© 2002 yunik istikorini posted: 9 december, 2002 · web viewantagonis adalah mikroorganisme yang...
Post on 06-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
© 2002 Yunik Istikorini Posted: 9 December, 2002Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3Institut Pertanian BogorDecember 2002 Dosen:Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)Prof Dr Ir Zahrial CotoDr Bambang Purwantara
PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN SECARA HAYATI YANG EKOLOGIS DAN BERKELANJUTAN
Oleh :
YUNIK ISTIKORINI, SP, MP
A46102003/FIT
E-mail: yunik2002@hotmail.com
1. Pendahuluan
Pembangunan sektor pertanian kini disiapkan untu memasuki era agroindustri
dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu pengembanganan penerapan teknologi
berwawasan lingkungan serta pengembangan sumberdaya manusia harus mendapat
perhatian dan penekanan yang cukup kuat, sebagai landasan pembangunan pertanian
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, antara lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi
sumber daya alam yang berwawasan lingkungan serta harus dapat mengurangi dampak
kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas
lingkungan hidup. Salah satu kegiatan riil yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana
cara pengamanan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (OPT)
(Reintjes et al. 1999).
Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida
sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit-penyakit yan sulit dikendalikan,
misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne
pathogens). Pada tanaman hortikultura, pestisida sintetis merupakan andalan
pengendalian yang utama. Penyakit bercak ungu (trotol) pada bawang merah dan
bawang putih merupakan salah satu penyakit yang sampai sekarang sulit dikendalikan.
Pada beberapa daerah misalnya di Brebes dan Tegal, bawang merah merupakan tanaman
andalan petani. Petani cenderung menanam sepanjang tahun tanpa memperhatikan faktor
lingkungan. Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan pestisida
sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Hal ini
dilakukan petani antara lain karena modal yang ditanam dalam usaha tani cukup besar
sehingga petani tidak mau menanggunag resiko kegagalan usaha taninya, konsumen
menghendaki produk hortikultura yang bersih dan cantik (blemish free) dan kurang
tersedianya pengendalian non kimia yang efektif.
Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah
kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Oleh karena
itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar
untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis (Suparyono, 1995; Reintjes et al,
1999).
Pembangunan penyakit tumbuhan secara hayati merupakan salah satu komponen
pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan
karena pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan
manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya
memanfaatkan mikroorganisme hayati dan proses-proses alami. Aplikasi pengendalian
hayati harus kompatibel dengan peraturan (karantina), pengendalian dengan jenis tahan,
pemakaian pestisida dan lain-lain.
Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat
untuk mengendalikan patogen pada tanaman, sebenarnya sudah cukup menggembirakan,
walaupun masih relatif sedikit yang dapat digunakan secara efektif di lapangan.
Komponen ini jelas berperan dalam peningkatan peranan Fitopatologi Indonesia dalam
pengamanan produksi dan pelestarian lingkungan.
Berbagai kendala yang menyangkut komponen hayati antara lain adalah adanya
kesan bahwa cara pengendalian hayati lambat kurang diminati. Oleh karena itu terasa
pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu gerak terpadu melalui konsep
pengendalian hayati yang menguntungkan dan berkelanjutan dalam pemanfaatannya.
2. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui makna pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan
b. Mengetahui mekanisme pengendalian hayati
c. Mengetahui kendala dan pengembangan pengendalian hayati
d. Mengetahui cara pengendalian penyakit tumbuhan berdasarkan konsep
pengendalian hayati
e. Mengetahui peluang dan prospek pengendalian hayati
3. Pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan
Pengendalian hayati adalah pengendalian dengan cara memanfaatkan musuh
alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang, lingkungan atau musuh
alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis
berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian
secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan akibat samping negatif bagi
lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus
berlangsung.
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil,
tidak mengakibatkan kekebalan atau resurgensi, tidak membahayakan kesehatan
manusia maupun lingkungan dan tidak memerlukan banyak input luar. Pengendalian ini
secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi
kehidupan organisme penyebab penyakit atau mengganggu siklus hidupnya (Baker dan
Cook, 1974; Reintjes et al. 1999).
