22. provinsi kalimantan barat - ujp.ucoz.com · makanan khas daerah : kue limpin, mesbah ubi...
Post on 01-May-2019
294 Views
Preview:
TRANSCRIPT
666 Kepariwisataan Kalimantan Barat
PETA PROVINSI KALIMANTAN BARAT
667 Kepariwisataan Kalimantan Barat
A. UMUM
1. Dasar Hukum
Provinsi Kalimantan Barat berdiri dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956,
tertanggal 7 Desember 1956.
2. Lambang Provinsi
Bentuk keseluruhan dari Lambang Daerah ialah bersudut lima, yang
berarti Pancasila, dimaksudkan Kalimantan Barat adalah sebagian
dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan
Pancasila. Warna yang dipakai pada Lambang Daerah adalah enam,
yaitu hijau muda, jihau tua, putih, kuning emas, merah dan hitam.
Warna dasar adalah hijau muda, menunjukkan kesuburan Daerah
Tingkat I Kalimantan Barat. Warna perisai, mandau dan keris adalah
putih, dimaksudkan bahwa pusaka-pusaka itu suci murni.
Perisai, mandau dan keris adalah menggambarkan pusaka dan kebudayaan putra-putra
daerah Kalimantan Barat. Padi dan kapas melambangkan cukup pangan dan sandang.
Garis putih yang melintang di tengah-tengah melukiskan garis Khatulistiwa.
Kapas yang berjumlah 17, nyala api yang berjumlah 8 dan padi yang berjumlah 45
melambangkan Kalimantan Barat sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak ketinggalan ikut
mempertahankannya.
Padi dan kapas diikat dengan pita yang bersudut empat, yang berarti Catur Karsa, yakni
kesungguhan, kejujuran, kegotong royongan dan kekeluargaan. Dengan Catur Karsa ini
dimaksudkan terlaksananya kesejahteraan yang merata.
Tulisan Akcaya berarti tak kunjung binasa atau dengan keuletan pantang menyerah.
Tulisan Akcaya ini di atas dasar putih dalam tiga lipatan, yang berarti tiga Kerangka
Revolusi Nasional Indonesia, yakni membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menuju masyarakat adil dan makmur
materiil dan spirituil dan mempererat hubungan dengan semua bangsa dan negara di
seluruh dunia. (sumber : http://www.kalbar.us/showthread.php?294-ARTI-amp-
MAKNA-LAMBANG-KALIMANTAN-BARAT&p=491).
3. Pemerintahan
Secara administratif, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) terdiri dari 12 Pemerintaha
Kabupaten dan 2 pemerintahan kota.
Berikut ini adalah Pemerintahan Tingkat II di Provinsi Kalbar :
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Bengkayang Bengkayang
2 Kabupaten Kapuas Hulu Putussibau
3 Kabupaten Kayong Utara Sukadana
4 Kabupaten Ketapang Ketapang
5 Kabupaten Kubu Raya Sungai Raya
22 PROVINSI KALIMANTAN BARAT
668 Kepariwisataan Kalimantan Barat
6 Kabupaten Landak Ngabang
7 Kabupaten Melawi Nanga Pinoh
8 Kabupaten Pontianak Mempawah
9 Kabupaten Sambas Sambas
10 Kabupaten Sanggau Sanggau
11 Kabupaten Sekadau Sekadau
12 Kabupaten Sintang Sintang
13 Kota Pontianak -
14 Kota Singkawang -
4. Letak Geografis dan Batas Wilayah
Secara geografis, provinsi Kalimantan Barat tertetak diantara 2o6’ Lintang Utara – 3o5’
Lintang selatan dan 108o – 114o Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut :
Utara : Sarawak, Malaysia Timur
Selatan : Laut Jawa
Barat : Laut Natuna, Selat Karimata dan Samudra Pasifik
Timur : Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Tengah
5. Komposisi Penganut Agama
Islam = 65,8%
Kristen = 16,2%
Hindu = 17,7%
Budha = 0,21%
6. Bahasa dan Suku Bangsa
Bahasa = dayak , melayu
Suku bangsa = suku Melayu, suku Dayak, suku Bukupai, suku bugis
7. Budaya :
a. Lagu Daerah : Cik cik Periuk
b. Tarian Tradisional : Tari Zapin, Tari Tandak Sambas, Tari Monong
c. Senjata Tradisional : Keris, Mandau, sumpit, tombak
d. Rumah Tradisional : Rumah Panjang atau Rumah Bentang
e. Alat Musik tradisional : Gerdek, Sampek, Kaldei, Tuma (gendang)
f. Makanan khas daerah : Kue Limpin, Mesbah Ubi Singkong
8. Bandara dan Pelabuhan Laut
Bandara = Supadio
Pelabuhan laut = pelabuhan Pontianak
9. Industri dan Pertambangan
Karet, minyak kelapa sawit, rotan, industri konstruksi, bauksit dan intan.
669 Kepariwisataan Kalimantan Barat
B. OBYEK WISATA
1. Obyek Wisata Alam
a. Danau Sebedang
Danau Sebedang merupakan salah satu
obyek wisata alam andalan Kabupaten
Sambas dan Provinsi Kalimantan Barat.
Kawasan yang menjadi pintu gerbang
masuk ke Kabupaten Sambas ini ramai
dikunjungi para wisatawan pada hari
Minggu dan hari-hari libur lainnya.
Sebagian pengunjung yang datang
tidak hanya berniat menikmati
kepermaian alamnya, tetapi ada juga
yang menyalurkan hobi
memancingnya, karena danau ini
merupakan rumah bagi banyak ikan.
Konon, danau yang menjadi sumber air bersih bagi penduduk beberapa kecamatan
di Sambas dan juga menyimpan berbagai kekayaan ekosistem ini, dahulunya
merupakan salah satu tempat istirahat favorit bagi para sultan Sambas beserta
keluarga mereka.
Luas danaunya yang mencapai sekitar satu kilometer persegi, dikelilingi oleh
perbukitan yang memiliki ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut (dpl),
dan pemandangan alamnya yang rancak dengan latar hutan tropis yang hijau dan
lebat, menjadikan kawasan ini tepat sekali dipilih sebagai salah satu tujuan rekreasi
yang menyenangkan bersama keluarga atau kolega.
Pengunjung dapat menikmati keindahan panorama alamnya dengan cara berjalan
kaki mengelilingi danau, atau sambil minum-minum di kantin-kantin yang
menghadap ke danau. Selain itu, keelokkan danau ini juga dapat dicerap pengunjung
dengan bersantai di shelter-shelter yang tersedia, atau sambil duduk lesehan di atas
tikar yang disewakan. Bila bosan, pengunjung dapat mengelilingi danau dengan
menyewa perahu.
Pada sore hari, eksotisme kawasan Danau Sebedang kian tampak dan kian terasa.
Bagi pengunjung yang mendatangi danau pada malam hari tidak perlu khawatir akan
kesepian. Karena semakin malam, semakin banyak pengunjung yang datang. Dan,
suasananya bertambah semarak dan hidup dengan iringan suara musik keras yang
berasal dari kafe-kafe di kawasan tersebut.
Danau Sebedang terletak di Desa Sebedang, Kecamatan Sambas, Kabupaten
Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
670 Kepariwisataan Kalimantan Barat
b. Taman Wisata Alam Bukit Kelam
Oleh masyarakat sekitar,
keberadaan Bukit Kelam
dikaitkan dengan legenda
Bujang Beji dan Tumenggung
Marubai. Bujang Beji dan
Tumenggung Marubai
merupakan kepala kelompok
para penangkap ikan di
Negeri Sintang (ibu kota
Kabupaten Sintang sekarang).
Bujang Beji beserta
kelompoknya menguasai
Sungai Kapuas, sedangkan Tumenggung Marubai beserta kelompoknya menguasai
Sungai Melawi.
Karena perbedaan hasil tangkapan ikan, muncul niat jahat Bujang Beji untuk
menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar. Lalu, ia pergi ke Kapuas Hulu
untuk mengangkat batu besar yang terdapat di puncak Bukit Nanga Silat dan
membawanya ke Sungai Melawi. Namun, di persimpangan Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi, dewi-dewi dari khayangan menertawakannya beramai-ramai.
Tatkala mendongakkan kepala mencari asal suara, tanpa disadarinya, ia menginjak
duri beracun. Seketika itu juga, batu yang dipikulnya terlepas dan kemudian
terbenam di suatu tempat bernama Jetak.
Menurut legendanya, batu besar yang terbenam di Jetak itu kemudian tumbuh
perlahan-lahan menjadi sebuah bukit. Dewasa ini, bukit tersebut dikenal dengan
Bukit Kelam, sebuah obyek wisata unik dan eksotik yang sangat dikagumi oleh
wisatawan domestik dan mancanegara. Dinamakan Bukit Kelam karena batu-batu
yang terdapat di bukit tersebut berwarna hitam.
Melihat keunikan, keeksotisan, dan kekayaan hayati kawasan seluas 520 hektar lebih
tersebut, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor 594/Kpts-II/92 pada tanggal 6 Juni 1992, menetapkannya sebagai
Taman Wisata Alam Bukit Kelam.
Panorama alamnya yang rancak dan
alami, serta udaranya yang sejuk dan
segar, menjadikan kawasaan ini tepat
sekali dipilih sebagai tujuan rekreasi
alam. Pengunjung dapat mencerap
keindahan panoramanya sambil
berjalan-jalan di kawasan tersebut,
atau sambil duduk santai di shelter-
shelter.
Di kawasan ini, terdapat berbagai flora
langka, seperti meranti (shorea sp),
bangeris (koompassia sp), tengkawang (dipterocarpus sp), kebas-kebas
(podocarpusceae), anggrek (archidaceae), dan kantong semar raksasa.
671 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Berbagai fauna langkanya, seperti beruang madu (heralctus mayalanus), trenggiling
(manis javanica), kelelawar (hiropteraphilie), dan alap-alap (acciptiter badios),
menambah daya tarik kawasan ini.
Bagi yang ingin ke puncak bukitnya, dapat melewati sebuah tangga batu yang
memiliki ketinggian sekitar 90 meter yang terletak di sebelah barat Bukit Kelam. Bagi
yang bernyali besar dan menyukai tantangan ekstrem, dapat mencapai puncaknya
dengan melewati tebing batu yang terjal.
