etheses.iainponorogo.ac.idetheses.iainponorogo.ac.id/8123/1/skripsi amirul.pdf · 2019. 10. 28. ·...
TRANSCRIPT
TINJAUAN ‘URF TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN DHANDANG ONGAK-
ONGAK DI DESA PLOSOJENAR KECAMATAN KAUMAN KABUPATEN PONOROGO
S K R I P S I
O l e h :
AMIRUL MAKHALI
NIM. 210115059
Pembimbing.
Dr. H. MOH. MUNIR, Lc. M. Ag.
NIP. 196807051999031001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO 2019
ABSTRAK
Makhali, Amirul. 2019. Tinjauan ‘Urf Terhadap Larangan Perkawinan Dhandang
Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten
Ponorogo. Skripsi, Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah,
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing: Dr. H. Moh. Munir,
Lc, M. Ag.
Kata Kunci:‘Urf dan Dhandang Ongak-ongak
Salah satu problem yang dihadapi oleh sebagian masyarakat menjelang
pernikahan adalah larangan perkawinan. Masyarakat Indonesia memiliki
kekayaan budaya dan tradisi yang dikaitkan dengan momen-momen tertentu yang
antara lain adalah momen perkawinan. Sejumlah upacara adat perkawinan yang
disertai dengan simbol-simbol dan mitos-mitos yang tidak sejalan dengan nilai-
nilai Islam. Hal itu dikarenakan orang Jawa sangat erat hubungannya dengan
mistisme yang ada di Jawa. Mulai dari menentukan calon, tanggal dan waktu
dalam melangsungkan pernikahan. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk
menghormati budaya leluhur secara turun-temurun. Selain itu melakukan tradisi
tersebut adalah sebuah keharusan yang apabila dilanggar akan memunculkan
malapetaka nantinya. Seperti dalam rumah tangga sering bertengkar dan rusaknya
pernikahan.
Dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana
tinjauan ‘Urf terhadap larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak di Desa
Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo? 2) Bagaimana tinjauan ‘Urf
terhadap kepatuhan masyarakat tentang larangan perkawinan Dhandang Ongak-
ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo?
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Adapun
dalam penggalian data dilakukan secara langsung tanpa perantara sebelumnya,
yakni melalui wawancara yang dilakukan dengan tinjauan Hukum Islam.
Sedangkan dalam metode analisis data dilakukan dengan mereduksi data,
penyajian data dan menarik kesimpulan. Dalam proses analisa tersebut juga
didukung dengan kajian pustaka sebagai referensi untuk memperkuat data yang
diperoleh dari lapangan. Sehingga dengan begitu, dapat diperoleh kesimpulan
sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Tinjauan ‘urf (hukum
Islam) terhadap larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak tidak memenuhi
syarat-syarat diterimanya ‘urf sebagai sumber hukum. Hal ini dikarenakan
landasan hukum terkait larangan perkawinan ini hanya sebatas prasangka. Selain
itu, dengan tidak dipenuhinya syarat-syarat ‘urf di atas, maka larangan
perkawinan ini masuk ke dalam ‘urf fasid atau ‘urf yang tertolak karena tidak ada
landasan yang kuat untuk dapat dijadikan sebagai hukum.
SURAT PERSETUJUAN PUBLIKASI
Yang Bertanda Tangan di Bawah ini :
Nama : Amirul Makhali
NIM : 210115096
Fakultas : Syariah
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Judul Skripsi/ Tesis : Tinjauan ‘Urf Terhadap Larangan Perkawinan Dhandang
Ongak-Ongak Di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo
Menyatakan bahwa naskah skripsi ini/ tesis telah di prediksi dan disahkan oleh
dosen pembimbing. Selanjutnya saya bersedia naskah tersebut dopublikasikan
oleh perpustakaan IAIN Ponorogo yang dapat diakses di
etheses.iainponorogo.ac.id. Adapun isi keseluruhan tulisan tersebut sepenuhnya
menjadi tanggungjawab dari penulis
Demikian pernyataan saya untuk dapat dipergunakan semestinya.
Ponorogo, 22 Agustus 2019
AMIRUL MAKHALI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu problem yang dihadapi oleh sebagian masyarakat menjelang
pernikahan adalah larangan perkawinan. Masyarakat Indonesia memiliki
kekayaan budaya dan tradisi yang dikaitkan dengan momen-momen tertentu
yang antara lain adalah momen perkawinan. Sejumlah upacara adat perkawinan
yang disertai dengan simbol-simbol dan larangan -larangan yang tidak sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Misalnya perkawinan “mengtelu” yang melarang
saudara dua pupu (tunggal mbah buyut), perkawinan “segoro getih” yakni dua
orang yang menikah dari dua desa yang dipisahkan oleh jalan raya, jika
perkawinan dilaksanakan sah satunya akan meninggal. Perkawinan “boyong”
yaitu tradisi mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai perempuan agar
dapat beradaptasi, tetapi praktiknya lebih banyak yang melakukan hubungan
seks sebelum menikah.
Larangan perkawinan ini juga dikaitkan dengan hari, tanggal dan pasaran
kelahiran, digunakan untuk menentukan boleh tidaknya calon mempelai
melanjutkan ke jenjang pernikahan. Pertimbangan larangan perkawinan ini
sering memicu persoalan yang dapat menggagalkan perkawinan tanpa alasan
yang rasional. Sering terjadi dalam kehidupan bahwa dua orang yang secara
lahir maupun batin serasi untuk menjadi pasangan suami istri, yang telah
mencintai, membangun suami istri, yang telah saling mencintai, membangun
harapan-harapan kedepan yang mempersiapkan bersama, kemudian keduanya
terpaksa harus mengorbankan perasaannya.1
Setiap Pernikahan di berbagai daerah memiliki gaya tersendiri. Hal ini
menurut Bapak Juwardi, Bujangga II desa Plosojenar kecamatan Kauman
kabupaten Ponorogo dikarenakan orang Jawa memiliki corak pemikiran
tersendiri dalam melaksanakan pernikahan. Hal itu dikarenakan orang Jawa
sangat erat hubungannya dengan mistisme yang ada di Jawa. Mulai dari
menentukan calon, tanggal dan waktu dalam melangsungkan pernikahan. Hal itu
dilakukan dengan maksud untuk menghormati budaya leluhur secara turun-
temurun. Selain itu melakukan tradisi tersebut adalah sebuah keharusan yang
apabila dilanggar akan memunculkan malapetaka nantinya. Seperti dalam rumah
tangga sering bertengkar dan rusaknya pernikahan.
Tradisi kepercayaan ini terjadi secara turun-temurun. Ada beberapa
kelompok masyarakat yang memercayainya dan ada pula yang tidak. Sebagian
besar masyarakat yang memercayai larangan ini beragama Islam. Hal ini serupa
dengan temuan penulis di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten
Ponorogo. Di daerah sana, masyarakat memercayai larangan Dhandang Ongak-
ongak. Larangan ini merupakan salah satu larangan perkawinan dalam adat
istiadat di pulau Jawa—khususnya desa yang tersebut. Menurut penjelasan
Bapak Juwardi, salah satu tokoh masyarakat, larangan Dhandang Ongak-ongak
merupakan larangan perkawinan yang terjadi jika rumah calon suami
1Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (edisi II), (Malang:UIN Maliki
Press 2013), 114.
berhadapan dengan rumah calon istri. Lebih jelasnya—dalam masalah yang
penulis temui, seorang lelaki bernama Nanang telah menikah dengan seorang
perempuan yang bertempat tinggal di depan rumahnya. namun beberapa saat
berlalu rumah tangganya di selimuti perselingkuhan yang berakhir dengan
perceraian. Larangan Dhandang Onggak-onggak ini menurut keterangan
Juwardi sangat fatal jika dilanggar.2
Jika ditinjau lebih dalam. Ada perbedaan kepercayaan yang terjadi pada
masyarakat di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo antara
kepercayaan agama Islam secara syar’i dengan kepercayaan masyarakat
terhadap kejawen. Sebenarnya, hal ini merupakan sebuah keragaman
masyarakat. Namun, menjadi sebuah kesenjangan tersendiri dengan bermulanya
perselisihan seperti yang penulis angkat di atas. Kasus ini menjadi perdebatan
yang panjang. Meskipun pasangan suami-istri di atas telah melangsungkan
perkawinan, tentunya masih banyak masyarakat yang dilematik terhadap
larangan larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak.
Hukum Islam tidak pernah mengenal larangan perkawinan yang penulis
sebutkan di atas. Tetapi, penjelasan mengenai adat istiadat (tradisi) masyarakat
tertera dalam salah satu hukum Islam, yaitu ‘urf. Secara sederhana, ‘urf adalah
kebiasaan dari perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian
menjadi adat istiadat secara turun-temurun, baik yang berupa ucapan maupun
perbuatan, baik yang umum maupun yang bersifat khusus.3
2Bapak Juwardi, Hasil Wawancara, 9 Februari 2019.
3Yusuf Qardlawi, Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam Menghadapi Perubahan Zaman,
terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 30.
Pada kasus ini, ‘urf yang dimaksudkan adalah ‘urf secara perilaku atau
perbuatan. Menilik dari hal tersebut, maka larangan -larangan yang berlaku di
desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo harus dikaji
menggunakan kajian hukum Islam. Dalam perkara ini menggunakan kajian ‘urf.
Kajian ini nantinya diharapkan memberikan penjelasan ataupun keterangan yang
tidak kabur. Penjelasan atau keterangan semacam ini dibutuhkan oleh
masyarakat. Apalagi untuk mengurangi berbagai macam masalah yang melanda,
seperti masalah wali adhal yang telah terpaparkan sebelumnya. Hukum Islam,
melalui ‘urf akan menjelaskan secara rinci terkait dengan adat istiadat (tradisi)
tentang larangan yang berlaku di desa tersebut.
Oleh sebab itu, penting kiranya untuk dilakukan pengkajian Tinjauan ‘Urf
Terhadap Larangan Perkawinan Dhandang Ongak-ongak. Penulis akan
menganalisis larangan tersebut menggunakan hukum Islam (‘urf) sehingga akan
memberikan penjelasan dan pemahaman terkait dengan larangan itu.
Masyarakat tidak perlu lagi khawatir jika sudah mendapat penjelasan mengenai
larangan tersebut. Jika dilihat dari judul yang penulis angkat, sangat jarang ada
yang meneliti terhadap topik bahasan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat penulis kemukakan
rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana Tinjauan ‘Urf Terhadap Larangan Perkawinan Dandang Ongak-
ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo?
2. Bagaimana Tinjauan ‘Urf Terhadap Kepatuhan Masyarakat Terhadap
Larangan Perkawinan Dandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tinjauan ‘urf terhadap Larangan Perkawinan Dandang
Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
2. Untuk mengetahui tinjauan ‘urf terhadap Kepatuhan Masyarakat Terhadap
Larangan Perkawinan Dandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat. Baik manfaat
secara teoritis maupun manfaat secara praktis. Adapun manfaat penelitian yang
penulis angkat ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, penulis mengharapkan supaya penelitian ini dapat menjadi
bahan edukasional, menambah keilmuan dan wawasan dalam perkembangan
tradisi-tradisi dan larangan -larangan perkawinan di beberapa wilayah di pulau
Jawa yang masih memercayai kejawen. Sehingga dapat menjadi sebuah
pertimbangan tersendiri ketika masyarakat akan melangsungkan perkawinan,
khususnya Larangan Perkawinan Dandhang Ongak-ongak di Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman
masyarakat dalam melangsungkan perkawinan. Penelitian ini menjelaskan
tentang Larangan Perkawinan Dandhang Ongak-ongak di Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. sehingga, masyarakat dapat
menjelaskan larangan ini melalui hukum Islam, yaitu ‘urf. Dan menjadi
sebuah pertimbangan bagi masyarakat ketika akan melangsungkan perkawinan.
