3.1.lumpur pemboran baroe
Post on 28-Dec-2015
132 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB III
PERENCANAAN RATE OF PENETRATION
Dalam suatu operasi pemboran, cepat lambatnya Rate of
Lumpur pemboran merupakan cairan yang berbentuk lumpur, dibuat dari
pencampuran zat cair, zat padat dan zat kimia. Zat cair disini sebagai bahan dasar
agar lumpur yang terjadi dapat dipompakan. Zat padat ada dua macam, yaitu
untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur mempunyai
kekentalan tertentu. Sedangkan zat kimia dapat berupa zat padat maupun zat cair
yang bertugas untuk mengontrol sifat-sifat lumpur agar sesuai dengan yang
diinginkan. Sifat-sifat lumpur harus disesuaikan dengan kondisi lapisan yang
ditembus.
Karena sifat lapisa-lapisan atau formasi yang akan ditembus dan dilalui
oleh lumpur bervariasi, maka kita selalu mengubah sifat lumpur dengan
menambahkan zat kimia yang sesuai. Untuk itu sifat-sifat lumpur harus selalu
diukur, baik lumpur yang mau masuk ke dalam lubang maupun lumpur yang baru
keluar dari lubang sumur.
3.1. Komponen Lumpur Pemboran
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat
serpih pemboran (cutting). Lalu dengan berkembangnya pemboran lumpur mulai
digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap
bertahan.
Lumpur pemboran memiliki beberapa komponen-komponen yang terbagi
menjadi tiga fasa dasar, yaitu : air, padat dan kimia. Proporsi dari masing-masing
fasa tersebut memberikan berbagai variasi sifat-sifat lumpur, sehingga komponen-
komponennya merupakan faktor kunci dalam mengontrol fungsi lumpur
pemboran. Dimana formulasi komponen yang akan digunakan untuk lumpur
tegantung pada daerah operasi dan tipe formasi yang akan ditembus.
3.1.1. Fasa Cair
Fasa cair diidentikan dengan air, yang merupakan fasa kontinyu dari fresh
water maupun salt water, tergantung pada tersedianya air yang akan digunakan di
lapangan. Fungsi utama dari fasa kontinyu cair adalah memberikan inisial
viskositas yang selanjutnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan sifat rheologi
lumpur yang diinginkan. Pada kondisi standard, yaitu pada 14.7 psi dan 60 °F,
viskositas air sama dengan 1.1 cp.
Fasa cair dari lumpur pemboran merupakan fase dasar dari lumpur yang
mana dapat berupa air atau minyak atau pun keduanya yang disebut dengan
emulsi. Emulsi ini dapat terdiri dari dua jenis yaitu emulsi minyak didalam air
atau emulsi air didalam minyak. Fasa cair lumpur pemboran meliputi :
1. Air
Lebih dari 75% Lumpur pemboran menggunakan air, disini air dapat dibagi
menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin, sedangkan air asin sendiri dapat
dibagi menjadi dua, air asin jenuh dan air asin tak jenuh. Untuk pemilihan air
hal ini tentu disesuaikan dengan lokasi setempat, manakah yang mudah
didapat dan juga disesuaikan dengan formasi yang akan ditembus.
2. Emulsi.
Invert emulsions adalah pencampuran minyak dengan air dan mempunyai
komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa continyu) dan air 30-50% (sebagai
fasa discontinyu) emulsi terdiri dari dua macam, yaitu : Water in oil Emulsion
dan Oil in water emulsion.
o Oil in Water Emulsion.
Disini air merupakan fasa yang kontinyu dan minyak sebagai fasa yang
terelmusi. Air bisa mencapai 70% volume sedangkan minyak sekitar 30%
volume.
o Water in Oil Emulsion.
Disini yang merupakan fasa kontinyu adalah minyak sedangkan fasa yang
terelmusi air. Minyak bisa mencapai sekitar 50-70% volume sedangkan air
30-50% volume.
3. Minyak.
Kalau fasa cair ini berupa minyak, maka minyak yang digunakan merupakan
minyak yang diolah (refined oil). Minyak disini harus mempunyai sifat:
- Aniline Number yang tinggi.
Aniline number merupakan suatu angka yang menunjukkan kemampuan
untuk melarutkan karet. Makin tinggi aniline number suatu minyak maka
kemampuan melarutkan karet makin kecil. Dalam operasi pemboran
banyak peralatan yang dilewati Lumpur berupa karet, seperti pada pompa
Lumpur, packer, plug untuk penyemenan dan lain-lain.
- Flash Point yang tinggi.
Flash Point adalah suatu angka yang menunjukkan dimana minyak akan
menyala. Makin rendah flash point suatu minyak, maka penyalaan akan
cepat terjadi, atau minyak makin cepat terbakar.
- Pour Point yang rendah
Pour Point adalah suatu angka yang menunjukkan pada temperature
berapa minyak akan membeku. Jadi kita tidak menginginkan Lumpur yang
cepat membeku.
- Molekul minyak yang stabil, dengan kata lain tidak mudah terpecah-pecah.
- Mempunyai bau serta fluorencensi yang berbeda dengan minyak mentah
(crude oil). Kalau tidak demikian maka akan sulit nanti untuk menyelidiki
apakah minyak berasal dari formasi yang dicari atau berasal dari bahan
dasar dari lumpur.
Viskositas air merupakan fungsi dari temperatur, tekanan dan konsentrasi
larutan garam. Dengan meningkatnya temperatur, maka volume akan
mengembang dengan ditandai friksi molekul yang rendah sehingga terjadi resisten
alirannya kecil, viskositas air menurun. Efek temperatur terhadap viskositas air
dapat dilihat pada Gambar 3.1. dibawah ini. Sedangkan air jika mendapatkan
tekanan, maka kenaikan resitansi aliran, akibat berkurangnya volume total, dapat
diabaikan. Secara umum pengaruh temperatur dan tekanan pada fasa kontinyu cair
sangat kecil sehingga normal diabaikan. Sedangkan viskositas air asin naik selain
dipengaruhi temperatur dan tekanan, juga dipengaruhi oleh kenaikan konsentrasi
garam, dimana biasanya viskositasnya lebih besar 1.7 kali dari fresh water pada
temperatur yang sama.
Gambar 3.1.Pengaruh Temperatur Terhadap Viskositas Air4)
Fungsi kedua fasa cair adalah sebagai suspensi reactive colloidal solid,
seperti bentonite, dan inert solid, seperti barite. Air juga bekerja sebagai media
transfer hydraulic horsepower dari permukaan untuk bit yang berada di bawah
lubang sumur, disebut sebagai fungsi ketiga fasa cair yang dikenal dengan istilah
jetting action. Air juga berfungsi sebagai penyerap (absorbing) panas massif yang
terjadi di borehole selama proses pemboran. Selain itu juga sebagai media pelarut
semua kondisi kimiawi yang ditambahkan dalam lumpur pemboran, terutama sifat
pH dan salinitas air sangat berpengaruh terhadap efektifitas kimia yang
ditambahkan.
Beberapa fungsi lumpur pemboran merupakan fungsi dari air sebagai fasa
cair. Seleksi dari tipe fasa cair yang digunakan untuk mengontrol lumpur adalah
sebagai berikut :
1. Ketersediaan air (availability).
Ketersediaan air sangat tergantung pada lokasi, seperti keberadaan fresh water
yang berlimpah pada suatu daerah yang tidak tersedia di daerah yang lainnya.
Misalnya pada pemboran offshore, air asin sangat sering sekali digunakan
untuk menggantikan fresh water, karena memerlukan biaya dan peralatan
yang banyak jika menggunakan fresh water.
2. Tipe formasi geologi.
Karena beberapa tipr formasi yang dibor sangat sensitive terhadap fresh water,
maka jika penggunaan fresh water masih terus digunakan akan menyebabkan
kerusakan formasi dan memperbesar kerusakan lubang sumur. Filtrate fresh
water juga menyebabkan partikel clay mengalami swelling dan bermigrasi
sehingga dapat mengurangi permeabilitas permanent.
3. Tipe kimiawi.
Kelarutan dan efektifitas kimiawi merupakan ukuran uatama untuk
mempetimbangkan efisiensi mud conditioning. Salinitas dan pH dari fasa
kontinyu cair yang berpengaruh besar tehadap kelarutan kimiawi mud
conditioning.
4. Tipe sebagai media data-collecting.
Beberapa peralatan logging umumnya bereferensi pada fasa kontinyu cair
lumpur sebagai media operasi, seperti SP dan elektrik log. Akurasi dari hasil
yang didapatkan adalah fungsi dari salinitas dan temperatur, sehingga kehati-
hatian dalam menyeleksi fasa kontinyu cair sangat penting.
Kriteria seleksi diatas harus berhati-hati dalam mempertimbangkan agar
tidak saling mengganggu. Faktor keekonomian merupakan faktor yang paling
memainkan peranan seleksi air dalam tipe lumpur.
3.1.2. Fasa Solid
Fasa solid merupakan fasa padatan yang ditambahkan dalam lumpur yang
berfungsi untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur
mempunyai kekentalan tertentu. Secara garis besar, berdasarkan daya
kerekatifannya terhadap komponen-komponen dalam lumpur dan kondisi
formasinya, fasa solid lumpur pemboran dikelompokkan menjadi dua, yaitu : inert
solid dan reactive solid.
3.1.2.1. Inert Solid
Inert solid merupakan komponen padatan dari lumpur yang tidak bereaksi
dengan fasa cair lumpur pemboran. Didalam lumpur pemboran inert solid berguna
untuk menambah berat atau berat jenis lumpur, yang tujuannya untuk menahan
tekanan dari formasi. Inert solid dapat pula berasal dari formasi-formasi yang di
bor dan terbawa oleh lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non-swelling, dan
padatan seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan density lumpur dan perlu
dibuang secepat mungkin (biasanya menyebabkan abrasi dan kerusakan pompa
dll).
Dengan alasan bahwa berat clay ditambah air dalam lumpur pemboran
dianggap kurang mampu untuk menahan dan mengontrol tekanan formasi, maka
berat material yang terkandung dalam lumpur harus ditambah untuk memperoleh
berat lumpur yang diinginkan. Material pemberat adalah material yang secara
kimiawi memilki berat jenis atau densitas cukup untuk mengimbangi tekanan
hidrostatik yang berkembang. Beberapa material pemberat inert solid harus
memberikan harga berat jenis yang tinggi dan memiliki watabilitas terhadap air.
Material pemberat yang digunakan dalam lumpur harus water-wet sesuai dengan
suspensi fasa kontinyunya. Lapisan film tebal yang terbentuk pada permukaan
water-wet, seperti barite, akan meningkatkan daya melumasi (lubricant) lumpur.
Penambahan material pemberat juga meningkatkan volume total lumpur
yang merupakan fungsi berat jenis material tertentu. Berkembangnya volume
total, hasil dari penambahan berat jenis lumpur yang besar, akan memerlukan
penanganan lumpur di permukaan sehingga perhitungan dalam penambahan
material pemberat merupakan prioritas permulaan yang harus diperhatikan. Inert
solid yang memberikan kontribusi terhadap kandungan padatan dalam lumpur
akan sangat berpengaruh terhadap sifatsifat lumpur pemboran.
Sebagai contoh yang umum digunakan sebagai inert solid dalam Lumpur
bor adalah :
- Barite (BaSO4).
Keuntungan menggunakan barite adalah murah harganya, barit jenis 4,2
bersih, tidak reaktif mengadung impurities silica sedikit, berwarna putih
dan mempunyai kekerasan 2,5-3,5 skala mohs.
- Oksida Besi (Fe2O3).
Mempunyai sifat yang kurang sempurna bila dibanding dengan barit,
karena barasif dan berwarna merah, selain itu biaya transportasi dan
pengolahan selama proses pembuatannya mahal.
- Calcium Carbonat (CaCO3).
Digunakan terutama pada oil base mud dan mengakibatkan settling ratenya
rendah, mempunyai berat jenis 2,7 dan dapat diperoleh dari kulit kerang
atau shell yang dihaluskan kemudian dicuci dan dikeringkan.
- Galena (PbS).
Pada formasi yang mempunyai tekanan abnormal umumnya menggunakan
galena, karena mempunyai berat jenis yang lebih besar yaitu 6,8 sehingga
diharapkan dapat untuk mengimbangi tekanan normal formasi.
3.1.2.2. Reactive Solid
Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya
membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa
kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-
20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan
menghisap fasa cair air dan memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas,
viskositas, gel strength serta mengurangi fluid loss. Mud engineer biasanya
membagi clay yang digunakan ntuk lumpur menjadi tiga, yaitu : montmorillonite,
kaolinite dan illite. Montmorillinite yang paling sering digunakan karena
kemampuannya yang mudah swelling menghasilkan clay yang homogenous
bercampur dengan fresh water. Dalam literature pemboran manual,
montmorillonite direferensikan dengan bentonite, karena bentonite identik dengan
clay montmorillonite. Montmorillonite merupakan material berbentuk seperti plat
atau lempengan tipis dengan ukuran partikelnya lebih kecil dari 0.1 mikron.
Semakin kecil ukuran partikelnya, maka semakin luas bidang kontak antara
partikel solid dengan media cairannya, sehingga interconnected properties (sifat
saling berhubungan) dengan medianya besar, maka reaktifitasnya menjadi lebih
tinggi terhadap fasa cair lumpur pemboran. Seperti yang dijelaskan oleh Roger,
bentonite merupakan koloid yang sangat reaktif yang mempengaruhi sifat fisik
dan kimiawi lumpur pemboran. Sedangkan clay attapulgite, yang dapat swelling
dalam air asin, biasanya digunakan dalam kondisi lumpur salt water.
Clay yang merupakan reactive solid dapat didefinisikan sebagai padatan
yang diameternya kurang lebih 2 mikron yang mampu menyerap air sehingga
mempunyai kemampuan swelling. Kemampuan swelling ini dipengaruhi oleh
gaya differensial yang bekerja pada partikel clay, yang merupakan hasil dari gaya
tolak-menolak antara ion-ion sejenis dan gaya tarik-menarik antara ion-ion tak
sejenis di permukaan plat clay. Distribusi gaya-gaya tersebut ditentukan oleh sifat
water-base mud yang dikontrol oleh jenis elektrolit yang terlarut dan derjat pH
pada fasa gas, yaitu dengan menambahkan zat-zat additive lumpur pemboran.
Kemampuan bentonite untuk hidrasi kemudian terdispersi akan mengurangi
keberadaan elektrolit dalam air. Seperti yang ditunjukkan oleh Baroid, ketika
bentonite ditambahkan fresh water terjadi empat kondisi kesetimbangan antara
bentonite dengan air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2., yaitu:
aggregation (penggumpalan), flocculation, dispersion (menyebar), dan
deflocculation.
Gambar 3.2.Kondisi Kesetimbangan antara Clay Montmorillonite dengan Partikel Air4)
Lantaran bentonite kurang begitu mampu menghidrasi pada kondisi
dimana air mengandung elektrolit yang tinggi, maka clay jenis lainnya harus
digunakan untuk memberikan sifat rheologi lumpur. Larutan elektrolit
menghambat pertukaran antara ion-ion positif dengan negatif pada fasa gas. Clay
attapulgate dipakai sebagai pengganti bentonite untuk memperbaiki sifat rheologi
lumpur saat menemui air dengan kandungan elektrolit yang tinggi. Jenis clay ini
berbeda dengan bentonite dalam hal bentuk partikel-partikelnya, yang kecil
silindris dan menyerupai jarum daripada menyerupai plat. Viskositas yang
dibentuk attapulgite sepenuhnya tergantung pada pertalian jalinan dari partikel-
partikel menyerupai jarum tersebut. Pada permukaan formasi yang porous
deposisi partikel tersebut akan mencegah pergerakan air.
Karena dari beberapa jenis clay difungsikan untuk memberikan sifat
rheologi lumpur, maka yield point clay mutlak diketahui untuk melakukan
klasifikasi dan kualitas lumpur. Yield point clay didefinisikan sebagai sejumlah
berat dalam barrel dari lumpur yang memiliki viskositas tertentu, biasanya
memilki standard sebesar 15 cp, yang dibutuhkan oleh satu ton clay (bbl mud/ton
clay). Penambahan clay akan menyebabkan kenaikan viskositas, sehingga
menaikkan harga yield pointnya. Umumnya clay digolongkan menjadi tiga, yaitu :
high-yield clay (Na-montmorillonite, attapulgate dan asbestos), medium-yield
clay (Ca-montmorillonite) dan low-yield clay (dry lake clay). Berdasarkan
standard yang dipakai, high-yield bernilai 45 bbl mud/ton clay atau lebih besar
dari 15 cp, medium-yield bernilai 20-40 bbl mud/ton claya dan low-yield bernilai
20 bbl mud/ ton clay. Persamaan berikut akan memudahkan dalam menentukan
yield point :
.......................................(3.1.)
dimana :
Wtf = berat fraksi clay dalam lumpur.
m = berat jenis lumpur, lb/cuft.
