ali syari'ati
TRANSCRIPT
ALI SYARI’ATI
Bapak Ideologis Islam Bangsa Iran
Ali Syari’ati, anak pertama dari Muhummad Taqi dan Zahra, dilahirkan pada tanggal
24 November 1933 disebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzervar. Dia
hidup dari masyarkat urban menengah kebawah dan dalam keluarga penyayang yang religius,
Ali Syari’ati tumbuh dengan dibekali pengertian bahwa moralitas dan etika adalah nilai-nilai
yang mengangkat status dan kehormatan sosial, bukan uang. Tidak malah merasa malu
dengan kondisi mereka yang cukup miskin, Ali Sari’ati beserta keluarganya justru bangga
dengan hal tersebut. Dia pernah menceritakan kepada seorang teman bahwa di rumahnya
”makanan besar” keluarga hanya disajikan pada jumat malam, satu hari dalam satu minggu,
dimana mereka memakan daging yang dimasak dalam sup tradisional Iran, abgusyt.
Pada tahun 1941, Ali Syari’ati memasuki tahun pertam di sekolah dasar Ibn Yamin,
sebuah sekolah yang cukup ternama pada waktu itu. Ini dikarenakan ayahnya, Muhammad
Taqi merupakan direktur studi di sekolah tersebut. Pada waktu itu dia merasa malu karena
penyakit kepalanya sehingga dia kehilangan sebagian rambutnya dan memakai topi untuk
menutupi sebagian botaknya, kemudian rasa percaya dirinya muncul setelah dia membuat
girauan tentang hal itu. Ali merupakan anak yang tidak terlalu mudah untuk bersosialisasi,
pendiam dan pemalu. Di sekolah dasar, dia sering membolos terkadang walaupun ia
berangkat ke sekolah tetapi bersembunyi di suatu tempat di dalam gedung sekolah untuk
menghindari masuk kelas, dalam tulisannya dikatakan betapa ia tidak menyukai apapun yang
berkaitan dengan sekolah baik itu pergi ke kelas, belajar, mengerjakan pekerjaan rumah atau
bertindak dengan kedisiplinan yang seharusnya ia kerjakan.
Meskipun tidak memiliki ketertarikan dengan apa yang diajarkan di sekolah, namun
Ali memiliki kegemaran membaca. Dia sering terjaga dan membaca dengan ayahnya hingga
larut malam dan kadang-kadang sampai dini hari bahkan setelah ayahnya tidur, pada tahun
pertamanya di sekolah dasar dia telah mengenal koleksi perpustakaan ayahnya yang memiliki
2000 buku. Mulai dari terjemahan Victor Hugo, Les Miserables dalam bahasa persia sampai
berbagai buku Perancis yang terkenal yang diterjemahkan, misalnya Que sais-je? Ali juga
membaca volume Vitamins dan History of Cinema yang diterjemahkan oleh Hasan Safari,
dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram juga tidak ketinggalan membaca buku
populer yang best seller semisal Zan- Mast (Perempuan Pemabuk).
Setelah Ali menamatkan selolah dasarnya di Ibn Yamin, ia melanjutkan ke sekolah
menengah Firdausi pada bulan September 1947. Di sekolah ini Ali dikenal malas tetapi sudah
dapat bersosialisasi dan sangat menyenangkan untuk dijadikan teman, seorang pribadi yang
kalem, bijaksana, yang kecenderungan mampu memecah kesunyian dan mengacaukan kelas
sehingga membuat teman-temannya tertawa dan membuat marah para guru. Pada tingkat
kedelapan Ali mulai merokok yang membuatnya tidak lagi memiliki cukup uang untuk
membeli keperluan yang lain.
Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, atas permintaan sang ayah, Ali
mengikuti ujian masuk Institut Keguruan (Denesya-ye Moqaddamati) yang ketat. Selain
dikarenakan sang ayah, Muhammad Taqi seorang guru yang ingin anaknya mengikuti
jejaknya. Ada faktor utama yang membuatnya masuk Institut Keguruan, yakni kemiskinan
keluarga. Pada periode ini Ali masih dikenal kurang disiplin dan tidak rapi.
Institut ini mempunyai komunitas debat dimana ia berpartisipasi bahkan pernah
mencalonkan menjadi presiden namun tidak berhasil. Pada masa ini pula keterlibatan Ali
dalam politik dimulai dan dalam masa yang relatif cepat ia menjadi figur pendukung
Mosadeq (Perdana menteri Iran pada waktu itu). Ali tergabung dalam barisan pendukung
Mosaddeq yang menamai dirinya danesyamuzan-e melli atau “mahasiswa nasionalis” yang
berseteru dengan mahasiswa partisipan dari partai Tudeh yang berhaluan Marxis-leninis.
Dalam perseteruan tersebut, partisipan partai Tudeh mencoba menyebarkan posisi ideologi
mereka dan Ali akan menantang wacana anti-Mosadeq dan anti diskursus religi mereka, dua
pihak ini terus menerus berdebat dan terlibat satu sama lain, kadang-kadang mereka berusaha
meyakinkan dan pada saat yang lain mencoba mengintimidasi satu sama lain, pernah pada
suatu ketika teman-taman sekelasnya yang pro-Tudeh menghajar Ali hingga memar dan
berdarah setelah itu tejadi aksi balasan secara lebih kasar oleh kelompok pro-Mosadeq hingga
salah satu anggota pro-Tudeh harus dikirim ke rumah sakit kerena luka-luka yang diderita.
Karena aksi balasan yang mereka lakukan Ali dan teman-temannya yang pro-Mosadeq harus
mendekam di penjara selama dua hari.
Setelah lulus dari Institut Keguruan pada tahun 1952 dan mendapat sertifikat untuk
mengajar, tetapi bukan diploma sekolah menengah atas. Ali bekerja di Kementerian
Pendidikan dan dikirim ke sekolah dasar Ketabpurdi Ahmadabad. Dia mengajar semua mata
pelajaran di tingkat dasar. Selang beberapa waktu, ia mengalami rasa bosan dan letih karena
jam-jam reguler dan pengulangan mata pelajaran yang sama, yang menurutnya seperti di
penjara dan dibatasi di lingkungan yang susah untuk bernafas. Untuk memecahkan
kehidupannya yang monoton sebagai guru di desa, Ali sering mengundang teman-temannya
untuk makan siang bersama.
Ali beserta beberapa temannya bergabung dengan Liga Kebebasan untuk Rakyat Iran
(Jami’iyyat-e Azadiye Mardom-e Iran) pada Maret 1953, yang merupakan partisan yang setia
terhadap Mosaddeq dan gerakan nasionalisasi minyak. Organisasai ini mempunyai dua
kegiatan rutin. Pertama, sesi sore sekali dalam seminggu mengenai diskusi, kritik dan analisa
politik yang diikuti oleh semua anggota, dimana para anggota senior merespon pertanyaan
dan perhatian terhadap isu-isu politik yang aktual. Kedua, menarik sekitar tujuh puluhan
anggota yang aktif untuk dilatih menjadi calon pemimpin politik. Untuk menigkatkan
kesadaran sosial dan politik pada anggota baru, organisasi mengadakan kelas-kelas tentang
latar belakang pengetahuan pada bidang pidato, sejarah, ekonomi, sosiologi, filsafat,hukum,
dan sajarah Islam.
Perdana Menteri Iran, Mosaddeq pada tanggal 20 Agustus 1953 di kudeta oleh
Jenderal Fazlollah Zahedi yang direncanakan oleh CIA. Pada hari itu Mosaddeq ditangkap,
kondisi ini juga berarti berakhirnya kebebasan berbicara dan aktivitas politik terbuka. Oleh
karena itu Ali dan teman-temannya yang tergabung dalam Liga Kebebasan untuk Rakyat Iran
mengubah taktik politik mejadi gerakan bawah tanah dan meleburkan diri dengan organisasi
serupa yang mengikuti arah kebijakan Mosaddeq yang bernama Gerakan Resistensi Nasional
Iran (Nehzat-e Moqavemat-e melli). Dalam kurun waktu tersebut Ali mendapat reputasi
karena keahliannya dalam membuat konsep-konsep ideologis, politik dan filosofis
Setelah lulus dari Institut Keguruan, pada bulan Juni 1954 Ali mengambil ujian
komprehensif, tertulis, dan lisan untuk mendapat sertifikat sekolah menengah atas dalam
bidang sastra. Dia berhasil lulus dengan nilai rata-rata 13,39 dari 20.
Artikel pertama Ali tentang Mahzab Jalan tengah Islam (Makthab-e Verseteh-e
Eslam) dipublikasikan pada tanggal 25 November 1954 di harian ternama di Masyad,
Khorasan. Yang dilengkapi dengan peta negara-negara yang menganut mahzab tersebut
dikelilingi oleh Komunisme di timur dan kapitalisme di sebelah barat. Dalam artikelnya ia
berpendapat bahwa rakyat Iran menderita kemiskinan spiritual, yang ia percayai sebagai
sumber ketidakberuntungan, pertentangan dan kemunduran rakyat Iran. Dia juga berargumen
bahwa keimanan telah lenyap di hati para pemuda dan Islam yang dianut oleh generasi tua
mengandung sedikit saja kebenaran serta menekankan perlunya memformulasikan sebuah
sistem pemikiran dan mahzab ke[ercayaan yang sesuai dan dapat dipraktikan. Dalam artikel
keduanya, Ali mengemukakan prinsip-prinsipnya, ia mengatakan Mahzab Jalan Tengah
secara filosofis terletak di antara Materialisme dan kapitalisme, yang secara politik terletak di
antara blok barat dan timur. Dia juga mengatakan bahwa negara-negara Islam bisa dan
seharusnya bersatu membentuk sebuah blok tengah dan independen, tujuan ganda dari blok
tengah tersebut ialah sebagai penahan antara dua blok transisional, dengan demikian dapat
mengurai ketegangan antara keduanya dan melawan intervensi yang tidak adil dalam urusan
negara-negara Islam.