E. Telaah Pustaka
Skripsi karya Subroto tahun 2012 yang berjudul Adat Larangan Pernikahan
Warga Dusun Mirah Desa Nambang Rejo Dan Desa Golan Kecamatan Sukorejo
(Perspektif’Urf). Skripsi ini mengulas bahwa larangan perkawinan antara warga
Dusun Mirah Desa Nambang Rejo dan Desa Golan Kecamatan Sukorejo adalah
merupakan ‘urf kha>ss dan juga ‘urf fasi>d karena lebih mengutamakan hukum
adat dan mengesampingkan maslahah dari perkawinan. Sikap masyarakat yang
mematuhi tidak dapat dibenarkan karena segala musibah atau bencana datangnya
murni dari Allah yang sudah menjadi ketetapanNya, bukan karena melanggar
larangan adat.4
Skripsi karya Ruliana Zubaidah tahun 2009 dengan judul Tinjauan Ushul
Fiqh Tentang Kebiasaan (‘Urf) Kepatuhan Masyarakat Terhadap Adat Larangan
Perkawinan pada Bulan Muharram (Studi Kasus di Desa Babadan Kecamatan
Babadan Kabupaten Ponorogo). Skripsi ini menghasil-kan konklusi bahwa bentuk
kepatuhan masyarakat terhadap larangan perkawinan pada bulan Muharram
adalah merupakan ‘urf khaa>s dan juga ‘urf fasid karena lebih mengutamakan
4 Subroto, Adat Larangan Pernikahan Warga Dusun Mirah Desa Nambang Rejo Dan Desa
Golan Kecamatan Sukorejo (Perspektif’Urf), Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2012).
hukum adat dan mengesampingkan maslahah dari perkawinan. Faktor
penyebabnya tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan syara’ dan
termasuk ‘urf fi’li, (penghormatan terhadap sesepuh) dan ‘urf fasid, walaupun ada
sebagian yang membawa kemaslahatan serta tidak sesuai dengan syarat yang
ditetapkan para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan
mengistinbatkan hukum. Maka, penting kiranya perihal pemahaman dan istinbat
hukum ini.5
Skripsi karya Afifatus Sholihah tahun 2008 yang berjudul Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Adat Larangan Perkawinan Barep Telon di Kecamatan Geneng
Kabupaten Ngawi. Skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa alasan
dipertahankannya adat larangan perkawinan Barep Telon tidak memenuhi syarat
diterimanya ‘urf sebagai sumber hukum. Hal ini dikarenakan alasan yang
diutarakan oleh masyarakat masih sebatas prasangka yang masih sulit diterima
oleh akal sehat dan belum tentu kebenarannya. Sehingga, dengan tidak
terpenuhinya syarat-syarat ‘urf tersebut, menjadikan adat ini masuk ke dalamadat
yang tertolak/’urf fasi>d.6
Skripsi karya Sri Utami tahun 2017 yang berjudul Budaya Larangan
Perkawinan Mempertemukan Pengantin Melewati Gunung Pegat di Desa Nambak
Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo. Skripsi ini berkonklusi bahwa dampak
terkait larangan budaya larangan perkawinan mempertemukan pengantin
melewati Gunung Pegat adalah perceraian, gila, adanya cobaan, anaknya
5Ruliana Zubaidah, Tinjauan Ushul Fiqh Tentang Kebiasaan (‘Urf) Kepatuhan Masyarakat
Terhadap Adat Larangan Perkawinan pada Bulan Muharram (Studi Kasus di Desa Babadan
Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo), Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2009).
6Afifatus Sholihah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Larangan Perkawinan Barep Telon
di Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi, Skripsi (Ponorogo: IAIN ponorogo 2008).
meninggal dengan tidak normal, keluarga tidak harmonis, banyak hal mistik, dan
perkembangan kehidupan rumah tangganya bahagia. Sehingga dalam hal ini
menjadi sebuah budaya yang turun-temurun dari generasi ke generasi masih
diyakini adanya (secara historis).
Masyarakat meyakini budaya ini sebagaimana yang telah diturunkan dari
nenek moyang (menghargai budaya), meyakini budaya agar tidak terjadi konflik
keluarga, tidak meyakini karena budaya sudah mulai menghilang begitu saja. Dan
tidak meyakini karena masyarakat sudah paham ilmu agama. Maka, mengalami
perubahan lambat (evolusi), karena terjadi tanpa direncanakan dan inovasi karena
adanya faktor yang memengaruhi yang ada di masyarakat desa Nambak sendiri.7
Skripsi karya Moch. Ibnu Muhajirin tahun 2014 yang berjudul Pandangan
Ulama Kabupaten Madiun Tentang Adat Larangan Perkawinan Njati Ngarang
Terhadap Anak Lanang. Skripsi ini menghasilkan kesim-pulan bahwa pandangan
ulama kecamatan/kabupaten Madiun ada yang percaya dan ada yang tidak percaya
dengan adat tersebut. Salah satu faktor ketidaksamaan kepercayaan mereka
terdapat dalam pengambilan dasar hukum. Istinbat hukum para
ulamakecamatan/kabupaten Madiun beragam, seperti halnya bapak Untung
Sukadar dan Drs. Sujitno, mereka mengambil dasar hukum dengan sumber formil
(asli) atau dengan dasar nas Alquran dan hadis. Sedangkan ketiga ulama lainnya,
yakni bapak Mohammad Said, Ali Mustofa, Kyai Zaed, mereka mengambildasar
7Sri Utami, Budaya Larangan Perkawinan Mempertemukan Pengantin Melewati Gunung
Pegat di Desa Nambak Kecamatan Slahung Kabupaten Ponorogo, Skripsi (Ponorogo: IAIN
Ponorogo, 2017).
dari sumber assesoir (tambahan) dan lebih mementingkan kemaslahatan
bersama.8
Dari semua skripsi terdahulu yang telah terpapar di atas, belum ada satu judul
yang mengangkat tentang Larangan Perkawinan Dandang Ongak-Ongak
perbedaan yang jelas adalah terletak pada jenis larangan dan rangakaian peristiwa
di dalamnya. Dhandang Ongak-ongak pernikahan yang dilakukan oleh pasangan
yang tempat tinggalnya saling berhadapan atau juga bisa disebut arep-arepan
omah. Adapun kesamaan dengan penelitian terdahulu adalah sama membahas
tentang kepercayaan masyarakat Jawa terhadap mistisme.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Peneliti
Ditinjau dari jenis data yang diteliti, jenis penelitian dalam skripsi ini
merupakan penelitian kualitatif. Penelitian jenis ini menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis.9 Dalam penelitian jenis ini, analisis data
bersifat induktif berdasarkan kepada data-data yang diperoleh selama
penelitian yang kemudian dibangun menjadi sebuah hipotesis atau teori.
Penelitian ini lebih menekankan terhadap makna daripada generalisasi.10 Pada
penelitian ini, peneliti memiliki latar aktual sebagai sumber langsung data dan
8Moch. Ibnu Muhajirin, Pandangan Ulama Kabupaten Madiun Tentang Adat Larangan
Perkawinan Njati Ngarang Terhadap Anak Lanang, Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo 2014).
9Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN Po. Press, 2010), 23.
10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet. 22 (Bandung: Alfabet,
2015), 9.
peneliti merupakan instrumen kunci. Peneliti masuk dan menghabiskan waktu
ke masyarakat terkait objek yang akan diteliti (naturalistik).11
Jika ditinjau melalui lokasi perolehan data, maka penelitian dalam skripsi
ini menggunakan penelitian lapangan (field research). Penulis meneliti tentang
Tinjauan ‘Urf Terhadap Larangan Larangan Perkawinan Dandang Ongak-
ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Dari
penelitian ini, penulis terjun langsung di lapangan untuk mengamati dan
mencari data.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantifikasi. pendekatan
kualitatif ini dapat menunjukan kehidupan masyarakat, tingkah laku,
fungsional organisasi, pergerakan sosial, dan hubungan kekerabatan.
3. Kehadiran Peneliti
Penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengalaman serta sebab
peranan penelitian yang menentukan keseluruhan skenarionya.12
Penulis
sebagai pengamat penuh dan observasi yang dilakukan secara terang-terangan
berdasarkan perizinan.
4. Lokasi Penelitian
11Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), 2.
12
Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 201.
Penelitian ini dilakukan di berbagai tempat—rumah-rumah masyarakat—
di desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo, yang mana
temuan tentang larangan larangan perkawinan Dandang Ongak-ongak ini
dilakukan dan ditemui.
5. Data dan Sumber Data
Sumber data yang dijadikan rujukan oleh peneliti dalam skripsi atau tugas
akhir studi strata 1 (satu) ini merupakan data-data yang diperoleh secara
langsung dari objek penelitian (sumber data primer).13
Sumber data ini
diperoleh dengan observasi langsung di lapangan terhadap narasumber dan
dengan pustaka hukum Islam sebagai sumber/dasar hukum tentang topik yang
diangkat oleh peneliti. Serta sumber data sekunder yang didapatkan melalui
pihak lain atau tidak diperoleh secara langsung dari subjek penelitiannya.14
Sumber data ini merupakan pustaka keilmuan yang berkaitan dengan hukum
Islam.
6. Teknik Pengumpulan Data
Mengacu pada penelitian lapangan (field research), maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara.
a. Observasi
Metode observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik
pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan
mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, kegiatan waktu,
13 Saifudi Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91.
14
Ibid.
peristiwa, tujuan dan perasaan.15
Dalam penelitian ini, penulis melakukan
observasi secra langsung ke lokasi penelitian di Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses penggalian informasi sedalam-dalamnya dan
sejelas jelasnya melalui pertanyaan yang sudah disiapkan oleh peneliti.
Wawancara dilakukan agar sang peneliti paham dan mengetahui dengan
jelas agar mendapatkan jawaban dari orang yang diwawancarai yaitu
Juwardi (Pujangga II), Musliman (Pujangga I), Surat (Pujangga
III/Pelaku), Marinah (Pelaku II) Bapak Kaselan (Tokoh Agama) Endra,
Kusno, Eko, (Masyarakat) Mbah Kadar (Tokoh Agama).
7. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka data dianalisis dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok
memfokus pada memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya, kemudian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih jelas, dan mencarinya bila diperlukan.16
Dengan Demikian
dalam hal ini, setelah terkumpul data-data yang berkaitan dengan Larangan
larangan Perkawinan.
15 M. Djunaidi Ghony & Fuzan Almanshur, “Metodologi Penelitian Kualitatif” Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2012, h 25
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013),
247.
b. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat dan bagan17
. Dalam penelitian ini penyajian data adalah mengurai
data denan teks yang bersifat naratif, tujuannya adalah untuk memudahkan
pemahaman terhadap apa yang diteliti dan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi. Dalam penelitian ini adalah penyajian data secara cermat
dan sistematis menngenai Tinjauan ‘Urf terhadap Larangan Perkawinan
Dandang Ongak-Ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo.
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian ini memaparkan
temuan dapat berupa hasil deskripsi atau gambaran objek yang
sebelumnya masih kurang jelas dan apa adannya kemudian diteliti menjadi
lebih jelas18
.
8. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data diperlukan dalam penelitian sebagai bentuk
pertanggung-jawaban kepercayaan data. Pengecekan keabsahan data pada
penelitian ini mengunakan beberapa kriteria yang meliputi kredibilitas,
kepastian dan kebergantungan. Derajat kepercayaan keabsahan data dapat
diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun. Ketekunan
17 Ibid, 249.
18
Ibid, 252-253
pengamatan yang dimaksud adalah melakukan cirri-ciri dan unsur-unsur dalam
situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang dicari19
G. Sistematika Pembahasan
Agar skripsi terarah, teratur, dan mudah dipahami, maka penulis membagi
pembahasan skripsi ini menjadi lima (5) bab, di mana setiap bab terdiri dari
beberapa sub bab dengan susunan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Yang terdiri dari latar belakang masalah yang menjelaskan
mengenai pokok permasalahan yang menimbulkan dorongan peneliti
untuk menganalisis permasalahan ini. Kemudian disusul dengan
rumusan masalah yang mengemukakan pertanyaan mendasar dalam
penelitian ini. Selanjutnya terdapat sub bab tujuan penelitian dan
juga sub bab manfaat penelitian. Kemudian telaah pustaka yang
memaparkan penelitian-penelitian terdahulu dan perbedaannya
dengan pembahasan yang diteliti. Selanjutnya metode penelitian
yang memuat jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, analisis data, dan pengecekan keabsahan data.
Terakhir, mengenai sistematika pembahasan.
BAB II : Landasan Teori
Yaitu: tentang ‘urf, yaitu: pengertian ‘urf, dasar ‘urf, pembagian
‘urf, syarat-syarat ‘urf, serta kehujjahan ‘urf.
BAB III : Data Penelitian
19 Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: GP Press, 2009), 15.
Implementasi studi kasus yang terjadi dalam masyarakat desa
Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo terhadap
larangan perkawinan Dandang Ongak-ongak yang dipercayainya.
BAB IV : Analisis Hasil Penelitian
Mengenai analisis penulis dari hasil pembahasan pokok
permasalahan. Pertama, analisis tentang tinjauan ‘urf terhadap
larangan perkawinan Dandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Kedua, analisis mengenai
tinjauan ‘urf terhadap sanksi pelanggaran larangan perkawinan
Dandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo.
BAB V : Penutup
Bab ini memaparkan kesimpulan yang berisi jawaban dari
rumusan masalah secara ringkas, padat, dan jelas. Serta dibubuhi
dengan saran atau rekomendasi, bila hal tersebut diperlukan.
BAB II
KONSEP ‘URF DALAM HUKUM
A. Konsep ‘Urf
Manusia memiliki suatu hal yang esensial yang tidak terdapat pada
hewan, yakni ruh dan jiwa. Ruh dan jiwa dimanifestasikan dengan cara
berfikir dan cara merasa. Hewan mempunyai otak tapi tidak berfikir, juga
punya hati tapi tidak membentuk rasa rohani; hewan berbuat sesuatu hanya
mengikuti naluri hewaniahnya.
Dengan demikian, jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya, maka kia
akan memasuki lapangan antropologi fisik. Tapi bila manusia dilihat dari
aspek rohaninya, kita akan menelusuri medan antropologi kebudayaan. Sebab
cara berpikir atau cara merasa akan membentuk cara hidup. Cara hidup bisa
berwujud cara bertindak, cara bergaul, cara berekonomi, cara berorganisasi,
cara berpolitik, cara berteknologi, dan seterusnya.
Semua cara itu disebut nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan.
Dan setiap manusia melakukannya karena suatu tersebut bernilai. Dan setiap
orang melakukan sesuatu karena sesuatu tersebut bernilai. Dari sini jelas
bahwa cara hidup itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu masyarakat memilih cara
hidup tertentu berdasarkan nilai-nilai yang dihayatinya. Nilai-nilai itulah yang
dinamakan kebiasaan, adat istiadat, budaya, kultur, dan seterusnya.20
20Abdul Haq, Ahmad Mubaroq, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh
Buku Satu, (Surabaya : Khlista, 2017), Hal, 267-268.
1. Pengertian ‘Urf
Terdapat banyak definisi tentang ‘urf dalam berbagai buku Ushul Fiqih,
walaupun intinya senada. Antara lain, menurut Ahmad Fahmi Abu Sunnah,
bahwa ’urf adalah peristiwa yang berulang-ulang yang tidak disebabkan oleh
keniscayaan rasional. Sedang menurut Wahbah al-Zuhayli, ’urf adalah sesuatu
yang dibiasakan oleh sekelompok orang baik berupa tindakan (‘amali) atau
ungkapan (qauli) yang memiliki makna khusus. Senada dengan itu, Abd al
Wahhab Khallaf mendefinisikan ‘urf dengan sesuatu yang dikenaloleh
masyarakat dan berlangsung dalam kehidupannya, baik berupaungkapan,
perbuatan atau tindakan meninggalkan sesuatu.
Dari berbagai definisi tersebut, ‘urf terdiri dari beberapa unsur:
a. Berupa kebiasaan;
b. Dikenal dan berlaku di kalangan masyarakat;
c. Berupa tindakan atau ungkapan;
d. Bukan berdasar keniscayaan rasional yang mesti terjadi, karena
ia sekedar kebiasaan (‘adah).
Walaupun ada yang membedakan ‘urf dengan ‘adat–yang sama-sama
bisa diartikan kebiasaan—tapi para ulama secara umum tidak
membedakannya. Namun tetap penting dicatat bahwa ‘urf pada dasarnya
lebih spesifik dari ‘adat. Karena ‘urf merupakan kebiasaan yang berlaku
umum dan tidak alamiah karena bersumber dari perenungan dan
pengalaman. Sedang ‘adat adalah semua jenis kebiasaan, baik berlaku
umum atau bagi orang atau kasus tertentu seperti kebiasaan pribadi serta
juga meliputi sesuatu yang alamiah seperti terbit dan terbenamnya
matahari. Maka dalam beberapa kasus, ‘adat juga bisa menjadi dasar
hukum.21
2. Dasar Hukum ‘Urf
Dasar hukum ‘urf terdapat pada keterangan al-quran dan al-hadist
sebagai berikut:
1) Al-qur’an, Al-a’raf: 199, yaitu:
Artinya : Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh22
2) Al-quran surat Al-Baqarah: 236
...
21Ach. Maimun “Memperkuat ’Urf dalam Pengembangana” al-Hikam Hukum Islam, Vol. 12
No. 1 Juni 2017, 24.
22
Muhammad Ma’sum Zainy Al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang : Darul Hukmah
Jombang, 2008), Hal, 130
Artinya : Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
3. Pembagian ‘Urf
Diihat dari segi objeknya, ‘urf dibagi dua, yaitu ‘urf lafdzi> dan ‘urf
amali.
a. ‘Urf lafdzi>l qau>li ialah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafaz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dipikiran
masyarakat. seperti kebiasaan masyarakat Arab mengunakan kata
“walad” untuk anak laki-laki. Padahal, menurut makna aslinya kata itu
berarti anak laki-laki dana anak perempuan. Demikaian juga
kebiasaan mereka mengunakan kata “lahm” untuk daging binatang
darat, padahal Alquran mengunkanan kata itu untuk semua jenis
daging, termasuk daging ikan, pengunaan kata “da>bbah” untuk
binatang berkaki empat, padahal kata ini menurut aslinya mencakup
semua binatang yang melata.
b. ‘Urf ‘amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muammalah keperdataan. Seperti kebiasaan
masyarakat kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa
akad (bai’y a>l-ta’athi>), kebiasaan sewa kamar mandi tanpa dibatasi
waktu dan jumlah air yang digunakan, kebiasaan sewa menyewa
perabot rumah, penyajian hidangan bagi para tamu untuk dimakan,
mengunjungi tempat-tempat rekreasi pada hari libur kebiasaan
masyarakat memberi kado pada acara ulang tahun dan lain-lain.23
1) Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi menjadi ‘urf ‘amm dan ‘urf
kha>ss,
a) ‘Urf ‘amm adalah suatu kebiasaan yang berlaku secara luas dan
umum pada penduduk di seluruh daerah sebagaimana bay’i al-
mu’atah. Contoh lain adalah dalam jual beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan dalam memperbaiki mobil seperti kunci, tang,
dongkrak, dan ban serep, sudah termasuk dalam harga jual tanpa
ada akad dan harga tersendiri. Sebagian fuqaha memberikan
syarat bahwasanya ‘urf ‘amm harus merupakan kebiasaan yang
berlaku pada seluruh masa. Serta telah diakui dan dipraktekkan
oleh para mujtahid meskipun bertentangan dengan qiyas serta
tidak ada nash Al-quran dan hadis yang menjelaskannya.
b) Pendapat ini sebagaimana ungkapan Ibn ‘Abidin yang dikutip
oleh Salih ‘Awad. Namun demikian Ibn ‘Abidin menambahkan
bahwasanya syarat berlakunya ‘urf ‘amm pada semua masa itu
benar jika memang kebiasaan tersebut telah adapada masa para
sahabat. Jika tidak, maka cukuplah berlakunya kebiasaan
tersebut pada seluruh wilayah dan masyarakat satu negara, baik
kebiasaan itu telah ada sejak dulu ataupun baru.
23 Suwarjin, Ushul fiqh (Surabaya: Sukses Offset 2012), 148.
c) ‘Urf kha>ss adalah suatu kebiasaan yang hanya berlaku pada
suatu daerah atau pada suatu kelompok masyarakat tertentu.
Sebagaimana kebiasaan parapenasehat hukum bahwa klien
harus membayar dahulu biaya dari jasa pembelaan hukum yang
akan dilakukannya. Contoh lain adalah kebiasaan para pedagang
dalam menentukan cacat barang yang dapat dikembalikan, dan
kebiasaan dalam menentukan masa berlaku garansi.
Di samping pembagian di atas, ada fuqaha yang membagi
‘urf dari segi cakupannya menjadi tiga macam, yaitu:
‘urf ‘amm, ‘urf kha>ss dan ‘urf shar’i. ‘Urf shar’i adalah suatu
ucapan yang digunakan oleh syarak untuk suatu makna tertentu.
Namun ‘urf ini menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Khayyat termasuk
kategori ‘urf kha>ss.
2) Dari segi keabsahannya ditinjau oleh syariat, ‘urf dibagi menjadi
‘urf sahi>h dan ‘urf fasi>d;
a) ‘Urf sahi>h adalah suatu kebiasaan masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nas Al-quran dan hadis, tidak
menafikan kemaslahatan manusia, serta tidak membawa
bahaya. Contohnya adalah pemberian hadiah bukan mahar
dari pihak laki-laki kepada pihak wanita ketika proses
pelamaran. Syariat Islam sendiri mempertimbangkan dan
menetapkan beberapa kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam
yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti kewajiban
membayar diyat kepada keluarga korban pembunuhan, dan
ketentuan bagian ‘asa>bah dalam warisan.
b) ‘Urf fasi>d adalah suatu kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’ atau kaidah-kaidah
dasar. Contohnya adalah kebiasaan pedagang dalam
melakukan praktek riba yang dianggap sebagai keuntungan,
atau kebiasaan orang yang berperkara dalam menyuap
hakim untuk memenangkan perkaranya, dan lain
sebagainya.24
1. Syarat-syarat ‘Urf
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan
pijakan hukum, pertama, tidak bertentangan dengan salah satu nash syari’at;
kedua, berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan; ketiga,
tradisi itu sudah terbentuk bersamaan dengan saat pelaksanaanya; keempat,
tidak terdapat ucapan atau perbuatan yang berlawanan dengan nilai
substansial yang dikandung oleh tradisi (madlmun al adat). Empat syarat ini
akan diperinci dalam pemilahan berikut:
a. Adat tidak berbenturan dengan teks syariat, artinya adat
tersebut berupa adat shahi>h sehingga tidak akan menganulir
seluruh aspek subtansial nas.
b. Adat berlaku konstan (iththira>d) dan menyeluruh, atau
minimal dilakukan kalangan mayoritas (ghali>b).
