lullung S., dan Andi Nur Amalia

Balai Besar Industri Hasil PerkebunanJl. Prof. Dr. Abdurahman Basalama No. 28, Makassar 90231

Email: [email protected]

Abstract: Characteristics of oleogel can be determined by restructuring of oil or fat molecules to obtain the special characteristics related to their functions. This research aims to analyze characteristics of oleogels prepared from vegetable oil (palm and soybean oil) with beeswax and cocoa butter as oleogelator. Parameters observed were; texture, melting point, viscosity and solid fat content. The method used in this research is laboratory experiment by comparing the oleogelation process using two types of vegetable oil; palm oil and soybean oil and two types of oleogelator composition: 1% cocoa fat + 9% beeswax and 3% cocoa fat + 7% beeswax. The oleogelation process was carried out by mixing the oil mass with the oleogelator at 15,000 and 25,000 rpm. The results showed that oleogel with the best characteristic was from the process of palm oil oleogration with 1% cocoa fat + 9% beeswax oleogelators at a stirring speed of 25,000 rpm. Characteristics of obtained oleogel were: a high melting point and viscosity of 43.72 - 45.53 oC and 161 x 103 centipoise, as well as a denser and more homogeneous structure with a lower solid fat content (83.33%).

Keywords: characteristics, oleogel, vegetable oil, beeswax, cocoa butter.

Abstrak: Karakteristik oleogel dapat ditentukan dengan cara menata ulang struktur molekul minyak atau lemak sehingga diperoleh karakteristik tertentu sesuai peruntukannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa karakteristik oleogel yang dibuat dari bahan minyak nabati (minyak sawit dan kedelai) dan lilin lebah dan lemak kakao sebagai oleogelator. Parameter yang diamati meliputi; tekstur, titik leleh, viskositas dan kandungan lemak padat. Metode yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan membandingkan proses oleogelasi menggunakan dua jenis minyak nabati yaitu: minyak sawit dan minyak kedelai dan dua jenis komposisi oleogelator yaitu lemak kakao 1% + lilin lebah 9% dan lemak kakao 3 % + lilin lebah 7 %. Proses oleogelasi dilakukan dengan cara mencampurkan massa minyak dengan oleogelator pada putaran 15.000 dan 25.000 rpm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oleogel dengan karakteristik terbaik adalah dari proses oleogelasi minyak sawit dengan oleogelator (1% lemak kakao dan 9% lilin lebah) pada kecepatan pengadukan 25.000 rpm. Karakteristik dari oleogel yang diperoleh adalah; titik leleh dan viskositas yang tinggi yaitu 43,72 – 45,53 oC dan 161 x 103 centipoise, serta struktur yang lebih padat dan homogen dengan kandungan lemak padat yang lebih rendah (83,33 %).

Kata Kunci: karakteristik, oleogel, minyak nabati, lilin lebah, lemak kakao.

PENDAHULUANOleogel dapat didefinisikan sebagai

lemak lipofilik dan campuran padat, dimana material lemak padat (oleogelator) dengan konsentrasi yang lebih rendah (<10%) dapat menyerap dengan cara membentuk jejaring oleogelator pada minyak curah. Mekanisme pembentukan oleogel (oleogelasi), meliputi gelasi dari minyak dengan bantuan gelator tunggal atau kombinasi sinergis dari beberapa molekul gelator yang berbeda

(Patel, 2014). Pengembangan oleogel pada mulanya untuk kepentingan di bidang farmasi dan kosmetik (US No. 006187323B1, 2001), namun pengembangannya mulai meluas sebagai bahan untuk pembuatan makanan, karena memiliki potensi untuk mengurangi penggunaan lemak jenuh yang tidak baik bagi kesehatan (Van, 2016; Blake, 2015; Davidovich et al., 2016).

Beberapa penelitian terkait oleogel berbasis minyak nabati telah dilakukan

Page 51: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

34Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

atau kental dibanding dengan minyak kedelai yang agak cair. Hal ini akan berdampak pada pembentukan kristal oleogel dengan sifat yang berbeda.

Dukungan kombinasi material oleogelator (lilin lebah dan lemak kakao) untuk menggelasi minyak nabati merupakan dasar pembentukan oleogel. Hal ini berkaitan dengan sifat bahan yang mudah membentuk tekstur oleogel. Selain itu, tuntutan konsumen lebih condong ke arah lilin berbasis bio dibanding lilin berbasis mineral untuk penggunaannya dalam industri makanan, farmasi dan kosmetik (Samuditha, Dassanayake, Kodali, & Ueno, 2011).

Dalam industri makanan, oleogel berbasis lilin dapat digunakan untuk menggantikan sebagian atau seluruhnya lemak trans dan atau lemak jenuh dalam formulasi makanan berbasis lemak seperti shortening, margarin, produk manisan, es krim, dan whipped-cream. Selain itu, migrasi minyak dapat dicegah dengan menggunakan kristal lilin untuk menangkap minyak cair dalam isian permen berbasis lemak (Doan, et al., 2018).

Penggunaan lilin lebah dan lemak kakao sebagai oleogelator didasarkan pada sifat-sifat dari kedua bahan tersebut yang cenderung membentuk kristal padat dan lebih mudah berinteraksi untuk restrukturisasi minyak nabati menjadi oleogel. Lilin lebah memiliki titik lebur yang rendah antara 62 – 64 0C. Komponen utamanya berupa palmintat, palmitoleat dan ester dari asam oleat dengan panjang rantai karbon antara 30 – 32. Diketahui, lilin lebah mengandung sekitar 71 % ester rantai panjang, 12 % asam lemak bebas, dan 14 % hidrokarbon (Jana and Martini., 2016a; Ogutcu et al., 2015; Blake et al., 2014) sehingga mampu membentuk struktur kristal jaringan tiga dimensi oleogel yang lebih padat. Kombinasi lilin lebah dengan lemak kakao akan memperkuat pembentukan struktur jaringan oleogel.

Potensi lemak kakao sebagai oleogelator karena memiliki beberapa komponen utama antara lain: asam stearat (34%), asam oleat 34%, asam palmitat (25%)

dengan memanfaatkan sumber-sumber oleogelator seperti lilin candellila (Candellila wax) (Toro-Vazquez et al, 2009), lilin mata beras (rice bran wax) (Kodai, 2009; Dassanayake, 2009), lilin bunga matahari (sun falwer) wax dan lilin Carnauba (Carnauba wax). Umumnya yang diteliti adalah proses gelasi minyak nabati menjadi oleogel menggunakan oleogelator tunggal, sedangkan terkait pemanfaatan lilin lebah dan lemak kakao maupun kombinasi keduanya masih sangat minim.

Penelitian ini menggunakan minyak nabati (minyak kedelai dan minyak sawit) dan kombinasi gelator berupa lilin lebah (bees wax) dan lemak kakao. Pentingnya pengembangan oleogel dan oleogelator berbasis minyak nabati berkaitan dengan sifat lemaknya yang lebih mudah berinteraksi dengan bahan lain, mudah dibentuk sesuai dengan karakteristik yang diinginkan, lebih murah bila dibandingkan dengan lemak non nabati lainnya, dan memiliki fungsi kesehatan. Dilaporkan oleh Maragoni (2012), penataan minyak nabati dengan suatu organogelator menjadi strategi penelitian yang penting untuk mengganti lemak trans tanpa meningkatkan jumlah lemak jenuh.

Penggunaan jenis minyak sawit dan minyak kedelai dalam penataan struktur oleogel karena kedua jenis minyak nabati ini memiliki sifat-sifat yang berbeda. Minyak sawit memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang seimbang dengan komponen utamanya adalah asam palmitat (44-45%), asam oleat (39-40%), asam linoleat (10-11%) dan sejumlah kecil asam linolenat (Gunstone, 2002). Keseimbangan kandungan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit memungkinkan jenis minyak ini lebih stabil dibanding dengan jenis minyak nabati lainnya (Wulandari et al., 2011). Sedangkan minyak kedelai didominasi oleh 85 – 90% asam lemak tidak jenuh dengan fraksi cair dibanding dengan jenis minyak nabati lain seperti minyak kelapa. Dominasi asam lemak jenuh pada minyak sawit akan membentuk sifat minyak yang semi solid

Page 52: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

35Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dan asam oleat (2%) (Ross, 2000). Asam stearat dari lemak kakao tergolong asam lemak jenuh yang memberikan struktur padat pada lemak kakao. Asam lemak dengan tingkat kejenuhan yang tinggi menghasilkan material dengan titik leleh yang lebih tinggi, sehingga apabila diaplikasikan sebagai oleogelator akan membentuk material dengan viskositas dan titik leleh yang tinggi. Kombinasi lemak kakao dengan material lain yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi seperti minyak kedelai dan minyak sawit akan menghasilkan material dengan sifat atau tekstur yang tidak memadat maupun tidak mencair atau berada pada kondisi dengan kekentalan yang stabil. Sifat ini dapat ditata ulang atau direkonstruksi sesuai peruntukannya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki sifat struktur lemak dan minyak nabati, sehingga memberikan tekstur yang lebih baik sesuai peruntukannya seperti untuk diplikasikan pada pembuatan produk makanan cokelat oles, es krim dan sosis.

Penataan struktur oleogel berbasis minyak sawit dan minyak kedelai dengan kombinasi oleogelator merupakan alasan untuk menghadirkan suatu material pengganti lemak yang memiliki karakteristik sesuai peruntukannya, sehingga perlu diketahui sifat-sifat atau karakteristik fisik berdasarkan perlakuan yang diberikan.

Karakteristik fisik ini berkaitan dengan fungsi dan interaksi oleogel dengan bahan lain yang akan dibentuk menjadi suatu produk baru, bahan pengisi atau bahan tambahan. Karakter fisik yang dimaksud meliputi viskositas, kekakuan, kelarutan, dan kemampuan berinteraksi dengan bahan lain. Penentuan sifat fisik ini akan memberikan informasi dalam mengaplikasikan sesuai peruntukannya.

Penelitian ini bertujuan untuk me-ngungkap karakteristik oleogel yang dibentuk dari bahan minyak nabati (minyak sawit dan kedelai) dan lilin lebah dan lemak kakao sebagai oleogelator.

METODOLOGITempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Balai Besar Industri Hasil Perkebunan di Makassar dan di laboratorium Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mulai bulan Januari sampai dengan Oktober 2018.

Alat dan BahanAlat-alat yang digunakan antara lain

ultra turraxdigital, Model: T25D buatan Jerman, penangas air (Thermostatic water bath, Model: HWS-24, Merek Drawell, buatan Shanghai), Hot Plate (Thermo, Model No: SP88857105 Merek Cimarec, buatan China), magnetic stirrer, gelas plastik steril 150 ml, botol kaca vakum, tabung Eppendorf-PCR tube 1,5 ml dan alat sentrifus (Hettich Zentrifugen EBA 200, buatan Jerman).

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode percobaan pada skala laboratorium. Kegiatan penelitian dilaksanakan melalui kajian beberapa literatur, pelaksanaan penelitian, dan analisis karakteristik produk.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan oleogel terdiri dari: minyak kedelai dan minyak sawit yang dikomersil-kan sebagai minyak pangan; lilin lebah (bees wax) dan lemak kakao sebagai gelator atau oleogelator untuk membentuk emulsi; dan Tertier Butyl Hydroxy Quninolin (TBHQ) sebagai antioksidan untuk minyak dan lemak.

Tahapan Pelaksanaan PenelitianPembuatan oleogel, oleogator, dan Perlakuan Percobaan

Pembuatan oleogel dimulai dengan cara menyiapkan bahan-bahan yang terdiri dari; lilin lebah dan lemak kakao sebagai oleogelator dan minyak nabati (minyak sawit dan minyak kedelai).

Lemak kakao dan lilin lebah dipanaskan terpisah pada suhu 90 0C hingga mencair sempurna. Kedua oleogator tersebut dalam keadaan mencair kemudian dicampur dan diaduk hingga homogen dengan komposisi sesuai perlakuan yaitu; gelator pertama

Page 53: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

36Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

(O1) terdiri dari 1% lemak kakao + 9 % lilin lebah (total 10%); dan gelator kedua (O2) terdiri dari 3 % lemak kakao + 7 % lilin lebah (total 10 %). Proses oleogelasi dilakukan dengan cara mencampurkan masing-masing oleogator ke dalam 90 % minyak kedelai (K1) maupun ke dalam 90% minyak sawit (S1) pada wadah yang berbeda, kemudian dipanaskan pada penangas air dengan suhu 90 0C sambil diaduk dengan ultra turrax pada kecepatan 1.500 rpm (V1) dan 25.000 rpm (V2) selama 5 menit. Oleogel yang terbentuk kemudian disimpan pada suhu kamar selama 24 jam hingga oleogel terbentuk sempurna. Kombinasi perlakuan membentuk delapan satuan percobaan (sampel) yaitu: K1O1V1 (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm); K1O1V2 (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm ); K1O2V1 (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm); K1O2V2 (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm); S1O1V1 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm); S1O1V2 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm); S1O2V1 (90% minyak sawit + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm); S1O2V2 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).

Pengujian OleogelParameter uji yang dilakukan untuk

mengevaluasi kualitas oleogel yang dihasilkan meliputi: analisis tekstur dan analisis struktur atau morfologi kristal dengan scanning electron microscopy pada pembesaran 1000 sampai 20.000x, analisa termal dengan alat differential scanning calorimetry, viskositas, dan kandungan lemak padat (solid fat content) menggunakan metode NMR.

HASIL DAN PEMBAHASANPembentukan Struktur Oleogel

Tampilan micrograf scanning electron microscopy untuk struktur kristal oleogel dimulai dengan pembesaran 1000x, 2000x, 8000x dan 20.000x. Hasil pengamatan menunjuk-kan, terjadi pembentukkan struktur secara berkelompok (cluster) tetapi belum menyatu dengan struktur yang kompak (tidak homogen) (Gambar 1a, 1b, dan 1c). Umumnya struktur atau profil oleogel berbentuk bulat, setengah bulat dan sebagian berupa kubus-kubus kecil. Pembentukan cluster diduga berkaitan dengan proses penyatuan molekul yang belum sempurna sebagai akibat proses pengadukan belum optimal (15.000 rpm). Proses homogenasi berkaitan dengan proses pemecahan molekul menjadi mikro sampai nano molekul. Hal ini sangat bergantung pada jenis alat, kecepatan pengadukan dan waktu. Pada kenyataannya, oleogel dengan struktur molekul dalam bentuk cluster atau parsial tidak membentuk tekstur dengan viskositas yang baik. Penanganan terhadap masalah ini adalah dengan mempertimbangkan penggunaan jenis oleogelator atau gelator dan penggunaan pengadukan bertekanan atau dengan sistem pengadukan kecepatan tinggi (25.000 rpm).

Mikrograf dengan pembesaran sampai 20.000x (Gambar 1e dan 1f) menunjukkan bahwa pada struktur mikro molekul oleogel telah terjadi interaksi yang sangat kuat antar molekul bahan penyusun oleogel, dimana terjadi penyatuan struktur secara merapat sehingga membentuk jaringan kristal tiga dimensi dengan susunan yang tidak beraturan. Di antara kedua pola struktur yang terbentuk tersebut, Gambar 1e (S1O1V1) yang merupakan sampel oleogel yang tersusun dari minyak sawit 90 % dan oleogator 10 % (1 % lemak kakao dan 9 % lilin lebah), memperlihatkan pola yang merapat dan menyatu dibanding dengan pola yang terbentuk pada formasi lainnya. Hal ini meununjukkan bahwa penggunaan minyak sawit dengan oleogelator (1 % lemak kakao dan 9 % lilin lebah) cenderung membentuk sifat oleogel yang lebih stabil dan homogen.

Page 54: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

37Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Didukung oleh hasil uji viskositas (Gambar 3) dimana diperoleh oleogel dengan viskositas tertinggi terdapat pada perlakuan penggunaan minyak sawit dengan oleogelator (1 % lemak kakao dan 9 % lilin lebah) yang diproses dengan kecepatan aduk pada 25.000 rpm. Hal ini menunjukkan bawa terdapat perbedaan antara penggunaan minyak kedelai dan minyak sawit, perbedaan komposisi oleogelator dan kecepatan pengadukan dalam proses pembentukan struktur oleogel. Ditinjau dari jenis asam lemak penyusun kedua jenis minyak tersebut, minyak sawit didominasi oleh 50 % asam lemak jenuh dan 50 % asam lemak tidak jenuh, sedangkan minyak kedelai didominasi oleh 85-90 % asam lemak tidak jenuh dan 10 – 15 % asam lemak jenuh. Asam lemak jenuh cenderung membentuk fraksi padat sedangkan asam lemak tidak jenuh membentuk fraksi cair. Dominasi asam lemak jenuh pada minyak sawit akan membentuk sifat minyak yang semi solid atau kental dibanding dengan minyak kedelai yang agak cair. Hal ini berakibat pada terbentuknya tekstur oleogel yang lebih baik dibanding penggunaan minyak

kedelai dalam memproduksi oleogel. Selain itu, pengaruh yang kuat dari penambahan oleogelator (9 % lilin lebah dan 1 % lemak kakao) mengindikasikan bahwa lilin lebah cenderung lebih berpengaruh dari lemak kakao dalam membentuk tekstur oleogel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan lemak kakao 1 - 3 % tidak mempengaruhi tekstur oleogel. Diketahui bahwa, lilin lebah mengandung sekitar 71 % ester rantai panjang, 12 % asam lemak bebas, dan 14 % hidrokarbon (Jana and Martini., 2016a; Ogutcu et al., 2015; Blake et al., 2014) sehingga mampu membentuk struktur kristal jaringan tiga dimensi oleogel yang lebih padat dibanding lemak kakao. Salah satu bentuk bangunan oleogel yang membentuk struktur tiga dimensi adalah partikel kristal seperti triasilgliserida (TAG) yang yang memerangkap minyak cair (Narine dan Marangoni, 1999). Contoh jaringan kristal yang dikembangkan adalah oleogel berbahan lilin nabati seperti lilin candellila (Candellila wax), lilin mata beras (rice bran wax) dan lilin lebah (beeswax).

Gambar 1b. Hasil foto SEM sampel K1O1V2 (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm )

Gambar 1c. Hasil foto SEM sampel K1O2V1 (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)

Gambar 1a. Hasil foto SEM sampel K1O1V1 (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)

Page 55: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

38Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 1d. Hasil foto SEM sampel K1O2V2 (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).

Gambar 1f. Hasil foto SEM sampel S1O1V2 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).

Gambar 1e. Hasil Foto SEM sampel S1O1V1 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm).

Gambar 1g. Hasil foto SEM sampel S1O2V1 (90% minyak sawit + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm).

Gambar 1h. Hasil foto SEM sampel S1O2V2 (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).

Titik Leleh Pentingnya titik leleh berkaitan dengan

kemampuan oleogel untuk berinteraksi dengan bahan lain maupun untuk memenuhi fungsi dari suatu karakter produk yang

akan dibentuk. Suhu, entalpi leleh dan kristalisasi adalah parameter termal yang terkait dengan polaritas molekul dan energi interaksi molekul untuk membentuk struktur kristal gelator (Toro-Vazquesz et al., 2013).

Page 56: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

39Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 2. Kondisi termal (titik leleh dan titik leleh sempurna) oleogel dari berbagai perlakuan oleogasi

Hasil analisis secara umum menunjukkan bahwa titik leleh sempurna oleogel pada berbagai perlakuan oleogelasi mengalami perbedaan yang tidak mencolok antara proses oleogelasi dengan minyak kedelai maupun dengan minyak sawit (Gambar 2). Penggunan oleogelator dengan kecepatan aduk yang berbeda juga tidak menunjukkan pengaruh terhadap perubahan nilai titik leleh oleogel. Kisaran titk leleh oleogel yang menggunakan minyak kedelai berkisar antara 42,88 – 46,60 oC sedangkan titik leleh oleogel dari bahan minyak sawit berkisar antara 43,72 – 45,53 oC. Namun jika dilihat dari data atau angka kisaran suhu ini terlihat bahwa nilai titik leleh oleogel dengan bahan minyak sawit pada berbagai perlakuan memiliki bias yang kecil (s=0,839) dan cenderung lebih rapat dibanding dengan kisaran suhu pada oleogel yang berbahan minyak kedelai (s=1,179). Hal ini menunjukkan bahwa sifat oleogel yang diolah dengan bahan minyak sawit agak lebih stabil walaupun memiliki

perbedaan yang tidak mencolok dengan oleogel yang berbahan minyak kedelai. Dilaporkan oleh Wulandari et al. (2011), minyak sawit memiliki titik leleh yang cukup tinggi yaitu 25 – 50 0C sehingga jenis minyak ini lebih bersifat semi solid dibanding minyak kedelai. Secara umum dapat disimpulkan bahwa, nilai titik leleh oleogel yang diperoleh dari berbagai perlakuan hampir mendekati, bahkan melebihi nilai titk leleh mentega putih (sampel pembanding) (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi termal, proses oleogelasi dari berbagai perlakuan sudah mendekati sempurna, dimana aplikasi produk diperkirakan dapat meningkatkan ketahanan leleh pada kondisi diatas suhu kamar.

ViskositasHasil analisis viskositas oleogel

menunjukkan bahwa penggunaan minyak nabati (minyak sawit dan mnyak kedelai) dan oleogator maupun kecepatan pengadukan mempengaruhi nilai kekentalan (viskositas)

Keterangan Gambar :

K1O1V1 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)K1O1V2 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm ) K1O2V1 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)K1O2V2 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm)S1O1V1 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O1V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm) S1O2V1 = (90% minyak sawit + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O2V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).MP = Mentega Putih sebagai pembanding

Page 57: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

40Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

oleogel. Gambar 3 memperlihatkan penggunaan minyak sawit (S) menghasilkan oleogel dengan kekentalan yang lebih tinggi dari minyak kedelai (K) maupun pembanding mentega putih (MP). Viskositas oleogel yang menggunakan minyak kedelai berkisar antara 30,59 x 103 – 119,00 x 103 centipoise sedangkan viskositas oleogel dari bahan minyak sawit berkisar antara 43,79 x 103 – 151,00 x 103 centipoise. Penambahan oleogator (1% lemak kakao dan 9 % lilin lebah) dalam proses gelasi cenderung membentuk oleogel yang lebih padat dibanding penggunaan oleogelator (3% lemak kakao dan 7 % lilin lebah). Keunggulan minyak sawit diduga terkait dengan sifat semi solid dengan kandungan asam lemak jenuh yang lebih banyak (50 %), dan stabil dibanding dengan minyak kedelai yang bersifat agak cair dengan kandungan asam lemak jenuh sekitar 10 – 15 %. Dominasi oleogelator (1 % lemak kakao dan 9 % lilin lebah) mengindikasikan bahwa pengaruh lilin lebah lebih menonjol dibanding lemak kakao, dimana penggunaan 3 % lemak kakao tidak memberikan efek pembentukan

viskositas oleogel yang baik walaupun didukung dengan kecepatan pengadukan yang lebih besar (25.000 rpm) (contoh sampel :K1O2V1, KO2V2 dan S1V2O1, S1O2V2). Keunggulan penggunaan lilin lebah berkaitan dengan densitas yang lebih tinggi dibanding densitas lemak kakao. Dilaporkan oleh Wulandari et al. (2011), bahwa suhu dapat mempengaruhi densitas dimana kenaikan suhu dapat menurunkan densitas. Hal ini sangat membantu kelarutan dan interaksi minyak sawit maupun oleogelator dengan densitas tinggi seperti lemak kakao dan lilin lebah, sehingga apabila suhu diturunkan maka akan terbentuk material oleogel yang kompak dan padat. Namun demikian oleogel dengan kekentalan yang rendah masih memiliki keunggulan sesuai fungsi dan peruntukan untuk produk-produk yang membutuhkan bahan pengisi dengan kekentalan rendah seperti selai, tart, media pengharum, lotion, minyak rambut dan lain-lain. Selain itu, oleogel dengan kekentalan rendah dapat ditata ulang dengan memodifikasi jenis dan komposisi oleogator.

Gambar 3. Viskositas Oleogel yang dihasilkan dari minyak kedelai dan minyak sawit dengan oleogator lemak kakao dan lilin lebah pada kecepatan pengadukan 15.000 dan 25.000 rpm

Keterangan Gambar :

K1O1V1 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)K1O1V2 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm ) K1O2V1 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)

Page 58: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

41Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Kandungan Lemak Padat (Solid Fat Content)

Hasil analisis terhadap kandungan lemak padat (SFC) oleogel dari berbagai perlakuan oleogelasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara SFC oleogel

K1O2V2 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm)S1O1V1 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O1V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm) S1O2V1 = (90% minyak sawit + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O2V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).MP = Mentega Putih sebagai pembanding

yang digelasi dengan minyak kedelai maupun minyak sawit. Tingkat ketelitian dari hasil analisis sampel dengan perlakuan penggunaan minyak kedelai (K) menunjukkan bias yang lebih kecil (s=2,032) dibanding hasil analisis sampel pada perlakuan penggunaan minyak sawit (s=6,234).

Gambar 4. Kandungan lemak padat (solid fat content) Oleogel dari berbagai perlakuan oleogasi

Keterangan Gambar :

K1O1V1 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)K1O1V2 = (90% minyak kedelai + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm ) K1O2V1 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)K1O2V2 = (90% minyak kedelai + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm)S1O1V1 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O1V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm) S1O2V1 = (90% minyak sawit + 3% lemak kakao + 7% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 1.500 rpm)S1O2V2 = (90% minyak sawit + 1% lemak kakao + 9% lilin lebah, diaduk pada kecepatan 25.000 rpm).MP = Mentega Putih sebagai pembanding

Gambar 4, memperlihatkan bahwa kecepatan pengadukan tidak mempengaruhi kandungan SFC oleogel dari minyak kedelai yang digelasi dengan oleogelator 1% lemak kakao dan 9% lilin lebah (K1O1V1 dan K1O1V2), tetapi hasil digelasi minyak kedelai dengan oleogelator (3% lemak kakao dan 7% lilin lebah) menunjukkan nilai SFC yang lebih tinggi pada kecepatan pengadukan 1.500 rpm dan menurun

pada kecepatan pengadukan 25.000 rpm (K1O2V1 dan K1O2V2). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kecepatan pengadukan yang rendah (1.500 rpm), lemak kakao (3%) dan lilin lebah 7% belum teremulsi secara sempurna yang berakibat pada tingginya FSC (sampel K2O2V1), sedangkan pada kecepatan 25.000 rpm terjadi peningkatan penguraian oleogeator menjadi emulsi yang stabil menyebabkan SFC menurun (sampel

Page 59: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

42Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

K2O2V2). Selain itu, komposisi lemak kakao 3 % sebagai oleogelator, memberi kontribusi terhadap kandungan lemak padat oleogel. Walaupun tidak mempengaruhi struktur oleogel, kehadiran lemak kakao dalam proses oleogelasi dapat menjadi keseimbangan dalam mempertahankan elastisitas dan sifat gelatinasi maupun dalam membentuk struktur oleogel.

Pengadukan dengan kecepatan tinggi cenderung menghasilkan tumbukan yang lebih besar pada molekul sehingga memungkinkan material lilin lebah dan lemak kakao lebih mudah terinklusi satu dengan yang lainnya membentuk kristal molekul baru yang lebih stabil dan homogen, walaupun pada beberapa kasus, tumbukan yang terlalu besar dan terlalu lama akan memutuskan ikatan suatu molekul yang terstruktur dan kembali menjadi molekul awal.

Oleogelasi minyak sawit dengan olegelator 3% lemak kakao dan 7 % lilin lebah (Gambar 4) contoh sampel S1O2V1 dan S1O2V2), cenderung menghasilkan oleogel dengan kandungan SFC yang tertinggi. Terdapat perbedaan pada perlakuan pengadukan, dimana semakin tinggi kecepatan pengadukan, kadar SFC semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi 3% lemak kakao ditunjang dengan dominasi lemak jenuh pada minyak sawit (asam palmitat 44-45%, asam oleat 39-40%, asam linoleat 10-11% dan sejumlah kecil asam linolenat) (Gunstone, 2002) menyebabkan SFC meningkat, bila dibanding dengan minyak kedelai yang didominasi oleh asam lemak tidak jenuh mencapai 87-93% (Tuminah, 2009).

Penambahan lemak kakao dalam komposisi oleogelator dapat mempengaruhi kandungan SFC, namun keberadaannya dapat menjadi keseimbangan dalam mempertahankan elastisitas dan sifat gelatinasi maupun dalam membentuk struktur oleogel. Bila dibandingkan dengan mentega putih (MP), kandungan lemak padat oleogel dari berbagai perlakuan masih berada di bawah sampel standar mentega putih (MP). Hal ini disebabkan karena 90 % bahan pembentuk oleogel berada dalam

bentuk fraksi minyak berupa asam oleat dan lenolenat, dan 10 % dalam bentuk fraksi padat berupa asam stearat, palmintat dan laurat.

