aktor politik

34
KETERLIBATAN AKTOR-AKTOR DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK Oleh: SRIYANA, S.Sos Abstraksi Dalam membicarakan proses kebijakan publik adalah penting untuk melihat siapakah aktor- aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya, bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan dan siapa yang merumuskan. Karena aktor dalam proses kebijakan publik akan menentukan bentuk dari perumusan kebijakan publik sampai pada tingkat implementasi dan evalusi kebijakan publik Keyword : Keterlibatan, Aktor, Proses, Kebijakan, Publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai sebuah negara besar dengan kekayaan yang melimpah baik dari segi human resources 1

Upload: sampeyan-riyan

Post on 29-Jun-2015

1.114 views

Category:

Documents


32 download

TRANSCRIPT

KETERLIBATAN AKTOR-AKTOR DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh: SRIYANA, S.Sos

Abstraksi

Dalam membicarakan proses kebijakan publik adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya, bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan dan siapa yang merumuskan. Karena aktor dalam proses kebijakan publik akan menentukan bentuk dari perumusan kebijakan publik sampai pada tingkat implementasi dan evalusi kebijakan publik

Keyword : Keterlibatan, Aktor, Proses, Kebijakan, Publik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai sebuah negara besar dengan kekayaan yang melimpah

baik dari segi human resources maupun natural resources. Dari segi human

resources Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa dengan jumlah

penduduk ± 230 juta orang, terbesar kelima sedunia. Sedangkan dari natural

resources, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa baik dari segi hutan

maupun hasil tambang yang ada di perut bumi Indonesia.

Dengan begitu besarnya sumber daya yang dimiliki Indonesia seharusnya

Indonesia bisa memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Namun

1

kenyataannya dalam tahun-tahun belakangan ini, Indonesia mengalami banyak

persoalan-persoalan yang sedemikian komplek akibat krisis multidimensional.

Hal ini ditandai dengan krisis ekonomi pada tahun 1998 dengan adanya

pergantian rezim dari rezim orde baru ke rezim reformasi.

Dengan adanya pergantian rezim pemerintahan diharapkan terjadinya

perubahan yang signifikan terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Namun

kenyataannya justru berbalik, di mana tingkat kemiskinan semakin meningkat,

pada masa orde baru tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 11%, sedangkan pada

masa reformasi justru meningkat menjadi 23%.

Kondisi ini jelas membutuhkan penanganan yang cepat dan akurat agar

krisis yang dihadapi bangsa Indonesia dapat segera diatasi. Kondisi ini pada

akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi negara lainnya pada

pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Kebijakan yang diambil tersebut terkadang

membantu pemerintah dan rakyat Indonesia keluar dari krisis, tetapi dapat juga

sebaliknya, yakni justru mendelegitimasi pemerintah itu sendiri.

Guna mengatasi kondisi tersebut maka perlu adanya kebijakan pemerintah

atau yang sering disebut dengan kebijakan publik. Menurut Anderson (dalam

Winarno, 2005:14) bahwa: “istilah kebijakan (policy) dipergunakan untuk

menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,

maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu”. Sedangkan kebijakan publik menurut Eyestone (dalam

2

Winarno, 2005:15) bahwa: “secara luas kebijakan publik bisa didefinisikan

sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Selain itu

menurut Dye (dalam Winarno, 2005:15) bahwa: “kebijakan publik adalah

apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.

Sementara itu Eulau dan Kenneth Prewitt (1973:265) mendefinisikan

kebijakan publik “sebagai keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan

pengulangan (repetisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka

yang mematuhi keputusan tersebut”. Sedangkan Richard Rose (dalam Agustino,

2006:7) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “sebuah rangkaian panjang

dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki

konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

dalam kebijakan itu adanya aturan, kegiatan, pemerintah atau sekelompok orang.

Hal ini sesuai dengan pendapat Friedrich (dalam Winarno, 2005:16) bahwa,

“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan

hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang

diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu

tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”.

Dalam proses pembuatan kebijakan (policy making) tentu tidak lepas dari

peran aktor dan faktor bukan pemerintah seperti misalnya kelompok-kelompok

3

penekan (pressure groups) maupun kelompok-kelompok kepentingan (interst

groups). Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan ini menjadi ciri

khusus dalam kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan

publik diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh Easton (dalam Winarno,

2005:18), “sebagai penguasa dalam suatu sistem politik yaitu para sesepuh

tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator,

penasehat, raja dan semacamnya”.

Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan ini tentu saja mempunyai

maksud dan kepentingan-kepentingan tertentu, baik secara individual, organisasi

maupun kelompok. Keterlibatan akator-aktor ini diwujudkan dalam bentuk

tuntutan kebijakan maupun tekanan-tekanan politik. Tuntutan-tuntutan tersebut

berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak

mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-

tuntutan itu diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin

berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus berbuat sesuatu

sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu

persoalan. Sebagai contoh adalah kasus PT Inti Indorayon Utama yang

menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (unintended consquencies) yakni

kerusakan lingkungan berupa pembabatan hutan seluas 50.000 ha, merusak 30

hektar sawah dan 6 hektar ladang dan pencemaran lingkungan. Kondisi ini

mendorong beberapa elemen masyarakat seperti masyarakat Porsea, LSM,

4

mahasiswa dan forum internasional (CGI) menuntut pemerintah untuk segera

mengambil sikap terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.

Seharusnya aktor-aktor dalam proses kebijakan memperjuangkan dan

mendesakkan segala tuntutan masyarakat, masalah-masalah sosial, dan

kepentingan-kepentingan umum. Namun kenyataannya banyak aktor-aktor yang

terlibat dalam proses kebijakan publik hanya mementingkan kebutuhan sesaat

yang cenderung bersifat individual kelompok daripada untuk kepentingan

publik.

Hal itu menunjukkan betapa besarnya peran aktor-aktor dalam proses

perumusan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu ada

keinginan dari penulis untuk membahas permasalahan tersebut dalam makalah

yang berjudul : Keterlibatan Aktor-Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik.

B. Perumusan Masalah

Menurut Suryabrata (2000:65), dikatakan bahwa : ”dalam perumusan

masalah disarankan agar (a) masalah hendaknya dirumuskan dalam bentuk

kalimat tanya, (b) rumusan itu hendaklah padat dan jelas, dan (c) rumusan itu

hendaknya memberi petunjuk tentang kemungkinannya mengumpulkan data

guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam rumusan itu”.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam penulisan ini

perumusan masalahnya adalah :

1. Siapakah aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik ?

5

2. Bagaimanakah keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan aktor-aktor yang terlibat dalam

proses kebijakan publik.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan keterlibatan aktor-aktor dalam

proses kebijakan publik.

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Aktor-Aktor Yang Terlibat Dalam Proses Kebijakan Publik

Dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses perumusan

kebijakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara

negara-negara berkembang (negara Dunia Ketiga) dengan negara maju. Di

negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana

dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan

keputusan di negara-negara maju adalah lebih kompleks karena kualitas hidup

sudah menjadi isu utama (main isue) dalam pembuatan kebijakan (policy

making).

Perbedaan ini disebabkan salah satunya adalah oleh aktor-aktor yang

terlibat dalam perumusan kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan

kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat

yang sedikit, sedangkan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika di mana

setiap warga negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik

negaranya, maka kondisi ini akan mendorong struktur yang semakin kompleks.

Pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam proses kebijakan publik

menurut Anderson (1979), Lindblom (1980) maupun Lester dan Joseph Stewart,

Jr (2000) bahwa “aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses kebijakan publik

7

dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi (inside of

government) dan para pemeran serta tidak resmi (ourside of government)”. Yang

termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),

presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam

kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan

(interest group), partai politik dan warga negara individu.

Namun menurut Moore ( dalam Badjuri dan Teguh Yuwono, 2003:24)

bahwa, “secara umum aktor ini dapat dikelompokkan dalam tiga domain utama

yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society)”. Ketiga

aktor ini saling berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik.

Secara sederhana ketiga aktor ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Untuk di Indonesia aktor publik biasa disebut dengan aktor-aktor lembaga

eksekutif dan legislatif. Pada aspek aktor privat terdiri dari pressure groups dan

interest groups misalnya asosiasi kedokteran seperti IDI, IDGI dan IAGI.

Sedangkan pada aspek civil society meliputi banyak pihak yang bersifat

8

AktorPrivat

CivilSociety

AktorPublik

asosiasional maupun lingkup kecil misalnya lembaga swadaya masyarakat

(LSM), paguyuban dan kerukunan-kerukunan kelompok masyarakat.

Jadi berdasarkan uraian di atas, maka aktor-aktor yang terlibat dalam proses

kebijakan publik adalah aktor inside of government dan outside of government

atau aktor publik, aktor privat dan aktor civil society.

