Ο sŒ Î) Ïm –Š ÅÁ −ΚÏèÏΡ ÉΑ ô‰ Î/ rbeprints.radenfatah.ac.id/584/2/bab...
Post on 13-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AMANAH DAN TAFSIR AL-AZHAR
A. Definisi Amanah
Secara definisi Amanah adalah seorang muslim memenuhi apa yang
dititipkan kepadanya, dan menjaga baik apa saja yang dititipkan kepadanya.
Adapun definisi Amanah menurut Syekh Muhammad Al-Ghazali sangatlah
beragam, ada yang mempunyai makna kongkrit dan ada yang mempunyai makna
astrak, yang pada intinya sama-sama menjaga hak-hak Allah. Seorang hamba
yang tidak bisa menjalankan atau melaksanakan amanah maka tidak ada keimanan
dalam dirinya, dan seorang hamba yang tidak bisa menepati janjinya maka ia
tidak mempunyai agama.1 Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an surah An-Nisa’ ayat: 58, sebagai berikut:
βÎ) ©! $# öΝä.ã�ãΒù' tƒ βr& (#ρ –Š xσè? ÏM≈ uΖ≈ tΒF{ $# #’ n<Î) $ yγ Î=÷δr& #sŒ Î)uρ ΟçFôϑs3 ym t÷ t/ Ĩ$ ¨Ζ9$#
βr& (#θßϑä3 øt rB ÉΑ ô‰ yèø9$$ Î/ 4 ¨βÎ) ©! $# $ −ΚÏèÏΡ / ä3 ÝàÏètƒ ÿϵÎ/ 3 ¨βÎ) ©! $# tβ% x. $ Jè‹Ïÿ xœ #Z��ÅÁ t/
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”(Qs. An-Nisa’: 58).
1 Dikutip dari Muhammad Al-Ghazali, Tafsir Al-Ghazali, Ismika, Yogyakarta: 2004.
25
Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak hanya menyangkut urusan
material dan hal-hal yang bersifat fisik. Tetapi kata-kata adalah amanah.
Menunaikan hak Allah adalah Amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik
adalah Amanah.2 Ini di perkuat dengan perintah-Nya sesuai dengan arti ayat Al-
Qur’an surah An-Nisa’: 58 sebagai berikut: “Dan apabila kalian menetapkan
hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.”3
B. Inventarisasi Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Amanah
Al-Qur’an berbicara tentang Amanah atau kepercayaan, Allah SWT
berfirman dalam banyak ayat. Kata Amanah ( ����ا) dalam al-Qur’an terulang
sebanyak 20 kali.4 Sepuluh kali diantaranya terdapat pada ayat Madaniyah dan
sepuluh kali terdapat dalam ayat Makkiyah. Dan di kelompokkan menjadi dua
yaitu: Ayat Madaniyah dan Ayat Makkiyah.
1. Ayat-ayat Madaniyah:
Bentuk Amanah dalam ayat Madaniyah adalah sebagai berikut; firman-
Nya:
βÎ)uρ óΟçFΖä. 4’ n?tã 9�x�y™ öΝs9uρ (#ρ ߉ Éf s? $ Y6Ï?% x. Ö≈ yδÌ�sù ×π|Êθç7ø)Β ( ÷βÎ* sù z ÏΒr&
Νä3 àÒ ÷èt/ $ VÒ ÷èt/ ÏjŠ xσã‹ù=sù “Ï% ©!$# z Ïϑè? øτ$# …çµtFuΖ≈ tΒr& È, −Gu‹ø9uρ ©! $# …çµ−/u‘ 3 Ÿω uρ
2 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, Cet. 1; Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 121. 3 Lihat: Qs. an-Nisa’ : 58. 4 M. Fuad Abdul Al-Baqiy, Al-Mu’jam Al-Mufahrash Li Al-Lafazh Al-Qur’an Al-Karim,
Cet. II, Daar Al-Fikr, Beirut, 1981, hlm. 113.
26
(#θßϑçGõ3 s? nο y‰≈ yγ ¤±9$# 4 tΒuρ $ yγ ôϑçGò6 tƒ ÿ…çµΡ Î* sù ÖΝÏO#u …çµç6ù=s% 3 ª! $#uρ $ yϑÎ/ tβθè=yϑ÷ès?
ÒΟŠ Î=tæ ∩⊄∇⊂∪
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang5 (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs.
Al-Baqarah: 283).6
Pada akhir surah Al-Baqarah ini menjelaskan Amanah ( ���ا)
menggunakan kata Amanatahu ( �أ�� ) disebut sebagai kelompok orang yang
dapat dipercaya untuk mengadakan perjalanan bermuamalah secara jujur dan
amanah.
Dan pada ayat lain ada juga yang menjelaskan tentang Amanah
sebagaimana dalam surah Ali-‘Imran: 154. Firman-Nya:
5 barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai. 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Ar-Rahman, (Bandung: Focus
Media, 2010), hlm. 49.
27
§ΝèO tΑt“Ρ r& Νä3 ø‹n=tæ . ÏiΒ Ï‰ ÷èt/ ÉdΟtóø9$# ZπuΖtΒr& $ U™$ yèœΡ 4y øótƒ Zπx�Í← !$ sÛ öΝä3ΖÏiΒ (
×πx�Í← !$ sÛ uρ ô‰ s% öΝåκ÷J £ϑyδr& öΝåκߦà�Ρ r& šχθ ‘ΖÝàtƒ «! $$ Î/ u�ö�xî Èd, ys ø9$# £ sß Ïπ§‹Î=Îγ≈ yf ø9$# (
šχθ ä9θ à)tƒ ≅ yδ $ oΨ ©9 z ÏΒ Ì�øΒF{ $# ÏΒ & óx« 3 ö≅ è% ¨βÎ) t�øΒF{ $# …ã& ©# ä. ¬! 3 tβθà�øƒ ä†
þ’ Îû ΝÍκŦà�Ρ r& $ ¨Β Ÿω tβρ ߉ ö6ムš� s9 ( tβθä9θ à)tƒ öθs9 tβ% x. $ oΨ s9 z ÏΒ Ì�øΒF{ $# Ö óx« $ ¨Β
$ uΖù=ÏGè% $ oΨ ßγ≈ yδ 3 ≅ è% öθ©9 ÷ΛäΨ ä. ’ Îû öΝä3 Ï?θã‹ç/ y—u�y9s9 t Ï% ©!$# |= ÏGä. ãΝÎγ øŠ n= tæ ã≅ ÷Fs)ø9$# 4’ n<Î)
öΝÎγ ÏèÅ_$ ŸÒ tΒ ( u’ Í?tFö;uŠ Ï9uρ ª! $# $ tΒ ’ Îû öΝà2 Í‘ρ ߉ ß¹ }ÈÅcs yϑã‹Ï9uρ $ tΒ ’ Îû öΝä3 Î/θè=è% 3
ª! $#uρ 7ΟŠ Î=tæ ÏN# x‹ Î/ Í‘ρ ߉ ÷Á9$# ∩⊇∈⊆∪
Artinya: “Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada
kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu7,
sedang segolongan lagi8 Telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah9. mereka
berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini?". Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". mereka
menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu;
mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)
dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini".
