alasan pembatalan putusan arbitrase badan...
TRANSCRIPT
ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MARTUNIS
NIM 11140480000071
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MARTUNIS
NIM 11140480000071
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
MARTUNIS, NIM 11140480000071, “ALASAN PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN (BPSK) PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2006”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1439 H/2018 M.
Adanya interaksi pelaku usaha dengan konsumen, bisa saja menimbulkan
suatu konflik diantara para pihak. Yang perlu kita perhatikan ialah, terkadang posisi
konsumen tidak seimbang dengan posisi pelaku usaha yang dalam hal ini lebih
dominan mulai dari segi sosial maupun finansial. Disinilah peran BPSK hadir
sebagai penengah sekaligus pelerai atas konflik yang terjadi antara kedua belah
pihak tersebut. Cara yang dapat digunakan oleh badan tersebut untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi ada 3 macam. Yaitu mediasi, konsiliasi dan
juga arbitrase yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Undang-undang ini juga dibentuk guna menyeimbangan posisi antara
pelaku usaha dengan konsumen yang sering kali lebih tinggi, sehingga dalam
penyelesaianya dapat lebih adil. Bahkan guna menjamin efektivitasnya norma
dalam undang-undang Perlindungan konsumen tersebut menegaskan bahwa
putusan yang dikeluarkan oleh BPSK bersifat final and banding. Namun sayangnya
pada pasal 56 ayat (2) memberikan peluang kepada para pihak untuk tetap
mengajukan keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh BPSK.
Pengajuan atas keberatan tersebut diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2006,
yang memberikan penegasan bahwa pengajuan keberatan hanya dapat diajukan atas
putusan arbitrase dari BPSK itu sendiri. Berbicara terkait dengan arbitrase tentu
tidak terlepas dari ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS,
dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa putusan arbitrase juga bersifat
final dan mengikat, walau terdapat pengajuan pembatalan, namun pengajuanya pun
dibatasi pada pasal 70 undang-undang tersebut. Namun hal ini tidak berlaku bagi
putusan arbitrase BPSK. Sebab ketentuan pada pasal 6 ayat (5) pada Perma No. 1
Tahun 2006 telah memberikan keleluasaan para pihak untuk mengajukan
keberatan, sehingga pengaturan tersebut sangat tidak sesuai dengan ketentuan UU
Arbitrase dan juga UU Perlindungan konsumen. Disinilah peneliti ingin
menganalisis lebih dalam terkait dengan adanya ketentuan tersebut. Bagaimana bisa
ketentuan yang sebelumnya ditetapkan sebagai putusan yang final dan mengikat
namun tetap memiliki upaya dalam pembatalan yang bahkan tidak dibatassi secara
konkret. Padahal nomenklatur yang digunakan ialah arbitrase, yang mana alasan
atas pengajuan pembatalanya saja dibatasi oleh undang-undang.
Kata Kunci : Putusan Arbitrase, BPSK, Pengajuan Keberatan,
Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, S.H.,M,A.,MDC
Daftar Pustaka : 1986-2017
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006”.
Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada
zaman islamiyah pada saat ini
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencampaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC. sebagai Dosen pembimbing
Skripsi peneliti, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu,
arahan dan kritik serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. Dra. Ipah Parihah, M.H. saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas
segala bentuk dukungan yang telah diberikan hingga saya mampu untuk
menyelesaikan studi saya di Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
6. Ibu dan Ayah peneliti yang dalam hal ini sudah sangat banyak memberikan
segala bentuk peranan, dukungan dan juga do’anya sehingga peneliti mampu
melewati semua hambatan dan keterbatasan yang peneliti miliki.
7. Makwa dan Yahwa yang juga telah menutupi segala kekurangan dan juga
keterbatasan peneliti, sehingga peneliti mampu untuk tetap melanjutkan studi
pada jenjang perguruan tinggi ini hingga selesai.
8. Keluarga besar Moot Court Community Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga telah banyak memberikan pengalaman
serta arahan dalam proses pembelajaran selama peneliti menempuh studi pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang juga telah memberikan dukungan serta semangat sehingga peneliti dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
10. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi
ini dampar bermanfaat bagi peneliti pada khususnya, bagi mahasiswa hukum dan
kepada seluruh pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, September 2018
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................... 7
1. Identifikasi Masalah ................................................................. 7
2. Pembatasan Masalah ................................................................. 8
3. Perumusan Masalah .................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
D. Metode Penelitian ......................................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 14
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 16
1. Pengertian Penyelesaian Sengketa ........................................ 16
2. Pengertian Sengketa Konsumen ............................................ 18
3. Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa ....................... 19
a. Arbitrase .......................................................................... 19
b. Mediasi ............................................................................ 20
c. Negosiasi ......................................................................... 21
d. Konsiliasi ........................................................................ 21
ix
B. Kerangka Teori............................................................................ 22
1. Teori Kepastian Hukum ........................................................ 22
2. Asas dan Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen ... 24
3. Asas dan Teori dalam Hukum Arbitrase ............................... 28
C. Riview (tinjauan ulang) hasil studi Terdahulu ............................ 36
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PENYELESAIN
SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia ................ 39
B. Peran BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen .............. 42
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di BPSK ............................. 44
BAB IV : ANALISIS PROSEDUR PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE BPSK PADA DARI PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2006
A. Kedudukan Hukum Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia
dan Pengaruhnya terhadap Peran BPSK ..................................... 50
1. Kedudukan Kewenangan Mahkamah Agung dalam
Membentuk Peraturan ........................................................... 50
2. Peran Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Kepastian Hukum Wewenang
BPSK ..................................................................................... 53
B. Analisis Prosedur Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada
Peraturan Mahkamah Agung Nomer 1 Tahun 2006 dengan
Produk Hukum Arbitrase dan Perlindungan Konsumen ............. 63
1. Upaya Hukum pada Putusan Arbitrase ................................. 63
2. Analisis Alasan Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase
BPSK .................................................................................... 69
x
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 76
B. Rekomendasi ................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Tahun 1945 telah menjadikan adanya kewajiban
negara untuk mengatur segala bentuk seluk-beluk kehidupan berbangsa dan
bernegara, bahkan lebih dalam lagi, adanya ketentuan tersebut mewajibkan
kepada negara untuk dapat menjamin segala macam bentuk hak yang ada
dalam diri setiap masyarakatnya. Begitupula dalam kehidupan berbisnis.
Adanya dinamika yang cepat dalam era industri sekarang, telah
mengantar umat manusia ke dalam suatu kehidupan dunia tanpa batas
(borderless world) dalam suatu kegiatan ekonomi yang saling terkait
(interlinked economy). Konsekuensi dunia bisnis tanpa batas, dengan
sendirinya akan membawa bangsa-bangsa di dunia (termasuk Indonesia) ke
era bisnis global (bussiness in global village), perdagangan bebas (free
trade), dan persaingan bebas (free competition).1 Dengan demikian, negara-
negara akan saling tergantung satu sama lain dalam bidang ekonomi
termasuk pada perdagangan yang menyebabkan peningkatan pada transaksi
bisnis.
Berbicara tentang bisnis pasti berbicara tentang hubungan antara
konsumen dengan pelaku usaha. Secara umum dan mendasar, hubungan
antara produsen (pelaku usaha) dan konsumen merupakan hubungan yang
terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena
keduanya saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang
cukup tinggi antara satu dan yang lain. Produsen sangat membutuhkan dan
sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa
dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat terjamin kelangsungan
1 Nurnaningsih Amriani, Mediasi:Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h.38.
1
2
usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen sangat bergantung
pada hasil produksi produsen (pelaku usaha). Hubungan antara produsen
dan konsumen yang bersifat massal dapat menciptakan hubungan-hubungan
hukum yang spesifik.2 Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan hak
dan kewajiban yang harus saling dipenuhi oleh kedua belah pihak yaitu
pelaku usaha dan konsumen. Namun dalam kenyataannya, pemenuhan hak
dan kewajiban antara kedua belah pihak seringkali terabaikan sehingga
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Hal inilah yang menjadi titik
awal timbulnya sengketa. Pelaksanaan transaksi bisnis pada dasarnya dapat
berpotensi menyebabkan terjadinya sengketa. Sengketa berawal dari adanya
perasaan tidak puas dari salah satu pihak karena ada pihak lain yang tidak
memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan atau dengan kata lain
ada salah satu pihak yang wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi terdiri
dari (1) tidak melaksanakan prestasi sama sekali; (2) melaksanakan prestasi
namun terlambat atau tidak tepat waktu; (3) melaksanakan prestasi namun
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; (4) melaksanakan hal-hal yang
dilarang dalam perjanjian. Adanya hal-hal dimaksud memberikan hak
kepada pihak lain untuk menuntut ganti kerugian dengan atau tanpa
pembatalan perjanjian.3
Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa
dengan orang lain. Oleh karena dalam hubungan bisnis atau suatu
perjanjian, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan
timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat dikemudian hari,agar
apabila nantinya timbul sengketa, para pihak akan mudah untuk
menentukan bagaimana langkah atau cara yang akan ditempuh dalam
penyelesaianya. Sengketa yang perlu diantisipasi ialah sengketa yang
timbul karena perbedaan penafsiran, baik mengenai bagaimana cara
2 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2010), h. 88.
3 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ..., h.6
3
melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa isi dari
ketentuan-ketentuan didalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal
lainnya.4
Era globalisasi para pelaku bisnis memerlukan cara penyelesaian
sengketa yang efektif untuk segera menyelesaikan sengketanya.
Penyelesaian sengketa yang kita kenal saat ini terdiri dari penyelesaian
secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi. Penyelesaian sengketa
secara litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan dimana
menghasilkan putusan yang bersifat menang dan kalah (win-lose). Putusan
tersebut memberikan keuntungan bagi satu pihak sedangkan pihak lain akan
mengalami kerugian. Sementara itu, penyelesaian sengketa secara
nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimana
menghasilkan putusan yang bersifat menang-menang (win-win solution).
Putusan tersebut merupakan putusan yang sama-sama memberikan
keuntungan bagi para pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Penyelesaian sengketa secara litigasi memerlukan waktu yang relatif
lama dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi yang
relatif cepat. Waktu yang relatif lama pada proses penyelesaian sengketa
secara litigasi akan berdampak pada biaya selama proses penyelesaiannya
yang relatif mahal, sebaliknya pada penyelesaian sengketa secara nonlitigasi
biaya yang diperlukan cenderung relatif murah dibandingkan dengan
litigasi. Terlebih perihal penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi ini pun
menurut Erman Rajagukguk dipengaruhi oleh faktor budaya hukum
masyarakat yang menekankan kepada efesiansi dan efektivitas sehingga
timbul anggapan tidak perlunya penyelesaian sengketa melalui pengadilan.5
Oleh karena itu penyelesaian sengketa secara nonlitigasi menjadi pilihan
penyelesaian sengketa yang paling disukai oleh para pelaku bisnis karena
4 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h.1
. 5Erman Rajagukuk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar
Pengadilan” Jurnal Magister Hukum, PPs-UII, Volume 2, No. 4 (Oktober 2000), h.7.
4
dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan kebutuhan dalam dunia bisnis
serta efektif dan efisien dalam proses penyelesaiannya guna menyelesaikan
sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam
prakteknya kini, tidak jarang terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen. Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan
konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen
karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Terkait dengan
penyelesaian sengketa konsumen sendiri, terdapat beberapa prinsip yang
harus dipenuhi dalam pengelolaannya seperti yang pernah disinggung
sebeleumnya oleh Al Wisnubroto yaitu aksesibilitas, fairness dan
efektivitas.6 Oleh karena itu untuk menjangkau permasalahan tersebut
pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (seelanjutnya disebut UUPK) yang telah
menentukan dalam pasal 1 angka (1) bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya
untuk memperdayakan konsumen memperoleh atau untuk menentukan
pilihannya atas barang dan/atau jasa serta mempertahankan atau membela
hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan
konsumen.7
Secara khusus penyelesaian sengketa yang terjadi antara pelaku
usaha dan konsumen ditetapkan berdasarkan Pasal 49 UUPK dapat
diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
BPSK merupakan suatu lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen
antara pelaku usaha dengan konsumen yang sifat penyelesaiannya adalah
win-win Solutions guna mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak
6Al Wisnubroto, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progetifitas”, Artikel
diakses pada 5 April 2018 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-
penyelesaian-sengketa-konsumen-butuh-progresivitas.
7 AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei
(Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2003), h.6-7.
5
yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK
menggunakan pihak ketiga yang berkapasitas sebagai penengah di antara
kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam hal ini harus
berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak.
Pembentukan BPSK sendiri pada dasarnya ditujukan untuk menghilangkan
kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan sebab
posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan
pelaku usaha8 oleh karena itu dengan adanya BPSK maka penyelesaian
sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah. Cepat
karena penyelesaianya harus sudah diputus dalam kurun waktu tak lebih
dari 21 hari kerja, ditambah lagi dengan adanya ketentuan yang menegaskan
bahwa putusan BPSK pada dasarnya bersifat final dan mengikat, maka
seharusnya tidak ada mekanisme banding dalam proses penyelesaian
perkara disebabkan karena sifat putusanya yang bersifat final dan mengikat,
namun sayangnya hal ini tidak terimplementasi dengan baik. Mudah karena
prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat
sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
tanpa perlu kuasa hukum. Murah karena biaya yang dibebankan sangat
ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.9
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 3
Huruf a menyebutkan bahwa proses penyelesaian sengketa di BPSK dapat
ditempuh melalui tiga cara yakni dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau
Arbitrase. Melalui ketiga cara penyelesaian tersebut, diharapkan akan
menghasilkan putusan yang memberikan win-win solution bagi para pihak.
Namun dalam dunia bisnis, yang perlu digaris bawahi adalah penyelesaian
8 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Cara Serta Kendala Implementasinya” (Jakarta: Kencana, 2011), h.74.
9 Yusuf Shofie dan Somi Awan, “Sosol Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai
Persoalan Mendasar Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen (BPSK)( Jakarta: Piramedia, 2004),
h.17.
6
sengketa melalui arbitrase yang dianggap paling menarik bagi kalangan
pengusaha, sebab arbitrase sendiri dinilai sebagai suatu “pengadilan
Pengusaha” yang independen dan dapat menyelesaikan sengketa sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan para pihak.10 Bahkan terkait dengan
keefektifitasan arbitrase sendiri dapat kita nilai dari hasil penelitian Gatot
Soemartono yang menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase selalu disandarkan pada asumsi bahwa penyelesaianya lebih cepat,
dilakukan oleh ahlinya dan kerahasiaan para pihak dapat terjamin.11 Namun
dalam kenyataannya tidak semua putusan yang dihasilkan BPSK dengan
arbitrase ini akan memberikan kepuasan pada para pihak. Hal ini pun
difasilitasi dengan adanya ketentuan pembatalan putusan arbitrase yang
diatur secara umum oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS (selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS), dan secara
khusus untuk BPSK diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Terkait dengan tata cara pengajuan keberatan atas putusan arbitrase
BPSK itu sendiripun juga sudah diatur secara khusus dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2006). Apabila kita lihat dalam
pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) Perma Nomor 1 Tahun 2006 masih memberikan
ketentuan yang sama terkait dengan syarat diajukanya pembatalan putusan
arbitrase dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999. namun, yang menjadi masalah ialah pada pasal 6 ayat (5) dan (6)
memberikan pengecualian dalam arti suatu pengajuan keberatan atas
pembatalan putusan arbitrase BPSK yang tidak mengandung unsur-unsur
yang telah disebutkan sebelumnya, maka majelis hakim dapat mengadili
10Gatot Soemartono, “Persoalan Pilihan-Pilihan Pengadilan, Hukum, dan Arbitrase dalam
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum “Era Hukum”, IX,
Nomor 2, (2002), h.4.
11 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia ..., h.13.