Secara terperinci spesifikasi bentonite sebagai berikut :
Tabel 3.1.Spesifikasi Bentonite dari API
Requirement API Standard 13A
Viscometer Dial Reading at 600
RPM
Yield Point, lb/100ft2
Filteate
Wet screen analysis Residu on US
Sieve No 200
Moisture
Yield
30 cp minimum
3X plastic viscosity maximum
13.5 ml maximum
2.5 % maximum
10 % maximum as shipped from
point of manufacture
91.8 bbl of 15 cp mud per ton of dry
bentonite
3.1.3 Fasa Kimia
Lumpur secara konvensional terdiri dari dua komponen fasa seperti yang
telah disebutkan diatas, namun hingga sekarang telah dibuatkan formulasi secara
kimawi dengan tujuan-tujuan tertentu, yang terdiri dari organic dan inorganic.
Fasa kimia ini lazim dikenal dengan zat-zat additive untuk lumpur pemboran.
Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka ada
material tambahan yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur
agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi pemboran.
Berikut ini akan disebutkan beberapa bahan kimia tersebut, yaitu untuk tujuan :
menaikan berat jenis lumpur menaikkan filtration loss, dan lain-lain.
1. Bahan menaikkan berat jenis adalah sebagai berikut :
- Barite (BaSO4).
Mempunyai specific gravity antara 4,25-4,35. Biasanya digunakan untuk
operasi pemboran yang melewati zona gas yang bertekanan tinggi yang
dangkal.
- Galena (PbS).
Mempunyai specific gravity antara 6,7-7,0 fungsi utamanya adalah untuk
usaha mematikan sumur apabila tekanan dari formasi yang besar.
- Calcium Carbonat (CaCO3).
Mempunyai specific gravity sebesar 2,75 material ini digunakan untuk
lumur jenis oil base mud. Calsium carbonate biasanya dipergunakan untuk
operasi pemboran yang dalam.
2. Bahan untuk menaikkan visikositas sebagai berikut :
- Wyoming bentonite, merupakan matrial tambahan berfungsi utnuk
menaikkan viscositas Lumpur jenis fresh water mud, dimana tiap
penambahan material ini kedalam air sebanyak 20 lb/bbl akan dapat
memberikan viscositas sebesar kurang lebih 36 detik marsh funnel.
- Attapulgite, merupakan clay yang berfungsi untuk menaikkan viscositas
pada Lumpur jenis salt water base mud.
- Extra high yield bentonite
- High yielding clay
3. Bahan-bahan untuk menurunkan viscositas antara lain :
- Calsium ligno sulfonat, sangat baik untuk dipersant pada calcium treated
muds ataupun lime treated muds.
- Phosphat, dipakai sebagai thinner pada low pH muds dimana temperature
tidak lebih dari 1800 F, karena pada suhu tersebut phosphate akan pecah
menjadi orthophosphate dan sering juga dipakai untuk keadaan Lumpur
yang terkontaminasi dengan semen.
- SAPP (Sodium Acid Pyrophosphat), mempunyai pH kurang lebih 4,
fungsinya utnuk memperbaiki keadaan Lumpur yang terkontaminasi
dengan semen serta dapat digunakan untuk menurunkan viscositas lumpur.
- Quebracho, dengan penambahan 2% dari volume Lumpur dapat
memperbaiki lapisan dan menurunkanviscositas Lumpur.
- Bahan penurun viscositas yang lainnya antara lain : Chrome ligno
sulfonate, Processed lignite, Alkaline .
4. Bahan-bahan untuk menurunkan filtration loss
- Pregelatinized starch – Sodium poly crylate
- Sodium carboxymethyl cellulose
5. Bahan untuk mengatasi lost sirkulasi
- Mica, merupakan matrial mica yang tidak mengikis peralatan dan
mempunyai bentuk yang kasar
- Kwik seal, matrial yang sangat efektif untuk mencegah hilangnya Lumpur
pada formasi porous
- Mill-plug, merupakan matrial yang berbentuk butir yang mempunyai
strength yang sangat tinggi yang berfungsi untuk menutup formasi yang
pecah.
- Bahan material loss yang lain seperti : fiber, wood fiber, Ground walnut
hull.
6. Bahan-bahan chemical additive
- Gypsum (CaSO4), berupa material kering yang halus dipakai untuk
persiapan pembuatan gypsum base mud.
- Sodium Bicarbonat (NaHCO3), material yang berfungsi menyingkirkan
atau mereduksir ion calcium dari Lumpur yang mempunyai pH 9, terutama
yang terkontaminasi oleh semen.
- Caustic Soda (NaOH), mempunyai kadar alcohol yang tinggi dan
berfungsi mengontrol pH pada water base muds.
- Soda Ash, adalah material kering yang dipergunakan untuk mengendapkan
ion Ca++ pada water base muds.
7. Corrosion Control additive.
- Noxygen, berfungsi sebagai katalisator sodium sulfide yang berupa
tepung, digunakan untuk membersihkan oksigen yang dapat menimbulkan
korosi. Material ini biasanya dipakai secara menerus dalam operasi
pemboran.
- Noxygen L, mempunyai fungsi sebagai pembersih oksigen yang terdapat
dalam Lumpur, adapun bentuk dari noxygen ini berupa larutan dengan
konsentrasi 11,2 lb/bbl ammonium bisulfide.
8. Detergen additive
Additive ini berfungsi untuk membersihkan endapan-endapan shale pada bit
atau “balling up”, baik untuk Lumpur yang menggunakan bahan dasar air
tawar maupun air asin.
Contohnya : DD Compound dengan pemakaian normal antara 2-3 gallon tiap
100 barrel.
9. Bahan-bahan untuk emulsifier
Elmusifier adalah fasa kimia untuk emulsi minyak dan air. Antara lain:
- Mogco Mul (buatan agcobar)
- Trimulso (buatan Baroid)
- Atlasol (buatan Mil White)
- Imco-Ceox (buatan IMC)
10. Bahan-bahan sebagai Flocculant.
Flocculan adalah fasa kimia yang berfungsi untuk mempercepat pengendapan
serbuk bor.
Fasa kimia tersebut adalah :
- Floxit (buatan agcobar)
- Baroflac (buatan Baroid)
- Separan (buatan Mil White)
- Imco floe (buatan IMC)
3.2. Sifat Fisik Lumpur Pemboran
Komposisi dari lumpur pemboran akan menentukan sifat-sifat fisik dan
performance dari lumpur itu sendiri. Tiga sifat fisik dasar yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan suatu operasi pemboran adalah densitas,
viskositas dan gel strength lumpur pemboran. Sifat-sifat tersebut memerlukan
perhatian dalam pemonitoran dan pengontrolan untuk menjaga fungsi-fungsi
tertentu dalam operasi pemboran.
3.2.1. Densitas
Densitas lumpur pemboran atau berat lumpur didefinisikan sebagai
perbandingan berat per unit volume lumpur. Sifat ini berpengaruh terhadap
pengontrolan tekanan subsurface dari formasi, sehingga dalam operasi pemboran
densitas lumpur harus selalu dikontrol terhadap kondisi formasinya agar diperoleh
performance atau kelakuan lumpur yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan
terhadap formasi yang dibor.
Pengaturan densitas lumpur merupakan faktor penunjang keberhasilan
pemboran. Densitas lumpur yang relatif terlalu berat bagi suatu formasi
memungkinkan terjadinya lost circulation, sebaliknya densitas lumpur yang relatif
terlalu kecil akan menyebabkan terjadinya blow out. Pengontrolan densitas
lumpur dapat dilakukan dengan jalan penambahan zat-zat aditif yang umum
dipakai untuk memperbesar harga densitas antara lain yaitu : barite (SG = 4.3),
limestone (SG = 3.0), galena (SG = 7.0) dan bijih besi (SG = 7.0). sedangkan
untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur pada umumnya dipakai
aditif seperti air dan minyak. Cara lain untuk memperkecil densitas adalah dengan
jalan pengurangan kadar padatan lumpur di pemukaan. Penambahan densitas
lumpur dilakukan pada satu siklus sirkulasi viscositasnya harus kecil karena
dengan penambahan berat lumpur ini akan terjadi kenaikan viscositas. Densitas
lumpur dipengaruhi oleh temperatur, densitas akan tururn jika temperaturnya naik.
Satuan densitas dapat pula dinyatakan dalam gradient tekanan dengan satuan-
satuan yang umum dipakai adalah :
o Pounds per gallon, ppg lb/gallon
o Pounds per cubic feet lb/cuft
o Psi per 100 feet depth psi/1000ft
o Specific gravity (SG)
Tiga jenis denistas lumpur yang biasa digunakan dalam perhitungan
lumpur yaitu : static, equivalent circulating dan annular. Static atau densitas
permukaan ditentukan pada kondisi permukaan dengan peralatan mud balance.
Sedangkan densitas equivalent circulating mengacu pada berat kolom lumpur
pada saat disirkulasi. Densitas ini pada kedalaman tertentu merupakan fungsi
kehilangan tekanan di annular yang berkaitan dengan faktor circulation rate dan
kondisi lubang lumpur. Perhitungan densitas equivalent circulating sebagai
berikut :
......(3.2)
Densitas quivalent circulating biasanya akan lebih besar 1 – 1.5 lb/gal
daripada densitas static, tergantung dari besarnya annular pressure drop. Densitas
annular merupakan total tekanan actual bottomhole pada formasi yang dibor.
Densitas annular memiliki harga paling besar dibandingkan dua densitas lainnya,
khususnya ketika laju pemboran tinggi dan kedalaman sumur yang mengandung
cutting yang tinggi. Densitas annular didefinisikan sebagai berikut :
..............................................(3.3)
Perbedaan jenis lumpur pemboran memiliki range dalam penggunaan
densitas yang merupakan fungsi densitas dasar lumpur dan sifat gelstrenght pada
pencampuran mixture lumpur. Gel stenght mempunyai hubungan secara langsung
dengan kemampuan fluida dalam menahan berat material dan cutting pemboran
ketika sirkulasi dihentikan.
Besarnya densitas akan menentukan tekanan hidrostatik kolom lumpur
pemboran seperti ditunjukkan pada persamaan berikut :
.................................................................(3.4)
..................................................................(3.5)
dimana :
Pm = tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.
m = densitas lumpur, ppg.
D = Depth, ft.
Dan
...................................................................(3.6)
karena densitas air tawar adalah konstan, yaitu 8.33 ppg maka persamaan diatas
dapat berubah menjadi :
........................................................................(3.7)
Pengontrolan densitas lumpur pemboran tergantung pada maksud tujuan
jenis lumpur tersebuat akan digunakan dalam operasi pemboran.
3.2.2. Viskositas
Viskositas didefinisikan sebagai tahanan lumpur pemboran untuk mengalir
saat dipompakan yakni perbandingan tegangan (shear stress) dengan regangan
(shear strain) yang diukur dengan Marsh funnel atau rational viscometer.
Viskositas merupakan sifat penting bagi lumpur karena berpangaruh terhadap
efisiensi kemampuan pengangkatan. Karena cutting maupun material lainnya
secara kontinyu terproduksi bersama dengan lumpur selama operasi pemboran
sehingga diharapkan sesampainya di permukaan dapat dibersihkan sebelum
disirkulasikan kembali dengan perlatan mud screen, desanding devices,
centrifugal concentrator dan sebagainya yang sengaja dipasang untuk
membersihkan solid dalam lumpur.
Viskositas juga melibatkan perhitungan kehilangan tekanan (pressure
drop) di annulus pada aliran laminar dengan menggunakan persamaan Bingham.
Viskositas merupakan fungsi dari empat faktor, yaitu :
1. viskositas lumpur dasar.
2. ukuran, bentuk dan jumlah partikel solid per unit volume.
3. gaya antar partikel.
4. derajat emulsifikasi oil in water atau water in oil dan kestabilan emulsi.
Temperatur berpengaruh terhadap viskositas lumpur dasarnya, yaitu :
minyak, air atau keduanya. Disebabkan spasi ruang antar molekul kecil sedangkan
kohesi molekul sangat kuat, maka dengan adanya kenaikan temperatur, kohesi
molekul menurun sehingga menurunkan viskositas lumpur. Temperatur sangat
berpengaruh terhadap viskositas minyak dibandingkan dengan air yang memiliki
viskositas lebig rendah dari minyak.
Besaran area kontak antara partikel solud dengan fasa cair mempengaruhi
plastic viskositas akibat friksi mekanik. Plastik viskositas meningkat dengan
naiknya daerah permukaan yang dibasahi fasa cair. Total daerah yang dibasahi
meningkat dengan penurunan ukuran partikel, meningkatnya jumlah partikel solid
per satuan volume, dan perubahan bentuk partikel dari membulat menjadi flat.
Viskositas lumpur pemboran yang terlalu tinggi menyebabkan :
o Penetration rate menurun kerana viskositas yang tinggi memilki kohesi
partikel yang kuat sehingga menghalangi efektifitas penembusan oleh bit.
o Pressure loss karena sebagian distribusi tekanan digunakan untuk
memompakan dan menentang resistansi lumpur.
o Lumpur sukar melepaskan gas, cutting dan pasir dalam sirkulasi di
permuakaan.
o Beban pompa bertambah dengan bertambahnya luas kontak dengan
partikel sehingga efek friksi dan resistansi lumpur menjadi sangat besar.
Sebaliknya viskositas yang terlalu kecil dapat menimbulkan :
o Pengangkatan cutting menjadi tidak efektif karena lifting capacity partikel-
partikel lumpur terlau kecil untuk menahan berat cutting.
o Terjadinya flokulasi padatan.
Treatment lumpur yang dilakukan untuk mengontrol viskositas lumpur
pemboran dilakukan dengan penambahan zat-zat aditif. Untuk mempertinggi
viskositas lumpur, zat-zat aditif yang digunakan antara lain : bentonite pada water
base mud dan asphalt pada oil base mud. Sedangkan untuk menurunkan viskositas
lumpur pemboran digunakan zat-zat aditif seperti air atau thinner yang berfungsi
untuk mengencerkan lumpur.
3.2.3. Gel Strength
Gel strength merupakan sifat statik lumpur pemboran yang merupakan
suatu bentuk padatan dalam lumpur yang sirkulasinya dihentikan. Faktor
penyebab terbentuknya gel strength yaitu adanya gaya tarik-menarik dari partikel-
partikel plat clay sewaktu tidak ada sirkulasi. Gel strength didefinisikan sebagai
gaya dalam gram yang diperlukan untuk memecah standard gel menjadi lumpur.
Sistem satauan yang umum yang digunakan untuk gel strength adalah :
o Gram dyne/cm2, gr dyne/cm2.
o Gram pound/sgft, gr lb/ft2.
Komponen-komponen pembentuk atau komponen aktif pembentuk lumpur
yang dapat menyebabkan gel strength antara lain : clay, shale dan bentonite yang
sudah memilki gaya tarik-menarik partikel platnya. Dalam suatu operasi
pemboran, gel strength dikontrol agar mendapatkan suatu performance lumpur
yang sesuai dengan fungsi yang diharapkan terhadap formasi yang dibor. Untuk
standarisasi pengukuran gel strength dilakukan dua kali, yaitu pda initial time
yaitu 0 menit atau tepat pada saat setelah sirkulasi lumpur dihentikan dan yang
kedua yaitu setelah 10 menit sirkulasi dihentikan. Hubungan gel dengan
thixotropic, yaitu sifat adanya gejala gel yang pecah dan menjadi lumpur
pemboran kembali, kondisi ini bersifat reversible.
Untuk mengetahui gel strength dalam lumpur pemboran dapat dipakai
persamaan sebagai berikut :
........................................................................................(3.8)
dimana :
G = gel strength pada waktu T, gr lb/sgft.
G’ = gel strength maksimum, gr lb/sgft.
T = waktu, menit.
K = konstanta rate.
Adapun fungsi gel strength dalam lumpur adalah untuk menahan cutting
dan material solid dalam suspensi serta melepaskannya di permukaanya, sehingga
gel strength merupakan faktor penting dalam mekanisme pengangkatan cutting.
Ketidaknormalan yang relatif besar dari harga gel strength akan
mengganggu jalannya operasi pemboran, karena menyebabkan masalah-masalah
seperti :
o Terganggu pompa untuk memulai sirkulasi karena membutuhkan tenaga
pompa yang besar.
o Kecenderungan dari lumpur untuk lost circulation.
o Pelepasan cutting, material solid dan pasir ke permukaan akan tidak efektif
lagi sehingga dapat mempertinggi abrasifitas lumpur terhadap peralatan di
permukaan, seperti pompa lumpur.
o Filtration loss merupakan kehilangan fasa cair lumpur yang masuk ke
formasi permeable yang diukur dengan peralatan standard filter press
yang merupakan hasil pada kondisi statik (sirkulasi dihentikan).