Ali juga menulis tentang meterialisme, dialektika dan meterialisme historis. Dalam
artikelnya yang lain tentang materialisme hitoris, Ali menggunakan metodologi Hegel dan
pengembangan Marx mensubstitusi keberhasilan barat dengan quasi-analog Timurnya. Ia
mengatakan bahwa meskipun sekarang ini kelihatannya seolah-olah analisa saintifik kejadian
historis diinisiasi oleh sejawan Eropa kontemporer, tetapi harus diakui bahwa langkah
pertama dalam langkah ini dilakukan oleh seorang muslim dan pngenalan terhadap sejarah
oleh Ibnu Khalkan adalah sebagai bukti perdebatan ini.
Ide yang dikembangkan dalam beberapa artikel ini adalah bahwa Islam dapat menjadi
jalan ketiga yang dapat dipraktikkan, sebuah upaya untuk mendeskripsikan sboah jalan
pemikiran dan organisasi sosial yang berbeda dari apa yang berasal dari sistem ekonomi dan
mahzab pemikiran filosofis yang umum. Ini membuat Ali Syari’ati mendapat dasar reputasi
dan pengakuan. Bagi khayalak ramai, sepertinya ia sudah menemukan jalan untuk sebuah
mahzab pemikiran yang independen, asli dan mengakar pada Islam. Pada perkembanganya ia
menulis sebuah pamflet yang disebut Sejarah perkembangan filsafat (Tarikh-e Takammol-e
Falsafeh), merefleksikan ide Sosialis Beribadah kepada Tuhan, mengidentifikasikan sistem
ekonomi mahzab Jalan Tengah sebagai sosialisme saintifik berdasarkan monoteis. Pamflet ini
begitu terkenal di kalangan tokoh intelektual di Masyad dan masyarakat yang membaca.
Ali Syaria’ati pada tahun 1955 menerbitkan buku terjemahan dengan judul Abu Zar-e
Qifqri; Khoda-parast-e socialist, sebanarnya teks buku tersebut telah disiapkan setelah
kudeta 1953 akan tetapa karena masalah finansial baru pada1955 buku tersebut diterbitkan.
Dalam bukunya Ali ingin menunjukan Abu Zar sebagai model yang sempurna dari sosialis
beribadah kepada Tuhan dan personifikasi dari ideologi yang dianutnya. Dari penjelasan
mengenai Abu Zar, Ali menciptakan seorang pahlawan, teladan dan simbol yang menentang
kekayaan, kekuasaan dan bahkan kekuatan agama untuk menyalamatkan Islam “yang
otentik“ untuk kaum miskin, mereka yang tertindas dan termarjinalkan. Abu Zar merupakan
personifikasi perlawanan kebenaran yang menentang dan menyerang validitas resmi dari
otoritas politik dan religius dalam kerajaan Islam. Pada waktu itu sejumlah sahabat nabi
terlalu sibuk dengan kekayaan dan kekuasaan yang baru saja mereka didapatkan, sedikit
sahabat yang jujur secara politik terpinggirkan, dan selebihnya dipaksa untuk melakukan
ibadah personal secara diam-diam dirumah mereka.
Masih dalam buku tersebut, Ali mrnceritakan bahwa Abu Zar memeritahkan Usman
untuk mengakhiri ketidakadilan dan konsentrasi serta polarisasi kekayaan yang berkembang
pada masanya. Abu Zar menjalankan egalitarianisme Islam dengan ,mengucapkan firman
Allah: “Dan mereka yang menimbun emas dan perak, kemudian menghabiskannya tidak di
jalan Allah, maka umumnya pada mereka hukuman yang paling keras pada hari ketika panas
yang dihasilkan dari itu (kekayaan) dalam api neraka, dan dengan api tersebut di kepala,
panggul, dan punggung mereka akan diberi tanda, ini adalah (harta benda) yang kamu
pendam tersebu“. Ali menegaskan bahwa pada waktu ketika prinsip-prinsip dasar nabi:
“kesetaraan dan persaudaraan” dikobankan, Abu Zar menentang kondisi masyarakat yang
cenderung menerima apa adanya, yang disebabkan oleh ketakuta terhadap khalifah, dan
meningkatkan sisi egalitarianisme dan revolusi Islam.
Penemuan Ali Syari‘ati mengenai Abu Zar memberikannya kesempatan untuk
memecahkan hubungan antara pemikiran barat dan ide-ide progesif yang sejak lama ia
pegang. Ali terlibat dalam ide dan konsep genealogi revisionis, sejak saat itu ia mulai mencari
akar-akar konsep, seperti: keadilan sosial, persaudaraan, kesetaraan, liberasi,dan sosialisme,
sampi Iran melalui pemikiran tokoh-tokoh intelektual barat yang asal usulnya dari Islam, ia
juga mengklaim bahwa Abu Zar merupakan nenek moyang semua mahzab egaliter setelah
revolusi Perancis. Pemahaman dan adopsi pandangan dunia Abu Zar serta tindakannya
menyebabkan Ali tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan tentang arti dan tujuan hidup
serta signifikasi Islam sebagai sebuah doktrin sosial yang mendapat respon memuaskan. Cara
menjalankan Islam Abu Zar, preferensi, ideologi, kecenderungan-kecenderungan pribadi,
dogma, prilaku, bahkan tempramennmya menjadi pedoman dan model bagi Ali sepanjang
hidupnya. Dalam Islam yang dianut Abu Zar, Ali menenukan media epistemologi untuk
mengetahui dan mendefinisikan model peran yang ideal untuk mencapai masyarakat Islam
yang ideal dalam karskter Abu Zar.
Selain buku yang diterbitkannya, Ali juga secara rutin mengisi artikel di harian
Khorasan Bukan hanya masalah-masalah kehidupan maupun agama akan tetapi juga Ali juga
dikenal sebagai penyair yang sentimentil dan romantik.
Dalam kehidupannya di universitas, Ali mengalami kerenggangan aktivitas politik
dan hubungannya yang mendingin dengan teman-temannya di Partai Rakyat Iran yang
mengakibatkan terhentinya keikutsertaan dalam perjuangan gerakan bawah tanah, alasan
yang pernah ia kemukakan ialah terjadinya percekcokan personl dengan kader-kadernya dan
untuk mengkritisi teman-temannya beserta segala aktifitas politik mereka.
Selam tiga tahun di universitas Masyad dan diajar oleh banyak dosen, tetapi hanya
satu dosen yang memiliki pengaruh sangat dalam bagi Ali yaitu Sayyed Ahmad Khorasani,
dia merupakan seorang pembebas dan penentang pemujaan terhadap benda, telah belajar di
pesentren tradisional untuk menjadi tokoh agama. Selama pemeritahan Shah, ia dikeluarkan
untuk memilih profesi lain
Pada 3 Juli 1958, parlemen iran meratifikasi persetujuan antara Perusahaan Minyak
Nisional Iran dengan Agip, sebuah perusahaan minyak Italia yang mengajak kerjasama untuk
mendirikan perisahaan bersama yang disebut SIRIP. Merespon peristiwa inilah Ali dan
teman-temannya yang tergabung di Gerakan Resistensi Nasional menyebarkan pamflet secara
sembunyi-sembunyi yang diberi judul “Minyak“ yang isinya menekankan ketergantungan
politik dan ekonomi Iran dengan konsorsium minyak Barat setalah jatuhnya Mosaddeq.
Penerbitan pamflet tersebut memancing pemeritah dan aparat keamanan untuk melancarkan
oprasi pembersihan terhadap semua anggota Gerakan Resistensi Nasional dan simpatisannya.
Dini hari 16 september1958, 17 anggota Gerakan tersebut ditahan di Masysd kemudian
dalam waktu cepat diangkut menggunakan pesawat terbang menuju Teheran, dimana mereka
ditempatkan di penjara Qezel-Qal’eh. Pada saat itu Ali Syari’ati merupakan anggota termuda
yang ikut tertangkap, pada hari-hari pertamanya di penjara Ali dan teman-temannya
mendapat perlakuan yang kasar.
Setelah sekitar satu bulan kemudian Ali beserta sedikit tahanan dibebaskan, empat
hari setelahnya SAVAK (polisi rahasia Iran) menginformasikan kepada Kementerian
Pendidikan bahwa SAVAK tidak lagi mencurigai Ali Syari’ati melakukan aktifitas politik
yang salah. Pengalaman penangkapan dan pemenjaraan ini memiliki dampak yang begitu
besar terhadap Ali.
Ali Syari’ati menikah dengan Puran pada tanggal 15 Juli 1958, Puran berasal dari
keluarga pindahan dari Teheran yang terkenal cukup modern. Ali mengatakan bahwa Puran
adalah seorang yang memiliki kesadaran sosial politik
Pada bulan September 1958 mengikuti ujian kelulusan yang pada akhirnya Ali keluar
dengan nilai yang terbaik untuk prestasinya tersebut, ia mendapat beasiswa dari pemerintah
untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Ali Syari’ati berangkat ke Paris Perancis
meninggalkan teman-teman dan istriya yang sedang hamil enam bulan. Di Paris Ali tinggal
berpidah pindah, ia mengambil bahasa dan sastra Persia di Alliance Francaise, tetapi karena
ketidakpuasan pada kelas-kelas bahasanya ia memutuskan keluar dan sebagai gantinya, Ali
memutuskan belajar secara otodidak melalui penyelesaian proyek menterjemahkan
“Supplication“.
