akulturasi nilai islam dalam pernikahan adat...
TRANSCRIPT
AKULTURASI NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN
ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA
KECAMATAN LANGOWAN TIMUR
SULAWESI UTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH:
AL AHSAN SAKINO
NIM: 1113044000012
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
1113044000012
iv
ABSTRAK
Al Ahsan Sakino, NIM 1113044000012, AKULTURASI NILAI-NILAI
ISLAM DALAM PERNIKAHAN ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA
KECAMATAN LANGOWAN TIMUR SULAWESI UTARA. Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayataullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
Akulturasi (acculturation) dikenal dengan kontak kebudayaan yang
mempunyai berbagai arti dikalangan para antropolog. Akan tetapi mereka
sepaham bahwa akulturasi tersebut adalah “merupakan proses sosial yang muncul
manakala suatu kelompok manusia berikut kebudayaan yang dimilikinya
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan lambat laun unsur-unsur
kebudayaan asing tersebut diterima oleh kelompok manusia itu dan diolah dalam
kebudayaanya, tanpa menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asal.
Akulturasi ini telah terjadi pada Adat Tontemboan dan ajaran Islam yang dibawa
dari suku luar (Gorontalo, Bugis, dan Jawa) sehingga menghasilkan suatu proses
pernikahan yang berbeda antara kaum Muslim dan non-Muslim pada etnis
Tontemboan.
Alasan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui relevansi proses
pernikahan adat Tontemboan pasca terjadi akulturasi nilai Islam dengan hukum
Islam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan analisis deskriptif, yaitu penulisan yang sumber data utamanya
diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) dengan melihat
secara langsung di daerah penelitian, yaitu daerah Adat Tontemboan Suku
Minahasa. Dan juga peneliti melakukan pencarian melalui dokumentasi berupa
data-data yang bersifat teoritis berupa buku-buku, data-data dari dokumen yang
berupa catatan formal, jurnal, internet dan sebagianya yang bersangkutan dengan
judul.
Hasil dari penelitian menggambarkan bagaiamana proses pernikahan Adat
Tontemboan, bagaimana Proses pernikahan adat Tontemboan Pasca terjadinya
Akultruasi nilai ke-Islaman dan dan relevansinya dengan hukum Islam.
Kata Kunci : Proses Pernikahan, Adat Tontemboan, Akulturasi, Suku Minahasa.
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
v
الرحيمبسم هللا الرحمن
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan
manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah
SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Tak lupa shalawat serta
salam tercurahkan kepada bimbingan Nabi besar Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman Jahiliyah ke zaman yang terang benderang saat
ini. Dan tak lupa juga kepada keluarga, para sahabat serta para pengikutnya yang
mengamalkan sunnahnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari akan pentingnya
keberadaan orang-orang disekitar penulis yang telah memberikan dukungan
berupa keilmuan, pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dukungan
mereka sangatlah berarti, dengan itu segala macam halangan dan hambatan yang
menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta yang telah
member motivasi untuk penulis.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Indra Rahmatullah, S.Hi, M.H, Selaku Sekertaris Prodi
yang telah membantu segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan
hingga motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata I
dengan sebaik-baiknya.
3. Dr. Yayan Sopyan, MA, selaku penaasihat akademik, yang telah
memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini
hingga skripsi ini dapat diseminarkan dengan baik.
vi
4. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk, arahan dan nasehat
yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah dengan Ikhlas
menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan
belajar dan mengakar yang penulis jalani selama 4 tahun ini.
6. Kedua Orang tua penulis, Ibu Hasna Lamsu dan AyahMauludin Sakino
yang telah memberikan segalanya dalam hidup penulis dan tak lupa
yang selalu mendoakan penulis dalam dzikir dan tahajudnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi Strata I ini dengan sebaik-baiknya.
Maafkan anakmu ini mah,pah karena sering mengecewakanmu. Tak
lupa juga untuk Kakakku, Adikku Al Ihsan Sakino yang selalu
memberikan kasih sayang yang hangat untuk penulis selama ini.
7. Keluarga Besar PMII KOMFAKSYAHUM, PMII Cab Ciputat, KBPA
(Keluarga Besar Peradilan Agama), yang telah memberikan semangat,
motivasi dan Pengalaman hebat untuk penulis selama ini.
8. Sahabat-Sahabatku, Nurul Rizkillah Pomalingo, Baso Agung Mangga
Berani, dan Al Ikhsan Saingyang selalu memberikan semangat dikala
penulis jenuh hingga skripsi ini selesai.
9. Sahabat Seperjuangan, Isma Nur Afiati, Arya Chairunnisa, Luthfan
Dimas Pratama, Fahmi Dzakky, Izzat Muttaqin, Adib Mubaroki,
Syamaska Zakirini, terimakasih untuk pengalaman hebat dari kalian.
Kalian adalah supertim yang selalu ada untuk penulis dalam semua
kondisi.
10. Dan untuk semua yang telah membantu penulis yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu, terimakasih karena telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
Tiada cita yang akan terwujud dengan sendirinya melainkan dengan
pertolongan Allah SWT. Sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya
dalam ilmu pengetahuan. Seperti kata pepatah bahwa sebuah proses tidak akan
pernah menghianati hasil yang akan diperoleh kelak. Penulis berharap skripsi ini
bermanfaat untuk penulis khususnya dan juga untuk para pembaca pada umumnya
serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Dan terakhir semoga setiap bantuan,
doa, motivasi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis menapatkan
balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Amiin..
Jakarta, 12 April 2018 M
26 Rajab 1439 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 4
E. Tujuan (Review) Kajian Terdahulu .................................... 4
F. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................ 5
G. Metode Penelitian .............................................................. 9
H. Rancangan Sistematika Penelitian ..................................... 10
BAB II ADAT DAN HUKUM ISLAM
A. Adat atau Tradisi dalam Hukum Islam .............................. 12
1. Hukum Adat pada masa Nabi dan Sahabat .................. 13
2. Macam-macam Adat (‘Urf) dan Pandangan
Para Ahli Hukum Islam ................................................ 19
B. Hubungan Hukum Adatdengan Hukum Islam Di Indonesia
1. Reception in Complexu ................................................ 19
2. Receptie ........................................................................ 20
3. Receptio a Contrario .................................................... 26
ix
BAB III PERNIKAHAN ADAT TONTEMBOAN SUKU MINAHASA
A. Potret Etnis Tontemboan di Kecamatan Langowan Timur 29
B. Sosial kemasyarakatan Etnis Tontemboan Suku Minahasa 31
C. Proses Pernikahan Adat Tontemboan ............................... 34
1. Persyaratan Calon Suami-Istri ..................................... 35
2. Pra Nikah ..................................................................... 37
3. Resepsi ......................................................................... 39
4. Pasca Nikah ................................................................. 40
BAB IV AKULTURASI NILAI-NILAI ISLAM KE DALAM ADAT
TONTEMBOAN
A. Bentuk Akulturasi Nilai Islam Ke Dalam Etnis Tontemboan 41
B. Relevansi Konsep Pernikahan Menurut Islam dan Proses
Pernikahan Adat Tontemboan Pasca Terakulturasi Nilai
Islam .................................................................................. 44
1. Pra Nikah ..................................................................... 47
2. Proses Akad Nikah ...................................................... 49
3. Resepsi ......................................................................... 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 53
B. Saran-saran ............................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56
LAMPIRAN ................................................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
Akulturasi (acculturation) adalah culture contact yang diartikan oleh
para ahli antropolog, yang dimana akulturasi merupakan proses sosial yang
muncul manakala suatu kelompok manusia beserta kebudayaannya
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan lambat laun unsur-
unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh para kelompok manusia itu
dan diolah dalam kebudayaannya, tanpa menghilangkan sifat asli atau khas
dari kebudayaan asalnya.1 Hal ini dapat dilihat dari beberapa adat atau tradisi
dari berbagai suku di Indonesia.
Indonesia merupukan Negara yang terkenal dengan keberagamannya,
disetiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda dan menarik baik dari
bentuknya maupun sisi filosofisnya, salah satu diantaranya etnis Tontemboan
suku Minahasa di wilayah Sulawesi Utara yang sampai pada saat ini masih
melestarikan adat yang diwarisi nenek moyang secara turun-temurun sebagai
suatu bentuk penghargaannya kepada warisan leluhur. Adat ini biasanya
meliputi kepercayaan dan kegiatan ritual yang berkembang dan mengakar
dimasyarakat hingga menjadi sebuah kebudayaan. Dalam Islam Adat
diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan
mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan
kemaslahatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami
maknanya dan selalu diperhatikan ‘urf-‘urf dan kemaslahatan serta dapat
berubah menurut perubahan masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum
yang mengenai adat (muamalah) ini, kebanyakan hukumnya bersifat
keseluruhan, berupa kaidah-kaidah yang umum yang disertai dengan illat-
illatnya.2
1 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.
2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997), h. 20.
2
Masuknya agama Islam di daerah Minahasa memberikan warna yang
baru pada pola kehidupan yang ada pada Suku Minahasa khususnya pada
etnis Tontemboan, karena agama pada dasarnya akan mempengaruhi
karkater, cara berpikir, bertingkah laku serta adat atau tradisi pada daerah dia
berada dengan pola akulturasi Islam memulai memasukkan nilai-nilai
keislaman dalam adat istiadat etnis tonembaon, Contohnya etnis Tontemboan
(muslim) dalam melaksanakan proses pernikahannya. Dengan adanya
Undang-Undang bahwa pernikahan yaitu ikatan pria dan wanita sebagai
suami-istri berdasarkan hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang
(UU), hukum agama dan adat istiadat yang berlaku.3 Memberikan ruang
terjadinya akulturasi antara nilai-nilai keislaman dan adat istiadat
Tontemboan. Dalam akulturasi tersebut nilai-nilai keislaman lebih memegang
peranan dalam mempengaruhi bentuk pernikahan yang akan dijalankan.
Pokok perkawinan baik tradisional maupun modern merupakan suatu
kegiatan yang sakral sehingga hubungan vertikal antara manusia dan
Tuhannya sangat terasa kehadirannya dalam upacara pernikahan, sebagai
contohnya dalam etnis Tontemboan. Dalam tata upacara pernikahan adat
Tontemboan merupakan perpaduan dari unsur sifat, karakteristik,
kepercayaan, hukum, dan agama, yang kesemuanya saling menopang satu
sama lain, sehingga terciptalah “manusia yang berbudi luhur” dalam tatacara
pernikaha adat sunda, sebelum dilakukan pelakasanaan upacara perkawinan
adat, biasanya di dahului dengan beberapa tahapan upacara. Upacara tersebut
dilaksanakan sesuai dengan keadaan ekonomi dan situasi pada saat itu,
namun tidak boleh menyimpang dari tata cara pokok adat Tontemboan. 4
(empat) rangkaian dalam proeses pernikahan adat Tontemboan: Pertama,
persyaratan calon pasangan. Kedua, pra nikah. Ketiga, resepsi (walimah).
Dan keempat, pasca pernikahan.
Sebagaimana lazimnya suku bangsa yang sedang berkembang, sejak awal
pertumbuhannya, suku Minahasa mempunyai kebudayaan atau culture yang
3 Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan
Agama Islam, Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah, (Jakarta: 2001), h. 59.
3
terus mengalami perubahan dan perkembangan, sesuai factor-faktor yang
mempengaruhinya. Factor-faktor tersebut ada kalanya datang dari luar dan
ada kalanya muncul dari dalam, baik disebabkan dari bertambah atau
berkurangnya penduduk, dan adanya penemuan-penemuan baru, ataupun
karena terdapatnya ajaran agama atau kepercayaan tertentu, dan lain
sebagainya. Hal ini semua dapat dipahami, karena setiap manusia selalu
mengalami perubahan dan perkembangan selama hidupnya. Perubahan dan
perkembangan tersebut ada yang pengaruhnya sangat luas ada pula yang
terbatas. Wujud dari perubahan dan perkembangan tersebut biasanya dapat
diketahui oleh peneliti tentang susunan dan kehidupannya pada suatu waktu,
kemudian membandingkannya dengan yang terjadi pada masa lampau.4
Kebudayaan Minahasa (Adat Tontemboan) tersebut sebagaimana halnya
kebudayaan lainnya dan perlu dipelihara serta dikembangkan. Ini wajar,
sebab ia adalah bagian dari kebudayaan daerah propinsi Sulawesi Utara, dan
ia sekaligus merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Hal ini sejalan
dengan penjelasan Undang-Undang dari padal 32 Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa: “Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang
timbul sebagai buah budi dari rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama
dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Berangkat dari yang telah dikemukakan di atas, penulis berusaha meneliti
dan menulis skripsi dengan judul: “Akulturasi nilai islam dalam pernikahan
Adat tontemboan suku minahasa Kecamatan langowan timur Sulawesi utara,”
dengan fokus kajian tentang akulturasi nilai Islam ke dalam proses
pernikahan adat Tontemboan.
4 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafinso Persada) cet.
XIX, h. 352.
4
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari apa yang dikemukakan di atas, secara spesifik muncul
beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam skripsi ini, sebagai berikut;
1. Bagaimana akulturasi nilai Islam dalam proses pernikahan adat
Tontemboan?
2. Apakah proses pernikahan adat Tontemboan pasca terakulturasi Sudah
sesuai dengan nilai-nilai Islam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pernikahan adat tontemboan pasca terjadi
akulturasi nilai Islam.
2. Untuk mengetahui sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Islam
bentuk proses pernikahan adat Tontemboan pasca terjadi akulturasi.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Agar etnis Tontemboan mengetahui adanya akulturasi nilai-nilai Islam
dalam proses pernikahan.
2. Agar menambah wawasan bagi para peneliti dan pemikir hukum keluarga
Islam dalam mengemas nilai-nilai ajaran Islam menjadi kajian yang
menarik. Selanjutnya dapat menjadi motivasi bagi para pelaksana peneliti
(terutama) jurusan Hukum Keluarga.
3. Bagi dunia pustaka, hasil ini dapat dijadikan sebagai tambahan koleksi
dalam ruang lingkup karya ilmiah khususnya di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dari katalog yang penulis cari, karya mengenai Akultuasi nilai-nilai
Islam dalam Pernikahan Suku Minahasa adat Tontemboan belum dibahas
karena penulis belum menemukan judul seperti yang telah diangkat penulis,
dan penulis berasumsi bahwa judul yang diangkat adalah baru. Penulis
5
meringkas skripsi atau karya ilmiah yang ada kaitannya dengan akulturasi
nilai-nilai Islam dalam suatu kebudayaan terkhususnya pada proses pernikah
suatu adat.