3.3. Sifat Kimia Lumpur Pemboran
Sifat kimia lumpur pemboran merupakan tingkat reaktifitas lumpur
terhadap kondisi formasi yang ditembus, terutama berkaitan dengan kandungan
kimiawi partikel-partikelnya. Seperti sifat fisik lumpur, sifat kimia juga sangat
menentukan fungsi lumpur, karena performance lumpur dapat berubah dengan
adanya pengaruh dari efek kimia partikelnya. Perubahan sifat kimia yang tidak
sesuai maksud tujuan pemboran akan menyulitkan pengontrolan lumpur sehingga
treatment terhadap sifat kimia harus selalu diperhatikan selama sirkulasi
dilakukan. Semua sifat kimia diharapkan mempu memberikan keuntungan yang
menunjang fungsi lumpur pemboran.
3.3.1. Padatan
Terdapatnya padatan atau solid dalam lumpur pemboran dalam jumlah
yang besar dapat mengakibatkan korosi dan abrasi pada peralatan pemboran
seperti pompa lumpur, drillstring, casing dan sebagainya. Sebagai contoh padatan
yang sering dijumpai adalah pasir, yang mana kadar pasir dalam lumpur dihitung
dengan alat yang disebut sand screen set. Set terdiri dari 200 meshsive dengan
diameter 2.5 inc yang dilengkapi dengan sebuah corong untuk memasang saringan
(screen) serta sebuah gelas yang disebut dengan glass measuring tube. Kadar pasir
dinyatakan dalam persentase yang dapat diamati pada dasar gelas pengukur yang
mempunyai pembagian skala dari 0 – 20% volume. Sehingga dalam pengukuran
harus dipastikan bahwa kadar pasir dari total volume lumpur lebih kecil dari 20%
agar tidak menimbulkan problem kepasiran yang mengganggu rate produksi dan
merusakkan peralatan pemboran. Kadar pasir tidak boleh terlalu tinggi karena
dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya :
o Padatan memiliki sifat yang abrasive atau mengikis, oleh karena peralatan
yang disirkulasi akan terkikis ketika dilalui padatan solid lumpur.
o Padatan dapat menyebabkan berat jenis lumpur akan naik dan hal ini
menyebabkan kerja dari pompa lumpur akan semakin berat.
3.3.2. pH
pH sebagai salah satu sifat kimia lumpur pemboran merupakan penting di
dalam treatment pada suatu operasi pemboran. Untuk mengukur pH suatu lumpur
ada dua cara, yaitu :
1. Modified colorimetric method dengan menggunakan paper strip.
2. Electrometric method dengan menggunakan glass electrode.
Paper strip method tak dapat dipercaya apabila konsentrasi garam dari
contoh sangat tinggi, sedangkan electrometic method akan mempunyai kesalahan
besar untuk larutan yang mengandung ion Na dalam konsentrasi yang tinggi,
selain itu duperlukan koreksi temperatur yang harus dilakukan dengan
pengukuran pH secara electrometric.
Konsentrasi ion hidrogen lumpur pemboran lebih tepatnya digambarkan
sebagai harga pH yang menunjukkan harga konsentrasi antara 1 – 14. Harga
tersebut mengindikasikan kondisi asam dan basa lumpur, jika harga pH lebih kecil
dari 7 menunjukkan bahwa lumpur asam, berharga 7 berarti lumpur netral,
sedangkan jika lebih dari 7 menunjukkan lumpur basa. Berkaitan dengan harga
pH, sifat lumpur pemboran, terutama viskositasnya juga dipengaruhi oleh oleh
sifat ini, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3. berikut ini :
Gambar 3.3.Pengaruh pH terhadap Viskositas Lumpur20)
Dengan meningkatnya ion hidrogen , maka derajat keasaman larutan
dikatan juga akan meningkat, sehingga pengukuran konsentrasi hidrogen
merupakan fungsi ukuran solusi keasamaan suatu lumpur. Kadar pH dalam suatu
larutan berbanding terbalik dengan harga logaritma konsentrasi ion hidrogen
dalam gram mol per liter.
...................................................................................(3.8)
Jika larutan netral maka konsentrasi dan berharga sama yaitu sebesar
. Substitusi harga konsentrasi untuk pH netral dapat dimasukkan
dalam persamaan .
Kadar lumpur pemboran yang digunakan biasanya jarang sekali berada
dibawah 6, atau dengan kata lain beberapa lumpur, khususnya tipe starch,
biasanya dihandle pada kondisi alkalin dengan kadar pH antara 11.5 – 12.2 di
lapangan.
3.3.3. Kesadahan
Kesadahan lumpur pemboran dilakukan dengan menyelidiki ion Ca dalam
lumpur, dimana kesadahan total lumpur adalah keadaan dimana berlaku sebagai
total hardness. Dengan keadaan demikian lumpur mengandung ion Ca dan Mg
yang terlalu banyak dalam air dapat diidentikan dengan sabun, jika sabun tidak
berlarut dalam air maka air tersebut mengandung garam kalsium dan garam
magnesium (air sadah). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadahan total lumpur
yaitu terkontaminasinya lumpur dengan Ca dan Mg sebagai berikut :
o Pemboran memasuki formasi anhidrat gipsum.
o Penambahan hard make up water.
o Persenyawaan dengan partikel yang mengandung Ca.
o Influks air formasi memiliki kandungan Ca yang tinggi.
Apabila kesdahan lumur tinggi maka akan mengakibatkan yield point
rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu besar
sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak bentonite untuk membentuk
gel lumpur yang memadai.
3.3.4. Alkalinitas
Alkalinitas atau keasamana lumpur ditempatkan dengan harga pH-nya,
akan tetapi karakteristik lumpur dapat berfluktuasi meskipun pH-nya tetap.
Berdasarkan pengalaman diketahui ada korelasi antara sumber alkalinitas di dalam
lumpur terhadap sifat-sifat lumpur yang bersangkutan.
o Jika sumbernya hanya bersal dari OH-, menunjukkan lumpur stabil dan
kondisinya baik.
o Jika sumbernya berasal dari OH- dan CO-23, menunjukkan lumpur stabil
dan kondisinya baik.
o Jika sumbernya hanya berasal dari CO-23, menandakan lumpur tidak stabil
tetapi masih bisa dikontrol.
o Jika sumbernya berasal dari CO-23 dan HCO-
3, berarti lumpur tidak stabil
dan sulit untuk dikontrol.
o Jika sumbernya hanya berasal dari HCO-3, kondisi dari lumpur sangat jelek
dan sulit untuk dikontrol.
3.3.5. Salinitas
Penentuan salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika
pemboran melalui daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan fluida
pemboran yaitu daerah yang terdapat kubah-kubah garam. Jika terjadi kandungan
chlor melebihi 6000 ppm sebaiknya program penggunaan lumpur diubah sesuai
dengan keasaan. Kandungan Cl yang terlalu besar juga mempengaruhi dalam
operasi logging karena harus diadakan koreksi untuk menginterpretasi
loggingnya. Kandungan Cl di dalam lumpur dibedakan menjadi dua, yaitu :
o Salt mud jika kandungan Cl antara 10000 – 31500 ppm.
o Saturated salt mud jika kandungan Cl 315000 ppm.
Penentuan kandungan Cl adalah sebagai berikut : (dalam ppm) (cc AgNO3
x 1000 : cc filtrat (apabila dalam larutan standart). 1 cc = 1 mg Cl atau 4.7910
gr/ltr AgNO3 (0.0282 N AgNO3). Pengaruh ion chlor terhadap sifat-sifat lumpur
bor adalah mengakibatkan filtrate loss besar, mud cake tebal, akibat yang lain
suspensi padatan sukar dicapai karena fluktuasi oleh clay, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 3.4. berikut ini :
Gambar 3.4.Pengaruh Konsentrasi NaCl terhadap Apparent Viscosity Lumpur4)
Cara penanggulangan kerusakan lumpur yang diakibatkan oleh ion chlor
antara lain adalah :
o Jika mud cake terlalu tebal dan filtration loss terlalu besar dapat diperbaiki
dengan menambah organic koloid.
o Jika pH dibawa dibawah 8, maka perlu preserfatif untuk menahan
fermentasi starch.
o Jika padatan sukar dicapai karena fluktuasi oleh clay suspensi dapat
diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite.
3.4. Jenis Lumpur Pemboran
Penamaan lumpur pemboran yang diberikan oleh Zaba dan Doherty
(1970) merupakan klasifikasikan berdasarkan fasa fluidanya, yaitu :
1. Water Base Drilling Mud
2. Oil Base Drilling Mud
3. Emulsion Drilling Mud
4. Gasseous Drilling Mud
Gasseous drilling mud masih belum umum digunakan sangat sulit dalam
penggunaan dan perawatannya.
3.4.1. Water Base Mud
Bila bahan dasar lumpur adalah air maka lumpur disebut dengan water
base mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar mauouan air asin. Lumpur
yang mempunyai bahan dasarnya air disebut dengan Fresh Water Mud dan jika
bahan dasarnya adalah air asin lumpur tersebut disebut Salt Water Mud.
3.4.1.1. Fresh Water Mud
Fresh water muds adalah lumpur yang fase cairannya adalah air tawar
dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000 ppm = 1 % berat
garam). Fresh water mud dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain :
o Spud Mud
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi conductor
casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang
dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan
dapat dibuat dari air dan bentonite (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar yang
lain (yield 35-50 bbl/ton). Tambahan clay atau bentonite perlu dilakukan
untuk menaikkan viscositas dan gel streght bila membor pada zone-zone loss.
Kadang-kadang perlu lost circulation material. Density yang diperlukan harus
kecil.
o Natural Mud
Natural mud dibentuk dalam bentuk pecahan-pecahan cutting dalam fase air.
Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang dibor. Umumnya tipe
lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada
surface casing (permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran
sifat-sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud ini di treated
dengan zat-zat kimia dan additive-additive koloidal. Beratnya sekitar 9.1 –
10.2 ppg, dan viscositasnya 35-40 detik.
o Bentonite – Treated Mud
Lumpur jenis ini mencakup hampir semua jenis lumpur air tawar. Bentonite
adalah material yang paling umum digunakan untuk membuat koloid
inorganis untuk mengurangi filter loss dan mengurangi ketebalan mud cake.
Bentonite juga menaikkan viscositas dan gel strength yang dapat dikontrol
dengan thinner.
o Phospate –Ttreated Mud
Mengandung polyphospate untuk mengontrol viscositas dan gel strength.
Penambahan zat ini akan berakibat terdispersinya fraksi-fraksi clay cooid
padat sehingga densitas lumpur cukup besar tetapi viscositas dan gel
strengthnya rendah. Ia mengurangi filter loss dan mud cake dapat tipis.
Tannim biasa ditambahkan bersama-sama polyphospate untuk pengontrolan
lumpur.
Polyphospate tidak stabil pada temperatur tinggi (sumur-sumur dalam) dan
akan kehilangan efeknya sebagai thinner (polyphonspate akan rusak pada
kedalaman 10.000 ft dan temperatur 160-180 oF, karena berubah ke
orthophospate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi). Phospate mud
juga sulit dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang sering berhubungan
dengan pemboran dalam). Dengan penambahan zat-zat kimia dan air, densitas
lumpur dapat dijadikan 9-11 ppg. Polyphospate mud juga menggumpal jika
terkena kontaminasi NaCl, Calcium sulfate dan kontaminasi semen dalam
jumlah cukup banyak.
o Organic Colloid Treated Mud
Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau Carboxy Methyl Cellulose
pada lumpur. Karena organic colloid tidak terlalu sensitif terhadap flokulasi
seperti clay, maka kontrol filtratnya pada lumpur yang terkontaminasi dapat
dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk mengurangi filtration loss
pada fresh water mud. Dalam kebanyakan lumpur penurunan filter loss lebih
banyak dilakukan dengan organic colloid daripada inorganic.
o “Red” Mud
Red mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan dari treatment
dengan cautic dan guobracho (merah tua). Istilah ini tetap digunakan
walaupun nama-nama colloid yang dipakai mungkin menyebabkan warna abu-
abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu
dan hunic thinner selain untuk tannim di atas.
Suatu jenis lumpur lain ini adalah alkaline tannate treatment dengan
penambahan polyphospate untuk lumpur-lumpur dengan pH di bawah 10.
perbandingan alkaline, organic dan polyphospate dapat diatur dengan
kebutuhan setempat. Alkaline-tannate treated mud mempunyai range pH 8-11.
Alkaline-tannate dengan pH kurang dari 10 terhadap flokulasi karena
kontaminasi garam. Dengan menaikkan pH maka sukar untuk flokulasi. Untuk
pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch dapat digunakan tanpa bahaya
fermentasi. Di bawah pH ini, preservative harus digunakan untuk mencegah
fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika diperlukan densitas lumpur
yang tinggi lebih murah bila digunakan treatment yang menghasilkan calcium
treated mud dengan pH 12 atau lebih
o Calcium Mud
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa
ditambah dengan slaked lime (kapur mati), semen plaster (CaSO4) dipasaran
atau CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydite dan gypsum.
a. Lime Treatted Mud
Komposisi lumpur ini terdiri dari cautic soda, organic dispersant,
lime dan fluid loss additive. Lumpur ini menghasilkan viscositas dan
gel strength yang rendah, baik digunakan untuk pemboran dalam serta
untuk memperoleh densitas yang besar. Tetapi lumpur ini mempunyai
kecenderungan untuk memadat pada temperatur tinggi, sehingga tidak
boleh tertinggal dalam annulus casing dan tubing pada saat dilakukan
penyeleseaian sumur (well completion). Maka diperlukan zat kimia
tertentu untuk mengurangi efek dari padatan lumpur tersebut.
b. Gypsum Treated Mud
Digunakan untuk membor formasi gypsum dan anhydrite, terutama
bila formasinya inter bedded (selang-seling antara garam dan shale).
Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar)
dengan plaster (CaSO4) sebelum formasi anhydite dan gypsum di bor.
viscositas dan gel strength yang berhubungan dengan formasi ini dapat
dibatasi, yaitu dengan mengontrol rate penambahan plaster. Setelah
clay di lumpur bereaksi dengan ion Ca, tak akan terjadi pengentalan
lebih lanjut pada pemboran gypsum dan garam. Filter loss pada
penggunaan gypsum treated mud ini dapat dikontrol dengan organic
colloid dan karena pH-nya rendah, preservative harus ditambahkan
untuk mencegah fermentasi. Suatu modifikasi dari gypsum treated
mud yaitu dengan penggunaan chrome lignosulfonate deflocullant
yang memberikan kontrol pada karakteristik flate gel pada lumpur
tersebut. Lumpur gypsum chrome lignosulfonate ini mempunyai sifat
yang sama baik dengan lime treated mud, karena itu dapat digunakan
pada daerah yang sama baik dengan lime treated mud. Penggunaan
non-ionic surfactant dalam gypsum chhrome lignosulfonate mud
menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada filter loss dan low
propertiesnya. Selain toleransinya yang besar terhadap kontaminasi
garam.
c. Calcium Salt
Selain hydrate salt dan gypsum telah digunakan tetapi tidak
meluas, juga zat-zat kimia yang memberi suplai kation multivalent
untuk base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba
(OH)2 telah digunakan.
3.4.1.2. Salt Water Mud
Lumpur ini digunakan untuk membor garam massive (salt dome) atau salt
stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang
terbor. Filtrate lossnya besar dan mud cakenya tebal bila tidak ditambah organic
colloid. PH lumpur dibawah 8, karena itu perlu dipresentative untuk mencegah
fermentasi starch. Jika slat mudnya mempunyai pH yang lebih tinggi, fermntasi
terhalang oleh basa. Suspensi ini dapat diperbaiki dengan penggunaan antapulgate
sebagai pengganti bentonite.
o Unsaturated Salt Water Mud
Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang
jenuh kegaramannya (unsaturated salt water mud). Kegaraman (salinity)
lumpur ini ditandai dengan :
1. Filtrate loss besar kecuali ditereated dengan organic colloid
2. Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali ditreated dengan thinner.
3. Suspensi yang tinggi kecuali ditreated dengan attapulgite atau organic
colloid
Lumpur ini biasa mengalami “foaming”, yaitu berbusa (gas
menggelembung) yang bisa diredusir dengan :
1. Menambah soluble surface active agent
2. Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength
Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga ditreated seperti pada sea water
ini.
o Saturated Salt Water Mud
Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat
pula berada disitu dalam jumlah yang berlainan. Saturated salt water mud
dapat digunakan untuk membor formasi-formasi garam dirongga-rongga yang
terjadi karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dicegah
dengan penjenuhan garam terlebih dahulu pada lumpurnya.
Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk
pengenceran dan pengaturan volume.
Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud
menyebabkan tidak perlunya memasang casing di atas salt beds (farmasi
garam). Filtrate lossnya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic
colloid. Saturated salt water mud dapat dibuat berdensitas lebih dari 19 ppg.