Di puncak bukitnya, terdapat gua-gua alam yang eksotik dan bernuansa magis yang
di dalamnya banyak terdapat burung walet. Dan, dari atas puncaknya, terlihat hutan
tropis yang lebat dan hijau di sekitarnya, Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang
mengapit Kota Sintang, keindahan Kota Sintang dari kejauhan, dan areal persawahan
yang menghampar luas di bawahnya. Bila musim hujan tiba, dari tempat ini juga
terlihat air terjun yang memesona.
Ketinggian kawasan ini berkisar
antara 50-900 meter di atas
permukaan laut (dpl) dengan
kemiringan antara 15°-40°,
sehingga tepat sekali dijadikan
tempat untuk melakukan olahraga
terbang layang dan panjat tebing.
Bagi penyuka olahraga lintas alam,
di kawasan ini terdapat jalan
setapak yang berliku-liku sampai ke
dalam hutan dengan medan yang
cukup berat. Pengunjung yang ingin
berenang dan bermain tenis, di kawasan ini juga tersedia kolam renang dan
lapangan tenis yang dapat digunakan saban waktu. Bagi pengunjung yang ingin
menikmati kawasan ini pada malam hari, juga disediakan camping ground yang luas
dan aman.
Selain itu, di sini pengunjung juga dapat melihat Rumah Panjang (rumah tradisional
suku Dayak) Ensaid Pendek dan Ensaid Panjang yang memiliki arsitektur khas.
Di kawasan ini setiap tahunnya diadakan Gebyar Wisata Bukit Kelam yang
menampilkan berbagai atraksi seni dan budaya dari masyarakat setempat, pameran
wisata, fashion, permainan rakyat, dan lain sebagainya.
Taman Wisata Alam Bukit Kelam terletak di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten
Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
c. Pantai Pasir Panjang
Kota Singkawang dikenal sebagai Kota Amoy dan China Town-nya Indonesia, karena
mayoritas penduduknya (sekitar 70%) merupakan etnis Tionghoa. Mengunjungi kota
yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia ini, tentu belum
lengkap bila belum mengunjungi Pantai Pasir Panjang.
672 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Pantai yang menjadi ikon pariwisata Kota Singkawang dan salah satu objek wisata
andalan Provinsi Kalimantan Barat
ini telah dikembangkan menjadi
sebuah paket wisata terpadu
bernama Taman Pasir Panjang
Indah (TPPI).
Dinamakan dengan Pantai Pasir
Panjang karena pantainya
membentang panjang
melengkungi laut lepas.
Dari bibir pantai, pengunjung dapat menikmati panorama laut biru berlatar kaki
langit yang juga biru. Samar-samar di kejauhan membias hijau Pulau Lemukutan,
Pulau Kabung, dan Pulau Randayan yang dipagari perairan Laut Natuna. Hamparan
pasir pantainya yang luas dan bersih menjadikan kawasan ini nyaman digunakan
untuk berjemur atau melakukan aktivitas olahraga, seperti voli pantai dan sepakbola
pantai.
Air lautnya yang jernih dan bersih sangat mendukung aktivitas pengunjung yang
ingin berenang atau menyelam. Selain itu, ombaknya relatif besar dan menjadi
rumah bagi banyak ikan, sehingga tepat sekali digunakan sebagai arena berselancar
dan area memancing.
Suasana kawasan ini kian eksklusif menjelang detik-detik terbenamnya matahari
(sunset) di balik pulau-pulau yang terdapat di sekitar kawasan pantai ini. Pengunjung
dapat menikmatinya dari pinggir pantai atau dari pondok-pondok wisata yang
banyak terdapat di kawasan tersebut.
Bila bosan di pantai, pengunjung dapat melihat-lihat kehidupan masyarakat
kampung nelayan yang tidak terlalu jauh dari lokasi pantai, atau bersantai di shelter-
shelter yang terdapat di Semenanjung Cinta.
Pantai Pasir Panjang terletak di Kecamatan Tujuh Belas, Kota Singkawang, Provinsi
Kalimantan Barat, Indonesia.
d. Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya
Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
Raya merupakan kawasan
konservasi yang terletak di
jantung Pulau Kalimantan.
Kawasan ini memiliki peranan
penting dalam fungsi hidrologis
yaitu sebagai catchment area
(daerah resapan air) bagi daerah
aliran Sungai Melawi di
Kalimantan Barat dan daerah
aliran Sungai Katingan di
Kalimantan Tengah. Kawasan
hutan Bukit Baka-Bukit Raya didominasi oleh berbagai jenis ekosistem hutan hujan
tropis khas pegunungan.
673 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Bukit Baka-Bukit Raya merupakan gabungan Cagar Alam Bukit Baka di Kalimantan
Barat dan Cagar Alam Bukit Raya di Kalimantan Tengah. Telah terjadi enam kali
perluasan area hingga akhirnya kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional.
Pertama, tahun 1978, kawasan Bukit Raya ditetapkan sebagai cagar alam dengan
luas 50.000 hektar. Kedua, tahun 1979, cagar alam diperluas menjadi 110.000
hektar. Ketiga, tahun 1981, kawasan Bukit Baka ditetapkan sebagai kawasan cagar
alam dengan luas 100.000 hektar. Keempat, tahun 1982, luas cagar alam Bukit Baka
bertambah menjadi 116.063 hektar. Kelima, tahun 1987, mengalami pengurangan
luas cagar alam menjadi 70.500 hektar. Keenam, tahun 1992, Cagar Alam Bukit Baka
dan Cagar Alam Bukit Raya disatukan dan statusnya diubah menjadi taman nasional
dengan nama Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: 281/Kpts-II/1992, tanggal 26 Februari 1992, dengan luas
wilayah 181.090 hektar.
Keistimewaan kawasan wisata Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya terletak pada
kekayaan flora dan faunanya. Secara umum, wilayah taman nasional ini didominasi
oleh vegetasi tingkat pohon yang penyebarannya bervariasi, dari kaki hingga ke
puncak bukit. Vegetasi pada dataran rendah (kaki bukit) hingga ketinggian 400 m
menunjukkan kekhasan hutan hujan dataran rendah yang menjadi rumah bagi
sekitar 30 % spesies dipterocarpaceae.
Disebabkan oleh adanya perubahan ketinggian tempat, maka tipe vegetasi dominan
kemudian berubah secara bertahap, sehingga di wilayah ini ditemui tipe-tipe
vegetasi hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan pegunungan, vegetasi
sungai, dan vegetasi lumut (di puncak-puncak bukit).
Keistimewaan kawasan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya yang lainnya adalah
terdapat beraneka ragam jenis satwa di dalamnya, di antaranya berbagai jenis
burung seperti Burung Ruai (argusianus argus) dan 3 jenis Burung Enggang, salah
satunya adalah burung Enggang Gading (rhinoplax vigil). Jenis-jenis satwa lainnya
yang dapat dijumpai di kawasan ini adalah mamalia, seperti landak (hystrix
branchyura), lutung merah (presbytis rubicunda), dan beruk (macaca nemestrina).
Kekayaan fauna Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya juga bisa dilihat dari hewan
reptil yang hidup di kawasan ini, seperti ular (lamaria schlegeli), kadal
(spenomorphus), kura-kura darat (famili testudinidae), katak daun, katak batu, dan
kodok. Selain itu, di kawasan ini juga hidup jenis-jenis ikan yang termasuk dalam
kategori langka yang mungkin tidak akan dapat dijumpai di kawasan lain, seperti
ikan seluang (osteochilus spilurus), baung (mystus micracanthus), dan adung
(hampala macrolepidota).
Kawasan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya terletak di Kabupaten Sintang,
Propinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan
Tengah, Indonesia.
674 Kepariwisataan Kalimantan Barat
e. Taman Wisata Alam Baning
Berwisata ke Taman Wisata
Alam Baning terbilang istimewa
karena merupakan satu-satunya
hutan tropis alami di Indonesia
yang berada di tengah-tengah
kota. Kawasan ini ditumbuhi
oleh beribu-ribu pohon besar
dan kaya dengan aneka flora dan
fauna langkanya. Sehingga,
selain sebagai tempat wisata
yang menarik, kawasan ini juga
dapat dijadikan tempat penelitian tentang kekayaan hayati bagi ilmuan, mahasiswa,
pelajar, dan bahkan masyarakat umum.
Mengingat posisi kawasan tersebut yang strategis dan potensi alamnya yang begitu
melimpah, pemerintah daerah setempat berupaya melindungi dan melestarikannya.
Pertama kali, kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Lindung Baning
berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Sintang Nomor 07/A-II/1975 pada
tanggal 1 Juni 1975 dengan luas areal sekitar 315 hektar. Pemerintah Kabupaten
Sintang merealisasikan keputusan tersebut, salah satu caranya dengan menutup
Jalan Baning dan Jalan Kelam 2 yang terdapat di kawasan wisata ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 129/Kpts-II/90 pada tanggal 24 Maret
1990, menaikkan status kawasan tersebut menjadi Hutan Wisata Alam Baning.
Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Republik Indonesia Nomor 405/Kpts-II/99 pada tanggal 14 Juni 1999, kawasan
tersebut ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Baning dengan luas areal sekitar
213 hektar.
f. Taman Nasional Danau Sentarum
Bagi Anda yang menyukai berbagai
destinasi wisata dalam satu tempat,
Taman Nasional Danau Sentarum
(TNDS) di Kabupaten Kapuas Hulu,
Provinsi Kalimantan Barat, perlu
dimasukkan dalam agenda rekreasi
Anda. Sebab, di TNDS yang terletak
di kabupaten paling timur Provinsi
Kalimantan Barat ini terdapat
berbagai obyek wisata yang unik,
menarik, dan menantang, seperti
wisata hutan, wisata pendidikan,
wisata danau, wisata desa, wisata
budaya, dan lain sebagainya.
Bila dirunut ke belakang, kawasan yang berada di sekitar Danau Sentarum ini
memiliki sejarah yang panjang sebelum akhirnya ditetapkan pemerintah pusat
sebagai taman nasional seperti saat ini. Pada awalnya, obyek wisata andalan
Kabupaten Kapuas Hulu ini merupakan kawasan Suaka Alam Danau Sentarum
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan Republik Indonesia Nomor
675 Kepariwisataan Kalimantan Barat
2240/DJ/I/1981 pada tanggal 15 Juni 1981 dengan luas area sekitar 80.000 hektar.