Ahmad Abd. Syakur (85050/ S-3). Islam dan Kebudayaan Sasak (Studi
tentang Akulturasi Nilai-nilai Islam ke Dalam Kebudayaan Sasak). Disertasi
yang ditulis tersebut membahas tentang proses Akulturasi Nilai-nilai Islam ke
dalam kebudayaan Sasak dalam segala aspek, serta membahas prospek
kebudayaan Sasak pasca terjadinya aluturasi nilai-nilai Islam.
Berbeda dengan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, yaitu membahas
tentang bagaimana proses upacara pernikahan adat Tontemboan Suku
Minahasa sebelum dan sesudah ter-akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam
budaya Minahasa tersebut.
Erni Isnaeni (231408055). Akultuasi Budaya Proses Perkawinan Adat
Jawa di Toili Barat. Skripsi ini membahas tentang bagaimana masyarakat toili
meng-akulturasikan budaya mereka kedalam proses perkawinan adat Jawa
yang diterapkan disana.
Berbeda dengan yang dibahas penulis dalam skripsi ini, yaitu membahas
tentang bagaimana proses upacara pernikahan adat Minahasa sebelum dan
sesudah ter-akulturasi nilai-nilai Islam ke dalam budaya Minahasa tersebut.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Receptio in Complexu Mr L. W. C. van den Berg seorang sarjana hukum
yang pernah jabat berbagai jabatan penting seperti Penasehat bahasa-
bahasa Timur dan hukum Islam pada Pemerintahan Kolonial Belanda,
sebagai Guru Besar di Delfi, sebagai Penasihat Departemen Jajahan di
negeri Belanda, menegahkan suatu teori tentang hukum Adat yang
disebut “teori reception in complexu”.
Inti dari pada teori ini adalah sebagai berikut: “orang-orang Muslim
Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara
6
keseluruhan”.5 Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu
memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang
bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.
2. Teori “Resepsi” (Receptie Theory), adalah kebalikan dari teori “Receptio
in Complexu”. Secara bahasa berarti: “penerimaan, pertemuan”. Hukum
ada sebagai penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi “hukum
Islam masuk/ diterima ke dalam hukum adat.” Hukum Islam baru bisa
berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat, maka
secara lahirnya ia bukan hukum Islam, tetapi sudah menjadi bagian dari
hukum adat. Menurut teori ini, bagnsa Indonesia pada hakikatnya bukan
bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati baru dalam
bentuk yang sederhana. Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya telah
ada sejak lama, yang berasal dari tradisi yang telah mengakar di dalam
masyarakat. Tradisi tersebut disebut dengan adat kebiasaan, yang
kemudian menjadi “hukum adat”. Hukum asli bangsa Indoensia itu
bukanlah hukum yang berasal dari negara lain seperti hukum Islam,
sebagaimana pendatap van den Berg, Deaandels, Raffles, dan
sebagainya, tetapi yang hukum hidup dan yang praktikkan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.6
3. Teori “Receptio a Contrario”. Secara bahasa teori Receptio a Contrario
berarti: “penerimaan yang tidak bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi
umat Islam, hukum adat baru bisa berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Gagasan ini dikemukakan oleh Hazairin (1906-
1975) dan dilanjutkan oleh Sajuti Thalib (1929-1990), sebagai murid dan
5 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h.48.
6 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h.61-65.
7
pengikut Hazairin. Mereka berdua juga merupakan bagian dari produk
sistem hukum Belanda.7
Pemikiran ini identik dengan pendapat van den Berg dan berbeda
dengan Snouck dan van Vallenhoven. Di Indonesia, demikian meurut
teori ini, memang ada hukum yang hidup yakni hukum adat, tetapi yang
dipedomani oleh masyarakat adalah hukum agamanya. Hukum adat baru
bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama itu. Jadi
hukum Islam adalah hukum Islam dan hukum adat adalah hukum adat.8
4. Akulturasi, dalam ilmu Sejarah dan ilmu Antropolgi Budaya, adalah
proses pencampuran kedua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu
dan saling mempengaruhi. Berbeda dari itu, akulturasi dan psikiatri
berarti proses perubahan budaya, apabila individu dipindahkan dari suatu
lingkungan budaya etnis tertentu ke lingkungan budaya etnis lain. Wujud
proses akulturasi tersebut pada umumnya menyebabkan martabat kedua
kebudayaan tersebut meningkat pada taraf yang lebih tinggi.9
5. Akulturasi (acculturation) dikenal pula dengan kontak kebudayaan
mempunyai berbagai arti dikalangan para antropolog. Akan tetapi mereka
sepaham bahwa akulturasi tersebut adalah “merupakan proses sosial yang
muncul manakala suatu kelompok manusia berikut kebudayaan yang
dimilikinya dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, dan
lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh
7 Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.
8 Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 83.
9 A. G. Pringgodigdo, et al, Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Penerbitan Yayasan
Kansius,1973), h. 30.
8
kelompok manusia itu dan diolah dalam kebudayaanya, tanpa
menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asal.10
6. Sikap tolerasi terhadap kebudayaan asing tersebut banyak membantu
suksesnya proses akulturasi yang berjalan pada suatu masyarakat.
Sebaliknya proses akulturasi tersebut akan dapat terhalang karena adanya
faktor-faktor penghalang, seperti kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan yang dihadapi; adanya sifat takut terhadap kekuatan dari
kebudayaan asing tersebut; adanya proses superioritas pada individu-
individu dari satu kebudayaan terhadap yang lain.11
7. Dalam usaha menerapkan kebudayaan asing ke dalam kebudayaan asal
yang dilakukan oleh para agents yang bersangkutan, terjadinya konflik
tak dapat dihindarkan. Bahkan meniadakan konflik itu sebenarnya
mustahil.12
Konflik itu biasanya terjadi disebabkan adanya dua kekuatan
atau keadaan yang bertentangan; ia bisa terjadi berupa sengketa antara
dua individu, seperti antara seorang kstaria dengan seorang bajingan atau
antara seorang dengan masyarakat lainnya.13
Sejalan dengan itu M. Atho
Mudzhar menyatakan bahwa konflik itu adalah “pertentangan antara dua
kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang mendorong kearah
pertentangan. Dengan pengertian ini tercakup di dalamnya adalah kasus
konflik dan potensialitas konflik”.14
10
Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.
11
Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 256.
12
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar: 1998), h. 138
13
A. G. Pringgodigdo, et al, Ensiklopedia Umum, h. 578.
14
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, h. 129.
9
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulisan yang sumber
data utamanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat
atau komunitas sosial) dengan melihat secara langsung di daerah
penelitian, yaitu daerah suku adat Minahasa.
b. Studi Kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan
penelitian secara medalam, yakni mampu melacak dan menemukan
berbagai faktor yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.15
2. Sumber Data
a. Data Primer, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel dan
karya ilmuah yang berkaitan dengan tema penelitian yang berasal
dari media cetak dan media elektronik.
3. Pengumpulan Data, yaitu dilakukan dengan melalui pengamatan secara
terlibat dilokasi penelitian dengan cara:
a. Observasi, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan
suatu keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang
dianggap berlaku dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan
dengan cara mengikuti dan menyaksikan langsung prosesi
pernikahan menurut suku adat Minahasa.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang akan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai memberi jawaban atas
pertanyaan itu. Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara
dengan informan, yaitu para pelaku pernikahan, orang tua,
masyarakat setempat dan tokoh-tokoh adat suku Minahasa.
15
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Jakarta,2010), h.27.
10
c. Studi Dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang
terdiri dari hukum primer dan sekunder, dan juga data-data yang
diperoleh dari literature dan referensi yang berkenaan dengan judul
skripsi.
4. Pengelolahan data, menjelaskan cara mengelolah data mentah hasil
penelitan agar dapat terbaca dengan baik. Pengelolahan data harus
didasarkan pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi.
5. Analisa data, yaitu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisa komparasi, yaitu dalam pendekatan teori ini, peneliti
mengkonsentrasi diri untuk melakukan penelitian secara mendalam
dengan pendekatan kepada tokoh adat, dan masyarakat suku Minahasa,
yang bertujuan untuk menemukan persamaan atau perbedaan tentang
objek peneliatan yang berkaitan dengan akulturasi nilai-nilai Islam dalam
pernikahan adat Minhasa.
Adapun teknis penulisan skirpsi ini berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.
H. Rancangan Sistematika Penelitian
Agar penulisan skripsi ini terarah dan mudah dibahas, maka penulis
menesistematika pembahasan ksripsi ini ke dalam lima bab:
BAB I: Membahas pendahuluan yang meliputi: Latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitan, metode
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II: Membahas Landasan Teori diantaranya: Adat dan Hukum Islam,
Hukum adat pada masa Nabi dan Sahabat, Adat dan Pandangan Para Ahli
Hukum Islam, Analisis Teori-teori Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam di Indonesia, teori receptie in Complexu, receptie, receptie a contrario.
BAB III: Memabahas potret etnis Tontemboan di Kec. Langowan Timur,
Sosial kemasyarakatan etnis Tontemboan suku Minahasa dan Proses
pernikahan adat Tontemboan.
11
BAB IV: Membahas tentang bentuk akulturaasi nilai Islam ke dalam etnis
Tontemboan dan relevansi proses pernikahan adat Tontemboan suku
Minahasa paca terjadinya akulturasi nilai Islam dengan hukum Islam.
BAB V: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
ADAT DAN HUKUM ISLAM
A. Adat atau Tradisi dalam Hukum Islam
Adat (adah) telah menciptakan diskusi yang berkelanjutan sejak awal sejarah Islam
tentang apakah ia dapat dipertimbangkan menjadi salah satu sumber penetapan hukum
dalam Islam atau tidak?. Awalnya secara teoritis, adat tidak diakui seabagai salah satu
sumber dalam jurisprudensi Islam. Namun demikian, dalam prakteknya, adat
memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan hukum Islam
dalam berbagai aspek hukum yang muncul di negara-negara Islam. Peran aktual adat
dalam penciptaan hukum senantiasa terbukti lebih penting daripada apa yang kita duga
sebelumnya. Demikian pula dalam banyak hal adat terbukti dipakai tidak hanya dalam
kasus-kasus yang tidak terdapat jawaban konkretnya dalam Quran maupun Hadis.
Lebih dari itu, fakta menunjukan bahwa sejak masa awal pembentukan hukum Islam
kriteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktek hukum yang
dikabarkan berasal dari Nabi sendiri. Dengan kata lain, para ahli hukum Islam pada
akhirnya menerima berbagai macam bentuk adat tersebut dan oleh karenanya mereka
berusaha untuk memasukan serta menjadi hukum adat dalam bangunan sumber hukum
Islam dengan bentuk serta kriteria dari sebuah adat tersebut.1
Adat diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan
mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan
kemaslhatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami maknanya dan
selalu diperhatikan uruf-uruf dan kemaslahatan serta dapat berubah menurut perubahan
masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum yang mengenai adat (muamalah) ini,
kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-kaidah yang umum yang
disertai dengan illat-illatnya.2
1 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 5-6.
2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 20.
13
1. Hukum Adat pada Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang di daratan Arab telah mengadopsi
berbagai macam adat. Praktek adat ini, dalam banyak hal, telah mempunyaki
kekuatan hukum dalam masyarakat. Walaupun hukum adat tidak dilengkapi oleh
sanksi maupun suatu otoritas, perannya yang penting di dalam masyarakat tidak
meragukan lagi.3 Dalam aturan perundang-undangannya di Arab sebelum
datangnya Islam telah berkmebang, khususnya di bagian Selatan (Yaman), yang
menjadi pusat peradaba/ kebudayaan yang telah memiliki bentuk pemerintahan
berasaskan kerajaan.4
Hadirnya Islam tidak dituntut untuk membawa kode hukum yang
keseluruhaannya bersifat baru dan unik, maka dapat dikatakan di sini bahwa Nabi
sendiri memang tidak mempunyai keinginan yang riel untuk secara komplit
menghapuskan sistem hukum adat pra-Islam.5 Mac donald mengemukakan bahwa
Muhammad “tidak menciptakan dua belas aturan atau sepuluh komendemen,
kode-kode atau konsideran lainnya”. Konsep tentang kode hukum yang komplit
dengan demikian masih asing bagi pemikiran beliau. Dalam pandangan Schachtl,
Nabi memang tidak mempunya alasan yang kuat untuk mengubah hukum adat
yang ada dalam masyarakat karena Ia sendiri bertujuan tudak unutk menciptakan
sistem hukum yang secara total baru akan tetapi lebih bertujuan “untuk
mengajarkan manusia bagaimana cara bertingkah laku, apa yang harus dilakukan
dan apa yang harus dihindari, dalam rangka menyelamatkan diri dari pengadilan
akhirat dan supaya masuk surga”. Dalam hubungannya dengan keberlangsungan
hukum adat, oleh karenya, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-tindakan
perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai dengan
prinsip-prinsip ajarannya yang fundamental. Konsep sunnah Taqririyyah sendiri
sesungguhnya merupakan bukti yang kuat bahwa Nabi memang membiarkan
keberlakuan beberapa adat setempat yang dapat diterimanya.6
3 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.
4 Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, (Banda Aceh:
Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh, 1981), h. 5.
5 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.
6 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 7.
14
Terlepas dari adanya beberapa inovasi yang cukup berani yang mempengaruhi
hubungan seksual dan posisi wanita, secara umum Nabi tidak banyak melakukan
intervensi terhadap beberapa peraturan dari lingkungan sosial yang ia temukan.
Contoh lain ialah di mana dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan
hadiah kepada wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.7
Walaupun Nabi mengajar masyarakat berdasarkan pada nilai-nilai yang
berasal dari wahyu, pada esensinya reformasi-reformasi yang Dia lakukan tetap
menjaga model kehidupan masyarakat kesukuan Arab. Dalam banyak kasus,
sistem yang sudah lama berjalan tidak secara radikal digantikan dengan sesuatu
bentuk yang baru; bahkan lebih dari itu, banyak bagian-bagian dari sistem lama
tersebut masih tetap hidup dan menjadi bagian dari sistem hukum Islam yang baru.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa banyak cabang dari hukum Islam
dipenuhi oleh peraturan-peraturan yang keuputusan hukumnya ditetapkan oleh
Nabi berdasar pada adat kebiasaan yang berlaku.8
Contoh-contoh dari aturan-aturan tersebut dapat ditemukan hampir dari setiap
aspek hukum, diantaranya: dengan tetap menjalankan undang-undang keuangan
yang telah berkembang baik sejak ratusan tahun sebelmnya hingga saat itu, juga
hukuman kejahatan dan hukum-hukum yang bertalian dengan pembatalan (fasakh)
jual-beli hewan dan budak ketika tidak terdapat kesesuaian.9
Dalam hal pidana, misalnya, Nabi memulai dengan menanamkan sifat ke-
adilan dalam hukuman qishas yang sebelumnya telah ada, juga dalam hukum
keluarga Nabi mengubah corak hukum tersebut dengan menyesuaikan kehidupan
yang bermoral dan berakhlak, yang bermuara pada dilarangnya membunuh bayi
perempuan, pencegahan perceraian, poligami tanpa batas dan lain-lain.10
Namun,
Nabi tetap mempertahankan atau memodifikasi praktek-praktek hukum yang lain
7 KH. Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Pramuda Bookstore, 2008), h. 213.
8 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.
