28 bab ii - sinta.unud.ac.id 2.pdfntb, di dalamnya disajikan laporan tentang rekonstruksi wayang...
Post on 04-Aug-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
28
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN.
2.1. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah-langkah penelitian untuk mengkaji
buku-buku teks, hasil-hasil penelitian terdahulu, serta memahami konsep-konsep
dan teori-teori yang akan diaplikasikan pada data yang didapatkan dari penelitian.
Dari hasil pembacaan dan kajian terhadap buku-buku dan pustaka lainnya yang
terkait dengan hasil-hasil penelitian mengenai berbagai jenis kesenian tradisional
di wilayah Kota Mataram, Lombok belum ditemukan yang secara khusus
melakukan penelitian atau kajian terhadap wayang orang di Lombok.
Penelitian menganai kesenian wayang di Mataram, Lombok lebih banyak
difokuskan pada pertunjukan Wayang Kulit Sasak yang sering dikenal dengan
sebutan Wayang Menak. Lakon-lakon pertunjukan wayang kulit termasuk
wayang orang, yang diambil dari Serat Menak telah menempatkan Wayang Sasak
memiliki identitas sendiri, artinya berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya
di Indonesia
Kajian pustaka yang terkait dengan hasil-hasil penelitian mengenai
wayang kulit di Lombok dapat dijadikan kerangka acuan dalam penelitian ini
untuk mendapatkan originalitas objek penelitian. Adapun beberapa pustaka yang
dapat dikaji adalah sebagai berikut:
28
29
H. Lalu Agus Fathurrahman, menulis buku laporan rekonstruksi berjudul
Laporan Kegiatan Eksperimentasi Wayang Orang Sasak. (14 November, 2009).
Buku ini diterbitkan di Mataram oleh UPTD Taman Budaya Pemerintah Provinsi
NTB, di dalamnya disajikan laporan tentang rekonstruksi Wayang Orang Sasak
yang menyangkut penarinya terdiri dari para dalang, musik pengiringnya
gamelan lelinyikan, seting panggungnya dipasangi layar putih, sumber
lakonnya adalah Serat Menak, konsep garapannya adalah dramatari. Laporan
ini merupakan sumber pokok dalam mengkaji dan manganalis rekonstruksi
wayang orang.
Dalam laporan di atas ditemukan data bahwa pendukung rekonstruksi itu
terdiri atas etnis Bali, Jawa, dan Sasak. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Jawa Kuno. Disamping itu juga ditemukan system perkawinan lokal Sasak yaitu
merariq, yang melekat dengan budaya wetu telu. Ada berbagai makna yang
dapat disimak dalam rekonstruksi tersebut, seperti konsep multikulturalisme,
budaya wetu telu, perpaduan antara adat dan ajaran agama Islam melalui
perkawinan merariq.
Haris Supratno menulis disertasi berjudul “Wayang Sasak Lakon Dewi
Rengganis Dalam Konteks Perubahan Masyarakat Lombok, Kajian Sosiologi
Kesenian”, 1996. Surabaya, di dalamnya dijelaskan bahwa seni pertunjukan
wayang merupakan bagian dari budaya wetu telu, karena Islam Wetu Telu di
Lombok tidak mengharamkan wayang bahkan wayang dianggap mengandung
nilai tradisi dan nilai-nilai agama Islam.
30
Kelompok Islam yang menolak pertunjukan wayang menganggap bahwa
dalang dan para penabuhnya minum minuman keras dan mabuk-mabukan
sebelum pementasan. Penggunaan gamelan perunggu sebagai iringan dalam
pertunjukan wayang di Lombok dianggap sebagai warisan budaya Hindu yang
sangat bertentangan dengan asas tarekat naqsyabandiah (jalan menuju
kesempurnaan) dalam ajaran agama Islam (Supratno, 1996: xvi).
Hasil penelitian dalam disertasi itu lebih difokuskan pada pertunjukan
wayang kulit dengan cerita Dewi Rengganis. Namun dapat juga digunakan
sebagai acuan dalam melakukan penelitian tentang rekonstruksi Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang. Di samping dapat digunakan sebagai acuan
untuk menelusuri wayang orang, dan juga dapat digunakan untuk memahami
pergulatan identitas antara kelompok Islam modern dan kelompok Islam yang
mempertahankan budaya wetu telu. Penelitian ini juga dapat memberikan
petunjuk tentang kesenian tradisional di Mataram, Lombok yang dimarginalkan.
Haryanto, Pratiwimba Adhiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang
(1988). Haryanto menyatakan bahwa Ki Trunodipo membuat boneka wayang
menak dari kayu untuk mementaskan cerita yang bersumber dari Serat Menak.
Disamping itu, juga dijelaskan bahwa Serat Menat berasal dari kitab Qissai Emr
Hamza, yang dipadukan dengan cerita Panji kemudian disebut dengan Serat
Menak. Disebutkan juga bahwa salah seorang penulis Serat Menak, yaitu R. Ng.
Yosodipuro memiliki versi yang berbeda dengan pengarang-pengarang lainnya.
Karangannya dijadikan sumber cerita dalam pementasan wayang wong dan
wayang golek di Surakarta dan Yogyakarta.
31
Karya itu tidak menyinggung wayang orang di Lombok, tetapi berbicara
mengenai Wayang Golek Jawa dengan sumber cerita dari Serat Menak. Kajian
terhadap buku ini dapat digunakan untuk memahami makna Serat Menak sebagai
sumber lakon dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok.
Anak Agung Ketut Agung (1991) menulis buku dengan judul Kupu-Kupu
Kuning yang Terbang di Selat Lombok, Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem
(1661-1950). Di dalam buku itu dijelaskan asal usul nama Lombok dan asal usul
nama Sasak. Disamping itu juga dijelaskan perang-perang kerajaan, masuknya
Islam dan munculnya wetu telu yang merupakan perpaduan konsep Ciwa Budha
masa kerajaan Majapahit dengan Islam aliran sufi yaitu agama Islam ajaran Sunan
Kalijaga yang dikembangkan oleh Pangeran Mangkubumi atau juga disebut
Pangeran Pengging.
Tulisan di atas dapat digunakan untuk memahami sejarah kekuasaan Raja
Karangasem serta tradisi seni dan budaya Sasak yang memperkuat budaya wetu
telu. Tulisan ini juga tidak menyinggung kesenian wayang termasuk wayang
orang tetapi hanya menyinggung munculnya kesenian cakepung, dan
berkembangnya agama Islam wetu telu yang sangat adaptif dengan seni dan
budaya.
Suprapto, menulis buku berjudul Semerbak Dupa Di Pulau Seribu Masjid,
Konstelasi, Integrasi, dan Resolusi Konflik Hindu-Muslim (2013). Buku ini
merupakan hasil penelitian yang mengungkapkan relasi antara kelompok etnis
Bali yang minoritas dan etnis Sasak yang mayoritas. Dinamika relasi ini kadang-
32
kadang menimbulkan integrasi dan kadang-kadang menimbulkan konflik.
Penlitian ini juga mengungkapkan dinamika relasi sosial yang menimbulkan
integrasi dan konflik berdasarkan latar belakang sejarah, budaya, dan tradisi
sehingga identitas etnis menjadi konstruksi yang sangat penting dalam memahami
integrasi dan konflik di Lombok.
Salah satu identitas yang dapat ditangkap dalam penelitian ini adalah
kesenian karena kesenian Bali dan kesenian Sasak sama-sama hidup
berdampingan di kota Mataram. Kesenian juga sering digunakan sebagai wahana
integrasi sekaligus menjadi sumber konflik. Sebagai wahana integrasi, kesenian
dapat menampung dan melibatkan semua etnis dalam penggarapan kesenian,
seperti pada rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di
UPTD Taman Budaya, Mataram, Lombok.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang dengan
sumber cerita Serat Menak dengan lakon Jayengrana Merariq merupakan salah
satu bentuk integrasi antarkelompok etnis. Sebagai sumber konflik, yaitu seni
sebagai warisan tradisi dianggap lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi etnis Bali.