Pada tahun 1982, berdasarkan Surat Keputusan Nomor 757/Kpts/Um/10/1982,
kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum
yang pengelolaannya berada di bawah pengawasan Kantor Sub Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Barat di Kota Pontianak.
Pada tahun 1991, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 1991, Indonesia meratifikasi Konvensi Ramsar (The Convention on
Wetlands of International Importance), yaitu konvensi internasional tentang
konservasi dan pemanfaatan lahan basah yang ditetapkan di Ramsar Iran pada
tanggal 2 Februari 1971. Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, pada tahun
1994 pemerintah pusat menetapkan kawasan Danau Sentarum sebagai situs Ramsar
di Indonesia. Keputusan ini diambil, mengingat kawasan tersebut merupakan salah
satu wakil daerah hamparan banjir (lebak lebung, floodflain), menurut sejumlah
ilmuan, termasuk yang terluas dan terpelihara dengan baik di kawasan Asia
Tenggara.
Melihat potensinya yang begitu melimpah dan posisinya yang sangat penting, tidak
hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia, pada tanggal 4 Februari 1999 kawasan
tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional Danau Sentarum berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor
34/Kpts/II/1999 dengan luas area sekitar 132.000 hektar.
Untuk menjaga kelestariannya, kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan
konservasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 144
Tahun 2003. Sedangkan untuk memudahkan pengawasan dan koordinasi, pada
tanggal 1 Februari 2007 dibentuk Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional Danau
Sentarum melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 yang
berkantor di Kabupaten Sintang.
g. Sungai Kapuas
Sungai Kapuas membentang dari
Provinsi Kalimantan Barat Hingga
Kalimantan Selatan. Panjangnya
mencapai 1.143 km dan merupakan
sungai terpanjang di Indonesia. Di
antara kebudayaan-kebudayaan
yang ada di sepanjang Sungai
Kapuas, aliran sungai ini melewati
Kota Pontianak. Meskipun
sepenggal namun aliran Sungai
Kapuas adalah urat nadi dari Kota
Pontianak. Sungai Kapuas Pontianak adalah pusat jalur perdagangan dan
transportasi. Sehari-harinya berbagai jenis moda transportasi air tumpah ruah di
sungai ini. Kapal motor, perahu-perahu tradisional serta kapal-kapal pengangkut
hasil bumi hilir mudik menghiasi sungai. Bagi siapa pun yang pertama kali
berkunjung ke Sungai Kapuas Pontianak, pemandangan hilir mudik kapal-kapal
tersebut pasti akan membuat decak kagum bahwa ternyata kapal-kapal tersebut
mengapung di atas sebuah sungai.
Panjang Sungai ini memang mencolok mata, begitu pun lebarnya. Tercatat rata-rata
lebar Sungai Kapuas Pontianak adalah 400-700 meter. Jika dibandingkan dengan
676 Kepariwisataan Kalimantan Barat
jalan di darat, di belahan bumi mana pun tidak ada jalan raya selebar itu. Secara
keseluruhan aliran Sungai Kapuas yang dapat dilayari oleh kapal besar seukuran
ferry adalah sepanjang 800 km atau hingga ke Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat. Jarak tersebut hampir sama dengan jarak antara Kota Surabaya-Jakarta.
Sungai Kapuas Pontianak dengan percabangan dua anak sungainya yakni Sungai
Kapuas Kecil dan Sungai Landak, membelah Kota Pontianak menjadi 3 bagian. Yakni
Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara. Ada dua
jembatan yang membentang di atas Sungai Kapuas Pontianak dan anak sungainya.
Yang pertama adalah Jembatan Kapuas sepanjang 410 meter dibangun tahun 1983,
menghubungkan Pontianak Selatan dengan Timur. Sedangkan Jembatan Landak
sepanjang 319 meter menghubungkan Pontianak Timur dengan Utara. Selain
pembagian di atas, ada juga pembagian yang lazim dipakai oleh warga. Yang
pertama adalah kawasan kota, kawasan yang terdiri dari perkebunan dan sedikit
kota serta, yang terakhir adalah kawasan kota lama. Dengan pembagian ini bisa
ditunjukkan kilas sejarah dan perkembangan warga di sekitar sungai.
Di kawasan kota, wisatawan dapat melihat hiruk pikuk aktivitas kota versi warga
Pontianak. Di wilayah ini juga terdapat bangunan-bangunan baru yang dibangun
dengan lebih mempertimbangkan aspek fungsionalnya dibanding keaslian
arsitekstur asli Pontianak. Namun sayang, pemanfaatan Sungai Kapuas Pontianak di
kawasan ini memudar seiring makin berkembangnya kawasan kontinental. Di
kawasan kedua, sisa dari kehidupan Kota Pontianak masih terlihat, namun kawasan
ini didominasi oleh perkebunan terutama kelapa sawit. Di sinilah banyak dijumpai
kapal-kapal pengangkut hasil perkebunan serta hasil bumi lain seperti kayu, batu
bara dan pasir. Sedangkan, kawasan kota lama merupakan propotipe masyarakat
tradisonal Sungai Kapuas. Warga di kawasan ini, sebagian besar masih
mengandalkan kehidupan ekonominya dengan mencari ikan di sepanjang Sungai
Kapuas. Cara dan perlengkapan yang digunakan juga masih tradisonal. Di atas
perahu kayu, warga pencari ikan ini bisa mengunduh sekitar 300 jenis ikan yang
memang mendiami Sungai Kapuas. Salah satu ikan yang menjadi primadona adalah
ikan patin.
Sebagaimana kebudayaan lain di
sepanjang Sungai Kapuas, sungai
ini juga berperan dalam sejarah
berdirinya Kota Pontianak. Pada
tahun 1192 H 23 Oktober 1771
(14 Radjab 1185 H), pendiri Kota
Pontianak yakni Syarif
Abdurrahman Alkadrie pertama
kali mendirikan balai dan rumah
di persimpangan tiga antara
Sungai Kapuas, Sungai Kapuas
Kecil dan Sungai Landak. Balai
dan rumah inilah yang menjadi cikal bakal Kasultanan Pontianak. Menurut cerita,
pendirian balai dan rumah Syarif Abdurrahman ini dimulai tatkala dia diganggu oleh
sejenis hantu kuntilanak. Untuk mengusir gangguan hantu tersebut Syarif
Abdurrahman pergi menyusuri Sungai Kapuas Pontianak dan akhirnya melepaskan
tembakan meriam. Lokasi dimana peluru meriam jatuh itulah wilayah kesultanannya
didirikan. Peluru meriam itu meluncur melewati simpang tiga Sungai Kapuas, Sungai
Kapuas Kecil dan Sungai Landak kemudian jatuh di daerah yang kini lebih dikenal
677 Kepariwisataan Kalimantan Barat
dengan Beting Kampung Dalam Bugis Pontianak Timur atau Kota Pontianak. Jejak
rekam sejarah seperti itulah yang menjadikan Sungai Kapuas tersimbolisasi dalam
lambang Kota Pontianak
h. Taman Nasional Gunung Palung
Taman Nasional Gunung Palung merupakan taman nasional yang terletak di
Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kawasan ini
dikukuhkan sebagai kawasan taman nasional pada 24 Maret 1990 melalui SK
Menteri Kehutanan No. 448/Kpts-II/1990. Luas wilayah kawasan ini adalah 90.000
ha.
Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan terdiri dari berbagai
jenis ekosistem. Hutan di kawasan taman nasional ini terdiri dari hutan rawa, rawa
gambut, hutan rawa air tawar, hutan mapah tropika, hutan mangrove, dan hutan
pegunungan.
Beberapa jenis tanaman yang ada di Taman Nasional Gunung Palung ini adalah
jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonistylus bancamus), damar (Agathis
berneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin
(Eusideroxylon zwageri), tanaman bakau (Rhizopora spp.), kendeka (Bruguiera spp.),
dan berbagai tanaman obat.
Selain itu, kawasan ini menjadi
habitat beberapa golongan
primata, misalnya orang utan
(Pongo pigmaeus), bekantan
(Nasalis larvatus), beruk (Macaca
nemestrina nemestrina), owa
(Hylobathes agilis), dan kelasi
(Hylobathes frontata). Ada pula
berbagai jenis hewan lain,
misalnya beruang madu
(Helarctos malayanus
euryspilus), klampiau (Hylobates muelleri), kukang ((Nyticebus coucang borneanus),
kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), kancil (Tragulus napu borneanus), bajing
tanah bergaris empat (Lariscus hosei), ayam hutan (Gallus gallus), rangkong badak
(Buceros rhinoceros borneoensis), enggang gading (Rhinoplax vigil), kura-kura
gading (Orlitia Borneensis), penyu tempayan (Caretta caretta), buaya siam
(Crocodylus siamensis), tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis), dan sekitar 200 jenis
burung.
Taman Nasional Gunung Palung
juga telah menjadi salah satu
kawasan konservasi orang utan di
Indonesia. Taman nasional ini
menjadi habitat bagi 10 persen
dari populasi orang utan yang
hidup di dunia (Berkmoes et.al,
2010). Orang utan yang hidup di
kawasan ini adalah orangutan
jenis Pongo pygmaues wumbii.
678 Kepariwisataan Kalimantan Barat
i. Pulau Sawi
Pulau Sawi kaya akan biota laut dan
pemandangan alam yang indah. Sejak
tahun 2009, Pembab Ketapang mulai
membenahi obyek wisata ini dan
menjadikannya sebagai obyek wisata
andalan di Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat.
Kabupaten Ketapang memiliki gugusan
pulau-pulau kecil. Terdapat 34 pulau
yang termasuk ke dalam wilayah
kabupaten ini. Pemkab Ketapang
menyebutkan bahwa pulau-pulau itu antara lain terdiri dari Pulau Bawal (pulau ini
luasnya kurang dari 7500 ha) dan Pulau Gelam, Pulau Cempedak, dan Pulau Sawi
(masing-masing mempunyai luas kurang dari 500 ha). Daratan di pulau-pulau ini
relatif berketinggian rendah, antara 0,5 hingga 30 m dpl. Otomatis pulau-pulau
tersebut memiliki pantai yang landai.