Variasi kandungan lemak padat (SFC) oleogel yang dihasilkan dari berbagai perlakuan pada penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan tipe dan jenis produk sesuai dengan karakteristik oleogel yang dihasilkan.

KESIMPULAN Data karakteristik menunjukkan

bahwa oleogel dapat dirancang dari minyak nabati seperti minyak sawit dan kedelai dengan oleogelator lemak kakao dan lilin lebah.

Oleogel yang dihasilkan dari oleogelasi minyak sawit dan minyak kedelai dengan oleogelator atau gelator lemak kakao dan lilin lebah menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda, sehingga aplikasinya akan disesuaikan dengan sifat-sifat oleogel tersebut.

Karakteristik yang diperoleh adalah; memiliki titik leleh dan viskositas yang tinggi yaitu 43,72 – 45,53 oC dan 161 x 103 centipoise, kandungan lemak padat yang rendah (83,33%), dan mempunyai struktur yang lebih padat dan homogen.

Oleogel dengan karakteristik terbaik diperoleh dari proses oleogelasi dengan minyak sawit dan oleogelator (1% lemak kakao dan 9% lilin lebah) pada kecepatan pengadukan 25.000 rpm.

DAFTAR PUSTAKA1. Dassanayake, L.S.K., Kodali, D.R., Ue-

no, S., Sato, K., 2009. Physical Pro-perties of Rice Bran Wax in Bulk and Organanogels. J Am.Chem. Soc. 86. 1163-73.

2. Dassanayake, L.S.K., Kodali, D.R., Ueno, S., 2011. Formation of Oleogel based on Edible Lipid Materials. Current Oppinion in Colloidal&Interface Science 16. 432-439.

3. Davidovich, P.M., Barbut, S., & Marangoni, A. G., 2016. Development, Characteri-

Page 60: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

43Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

zation and Utilization of Food-Grade Polymer Oleogels, Annu. Rev. Food Sci. Technol. (December 2015).

4. Doan, C.D., Tavernier, I., Okuro, P.K., & Dewettinck, K., 2018. Internal and External Factor Affecting the Crystallization, Gelation and Application of Wax-Based Oleogel in Food Industry. Food Science & Emerging Technologys. Volume 45, Februari 2018. Pages 42 – 52.

5. Gunstone, F.D., 2002. Vegetable Oil in Food Technology: Composition, Properties and Uses. Blachwell Publishing. Hal 59-93.

6. Kodali D. R., 2009. The Utilization of Rice Bran Wax to Stabilize Long Chain ω-3 Polyunsaturated Fatty Acid Esters. Lipid Technol., 21, 254-6

7. Kraft, J. N., & Lynde, C. W., 2005. Moisturi-zers: what they are and a practical approach to product selection. Skin Therapy Lett, 10(5), 1-8.

8. Marangoni A.G, Garti N., 2011. Edible Oleogels: Structure and Health Implications. Urbana: AOCS Pres

9. Marangoni, A. G., 2012. Organogels: An Alternative Edible Oil-Structuring Me-thod, J. Am. Oil Chem. Soc. 89:749-80.

10. Narine, S.S., Marangoni, A.G.,1999. Mechanical and Structural Model of Fractal Networks of Fat Crystals at Low Deformations. J. Am. Phys. Soc. 60, 6991e7000.

11. Ogutcu, M., Arifoglu, N., Yılmaz, E., 2015. Preparation and Characterization of Virgin Olive Oil Bees Wax Oleogel Emulsion Products. J. Am. Oil Chem. Soc. 92, 459e471.

12. Nasir, M. A. S. M., 2005. Taxonomic Perspective of Plant Species Yielding Vegetable Oils used in Cosmetics and Skin Care Products. African Journal of Biotechnology, 4(1), 36.

13. Ross, J., 2000. Cocoa and Chocolate as Functional Foods, Journal of Medical Food, Vol.3. No. 2. 2000.

14. Samuditha, L., Dassanayake, K., Kodali, D. R., & Ueno, S., 2011. Current Opi-nion in Colloid & Interface Science

Formation of Oleogels based on Edible Lipid Materials. Current Opi-nion in Colloid & Interface Science, 16(5), 432–439.

15. Toro-Vazquez JF, Morales-Rueda JA, Dibildox-Alvarado E, Char´ o-Alonso M, Alonzo-Macias M, Gonz´alez-Ch´avezM.M., 2007. Thermal and Textural Properties of Organogels Developed by Candelilla Wax in San Flower Oil. J. Am. Chem. Soc. 84:989–1000

16. Toro-Vazquez, J.F., Morales-Rueda, J., Torres-Martínez, A., Char_o-Alonso, M.A., Mallia, V.A.,Weiss, R.G., 2013. Cooling Rate Effects on the Microstructure, Solid Content, and Rheological Propertiesof Orga-nogels of Amides Derived from Stearic and (R)-12-Hydroxy Stearic Acid in Vegetable Oil. Langmuir29, 7642e7654.

17. Tuminah, S., 2009. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tidak Jenuh “Trans” terhadap Kesehatan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Volume XIX Tahun 2009, Suplemen II. Hal. S13-S20.

18. Van, D., 2016. Edible Applications of Shellac Oleogels: Spreads, Chocola-te Paste and Cakes, (March 2014). doi:10.1039/c4fo00034j

19. Venter, M.J., Schouten, N., Hink, R., Kuipers, N., de Haan, A.B., 2007. Ex-pression of Cocoa Butter from Cocoa Nibs. Separation and Purification Technology 55(2), 256-264

20. Wassell P, Bonwick G, Smith CJ, Almiron-Roig E, YoungN.W.G., 2010. Towards a Multidisciplinary Approach to Structuring in Reduced Saturated Fat–Based Systems: a Review. Int. J. Food Sci. Technol. 45:642–55

21. Wulandari, et al., 2011. Karakteristik Fisikawi dan Kimiawi Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Bekatul serta Kandungan Gizinya. Kabar Pangan Pertanian.(http://pengetahuan pa-ngan pertanian.blog.spot.com/ 2016/-04/karakteristik-fisikawi-dan-kimiawi.html. Diakses: 23 Agustus 2019.

Page 61: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

44Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

THE PROPERTIES OF ALOE VERA POWDER USING CASSAVA MALTODEXTRIN AS CARRIER AGENTSKarakteristik Bubuk Aloe vera yang Diproduksi Menggunakan

Maltodekstrin Ubi Kayu sebagai Bahan Pembawa

Maherawati and Lucky HartantiDepartment of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture,

Universitas Tanjungpura, Pontianak, West Kalimantan, Indonesia 78124e-mail: [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik bubuk Aloe vera yang diproduksi dengan bahan pembawa berupa maltodekstrin ubi kayu dalam jumlah yang berbeda. Total padatan terlarut campuran Aloe vera dan maltodekstrin sebelum proses spray drying diatur sebesar 20%, 25%, dan 30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua bubuk Aloe vera yang dihasilkan mempunyai aktivitas air dalam kisaran yang aman sebagai bahan kering (0,32-0,38). Penambahan maltodekstrin terbanyak menyebabkan kadar air terendah (4,49%). Penambahan maltodekstrin ubi kayu meningkatkan kecerahan, kemudahan mengalir bubuk, mengurangi kadar air, dan menurunkan kohesivitas antar partikel. Semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan menyebabkan penurunan kelarutan dan pembasahan bubuk Aloe vera. Bubuk Aloe vera mempunyai bentuk bundar dengan ukuran tidak seragam. Semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan menghasilkan partikel bubuk yang semakin besar.

Kata kunci: aloe vera, ubi kayu, maltodekstrin, karakteristik bubuk

Abstract: This research aims to determine the powder properties of Aloe vera powder in a different amount of cassava maltodextrin addition. The total soluble solid in Aloe vera extract before spray drying was adjusted to the total soluble solid as 20%, 25%, and 30% (w/v) by adding the appropriate amount of cassava maltodextrin as carrier agents. The results showed that all Aloe vera powder has the water activity in the range of safe water activity for dried food (0.32-0.38). The highest cassava maltodextrin added produce Aloe vera powder with the lowest water content (4.49%). The addition of cassava maltodextrin increased brightness and flowability of the Aloe vera powder, reduced water content, decreased the cohesiveness between powder particles. More of cassava maltodextrin addition caused a decrease in solubility and wettability time on Aloe vera powder. The Aloe vera powder particle had a round shape and uniform size. The higher cassava maltodextrin addition made a larger size of Aloe vera powder particle.

Keywords: aloe vera, cassava, maltodextrin, powder characteristic

INTRODUCTIONAloe vera is included in the Aloeaceae

family. The genus Aloe contains over 400 different species with Aloe barbadensis Miller, Aloe aborescens, and Aloe chinensis being the most popular (Yagi et al., 1998). Main products from Aloe vera, i.e., aloe latex and aloe gel. Aloe latex is an exudate from the tubules in the outer skin of the leaves, while aloe gel is the colorless gel found in the inner part of the fresh leaves (Reynolds and Dweck, 1999). The gel consists mainly of water (>98%) and polysaccharides (pectins, cellulose, hemicelluloses, glucomannan, acemannan, and mannose derivatives) (Lee

et al., 2001). It is traditionally used both topically and internally to treat various minor health problems such as treatment of wounds, minor burn, skin irritation, constipation, cough, ulcer, diabetes, headache, arthritis, and immune-system deficiencies (Vogler and Ernest, 1999; Eshun and He, 2004).

Aloe vera high moisture content make it perishable and difficult to handle. One of the most suitable solutions for those problems is produce Aloe vera extracts and dried to a powder (Ozdikicierler et al., 2014). The powder form has some advantages such as long shelf-life, low transportation cost, and storage capacity, and it can be used easily

Page 62: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

45Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Cassava Maltodextrin ProductionCassava roots were peeled, washed,

cut in small size (approx. 1x1x7 cm3), dried at 70°C for 60 hours, then milled into cassava flour and dissolved in water to concentration of 20% (w/v). The solution was adjusted at pH 5.5, with the addition of HCL 1 M and heated at 85°C for 10 minutes (Shanavas et al., 2011). Subsequently, 25 μL Liquozyme was added (Johnson et al., 2011) and incubated at 85°C for 30 min with stirring. The incubation was stopped and solution was dried at 50-60°C for five days. Cassava maltodextrin was kept at 4°C.

Aloe vera Extract PreparationAloe vera leaves were peeled, cut,

grinded, and filtered. The filtrate was kept overnight in a cool room, then centrifuged at 3500 rpm for 15 minutes. The supernatant was filtered using vacuum filter to obtain Aloe vera extract.

Aloe vera Powder DryingIn order to obtain extract with total

soluble solid (TSS) of 20%, 25%, and 30% (w/v), 1 mL Aloe vera extract was mixed with 0.5 – 0.05 g of cassava maltodextrin then measured its total soluble solid. A regression curve made based on data so that it can be known the comparison of Aloe vera extract and maltodextrin to obtain total soluble solid, which is desired. The solution was dried in spray dryer with inlet temperature of 105°C and outlet temperature of 60°C based on Rahayuni (2002). Dried powder was collected from cyclone separator, packed in sealed plastics, and kept in cold storage.

Physical Properties AnalysisAloe vera powder physical properties

consists of moisture content (gravimetric methods), water activity (Aqualab Pawkit, portable water activity meter), and ash content (gravimetric method). Aloe vera powder colors (L*, a*, and b* value) were measured with Chromameter CR-400 (Konica Minolta Optics, Inc., Japan). L*

in various needs. In addition, material weight and bulk reduction provides greater variety and convenience for consumer.

Drying method that suitable to produce Aloe vera powder is spray drying because of short contact time with medium and the high rate of evaporation that gives high-quality product compared to conventional drying methods (Gong et al., 2008). This method needs an ingredient as carrier agents to encapsulate the plant extracts and convert it into powdered form. Carrier agent is selected based on requisite of powder property such as stability, yield, solubility, and absorbency. Some of the material that usually used as carrier agents in spray drying is maltodextrin, cyclodextrin, lactose, starch, and modified starch (Matsuura et al., 2015).

Maltodextrin is non-sweet polysac-charide polymers that consist of D-glucose units linked primarily by α(1,4)-glycosidic bond and that have a dextrose equivalent (DE) of less than 20. It is widely used as a carrier agent because of its non-toxicity, cheap, strongly hydrophilic, and not surface-active in emulsions (Udomrati and Gohtani, 2015). The differences in maltodextrin from different sources used in spray drying caused differences in powder physicochemical properties. Cassava is a primary carbohydrate source in Indonesia that potentially utilized as a raw material to produce maltodextrin powder. This study aims to determine the powder properties of Aloe vera powder along with the effects of cassava maltodextrin different amount addition.

METHODSMaterials

Fresh Aloe vera was obtained from a local farmer in Pontianak, Indonesia. Cassava to produce maltodextrin was obtained from a local farmer in Gunung Kidul, Yogyakarta, Indonesia. Liquozyme was purchased from Novozym (Sigma Aldrich, USA), chemicals material were purchased from Merck (Darmstadt, Germany).

Page 63: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

46Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

value measure its lightness, which ranges between 0 to 100. The increases in a* value in positive and negative scales correspond to increases in red or green color, respectively. The b* value represents color ranging from yellow (+) to blue (-). The chroma and hue angle (°) were calculated by using Eqs. (1), and (2).

Chroma = (a*2 + b*2)1/2 ……………. (1)

…………….(2)

Browning index (BI) represents about brown color purity and is considered as important parameter associated with browning (Lopez-malo et al., 1998). The browning index was calculated by using Eqs. (3), and (4).

…..….. (3)

……….. (4)

Powder Properties AnalysisAloe vera powder properties consist of

bulk density, tapped density, wettability, and solubility, according to Caliskan and Dirim (2016). The bulk density was determined by putting 20 g of powder into 100 ml graduated cylinder. The measured volume read directly from the cylinder was to calculate the bulk density (ρbulk) according to mass ratio to volume. In order to determine tapped density (ρtapped), the cylinder was tapped for 120 times, and sample volume was read. Powder flowability and cohesiveness value was evaluated in terms of Carr Index (CI) and Hausner Ratio (HR), respectively. Both CI and HR were calculated from powder bulk (ρbulk) and tapped (ρtapped) densities using Eqs. (5), and (6) as shown below.

……. (5)

…………. (6)

Aloe vera powder average wettability time (s) was determined by measuring the

time for thoroughly wetting 10 g of sample placed around a 250 ml beaker containing 100 ml of distilled water (at 25°C). Aloe vera powder solubility was expressed as the average solubility time (s) of powder products and determined by dissolving 2 g of sample in 50 ml of deionized water at 30°C under continuous stirring using magnetic stirrer. Required time to dissolve the powder completely was expressed as sample average solubility time.

Aloe vera Powder MorphologyAloe vera powder particle morphology

was evaluated using scanning electron microscope (FEI Inspect S50). The powder attached to double-sided adhesive was mounted on SEM stubs of 9.9 mm diameter. SEM was operated at 10 kV using enlarged 3000x ETD detector with a tilt of 0°.

All data in this study were analyzed using statistical analysis software (SAS Institute, USA). This data was also subjected to analysis of variance (ANOVA), and Duncan’s multiple range test (α=0.05) was used to determine the difference between means. Drying experiments were replicated twice and all the analyses were triplicated.

RESULT AND DISCUSSIONAloe vera Powder Physical Properties

Water content and water activity are essential parameters in powder materials as they are related to product dissolubility and shelf life. In this study, Aloe vera powder with the highest amount of maltodextrin addition (TSS 30% w/v) has the lowest water content (Table 1). Increasing concentration of maltodextrin addition should increase the total soluble solids, which resulted in a decrease in water content. Aloe vera powder moisture was significantly affected by maltodextrin concentration (p<0.05).

Page 64: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

47Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Table 1. Aloe vera Powder Physical Properties

Physical properties Total soluble solids (w/v) of cassava maltodextrin addition

20% 25% 30%Moisture content (%) 5.01±0.09c 4.78±0.15b 4.49±0.05a

Water activity 0.38±0.02a 0.35±0.05a 0.32±0.02a

Ash content (%) 2.51±0.01b 2.42±0.09ab 2.35±0.02a

L* 82.71±0.78a 88.21±0.28c 87.07±0.28b

a* 3.94±0.12b 3.61±0.08a 3.47±0.06a

b* 11.62±0.62c 9.14±0.23a 9.98±0.2b

Chroma 12.27±0.63b 9.83±0.24a 10.57±0.21a

Hue angle (°) 0.69±0.045b 0.19±0.073a 0.27±0.01a

Browning index 18.31±0.78c 11.43±0.31a 14.83±0.26b

Different letters in the same row indicate a significant difference between treatment at p<0.05.

Water activity (aw) is an essential index for spray-dried powder because it can significantly affect powder shelf life. High water activity indicates more free water available for biochemical reactions and hence, shorter shelf life (Quek et al., 2007). Aloe vera powder water activity was still in safe water activity range for powder products, i.e., 0.32-0.38. Dried foods with low water activity value (0.20-0.40) were considered as stable for browning, lipid oxidation, microbial growth, hydrolytic, and enzymatic reactions (Quek et al., 2007). It means spray-dried Aloe vera powder was relatively stable microbiologically.

Color measurement is an important quality indicator as it reflects sensory attractiveness and powder quality in spray drying process (Quek et al., 2007). Maltodextrin addition caused an increase in L* and decrease in a* and b* value. L* value is sample lightness, and a* value is red color while b* measures yellow color. It also caused brighter color in Aloe vera powder (p<0.05). It was found that it decreased Hue angle and Chroma, and increased powder overall lightness. It significantly reduced the browning index value of Aloe vera powder (p<0.05). Wang et al. (2006) reported that the coating material acts as a physical barrier

to oxygen and light to ensure the protection from chemical and enzymatic destruction.

Aloe vera Powder PropertiesAloe vera powder bulk density increases

with the increase in maltodextrin addition, in contrast to tapped density. The powder density indicates carrier agents effectiveness during drying process to powder form. Maltodextrin particles are more significant than the particles constituting the natural soluble solid content of Aloe vera extract. The higher maltodextrin addition should decrease water content so that it increases Aloe vera powder bulk density. The increasing amount of maltodextrin addition caused a linear decrease in moisture content that affected the increase in bulk density. A similar result was obtained by Marques et al. (2014) that reported the apparent densities of fruit pulps decreased linearly with moisture content during freeze-drying.

Tapped density is a significant charac-teristic of powder products in terms of storage and transportation. The density will affect powder flowability and cohesiveness. Carr index indicates the relationship between density and flowability, whereas Hausner Ratio shows the relationship between density and powder cohesivity. Aloe vera powder with maltodextrin addition in TSS 20%, 25%, and 30% (w/v) have resulted bulk density of 0.429-0.463 kg/m3 and tapped density

Page 65: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

48Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

of 0.654-0.703 kg/m3 (Table 2). Based on ANOVA (α=0.05), there was no significant

Table 2. Aloe vera Powder Powder Properties

Physical properties Total soluble solids (w/v)20% 25% 30%

Bulk density (kg/m3) 0.429±0.03 0.436±0.011 0.463±0.023Tapped density (kg/m3) 0.703±0.12 0.673±0.048 0.654±0.023Carr Index 38.98±6.37 31.62±4.66 29.17±1.08Hausner Ratio 1.64±0.18 1.46±0.096 1.41±0.022

difference in bulk density and tapped density in all concentrations of maltodextrin addition.

Carr Index and Hausner Ratio can be calculated from bulk and tapped density. Powder flowability is important for manufacturer and end-user for packing, handling, measuring, transporting, bag filling and emptying, storage, dosing purpose, and selecting parameters for mixing and conditioning (Caliskan and Dirim, 2016). Its classification based on Carr Index (CI) is very good (<15), good (15-20), fair (20-35), bad (35-45), and very bad (<45). The powder cohesiveness based on Hausner Ratio (HR) is classified as low (<1.2), intermediate (1.2-1.4), and high (>1.4) (Jinapong et al., 2008).

This study showed that Aloe vera powder Carr Index is between 29.17±1.08 to 38.98± 6.37, which fell between fair to bad groups. While Hausner Ratio is 1.41±0.022 to 1.64±0.18, which is included in intermediate to high group, more maltodextrin addition

should decrease powder particles cohesiveness, so that decreased the flowability (Caliskan and Dirim, 2016).

Aloe vera powder solubility and wettability

Solubility is adequate criterion for evaluating powder behavior in aqueous solution and important property of reconstitution. It becomes significant characteristic for any dried powder that is reconstituted to desirable soluble solid content for industrial use (Ozdikicierler et al., 2014; Marques et al., 2014). of the Powder wettability can be characterized by the susceptibility of the particles to be penetrated by water (Marques et al., 2014). Aloe vera powder solubility and wettability time is given in Figure 1.

Figure 1. Solubility and wettability times of Aloe vera powder

Page 66: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

49Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

Maltodextrin addition causes a decrease in solubility and wettability time because maltodextrin is a group of starch that has hydrophilic properties that can increase wetting ability, so the solubility time becomes short. The more maltodextrin addition, the more hydrophilic components are, which increased powder ability to dissolve in water. According to Lane and Medeiros in Marques et al. (2014), the proper parameter for wetting time is 5 minutes. This study showed that Aloe vera powder with the highest maltodextrin addition has wettability time of 5.53 minutes.

a cb

The process should be improved to produce Aloe vera powder with shorter wetting time.

Aloe vera Powder Microscopic Structure Particle size control in drying process

is an important factor because it will affect the appearance, flowability, and dispersibility (Marques et al., 2014). Aloe vera powder was assessed using Scanning Electron Microscopy to know the detail about particle size (Figure 2).

Figure 2. Microscopic images of Aloe vera powder with total soluble solid content of (a) 20%; (b) 25%; (c) 30% (w/v)

Aloe powder with various maltodextrin additions in electron photomicrographs scan showed that the granules have uniform rounded shape. Aloe vera powder granules size varies between 1-18 μm. Maltodextrin addition of 20%, 25%, and 30% (w/v) yielded powder with average granular size in 5.73±4.41; 7.76±3.12; 12.85±4.39 μm, respectively. Higher maltodextrins addition increased the mean particle size of Aloe vera powder.

CONCLUSIONMaltodextrin from cassava was found

to be suitable carrier to produce Aloe vera powder by spray drying. The addition of maltodextrin that gives total soluble solid 30% (w/v) on Aloe vera extract before drying process produces Aloe vera powder with the lowest water content and the biggest particle size. Maltodextrin addition caused brighter Aloe vera powder and improves its flowability. This process require to be improved to produce Aloe vera powder with

shorter wetting time.

ACKNOWLEDGMENTThis research was financially

supported by Directorate General of Higher Education, Ministry of Research, Technology, and Higher Education of the Republic of Indonesia.

REFERENCES1. Caliskan, G and Dirim, S.N. 2016. The

effect of different processes and the amounts of maltodextrin addition on the powder properties of sumac extract powder. Powder Technology; 287: 308-314.

2. Eshun, K and He, Q. 2004. Aloe vera: a valuable ingredient for the food, pharmaceutical, and cosmetic industries – a review. Critical Reviews in Food Science and Nutrition; 44(2): 91-96.

3. Gong, Z., Zhang, M., Mujumdar, A.S., Sun, J. 2008. Spray drying and

Page 67: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

50Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

agglomeration of instant bayberry powder. Drying Technology; 26: 116-121.

4. Jinapong, N., Suphantarika, M., Jamnong, P. 2008. Production of instant soymilk powders by ultrafiltration, spray drying, and fluidized bed agglomeration. Journal of Food Engineering; 84: 194-205: (2008).

5. Johnson, R., G. Padmaja, and S.N. Moorthy. 2009. Comparative production of glucose and high fructose syrup from cassava and sweet potato roots by direct conversion technique. Innovative Food Science and Emerging Technologies 10 (2009):616-620

6. Lee, J.K., Lee, M.K., Yun, Y.P., Kim, Y., Kim, J.S., Kim, Y.S., 2001. Acemannan purified from Aloe vera induces phenotypic and functional maturation of immature dendritic cells. International Immunopharmacology; 1(7): 1275-1284.

7. Lopez-malo, A., Palou, E., Barbosa-Canovas, G.V., Welti-Chanes, J., Swanson, B.G. 1998. Polyphenoloxidase activity and color changes during the storage of high hydrostatic pressure treated avocado puree. Food Research International; 31(8): 549-556: (1998).

8. Marques, G.R., Borges, S.V., de-Mendonca, K.S., Fernandes, R.V.B., Meneves, E.G.T. 2014. Application of maltodextrin in green corn extract powder production. Powder Technology; 263: 89-95.

9. Matsuura, T., Ogawa, A., Tomabechi, M., Matsuhita, R., Gohtani, S., Neoh, T.L., Yoshii, H. 2015. Effect of dextrose equivalent of maltodextrin on the stability of emulsified coconut-oil in spray-dried powder. Journal of Food Engeneering; 163: 54-59.

10. Ozdikicierler, O., Dirim, S.N., Pazir, F. 2014. The effect of spray drying process parameters on the characteristic process indices and

rheological powder properties of microencapsulated plant (Gypso-phila) extract powder. Powder Technology; 253: 474-480.

11. Quek, S.Y., Chok, N.K., Swedlund, P. 2007. The physicochemical properties of spray-dried water-melon powders. Chemical Engi-neering Processing; 46: 386-392.

12. Rahayuni, T. 2002. Mikroenkap-sulasi ekstrak lidah buaya (Aloe vera): Uji karakteristik enkapsulan dan aktivitas antioksidannya. Thesis. Prodi Teknologi Hasil Perkebunan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

13. Reynolds, T. and Dweck, A.C. 1999. Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of Ethnopharmacology; 68(1-3): 3-37.

14. Shanavas, S., G. Padmaja, S.N. Moorthy, M.S. Sajeev, and J.T. Sheriff. 2011. Process optimization for bioethanol pro-duction from cassava starch using novel eco-friendly enzymes. Biomass and Bioenergy, 35 (2011): 901-909

15. Udomrati, S. and Gohtani, S. 2015. Tapioca maltodextrin fatty acid ester as a potential stabilizer for Tween 80-stabilized oil-in-water emulsions. Food Hidrocolloyd; 44: 23-31.

16. Vogler, B.K. and Ernest, E. 1999. Aloe vera: a systemic review of its clinical effectiveness. British journal of General Practice; 49 (447): 823-828.

17. Wang, Z.I., Finlay, W.H., Peppler, M.S., Sweeney, L.G. 2006. Pow-der Formation by atmospheric spray-freeze-drying. Powder Technology; 170: 45-52.

18. Yagi, A., Tsunoda, M., Egusa, T., Akasaki, K., Tsuji, H. 1998. Immunochemical distinction of Aloe vera, A. arborescens, and A. chinensis gels. Planta Medica; 64(3): 277-278.

Page 68: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

51Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENDAHULUANKakao (Theobroma cacao L) yang

merupakan bahan dasar pembuatan makanan dan minuman cokelat mengandung senyawa bioaktif yang bermanfaat mencegah terjadinya penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan juga mengandung antioksidan berupa flavonoid yang dapat mengendalikan radikal bebas penyebab kanker (Sianturi, 2003). Hasil penelitian Crozier et al. (2011), menyebutkan bahwa kakao mengandung senyawa polifenolik dengan konsentrasi yang cukup tinggi terutama flavanol. Senyawa ini banyak dikaitkan dengan sejumlah manfaat kesehatan dalam memperbaiki aliran darah dan elastisitas pembuluh darah, menurunkan

PENGARUH PENYANGRAIAN BIJI KAKAO NON FERMENTASIDENGAN SISTEM UAP PANAS TERHADAP KANDUNGAN POLIFENOL,

KATEKIN, DAN RESIDU PESTISIDA KAKAO BUBUKThe Effect of Steam Blanching Roasting Method of Non Fermented Cocoa Beans to

Cocoa Powder Polyphenol, Catechin and Pesticides Residues Content

Wahyuni, Rosniati, Medan Yumas, Melia Ariyanti, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No.28 Makassar 90231e-mail: [email protected]

Abstract: This study aims to determine the content of polyphenols, catechins, and pesticide residues in cocoa powder. Cocoa powder made from fresh cocoa beans that processed through steam blanching method then dried by drying in protected sunlight, then roasted by the hot steam method using water bath at 80 oC for 30 minutes and without roasting. The scope of this research is Sangrai Cocoa Beans (BS) and Cocoa Beans without Roast (BTS). The results showed that cocoa powder produced from roasted cocoa beans (RB) and without roasting (URB) had total polyphenol content of 6,89% and 9,42%, respectively. Catechin compounds in cocoa powder from RB and URB are 6.626 g/100g and 6.335 g/100g, respectively. Pesticide residues from all cocoa powder analyzed were not detected, so cocoa powder produced from this study was safe from pesticides.

