akses ke mahkamah internasional yang hanya terbuka untuk negara individu

21
Adalah akses ke Mahkamah Internasional yang hanya terbuka untuk negara Individu, dan organisasi-organisasi Internasional tidak dapat menjadi pihak dari suatu sengketa didepan Mahkamah Internasional. Pada prinsipnya, Mahkamah Internasional hanya terbuka bagi negara-negarea anggota dari statuta. Keputusan Mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi didunia. Penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut, akan dapat merusak citra negara tersebut dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu, dengan mengadakan pengcualian terhadap ketentuan tersebut, juga diberikan kemungkinan kepada negara- negara lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke Mahkamah Internasional (pasal 35 ayat 2 statuta: dimungkinkan mengenakan persyaratan – persyaratan terhadap negara itu, yaitu bahwa negara – negara tersebut harus mematuhi keputusan – keputusan Mahkamah dan menerima syarat – syarat dalam pasal 94 Piagam PBB). Dalam hal ini, dewan keamanan dapat menentukan syarat-syaratnya. Anggota Mahkamah Internasional: Semua anggota PBB ipso facto yang berarti oleh faktanya sendiri, adalah peserta statuta, akan tetapi negara yang bukan anggota PBB dapat juga menjadi peserta, berdasarkan syarat – syarat yang ditetapkan dalam setiap perkara oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi dari dewan Keamanan (pasal 93 Piagam PBB). Syarat – syarat itu adalah penerimaan negara yang bukan anggota atas Statuta, penerimaan kewajiban – kewajiban (pasal

Upload: faishol-muhammad

Post on 26-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Akses Ke Mahkamah Internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Adalah akses ke Mahkamah Internasional yang hanya terbuka untuk

negara Individu, dan organisasi-organisasi Internasional tidak dapat

menjadi pihak dari suatu sengketa didepan Mahkamah Internasional. Pada

prinsipnya, Mahkamah Internasional hanya terbuka bagi negara-negarea

anggota dari statuta.

Keputusan Mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi didunia.

Penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut, akan

dapat merusak citra negara tersebut dalam pergaulan antar bangsa.

Oleh karena itu, dengan mengadakan pengcualian terhadap ketentuan

tersebut, juga diberikan kemungkinan kepada negara-negara lain yang

bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke

Mahkamah Internasional (pasal 35 ayat 2 statuta: dimungkinkan

mengenakan persyaratan – persyaratan terhadap negara itu, yaitu bahwa

negara – negara tersebut harus mematuhi keputusan – keputusan

Mahkamah dan menerima syarat – syarat dalam pasal 94 Piagam PBB).

Dalam hal ini, dewan keamanan dapat menentukan syarat-syaratnya.

Anggota Mahkamah Internasional:

Semua anggota PBB ipso facto yang berarti oleh faktanya sendiri,

adalah peserta statuta, akan tetapi negara yang bukan anggota PBB

dapat juga menjadi peserta, berdasarkan syarat – syarat yang ditetapkan

dalam setiap perkara oleh Majelis Umum PBB atas rekomendasi dari

dewan Keamanan (pasal 93 Piagam PBB). Syarat – syarat itu adalah

penerimaan negara yang bukan anggota atas Statuta, penerimaan

kewajiban – kewajiban (pasal 94 Piagam PBB) dan melaksanakan suatu

pemberian sumbangan anggaran Mahkamah seperti yang dimuat dalam

resolusi majelis Umum tanggal 11 Desember 1946.

Kewenangannya :

Yuridiksi Mahkamah terbagi dua macam[35], yaitu :

Page 2: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

a. Untuk memutuskan perkara-perkara perdebatan (contentious case)

b. Untuk memberi opini-opini nasihat (advisory juridiction)

c. Memerikasa perselisihan/sengketa antara negara-negara anggota

PBB yang diserahkan kepada Mahkamah Internasional.

Menurut mahkamah, ada beberapa pembatasan penting atas

pelaksanaan fungsi – fungsi yudisialnya dalam kaitan yuridiksi pedebatan

dan terhadap hak – hak dari negara untuk mengajukan klaim dalam

lingkup yuridiksi ini, yaitu:[43]

a. Mahkamah tidak boleh memberikan putusan abstrak, untuk

memberikan suatu dasar bagi keputusan politis, apabila

keyakinannya tidak berhubungan dengan hubungan – hubungan

hukum yang aktual. Sebaliknya Mahkamah boleh benar – benar

bertindak sebagai suatu Mahkamah yang didebat. Aspek yang erat

kaitannya yaitu bahwa para pihak tidak dapat diperlakukan sebagai

pihak yang dirugikan satu sama lain dalam suatu sengketa apabila

hanya ada ketidaksesuaian kongkret atas masalah – masalah yang

secara substansif mempengaruhi hak – hak dan kepentingan –

kepentingan hukum mereka.

b. Yang banyak menimbulkan kontroversi, Mahkamah memutuskan

dengan suara mayoritas dalam South West Africa Case, Second

Phase bahwa negara – negara yang mengajukan klaim, yaitu

Ethiopia dan Liberia, telah gagal untuk menetapkan hak hukum

mereka atau kepentingan yang berkaitan dengan mereka di dalam

pokok sengketa dari klaim – klaimnya sehingga menyebabkan klaim

itu harus ditolak. Persoalan ini telah dianggap sebagai salah satu

dari persoalan permulaan, meski demikian ada kaitannya dengan

materi perkara.

Peranan Mahkamah Internasional

Page 3: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Peran Mahkamah Internasional sangat menentukan kepada kedua

negara yang sedang bersengketa. Dalam hal ini, Mahkamah Internasional

mempunyai kewenangan, dimana Mahkamah Internasional berwenang

untuk memeriksa, menyelesaikan sengketa hingga memberikan

keputusan atas dasar sengketa tersebut. Hal ini dinyatakan dalam pasal

94 ayat (1) Piagam PBB, yaitu :

“Setiap anggota PBB berusaha mematuhi keputusan Mahkamah

Internasional dalam perkara apapun dimana anggota tersebut menjadi

suatu pihak.”

Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan sebagai berikut

“Apabila sesuatu pihak dalam suatu perkara tidak memenuhi kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan Mahkamah, pihak yang lain dapat meminta perhatian Dewan Keamanan, yang jika perlu, dapat memberikan rekomendasi atau menentukan tindakan – tindakan yang akan diambil untuk terlaksananya keputusan itu.”

ngah Hatiuntuk Timor TimurMEMASUKI tahun ketiga setelah penghancuran (bumi hangus) oleh militer Indonesia dan milisi pro-integrasi, belum diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas, hilang, korban perkosaan, dan kejahatan lainnya di Timor Timur. Hal ini masih menjadi misteri. Kini, para pelaku kejahatan itu masih bebas, sementara para korban dan keluarga korban terus menuntut keadilan. Kapan kita akan mendapatkan keadilan?

Menanggapi tuntutan ini, United Nations Transitional Administration for East Timor (UNTAET) membentuk Special Panel (Regulasi 2000/15) yang memiliki kewenangan mengusut kejahatan-kejahatan serius. Pertanyaannya, seberapa efektif panel ini mengusut kejahatan-kejatahan serius itu?

Serious Crimes Unit (SCU) dibentuk menyusul hasil penyelidikan pasukan multinasional untuk Timor Timur (Interfet), yang kasus-kasusnya kemudian ditangani polisi sipil UNTAET (Civilian Police) pada Desember 1999. Pada Juni

Page 4: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

2000, Special Panel dibentuk untuk melanjutkan kerja SCU menangani kejahatan berat ini, sesuai Regulasi UNTAET 2000/15.

Regulasi ini memberi harapan kepada pada korban untuk mencari keadilan. Teorinya, regulasi ini menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum dan sesudah referendum dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan, genosida dan dan kejahatan perang. Semua kategori kejahatan itu terdapat pada Statuta Roma 1998 dan pengadilan ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda.

Banyak pihak menaruh pesimisme pada SCU dan Special Panel. Masalah yang dihadapi dua institusi ini adalah kurang sumber dana manusia (staf profesional, pengacara, interpreter) dan sumber-sumber lainnya, seperti dana yang kurang dan sebagainya yang bisa menjadikan lembaga ini berdaya guna. Sejak didirikan, Special Panel sudah kekurangan dana. Hal ini berbeda dengan hal serupa di Kamboja, di mana Sekretaris Jendral PBB segera mengirim dana segera setelah panel seperti ini didirikan. Belum lagi, para penyelidik ahli asing yang bekerja di SCU hanya dikontrak UNTAET selama enam bulan.

Waktu sependek itu jelas tidak memadai. Kontrak yang pendek dengan para ahli hukum asing ini membuat para penegak hukum Timor Timur frustasi. Satu-satunya hakim pribumi di Special Panel mengatakan �Situasi semacam ini sangat menyulitkan karena setiap kali saya harus menghadapi situasi dan rekan kerja baru. Pada banyak kasus, hakim-hakim asing itu tidak memahami konteks kasus-kasus yang ditangani atau mereka tidak memahami Timor Timur.�

Situasi yang lebih sulit dihadapi para pengacara publik. Hanya ada tiga pengacara publik pribumi yang menangani kasus-kasus kejahatan serius. Mereka bergabung dengan tiga pengacara publik asing. Pada saat yang sama, karena kekurangan sumber daya ini, mereka harus merangkap tugas menangani kasus kejahatan serius dan perkara biasa. Para mengacara publik ini kekurangan fasilitas, tidak memiliki mobil, dan tidak ada perpustakaan untuk riset. Para pengacara publik di Timor Timur kebanyakan kurang pengetahuan dan pengalaman menangani kasus-kasus kejahatan berat. Sejumlah pengacara asing yang berpraktek di Timor Timur juga tak memiliki pengalaman serupa.

Para pengacara publik ini tidak diberi pelatihan khusus sebelum mereka membela kasus-kasus kejahatan serius. Mereka sebelumnya membela kasus-kasus kejahatan biasa, kemudian pindah ke Special Panel segera setelah panel ini didirikan. Kesulitan lain adalah hambatan bahasa dengan para pengacara publik asing. Kantor pengacara publik tidak menyediakan penterjemah untuk tugas-tugas ini. Masalah bahasa juga terjadi di ruang sidang. Seorang pengacara publik mengatakan: �Seorang pengacara publik membuat pernyataan penutup dengan Bahasa Indonesia, sementara para lawyer asing di sedang pengadilan itu menulisnya dengan Bahasa Inggris. Mereka bahkan tidak mengerti isi pernyataan penutup satu sama lain karena tidak pernah diterjemahkan�. Baik para pengacara publik maupun para hakim Timor Timur di Special Panel merasa frustasi dengan masalah-masalah seperti ini.

Masalah lain, yang sudah disebut di muka, adalah sulitnya melakukan verifikasi dan problem impunity. Hingga sekarang Special Panel hanya menangani �ikan-ikan kecil� sementara para pelaku �kakap�nya masih bebas berkeliaran. Para saksi mata menyatakan para pelaku kelas kakap, para komandan tentara Indonesia terlibat dalam kejahatan-kejahatan serius ini. Special Panel tidak memiliki jusrisdiksi untuk membawa para pemimpin militer Indonesia dan para eks milisi yang kini berada di Indonesia ke pengadilan mereka.

Page 5: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Hingga kini, Memorandum of Under Standing (MUO) 6 April 2000 antara Jaksa Agung Indonesia dengan UNTAET tak berfungsi. Dalam MUO itu jelas disebutkan kemungkinan adanya �deportasi� yang dirumuskan sebagai �transfer persons�. Kurangnya political will dari pemerintah Indonesia dan kurangnya tekanan internasional terhadap Indonesia membuat Special Panel kesulitan memecahkan masalah impunity dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.