Pada musim panas tahun 1960, setelah satu tahun ada di Paris, Ali memutuskan
pulang ke Iran yang tujuannya untuk menjemput Puran dan Ehsan, putranya ke Paris,
kepulangannya bersamaan dengan kondisi politik Iran yang secara mendadak berubah, Juli
1960 Front Nasional mengumumkan kebangkitan kembali dalam deklarasi yang
disebarluaskan, dalam deklarasi tersebut Front Nasional meminta pembatalan dan menuntut
pemilihan umum yang bebas dan demokratik.
Pada perjalanan kembali ke Paris setelah kunjungan singkatnya di Iran, tepatnya di
perbatasan Iran, Ali dicegat oleh pegawai pemerintah yang mendapat instruksi untuk
melarang keberangkatan Ali dari Iran ke Paris. Dia dianggap seorang yang sacara politis tidak
diinginkan dan harus dibereskan oleh pasukan keamanan serta dituduh melakukan agitasi
terhadap keamanan nasional. Ali dipisahkan dari keluarganyadan dikirim ke Maku dengan
menggunakan bis khusus.
Dalam penjara Qezel-Qal’el, Ali diintrogasi selama dua minggu pertama. Dia terlibat
dalam dikursus panjang dan berbelit-belit untuk membingungkan dan menjeratnya. Sebagai
respon Ali memberikan jawaban mengenai fakta-fakta sulit yang berguna untuk mereka serta
mengajak mereka berdiskusi mengenai kondisi sosial politik. Dalam perbicaraannya dia
mengkritik Front Nasional kerena ketidakmampuan untuk menangkap kekhususan
masyarakat Iran, yang mengacu pada hukum reformasi dan reaksi front Nasional terhadap
Undang-undang tersebut, dai juga memberitahu bahwa Front Nasional harusnya
mempertahankan kekritisannya, yang sementara mendukung inisiatif pemeritah untuk
melakukan reformasi secara mendalam. Front Nasional seharusnya membantu peerintah
melawan oponen reformasi untuk sementara menentang apapun yang melemahkan bagianya.
Sekembalinya di Paris, Ali diajak aktivis Front Nasional yang berada di Paris untuk
peluncuran jurnal, Nameh-e Parsi. Yang sebenarnya adalah publikasi Persatuan Mahasiswa
Iran di Paris dan tujuannya adalah untuk mengembangkan aliansi antara berbagai kekuatan
politik yang ada dikalangan mahasiswa Iran di Eropa dengan merefleksikan berbagai macam
pendapat juga untuk mengajak mahasiswa untuk mengesampingkan perbedaan dan sikap
apatis mereka serta menggunakan jurnal sebagai platfom untuk mempresentasikan penelitian
dan pendapat mereka. Publikasi tersebut muncul sebelum kongres Konferensi Mahasiswa
Iran di Paris
Musim dingin tahun 1961, diadakan konges Konferensi Dunia Mahasiawa Iran yang
pertama, akan tetapi pada pertemuan ini membuat aliansi-aliansi antara kekuatan politik yang
menentang rezim Shah di Iran. Dalam waktu singkat kongres ini dihadapkan pada
percekcokan dan pertengkaran yang tidak berakhir
Kekecewaan Ali dengan politik mahasiswa luar negeri disebabkan beberapa hal,
yakni: dia mempertanyakan kepraktisan dan kegunaannya dalam mengembangkan perubahan
sosial politik Iran, dia melihat hal itu sebagai masa lalu dimana, atas nama sebuah alasan
yang mulia, banyak yang mencoba untuk memuaskan ego personal mereka. Dia merasakan
adanya kebutuhan yang mendesak akan ideologi yang mengarahkan, yang akan memberi arti
dan arahan terhadap tidakan politik sehari-hari yang acak dan terisolir. Akhirnya pengelihatan
yang mendalam terhadap proses parlementer dan taktik yang digunakan untuk mendapatkan
kontrol atas parlemen membuatnya meragukan legitimasi dan efisiensi dari sistem seperti ini.
Selama tinggal di Paris, Ali Syari’ati menjadi terkesan pada demokrasi barat sebagai
sebuah sistem politik yang bisa dipraktikan di nedara Dunia Ketiga, ia berargumen bahwa
bentuk pemeintahan yang paling otentik dan reabel adalah demokrasi partisipatori atau
terarah ala Athen, karena dalam bentuk ini perwakilan rakyat tidak bisa memprivatisasikan
atau salah satu mewakili keinginan konstituen mereka. Ali mengambil jarak dngan demokrasi
represif didasarkan pada observasinya terhadap “kretinisme“ (keidiotan) parlemen,
sebagaimana dikatakan oleh Marx, dia kemudian menolak demokrasi represif sebagai
institusi yang sesuai dengan negar-negara Dunia ketiga dan menggantikannya dengan konsep
eufemistik demokrasi terarah atau democracie dirigee. Demokrasi terarah didasarkan pada
superioritas ideologi dan tujuan yang diyakini mengarahkan masyarakat menuju sesuatu yang
ideal tanpa memandang keinginan mereka. Sesuatu hal yang penting ketika Ali menolak
partisipasi rakyat dalam proses politik, masih mempercayai nilai baik demokrasi
representatif, ia meyakinkan dirinya sendiri dan pembacanya bahwa karena kepemimpinan
yang revolusioner mendapatkan kekuasaan melalui dukungan rakyat, kepemimpinan ini
mendapat mandat dari rakyat yang bersedia untuk mrmbrrikan hak-hak mereka. Ali
mengatakan dalam tulisannya bahwa, meskipun mayoritas mungkin mendapatkan kesulitan,
sistem tersebut tidak diberlakukan kepada mereka, tetapi mereka dengan sadar menerimanya.
Selain menyerang pemeritahan Iran, Ali mencoba untuk membahas isu-isu tertentu,
yang menjadi dasar bagi sebuah ideologi, dalam kolom “Kejadian dan persepsinya“ ia
berargumen bahwa informasi di Eropa, khususnya tentang gerakan nasionalis dan liberasi
dirusak oleh kepentingan kelompok pendukung “kapitalisme, komunisme, zionisme atau
fasisme“. Menyerang para pendukung komunis di negara Mesir, Iraq, Aljazair dan Iran
sebagai instrumen dibawah Uni Sovyet dan tidak selalu Marxis. Ali Syari’ati juga
menyebarkan wacana bahwa ketika imperialisme barat dengan jelas diidentifikasi sebagai
musuh utama negara yang tertidas, komunis bersembunyi dibalik topeng sosialisme
merupakan halangan dan tantangan yang lebih besar dalam melakukan liberasi.
Menggambarkan Stalin sebagai “pembunuh“. Menyampaikan sikap para nasionalis yang
benar-benar netral pada masanya. Ali Syari‘ati mengatakan dalam tulisannya bahwa bagi para
komunis, ribuan darah pemuda Hungaria yang tertumpah dengan berani menantang kekuatan
Sovyet dan mengorbankan kehidupan mereka, hanyalah merupakan instruemen Amerika, dan
bagi barat figur besar dunia baru, semisal: Mosaddeq, Nehru, Nasser, Ben Bella, dan Castro
dipertimbangkan sebagai komunis, kemudian menyimpulkan bahwa masyarakat dunia ketiga
betul-betul tidak diketahui oleh masyarakat dunia lainya. Lebih disesalkan, mereka
mendengar tentang diri mereka sendiri dari orang lain, baik yang merupakan musuh mereka
sendiri ataupun orang asing yang tidak memiliki bahasa yang sama.
Sebagai balasan terhadap tulisan Ali, partai Tudeh menyediakan satu halaman pada
surat kabar mereka untuk mengkritiknya. Sepehr menulis dalam artikel tersebut bahwa
sebuah metode yang tidak hanya salah tetapi juga destruktif, beralasan bahwa
mempertentangkan antara kekuatan nasionalis dan komunis sebagaimana dilakukan oleh
Syam‘ di Iran-e Azad, merupakan taktik yang dijalankan oleh Departemen Dalam Negari
Amerika, penulis juga menyalahkan Syam‘ yang menjadi pemicu konflik dan bermain-main
dalam kekuasaan kolonialisme, sementara artikelnya memberikan sebuah “pelayanan kepada
imperialisme dan Shah”, merupakan serangan terhadap gerakan revolusi Iran.
Sekitar tujuh bulan Ali Syari’ati meninggalkan meninggalkan Paris. Dia bertemu
dengan Abolhasan Bani-Sadr, anggota Front Nasional yang sering terlibat diskusi mengenai
isi Islam dan relevansinya, sebuah ideologi dan progresif. Ali beranggapan Islam yang
disampaikan para tokoh agama, yakni seperti lautan yang dalam, yang bilamana berenang
tidak mungkin untuk dilakukan. Ia juga menambahkan komentar bahwa karena Islam kita,
kita tidak dapat merasakan kenikmatan dunia, kita mungkin juga bisa menemukan apakah hal
tersebut merupakan pengorbanan yang berguna.
Dari pendiskusian antara Ali dan Sadr mempunyai keinginan mengerjakan proyek
tentang ”apakah Islam?”. Pada proyek riset ini dibagi menjadi dua topik riset. Pertama
berhubungan dengan analisa dan kritik tehadap Islam yang dijalankan oleh para tokoh agama
dan masyarakat selama bertahun-tahun. Kedua berhubungan dengan studi sumber-sumber asli
Islam yang menjadi acuan bagi petunjuk, doktrin, dan kebijakan. Riset tersebut dilakukan
secara bersamaan untuk membandingkan Islam, antara Islam ala tokoh agama atau yang telah
dipraktikan dengan Islam yang bersumber dari Al-Quran. Pembandingan ini akan
memberikan mereka informasi untuk merencanakan posisi dan aktifitas sosial politik mereka.