Dengan demikian, buku ini dapat digunakan untuk memahami konsep integrasi
dan konflik dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang sebagai sebuah pergulatan identitas.
Ida Ayu Trisnawati telah melakukan penelitian tentang kesenian Lombok
dengan judul, “Seni Drama Putri Mandalika dalam Tradisi Ritus Bau Nyale di
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat”. Hasil penelitian ini belum menyentuh
kesenian wayang orang, tetapi lebih banyak melihat seni drama “Putri
33
Mandalika” dari pendekatan estetika dan peranannya sebagai ritus upacara Bau
Nyale. Penelitian ini juga dapat dijadikan petunjuk untuk memahami makna seni
pertunjukan tradisional bagi masyarakat Sasak. Selain itu wayang orang
merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Sasak yang memiliki makna
penting dalam mengemban nilai-nilai kesasakan.
H. Lalu Anggawa Nuraksi menulis naskah dengan judul “Tayangan
Kesasakan Sindo TV Mataram (2014)”, Kerjasama Dengan Forum Pengkajian
Kesasakan. Naskah ini berisi tentang tahapan tayangan Sindo TV Mataram untuk
tahun 2014, yang terdiri atas asal usul orang Sasak, sejarah peradaban Sasak,
panca awit pinajaran Sasak, kepeminpinan dalam budaya Sasak, wujud budaya
Sasak, atraksi budaya Sasak, hukum adat Sasak, jargon Sasak, politik budaya
Sasak, perkawinan adat Sasak, dan ritual Sasak. Nskah ini mengandung berbagai
macam identitas Sasak yang bersumber dari kearifan lokal Sasak, termasuk dalam
bidang kesenian juga ditelah diprogram untuk menayangkan seni musik, seni tari,
seni teater, dan seni vokal.
Untuk kebutuhan tulisan ini program-program yang ditayangkan
merupakan media untuk menginformasikan nilai-nilai kesasakan yang dianggap
penting agar diketahui oleh masyarakat Sasak secara umum. Nilai-nilai ini
merupakan kearifan lokal Sasak yang memberikan identitas pada orang Sasak.
Nilai-nilai ini ditayangkan dalam bentuk atraksi budaya, baik dalam bentuk seni
maupun dalam bentuk kegiatan masyarakat. Dalam bentuk kesenian, nilai-nilai
itu dikomunikasikan lewat pertunjukan teater termasuk pertunjukan wayang kulit
34
dan wayang orang. Kandungan nilai itu juga menginspirasi seniman dan tokoh-
tokoh budaya Sasak untuk merekonstruksi wayang orang.
Gusti Ayu Suandewi menulis tesis berjudul “Tari Baris Batek Dalam
Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Lombok Barat” (2001). Suandewi
menyebutkan bahwa tari batek baris adalah warisan tradisi budaya sinkretis
antara agama Islam Wetu Telu dan agama Hindu, yang dipentaskan pada setiap
ada upacara perang topat di Pura Lingsar Lombok Barat. Tulisan ini mengkaji
teks dan konteksnya dalam kehidupan sosial budaya Lombok Barat, terutama
dalam kaitannya dengan upacara Perang Topat.
Yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah bentuk, makna, dan
fungsi Tari Baris Batek. Penelitian ini sama sekali tidak menyinggung wayang
orang, tetapi dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami adanya sinkretisme
budaya antara budaya Bali dan budaya Sasak. Penelitian ini dapat dijadikan
acuan untuk memahami keharmonisan hubungan antaretnis yang ada di Mataram,
Lombok, terutama antara etnis Bali dan Sasak.
Penelitian mengenai pergulatan kelompok elit yang terkait dengan
persoalan identitas dilakukan oleh Anak Agung Ngurah Anom Kumbara dengan
judul Pergulatan Elit Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas (2011).
Hasil penelitian itu memberikan gambaran mengenai pergulatan elit yang
masing-masing mempertahankan dan memperjuangkan identitas mereka.
Pergulatan tersebut bersumber pada adat dan tradisi lokal, tetapi ada juga yang
bersumber dari ajaran agama Islam.
35
Penelitian ini tidak membicarakan tentang wayang orang sebagai salah
satu kesenian tradisional yang dapat menguatkan identitas Sasak, tetapi
memberikan informasi tentang kuatnya ideologi agama yang dimainkan oleh Tuan
Guru, sehingga masyarakat Sasak dapat dihegemoni. Karya itu juga memberikan
informasi mengenai keterkaitan antara ideologi dan kepentingan untuk
membangun identitas. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat adanya
ideologi dalam pergulatan identitas dan rekonstruksi Wayang Orang Darma
Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok, yang
merupakan konstruksi seni dalam merepresentasikan ideologi.
Dapat dikatakan bahwa penelitian ini membicarakan pergulatan elit dalam
kaitannya dengan perkembangan agama Islam di Lombok, yaitu antara Wetu
Telu dan agama Islam Waktu Lima serta kepentingan-kepentingan untuk
mewujudkan adatluwirgama. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam
mengungkap pergulatan identitas karena pergulatan elit yang dijadikan pokok
kajian tidak terlepas dari kompetisi elit dalam merealisasikan ideologinya untuk
merancang identitas Sasak sebagai sebuah wilayah budaya yang didominasi oleh
pemeluk agama Islam.
Penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh, I Wayan Tagel Eddy berjudul
“Bara Api di Seberang Bali (Sebuah Studi tentang Pemberontakan Praya Tahun
1891-1894)”. Penelitian tesis itu dilaksanakan pada tahun1992. Penelitian lain
yang dilaksanakan oleh I Gde Parimartha (2002), telah diterbitkan dalam bentuk
buku berjudul, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815--1915.
Selanjutnya, I Nyoman Sukiada, menulis tentang resistensi dalam bentuk tesis
36
(2003) dengan judul, “Gerakan Sosial di Lombok, 1906-1932”, Tesis S2
Humaniora (tidak diterbitkan). Penelitian di atas merupakan penelitian yang
difokuskan pada gerakan sosial, konflik, serta permasalahan sosial dan ekonomi.
Penelitian tersebut tidak menyentuh persoalan seni dan budaya, apalagi yang
terkait dengan pertunjukan wayang orang. Akan tetapi, dapat dijadikan acuan
untuk memahami konflik dan integrasi yang bermuara pada perjuangan untuk
membangun identitas Sasak.
Dalam memaknai rekonstruksi wayang orang, penelitian yang dilakukan
oleh I Wayan Tagel Eddy, I Gede Parimartha, dan I Nyoman Sukiada ini dapat
digunakan sebagai acuan untuk memahami pergulatan identitas yang tercermin
dalam konflik etnis berlatar belakang sejarah dan ekonomi.
Umar Kayam menulis buku Kelir Tanpa Batas (2001). Dalam buku itu
dijelaskan secara umum bahwa kancah kehidupan wayang kulit di Jawa
dibayangi oleh beberapa otoritas, yaitu otoritas istana atau keraton, otoritas
lembaga-lembaga pendidikan tradisional seni pedalangan, otoritas tradisi lokal
dan para dalang populer atau dalang yang laku, otoritas penguasa politik orde baru
dengan para pejabat dan organisasi yang menjadi agennya. Akan tetapi, karya ini
tidak memberikan perbandingan bagaimana kehidupan wayang di Bali dan di
Lombok. Karya ini dapat memberikan kerangka berpikir untuk memahami
otoritas lokal Sasak dan kebutuhan untuk membangun identitas melalui
kebangkitan kesenian tradisional Sasak.