Tuntutan agar pengadilan internasional untuk kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur didirikan datang dari berbagai pihak. Special Rapporter PBB melakukan penyelidikan di Timor Timur. Pada 10 Desember 1999, Special Rapporter mengumumkan hasil penyelidikannya. Kutipannya sebagai berikut: �TNI dan milisi terlibat kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, serangan seksual, pemindahan penduduk, dan tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan, termasuk penghancuran gedung-gedung. Berdasarkan laporan ini Komisi Penyelidik PBB untuk Timor Timur merekomendasikan agar Dewan Keamanan PBB mendirikan pengadilan internasional kecuali Jakarta melakukan tindakan hukum yang kredibel untuk menyelesaikannya.

Special Rapporter PBB menyimpulkan bahwa pengadilan internasional harus memiliki kewenangan terhadap semua kejahatan di bawah hukum internasional yang terjadi sejak kehadiran Portugal di wilayah itu. Pada 31 Januari 2000, International Commision of Inquiry on East Timor (ICET) meluncurkan laporan mereka dan menyerukan agar PBB membuat pengadilan internasional untuk Timor Timur.

Permintaan lainnya datang dari berbagai kelompok masyarakat internasional, seperti IFET (yang bersama-sama 80 organisasi internasional mengirim surat ke Sekretaris Jendral PBB, agar dibentuk pengadilan internasional), ETAN, organisasi-organisasi yang bernaung di bawah Gereja Katolik dan sebuah organisasi solidaritas Timor Timur di Jepang, APCET. Menurut pendapat mereka, performa Special Panel dan kurangnya political will pemerintah Indonesia membuat rakyat Timor Timur tidak percaya bahwa keadilan akan ditegakan. Maka, hanya dengan pengadilan internasional para pelaku kejahatan ini yang sekarang menikmati impunity bisa dibawa ke pengadilan.

Di level nasional, sejumlah lembaga swadaya (NGO) masyarakat Timor Timur terus menuntut didirikannnya pengadilan internasional. Dalam sebuah konferensi baru-baru ini, sejumlah NGO Timor Timur bersama-sama keluarga para korban menyusun strategi bagaimana agar PBB membentuk pengadilan internasional. Mereka pesimistis dengan kerja Spesial Panel dan kesungguhan pemerintah Indonesia.

Dewan Nasional Timor Timur juga mengeluarkan resolusi tentang pembentukan mahkamah internasional untuk Timor Timur. Kendati, dukungan dari para politisi Timor Timur mengendur sejak kemenangan pro kemerdekaan di referendum karena alasan-alasan diplomasi dengan Indonesia, namun pada 30 Agustus 2001, sebagian besar politisi menyatakan tuntutan mereka agar mahkamah internasional dibentuk.

Uskup Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo juga terus menuntut agar mahkamah internasional didirikan. Belo tidak percaya dengan pengadilan Indonesia yang mengadili para komandan militer Indonesia. Pengadilan Indonesia, menurut Belo, miskin kepercayaan dan sulit dibayangkan bahwa para pemimpin militer Indonesia yang terlibat dalam kejahatan berat di Timor Timur dibawa ke pengadilan Indonesia sendiri.

Page 6: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Tuntutan dibentuknya pengadilan internasional mengasumsikan bahwa masalah impunity dan keadilan akan dipecahkan. Asumsi demikian terlalu sederhana, karena pembentukan pengadilan internasional itu sendiri tidak akan lepas dari kendala. Salah satunya, Dewan Keamanan PBB tidak didukung oleh �negara-negara besar�. Mahkamah internasional akan menghadapi masalah yang sama seperti dialami MOU untuk mendeportasi para tersangka.

Pembentukan Special Panel seharusnya dibarengi dengan pelaksanaan MOU April 2000 di mana para tersangka kejahatan kemanusiaan di Timor Timur yang sekarang berada di Indonesia, bisa ditangani Special Panel. Dibentuknya mahkamah internasional memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Namun, hal penting yang paling mendasar sekarang untuk keadilan rakyat Timor Timur adalah tekanan internasional untuk Indonesia. Jika kejahatan ini tidak diungkap dan pelakunya tidak diadili, maka ribuan korban jiwa orang Timor Timur akan terkubur dalam sejarah kemanusiaan yang hitam.

   Aderito de Jesus Soares. Diterjemahkan dari paper berjudul Special Panel for Serious Crimes, A Half-Hearted International Tribunal fos East Timor (Aderito de Jesus Soares) oleh Irawan Saptono. Peper ini dipresentasikan di konferensi internasional bertopik: �International Criminal Court: Practise and Prospects�, Amsterdam, 15-16 Januari 2002. Aderito de Jesus Soares adalah anggota Dewan Konstitusi Timor Timur, seorang ahli hukum yang pernah bekerja di ELSAM, Jakarta.

LATAR BELAKANGDari waktu ke waktu, sejarah sepertinya sengaja memunculkan tokoh-tokoh yang bertentangan dengan pikiran waras. Slobodan Milosevic melengkapi petak terbaru mozaik sejarah, yang sebelum ini dihiasi tokoh-tokoh macam Hitler, Franco, Idi Amin, Ceaucescu, atau Pol Pot. Kalau antipati itu dalam dunia komunikasi modern boleh diwakili oleh media massa, Milosevic memang telah mendapat rapor merah dari Committee to Protect Journalist (CPJ). Ini organisasi internasional perlindungan wartawan yang bermarkas di New York. Nama Milosevic disejajarkan dengan Mahathir Mohamad, Jiang Zemin, dan Presiden Republik Demokrasi Kongo Laurent Kabila. Sekadar catatan, pada 1996 Presiden Soeharto pun pernah dinobatkan oleh CPJ sebagai salah satu tokoh paling dibenci karena memperlakukan media secara buruk.

