almadani3-nashihul

16
1 PRODUK STANDAR EKONOMI SYARIAH DALAM KITAB FATH AL-QARIB AL-MUJIB KARYA MUHAMMAD IBN QASIM AL-GHAZZI Nashihul Ibad El-Has Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah (STAIFAS) Jember Jawa Timur Email: [email protected] Abstrak Artikel ini mengkaji tentang sistem dan produk standar ekonomi syariah atau sistem muamalat dalam kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb karya Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi. Saat ini menjadi produk standar perbankan syariah di Indonesia seperti bay’ (murabahah), salam, syirkah (musyarakah), dan ijârah. Dari sini penulis melakukan kajian historis tentang akad-akad tersebut, sehingga produk standar perbankan syariah yang berlandaskan pada akad-akad muamalat tersebut dapat ditelusuri secara jelas dan akuntabel. Kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb disamping mempunyai kontribusi, juga memiliki klan berupa kitab-kitab matan dan syarh yang mengakar kuat, sehingga saat ini mulai menjamur tentang sistem ekonomi syariah. Tulisan ini membandingkan akad-akad muamalat yang termaktub dalam kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb dengan konsep bisnis syariah yang menjadi produk standar perbankan syariah di Indonesia. Keywords: produk standar, ekonomi syariah, bank syariah, transaksi syariah, fathul-qarîb.

Upload: rifky-riswana

Post on 12-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PERBANKAN SYARIAH 2008:EVALUASI, TREND, DAN PROYEKSI

TRANSCRIPT

Page 1: almadani3-nashihul

1

PRODUK STANDAR EKONOMI SYARIAH DALAM KITAB FATH AL-QARIB AL-MUJIB KARYA MUHAMMAD

IBN QASIM AL-GHAZZI

Nashihul Ibad El-Has Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah

(STAIFAS) Jember Jawa Timur Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini mengkaji tentang sistem dan produk standar ekonomi syariah atau sistem muamalat dalam kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb karya Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi. Saat ini menjadi produk standar perbankan syariah di Indonesia seperti bay’ (murabahah), salam, syirkah (musyarakah), dan ijârah. Dari sini penulis melakukan kajian historis tentang akad-akad tersebut, sehingga produk standar perbankan syariah yang berlandaskan pada akad-akad muamalat tersebut dapat ditelusuri secara jelas dan akuntabel. Kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb disamping mempunyai kontribusi, juga memiliki klan berupa kitab-kitab matan dan syarh yang mengakar kuat, sehingga saat ini mulai menjamur tentang sistem ekonomi syariah. Tulisan ini membandingkan akad-akad muamalat yang termaktub dalam kitab Fathul-Qarîb al-Mujîb dengan konsep bisnis syariah yang menjadi produk standar perbankan syariah di Indonesia. Keywords: produk standar, ekonomi syariah, bank syariah, transaksi syariah, fathul-qarîb.

Page 2: almadani3-nashihul

2

A. Pendahuluan Salah satu karya fiqh tradisional yang banyak dikaji dan dijadikan rujukan dasar di pondok

pesantren adalah kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb karya Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy.1 Kitab ini berisi kumpulan materi fiqh, seperti fiqh ibadah, munâkahât, jinâyât, muamalat, dan sebagainya. Tetapi kajian buku ini dibatasi pada materi fiqh muamalat semata, terutama tentang akad-akad yang juga menjadi akad standar perbankan syariah di Indonesia pada saat ini, seperti ijârah, syirkah, salam, dan lain-lain.

Fiqh muamalat dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb masih terbatas pada konteks zamannya, sehingga perlu dikontekstualisasi, terutama untuk mengkaji dan memahami praktek bisnis syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah. kajian ini berusaha mengkontekstualisasi konsep fiqh muamalat dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb, sehingga kalangan pesantren diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam mengkonstruksi bisnis syariah di Indonesia. Sebab tanpa fiqh tradisional, konsep bisnis syariah modern akan kehilangan ruhnya.

Selain dilatarbelakangi oleh pembacaan terhadap kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb yang perlu diperbaharui, kontekstualisasi juga dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara das sein dan das sollen, yakni antara teori dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb dengan akad-akad di dunia perbankan syariah di Indonesia saat ini.

Dalam hal ini, penulis akan melakukan kajian kontekstualisasi pembahasan-pembahasan fiqh muamalat yang ada dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb karya Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Gazziy. Tetapi kontekstualisasi tersebut hanya terbatas pada akad-akad yang telah dibakukan menjadi akad-akad standar bisnis syariah di lembaga keuangan syariah, khususnya di bank-bank syariah.

Selain itu, penulis juga mengkontekstualisasi sejumlah hal yang masih terkait permasalahan bisnis syariah dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb tersebut, seperti konsep mata uang, contoh-contoh kasus, dan lain sebagainya. Langkah kontekstualisasi ini diperlukan guna menyesuaikan ajaran fiqh tradisional dengan semangat zaman (rûh al-‘asr).

B. Produk-Produk Standar Bank Syariah

Pada sub-bab ini, akan dipaparkan tentang akad-akad muamalat yang telah menjadi produk standar bisnis syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah, khususnya di dunia perbankan syariah Indonesia.

Peran pokok perbankan syariah adalah sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) antara unit-unit ekonomi yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (lack of funds). Karenanya, untuk menjalankan fungsi intermediasi tersebut, lembaga perbankan syariah akan melakukan kegiatan usaha baik berupa penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun menyediakan berbagai jasa transaksi keuangan kepada masyarakat.2

Jika dilihat dari aspek perbedaannya dengan perbankan konvensional, setidaknya terdapat empat ciri-ciri perbankan syariah, yaitu:3

1. Bank syariah menjadikan uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.

1 Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fath al-Qarîb al-Mujîb (Surabaya: al-Hidayah, t.t.). Kitab Fath al-Qarîb

merupakan salah satu kitab fiqh paling populer di Indonesia, terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan Islam di Indonesia, terutama pondok-pondok pesantren, yang menggunakan Fathal-Qarîb sebagai salah satu rujukan utama dalam bidang fiqh.