Dengan menambahkan organic colloid agar filtration lossnya kecil, lumpur ini
bisa untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun restivitinya yang
rendah buruk untuk electical log. Gabungan dari non-ionic surfactant
menyebabkan pengontrolan filtrasi dan flow propertiesnya lebih mudah dan
murah, terutama pada densitas tinggi.
Saturated salt water mud dapat pula dibuat dari fresh water atau brine
mud. Jika dari fresh water mud maka paling tidak separoh dari lumpur harus
dibuang, diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar dan penambahan
lebih kurang 125 Ibs garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki pengontrolan
filtration loss, suatu organic colloid dan presentative dapat ditambahkan.
Jika lumpur dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20
Ib/bbl attapulgite ditambahkan bersama dengan organic colloid dan mungkin
presentative. Densitas lumpur ini 103 ppg dan akan naik sekitar 11 ppg selama
pemboran berlangsung.
Pemeliharaannya jenis lumpur ini, termasuk penambahan air asin untuk
mengurangi viscositas, attapulgite untuk menambah viscositas, gel dan filtrasi
dapat diperoleh dengan penambahan alkaline-tannate solution atau sedikit
lime (kapur).
o Sodium Silicate Mud
Fasa cair Na-Silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na
silicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini digunakan untuk pemboran
heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime treated mud,
gypsum lignosilfonate, shale control dan surfactant muds (lumpur yang diberi
DAS dan DME) yang lebih baik, murah dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.
3.4.2. Oil in Water Emulsion Mud
Untuk lumpur jenis ini minyak merupakan fase tersebar (emulsi) dan air
sebagai fasa contiou. Jika pembuatannya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar
dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisis yang
dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake
dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss berkurang, filter cake
menjadi tipis dan torque putaran drillstring benyak berkurang. Keuntungannya
adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate baik, pengurangan korosi pada
drill string, perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viscositas dan tekanan pompa
boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun (mud cake tipis) dan
mengurangi bailling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string.
Viscositas dan gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak
sebagai thinner.
Umumnya oil in water emultion mud dapat bereaksi dengan penambahan
zat dan adanya kontaminasi sama seperti lumpur aslinya. Semua minyak (crude)
dapat digunakan, tetapi lebih baik bila digunakan minyak refinery (refinery oil)
yang mempunyai sifat-sifat sbb :
1. Uncracked (tidak perpecah-pecah molekulnya) supaya stabil
2. Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakan karet-karet
dipompa/circulation system
4. Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam-macam
temperatur
Keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorecensinya lain
dengan crude oil (mungkin yang berasal dari formasi), maka ini berguna untuk
pengamatan cutting oleh geolog dalam menentukan adanya minyak di pemboran
tersebut. Adanya karet-laret yang rusak dapat dicegah dengan penggunaan karet
sintesis
3.4.2.1. Fresh Water in Water Emulsion Mud.
Fresh water oil in water emultion mud adalah lumpur yang mengandung
NaCl sampai sekitar 60.000 ppm. Lumpur emultion ini dibuat dengan
menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan
sejumlah minyak yang biasanya 5-25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun
lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan
Ca tanpa memperkecil emulsifiernya dalam hal efesiensi. Emulsifikasi minyak
dapat bertambah dengan agitasi (diaduk) dan penjagaannya secara periodic
ditambahkan minyak dan emulsifier.
Maintenancenya terdiri dari penambahan minyak dan emulsifier secara
periodik. Jika sebelum emulsifikasi lumpurnya mengandung persentase clay yang
tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu dilakukan untuk mencegah
kenaikan viscositas. Karena keuntungan dalam pemboran dan mudahnya
pengontrolan maka lumpur ini disukai orang.
3.4.2.2. Salt Water Oil in Water Emulsion Mud
Salt water oil in water absorption mud mengandung paling sedikit 60.000
ppm NaCl dalam fasa cairnya. Emulsifikasi dilakukan dengan emulsifier agent-
organik. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok untuk
digunakan pada daerah dimana perlu dibor garam massive atau lapisan-lapisan
garam. Emulsi ini mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh
water emultion : pertama densitasnya kecil, kedua filtration loss sedikit dan mud
cake tipis dan lubrikasi lebih baik. Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk
foaming yang bisa dipecahkan dengan penambahan surface active agent tertentu.
Maintenance lumpur ini sama dengan salt mud biasa kecuali perlunya menambah
emulsifier, minyak dan surface active defoamer (anti foam).
3.4.5. Oil Base and Oil Base Emulsion Mud
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya. Komposisinya
diatur agar kadar airnya rendah (3 - 5% volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif
terhadap kontaminant. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek
negatif bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viscositas, menaikan gel
strength, mengurangi efek kontaminan air dan mengandung filtare loss, perlu
ditambahkan zat-zat kimia.
Fungsi oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah
minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik
terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (juga untuk kompletion mud).
Fungsi terbesar adalah pada completion dan work over sumur. Kegunaan lain
adalah untuk melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan
casing dan liner.
Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk
menghindarkan kontaminasi air. Rig harus dipersiapkan agar tidak kotor dan
bahaya api berkurang. Oil base emultion dan lumpur oil base mempunyai minya
sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar. Umumnya oil base emulsion
mud mempunyai faedah yang sama seperti oil base mud, yaitu filtratnya minyak
dan karena menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan
oil base mud bahwa air ditambahkan sebagai tambahan yang berguna (bukan
kontaminasi). Air yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung
density dan temperatur yang diinginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air
merupakan bagian dari lumpur ini, maka lumpur-lumpur ini mempunyai sifat-sifat
lain dari oil base mud yaitu ia dapat mengurangi bahaya api , toleran terhadap air,
dan pengontrolan flow propertisnya dapat seperti pada water base mud.
3.4.5. Gaseous Drilling Fluid
Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering dengan
gas atau udara dipompakan pada annulus, salurannya tidak boleh bocor.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya
formasi air dapat menyebabkan bit bailing (bit dilapisi cutting/padatan-padatan)
dan pipe sticking yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak
membenarkan digunakannya cara ini, tapi sebaliknya formasi dengan tekanan
kecil cocok dengan cara ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan
yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion pada zone-
zone dengan tekanan rendah.
Telah dibuktikan dengan data-data dari lapangan dan laboratorium, bahwa
udara dan gas merupakan drilling fluid yang lebih baik dari pada cairan seperti
lumpur, daam hal penetration rate, mupun dalam menanggulangi lost circulation
dan untuk well completion. Penetration rate dapat naik, terutama disebabkan oleh
tidak adanya kolom lumpur yang besar pada formasi yang mana menyebabkan
formasi menjadi liat dan sulit dibor, selain itu penggunaan udara menyebabkan
formasi mudah menjadi pecah serta cutting mudah dibersihkan, hanya cara ini
tidak dapat digunakan pada pemboran wild cat atau eksplorasi. Suatu cara
pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling dimana
sejumlah besar udara (lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk
memperendah tekanan hidrostatik (untuk lost circulation zone), mempercepat
pemboran dan mengurangi biaya pemboran.
3.5. Fungsi Lumpur Pemboran
Meskipun hingga sat ini sangat banyak diperoleh berbagai merek lumpur
pemboran yang dikomersilkan untuk tujuan pemboran dalam berbagai kondisi,
fungsi utama lumpur adalah sebagai fluida yang berperan untuk keberhasilan
suatu program penyelesaian sumur. Sifat-sifat lumpur pemboran harus dapat
memberikan keamanan dan rate pemboran serta mampu mencapai komplesi
sumur dengan kapasitas produksi maksimum. Penggunaan lumpur dikontrol oleh
sifat-sifat yang sering dijumpai di lapangan yang akan menjadi obyek untuk
proyek pemboran dengan pertimbangan tersedianya biaya yang akan dianggarkan
untuk penggunaan dan perawatan lumpur. Dimana pengeluaran harus sesuai
dengan perencanaan dan efisien jika dilakukan penggunaan lumpur dengan fungsi
yang dibutuhkan. Dengan penilaian demikian dapat diperoleh faktor yang harus
dicapai agar fungsi lumpur dapat berjalan secara optimal.
Walaupun semua lumpur memiliki fungsi yang sama, sifat-sifat lumpur
sangat dipengaruhi oleh pertimbangan untuk memfasilitasi keperluan rate,
keamanan dan program penyelesaian suatu sumur. Fungsi lumpur meliputi :
o Mengangkat cutting ke permukaan
o Mendinginkan dan melumasi bit dan drillstring
o Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake
o Mengontrol tekanan formasi
o Membawa cutting cutting dan material pemberat pada susupensi jika sirkulasi
lumpur dihentikan sementara
o Melepaskan cutting dan pasir di permukaan
o Menahan sebagian berat drillpipe dan casing
o Mengurangi efek negative pada formasi
o Mendapatkan informasi dari mud logging
o Media logging
Diharapkan semua fungsi lumpur diatas dapat berjalan sesuai dengan yang
tujuan pemboran dan kondisi formasi yang akan dibor, karena program pemboran
dikatakan berhasil jika fungsi lumpur bisa memberikan hasil optimum dan dapat
mengatasi segala kendala selama proses pemboran.
3.5.1. Mengangkat cutting ke permukaan
Salah satu yang sangat penting dan mempunyai fungsi utama lumpur
pemboran adalah mengangkat cutting dari lubang sumur ke permukaan. Lumpur
yang mengalir keluar dari nozzle bit yang ditekan oleh tenaga jet akan
memebersihkan permukaan lubang dan membawa cutting ke atas ke permukaan.
Meskipun gaya gravitasi cenderung menarik cutting kembali ke bawah (slip
velocity), jika kecepatan dari volume lumpur dan annular velocity yang
mendorong ke arah atas mencukupi atau lebih besar terhadap slip velocity maka
cutting akan dapat diangkat ke permukaan oleh lumpur. Slip velocity harus lebih
kecil dari rata-rata annular velocity yang merupakan gungsi dari ukuran borehole
dan kondisi pump output dari drillpipe dan drillcollar. Annular velocity
merupakan perbandingan antara pump output (bbl/min) dibagi annular volume
(bbl).
Efisiensi pengangkat cutting yang merupakan fungsi kapasitas lumpur
dalam mengangkat ke permukaan tergantung beberapa faktor, antara lain:
1. Densitas lumpur pemboran.
Penambahan densitas lumpur akan menaikkan gaya buoyance acting, dimana
setiap partikel-partikel lumpur mempunyai arah yang berlawanan dengan gaya
gravitasi. Sehingga kapasitas angkat lumpur akan terbantu mendorong dan
membawa cutting ke permukaan oleh gaya buoyance.
2. Viskositas dan gel strength.
Sejumlah lumpur yang mempunyai viskositas dan gel strength rendah akan
memberikan kenaikkan persen partikel pada annular velocity dan waktu
sirkulasi yang sama, karena pada percobaan yang dilakukan oleh Bruce dan
William lumpur dengan viskositas dan gel strength rendah, yang hanya
mempunyai kapasitas pengangkatan kecil (partikel-partikelnya tidak terikat
dengan kuat dan berukuran medium), hanya mampu membawa cutting yang
relatif kecil jika dibandingkan dengan viskositas dan gel strength yang besar.
3. Distribusi velocity di annulus.
Kapasitas mengangkat cutting yang besar dapat dicapai dengan aliran
turbulent daripada aliran laminar untuk lumpur yang memiliki viskositas
rendah. Hal ini disebabkan karena efek turbulensi lumpur yang cenderung
meminimalisasi cutting yang terselip di ruang dekat pipa atau dinding lubang
sumur dengan gerakan aliran bergelombangnya dan ditransportasikan ke
permukaan.
4. Efek torsi terhadap kapasitas lumpur pengangkat.
Rotasi drillpipe selama pemboran berpengaruh terhadap kapasitas
pengangkatan lumpur yang memiliki lairan laminar maupun turbulent. Rotasi
drillpipe berkaitan dengan tanaga putar aliran viscous, yang mana dapat
menjadi panghalang terhadap pengangkatan cutting. Efek torsi (tenaga putar)
akan menyebabkan partikel yang tipis untuk cenderung berputar berbalik
turun ke bawah akibat variasi velocity lumpur
5. Dimensi partikel.
Desain bit menentukan ukuran dan bentuk cutting yang dihasilkan. Besarnya
fisik cutting akan sangat berpengaruh terhadap kapasitas pangangkatan oleh
lumpur. Partikel yang memiliki katebalan diameter yang besar cenderung sulir
diangkat dari wellbore, karena partikel tersebut akan balik turun ke dasar
sumur dengan berat yang relatif besar.
3.5.2. Mendinginkan dan melumasi bit dan drillstring
Dengan pertimbangan bahwa sejumlah panas terjadi selama perputaran bit
dan drillstring yang dihasilkan oleh friksi pada bit dan beberapa titik dimana
drillstring berhubungan dengan dinding formasi. Dinding formasi hanya sebagian
kecil saja mampu menyerap panas karena keterbatasan secara fisik. Sedangkan
kontak panas terbesar terjadi di sepanjang titik-titik sirkulasi lumpur hingga ke
permukaan.
Sifat lubricant (pelumas) lumpur dengan membentuk dinding film yang
tipis (mud cake) akan menjadi sangat penting karena pertimbangan penghematan
waktu dan biaya perawatan peralatan pemboran yaitu dengan mereduksi
kerusakan premature akibat panas friksi. Resistansi friksi oleh bit dalam
pemboran dan drillstring dalam berputar menentang bagian lubang sumur, jika
tanpa adanya lumpur, akan memberikan efek bit menjadi cepat terbakar dan
tumpul dan drillpipe menjadi abrasi. Dengan adanya lumpur mereduksi faktor
friksi pada bit dan drillpipe, juga menyerap panas yang terjadi. Resistansi film
lumpur juga dapat mengurangi beban friksi saat pipa dicabut. Semua lumpur yang
disirkulasikan merupakan lumpur yang mempunyai kriteria resitan terhadap panas
dan cukup mampu melumasi untuk mendinginkan bit dan drillstring.
3.5.3. Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake
Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis dipermukaan
formasi yang permeable (lulus air). Pembentukan mud cake ini akan
menyebabkan tertahannya aliran fluida masuk ke formasi selanjutnya, adanya
aliran yang masuk yaitu cairan dan padatan yang akan menyebabkan padatan
tersebut tersaring atau tertinggal yang disebut sebagai mud cake. Cairan yang
masuk kedalam formasi disebut filtrate.
Jika formasi terdapat belahan (cracked, fissured) dan bergua-gua
(cavernous) dengan tekanan overburden yang terjadi, maka menyebabkan volume
lumpur dan padatan akan terinvasi dari lubang sumur ke area sekitar formasi, ini
disebut sebagai lost circulation, dimana permeabilitas formasi terlalu besar untuk
suspensi lumpur yang masuk. Sedangkan jika permeabilitas formasi terlalu kecil
untuk suspensi padatan lumpur, hanya sebagian fluida saja yang lolos hilang
masuk disekitar dinding formasi, disebut dengan filtration loss. Sehingga dengan
mengontrol sifat-sifat lumpur, dampak negatif yang disebabkan adanya hilangnya
fluida dapat diatasi dengan membuat mud cake pada dinding lubang bor. Mud
cake dikehendaki yang tipis karena dengan demikian lubang bor tidak terlalu
dipersempit dan cairan yang tak banyak yang hilang. Sifat wall building ini dapat
diperbaiki dengan penambahan :
a. Sifat koloid drilling mud dengan bentonite
b. Memberi zat kimia untuk memperbaiki distribusi zat padat dalam Lumpur,
misalnya, starch, CMC dan cypan, yang mana mengurangi filter loss dan
memperkuat mud cake.
3.5.4. Mengontrol tekanan formasi
Pada formasi yang permeable, fluida yang berada disekitarnya akan
mendapat tekanan sebagai fungsi kedalaman sumur. Sehingga diperlukan lumpur
pemboran dengan densitas yang memadai untuk mengatasi tekanan formasi dan
juga untuk menahan influks fluida agar tidak menghambur ke dalam lubang
sumur. Disini lumpur harus mampu memberikan suatu tekanan hidrostatik yang
cukup untuk mengimbangi tekanan formasi. Kondisi pemboran overbalanced
dilakukan apabila tekanan yang terjadi disebabkan oleh takanan kolom lumpur
melebihi tekanan formasinya. Sedangkan pemboran underbalanced biasanya
dilakukan untuk mendiskripsikan tekanan yang terjadi disebabkan oleh tekanan
kolom lumpur terlalu kecil untuk menahan tekanan formasinya.