Pulau-pulau kecil ini memiliki potensi
pariwisata yang besar, dari
pemandangannya yang masih alami
hingga kekayaan sumber daya yang
dimilikinya, terutama sumber daya
laut. Salah satu pulau yang memiliki
potensi seperti itu adalah Pulau Sawi.
Pulau Sawi dihuni oleh sekitar 20 KK.
Masyarakat Pulau Sawi umumnya
bekerja sebagai nelayan dan buruh
nelayan. Kadang-kadang mereka
mencari mutiara ketika musim melaut belum tiba.
2. Wisata Sejarah
a. Istana Kadriah Kesultanan Pontianak
Istana Kadriah merupakan cikal-bakal
lahirnya Kota Pontianak. Keberadaan
Istana Kadriah tidak lepas dari sosok
Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri
(1738-1808 M), yang di masa
mudanya telah mengunjungi berbagai
daerah di Nusantara dan melakukan
kontak dagang dengan saudagar dari
berbagai negara.
Ketika ayahnya Habib Husein Alkadri,
yang pernah menjadi hakim agama Kerajaan Matan dan ulama terkemuka Kerajaan
Mempawah, wafat pada tahun 1770 M, Syarif Abdurrahman bersama keluarganya
memutuskan mencari daerah pemukiman baru. Batu Layang merupakan salah satu
daerah yang mereka singgahi. Di sini, rombongan tersebut bertemu dengan para
679 Kepariwisataan Kalimantan Barat
perompak, dan berhasil mengalahkan mereka. Kemudian, rombongan Syarif
Abdurrahman melanjutkan pelayaran mencari daerah yang lebih baik. Pada tanggal
23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H), mereka tiba di daerah dekat pertemuan tiga
sungai, yaitu Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas. Kemudian,
mereka memutuskan untuk menetap di daerah tersebut.
Secara historis, Istana Kadriah mulai dibangun pada tahun 1771 M dan baru selesai
pada tahun 1778 M. Tak beberapa lama kemudian, Sayyid Syarif Abdurrahman
Alkadri pun dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Pontianak. Dalam
perkembanganya, istana ini terus mengalami proses renovasi dan rekonstruksi
hingga menjadi bentuknya seperti yang sekarang ini. Sultan Syarif Muhammad
Alkadri, sultan ke-6 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang merenovasi
Istana Kadriah secara besar-besaran.
Saat ini tampuk kepemimpinan Kesultanan Pontianak dipegang oleh Sultan Sayyid
Syarif Abubakar Alkadri, sultan ke-9, yang bergelar Pangeran Mas Perdana Agung.
Keanggunan istana seluas 60 x 25 meter yang terbuat dari kayu belian pilihan ini
sudah terlihat dari bagian depannya. Pengunjung akan terkesan dengan halamannya
yang luas dan bersih, serta rumputnya yang tertata rapi dan terawat dengan baik. Di
sisi kanan, tengah, dan kiri depan istana, pengunjung dapat melihat 13 meriam kuno
buatan Portugis dan Perancis.
Dari halaman depan, pengunjung juga dapat melihat anjungan, yaitu ruangan yang
menjorok ke depan yang dahulunya digunakan sultan sebagai tempat istirahat atau
menikmati keindahan panorama Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di sana, juga
terdapat sebuah genta yang dulunya berfungsi sebagai alat penanda marabahaya. Di
samping kanan anjungan, terdapat sebuah tangga yang menghubungkan teras istana
dengan anjungan.
Di atas pintu utama istana, terdapat hiasan mahkota serta tiga ornamen bulan dan
bintang sebagai tanda bahwa Kesultanan Pontianak merupakan Kesultanan Islam.
Balairungnya, atau sering juga disebut dengan balai pertemuan, didominasi oleh
warna kuning yang dalam tradisi Melayu melambangkan kewibawaan dan ketinggian
budi pekerti. Di ruang yang biasanya dijadikan tempat melakukan upacara
keagamaan dan menerima tamu ini, pengunjung dapat melihat foto-foto Sultan
Pontianak, lambang kesultanan, lampu hias, kipas angin, serta singgasana sultan
dan permaisuri.
Di sebelah kanan dan kiri ruang utama terdapat 6 kamar berukuran 4 x 3,5 meter
dimana salah satunya merupakan kamar tidur sultan. Sedangkan kamar-kamar
lainnya dahulunya dijadikan sebagai ruang makan dan kamar mandi.
Di belakang ruang istana terdapat sebuah ruangan yang cukup besar. Di ruangan ini
pengunjung dapat melihat benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti
senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca.
Kira-kira 200 meter di sebelah barat dari Istana Kadriah terdapat masjid kerajaan
yang bernama Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman. Masjid ini pertama kali dibangun
oleh Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, sultan pertama Kesultanan
Pontianak.
680 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Istana Kadriah terletak di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan
Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
b. Masjid Jami` Sultan Abdurrahman
Konon, sebelum Habib
Husein Alkadri bertolak dari
Hadramaut, Yaman Selatan,
menuju kawasan timur,
gurunya berwasiat supaya
mencari permukiman yang
berada di pinggir sungai
yang masih ditumbuhi
pepohonan hijau. Ketika
diangkat menjadi hakim
agama Kerajaan Matan dan
Kerajaan Mempawah, beliau
pun meminta kepada kedua
sultan dari kerajaan-kerajaan
tersebut untuk dibuatkan sebuah permukiman seperti yang diwasiatkan gurunya.
Pada tahun 1770 M, Habib Husein Alkadri wafat di Kerajaan Mempawah. Tiga bulan
kemudian, anak beliau yang bernama Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-
saudaranya, sepakat untuk meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mencari daerah
permukiman baru. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M (24 Rajab 1181 H), rombongan
Syarif Abdurrahman menemukan lokasi yang sesuai di delta Sungai Kapuas Kecil,
Sungai Landak, dan Sungai Kapuas. Setelah delapan hari bekerja menebas hutan,
rombongan ini lalu mendirikan tempat tinggal dan sebuah langgar.
Seiring dengan pesatnya perkembangan kawasan tersebut, lambat-laun langgar
sederhana itu pun kemudian berubah menjadi masjid. Sultan Syarif Usman (1819-
1855 M), sultan ke-3 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang pertama
kali meletakkan fondasi bangunan masjid sekitar tahun 1821 M/1237 H. Bukti bahwa
masjid tersebut dibangun oleh Sultan Syarif Usman dapat dilihat pada inskripsi huruf
Arab yang terdapat di atas mimbar masjid yang menerangkan bahwa Masjid Jami‘
Sultan Abdurrahman dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan
Muharam tahun 1237 Hijriah. Berbagai penyempurnaan bangunan masjid terus
dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya hingga menjadi bentuknya seperti yang
sekarang ini.
Untuk menghormati jasa Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri, pendiri Kota
Pontianak dan sultan pertama Kesultanan Pontianak, masjid yang berada di sebelah
barat Istana Kadriah itu pun diberi nama Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman.
Masjid yang memiliki panjang 33,27 meter dan lebar 27,74 meter ini merupakan
masjid tertua dan terbesar di Pontianak. Masjid yang undak (seperti tajug ala
arsitektur Jawa) paling atasnya mirip mahkota atau genta besar khas arsitektur
Eropa ini menjadi saksi sejarah perubahan demi perubahan yang terjadi di Kota
Pontianak dan sekitarnya.
Mayoritas konstruksi bangunan masjid terbuat dari kayu belian pilihan. Dominasi
kayu belian masih dapat dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, dan sebuah
bedug besar yang terdapat di serambi masjid. Enam tonggak utama (soko guru)
681 Kepariwisataan Kalimantan Barat
penyangga ruangan masjid yang berdiameter 60 sentimeter juga terbuat dari kayu
belian. Konon, tonggak-tonggak tersebut telah berusia lebih dari 170 tahun. Selain
enam tonggak utama, terdapat empat belas tiang pembantu yang berfungsi sebagai
penyangga ruangan masjid.
Pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada pintu dan jendela masjid yang cukup besar,
sedangkan pengaruh Timur Tengah terlihat pada mimbarnya yang berbentuk kubah.
Seperti bangunan rumah Melayu pada umumnya, masjid ini juga memiliki kolong di
bawah lantainya. Meski persis berada di atas air Sungai Kapuas, masjid ini tidak
pernah kebanjiran karena fondasi masjid berjarak sekitar satu setengah meter di
atas permukaan tanah.
Masjid Jami‘ Sultan Abdurrahman terletak di Kampung Beting, Kelurahan Dalam
Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat,
Indonesia. Masjid ini hanya berjarak sekitar 200 meter di sebelah barat Istana
Kadriah.
c. Istana Alwatzikhoebillah di Sambas
Sejarah Istana Alwatzikhoebillah
tidak terlepas dari sosok Sultan
Tengah, seorang pangeran dari
Kesultanan Brunei yang kemudian
diangkat menjadi sultan di
Kesultanan Serawak. Sejarah
berawal ketika Sultan Tengah
beserta rombongannya, setelah
melakukan kunjungan
persahabatan (muhibah) ke
Kesultanan Johor, Malaysia,
singgah di Kerajaan Matan,
Tanjungpura. Di Matan, beliau
disambut dengan hangat oleh raja Matan, Panembahan Giri Kusuma, yang di
kemudian hari masuk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1631-1668).
Sultan Tengah tertarik mendalami agama Islam pada Syekh Syamsuddin dari Mekah
yang menyebarkan Islam di Matan. Tak lama kemudian, Sultan Tengah menikah
dengan Ratu Surya Kusuma, adik Sultan Muhammad Syafiuddin.
Setelah beberapa lama tinggal di Matan, Sultan Tengah memboyong keluarganya ke
Kota Bangun, yang berdekatan dengan Kota Lama, ibu kota Kerajaan Sambas. Di
Kota Bangun ini, beliau melakukan dua hal penting yang kelak menjadi cikal-bakal
berdirinya Kesultanan Sambas dan Istana Alwatzikhoebillah, yaitu menyebarkan
agama Islam sampai ke Kota Lama dan menikahkan puteranya, Raden Sulaiman,
dengan Mas Ayu Bungsu, puteri Ratu Sepudak dari Kerajaan Sambas. Konon, pada
masa raja yang memiliki darah keturunan Majapaht inilah ibu kota Kerajaan Sambas
dipindahkan dari Paloh ke Kota Lama.