2 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hlm. 119. 3 Buchari Alma & Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 8.

Page 3: almadani3-nashihul

3

2. Bank syariah menggunakan cara bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil, bukan sistem bunga sebagai imbalan terhadap pemilik uang yang besarnya ditetapkan di muka.

3. Risiko usaha akan dihadapi bersama antara nasabah dengan bank syariah dan tidak mengenal selisih negatif (negative spread).

4. Pada bank syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pengawas kegiatan operasional bank syariah agar tidak menyimpang dari nilai-nilai syariah. Demikian pula dalam hal pelayanan terhadap nasabah, setidaknya terdapat 3 (tiga) prinsip

yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu:4 1. Prinsip keadilan, yakni imbalan berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan ditetapkan

atas kesepakatan antara bank dan nasabah; 2. Prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dana, pengguna dana, dan bank memiliki

hak, kewajiban, dan beban terhadap risiko serta keuntungan yang berimbang; dan 3. Prinsip ketenteraman, yakni bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan kaidah

muamalat Islam, yaitu bebas riba dan menerapkan zakat harta. Secara umum, piranti-piranti yang digunakan oleh bank syariah terdiri atas tiga kategori,

yaitu:5 1. Produk penghimpunan dana (funding). 2. Produk penyaluran dana (financing). 3. Produk jasa (services).

Tiga kategori tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk akad-akad bank syariah yang secara umum dapat dipilah menjadi dua bentuk, yakni akad standar dan akad pelengkap.6 Produk-produk perbankan syariah yang telah distandardisasi pada tahun 2005 yakni: 7

1. Tabungan Mudarabah. 2. Deposito Mudarabah. 3. Pembiayaan Mudarabah. 4. Pembiayaan Musyarakah. 5. Pembiayaan Murabahah.

Selanjutnya pada 2006, dilakukan standardisasi produk-produk lain, yakni meliputi:8 1. Pembiayaan Ijârah. 2. Pembiayaan Ijârah Muntahiyah bi Tamlîk. 3. Pembiayaan Salam dan Salam Paralel. 4. Pembiayaan Istis}nâ’ dan Istisnâ’ Paralel.

Sehingga jika dirumuskan, produk-produk standar bisnis syariah yang berlaku di dunia perbankan syariah Indonesia sekaligus juga terdapat dalam terminologi fiqh tradisional, khususnya yang termaktub dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb meliputi 6 (enam) akad, yakni:

1. Bay’ (jual-beli), sebagai akad induk dari akad pembiayaan murabahah, salam, dan istisnâ’. 2. Salam (pemesanan), yang kemudian melahirkan akad istis}nâ’. 3. Qirâdh atau Mudarabah. 4. Syirkah, sebagai embrio akad pembiayaan dengan pola musyarakah. 5. Ijârah, yang pada masa kini berkembang menjadi 2 (dua) akad, yakni Ijârah dan Ijârah

Muntahiyah bi Tamlîk (IMBT).

4 Ibid., hlm. 9. 5 Lihat: Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: Ekonisia, cet: II,

2004), hlm. 56. 6 Akad pelengkap pada perbankan syariah meliputi: Hiwâlah, Rahn, Qardl, Wakâlah dan Kafâlah. Lihat: Ibid., hlm.

71-78. 7 Lihat: Ascarya, Akad & Produk, hlm. 228. 8 Ibid.

Page 4: almadani3-nashihul

4

6. Wadî’ah, sebagai salah satu prinsip penitipan dalam akad-akad standar perbankan syariah di Indonesia.

C. Sisitem Transaksi Syariah dalam Kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb Berikut ini adalah pemaparan tentang enam akad muamalat dalam kitab Fath al-Qarîb al-

Mujîb yang pada saat ini juga menjadi produk-produk standar pada perbankan syariah di Indonesia.

1. Jual beli (al-Bay’) Jual beli yang termaktub dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb masih dalam pengertian dan

praktek yang sederhana, yakni berupa kegiatan tukar menukar barang atau biasa disebut barter. Praktek jual beli masa kini sangat jarang menggunakan pola barter. Saat ini, jual beli lazimnya menggunakan alat tukar, terutama uang. Akad jual beli dalam sistem ekonomi modern lebih representatif menggunakan alat tukar berupa uang atau sejenis yang dikeluarkan secara resmi oleh masing-masing negara. Hal ini lebih bernilai positif daripada menggunakan cara lama berupa pola barter yang memiliki sejumlah kekurangan tersebut.

Tentang persyaratan jual beli dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb antara lain disebutkan bahwa obyek jual beli bukanlah berupa benda yang najis atau benda suci yang terkena najis (mutanajjis).9 Padahal pada saat ini banyak sekali obyek jual beli (barang dagangan) yang mengandalkan hasil limbah peternakan, seperti kotoran sapi yang digunakan sebagai bahan pupuk organik, atau bahkan kotoran manusia yang digunakan untuk bahan biogas ramah lingkungan.

Selain itu, banyak pula bahan baku industri yang menggunakan barang-barang najis, seperti alkohol dan cairan memabukkan sejenis khamr yang di dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb termasuk contoh barang najis. Begitu pula jika dikaitkan dengan fakta bahwa barang-barang beralkohol tersebut juga diproduksi untuk keperluan medis yang tentunya bersifat dharûriyyah. Tentu hal ini dapat dibenarkan dengan berlandaskan kaidah:

.الضرورات تبيح المحظورات10

Dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb tidak disebutkan mengenai ‘illah hukum jual beli barang najis dan barang suci yang terkena najis (mutanajjis). Tetapi jika diamati dari contoh-contoh yang termaktub di dalamnya, mengandung indikasi bahwa ‘illah hukum jual beli barang najis tidak sah adalah karena haram untuk dikonsumsi (di-tas}arruf) dalam bentuk yang diharamkan, seperti makanan atau minuman yang memabukkan (muskir).11

