11 bab ii. tinjauan pustaka 2.1. air tanah air tanah adalah air
Post on 19-Jan-2017
271 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BABBABBABBAB II.II.II.II. TINJAUANTINJAUANTINJAUANTINJAUAN PUSTAKAPUSTAKAPUSTAKAPUSTAKA
2.1.2.1.2.1.2.1. AirAirAirAir TanahTanahTanahTanah
Air tanah adalah air yang bergerak di dalam ruang - ruang antar butir-butir
tanah yang membentuk itu atau dikenal dengan air lapisan dan di dalam retakan-
retakan dari batuan yang dikenal dengan air celah. Keadaan air tanah ada yang
terkekang dan air tanah bebas. Jika air tanah itu bebas maka permukaannya akan
membentuk gradient yang dikenal dengan gradien hidrolik sehingga pergerakan
air tanahnya akan membentuk sebuah kontur (Wahyudi, 2009).
Kumalasari dan Satoto (2011) mengemukakan bahwa air tanah adalah air
yang berada di dalam tanah, air tanah dangkal merupakan air yang berasal dari air
hujan yang diikat oleh akar pohon. Air tanah ini terletak tidak jauh dari
permukaan tanah serta berada di atas lapisan kedap air. Sedangkan air tanah
dalam adalah air hujan yang meresap ke dalam tanah lebih dalam lagi melalui
proses adsorpsi serta filtrasi oleh batuan dan mineral di dalam tanah. Sehingga
berdasarkan prosesnya air tanah dalam lebih jernih dari air tanah dangkal. Air
tanah ini bisa didapatkan dengan cara membuat sumur.
Air di dunia 97,2 % berupa lautan dan 2,8 % terdiri dari lembaran es dan
gletser (2,15%), air artesis (0,62 %) dan air lainnya (0,03%). Air lainnya ini
meliputi danau air tawar 0,009%, danau air asin 0,008%, air tanah 0,005%, air
atmosfer (hujan dan kabut) 0,001% dan air sungai 0,0001% (Strahler dan Strahler
cit. Foth, 1984 dalam Hanafiah 2005).
Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet bumi, mencakup
kira-kira 30 % dari total air tawar atau 10,5 juta km3. Air tanah biasanya diambil,
12
baik untuk sumber air bersih maupun untuk irigasi, melalui sumur terbuka, sumur
tabung, spring, atau sumur horisontal. Cara pengambilan air tanah yang paling tua
dan sederhana adalah dengan membuat sumur gali (dug wells) dengan kedalaman
lebih rendah dari posisi permukaan air tanah. Jumlah air yang dapat diambil dari
sumur gali biasanya terbatas, dan yang diambil adalah air tanah dangkal.
Untuk pengambilan yang lebih besar diperlukan luas dan kedalaman galian yang
lebih besar. Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman tidak lebih dari 5 - 8
meter di bawah permukaan tanah. Cara ini cocok untuk daerah pantai dimana air
tawar berada di atas air asin (Suripin, 2001).
Air hujan yang jatuh di lahan pertanian segera memasuki profil tanah
melalui proses infiltrasi, kemudian mengalir di dalam tanah sebagai air perkolasi
dan sebagian dari air hujan mengalir di permukaan tanah sebagai air limpasan
permukaan (Kusuma, 2009). Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal
dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan
aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam. Dengan kata lain, infiltrasi adalah
aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah
lateral) dan gravitasi (gerakan air kearah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian
atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai
akibat gaya gravitasi bumi dan di kenal sebagai proses perkolasi (Asdak, 2001).
Menurut hukum Darcy kecepatan aliran air tanah dapat dirumuskan sebagai
berikut (Wahyudi, 2009) :
VVVV ==== kkkk .... iiii ……………….(2.1.)
13
Dimana :
V = kecepatan aliran (cm/dt)
k = koefisien permeabilitas
i = gradien hidrolik
Kodoatie (2010) mengemukakan bahwa di daerah tangkapan/imbuhan
(recharge area) air tanah, air dari permukaan tanah meresap ke dalam tanah
mengisi akuifer baik akuifer bebas (unconfined aquifer) maupun akuifer tertekan
(confined aquifer). Di daerah pelepasan/luahan (discharge area) air tanah keluar
dengan berbagai cara, misalnya menjadi mata air, air di dalam sumur dangkal
maupun air di dalam sumur bor (sumur dalam) atau menjadi aliran dasar (base
flow).
2.2.2.2.2.2.2.2. PestisidaPestisidaPestisidaPestisida
2.2.1.2.2.1.2.2.1.2.2.1. SejarahSejarahSejarahSejarah pestisidapestisidapestisidapestisida
Pestisida diperkenalkan untuk pertamakalinya oleh bangsa Cina pada tahun
900 M, dengan memakai senyawa arsenat. Sudah dipakainya pestisida ultra
tradisional ini menunjukkan bahwa bangsa Cina sudah maju dibidang pertanian,
terbukti dengan kenyataan pengenalan pestisida yang pertama sekali oleh manusia di
negara ini. Karena belum ada penemuan-penemuan baru, bahan arsenat ini bertahan
cukup lama. Meskipun hama-hama juga sudah menunjukkan segala kekebalan. Pada
akhirnya secara tidak disengaja seperti lazimnya penemuan yang lain, racun
tembakau mulai diperkenalkan pada masyarakat mulai tahun 1960 di Eropah.