Terbukti, strategi yang dijalankan Sultan Tengah tersebut berhasil, yaitu beralihnya
Kerajaaan Sambas Hindu menjadi Kesultanan Islam dan diangkatnya Raden Sulaiman
menjadi pembantu sultan (wazir). Namun karena sebuah fitnah, akhirnya Raden
Sulaiman tersingkir dari Kota Lama dan kembali lagi ke Kota Bangun.
682 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Setelah berhasil membangun Kota Bangun, bahkan lebih maju dari Kota Lama,
keluarga Sultan Tengah yang dipimpin oleh Raden Sulaiman, memutuskan pindah ke
Lubuk Madung, yang merupakan pertemuan Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan
Sungai Teberau. Kemudian, di tempat itu didirikan Istana Alwatzikhoebillah dan di
istana tersebut Raden Sulaiman dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin.
Namun, Istana Alwatzikhoebillah yang terlihat sekarang ini, baru dibangun pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943),
sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu
dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden
itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sejak bulan Februari 2008, pemangku Istana Alwatzikhoebillah dipercayakan kepada
Pangeran Ratu M. Tarhan Winata Kesuma.
d. Tugu Katulistiwa
Kota Pontianak merupakan salah satu
daerah yang dilalui oleh garis imajiner
khatulistiwa. Untuk menandainya,
dibangunlah sebuah tugu yang diberi
nama Tugu Khatulistiwa (Equator
Monument).
Secara historis, pembangunan tugu
yang menjadi ikon Kota Pontianak ini
telah dimulai pada tahun 1928,
bersamaan dengan sebuah ekspedisi
internasional yang dipimpin oleh
seorang ahli geografi berkebangsaan
Belanda untuk menentukan garis
imajiner khatulistiwa. Saat itu, bangunannya masih sederhana, yakni berupa sebuah
tonggak yang diberi tanda panah penunjuk arah. Pada tahun 1938, arsitek Silaban
merenovasi tugu tersebut dan menambahkan sebuah lingkaran di atas tonggaknya.
Baru pada tahun 1990, dengan niat untuk melindungi tugunya yang asli, pemerintah
daerah setempat berinisiatif membangun sebuah kubah. Kemudian, di atas kubah
tersebut dibuat duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari ukuran tugu
yang aslinya.
Pada bulan Maret 2005, sebuah tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) mengkoreksi lokasi titik nol garis khatulistiwa yang sebenarnya. Setelah
melalui serangkaian pengkajian yang mendalam, tim dari BPPT menyimpulkan
bahwa posisi 0 derajat, 0 menit, dan 0 detiknya ternyata berada sekitar 117 meter
ke arah Sungai Kapuas dari lokasi tugu yang sekarang ini.
683 Kepariwisataan Kalimantan Barat
e. Istana Amantubillah
Istana Amantubillah adalah nama istana dari
Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak,
Provinsi Kalimantan Barat. Kata amantubillah
berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku
beriman kepada Allah”. Nama istana tersebut
mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat
Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada
Allah dan sekaligus melambangkan betapa
kuatnya ajaran agama Islam terpatri pada setiap diri orang Melayu.
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pascakedatangan rombongan Opu Daeng
Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah—
lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian
diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar
Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun
1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim
agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun
kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk
melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan
mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh
Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apa
hendak dikata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi
pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, sultan ke-9.
Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik
yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akkamuddin, sultan ke-11, naik
tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan
Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim,
sebagai sultan ke-13.
f. Istana Muliakarta
Istana Muliakarta merupakan Istana
Kesultanan Tanjungpura/Kesultanan
Matan, kesultanan tertua yang
terdapat di Provinsi Kalimantan Barat.
Dinamakan Istana Muliakarta karena
istana ini berada di dalam wilayah
administratif Desa Muliakarta. Selain
itu, istana ini juga dikenal dengan
nama Istana Panembahan Gusti
Muhammad Saunan, yang diambil dari
nama salah seorang sultannya yang
terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.
Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang
bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 Kesultanan Tanjungpura, yang
bertahta dari tahun 1845 sampai dengan tahun 1924. Namun, istana ini terus
mengalami renovasi dan rekonstruksi beberapa kali, sehingga menjadi seperti yang
684 Kepariwisataan Kalimantan Barat
terlihat sekarang ini. Panembahan Gusti Muhammad Saunan (1908-1944), sultan ke-
16, adalah sultan yang merombak istana tersebut secara besar-besaran.
Panembahan Saunan mengganti arsitektur Istana Muliakarta dengan gaya arsitektur
Eropa karena beliau pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di Negeri Kincir
Angin tersebut.
Keberadaan Istana Muliakarta tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang
Kesultanan Tanjungpura yang senantiasa berpindah-pindah dari satu daerah ke
daerah lainnya. Akibatnya, Istana Kesultanan Tanjungpura pun tersebar di berbagai
daerah di Kalimantan Barat. Selain di Muliakarta, istana kesultanan ini juga terdapat
di Sukadana, Tanjungpura, Matan, dan Indralaya. Namun, hanya sebagian kecil saja
dari istana-istana tersebut yang masih utuh dan dapat dilihat sampai hari ini.
g. Istana Al Mukarrammah Sintang
Konon, asal-usul Kerajaan Sintang bermula
dari kedatangan seorang tokoh penyebar
agama Hindu dari Semenanjung Malaka
(ada pula yang mengatakan berasal dari
Jawa) bernama Aji Melayu. Ia datang ke
daerah Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari
Kota Sintang) pada abad ke-4 dan
mendirikan perkampungan baru di tempat
itu. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu
dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa
Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat
disebut ‘Batu Kelebut Aji Melayu‘. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang
kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang
menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan oleh Demong Irawan, keturunan kesembilan
Aji Melayu, pada abad ke-13 (+ 1262 M). Demong Irawan mendirikan keraton di
daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas (yaitu di Kampung Kapuas Kiri
Hilir sekarang). Mulanya daerah ini diberi nama senetang, yaitu kerajaan yang diapit
oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan senetang kemudian berubah
menjadi sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang
memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah
kundur. Batu yang kini berada di halaman Istana Sintang ini oleh masyarakat
setempat dianggap keramat dan memiliki tuah.
Pada masa Kerajaan Sintang Hindu, Istana Sintang dibangun berdasarkan arsitektur
rumah panjang, rumah khas masyarakat Dayak. Namun, setelah Kerajaan Sintang
menganut agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri
Danu Perdana, dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al
Mukarrammah. Istana ini dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang
Belanda. Konstruksi bangunannya masih menggunakan struktur rangka kayu, tetapi
dengan pondasi tiang bersepatu beton. Atap istana yang terbuat dari sirap kayu
belian juga diperkuat dengan plafon dari semen asbes. Demikian pula dinding istana
dilapisi dengan semen setebal + 3 cm. Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang
masih terawat dengan baik.
Selain bangunan istana dan masjid, ciri khas kompleks istana Melayu adalah makam
atau tempat peristirahatan terakhir raja. Ada beberapa makam yang dianggap
685 Kepariwisataan Kalimantan Barat
penting dalam perjalanan sejarah Kerajaan Sintang, antara lain: Makam Aji Melayu
yang terdapat di Desa Tanjung Ria, Kecamaan Sepauk (sekitar 55 km dari Ibukota
Kabupaten Sintang); Makam Jubair Irawan I, raja pertama Kerajaan Sintang, yang
terletak di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang (sekitar 3 km dari Kota
Sintang); Makam Raja-raja Sintang di daerah Kampung Sei Durian, Kecamatan
Sintang; serta Makam Kerabat Istana yang terletak di belakang Istana Sintang.
h. Masjid Jamik Sultan Nata
Masjid Jamik Sultan Nata terletak di
kompleks Istana Al Mukarrammah Sintang,
tepatnya di Kampung Kapuas Kiri Hilir, Kota
Sintang. Pembangunan masjid ini tidak
terlepas dari penyebaran agama Islam yang
terjadi di Kota Sintang. Sejak masa
pemerintahan Pengeran Agung, agama Islam
telah dianut oleh raja dan kerabat Kerajaan
Sintang yang menggantikan agama
sebelumnya, agama Hindu. Sejak saat itu,
sistem pemerintahan kerajaan sintang lambat laun mengalami perubahan menjadi
kesultanan Islam.
Pada periode pemerintahan berikutnya, pada masa Pangeran Tunggal (anak
Pangeran Agung), kebutuhan akan masjid terasa makin mendesak. Hal ini tak lepas
dari meningkatnya jumlah penganut agama Islam di sekitar istana. Pangeran Tunggal
lalu mendirikan sebuah masjid sederhana dengan kapasitas sekitar 50 orang. Masjid
inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Masjid Jamik Sultan Nata Sintang.
Dari konstruksi awal masjid yang dibangun oleh Pangeran Tunggal, Sultan Nata
kemudian melakukan perbaikan dan perluasan masjid pada tahun 1672 M. Sultan
Nata adalah raja yang menggunakan gelar ‘sultan‘ untuk pertama kalinya dalam
sejarah Kerajaan Sintang—pada masa sebelumnya (masa Hindu), gelar raja masih
menggunakan sebutan Abang, Pangeran, atau Raden. Sesuai nama pendirinya, maka
masjid ini kemudian diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dengan nama
Masjid Jamik Sultan Nata Sintang pada tahun 1987
i. Keraton Ismahayana Landak
Keraton Ismahayana Landak
memiliki kronik sejarah yang relatif
panjang. Kisah itu berawal pada
tahun 1275 M di mana Raja
Kertanegara dari Kerajaan Singasari,
Jawa, mengirim para prajurit untuk
memperluas kekuasaannya hingga
ke kawasan Sumatra Tengah.
Muhibah ini dikenal dengan sebutan
Ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi
Pamalayu berlangsung hingga tahun
1292 M. Ketika para punggawa dan
prajurit ekspedisi ini harus kembali ke tanah Jawa lantaran Raja Kertanegara wafat,
Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, membelokkan
armada pasukannya menuju Nusa Tanjungpura, yang kini dikenal sebagai Borneo
atau Pulau Kalimantan.
686 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Di pulau yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia ini, rombongan tersebut
awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian menyusuri Sungai Tenganap, dan
akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang disebut juga Sepatah. Di tempat
inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama Sekilap
kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.
Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun
(1292—1472 M) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh
raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya
(Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang
Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau
menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari
perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama
Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putera mahkota.