Padahal fungsi obyek jual beli tidak hanya berupa makanan dan minuman semata, tetapi juga untuk berbagai macam keperluan lain, seperti bahan baku produksi, pemenuhan kebutuhan energi alternatif, dan lain-lain. Karena itu, pada dasarnya hukum jual beli barang najis adalah sah, dengan catatan, penggunaannya tidak melanggar prinsip syar’iy, seperti untuk dikonsumsi sebagai makanan atau minuman. Perubahan status hukum jual beli barang najis ini disebabkan ‘illah keharamannya dapat dihilangkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh:

12 .الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

Selanjutnya, sistem jual beli yang saat ini diterapkan di dunia perbankan syariah adalah sistem jual beli dengan skim murabahah. Murabahah adalah istilah dalam fiqh Islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk

9 Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fathal-Qarîb..., hlm. 29. 10 Lihat: Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb Ibn ‘Âliy Ibn ‘Abd al-Kâfiy al-Subkiy, al-Asybâh wa al-Nazhâir (t.tp.: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), Vol: 1, hlm. 55. Dalam al-Maktabah al-Syâmilah versi 3,11. 11 Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fath al-Qarîb..., hlm. 29. 12 Lihat: Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islâmiy, Vol: 8, hlm. 430. Dalam al-Maktabah al-Syâmilah versi 3,11.

Page 5: almadani3-nashihul

5

memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan. Tingkat keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum atau presentase tertentu dari biaya perolehan.

13 Pembayaran dapat dilakukan secara spot (tunai) atau dapat pula dilakukan di

kemudian hari sesuai kesepakatan. Karena itu, murabahah tidak sendirinya mengandung konsep pembayaran tertunda (deferred payment), sebagaimana persepsi sebagian kalangan yang memahami murabahah hanya dalam hubungannya dengan transaksi pembiayaan di perbankan syariah, tetapi tidak memahami fiqh Islam secara utuh.

Sedangkan dilihat dari aspek aplikasinya di lembaga keuangan syariah, akad jual beli dengan skim murabahah ini dilakukan antara nasabah sebagai pihak pembeli dan bank sebagai pihak penjual, dengan harga dan keuntungan yang disepakati diawal akad. Pada sisi liabilitas, murabahah diterapkan untuk deposito, yang dananya dikhususkan bagi pembiayaan murabahah saja.14

Dalam praktek perbankan syariah, akad pembiayaan murabahah berarti penyediaan dana atau tagihan oleh bank syariah untuk transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah keuntungan (margin) berdasarkan kesepakatan dengan nasabah yang harus membayar sesuai dengan akad. Pengertian harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qîmah) benda yang menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah dengan keuntungan (margin) sesuai dengan hasil kesepakatan.15

Jika dirumuskan, teknis pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah adalah sebagai berikut:16

a. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah bertindak sebagai pihak pembeli. Harga jual adalah harga beli oleh bank dari produsen (pabrik/toko) ditambah keuntungan (mark-up). Kedua pihak tersebut harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.

b. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati bersama oleh para pihak tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, pembayaran murabahah lazimnya dilakukan dengan cara cicilan (bi s\aman âjil).

c. Dalam transaksi ini, jika barang sudah tersedia, maka segera diserahterimakan pada pihak nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.

2. Salam (Akad Pemesanan)

Pada saat ini, hampir semua obyek yang dapat diperjualbelikan, tentunya selama tidak melanggar tuntunan syar’iy, maka dapat pula (sah) diperjualbelikan dengan menggunakan akad salam. Sebab akad salam kurang lebih hanya merupakan salah satu cara dalam melakukan aktivitas jual beli, bukan berkaitan dengan keabsahan komoditas atau obyek yang diperjualbelikan, sebagaimana telah dikontekstualisasi pada pembahasan jual beli. Teknis perbankan untuk akad salam adalah sebagai berikut:17

13 Ascarya, Akad & Produk, hlm. 81-82. 14 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup Peluang, Tantangan, dan Prospek (Jakarta: AlvaBet, 1999), hlm.

200-201. 15 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah, hlm. 129-130. 16 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 62. 17 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah..., hlm. 64.

Page 6: almadani3-nashihul

6

a. Salam merupakan transaksi jual beli dengan ketentuan bahwa barang yang diperjualbelikan tersebut belum ada. Oleh karena itu, obyek akad salam diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakukan secara tunai.

b. Saat barang diserahkan oleh produsen (pabrik/toko) kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada nasabah secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli oleh bank dari nasabah, ditambah keuntungan.

c. Jika bank menjualnya secara tunai biasanya disebut dengan pembiayaan talangan (bridging financing). Jika bank menjual secara cicilan, maka bank dan nasabah harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.

d. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.

Akad salam berkembang pula menjadi akad istisnâ’. Dalam beberapa literatur fiqh, akad istisnâ’ disajikan dalam pembahasan akad salam. Bahkan dalam kitab-kitab terdahulu, salah satunya dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb, akad istisnâ’ sama sekali tidak dikenal.

Salah satu perbedaan akad istisnâ’ dengan akad salam adalah bahwa barang pesanan dibuat oleh s}âni’. Misalnya, ketika seseorang memesan untuk dibuatkan cincin dari perak, maka dia telah berakad istisnâ’ dengan pembuat cincin (sâni’), dengan catatan, bahan dasar disediakan oleh pihak sâni’, bukan dari pihak mustasni’. Sebab jika bahan dasar disediakan oleh mustasni’, hal ini tidak disebut istisnâ’ tetapi disebut akad ijârah.18

Sebagai bentuk jual beli forward, istisnâ’ mirip dengan salam. Tetapi ada beberapa perbedaan di antara keduanya, antara lain:19

a. Objek istisnâ’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi lebih dahulu.

b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di awal akad, sedangkan harga dalam akad istisnâ’ tidak harus dibayar penuh di muka, tetapi dapat pula diangsur atau dibayar di belakang.

c. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan sepihak, sementara pada istisnâ’, akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.

d. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad salam, tetapi dalam istisnâ’ tidak merupakan keharusan. Aplikasi salam di lembaga keuangan biasanya dipergunakan untuk produk-produk

pertanian jangka pendek. Dalam hal ini lembaga keuangan bertindak sebagai pembeli produk dan memberikan uangnya lebih dulu, sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena pengantarannya berupa produk pertanian, biasanya lembaga keuangan melakukan paralel salam, yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba. Sementara pada akad istisnâ’, lembaga keuangan bertindak sebagai penjual (mustasni’ ke-1) kepada bahir (pemilik proyek atau pembeli), dan mensubkannya pada kontraktor (mustasni’ ke-2).20