Tekanan formasi umumnya adalah sekitar 0.465 psi/ft kedalaman. Pada
tekanan yang normal, air dan padatan pemboran telah cukup untuk Manahan
tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal (subnormal),
beberapa sumur dibor menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 9.5 ppg,
densitas lumpur diperkecil agar lumpur tidak hilang masuk ke formasi. Sebaliknya
untuk tekanan lebih besar dari normal (abnormal), sumur biasanya dibor
menggunakan lumpur dengan densitas sekitar 18 ppg dengan menambahkan barite
untuk memperberat lumpur. Suatu situasi memerlukan lumpur berdensitas besar
untuk kedalaman dangkal dengan tekanan formasi yang tinggi dan mengandung
gas, dan kemungkinan terjadi kebocoran casing sehingga menyebabkan tekanan
diatas normal. Lumpur dengan densitas yang memadai diharapkan mampu
menahan tekanan formasi selama proses pemboran untu mencegah terjadinya
blowout. Untuk itu perlu diperhitungakn keperluan tekanan kolom lumpur agar
bisa mengimbangi tekanan formasi, yaitu dengan memakai persamaan :
...............................................................................(3.9)
dimana :
Pm = tekanan static lumpur, psi.
dm = densitas lumpur, ppg.
D = kedalaman, ft.
Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida
pada saat mengalir (rumus diatas untuk keadaan static) adalah tekanan yang
dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan tekanan)
pada annulus diatas formasi yang bersangkutan.
3.5.5. Membawa cutting cutting dan material pemberat pada susupensi jika
sirkulasi lumpur dihentikan sementara
Salah satu hal terpenting dalam pemilihan lumpur yang baik adalah
kemampuannya untuk menahan dan membawa cutting dan material-material
pemberat lainnya saat sirkulai diberhentikan untuk sementara waktu. Selama
proses pemboran sirkulasi bisa diberhentikan hingga beberapa kali. Dalam
pemboran sumur yang dalam, penggantian bit memakan waktu beberapa jam saja.
Jika padatan pada saat itu tidak diperhatikan, maka pengendapannya akan
mengalami sirkulasi lagi (recirculation) dan akan menempel di sekitar bit yang
dapat menyebabkan stuck.
Agar lumpur memilki kemampuan mengangkat, lumpur harus memiliki
sifat thixotropic saat lumpur tidak bergerak dan lumpur menjadi fluida kembali
saat mengalami pergerakan. Sifat thixotropic ini disebabkan oleh kontak tepi
permukaan dari formasi (edge-to-surface contact), yaitu gaya tarik antara tepi dari
permukaan-permukaan dari perikel clay yang larut dalam lumpur, karena
permukaan plate clay didominasi oleh kandungan ion negatif sedangkan bagian
tepi memiliki kandungan ion positif. Sifat thixotropic dipengaruhi oleh perubahan
kandungan padatan dan penambahan material-material kimiawi yang ada dalam
lumpur. Pada pemakaian lumpur berat dimana mengandung partikel clay per unit
volume yang besar, gaya teriknya menjadi sangat kuat pula, maka struktur kontak
tepi permukaan dari partikel clay akan menopang seluruh berat cutting dan
material yang dibawa oleh lumpur selama proses sirkulasi diberhentikan
sementara.
3.5.6. Melepaskan cutting dan pasir di permukaan
Kemampuan Lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan
tergantung drai gel strength. Dengan cairan menjadi gel, tekanan terhadap gerakan
cutting ke bawah dapat dipertinggi. Cutting perlu ditahan agar tidak turun
kebawah, karena bila ia mengendap dibawah bisa menyebabkan akumulasi cutting
dan pipa akan terjepit. Selain itu akan memperberat rotasi permulaan dan juga
mempercepat kerja pompa ntuk memulai sirkulasi kembali. Tetapi gel syang
terlalu besar akan berakibat buruk juga, karena akan menahan pembuangan
cutting dipermukaan (selain pasir). Penggunaan alat-alat seperti desander atau
shale saker dapat membantu pengambilan cutting atau pasir dari Lumpur
permukaan. Patut ditambahkan, bahwa pasir jarus dibuang dari aliran Lumpur,
karena sifatnya yang sangat abrasive pada pompa, fitting dan bit. Untuk ini
biasanya kadar pasir maksimal yang boleh adalah 2%.
3.5.7. Menahan sebagian berat drillpipe dan casing
Drillstring dan casing di borehole akan mengalami gaya buoyance yang
mendorong keatas harus sebanding dengan berat yang dipindahkan oleh lumpur.
Perhitungan tersebut mendasari pertimbangan untuk mereduksi beban peralatan
dan struktur yang harus ditopang. Gaya buoyance meningkat dengan
bertambahnya densitas lumpur dan mereduksi tegangan akibat beban drillstring
dan casing pada kedalaman sumur.
3.5.8. Mengurangi efek negatif pada caving formasi
Pada zona permeable, impermeable cake dibentuk pada permukaan
dinding lubang sumur saat pemboran. Lapisan ini biasanya disebut dengan mud
cake yang merupakan hasil invasi inisial dari fasa liquid lumpur pemboran ke
dalam zona permeable dan meninggalkan lapisan padatan, biasanya berupa plate
clay, pada permukaan formasi. Dengan meningkatnya invasi dan lamanya waktu,
ketebalan mud cake juga akan bertambah hingga menghasilkan impermeable cake
yang kasar membatasi invasi liquid lumpur. Mud cake juga membantu
menguatkan dinding lubang sumur sehingga dapat mencegah terjadinya caving
pada formasi.
Caving formasi merupakan hasil dari perubahan faktor hidrasi dari shale
yang rentan oleh pengaruh air sehingga permukaan formasi mengembang dan
mudah rapuh akibat proses hidrasi dengan akibat lebih lanjut menyebabkan
terjadinya filtration loss. Lapisan vertikal pada dinding sumur cenderung akan
mudah runtuh dan terjatuh dalam lubang dasar sumur jika diberikan tekanan yang
besar atau terdapat perbedaan densitas yang cukup besar antara formasi dengan
lumpur pemboran. Dalam kasus ini densitas lumpur harus dinaikkan dari satu
hingga beberapa pound per gallon. Gel strength lumpur juga sebaiknya dinaikkan
untuk menguatkan dan memberikan efek plastering di sepanjang permukaan
dinding yang mudah rapuh atau runtuh. Mud cake juga bisa dinaikkan dengan
menambahkan koloid atau dengan treatment kimiawi yang lainnya.
Sifat lumpur yang dapat membentuk mud cake sangat bermanfaat, karena
dapat mereduksi filtration loss akibat caving formasi lebih lanjut. Namun jika
ketebalan mud cake terlalu tebal akan menyebabkan kesulitan dalam menurunkan
atau mencabut drillstring dan atau run casing. Keberadaan mud cake yang terlalu
tebal juga menyebabkan mengurangi efektifitas sidewall coring.
3.5.9. Mendapatkan informasi dari mud logging
Kebanyakan praktek di lapangan yang modern mempercayakan elektrik
logging untuk menentukan porositas, permeabilitas dan kandungan fluida dari
formasi yang dibor. Untuk mendapatkan log dan interpretation yang baik, akan
sangat tergantung pada sifat dan komposisi lumpur pemboran. Penggunaan
spesifik densitas lumpur seringkali diperlukan untuk pengetahuan terhadap
pengaruhnya pada log. Jika lumpur pemboran sekiranya kurang acceptable
sebagai dasar penentuan logging yang baik, maka coring dapat digunakan untuk
evaluasi formasi. Namun biaya coring akan menjadi sangat mahal dibandingkan
total biaya pada penggunaan mud logging untuk pemboran suatu sumur.
Penggunaan oil-base mud dalam sekali waktu akan mengalami kesulitan
dalam mendapatkan logging yang baik karena kebocoran konduktifitas lumpur.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, sekarang lumpu pemboran yang tersedia
tidak hanya tergantung pada konduktifitas lumpur. Informasi yang diperoleh dari
analisa lumpur pemboran bersifat seketika itu juga (instantaneous), misalnya
hadirnya oil dalam water-base mud (oil show) di permukaan mengindikasikan
penetrasi menembus zona produktif. Adanya overpressure formasi pada
kedalaman pemboran yang dalam didapatkan juga dari berkurangnya weight
lumpur analisa checking flowline lumpur di permukaan. Mud gas juga berguna
untuk mengindikasikan aliran gas masuk dalam wellbore jika permeabilitas
formasi sangat rendah, tergantung pada lingkunagan geologi dan pemboran yang
dilakukan.
3.5.10. Media logging
Pada penentuan adanya minyak atau gas serta juga zona-zona air dan juga
untuk korelasi dan maksud-maksud lain, diadakan logging (memasukkan sejenis
alat antara lain alat listrik atau gamma ray / neutron) seperti misalnya electric
logging, yang mana memerlukan media penghantar arus listrik di lubang bor.
3.6. Kontaminasi Lumpur Pemboran
Lumpur pemboran menjadi salah satu pertimbangan sejak digunakannya
teknik rotary drilling dalam operasi pemboran lapangan minyak, dengan maksud
untuk mengoptimasikan operasi pemboran. Oleh sebab itu pemeliharaan dan
pengontrolan sifat-sifat lumpur menjadi mutlak dilakukan agar sesuai dengan
yang diinginkan.
Salah satu penyebab berubahnya sifat fisik lumpur pemboran adalah
adanya material-material yang tidak dikehendaki (kontaminan) yang masuk ke
dalam lumpur ketika operasi pemboran sedang berjalan. Kontaminasi yang sering
sekali terjadi adalah sebagai berikut :
3.6.1. Kontaminasi Sodium Klorida
Kontaminasi ini terjadi ketika pemboran menembus kubah garam (salt
dome), lapisan garam, lapisan batuan yang mengandung konsentrasi garam cukup
tinggi atau akibat air formasi yang berkadar garam tinggi dan masuk ke dalam
sistem lumpur. Kontaminasi garam merupakan hasil dari penambahan beberapa
variasi garam kedalam lumpur pemboran selama operasi pemboran formasi,
komplesi atau workover.
Biasanya garam terlarut dibedakan menjadi dalam dua kelompok, yaitu
monovalent dan divalent. Pada umumnya garam monovalent yang terjadi berupa
sodium chloride (NaCl), dengan sedikit mengalami pengembangan, menjadi
potassium chloride (KCl). Sedangkan garam divalent merupakan hasil
kontaminasi calcium sulfate (CaSO4), calcium hydroxide (CaOH2), calcium
chloride (CaCl2), magnesium sulafate (MgSO4) dan magnesium chloride(MgCl2).
Akibat adanya kontaminasi ini, akan mengakibatkan berubahnya sifat lumpur
seperti viscositas, yield point, gel strength dan filtration loss. Kadang-kadang
penurunan pH dapat pula terjadi dengan kehadiran garam dalam sistem lumpur.
Aliran air garam kemungkinan dapat dideteksi dengan adanya peningkatan pit
volume, peningkatan kandungan ion klorida dan berkurangnya tekanan pompa.
Formasi evaporit juga akan mendukung terjadi kontaminasi sodium klorida
dalam lumpur pemboran yang biasanya ditemukan pada beberapa area produksi
minyak dan gas. Garam yang ada pada formasi evaporit dibentuk oleh proses
penguapan (evaporation) air dari laut zaman dahulu. Water-base mud secara cepat
akan melarutkan kandungan air garam dari formasi ini. Sedangkan kubah garam
(salt dome) merupakan sumber utama sodium klorida, dimana kontaminasi garam
akan berkembang secara drastis jika lumpur pemboran menemui formasi kubah
garam tersebut. Karena larutan garam lebih halus dibandingkan batuan disekitar,
sehingga drillability oleh bit lebih mudah, maka adanya kenaikan laju penetrasi
mengindikasikan pemboran menembus lapisan kubah garam.
3.6.2. Kontaminasi Gipsum
Gipsum dapat masuk ke dalam lumpur saat pemboran menembus formasi
gipsum, lapisan gipsum yang terdapat pada formasi shale atau limestone.
Kontaminasi gipsum merupakan hasil pemboran terhadap lapisan yang memilki
ketebalan dari hanya beberapa inch hingga 800 ft ketebalan. Gipsum mempunyai
nama kimia calcium sulfate (CaSO4) yang bereaksi dengan kristalisasi air. Secara
geologis, gipsum terbentuk pada formasi lingkungan laut dalam, kemudian
mengalami kristalisasi dengan kandungan yang kaya akan larutan calcium sulfate.
Dari beberapa kasus gipsum ditemukan dalam lapisan yang tipis yang menembus
lapisan limestone yang tebal, sehingga akan sangat sulit untuk menentukan
ketebalan gipsum secara pasti. Dalam kasus yang lainnya, gipsum dengan jumlah
yang cukup besar mampu mengkontaminasi lumpur pemboran secara kontinyu.
Efek kontaminasi gipsum disebabkan oleh ion-ion calcium dan sulfate
dalam jumlah yang cukup besar. Gipsum yang mengandung ion calcium
berflokulasi dengan sodium bentonite dalam suspensi lumpur dengan melakukan
reaksi pertukaran ion positif dan negatif. Flokulasi bentonite menghasilkan
kenaikan water loss dari lumpur. Permulaan water loss lumpur pemboran berkisar
8 cc, namun setelah 24 jam water loss bisa mencapai 25 sampai 75 cc jika lumpur
tidak dijaga dengan baik.
Akibat adanya gipsum dalam jumlah cukup banyak dalam lumpur, maka
akan merubah sifat-sifat fisik lumpur tersebut seperti viscositas plastic, yield
point, gel stragth dan luid loss. Sistem lumpur pemboran yang digunakan untuk
pemboran formasi gipsum tergantung pada jumlah dan frekuensi kontaminasi.
Water-clay mud dapat digunakan untuk menjaga kondisi pemboran meskipun
biayanya menjadi berlebih jika menemui section yang sangat tebal atau secara
konstan memakan waktu yang sangat lama. Treatment water-clay mud seperti
halnya abu soda atau barium carbonate didesain untuk melarutkan calcium, agar
calcium tidak mengendap dalam larutan.
3.6.3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi ini lebih disebabkan oleh kegitan yang dilakukan oleh
engineer saat dilakukan pemboran melalui proses penyemenan casing, squeezing
pipe, plugging back operation dan lain-lain. Karena kontaminasi ini lebih
disebabkan oleh kegiatan teknis pemboran, maka kuantitas dan lokasi semen yang
dibor telah diketahui. Jumlah kontaminasi tidak dapat ditentukan secara pasti
karena sebagai fungsi kondisi dari semen yang digunakan.
Ketika semen tercampur dengan senyawa air dalam jumlah proporsi yang
besar, calcium silica yang terkandung dalam semen akan mengeras menjadi
padatan yang keras. Lapisan formasi yang dibentuk oleh limestone dengan jumlah
tertentu, akan memberikan semen reaksi alkalin yang tinggi, sehingga pada saat
semen ditambahkan terjadi dua reaksi pertukaran ion antara semen dengan lumpur
pemboran. Salah satu pengaruhnya adalah kuantitas ion calcium dalam semen
yang besar terhadap partikel bentonite dalam lumpur akan menyebabkan
viskositas dan gel strength lumpur naik, juga dapat menyebabkan water loss
tergantung dari persen konversi pertukaran ion material yang bersangkutan.
Pengaruh lainnya adalah terjadinya efek hydroxyl radical yang meningkatkan
harga pH lumpur.
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan yang kurang
sempurna atau setelah pengeboran lapisan semen dalam casing, flost collar, dan
casing shoe. Kontaminasi semen pada lumpur dapat terjadi saat dilakukan
penyemenan atau setelah dilakukan penyemenan selama proses pemboran. Dalam
penyemenan, jika porsi lumpur secara langsung tejadi kontak dengan semen,
maka kontaminasi tersebut dianggap yang paling jelek. Ada sebagian kontaminasi
juga terjadi terhadap sisa semen yang masih tertinggal pada dinding permukaan
drillstring atau casing selama operasi penyemenan. Jika semen didesain untuk
menghasilkan suspensi mass yang keras, maka bit pada pemboran untuk plugging
akan menembus dan memecahkan semen sehingga menghasilkan cutting yang
keras yang hanya bisa disaring di permukaan dengan shale shaker. Sedangkan jika
semen yang dibor adalah lunak dan ditembus dengan mudah, maka bit dan aliran
lumpur menggerus (regrinding) menghasilkan partikel-partikel halus dalam
jumlah yang besar larut mengkontaminasi lumpur pemboran. Kontaminasi semen
akan mengubah viscositas, yield point, gel strength, fluida loss, dan pH lumpur.
Selain kontaminasi-kontaminasi yang telah disebutkan, bentuk
kontaminasi yang lainnya yang dapat terjadi selama operasi pemboran, yaitu :
a. Kontaminasi “hard water” atau kontaminasi oleh air yang mengandung ion
calsium dan magnesium cukup tinggi
b. Kontaminasi carbon dioxide
c. Kontaminasi hidrogen sulfida
d. Kontaminasi oxygen
3.7. Hidrasi Bentonite
Clay bentonite terdiri dari tumpukan-tumpukan lapisan parallel seperti
lembaran plat. Lembaran bentonite yang tipis tapi memanjang dan cukup lebar
jika ditumpukkan satu dengan yang lainnya akan menghasilkan lapisan yang tebal.