7
sendiri atas sengketa konsumen yang diajukan dengan memerhatikan ganti
rugi yang ada. Adanya kewenangan majelis untuk mengadili sendiri atas
keberatan yang diajukan oleh para pihak yang tidak mengandung unsur-
unsur yang diatur dalam hal pembatalan putusan arbitrase, menyebabkan
ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap putusan arbitrase BPSK
dapat diajukan keberatan atas pembatalan dengan alasan apapun. Maka
secara implisit jelas telah bertentangan dengan pasal 54 ayat (3) UUPK
yang menegaskan bahwa putusan BPSK bersifat final dan mengikat dan UU
Arbitrase dan APS pasal 17 ayat (2). Maka oleh karena itu dengan adanya
kontradiksi tersebut menyebabkan tujuan dibentuknya BPSK sebagai
alternatif penyelesaian sengketa yang tergolong small claim tribunal untuk
mempermudah dan mempersingkat penyelesaian sengketa konsumen
menjadi sia-sia sebab pada akhirnya akan tetap bermuara di pengadilan, hal
inilah yang ingin dikaji lebih mendalam oleh peneliti dalam judul “Alasan
Pembatalan Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2006” agar nantinya penegakan hukum melalui jalur non litigasi salah
satunya ialah arbitrase dapat berjalan sebagaimana mestinya.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar
belakang, maka identifikasi masalahnya ialah :
a. Timbulnya hak menuntut ganti kerugian oleh konsumen kepada
pelaku usaha
b. Kepastian atas kedudukan hukum Badan penyelesaian Sengketa
Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen
c. Efektivitas putusan arbitrase dari BPSK yang bersifat final and
banding
8
d. Adanya perbedaan pembatasan atas alasan pengajuan pembatalan
putusan arbitrase BPSK dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahaan yang telah
diungkapkan di atas maka pembahasan ini berfokus pada satu titik
permasalahan, peneliiti dalam hal ini ingin menganalisis secara yuridis
mekanisme pembatalan atas putusan arbitrase dari Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK
dengan prespektif hukum Arbitrase dan Perlindungan Konsumen
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang menjadi titik fokus pembahasan dalam
penelitian ini ialah terkait dengan ketidakpastian hukum atas wewenang
BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen yang disebabkan oleh
tidak adanya pembatasan terhadap alasan atas pengajuan pembatalan
putusan arbitrase BPSK yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2006.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang
telah di uraikan di atas maka peneliti membatasi penulisan ini melalui
rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan:
a. Bagaimana kepastian hukum atas kedudukan BPSK dalam
penanganan penyelesaian sengketa Konsumen?
b.Bagaimana efektifitas kekuatan hukum atas putusan Arbitrase yang
dikeluarkan BPSK?
c. Bagaimana pembatasan atas alasan dalam pengajuan keberatan atas
pembatalan putusan arbitrase BPSK?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalah yang sudah diuraikan maka
tujuan penelitian ini ialah:
9
a. Untuk memperoleh analisis terkait dengan adanya ketentuan dasar
dalam pengajuan keberatan dan syarat atas pembatalan putusan
Arbitrase di BPSK yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2006 dengan ketentuan pembatalan putusan
arbitrase biasa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
b. Untuk mengetahui terkait dengan kedudukan BPSK dalam
penanganan penyelesaian sengketa konsumen
c. Untuk mengetahui kekuatan hukum atas putusan arbitrase BPSK
dan juga efektifitasya
2. Manfaat Penelitian
Bahwa pada dasarnya segala bentuk penelitian haruslah dapat
memberikan manfaat bagi peneliti ataupun para pembacanya, oleh
karena itu, peneliti akan menguraikan manfaat dari penelitian ini. secara
garis besar, manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu dibidang Hukum Perdata yang
berkenaan dengan Hukum Perlindungan Konsumen dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitrase).
b. Kegunaan Praktis
1) Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan
hukum bagi peneliti khususnya mengenai pembatalan putusan
arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
2) Sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan
khususnya bagi mahasiswa Bagian Hukum Bisnis Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3) Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu
penelitian yang harus melihat dari segala peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan tema penelitian, cara pendekatan tersebut
ialah dengan cara melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat Comprehensive, artinya melihat hubungan antara
norma-norma hukum yang ada secara logis. all inclusive, melihat bahwa
apakah kumpulan norma hukum tersebut mampu untuk menampung
segala permasalahan hukum yang ada. Systematic, selain dua hal
tersebut, perlu juga melihat hukum tersebut secara sistematis atau
hierarkis.12
Sebab pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk
menggambarkan permasalahan terkait mekanisme pembatalan putusan
arbitrase BPSK yang tidak memiliki batasan yang jelas terkait dengan
syarat pengajuanya, sehingga kekuatan hukum atas putusan BPSK
menjadi jauh dari amanat yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 54
ayat (3) yaitu final and banding.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada dasarnya berguna untuk memaparkan
corak penelitian yang digunakan, maka oleh karena itu peneliti
menggunakan penelitian kualitatif atau deskriptif kualitatif
Menurut David, P. Wilian yang dikutip oleh M. Yahya Mansur.
Secara triminologi penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan
dengan setting yang alami dilapangan dalam masyarakat bukan dalam
laboraturium, menggunakan metode alami (bisa observasi, interview,
12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h.302-303.
11
fikiran, bacaan, dan tulisan) dengan cara-cara yang alami dan sasaran
penelitian kualitatif dianggap sebagai subjek yang ditempatkan sebagai
sumber informasi.13
Peneliti dalam hal ini juga menggunakan metode Studi Pustaka
yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari
berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi
dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur,
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas.
3. Data Penelitian
Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk
menjawab masalah penelitian. Maka oleh karena itu, peneliti merasa
perlu untuk menguraikan data yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini untuk menjawab semua permasalahan yang ada pada penelitian ini
ialah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim14.
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum dalam bidang ketenagakerjaan meliputi buku-buku teks,
kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma
hukum
13 M. Yahya Mansur, Penelitian Kualitatif Konseling (Surabaya: Biro Penerbit Fakultas
Dakwa IAIN Sunan Ampel Suarabaya, 1993), h.3.
14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010) h. 141.
12
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang digunakan
diantaranya ialah :
a. Data Primer
Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer ialah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan APS, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor:350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, putusan
pengadilan terkait dan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pokok permasalahan penelitan ini.
b. Data Sekunder
Ialah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
dalam bidang arbitrase dan perlindungan konsumen meliputi buku-
buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
norma hukum dan lain-lain.
Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari
berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
13
dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk
memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan
studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-
literatur, mengkaji mengenai peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum tersier
Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari
bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus, ensiklopedi
dan sumber-sumber sejenis yang diakakses melalui Internet.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tipe dan jenis penelitian yang digunakan yakni
penelitian secara normatif yuridis, maka pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan
perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang
berkaitan dengan fokus pembahasan dalam penelitian ini, di antaranya
peneliti akan melakukan analisis melalui, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, putusan pengadilan terkait
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok
permasalahan penelitan ini.
6. Teknik Pengolahan Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
14
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan diketahui Permasalahan mekanisme pembatalan putusan arbitrase
antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Arbitrase dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006.
7. Metode Penulisan
Dalam melakukan penulisan ini metode yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah berdasarkan pada buku pedoman panduan
penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah yang telah diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
E. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan pembaca agar memahami gambaran atas isi dari
skripsi ini secara menyeluruh, maka disini peneliti menggunakan
sistematika penulisan dengan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.
Yang mana didalamnya termaktub kebijakan penulisan skripsi untuk
Fakultas Syariah dan Hukum maka sistematika penulisan terbagi dalam lima
bab. Masing-masing bab terdiri atas sub bab sesuai dengan pembahasan dan
materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
BAB I : Membahas mengenai Pendahuluan yang menguraikan dari
latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar pustaka.
BAB II : Peneliti berfokus pada pembahasan terkait dengan
Sistematika Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia,
dengan menguraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, di antaranya pembahaan
terkait kajian teoritis, yakni teori-teori yang berkaitan
15
dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini, seperti
teori hukum perlindungan konsumen dan juga arbitrase. Lalu
dalam kerangka konseptual juga membahas terkait dengan
kata yang sering di gunakan dalam tulisan ini. Selanjutnya
akan dijelaskan terkait riview (tinjauan ulang) studi
terdahulu, agar tidak ada persaman terhadap materi muatan
dan pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang di tulis
oleh pihak lain.
BAB III : Pada bab ini peneliti lebih mengkaji perihal Tinjauan Umum
tentang BPSK dalam Perlindungan Konsumen di Indonesia
dengan menjadikan BPSK sebagai bahasan dalam penelitian
ini. Dimulai dari peranan dan juga kewenangan BPSK dalam
menyelesaikan sengketa konsumen, dan juga dilengkapi
dengan perkembangan konsep perlindungan konsumen di
Indonesia.
BAB IV : Pada bab ini peneliti membahas tentang Analisis Prosedur
Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 untuk menjawab
permasalahan pada penelitian ini diantaranya menganalisis
serta menjawab permasalahan hukum yang timbul akibat
adanya perbedaan ketentuan mekanisme pembatalan putusan
dalam peraturan perundang-undangan yang ada
BAB V : Yaitu bab Penutup, peneliti membahas tentang kesimpulan
hasil penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab
terakhir dari sistematika penulisan skripsi yang pada
akhirnya penelitian ini menarik beberapa kesimpulan dari
penelitian untuk menjawab Rumusan Masalah serta
memberikan Rekomendasi yang dianggap perlu.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Penyelesaian Sengketa
Sengketa secara umum memiliki arti yaitu sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran dan perbantahan 1,
sedangkan apabila dilihat dari segi hukum khususnya hukum kontrak,
sengketa dapat diartikan sebagai perselisihan yang terjadi antara para
pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian atau secara
keseluruhan. Dalam hal ini biasanya disebut sebagai wanprestasi.2
Takdir Rahmadi juga mengartikan sengketa sebagai situasi dan
kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang
bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada
persepsi mereka saja.3
Sengketa pada dasarnya sangat rawan terjadi dikehidupan sosial
bermasyarakat, sebab manusia sebagai makhluk sosial pastinya
saling berhubungan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhanya.
Ditambah lagi dengan adanya perkembangan zaman yang semakin
maju membuat kebutuhan dan cara dari pemenuhan atas kebutuhan
tersebut menjadi lebih kompleks, semisal perkembangan ekonomi
yang sangat mempengaruhi faktor kebutuhan masyarakat. Dengan
adanya perkembangan ekonomi dan bisnis tersebut, maka tidak
mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute) antara para pihak
yang terlibat dan nantinya dapat berimbas pada pembangunan
1 KBBI, diakses pada 05 Juni 2018 dari http://kbbi.co.id/arti-kata/sengketa.
2 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012), h.12.
3 Takdir Rahmadi, Mediasi ( Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat) (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.1.
16
17
ekonomi yang tidak efisien.4 oleh karena itu upaya dalam
penyelesaian sengketa tersebut juga perlu diperhatikan.
Dalam proses penyelesaian sengketa kita mengenal istilah
litigasi dan nonlitigasi. litigasi atau litigation yang diartikan sebagai
pengadilan, sedangkan proses litigasi ialah proses penyelesian
sengketa melalui ranah pengadilan yang menyelesaikan suatu
sengketa dengan menjatuhkan putusan (constitutive). Sedangkan
proses nonlitigasi ialah penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
didasarkan pada hukum, dan penyelesaian yang berkualitas tinggi,
sebab sengketa tersebut diselesaikan secara tuntas tanpa
meninggalkan sisa kebencian dan dendam, sehingga penyelesaian
sengketa secara nonlitigasi dapat dikatakan sebagai cara penyelesaian
dengan hukum dan nurani, akibatnya hukum dapat dimenangkan dan
nurani juga tunduk kutuk menaati kesepakatan/ perdamaian secara
sukarela tanpa ada yang merasa kalah.5
Penyelesaian sengketa secara litigasi pada dasarnya memiliki
beberapa persoalan yang membuat masyarakat atau pihak yang
bersengketa cenderung enggan memilih jalur nonlitigasi, sebab
proses litigasi lebih berpotensi menghasilkan masalah baru karena
sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming perkaranya,
dan terbuka untuk umum. Sedangkan proses nonlitigasi lebih dipilih
sebab memiliki beberapa kebelbihan diantaranya seperti sifatnya
yang tertutup, kerahasiaan para pihak yang terjamin dan proses
beracaranya yang lebih cepat dibandingkan dengan proses litigasi.
Ditambah lagi dalam dunia Dunia bisnis tentunya hal tersebut
menjadi salah satu poin pertimbangan khusus untuk memilih
penyelesaian sengketa secara nonlitigasi sebagai upaya pertama.
4 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.1.
5Dewi Tuti Muryati,”Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di
Bidang Perdagangan”, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 13, Nomor 1 (Juni 2011), h.50.
18
Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi atau yang biasa
disebut dengan istilah APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa)
sejatinya sudah tidak asing lagi dinegara Indonesia ini, semenjak di
undangkanya hal tersebut dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan APS (yang selanjutnya disebut UU
Aribtrase dan APS) yang menjadikan ranah nonlitigasi sebagai
alternatif utama yang dapat dipilih oleh masyarakat Indonesia dalam
menyelesaiakan sengketa hukumnya.
2. Sengketa Konsumen
Setelah membahas terkait dengan pengertian sengketa dan
penyelesaianya, kita dapat memahami bahwa dalam bermasyarakat
siapa saja bisa terlibat sengketa, salah satunya ialah konsumen. Manusia
pada dasarnya ialah makhluk yang konsumtif, sebab mereka perlu untuk
memenuhi kebutuhanya. Dalam upaya atas pemenuhan kebutuhan inilah
manusia saling berhubungan satu sama lain.
Dalam pasal 1 angka 2 UUPK menjelaskan, bahwa konsumen ialah
setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan pelaku usaha dalam pasal tersebut, tepatnya pada angka 3
menjelaskan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa
konsumen dan pelaku usaha mempunyai hubungan timbal balik atas
dasar pemenuhan atas kebutuhan mereka, sehingga dari hubungan
tersebut timbulah hak dan kewajiban. Dengan adanya hubungan tersebut
bukan tidak mungkin bahwa nantinya akan terjadi konflik diantara
mereka.
19
Menurut Kepmenperindag No: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen pasal 1 angka 8 mengartikan bahwa sengketa konsumen ialah
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian
akibat mengkonsumsi barang atau jasa. Pada intinya sengketa konsumen
merupakan perselisihan yang terjadi atas hubungan pemanfaatan suatu
barang atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha kepada konsumen
sehingga merugikan salah satu pihak, oleh karena adanya hubungan
tersebutlah sengketa ini dikenal dengan istilah sengketa konsumen.
3. Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebelumnya sudah kita bahas bahwa penyelesaian sengketa
pada dasarnya memiliki dua cara, yaitu melalui jalur litigasi dan
nonlitigasi. peneliti dalam hal ini akan lebih fokus pada jalur
nonlitigasi. pada dasrnya penyelesaian sengketa melalui jalur
nonlitigasi mempunyai beberapa jenis yang berbeda. Apabila kita
merujuk pada UU Aribtrase dan APS, terdapat beberapa macam/jenis
dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat dipilih baik
oleh pelaku bisnis ataupun masyarakat pada umumnya untuk
menyelesaikan persengketaan yang mereka alami, diantaranya ialah:
a. Arbitrase
Arbitrase pada dasarnya berasal dari kata arbitrare (bahasa
latin) yang mempunyai arti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan. Namun bukan berarti penyelesaian
sengketa diarbitrase hanya berpaku pada kebijaksanaan semata,
melainkan arbitrer atau majelis tersebut juga menerapkan hukum
seperti yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.6 Arbitrase
menurut pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
6 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
Internasional ..., h.36.
20
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa, sedangkan yang dimaksud dengan
perjanjian arbitrase pada pasal 1 angka 3 UU tersebut ialah suatu
kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
atau perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan
bahwa untuk dapat bisa memilih arbitrase sebagai langkah
penyelesaian sengketa, diperlukan suatu klausul arbitrase yang
tertera dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak setelah
atau sebelum timbulnya sengketa, sehingga dalam hal ini klausul
arbitrase dapat dikatakan sebagai nyawa dari proses arbitrase itu
sendiri, tanpa klausul tersebut tentunya proses arbitrase tidak
dampat berjalan.
Arbitrase ini berbeda dengan jalur APS lainya sebab dalam
arbitrase pihak ketiga yaitu arbiter memiliki kewenangan untuk
memutuskan sedangkan pada APS lainya semisal mediasi, pihak
ketiga atau mediatornya hanya sebagai pihak penengah yang tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan. Oleh karena itulah
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dianggap lebih
efektif dibandingkan dengan mediasi atau APS lainya.
b.Mediasi
Mediasi ialah prosedur penengahan di mana seseorang
bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antar pihak,
sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa yang
dialami dapat dipahami dan mungkin didamaikan,7 atau dapat juga
diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan
tidak memuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak
7 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
Internasional ..., h.16.
21
melainkan menjadi penunjang fasilitator agar terlaksananya dialog
antar para pihak dengan suasana yang kondusif, jujur, terbuka
sehingga tercapai sebuah mufakat.
c. Negosiasi
Kata negosiasi pada dasarnya berasal dari kata negotiation
yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan
perundingan disebut negosiator.8 Di dalam proses proses negosiasi
biasanya para pihak yang bersengketa akan berhadapan langsung
dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi. Berbeda
dengan mediasi, negosiasi dilaksanakan dengan proses komunikasi
yang dibangun oleh para pihak tanpa adanya pihak ketiga. Kualitas
dari negosiasi sendiri bergantung pada negosiator dalam arti para
pihak itu sendiri atau seseorang yang dikuasakan mewakili salah
satu dari para pihak.
d. Konsiliasi
Pada dasarnya konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mediasi
pada umumnya disebabkan fungsi pihak ketiganya yang
mempunyai fungsi hampir sama dengan mediasi. Konsiliasi ialah
suatu proses penyelesaian sengketa antara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak pihak
ketiga tersebut biasa dikenal dengan istilah konsiliator. Dalam hal
ini konsiliator bertugas seperti mengatur waktu dan tempat
pertemuan, mengarahkan subjek pembicaraan dan dapat
mengajukan solusi atas permasalahan, namun tidak berhak
memutuskan perkaranya.9 Sehingga nanti apabila para pihak
menyetujui solusi yang ditawarkan oleh konsiliator, maka solusi
tersebut akan dituangkan dalam bentuk resolution. Kesepakatan
8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
Internasional ..., h.24.
9Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2008),h.106.