Dalam praktek perbankan syariah, pembiayaan salam berarti penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi jual beli barang melalui pesanan (kepada nasabah produsen) yang dibayar di muka secara tunai oleh bank berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan

18 Akad istisnâ’ digolongkan akad salam karena sebutan istis}nâ’ dalam fasal tentang salam adalah al-salam fi al-

sinâ’ah. Untuk keterangan lebih lengkap tentang hal ini, lihat: Ali Ahmad al-Sâlûs, Mausû’ah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah wa al-Iqtisâd al-Islâmiy (Bilbis: Maktabah Dâr al-Qur’ân, 2002), hlm. 817-819.

19 Ascarya, Akad & Produk..., hlm. 98. 20 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah..., hlm. 202.

Page 7: almadani3-nashihul

7

nasabah pembiayaan yang harus melunasi utang dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan akad.21

Dalam menjalankan akad salam, pihak bank terlebih dahulu bernegosiasi dengan calon nasabah pembiayaan melalui akad salam pertama. Untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah pembiayaan, bank syariah harus melakukan salam dengan nasabah produsen melalui salam kedua, dengan syarat akad kedua tidak tergantung (mu’allaq) dengan akad pertama. Transaksi jual beli melalui kedua akad salam yang dilakukan oleh bank secara terpisah dinamakan salam paralel.22

Sedangkan pada pembiayaan istis}nâ’, dalam praktek perbankan syariah, berarti penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi jual beli barang melalui pesanan pembuatan barang (kepada nasabah produsen), yang dibayar oleh pihak bank berdasar kesepakatan bersama dengan nasabah pembiayaan yang harus melunasi hutang atau kewajibannya sesuai dengan akad.23

Dalam menjalankan akad istisnâ’, pihak bank terlebih dahulu bernegosiasi dengan calon nasabah pembiayaan melalui akad istisnâ’ pertama. Untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah pembiayaan, bank harus menjalankan jual beli istis}nâ’ dengan nasabah produsen melalui akad istisnâ’ kedua dengan syarat akad kedua tidak tergantung (mu’allaq) dengan akad pertama. Transaksi jual beli melalui kedua akad istisnâ’ yang dilakukan oleh bank secara terpisah ini dinamakan istisnâ’ paralel.24

Ketentuan umum yang berlaku pada dunia perbankan syariah untuk akad istisnâ’ adalah sebagai berikut:25

a. Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran dan jumlah. b. Harga jual telah disepakati tercantum dalam akad istisnâ’ dan tidak boleh berubah

selama berlakunya akad. c. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan asal dan terjadi perubahan harga

setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan ditanggung oleh nasabah.

3. Syirkah (Akad Kerjasama Bisnis)

Salah satu akad standar perbankan syariah adalah musyarakah (perserikatan). Musyarakah merupakan turunan dari kata syirkah yang berarti percampuran. Para ahli fiqh mendefinisikan akad ini sebagai kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam modal maupun keuntungan. Hasil keuntungan dibagi-hasilkan sesuai kesepakatan para pihak di awal akad sebelum melakukan usaha. Sedangkan kerugian dalam akad ini ditanggung secara proporsional sampai batas modal masing-masing pihak.26

Secara umum, musyarakah dapat diartikan sebagai patungan modal usaha dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Juga dapat diartikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Terdapat 2 (dua) jenis musyarakah, yaitu:27

21 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah..., hlm. 130. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid., hlm. 130-131. 25 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah..., hlm. 65. 26 Buchari Alma & Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah..., hlm. 11. 27 Ibid.

Page 8: almadani3-nashihul

8

a. Musyarakah kepemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan suatu aset oleh 2 (dua) orang atau lebih;

b. Musyarakah akad, diwujudkan dengan cara kesepakatan berupa persetujuan antara 2 (dua) orang atau lebih bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Perbedaan antara musyarakah dan mudarabah terletak pada peran s}âh\ib al-mâl.

Pada mudarabah, s}âh\ib al-mâl tidak ikut mengelola usaha bisnis yang dilakukan mud}ârib, kecuali dalam hal controlling (pasif). Sedangkan pada musyarakah, s}âh\ib al-mâl ikut aktif mengelola usaha bersama dengan pengelola dana.28 Aplikasi musyarakah yang berlaku di lembaga keuangan meliputi 2 (dua) cara:29

a. Diterapkan pada usaha atau proyek yang dibiayai oleh lembaga keuangan yang jumlahnya tidak sampai 100%, sedang sisanya ditanggung oleh nasabah;

b. Diterapkan pada sindikasi antarlembaga keuangan. Dalam praktek perbankan syariah, pembiayaan musyarakah berarti penyediaan

dana oleh bank untuk memenuhi sebagian modal suatu usaha tertentu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang harus melakukan settlement atas investasi sesuai ketentuan akad. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai kegiatan usaha tertentu. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah disepakati.30

Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang. Jika pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati dengan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing). Sedangkan jika mengalami kerugian, maka risiko tersebut ditanggung secara proporsional menurut porsi modal masing-masing pihak, kecuali jika terjadi kecurangan atau kelalaian yang menyalahi perjanjian oleh salah satu pihak.31

4. Mudarabah atau Qirâdl Qirâd sendiri berasal dari kata al-qard yang berarti al-qath’u (pemotongan). Hal ini karena

pemilik harta memotong dari sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak pengurusannya kepada orang yang mengelolanya dan pengelola memotong untuk pemilik bagian dari keuntungan sebagai hasil dari usaha dan kerjanya.32Tetapi pada prakteknya, terdapat perbedaan mendasar antara Qirâd dan Qard, yakni:33

a. Qirâd adalah suatu macam syarikat, sedangkan Qard adalah suatu bentuk amal kebajikan dengan peminjaman uang.

b. Pada prinsipnya, dalam Qirâd, orang yang menerimanya tidak berkewajiban untuk menjamin kerugian atau kehilangan harta modal Qirâd jika tidak ada unsur kesengajaan dan keteledoran karena ia menjadi orang yang dipercaya (mu’taman),

28 Muslich, Bisnis Syariah..., hlm. 138. 29 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah..., hlm. 205. 30 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah..., hlm. 126. 31 Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana bagi Bank yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid., hlm. 126-127. 32 Lihat: Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktek

Ekonomi Modern (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003), hlm. 45. 33 Ibid., hlm. 79.