Pengendalian hayati yang ekologis dan berkelanjutan mengacu pada bentuk-
bentuk pertanian sebagai berikut :
a. Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Misalnya
keanekaragaman mikroorganisme antagonistik dalam tanah atau di rizosfir
(daerah sekitar perakaran) dengan mengkombinasikan berbagai komponen
system usaha tani yaitu tanaman, tanah, air, iklim dan manusia sehingga
saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
b. Berusaha memanfaatkan pestisida sintetis seminimal mungkin untuk
meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Dalam pembangunan di bidang pertanian, peningkatan produksi seringkali diberi
perhatian utama sehingga seringkali batas maksimal produksi dilampaui. Akibatnya
ekosistem akan mengalami degradasi dan kemunginan akan runtuh sehingga hanya
sebagian orang yang bias hidup dengan sumberdaya tersebut. Konsekwensinya, bahwa
bila batas produksi tercapai maka harus dilakukan sesuatu terhadap ekosistem, misalnya
pengembalian sumberdaya alam. Prinsip ekologi dasar mewajibkan kita untuk
menyadari bahwa produktivitas pertanian memiliki kemampuan terbatas.
Pemanfaatan musuh alami OPT menjadi sangat penting dalam menjaga
keseimbangan ekologis karena sumberdaya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga
kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan. Di alam musuh alami dapat
terus berkembang selama nutrisi dan faktor-faktor lain (kelembaban, suhu dan lain-lain)
sesuai untuk pertumbuhannya. Proses pengendalian hayati mEniru ekologi alami
sehingga untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan musuh alami
tersebut bisa dilakukan dengan memanipulasi sinar matahari, unsur hara tanah dan curah
hujan sehingga sstem pertanian dapat terus berlanjut. Misalnya dengan penambahan
bahan organik pada tanaman yang akan dikendalikan. Bahan organik atau residu
tanaman adalah media yang kondusif untuk mikrooraganisme yang antagonistik
terhadap OPT yang pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah
berkembangnya OPT, sebagai sumber unsur hara dan untuk perbaikan fisik tanah
pertanian.
4. Mekanisme pengendalian hayati
Beberapa mekanisme pengendalian hayati, antara lain adalah sebagai berikut :
A. Antagonisme.
Antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh yang merugikan
terhadap mikrooraganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.
Antagonisme meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah
terbatas tetapi diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari pelepasan
antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya
bagi OPT dan (c) predasi, hiperparasitisme, mikroparasitisme atau bentuk yang
lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain.
B. Ketahanan Terimbas.
Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman
diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non
patogenik, saptrofit) dan elisitor abiotik (asam salisilik, asam 2-kloroetil
fosfonik) Buncis yang diimbas dengan Colletotrichum lindemuthianum ras non
patogenik menjadi tahan terhadap ras patogenik (Agrios, 1988; Elliston et al,
1971; Lyon dan Newton, 1971).
C. Proteksi Silang.
Tanaman yang diinokulasi dengan stran virus yang lemah hanya sedikit
menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain
yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo,
pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Proteksi silang sudah banyak
dilakukan, di banyak negara, antara lain Taiwan dan Jepang.
Pengendalian hayati terhadap bakteri tanaman sudah maju penelitiannya,
misalnya untuk Agrobacterium tumefaciens yang avirulen, digunakan A. radiobacter
yang avirulen. Pupuk organic yang mengandung nitrogen 5 persen atau lebih untuk
menekan penyakit layu Xanthomonas solanacearum pada tembakau. Pengendalian
hayati penyakit layu bakteri pada jahe disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum
antara lain: rotasi tanaman (2-3 tahun), menggunakan pupuk kandang yang matang dan
pengaturan drainase kebun yang baik.