22
yang telah disepekati tersebut memiliki kekuatan hukum yang
bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang
bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan maka
pihak ketiga dapat mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa
tersebut, dan apabila usulan tersebut bisa diterima oleh kedua belah
pihak, maka hal tersebut juga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. proses ini disebut konsiliasi.10
B. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Sebelumnya telah dibahas bahwa pada dasarnya Indonesia
merupakan negara hukum, hal ini telah tergambar pada pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia, implikasi dari adanya pengakuan
tersebut dalam konstitusi ialah negara dalam menjalankan sistem
pemerintahanya harus berdasarkan rule of law. Maksudnya segala
bentuk tindakan yang diambil oleh pemerintahan harus berdasarkan
hukum. namun yang perlu diperhatikan bukan hanya pada tindakan
pemerintah yang telah berdasarkan pada hukum, lebih jauh lagi negara
Indonesia juga wajib memerhatikan hal-hal ketika hukum tersebut
dibentuk. Sebab dalam pembentukan hukum terdapat tiga unsur yang
harus terpenuhi, menurut Gustav Radbruch hukum harus mengandung
tiga nilai dasar yaitu keadilan, kepastian hukum dan juga kemanfaatan,
ketika salah satu nila tersebut tidak terpenuhi dalam suatu hukum, maka
substansi dari adanya hukum tersebutpun akan hilang.
Disini peneliti akan lebih membahas terkait dengan unsur kepastian
hukum dalam suatu undang-undang pada umumnya. Apabila dilihat dari
pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum ialah “scherkeit des recht
selbst” yang berarti bahwa kepastian hukum pada dasarnya
10Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012), h.34.
23
berhubungan dengan hukum itu sendiri.11 Asas kepastian hukum pada
dasarnya mulai dikenal pada zaman hukum modern, menurut Prof.
Stajipto Rahardjo pada zaman tersebut, setiap orang akan melihat fungsi
hukum sebagai sesuatu yang menghasilkan sebuah kepastian hukum. hal
ini didasarkan atas adanya kebutuhan masyarakat modern yang
membutuhkan kepastian dalam berbagai interaksi antar anggotanya
sehingga dapat berjalan secara tertib.12
Kemudian kepastian hukum juga dapat diartikan bahwa seseorang
akan memperoleh suatu kepastian dalam keadaan tertentu, dan dapat
juga diartikan sebagai kejelasan dalam suatu norma sehingga dapat
diajikan acuan dalam bertindak. Apa implikasinya ketika suatu hukum
yang diterapkan dalam undang-undang tidak memenuhi unsur tersebut?
akibatnya menurut Prof. Syarifuddin Kalo apabila suatu norma tidak
dapat mencerminkan suatu kepastian hukum maka hal tersebut akan
berdampak pada sikap patuh tak patuh terhadap hukum tersebut.13
Sehingga jati diri hukum yang seharusnya dapat menciptakan ketertiban
menjadi terhambat.
Dalam hal kepastian hukum, Gustav Radbruch menjelaskan bahwa
terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan dalam pemahaman atas kepastian
hukum, yaitu:14
a. Hukum Positif, artinya bahwa hukum tersebut merupakan perundang-
undangan atau hukum yang dibentuk dengan perundang-undangan;
11Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2010), h.288. 12 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2010), h.289-290.
13Bambang Semedi, “ Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum” diakses pada
tanggal 08 Agustus 2018 dari
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/images/file/pusbc/dmdokumen/PENEGAKAN_HUKUM_MEN
JAMIN_KEPASTIAN_HUKUM_-_Semedi.pdf.
14Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2010), h.292-293.
24
b. Hukum berdasarkan fakta, maksudnya ialah hukum tersebut bukan
merupakan suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan
dilakukan oleh hakim, contohnya : kemauan baik dan kesopanan
c. Fakta yang jelas, maksudnya fakta tersebut harus terhindar dari segala
bentuk kekeliruan dan mudah diajalankan
d. Tidak sering berubah. Dalam asas kepastian hukum perubahan
hukum bukanlah hal yang mustahil, sebab pada dasarnya masyarakat
akan selalu berkembang. Namun juga tidak boleh terlalu sering
berubah, karena hukum yang terlalu sering berubah akan menderogasi
nila-nilai kepastian hukum yang terkandung dalam suatu undang-
undang.
2. Asas dan Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen ialah seluruh asas-asas atau
kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
permasalahan penyediaan dan penggunaan suatu produk antara
penyedia dan penggunaanya dalam masyarakat.15
Apabila kita melihat pendapat dari Prof. Mochtar
Kusumaatmadja, beliau menjelaskan bahwa hukum perlindungan
konsumen ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur
hubungan antara penyedia barang dan /atau jasa dengan penggunanya
perihal penyediaan dan penggunaan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Sedangkan, apabila kita melihat dalam pasal 1 angka 1 UUPK
menjelaskan terkait dengan pengertian perlindungan konsumen ialah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Maka dapat kita simpulkan dari
pengertian di atas, bahwa hukum perlindungan konsumen ialah segala
bentuk pengaturan terkait dengan hubungan antara penyedia barang
15Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan dan Kekuatan
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), (Malang: Universitas Brawijaya Press,
2011), h.42.
25
atau jasa dengan konsumen, dalam bentuk upaya agar terdapat
kepastian hukum untuk memberi perlindungan terhadap konsumen.
Perlu kita perhatikan terkait dengan alasan utama dibentuknya
Undang-undang tersebut ialah rendahnya tingkat kesadaran atas hak-
hak konsumen pada masyarakat Indonesia waktu itu. Dalam
penjelasan pada bagian umum dalam UUPK menyatakan bahwa
adanya hal tersebut dipicu oleh rendahnya tingkat pendidikan
konsumen sehingga masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa
terdapat hak-hak yang seharusnya dipenuhi namun diabaikan oleh
para pelaku usaha. Tentunya hal tersebut sangat berpotensi terjadi,
sebab prinsip dasar dari para pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya ialah “mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin
dengan modal yang seminimal mungkin”
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
pasal 2 pada UUPK sejatinya telah mengklasifikasikan terkait
dengan asas-asas yang dianut dalam konsep perlindungan konsumen
di Indonesia. Diantaranya ialah :
1) Asas manfaat, mempunyai maksud untuk mengamanatkan bawa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlidnungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2) Asas keadilan, bermaksud agar partisipasi seluruh masyarakat
dapat terwujud secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibanya secara adil;
3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah dalam arti material ataupun spiritual;
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, bertujuan untuk
memberikan jaminan atas keimanan dan keselamatan kepada
26
konsumen Adam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5) Asas kepastian hukum, bertujuan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Dibentuknya UUPK inipun juga memiliki beberapa tujuanya
yang diantaranya telah dijelaskan dalam pasal 3 UUPK yaitu:
1) Meningkatkan kesadara, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi jati diri;
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan ada
menghindarkanya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) Menciptakan sistem perlindingan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6) meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
c. Prinsip Hubungan Konsumen dan Pelaku Usaha
Pada dasarnya terdapat beberapa prinsip-prinsip dalam konsep
perlindungan konsumen yang menjelaskan bahwa terkait dengan
kedudukan konsumen dalam hubunganya dengan pelaku usaha,
diantaranya ialah :16
16Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia ( Jakarta: Grasindo, 2000), h.50-52.
27
1) Let The Buyer Beware
Dalam prinsip ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dan
konsumen pada dasarnya ialah dua pihak yang sangat seimbang
satu sama lain, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si
konsumen. Namun yang perlu diperhatikan ialah dalam
kenyataanya konsumen sering sekali tidak mendapat informasi
yang lengkap terkait dengan barang dan/atau jasa yang diperoleh
dari pelaku usaha, lalu terkait dengan kerugian yang timbul akibat
hal tersebut sering juga dipersalahkan kepada konsumen yang
dianggap lalai dalam memilih barang dan/atau jasa. Dalam prinsip
ini ,pada suatu hubungan jual beli antara pelaku usaha dengan
konsumen yang diwajibkan untuk berhati-hati ialah konsumen dan
merupakan kesalahan pembeli jika sampai terjadi kerugian akibat
mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang tidak layak. Oleh
karena itu, banyak yang beranggapan bahwa asal muasal dari
adanya konflik pada bidang transaksi konsumsi terlahir akibat
dianutnya prinsip tersebut.
2) The Due Care Theory
Pada prinsip ini mengajarkan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan usahanya kepada konsumen wajib untuk berhati-hati.
Maksudnya ialah apabila nantinya terdapat konsumen yang
merasa dirugikan atas penggunaan suatu barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi dari pelaku usaha, dan ternyata dalam hal ini pelaku
usaha telah berhati-hati dalam menawarkan, mempromosikan dan
juga memperdagangkan barang dan/atau jasanya, maka mereka
tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang terjadi kepada
konsumen. Sehingga disini konsumen perlu untuk melihat terlebih
dahulu, apakah para pelaku usaha tersebut dalam menjalankan
usahanya sudah berpedoman pada prinsip kehati-hatian ini atau
tidak, sehingga tidak serta merta pelaku usaha dapat dipersalahkan
atas kerugian yang dialami konsumen.
28
3) The Privity of Contrak
Pada prinsip ini, menjelaskan bahwa pelaku usaha yang
terjalin pada suatu hubungan kontraktual dengan konsumen
diwajibkan untuk melindungi konsumenya. Maksudnya ialah
dalam hal ini, para pelaku usaha hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban sesuai dengan apa yang telah disepakati
terlebih dahulu dalam suatu perjanjian dengan konsumen,
sehingga terdapat kepastian atas batasan-batasan yang perlu
diperhatikan oleh pelaku usaha dalam hal menjalankan
transaksinya dengan konsumen. Dengan demikian para pelaku
usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar dari perjanjian
atau kontrak yang telah disepakati sebelumnya.
4) Kontrak bukan Syarat
Prinsip ini lahir didasari atas lemahnya posisi konsumen
dalam prinsip sebelumnya, yaitu The Privity of Contract. Pada
prinsip ini, kontrak bukan lagi menjadi syarat untuk dapat
menetapkan adanya suatu hubungan hukum antara pelaku usaha
dengan konsumen. Namun yang perlu diperhatikan ialah terdapat
pandangan bahwa prinsip ini hanya berlaku pada transaksi yang
objeknya berupa barang, sedangkan untuk jasa, kontrak tetap
dipandang sebagai hal yang wajib ada dalam setiap transaksinya.
3. Asas dan Teori Hukum Arbitrase
Sebelumnya kita telah membahas terkait dengan pengertian singkat
mengenai arbitrase secara umum. Kali ini kita akan mengkaji lebih
mendalam perihal arbitrase itu sendiri dalam aspek hukum. Dalam
penjelasan diatas kita sudah mengenal bahwa arbitrase merupakan salah
satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui pihak ketiga
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak. Pengaturan terkait dengan arbitrase di Indonesia
pertama kali bertitik tolak pada pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
Namun seiring dengan perkembangan zaman yang makin pesat
29
termasuk perkembangan dalam dunia bisnis dan lalu lintas perdagangan
nasional dan internasional, serta perkembangan hukum tentunya. Maka
ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebelumnya telah dianggap
ketinggalan zaman dan tak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, sehingga
diperlukan ketentuan baru yang dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan zaman yang ada pada saat ini.17 Oleh karena itu, di Indonesia
sendiri pengaturan terkait dengan arbitrase pun dibentuk secara khusus
dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya
disebut dengan UU Arbitrase dan APS). Untuk memahami lebih lanjut
mengenai arbitrase sendiri. Terdapat beberapa hal yang perlu kita
ketahui terkait hukum arbitrase itu sendiri, diantaranya yaitu:
a. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase menjadi salah satu hal yang sangat penting
untuk kita pahami dalam bidang hukum arbitrase. Sebab perjanjian
arbitrase dapat dikatakan sebagai syarat suatu sengketa dapat
diselesaikan melaui jalan arbitrase. Namun hal yang perlu diingat
ialah kebolehan mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase, harus
didasarkan atas kesepakatan bersama (Mutual Consent).18 faktor
sukarela dan kesadaran bersama menjadi hal yang utama dalam
keabsahan suatu perjanjian arbitrase.
Dalam pasal 7 UU Arbitrase dan APS menjelaskan bahwa para
pihak dapat menyetujui perjanjian suatu sengketa yang terjadi atau
suatu sengketa yang akan terjadi diantara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase dengan suatu perjanjian tertulis yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian tertulis yang telah
disepakati tersebut maka telah meniadakan hak para pihak untuk
17Franz Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional ..., h.35.
18 Franz Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional ..., h.37.
30
dapat menyelesaikan sengketa yang mereka alami di pengadilan
umum.
Perjanjian arbitrase sendiri juga memiliki beberapa jenis.
Diantaranya ialah :19
1) Pactum De Compromittendo
Perjanjian tersebut mempunyai arti “kesepakatan setuju
dengan putusan arbitrase”. Hal ini pada dasarnya telah diatur
dalam pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang intinya menjelaskan
bahwa Undang-undang ini mengakui adanya perjanjian yang
telah memasukan klausul arbitrase dalam suatu perjanjiannya,
dalam bentuk kesepakatan bahwa apabila nantinya timbul
sengketa atau perselisihan pendapat antara para pihak, maka
mereka akan menyelesaikanya melalui arbitrase.
2) Akta Kompromis
Perjanjian ini pada dasarnya telah diatur dalam pasal 9 UU
Arbitrase dan APS, yang pada Intinya menjelaskan bahwa
perjanjian ini dibuat setelah terjadi sengketa antara para pihak
yang sebelumnya tidak mencantumkan klausul arbitrase dalam
perjanjianya. Dan terkait syarat sah nya akta kompromis ini juga
telah dijelaskan dalam pasal tersebut.
b. Klausul Arbitrase
Klausul arbitrase ialah hal-hal yang boleh dicantumkan dalam
perjanjian arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase
mengandung arti bahwa perjanjian pokok para pihak dalam hal ini
telah diikuti dengan persetujuan menganai pelaksnaan arbitrase.20
Namun tidak semua jenis sengketa dapat diajukan kepada lembaga
arbitrase. Dalam pasal 5 UU Arbitrase dan APS menegaskan bahwa
hanya sengketa dibidang perdagangan saja dan mengenai hak yang
19Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ,..., h.98.
20Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004), h.117.
31
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa yang dapat diajukan ke lembaga arbitrase. Sedangkan
perihal sengketa yang menurut Undang-undang tidak dapat
didamaikan tidak bisa diajukan ke lembaga arbitrase.
c. Prinsip Pemisahan
Perihal kaitanya dengan klausul arbitrase, hal yang tidak kalah
penting ialah mengenai prinsip pemisahan (Separability principle)
yang merupakan doktrin otonomi dari klausul arbitrase (The
autonomy of Arbitration Clause).21 Prinsip ini ini menenmpatkan
klausul arbitrase berdiri sendiri dan terpisah dari peristiwa-peristiwa
lainya, semisal klausul arbitrase dari perjanjian pokok di mana
klausul tersebut berakhir atau batal, klausul tersebut masih dapat
berlaku dan tidak serta-merta batal. Maksdunya ialah ketika terdapat
suatu perjanjian yang dibatalkan, maka tidak serta merta turut
membatalkan pengaturan terkait dengan pilihan atas penyelesaian
sengketa yang timbul diantara para pihak. Dalam UU Arbitrase dan
APS dijelaskan prinsip tersebut pada pasal 10 huruf f dan h. Bunyi
pasal tersebut ialah:
“suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh
keadaan dibawah ini ;
a. Meninggalnya salah satu pihak;
b. Bangkrutnya salah satu pihak;
c. Inovasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut diahlitugaskan
pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang
melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
21 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional ,..., h.45.
32
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”
d. Teori Choice of Law dan Choice of Forum
1) Choice of Law
Teori ini pada dasarnya merupakan bagian dari asas
kebebasan berkontrak, yang mana disini para pihak bebas
menentukan dalam suatu perjanjian, hukum mana yang ingin
dipakai khususnya dalam perjanjian internasional. Pada perdata
internasional terdapat dua macam jenis pilihan hukum, yang
pertama pilihan hukum secara tegas dan yang kedua pilihan
hukum secara diam-diam. Pilihan hukum secara tegas maksudnya
ialah pilihan yang secara eksplisit tercantum dalam kontrak
sebagai klasula tambahan, misalnya dalam klausul tersebut
dijelaskan bahwa dalam kontrak tersebut berlaku hukum di
Indonesia. Sedangkan dalam arti pilihan hukum secara diam-
diam ialah para pihak dalam membuat suatu kontrak tidak
mencantumkan klausul yang menjelaskan hukum mana yang
ingin diterapkan. Pilihan hukum secara diam-diam ini akan
tampak dari penafsiran terhadap isi kontrak tersebut, misal dalam
hal ini para pihak mengutip beberapa pasal dalam hukum perdata
Amerika, maka secara tidak langsung hukum Amerika serikatlah
yang berlaku bagi mereka.22 Adanya pilihan hukum ini sendiri
timbul atas adanya hak dan kewajiban para pihak yang menjadi
dasar penyelesaian sengketa mereka dalam suatu conflict of law
yang juga diistilahkan sebagai pilihan hukum dan ada pula yang
menyebutnya sebagai party of autonomy. Perlu kita pahami
bahwa para pihak sejatinya tidak memiliki wewenang untuk
Membentuk hukumnya sendiri dalam berkontrak, sehingga
mereka hanya memiliki kebebasan untuk memilih hukum mana
22 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (Jakarta: CV. Rajawali,1991),h.44.
33
yang ingin diterapkan.23 Maksudnya terdapat batasan bahwa
mereka hanya sebatas menentukan hukum mana yang
dikehendaki untuk diterapkan kedalam kontrak yang mereka
buat, dan bukan untuk secara bebas memiliki kewenangan untuk
menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi mereka.24
Tujuan dari penerapan pilihan hukum ini sendiri ialah
adanya perlakuan yang sama dalam kasus serupa, dan
pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.