Page 9: almadani3-nashihul

9

sementara dalam akad Qard, barang yang dia terima sebagai Qard menjadi tanggungannya (yad damânah) dan tentunya dia berkewajiban mengembalikannya, dalam kondisi apapun.

c. Dalam Qirâd, orang yang menyerahkan (pemilik harta) berhak mendapatkan bagian keuntungan yang dihasilkan. Sedangkan dalam Qard}, pemberi Qard tidak boleh memetik keuntungan atau manfaat apapun dari Qard} di balik persyaratan akad Qard}.

d. Hukum, ketentuan dan syarat-syarat sah Qard} sangat berbeda dari hukum, ketentuan dan persyaratan Qirâd}, karena hakikat dasar keduanya adalah berbeda.

Secara historis, tidak ditemukan asal-usul mudarabah dan telah dipraktekkan secara turun-temurun di beberapa wilayah dengan istilah yang berbeda-beda. Istilah mudarabah pada dasarnya tidak muncul sejak masa Nabi Muh\ammad, tetapi sudah ada jauh sebelum beliau lahir. Istilah itu muncul sebagai kerjasama bangsa semenanjung Arab yang berkembang dalam konteks perdagangan para kafilah Arab pra-Islam. Istilah itu berkembang luas ketika dalam sejarah bangsa Arab berhasil menaklukkan beberapa wilayah Timur Dekat, Afrika Utara, sampai dengan Eropa Selatan.34

Mudarabah dalam terminologi Islam dikenal sejak Rasulullah berusia 25 tahun, yakni ketika Muh\ammad muda diperkenalkan oleh pamannya Abû T{âlib kepada saudagar kaya bernama Siti Khadîjah binti Khuwailid dengan maksud untuk menjadikannya sebagai mitra usaha dalam menjalankan bisnis. Khadîjah menerima tawaran tersebut dan memberikan kepercayaan kepada Muh\ammad untuk melakukan perdagangan ke pasar-pasar Busra. Dalam kerjasama tersebut Khadîjah mendapatkan keuntungan berlipat dibanding pedagang-pedagang lain dan belum pernah diraih oleh pedagang sebelumnya.35

Hubungan kerja di atas menurut salah satu pendapat dilakukan dengan sistem bisnis bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan sistem mudarabah. Khadijah merupakan pemilik modal atau s}âh\ib al-mâl, sedangkan Muh\ammad muda sebagai pemilik keahlian atau mud}ârib. Keduanya bersepakat atas suatu pola kerjasama serta atas pembagian keuntungan dan kerugian ketika kerjasama itu usai. Dengan konsep melakukan kegiatan bisnis. Kegiatan yang kemudian menjadikannya sebagai pebisnis yang sangat sukses. Tercatat dalam sejarah, sebelum menikah dengan Siti Khadîjah, Muh\ammad melakukan delapan kali perjalanan bisnis atas nama Khadîjah; yakni empat kali ke Yaman, dua kali ke Habasyah, dan dua kali ke Jorasy.36

Dalam konteks saat ini, pada praktek mudarabah di perbankan syariah, shâhib al-mâl boleh menentukan bentuk usaha yang dilakukan oleh mudârib, dan mudârib harus menginvestasikan modal ke dalam usaha tersebut semata. Mudarabah ini disebut mudarabah muqayyadah (mudarabah terikat). Akan tetapi jika sâhib al-mâl memberi kebebasan kepada mudârib untuk melakukan usaha apapun yang dikehendaki oleh mudârib, maka sâhib al-mâl harus memberikan otoritas pada mudârib untuk menginvestasikan modal ke dalam suatu usaha tertentu yang dirasa cocok oleh mudârib. Mudarabah seperti ini disebut mudarabah mutlaqah (mudarabah tidak terikat).37

Dalam mudarabah mutlaqah, penyelenggara usaha (mudârib) memiliki hak sebagai berikut:38 a. Dia memiliki hak untuk menyertakan modal ke bisnis ini. b. Dia memiliki hak untuk memperoleh modal dari partner lain atau ketiga untuk

ditanamkan pada bisnis mudarabah.

34 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah, hlm. 27. 35 Lihat: Lihat: pembahasan akad al-qirâd dalam Bab III. Lihat pula: Lukman Fauroni, “Sekapur Sirih”, dalam:

Muhammad, Konstruksi Mudharabah, hlm. vii-viii. 36 Ibid. 37 Ascarya, Akad & Produk..., hlm. 63. 38 Muslich, Bisnis Syariah: Perspektif Mu’amalah dan Manajemen, (Yogyakarta: Unit Penerbitan dan Percetakan

Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2007), hlm. 112.

Page 10: almadani3-nashihul

10

c. Dia memiliki hak untuk bekerjasama dengan partner ketiga. d. Dia berhak menjual produk yang dihasilkan secara kredit. e. Dia berhak membeli barang secara kredit. f. Dia berhak mengikuti keinginan pelanggan dalam berdagang. g. Dia berhak memberikan modal pemilik pada pihak ketiga dalam rangka

melaksanakan bisnis mudarabah ini. Sedangkan pada mudarabah muqayyadah, penyelenggara usaha (mudârib) hanya berhak

mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemilik modal (sâhib al-mâl). Misalnya komoditas yang diusahakan hanya berupa komoditas tertentu saja yang sudah disepakati dan tidak boleh menyelenggarakan komoditas atau bentuk usaha lain. Begitu pula dalam masalah tempat, penyelenggara usaha tidak boleh membeli barang atau sumber daya ekonomi di tempat atau partner tertentu selain yang telah disepakati bersama pemilik modal.39 Ketentuan ini menjadi pembeda dua jenis mudarabah tersebut.