R.M Soedarsono menulis artikel berjudul “Nama Gemilang dan Mundur
Wayang Wong Yogyakarta”. Artikel itu dimuat dalam jurnal, Seri Pustaka
37
Keraton Nusantara No 3 (2000). R.M Soedarsono menyebutkan bahwa wayang
wong merupakan sebuah genre tari yang bisa dikategorikan sebagai seni
pertunjukan total (total teathre). Di dalamnya tercakup seni drama, seni sastra,
seni musik, dan seni rupa. Dengan demikian, konstruksi wayang wong
merupakan produksi yang cukup besar dan sangat kompleks termasuk di Jawa dan
di Bali, tetapi wayang orang di Lombok sama sekali tidak disinggung.
Dari pengkajian dan pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian mengenai
kesenian Lombok terdahulu, diketahui bahwa belum ada yang secara spesifik
mengkaji atau meneliti pertunjukan wayang orang di Lombok, khususnya
pertunjukan Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di Lombok
Timur.
2.2 Konsep
Penelitian mengenai wayang orang, dibutuhkan sebuah konsep sebagai
petunjuk, baik untuk mendapatkan data maupun mengaplikasikan hasil penelitian
menjadi karya ilmiah. Konsep adalah fakta-fakta yang terinterelasi dan memiliki
makna membentuk sebuah konstruksi. Konsep adalah istilah yang abstrak dan
bermakna untuk melakukan generalisasi (Djama’an, 2010:5). Konsep dalam hal
ini adalah generalisasi sekelompok fenomena tertentu sehingga dapat digunakan
untuk menggambarkan berbagai fenomena dengan ciri-ciri yang sama (Ratna,
2010:108).
Konsep yang digunakan dalam mengkaji rekonstruksi Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok,
38
adalah konsep kajian budaya yang melihat praktik dan makna budaya bagi
semua orang ketika mereka menjalani hidupnya (Hasan, 2011:23). Konsep
representasi berarti bagaimana dunia dikonstruksi secara sosial dan
direpresentasikan dengan cara-cara bermakna. Konsep kekuasaan dan konsep
cultural texts (teks budaya) mempunyai makna lebih dari satu (polysemic) (Ida,
2014: 4--8). Teks tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga berupa gambar (image),
suara (sound), aktivitas (menari), yang semuanya ada pada rekonstruksi wayang
orang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok. Teks budaya melihat
keterkaitan antara wayang orang yang direkonstruksi dan penonton. Artinya,
makna dikonstruksi untuk dikonsumsi oleh penonton.
Konsep kajian budaya menjadi petunjuk yang sangat penting untuk
memahami makna budaya rekonstruksi wayang orang. Makna budaya wayang
orang tanpa disadari telah menjadi praktik budaya sehari-hari bagi masyarakat
Mataram, Lombok.
Rekonstrusi wayang orang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok
dengan cerita Jayengrana Merariq tidak hanya merupakan sajian estetik sebagai
produk budaya yang bersifat esensial untuk memberikan hiburan, memberikan
kesenangan dan kenikmatan, tetapi juga merepresentasikan nilai dan budaya
Sasak yang bermakna sebagai pedoman perilaku. Rekonstruksi wayang orang itu
dapat ditempatkan sebagai media komunikasi mengenai praktik budaya sehari-
hari.
Rekonstruksi wayang orang sebagai sajian estetik dikonstruksi atau
dibangun (dibangkitkan) untuk kepentingan mempertahankan nilai-nilai tradisi
39
dan mempertahankan adat Sasak. Ada sebuah ideologi untuk membangkitkan
nilai-nilai tradisi Sasak sebagai sebuah kearifan lokal yang dapat dijadikan
pedoman perilaku masyarakat Lombok dalam bertindak. Rekonstruksi Wayang
Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang merupakan wahana untuk menunjukkan
pentingnya nilai-nilai tradisi dibangkitkan sebagai identitas Lombok.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang juga
diharapkan dapat mendorong perkembangan seni budaya tradisi sebagai identitas
Lombok yang multietnis.
Melalui uraian di atas dapat diketahui bahwa konsep operasional yang
digunakan sebagai acuan untuk mengkaji dan menganalisis Rekonstruksi Wayang
Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang: Sebuah Pergulatan Identitas di
Mataram, Lombok, adalah sebagai berikut.
2.2.1. Rekonstruksi.
Rekonstruksi adalah sebuah usaha untuk membangun kembali atau
mengembalikan hubungan yang telah lama putus (Encyclopedia, t.t.: 406).
Melalui pengertian itu diketahui bahwa konsep rekonstruksi adalah sebuah
kegiatan seni untuk membangun kembali, merangkai, dan menghubungkan
antara bagian yang satu dan bagian yang lain. Pengertian ini memberikan isyarat
bahwa rekonstruksi adalah sebuah proses untuk mewujudkan kembali sesuatu
yang sudah hampir punah atau lenyap.
Proses rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang,
tidak bisa lepas dari subyektivitas seniman-seniman yang melakukan rekonstruksi
40
tersebut. Artinya Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang yang
direkonstruksi tidak akan persis sama dengan apa yang pernah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, cara kerja subjek, yaitu seniman seniman Sasak yang terlibat
dalam melakukan rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang akan bersifat dekonstrukstif.
Ada proses dalam rekonstruksi itu untuk mencari-cari bentuk agar
ditemukan sebuah wujud. Cara kerja itu dilakukan dengan pembongkaran
(dekonstruksi) teks Wayang Orang Darma Kerti yang ada di Dusun Batu
Pandang, Lombok Timur. Teks menurut Derrida adalah semua realitas dan
semua kemungkinan yang dapat dijadikan acuan untuk representasi dan
interpretasi (Zehfuss, 2010:190). Teks dalam hal ini adalah bentuk pertunjukan
wayang orang yang pernah ada dan sumber lakon pertunjukan Wayang Orang
Darma Kerti, Dusun Batu Pandang yang digunakan.
Dalam ilmu sejarah, rekonstruksi sejarah adalah sejarah yang dikisahkan
atau willed event juga sering disebut dengan sejarah yang diwujudkan (Ibrahim,
dkk, 1992:235). Dari pengertian ini ada peranan subjek untuk menceritakan
peristiwa yang telah hilang dan hidup hanya dalam kepingan-kepingan ingatan
yang didukung oleh sumber-sumber yang ada. Rekonstruksi sejarah ini akan
menghasilkan sejarah sebagai sebuah cerita yang menempatkan penulisnya lebih
berperanan daripada peristiwa sejarahnya. Beranalogi pada rekonstruksi sejarah,
maka rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD
Taman Budaya Mataram, Lombok menempatkan sutradara, penari, dan pencipta
tabuh lebih berperan dari pada pertunjukan aslinya di Dusun Batu Pandang.
41
Rekonstruksi yang ideal adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
untuk mewujudkan kembali sebuah peristiwa berdasarkan kesadaran,
perencanaan, dan pemikiran mengenai suatu peristiwa yang ingin diwujudkan
(Cassirer, 1970:193). Artinya, ada keinginan para rekonstruk untuk menjauhkan
subjektivitas, kemudian melakukan perencanaan yang jelas apa yang ingin
diwujudkan, serta menggunakan logika yang matang agar hasil rekonstruksi dapat
dipertanggungjawabkan.
Konsep rekonstruksi dalam mengkaji rekonstruksi Wayang Orang Darma
Kerti Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram,Lombok adalah
sebuah tindakan seniman dan budayawan Sasak untuk membangun kembali atau
mewujudkan kembali wayang orang yang telah lama terpinggirkan. Rekonstruksi
Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang tidak sekedar membangun
dan mewujudkan kembali wayang orang yang telah terpinggirkan. Akan tetapi,
membangun kesadaran orang Sasak terhadap identitas Sasak yang melekat pada
seni budaya dan tradisi yang telah diwarisi.