Keywords: Cocoa beans, cocoa powder, catechins, polyphenols, pesticide residues

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan polifenol, katekin, dan residu pestisida pada kakao bubuk. Biji kakao basah diblanching menggunakan air panas, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur pada sinar matahari terlindung. Biji kakao kering disangrai dengan metode uap air panas menggunakan waterbath pada suhu 80°C selama 30 menit. Ruang lingkup pada penelitian ini yaitu Biji Kakao Sangrai (BS) dan Biji Kakao Tanpa Sangrai (BTS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kakao bubuk yang dihasilkan dari biji kakao sangrai (BS) mempunyai kandungan senyawa total polifenol 6,89% sedangkan kakao bubuk tanpa sangrai (BTS) mempunyai kandungan total polifenol 9,42%. Senyawa katekin pada kakao bubuk dari biji kakao sangrai (BS) 6,335 g/100g, sedangkan biji kakao tidak sangrai (BTS) 6,626 g/100g. Residu pestisida dari semua kakao bubuk yang dianalisis tidak ada yang terdeteksi, sehingga kakao bubuk yang dihasilkan dari penelitian ini aman dari pestisida.

Kata Kunci: Biji kakao, kakao bubuk, katekin, polifenol, residu pestisida.

tekanan darah, mencegah penggumpalan darah, menstimulasi sintesis oksida nitrit, dan sebagai anti inflamasi.

Salah satu manfaat kesehatan dari polifenol kakao yaitu mempunyai kemampuan untuk melindungi saluran pernafasan dan juga berperan penting sebagai penanda (marker) peradangan dalam atherosclerosis (Khan et al., 2014). Barberan et al. (2007) menyatakan responden yang meminum kakao bubuk tinggi kandungan flavonoid mempunyai kadar epikatekin glucuronide lima kali lipat lebih tinggi, sehingga mempunyai efek kesehatan yang lebih kuat. Penelitian Ramlah (2014) menyebutkan bahwa suhu penyangraian berpengaruh terhadap mutu cokelat sebagai makanan kesehatan. Cokelat

Page 69: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

52Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Kakao bubuk merupakan salah satu produk olahan dari biji kakao fermentasi atau tanpa fermentasi yang diperolah melalui proses penyangraian, alkalisasi, pengeluaran kulit ari, pemastaan, pemisahan lemak dan bungkil. Bungkil kakao yang telah dihaluskan dan diayak dengan ayakan 200 mesh disebut kakao bubuk. Selain kandungan senyawa polifenol, senyawa asam amino dalam kakao juga di pengaruhi oleh proses fermentasi, pengeringan dan proses thermal lainnya (Rosniati et al., 2018)

Kakao bubuk yang mempunyai manfaat kesehatan diolah dari biji kakao non fermentasi dikarenakan kandungan flavonoid dan polifenolnya yang lebih tinggi. Kegunaan kakao bubuk non fermentasi ini lebih sedikit dibandingkan kakao bubuk fermentasi karena permintaan pasar yang spesifik (segmented) terutama untuk konsumen yang lebih peduli pada kesehatan tubuh. Kakao bubuk diproses dari biji kakao non fermentasi sehingga dapat lebih diekspos sifat fungsionalnya. Kakao bubuk yang tinggi kandungan flavonoidnya diperlukan karena keberadaan flavonoid dalam kakao istimewa. Flavonoid kakao terdiri atas 4 stereoisomer flavanol (+)-katekin; (-)-katekin; (+)-epikatekin dan (-)-epikatekin. (-)-epikatekin inilah yang paling banyak terdapat pada flavonoid kakao dan memiliki bioavailabilitas yang tinggi sehingga mudah diserap tubuh (Hui, 1996).

Kakao bubuk terkenal dengan kandungan polifenol dan flavonoid tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Pengembangan teknologi proses pengolahan bubuk cokelat kaya flavonoid diharapkan mampu meningkatkan mutu kakao bubuk non fermentasi yang dihasilkan untuk bahan baku pembuatan minuman cokelat fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan polifenol, katekin, dan residu pestisida pada kakao bubuk

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian meliputi buah kakao dari Kabupaten Bantaeng. Sedangkan

yang diolah menjadi makanan kesehatan ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol darah secara signifikan pada model mencit hiperkolesterolemia. Lebih lanjut Yuliatmoko et al. (2008) menyatakan bahwa kakao bubuk dapat meningkatkan sistem antioksidan plasma sehingga bermanfaat bagi kesehatan.

Kombinasi suhu yang tinggi dan lamanya waktu penyangraian serta adanya air adalah kondisi yang penting untuk diperhatikan. Penyangraian biji dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama akan mengurangi kadar flavonoid karena terjadi degradasi yaitu oksidasi enzimatis maupun non enzimatis. Panas yang digunakan dalam penyangraian dapat menyebabkan komponen flavonoid teroksidasi, diuapkan, dan atau senyawa ini diubah dan kuantitasnya berkurang (Barberan, 2007). Pengolahan biji kakao yang dapat merusak polifenol antara lain suhu, perubahan kimia dan waktu yang mempengaruhi nilai polifenol dalam produk bervariasi. Proses blanching bertujuan untuk menonaktifkan enzim polifenol oksidase (PPO), biji kakao diblanching menggunakan uap air panas (steaming) suhu 90oC selama 5 menit (Barberan et al., 2007). Hal ini bertujuan untuk menghentikan proses oksidasi polifenol. Selanjutnya penyangraian biji kakao kering menggunakan suhu rendah dan waktu pendek (Low Temperature Short Time) untuk meminimalisir berkurangnya kandungan flavonoid termasuk polifenol dalam produk akhir.

Kandungan senyawa polifenol yang terdapat pada biji kakao segar dan belum dilakukan proses fermentasi adalah 12–18% (Cooper et al.,2007; Acker et al., 2013). Kandungan senyawa polifenol pada biji kakao meliputi katekin 33-42%, leukosianidin 23–25%, dan antosianin 5%. Sedangkan pada kakao bubuk bebas lemak mengandung 5–18% senyawa polifenol (Kusuma et al., 2013). Senyawa polifenol merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat antioksidan, yang sangat penting dalam perannya menyehatkan tubuh manusia (Crozier et al., 2011).

Page 70: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

53Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

peralatan yang digunakan adalah pisau untuk membelah buah, depulper (pemisah pulp/lendir), kompor dan dandang untuk proses blanching biji, waterbath untuk menyangrai biji kakao dengan suhu rendah, alat counching, alat press lemak kakao, timbangan digital, thermometer, talang, baskom, baki stainless steel, kemasan plastik, alumunium foil, spatula, alat uji GC, HPLC, spektrofotometri, AAS, dan alat penolong lainnya.

Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dalam 2 tahap

yaitu tahap pertama penyiapan bahan baku (biji kakao) dan tahap kedua adalah penyiapan kakao bubuk. Pengembangan teknologi proses pengolahan kakao bubuk kaya flavonoid dirancang dengan metode eksperimen pengolahan biji kakao menjadi kakao bubuk yang masih memiliki kadar flavonoid tinggi dengan perlakuan metode blanching dengan steaming (uap air panas), pengeringan biji kakao, dan pemanasan (sangrai) menggunakan metode Low Tempe-rature Short Time memakai alat waterbath yang sudah dimodifikasi disesuaikan dengan proses penyangraian biji kakao menggunakan alat Fluidized Bed Roasting.

Penyiapan Biji KakaoBiji kakao dikeluarkan dari buah,

dipisahkan biji dari empulurnya, kemudian dimasukkan ke dalam alat depulper (pemisah pulp/lendir kakao). Biji kakao yang telah dikeluarkan pulpnya diblanching dengan uap panas dengan tujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase. Selanjutnya biji

kakao basah dijemur pada sinar matahari secara terlindung. Penjemuran dilakukan selama kurang lebih 5 hari atau sampai kadar air sekitar 7%. Biji kakao kering siap untuk dibuat kakao bubuk.

Penyiapan Kakao BubukBiji kakao kering dibagi menjadi dua

kelompok. Kelompok pertama biji kakao tidak disangrai (BTS), dan kelompok ke dua biji kakao disangrai dengan metode uap air panas yaitu menggunakan waterbath dengan suhu 80oC selama 30 menit (BS). Selanjutnya biji kakao dipisahkan kulit ari dan nib. Nib yang diperoleh dicounching menjadi pasta kakao. Pasta kakao dipress untuk memisahkan lemak dan bungkil (cake). Selanjutnya bungkil kakao dihaluskan menggunakan blender kemudian diayak dengan ukuran mesh 200 untuk memperoleh kakao bubuk.

Metode AnalisisAnalisis kakao bubuk dilakukan

terhadap parameter polifenol dan katekin dengan metode HPLC sedangkan residu pestisida dengan metode GC-ECD. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kakao bubuk yang dihasilkan pada penelitian ini diperoleh dari biji kakao yang telah disangrai dengan uap panas menggunakan waterbath (BS) dan dari biji kakao yang tidak disangrai (BTS). Hasil analisis kakao bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis polifenol, katekin, dan residu pestisida kakao bubuk

Parameter Kakao bubuk Sangrai (BS) Kakao bubuk Tidak Sangrai (BTS)

PolifenolKatekinResidu Pestisida

6,89%6,335 g/100g

TTD

9,42%6,626 g/100g

TTD

Page 71: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

54Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PolifenolHasil penelitian menunjukkan bahwa

kakao bubuk yang dihasilkan dari biji kakao sangrai (BS) mempunyai kandungan total polifenol 6,89%, sedangkan kakao bubuk tidak sangrai (BTS) mempunyai kandungan total polifenol 9,42% (Tabel 1).

Tingginya kandungan total polifenol pada kakao bubuk dengan perlakuan penyangraian dengan metode uap panas, disebabkan karena degradasi struktur seluler selama penyangraian dan menyebabkan keluarnya senyawa fenolik yang terikat (Oracz dan Nebesny, 2016).

Kulit biji kakao tanpa fermentasi mengandung polifenol yang terdapat pada biji kakao belum mengalami difusi dari sel penyimpanan dan hal ini yang mengakibatkan kenaikan kandungan fenolik total pada penyangraian derajat sedang suhu 140oC dan derajat berat suhu 190oC karena terlepasnya ikatan senyawa fenolik dari matrik sel (Suazo et al., 2013). Peningkatan kandungan fenolik total juga bisa disebabkan karena degradasi antosianin menjadi monomernya (Misnawi et al., 2005).

Tingginya kandungan total polifenol yang dihasilkan pada penelitian ini disebabkan perlakuan biji kakao yang digunakan tanpa fermentasi dengan perlakuan metode blanching dengan steaming (uap panas), bertujuan untuk menonaktifkan enzim polifenol oksidase (PPO) pengeringan biji kakao, dan pemanasan (sangrai) menggunakan metode uap panas menggunakan alat waterbath yang sudah dimodifikasi disesuai-kan dengan proses penyangraian biji kakao menggunakan alat Fluidized Bed Roasting sehingga dapat mempertahankan kandungan polifenol pada kakao bubuk.

Menurut Harrington (2011) adanya kandungan senyawa polifenol dalam produk cokelat akan memberikan keuntungan bagi peningkatan kualitas produk tersebut, dikarenakan senyawa polifenol mempunyai kemampuan antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kerusakan makanan akibat peristiwa oksidasi terhadap

lemak kakao yang dapat menyebabkan ketengikan (rancidity). Dengan demikian akan meningkatkan keawetan maupun waktu simpan dari produk makanan cokelat tersebut.

KatekinKatekin adalah segolongan metabolit

sekunder yang secara alami dihasilkan oleh tumbuhan dan termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan karena gugus fenol yang dimilikinya. Strukturnya memiliki dua gugus fenol (cincin-A dan -B) dan satu gugus dihidropiran (cincin-C). Karena memiliki lebih dari satu gugus fenol, senyawa katekin sering disebut senyawa polifenol (Nazaruddin, et al.,2006)

Hasil Analisa katekin kakao bubuk pada Tabel 1, menunjukkan bahwa katekin pada kakao bubuk dari biji kakao sangrai 6,335 g/100 g sedangkan katekin kakao bubuk dari biji kakao tidak sangrai 6,626 g/100 g. Senyawa katekin yang terdapat pada kakao bubuk merupakan kandungan senyawa total polifenol yang dapat dipertahankan dengan cara fluidized.

Biji buah kakao mengandung cukup tinggi senyawa yang aktif sebagai antioksidan, diantaranya adalah katekin 33-42%, leukosianidin 23-25%, dan antosianin 5%. Sedangkan pada biji kakao bubuk bebas lemak mengandung 5-18% senyawa polifenol seperti katekin dan antosianin. Sebanyak 60% dari total fenolik pada biji kakao mentah adalah monomer flavanol (epikatekin dan katekin) dan oligomer proanidin (dimer hingga dekamer).

Residu PestisidaSalah satu dampak negatif

penggunaan pestisida yang kurang bijaksana adalah bahaya adanya residu pestisida pada produk tanaman yang dilindungi maupun pada lingkungan sekitar. Produk tanaman kakao Indonesia, biji keringnya digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk hilir dengan

Page 72: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

55Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

berbagai varian maupun produk antara (intermediate products), sebagian besar diekspor ke negara-negara maju. Negara pengimpor biji kakao umumnya sangat peduli terhadap aspek kesehatan maupun

lingkungan. Oleh karena itu adanya residu bahan berbahaya sangat diperhatikan (Wiryadiputra, S.,2013).

Parameter residu pestisida pada kakao bubuk yang dianalisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisa Residu Pestisida kakao bubuk

Parameter Residu Pestisida

Kakao Bubuk (BS)

Kakao Bubuk (BTS)

OrganoklorinLindanDieldrinHeptaklor EpDDTEndrinEndosulfanOrganofosfatDiazinonMetidationKlorpirifosMalationFenitritionProfenofosMonokrotofosPiretroidPermetrinSipermetrinDeltametrin

TtdTtdTtdTtdTtdTtd

TtdTtdTtdTtdTtdTtdTtd

TtdTtdTtd

TtdTtdTtdTtdTtdTtd

TtdTtdTtdTtdTtdTtdTtd

TtdTtdTtd

SIMPULANKakao bubuk yang dihasilkan dari biji

kakao sangrai (BS) dengan uap air panas mempunyai kandungan senyawa total polifenol 6,89% sedangkan kakao bubuk tanpa sangrai (BTS) mempunyai kandungan total polifenol 9,42%. Senyawa katekin pada kakao bubuk dari biji kakao sangrai (BS) 6,335 g/100g, dan dari biji kakao tidak sangrai (BTS) 6,626 g/100g. Sedangkan residu pestisida dari semua parameter yang dianalisa tidak ada yang terdeteksi sehingga kakao bubuk yang dihasilkan aman dari pestisida.

DAFTAR PUSTAKA1. Barberan, F.A.T; Jovellanos, E.C; Marin, A;

Muguerza, B; izquierdo, A.G; Cerda, B; Zafrilla, P; Morillas, J; mulero, J; Ibarra, A; Pasamar, M.A; Ramon, D;

Espin, J.C. 2007. A New Process To Develop a Cocoa Powder with Higher Flavonoid Monomer Content and Enhanced Bioavailability in Healthy Humans. J. Agric. Food Chem, 55, 3926-3935.

2. Cooper, K.A., E. Campos-Gimenez, D.J. Alvarez, K. Nagy, J.L. Donovan and G. Williamson. 2007. Rapid reversed phase ultra-performance liquid chromatography analysis of the major cocoa polyphenols and interrelationships of their concentrations in chocolate. Journal of Agricultural and Food Chemistry 55 : 2841-2847.

3. Crozier, S.J., A.G. Preston, J.W. Hurst, M.J. Payne, J. Mann, L. Hainly and D.L. Miller. 2011. Cocoa seeds are a “Super Fruit” : A comparative analysis of various fruit powders and products.

Page 73: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

56Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Chemistry Central Journal 5 : 1-6. SIRINOV

4. Gu, L., S.E. House, X. Wu, B. Ou and R.L. Prior. 2006. Procyanidin and catechin contents and antioxidant capacity of cocoa and chocolate products. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54 (11) : 4057-4061.

5. Harrington, W.L. 2011. The Effects of Roasting Time and Temperature on The Antioxidant Capacity of Cocoa from Dominican Republic, Equador, Haiti, Indonesia and Ivory Coast. Thesis of Master of Science The University of Tennessee, Knoxville USA. 66p

6. Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. 2. Edible Oil and Fat Products: Oil and Oil Seeds. Pp 241-270. New York: John Wiley and Sons, Inc.

7. Khan et al. 2014. Cocoa Polyphenols and Inflammatory Markers of Cardiovascular Disease. Nutrients. 6, 844-880.

8. Kusuma, Y.T.C., S, Suwasono.S, Yuwanti. 2013. Pemanfaatan biji kakao inferior campuran sebagai sumber anti oksidan dan antibakteri. Berkala ilmiah Pertanian 1(2): 33-37.

9. Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 21:3.

10. Nazaruddin, R., Seng L, Hassan, O., dan Said M, 2006. Effect of pulp pre-conditioning on the content of polyphenols in cocoa beans (Theobroma cacao) during fermentation industrial crops and products, 24: 87 – 94.

11. Nestle Research Centers. 2010. Focos on: Polyphenols in chocolate. Nestle Research Centers. 3p.

12. Oracz, J. and Nebesny, E. 2016. Antioxidant properties of cocoa beans (Theobroma cacao L.): Influence of cultivar and roasting conditions. International Journal of Food Properties. 19 (6): 1242-1258.

13. Ramlah, S., 2014. Pengaruh Suhu Penyangraian Terhadap Mutu Cokelat sebagai Makanan Kesehatan Penurun Kadar Kolesterol Darah. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, Vol 9 No.2, Hal. 115-124. BBIHP Makassar

14. Rosniati, Kalsum. 2018. Pengolahan Kakao Bubuk Dari Biji Kakao Nonfermentasi dan Tanpa Fermentasi Sebagai Sediaan Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, Vol 13 No.2, Hal. 107-116. BBIHP Makassar

15. Sianturi, G., 2003. Cokelat Cegah Kanker, Stroke, dan PJK. http:/www.kompas.co.id/ kesehatan/ news/senior/gizi/0304/24/gizi.

16. Suazo, Y., Davidov-Pardo, G. and Arozarena, I. 2013. Effect of Fermentation and Roasting on The Phenolic Concentration and Antioxidant Activity of Cocoa From Nicaragua. Journal of Food Quality. 37: 50-56.

17. Wiryadiputra, S., 2013. Residu Pestisida Pada Biji Kakao Indonesia Dan Produk Variannya, Serta Upaya Pe-nanggulangannya. Review Penelitian Kopi dan Kakao 1 (1) 2013, 39-61.

18. Yuliatmoko, W., 2008. Efek Konsumsi Minuman Kakao bubuk Lindak Bebas Lemak Terhadap Aktivitas Antioksidan Flavonoid pada Plasma Manusia. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, Vol.9 No.2, hal. 102-113.

Page 74: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

57Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENDAHULUAN Negara berkembang termasuk

Indonesia adalah pengekspor kopi terbesar di dunia (Valduga et al., 2018). Produksi kopi di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencapai 636,7 ribu ton pada tahun 2017 dan telah diekspor ke lima benua (BPS, 2017). Jenis kopi yang ada di Indonesia adalah Arabika dan Robusta dengan total produksi pada tahun 2017 berturut-turut adalah 173.765 ton dan 463.775 ton (Dirjen

PRODUK SAMPING KULIT KOPI ARABIKA DAN ROBUSTA SEBAGAI SUMBER POLIFENOL UNTUK ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI

By-product of Arabica and Robusta Coffee Husk as Polyphenol SourceFor Antioxidant and Antibacterial

Enny Sholichah1*, Rizky Apriani2*, Dewi Desnilasari1, Mirwan A. Karim1, dan Harvelly2

1Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia2 Jurusan Tekologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan

e-mail: [email protected]

Abstract: Coffee husks are coffee processing by-product that can be processed to be a healthy beverage because it contains polyphenols, the bioactive compound which act as antioxidants and antibacterial. Its extraction method affected the content of active compounds in cascara. This research studied about the effect of cascara extraction process in 3 temperature levels (75 ºC , 85 ºC, and 95 ºC) and 3 concentration levels (1:100, 2:100, and 3:100) for Arabica and Robusta coffe towards the bioactive content of polyphenols, antioxidant activity, and antibacterial activity. The results showed that cascara Arabica extract contained the highest polyphenol content (2.381%) at 85 ºC and antioxidant activity (33.5%) at 75 ºC each at a ratio of 2:100. The best cascara Robusta extraction based on the content of polyphenols (8.089%) is at 85 ºC with a ratio of 2:100, while based on the antioxidant activity (57.5%) is at a temperature of 75 ºC and a ratio of 2:100 and 3:100. Cascara Arabica antibacterial activity is greater than Robusta. Cascara Arabica at a temperature of 75-95 ºC in 3 concentrations did not experience a significant change in antibacterial activity in the range of 91.02-97.6%. The highest cascara Robusta antibacterial activity occurred at 95 ºC in concentration of 3:100 was 97.16 %.

Keywords: antioxidant, antibacterial, by-product of coffee, polyphenol

Abstrak: Kulit kopi sebagai produk samping pengolahan kopi dapat dimanfaatkan menjadi produk minuman kesehatan karena mengandung polifenol yang merupakan senyawa bioaktif untuk antioksidan dan antibakteri. Kondisi proses ekstraksi menentukan kandungan bahan aktif dalam minuman cascara. Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh proses ekstraksi cascara dengan 3 variabel suhu (75 ºC, 85 ºC, dan 95 ºC) dan konsentrasi (1:100, 2:100, dan 3:100) untuk 2 jenis kopi yaitu arabika dan robusta terhadap kandungan bioaktif senyawa polifenol, aktivitas antioksidan, dan aktivitas antibakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi cascara arabika menghasilkan kandungan polifenol terbaik (2,381%) pada suhu 85 ºC dan aktivitas antioksidan (33,5%) pada suhu 75 ºC, masing-masing pada perbandingan 2:100. Ekstraksi cascara robusta terbaik pada suhu 85 ºC dan perbandingan 2:100, dimana kandungan polifenol (8,089 %) sedangkan aktivitas antioksidan ( 57,5%) pada suhu 75 ºC serta perbandingan 2:100 dan 3:100. Aktivitas antibakteri cascara arabika lebih besar dari robusta. Cascara arabika pada suhu 75-95 ºC dengan 3 konsentrasi tidak mengalami perubahan aktivitas antibakteri secara signifikan yaitu pada kisaran 91,02-97,6%. Aktfitas antibakteri cascara robusta tertinggi pada suhu ekstraksi 95 ºC konsentrasi 3:100 yaitu 97,16%.

Kata kunci: antioksidan, antibakteri, by-product kopi, polifenol

Perkebunan, 2017). Kondisi geografis, perbedaan sifat tanah, mikrolimat serta pola bercocok tanam petani kopi mempengaruhi produktifitas kopi yang dihasilkan (Kurniawan, 2017) serta komposisi komponen kimia yang terkandung dalam ceri kopi (Bonilla-Hermosa et al., 2014).

Kulit kopi diperoleh dari pengolahan buah kopi atau ceri kopi yang melalui tahapan pulping baik proses basah yaitu ceri kopi, pencucian, pulping (Widyotomo, 2013)

Page 75: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

58Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ditambahkan dengan jumlah cascara yang digunakan. Suhu ekstraksi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kandungan komponen bahan aktif dalam suatu matriks sehingga perlu dibatasi pada suhu 80-90 °C agar tidak terjadi kerusakan senyawa polifenol (Kristiandi, 2018). Faktor lain yang mempengaruhi kandungan senyawa fenolik dalam cascara adalah bahan baku yaitu ceri kopi, dimana perbedaan daerah, varietas, dan metode proses pengolahan ceri kopi menghasilkan perbedaan kandungan senyawa fenolik dan kafein. (Heeger, et al., 2017) melaporkan bahwa ceri kopi dari negara Kongo memiliki kandungan polifenol, aktivitas antioksidan, dan kafein yang tertinggi dibandingkan dari Honduras dan Salvador.

Maserasi kulit kopi arabika dan robusta menggunakan pelarut yaitu campuran etanol-aquades (1:1) dan penambahan asam sitrat 5% dengan variasi waktu 15 dan 30 menit (Ariadi & Windrati, 2015). Etanol merupakan pelarut organik yang tidak diperkenankan untuk dikonsumsi secara langsung. Oleh karena itu, studi tentang kondisi ekstraksi cascara dengan pelarut air sangat dibutuhkan untuk menghasilkan produk cascara yang dapat dikonsumsi secara langsung. Penelitian ini mempelajari kondisi ekstraksi meliputi suhu dan waktu ekstraksi serta pengaruhnya terhadap kandungan polifenol, aktivitas antioksidan, dan antimikroba dari cascara yang dibuat dari kopi arabika dan robusta.

METODOLOGIBahan utama dalam penelitian ini

meliputi ceri kopi varietas arabika yang diperoleh dari petani kopi desa Bokanegara, kecamatan Cisalak, Subang, Jawa Barat dan ceri varietas robusta yang diperoleh dari petani kopi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Bahan kimia yang digunakan adalah etanol, pereaksi folin ciocalteau 10%, natrium karbonat, etanol, asam galat, 1,1-diphenyl-method 2-pikrilhidrazil (DPPH) (Sigma aldrich), Quersetin Natrium Borth, BPW (Buffered Pepton Water), PCA (Plate Count Agar), dan akuades.

ataupun proses kering yaitu pencucian, penjemuran, dan pulping (Aisyah, 2018). Proses pulping menghasilkan produk samping kulit kopi (coffee husk) berkisar 45% (Esquivel & Jiménez, 2012), atau dalam setiap ton buah basah ceri kopi akan dihasilkan 200 kg kulit kopi kering (Widyotomo, 2013). Kulit kopi merupakan bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan penghasil kafein, polifenol, dan bioetanol (Bonilla-Hermosa et al., 2014) serta antioksidan dan antimikroba (Jiménez-Zamora et al., 2015). Senyawa fenolik yang terdapat dalam pulp kopi yaitu asam klorogenat (asam 5-caffeoylquinic acid 4,2%), epikatekin (21,6%), 3,4 dicaffeoylquinic acid (5,7%), 3,5 dicaffeoylquinic acid (19,3%), 4,5 dicaffeoylquinic acid (4,4%), katekin (2,2%), ptorocatechuic acid (1,6%), dan ferulic acid (1,0%) (Ramirez‐Martinez, 1988). Ramirez-Coronel et al., (2004) melaporkan ada empat kelompok utama polifenol dalam kopi Arabika, yaitu flavan-3-ols, hydroxycinnamic acid, flavanols, dan anthicyanidins. Kulit kopi Robusta terdapat polifenol, antosianin, vitamin C, betakaroten, gula reduksi, dan antioksidan (Ariadi & Windrati, 2015). Ekstrak daging buah ceri kopi Robusta memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli (Harahap, 2018).

Besarnya jumlah kulit kopi yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi serta potensi manfaat dari kulit kopi menjadi peluang pengembangan produk-produk turunan dari kulit kopi salah satunya adalah minuman cascara. Cascara adalah minuman teh ceri kopi yang dibuat dari kulit ceri kopi yang bersifat menyegarkan dan menstimulasi karena kandungan kafein dan komponen lain yang mirip dengan biji kopi (Heeger et al., 2017). Cascara yang dihasilkan dari ceri kopi arabika dapat mencapai 40% (Aisyah, 2018).

Kandungan senyawa fenolat dalam ekstrak kopi hijau sangat dipengaruhi oleh kondisi penyeduhan (Purwakhdyana et al., 2018), demikian juga dalam proses ekstraksi atau penyeduhan cascara. Proses ekstraksi cascara meliputi suhu, waktu ekstrasi serta perbandingan antara volume air yang

Page 76: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

59Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Peralatan proses yang digunakan adalah pulper kopi sistem manual, cabinet dryer, blender, neraca analitik, oven Memmert, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1900, Laminar Air Flow (LAF), autoclave- Hirayama, vortex mixer, magnetic stirrer, termometer, jarum ose, bunsen, dan inkubator.