Aplikasi mudarabah di lembaga keuangan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, di sisi liabilitas, mudarabah adalah akad antara depositor (pemilik modal) dengan lembaga keuangan (mudârib) untuk mengelola dana milik depositor. Kedua, di sisi aset, mudarabah merupakan akad pembiayaan lembaga keuangan terhadap usaha/proyek milik nasabah, dengan ketentuan lembaga keuangan menyediakan modal 100% dari usaha tersebut dengan sistem bagi hasil.40

Aplikasi akad mudarabah muqayyadah pada lembaga keuangan diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana nasabah, sementara lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang mengadministrasikan proyek tersebut. Dalam terminologi perbankan syariah, hal ini lazim disebut special investment.41

Pada perkembangan selanjutnya, mudarabah muqayyadah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu:42 a. Mudarabah Muqayyadah on Balance Sheet, yakni simpanan khusus (restricted investment)

dengan ketentuan pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, dengan syarat digunakan untuk bisnis tertentu, atau dengan syarat digunakan dengan akad tertentu, atau dengan syarat digunakan untuk nasabah tertentu.

b. Mudarabah Muqayyadah off Balance Sheet, yakni penyaluran dana mudarabah secara langsung pada pelaksana usaha, dengan ketentuan, bank bertindak sebagai pihak perantara (arranger) yang mempertemukan pemilik dana dengan pelaksana usaha.

Dari perjalanan sejarahnya, mudarabah merupakan akad yang banyak mengalami perkembangan, khususnya pada praktek perbankan. Pembagian mudarabah menjadi mudarabah mut}laqah dan mudarabah muqayyadah merupakan salah satu bukti perkembangan itu. Ditambah pembagian berikutnya, yakni mudarabah muqayyadah on balance sheet dan mudarabah muqayyadah off balance sheet, yang merupakan dua opsi investasi khusus dalam koridor perbankan syariah.

Selain itu, bukti adanya perkembangan dalam akad mudarabah juga dapat dilihat dari jumlah pihak yang terlibat. Jika dalam konsep fiqh dikenal adanya dua pihak dalam akad mudarabah, yakni sâhib al-mâl dan mudârib, maka dalam sistem perekonomian modern, pihak yang terlibat dalam kerjasama ini menjadi tiga, yaitu:43

39 Ascarya, Akad & Produk..., hlm. 63. 40 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah..., hlm. 202-203. 41 Ibid. 42 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 60. Pengembangan akad ini sesuai dengan prinsip

kebebasan berakad (hurriyyah al-ta’aqud) dalam konsep fiqh muamalat. 43 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah..., hlm. 28.

Page 11: almadani3-nashihul

11

a. Pihak yang menyimpan dana (depositor). b. Pihak yang membutuhkan dana, yakni pengusaha (debitur). c. Pihak yang mempertemukan antara keduanya (bank).

Pihak pertama (depositor) inilah yang sebenarnya merupakan sâhib al-mâl, karena dia merupakan pemilik dana yang secara sadar akan digunakan untuk kepentingan usaha tertentu. Sementara pihak kedua (debitur) adalah mudhârib yang sebenarnya, sebab dialah yang menggunakan dana depositor untuk digunakan sebagai modal usaha. Sedangkan pihak ketiga (bank) merupakan pihak yang menjembatani keinginan pihak shâhib al-mâl dan mudhârib.44

5. Ijârah (Akad Sewa)

Sebelum membahas perkembangan ijârah dan perbandingannya antara konsep klasik dengan konsep modern, dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai analisis istilah yang digunakan oleh Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb tentang akad ijârah tersebut. Berikut ini adalah paparan tentang diksi yang beliau gunakan berkaitan dengan ijârah sekaligus makna masing-masing diksi tersebut:

a. Kata al-musta’jir. Kata ini memiliki arti “yang menyewa”.45 b. Kata al-mu’jir. Kata ini berarti “yang menyewakan”.46 Dalam penggunaannya, kata

ini sering dimaksudkan sebagai orang atau pihak yang sengaja menyewakan barang. Dalam kata lain, dia merupakan lembaga atau institusi penyedia layanan sewa. Pihak al-mu’jir inilah yang menjadi mukhât}ab utama dalam hadis tentang landasan hukum ijârah pada bab III. Sedangkan al-maqûl fîh (topik) hadis tersebut adalah pihak al-ajîr.

c. Kata al-ajîr. Secara leksikal kata ini berarti “yang mendapatkan ongkos”. Artinya, pihak al-ajîr tidak secara sengaja menjadikan dirinya sebagai “yang disewa”, tetapi ia ada sebab dipekerjakan oleh al-musta’jir. Saat ini, kata al-ajîr tersebut sering diartikan sebagai “pelayan” atau “pekerja”.47 Persamaan arti antara al-ajîr dengan al-mu’jir terletak pada posisi keduanya, yakni

sama-sama memiliki peran sebagai “pemilik sesuatu yang disewa”. Sementara perbedaan keduanya terletak pada aspek inisiatif, yakni pihak al-mu’jir memang sengaja menyediakan layanan sewa, baik berupa barang maupun jasa, sedangkan al-ajîr tidak memiliki unsur kesengajaan dalam menyewakan barang atau jasa.

Perbedaan istilah dalam kitab Fath al-Qarîb al-Mujîb tersebut berimplikasi pada penggunaan istilah obyek sewa (barang atau jasa), sekaligus konsekuensi hukum yang muncul dari perbedaan istilah tersebut, yakni sebagai berikut:

a. Ketika Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy menggunakan kata al-‘ain al-musta’jarah, maka mukhatab-nya yaitu al-mu’jir. Konsekuensi hukumnya: jika al-‘ain al-musta’jarah tersebut hilang atau rusak, maka al-mu’jir berkewajiban mengganti atau memperbaikinya hingga dapat kembali berfungsi optimal.