Metodenya masih sederhana, pembuatan pun cukup sederhana, karena pada masa itu
belum dikenal alat-alat industri dan pengetahuan yang cukup. Tembakau direndam
didalam air selama satu hari satu malam, baru kemudian dipakai untuk menyemprot
14
atau disiramkan. Ternyata racun nikotin ini cukup efektif pula sebagai obat sekaligus
racun pembasmi hama. Berbeda di daratan Eropah, di Malaysia dan sekitarnya lebih
mengenal bubuk pohon deris, yang mengandung bahan aktif Rotenon sebagai zat
pembunuh. Disamping itu juga dipakai bahan aktif Pirenthin I dan II, dan Anerin I
dan II, yang diperoleh dari bunga Pyrentrum Aneraria Forium (Ekha, 1988).
Tahun 1942 merupakan awal dari gerakan revolusi kimia dalam bidang
pertanian, dimana pada tahun itu telah berhasil diciptakan suatu pestisida buatan
(sentetis) yang merupakan suatu bentuk persenyawaan yang memiliki gugus aktif.
Pestisida pertama yang dibuat adalah dengan menggunakan senyawa kimia aktif DDT
(Dikhloro Difenil Trikhloroetana), dan kemudian diikuti oleh bermacam-macam jenis
lainnya. Ternyata kemudian, senyawa aktif yang merupakan senyawa kimia
majemuk dan memiliki daya racun sangat tinggi yang dimiliki oleh Pestisida DDT
dan DDE (yang merupakan produksi pecahan pertama dari DDT) tidak dapat terurai
dalam beberapa tahun. Secara relatif, dari pestisida tersebut tidak larut dalam air,
akan tetapi larut pada lemak dan senyawa lipid lainnya serta menempel kuat pada
partikel-partikel, sehingga perlakuan-perlakuan pertanian dengan menggunakan DDT
dan DDE sebagai pestisida di kemudian hari mengakibatkan keracunan terhadap
manusia yang mengkonsumsi hasilnya (Palar, 1994). DDT bersifat toksik terhadap
mamalia, dan mungkin bersifat karisinogen. Insektisida ini sangat bersifat presisten
dan terakumulasi dalam rantai makanan, sehingga tidak boleh digunakan lagi
(Achmad, 2004).
Penggunaan pestisida di Indonesia telah dilakukan sejak sebelum PD II untuk
mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Penggunaan di sub sektor
tanaman pangan dan hortikultura meningkat sangat pesat sejak dilakukan program
bimbingan masal (Bimas) tanaman padi pada akhir dasawarsa 1960-an. Program
15
Bimas sebagai upaya untuk meningkatkan produksi pertanian merupakan teknologi
berprpduksi yang dikenal sebagai Pancausaha, yaitu (1) penanaman varietas unggul,
(2) pengolahan tanah yang baik, (3) pemupukan berimbang, (4) pengairan dan (5)
pengendalian hama. Pada awal dilaksanakannya program Bimas, usaha pengendalian
hama terutama dilakukan dengan menggunakan pestisida. Hal ini antara lain
disebabkan terbatasnya teknologi pengendalian OPT pada waktu itu. Teknologi
pengendalian OPT yang dianggap peling menjanjikan harapan adalah penggunaan
pestisida (Rahayuningsih, 2009).
2.2.2.2.2.2.2.2.2.2.2.2. PengertianPengertianPengertianPengertian pestisidapestisidapestisidapestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berari hama dan sida berasal dari kata
caido yang berarti pembunuh. Dengan demikian pestisida merupakan substansi
kimia yang digunakan membunuh ataupun mengendalikan berbagai hama.
Menurut pengertian secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai
suatu bahan yang digunakan untuk pengendalian populasi jasad hidup yang
dianggap sebagai hama dalam arti yang merugikan kepentingan manusia
(Hanindipto,1989, dalam Rahayuningsih 2009 ).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
258/MENKES/PER/III/1992, tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan
Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain
serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
1. Membrantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman, bagaian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
2. Memberantas rerumputan;
16
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tenaman atau bagian-bagian
tanaman tidak termasuk golongan pupuk;
4. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan
dan ternak.
6. Memberantas hama-hama air.
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan.
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang
dapat menyebabkan penyakit manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
Djojosumarto (2008) mengemukaan bahwa sebagai produk perlindungan
tanaman, pestisida pertanian meliputi semua zat kimia, atau bahan-bahan lain
(ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan untuk
keperluan berikut :
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida,
dan herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman. Sebagai contoh zat pengatur
tumbuh, deofoliant (senyawa kimia untuk mengontrol daun), dan dessicant
(senyawa untuk mengeringkan daun).
Dalam pengertian sehari-hari OPT dibagi menjadi tiga kelompok berikut.
1. Hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung, dan moluska).
17
2. Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematode).
3. Gulma atau tumbuhan pengganggu.
2.2.3.2.2.3.2.2.3.2.2.3. PengertianPengertianPengertianPengertian residuresiduresiduresidu pestisidapestisidapestisidapestisida
Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian,
bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tak
langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan
pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat
pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (Komisi Pestisida, 1997).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/ Permentan/ SR.140/
4/2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, pengertian residu
pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada
atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah.
2.2.4.2.2.4.2.2.4.2.2.4. Jenis-jenisJenis-jenisJenis-jenisJenis-jenis pestisidapestisidapestisidapestisida
Wudianto (2011) mengemukakan dari banyaknya jasad pengganggu yang
bisa mengakibatkan fatalnya hasil pertanian, pestisida diklasifikasikan menjadi
beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan, yaitu :
1. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
bisa mematikan semua jenis serangga. Serangga adalah binatang yang
26 % spesiesnya merugikan manusia karena herbivor atau fitofak,
sedang sebagian lainnya merugikan manusia karena menyebarkan
penyakit pada manusia dan binatang ternak. Walau demikian ada pula
18
serangga yang sangat penting misalnya serangga penyerbuk (pollinator),
pengurai (decomposer),predator dan parasitosid pada serangga lain,
penghasil bahan berguna (lebah madu), dan sebagainya.
2. Fungisida
Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan
bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan. Pada
umumnya cendawan berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa
dilihat dengan mata telanjang. Namun, kumpulan dari benang halus ini
yang disebut miselium bisa dilihat dengan jelas.
3. Bakterisida
Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif
beracun yang bisa membunuh bakteri. Serangan bakteri pada tanaman
cukup merugikan petani. Tumbuhan tingkat rendah yang sangat kecil ini
dilihat dari bentuknya ada yang bulat, berbentuk batang, dan spiral.
Panjangnya 0,15-6 mikron dan berkembang biak dengan membelah diri.
4. Nematisida
Nematoda yang bentuknya seperti cacing kecil ini ada yang panjangnya
lebih dari 1 cm walaupun pada umumnya panjangnya kurang dari 200
sampai 1000 milimikron. Racun yang dapat mengendalikan nematoda ini
disebut dengan nematisida. Umumnya nematisida berbentuk butiran
yang penggunaannya bisa dengan cara ditaburkan atau dibenamkan
dalam tanah. Walaupun demikian ada pula yang berbentuk larutan dalam
air yang penggunaannya dengan cara disiramkan.
19
5. Akarisida
Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang
mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh
tungu, caplak, dan laba-laba. Tungu adalah binatang kecil yang
besarnya kurang dari 0,5 mm, berkaki 8, dan berkulit lunak dengan
kerangka khitin. Warnanya bermacam-macam, ada yang merah, kuning,
ada pula yang hijau.
6. Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun
yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat,
misalnya tikus.
7. Moluskisida
Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput
telanjang, siput setengah telanjang, sumpil, bekicot, serta trisipan yang
banyak terdapat di tambak.
8. Herbisida
Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk
membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma. Kehadiran
gulma dalam areal pertanaman sangat tidak dikehendaki karena
menyaingi tanaman yang ditanam dalam memperoleh unsur hara, air dan
matahari.
Selain beberapa jenis pestisida di atas masih banyak jenis pestisida lain.
Namun, karena kegunaannya jarang maka produsen pestisida pun belum banyak
20
yang menjual, sehingga di pasaran bisa dikatakan sulit ditemukan. Pestisida
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pisisida, adalah bahan senyawa kimia beracun untuk mengendalikan
ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam.
b. Algisida, merupakan pestisida pembunuh ganggang.
c. Avisida, merupakan pestisida pembunuh burung.
d. Larvisida, adalah pestisida pembunuh ulat.
e. Pedukulisida, merupakan pestisida pembunuh kutu.
f. Silvisida, pestisida pembunuh pohon hutan atau pembersih sisa-sisa
pohon.
g. Ovisida, merupakan pestisida perusak telur.
h. Piscisida, merupakan pestisida pembunuh predator.
i. Termisida, merupakan pestisida pembunuh rayap.
j. Arborisida, merupakan pestisida pembunuh pohon, semak, dan belukar.
k. Predasida, merupakan pestisida pembunuh hama vertebrata.
2.2.5.2.2.5.2.2.5.2.2.5. FormulasiFormulasiFormulasiFormulasi pestisidapestisidapestisidapestisida
Formulasi adalah campuran bahan aktif dengan bahan tambahan dengan
kadar dan bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja sebagai pestisida sesuai
dengan tujuan yang direncanakan. Bahan aktif adalah bahan kimia sintetik atau
bahan alami yang terkandung dalam bahan teknis atau formulasi pestisida yang
memiliki daya racun atau pengaruh biologis lain terhadap organisme sasaran
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang
Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida).