Penyiapan bahanCeri kopi arabika dan robusta disortasi

untuk memisahkan ceri kopi yang cacat dan over ripe, selanjutnya dicuci dan dikupas dengan alat pulper manual. Kulit ceri kopi dikeringkan menggunakan cabinet dryer pada suhu 45 oC. Tahap selanjutnya adalah pengecilan ukuran dengan blender dan pengemasan dalam plastik PP 0,6 mm.

EkstraksiProses ekstraksi kulit kopi kering

dilakukan dengan 2 faktor yaitu suhu dan konsentrasi perbandingan kulit kopi dengan air (w/v). Tiga level variasi yang digunakan yaitu 75 oC, 85 oC, dan 95 oC. Adapun perbandingan kulit kopi dengan air (w/v)

adalah (1:100), (2:100), dan (3:100). Setiap perlakuan dilakukan dengan cara menyeduh 0,1 g kulit kopi kering dalam air sesuai dengan kondisi penyeduhan (suhu dan volume air) menggunakan alat magnetic stirrer dengan putaran 190 rpm selama 15 menit.

Analisis kandungan polifenolPengukuran kandungan polifenol

mengacu pada metode analisis polifenol dalam SNI 3945:2016 (BSN, 2016). Standar yang digunakan adalah asam galat dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Tahap pengukuran polifenol yaitu 1 ml larutan standar ditambah 5,0 ml pereaksi Fenol Folin-ciocalteu 10% dan didiamkan selama 3-8 menit, selanjutnya ditambahkan 4,0 ml larutan Na2CO3 7,5% ditutup dan dikocok, lalu didiamkan selama 50 menit pada suhu ruang. Akuades digunakan sebagai larutan blanko. Larutan sampel diberikan perlakuan sebagaimana larutan standar. Tahap berikut-nya adalah pengukuran absorbansi larutan blanko, standar, dan sampel menggunakan spektrofotometer UV-Vis shimadzu 1900 pada panjang gelombang 765 nm. Perhitungan kadar polifenol berdasarkan persamaan 1.

...................1 ( ) ( )

Keterangan :Dsampel = absorbansi larutan sampelDintersep = absorbansi yang diperoleh untuk

konsentrasi larutan blankoSstd = slove kurva kalibrasimsampel = massa sampel, dinyatakan dalam

gramVsampel = volume larutan ekstraksi sampel,

dinyatakan dalam mililiterD = faktor pengenceranWDM sampel = bobot sampel atas dasar bahan

kering, dinyatakan dalam % (fraksi masa)

Analisis aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan ekstrak kulit

kopi dilakukan dengan menggunakan metode DPPH (Dhianawaty & Ruslin, 2015).

Sebanyak 25 mg ekstrak dilarutkan dengan metanol dalam labu ukur 25 ml sebagai larutan induk 1000 ppm. Standar quercetin dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 0; 5; 10; 15; 20; dan 30 ppm. Sampel dibuat dengan mengencerkan setiap ekstrak yang diperoleh untuk setiap perlakuan dalam konsentrasi 50 ppm. Masing-masing standar dan sampel ditambah 5 ml larutan DPPH 0,5 mM. Larutan blanko adalah larutan DPPH 0,5 mM. Absorbansi DPPH dalam blanko diukur dengan spektrofometer UV-Vis pada panjang gelombang 516 nm, dengan selang waktu 5 menit mulai dari 0 menit sampai 30 menit. Absorbansi DPPH dalam setiap larutan diukur. Kemudian antioksidan diukur pada menit ke-30. Aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan persamaan 2.

Page 77: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

60Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

..........2

Keterangan : Akontrol = Absorbansi blanko (tidak mengan-

dung sampel)Asampel = Absorbansi sampel.

Analisis Aktivitas AntibakteriAktivitas antimikroba dilakukan

berdasarkan metode Dilusi yang dilakukan oleh (Kokoska, et al., 2002) dengan modifikasi. Suspensi E.coli yang mengandung bakteri berkisar 105–106 CFU/ml diujikan ke ekstrak cascara. Larutan uji dibuat dengan menambahkan 5% ekstrak cascara dengan 95% suspensi E.coli. Kemudian larutan tersebut diinkubasi selama 30 menit. Setelah itu, larutan uji dihitung jumlah bakterinya menggunakan metode

“Total Plate Count”, begitu juga larutan suspensi E.coli tanpa ekstrak. Persentase penurunan jumlah bakteri dihitung dengan menghitung selisih suspensi uji dengan suspensi E.coli, dibagi dengan jumlah suspensi E.coli dan dikalikan dengan 100%.

Analisis statistik Penelitian ini dilakukan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor dan 3 taraf. Faktor penelitian meliputi suhu ekstraksi dengan 3 taraf yaitu 75 oC, 85 oC, dan 95 oC, sedangkan konsentrasi digunakan 3 taraf yaitu 1:100; 2:100; dan 3:100. Pola rancangan penelitian adalah 3x3 dengan 3 kali pengulangan. Data yang diperoleh untuk setiap parameter pengujian dianalisis signifikansinya dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% dan uji lanjut menggunakan metode Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan polifenol

Polifenol termasuk metabolit sekunder dari tanaman. Polifenol memiliki jenis senyawa yang sangat beragam serta merupakan senyawa bioaktif yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia dan tidak toksik (Rasouli et al., 2017). Kopi sebagai sumber utama kafein mengandung banyak komponen senyawa kimia lainnya yaitu golongan karbohidrat, lipid, senyawa nitrogen, vitamin, mineral, alkaloid, dan senyawa fenolik (Valduga et al., 2018).

Kandungan polifenol dalam ekstrak cascara sangat dipengaruhi oleh teknik atau metode ekstraksi (Rasouli et al., 2017). Ekstraksi kulit ceri kopi dilakukan menggunakan air panas untuk memperoleh kadar polifenol yang optimal. Kadar polifenol dalam ekstrak cascara dinyatakan dalam mg asam galat ekivalen per gram sampel. Suhu ekstraksi berpengaruh signifikan terhadap kadar polifenol untuk cascara robusta dan arabika, dimana pada suhu 85 oC diperoleh kandungan polifenol paling tinggi. Konsentrasi 2:100 menghasilkan ekstrak dengan kandungan polifenol signifikan dibandingkan

Gambar 1. Kadar polifenol dalam ekstrak cascara kopi Robusta dan Arabika

Page 78: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

61Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

konsentrasi kedua konsentrasi lainnya. Senyawa polifenol merupakan senyawa organik yang memiliki sifat semipolar dimana memiliki tingkat kelarutan yang baik dalam pelarut semipolar seperti etanol, metanol, asetonitril, aseton, dan n-butanol (Marcelinda et al., 2016; Tsao, 2010). Ekstraksi dengan air membutuhkan peningkatan suhu untuk mengekstrak atau melarutkan senyawa polifenol, sehingga pada suhu 85 oC dan 95 oC menghasilkan ekstrak dengan kandungan polifenol lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 75 oC. Peningkatan suhu penyeduhan dimungkinkan mampu menghidrolisis glikosida yang terikat dalam senyawa polifenol. Senyawa polifenol umumnya dalam bentuk glikosida sebagaimana hasil penelitian Al-youssef (2017) menyatakan bahwa hasil skrining fitokimia dalam kulit kopi yang diekstraksi dengan etanol mengandung senyawa alkaloid, glikosida/karbohidrat, flavonoid, saponin, triterenes/sterol, tannin, and senyawa volatil.

Kandungan polifenol dalam cascara robusta lebih tinggi dari arabika pada setiap kondisi proses penyeduhan, sebagaimana hasil penelitian Ariadi (2013) melaporkan bahwa kandungan polifenol pada cascara robusta yang dimaserasi menggunakan pelarut air:etanol selama 15 menit lebih tinggi dibandingkan dengan cascara arabika. Ekstraksi cascara pada suhu 85 oC dan konsentrasi 2:100 menghasilkan ekstrak dengan kandungan polifenol tertinggi untuk kedua jenis cascara. Cascara robusta sebesar 2,65-8,09 mg GAE/g dan arabika 0,76–2,38 mg GAE/g. Kadar polifenol yang diperoleh pada cascara robusta dari kabupaten Sumba Barat Daya lebih besar dari hasil penelitian Bonilla-Hermosa et al., (2014) dimana mereka mengekstrak pulp ceri kopi dari daerah Minas Gerais-Brazil menggunakan air panas menghasilkan ekstrak dengan kandungan polifenol 2.62 (g/100). Heeger et al., (2017)melaporkan bahwa kandungan total polifenol tertinggi dalam kopi berasal dari Kongo sebesar 9,17 mg GAE/g DM dibandingkan dari daerah Salvador dan Honduras.

Kadar polifenol menjadi salah satu parameter mutu produk minuman berbahan baku teh yaitu teh hitam celup min. 9% (BSN, 2014) dan teh hijau min. 15% (b/b) (BSN, 2016). Kandungan polifenol dalam ekstrak cascara ± 1% lebih rendah dari teh hitam celup. Secara umum senyawa polifenol dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu flavonoid dan non flavonoid atau asam fenolat (Tsao, 2010). Senyawa polifenol dalam kulit ceri kopi ada 4 golongan besar yaitu flavan-3-ols, asam hidrosinamat, flavonol dan antosianin. Pengupasan kulit ceri kopi yang masih merah menggunakan proses basah menghasilkan sianidin-3-rutinosida, sianidin-3-glukosida, dan aglikonnya sebagai antosianin utama (Esquivel & Jiménez, 2012). Dengan demikian, kulit ceri kopi yang diproses menjadi cascara merupakan sumber polifenol yang dapat bermanfaat untuk produk pangan maupun farmasi.

Aktivitas antioksidanBahan antioksidan adalah bahan atau

senyawa yang memiliki kemampuan untuk menghambat, menunda atau mencegah proses oksidasi bahan lain yang mudah teroksidasi (Santoso, 2016). Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pikrilhidraz), dimana aktivitas antioksidan didasarkan pada daya tangkap senyawa terhadap radikal bebas. DPPH sebagai sumber radikal bebas merupakan senyawa radikal yang stabil pada suhu ruang, mengalami perubahan warna apabila bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga banyak digunakan sebagai metode pengujian aktivitas antiokasidan. Struktur kimia DPPH dapat terlihat pada gambar 2.

Page 79: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

62Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

arabika adalah 22,5-33,5%. Aktivitas antioksidan cascara arabika lebih rendah dibandingkan dalam pulp berdasarkan hasil penelitian Ariadi & Windrati (2015) yang menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pulp kopi arabika sebesar 51%. Hal ini dapat disebabkan proses pengeringan dengan suhu 50 oC pada pembuatan cascara telah merusak sebagian bahan aktif sehingga aktivitas antioksidannya menurun. Penurunan aktivitas antioksidan terjadi secara signifikan pada cascara robusta dan arabika yang diseduh pada suhu 85 oC dan 95 oC. Konsentrasi 2:100 pada setiap suhu ekstraksi signifikan menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antioksidan lebih tinggi.

NHN

NO2O2N

NO2

NN

NO2O2N

NO2

A B

Gambar 2. Struktur Kimia DPPH (a) non radikal, (b) radikal (Molyneux, 2004)

Gambar 3 menunjukkan bahwa ekstrak cascara robusta memiliki aktivitas antioksidan lebih besar dibandingkan dengan arabika pada setiap kondisi penyeduhan. Aktivitas antioksidan cascara robusta sebesar 39-57%, sedangkan

Gambar 3. Aktivitas antioksidan ekstrak cascara kopi Robusta dan Arabika

Senyawa polifenol berfungsi sebagai antioksidan melalui mekanisme antioksidan primer, yaitu memutus rantai proses oksidasi (Santoso, 2016). Gugus hidroksil (-OH) pada flavonoid khususnya pada cincin B posisi 2; 3; dan 4 merupakan gugus aktif untuk menangkap radikal bebas. Senyawa polifenol dalam cascara menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah flavan-3-ols, asam klorogenat, flavonol dan antocyanidin. Flavan-3-ols atau dikenal dengan katekin memiliki stuktur dasar 2-fenil benzopiran. Flavan-3-ols yang tersubstitusi oleh 2 gugus hidroksil pada cincin A di posisi meta dikenal dengan epikatekin dan epikatekin galat. Epigalokatekin dan epigalokatekin galat adalah katekin yang memiliki 3 gugus hidroksil yaitu 5,7-meta-

dihidroksi pada cincin A dan C-3 dari cincin C (Cartalade et al., 2003). Strukturnya dapat terlihat di gambar 4. Heeger et al., (2017) melaporkan dua senyawa fenolik yang dominan dalam cascara adalah asam protokatekuit dan asam klorogenat sebesar 85,0 dan 69,6 mg/L. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kestabilan pada suhu 85 oC sehingga aktivitas antioksidannya relatif masih besar.

Page 80: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

63Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Katekin

Gambar 4. Struktur senyawa golongan katekin

Aktivitas AntibakteriAktivitas antibakteri dilakukan dengan

metode dilusi menggunakan bakteri E.coli. Bakteri E.coli merupakan bakteri gram negatif yang hidup secara alami di lingkungan (flora normal) sekitar manusia serta digunakan sebagai salah satu indikator sanitasi. Efek infeksi bakteri E.coli pada manusia menyebabkan gangguan pencernaan seperti diare (Zikra et al., 2018). Ekstrak cascara memberikan aktivitas antibakteri terhadap E. coli, dimana suhu ekstraksi dan konsentrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas antibakteri untuk kedua jenis cascara (Gambar 5). Hal ini berarti proses penyeduhan dengan konsentrasi 1:100 pada suhu 75 oC telah menghasilkan ekstrak cascara yang memiliki daya hambat bakteri. Secara deskriptif terlihat bahwa ekstrak cascara arabika relatif memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi daripada robusta. Hasil ini tidak selaras dengan hasil polifenol dan antioksidan yang menunjukkan kebalikannya. Hal ini diduga disebabkan oleh bakteri gram negatif yang lebih tahan terhadap senyawa hidrofobik (fenol dan tanin) karena senyawa tersebut susah untuk masuk ke membran sel bakteri gram negatif yang mengandung tinggi fosfolipid. Beberapa penelitian menemukan bahwa yang berperan besar di dalam aktivitas antibakteri melawan bakteri gram negatif untuk limbah kopi adalah kafein dan melanoidin. Melanoidin menghambat bakteri melalui mekanisme chelating logam (Duangjai et al., 2016).

Cascara dapat memberikan aktivitas penghambatan pertumbuhan E. coli disebabkan adanya kandungan bahan aktif yang kompleks. Cascara dari limbah

kopi mengandung senyawa asam quinat, asam malat, asam klorogenik, tanin, asam hidroksinamik (termasuk grup hidroksil pada asam klorogenik), dan lebih banyak kafein yang memiliki aktivitas antibakteri (Duangjai et al., 2016). Penelitian Ramirez-Coronel et al., (2004), Al-youssef (2017) dan Ariadi (2013) menyebutkan bahwa di dalam buah kopi memiliki senyawa fenolik berupa flavanols, hydroxycinnamic acid, dan tannin yang terekstrak dalam ekstrak. Suatu bahan mampu untuk menghambat atau membunuh mikroba dikarenakan adanya kandungan garam-garam logam, senyawa fenolik, forlmaldehida, alkohol, dan antibiotik lainnya (Pratama, 2015).

Senyawa fenolik memiliki kemampuan merusak integritas membran biologis mikroorganisme yang mempengaruhi kapasitas penghalang selektif membran dan matriks enzimatik dari mikroorganisme. Senyawa penghambat ini termasuk alkohol, aldehida, keton, dan asam (Al-Yousef & Amina, 2018). Adapun senyawa tannin menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menginaktifkan adhesin mikroba (molekul yang menempel pada inang) yang terdapat pada permukaan sel dan enzim serta menggangu transport protein pada lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding sel yang menyebabkan kerusakan dinding sel, karena tannin merupakan senyawa fenol. Senyawa fenol akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat, dan asam fosfat. Hal ini menyebabkan fosfolipid tidak dapat mempertahankan bentuk membran sel, akibatnya membran akan rusak dan mengalami hambatan pertumbuhan. Aktivitas

Page 81: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

64Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ini sangat selektif ketika bakteri dalam tahap pembelahan, dimana saat lapisan fosfolipid dalam kondisi yang sangat tipis, fenol dapat

berpenetrasi dengan mudah dan merusak isi sel (Pratama, 2015).

Gambar 5. Aktivitas antibakteri ekstrak cascara kopi Robusta dan Arabika

SIMPULANEkstraksi cascara pada suhu 85 oC

dan konsentrasi 2:100 menghasilkan ekstrak dengan kandungan polifenol tertinggi serta aktivitas antioksidan dan antibakteri terbaik. Adapun cascara robusta dari daerah Sumba Barat Daya memiliki kandungan polifenol, aktivitas antioksidan dan antibakteri lebih tinggi dibandingkan dengan cascara arabika dari daerah Subang. Kondisi ekstraksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses pengembangan produk minuman berbasis ekstrak cascara atau produk turunan cascara lainnya sehingga manfaat bahan aktif dari cascara dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA 1. Aisyah, N. S. 2018. Analisis Nilai Tambah

Industri Pengolahan Buah Cherry Kopi (kasus di Mahkota Java Coffee Garut) Nur Syamsi Aisyah. Institut Pertanian Bogor.

2. Al-Yousef, H. M., & Amina, M. 2018. Essential Oil of Coffee arabica L. Husks: A brilliant source of antimicrobial and antioxidant agents. Biomedical Research (India), 29(1), 174–180.

3. Al-youssef, H. M. 2017. Pharmacog-nostic Studies on Coffee Arabica

L . Husks : A Brilliant Source of Antioxidant Agents. European Journal of Pharmacheutical and Medical Research, 4 (1), 86–92.

4. Ariadi, Harri Prasetyo, & Windrati, W. S. 2015. Compound Extraction of Coffee Fruit Cod : Study of Species and Maceration Duration of Coffee. Berkala Ilmiah Pertanian, x, 1–5.

5. Ariadi, Harri Prasetyto. 2013. Ekstraksi Senyawa Antioksidan Kulit Buah Kopi : Kajian Jenis Kopi dan Lama Maserasi. Skripsi, 1–46.

6. Bonilla-Hermosa, V. A., Duarte, W. F., & Schwan, R. F. 2014. Utilization of coffee by-products obtained from semi-washed process for production of value-added compounds. Bioresource Technology, 166, 142–150. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2014.05.031

7. BPS. 2017. Statistik Kopi Indonesia (Indonesian Coffee Statistic) 2017. (S. D. S. T. Perkebunan, Ed.). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

8. BSN. 2014 SNI 3753:2014 Teh Hitam Celup. Indonesia: Badan Standarisasi Nasional.

9. BSN. 2016. SNI 3945: 2016 Teh Hijau. Indonesia: Badan Standarisasi Nasional.

Page 82: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

65Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

10. Cartalade, D., Putaux, J., & Vernhet, A. (2003). Flavan-3-ol Aggregation in Model Ethanolic Solutions : Incidence of Polyphenol Structure , Concentration , Ethanol Content , and Ionic Strength, (12), 1429–1438.

11. Dhianawaty, D., & Ruslin. 2015. Kandungan Total Polifenol dan Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Metanol Akar Imperata cylindrica (L) Beauv. (Alang-alang) Total Polyphenol Content and Antioxidant Activity of Methanol Extract of Imperata cylindrica (L) Beauv. (Alang-alang) Root. Majalah Kedokteran Bandung, 47 (1).

12. Dirjen Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017 Kopi. (D. D. Hendaryati & Y. Arianto, Eds.). Jakarta: Kementrian Pertanian.

13. Duangjai, A., Suphrom, N., Wungrath, J., Ontawong, A., NUengchamnong, N., & Yosboonruang, A. 2016. Comparison of antioxidant, antimicrobial activities and chemical profiles of three coffee (Coffea arabica L.) pulp aqueous extracts. Integrative Medicine Research, 5(4), 324–331. https://doi.org/10.1016/j.imr.2016.09.001

14. Esquivel, P., & Jiménez, V. M. 2012. Functional properties of coffee and coffee by-products. Food Research International, 46(2), 488–495. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.05.028

15. Harahap, M. R. 2018. Aktivitas Daya Hambat Limbah Daging Buah Kopi Robusta (Coffea robusta L.) Aceh terhadap Bakteri S. aureus dan E. coli. Jurnal Kesehatan, 9(April), 93–98.

16. Heeger, A., Kosińska-Cagnazzo, A., Cantergiani, E., & Andlauer, W. 2017. Bioactives of coffee cherry pulp and its utilisation for production of Cascara beverage. Food Chemistry, 221, 969–975. https://doi.org/10.1016/j.food-chem.2016.11.067

17. Jiménez-Zamora, A., Pastoriza, S., & Rufián-Henares, J. A. 2015. Revalorization of coffee by-products. Prebiotic, antimicrobial and antioxi-dant properties. LWT - Food Science and Technology, 61(1), 12–18. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.11.031

18. Kokoska, L., Polesny, Z., Rada, V., Nepo, A., & Vanek, T. 2002. Screening of some Siberian medicinal plants for antimicrobial activity. Jour-nal of Etnopharmacology, 82, 51–53.

19. Kristiandi, W. 2018. Factors Affecting Caffein Content and Acidity of Coffee During Roasting, Grinding and Brewing : A Review. Universitas Katolik Soegijapranata.

20. Kurniawan, F. 2017. Karakterisasi dan Klasifikasi Biji Kopi Java Arabika Berdasarkan Indikator Geografis Menggunakan Metode NIR Spectroscopy dan Analisis Diskriminan. Institute Pertanian Bogor.

21. Marcelinda, A., Ridhay, A., & Prismawiryanti. 2016. The Atioxidant Activity of Husk Coffea (Coffea sp) Extract Base on Various Levels of Polar Solvent. Jurnal of Nature Science, 5(1), 21–30.

22. Molyneux, P. 2004. The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 26(December 2003), 211–219. https://doi.org/10.1287/isre.6.2.144

23. Pratama, E. Y. 2015. Aktivitas Anti-mikroba Ekstrak Daun Buah Ginje (Thevetia peruviana) Terhadap Sta-phylococcus aureus Dan Candida albicans Secara In Vitro. Surakarta.

24. Purwakhdyana, Radesta Kunarto, B., Sani, E. Y., & Pratiwi, E. 2018. Pengaruh Suhu dan Lama Waktu Ekstraksi Terhadap Sifat Kimia Kopi Hijau (Coffea canepora P.). Semarang.

25. Ramirez-Coronel, M. A., Marnet, N., Kolli, V. S. K., Roussos, S., Guyot, S., & Augur, C. 2004. Characterization

Page 83: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

66Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

and Estimation of Proanthocyanidins and Other Phenolics in Coffee Pulp (Coffea arabica) by Thiolysis−High-Performance Liquid Chromatography. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 52(5), 1344–1349. https://doi.org/10.1021/jf035208t

26. Ramirez Martinez, J. R. 1988. Phenolic compounds in coffee pulp: Quantitative determination by HPLC. Journal of the Science of Food and Agriculture, 43(2), 135–144. https://doi.org/10.1002/jsfa.2740430204

27. Rasouli, H., Farzaei, M. H., & Khodarahmi, R. 2017. Polyphenols and their benefits : A review Polyphenols and their benefits : A review Hassan. International Journal of Food Properties, 00 (00), 1–42. https://doi.org/10.1080/10942912.2017.1354017

28. Santoso, U. 2016. Antioksidan Pangan. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

29. Tsao, R. 2010. Chemistry and Biochemistry of Dietary Polyphenols, 1231–1246. https://doi.org/10.3390/nu2121231

30. Valduga, A. T., Gonçalves, I. L., Magri, E., & Finzer, J. R. D. 2018. Chemistry , pharmacology and new trends in traditional functional and medicinal beverages. Food Research International, (May), 1–26. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2018.10.091

31. Widyotomo, S. 2013. Potency and Technology of Coffee Trash Diversification Product to Increase Good Quality and Added Value. Review Penelitian Kopi Dan Kakao, 1(1), 63–80.

32. Zikra, W., Amir, A., & Putra, A. E. 2018. Identifikasi Bakteri Escherichia coli (E. coli) pada Air Minum di Rumah Makan dan Cafe di Kelurahan Jati serta Jati Baru Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 212–216.

Page 84: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

67Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRIPENGOLAHAN SEMI-REFINED KARAGENAN DARI EUCHEUMA SP

SEBAGAI PUPUK CAIR PADA TANAMAN HORTIKULTURAUtilization of Semi-Refined Carrageenan Processing Industry Waste from

Eucheuma sp. as Liquid Fertilizer in Horticultural Crops

Medan Yumas, Justus E Loppies, Eky Yenita Ristanti, dan Dyah Wuri AsriatiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar e-mail: [email protected]

Abstract: Seaweed waste has prospects as liquid fertilizer because it contains growth regulator hormon, and a number of macro and micro nutrients. This research aims to utilize seaweed thallus pieces (Eucheuma sp) as a material for making liquid fertilizer for horticultural crops. Stages of the research were: the manufacture of fermentor tank, preparation of raw materials and formulas, fermentation process, testing and applying fertilizer to the plants. Liquid fertilizer formula consists of 90%, 85%, 80%, 75%, and 70% thallus of seaweed (Eucheuma sp) plus EM4 solution and shrimp paste solution. The fermentation process is carried out in a semi-anaerobically for 30 days. The results showed that liquid fertilzer with the best formula was from the fermentation process with 85% thallus seaweed (Eucheuma sp), 10% EM4 solution, and 5% shrimp paste solution. The best formula has contains auxin 150.94, gibberellins 178.55, cytokinin consisted of kinetin 105.98 and zeatin 127.04), pH 7.15, does not contain patogenic bacteria and has a faster plant growth rate than the other treatments. Despite having a high growth regulator hormon content compared to commercial fertilizer however, micro and macro nutrient elements are still low and does not complied with standards

Keywords: Eucheuma sp, plant growth-regulator hormon, liquid fertilizer, horticultural crops

Abstrak: Limbah rumput laut mempunyai prospek sebagai pupuk cair karena mengandung hormon pemacu tumbuh (HPT), unsur hara makro dan mikro.Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan potongan thallus rumput laut (Eucheuma sp) sebagai bahan pembuatan pupuk cair untuk tanaman hortikultura. Tahapan penelitian meliputi pembuatan alat fermentasi, penyiapan bahan baku penelitian, formulasi, fermentasi, pengujian pupuk cair, dan aplikasi pupuk ke tanaman. Pupuk cair diformulasi dari 90%, 85%, 80%, 75%, dan 70% thallus rumput laut ditambah larutan EM4 dan larutan terasi. Fermentasi dilakukan secara semi-anaerob selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk cair yang terbaik adalah formula dengan perlakuan 85% thallus rumput laut (Eucheuma sp), 10% larutan EM4, dan 5% larutan terasi, dengan kandungan HPT (auksin 150,94, giberelin 178,55, sitokinin terdiri dari kinetin 105,98 dan zeatin 127,04), pH 7,15, tidak mengandung bakteri patogen dan memiliki laju pertumbuhan tanaman lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya. Jumlah kandungan HPT lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah yang terkandung dalam pupuk cair rumput laut komersial. Namun unsur hara makro dan mikro yang terdapat pada pupuk cair jumlahnya sedikit dan belum memenuhi standar.

Kata kunci: Eucheuma sp, hormon pemacu tumbuh (HPT), pupuk cair, tanaman hortikultura

PENDAHULUAN Indonesia termasuk negara penghasil

rumput laut terbesar di dunia, namun pemanfaatan rumput laut di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan pemanfaatan rumput laut di negara lain seperti Jepang, Korea dan Cina. Rumput laut tidak hanya dimanfaatkan sebagai makanan sehari–hari, tetapi juga dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan lainnya seperti obat–obatan, zat aditif pada makanan,

kosmetika, pupuk organik, hingga pakan ternak. Namun, di Indonesia, rumput laut masih belum dimanfaatkan secara optimal di dunia industri. Rumput laut masih lebih sering digunakan secara langsung sebagai bahan makanan terutama bagi warga yang tinggal di daerah pesisir. Di beberapa negara di dunia, aplikasi pemanfaatan rumput laut untuk tanaman pertanian telah lama dilakukan, seperti liquid seaweed fertilizer (LSF), seaweed liquid fertilizer (SLF), liquid

Page 85: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

68Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

laut jenis Eucheuma sp mengandung hormon pemacu tumbuh (HPT) antara lain auksin, giberelin, dan sitokinin yang terdiri dari kinetin dan zeatin. Jensen, A. (1993); Jimenez-Escrig dan Goni (1999) mengatakan bahwa Rumput laut jenis Eucheuma sp diduga mengandung unsur hara makro yaitu kalsium, mangan dan potassium serta mengandung unsur hara mikro yang terdiri dari zink, besi, cobalt, molibdate, boron, dan lain-lain. Sedangkan menurut Basmal (2010), rumput laut mengandung unsur hara mikro yang terdiri dari; N 1%, Pospor 0,05%, Kalium 10%, Magnesium 0,80%, Sulfur 3,70%, Tembaga 5 ppm, Besi 1200 ppm, Mangan 12 ppm, Seng 0 ppm, Boron, 80 ppm, senyawa organik 50–55% dan Abu, 45–50%. Melihat kandungan unsur hara mikro, makro, dan hormon pemacu tumbuh yang terdapat pada rumput laut, mendorong dilakukannya penelitian pembuatan pupuk organik cair berbasis rumput laut, dengan tujuan mengetahui efek penggunaan pupuk organik dari limbah industri pengolahan semi refined keragenan dari Eucheuma sp terhadap pertumbuhan tanaman pertanian (hortikultura) khususnya tanaman lombok dan tomat.