Jarak antara masing-masing lembaran plat yang saling berdekatan tersebut sangat
kecil sekali, yang dinyatakan dalam A° sama dengan 1 X 10-8 cm, seperti
montmorillonite terutama bentonite pada udara kering sekitar 9.8 A° terhadap
sodium (Na) dan sekitar 11.8 – 12.1 A° terhadap calcium (Ca) atau magnesium
(Mg).
Ion-ion Na mempunyai energi hidrasi yang rendah untuk mengadsorbsi air
dibandingkan dengan ion-ion Ca. Ketika ion Na dan Ca terjadi kontak dengan
udara luar akan menyebabkan kenaikan kelembaban hingga akhirnya bercampur
dengan udara, sehingga jarak plat meningkat sesuai dengan lapisan yang
diadsorbsi oleh air. Tahap awal mekanisme absorsi adalah hidrasi pertukaran ion.
Bentonite dapat menghidrasi dalam air dengan ukuran yang bervariasi
Besarnya hidrasi dari beberapa variasi kation partikel bentonite berkaitan dengan
jarak yang ada dari kation permukaannya. Dimana pertukaran kation dengan kuat
diadsorbsi oleh kalsium (Ca) dan hidrogen yang cenderung menarik kation yang
berdekatan membentuk plat-plat clay yang menyerap air dengan jarak spasi
mencapai 15 – 17 A°. Sedangkan untuk pertukaran kation yang tidak bisa
bercampur (disassociated), seperti sodium (Na), akan menambah jarak spasi antar
plat hingga mencapai 17 – 40 A°, terutama pada kondisi aqueous, yang dibatasi
oleh shear halus seolah masing-masing plat melayang satu sama lainnya. Seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 3.5, mengilustrasikan proporsi umum hidrasi plat-
plat bentonite kalsium yang menyisakan gaya VanDer Walls yang lemah dengan
diselipi air antar permukaan plat-platnya. Sedangkan hidrasi plat-plat bentonite
sodium memberikan jarak efektif spasi yang besar seolah mengambang sebagai
efek lapisan air diantara masing-masing platnya untuk membentuk kesetimbangan
pertukaran kation oleh partikel clay.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa partikel clay ini bisa terdiri dari satu
macam lapisan atau sampai tak terhingga, yang saling menumpuk menyerupai
deck kartu-kartu yang diikat bersama-sama dalam suatu gaya residual. Ketika
tersuspensi dalam air, clay akan memperlihatkan bermacam-macam derajat
swelling-nya. Molekul bentonite terdiri dari tiga layer, yaitu : sebuah layer
alumina dan layer silica yang berbeda di atas dan layer alumunia berada di bawah.
Gambar 3.5.Hidrasi Bentonite20)
Plat (lempeng) bentonite bermuatan negatif dan mempunyai kation-kation
yang berlawanan dan bergabung denganya. Jika kation-kation yang berlawanan
dan bergabung dengannya. Jika kation-kation ini adalah sodium (Na), maka clay
tersebut Sodium Montmorilloint dan jika kalsium maka disebut Calsium
Montmorillonite.
Kosekuensi adanya adsorbsi air dalam kuantitas yang besar pada kasus
yang telah terjadi, menunjukkan terjadinya disperse partikel yang menyebabkan
penyerapan dan penyusutan volume air karena disperse clay sehingga
mengakibatkan viskositas naik.
Bila suspensi air dan clay dari hasil pengadukan yang sempurna sesuai
dengan prosedur, maka terdapat tiga ikatan plat-plat pada permukaan clay, yaitu :
o Tepi terhadap tepi
o Muka terhadap tepi
o Muka terhadap muka
Mata rantai dari partikel-partikel ini akan terbentuk secara serentak atau
hanya terdapat satu jenis mata rantai yang akan menguasai proses tersebut.
Berdasarkan cara pengembangan lempeng (lihat Gambar 3.2), terdapat empat cara
yang berbeda :
1. Dispersi
2. Aggregasi
3. Flokulasi
4. Deflokulasi.
3.7.1. Dispersi
Lempengan-lempengan yang terssuspensi di dalam larutan dalam keadaan
tersebar merata dan tidak terdapat ikatan antara permukaan maupun tepi dari
lempengan-lempengan.
Karena jumla dari partikel yang tersuspensi besar, maka akan
mengakibatkan kenaikan pada viscositas dan gel strength. Biasanya lempengan-
lempengan clay teragregasi sebelum terhindrasi dan setelah terjadi hidrasi diaduk,
keadaan ini berubah menjadi terdispersi.
Derajat terdispersinya tergantung kandungan elektrolit dalam fasa cair,
waktu, temperatur, ion-ion yang dapat saling dipertukarkan serta konsentrasi clay.
3.7.2. Flokulasi
Bila lempengan clay bergabung satu dengan lainnya dimana di dalam
sistem akan terdapat ikatan muka dengan tepi lempeng, tepi dengan tepi lempeng
yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairannya. Flokulasi akan
mengahasilkan clay yang akan mengumpal sehingga akan menghasilkan gel yang
berlebihan.
3.7.3. Aggregasi
Aggregasi terjadi bila antara muka dengan muka atau tepi dengan tepi
lempeng clay saling berkaitan satu dengan lainnya dan tersebar di dalam fasa
cairnya.
3.7.4. Deflokulasi
Deflokulasi terjadi bila dalam larutan yang terflokulasi terjadi pemusatan
ikatan antara muka dengan tepi, yaitu dengan penambahan thinner ke dalam
3.8. Pengontrolan Lumpur Pemboran.
Faktor yang penting dalam melakukan pemboran sumur adalah mengotrol
komposisi dan kondisi dari Lumpur bor tersebut. Perencanaan casing, laju
pemboran dan completion seluruhnya dipengaruhi oleh Lumpur secara langsung.
Pengaturan dari Lumpur adalah salah satu tenggung jawab yang penting dari
seorang pengawas pemboran.
Untuk mempermudah pengertian, maka ada tiga sifat pokok yang harus
diketahui yaitu : berat, viscositas dan water loss dari lumpur.
3.8.1. Densitas Lumpur
Lumpur pemboran sebagai benda cair mempunyai berat jenis. Berat jenis
suatu benda adalah berat benda dibagi volumenya, pada temperature dan tekanan
tertentu. Satuan (dimensi) yang dipakai : kg/l ; gr/cc ; lb/gal dsb. Berat jenis
Lumpur pemboran diukur dengan alat timbangan Lumpur (mud balance), yaitu
semacam alat penimbang yang disatu ujungnya berskala dan ujungyang lainnya
terdapat mangkok tempat Lumpur yang akan ditentukan “densitynya”.
Kalibrasi alat tersebut dapat dilakukan dengan air biasa harus menunjukan
angka 8,33 lb/gal (ppg), 62,4 lb/cuft, 1 spesific gravity dan 433 psi/1000ft.
Berat jenis Lumpur harus dikontrolagar dapat memberikan tekanan
hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi ke dalam lbang
bor, tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar sehingga menyebabkan formasi
pecah dan Lumpur hilang ke dalam formasi. Oleh karena itu berat jenis Lumpur
pemboran perlu direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan keadaan
tekanan formasi.
Tekanan hidrostatik Lumpur di dasar lubang adalah fungsi dari berat jenis
Lumpur itu sendri, dan dapat dirumuskan:
, kg/cc...........................................................................(3.10)
Dimana :
Ph = tekanan hidrostatik lumpur
W = berat jenis Lumpur, gr/cc
H = kedalaman, meter
Tekanan hidrostatik lumpur di dasar lubang akan mempengaruhi
kemampatan formasi di bawahnya yang akan dibor. Makin besar ρL , lapisan
akan makin mampat sehingga merupakan hambatan tambahan terhadap
kemampuan pahat untuk mengkoreknya, sehingga kemajuan pahat akan makin
lambat.
Hubungan antara kecepatan pemboran dengan tekanan hidrostatik lumpur
di dasar lubang dapat dilihat pada grafik Gambar 3.6. Dari gambar tersebut dapat
dilihat, bahwa makin besar pH kecepatan atau laju pemboran semakin kecil,
denagn demikian untuk mencapai laju pemboran yang lebih cepat, dapat begitu
saja menurunkan berat jenis, tetapi hal ini harus mengingat akan kemungkinan-
kemunkinan yang dapat terjadi. API telah memberikan suatu perkiraan untuk
menentukan berat jenis lumpur pembora agar tidak terjadi suatu kesuliatan, yaitu
menambahkan batas faktor keselamatan sebesar = 0.012 kg/cm untuk tiap meter
kedalaman.
Gambar 3.6.Hubungan Tekanan Hidrostatik Lumpur terhadap Laju Pemboran11)
Di lapangan pengukuran berat jens lumpur diukur dengan menggunakan
suatu alat yang disebut Mud Balance, bagian-bagian ari mud balance adalah
sebagai berikut :
- mangkok berserta tutupnya (cup)
- lengan bersekala (blance arm)
- anak timbangan (rider)
- gelas pengatur \ level (level gelas)
- penyangga ( base and fulcrum)
Untuk jelasya tentang bagian-bagian dari mud balance lihat gambar berikut :
Gambar 3.7.Mud Balance4)
Prosedur pengukuran berat jenis adalah sebagai berikut :
1. Isi mangkok sampai penuh dan tutup.
Pastikan bahwa ada lumpur yang keluar dari lubang penutup, supaya pasti
dalam mangkok benar-benar penuh berisi lumpur.
2. Tutup lubang pada magkok dengan jari, cuci lumpuryang ada pada
penutup dan lengan mud balance. Ini agar lumpur yang ditimbang betul-
betul yang berada pada mangkok.
3. Letakkan diatas penyangga, atur rider agar posisi lengan betul-betul
horisontal.
4. Baca berat jenis lumpur yang ditunjukka oelh rider.
Pada lengan bersekala dapat terbaca berat jenis dalam satuan ppg, ataupun dalam
satuan gr/cc. Juga ada yang menyatakan SG dari lumpur.
3.8.2 Viskositas Lumpur
Viskositas suatu cairan adalah ukuran tahanan dalamnya terhadap aliran
suatu gerakan. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara
“shear stress”(tekanan pengeser) dan “shear rate” (laju pengggeseran). Untuk
cariran yang termasuk Newtonian seperti air, perbandingan “shear rate” dan
“Shear stress” ini sebanding dan konstan, sedangkan lumpur pemboran adalah
termasuk cairan Non-newtonian dimana perbandingan shear stress dan shear rate
tidak konstan disebut viscositas semu (apparent viscocity) serta memberikan
hubunga variasi yang luas. Gambar dibawah ini memperlihatkan perbedaan
cariran newtonian dan non-newtonian. Selanjutnya pembahasan mengenai cairan
tersebut akan dibahas tersediri.
Gambar 3.8.Cairan Newtonian dan Non-Newtonian4)
Tujuan dari pengenalan viscositas lumpur ini adalah untuk :
1. Mengontrol tekanan sirkulasi yang hilang dianulus.
2. Memberikan kapasitas daya angkat yang memadai untuk membawa
padatan formasi.
3. Membantu mengontrol ”swab pressure“ dan ”surge pressure“.
Pertimbangan-pertimbangan yang tak langsung adalah sebagai berikut :
1. Laju pemboran adalah besar dengan kadar padatan yang rendah,
atau lumpur yang encer
2. Lumpur dapat dikentalkan untuk memperkecil erosi pada formasi
shale yang tidak kompak, karena bentuk aliran turbulen dengan
lumpur yang encer dapat mengakibatkan erosi lbang sehingga
terjadi pembesaran lubang.
Dalam pemboran viscositas dai lumpur naik, hal ini dikarenakan oleh:
o Flokulasi
Pada flokulasi gaya tarik menarik antara partikel-partikel clay terlalu besar
dan akan menggumpal, dengan terjebaknya air bebas oleh partikel-partikel
claysehingga sistim kekurangan air bebas menyebabkan viscositas naik.
Penggumpalan tadi bisa diakibatkan kenaikan jumlah partikel-partikel padat
(jarak antara plat-plat lebih kecil) atau karena kontaminasi (anhydrit, gypsum,
garam yang menetralisir gaya tolak menolak antara muatan-muatan negatif
dipermukaan clay). Dalam hal kontaminasi dengan ion Ca2+ digunakan soda
abu (Na2CO3) untuk pengobatan. Sedangkan pada kontaminasi dengan garam
(NaCl) dipergunakan pengenceran dengandipersant stelah dinaikkan pH nya
denga caustic.
o Terlalu Banyaknya Padatan
Untuk ini hanya pengenceran yang efektif untuk mencegah penurunan
viscositas.
Peralatan yang dipergunakan untuk mengukur viscositas adalah sebagai
berikut :
1. Marsh Funnel
Viscositas yang diukur dengan menggunkan Marsh Funnel adalah
viscositas elatif. Dimana dibandingkan dengan viscositas lumpur dengan
viscositas ai tawar. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk mengukur
viscositas dengan cara Marsh Funnel adalah sebagai berikut :
- corong
- cangkir
- stopwacth
mud dimasukkan kedalam corong sebanyak 1500 cc, dan tutup ujung
corong dengan jari. Masukkan kedalam cangkir sambil menghidupkan
stopwacth. Setelah volume lumpur didalam cangkir mencapai946 cc
dicatat sebagai viscositas dari lumpur. Satuanyang digunakan adlah detik.
Peralatan yang digunkan tersebut perlu dikalibrasi denga
menggunakan air tawar. Bila dengan cara yang sama dengan mengukur
viscositas lumpur didapatkan viscositasnya 26 detik = 0,5 detik,
dinyatakan bahwa alat baik. Kalau lebih maka kemungkinan saringan yang
ada pada corng terseumbat. Dalam operasi pemboran viscositas lumpur
yang baik berkisar antara 36-45 detik Marsh Funnel.
Gambar 3.9.Marsh Funnel20)
2. Fann VG Meter
Fann VG Meter maupun Stromer Viscometer merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur viscositas plastic dari lumpur bor. Prinsipnya
adalah beberapa torsi yang dihasilkan bila lumpur diaduk dengan
kecepatan tertentu.
Masukkan lumpur kedalam tbung, rotor sleeve ditenggelamkan
dalam lumpur, putar sleeve sebesar 600 rpm sampai jarum pembacaan
menunjukkan angka yang konstan, dan dicatat angkanya. Kemudian
lakukan pula untuk putaran 300 rpm selisih pembacaan dengan putaran
600 rpm dan 300 rpm merupakan viscositas plastic dari lumpur.
Gambar 3.10.Fan V-G Meter4)
Diwaktu lumpur bersikulasi yang berperan adalah viscositasnya.
Sedangkan diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gelstrenght.
Lumpur akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak ada sirkulasi, hal
ini disebabkan oleh gaya tarik menarik antara partikel-partikel padatan lumpur.
Gaya mengagar inilah yang disebut dengan gelstrenght.
Diwaktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai
gelstrenght yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar
jangan turun. Akan tetapi kalau gelstrenght terlalu tinggi akan menyebabkan
terlalu berat kerja lumpur untuk memulai sirkulasi kembali.
Walau pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh
memompakan lumpur dengan daya yang besar karena formasi bisa pecah.
Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggatian bit. Agar formasi tidak pecah
didasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan secara bertahap, dan sebelum
melakukan sirkulasi rotary table diputar lebh dahulu untuk memecah gel. Tahap
yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut :
Turunkan rangkaian spertiga kedalaman, lakukan sirkulasi dengan memutar rotay
table terlebih dahulu. Kemudian lakukan hal u\yang sama untuk dua pertiga
kedalaman. Yang terakhir lakukan hal yang sama bila bit sudah mencapai hampir
ke dasar lubang. Biasanya dengan cara tersebut gel sudah pecah dan tenaga yang
diperlukan untuk sirkulasi kembali darilumpur tidak begitu besar, dan formasi
tidak pecah. Gelstrenght dapat diukur dengan menggunakan Stromer Viscometer,
dengan cara sebagai berikut:
- Masukkan lumpur kedalam tabung, aduk dengan kecepatan tinggi selama
sepuluh detik.
- Diamkan selama 10 detik, aduk lagi dengan kecepatan 300 rpm, awasi
kenaikan pembacaan sampai jarum bergetar secara konstan.
- Pembacaan merupakan gelstrenght lumpur untuk 0 menit dengan satuan
lb/100 ft2.
- Aduk lagi lumpur dan diamkan selama 10 menit
- Putar lagi sleeve 300 rpm, dan lakukan pembacaan seperti diatas, dan
laporkan sebagai gelstrenght 10 menit.
Dengan menggunakan shearometer, gelstrenght lumpur dapat juga ditentukan.
3.8.2.1. Pengaturan Viscositas
Viscositas dari lumpur dapat diatur secara efisien dan cermat dengan cara
kerja sebagai berikut :
- Pengukuran viscositas dilakukan secara berulang kali.