24M. Adib Hamzawi, “Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia,” Inovatif, Volume 4,
No. 1 Pebruari 2018, 7.
c. Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya.
d. Tidak terdakpat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan
dengan nilai-nilai subtansial adat (madlmu}n al-ada>t).25
2. Kehujjahan ‘Urf
Ulama ushul fikih sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syara’, baik itu ‘urf ‘amm dan ‘urf kha>ss maupun ‘urf lafdhi> dan ‘urf
amali>, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Menurut
al-Qarafi (ahli fikih mazhab Maliki), seorang mujtahid dalam menetapkan
hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak
menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut.
Imam Malik telah membuat banyak keputusan hukum berdasarkan
pada perilaku masyarakat Madinah. Abu Hanifah berbeda pendapat
tentang persoalan hukum dengan para pengikutnya disebabkan perbedaan
adat atau kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Selain itu, Imam
Syafi’i, ketika pindah ke Mesir, beliau merubah beberapa keputusan
hukum yang sebelumnya telah dia tetapkan di Baghdad, karena adanya
perbedaan antara kedua tempat tersebut. Dari sinilah dikatakan bahwa
Imam Syafi’i mempunyai qaw>l qadi>m dan qaw>l jadi>d.
Oleh karena itu para ulama mengatakan adat adalah syariat yang
dikuatkan sebegai hukum, sedagkan adat juga dianggap oleh syara’. Imam
Malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk
25Abdul Haq, Ahmad Mubaroq, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh
Buku Satu, (Surabaya : Khlista, 2017), 285.
Madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam menetapkan
hukum, tergantung pada adat mereka. Imam Syafi’i ketika berada di mesir,
mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berada di
Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu Ia memiliki dua pendapat,
pendapat baru dan pendapat lama, (qoul qādim dan qoul jādid).26
Secara umum, ‘urf itu diamalkan oleh semua ulama fikih terutama di
kalangan mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah
menggunakan istihsan dalam berijtihad, yang salah satu bentuknya adalah
istihsa>n al-‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Ulama Hanafiyah
mendahulukan ‘urf, yang mana ‘urf dapat mengesampingkan hukum yang
didasarkan atas kias.27
26 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Amani,
2003), 118.
27Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 214.
BAB III
LARANGAN PERKAWINAN DANDHANG ONGAK-ONGAK DI DESA
PLOSOJENAR KECAMATAN KAUMAN KABUPATEN PONOROGO
A. Gambaran Umum Desa Plosojenar
1. Keadaan Geografis
Berdasarkan apa yang penulis angkat dengan judul larangan
perkawinan Dhandang Ongak-ongak di desa Plosojenar kecamatan
Kauman kabupaten Ponorogo. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut
ke dalam pembahasaan. Alangkah baiknya, jika penulis mengajak
pembaca untuk mengenal lebih dalam profil desa Plosojenar
kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo sebagai berikut:
Secara geografis, desa Plosojenar terletak di kawasan Ponorogo
bagian barat. Tepatnya di kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo
dengan luas sekitar 1.821.157 Ha. Adapun orbitasi (jarak dari pusat
pemerintahan desa) jarak dari pusat pemerintahan kecamatan ialah 1/4
Km, jarak dari pusat pemerintahan kabupaten 6 Km, jarak dari pusat
pemerintahan ibu kota provinsi 250 Km.
Tidak hanya itu aja Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo juga memiliki desa tetangga yang tak jarang
memberi kontribusi sosial seperti pembangunan jalur terhubunga antar
desa tersebut.
Adapun batas wilayah desa Plosojenar ialah sebagai berikut:28
Batas wilayah yang ada di desa
No. Letak Arah Batas Desa
1. Utara Desa Carat
2. Selatan Desa Ciluk
3. Timur Desa Gabel
4. Barat Desa Sumoroto
2. Kondisi Penduduk
Kondisi Penduduk merupakan upaya dari balai desa untuk
mengklasifikasikan jenis kelamin. Jumlah tersebut anatara lain terdiri
dari laki-laki dan perempuan, kepala keluarga dan kepadatan penduduk
Adapun potensi sumber daya manusia yaitu sebagai berikut:
No. Keterangan Jenis Jumlah
1. Jumlah laki-laki 1743 orang
2. Jumlah perempuan 1839 orang
3. Jumlah total a+b 3582 orang
4. Jumlah kepala keluarga 898 KK
5. kepadatan Penduduk (c/ Luas desa) 115665 Km
28Profil Desa Plosojenar Potensi, 2018.
3. Kondisi Keagamaan
Kondisi Keagamaan merupakan upaya pemerintah desa untuk
mengklasifikasikan jenis keyakinan yang ada di desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Hal ini tak lain tak bukan
dimaksudkan untuk membentuk masyarakat yang plural dan
berkedamaian. Karena setelah mengerti mereka akan tahu dan
memaklumi satu sama lainnya. Karena berkaca dengan yang sudah
sudah banyak hal yang sangat sensitif bila disandingkan dengan
keyakian.
Adapun dalam bidang keagamaan adalah sebagai berikut:
No. Agama Jumlah
1 Islam 1718 orang
2 Kristen 10 orang
3 Katholik 3 orang
4. Kondisi Pendidikan
Kondisi pendidikan merupakan upaya pemerintah desa untuk
mengolongkan sumber daya manusia dari sudut pendidikan. Karena
suatu tempat akan dikatakan berkemajuan ketika masyarakatnya telah
maju terlebih dahulu. Dari mereka yang telah bekerja tamatan yang
paling mendominasi adalah Sekolah Dasar atau SD. Banyak dari
mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan melakukan imigrasi
karena hanya sebatas tamatan sekolah dasar.
Namun berbeda halnua jika semakin tinggi tingkatan yang mereka
capai maka akan tinggi pula pekerjaan yang layak dari sudut pandang
sosial.
Adapun jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan ialah
sebagai berikut:
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Sekolah Dasar 662 orang
2 SMP/MTs 603 orang
3 SMA/MA 127 orang
4 Sarjana 56 orang
5. Kondisi Ekonomi
Kondisi Ekonomi merupakan sebuah upaya pemerintah desa
untuk mengolongkan jenis pekerjaan. Karena jenis pekerjaan akan
berpengaruh pada penghasilan setiap masyarakat desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Mayoritas dari mereka
lebih dominan bekerja sebagai buruh tani. Karena memang dari segi
aset memang pertanian lebih besar dari pada yang lainnya. Maka, tak
dapat dipungkiri buruh tani adalah pekerjaan yang mempunyai
peluang untuk dijadikan profesi.
Adapun jumlah penduduk dengan mata pencaraian pokok ialah
sebagai berikut:
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1. Petani 565 orang
2. Buruh tani 335 orang
3. Buruh migran perempuan 125 orang
4. Buruh migran laki-laki 80 orang
5. Pegawai Negeri Sipil 34 orang
6. Pedagang Keliling 12 orang
7. Bidan swasta 3 orang
8. Pensiunan TNI/Polri 5 orang
Di atas adalah data-data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
kondisi desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
Beberapa hal belum dapat diklasifikasikan dengan baik seperti sumber
daya alam yang belum dapat dikelola dengan baik seperti potensi alam
dan manusia.
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Larangan Larangan Dhandhang Ongak-
ongak di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo
Pulau Jawa temasuk salah satu pulau yang banyak unsur mistisme.
Para leluhur pada zaman dahulu mayoritas menganut ajaran kapitayan.
Pada skripsi ini, akan membahas salah satu hasil kultur Jawa—khususnya
di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo yang disebut
dengan larangan “Dhandang Ongak-ongak”. Masyarakat menyebut
pernikahan ini dengan sebutan Dhandang Ongak-ongak selain itu tak
sedikit juga yang hanya menyebutnya pernikahan Arep-arepan Omah.
Secara bahasa, larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak menurut
para ahli kejawen tidak ditetapkan namun secara definitif larangan ini
bermaksud pada pernikahan yang terjadi oleh pasangan suami-istri yang
rumahnya saling berhadapan. Baik dari timur dan barat maupun selatan
dan utara. Hal ini tidak dapat dijelaskan dengan baik karena belum pernah
ada kodifikasi yang baik atau pembukuan yang jelas dari para sesepuh atau
tokoh kejawen. Sementara ini hanya sebatas omongan dari mulut ke mulut.
Dan dari petuah para tokoh ke masyarakat yang hendak melakukan
pernikahan.
Larangan ini dikenal mayoritas kalangan masyarakat desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo sebagai bentuk sakralitas yang
turun temurun dijaga. Hal ini dipercaya karena masyarakat mempunyai
kearifan lokal yang perlu dijaga ditengah arus yang banyak sekali
informasi atau ilmu pengetahuan yang hadir ditengah kehidupan
bermasyarakat. Namun juga tak sedikit kalangan masyarakat yang
melakukannya tergantung pada prinsip indiviual mereka. Hal ini
berdasarkan hasil wawancara yang penulis kutip dari beberapa informan.
Berikut wawancara penulis kepada bapak Musliman selaku bujangga I:
“Dhandang onggak-onggak tegese wong rabi utowo nikahan sing
ngalakoni bebojoan sing andhep-adhepan omah e. Etan karo kulon
utowo lor karo kidul. Ogak enek katerangan sing khusu agawe
jabarne ukorone. Dhandang ongak iku sanepan sing uwis kelaku kat
jaman mbah-mbah e ndisik. La kanggone wong jowo khusus e
Ponorogo rabi adhep-adhepan omah iku ora diolehi amarganing
akeh pacobaning urip. Amargani akeh kedadean seng ora-ora
kanggone wong bebrayan omah-omah”29
Dhandang onggak onggak adalah analogi yang terjadi terus menurus
dari jaman nenek moyang hingga sekarang. Bagi orang Jawa khususnya
Ponorogo, perkawinan Dhadang Onggak-onggak adalah peristiwa,
kejadian atau kegiatan yang dilarang karena akan banyak mendatangkan
malapetaka atau bencana bagi para pelakunya. Banyak di kalangan
masyarakat yang lebih memilih menjauhi larangan ini demi menjauhi hal-
hal yang tidak diinginkan demi kelanggengan dan kebahagiaan hidup
pasca pernikahan.
Kehidupan manusia memang berbeda dengan hewan yang berada di
hutan karena manusia berpikir dan dapat menentukan kemana arah yang
akan selanjutnya ditempuh. Hukum sebagai sarana menuju ketentraman,
dam pengendali sosial, walaupun pada setiap perjalanannya menuai
29Musliman, Hasil Wawancara, 10 April 2019.
kontroversi karena ada sisi yang diuntungkan dan sisi yang merasa
dirugikan.
Keterangan yang sama juga diberikan oleh bapak Juwardi selaku
Bujangga II tentang larangan Dhandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Berikut keterangannya:
“Adhep-adhepan omah kuwi ora oleh dilakoni amargoning iku
perilakune wong mbiyen-mbiyen. Yo jeneng uwong urip iku tansah
ati-ati kelakune. Amarganing mbah mbah e iku wong tuane dewe.”30
Menurutnya melakukan pernikahan dengan pasangan yang rumahnya
berhadapan itu dilarang. Karena itu adalah ucapan/tindakan orang orang
terdahulu untuk menjauhi dan tunduk pada larangan tersebut. Karena
baginya adalah sebuah perbuatan yang penuh kehatian-hatian agar hidup
penuh dengan ketentraman. Menghormati leluhur sama dengan
menghormati orang tua kita sendiri. Secara kodifikasi memang belum ada
bahkan di peraturan desa pun tidak diberi karena peraturan ini masih
sebatas milik para kelompok tertentu.