Pada riset tersebut membuktikan bahwa para tokoh agama merupakan pelaku Islam otentik
yang setia, mereka (para tokoh agama) akan meninggalkan upaya untuk mempresentasikan
Islam sebagai sebuah doktrin alternatif modern. Mengantisipasi kalau-kalau terbukti bahwa
pesan progesif dan pembebasan dari Islam dikaburkan oleh para tokoh agama, Ali dan Sadr
melalui riset ini memutuskan untuk menghidupkan kembali Islam yang otentik,
mempresentasikan sebagai ideologi alternatif. Ali Syari’ati sampai pada kesimpulan bahwa
Islamnya para tokoh agama dan masyarakat tidak sesuai dengan apa yang dia yakini sebagai
Islam yang otentik, revolusioner dan progresif yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.
Melalui aplikasi pemikiranya, dia merencanakan untuk membebaskan Islam dari apa yang dia
yakini sebagai ketidakmurnian ideolodis yang telah mengambil nama Islam selama bertahun-
tahun.
Demonstrasi berdarah pada bulan Juni 1963 di Iran yang pada akhinya membawa
Ayatullah Khomeini sebagai figur oposisi religius utama, ke depan arena meninggalkan kesan
yang cukup mendalam pada Ali Syari’ati, Ali begitu senang dengan kearifan masyarakat
ketika mendengar salah satu slogan yang diucapkan rakyat pada masa-masa revolusi adalah
“Mosaddeq pemimpin nasional kita dan Khomeini adalah pemimpin religius kita“.
Dengan keyakinan atas warisan islami Iran, Ali tidak memiliki keraguan dalam
mengkombinasikan figur Mosaddeq sebagai pemimpin nasional dari gerakan dengan
Ayatullah Khomeini sebagai pemimpin religius.
Selain permasalahan kondisi sosial politik yang terjadi di Iran, Ali Syari’ati dalam
pengantar buku yang ia terjemahkan yang berjudul Salman-e Pak, dia menyuarakan beberapa
pendapat yang naratif, kontroversial, dan dengan tema-tema sosial, ekonomi dan politik dari
”bahasa Islam”. Ali meyakini bahwa di bawah permukaan dan penampakan konsep Islami
yang uni-demensional, terdapat terdapat kekayaan kiasan dan penjelasan yang esoterik.
Pendekatan gnostik dalam Islam, Ali berpendapat merupakan upaya untuk
mempenetrasi manifestasi luar untuk mendapatkan sesuatu yang tersimpan yang ada didalam.
Hanya lewat jalan inilah trendensi konsep-konsep baru menjadi mungkin dan terekspos
terhadap horizon baru. Sumber yang diakui menjadi dasar praktek ini dilakukan adalah Al-
Quran dan sejarah Islam. Dia mempertanyakan metode pencarian tokoh agama tradisional
yang pada dasarnya didasarkan pada Hadist atau riwayat atau Syiah yang melaporkan
perkataan dan tindakan nabi serta para imam Syiah.
Ali menegaskan bahwa bahasa semua agama, khususnya Islam adalah simbolik.
Bahasa ini bahkan tidak diharapkan bisa dimengerti oleh semua orang pada waktu tertentu,
dia menyatakan bahwa ayat-ayat alegoris (kiasan) dalam Al-Quran yang telah menyebabkan
banyak sekali perdebatan dan ketidaksetujuan ”dengan sengaja” dimasukkan dan dibalut
dengan bahasa metafisik. Kiasan-kiasan ini memiliki aspek dan demensi yang berbeda serta
oleh kerenanya secara alami tergantung pada interpretasi yang bermacam-macam. Ali
Syari’ati sampai pada kesimpulan bahwa nabi dan kitabnya yang secara sengaja menaburkan
bibit-bibit keberbedaan dan ketidaksetujuan di kalangan mahzab Islam yang berbeda, dia
kemudian mengacu pada dua ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Tuhan berkeinginan
untuk menciptakan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Kemajuan saintifik dan
intelektual dari dunia Islam selama tiga atau empat abad pertama, Ali beralasan karena
adanya kebebasan perseteruan ide dan keyakinan, sementara degenarasi dan korupsi yang
berasal dari satu ”ide”, satu ”agama”, satu orentasi politik dan pelemahan perdebatan
terhadap ide-ide yang berkompetisi
Mengemukakan pluralitas pendapat dan hak untuk berbeda sebagai sebuah prinsip
Islam. Dia berargumen melawan institusional Islam dan konsekuensi sentralisasi perintah
yang ”membelenggu ide-ide pemikiran”. Ali menganggap dalam Islam konsep organisasi
tokoh agama (rowhaniyat) seperti dalam gereja Kristen, sebenarnya tidak ada. Juga
mempertanyakan raison d’etre dari para tokoh agama. Masih dalam pengantar bukunya Ali
Syari’ati membahas serta menantang pengembangan agama dan politik di Iran. Mencaci-
maki terhadap kelaliman dalam segala bentuk, ajakan terbuka untuk memiliki kebebasan
berekspresi dan sebuah arena untuk memperdebatkan ide-ide yang akhirnya peringatan akan
bahaya akan datang, yang mengancam masyarakat yang lalim dan bermalas-malasan,
merupakan pertanda bahwa Ali ingin mengajak semua partai yang menurutnya
bertanggungjawab terhadap masalah-masalah di Iran untuk mengikuti perdebatan terbuka.
Oleh komunitas religius, diskursus Ali Syari’ati mengenai asal-usul ketidaksepakatan
dan perbedaan pendapat dalam Islam dipandang suatu “kekafiran. Buku terjemahannya
dilarang di teheran sebagai sebuah buku yang secara religius dan saintifik problematik dan
meragukan. Ali meyakinkan dirinya sendiri bahwa hegemoni satu “ide“, satu “agama“ dan
satu orentasi politik tidak bisa dengan gampang dan cepat dihilangkan oleh sebuah teriakan
jarak jauh dari Masyad.
Ali menghidupkan kembali ketertarikan para sufiisme setelah ”merusak” Tuhan nenek
moyang yang sudah dia warisi dan tidak mampu menemukan Tuhannya sendiri, selama
beberapa lamanya ia menjadi seorang yang tidak beriman kepada Tuhan dan dunia
supranatural. Kemudian ia menemukan Tuhan yang benar dari dunia ini. Tuhan yang tidak
suka kepada para pengecut, orang yang tidak jujur, orang yang tamak dan orang yang suka
memuji-muji. Ali secara berani mengatakan bahwa Tuhan membutuhkan seorang arif (yang
mengetahui) yang penuh cinta kasih bukan seorang pelanggan surga.
Dia menjelaskan bagaimana kebahagiaan dan kegembiraan manusia di surga
merupakan sebuah upaya yang meremukkan dan menyakitkan, dia beraggapan bahwa
keindahan yang menyendiri merupakan kegembiraan yang menyakitkan. Kesendirian
hanyalah setengah dari keberadaan. Ali memahami bahwa sumber kepedihan adalah
keterpisahan bukan kesendirian, yang mana merujuk pada penciptaan Hawa sebagai pasangan
Adam yang dimaksudkan untuk menyembuhkan lukanya kerena kesendirian. Dia
menegaskan bahwa “bukan tidak tertemani“ yang membuatnya terluka tetapi kondisi tidak
“bersama Dia”.
Ali Syari’ati mengalami transformasi transendal yang olehnya disebut “dialektika suci
yang luar biasa“ atau “dialektika sufi“ dimana pada akhirnya “Manusia kembali kepada
Tuhan“ dan “Yang Tercinta“ (ma’syuq), menurutnya, penyatuan kembali ini akan terjadi di
surga, dimana dari surga ini manusia telah terusir. Dia menuliskannya, bahwa ia akan
kembali, ia akan kembali ke surga yang telah ia tinggalkan. Di sana, ia, Cinta dan Tuhan akan
bekerja sama untuk menciptakan kembali dunia baru, dalam masa lalu (Azal) yang abadi ini,
Tuhan tidak akan lagi sendiri dan dalam dunia ini ia tidak akan lagi menjadi orang asing.
Gnostisisme Ali merupakan perjuangan melawan agama tradisional, membedakan antara
agama dan keyakinan. Dia menjelaskan bahwa keyakinan memiliki aspek eksternal (zahir)
dan iternal (batin). Bagi Ali, esensi keyakinan adalah gnostisisme (irfan) dan cara menuju hal
tersebut adalah melalui tarekat (tariqat). Dia percaya bahwa menampakkan eksternal
mengarah pada ”peribadahan tradisional”, Ali menjelaskan bahwa masyarakat biasanya
percaya pada tujuan dari keyakinan atau keimanan direalisasikan melalui puasa, ibadah,
pembayaran iuran berdasarkan ketentuan agama, penggunaan kerudung, memelihara jenggot,
penyucian dan pembersihan.
Ali Syari’ati membedakan cintanya untuk sesuatu yang kekal yang ia sebut sebagai
”penganut kebenran” (mosal parast) dengan standard praktek”penganut tradisi”, keduanya
bersifat absolut. Menunjukan ketidakcocokan yang tiada bisa dihindarkan, dia memfokuskan
pada perjuangan di antara keduanya. Ali mengatakan bahwa sufisme merupakan spirit agama
yang memberontak melawan bentuk agama ketika sufisme menyadari spirit mulai
menghilang dan agama menumbangkannya. Pernyataan Ali yang berani bahwa mereka yang
menjadi agamis melalui mediasi nabi yang bersifat superfisial dan menjadi makluk yang tidak
berarti.