B. Keteribatan Aktor-Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik

1. Badan-badan Administrasi (agen-agen pemerintah)

Adanya perbedaan dalam karakteristik-karakteristik dalam sistem

administrasi seperti ukuran dan kerumitan, organisasi, struktur hierarki dan

tingkat otonomi akan mempengaruh tingkat pelayanan di suatu negara.

Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-badan administrasi dianggap

sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum dalam ilmu politik dan

pemerintahan, namun bahwa ilmu politik dan administrasi telah bercampur aduk

menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya.

Selain itu, saat ini badan-badan administrasi sering terlibat dalam

pengembangan kebijakan publik. Hal ini dikarenakan dengan pemahaman

kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah

tertentu (policy is whatever of government do to solve the problem). Dengan

pemahaman yang demikian, maka keterlibatan badan-badan administrasi

sebagai agen pemerintah (government agent) dalam ikut menentukan kebijakan

menjadi semakin terbuka. Badan-badan administrasi dalam hal ini dapat

9

membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan

sebelumnya.

Sementara itu, kerumitan administrasi di Indonesia juga menjadi faktor

yang cukup penting bagi kurang efektifnya kebijakan publik dijalankan. Dengan

demikian, badan-badan administrasi telah menjadi aktor yang penting dalam

proses pembuatan kebijakan dan keberadaannya perlu mendapat perhatian dari

pemerhati kebijakan publik. Dalam masyarakat yang mempunyai kompleksitas

yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan yang

mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas. Hal ini

selain disebabkan oleh kompleksitas masyarakat, juga disebabkan oleh alasan-

alasan teknis, banyaknya masalah kebijakan, kebutuhan untuk melestarikan

kontrol serta kurangnya waktu dan informasi dari para anggota legislatif

sehingga banyak sekali wewenang yang didelegasikan.

Selain itu, badan-badan administrasi (government agent) juga menjadi

sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem

politik seperti di Amerika dan Inggris. Badan-badan tersebut secara langsung

tidak hanya menyarankan undang-undang, tetapi juga secara aktif melakukan

lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan undang-undang.

Misalnya masalah aturan ekspor beras, dimana Menteri Perdagangan dan

Perindustrian ikut aktif dalam membuat aturan ekspor beras.

10

2. Presiden (eksekutif)

Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam

perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat

dilihat dalam komisi-komisi presidensial atau dalam rapat-rapat kabinet. Selain

keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden dalam merumuskan

kebijakan publik, kadangkala presiden membentuk kelompok-kelompok atau

komisi-komisi penasehat yang terdiri dari warga negara swasta maupun pejabat-

pejabat yang ditujukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dan

mengembangkan usul-usul kebijakan. Misalnya Dewan Pertimbangan Presiden

dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Di Indonesia, presiden dan pembantu-pembantunya yang tergabung dalam

kabinet mempunyai peran yang penting dalam proses pembuatan kebijakan tidak

perlu disangsikan lagi. Hal ini dikarenakan sistem konstitusi yang memberikan

wewenang (authority) yang besar kepada eksekutif untuk menjalankan

pemerintahan.

3. Lembaga Legislatif

Lembaga legislatif bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan

pembantu-pembantunya), memegang peran yang cukup krusial di dalam

perumusan kebijaksanaan. Setiap undang-undang menyangkut persoalan-

persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif.

Misalnya kebijakan menyangkut askeskin. Selain itu, keterlibatan lembaga

11

legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar

pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan

dengan pejabat-pejabat administrasi, dan kelompok-kelompok kepentingan.

Lembaga legislatif bersama-sama dengan lembaga eksekutif memegang

peran krusial dalam pembuatan keputusan kebijakan. Suatu undang-undang baru

akan sah bila telah disahkan oleh lembaga legislatif.

4. Kelompok-Kelompok Kepentingan (interest groups)

Di samping para pembuat keputusan kebijakan yang resmi, kita juga sering

menemukan para pemeran serta yang tidak resmi. Mereka biasanya berpartisipasi

di dalam proses pembuatan kebijakan. Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak

resmi karena meskipun mereka terlibat aktif di dalam perumusan kebijakan, akan

tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan

yang mengikat.

Menurut Budiardjo (2000:162) bahwa “kelompok kepentingan bertujuan

untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-

lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau

menghindarkan keputusan yang merugikan”. Kelompok kepentingan tidak

berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam DPR, melainkan cukup

mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah

atau menteri yang berwenang.