Jawa memang memiliki cara tersendiri untuk mengatur
masyarakatnya. Unsur magis yang masih terawat adalah sebuah prestasi
yang harus dipertahankan. Pasalnya modernitas sering membawa
perubahan pada dinamika masyarakat yang pada hal jaman sekarang
mudah mendapat informasi, pertukaran masyarakat tak jarang pun
dilakukan demi memenuhi kebutuhan ekonomis.
30Juwardi, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
Berbeda halnya dengan bapak Surat Selaku Bujangga III yang
memberikan keterangan lebih mendalam terhadap definisi dari Dhandang
Ongak-ongak berikut:
“lek dieleng-eleng maneh sanepan Dhandang Ongak-ongak kui tegese
yaiku manuk seng adhep adhepan le. Njur wong wong gur maknani
wong seng urip bebojoan seng omah e arep-arepan. Lor-kidul karo
etan kulon. Sopo wong e seng nglakoni larangan kui mau, sak bedjo-
bedjone pegatan urip. Sakliane kui pegatan mati.”31
Larangan Dhandang Ongak-ongak secara etimogi adalah dua burung
yang saling berhadapan. Secara terminologi berarti pernikahan—yang
dilakukan oleh pasangan suami istri dan rumahnya saling berhadapan.
Baik dari utara ke selatan maupun timur ke barat. Adapun jika larangan
Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten
Ponorogo Dilanggar musibah yang paling baik adalah perceraian hidup.
Dan yang paling buruk adalah perceraian mati.
Jika dipikir secara akademis sebenarnya larangan Dhandang Onggak-
onggak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo ini
memiliki suatu keunikan yang seharusnya dapat di telaah leboh lanjut di
bidang keilmuaannya. Pasalnya, orang Jawa pun memiliki sebuha nilai
sendiri yang tidak bisa di logika oleh orang umum. Karena unsur magis
yang ada adalah sebuah jalan batin atau penalaran yang memiliki
keistimewaan sendiri.
31Surat, Hasil Wawancara, 4 Agustus 2019.
Menariknya dari bapak Surat adalah selain beliau Bujangga III, beliau
juga pernah melakukan perkawinan Dhandang Ongak-ongak Desa
Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo dengan ibu Hani.
Hal ini menurutnya karena ketidaktahuan atas larangan tersebut. Selain
tidak ada yang dapat menghalangi jika itu sudah menjadi kasih idaman
hati. Namun, sayangnya saat ini bapak Surat dan ibu Hani sudah bercerai.
Berikut yang beliau haturkan kepada penulis:
“La aku iki yo nglakoni Dhandang Ongak-ongak lo le, ananging
alhamdulillah gusti Allah isih ngewehi aku urip. Mbiyen trah aku urung
ngerti larangan kui. Yo kui mau lo, sak bedja-bedjane wong seng nglakoni
larangan kui diwei pegatan urip”
Adapun penyampaian dari warga setempat di desa Plosojenar
kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo bernama Endra Setyono selaku
sinoman desa ialah sebagai berikut:
“Pahamku Dhandang ongak-ongak kui yo gur rabi karo wong ngarep
omah e. Koncoku kulon prapatan sing jeneng e (tidak boleh
disebutkan) kui mbiyen yo rabi karo ngarep omahe, nyatane saiki
pegatan. Bubrah omah-omahe. Soal e kabeh wong ki gak pengen
ngalami kedadean seng elek. Kabeh iku pengen kamulyan. Yo ngono
kui weling e wong tuek tuek.”32
Menurutnya Dhandang Ongak-ongak yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan yang letak rumahnya saling berhadapan.
Imbuhnya ada salah satu temannya yang melanggar dari larangan tersubut
32
Endra Setyono, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
dan sekarang rumah tangganya telah rusak. Hal itu menurutnya karena
telah melanggar aturan tersebut.
Para informan yang telah tersebut di atas memberikan definisi bahwa
pernikahan Dhandang Ongak-ongak adalah sebuah pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan yang rumahnya saling berhadapan. Baik dari
timur ke barat maupun selatan ke utara. Maka, demikian itu adalah hal
yang dilarang oleh orang-orang Jawa khususnya wilayah Ponorogo.
Bapak Juwardi juga menambahkan bahwa larangan Dhandang
Ongak-ongak adalah produk pemikiran asli Jawa yang harus dilestarikan
oleh keturunan-keturunan sesudahnya. Karena segala sesuatu yang
diciptakan nenek moyang adalah hasil cipta rasa dan ilmu titen yang
dilakukan para leluhur.
“Asline kan agama Islam kui seng ogak ngoleh ake amargo, trah hasil
budoyo soko arab kono. Lah neng Jowo kui ono adat dewe maneh
seng neges ake larangan adat koyoto Dhandang Ongak-ongak kui
mau. Bakal bedho ceritane lek digandengne karo agama Islam jelas
bedho pendapat no le.”33
Menurutnya hanya agama Islam yang tidak memperbolehkan karena
hukum yang ditetapkan dari Islam itu adalah hasil kebudayaan Arab. Dan
Jawa mempunyai hasil kebudayaannya sendiri yang selalu mempunyai
hasil yang berbeda ketika disatukan pendapatnya. Hal ini sangat wajar
sekali karena setiap individu, setiap kelompok masyrakat memiliki caranya
masing-masing untuk menghadapi masalahnya.
33
Juwardi, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
Pemikiran Jawa sangatlah berbeda dengan kebudayaan yang ada di
negara Islam. Kepercayaan kepada mistisme lebih kental di Jawa karena
para leluhur yang menyembah pohon dan lainnnya. Atau bisa disebut
dengan kapitayan atau klenik. Maka tidak heran jika sudut pandang Jawa
dan negara Islam berbeda menghadapi persoalan seperti larangan
Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten
Ponorogo. Karena syariat dan hasil kebudayaan Jawa adalah satu hal dan
hal yang lain.
Berbeda dari sudut pandang Islam yang memegang erat dalil nash dan
al-Quran. Pada prinsipnya semua manusia mengejar pada sebuah
kebenaran. Namun kebenaran absolut hanya milik tuhan. Manusia hanya
mampu mengusahakan kebenenaran sesuai kemampuannya atau tingkatan
tertentu. Sebuah jalan atau pendeketan memang wajar jika itu berbeda
karena keberagaman akan dapat menambah keberanekaragaman dan maka
akan menjadi pengetahuan dan ciri khas masing-masing dan menghasilan
penelitian baru yang dapat diuntungkan khususnya dibidang keilmuan.
Pun dapat menjadikan sebuah teori dan diujikan keabsahannya.
Apa yang dapat ditelusuri dari hasil wawancara bahwa menurut
ceritanya. Dulu sekali, larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo dihindari karena peristiwa atau
kegiatan tersebut telah menuai banyak kejadian yang tidak diinginkan.
Ketika pernikahan ini sedang dilangsungkan banyak peristiwa atau
kejadian yang tidak logis hadir di tengah mereka. Seperti: matinya disel
untuk mengalirkan listrik, nasi yang dimasak tak kunjung matang,
robohnya terop yang didirikan hingga peristiwa yang tak masuk akal
lainnya. Bahkan, setelah pernikahan itu akan terus banyak halang
rintangan yang dihadapi seperti: perselingkuhan dan berujung cerai,
ekonomi yang sulit dan lain sebagainnya.
Tidak ada penjelasan yang komprehansif bagaimana awal terjadinya
masalah tersebut. Hal ini menurut bapak Juwardi dikarenakan tidak ada
pembukuan dan menjadi hilang ketika hanya diingat.
“Yo lek pahamku ki ngene le, perkoro seng dilarangne wong tuo iku
wis dipikir mateng. Dadi mboh opo kui seng dilarangne mbah mbah e
mbiyen iku dadi batesan kangge awak e dewe iki seng isih enom
khusus e gawe jogo-jogo ben adoh alangan. La mbiyen nate enek seng
nglangar opo seng didawuhne wong tuo iku malah akeh kedadean
seng ora dipengen ake, koyoto rusak e urip bebojoan. Lan sak liane
perkoro iku akeh seng gak masuk akal liane. Seng uwis-uwis ngono
iku”34
Menurutnya, perkara yang dilarang orang tua itu sudah dipikir
matang-matang. Jadi, apapun yang dilarang orang tua itu adalah sebagai
batasan bagi generasi muda agar dijauhkan dari halangan, malapetaka dan
musibah. Dulu ada yang sempat melanggar dan terjadi apa yang tidak
diinginkan seperti rusaknya pernikahannya tersebut. Dan masih banyak
perkara yang tidak masuk akal lainnya. Banyak dari mereka yang mencoba
merasionalkan ilmu kejawen namun tidak sampai pada titik kepuasan.
34Musliman, Hasil Wawancara, 10 April 2019.
Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo merupakan sebuah produk hukum yang
diciptakan masyarakat Jawa—khususnya Ponorogo. Hukum ini diciptakan
oleh masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dalam dinamika
kehidupan. Sudut pandang disetiap wilayah memang memiliki gaya
tersendiri dan jika di tabrakan dengan wilayah atau paradigma lain,
acapkali menuai kontroversi. Hal ini sebuah kewajaran asal tidak sampai
berujung pada kerusuhan atau radikalisme. Namun, pada dasarnya
larangan ini belum sampai berani melarang keras terhadap pelaku
perbuatan Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo
Hampir dari semua pemaparan yang telah disampaikan narasumber
secara tersirat telah menjadi hukum. Dan secara tidak langsung dijadikan
landasan hidup masyarakat luas di Jawa—khususnya Ponorogo. Hidup
memang haruslah membawa setiap lapisan masyarakat agar merasa aman
dan tentram. Jika hukum tidak membawa kepada kebaikan maka hal itu
tidaklah menjadi sebuah tolak ukur untuk dijadikan dasar kehidupan.
Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo dipercaya sebagian masyarakat desa Plosojenar
kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo untuk memberikan rasa aman
dan tentram. Dan sebagai pembatas untuk sebuah dinamika kehidupan
khususnya—bagi orang yang akan masuk ke jenjang pernikahan
C. Kepatuhan Masyarakat Tentang Larangan Dhandhang Ongak-ongak
di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo
Tidak hanya berhenti pada pandangan masyarakat terhadap larangan
larangan Dhandang Ongak-ongak di desa Plosojenar. Namun penulis
mencoba mengali data dengan cara mengetahui bagaimana model
kepatuhan masyarakat tentang larangan larangan perkawinan. Tentu hal
ini sebagai tolak ukur praksis atas konsep larangan Dhandang Ongak-
ongak di desa Plosojenar.
Sebagai sebuah adat masyarakat di desa Plosojenar kecamatan
Kauman kabupaten Ponorogo ini. Dapat dipastikan ada penjabaran yang
lebih lanjut atas konsep tersebut sebagai hal yang harus atau tidak
dipatuhi.