7 yaitu: orang-orang Islam yang Kuat keyakinannya. 8 yaitu: orang-orang Islam yang masih ragu-ragu. 9 ialah: sangkaan bahwa kalau Muhammad s.a.w. itu benar-benar nabi dan Rasul Allah,
tentu dia tidak akan dapat dikalahkan dalam peperangan.
28
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang
Telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka
terbunuh". dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam
dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha
mengetahui isi hati.” (Qs. Ali-‘Imran: 154).10
Ayat ini menggunakan kata Amanatan ( ��ا) berarti disebut keamanan dan
ketenangan dalam menghadapi segala dukacita, Allah mengirimkan rasa kantuk
sehingga mereka semua terkelap dan tertidur. Seakan-akan mereka merasakan
mimpi. Karena ini semua adalah semata-mata pertolongan Allah SWT, jadi
mereka bersyukur dapat ketenangan dan keamanan.
Sebab Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Zubair berkata: “ Aku yakin benar bahwa pada hari perang Uhud kami merasakan ketakutan yang luar biasa. Kemudian Allah mengirimkan rasa kantuk, sehingga kami semua terkelap (kepala terkulai didada). Demi Allah, aku mendengar, seakan-akan dalam mimpi, ucapan Mu’tib bin Qusyair: ‘Sekiranya kita punya hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terkalahkan di tempat ini’. Aku hafalkan kata-kata itu. Kemudian Allah menurunkan ayat tentang kejadian tersebut. (Diriwatkan oleh Ibnu Rahawaih yang bersumber dari Zubair).11
Munasabah surah Ali-Imran ayat 154
Pada ayat-ayat sebelumnya berkaitan dengan orang yang lari dari
ketakutan dalam perang, sedangkan Rasul ada bersama kawan-kawan mereka.
Sedangkan kawan yang lain memanggil kelompok yang lari, karena itu Allah
menimpakan kepada mereka kesedihan demi kesedihan. Dan supaya kamu tidak
10Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan TerjemahnyaAr-Rahman, (Bandung: Focus
Media, 2010), hlm. 70. 11 Qamaruddin shaleh , A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponogoro, 2000, hlm.
116.
29
bersedih hati lagi terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang
menimpamu. Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah SWT walaupu
mereka menyembunyikan segala sesuatu dalam hatinya apa yang tidak mereka
terangkan kepadamu. Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada
dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Tetapi Allah
Maha Mengetahui apa isi hati mereka.
Dalam surah lain Allah berfirman:
¨βÎ) ©! $# öΝä.ã�ãΒù' tƒ βr& (#ρ –Š xσè? ÏM≈ uΖ≈ tΒF{ $# #’ n<Î) $ yγ Î=÷δr& #sŒ Î)uρ ΟçFôϑs3 ym t÷ t/ Ĩ$ ¨Ζ9$#
βr& (#θßϑä3 øt rB ÉΑ ô‰ yèø9$$ Î/ 4 ¨βÎ) ©! $# $ −ΚÏèÏΡ / ä3 ÝàÏètƒ ÿϵÎ/ 3 ¨βÎ) ©! $# tβ% x. $ Jè‹Ïÿ xœ #Z��ÅÁ t/
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. An-Nisa’: 58).
Ayat ini menjelaskan tentang tugas kaum muslimin sekaligus akhlak
mereka, yaitu menunaikan amanah-amanah kepada yang berhak menerimanya,
dan memutuskan hukum dengan adil diantara manusia sesuai dengan manhaj dan
ajaran Allah.12
Sebab Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah Fathu Makkah (Pembebasan Mekah), Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Thalhah
12 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terjemahan; As’ad Yasin, Jilid I, Cet. I,
Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 396.
30
untuk meminta kunci itu Ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah al-Abbas seraya berkata: “Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan).”Utsman menarik kembali tangannya. Maka besabdahlah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman!”Utsman berkata: “Inilah dia, Amanat dari Allah.” Maka berdirilah Rasulullah membuka Ka’bah dan kemudian keluar untuk Thawaf di Baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari al-Kalbi, dari Abu Shaleh, yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dan riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu Rasulullah SAW mengambil kunci Ka’bah darinya pada waktu Fathu Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah masuk Ka’bah. Tatkala keluar dari Ka’bah, beliau membaca ayat ini. Kemudian beliau memanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Umar bin al-Khaththab, kenyataannya ayat ini turun di dalam Ka’bah. Karena pada waktu itu Rasulullah keluar dari Ka’bah sambil membaca ayat tersebut. Dan ia (Umar) bersumpah bahwa sebelumnya ia belum pernah mendengar ayat tersebut. (Diriwayatkan oleh Syu’bah di dalam Tafsirnya, dari Hajjaj yang bersumber dari Ibnu Juraij).13
Munasabah surah An-Nisa’ ayat 58
Pada ayat-ayat yang lalu, menerangkan masalah keimanan dengan
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkan dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh,
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
Di ayat lain Allah SWT berfirman:
13 Qamaruddin shaleh , A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponogoro, 2000, hlm.
145-146.
31
$ pκš‰r' ¯≈ tƒ ãΑθß™§�9$# õ= Ïk=t/ !$ tΒ tΑ Ì“Ρ é& š� ø‹s9Î) ÏΒ y7Îi/¢‘ ( βÎ)uρ óΟ©9 ö≅ yèø�s? $ yϑsù |Møó=t/
…çµtGs9$ y™Í‘ 4 ª! $#uρ š� ßϑÅÁ ÷ètƒ z ÏΒ Ä¨$ ¨Ζ9$# 3 ¨βÎ) ©! $# Ÿω “ω öκu‰ tΠ öθs)ø9$#
t Í�Ï�≈ s3 ø9$# ∩∉∠∪
Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia14. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.” (Qs. Al-Maidah: 67).
Ayat ini menjelaskan tentang perintah yang pasti kepada Rasulullah SAW
untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya secara utuh.
Jangan sampai beliau memperhitungkan apa pun di dalam menyampaikan kalimat
kebenaran ini. Apabila beliau tidak menyampaikannya, berarti beliau tidak
menyampaikan risalah. Allah akan senantiasa memelihara dan melindungi beliau
dari segala gangguan manusia.15
Sebab Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku untuk mengemban risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku, karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku.”Maka turunlah ayat ini yang mempertegas perintah penyampaian risalah disertai jaminan keselamatannya. (Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh yang bersumber dari al-Hasan).
14 Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh nabi Muhammad s.a.w. 15 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terjemahan; As’ad Yasin, Jilid III, Cet. I,
Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 282.
32
Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika turun ayat, ya ayyuhar rasulu balligh ma unzila ilaika mir rabbik...( Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu...), Rasulullah bersabda: “ Ya Rabbi! Apa yang harus aku perbuat, padahal aku sendirian dan mereka berkomplot menghadapiku.”Maka turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menegaskan perintah risahlah kenabian. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid).