- Strenght diamati berulang kali.
- Pengukuran pH atau alkalinitas dalam batas tertentu.
- Padatan yang dikandung lumpur diukur berulang kali.
- Kandungan chloride dan calcium siukur untuk menjaga terjadinya
kontaminasi.
Untuk memahami pembuatan lumpur dibuat dengan viscositas standard
sebesar 1.5 cp. Perubahan secara bertahap dengan konsentrasi clay sampai
mencapai suatu harga konsentrasi titik kritis dengan penambahan padatan.
Gambar 3.11.Hubungan Viskositas terhadap Variasi Tipe Lumpur Clay4)
Diatas titik kritis, penambahan padatan akan menghasilkan viscositas yang tinggi.
Dengan penambahan air maka viscostas akan turun. Konsentarsi titik padatan
seperti terlihat pada Gambar 3.11. tergantung dari type padatannya. Dalam hal
yang umum, padatan clay dari formasi yang dibor dapat dibandingkan dengan
kurva pada gambar tersebut.
Ciri khas pengontrolan viscositas ini tergantung pada kondisi daerah yang
bersangkutan, dimana formasi clay menghidrat atau mengembang akibat adaya
air, maka viscositas turun secara kontinyu yang pengencerannya dengan
menggunakan air. Dalam daerah dimana formasinya tidak menghidrat, maka perlu
adanya penambahan bentonite.
o Pengontrolan Viscositas Lumpur di Lapangan.
Langkah pertama pada pemboran adalah mempelajari lumpur dari gel dan
air. Kecenderungan yang terjadi adalah kemungkinan-kemungkinan dari
pelbagai sistem setelah periode waktu tertentu, dapat terjadi flokulasi
(pengentalan lumpur), untuk ini diperlukan dispersant seperti Quebracho.
Pada flokulasi, gaya tarik antar partikel-partikel clay sangat besar dan ini
akan menyebabkan terjadinya penggumpalan-penggumpalan clay dengan
terjebaknya air oleh partikel-partikel clay sehingga sistem akan kekurangan air
bebas, maka viscositas menjadi naik. Penggumpalan ini terjadi karena
kenaikan jumlah partikel-partikel padat (jarak antaraplat partikel lebih kecil)
atau karena kontaminasi (anhydrit, gypsum, semen, garam yang menetralisir
gaya tolak menolak antara muatan negatif dari clay). Dengan penambahan zat-
zat kimia, hal tersebut dapat diatasi tanpa mengakibatkan terjadinya
penggumpalan serta terbentuknya viscositas yang tinggi.
Dalam hal terjadinya kontaminasi dengan ion Ca2+ digunakan soda abu
(Na2CO3) untuk treating atau pengobatan, sedangkan pada kontaminasi dengan
garam (NaCl), digunakan pengenceran, lalu dengan dipersant setelah
dinaikkan pH-nya dengan caustic.
o Pengontrolan Lumpur yang dibuat tidak di lapangan.
Persoalan dalam hal ini adalah mempertahakan viscositas yang telah
dihasilkan. Ini dilakukan denan cara penambahan clay atau alkalinity (gel)
secara teratur dalam air tawar, serta dengan cara pemakaian garam type gel
dalam saturasi salt water mud atau kandungan garam yang tinggi. Konsentrasi
garam yang diperlukan dari fresh water bentonite menjadi salt gel tidak
dilakukan begitu saja, karena ini tergantung dari type garam-garamnya
(calcium, sodium, potasium atau aram yang lain).
Berdasarkan biaya, maka diadakan prosedure yang lain untuk digunakan
agar viscositas dan water loss daat dipertahankan viscositas yan tinggi dapat
digunakan untuk :
- Memberikan perbaikan serbuk bor bagi geologist.
- Mengurangi gangguan pada lubang bor melalui pembersihan cutting
Untuk itulah viscositas yang tinggi dipertahankan. Meskipun demikian,
kecepatan dianullus dapat dipertahankan lebih dari 120 rpm, maka viscositas
yang rendah cukup baik untuk digunakan.
Kerugian-kerugian yang timbul akibat viscositas yang tingi dari lumpu
pemboran adalah :
- biaya lumpur menjadi tinggi.
- kecepatan pemboran turun.
- bertambahnya pressure drop.
- bertambahnya pressure surges bila drill pipe bergerak.
- bertambahnya efek swabbing.
- dapat menimbulkan gugurnya formasi bila cassing bergerak yang
diakibatkan terjadinya lost of return bila dilakukan penyemenan.
Tentang aspek yang bagaimana penambahan pressure drop dapat mengkibatkan
kerugian-kerugian dengan analisa tersebut.
Anggaplah digunaka n hydraulic horse power, sehingga pembersihan
lubang bor oleh lumpur dapat berjalan dengan normal apabila kecepatan dianulus
cukup memadai atau jika mungkin dapat dilakukan dengan penambahan
viscositas, maka rate volume harus berkurang. Ini berarti bahwa penambahan
kapasitas dari lumpur berkurang karena kecilnya kecepatan dan naikknya
viscositas (selama viscositas naik maka kecepatan berkurang).
Sedangkan viscositas lumpur yang rendah dapat mengakibatkan :
1. Pengangkatan cutting tidak baik.
2. Material-material pemberat dai lumpur diendapkan.
3.8.2.2. Pemilihan Viscositas Lumpur.
Pemilihan viscositas lumpur dalah merupakan faktor yang terpeting.
Dalam beberapa daerah atau lapangan, pemakaian air sebagai lumpur masih
dimungkinkan. Dalam bayak hal pengangkatan dengan viscositas yang berbeda-
beda sering dilakukan. Sebagai contoh pengukuran viscositas dengan corong
memerlukan waktu 50 detik, untuk berat lumpur yang normal ini adalah tinggi,
tetapi untuk kelompok yang lain dianggap rendah. Pengukura viscositas dengan
Funnel Visocentimeter dengan menggunakan air sebagai lumpur akan
memerlukan waktu 26,5 detik. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran selama 50
detik untuk kelompok tersebut adalah tinggi. Sebagai patokan untuk viscositas
yang rendah berada disekitar 36 detik. Untuk viskositas yang sedang adalah
berkisar antara 30 – 46 detik, lebih besar dari harga ini adalah tinggi.
3.8.3. Efek Invasi Lumpur Pemboran
Operasi pemboran biasa dilakukan dengan menggunakan lumpur
pemboran, pengontrolan tekanan lumpur (hydrostatic pressure) sering dilakukan
sepanjang kedalaman pemboran dan menyesuaikan dengan perubahan tekanan
formasi dan jenis batuan yang ditembus mata bor (bit). Oleh karena itu, biasanya
fluida pemboran dibuat sedemikian rupa agar dapat memberikan tekanan
hidrostatik yang sedikit lebih besar dan tekanan formasi, tekanan yang lebih ini
diperlukan untuk menahan endapan lumpur pada dinding lubang bor agar jangan
terlalu banyak cairan dan fluida pengebor masuk (invasi) ke dalam formasi atau
terjadi dehidrasi dari fluida pemboran.
Jika tekanan lumpur lebih besar dari tekanan formasi (ph > pf),
menyebabkan partikel dan filtrat akan menginvasi ke formasi produktif. Selain itu
dapat juga disebabkan oleh rate penetrasi yang lebih besar dari sirkulasi lumpur,
sehingga menyebabkan sebagian cutting akan tergilas kembali oleh bit dan
menginvasi ke formasi. Cairan yang menginvasi ke formasi pada dinding lubang
pemboran akan menyebabkan akibat negatif, akibat-akibat itu antara lain sebagai
berikut :
o Dinding lubang akan mudah runtuh atau lepas.
Jika formasi yang dimasuki oleh zat cair yang masuk tersebut adalah air, maka
ikatan antara partikel formasi akan melemah sehingga dinding lubang
cenderung untuk runtuh.
o Menyalahi interpretasi dari logging.
Elektrik logging atau resistivity log mengukur resistifitas dari formasi dan
cairan atau fluida yang dikandung oleh formasi tersebut, sehingga jika
filtration loss terlalu tinggi maka yang akan dihitung adalah resistifitas flitrat
lumpur iru bukan formasi atau fluida formasinya.
o Water blocking.
Filtrat yang berupa air akan menghambat atau menghalangi aliran minyak dari
formasi ke dalam lubang sumur kalau filtrat dari lumpur banyak.
o Differential sticking.
Bersamaan dengan banyaknya filtration loss maka mud cake dari lumpur akan
tebal. Diwaktu sirkulasi berhenti ditambah lagi dengan berat jenis lumpur
yang besar, maka drill collar akan cenderung terjepit karena mud cake akan
menahan drill collar yang terbenam dalam mud cake serta lumpur akan
menekan dengan tekanan hidrostatik yang besar ke dinding lubang bor.
o Cahanneling pada semen.
Di waktu penyemenan, mud cake yang terlalu tebal kalau tidak dikikis akan
menyebabkan ikatan antara semen dengan dinding lubang tidak baik, juga
mud cake akan mempengaruhi keperluan volume semen dalam annulus karena
sebagian space semen dikurangi oleh mud cake.
Oleh sebab itu filtration loss perlu diperhatikan dengan selalu mengadakan
pengukuran dan pengontrolan tentang filtration loss dan mud cake lumpur
pemboran. Untuk mencegah filtration loss dan mud cake yang terlalu tebal yang
dapat menimbilkan problem, maka dibatasi filtration loss maksimal 6.5 cc dan
tebal mud cake maksimal 2 mm.
Invasi fuida pemboran keformasi disebabkan oleh :
o Ukuran rongga pori yang lebih besar dari ukuran partikel yang menginvasi.
o Adanya perekahan alamiah dari reservoir.
o Partikel-partikel kecil dari lumpur pemboran dan cutting.
o Laju pemboran yang rendah dapat menyebabkan kerusakan mudcake sehingga
terjadi invasi fluida ke formasi.
o Densitas fluida pemboran yang tinggi menyebabkan tekanan overbalance yang
tinggi.
o Permeabilitas formasi yang besar sehingga memungkinkan invasi partikel
padatan ataupun filtrat kedalam formasi.
o Tekanan differensial (beda tekanan antara formasi dan tekanan hidrostatik
pada lubang bor).
o Komposisi lumpur pemboran yang digunakan.
3.8.3.1. Mekanisme Invasi Lumpur Pemboran
Dalam sistem lumpur pemboran, invasi lumpur pemboran kedalam formasi
dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu : mud filtrat dan solid parikel.
Kedua komponen ini berperan dalam pembentukan kualitas mudcake yang
terbentuk pada dinding sumur dan memberikan tingkat perubahan kondisi sekitar
zona produktif atau dikenal sebagai kerusakan formasi.
Masuknya filtrat lumpur pemboran ke dalam formasi yang tidak
mengandung clay (clean sand) tidak menimbulkan masalah rumit, karena pada
clean sand filtrat lumpur pemboran akan didesak lagi keluar oleh minyak pada
waktu sumur diproduksi. Tetapi masalah akan timbul jika formasi mengandung
clay, dirty sand. Dimana filtrat lumpur pemboran tidak bisa diatasi oleh minyak
yang diproduksikan.
Invasi mud filtrat dibagi dalam dua fasa, yaitu :
3.8.3.1.1. Dynamic Filtration
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang terjadi pada saat adanya sirkulasi
lumpur pemboran dan berputarnya rangkaian batang bor (drill string). Filtrasi ini
merupakan invasi filtrat lumpur paling besar yaitu sekitar 70 - 90 persen dari
volume filtratnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi filtrasi dinamik, yaitu :
o Kecepatan filtrasi
o Jenis lumpur yang digunakan
o Tekanan filtrasi
o Vicositas dan temperatur.
Selama sirkulasi lumpur pemboran dan rotasi drill string berlangsung,
lumpur bor dalam keadaan dinamis. Dimana dalam keadaan demikian akan
merusak sifat gel strength lumpur dan mengikis lapisan transisi pada shear
strength rendah antara mud cake dengan lumpur,perhatikan Gambar 3.12.
Dari Gambar 3.12. terlihat, makin tebal filtrate cake, maka filtrasi yang
melalui zona transisi menurun sampai mencapai keadaan seimbang antara
hydrodinamic shear strength dengan mud cake yang terjadi di annulus. Hal ini
menyebabkan pengendapan dan pengikisan menjadi seimbang sampai ukuran mud
cake mencapai ketebalan yang konstan.
Ferguson dan Klotz melakukan percobaan untuk mengetahui kapasitas
filtrasi dinamik dengan menggunakan empat tipe lumpur bor yaitu : bentonite –
barytes mud, oil base mud, limestarch mud, dan oil emulsion mud. Kapasitas
filtrasi dinamik merupakan fungsi dari API filter loss dari tiap-tiap lumpur bor.
Filtrasi dinamik dari emulsion mud lebih besar daripada jenis lumpur lainnya.
Tetapi emulsion mud hanya mempunyai API filter loss 4 ml atau mendekati filter
loss lime starch mud dan lebih kecil daripada filter loss bentonite mud.
Untuk emulsion mud, lime starch dan oil base mud kapasitas
keseimbangan (equilibrium capacity) filternya bertambah dengan bertambahnya
kecepatan lumpur. Untuk bentonite mud, filtrasinya diukur dengan sirkulasi
lumpur pada kecepatan sirkulasi lumpur dengan kecepatan antara 2,25 – 3,5 ft/sc
bertambahnya kecepatan sirkulasi gradien tekanan filtrasi sampai pada lapisan
transisi akan mendekati gradien hidrodinamik dimana mud cakenya akan
bertambah tebal.
Ketebalan filter cake akan tetap bila kecepatan lumpur tinggi dan
menghasilkan kapasitas filtrasi konstan, emulsion mud mempunyai filtrasi yang
besar pada kecepatan sirkulasi lumpur yang sama untuk jenis lumpur tersebut,
sedangkan kapasitas filtrasi terkecil dimiliki lumpur oil base mud.
Gambar 3.12.
Profil Invasi Lumpur Pemboran4)
3.8.3.1.2. Static Filtration
Filtrasi statik adalah filtrasi dimana tidak adanya sirkulasi lumpur
pemboran dan drill string tidak berotasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
filtrasi statik, antara lain:
o Jenis lumpur yang dipakai
o Tekanan filtrasi
o Vicositas dan temperatur lumpur.
Pada filtrasi statik, mud cake dapat terbentuk secara sempurna, akibatnya
invasi filtrat lumpur lebih kecil dibandingkan dengan filtrasi dinamik.
Lumpur bentonite mempunyai filtration dinamic > filtration static, dimana
kecepatan sirkulasi lumpur sangat besar pengaruhnya terhadap filtrasi lumpur bor.
Glenn, Slusser & Huitt melakukan penelitian untuk menghitung volume filtrasi
sehingga perhitungannya lebih baik dari yang dikemukakan Ferguson dan Klotz,
dimana digambarkan dua proses filtrasi sekaligus (fltrasi sinamik dan statik).
3.8.3.2. Pengukuran Volume Filtrat Lumpur
Volume filtrat lumpur berkaitan dengan rate filtration yang sangat
bergantung pada komposisi lumpur yang digunakan, temparatur dan besarnya
tekanan yang digunakan.
Volume filtration diukur dalam suatu filter cell pada temperatur
permukaan dan pada perbedaan tekanan sebesar 120 psi. Hasil dari pengukuran ini
adalah sebagai dasar perbandingan antara lumpur-lumpur yang berbeda atau
dengan kata lain hasilnya hanyalah bersifat kuantitatif. Volume filtrat dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
.........................................................................................(3.11)
dimana :
V = volume filtrat, cc.
t = waktu, menit.
C = konstanta yang sebanding dengan filtration loss.
Jadi volume filtrat adalah sebanding dengan akar dari waktu yang dalam
hal ini mempunyai pengertian bahwa proses filtration lumpur pemboran
memerlukan waktu untuk invasi.
Untuk pengukuran di laboratorium, volume filtration loss diukur dengan
Standard Filtration Loss, dimana lumpur ditempatkan dalam suatu tabung dan
dasarnya berpenyaring kertas tertentu dan diatas lumpur diberi tekanan udara
(gas). Untuk itu baik volume filtrat maupun tebal mud cake dilaporkan dalam
percobaan API Filtration Rate (statis) dalam cc filtrat/30 menit pada perbedaan
tekanan sebesar 100 psi. Mud cake biasanya diukur dalam satuan sepertiga puluh
inchi.
Pengukuran diatas sebenarnya bersifat kondisi statis, yang diberlaku jika
sirkulasi dan pemboran dihentikan yang tentunya lain dengan kondisi bila ada
sirkulasi dan pemboran di-run dimana bit menghancurkan mud cake yang terjadi.
Fluid loss sebagai volume filtrat melalui suatu filter secara lebih akurat dapat
dicari dengan rumus :
...........................................................................(3.12)
dimana :
V = volume filtrat, cc.
C = konstanta sebanding dengan filtration loss.
P = tekanan pendorong (driving pressure), psi.