Berikut wawancara yang penulis lakukan:
“Lek aku yo gur manut mas, soal e kangge pe ngati-ati urip, lek
menurutku sih yo akeh bener e soal e akeh seng uwes kedadean”35
Menurutnya, kalau ia hanya ikut-ikut saja. Soalnya sebagai penghati-
hatian dalam hidup. Soalnya banyak kebenaran yang sudah terjadi dalam
bentuk kejadian atau sudah sering terjadi. Banyak dari mereka memang
hanya sebatas mengetahui dari mulut ke mulut dan mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
35Endra Setyono, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
Hal ini juga disampaikan oleh mas Eko saat ditemui di kediamannya
beliau megatakan:
“aku yo rapatek mudeng babakan ngono kui. Nanging yo wong tuo
melingi yen ojo ngelakoni babakan seng wes dadi pituduh e wong tuo,
wedi kwalat nek aku”36
Menurutnya, sebagai orang awam hanya ikut saja. Sebab orang tua
memberi peringatan kalau perkara yang sudah di jadilakan hukum oleh
orang terdahulu maka termasuk durhaka dan akan mendapatkan akibat
yang buruk. Ketakutan adalah salah satu hal yang menjadikan masyarakat
patuh. Dalam kehidupan masyrakat hanya menjaga diri dari
ketidakmungkinan yang mungkin terjadi. Hal ini karena banyak dari
mereka yang mengerti dengan mata kepalanya sendiri jika melanggar
peraturan tersebut akan mengakibatkan hal-hal buruk menimpa pelaku
tersebut.
Dari apa yang dikatakan oleh beberapa informan yang telah bersedia
di wawancara.. Maka hal ini nampak seperti panu yang sedikit dan meluas
sehingga tidak lagi nampak sebuah panu karena saking meratanya. Karena
hal ini diikuti tanpa tahu klarifikasinya. Namun, perlu disadari memang
belum ada peneliti yang mampu mengkodifikasikan larangan-larangan
yang terjadi dimasyarakat dan menjadikan peraturan yang tertulis.
36
Eko Saputro, Hasil Wawancara, 14 April 2019
Rasa ketakutan atau khawatir akan terjadi hal-hal buruk di masa yang
akan datang ini telah masuk pada setiap pikiran masyarakat. Bahwa jika
melanggar peraturan larangan Dhandang Ongak-ongak akan mendapati
musibah, malapetaka dan ketidakmungkinan lainnya.
“Wong kulon prapatan kui lo saiki seng dadi contone, saiki
keluargane bubrah, jalarane ngelakoni urip bebojoan seng arep-
arepan omah e.”37
Menurutnya, orang barat perempatan yang telah menjadi contoh yang
telah terjadi. Sekarang keluarganya telah rusak karena telah melanggar
larangan Dhandang Ongak-ongak. Kesaksian ini telah banyak orang yang
mengetahuinya. Karena memang sangat jelas jika pelaku tersebut
melanggar Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo.
Pernikahan seharusnya mampu menjadikan dua insan yang saling
mencintai menjadi ikatan yang kokoh. Dalam kasus di atas permasalahan
yang mendatangi para pelaku Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa
Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo adalah hadirnya
perselingkuhan di antara mereka.
Jika dirasionalkan apa yang menimpa mereka adalah bentuk
kecerobohan suami-istri, mungkin faktor internal yang sulit memahami
satu sama lain atau kesalahan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
37Kadar, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
Bagai mata koin, pendapat akan selalu berbeda. Ada yang patuh demi
menjaga reputasi nenek moyang dan adapula yang hanya menghargai—
namun tetap eksis dalam keyakinannya beragama Islam. Berikut
wawancara penulis.
“Yo kabeh iku di balekne marang gusti Allah SWT., iku kan wong
wongan to le, gak kabeh diugemi. Ono seng trah asli jowo. Ono seng
ngajeni tapi ora nglakoni. Yo kabeh di balekne neng wong e dewe.
Seng penting akur marang tonggo teparo.”38
Menurutnya, semua itu adalah kehendak Allah SWT. setiap orang
bebas berbeda pendapat dan tidak semua orang mematuhi aliran tersebut.
Semua dikembalikan kepada diri kita masing-masing yang penting kita
tetap pada arah toleransi.
Dalam ajaran agama Islam takdir dibagi menjadi dua, yaitu takdir yang
bisa dirubah dan takdir yang tidak dapat dirubah. Selama manusia mau
berusaha maka akan mendapati apa yang ia inginkan. Dan jika semua
sudah dilakukan maka semua tinggal diserahkan kepada tuhan yang maha
esa. Takdir yang tidak dapat diusahakan seperti menghindari kematian.
Dan takdir yang dapat diusahakan ialah mencari nafkah. Maka,
perselingkuhan dalam kasus di atas adalah termasuk hal yang dapat
diusahakan menghindarinya.
38Kaselan, Hasil Wawancara, 12 April 2019.
Jika dihubungkan dengan agama maka akan menjadi jawaban yang
berbeda. Ada pro dan kontra di dalamnya. Dalam hal kepatuhan terhadap
larangan Dhandang Ongak-ongak tidak semua lapisan masyarakat
meyakini sepenuhnya. Ada yang sepenuhnya meyakini bahwa jika
melanggar aturan itu maka akan banyak malapetaka yang mendatangi.
Seperti halnya yang dikatakan pak Kusno sebagai berikut:
“Yo trah akeh contone seng uwes uwes. Lek ogak enek seng wes
kedadean mbah-mbahmu ogak bakal muni koyo ngono kui. Makane
saiki didadekne dasar dingge bekal urip. Sopo seng nglanggar iso
kedadean seng ogak dipengen ake.”39
Menurutnya, memang telah banyak kejadian yang terjadi. Para nenek
moyang tidak akan memberi larangan tersebut jika tidak pernah terjadi
sebelumnya. Maka sekarang dijadikan panutan dalam hidup. Larangan ini
memang unik karena tidak dapat dirasionalkan. Namun apa yang terjadi di
lapangan tidak dapat dipungkiri banyak yang terjadi hal-hal yang jauh dari
pikiran akal sehat. Larangan ini menjadi momok yang menakutkan karena
secara akal sehat tidak dapat dirasinalisasikan penyebabnya.
Dalam kehidupan tidak ada satu pun orang yang menginginkan hal
yang buruk menimpanya. Maka, dari kebanyakan orang abangan lebih
mempercayai hukum adat karena lebih akrab dengan kesehariannya. Level
dalam taraf pemahaman masyarakat lebih banyak didominasi orang awam
dan kecenderungan mereka hanya mengikuti apa yang telah mapan terhadi
di masyarakat.
39
Kusno, Hasil wawancara, 15 April 2019.
Dari informan ada yang mengatakan telah terjadi pernikahan yang
dilakukan oleh seseorang yang berada di barat perempatan. Walau dengan
sedikit kesusahan dalam mencari data pelaku yang melanggar larangan
pernikahan. Akhirnya, penulis berhasil melakukan wawancara kepada
bapak Kusno selaku saksi atau tetangga pelaku atau pelanggar larangan
Dhandang Ongak-ongak.
“Mbiyen ki mas, terah wes sir-sir an kat SMP. Pikirku gak sampek
semono kok iso nikahan padahal mbiyen ki yo gur gojlokan. Singkat e
seng lanang utowo mas Nanang kui nglamar karo wong tuane neng
ngone mbah Mardi bapak e mbak Yuni. Yo walaupun wes dielengne
marang sedulur dan tonggo teparone babakan Dhandang Onggak-
onggak iku. Seng wes jeneng e tresno opo wae dilakoni. Akhir e mas
Nanang karo mbak Yuni ngelakoni akad nikah wes podo umum e kae
lo mas.”40
Menurutnya, dahulu mas Nanang dan mbak Yuni itu sudah saling
suka, padahal itu hanya dijodoh-jodohkan dari teman-teman atau hanya
ejekan. Singkatnya, malah lamaran beneran dan menikah. Walaupun sudah
diingatkan oleh para saudara dan para tetangga. Akhirnya, mas Nanang
dan mbak Yuni melakukan akad nikah pada umumnya. Tidak hanya itu
saja setiap para bujangga selalu memberikan petuah sebelum
berlangsungnya perkawinan tersebut. Namun, bujangga tidak memiliki
status yang kuat untuk melarang pernikahan karena bagaimanapun yang
melakukannya adalah para pelaku perbikahan Dhandang Ongak-ongak
Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
40
Kusno, Hasil wawancara, 15 April 2019.
Jika kita telaah dari segi psikologi keluarga, maka tak akan ada
hubungannya sama sekali dengan larangan di desa Plosojenar kecamatan
Kauman kabupaten Ponorogo. Psikologi malah menganjurkan ketika
pasangan saling memiliki rasa kepercayaan dan melakukan kesepakatan
akan sebuah ikatan maka, harus segera dilaksanakan. Selain itu umur dan
aspek ekonomi yang sudah mumpuni maka pasangan itu sudahlah mampu
membangun hubungan suami istri. Dan jika kita lihat dari data yang
disampaikan Bapak Kuseno di atas maka, pasangan itu sudah mencukupi
aspek dari psikologi.
“Tahun tahunan awal e kabeh mlaku koyo umum e rumah tangga le,
sing lanang kerjo ning bis la seng wedok dadi ibu rumah tangga. Tapi
bar pirang-pirang tahun iku kok enek kabar lek mbak Yuni selingkuh
karo tonggone. Akhir e wong loro kui pegatan. Trus seng mbak Yuni
rabi karo tonggone kui terus gawe omah neng Sumatra kono. Sampek
saiki gak weruh kabare aku mas.”41
Menurutnya, tahun awal menikah memang biasa saja. Tidak ada
kejadian yang aneh. Tapi karena ditinggal suaminya kerja dan mbak Yuni
hanya sebagai ibu rumah tangga. Tiba-tiba datanglah kabar bahwa ada
perselingkuhan antara mbak Yuni dan tetangganya. Akhirnya mbak Yuni
dan mas Nanang bercerai dan mbak Yuni menikah dengan selingkuhannya
yang sebenarnya adalah tetanggnya sendiri. Dan sampai sekarang tidak ada
kabarnya sama sekali. Karena kabar ini termasuk sesuatu yang sangat
sensitif masyarakat cenderung bungkam ketika didapati informasinya
walau tak sedikit mau memberikan infomasi walau sangat lirih.
41Bapak Kusno, Hasil wawancara, 15 April 2019.
Dari wawancara yang dilakukan penulis, para masyarakat
berkesimpulan perpecahan yang terjadi dalam keluarga mas Nanang
diakibatkan dari melanggarnya peraturan larangan Dhandang Ongak-
ongak di desa Plosenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo.
Pelaku II sebagai pelanggar larangan tersebut adalah mbah Marinah
berikut wawancara disampaikan oleh beliau:
“Aku mbiyen rabi karo pak Khairil kui pas wes dadi rondo. Sekitar 13
tahunan terus aku ditinggal ninggal pak Khairil. Akhire pegatan mati.
Mbiyen le, omah e pak Khairil kui lor dalan, gek aku kidul dalan iki. Mboh
aku yo gak mudeng yo ngono kui anane.”42
Dulu, Marinah menikah ketika sudah janda. Menurutnya pernikahan
tersebut dijodohkan namun tetap saja jika dilihat dari rangkaian sejarahnya
menurut masyarakat tetap digolongkan melanggar aturan Dhandang
Ongak-ongak. Akibat yang ia terima ialah sang suami meninggal atau
perceraian mati.
Tak jarang dari para pelaku memang tidak tahu bagaimana prosesi
atau konsep Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Karena menurutnya ketika dua
orang saling sepakat membangun rumah tangga harus segera
dilangsungkan pernikahan tersebut. Bagi mereka yang tidak tahu akan
mengatakan jika apa yang terjadi di keluarganya adalah murni takdir dari
tuha dan tidak dapat dipastikan penyebabnya.
42Marinah, Hasil wawancara, 4 Agustus 2019.