Dalam lain dikemukakan, Siti Aisyah mengatakan bahwa Nabi SAW biasa dijaga oleh para pengawalnya, sampai turun ayat, ... wallah ya’ shimuka minan nas ... (...Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia ...). Setelah ayat itu turun, Rasulullah menampakkan diri dari Kubah sampai bersabda: “ Wahai saudara-saudara, pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat masing-masing.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi, yang bersumber dari Aisyah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Abbas, paman Nabi SAW paman Nabi SAW, termasuk pengawal Nabi. Ketika turun ayat, ... wallah ya’ shimuka minan nas ... (...Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia ...) (...Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia ...), ia pun meninggalkan pos penjagaannya. (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para sahabat biasanya mengawal Rasul SAW pada waktu malam, sampai turun ayat, ... wallah ya’ shimuka minan nas ... (...Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia ...) (...Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia ...). Sejak turun ayat tersebut mereka pun meninggalkan pos penjagaannya. (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Ishmah bin Malik al-Khathmi).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para sahabat pernah meninggalkan Rasulullah berhenti di dalam perjalanan, dan beliau berteduh di bawah pohon yang besar. Ketika itu beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata: “Siapa yang akan menghalangin engkau dariku, hai Muhammad?” Rasulullah SAW brsabda: “Allah yang akan melindungiku darimu. Letakkanlah pedang itu!” Seketika itu juga pedang tersebut diletakkannya kembali. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan-tangan usil manusia. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Kitab Shahih-nya, yang bersumber dari Abu Hurairah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah pernah berhenti untuk beristirahat dalam peperangan Bani Anmar, di Dzatir Raqi di kebun kurma yang paling tinggi. Beliau duduk di atas sebuah sumur sambil menjulurkan kakinya. Berkatalah al-Warits dari Banin Najjar kepada teman-temannya: “Aku akan membunuh Muhammad.” Teman-temannya berkata:
33
“Bagaimana cara membunuhnya?” Ia berkata: “Aku akan berkata: “Cobalah berikan pedangmu. Dan apabila ia memberikan pedangnya, aku akan membunuhnya.” Ia pun pergi mendatangi Rasul dan berkata: Hai Muhammad! Berikan pedangmu kepadaku agar aku menciumnya.” Pedang itu oleh Rasul diberikan kepadanya, akan tetapi tangannya gemetar. Bersabdalah Rasul SAW: “Allah menghalangi maksud jahatmu.” Maka turunlah ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa bagi Rasul. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih, yang bersumber dari Jarir bin Abdillah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah biasa mendapat pengawalan. Setiap hari Abu Thalib pun mengirimkan pengawal-pengawalnya dari Bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini, Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan pengawalnya: “Wahai pamanku! Sesungguhnya Allah telah menjamin keselamatan jiwaku dari perbuatan jin dan manusia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan ath-Thabarani, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Hadits ini gharib. Hadits seperti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih yang bersumber dari Jarir bin Abdillah. Hadits ini menunjukkan bahwa ayat di atas diturunkan di Mekah, padahal sebenarnya diturunkan di Madinah).16
Munasabah surah Al-Maidah ayat 67
Pada ayat-ayat yang lalu, menjelaskan tentang menjalankan hukum dalam
Taurat, Injil, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya. Dan
diperintahkan untuk menyampaikan amanah-Nya. Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang kafir.
Di ayat lain Allah berfirman:
(#θãè‹ÏÛ r& uρ ©! $# (#θãè‹ÏÛ r& uρ tΑθß™§�9$# (#ρ â‘ x‹ ÷n $#uρ 4 βÎ* sù öΝçGøŠ ©9uθs? (#þθßϑn=÷æ$$ sù $ yϑΡ r&
4’ n?tã $ uΖÏ9θ ß™ u‘ à=≈ n=t7ø9$# ß Î7ßϑø9$# ∩⊄∪
16 Qamaruddin shaleh , A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponogoro, 2000, hlm.
201-202.
34
Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-
(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa
Sesungguhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.” (Qs. Al-Maidah: 92).
Ayat ini menjelaskan tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul, serta tidak
boleh berpaling dari ketaatan. Dan kewajiban Rasul hanya menyampaikan amanah
Allah dengan jelas.
Di ayat lain Allah berfirman:
$ ¨Β ’ n?tã ÉΑθß™§�9$# āω Î) à=≈ n=t6ø9$# 3 ª! $#uρ ãΝn=÷ètƒ $ tΒ tβρ ߉ ö7è? $ tΒuρ tβθß3ϑçFõ3 s? ∩∪
Artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Qs. Al-
Maidah: 99).
Ayat di atas membicara tentang kewajiban Rasul hanya menyampaikan
amanah. Dan Allah mengetahui apa yang dilahirkan dan yang disembunyikan.
Di surah lain Allah berfirman:
$ pκš‰r' ¯≈ tƒ zƒÏ% ©!$# (#θãΖtΒ#u Ÿω (#θçΡθèƒ rB ©! $# tΑθß™§�9$#uρ (#þθçΡθèƒ rBuρ öΝä3 ÏG≈ oΨ≈ tΒr& öΝçFΡ r& uρ
tβθßϑn=÷ès? ∩⊄∠∪
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Qs. Al-Anfal:
27).
35
Pada surah Al-Anfal: 27 ini menjelaskan orang yang Amanah disebut
sebagai orang yang tidak menghianati amanah-amanah yang dipercayakan
kepadanya. Karena mengkhinati amanah adalah tanda orang-orang munafik.
Contohnya: seperti kisah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir dan Abu Sufyan.
Mereka berkhianat dan membocorkan rahasia kaum muslimin. Maka turunlah ayat
ini. (QS. Al-Anfal: 27).
Sebab Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abdil Mundzir (seorang muslim) yang ditanya oleh Bani Quraizhah ( yang memusuhi kaum Muslimin), waktu perang Quraizhah, tentang rencana kaum muslimin terhadap mereka. Abu Lubabah memberi isyarat dengan tangan pada lehernya (maksudnya akan dibunuh). Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah menyesali perbuatannya karena membocorkan rahasia kaum Muslimin. Ia berkata: “Teriris hatiku hingga kedua kakiku tidak dapat kugerakkan, karena aku merasa telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan lain-lain, yang bersumber dari Abdullah bin Abi Qatadah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Abu Sufyan meninggalkan Mekah (untuk dimemata-matai kegiatan kaum Muslimin). Hal ini disampaikan oleh Jibril kepada Nabi SAW, dan (disebutkan) bahwa Abu Sufyan berada di suatu tempat. Bersabdalah Rasulullah SAW kepada para sahabat: “Abu Sufyan sekarang berada di suatu tempat. Tangkaplah dan tahanlah ia.” Seorang dari kaum munafikin yang mendengar perintah Rasul itu memberitahukannya dengan surat kepada Abu Sufyan agar ia berhati-hati karena Nabi Muhammad telah mengetahui maksudnya. Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan untuk tidak berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lain, yang bersumber dari Jabir bin Abdillah. Sanad Hadits ini sangat gharib, dan sususan bahasanya pun perlu diteliti kembali).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Muslimin mendengarkan perintah Nabi SAW (yang perlu dirahasiakan), tapi disebarkan di antara kawan-kawannya sehingga sampai pula kepada kaum musyrikin. Maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa penyebaran perintah seperti itu berarti khianat kepada Allah dan Rasu-Nya. (Diriwiyatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari as-Suddi).17
17 Qamaruddin shaleh , A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponogoro, 2000, hlm.
238-239.