Namun tetunya hukum yang dipilih juga tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar
kepentinganya terhadap keputusan pokok, maksdunya ialah
kepentingan yang menyangkut hak masyarakat banyak pada
suatu negara. Dasar dari diberlakukanya asas ini disebabkan atas
pemikiran bahwa semua negara pada dasarnya tidak memiliki
sistem hukum nasional yang sama, sedangkan hubungan atas
perkembangan sosial bermasyarakat telah jauh berkembang
seperti dengan Adanya bisnis internasional sehingga hal tersebut
menjadi penting untuk diberlakukan demi kelancaran hubungan
internasional antar masyarakat suatu negara.
Lalu terkait dengan batasan lainya atas adanya choice of law
ialah adanya ketertiban umum yang sebelumnya sempat
disinggung. Para ahli berpendapat bahwa ketertiban umum pada
dasarnya memiliki fungsi sebagai lembaga yang membatasi
kebebasan para pihak dalam menentukan hukum yang berlaku
bagi mereka (choice of law) apabila nantinya terjadi sengketa,
23 Winda Pebrianti, “Penerapan Lembaga Pilihan Hukum Terhadap Sengketa Hukum
Pelaksanaan Kontrak Bisnis Internasional”, ADIL: Jurnal Hukum, Volume 3 No.2 (Desember,
2012), h.318-319.
24 Abdul Gani Abdullah, “Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of Law dalam
Kontrak Bisnis Internasional” , Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, No 3
(November, 2005), h.3.
34
menurut pendapat Caleb menjelaskan bahwa ketertiban umum
merupakan batasan utama atas kebebasan untuk melaksanakan
kemauan seseorang dalam bidang kontrak, agar nantinya tidak
terjadi suatu penyelundupan hukum.25 Dalam konteks hukum
arbitrase teori ini juga digunakan dalam 2 hal yaitu:26
a) Pilihan terkait dengan hukum formil yang digunakan oleh
para pihak dalam beracara di arbitrase, sehingga para
pihaklah yang bebas menentukan prosedur mana yang ingin
dipakai;
b) Pilihan hukum terkait dengan substansi atau hukum
materilnya, dalam hal ini apabila para pihak belum
menegaskan hukum formil mana yang ingin digunakan
apakah hukum perdata yang berlaku di Indonesia atau dari
negara lain.
Sedangkan perihal hukum material yang akan digunakan,
dalam UU Arbitrase dan APS pada pasal 56 ayat (1) menegaskan
bahwa arbitrer dapat mengambil keputusan ketentuan hukum,
atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Maksudnya ialah
apabila para pihak tidak menetukan terkait dengan hukum
material mana yang ingin diberlakukan, maka arbitrer dapat
menentukan hukum mana yang berlaku sesuai dengan keadilan
dan kepatutan.
2) Choice of Forum
Sama dengan asal muasal dari adanya teori choice of law,
teori ini juga didasarkan atas hukum perjanjian dimana terdapat
asas kebebasan berkontrak didalamnya. Dalam hal ini para pihak
juga bebas menentukan pilihan terkait dengan tempat penyelesian
25 Abdul Gani Abdullah, “Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of Law dalam
Kontrak Bisnis Internasional” ..., h.8.
26Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan Internasional
,..., h.47.
35
atas sengketa yang terjadi hal inilah yang dikenal dengan istilah
choice of las atau choice of jurisdction.27
Dengan adanya prinsip tersebut memudahkan para pihak
untuk dapat bisa memilih jalur yang tentunya lebih
menguntungkan untuk mereka, contohnya Ketika para pihak
merumuskan perjanjian, para pihak dapat menilai cara yang
efektif apabila nantinya terjadi sengketa antara mereka dan tidak
harus selalu melalui pengadilan. Sebab pada dasarnya
penyelesaian sengketa dipengadilan pada saat ini sudah dianggap
tidak lagi efektif, terlebih dalam dunia bisnis. Pada saat ini sering
kali pelaku bisnis lebih menginginkan penyelesaian sengketa
melalui cara arbitrase disebabkan adanya kelebihan dan
kemudahan dalam penyelesaianya, seperti :28
a) Para pihak dapat memilih arbiternya sendiri;
b) Sifat persidangan yang tertutup sehingga dapat terjamin
kerahasiaan suatu perusahaan;
c) Putusanya yang bersifat final dan mengikat;
d) Tata cara penyelesaian yang cepat, murah dan ringan;
e) Tata cara penyelesaianya lebih informal dibandingkan
dengan pengadilan
Namun adanya kebebasan tersebut juga dibatasi oleh
Undang-undang, agar sistem hukum tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya dan tidak mengalami kerancuan atas
pelaksanaanya. Sebab perlu kita ketahui bahwa setiap badan
peradilan memiliki kompetensinya masing-masing. Begitu pula
dalam hal arbitrase, tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan
oleh arbitrase. UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
27Bambang Sutiyoso, “Akibat Pemilihan Forum dalam Kontrak yang Memuat Klausula
Arbitrase”, MIMBAR HUKUM, Volume 24, No. 1, (Februari, 2012), h.167-168.
28Priyatna Abdurrasyid, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), h.63.
36
APS pada pasal 5 ayat (1) nya memberikan batasan bahwa
sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase ialah hanya
sengketa perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-unangan dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak. Sehingga perihal sengketa dalam ranah pidana atau
kepailitan dan sejenisnya, tidak dapat diselesaikan melalui proses
arbitrase. Lalu timbul permasalahan, bagaimana apabila terdapat
suatu sengketa yang telah ditetapkan dalam perjanjianya memilih
forum arbitrase namun tetap memilih jalur pengadilan.
Pada dasarnya perihal penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, juga terdapat kompetensi yang dimiliki secara absolut,
seperti penjelasan sebelumnya. Ketika sudah terdapat klausul
arbitrase didalamnya maka secara mutatis mutandis sengketa
tersebut menjadi kewenangan absolut badan arbitrase dan tidak
bisa diganggu gugat. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 3 UU
Arbitrase dan APS. Namun dalam hal ini apabila para pihak
sudah terlanjur mengajukanya ke pengadilan, menurut Prof.
Priyatna Abdurrasyid, maka pengadilan negeri berdasarkan
permohonan pihak lain harus menolak gugatan tersebut.29 Hal ini
didasari pada ketentuan pasal 3 UU Arbitrase dan APS guna
menjaga arwah arbitrase yang bersifat independen
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu
1. Skripsi tentang “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota
Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara” yang diteliti oleh Lidia Asrida
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dari judul tersebut saja kita dapat mengetahui bahwa tulisan
tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan secara khusus peranan salah
29 Priyatna Abdurrasyid, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
,..., h.63.
37
satu cabang BPSK yang ada di Indonesia, tepatnya BPSK di Kota
Tebing Tinggi dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan untuk
mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi BPSK Kota Tebing
Tinggi tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian yang peneliti
lakukan. Peneliti dalam hal ini tidak terfokus pada peranan suatu cabang
BPSK yang ada di daerah, melainkan penelitian normatif yang
berpangkal pada dasar hukum terkait dengan pembatalan suatu putusan
arbitrase BPSK yang diajukan ke pengadilan.
2. Buku yang ditulis oleh Prof. Susanti Adi Nugroho yang berjudul Proses
Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta
Kendala Implementasinya, menjadi salah satu referensi utama penulis
untuk mengangkat tema penelitian ini. Dalam buku tersebut membahas
terkait dengan perkembangan penyelesaian sengketa konsumen di
Indonesia, dan juga menyingung aspek kendala dalam implementasi
atas penyelesaian sengketa di Indonesia. Bahkan dalam tulisan juga
sempat membahas terkait dengan kendala yang ada dalam BPSK.
Seperti konflik horizontal antara UUPK dengan UU Arbitrase dan APS.
Perbedaanya dengan skripsi ini ialah terletak pada pembahasan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Dalam buku ini
tidak berfokus dalam pembahasan PERMA tersebut, sedangkan peneliti
secara fokus membahas dampak atas penerapan PERMA tersebut
kepada penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dan mengaitkanya
pada beberapa kasus hukum yang telah diputus oleh badan peradilan,
sehingga dapat diakatakan bahwa penelitian ini, merupakan tindak
lanjut dari salah satu sup bab pada pembahasan dalam buku tersebut.
3. Artikel yang ditulis oleh Yusuf Shofie dalam Jurnal Hukum ADIL
Vol.4 No 1 yang berjudul “Optimalisasi Peran Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayan
Konsumen di Tengah terjadinya Disharmonisasi Pengaturan”
38
mempunyai bahasan yang sama secara umum dengan peneliti, yaitu
terkait dengan adanya disharmonisasi dalam pengaturan mengenai
BPSK itu sendiri, sehingga berdampak pada ketidakoptimalan BPSK
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Namun terdapat beberapa
perbedaan kajian yang diteliti oleh penulis dalam artikelnya. Pertama,
penulis dalam hal ini lebih menitik beratkan pada persoalan
penyelesaian sengketa pembiayaan konsumen, dapat disimpulkan
bahwa penulis lebih memperseoalkan sengketa “pembiayaan
konsumen” seperti yang dicontohkan dalam artikel tersebut, yaitu
pembelian dengan sistem pembayaran berjangka atau “kredit”,
sedangkan peneliti dalam hal ini tidak terlalu fokus pada pembahasan
tersebut. Lalu yang kedua, terkait dengan adanya disharmonisasi
pengaturan mengenai BPSK dalam artikel tersebut yang diangkat oleh
penuls terletak pada hukum formilnya atau hukum acaranya yang diatur
dengan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No: 350/MPP?Kep/12/2001. Penulis menilai bahwa produk
hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan semangat dinamika
praktisi penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia. Dalam hal ini
penulis tidak membahas adanya disharmonisasi yang terletak kepada
keputusan mentri tersebut, melainkan dengan pembahasan analisis
normatif Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 yang
disandingkan UUPK dan juga UU Arbitrase dan ADR. Sehingga
hasilnya ialah berupa pemahaman yang komprehensif terkait dengan
upaya pembatalan putusan Arbitrase nasional dengan putusan arbitrase
yang dikeluarkan oleh BPSK itu sendiri.
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN (BPSK) DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI
INDONESIA
A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Pada dasarnya Indonesia sudah cukup lama mengenal sistem
perlindungan konsumen, namun tidak secara eksplisit melainkan secara
implisit. Hal ini terbukti dengan adanya pengaturan terkait perlindungan
konsumen semenjak zaman Hindia Belanda dahulu.1 Pengaturan tersebut
antaranya diatur dalam :
1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214
2. Hinder Ordonnantie (Ordonasi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-
449, jo. S. 1949-14 dan 450
3. Loodwit Ordonnantie (Ordonasi Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28
4. Tin Ordonanntie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509, dll.
Setelah kemerdekaan sampai dengan tahun 1998 pun undang-
undang di Indonesia juga belum mengenal istilah perlindungan konsumen
didalamnya. Namun bukan berarti tidak ada satu pun perundang-undangan
yang menyetuh unsur-unsur perlindungan konsumen. Beberapa produk
hukum yang terbentuk pada masa-masa tersebut sebenarnya telah memiliki
unsur perlindungan konsumen, walau tidak secara tegas dan pasti
menyebutkan mengenai hak-hak konsumen. Diantara produk hukum
tersebut ialah Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1961 tentang Barang,
Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1966 tentang Hygien, Undang-Undang
Nomer 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang Nomer 4
Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, dan masih banyak lagi produk
hukum yang lainya.
1Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013),h.32.
39
40
Walaupun telah terdapat instrumen hukum yang mengandung unsur-
unsur perlindungan konsumen secara umum, bukan berarti sistematika
perlindungan terhadap konsumen dapat berjalan dengan lancar. Sebab
hukum umum tersebut masih terdapat berbagai kelemahan, baik dalam
hukum materil, hukum formil maupun berkenaan dengan asas-asas hukum
yang termuat didalamnya.2 Ditambah lagi dengan tidak dikenalnya istilah
konsumen pada KUHPerdata dan KUHD, sebab pada saat dibentuknya
instrumen tersebut Indonesia belum mengenal istilah konsumen.
Dalam perkembanganya, Indonesia baru benar-benar mengenal
istilah perlindungan konsumen ketika lahirnya lembaga-lembaga swadaya
masyarakat yang salah satunya ialah Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada bulan Mei tahun 1973.3 Organisasi tersebut pada
dasarnya bergerak pada bidang perlindungan konsumen, yang mempunyai
peran sebagai perwakilan konsumen tentunya, dan bertujuan untuk
meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.
Tentunya, YLKI sendiri juga menjadi salah satu pemicu munculnya
organisasi-organisasi lainya yang berbasis pada perlindungan konsumen,
seperti Lembaga pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K), Yayasan
Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) dan masih banyak lagi.
Bahkan dalam pembentukan UUPK juga tidak terlepas dari upaya YLKI
dan LSM lainya yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen
sehingga Undang-Undang tersebut dapat lahir di Indonesia.
Dalam sejarahnya ketika dibentuknya Undang-Undang tersebut,
diawali dengan adanya dinamika politik dan juga lahirnya gerakan
reformasi sehingga DPR sendiri yang sebelumnya tidak pernah
menggunakan hak inisiatifnya dalam mengajukan rancangan Undang-
Undang pada masa kepemimpinan Suharto, mulai berani menggunakan hak
tersebut dengan diawali dari pengajuan Rancangan Undang-Undang Nomer
2Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2008),h.93.
3Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ..., h.34.
41
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.4
Sebelum berlakunya UUPK, gugatan atas pelanggaran yang
dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha dapat diajukan ke
pengadilan negeri berdasarkan gugatan wan prestasi atau perbuatan
melawan hukum, gugatan tersebut tentunya bersandar pada KUHPerdata
misalnya pasal 1243 KUHPerdata atas ganti kerugian akibat ingkar janji
atau wan prestasi yang dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen. Dan
tentu terkait dengan hukum formilnya bersandar pada pasal 1865
KUHPerdata dan pasal 163 HIR yang membebankan kepada penggugat
untuk melakukan pembuktian atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan
pihak tergugat.
Dalam sistem hukum perdata biasa, hal tersebut dapat dipandang
wajar dalam penegakanya, namun dalam sistem perlindungan konsumen hal
tersebut sangat tidak mampu untuk membantu konsumen dalam mencari
keadilan. Sebab konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan
kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen.5 Hal ini tentunya
dipengaruhi oleh ketidakpahaman konsumen atas mekanisme tuntutan ganti
kerugian, kurangnya pendidikan dan lemahnya kesadaran atas hak-hak dan
kewajibanya, sehingga adanya rangkaian pembuktian yang rumit membuat
kedudukan antara kedua belah pihak menjadi tidak seimbang.
Hadirnya UUPK di Indonesia seakan membawa angin segar pada
konsep perlindungan konsumen di Indonesia, sebab hadirnya Undang-
Undang tersebut mempunyai tujuan dalam pasal 3 yang salah satu tujuanya
ialah meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya. Apabila kita lihat dalam penjelasan umum dari
Undang-Undang tersebut telah menyatakan bahwa yang menjadi faktor
utama lemahnya konsumen ialah tingkat kesadaran konsumen atas haknya
4Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ..., h.36-37
5Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ...,h.96.
42
yang masih rendah, sehingga permasalahan tersebutlah yang ingin
dijangkau dengan hadirnya UUPK ini.
Namun dalam perkembanganya sampai saat ini, UUPK dianggap
masih memiliki kelemahan, salah satu kelemahanya seperti permasalahan
ganti kerugian yang ditanggung oleh pelaku usaha hanya sebatas kerugian
langsung atas pemakaian suatu produk, dan tidak meliputi akibat yang
ditimbulkan6 sehingga UUPK sendiri terlihat hanya mengatur kepentingan
konsumen dari sisi pelaku usaha sendiri. Adanya kelemhana dalam UUPK
sendiri terbukti dengan dimasukanya Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut RUUPK) dalam prolegnas
tahun 2015-2019,7 sehingga dapat disimpulkan bahwa memang UUPK
sendiri masih membutuhkan penyempurnaan didalamnya.
B. Peran BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pada bab sebeleumnya telah dijelaskan bahwa terdapat banyak cara
yang bisa ditempuh dalam penyelsaian suatu sengketa, begitu pula dengan
sengketa konsumen. Dalam hal ini para pihak dibebaskan untuk memilih
caranya sendiri dalam menyelesaiakan masalah yang mereka alami. Namun
bukan berarti hal tersebut luput dari pengaturan yang ada pada UUPK itu
sendiri, dalam hal ini negara juga memberikan fasilitasnya kepada
konsumen berupa alternatif penyelesaian yang disediakan khusus untuk
sengketa konsumen dalam UUPK tersebut, selain pengadilan.
Salah satu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dalam UUPK
tersebut ialah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya
disebut BPSK). Dalam pasal 1 angka 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara
pelaku usaha dan konsumen. Hadirnya BPSK di Indonesia mempunyai
6Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia
(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2011),h.69.
7DPR RI, diakses pada 13 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.
43
maksud untuk menghilangkan ketidakseimbangan antara pelaku usaha
dengan konsumen sehingga tercipta suatu pemerataan keadilan dalam
penyelesaian sengketa konsumen.8
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan atas adanya pandangan
masyarakat yang menilai bahwa beracara di pengadilan terlalu rumit bahkan
sulit untuk dijangkau oleh masyarakat secara sosial maupun finansial.