9 Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, (Banda Aceh:
Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh, 1981), h. 5.
10
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.
15
seperti poligami, pembayaran mahar, atau pemberitahuan (iqrar) dan hal
perkawinan.11
Dari contoh-contoh hukum yang dikemukakan di atas, maka dapatlah
dibenarkan bahwa dalam mengurusi permaslahan masyarakat Muslim, Nabi tidak
mempunyai keinginan untuk menentang tradisi-tradisi masyarakat yang berjalan
dan bersesuaian dengan misi dakwah yang ia bawa. Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Cendekiawan: “Hukum Islam tidak bermaksud untuk
menciptakan sistem yang baru dalam administrasi peradilan”. Alasan penerimaan
adat sesuai dengan persetujuan Nabi adalah bahwa hukum-hukum adat tersebut
mampu untuk memberikan pemecahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Seabgaimana yang dikemukakan oleh El-Awa, bahwa dalam hukum Islam, aturan-
aturan yang berasal dari adat harus diukur lewat kriteria keingin masyarakat:
“Ketika tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat (pro bono publico), aturan
itu harus dipertahankan, namun ketika tujuannya tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat, maka aturan tersebut harus dihapus”.12
Adat diartikan pula sebuah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun
dan mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau mewujudkan
kemaslhatan dunia. Hukum-hukum yang lahir dari adat dapat dipahami maknanya
dan selalu diperhatikan uruf-uruf dan kemaslahatan serta dapat berubah menurut
perubahan masa, tempat dan situasi. Maka dari itu hukum yang mengenai adat
(muamalah) ini, kebanyakan hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-
kaidah yang umum yang disertai dengan illat-illatnya.13
Dari contoh-contoh hukum di atas, maka benarlah sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Cendekiawan: “Hukum Islam tidak bermaksud untuk
menciptakan sistem yang baru dalam administrasi peradilan”. Alasan penerimaan
adat sesuai dengan persetujuan Nabi adalah bahwa hukum-hukum adat tersebut
mampu untuk memberikan pemecahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Seabgaimana yang dikemukakan oleh El-Awa, bahwa dalam hukum Islam, aturan-
11
Abdul Rahim, The Principles of Muhammadan Jurisprudence, (London: Luzac & Co., 1911), h. 7-12.
12
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 9
13
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 20.
16
aturan yang berasal dari adat harus diukur lewat kriteria keingin masyarakat:
“Ketika tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat (pro bono publico), aturan
itu harus dipertahankan, namun ketika tujuannya tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat, maka aturan tersebut harus dihapus”.14
Tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw wafat, dengan kekuatan yang
tangguh, bangsa Arab dengan mudah menyebar keberbagai penjuru dunia dengan
menundukkan kerajaan-kerjaan besar. Tak hanya menjatuhkan imperiur Rumawy
(Bizantium) dengan daerah-daerahnya yang besar di Asia dan Afrika, tetapi juga
dalam waktu yang sama menaklukkan Imperium lain, seperti Persi, Sasanit dan
meduduki seluruh daerahnya.15
Oleh karenanya, untuk menerpakan hukum Islam yang baru menurut
masyarakat yang ditundukan perlu banyak penyesuaian dan tak bisa dengan mudah
menghapuskan tradisi-tradisi yang telah berkembang di daerah tersebut. Hal itu
dilakukan oleh Khalifa ke dua yaitu, Umar Ibn Khattab dimana, Umar meneruskan
praktek para kaisar Bizantium dalam mempertahankan sistem diwan, atau
registrasi. Ia mendirikan lembaga-lembaga ini, termasuk satu di antaranya untuk
tentara (jund) dan yang lainnya untuk urusan finansial (kaharaj). Bahasa yang
berasal dari daerah taklukan tetap menjadi bahasa yang resmi digunakan pada
masing-masing lembaga diwan tersebut, dan para pegawai yang menanganinya
kebanyakan orang-orang Yunani dan Persia. Sebagaimana kenyatan bahwa tidak
ada lembaga kharaj dalam teori fiqh klasik tentang pajak pertanahan, pengenalan
lembaga ini dalam masyarakat Islam mengindikasikan bahwa para sahabat tidak
membatasi pengadopsian mereka terhadap hukum adat hanya kepada kebiasaan
yang terdapat dalam masyarakat mereka sendiri, melainkan juga menerima
praktek-praktek adat kebiasaan yang berasal dari tradisi non-Muslim. Terutama di
beberapa propinsi sebelah timur, institusi-institusi masyarakat Sassanid juga
dipertahankan, dan biro keungan Sassanid, yaitu diwan al-kharaj dan diwan an-
nafaqati, juga dipertahankan di Irak sesudah masuknya daerah ini menjadi wilayah
Islam.16
14
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 9.
15
Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, h. 8.
16
Mahiduliah, Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam, h. 8
17
Al-Mawardi (w. 450 H) menyebutkan bahwa Umar mendirikan sistem diwan
untuk menyesuaikan dengan tradisi persia. Dalam karyanya yang terkenal, Al-
Ahkam as-Sultaniyyah, ia memberitakan bahwa Umar menerima sedekah begitu
banyak dari Bahrain, ia berkonsultasi dengan para sahabat tentang manajemen dan
distribusi dari pemberian tersebut. Berdasarkan pada informasi tentang institusi
diwan dari Hurmuzan, orang Persia yang sangat familier dengan lembaga diwan
yang dipraktekkan di Negara asalanya, dan juga dari Khalid ibn al-Walid, yang
juga memberikan informasi kepada Umar tentang sistem diwan ini di Siria, Umar
kemudian menyetujui proposal pembangunan sistem diwan di Medinah.17
Contoh di atas mengilustrasikan bahwa para Sahabat tidkak menutup pintu
kegiatan adopsi terhadap hukum-hukum peraturan asing sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan yang eksplisit dari Quran dan Sunah. Hal ini secara
jelas tergambarkan dalam fakta bahwa para Khulafa ar-Rasyidun, sebagai penerus
Nabi, secara bijaksana memperbolehkan masyarakat dari tanah taklukan untuk
mengatur kehidupan mereka sehari-hari menurut kepercayaan dan tradisi lokal
mereka sendiri. Dalam semangat mereka untuk mengikuti jejak yang telah
dibangun oleh Nabi, para Sahabat mempertahankan beberapa aturan adat yang
baik ketika Islam menyebar ke tempat-tempat yang baru. Mereka tidak hanya
menerima praktek-praktek masyarakat Arab saja, tetapi juga meresepsi hukum-
hukum adat dari daerah-daerah yang baru dibuka ke dalam sistem hukum Islam.
Ringkasnya, pada masa Nabi dan para Sahabat ini, ketika hukum Islam masih
dalam awal pembentukannya, proses penciptaan hukum bersifat terbuka terhadap
pengaopsian, baik itu institusi hukum Arab pra-Islam maupun institusi
administrasi dan hukum dari daerah-daerah yang baru. sebagaimana yang tampak
pada masa Nabi, aspek teknik hukum belumlah menjadi fokus perhatian dari umat
Islam. Oleh karenanya, sepanjang tidak ada penolakan moral maupun agama
terhadap transaksi atau kebiasaan tertentu, pengaruh adat yang ada tersebut
terhadap hukum Islam pada kenyataannya merupaka suatu yang bersifat positif
dan memperkaya.18
Sikap orang-orang Islam masa awal ini berpengaruh kepada
17
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 11.
18
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 15.
18
kegiatan pengadopsian hukum-hukum asing yang semakin meluas sepanjang
sebagian besar abad pertama Hijriah, pada masa ketika hukum Islam, menurut
Schacht, “dalam artinya bersifat teknis belumlah muncul”.19
2. Macam-macam adat (‘Urf) dan Pandangan Para Ahli Hukum Islam
para ulama mengklasifikasi „Urf (adat) dengan bentuknya yaitu:
a. „Urf fasid (rusak/jelek) tidak bisa diterima, yaitu adat yang
bertentangan dengan nash qathi‟iy.
b. „Urf shahih (baik/benar) adalah adat yang bisa diterima dan
dipandang sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam.
„Urf shahih terbagi menjadi dua macam:
1) „Urf Aam (umum) dan
2) „Urf Khas (khusus).20
„Urf Aam ialah adat yang telah disepakati masyarakat diseluruh negeri. Ulama
Madzhab Hanafy menetapkan adat seperti ini dapat mengalahkan qiyas, yang
kemudian dinamakan istishan „urf. Adat ini dapat men-takhsis nash yang “am
yang bersifat zhanny, bukan yang qath‟iy. Di antara contoh meninggalkan
keumuman dari nash zhanny karena adanya „urf larangan Nabi Saw mengenai jual
beli yang disertai dengan syarat. Dalam hal ini, Jumhur Ulama Madzhab Hanafy
dan Maliky menetapkan kebolehan diberlakukannya semua syarat, jika memang
berlakunya syarat-syarat tersebut dipandang telah menjadi sebuag adat atau tradisi.
Akan tetapi apakah sesungguhnya „Urf Aam yang dapat men-takhsis nash „am
yang zhanny dan dapat mengalahkan qiyas?. Dalam hubungan ini, kami temukan
alasan yang dikemukakan oleh fuqaha‟ tentang dibolehkannya meninggalkan qiyas
dalam aqad istihsna‟ sebagai berikut: “menurut qiyas, aqad istishna‟ tidak
diperbolehkan. Akan tetapi meninggalkan dalil qiyas lantaran akad tersebut telah
berjalan di tengah masyarakat tanpa ada seorang pun yang menolak, baik dari
kalah sahabat, tabi‟m, maupun ulama-ulama sesudahnya sepanjang masa. Ini
sebuah bentuk Hujjah yang kuat dan dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan
dalil qiyas.” „Urf seperti itu dibenarkan berdasarkan ijma‟. Bahkan tergolong
19
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia. H. 15.
20
Muhammad Abu Zahrah, Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus
2015), h. 442-443.
19
macam ijma‟ yang paling kuat karena didukung berbagai kalangan, baik oleh
kalangan mujtahid maupun di luar ulama-ulama mujtahid: oleh golongan sahabat
maupun orang-orang yang datang setelahnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa „urf „am ialah adat yang berlaku di
seluruh negeri tanpa memandang kepada kenyataan pada abad-abad atau masa-
masa yang telah silam.
Sebagai bandingan urf „am yang shahih, ialah „urf khas, yaitu: adat yang
dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu.
Adat dengan bentuk seperti ini tidak boleh berlawanan dengan nash. Hanya boleh
berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan yang qath‟iy,
baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.21
B. Hukum Adat dengan Hukum Islam di Indonesia
1. Recepcio in Complexu
Mr L. W. C. van den Berg seorang sarjana hukum yang pernah jabat berbagai
jabatan penting seperti Penasehat bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam pada
Pemerintahan Kolonial Belanda, sebagai Guru Besar di Delfi, sebagai Penasihat
Departemen Jajahan di negeri Belanda, menegahkan suatu teori tentang hukum
Adat yang disebut “teori reception in complexu”.
Inti dari pada teori ini adalah sebagai berikut: “orang-orang Muslim Indonesia
menerima dan memberlakukan syariat Islam secara keseluruhan”.22
Tegasnya
menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka
hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya
itu.
Jika ada hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan hukum agama
yang dianut, maka hal-hal ini dianggabnya sebagai “perkecualian/penyimpangan”
dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipeerd” (= diterima dalam
keseluruhan) itu.23
21
Muhammad Abu Zahrah, Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus
2015), h. 444-445.
22
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), h.48.
23
Soejono Wignjodipoero, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat”, h. 28-29.
20
2. Receptie
Teori Resepsi (Recepcie Theory) adalah kebalikan dari teori “Receptio in
Complexu”. Secara bahasa berarti: “penerimaan, pertemuan”. Hukum ada sebagai
penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi “hukum Islam masuk/ diterima
ke dalam hukum adat.” Hukum Islam baru bisa berlaku jika telah diterima atau
masuk ke dalam hukum adat, maka secara lahirnya ia bukan hukum Islam, tetapi
sudah menjadi bagian dari hukum adat. Menurut teori ini, bagnsa Indonesia pada
hakikatnya bukan bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati
baru dalam bentuk yang sederhana. Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya
telah ada sejak lama, yang berasal dari tradisi yang telah mengakar di dalam
masyarakat. Tradisi tersebut disebut dengan adat kebiasaan, yang kemudian
menjadi “hukum adat”. Hukum asli bangsa Indoensia itu bukanlah hukum yang
berasal dari negara lain seperti hukum Islam, sebagaimana pendatap van den Berg,
Deaandels, Raffles, dan sebagainya, tetapi yang hukum hidup dan yang praktikkan
oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.24
Teori ini dimunculkakn Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), sebagai
penasihat pertama Pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak
negeri (bumi putera). Selain mengenal hukum Islam sebagaimana yang terdapat
dalam literatur-literatur fikih, Snouck Hurgronje juga mengenal dengan baik
praktik ajaran Islam yang berkmebang di Indonesia.25
Tahun 1889 ia datang ke
Indonesia dan tahun 1891 diangkat sebagai penasihat orang Timur dan hukum
Islam (adviseur voor Oostersche talen an Mohammadenaansch recht). Pangkat ini
kemudia berubah menjadi adviseur voor Inlandsch (Penasihat Hindia Belanda).
Pada tahun 1899, disamping sebagai penasihat Hindia Belanda, juga penasehat
untuk orang Arab (adviseur voor Inlandsch en aranische zaken). Pada masa ini ia
melakukan perjalanan ke pulau Jawa guna mengumpulkan bahan-bahan tentang
Islam serta bahan-bahan yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa. Di Aceh
Snouck hanya tinggal selama dua tahun (1891-1892) untuk melakukan penelitian,
24
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, h.61-65.
25
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 73.