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tekanan pengalihan filtation per
menit berat solids dalam filter cake.
b = konstanta kompresibilitas filter cake (b = 0 untuk imcompressible
filter cake).
t = waktu filtration, menit.
w = berat dari bahan padat per menit volume dari filtrate yang
dihasilkan.
b = viskositas cairan filtrat, cp.
Persamaan diatas menyatakan bahwa filtrat sebanding denganakar pangkat dua
dari waktu filtrasinya dan tebal mud cake sebanding dengan fluid loss. Namun
dalam prakteknya ternyata bahwa untuk volume filtrat lumpur, persamaan
menjadi lebih sederhana, berlaku hubungan :
.....................................................................................(3.13)
dimana :
V1, V2 = volume filtration pada waktu t1 dan t2, cc.
t1, t2 = waktu test filtration, menit.
Rumus diatas berlaku sebelum terbentuknya mud cake, telah ada semprotan dan
spurt dan hal ini tidak dihitung bila temperatur kedua test sama. Bila temperatur
test tidak sama, maka perlu koreksi sebagai berikut :
...................................................................................(3.14)
dimana :
1, 2 = viskositas cairan pada temperatur t1 dan t2
Outmans membuat suatu persamaan empiris untuk dynamic filtration loss
yang menggambarkan volume filtration losssetelah mud cake mencapai ketebalan
tertentu (kesetimbangan dalam ketebalan, yaitu :
..............................................................................(3.15)
dimana :
V = volume filtration lumpur, cc.
K = permeabilitas filter cake (diukur dari static fluid loss), mD.
L = viskositas cairan filtrat, cp.
f = koefisien geseran antara partikel padat dengan filter cake,
ditentukan secara empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai
kesetimbangan (konstan).
= shear force (tenaga geser).
Sedangkan shear force (psi) ditentukan dengan persamaan :
.............................................................(3.16)
dimana :
Y = yield point, lb/ft2.
v = kecepatan aliran fluida, ft per second.
p = plastic viscosity, cp.
D = diameter saluran, inc.
Filter loss yang besar adalah buruk sekali efeknya terhadap formasi
maupun lumpurnya, karena dapat menyebabkan terjadinya formation damage,
terutama pada pengurangan permeabilitas efektif minyak atau gas, dan lumpur
akan banyak kehilangan cairannya. Filter loss yang besar dalam lumpur dapat
dicegah dengan penambahan :
o Koloid (bentonite).
o Srarch, CMC-Driscose.
o Minyak (buruk terhadap dynamic loss).
o Q-Broxin (baik untuk dynamic maupun static loss).
3.8.3.3. Pengaruh Komposisi Kimia Filtrat Lumpur
Selalu ditemukannya invasi mud filtrat saat pemboran adalah fenomena
alamiah. Filtrat yang terinvasi ini sangat mempengaruhi pori-pori dan
permeabilitas formasi, karena pada umumnya batuan formasi mengandung
lempung (clay). Clay sifatnya hiperaktif terhadap air tawar (fresh water).
Dari matriks seperti clay, kalsit dan fine sand, ditinjau dari lokasi clay di
dalam bantuan sedimen diperoleh dua cara yaitu :
1. Pengisian rongga (pore filling) dimana butir-butir lempung mengisi rongga
pori.
2. Melapisi butiran (pore lining) dimana lempung melekat atau menutupi
butiran.
Chingilarian mengelompokkan clay menurut sifat fisik seperti pada tabel
III-2 dari keempat jenis clay, hanya montmorillonite yang memiliki kemampuan
mengembang jika kontak dengan air khususnya fresh water. Sedangkan
monmorillonite clay atau disebut juga bentonit terbagi menjadi dua jenis, yaitu
Na-bentonite dan Ca-bentonite. Sodium (Na)-bentonite jauh lebih baik bila
dibandingkan dengan Ca-montmorillonite, karena mampu mengembang sampai 8
kali bila dicampur dengan air.
Tabel III-2.
Sifat Fisik Beberapa Jenis Clay4)
JenisLuas Permukaan (surface
area) (m2/gram)
RentangCation Exchange Capacity (CEC)
MontmorilloniteIlliteKaoliniteChlorite
8211322-
80 – 15010 – 403 – 1510 – 40
Kemampuan mengembang (swelling) yang besar diantara tipe lempung yang
lainnya, Montmorillonite clay akan membentuk suatu larutan dengan viscositas
yang cukup besar, hal ini penting untuk pembersihan dasar.
Fresh water sebagai fasa kontinyu dalam water base mud, invasi mud
filtrat menyebabkan lempung mengembang di dalam pori batuan sehingga pori-
pori batuan mengalami clay blocking.
Telah dijelaskan sebelumnya, jika dengan fresh water akan bereaksi.
Untuk ini maka diperlukan pengertian dan lempung. Lempung (clay) adalah
material dan tanah dengan ukuran colloid yang mengembang bila basah dan
bersifat mengabsorbsi terhadap air. Oleh karena itu disebut “hydrophilic”.
Sedangkan perbedaan clay dengan shale adalah kalau clay bersifat hydrophilic
sedangkan shale bersifat hydrophobic yang kurang bisa menghidrat. Bentuk
partikel lempung adalah mirip timbunan dan plat-plat datar yang tipis yang
bentuknya menyerupai mika.
Plat-plat ini terdiri atas lapisan molekul yang terikat satu di atas lainnya.
Kisi-kisinya terikat secara kovaleri dan sulit terputuskan. Untuk berbagai kation
Na dan Ca atau ion-ion lainnya terikat lemah diantara plat-plat tersebut. Ikatan
antar ion terjadi karena adanya gaya Van Der Wall yang begitu lemah dan mudah
berputar sehingga menyebabkan molekul-molekul air masuk ke dalam ruang antar
plat-plat. Hal ini menyebabkan partikel-partikel clay akan terdispersi bila bertemu
dengan air. Proses ini menyebabkan terhidrasi dan mengembang pada clay. Air
yang terperangkat di antara plat-plat, begitu terikat akan mengandung sebagian
besar dari total air yang ditahan oleh sistem colloid clay. Banyaknya air yang
diserap oleh pertikel clay tergantung pada sifat-sifat ikatan ionnya. Na adalah
kation monovalen oleh karena itu, ion-ion ini terikat begitu lemah pada batas-
batas permukaan sehingga memungkinkan masuknya air lebih banyak bila ikatan
lebih kuat seperti ikatan divaleri pada kalsium.
3.8.3.4. Pengaruh Padatan Lumpur Pemboran
Invasi filtrat lumpur ke dalam formasi membawa pula partikel-partikel
padatan lumpur pemboran ke formasi produktif. Adanya partikel-partikel padatan
dalam lumpur pemboran dapat menimbulkan penyumbatan dalam pori-pori batuan
dan sangat mempengaruhi permeabilitasnya.
Partikel-partikel padat bisa berasal dan weighting materials clay, fluid
loss-control materials, drilled solids, cement particles.
Untuk dapat masuk ke dalam pori-pori batuan, partikel-partikel padatan
harus mempunyai ukuran butir lebih kecil daripada pori-pori batuan. Radius
invasi solids particle lebih dekat daripada radius invasi mud filtrate, menurut
Krueger & Vogel menyebutkan, bahwa invasi partikel padatan lumpur mencapai
12 inchi atau lebih dalam dan core batuan yang mempunyai permeabilitas 350 -
550 md dalam waktu 5 hari. Selain itu formation damage akan turun pada jarak
yang jauh dan lubang bor (Glenn dan Slusser, 1957). Lumpur bor yang
mengandung partikel padatan berukuran sama dengan ukuran pori-poni batuan
pasir akan membentuk bridging yang lebih cepat.
Bridge mulai terbentuk, ketika dua partikel yang besar-besar akan lebih
dulu masuk dalam waktu yang sama dan memberikan tempat antara yang satu
dengan yang lainnya. Kemudian partikel lebih kecil akan menutup ruang yang
terdapat diantara partikel-partikel yang lebih besar, sehingga partikel yang besar-
besar akan tertutup.
Jika ukuran partikel padatan sama dengan pori-pori batuan, maka akan
berjalan terus sampai semua ruang pori batuan yang ada menjadi lebih kecil untuk
dapat ditembus oleh padatan. Dalam keadaan seperti ini hanya mud filtrate yang
mampu melewati mud cake. Secara teori jika partikel-partikel berukuran kecil
lebih banyak mengisi runf pori batuan, maka ruang pada filter cake menjadi lebih
kecil, sekalipun molekul seperti air akan dapat menembusnya.
3.8.3.5. Mengurangi Pengaruh-pengaruh Filtrat Lumpur
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan adanya volume
filtration loss yang besar menimbulkan kerugian, misalnya formation damage,
timbulnya mud cake yang terlalu tebal dan sebagainya. Untuk mengatasinya,
maka diusahakan bagaimana caranya agar pengaruh-pengaruh yang timbul akibat
adanya filtration loss dapat dicegah.
Dengan mengetahui bagaimana terjadinya filtration loss dan akibatnya
bagi suatu operasi pemboran, maka dapatlah dilakukan cara untuk mengurangi
filtration loss tersebut, yaitu dengan melakukan pengaturan tekanan. Tetapi
dikawatirkan jika dilakukan akan menyebabkan penurunan laju produksi dan
gangguan pada performance reservoir, sehingga selain mengatur tekanan,
pengontrolan filtration loss dapat dilakukan dengan pengaturan komposisi
kimianya.
Dalam pengaturan ini, invasi lumpur yang masuk dalam formasi produksi
dapat menyebabkan produktifitas menurun, sehingga diperlukan adanya
pengaturan terhadap laju filtrasi, maka perlu :
o Membatasi jumlah cairan yang masuk ke dalam formasi.
o Laju filtrasi dapat mempengaruhi ketebalan serta sifat-sifat mud cake.
Untuk suatu sistem lumpur yang terdispersi dapat dihasilkan laju filtrasi
minimum. Sebagai contoh, suatu sistem lumpur yang mengalami flokulasi
mungkin dapat mempunyai filtration loss yang tinggi, karena kandungan padatan
tidak terdispersi secara aman, ini dapat mengakibatkan terjadinya filter cake yang
kurang baik. Mengurangi filter loss dapat dilakukan dengan penambahan air yang
berfungsi sebagai thinner. Dengan menggunakan disperse yang baik, maka
filtration loss dapat dikurangi.
Metode lain adalah dengan menambahkan zat-zat kimia yang dapat
dilakukan dengan baik oleh dispersi solids secara sempurna. Suatu pengecualian
adalah Ferro Chrome Lignosulfonate (lebih umum disebut Q-borxin). Thinners ini
digunakan untuk mengontrol filtration loss dalam lumpur yang mengandung
kalsium konsentrasi tinggi yang dapat dilarutkan. Bentonite dapat juga
mengurangi filtration loss yang dilakukan dengan menaikkan viscositas lumpur.
Suatu metode yang dianggap sebagai metode standard untuk mengurangi
laju filtrasi adalah dengan menggunakan emulsi minyak dalam lumpur. Umumnya
dengan menggunakan 10% minyak telah cukup memberikan efek penurunan
filtrarion loss sebanyak 25 – 40%, yang tergantung pada sistem lumpurnya.
Material lain yang sering digunakan adalah Guargan dan Surfactant. Bahan ini
banyak dijumpai dalam bentuk asli yaitu koloidal. Dan sering digunakan dalam
lumpur-lumpur yang tidak mengandung koloid, hal ini cukup memuaskan.
3.9. Pemeliharaan Lumpur Pemboran
Maksud dari pemeliharaan lumpur pemboran adalah mempertahankan
lumpur dengan baik sesuai dengan fungsinya dalam operasi pemboran agar
diperoleh produksi minyak yang optimal tanpa mengalami hambatan-hambatan,
oleh karena itu perbaikan tidak harus menunggu lumpur mengalami kerusakan
atau tidak berfungsi secara maksimal.
Perawatan disini tidak harus emnggunakan metode tertentu, karena
biasanya zona-zona pemboran mempunyai pengaruh yang berlainan satu dengan
yang lainnya. Salah satu cara adalah melakukan kontrol lumpur, sehingga secara
ilmiah yang dikombinasikan dengan pengatahuan dari pengalaman diharapkan
dapat mengatasi gejala-gejala adanya perubahan-perubahan sifat lumpur
pemboran. Hal tersebut perlu diperhatikan karena perubahan-perubahan sifat
lumpur dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan yang sangat merugikan, baik
yang berasal dari pengaruh karakteristik batuan dan kondisi formasi ditembus
maupun dari pengaruh proses-proses pemboran.
Biasanya lumpur pemboran sering dipengaruhi oleh lapisan-lapisan batuan
formasi yang pda saat itu dibor. Beberapa contoh langkah yang dapat dijadikan
pedoman untuk merawat lumpur pada suatu daerah yang sudah pernah dilakukan
pengeboran adalah sebagai berikut :
o Memasukkan additif pengencer lumpur pemboran pada waktu akan
menembus lapisan kapur.
o Memasukkan additif pengental lumpur pemboran jika akan menembus
lapisan tanah liat.
o Memasukkan caustic soda kedalam lumpur pemboran jika akan menembus
lapisan tanah liat.
o Memasukkan additif untuk mengurangi filtration loss pada waktu membor
lapisan yang mengandung minyak.
Intinya jika suatu pemboran akan menembus suatu lapisan formasi tertentu, maka
lumpur pemboran sebaiknya dikontrol dengan menambahkan zat-zat additif sesuai
dengan fungsi lumpur yang diinginkan dan sesuai dengan kondisi lapangan yang
akan dobor agar tidak terjadi kerusakan akibat kesalahan perencanaan lumpur
pemboran untuk suatu formasi tertentu, berikut beberapa additif sesuai dengan
fungsinya yang berkaitan dengan sifat-sifat lumpur pemboran.
Tabel III-3.Bahan-bahan Additif Lumpur Pemboran25)
BAHAN ADITIF FUNGSIBentonit Menaikkan viskositas.Barite Menaikkan berat jenis.Sodium Acid Pyrophosphate Menghambat kecepatan pengendapan
bahan-bahan padat dari lumpur.Caustic Soda (larutan alkali) Menstabilkan dan mengatur lumpur
pemboran. – menaikkan pH alkalinitas.Lignosulfonate; Quebracho Mengencerkan dan mengatur filtrasi
lumpur pemboran.Polyacrylates (CMC) Polimer organik yang beratGypsum Mengatur dan menstabilkan lumpur
pemboran.Garam Sodium Chlorida Dipakai dalam pengeboran lapisan-lapisan
garam.Minyak (emulsi) Mencegah kesulitan-kesulitan pelumasan
pada temperatur yang tinggi, pipa sticking, pengelupasan shale dan mencegah pembasahan lapisan yang pekat terhadap air.
Jika terjadi hal-hal bersifat mendadak (accidental) dan tidak terduga
sebelumya serta mengakibatkan perubahan sifat pada lumpur pemboran maka
lumpur lumpur harus segera diberikan treatment dengan tepat agar lumpur tidak
rusak sama sekali sehingga diperlukan biaya besar, misalnya :
o Lumpur pemboran yang terkena pengaruh kapur akan mendadak
mengental dan harus dilakukan treatment dengan memeberikan additif
pengencer.
o Lumpur yang terkena pengaruh semen akan terjadi penggumpalan harus
segera diberikan additif natrium bicarbonate.
o Lumpur yang terkena pengaruh air akan menjadi encer dan merusak air
tapisan, maka harus dilakukan treatment dengan additif pengental emulsi
minyak.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam treatment lumpur pemboran antara lain
sebagai berikut :
o Bentonite biasa dimasukkan langsung kedalam lumpur pemboran sedikit
demi sedikit.
o Minyak (emulsi) dimasukkan terlebih dahulu kedalam bak lumpur.
o Calgon harus dihancurkan dan dilarutkan dahulu dalam air, kemudian
sedikit demi sedikit kedalam lumpur di bak.
o CMC dimasukkan kedalam lumpur dalam bak lumpur dengan takaran
tertentu.
o Myrtan dihancurkan dahulu dalam larutan NaOH, kemudian dimasukkan
kedalam bak lumpur.
o Calcium carbonat dapat rusak oleh asam sehingga harus diketahui bahwa
lumpur tidak asam.
o Bahan-bahan seperti : sodium axid phyrophospate dan sodium hexa
methaphospate, sodium tetraphospate dan sodium phyrophospate tidak
stabil pada temperatur yang tinggi.
o Additif yang tahan terhadap temperatur yang tinggi adalah minyak lignite
yang dimasukkan bersama-sama caustic soda.
o Memasukkan additif selama sirkulasi dan diaduk terus-menerus dengan
lumpur yang ada pada bak lumpur, dimana hal ini dimaksudkan agar
pengaruh dari additif yang ditambahkan tersebut merata.
Pengendalian additif saat persiapan dan selama operasi pemboran berlangsung
harus terus dilakukan.
top related