12

Kelompok kepentingan merupakan pemeran serta tidak resmi yang

memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara.

Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara-negara tersebut

demoktratik ataukah otoriter, modern atau berkembang. Perbedaan tersebut

menyangkut keabsahan serta hubungan antara pemerintah dengan kelompok-

kelompok tadi. Dengan demikian, dalam sistem politik demokratik, kelompok-

kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang penting dengan

kegiatan yang lebih terbuka dibandingkan dengan sistem otoriter. Hal ini terjadi

karena dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dilindungi, serta

warganegara lebih mempunyai keterlibatan politik.

Kelompok-kelompok kepentingan berfungsi mengartikulasikan

kepentingan yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan

memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Selain itu, kelompok ini

juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dan memberikan

informasi yang bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi-konsekuensi

yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan. Dengan demikian,

kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi

rasionalitas pembuatan kebijakan.

Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung

pada banyak faktor yang menyangkut ukuran-ukuran keanggotaan kelompok,

keuangan dan sumber-sumber lain, kepanduannya, kecakapannya dari orang

13

yang memimpin kelompok tersebut, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah

laku para pejabat pemerintah, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem

politik. Selain itu, pengaruh kelompok kepentingan dalam pembuatan keputusan

ditentukan pula oleh pandangan yang ditujukan terhadap kelompok tersebut.

Suatu kelompok kepentingan yang dianggap baik dan besar cenderung

efektif dalam mempengaruhi keputusan kebijakan dibandingkan dengan

kelompok yang dipandang sebaliknya. Berdasarkan faktor-faktor yang telah

disebutkan tadi, maka suatu kelompok kepentingan akan efektif mempengaruhi

keputusan kebijakan tertentu, namun mereka cenderung tidak efektif di dalam

mempengaruhi bidang kebijakan yang lain. Misalnya suatu kelompok yang

terdiri dari para dokter akan efektif dalam mempengaruhi kebijakan kesehatan

atau menyangkut kesejahteraan dokter, namun kelompok ini belum tentu efektif

dalam mempengaruhi kebijakan yang berhubungan dengan kaum buruh.

Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Zeigler dan Van Dallen (dalam

Agustino, 2006:37) mengenai kuatnya kepompok kepentingan (interest groups)

dan kelompok penekan (pressure groups), “menitik beratkan pada tiga variabel

penting yaitu kuatnya kompetisi kepartaian (strongly of party competition),

kohesi legislatif/kekuatan partai di legislatif (legislative cohetion) dan variable

sosio ekonomi dari pendapatan per kapita, populasi manusia dan pekerjaan

industri”. Dari kondisi itu akan menimbulkan dua pola, pertama, kelompok

kepentingan dan kelompok penekan yang kuat memiliki kecenderungan

14

berkolaborasi dengan partai politik yang lemah, populasi manusia yang rendah,

pendapatan per kapita yang rendah, dan pekerjaan non-industri dengan tarif yang

lebih tingi (pertanian, perikanan dan kehutanan). Sedangkan, kedua, kelompok

kepentingan dan kelompok penekan yang moderat atau bahkan lemah akan

bekerjasama dengan partai politik yang kuat dan kompetitif, pendapatan per

kapita yang tinggi, populasi manusia yang tinggi dan pekerjaan industri dengan

tarif yang lebih tinggi. Hal ini membuktikan sejauhmana pengaruh kelompok

kepentingan dan kelompok penekan dalam mempengaruhi kebijakan publik.

5. Partai politik (Political party)

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok

yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan

cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan

politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional

untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Menurut Carl J. Friedrich (dalam Budiardjo, 2000:161) bahwa “partai

politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan

merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi

pimpinan partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada

anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil (A political

party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing

or mainting for its leaders the control of a government, with the further objective

15

of giving to members of the party, through sucg control ideal and material

benefits and adventages)”. Sedangkan menurut R.H Soltau (dalam Budiardjo,

2000:161) bahwa “partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit

banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang

dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan bertujuan menguasai

pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (A group of citizens

more or les organized, who act as a political unit and who, by the use of their

voting power, aim to control the government and carry out their general

policies)”.

Menurut Budiardjo (2000:163-164), dalam negara demokratis partai politik

menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu :

1) Partai sebagai sarana komunikasi politik;

Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat

dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga

kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Pendapat atau

aspirasi seseorang atau suatu kelompok harus ditampung dan digabung

dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada, proses ini dinamakan

penggabungan kepentingan (interest agregation). Sesudah digabung,

pendapat dan aspirasi itu diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur,

proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).