Pengendalian hayati terhadap cendawan patogenik memberi harapan untuk
dikembangkan di lapangan. Banyak peneliti yang menarik manfaat Trichoderma spp.
sebagai agensia yang efektif untuk mengendalikan berbagai patogen dalam tanah. Di
Indonesia perkembangan menggembirakan sudah dimulai dengan T. koningii untuk
Rigidoporus microsporus pada tanaman karet dan Trichoderma sp terhadap
Phytophthora capsici pada lada.
T. koningi mempunyai daya antogonistis terhadap R.microporus. pengamatan
secara mikroskopis menunjukan miselia T.koningi akan membelit keseluruhan hifa dari
R.microsporus sehingga penetrasi dari miselia patogen tidak terjadi dan T koningi akan
tumbuh di daerah pertumbuhan hifa inang patogen tersebut. Seterusnya untuk menjamin
adanya antagonis yang efektif dalam tanah, sejak beberapa tahun yang lalu tersedia
campuran Triko yang mengandung T. koningii untuk menginokulasi tanah (Semangun,
1995).
Penelitian intensif yang dilakukan terhadap pengendalian hayati Slerotinia
sclerotium yang sangat merugikan pada banyak tanaman di luar negeri, dapat dicontoh
untuk memotivasi penelitian dan pemanfaatan musuh hayati di Indonesia. Jamur ini
membentuk sklerotium yang dapat bertahan cukup lama dalam tanah dan menjadi bagian
penting dalam epidemiologi jamur ini. Sasaran utama pengendalian hayati ditujukan
terhadap pemusnahan sklerotium karena kecuali secara langsung menghasilkan miselia
yang aktif juga dari sklerotiium tumbuh apotesia yang mengandung spora. Spora ini
memerlukan prakondisi khusus untuk tumbuh dan menyerang tanaman, di antaranya (1)
tersedianya jaringan tanaman mati, misalnya daun, bunga, dan lain-lain, (2) kelembaban
udara yang tinggi atau jenuh dan (3) suhu rendah (10-20C). Berbagai jenis
mikroorganisme telah dipastikan aktif mengendalikan cendawan ini baik secara alami
maupun dengan aplikasi misalnya Coniothyrium minitans, Sporidesmium sclerotivorum
dan Trichoderma spp.
Pengendalian hayati terhadap penyakit busuk batang vanili yang disebabkan oleh
Fusarium oxysporum, antara lain menggunakan pestisida nabati (bubuk atau bagian daun
cengkeh kering yang dihancurkan), tumpang sari dengan bawang-bawangan,
menghindari pupuk kotoran ayam dan menggunakan pupuk organik matang (Sitepu,
1995).
Jamur Fusarium avirulen dapat mengimbas ketahanan vanili terhadap penyakit
busuk batang (Hadisutrisno, 1995). Fusarium avirulen juga dapat menyebabkan tanaman
pisang lebih tahan terhadap penyakit layu Fusarium (Wahyuntien, 1997). Produksi F.
oxysporum avirulen dapat dilakukan secara massal dan diformulasi sebagai Fo47. Bahan
ini telah dijual secara komersial dan diproduksi dengan cara fermentasi. Suspensi
mikrokonidia dicampur dengan talk dan dikeringkan pada suhu 20C. Untuk dapat
digunakan dan terdaftar sebagai produk hayati harus tidak beracun bagi manusia dan
hewan dan aman bagi lingkungan. Fo47 diaplikasikan seperti soil amandemen atau
diikutsertakan dengan air pengairan.
Untuk menentukan cara pengendalian virus pada suatu tanaman perlu diketahui
sifat-sifatnya, yang meliputi bagaimana cara penularan dan penyebarannya, apa
pembawanya, dan bagaimana cara perbanyakan tanaman tersebut. Virus-virus tular
tanah yang dibawa oleh organisme penghuni tanah tentu lain cara penanggulangannya
dengan virus tular udara yang dibawa serangga, tular biji ataupun menular secara kontak.