36
Munasabah surah Al-Anfal ayat 27
Pada ayat sebelumnya menjelaskan kaum Muhajirin yang tertindas di
bumi Makkah, karena jumlahnya sedikit. Walaupun kaum Muhajirin sedikit
jumlahnya, tetapi mereka sangat kuat berkat pertolongan Allah SWT. dan mereka
adalah orang-orang yang beriman dan mereka tidak menghianati amanah-amanah
yang dipercayakan kepadanya.
Di ayat lain Allah berfirman:
$ ¯Ρ Î) $ oΨ ôÊ t�tã sπtΡ$ tΒF{ $# ’ n?tã ÏN≡uθ≈ uΚ¡¡9$# ÇÚ ö‘ F{ $#uρ ÉΑ$ t6Éf ø9$# uρ š ÷ t/r' sù βr&
$ pκs]ù=Ïϑøt s† z ø)x�ô© r& uρ $ pκ÷]ÏΒ $ yγn=uΗxq uρ ß≈ |¡Ρ M}$# ( …çµΡ Î) tβ% x. $ YΒθè=sß Zωθ ßγy_ ∩∠⊄∪
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat18 kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”(Qs. Al-Ahzab:
72).
Pada ayat lain dijelaskan bahwa amanah ditawarkan kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, tetapi semua enggan memikul amanah tersebut. Tetapi
mereka khawatir menghianatinya. Dan manusialah yang memikul amanah
tersebut. Mereka termasuk orang-orang yang amat zalim dan bodah.19
Terakhir, ayat Madaniyah tentang Amanah terdapat pada surah Ath-Thaghabun: 12, yaitu:
18 yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan. 19 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXII, Cet. 1; Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 111.
37
(#θãè‹ÏÛ r& uρ ©! $# (#θãè‹ÏÛ r& uρ tΑθß™§�9$# 4 χÎ* sù óΟçFøŠ ©9uθs? $ yϑΡ Î* sù 4’ n?tã $ uΖÏ9θ ß™u‘
à=≈ n=t7ø9$# ß Î7ßϑø9$# ∩⊇⊄∪
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika
kamu berpaling Sesungguhnya kewajiban Rasul kami hanyalah menyampaikan
(amanah Allah) dengan terang.” (Qs. At-Thaghabun: 12).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk
taat kepada-Nya dan juga taat kepada Rasul-Nya. Dan selalu menjaga amanah
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW untuk orang-orang yang beriman dan
beramal saleh.
2. Ayat-ayat Makkiyah.
Sedangkan Amanah dalam ayat Makkiyah adalah sebagai berikut:
öΝä3 äóÏk=t/é& ÏM≈ n=≈ y™Í‘ ’ În1 u‘ ßx|ÁΡ r& uρ ö/ ä3 s9 ÞΟn=÷ær& uρ š∅ ÏΒ «! $# $ tΒ Ÿω tβθßϑn=÷ès? ∩∉⊄∪
Artinya: “Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan Aku
memberi nasehat kepadamu. dan Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu
ketahui.”20. (Qs. Al-A’raf: 62).
öΝà6 äóÏk=t/é& ÏM≈ n=≈ y™Í‘ ’ În1 u‘ O$ tΡ r& uρ ö/ ä3 s9 îw¾¾$ tΡ�î ÏΒr& ∩∉∇∪
Artinya: “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan
Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (Qs. Al-A’raf: 68).
20 Maksudnya: Aku mengetahui hal-hal yang ghaib, yang tidak dapat diketahui hanyalah
dengan jalan wahyu dari Allah.
38
4’ ¯<uθtFsù öΝåκ÷]tã tΑ$ s%uρ ÉΘöθs)≈ tƒ ô‰ s)s9 öΝà6 çGøón=ö/r& s' s!$ y™Í‘ ’ În1 u‘ àMós |Á tΡ uρ öΝä3 s9
Å3≈ s9uρ āω tβθ™7Ït éB š Ï⇔ ÅÁ≈ ¨Ψ9$# ∩∠∪
Artinya: “Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai
kaumku Sesungguhnya Aku Telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku,
dan Aku Telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-
orang yang memberi nasehat.” (Qs. Al-A’raf: 79).
4’ ¯<uθtGsù öΝßγ ÷Ψ tã tΑ$ s%uρ ÉΘöθs)≈ tƒ ô‰ s)s9 öΝà6 çGøón=ö/r& ÏM≈ n=≈ y™Í‘ ’ În1 u‘ àMós |Á tΡ uρ öΝä3 s9 (
y# ø‹s3 sù 4† y›#u 4’ n?tã 7Θöθs% š Ì�Ï�≈ x. ∩⊂∪
Artinya: “Maka Syu'aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai
kaumku, Sesungguhnya Aku Telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat
Tuhanku dan Aku Telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana Aku akan
bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (Qs. Al-A’raf: 93).
βÎ* sù (#öθ©9uθs? ô‰ s)sù / ä3 çGøón=ö/r& !$ ¨Β àMù=Å™ö‘ é& ÿϵÎ/ óΟä3 ö‹s9Î) 4 ß# Î=÷‚ tGó¡o„uρ ’ În1 u‘ $ ·Βöθs%
ö/ ä.u�ö� xî Ÿω uρ …çµtΡρ •�ÛØ s? $ º↔ ø‹x© 4 ¨βÎ) ’ În1u‘ 4’ n?tã Èe≅ ä. > óx« Ôá‹Ï�ym ∩∈∠∪
Artinya: “Jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku Telah
menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang Aku diutus (untuk
menyampaikan)nya kepadamu. dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan
kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-
39
Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha pemelihara segala sesuatu.”
(Qs. Hud: 57).
Kelima ayat di atas menggunakan kata ���ر (amanat-amanat), disini
kata risalati bermakna menjaga amanah dan kepercayaan yang dibebankan kepada
manusia untuk di taati.
Di ayat lain Allah berfirman:
tΑ$ s%uρ š Ï% ©!$# (#θä.u�õ° r& öθs9 u !$ x© ª! $# $ tΒ $ tΡ ô‰ t6tã ÏΒ ÏµÏΡρ ߊ ∅ ÏΒ & óx«
ß øtªΥ Iω uρ $ tΡ äτ!$ t/#u Ÿω uρ $ oΨ øΒ§�ym ÏΒ ÏµÏΡρ ߊ ÏΒ & óx« 4 y7Ï9≡x‹ x. Ÿ≅ yèsù š Ï% ©!$#
ÏΒ óΟÎγ Î=ö6s% 4 ö≅ yγsù ’ n?tã È≅ ß™”�9$# āω Î) à=≈ n=t7ø9$# ß Î7ßϑø9$# ∩⊂∈∪
Artinya: “Dan berkatalah orang-orang musyrik berkata: “Jika Allah
menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia,
baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan
sesuatupun tanpa (izin)-Nya”. Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum
mereka; Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang.” (Qs. An-Nahl: 35).