Menolak loyalitas kepada agama yamg mapan, dia menyatakan pencarian untuk
mendapatkan ”kesatuan keberadaan” (wahdat-e wujud) sebagai dasar bagi semua agama yang
benar.Sufisme menurut dia adalah sebuah proses pncarian jiwa personal untuk mendapatkan
”sumber dan ketulusan ( ikhlas )
Pada musim semi 1966, Ali Syari’ati mulai bekerja di Universitas Masyad dengan
mengajar ”sejarah Iran pasca Islam”.di sini dia sering kali terlibat dalam diskusi yang ia tidak
dapat menghindar membicarakan berbagai isu secara politik kontroversial, kritikannya halus
tetapi tajam terhadap pemeritah. Kritikannya bagaikan serangan terselubung tersebut
menyebar ke sekeliling, hingga akhirnya sampai ke SAVAK yang kemudian mengadukannya
ke Universitas.
Pada tanggal 1 Januari 1969, buku Ali yang berjudul Eslamshenasi (Islamologi)
didaftarkan dan mendapatkan izin hukum untuk dijual, ia menjelaskan bahwa sebenarnya ini
merupakan kuliah-kuliah pada Fakultas sastra. Dalam bukunya Ali memfokuskan dan
mengelaborasikan gagasan-gagasan tersebut, ia juga menyoroti para intelektual yang
terbaratkan atau terasimilasi yakni, mereka yang dituduh oleh Ali Syari’ati sebagai intelektual
yang betul-betul tergantung pada produksi intelektual dan kriteria orang-orang barat. Setelah
itu berganti ke masalah lembaga keulamaan, Ali mecacinya sambil menganggap bahwa
Eslamshenasi adalah langkah pertama di persia menuju pemahaman Islam yang ilmiah dan
analitis. Dia merujuk pada salah satu atau kombinasi dari sumber Islam seperti: Al-Quran,
hadist, hadist para imam Syiah dan tradisi keempat khalifah pertama.
Tujuan dari buku Eslamshenasi ini adalah menjelaskan Islam yang modern, egaliter
dan demokratis, sebagai bentuk Islam yang idel dan murni; mengidentifikasi rintangan-
rintangan untuk merealisasi Islam yang ideal; menunjukkan kenapa imat Islam berkewajiban
sebagai orang-orang yang beriman sejati kepada aspek yang paling mendasar dalam agama
mereka, yakni monoteisme, untuk menantang dan mengatasi rintangan-rintangan tersebut
Sesuai dengan semangat terbuka Eslamshenasi, Ali Syari’ati berusaha untuk
membuktikan bahkan orang-orang kafir pun mempunyai tempat dalam masyarakat Islam, dia
mengatakan bahwa kebebasan beragama adalah keistimewaan Islam.Ali berpendapat bahwa
”kesetaraan universal” adalah prinsip yang alami dan fundamental yang mengatur semua
aspek sosial dan induvidu dalam kehidupan Islam. Dia mengakui bahwa Islam tidak meyakini
persamaan (musawat) antara laki-laki dan perempun, tetapi Islam ingin menematkan pada
”posisi alaminya”
Di buku tersebut Ali Syari’ati juga menuliskan bahwa siapapun yang memaksakan
kehendaknya kepada masyarakat dan memutuskan hukum berdasarkan atas kepentingannya,
berarti ia telah mengklaim menjadi tuhan dan siapapun yang menerima klaim tersebut berarti
ia adalah poloteis, karena hukum, kehendak, kekuasaan,dominasi dan kepemilikan absolut
hanyalah monopoli Tuhan. Ini secara tidak langsung menyerang pemeritahan Shah.
Dia juga berpendapat, bahwa Islam tidak memperbolehkan organisasi kependetaan
yang setralistik dan terlembagakan yang menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan
kerena hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang sifatnya langsung. Kerena itu
Ali mengatakan bahwa agama yang terlembaga akan mengarah kepada reaksi dan dogmatis,
yang melakukan ”despotisme agama dan kebenaran”.
Dalam Eslamshenasi ini pulalah, Ali Syari’ati memaparkan gagasannya sebuah
embrio pandangan dunia Islam, yang tampaknya sejalan dengan kebutuhan dunia ketiga pada
abad dua puluh yang sedang mencari cara yang manusiawi dan egaliter untuk pembangunan,
tetapi tidak konsisten dan saling bertentangan, karena dia mencampuradukan idealisme
agama yang didasarkan atas kepercayaan kepada Tuhan dan wahyu dengan meterialisme
yang didasarkan pada akal dan penelitian sosial, gaya dan penjelasannya mengenai Islam
dalam pandangan kotemporer telah menarik para pembacanya yang telah lama menunggu
gagasan-gagasan segar yang dapat dipertahankan dengan penuh kebanggaan.
Setelah publikasi bukunya, pada maret 1969. Ali Syari’ati menulis pengantar buku
tentang Hujr ibn-’Addi yang berisikan mengkritik lembaga keulamaan dalam beberapa
persoalan seperti, menuduh para ulama bertanggung jawab atas tidak adanya teks-teks
pendidikan tentang kehidupan tokoh-tokoh penting Islam; memandang bahwa daripada
menyoroti berbagai gagasan mengenai karakter seperti itu (Ali dan Husain) dan
memperlakukan prinsip-prinsip yang mereka perjuangkan sepanjang sejarah, para ulama
mengabdikan waktu mereka kepada tulisan-tulisan tentang ritual yang tidak penting atau
mengumpulkan cerita para imam.
Ali mendiskripsikan tentang situasi politik di Iran menyerupai apa yang disebut
”negara Bonaparte” dalam tulisan Marx, yang disebut ”negara Bonaparte” pada dasarnya
dicirikan oleh tingkat independensi negara yang tnggi dari kelas-kelas sosial. Dua ciri khas
negara bonaparte lainnya adalah peran negara sebagai mediator dan wasit di antara klas-klas
yang bertikai, campur tangan melawan atau mendukung kepentingan ekonomi salah satu
kelas atau lainnya untuk merealisasi kepentingan politiknya sendiri serta peran raja
(penguasa) yang menentukan dan absolut.
Dia menegaskan, klas penguasa di Iran tidak bergantung pada, juga tidak mewakili,
kepentingan ekonomi kelas sosial tertentu. Shah, adalah figur supra-klas, bebas dari seluruh
ikatan kelas. Di Iran, ditegaskan olehnya, sesorang dapat mengatakan bahwa ”klas penguasa”
itu tidak ada. Oleh karenanya, semua klas dapat mengambil manfaat dari perubahan-
perubahan fundamental tanpa melakukan kekerasan dan aktif dalam kegiatan revolusioner.
Ali Syari’ati menunjuk pada reformasi sosial yang terjadi di Iran sejak 1964 dan mengatakan
berdasarkan keputusan seorang induvidu (shakh-e ishan), raja-raja feodal yang merupakan
klas pengusa di Iran dan kelihatannya tidak mungkin lenyap, tiba-tiba hancur dan stuktur
sosial dan berubah secara mendasar. Oleh karena itu Ali Syari’ati menyatakan tidak mungkin
meraih tujuan radikal dan revolusioner tanpa melakukan kekerasan yang revolusioner pula
Pada ceramahnya di Irsyad 6 Maret 1969, Ali memberikan penfsiran dan definisi
ulang yang dinamis, radikal dan sangat politis tentang konsep-konsep Islam klasik. Islam,
menurutnya merupakan ideologi dan revolusi sosial yang ingin membangun masyarakat tanpa
klas bardasarkan kesetaraan dan keadilan di dalamnya akan hidup orang-orang yang
tercerahkan, bertanggung jawab dan bebas. Bentuk politis yang paling tepat dengan persiapan
dan pembentukan ”masyarakat revolusi” dimana warga negaranya berpegang pada ideologi
revolusioner yang akan mengalami kematangan politis dan intelektual. Selama masa
transisional, masyarakat haraus diatur oleh sistem politik ”demokrasi terpimpin. Konsep ini
merupakan uefismebagi kediktatoran yang bermanfaat. Misi dari ”demokrasi terpimpin
adalah membangun masyarakat ideal” sebagai mana mestinya”. Mengenai masalah siapa
yang harus memimpin ”demokrasi terpimpin” adalah manusia yang ideal, yakni manusia
sempurna dan pimpinan yang maksimal dan tidak tertandingi. Dalam Islam Orang tersebut
adalah imam.
Lebih lanjut Ali Syari’ati mengatakan, selama masyarakat di negara-negara
terbelakang dan miskin masih bodoh, bermental budak dan dekaden, kemipemimpinan
revolusioner yang tercerahkan diperlukan untuk mengarahkan transmormasi bentuk-bentuk
pemikiran lama masyarakat dan caranya yang tidak efektif. Demokrasi perwakilan akan
menjadi kontra-revolusi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan revolusioner
yang dibutuhkan untuk membebaskan negara-negara ini dan rakyatnya dari lingkaran setan
keterbelakangan dan kemiskinan. Dalam sebuah demokrasi, massa yang bodoh dan
reaksioner dapat memilih pemimpin dan kebijakan yang konservatif dan reaksioner. Dia
menegaskan bahwa klas yang mempertahankan beban penindasan yang nyata dan eksploitasi
tidak mempunyai kesabaran terhadap pemilihan umum bebas dan demokrasi pluralis.
Demokrasi dimana rakyat memilih, dengan begitu mereka menentukan nasib sendiri akan
menjadi sistem politik yang diinginkan ketika masyarakat telah mencapai tingkat kesadaran
politik tertentu.