44 Ibid., hlm. 28-29. 45 Munawwir, Al-Munawwir..., hlm. 9. 46 Farhat, Mu’jam al-Tullâb..., hlm. 7. Lihat juga: Munawwir, Al-Munawwir..., hlm. 9. 47 Kata al-ajîr diartikan al-khâdim (pelayan) atau al-’âmil bi al-ujrah (pekerja dengan upah). Lihat: Farhat, Mu’jam al-

T{ullâb, hlm. 7. Justru dalam Kamus Kontemporer, kata al-ajîr ini diartikan sebagai “buruh upahan”. Hal ini semakin memberikan kesan bahwa al-ajîr tersebut tidak memiliki unsur kesengajaan untuk menyewakan dirinya sebagai buruh, mengingat tak seorangpun yang berkeinginan menjadi buruh rendahan kecuali karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Lihat: Atabik Ali dan Zuhdi Muhdhar, Kamus al-‘Asriy, hlm. 33.

Page 12: almadani3-nashihul

12

b. Ketika Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy menggunakan kata al-‘ain al-mu’jarah, maka mukhatab-nya ada 2 (dua): 1) Al-musta’jir. Konsekuensi hukumnya: jika terjadi kerusakan sebagian pada al-

‘ain al-mu’jarah sebelum akad (sehingga tidak berfungsi optimal), maka akad ijârah tetap sah dan dia tetap berkewajiban membayar sewa sekadar manfaat yang dia peroleh sampai al-‘ain al-mu’jarah tersebut rusak total (tidak dapat dipakai lagi). Tetapi jika al-‘ain al-mu’jarah tersebut rusak total sejak awal (sebelum akad terjadi), maka akad ijârah batal.

2) Al-ajîr. Konsekuensi hukumnya: jika terjadi kerusakan atau cacat pada al-‘ain al-mu’jarah, maka dia tidak berkewajiban menanggung kerusakan atau cacat tersebut, baik terjadi sejak permulaan akad ataupun di tengah akad dengan alasan karena al-ajîr berada dalam posisi diminta (yad al-amânah), kecuali jika terdapat unsur kesengajaan oleh al-ajîr dalam merusak al-‘ain al-mu’jarah. Contoh: al-ajîr memperlakukan binatang pengangkut (sapi, kuda, dan yang sejenis) miliknya secara kasar dan keterlaluan, hingga tidak berfungsi secara optimal setelah akad berlangsung.48

Syeikh Ibrâhîm al-Baijûriy menambahkan; penjaga gudang, penggembala hewan, atau penjaga kamar mandi tergolong kategori al-ajîr, yakni orang yang tenaganya disewa untuk tujuan keamanan. Jika terdapat kerusakan atau kehilangan pada barang yang mereka jaga, maka mereka tidak wajib menanggungnya, kecuali jika terbukti lalai atau terdapat unsur wanprestasi.49

Aplikasi akad ijârah di lembaga keuangan adalah berupa akad sewa yang terjadi antara lembaga keuangan (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa), dengan cicilan sewa yang sudah termasuk cicilan pokok harga barang. Karena itu, biasanya ijârah ini dinamai dengan Ijârah Muntahiyah bi Tamlîk.50

Pada praktek perbankan syariah, pembiayaan ijârah merupakan penyediaan dana atau tagihan berupa transaksi sewa dalam bentuk akad ijârah dengan opsi perpindahan hak kepemilikan dengan akad Ijârah Muntahiyah bi Tamlik berdasarkan persetujuan/kesepakatan antara pihak bank dengan pihak nasabah pembiayaan sebagai pihak yang diwajibkan melunasi hutang/kewajiban sewa sesuai akad.51

Kegiatan penyaluran dana oleh perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan berdasarkan ijârah untuk transaksi sewa menyewa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:52

a. Bank dapat membiayai pengadaan obyek sewa berupa barang yang dimiliki oleh bank atau berupa barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan.

b. Obyek dan manfaat barang sewa tersebut harus dapat dinilai, diidentifikasi secara spesifik serta dinyatakan dengan jelas, termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya.

c. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan.

48 Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fath al-Qarîb..., hlm. 36. 49 Ibrâhîm al-Baijûriy, Hâsyiyah al-Bâjûrîy, Vol: II, hlm. 31. Pengecat baju atau tukang wenter juga termasuk

kategori al-ajîr. Lihat: Taqiy al-Dîn Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husainiy, Kifâyat al-Akhyâr, Vol: I, hlm. 312. 50 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah..., hlm. 204. 51 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah..., hlm. 127. 52 Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana bagi Bank yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid., hlm. 127-128.

Page 13: almadani3-nashihul

13

d. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan.

e. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah.

f. Nasabah wajib membayar sewa, menjaga keutuhan barang sewa dan menanggung biaya pemeliharaannya sesuai kesepakatan.

g. Nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang bukan sebab pelanggaran perjanjian/kelalaian nasabah.

6. Wadî’ah (Akad Titipan) Dilihat dari aspek kebahasaaan, dalam akad wadî’ah terdapat istilah yang seolah-olah sama

tetapi berbeda dalam penggunaannya, yakni sebagaimana ulasan berikut ini: a. Al-Wadî’ah

Al-Wadî’ah mengikuti pola fa’îl. Terkadang berarti pasif (yang ditinggalkan), dan terkadang berarti aktif (yang meninggalkan). Tetapi pada bahasan ini, dia berarti pasif, yakni barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk dijaga oleh orang lain.53

b. Al-Mûdi’ Al-Mudi’ dalam istilah yang dipakai oleh Syeikh Muh\ammad Ibn Qâsim al-

G|azziy adalah pihak yang menitipkan barang. Istilah ini tidak terlalu berpengaruh pada pemahaman akad al-Wadî’ah, karena nyaris sama dengan pengertian leksikalnya.

c. Al-Mûda’ atau al-Wadî’ Permasalahan yang sering muncul adalah mengenai perbedaan makna al-

Mûda’ dan al-Wadî’. Al-Mûda’ adalah pihak yang dititipi barang. Al-Wadî’ juga diartikan sebagai pihak yang dititipi barang. Perbedaannya adalah: pihak al-wadî’ tidak mengajukan diri sebagai pihak yang dititipi; sedangkan pihak al-mûdi’ sebaliknya, yakni pihak yang mengajukan diri untuk dititipi, seperti biro atau lembaga penitipan barang.