Konsep rekonstruksi dalam hal ini merupakan produk pemikiran subjektif
dari proses pemahaman intelektual yang dapat berubah dari waktu ke waktu
(Purwanto, 2006:3). Berdasarkan pandangan ini, rekonstruksi adalah sebuah
tindakan untuk membangkitkan kembali wayang orang dari ingatan-ingatan
seniman terhadap bentuk dan struktur pertunjukan wayang orang. Rekonstruksi
berdasarkan ingatan itu kemudian diwujudkan berdasarkan imajinasi seniman
sehingga hasil rekonstruksi tidak mungkin bisa sama dengan aslinya.
42
Rekonstruksi ditentukan oleh cara pandang dan cara berpikir seorang seniman
yang berubah-ubah dari waktu ke waktu dalam memaknai seni.
Jadi rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang,
merupakan kegiatan seni untuk mengembalikan bentuk, struktur, dan nilai-nilai
yang terdapat dalam pertunjukan wayang orang.
2.2.2 Wayang Orang
Wayang orang merupakan khazanah kesenian tradisional orang Sasak
yang penarinya adalah orang (Fathurrahman, 2009 :1). Sebagai sebuah khazanah
kesenian tradisional Sasak, wayang orang memiliki kekhasan sendiri karena
sumber ceritanya adalah Serat Menak, artinya berbeda dengan wayang wong di
Bali dan Jawa. Sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang orang menggunakan
gerak gerak tari yang berpola pada gerak-gerak wayang (Fathurrahman, 2009:1).
Dari hasil pengamatan terhadap hasil rekonstruksi diketahui bahwa, gerak
tarinya ditata seperti gerak dramatari sehingga tidak tampak ada gerak yang
spontan dan bersifat sementara. Dalam proses rekontruksi wayang orang itu
sudah tampak ada dekonstruksi terhadap teks pertunjukan wayang orang yang
telah ada. Pada rekonstruksi wayang orang itu tidak digunakan kata wong,
karena orang Lombok pada umumnya tidak mengenal kata wong dan lebih
mengenal kata orang. Menurut Rusmadi, kata wong bagi orang Lombok
dipahami berasal dari bahasa Jawa kuno yang sangat erat terkait dengan budaya
Hindu Jawa (Wawancara, 12 November 2013). Kata orang merupakan bahasa
Indonesia yang umum dan dapat dikenal oleh semua orang.
43
Pemilihan kata orang dalam wayang orang, bukan kata wong dilakukan
supaya tampak lebih netral karena masyarakat Lombok yang mayoritas beragama
Islam dapat menerima wayang orang sebagai identitas Lombok yang berbeda
dengan Wayang Wong Jawa dan Bali. Wayang Wong Jawa dan Bali sangat
kental nuansa Hindunya karena cerita pokok yang digunakan adalah Ramayana
dan Mahabarata.
Sumber cerita wayang orang berpegang pada Serat Menak termasuk
Wayang Kulit Sasak. Cerita pokok yang bersumber dari Serat Menak itu
dimaknai dengan mengangkat nilai-nalai lokal Sasak, seperti perkawinan adat
Sasak yang dianggap mengandung nilai kesatria, kepahlawanan, dan nilai
toleransi dalam cerita Jayengrana Merariq. Berdasarkan sumber cerita dan nilai
yang ditampilkan dalam pertunjukan maka Wayang Kulit Sasak sering dikenal
dengan sebutan Wayang Menak (Wijanarko, 1991:16).
Konsep Wayang Wong Jawa dan Bali adalah sebuah pertunjukan drama
tari yang sumber ceritanya adalah Mahabarata dan Ramayana. Wayang Wong
Jawa dan Bali dianggap merupakan genre tari yang dikategorikan sebagai
pertunjukan total (total theatre). Wayang wong mencakup beberapa elemen seni,
di ataranya tari, drama, sastra, musik, dan seni rupa (Soedarsono, 2000; Bandem,
2001). Dilihat dari segi bentuk dan struktur pertunjukannya, wayang orang di
Lombok dapat dikategorikan sama dengan Wayang Wong Jawa dan Bali, hanya
ceritanya dan perlengkapan pertunjukannya berbeda.
Menurut Kantun dan Ulfi, Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu
Pandang, Desa Sapit, Kecamatan Swela, Lombok Timur menggunakan Serat
44
Menak Parigan sebagai cerita pokok (Wawancara, 10 Oktober 2015). Secara
operasional konsep wayang orang pada rekonstruksi itu tidak menggunakan tapel
sebagai perlengkapan pertunjukan. Untuk memberikan karakter pada tokoh yang
diperankan, bermain pada ekspresi dan gerak tarinya. Pola gerak tarinya tidak
sepenuhnya berpola pada gerak wayang tetapi berpola pada gerak dramatari.
Cerita pokoknya Wayang Wong Jawa dan Bali bersumber pada Ramayana dan
Mahabarata. Bagi orang Bali yang disebut dengan wayang wong adalah yang
menggunakan cerita Ramayana dan sebagai besar pemainnya menggunkan tapel.
Wayang wong yang tidak menggunakan tapel dan ceritanya bersumber dari
Mahabarata disebut dengan Parwa.
Kata wayang dalam wayang orang merupakan sebuah pertunjukan yang
bisa memberikan bayangan mengenai nilai-nilai moral, karakter yang baik atau
buruk, dan nilai-nilai tradisi yang hidup atau berkembang dalam praktik budaya
sehari-hari di Lombok. Konsep pertunjukan wayang kulit, adalah bayangan
boneka-boneka wayang yang digerak-gerakkan oleh seorang dalang
(Mulyono,1982:42; Bastomi, 1995:2). Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok bukan
bayangan pelakunya yang menyebabkan disebut wayang, melainkan nilai-nilai
yang ada dalam pertunjukan itu dapat dijadikan pedoman perilaku, jati diri, dan
identitas Sasak.
45
2.2.3 Pergulatan
Pengertian pergulatan adalah perjuangan, bergulat berarti berjuang
(Purwadarminta, 1979: 331). Pengertian ini memberikan isyarat bahwa konsep
pergulatan adalah sebuah fakta adanya gerakan, tujuan yang ingin dicapai, serta
ideologi dan objek yang akan diperebutan. Konsep perjuangan bersifat kompetitif
yang melibatkan dua kekuatan atau lebih yang saling berkompetisi. Proses
kompetitif ini sering dilakukan dengan melibatkan kekuasaan dan otoritas
sehingga terjadi perjuangan dan perlawanan ideologi yang bertujuan untuk
menciptakan identitas.
Pergulatan identitas adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan
dukungan atas gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, dan ide-ide. Pergulatan
dalam hal ini akan tampak sebagai sebuah otoritas dengan kekuasaan agama Islam
mempengaruhi masyarakat agar melaksanakan ajaran Islam secara murni,
sehingga terjadi hegemoni. Rekonstruksi wayang orang yang ingin
mempertahankan budaya wetu telu dapat dianggap sebuah coenter hegemoni.
Ada hubungan relasional secara koersif (paksaan) dan konsensus dari power
dalam bentuk hegemoni untuk mengamankan hak-hak mereka sebagai kelompok
dominan (Rupert, 2010: 234).
Rekonstruksi wayang orang dan penyebaran gagasan, pemikiran, dan ide-
ide melalui pertunjukan wayang orang pada saat ada kegiatan upacara adat dan
keagamaan di Lombok, dapat dianggap sebagai sebuah counter hegemoni.