Ceramah Ali Syari’ati tentang ”Iqbal pembaharu abad ini”, dia mengatakan bahwa
Islam bukanlah agama ”satu demensi” yang bukan hanya membahas politik dan gnostis, akan
tetapi juga memperhatikan urusan dunia ini. Sumbangan yang paling agung dan revolusioner
Islam kepada sejarah kemanusiaan adalah ketika Islam menyalurkan cinta agama dan
kekuatan ajaib dari perasaan batin (gnostis), yang selalu ada di dalam diri manusia yang
membimbing para induvidu kearah revolusi, pengorbanan, menyambut kematian dan
kesyhidan serta menuju pencapaian kekuasaan guna menciptakan sebuah masyarakat yang
bersandar pada keadilan dan dedikasi kepada kemajuan material dan spiritual di dunia ini, dia
memilih tanggung jawab Islam segabai tanggung jawab duniawi. Islam sejatinya, adalah
sintesis multidemensional yang tidak tepisahkan.
Islam yang ada sebenarnya tdak lain kecuali agama yang ”terpecah-pecah” dan”tidak
padu”, teriisolasi dan terpenjara di dalam gagasan-gagasan sempit tidak islami dan yang
sudah berubah wujud. Agama yang bagaikan candu, telah membunuh masyarakat Islam atas
nama Islam dan kemerosotan agama, yang disimpulkan oleh Ali, sedang membutuhkan
”renaissance” melalui perjuangan ideologis.
Ceramahnya yang lain mengenai ”agama melawan agama”. Ali mengtakan bahwa
sejarah telah menjadi tempat peperangan yang berkelanjutan di antara dua agama. Pertama,
agama monoteistis yakni agama yang diperjungan Nabi Ibrahim. Kedua, agama politeistis
yang dengan mengatas namakan agama yang dijunjung tinggi, selalu menantantang dan
berjuang menentang agama monoteistis. Agama politeistis sering mengklaim sebagai agama
yang monoteistis, akan tetapi ia hanya memperdaya orang dan menunda kemenangan agama
monoteistis. Poloteistis bercirikan sebagai sebuah kredo yang menyebar secara diam-diam,
sementara monoteistis sebagai sebuah kredo revolusioner yang bersandar pada tantangan.
Agama monoteistis memiliki aspek spiritual yang disandarkan pada keyakinan kepada
Tuhan yang tunggal dan sapek meterial dan duniawi yang menghadirkan kesatuan atau
ketunggalan manusia, karena manusia menjadi makluk Allah yang sama dan bernilai setara.
Oleh karenanya monoteistis menghadirkan keyakinan pada kesatuan kemanusian terlepas dari
ras maupun klas.Ini juga dapat diartikan sebagi undangan pemberotakan terhadap otoritas
atau penguasa apa pun selain Allah. Dengan demikian monoteistisadalah sebuah ”agama
revolusioner” yang menekankan pada pengikutnya untuk ”mengubah dan menghancurkan
apa saja yang mereka dapati sebagai hal yang batil dan tidak bisa diterima. Lalu Ali
menerukan bahwa transformasi radikal dari keadaan yang ada sekarang ini dan
menggantikannya dengan tatanan yang bercirikan oleh keadilan, kewajaran dan kesetaraan.
Sedangkan agama politeisis menyalah gunakan agama untuk membenarkan status quo
yang zalim yang bercirikan oleh kemiskinan, kepapaan dan ketertindasan pada sebagian
masyarakat di satu sisi, sedangkan kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang di sisi
lain. Agama politeistis melambangkan ”kaum penindas, musuh-msuh kemajuan, keadilan,
kebenaran, dan peradaban. Bagi dia, kaum politeistis yang yang bersembuyi dibalik topeng
monoteistis adalah para penipu rakyat yang berbahaya. Agama ini telah ”menyelewengkan
semua prisip agama” hingga meyakinkan orang bahwa keadaan dan kesempatan mereka
dalam kehidupan merupakan kehendak Tuhan dan suatu fungsi dari nasib yang telah
ditakdirkan, dia menambahkan bahwa agama ini bersandar pada kebodohan, kecemasan,
diskriminasi dan ciri khas relasi-relasi kekayaan modal ala feodal.
Simbol kesalehan tradisional semisal prektik tata ibadah dan ritual Islam serta bahkan
perang jihad bukan merupakan hal penting dan kriteria yang memadai untuk mengangap
mereka (agamawan konservatif) sebagai monoteisis.Ali Syariati menyarang otoritas agama
Syiah, dia memperingatkan bahwa ”Islamnya” bukanlah Islam yang telah memeritah pada
masa lampau. Sebaliknya Islam yang ditujukan guna menghancurkan agama politeistis yang
telah mengatur masyarakat sepanjang sejarah. Ali mengakhiri ceramahnya dengan mengutip
kata-kata dari simbol Islam monoteeisisnya, yakni Abu Zar yang berkata, ”Saya heran pada
dia yang tidak menemukan sepotong makanan pun di rumahnya dan tidak memberontak
menentang orang dengan pedang terhunusnya”.
Berawal dari gagasan-gagasan yang pernh Ali Syari’ati kemukakan terutama tentang
keislaman yang dengan sengaja dia mengajak beradu argumen dengan kalagan agamawan
konservatif (Otoritas Syiah), bermunculan para kelompok-kelompok penentangnya bahkan
diantaranya terdapat kawan lama sewaktu di Masyad dan Teheran. Kaum ulama tradisional
mmeandang Ali sebagai orang berdasi berpendidikan barat yang dengan arogan sedang
mengajarkan Islam berdasarkan atas pendidikannya di universitas-universitas luar negeri.
Ayatullah Khomeini yang pada saat itu masih berada di pengasingan di Nayaf, Iraq, di
datangi oleh utusan yang di kirim dari Iran untuk meminta pandangannya mengenai
Eslamshenasi karya Ali Syari’ati. Setelah membacanya, Ayatullah Khomeini mangatakan
bahwa karya Ali Syari.ati tersebut bukanlah tidak islami. Oleh karenanya, Khomeini menolak
menyatukan dirinya dengan para Ayatullah yang secara sengit menghujat Ali Syari.ati.
Khomeini juga mengatakan, “saya mempelajari kasus ini dan tidak satupun cacat moral
(kebejatan) dan kritik yang valid.
Dalam kuliah mengenai “Kesyahidan“, ekspresi dukungannya bagi teori revoluioner.
Ali menekankan pada keyakinan keadilan yang berkaitan dengan Mujahidin dan Kesyahidan.
Bahwa ketika kekuasaan yang zalim menundukkan orang dengan paksaan, uang, dan
penipuan, hanya pilihan sadar atas kesyahidan yang bisa mrndobrak krhrningan dan
melemparkan rezim kepada rasa malu. Ali lalu mrnyimpulkan bahwa “mereka yang tidak
memiliki keberanian untuk memiliki kesyahidan pada akhirnya akan dimiliki oleh kematian“.
Ali Syari’ati dalam kuliahnya yang memakai bahasa Marxian menjelaskan bahwa
kum borjuis telah menjadi kekuatan progresif dalam pertempurannya melawan feodalisme,
mereka tidak hanya kehilangan peran positifnya, namun telah menjadi penghisap (exploter)
dan penindas orang-orang dan negeri-negeri. Manusia membutuhkan agama sebagai sebuah
pandangan spiritual dan sebagai tuntutan penghibur dalam kehiddupan. Dia mengakui
eksistensi suatu kecenderungan agama yang negatif, yang didukung oleh klas penguasa atas
rakyatnya, gerakan-gerakan dodialnya maupun itu sendiri. Ali berpendapat bahwa suatu
pemahaman islam bergantung pada perspektif melalui mana para penguji menganalisa islam,
ia menganjurkan sebuah pembebasan (liberation) doktrin idlam dari belenggu peradapan,
kebudayaan dan ilmu-ilmu islam. Tugas ini menganjurkan pengajaran islam sebagai mana
dipahami oleh Abu Zar dan bukan para Fukaha (ahli hukum islam), ilmuan dan sufi (gnostik
atau ilmu kebatinan).
Selanjutnya, Ali mangatakan bahwa kaum intelektual Iran harusnya belajar dari barat
bukannya meniru. Dia menegaskan bahwa kaum agamawan yang dogmatis, bukanlah kaum
setia atas kepercayaannya dan kaum anti-agamawan bukanlah benar-benar menentang
kepercayaan yang dentik. Kaum intelektual seharusnya mentransformasikan secara sungguh-
sungguh agama yang sedang berjalan. Untuk mentransformasi agama dan masyarakat, Ali
Syari.ati mengemukakan studi historis tentang agama-agama berdasarkan awal mula
sosialnya, perkembangannya, doktrinnya dan signifikansi serta peranan ritus-ritus dan ritual
agama yang ada padanya. Ia manambahkan, dengan menggunakan metodologi anti agama,
pada akhirnya akan sampai dengan kesimpulan yang sangat berbeda dibandingkan mereka.
Dia juga membahas agama-agama besar di Cina, India, dan Iran, ini merupakan upaya
untuk menggambarkan tokoh-tokoh dari agama tersebut sebagai sosok-sosok yang
revolusioner. Dan untuk mrnghasilkan simulasi (simulacrum) religio-historis, Ali melukiskan
sosok Budha sebagai sebagai pemberontak yang mengobarkan dan mendorong massa
menentang kaum Brahma atau Pendeta-pendeta yang terlembaga dan menghisap rakyat. Dia
memujinya sebagai sosok pembebas yang mengemansipasi masyasakat dari politisme yang
disebarkan kaum Brahmana dan seorang revolusioner yang tanpa henti bertempur menentang
system klas yang berkuasa dan system kasta yang dipaksakan dalam bahasa agama. Dalam
hal ini, Ali Syari.ati mencoba memperlihatkan bahwa masyarakat modern yang sehat dan
harmonis, perlu menyumbangkan sentiment kesejahteraan materi agama yang bersifat
metafisik. Penolakan total atas yang satu dan merengkuh yang lain akan menghasilkan
kegagalan. Agama-agama tradisional, dari peradapan lama lebih disebutkan dengan
pemurnian per individu dank arena itu pembebeasan personal pada perbaikan social, keadilan
dan kesejahteraan sosial-.ekonomi. Para nabi dari agama-agama Ibrahim berasal dari latar
belakang sosial yang sederhana dan miskin, sehingga sangat memperhatikan kehidupan
materi masyarakat, berbeda dengan para nabi dari agama-agama kuno yang mempunyai latar
belakang klas yang kaya dan makmur.