21
hasil penemuannya diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul: “De Atjehers”,
dalam 2 jilid yang diterbutkan oleh E. J. Brill, Leiden tahun 1893. Penelitiannya
ini boleh dikatakan sangat mengagumkan, demikian kata Soekanto. Sebab dengan
hanya tinggal di Kutaraja dan sekitarnya serta disalah satu pelabuhan di Aceh
Utara dan Timur, ia berhasil mengungkapkan Aceh secara keseluruhan dan
menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian berikut. Demikian juga bukunya
tentang Tanah Gayo (Het Gajoland) tahun 1903. Sementara bahan-bahan untuk
bukunya hanya dikumpulkan dari otang-orang Gayo yang datang ke pantai.26
Walaupun karangannya itu hanya bersumber dari sebagai daerah di Indonesia
saja tanpa membandingkan dengan daerah lain, tetapi kita (demikian Soekanto)
dapat mengatakan bahwa Snouck telah membedakan dengan tegas antara hukum
rakyat dengan hukum raja, hukum yang hidup dan hukum yang tertulis, hukum asli
dan hukum agama.27
Pemakaian istilah “adat” menjadi “Adatrecht” (hukum adat)
pertama kali dikedepankan oleh Snouck dengan pengertian bahwa adat-adat yang
berakibat hukum, berlainan dengan kebiasan-kebiasan atau pandangan-pandangan
yang tidak mempunyai arti hukum.28
Daniel S. Lev, ketika mengutip pendapat Snouck Hurgronje mengatakan,
bahwa dengan dibentuknya Pengadilan-pengadilan Agama oleh Pemerintah Hindia
Belanda beserta pengangkatan para hakimnya, memeberi isyarat awal ketidak
harmonisan hubungan antara pejabat agama dengan kaum priyayi golongan atas.
Serta memberi peluang terhadap keluasan pemakaian hukum Islam, tetapi
mendeskreditkan sifat khusus dari adat. Dalam hal ini Snouck berpendirian
sebaliknya, bahwa ia ingin agar semangat dan cita-cita Islam di Indonesia harus
disederhanakan dan disesuaikan dengan kebudayaan belanda. Teori Berg yang
semula diterima dan tidak dipersoalkan dalam masyarakat terutama oleh
Pemerintah Hindia Belanda, karena kritikan Snouck terhadap teori Berg, diubah
menjadi teori Resepsi. Kedudukan Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia
26
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 74.
27
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 35-37.
28
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 75.
22
Belanda sangat mendukung gagasan perubahan yang ia lakukan. Dalam perjalanan
politik hukum berikutnya, teori ini sangat populer di kalangan ahli hukum di
Indonesia, terutama para peminat dan ahli hukum adat. Soekanto sebagai ahli
hukum adat mengatakan menempatkan hukum Islam ke tempat yang kecil dan
sebaliknya bagi hukum adat, sangatlah tepat. Karena tulisan-tulisan sebelumnya,
demikian kata Soekanto, seperti tulisan C.W. Margadent selain van den Berg,
selalu tidak membedakan hukum agama dengan hukum adat.29
Snouck Hurgonje bersama van Vollenhoven (1874-1933) berupaya
mengembangkan teori ini lebih lanjut. Van Vollenhoven sebagai penentang
kodifikasi dan unifikasi hukum yang dicanangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
berusaha mendiskreditkan hukum Islam dan menomorsatukan hukum adat dari
sistem hukum yang lain, termasuk hukum Barat. Ketika unifikasi hukum
dilancarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui kabinet Kuyper (1904) untuk
memberlakukan sistem hukum Barat, bukan mempertahankan hukum adat atau
mengodifikasikannya, bahkan menggantikannya dengan hukum Eropa, ditentang
oleh van Vollenhoven dan mengatakan bahwa mencampuri sistem hukum di
Indonesia pasti menemui kegagalan.30
Sikap van Vollenhoven bukan menantang kodifikasi hukum bagi semua
golongan penduduk Indonesia, tetapi ia melihat dari sudut perlunya jaminan
hukum. Sampai saat itu kodifikasi yang diinginkan oleh pemerintah Belanda tidak
bermaksud memberi jaminan hukum. Jika kodifikasi diperlukan juga, maka
menurut van Vollenhoven syarat mutlak yang diperlukan adalah membatasi diri
kepada suatu kebulatan yang lengkap, dipelajari dengan baik dan terang. Bangsa
Indonesia yang merupakan sebagian besar dari penduduk jajahan tidak bisa tunduk
kepada hukum yang sebagai besar disesuaikan dengan bangsa Eropa. Mereka tidak
bisa dimasukkan ke dalam golongan Eropa di lapangan hukum sipil. Seharusnyan
hal ini sudah diketahui oleh pembesar-pembesar kolonial dulu, bahwa generasi
Indonesia memerlukan hukumnya sendiri. Sedangkan bangsa Eropa, Tionghoa dan
29
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1981), h. 35.
30
Raden Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1954), h. 5,6.
23
Arab tidak akan mempunyai hak istimewa. Seharusnya mereka tunduk kepad
ahukum yang di mana mereka berada.31
Van Vollenhoven membela diadakannya pencatatan-pencatatan yang
sistematis dari hukum yang sesungguhnya dari penduduk, daerah hukum demi
daerah hukum,32
melalui berbagai penyelidikan oleh para ahli untuk memajukan
ketentuan hukum dan membantu hakim yang harus mengadili menurut hukum
adat. Perjuangannya didukung oleh dua hlm. Pertama, oleh pengalaman pahit
bertahun-tahun lamanya, dengan memaksakan hukum Barat akan selalu
mengalami kegagalan. Kedua, pengertian hukum adat selalu berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Akhirnya tahun 1927 konsep van Vollenhoven dapat
diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menerapkan dualisme hukum,
yakni hukum Eropa dan hukum adat. Hukum Islam karena telah diresepsi, tidak
dimunculkan lagi sebagai hukum, tetapi merupakan bagian dari hukum adat.
Karena itu konsep hukum adat menurut van Vollenhoven adalah: “Hukum Pribumi
(Inlandsrecht) yang terdiri dari hukum yang tidak tertulis (jus non-scriptum) yang
diambilkan dari hukum asli penduduk Indonesia dan hukum yang tertulis (jus
scriptum) yang diambil dari hukum agama.”
Hukum pribumi ini telah ada sebelum Belanda datang ke Indonesia, bahkan
kira-kira tahun 1000 M pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa bagian
Timur telah memberi perintah untuk membuat kitab Undang-Undang yang disebut:
“Civasasana”.33
Juga Gajah Mada, kerajaan Majapahit kurang lebih tahun 1331-
1364 dengan kita hukum yang bernama “Gajahmada”, serta Kanaka, Patih
Majapahit kurang lebih tahun 1413-1430 memberi perintah menyusun buku
hukum “Adigama”.34
Dengan demikian, terlihat bahwa jauh sebelum penjajahan,
bangsa Indonesia telah memiliki asas hukumnya yang khas.
Sampai apada awal abad kedua puluh, jumlah pendudukung teori Resepsi
bertambah dengan pesat. Berkat jasa van Vollenhoven melakukan pengamatan
yang cerman tentang adat dan Islam di Indonesia, akhirnya berkesimpulan bahwa
31
Raden Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII, h. 8,9.
32
Prof. Dr. Yaswirman, “Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau)”, h. 78.
33
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980) h. 27.
34
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 27.
24
hukum adat bukan hukum agama dan bukan pula sebaliknya. Hukum agama
adalah sebagian kecil dari hukum adat. Tahun 1922 pengaruh teori menjadi sangat
kuat, apalagi ada instruksi pemerintah jajahan untuk membentuk komisi yang
mengawasi Dewan-Dewan Ulama.
Komisi itu diketuai oleh seorang ilmuan Islam Indonesia, yakni Husein
Djajadiningrat; alumnus Leiden dan pembantu Penasihat Urusan Dalam Negeri
pemerintah Hindia Belanda. Anggota komisi ini terdiri atas bangsa Indonesia dan
Belanda, yang paling terkenal adalah Ter Haar, ahli hukum Belanda pendukung
serta pengikut teori Resepsi. Ter Haar dan Kepala Pengadilan Negeri Purbalingga
dan Purwokerto, Penasihat pada Departemen Kehakiman dan mahaguru pada
Sekolah Tinggu Hukum di Jakarta. Komisi ini telah menerima baik gagasan-
gagasan Snouck dalam memajukan hukum adat, tetapi sebaliknya terhadap
Pengadilan Agama. Usul terpenting dari komisi ini adalah pengalihan wewenang
Pengadilan Agama mengenai perkara-perkara hak milik dan warisan kepada
Pengadilan Negeri, sehingga wewenang Penadilan Agama dibatasi bidang
perkawinan dan perceraian saja. Ter Haar malah memperkecil lagi ruang lingkup
hukum Islam, seperti kewarisan di Minangkabau, yang sama sekali bukan
berdasarkan atas hukum Islam, tetapi berdasarkan atas hukum adat Minangkabau.
Dan ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat dan alam Minangkabau itu
sendiri.35
Hooker, memberi komentar bahwa dalam beberapa hal hkum Islam sama
sekali ditolak oleh hukum adat, seperti di Minangkabau, Jawa, dan Madura.
Bermula dari sinilah mulai terjadi konflik secara nyata antara tiga sistem
hukum di Indonesia (hukum Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat). Konflik ini
bukan timbul secara wajar atau alamiah yang bisa diselesaikan dengan secara
wajar pula, tetapi konflik yang sengaja ditimbulkan sesuai dengan politik hukum
Kolonial. Konflik seperti ini menurut Busthanul Arifin sulit dihapuskan secara
memuaskan.36
Berdasarkan uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut teori Resepsi
yang berlaku bagi umat Islam bukan hukum Islam sebagaiman dikemukakan oleh
35
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 3.
36
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prosesnya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 34-36.
25
van den Berg, melainkan hukum adat, yakni hukum yang mengakar dari kesadaran
masyarakat hidup tenteram dan damai. Hukum Islam baru bisa berlaku jika
diterima di dalam hukum adat.37
Menurut Prof. Dr. Yaswiran, “teori van den Berg yang dikemukakan
sebelumnya berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai
mayoritas penduduk agama Islam. Van den Berg dalam mengemukakan teorinya
sama sekali terlpeas dari politik hukum Pemerintah Hindia Belanda. Sementara
teori Resepsi ini dimunculkan berkaitan dengan politik hukum tersebut”.38
Terbukti bahwa istilah “hukum adat” hanya ada di Indonesia, sementara di negara
lain, kendati sebagai bekas negara jajahan seperti Malaysia, Filipina, India, dan
sebagainya hanya ada adat istiadat yang tidak tersangkut dengan sistem hukum
yang berlaku,
Pada mulanya Pemerintah Hindia Belanda kurang tanggap terhadap pemikiran
van Vollenhoven karena merasa perlu ada unifikasi hukum di negeri jajahan.
Tetapi kemudian van Vollenhoven dapat meyakinkannya dengan mengatakan
bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku bagi pribumi Indonesia,
maka yang akan mengambil keuntungan adalah hukum Islam. Karena hukum sipil
Barat yang tumbuh dan berkembang dari asas moral dan etika Kristen itu tidak
disukai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang bergama Islam.39
Jadi
pemberlakuan hukum adat bukan melihat kenyataan dalam masyarakat yang sudah
berjalan sejak masa sebelumnya atas dasar hukum agama, melaikan dimunculkan
untuk kepentingan kolonial dan membatasi kenyataan yang ada tersebut.40
Van den Berg dan Snouck bebrbeda presepsi tentan “penyimpangan-
penyimpangan” yang dimaksud oleh van dan Berg. Yang dimaksud oleh Berg
dengan penyimpangan-penyimpangan itu adalah hukum Islam yang telah
bercampur baur dengan tradisi lokal dan ia masukkan ke dalam bagian hukum
37
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 81.
38
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 82.
39
Busthanun Arifin, Eksistensi, Konsilidasi dan Aktualisasi Pengadilan Agama, h. 9.
40
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 82.
26
Islam, tanpa memilah-milah tradisi yang sesuai atau tidak sesuai dengan hukum
Islam. Sedangkan Snocuk dan Vollenhoven meilhatnya dari sisi hukum adat dan
pemyimpangan yang maksud Berg bukan penyimpangan teapi merupakan hukum
yang hidup di masyatakat. Dan inilah yang menjadi tolak ukur pemikiran Snouck
dan van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum Islam bagian dari hukum adat.
Sayangnya Snouck dan Vollenhoven terlalu luas menempatkan porsi hukum adat
sehingga memperkecil prosi hukum Islam.
3. Receptio a Contrario
Secara bahasa teori Receptio a Contrario berarti: “penerimaan yang tidak
bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi umat Islam, hukum adat baru bisa
berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Gagasan ini dikemukakan
oleh Hazairin (1906-1975) dan dilanjutkan oleh Sajuti Thalib (1929-1990), sebagai
salah satu murid dan pengikut Hazairin. Mereka berdua juga merupakan bagian
dari produk sistem hukum Belanda.41
Pemikiran ini identik dengan pendapat van den Berg dan berbeda dengan
Snouck dan van Vallenhoven. Di Indonesia, demikian meurut teori ini, setelah
diberlakukannya teori Receptie menurut Hazairin telah terjadi pergeseran dalam
memposisikan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia, karena tidak relevan
jika hukum Islam baru bisa berlaku jikalau sesuai dengan hukum adat. Menurut
Hazairin selaku orang yang bergelut dalam dunia per-adatan di Indonesia, banayak
menemuka penyelewangan bentuk-bentuk adat yang kiranya dapat merusak moral
rakyat Indonesia. Hazairin pun mengharuskan untuk mentiadakan teori (Receptie)
ini dari Indonesia.42
Kritikan Hazairin lebih tertuju kepada pendapat teori Resepsi Snouck. Bahkan
Hazairin mengatakan bahwa teoir Snouck menghambat kemajuan Islam di
Indonesia dan disebut sebagai teori “teori iblis” karena mengajak orang Islam
untuk tidak mematuhi dan melaksan perintah Allah Swt. Dan sunah Rasul-Nya.43
41
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.
42
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 83-84.
43
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1986), h. 8.
27
Dalam satu kesempatan, Hazairin pernah mengatakan bahwa sekarang kita lihat
hukum agama itu sedang bersiap-siap hendak membongkar diri dari ikatan
(hukum) adat itu. Boleh dikatakan pada zaman sekarang jika dibandingkan dengan
keadaan pada waktu kolonial, penghidupan secara Islam lebih berkembang.44
Teori
Resepsi menurut penafsiran Hazairin bahwa adalah hukum Islam an-sich bukanlah
hukum. Hukum adatlah yang menentukan sebagai hukum atau tidak.