Setelah raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putera
mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah
tahun 1472—1542).
Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area
hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Pada masa
inilah pengaruh Islam mulai masuk. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk Islam
dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar. Setelah Pangeran Ismahayana
wafat, ia digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran (Raden) Kusuma Agung Muda,
yang menjadi Sultan Landak ke IX. Pada masa pemerintahannya, pusat kekuasaan
dipindahkan dari daerah Mungguk Ayu menuju Bandong (sebagian menyebutnya
Bandung) pada tahun 1703, sebuah wilayah yang letaknya tidak jauh dari Mungguk
Ayu.
Kesultanan Landak di Bandong hanya bertahan hingga dua periode pemerintahan
(1703—1768). Tampuk kekuasaan hanya sempat dipegang oleh Raden Kusuma
Agung Muda (1703—1709) dan putranya, Raden Nata Tua Pangeran Sanca Nata
Kusuma Tua (1714—1764). Sepeninggalan Raden Nata Tua, jalannya pemerintahan
untuk sementara dikendalikan oleh wakil raja, yakni Raden Anom Jaya Kusuma
(1764—1768), sembari menunggu sang putera mahkota tumbuh dewasa.
Tatkala usia pemerintahan peralihan ini belum genap 4 tahun, ibu kota kesultanan
dipindahkan dari Bandong ke Kota Ngabang pada tahun 1768 oleh wakil raja
tersebut. Kesultanan Landak kemudian menetapkan Kota Ngabang sebagai ibu kota
yang baru pada tahun 1768. Peristiwa hijrah ke Ngabang ini sekaligus mentahbiskan
putera mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma, sebagai Sultan
Landak XII (1768—1798).
Lembaran baru Kesultanan Landak di Ngabang ternyata tidak membawa kemajuan
yang berarti hingga hampir dua abad lamanya. Terlebih pascakedatangan Belanda di
Borneo. Menyadari mandeknya perkembangan kesultanan selama itu disebabkan
oleh Belanda, Sultan Landak beserta rakyatnya kemudian melakukan
pemberontakan. Beberapa perlawanan ketika itu antara lain: pemberontakan Ratu
Adil (1831), pemberontakan Gusti Kandut (1890), dan pemberontakan Gusti
Abdurrani (1899). Memasuki masa kemerdekaan, posisi Kesultanan Landak tak
kunjung membaik lantaran kesultanan ini hanya dijadikan simbol budaya, sehingga
vakum dalam waktu yang lama.
687 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Setelah mengalami kevakuman tampuk kepemimpinan yang cukup lama, baru pada
tahun 2000, atas persetujuan rakyat Landak, Kesultanan Landak dibangunkan dari
tidurnya yang panjang dengan Gusti Suryansyah Amiruddin sebagai sultannya. Jika
dirunut dari awal, Gusti Suryansyah merupakan sultan ke-39 semenjak Kerajaan
Landak berdiri.
Drs. Gusti Suryansyah Amiruddin, M.Si.
Beliau mewarisi bangunan istana Kesultanan Landak di Ngabang yang terdiri dari tiga
bagian, yakni: (1) kompleks istana mencakup: Istana Landak (Istana Ilir), Kediaman
Permaisuri (Istana Ulu), serta Kediaman Neang Raja (rumah sultan); (2) Masjid Djami
Keraton Landak; dan (3) makam raja-raja. Istana ini mulai dipugar dan direnovasi
kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang
mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Selain itu, perbaikan
bangunan telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti renovasi
yang dikerjakan selama 4 tahun (1978—1982) dan diresmikan oleh Haryati Subadio,
Dirjen Kebudayaan kala itu, pada tanggal 4 Oktober 1983. Sementara, kondisi
kompleks Keraton Landak saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.
j. Masjid Djami Keraton Landak
Masjid merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sebuah kompleks istana
pada setiap kerajaan Islam atau kesultanan di
Asia Tenggara. Sama halnya dengan
kompleks Keraton Landak yang terletak di
Kota Ngabang, Ibu Kota Kabupaten Landak,
Kalimantan Barat. Kompleks keraton milik
Kerajaan Landak ini terdiri dari tiga bagian
yang saling melengkapi, yakni istana
kerajaan, masjid, serta makam raja dan para
kerabatnya.
Terletak di utara istana, Masjid Djami‘ Keraton Landak tampak anggun dan
sederhana. Masjid ini masih terawat dengan baik sampai sekarang. Sejarah masjid
ini bermula sejak masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulazis Kusuma
Akamuddin (1895—1899) atau raja Landak ke-21.
688 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Pada awalnya, Masjid Djami‘ Keraton Landak terletak di tepi Sungai Landak atau di
timur istana. Kemudian, beliau memerintahkan agar masjid yang dibangun dengan
bahan utama kayu belian khas Kalimantan ini dipindahkan ke sebelah utara istana.
Bangunan masjid yang lama kini sudah tidak ada lagi. Saat ini, lokasi masjid lama
telah menjadi sebuah kompleks pondok pesantren untuk belajar agama Islam bagi
anak-anak di sekitar istana.
Kala itu, setelah masjid dipindahkan ke utara istana, Bilal Achmad menjadi Maha
Sultan Imam masjid sampai masa pemerintahan Panembahan Gusti Abdulhamid
(1922—1943) atau Sultan Landak ke-22. Selanjutnya, Bilal Achmad digantikan oleh
Osu Anang dari Banjor hingga Jepang berkuasa di Kalimantan Barat pada medio
tahun 1943.
Sebagai cagar budaya dan situs sejarah, masjid ini telah beberapa kali mengalami
renovasi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun
1980-an dan pemerintah daerah pada tahun 2000-an.
k. Makam Raja-Raja Landak
Kompleks Istana Kerajaan Landak
yang terletak di Kota Ngabang,
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat,
memiliki tiga elemen utama, yakni
Istana Ismahayana Landak, masjid
Djami‘ Keraton Landak, serta makam
para sultan Kerajaan Landak dan
kerabatnya. Dirasa tak lengkap, bila
wisatawan tidak mampir berziarah ke
makam raja-raja Landak ketika
berkunjung ke kompleks Keraton
Landak. Makam para sultan dan para kerabatnya terletak di sebelah barat Masjid
Djami‘ Keraton Landak.
Latar sejarah Kerajaan Landak yang pernah berpindah tempat sebanyak tiga kali,
membuat lokasi makam ketiga puluh delapan raja kesultanan ini berbeda-beda.
Selain di Kota Ngabang, di Ayu Mungguk juga terdapat makam Sultan Raden
Abdulkahar atau Raden Ismahayana (1472—1542 M). Makam raja Landak yang
pertama kali menganut ajaran Islam tersebut berada di atas bukit dan terletak
sekitar 7 km dari Kota Ngabang. Saat ini, makam Raden Ismahayana masih terawat
dengan baik, meski diperkirakan telah berusia lebih dari 400 tahun. Sementara itu,
makam raja lainnya terletak di daerah Bandong, sebuah kota berjarak kurang lebih
24 km dari Kota Ngabang.
Secara umum, kondisi makam para raja Landak di Ngabang yang telah berusia lebih
dari 250 tahun sejak Raden Anom Jaya Kusuma (wakil raja yang memboyong putra
mahkota, Raden Nata Muda Pangeran Sanca Nata Kusuma [raja Landak ke-16] hijrah
ke Ngabang dari ibu kota lama, Bandong, pada tahun 1768) mangkat pada akhir
abad ke-18 ini kurang terawat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya rumput liar yang
tumbuh subur di sekitar makam. Sama halnya dengan papan-papan nama tiap nisan
yang mulai kabur akibat terik matahari dan guyuran air hujan. Kendati demikian,
makam ini tetap merupakan sebuah situs sejarah Keraton Landak yang pantas
dirawat dan dilestarikan agar dapat dikunjungi wisatawan maupun para peziarah.
Lestarinya makam ini tidak hanya akan bermanfaat bagi pariwisata daerah Landak,
689 Kepariwisataan Kalimantan Barat
melainkan juga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bidang
sejarah dan arkeologi.
l. Makam Raja Kesultanan Kadriah Pontianak (Makam Batu Layang)
Makam Batu Layang adalah
kompleks permakaman para
sultan Kesultanan Kadriah
sejak sultan pertama, Sultan
Syarif Abdurrahman
Alkadrie, hingga sultan
terakhir, Sultan Hamid II
Alkadrie. Di kompleks
permakaman ini, juga
dimakamkan para
permaisuri dan pangeran
Kesultanan Kadriah
Pontianak.
Permakaman Batu Layang telah dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Syarif
Abdurrahman Alkadrie (1771-1808 Masehi). Keberadaan makam ini tidak bisa
dilepaskan dari didirikannya Kota Pontianak oleh Syarief Abdurrahman Alkadrie.
Para pengunjung yang akan memasuki makam harus melewati gapura yang dicat
dengan warna kuning. Warna kuning ini juga terdapat pada pagar semen yang
mengelilingi kompleks permakaman. Setelah melewati gapura dan menunju pintu
masuk, pengunjung diwajibkan untuk melepas alas kaki.
Makam Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Kadriah Pontianak,
terlihat menjadi sentral dari areal permakaman ini. Makam ini terletak di tengah,
lurus dengan jalan ketika para pengunjung akan memasuki kompleks permakaman.
Makam Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie ditempatkan di ruangan tersendiri yang
mirip dengan bunker kecil sehingga para pengunjung yang akan memasuki makam
tersebut harus menundukkan kepala. Pembuatan tempat semacam ini lebih
bermakna simbolis, yaitu dengan maksud agar para pengunjung yang akan masuk
menundukkan kepala sebagai wujud penghormatan kepada sang pendiri Kesultanan
Kadriah Pontianak.
Makam para sultan di sini kebanyakan mempunyai warna nisan yang sama, yaitu
berwarna emas. Selain itu, nisan-nisan di permakaman ini juga ditulisi huruf Arab
yang melambangkan bahwa Kesultanan Kadriah Pontianak memang bernafaskan
Islam. Hal ini sesuai dengan sejarah pendirian Kesultanan Kadriah Pontianak oleh
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang merupakan seorang ulama dari daerah
yang bernama Hadramaut, Yaman Selatan.