21
Formulasi pestisida yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut
bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh
organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient). Jika dilihat dari
strukturnya kimianya, bahan aktif bisa digolongkan menjadi kelompok organik
sintetik, organik alamiah, dan inorganik. Bahan aktif ini jenisnya sangat banyak
sekali. Tahun 1986 Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat mencatat ada
2.600 bahan aktif yang sudah dipasarkan. Dan diseluruh dunia ada 35.000
formulasi atau merek dagang (Wudianto, 2011).
Di Indonesia ada bahan aktif pestisida yang dilarang dan ada bahan aktif
pestisida terbatas, yang diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor :
01/Permentan/OT.140/1/2007 tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida Yang
Dilarang Dan Pestisida Terbatas. Bahan aktif pestisida yang dilarang
sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran I Peraturan Menteri Pertanian
tersebut adalah seperti yang dicantumkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jenis-jenis bahan aktif yang dilarang untuk semua bidang penggunaanpestisida
No. Bahan Aktif CAS No
1. 2, 4, 5 - Triklorofenol 93-76-52. 2, 4, 5 - Triklorofenol 95-95-43. Natrium 4 - Brom - 2, 5 - diklorofenol 4824-78-64. Aldikarb 116-06-035. Aldrin 309-00-26. 1,2-Dibromo-3-kloropropan (DBCP) 96-12-87. Cyhexatin 13121-70-58. Dikloro difenil trikloroetan (DDT) 50-29-39. Dieldrin 60-57-110. 2, 3 - Diklorofenol11. 2, 4 - Diklorofenol12. 2, 5 - Diklorofenol13. Dinoseb 88-85-714. Ethyl p-nitrophenyl
Benzenethiophosnate (EPN)2104-64-5
15. Endrin 106-93-416. Etilen dibromida (EDB) 72-20-817. Fosfor kuning (Yellow Phosphorus)18. Heptaklor 76-44-8
22
Tabel 2.1. LanjutanNo. Bahan Aktif CAS No
19. Kaptafol 2425-06-120. Klordan 57-74-921. Klordimefon 19750-95-922. Leptopos 21609-90-523. Lindan 608-73-124. Metoksiklor 72-43-525. Mevinfos 26718-65-026. Monosodium metan arsonat (MSMA) 2163-80-627. Natrium klorat 7775-09-928. Natrium tribromofenol29. Metil parathion 298-00-030. Pentaklorofenol (PCP) dan garamnya 87-86-531. Senyawa arsen 1327-53-332. Senyawa merkuri 10112-91-1, 7546-30-7, 7487-94-7,
21908-53-233. Strikhnin34. Telodrin 297-78-935. Toxaphene 8001-35-236. Mireks 2385-85-5
Sumber : Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 01/Permentan/OT.140/1/2007
Jenis-jenis bahan aktif yang dilarang untuk pestisida rumah tangga,
hygiene dan sanitasi yang digunakan untuk pengendalian serangga rumah tangga
adalah diklorvos dan klorpirifos.
Bahan aktif pestisida yang ditetapkan sebagai pestisida terbatas, sesuai isi
Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 01/Permentan/OT.140/1/2007
tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida Yang Dilarang Dan Pestisida Terbatas
tersebut, adalah :
1. Alumunium Fosfida
2. Parakuat Diklorida
3. Seng Fosfida
4. Magnesium Fosfida
5. Metil Bromida
Bentuk pestisida yang merupakan formulasi ini ada berbagai macam.
Formulasi ini perlu dipertimbangkan oleh calon konsumen sebelum membeli
23
untuk disesuaikan dengan kesediaan alat yang ada, kemudahan aplikasi, serta
efektifitasnya. Berikut beberapa formulasi atau bentuk pestisida yang beredar di
Indonesaia (Wudianto, 2011) :
1. Tepung hembus, debu (dust = D)
Bentuknya tepung kering yang hanya terdiri atas bahan aktif, misalnya
belerang, atau dicampur dengan pelarut aktif yang bertindak sebagai
karier, atau dicampur bahan-bahan organik seperti tepung tempurung
tanaman, walnut, mineral profit, bentoit, atau talk. Kandungan bahan
aktifnya rendah, sekitar 2 - 10%. Dalam penggunaannya pestisida ini
harus dihembuskan menggunakan alat khusus yang disebut duster.
2. Butiran (granula = G)
Pestisida ini berbentuk butiran padat yang merupakan campuran bahan
aktif berbentuk cair dengan butiran yang mudah menyerap bahan aktif.
Bagian luarnya ditutup dengan suatu lapisan. Penggunaannya cukup
ditaburkan atau dibenamkan di sekitar perakaran tanaman atau
dicampur dengan media tanaman. Butiran ini akan larut dalam air
secara pelan-pelan. Dengan sifatnya ini, pestisida jenis ini tidak mudah
tercuci oleh air siraman sehingga residunya tahan lama di dalam tanah.
Walau demikian, dalam air sawah atau saat hujan lebat, granula sangat
tidak sesuai untuk digunakan. Contoh pestisida yang berbentuk granula
adalah; insektisida dan nematisida Furadan 3G, insektisida, nematisida,
dan fungisida Basamid 3 G, dan herbisida kontak pratumbuh Goal 2 G.