Penggunaan istilah pengendalian hayati dalam arti memanfaatkan musuh alami
untuk menurunkan dan mengendalikan populasinya di alam agak sulit bagi patogen
virus. Karena tidak ada musuh yang berupa parasit atau predator yang secara sengaja
mencari virus untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan bagi keperluan lainnya. Kalaupun
virus tersebut masuk ke dalam tubuh atau perut vector itu terjadi tanpa sengaja terbawa
bersama makanan yang diisapnya atau melekat pada bagian organ tubuhnya. Oleh
karena hubungan yang demkian inilah maka pengendalian virus tidak terlepas dari
pengendalian vektornya.
Pengendalian-pengendalian hayati dilakukan terhada virus yang kebanyakan
ditularkan oleh aphis. Pengendalian hayati tersebut adalah penggunaan tanaman yang
resisten atau tahan, tanaman perangkap, tanaman yang sehat, proteksi silang dan
pemanfaatan musuh alami vector (Duriat, 1995).
5. Kendala Pengendalian Hayati
Berbagai kendala yang sering menjadi titik lemah dalam komponen hayati antara lain
adalah :
a. Untuk mengetahui secara pasti peranan agensia hayati tidak mudah karena
terlalu banyak hal yang dianggap mendasar untuk diteliti.
b. Memerlukan fasilitas untuk mendukung rangkaian penelitian mulai dari
eksploirasi, isolasi, identifikasi, pemurnian, perbanyakan inokulum sampai
sumberdaya manusia peneliti yang tekun.
c. Petani sudah terbiasa dengan cara pengendalian penyakit yang memberi hasi
yang cepat sehingga tidak tertarik dengan cara pengendalian hayati yang
berproses lambat dalam kurun waktu yang panjang.
Oleh karena itu sangat terasa pentingnya suatu komitmen untuk menentukan suatu
gerak terpadu melalui konsep pengendalian hayati yang menguntungkan dan
berkelanjutan dalam pemanfaatannya (Sitepu, 1995).
6. Pengembangan Pengendalian Hayati
Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan berkesempatan sebagai
komponen yang kuat dalam konsep PHT. Hal ini akan terwujud dengan menggiatkan
koordinasi untuk melakukan eksplorasi, pengadaan agensia hayati, penggunaan di
lapangan dan evaluasi terus-menerus. Dalam upaya eksplorasi uantuk mendapatkan
agensia hayati diperlukan penelitian yang tekun dan berkelanjutan. Pengadaan agensia
hayati untuk dapat digunakan di lapangan pada umumnya memerlukan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Isolasi mikroorganisme atau jasad sebagai agensia hayati
2. Penelitian dasar
3. Perbanyakan
4. Proses pengembangan dan optimasi dan
5. Produksi dan aplikasi
Dalam perbanyakan agensia hayati diperlukan penelitian tentang media untuk
perbanyakan yang mudah didapat dan murah. Selanjutnya perlu diteliti juga faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Produksi agensia hayati selanjutnya
dilakukan dalam skala luas di bawah kondisi yang dapat diatur. Untuk ini
pengembangan sumberdaya manusia (terutama ilmuwan/peneliti) harus mendapat
perhatian yang cukup kuat.
Dalam menerapkan pengendalian hayati di lapangan, keperdulian unsur-unsur terkait
(peneliti/pakar/petugas proteksi tanaman, petani, tokoh masyarakat, pengambil
kebijakan) perlu terpadu dengan aktif. Selanjutnya petani dalam mengidentifikasi,
menguji coba dan menerapkan pengendalian hayati diharapkan kerjasama terutama
dengan penyuluh dan peneliti.
7. Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep Pengendalian hayati
Pengendalian hayati didasarkan pada pemahaman siklus hidup OPT dan
mencegah perkembangan OPT tersebut. Untuk mengembankan teknik pengendalian
secara hayati maka langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Definisi masalah. Pertama harus dipahami masalahnya apa, mengetahui
penyebab penyakitnya, di mana penyebab penyakit bertahan, bagaimana cara
menularnya dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan
ekobiologi dan epidemiologinya. Pada sebagian besar kasus, informasi ini dapat
diperoleh dari literature pertanian. Informasi yang dapat diperoleh adalah tingkat
kerusakan, periode ketika tanaman rentan, tingkat ambang ekonomi.