Perpaduan warna kuning (emas) yang melambangkan warna khas Melayu dipadu
dengan tulisan Arab yang bernuansa Islam menunjukkan bahwa Kesultanan Kadriah
Pontianak dibangun berdasarkan percampuran budaya, setidaknya didominasi oleh
dua kebudayaan, yaitu Arab dan Melayu. Cerminan perpaduan kebudayaan ini
bahkan terbawa pada bentuk nisan dan makam yang ada di Batu Layang ini.
690 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Di luar kompleks permakaman, tampak gundukan batu yang dicat dengan warna
hijau. Gundukan inilah yang disebut sebagai Batu Layang. Di dekat Batu Layang,
terdapat sebuah meriam yang dicat dengan warna kuning.
Inilah yang disebut Batu Layang
Makam Batu Layang biasa ramai dikunjungi menjelang atau pada saat hari-hari besar
Islam seperti Idul Fitri, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain-lain.
m. Makam Keramat Tujuh
Makam Keramat Tujuh adalah
sebuah kompleks permakaman tua
tempat kerabat Kesultanan Matan
dimakamkan. Kompleks ini
dinamakan Keramat Tujuh karena
sewaktu ditemukan, di kompleks ini
hanya terdapat tujuh batu nisan
(makam). Walaupun kemudian
ditemukan beberapa batu nisan lagi,
kompleks ini tetap disebut dengan
nama Makam Keramat Tujuh.
Pada momen-momen tertentu, seperti hari-hari besar agama Islam, kompleks ini
ramai oleh pengunjung. Para pengunjung tidak hanya berasal dari daerah setempat,
tetapi ada juga yang datang dari luar negeri, misalnya Jerman, Amerika, Singapura,
Brunei Darussalam, dan Malaysia. Mereka datang ke Makam Keramat Tujuh dengan
tujuan yang berbeda-beda. Sebagian besar memang datang untuk melakukan ziarah.
Namun, ada juga yang datang dengan tujuan untuk melakukan penelitian sejarah,
misalnya para arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Dengan meneliti
Makam Keramat Tujuh, para peneliti ini berusaha mencari tahu tentang penyebaran
Islam di nusantara.
Di Makam Keramat Tujuh, terdapat sebuah nisan yang berangka tahun 1363 Saka
(1441 Masehi). Angka tahun ini menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke Ketapang
(dulu Kerajaan Tanjungpura) sebelum tahun 1441 Masehi. Dengan demikian, Makam
Keramat Tujuh merupakan bukti sejarah tertua tentang penyebaran Islam di
Kalimantan Barat yang diprakarsai oleh Kerajaan Tanjungpura. Angka tahun 1441
691 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Masehi juga membuktikan bahwa peradaban Islam telah masuk ke Kalimantan Barat
seiring dengan zaman keemasan Islam di Melaka.
Bentuk nisan di kompleks ini dipengaruhi oleh ciri-ciri keislaman yang sangat kental.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kerajaan Tanjungpura telah mengenal Islam
sebelum tahun 1441 Masehi. Selain itu, bentuk nisan juga menandakan bahwa
masyarakat di Kerajaan Tanjungpura telah melaksanakan prosesi pemakaman
dengan cara-cara yang Islami.
Makam Keramat Tujuh begitu signifikan bagi Ketapang hingga dijadikan sebagai
tolok ukur untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Ketapang, yaitu 1363 Saka (1441
Masehi). Walaupun demikian, hari jadi ini masih dapat berubah karena ada
kemungkinan bahwa terdapat nisan lain yang usianya lebih tua daripada tarikh itu.
n. Makam Pangeran Iranata (Astane Raja Tanjungpura Pangeran Iranata)
Pangeran Iranata adalah putra sulung
Panembahan Giri Kesuma, raja muslim
pertama di Kerajaan Tanjungpura.
Karena pecah perselisihan di kalangan
pejabat istana, Pangeran Iranata memilih
keluar dari lingkaran kekuasaan. Bersama
dengan keluarganya, Pangeran Iranata
menyusuri sungai Pawan hingga tiba di
sebuah daerah yang kini dikenal dengan
nama Sembelengan atau Desa Negeri
Baru. Di sini, dia mendirikan sebuah
permukiman dan bermastautin hingga akhir hayatnya. Di tempat ini pula Pangeran
Iranata dikebumikan.
Kompleks permakaman Pangeran Iranata menjadi magnet bagi para arkeolog karena
diduga menyimpan banyak artefak. Ada beberapa tim peneliti, baik dari luar
maupun dalam negeri, yang pernah melakukan penelitian di kompleks permakaman
ini. Salah satunya adalah tim peneliti dari Banjarmasin yang melakukan penelitian
selama 12 hari pada tahun 2007. Tim ini berhasil menemukan beberapa artefak
seperti perabotan keramik, relief bermotif bunga, dan relief kaki arca yang
menempel pada dinding bata merah.
Pada awalnya, tim peneliti dari Banjarmasin menemukan puing-puing bata merah
dan keramik kuno yang berserakan di sekitar lokasi yang kemudian dijadikan sebagai
lokasi penggalian. Tim itu kemudian mengembangkan penggalian dan menemukan
struktur bangunan yang kemudian dipastikan merupakan pintu masuk sebuah candi.
Pada pintu masuk itu, terdapat relief arca dan ukiran bunga.
Selain candi, tim peneliti itu juga berhasil menemukan struktur puing lingga dan
pecahan lumpang atau lesung batu. Lingga yang merupakan lambang pemujaan
peradaban Hindu kuno tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar dengan
bagian atas yang telah patah. Berbagai benda yang ditemukan tersebut tersebar
dalam radius yang cukup luas, yaitu 100 – 200 m².
692 Kepariwisataan Kalimantan Barat
o. Vihara Budha Tri Dharma (Ji Gong House of Help)
Predikat sebagai “Kota Seribu Kuil” memang
layak diberikan bagi Singkawang. Pasalnya,
daerah dengan landscape perbukitan ini
terkenal dengan banyaknya kuil Budha.
Salah satu kuil tersebut bernama Vihara
Budha Tri Dharma.
Vihara Budha Tri Dharma (Ji Gong House of
Help) atau biasa disebut sebagai Vihara
Cikung merupakan vihara terbesar di
Kabupaten Singkawang. Vihana ini terletak di daerah perbukitan di Jalan Sagatani.
Kemegahan Vihara Budha Tri Dharma langsung terasa begitu kita memasuki pintu
gerbang. Warna merah, biru, dan keemasan menjadi warna dominan di vihara ini.
Selain besarnya bangunan vihara, keberadaan Panti Wreda “Sinar Abadi” semakin
mengukuhkan bahwa fungsi vihara ini tidak semata-mata sebagai tempat ibadah,
melainkan juga sebagai media pelayanan kemanusiaan.
Menurut pengurus vihara, bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 1999.
Awalnya, vihara ini hanya mempunyai satu lantai, tetapi pada tahun 2000, vihara ini
mengalami renovasi hingga bertingkat tiga.
Bangunan lantai satu Vihara Budha Tri Dharma dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian
depan dan belakang. Di bagian depan terdapat patung Budha Cikung dalam pose
berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat air
mancur mini yang telah diberkati oleh Budha Cikung. Di sekeliling air mancur
dibatasi dengan tempat yang menyerupai bentuk belanga yang terbuat dari semen
dengan diameter sekitar 1 meter. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil
airnya untuk diminum. Di sebelah kanan Patung Budha Cikung terdapat bedug besar
dengan diameter sekitar 1,5 meter. Membran bedug ini terbuat dari kulit sapi. Di
sebelah kiri Patung Budha Cikung terdapat lonceng (genta) besar.
Bangunan lantai satu di bagian belakang diisi oleh Patung Sang Budha Gautama
dengan ketinggian sekitar 2 meter. Di sekeliling Patung Budha terdapat berbagai
patung dewa-dewi yang sesuai dengan kepercayaan umat Budha.
Memasuki lantai dua kita akan melihat sebuah Patung Budha Cikung dalam pose
duduk dengan tinggi sekitar 2 meter. Di depan Patung Budha Cikung terdapat
semacam teras bangunan. Di teras ini dibangun dua buah tiang dengan balutan
patung naga sedang melilit tiang dan di puncak tiang terdapat Patung Sun Go Kong
yang sedang mengangkat bola bercahaya (lampu). Di tengah-tengah tiang terdapat
Patung Sun Go Kong dengan tinggi sekitar 2 meter.
Memasuki lantai tiga, kita akan menemukan Patung Budha Cikung dengan ukuran
lebih kecil dibandingkan dengan patung yang sama yang ada di lantai satu dan dua.
Di ruangan yang sama, terdapat pula Patung Budha yang terletak di depan Patung
Budha Cikung. Hanya saja, Patung Budha di lantai tiga ini ukurannya jauh lebih kecil
daripada Patung Budha yang berada di lantai satu. Selain Patung Budha Cikung dan
Patung Budha, lantai ini juga dipenuhi dengan berbagai patung dewa-dewi dalam
kepercayaan umat Budha. Patung-patung tersebut berjajar rapi di sekeliling
693 Kepariwisataan Kalimantan Barat
ruangan. Keseluruhan patung di Vihara Budha Tri Dharma dicat dengan warna
keemasan.
p. Vihara Tri Dharma Bumi Raya
Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah
vihara tertua di Kabupaten Singkawang
yang diperkirakan telah berusia 200 tahun.
Penduduk setempat menyebut Vihara Tri
Dharma Bumi Raya dengan sebutan Tai
Pak Kung (Toa Pekong). Vihara yang
terletak di pusat Kota Singkawang ini
merupakan salah satu ciri khas dan cikal
bakal berdirinya Kota Singkawang.
Tahun pembuatan vihara ini belum ditemukan secara pasti. Namun menurut
Komunitas Tionghoa Singkawang, usia Vihara Tri Dharma Bumi Raya setara dengan
sejarah keberadaan komunitas Tionghoa Singkawang yang telah berusia lebih dari
200 tahun. Pada tahun 1933, Vihara Tri Dharma Bumi Raya diperluas dan dibangun.
Namun pada tahun 1936, Vihara Tri Dharma Bumi Raya sempat terbakar sehingga
dilakukan direnovasi.