Rekonstruksi wayang orang merupakan sebuah ideologi untuk membangun
46
budaya lokal yang berbasis budaya wetu telu, melawan ideologi Islam, yang
berbasis hukum-hukum Islam.
Kondisi yang ada di lapangan menunjukkan adanya perbedaan pandangan
serta perbedaan perlakukan terhadap adat dan seni tradisi antara kelompok Islam
adat dan kelompok Islam modern di Lombok sebagai oposisi biner. Perbedaan
itu menunjukkan adanya konstruksi nilai-nilai pada masyarakat Lombok, yang
memunculkan variasi identitas serta dikendalikan, baik oleh elite Islam maupun
elite adat, dalam bentuk pergulatan (Kumbara, 2011).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat adanya persaingan ideologi dan
kepentingan-kepentingan untuk saling menguasai supaya apa yang diharapkan,
baik oleh kelompok adat maupun kelompok Islam modern tercapai. Harapan
kedua kelompok tersebut adalah untuk mengubah tatanan sosial Lombok.
Kelompok Islam modern yang berorientasi syariah menginginkan supaya tatanan
sosial di Lombok tidak lagi berdasarkan tradisi lokal, tetapi berdasarkan ajaran
agama Islam yang bersifat universal. Di pihak lain kelompok Islam kultural,
menginginkan agar adat, tradisi, dan seni budaya tradisional tetap dipertahankan
sebagai identitas lokal yang memberikan ciri terhadap eksistensi Lombok.
Ideologi adalah cara untuk menyebarkan gagasan, ide-ide, atau pemikiran
kepada orang lain melalui bentuk-bentuk komunikasi. Seni sebagai sebuah
komonikasi yang reflektif telah menempa karangka mental, emosi, cara berbicara,
pemahaman terhadap masa lalu dan sekarang serta perasaan-perasaan terhadap
orang lain. Seni adalah produsen ideologi untuk memahami, mendefinisikan,
47
mengerti, dan mengubah cara-cara masyarakat berfungsi (Smiers, 2009:18 ;
Wolff, 1981:47-56).
Menurut Manheim, bahwa idelogi ada dua, yaitu ideologi total dan
ideologi partikular. Ideologi total adalah ideologi yang merupakan asosiasi antara
keyakinan dan pandangan dunia dengan kelompok sosial atau kelas tertentu.
Sebaliknya ideologi partikular adalah ideologi untuk mempertahankan tatanan
sosial atau politik tertentu atau sebagai pembenar sebuah sistem sebagai sesuatu
yang alamiah (Burke, 2011:143).
Dalam sebuah pergulatan terdapat hegemoni dengan pengertian bahwa
kelompok yang menyimpang selalu berada dalam posisi yang berhadapan dengan
kelompok yang menganut nilai-nilai resmi. Nilai yang dianut oleh kelas tertentu,
melalui cara-cara kompromis atau konsensus atau juga dengan kekerasan harus
dianut oleh kelompok yang lain. Di pihak lain Gramsci dalam hal ini
menawarkan hegemoni budaya, yaitu hegemoni melalui cara-cara konsensus
untuk mendominasi atau menguasai kelompok yang lain (Burke, 201:125--128).
Hegemoni yang ditawarkan oleh Gramnsci ini menekankan pada konsep
penyadaran.
2.2.4 Identitas
Identitas adalah esensi yang dapat dimaknai melalui tanda, selera,
kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas adalah sebuah penetapan terhadap
ciri-ciri seseorang, kelompok, atau masyarakat tertentu (Purwadarminta, 1979:
369). Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa identitas dapat dianggap
48
bersifat personal dan sekaligus bersifat sosial, yang dapat digunakan untuk
menandai bahwa seseorang, masyarakat, dan etnis sama atau berbeda dengan
yang lain.
Untuk mendefinisikan identitas dalam hal ini dilakukan dengan cara
membandingkan serta mengkontraskan ciri-ciri, kepercayaan, sikap, dan gaya
hidup masyarakat yang satu dengan yang lainnya (Burke, 2011:84; Zehfuss, 2010:
185--186). Uraian di atas memberikan petunjuk bahwa identitas merupakan
politik perbedaan, yang pada intinya merujuk pada sebuah perbedaan, baik
pribadi maupun sosial.
Dari sudut pandang ilmu politik, politik identitas adalah politik
perbedaan yang semula didasarkan atas perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan
oleh perbedaan tubuh atau disebut dengan biopolitik (Abdilah, 2002:16).
Biopolitik kemudian berkembang tidak hanya pada perbedaan tubuh, tetapi
perbedaan yang bersifat individu, kelompok, sosial, dan dapat digunakan sebagai
konsep dasar untuk mengkaji perbedaan nilai seni budaya dan tradisi etnis.
Identitas adalah cara berpikir tentang diri kita. Cara berpikir tentang diri
kita, berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktu. Oleh
karena itu, Antony Giddens menyebutkan identitas sebagai proyek yang selalu
diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, dan suatu gerak maju daripada
sesuatu yang datang kemudian.
Identitas yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah identitas yang tidak
bersifat pribadi, tetapi bersifat sosial yang diimplementasi dalam tradisi dan
budaya. Artinya, sebuah identitas sosial bagi etnis tertentu dan dalam wilayah
49
tertentu yang merupakan seluruh aspek budaya yang spesifik menurut ruang dan
waktu tertentu. Bentuk identitas dapat berubah dalam ruang dan waktu sesuai
dengan jiwa zamannya yang sangat erat terkait dengan berbagai konteks sosial
dan budaya (Barker, 2004:170). Dalam hal ini wayang orang merupakan
bentuk spesifik dari aspek sosial budaya Sasak yang dapat dianggap sebagai
identitas masyarakat Sasak.
Pertunjukan Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang, memiliki
ciri yang spesifik dan tidak dimiliki oleh pertunjukan wayang orang lainnya atau
wayang wong seperti Jawa dan Bali. Ciri spesifik yang membedakan wayang
orang dengan wayang wong Jawa dan Bali, adalah cerita pokok yang digunakan
serta musik pengiringnya yang khas Sasak. Cerita pokok yang digunakan dalam
wayang orang adalah Serat Menak, yang dianggap berasal dari Hikayat Amir
Hamzah.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
merupakan usaha membangun identitas Sasak sebagai sebuah etnis yang
berbudaya dan telah membentuk sikap dan karakter Sasak dari masa lampau.
Upaya membangun identitas dapat diartikan sebagai usaha untuk membangun
apa yang kita pikirkan tentang diri kita dari sudut masa lalu dan masa kini serta
harapan ke depan (Barker, 2004:171; Lelland, 2005).
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
merupakan upaya untuk membangun tradisi yang telah diwarisi dari masa
lampau. Artinya tidak akan bisa dilepaskan dengan pergulatan-pergulatan
50
identitas karena tiap-tiap kelompok, suku, dan agama yang ada di Mataram,
Lombok ingin membangun identitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
Semua pihak dapat memahami bahwa Lombok khususnya Mataram
merupakan salah satu pulau atau wilayah Indonesia, yang penduduknya terdiri
atas berbagai etnis, seni budaya, serta agama masing-masing. Pergulatan dalam
menempatkan masa lampau sebagai identitas menyebabkan terjadinya
pencarian identitas tidak akan pernah selesai. Identitas merupakan sesuatu yang
tidak pernah final atau sesuatu yang senantiasa berubah (Abdilah, 2002:28).