Milosevic dituduh melakukan pemusnahan etnis. Keinginan merdeka Kosovo dan Metohija (serta Vojvodina) ditanggapinya dengan penyerbuan tentara. Perang menjadi amat rasialis karena kehendak untuk merdeka warga di kedua wilayah itu didorong oleh perbedaan etnis dan agama. Suku Albania - yang mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil Katolik - ingin memisahkan diri karena merasa berbeda dengan etnis Serbia yang mayoritas di Yugoslavia. Apa mau dikata, kehendak ini ditentang Milosevic. Ia yakin, separatisme itu hanya ulah segelintir gerombolan kriminal yang didukung Barat. Publikasi telah direkayasa sehingga menimbulkan kesan pemerintah pusat Yugoslavia berniat melakukan pembersihan etnik.

Page 7: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

LANDASAN BERPIKIRLiteratur tentang permasalahan pelanggaran hak azasi manusia dapat dikatakan terbatas, walaupun sejarah mencatat permasalahan ini merupakan salah satu permasalahan tertua sepanjang sejarah umat manusia.

Namun saya mencatat beberapa prinsip dan dasar pemikiran dari pemikir-pemikir HAM dan dasar norma hukum internasional yang menurut saya dapat dijadikan landasan ketika menganalisa permasalahan pelanggaran HAM oleh Milosevic.

Definisi Korban HAMDengan merujuk pada Deklarasi Prinsip – Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) definisi korban disebut seperti berikut; Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau perampasan yang nyata terhadap hak – hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) atau kelalaian (by omission). Apabila perlu, istilah korban dapat mencakup keluarga langsung atauorang yang secara langsung menjadi tanggungan korban, dan orang – orang yang menderita kerugian ketika membantu korban yang sedang menderita atau dalam usaha mencegah agar orang – orang tidak menjadi korban.

Prinsip Van BovenProfesor Theo van Boven adalah seorang pelapor khusus PBB. Van Boven mengajukan prinsip – prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika suatu Negara ingin merumuskan kebijakan atau hukum yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban (restitusi).

Prinsip tersebut kemudian dikenal sebagai van Boven Principles yang terdiri dari enam prinsip;1. Pemulihan dapat dituntut secara individual atau kolektif2. Negara berkewajiban menerapkan langkah – langkah khusus yang memungkinkan dilakukannya restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan agar kejadian serupa tidak terulang.3. Setiap Negara harus mempublikasikan tentang tersedianya prosedur – prosedur pemulihan4. Ketentuan pembatasan tidak boleh diterapkan selama masa dimana tidak ada penyelesaian efektif atas pelanggaran HAM dan hukum humaniter.5. Setiap Negara harus memungkinkan tersedianya secara cepat informasi yang berkenaan dgn persyaratan – persyaratan tuntutan pemulihan6. Keputusan – keputusan mengenai pemulihan atas korban pelanggaran HAM dan hukum humaniter harus dilaksanakan secara cepat dan cermat

Dasar Dasar Hukum InternasionalDalam kaidah hak azasi manusia dijelaskan adalah menjadi tanggungjawab Negara jika Negara tersebut melanggar hak azasi warga negara suatu Negara lain, dalam hal ini Negara tersebut dapat segera mengajukan tuntutan pemulihan kepada Negara pelanggar, namun para korban tidak mempunyai hak untuk mengajukan klaim atau tuntutan internasional.

Walaupun demikian harus diperhatikan bahwa komisi Hukum Internasional mengajukan konsep bahwa Negara yang dirugikan tidak terbatas pada hak dan kepentingan Negara yang dilanggar saja, tetapi juga memakai konsep tersebut untuk pelanggaran hak berdasarkan perjanjian multiteral atau peraturan hukum kebiasaan internasional yang telah diciptakan

Page 8: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

untuk perlindungan hak azasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Ini artinya kepentingan yang akan dilindungi oleh ketentuan hak azasi manusia bukanlah kepentingan suatu Negara.

Kejahatan perang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, namun apabila penanganan kasusnya didalam negeri mengalami hambatan – hambatan prosedural maka mahkamah internasional dapat menjerat pelaku dengan menggunakan norma- norma hukum humaniter atau mengeluarkan resolusi.

Selain dari resolusi – resolusi yang dikeluarkan PBB yang lebih bersifat reaksioner tercatat beberapa landasan hukum internasional permanen yang dapat digunakan menjerat penjahat perang seperti Milosevic.

Norma – norma hukum humaniter tersebut diantaranya; Pasal 41 Peraturan Den Haag yang dicakup dalam konvensi yang sama untuk menuntut restitusi karena kerugian-kerugian yang dialami akibat pelanggaran terhadap klausula gencatan senjata oleh perorangan, Pasal 68 Konvensi Jenewa tentang perlakuan terhadap tawanan perang yang mengandung ketentuan –ketentuan khusus mengenai tuntutan kompensasi bagi tawanan perang, Protokol I Konvensi Jenewa pasal 91 mengenai pihak yang melanggar konvensi dalam konflik bersenjata wajib membayar kompensasi.

PERMASALAHANLogika dunia memang acap bertolak belakang dengan logika Milosevic. Persoalan dalam predikat dengan awalan “me-”, bagi Milosevic bisa berubah menjadi “di-”, demikian pula sebaliknya. Ia yang delapan tahun lalu gagal membendung aspirasi warga Slovenia, Kroasia, Bosnia-Hersegovina, dan Macedonia, kali ini menempuh segala cara untuk tetap mempertahankan Kosovo-Metohija.