Hal ini oleh penulis ditanyakan oleh bapak Kaselan selaku tokoh
agama desa berikut wawancara yang dilakukan:
“Yo lek ngono kui le, hubungan e karo wong wong seng percoyo karo
babakan kejawen. Bedho maneh karo wong seng anduweni
kepercayaan neng Islam. Kabeh kui mbalik neng ngone dewe-dewe le,
la lek neng syar’at agomo ngono iku mau gak ono. Percoyo karo
pikiran seng digawe menungso iku hukum e syirik. Percoyo iku yo
amung neng gusti Allah kabeh perkoro seng hubungan e karo mongso
ngarep iku amung gusti Allah seng nentuk ake.”43
Dari apa yang dipaparkan oleh informan di atas ada hubungannya
dengan pola pikir setiap individu. Dari sudut mana mereka akan
menganalisis sebuah objek maka akan menentukan hasil daripadanya.
Namun berbagai hal tersebut selalu ada pertanggung jawabannya masing-
masing. Dalam hidup pada puncaknya manusia hanya mencari
kebahagiaannya. Setiap individu mempunyai pedekatannya masing-
masing. Setiap masyarakat mempunyai metodologinya masing-masing.
Maka kita harus saling menghargai dan menerima setiap jawaban atas
persoalan apapun daripadanya.
43Kaselan, Hasil wawancara, 12 April 2019.
BAB IV
TINJAUAN ‘URF TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN
DANDHANG ONGAK-ONGAK DI DESA PLOSOJENAR KECAMATAN
KAUMAN KABUPATEN PONOROGO
A. Tinjauan ‘Urf Terhadap Larangan Perkawinan Dhandang Ongak-
ongak di Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo.
Pada bab ini penulis akan mengurai tentang adat istiadat masyarakat
desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo yang dalam hal
ini terdapat praktik larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak
Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman
Kabupaten Ponorogo. Sebagai pertimbangan penulis mengunakan
ketentuan yang digunakan para jumhur ulama dan ditetapkan menjadi
hukum adat sesuai dengan nilai maslahatnya.
Bagi setiap laki-laki maupun perempuan yang mampu secara
ekonomi, fisik, dan mental maka pernikahan adalah jenjang baru untuk
segera dilaksanakan. Karena agar dapat melestrikan keturunan dan
melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Pernikahan juga merupakan
sarana untuk menyalurkan hasrat seksual. Tidak itu saja setiap individu
akan mendapati peran dan fungsinya yang baru. Pernikahan adalah
sunnatullah yang jika melangsungkannya akan mendapat pahala.
Namun, di mana pun tempatnya kita akan selalu dihadapkan dengan
batasan-batasan dan hukum hukum yang tercipta disekitar kita. Hukum
sebagai sarana yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi
dinamikan masyrakat dan sekaligus keresahan bagi mereka yang ingin
melanggar ketentuan yang terjadi. Karena ada hukum dan pasti ada sanksi
bagi para pelanggarnya baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Dalam kehidupan tidak akan lepas dengan ketentuan-ketentuan. Di
mana pun ada kehidupan disitulah ada batasan batasan yang harus di lalui.
Atau di patuhi agar dapat selamat dan merasa tentram pun sebagai rasa
nyaman. Karena hukum adalah seperangkat sistem yang sifatnya memaksa
bagi masyarakat yang didekatnya.
Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan
yang suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah
dan aturan Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan
berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai
dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi
keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa
akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta
keluarga kerabatnya.
Perkawinan dalam Islam merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang laki-laki dan perempuan yang menghalalkan persetubuhan,
sebagaimana Allah menyebutkan perkawinan itu adalah mista>qan
gali>dhan (janji yang erat). Dengan demikian, perkawinan merupakan
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar
akan kenyataan bahwa adat kebiasaan dan tradisi telah memainkan peran
penting dalam mengatur kehidupan manusia di kalangan masyarakat. Adat
atau tradisi ini telah turun temurun dari generasi ke generasi yang tetap
dipelihara hingga sekarang. Dalam aktivitas praktis manusia, tradisi
menjadi sebuah hal yang begitu penting. Fungsi tradisi memberi pedoman
untuk bertindak dan memberi individu sebuah identitas.
Adat istiadat dalam Jawa adalah hasil interprestasi dari pemikiran
oranng-orang terdahulu yang hadir atau ada karena peristiwa yang telah
terjadi. Pendekatan yang dilalui orang Jawa pun akan selalu berbeda
dengan pemikiran lainnya. Karena itu masyarakat Jawa sangat disarankan
untuk menjaganya agar tidak hilang ditengah arus globalisasi yang
semakin gencar menyerang kebudayaan asli pribumi.
Oleh sebab itu, jika dilihat sekilas, larangan pernikahan Dhandang
Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo
termasuk ke dalam larangan perkawinan yang bersifat mu’a>bbad
(selamanya).
Berbeda dengan beberapa dasar larangan yang telah disebutkan di
atas, larangan larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak mendekati
pada prasangka-prasangka yang apabila dilawan akan menyebabkan
kerusakan pada para pelaku. Hal ini dapat dikatakan mendahului takdir
yang maha kuasa. Dasar larangan ini masih terbatas pada prasangka karena
corak permikiran Jawa atau sering disebut ilmu titen.
Dari hal di atas maka, dapat disimpulkan larangan Dhandang Ongak-
ongak di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo
termasuk ‘urf khaa>s karena ruang lingkupnya yang lebih kecil dan tidak
menyeluruh di Indonesia. Dan sebaliknya ‘urf amm sifatnya lebih besar
dan menyeluruh di semua wilayah di Indonesia.
Selain ‘urf shahi>h, Abu Zahra menyebut ada ‘urf fasid. Jika ‘urf
fasi>d adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan shari’at, maka ‘urf
shahi>h adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat dan
oleh karena itu masih tetap digunakan dalam Islam. Dan dari sini dapat
disimpulkan bahwa ‘urf fasi>d yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang
sampai pada penghalalan suatu yang diharamkan Allah. Karena jika
diteruskan kebiasaan berprasangka buruk terhadap suatu hal yang tidak
ada dasarnya akan mengakibatkan dosa musyrik.
B. Tinjauan ‘Urf Terhadap Kepatuhan Masyarakat tentang Larangan
Perkawinan Dhandang Ongak-ongak di Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo.
Pada pemaparan di atas dijelaskan pandangan ‘urf terkait pelaksanaan
dan pelanggaran terhadap larangan Dhandang Ongak-ongak di desa
Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo sebenarnya adat yang
dihasilkan dari sebuah larangan, akan tetapi dipercaya dari jaman nenek
moyang karena perbuatan itu adalah ilmu atau pemikiran adat Jawa.
Dikatakan bahwa Dhandang Ongak-ongak muncul karena setiap kali ada
pernikahan yang dilakukan oleh orang yang rumahnya saling berhadapan
maka pernikahan tersebut berujung pada sebuah kegagalan ataupun
malapetaka dan oleh sebab itulah pernikahan Dhandang Ongak-ongak
terlarang sebab (niteni penggawe menungso).
Hukum harus membawa maslahah bagi masyarakat, sebagai adat
istiadat yang berlaku. Sebab hukum seyogyanya mampu metertibkan dan
memberikan rasa aman kepada para subjek hukum. Oleh karena itu,
adanya hukum kebiasaan harus didukung dengan kepatuhan masyarakat.
Bentuk kepatuhan inilah yang memperkuat eksistensi dari adat istiadat
yang ada. Dalam hal ini, penulis akan meninjau kepatuhan masyarakat
tentang larangan Dhandang Ongak-ongak mengunakan kacamata ‘urf.
Sebagaimana yang telah terangkum pada bab sebelumnya. Ada
beberapa alasan yang membuat masyarakat patuh terhadap Dhandang
Ongak-ongak. Berbagai alasan tersebut meliputi corak pemikiran Jawa,
penghormatan pada leluhur dan mempercayai akibat-akibat jika
mengingkari larangan tersebut.
Corak pemikiran Jawa tidak dapat disandingkan dengan pemikiran
dari budaya Arab. Hal ini dikarenakan latar belakang wilayah atau Islam
lebih cenderung kepada pengalian hukum yang diambil dari nash al-
Quran. Sedangkan Jawa lebih kepada roh nenek moyang, ilmu titen dan
hal lain yang bersifat magis
Karena sebab menghormati atau mewariskan adat istiadat dari leluhur
(nenek moyang), maka kita dapat mengacu pada firman Allah di dalam Al-
quran, surat al-An’am ayat 116 yang pada dasarnya menjelaskan bahwa
muslim dilarang untuk menuruti kebanyakan orang di muka bumi yang
mana mereka hanya berdasarkan prasangka belaka. Dari sini dapat kita
cermati bahwa Al-quran (Islam) melarang pemeluknya untuk mengikuti
kebiasaan kebanyakan orang yang tidak jelas ajarannya. Dan tidak pula
termaktub ajaran tersebut dalam Alquran maupun Hadis.
Walaupun larangan Dhandang Onggak-onggak tidak dapat dijadikan
dasar hukum dari sudut pandang Islam. Namun nyatanya selalu ada hal
positif yang dapat diambil dari larangan . Berkaitan dengan fungsi
larangan sebagai sarana pendidikan, maka, tidaklah mengherankan jika
dongeng-dongeng yang bernafaskan petuah atau mengarah pada nilai-nilai
moral/etika "suci" yang terdapat pada setiap komunitas, berfungsi sebagai
peraga untuk mempererat keyakinan masyarakat terhadap keluhuran
budayanya dan memperkokoh kesetiakawanannya sosial mereka seperti
yang tersirat dalam dongeng-dongeng suci yang berkembang di
masyarakat dapat menyerap pesan-pesan budaya dengan tanpa merasakan
kejemuan.
Pada umumnya orang tidak lagi peduli akan kelainan versi yang
berkembang, bahkan dihadapkan pada banyak versi tersebut, kreatifitas
masyarakat bisa terangsang. Bagi mereka yang kritikal tidak dapat
menerima apa adannya, melainkan akan melihat keterkaitannya dengan
kondisi serta perkembangan zaman dalam menentukan pilihan versi dan
interprestasi. Hal ini dimungkinkan karena larangan sebagai tradisi lisan
terbuka terhadap segala kemungkinan sisipan pesan yang dianggap perlu
oleh komunikator dan komunikan. Di sisi lain para cendekiawan di masa
lampau dengan mudah mengembangkan kreatifitasnya melalui berbagai
macam versi dan interprestasinya untuk membina masyarakat dan
mengembangkan kebudayaan. Di samping itu banyaknya versi yang
berlainan juga mengundang pemikiran lebih lanjut guna menentukan apa
yang sesungguhnya menjadi inti pesan larangan itu sendiri.44
Mengikuti ajaran yang tidak bersumber dari dasar hukum Islam dapat
berpotensi menjadikan muslim syirik. Siapa saja yang mengikut
kebanyakan orang tanpa ada dalil yang jelas, maka boleh jadi hal itu ialah
perintah dari setan. Karena hal ini merupakan perbuatan yang sangat
riskan. Dan oleh karena perbuatan, adat istiadat (kebiasaan) ini termasuk
dalam ‘urf fi’li yaitu kebiasaan yang berlaku. Sama halnya dengan
perbuatan (kebiasaan) mengikuti kebanyakan orang (sesepuh). ‘Urf
tersebut masuk ke dalam ‘urf fasi>d dikarenakan berbenturan dengan
syariat Islam. Kepatuhan masyarakat guna untuk menghormati leluhur
(nenek moyang) tidak dijelaskan dalam Al-quran maupun Hadis, apalagi
didasari dengan suatu prasangka.