Pemanfaatan limbah padat (Eucheu-ma sp) berupa potongan-potongan thallus berukuran kecil, hasil sortiran dan pencucian oleh industri sebagai pupuk organik cair diharapkan dapat mengurangi limbah sisa olahan rumput laut sekaligus sebagai alternatif pemecahan permasalahan lingkungan yang dihadapi industri pengola-han rifene karagenan. Beberapa metode pembuatan pupuk cair rumput laut telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah ekstraksi cairan rumput laut segar secara fisik, maupun ekstraksi dengan mengunakan alkali (Basmal, 2010; Sedayu et al., 2013).

Pembuatan pupuk organik cair dari limbah padat rumput laut menggunakan EM4 dan terasi sebagai bioaktivatornya. Bioaktivator EM4 dan terasi berpengaruh terhadap penguaraian senyawa komplek yang terdapat pada rumput laut menjadi senyawa sederhana melalui proses

fertilizer (LF), dan chopped powdered algal manure yang umum beredar di pasaran (Sedayu et al., 2013).

Penggunaan jenis pupuk organik akhir ini terus meningkat disebabkan oleh dampak negatif terhadap ekosistem pertanian yang timbul akibat meningkatnya intensitas pemakaian pupuk kimia dari waktu ke waktu (Sedayu, et.al., 2014). Pupuk kimia relatif lebih mudah didapatkan di pasaran namun demikian harganya relatif mahal (Dewanto et al., 2013) dan kurang ramah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia terbukti telah menimbulkan masalah serius, antara lain pencemaran tanah dan air, penurunan tingkat kesuburan tanah, dan ketergantungan petani secara ekonomi dan sosial (Udiyani & Setiawan, 2003). Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga memiliki dampak berbahaya terhadap kesehatan manusia (Camargo & Alonso, 2006). Pemberian pupuk organik mampu memperbaiki sifat-sifat tanah seperti sifat fisik, kimia dan biologi. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas, sumber hara tanaman, dan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Selain itu penggunaan pupuk organik juga dinilai mampu mengurangi aplikasi pupuk anorganik yang berlebihan (Amilia, 2011).

Pengolahan rumput laut pada industri pengolahan semi-refine karagenan menghasilkan limbah padat berupa batang thallus yang pendek berwarna kusam sisa sortiran dan pencucian. Limbah yang dihasilkan oleh pabrik dibiarkan menumpuk di lokasi penimbunan sehingga menimbulkan bau tidak sedap yang mencemari lingkungan. Limbah padat hasil sortiran rumput laut dalam bentuk tallus yang rusak atau patah dan rumput laut yang berwarna kusam mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan pupuk organik cair karena keunggulannya yang kaya akan unsur hara mikro, kaya kandungan hormon pengatur tumbuh, dan ramah terhadap lingkungan. Menurut Sedayu et.al (2014), Basmal (2009) dan Mooney & Van Staden (1985) bahwa rumput

Page 86: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

69Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

fermentasi. Bioaktivator EM4 mengandung beberapa mikroorganisme bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.), Jamur fermentasi (Saccharomyces sp), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.) dan Actinomycetes sebagai mikroba pengurai.

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah padat (Eucheuma sp) sisa sortiran dan pencucian, industri pengolahan refine karagenan sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair untuk tanaman hortikultura yaitu cabai (Capsicum sp) dan tomat (Solanum lycopersicum). Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk pengembangan teknologi pembuatan pupuk organik cair yang memanfaatkan limbah padat dari industri pengolahan rumput laut (semi- refined karagenan). .

METODOLOGIWaktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-November 2016 di Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar Kementerian Perindustrian.

Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi; potongan thallus rumput laut (Eucheuma sp) yang diperoleh dari PT. Wahyu Putra Bimasakti, EM4, dan terasi. Selain itu digunakan bahan lain untuk menguji efektifitas pupuk organik cair yang dihasilkan melalui aplikasi pada tanaman yang terdiri dari; bibit cabai, bibit tomat dan bahan-bahan untuk penyiapan media tumbuh yang meliputi; plastik polibag, tanah gembur, dan wadah penyamaian.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah drum komposter, HPLC Water 2487, UV-Vis, pisau stainlessteel, plastik polibag, balok kayu 4x5 4 meter, bambu 6 meter, terpal 4 m x 3 m, papan 4 m, tanah, jerigen kemasan pupuk cair, jerigen pengambilan sampel, timbangan kapasitas 5 kg, dan waskom.

Metode PenelitianPenelitian ini terdiri dari beberapa

tahapan yaitu penyiapan bahan baku penelitian, perlakuan penelitian, pembuatan pupuk cair melalui fermentasi secara semi-anaerob selama 30 hari, analisa pupuk cair, dan aplikasi penggunaan pupuk cair pada tanaman hortikultura yaitu cabai (Capsicum sp) dan tomat (Solanum lycopersicum).

a. Penyiapan Bahan Baku PenelitianPotongan thallus rumput laut

(Eucheuma sp) sisa sortiran dan pencucian, dicuci bersih untuk menghilangkan lengketan cangkang kerang, pasir, butiran-butiran garam, lumpur, tali rafiah, dan kotoran lain yang menempel. Setelah dicuci bersih, rumput laut diperkecil ukurannya menggunakan pisau. Rumput laut yang telah diperkecil ukurannya, direbus hingga membentuk bubur rumput laut. Setelah terbentuk bubur rumput laut didinginkan pada suhu ruang. Bubur rumput laut yang telah dingin dimasukkan ke dalam tangki fermentor, dilakukan fermentasi atau pengomposan dengan penambahan larutan EM4 dan larutan terasi. Larutan EM4 yang mengandung beberapa jenis bakteri (Lactobacillus, jenis jamur fermentasi, dan Actinomycetes) diencerkan dalam air dengan konsentrasi 1,75%. Sedangkan larutan terasi dibuat dari terasi yang ditambahkan air dengan konsentasi 0,1%.

b. Perlakuan Penelitian Perlakuan pada penelitian ini adalah

penggunaan limbah rumput laut hasil sortiran dan pencucian dan bahan tambahan lainnya yaitu EM4 yang merupakan varibel perubah atau variable tidak tetap, sedangkan bahan tambahan lainnya yaitu terasi merupakan variabel tetap (konstan). Perlakuan peneli-tian ini ada 5 yaitu:

A : Potongan thallus Eucheuma sp: larutan EM4: larutan terasi (90%: 5%: 5%)

Page 87: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

70Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

B : Potongan thallus Eucheuma sp: larutan EM4:larutan terasi (85%:10%:5%)

C : Potongan thallus Eucheuma sp:larutan EM4:larutan terasi (80%:15%:5%)

D : Potongan thallus Eucheuma sp:larutan EM4:larutan terasi (75%:20%:5%)

E : Potongan thallus Eucheuma sp:larutan EM4:larutan terasi (70%:25%:5%)

c. Proses Pembuatan Pupuk Cair Bubur rumput laut yang telah dingin

dimasukkan ke dalam tangki fermentor,

kemudian disemprotkan larutan EM4 dan larutan terasi sambil diaduk hingga merata. Tangki fermentor ditutup rapat, lalu didiamkan selama 30 hari sampai menghasilkan lindi atau pupuk organik cair. Pupuk organik cair yang dihasilkan dikeluarkan melalui kran pengeluaran selanjutnya ditampung dan dikemas ke dalam botol kemasan untuk dianalisis dan diujicobakan ke tanaman cabai (Capsicum sp) dan tomat (Solanum lycopersicum). Adapun proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah padat (Eucheuma sp) dapat dilihat pada Gambar 1.

Potongan thallus rumput laut (Eucheuma sp)

Pembersihan dan perkecil ukuran

Pemasakan/perebusan

Bubur Rumput Laut

Bubur rumput laut + Larutan EM4 + larutan terasi Fermentasi (Pengomposan) selama 30 hari

Pupuk Organik Cair

Uji Kualitas Pupuk Organik Cair dan Aplikasi pada Tanaman Cabai (Capsicum sp) dan tomat (Solanum lycopersicum)

Gambar 1. Bagan proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah padat rumput laut (Eucheuma sp)

d. Analisa pupuk organik cairAnalisis pupuk organik cair meliputi: pH

dengan metode potensiometri, zat pengatur tumbuh (auksin, sitokinin, dan giberelin) dengan metode HPLC, unsur hara makro Nitrogen dengan metode Kjeldahl, unsur hara makro (P2O5 total, K2O total, P, dan K) dengan metode HCLO4-NHO3, serta unsur hara makro (Ca, Magnesium, dan Mangan)

dengan metode AAS. Unsur hara mikro (zink, besi, cobalt, dan boron) dengan metode ASS. Sedangkan untuk analisa kandungan bakteri patogen yaitu Escherchia coli dan Salmonella sp menggunakan metode MPN.

e. Aplikasi pupuk organik cair ke tanaman cabai (Capsicum sp) dan tomat (solanum lycopersicum

Page 88: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

71Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu penyediaan media penyamaian benih tanaman cabai dan tanaman tomat, melakukan persemaian benih cabai dan tomat ke tempat penyamaian selama dua minggu. Benih yang telah berusia 14 hari dipindahkan ke media tanam (polibag) dan ditempatkan pada tempat yang terlindung dari terik matahari. Penyiraman tanaman cabai dan tomat dengan larutan pupuk organik cair dilakukan setiap tiga hari sekali, dengan perbandingan antara pupuk organik cair dengan air yaitu 1:150 dengan waktu penyiraman dilakukan pada sore hari. Pengamatan dan pengukuran dilakukan setiap 7 (tujuh) hari dalam seminggu selama 8 minggu atau 56 hari (0, 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 hari). Parameter yang diamati dan diukur meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun dengan 3 kali ulangan sampel. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tanaman tomat dan tanaman cabai untuk masing-masing perlakuan pupuk organik

cair dan kontrol diolah secara statistik. Analisis data menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilakukan uji lanjutan apabila Fhitung>FTabel pada taraf kepercayaan 95% dan 99% menggunakan uji Beda Nyata Jujur (Steel dan Torie 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pupuk Organik Caira. Hormon Pemacu Tumbuh (HPT)

Hormon pemacu tumbuh (HPT) merupakan hormon yang merangsang pertumbuhan tanaman dalam meningkatkan jumlah daun per tanaman, luas daun, berat daun dan batang, serta berbuah atau berbunga lebih cepat, lebih banyak atau lebih besar. Hormon pemacu tumbuh salah satu parameter penentu kualitas pupuk organik cair yang dihasilkan, meliputi: auksin, sitokinin, giberelin, dan etilen.

Kandungan hormon pemacu tumbuh (HPT) dalam pupuk organik cair untuk masing-masing perlakuan dan pH dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Hormon Pemacu Tumbuh (HPT) dan pH pada Pupuk Organik Cair dari Rumput Laut dengan Teknik Pengomposan

No. Zat Pengatur

TumbuhPupuk Cair Rumput Laut P u p u k

KomersialA B C D E1 Auksin (IAA)

(ppm)136,45 150,94 139,27 127,91 133,44 130

2 Giberelin (ppm) 141,27 178,55 165,72 135,77 146,22 1223 Sitokinin

- Kinetin (ppm) 94,12 105,98 106,33 89,37 90,71 61

- Zeatin (ppm) 115,39 127,04 125,01 120,04 119,94 674 Etilen (ppm) 9,86 14,18 10,67 9,02 9,72 -5 pH 6,40 7,15 7,04 5,25 5,13 -

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kualitas pupuk organik cair yang dihasilkan dari proses pengomposan menggunakan larutan EM4 dan larutan terasi. Kisaran kandungan hormon auksin yang dihasilkan kelima sampel uji yaitu 127,91 ppm – 150,94 ppm (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa kandungan hormon

auksin dan giberelin pupuk organik cair tertinggi diperoleh pada perlakuan B, masing-masing sebesar 150, 94 ppm dan 178,55 ppm, dan berbeda nyata dengan perlakuan A, perlakuan C, perlakuan D, dan perlakuan E pada taraf kepercayaan 95% dan 99%. Kandungan hormon auksin dan giberelin pupuk organik cair yang dihasilkan dari ke lima

Page 89: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

72Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

perlakuan hasil fermentasi (pengomposan) memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk cair komersial yaitu 130 ppm dan 122 ppm (Sedayu et al., 2014). Untuk kandungan sitokinin dilihat dari kinetin dan zeatin antara perlakuan B dan perlakuan C tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan A, perlakuan D, dan perlakuan E pada taraf kepercayaan 95% dan 99% (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan kandungan sitokinin yang dilihat dari kinetin dan zeatin pupuk organik rumput laut komersial sebesar 61 ppm dan 67 ppm (Sedayu et.al., 2014), maka kandungan sitokinin yang terdapat pada pupuk organik cair hasil fermentasi (pengomposan) untuk semua perlakuan diperoleh hasil yang lebih tinggi. Tingginya kandungan auksin, giberelin, dan sitokinin pada perlakuan B disebabkan jumlah persentasi rumput laut (Eucheuma sp) yang digunakan lebih banyak dibandingkan presentasi larutan EM4 yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah jumlah limbah padat (Eucheuma sp) yang digunakan seimbang dengan jumlah mikroba pengurai yang terdapat di dalam EM4 saat proses fermentasi (pengomposan) berlangsung, sehingga proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroba pengurai bekerja dengan sempurna. EM4 mengandung beberapa mikroba pengurai, menyebabkan terjadinya hidrolisis dinding sel limbah padat rumput laut menjadi lindi (pupuk cair). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat persaingan diantara mikroba pengurai pada saat proses pengomposan berlangsung, sehingga proses fermentasi atau pengomposan telah terjadi secara sempurna. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basmal (2009) dan Mooney & Van Staden (1985) bahwa rumput laut mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) antara lain auksin, sitokinin, giberilin, asam absisat dan etilen. Dilaporkan oleh Sedayu et.al., (2014) bahwa rumput laut mengandung auksin (144-1128 ppm), giberelin (130-1552 ppm), dan sitokinin yang terdiri dari kinetin (58-65 ppm) dan zeatin (65-86 ppm). Han

(2006) dan Basmal (2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kandungan hormon pengatur tumbuh yang diperoleh dari masing-masing hasil penelitian. Terjadinya perbedaan kandungan auksin yang diperoleh dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, fase pengemban rumput laut, umur tanam rumput laut, dan faktor musim. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Mooney dan Van Staden (1984) bahwa perbedaan kandungan hormon pemacu tumbuh (HPT) pada rumput laut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor musim dan fase perkembangan rumput laut.

Kandungan etilen pada pupuk organik cair berkisar 9,02 ppm-14,18 ppm, dan tertinggi diperoleh pada perlakuan B sebesar 14,118 ppm. Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa perlakuan B berbeda nyata dengan keempat perlakuan lainnya terhadap kandungan etilen pada pupuk organik hasil pengomposan, sedangkan antara perlakuan A, perlakuan C, perlakuan D, dan perlakuan E, tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukan bahwa keseimbangan antara jumlah limbah padat (Eucheuma sp) yang digunakan dengan ketersediaanya mikroba pengurai yang terdapat pada EM4 pada proses pengomposan berpengaruh terhadap terbentuknya etilen pada pupuk organik cair. Sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang telah membuktikan bahwa terdapat interaksi antara etilen dan auksin pada proses pembengkakan dan perakaran dengan cara mengaplikasikan auksin pada jaringan setelah etilen berperan. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran auksin dapat menstimulasi produksi etilen. Etilen sendiri sangat berperan pada proses pembentukan bunga dan pada proses pematangan buah.

Nilai pH untuk semua perlakuan pada pupuk organik cair yang diolah menggunakan limbah padat (Eucheuma sp) dengan bioaktivator EM4 mendekati netral sampai netral yaitu berkisar antara 5,13-7,15 (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sundari et.al., (2014); Basmal et.al., (2014); dan Sedayu, et.al., (2014) bahwa nilai pH pupuk

Page 90: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

73Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

organik yang terbaik ada pada kisaran 6-10. Perubahan nilai pH menjadi netral disebabkan karena adanya reaksi asam-basa yang terbentuk antara limbah padat (Eucheuma sp) yang bersifat basa dengan biaktivator EM4 yang bersifat asam. pH pada pupuk organik sangat penting peranannya dalam hal penyerapan ion-ion unsur hara oleh tanaman. Umumnya unsur hara sangat efektif diserap oleh tanaman pada pH 6-7,

karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara akan mudah larut dalam air.

b. Kandungan Unsur Hara Makro dan MikroKandungan unsur hara makro dan

mikro dalam pupuk organik cair untuk masing-masing perlakuan terhadap rumput laut yang difermentasi secara anaerob dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Makro dan Mikro pada Pupuk Organik Cair dari Masing-Masing Perlakuan terhadap Rumput Laut dengan Teknik Pengomposan

No. Parameter Unit PerlakuanA B C D E

Unsur Hara Makro1. C-Organik % 1,26 1,45 1,22 0,53 0,272. N-Total % 0,11 0,21 0,13 0,09 0,103. P2O5 Total % 0,1744 0,2337 0,2143 0,1234 0,18004. K2O Total % 0,71338 1,1178 0,81411 0,34397 0,393745. Pospor (P) % 0,01021 0,00761 0,00936 0,00539 0,007866. Kalium (K) % 0,31152 0,78412 0,35551 0,15021 0,171947. Kalsium (Ca) % 0,00314 0,00399 0,00279 0,00707 0,000518. Magnesium (Mg) % 0,00392 0,00279 0,00458 0,00353 0,00147

Unsur Hara Mikro9. Mangan (Mn) % 0,00069 0,00030 0,00050 0,00 0,00030

10. Zink (Zn) % 0,00 0,00069 0,0001 0,00 0,0011. Kobalt (Co) % 0,00010 0,00089 0,00098 0,00020 0,0004912. Borron (B) % 0,00354 0,00540 0,0030 0,00108 0,0030313. Timbal (Pb) % 0,00 0,00 0,00 0,00 0,0014. Fe Total % 0,0060 0,0070 0,0054 0,0041 0,003915. Fe-Tersedia % 0,0009 0,0002 0,0001 0,0008 0,0001

Hasil analisis unsur hara makro menunjukkan bahwa kadar C-organik banyak diperoleh pada perlakuan B sebesar 1,45%, dibandingkan perlakuan lainnya. Namun C-organik tersebut belum memenuhi standar kandungan C-organik yang dipersyaratkan ada di dalam pupuk organik cair yaitu minimum 6% (Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011).

Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan

terhadap unsur hara C-organik yang terdapat pada pupuk organik cair hasil pengomposan tidak berbeda nyata antara perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada pengomposan tidak meningkatkan kandungan unsur hara C-organik pada pupuk organik hasil pengomposan. Rendahnya kadar C-organik yang dihasilkan untuk ke lima perlakuan disebabkan adanya penambahan EM4 yang merupakan sumber mikroorganisme pengurai yang dapat memecah senyawa organik lainnya seperti protein dan

Page 91: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

74Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

karbohidrat menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana selama proses fermentasi berlangsung.

Mikroorganisme pengurai yang terdapat pada EM4 menggunakan karbon sebagai sumber energi dalam proses dekomposisi bahan organik selama proses fermentasi. Menurut Yulipriyanto (2010) bahwa selama proses fermentasi bahan-bahan organik mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme heterotropik yaitu bakteri, fungi, aktinomisetes, dan protozoa dimana karbon merupakan sumber energi bagi mikroorganisme.

Hasil analisis kadar nitrogen pada pupuk organik cair sebagai unsur hara makro menunjukkan bahwa kadar nitrogen banyak diperoleh pada perlakuan B sebesar 0,21%, dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 2). Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap peningkatan kadar nitrogen (N) pada pupuk organik cair hasil pengomposan tidak berbeda nyata diantara perlakuan. Ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada pembuatan pupuk organik melalui pengomposan tidak meningkatkan kandungan unsur hara nitrogen (N) pada pupuk organik cair hasil pengomposan atau fermentasi. Kadar nitrogen (N) untuk ke lima perlakuan (Tabel 2), belum memenuhi standar kandungan kadar nitrogen yang terdapat di dalam pupuk organik cair minimum 1,50% (Basmal, 2014) dan 3-6% (Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011). Rendah-nya kadar nitrogen yang dihasilkan untuk kelima perlakuan selama proses fermentasi berlangsung diduga karena tidak maksimalnya bakteri nitritfikasi merubah amoniak menjadi nitrat pada akhir proses fermentasi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah mikroorganisme selaku penyumbang protein sel tunggal hasil proses fermentasi, setelah proses pembusukan selesai tidak maksimal melepaskan nitrogen sebagai salah satu komponen yang terkandung dalam pupuk. Hal ini diperkuat oleh Sutedjo

(2002), bahwa berbagai jenis unsur hara nitrogen (N) sebagai hasil dari penguraian bakteri akan terikat dalam tubuh jasad renik dan akan kembali setelah jasad renik mati.

Jumlah unsur hara makro P2O5 dan K2O yang terkandung di dalam pupuk organik cair hasil fermentasi (pengomposan) untuk semua perlakuan memiliki nilai yang rendah dengan kisaran untuk P2O5 yaitu 0,1234%-0,23375% dan untuk K2O yaitu 0,34397%-1,1178%. Hasil analisis kadar unsur hara makro P2O5 dan K2O yang terkandung di dalam pupuk organik cair hasil fermentasi (pengomposan) untuk semua perlakuan menunjukkan bahwa kadar P2O5 dan K2O banyak diperoleh pada perlakuan B masing-masing sebesar 0,23375% dan 1,1178%, dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 2). Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap kadar P2O5 yang terdapat pada pupuk organik cair hasil pengomposan tidak berbeda nyata diantara perlakuan. Ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada pembuatan pupuk organik cair melalui fermentasi (pengomposan) tidak menambah kandungan unsur hara makro P2O5 pada pupuk cair tersebut. Sedangkan kadar unsur hara makro K2O pada perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Ini menunjukkan bahwa ada pengaruh perlakuan terhadap peningkatan unsur hara makro K2O pada pupuk organik cair hasil fermentasi. Namun secara keseluruhan unsur hara makro P2O5 dan K2O yang terdapat di dalam pupuk organik cair hasil fermentasi untuk ke lima perlakuan (Tabel 2), belum memenuhi standar kandungan kadar unsur hara makro P2O5 dan K2O yang terdapat di dalam pupuk organik cair berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu 3-6%. Walaupun unsur-unsur makro P2O5 dan K2O tidak memenuhi syarat, namun sangat berperan dalam mendukung aktivitas mikroba dalam proses fermentasi.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah unsur hara makro pada pupuk cair rumput

Page 92: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

75Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

laut hasil pengomposan yang meliputi Posfor (P), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) memiliki nilai yang sangat rendah bahkan cenderung keberadaannya tidak terdapat di dalam pupuk organik cair kecuali unsur hara makro Kalium (K). Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap setiap unsur hara makro yang meliputi Pospor (P), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) yang terdapat pada pupuk organik cair hasil pengomposan tidak berbeda nyata diantara perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada pengomposan tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah unsur hara makro yaitu Pospor (P), Kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg) pada pupuk organik cair hasil pengomposan. Sedangkan unsur hara makro yang lainnya yaitu Kalium (K) pada pupuk organik cair Eucheuma sp kelima perlakuan menunjukkan bahwa kadar kalium tertinggi diperoleh pada perlakuan B dengan nilai 0,78412%. Tingginya kadar kalium (K) pada perlakuan B dibandingkan perlakuan lainnya (A, C, D, dan E) diduga bahwa proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme dekomposer bekerja secara efektif karena terjadi keseimbangan antara jumlah bahan yang akan diurai dengan mikroba pengurai, sehingga proses fermentasinya berjalan secara sempurna. Hal ini diperkuat oleh Novizan (2005) bahwa terjadi peningkatan beberapa jenis unsur hara oleh jasad renik terutama nitrogen, fosfor, dan kalium. Lanjut Hidayati (2013) yang mengatakan bahwa kalium (K2O) digunakan oleh mikroorganisme dalam bahan substrat sebagai katalisator, dengan kehadiran bakteri dan segala aktifitasnya akan sangat berpengaruh terhadap kandungan kalium dalam pupuk organik cair. Hasil analisis statistik data kadar kalium (Tabel 2) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata kelima perlakuan terhadap kadar kalium pada pupuk organik cair. Jika merujuk kepada Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/ SR.140/10/2011 bahwa

kadar kalium yang dipersyaratkan pada pupuk organik cair yaitu 3-6%, maka kadar kalium yang terkandung pada pupuk organik cair untuk kelima perlakuan belum memenuhi persyaratan. Meski demikian kadar kalium yang terdapat pada pupuk organik cair rumput laut pada semua perlakuan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar kalium dalam pupuk organik cair hasil penelitian Sedayu et al (2014) yaitu 1.7 x 10-5 % (Eucheuma cattonii), 4.5 x 10-4 % (Gracillaria sp), 7.8 x 10-5% (Sargassum sp) dan hasil penelitian Pancapalaga dan Wehandaka, (2011) dengan pupuk yang berasal dari kotoran ternak yaitu 0,17%.

Secara umum kandungan unsur hara mikro meliputi Mangan (Mn), Zink (Zn), Kobalt (Co), Borron (B), Timbal (Pb), Fe total, dan Fe-tersedia pada semua perlakuan memiliki nilai yang rendah (Tabel 2) bahkan cenderung keberadaannya tidak terdapat di dalam pupuk organik cair dan belum memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/ SR.140/10/2011. Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap setiap unsur hara mikro yang meliputi Mangan (Mn), Zink (Zn), Kobalt (Co), Borron (B), Timbal (Pb), Fe total, dan Fe-tersedia (Tabel 2) yang terdapat pada pupuk organik cair hasil pengomposan tidak berbeda nyata diantara perlakuan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada pengomposan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan jumlah unsur hara mikro yaitu Mangan (Mn), Zink (Zn), Kobalt (Co), Borron (B), Timbal (Pb), Fe total, dan Fe-tersedia pada semua perlakuan pada pupuk organik cair hasil pengomposan. Basmal (2014) menyebutkan kebutuhan unsur Fe dalam tanaman sebesar 0,01%, ini menunjukkan bahwa walaupun pada perlakuan B nilai Fe yang tertinggi sebesar 0,0070%, namun belum memenuhi kebutuhan untuk tanaman bahkan belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/ SR.140/10/2011. Peran

Page 93: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

76Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Fe dalam tanaman membantu proses pembentukan protein dan sebagai katalisator pembentukan idorofil namun pemberian pupuk dengan kandungan Fe berlebihan dapat menyebabkan terjadinya nekrosis yang ditandai dengan munculnya bintik-bintik hitam pada daun oleh sebab itu diperlukan dosis yang tetap untuk tanaman tertentu.

Identifikasi Kandungan Bakteri PatogenKandungan bakteri patogen dalam

pupuk organik cair Eucheuma sp untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Kandungan Bakteri Patogen pada Pupuk Organik Cair dari Masing-Masing Perlakuan terhadap Rumput Laut dengan Teknik Pengomposan

No. Parameter Unit PerlakuanA B C D E

1. Eschercia coli APM/mil < 3 < 3 < 3 < 3 < 32. Samonella sp AMP/mil < 3 < 3 < 3 < 3 < 3

.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada semua perlakuan tidak mengandung bakteri patogen (Eschercia coli dan Samonella sp) sehingga bakteri yang bersifat menguntungkan selama proses fermentasi tidak terganggu oleh keberadaan bakteri patogen. Hal ini diduga karena adanya peran dari bioaktivator yang dapat menekan laju pertumbuhan bakteri patogen sehingga populasi bakteri patogen tidak dapat berkembang. Dengan tidak adanya bakteri patogen pada pupuk organik cair yang dihasilkan maka pupuk tersebut tidak berbahaya apabila diaplikasikan pada tanah atau tanaman. Menurut Sundari, et al (2012) bahwa bioaktivator jenis EM4 dapat menekan pertumbuhan patogen dengan asam laktat yang dihasilkan, mempercepat fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara dan senyawa organik pada tanaman. Bakteri patogen dapat menghambat aktivitas bakteri pengurai, keberadaan bakteri patogen di dalam pupuk organik cair sangat berbahaya apabila pupuk organik cair diaplikasikan pada tanaman dan bakteri patogen terbawa oleh tanaman hingga terkonsumsi manusia. Hal ini diperkuat oleh Djojoningrat (2006)

dalam Sundari, et al (2014) bahwa bakteri patogen Eschercia coli dan Samonella sp dapat menyebabkan diare.