βÎ* sù (#öθ©9uθs? $ yϑΡ Î* sù š� ø‹n=tã à=≈ n=t7ø9$# ß Î7ßϑø9$# ∩∇⊄∪
40
Artinya: “Jika mereka tetap berpaling, Maka Sesungguhnya kewajiban
yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang.”21. (Qs. An-Nahl: 82).
Ayat Makkiyah disurah An-Nahl: 35,82 di atas keduanya menggunakan
kata ����ا (menyampaikan amanah), disini kata Al-Balaghu disebut supaya
menyampaikan amanah Allah SWT.
Sedangkan redaksi tiga ayat yang lainnya adalah:
tΑ$ s% ¨Π àσuΖö6tƒ Ÿω õ‹ è{ ù' s? ÉL u‹ós Î=Î/ Ÿω uρ ûÅ› ù& t�Î/ ( ’ ÎoΤÎ) àMŠ ϱyz βr& tΑθà)s? |Mø%§�sù
t÷ t/ ûÍ_ t/ Ÿ≅ƒÏℜt�ó™Î) öΝs9uρ ó= è%ö�s? ’ Í<öθs% ∩⊆∪
Artinya: “Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang
janggutku dan jangan (pula) kepalaku; Sesungguhnya Aku khawatir bahwa kamu
akan Berkata (kepadaku): "Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu
tidak memelihara amanatku.” (Qs. Thaha: 94).
Ayat Makkiyah disurah Thaha: 94 di atas menggunakan kata ����
(Amanahku), menjelaskan tentang keluarga Harun yang melarang anaknya
memegang janggut dan kepala beliau, karena nantinya bisa memecah kaum Bani
Israil dan tidak menjaga amanahnya.
t Ï% ©!$#uρ öΝèδ öΝÎγ ÏF≈ oΨ≈ tΒL{ öΝÏδω ôγ tãuρ tβθãã≡u‘ ∩∇∪
21 Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. tidak dapat memberi taufiq dan hidayah kepada
seseorang sehingga dia beriman.
41
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.” (Qs. Al-Mu’minun: 8).
t Ï% ©!$#uρ öΛèε öΝÍκÉJ≈ oΨ≈ tΒL{ ôΜÏδω ôγtã uρ tβθãã≡u‘ ∩⊂⊄∪
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.” (Qs. Al-Ma’arij : 32).
Kedua surah di atas antara surah Al-Mu’minun: 8 dan surah Al-Ma’arij : 32
sama menggunakan kata Li-amanatihim ( �����) ayat ini menjelaskan bahwa
menurut ilmu qiraat lafaz Amanatihim dibaca dalam bentuk Mufrad atau Tunggal,
sehingga bacaannya menjadi Amanatihim, yakni perkara agama dan duniawi yang
dipercayakan kepadanya untuk menunaikannya - ھ��� (dan janji mereka) yang و
telah diambil dari mereka dalam hal tersebut - ر �ن (mereka memeliharanya)
benar-benar menjaga amanah tersebut.22
Berdasarkan ayat-ayat Madaniyah di atas dapat disimpulkan bahwa
Amanah selalu diartikan dengan orang-orang yang jujur atau dapat dipercaya,
tetapi jika dikaitkan dengan Munasabah ayat maka beridentifikasi tentang syariat
sesuai dengan kemadaniyahannya.
Sedangkan pada ayat Makkiyah mengandung isi: setiap surat mengandung
amanah yang harus di sampai kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu
janganlah menghiati amanah yang dibebankan kepada orang-orang yang beriman.
Dengan demikian ayat amanah makkiyah banyak mengidentifikasikan berkenaan
22 Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid IV,
Juz. XXIX (Cet. 11; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008, hlm. 2544.
42
dengan aqidah. Sebagai catatan tela’ah ayat Madaniyah dan Makkiyah ternyata
tidak ada perbedaan arti amanah yang terlalu mendasar kecuali sesuai dengan
konteks ayat.
Sedangkan Amanah menurut pendapat para mufassir dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Menurut Quraish Shihab amanah merupakan asas keimanan seperti yang
telah disabdakan Nabi SAW bahwa “tidak ada iman bagi yang tidak memiliki
amanah” jadi seseorang tidak dianggap beriman kalau mereka tidak bisa
melaksanakan sebuah amanah. Sebuh amanah memerlukan kepercayaan dan
kepercayaan tersebut akan memberikan sebuah ketenangan batin dan imbasnya
akan melahirkan sebuah keyakinan. Amanah tidak hanya bersifat material akan
tetapi juga ada yang bersifat material yang pada intinya amanah tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah.23
Menurut Sayid Quthb menunaikan amanah terhadap yang berhak
menerimanya merupakan sebuah akhlak, sedangkan amanah yang paling besar
adalah amanah yang dihubungkan Allah dengan manusia, yang bumi, langit dan
gunung-gunung tidak mau dan takut memikulnya akan tetapi hanya manusialah
yang sanggup memikulnya, sedangkan fitrah amanah fitrah manusia yang spesifik
aialah meliputi amanah hidayah, makrifah, dan iman serta bersunggu-sungguh.24
Menurut H. Oemar Bakry amanah disebut juga sebagai tanggung jawab
yaitu apabila sebuah negara seyogyanya harus ditanamkan rasa tanggung jawab
semaksimal mungkin kedalam dada setiap orang, dengan ditanamkannya ras
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta: 2002, hlm. 480-481. 24 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Fi Qur’an, Durusy-Syuruq, Bairut : 1992, hlm. 305.
43
tanggung jawab maka orang tersebut dapat melaksanakan amanahnya dengan
baik, serta harus pula ditanamkan rasa iman dan takwa kepada Allah supaya tidak
tergelincir dari tindakan yang kurang baik termasuk perbuatan manusia itu sendiri,
sehingga orang tersebut dapat mengontrol dirinya serta ketakwaannya, karena
iman dan takwa sangatlah berkesan dibandingkan aturan-aturan tersebut. Apabila
tanggung jawab tersebut dapat dirasakan sebagai suatu kewajiban dari Allah serta
diiringai dengan sebuah aturan-aturan, maka kan terbentuklah suasana yang aman
dan tentram serta terhindar dari penyelewengan, maka akan tercapailah sebuah
keadian dan kemakmuran.25
Menurut Hamka dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat amanah tersebut
menggambarkan secara majaz atau dengan ungkapan, betapa berat amanah itu,
sehingga langit, bumi dan gunung-gunung pun tidak bersedia memikulnya, maka
yang mampu mengemban amanah tersebut adalah manusia, karena manusia diberi
kemampuan oleh Allah, walaupun mereka ternyata kemudian berbuat zhalim,
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain serta bertindak bodoh dengan
mengkhianati amanah itu.26
C. Pendapat Ulama Tentang Amanah
Al-Qurthubi menyatakan, Amanah bersifat umum mencakup seluruh
tugas-tugas keagamaan. Dan segala sesuatu yang dipikul/ditanggung manusia,
baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun urusan dunia, baik terkait
25 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat, PT. Mutiara, Jakarta: 1982, hlm. 163. 26 M. Dawan Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: Paramdina, 1996), hlm.
194-195.
44
dengan perbuatan maupun dengan perkataan dimana puncak amanah adalah
penjagaan dan pelaksaannya.27 Ini adalah pendapat jumhur.
Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa Amanah di sini
menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan kewajiban-kewajiban
yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan pengabaiannya dikaitkan dengan
siksa.
Ibn Mas‘ud berkata, bahwa Amanah di sini adalah seluruh kewajiban dan
yang paling berat adalah Al-Amanah harta.
Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara Amanah adalah
dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.
Mujahid berpendapat bahwa Amanah adalah kewajiban-kewajiban dan
keputusan-keputusan agama.
Sedangkan Abu Al-’Aliyyah berpendapat bahwa Amanah adalah apa-
apanyangndiperintahkan-Nyandannapa-apanyangndilarang-Nya.
Orang yang beriman dipastikan akan memperoleh rasa aman dan tenteram.
Karena ia akan merasa mendapatkan penjagaan dari Allah SWT. Sebaliknya orang
yang diselimuti dengan berbagai macam kegelisahan dan ketakutan, dipastikan
sedang mengalami krisis iman.
Dengan demikian, kata amanah (���ا) di dalam Al-Qur’an mencakup
amanah kepada Allah SWT., sesama manusia, dan kepada diri sendiri.
Amanah kepada Allah SWT., dapat dinyatakan sebagai Amanah Allah
dan Rasul-Nya berupa aturan dan ajaran-ajaran agama yang harus dilaksanakan.
27 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, Juz. XII (Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H./1964 M.), hlm. 107.
45
Amanah kepada sesama manusia dapat pula berupa sesuatu, baik materil
maupun non-materil, yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa
aman dan tenteram.
Adapun Amanah kepada diri sendiri berupa segala nikmat yang ada pada
manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, sehingga yang bersangkutan memiliki
sifat jujur dan dapat dipercaya.
Pada awalnya “Amanah” pernah ditawarkan oleh Allah SWT., kepada
Langit dan bumi serta gunung-gunung yang kokoh.28 Semuanya menolak karena
khawatir tidak mampu menjalankan Amanah itu sesuai dengan ketentuan
pemberi Amanah.29
Ungkapan itu dapat kita temukan di dalam salah satu firman Allah SWT.,
pada surat Al-Ahzab: 72 sebagai berikut :
$ ¯Ρ Î) $ oΨ ôÊ t�tã sπtΡ$ tΒF{ $# ’ n?tã ÏN≡uθ≈ uΚ¡¡9$# ÇÚ ö‘ F{ $#uρ ÉΑ$ t6Éf ø9$# uρ š ÷ t/r' sù βr&
$ pκs]ù=Ïϑøt s† z ø)x�ô© r& uρ $ pκ÷]ÏΒ $ yγn=uΗxq uρ ß≈ |¡Ρ M}$# ( …çµΡ Î) tβ% x. $ YΒθè=sß Zωθ ßγy_ ∩∠⊄∪
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat30 kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Qs. Al-
Ahzab:72).31
28Lihat: Qs. Al-Ahzab: 72. 29 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXII, Cet. 1; Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 111. 30 yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan. 31 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989),
hlm. 680.
46
Menurut Imam Al-Bhagawy dalam tafsirnya Maalim Al-Tanzil juz
halaman 427 menjelaskan ayat di atas sebagaimana dikutip dari sahabat Abdullah
ibn Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan Amanah adalah ketaatan dan
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah kepada hamba-Nya dan
pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung dengan ketentuan
jika mereka melaksanakannya akan diberi ganjaran (pahala) dan jika mereka
meyaia-nyaiakannya akan diberi siksa.32
Menurut Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Amanah adalah melaksanakan
salat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, berhajji, jujur
dalam berkata, membayar hutang, berbuat adil di dalam hal menakar dan
menimbang dan yang paling berat bahwa semua ini adalah titipan.
Lebih lanjut Al-Bhagawy menguraikan sebagaimana penjelasan yang
dikutip dari Abdullah ibn Amr ibn al-Ash yang mengatakan bahwa yang pertama
kali Allah SWT., ciptakan pada manusia adalah alat kelaminnya. Maka dalam hal
alat kelamin terdapat Amanah. Pada telinga, mata, tangan dan kaki terdapat Al-
Amanah. Tidak ada sedikitpun iman terhadap orang yang tidak memelihara Al-
Amanah dengan baik. Ulama lain mengatakan bahwa seluruh Amanah dan
penepatan terhadap janji-janji terhadap manusia.
Tafsir Al-Azhar sangatlah berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Mulai dari
sudut pemikiran sampai sudut bahasa yang digunakan dalam menafsirkan pun
sangatlah berbeda. Oleh karena itu, kami akan membandingkan tafsir Al-Azhar ini
dengan tafsir Depag dan tafsir Al-Misbah. Yaitu sebagai berikut:
32 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXII, Cet. 1; Jakarta: Panjimas, 1983, hlm. 112.
47
1. Perbedaanmdarimsudutmpemikiran:
a. Tafsir Depag: Sudut pemikirannya datar (karena tafsir ini ditulis oleh
banyak ulama atau dapat dikatakan tulisan gotong royong).
b. Tafsir al-Misbah: Sudut pemikirannya mendalam dan dilengkapi oleh data-
datamkontemporerm(modern).
c. Tafsir al-Azhar: Sudut pemikirannya selalu menggiring seseorang kepada
tasawuf (karena berangkat dari setting sosial politik pada saat tafsir ini
ditulis dan untuk selamat dari kondisi seperti itu, maka
seseorangmharusmterjunmkemdalammtasawuf.
2. Perbedaanndarinsudutnbahasa:
a. Tafsir Depag: Sudut bahasa yang digunakan sangatlah standart atau
datarn(dimaksudkannagarnmemudahkannseseorangndalam memahaminya).
b. Tafsir Al-Misbah: Sudut bahasa yang digunakan adalah bahasa yang
modern atau kontemporer.
c. Tafsir Al-Azhar: Sudut bahasa yang digunakan adalah bahasa sastra
(nuansansastranyansangatnkental).
D. Sejarah dan Corak Tafsir Al-Azhar
1. Sejarah Tafsir Al-Azhar
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan
pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid Al-Azhar yang terletak di Kebayoran
Baru sejak tahun 1959. Ketika itu, masjid belum bernama Al-Azhar. Pada yang
48
sama, Hamka dan K.H. Fakih Usman dan H.M. Yusuf Ahmad, menerbitkan
majalah Panji Masyarakat.
Baru kemudian, Nama Al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh
Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas Al-Azhar semasa kunjungan beliau
ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus Al-
Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir Al-Azhar berkaitan
erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung Al-Azhar.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya
tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Hamka dalam mukadimah kitab
tafsirnya.
Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan
kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk
memahami Al-Qur’an tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai
ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga
bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah
serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang
diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab. Hamka memulai Tafsir Al-
Azharnya dari surah Al-Mu’minun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak
sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa
hidupnya.
Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid Al-Azhar ini,
dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai
terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang
49
“Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383 H / 27
Januari 1964 M, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan
berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa
berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Penerbitan pertama Tafsir Al-Azhar dilakukan oleh penerbitan
Pembimbing Masa, pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama, merampungkan
penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz
30 dan juz 15 sampai juz 29 oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya juz 5
samapai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.