Kehidupan yang nyaman meratakan jalan bagi pemberontak melawan benda-benda
material dan harta pribadi. Ini merupakan penolakan dasar dari bnda-benda duniawi dan
keterkaitannya yang ditemukan dalam agama Sufistik. Untuk hal ini, Ali mengacu pada
Taoisme, Budhisme, Hinduisme yang mempunyai banyak kemiripan dengan Sufisme Iran.
Dia mencemooh pemalingan akal dan rasionalitas demi mencari sesuatu yang melampaui
kehidupan. Untuk mencapai kebahagiaan manusia membutuhka etika, filosofis, perasaan
keagamaan yang metafisik serta akal, Perasaan sosial harus dikelola dengan akal, keadilan
dan ekonomi, sedangkan individu harus dijaga alam olah batin (gnostisisme).
Pada kesimpulannya, dia menegaskan sementara agama-agama otentik memiliki
pemahaman sosio-ekonomi atas masyarakat yang bersandar pada sebuah ideologi, maka
agama palsu yang terlembaga mengasingkan muatan ideology otentik dari doktrinnya dan
menggantinya dengan beraneka ragam ritual dan ritus.
Ali menggambarkan agamawan (ulama) konservatif yang menolak perubahan dan
egaliternya dianggap musuh rakyat karena mereka merupakan bagian dari klas penguasa.
Dari sudut pandang “rakyat“, Ali Syari.ati menyatakan bahwa islam yang tidak
menggelorakan keadilan sosial dan mwnjamin kebebasan serta kepemimpinannya yang tidak
adil, tak ubahnya seperti agama lain dan malah identik dengan kaum kafir lainnya.
Dalam perumusan ideologi islam radikal islamologi yang menggali doktrin religi-
politik, Ali menegaskan bahwa kontradiksi sosial, kemiskinan, ketimpangan, dan penindasan
tidak secara otomatis menjadi syarat bagi sebuah revolusi, kaum kiri membuat redusionis
(penyederhanaan). Kondisi obyektif harus dijelasakn kepada rakyat dan harus ditanamkan
kedalam pikiran mereka, rakyat akan bertindak setelah mereka merasakan dan memahami
kondisi sosialnya. Maka, tujuan intelektual modern adalah menjelaskan kontradiksi-
kontradiksi dan ketidak adilan sosial.
Ali menilai masyarakat Iran merupakan “klas dalam dirinya sendiri“ yang
tereksploitasi yang harus dimasukksn ke dalam pendidikan politik dan ideologis sebelum klas
tersebut menjadi revolusioner, setelah kondisi yang obyektif dan tidak adil disampaaikan
kepada rakyat serta penggambaran yangideal oleh itelektual. Dia percaya akan masyarakat
(Iran) yang secara otomatis mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan. Yang pada
akhirnya peperangan yang revolusioner merupakan sarana untuk menjelaskan kondisi
tersebut yang kemudian menyebabkan kesadaran kelas politik. Ini merupakan seruan Ali
Syari.ati kepada masyarakar untuk perjuangan bersenjata.
Ali Syari.ati mendefinisikan doktrin sebagai konstelasi (pertimbangan) pandangan-
pandangan filosofi yang harmonis, keyakinan-keyakinan religius, nilai-nilai etik dan
metodologi-metodologi ilmiah yang melahirkan kesatuan yang bermakna, berorientasi, tujuan
dan dinamis. Doktrin keyakinan disandarkan pada suetu pandangan dunia, yang merupakan
pandangan melalui manusia dan alamnya, masyarakat dan filosofi sejarahnya dipandang serta
didefinisikannya, superstuktur ideologis pada gilirannya terbangun atas tiga pilar, yakni
antropologis, sosiologis, dan historis. Ideologi berfungsi menjadikan tiga pilar tersebut untuk
digunakan mengungkapkan filsafat doktrin kehidupan kita. Ideologi adalah sebuah penafsiran
dari kehidupan individual, masyarakat, dan manusia dalam semua aspek. Ideolodi, kata Ali,
menyediakan jawaban atas pertanyaan. Ia menambahkan, bahwa ideologi menjadi bermakna
hanya ketika suatu doktrin sendiri dari dua elemen penting tentang konsepsi utopia dan ideal
manusia, karena elemen retsebut menyediakn tujuan-tujuan yang diinginkan untuk menuju
kearah mana manusia bergerak.
Bagi Ali Syari.ati, dunia sebagai kesatuan (entitas) yang punya maksud dan
berkelanjutan dengan tujuan dan cita-cita. Hal ini berbeda dengan pandangan ulama pada
umumnya. Tauhid (monoteisme) bukan hanya konsep terbatas kepada keyakinan pada suatu
Tuhan. Ia menafsirkan monoteisme bukan suatu pandangan dunia saja, melainkan sebuah
filsafat sejarah, pandangan sosiologis, doktrin etis yang akhirnya suatu misi sosial. Dalm
islam kesadaran (kognisi) monoteis yang membiarkan individu untuk melangkah melalui
pertikaian antara filsuf yang membuktikan Tuhan melalui logika dan rasionalitas dengan
kaum gnostik yang menolak metodologi filsuf dan menganggap bahwa hanya intuisilah yang
membimbing manusia ke jalan Tuhan. Monoteisme juga di artikan sebagai perlawanan
terhadap kekuasaan duniawi yang bermaksud menundukkan dan menggantikan kedudukan
Tuhan.
Evolusi sosial dan agama mengikuti jalan searah, bahwa sejarah sosial dan agama
berasal dari keadaan yang harmonis dan berkembang ke salam situasi perselisihan. Tahap
primitif dari evolusi sosial dan agama dicirikan ole komunisme dan egalitarisme ekonomi,
sementara, masa antara dari perselisihan dicirikan oleh kontradiksi-kontradiksi yang
antagonistis, masyarakat kelas, penindasan dan penghisapan (eksploitasi). Ali berpendapat
bahwa ciri sosial yang penting dari tahap perselisihan dan kontradiksi adalah evolusi dari klas
spiritual yang dinilai, diabsakan dan secara efektif didukung oleh masyarakat yang
dikendalikan oleh klas, selama masa kontradiksi sosio-ekonomi, klas penguasa mengalami
perpecahan yang disebabkan pembelahan internal pada tenaga kerja. Fungsinya berpindah
pada tiga penguasa baru: para penindas politik, penghisap ekonomi dan para pembarda
(stupifiers) agama. Ketiganya mengikuti tujuan umum dari pendudukan dan pebudakan atas
orang-orang demi kepentingan sempitnya sendiri, selama masa ini, tiga penguasa jahat yang
menggantikan dirinya sebagai Tuhan. Dari sinilah dimulainya masa politiesme.
Juga memberikan definisi singkat tentang ”basis produktif” dan ”masa perbudakan,
feodal, dan borjuis.” Dia menjelaskan bahwa basis ekonomilah yang menentukan antara
superstuktur, ideologi, etis dan religius. Akan yetapi dia tidak merujuk pada kekuatan
produksi, perkembangannya, status hukum dan ekonomi tenaga kerja, relasi kepemilikan dan
mode penggalian surplus yang berlaku. Ali Syari’ati mengatakan bahwa relasi antara
superstuktur religius dan ideologi serta basis ekonomi adalah satu relasi yang saling
menguntungkan satu sama lainnya.
Pemaparannya mengenai filsafat Islam sangat mirip dengan apa yang digambarkan
oleh Marx. Menurutnya filsafat sejarah berdasarkan pada determinisme ilmiah, kontradiksi-
kontradiksi dialektika dan perjuangan abadi antara dua kekuatan yang bertentangan semenjak
lahirnya sejarah. Dia melihat kontradiksi-kontradiksi sebagai kekuatan di belakang semua
tipe perkembangan.
Ali Syari’ati mengatakan bahwa doktrinnya ditujukan kepada Muslim yang
bernafaskan dalam lingkungan intelektual dan kutural yang didominasi oleh ”Segitiga
sosialisme, eksistensialis dan gnostisme”. Ideologi Islam modern seharusnya menggabungkan
dan melampaui doktrin diatas, yang memberikan solusi bilamana mereka gagal. Dia
mengatakan dalam salah satu ceramahnya yakni, ”tiada darah yang tertumpah dalam kesia-
siaan dan kematian karena alasan kebenaran dan keadilan tidak pernah bisa dipadamkan.
Suara yang jujur bisa ditindas namun tidak pernah dipadamkan.”
Pada 19 Oktober 1971, dimulainya rentetan pidato pemberontakannya yang bertujuan
untuk mencapi revolusi politik-keagamaan. Pertama dia mengidentifikasikan dikotomi antara
Syi’isme yang benar-benar ada dan Syi’isme yang ideal dan otentik. Ali menjelaskan
kegagalan, ketidakmampuan dan yang paling penting asalah keterlibatan historisnya dengan
status quo yang tidak lain merupakan penopang paling penting yang mendukung klas
penguasa. Perpecahan di dalam umat Islam dimulai dari tindakan pengkhianatan agamawan
yang meninggalkan rakyat dan memihak kekuatan status quo menghadapi massa, namun ia
juga mengiringi penolakan serta negasinya atas Islam yang ada dengan pemujaan kepada
Islam yang otentik. Penciptaan simbol-simbol dan slogan-slogan, mengidentifikasi pahlawan
dan musuh, membangum doktrin Islam yang serba mencakup (komprehensif) yang
menentang status quo religio-politik. Ali mengatakan bahwa Syi’isme memerlukan
penyegaran kembali secara terus-menerus atau revolusi.