Seperti apa yang dikutip dalam buku Yahya Harahap, bahwa banyaknya
kritikan atas penyelesaian sengketa dipengadilan disebabkan karena:9
1. Penyelesaian sengketa di pengadilan sangat lambat;
2. Biaya perkara yang mahal;
3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.
Hadirnya BPSK sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
konsumen, diharapkan mampu untuk menjawab berbagai permasalahan
tersebut, sehingga masyarakat khususnya konsumen tidak khawatir lagi
untuk memperjuangkan hak-hak mereka apabila nantinya dilanggar. Sebab
penyelesaian sengketa melalui BPSK memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan melaui pengadilan, seperti penyelesaianya yang dapat
dilakukan dengan cepat, mudah dan biaya ringan. Dikatakan cepat karena
dalam pasal 55 UUPK menegaskan bahwa penyelesaian Sengketa melalui
BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari. Mudah sebab
prosedur administrasi dan proses pengambilan putusanya juga sangat
sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang relatif terjangkau untuk
masyarakat umum menengah kebawah.10
8Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.74.
9Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),h.240-247
10 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.99.
44
Tentu dengan adanya hal tersebut telah menggambarkan bahwa
BPSK memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan
konsumen di Indonesia. Namun bukan berarti hadirnya Undang-Undang ini
akan mempersulit kinerja dari pelaku usaha, melainkan sebaliknya sebab
perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang adil dan
sehat sehingga memunculkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan usaha dalam menyediakan barang atau jasa yang berkualitas.
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di BPSK
1. Tugas dan Wewenag BPSK
Pada dasarnya terkait dengan tugas dan wewenang dari BPSK
sendiri telah ditentukan secara rinci dalam pasal 52 UUPK dan juga
pada pasal 3 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang
diantaranya ialah
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap klausul baku;
d. Melaporlan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis ataupun tidak tertulis dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang
ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
45
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan
penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
Dari ketentuan tersebut sudah tergambar, bahwa BPSK sendiri
memiliki fungsi strategis sebagai salah satu instrumen hukum dalam
penyelesian sengketa di luar pengadilan yang mencakup mediasi,
konsiliasi dan juga arbitrase. Selain itu BPSK juga memiliki fungsi
pengawasan terhadap pencantuman klausul baku oleh setiap pelaku
usaha, dan tidak hanya terbatas pada pelaku usaha swasta, namun juga
berlaku bagi perushaan-perusahaan milik negara.11
Adanya tugas, wewenang dan fungsi tersebut, mengartikan bahwa
BPSK bukanya hanya lembaga yang berfungsi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa. lebih dari pada itu, terdapat fungsi pengawasan
dan juga pembinaan dalam bentuk penerimaan laporan dari masyarakat
atas pencantuman klausul baku dan memberikan sarana kepada
konsumen untuk berkonsultasi terkait dengan perlindungan konsumen
itu sendiri.
2. Proses Penyelesian Sengketa di BPSK
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa BPSK
mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen
dengan cara mediasi, arbitrase dan juga konsiliasi. Ketiga cara tersebut
tentu memiliki prosedur yang berbeda antara satu dan lainya. Lalu
11 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.83-84.
46
terkait dengan pelaksanaan atas ketiga cara tersebut dibebaskan kepada
para pihak untuk memilih jalur mana yang ingin ditempuh, hal ini sesuai
dengan ketentuan yang ada pada pasal 4 ayat (1) Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
Perlu diketahui bahwa dalam pasal 4 ayat (2) juga dijelaskan bahwa
ketiga jalur tersebut tidak dapat dilakukan secara berjenjang.
Maksudnya ialah apabila nantinya salah satu jalur yang ditempuh tidak
berhasil/gagal dalam menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, maka
tidak bisa para pihak memilih dua jalur lainya. Misalnya diawal para
pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara
konsiliasi lalu gagal, dalam hal ini para pihak tidak bisa memilih jalur
arbitrase yang disediakan oleh BPSK, melainkan harus
menyelesaikanya di pengadilan.
Lalu mengenai cara dari penyelesain tersebut, antara satu dan lainya
tentu memiliki cara yang berbeda. Namun agar pemahan terkait dengan
proses penyelesaian sengketa di BPSK dapat dipahami dengan baik,
maka peneliti dalam hal ini akan menjelaskan alur penyelesaian
sengketa melalui BPSK terlebih dahulu, agar tercipta pemahaman yang
sistematis.
a. Pengajuan Gugatan ke BPSK
Sebelum memilih cara dalam penyelesaian sengketa di BPSK,
konsumen diharuskan terlebih dahulu mengajukan gugatan secara
lisan ataupun tulisan ke BPSK. Terkait dengan BPSK yang dituju,
konsumen dapat memilih BPSK yang berada diwilayah konsumen
atau BPSK terdekat dengan tempat tinggal konsumen yang dalam hal
ini sebagai penggugat. Memang terdapat perbedaan dengan
pengajuan gugatan melalui pengadilan, sebab mengingat posisi
konsumen yang pada dasarnya tidak seimbang dengan pelaku usaha
secara sosial maupun finansial, sehingga adanya asas keseimbangan
dalam pasal 2 UUPK sendiri dituangkan dalam bentuk memberi
kemudahan kepada konsumen untuk memperjuangkan hak-haknya.
47
Terhadap permohonan gugatan yang diajukan secara tulisan,
sekretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon.
Sedangkan permohonan gugatan yang diajukan secara lisan, maka
nantinya sekretariat BPSK akan melakukan pencatatan atas
permohonan tersebut dalam sebuah formulir khusus yang dilengkapi
dengan nomor registrasi. Setelah proses pengajuan tersebut,
permohonan akan diperiksa terlebih dahulu sebelum dilakukan tindak
lanjut, apakah permohan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan
pasal 16 Kepmenperindag Nomer 350/MPP/Kep/12/2001 dan apakah
termasuk sebagai sengketa konsumen atau tidak. Apabila tidak sesuai
maka ketua BPSK dapat menolak permohonan tersebut.12 Apabila
permohonan gugatan diterima maka ketua BPSK akan memanggil
pelaku usaha secara tertulis, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak
diterimanya permohonan pengajuan gugatan. Panggilan akan
dilakukan sebanyak 2 kali, apabila pelaku usaha tetap tidak mematuhi
panggilan dari BPSK, maka BPSK dapat meminta bantuan penyidik
untuk menghadirkan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan pasal 52
huruf i UUPK.
Setelah para pihak telah dihadirkan, barulah para pihak
memutuskan jalur yang akan ditempuh untuk meyelesaikan sengketa
tersebut, apakah melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.
b. Penyelesaian melalui Konsiliasi
Konsiliasi seperti yang pernah dijelaskan dalam bab sebelumnya,
ialah penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan pihak ketiga
yang bersifat netral. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi,
penunjukan majelis dilakukan oleh ketua BPSK yang bertugas untuk
mendampingi para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan sendiri oleh para pihak
dengan didampingi oleh majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai
12Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ,..., h.104.
48
konsiliator. Sehingga dalam hal ini, majelis BPSK menyerahkan
sepenuhnya kepada para pihak dalam menemukan solusi yang ingin
ditempuh untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Majelis BPSK
pada bidang konsiliasi ini juga mempunyai peran untuk memanggil
saksi, saksi ahli atau hal-hal yang diperlukan dalam penyelesaian
permasalahan seperti menyediakan forum konsiliasi bagi para pihak.
Apabila nantinya dari hasil musyawarah yang dilakukan selama
proses konsiliasi berhasil, maka kesepakatan yang ada dalam hasil
musyawarah tersebut dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis yang ditandai tangani oleh para pihak dan nantinya
dituangkan dalam bentuk putusan BPSK sesuai ketentuan pasal 6
Kepmenperindag Nomer 350/MPP/Kep/12/2001.
c. Penyelesaian melalui Mediasi
Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa mediasi ialah
prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai
“kendaraan” untuk berkomunikasi antara para pihak, sehingga
pandangan mereka yang sebelumnya berbeda-beda atas sengketa
yang dialami dapat dipahami dan mungkin didamaikan. Pihak ketiga
dalam hal ini disebut sebagai mediator yang bertugas sebagai
penengah namun tidak memiliki kuasa untuk memutus.
Berbeda dengan konsiliasi, dalam pasal 5 ayat (2)
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menegaskan bahwa
majelis yang bertindak sebagai mediator bersifat lebih aktif
dibandingkan konsiliator. Disini pihak mediator juga bertugas
sebagai pihak penengah dan dituntut untuk mampu menyeimbangkan
posisi para pihak yang berat sebelah. Maksudnya ialah terkadang
antara para pihak memiliki profesi yang berbeda sehingga salah satu
pihak merasa lebih berkuasa dibandingkan dengan lawanya, terlebih
dalam hal sengketa perlindungan konsumen yang sering kali posisi
konsumen tidak seimbang dengan pelaku usah. Maka disinilah tugas
mediator untuk menyetarakan, sehingga nantinya dapat tercipta
49
kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak. Terlebih dalam
sengketa konsumen yang tentunya antara para pihak memiliki
kedudukan yang tidak seimbang satu sama lain.
Pembentukan majelis dalam hal mediasi juga dilakukan oleh ketua
BPSK. Dan hasil dari kesepakatan yang timbul dari hasil mediasi
juga dituangkan dalam bentuk perjanjian yang nantinya dikuatkan
dengan putusan BPSK.
d. Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase
Berbeda dengan jalur penyelesaian lainya. Pembentukan mejalis
arbitrase dalam hal ini dipilih oleh para pihak dari anggota BPSK
yang mewakili ketiga unsur, yaitu pihak konsumen, pihak pelaku
usaha dan pemerintah. Hampir sama dengan sistem arbitrase
biasanya, setelah para pihak menunjuk arbiternya maka kedua
arbitrer tersebut akan Memilih arbitrer ketiga yang berasal dari unsur
pemerintah sebagai ketua majelis, hal ini berdasarkan pada ketentuan
pasal 32 Kepmenperindag 350/MPP/Kep/12/2001.
Seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya bahwa ketentuan
arbitrase BPSK hampir sama dengan Arbitrase pada umumnya.
Namun yang berbeda ialah perihal pembuktian, sebab dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK, beban pembuktian
berada pada sisi pelaku usaha. Namun bukan berarti konsumen tidak
mengajukan bukti, dalam hal ini pihak konsumen juga diharuskan
untuk memberikan bukti-bukti untuk mendukung gugatanya.
Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak
dan juga pembuktian, maka dalam hal ini BPSK dapat mengambil
keputusan/ memberikan putusan atas sengketa tersebut. Perbedaanya
dengan putusan BPSK dalam hal mediasi dan konsiliasi ialah putusan
arbitrase BPSK dapat memuat sanksi administratif, sedangkan
putusan BPSK atas mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksi
administratif.
50
BAB IV
ANALISIS PROSEDUR PEMBATALAN PUTUSAN ARBTRASE BPSK
DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2006
A. Kedudukan Hukum Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan
Pengaruhnya terhadap Peran BPSK
1. Kedudukan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Membentuk
Peraturan
Sudah banyak kajian yang membahas terkait dengan kedudukan
Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut Perma) di Indonesia.
Bahkan apabila kita lihat dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
telah mengakui keberadaan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah
Agung. Peraturan tersebut dapat diakui dan bersifat mengikat asalkan
memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011, syarat tersebut antara lain seperti
diperintahkan oleh Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenanganya. Kata “atau” dalam pasal tersebut
mengindikasikan bahwa dalam pembentukanya diharuskan memenuhi
salah satu saja dari syarat tersebut.
Pertanyaanya, apakah Perma memenuhi ketentuan tersebut? Pada
dasarnya yang mempunyai kewenangan dalam membentuk sebuah
peraturan ialah badan legislatif, sebab berdasarkan pada prinsip
kedaulatan, hal tersebut merupakan kewenangan eksklusif dari wakil
rakyat dalam membatasi kebebasan setiap individu atau warga negara.1
Sedangkan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan, pada dasarnya
hanya memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum guna mencari
1Jimly Assiddiqie, Periahal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006),h.11.
50
51
dan menemukan atau memperluas makna suatu hukum apabila makna
yang ada pada suatu undang-undang belum jelas. Adanya kewenangan
tersebut dapat juga dianggap sebagai pembuatan atau peciptaan hukum
yang populer disebut sebagai “Judge made law”. Namun sifatnya tentu
berbeda dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlaku umum, sebab sifat dari kewenangan tersebut hanyalah hukum
kasus atau yang dikenal dengan istilah “Case law” maksudnya ialah
hukum yang diberlakukan hanya pada kasus tertentu saja.2 Namun
bukan berarti mutlak bahwa semua lembaga negara selain DPR tidak
bisa membentuk suatu peraturan, sebab bisa saja cabang-cabang
kekuasaan lainya membentuk suatu peraturan asalkan wakil rakyat
sendiri telah memberikan persetujuanya dalam bentuk undang-undang.
Konsep tersebut biasanya kita kenal dengan istilah “delegated
legislation”.3 Sedangkan kedudukan PERMA disini biasa dikenal
dengan “sup ordinate legislations” sebagai salah satu produk
perundang-undangan dibawah undang-undang yang diberlakukan
berdasarkan undang-undang.
Secara normatif, dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung telah
mempunyai wewenang tersebut, yaitu dalam pasal 79 Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang No.
3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (yang selanjutnya disebut
UUMA) telah menegaskan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur
lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang ini”.
Alasan diberikanya kewenangan tersebut kepada Mahkamah
Agung disebabkan karena keadaan negara Indonesia pada saat awal
2M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2008),h.165.
3Sukardi & Prajwalita Widiati, “Pendelegasian Pengaturan oleh Undang-Undang kepada
Peraturan yang Lebih Rendah dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Yuridika, Volume 25 No.2 (Mei-
Agustus, 2010),h.106-107.
52
kemerdekaan yang belum memiliki pengaturan terkait hukum acara
yang memadai, sebab masih bergantung pada hukum peninggalan
kolonial yaitu HIR dan RBg. Maka dari itu, sering kali dalam
penerapanya dipengadilan, ketentuan hukum acara tersebut sering
tertinggal dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat di
Indonesia, sehingga untuk memecah problematika tersebut diberikanlah
kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung melalui Undang-
Undang Mahkamah Agung itu sendiri.4 Dengan adanya ketentuan
tersebut tentunya dalam menjalankan kewenangan untuk membentuk
sebuah peraturan, Mahkamah Agung telah memenuhi prinsip yang
terkandung dalam negara hukum, yaitu supremasi hukum. Sebab pada
dasarnya supremasi hukum merupakan prasyarat dalam
penyelanggaraan kehidupan bernegara, yang memberikan jaminan
kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga
dalam pelaksanaan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh
penguasa harus salalu berdasarkan pada kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang.5 Hal ini tentunya untuk memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat dan menghindari prilaku sewenang-wenang
dari penguasa.
Berdasarkan pada Undang-Undang tersebut maka telah jelas bahwa
Mahkamah Agung dalam hal ini memiliki kewenangan dalam
membentuk sebuah peraturan yang sifatnya mengikat. Namun
kewenangan tersebut juga dibatasi pada hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan sistem peradilan.
Maksud keperluan sebuah Perma dalam penyelenggaran sistem
peradilan ialah, apabila nantinya terjadi sebuah kekurangan atau
kekosongan hukum dalam penyelenggaraan sistem peradilan di
4Ronald Lumbun, PERMA RI Wujud Kerancuan antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),h.146.
5Bambang Sugionto dan Ahmad Husni, “Supermasi Hukum dan demokrasi”, Jurnal
Hukum, Volume 13 No. 14 (Agustus,2000),h.71.
53
Indonesia maka Mahkamah Agung dapat mengeluarkan Perma. Adanya
ketentuan tersebut telah ditegaskan pada penjelasan pasal demi pasal
UUMA, bahwa ketika terjadi kekurangan atau kekosongan hukum
dalam berjalanya peradilan, maka Mahmakah Agung berwenang untuk
membuat suatu peraturan sebagai pelengkap dari adanya kekosongan
hukum tersebut. Pengaturan yang dibentuk pun mempunyai perbedaan
dengan suatu peraturan yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang.
Perbedaan tersebut terletak pada substansi hukum yang lebih condong
mengatur perihal hukum acara secara keseluruhan, dan tidak
mencampuri pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada
umumnya, maupun sifat , kekuatan, alat bukti serta penilaian dan
pembagian beban pembuktian.
2. Peran Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan Pengaruhnya
terhadap Kepastian Hukum Wewenang BPSK
Sudah banyak produk hukum berupa Perma yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung semenjak pertama kali disahkanya kewenangan
tersebut dalam UUMA pada tahun 1985. Tercatat pada tahun 2016 saja
telah ada 14 Perma yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, guna
menjawab problematika kekosongan hukum pada saat itu.6 Tentunya
dengan adanya kewenangan tersebut, sangatlah membantu pemerintah
dalam mengatasi kekosongan hukum yang ada, sebab dalam
pembuatanya, pembentukan Perma relatif lebih cepat dan efisien
dibandingkan dengan undang-undang. Sehingga problematika atas
fenomena kurangya kejelasan dalam pelaksanaan undang-undang
misalnya, atau fenomena kekosongan hukum dapat teratasi dengan
efektif. Selain sebagai penambal bagi kekosongan hukum, Perma juga
berperan sebagai akses dalam pengembangan hukum. Dalam
pendapatnya, Meuwissen menegaskan bahwa peranan Perma dapat
6Kepanitraan Mahkamah Agung RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/1408-sepanjang-tahun-2016-ma-
terbitkan-14-perma-dan-4-sema#.