24
3. Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wattable powder = WP)
Pestisida berbentuk tepung kering agak pekat ini belum bisa secara
langsung digunakan untuk memberantas jasad sasaran, harus terlebih
dahulu dibasahi air. Kandungan bahan aktifnya 50-85 %. Pestisida
berbentuk WP ini cukup banyak diperdagangkan. Misalnya insektisida ;
Confidor 5 WP, Garavox 20 WP, dan Dimilin 25 WP; fungsida;
Antracol 70 WP, Fodicur 25 WP, dan Dithane M-45 80 WP; herbisida;
Gesapax 80 WP, Gesaprim 80 WP, dan Hyvar 80 WP; akarisida;
Morestan 25 WP; dan bakterisida; Agrept 20 WP dan Agrimycin 15/1,5
WP.
4. Tepung yang larut dalam air (water-solube powder = SP)
Pestisida berbentukm SP ini sepintas mirip WP. Penggunaannya pun
ditambahkan air. Perbedaannya terletak pada kelarutannya. Bila WP
tidak bisa terlarut dalam air, SP bisa larut dalam air. Kandungan bahan
aktifnya biasanya tinggi. Insektisida Dicarazol 25 SP dan herbisida
Target 25/38 SP merupakan contoh formulasi ini.
5. Suspensi (flowable concentrate = F)
Formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut
serbuk yang dicampur dengan sedikit air. Campuran ini dapat
tercampur air dengan baik dan mempunyai sifat yang serupa dengan
formulasi WP yang ditambah sedikit air. Contoh herbisida Gesapax
500 F dan Fungisida Dithane 430 F.
25
6. Cairan (emulsifitable concentrate = EC)
Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri dari campuran
bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam
penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air.
Hasil pengencerannya atau cairan semprotnya disebut emulsi. Bentuk
EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh insektisida
Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC; fungisida Afugan 300 EC; dan
akrasida Meothrin 50 EC.
7. Ultra Low Volume (ULV)
Pestisida bentuk ini merupakan jenis khusus dari formulasi S (solution).
Bentuk murninya merupakan cairan atau bentuk padat yang larut dalam
solven minimum. Biasanya digunakan pada areal yang sulit
memperoleh air. Sebagai contoh insektisida Sumialpha 10 ULV.
8. Solution (S)
Solution merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan pestisida
ke dalam pelarut organik dan dapat digunakan dalam pengendalian
jasad pengganggu secara langsung tanpa perlu dicampur dengan bahan
lain. Formula ini hampir tidak ditemui. Satu-satunya adalah Gramoxon
S yang merupakan herbisida kontak purna tumbuh.
9. Aerosol (A)
Aerosol merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif
berkadar rendah dengan zat pelarut yang mudah menguap (minyak)
kemudian dimasukkan ke dalam kaleng yang diberi tekanan gas
26
propelan. Formulasi jenis ini banyak digunakan di ruma tangga, rumah
kaca, atau pekarangan. Contohnya insektisida Baygon dan Raid.
10. Umpan beracun (poisonus bait = B)
Umpan beracun merupakan formulasi yang terdiri dari bahan aktif
pestisida digabungkan dengan bahan lainnya yang disukai oleh jasad
pengganggu. Contohnya Rodentisida Klerat dan Ramortal 12B.
11. Powder concentrate (PC)
Formulasi berbentuk tepung ini biasanya tergolong Rodentisida yaitu
untuk membrantas tikus. Penggunaannya dicampur dengan umpan dan
dipasang di luar rumah. Contoh formulasi ini yaitu Racumin, Diphacin,
dan Silmurin.
12. Ready Mix Bait (RMB)
Formulasi ini berbentuk segi empat (blok) besar dengan bobot 300 gram
dan blok kecil dengan bobot 10-20 gram serta pelet. Bahan aktifnya
rendah, antara 0,003-0,005 %. Contoh Klerat RMB.
13. Pekatan yang dapat larut dalam air (Water Soluble Concentrate = WSC)
Merupakan formulasi berbentuk cairan yang larut dalam air. Hasil
pengencerannya dengan air disebut dengan larutan. Contoh formulasi
ini ialah Defence 200/130 WSC yang merupakan bahan pengawet kayu
untuk mengendalikan jamur biru pada kayu gergajian.
14. Seed Treatment (ST)
Formulasi ini berbentuk tepung. Penggunaannya dicampur dengan
sedikit air sehingga terbentuk suatu pasta. Untuk perlakuan benih
digunakan formulasi ini. Larvin 250 ST merupakan formulasi untuk
27
mengendalikan hama lalat bibit Agromyza sp. pada bibit kedelai.
Contoh lain adalah Marshal 25 ST yang berfungsi untuk mengendalikan
lalat bibit.
2.2.6.2.2.6.2.2.6.2.2.6. PenggolonganPenggolonganPenggolonganPenggolongan pestisidapestisidapestisidapestisida
Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi
menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka
pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup
lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan (Darmono, 2008), yaitu :
a. Organophosphat
Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji
untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500
jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila
tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh
serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya
fisostigmin, edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas
kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk
pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga
digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi
antikholinergik (misalnya; trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya).
Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk
mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada
bola mata.
28
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis
pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila
termakan, meskipun dalam jumlah sedikit saja, dapat menyebabkan kematian.
Wudianto (2011) mengemukakan bahwa sebagian besar bahan aktif
golongan organofosfat sudah dilarang beredar di Indonesia, misalnya diazinon,
fention, fenitroteion, fentoat, klorpirifos, kuinalfos, dan malation, sedangkan
bahan aktif lainnya masih diijinkan. Bahan aktif dari golongan ini cukup banyak
digunakan beberapa jenis pestisida. Contoh nama formulasi yang menggunakan
bahan aktif golongan organofosfat adalah:
• herbisida : Scout 180/22 AS, Polaris 240 AS, Roundup 75 WSG.
• fungisida : Kasumiron 25/l WP, Afugan 300 EC, Rizolex 50 WP.
• insektisida : Curacron 500 EC, Voltage 560 EC, Tokuthion 500 E.
b. Karbamat
Insektisida karbamat telah berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini
biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan
organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Mekanisme toksisitas
dari karbamate adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat
dan mengalam karbamilasi.
Wudianto (2011) mengemukakan bahwa bahan aktif yang termasuk
golongan karbamat antara lain karbaril dan metomil yang telah dilarang
penggunaannya. Namun, masih banyak formulasi pestisida berbahan aktif lain
dari golongan karbamat. Sebagai contoh fungsida Previcur-N, Topsin 500F, dan
Enpil 670 EC; insektisida Currater 3 G, Dicarzol 25 SP. Bahan aktif ini bila
29
masuk dalam tubuh akan menghambat enzim kholinesterase, seperti halnya
golongan organophosphat.
c. Organoklorin
Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa
kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan
pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut
DDT. Klasifikasi insektisida organokhlorin, seperti yang dicantumkan dalam
Tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2. Klasifikasi insektisida organokhlorin
Kelompok Komponen
Cyclodienes Aldrin, Chlordan, Dieldrin, Heptachlor,
endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex.
Hexachlorocyclohexan Lindane
Derivat Chlorinated-ethan DDT
Sumber : Darmono, 2008
Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun
komponen kimia ini sudah disinthesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya
pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan
serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas
tersebut. Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya
tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat
menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam.
Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg.
DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya
masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang
residu DDT masih dapat terdeteksi.
30
Wudianto (2011) mengemukakan bahwa sebagian beberapa bahan aktif
golongan organoklorin juga dilarang penggunaannya di Indonesia, misalnya
dieldrin, endosulfan, dan klordan. Nama formulasi dari golongan organoklorin
yang beredar di Indonesia adalah herbisida Garlon 480 EC dan fungisida Akofol
50 WP. Cara kerja racun ini dengan mempengaruhi sistem syaraf pusat.
Direktorat Sarana Produksi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk jenis pestisida
insektisida dapat dibagi menjadi bermacam golongan sesuai dengan bahan
aktifnya, antara lain ; Amidin, Avermectin, Benzoyl, Urea, Diasil hidrazin, Difenil,
Fenil-pirazol, Juvenile harmonic, Karbamat, Neonicotinoid, Neristoksin,
Organofosfat, Piretroid dan Pirol.
Untung (2001) mengemukakan bahwa insektisida dapat dikelompokkan
dalam beberapa cara menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut
sifat kimianya. Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, insektisida
dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan.
Menurut sifat dasar senyawa kimianya, insektisida dapat dibagi menjadi
insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur karbon dan insektisida
organik yang mengandung unsur karbon. Insektisida organik masih dapat dibagi
menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik.
Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif
(senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar yaitu
organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetik. Piretroid merupakan
kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang paling baru, digunakan
secara luas sejak tahun1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat.
31
Keunggulan piretroid sintetik karena memiliki pengaruh knock down atau
menjatuhkan serangga dengan cepat, tingkat toksisitas rendah bagi manusia.
Beberapa piretroid yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga ada yang
sudah diijinkan di Indonesia antara lain sipermetrin, flusitrinit, fluvalinat,
deltametrin (Untung, 2001).
2.2.7.2.2.7.2.2.7.2.2.7. ProsesProsesProsesProses masuknyamasuknyamasuknyamasuknya pestisidapestisidapestisidapestisida kekekeke lingkunganlingkunganlingkunganlingkungan
Manuaba (2009) mengemukaan bahwa transfer pestisida ke lingkungan
dapat terjadi melalui cara:
1. Adsorpsi, adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah.
Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis
pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi
dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-
bahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat
pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah
mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan
perncemaran terhadap air tanah maupun air danau.
2. Penguapan, adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke
bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak
dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Kehilangan
akibat pengupan ini dapat menghancurkan tanaman yang jauh dari tempat
dimana pestisida tersebut digunakan. Pestisida dapat menguap dengan
mudah disamping memang pestisidanya bersifat mudah menguap, juga
32
sebagai akibat dari tanahnya yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas,
kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida.
3. Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan
terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan. Kehilangan ini
dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, semakin kecil ukuran butiran
semakin tinggi kemungkinannya untuk hilang, kecepatan angin, jarak
antara lubang penyemprotan dengan tanaman target. Pestisida yang hilang
atau tidak mengenai target ini dapat membahayakan atau
mengkontaminasi tanaman lain, bahkan dapat membahayakan orang lain,
ternak ataupun hewan bukan target. Demikian juga, pestisida ini dapat
mencemari danau, sungai sehingga membahayakan biota yang ada di
dalamnya.
4. Limpasan akhir, adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air
menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat
bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa.
Banyaknya pestisida yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman
lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang
digunakan. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pestisida
akan dapat mencemari aliran air, sungai, danau, sumur maupun air tanah.
Residu cemaran pestisida pada permukaan air dapat membahayakan
tanaman, biota dan juga dapat mencemari air tanah.
5. Rembesan, adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah.
Perembesan dapat terjadi ke seluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-
33
sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat
terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan
dapat meningkat bila pestisidanya bersifat mudah larut dalam air,
tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan
pestisidanya teradsorpsi dengan kuat dalam tanah.
Rahayuningsih (2009) mengemukakan, perilaku pestisida selama di tanah
dikelompokkan menjadi dua proses, yaitu proses perpindahan massa dan
proses peruraian. Proses perpindahan massa terdiri atas perpindahan
massa antarfase (fase air dengan fase udara, fase air dengan fase tanah,
fase tanah dengan fase udara, dan fase masing-masing dengan makhluk
hidup). Disamping itu, pada setiap fase juga terjadi proses perpindahan
massa dan proses peruraian. Proses peruraian dapat terjadi secara kimia,
biokimia, dan fotolisis. Dengan demikian, perilaku pestisida di tanah
merupakan peristiwa yang sangat rumit karena mencakup sangat banyak
proses perpindahan massa dan peruraian yang berlangsung secara
serempak, serta banyak faktor yang mempengaruhi proses-proses tersebut.
Ditinjau dari sudut pandang kegunaannya, peristiwa yang rumit dapat
disederhanakan selama tidak mengurangi esensi peristiwa yang terjadi.
Contoh penyederhanaan masalah yang dilakukan pada perilaku pestisida
selama di tanah sawah digambarkan secara skematis pada Gambar 2.1.
34
Gambar 2.1. Perilaku pestisida selama di tanah sawah yangdiserdahanakan
Rahayuningsih (2009) mengemukakan, bahwa :
1. Fase tanah dapat mengakumulasikan pestisida dengan kosentrasi
yang tinggi, karena tanah mempunyai daya sorpsi yang tinggi,
disamping itu sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik;
2. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan dari pada di
fase air, karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang
bersifat sebagai katalis dan juga merupakan tempat mikroorganisme
menempel;
3. Perilaku pestisida di fase tanah sawah adalah yang paling berperan
dalam pencemaran air tanah.
35
2.3.2.3.2.3.2.3. ToksisitasToksisitasToksisitasToksisitas PestisidaPestisidaPestisidaPestisida
Oka (2005) mengemukakan bahwa unit untuk mengukur derajat keracunan
akut oral atau dermal pestisida adalah miligram bahan aktif pestisida tertentu
terhadap hewan percobaan seperti tikus atau kelinci. Dipergunakan nilai dosis
letal 50 (LD50) ialah suatu estimasi statistik dari dosis pestisida yang akan
membunuh 50% hewan percobaan di bawah kondisi tertentu. Nilai LD50 :
miligram dari bahan aktif per kg berat badan (mg/kg). Dari hasil-hasil percobaan
tersebut pestisida dapat diklasifikasi dalam kelas yang sangat berbahaya sekali,
berbahaya sekali, cukup berbahaya dan sedikit berbahaya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
258/MENKES/PER/III/1992, tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan
Pestisida, pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk
ke dalam tubuh dan racunnya, menjadi 4 (empat) kelas yaitu :
i. Kelas Ia : Pestisida yang sangat berbahaya sekali
ii. Kelas Ib : Pestisida yang sangat berbahaya
iii. Kelas II : Pestisida yang berbahaya
iv. Kelas III : Pestisida yang cukup berbahaya
Kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk ke dalam
tubuh dan daya racunnya, diuraikan dalam lampiran 1 peraturan tersebut, yakni
seperi yang dicantumkan pada (Tabel 2.3.) berikut :
36
Tabel 2.3. Kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk kedalam tubuh dan daya racunnya
KlasifikasiLD50 untuk tikus (mg/kg berat badan)Oral Dermal
Padat Cair Padat Cair
I.a. Sangat berbahaya sekali
b. Sangat berbahaya
II. Berbahaya
III. Cukup berbahaya
< 5
5 - 50
50 - 500
> 500
< 20
20 - 200
200 - 2000
> 2000
< 10
10 - 100
100 - 1000
> 1000
< 40
40 - 400
400 - 4000
> 4000
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 258/MENKES/PER/III/1992
2.4.2.4.2.4.2.4. DampakDampakDampakDampak PenggunaanPenggunaanPenggunaanPenggunaan PestisidaPestisidaPestisidaPestisida TerhadapTerhadapTerhadapTerhadap LingkunganLingkunganLingkunganLingkungan HidupHidupHidupHidup
Djojosumarto (2008) mengemukaan bahwa dampak penggunaan pestisida
bagi lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.