2. Langkah-langkah pencegahan. Langkah selanjutnya analisis praktek budidaya,
selangkah demi selangkah. Dengan pengetahuan tentang patogen yang diperoleh
selama definisi masalah, orang bias mengetahui apakah praktek budidaya dapat
diubah untuk membatasi berkembangnya patogen. Sumber informasi utama
dapat diperoleh dari petani.
3. Langkah-langkah pengendalian. Langkah-langlah pengendalian yang khusus
dipertimbangkan, dimulai dari langkah-langkah yang lebih lemah dan kemudian
ke yang lebih kuat yang lebih memiliki efek samping lingkungan.
Dalam pengendalian hayati banyak hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan sifatnya yang ekologis dan berkelanjutan. Secara garis besar konsep
pengendalian penyakit secara hayati meliputi hal-hal berikut ini :
1. Mengenal OPT dan memahami faktor-faktor yang mendukung perkembangan
ekobiologi dan epidemiologinya.
2. Memahami situasi pada saat tertentu, seperti tanda-tanda terjadinya eksplosi,
apakah proses penularan penyakit berlangsung biasa atau lambat
3. Menghindari terjadinya lingkungan yang kondusif untuk perkembangan dan
penularan penyakit, misalnya drainase jelek, tumpukan tanaman inang, tanaman
yang tidak terpelihara. Keberdaan dan efektifitas agensia hayati dikaitan dalam
kondisi seperti ini kurang memberi keuntungan
4. Memanfaatkan proses pengendalian alami yang berorientasi pada keseimbangan
biologi dan ekosistem, maka agensia hayati harus dipantau untuk
mempertahankan dan meningkatkan peranannya dalam jangka waktu tertentu
5. Karena konsep ini mengait dengan system, maka partisipasi dan kepedulian dari
pihak-pihak disiplin ilmua terkait perlu ada, sebaiknya secara institusional
6. Sebagai salah satu alternatif dari PHT, pengendalian hayati harus kompatibel
dengan komponen lain, dengan catatan khusus terhadap pestisida sintetis.
7. Pengendalian hayati sebagai satu sub- system yang efektif dapat terwujud
dengan mengembangan pengadaan dan proses sub-komponen utama
antagonistic, bahan organik, rotasi dengan tanaman/tumbuhan yang bermanfaat
8. Melakukan eksploirasi, identifikasi, efikasi, perbanyakan dan aplikasi yang
sistematik dari antagonis potential
9. Mengidupkan informasi dua arah antara pengguna, penyuluh dan sumber
teknologi pengendalian hayati
10. memasukkan komponen lain (mekanik, pestisida dan lain-lain) pada situasi
epidemik dan pertimbangan lain yang memerlukan tindakan khusus
8. Prospek Pengendalian Hayati
Prospek pengendalian hayati penyakit tanaman perlu ditinjau dari berbagai
aspek, erutama aspek teknis sejak kegiatan di laboratorium dan rumah kaca. Jumlah dan
jenis penelitian yang sudah diperoleh oleh ahli-ahli penyakit tanaman di bbidang
pengendalian hayati sangat besar pada tingkat laboratorium dan rumah kaca, namun
hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan di tingkat lapangan dalam skala
ekonomi. Hal ini tidak perlu menjadi alasan untuk menyatakan bahwa prospek
pengendalian hayati dalam praktek kecil atau kurang relevan.