Alasan Hazairin menamakan teori Resepsi itu dengan “teori iblis” dapat
dilihat pada pernyataannya sebagau berikut:
“Hai orang-orang Islam, walaupun Qur‟an melarang perzinaan dengan
ancaman pidana, tapi jangan kamu takut melaksanakannya; selama dalam
masyarakat adatmu berzina itu merupakan acara bebas. Pun tak guna engkau takut
akan dihukum menurut peraturan Gubernemen, asal saja engkau jangan melanggar
syarat-syarat acara bebas yang dimaksud dalam peraturan Gubernemen itu,
misalnya jangan dengan bini orang, kecuali hukum adat mengizinkan seperti di
Minahasa; jangan dimuka umum, jangan dengan orang yang belum matang
badannya dan jangan dengan cara perkosaan. Tetapi untuk selebihnya kamu diberi
hak untuk bercara bebas. Kiranya cukup jelas mengapa teori Resepsi itu saya
namakan teori iblis. Tidak mengherankan bahwa jiwa immoral kolonial itu juga
untuk golongan yang tidak tunduk kepada hukum adat memberikan tempat yang
legal dengan nama pasaran „memelihara nyai‟”.45
Di Indonesia, hukum pidana merupakan produk asli bangsa Belanda yang
dikodifikasikan; sementara hukum perdata campur aduk antara hukum Barat,
hukum adat dan hukum Islam. Warga negara terbadi kepada tiga kelompok, yakni
bangsa Eropa sebagai pendatang dan mendapat perlakuan istimewa; bang Timur
Asing di samping sebagai pendatang juga menjadi mitra dang Eropa; pribumi
sebagai etnis yang dilematis terhadap tiga sistem hukum tersebut.46
44
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 85.
45
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1986), h. 8.
46
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 96
28
Kendati demikian, upaya para ahli hukum bersama umat Islam tetap berlanjut.
Sajuti Talib melihat beberapa daerah tetap menomorsatukan hukum Islam dari
hukum adat.47
Muhammad Daud Ali,48
memberi komentar tentang Snouck bahwa
Belanda selalu menggambarkan pertentangan kedua sistem ini, denga memakai
teori konflik untuk memecahbelah kekuasaan kolonial di tanah air. Diibarakn
seperti politik belah bambu; mengangkat belahan yang satu (hukum adat) dan
menginjak belahan yang lain (hukum Islam).49
Daniel S. Lev yang melakukan pengamatan kurang lebih tiga tahun di
Indonesia sebelum lahir Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak melihat teori
Resepsi ini di lapangan seperti konsep Snouck. Kendati kewenangan Pengadilan
Agama terutama setelah Indonesia merdeka telah berkembang dan meluaskan
perannya dengan baik. Hal ini dibenarkan oleh Soebekti, bahwa sepanjang abad
ke-20 ini kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama berkembang dengna
pesat.50
47
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta, Academica, 1978), h. 47-50.
48
Muhammad Daud Ali, Asas- Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 202.
49
Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Minangkabau), h. 96.
50
R. Soebekti, “Peradilan Agama dalam Pembinaan Mahkamah Agung”, dalm Tim Penyusun, Kenang-
Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Direklrat Pembinaan Badan Peradilan Agama: Dirjen
Binbaga Islam Departeman Agama RI, 1985), h. 316.
29
BAB III
BUDAYA ETNIS TONTEMBOAN di KECAMATAN
LANGOWAN TIMUR, SULAWESI UTARA
A. Potret Etnis Tontemboan di Kecamatan Langowa Timur
Etnis Tontemboan adalah salah satu dari Sub- etnis dalam suku Minahasa,
yang bertempat di daerah Langowan. Masyarakat dalam etnis Tontemboan
termasuk masyarakat yang ramah.1 Secara geografis pada hari ini daerah etnis
tontemboan menjapusat kota di Kec. Langowan timur, yang dimana menjadi
pusat perdagangan.
Karena termasuk daerah pusat perdangan dan peradaban banyak suku luar
contohnya Bugis, Gorontalo dan Jawa mendiami daerah tersebut dengan
memawa beragam adat dan tradisi dari sukunya, mereka harus menyesuaikan
tradisi atau kebiasaan yang mereka bawa dengan tradisi yang ada di etnis
Tontemboan agar tetap terjaga tradisi mereka tersebut. Salah satu diantranya
adalah dengan melangsugkan pernikahan dengan etnis Tontemboan dengan
menyelipkan beberapa kebiasaan yang bisa diterima oleh lingkungannya. Ketiga
suku tersebut rata-rata memeluk agama Islam yang dimana dalam tradisi dan
kebiasaannya mengandung unsur-unsur keislaman yang secara otomatis dalam
menajaga kebiasaan dan tradisinya mereka juga menyebarkan agama Islam.
Islam sudah masuk dan mulai menyebar setelah kedatangannya Kyai Mojo
bersama bala tentaranya pada tahun 1828 dan disusul oleh pangeran
Diponogoro pada tahun 1830. Ke- dua tokoh tersebut menyebarkan agama
1 Wawancara Pribadi dengan Fendy E. W. Parengkuan (Sejarawan/ Budayawan), Tondano, 22
Januari 2018).
30
Islam salah satunya dengan menikahi rakyat Minahasa yang non-Muslim pada
saat itu.2
Kecamatan Langowan Timur adalah salah satu daerah otonom di
Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara dan juga menjadi salah satu
daerah yang didiami etnis Tontemboan, perlu diketahui menurut Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah Kecamatan Langowan Timur Tahun 2017, bahwa
penduduk Kecamatan Langowan Timur sebanyak 14.282 jiwa yang terdiri dari
7.082 jiwa penduduk laki-laki dan 7.200 jiwa penduduk perempuan.3
Penduduk Kecamatan Langowan Timur didominasi oleh penduduk muda
dan usia produktif. Penduduk usia produktif memiliki jumlah terbesar yaitu
69.50 persen dari keseluruhan populasi dengan rasio ketergantungan sebesar
40,21 persen, artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung
sebanyak 40 hingga 41 penduduk yang belum dan tidak produktif lagi.4
Golongan Agama Kecamatan Langowan Timur memiliki 47 tempat Ibadah
terdiri dari 44 tempat ibadah Bergama Kristen dengan jumlah jemaat 2.451 KK
(Kepala Keluarga) dan 3 tempat ibadah Bergama Islam dengan jumlah jemaat
661 Kepala Keluarga).5 Kecamatan Langowan Timur juga terdiri dari 8 desa
6
yang kemudian disetiap desanya dipimpin oleh 8 hukum tua (kepala desa).7
2 Wawancara Pribadi dengan Wahid Kosasi (Sejarawan/ Budayawan), Tondano, 22 Januari
2018). 3 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,
2017), h. 40.
4Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,
2017), h. 40.
5 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,
2017), h. 49-51.
6 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,
2017), h. 41
7 Kecamatan Langowan Timur, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2017, (Langowan Timur,
2017), h. 46.
31
Dalam perkembangan selanjutnya, Langowan Timur kemudian
berkembang terus dan pada akhirnya menjadi suatu daerah yang cukup luas.
Kecamatan Langowan Timur memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan dalam memakmurkan rakyatnya. Potensi-potensi itu hadir
dalam berbagai bidang seperti bidang pertanian, perkebunan, pariwisata,
perdagangan dan potensi-potensi lainnya yang bisa timbul sewaktu-waktu
dengan perkembangan-perkembangan yang ada.
B. Sosial Kemasyarakatan Etnis Tontemboan Suku Minahasa
System kekerabatan pada etnis Tontemboan Suku Minahasa, nampaknya
masih memegang perenan penting dalam rangka membangun identitas dalam
dan kehidupan bersama sebagai suatu kelompok masyarakat.
Di Suku Minahasa sangat terkenal dengan istilah Mapalus (gotong
royong) hal yang ini yang menjadi dasar disetiap jiwa mereka dalam menjalani
kehidupannya. Mapalus merupakan metode hidup yang bertujuan untuk saling
membantu antara satu dengan yang lainnya baik dalam keadaan susah maupun
senang.8
J. Turang (Teori Dan Praktek Mapalus, 1989) mengemukakan: Pandangan
masyarakat Minahasa, bahwa hakikatnya manusia adalah “makhluk kerja
bersama berke-Tuhanan”. Manusia hidup untuk bekerja bersama berke-
Tuhanan, bukan bekerja sendiri-sendiri tapi bekerja sama, tapi bukan bekerja
bersama hanya untuk mencapai sebuah materi dan memuaskan nafsu akan tetapi
bekerja bersama karena sebuah amanat (amanat dari Tuhan). Oleh karenanya
dalam melaksanakan sebuah pekerjaan orang Minahasa selalui mendahului dan
mengkahiri dengan sebuah upacara sacral yang dipimpin oleh Walian
8 L. Adam, Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, (Jakarta: Bhratara: 1976), h. 29.
32
(pemimpin keagamaan yang dituakan).9 Orang Minahasa juga sangat
mensakralkan suara burung manguni (hantu) mereka meyakini bahwa suara
burung manguni mengandung pesan dari Tuhan, oleh karenya lambang dari
suku Minahasa terkenal dengan symbol burung Manguni.
Ada beberapa nilai dasar tradisional yang dijunjung tinggi sekaligus
menjadi kaeda-kaedah hidup manusia/ masyarakat Minahasa:10
- Nilai Reigius: kesucian, kesalehan, kejujuran, keadilan, kebenaran,.
Personifikasi nilai-nilai religious ditampilkan oleh Walian yang menjadi
penghubung Tuhan dengan manusia.
- Nilai Estetika (kehidupan): nilai keindahan ini ditampilkan dalam berbagai
bentuk dan karya seni, dalam setiap upacara sakral terdapat unsur-unsur seni di
dalamnya. Oleh karenanya seorang seniman sebagai personifikasi nilai-nilai
estetika, sengat dihormati dalam masyarakat tradisional Minahasa.
- Nilai kebenaran Hakiki (kebijaksanaan): diakui sebagai Nuwu Tu’ah (Amanat
Luhur). Personifikasi Nuwu Tu’ah adalah Tumutuzuk (guru) sebagai seorang
yang bijaksana. Symbol legendaris orang bijaksana antara lain yang bernamana
Karema, Lumimuut dan Toar.
- Nilai Etika: yang menjadi kaedah-kaedah moral nilai kehidupan bersama,
kehidupa bersama sekampung (kawanua), perkawinan suami-istri (monogami).
Personifikasi nilai etika ialah Kaawu (Suami-Istri). Oleh karenanya Orang tua,
si Ina (Ibu) wo si Amak (Ayah) sangat dihormati dalam kehidupan
keluarga/masyarakat.
- Nilai Kebenaran akali: diakui kebenaran berdasarkan pengalaman dari waktu
ke waktu yang menjadi petunjuk/ nasihat dalam kehidupan.
9 Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus Suku
Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014). H. 50.
10
Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus
Suku Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014). H. 50.
33
- Nilai Demokratis: nilai demokratis ditampilkan oleh Tonaas dalam
kepemimpinan masyarakat yang berdasarkan menghargai suara atau aspirasi
rakyat, menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat adat.
- Nilai Kebersamaan: nilai kebersamaan ditampilkan “Hidup Bersama dan
Maju Bersama” (Gotong Royong Khas Minahasa), rasa persahabatan dan
keramah-tamahan yang tinggi, rasa sepenanggungan dalam suka maupun duka.
- Nilai Kekeluargaan: nilai kekeluargaan ditampilkan dalam rukun-rukun
keluarga, rukun sedaerah asal (Rukun Kawanua), Rukun Kampung dan
sebagainya. Oleh karenanya personifikasi masyarakat Minahasa ialah “sangat
menghormati orang tua serta orang yang dituakan”.
- Nilai Kerja Keras Bersama: nilai kerja keras bersama menjadi kewajiban
setiap warga masyarakat. Tempo dulu seorang anggota kerja mapalus yang
malas/ terlambat akan dikenai sanksi dipukul atau lainnya oleh pemimpin
kelompok.
Nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar kehidupan masyarakat Minahasa
dilestarikan melalui nasihat atau petuah dalam upacara-upacara yang oleh M. K.
M dikenal dengan “5 letek” (Lima Kesetiaan):11
1. Letek Wia Si Opo Empung (Setia kepada Tuhan Yang Maha
Esa).
2. Letak Wia Toktolan Um Banua (Setia Pada Sendi-sendi Dasar
Negeri antara lain Mapalus, dan dalam masyarakat Indoensia
yaitu setia pada Pancasial dan UUD 1945).
3. Letek Wia Se Ni Matu’a Wo Nuwu Tuah (Setia pada leluhur
dan pesan para leluhur).
4. Letek Wia Si Inak Wo Si Amak (Setia pada Ibu dan Ayah).
11
Reynaldo Joshua Salaki, Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus
Suku Minahasa, “Jurnal Studi Nasional”, 6, 1, (Mei 2014), h. 51.
34
5. Letek Wia Se Antang Um Banua, Wo Se Kupalus (Setia Kepada
pimpinan/ atasan dan juga terhadap teman kerja).
Adat kebiasaan yang telah melembaga, seperti sistem pertalian keluarga
yang dimana menganut sistem patrilineal, dimana mengikuti garis keturunan
Ayah. Terlihat dari penurunan dari marga Ayah ke anak-anaknya.
C. Proses Pernikahan Adat Tontemboan
Minahasa secara Historis diketahui termasuki rumpun bangsa Austronesia
yang berimigrasi dari daratan Asia Tenggara dan secara genealogis atau menurut
istilah keuturnan serta mitos yang ada, Nenenk Moyang Minhasa adalah dari
keturunan ke enam To’ar dan Luminu’ut. 12
Minahasa adalah salah satu suku
yang besar di Indonesia yang berada di Sulawesi Utara. Terdapat 9 sub-etnis di
Minahasa yang menjelaskan 9 bintang dalam Manguni. Yaitu; .13
1. Tonsea.
2. Tombulu.
3. Tontemboan.
4. Tondano.
5. Tonsawang.
6. Ratahan pasan (Bentenan) atau Tounpakewa.
7. Ponosokan.
12
Stainlaus Mangkey, dkk, :Kebudayaan Minahasa: Kajian Etnolinguistik tentang Konstruk
Nilai Budaya Lokal Menghadapi Persaingan Global”, Interlingua, Vol. 4, (April 2010), h. 63-64.
13
L. Adam, Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, (Jakarta: Bhratara: 1976), h. 28-29.
35
8. Bobontehu.
9. Bantik.
Adapun ke-9 sub-etnis tersebut memiliki adat yang berbeda-beda. Salah
satunya, dalam proses pernikahan. Pada kesempatan kali ini, penulis yang
beradabtasi di daerah Tontemboan akan menjelaskan proses pernikahan dalam
etnis tersebut.