54
dikategorikan sebagai salah satu akses untuk “rechtsbeofening” atau
pengembangan hukum, untuk menunjukan bahwa perilaku masyarakat
juga berkaitan dengan ada dan berlakunya suatu hukum.7
Dalam perkembanganya, Perma terbukti mampu untuk mengatasi
adanya kekurangan dalam suatu undang-undang dan juga kekosongan
hukum yang terjadi diantaranya, seperti pada saat dibentuknya Perma
No. 12 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda dalam KUHP. Tentunya alasan dibentuknya Perma
ini disebabkan oleh kebutuhan atas perkembangan nilai mata uang yang
ada di Indonesia yang tidak dapat dijangkau lagi oleh KUHP yang
sampai sekarang masih berlaku, sehingga pengaturan akan denda yang
diberikan tidak memiliki kejelasan. apabila menunggu disahkanya RUU
KUHP tentunya akan memakan jangka waktu yang cukup panjang,
sebab semenjak pembahasan RUU KUHP diajukan oleh DPR pada 11
Desember 2012 belum juga rampung sampai dengan saat ini. Bahkan
saat ini RUU KUHP kembali dimasukan dalam Prolegnas prioritas
tahun 2018.8 Hal ini merupakan upaya Perma dalam mengatasi
permasalahan kurangya hukum yang ada dalam mengikuti
perkembangan nilai mata uang di Indonesia.
Adapun terkait dengan kekosongan hukum, Mahkamah Agung
dalam hal ini juga pernah mengambil peranan untuk menutupi adanya
kekosongan hukum yang terjadi di Indonesia. Contohnya ialah ketika
dibentuknya Perma No. 1 Tahun 1956 yang diterbitkan karena adanya
kekosongan hukum perihal pengaturan tentang hubungan antara suatu
perkara perdata dan perkara pidana yaitu ketika dalam suatu perkara
pidana yang sedang diadili terdapat hak-hak keperdataan yang dimiliki
oleh para pihak, sehingga dibentuklah Perma ini untuk menegaskan
7Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia
Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),h.vii.
8DPR RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas.
55
bahwa apabila dalam suatu perkara pidana terdapat hak-hak keperdataan
dalam perkara yang sedang berjalan tersebut, maka hakim diwajibkan
untuk menunda vonis pidana sampai adanya putusan hakim perdata
terkait dengan hak keperdataan tersebut.9
Tentu semenjak adanya kewenangan pembentukan Perma tersebut,
telah sangat berdampak banyak dalam segala segi berjalanya sistem
peradilan di Indonesia. Namun bukan hanya sebatas itu, dalam
perkembangan hadirnya pengaturan Perma ini, juga dapat berdampak
pada lembaga-lembaga lain yang ada di Indonesia. Salah satunya ialah
BPSK. Sebagai salah satu lembaga yang bergerak dibidang
perlindungan Konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa konsumen melalui tiga cara yaitu, mediasi,
konsiliasi dan juga arbitrase. Dalam pelaksanaanya, dibebaskan kepada
para pihak untuk memilih jalur mana yang ingin ditempuh.
Sifat dari putusan BPSK sendiri, sebenarnya dalam UUPK telah juga
ditegaskan bahwa putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang
bersifat final and banding maka berarti, atas putusan BPSK ini
seharusnya tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun. Namun ternyata
ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) dalam UUPK menegaskan bahwa para
pihak dapat mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada
pengadilan Negeri. Dalam UUPK sendiri terkait dengan pengaturan
pengajuan keberatan atas putusan BPSK, belum diatur secara rinci,
bahkan cenderung tidak lengkap. Tidak ada pasal yang menegaskan
bagaimana prosedur pengajuanya, bagaimana sistem beracaranya dan
bagaimana penentuan terkait dengan wilayah kompetensi pengadilanya,
apakah mengikuti wilayah BPSK yang mengeluarkan putusan atau
mengikuti wilayah Konsumen. Sebab pada dasarnya jenis penyelesian
sengketa perlindungan konsumen mempunyai ketentuan yang berbeda
dengan sengketa lainya, yang mana gugatan yang diajukan
9Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia
Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung ...,,h.x.
56
berkompetensi sesuai wilayah si penggugat yang dalam hal ini
konsumen.
Dengan tidak adanya pengaturan terkait dengan prosedur tata cara
pengajuan keberatan atas putusan BPSK tersebutlah, akhirnya pada
tanggal 15 Maret 2006 lahir Perma No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen,10 untuk menutupi celah kekosongan hukum tersebut.
Lahirnya Perma ini seakan menampilkan wajah baru bagi BPSK itu
sendiri dalam hal upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan
BPSK tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUPK sendiri, tidak
menjelaskan terkait dengan pengajuan keberatan yang dapat diajukan ke
pengadilan apakah berlaku bagi semua bentuk putusanya, yang dalam
hal ini berupa mediasi, konsiliasi dan juga arbitrase. Sebab bentuk
putusan dari ke tiga cara penanganan sengketa tersebut berbeda. Putusan
atas hasil mediasi dan konsiliasi ialah berupa kesepakatan yang harus
ditaati oleh para pihak, yang dalam hal ini BPSK hanya berperan sebagai
fasilitator yang bersifat netral, dan juga hasil dari mediasi sendiri
merupakan kesempatan yang dibuat sendiri Oleh para pihak, sehingga
tidak mungkin putusan atas hasil kesepakatan tersebut diajukan
keberatan.11
Berbeda dengan putusan arbitrase, dalam hal ini BPSK berperan
aktif dan memiliki kewenangan untuk memutus atas sengketa yang
diajukan melalui jalur arbitrase. Sehingga bisa saja para pihak dalam hal
ini tidak sepakat atas putusan arbitrase BPSK tersebut. Oleh karena itu
Perma ini pun hadir juga sekaligus untuk memperjelas terkait dengan
ketentuan tersebut.
10Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya ...,h.349.
11Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2000),h.44-53.
57
Dalam pengaturanya Perma No. 1 Tahun 2006 ini, pada pokoknya
mengatur beberapa permasalahan yang sebelumnya tidak dapat
dijangkau oleh UUPK itu sendiri, diantaranya yaitu:12
a. Terhadap putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat pada
dasarnya tidak dapat dilakukan upaya kebaratan, kecuali memenuhi
syarat yang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung;
b. Putusan BPSK dianggap sebagai putusan lembaga pemutus
administratif seperti lembaga-lembaga lain yang telah lebih dahulu
dibentuk;
c. Putusan BPSK yang berbentuk mediasi dan konsiliasi dianggap final
dan mengikat;
d. Putusan BPSK yang dapat diajukan keberatan ke pengadilan negeri
hanyalah terhadap putusan arbitrase BPSK saja;
e. Keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK dapat diajukan oleh
konsumen maupun pelaku usaha kepada pengadilan negeri yang
berkedudukan hukum di wilayah konsumen;
f. Konsumen yang tidak mempunyai tempat kedudukan hukum di
Indonesia harus mengajukan keberatan pada pengadilan negeri yang
berkedudukan hukum di wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan
putusan arbitrase;
g. Lembaga BPSK tidak ditentukan sebagai pihak yang terlibat dalam
perkara keberatan yang diajukan atas putusan arbitrase BPSK;
h. Administrasi pendaftaran perkara dilakukan melalui kepaniteraan
pengadilan negeri di tempat domisili konsumen sesuai dengan
prosedur pendaftaran perkara perdata;
i. Karena limitasi waktu yang ditetapkan oleh UUPK dalam pengajuan
keberatan yaitu selama 21 hari pengadilan harus sudah memutus
perkara tersebut, maka pemeriksaan atas pengajuan keberatan
12 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya ..., h.351.
58
tersebut hanya diajukan atas dasar putusan BPSK dan berkas
perkaranya saja;
j. Untuk melindungi kepentingan hukum konsumen di Indonesia,
maka dilakukan terobosan baru, bahwa putusan arbitrase BPSK
masih dapat diajukan keberatan ke pengadilan negeri, dengan cara
melalukan penafsiran terhadap pengertian keberatan terhadap
putusan arbitrase BPSK ini, sebagai keberatan penerapan hukum
secara luas, sebagaimana dimaksudkan dalam perkara banding atas
suatu putusan pengadilan tingkat pertama;
k. Pemeriksaan perkara keberatan tidak saja meliputi hal-hal yang
mengandung unsur-unsur yang dapat dibatalkan, berdasarkan alasan
yang ditentukan dalam pasal 70 UU Arbitrase dan APS, tetapi juga
meliputi keberatan terhadap penerapan hukum secara luas;
l. Manakala keberatan yang diajukan oleh lebih dari satu pihak
konsumen/pelaku usaha, untuk putusan BPSK yang sama, maka
untuk menghindari adanya putuusan yang berbeda, perkara harus
didaftarkan dengan nomor perkara yang sama;
m. Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permintaan pihak
yang berperkara atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan;
n. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan arbitrase BPSK yang
telah diperiksa melalui prosedur keberatan, dikeluarkan oleh
pengadilan negeri yang memutuskan perkara keberatan
bersangkutan dengan mengacu pada hukum acara yang berlaku bagi
peradilan umum (HIR).
Tentu, dengan adanya pengaturan tersebut telah berdampak cukup
banyak terhadap putusan BPSK itu sendiri, khususnya putusan arbitrase
BPSK. Terutama terkait dengan syarat pembatalan putusan arbitrase
yang makna atas syarat tersebut diperluas oleh Perma tersebut.
Salah satunya ialah kerancuan terkait dengan kewenangan BPSK
dalam menangani suatu sengketa konsumen. Terdapat beberapa putusan
atas pengajuan keberatan dari putusan arbitrase yang dibatalkan dengan
59
pertimbangan bahwa sengketa yang diajukan bukanlah kewengan dari
BPSK itu sendiri. Yang menjadi permasalahan ialah inkonsistensi
putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan yang dalam hal ini
termasuk Mahkamah Agung saat memandang kewenangan BPSK
dalam menyelesaikan sengketa konsumen.
Contohnya dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen
dengan perjanjian fidusia ataupun hak tanggungan. Beberapa putusan
Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian
kredit antara lembaga pembiayan dengan debitur merupakan
kewenangan BPSK, seperti pada putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2008, No.
589 K/Pdt.Sus/2012 dan putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012. Pada
putusan tersebut jelas bahwa Mahkamah Agung memperkuat adanya
putusan dari pengadilan tingkat pertama yang menolak pengajuan
keberatan dari pemohon yang mendalilkan bahwa sengketa tersebut
bukanlah sengketa konsumen.
Bahkan dalam kasus pengajuan keberatan atas putusan BPSK yang
pada tingkat pertama dalam putusan No. 149/Pdt.G/BPSK/2011/PN.Ska
telah dikabulkan dengan alasan bahwa BPSK tidak berwenang atas
sengketa tersebut dikarenakan sengketa tersebut berdasarkan pada
perjanjian fedusia, tapi nyatanya putusan tingkat pertama ini dikoreksi
oleh Mahkamah Agung dalam putusan No. 267 K/Pdt.Sus/2012 yang
menguatkan putusan BPSK dan menyatakan bahwa BPSK berwenang
untuk mengadili perkara tersebut.
Namun sayangnya, penerapan hukum tersebut tidak berjalan
konsisten. Sebab banyak pula putusan badan peradilan yang
membatalkan putusan arbitrase BPSK, dengan alasan bahwa BPSK
tidak berwenang dalam menyelesaikan sengketa tersebut dan
menyatakan bahwa sengketa tersebut bukanlah sengketa konsumen.
Contohnya dalam putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013 dalam hal ini
Mahkamah Agung dalam pertimbanganya menegaskan bahwa
hubungan hukum antara para pihak didasarkan pada perjanjian
60
pembiayan bersama dengan penyerahan milik secara fidusia yang
merupakan hubungan hukum perdata dan tidak termasuk sengketa
konsumen. Atas pertimbangan tersebut akhirnya Mahkamah Agung
membatalkan putusan arbitrase BPSK tersebut. Tentunya hal ini bukan
hanya terjadi sekali, terdapat beberapa putusan serupa yang juga
membatalkan putusan arbitrase dengan pertimbangan yang sama.
Putusan tersebut diantaranya ialah putusan No. 477 K/Pdt.Sus/2011,
putusan No. 355 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, putusan No. 572 K/Pdt.Sus-
BPSK/2014, dan masih banyak lagi putusan yang lainya.
Atas perluasan persyaratan pengajuan keberatan yang diatur oleh
Perma No. 1 Tahun 2006 dalam pasal 6 ayat (5) inilah yang
menyebabkan kewengan BPSK dalam menguji sengketa konsumen
menjadi tidak jelas batasanya. Dampaknya ialah, tidak terdapat
kepastian hukum bagaimana langkah yang seharusnya ditempuh oleh
konsumen ketika merasa dirugikan atas suatu transaksi yang dilakukan.
Bahkan ketidakjelasan kewengan BPSK ini sendiri pun semakin nyata
tergambar dalam putusan No. 41/Pdt.Sus/BPSK/2015/PN.Tpg yang
sempat menolak pengajuan keberatan oleh pemohon dalam hal ini dan
menganggap bahwa sengketa tersebut merupakan kewenangan BPSK
pada pengadilan tingkat pertama, namun dibatalkan oleh Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi dengan Putusan No. 771 K/Pdt.Sus-
BPSK/2015. Dalam pertimbanganya, majelis hakim menegaskan
bahwa BPSK tidak berwenang atas sengketa tersebut, padahal sengketa
tersebut bukanlah sengketa yang berdasar pada perjanjian pembiayan
seperti fenomena hukum diparagraf sebelumnya. Dalam hal ini
Mahkamah Agung menilai bahwa dalam perkara tersebut bukan
merupakan sengketa konsumen, melainkan sengketa ingkar janji atas
perjanjian jual beli. Pada kasus tersebut sebenarnya konsumen merasa
telah dirugikan karena rumah yang dibeli tidak sesuai kondisinya
dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian jual beli tersebut, sehingga
pemohon mengajukan gugatan ke BPSK.
61
Dari kesemua kasus tersebut, disini peneliti menilai bahwa perlu
kejelasan terkait dengan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan
sengketa konsumen. Apakah semua sengketa yang berdasarkan pada
perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha bukanlah merupakan
sengketa konsumen? Padahal dalam UUPK telah jelas terkait dengan
hak-hak yang seharusnya dilindungi, seperti kasus diparagraf
sebelumnya terkait dengan jual beli rumah. Dalam pasal 4 huruf b telah
dikemukakan bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut peniliti kembali melihat sejarah
perkembangan prinsip perlindungan konsumen itu sendiri.
Pada dasarnya prinsip yang pertama ada dalam perlindungan
konsumen ialah prinsip negligence yang berarti pertanggung jawaban
berdasarkan kesalahan atau kelalaian. Pada saat sebelum tahun 1916
prinsip tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen diwajibkan
memenuhi persyaratan yaitu adanya kontrak antara kedua belah pihak,
yaitu konsumen dan produsen. Dampaknya ialah pelaku usaha dalam
hal ini hanya bertanggung jawab atas konsumen yang terikat kontrak
dengannya, namun setelah tahun 1916 ketentuan tersebut telah
diabaikan, sebab adanya ketentuan tersebut dipandang cukup
memberatkan bagi konsumen, sehingga dalam hal ini konsumen tidak
perlu lagi membuktikan adanya kontrak. Adanya ketentuan tersebut
sebenarnya dipengaruhi oleh sebuah doktrin yaitu res Isa laquitor
dengan the thing speak for itself yang mengartikan bahwa ketika terjadi
suatu kerugian yang dialami oleh konsumen, berarti telah terjadi sebuah
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.13 Sehingga
dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perjanjian
bukanlah merupakan alasan bahwa hal tersebut bukan merupakan
13 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ...,, h.83-91.
62
sengketa konsumen, sebab pada dasarnya prinsip ini bermula dari
adanya suatu perjanjian, namun perjanjian juga bukan lagi merupakan
hal yang wajib ada dalam sengketa konsumen.
Fenomena hukum yang terungkap diatas telah menjelaskan
bagaimana pengaruh adanya Perma No. 1 Tahun 2006 ini dengan
kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Tidak
adanya batasan atas alasan pengajuan keberatan kepada putusan BPSK,
membuat hakim kembali menilai kewenangan yang dimiliki oleh
BPSK, padahal sebelum suatu perkara diselesaikan oleh BPSK terdapat
mekanisme yang telah peneliti jelaskan pada BAB III dalam penelitian
ini, bahwa ketua BPSK akan menilai terlebih dahulu atas permohonan
gugatan yang diajukan, apakah hal tersebut merupakan sengketa
konsumen atau bukan. Apabila sengketa tersebut bukan merupakan
sengketa konsumen maka ketua BPSK akan menolak permohonan
gugatan tersebut. Apabalia kita lihat secara logika atas ketentuan yang
ada pada Permendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017 pada pasal 15 huruf
e menegaskan bahwa syarat keanggotaan BPSK ialah memiliki
pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen.