Langkah yang ditempuh Milosevic sama dengan Hitler saat berekspansi atas nama ideologi dan nasionalisme. Milosevic terobsesi mewujudkan Serbia Raya, walau dengan memunguti puing-puing kehancuran Yugoslavia. Maka tanpa mempedulikan PBB ia mendefinisikan wilayah kekuasaannya: Republik Federal Yugoslavia, yang mencakup kawasan Serbia-Montenegro, dan Kosovo-Metohija. Inilah dua republik yang tersisa dari enam buah sebelum Juni 1991, yang dulu tergabung dalam Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Sementara PBB menganggap, dengan wilayah yang sekarang sangat berbeda, tak ada satu pihak pun yang layak mengaku jadi penerus Republik Federal Sosialis Yugoslavia.

Jelas, banyak orang mencibir Milosevic. Gagasan itu tak lebih dari impian semu dan buah dendam tak kesampaian. McGeary menambahkan, jiwa sakit seperti yang sedang diidap Milosevic tak usahlah ditanggapi. Diktator yang dalam sepuluh tahun terakhir telah memprakarsai 4 peperangan namun 3 di antaranya berakhir dengan kekakalahan, akan menempuh seribu cara untuk memenangkan perang ini. Seribu cara termaksud, seperti dijelaskan oleh Dusan Stojanovic, berwujud pelanggaran serius hak asasi manusia serta pendobrakan prinsip-prinsip demokrasi.

Begitulah, ketika berkuasa, Milosevic tak segan-segan menggunakan segenap kekuatannya untuk bertahan. Seberapa jauh ia masih akan tegar, barangkali sampai dunia bosan sendiri. Milosevic tak merasa berdosa “menggunakan” warganya sebagai perisai diri dari gempuran peluru NATO dan Amerika, sementara di dunia setiap hari terdengar teriakan tentang hak asasi manusia.

Page 9: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

PEMBAHASANTentang MilosevicLahir pada 20 Agustus 1941 di Pozarevac, salah satu kota miskin berpenduduk 20.000 orang di Serbia, Slobodan terbilang anak biasa-biasa saja. Ia dikenal tertib, tak suka olahraga karena akan merusak dandanannya yang selalu kuno dan rapi. Teman-temannya menduga Slobodan akan jadi juru tulis atau petugas administrasi pemerintah.

Bagi pikiran normal, kiprah Milosevic dengan gagasan yang sudah ketinggalan zaman itu menjadi unik. Majalah Newsweek 5 April 1999 yang menjulukinya “Penggertak dari Balkan” menuliskan, sesudah PD II Slobodan (kata ini berarti kebebasan/kemerdekaan) ditinggal pergi ayahnya, seorang guru mata pelajaran teologi ortodoks Timur. Slobodan yang masih berusia 5 tahun hanya tinggal bersama ibunya. Mereka terpisah sangat lama, tahu-tahu, ketika Slobodan telah berusia 21 tahun, ada kabar bahwa ayahnya tewas bunuh diri. Bagaikan tragedi berantai, ibunya, juga guru sekaligus aktivis komunis, gantung diri pada tahun 1974.

Sewaktu muda Slobodan tak banyak bergaul. Satu-satunya teman dekat di sekolah menengah ya cuma Mirjana Markovic, gadis yang juga punya riwayat kekerasan, karena ibunya, aktivis komunis, menjadi martir bagi Serbia dalam PD II.

Keduanya menikah dan masuk ke Universitas Beograd. Slobodan belajar hukum, sedangkan Mirjana memperdalam politik hingga lulus doktor dan jadi profesor dalam bidang ideologi marxisme. Belakangan Mirjana memimpin partai Yugoslav United Left (JUL). Di Fakultas Hukum, Slobodan berteman dengan Ivan Stambolic yang saat itu tengah merintis jalan politik di satu-satunya jalur kaderisasi, yakni Partai Komunis. Selulus kuliah, 1964, Slobodan terus mengikuti Stambolic dan jadi pendukung potensial bagi kesuksesannya.

Dalam beberapa hal Milosevic bahkan lebih keras dari atasannya. Ia, misalnya, memaksa Stambolic yang tahun 1985 terpilih jadi Presiden Serbia, membentuk Komite Sentral Partai Komunis dengan Slobodan ketuanya. Begitu terpilih, Slobodan menempuh jalan kebijakan sendiri yang berbeda dengan Partai Komunis Uni Soviet. Rupanya, Stambolic setuju dengan kiprah Slobodan. Orang kepercayaannya itu diutus ke Kosovo untuk membereskan konflik antaretnis. Lagi-lagi caranya radikal, yakni menyemangati minoritas Serbia dengan ucapan, “Mulai sekarang, tak ada lagi ancaman bagi Anda, karena saya ada di sini!” Karuan saja, orang mengelu-elukannya, “Slobo, Slobo!”

Slobodan tak selamanya terlibat dalam kegiatan politik. Setelah jadi penasihat ekonomi walikota Beograd, tahun 1973 ia ditunjuk untuk memimpin perusahaan negara Tehnogas. Lima tahun kemudian, 1978, ia memimpin Beobank, kependekan dari The United Bank of Belgrade, juga selama 5 tahun.

Selama menjadi pengusaha, wawasan internasionalnya maju pesat karena sering melancong ke banyak negara. Begitu pun halnya dengan Mirjana, serta anak laki-laki dan perempuan mereka. Sesuatu yang menimbulkan rasa iri di kalangan teman-teman sekolah mereka. Namun dalam ideologi Milosevic tak berubah. Tahun 1984 ia memimpin Partai Komunis Beograd, dan tiga tahun kemudian menjadi ketua Partai Komunis seluruh Serbia. Ambisinya terus menggunung. Diramu dengan kecerdikan, jabatan Presiden Serbia pun beralih dari bekas atasannya, Stambolic, kepada dirinya pada 1989.