Wayang orang sebagai sebuah seni pertunjukan merupakan sebuah sistem
yang menampilkan simbol-simbol tertentu yang dapat dipahami melalui
pandangan interaksi simbolik. Tokoh-tokoh yang memelopori munculnya teori
interaksi simbolik antara lain, Mead (1863--1931), William (1842--1910), Dewey
(1859--1952). Mereka menyatakan bahwa dalam sebuah interaksi, posisi diri
menjadi sangat penting karena merupakan subjek dan objek bagi dirinya yang
bebas (Jaeni, 2012: 67). Ia akan menjadi objek sebelum dirinya itu menjadi
subjek. Diri akan mengalami internalisasi atau interpretasi subjektif atas realitas
struktur yang lebih luas.
Dalam hal ini konsep mengenai diri yang mendasari subjektivitas sangat
kuat berimplikasi terhadap interaksi suatu kehidupan sosial dan budaya. Konsep
diri akan mencerminkan identitas seseorang dalam seni pertunjukkan Wayang
Orang dan refleksinya dalam kehidupan sosial. Identitas diri dalam sebuah seni
pertunjukan sering mengalami pergulatan ketika seseorang mengubah identitasnya
51
dalam sebuah seni pertunjukan, kemudian merefleksikannya dalam realitas sosial.
Hal itu merupakan usaha untuk menciptakan identitas sosial.
2.3. Landasan Teori
Penelitian mengenai, “Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun
Batu Pandang: Sebuah Pergulatan Identitas di Mataram, Lombok”, akan dapat
diungkap dan dipahami melalui teori yang relevan untuk memecahkan
permasalahan yang ada. Teori adalah hubungan sistematik antara konsep,
definisi, dan proposisi yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan
memprediksi fenomena (Djama’an, 2010:5). Teori merupakan idealisme
pemikiran yang berangkat dari fenonema empirik dan dapat dijadikan pola
pemecahan masalah empirik (Satori, Djama’an, 2010:6). Teori ditempatkan
sebagai alat analisis dan menjadi pintu masuk untuk memahami dan mengungkap
objek penelitian (Ratna, 2010 : 48).
Rekonstruksi wayang orang merupakan idealisme pemikiran untuk
membangkitkan nilai-nilai budaya Sasak dalam memperkuat tatanan sosial untuk
membangun identitas Lombok. Dalam membangkitkan nilai-nilai budaya akan
ada pemikiran dekonstruktif terhadap teks pertunjukan wayang orang, dalam
mencari dan menemukan makna yang tersembunyi pada teks tersebut. Ada relasi
kuasa untuk menciptakan tatanan sosial agar wayang orang dianggap biddhah
oleh masyarakat Sasak sehingga nampak adanya hegemoni kekuasaan.
Kekuasaan dalam hal ini diharapkan bukan hanya sebagai perekat yang
berusaha untuk menyatukan kehidupan sosial atau sebagai kekuatan kohersif yang
52
mensubordinasi kelompok-kelompok lain, melainkan sebagai usaha integratif
untuk mewujudkan multikulturalisme. Sering dapat dilihat bahwa kekuasaan
adalah suatu hegemoni terhadap yang dikuasai dalam bentuk oposisi biner.
Penguasa selalu lebih unggul, lebih benar, dan sebagai fondasi dari yang
dikuasai.
Dalam pergulatan identitas di Lombok, kekuasaan menciptakan proses
untuk membangun dan menciptakan jalan bagi segala bentuk tindakan, hubungan,
dan tatanan sosial (Barker 2004:10). Untuk mengkaji rekonstruksi Wayang
Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang digunakan teori dekonstruksi yang di
dukung oleh teori multikulturalisme dan teori hegemoni.
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Pentingnya teori dekonstruksi dikaitkan dalam penelitian ini bahwa
rekonstruksi wayang orang adalah sebuah dekonstruksi teks. Teks adalah semua
struktur yang nyata, seperti ekonomi, historis, sosio institusional, dan semua
kemungkinan acuan (Zehfuss, 2010:190). Teks dalam rekonstruksi wayang orang
itu adalah sumber cerita dan pertunjukannya.
Teori dekonstruksi dikembangkan oleh J. Derrida berangkat dari
penyangkalan terhadap pemikiran struktural Sausure, yang menganggap bahwa
bahasa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference). Inti
perbedaan itu adalah opsisi biner, yang melihat bahwa bahasa muncul dari
oposisi antara tuturan/tulisan, benar/ salah, bentuk/makna, jiwa/badan,
baik/buruk, dan sebagainya (Norris, 2003:9).
53
Dari oposisi biner itu Sausure menganggap bahwa yang pertama lebih
superior daripada yang kedua, yang pertama adalah logos, kebenaran dari
kebenaran atau kebenaran mutlak, atau kebenaran tunggal (Norris, 2003:10--
11). Sebaliknya yang kedua merupakan representasi palsu dari yang pertama atau
bersifat inferior (Noris, 2003:10). Dengan demikian, yang kedua dianggap
sebagai ikutan karena tanpa yang pertama, yang kedua tidak pernah ada sehingga
yang pertama ditempatkan sebagai pusat (sentral), fondasi, dan lebih unggul.
Pemikiran dekonstruksi Derrida, adalah penyangkalan terhadap kebenaran
tunggal atau logos itu sendiri. Dikatakan demikian karena apa yang menjadi
penanda kebenaran absolut hanyalah jejak atau bekas yang mustahil memiliki
makna absolut (Noris, 2003:12). Dengan demikian, tidak ada kepastian tunggal
karena apa yang dikatakan pasti, menurut Derrida adalah ketidak pastian atau
permainan, karena itu semuanya harus ditangguhkan atau ditunda (differed),
dan terus menerus bermain dalam perbedaan (to differ) (Noris, 2003:12).
Langkah-langkah dekonsruksi yang ditawarkan J Derrida adalah (1)
mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks, artinya mana yang diistimewakan
dan mana yang tidak ; (2) oposisi itu harus dibalik karena adanya saling
ketergantungan; (3) memperkenalkan peristilahan baru (Norris, 2003:14).
Said (2010) menggunakan oposisi biner untuk menganalisis hegemoni
barat terhadap timur, dalam bukunya yang berjudul Orientalisme Menggugat
Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur sebagai Subjek. Said (2010:1--9)
membongkar hegemoni barat terhadap timur, karena barat sangat tergantung pada
timur, bukan timur yang tergantung pada barat. Sehubungan dengan oposisi biner
54
antara barat dan timur, maka ada oposisi lain yang menjadi sasaran teori
dekonstruksi, yaitu oposisi antara penjajah dan terjajah, antara beradab dan
biadab (Haryanto, 2012: 307).
Oposisi biner antara penjajah dan terjajah sebagai sebuah teks sejarah
dibaca berdasarkan teori dekonstruksi bahwa mereka dijajah karena mereka masih
bodoh dan tidak beradab. Kenyataannya kolonialisme adalah penguasaan,
perampasan bagi mereka yang masih terbelakang. Panggilan luhur untuk
memberadabkan ini merupakan fantasi untuk mengukuhkan superioritas penjajah
atas yang terjajah dan sekaligus menyucikan tindakan-tindakan penjajah itu
sendiri. Agenda yang tersembunyi inilah yang ingin ditelanjangi, yaitu yang
mengandung banyak kelemaham dan kepincangan di balik tesk-teks tersebut
(Haryanto, 2012:308).
Dekonstruksi, adalah sebuah metode untuk menelanjangi agenda
tersembunyi yang ada di balik teks-teks yang didekonstruksi (Haryanto, 2012:
308). Teks dalam penelitian ini adalah rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok dan agenda
tersembunyi yang ada di balik rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti itu.
Pergulatan identitas yang dapat ditandai oleh kondisi sosial di Mataram, Lombok
menunjukkan oposisi biner antara Islam Waktu Lima yang berideologi syariah
dan Islam Wetu Telu yang berideologi budaya lokal atau kultural. Dalam
dikotomi itu Islam Waktu Lima sebagai pusat (sentral), fondasi, dan kebenaran
tunggal (logocentrisme). Di pihak lain Islam Wetu Telu dengan kultur lokalnya
55
merupakan representasi palsu atau ikutan dari Islam Waktu Lima. Artinya, tanpa
adanya Islam Waktu Lima tidak ada Islam Wetu Telu.
Teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh J. Derrida bukan berarti
pembongkaran atau penghancuran yang berakhir pada pandangan monisme atau
kekosongan, melainkan pembongkaran terhadap penunggalan yang positivistis
dan logosentris. Pembongkaran yang diinginkan oleh J. Derrida adalah
pencarian kebenaran itu tidak bersifat tunggal, umum, dan universal, tetapi
bersifat jamak, karena dalam kenyataannya kebenaran adalah plural, partikular,
dan relatif (Santoso, 2010:252).
2.3.2 Teori Multikulturalisme
Pemahaman terhadap masyarakat multikultur di Indonesia diawali oleh
pemikiran Furnivall mengenai masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk
adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau dua tatanan sosial
atau lebih yang hidup berdampingan, tetapi tidak membaur dalam satu unit
politik yang sama (Hefner, 2007:273). Pandangan itu kemudian berkembang
menjadi plural, multienis, multiras, kompleks, dan heterogen (Hefner, 2007:273).
Pandangan itulah yang kemudian dijadikan konsep untuk memahami masyarakat
Indonesia yang dikategrorikan sebagai masyarakat majemuk atau multikultural.
Masyarakat multikulturalisme adalah masyarakat yang terdiri atas ras,
suku, dan agama, tetapi secara bersama-sama membangun dan membina sebuah
kebudayaan untuk kepentingan bersama atau nasional (Ratna, 2010:183). Untuk
membangun perbedaan atau pluralisme menjadi kebersamaan tanpa
56
menghilangkan perbedaan itu sebagai sebuah indentitas, maka dibutuhkan
teori multikulturalisme. Pengertian multikulturalisme adalah perbedaan
identitas dalam wujud adat istiadat, kebiasaan, struktur sosial, termasuk tradisi
seni budaya.
Teori multikulturalisme adalah teori yang mengambil serangkaian bentuk
dan makna dari berbagai kebudayaan yang berbeda dalam suatu wilayah tertentu
untuk dipahami dan dihargai bersama. Teori multikulturalisme berbeda dengan
teori homogenitas, seperti Afrosentris (Ritzer, 2004: 106).
Teori homogenitas merupakan teori yang menciptakan kesamaan antara
kelompok etnis yang dominan dan kelompok etnis minoritas, sedangkan teori
multikuluralisme, mengakui perbedaan antara kelompok etnis dominan dan
kelompok etnis minoritas. Di Lombok terdapat berbagai etnis yang memiliki
kekuatan budaya, yang muncul melalui proses penaklukan, terhadap etnis lain.
Ada pula yang berkembang melalui proses migrasi perorangan dan keluarga yang
kemudian menjadi kelompok etnis.
Multikulutral merupakan berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbeda
dan masing-masing memiliki tantangan sendiri-sendiri di Lombok. Tantangan itu
tidak hanya terjadi pada tataran perbedaan etnis dan agama, tetapi juga terjadi
pada perbedaan kepentingan terhadap kehidupan kesenian. Perbedaan yang
diwarisi secara turun temurun telah mampu menciptakan nilai-nilai kesasakan
yang diimplementasikan pada Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu
Pandang.
57
Masyarakat multikultur tidak hanya dilihat dari segi proses migrasi
penduduk dengan seni dan budaya yang dikembangkan, tetapi juga dipandang
dari proses sejarah yang membentuknya. Proses sejarah yang membentuk
Lombok menjadi daerah multietnis dan multikultur telah mewariskan konflik dan
ketegangan yang sering diperkuat oleh sentimen agama. Di samping proses
sejarah dan migrasi di Lombok, masyarakat multikultur juga dapat dipahami dari
segi susunan sosial yang kompleks dan secara keseluruhan dibentuk berbeda,
heterogen, dan beragam (Ardhana dkk., 2011:6).
Keragaman jenis kesenian yang ada di Lombok, termasuk kesenian Jawa,
Bali, Lombok, dan Sumbawa telah membentuk keragaman budaya Lombok dan
memunculkan berbagai kepentingan sehingga terjadi sebuah pergulatan untuk
menjadikan seni sebagai identitas. Perbedaan kepentingan terhadap seni
pewayangan, termasuk wayang orang, sangat kuat terjadi di Lombok sehingga
sebagian besar penulis memahami Lombok sebagai ajang konflik etnis dan
pelarangan terhadap keberadaan seni tradisional. Ada berbagai cara ditempuh
kelompok etnis minoritas di Lombok untuk menyatu dengan komunitas politik
mayoritas, yaitu mulai dari penaklukan sampai dengan migrasi sukarela
perorangan dan keluarga sehingga terbentuk kelompok etnis.
Konsep analisis mengenai cara-cara kelompok etnis minoritas hidup
berdampingan secara seimbang dengan kelompok mayoritas, seperti etnis Bali
dengan kelompok orang Sasak yang mayoritas dan beragama Islam adalah (1)
migration history, yaitu menganalisis proses historis migrasi mereka ke Lombok;
(2) diversity, yaitu menganalisis perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka
58
yang dapat dijadikan acuan untuk memahami kedamaian dan konflik; (3)
cohesion, yaitu perimbangan budaya dalam kehidupan sehari-hari (Ardhana ed.,
2013:171).
Perbedaan-perbedaan dalam cara penggabungan itu memengaruhi sifat
kelompok minoritas dan bentuk hubungan, yang dikehendaki dengan komunitas
yang lebih luas (Kymlicka, 2003:13). Bentuk hubungan yang mengakui
perbedaan budaya tidak menciptakan persamaan dan mengakui nilai nilai budaya
kelompok dominan, termasuk mengakui hak-hak minoritas yang sering menjadi
tuntutan, baik kelompok etnis maupun bangsa (Kymlicka, 2003: 9).
Karakteristik teori multikultural adalah (1) penolakan terhadap teori
universalitas yang cenderung mendukung pihak yang kuat dan memberdayakan
yang lemah; (2) mencoba menjadi inklusif, menawarkan teori atas nama
kelompok-kelompok lemah; (3) teoritisi multikulturalisme tidak bebas nilai,
mereka menyusun teori atas nama pihak yang lemah dan bekerja di dunia sosial
untuk mengubah struktur sosial, kultur, dan prospek individu; (4) teoretisi
multikultural tidak hanya berusaha mengganggu dunia sosial, tetapi juga dunia
intelektual dan mencoba menjadikannya lebih terbuka dan lebih beragam; (5)
tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe narasi
lainnya; (6) teori multikulturalisme sangat kritis, kritis berarti kritik terhadap diri
dan kritik terhadap teoretisi lain dan yang paling penting adalah terhadap dunia
sosial; (7) teoritisi sosial mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh sejarah
tertentu, konteks kultural dan sosial tertentu di mana mereka pernah hidup dalam
konteks tersebut (Ritzer, 2010:106--107).
59
Teori multikultuiralisme dalam hal ini melihat gerakan seni dan budaya
Sasak. Tujuannya adalah untuk berjuang supaya mendapatkan pengakuan sama
dengan seni budaya lainnya sebagai warisan tradisi Sasak.
2.3.3. Teori Hegemoni
Teori hegemoni merupakan teori politik yang paling penting dari Antonio
Gramsci. Teori itu muncul dari pemikiran politik Gramsci yang bertujuan untuk
menciptakan partisipasi aktif dalam proses penentuan nasib sendiri secara sosial
dan terbentuknya jenis demokratisasi sosial yang mendalam. Pemikiran politik
baru dari Gramsci ini merupakan proses demokratisasi kontra hegemoni yang
secara eksplisit membayangkan proses politik terletak pada ruang nasional
tertentu dan kondisi lokal tertentu (Rupert, 2010:244).