Adanya ketentuan tersebut bukanlah merupakan hal baru dalam
perlindungan konsumen, sebab hal ini telah lebih dulu diatur dalam
UUPK pasal 37 huruf e, namun kembali dirincikan dalam peraturan
mentri tersebut. Dari hal ini kita dapat melihat bahwa sebenarnya BPSK
lebih berkompeten dalam menilai apakah suatu sengketa merupakan
sengketa konsumen atau bukan, terlepas dari adanya asas ius curia novi
yaitu hakim dianggap tau akan hukumnya.
Peneliti dalam hal ini beranggapan bahwa masih perlu pengkajian
lebih mendalam atas berlakunya ketentuan perihal alasan pengajuan
pembatalan putusan arbitrase BPSK pada Perma tersebut. Sebab pada
saat pembentukan ketentuan pasal 6 Perma No. 1 tahun 2006 ini, seperti
apa yang didapat dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Prof. Susanti
Adi Nugroho dengan tim pembentukan Perma tersebut menegaskan
63
bahwa ketentuan ini dianggap sebagai sebuah terobosan hukum.14
Anggapan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran pembentuk
undang-undang pada saat merumuskan ketentuan pengajuan keberatan
disebabkan sumber daya ahli yang masih minim dalam hal perlindungan
konsumen. Tentu alasan tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi
pada saat ini, sebab di Indonesia sendiri, sudah ada perkembangan
dibandingkan pada saat Undang-Undang dan perumusan Perma ini
dibentuk. Sehingga dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa perlu
pembatasan terkait dengan pengajuan keberatan atas putusan arbitrase
BPSK tersebut, diatur lebih lanjut dan juga memperjelas kewenangan
dari BPSK dalam menyelesaikan sengat konsumen, agar nantinya BPSK
mempunyai kedudukan yang pasti sebagai lembaga yang berwenang
dalam menyelesaikan sengketa konsumen di Indonesia.
B. Analisis Prosedur Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada Perma
No. 1 Tahun 2006 dengan Produk Hukum Arbitrase dan Perlindungan
Konsumen.
1. Upaya Hukum pada Putusan Arbitrase
Pada dasarnya, putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang
bersifat final and banding atau dalam artian bersifat akhir dan mengikat.
Maksudnya ialah, terhadap putusan arbitrase seharusnya tidak ada
upaya hukum yang dapat diajukan. Walaupun sebenarnya konsep dasar
tersebut dianut juga dalam UU Aribtrase dan APS di Indonesia, namun
masih saja masih terdapat peluang untuk para pihak untuk melakukan
upaya hukum.
Jangankan memberikan kekuatan hukum yang final dan mengikat,
UU Arbitrase dan APS ini bahkan tidak memberikan kekuatan
eksekutorial pada putusan arbitrase di Indonesia. seharusnya apabila
kita lihat dari unsur-unsurnya, seperti susunan serta isi putusanya yang
14 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya ..., h.351.
64
sama dengan putusan hakim, lalu juga terdapat kepala putusan yang
berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Maka seharusnya putusan arbitrase telah memiliki kedudukan serta
kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Namun
sayangnya, tetap saja putusan arbitrase di Indonesia tidak memiliki
eksekutorial tersebut,15 sehingga ketika putusan arbitrase telah
dikeluarkan maka diharuskan untuk terlebih dahulu didaftarkan pada
pengadilan agar putusan arbitrase tersebut dapat dieksekusi.
Perihal upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak atas
putusan arbitrase tersebut, oleh Prof. Tjip Ismail pun dibagi menjadi dua
macam yaitu:16
a. Sebelum atau Dalam Proses Persidangan Arbitrase
Proses tersebut ialah pengajuan hak ingakar. Dalam hal ini para
pihak memiliki hak untuk mengajukann tuntutan hak ingkar, yang
diajukan dalam hal terdapat cukup alasan dan bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbitrer akan melakukan tugasnya
dengan netral atau dalam artian adil dan tidak memihak kepada salah
satu pihak atau siapapun dalam mengambil keputusan. Oleh karena
itu, walaupun dalam hal ini arbitrer sebenarnya diangkat oleh para
pihak, tetap saja para pihak juga memeperhitungkan kemungkinan
adanya alasan untuk menggunakan hak ingkar tersebut. Namun,
ketika arbitrer yang dipilih telah diangkat oleh para pihak, maka
dalam hal ini para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak
menggunakan hak ingkar mereka. Tapi adanya hal tersebut tidak
menutupi kesempatan para pihak untuk mengajukan hak ingkar,
sebab bisa saja terdapat kemungkinan munculnya fakta-fakta yang
baru diketahui oleh para pihak, sehingga memberikan hak kepada
15Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015),252-253.
16Tjip Ismail, “Putusan Akhir dan Mengikat: Perbandingan Putusan Arbitrase dan
Pengadilan Pajak”, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, Volume. 6 No. 3 (September, 2014),
h.15-16.
65
mereka untuk mempergunakan kembali hak ingkar tersebut
berdasarkan fakta-fakta yang baru diketahui.
Tuntutan hak ingkar tersebut harus diajukan dalam bentuk
tertulis baik kepada pihak lain maupun arbitrer yang bersangkutan
dengan menyebutkan alasan pengajuan hak ingkar tersebut.
Tuntutan tersebut dapat diajukan kepada pengadilan negeri,
terhadap arbitrer yang diangkat oleh ketua pengadilan, kepada
arbitrer tunggal, dan majelis arbitrase seluruhnya atau salah satu
anggota majelisnya saja.
Waktu pengajuannya hanya dapat dilakukan apabila alasan-
alasan pengingkaran tersebut baru diketahui dalam dua hal, pertama,
sebelum pengangkatan arbitrer dalam hal ini para pihak menemukan
alasan atas hak ingkar tersebut. Kedua, setelah adanya penetapan
pengadilan atas pengangkatan arbitrer, dalam hal ini para pihak baru
menemukan fakta-fakta baru setelah pengangkatan tersebut.
b. Setelah Putusan Arbitrase
Upaya hukum yang dapat diajukan setelah dikeluarkanya
putusan arbitrase yaitu pengajuan pembatalan putusan arbitrase. Hal
ini telah diatur dalam pasal 70 sampai dengan pasal 72 UU Arbitrase
dan APS. Namun sebelumnya, perihal pengajuan pembatalan
putusan arbitrase juga sempat diatur dalam Rv. Walaupun sekarang
hal tersebut sudah tidak berlaku lagi namun dalam hal ini peneliti
ingin membandingkan ketentuan yang ada pada Rv tersebut dengan
ketentuan yang masih berlaku pada saat ini. Dalam pengajuanya
kedua pengaturan tersebut sama-sama mempunyai batasan atas
syarat pengajuanya
1) Prosedur Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase ditinjau dari
Rv.
Dalam pengaturanya, terkait dengan pengajuan pemabatalan
putusan arbitrase yang diatur dalam beberapa pasal yaitu dimulai
dari pasal 643 Rv. dan seterusnya. Terkait dengan alasan yang
66
dapat diajukan dalam proses pembatalan putusan arbitrase
antaranya ialah:17
a) Putusan yang diberikan telah melampaui batas-batas yang
sudah diperjanjikan;
b) Putusan yang dikeluarkan atas dasar suatu perjanjian yang
sudah dibatalkan/kadaluwarsa;
c) Putusan dikeluarkan oleh arbitrer yang tidak berwenang
untuk memutus, atau putusan yang tidak dihadiri oleh
anggota arbitrer yang lain;
d) Putusanya ultra petita/ ultra petitum partium;
e) Apabila diktum dan putusan saling bertentangan satu sama
lain;
f) Majelis arbitrer atau arbitrer lalai dalam memutus sehingga
putusan yang dikeluarkan tidak memenuhi apa yang
dipermasalahkan. Hal ini diadopsi pula oleh UU Arbitrase
dan APS perihal koreksi atas putusan arbitrase dalam pasal
58;
g) Majelis arbitrase atau arbitrer telah melanggar ketentuan
hukum beracara yang mana atas pelanggaran tersebut
diancam dengan pembatalan suatu putusan. Termasuk dalam
hal ini pengaturan hukum acara yang telah disepakati oleh
para pihak;
h) Putusan yang diambil atas surat-surat palsu;
i) Apabila setelah putusan dikeluarkan, ditemukan surat-surat
yang sifatnya menetukan, dan selama ini disembunyikan
oleh salah satu pihak selama proses pemeriksaan;
j) Apabila putusan yang diajtuhkan, didasari oleh iktikad tidak
baik, dan baru diketahui setelah putusan diajtuhkan.
17Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya
...,h.261-263.
67
Syarat atas pengajuan yang diatur dalam Rv. Tersebut
apabila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam
UU arbitrase memang lebih kompleks, namun beberapa
ketentuan di atas juga terdapat dalam ketentuan yang ada
pada UU Arbitrase dan APS, walau bukan dituangkan
sebagai salah satu alasan untuk mengajukan pembatalan
putusan arbitrase, melainkan untuk mengajukan permohonan
koreksi kepada arbitrer atau majelis arbitrase untuk
melakukan koreksi atas putusan yang dikeluarkan.
2) Pembatalan Putusan Arbitrase pada UU Arbitrase dan APS
Dalam Undang-Undang ini, juga mengatur perihal
upaya hukum yang dapat dilaksanakan atas putusan
Arbitrase yang sudah dikeluarkan. Bentuk upaya hukum
tersebut ialah pengajuan pembatalan putusan arbitrase ke
pengadilan. Alasan yang diatur dalam Undang-Undang ini
juga lebih sempit dibandingkan dengan pengaturan yang ada
di Rv. Pengaturan tersebut menurut Munir Fuady juga
bersifat limitatif,18 sesuai dengan ketentuan pasal 70
tersebut. Yang mana cukup hanya dengan salah satu alasan
saja, maka permohonan pembatalan atas putusan arbitrase
tersebut dapat diajukan ke pengadilan. Alasan tersebut ialah:
a) Surat atau dokumen yang diajukan pada saat
pemeriksaan dalam proses arbitrase dinyatakan palsu
atau diakui bahwa barang tersebut palsu, setelah putusan
dikeluarkan;
b) Ditemukanya novum, atau alat bukti baru yang sifatnya
menentukan yang sebelumnya disembunyikan oleh salah
satu pihak;
18Munir Fuady, Arbitrase Nasional (alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000),h.112.
68
c) Putusan arbitrase yang diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Perlu kita pahami, bahwa upaya hukum dalam bentuk
pembatalan berbeda dengan upaya hukum seperti banding
atau kasasi, sebab pembatalan atas putusan arbitrase ialah
upaya hukum luar biasa. Oleh sebab itu, pengajuan atas
permohonanya pun memerlukan alasan yang sangat spesifik.
hal ini merupakan implikasi dari sifat putusan arbitrase yang
final dan mengikat, sehingga tanpa alasan yang kuat, tidak
mungkin permohonan atas pembatalan putusan arbitrase
dapat dipenuhi.19
Namun, Yang menjadi permasalahanya ialah terkait
dengan penerpaan hukumnya yang masih belum konsisten
yang dilakukan oleh pengadilan negeri maupun Mahkamah
Agung. Sering kali pembatalan putusan arbitrase tersebut
dilakukan diluar ketentuan pasal 70 UU Arbitrase dan APS
tersebut, hal ini menurut Erman Rajagukguk disebabkan oleh
kata “dapat” yang digunakan sebagai alasan bahwa para
pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase hanya sebatas ketida hal tersebut, sebab
kata “dapat” sendiri mengandung makna tidak wajib.20
Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa, seharusnya terkait
dengan alasan tersebut tetap harus memiliki batasan, sebab
kembali pada pendapat pertama, bahwa upaya pembatalan
putusan arbitrase merupakan upaya hukum luar biasa,
sehingga tetap diperlukan pembatasan atas pengajuanya agar
tidak mencoreng sifat putusan arbitrase yang final dan
19 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ...,
h.264-267. 20Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, diakses pada tanggal 22 Juli 2018
dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1
69
mengikat. Lalu apabila kita berkaca pada kaidah hukum
internasional yaitu pada Convention on the Settlement of
Investment Disputes Beetwen State and National of other
Statse (ICSID) atau yang biasa dikenal dengan istilah
Washington Convention, juga menerapkan pembatasan atas
diajukanya suatu pembatalan putusan arbitrasenya pada 5
alasan yaitu pada pasal 52 ayat (1) yaitu:
a) That the Tribunal bas not properly constituted;
b) That the Tribunal has manifestly exceeded Ita Power;
c) That Three bas corruption on the part of the ember of the
tribunal;
d) That has been a serious departure from a fundamental
rute of prosedur;
e) Tahta the award has failed do State the reasons on which
It is based.
Walau atas ketentuan tersebut lebih luas dibandingkan dengan yang
ada pada pasal 70 UU Arbitrase dan APS di Indonesia, namun tetap saja
terdapat batasan yang jelas terkait dengan alasan diajukannya suatu
permohonan pembatalan putusan arbitrase, sehingga tidak menciderai
ketentuan atas sifat dari putusan arbitrase yang bersifat final dan
mengikat.
2. Analisis Alasan Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK
Setelah peneliti jauh mengkaji perihal konsep yang terkandung
dalam perlindungan konsumen dan juga dari sudut pandang hukum
arbitrase, telah tergambar bahwa pada dasarnya terdapat konsep yang
berbeda perihal fenomena hukum yang terjadi dalam mekanisme
pembatalan putusan Arbitrase di BPSK yang kewenangannya
bersumber pada UUPK, dengan ketentuan perihal pembatalan putusan
arbitrase yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS yang berlaku di
indonesia.
70
Apabila kita kaji secara kelembagaan dalam bidang arbitrase, kita
mengenal ada dua jenis arbitrase yaitu :21
a. Arbitrase Ad Hoc
Sebelumnya kita telah membahas terkait dengan klausul
arbitrase, bahwa dalam penulisan klausul harus jelas terkait dengan
jenis penyelesaian sengketa yang dituju, begitupula ketika memilih
arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketanya.
Apabila yang dipilih ialah arbitrase yang berjenis arbitrase ad hoc
maka wajib mencantumkanya dalam perjanjian tersebut. Sebab
terdapat perbedaan prosedural pada setiap pelaksanaanya.
Arbitrase ad hoc pada prinsipnya tidak terikat pada salah satu
lembaga arbitrase, lalu arbitrase ad hoc juga hanya bersifat volunter
atau sementara. Dalam artisan bahwa keberadaan atau eksistensinya
sangat bergantung pada kebutuhan para pihak yang bersengketa
guna menyelesaikan permasalahan yang diahadapi. Maksud dari
eksistensi disini ialah keberadaan arbitrase ad hoc ini hanya bersifat
insidental, yaitu ada hanya ketika terjadi sengketa, namun ketika
sengketa telah berakhir, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun
juga ikut berakhir. Oleh karena itu, ketika memilih jenis ini, para
pihak diwajibkan untuk memasukan ketentuan aturan atau
prosedural yang ingin digunakan dalam suatu perjanjian tersebut.
b. Arbitrase Institusional
Ialah lembaga arbitrase yang sifat kelembagaanya permanen.
Maksudnya ialah proses arbitrase tersebut dikelola oleh suatu
lembaga atau organisasi secara tetap, dalam artian eksistensi atau
keberadaanya juga terus-menerus atau berkelanjutan dan tidak
terbatas oleh waktu. Agar perbedaan tersebut lebih mudah dipahami,
peneliti akan merincikan perbedaan kedua lembaga tersebut sebagai
berikut:
21 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ...,,
h.119-130.
71
1) Arbitrase ad hoc dibentuk secara insidental, sedangkan arbitrase
institusional ialah arbitrase yang melembaga maksudnya
didirikan atau melekat pada suatu badan atau lembaga tertentu;
2) Arbitrase ad hoc tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase
sehingga tidak memiliki aturan atau cara tersendiri dalam
penangananya, sedangkan arbitrase institusional memiliki
prosedural dan tata cara pemeriksaan sengketa sendiri;
3) Pembentukan arbitrase ad hoc dilakukan setelah terjadinya
sengketa, sedangkan arbitrase institusional pada umumnya
dialkukan sebelum sengketa terjadi, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa bisa saja arbitrase secara institusional
dipilih sebelum terjadinya sengketa.
Apabila dilihat dari pengertianya, peneliti dalam hal ini
menyimpulkan bahwa BPSK sendiri disini termasuk sebagai lembaga
arbitrase institusional. Sebab wewenang arbitrase tersebut masuk dan
terikat dalam suatu lembaga dan memiliki ketentuan atau prosedur
tersendiri yang diatur dengan Undang-Undang.
Terlepas dari semua hal tersebut, yang perlu kita pahami ialah bahwa
sifat dasar dari putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat. Sifat
ini berlaku terhadap setiap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh
lembaga arbitrase maupun ad hoc.22 Hal ini berdasarkan pada penjelasan
dalam pasal 70 UU Arbitrase dan APS.
Namun, permasalahanya ialah terdapat ketentuan yang berbeda
antara ketentuan arbitrase dalam perlindungan konsumen dengan hukum
arbitrase yang berlaku di Indonesia. Seharusnya ketika terdapat
nomenklatur arbitrase pada UUPK, maka ketentuanya secara mutatis
mutandis merujuk pada UU Arbitrase dan APS. Sebab pada dasarnya
pengaturan terkait dengan arbitrase pada UU Arbitrase dan APS
22Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.319.
72
merupakan lex spesialis dari ketentuan arbitrase yang ada pada UUPK,
karena substansi yang ada dalam UUPK tersebut bukan secara khusus
mengatur tentang arbitrase.Tapi pada faktanya UUPK memberikan
konsep arbitrase yang berbeda dengan UU Arbitrase dan APS tersebut.