1. Bagi lingkungan umum
a. Pencemaran lingkungan (air, tanah, dan udara).
b. Terbunuhnya organism non-target karena terpapar secara langsung.
c. Terbunuhnya organism non-target karena pestisida memasuki rantai
makanan.
d. Menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui
rantai makanan (biokumulasi).
e. Pada kasus pestisida yang persisten (bertahan lama), konsentrasi
pestisida dalam tingkat trofik rantai makanan semakin ke atas akan
semakin tinggi (biomagnifikasi).
f. Penyerderhanaan rantai makanan alami.
g. Penyederhanaan keanekaragaman hayati.
37
h. Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak langsung
melalui rantai makanan.
2. Bagi lingkungan pertanian
a. Organisme pengganggu tanaman (OPT) menjadi kebal terhadap suatu
pestisida (timbul resistensi OPT terhadap pestisida).
b. Meningkatnya populasi hama setelah penggunaan pestisida
(resurjensi hama).
c. Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak
penting maupun hama yang sama sekali baru.
d. Terbunuhnya musuh alami hama.
e. Perubahan flora, khusus pada penggunaan herbisida.
f. Fitoksik (meracuni tanaman).
2.5.2.5.2.5.2.5. GejalaGejalaGejalaGejala KeracunanKeracunanKeracunanKeracunan PestisidaPestisidaPestisidaPestisida
Wudianto (2011) mengemukakan bahwa, setiap golongan bahan aktif yang
dikandung pestisida menimbulkan gejala keracunan yang berbeda-beda. Namun,
ada pula gejala yang ditimbulkan mirip, misalnya gejala keracunan pestisida
Karbamat sama dengan gejala keracunan golongan Organofospat. Gejala
keracunan golongan Organofospat antara lain, timbul gerakan otot-otot tertentu,
penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak
keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat,
mencret, sesak napas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan. Gejala
keracunan Karbamat sama dengan yang ditimbulkan oleh pestisida Organofospat,
38
hanya saja berlangsung lebih singkat karena golongan ini cepat terurai dalam
tubuh.
Secara umum gejala keracunan akibat menggunakan pestisida dapat
dipedomanani dari cara mengatasi keracunan pestisida, yaitu menghentikan
kegiatan menggunakan pestisida apabila tubuh terasa kurang enak misalnya
pusing, mual, kulit panas dan gatal serta mata berkunang-kunang. Beberapa saat
kemudian bisa terjadi tubuh terasa lemas sukar tidur, gangguan perut, keringat
tidak wajar dan gugup (Wudianto, 2011).
Keracunan khronik merupakan penderita terkena racun dalam waktu jangka
panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat
selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita terkena racun. Dari
banyak percobaan yang dilakukan pada binatang percobaan di laboratorium ada
beberapa bentuk akibat keracunan khronik karena terkena insektisida yaitu dapat
bersifat karsinogenik (pembentukan jaringan kanker), mutagenik (kerusakan
genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenik (kelahiran anak cacat dari
ibu yang keracunan). Meskipun kasus - kasus tersebut belum pernah dibuktikan
secara langsung pada manusia tetapi bukti-bukti dari hewan uji semakin
menambah kekhawatiran masyarakat bahwa pengaruh insektisida tersebut dapat
juga terjadi pada manusia. Data tentang semakin banyaknya penderita kanker di
pedasaan dan perkotaan semakin menambah kecurigaan masyarakat terhadap
bahan pencemar lingkungan termasuk pestisida (Untung, 2001).
39
2.6.2.6.2.6.2.6. Peraturan-PeraturanPeraturan-PeraturanPeraturan-PeraturanPeraturan-Peraturan YangYangYangYang BerkaitanBerkaitanBerkaitanBerkaitan DenganDenganDenganDengan PestisidaPestisidaPestisidaPestisida
1. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/
MENKES/PER/III/1992, tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan
Pestisida.
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 07/Permentan/SR.140/2007
Tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Perstisida.
4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 02 Tahun 2010
Tentang Penggunaan Sistem Elektronik Regrestrasi Bahan Berbahaya dan
Beracun Dalam Kerangka Indonesia National Single Window di
Kementerian Lingkungan Hidup.
5. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 763 Tahun 1998 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Tentang Pestisida.
6. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 42/Permenta/SR.140/5/2007 tentang
Pengawasan Pestisida.
7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 81/Kpts/SR.140/2/2007 tentang
Perubahan Nama Formulasi, Nama Bahan Aktif, Dosis Aplikasi dan Jenis
Pestisida.
8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 276/Kpts/OT.160/4/2008 tentang
Komisi Pestisida.
40
top related