Tahun 1991, pemisahan diri bekas republik dalam Federasi Yugoslavia, dihadapi Milosevic dengan senjata. Ia, yang menurut Dennison Rusinow dalam Microsoft Encarta 1997, terobsesi

Page 10: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

oleh keperkasaan ekspansi Nazi, melakukan segala cara untuk mempertahankan bekas wilayah Yugoslavia. Apa mau dikata, kemerdekaan Kroasia tak terbendung. Demikian pula Bosnia-Herzegovina. Ada dendam yang tersimpan atas kekalahan ini, sekalipun dalam penampakan luar tak terlihat. Yang paling merasakan akibatnya adalah warga di wilayah kekuasaannya. Di dalam negeri jumlah musuhnya makin bertambah. Tetap saja, itu diolahnya menjadi kartu-kartu permainannya.

“Tokoh di balik kekuasaan dia adalah istrinya. Slobodan tak pernah seratus persen mempercayai orang lain, kecuali istrinya sendiri,” komentar penulis biografi Slavoljub Djukic. “Dia paham betul karakter serta mental orang Serbia dan Kosovo, sehingga dalam setiap kebijakannya selalu ada pertimbangan psikologis yang sangat matang,” ujar Veran Matic, direktur radio independen B-92 yang dimusuhi Milosevic. Sedangkan seorang peninjau internasional berkebangsaan Rusia mengomentari, “Milosevic selalu mengambil keputusan yang lurus. Ia tak peduli kepada saran dan usul, tak pernah bertele-tele dalam menilai, sehingga tak ada rencana jangka panjang bagi Yugoslavia selain ambisinya untuk terus duduk di kursi tertinggi.”

Milosevic kalah di Kroasia maupun Bosnia, tetapi mengkompensasikan kekalahan itu dengan mewujudkan kembali negara Yugoslavia (sejak 11 April 1992) yang kini tinggal Serbia (jumlah penduduk 10,5 juta orang) dan Montenegro (680.000 orang). Kosovo-Metohija yang berpopulasi hampir 2 juta hampir pasti tak terbendung memerdekakan diri.

Mengherankan, posisi Milosevic justru menanjak kendati negaranya terpuruk dalam pelbagai kesulitan. Krisis ekonomi berbuntut menjadi hiperinflasi, sehingga pada Juni 1993 Serbia terpaksa mengganti mata uang - untuk tidak menyebutnya devaluasi. Setiap AS $1 bernilai antara 5 - 8 Yugoslav New Dinars.

Sejak 23 Juli 1997 Milosevic dikukuhkan menjadi Presiden Republik Federal Yugoslavia. Namun orang percaya, jabatan itu diraih dengan kecurangan luar biasa. Selain memanipulasi suara, proses kampanyenya pun dia mainkan. Dean E. Murphy, dalam artikel “Yugoslav Opposition Laments Invisibilty” di Los Angeles Times 31 Oktober 1996 mencatat, kontrol yang sangat ketat pada media menyebabkan partai Milosevic, Partai Sosialis Serbia (ini sekadar nama jelmaan dari Partai Komunis), memperoleh peliputan 15 kali lebih banyak daripada partai-partai lain. Temuan hampir sama juga didapat Paul Wood dalam artikel “An Election Waiting for Disaster” di Maclean’s Magazine 16 September 1996. Menurut Wood, sekalipun di luar Milosevic meneriakkan demokrasi, ketika pemilihan umum ia mengharuskan partai-partai oposisi membayar AS $20.000 untuk setiap menit peliputan televisi.

Isu Separatisme dan Pembersihan EtnisHampir sama pula dengan Timor Timur, Kosovo dan Metohija semula adalah negara bagian Federasi Yugoslavia yang punya otonomi luas, baik secara teritorial maupun kultural. Punya parlemen dan kepala eksekutif sendiri. Mengelola keuangan, kebudayaan, pendidikan, informasi, kesejahteraan, serta bahasa sendiri.

Namun itu semua tetap dirasakan kurang. Mereka “iri” pada Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia, republik-republik yang pada Juni 1991 memisahkan diri dari Federasi Yugoslavia. Ibrahim Rugova, ketua organisasi perlawanan terbesar, Liga Demokratik Kosovo (DSK), seperti dikutip Time edisi 5 April menyatakan, “Milosevic tak cuma curang demi mencapai kejayaan suku Serbia, tetapi juga diskriminatif. Ia menyingkirkan suku Albania

Page 11: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

dari berbagai pos dan jabatan di Kosovo. Kalau tak bisa melawan, cara terbaik untuk menghapuskan diskriminasi itu ya memisahkan diri.”

Diskriminasi memang kata yang dianggap paling tepat oleh media Barat untuk menunjuk perilaku politik Milosevic di Kosovo-Metohija. Pembersihan etnis, menjadi makin jelas dengan mendiamkan ratusan ribu warganya berbondong-bondong pergi mencari tempat yang lebih baik. Di satu sisi tak mau hegemoninya berkurang, namun di sisi lain membiarkan etnis Albania ramai-ramai eksodus dari Kosovo-Metohija. Kesimpulannya, Milosevic menghendaki wilayah semata-mata, bukan warga negara yang berhak tinggal di wilayah itu.Ini memang bertolak belakang dengan retorika yang setiap kali dilakukannya. Menurut Milosevic, Kosovo dan Metohija adalah bagian tak terpisahkan dari Serbia sejak abad VI. Sekalipun etnis Serbia hanya sepuluh persen dari sekitar dua juta penduduk Kosovo-Metohija, di wilayah itu terdapat 200 gereja Abad Pertengahan sebagai bukti menyatunya kedua wilayah pada masa lalu.

Waktu PD II meletus, lanjut publikasi resmi itu, orang Serbia dan Montenegro-lah yang justru diusir dari Kosovo-Metohija. Selama perang berlangsung, tak kurang dari 100.000 orang Serbia dideportasi. Seusai perang pun pemerintah komunis melarang mereka kembali. Dalam kurun 2 dekade, 1968-1988, 220.000 orang Serbia diusir, dan 700 desa bersih dari etnis Serbia. Total, selama 40 tahun terakhir jumlah orang Serbia yang meninggalkan kawasan itu sekitar 400.000 orang.