Pada dasarnya, pernikahan adat Tontemboan diatur oleh kedua orangtua
dan tanpa memlalui proses pertunangan. Oleh karena itu, kedekatan kedua
orangtua sangat mempengaruhi mulusnya suatu proses pernikahan. Sehingga,
walaupun seseorang sudah memiliki pilihan, dapat terhambat bahkan
terbatalkan oleh orangtuanya.
Berdasarkan wawancana yang penulis lakukan dengan Pendeta (Em)
Serfiyus Lumingkewas, S.Th sebagai tokoh adat Tontemboan pada tanggal 24
Januri 2018, penulis menyimpulkan terdapat 4 hal yang akan penulis uraikan
tentang pernikahan adat Tontemboan. Pertama, persyaratan calon pasangan.
Kedua, pra nikah. Ketiga, resepsi (walimah). Dan keempat, pasca pernikahan.14
1. Persyaratan calon Sumai-Istri
Dalam adat Tontemboan, etika dan moral menjadi perhatian penting
dalam memilih calon pasangan untuk anaknya. Serta usia masing-masing
dari calon pasangan tersebut minimal 20 tahun yang menunjukkan sudah
dewasanya mereka, dan pada usia tersebut mereka meyakini rahim seorang
perempuan sudah matang, sehingga dapat mencegah kemungkinan terburuk
pada saat melahirkan baik untuk diri si perempuan maupun bayinya.
14
Wawancara pribadi dengan Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas (Tokoh Adat Tontemboan),
Winebetan, 24 Januari 2018).
36
Ada beberapa syarat khusus bagi laki-laki dan perempuan dalam adat
Tontemboan.
a. Laki-laki
1) Sudah memiliki pekerjaan
Telah memiliki pekerjaan dapat melambangkan
kemandirian seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang telah
bekerja pasti memiliki tabungan sendiri karena diarahkan
oleh orangtuanya untuk persiapan pernikahannya.
2) Bisa mengambil nira (saguer)
Air nira (saguer) dipercaya dapat melancarkan ASI.
Sehingga seorang laki-laki disyaratkan harus bisa untuk
mengambil air nira (sanguer) ini.
3) Harus bisa mengikat laki-laki (bentuk ikatan yang kuat)
Pasca pernikahan, laki-laki harus mendirikan sabuah
(pondok) di dekat kebunnya. Dan untuk menjaga keutuhan
sabuah, harus diikat dengan kuat.
4) Harus bisa mengelola sawah/ kebun
Pada saat itu, bertani merupakan mata pencarian mayoritas
Etnis Tontemboan.
b. Perempuan
1) Harus bisa memasak Tinutuan
Tinutuan merupakan makanan khas Etnis Tontemboan. dan
bisa memasak Tinutuan juga merupakan suatu bentuk
dirinya dapat menyiapkan makanan untuk suaminya nanti.
37
2. Pra nikah
a. Maso minta (peminangan)
Pada saat maso minta, pihak laki-laki harus menunjuk tokoh
adat yang disegani dalam keluarganya sebagai juru bicaranya
untuk menyampaikan maksud kepada pihak perempuan, begitu
juga dari pihak perempuan harus menunjuk tokoh adat yang
disegani untuk menerima maksud dari pihak laki-laki. Maso
minta dilakukan di siang hari untuk memberitahukan kepada
warga sekitar bahwa telah terjadi pinangan dari pihak laki-laki
fulan kepada pihak perempuan fulanah.
Pihak perempuan sengaja mengunci pintu rumah seakan-akan
tidak mengetahui akan kedatangan pihak laki-laki yang
bermaksud meminang. Tak jarang sebelum dipersilahkan
masuk, diawali dengan pembacaan puisi dengan bahasa
Tontemboan. setelah itu pihak laki-laki memulai pembicaraan
dengan pembukaan yang khas yang berarti bahwa “kami pihak
laki-laki putra mahkota dari Raja tempat matahari terbenam
bermaksud melamar putri dari Raja tempat matahari terbit.”,
dan dibalas oleh pihak perempuan.
Maso minta tak jarang dilakukan lebih dari satu kali karena
belum menemukan sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak.
Apabila terjadi peminangan dari pihak laki-laki yang memiliki
hubungan darah, maka harus diadakan pemutusan hubungan
darah dengan cara membawa kain putih berukuran lebih
kurang 1 meter dan disobek menjadi 2 bagian oleh kedua
perwakilan dan disaksikan oleh Tonaas atau Hukum Tua
38
(kepala desa) sebagai bukti telah terputusnya hubungan darah
kedua calon tersebut.
Dalam maso minta kedua belah pihak akan membicarakan
harta belanja atau harta yang akan diberikan kepada pihak
perempuan. Dan yang menjadi ciri khas dari adat tontemboan
adalah pemberian tanah dengan kebebasan memilih dari pihak
perempuan, jika pihak laki-laki memiliki banyak lahan tanah.
Biasanya, pihak perempuan memilih dari dua sudut pandang,
yaitu kesuburan dan luas dari tanah yang ditawarkan. Setelah
memilih, pihak perempuan akan diantarkan ke tempat lahan
tanah yang dipilihnya. Pada saat di perjalanan, perwakilan dari
kedua belah pihak akan membicarakan tanggal pernikahan
yang selambat-lambatnya 3 bulan setelah peminangan. Dengan
maksud untuk menilai etika dan moral dari kedua calon
pasangan.
b. Pemagaran
Pemagaran dilakukan setelah peminangan diterima dengan
maksudkan membatasi aktivitas kedua belah pihak, khususnya
kepada lawan jenis yang memungkinkan merusak perasaan
kedua calon pasangan. Dalam proses ini, laki-laki sudah mulai
membantu pihak perempuan baik dalam rumah tangga maupun
dalam bertani dengan catatan dalam setiap kunjungannya,
harus berpakaian sopan serta wajib mengenakan celana
panjang.
Namun tidak serta-merta kapan saja si laki-laki bisa
mendatangi rumah calon Istrinya, saat kedatangannya untuk
apel Ibu si perempuan harus berada di dalam rumah, serta
39
batas maksimal keberadaanya sampai jam 10 malam, apabila
lebih akan diusir ibu si perempuan diawali dengan teguran
batuk hingga membanting pintu, karena si ibu berfikir jika di
biarkan hingga lewat jam 10 akan mempengaruhi stamina si
laki-laki untuk bekerja besok.
Apabila pihak perempuan menerima pinangan dari laki-laki
lain, maka mereka harus mengembalikan harta yang telah
diterima dari pihak sebelumnya.
c. Kawin adat
Kawin adat dilaksanakan seminggu sebelum resepsi
dan dilaksanakan di rumah Hukum Tua dengan tujuan
menyelesaikan administrasi negara serta menunjukkan bukti
kepemilikan harta nikah, sebagai contoh akta tanah yang akan
diberikan.
d. Pingitan
Pingitan dilakukan setelah kawin adat, pada proses ini ke dua
calon pasangan dilarang untuk keluar rumah dengan tujuan
untuk menjaga perasaan atau bahaya yang akan menimpa ke
dua calon pasangan.
3. Resepsi (walimah)
Resepsi diadakan setelah nikah agama (akad nikah) yang
dilaksanakan di gereja. Resepsi pertama kali diadakan oleh pihak laki-laki
di kediaman perempuan dan sebaliknya dengan mengenakan pakaian adat
Tontemboan. Penambahan musik bambu dalam resepsi menandakan
bahwa pihak laki-laki memiliki ekonomi diatas rata-rata. Dalam adat
40
Tontemboan tamu undangan membawa bibit berupa padi dan jagung
untuk nantinya akan mereka tanam.
Pada malam harinya setelah resepsi selesai, diadakan malam muda-
mudi yang berisi tentang pesan-pesan dari tokoh Agama, Adat maupun
Pemerintah dengan maksud menandakan si perempuan sudah menjadi
kaum ibu dan si laki-laki sudah menjadi kaum bapak.
4. Pasca Nikah
a. Malam pertama
Malam pertama dilakukan dalam rumah si perempuan dan ketika
sudah bangun tidak dibolehkan untuk mengatur tempat tidur, karena
nantinya orang tua si perempuan akan memeriksa keperawanan dari
anaknya diseprai yang mereka gunakan.
b. Kehidupan awal
Ke-esokan harinya setelah malam pertama suami-istri tersebut harus
langsung tinggal di sabuah dekat kebun yang akan mereka kelola. Di
setiap hari minggunya mereka harus kembali ke kampungnya untuk
mengikuti ibadah atau dilain hari apabila adanya acara sakral
lainnya, berupa orang meninggal, pernikahan atau lainya.
Di 3 (tiga) bulan pertama mereka sudah harus memiliki hasil dari
kebun (sawah) yang mereka kelola, sebagai bentuk pertanggung
jawaban dari pemberian bibit (Rukub) dari tamu undangan saat
mereka menikah.
41
BAB IV
AKULTURASI NILAI ISLAM KE DALAM ADAT ETNIS TONTEMBOAN
A. Bentuk Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Adat Tontemboan
Nilai-nilai Islam dapat berakulturasi dengan adat. Sebagaimana yang telah
penulis jabarkan pada bab II di skripsi ini, menurut jumhur ulama adat telah
menjadi salahsatu istinbath hukum dalam hukum Islam.1Keduanya, secara
berkesinambungan masing-masing bersentuhan dengan siklus kehidupan
manusia. Keberadaan adat dan agama menjadi interaksi antar berbagai elemen
masyarakat. Di tiap-tiap daerah memiliki adatnya masing-masing yang
merupakan kreasi asli daerahnya. Sedangkan Islam merupakan tatanan kehidupan
yang sempurna karena di dalam Islam sendiri lengkap mengatur segala macam
bentuk aturan mulai dari hal yang terkecil hingga persoalan yang besar sekalipun.
Persentuhan antara budaya lokal dengan nilai Islam menghasilkan akulturasi
yang saling timbal balik atau saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya.
Sentuhan antara adat lokal dalam masyarakat dengan nilai-nilai dalam Islam
diyakini sebagai suatu bentuk kearifan yang tak jarang menghasilkan dinamika
budaya masyarakat setempat. Salah satu bentuknya dapat dilihat dalam etnis
Tontemboan khususnya dalam bentuk pernikahannya, dimana dalam beberapa
rangkainnya mengandung unsur-unsur keislaman.
Dalam penerapan hukum Islam, di Indonesia menganut paham reception a
contrario yang dikembangkan oleh Hazairin dan Sajuti Thalib yang dimana
hukum adat baru akan diterima apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.2
Hal ini senada dengan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam merevormasi
1 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, (Jakarta: INIS,
1998), h. 5-6.
2 Prof. Dr. Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Minangkabau), (Padang: PT Rajagrafindo Persada, 2011), h. 83.
42
hukum dimana nabi tetap mempertahankan nilai-nilai yang telah ada dalam
bangsa Arab.3
Dalam etnis Tontemboan sendiri, telah terjadi ialah suatu akulturasi di dalam
masyarakatnya. Secara spesifik, proses akulturasi nilai-nilai Islam terjadi dengan
datangnya suku-suku luar (Gorontalo, Bugis dan Jawa) yang adatnya telah
terlebih dahulu terakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Perlu kita ketahui bahwa
ada banyak bentuk-bentuk dalam sebuah akulturasi, akan tetapi proses akulturasi
yang dilakukan suku luar ini condong senada dengan apa yang dikatakan
Kontjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi, yaitu: “akulturasi
merupakan proses sosial yang muncul manakala suatu kelompok manusia berikut
kebudayaan yang dimilikinya dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing,
dan lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh kelompok
manusia itu dan diolah dalam kebudayaanya, tanpa menghilangkan sifat khas
kepribadian kebudayaan asal”.4
Maka dari itu penulis menyimpulkan ada 3 poin besar yang dapat
menggambarkan proses akulturasi di etnis Tontemboan, yaitu: Pertama,
masuknya suku mayoritas Islam dan mencoba beradaptasi dengan situasi dan
kondisi daerah tersebut. Usaha adaptasi menjadi pijakan awal sebagai usaha
menyesuaikan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, yakni
proses penerimaan. Pada tahap ini, ditandai dengan masyarakat yang terbuka dan
mau menerima masuknya kebiasaan-kebiasaan baru. Sebagaimana yang telah
penulis jabarkan pada bab sebelumnya, dimana etnis Tontemboan di daerah kec.
Langowan Timur kurang ketat dalam menajaga adat-adatnya, oleh karenanya
mendorong etnis tersebut untuk terbuka serta menjadi lebih toleran terhadap
3 Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia, h. 8.
4 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 248.
43
suku-suku yang menakulturasikan adat-adatnya dengan adat mereka. Hal tersebut
mempermudah terjadinya sebuah akultuasi.5
Tahap ketiga, mulai muncul ketertarikan masyarakat akan nilai-nilai Islam.
Meskipun baru, Islam mampu menjadi magnet tersendiri dalam masyarakat.
Namun dalam tahap ini pula, selain penerimaan, seringkali juga muncul
penolakan dalam masyarakat. Penolakan tersebut berangkat dari kelompok-
kelompok lama yang sudah lebih dulu ada yang menganggap masuknya Islam
akan menghilangkan unsur lama yang dianut masyarakat. Eksistensi mereka akan
terganggu dengan masuknya Islam.
Bagi yang tertarik, akan memasuki fase berikutnya yakni proses penerapan.
Ditandai dengan masyarakat yang mulai memeluk Islam dan jumlahnya terus
berkembang hingga semakin besar. Dalam fase inilah terjadi legitimasi yang kuat
dari masyarakat terhadap Islam yang menjadikan nilai-nilai dalam Islam
diterapkan dalam setiap sendi kehidupan mereka (orang yang telah memeluk
agama Islam). Akhirnya, muncul pembaruan dalam ritual-ritual adat masyarakat
yang mulai digabungkan dengan unsur ke-Islaman. Dalam hal ini pembaruan
tersebut dapat diterima selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Pembaruan tersebut merupakan buah akulturasi nilai-nilai Islam dan adat di
dalam etnis Tontemboan.