Vihara yang terletak tepat di jantung Kota Singkawang ini dipercaya sebagai tempat
berdiamnya Dewa Bumi Raya. Dewa ini dipercaya oleh etnis Tionghoa sebagai dewa
yang menjaga Kota Singkawang. Atas dasar kepercayaan tersebut, maka masyarakat
Tionghoa di Kota Singkawang dan sekitarnya juga mengadakan semacam ulang
tahun bagi Dewa Bumi Raya yang dihelat setiap tanggal 6 bulan 6 (6 Juni) pada
setiap tahunnya. Belum diketahui secara persis penanggalan ulang tahun tersebut
pertama kali dimulai.
Kesan tua sekaligus magis langsung terlihat begitu kita masuk ke Vihara Tri Dharma
Bumi Raya. Meskipun tidak semegah Vihara Budha Tri Darma, tapi kesan sakral yang
dimunculkan di vihara ini akan langsung didapatkan begitu kita melangkah kaki
memasuki pintu vihara.
Bangunan vihara jelas menampakan kesan tua. Dinding dan kayu penyangga
ruangan juga memunculkan kesan bahwa vihara ini mempunyai usia yang cukup
panjang. Sedikitnya umur vihara ini telah mencapai 100 tahun, demikian
disampaikan oleh salah satu pengurus vihara.
Vihara ini hanya mempunyai satu lantai yang merupakan pusat dari segala aktivitas
keagamaan. Misalnya upacara sembahyang yang dilakukan pada setiap hari pada
waktu sore. Salah satu perangkat upacara yang sangat penting adalah keberadaan
patung Pek Kong.
Menurut pengurus Vihara Tri Dharma Bumi Raya, patung yang terbuat dari kayu ini
didatangkan langsung dari Cina. Terdapat tiga pasang Patung Pek Kong yang ada di
Vihara Tri Dharma Bumi Raya ini.
694 Kepariwisataan Kalimantan Barat
3. Wisata Budaya
a. Ritual Robo-robo
Bagi sebagian masyarakat di beberapa
daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini
sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta
dipercayai menurunkan berbagai
malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab
itu, masyarakat yang meyakininya akan
menggelar ritual khusus agar terhindar
dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual
tersebut juga dimaksudkan sebagai
penghormatan terhadap arwah leluhur.
Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah
yang menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya
senantiasa dinanti-nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang
sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa
penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.
Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar
menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk
memperingati kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon
yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura,
Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun
1737 M/1448 H.
Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal
sebagai pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di
Nusantara bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra
ketiga Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang
telah menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta
keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan
Panembahan Senggauk, Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk
mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26
tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766
4. Wisata Kuliner
a. Pisang Goreng Pontianak
Kekhasan pisang goreng Pontianak terletak
pada bahan bakunya yang menggunakan
pisang gepok atau pisang nipah. Jenis
pisang ini dipilih karena kandungan kadar
airnya sedikit sehingga ketika digoreng
tidak lembek. Agar aroma goreng pisang
lebih harum, minyak yang akan digunakan
untuk menggoreng terlebih dahulu diberi
daun pandan.
695 Kepariwisataan Kalimantan Barat
Hal lain yang membedakan pisang goreng Pontianak dengan pisang goreng dari
daerah lain di Nusantara adalah pada proses penggorengannya. Bila pisang goreng di
daerah lain pada umumnya digoreng satu kali, pisang goreng Pontianak digoreng
dua kali pada dua tempat penggorengan yang berbeda. Pada tahap pertama, pisang
digoreng setengah matang. Sedangkan pada tahap kedua, pisang digoreng hingga
matang. Bahkan, untuk mendapatkan hasil yang lebih garing, pisang tersebut
digoreng hingga tiga kali.
Menu yang enak disantap pada pagi atau sore hari dengan ditemani segelas kopi
atau teh ini akan lebih nikmat lagi apabila ditambahkan srikaya, selai, coklat,
margarin, dan kacang pada pisang gorengnya.
Selain itu, pisang goreng Pontianak juga bisa dijadikan oleh-oleh untuk keluarga atau
kolega. Sebab, pisang goreng Pontianak tahan sampai seharian tanpa mengurangi
citarasa serta tetap garing dan renyah. Bahkan, pisang yang digoreng separoh
matang dapat bertahan tiga hingga empat hari. Setibanya di tempat tujuan, baru
digoreng sampai matang.
b. Sotong Pangkong
Sotong Pangkong bisa dijadikan sebagai
lauk maupun kudapan di kala bersantai.
Makanan ini berbahan dasar cumi yang
sudah dikeringkan. Penduduk di beberapa
daerah menyebutnya tjuhi, sedangkan
masyarakat Pontianak menyebutnya
Sotong. Cara pembuatan Sotong Pangkong
ini sangatlah sederhana.
Sotong kering dipanggang di atas bara atau
di atas api yang nyalanya kecil, hal ini bertujuan supaya sotong tidak cepat hangus.
Pada saat proses pemanggangan akan timbul aroma yang sangat menggoda bagi
siapa saja yang ada di sekitarnya. Setelah matang, Sotong kemudian dipukul-pukul
menggunakan palu di atas kayu sampai rata dan serat dagingnya keluar. Hal ini
dilakukan supaya tekstur Sotong yang liat dan kenyal menjadi lembut. Jika Anda
berminat untuk me-mangkong sendiri Sotong Anda, penjual dengan senang hati
akan menyerahkan palunya kepada Anda.
Sotong Pangkong menjadi semakin lezat bila dinikmati dengan kuah kacang atau
kuah pedas manis. Jika Anda beruntung, akan ada penjual yang menyajikannya
dengan acar mentimun. Hidangan laut ini terasa sedikit asin dan gurih. Tapi, ketika
dilumuri kuah kacang atau kuah pedas, menjadi sedikit asam dan pedas sehingga
ketika dimakan akan terasa pedas dan nikmat.
Cara memakannya pun terbilang unik. Sotong Pangkong dicelup ke dalam kuah,
kemudian diisap-isap sampai hilang rasa sambalnya, Sotong dicelup lagi, diisap lagi.
Biasanya itu akan dilakukan berulang-ulang. Setelah itu barulah Sotong dimakan.
Oleh karena itu, menikmati sepotong Sotong Pangkong bisa menghabiskan waktu
yang lama. Jadi, bagi Anda yang mengaku pecinta hidangan laut, jangan lewatkan
kesempatan untuk menikmati sepotong Sotong Pangkong sembari berbuka puasa di
Kota Pontianak.
696 Kepariwisataan Kalimantan Barat
5. Wisata Minat Khusus
a. Taman AlunAlun kapuas
Mengunjungi Kota Pontianak tentu belum
lengkap bila belum datang ke Taman
Alun-alun Kapuas. Meskipun mal, kafe,
dan berbagai pusat hiburan lainnya
menjamur di Kota Pontianak, tingkat
kunjungan wisatawan ke Taman Alun-
alun Kapuas tidak menurun. Bahkan,
setelah direnovasi secara besar-besaran
pada tahun 1999, tingkat kunjungan
wisatawan ke taman yang berada di dekat kantor walikota ini kian menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu.
Lokasinya yang strategis dan berada di pusat Kota Pontianak menjadikan taman ini
sebagai salah satu tempat rekreasi favorit bagi masyarakat kota untuk melepas
penat sehabis bekerja seharian atau sekadar untuk mencari inspirasi.
b. Rumah Melayu Kalimangan Barat
Pada tanggal 17 Mei 2003, tiang pertama
Rumah Melayu Kalimantan Barat
(Kalbar) ditancapkan. Dalam
sambutannya, Gubernur Kalimantan
Barat, Usman Ja‘far, menyampaikan
petuah dan segunung harapan. Dua
tahun kemudian, 9 November 2005,
rumah idaman orang Melayu dan simbol
kejayaan tamaddun Melayu di bumi
Borneo itu diresmikan oleh Wakil
Presiden RI, Jusuf Kalla.
Ada kebanggaan yang terpatri dan setumpuk harapan sejak rumah Melayu ini
diresmikan. Mulai gagasan menjadikannya sebagai "Center of the Malay Culture"
atau pusat kebudayaan Melayu di daerah Kalimantan Barat, hingga harapan mampu
menjadi objek wisata andalan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Memang, harapan di atas tidak terlampau berlebihan, setidaknya jika kita melihat
kemegahan bangunan hasil rekagrafis Ir. Ari Januarif ini. Jika rumah ini dianggap
sebagai representasi rumah Melayu, mungkin kita tak bisa memikirkan rumah
Melayu mana yang semegah dan semewah ini. Bahkan jauh lebih besar dan megah
dibanding dengan istana-istana kerajaan Melayu di Kalbar, seperti Istana Kadriah di
Pontianak, Istana Amantubillah di Mempawah, maupun Istana Al Watzikubillah di
Sambas.
Sejak diresmikan, Rumah Melayu Kalimantan Barat ini telah dikunjungi banyak
wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Selain itu, setiap event
penting terkait dengan cita-cita mengabadikan kejayaan tamaddun Melayu juga
697 Kepariwisataan Kalimantan Barat
diselenggarakan di rumah ini, misalnya sebagai tempat musyawarah Majlis Adat
Budaya Melayu (MABM), pameran-pameran kebudayaan Melayu, dan lain-lain.
c. Rumah Adat Melayu Ketapang
Rumah Adat Melayu Ketapang
dibangun dengan bahan baku
dari kayu belian (ulin). Kayu-
kayu ini didatangkan dari HPH
“Alas Kusuma”. Selain tiang
penyangga rumah dan tangga,
seluruh lantai serta dindingnya
dibuat dengan menggunakan
kayu belian.
Rumah Adat Melayu Ketapang
ini disangga dengan fondasi
yang terbuat dari kayu belian. Fondasi dasar dibuat dengan kayu ulin sebanyak 180
batang dengan ukuran 20 x 20 cm dan tinggi 1 meter. Fondasi tersebut kemudian
ditimbun dengan pasir yang dipompa dari sungai Pawan. Hal ini diperlukan karena
lokasi tempat Rumah Adat Melayu Ketapang dibangun ini dulunya adalah rawa-rawa
sehingga diperlukan proses pemadatan tanah.
Fondasi kedua juga terbuat dari kayu belian dengan ukuran yang sama dengan tinggi
2 m. Fondasi kedua ditutup dengan papan kayu belian, kemudian baru dibangun
tiang-tiang untuk menyangga dinding dan atap bangunan.
top related