Ibarat intan, Al-Qur’an dengan segala sudutnya mampu memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan
tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia
akan melihat lebih banyak dari pada apa yang anda lihat”. Ilustrasi ini
menggambarkan kepada kita bahwa Al-Qur’an sebagai sebuah teks telah
memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di
dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap
terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari
mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya
dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Pada dasarnya, Agama memang sangat membutuhkan tafsir untuk
memudahkan umatnya memahami makna pesan Tuhan dalam kitab sucinya.
Pemahaman tafsir itu pulalah yang akhirnya harus membuka kajian konseptual
dan historis. Secara konseptual, agama dapat dikaitkan sebagai “komunitas
50
tafsir”, sehingga kajian terhadap agama itu pada dasarnya adalah penafsiran
terhadap tafsir.33
Sementara secara historis, agama mempresentasikan adanya keragaman
penafsiran yang sangat erat berkaitan dengan latar belakang historis masing-
masing pandangan, bahkan sering terjadi ketegangn dalam agama, misalnya antara
kalangan yang berpola pikir liberal dan yang berpola pikir ortodok, dimana
tentunya kedua kalangan ini memiliki pola penafsiran yang berbeda terhadap
agama mereka.
Salah satu kitab tafsir yang terbit di Indonesia adalah Tafsir Al-Azhar
karya Hamka. Tafsir ini dikenal salah satu tafsir yang memberikan khazanah
keilmuan yang cukup menarik dari sisi kebahasaan, maupun penyajian reasoning
yang ada didalamnya.
Dan Tafsir Al-Azhar ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yang merupakan singkatan namanya).
Beliau lahir disebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagari Sungai Batang, di
tepi Danu Maninjau, pada 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari
1908 M. Ayahnya, Syekh Abdul Karim bin Amrullah adalah seorang pengukir.
Latar sosial tersebut yang mempunyai hasrat besar pula agar anaknya
kelak mengikuti jejak dan langkah yang telah diambilnya sebagai orang ulama’.
Hamka mengisahkan itu dalam autobiografinya, tatkala ia dilahirkan, ayahnya
Syekh Abdul Karim bin Amrullah berguma, “Sepuluh tahun”. Dan ketika beliau
ditanya apa makna sepuluh tahun itu, beliau menjawab: “sepuluh tahun dia kan
33 Rizka Chamami dalam Studi Islam Kontemporer, (Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2002), hlm. 113. (Ia mengutip dari Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmi: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Menara Kudus Jogjakarta: Yogyakarta, 2004).
51
dikirim belajar ke Makkah, supaya kelak dia menjadi alim seperti aku pula, seperti
neneknya dan seperti nenek-neneknya yang dulu”.34
Keulamaan, predikat yang telah diwarisi Hamka secara geologis,
membawa ia memasuki alam bawah sadarnya, sehingga keulamaan ini pulalah
yang dipilih oleh Hamka sebagai kawasan untuk menampilkan dirinya dalam
berbagai ragam aktivitas, yakni sebagai sastrawan, budayawan, ilmuwan Islam,
Muballigh, pendidik, bahkan menjadi politisi. Belakangan ia diberikan sebutan
Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya
dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya
Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, juga
merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906.
Pendidikan formalnya hanya sampai SD, tetapi banyak belajar sendiri
(otodidak), terutama dalam bidang agama. Keahliannya dalam Islam diakui dunia
internasional sehingga kemudian mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-
Azhar (1955) dan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (1976).
Tahun 1924 mulai merantau ke tanah Jawa untuk belajar antara lain
kepada HOS Cokroaminoto, lalu aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Tahun
1927 berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian menetap di
Medan di mana ia aktif sebagai ulama dan bekerja sebagai redaktur majalah
Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Pada waktu itu ia mulai
banyak menulis roman, sehingga timbul heboh karena ada pihak yang tidak setuju
34 Rizka Chamami dalam, Studi Islam Kontemporer, (Pustaka Rizki Putra: Semarang,
2002), hlm. 121.
52
kiai mengarang roman. Di antara roman yang ditulisnya adalah Di Bawah
Lindungan Ka’bah (1938), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah
Kehidupan (1940; kumpulan cerita pendek), Ayahku (1949; merupakan riwayat
hidup dan kisah perjuangan ayahnya).
Di zaman Orde Lama Dia pernah meringkuk dalam tahanan beberapa
tahun. Dalam kesempatan itulah ia menyelesaikan tafsir al-Azhar-nya. Hamka
banyak sekali menulis buku tentang Islam, seluruhnya ratusan judul. Beliau
adalah Imam Masjid Al-Azhar Kebayoran. Pernah memimpin majalah Panji
Masyarakat yang terbit sejak 1959. Sementara itu sejak tanggal 21 Mei 1981
Hamka meletakkan jabatannya selaku ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981. Dan ada beberapa karya-karya Hamka
yang di tulisnya antara lain:
1. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) 6. Adab Minangkabau dan Agama-
Islam (1928)
2. Si Sabariyah (1928) 7. Kepentingan Tabligh (1928)
3. Agama dan Perempuan (1928) 8. Ayat-ayat Mi’raj (1928)
4. Merantau ke Deli (1940) 9. Tasawwuf Modern
5. Ringkasan Tarikh Umat Islam (1928) 10. Falsafah Hidup
11. Pembela Islam:Tarich Sayyidina Abu Bakar (1928)
12. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1932)
13. Tuan Direktur
14. Kenang-kenangan Hidup (1979)
53
15.lAyahku: Riwayat Hidup Dr. H. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum-
Agama di Sumatera (1949)
16. Di Dalam Lembah Kehidupan (1940; kumpulan cerita pendek)
17. Tafsir Al-Azhar (1984)
Sebelum betul-betul masuk dalam tafsir ayat Al-Qur’an, sang mufasir
terlebih dahulu memberikan banyak pembukaan, yang terdiri dari: Kata
Pengantar, Pandahuluan, Al-Qur’an, I’jâz Al-Qur’an, Isi Mu’jizat Al-Qur’an, Al-
Qur’an Lafaz dan Makna, Menafsirkan Al-Qur’an, Haluan Tafsir, Mengapa
Dinamai “Tafsir Al-Azhar”, dan terakhir Hikmat Ilahi.
Dalam Kata Pengantar, Hamka menyebut beberapa nama yang ia anggap
berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan keislaman
yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan orang-orang
pemberi motivasi untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap
pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, tidak terkecuali karya
tafsirnya. Nama-nama tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan
saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara
lain, ayahnya sendiri yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdul Karim
Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek
Bapaknya).35
2. Corak Tafsir Al-Azhar
Howard M. Federspiel, memasukkan Tafsir al-Azhar pada rumpun tafsir
generasi ketiga. Yaitu sezaman dengan Tafsir al-Bayan karya ash-Siddieqy dan
35 Hamka, Tafsir al-Azhar, (pembimbing Masa: Jakarta, 1970) dalam kata pengantar, VII.
54
Tafsir al-Qur’anul Karim karya Halim Hasan.36 Tafsir generasi ini, mulai muncul
pada 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap. Kegiatan penafsiran pada
generasi ini sering kali memberi komentar-komentar yang luas terhadap teks
bersamaan dengan terjemahannya. Generasi ini memiliki bagian pengantar dan
indeks yang tanpa diragukan lagi memperluas isinya, tema-temanya atau latar
belakang (turunya) al-Qur’an.