Ketika menjelaskan bahwa al-wadî’ tidak menanggung ganti kerugian jika terjadi kerusakan pada al-wadî’ah, Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy menggunakan kata al-wadî’. Artinya, kategori al-wadî’ ini tidak dituntut mengganti barang, karena ia tidak mengajukan diri sebagai orang atau pihak yang dititipi, tetapi sebagai orang atau pihak yang dimintai pertolongan untuk menjaga barang.

Berbeda dengan al-mûda’, maka status hukum untuk kategori ini perlu ditinjau ulang, karena dia mengajukan diri sebagai pihak atau biro jasa penitipan barang. Itu sebabnya, beliau menyatakan al-wadî’ah adalah amanat di tangan al-wadî’, bukan di tangan al-mûda’ (meskipun keduanya sama-sama bertanggung jawab atas keamanan al-wadî’ah, dan meskipun dalam naskah lain disebutkan “di tangan al-mûda” 54.

Corak dari semua perbedaan diksi tersebut dapat dilihat dari cara Syeikh Muhammad Ibn Qâsim al-G|azziy memakai diksi antara al-wadî dan al-mûda’.55 Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor: 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan yang dibenarkan berdasarkan prinsip syariah adalah tabungan wadî’ah dan mudarabah. Wadî’ah diartikan sebagai titipan murni dari satu

53 Ibrâhîm al-Baijûriy, Hâsyiyah al-Baijûriy, Vol: II, hlm. 62. 54 Ibid. 55 Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fath al-Qarîb..., hlm. 39.

Page 14: almadani3-nashihul

14

pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja ketika si penitip menghendaki.56

Sedangkan aplikasi dalam dunia perbankan, tabungan wadî’ah berarti simpanan dana nasabah pada bank yang bersifat titipan dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dan terhadap titipan tersebut bank tidak dipersyaratkan untuk memberikan imbalan kecuali dalam bentuk pemberian bonus secara sukarela.57 Secara umum terdapat 2 (dua) jenis wadî’ah, yaitu:58

a. Wadî’ah Yad al-Amânah (Trustee Depository), adalah akad penitipan barang atau uang dengan ketentuan pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaiannya. Sedangkan aplikasi akad ini pada perbankan syariah adalah berupa produk safe deposit box.

b. Wadî’ah Yad al-D{amânah (Guarantee Depository), yakni akad penitipan barang atau uang dengan ketentuan pihak penerima titipan dapat memanfaatkan barang atau uang titipan dengan atau tanpa ijin pemiliknya, dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang titipan menjadi hak penerima titipan. Prinsip ini diaplikasikan dalam produk giro dan tabungan. Penghimpunan dana dalam bentuk tabungan berdasarkan akad wadî’ah berlaku

persyaratan sebagai berikut:59 a. Pihak bank bertindak sebagai penerima dana titipan, sedangkan nasabah bertindak

sebagai pemilik dana titipan. b. Dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal. c. Dana titipan dapat diambil setiap saat. d. Tidak boleh menjanjikan imbalan atau bonus kepada nasabah. e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.

Ketentuan umum wadî’ah yang berlaku dalam dunia perbankan syariah di Indonesia adalah sebagai berikut:60

a. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung oleh bank, sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.

b. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tetapi tidak boleh diperjanjikan di muka.

c. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati bersama selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Khususnya bagi nasabah yang memiliki rekening giro, bank dapat memberikan buku cek dan bilyet giro serta debit card.

d. Terhadap pembukaan rekening, pihak bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang telah terjadi.

56 Buchari Alma & Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah..., hlm. 9. 57 Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah..., hlm. 122. 58 Buchari Alma & Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah..., hlm. 9-10. 59 Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana bagi Bank yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Sebagaimana dikutip dalam: Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah..., hlm. 122.

60 Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah..., hlm. 58.

Page 15: almadani3-nashihul

15

D. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat disipulkan bahwa produk standar sistem ekonomi syariah yang ditawarkan dalam kitab Fath\ al-Qarîb al-Mujîb yang berlaku di dunia perbankan syariah Indonesia ada enam, yaitu Bay’, Salam, Syirkah, Qirâdl (Mudarabah), Ijârah, dan Wadî’ah.

Banyak terdapat variasi bahasa, seperti penggunaan istilah al-‘ain al-mu’jarah atau al-‘ain al-musta’jarah, al-mu’jir atau al-musta’jir, al-wadî’ atau al-mudâ', dan sebagainya. Hal ini semakin terkesan unik karena perbedaan penggunaan istilah-istilah tersebut ternyata juga mempengaruhi status hukum, kategori pelaku akad, hingga teknis akad-akad dimaksud dalam hukum bisnis syariah yang berkembang hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA Ali Ahmad al-Sâlûs, Mausû’ah al-Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah wa al-Iqtisâd al-Islâmiy (Bilbis:

Maktabah Dâr al-Qur’ân, 2002). Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Page 16: almadani3-nashihul

16

Buchari Alma & Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Bandung: Alfabeta, 2009). Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2011). Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: Ekonisia, cet:

II, 2004). Ibrâhîm al-Baijûriy, Hâsyiyah al-Bâjûrîy, Vol: II. Muhammad Ibn Qâsim al-Ghazziy, Fath al-Qarîb al-Mujîb (Surabaya: al-Hidayah, t.t.). Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktek

Ekonomi Modern (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003). Muslich, Bisnis Syariah: Perspektif Mu’amalah dan Manajemen, (Yogyakarta: Unit Penerbitan dan

Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2007). Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia No: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana bagi

Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb Ibn ‘Âliy Ibn ‘Abd al-Kâfiy al-Subkiy, al-Asybâh wa al-Nazhâir (t.tp.: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991). Taqiy al-Dîn Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husainiy, Kifâyat al-Akhyâr, Vol: I. Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islâmiy, Vol: 8. Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup Peluang, Tantangan, dan Prospek (Jakarta: AlvaBet,

1999).