Masuknya agama Islam dengan membawa ajaran baru bagi ke dalam suatu
kebudayaan akan mempengaruhi tradisi yang sudah ada. Walaupun berwujud
diferensiasi, tetapi adanya identitas kolektif yang bermakna kemudian digunakan
untuk memaknai tradisi masa lalu dengan kehadiran islam sebagai agama yang
baru diterima. Temuan irfan ahmad menunjukan adanya kritik yang tidak
menempatkan tradisi sebagai bagian Bergama. Padahal dalam pembentukan nilai
selalu saja sama lalu masih memiliki posisi yang has dalam setiap kebaruan yang
muncul. Secara fungsional, tradisi bisa saja menolak perubahan dan penggantian
5 Keontjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 256.
44
dengan agama yang datang. Pada sisi lain, jsutru legitimasi untuk kemudian
mengikat budaya yang ada dengan legitimasi pandangan hidup, keyakinan,
pranata dan aturan dengan kerangka Islam terbentuk menjadi kesatuan yang
baru.6
Dari beberapa teori dan penjelasan di pola yang muncul dalam akulturasi
nilai-nilai Islam ke dalam etnis Tontemboan adalah pola dialogis dengan Islam
yang telah berdialektika dengan tradisi dan budaya etnis Tontemboan akhirnya
membentuk sebuah varian Islam yang baru yaitu Islam Etnis Tontemboan yang
khas dan unik. Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang terlepas dari akar
kemurniannya tetapi Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dan
terinternalisasi dengan budaya etnis Tontemboan dalam istilah lain telah terjadi
inkulturasi, yakni mengandaikan sebuah proses internalisasi sebuah ajaran baru
kedalam konteks kebudayaan lokal dalam bentuk akomodasi atau adaptasi.
Inkulturasi dilakukan dalam rangka mempertahankan identitas, Islam tetap tidak
terlepas akar idiologisnya, demikianpun dengan budaya lokal tidak lantas hilang
dengan budaya Islam masuk di dalamnya.7
B. Relevansi Konsep Pernikahan Menurut Islam dan Proses perkawinan
Etnis Totemboan Pasca Terakulturasi Nilai Islam
Nilai-nilai ke-Islaman dalam adat Tontemboan masuk dari suku-suku yang
datang, diantaranya yang sangat mempengaruhi: Gorontalo, Bugis, Jawa, ke 3
(tiga) suku tersebut memberikan corak-corak yang berbeda dalam pernikahan
umat Muslim di Langowan.
6 Ismail Suardi Wekke, “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama Dalam
Masyarakat Bugis”, Analisis, XIII, 1, (Juni 2013), h. 32-33.
7 J. Suyuthi Pulungan, “Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai keislaman dalam Tradisi dan
Budaya Masyarakat Indonesia”, Humanika, II, 1, (Januari-Juni 2017), h. 357.
45
Pernikahan umat Muslim di Langowan sangat beragam yang menandakan
tidak adanya aturan khusus tentang proses pernikahan, hal ini terjadi karena tidak
kuatnya orang Langowan dalam menjaga adat Tontemboan. Bentuk pernikahan
Muslim antara ke 3 (tiga) suku tersebut berdasarkan hasil musyawarah dari ke
dua belah pihak, untuk membagi proses yang akan menggunakan adat dari
masing-masing suku. Hasil kesimpulan dari wawancara yang penulis lakukan
dengan ke 3 (tiga) toko suku tersebut, mereka mengatakan ada proses pernikahan
yang biasa dijadikan acuan dalam pernikahan umat Muslim di Langowan.
Sebelum penulis menjabarkan lebih jauh relevansi antara konsep perkawinan
Islam dan bentuk perkawinan etnis Tontemboan setelah terakulturasi nilai-nilai
Islam untuk memudahkan para pembaca dalam membandingkan kesusaian
proses perkawinan Etnis Tontemboan setelah terjadinya akulturasi nilai-nilai
Islam dengan hukum Islam.
46
Resepsi meliputi:
a. Pesta pernikahan
b. Malam muda-
mudi
Khitbah
(peminangan) dan
Kafa’ah
Akad Nikah meliputi:
a. Adanya suka sama suka
dari kedua calon
mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Walimatul Ursy
(Resepsi)
Proses Perkawinan Etnis Tontemboan Setelah
Terakulturasi Nilai-nilai Islam
Konsep Perkawinan dalam Islam
Pra Nikah meliputi:
a. Pembicaraan awal
b. Peminangan (maso
minta)
c. Pengantaran harta
(seserahan )
d. Pingitan
(pemagaran)
Akad Nikah meliputi:
a. Malam badaqa
b. Calon mempelai laki-laki
mendatangi kediaman
perempuan
c. Ijab Qabul serta
pelaksanaan aturan yang
telah ditetapkan hukum
Islam dan UU
d. Pembatala air Wudhu
47
Hasil wawancara penulis dengan Ust. Mauludin Sakino selaku Ketua Majelis
Ta’lim pada tanggal 28 Januari 2018, beliau juga selalu menjadi rekomendasi
narasumber dari ke 3 tokoh adat di atas karena sangat seringnya menghadiri
setiap pernikahan sekaligus menjadi perwakilan keluarga orang yang akan
menikah. Ada 3. Pertama, Pra nikah. Kedua, Akad Nikah. Dan ke-tiga, resepsi
(walimah). Dari ke tiga point tersebut penulis akan menjabarkan serta
membandingkan dengan hukum Islam untuk melihat sudah relevan atau belum
proses-proses tersebut dengan hukum Islam.
1. Pra Nikah
a. Pembicaraan awal
Mulanya pembicaraan dari ke 2 (dua) calon pasangan tentang
hubungan yang mereka jalani ketika sudah bersepakat untuk serius,
setelah itu ke 2 (dua) belah pihak akan memberitahukan kepada
orangtuanya tentang hub mereka serta bermaksud untuk mencari
tahu keinginan dari pihak perempuan dan kemampuan dari pihak
laki-laki. Apabila telah mencapai kesepakatan, kedua belah pihak
akan bertemu untuk membahas tanggal peminangan.
Tidak hanya itu proses ini mengandung intervensi dari orang
tua dalam menilai calon menantunya, sebagian besar orang tua
melihat dari segi kesiapan, kemapaman dan yang lebih penting dari
itu yaitu beragama Islam, senada dengan hal itu hadits Nabi Saw
yang artinya:
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi dari Muhammad Saw beliau
berkata: “seorang perempuan dinikahi karena empat perkara:
karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan
48
karena agamanya. Pilihlah karena agamanya maka engkau akan
beruntung”.8
b. Peminangan (Maso Minta)
Dalam peminangan (maso minta), ada salah satu orang dari
keluarga yang ditunjuk untuk menjadi juru bicara dalam
musyawarah pembahasan mengenai mahar, harta belanja dan barang
belanja dalam istilah lain seserahan. Adapun ketika dari kedua belah
pihak memiliki perbedaan suku dan etnis, maka akan dalam
peminangan ini akan dibahas pula mengenai pembagian penggunaan
adat dalam proses pernikahan. Selain itu dalam peminangan ini juga
membahas mengenai tanggal pemberian harta belanja (seserahan).
Pemberian harta belanja ini diberikan maksimal sebulan setelah
pertemuan kedua belah pihak.
Proses ini selaras dengan yang dijelaskan Allah Swt dalam
surat Ali- Imaran ayat 159, yang artinya:
“… dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakal kepadanya.”
c. Pengantaran harta (Seserahan)
dalam proses ini pihak keluarga laki-laki memberikan
Pengantaran harta belanja (Seserahan) kepada pihak perempuan.
Bukan itu saja yang dilakukan dalam tahap ini. Melainkan ada juga
pembahasan mengenai tanggal akad nikah & resepsi pernikahan.
8 Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, “Bulughul Maram min Adilati Al-Ahkam”, (Surabaya: Harisan, T.
Th), h. 201.
49
Pengantaran harta atau pemberian hadiah kepada pihak perempuan
sebagai bentuk pengikat serta penghargaan kepada perempuan
tersebut. Hal itu selaras dengan yang telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an Surah An-nisa: 4 yang artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
d. Pingitan
Pingitan adalah istilah untuk pemagaran atau penghalang bagi
ke dua bela pihak untuk bertemu dan juga menghalangi pihak laki-
laki lain untuk melamar (maso minta) terhadap pihak perempuan,
biasanya waktu pingitan 14-30 hari sebelum berlangsungnya akad
nikah. Tak hanya itu kedua bela pihak harus menjaga interaksi
mereka dengan orang yang bukan mahromnya untuk mencega hal-
hal yang dapat menyebabkan zinah.
Hal tersebut selain untuk menghormati calon pasangan juga
menjaga kemuliaan dirinya, saya kira hal ini sangat senada dengan
hukum Islam, walaupun terdapat jangkan waktu khusus, akan tetapi
secara garis besar penulis beranggapan hal ini sangat senada dengan
hukum Islam, apalagi tujuannya dari pingitan untuk mencegah
perbuatan zinah.
2. Proses Akad Nikah
Dimulai pada malam hari pada tanggal akad dilangsungkan, diadakan
malam badaqa yaitu malam dimana para tamu undangan melakukan
50
khataman qur’an dirumah calon mempelai wanita, dan mempelai wanita itu
sendiri juga melakukan khataman pada malam tersebut. Sebagaimana yang
kita ketahui dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Baihaqi menjelaskan
bahwa “seutama-utama ibadah dari umatku adalah membaca Al- Qur’an”
(H.R Bihaqi).
Setelah badaqa itu selesai, calon mempelai laki-laki mendatangi tempat
akad nikah yang sudah disiapkan dikediaman calon mempelai wanita,
diiringi dengan lantunan hadroh. Senada akan hal itu didalam kitab hadits
At-Tirmdzi dan Sunan Ibnu Majah dari Aisyah, bahwa Nabi Muhammad
Saw bersabda:
“Siarkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di masjid-masjid dan
mainkanlah dengan rebana/hadrah”.9
Setelah semua proses itu selesai, maka dimulailah akad nikah. Yakni
ijab kabul dan pemberian buku nikah dari catatan sipil. Ketika proses ijab
kabul itu hanya ada mempelai laki-laki yang ada ditempat, adapun mempelai
wanita masih menunggu didalam suatu kamar dirumah tersebut. Setelah
proses ijab kabul itu selesai barulah mempelai laki-laki menjemput
mempelai wanita ke ruangan tempat dimana mempelai wanita menunggu
selama proses ijab kabul.
Setelah proses ijab kabul, mempelai laki-laki melakukan pembatalan
wudhu sebagai bentuk sudah halalnya perbuatan tersebut, contohnya seperti
mencium kening mempelai wanita. Dan setelah itu mempelai laki-laki dan
wanita melakukan sungkem kepada kedua orang tua mereka untuk meminta
restu dan keridhaan orang tua demi kebahagiaan rumah tangga mereka kelak.
9 Hukum Memainkan Rebana/ Hadroh, Habib Ahamd, 09/07/2018/,
Pondokhabib.wordpress.com.
51
3. Resepsi
Pelaksaaan acara resepsi itu dilangsung pada tanggal yang sudah
direncanakan oleh pertemuan kedua belah pihak sebelumnya. Dimana dalam
acara resepsi tersebut sesekali diiringi oleh lantunan musik bambu dan kedua
mempelai menggunakan pakaian adat minahasa atau biasa dikenal dengan
broid. Sebagaiaman yang kita ketahui bahwa jumhur ulama bersepakat
hukum walimatul ursy adalah sunnah muakad, sebagaimana Sabda Nabi
Muhammad Saw bahwa langsungkanlah walimah walau hanya memotong
seekor kambing, namun tidak semua resepsi yang diadakan calon
mempelainya menutup seluruh auratnya.
Setelah resepsi itu selesai. Dimalam hari pada hari yang sama
diadakan acara yang disebut dengan “malam muda mudi” . dalam acara
tersebut berisi tentang pesan dari masyarakat, tokoh agama, dan keluarga
besar meliputi haruslah menjadi keluarga yang sakinah mawadddah dan
warahman, serta mengingatkan bahwa mereka sudah menjadi calon ayah
dan ibu anak kelak dan sudah harus mengakhiri masa remaja mereka.
Selaras akan hal itu dalam QS. Al-Azhab: 36 yang artinya
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Logika yang digunakan dalam menanggapi relevansi antara malam
muda-mudi dan hukum Islam dengan ayat ini adalah dalam akad
perkawinan telah diterangkan aturan-aturan serta hak dan kewajiban
dalam sebuah rumah tangga agar berjalan dengan benar serta baik, maka
dengan diketahui akan hal-hal itu para tokh-tokoh mengingatkan kembali
serta memberikan nasihat-nasihat sebagai seseorang yang telah memiliki
52
pengalaman sehingga mereka dapat menjalankan sebuah rumah tangga
yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Dari penjelasan penulis di atas secara keseluruhan proses pernikahan
adat Tontemboan Suku Minahasa setelah terjadinya akulturasi nilai-nilai
Islam sangat mengandung unsur-unsur keislaman dan relevan dengan hukum
Islam, walaupun dalam penggunaan busana masih ada beberapa pasangan
yang tidak menutup seluruh auratnya. Semoga dikemudian hari para umat
Muslim di etnis Tontemboan bisa lebih sadar akan pentingnya menutup aurat
sehingga dapat memenuhi sebuah seluruh hukum Islam khususnya dalam
sebuah proses pernikahan.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bab terakhir ini setelah penulis membahas bab demi bab maka
penulis dapat menyimpulkan:
1. Disetiap sub-etnis dalam suku Minahasa memiliki adat yang berbeda
dalam proses pernikahan, terkhusus bagi etnis Tontemboan yang dimana
menjadi lokasi penelitian penulis dalam skripsi ini. Dalam Proses
pernikahan adat Tontemboan mencerminkan keharusan untuk menjaga
etika dan moral seamasa remaja dan menuntut seseorang harus mandiri
dulu sebelum menjalin sebuah ikatan pernikahan.
Meunurut kepercayaan rakyat Langowan, Menjaga keutuhan cinta
dengan tidak menodai dan ternodai akan melahirkan keberkatan khususnya
dalam mencari nafkah. Pernikahan adat Tontemboan sanagat dipengaruhi
oleh orang tua sehingga persetujuan dari orang tua merupakan langkah
awal untuk menciptakan hubungan kejenjang pernikahan.
Dalam prakteknya Rakyat Langowan kurang dalam menjaga adat
Tontemboan khususnya dalam Proses Pernikahan yang mengakibatkan
tidak ada bentuk legitimasi bagi Rakyat Langowan untuk melaksanakan
sebuah pernikahan mengikuti adat yang telah diatur dalam etnisnya. Oleh
karenya, hal tersebut mengakibatkan suku-suku pendatang dengan bebas
melaksanakan proses pernikahannya menggunakan adat dari sukunya
masing-masing, yang tidak mencerminkan adanya unsur adat Tontemboan.
2. Bentuk pernikahan di etnis Tontemboan yang sudah terakulturasi nilai-
nilai ke-Islaman hanya diperuntukan bagi umat Muslim, namun tidak
semua pernikahan umat Muslim menggunakan satu prosesi pernikahan
yang sama. Hal itu terjadi disebabkan latar belakang suku dari calon
pasangan.