Perlawanan Kosovo - MetohijaPemerintah pusat mungkin punya seribu gincu politik untuk mempermanis penampilannya di Kosovo-Metohija. Yang pasti, pejabat yang diangkat untuk mengurusi wilayah ini selalu orang Serbia. Masuk akal jika gerakan perlawanan telah lama ada, jauh sebelum Beograd mengakui tahun resmi 1981 sebagai pemberontakan separatis Republik Kosovo. Namun sejak itu pun tekanan dari bawah makin kuat, sehingga tahun 1991, hampir bersamaan dengan republik lain di bekas Yugoslavia yang memerdekakan diri, rakyat Kosovo-Metohija menyelenggarakan pemilu yang terpisah dari campur tangan kekuasaan Beograd. Sayang, kalau Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia berhasil, tidak demikian halnya dengan Kosovo-Metohija. Perlawanan mereka kemudian kembali meledak di awal tahun ini, melahirkan babak baru Perang Balkan.

Separatisme Kosovo-Metohija dipolitisasi dengan cukup canggih oleh Milosevic, sehingga citra yang muncul adalah: gerakan separatisme itu kejam, membahayakan golongan minoritas Serbia di Kosovo-Metohija. Maka setiap kali Milosevic atau pejabat pemerintah lain berkunjung ke kawasan Serbia di Kosovo, mereka selalu mencitrakan diri sebagai pelindung kaum minoritas dari ancaman mayoritas etnis Albania.

Ketika tentara Serbia menyerbu kawasan Kosovo-Metohija, di media massa kontan tercipta gambaran neraka perang. Korban berjatuhan, pengungsi pun bergelombang. Pencitraan ini sedikit banyak juga diciptakan oleh media massa Barat, yang memang belum tentu cocok dengan kenyataan. “Sebelum tanggal 24 Maret, saat agresor jahat masuk dan bom jatuh di negeri ini, tak ada satu pun pengungsi. Pengungsian baru terjadi setelah bom-bom NATO menjatuhi tanah kami. Seluruh dunia tahu ini,” kata Milosevic kepada televisi CBS yang mewawancarainya di Beograd, 22 April 1999.

Dengan kata-kata itu ia menepis publikasi neraka perang. Singkatnya ia menyampaikan pesan: masalah dalam negeri Yugoslavia mestinya sudah selesai jika NATO tak campur

Page 12: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

tangan dengan menjatuhkan bom. Di matanya, itulah puncak propaganda untuk mencoreng-moreng citra Serbia. Milosevic agak mengabaikan kenyataan, bom-bom NATO jatuh di wilayah Serbia dan Montenegro, bagian utara dan baratdaya Yugoslavia, termasuk yang salah sasaran di kawasan netral seperti bangunan sekolah atau kedutaan besar. Padahal seluruh dunia tahu, rombongan pengungsi berasal dari Kosovo-Metohija, di bagian selatan Republik Federasi Yugoslavia. Mereka mengalir ke selatan menuju Macedonia, atau ke barat menuju Albania.

Mahkamah Pidana InternasionalTanggal 1 Juli 2002 merupakan hari bersejarah bagi negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada hari tersebut telah lahir di Den Haag, Belanda, sebuah organ judisial internasional baru di samping Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang sudah ada lebih dulu yang tugasnya mengadili sengketa antarnegara. Organ baru ini bernama Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Untuk pertamakalinya dalam sejarah, dunia memiliki satu lembaga peradilan internaisonal yang bersifat permanen yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, menghukum individu, presiden, jenderal, panglima perang atau pun tentara bayaran yang terbukti telah melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan atau pun pembantaian umat manusia (genocide).

Boleh jadi andaikan mahkamah ini terbentuk sebelum pada saat proses peradilan Milosevic, maka proses tersebut akan berjalan lebih cepat karena prosedur yang dimiliki mahkamah tersebut memungkinkan penjahat perang seperti Milosevic dapat diadili langsung tanpa perdebatan yang panjang mengenai prosedural peradilan yang akan dipilih. Namun tentunya mahkamah ini tetap menghormati Negara untuk pihak yang pertama kali mengadili pelaku.

Pemulihan Hak KorbanDalam kasus Milosevic dan Serbia Raya nya, negara, badan/lembaga internasional seperti NATO terkesan hanya berusaha memburu pelakunya yang dalam hal ini Milosevic dengan upaya militer tanpa diimbangi dengan usaha-usaha pemulihan HAM korban pelanggaran. Aksi militer ini sendiri akhirnya menghasilkan korban-korban baru ketika Amerika atau NATO tidak menyangka (atau sudah menduga?) bahwa seorang Milosevic akan menggunakan warganya sebagai tameng hidup dari aksi militer mereka.

 

Sebab keseimbangan (balanced) dalam memburu pelaku pelanggaran HAM sampai ke Mahkamah Internasional serta pemulihan HAM korban diperlukan guna penegakan total HAM dan hukum humaniter secara. Setiap strategi aksi militer yang dilancarkan hendaknya tidak justru menambah deretan jumlah korban, dan yang terpenting adalah pemulihan (reparation) HAM para korban.

PENDAPAT SAYAKetika menganalisa permasalahan pelanggaran HAM maka kita acapkali terjebak untuk melihat permasalahan dari sudut pandang isu-isu konseptual seperti isu relativisme versus universalisme, konsep HAM barat versus timur, atau seputar pengusutan peristiwa – peristiwa pelanggaran HAM tersebut terjadi. Yang terjadi akhirnya terkadang pelaku pelanggar HAM sering lolos dari hukuman.

Page 13: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Menurut saya posisi korban pelanggaran HAM jarang sekali dibahas dalam pengusutan tersebut, artinya upaya pemulihan (reparation) korban terhadap hak-hak korban sering kali terabaikan. Padahal upaya tersebut merupakan bagian dari usaha penajuan dan perlindungan HAM.