Kepatuhan masyarakat desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten
Ponorogo mengenai larangan Dhandang Ongak-ongak ini di latar
belakangi oleh regenerasi mayarakat. Yang pada mulanya dulu para nenek
moyang corak pemikiranya adalah kapitayan yang mempercayai hal yang
44Sri Iswidayati, Fungsi Larangan Dalam Kehidupam Sosial Budaya Masyarakat
Pendukungnya, Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Volume VIII No 2/ Mei
Agustus 2007.
bersifat mistis. Selain itu rasa ketakutan terhadap prasangka yang negatif
lebih besar daripada sifat berprasangka baik.
Dalam dunia tak ada satupun manusia yang mengingikan terjadi
malapetaka. Manusia hanya dapat berusaha menjaga diri dari sebab-akibat.
Hal inilah yang membuat masyarakat desa Plosojenar kecamatan Kauman
kabupaten Ponorogo mematuhi larangan Dhandang Ongak-ongak.
Selain itu, rasa ketakutan masyarakat ini disebabkan karena sering
dalam kejadiannya. Banyak para warga yang melanggar larangan ini
mengalami malapetaka. Tak sedikit dari mereka melanggar larangan ini
dan tak sedikit pula yang meyakini hal tersebut. Bagi mereka yang
melanggar tentu ada yang mengalami musibah dan adapula yang tidak.
Namun, mayoritas masyarakat mempercayai jika larangan itu dilanggar
maka akan terjadi malapetaka.
Adapun beberapa malapetaka yang pernah terjadi adalah rusaknya
mesin diesel saat pernikahan, nasi yang ditanak tidak segera matang,
kedatangan hujan, hadirnya perselingkuhan dan banyak kasus lainnya
yang tidak masuk akal datang.
Dari sekian banyak kejadian tersebut jika penulis hubungkan dengan
surat asy-Syura’ ayat 3 yang menjelaskan bahwa musibah yang menimpa
muslim tak lain disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Dan Allah
memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu (muslim).
Berdasarkan penjelasan dari firman Allah, hakikatnya musibah yang
terjadi akibat melanggar larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak
hanya bersifat prasangkaan. Karena tidak asap jika tidak ada api. Tidak
ada sebab maka tidak ada akibat.
Kepatuhan terhadap larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak
didasari rasa penghormatan terhadap nenek moyang yang telah melakukan
tradisi tersebut pada setiap perkawinan adat Jawa. Karena dalam
praktiknya calon pengantin mayoritas langkahnya dintervensi dari pihak
para orang tua. Namun sebegitu hormat tak ada satupun dalil yang kuat
untuk dapat dijadikan dasar dalam hal tersebut.
Larangan Dhandang Ongak-ongak ini dipercaya oleh mayoritas
masyarakat setempat, karena memiliki kekuatan magis atau bala’. Menurut
pengalaman masyarakat setempat jika hal ini dilanggar maka paling bagus
bala’nya ia perceraian hidup dan paling jelek ialah perceraian mati. Namun
ada beberapa orang yang secara tertutup tidak mengakui akibat atau bala’
hal ini dikarenakan atas dasar sudah terlanjur cinta kepada pasangannya
dan harus segera melakukan pernikahan. Kebanyakan itu dilakukan oleh
golongan muda yang bergejolak dalam hal asmara. Berbeda halnya dengan
golongan tua yang terus memberikan intervensi kepada para pelaku yang
akan melangsungkan pernikahannya tersebut. Pasalnya ini adalah zaman
modern yang segala sesuatunya harus didasarkan pada nalar dan otak.
Peristiwa Dhandang Ongak-ongak tersebut hanya larangan belaka. Namun
lagi-lagi golongan ini hanya dapat berwacana, mereka kewalahan ketika
harus membuktikan spekulasi pemikiran dengan hal yang harus
dipertanggungjawabkan.
Perlu digaris bawahi Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa
Plosojenar Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo ini adalah sebuah
larangan yang hanya terjadi di lingkungan Jawa, khususnya Ponorogo.
Larangan Dhandang Ongak-ongak tidak berlangsung secara umum karena
ini adalah hasil budaya yang terjadi karena dinamika dari masalalu dan
dilestarikan sampai hari ini.
Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar Kecamatan
Kauman Kabupaten Ponorogo ada sisi positf pun ada sisi negatif. Adapun
sisi posituf yang dapat penulis katakan adalah larangan ini dapat diangkat
menjadi karya ilmiah agar dapat mengetahui secara mendalam apa yang
dimaksud dari larangan tersebut dan menjadi tambahan di ranah ilmu
pengetahuan.
Sisi negatif dari Larangan Dhandang Ongak-ongak Desa Plosojenar
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo adalah belum ada atau tidak
dapat dipertanggung jawabkan hasilnya mengunakan nalar berfikir atau
tidak dapat dirasionalisasikan jawabannya. Karena pada dasarnya apa yang
dapat dijelaskan masih bersifat metafisis dan bukan ilmu positif yang
dapat digali dari pertanyaan dan riset.
Namun apapun itu syariat tetaplah syariat. Baik itu untuk menghormati
leluhur (nenek moyang) dengan menuruti segala perintah dan
kebiasaannya, maupun karena takut jikalau musibah menimpa
keluarganya, saat melanggar, tidak sesuai dengan ajaran Islam. ‘Urf di sini
termasuk ke dalam kategori ’urf fasi>d, yaitu ‘urf yang tertolak atau tidak
dapat diterima menjadi dasar hukum. calon mempelai laki-laki dengan
perempuan yang saling suka, tapi tidak dapat kawin karena melanggar
larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak. Dalam kepatuhan ini
banyak masyarakat yang lebih melebihkan atau mengutamakan adat Jawa
dan mengesampingkan syariat Islam.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan terkait Tinjauan
‘Urf Terhadap Larangan Larangan Perkawinan Dhandang Ongak-ongak
di desa Plosojenar kecamatan Kauman kabupaten Ponorogo, maka penulis
untuk selanjutnya dapat ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Larangan larangan perkawinan Dhandang Ongak-ongak tidak
memenuhi syarat-syarat diterimanya ‘urf sebagai sumber hukum dari
Tinjauan hukum Islam/’urf. Karena pada prosesinya tidak ada
ketetapan hukum dan hanya sebatas prasangka. Selain itu, dengan
tidak dipenuhinya syarat-syarat ‘urf di atas, maka larangan
perkawinan ini masuk ke dalam ‘urf fasid atau ‘urf yang tertolak
karena tidak ada landasan yang kuat untuk dapat dijadikan sebagai
hukum.
2. Menurut Pandangan ‘urf kepatuhan masyarakat hanya sebatas
menghormati leluhurnya atau masuk dalam klasifikasi ‘urf fi’li sedang
dari segi pelakunya adalah ’urf kha>ss. Maka, dalam hal kepatuhan
masyarakat terhadap larangan tergolong pada ‘urf fasid. Karena tidak
ada dasar yang kuat untuk mempertanggung-jawabkan maslahatnya.
B. Saran
Masyarakat yang mempercayai hukum adat, semoga dapat
berdampingan dengan masyarakat yang berpegang teguh dengan ajaran
Islam. Pada dasarnya dalam melangsungkan perkawinan, masyarakat
harus memegang teguh syariat. Tentu dengan harapan agar rasa toleransi
berpendapat selalu hadir di tengah dinamika kehidupan yang terus
berkembang. Apapun metodologinya bagi penulis semua mempunyai
pertanggung-jawaban masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul hamid hakim, Maba>di’ auliyyah, Jakarta: Maktabah sa’diyah putra
2006.
Abdul Haq, Ahmad Mubaroq, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah
Fiqh Buku Satu, Surabaya : Khlista, 2017.
Abidin, Slamet, Fiqh Munakahat 1 Bandung: Pustaka Setia, 1999 .
Al-Khotio>b, Abdul Lathi>f Ahmad ibn An-Nafaha>t ‘ala> Syarh Al-Waroqo>t,
Jakarta: Al-haromain tahun 2012.
Atabik, Ahmad, Khoirudin, Mudhiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam Yudisia, Vol. 5, No. 2 Desember 2014.
Azwar, Saifudin, Metode Penelitian Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Cahyanti, Ika, “Mitos dalam Ritual Ruwatan Masyarakat Madura di Kecamatan
Gending Kabupaten Probolinggo” Jurnal Edukasi, 2017, IV 1.
Dahlan, Rahman, Ushul Fiqh Jakarta: Amzah, 2011.
Damanuri, Aji, Metodologi Penelitian Muamalah Ponorogo: STAIN Po. Press,
2010.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh Jilid II Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, tath.
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Cet. 2 Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011.
Hakim, Abdul Hamid Maba>di’ auliyyah, Jakarta: Maktabah sa’diyah putra
2006.
Hamzawi, M. Adib, “Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia,” Inovatif,
Volume 4, No. 1 Pebruari 2018.
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Hermanto, Agus “Larangan Perkawinan Prespektif Fikih Dan Relevansi Dengan
Hukum Perkawinan di Indonesia,” Muslim Heritage, Vol. 2, No.1 Mei –
Oktober 2017.
Huda, Mifathul “Membangun Model Bernegoisasi Dalam Tradisi Larangan-
larangan Perkawinan Jawa” Episteme, Vol. 12, No. 2, Desember 2017.
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif Jakarta: GP Press, 2009.
M. Djunaidi Ghony & Fuzan Almanshur, “Metodologi Penelitian Kualitatif”.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Ma’sum Zainy Al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang : Darul Hukmah
Jombang, 2008.
Maimun, Ach. “Memperkuat ’Urf dalam Pengembangana” al-Hikam Hukum
Islam, Vol. 12 No. 1 Juni 2017.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Mas’udah Ririn, Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat
Adat Trenggalek, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 1 No. 1, 2010.
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender edisi II , Malang:UIN
Maliki Press 2013.
Muhajirin, Moch Ibnu. Pandangan Ulama Kabupaten Madiun Tentang Adat
Larangan Perkawinan Njati Ngarang Terhadap Anak Lanang, Skripsi
Ponorogo: IAIN Ponorogo 2014.
Mulyana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004.
Mustafid, “larangan perkawinan di anatara dua khotbah: tinjauan hukum islam
atas paktik perkawinan di desa sibiruang kabupaten kampar riau”, Al-
Ahwal, Vol. 9, No. 2, Desember 2016 M/1438 H.
Nurhayati, Agustina, Pernikahan Dalam Perspektif Alquran, ASAS, Vol. 3, No.
1, Januari 2011.
Qardlawi, Yusuf, Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam Menghadapi
Perubahan Zaman, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Sabry, Muh. Sadik, “Wawasan al-quran tentang hoaks suatu kajian tafsir tematik
” tafsere Volume 6 Nomor 2 Tahun 2018.
Sholihah, Afifatus, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Larangan Perkawinan
Barep Telon di Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi, Skripsi
Ponorogo: IAIN ponorogo 2008.
Subroto, Adat Larangan Pernikahan Warga Dusun Mirah Desa Nambang Rejo
Dan Desa Golan Kecamatan Sukorejo Perspektif’Urf , Skripsi
Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2012.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D Bandung: Alfabeta,
2013.
Suwarjin, Ushul fiqh, Surabaya: Sukses Offset 2012.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 1999.
Utami, Sri Budaya Larangan Perkawinan Mempertemukan Pengantin Melewati
Gunung Pegat di Desa Nambak Kecamatan Slahung Kabupaten
Ponorogo, Skripsi Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2002.
Wibisana, Wahyu, Pernikahan Dalam Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta'lim Vol. 14 No. 2- 2016.
Zubaidah, Ruliana, Tinjauan Ushul Fiqh Tentang Kebiasaan ‘Urf Kepatuhan
Masyarakat Terhadap Adat Larangan Perkawinan pada Bulan
Muharram Studi Kasus di Desa Babadan Kecamatan Babadan
Kabupaten Ponorogo , Skripsi Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2009.