Menurut Peraturan Menteri Pertanian N o . 2 8 / P e r m e n t a n / S R . 1 3 0 / 5 / 2 0 0 9 , persyaratan teknis minimal bakteri patogen Eschercia coli dan Samonella sp adalah nol pada pengenceran 10-3 dengan metode MPN-Durham. Dengan mengacu ke Peraturan Menteri Pertanian maka pupuk organik cair hasil penelitian untuk semua perlakuan memenuhi persyaratan teknis minimal.

Aplikasi Pupuk Organik Cair Terhadap Tanaman Cabai (Capsicum sp) dan Tanman Tomat (Solanum lycopersicum).

Pengamatan terhadap tanaman cabai (Capsicum sp) dan tomat (Solanum lycopersicum) yang diberikan pupuk organik cair dari limbah hasil sortiran dan pencucian rumput laut Eucheuma sp yang melalui proses fermentasi meliputi: tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, dan jumlah daun. Hasil pengamatan dan pengukuran terhadap tanaman cabai dan tomat dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7.

Page 94: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

77Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 4. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Rerata Tinggi dan Jumlah Daun Tanaman Cabai (Capsicum Sp)

No. Parameter Minggu ke

PerlakuanA B C D E Kontrol

1. Tinggi (cm)

I 1,9 2,8 2,0 1,4 1,5 0,7II 2,8 3,9 3,1 2,4 2,4 1,5III 3,2 4,6 3,6 2,9 3,1 2,0IV 4,3 6,3 5,2 3,6 3,7 2,4V 5,5 8,5 6,5 4,0 4,5 3,2VI 7,0 10,4 8,2 5,2 5,8 4,4VII 8,8 13,7 9,6 7,2 7,0 5,6VIII 11,5 16,5 13,1 9,5 9,2 6,2

Rata-rata 5,63 8,34 6,41 4,53 4,65 3,25

2. Jumlah daun (Helai)

I 2 3 2 2 2 2II 2 4 2 2 2 2III 3 4 3 3 3 2IV 4 5 4 4 3 3V 5 6 5 4 4 4VI 6 9 6 5 6 4VII 8 12 9 7 7 5VIII 9 14 11 8 8 5

Rata-rata 5 7 5 4 4 3

Tabel 5. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Rerata Pertambahan Panjang dan Lebar Daun Tanaman Cabai (Capsicum Sp) selama 8 Minggu

No. Parameter Minggu ke PerlakuanA B C D E Kontrol

1. Panjang daun (cm)

I 1,1 1,3 1,2 0,9 1,0 0,7II 1,2 1,4 1,3 0,9 1,1 0,7III 1,3 1,9 1,5 0,9 1,1 0,7IV 2,1 2,7 2,4 1,9 2,0 1,2V 2,3 3,1 2,7 2,3 2,5 1,9VI 3,2 4,5 3,4 2,6 2,7 2,0VII 4,1 6,3 4,5 3,3 3,4 2,7VIII 6,5 9,5 7,0 5,0 4,8 3,5

Rata-rata 2,70 3,84 3,0 2,23 2,33 1,68

2. Lebar daun (cm)

I 0,7 1,5 0,9 0,5 0,5 0,3II 0,9 1,8 1,3 0,6 0,7 0,5III 1,2 2,1 1,7 0,7 0,8 0,5IV 1,8 2,5 2,0 1,0 1,1 0,9V 2,0 2,7 2,3 1,3 1,4 1,0VI 3,0 3,8 3,4 2,0 2,0 1,3VII 3,5 4,4 3,7 2,7 2,7 1,9VIII 4,2 6,5 4,8 3,0 3,2 2,5

Rata-rata 2,16 3,16 2,51 1,48 1,55 1,11

Page 95: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

78Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 6. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Rerata Tinggi dan Jumlah Daun Tanaman Tomat (Solanum Lycopersicum)

No. Parameter Minggu ke

PerlakuanA B C D E Kontrol

1. Tinggi (cm)

I 2,4 3,8 2,0 1,7 2,1 1,1II 4,8 6,9 3,2 3,0 3,5 2,2III 6,5 8,7 4,7 4,5 4,9 3,8IV 7,9 10,2 6,0 5,7 6,1 4,2V 8,8 12,7 7,4 7,0 7,8 4,8VI 13,5 20,8 10,9 10,2 9,3 5,9VII 19,0 27,0 16,0 15,5 12,2 9,0VIII 30,0 40,5 23,0 21,0 19,5 16,0

Rata-rata 11,61 16,33 9,15 8,58 8,18 5,88

2. Jumlah daun (Helai)

I 2 4 2 2 2 2II 4 8 4 4 4 4III 6 10 5 5 6 4IV 6 12 5 5 5 4V 8 16 9 9 9 5VI 17 25 19 10 10 7VII 36 42 38 11 12 8VIII 40 48 42 22 21 14

Rata-rata 15 21 16 9 9 6

Tabel 7. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Rata-Rata Panjang dan Lebar Daun Tanaman Tomat (Solanum Lycopersicum)

No. Parameter Minggu ke PerlakuanA B C D E Kontrol

1. Panjang daun (cm)

I 0,8 1,1 0,9 0,7 0,8 0,7II 1,5 1,9 1,2 1,0 1,2 1,0III 1,9 2,5 1,5 1,3 1,8 1,3IV 2,4 3,0 2,0 1,8 2,1 1,5V 2,7 3,5 2,3 2,1 2,5 1,7VI 3,2 5,2 3,1 3,0 3,0 2,0VII 4,1 7,0 3,5 3,3 3,4 2,6VIII 6,5 8,0 5,0 4,5 4,0 3,5

Rata-rata 2,89 4,03 2,44 2,21 2,35 1,79

2. Lebar daun (cm)

I 0,8 1,0 0,8 0,7 0,8 0,5II 1,2 1,7 1,1 1,1 0,9 0,7III 1,9 2,3 1,3 1,2 1,0 1,1IV 2,1 2,8 1,9 1,5 1,3 1,2V 2,4 3,4 2,1 1,8 1,7 1,4VI 2,8 3,9 2,5 2,0 1,9 1,6VII 3,3 4,2 2,8 2,5 2,6 2,0VIII 4,0 4,7 4,0 4,0 3,3 2,5

Rata-rata 2,31 3,0 2,06 1,85 1,69 1,38

Hasil pengamatan dan pengukuran terhadap tanaman tomat dan tanaman cabai (Tabel 4, 5, 6, dan 7) menunjukkan bahwa, secara umum aplikasi penggunaan

pupuk organik cair hasil fermentasi untuk semua perlakuan dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman yang lebih cepat dibandingkan dengan tanpa menggunakan

Page 96: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

79Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

pupuk organik cair (tanaman kontrol), terutama di awal masa pertumbuhan (minggu pertama). Hal serupa dilaporkan oleh Taha et al (2011), bahwa penyemprotan ekstrak rumput laut memberikan hasil positif yang signifikan terhadap pertumbuhan kecambah tanaman mentimun dibandingkan dengan tanaman kontrol. Dilaporkan pula oleh Sedayu et al (2014) bahwa pemberian pupuk organik cair terhadap tanaman terung memberikan efek pertumbuhan tanaman yang lebih cepat ketimbang tanaman yang tidak diberi pupuk cair (tanaman control). Featonby dan Van Staden (1983) mendapatkan pertumbuhan tunas dan akar tanaman tomat yang lebih cepat ketika ekstrak rumput laut digunakan ke tanaman, baik dengan penyemprotan maupun dengan cara dicampurkan dengan tanah. Stephen et al (1985) juga melaporkan bahwa aplikasi ekstrak cair rumput laut Eucheuma sp dan Sargassum sp sebagai bahan tambahan pupuk dapat meningkatkan hasil panen beberapa tanaman komersial penting sebesar 12%-36%.

Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7 terlihat bahwa dari minggu I (pertama) hingga minggu ke 8 (delapan), rata-rata laju pertumbuhan tanaman cabai dan tomat yang diberikan pupuk organik cair perlakuan B menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, dan jumlah daun jauh lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan perlakuan lainnya. Rata-rata pertumbuhan tanaman cabai yang diberi pupuk organik perlakuan B sampai pada minggu ke 8 adalah sebagai berikut, rata-rata tinggi tanaman 8,34 cm, rata-rata jumlah daun 7 helai, rata-rata panjang daun 3,84 dan rata-rata lebar daun 3,16 cm (Tabel 4 dan 5). Sedangkan pertumbuhan tanaman tomat adalah sebagai berikut rata-rata tinggi tanaman tomat 16,33 cm, rata-rata jumlah helai daun tomat 21 helai, rata-rata panjang daun tomat 4,03 cm, dan rata-rata lebar daun tomat 3,0 cm (Tabel 6 dan 7). Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% dan 99%, menunjukkan bahwa perlakuan B berbeda nyata dengan ke empat perlakuan lainnya (A, C, D, dan

E) serta kontrol terhadap laju pertumbuhan tanamaan cabai dan tanaman tomat dengan atribut yaitu tinggi tanaman, jumlah helai daun, panjang daun, dan lebar daun, sedangkan antara perlakuan A dengan perlakuan C tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan D, dan perlakuan E serta kontrol. Ini menunjukkan bahwa pupuk organik cair perlakuan B lebih memberikan pengaruh yang signifikan pada perubahan laju pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan B, pupuk organik cair yang dihasilkan memiliki kadar hormon pemacu tumbuh (HPT) yang tinggi dibandingkan ke empat perlakuan lainnya dan konrol. Dilaporkan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya bahwa auksin lebih berperan pada proses pertumbuhan tanaman yang mengarah kepada tinggi atau pemanjangan sel batang. Kombinasi antara auksin dan giberelin memacu pembelahan sel dan perpanjangan jaringan, sedangkan sitokinin meningkatkan pembelahan sel, pertumbuhan dan perkembangan kultur sel tanaman, dan proses pembuahan (Wu & Lin, 2000).

Salah satu fungsi dari pada hormon pemacu tumbuh yang disuplai dari luar melalui pemberian pupuk organik cair pada tanaman tomat dan cabai adalah meningkatkan penyerapan hara oleh tumbuhan dan memberikan efek rangsangan pada hormon tanaman untuk segera beraksi melakukan pembelahan sel pada tanaman dengan mendorong perkecambahan biji pada tanaman, mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang atau pemanjangan sel batang, mendorong perpanjangan sel daun dan mendorong perkembangan kultur sel tanaman.

Mekanisme terjadinya perpanjangan sel pada tanaman tomat dan cabai akibat dari HPT memacu protein yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan enzim sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel.

Page 97: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

80Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Kandungan lain yang terdapat pada pupuk organik cair adalah unsur hara makro dan unsur hara mikro. Namun kedua jenis unsur hara tersebut, keberadaannya di dalam pupuk organik cair sangat sedikit jumlahnya sehingga efek atau pengaruhnya pun sangat sedikit pada percepatan pertumbuhan tanaman cabai dan tomat. Jensen, E., (2004)

melaporkan bahwa penyemprotan ekstrak rumput laut dengan kandungan unsur hara mikro (Co, B, Mo, Zn, Cu) maupun makro, serta hormon pemacu tumbuh (auksin, giberelin, dan sitokinin) dapat meningkatkan kemampuan akar tanaman untuk pertumbuhan dan penyerapan hara, serta meningkatkan ketebalan batang dan memperkuat pertumbuhan vegetatif dan akar tanaman.

Gambar 2. Tanaman uji coba pupuk organik cair umur 1 minggu

Gambar 3. Tanaman uji coba pupuk organik cair umur 4 minggu

SIMPULAN Limbah padat (Eucheuma sp) hasil

sortir dan pencucian industri pengolahan semi-rifine karagenan sangat berpotensi dijadikan pupuk organik cair. Pupuk organik cair yang dihasilkan melalui fermentasi atau pengomposan memiliki kandungan hormon pemacu tumbuh yaitu auksin, giberelin, sitokinin, dan etilen yang tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk organik cair komersil, memiliki pH 7,15 dan tidak mengandung bakteri patogen. Penggunaan 85% limbah padat (Eucheuma sp) dengan

10% larutan EM4 dan 5% larutan terasi merupakan formula yang terbaik dengan hormon pemacu tumbuh yang tinggi dan memberikan efek mempercepat laju pertumbuhan tanaman cabai dan tanaman tomat. Namun unsur hara makro dan mikro yang terdapat di dalam pupuk organik hasil fermentasi, jumlahnya sangat sedikit.

DAFTAR PUSTAKA1.Amilia, Y., 2011. Penggunaan Pupuk

Organik Cair untuk Mengurangi Dosis Penggunaan Pupuk Anorganik

Page 98: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

81Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

pada Padi Sawah (Oryza sativa l.). Skripsi Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 47 pp.

2. Basmal, J., Widanarto, A., Kusumawati, R., dan Utomo, B.S.B. 2014. Pemanfaatan Limbah Ekstraksi Alginat dan Silase Ikan Sebagai Bahan Pupuk Organik. JPB Perikanan Vol 9, No. 2. Hal : 109-120.

3. Basmal, J., 2010. Teknologi pembuatan pupuk organik cair kombinasi hidro-lisat rumput laut Sargassum sp. dan limbah ikan. Squalen. 5(2): 59–66.

4. Basmal, J., 2009. Potensi Pemanfaatan Rumpur Laut sebagai Bahan Pupuk Organik. Squalen. 4(1): 1 – 8

5. Camargo, J.A. and Alonso, A., 2006. Ecological dan toxicological effects of inorganik nitrogen polution in aquatic ecosystems: A global assessment. Environmental International. 32: 831–849.

6. Dewanto, F.G., Londok, J.J.M.R., Tutu-roongdan, R.A.V., & Kaunang, W.B. 2013. Pengaruh pemupukan anorga-nik dan organik terhadap produksi tanaman jagung sebagai sumber pakan. Jurnal Zootek. 32(5):1–8.

7. Featonby-Smith, B.C. and Van Staden, J., 1983. The effect of seaweed concentrate on the growth of tomato plants in nematode-infested soil. Scientia Horticulturae. 2: 137–146.

8. Han, L.J., 2006. The auxin concentration in sixteen Chinese marine algae. Chinese Journal of Oceanology and Limnology 24 (3): 329–332.

9. Hidayati, E., 2013. Kandungan Fosfor Rasio C/N dan pH Pupuk Cair Hasil Fermentasi Kotoran Berbagai Ternak Dengan Stater Stardec. FMIPA. IKIP PGRI Semarang.

10. Jensen, E., 2004. Seaweed-fact or fancy: From the organik broad caster, Published by Moses the Midwest Organik dan Sustainable Education, From the Broad Caster. 12(3): 164–170.

11. Jensen, A., 1993. Present dan future needs for alga dan algal products. Hydrobilogia. 261: 15 21.

12. Jimenez-Escrig, A. and Goni, C.I. 1999. Nutritional evaluation and physio logical effects of edible seaweeds. Archivos Latinoamericanos de Nutrition 49: 114–120.

13. Mooney, P.A and Van Staden, J. 1985. Effect of Seaweed Concentrate on Growth of Wheat under Condition of Water Fern. S. Afr. Sci 8: 632 – 633.

14. Mooney, P.A. and Van Staden, J., 1984. Seasonal Changes and in the Level of Endogeneous Cytokinin in Sargassum heterophylum (Phaeophyceae). Bot. Mar. 27: 437-442

15. Novizan, 2005. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Edisi Revisi. Agro Media Pustaka.

16. Pancapalaga dan Wehandaka., 2011. Pengaruh Rasio Penggunaan Limbah Ternak dan Hijauan Terhadap kualitas Pupuk Cair. Universitas Muhammadiyah Malang. GAMMA, Vol 7, No. 1. Hal : 61-68.

17. Permentan, 2011. Peraturan Menteri Pertanian No. 70/Permentan/SR.140/10/2011. Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenahan Tanah. 16 pp.

18. Permentan, 2009. Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009. Persyaratan Teknis minimal Bakteri Patogen Escherichia coli dan Salonella sp adalah Nol Pada Pengenceran 10-3 dengan Metode MPN-Durham.

19. Sedayu, B.B., Erawan, S.M.I, dan Assadad, L. 2014. Pupuk Cair Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp Dan Gracilaria sp Mengguna Proses Pengomposan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol 9 No. 1: 61–68.

20. Sedayu, B.B., Basmal, J. dan Utomo, B.S.B. 2013.Identifikasi hormon

Page 99: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

82Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

pemacu tumbuh ekstrak cairan (sap) Eucheuma cottonii. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 8(1): 1–8.

21. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika :Suatu PendekatanBiometrik. Edisi ke-2. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Proceduresof Statistics.

22. Stephen, A.B., John, K.M.T., Palnia, L.M.S., and Lethama, D.S. 1985. Detection of cytokinins in a seaweed extract. Phytochemistry. 24(11): 2611–2614.

23. Sundari, I., Maruf, F,W., Dewi, N. E. 2014. Pengaruh Penggunaan Bioaktivator EM4 Dan Penambahan Tepung Ikan Terhadap Spesifikasi Pupuk Organik Cair Rumput Laut Gracillaria sp. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol. 3 No. 3 : 88-94

24. Sundari, Elmi, Sari E., dan Rinaldo, R. 2012. Pembuatan Pupuk Organik Cair Menggunakan Bioaktivator Biosca dan EM4. Universitas Bung Hatta Pekan Baru. ISSN : 1907-0500.

25. Sutedjo, M.M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

26. Taha, Z.S., Smira, T.A., & Sanaa, M.S.R. 2011. Effect of bread yeast application dan seaweed extract on cucumber (Cucumis sativus L.) plant growth, yield dan fruit quality. Mesopotamia Journal of Agriculture 39: 26–34.

27. Udiyani, P.M. dan Setiawan, M.B. 2003. Kajian terhadap Pencemaran Lingkungan di Daerah Pertanian Berdasarkan Data Radioaktivitas Alam. Prosiding pada Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, Jakarta, 11 Desember 2003. p. 172–182.

28. Wu, T.W. dan Lin, C.H. 2000. Analysis of Cytokinin Activity in Commercial Aqueous Seaweed Extract. Garten-bauwissenschaft. 65 (4): 170-173.

29. Yulipriyanto, H., 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Page 100: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

83Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENDAHULUAN Komoditi kakao merupakan salah satu

komoditi unggulan perkebunan Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia yakni sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, mendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah. Saat ini luas areal pengembangan kakao mencapai 1,6 juta hektar dengan produksi sekitar 593 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen terbesar dunia (posisi ke-4).

PENGARUH STEAM BLANCHING DAN CARA PENGERINGAN BIJI KAKAO NON FERMENTASI TERHADAP KANDUNGAN TOTAL FLAVONOID, TOTAL

FENOL, DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDANNYA Effect of Steam Blanching and Drying Method of Unfermented Cocoa Beans on the

Total Flavonoid, Fenol Total, and Antioxidant Activity

Rosniati, Medan Yumas, Wahyuni, Melia Aryanti, dan Dwi IndrianaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28, Makassar 90231e-mail: [email protected]

Abstract: Study effect of steam blanching and drying method of unfermented cocoa beans to total flavonoid content, total fenol content, and antioxidant activity had been carried out. The aim of this research was to know the effect steam blanching and drying method of the unfermented cocoa beans to flavonoid content, fenol content, and antioxidant activity. The research consisted of 4 treatments, i.e : A1B1 (Non blanching and sun drying), A1B2 (Non blanching and oven drying), A2B1 (Blanching and sun drying), and A2B2. (Blanching and oven drying). This research used experimental and descriptive analysis method. The results showed that treatment combination of non blanching and sun drying (A1B1) has the highest of flavonoid content of 4,60% and the lowest of DPPH free radicals scavenging activity as IC50 (which means has highest antioxidant activity), while treatment combination of non blanching and oven drying (A1B2) has the highest phenol content of 4,04%.

Key words: unfermented cocoa beans, blanching, drying

Abstrak: Penelitian pengaruh steam blanching dan pengeringan biji kakao non fermentasi terhadap kandungan total flavonoid, total fenol, dan aktivitas antioksidannya telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh steam blanching dan cara pengeringan terhadap kandungan total fenol, total flavonoid dan aktivitas antioksidan biji kakao. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yaitu: A1B1 (Tanpa Blanching, dan pengeringan sinar matahari), A1B2 (Tanpa Blanching dan pengeringan oven), A2B1 (Blanching dan pengeringan sinar matahari), dan A2B2 (Blanching dan pengeringan oven). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan analisis data secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan biji kakao dengan cara penjemuran dengan sinar matahari (A1B1) menghasilkan total flavonoid paling tinggi yaitu 4,60% dan mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50) yang paling kecil (sifat antioksidan paling kuat) yaitu 0,16 ppm, sedangkan kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan oven (A1B2) menghasilkan total fenol paling tinggi yaitu 4,04%.

Kata Kunci: Biji kakao non fermentasi, blanching, pengeringan

Komoditi kakao juga merupakan komoditi sosial, dalam arti usaha perkebunan kakao tersebut hampir 97% diusahakan oleh perkebunan rakyat. Di sisi lain komoditi kakao memberikan sumbangan dalam perolehan devisa sebesar US$ 1,24 milyar dan merupakan penghasil devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. Produksi kakao dunia saat ini mencapai sekitar 4,79 juta ton yang sebagian besar dipasok oleh Pantai Gading (43%), Ghana (20%), Ekuador (6%), Indonesia (6%) dan sisanya oleh negara-negara produsen lainnya yang relatif kecil.

Page 101: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

84Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

epikatekin, prosianidin dan antosianidin (Hammerstone et al., 2000). Ada 4 bentuk flavanol yang ditemukan pada flavanol kakao (stereoisomer) yaitu: (+) epikatekin, (-) epikatekin, (+) katekin dan (-) katekin. Kakao kaya akan (-) epikatekin, sehingga kelebihannya ini lebih mudah diserap oleh tubuh (highly bioavailable).

Manfaat kesehatan dari kakao juga disebutkan oleh Ackar et al., (2013) bahwa kakao dan cokelat mengandung tidak hanya polifenol tetapi juga methylxanthine yang menambah kontribusi pada efek kesehatan. Bahkan penelitian Lee et al., (2003) menya-takan bahwa kakao mengandung total fenol dan kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan anggur maupun teh.

Penurunan senyawa polifenol pada biji kakao dapat dikurangi dengan perlakuan blanching biji kakao basah sebelum pengeringan, sehingga aktivitas enzim polifenol oksidase dapat terhambat sejak awal. Perlakuan blanching pada biji kakao telah dilaporkan oleh Tomas-Barberán et al., (2007) dan Menon et al., (2015) menggunakan metode water blanching. Metode water blanching mempunyai beberapa kelemahan yaitu dapat menyebabkan kehilangan vitamin, flavor, warna, tekstur, karbohidrat, dan beberapa senyawa yang larut dalam air (Queiroz et al., 2008; Xiao et al., 2017). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perlakuan blanching biji kakao basah dengan uap panas (steam blanching) yang merujuk pada metode Nurhuda et al., (2013). Metode tersebut bertujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh steam blanching dan cara pengeringan terhadap kandungan total fenol, flavonoid dan aktivitas antioksidan biji kakao.

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah kakao yang berasal dari Kab. Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan peralatan yang digunakan adalah pisau stainless steel untuk membelah buah,

Kakao Indonesia sangat diperhi-tungkan dalam perdagangan kakao dunia dikarenakan biji kakao asal Indonesia memiliki kandungan senyawa polifenol yang relatif lebih tinggi dibandingkan biji kakao yang berasal dari Pantai Gading, Ghana dan Malaysia (Othman et al., 2010). Hal tersebut dapat meningkatkan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional menjadi lebih baik.

Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa proses pengolahan (fermentasi, pengeringan, dan proses termal lainnya) dapat menyebabkan berkurangnya kandu-ngan polifenol dan aktivitas antioksidan pada biji kakao dan produk olahannya (De-Brito et al., 2000, dan Albertini et al, 2015). Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah antioksidan hasil produk olahan kakao. Kandungan senyawa polifenol dalam biji kakao yang tidak difermentasi, lebih banyak dibandingkan dengan biji kakao fermentasi, karena pada proses fermentasi senyawa polifenol terdegradasi melalui proses oksidasi, polimerisasi, dan pengikatan oleh protein (Nazaruddin et al., 2006).

Kandungan senyawa polifenol yang terdapat pada biji kakao segar dan belum dilakukan proses fermentasi adalah 12-18% (Othman et al., 2007; Cooper et al., 2007; Afoakwa et al., 2012; Ackar et al., 2013). Kandungan polifenol pada biji kakao kering yang telah difermentasi berkurang dari 7,8 g/100 g menjadi 4 g/100 g berat kering atau hampir mencapai 50% (Barberan et al., 2007). Hal yang sama juga dilaporkan oleh (Misnawi et al., 2002) bahwa fermentasi biji kakao segar selama 5 hari dapat menurunkan senyawa polifenol ± 53,4% dari polifenol awal sebesar 135,1 g/kg menjadi 72,1 g/kg. Camu et al., (2008) juga menyebutkan bahwa penurunan senyawa polifenol mencapai 10–50%.

Biji kakao dinyatakan sebagai bahan yang kaya dengan flavonoid diantaranya adalah senyawa polifenol yang erat kaitannya sebagai zat yang mempunyai kapasitas antioksidan bagi tubuh. Polifenol dalam kakao diantaranya adalah katekin,

Page 102: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

85Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

depulper untuk memisahkan lendir/pulp dari biji, kompor dan dandang untuk proses blanching biji kakao, oven (pengeringan), dan para-para penjemuran.

Metode Penelitian Buah kakao dibelah untuk

memisahkan biji dan plasenta dari kulit buah, lalu biji kakao basah dimasukkan ke dalam alat depulper untuk mengeluarkan lendir atau pulpnya. Setelah itu biji kakao dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama biji basah diblanching dengan uap panas (steam blanching) pada suhu 90oC selama 5 menit yang merujuk pada metode Nurhuda et al., (2013) yang telah dimodifikasi. Bagian yang lain langsung dijemur pada sinar matahari secara terlindung.

Selanjutnya biji kakao yang telah diblanching dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama dikeringkan dengan metode oven pada suhu 100oC selama 60 menit dan bagian lain langsung dijemur pada sinar matahari terlindung selama kurang lebih 5 hari. Selanjutnya biji kakao kering dari masing-masing perlakuan dianalisis kandungan total flavonoid, total fenol, dan aktivitas antioksidannya.

Perlakuan Penelitian terdiri dari:

A = Perlakuan Blancing A1 = Tanpa BlanchingA2 = BlanchingB = Perlakuan PengeringanB1 = Pengeringan dengan sinar matahariB2 = Pengeringan dengan oven

Metode AnalisisEkstraksi

Biji kakao kering diblender kemudian disaring dengan ayakan 60 mesh dan dianalisis proksimat. 20 gram bubuk kulit biji kakao dihilangkan lemaknya menggunakan 40 mL heksana. Sentrifugasi 2,054xg selama 20 menit. Residu yang diperoleh diekstrak menggunakan pelarut aseton (70% v/v) 400 mL. Sentrifugasi 2,054 xg selama 30 menit. Pelarut diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kental dan kemudian dikeringkan.

Analisis Total Fenolik Kandungan total fenolik ditentukan

dengan Follin Ciocalteau metode Singleton et al., (1999). Ekstrak (0,1 mL) ditambah reagen Folin - Ciocalteu (0,5 mL) dan aquades (6 mL). Larutan disimpan pada suhu kamar selama 3 menit kemudian ditambahkan 20% sodium karbonat (w/v, 1,5 mL) dan aquadest sampai volume 10 mL. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 760 nm. Penyiapan blanko dilakukan dengan menggunakan aquades dan reagen yang sama. Standar asam galat dengan konsentrasi 0-250 µm. Total fenolik dihitung menggunakan kurva kalibrasi asam galat.

Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH Prosedur pengujian aktivitas penang-

kapan radikal DPPH menggunakan metode Burda dan Oleszek (2001). 12,5 mg ekstrak dilarutkan dalam 25 mL metanol. 1 mL larutan ekstrak ditambah 2 mL larutan 0,1 mM DPPH. Campuran diinkubasi pada suhu kamar, ruang gelap selama 30 menit dan ditera pada panjang gelombang 517 nm.

BHT digunakan sebagai kontrol positif. Aktivitas antioksidan sebagai pengikat radi-kal bebas dinyatakan sebagai IC(µg/mL) yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang dapat memberikan penghambatan terhadap radikal bebas sebesar 50%.

Analisa Total Flavonoid

Total flavonoid ditentukan dengan meng-gunakan metode Zhishen et al., 1999. Sebanyak 125 µL ekstrak ditambahkan 75 µL NaNO2 5% dan didiamkan selama 6 menit. Selanjutnya ditambahkan 150 µL AlCL3 10% dan diinkubasi selama 5 menit, kemudian ditambahkan 750 µL NaOH 1 M. Larutan ditera dengan aquades hingga 5 mL kemudian divortex dan diinkubasi selama 15 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 510 nm. Konsentrasi katekin digunakan yaitu 100–1000 ppm. Total flavonoid dihitung menggunakan kurva kalibrasi katekin. Hasil dinyatakan sebagai mg katekin/gram ekstrak kering.

Page 103: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

86Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Analisis dataData hasil uji laboratorium diolah

secara deskriptif. Pengertian analisis data secara deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat generalisasi dari hasil penelitian tersebut. Pada penelitian ini digunakan teknik analisis data secara deskriptif dengan menyajikan data ke dalam bentuk diagram.

HASIL DAN PEMBAHASANTotal Flavonoid

Pada umumnya kandungan senyawa polifenol yang terdapat pada biji kakao matang yang segar dan belum dilakukan proses pengolahan/belum difermentasi adalah 12-18% (Othman et al., 2007; Cooper et al., 2007; Afoakwa et al., 2012; Ackar et al., 2013) dan senyawa polifenol yang terkandung pada biji kakao kering sebanyak 5–18% atau 0,5–1,8 mg/g (Loannou et al., 2012).

Pada Gambar 1, terlihat bahwa perlakuan A1B1 (perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan sinar matahari) menghasilkan biji kakao kering dengan kandungan flavonoid yang paling tinggi (4.60%), kemudian perlakuan A2B1 (perlakuan blanching dan pengeringan dengan sinar matahari) juga menghasilkan biji kakao kering dengan kandungan flavonoid yang tinggi (4.37%). Perlakuan A1B2 (perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan oven) dan perlakuan A2B2 (perlakuan blanching dan pengeringan dengan oven) menghasilkan total flavonoid yang rendah yaitu masing-masing 2.31% dan 1.78%. Nampaknya bahwa perlakuan antara blanching dan tanpa blancing biji kakao basah menghasilkan nilai flavonoid yang hampir sama yang berarti pengaruhnya tidak signifikan dalam menghambat penurunan nilai flavonoid.

Perlakuan pengeringan biji kakao dengan sinar matahari cukup signifikan mempertahankan kandungan total flavonoid

dalam biji kakao. Rendahnya penurunan kandungan total flavonoid biji kakao pada pengeringan dengan sinar matahari disebabkan karena dilakukan penjemuran secara terlindung, dan tidak terkena dengan sinara matahari langsung, berarti suhu pengeringan lebih rendah dibanding pengeringan dengan oven.

Gambar 1. Histogram total flavonoid biji kakao kering berdasarkan perlakuan steam blanching dan pengeringan.

Keterangan A1B1 : Tanpa Blanching, pengeringan sinar

matahari A1B2 : Tanpa Blanching, pengeringan ovenA2B1: Blanching, pengeringan sinar mata-hari A2B2 : Blanching, pengeringan oven Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas DPPH (IC50)

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif yakni cenderung bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencapai kestabilan. Radikal dengan kereaktifan yang tinggi dapat memulai sebuah reaksi berantai dalam sekali pembentukannya sehingga menimbulkan senyawa yang tidak normal dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel penting dalam tubuh (Badarinath et al., 2010). Radikal bebas dapat diatasi dengan penggunaan antioksidan (Mandal et al., 2009).

Metode DPPH digunakan untuk mengukur kemampuan antioksidan untuk mengikat radikal bebas yang ditunjukkan dengan nilai IC50. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi sampel yang dapat meredam radikal bebas sebesar 50%

Page 104: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

87Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

yang paling berpengaruh adalah perlakuan pengeringan. Pengeringan dengan sinar matahari lebih besar perannya dalam mempertahankan aktivitas antioksidan dalam biji kakao dibanding pengeringan dengan oven. Adapun histogram aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50 ) biji kakao kering berdasarkan perlakuan steam blanching dan pengeringan dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada Gambar 2, terlihat bahwa aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50), dari semua perlakuan berkisar antara 0,16 ppm sampai 3,79 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan biji kakao kering yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai sifat antioksidan “sangat kuat”. Menurut Molyneux, 2004, bahwa aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50) sebesar 50 ppm atau lebih kecil dari 50 ppm mempunyai sifat antioksidan yang “sangat kuat”, 50 ppm – 100 ppm sifat antioksidan “kuat”, 100 ppm – 150 ppm sifat antioksidan “sedang”, dan 150 ppm – 200 ppm sifat antioksidan “lemah”. Total Fenol

Fenol adalah senyawa yang mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol pada bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi fenol sederhana dan asam folat (Widiyanti, 2006 dalam Oktaviana, 2010). Standar yang digunakan pada analisis kandungan fenolik adalah asam galat, hal ini karena asam galat bersifat stabil, memiliki sensitivitas yang tinggi, dan harganya cukup terjangkau. Kandungan fenolik dari standar asam galat ditentukan dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteau (Singleton et al., (1999) dalam Utami et al., 2017). Total fenol biji kakao kering berdasarkan perlakuan steam blanching dan cara pengeringan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Histogram aktifitas penang-kapan radikal bebas DPPH (IC50) dari biji kakao kering berdasarkan perlakuan steam blanching dan pengeringan.

Keterangan: A1B1 : Tanpa Blanching, pengeringan sinar

matahariA1B2 : Tanpa Blanching, pengeringan ovenA2B1 : Blanching, pengeringan sinar matahari A2B2 : Blanching, pengeringan oven

Pada Gambar 2, terlihat bahwa aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50) ekstrak biji kakao kering dengan perlakuan A1B1 (tanpa blanching dan pengeringan sinar matahari) mempunyai nilai paling rendah yaitu 0,16 ppm, perlakuan A1B2 (tanpa blanching dan pengeringan oven) mempunyai nilai paling tinggi yaitu 3,79 ppm. Hal ini berarti bahwa perlakuan A1B1 yaitu biji kakao basah yang tidak melalui proses blanching kemudian langsung dikeringkan pada sinar matahari mempunyai sifat antioksidan yang paling kuat dibanding perlakuan lainnya. Molyneux, (2004), bahwa kemampuan suatu senyawa yang bersifat antioksidan berbanding terbalik dengan nilai IC50. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kuat daya antioksidannya.

Perlakuan A2B1 (blanching dan pengeringan sinar matahari) dan perlakuan A2B2 (blanching dan pengeringan oven) mempunyai nilai IC50 berturut-turut 1,79 ppm dan 3,42 ppm. Nampaknya bahwa perlakuan blanching tidak berpengaruh terhadap perubahan aktivitas antioksidan, tetapi

Aktiv

itas

Aktio

sida

n (p

pm)

Page 105: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

88Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 3. Histogram Total fenol biji kakao kering berdasarkan perlakuan steam blanching dan cara pengeringan.

Keterangan : A1B1 : Tanpa Blanching, pengeringan sinar ma-

tahariA1B2 : Tanpa Blanching, pengeringan ovenA2B1 : Blanching, pengeringan sinar matahari A2B2 : Blanching, pengeringan oven

Dari Gambar 3, terlihat bahwa perlakuan A1B1 (perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan sinar matahari) dan A1B2 (perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan oven) mempunyai nilai total fenol yang hampir sama yaitu masing-masing 3.75% dan 4.04%, sedangkan perlakuan A2B1 (perlakuan blanching dan pengeringan dengan sinar matahari) dan perlakuan A2B2 (perlakuan blanching dan pengeringan dengan oven) juga mempunyai nilai total fenol yang hampir sama yaitu masing-masing 2.83% dan 2.96%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan sinar matahari maupun pengeringan dengan oven pengaruhnya tidak signifikan terhadap perubahan total fenol, tetapi yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan total fenol adalah perlakuan blanching dan tanpa blanching (Gambar 3).

Senyawa fenol memiliki sifat yang sensitif terhadap perlakuan panas, sehingga proses pengeringan dengan sinar matahari maupun pengeringan dengan oven dapat menurunkan kandungan senyawa fenol (Luximon et al., 2002). Senyawa fenol memiliki sifat mudah teroksidasi dan sensitif terhadap perlakuan panas, sehingga dengan adanya proses pengeringan dengan sinar

matahari dan pengeringan dengan oven dapat menurunkan kandungan senyawa fenol. Suhu optimum pengeringan untuk mendapat kadar total fenol maksimum adalah 600C (Masduqi et al., 2014). Pengeringan lebih tinggi dari 600C setelah 4 menit maka fenol akan rusak dan kadarnya cenderung menurun (Sari et al., 2012). Liyana and Shahidi (2005), menyatakan bahwa ada hubungan antara suhu dan senyawa fenol, kandungan senyawa fenol menurun seiring dengan peningkatan suhu yang lebih tinggi, hal ini disebabkan dekomposisi senyawa fenol. Perlakuan blanching dan tanpa blanching menghasilkan total fenol yang perbedaannya sangat signifikan. Perlakuan blanching menghasilkan total fenol biji kakao lebih rendah dari pada perlakuan tanpa blanching. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perlakuan steam blanching menyebabkan senyawa polifenol mengalami oksidasi enzimatis karena terpapar uap panas.

SIMPULANDari hasil dan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan biji kakao dengan cara penjemuran dengan sinar matahari (A1B1) menghasilkan total flavonoid paling tinggi yaitu 4,60% dan mempunyai aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (IC50) yang paling kecil (sifat antioksidan paling kuat) yaitu 0,16 ppm, sedangkan kombinasi perlakuan tanpa blanching dan pengeringan dengan oven (A1B2) menghasilkan total fenol paling tinggi yaitu 4,04%.

DAFTAR PUSTAKA1. Ackar, D., K.V. Landic, M. Valek, D.

Subaric, B. Milicevic, J. Babic and H. Nedic. 2013. Cocoa polyphenols : can we consider cocoa and chocolate as potential functional food. Journal of Chemistry 13 : 289-296.

2. Afoakwa, E.O. 2012. Cocoa and chocolate consumption : Are there aphrodisiac and other benefits for human health?.

Page 106: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

89Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

South African Journal of Clinical Nutrition 21 (3) : 107-113.

3. Albertini, B., A. Schobbrn, Guanaccia, F. Inrlli, M.D. Vechia, M. Ricci, G.C. Di Renzo, dan P. Blasi. 2015. Effect of Fermentation and Drying on Cocoa Polyphenols. J. Agric. Food Chem. 63(45): p 9948- 9953.

4. Badarinath A, Rao K, Chetty CS, Ramkanth S, Rajan T, & Gnanaprakash K. A. 2010. Review on In-vitro Antioxidant Methods : Comparisons, Correlations, and Considerations. International Journal of PharmTech Research, 2010: 1276-128.

5. Barberan, F.A.T; Jovellanos, E.C; Marin, A; Muguerza, B; izquierdo, A.G; Cerda,B; Zafrilla, P; Morillas, J; mulero, J; Ibarra, A; Pasamar, M.A; Ramon, D; Espin, J.C. 2007. A New Process To Develop a Cocoa Powder with Higher Flavonoid Monomer Content and Enhanced Bioavailability in Healthy Humans. J. Agric. Food Chem, 55, 3926-3935.

6. Camu, N., T.D. Winter, S.K. Addo, J.S. Takrama, H. Bernaert and L.D. Vuyst. 2008. Fermentation of cocoa beans : Inflence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavour of chocolate. Journal of Science Food and Agriculture 88 : 2288-2297.

7. Cooper, K.A., E. Campos-Gimenez, D.J. Alvarez, K. Nagy, J.L. Donovan and G. Williamson. 2007. Rapid reversed phase ultra-performance liquid chromatography analysis of the major cocoa polyphenols and inter-relationships of their concentrations in chocolate. Journal of Agricultural and Food Chemistry 55 : 2841-2847.

8. De-Brito, E.S., N.H.P. Garcia., M.I. Gallao., A.L. Cortelazzo., P.S. Fevereiro and M.R. Braga, 2000. Structural and chemical changes in cocoa (Theobroma cocoa L) during fermentation, drying and roasting. Journal of Science of Food and Agriculture 81 : 281-288.

9. ICCO. 2012. International Cocoa Organization Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXVIII, No. 4, Cocoa year 2011/2012. http://www.icco.org/ (7 Januari 2013).

10. Lee, KW, Kim YJ, Lee HJ, Lee CY., 2003. Cocoa Has More Phytochemical and a Higher Antioxidant Capacity than Teas and Redwine. J. Agric Food Chem 51: 7292 - 7295.

11. Liyana-Pathirana, C. and F. Shahidi. 2005. Optimization of Extractionof Phenolic Compounds from Wheat Using Response Surfacemethodology. Food Chemistry93:47–56.

12. Loannou, I., Hafsa, I., Hamdi, S., Charbonnel, C., Ghoul, M. 2012. Review of the effects of food processing and formulation on flavonol and anthocyanin behaviour. Journal of Food Engineering 111(2): 208–217. DOI:10.1016/j.jfoodeng.2012.02.006.

13. Luximon R, A., T. Bahorun, M.A. Soobrate, O.I. Aruoma. 2002. Antioxidant Activities of Phenolic, Proanthocyanidin, and Flavonoid Components in Extract of Cassia fistula. J.Agric.Food Chem. 50:5042-5047.

14. Mandal S, Yadav S, Nema R. 2009. Antioxidants: A Review. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research2009: 102-104.

15. Masduqi, A., Izzati, M., dan E. Prihastanti. 2014. Efek Metode Pengeringan Terhadap Kandungan Bahan Kimia Dalam Rumput Laut Sargassumpolycystu. Buletin Anatomi dan Fisiologi Volume XXII, Nomor 1.

16. Menon, A.S., Hii, C.L., Law, C.L., Suzan-nah, S., Djaeni, M. 2015. Effects of water blanching on polyphenol reaction kinetics and quality of cocoa beans. In AIP Conference Proceedings (1699): 030006. DOI:10. 1063/1.4938291.

17. Misnawi, J.S., Jamilah, B., & Nazamid, S. (2002). Oxidation of polyphenols in unfermented and partly fermented

Page 107: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

90Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

cocoa beans by cocoa polyphenol oxidase tyrosinase. Journal of the Science of Food and Agriculture 82, 559-566.

18. Molyneux, P. 2004. The use of the stable radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant ac-tivity. J. Sci. Technol. 26 (2) : 211 219.

19. Nazaruddin, R., Seng L, Hassan, O., dan Said M, 2006. Effect of pulp pre-conditioning on the content of polyphenols in cocoa beans (Theobroma cacao) during fermentation industrial crops and products, 24 : 87 – 94.

20. Nurhuda, H.H., Maskat, M.Y., Mamot, S., Aiq, J., Aminah, A. 2013. Effect of blanching on enzyme and antioxidant activities of rambutan (Nephelium lappaceum) peel. International Food Research Journal 20(4):1725-1730.

21. Othman, A., A. Ismail, N.A. Ghani and I. Adenan. 2007. Antioxidant capacity and phenolic content of cocoa beans. Food Chemistry 100 : 1523-1530.

22. Othman, A., A.M.M. Jalil, K.K. Wang, A. Ismail, N.A. Ghani and I. Adenan. 2010. Epicatechin content and

antioxidant capacity of cocoa beans from four different countries. African Journal of Biotechnology 9 (7) : 10521059.

23. Sari, D.K., D.H. Wardhani, A. Prasetya-ningrum. 2012. Pengujian Kandungan Total Fenol Kappahycus alvarezzi Dengan Metode Ekstraksi Ultrasonic Dengan Variasi Suhu dan Waktu. Jurusan teknik kimia fakultas teknik UNDIP. Prosiding SNST ke-3 tahun 2012.Fakultas teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang.

24. Utami, R.R; Supriyanti, S; Rahardjo, S, dan R. Armunanto, 2017. Aktivitas Antioksidan Kulit Biji Kakao dari Hasil Penyangraian Biji Kakao Kering pada Derajat Ringan, Sedang dan Berat. GRITECH, Vol. 37, ( 1), Hal. 88-94.

25. Xiao, H.W., Pan, Z., Deng, L.Z., El-Mashad, H.M., Yang, X.H., Mujumdar, A.S., Zhang, Q. 2017. Recent developments and trends in thermal blanching – A comprehensive review. Information Processing in Agriculture 4(2): 101–127. DOI:10.1016/j.inpa. 2017.02.001.

Page 108: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

91Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENDAHULUANPertumbuhan sektor industri kelapa

sawit yang cukup pesat, pada tahun 2017 mendapat tuduhan issue dari Parlemen

EFEK PENGGUNAAN BIOKAR DAN ASAP CAIR PADA LAHAN KELAPA SAWIT TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS TANDAN BUAH SAWIT

DAN ANALISIS NILAI TAMBAHNYAUse of Biochar and Liquid Smoke in Palm Oil for Increase Quality of Palm Fruit and

Analysis of Economic Value-Added

Amos Lukas1), Suharto Ngudiwaluyo1), Heru Mulyono2) , Imran Rosyadi3), Ishenny Mohd Noor4) dan P. Natsir La Teng5)

1) Pusat Sistem Audit Teknologi – BPPT 2) Pusat Pengkajian Kawasan Spesifik dan Sistem Inovas i– BPPT

3) Pusat Teknologi Agroindustri – BPPT4)Inkubator Kampus Hijau - Pusat Penelitian dan Pelatihan Teknologi Internasional

Dr. Ishenny (P3TDI) Kota Langsa5) Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

e-mail: [email protected] Kota Langsa, Banda Aceh, Indonesia3

Abstract : Study the effect of biocar and liquid smoke from solid waste of palm oil mill to enhance products palm, quality of fresh palm fruit bunches (FFB), and economic value-added. The study was conducted in 2017 at Langsa-Aceh. The method used is the analytical method of comparing FFB products and FFB quality, between land treated with biocar 2 ton/ha and spraying liquids moke formulation : water = 1:100. Data collection through on-site observation, interviews from various parties, laboratory tests for the yield of CPO and the content of FFA. The results showed that the products of FFB increased from 19% to 28%. The weight of FFB shows an increased of 17.5 kg. to 25 kg/FFB. Increased products of fresh fruit sign per Ha for a year of 223% and the quality of palm bunches that gave fresh fruit yields with 90-95% better maturity uniformity, compared with not treatment which only reached 60-70%. A higher yield of CPO 26-27% compared with no treatment of 19-21%, FFA content 2-5% lower than with no treatment of 2-15%. Application of biocar technology and liquid smoke can reduce the loss of economic value of Rp. 20.8484 T. annually over 4.7 million Ha of palm oil in Indonesia

Keywords: FFA, biochar, liquid smoke, economic value-added Abstrak: Penelitian ini bertujuan melihat efek penggunaan biokar dan asap cair pada lahan kelapa sawit terhadap produksi dan kualitas Tandan Buah Sawit Segar (TBSS), dan nilai tambah ekonominya. Penelitian dilakukan pada tahun 2017 di Langsa–Aceh. Menggunakan metode analisis membandingkan produksi dan kualitas TBSS antara lahan yang diperlakukan dengan pemberian biokar 2 ton/ha, dan penyemprotan formulasi asap cair : air = 1 : 100 dengan lahan tanpa perlakuan. Pengumpulan data melalui pengamatan langsung di lokasi, wawancara dari barbagai pihak, uji laboratorium untuk rendemen CPO dan kandungan ALBnya. Hasil penelitian menunjukkan produksi TBSS meningkatkan dari 19% menjadi 28%. Berat TBSS mengalami peningkatan dari 17,5 kg. menjadi 25 kg/TBSS. Peningkatan produksi TBSS/Ha. selama setahun sebesar 223% dan tingkat keseragaman kematangan buah 90-95% lebih baik, dibandingkan dengan tanpa perlakuan yang hanya sekitar 60-70%. Rendemen CPO yang lebih tinggi 26-27% dibandingkan dengan tanpa perlakuan hanya 19–21%, kandungan ALBnya 2-5% lebih rendah dibandingkan dengan tanpa perlakuan sebesar 2-15%. Penerapan teknologi biokar dan asap cair dapat memberikan nilai tambah ekonomi sebesar Rp. 20,8484 T. pertahun atas 4,7 juta Ha lahan sawit di Indonesia

Kata kunci: TBSS, biokar, asap cair, nilai tambah ekonom.

Uni Eropa yang bertujuan menghambat minyak sawit dari Indonesai menguasai pasar Eropa. Propaganda yang dilakukan seperti issu cendawan di musim hujan, adanya residu pestisida dan bahan kimia

Page 109: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

92Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

temukan solusinya dengan menggunakan teknologi dan sistem budidaya yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya. Salah satu yang diperlakukan di dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan biokar dan asap cair dari limbah tandan kosong kelapa sawit yang berlimpah.

Biokar yang dihasilkan dari limbah tandan kosong kelapa sawit (Gambar 1) melalui proses karbonisasi menggunakan alat karbonisator DR. Ishenny, menghasilkan biokar dengan partikel yang berukuran nano seperti pada Gambar 2 (Noor, 2015) (Amos et.all. 2017).

lainnya, deforestasi, praktek kerja anak dan memanfaatkan hutan ulayat (Kompas, 8 juni 2017). Usaha pemakzulan produksi minyak sawit Indonesia didukung oleh 640 anggota parlemen (93,29%), 18 anggota menolak (2,63%) dan 28 anggota tidak memberikan suara (4,08%). Dalam kondisi ini maka beberapa kemungkinan bisa terjadi seperti (1) Eropa saling berhubungan baik dan kompak, secara bilateral dan regional, saling berkongsi untuk sukseskan tujuan bersama dan (2) agar produsen sawit di Indonesia tunduk dan bisa disetir para pemilik modal dari eropa (Kompas, 8 Juni 2017)

Untuk menjawab tuduhan issue dari parlemen Eropa tersebut, dibutuhkan penerapan teknologi yang rama lingkungan, dapat meningkatkan produksi sawit organik, tanpa kandungan residu pestisida dan bahan kimia lainnya, menghambat pertumbuhan cendawan pada tanaman sawit di saat musim hujan, dan tanpa perluasan lahan sehingga tidak terjadi lagi pengurangan tanaman hutan ulayat dengan penerapan teknologi yang rama lingkungan.

Penelitian dalam rangka peningkatan produksi dan kualitas tanaman sawit agar mampu berdaya saing telah dilakukan di kampong Simpang Wi , kecamatan Langsa Lama–Kota Langsa.

Gambar 1. Biochar TKSS, Produk Incinerator DR. Shenny Moh. Noor.

Produksi tandan sawit yang menurun akibat dari serangan hama, berkurangnya pemeliharaan tanaman sawit karena harga tandan sawit yang rendah, berkurangnya permintaan ekspor karena adanya proteksi dari Negara-Negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Oleh sebab itu perlu segera di

Gambar 2. Nano Biokarsize: 0.1 -10 nm

Menurut Plaza, et.all. 2016, dan Anderson, et.all., 2011, biokar dapat mening-katkan produksi tandan sawit, karena sifatnya, seperti; mengembalikan kesuburan tanah pada pH: 7.00-7.50, meningkatkan kandungan karbon tanah yang kaya oksigen, menyimpan air dalam tanah, menghasilkan nitrogen (Urea) melalui proses aktivitas mikroba tanah, meningkatkan porossitas/kegemburan tanah sehingga akar dapat menembus tanah lebih dalam, meningkatkan produktivitas tanaman, memperpendek usia panen tanaman, meminimalisir penggunaan pupuk kimia, menghambat perkembangan hama tanaman, dan meningkatkan kualitas produk pertanian menjadi kualitas organik

Asap cair dapat bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan cendawan pada

Page 110: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

93Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

tanaman sawit sehingga tanaman jadi sehat tanpa penggunaan pupuk dan festisida kimia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas tandan buah sawit segar dan produk turunan sawit dapat berdaya saing.

METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan me-tode analisis, untuk memperoleh data perbandingan antara produksi dan kualitas tandan buah sawit segar pada beberapa pohon sawit yang tidak sehat, tidak berbuah lagi dan sudah hampir mati dengan perlakuan biokar dan asap cair dengan tanaman sawit yang masih segar tanpa perlakukan biokar dan asap cair. Perlakukan biokar dan asap cair pada tanaman sawit, adalah sebagai berikut ; a) memilih pohon yang tidak sehat dengan ciri-ciri daunnya kekuning-kuningan, ada serangan cendawan, tidak berbuah lagi dan juga sudah hampir mati, b) membuat lubang sedalam 30 cm dengan lebar 15 cm diantara pohon sawit seperti pada gambar 3, c) menaburkan biokar secara merata pada lubang, yaitu seberat 5 kg setiap jarak antara pohon satu dengan pohon lainnya, sehingga memerlukan biokar sebanyak 2 ton/ha lahan, d) menimbun kembali biokar secara merata di antara pohon sawit, e) menyemprotkan formulasi asap cair:air = 1:100 secara merata pada batang dan daun tanaman yang terkena serangan cendawan, dan f) memberikan tanda pada tanaman yang diperlakukan untuk memudahkan pengamatan.

Pengamatan meliputi; pertumbuhan daun dan cendawan serta, tandan buah segar yang dihasilkan (berat rata-rata tandan buah segar, tingkat kematangan buah/tandan, rendemen CPO, dan kandungan ALB-nya)

Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui: 1) pengamatan langsung ke lokasi 2) wawancara dari berbagai pihak 3) meminta pendapat para pakar dan, 4) Uji Laboratorium terhadap rendemen CPO dan kandungan asam lemak bebasnya (ALB), dan 5) penelusuran referensi yang berkaitan dengan teknologi pengolahan sawit.

Efektifitas penggunaan biokar dan asap cair diukur dengan membandingkan tanaman sawit yang mengalami perlakuan biokar dan asap cair dengan yang tidak mengalami perlakuan biokar dan asap cair. Perbandingan jumlah produksi tandan buah segar sawit, kontinuitas pembuahan sepanjang tahun, produksi TBSS dan mutunya serta tingkat keseragaman kematangan buah dalam satu tandan.

Kualitas/mutu tandan buah segar yang dihasilkan dilihat dari kualitas tandan buah segar terkait dengan rendemen CPO dan kandungan asam lemak bebasnya (ALB) melalui Uji Laboratorium di Laboratorium Penelitian DR. Ishenny Moh. Noor, serta dampak terhadap produk dengan kualifikasi sawit organik.

Penelitian dilakukan di Kampong Simpang Wi, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Provinsi Aceh.

HASIL DAN PEMBAHASANBiokar

Biokar yang di manfaatkan sebagai media tanam dapat meningkatkan karbon tanah dari 0,4–0,7% menjadi 2%, meningkatkan: kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang-biakan mikroorganisme tanah dan meningkatkan nutrisi tanah (Anderson, et.all., 2011)

Gambar 3. Perlakuan Biokar

Page 111: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

94Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa setelah pemberian biokar dari karbonisasi tandan kosong kelapa sawit, yang bersifat nano, pada tanaman sawit yang tidak sehat dan sudah hampir mati, memperlihatkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan dari warna daun yang kekuning-kuningan dan sudah hampir mati kembali menjadi tanaman yang sehat yang ditunjukkan dengan daun yang kembali berwana hijau tua, segar dan berkilat. Hal ini sebagai akibat ketersediaan air yang cukup dan reaksi foto sintetis meningkat. Biokar memiliki beberapa sifat yang menguntungkan karena dapat menyediakan suplay nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan tanaman sawit yang pada akhirnya tanaman sawit akan berbuah sepanjang tahun. Pemberian biokar dilakukan cukup sekali dalam jangka waktu 5 tahun (Plaza, et.all., 2016).

Menurut Plaza, et.all., 2016, dan Liu, et.all., 2012, aplikasi pemanfaatan biokar sebagai media tanam, memberikan manfaat seperti; mengembalikan kesuburan tanah pada pH: 7.00-7.50, meningkatkan kandungan karbon tanah yang kaya oksigen, menyimpan air dalam tanah, menghasilkan nitrogen (Urea) melalui proses aktivitas mikroba tanah, meningkatkan kegemburan tanah sehingga akar dapat menembus tanah lebih dalam, meningkatkan produktivitas tanaman, memperpendek usia panen tanaman, meminimalisir penggunaan pupuk kimia, menghambat perkembangan hama tanaman, meningkatkan kualitas produk pertanian menjadi kualitas dengan kualifikasi organik, dan meningkatkan pendapatan petani.