Pembentukan Crisis Centre guna upaya tersebut dapat membantu. Keuntungan lainnya dalam proses pemulihan tersebut dapat diperoleh juga data akurat tentang berbagai jenis pelanggaran serta bukti-bukti obyektif yang dapat menyeret pelaku pelangaran HAM tersebut ke pengadilan (dalam hal ini Milosevic tentunya Mahkamah Internasional).

KESIMPULANSetiap informasi perihal konflik mutakhir di Semenanjung Balkan itu memang perlu dicerna baik-baik. Sumber-sumber formal Beograd, semisal kantor berita Beograd menyebutkan, awal mulanya adalah keinginan segelintir orang di Kosovo yang dipanas-panasi CIA untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Beograd. Sedangkan media Barat menitikberatkan tinjauan pada hak asasi warga negara bagian Kosovo yang, karena perbedaan banyak hal, ingin memisahkan diri dari Serbia, namun tak diperbolehkan. Apa pun, cerita berlanjut dengan tindakan Milosevic membubarkan parlemen Kosovo, lantas diikuti dengan penyerbuan pasukan Serbia. Kosovo harus tetap jadi bagian dari Republik Federasi Yugoslavia!

Tapi begitulah. Konflik Milosevic dengan NATO tak melulu adu peluru namun juga adu informasi. Cerita apa pun yang keluar, kepentingan penyampainya akan terbawa serta. Maka, kalau pers Barat menyebut tentara pembebasan Kosovo (KLA) pejuang kemerdekaan, Pemerintah Beograd menjuluki mereka penjahat tengik belaka. Kalau pers Barat menggambarkan Presiden Milosevic sebagai Si Rendah Diri yang ingin balas dendam atas masa lalu yang kelam, publikasi resmi Beograd menjulukinya ahli hukum hebat, mantan pengusaha dan bankir sukses, pimpinan partai yang berwibawa, serta Bapak Bangsa.

Ini mengingatkan kita pada pelbagai gerakan separatis di tanah air, yang utama Timor Timur. Bedanya, kalau di Timtim pencegahan niat merdeka dilakukan dengan diam-diam, di Kosovo dilakukan dengan terbuka. Akibatnya, PBB harus turun tangan. Perundingan di Rambuillet dan Paris yang berlangsung selama 3 minggu pada Maret lalu tak membawa hasil alias gagal total. Milosevic tak setuju langkah PBB membagi delegasi negaranya menjadi Serbia, Kosovo etnis Albania, serta Metohija. Ia bersikeras semuanya adalah bagian dari Yugoslavia, dan tak satu pihak pun di dunia boleh memilah-milahkannya.

Maka persekutuan 19 negara yang tergabung dalam NATO, termasuk anggota kecil yang tak punya angkatan perang seperti Luksemburg dan Eslandia, pun tergerak untuk “menghukum” Milosevic. Perang - yang oleh NATO dianggarkan berbiaya AS $ 250 juta per minggu - pun meletus. Wilayah Serbia dihujani bom, sementara pengungsi berhamburan keluar dari Kosovo-Metohija.

Dasar dan instrument hukum internasional untuk mengadili penjahat perang seperti Milosevic saat ini sudah semakin mapan, sebagai antisipasi apabila Negara asal penjahat tersebut tidak mampu menangani peradilan atas pelaku. Lahirnya Mahkamah pidana Internasional menunjukan bahwa dunia telah geram dengan ulah tokoh macam Hitler, Franco, Idi Amin, Ceaucescu, Milosevic atau Pol Pot. Bahkan dalam peradilan internasional sudah tidak dikenal lagi sistem kadaluwarsa pada suatu kasus pelanggaran HAM.

Page 14: Akses Ke Mahkamah Internasional Yang Hanya Terbuka Untuk Negara Individu

Pemasalahannya yang sering muncul adalah rumitnya pengusutan kaki tangan pelaku utama pelanggar HAM secara keseluruhan, karena seringkali pelaku - pelaku sekunder tersebut setelah jatuhnya pelaku utama, kini menjadi bagian dari penguasa Negara yang dapat memanipulasi data tentang pelanggaran HAM. Untuk menangani hal tersebut maka tim investigasi independent internasional sering dikerahkan guna pengusutan yang berindikasi melibatkan penguasa Negara, walaupun sering terjadi pro dan kontra mengenai keberadaan tim tersebut.

Kemudian permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah pemulihan hak korban. Sering terjadi, tindakan kearah ini terbengkalai atau kurang terekspos karena sibuknya lembaga peradilan dalam mengusut tuntas pelaku, padahal dalam penegakan HAM secara utuh pemulihan HAM korban seharusnya menjadi prioritas penting. Belakangan ini lembaga – lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional banyak yang memfokuskan terhadap masalah ini. Fenomena tersebut terjadi sebagai reaksi atas sering lambannya respon Negara terhadap hal ini.

Kerugian korban untuk kerusakan secara ekonomis akibat kejahatan perang Milosevic diperkirakan berupa; kerusakan fisik dan mental, hilangnya kesempatan mendapat pendidikan, mencari nafkah, kerugian tempat tinggal, tempat usaha, yang semuanya disebabkan oleh eksodusnya ratusan ribu warganya dari Kosovo, sedangkan yang jelas terjadi adalah korban jiwa warga yang dijadikan tameng perang terhadap NATO dan Amerika

Kendala-kendala yang dihadapi oleh Mahkamah Internasional menurut kelompok kami adalah sebagai berikut,

1. Sikap Egoisme antar negara yang bersengketa.2. Sikap Arogan yang ditunjukkan oleh salah satu negara yang bersengketa.

3. Adanya sikap Monopoli atau hasutan dari negara-negara Adidaya kepada Mahkamah Internasional dalam memutuskan suatu keputusan dalam persengketaan.

4. Tidak adanya sikap tranparansi dari pihak suatu kelompok yang terkait atau pemerintahan dalam pengumpulan bukti-bukti untuk kasus Genosida atau kejahatan perang.