Dalam hal ini Gramsci ingin menciptakan kondisi politik bahwa setiap
individu, masyarakat, dan bangsa bisa berpartisipasi dalam bidang politik secara
aktif tanpa adanya hegemoni. Bagi Gramsci, hegemoni tidak hanya terjadi
karena determinisme ekonomi dan kekuasaan kapitalis menurut pandangan Marx,
tetapi juga terjadi melalui aspek kultural. Oleh karena itu, hegemoni Gramsci
dikenal dengan hegemoni kultural.
Hegemoni dengan pengaruh kultural adalah sebuah hegemoni yang
dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik
belaka dalam melakukan kontrol sosial politik. Yang dimaksud oleh Gramsci
dalam hal ini adalah menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual
secara konsensus (Hasan, 2011:26; Santoso, 2010: 89). Dengan demikian,
60
peranan intelektual dalam hal ini menjadi sangat penting karena potensi yang
dimiliki oleh intelektual organik sebagai harapan utama dan hegemoni sebagai
tema penyadaran (Santoso, 2010: 84; Mutahir, 2011 ).
Di sinilah peran intelektual organik dibutuhkan untuk membentuk
ideologi, yang mampu berjalan secara linier serta mampu melakukan dan
mengikuti perubahan (Santoso, 2010:87). Ideologi yang dimaksud di sini adalah
rakyat pekerja bisa mendapatkan kesadaran sejati jika menempatkan diri sebagai
individu yang aktif melalui perjuangan ideologi.
Ideologi adalah produk hubungan material ekonomi, penghancuran
terhadap masyarakat berkelas, dan dianggap sebagai syarat penting untuk
mendapatkan kesadaran sejati (Hasan, 2011). Ideologi dalam hal ini bergerak
terus dari pandangan Marxis, yang menganggap bahwa ideologi terbentuk untuk
mengamankan dominasi yang dilakukan oleh kelas sosial yang berkuasa. Prinsip
ideologi yang bersumber pada teori Marxis dan berpegang hanya pada faktor
ekonomi dan kekuasaan. Hal itu kemudian dikritik oleh Gramsci dengan
mengembangkan Marxisme kultural sehingga ideologi dan budaya menjadi pokok
perhatiannya dalam mengembangkan pemikiran tentang hegemoni (Hasan,2011:
40; Lelland, 2005).
Ideologi dalam hal ini dilihat sebagai bentuk reproduksi sosial yang
mengandung kekuasaan dan kebudayaan dikendalikan oleh ideologi yang
beroperasi pada ranah sosial (Hasan, 2011:24). Rekonstruksi Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang dalam hal ini termasuk dalam ranah sosial
61
karena mempunyai fungsi komunikatif yang dapat mengomunikasikan gagasan-
gagasannya untuk memengaruhi kehidupan sosial.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi dalam hal ini bukan hanya sebuah
sistem gagasan yang dapat memengaruhi orang lain, tetapi juga mempunyai
kapasitas untuk mengilhami tindakan konkret dan memberikan kerangka orientasi
pada tindakan tersebut (Pradoyo, 1993:138). Ideologi dalam hal ini dapat
dijadikan sebagai sumber penggerak bagi kehidupan masyarakat sesuai dengan
perubahan. Ideologi Islam mulai dikembangkan dengan cara-cara kultural, untuk
menguasai kelompok lain. Mengembangkan ideologi dengan cara-cara kultural,
seperti doktirn agama, etika sosial dan moral, oleh Antonio Gramsci, disebut
hegemoni kultural.
Hegemoni kultural mulai masuk ke ranah-ranah sosial (social field),
membentuk prilaku manusia yang dikembangkan lewat seni pertunjukan wayang
orang. Dalam melaksanakan hegemoni kultural, peranan intelektual menjadi
sangat penting (Mutahir, 2011:5). Dalam kaitannya dengan ideologi kultural
intekteletual adalah seniman dan budayawan yang ingin memperjuangan budaya
wetu telu. Terkait dengan ideologi Islam syariah, yang melaksanakan hegemoni
kultural dengan cara bermoral dan etika, adalah para Tuan Guru yang
memberikan dokrin dan ceramah-ceramah tentang ajaran agama Islam.
2.4 Model Penelitian
Untuk lebih mudah memahami objek penelitian sebagai sebuah fenomena
budaya tentang rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
62
di UPTD Taman Budaya Mataram, Provinsi NTB dibutuhkan model penelitian
yang dapat mengakomodasi semua data lapangan untuk menuliskan hasil
penelitian. Model penelitian dalam hal ini adalah sebuah konstruk intelektual
dalam rangka menyederhanakan realitas agar lebih mudah dipahami (Burke,
2011: 39). Model juga merupakan konstruksi intelektual untuk memahami hal-hal
yang berulang-ulang, baik secara umum maupun secara khusus. Model
merupakan konstruksi pemikiran mengenai penelitian ini, yang ditampilkan secara
sederhana, tetapi dapat menggambarkan rekonstruksi Wayang Orang Darma
Kerti, Dusun Batu Pandang secara menyeluruh.
Model dalam penelitian ini berangkat dari pemahaman terhadap identitas
Lombok yang telah dibentuk oleh nilai-nilai Islam, nilai-nilai wetu telu, dan nilai-
nilai Hindu. Wayang orang sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional
merupakan kekayaan budaya. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai kearifan lokal
yang bersumber dari cerita Serat Menak. Serat Menak berkembang di tiap-tiap
daerah, termasuk di Lombok merupakan campuran antara Cerita Panji, yang
merupakan karya sastra zaman Majapahit dengan Hikayat Amir Hamzah.
Dengan demikian Serat Menak merupakan perpaduan antara berbagai nilai, baik
yang bersumber dari ajaran Islam, maupun yang bersumber dari tradisi wetu telu.
Perkembangan Islam di Lombok, terutama Islam modern dengan firkoh-
firkoh baru menyebabkan berbagai bentuk kesenian termasuk Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang terpinggirkan. Kaitan antara pergulatan
identitas dan rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
serta ideologi yang mendorong rekonstruksi itu berimplikasi pada masyarakat
63
Mataram, Lombok menjadi sasaran studi ini dengan pendekatan kajian budaya.
Disamping itu digunakan teori dekonstruksi, multikultural, dan hegemoni.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
diharapkan mampu menyajikan identitas Lombok dengan kekhasan budayanya
serta bermakna untuk menciptakan keragaman budaya yang saling beradaptasi
antara nilai budaya dari tiap-tiap etnis. Alur pemikiran di atas dapat digambarkan
pada model penelitian di bawah ini.
64
Gambar 2.4. Model Penelitian.
: Garis Pergulatan Identitas
: Garis Interaksi Identitas
Rekonstruksi WayangOrang Darma Kerti
Dusun Batu Pandangdi Mataram, Lombok
Seniman-SenimanBali yang
Beragama Hindu
Seniman Jawa danSasak yang
beragama Islam
Ideologi apakah yangada dibalik rekonstruksiWayang Orang Darma
Kerti Dusun BatuPandanng
Bagaimana prosesrekonstruksi WayangOrang Darma Kerti
Dusun Batu Pandangitu dilakukan
Apakah implikasirekonstruksi WayangOrang Darma Kerti
Dusun Batu Pandangbagi masyarakat
Mataram Lombok
PergulatanIdentitas
Nilai-NilaiTradisi (Wetu
Telu)
MasyarakatMataramLombok
Multietnis
Nilai-NilaiIslam
Hasil Penelitian
top related