Selanjutnya partai politik merumuskannya sebagai usul kebijakan.

16

2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik;

Sosialisasi politik (political socialization) berarti sebagai proses melalui

mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik,

yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya

proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak

sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-

ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.

3) Partai sebagai sarana rekrutmen politik;

Partai politik juga berfungsi mencari dan menajak orang yang berbakat untuk

turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political

recruitment). Dengan demikian partai politik ikut memperluas partisipasi

politik (political participation).

4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (confilct management)

Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam

masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai

politik berusaha untuk mengatasinya.

Dalam negara yang menggunakan sistem demokrasi, partai-partai politik

memegang peranan penting. Partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih

kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih

berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun

17

demikian, kita tidak dapat mengabaikan begitu saja pengaruh mereka dalam

proses pembuatan kebijakan.

Peran partai politik dalam masyarakat modern seringkali melakukan

agregasi kepentingan. Partai-partai politik tersebut berusaha untuk mengubah

tuntutan-tuntutan (demands) tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan

menjadi alternatif kebijakan. Ukuran partai politik yang bersangkutan akan

menentukan cara partai politik tersebut dalam mengagregasikan kepentingan.

Pada umumnya, walaupun partai-partai politik ini mempunyai jangkauan

yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok-kelompok kepentingan, naum

mereka lebih cenderung bertindak sebagai perantara daripada sebagai pendukung

kepentingan-kepentingan tertentu dalam pembentukan kebijakan. Bahkan

kemajuan dan kehancuran negara bisa disebabkan oleh partai politik dimana

partai politik sebagai supplier daripada calon pemimpin negara ini.

6. Warga negara individu

Peran warga negara individu dalam proses kebijakan publik memang tidak

nampak secara langsung, artinya bahwa warga negara secara individu tidak bisa

langsung memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Peran warga

negara individu hanya akan nampak saat pemilihan umum yang merupakan

tanggapan tidak langsung dari individu terhadap tuntutan-tuntutan warga negara.

Karena pemilihan umum merupakan suatu metode yang penting dari pengaruh

warganegara dalam pembuatan kebijakan, karena hal itu memungkinkan warga

18

negara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan pejabat-

pejabat ini mengenai kebijakan tertentu. Oleh karena itu keinginan warga negara

perlu mendapat perhatian oleh para pembuat kebijakan. Untuk itu suara dan

tuntutan warga negara berhak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas

untuk mendengarkannya.

Dalam sistem otoriter maupun dalam sistem demokrasi para warga negara

mempunyai peluang untuk terlibat secara aktif dalam pembuatan keputusan

(decision making). Di negara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter,

kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan para warganya biasanya

merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam sistem

otoriter tetap akan menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan

rakyat, agar kekacauan sedapat mungkin diminimalisir.

Sementara itu, di negara-negara demokratis pemilihan umum barangkali

merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga negara.

Dalam hal ini Charles Lindblom (dalam winarno, 2002:92) menyatakan bahwa

“perbedaan yang paling menonjol antara rezim otoriter dengan rezim demokratik

adalah bahwa dalam rezim demokratik para warganegaranya memilih para

pembuat kebijakan puncak dalam pemilihan-pemilihan murni”. Oleh karena itu

keinginan para warganegara perlu mendapatkan perhatian oleh para pembuat

kebijakan dalam merumuskan kebijakan.

19

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan,

bahwa :

1. Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah aktor

publik, aktor privat dan aktor manusia atau bisa disebutkan pemeran serta

resmi dan pemeran tidak resmi.

2. Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik cenderung

tergantung dari tujuan dan kepentingannya masing-masing bukan untuk

kepentingan umum (public).

B. Saran-Saran

1. Guna lebih mengefektifkan dalam memperjuangkan tuntutan, maka

sebaiknya aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik

mempunyai grand issue yang sama.

2. Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik seharusnya lebih

mengutamakan kepentingan umum, sedangkan kepentingan kelompok atau

organisasi merupakan efek samping dari pencapaian tujuan umum.

20

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Badjuri, Abdulkahar dan Teguh Yuwono.Kebijakan Publik, Konsep dan

Strategis. Semarang: Universitas Diponegoro Press.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasa-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama

Eulau, Heinz, and Kenneth Prewitt. 1973. Labyrinths of Democracy.

Indianapolis: Bobbs-Merrill.

Suryabrata, Sumadi. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media

Presindo.

21