Bagi Ali Syari’ati, ijtihad sebagai proses intelektual yang dinamis, yang mengikutkan
Islam dengan perkembangan-perkembangan medern. Sebuah praktek yang diperbolehkan
oleh kalangan Syiah menunjukkan penerapan akal manusia dan raionalitas oleh mereka yang
merupakam kaum fuqaha (ahli hukum Islam). Ia mulai mendefinisikan mujtahid atau orang
yang berhak untuk melakukan ijtihad. Menegaskan bahwa mujtahid adalah orang yang
”tercerahkan” dan ”peneliti bebas” yang mencari jawaban-jawaban baru berdasarkan
”semangat dan orentasi agama, logika ilmiah, dan empat sumber syariat Islam yakni:Al-
Quran, hadist, ijma (kesepakatan) dan akal. Dengan memasukkan semangat dan orentasi
agama sebagai basis yang dengannya penafsiran-penafsiran dibuat. Tuntutan atas ijtihad
sebagai prinsip yang merevolusikan Islam, maka diperbolehkan untuk membangun ulang
kosepsi Islam yang otentik berdasarkan rasionalitasnya sediri.
Taqiyeh menurut Syi’isme Ali, merupakan konsep taktis yang mempunyai makna
ganda yakni menjamin kesatuan dihadapan musuh bersama dan menjamin keselamatan dan
keamanan dari anggota organisasi revolusioner klandestin. Ini merupakan seruan kepada
pejuang untuk berstu dan menjaga kesatuan antar mereka, mengharuskan induvidu-induvidu
dalam sebuah organasasi kladestin yang berperang melawan rezim umtuk bersumpah
menjaga rahasia hal ini untuk mencegahnya pembunuhan besar-besaran tehadap kaum
revolusioner.
Rindu, jika dianalisis secara positif merupakan sebuah keyakinan yang teguh pada
sebuah revolusi yang membebaskan yang sedang mendekati dalam skala dunia. Ali Syri’ati
mengatakan kemenangan kaum tertindas di dunia dan tegaknya sebuah masyarakat tanpa klas
merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa ditolak. Dia memberikan gambar seorang
Muslim yang rindu adalah seorang greliawan yang menenteng AK-47 dipundaknya yang
sangat terlatih serta siap berperang. Menambahkan bahwa dengan menunggu membangkit
”rasa tanggung jawab dan kewajiban” untuk ”menolak status quo dan mengakhiri sistem-
sistem dan nilai-nilai kekuasaan”.
Pada perkembanganannya yang dihadapkan dengan aktivitas-aktivitas revolusioner
dan munculnya gerakan Marsist. Ali mengatakan dengan tidak mengakikan langsung kepada
gerakan marsxist, dia memuji kelompok bukan Islam yang berjuang karena kepentingan
rakyat dan sebagai lebih cita Tuhan daripada kaum beriman yang menghindarkan diri dari
memperlihatkan tanggung jawab sosoial mereka untuk kepentingan rakyat. Memandang
kaum Marxist sebagai kawan dekat dalam mementang musuh yang sama yang berbagi tujuan
sosio-politik serta ekonomi yang sama namun berbeda persoalan filosofis penting tentang
ketuhanan. Sebagai ideolog dari gerakan revolusioner Islam yang telah dipraktekkan oleh
para mujahidin, pada dasarnya dia sendiripun adalah partisan mereka. Di lain kesempatan dia
melihat “perjuangan terus-menerus terhadap rezim penguasa yang menindas” sebagai poros
utamanya dari strategi partai memiliki dua tingkatan: perang ideologis melawan para penegak
keamanan yanag menjadi baagian rezim dan perang politik melawan espotisme dan
eksploitasi.
Partai Syiah yang juga sedang melakukan penentangan terhadap rezim membuat Ali
terposona operasi greliya yang mereka lakukan, untuk itu dia menjanjikan guna menguraikan
strateginya yang layak, taktik, organisasi stukturalnya dan proses pembuatan keputusan.
Syi’isme, menurut pandangan Ali memunjukkan telah memilih perjungan bersenjata sebagai
strategi utama. Namun, dia mengingatkan masyarakat bahwa para imam Syiah, sebagai kaum
pemimpin perjuangan memiliki strategi perjuangan yang lentur dan non-dogmatis, dapat
disesuaikan dengan waktu, keadaan dan kondisi yang sedang berjalan.
Mengenai masalah kepemimpinan, Ali Syari’ati berpendapat sepanjang ketaatan
terhadap imam, orang Syiah yang sadar adalah bertanggungjawab untuk memilih orang yang
paling adil dan terpelajar guna memimpin mereka dalam perjuangannya. Dari penafsiran
sempit dari kalimatnya tersebut menunjukkan bahwa orang yang berhak memilih adalah
terbatas pada kalangan Syiah.
Ceramah pemberontakan dan subversif mengrnai agama dan politik yang berlangsung
secara terbuka maupun tersembunyi merupakan deklarasi penentangan rezim. Dia
menyerukan penghapusan kapitalisme, imperialisme dan kelembagaan agama dan monarki di
wilayah kekuasaan Syiah pada Kerajaan Yang Mulia Syahasyah Iran. Ali juga berharap
bahwa kekuatan Ilahi yang telah menolongya dalam perang religio-politik hingga titik ini
akan terus mengaburkan dan membutakan dua musuh utamanya, yaitu rezim dan agama
Safawi.
Setelah melakukan caramah-ceramah yang terbukti membuat bukan hanya telinga
para agamawan yang meradang tetapi juga rezim yang berkuasa pun ikutan naik pitam, ini
dibuktikan dangan dijebloskannya Ali oleh SAVAK dengan alasan yang tidak jelas yang
selamanya tidak pernah dihadapkannya Ali Syari’ati ke meja pengadilan, di dalam penjara
Komiteh yang terkenal akan keangkeran para penjaga serta sikaannya terhadap tahanan
politik. Dia menyelesaikan gagasannya yang disajikan dalam dua teks yaitu,“Manusia“ dan
“Kembali“ seta karyanya yang lain, “Kembali Kepada Jati diri Yang Mana?“ dalam usisan ini
Ali mengatakan musuh-musuh luar negeri bukanlah ancaman ekonomi dan politik, malah
yang merupakan sebuah bahaya yang utama adalah “imperialisme kultural“
Sebelas bulan setelah kebebasannya dari penjara Komiteh, 14 Februari 1976. Bagian
pertama dari Manusia, Islam dan doktin-doktrin baratnya. Namun demikian dia edarkan
tulisan tersebut dengan judul “Marxisme melawan Islam“ hal ini dimaksudkan sebagai
pembawa pesan. Ali menyatakan bahwa Marxisme tidak sesuai dengan Islam maupun
nasionalisme Iran, namun dia juga mengaitkan kaum atheis yang sadar secara sosial sebagai
lebih erat dengan semangat agama daripada kaum agama yang berpandangan picik dan jauh
dari persoalan sosial. Dalam artikelnya ini tidak banyak yang berbeda pada apa yang
disajikan dalam Eslamshenasi.
Kurang dari dua bulan setelah publikasinya, sebuah berita klandestin yang disebarkan
oleh sekolah agama Qom, yang memperingatkan atas kejadian yang terjadi merupakan
permainan rezim, yang dituduh menodai tokoh tidak tercela dan lurus dari figur Islam
terkemuka seperti Ali Syari’ati dan membuat skisma dan perpecahan.
Juga mengkaitkan bahaya leberalisme dan modernisme. Ali menaruh perhatian
tentang dampak merugikan Marxisme. Pertama, Marxisme merupakan fisafat yang
mengasingkan identitas keimanan, keislaman dan ketimuran dari rakyat Iran. Kedua,
Marxisme merupakan filsafat yang memusuhi ”kepribadian eksistensialis, diri historis dan
identitas eksistensialis independen” manusia. Ketiga, kaum Marxis Iran terasing dan
menjauhi manusia-manusia yang berfikir, merasa, berbicara, berteori, dan bertindak secara
tidak benar dan serampangan. Ali juga menolak semua corak internasionalisme (Islam,
Kristen, ploretarian atau sosialis) karena kesemuanya itu merupakan sumber imperialisme.
Menekankan untuk kembalike akar jati diri dan kebudayaan nasional, menegaskan juga
bahwa kebangkitan nasional membutuhkan kepercayaan diri dan kesadaran diri.
Pada 16 Mei 1977, Ali Syari’ati meninggalkan Iran karena sudah tidak tahan lagi
dengan keadaan lingkungan dan penjagaan SAVAK atas dirinya karena dianggap sebagai
pelaku revolusioner yang aktif. Dia meninggalkan Iran dengan samaran Mizani karena
namanya sendiri sudah termasuk daftar cekal. Ali terbang menuju London dengan harapan
memulai kehidupan barunya yang terbebas dari tekanan SAVAK. Akan tetapi, pada 21 juni
1977 di pagi hari, dia sudah ditemukan dalam keadaan telungkup di atas lantai. Menurut
catatan medis, ia mengalami gagal jantung karena tekanan pada kehidupannya selama ini
yang menyebabkan meninggal dunia secara mendadak. Ali Syari’ati dimakamkan di dekat
kuburan zainab, saudara Imam Husein.
******
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
RICKY RAMA WARDANA
070610343
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2007