54
Apabila ke-dua calon pasangan berasal dari dua suku diluar
Minahasa, bentuk pernikahan akan menyesusaikan dari hasil musyawarah
ke-dua belah pihak dalam menentukan pembagian proses pernikahan yang
akan dilaksanakan.
3. Proses pernikahan adat Tontemboan setelah terakulturasi nilai Islam ada 3
tahap, yang pertama, pra nikah yang meliputi kegiatan: pembicaraan awal,
peminangan (maso minta), pengantaran harta (seserahan) dan pingitan
(pemagaran). Kedua, Akad nikah yang meliputi kegiatan: malam Badaqa,
calon mempelai laki-laki mendatangi kediaman perempuan, Ijab-Qabul
serta pelaksanaan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam
dan UU dan pembatalan air wudhu. Ketiga, Resepesi meliputi kegiatan:
pesta pernikahan dan malam muda mudi.
4. Penelitian menunjukan bahwa Proses pernikahan adat Tontemboan secara
garis besar telah relevan dengan hukum Islam, namun dalam beberapa
pelaksaannya masih ada beberapa pasangan yang tidak menutup aurat.
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka untuk bahan
evaluasi dan perbaikan kedepan, penulis memaparkan beberapa saran yang
dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi Rakyat Langowan,
diantranya yaitu:
1. Harus adanya forum khusus bagi para tokoh adat Tontemboan untuk
menentukan serta meligitimasi proses pernikahan adat Tontemboan,
karena dengan adanya hal tersebut adat Tontemboan khusus dalam proses
pernikahan dapat dijaga kelestariannya melalui praktek lapangan bagi
Rakyat Langowan.
2. Untuk Tokoh Agama khususnya Muslim diharapkan dapat menentukan
serta melegitimasi proses pernikahan bagi umat Muslim di Langowan
tanpa menghilangkan unsur-unsur adat Tontemboan.
3. Bagi daerah-daerah yang adatnya telah terakulturasi nilai-nilai Islam
hendaknya dipertahankan sebagai ciri khas daerah tersebut dan bagi
55
daerah-daerah yang adatnya masih bertentangan dengan hukum Islam
alangkah baiknya untuk ditinggalka.
4. bagi para peneliti lain yang ingin meneliti suku Minahasa, penulis
menyarankan untuk meneliti secara lebih luas tentang kehamilan,
kelarihan dan pemberian nama dalam suku Minahasa, karena ada istilah
Minahasa yaitu Posan, yang sangat dipercayai orang Minahasa walaupun
itu hanya berdasarkan pada ketahyukan orang dulu.
56
DAFTAR PUSTAKA
Adam, L. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhratara. 1976.
Ahmadi. Pernikahan Kalangkah Dalam Adat Sunda Menurut Hukum Islam Di
Indonesia (Studi Kasus Desa Penyingkiran Majalengka Jawa Barat). Jakarta:
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2015.
Al-„Asqolani. Ibnu Hajar Bulughul Maram min Adilati Al-Ahkam,. Surabaya:
Harisan, T. Th.
Ali, Muhammad Daud. Asas- Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press. 1990.
Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Pramuda Bookstore.
2008.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan
dan Prosesnya. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Baqry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangg., Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
1993.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Prenada Media Group. 2006.
Departemen Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Urusan Agama Islam. Korps Penasehat Perkawinan dan Keluarga Sakinah.
Jakarta. 2001.
57
Et al, A. G. Pringgodigdo. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan
Kansius. 1973.
Halim, Abdul. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. PT. Raja
Grafindo Persada. 2002.
Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Tintamas. 1986.
Keontjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. 1986.
Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan adat di Indonesia. Jakarta:
INIS. 1998.
Mahiduliah. Benarkah Hukum Romawi ada Pengaruhnya Terhadap Hukum Islam.
Banda Aceh: Majelis Ulama Propinsi Istimewa Aceh. 1981.
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998.
Republik Indonesia. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafika.
2004.
Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama. 2015.
Rahim, Abdul. The Principles of Muhammadan Jurisprudence, London: Luzac & Co.
1911.
58
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra. 1997.
Soepomo, Raden. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet ke XIII. Jakarta: Pradnya
Paramita. 1954.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
cet. XIX. 2001.
________________. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press. 1980.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Press. 1981.
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat: UIN Jakarta. 2010.
Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Academica. 1978.
Wignjodipoero, Soejono. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat..
Yaswirman. Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Minangkabau). Padang: PT Rajagrafindo Persada. 2011.
Zahrah, Muhammad Abu. Penerjemah Saefullah Ma‟shum dll Ushul Fiqih. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2015.
59
Artikel dan Wawancara
Ahmad, Habib, “Hukum Memainkan Rebana/ Rebana, artikel diakses pada 09 Juli
2018 dari Pondokhabib.wordpress.com
Ahmadi. “Pernikahan Kalangkah Dalam Adat Sunda Menurut Hukum Islam Di
Indonesia (Studi Kasus Desa Penyingkiran Majalengka Jawa Barat)”. Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Mangkey Stainlaus, dkk. Kebudayaan Minahasa: Kajian Etnolinguistik tentang
Konstruk Nilai Budaya Lokal Menghadapi Persaingan Global”. Interlingua. Vol.
4, (April 2010).
Pulungan, J. Suyuthi. “Internalisasi dan Akulturasi Nilai-nilai keislaman dalam
Tradisi dan Budaya Masyarakat Indonesia”, Humanika. Vol II. 1, (Januari-Juni
2017).
Salaki, Reynaldo Joshua. “Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya
Mapalus Suku Minahasa”, Jurnal Studi Nasional, Th. 6, 1, (Mei 2014).
Wekke, Ismail Suardi. “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama
Dalam Masyarakat Bugis”. Analisis. Vol XIII. 1, (Juni 2013).
Wawancara pribadi dengan Fendy E. W. Parengkuan (Tokoh Adat Minahasa)
Wawancara pribadi dengan Mauludin Sakino (Ketua majelis Ta‟lim)
Wawancara pribadi dengan Nixson Usman, S. Ag. (Tokoh Adat Gorontalo)
60
Wawancara pribadi dengan Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas (Tokoh Adat
Tontemboan)
Wawancara pribadi dengan Sukino (Tokoh Adat Jawa)
Wawancara pribadi dengan Syafrudin Madepungeng S.E. (Tokoh Adat Bugis)
Wawancara pribadai dengan Wahid Kosasi (Tokoh Adat Jawa Tondano)
61
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : Wahid Kosasi
Alamat : Tondano, Kp. Jawa
Pekerjaan : Sejarawan/ Budayawan Minahasa
Peneliti : Kapan Islam masuk ke daerah Minahasa?
Narasumber : Berawal dari datang Kyai Modjo beserta bala tentaranya pada tahun
1828 dan disusul dengan Pangeran Diponogoro pada tahun 1830,
mereka menyebarkan Islam dengan menyesusakan tradisi dan hukum
yang berlaku di Minahasa. Salah satu hukum yang berlaku pada saat
itu di mana dibolehkannya meng-Islamkan wanita (istri) yang
dinikahinya.
Nama : Fendy E. W. Parengkuan
Alamat : Tondano
Pekerjaan : Sejarawan/ Budayawan Minahasa
Peneliti : Apa yang anda ketahui dengan Etnis Tontemboan?
Narasumber : Etnis Tontemboan adalah satu etnis dari 9 etnis yang ada di
Minahasa, dimana pada hari ini etnis Tontemboan bertempat di
Langowan, masyarakat Tontemboan termasuk masyarakat yang rumah
dan mudah diajak berkomunikasi di banding dengan etnis Tondano
62
(nara dari etnis Tondano) mungkin yang mempengaruhi hal tersebut
adalah kondisi wilayah yang didiami, dimana wilayah Tontemboan
pada saat itu terbilang lebih dulu berkembang.
Nama : Pdt. (Em) Serfitus Lumingkewas
Usia : 75 Tahun
Alamat : Winebetan, Kec. Langowan
Pekerjaan : Tokoh Adat Tontemboan
Peneliti : Apa yang anda ketahui tentang proses pernikahan Adat Tontemboan?
Narasumber : Pada dasarnya pernikahan adat Tontemboan terbagi dalam 3
rangkaian inti, pertama: pra- nikah, kedua: resepsi, dan ke-tiga: pasca
nikah. Namun ada beberapa syarat bagi ke- dua calon untuk
melangsungkan sebuah pernikahan.
Peneliti : Bagaimana bentuk persyaratan dan pra-nikah dalam adat
Tontemboan?
Narasumber : Untuk persyaratan seorang laki, di mana laki-laki tersebut sudah
memiliki pekerjaan, bisa mengambil nira, harus bisa mengikat tali
dalam membangun sabuh dengan simbul laki-laki, dan harus bisa
mengelola sawah/ kebun. Persyaratan seorang perempuan, di mana
perempuan tersebut harus bisa memasak tinutuan (makanan khas
Minahasa dan Manado dikenal dengan bubur manado).
63
Selanjutnya bentuk pra-nikah dalam proses pernikahan adat
Tontemboan yaitu terdiri dari 4 rangkaian di antaranya: 1). Maso minta
(peminangan), 2). Pemagaran, 3). Kawin secara adat dilakukan di
rumah walian atau pemimpin adat atau di tempat-tempat tertentu yang
telah disepakati ke dua tokoh adat dari ke dua mempelai, 4). Pingitan
pelarangan bagi ke dua calon untuk keluar dari rumah dan melaukan
aktifitas-aktifitas di luar rumah.
Peneliti : Bagaima bentuk resepsi?
Narasumber : Resepsi pertama kali diadakan oleh pihak laki-laki di kediaman
perempuan dan sebaliknya dengan mengenakan pakaian adat
Tontemboan. Penambahan musik bambu dalam resepsi menandakan
bahwa pihak laki-laki memiliki ekonomi diatas rata-rata. Dalam adat
Tontemboan tamu undangan membawa bibit berupa padi dan jagung
untuk nantinya akan mereka tanam.
Pada malam harinya setelah resepsi selesai, diadakan malam muda-
mudi yang berisi tentang pesan-pesan dari tokoh Agama, Adat maupun
Pemerintah dengan maksud menandakan si perempuan sudah menjadi
kaum ibu dan si laki-laki sudah menjadi kaum bapak.
Peneliti : Bagaimana Bentuk pasca nikahnya?
64
Narasumber : Di Malam pertama dilakukan dalam rumah si perempuan dan ketika
sudah bangun tidak dibolehkan untuk mengatur tempat tidur, karena
nantinya orang tua si perempuan akan memeriksa keperawanan dari
anaknya diseprai atau alas yang mereka gunakan.
Selanjutnya dikehidupan awal, mereka harus tinggal di kebun atau
sawah yang nantinya akan mereka kelola lalu membangun sabuah
sebagai tempat tinggal mereka di daerah sawah tersebut, di 3 bulan
pertama mereka sudah harus menunjukan hasil panen dari bibit-bibit
yang di berikan para tamu undangan saat menghadiri resepsi.
Nama : Hj. Syafrudin Madepungeng S.E.
Alamat : Langowan, Waleure
Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Adat Bugis
Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku
bugis dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?
Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua
calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis
Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses
pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses
pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua
belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih
65
menekankan pada adat bugis dan bagian mana saja yang menekankan
pada adat Tontemboan.
Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis
Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan
beberapa pernikahan memasukan music bambu dalam rangkaian
pengantaran dan penjemputan calon mempelai.
Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?
Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan
yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama
muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang
paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada
pada proses pernikahan adat Tontemboan.
Nama : Hj. Sukino
Alamat : Langowan, Waleure
Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Adat Jawa
Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku
Jawa dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?
Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua
calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis
Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses
66
pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses
pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua
belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih
menekankan pada adat Jawa dan bagian mana saja yang menekankan
pada adat Tontemboan.
Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis
Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan
beberapa pernikahan memasukan musik bambu dalam rangkaian
pengantaran dan penjemputan calon mempelai.
Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?
Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan
yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama
muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang
paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada
pada proses pernikahan adat Tontemboan.
Nama : Nixson Usman, S. Ag.
Alamat : Langowan, Amongena II
Pekerjaan : Tokoh Adat Gorontalo dan Tokoh Agama Islam
Peneliti : Bagaimana proses pernikahan jika calon mempelainnya dari suku
Gorontalo dan suku Minahasa (ber-etnis Tontemboan)?
67
Narasumber : Tidak ada aturan yang baku perihal proses pernikahan jika ke dua
calon mempelai berasal dari dua suku yang berbeda, karena etnis
Tontemboan tidak mengatur secara tegas dan detail perihal proses
pernikahan adat Tontemboan di Langowan. Oleh karenanya proses
pernikahan yang terjadi mengikuti hasil musyawarah antara ke dua
belah pihak, yang dimaksud tentang bagian mana saja yang lebih
menekankan pada adat Gorontalo dan bagian mana saja yang
menekankan pada adat Tontemboan.
Biasanya yang terjadi yang pihak yang berlatar belakang etnis
Tontemboan menekankan pada pakaian pernikahan (broit) dan
beberapa pernikahan memasukan music bambu dalam rangkaian
pengantaran dan penjemputan calon mempelai.
Peneliti : Adakah unsur ke- Islaman dalam proses pernikahan tersebut?
Narasumber : berbicara secara objektif menurut saya cukup sulit, karena pernikahan
yang terjadi antar dua suku tersebut calon mempelainya beragama
muslim, jadi jika melihat pada prakteknya unsur ke-Islaman yang
paling terlihat adalah adanya proses akad nikah yang di mana tidak ada
pada proses pernikahan adat Tontemboan.
Nama : Mauludin Sakino
Alamat : Langowan, Amongena I
68
Pekerjaan : Pedagang, Tokoh Agama
Peneliti : Bagaimana proses pernikahan umat Muslim di Langowan?
Narasumber : Ada 3 rangkaian inti di dalam proses pernikahan umat Muslim di
Langowan, yaitu: 1). Pra-nikah, 2). Akad nikah dan 3). Respsi
(walimah).
Peneliti : Bagaimana bentuk Pra-nikah?
Narasumber : Awalnya adanya pembicaraan awal antara ke dua bela pihak baik
untuk memberitahukan akan melangsungkan hubungan mereka
kejenjang pernikahan, jika disetujui maka akan membahas berbagai
macam keperluan untuk pernikahan nanti terkhussnya dalam maso
minta (peminangan). Kemudian peminangan dan diikuti dengna
pengantaran harta dari mempelai laki-laki ke pihak perempuan dan
sejak saat ini ke dua mempelai sudah masuk dalam proses pingitan.
Selanjutnya adalah Akad nikah dan dikutin dengan resepsi.