Contohnya seperti dalam pemberian kewenangan memeriksa dan
memutuskan yang berbeda dengan wewenang lembaga arbitrase yang
diatur pada UU Arbitrase dan APS. Dalam UUPK tepatnya pada pasal 52
huruf k, kewenangan arbitrase BPSK hanya sebatas menetapkan ada atau
tidaknya suatu kerugian di pihak konsumen.
Terlebih lagi dalam konsep upaya hukum yang dapat ditempuh atas
suatu putusan arbitrase BPSK. Dalam upaya hukum arbitrase dalam UU
Arbitrase dan APS tidak mengenal istilah pengajuan keberatan. Istilah ini
dipakai sebagai bentuk upaya hukum atas putusan BPSK tersebut.
Sebelum dibentuknya Perma No. 1 Tahun 2006 ini, tidak terdapat
kejelasan apa dan bagaimana prosedur pengajuan tersebut dilakukan.
Apakah berlaku bagi semua bentuk putusan BPSK yang dalam hal ini
terdiri dari hasil penetapan atas hasil mediasi, konsiliasi dan putusan
arbitrase? Dan bagaimana pelaksanaanya. Akhirnya dalam Perma ini
dijelaskan bahwa keberatan tersebut hanya dapat diajukan atas putusan
arbitrase BPSK.
Dalam ketentuanya, alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan
pembatalan atas putusan BPSK diatur dalam pasal 6 Perma tersebut, pada
ayat (3) dijelaskan bahwa alasan atas pengajuan pembatalan putusanya
juga mengacu pada ketentuan pasal 70 UU Arbitrase dan APS, namun
terdapat pengaturan yang berbeda, yaitu perluasan alasan atas pengajuan
pembatalan tersebut yang dituangakan dalam pasal yang sama pada ayat
(5) dan (6) yang memberikan peluang bagi para pihak untuk dapat
mengajukan keberatan diluar ketentuan pada ayat (3) Perma tersebut.
Seperti pembahasan sebelumnya bahwa, ketentuan ini dianggap sebagai
salah satu bentuk trobosan hukum oleh tim pembentuk Perma tersebut.
Adanya perluasan alasan ini disandarkan pada pengertian keberatan yang
73
ditafsirkan sebagai keberatan atas penerapan hukum secara luas,
sehingga dalam hal ini Prof. Susanti Adi Nugroho berpendapat bahwa
adanya penafsiran atas makna keberatan dengan mengacu pada
penerapan hukum secara luas, menyebabkan proses pengajuan keberatan
atas putusan BPSK ini dianggap sebagai suatu upaya hukum banding.
Sebab adanya pemeriksaan atas penerapan hukum secara luas dari
putusan arbitrase BPSK, menggambarkan bahwa pengajuan keberatan ini
seolah-olah merupakan pemeriksaan ulang terhadap suatu perkara yang
telah diadili oleh BPSK, yang mana konsep tersebut sama seperti proses
upaya hukum banding yang kembali memeriksa putusan yang
dikeluarkan oleh pengadilan tingkat pertama.23
Terkait dengan dampak atas pembatalan suatu putusan arbitrase
BPSK yang sempat dibahas sebelumnya. Perlu dipahami bahwa dalam
konsep hukum acara dalam perlindungan konsumen memiliki perbedaan
dengan hukum acara biasa, yaitu beban pembuktian yang dibebankan
kepada tergugat yang dalam hal ini ialah pelaku usaha. Dalam
penyelesian melalui mediasi dan juga konsiliasi, ketika tidak berhasil
maka para pihak disini dapat mengajukan gugatan keke pengadilan
sesuai dengan ketentuan pasal 45 ayat (4) UUPK. Namun yang menjadi
permasalahan ialah perihal pengajuan gugatan tersebut sifatnya sama
dengan gugatan perdata biasa, sehingga beban pembuktian tetap berada
pada penggugat. Terlebih atas setiap sengketa pembatalan putusan
arbitrase BPSK yang dikabulkan dan dianggap bukan merupakan
kewenangan BPSK, dikarenakan sengketa tersebut bukanlah merupakan
sengketa konsumen. Maka disini jelas bahwa kesempatan konsumen
dalam mendapatkan keseimbangan posisi dengan pelaku usaha ketika
beracara dipengadilan telah terdegradasi atas adanya ketentuan Perma
tersebut.
23 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.268-269.
74
Tentu, dengan adanya pengaturan tersebut, berdampak pada tidak
tercerminkanya konsep perlindungan konsumen yang semula ingin
memberikan kemudahan dan peningkatan kesadaran untuk
memperjuangkan hak-hak konsumen itu sendiri, menjadi tidak
terimplementasikan dengan baik, padahal hal tersebut sebelumnya
tergambar pada bagian pendahuluan dalam lampiran UUPK. Terlebih
lagi konsepsi yang diterapkan oleh Perma ini juga berdampak pada
semakin jauhnya praktik perlindungan konsumen di Indonesia, dengan
tujuan yang sebelumnya telah dideklerasikan dalam UUPK tepatnya pada
pasal 3 huruf a yaitu meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, dan juga pada
huruf c terkait dengan meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
bagaimana hal tersebut dapat tercapai ketika konsumen lebih memilih
penyelesian melalui BPSK dengan harapan agar sengketa yang
dialaminya dapat diatasi dengan mudah, murah dan praktis namun
nyatanya masih harus diahadapkan pada pengadilan atas pengaturan
upaya pengajuan keberatan yang tidak dibatasi pengajuanya, ketentuan
ini sebenarnya dianggap keliru oleh salah satu guru besar Fakultas
Hukum Unpar Yohanes Gunawan yang juga merupakan salah satu tim
penyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang baru. Ia menganggap bahwa adanya pengajuan
keberatan atas putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat
merupakan alur penyelesaian yang keliru.24 Lalu juga terkait dengan
tujuan yang ada pada huruf d yaitu menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, sebelumya peneliti
telah menggambarkan bagaimana pengaruh Perma ini pada kewenangan
BPSK dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yang
24Fitri N. Heriani, “Inilah Poin-Poin Perubahan UU Perlindungan Konsumen, diakses pada
tanggal 25 Juli 2018 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56542070106f4/inilah-poin-
poin-perubahan-uu-perlindungan-konsumen.
75
dihadapkan pada dilema penyelesaian sengketa konsumen seperti apa
yang merupakan kewenangan BPSK. Dengan demikian tergambar bahwa
kelemahan atas pelaksanaan tersebut bermula dari ketidakjealsan
ketentuan dalam UUPK yang menyebabkan dikeluarkanya Perma
tersebut. Sebab pada dasarnya Perma merupakan perautran perundang-
undangan yang berada dibawah undang-undang, sehingga terkait dengan
substansinya tentu bersumber dan berdasar pada peraturan diatasnya,
berdasarkan teori stufenbau des recht dari Hans kelsen,25 sehingga bisa
saja kekeliruan yang ada pada peraturan dibawahnya disebabkan oleh
peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu peneliti
berharap bahwa RUU tersebut dapat lebih cepat disahkan menjadi
Undang-Undang, sebab Pada saat ini Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Dan
terkait dengan substansinya dapat lebih baik dibandingkan peraturan
perundang-undangan sebelumnya.
25Hans Kelsen, Pure of Theory Law, alih bahasa : Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni:
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), h.113.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
kaji pada setiap sup bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. BPSK pada dasarnnya memiliki kedudukan hukum untuk
menyelesaikan sengketa konsumen yang dijelaskan pada pasal 1 angka
11 dan diatur dalam pasal 52 UUPK. Dan juga dalam Kepmenperindag
No, 350/MPP/Kep/12/2001 dan juga sekarang dalam bentuk struktural
Juga sudah dirincikan dalam Permendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017.
BPSK dalam hal ini berwenang untuk menyelesaikan sengketa
konsumen melalui 3 cara, yaitu mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Dan
terhadap tiga cara tersebut tidak dilakukan secara berjenjang. Dalam
artisan bahwa ketika salah satu cara gagal, maka para pihak harus
melanjutkanya ke pengadilan dan tidak bisa memilih BPSK kembali.
Dalam kedudukanya untuk menyelesaikan sengketa secara arbitrase,
BPSK memiliki kewenangan yang terbatas. Seperti dalam penjelasan
pasal 52 UUPK yang memberikan batasan kepada BPSK dalam
penyelesaian arbitrase hanya sebatas menetapkan bahwa telah terjadi
suatu kerugian yang dialami oleh konsumen. Lalu kerugian tersebut
harus didasarkan pada pemakain barang/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen yang ditentukan dalam Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 pasal 1 angka 8. Lalu terkait dengan kepastian
hukum atas kewenangan penyelesain sengketa konsumen di BPSK
masih menjadi problematika, jenis sengketa konsumen seperti apa yang
menjadi kewenangan BPSK, hal ini seharusnya lebih dipertegas kembali
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Secara normatif, sebelumnya putusan BPSK termasuk dalam hal ini
putusan arbitrasenya bersifat final dan mengikat, seperti dalam pasal 54
75
76
77
ayat (3), namun dalam perkembanganya, terlebih setelah dikeluarkanya
Perma No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan atas
Putusan BPSK, Hanya putusan penetapan atas hasil mediasi dan
konsiliasilah yang bersifat final dan mengikat, sebab atas putusan
tersebut tidak dapat dialkukan upaya hukum apapun. Sedangkan untuk
putusan arbitrase nya tidak bersifat final, sebab masih bisa dilakukan
upaya hukum pengajuan keberatan yang prosesnya sama dengan upaya
banding. Hal ini dianggap keliru oleh salah satu guru besar Fakultas
Hukum Unpar sekaligus tim perancang naskah akademik RUUPK pada
saat ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum atas putusan
BPSK yang dikatakan sebagai final dan mengikat dalam UUPK
belumlah efektif.
3. Hal-hal yang dapat dijadikan dasar alasan atas diajukanya pembatalan
putusan arbitrase tetap mengacu pada ketentuan pasal 6 Perma No. 1
Tahun 2006 tepatnya pada pasal 3 yang menegaskan bahwa alasan atas
pembatalannya masih mengacu pada pasal 70 UU Arbitrase dan APS,
namun sayangnya masih terdapat perluasan makna dalam pasal 6 ayat
(5) untuk dapat dijadikan alasan pembatalan putusan arbitrase BPSK,
yaitu terkait dengan penerapan hukumnya secara luas, meliputi:
a. Adanya kesalahan penerapan hukum
b. Adanya kesalahan dam menilai alat bukti
c. Adanya kekurang cermatan dalam menggali fakta-fakta yuridis
yang sesungguhnya dapat ditemukan dari alat-alat bukti
d. Adanya ultra petita
e. Adanya kekhilafan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan tersebut tentunya masih sangatlah luas sehingga sangat
bertolak belakang dengan konsep yang ada pada UU Arbitrase yang
alasanya dibentuk dengan konkret disebabkan anggapan bahwa upaya
hukum atas putusan arbitrase tersebut merupakan upaya hukum luar
biasa.
78
B. Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan dalam bahasan pada penelitian ini, maka
peneliti mencoba untuk memberikan rekomendasi agar nantinya
penyelenggaraan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dapat
berjalan dengan baik, adapan rekomendasi tersebut ialah :
1. Terdapatnya ketidakpastian hukum atas kewenangan BPSK sebenarnya
disebabkan oleh perluasan alasan pengajuan pembatalan yang diatur
oleh PERMA ini. Peneliti menilai bahwa seharusnya mekanisme
penilaian terhadap suatu perkara apakah merupakan sengketa konsumen
atau bukan, cukup berada pada BPSK. Hal ini dikarenakan
pemeriksaanya ditentukan pada saat awal pengajuan perkara, sehingga
konsumen lebih mendapatkan kepastian atas sengketa yang dialaminya.
Dengan demikian konsumen akan lebih cepat memutuskan langkah apa
yang seharusnya dapat diambil selanjutnya.
2. Agar dapat berjalan dengan efektif, seharusnya putusan BPSK
khususnya untuk putusan arbitrasenya tetap berkekuatan hukum final
dan mengikat, dan juga penegasan atas kewenangan BPSK dalam
menyelesaikan sengketa konsumen, sehingga tidak serta merta ketika
diajukan pembatalan atas putusan arbitrase BPSK dapat diabatalkan
dengan alasan hal tersebut bukanlah kewenangan BSPK.
3. Perihal upaya hukumnya, peneliti lebih sependapat untuk mengikuti
mekanisme yang ada pada UU Arbitrase dan APS, yaitu terkait dengan
alasan pembatalanya yang bersifat limitatif, sehingga upaya hukum
yang dilalukan dapat dianggap sebagai upaya hukum luar biasa, sebab
hal tersebut merupakan konsekuensi atas putsaun yang bersifat final dan
mengikat. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka atas langkah
hukum yang ditempuhpun akan lebih terarah.
79
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurrasyid, Priyatna Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska. 2002
Adi Nugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya. Jakarta:
Kencana. 2011
______________, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan
Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2015.
Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: CV. Rajawali.
1991.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Jurisprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence) Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010
Amriani, Nurnaningsih. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.
Assiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta:
Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI.
2006.
Fauzan. Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan
Hukum Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.
Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997.
80
______________. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi
dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika. 2008.
Kelsen, Hans. Pure of Theory Law, alih bahasa : Raisul Muttaqien, Teori
Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung:
Nusamedia & Nuansa. 2006.
Kurniawan. Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan
dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Malang: Universitas Brawijaya Press.2011.
Lumbun, Ronald. PERMA RI Wujud Kerancuan antara Praktik
Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2011.
Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.
Miru, Ahmad. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.
Muhammad,Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti. 2004.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, cet-IV.
2010.
Nasution, AZ. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. dalam Jurnal
Teropong. Edisi Mei Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.2003.
Rahmadi, Takdir. Mediasi ( penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan
Mufakat. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2011.
Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar
Grafika. 2011.
81
Shofie ,Yusuf dan Somi Awan. Sosol Peradilan Konsumen Mengungkap
Berbagai Persoalan Mendasar Badan Penyelsaian Sengketa
Konsumen (BPSK). Jakarta: Piramedia. 2004.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo.
2000.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII-Press.
2008.
, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: Universitas
Indonesia Press, cet-III. 1986.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2006.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Bandung:PT Citra Aditya Bakti. 2003.
Umam, Khotibul. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2010.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Nasional dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada
Group. 2013.
JURNAL
Abdullah,Abdul Gani. Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of
Law dalam Kontrak Bisnis Internasional. Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, No 3. November
2005.
Ismail, Tjip. Putusan Akhir dan Mengikat: Perbandingan Putusan
Arbitrase dan Pengadilan Pajak. Indonesia Arbitration Quarterly
Newsletter. Volume. 6 No. 3. September 2014.
82
Muryati, Dewi Tuti. Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Nonlitigasi di Bidang Perdagangan. Jurnal Dinamika Sosial
Budaya. Volume 13. No.1 Juni 2011.
Nasution, AZ. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. dalam Jurnal
Teropong. Edisi Mei Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.2003.
Perbianti, Winda. Penerapan Lembaga Pilihan Hukum terhadap Sengketa
Hukum Pelaksanaan Kontrak Bisnis Internasional. ADIL: Jurnal
Hukum. Volume. 3 No. 2. Desember 2012.
Rajagukuk, Erman. “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata
di Luar Pengadilan”. Jurnal Magister Hukum. PPs-UII,
Yogyakarta. Volume 2 No. 4. Oktober 2000.
Soemartono,Gatot. Persoalan Pilihan-Pilihan Pengadilan, Hukum, dan
Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional.
Jakarta: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum “Era Hukum”. Tahun
IX/Nomor 2. 2002.
Sugianto, Bambang & Ahmad Husni. Supermasi Hukum dan Demokrasi.
Jurnal Hukum, Volume 13 No. 14. Agustus 2000.
Sukardi & Prajwalita Widiati. Pendelegasian Pengaturan oleh Undang-
Undang kepada Peraturan yang Lebih Rendah dan Akibat
Hukumnya. Jurnal Yuridika, Volume 25 No.2. Mei-Agustus 2010.
Sutiyoso, Bambang. Akibat Pemilihan Forum dalam Kontrak yang
Memuat Klausula Arbitrase, MIMBAR HUKUM, Volume 24,
No. 1, Februari, 2012
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
83
Undang-Undang Nomer 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomer 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengajuan Keberatan atas Putusab Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomer
350/MPP/KEP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan penyelesaian sengketa Konsumen.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomer 06/M-
DAG/PER/2/2017.
INTERNET
DPR RI. diakses pada 13 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-
long-list.
KBBI, diakses pada 05 Juni 2018 dari http://kbbi.co.id/arti-kata/sengketa.
Kepanitraan Mahkamah Agung RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/140
8-sepanjang-tahun-2016-ma-terbitkan-14-perma-dan-4-sema#.
Rajagukguk, Erman. Arbitrase & Kepastian Hukum, diakses pada tanggal
22 Juli 2018 dari
http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-
hukum-1429235310/1
Semedi, Bambang “ Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian
Hukum” diakses pada tanggal 08 Agustus 2018 dari
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/images/file/pusbc/dmdokumen/P
84
ENEGAKAN_HUKUM_MENJAMIN_KEPASTIAN_HUKUM_-
_Semedi.pdf.
Wisnubroto, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh
Progetifitas, Artikel diakses pada 5 April 2018 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-
penyelesaian-sengketa-konsumen-butuh-progresivitas.