Biokar dengan ukuran nano yang dapat menyimpan air, udara serta tempat hidup mirokba yang menyehatkan tanah dapat berfungi meningkatkan kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan nutrisi meningkat, meningkatkan kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang-biakan mikroorganisme tanah meningkat dan akhirnya meningkatkan nutrisi tanah yang sangat baik untuk peningkatan produksi dan kualitas tanaman sawit.

Hasil dari aplikasi pemanfaatan biokar untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tandan buah sawit segar, mekanisme kerjanya pada tahap awal mengembalikan kesuburan tanah tanaman sawit pada pH: 7.00-7.50, meningkat kandungan karbon tanah yang kaya oksigen, mampu menyimpan air yang diperlukan tanaman, menghasilkan nitrogen (Urea) melalui proses aktivitas mikroba tanah, meningkat porossitas/kegemburan tanah sehingga akar sawit mampu menembus tanah lebih dalam, meningkatkan hasil buah tandan sawit 100% (tabel 1), mampu menjadikan tanaman sawit berbuah terus menerus sepanjang tahun, tanpa ada jedah , meniadakan/minimalisasi penggunaan pupuk kimia, meminimalisir serangan hama tanaman tanpa menggunakan pestisida kimia, meningkatkan kualitas produk pertanian menjadi kualitas organik, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani hingga Rp. 50–100 juta/tahun.

Asap CairSetelah penyemprotan formulasi asap

cair: air (1 : 100) pada daun dan batang tanaman sawit yang tidak sehat dan terserang hama cendawan dan jamur (Gonodermasp) yang menyerang akar tanaman, batang dan daun tanaman sawit kembali menjadi sehat dan segar, produksi TBS meningkat. Kualitas TBS yang dihasilkan tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia menjadikan produk TBS yang siap menuju produk yang berkualifikasi organik (sementara dalam proses sertifikasi).

Asap cair yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tandan buah sawit adalah asap cair yang berwarna coklat gelap, rasa asam kuat, aroma asap kuat (grade 3) (Budijanto, et.all., 2008), dengan pengenceran 100 kali, (1 liter asap cair di tambahkan dengan 100 liter air) dan di semprotkan merata pada bagian tanaman sawit yang terserang oleh cendawan yang di lakukan setiap 10 hari, sampai pohon sawit pulih dari serangan hama cendawan.

Page 112: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

95Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Proses pirolisis yang terjadi di dalam karbonisasi limbah tandan kosong kelapa sawit menghasilkan senyawa kimia yang kompleks. Senyawa kimia yang kompleks tersebut mengandung berbagai komponen senyawa dan beberapa metode pemisahan telah banyak dilakukan untuk memisahkan komponen senyawa tersebut berdasarkan polaritas, tingkat keasaman, dan volatilitas (Putnam, et.all., 1999).

Asap cair salah satu hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit yang di karbonisasi dengan suhu sekitar 200 0C dengan bantuan BSF (Biocatalyst Fuels Technology), Gambar 4. Asap cair yang di hasilkan mempunyai banyak keuntungan dan lebih mudah diaplikasikan, proses lebih cepat, memberikan karakteristik yang khas pada produk akhir berupa aroma warna, dan rasa, serta penggunaannya tidak mencemari lingkungan.

kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, asetat dan ester (Guillen, et.all., 1995; Guillen, dkk., 2000; Guillen, et.all., 2001). Berbagai komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba serta memberikan efek warna dan cita rasa khas asap pada produk pangan (Karseno, et.all., 2002).

Pirolisis adalah dekompisisi bahan yang mengandung karbon dari tumbuhan, hewan dan bahan tambang yang dapat berlangsung pada suhu diatas 300°C dalam waktu 4-7 jam pada kondisi udara/oksigen terbatas menghasilkan produk padatan, cairan dan gas (Gani 2007; Demirbas, 2005 dan Di Blasi, 2008). Asap cair merupakan hasil dari dekomposisi selulosa, hemiselulosa dan lignin melalui proses pirolisis. Penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150°C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250°C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320°C dan pirolisa lignin pada suhu 400°C.

Pirolisis pada suhu 400°C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas asap cair yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Luditama dan Candra, 2006).

Asap cair yang di hasilkan dari proses karbonisasi limbah tandan kosong kelapa sawit dengan bantuan BSF (Biocatalyst Fuels Technology) dikelompokkan dalam 3 (tiga) spesifikasi atau grade (Budijanto et al, 2008), yaitu : (Grade 1) warna bening, rasa sedikit asam, aroma netral, dan sangat baik untuk di aplikasikan pada pengawetan makanan dan ikan, (Grade 2) warna kecoklatan transparan, rasa asam sedang, aroma asap lemah , sangat baik digunakan untuk makanan dengan taste asap (daging asap, bakso, mie , tahu, ikan kering, telur asap, bumbu barbeque dan ikan bandeng asap dan (Grade 3) warna coklat gelap, rasa asam kuat, aroma asap kuat, sangat baik digunakan untuk penggumpalan karet pengganti asam semut, menghilangkan jamur dan bakteri di

Gambar 4. BSF (Biocatalyst Fuels Technology)

Asap cair mengandung komponen-komponen seperti fenol, asam organik dan karbonil yang berfungsi sebagai antibakteri, antijamur dan koagulan. Senyawa-senyawa tersebut juga mempunyai peranan sebagai pemberi cita rasa yang khas (Jayanudin dan Endang Suhendi, 2012) (Girrard, 1992).

Kualitas asap cair ditentukan dari komposisi fenol, dan asam. Besarnya komponen tersebut dipengaruhi oleh kondisi operasi proses pirolisis yaitu suhu dan waktu pirolisis serta suhu distilasi. Asap cair mengandung berbagai komponen

Page 113: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

96Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

tambak ikan, menghilangkan bau busuk dan pembersih lantai di peternakan ayam.

Tandan Buah Segar Kelapa SawitProduk yang dihasilkan dari tandan

buah sawit tersebut menjadi produk dengan

kualifikasi organik dan kuantitas yang meningkatkan, seperti terlihat pada Tabel 1, berikut.

Tabel 1. Hasil Pengamatan, Perlakuan pada Sawit Umur 8 Tahun, Masa Efektif Perubahan dalam Waktu 2 Bulan, dan Perubahan Setelah 1 Bulan

Tidak Pakai Biokardan Asap Cair

Menggunakan Biokardan Asap Cair

Tanaman kurang segar, kelihatan kekurangan air, warna daun kuning kehijauan, reaksi pohosintesis lambat

Warnadaun hijau Tua dan berkilap, segar, menunjukan ketersedian air yang cukup, reaksi potosintesis meningkat

Tandan buah 15 – 20 kg per tandan Tandan buah 20 – 30 kg / tandanBuah ada waktu istiarahat/jeda Berbuah sepanjang tahun tanpa ada masa jedaHasil tandan dalam setahun/ha adalah 5 – 10 ton

Hasil tandan buah dalam setahun 20 – 40 ton

Tidak tahan terhadap serangan yang menyerang akar (Gono derma)

Tahan terhadap serangan hama yang menyerang akar (Gono derma)

Menggunakan pestisida dan pupuk kimia Tanpa pestisida dan pupuk kimiaKeseragaman kematangan buah 60-70% Keseragaman kematangan buah 90-95%Rendemen CPO 19 – 21% Rendemen CPO 26–27%Asam Lemak bebas 2-15% Asam lemak bebas 2-5%

Berdasarkan pengamatan terhadap tandan segar yang dihasilkan diyakini tidak ada perubahan komposisi kimia didalamnya karena biokar hanya memperbaiki nutrisi dan mengkondisikan lahan yang sehat dan dapat di tumbuhi tanaman, namun dengan kuantitas berat tanda segar sawit di yakini, menaikan rendemen kandungan CPO dan menurunkan kandungan asam lemak bebasnya (ALB), oleh factor tingginya keseragaman kematangan buah dalam satu tandan. Terjadi peningkatan kuantitas tandan segar sawit dan di beli oleh pabrik dengan harga yang sama, berarti ada peningkatkan pendapatan kepada petani sawit, hal ini di yakini oleh pabrik bahwa tidak ada perubahan komposisi kandungannya, namun rendemen CPO dan asam lemaknya di yakini akan lebih baik.

Tanaman Kelapa sawit berakar serabut yang terdiri atas akar primer, skunder, tertier dan kuartier. Akar-akar primer pada umumnya tumbuh ke bawah, sedangkan akar skunder, tertier dan kuartier

arah tumbuhnya mendatar dan bawah. Akar kuartier berfungsi menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah. Akar-akar kelapa sawit banyak berkembang di lapisan tanah atas sampai kedalaman sekitar 1 (satu) meter dan semakin ke bawah semakin sedikit (Setyamidjaja, 2006).

Tandan buah tumbuh di ketiak daun, semakin tua umur kelapa sawit, pertumbuhan daunnya semakin sedikit, sehingga buah terbentuk semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman, ukuran buah kelapa sawit akan semakin besar. Kadar minyak yang dihasilkannya pun akan semakin tinggi. Berat tandan buah kelapa sawit bervariasi, dari beberapa ons hingga 30 kg (Setyamidjaja, 2006).

Di daerah-daerah yang musim kemaraunya tegas dan panjang, pertumbuhan tanaman kelapa sawit dapat terhambat, yang pada gilirannya akan berdampak pada produksi buah. Suhu berpengaruh pada produksi melalui laju reaksi biokimia dan generative dalam tubuh

Page 114: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

97Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

tanaman. Sampai batas tertentu, suhu yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya produksi buah. Suhu 200C disebut sebagai batas minimum bagi pertumbuhan generative dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-230C diperlukan untuk berlangsungnya produksi buah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh jamur Gonoderma boninense Pat., suatu jamur tanah hutan hujan tropis. Jamur G. Boninense bersifat saprofitik (dapat hidup pada sisa tanaman) dan akan berubah menjadi patogenik bila bertemu dengan akar tanaman kelapa sawit yang tumbuh di dekatnya. Penyakit BPB dapat menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman tua, tetapi gejala penyakit biasanya baru terlihat setelah bibit ditanam di kebun.

Busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat dikendalikan dengan menggunakan asap cair hasil karbonisasi tandan kosong kelapa sawit. Penyemprotan asap cair grade 3 hasil dari proses karbonisasi memberikan hasil yang positif setelah 2 bulan, tanaman sawit menjadi sehat dan akhirnya dapat meningkatkan produk dan kualitas tandan buah sawit.

Hasil Uji LaboratoriumHasil uji laboratorium yang dilakukan

di Laboratorium Penelitian DR. Ishenny Moh. Noor menunjukkan, rendemen CPO tandan buah segar dari tanaman yang diperlakukan dengan biokar dan penyemprotan formulasi asap cair mengalami peningkatan menjadi 26-27% sedangkan yang tidak mengalami perlakuan hanya sekitar19-21 %. Hal ini disebabkan karena tanaman sawit menjadi sehat yang ditandai dengan kenampakan daunnya yang hijau segar dan mengkilap. Kandungan ALBnya yang rendah, hanya 2-5 % dibandingkan dengan ALB dari tandan sawit yang tidak mengalami perlakuan sebesar 2-15%, hal ini sebagai akibat langsung dari tingkat keseragaman kematangan buah yang tinggi (90-95%) dalam 1 (satu) tandan, sedangkan yang

tidak mengalami perlakuan, kematangan buah hanya berkisar antara 60-70%.

Nilai Tambah EkonomiKeuntungan lain yang dapat diperolah

dari penggunaan biokar pada tanaman sawit adalah tumpang sari dengan sayuran kangkung dan sawi yang dengan melakukan penyemprotan asap cair grade 1 (satu) menghasilkan sayuran berkualifikasi organik. Kegiatan ini akan menghasilkan pendapatan sebesar 20 juta/ha/bulan. Peningkatan kuantitas tandan sawit dari 15-20 kg menjadi 20–40 kg, dan rata-rata peningkatan produksi dari 17,5 kg menjadi 30 kg. Peningkatan rata-rata produksi tandan sawit sebesar 71.43%, dengan penambahan biaya kebutuhan biokar sebesar Rp. 7.500,-/pohon untuk jangka waktu selama 5 tahun dan penyemprotan asap cair perpohon perbulan adalah sebesar Rp. 6.500,-

Akibat rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat yang luasnya 4,7 juta hektar ini, ada potensi kehilangan yang setiap tahunnya bisa mencapai Rp 120 triliun. “Kita kehilangan setahun Rp. 120 triliun karena enggak mampu meningkatkan produktivitas perkebunan sawit. Diungkapkannya, rendahnya produktivitas kebun sawit rakyat ini karena dua sebab yang paling dominan, yakni usia tanaman yang sudah tua, serta bibit pohon sawit yang tidak berkualitas”.(Dirjen Perkebunan, Detik, Selasa, 29 Agustus 2017)

Rata-rara dalam 1(satu) ha. lahan tanaman sawit, terdapat 136 pohon, berarti dalam satu ha. tanaman sawit bisa terjadi peningkatan produksi dari 2.380 kg/ha menjadi 3.400 kg/ha/sekali musim buah. Tanaman sawit tanpa perlakukan biochar dan asap cair ada masa jedah (istirahat berbuah) sementara pembuahan pada tanaman sawit yang menggunakan biokar dan asap cair tampak berbeda karena berbuah terus menerus sepanjang tahun tanpa jeda. Perhitungan rata-rata panen tandan segar sawit tanpa perlakukan adalah 7,5 ton/tahun dan dengan perlakuan biokar dan asap cair ada peningkatan rata-

Page 115: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

98Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

rata dalam setahunnya sebesar 25 ton/ha. Perkiraan peningkatannya adalah sebesar 233% dengan demikian tidak perlu lagi meningkatkan produksi dengan memperluas lahan perkebunan sawit, melainkan dengan memanfaatkan teknologi biokar yang bahan bakunya adalah tanda kosong kelapa sawit yang melimpah, mampu meingkatkan produksi tanda segar.

Potensi keuntungan yang akan di peroleh untuk per ha. kebun sawit dalam setahun dengan menerapkan teknologi biokar dan asap cair adalah sebesar 17.500 x Rp 800,-(harga Tandan segar per-kg) adalah sebesar Rp. 14.000.000,-. Luasan kelapa sawit yang pada tahun 2017 mencapai 4.700.000 Ha, maka potensi kehilangan akibat belum dioptimalkan produksi tandan segar sawit adalah sebesar Rp. 65.800.000.000.000,- (Rp. 65,8 Triliun)

Biaya yang di butuhkan untuk penerapan teknologi peningkatan produk dan kualitas pertahun/ha-nya adalah sebesar Rp. 11.628.000,- (penerapan biokar dan asap cair), sehinga keuntungan yang akan di peroleh dengan harga jual tanda buah segar terendah yaitu Rp. 800/kg, per ha. adalah sebesar Rp.2.372.000,-. Bila di terapkan untuk luasan 4.700.000 Ha., perkiraan tambahan yang akan diperoleh adalah sebesar Rp. 11.148.400.000.000,- (Rp 11,148.4 T)

Selain terjadi peningkatan produksi tandan sawit segar juga meningkatkan kualitas, tandan sawit segar, menjadikan produk berkualifikasi organik karena tidak lagi menggunakan pupuk dan pestisida berbahan kimia. Untuk beberapa tahun setelah penerapannya dapat mengajukan sertifikasi produk organik tandan sawit yang dihasilkan. Produk ini akan menjawab issue ataupun tantangan dari negara Uni Eropa yang menghambat ekspor produk sawit Indonesia.

Produk organik menjadi tren sejak abad millinium dan tandan segar yang organik juga akan meningkat harganya pada suatu saat nanti dan mulai sekarang mendorong agar dilakukan perlakuan biochar dan asap cair

Selain keuntungan yang diperolah dari peningkatan kuantitas tandan segar sawit, masih ada peluang dari tanaman tumpang sari sayur kangkung dan sawi organik yaitu sebesar Rp.20.000.000/ha/tahun. Potensi kehilangan dengan jumlah 4.700.000 Ha. tanaman sawit adalah sebesar Rp. 9.700.000.000.000 (Rp. 9,7 T) , berarti ada peluang untuk mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 20.848.400.000.000,- (Rp 20, 8484 T)

Hasil penelitian ini baru di lanjutkan ke tahapan yang lebih besar agar di dapatkan nilai yang signifikan sehingga di dalam penerapannya dalam skala besar bisa memberikan hasil yang signifikan dengan apa yang telah di lakukan dalam skala 1 ha.

KESIMPULANPenerapan teknologi biokar yang

berukuran nano dan penyemprotan formulasi asap cair secara rutin setiap sepuluh hari pada tanaman sawit yang terserang cendawan merupakan teknologi ramah lingkungan, tidak menggunakan pupuk dan pestisida berbahan kimia dan telah terbukti dapat meningkatkan produksi dan kualitas tandan buah sawit segar tanpa perluasan lahan. Pemakaian biokar pada tanaman sawit, cukup sekali dalam jangka waktu 5 tahun (Plaza et al, 2016). Hal ini menjawab issue negatip dari Negara Uni Eropa tentang produk sawit Indonesia.

Potensi kehilangan nilai ekonomi dari pendapatan 4,7 juta ha. tanaman sawit yaitu sebesar Rp. 65,8 Triliun, dapat dicegah dengan penerapan teknologi biochar dan asap cair. Penerapan teknologi biokar dan asap cair dapat mengurangi kehilangan nilai ekonomi, dan memberikan tambahan nilai ekonomi sebesar Rp. 20,848.4 T. dari peningkatan produksi dan kualitas tandan sawit segar dan tumpang sari tanaman sayuran di celah-celah tanaman sawit

SARANPerlu segera didapatkan data analisa

penggunaan biokar dan asap cair yang optimum untuk setiap pohon sawit dan

Page 116: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

99Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

sertifikasi organik produk tandan segar yang dihasilkan setelah melewati persyaratan panen dan tahapan panen untuk beberapa waktu lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amos Lukas, Suharto Ngudiwaluyo, Ishenny Mohd. Noor dan P. Natsir La Teng, 2017 Aplikasi Teknologi Radiasi Panas Pada Pengolahan Sawit Terpadu, Jurnal Industri Hasil Perkebunan, Vol 12. No 2, Makasar

2. Anderson, CR., LM Condron, TJ Clough, M Fiers, A Stewart, RA Hill, RR Sherlock. 2011. Biochar induced soi lmicrobial community change: Implications for biogeochemical cycling of carbon, nitrogen and phosphorus. Pedobiologia-International Journal of Soil Biology. 54, 309-320.

3. Budijanto, S., Hasbullah, R., Prabawati, S., Setiyajit, Sukarno, dan Zuraida, I., 2008. Identifikasi dan Uji Keamanan Asap Cair Tempurung Kelapa Untuk Produk Pangan. Jurnal Pascapanen, Vol. 5. No. 1. Hal. 32-40.

4. Demirbas, A. 2005. Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate conditions. Journal of Analytical Applied and Pyrolysis. 73:39-43.

5. Detik, 2017. Dirjen Perkebunan: Sawit Sumbang Sumber Devisa Rp. 239 Triilun, http://www.rmol.co/read/2017/08/29/304956/Dirjen-Perkebunan: -Sawi t -Sumbang-Sumber-Devisa-Rp-239-Triliun-, 29 Agustus 2017

6. Di Blasi, C., 2008, “Modeling Chemical and Physical Processes of Wood and Biomass Pyrolisis”, Progress in Energy and Combustion Science 34, 47-99

7. Dzaki Maruf. 2017. Pasang Surut Fitnah Uni Eropa dan Prospek Minyak Sawit Indonesia. https://www.kompasiana.com/dzakirmaruf/pasang-surut-f i tnah-un i -eropa-dan-Kompas, Kompas, 8 juni 2017

8. Gani, A., 2007, Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

9. Girrard, J.P., 1992, Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York

10. Guillen, M.D., M.J. Manzanosand L. Zabala. 1995. Study of commercial liquid smoke flavoring by means of Gas Chromatography-Mass Spectrometry and Fourier transporm Infra red Spectroscopy. J Agric Food Chem, 43:463-468.

11. Guillen, M.D., P. Sopelana and M.A. Partearroyo. 2000. Polycyclic aromati chydrocarbons in liquid smoke flavorings obtained from different types of wood, effect of storage in polyethylene flasks on their concentrations. J Agric Food Chem, 48: 5083-6087

12. Guillen, M.D., M.J. Manzanos and M.L. Ibargoitia. 2001. Carbohydrate and nitrogenated compounds in liquid smoke flavorings. J Agric Food Chem, 49:2395-2403.

13. Jayanudin dan Endang Suhendi, 2012, Identifikasi Koponen Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dari Wilayah Anyer Banten, Jurnal Agroekoteknologi, Vol 4, No.1

14. Karseno, P. Darmadji dan K. Rahayu. 2002. Daya hambat asap cair kayu karet terhadap bakteri pengkontaminan lateks dan ribbed smoke sheet. Agritech, 21(1):10-15

15. Liu H., S Kong, Y Liu, H Zeng. 2012. Pollution control technologies of dioxins in municipal solid waste incinerator. Procedia Environmental Sciences, 16, 661-668

16. Luditama, dan Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Page 117: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

100Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

17. Mangoensoekarjo S dan H. Semangun. 2005. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

18. Noor, I.M. 2015. Sudah Saatnya Memodernkan Pabrik Kelapa Sawit Indonesia Untuk Lebih Kuat dan Mandiri dengan FASTLURR TECHNOLOGY, PT. Noor Amalindo, Jakarta.

19. Plaza, C., B. Giannetta, JM. Fernadez, EG. Lopez-de-Sa, A. Polo, G. Gasco, A. Mendez, C. Zaccone. 2016. Response of different soil organic matter pools to biochar and organic

fertilizers. Agriculture, Ecosystems and Environment, 225. 150-159.

20. Putnam, K.P., D.W. Bombick, J.T. Avalosand D.J. Doolittle. 1999. Comparison of the cytotoxic and mutagenic potential of liquid smoke food flavourings, cigarette smoke condensate and wood smoke condensate. Food Chem Toxicol, 37:1113-1118.

21. Setyamidjaja, D., 2006. Kelapa Sawit Teknik Budidaya, Panen dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta.

Page 118: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

101Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PETUNJUK PENULISAN

KETENTUAN UMUM• Artikel adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) atau makalah ilmiah, hasil penelitian, tinjauan, kajian, atau

ulasan dan komunikasi pendek yang dikemas secara sistimatis dan kritis, dibidang ilmu/aplikasi teknik (rekayasa) dan teknologi industri hasil perkebunan.

• Artikel belum pernah dipublikasikan pada jurnal ilmiah lain atau dipresentasikan pada pertemuan ilmiah, seminar dan semacamnya.

FORMAT PENULISAN• Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku dan lugas.• Artikel diketik pada kertas A4 huruf Arial font 11 spasi tunggal (kecuali dinyatakan lain) berkisar

antara 7-12 halaman. Batas marjin kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm; atas 3,0 cm; dan bawah 2,5 cm.• Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia, diikuti dengan terjemahannya dalam

bahasa Inggris. Bila artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka judul, abstrak, dan kata kunci diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

• Judul menggunakan huruf kapital bold dan terjemahannya dengan huruf biasa italik masing-masing dengan font 11 spasi tunggal berkisar antara 10 - 25 kata.

• Nama penulis dicantumkan dibawah judul diikuti dengan nama dan alamat institusi penulis beserta satu alamat pos-el korespondensi penulis dengan font 10 spasi tunggal. Nama penulis dicetak bold.

• Abstrak dibuat dalam satu paragraf menggunakan font 10 italik (paling banyak 150 kata dalam bahasa Inggris, dan 200 kata dalam bahasa Indonesia). Kata kunci dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk, paling banyak delapan kata.

• Sistimatika penulisan artikel hasil penelitian adalah Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. Untuk tulisan bersifat teknik (rekayasa) dan tinjauan/ulasan ilmiah, selain Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Simpulan dan seterusnya sistimatika penulisannya disesuaikan dengan isi artikel. Setiap paragraf ditulis dalam bentuk paragraf utuh tanpa dipenggal kedalam butir-butir (pointer). Misalnya untuk menuliskan urutan proses, komposisi bahan, perlakuan penelitian, standar, atau simpulan hasil penelitian atau kajian ilmiah.

• Sitasi pustaka dan sitasi teks mengacu pada Chicago Style (Scientific Style). Daftar Pustaka menggunakan font 10.

• Bila tahun publikasi pustaka tidak diketahui maka sebagai gantinya digunakan t.t atau n.d.• Contoh penulisan sitasi teks (Hidayat, 2001). Bila penulis pustaka lebih dari 2 (dua) orang maka

hanya nama penulis pertama yang ditulis diikuti dengan kata et al.• Contoh penulisan Daftar Pustaka:

1. Beckett, S. T. 2000. The Science of Chocolate. Cambridge UK: RSCP Paper backs.2. BSN. 1995. Mutu dan Cara Uji Gula Palma, SNI 01-3743-1995. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.3. Budiarso, I. 2004. Minyak Kelapa: Minyak Goreng Paling Aman dan Paling Sehat. http://viladago.

blogsome.com/2005/12/20/minyak-kelapa (diakses 9 Maret 2008).4. Chau, K. V and Gaffney, J. J. 1990. A Finite Difference Model for Heat and Mass Transfer in

Products with Internal Heat Generation and Transpiration. J. Food Sc. 55 (2):484-487.5. Holland, F.A. 1984. Process Economics. In Perry’s Chemical Engineers Handbook. Robert

H.Perry and Don Green, eds. New York : McGraw Hill Inc.6. Republika. 2008. Harga Cengkeh Melonjak. 19 Nopember.7. Sukha, D.A. 2003. Potential Value Added Products from Trinidad and Tobago Cocoa. Proc.

of Seminar/Exhibition on The Revitalization of Trinidad and Tobago Cocoa Industry. Sept, 20. St.Agustine: APASTT-Faculty of Sci. and Agricult. UWI.

• Bila pustaka yang diacu di tulis oleh penulis yang sama dan dalam tahun yang sama, maka setiap pustaka disusun dengan membedakan tahun terbit dengan huruf abjad, misalnya ( 2012 a), (2012 b) dst.

• Tabel, gambar, dan grafik diberi nomor urut; ilustrasi tersebut harus jelas terbaca. Judul tabel ditulis disebelah atas tabel yang bersangkutan, sedangkan judul gambar dan grafik disebelah bawah ilustrasi masing-masing. Tabel dibuat hanya dengan menggunakan garis horisontal.

• Masing-masing judul bab diketik dengan huruf kapital, sedangkan judul sub-bab dan Ucapan Terima Kasih (jika ada) dengan huruf biasa, ketiganya diketik bold font 11.

Page 119: Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Jurnal

102Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

• Acuan pustaka sedapat mungkin 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer (jurnal ilmiah, prosiding, laporan hasil riset, dan paten).

• Kecuali judul, nama, dan alamat institusi penulis dan abstrak, naskah diketik dalam bentuk 2 (dua) kolom termasuk tabel, gambar, dan grafik (sepanjang memungkinkan). Ukuran font dan spasi tabel, gambar, dan grafik masing-masing font 10 spasi tunggal (atau menyesuaikan).Bila tidak memungkinkan, tabel, gambar, dan grafik menempati 2 (dua) kolom, agar ilustrasi tersebut dapat terbaca dengan jelas. Khusus untuk gambar dalam bentuk foto agar melampirkan negatifnya.

SELEKSI ARTIKEL• Proses seleksi meliputi: seleksi awal, penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Review (penelaahan) oleh

Mitra Bestari, dan persetujuan artikel. Proses penyuntingan dan review dapat berlangsung lebih dari satu kali dan bersifat anonim.

• Kriteria penilaian mencakup kesesuaian dengan persyaratan JIHP, derajat originalitas, konsep atau dasar pemikiran, alur penulisan, kedalaman ilmiah, unsur kebaruan dan inovasi, dan nilai manfaat/aplikasi hasil penelitian, kajian atau ulasan ilmiah tersebut.

• Redaksi berhak menolak, mengembalikan untuk diperbaiki atau mengedit kembali naskah tanpa merubah isi dan maksud artikel.

LAIN-LAIN• Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang dikemukakan

penulis didalam artikelnya.• Artikel dapat disubmit melalui sistem ejurnal JIHP Makassar.