Namun, ada pula yang mengatakan bahwa generasi Buya Hamka bersama
para mufassir yang sezaman dengannya adalah generasi kedua setelah Prof.
Mahmud Yunus bersama rombongannya. Dikatan generasi kedua karena terjadi
perbedaan yang begitu jelas dari generasi yang lalu. Yaitu selain tafsir yang
berbahasa Indonesia, pada periode ini tafsir yang berbahasa daerah pun tetap
beredar di kalangan pemakai bahasa tersebut, seperti al-Kitabul Mubin karya K.H.
Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab al-Ibriz oleh K.H. Bisri
Musthafa dalam bahasa Jawa (1950).
Diantara corak tafsir Al-Azhar sebagai berikut:
a. Bentuk Penafsiran
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik-
baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak
hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu, tetapi
mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata-
mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari
orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari orang terdahulu
36 Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia, terjemah oleh: Tajul Arifin (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 137.
55
berarti hanya suatu “Textbox thinking”. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan
akal sendiri besar bahanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan agama,
sehingga dengan disadari akan menjauh dari maksud agama.37
Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf, yaitu mazhab
Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak
beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah
dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran
(fiqhi), penulis tafsir ini tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia,
melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti,
dan meninggalkan mana yana jauh menyimpang. Tafsir yang amat menarik ini
yang dibuat contoh adalah Tafsir al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha
berdasarkan atas ajaran Tafsir gurunya Syeikh Muhammad Abduh.
b. Metode Analitik ( tahlili )
Melihat karya Hamka ini maka metode yang dipakai adalah metode
Tahlili (analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya
mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat
demi surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang
turunya ayat, kaitan dengan ayat lain (munasabah), tidak ketinggalan dengan
disertakan pendapat pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran
37 Hamka, Tafsir al-Azhar, (pembimbing Masa: Jakarta, 1970), hlm. 36.
56
ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in
dan ahli tafsir lainya.
c. Corak Kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i Sufi
Corak yang dikedepankan oleh Hamka dalam Al-Azhar adalah kombinasi
al-Adabi al-Ijtima’i Sufi. Corak ini (social kemasyarakatan) adalah suatu cabang
dari tafsir yang muncul pada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha
memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-
makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah
dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash yang
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Sementara menurut al-Dzahabi, yang dimaksud dengan “al-Adabi al-
Ijtima’i” adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan ketelitian uangkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa lugas,
dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu
mengaplikasikanya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah umat islam
dan bangsa umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat ketidak puasan para mufassir yang
memandang bahwa selama ini penafsiran al-Qur’an hanya didominasi oleh tafsir
yang berorientasi pada nahwu, bahasa, dan perbedaan madzhab, baik dalam
bidang ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, sufi, dan lain sebagainya, dan jarang sekali
dijumpai tafsir al-Qur’an yang secara khusus menyentuh inti dari al-Qur’an ,
sasaran dan tujuan akhirnya.
57
Secara operasional, seorang mufassir jenis ini dalam pembahasnya tidak
mau terjebak pada kajian pengertian bahasa yang rumit, bagi mereka yang
terpenting adalah bagaimana dapat menyajikan tafsir al-Qur’an yang berusaha
mengkaitkan nash dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem
peradaban, yang secara fungsioanal dapat memecahkan masalah umat.
Melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an yang karenannya dapat diperoleh
kebaikan dunia dan akhirat, serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an
dengan teori-teori ilmiah yang benar. Di dalamnya juga berusha menjelaskan
kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah kitab suci yang kekal, yang
mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia
sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan keraguan yang
dilontarkan terhadap al-Qur’an dengan argumen yang kuat yang mampu
menangkis segala kebathilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu
benar.
Adapun penggagas corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah Muhammad
Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dengan kitab tafsirnya al-Manar
yang disusun dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Diantara kitab tafsir
yang ditulis dengan corak al-Adabi al-Ijtima’i selain tafsir al-Manar adalah Tafsir
al-Qur’an karya Syeikh Muhammad al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Karim
karya Syeikh Muhammad Syaltu, dan Tafsir al-Wadhih karya Muhammad
Mahmud Hijazy.
Sedangkan corak sufinya banyak diperlihatkan dengan teknis pendekatkan
terhadap tasawuf, hal tersebut ditandai dengan banyaknya ragam pemikiran
58
tasawuf yang ditunjukkan Hamka. Oleh sebab itu tasawuf Hamka lebih Nampak
modern di dalam menerjemahkan ma’na Tuhan secara posistif.
Contoh ayat:
āω çµà2 Í‘ ô‰ è? ã�≈ |Á ö/F{ $# uθèδuρ à8 Í‘ ô‰ ムt�≈ |Á ö/F{ $# ( uθèδuρ ß#‹ÏÜ=9$# ç��Î6sƒ ø:$# ∩⊇⊃⊂∪
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan itu; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
mengetahui.”38
Hamka menafsirkan ayat ini: Pandangan mata yang selemah peralatannya
ini tidaklah dapat mencapai untuk melihat Allah SWT. Sebab itu janganlah pula
kamu bodoh, sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu
tidak dapat melihat Dia. Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah
sedikit sekali dari alam ini. Beribu-ribu penglihatan mata terkecoh oleh yang
dilihat. Walaupun yang dilihat itu barang yang nyata. Betapa banyaknya benda,
yang dari jauh kelihatan indah, seumpama puncak gunung, tetapi setelah kita
sampai di puncaknya ternyata yang indah itu tidak ada.
Penafsiran Hamka di atas memperlihatkan kepada kita suatu wawasan
yang cukup luas; namun dia menuju ke suatu titik, yakni memberikan kesadaran
kepada umat bahwa mereka adalah mahkluk yang lemah dari segala segi, baik
fisik maupun pemikiran. Sehingga mereka tidak sanggup mencapai Allah. Bahkan
untuk mengetahui hakikat diri mereka sendiripun mereka tidak mampu,
bagaimana mungkin mereka dapat menjangkau hakikat Allah yang Maha Halus
dan Maha Tahu itu.
38 Lihat: Qs. Al-An’am: 103.
59
Penafsiran yang diberikan Hamka tersebut tampak kepada kita amat
menyentuh hati, sehingga kita segera sadar akan kelemahan kita. Kecuali itu,
penafsiran Hamka tersebut diungkapkannya dalam bahasa yang indah dan enak
dibaca oleh semua orang; sehingga baik pembaca, maupun pendengarnya tidak
merasa bosan mengikutinya.
Dari penfsiran Hamka itu dapat disimpulkan bahwa meskipun hanya
digunakan satu metode tafsir yaitu analisis, namun tidak tertutup kemungkinan
bagi mufassir untuk berkreasi dengan menghasilkan corak-corak tafsir bervariasi
apakah umum ataupun kombinasi dan sebagainya. Jadi penerapan suatu metode
tidak akan mengekang pemikiran seorang mufassir.
top related