Keanekaragaman dari mikrooragnisme yang antagonistik dan kekayaan
sumberdaya alam di Indonesia, sebenarnya menjanjikan peluang yang cukup besar untuk
dimanfaatkan dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 6 tahun 1995 pasal 4
tentang Perlindungan tanaman disebutkan bahwa :‘ Perlindungan tanaman dilaksanakan
dengan menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau
mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya
alam atau lingkungan hidup ‘(Anon, 1995). Untuk maksud tersebut yang paling cocok
pertanian untuk masa depan adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
Adapun definisi pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya untuk usaha
pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan
atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Dalam
pertanian berkelanjutan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan prinsip-prinsip
pengendalian hama terpadu (PHT) (Reintjes et al., 1999).
Pengendalian secara hayati merupakan cara pengendalian yang lebih ramah
lingkungan dbandingkan dengan pemakaian pestisida. Berdasarkan hal-hal yang telah
disebutkan di atas pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati dapat digunakan
sebagai salah satu komponen dalam pengendalian penyakit secara terpadu.
Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pengendalian secara hayati berupaya untuk mempertahankan dan
meningkatkan sumberdaya alam serta memanfaatkan proses-proses alami.
b. Penelitian tentang pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati tidak
bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek,
namun untuk mencapai tingkat produksi stabil dan memadai dalam jangka
panjang
c. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap OPT dengan penyakit
yang ditimbulkannya terutama kalau dikaitan dengan tanaman inang, pola
tanam, system pertanian, daya dukung lahan dan system pengendalian pada
waktu tertentu perlu diantisipasi dengan cermat dan baik.
d. Dalam menerapkan pengendalian hayati di lapangan, keperdulian unsure-
unsur terkait (peneliti/pakar, penyuluh/petugas proteksi tanaman, petani, tokoh
masyarakat, pengambil keputusan perlu terpadu dengan aktif.
e. Proses pengendalian hayati harus berkelanjutan dan kesempatan sebagai
komponen yang kuat dalam PHT akan terwujud dengan menggiatkan
koordinasi untuk melakukan eksplorasi, pengadaan agensia, penggunaan di
lapangan dan evaluasi terus menerus.
f. Peluang dan prospek pengendalian hayati penyakit tanaman cukup besar
untuk dikembangkan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Agrios, G.N. 1978. Plant Pathology. Acad Press. New York. 703 p
Anon. 1995. Peraturan pemerintah RI No. 6 Th. 1995 tentang Perlindungan Tanaman,
bagian Proyek Perlindungan Tanaman proyek PSSP2/Ditjen Perkebunan. 43 p
Cook, R.J. 1980. Biological Control of Plant Pathogens. Dalam Biological Control in
Crop Production. Beltsville Symposia in Agricultural Research.USA.Pp: 23-38
Duriat, A.S. 1995. Pengendalian hayati pada penyakit tanaman. Risalah Kongres
Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI, 6-8 Septembar 1993. Yogyakarata. 76-84
Elliston, J.E., J. Kuc dan E.B. Williams. 1971. Inducer resistence to bean antracnose at a
distence from the site of inducing interaction.phytopathologi 61-1110-1112.
Hadisutrisno, B,. Christanti, S., dan Sudarmadi. 1994. Epidemi Penyakit Bercak Ungu
pada Bawang Merah : Taktik dan Strategi Pemanfaatan Data Cuaca. Laporan
penelitian Penuujang pengendalian Hama Terpada. Bappenas. Jakarta.
Reintjes C., B. Haverckort dan A. water-Bayer. 1999. Pertanian masa Depan. Pengantar
untuk pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Terjemahan dari : An
Introduction to Low-External Input and Sustainable Agriculture 1992 Oleh
Y.Sukoco, S.S. Kanisius. Yogyakarta. 270 p.
Semangun, H. 1995. Konsep dan asas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu.
Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI, 6-8 Septembar 1993.
Yogyakarata. 1-24
Sitepu, D. 1995. Konsep pengendalian hayati pada penyakit tanaman. Risalah Kongres
Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI, 6-8 Septembar 1993. Yogyakarata.65-75
Untung, K. 1995. dasar ekonomi pengelolaan penyakit tanaman terpadu. Risalah
Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI, 6-8 Septembar 1993.
Yogyakarata. 49-64.
top related